Mooi Bandoeng Mang Ucup (Robert T.S. Nio)
Mooi Bandoeng
Mang Ucup (Robert T.S. Nio)
MOOI BANDOENG Penulis: Mang Ucup (Robert T.S. Nio) Desain Sampul & Tata Letak: Arien TW (
[email protected]) Editor: Johanes Krisnomo, Arien TW Cetakan I, Mei 2014 Copyright © 2014 All rights reserved Penerbit: PT. Simponi Warta Media
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
sagara teu meunang di ruksak, “ “ Gunung teu meunang di lebur,buyut teu meunang di rempak.
Pengantar
P
ada saat terakhir ini timbul pertanyaan di hati saya: “Kenapa Mang Ucup tidak menulis buku mengenai kampung halaman sendiri, Kota Bandung, kota tempat di mana Mang Ucup dilahirkan 72 tahun silam?” Pertanyaan mendasar inilah yang selalu mendorong Mang Ucup untuk menulis buku mengenai Kota Bandoeng. Mang Ucup sempat menjalani masa kanak-kanak dan remaja hingga usia 19 tahun di kota ini, sebelum akhirnya memutuskan berhijrah ke Jerman. Pengalaman masa kanak-kanak dan remaja itulah yang membuat Mang Ucup ingin berbagi nostalgia mengenai Kota Bandoeng Tempo Doeloe, tepatnya sampai dengan tahun 1960. Informasi dan data yang ada tentang Bandoeng saat itu yang terdokumentasi di berbagai tempat dan media juga menjadi salah satu sumber penting dalam penulisan buku ini. Bagi pembaca, selain bisa lebih mengenal sejarah Kota Bandoeng Tempo Doeloe, juga bisa lebih menghayati life-style masyarakat Bandoeng saat itu, terutama pada kurun waktu ketika saya kanak-kanak sampai remaja. Buku ini diberi judul “Mooi Bandoeng”, artinya Bandoeng Indah. Judul ini dipilih karena saya merasa bangga akan keindahan dari Kota Bandoeng.
Winston Churchill, yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoar yang berpengaruh, pernah pula berkata “Kenangan akan baik padaku, karena aku akan menulisnya.” Yang tertulis akan abadi menjadi memori yang ‘hidup’ di dalam hidup dan menjadi sejarah ketika kita lengah, bahkan menjadi penanda ketika kita lupa. Semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca dalam memperlajari budaya dan sejarah Kota Bandoeng Tempo Doeloe dari sudut pandang ‘Budak Bandoeng Baheula’. Dengan membaca buku ini, niscaya akan membangkitkan kenangan indah dari Kota Bandoeng tempo doeloe. Sebagai penutup, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah meluangkan waktunya demi terwujudnya buku ini. Terutama kepada Saudara Johanes Krismono atas bantuannya menyunting naskah buku ini, dan juga kepada Saudari Arien TW untuk mendisain maupun turut menyunting buku ini.
Mang Ucup Bandoeng, 22 Maret 2014
Mooi Bandoeng ........................................ 1 Kilometer Nol .......................................... 6 Asal Muasal Nama Kota Bandung ............ 10 Bahasa Sunda, Bahasa Dewa ..................... 14
DAFTAR Villa Isola = Ungkapan Cinta Seorang Playboy .......................... 18 Dari Gubuk Gedek Menjadi Hotel Bersejarah .................................... 24 Sejarah Panjang Grand Hotel Preanger ....................................... 30 Terowongan Rahasia Bawah Tanah Gedung Merdeka ............ 34
ISI The Bandoeng Walk! .................... 38 Yuuu...uk Kita Nonton Bioskop .... 42 Budaya Nonton Film di Tahun 1955 .................................................. 46 James Dean van Bandoeng ....... 50
Cross Boys, Remaja Berandal ... 54 Ucup was Born to Boogie ........... 58 Sejarah Sekolah Tempo Doeloe 62 The Giant Killer From Bandoeng ...................................... 68 Yuuu...uk Kita Berenang ............. 74
Toko Boekoe Tempo Doeloe ..... 94
Derenten Bandoeng ..................... 78
Permainan Jadul (Djaman Doeloe) .......................... 98
Peh Cun di Balong Aksan ........... 82 Kelenteng Tertua di Bandoeng 86 Adakah yang Tahu Letak Jalan Culik? .................................. 90
Jibeuh (Hiji Seubeuh) Makan Satu Kenyang ................................ 102 Makam Sang Kaisar di Cikadut 106 Kerkop Pandu .............................. 110
Mooi Bandoeng
Mooi Bandoeng Bandoeng! Met de mooie huizen En je rijken bloemenschat Met je flinke, ruime straten Ben je, meiner trauma stadt! Bandoeng, met je mooie winkels S ‘ avonds schitterend verlicht Bandoeng! Waar de kou een blos legt Op het bleek, verwelkt gezicht! “Bandoeng tempat Anda bertemoe roemah2 jang elok, kaja dengan boenga2, di antara djalan2 jang besar. Anda seperti bertemoe seboeah kota dalam mimpi. Bandoeng adalah tempat di mana Anda menikmati toko2 indah Anda pada malam hari jang tjemerlang. Bandoeng dimana dingin menerpa dan menempatkan maloe pada wadjah jang poetjat lajoe”.
D
emikian kira-kira arti dua bait puisi dari Jan Visser, seorang penulis dan juga pelancong yang melukiskan keindahan Bandung dalam sebuah puisi berjudul Mooi Bandoeng. Puisi sepanjang enam bait ini dimuat dalam Majalah Mooi Bandoeng No. 2 edisi Agustus 1933. Puisi ini mencerminkan betapa menariknya kota itu bagi turis pada masa kolonial.
Mang Ucup
1
Bandung dari sudut pengambilan foto udara.
Bandung tempo dulu.
2
Mooi Bandoeng
Bandung abad 21.
Kemacetan Bandung di masa kini.
Majalah Mooi Bandoeng diterbitkan oleh perkumpulan Bandoeng Vooruit (BV) atau Bandoeng Maju, yang bertujuan untuk memajukan Kota Bandung, terutama dalam hal kepariwisataan. Pada edisi perdananya, majalah ini mencantumkan pernyataan Walikota Bandung, Wolzogen Kuhr. “Nederlanders, waarom terug naar Europa? Blifft in Indie! Zij die reeds zijn vertrokken, kom terug en vestigt U in Bandoeng!” (Nederlanders, mengapa pulang ke Eropa? Tetaplah tinggal di Hindia (Indonesia)! Bagi yang sudah pulang, kembali dan tinggallah di Bandoeng!). Bandung sudah dikenal sebagai kota wisata sejak tahun 1871. Bahkan sejak tahun 1898 telah diterbitkan buku pemandu wisata pertama berjudul Reisgids voor Bandoeng en Omstreken met Garoet yang dicetak oleh perusahaan De Vries & Fabricius. Buku ini hasil karya dari satu lembaga swasta khusus pariwisata, yakni Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken. Bahkan peta pertama mengenai Bandung sudah ada sejak tahun 1726. Pada saat itu, Bandung masih menggunakan nama Bandong. Peta ini diberi nama Nagorij Bandong.
Majalah Mooi Bandung tahun 1933.
Mang Ucup
3
Bukan hanya para petinggi dari Belanda saja yang tertarik akan keindahan Kota Bandung, Raja Chulalongkorn (Rama V) serta Pangeran Prajatthipok Paramintara (Rama VII) dari Thailand pun termasuk pengagum Kota Bandung. Rama V datang berkunjung ke Bandung tahun 1896. Kedatangannya antara lain untuk bermeditasi dan mandi di Curug Dago. Bukti kedatangan dua raja ke Curug Dago tersebut telah ditorehkan di atas prasasti yang ada di Curug Dago. Peta Nagorij Bandong.
Prasasti Curug Dago yang dibuat oleh Raja Rama V.
Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga beliau datang ke Bandung. Begitu terpukaunya Rama V dengan keindahan Bandung, sehingga beliau bercerita pada cucunya yang mengakibatkan sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jalan Cipaganti dan kemudian membangun vilanya.
4
Mooi Bandoeng
Gedung Sate tempo dulu.
Bank Jabar tempo dulu, dari foto udara.
Stasiun Bandung tempo dulu.
Alun-alun Bandung tempo dulu.
Kantor walikota tempo dulu.
Mang Ucup
5
6
Mooi Bandoeng
Kilometer Nol
J
alan Asia-Afrika sekarang ini dahulunya lebih dikenal dengan nama Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Jalan ini membentang sepanjang 1.000 km melintasi Pulau Jawa, yang pembangunannya menelan nyawa 30.000 budak (pribumi). Bayangkan saja, kalau diambil rata-rata, berarti setiap 1 km jalan tersebut telah memakan korban sebanyak 30 nyawa orang pribumi.
Walaupun demikian prestasi Jenderal Herman William Daendels sangat luar biasa, karena berkat disiplin dan tangan besinya, ia berhasil membangun jalan sepanjang 1.000 km dalam jangka waktu hanya setahun. Jalan ini dibangun tanpa bantuan mesin, hanya dikerjakan oleh tenaga manusia.
Mang Ucup
7
Daendels menentukan Bandung menjadi titik nol kilometer. Kenapa demikian? Pada hari peresmian Jalan Groote Postweg tanggal 25 September 1810, Daendels bersama Wiranatakusumah II, yang menjabat sebagai Bupati Bandung saat itu, sedang berjalan ke arah timur. Lalu pada suatu titik, Daendels menancapkan tongkatnya dan berkata “Zorg, dat als ik terug kom hier een staad is gebouwd”, yang kurang lebih artinya “Usahakan, jika aku kembali ke sini, di daerah ini telah dibangun sebuah kota”. Ia mungkin tidak menyadari kata-katanya itu akan terbukti benar, karena titik di mana ia menghunjamkan tongkatnya ke tanah telah menjadi titik nol kilometer Kota Bandung. Perisitiwa ini dijadikan sebagai hari jadi Kota Bandung. Sejak saat itu Daendels sendiri tidak pernah melihat Kota Bandung lagi, karena masa jabatannya di Indonesia berakhir awal tahun 1811. Seperti diketahui, Bandung, pada awal tahun 1800-an, belum menjadi sebuah wilayah dengan peradaban maju seperti Batavia atau Cirebon. Jadi tidaklah salah apabila Kota Bandung ini bisa berdiri menjadi satu kota karena adanya gagasan Daendels. Pada tahun 1884, penduduknya saja baru tercatat kurang lebih 11.054 jiwa. Namun kini tercatat sudah mencapai 2,8 juta jiwa yang tinggal di Kota Bandung. Tugu titik nol kilometer Kota Bandung lokasinya berada di Jalan Asia – Afrika Kota Bandung, tepatnya di depan Kantor Dinas Bina Marga, dengan ciri khas stoomwalls jadul.
8
Mooi Bandoeng
Mang Ucup
9
Asal Muasal Nama Kota Bandung
B
andung kota dan sekitarnya pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandoeng. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan Bandoeng” (Bandung Basin).
Banyak sekali buku yang menjelaskan tentang asal mula penamaan Kota Bandung dan alasan kenapa namanya harus Bandung. Nama Kota Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya Sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang kemudian berubah bentuk menjadi telaga/danau.
Berdasarkan versi lainnya, dijelaskan bahwa nama Bandung berasal dari nama sebuah pohon yang namanya Bandong ‘Garcinia spec’. Bandong sendiri adalah sejenis pohon yang tingginya 10–15 meter. Bahkan sebagian ada yang mengatakan bahwa, kata “Bandung” dalam bahasa Sunda, identik dengan kata “banding” dalam bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabandeng (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Maklum sebelum nama Bandoeng ketika Abad XVIII, Bandung lebih dikenal dengan nama Bandong.
10
Mooi Bandoeng
Gunung Tangkuban Perahu .
Dalam konteks ini, perlu diketahui pula akan adanya legenda mengenai kisah Sangkuriang yang dikaitkan dengan adanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu. Berdasarkan filosofi Sunda, kata “Bandung” berasal dari kalimat “NgaBandung-an Banda Indung”, yang merupakan kalimat sakral dan luhur karena mengandung nilai ajaran Sunda. Nga-”Bandung”-an artinya menyaksikan atau bersaksi. “Banda” adalah segala sesuatu yang berada di alam hidup yaitu di bumi dan atmosfer, baik makhluk hidup maupun benda mati. “Indung” adalah Bumi, disebut juga sebagai “Ibu Pertiwi” tempat “Banda” berada. Dari Bumi-lah semua dilahirkan ke alam hidup sebagai “Banda”. Segala sesuatu yang berada di alam hidup adalah “Banda Indung”, yaitu bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia dan segala isi perut bumi. Pada tahun 1896, Bandung belum disebut kota; tetapi hanya “kampung”. Kota Bandung baru secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906. Pada masa perang kemerdekaan, pada 24 Maret 1946,
Mang Ucup
11
sebagian kota ini dibakar oleh para pejuang kemerdekaan. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api dan diabadikan dalam lagu “Halo-Halo Bandung”. Pada tahun 1950 jumlah penduduk Bandung sekitar 644 ribu jiwa. Bandung memiliki area seluas 5.413 hektar saat dipimpin Walikota R. Mohammad Enoch (1949–1957). Sekarang Bandung merupakan kota terpadat di Jawa Barat dengan jumlah total penduduknya sebesar 2.455.517 jiwa (sumber: BPS. Kota Bandung, 2012).
Logo Kabupaten Bandung
Lambang Kota Bandung diciptakan pada tahun 1953. Pada lambang tersebut terdapat gambar Gunung Tangkuban Perahu. Bentuk gambar gelombang mengingatkan bahwa dulu Bandung adalah sebuah danau yang luas. Pada pita tertera tulisan dalam bahasa Kawi “Gemah Ripah Wibawa Mukti”, yang artinya Tanah Subur Rakyat Makmur. Kota Bandung pernah menyandang berbagai predikat seperti: - Paradise in Exile (1750) - Bandoeng Exelcior (1856) - The Sleeping Beauty (1884) - De Bloem der Indische Bergsteden (1896) - Parijs van Java (1920) - Ther Garden of Allah (1921) - Intellectuele Centrum van Indie (1921) - Staatskundig Centrum van Indie (1923) - Europe in de Troppen (1930) - Kota Pensiunan (1936) - Kota Permai (1950) - Kota Konferensi Asia-Afrika (1955)
12
Mooi Bandoeng
Mojang Bandung tempo dulu.
Mang Ucup
13
Bahasa Sunda, Bahasa Dewa
T
ak bisa dipungkiri bahwa Bahasa Jerman termasuk bahasa yang paling sulit dipelajari di dunia. Usianya saja sudah lebih dari seribu tahun. Di samping itu diakui sebagai bahasa para cendekiawan (Albert Einstein), para filsuf maupun para pujangga seperti Johan Wolfgang von Goethe, Friedrich Schiller, bahkan Alkitab pertama dalam Bahasa Jerman sudah ada sejak tahun 1534. Sedangkan Bahasa Sunda baru diakui sebagai bahasa resmi pada tahun 1841. Walaupun demikian kenyataannya Bahasa Jerman masih kalah jauh oleh Bahasa Sunda yang memiliki perbendaharaan kosakata yang jauh lebih banyak dan lengkap daripada bahasa manapun juga di kolong langit ini. Tidak percaya? Silakan simak uraian berikut ini. Dalam bahasa Jerman; JATUH = Fallen, sedangkan dalam bahasa Sunda (GEBUIS, LABUH, GUMBRAK), tetapi kenyataannya masih banyak lagi katakata yang berkaitan dengan kata jatuh.
14
Mooi Bandoeng
Misalnya: jatuh tersandung (TITAJONG), jatuh terpeleset (TISOLÉDAT), jatuh tersungkur (TIKUSRUK), jatuh kebelakang (NGAJENGKANG), jatuh dari atas (MURAG), jatuh terlempar (NGAJUNGKEL), jatuh ke sungai (TITEULEUM), jatuh tergelincir (TIKOSEWAD), jatuh dari motor (TIJUNGKEL), jatuh terperosok (TIGEBRUS), jatuh ke air (KACEMPLUNG), jatuh meluncur (NGAGOLOSOR), jatuh terpeleset (TIJONGJOLONG), jatuh badan seutuhnya (TIGEDEBRU), jatuh terguling (TIGULITIK), jatuh ke dalam genangan air (TIKUCUPRAK), jatuh karena kaki orang (TITAJONG), jatuh dari tempat tidur (NGAGUBRAK), jatuh tertidur (KASIREP), jatuh tidak sengaja (TIJALIKEUH), jatuh pingsan (KALENGER), jatuh terguling (NGAGULUTUK), jatuh meluncur (MOROSOT), jatuh kepala terbentur (TIDAGOR), jatuh tenggelam (TILELEP atau dalam bahasa Inggris TITANIC), jatuh miskin (MELARAT), jatuh mati (KOJOR), jatuh ketipu (GOBLOK)! Sedangkan kalau jatuh dari lantai 12 (MODAR MEUREN). Apakah anda masih meragukan kehebatan Bahasa Sunda? Anak-anak remaja Sunda juga sudah memanfaatkan Bahasa Sunda sebagai bahasa gaul dengan cara mereka mempersingkat kata misalnya MEREUN = Mungkin; menjadi MEUR. Sedangkan panggilan brother yang lazim dipakai oleh anak-anak remaja jadi Bro, dalam bahasa gaul Sunda menjadi BRAY singkatan dari BARAYA = Saudara, atau LUR singkatan dari DULUR = Saudara. Jadi Anda bisa panggil saya dengan panggilan Bray Ucup atau Lur Ucup! Orang Sunda sukar mengucapkan kata dengan huruf F dan V dari fitnah menjadi pitnah, film menjadi pilem, vespa menjadi pespa, divan menjadi dipan. Selain itu banyak sekali menggunakan vokal dwi-huruf EU, misalnya henteu (tidak), bereum (merah),
Mang Ucup
15
kesang sia bau aseum jiga peuyeum (keringat kamu bau asem seperti tape). Vokal dwi-huruf EU itu lafalnya sama seperti O pakai mulut dalam bahasa Jerman misalnya Góttin (Dewi). De Wilde adalah orang Eropa pertama yang mengakui secara resmi keberadaan Bahasa Sunda. Kamus Bahasa Sunda–Belanda karangan De Wilde adalah Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek; pertama kali terbit di Amsterdam pada 1841. Bahkan Alkitab dalam Bahasa Sunda sudah ada sejak tahun 1854 yang diterjemahkan oleh Pendeta J. Esser. Ada beberapa kata yang diserap dari Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Jawa, misalnya dahar = makan. Dalam bahasa Jawa, kata dahar ini merupakan kata yang paling halus, sedangkan dalam bahasa Sunda kata dahar itu adalah bahasa biasa. Di kalangan masyarakat Sunda, kata dahar yang halus adalah neda, dan yang paling halus adalah tuang. Kata lainnya adalah sare = tidur dalam bahasa Jawa, kata sare dianggap sangat halus, namun dalam bahasa Sunda tergolong kasar. Perbedaan ungkapan lainnya dapat dilihat juga apabila ingin ke toilet. Dalam Bahasa Sunda “bade ka cai” yang secara harfiah berarti mau ke air, maklum dalam berhajat, orang Sunda melakukannya di ‘air sungai’. Beda dengan orang Jawa di mana mereka mengucapkan “bade teng wingking”, yang secara harfiah berarti mau ke belakang. Maklum pada masa lampau, sebelum ditemukan kakus, orang Jawa membuang hajat betul-betul di belakang rumahnya, yang seringnya berupa kebun bambu atau kebun pisang. Mungkin tidak ada bahasa di dunia yang memiliki begitu banyak tingkatan seperti bahasa Sunda. Jika bahasa Jawa hanya dibagi dalam tiga tingkatan saja, yaitu: krama Inggil (tinggi, sangat halus), krama madya (halus), ngoko (biasa), Bahasa Sunda memiliki delapan tingkatan cara mengungkapkan tutur kata-kata atau disebut Tatakrama Basa Sunda. Misalnya makan, untuk orang tua yang dihormati: tuang; untuk diri sendiri: neda; untuk teman: dahar; untuk binatang: nyatu. Kata makan itu dapat berbeda lagi ketika dipakai pada kondisi berbeda. Misalnya, untuk orang yang sedang dimarahi: ngalebok, untuk anak kecil: emam.
16
Mooi Bandoeng
Dalam Bahasa Sunda, tatakrama ini biasa disebut Undak Usuk Basa Sunda (UUBS) yang secara umum terbagi atas dua jenis, yaitu Basa Lemes (Bahasa Halus), dan Basa Loma (Bahasa Kasar). Bahasa Sunda halus (lemes) bisa dibagi lagi dalam enam tingkatan ialah: 1. Ragam Basa Lemes Pisan/Luhur, jenis bahasa ini biasanya digunakan kepada orang dengan jabatan tinggi atau bangsawan; 2. Ragam Basa Lemes keur Batur, jenis bahasa ini digunakan pada orang yang dihormati, biasanya yang usianya lebih tua; 3. Ragam Basa Lemes keur Pribadi/Lemes Sedeng, merupakan kosakata halus yang khusus digunakan untuk diri sendiri; 4. Ragam Basa Lemes Kagok/Panengah, jenis bahasa ini yang digunakan untuk teks-teks semacam surat kabar, dan lain-lain; 5. Ragam Basa Lemes Kampung/Dusun, merupakan ragam bahasa yang dikenal halus dalam beberapa komunitas lokal Sunda, bisa jadi terdapat keragaman di beberapa wilayah pengguna Bahasa Sunda yang berlainan, namun biasanya tidak digunakan dalam situasi resmi; 6. Ragam Basa Lemes Budak, merupakan bahasa halus yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Basa Loma atau biasanya disebut juga Bahasa Kasar, sebetulnya tidak dimaknai kekasaran yang otomatis menghilangkan unsur penghormatan. Akan tetapi, ragam bahasa ini digunakan di dalam kalangan pergaulan kawan-kawan akrab. Terdapat dua jenis Basa Loma, yaitu; 1. Ragam Basa Loma (akrab); Bahasa jenis ini digunakan dalam lingkup pergaulan kawan-kawan dekat, semisal dengan kawan sepermainan. 2. Ragam Basa Garihal/Songong (sangat kasar). Ragam berbahasa ini digunakan pada objek hewan atau dalam kondisi marah besar/murka. Maka dari itu, tidaklah salah apabila orang menyatakan bahwa Bahasa Sunda adalah bahasa kompleks para dewa. Bahasa Sunda (Basa Sunda) dituturkan oleh setidaknya 38 juta orang dan merupakan bahasa Ibu dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Dengan ini Mang Ucup akhiri dengan ucapan dalam bahasa Londonya: “Damn! I love Sunda” dalam terjemahan bebas: “Aing mah bangga jadi urang Sunda Euu.uy!”.
Mang Ucup
17
Villa Isola = Ungkapan Cinta Seorang Playboy
S
ilvio Berlusconi, mantan Perdana Menteri Italia yang kaya raya dan juga pemilik perusahaan media raksasa terbesar di Italia, adalah pria yang dikenal doyan wanita alias seorang playboy. Hal ini tidak pernah disangkalnya, bahkan ia mengakuinya sendiri di mana ia mengatakan: I’m not a playboy, I’m a playman (playuomo), maklum usianya sudah uzur 77 tahun.
Pada zaman kolonial, di Bandung juga ada seorang pria yang memiliki sifat maupun perilaku yang hampir serupa dengan Berlusconi, namanya Dominique Willem Berretty. Ayahnya seorang guru sekolah asal Italia dan ibunya adalah seorang gadis Jawa. Ia dilahirkan pada tahun 1890 di Yogyakarta sebagai sinyo blasteran. Setelah dewasa ia memiliki wajah yang tampan. Pada awalnya, ia bekerja sebagai reporter. Pada tahun 1917 ia mendirikan kantor media yang diberi nama Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA) dengan mottonya (Altijd Nummer Een Trots Alles) – Selalu Harus Nomor Satu; Apapun Biayanya. Perusahaan ini membuat dia menjadi kaya raya dan dijuluki sebagai Raja Koran. Ia juga memiliki hobby main perempuan, antara lain selama hidupnya ia sudah menikah sebanyak enam kali. Ketika masa jayanya, ia telah diangkat menjadi bangsawan (baron) oleh Kerajaan Belanda. Jadi mirip seperti Berlusconi!
18
Mooi Bandoeng
Dominique Willem Berretty.
Sekitar tahun 1932, ia menjalin asmara dengan salah satu putri dari Gubernur Jenderal Cornelis de Jonge, tetapi tidak direstui oleh ayahnya karena sifat playboynya. Gubernur Jenderal Cornelis de Jonge merupakan pejabat tertinggi dari Kerajaan Belanda di Indonesia yang memerintah pada tahun 1931-1936. Berretty merasa tersinggung berat karena lamarannya ditolak. Oleh sebab itu, untuk membuktikan bahwa ia layak dan cukup terhormat untuk bisa meminang putri sang Gubernur Jenderal, ia merencanakan membangun sebuah istana di Bandung seperti layaknya seorang raja. Ia menghubungi arsitek terbaik pada masa itu, yakni Ir. C.P. Wolff Schoemaker, yang reputasinya tidak perlu diragukan lagi, karena antara lain ia yang merancang Gedung Sociteit Concordia (Gedung Merdeka) maupun Grand Hotel Preanger. Bangunan Isola setelah dibangun.
Mang Ucup
19
Berretty membangun gedung Isola yang kita kenal sekarang ini di atas tanah seluas 120.000 meter persegi dengan bantuan biro arsitektur AIA di Batavia. Gedung yang sedemikian indah dan besar itu ternyata bisa selesai dibangun hanya dalam jangka waktu enam bulan saja. Dimulai pada Oktober 1932 dan selesai Maret 1933. Kerangka bangunan dan jendela-jendela gedung ini terbuat dari baja, sedangkan lantainya beton cor. Jadi sebenarnya Villa Isola itu dibangun sebagai balas dendam karena lamarannya dari Willem Berretty ditolak. Hal ini membuat dia patah hati dan tersinggung berat. Maka tidaklah heran setelah Villa tersebut selesai, di ruang masuk utamanya dipasang plakat yang bertuliskan: M’ISOLO E VIVO – Saya mengucilkan diri untuk bertahan hidup. Dari kata ISOLO (isolasi – terkucil) inilah nama ISOLA diserap. Maka tidaklah salah ada ungkapan yang menyatakan: apabila pria jatuh cinta, maka ia akan bisa menghasilkan karya besar, termasuk Gedung Taj Mahal di India yang juga merupakan ungkapan cinta dengan bahasa arsitektur.
20
Mooi Bandoeng
Villa Isola dibangun lengkap dengan sarana ruang bioskop, ruang biliard, bar, lapangan tenis maupun kolam renang. Khusus untuk menghias taman yang penuh dengan bunga mawar merah dan bunga anggrek maupun kolam, telah diimpor khusus dari Eropa enam angsa hitam. Semua perabotan dan kaca tritisan diimpor dari Paris. Walaupun Villa Isola telah selesai pada bulan Mei, tetapi baru diresmikan sembilan bulan kemudian tepatnya pada tanggal 18 Desember 1933, karena ia ingin menunggu hingga semua pohon dan tanaman bunganya berkembang dahulu. Villa Isola dibangun dengan biaya 500.000 Gulden atau setara dengan Rp 250 miliar uang masa kini. Satu nilai yang tidak murah hanya sekadar untuk menghibur rasa patah hati.
Mang Ucup
21
Dengan kekayaannya, Willem Beretty mampu membangun Villa Isola. Walaupun demikian masa hidup seseorang ditentukan oleh Tuhan. Dalam perjalanan dari Amsterdam ke Batavia, pesawat yang ditumpangi Berretty jatuh di Suriah. Setelah ia meninggal dalam usia 44 tahun, Villa Isola diambil alih dan dikelola oleh Fr JA van Es, pengelola Hotel Homann. Ketika zaman penjajahan Jepang, Villa Isola dijadikan markas pusat tentara Jepang dan sempat digunakan sebagai kediaman dari Jenderal Hitoshi Imamura. Villa ini pernah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi. Saat ini, Villa Isola dipakai oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) atau yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia – UPI.
Love Story dari D. W. Berretty diceritakan oleh keturunannya secara turun-temurun. Dari sinilah Mang Ucup mengetahui kisah lengkapnya, sebab Mang Ucup juga secara tidak langsung memiliki kaitan keluarga dengan Berretty. Menantu lelaki Mang Ucup adalah cucu buyut langsung dari Berretty.
22
Mooi Bandoeng
Villa Isola yang kini dipakai sebagai gedung IKIP / UPI Bandung.
Mang Ucup
23
Dari Gubuk Gedek menjadi Hotel Bersejarah! 24
Mooi Bandoeng
S
ekitar tahun 1870-an, di seluruh Kota Bandoeng hanya ada tujuh bangunan saja yang didirikan pakai tembok. Salah satunya adalah Hotel Homann. Maklum, pada saat itu Bandong (nama pertama sebelum Bandoeng) masih berupa een kleine berg kampoeng alias desa pegunungan yang kecil.
Hotel Homann yang pernah memiliki predikat sebagai hotel terbesar di Asia Tenggara, dan telah diakui sebagai landmark (identitas) Kota Bandung, pada saat itu masih berupa bangunan dari gedek (bilik bambu). Karena namanya juga masih di leuweng (hutan), maka wajar saja apabila belum memiliki resepsionis penyambut tamu yang cantik seperti hotel-hotel pada saat ini. Resepsionis satu-satunya yang ada di sana pada saat itu adalah seekor burung beo yang bisa mengucapkan kalimat: “Amat! Amat! Ada Tamu. Ujang, Ujang panggil Delman” Amat adalah nama bellboy dari penginapan tersebut, sedangkan Ujang Kusen adalah teman bermain Sinyo Wiem putra keluarga Homann. Pada umumnya orang menduga bahwa Hotel Homann itu milik orang Belanda, tetapi kenyataannya milik orang Jerman yang bernama A. Homann yang hijrah ke Bandung pada tahun 1870 dengan modal ala kadarnya alias pas-pasan. Pada awalnya hotel ini hanya merupakan pasanggrahan atau penginapan yang dikelola oleh keluarga sendiri, di mana antara lain Nyonya Homann sendiri yang menjadi juru masaknya. Agar bisa menghemat, mereka memiliki empang ikan di Cihampelas yang kemudian hari diambil alih untuk dijadikan kolam renang Cihampelas.
Mang Ucup
25
Beberapa tahun kemudian, penginapan Homann berubah menjadi bangunan berdinding setengah tembok dan papan. Selanjutnya, penginapan milik keluarga Eropa ini direnovasi lagi hingga menjadi bangunan berdinding tembok seluruhnya. Dengan dibukanya jalur kereta api dari Batavia ke Bandung pada 1884, terjadi perubahan besar terhadap kondisi sosial masyarakat di kota ini. Kehidupan pariwisata di Bandung pun semakin marak sejak itu. Seiring dengan perkembangan tersebut, penginapan Homann akhirnya berkembang maju menjadi hotel besar dan baik. Sejak saat itu pula nama hotel ini diubah menjadi Grand Hotel Homann. Perlu diketahui pula bahwa pada tahun 1910, nama Hotel Homann sudah ada di panduan wisata dunia: Guide to Preanger Regencies (Weltevreden). Bukan hanya para petinggi dari Belanda saja yang datang bermalam di Homann, bahkan Raja Thailand Chulalongkorn (Rama V) pernah bermalam di sana. Rama V berkunjung ke Homann pada tahun 1896. Konon ketika Raja Rama V menginap di Homann pernah membuat heboh seluruh personal hotel. Masalahnya, pada malam hari di kamar yang disewa sang raja, tetap kosong dan sepi. Ternyata sang raja malah pergi menyepi semalaman ke Curug Dago untuk mandi dan bersemedi di sana. Maklum, Curug Dago terkenal sebagai tempat yang sakral.
26
Mooi Bandoeng
Kejadian lainnya yang membuat heboh personel Hotel Homann yaitu pada saat kehadiran Paduka Yang Mulia Sunan Solo, Paku Buwono X yang terkenal juga dengan nama Waskita Sakti Mandraguna. Pada saat itu, banyak penduduk Bandung terutama yang dari keturunan Jawa berdatangan dan duduk bersila semalam suntuk di atas trotoar hotel sambil memandangi balkon untuk ngalap berkah dari sang Sunan. Beliau tidur di kamar 244. Kamar ini pula yang di kemudian hari selalu menjadi kamar pilihan apabila Presiden Soekarno bermalam di Homann. Bintang komedian Charlie Chaplin, bersama Mary Pickford, yang juga aktris tenar pada masanya pernah juga menjadi tamu di Hotel Homann. Pada era ini, Hotel Homann dikelola oleh Fr JA van Es, seorang pakar perhotelan yang sebelumnya memiliki pengalaman mengelola Hotel Des Indes di Batavia. Di bawah pengelolaan Van Es, bangunan Hotel Homann diperluas dan dimodernisasi menjadi salah satu hotel paling terkemuka di Asia Tenggara. Renovasi besar-besaran yang dimulai sejak Februari 1937 ini melibatkan dua orang arsitek Belanda, yakni AF. Aalbers dan R. de Waal. Sejak saat itu hingga kini, hotel tersebut memiliki warna luar abu-abu.
Mang Ucup
27
Gedung baru yang kemudian dibangun diberi nama Savoy mengingatkan nama sebuah istana di Italia ataupun London Savoy Hotel. Tatkala peresmian Savoy Homann, van Es menyatakan: “Let Savoy Homann the second no one in the Far East” – Biarlah Hotel Savoy Homann menjadi hotel kedua di Timur Jauh, tanpa ada yang lebih mengungguli. Pada era pendudukan Jepang, Savoy Homann sempat menjadi asrama bagi para opsir Jepang. Pada tahun 1945, hotel ini diserahkan kepada Belanda dan difungsikan sebagai gedung Palang Merah Internasional. Semasa Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955, hotel ini menampung sejumlah tamu penting seperti Perdana Menteri Nehru dari India yang bermalam di kamar 144, dan Perdana Menteri Birma U Nu di kamar 344. Selain itu, Savoy Homann memiliki History Wall, yakni dinding yang memajang foto-foto KAA 1955 dan peringatan 50 tahun KAA pada 2005 lalu. Pada masa remajanya Mang Ucup, hampir setiap weekend nongkrong di Hotel Savoy Homann untuk berdansa-ria di sana, sebab setiap weekend selalu ada live band yang memainkan lagu-lagu favorit kesenangan Mang Ucup. Setelah bernaung di bawah grup Bidakara pada bulan Januari 2000, nama Hotel Savoy Homann diubah menjadi “Savoy Homann Bidakara Hotel”. Sebagai catatan penting, cerita di atas ini dituliskan berdasarkan catatan sejarah langsung dari keluarga A. Homann. Jadi, mengenai kisah burung beo dan sebagainya itu bukanlah sekadar khayalan ataupun hasil rekayasa dari Mang Ucup.
28
Mooi Bandoeng
Mang Ucup
29
Sejarah Panjang Grand Hotel Preanger
S
ejarah perhotelan sebenarnya sudah dimulai semenjak Mariam (Maria) dan Yusuf membutuhkan penginapan sewaktu Mariam akan melahirkan Nabi Isa (Yesus). Hal ini sejalan dengan peradaban manusia yang selalu memerlukan tempat untuk berlindung sementara terhadap cuaca panas dan dingin dalam melakukan kegiatan perjalanan. Pada masa kerajaan Romawi, rumah penginapan disebut “Mansiones”. Selain itu, gereja-gereja yang ada juga memberikan pelayanan berupa penyediaan fasilitas beristirahat kepada para pelancong yang memerlukannya. Asal-muasal sejarah hotel berbintang lima yang berada di kawasan Jalan Asia Afrika Bandung dimulai sejak tahun 1884, saat Bandung masih bernama Priangan. Ketika itu para pemilik perkebunan di Priangan (Priangan Planters) mulai berhasil dalam usaha pertanian dan perkebunannya. Kaum berduit ini kemudian sering datang berlibur ke Kota Priangan. Jalan Asia Afrika yang saat itu dikenal sebagai kawasan Groote Postweg merupakan pusat kota yang menjadi tujuan utama Priangan Planters menghabiskan duitnya. Di Groote Postweg tersebut terdapat sebuah toko yang menyediakan barang kebutuhan sehari-hari mereka. Sayangnya toko tersebut kemudian mengalami kebangkrutan. Melihat semakin banyaknya pelancong dari sekitar Priangan yang datang, oleh W.H.C. Van Deeterkom lalu mengubah toko tersebut menjadi sebuah hotel. Peristiwa di tahun 1897 inilah yang menjadi cikal bakal Grand Hotel Preanger. Kata Preanger sendiri diserap dari kata Priangan.
30
Mooi Bandoeng
Hotel Preanger tempo dulu.
Pada awalnya, hotel ini didirikan sebagai Hotel Thieme dengan arsitektur gaya kolonial pada akhir tahun 1800-an, yaitu gaya klasik (met zuilen en een timpaan) dan dicat putih. Lalu hotel ini dinamakan Preanger karena berada di pegunungan dan perkebunan yang indah. Hotel Preanger yang didirikan oleh Van Deeterkom ini selama lebih dari seperempat abad menjadi kebanggaan orang-orang Belanda di Kota Bandung. Pada tahun 1929, hotel berarsitektur gaya Indische Empire ini kemudian direnovasi. Menariknya salah satu arsitek yang menangani revonasi hotel ini adalah Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Renovasi ini sama sekali tidak mengubah total gaya arsitektur kuno dari hotel ini. Fasilitas yang ditawarkan hotel ini memang komplit untuk ukuran masa itu. Dalam advertensinya di Mooi Bandoeng edisi Juni 1935 disebutkan setiap kamar mempunyai kamar mandi sendiri dan dilengkapi pendingin listrik (AC masa itu), serta minuman anggur dalam botol besar (jika menghendaki).
Mang Ucup
31
Salah satu sudut Hotel Preanger tempo dulu.
Nama Hotel Preanger kemudian menjadi lebih terkenal, baik di dalam maupun luar negeri. Pengelolaan hotel pun terus berganti tangan. Mulai dari NV Sault, CV Haruman, PD Kertawisata hingga PT Aerowisata yang mulai mengelola tahun 1987. Sejak dikelola oleh PT Aerowisata hotel ini berganti nama menjadi Grand Hotel Preanger. Pada tahun 1998 pihak Aerowisata menambah daya tampung dengan membangun tower setinggi 10 lantai. Dengan adanya tower tersebut maka Grand Hotel Preanger memiliki 189 kamar. Terdiri dari 137 kamar superior, 46 kamar eksekutif, 5 kamar suite dan 1 kamar presidential suite. Bahkan, untuk kamar berjenis presidential suites, hotel di jantung Kota Bandung ini juga dibalut kaca antipeluru. Sementara properti di dalamnya juga mengikuti karakter kolonial Belanda yang unik. Bahkan untuk lebih menonjolkan sisi historisnya, dibuat juga Museum Preanger, yaitu sebuah ruangan untuk mengabadikan momen-momen penting yang memiliki nilai sejarah tinggi.
32
Mooi Bandoeng
Mang Ucup
33
Terowongan Rahasia Bawah Tanah
Gedung Merdeka
P
ada saat akan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA), Pemerintah India merasa tidak yakin Indonesia memiliki gedung maupun hotel yang memadai. Namun begitu, Perdana Menteri Nehru dari India mengusulkan apabila Indonesia belum memiliki gedung yang memadai, maka konferensi dapat saja diselenggarakan di bawah tenda tidak jadi masalah. Kenyataannya, Indonesia mampu karena sudah memiliki gedung memadai, yang hingga saat ini menjadi kebanggaan setiap warga Bandung, yaitu Gedung Merdeka.
Pada awalnya Gedung Merdeka itu bernama Gedung Sociteit Concordia yang terletak di Jalan Asia Afrika Nomor 65 (Grote Postweg) Bandung yang dibangun untuk pertama kalinya pada tahun 1895. Pada waktu itu hanya berupa bangunan sederhana yang digunakan sebagai semacam warung kopi. Selanjutnya, secara berturut-turut, yakni pada tahun 1920 dan 1928 gedung tersebut diperbaharui sehingga menjadi gedung dalam bentuk yang sekarang. Pada tahun 1921, bangunan yang diberi nama sama dengan nama sociateit (perkumpulan) tersebut, yaitu Concordia, dirombak menjadi gedung pertemuan “super club” yang paling lux, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker dengan gaya Art Deco. Dan tahun 1940, dilakukan pembenahan pada gedung tersebut agar lebih menarik, yaitu dengan cara merenovasi bagian sayap kiri bangunan oleh perancang A.F. Aalbers dengan gaya arsitektur International Style. Fungsi gedung ini adalah sebagai tempat rekreasi dan sosialisasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di Kota Bandung dan sekitarnya.
34
Mooi Bandoeng
Gedung Concordia adalah gedung megah, terlihat dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap. Ruangan-ruangan tempat minum-minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout, sedangkan untuk penerangannya dipakai lampu-lampu hias kristal yang tergantung gemerlapan. Luas seluruh tanahnya 7.500 meter persegi. Pada masa pendudukan tentara Jepang, Gedung Concordia, seperti halnya gedung-gedung penting dan gedung lainnya milik pemerintah, dikuasai oleh tentara pendudukan Jepang. Pada waktu itu, Gedung Concordia diberi nama dalam Bahasa Jepang, yakni Dai Toa Kaman dan fungsinya sebagai pusat kebudayaan. Sesungguhnya hanya sebagai tempat kegiatan yang bertalian dengan kesenian dan hiburan.
Mang Ucup
35
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gedung Concordia dijadikan markas para pemuda Indonesia di Kota Bandung guna menghadapi tentara Jepang yang pada waktu itu tidak bersedia untuk menyerahkan kekuasaannya. Menjelang Konferensi Asia Afrika (18-24 April 1955), Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun diganti namanya oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Nama Gedung Concordia diubah menjadi Gedung Merdeka, dan Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna. Patut dicatat bahwa sejumlah delegasi turut merasa kagum dan bangga atas keberadaan Gedung Merdeka dan Gedung Dwi Warna itu. Bahkan beberapa delegasi menyatakan keheranannya. Hal itu dapat dimaklumi karena hampir semua delegasi itu tidak pernah mengunjungi Indonesia sebelumnya. Saat ini, Gedung Merdeka tetap berdiri tegak menjunjung nilai-nilai sejarah yang akan selalu dikenang. Terlebih karena kharisma dan kehebatan diplomasi sang pemimpin negara saat itu, Ir. Soekarno, yang disegani oleh para pemimpin dunia. Sekadar info tambahan, banyak orang tidak mengetahui bahwa antara Gedung Merdeka dan toko buku De Vries (NISP) di seberangnya terdapat terowongan tersembunyi di bawah tanah. Pada masa kolonial, terowongan itu dipakai sebagai rute penghubung antar gedung. Namun, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, terowongan tersebut pernah dijadikan tempat tahanan mahasiswa dan tahanan politik. Saat ini, kondisi terowongan dari pintu yang berada di lantai dasar De Vries sudah ditutup. Bahkan, letak pintu terowongan sudah raib dimakan usia dan tertutup tembok baru.
36
Mooi Bandoeng
Mang Ucup
37
The Bandoeng Walk!
P
ada hari Senin, 18 April 1955, Mang Ucup sudah bangun pagi sekali, karena ingin turut menyaksikan Konferensi Asia Afrika yang juga lebih dikenal dengan nama Konferensi Bandung. Mang Ucup yakin pasti akan jauh lebih meriah daripada perayaan 17 Agustus di Tegalega yang selalu Mang Ucup hadiri. Tenyata walaupun sudah tiba sebelum jam 07:00 pagi, jalan sudah dipadati penonton. Tetapi karena sudah melalui “training” dan terbiasa jadi calo karcis bioskop bertahun-tahun, akhirnya Mang Ucup bisa menerobos untuk jongkok di barisan paling depan. Suasana di kedua tepi jalan di sepanjang Jalan Asia Afrika (Jalan Raya Timur), mulai dari depan Hotel Preanger sampai dengan Kantor Pos, sudah penuh sesak oleh rakyat yang ingin menyambut dan menyaksikan para tamu dari berbagai negara. Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing negaranya yang beraneka corak dan warna, termasuk Bung Karno dan Bung Hata sendiri. Oleh sebab itulah perjalanan awal menuju Gedung Merdeka tempat pembukaan Konferensi Bandung ini lebih dikenal sebagai The Bandung Walk atau biasa disebut juga jalan kaki bersejarah atau “Historical Walk”.
38
Mooi Bandoeng
Bung Karno berjalan menuju Konferensi Asia Afrika.
Pada saat itu Mang Ucup belum mengerti politik, karena lebih tertarik dengan main layang-layangan. Walaupun demikian, ada beberapa tokoh yang telah Mang Ucup kenali dari media yang turut berjalan kaki pada saat itu selain Bung Karno dan Bung Hata, yaitu Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), dan Indonesia (Ali Sastroamidjojo). Sudah tentu juga Zhou Enlai (Perdana Menteri Tiongkok) yang saya tunggu-tunggu, karena tidak bisa dipungkiri sebagai anak keturunan Tionghoa, saya merasa bangga atas kehadiran Zhou Enlai. Selain itu juga telah bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri “Jalan Kaki Bersejarah – The Bandoeng Walk!” Sebetulnya, pada Sabtu, 16 April 1955 para wartawan telah menantikan Zhou Enlai, Perdana Menteri Tiongkok. Kesaksian wartawan Indonesian Observer, Charlotte Clayton Maramis menyebutkan, bahwa ia menjadi sosok penting karena nyawanya diincar oleh saudara sebangsanya sendiri. Tersebar berita bahwa pesawat yang ditumpangi Perdana Menteri Tiongkok itu mengalami kecelakaan. Namun kemudian ada kabar bahwa Zhou Enlai tidak ada dalam pesawat itu karena dipindahkan ke pesawat lain. Hingga sore hari orang yang ditunggu tidak datang.
Mang Ucup
39
Zhou Enlai saat menghadiri KAA.
Riuh penonton saat menyaksikan Historical Walk.
Tamu dari berbagai negara, termasuk Timur Tengah menghadiri KAA.
Zhou Enlai yang ditunggu-tunggu itu baru datang keesokan harinya, Minggu, 17 April 1955. Zhou Enlai datang bersama 28 anggota delegasi RRC. Seorang pelajar pria dari SMP 2 (Ching Hua) Cihampelas Bandung mengalungkan karangan bunga ke lehernya dan langsung disambut jabat tangan Perdana Menteri Zhou Enlai. Nama pelajar itu Leung Sze Mau (kemudian berganti nama menjadi Jackson Leung). Dia sangat beruntung mendapat sentuhan tangan dari kedua tokoh besar yang memberi semangat dalam jiwanya. Begitu bangganya dia karena mendapat kesempatan berjabat tangan dengan Zhoe Enlai dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, sampai-sampai ia tidak mau mandi, karena takut kehilangan bekas tangan mereka.
40
Mooi Bandoeng
Saat ini, Jackson telah sukses mengembangkan usahanya. Dia tinggal dan menjadi warga negara Hong Kong. Dia menikah dengan warga Hong Kong, dan telah memiliki dua putra dan empat cucu. Ia merasa bangga sebagai warga kelahiran Bandung, maka dari itu juga sampai saat ini ia masih fasih berbahasa Sunda. Jackson memiliki nama warga seperti Mang Ucup, bahkan dilahirkan pada tanggal yang sama, hanya beda dua tahun lebih tua. Jackson lahir pada tanggal 19 Juli 1940.
Leung Sza Mau atau Jackson Leung.
Mang Ucup sebagai warga kelahiran Bandung tentu merasa bangga atas terselenggaranya Konferensi Asia Afrika di Bandung sehingga mendapatkan nama Konferensi Bandung. Betapa tidak? Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan Internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau Non-Aligned atau yang dikenal sebagai Non-Blok terhadap Dunia Pertama, Washington, dan Dunia Kedua, Moscow. Jiwa Bandung juga telah mengubah struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat ataupun Timur. Konferensi Bandung dihadiri oleh 29 negara atau lebih dari 50 persen penduduk dunia pada saat itu. Pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (KTT Asia Afrika) oleh Presiden RI Ir. Soekarno telah berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi seluruh hadirin, di mana pada akhir pidatonya beliau mengucapkan “I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born!” (Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”).
Mang Ucup
41
Yuuu..uk Kita Nonton Bioskop
S
iapa yang tidak kenal bioskop? Mang Ucup yakin, banyak pembaca yang mempunyai pengalaman maupun sweet memory mengenai bioskop. Bahkan, saat pacaran pun lokasi bioskop memiliki peranan penting. Maklum, di bioskop kita bisa duduk berduaan di tempat remang-remang dengan nyaman. Bagi Mang Ucup, Gambar Toong merupakan tempat pertama kali berkenalan dengan apa yang mirip disebut bioskop. Gambar Toong yang populer pada era tahun 1930-1980-an adalah gambar yang di-toong. Kata to’ong berasal dari kata no’ong yang berarti “melihat melalui lubang”. Setelah ada anak yang no’ong, mulailah gambar Anak-anak menikmati bioskop ala gambar toong. pertama ditarik dari ruang atas ke ruang bawah, lalu si emang-emang itu memainkan organ butut untuk beberapa saat. Sebenarnya, bukan memainkan, tapi hanya menarik dan mendorong saja sehingga bunyinya cuma: nguk-ngék ... nguk-ngék, … nguk-nguk-ngék. Gambar Toong juga dikenal dengan nama Tunil atau Bioskop Betot. Gambar-gambar yang diperlihatkan hanyalah sekadar gambar biasa yang tidak hidup.
42
Mooi Bandoeng
Bioskop Elita tempo dulu.
Indonesia mengenal bioskop sejak tahun 1895, mendahului Italia yang baru mengenalnya di tahun 1905. Dahulu film bioskop lebih dikenal dengan nama Gambar Hidoep. Oranje Electro Bioscope dan De Crown adalah bioskop yang pertama kali ada di Bandung, tepatnya di alun-alun, pada tahun 1902. Saat itu belum ada gedung permanen buat dua bioskop tersebut, dan masih menggunakan tenda semi permanen dengan alas lantai berupa tikar. Film yang diputar pun masih film bisu dengan iringan orgel yang dimainkan secara live. Kemudian di tahun 1908, dengan dibangunnya gedung bioskop Elita, merupakan gedung bioskop permanen yang pertama ada di Bandung. Di atas gedung bioskop Elita dahulu ada patung burung Garuda, tetapi setelah itu hilang dan namanya diganti jadi Puspita Kemudian, di Kebonjati ada bioskop Luxor. Awalnya berdiri sebagai Preanger Theatre, kemudian berturut-turut berubah menjadi Orion, Luxor, dan Nirmala hingga bubar pada tahun 1980-an. Luxor terkenal di Bandung karena merupakan bioskop pertama yang memutar film bicara “Rainbow Man”, pada 15 Februari 1930. Film 3D yang pertama kali saya lihat juga di Luxor pada tahun 1954, di mana setiap penonton diberi kacamata merah dan biru.
Mang Ucup
43
Bioskop Majestic tempo dulu.
Bioskop Capitol tempo dulu.
Di samping Gedung Merdeka terdapat Gedung New Majestic yang dulunya merupakan bioskop Concordia di tahun 1925 awal. Gedung ini dinamakan Concordia karena berada di sebelah Gedung Societet Concordia (sekarang Gedung Merdeka). Ketika zaman kolonial, bioskop ini merupakan bioskop elite dengan aturan “Verbodden voor Honder en Inlander” yang artinya “dilarang masuk bagi anjing dan pribumi”. Jadi bioskop ini khusus hanya bagi Toean & Mevrouw Belanda saja. Bioskop ini sering juga disebut dengan Metro House karena banyak memutar film-film keluaran MGM (Metro Goldwyn Meyer). Di situ pula ditayangkan film mengenai penobatan Ratu Elisabeth II yang telah menjadi box office sehingga penontonnya berjibun. Pada saat itu pulalah Mang Ucup memulai karier bisnisnya dengan menjadi calo bioskop, padahal saat itu usia Mang Ucup baru 10 tahun. Kemudian namanya diubah menjadi bioskop Dewi. Masing-masing bioskop memiliki ciri khas, misalnya di Capitol (Oranye) yang terletak di Tjikakak Groote Postweg (Jalan Jenderal Sudirman) sering diputar film-film Tiongkok, sedangkan di Siliwangi film-film India, dan di bioskop Regol film-film Indonesia. Film-film animasi yang saat itu sangat digemari adalah: Bambi, Peter Pan, Cinderella maupun Snow White. Film action yang disukai seperti: Robin Hood, Ivanhoe, Tarzan, Crimson Pirate dan lain-lain; film love story antara lain: April Love, Roman Holiday; film music: Love Me Tender, April in Paris; dan film komedi yang laris-manis: Jerry Lewis, Bob Hope, Danny Kaye, Abott & Costelo. Selain itu, ada juga film-film kolosal seperti Quo Vadis, Ben Hur, Samson & Delilah; film koboi: Gunfight at the O.K. Corral, The Gunfighter, The Fastest Gun Alive; serta film
44
Mooi Bandoeng
Bioskop Preanger tempo dulu.
Bioskop Oriental tempo dulu.
religi: The Miracle of Our Lady of Fatima yang banyak ditonton saat itu. Mang ucup sengaja mencantumkan nama-nama film tersebut kiranya dapat membangkitkan kembali memori pembaca mengenai film-film tempo doeloe. Pada saat Mang Ucup masih kecil, ada tiga pengelola utama perbioskopan di Bandung, yaitu F.A. Busse, J.F.W. de Kort, dan Thio Tjoan Tek. Yang paling menonjol dari ketiganya adalah F.A. Busse yang memiliki perusahaan jaringan dengan nama Elita Concern. Di bawah pengelolaannya adalah bioskop-bioskop Elita, Varia, Oriental (Alun-alun), Luxor/Luxorpark & Roxy (Kebonjati), Majestic, Rex, Oranje/ Oranjepark (Cikakak), Kosambi/Rivoli, Liberty (Cicadas), dan Rio (Cimahi). J.F.W. de Kort mengelola bioskop-bioskop Radio City, Regol, Bison (Sukajadi), Taman Senang (Pagarsih), Warga (Cihaurgeulis), dan Taman Hiburan Rivoli, Liberty (Cicadas), dan Rio (Cimahi). Sedangkan Thio Tjoan Tek mengelola bioskop Siliwangi (Astana Anyar). Bioskop di luar nama-nama di atas adalah Radio City (Dian) di Alunalun Selatan, Hawaii (Cibadak), Taman Sahati (Tegalega), Djamika, Taman Riang (Belakang Pasar) dan Braga Sky.
Mang Ucup
45
Budaya Nonton Film di Tahun 1955
Y
uuk ... kita bernotstalgia kembali dengan Mang Ucup, sambil mengingat kembali masa-masa indah ketika masa kanak-kanak maupun masa remaja kita. Mang Ucup yakin, hampir setiap orang memiliki kenangan manis tentang menonton bioskop. Maka dari itulah, saya ingin mengawali dongeng “Bandung Tempo Doloe” ini dengan kisah bioskop dahulu.
Bagi mereka yang memberlakukan budaya Hollands Spreken di rumahnya, hanya berlaku dua jenis bahasa ialah Moedertaal (bahasa Ibu - Bahasa Belanda) atau Baboe-taal (bahasa bedinde/ babu - Bahasa Sunda/Indonesia). Dari sejak kecil hingga remaja, Mang Ucup hanya menguasai Baboe-taal. Maklum, kami yang tinggal di daerah bawah beda dengan anak-anak para priyayi yang tinggal di daerah atas, seperti di Nyland, Dago dan sebagainya. Walaupun hanya menguasai Baboe-Taal, Mang Ucup rajin sekali bolak-balik sambil memelototi koran berbahasa Belanda, ‘AID’. Kantor koran itu dahulu terletak di Jalan Braga. Koran Algemeen Indisch Dagblad De Preangerbode yang lebih dikenal dengan nama AID adalah harian umum tertua di Bandung. Diterbitkan oleh NV. Mij. Vorkink pada tanggal 6 Juli 1896 dengan redaktur
46
Mooi Bandoeng
J.H.L.E. Meeverden. Koran ini ditutup pada tahun 1957 karena semua yang berbau Belanda dilarang keras beredar di tengah masyarakat.
Kok aneh teu ngarti basa Walanda sok jago baca koran Belanda segala macam? (Aneh, tidak mengerti bahasa Belanda, tapi suka baca koran berbahasa Belanda?) Masalahnya, pada saat itu koran AID inilah satu-satunya koran yang memuat advertensi bioskop-bioskop besar di Bandung. Oleh sebab itulah kata-kata Bahasa Belanda yang pertama kali Mang Ucup kenal adalah jadwal bioskop, misalnya Koran Belanda yang menginformasikan jadwal film. heden yang berarti hari ini, morgen = besok, spoedig berarti secepatnya. Selain itu, di koran AID selalu ada seri komik kecil dari “Tom Poes & Heer Bomel”. Pada saat itu bioskop adalah hiburan satu-satunya, maklum belum ada TV ataupun tempat-tempat hiburan lainnya. Bioskop dahulu dibagi dalam empat kelas: balkon, loge, stales, dan kelas kambing. Apabila gedung bioskop tersebut memiliki balkon atau ruangan di tingkat atas, maka dipastikan ada kelas balkon. Sedangkan kelas lainnya adalah loge = kelas 1, stales = kelas 2, dan kelas kambing = kelas 3. Bioskop pada masa kolonial sangat diskriminatif. Sampai awal Abad XX hanya warga Eropa dan Indo Eropa yang boleh menonton di loge dan balkon, untuk stales; kelas dua golongan Tionghoa dan India, sedangkan untuk kelas tiga kaum pribumi. Harga karcis bioskop untuk Kelas Balkon Rp 5,untuk kelas 1 Rp 4,25,- Kelas 2 Rp 2,70,- Kelas 3 Rp 1,10,-
Mang Ucup
47
Bagi anak-anak yang tidak berduit seperti Mang Ucup, di kelas mana pun duduk sami mawon, yang penting bisa nonton. Maklum, Mang Ucup termasuk anak yang kecanduan nonton film, bahkan terkadang dalam sehari bisa nonton di tiga bioskop. Kalau nonton di bioskop yang tidak ada tempat duduknya seperti bioskop park (misbar), kami selalu membawa koran untuk dijadikan alas tempat duduk. Dulu orang nonton bioskop lebih santai dibanding sekarang. Pakai sandal jepit bahkan tanpa alas kaki pun oke. Ada juga yang memakai piyama. Mereka mungkin tidak tahu bahwa piyama adalah pakaian tidur.
48
Mooi Bandoeng
Budaya dan kebiasaan aneh yang sampai saat ini tidak dimengerti Mang Ucup adalah kenapa penonton selalu bertepuk tangan sambil bersuit-suit apabila bioskop dimulai. Mungkinkah perilaku tersebut sebagai luapan kegembiraan? Di samping itu mereka juga berteriakteriak atau tepuk tangan saat boga-lalakon sedang gelut atau terancam bahaya. Seiring hal itu sering terdengar teriakan dan hiruk-pikuk orang berjualan makanan di dalam bioskop, “Kacang Garing, pala manis, telor asin!”. Para penonton juga diberi kesempatan untuk ke WC sejenak dengan adanya pause. Apabila diputar film yang sama di dua tempat bioskop yang berlainan, pasti bioskop lainnya dimulai 30 menit kemudian, maklum filmnya harus diantar pakai sepeda terlebih dahulu, ke bioskop giliran berikutnya. Kejadian lain yang membuat penonton sewot, apabila filmnya mendadak putus pada saat lagi seru-serunya. Untuk film seperti Jungle Jim, The Rocket Man dan lain-lainnya, sering dibagi dalam dua seri, dan seri kedua diputar sebagai sambungan di minggu berikutnya. Problema lainnya yang sering dihadapi ialah bagaimana caranya agar bisa masuk menonton film untuk usia 17 tahun ke atas. Maklum, saat itu Mang Ucup masih kanakkanak. Untuk mengatasi masalah tersebut, 1.001 macam cara dan strategi dilakukan, yang penting bisa masuk untuk menonton. Mulai dari main mata dan memberi tips penjaga pintu masuk, dengan uang atau pun rokok, sampai harus menonton di ruang pemutaran film.
Mang Ucup
49
James Dean van Bandoeng
T
ak bisa dipungkiri, bioskop mampu membawa pengaruh cukup besar bagi perilaku seseorang, apalagi bagi anak ingusan seperti Mang Ucup yang belum memiliki kepribadian maupun jati diri.
Terpukau oleh Errol Flynn dalam film Robin Hood, begitu juga ketika menonton film Crimson Pirate yang diperankan oleh Burt Lancaster memancing keinginan Mang Ucup untuk menjadi bajak laut. Akibatnya, pagar tetangga di kampung menjadi sasaran dijadikan pedang ataupun panah. Ada lagi keinginan lain saat remaja, ingin ganteng seperti Tonny Curtis yang main dalam film Houdini, Trapeze, terutama memiliki rambut jambul seperti dia. Oleh sebab itu, tidak segan-segan setiap weekend rambut Mang Ucup dicatok. Hal inilah yang mengakibatkan Mang Ucup sekarang ini jadi botak, karena keseringan dicatok rambutnya. Agar bisa lebih mirip dengan sang idola, dibutuhkan pomade rambut yang memadai. Pada masa itu belum ada pomade rambut Tancho. Walaupun demikian, Mang Ucup sudah menggunakan pomade Lavender, merk Yardley yang hijau warnanya. Pomade ini jauh lebih kental daripada pomade Brylcreem yang putih. Ternyata di saat tuanya Tonny Curtis juga jadi botak lenang, apakah dia juga sering dicatok seperti Mang Ucup, entahlah.
50
Mooi Bandoeng
Mang Ucup dengan rambut berjambul yang menjadi andalan.
Setelah nonton film Rebel Without a Cause (1955) yang diperankan oleh James Dean, langsung esoknya Mang Ucup beli kain merah dan pergi ke tukang jahit langganan di Jalan Entje Azis, pesan jaket merah yang serupa milik James Dean. Bahkan sebelum berangkat ke Jerman di tahun 1960, Mang Ucup juga telah minta dibuatkan jaket khusus dari kulit ular dari toko Leather Palace di Jalan Braga, agar bisa mirip seperti Marlon Brando dalam film The Fugitive Kind. Film James Dean juga telah mempopulerkan celana blue jean yang pada masa itu lebih dikenal dengan nama celana jengki.
Mang Ucup
51
Jengki yang afdol adalah jengki yang sempit, semakin merecet semakin baik. Namun oleh polisi, celana ketat tersebut dianggap tidak sopan, bahkan dikategorikan sebagai pemuda kaum brandal (Crossboys). Maka dari itu tidaklah heran apabila sering diadakan razia. Untuk menentukan seberapa ketatnya celana seseorang, polisi tidak perlu pusing-pusing. Cukup pakai botol bir. Jika di ujung celana di pergelangan kaki itu botol bir tidak bisa lagi dimasukkan, ini artinya celana itu terlalu ketat. Sebagai hukuman, celana itu harus digunting sampai paha. Gampang, kan? Selain baju Hawai dengan motif bunga-bunga, Mang Ucup juga pernah memiliki kemeja dengan corak koran. Setelah nonton film Bernadine yang diperankan oleh Pat Boone, Mang Ucup juga berusaha untuk memiliki sepatu karet seperti Pat Boone yang khusus dipesan dari Singapura, mirip sepatu karet zaman sekarang. Karena dalam film Roman Holiday Audrey Hepburn berkendara Vespa, hal ini berdampak langsung pada melejitnya penjualan skuter Vespa di Bandung. Dampaknya, begitu
52
Mooi Bandoeng
banyaknya anak-anak remaja dari golongan kaya-raya (the have) ingin memilikinya. Mang Ucup juga dahulu pernah memiliki skuter Vespa. Selain itu, Audrey Hepburn juga mempengaruhi model rambut remaja perempuan tempo doeloe, terutama setelah nonton film Sabrina, sehingga di Bandung ada salon wanita dengan nama Sabrina di Jalan Sinta 3. Salon rambut lainnya adalah Salon Eleonore di Jalan Riau 70. Setelah diputarnya film Elvis Rock Around the Clock, banyak gadis remaja Bandung mulai memakai under rok petticoat yang mirip kurungan ayam atau terkadang disebut juga sebagai Can Can, seperti penari di Moulin Rouge, Paris. Beberapa gadis teman sekolah SMP Bahureksa, tempat Mang Ucup sekolah dulu kala, banyak yang pakai petticoat bukan hanya sekadar untuk ke pesta saja, tetapi juga ke sekolah. Sedangkan pakaian Baby Doll berasal dari mode pakaian dalam film Baby Doll di tahun 1956.
Mang Ucup
53
Cross Boys Remaja Berandal
B
erkisah tentang pemberontakan kaum remaja terhadap budaya dan lingkungannya, salah satu film yang membawa pengaruh besar terhadap perilaku remaja di tahun 1955 adalah film Rebel Without a Cause yang diperankan oleh James Dean.
Berpegang pada moto “Keberanian hanya bisa diukur melalui perkelahian ataupun kebut-kebutan balapan motor/mobil” serta dipengaruhi kisah laga film James Dean, menjadi pemicu tumbuhnya geng-geng remaja. Mereka terdiri dari para remaja yang pada malam hari sering nongkrong di persimpangan (crossroads) sambil bernyanyi-nyanyi bareng dan bermain gitar. Golongan remaja inilah yang dikenal dengan sebutan “Cross Boys” (remaja di persimpangan jalan), yang diidentitaskan sebagai pemberani dan jagoan berkelahi.
Genk cross boys yang cukup dikenal pada saat itu adalah “Tiger Mambo”. Kebanyakan anggotanya terdiri dari para remaja etnik Ambon “Indo-Belanda” yang biasa mangkal di sekitar Jalan Riau (Jalan L.L.R.E. Martadinata sekarang). Salah satu pentolannya adalah Bram maupun anggota keluarga Titawanu seperti Si Franz ataupun Ruddy (almarhum). Sedangkan Martin Tinawanu adalah mantan penyanyi dari Night Club “Aneka Plaza” (AP). Mereka semua sekarang sudah hijrah ke Belanda.
54
Mooi Bandoeng
Poster bergambar James Dean.
Genk Cross Boys lainnya adalah “The Mangga Boys”, suatu kelompok penggemar voli yang tinggal di Jalan Mangga, Bandung. Mereka menjadi juara putra dengan menggulingkan SDS II dengan skors 3-0. Fans (penggemar) The Manggo Boys men-support mereka dengan yel-yel “We Want to Manggo!”. Pada saat itu juga ada sekelompok anak muda di sekitar Jalan Buah Batu seperti Atang Suherman, Daace, Jhon Syahrir (almarhum), Tosin (almarhum), Rudi (almarhum), dan Ahyad (almarhum), yang membentuk klub binaraga yang diberi nama Buahbatu Barbell Club (BBC), dan menjadi cikal bakal terbentuknya geng Buahbatu Boys Club (BBC) yang melegenda hingga sekarang.
Mang Ucup
55
Masa keemasan BBC adalah ketika dipimpin oleh generasi ketiga, yakni Kang Daman (R. Daman Hendarman). Di era ketokohan Daman ini pula muncul nama-nama dedengkot BBC lainnya seperti Tusye, Ade Memous (almarhum), Tonton (almarhum), Kenken, Pipit (almarhum), Uce Patrom, Kamar, Didin Kuntung, dan banyak nama lainnya yang kemudian membuat nama BBC menjadi kian disegani. Ketika masa operasi PETRUS (Penembak Misterius) di masa Orde Baru, beberapa anggota BBC telah dibunuh, antara lain Tonton. Hal ini pula yang mengakibatkan Daman hengkang ke Belanda dan sekarang ia tinggal di Amsterdam. BBC kemudian berubah menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dengan nama Buah Batu Corps (BBC) yang eksis hingga saat ini. Genk cross boys lainnya ada di Jalan Dulatip maupun di Jalan Kelenteng. Pada awalnya, Si Gobang di Kelenteng adalah jagoannya, setelah itu diambil alih oleh si Empit & Kim Ceng (Emeh). Kegemparan “Cross Boys” yang paling menghebohkan terjadi pada tanggal 5 September 1955 di bioskop Rivoli yang pada saat itu sedang diputar film “A Song to Remember”. Seorang anggota Brimob yang berpakaian sipil merasa tidak senang dengan penampilan lima anak cross boys genk Jalan Progo. Brimob tersebut berkomentar, “Ah, ini koboi-koboi yang harus diberantas.” Hal inilah yang memicu keributan besar berkepanjangan, sehingga bukan hanya Brimob saja yang terlibat, tetapi para tukang becak juga turut merasa sewot terhadap ulahnya genk cross boys yang sering mengganggu mereka. (Sumber: Pikiran Rakjat – 10 September 1955). Insiden ini telah membuat resah para kepala sekolah maupun aparat kepolisian. Dari situlah timbul gagasan untuk menyalurkan kenakalan anak-anak cross boys dengan membentuk Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) yang dikelola Kepolisian Jawa Barat.
56
Mooi Bandoeng
Tokoh selebritis dari Cross Boys Bandung sekarang ini antara lain The Rollies (Kang Gito almarhum), Giant Step (Kang Benny Subardja) dan Superkid (Kang Deddy Stanzah). Para cross boys pada awalnya tidak melakukan tindakan kriminalitas, hanya sekedar hobi berkelahi dan adu keberanian saja, jadi tidak bisa disamakan dengan kaum preman. Hal itulah juga yang pernah diutarakan oleh seorang tokoh preman zaman sekarang, John Kei, dalam wawancaranya bahwa ia mengaku bukanlah seorang preman melainkan seorang cross boys (jago berkelahi). Kata preman itu sendiri diserap dari kata Vrijman. Ketika zaman kolonial, kata Vrijman itu bisa diartikan sebagai aparat keamanan yang bebas tanpa seragam. Atau orang yang tidak termasuk aparat pemerintah seperti Veldpolitie (Polisi Lapangan). Tugas Vrijman antara lain menjadi satpam dan tukang pukul para pemilik kebun. Istilah preman dengan konotasi kriminal baru muncul di akhir tahun 1970, yaitu dalam serial Ali Topan. Organisasi Preman yang dibentuk pada saat itu merekrut anggotanya dari mantan narapidana. Di Bandung, orang biasanya menyebut kaum preman sebagai “okem”, kependekan dari prokem (bahasa gaul). Okem adalah preman kelas bawah yang biasa malak tukang parkir dan para pedagang kaki lima. Tokoh okem yang terkenal di Bandung sekarang ini adalah Armen dan Rachmat Hidayat. Sebutan lainnya untuk kaum preman adalah GALI atau singkatan dari Gabungan Anak Liar. Seperti dalam lirik lagu “Anak Jalanan” – Chrisye, “Anak gedongan lambang metropolitan, menuntut hidup alam kedamaian. Anak gedongan korban kesibukan, hidup gelisah dalam keramaian”, cross boys selalu ada dan hidup sesuai dengan konteks zamannya.
Mang Ucup
57
Ucup was Born to Boogie!
“I
was dancin’ with my darlin’ to the Tennessee Waltz”, itulah alunan lagu Petty Page dari plat (piringan hitam) ukuran 78 dari gramophone yang jarumnya harus diganti tiap dua lagu. Kenangan manis, saat lagu diputar, Sang Guru dansa selalu memberi instruksi: “quick ..., quick ..., slow.”
Di Bandung, tahun 1955, sudah ada beberapa sekolah dansa, misalnya Sekolah Dansa Kraan di kawasan Braga, Sekolah Dansa Volta di Jalan Djamudju atau Sekolah Dansa Sonje di Jalan Puteri 18, tempat di mana Mang Ucup belajar dansa. Tertarik dansa ketika usia baru beranjak 13 tahun, saat masa puber datang terlalu cepat. Dimulai dengan lagu slow, diakhiri dengan lagu super quick-nya Jive dan Boogie Woogie, lagu Be–Bop-ALula yang dinyanyikan oleh Gene Vincent. Terlahir sebagai penggemar Jive, mungkin tidaklah berlebihan apabila saya menilai diri Mang Ucup sendiri: “I was put here to party and I was Born to Boogie.”
Mang Ucup sedang beraksi dalam dansa rock ‘n roll.
58
Mooi Bandoeng
Mang Ucup lebih senang belajar dansa Jive daripada belajar Aljabar, sebuah jawaban atas pertanyaan mengapa Mang Ucup tidak naik kelas, ketika kelas satu SMP di Bahureksa, Bandung. Sejak diputarnya film “Rock Around the Clock”, saya keranjingan dansa Rock ‘n Roll. Dari pagi sampai malam (around the clock) di depan kaca belajar nga-geol ala Elvis, gaya heba maupun kipas. Sampai usia 72 tahun pun saat ini, Mang Ucup masih saja tetap hobi nge-Rock seperti doeloe. Pada tahun 1961 Mang Ucup berhasil memenangkan kejuaraan Rock’n Roll di Jerman sebagai juara Eropa. Mungkin Mang Ucup termasuk remaja yang otaknya tidak beres atau dalam bahasa Londo-nya “geestelijk afglijding” (jiwa tergerus), sebuah istilah yang digunakan oleh Presiden Soekarno bagi kaum remaja yang suka berdansa-dansa dan juga lebih senang mendengar musik NgakNgek-Ngok atau musik yang jreng-jrengan.
Mang Ucup
59
Ada tiga ukuran piringan hitam atau plat dalam hitungan rpm (rotation per minute) yaitu 78,45 dan 33 1/3 yang lebih dikenal dengan nama Long Play (LP). Plat bisa dibeli di antaranya di Toko Mikho Record Store di Jalan Pasar Baru 110. Selain di Pasar Baru, warga juga bisa mendapatkannya di Toko Radio Cine di Jalan Braga 36, yang pemiliknya adalah Meneer De Court terbunuh pada 3 Januari 1956 dengan ditusuk-tusuk dengan pisau. Perlu diketahui bahwa harga plat terutama yang Long Play, cukup mahal dan hanya bisa dikoleksi oleh kaum the haves. LP yang digemari pada saat itu ialah LP Loving You dari Elvis atau Star Dust dari Pat Boone. Begitu juga dengan lagu-lagu dari The Everly Brothers. Sejak remaja Pat Boone sudah relijius sehingga lagunya “A Closer Walk with Thee” menjadi top-hit di tahun 1957. Ia juga mengakhiri kariernya sebagai pendeta, sesuai dengan motto “Lengser ke Prabon Mandeg Pandito”. Acara hiburan dansa, saat itu selalu diselenggarakan di Hotel Preanger, Hotel Homann, Restoran Merdeka maupun Grand Hotel Lembang dengan penyanyinya Ronny Presley atau kloningan Elvis Bandung. Walaupun demikian, banyak sekali acara dansa pada pesta ulang tahun rumahan, diadakan tanpa hiburan band dan cukup menggunakan plat saja. Salah satu band yang cukup menonjol dan sering dipakai dalam acara pesta ulang tahun ialah band The Young Brothers, dengan singernya yang ganteng, Bobby (almarhum) maupun James (almarhum). Band favorit lainnya masa itu, Rock Band “The Hot Jumpers” yang didirikan di Bandung pada tahun 1956, juga sering tampil di Restauran Merdeka sebelum akhirnya hijrah ke Den Haag Belanda tahun 1958. Band ini merupakan cikal bakalnya Indo-Rock di Belanda. Bahkan pada tahun 1964 mereka pernah main bersama dengan Beatles dalam satu konser. Band ini didirikan oleh tiga bersaudara Dolf, Arie dan Anton van Caspel.
60
Mooi Bandoeng
Tak bisa dipungkiri bahwa hobi dansa tergolong mahal, karena mau tidak mau harus berpenampilan ala Dandy misalnya dibungkus dengan kemeja Arrow yang dibeli dari toko Eelegance di Jalan Braga. Belum lagi biaya minum dan entrit ke hotel yang harganya Rp.250,Acara dansa tersebut biasanya digabung dengan acara mode show. Tetapi mereka tidak bisa merayakan hingga pagi, sebab pada saat itu ada peraturan jam malam, pukul satu dini hari harus sudah bubar. Bagi Mang Ucup yang sedang beger-beger-nya, dansa itu sangat menyenangkan, apalagi kalau bisa Check-to-Cheek dengan alunan lagu “Only You” dari The Platters, bagai melayang di langit ketujuh bersama tujuh bidadari! Pesta dansa yang paling digandrungi Mang Ucup adalah acara pesta dansa yang diselenggarakan perkumpulan siswa St. Aloysius, sekolah bruderan yang tidak menerima siswi perempuan. Perkumpulan siswa ini pada awalnya diberi nama “Tot Ons Plezier”, kemudian diubah menjadi “To Our Pleasure”. Karena Bahasa Belanda dianggap sebagai bahasa penjajah. Pesta tersebut adalah pesta gabungan dengan siswi sekolahan Suster School Santa Angela (SERVIAM) yang terkenal gareulis!
Mang Ucup
61
Sejarah Sekolah Tempo Doeloe
B
erdasarkan jajak pendapat di Eropa terhadap para manusia lanjut usia (lansia), ternyata lebih dari 80 persen menyatakan bahwa masa sekolah dan masa remaja mereka merupakan masa yang terindah di dalam kehidupan masing-masing. Oleh sebab itulah Mang Ucup ingin mengajak para pembaca, khususnya para lanjut usia, untuk turut merenungkannya kembali apakah yang masih anda ingat ketika masa sekolah dahulu? Apakah Anda tahu sejarah tempat bersekolah dahulu? Di sini, Mang Ucup berusaha menulis sejarah dari SMAK (Lyceum – Dago), St. Angela, maupun St. Aloysius.
Cikal bakal Bandung sebagai kota pendidikan timbul atas gagasan dari Prof. Dr. E. C Godee Molsbergen (Kepala Arsip Negara) di Batavia, pada tanggal 24 April 1820 saat mengadakan inspeksi ke Kota Bandoeng. Tujuannya adalah ingin mendirikan sekolah. Pada saat itu sekolah dibagi dalam dua kelas yang terdiri dari Sekolah Dasar Kelas Satoe (De Scholen der Eerste Klasse), yaitu sekolah khusus untuk orang Belanda maupun para bangsawan pribumi yang terhormat. Satunya lagi adalah Sekolah Dasar Kelas Doea (De Scholen der Tweede Klasse). Sekolah ini didirikan hanya untuk anak-anak bumiputra dengan tujuan untuk mendidik calon-calon pegawai rendah. Mang Ucup sekolah SD di Eerste Zending School – Citepus; pada tahun 1959 sekolah ini dihibahkan ke Badan Pendidikan Kristen Penabur (BPK Penabur) beserta sekolah Zending lainnya di Jalan Kebon Jati. Ketika saya sekolah; bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia.
62
Mooi Bandoeng
SMPK Bahureksa Pada awalnya, SMPK (Sekolah Menengah Pertama Kristen) Bahureksa adalah sekolah Belanda – Chr. Herstel MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Sekolah ini dibangun pada tahun 1926. Peletakan batu pertama sekolah ini dilakukan pada tanggal 14 Desember 1926 oleh Walikota Bandoeng saat itu ialah B. Coops. Nama Jalan Bahureksa sebelumnya adalah Gelriastraat. Sekolah ini ditutup pada zaman penjajahan Jepang dan baru dibuka kembali pada tahun 1950 di bawah Direktur A. A. Van Zwet yang mulai membuka pendaftaran pada tanggal 3 Juni 1950. Sedangkan Mang Ucup masuk SMPK Bahureksa pada tahun 1955 di bawah pimpinan Bapak Pangabean.
Mang Ucup
63
SMAK (Lyceum) – Jalan Dago Bangungan sekolah ini berasal dari sebuah vila dengan nama Vila Tan yang dibangun pada tahun 1927. Kemudian menjadi sekolah Christelijk Lyceum bernama Het Christelijk Lyceum (HCL). Asal nama Lyceum itu sendiri adalah nama dari sekolah di Athen yang didirikan oleh Aristoteles pada tahun 335 SM. Bangunan sekolah di Dago ini direnovasi oleh arsitek YS Devis pada tahun 1939. Gedung Lyceum diakuisisi Jepang 30 September 1942 dan dijadikan tempat penampungan bagi perempuan dan anak-anak yang sakit. Pada tahun 1958 saat nasionalisasi aset, SMAK Dago dikelola oleh Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat. Pada tahun 2012, gedung sekolah bersejarah ini telah dibumiratakan untuk dialihfungsikan menjadi hotel/mal.
64
Mooi Bandoeng
St. Angela – Jalan Merdeka Sejarah Sekolah St. Angela di Jalan Merdeka dimulai sejak tahun 1905 saat Moeder Agustine Philipsen dari Noordwijk ingin membuka SD di Indonesia. Lembaga pendidikan St. Angela resmi dibuka pada 2 Juli 1906 dan kini telah menjadi salah satu sekolah terkenal di Kota Bandung. Pada tanggal 1 Juli 1920, HBS (Hogere Burger School) dibuka dengan total murid 11 orang. Untuk sekolah ini didatangkan tiga guru dari Noordwijk yaitu Sr. Agnes Grene, Sr. Anastasia Mignolet dan Sr. Varonique Ahne. Gedung HBS yang baru kemudian diberkati dalam sebuah acara khusus dan dinamakan St. Angela dengan motto: Serviam (Bahasa Latin = Kami Melayani). Ketika itu St. Angela dan sekolah St. Aloysius lebih dikenal dengan julukan Sekolah Menak karena sebagian besar pelajarnya adalah anak para menak atau golongan the have. Ketika terjadi penjajahan Jepang, tepatnya tanggal 21 Maret 1942 semua sekolahan harus ditutup termasuk Sekolah Santa Angela, dan baru mulai dibuka lagi pada tanggal 26 Oktober 1945. Sampai saat ini sekolah Santa Angela bernaung di bawah Yayasan Widya Bhakti. Kalau tidak salah, seragam para murid St. Angela adalah rok warna cokelat dengan bolero warna kuning.
Mang Ucup
65
St. Aloysius – Jalan Sultan Agung Sekolah di Jalan Sultan Agung 4 dahulunya bernama Heetjansweg lebih dikenal sebagai sekolah TOP daripada Sekolah Santo Aloysius. TOP secara implisit berarti yang terbaik. TOP semula merupakan singkatan dari “Taruna Ogra Pravritti” (bahasa Sansekerta = Kaum Muda Harus Maju Terus). Dalam perkembangannya, TOP menjadi kependekan Tot Onze Plezier (bahasa Belanda = Demi Kesenangan Kita) yang akhirnya diubah ke dalam bahasa Inggris menjadi To Our Pleasure. Sekolah Santo Aloysius awalnya didirikan sebagai bagian dari SMP (MULO). Pendirinya merupakan biarawan-biarawan dari Ordo Sanctae Crucis (OSC - lebih dikenal dengan nama Ordo Salib Suci oleh masyarakat saat ini). Gedung sekolah ini dibangun pada tahun 1928-1930 berdasarkan hasil rancangan arsitek J. Sippel. Pemberkatannya dilakukan oleh pastor J.H. Goumans dengan dihadiri Pastor van Kalken SY pada tanggal 1 November 1931. Namun setelah bala tentara Jepang menduduki Kota Bandung pada Maret 1942, bangunan tersebut berubah fungsi menjadi Markas Kempei Tai, yakni polisi militer Jepang. Di tempat ini, kekejaman demi kekejaman berlangsung dengan berbagai cara penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan terhadap mereka yang dianggap membangkang. Apalagi
66
Mooi Bandoeng
mencoba melakukan pemberontakan. Setelah Republik Indonesia merdeka, hubungan Indonesia-Belanda menjadi buruk, membuat banyak biarawan OSC tidak berani untuk tinggal di Indonesia. Sekolah Santo Aloysius pun menjadi terbengkalai. Namun, pada tahun 1950-an, sekolah Santo Aloysius diserahkan kembali kepada Gereja Katolik. Sekolah ini sekarang berada di bawah naungan Yayasan Mardiwijana dan Satya Winaya.
Kondisi Pendidikan Non Formal Kekurangan dan kendala yang dihadapi dalam proses pengajaran di lembaga pendidikan formal pada saat itu diimbangi dengan penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan non formal. Kursus Bahasa Inggris yang pertama di Kota Bandung pasca perang kemerdekaan adalah Bandung English Conversation di Jalan Bungsu 58. Tempat lain yang menyelenggarakan Bahasa Inggris adalah Cramer’s English School di Jalan Radjiman 25. Lembaga kursus lainnya yang berkembang saat itu ialah stenografi dan mengetik. Pendidikan ini antara lain ditawarkan B.H.S di Jalan Cikapundung Barat 1. Bandung Commercial School di Jalan Sunda Nomor 50 juga menawarkan kursus mengetik, selain Bahasa Inggris, serta Tata Buku. Lembaga kursus dagang dan mengetik lainnya adalah Ultra, yang berlokasi di Jalan Doelatip. Sementara di sisi lain, sekolah atau kursus khusus untuk perempuan juga mulai menjamur. Misalnya Mode Vakschool Rio Rita di Jalan Kasim Bandung dipimpin Nyonya Tjia Yoe Ho.
Mang Ucup
67
The Giant Killer from Bandoeng
L
egenda kelas dunia yang dimiliki urang Bandoeng adalah Tan Joe Hok. Pertama kali Mang Ucup mengetahui tentang Tan Joe Hok ialah ketika ia pertama kali berhasil merebut Piala Thomas 1958, gelar pertama bagi Indonesia. Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara adalah pebulutangkis Indonesia pertama yang turut menyabet All England dan medali emas Asian Games. Karena keberhasilannya menundukkan jago-jago dunia, media dunia menjuluki Tan Joe Hok dengan sebutan “The Giant Killer” (Sang Pembunuh Raksasa). Ia dilahirkan pada tanggal 11 Agustus 1937 di dekat Pasar Babatan Bandung. Ia tinggal bersama orangtuanya di sana beberapa waktu sebelum pindah ke Jalan Gedong Sembilan Nomor 9. Keberhasilan Joe Hok di tahun 1958 itu telah membuat para remaja maupun anak-anak Bandung jadi ketularan dengan apa yang disebut “Badminton Fever” atau keranjingan bulu tangkis, termasuk Mang Ucup. Anak-anak yang belum memiliki raket sudah mulai latihan dengan panggebuk kasur (pemukul kasur). Bola kock pun mereka bikin sendiri dari bulu entok (sejenis angsa). Hal inilah yang menginspirasi Mang Koko nama lengkap H. Koko Koswara (1917– 1985) untuk menciptakan lagu dengan ciri khas humor heureuy Bandung yakni lagu “Badminton”.
68
Mooi Bandoeng
Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara..
Tan Joe Hok saat usai memenangkan pertandingan.
Mang Ucup
69
Riuhnya supporter PERSIB Bandung saat laga.
Skuad Maung Bandung atau Persib pertama kali didirikan sekitar tahun 1923, lebih dikenal dengan nama Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB). Pada tanggal 14 Maret 1933 BIVB berubah nama menjadi PERSIB – “Persatoean Sepakbola Indonesia Bandoeng”. Pada saat itu mereka memanfaatkan lapangan Tegalega sebagai tempat latihan. Maklum, Stadion Sparta (Stadion Siliwangi) baru diresmikan pada 30 Maret 1956. Sedangkan Stadion Persib sekarang ini; dahulunya lebih dikenal dengan nama lapangan Sidolig. Lapangan Tegalega dahulunya lebih dikenal dengan nama “Sportpark Tegalega Bandoeng” yang diresmikan pada tanggal 9 September 1933. Jagoan Persib pada saat itu adalah Aang Witarsa, karena kecepatan larinya sambil membawa bola. Oleh media Singapura, ia dijuluki “The Flying
70
Mooi Bandoeng
Horse”. Judul ini diberikan pada saat pertandingan Persib melawan SAFA (Singapore Amateur Football Association) tanggal 7 Desember 1955; di mana Persib berhasil mengalahkan SAFA 4-0. Pada Rabu, 29 Juni 1955 Persib juga telah mendapatkan kesempatan bertanding melawan Klub Salzburg dari Austria. Dalam pertandingan itu, Persib menderita kekalahan 3-0. Club AMIGO adalah klub basket pertama untuk anak-anak yang berasal bukan dari sekolah Tionghoa. Klub ini didirikan oleh Thouw Brothers (James, Donald – alm. Victor - alm dan Tommy). Kebanyakan anggotanya adalah murid dari sekolah St. Aloysius. Murid-murid dari sekolahan ini menamakan dirinya sebagai anggota TOP (Tot Ons Plezier – bahasa Belanda) yang kemudian hari diubah menjadi singkatan dari To Our Pleasure. Beberapa tokoh lainnya dari Club Amigo adalah Dr. Oekje Tong, Peter Thio (Direksi Bank NSIP), dan Ong Tjiang Tjoen (Restoran Tri Sari – Jalan Pasar Baru) maupun Charles Ie. Klub basket lainnya di mana Mang Ucup pernah bergabung adalah Omega yang didirikan oleh Tonny Kouw (almarhum) dan Bobby Loa (sumber: John Sutanto ,mantan anggota klub Amigo).
Bandoengse Zwem Bond atau Perserikatan Renang Bandung, didirikan pada tahun 1917. Sedangkan perkumpulan renang NEPTUNES yang kebanyakan beranggotakan orang-orang Belanda dan bertempat latihan di Cihampelas didirikan pada tahun 1930. Pada tanggal 14 Februari 1952, terbentuk Klub Renang Aquarius, di mana para juara polo air dilahirkan.
Mang Ucup
71
Pada pagi hari Sabtu, 2 Mei 1953 di Pemandian Centrum, seorang gadis berusia 14 tahun, Carla Oen berhasil memecahkan rekor Indonesia 100 meter gaya bebas di kolam renang dengan 5,7 detik lebih cepat dari Rekor Indonesia yang dipegang sebelumnya oleh Inge Rusenow. Pertandingan itu diselenggarakan oleh perkumpulan renang Tirta Merta di Bandung. Atas prestasinya, Indonesia mempercayakan Carla Oen untuk mewakili Indonesia bertanding di Asian Games di Manila saat itu.
Carla Oen.
Pada Juli 1955 di Pemandian Cihampelas diadakan semacam turnamen renang dan polo air yang dijadikan bahan untuk seleksi atlet yang berangkat menuju Olimpiade Melbourne. Dalam pertandingan polo air, Jawa Barat keluar sebagai juara pertama. Yang menarik ialah kiper tim polo air Jawa Barat adalah Pangdam Siliwangi, Kolonel Kawilarang (Pikiran Rakjat, 18 Juli 1955). Kawilarang juga pernah menjadi tim polo air Indonesia dalam pertandingan Internasional di Singapura November 1955.
Rekam jejak para pahlawan olahraga terkadang sulit ditelusuri. Seperti Munaip Saleh yang sekarang namanya diabadikan menjadi nama velodrom di Jalan Cisangkan, Padasuka, Cimahi Tengah. Dari referensi buku “Melihat Indonesia dari Sepeda”, Munaip Saleh merupakan salah
72
Mooi Bandoeng
seorang atlet sepeda asal Jawa Barat. Sebagai pembalap nasional, ia bersama atlet nasional lainnya pernah membawa nama Indonesia pada Olimpiade Roma 1960. Meski gagal menyumbangkan medali, namun saat itu Munaip Saleh cs tampil mengesankan dengan mendapatkan posisi sebagai peserta terbaik. Pada 1958, Munaip Saleh juga menorehkan prestasi mengagumkan sebagai juara balap sepeda jalan raya Tour de Java I, yang merupakan cikal bakal Tour de Indonesia. Ia juga merupakan salah seorang perintis berdirinya Persatuan Balap Sepeda (PBS) Sangkuriang di Bandung. Kolonel Kawilarang.
Lapangan Tegalega juga pernah menjadi tempat arena balap sepeda motor, tepatnya pada hari Senin, 17 Desember 1951. Jago balap motor ketika Mang Ucup remaja adalah Cecep Auw Yong dari Andir & Gumilar (sekarang di Belanda). Sedangkan ayah Mang Ucup sendiri termasuk sesepuh dari Ikatan Motor Priangan (IMP). Dahulu ayah Mang Ucup memiliki motor BSA Goldstar. Mang Ucup sendiri sering berusaha untuk jadi jagoan balap dengan cara latihan mengebut liar setiap Minggu dari Klenteng-Bandung ke Grand Hotel Lembang dengan menggunakan motor Jawa CZ 250. Sedangkan sahabat karib Mang Ucup, Stephen (Bian Hien) mengendarai Ducati sebelum akhirnya ia ganti dengan BMW R26. Stephen adalah anak sekolah pertama yang mengendarai BMW R26 ke sekolah.
Mang Ucup
73
Yuuu..uk Kita Berenang
K
ebanyakan dari kita pernah menikmati masa-masa maupun pengalaman yang menyenangkan ketika kita berenang dahulu. Bagi Mang Ucup sendiri, berenang merupakan satu hobi yang sangat menyenangkan ketika masih kecil. Apalagi Mang Ucup adalah penggemar berat dari Esther Williams, sang Ratu Balet air dari MGM yang memerankan film The Million Dollar Mermaid. Tanyalah, kapan terakhir kali anda berenang? Pada masa itu hampir tidak ada rumah pribadi yang memiliki kolam renang seperti sekarang ini. Di Bandung hanya ada tiga kolam renang, yaitu di Cihampelas, Centrum dan di Dago. Selain dari itu, di pinggir Kota Bandung ada di Grand Hotel–Lembang, juga di Cimahi tepatnya di belakang stasiun dan di Cimindi, yang kalau tidak salah ketika zaman Belanda dahulu namanya Rustoord.
74
Mooi Bandoeng
Apabila Mang Ucup ingin berenang, mau atau tidak, harus “ngesang heula” alias berkeringat dahulu, mengingat jarak yang harus ditempuh pakai sepeda dari Jalan Kelenteng (rumah Mang Ucup) hingga Cihampelas itu cukup jauh, belum lagi jalannya menanjak. Nama Jalan Cihampelas itu sendiri diserap dari dua kata, Ci = air, dan Hampelas, yakni sejenis pohon yang daunnya kasar mirip hampelas, yang banyak terdapat di sekitar pemandian tersebut. Sebelum menjadi kolam renang, Pemandian Cihampelas itu awalnya adalah kolam ikan milik Nyonya Homann. Baru pada tahun 1902-1904 dibangun menjadi kolam renang. Cihampelas merupakan kolam renang pertama di Indonesia. Sampai dengan tahun 1940 kolam renang tersebut hanya boleh dikunjungi oleh orang Belanda saja. Di situ mulai didirikan perserikatan renang pertama di Indonesia dengan nama Bandoengse Zwembond/Perserikatan Berenang Bandoeng. Setelah itu disusul dengan klub renang Neptunus. Nama ini diambil dewa air/laut Neptunus atau Poseidon. Di Cihampelas itu pula ada patung Neptunus. Sayang sekali, pada tahun 2010 pemandian yang bersejarah ini telah dibumiratakan dan dijadikan Mall Ciwalk (Cihampelas Walk).
Pemandian Cihampelas tempo dulu.
Mang Ucup
75
Pemandian Centrum tempo dulu.
Tarif masuk ke Cihampelas masa itu adalah 50 sen per orang, tetapi bisa juga langganan bulanan dengan tarif Rp.7,50 per bulan. Perlu diketahui pula bahwa Pemandian Cihampelas itu merupakan satu-satunya kolam renang di mana sebelum kita masuk ke kolam renang sudah dibilas terlebih dahulu dengan adanya guyuran air dingin yang turun dari atas. Kolam renang lainnya adalah Centrum (Tirtamerta) yang dibangun pada tahun 1920 dan diarsiteki oleh arsitek Belanda ternama C.P Wolff Schoemaker. Arsitek tersebut tercatat juga pernah membangun Hotel Preanger maupun Villa Isola (Gedung UPI sekarang). Centrum dibangun dengan gaya arsitektur modern tropis Indonesia di Jalan Bilittonstraat yang sekarang menjadi Jalan Belitung. Pemandian ini dibangun di atas tanah seluas 3.200 meter persegi dengan luas bangunan 1.150 meter persegi. Centrum merupakan tempat renang favorit bagi “noni-noni“ Belanda. Di tempat pemandian ini di tahun 1950, selain acapkali diadakan lomba renang, juga sering diselenggarakan mode show pakaian mandi yang disponsori berbagai rumah mode, seperti Tjioe Pris dan Mode Huis Bandoeng. Nasib kolam renang Centrum juga naas tidak beda jauh dari Cihampelas. Walau Centrum pernah direnovasi pada tahun 2000 yang
76
Mooi Bandoeng
Dago Thee Huis tempo dulu.
memanjangkan ukuran kolam renang menjadi 46 meter (dari awalnya 30 meter) dengan lebar 21 meter dan kedalaman yang mencapai 3 meter. Namum nasibnya sama seperti yang dialami oleh pemandian Cihampelas, sejak tahun 2011 Centrum telah dibumiratakan dan dijadikan tempat wedding & restorant oleh Kagum Group dan diberi nama The Centrum. Siapa yang tidak ingat akan Dago Thee Huis (Rumah Teh Dago), tempat pacaran ataupun tempat menyepi pada saat di mana kita ingin belajar. Dago Thee Huis maupun kolam renang Dago dibangun pada tahun 1920 oleh “Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming” (Komite Perlindungan Alam Bandoeng). Komite ini didirikan tahun 1917 dengan pimpinan W. Docter van Leeuwen (Direktur Kebon Raya Bogor). Komite ini adalah komite pertama yang memproklamasikan Go Green di Indonesia. Tujuan utama dari komite ini adalah mengembangkan dan menjaga keasrian lahan hijau di Kota Bandung. Yang termasuk sebagai anggota dari komite tersebut antara lain K.A.R. Bosscha. Salah satu program rancangan mereka yang tidak sempat terwujudkan adalah Soenda Openlucht Museum di sekitar Curug Dago.
Mang Ucup
77
Derenten Bandoeng 78
Mooi Bandoeng
H
ampir semua anak-anak tempo doeloe pernah berkunjung ke derenten (bahasa Sunda = Kebon Binatang), diserap dari bahasa Belanda dierentuin. Maklum pada saat itu belum ada tempat berbelanja seperti mal. Nama derenten ini lebih dikenal oleh kalangan orang tua dulu, sedangkan kalangan generasi muda sekarang mungkin sudah tidak mengenalnya lagi. Kenangan Mang Ucup tentang derenten ialah apabila ada orang menikah, mereka melakukan prosesi arak-arakan naik delman ke derenten untuk berfoto ria di sana. Begitu juga pada saat lebaran atau hari raya Idul Fitri. Biaya karcis masuk ke derenten pada saat itu adalah lima ketip (50 sen) untuk dewasa dan setalen (25 sen) untuk anak-anak. Satu kebahagiaan tersendiri bagi Mang Ucup apabila papa Mang Ucup, Abah Awat almarhum, mengajak Mang Ucup berkujung ke derenten, apalagi bisa jajan di sana. Sudah 60 tahun lebih Mang Ucup tidak menginjak derenten lagi. Masih teringat dalam benak Mang Ucup, tempat perlindungan satwa seluas 14 hektar ini masih sangat asri. Pepohonan tidak hanya tumbuh di areal kebun binatang, namun juga di luar lokasi, sehingga udaranya masih segar dan sangat cocok untuk rekreasi keluarga. Aktivitas “botram” atau makan bersama di bawah pohon-pohon yang rindang sambil melepas lelah usai berkeliling melihat aneka satwa benar-benar mengasyikkan. Di tengah derenten ada kandang macan, singa dan juga kandang gajah. Untuk sebagian orang Sunda, pasti tahu apa artinya botram. Istilah botram kemungkinan besar berasal dari kata Bahasa Belanda “boterham” yang berarti “irisan roti isi mentega dan ham”. Orang-orang Sunda melihatnya dan akhirnya kata ‘boterham’ berubah menjadi “botram” yang memiliki arti “makan bersama di luar rumah sambil menggelar tikar”.
Mang Ucup
79
Awalnya, derenten ini merupakan sebuah taman botani di Kota Bandung yang disebut Jubileumpark (sekarang Tamansari), terletak di sepanjang bagian barat Huygensweg (sekarang Jalan Tamansari). Taman ini diresmikan pada 1923 untuk memperingati Jubileum Ratu Wilhelmina dari Belanda, sehingga diberi nama Jubileumpark. Pada tahun 1933, bagian selatan Jubileumpark dijadikan kebun binatang, sehingga fungsinya berubah menjadi taman kebun binatang. Kebun binatang yang dibangun pada 1933 ini merupakan penggabungan dua kebun binatang dari Cimindi dan Dago Atas yang dirancang oleh arsitek asal Belanda, Dr. W. Treffers. Derenten ini dahulu dikelola oleh Bandungse Zoological Park (BZP). Derenten Bandung tempo dulu.
Kebun binatang Bandung jaman sekarang.
80
Mooi Bandoeng
Pada masa pendudukan Jepang dan selama perang revolusi, derenten telantar. Namun pada 1948, derenten kemudian direhabilitasi. Pada tahun 1956, BZP sebagai pengelola derenten kemudian dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Yayasan Margasatwa Tamansari. Sayangnya, masyarakat sekarang hanya mengenal Taman Sari sebagai nama jalan karena taman ini sudah dianggap bagian penuh dari derenten. Pada saat itu derenten memiliki lebih dari 6.000 satwa. Meneer Holland dan para aktivis Bandungse Zoological Park (BZP) yang hidup pada tahun 1930-an mungkin tidak pernah mengira jika taman botani di sekitar Huygensweg (Tamansari) yang mereka pilih untuk Kebun Binatang Bandung akan bernasib seperti sekarang, terkepung oleh banyak bangunan. Salah satu hutan kota yang masih tersisa dan salah satu tempat rekreasi murah bagi warga Kota Kembang ini entah sampai kapan bisa bertahan dari desakan permukiman, perkantoran dan tempat usaha. Belum lagi ancaman polusi udara Kota Bandung yang kian mengkhawatirkan, dan masalah klasik yakni kebutuhan dana yang tidak sedikit. Bahkan, seperti dilansir harian Kompas (28/9/08), jika pihak pengelola tidak bisa memenuhi standar animal welfare hingga tiga tahun ke depan, maka kebun binatang kebanggaan warga Bandung ini terancam akan ditutup. Beberapa waktu lalu saya juga pernah membaca sejumlah kabar di media massa tentang adanya usulan pemindahan “derenten” ini. Di antaranya ke Jatinangor, Sumedang dan ke Cikole, Lembang. Namun hingga saat ini belum jelas keputusan akhirnya. Yang pasti, sebagai orang Bandung, Mang Ucup berharap, andaikan Kebun Binatang Bandung (KBB) ini jadi dipindah, maka jangan sampai areal terbuka hijau di Tamansari ini berubah fungsi menjadi pusat bisnis, mal, ataupun areal permukiman. Tetap saja pertahankan sebagai hutan kota. Karena sungguh ironis, hijaunya Bandung saat ini hanya tampak pada pawai-pawai bunga saja, sedangkan kenyataannya ruang terbuka hijau semakin terdesak. Jika tidak percaya, silahkan tengok saja kawasan Ciumbuleuit, Cijengkol, Punclut, Dago, Cigadung saat ini. Alih fungsi lahan di sana sungguh memprihatinkan.
Mang Ucup
81
Peh Cun di Balong Aksan
S
ambil memejamkan mata, Mang Ucup mencoba berusaha untuk mengingat kembali pengalaman masa kecil, anggap saja seperti perjalanan dengan menggunakan time machine, tapi bukan ahead to the Future melainkan back to the past!
Hari Sabtu pagi, 9 Juni 1950 merupakan hari yang penting bagi Mang Ucup sebagai seorang bocah berumur 8 tahun. Hari tersebut adalah hari di mana para warga keturunan merayakan Festival Peh Cun. Arti kata Peh Cun (Pachuan) dalam dialek Hokkian berarti mendayung perahu. Oleh sebab itu, kami selalu merayakan Hari Raya Peh Cun di Situ Aksan (Balong Aksan), tempat plesir orang Bandung, sebab di sana ada danau kecil yang juga menyediakan penyewaan perahu. Biaya masuk Situ Aksan pada saat itu adalah setalen (25 sen), sedangkan untuk menyewa perahu kecil untuk dua orang biaya sewanya seperak, dan perahu yang lebih besar untuk 4 orang biayanya dua perak. Kami berangkat dari rumah naik becak patungan beserta dengan tiga orang teman lainnya. Begitu kami masuk Situ Aksan, kami langsung bisa menikmati keindahan kolam pertama yang dipenuhi tanaman bunga teratai. Antara kolam pertama dan kolam kedua dihubungkan dengan satu jembatan kecil.
82
Mooi Bandoeng
Situ Aksan tempo dulu.
Di tengah Situ Aksan ada pulau kecil yang dapat dijangkau dengan perahu. Bukan hanya sekadar pada Hari Raya Peh Cun saja, melainkan hampir setiap akhir pekan orang boleh memancing ikan di sana. Pada saat itu, kebanyakan umpan yang digunakan terbuat dari bungkil atau ampas kedelai. Hiburan yang paling Mang Ucup senangi di Hari Raya Peh Cun, selain ngadu domba juga ngadu bagong dengan anjing. Maklum, pada saat itu saya termasuk budak bengal (anak nakal). Tetapi sekarang saya tidak tega lagi melihat binatang dianiaya hanya demi tontonan semata. Misalnya, melihat kera disuruh menari di jalanan saja, Mang Ucup sudah merasa kasihan.
Mang Ucup
83
Di samping tontonan tersebut di atas, masih ada hiburan lainnya seperti balapan perahu, balapan tong air, maupun lomba menangkap bebek untuk anak-anak. Hiburan lainnya yang sering juga disajikan di sana adalah Wayang Golek, Orkes Harmonium Bunga Mawar atau Orkes Keroncong Candra Kirana. Ketika Mang Ucup akan berangkat ke festival, mama memberi saya bekal uang jajan seringgit atau 2,5 perak, plus bekal makanan berupa bakcang. Bakcang sudah merupakan makanan wajib pada saat Festival Peh Cun. Berdasarkan legenda, seorang menteri yang sangat disayang rakyat pada zaman Disnati Zhou (475 SM – 221 SM) melompat terjun bunuh diri ke sungai pada Hari Raya Peh Cun. Rakyat merasa sedih kemudian mencaricari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri. Mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bakcang sekarang ini. Para nelayan mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu ke berbagai penjuru. Peristiwa para nelayan mencari jenazah menteri dengan berperahu itu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya. Selain bakcang, kita juga mengenal Kwee Cang/Ki Cang atau bakcang tanpa isi dan dimakan dengan gula manis. Makanan ini dimakan sebagai lambang penangkal bahaya dan perjalanan hidup kita bisa selalu manis.
Lomba perahu yang biasa diadakan dalam Festival Peh Cun.
84
Mooi Bandoeng
Permainan adu domba tempo dulu.
Nenek Mang Ucup mengingatkan agar pada Hari Raya Peh Cun harus mandi tengah hari, yang sering disebut juga Mandi U-Shi. Mereka mengambil dan menyimpan air dari Situ Aksan pada tengah hari saat Festival Peh Cun ini, yang dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit bila mandi dengan air tersebut Kue Bakcang. ataupun diminum setelah dimasak. Tanpa disuruh pun, kami anak-anak selalu berenang di Situ Aksan. Kepercayaan lainnya, apabila pada Hari Raya Peh Cun, Anda bisa menegakkan telur seperti Christopher Colombus tanpa telur itu harus dipecah, hal tersebut dipercaya akan bisa mendatangkan berkah tersendiri. Situ Aksan diyakini oleh masyarakat Bandung sebagai sisa peninggalan danau purba, Situ Hyang. Pemerintah Hindia Belanda memberi nama Situ Aksan, yang menjadi objek wisata di kota ini pada masanya, sebagai Westerpark. Sedangkan jalan yang menghubungkan Westerpark dengan Groote Postweg (Jalan Jenderal Sudirman) disebut Westerparkweg. Saat ini Westerparkweg dikenal dengan nama Jalan Suryani. Sayangnya, suasana seperti itu hanya bisa dinikmati hingga tahun 1970. Pada awal tahun 1970, kawasan Situ Aksan mulai mengalami penyusutan karena pembangunan areal hunian di sekitarnya. Luas Situ Aksan semakin lama semakin mengecil, hingga awal tahun 1980 Situ Aksan hanya seluas kolam pemancingan. Sampai puncaknya pada awal tahun 1990, Situ Aksan sudah benar-benar lenyap tanpa sisa barang sedikitpun juga. Sungguh tragis!
Mang Ucup
85
Kelenteng Tertua di Bandoeng
86
Mooi Bandoeng
D
ari sejak Mang Ucup lahir hingga usia 19 tahun, Mang Ucup tinggal di Jalan Kelenteng yang berhadapan langsung dengan kelenteng. Nama jalan ini dahulunya ketika zaman Belanda adalah Chinese Kerkweg.
Hanya di Indonesia saja Vihara disebut Kelenteng, sebab sebutan umum untuk kelenteng adalah Miao atau Bio, lafal dalam bahasa Hokkian. Kelenteng dibangun pertama kali di Indonesia pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng. Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya melafalkannya sebagai Kelenteng hingga saat ini. Sebutan lainnya untuk Kelenteng adalah Co Si, yaitu kelenteng yang dikhususkan hanya untuk leluhur abu keluarga sendiri saja, jadi bukan untuk umum. Pada saat ini, di Bandung ada 23 vihara (kelenteng). Sedangkan kelenteng pertama yang dibangun di Kota Bandung didirikan pada tanggal 16 Juni 1855. Hingga kini, kelenteng ini masih menjadi yang tertua dan terbesar di Kota Bandung. Sejarah kelenteng ini berawal dari etnis Tionghoa yang hijrah ke Bandung usai Perang Diponegoro (1825-1830). Kelenteng Hiap Thian tempo dulu.
Selain menetap dan mencari nafkah, etnis Tionghoa merasa memerlukan tempat berkumpul untuk menjalankan adat, tradisi dan kepercayaan tradisional Tionghoa. Seorang Luitennant der Chinesschen (pemimpin seluruh kawasan etnis Tionghoa) Bandung saat itu, Tan Hay Long, mempelopori
Mang Ucup
87
pendirian sebuah kelenteng atau yang disebut juga Miao. Ia menghibahkan tanah bekas rumahnya untuk pendirian kelenteng tersebut. Nama Tan Hay Long sampai saat ini masih diabadikan di plakat kelenteng. Dalam pembangunan kelenteng ini, tidak tanggungtanggung Tan Hay Long mendatangkan seorang arsitek dan ahli teknik sipil langsung dari Tiongkok. Mereka adalah Chui Tzu Tse dan Kung Chen Tse, yang memang ahli dalam pembuatan kelenteng. Tan Hay Long kemudian menamakan kelenteng ini Shend Di Miao, yang berarti Istana Para Dewa. Nama ini diambil karena kelenteng ini digunakan sebagai tempat ibadah bersama etnis Tionghoa dari berbagai tempat dengan kepercayaannya yang berbeda-beda. Namun di tahun 1917, namanya diubah menjadi Xie Tian Gong atau Hiap Thian Kong seiring dengan dilakukannya renovasi pada kelenteng. Nama tersebut di atas diambil dari Dewata Utama (tuan rumah) kelenteng ini, yakni Guan Gong (Koan Kong). Nama kecil beliau adalah Guan Yu alias Yunchang (In Tiang), seorang tokoh sejarah dan pahlawan yang pernah hidup di Tiongkok periode Tiga Negara (San Guo/Sam Kok, 220–280 SM). Oleh kaisar-kaisar dari berbagai dinasti, beliau diperingati di kelenteng yang dibangun khusus untuk beliau serta dianugerahi berbagai gelar, antara lain Xietian Dadi (Hiap Thian Tai Te). Nama Hiap Thian inilah yang diambil sebagai nama Kelenteng di Bandung. Mengingat semua nama maupun budaya yang berbau Tionghoa pada tahun 1965 harus diganti namanya jadi nama Indonesia, maka nama kelenteng inipun diubah menjadi Vihara Satya
88
Mooi Bandoeng
Vihara Satya Budi.
Budhi. Sebutan “vihara” juga digunakan sebagai pengganti sebutan kelenteng karena kebijakan pemerintah pada saat itu yang melarang agama lain bagi kaum Tionghoa selain agama Budha. Hasilnya, saat ini Vihara Satya Budhi digunakan secara bersamaan oleh tiga penganut agama berbeda yaitu Budha, Tao, dan Konghucu. Di kedua sisi kelenteng Hiap Thian Kiong pun telah ditambahkan dua vihara lainnya, yaitu Vihara Buddha Gaya di sisi barat dan Vihara Samudra Bhakti (Hai Hui Tang) di sisi timur. Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, etnis Tionghoa diberi kebebasan dalam menjalankan budaya, tradisi dan kepercayaannya. Nama Kelenteng Xie Tian Gong kembali muncul tanpa menghilangkan nama Vihara Satya Budhi.
Mang Ucup
89
Adakah yang Tahu Letak Jalan Culik?
H
ingga akhir Abad XIX, pola permukiman di Bandung memisahkan kawasan hunian secara sosial dan morfologis. Kawasan hunian orang Eropa (Europeesche Zakenwijk) berada di sebelah atas atau utara rel kereta api dan kawasan bagi non Belanda berada di bawah atau sebelah selatan. Jalan ikon kota Bandung adalah Jalan Braga, merupakan pusat kota yang selalu ramai dikunjungi orang. Tetapi apakah Anda tahu, bahwa sebelumnya jalan ini selain becek juga sangat sepi dan menyeramkan? Di jalan ini sering terjadi perampokan maupun penculikan. Oleh karena itu, masyarakat memberi nama jalan ini sebagai Jalan Culik, sebelum akhirnya diubah menjadi Jalan Pedati (Pedatiweg) dan selanjutnya berubah lagi menjadi Jalan Braga (Bragaweg). Sekitar tahun 1874, hanya ada enam keluarga Tionghoa yang ada di Bandung. Orang Tionghoa pertama yang tinggal menetap di Bandung bernama Tam Long, yang kemudian namanya diabadikan menjadi Jalan Tamblong. Sedangkan di daerah Citepus ada Tan Nyim Chong. Ia dahulunya tinggal di Gang Sim Cong, Jalan Yo Sun Bie (sekarang Jalan Mayor Sunarya). Yo Sun Bie (1870 -1968) lahir di Fujian, Tiongkok. Ia merantau ke Batavia tahun 1891 dan mulai berdagang tekstil pada tahun 1895. Ia kemudian mendirikan pabrik tenun “Sin I Seng”. Sedangkan Gang Luna yang juga ada di sekitar itu berasal dari nama Tiong Hoa, Loen An.
90
Mooi Bandoeng
Jalan Braga tempo dulu (atas) dan sekarang (bawah).
Mang Ucup
91
Dulu, sebelum adanya kendaraan bermotor di kawasan Banceuy (Bantjeuyweg), kawasan ini pernah dijadikan tempat peristirahatan dan tempat mengganti kuda. Di situ pula para kusir kereta bisa mendapakan bantuan air (cai) minum untuk kuda-kudanya, yang dalam bahasa Sunda “bantuan cai”. Dari situlah diserap kata Banceuy. Jalan Wastukancana sering disingkat menjadi Wastu. Dahulu, nama Jalan Wastukancana ini adalah Engelbert Van Bevervoordeweg. Ia pelopor dalam dunia penerbangan. Ia meninggal karena pada tahun 1918 pesawatnya jatuh di Bandara Sukamiskin. Untuk mengenang jasanya, pemerintah Belanda membuat patung dirinya pada tahun 1920. Patung tersebut diletakkan di sebuah tikungan jalan yang sekarang adalah Jalan Wastu Kencana. Setelah Indonesia merdeka, patung tersebut dipindahkan ke Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda. Jalan Sultan Agung dahulunya bernama Heetjansweg. Sultan Agung adalah nama dari Sultan Mataram III yang memerintah antara tahun 1613-1645 M. Melalui salah satu perwira andalannya, Bupati Kendal Tumenggung Bahureksa, ia berhasil mengalahkan Madura. Nama bupati Bahureksa inilah pula yang dipakai untuk menggantikan nama Jalan Gelriastraat sebelumnya. Jalan Siliwangi dahulu bernama Dr. De Greerweg. Nama Siliwangi diambil dari Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi adalah Raja Pajajaran yang terkenal karena kepemimpinannya dapat menjadikan masyarakat Pajajaran sejahtera, adil, dan makmur. Jalan Trunojoyo dahulunya bernama Wenckebachstraat, sedangkan Jalan Tirtayasa pada masa kolonial bernama Frisiastraat. Itulah secuplik sejarah mengenai asal-muasal beberapa nama jalan dan kawasan di Bandung.
92
Mooi Bandoeng
Sudut-sudut di Jalan Braga tempo dulu.
Mang Ucup
93
Toko Boekoe Tempo Doeloe
H
ampir setiap anak ketika masa kecilnya senang baca komik, termasuk Mang Ucup. Sebelum ada komik dalam bentuk buku, kami selalu membaca komik strip yang terdapat di koran ataupun majalah. Misalnya, Put On yang terbit rutin di surat kabar Sin Po (Sinar Harapan). Komik strip Put On merupakan hasil karya dari Kho Wan Gie sejak tahun 1930. Komik strip lainnya adalah Tarzan, Sie Djien Koei Tjeng Tang (karya Siaw Tiek Kwie), dan Apiauw (karya Goei Kwat Siong) dari majalah Star Weekly. Komik pertama yang berupa buku dalam bahasa Indonesia adalah Sri Asih (Wonder Women Indonesia) yang merupakan karya komik pertama dari R.A. Kosasih (almarhum), sang legenda Bapak Komik Indonesia. Ia juga adalah pengarang komik Mahabarata. Komik ini diterbitkan oleh toko buku Melodi (Tan Eng Hiang) – Jalan ABC di tahun 1952.
Di samping komik, Mang Ucup juga kecanduan bacaan silat. Mang Ucup membaca hampir semua cerita silat yang bisa didapatkan, mulai dari cerita silat (bersambung) di koran harian tempo doeloe seperti Sin Po (Sinar Harapan), Keng Po (Kompas), Star Weekly (Kim Tjoa Kiam - 1958) sampai dengan buku silat karangan Kho Ping Hoo, Tjan Id, Liang Ie Shen sampai Lho Khuan Chung. Karena sedemikian rajinnya baca silat, sampai tidak naik kelas. Kalau kelompok Sin Po, penerjemahnya adalah Gan KL (Gan Kok Liang). Sedangkan kelompok Keng Po memakai OKT (Oey Kim Tiang). Media yang mempublikasikan karangan Kho Ping Hoo itu adalah majalah “Analisa”. Selain cerita silat, Mang Ucup juga hobi membaca buku roman detektif picisan, seperti Naga Mas, Les Hitam, maupun Gagaklodra.
94
Mooi Bandoeng
Majalah yang beredar pada saat itu adalah Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi Star Weekly, “Pancawarna” (kepunyaan Sin Po), “Varia” (kepunyaan Keng Po) dan “Analisa”. Karena begitu senangnya membaca buku, walaupun pada saat itu Mang Ucup belum menguasai bahasa Inggris, tetapi sudah berlangganan buku dari British Council – Jalan Naripan. Maklum, di situ Mang Ucup bisa pinjam buku secara gratisan. Selain itu, Mang Ucup juga sering berburu buku bekas di pasar loak yang berlokasi di Jalan Suniaraja. Sedangkan untuk keperluan alat-alat tulis, ketika itu Mang Ucup selalu membeli di toko buku Hap Tjiang – Jalan Asia Afrika 16. Di toko itu juga kita bisa membeli pulpen Parker
Mang Ucup
95
Toko buku Van Dorp.
yang merupakan idaman setiap anak remaja, maupun pensil berwarna cap Burung dari Faber Castle. Pada saat itu juga ada beberapa toko buku besar, misalnya toko buku Van Dorp di Jalan Braga 77. Toko ini dibangun pada tahun 1922 dan ditutup pada tahun 1970. Pada awal tahun 1940-an, toko Van Dorp pernah menerbitkan sebuah buku botani berjudul “Indische Tuinbloemen”. Buku ini disusun oleh M.L.A. Bruggeman, botanikus pengelola Kebun Raya Bogor, dengan Ojong Soerjadi sebagai ilustrator. Melalui buku ini mereka telah berhasil melakukan promosi pemasaran yang luar biasa pada saat itu. Setiap pembeli buku akan mendapatkan juga bibit tanaman bunga lengkap dengan potnya. Dengan demikian, toko buku Van Dorp telah turut berperan mengajak warga Bandung menjadi penanam dan pencinta bunga.
96
Mooi Bandoeng
Dalam satu bulan pertama setelah penerbitan buku “Indische Tuinbloemen”, Van Dorp telah menjual sekitar satu juta tanaman bunga beserta potnya akibat permintaan pelanggan yang antusias. Untuk kebutuhan bunga saat itu mudah saja, karena kawasan di seberang Van Dorp adalah sebuah pasar bunga yang besar dan ramai. Ini adalah pasar bunga lama yang pertama sebelum dipindahkan ke Wastukencana. Toko buku lainnya adalah toko buku Visser & Co di depan Gedung Merdeka, yang kemudian namanya berubah menjadi Karya Nusantara, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Toko buku lainnya adalah A.C. Nix & Co. yang kemudian berubah namanya menjadi N.V. Masa Baru. Penerbit dan percetakan N.V. Vorkink (Sumur Bandung) mulai dibuka pada tahun 1896 di Groote Postweg. Pada tahun yang sama, perusahaan ini menerbitkan koran pertama di Bandung, yaitu De Preangerbode. Bangunan awalnya dirombak pada tahun 1910 menjadi bangunan megah bergaya Eropa. Toko buku Vorkink kemudian berubah menjadi toko buku Sumur Bandung setelah masa kemerdekaan. Nama ini dipilih mungkin karena di dekat gedungnya terletak dua buah sumur legendaris, yang masing-masing lokasinya berada di belakang Vorkink, dan satu lagi di belakang kantor PLN.
Mang Ucup
97
Permainan Jadul (Djaman Doeloe)
M
engenang masa kanak-kanak dan masa permainan kita pada saat itu merupakan kenang-kenangan yang manis dan indah. Permainan anak-anak “tempo doeloe” yang disebut kaulinan barudak urang lembur, boleh dikatakan tidak dikenal lagi oleh anak-anak Bandung zaman
sekarang.
Lihatlah anak-anak atau cucu-cucu Anda, masih adakah dari mereka yang masih memainkan permainan jadul (jaman dulu)? Mang Ucup yakin sudah tidak ada lagi. Masalahnya, sekarang ini kita berada di era internet, sehingga permainannya pun serba digital, yang membuat anakanak jadi goblok, karena tidak dapat mengembangkan kreativitasnya lagi. Dampak lain yang sering muncul adalah bahwa permainan digital dan internet itu membuat kebanyakan anak-anak mengalami kesepian, karena mereka hanya fokus memelototi layar komputer/laptopnya saja, bahkan mereka sering pula mengurung diri di kamarnya sendirian. Di facebook mereka memiliki ribuan sahabat, tetapi di dunia nyata tidak seorang pun. Mainan bisa dibeli, tetapi seorang sahabat tidak bisa dibeli. Begitu juga mainan bisa dengan mudah diganti, tetapi seorang sahabat tidak bisa diganti maupun dilupakan. Mang Ucup hingga saat ini masih tetap menjalin kontak dengan sahabat karib Mang Ucup yang sudah setengah abad yang lampau, sejak kami SD. Walau kami tinggal di benua yang berbeda , ia di Australia, Mang Ucup di Belanda, tetapi kami masih saja tetap saling bersapa, bahkan berkunjung. Sahabat karib Mang Ucup sejak kecil tersebut adalah Stephen alias Bian Hien.
98
Mooi Bandoeng
Anak-anak sekarang beda dengan masa kanak-kanak tempo doeloe yang memiliki banyak teman. Hal ini dikarenakan banyak permainan pada saat itu pada umumnya tidak bisa dimainkan sendirian. Problema orangtua kita dahulu, mereka khawatir tentang anaknya karena sampai jam tujuh malam belum masuk ke rumah. Kebalikannya dengan orangtua sekarang, mereka khawatir karena sampai jam tujuh malam sang anak belum ke luar kamar, karena mengurung diri terus dari pagi sampai malam.
Kaulinan Barudak Urang Lembur.
Di samping itu, terkesan anak-anak dahulu jauh lebih ceria dan gembira. Misalnya, kita sering menyanyikan lagu anak-anak seperti Burung Kutilang, Naik Delman, dan lain-lain. Mungkin karena burung sudah tidak ada lagi di daerah perkotaan dan delman juga sudah diganti dengan angkot, maka anak-anak zaman sekarang lebih senang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang bersifat cengeng. Bahkan pada saat bermain pun kita bernyanyi, misalnya permainan Paciwit-Ciwit Lutung atau Slepdur (bahasa Belanda Sluip Door).
Jajangkungan.
Permainan ketika masa kecil Mang Ucup adalah kelereng, gundu, kneker (bahasa Belanda = Kenikkers) atau keleci dalam bahasa Sunda. Permainan anak laki-laki lainnya adalah panggal atau gasing. Di samping itu kita mengoleksi potongan gambar dengan cara adu gambar. Bahkan, kita bisa menciptakan mainan sendiri
Slepdur.
Mang Ucup
99
dengan sepasang tongkat yang terbuat dari bambu. Permainan ini disebut Jajangkungan. Sedangkan permainan anak perempuan adalah sondah, bekel atau beklen (bahasa Belandanya bikkelen) ataupun permainan congklak atau dakon. Ketika berusia 8 tahun, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1950, Mang Ucup pernah ikut lomba balapan mobil, tepatnya perlombaan kereta Peti Sabun (bahasa Belandanya Zeepkistenrace) di Jalan Sukadjadi, depan PVJ sekarang. Jumlah kereta perlombaan sebanyak 205, tetapi 80 persen dari jumlah peserta tersebut adalah sinyo Belanda.
Layang-layang.
Permainan anak laki-laki yang sangat populer pada saat itu Lompat tali. adalah permainan layangan atau layang-layangan. Ada dua macam layangan, satu khusus untuk mengadu (berlaga), dan satunya lagi sebagai layangan hias yang bagus dan indah, warna-warni, yang pada umumnya memiliki buntut yang panjang. Suatu kebanggaan tersendiri apabila bisa menang mengadu layangan, sehingga dicarikan berbagai macam formula untuk membuat gelasan tali layangan tersebut bisa menjadi tajam untuk memotong tali layangan lawan, misalnya dicampur dengan gelas bubuk lampu. Agar bisa nempel dicampur dengan ka dan pewarna. Ka itu baunya luar biasa keras, hal ini membuat mama Mang Ucup marah besar apabila sedang membuat bahan gelasan tali layangan.
100
Mooi Bandoeng
Terus terang, bermain layang-layang bukan hal mudah. Prosesnya dimulai dari keahlian memilih-milih layang-layang baru di tempat penjualnya dengan cara melakukan uji “kélépék”: mengibaskan layangan sebagai pengujian integritas dan elastisitas struktur layang-layang. Kemudian diperlukan pula keahlian memasang serta tuning tali ‘timba’ atau ‘tumbu’ untuk mencari titik seimbang layang-layang. Semua hal tadi, belum sampai memasuki proses ‘penerbangan’ yang butuh lebih banyak keahlian serta jam terbang. Kami, anak-anak, merasa fun banget, kalau mengejar dan rebutan layangan putus, sehingga seringkali terjadi adu jotos. Penjual layangan bersama tali layangan yang sudah digelas paling popular pada saat itu adalah si Pego (Gagu) di Jalan Karanganyar. Ia merupakan Sang Grand Master layangan pada saat itu. Perlu diketahui bahwa tradisi mengadu layangan ini juga dibawa ke Belanda oleh anak-anak Indo dan Ambon, di mana mereka juga sering taruhan dengan cara mengadu layangan. Para pemain layangan, atau sering disebut Anak Layangan, saat ini dikenal dengan sebutan ALAY. Ketika menginjak remaja, ada permainan hulahup (Hula-Hoop) yang menjadi terkenal pada tahun 1958. Kata Hulahup berasal dari kata Hula, yakni tarian Hula-Hula di Hawaii. Hulahup ini sebenarnya sudah dikenal sejak ribuan tahun lampu di zaman Mesir maupun Yunani kuno. Pada tahun 1958 Richard P. Knerr dan Arthur K. Melin dari Wham-O menggali dan menemukan kembali hulahup yang akhirnya diproduksi dari bahan plastik dalam berbagai macam warna cerah. Remaja dahulu juga pernah dihebohkan dengan adanya boneka (dalam bahasa Portugis boneca) hitam lucu dari Jepang,yakni Dakocan (bahasa Jepang = Dakko-Chan). Dua belah tangan boneka ini membentuk lingkaran seperti sedang memeluk (bahasa Jepang = dakko), bagaikan koala sedang memeluk pohon. Boneka telah menjadi trendi dan laris di kalangan remaja perempuan muda yang memasang Dakocan di lengan mereka sewaktu berjalan-jalan.
Mang Ucup
Boneka Dakocan.
101
Jibeuh (hiji-seubeuh) makan satu kenyang
D
ulu, ketika masih kecil, Mang Ucup mendapatkan uang jajan 10 sen (sepicis), cukup untuk membeli satu jenis kue. Tentu kita ingat akan pepatah setali tiga uang, sebab arti setali (setalen = 25 sen) terdiri dari 2 koin 10 sen dan satu koin 5 sen (sama dengan 3 koin atau tiga uang). Setali tiga uang bisa diartikan sama saja (setalen = 3 koin). Dengan uang setalen cukup untuk beli es tape atau sirop. Sedang untuk istilah ‘’Cepeng bau tai ayam”, artinya yang bersangkutan tidak punya doku alias bokek. Cepeng artinya setengah peser, sedangkan satu peser adalah 0,5 sen. Di Jalan Kelenteng, dulu ada preman tukang palak anak-anak. Tarif upeti yang dia minta adalah segobang (sebenggol = 2,5 sen). Oleh sebab itulah ia mendapat julukan Si Gobang. Selain segobang, dikenal juga nilai uang seperak (satu rupiah), sebab terdiri dari satu koin perak. Di samping itu ada koin lainnya yang bernilai seringgit = Rp 2,50. Harus diakui bahwa Bandung merupakan pusatnya kulinaris berbagai makanan Sunda, khas Bandung, selain makanan Eropa. Sebutlah, Lotek Kalipah Apo selain menjual lotek juga berbagai macam kolak. Lotek Kalipah Apo ini sudah beroperasi sejak tahun 1953. Selain itu di daerah Jalan Merbabu, dahulu juga ada yang jualan lotek dengan nama Encim Kanjut, sebab sang penjual itu latah sehingga pada saat melayani sering mengucapkan kata Kanjut. Encim lainnya yang tidak terlupakan adalah Encim Gunting atau Encim Milong, penjual nasi rames di Pasar Baru. Dia sering menggunakan gunting untuk memotong daging maupun babat yang dijual olehnya.
102
Mooi Bandoeng
Cakue & Bapia Osin (d/h. Lie Tjay Tat), adalah tempat ketika Mang Ucup kecil selalu mampir setelah menemani mama Mang Ucup belanja di pasar, letaknya di Jalan Belakang Pasar. Toko ini sudah dibuka sejak tahun 1934, menjual cakue, kongpia, bapia dan bubur kacang tanah yang benar-benar unik. Lotek.
Di Bandung juga ada penjual makanan Colenak Murdi Putra. Colenak alias dicocol enak adalah salah satu penganan khas tradisional Bandung yang terbuat dari tape singkong bakar yang dibubuhi gula merah cair dan parutan kelapa. Penganan ini sudah ada sejak tahun 1930-an, dijajakan pertama kali oleh seorang pribumi bernama Murdi. Karena kelezatannya, makanan tradisional ini tetap bertahan hingga sekarang. Ingin coba? Sebaiknya datang langsung ke Jalan Ahmad Yani Nomor 733, tempat sejak pertama kali usaha ini dijalankan sampai sekarang. Warung kopi Purnama.
Colenak.
Warung Kopi Purnama merupakan salah satu kedai kopi favorit pada zaman dulu. Menurut catatan sejarah yang ada di buku menu, Warung Kopi Purnama berdiri sejak tahun 1930-an dengan nama Chang Chong Se yang berarti “Silahkan Mencoba”. Kemudian di tahun 1966 berganti nama menjadi Warung Kopi Purnama.
Mang Ucup
103
Didirikan pertama kali oleh Yong A Thong yang hijrah dari Kota Medan ke Kota Bandung sekitar Abad XX. Sekarang Warung Kopi Purnama sudah diteruskan pengelolaannya oleh generasi keempat. Tidak jauh dari RS Borromeus, sewaktu Mang Ucup remaja, ada Toko You (Yu) yang berdiri sejak tahun 1950, menjual aneka cemilan. Sedangkan rumah makan Tionghoa yang hingga saat ini masih tetap beken ialah Restoran Queen di Jalan Dalem Kaum 79 yang didirikan pada 5 Juli 1954. Rumah makan Tionghoa lainnya adalah Hong Sing di Jalan Banceuy, Restorang Cie Lung di Suniaraja, dan Restoran Wong di Kosambi. Rumah makan yang terkemuka lagi antara lain PT Rasa Bakery and Café yang dahulu namanya Hazes di Jalan Tamblong 15. Rasa Bakery and Cafe ini didirikan pada tahun 1936, yang setelah dibeli oleh Ibu Kamarga. Kemudian namanya diubah menjadi Rasa. Tempat ini dahulu merupakan tempat minum kopi orang-orang Belanda di Bandung. Di sini, Anda juga bisa pesan Poffertjes, begitu juga Amandel Cake maupun homemade Ice Cream. Pada 3 September 1953 di Jalan Dalem Kaum 32, Toko Roti Tak Ek Tjoan yang berpusat Bogor membuka cabangnya di Kota Bandung. Braga Permai yang didirikan pada tahun 1921 oleh keluarga Bogerijn, dahulu dinamai Maison Bogerijn, berasal dari nama keluarga, terletak di Jalan Braga 58. Di sini, anda bisa mencoba Bitterballen (snack khas Belanda). Maison Bogerijn.
104
Mooi Bandoeng
Bitterballen.
Sumber Hidangan, dulu namanya Het Snoephuis (Rumah Jajanan), didirikan tahun 1929. Terletak di Jalan Braga 20-22. Di situ Anda masih bisa mengicipi kue-kue zaman Belanda seperti Saucijzenbrood, Krentenbrood, Ananastaart, Roemsoes dan lain-lain. Di tempat toko kue Canary Jalan Braga sekarang ini, dulunya adalah toko es krim Baltic yang sudah beroperasi sejak tahun 1939. Ketika kecil Mang Ucup merasa bangga sekali apabila setelah nonton Matine Show di Majestic, diajak makan es di situ oleh ayah Mang Ucup. Ada lagi, Toko Kue Bawean (d/h Sweetheart) yang didirikan pada tahun 1946, spesialis dari toko kue ini adalah bolu gulung berbalutkan nougat dan chocolate wafernya.
Toko es krim Baltic tempo dulu.
Terkait istilah jibeuh, yang sesuai judul, diambil dari dampak setelah makan Kue Balok, sejenis kue yang terbuat dari adonan tepung terigu dan susu, berbentuk persegi panjang. Bentuk yang mirip balok Kue Jibeuh. inilah yang membuatnya dinamakan Kue Balok. Karena ukurannya yang besar, kadang-kadang orang Bandung menyebutnya dengan istilah jibeuh (hiji-seubeuh = makan satu kenyang). Kue Balok biasanya dipasangkan dengan kopi panas, yang banyak dijual di banyak tukang/warung kopi di pinggir jalan. Apabila sekarang ini Anda penasaran ingin mencicipi kue balok, bisa ditemukan di Rumah Makan Bancakan, Jalan Trunojoyo Nomor 62.
Mang Ucup
105
Makam sang Kaisar di Cikadut
D
ua hari sebelum perayaan ziarah kubur Tionghoa Ceng Beng (Qin Ming) tanggal 5 April setiap tahunnya, mama Mang Ucup sudah menyiapkan semua kebutuhan untuk berziarah, mulai dari sesajen, hio, uang sorgawi, maupun bakcang dan makanan lainnya. Bagi kami anak-anak, hari ziarah Ceng Beng ini adalah hari piknik besar. Maklum, kami harus menempuh perjalanan jauh dari Jalan Kelenteng ke pemakaman di Cikadut. Biasanya, kami sekeluarga selalu naik delman ke Cikadut. Kami orang Tionghoa akan melakukan ziarah kubur secara besarbesaran dua kali dalam setahun. Sekali saat memperingati hari kematian, dan sekali saat perayaan ziarah kubur Ceng Beng.
Makam (bong) etnik Tionghoa berupa tanah timbun berbentuk kubah dengan “batu nisan” (bong pay) setengah lingkaran, berfungsi sebagai papan nama sekaligus altar sesajian bagi yang meninggal. Papan nisan tersebut biasanya akan diukir dengan bentuk-bentuk empat “hewan langit” atau hewan penjaga surga yaitu Naga, burung Hong, Killin dan Kura-kura. Di sisi kanan dan kiri pada ujung teras bangunan makam terdapat dua bangunan kecil seperti rumah dengan atap seperti pagoda. Bangunan yang sebelah kanan adalah kuil kecil untuk dewa bumi Thotek Kong. Dan yang sebelah kiri adalah bangunan untuk tempat membakar “uang sorgawi”, “mobil-mobilan”, “sepatu”, “baju”, “handphone & power bank” ataupun “laptop & iPad” atau perlengkapan duniawi lainnya yang akan dikirimkan ke akhiratnya yang meninggal. Biasanya, pada ritual ziarah kubur, yang dilakukan adalah berdoa dulu kepada Dewa Langit dan Bumi, kemudian kepada “penghuni kuburan”.
106
Mooi Bandoeng
Makam Kuning di Cikadut.
Untuk menunjukkan siapa leluhur mereka kepada keturunannya tidak jarang ditampilkan foto “penghuni kubur” di nisannya dan riwayat singkat hidupnya. Kepercayaan Orang Tionghoa tentang kematian merupakan hal serius yang harus dipersiapkan sedemikian rupa. Hal ini dapat dilihat dari makam atau bong yang dibuat. Jauh-jauh hari, selagi orang itu masih hidup, lahan untuk makam sudah dipersiapkan dengan konsep yang tidak sembarangan. Dalam menentukan arah kuburan (Yin Feng Shui), orang Tionghoa memiliki kepercayaan kalau arah kuburan harus searah dengan aliran air. Bagi mereka, tugas anak bukan hanya melanjutkan marga (she) dan membawa keberuntungan (hokky), tetapi yang terpenting adalah mengganti sang ayah merawat makam. Seorang anak laki-laki yang tidak mengurus makam disebut Put Hao (tidak berbakti).
Mang Ucup
107
Biasanya untuk suami istri yang meninggal akan dibuatkan dua liang kubur bersebelahan. Ketika salah satu dari mereka meninggal maka akan dibuatkan dua buah nisan atau Bongpai. Yang telah meninggal bercatkan merah dan yang belum meninggal bercatkan kuning. Memang, harus diakui bahwa orang Tiong Hoa itu termasuk etnis yang romantis Makam Tionghoa di Cikadut. sehingga setelah meninggal dunia sekalipun ingin tetap selalu bersebelahan, mirip kisah Sam Pek Eng Tay. Tidak jarang kuburan yang dibangun memiliki gaya arsitektur mewah, seperti makam sang Raja Tekstil Yo Giok Sie, yang meninggal pada 23 Agustus 1963. Beliau adalah pendiri pabrik tekstil terbesar di Kota Bandung. Makam beliau lebih terkenal dengan nama Bong Koneng (makam kuning) karena atapnya yang berwarna kuning. Kuning sebenarnya merupakan warna kerajaan, dianggap sakral dan hanya kaisar dan putranya saja yang boleh menggunakan warna ini. Tetapi di Cikadut, who cares? Banyak bangunan makam di Cikadut yang meniru Kuil Tian Tan di Beijing serta tindakan-tindakan yang mencontoh ritual yang dilakoni oleh Kaisar Tiongkok zaman dahulu -- meski di
108
Mooi Bandoeng
negara Tiongkok sendiri mungkin tidak akan ditemukan makam rakyat biasa yang meniru makam Kaisar Tiongkok, karena semua yang dilakukan dan dipakai oleh kaisar merupakan hak istimewa bagi sang kaisar. Hal ini rupanya mencerminkan sebuah keinginan dari masyarakat Tionghoa di Cikadut, di mana mereka ingin menghargai leluhurnya layaknya seperti seorang kaisar. Tokoh penting lainnya yang dikuburkan di makam Cikadut di antaranya adalah Tan Joen Liong yang meninggal pada 23 Agustus 1917. Di nisannya (Bongpai) bertuliskan Kapiten Titulair Der Chineezeen. Kapten Titulair berarti kapten kehormatan. Ini kemungkinan diberikan atas jasa dan pengabdian beliau dalam menjabat sebagai opsir Bandung dengan pangkat Letnan selama 25 tahun (1888-1917). Nama Tan Joen Liong juga diabadikan sebagai nama Jalan Joen Liong, yang sekarang telah diganti menjadi Jalan Baranangsiang, dimana bioskop Rivoli berdiri. Sejak tahun 1856, Cikadut sudah dijadikan tempat pemakaman Tionghoa. Sebelumnya, pemakaman Tionghoa berada di Banceuy. Pada saat ini, pemakaman Cikadut telah memiliki luas tanah lebih dari 150 hektar, dan merupakan kompleks pemakaman yang terluas di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara sekalipun. Tetapi sekarang sudah kalah luasnya oleh San Diego Hill di Karawang.
Mang Ucup
109
Kerkop Pandu
O
ma Mang Ucup meninggal di tahun 1956 dan dimakamkan di kuburan Pandu karena oma penganut agama Kristen. Kuburan Pandu ini identik juga dengan kuburan Belanda. Maka dari itu sering disebut Kerkop Pandu. Kata Kerkop diserap dari bahasa Belanda Kerkhoff yang berarti kuburan. Pada abad pertengahan, penduduk di Eropa menguburkan orang di pekarangan (Hoff) Gereja (Kerk) dari sinilah timbul perkataan Kerkhoff, tetapi dalam lafal orang Sunda menjadi Kerkop. Tahun 1932, Kota Bandung memiliki kompleks pemakaman baru bagi orang Eropa (Nieuwe Europeesche Begraafplaats) yaitu kompleks pemakaman yang kini lebih kita kenal dengan sebutan Pemakaman Pandu. Sebelum pemakaman Pandu dibuka, pemakaman Belanda ada di Jalan Banceuy (Sentiong) yang kemudian pada tahun 1906 dipindahkan ke Jalan Pajajaran (Kebon Jahe), yang saat ini menjadi GOR. Pemakaman ini ditutup pada tahun 1973. Di pemakaman Pandu ada makam dalam bentuk laci. Ada 26 laci pada masing-masing baris dan ada dua blok makam semacam ini. Pada marmermarmer tersebut tertera tulisan yang lazim pada nisan. Di balik marmer itulah, seseorang berbaring untuk selamanya. Tujuan dari makam laci itu untuk menghemat ruang. Ada beberapa laci yang tidak ditutupi marmer. Mungkin marmer tersebut sudah diambili orang untuk bikin alas adonan martabak. Makam etnis Tionghoa penganut ajaran Kong Hu Chu masih tetap membuat kuburan dalam bentuk kubah, karena dalam kepercayaan mereka, sang mayat harus dikembalikan lagi ke rahim (bumi). Filosofinya, dari rahim kembali ke rahim. Oleh sebab itulah bentuk kuburannya seperti perut wanita hamil.
110
Mooi Bandoeng
Makam laci di Pandu.
Di komplek pemakaman ini terdapat makam Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker, yaitu arsitektur keturunan Belanda yang merancang Villa Isola, Gedung Merdeka, Hotel Preanger, dan lain-lainnya. Schoemaker lahir pada 25 Juli 1882 di Ambarawa, lalu mengajar di Technische Hogeschool, ITB zaman dulu. Soekarno adalah murid kesayangannya. Soekarno menjadi juru gambar Schoemaker saat dia membuat desain untuk Hotel Preanger. Sekitar tujuh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana makam Schoemaker. Cucu Schoemaker datang dari Belanda karena pernah mendengar bahwa kakeknya terkenal di Indonesia. Ia mencari makam kakeknya tersebut, namun tidak ketemu. Perjumpaannya dengan seseorang yang pernah bekerja untuk kakeknya mengantarkannya ke makam Schoemaker yang tidak terawat itu. Kebetulan ada wartawan yang ikut, maka tereksposlah bagaimana pemerintah kita “menelantarkan” pusara orang yang bisa dibilang ikonnya Kota Bandung itu. Kisah ini pun sampai pada Guruh Soekarno Putra yang kemudian membayarkan pajak makam tersebut untuk 20 tahun (setahun 20.000 rupiah).
Mang Ucup
111
Makam yang paling indah di pemakaman Pandu adalah Mausoleum milik Keluarga Ursone. Keluarga Ursone adalah keluarga yang memiliki pengaruh cukup besar di Bandung pada masanya. Mereka merupakan keluarga peternak sapi perah yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya BMC (Bandoengsche Melk Centrale). Dia memiliki banyak tanah di Lembang. Lahan yang oleh Bosscha dijadikan observatorium merupakan hibah dari Ursone. Mausoleum keluarga Ursone.
Ereveld Pandu.
112
Mooi Bandoeng
Di tengah padatnya makam-makam, terdapat sebuah kompleks eksklusif di kompleks Makam Pandu ini. Kompleks tersebut bernama Ereveld (Makam Kehormatan) bagi KNIL – tentara Belanda. Sebagian besar adalah tokoh militer dan korban perang yang meninggal di kamp konsentrasi Jepang hingga saat kejatuhan Jepang pada tahun 1945. Untuk bisa memasukinya, kita harus mengajukan izin pada pengurusnya di Jakarta, yang berhubungan dengan Kedutaan Belanda, sejak tiga bulan sebelum kunjungan. Petugas menyimpan daftar nama keluarga orang-orang yang dimakamkan di situ untuk mengecek kebenaran identitas pengunjung. Ada sekitar 4.000 makam di kompleks seluas 3,5 hektar tersebut. Ereveld di Pandu merupakan satu dari tujuh kompleks Ereveld sejenis di Indonesia. Bentuk makam di Ereveld hanya ditandai patok salib. Ereveld ini baru diresmikan pada tahun 1948.
Mang Ucup
113
penulis Mang Ucup (Robert T.S. Nio) lahir di Bandung, Indonesia pada tanggal 19 Juli 1942. Ia melalang buana ke Jerman ketika usianya 19 tahun. Hampir seluruh usia kanak-kanak dan remajanya Mang Ucup dihabiskan di Bandung. Robert melanjutkan studinya di Duesseldorf dalam bidang komputer. Pada tahun 1995, ia juga mengikuti studi teologi dan bekerja di Gereja Altenberger Dom. Ia hijrah ke Belanda pada tahun 1998, lalu tinggal menetap di sana sampai sekarang. Sampai saat ini ia masih terus mengembangkan hobi menulisnya. Terhitung sudah ada lima buku rohani karya Robert yang telah diterbitkan di Indonesia. Selain itu, sebuah buku biografi Mang Ucup karya Supadiyanto sudah diterbitkan dalam dua versi, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
114
Mooi Bandoeng
editor
editor & desain
Johanes Krisnomo, lahir di Semarang, 13 Desember 1957, saat ini tinggal di Bandung. Berbekal pengalaman sebagai praktisi di Industri Pangan selama 30 tahun, sejak lulus S-1 Kimia ITB Bandung, 1984, dan sempat menimba ilmu di kawasan Minesota, Amerika Serikat, tahun 2000, memunculkan semangat dan keyakinan untuk berbagi pengalaman dalam bentuk tulisan, khususnya bidang kimia pangan, teknologi pangan, kesehatan dan lingkungan hidup.
Arien TW. Perempuan kelahiran Jember, Jawa Timur yang telah mengasah pengalaman profesi sejak tahun 2003, berkecimpung di dunia fotografi, desain, dan jurnalistik.
Saat ini sebagai editor di sebuah media online “Harian Online Kabar Indonesia/www.kabarindonesia. com” dan menulis di berbagai media massa di Bandung, HOKI, Blog Kompasiana, dan blog pribadinya.
Sejak tahun 2008 telah banyak terlibat dalam berbagai pekerjaan desain & layout buku/majalah untuk beberapa corporate swasta, beberapa kementerian pusat, maupun freelance perorangan. Selain itu juga sibuk berkecimpung di berbagai proyek menulis, menerbitkan novel solo maupun antologi, mengisi berbagai artikel di media internal, dan giat memotivasi kegiatan blogging dan literatur melalui media sosial.