Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
MOTIVASI CUCI TANGAN PERAWAT DI RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU (MOTIVATION OF NURSE IN HAND WASHING HOSPITAL DR. M YUNUS BENGKULU) Feny Marlena Health Community Program Study, STIKes Bhakti Husada Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422 Email:
[email protected] ABSTRACT Nosocomial infections are a serious problem, directly or indirectly cause the death of the patient. It can be transmitted from patient to personnel or otherwise, visitors to the patient or vice versa, as well as among those who are in the hospital environment. The results of observations obtained five nurses did not wash hands before procedure to the patient, and wash hands after only perform actions to the patient. The purpose of the study to determine the relationship of motivation with hand washing room nurse Teratai and Seruni dr. M. Yunus Bengkulu. Type descriptive analytic study with cross-sectional design. The population is a nurse in the room Teratai and Seruni dr. M. Yunus Bengkulu numbered 53 people. The sample is the total sampling. Univariate and Bivariate analysis with chi-square statistical test. The result showed 41.5 % of respondents have less motivation and 52.8 % of respondents do not wash your hands as well as the obtained p value = 0.03 , summed up almost half the motivation is less and more than the majority do not wash your hands , and there is a relationship between the motivation of nurses to wash hand in space Teratai and Seruni in dr. M. Yunus Bengkulu. It is recommended to add Washtafel, attend seminars, poster displays about the steps to wash hands properly and correctly in every room, and promote hand washing behavior on health workers Keywords : Motivation , Wash Hands . PENDAHULUAN
kegiatan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sehari-hari. Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada perinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Tujuanya adalah
Program pengendalian infeksi nosokimial terdiri dari tiga kegiatan, yaitu melaksanakan; upaya pencegahan infeksi nosokomial (Kewaspadaan Universal), pengamatan infeksi nosokimial (surveilens), dan penanggulangan infeksi nosokomial (RSCM, 1999). Upaya pencegahan infeksi nosokomial merupakan hal terpenting yang menjadikan bagian 23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
melindungi tenaga kesehatan dan semua pasien dari tertular penyakit selama menjalani perawatan, mengurangi jumlah mikroba pathogen dilingkungan rumah sakit. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, pakaian alat pelindung diri (sarung tangan, masker, aproan), pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukan (Depkes RI, 2003). Pelaksanaan prinsip universal precaution di Indonesia masih kurang. Beberapa tindakan yang meningkatkan potensi penularan penyakit yaitu tidak mencuci tangan, tidak menggunakan sarung tangan, penanganan benda tajam yang salah, teknik dikontaminasi yang tidak adekuat, dan kurangnya sumber daya untuk melaksanakan prinsip pencegahan infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. Suatu penelitian yang dilakukan oleh World Health Organisation (WHO) menunjukan bahwa sekitar 8,7% dari 55 Rumah Sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tenga, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara 10,0% (Harry, 2006). Di negara maju pun, infeksi yang di dapat dalam Rumah Sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Infeksi nosokomial menyebabkan 20.000 kematian setiap tahun di AS, 10 % rawat inap di Rumah Sakit mengalami infeksi yang baru selama di rawat sampai 1,4 juta infeksi setiap tahun di seluruh dunia. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta (2004) menunjukan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang
baru selama di rawat. Faktor-faktor penunjang peningkatan ini adalah meningkatnya pasien yang lemah yang masuk ke Rumah Sakit dan penggunaan tehnologi invasif beresiko tinggi (Schaffer, 2000). Beberapa kejadian infeksi nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian pada pasien, akan tetapi ini menjadi penyebab penting pasien dirawat lebih lama di Rumah Sakit. Infeksi nosokomial merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Infeksi ini bisa di tularkan dari pasien ke petugas maupun sebaliknya, pasien ke pengunjung atau sebaliknya, serta antar orang yang berada di lingkungan Rumah Sakit. Penyebab infeksi nosokomial akan menjadi kuman yang berada di lingkungan Rumah Sakit atau oleh kuman yang di bawah olleh pasien itu sendiri, yaitu kuman endogen. Bahaya dari terjadinya infeksi nosokomial adalah meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) serta dapat memperlama perawatan pasien di Rumah Sakit dan dapat mempengruhi mutu pelayanan Rumah Sakit. Dari batasan ini dapat di simpulkan bahwa kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang secara potensial dapat di cegah. Cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak langsung antar pasien dengan personel yang merawat atau menjaga pasien, kontak tidak langsun ketika obyek di dalam lingkungan yang terkontaminasi dan tidak didesinfeksi atau disterilkan (Amdani, 2009). Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak perkembangan yang telah di buat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak 23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
negara, dan di beberapa negara kondisinya justru sangat memperhatinkan. Keadaan ini justru memperlama perawatan dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta penggunaan jasa di luar Rumah Sakit. Karena itulah, dinegara-negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Oleh karena itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang paling penting karena tangan merupakan salahsatu wahana yang paling efesien untuk penularan infeksi nosokomial (Scaffer, 2000). Salah satu cara untuk pencegahan infeksi nosokomial adalah dengan mencuci tangan. Mencuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangandengan memakai sabun atau air. Tujuan cuci tangan adalah untuk menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme (Tietjen, 2003). Salah satu tenaga kesehatanyang paling rentan terhadap penyakit infeksi tersebut adalah perawat karena yang bertugas selama 24 jam di Rumah Sakit dan yang sering berintraksi dengan pasien adalah perawat. Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mokroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Indikasi cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadi perpindahan kuman melalui
tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran dan setelah melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran (Depkes RI, 2003). Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005). Petugas kesehatan yang mempunyai faktor resiko paling tinggi sebagai media terjadinya infeksi nosokimial kepada pasien adalah perawat. Hal ini disebabkan karena perawat selama 24 jam berhubungan dengan pasien untuk melaksanakn asuhan keperawatan. Perawat sangat rentan terhadap penularan infeksi, karena perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien akan kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko penularan infeksi nosokomial adalah dengan melaksanakan tindakan kewaspadaan universal (Universal Precaution) atau tindakan pencegahan. Diantara faktorfaktor tersebut salah satu yang paling penting adalah motivasi perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial. Motivasi adalah suatu kondisi kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan kebutuhan dorongan dan kesukaan individu untuk berperilaku kerja untuk mencapai kepuasan atau mengurangi keseimbangan (Ilias, 2002). Seorang perawat diharapkan motivasi untuk berperilaku mencegah terjadinya infeksi nosokomial, karena hal ini keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan, mencakup setiap aspek penanganan pasien, dan upaya pencegahan infeksi merupakan langkah pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu.
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
Pencegahan penularan infeksi di rumah sakit melibatkan berbagai unsur, mulai dari peran pimpinan sampai perawat itu sendiri. Peran pimpinan adalah penyediaan system, sarana, dan pendukung. Peran perawat adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan infeksi nosokimial. Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu dilakukan pelatihan yang menyeluruh untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pencegahan infeksi di rumah sakit. Pengorganisasian program pengendalian infeksi nosokimial ini tidaklah mudah karena membutuhkan interaksi, koordinasi, kesadaran, dan motivasi antar berbagai disiplin ilmu. Semua pihak terlibat, harus sadar dan mau mengubah perilaku untuk mencegah terjadinya infeksi nosokimial. Kesepakatan dan dukungan baik dari pihak pimpinan rumah sakit dan semua petugas khususnya perawat sangatlah penting, mengingat rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks (Lindawati, 2001). Data yang diperoleh dari Rekam Medik pada tahun 2010 infeksi nosokomial yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Yunus Bengkulu berjumlah 114 orang dengan rincian infeksi saluran kemih (ISK) yaitu 6 orang, Pneumonia yaitu 2 orang, Plebitis yaitu 79 orang, dekubitus yaitu 19 orang dan Infeksi Luka Operasi (ILO) yaitu 8 orang. Sedangkan pada tahun 2011 infeksi nosokomial berjumlah 140 orang dengan rincian infeksi saluran kemih (ISK) berjumlah 11 orang, Pneumonia berjumlah 4 orang, Plebitis berjumlah 79, dekubitus berjumlah 4 orang dan Infeksi Luka Operasi (ILO) berjumlah
42 orang. Dari angka kejadian diatas terjadi peningkatan angka kejadian infeksi nosokomial pada tahun 2011 (MR RSUD dr. M. Yunus Bengkulu, 2011). Survei awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 9 Februari 2012, diketahui jumlah perawat yang ada di ruangan Seruni dan ruangan Teratai yaitu 53 orang dengan rincian SPK berjumlah 3 orang, DIII keperawatan berjumlah 37 orang dan Sarjana Keperawatan berjumlah 13 orang. Berdasarkan observasi yang peneliti amati di lapangan, meskipun perawat telah mendapatkan pengetahuan dan pelatihan tentang pencegahan infeksi nosokomial akan tetapi perawat kurang mempunyai motivasi untuk melaksanakan pencegahan infeksi nosokimial. Kejadian infeksi nosokomial belum diketahui secara pasti, untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit perlu adanya pencegahan serta pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit, salah satu caranya adalah dengan melakukan cuci tangan. Namun berdasarkan survey dan observasi di beberapa Bangsal di RSUD dr. M. Yunus peneliti masih melihat adanya kesenjangan antara lain peneliti menemukan lima perawat tidak melakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan ke pasien, dan hanya melakukan cuci tangan setelah melakukan tindakan ke pasien. Alasan karena perawat menganggap bahwa tangannya sudah bersih dan pada kondisi tertentu misalnya pada pasien yang memerlukan pertolongan cepat, ini tidak memungkinkan perawat untuk melakukan cuci tangan. Padahal perawat merupakan tenaga profesional yang perannya tidak dapat dikesampingkan dari lini terdepan pelayanan rumah sakit, 23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
karena tugasnya mengharuskan perawat kontak paling lama dengan pasien, maka diasumsikan ikut mengambil peran yang cukup besar dalam memberikan kontribusi kejadian infeksi nosokomial. Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan motivasi dengan cuci tangan perawat di ruang Teratai dan Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2012.
yang didapat tidak langsung dari responden (jumlah perawat yang diambil dari buku daftar kehadiran perawat di ruangan Seruni dan Teratai). Sedangkan data primer, yaitu meliputi data motivasi perawat yang dilakukan melalui 10 pertanyaan yang di adopsi dari Afrida (2007), dan data cuci tangan melalui observasi. Analisis univariat bertujuan menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan motivasi perawat dengan cuci tangan. Jenis uji statistik yang digunakan Chi-Square dengan estimasi Confidence Interval (CI) yang ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode diskriptif bersifat Analitik dengan desain Cross Sectional. Cross Sectional adalah suatu penelitian dimana pengumpulan data variabel independen (motivasi perawat) dan variabel dependen (cuci tangan) dilakukan pada saat yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah perawat yang ada di ruangan Teratai dan Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu yaitu 53 orang. Sampel yang digunakan adalah (Total Sampling) semua anggota populasi menjadi sampel (Alimul, 2008). Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder, yaitu data
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hasil analisis univariat variabel motivasi diperoleh hampir sebagian (41,5%) dari responden memiliki motivasi kurang.Variabel cuci tangan diperoleh lebih dari sebagian (52,8%) responden tidak cuci tangan.
Tabel 1. Analisis Hubungan Motivasi Perawat dengan Cuci Tangan Teratai dan Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2012 Motivasi Baik Kurang Jumlah
Cuci Tangan Ya Tidak n % n % 19 61,3 12 38,7 6 27,3 16 72,7 25 47,2 28 52,8
Berdasarkan tabel 1 di atas, diketahui bahwa dari 31 responden yang motivasi baik, 12 responden (22,6%)
Total n 31 22 53
% 100 100 100
P 0,030
diantaranya adalah tidak cuci tangan, sedangkan dari 22 responden yang motivasi kurang, 16 responden (30,2%)
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
diantaranya adalah yang tidak cuci tangan. Hasil analisis Chi-Square diperoleh nilai p = 0,03 ≤ 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan yang signifikan antara motivasi perawat dengan cuci tangan di ruang Seruni dan Teratai di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
direalisasikan, dan fungsi kepemimpinan. Atas dasar itulah maka dalam rangka menggerakkan orangorang, pemimpin wajib termotivasi (memberikan dorongan-dorongan). Tinggi rendahnya motivasi seseorang karyawan dalam bekerja dipengaruhi oleh kemampuan pimpinan dalam memberikandorongan/motivasi-motivasi tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 53 responden diketahui 47,2% yang cuci tangan dan 52,8% yang tidak cuci tangan. Responden yang cuci tangan disebabkan karena seseorang mengetahui dampak dan efek apabila tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan asuhan keperawatan kepada pasien. Disamping itu juga cuci tangan itu merupakan salah satu langkah untuk melindungi/proteksi diri dari penularan penyakit antara pasien-petugas kesehatan dan antara pasien ke pasien itu sendiri. Hampir sebagian responden yang tidak cuci tangan, hal ini disebabkan karena responden merasa tangan bersih, karena menggunakan sarung tangan, mengejar waktu dalam pemberian asuhan keperawatan, dan melakukan banyak melakukan asuhan keperawatan kepada pasien sehingga tidak ada waktu untuk cuci tangan berkali-kali. Disamping itu juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang tidak memadai dan kurang tersedianya washtapel di dalam ruang-ruangan pelayanan. Sejalan dengan pengamatan yang dilakukan Musadad (1993) yaitu perilaku cuci tangan oleh tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat menunjukkan bahwa sebagian besar tidak cuci tangan. Hal ini terlihat pada waktu petugas akan memeriksa pasien, baik saat pertama kali atau pergantian
PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 53 responden diketahui nilai motivasi yang kurang 41,5% dan motivasi yang baik 58,5%. Adanya motivasi yang kurang terhadap perawat disebabkan kurangnya dorongan dari dalam diri seseorang terhadap sesuatu, disamping itu juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan, sarana dan prasarana yang ada tidak mendukung. Sedangkan ada juga motivasi yang baik dari responden, hal ini disebabkan oleh seseorang memiliki pengetahuan yang baik, tahu apabila dampak dan akibat apabila kurang motivasi terhadap sesuatu pekerjaan. Menurut Saydam (2006), banyak faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi, antara lain; lingkungan kerja yang menyenangkan, kompensasi yang memadai, supervisi yang baik, adanya penghargaan dan prestasi, status dan tanggung jawab, peraturan yang berlaku, kematangan pribadi, tingkat pendidikan, keinginan dan harapan pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan, serta kepuasan kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang adalah karena kebutuhan-kebutuhan pribadi, tujuantujuan dan persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan, cara dengan apa kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuan tersebut akan 23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
dari pasien satu ke pasien lainnya. Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai melakuakan pemeriksaan pasien keseluruhannya. Kondisi seperti ini dapat memicu terjadinya infeksi nosokomial yang dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien ke pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi perawat dengan cuci tangan di ruang Seruni dan Teratai di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuidah (2006), mengatakan bahwa motivasi seseorang berkaitan dengan kebutuhan meliputi tempat dan suasana lingkungan kerja sehingga perawat yang bekerja mengalami penurunan motivasi yang mengakibatkan hasil kerja yang tidak memuaskan dan mengakibatkan tindakan perawat menurun. Dimana motivasi yang baik maka tindakan cuci tangan juga baik dilakukan dan sebaliknya motivasi kurang, tindakan cuci tangan kurang juga dilakukan. Motivasi perawat dalam cuci tangan di Ruang Teratai dan Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu sudah berjalan cukup optimal, tetapi masih ada juga kurangnya motivasi perawat cuci tangan. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan perawat yang masih kurang, sarana dan prasarana yang belum mendukung dan perawat sudah merasa tangannya bersih dengan menggunakan sarung tangan yang tidak harus di cuci, serta pada kondisi tertentu misalnya pada pasien yang memerlukan pertolongan cepat, ini tidak memungkinkan perawat untuk melakukan cuci tangan. Faktor lainnya yang menyebabkan kurangnya motivasi perawat cuci tangan
adalah perawat mengaku keterbatasan waktu yang digunakan untuk melakukan cuci tangan, kondisi pasien, dan perawat menyatakan mencuci tangan merupakan hal yang dirasanya kurang praktis untuk dilakukan. Kondisi seperti ini tentu saja berdampak munculnya masalah seperti tejadinya kasus-kasus infeksi (Tjienjen, 2003). Di Rumah sakit kebiasaan cuci tangan petugas merupakan perilaku yang mendasar sekali dalam upaya mencegah Cross Infection (Infeksi Silang). Hal ini mengingat rumah sakit sebagai tempat berkumpulnya segala macam penyakit, baik menular maupun tidak menular. Karena itu seluruh petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit seharusnya mengetahui pentingnya pencegahan infeksi silang (nosokomial). Sebagian besar infeksi dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia yaitu dengan cuci tangan (Tjienjen, 2003). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tohamik (2003), dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat terhadap tindakan cuci tangan dalam pencegahan infeksi adalah faktor karakteristik individu (jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, masa kerja, tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap penyakit, ketegangan kerja, rasa takut dan persepsi terhdap resiko), faktor organisasi manajemen, faktor pengetahuan, faktor fasilitias, faktor motivasi dan kesadaran, faktor tempat tugas, dan faktor bahan cuci tangan terhadap kulit. Penurunan ini akan berpengaruh pada lingkungan pekerjaan yang akan berdampak pada motivasi kerja perawat di rumah sakit. Motivasi akan berbeda antara satu perawat dengan perawat 23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
yang lainnya. Motivasi kerja merupakan suatu yang menimbulkan semangat dorongan kerja. Berdasarkan definisi motivasi tersebut, motivasi merupakan faktor utama perawat dalam melakukan segala pekerjaan baik yang meliputi tindakan pada pasien maupun tugas perawat pada asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang optimal (Monika, 2008). Peningkatan motivasi personal dirumah sakit harus dilakukan untuk menjaga semangat kerja sehingga tidak terjadi penurunan akibat dari kegiatan rutin. Pengamatan pada motivasi personal harus dilakukan terus menerus dan merupakan tanggung jawab atasan. Hal ini digunakan untuk mengidentifikasi pribadi yang memiliki potensi dan motivasi tinggi (Monika, 2008).
salah satu tenaga dirumah sakit yang secara langsung berinteraksi dengan klien dan menjadi sumber penyebab terjadinya infeksi silang. Pemasangan poster tentang cuci tangan secara baik dan benar pada tiap ruangan. DAFTAR PUSTAKA Amdani, 2009. Jenis-Jenis Infeksi. (Online),(http://www.infeksi.co m Diakses 25 Desember 2009). Departemen Kesehatan RI. 2003. Survey Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta. Harry, 2006. Infeksi Nosokomial. (Online),http//www.klikharry.co m (Diakses, 20 Desember, 2011) Ilias, 2002. Kumpulan Pedoman Sanitasi Rumah Sakit. Jakarta: DepKes RI Lindawati, 2001. Faktor-Faktor Karakteristik Individu Infeksi Nosokomial. (Online), (http://library.usu.ac.id/downloa d/fkm/fkm.hiswani6.pdf, Diakses 25 November 2011). Musadad, 1993. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung: Citra Aditya Sakti. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. MetodologiPenelitian Kes. Jakarta : Rineka Cipta. Nursalam. 2003. Infeksi Nosokomial. Jakarta: EGC Potter & Perry, 2005. Fundamental Of Nursing. Jakarta: EGC Saydam. 2006. pneumonia in infalansi and childhood. http://www.topmember.com, Diakses 31 maret 2009. Schaffer, 2000. Pencegahan Infeksi dan Praktek Yang Aman. Jakarta: EGC Tietjen, 2003. Infeksi Nosokomial. (Online), (http://www.kompas.com/kompa
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Perawat hampir sebagian memiliki motivasi kurang dan lebih dari sebagian tidak cuci tangan serta ada hubungan antara motivasi dengan cuci tangan perawat di ruang Teratai dan Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. SARAN Disarankan Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Yunus Bengkulu untuk menambah Washtapel khususnya di ruangan Teratai dan Seruni, dan perawat mengikuti seminar/penyuluhan PPI bagi petugas kesehatannya, dan menggalakkan perilaku cuci tangan pada tenaga kesehatan khususnya perawat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya infeksi silang karena tenaga kesehatan khusunya perawat adalah 23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
s-cetak/humaniota, Diakses 15 Nov 2011).
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23