Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Monitoring Variasi Genetik Ikan Bandeng dengan Analisis Allozyme Gusti Ngurah Permana1, Irwan Setyadi1, Fitriyah Husnul Khotimah1 dan Dio Fajar Akhmad2 1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol 2 Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya-Malang
Abstract Gusti Ngurah Permana, Irwan Setyadi, Fitriyah Husnul Khotimah and Dio Fajar Akhmad. 2013. Monitoring of Genetic Variation of Allozyme Analysis. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Biochemical genetic markers have been increasingly used for inferences on the population genetic structure of marine fish. The research aimed to determine the genetic variation on milkfish from different locations with allozyme analysis. Samples were collected from 4 different locations i.e, Aceh, Bali, Gorontalo and Halmahera. Results showed that number of allele per locus and polymorphic loci were ranged 1.6-1.9 and 6070%, while heterozygosity was ranged from 0.199-0.307. The highest heterozygosities was observed from Bali Population. Milkfish populations from Halmahera and Gorontalo have closest genetic distance of 0.0324, while Aceh and Gorontalo population has the farthest genetic distance of 0.1733. Bali population had better genotype compared to milkfish from other regions. Keywords: Genetic variation; Genotype; Milkfish; Populations
Abstrak Penanda genetik biokimia telah banyak digunakan untuk mengetahui struktur genetik populasi ikan laut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui variasi genetik ikan bandeng alam yang berasal dari lokasi yang berbeda dengan analisis allozyme. Sampel ikan bandeng didapatkan dari 4 lokasi yang berbeda dan merupakan tangkapan dari alam. Lokasi pengambilannya yaitu Aceh, Bali, Gorontalo dan Halmahera. Jumlah alel per lokus dan lokus polimorfik berkisar antara 1,6-1,9 dan 60-70%, sedangkan nilai heterozigositasnya berkisar 0,199-0,307. Populasi Bali mempunyai nilai heterosigositas tertinggi yaitu 0,307. Jarak genetik antara populasi Gorontalo dengan Halmahera memiliki tingkat kekerabatan paling dekat yaitu 0,0324, sedangkan populasi Aceh dengan Gorontalo memiliki tingkat kekerabatan terjauh yaitu 0,1733. Diketahui bahwa populasi ikan bandeng yang berasal dari Bali memiliki genotip yang lebih baik dibandingkan dengan populasi ikan bandeng dari daerah lain. Kata kunci: Variasi genetik; Genotipe; Ikan bandeng; Populasi
Pendahuluan Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya, namun di beberapa daerah salah satunya diantaranya Bali terlihat tren penurunan. Menurut Fardiansyah (2011), pada tahun 2009 pembudidaya ikan bandeng di Bali mampu memproduksi ikan bandeng sebanyak 860 ton sedangkan tahun 2010 menurun menjadi 108 ton. Tingginya variasi ukuran disinyalir disebabkan oleh penurunan keragaman genetik ikan bandeng tersebut. Menurut Yusron (2005), keragaman genetik merupakan tingkatan (hierarchi) yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Hal ini disebabkan karena sumberdaya genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai generasi yang akan datang. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati dimulai dari semakin menurunnya tingkat keragaman genetik jenis. Program pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik perlu dilakukan sehingga diperoleh benih yang unggul. Untuk menunjang perbaikan mutu genetik ikan maka diperlukan informasi variasi genetik agar diketahui perubahan variasi genetik pada turunan yang dihasilkan di hatcheri, sehingga dapat dilakukan penanganan untuk mencegah penurunan variasi genetik dan kemungkinan munculnya gen resesif yang tidak muncul pada proses breeding (Nugroho, 2002). Alozim elektroforesis atau polimorfisme protein merupakan salah satu metode cepat yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi variasi genetik melalui pola-pola protein dan enzim yang ditunjukkan (Harris dan Hopkinson, 1976). Upaya pemuliaan dapat dilakukan dengan lebih
61
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
singkat dan hasilnya stabil. Oleh karena itu, perlu diketahui perbedaan variasi genetik ikan bandeng dari berbagai lokasi di Indonesia sebagai informasi awal dalam menentukan langkah selanjutnya dalam metode pemuliaan (selective breeding). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi genetik ikan bandeng yang berasal dari lokasi yang berbeda.
Materi dan Metode Penelitian Sampel ikan bandeng diperoleh dari 4 lokasi yang berbeda dan merupakan tangkapan dari alam. Lokasi pengambilannya antara lain Aceh, Bali, Gorontalo dan Halmahera (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel.
Adapun lokasi pengambilan sampel ikan bandeng adalah: - Populasi 1 (Aceh). Selat Malaka, Desa Cot, Kec. Muara Tiga, Kab. Pidie, Prov. Nangroe Aceh Darussalam. Letak geografis Kab. Pidie: 4o 30’- 4o 06’ Lintang Utara dan 95o 75’- 96o 20’ Bujur Timur. - Populasi 2 (Gorontalo). Teluk Tomini, Desa Pohe, Kec. Hulonthalangi, Kota Gorontalo, Prov. Gorontalo. Letak geografis Kota Gorontalo: 00o 28’ 17”–00o 35’ 56” Lintang Utara dan 122o 59’ 44”–123o 05’ 50” Bujur Timur. - Populasi 3 (Bali). Laut Bali, Desa Banjar Asem, Kec. Seririt, Kab. Buleleng, Prov. Bali. Letak geografis Kab. Buleleng: 8o 03’ 40”–8o 23’ 00” Lintang Selatan dan 114o 25’ 55”–115o 27’ 28” Bujur Timur. - Populasi 4 (Halmahera). Laut Halmahera, Desa Simau, Kec. Galela, Kab. Halmahera Utara, Prov. Maluku Utara. Letak geografis Kab. Halmahera Utara: 1o 57’ – 2o 00’ Lintang Utara dan 128o 17’ – 128o 18’ Bujur Timur.
Alat dan bahan A. Ekstraksi Pada proses ekstraksi, alat yang digunakan adalah coolbox, sectio set, beaker glass 100 mL, eppendorf tube atau plate sample, nampan, timbangan analitik, freezer, serta lab sheet samples. Bahan yang digunakan adalah ikan bandeng dari 4 lokasi yang berbeda (Aceh, Bali, Gorontalo dan Halmahera), aquades, alkohol 70% atau 95%, bloating paper, es batu, spidol dan plastik klip. B. Pembuatan gel Pada proses pembuatan gel elektroforesis, diperlukan alat erlenmeyer dengan mulut kecil, gelas ukur 1000 mL, pipet volume 2 mL dan 10 mL, sarung tangan, timbangan analitik, spatula, kompor gas, aspirator, cetakan gel dan kaca berukuran 14 x 22 cm2. Sedangkan bahan yang dibutuhkan antara lain 2 mL MgCl2 1 M, 8 mL CAPM pH 6, 10 mL KCN 0,1 N, 380 mL aquades, 20 g hydrolized potato starch, 28 g potato starch dan selembar plastik wrap. Untuk membuat buffer CAPM pH 6 diperlukan 24 g Aminopropymorpholine, 21 g asam sitrat dan 1 L aquades. C. Running gel elektroforesis Pada proses running gel elektroforesis, alat yang digunakan pinset, pisau, elektroforesis set dan refrigerator. Sedangkan bahan yang digunakan adalah tissue tanpa serat, aquades, es batu,
62
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
bloating paper yang telah basah akibat cairan sampel, buffer elektroda yang dibuat dari buffer gel (CAPM) yang diencerkan 2,5 kali. D. Staining Pada proses staining, alat yang digunakan antara lain pipet volume 10 mL, pemotong gel yang terbuat dari senar piano yang diregangkan dengan pemegang gergaji besi, oven, inkubator, staining plate, sendok bahan kimia, timbangan sartorius, selotip sebagai penanda pada masingmasing enzim dan nampan. Untuk pewarna digunakan enzim yang masing-masing memiliki solution (substrat) spesifik, baik solution NAD, NADP dan solution lainnya. Contoh enzim yang sering digunakan antara lain ADH, MDH, EST, IDH dan GPI. Enzim memiliki beberapa ragam buffer, yang utama adalah tris (Tris (hydroxymethyl) aminomethane) pH 7, pH 8 dan pH 8,7. Larutan stopper yang menghentikan pewarnaan enzim yang digunakan adalah acetic acid 7%. E. Laminating Pada proses laminating, alat yang digunakan adalah 1 lembar kaca berukuran 32 cm x 25 cm, 2 lembar plastik kaca, alat bantu untuk mengambil gel yang terbuat dari potongan plastik mika, ember, nampan besar, cutter dan kotak kaca plastik berukuran 22 cm x 14,7 cm x 8,2 cm. Sedangkan bahan preservasi yang digunakan yaitu 400 mL gliserin 10%. Tahapan penelitian A. Ekstraksi Sampel diambil dalam kondisi segar (diusahakan masih hidup) dan dimatikan dengan cara memasukkan sampel dalam es batu (dalam coolbox). Apabila sampel dalam keadaan mati, diusahakan sampel agar tetap beku atau bersuhu rendah agar tidak terjadi denaturasi enzim. Ekstraksi dimulai dengan menggerus sampel menggunakan pistil dan ditambahkan dengan homogenesing buffer (1 mL). Seteleh hancur dimasukkan dalam eppendorf, sesegera mungkin dimasukkan dalam freezer – 20oC untuk dapat dianalisis lebih lanjut. B. Pembuatan gel elektroforesis Gel dibuat dengan kepekatan 12% (Sugama, 1988 dalam Permana, 2006), caranya dengan menimbang hydrolyzed potato starch sebanyak 20 g, potato starch sigma sebanyak 28 g. Bahan tersebut dicampur dalam Erlenmeyer 1000 mL dengan ukuran lubang yang sesuai dengan aspirator. Sebagai pelarutnya, digunakan campuran larutan yang terdiri dari 2 mL MgCl2 1 M, 8 mL CAPM pH 6, 10 mL KCN 0,1 N dan 380 mL aquades, kemudian dikocok hingga homogen. CAPM dibuat dengan melarutkan aminopropylmorpholine sebanyak 24 mL dengan 15 g asam sitrat dalam Erlenmeyer 1000 mL, selanjutnya ditambahkan aquades hingga 1000 mL (Sugama, 1988 dalam Priyono, 2000). Buffer CAPM lebih banyak dipilih dibandingkan buffer Tris Citric Acid pH 8 (TC-8) karena TC-8 lebih mudah panas sehingga bila tidak hati-hati akan mempengaruhi hasil elektroforesis. Larutan yang telah ditambah buffer dimasukkan dalam Erlenmeyer yang berisi starch dan kocok hingga homogen, panaskan larutan potato di atas kompor sambil diaduk terus agar tidak menggumpal. Setelah timbul gelembunggelembung halus, api dimatikan dan gelembung halus tersebut dihisap dengan aspirator. Larutan gel tersebut dituang dalam cetakan gel yang telah dipersiapkan hingga permukaan cetakan penuh (sebaiknya hingga larutan gel habis). Setelah gel mengeras, dibungkus dengan plastik lentur untuk menghindari kontaminasi dan disimpan dalam suhu -23oC untuk dapat digunakan keesokan harinya. C. Running elektroforesis Sebelum running dilakukan, enzim yang keluar dari ikan uji ditempelkan pada bloating paper. Pada kedua bagian gel, ditempelkan kertas saring yang sebelumnya sudah direndam dalam fast blue marker. Bloating paper yang telah dikeringkan dengan tissue tanpa serat diletakkan atau ditempelkan pada belahan gel dengan posisi vertikal secara berurutan. Setelah itu, gel dirapatkan kembali dan kita hubungkan dengan elektroda. Gel yang akan diberi arus listrik sebagian
63
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
perbukaan lebar diberi plastik pembungkus dan diberi tissue khusus yang menghubungkan antara elektroda dengan gel pada 2 sisi gel (katoda dan anoda) yang berhubungan dengan buffer. Penggunaan listrik dengan arus konstan 70 mA dengan tarikan awal 110 V selama 280 menit dilakukan dengan cara memutar tombol penunjuk arus dengan perlahan hingga arus yang diinginkan. Elektrikal power untuk elektroforesis biasanya disediakan dengan voltase yang stabil. Bila terjadi arus pendek, power supply harus segera dimatikan agar mesin tidak rusak. Proses elektroforesis memerlukan waktu 280 menit, kemudian power supply dimatikan dan gel diambil untuk proses selanjutnya. D. Staining Pada proses staining, aktivitas enzim sangat berperan, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui enzim diperlukan untuk proses pewarnaan dan penentuan larutan atau substrat yang sesuai. Setelah gel diberi pewarna, diinkubasi dalam oven bersuhu 50oC sekitar 5–10 menit dengan pemantauan terus menerus hingga pita terlihat pada gel. Setelah pita sudah cukup jelas, pewarnaan dihentikan dengan membuang enzim pewarna dan menggantinya dengan 20 mL acetic acid (asam asetat) dengan konsentrasi 7%. Pembuatan larutan tersebut dilakukan dengan mengencerkan larutan acetic acid absolute sebanyak 70 mL dalam 930 mL aquades. Setelah itu, staining plate dimasukkan dalam inkubator untuk penyimpanan agar dapat di laminating keesokan harinya, karena proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama. E. Laminating Laminating dilakukan untuk menjaga hasil elektroforesis tetap berkondisi baik dalam jangka waktu yang lama. Proses laminating diawali dengan pemberian preservasi dan pelentur berupa gliserin 10%, yaitu larutan yang dibuat dengan mengencerkan gliserin 40 mL dalam 360 mL aquades yang dicampurkan melalui strearer. Larutan acetic acid dibuang dan diganti dengan gliserin sebanyak 20 mL dalam staining plate. Pada laminating, dopotong 2 lembar plastik kaca berukuran ± 34 x 27 cm2 atau lebih besar dari ukuran kaca (32 x 25 cm2). Kemudian salah satu plastik pembungkus dimasukkan dalam gliserin untuk dilemaskan, kemudian dipasang pada lembar kaca. Gel diambil dengan menggunakan selembar potongan plastik keras kecil yang tipis dan lentur namun bentuknya tidak berubah-ubah dan selalu basah dengan gliserin agar selama proses pengambilan gel dan penyusunannya pada permukaan plastik kaca tidak merusak gel. Kemudian gel disusun positif negatif dan di sisi luar ditempelkan keterangan enzimnya. Setelah seluruh gel telah disusun, diambil plastik kaca dan dibasahi dengan gliserin dan kemudian digunakan sebagai pelapis atas gel yang telah disusun pada plastik pembungkus. Pada saat pelapisan dengan plastik kaca, diperhatikan agar jangan sampai ada gelembung udara karena dapat menimbulkan jamur yang dapat merusak gel. Gel diangin-anginkan untuk mengeringkannya, dilapisi Koran untuk menghindari cahaya secara langsung. Hasil laminating yang telah kering dilepaskan dan dirapikan dengan memotong tepi laminating, kemudian ditaruh pada file keeper untuk dibaca dan dianalisis lebih lanjut. F. Interpretasi gel Persamaan lokus dan alel mengikuti metode Allendorf dan Utter (1979) dalam Satyantini (1999). Lokus-lokus ganda yang mengkode satu enzim dengan angka yang dipisahkan dengan tanda negatif (-) dibelakang nama lokus dan menunjukkan jarak migrasi relatif lokus-lokus tersebut. Lokus dikatakan monomorfik apabila setiap lokus hanya terdiri dari satu pita, sedangkan polimorfik apabila terdiri lebih dari satu pita tergantung dari jenis enzimnya, monomer, dimer, tetramer dan seterusnya (Permana, 2006). Hasil band (pita) yang muncul dari tiap-tiap gel elektroforesis dilakukan pemetaan nomenklatur lokus dan alel yang muncul tiap lokus berdasarkan jumlah alel yang dibedakan dengan huruf berdasarkan metode Taniguchi dan Okada (1980) dalam Priyono (2000).
Analisis data Parameter yang diuji merupakan data yang diperoleh dari hasil alozim elektroforesis pada benih ikan bandeng (Chanos chanos) yang berupa ekspresi pita pada gel elektroforesis, frequensi alel, presentase (proporsi) polimorfik dan heterozigositas.
64
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Menurut Satyantini (1999), parameter struktur genetik yang diamati yaitu: a. Frequensi alel (p), berasal dari jumlah genotip yang teramati dari elektroforesis dengan formula: p=(2Ho + He)/2N Ho= jumlah homozigot N= jumlah individu yang diuji He= jumlah heterozigot b. Presentase (proporsi) polimorfik, merupakan ukuran umum keragaman yang terdeteksi secara elektroforesis. % lokus polimorfik = Σ Lokus Polimorfik x 100% Σ Lokus total c. Heterozigositas (H), jumlah genotip heterozigot yang teramati dibagi dengan jumlah lokus dikalikan jumlah sampel. Heterozigositas = Σ Genotip Heterozigositas N x Σ Lokus Metode khi-kuadrat menurut Sokal dan Rolf (1981) dalam Sugama (1991) merupakan metode terbaik dalam melihat frekuensi genotip dengan derajat bebas (n2-n)/2 dimana n merupakan alel dari lokus. Heterozigositas dihitung dengan rumus Hardy-Weinberg yaitu: He= 1-Σxi2 Dimana xi adalah frekuensi dari i, i adalah alel. Formula yang digunakan dalam menghitung nilai chi square ekspektasi Hardy-Weinberg sebagai berikut: X2= Σ(O-E)/E, O= jumlah genotip observed E= genotip penghitungan dari frekuensi alel x jumlah alel Analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk membandingkan hasil dari frequensi alel, presentase (proporsi) polimorfik dan heterozigositas. Dimana hasil tersebut didapatkan dengan memasukkan data pada progam perangkat lunak TFPGA (Tools For Population Genetic Analyses) yang merupakan paket perangkat lunak untuk memperlihatkan populasi genetik. Data hasil dari TFPGA akan disajikan dalam bentuk tabel.
Hasil dan Pembahasan Spesifik buffer dan jaringan untuk ikan bandeng adalah hati dan daging. Jaringan Hati digunakan sebagai sampel untuk Alozim karena memiliki kualitas enzim lebih baik. Menurut Mulyasari (1997), bahwa hati merupakan tempat beragam reaksi yang membutuhkan katalisator berupa enzim. Buffer elektroda yang digunakan adalah C-APM pH 6,0 karena dengan pertimbangan bahwa buffer ini memiliki pola migrasi yang cukup baik, pita yang tampak lebih jelas dan tidak mudah panas sehingga kerusakan gel akibat panas yang berlebih saat gel dielektroforesis dapat diminimalisir. Deskripsi lokus alozim Hasil dari elektroforesis terlihat pita berstruktur monomer, dimer atau lebih, bergantung pada dari enzim yang dipergunakan. Profil enzim pewarna yang terekspresi pada gel dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi lokus enzim yang terdeteksi pada ikan bandeng. No Jenis Enzim Lokus Terdeteksi Profil Enzim Jaringan 1.
6-Phosphoglucanat D. H.
Hati
6-PGD
65
++
Polimorfisme
Buffer
Polimorfik
TC-8,0
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
2.
Esterase
Hati
3.
Glucosephosphate Isomerase Isocitrate Dehydrogenase Phosphoglucomutase
Hati
4. 5.
Hati Hati
EST-1 EST-2 EST-3 GPI
+
IDH PGM-1 PGM-2
+++ +
++
Monomorfik Polimorfik Polimorfik Polimorfik
TC-7,0
Monomorfik Polimorfik Polimorfik
TC-8,0 TC-8,0
TC-8,0
Keterangan: +++ : pita sangat jelas ++ : pita cukup jelas + : pita kurang jelas : pita tidak jelas (tidak nampak)
Untuk analisis lebih lanjut, dapat dilihat pada salinan analisis zymogram berikut: 6-Phosphoglucanat Dehydrogenase (6-PGD) Ekspresi enzim 6-PGD pada gel setelah proses pewarnaan: 50 100 150
AB BC AB BB BB BB BB AB BB BB AA BB BB BB AA
Gambar 2. Lokus polimorfik 6-PGD pada ikan bandeng.
Enzim 6-Phosphoglucanat Dehydrogenase (6-PGD) terekspresi pada kutub anoda (positif). Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyono (2000) bahwa enzim 6-PGD dikode oleh satu lokus yang terdapat pada jaringan hati, pola migrasi proteinnya bergerak ke arah anoda. Pergerakan enzim ke arah kutub anoda disebabkan oleh muatan negatif enzim 6-PGD yang mudah melepas ion H, sehingga gugus karboksil (-COOH-) dari glucose menjadi bermuatan negatif. Muatan negatif dari enzim ini menyebabkan enzim bergerak ke arah anoda. Ekspresi enzim 6-PGD dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pengamatan terhadap pita elektroforesis enzim 6-PGD pada ikan bandeng yang berasal dari Aceh, Bali, Gorontalo dan Halmahera menunjukkan struktur heterozigot/polimorfik, berarti variasi gen yang dimiliki keempat sampel masih menunjukkan variasi gen yang cukup tinggi. Esterase (EST) Enzim EST dari keempat sampel hati menunjukkan pergerakan enzim ke arah kutub anoda (positif). Menurut Priyono (2000), pergerakan/migrasi enzim ke kutub anoda disebabkan oleh adanya muatan negatif dari enzim EST yaitu gugus hidrolase (-OH-), karena pengaruh muatan negatif tersebut, maka enzim bergerak ke arah anoda. Ekspresi enzim EST dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini: 50 75 100
BB AA BB BB AB BB CC BB BB BB BB BB BC BB BB AB
100
Gambar 3. Lokus polimorfik Esterase (EST) pada ikan bandeng.
Setiap lokasi ditemukan bahwa lokus EST terbagi atas 3 lokus, yaitu EST-1, EST-2 dan EST-3. Lokus EST-1 pada ikan bandeng dari Gorontalo terdeteksi polimorfik, sedangkan pada ikan
66
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
daerah lain bersifat monomorfik. Lokus EST-2 dan EST-3 masing-masing terdeteksi polimorfik. Menurut Su Xiu-Rong et. al (2008) dalam Prasetio (2008), enzim esterase memiliki fungsi yang berhubungan dengan pengaturan energi dalam digestive gland. Glucosephosphate Isomerase (GPI) Enzim GPI yang diamati menunjukkan pergerakan enzim ke arah kutub anoda (positif). Menurut Priyono (2000), hal tersebut dipengaruhi oleh muatan negatif unsur phosphat (PO 4-) pada enzim GPI sehingga pergerakan enzim bergerak mendekati kutub anoda. Ekspresi enzim GPI dapat dilihat pada Gambar 4.
50 75 100 125
CC BC BC BC CC CC BB CD CC CD AD CC BC CC
Gambar 4. Lokus polimorfik Glucose Phospahte Isomerase(GPI).
Pada keempat populasi menunjukkan sifat polimorfik. Enzim GPI berperan dalam metabolisme pertumbuhan (Garton, 1984 dalam Prasetio, 2008). Isocitrate Dehydrogenase (IDH) Pada enzim IDH yang diamati, menunjukkan pola migrasi enzim bergerak ke arah anoda (positif). Pergerakan tersebut dipengaruhi oleh co-enzim NAD+ yang bereaksi dengan asam sitrat kemudian membentuk NADPH + H+ dan asam oxalosuccinat yang mempunyai gugus CH2COOH bermuatan negatif, sehingga enzim yang bermuatan negatif bergerak ke arah anoda (Priyono, 2000). Ekspresi enzim IDH dapat dilihat pada Gambar 5. 100 120
BB BB BB BB BB BB BB BB BC BB BB BB BB BB BB
Gambar 5. Lokus polimorfik Isocitric Dehydrogenase (IDH).
Berdasarkan profil enzim yang terekspresi, lokus IDH diketahui bersifat monomorfik/homozigot. Ekspresi enzim IDH berkaitan dengan kemampuan organisme dalam mentoleransi geografis (habitat) organisme tersebut (Sokolova dan Portner, 2001 dalam Prasetio, 2008). Sifat monomorfisme yang terekspresi pada keempat populasi sampel mengindikasikan bahwa populasi ikan bandeng dari keempat lokasi memiliki kemampuan mentoleransi lingkungan yang sama. Phosphoglucomutase (PGM) Enzim PGM terekspresi aktif pada daerah kutub anoda (positif). Hal ini sesuai dengan Priyono (2000) yang mengemukakan bahwa aktivitas enzim PGM pada jaringan hati, pola pergerakan pita/band menuju anoda dan katoda, yang disebabkan oleh muatan posotif dan negatif enzim karena pengaruh co-enzim NADP menjadi NADPH sehingga unsur glucose 6 phosphat menjadi 6 phosphat glucose. Ekspresi enzim PGM dapat dilihat pada Gambar 6.
67
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
75 100 125
BB BB BC CC BB BB BB BB AB BB AB AB AA AA AA
Gambar 6. Lokus polimorfik Phospoglucomutase (PGM).
Dari setiap lokasi ditemukan bahwa lokus enzim PGM terbagi menjadi 2, yaitu PGM-1 dan PGM2, masing-masing terdeteksi polimorfik. Enzim PGM berperan dalam toleransi terhadap perubahan musim di alam (Pogson, 1991 dalam Prasetio, 2008). Sifat polimorfisme yang terekspresi pada keempat sampel mengindikasikan bahwa populasi ikan bandeng dari tiap lokasi memiliki kemampuan yang hampir sama dalam mentoleransi perubahan musim di alam. Ekspresi enzim polimorfik Dari hasil analisis alozim yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat perbedaan ekspresi enzim pada setiap populasi (Aceh, Gorontalo, Bali, Halmahera). Informasi berupa gen akan selamanya tersimpan dalam kodon-kodon apabila tidak terekspresikan dalam molekul protein. Molekul protein inilah yang selanjutnya menjadi ciri-ciri yang dapat diliihat baik dalam bentuk protein itu sendiri maupun dalam sebuah gambaran fisiologis, anatomis, biokimia atau bahkan prilaku tertentu. Apabila genotip ini telah terekspresikan dalam bentuk protein dan telah terpengaruhi faktor luar (lingkungan), maka ciri-ciri tersebut akan menjadi sebuah penampilan (fenotip) (Sofro, 1994). Pada lokus GPI, heterozigositas terdapat pada semua populasi, dengan heterozigositas tertinggi pada populasi Aceh (Ho= 0,6238) dan terendah pada populasi Gorontalo (Ho= 0,5537). Sama seperti lokus GPI, pada lokus 6-PGD, heterozigositas juga terdapat pada setiap populasi, dengan heterozigositas tertinggi pada populasi Bali (Ho= 0,3738) dan terendah pada populasi Aceh (Ho= 0,2650). Pada lokus EST-1, heterozigositas hanya terdapat pada populasi Gorontalo (Ho= 0,1387). Pada lokus EST-2 dan EST-3, heterozigositas terdapat pada setiap populasi, dengan heterozigositas tertinggi untuk EST-2 pada populasi Halmahera (Ho= 0,4988) dan EST-3 pada populasi Bali (Ho= 0,6075), sedangkan terendah untuk EST-2 pada populasi Aceh (Ho= 0,3750) dan EST-3 juga pada populasi Aceh (Ho= 0,3387). Untuk lokus IDH, heterozigositas hanya terdapat pada populasi Aceh (Ho= 0,0487). Untuk lokus PGM-1, heterozigositas juga terdapat pada setiap populasi, dengan heterozigositas tertinggi pada populasi Gorontalo (Ho= 0,5650) dan terendah pada populasi Aceh (Ho= 0,3400). Untuk lokus PGM-2, pada populasi Aceh tidak terdapat heterozigositas dan heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi Halmahera (Ho= 0,4911). Menurut Allendorf dan Utter (1979) dalam Priyono (2000), jumlah keragaman genetik yang tinggi sebagai hasil analisis lokus isozim merupakan sebuah indikator dari keragaman genetik yang tinggi di seluruh genom suatu populasi. Dari hasil keseluruhan pita elektroforesis yang terekspresi, populasi yang berasal dari Bali memiliki heterozigositas tertinggi (Ho= 0,3071) dibandingkan dengan populasi dari daerah yang lain. Heterozigositas terendah terdapat pada populasi yang berasal dari Aceh (Ho= 0,1991). Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Adiputra et al. (2012) yang menyatakan bahwa populasi Aceh memiliki heterozigositas tertinggi dengan nilai H= 0,187 dan populasi Sidoarjo memiliki heterozigositas terendah dengan nilai H= 0,041 sedangkan populasi Bali memiliki tingkat heterozigositas sebesar 0,055. Variasi genetik ikan bandeng Heterozigositas yang terdeteksi pada populasi yang berasal dari Aceh, Gorontalo, Bali dan Halmahera berturut-turut adalah sebesar 0,1991; 0,2601; 0,3071 dan 0,2886 seperti pada Tabel 2. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat perbedaan karakter genetik antara populasi ikan dari tiap lokasi.
68
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Tabel 2. Ringkasan nilai variasi genetik ikan bandeng. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Parameter Jumlah Sampel Jumlah Lokus Jumlah Lokus Polimorfik % Polimorfik Jumlah Alel/lokus Heterozigosita Teramati (Ho) Heterozigositas Harapan (He) Heterozigositas Ho/He
Aceh 20 10 7 60,00 1,6 0,1991 0,2045 0,97
Gorontalo 20 10 7 70,00 1,8 0,2601 0,2668 0,97
Bali 20 10 6 60,00 1,9 0,3071 0,3178 0,97
Halmahera 20 10 6 60,00 1,9 0,2886 0,2985 0,97
Berdasarkan tingkat kekerabatan genetiknya yang dihitung menggunakan perangkat lunak TFPGA, diketahui bahwa tingkat kekerabatan genetik paling dekat adalah antara populasi ikan bandeng yang berasal dari daerah Gorontalo dengan Halmahera, yaitu sebesar 0,0324. Berarti terdapat perbedaan genetik sebesar 3,24% pada kedua populasi tersebut. Kemudian tingkat kekerabatan genetik yang paling jauh adalah antara populasi ikan bandeng yang berasal dari daerah Aceh dengan Gorontalo, yaitu sebesar 0,1733. Berarti terdapat perbedaan genetik sebesar 17,33% pada populasi ikan bandeng Aceh dan Gorontalo. Namun, Adiputra et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa populasi bandeng dari Sidoarjo dan Jepara memiliki kekerabatan terdekat (0,016), sedangkan populasi Aceh dan makasar yang terjauh (0,302). Populasi ikan bandeng di Gorontalo dan Halmahera memiliki tingkat kekerabatan genetik yang paling dekat. Hal ini disebabkan oleh letak perairan Teluk Tomini (Gorontalo) dekat dengan perairan Laut Halmahera, yang merupakan lokasi pengambilan sampel, sehingga memungkinkan untuk populasi ikan bandeng melakukan migrasi pada dua perairan tersebut. Untuk populasi ikan bandeng dari Aceh, kekerabatan yang terdekat adalah populasi yang berasal dari Bali. Salah satu hal yang menyebabkan adanya kesamaan alel pada kedua populasi tersebut adalah intensifnya pengiriman benih bandeng (nener) yang dimulai dari tahun 1992. Berdasarkan hasil UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean), didapatkan 2 kelompok gen, yaitu populasi Gorontalo (populasi 2) dan Halmahera (populasi 4) sebagai kelompok 1 kemudian populasi Aceh (populasi 1) dan Bali (populasi 3) sebagai kelompok 2. Jarak genetik antar kedua kelompok tersebut adalah sebesar 0,1124. Hasil UPGMA dapat dilihat pada Gambar 7.
Gorontalo Halmahera Aceh Bali
Gambar 7. Hasil UPGMA Populasi Ikan Bandeng
Lebih lanjut menurut Ravago dan Marie (2004), yang menyatakan bahwa profil lokus dari AFLP menunjukkan empat kelompok: populasi Bali, Makassar dan Berau sebagai kelompok 1, populasi Pontianak sebagai kelompok 2, populasi Sidoarjo dan Jepara sebagai kelompok 3 dan populasi Aceh sebagai kelompok 4.
69
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Kesimpulan Penggunaan 5 jenis enzim, yaitu 6-phosphoglucanat D. H. (6-PGD), esterase (EST), glucosephosphate isomerase (GPI), isocitrate dehydrogenase (IDH) dan phosphoglucomutase (PGM) dapat mengekspresikan variasi genetik pada ikan Bandeng. Populasi ikan bandeng yang berasal dari Bali memiliki genotip yang lebih baik dibandingkan dengan populasi ikan bandeng dari daerah lain. Berdasarkan tingkat kekerabatan genetik, populasi ikan bandeng Gorontalo dengan Halmahera memiliki tingkat kekerabatan paling dekat yaitu bernilai 0,0324, sedangkan populasi ikan bandeng Aceh dengan Gorontalo memiliki tingkat kekerabatan terjauh yaitu bernilai 0,1733.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapakan terimakasih kepada Prof. Haryanti, Koordinator Laboratorium Bioteknologi atas segala masukan dan saran yang diberikan.
Daftar Pustaka Adiputra, Y.T., J.C. Chuang and J.C. Gwo. 2012. Genetic Diversity of Indonesia milkfish (Chanos chanos) Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Analysis. African Journal of Biotechnology. Vol 11 (13). pp 3055-3060. Fardiansyah, D. 2011. Seluruh Provinsi Mencapai Target Produksi Bandeng, Target Nasional Tercapai 120,64 Persen. http://www.djpb.kkp.go.id. diakses tanggal 2 Juli 2012. Harris, H. dan Hopkinson. 1976. Hand book Of Enzyme Electrophoresis In Human Genetic. American Elsevier Publishing Company Inc. Ney York. 308 hlm. Mulyasari. 1997. Analisis Variasi Genetik Ikan Kerapu Bebek. Skripsi. Sekolah Tinggi Pertanian. Serang. 44 hlm. Nugroho, E. 2002. Rapid Fluctuation of Genetic Variability in Artificilly Propagated Population of Red Sea Bream. Indonesian Journal Agriculture Biotechnology. Indonesian Agency for Agriculture Research and Development. Permana, I.G.N. 2006. Analisa Allozymes Elektroforesis. Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali. 8 hlm. Prasetio, A.B. 2008. Variasi Genetik Induk Abalon Haliotis asinine Dari Alam dan Turunan Pertama (F1) Dengan Analisis Allozyme Elektroforesis. Tesis. Program Magister Universitas Brawijaya. Malang. 55 hlm. Priyono, A. 2000. Analisis Isozim Variasi Genetik Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal) Turunan-1 dan Turunan-2 di Kawasan Pembenihan Pantai Utara Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang. 55 hlm. Ravago, R.G. and A.J. Marie. 2004. Population Genetic Structure of the Milkfish, Chanos chanos, Based on PCR-RFLP Analysis of the Mitochondrial Control Region. Marine Biology. Vol 145. pp 789801. Satyantini, W.H. 1999. Analisis Isozim Untuk Mengetahui Variasi Genetik Beberapa Populasi Ikan Kakap Putih (Lates calcalifer). Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang. 44 hlm. Sofro, A.S.M. 1994. Keanekaragaman Genetik. Andi Offset. Yogyakarta. 126 hlm. Sugama, K. 1988. Population Genetic Analysis of Red Sea Bream, Pagrus mayor. Thesis for The Degree of Master of Science. Kochi University. Japan. Sugama, K. 1991. Studies on Genetic Variation and Chromosome Set Manipulation in Red Sea Bream (Pagrus major). A Thesis of Doctor in Agriculture Science. Ehime United Graduate School. Japan. 171 hlm. Yusron, E. 2005. Pemanfaatan Keragaman Genetik Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hayati Laut. Oseana, Volume XXX, Nomor 2: 29 – 34.
70