Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari, SE., M.Si., Akt. Anggota DPR/MPR-RI No. A-111
“ Kesiapan Indonesia dalam Pasar Bebas ASEAN melalui Penguatan Implementasi Corporate Governance yang Sehat” Seminar Nasional 27 dan 28 Agustus 2015 Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat
A. PENDAHULUAN Tujuh puluh tahun Republik Indonesia merdeka merupakan momentum penting untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus kesempatan berharga untuk melakukan refleksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuh puluh tahun Republik Indonesia merdeka memiliki tujuan menciptakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Hal tersebut menjadi indikator utama dalam refleksi kemerdekaan. Di sisi lain, pengakuan dari negara di dunia menjadi bagian dari hak kemerdekaan yang telah diperoleh Republik Indonesia. Dalam nuansa usia ke-70 tahun, Republik Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya di tengah arus global. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) adalah realisasi pasar bebas di ASEAN yang telah dilakukan secara bertahap di mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada tahun 1992 di Singapura. Pada pertemuan Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) kelima tersebut, para Kepala Negara berkomitmen untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN (ASEAN Free Trade Agreement/AFTA) dalam jangka waktu 15 tahun dan dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2002. Kemudian, kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam KTT di Kuala Lumpur (Malaysia) tahun 1997 memutuskan untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur dan kompetitif dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi yang adil serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial1
ekonomi (ASEAN Vision 2020). Pada KTT selanjutnya, Indonesia merupakan salah satu inisiator pembentukan MEA. Para Petinggi ASEAN mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada tahun 2015 disepakati dalam Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003. Dalam deklarasi tersebut dijelaskan bahwa MEA bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, mengatasi masalah-masalah ekonomi antar negara ASEAN, serta meningkatkan daya saing ASEAN dalam dunia Internasional agar dapat menarik investasi asing. Pembentukan MEA merupakan bagian dari upaya ASEAN untuk lebih mempererat integrasi antar Negara ASEAN serta menyesuaikan sudut pandang agar lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak pada kawasan ASEAN tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama, yaitu: saling menghormati (Mutual Respect), tidak mencampuri urusan dalam negeri (Non-Interfence), konsensus, konsultasi dan dialog. Komunitas ASEAN terdiri dari tiga bidang yang termasuk di dalamnya kerjasama di bidang ekonomi, yaitu: Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Comunity/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Cultural Community/ASCC). Dampak dari kesepakatan dalam MEA di antaranya adalah; arus bebas barang bagi negara-negara ASEAN, arus bebas jasa, arus tenaga kerja terampil, serta arus bebas investasi (modal). Hal-hal tersebut dapat berdampak positif ataupun negatif bagi perekonomian Indonesia. Dampak positif atau peluang dari momentum MEA yang dapat dimanfaatkan di antaranya : 1. Pemasaran barang dan jasa dari Indonesia dapat menjangkau negara anggota ASEAN lainnya yang berjumlah sekitar 625 juta orang atau hampir setara dengan tiga kali lipat pasar di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada biaya ekspor dan impor yang menjadi lebih murah. 2. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga ahli (bersertifikasi) memiliki kesempatan lebih luas bekerja di Negara Anggota ASEAN sehingga dapat menghasilkan cadangan devisa bagi Indonesia, sebaliknya tenaga kerja asing yang terampil juga berkesempatan berkerja di Indonesia.
2
3. Ruang investasi antar negara ASEAN lebih terbuka bagi investor Indonesia dan sebaliknya Indonesia dapat menarik investasi dari para pemodal-pemodal ASEAN. Para professional (akademisi dan praktisi) di dorong untuk meningkatkan skill, kompetensi dan profesionalitas yang dimilikinya dan para pengusaha di dorong untuk semakin kreatif dalam menghadapi persaingan yang ketat. Selain peluang, ada pula hambatan dalam menghadapi MEA. Hambatan tersebut di antaranya : 1. Kualitas pendidikan tenaga kerja Indonesia masih rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya sampai bulan Febuari 2014 tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia. 2. Ketersediaan dan kualitas infrastuktur masih kurang. Alokasi dana infrastruktur dalam APBN induk 2015 hanya Rp191 triliun dan kemudian diubah dalam APBN Perubahan 2015 yang jumlahnya mencapai Rp290,3 triliun, naik Rp100 triliun dari rencana rancangan sebelumnya. Dampak dari hal tersebut baru dapat dirasakan beberapa tahun mendatang. 3. Keterbatasan pasokan energi. Data Indonesian Petroleum Association (IPA) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 diperkirakan Indonesia kekurangan pasokan minyak dan gas 2,4-2,5 juta BOEPD (barel setara minyak per hari). 4. Sektor industri yang lemah dan masih mengandalkan sektor komoditas seperti pertambangan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya di mana ketersediaannya semakin menipis. 5. Lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor khususnya dari negeri Tiongkok. 6. Korupsi di semua sektor Indonesia. Data dari Transparency Internasional menunjukkan Indonesia berada di tingkat 107 dari 174 negara. Hambatan-hambatan tersebut dapat menjadi ancaman bagi Indonesia dalam kesepakatan MEA. Oleh karena itu semua stakeholder negeri ini memerlukan solusi dan strategi agar siap menyambut momentum MEA.
3
B. PEMBAHASAN MEA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH Komisi XI DPR RI merupakan salah satu Alat Kelengkapan DPR RI yang salah satu tugasnya membidangi Keuangan Negara dan Perbankan. Saat ini, Komisi XI diberi mandat oleh DPR RI untuk melakukan pembahasan RUU tentang Perbankan. Perubahan terhadap Undang-Undang Perbankan ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015 yang diusulkan oleh Komisi XI DPR RI, dengan judul "RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan”. RUU Perbankan mengusung prinsip resiprokal atau perlakuan yang sama untuk mengikuti perkembangan bisnis perbankan di dunia. Dalam RUU ini, permodalan dan tenaga kerja asing dalam dunia perbankan dibatasi, penjaminan simpanan diatur sehingga tidak merugikan bangsa Indonesia dalam menghadapi arus global MEA. Dari sisi perbankan, Indonesia memiliki peluang melalui Bank BUMN. Bank Mandiri, BRI dan BNI memiliki potensi untuk masuk top ten ASEAN. Saat ini Bank Mandiri sudah berada di posisi sebelas besar ASEAN dengan kapitalisasi pasar sebesar US$ 19,98 miliar disusul oleh Bank BNI dengan kapitalisasi pasar sebesar sebesar US$ 9,18 miliar. Perbankan Indonesia harus mampu bersaing dengan perbankan Singapura dan Malaysia, Indonesia memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di ASEAN dan hal tersebut seharusnya diiringi dengan pertumbuhan perbankan yang memasuki jajaran sepuluh besar ASEAN. Pertumbuhan perbankan dapat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perlu penyederhanaan jumlah perbankan yang secara kuantitatif melebihi 100 bank. Beberapa bank kecil perlu di merger untuk memperkuat basis perbankan yang lebih besar. Indonesia saat ini merupakan negara berkembang yang menjadi target bisnis dan investasi karena memiliki berbagai macam potensi mulai dari Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan PDB yang tinggi. Dengan berbagai macam peluang untuk maju, Indonesia harus didukung oleh sistem perbankan yang kuat. Pemerintah Indonesia dari sisi eksekutif memerlukan langkah strategis untuk menyambut MEA khususnya dari sektor infrastuktur, sektor tenaga kerja, dan sektor 4
industri. Kementrian terkait bersama partner kerjanya memerlukan persiapan yang matang untuk mengantisipasi peluang dan ancamannya. Pemerintah melalui kebijakannya dapat mendorong pelaku usaha (swasta) dan masyarakat untuk bersama-sama menghadapi MEA. Pemerintah melalui bidang pendidikan dapat melakukan pengembangan kurikulum dan penguatan aktor pendidikan yang dibutuhkan sesuai dengan MEA sehingga mencetak SDM yang berkualitas serta siap menghadapi persaingan global. Sosialiasi terkait MEA melalui iklan layanan masyarakat juga dapat membantu kesiapan masyarakat dalam menghadapinya. Dalam bidang perindustrian, pemerintah mempersiapkan strategi offensive dan defensive. Strategi offensive yang dimaksud meliputi penyiapan produk-produk unggulan seperti industri agro (kakao, karet, minyak sawit), tekstil dan produk tekstil, mebel, makanan dan minuman, pupuk dan petrokimia, otomotif, mesin dan peralatan, serta produk logam, besi, dan baja. Adapun strategi defensive dilakukan melalui penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk-produk manufaktur. Dalam Nawa Cita Kementerian Perdagangan, target ekspor Indonesia selama lima tahun kedepan meningkat tiga kali lipat. Cara tersebut dapat dilakukan dengan membangun 5.000 pasar, pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Adapun target ekspor pada 2015 dibidik sebesar US$192,5 miliar. Selanjutnya pemerintah juga menyiapkan strategi subsititusi impor untuk meningkatkan ekspor, dan memberi nilai tambah dalam produk dalam negeri. Pemerintah juga akan memperkuat produk UMKM dengan membina melalui kemasan, sertifikasi halal, pendaftaran merek, dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Kemudian pemerintah juga memfasilitasi pelaku UMKM dalam pameran berskala internasional. Melalui fasilitas itu, Kementerian Perdagangan berharap, produk serta merek yang dibangun oleh pelaku UMKM di Indonesia dapat dikenal secara global. Last but not least, semua stakeholder harus bersama-sama bangkit melawan korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seringkali menjadi hot topic di media elektronik dan cetak, bahkan respons terhadap sebuah isu korupsi seringkali menjadi trending topic di media sosial. Setiap hari pemberitaan tentang korupsi meramaikan bumi pertiwi dan tidak jarang melibatkan politisi, pejabat pemerintah, pengusaha, bahkan akademisi. Secara lebih lanjut, korupsi dapat menyebabkan penurunan tingkat efisiensi secara nasional yang dikarenakan tingkat biaya ekonomi yang tinggi. Isu-isu yang berkembang melalui berbagai media 5
mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat menurun terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkena kasus korupsi lainnya, kemudian berlanjut pada timbulnya sikap apatis masyarakat terhadap apapun yang dilakukan oleh pemimpin negara dan pemimpin-pemimpin lembaga yang terkena korupsi di Indonesia. Hasil survei Transparency International menunjukkan Indonesia selalu berada di urutan lebih dari 100. Selama kurun waktu 10 tahun, Indonesia masih dalam kategori negara korup karena masih memperoleh nilai di bawah 4. Sampai dengan tahun 2014, peringkat Indonesia berada di urutan 107 dari 174 negara dengan nilai 3.4 dari skala 10. Jauh di atasnya negara anggota ASEAN yang lain seperti Singapura di peringkat 7, Malaysia di peringkat 50, Thailand dan Filipina di peringkat 85. Tabel 1: Peringkat dan Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun
Peringkat
IPK (skala 0-10)
Keterangan
2004
133 dari 146 negara
2.0
Korup
2005
137 dari 159 negara
2.2
Korup
2006
130 dari 163 negara
2.4
Korup
2007
143 dari 180 negara
2.3
Korup
2008
126 dari 180 negara
2.6
Korup
2009
111 dari 180 negara
2.8
Korup
2010
110 dari 178 negara
2.8
Korup
2011
100 dari 182 negara
3.0
Korup
2012
118 dari 174 negara
3.2
Korup
6
2013
114 dari 177 negara
3.2
Korup
2014
107 dari 174 negara
3.4
Korup
Tabel di atas menunjukkan perkembangan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun. Menurut Tranparency International Indonesia (2014), Korupsi adalah masalah besar yang dihadapi negara-negara dengan perkembangan ekonomi pesat, dalam skor-skor tersebut dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis, investor maupun pengamat atau analis negara. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan dan perusahaan yang lebih baik harus ditingkatkan lagi. Tabel 2 : Peringkat dan nilai CG berdasarkan Pasar di Negara Anggota ASEAN
CG Watch market score: 2010 to 2014 %
2010
2012
2014
Change 2012 vs 2014 (ppt)
Trend of CG reform
1. = Hong Kong
66
66
68
(-1)
Weak leadership, tough enforcement
1. = Singapore
67
69
64
(-5)
International vs local contrast continues
3. = Japan
57
55
60
(+5)
Landmark changes, can they be sustained?
4. = Thailand 4. = Malaysia
55 52
58 55
58
-
58
(+3)
Improving, but still too top-down
S. = Taiwan
55
53
56
(+3)
Bold policy moves, can they be sustained?
7. = India
48
51
54
(+3)
Bouncing back, Delhi more supportive
8. = Korea
45
49
49
-
Indifferent leader, more active regulators
9. = China
49
45
45
-
Focus on SOE reform, enforcement
10. = Philippines 10. = Indonesia
37 40
41 37
40 39
(-1 ) (+2)
Improving, but new legislation needed
Slow reform, improved company reporting Big ambitions, can they be achieved?
Source: Asian Corporate Governance Association
Jika dilihat dari peringkat dan nilai CG berdasarkan Pasar di Negara Anggota ASEAN, nilai Indonesia menurun di tahun 2012 dari tahun 2010 (dari 40 ke37) dan kemudian naik di tahun 2014 (dari 37 ke 39).
7
Berdasarkan tabel di atas, Indonesia mulai membenahi CG dalam rangka menyambut MEA khususnya dari segi regulatory. Pembenahan tersebut di antaranya dengan cara memperkuat peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kemudian memperjelas tugas, wewenang dan komunikasi regulator keuangan dalam forum KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan). DPR RI Komisi XI bersama BI, OJK, LPS dan pemerintah sedang merancang RUU BI untuk memperjelas peran antara BI, OJK dan LPS. Indonesia memiliki Roadmap Corporate Governance (CG) baru yang membuat perubahan peraturan yang lebih luas. OJK sebagai super regulator yang baru harus menjadi katalis bagi reformasi yang berkelanjutan. Selain itu terdapat beberapa kemajuan dalam peraturan audit sehingga harapan akan terlaksananya Good Corporate Governance (GCG) dapat terwujud. Akan tetapi hal tersebut akan lebih efektif dan efisien jika didukung kondisi politik, meningkatnya sumber daya peraturan dan memastikan orang yang tepat bekerja pada tempatnya. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Hal ini merupakan satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk tercapainya GCG khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam upaya perlawanan terhadap korupsi diperlukan sinergisitas dari semua elemen, diantaranya; pengawasan kuat oleh parlemen, badan pemeriksa atau lembaga anti korupsi yang 8
independen dan memiliki sumber daya memadai, peradilan dan penegakan hukum yang kuat, transparansi dalam anggaran publik, serta ruang bagi media independen. PENUTUP Hari Kemerdekaan merupakan momen yang tepat bagi Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang sedang berjuang melawan korupsi dan menegakkan Good Corporate Governance di tengah persaingan global khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kesimpulannya, Indonesia jika ingin menjadi pemenang dalam kontes ekonomi ASEAN diperlukan tata kelola pemerintahan dan perusahaan yang baik. Oleh karena itu, prinsip-prinsip GCG hendaknya ditegakkan dalam berbagai elemen stakeholder negeri ini baik pemerintah maupun pihak swasta, prinsip-prinsip tersebut meliputi: partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientas pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi strategis.
9