MORFOP PATOLOG GI USUS BROILER R SETELA AH PEMB BERIAN MIN NYAK IKA AN DAN VITAMIN V NE Y YANG DITANTAN NG VIRUS S Newcastlle Disease
MAWA AR SUBANGKIT B B04103111
FAKU ULTAS KE EDOKTERAN HEW WAN INS STITUT P PERTANIA AN BOGO OR BOGOR 2007
ABSTRAK MAWAR SUBANGKIT. Morfopatologi Usus Broiler Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E Yang Ditantang Virus Newcastle Disease. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO. Keberadaan minyak ikan yang kurang mendapat perhatian untuk dimanfaatkan dapat digunakan sebagai alternatif peningkatan daya tahan tubuh pada ayam. Pada prinsipnya penggunaan minyak ikan menunjang program vaksinasi yang dilakukan. Penggunaan minyak ikan pada ayam akan memberikan efek menurunnya konsentrasi vitamin E yang ada pada tubuh ayam, sehingga penambahan pada ransum juga diikuti penambahan vitamin E. Selanjutnya ransum dengan minyak ikan disebut sebagai ransum terpilih dan sebagai pengganti minyak ikan untuk kontrol negatif digunakan minyak kelapa yang selanjutnya disebut ransum biasa atau ransum basal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi usus broiler (bagian Duodenum) yang ditantang dengan virus Newcastle Disease (ND) setelah pemberian minyak ikan dan vitamin E. 190 ekor broiler dengan strain CP 707 dibagi menjadi lima kelompok perlakuan yaitu (A) ransum dengan kombinasi minyak ikan dan vitamin E, divaksin ND dan IBD, dan tidak ditantang virus ND; (B) ransum dengan kombinasi minyak ikan dan vitamin E, tidak divaksin ND dan IBD, dan tidak ditantang virus ND; (C) ransum dengan kombinasi minyak ikan dan vitamin E, tidak divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus ND; (D) ransum dengan kombinasi minyak ikan dan vitamin E, divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus ND; dan (E) ransum tanpa kombinasi minyak ikan dan vitamin E, divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus ND. Pemotongan untuk melihat gambaran histopatologi pada usus dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu hari ke-15, 30, 37, dan 44. Vaksin ND diberikan pada umur 4 hari dengan tetes mata, serta hari ke-19 melalui air minum. Sedangkan vaksin IBD diberikan pada hari ke-11. Uji tantang virus ND dilakukan pada hari ke-33. Hasil penelitian menunjukkan selama tidak dilakukan uji tantang virus ND, histopatologi usus broiler dari semua kelompok perlakuan tidak mengalami perubahan. Setelah ditantang virus ND, kelompok broiler dengan ransum tanpa minyak ikan dan vitamin E menunjukkan kerusakan yang serius berupa oedema, kongesti, perdarahan, deskuamasi epitel vili, dan nekrosa vili. Sedangkan kelompok broiler yang mengkonsumsi ransum dengan minyak ikan dan vitamin E menunjukkan kerusakan yang ringan, yaitu terjadi oedema dan kongesti. Kesimpulan penelitian ini adalah kelompok broiler yang mengkonsumsi minyak ikan dan vitamin E setelah ditantang virus ND menunjukkan gambaran histopatologi usus broiler yang lebih baik dibandingkan dengan broiler dengan ransum biasa.
MORFOPATOLOGI USUS BROILER SETELAH PEMBERIAN MINYAK IKAN DAN VITAMIN E YANG DITANTANG VIRUS Newcastle Disease
MAWAR SUBANGKIT B04103111
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NIM
: Morfopatologi Usus Broiler Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E Yang Ditantang Virus Newcastle Disease : Mawar Subangkit : B04103111
Disetujui, Pembimbing Penelitian
Drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D NIP. 131 760 847
Diketahui, Wakil Dekan FKH IPB,
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmatNya yang telah dilimpahkan sehingga Skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang penulis pilih pada penelitian yang dilaksanakan dari bulan Desember 2006 hingga Agustus 2007 adalah Morfopatologi Usus Broiler Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E Yang Ditantang Virus Newcastle Disease. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu baik pikiran maupun tenaga serta memberi arahan, bimbingan, dan saran selama penulis melaksanakan penelitian sampai penyusunan skripsi. Saya ucapkan terimakasih kepada drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D yang telah bersedia sebagi dosen penilai. Ucapan terimakasih juga
penulis
sampaikan kepada Ir. Denny Rusmana, M.Si yang banyak membantu dalam bidang materi selama pelaksanaan penelitian. Terimakasih dan penuh hormat penulis ucapkan kepada ayah saya yang terhormat Suswanto dan ibu saya tercinta Sutini yang selalu mengasuh, mendidik, dan membimbing dengan penuh kasih sayang serta senantiasa berdo’a dan memberikan dorongan baik moral maupun material sampai saat ini. Adik-adikku Sangsang Frismawati dan Yusa Irarang yang telah memberikan semangat dan kebanggaan kepada kakak. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman yang selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu yang telah membantu penulis baik dalam suka maupun duka selama penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memberikan masukan bagi dunia peternakan dan kedokteran hewan di Indonesia.
Bogor, September 2007 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 22 Mei 1985 dari Ayah yang bernama Suswanto dan Ibu yang bernama Sutini. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Wonogiri dan pada tahun yang sama juga lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa IPB jalur USMI. Penulis memilih jurusan S1 Kedokteran Hewan, Fakultas Kedoteran Hewan IPB.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
ii
KATA PENGANTAR .................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
iv
PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Manfaat ................................................................................................
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. Minyak Ikan ......................................................................................... Vitamin E ............................................................................................. Newcastle Disease (ND) ...................................................................... Broiler .................................................................................................. Usus Halus ...........................................................................................
3 3 7 9 12 13
MATERI DAN METODE .......................................................................... Tempat dan Waktu ............................................................................... Materi ................................................................................................... Metode Penelitian ................................................................................
17 17 17 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... Pemotongan Pertama ........................................................................... Pemotongan Kedua .............................................................................. Pemotongan Ketiga .............................................................................. Pemotongan Keempat ..........................................................................
21 23 25 25 26
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
31
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu kendala dalam dunia peternakan broiler adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus. Ternak unggas paling rentan terhadap penyakit dibanding ternak-ternak lain. Sampai saat ini penyakit yang disebabkan oleh virus belum ada obatnya, namun dapat dicegah melalui, vaksinasi, sanitasi, dan manipulasi makanan untuk meningkatkan imunitas. Daya tahan atau daya imunitas adalah bagian utama dalam tindakan mencegah terjangkitnya penyakit. Imunitas suatu hewan ditunjang oleh sel-sel imun dan antibodi yang dibentuk oleh tubuh. Kesalahan penyusunan ransum akan memperparah keadaan akibat infeksi virus yang terjadi. Pada dasarnya penyusunan ransum didasarkan atas kebutuhan energi, protein, vitamin, dan mineral. Jarang sekali perhatian atas asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Zat makanan yang ditambahkan dalam ransum untuk meningkatkan kekebalan diantaranya adalah asam lemak tak jenuh ganda. PUFA yang dibutuhkan untuk meningkatkan imunitas broiler salah satunya ω-3. ω-3 dapat diperoleh dari minyak ikan. Minyak ikan merupakan limbah dari pengolahan ikan yang banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh juga terdapat pada jagung yang dalam ransum jumlahnya kurang lebih 50% dari total ransum. Asam lemak tak jenuh dalam jagung dan minyak ikan berbeda. Asam lemak dalam jagung yaitu ω-6 mempunyai sifat inflamatoris atau sering memacu timbulnya peradangan, sedangkan asam lemak pada minyak ikan dapat digunakan untuk mengimbangi adanya asam lemak tak jenuh dalam jagung tersebut. Penambahan minyak ikan dapat meningkatkan titer antibodi pada broiler yang divaksinasi. Pemberian minyak ikan pada ayam dapat menurunkan kadar vitamin E dan peningkatan peroksidasi lemak dalam plasma (Wander et al.). Hal ini disebabkan asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan sangat mudah teroksidasi dan merusak struktur kimia dari vitamin E. Penurunan vitamin E akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Dengan demikian konsekuensi penggunaan minyak ikan harus diikuti penambahan vitamin E dalam ransum (Anonimus 2007).
Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan serangkaian penelitian mengenai pengaruh minyak ikan dan penambahan vitamin E dalam ransum broiler terhadap gambaran histopatologi usus broiler. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi usus broiler yang ditantang dengan virus Newcastle Disease setelah pemberian minyak ikan dan vitamin E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini untuk memberikan gambaran histopatologi usus broiler yang ditantang dengan virus Newcastle Disease setelah pemberian minyak ikan dan vitamin E.
TINJAUAN PUSTAKA Minyak Ikan Barlow dan Stansby (1982) mengklasifikasikan ikan berdasarkan kandungan minyak dan proteinnya menjadi lima kategori. Pertama, ikan dengan kandungan lemak rendah (<5%) dan kandungan protein tinggi (1520%) atau disebut kelas A. Kedua, ikan dengan kandungan lemak sedang (515%) dan kandungan protein tinggi atau kelas B. Ketiga adalah ikan dengan kandungan lemak tinggi (>15%) dan protein tinggi atau kelas C. Keempat adalah ikan dengan kandungan lemak rendah dan kandungan protein sangat tinggi (>20%) atau kelas D, serta kelima adalah ikan dengan kandungan lemak rendah dan kandungan protein rendah (<15%) atau kelas E. Dalam industri pengalengan ikan dihasilkan beberapa jenis produk sampingan yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu jenis produk sampingan yang dihasilkan adalah precook oil atau drainage oil yang berbentuk limbah cair (minyak) yang dihasilkan pada tahap prapemasakan (precooking). Precook oil yang dihasilkan sekitar 0.1% dari total bahan baku. Kandungan minyak pada daging merah ikan lebih tinggi dibandingkan dengan daging putih ikan (Roubal 1963). Precook oil yang dihasilkan ini biasanya hanya dijual dengan harga relatif murah karena pemanfaatnya yang belum optimal. Selama ini baru dimanfaatkan untuk industri cat, pernis, dan campuran pakan ternak atau tidak dimanfaatkan sama sekali. Sedangkan limbah padat seperti ikan rusak, isi perut, kepala, tulang dan daging merah biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku tepung untuk pakan ternak serta pelet ikan dan udang (Barlow dan Stansby 1982). Bagian utama dalam minyak ikan adalah ester triasilgliserol dari berbagai asam lemak yang memiliki rantai panjang. Jenis asam lemak yang terkandung didalamnya hampir sama dengan jenis asam lemak dari minyak tumbuhan ataupun lemak hewan. Perbedaan yang ada terletak pada besarnya konsentrasi masing-masing jenis asam lemak. Untuk minyak ikan kandungan asam lemak utamanya merupakan asam lemak tak jenuh dengan konfigurasi Omega-3 (ω-3), sedangkan untuk minyak tumbuhan maupun lemak hewan
lain pada umumnya mengandung asam lemak dengan konfigurasi Omega-6 (ω-6) (Bimbo dalam Handaruwati 2000). Menurut Tsuchiya disadur dari Handaruwati (2000) perbedaan minyak ikan dengan minyak nabati terletak pada jenis asam lemak yang dimilikinya, terutama adanya asam lemak dengan derajat ketidakjenuhan yang tinggi. Pada minyak ikan memiliki komposisi asam lemak panjang rantai dari berkarbon 14 sampai dengan 22. Asam lemak dengan karbon 14 sampai dengan 18 pada umumnya juga terdapat pada minyak nabati maupun pada hewan darat, seperti asam palmitat (C16H32O2), asam stearat (C18H36O2) dan asam oleat (C15H3402). Sedangkan asam lemak dengan karbon 20 dan 22 meliputi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang banyak terkandung dalam minyak ikan. Asam lemak tak jenuh yang dimiliki minyak ikan antara lain asam Eikosapentaenoat (EPA) dan asam Dokosaheksaenoat (DHA) yang masing-masing terdiri dari 3, 5, dan 6 buah ikatan rangkap (Astawan 2007). DHA merupakan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang yang juga dikenal masyarakat sebagai omega-3. Tubuh sebenarnya secara alami memproduksi DHA, namun jumlahnya terlalu sedikit dan tidak rutin dihasilkan sehingga perlu tambahan dari luar (Anonimus 2007).
Gambar 1. Struktur Kimia asam Linoleat, EPA, dan DHA (Sumber : www.anti-aging-systeme.com/html-data/grafiken)
Hasil analisis Roubal (1963) menunjukkan adanya 20 jenis asam lemak dalam minyak ikan dengan seri panjang rantai atom karbon berkisar antara 14 sampai 22 dengan jumlah ikatan rangkap dari 1 sampai 6. Roubal membuktikan bahwa asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan hanya mengalami sedikit perubahan konsentrasi selama proses pengalengan.
Elisabeth (1997) menyatakan bahwa kandungan asam lemak Omega-3 minyak ikan (Precook oil) cukup tinggi, untuk EPA sebesar 3.64% untuk DHA sebesar 14.64% dan total asam lemak ω-3nya sebesar 18.87%. Jumlah dari asam lemak C-18, C-20 dan C-22 dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis kelamin, ukuran tubuh, tingkat kematangan atau umur, siklus bertelur, letak geografis, jenis makanan, dan musim. Menurut Baley dalam Handaruwati (2000) secara umum komposisi minyak ikan dapat diuraikan dalam beberapa hal yang merupakan sifat karakteristik yang dimilikinya, yaitu (1) terdiri dari 25% asam lemak tak jenuh dan 75% asam lemak jenuh, (2) memiliki asam lemak dengan panjang rantai karbon bervariasi (dari karbon 8 sampai 22) dengan asam lemak terbanyak dengan panjang rantai karbon 16, 18 dan 22, dan (3) memiliki bahan yang tidak tersabunkan bervariasi untuk minyak hati ikan mengandung kolesterol tinggi, sedangkan minyak tubuh ikan mengandung kolesterol relatif rendah. Penggunaan minyak ikan dalam formulasi ransum mulai dari 0.5%, 1%, dan 2% dapat meningkatan performa dan dapat menurunkan dampak respon inflamasi, tetapi tidak akan mengubah respon imun pada ayam yang sedang tumbuh (Korver dan Klasing 1997). Ayam yang telah diberi ransum mengandung 7 gram menhaden oil dalam 100 gram ransum akan mempunyai respon antibodi tertinggi terhadap sel darah merah domba dibandingkan dengan ayam yang telah diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung, atau minyak canola (Fritsche et al. 1991). Menurut Fritsche dan Cassity dalam Rusmana (2000), respon sel imun yang diukur dengan Antibody Dependent Cell Cytotoxicit dari splenosit pada broiler yang diberi pakan 7 gram minyak jagung dalam 100 gram ransum tidak dipengaruhi perlakuan ini, meskipun sitotoksisitas berasal dari Leukosit Perifer. Penggunaan minyak ikan level tinggi mempunyai perbedaan efek pengaturan imunomodulator dibanding dengan level atau tingkat yang rendah. Respon antibodi dari Sheep RBC pada tikus yang telah diberi 17 gram minyak ikan dan ditambah 3 gram minyak jagung dan disuplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E dalam 100 gram ransum secara nyata akan menunjukkan pengaturan respon imun lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi ransum
yang mengandung minyak jagung dengan suplementasi vitamin E yang sama (Fritsche et al. dalam Rusmana 2000). Pemberian 20 gram minyak ikan dalam 100 gram ransum pada tikus akan menunjukkan persentase sel T yang lebih tinggi dari pada ransum dengan minyak bunga matahari dan minyak kelapa. Namun pada tikus yang diinfeksi Listeria, pemberian ransum ini akan menunjukkan persentase sel T yang lebih rendah dari pada penggunaan minyak bunga matahari dan minyak kelapa. Populasi sel B tidak dipengaruhi oleh pemberian lemak pada tikus yang tidak diinfeksi, namun pemberian minyak ikan menghasilkan persentase sel B tertinggi pada tikus yang diinfeksi Listeria (Huang et al. 1992). Pada tingkat penggunaan minyak ikan yang tinggi akan lebih menurunkan Delayed-type Hypersensitivity daripada tanpa minyak ikan, tetapi tidak akan menunjukkan perubahan pada tingkat penggunaan yang rendah (Meydani et al. 1993). Penambahan minyak ikan dalam makanan akan menunjukkan peningkatan proporsi dari PUFA ω-3 terhadap PUFA ω-6 dalam unggas (Chanmugan et al. 1992). Membran sel imun yang kaya akan PUFA ω-3 akan menekan pelepasan PUFA ω-6 yang merupakan mediator inflamasi sehingga dampak respon peradangan akan menjadi rendah (Billiar et al. dalam Rr. Handaruwati 1988). Mediator ini berkaitan dengan pelepasan dan fungsi sitokin yang menyebabkan peradangan seperti Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) (Schales et al. 1989). Selain itu mediator ini akan berpengaruh sama pada Interleukin-1 (IL-1) (Knudsen et al. 1986) dan Interleukin-6 (IL-6) (Navarra et al. 1992). Interleukin merupakan penyebab terjadi demam (Dinarello 1988). IL-6 dan TNF-α berfungsi mensintesis protein fase akut seperti hemopexin (Bauman dan Gauldie 1994). Respon peradangan dapat menurunkan konsumsi pakan, pertumbuhan protein otot, serta meningkatkan kecepatan metabolisme dan sintesis protein fase akut (Klasing dan Krover 1997). Penambahan minyak ikan dalam makanan pada hewan mamalia akan meningkatkan imunitas humoral dan memperbaiki penekanan respon imun sel yang di sebabkan oleh PGE2 (Fritsche et al. dalam Rusmana 2000). Konsumsi asam lemak ω-3 menunjukkan penurunan produksi Interleukin-1 dan TNF-α pada kultur sel mononuklear (Enders et al. 1989). Asam lemak ω-3 akan menghambat kerja asam arakhidonat yang merupakan hasil metabolisme dari ω-6. Hal itu
dikarenakan kedua macam asam lemak tersebut menggunakan enzim yang sama untuk metabolismenya (Hwang, Beaudreau, Chanmugan 1988). Kehadiran ω-3 diharapkan mampu mengatasi imunosupresif yang diakibatkan ω-6. Suplementasi minyak ikan akan memberikan pengaruh negatif seperti meningkatnya peroksidasi lemak (Meydani et al. 1991). Lebih lanjut Meydani (1991) melaporkan bahwa efek dari meningkatnya peroksidasi lemak berdampak buruk terhadap fungsi kekebalan tubuh. Meningkatnya lemak yang teroksidasi akibat asam lemak ω-3 dapat mengakibatkan menurunnya respon DTH (Dellayedtype Hypersensitivity) Skin Test yang dilaporkan oleh Meydani et al. (1993). Meydani yang mempelajari Peripheral Blood Mononuclear Cell Cultures menemukan bahwa produksi imunoglobulin sel B yang merupakan respon dari Pockweed Mitogen secara invitro ditekan oleh penambahan EPA. Vitamin E Penggunaan minyak ikan disarankan untuk dikombinasikan dengan vitamin E. Hal itu dikarenakan minyak ikan mudah rusak oleh oksigen, sementara vitamin E berfungsi mencegah kerusakan oksidatif (Anonimus 2007). Vitamin E juga akan bekerja efektif bersama lemak karena sifatnya yang larut dalam lemak. Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang penting dalam mencegah oksidasi dan peroksidasi unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran plasma sel. Hal ini akan mencegah lesio dinding sel seperti kerapuhan pada sel darah merah dan mungkin distrofi otot. Vitamin E juga berfungsi untuk mencegah atau mengurangi akumulasi granula pigmen seroid dalam jaringan lunak yang secara normal meningkat dengan bertambahnya usia (Linder 1991). Sedangkan Simon (1984) menyebutkan bahwa vitamin E sebagai anti toksisitas mampu menghambat terjadinya kanker akibat inti Na-siklamat yang bersifat karsinogenik dan dikonsumsi secara terus menerus pada tikus percobaan.
Gambar 2. Struktur kimia vitamin E (sumber : www.tee.org/BHSD/ pflanzenbilder/VitaminE.gif)
Sementara itu pengaruh vitamin E terhadap toksisitas nutrien lain dalam tubuh telah diteliti oleh Karyadi (Hanim 1996) dimana vitamin E mampu mencegah terjadinya toksisitas akibat dosis tinggi vitamin A yang biasanya digunakan untuk mencegah terjadinya kebutaan dikalangan anak balita. Vitamin E selain berfungsi sebagai antioksidan juga berperan di dalam sintesis asam nukleat, pembentukan sel darah merah, dan sintesis koenzim A yang penting dalam proses pernafasan. Sebagai antioksidan selain menekan terjadinya oksidasi asam lemak tak jenuh, vitamin E juga mencegah terjadinya oksidasi terhadap vitamin A, baik selama proses pencernaan, penyerapan, maupun setelah sampai ke dalam jaringan. Hasil penelitian Ismadi dalam Hanim (1996) menunjukkan bahwa pemberian α-tokoferol dalam keadaan kekurangan vitamin A dapat meningkatkan konsentrasi retinol dalam plasmanya. Mekanisme tentang peran vitamin E dalam pembentukan sel darah merah masih belum diketahui dengan pasti. Yang pasti adalah bahwa kekurangan vitamin E akan menyebabkan meningkatnya kecepatan pergantian besi di dalam plasma, menurunnya produksi hemoglobin, dan pendeknya umur sel-sel darah merah (Muchtadi et al. 1993). Dalam tubuh hewan vitamin E terutama terdapat dalam bentuk α-tokoferol dan
berasal dari sumber vitamin E nabati yang dikonsumsi oleh hewan. Pada sel hewan, vitamin E merupakan bagian dari phospholipida dalam struktur membran seluler dan sub-seluler seperti mitokondria dan retikulum endoplasma (Sudarmo dalam Hanim 1996). Vitamin E diabsorbsi dalam usus halus dengan bantuan asam empedu. α-tokoferoI merupakan bentuk yang paling mudah diabsorbsi. Vitamin E disimpan pada otot, kelenjar adrenal, jantung, dan hati. Secara normal vitamin E diekskresi melalui feses. Peningkatan
metabolit
peroksidasi
lemak
bisa
disebabkan
oleh
menurunnya status vitamin E dalam plasma yang mempunyai peran sebagai antioksidan. Menurunnya status vitamin E akibat pemberian minyak ikan dilaporkan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Alexander (1997). Pada gilirannya defisiensi konsumsi vitamin E akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi konsumsi vitamin E telah menunjukkan penekanan respon imun pada semua spesies (Meydani 1993), konsekuensinya peningkatan konsentrasi αtokoferol dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam lemak ω-3. Newcastle Disease (ND) Tetelo atau Newcastle Disease di beberapa negara dikenal juga sebegai Pseudo-fowl Pest, Pseudovogel Pest, Atypische Geflugelpest, Pseudo Poultry Plague, Avian Pest, Avian Distemper, Ranikhet Disease, Korean Fowl Plague, dan Avian Pneumoencephalitis (Alexander 1997). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Kranweld di Indonesia. Namun dalam waktu yang hampir sama, Doyle juga menemukan penyakit ini di Newcastle-Upon-Tyne, Inggris, sehingga penyakit ini lebih dikenal sebagai Newcastle Disease. ND disebabkan oleh Paramyxovirus tipe-1 (AMPV-1), dari ordo Mononegavilares, Famili Paramyxoviridae, Sub-famili Paramyxovirinae, dan dari genus Rubulavirus. Umumnya bentuk dari virus ini adalah berantai dengan diameter kurang lebih 1000-1500 nm, serta lebarnya kurang lebih 100 nm. Permukaan virus ditutupi dengan banyak tonjolan yang merupakan antigen permukaan virus (Alexander 1997). Virion Paramyxovirus tipe-1 berukuran besar dan memiliki amplop. Virus ini juga memiliki dua macam glikoprotein, yaitu
aktivitas Hemaglutinase (H) dan aktivitas Neuraminidase (N). Selain itu juga mempunyai protein gabungan (F) (Fenner et al. 1993).
Gambar 3. Gambar model NDV (Sumber : vvanuxem.free.fr/html/generalites/SWF/virus)
Paramyxovirus tergolong dalam virus RNA yang mempunyai kapsid simetris helix dan tidak bersegmen. Genomnya memiliki utas tunggal dengan polaritas negatif. Dalam genom ini terkandung 15.156 nukleotida terutma pada virus Newcastle Disease (Alexander 1998). Kemampuan dari virus ND dan Paramyxovirus lain dalam mengaglutinasi sel darah merah dikarenakan oleh adanya pengikatan antar protein hemaglutinin dengan reseptornya yang berada di permukaan sel darah merah. Aktivitas dari enzim reseptor memungkinkan jarak yang cukup dekat bagi protein gabungan (F) untuk melakukan penggabungan antara virus dengan membran sel darah merah. Sifat tersebut yang digunakan untuk melakukan diagnosa dari ND, yaitu dengan Haemagultinin Inhibisi Test atau uji HI (Alexander 1997). Virus ND relatif tahan terhadap suhu yang tinggi. Virus ini dapat hidup berbulan-bulan dalam telur yang telah diinfeksi pada suhu kamar, dan dapat bertahan hidup lebih dari satu tahun pada suhu 40C. Di dalam sunsum tulang dan otot setelah hewan disembelih yang disimpan pada suhu 600C dapat bertahan selama 6 bulan. Dalam karkas yang disimpan dalam lemari pendingin, virus ND dapat bertahan selama 4 bulan (Fenner et al. 1993). Waktu inkubasi virus ND tergantung dari strain virus tersebut, umumnya 2 sampai 15 hari (Alders dan Spardbrow 2001).
Menurut Beard dan Hanson (1984), strain dari virus ND dapat dikelompokkan dalam 5 Patotipe. Pertama, Velogenik Viscerotropik yang merupakan virus dengan infeksi letal akut dengan lesio dalam bentuk hemoragi khas pada usus. Kedua, Velogenik Neurotropik yang dapat menyebabkan angka kematian tinggi dengan menunjukkan kelainan gejala pernafasan dan saraf. Ketiga adalah Mesogenik dimana virus tipe ini mengakibatkan angka kematian yang rendah dengan gejala gangguan pernafasan akut dan gejala saraf pada beberapa unggas. Keempat, Lentogenik yang menyebabkan infeksi pernafasan semu. Terakhir, Enteritis Asimptomatik yang tidak menimbulkan kematian pada unggas. Gejala klinis yang disebabkan oleh virus ND tergantung dari starin virus, spesies unggas, umur induk semang, status kekebalan induk semang, ada tidaknya infeksi mikroorganisme lain, kondisi lingkungan, dan jalur atau dosis infeksi virus ND (Alexander 1997). Pada umumnya gejala klinis yang terlihat dari infeksi virus ND adalah bulu sayap terkulai, lesu, dan anoreksia. Selain itu gejela pernafasan dengan kepala dan leher berputar disertai diare juga terlihat. Infeksi virus ND dapat menyebabkan penurunan produksi telur pada ayam petelur. Pada infeksi yang parah dapat menyebabkan gangguan saraf dan sampai menimbulkan kematian yang mendadak (Alders dan Spardbrow 2001). Menurut Fenner et al. (1993) gejala penyakit akibat infeksi virus ND dimulai dengan anoreksia diikuti peningkatan suhu tubuh yang mencapai 430C, selanjutnya lesu, haus, bulu yang kusam, jengger berdarah, mata selalu tertutup, laring serta faring kering, dan bersin-bersin. Setelah sembuh dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusat dengan tampak gejala paresis kaki, ataksia, tortikolis, dan tremor. Menurut Alexander (1997), tipe Velogenik Viscerotropik gejala dimulai dengan lesu, peningkatan aktivitas pernafasan, lumpuh, dan akhirnya mati. Pada tipe Velogenik Neurotropik dimulai dengan penyakit pernafasan mendadak dan parah yang diikuti gejala saraf setelah 1-2 hari. Terjadi juga penurunan produksi telur dan akhirnya mati. Tipe Mesogenik dimulai penyakit pernafasan pada infeksi luas, penurunan produksi telur dalam beberapa minggu dan kadang-kadang timbul gejala saraf serta diikuti kematian. Pada tipe Lentogenik tidak ada gejala-gejala yang tampak pada unggas dewasa, sedangkan pada unggas yang masih muda tampak ada gejala pernafasan dan sampai menimbulkan kematian.
Pada unggas yang telah sembuh dari penyakit ND, penyebarannya masih dapat berlangsung melalui sekresi dan ekskresi selama 4 minggu. Penyebaran lain juga dapat dilakukan melalui daging mentah, bahan makanan, peralatan kandang, kotoran kandang, dan wadah pengangkut. Penularan dapat melalui kontak secara langsung lewat udara, debu, dan pakan (Fenner et al. 1993). Manusia, peralatan kandang, produk-produk ternak, air, dan vaksin juga berperan dalam penularan penyakit tetelo (Alexander 1997). Infeksi dapat terjadi melalui saluran pernafasan, mukosa, membran okuler, dan saluran pencernaan (Alders dan Spradbrow 2001). Infeksi yang berawal dari saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi infeksi umum dan melaui saluran limfe menuju darah yang berakibat viremia primer. Pada infeksi lokal hanya terjadi pada organ tertentu. Replikasi virus ini akan meningkatkan konsentrasi dan bebas yang mengakibatkan viremia skunder dan berlanjut juga menjadi infeksi umum Broiler Broiler adalah ayam ras pedaging baik jantan maupun betina yang dapat dipotong umur 5-6 minggu. Karena ayam ini dipotong pada umur yang masih muda maka daging ayam tersebut masih lunak (Rusmana 2000). Broiler didapatkan dari hasil rekayasa genetika dengan menyilangkan sekelompok ayam dari satu kelurga, kemudian dari keturunannya dipilih yang mempunyai angka pertumbuhan paling besar untuk disilangkan kembali dengan sesamanya demikian seterusnya sampai didapatkan brolier tersebut (Yusdja dalam Hanim 1996). Menurut Ensminger, broiler adalah ayam yang dapat dipanen pada umur 6 minggu dengan berat rata-rata antara 1.5 – 2.5 kg. Brolier mempunyai tekstur daging yang lembut, lunak, dan gurih. Namun dari semua kebaikan mutu daging broiler tersebut, broiler juga memiliki keburukan-keburukan, yaitu struktur perlemakan pada serat-serat daging dan kerentanan broiler terhadap penyakit yang lebih besar dari ayam-ayam lain (Rusmana 2000). Keburukan tersebut masih dapat diimbangi oleh peningkatan bobot badan yang cukup tinggi. Rasyaf dalam Rusmana (2000) menyebutkan bahwa berat badan ayam kampung yang berumur satu tahun akan memiliki berat badan yang sama dengan broiler yang berumur 8 minggu.
Broiler tergolong sensitif sehingga hewan ini perlu lingkungan yang bersih, air minum yang berkualitas, tidak tercemar dan jumlahnya yang cukup agar mampu produksi secara maksimal. Biasanya pakan dan minum disediakan langsung ke kandang yang berisi ratusan ekor. Broiler tidak mempunyai aktivitas yang tinggi sehingga pertumbuhannya sangat efisien (Yusdja dalam Hanim 1996). Cuaca yang berubah-ubah sangat mudah menyebabkan broiler terserang penyakit sehingga formula pakannya harus ditambah vitamin, antibiotik, dan vaksin (Suharno dalam Hanim 1996). Usus Halus Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum (Sturkie 1976). Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari. Fungsi usus halus selain sebagai penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993). Usus halus pada ayam memiliki struktur yang sama seperti pada mamalia, yaitu terdiri dari 4 lapis. Keempat lapisan tersebut adalah mukosa, sub-mukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Yang membedakan mukosa usus halus mamalia dengan unggas yaitu jumlah dan ukuran vili (Swenson dalam Handaruwati 2000). Mukosa ini diselaputi oleh vili yang berkembang baik dan menyebabkan gambaran mukosa yang menyerupai beludru. Duodenum memilki vili yang luas, berbentuk seperti daun, dan diameternya luas. Vili pada jejunum memiliki bentuk seperti lidah pada bagian jejunum proksimal, dan seperti jari panjang pada bagian jejunum distal. Sedangkan ileum memiliki vili yang berbentuk menyerupai jari. Permukaan vili mempunyai tiga macam jenis sel, yaitu sel absorbtif, sel goblet, dan sel Argentafin. Kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus terdapat pada permukaan diantara vili yang meluas ke daerah muskularis mukosa. Lamina propria berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat vili dan mengelilingi kelenjar usus. Bagian ini terdiri dari serabut kolagen dan elastik dalam jalinan serabut retikuler dimana dalam jalinan ini terdapat pembuluh darah,
pembuluh limfe, leukosit, fibroblast, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellman dan Brown 1992). Muskularis mukosa terdiri dari lapis otot tipis yang halus. Lapisan submukosa berupa jaringan ikat longgar yang didalamnya terdapat saraf, arteri, pembuluh limfe besar, vena, ganglion dari system saraf parasimpatikus, dan kumpulan badan sel saraf terlokalisasi yang merupakan elemen dari pleksus sub-mukosa. Pada duodenum mamalia terdapat kelenjar submukosa atau yang disebut kelenjar Brunner, namun pada ayam tidak ditemukan (Swenson dalam Handaruwati 2000). Lapisan tunika muskularis terdiri dari dua lapis, yaitu lapis dalam yang tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Diantara kedua lapis tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang mengandung Plexus Mientricus atau Plexus Aurbach. Pleksus ini bersama dengan Plexus Meissner yang terdapat pada sub-mukosa akan menginervasi kontraksi usus yang mencampur makanan dengan enzim, kemudian menggerakkan makanan yang sudah dicerna agar kontak dengan permukaan sel-sel absorbsi lalu mendorongnya ke kaudal. Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus menghasilkan enzim amilase, protase, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh (Moran 1985), selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus, yang pertama adalah dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur ke arah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia, lipatan ini bersifat permanen, tetapi pada hampir semua hewan piara lain tampak pada usus yang sedang istirahat atau kosong, dan hilang bila usus mengembang. Kedua, permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut vili. Tinggi vili ini bervariasi (1.5 – 1.0 µm), tergantung pada daerah serta jenis hewan. Ketiga adalah permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili.
Mikrovili M merupakan m penjuluran p ssitoplasma pada p permukkaan bebas epitel vili (Dellmann ( dan d Brown 1992). Perm mukaan bagiian dalam daari usus hallus adalah m membran muukosa yang terdiri t dari sel s epitel kolumnar, bebberapa diantaaranya akan mengalami modifikasi dan d membeentuk sel gooblet guna pproduksi muukus. Di seebelah luar permukaan p membran m m mukosa yang menyelimutti usus halus banyak terddapat vili yanng berguna untuk u absorrpsi zat makkanan (Franndson 1996)). Dalam keeadaan norm mal selaput lendir l usus terlapisi olleh isi ususs yang berccampur denggan getah usus, u getah pankreas, p em mpedu, lendiir usus dan kkuman-kuman. Padaa usus haluus ayam juuga ditemuk kan mikrofllora yang merupakan m komponen k n normal dalaam saluran pencernaan n ayam. Addanya mikrooorganisme dalam d usus menyebabkkan banyak perubahan anatomis. Umumnya usus u halus ayam a yang mengandung m g flora bakteeria yang normal lebih ppanjang dan lebih berat dari d pada usus u halus ayam yangg bebas darri flora bakkterian (Wahhju 1997). Keberadaan K d denngan kondissi pH usus mikroflora dalam ususs ini juga didukung broiler b
yan ng
meman ng
cenderuung
netral,
sehingga
sangat
m mendukung
perkembang p gan berbagai jenis mikroba di dalam usus halus
Gambar 4. pH H organ dan saluran penccernaan broiiler (Gauthieer 2002). Ususs halus bagiian bawah, tterutama usuus buntu paada ayam mengandung m asam a lemakk terbang daan senyawa lain seperti amonia. Ussus buntu mengandung m banyak b sekaali vitamin B. B Akan tettapi vitaminn tersebut tiddak banyak membantu
kebutuhan induk semang karena digunakan untuk biosintesis mikroba (Wahju 1997). Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi usus halus broiler adalah pakan. Jika pakan yang dikonsumsikan memiliki kualitas yang baik dan tidak mengandung racun maka usus broiler akan berada dalam kondisi yang cukup baik dan dapat melakukan tugasnya dalam mencerna dan menyerap makanan dengan baik. Namun jika pakan yang diberikan mengandung racun, maka kerusakan pada vili usus akan terjadi. Secara keseluruhan, usus akan selalu merespon setiap pakan yang diberikan.
MATERI DAN METODE Penelitian tahap satu telah dilakukan sebelumnya untuk mengetahui kombinasi minyak ikan dan vitamin E yang menghasilkan titer antibodi yang tertinggi. Kombinasi tersebut yang selanjutnya digunakan untuk penelitian tahap kedua. Penelitian pada tahap kedua untuk mengetahui efek hasil perlakuan yang terpilih pada tahap I terhadap respon inflamatoris. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kandang Percobaan Fakultas Peternakan dan Bagian Patologi, Departemen klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2006 sampai Agustus 2007. Materi Ternak Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah ayam yang dipelihara dari umur satu hari (Day Old Chick) sebanyak 190 ekor yang terlebih dahulu diseleksi untuk mendapatkan bobot badan yang seragam. Ayam yang digunakan strain CP 707. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan berukuran 1 x 1 x 0.6 m3 sebanyak 19 buah yang terbuat dari bambu dan ram kawat. Alas kandang diberi sekam padi yang diganti setiap 5 hari. Setiap kandang akan dilengkapi dengan sebuah tempat pakan dan air minum dengan kapasitas 5 liter yang terbuat dari plastik, dan lampu pijar 100 watt sebagai pemanas. Model kandang ayam penelitian ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Model kandang ayam Keterangan :
A adalah ransum terpilih + divaksin + tidak ditantang NDV; B adalah ransum terpilih + tidak divaksin + tidak ditantang NDV; C adalah ransum terpilih + tidak divaksin + dan ditantang NDV; D adalah ransum terpilih + divaksin + dan ditantang NDV; E adalah ransum biasa + divaksin + dan ditantang NDV
Peralatan yang digunakan adalah alat bedah, kantong plastik transparan, gelas objek, cover glass, kertas tisu, spidol tahan air, spuit, timbangan, mikroskop dan alat bantu lainnya yang dipergunakan sesuai keperluan. Bahan yang digunakan adalah pakan ayam, minyak ikan, vitamin E, air bersih, alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, xylol, Buffer netral formalin (BNF) 10%, pewarna HE, vaksin ND, Virus ND, aquades dan desinfektan. Ransum Ransum dibagi menjadi ransum dengan penambahan minyak ikan dan Vitamin E (ransum terpilih) dan tanpa minyak ikan dan vitamin E (ransum biasa). Dalam ransum biasa minyak ikan diganti dengan minyak kelapa. Pembuatan ransum dilakukan secara manual dengan cara mencampurkan semua bahan selain minyak ikan dan vitamin E. Minyak ikan dan vitamin E dicampurkan terpisah dari bahan lain. Setelah kedua campuran dirasa homogen, maka kedua campuran tersebut disatukan, dan dihomogenkan. Adapun komposisi dari ransum biasa dan terpilih dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi ransum terpilih dan ransum biasa Bahan
Ransum Terpilih
Ransum Biasa
Jagung (%)
50
50
B. kedelai (%)
39
39
M. kelapa (%)
-
6
M. ikan (%)
6
-
CaCO3 (%)
1.155
1.155
Dicalsium Phospat (%)
2.145
2.145
Premix (%)
1.68
1.7
Vitamin E (%)
0.02
-
Sumber : Rusmana 2000
Virus, Vaksin dan Vitamin Virus ND yang digunakan adalah virus ND yang didapatkan dari Laboratorium Virologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Kekuatan virus yang digunakan adalah 103 CLD50/ml. Vaksinasi yang dilakukan menggunakan vaksin ND dan IBD yang merupakan vaksin aktif. Kekuatan vaksin yang digunakan sebesar 107 EID50/ml. Vitamin yang digunakan diperoleh dari produk suatu perusahaan dengan komponen utama vitamin B12. Pemberian pakan dan penggantian air minum dilakukan dua kali dalam satu hari yaitu pagi dan sore hari. Vitamin diberikan untuk mempertahankan kondisi ayam agar tetap prima karena ayam ini bersifat sensitif. Cuaca yang berubah-ubah sangat mudah menyebabkan broiler terserang penyakit sehingga formula pakannya harus ditambah vitamin, antibiotik, dan vaksin. Metode Penelitian Hewan penelitian yang digunakan adalah ayam yang dipelihara mulai umur satu hari (DOC) sebanyak 190 ekor yang dipelihara selama 44 hari. DOC dibagi secara acak kedalam 5 kelompok perlakuan, yaitu (A) ransum terpilih dan divaksin, (B) ransum terpilih dan tidak divaksin, (C) ransum terpilih, tidak
divaksin, dan ditantang virus ND, (D) ransum terpilih, divaksin dan ditantang virus ND, dan (E) ransum biasa, divaksin, dan ditantang virus ND. Pada setiap kelompok perlakuan, DOC dibagi lagi secara acak ke dalam 4 sub-kelompok kecuali pada kelompok E terdiri dari 3 sub-kelompok. Setiap subkelompok terdapat 10 ekor ayam. Ransum diberikan sesuai dengan kebutuhan ayam. Pada kelompok ayam yang divaksin, vaksinasi yang diberi adalah vaksin ND pada umur 4 hari (melalui tetes mata) dan pada umur 19 hari (melalui air minum) sedangkan vaksin IBD dilakukan pada hari ke-11 melalui air minum. Ayam diambil satu ekor secara acak dari setiap sub-kelompok untuk dinekropsi kemudian organ ususnya dikoleksi. Pengambilan sampel usus melalui nekropsi dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada hari ke-15, 30, 37, dan 44. Sampel usus tersebut selanjutnya dilakukan pemotongan secara transversal dan dibuat dalam bentuk preparat untuk diamati dibawah mikroskop. Pemeriksaan Histopatologi Pengamatan preparat untuk mengetahui perubahan histopatologi pada usus dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 4X dan 40X sebanyak 10 lapang pandang selanjutnya dirata-ratakan dan hasil pengamatan dianalisa secara deskriptif kualitatif. Skoring Skoring ditentukan dengan parameter sebagai berikut; skor nol (0), jika keadaan usus normal yaitu tampak kelenjar Lieberkuhn yang rapi, tidak ada deskuamasi epitel usus, sel goblet teratur, dan tidak ada sel radang. Skor satu (1), jika terdapat oedema dan atau kongesti, skor dua (2), jika terdapat perdarahan dan atau terdapat sel radang; dan skor tiga (3), jika terdapat deskuamasi epitel vili usus dan atau terdapat nekrosa dari vili usus.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan derajat kerusakaan histopatologi usus broiler terlihat setelah ditantang virus ND. Broiler dengan ransum tanpa minyak ikan dan vitamin E menunjukkan kerusakan histopatologi usus yang lebih tinggi daripada broiler dengan ransum minyak ikan dan vitamin E setelah ditantang virus ND. Namun perbedaan yang nyata pada kerusakan histopatologi usus tidak terlihat pada broiler yang divaksin ND dan IBD dengan yang tidak divaksin meskipun sama-sama mengkonsumsi ransum dengan minyak ikan dan vitamin E serta ditantang virus ND. Hasil yang didapatkan disajikan dalam bentuk angka dan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Skoring awal hasil pengamatan Perlakuan A
B
C
D
E
Kelompok Nekropsi ke1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Skor 0.87 0.73 0.50 0.57 0.00 0.00 0.27 0.47 0.00 0.40 0.47 0.87 0.83 0.63 0.70 1.33 0.77 0.73 1.57 2.60
Keterangan : A adalah ransum terpilih + vaksin, B adalah ransum terpilih, C adalah ransum terpilih + infeksi virus ND, D adalah ransum terpilih + vaksin + infeksi virus ND, E adalah ransum biasa + vaksin + infeksi virus ND
Angka-angka diatas merupakan rataan dari metode skoring terhadap histopatologi usus. Skoring dilakukan dengan melihat 10 lapang pandang tiap penampang usus. Skoring dilakukan dengan 3 kali ulangan terhadap penampang usus. Untuk memudahkan melihat perubahan atau membandingkan antara kelompok perlakuan maupun setiap pemotongan (nekropsi) broiler, maka dapat dilihat dalam Grafik 1. Rataan Skoring 3.0 2.5 2.0
A B
1.5
C D
1.0
E
0.5 0 15
30 37 Waktu pemotongan hari ke-
44
Grafik 1. Tingkat kerusakan usus terhadap waktu pemotongan (nekropsi) Grafik diatas menunjukan broiler A (ransum terpilih, divaksin ND dan IBD, dan tidak ditantang virus ND) menunjukkan penurunan kerusakan histopatologi usus. Vaksin yang diberikan pada hari ke-11 (vaksin IBD) memberikan pengaruh yang buruk, namun pada pemotongan selanjutnya keadaan histopatologi mengalami perbaikan. Kelompok E (ransum biasa, divaksin ND dan IBD, serta ditantang virus ND) menunjukkan peningkatan kerusakan histopatologi usus yang tajam setelah ditantang virus ND pada hari ke-33. Hasil yang telah didapatkan dari penentuan skor awal selanjutnya diolah dengan menentukan batas-batas dengan menggunakan metode berikut: 1. Antara skor 0.00 sampai 0.74 termasuk dalam skor Nol (0), dengan kata lain 0.00 ≤ x ≤ 0.74 = 0. 2. Antara skor 0.75 sampai 1.49 termasuk dalam skor Satu (1), dengan kata lain 0.75 ≤ x ≤ 1.49 = 1.
3. Antara skor 1.50 sampai 2.25 termasuk dalam skor Dua (2), dengan kata lain 1.50 ≤ x ≤ 2.24 = 2. 4. Antara skor 2.25 sampai 3.00 termasuk dalam skor Tiga (3), dengan kata lain 2.25 ≤ x ≤ 3.00 = 3. Dengan skoring metode diatas maka hasil pembacaan akhir dari Tabel 2 terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil skoring lanjutan dari penskoran awal Kelompok Perlakuan
Skor Akhir
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 2 3
A
B
C
D
E
Hasil yang tertera sebagai hasil skor akhir dapat digunakan untuk membedakan perubahan atau perbandingan antar kelompok perlakuan. Pemotongan Pertama Pada pemotongan pertama pada kelompok perakuan B dan C (kelompokkelompok tanpa vaksinasi ND dan IBD) memberikan hasil yang sama, yaitu skor nol. Skor nol menunjukkan bahwa keadaan usus masih dalam keadaan normal. Pada pemotongan pertama, broiler pada kelompok perlakuan B dan C tidak
mendapatka m an perlakuan n vaksinasi dan d tantangaan virus, sehhingga tidak ada faktor yang y mengaakibatkan perrubahan patoologi. Keru usakan yangg terlihat ppada kelom mpok yang mendapatkkan vaksin dipemotonga d an pertama (kelompok A, D, dan n E) merupakan akibatt dari efek vaksinasi v ND D dan IBD yang y merupaakan vaksin aktif. Pemo otongan perttama dilakukkan pada brooiler yang beerumur 15 haari. Selama 15 hari terseebut ayam mendapatkan m n perlakuan berupa vakssin ND padaa hari ke-4 dan d vaksin IBD I pada haari ke-11 padda kelompokk A, D, dan E. E Hasil yang g diperoleh menunjukka m an bahwa paakan yang m mengandung minyak ikaan dan vitam min E tidak mempengaru m uhi keadaann histopatoologi usus. Hal itu terjadi t kareena fungsi penambahan p n
kombinaasi
minyakk
ikan
daan
vitamin
E
dalam m
ransum
memperlihat m tkan efeknyaa jika terjaddi infeksi, contohnya viruus yang meenyebabkan terjadinya t in nflamasi.
Gambar G 6.
Histopatoloogi usus ayaam berumur 15 hari padda kelompok k perlakuan B (ransum m terpilih daan tidak divvaksin) pewaarnaan HE perbesaran objektif 4X X
mbaran usus tampak deengan terlihat tunika m muskularis yang y padat Gam kelenjar k Lieeberkuhn tam mpak teratuur, vili langssing, epitel normal atauu tidak ada deskuamasi, d , sel goblet tidak mengalami prolifferasi, dan tiidak ditemuukannya sel radang r dalam m jumlah yaang banyak.
Pemotongan Kedua Pemotongan kedua dilakukan pada broiler berumur 30 hari. Sampai hari ke-30 tersebut broiler telah mendapat perlakuan vaksin ND kembali pada hari ke19 melalui air minum untuk kelompok perlakuan A (ransum minyak ikan dan vitamin E serta divaksin ND dan IBD), D (ransum dengan minyak ikan, divaksin ND dan IBD, serta ditantang virus ND) dan E (ransum tanpa minyak ikan, divaksin ND dan IBD, serta ditantang virus ND) tetapi tantangan virus ND belum dilakukan. Perbedaan lain dari setiap kelompok perlakuan dibedakan atas pakan. Skor yang diperoleh adalah nol. Nilai ini menunjukkan bahwa pada hari ke-30 tersebut gambaran histopatologi usus tergolong dalam kriteria normal dengan adanya perlakuan atas pakan. Kerusakan akibat vaksin pada pemotongan pertama telah mengalami perbaikan. Dilihat dari tidak adanya perubahan keadaan dari kondisi usus atas perlakuan pakan, hal ini mengindikasikan bahwa pakan dari ransum minyak ikan dan vitamin E tidak akan menyebabkan perubahan gambaran histopatologi jaringan usus. Pemotongan Ketiga Pemotongan ketiga dilakukan pada ayam umur 37 hari, sedangkan perlakuan infeksi dilakukan pada hari ke 33. Pemotongan ketiga ini bertujuan untuk mengetahui efek dari tantangan virus ND. Hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa pada broiler kelompok perlakuan C dan D (kelompok dengan ransum minyak ikan) menunjukan nilai skor nol sedangkan pada broiler kelompok perlakuan E (ransum biasa, dengan vaksinasi ND dan IBD, serta ditantang virus ND) menunjukkan nilai skor dua dengan ditunjukkan adanya kongesti, oedema, dan perdarahan. Perubahan yang terjadi pada broiler kelompok perlakuan E menunjukkan adanya efek dari tantangan virus ND. Kelompok E menunjukkan kepekaan yang lebih tinggi dari pada kelompok perlakuan C dan D yang juga ditantang virus yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan minyak ikan dan vitamin E dalam ransum dapat menekan kerusakan yang terjadi pada gambaran histopatologi usus akibat tantangn virus ND.
Kelompok perlakuan A dan B tidak mengalami perubahan karena kelompok perlakuan ini tidak diberikan perlakuan tantangan virus ND. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan ransum dengan penambahan minyak ikan dan vitamin E tidak mempengaruhi histopatologi usus broiler selama tidak adanya tantangan virus ND. Pemotongan Keempat Pemotongan keempat dilakukan pada ayam berumur 44 hari. Pemotongan ini adalah pemotongan terakhir karena ayam pada umur ini telah siap dan biasa dipanen oleh para peternak. Pada hari ke 44 ini telah dilakukan secara lengkap semua perlakuan seperti pada metode, yaitu perlakuan pakan, vaksin, dan tantangan virus ND sebagaimana pada pemotongan ketiga. Hasil yang telah didapatkan dapat dilihat bahwa kelompok perlakuan A dan B menunjukan nilai skor nol karena kelompok perlakuan ini tidak mendapatkan perlakuan berupa infeksi virus ND. Pada kelompok perlakuan C (ransum dengan minyak ikan, tanpa vaksinasi ND dan IBD, serta ditantang virus ND) menunjukkan nilai skor satu (1). Ini berarti bahwa pemberian perlakuan tantangan virus ND menyebabkan perubahan atau kerusakan pada histopatologi usus boiler yaitu berupa oedema dan kongesti. Oedema juga tampak terlihat sebagai kerusakan yang terjadi pada gambaran hitopatologi usus ayam yang mendapat perlakuan E (ransum tanpa minyak ikan, dengan vaksinasi ND dan IBD, serta ditantang virus ND). Oedema tampak sebagai rekahan yang terjadi pada lapisan otot (tunika muskularis usus). Kongesti yang terjadi akan tampak pada histopatologi usus sebagai pembuluh darah vena yang mengalami pelebaran dan dipenuhi dengan sel-sel darah merah. Kongesti yang berlanjut sampai terjadi kerobekan (ruptura) pembuluh darah akan mengakibatkan perdarahan. Perdarahan akan tampak dalam histopatologi usus sebagai sel-sel darah merah yang berada di luar pembuluh darah dan sering terdapat pada vili usus.
Gambar G 7.
Histopatoloogi usus brooiler umur 444 hari pada kkelompok peerlakuan D (ransum deengan minyaak ikan, divaaksin ND daan IBD, sertaa ditantang virus ND) dengan d pewarnaan HE dan d perbesarran objektif 4X 4
Kelo ompok perlakuan D (rannsum terpilih h, dengan vaksinasi ND D dan IBD, serta ditantaang virus ND) menunjuukkan nilai skor satu (11), yang berrarti bahwa pemberian p perlakuan p tan ntangan viruus ND meny yebabkan kerrusakan denggan tingkat kerusakan k yang y ringann berupa oeedema dan kongesti paada histopattologi usus broiler. b Sedaangkan padaa kelompok perlakuan E (ransum biiasa, dengan n vaksinasi, dan d diinfekssi virus ND)) menunjukkkan tingkat kerusakan k yaang paling tinggi t yaitu dengan d ditu unjukkannyaa nilai skor tiga (3) yang y terlihatt adanya neekrosa dan deskuamasi d vili usus. kan yang paaling tinggi adalah padaa kelompokk E(ransum Tinggkat kerusak biasa, b dengaan vaksinasii ND dan IB BD, serta dittantang viruus ND). Hal ini selaras dengan d kepeekaan yang tinggi t dari kelompok perrlakuan E teerhadap tantaangan virus ND N sebagaiimana ditunnjukkan padda pemotong gan ketiga. Sedangkan kelompok perlakuan p C (ransum minyak m ikan dan vitaminn E, tidak divaksin d ND D dan IBD, serta ditantaang virus ND D) dan D (rannsum minyaak ikan dan vvitamin E, diivaksin ND dan d IBD, seerta ditantang g virus ND)) yang juga ditantang viirus menunjuukkan efek yang y ringan yaitu berupaa oedema daan kongesti.
Gambar G 8.
4 hari pada kelompok perlakuan p E Histopatoloogi usus brooiler umur 44 (ransum tanpa minyakk ikan, tidak divaksin, daan diinfeksi virus ND) warnaan HE dan perbesaaran objektiff 4X dengan pew
Hasil yang telahh tertera sebbagai hasil skor s akhir ddapat digunaakan untuk membedaka m an perubahan n atau perbaandingan anntar kelompok perlakuaan. Tingkat kerusakan k yang y paling tinggi t selaraas dengan keepekaan yangg tinggi darii kelompok perlakuan p E (ransum biiasa, dengann vaksinasi, dan ditantanng virus ND D) terhadap tantangan t virus v ND sebbagaimana dditunjukkan pada pemootongan ketiiga dimana kelompok k ini i menunjukkan peruubahan seteelah ditantaang virus, sedangkan kelompok k p perlakuan C (ransum miinyak ikan dan d vitamin E, tidak div vaksin ND dan d IBD, daan ditantang g virus ND) dan D (ran nsum minyaak ikan dan vitamin E, divaksin d ND D dan IBD, dan ditantaang virus ND) N meskipuun ditantangg virus ND menunjukka m an efek yang g ringan yaituu berupa oed dema dan koongesti. Terliihat perbedaaan antara peenggunaan minyak m ikan dan tanpa minyak m ikan pada p gambaran histopato ologi usus broiler. b Pada broiler keloompok perlakkuan C dan D (ransum dengan minyak ikan) menunjukk kan tingkat kerusakan yang y lebih rendah r daripada broiler kelompokk perlakuan E (ransum m tanpa minnyak ikan). Histopatolog H gi usus den ngan perlakuuan ransum m biasa (tannpa minyak ikan) dan ditantang d viirus ND messkipun telahh divaksin ND N dan IBD masih terlihat adanya kerusakan, k yaitu oedem ma, kongestti, perdarahaan, nekrosa vili, dan deskuamasi d epitel e vili. Deskuamasii epitel adallah terjadiny ya pengeluppasan epitell-epitel vili
usus sehingga ujung-ujung vili usus tampak tumpul. Kejadian ini berlanjut dengan menyatunya beberapa vilus menjadi satu sehingga bentuk dari susunan vili menjadi tidak teratur. Kerusakan yang lebih parah adalah terjadinya nekrosa. Nekrosa ini adalah kerusakan yang merupakan kelanjutan dari dekuamasi epitel vili. Deskuamasi yang terus menerus akan merusak bagian bawah epitel vili bahkan sampai kelenjar Lieberkuhn. Kerusakan lain yang tampak adalah datangnya sel-sel radang. Sel-sel radang merupakan respon imunologi akibat kehadiran suatu antigen. Keberadaan sel radang dalam jumlah banyak merupakan kejadian patologis yang berarti bahwa respon imun tubuh telah bekerja secara maksimal. Terjadinya perdarahan dan kongesti yang tergolong dalam kerusakan juga tampak pada gambaran histopatologi usus dengan perlakuan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak ikan selama tidak terjadi tantangan virus ND tidak menyebabkan perubahan histopatologi usus seperti pada pemotongan pertama dan kedua broiler dari semua kelompok perlakuan. Histopatologi usus dengan perlakuan minyak ikan tanpa vaksinasi dan tidak ditantang virus ND terlihat sama dengan histopatologi usus normal. Kelenjar Lieberkuhn tampak teratur, tidak adanya sel radang yang tampak dalam jumlah banyak, vili usus tampak langsing dan teratur serta tidak adanya penyatuan vilus. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan minyak ikan tidak menyebabkan perubahan struktur histopatologi pada usus broiler. Menurut Korver dan Klasing (1997), peningkatan penambahan penggunaan minyak ikan dalam formulasi ransum mulai dari 0.5%, 1%, dan 2% dapat meningkatan performa dan dapat menurunkan dampak respon terhadap peradangan, tetapi tidak akan mengubah respon imun pada ayam yang sedang tumbuh. Hal itu berarti bahwa minyak ikan bekerja jika ada kausa yang menyebabkan peradangan diantaranya yang disebabkan oleh virus ND.
KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Histopatologi usus broiler yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan minyak ikan dan vitamin E baik yang divaksin maupun tidak divaksin ND dan IBD setelah ditantang virus ND menunjukkan kerusakan yang ringan yaitu berupa oedema dan kongesti. Sedangkan broiler yang mengkonsumsi ransum tanpa penambahan minyak ikan dan vitamin E setelah ditantang virus ND menunjukkan kerusakan berupa oedema, kongesti, perdarahan, deskuamasi dan nekrosa vili, serta banyak ditemukan sel radang. 2. Histopatologi usus broiler baik yang ditambah minyak ikan dan vitamin E dalam ransum maupun yang tidak ditambah minyak ikan dan vitamin E tidak menunjukkan kerusakan selama tidak ditantang virus ND.
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peranan kombinasi minyak ikan dan vitamin E sebagai imunomodulator melalui pengamatan performa broiler.
DAFTAR PUSTAKA Akoso BT. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta. Alders R. and P Spardbrow. 2001. Controlling Newcastle Disease in Village Chicken ACIAR Monograph No. 82. Australia Alexander DJ. 1997. Newcastle Disease and Other Avian Paramyxoviridae Infection. In: B. W. Calnek, H. John Barnes, Charles W. Beard, Larry R., Mc Clorald, and Y. M. Saif (ED). Disease of Poultry. 10th edition. Iowa State University Press. Iowa Alexander DJ. 1998. Newcastle Disease and Other Avian Paramyxoviridae Infection. In: David E. Swayne, John R. Glisson, Mark W. Jack Wood, James E. Pearson, Willie M. Reed, A Laboratory Manual for The Isolation and Identification of Avian Pathogen. 4th edition. American Association of Avian Pathologists, Inc. Pennsylvania Anonimus. 2007. ikan cegah penyakit http://budiboga.blogspot.com/2007/04
jantung
koroner.
html
Anonimus. 2007. Omega-3. www.beritaiptek.com/images/.alim1 Anonimus. 2007. Vitamin E. http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html Astawan, Made. 2007. Berita gizi. http://www.gizi.net Barlow SM. and Stansby ME. 1982. Nutritonal Evaluation of Long Chain Fatty Acid in Eskimos. Lancet. Vol 2: page 1498-1503 Bauman H, Gauldie J. 1994. The Acute Phase Responss. Imunnol. Today 15: 7480 Beard CW and Hanson HD 1984. Newcastle Disease. In: M. S. Hopstad, H. J. Bones, B. W. Calnek, W. M. Reed, H. W. Yoder (ED). Disease of Poultry. 8th edition. Iowa State University Press. Iowa Billiar TR, Bankey PE, Svingen BA, Curran RD, West MA, Holman RT, Simmons RL, Cerra FB. 1988. Fatty Acid Intake and Kupfer Cell Function: Fish Oil Alters Eicosapentanoid and Monokine Production to Endotoxin Stimulation. Surgery 104: 343-349 Chanmugan P, Boudreau M, Boutte T, Park RS, Hebert J, Berrio L, Huang DH.1992. Incorporation of Different Types of n-3 Fatty Acid Into TissueLipids of Poultry. Poult. Sci. 71: 516-521
Dellmann HD, Esther M Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi ketiga. Terjemahan. R. Hartono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Dinarello CA. 1988. Biology of Interleukin-1. FASEB J. 2: 108-115 Elisabeth J. 1997. Studi Inkorporasi Enzimatik Eicosapentanoic Acid (EPA) dan Docosahexanoic Acid (DHA) pada Trigliserida Minyak Ikan Tuna dan Crude Palm Oil (CPO). Bogor:[Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Enders S, Ghorbani R, Kelley V. E, Georgills K, Lonneman G, Van der Mer JWM, Cannon JG, Rogers TS, Klempner MS, Weber PC, Scaeffer EJ, Wolff SM, Dinarello CA. 1989. The Effect of Diatery Supplementation With n-3 Polyunsaturated Fatty Acids on Sinthesys of Interleukin-1 and Tumor Necrosis Factor by Mononuclear Cells. N Engl J Med 320:265-271 Fenner FJ, Paul J Gibbs, Fredrick A Murphy, Rudolf Rott, Michael J Studdent, David O White. 1993. Virologi Veteriner. 2nd edition. Penerjemah: Ir. D. K. Harya Putra, M.Sc. Phd. IKIP Semarang Press. Frandson RI. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fristche KL, Cassity NA, Huang SC. 1991a. Effect of Diatery Fat Source on Antibody Production and Lymphocyte Proliferation in Chickens. Poult. Sci. 70: 611-617 Gauthier R. 2002. Intestinal Health, The Key to Productivity (The Case of Organik Acid). XXVII Convention ANECA-WPDC; Puerto Vallarata. Canada: Jefo Nutrition Inc. German JB, Lokhes B, Kinsella JE. 1987 Modulation of Zimosan Stimulated Leukotriene Release by Dietary Unaturated Fatty Acids. Prostaglandins Leukotrienes Med. 30: 69-76 Handaruwati, Rr. 2000. Produksi Fraksi Minyak Ikan Tuna Kaya Asam Lemak Omega-3 Melalui Reaksi Alkoholisis Enzimatis Menggunakan Lipase Rhizomucor miehei. Bogor:[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Hanim, Diffah. 1996. Pengaruh Vitamin E Terhadap Organ Hati dan Uterus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Yang Diberi Perlakuan Natrium Sakarin dan Natrium Siklamat. Bogor:[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Huang CC, Misfeldt ML, Fritscha KL. 1992. Dietary Fat Influences La Antigen Expretion and Immune Cell Populations in the Murine Peritoneum and Spleen. J Nutr 122: 1219-1231
Hwang DH, Beaudreau M, and Chanmugan P. 1988. Dietary Linolenic Acids and Longer Chain ω-3 Fatty Acids: Camparation of Effect on Arachnoic Acid Metabolism in Rat. J Nutr 118: 427-437 Knudsen PJ, Strom TB. 1986. Prostaglandin Posttranscriptionally Inhibit Monocyte Expresion of Interleukin-1 Activity by Increasing Intracellular Cyclic Adenosine Monophosphate. J Immunol 137: 3189-3194 Korver DR. and Klasing KC. 1997. Dietary Fish Oil Alters Specific and Inflamatory Immune Response in Chicks. J Nutr 127: 2039-2049 Linder MC. 1991. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical Aplication 2nd. Elsevier. New York-USA Meydani M. 1991. Effect of Longterm Fish Oil Supplementation on Vitamin E status and Lipid Peroxidation in Women. J Nutr 121: 484-491 Meydani M. 1993. Immunologic Effect of National Cholesterol Education Panel Step-2 Diets With and Without Fish Derived n-3 Fetty Acids Enrichment. J Clin Invest 92: 105-113 Moran ET. 1985. Digestive physiology of duck. Di dalam: Farrel, D.J., P. Stapleton, editor. Duck Production and World Practice. University of England, Armidale. Muchtadi D, NS Palupi, M Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Jilid II. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Navarra P. 1992. Interleukin-1β and Interleukin-6 Speciffically Increase the Release of Prostaglandin E2 from Rat Hypothalamic Explant in Vitro. Neuroendocrinal. 56: 61-68 Roubal WT. 1963. Tuna Fatty Acid: Investigation of the Composition of Raw and Procesed Domestic Tuna. J Am Oil Chem Soc. Rusmana, Denny. 2000. Pengaruh Suplementasi Minyak Ikan, Minyak Jagung, dan ZnCO3 dalam Ransum Terhadap Kandungan Omega-3, Omega-6 PUFA dan Kolesterol Telur dan Karkas Ayam Kampung. Bogor:[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Schales WE. 1989. Regulation of Monokikine Expresion: Prostaglandin E2 Supresses Tumor Necrosis Factor but not Interleukin-1α or β-mRNA and Cell-Associated Bioactiyity. J Leukocyte Biol 45:416-421 Simon BC. 1984. Cancer and Nutrition. John Willey and Sons Publication. Toronto. Canada Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. 3rd Edition. Spinnger_Verlag, New Cork.
Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wander RC, Hall JA, Gardin JL, Du SH, and Jewe DE. 1997. The Ratio of Dietary (ω-6) to (ω-3) Fatty Acids Influence Immune System Function, Eicosanoid Metabolism, Lipid Peroxidation and Vitamin E Status in Aged Dogs. J Nutr 127:1198-1205
LAMPIRAN
Pembuatan Preparat Histopatologi 1. Dehidrasi Sediaan usus dalam tissue-cassete dimasukkan kedalam keranjang carrier yang kemudian dipasang pada tissue processor yang berturut-turut dicelupkan pada alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%. Kemudian dimasukkan kedalam alkohol absolute I dan II, lalu dilakukan proses penjernihan (clearing), yaitu dengan cara memasukkan sediaan yang dibersihkan kedalam xylol I dan xylol II . 2. Perendaman (embedding dan pencetakan/bloking) Proses perendaman sebaiknya dilakukan dekat sumber panas. Sediaan dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah berisi parafin cair dari tinggi dinding cetakan dan kemudiaan setelah bagian dasar mulai membeku lalu ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh, dan diatur letaknya. 3. Pemotongan Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar dengan ketebalan 5 μm. Hasil irisan berbentuk pita diapungkan di atas permukaan air hangat (400C), baru kemudian dipilih irisan yang paling baik dan diletakkan di atas gelas objek yang telah diolesi dengan Ewit (campuran albumin dan gliserin). Kemudian gelas objek disimpan dalam inkubator selama 2 jam dengan temperatur suhu 560C dan preparat siap diwarnai. 4. Pewarnaan HE Sebelum dilakukan pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses defranasi (penghilangan parafin) dan proses rehidrasi (penambahan air). Hal ini dilakukan agar zat warna dapat menyerap dengan sempurna. Defranasi dilakukan dengan cara; sediaan dimasukkan berturut-turut kedalam xylol II dan xylol I, masing-masing selama 2 menit. Setiap kali dilakukan pemindahan, daerah sekitar sediaan diusap dengan kertas tisu tanpa menyentuh organ. Rehidrasi dilakukan dengan cara; sediaan dimasukkan berturut-turut kedalam alkohol absolut
II dan I masing-masing selama 2
menit, kemudian kedalam alkohol 95%, 90%, dan 80% selama 1 menit. Setelah proses rehidrasi, sediaan dicuci dengan air mengalir selama 1 menit,
kemudian dimasukkan kedalam pewarnaan Mayer’s Haematoxylin selama 1 menit. Setelah itu dimasukkan kedalam larutan lithium carbonate selama 1530 detik dan dibilas diatas air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan kedalam pewarnaan Eosin selama 2-3 detik, lalu dibilas kembali dengan air mengalir. Setelah pewarnaan selesai, dilakukan proses dehidrasi dengan cara memasukkan sediaan kedalam alkohol bertingkat yaitu alkohol 80%, 90%, 95% sebanyak 10 celupan. Kemudian dilakukan clearing dengan memasukkan sediaan kedalam xylol I selama 1 menit dan kedalam xylol II selama 2 menit. Setelah itu preparat dikeringkan diudara terbuka dan kemudian diteteskan perekat yaitu permount lalu ditutup dengan cover glass dan diberi label.