Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
PENENTUAN VARIASI GENETIK IKAN BATAK (Tor soro) DARI SUMATERA UTARA DENGAN METODE ANALISIS RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) SIDI ASIH, E. NUGROHO dan MULYASARI Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1 Bogor 16154
ABSTRAK Variasi genetik ikan Batak yang dikoleksi dari daerah Asahan, Tarutung, Aek Sirambe, Bahorok di Sumatera Utara dan Sumedang di Jawa Barat telah diteliti menggunakan metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD). Primer yang digunakan untuk analisis adalah OPC-01 dan OPC-02. Dari 2 primer yang dicoba hanya OPC-01 yang menunjukkan hasil PCR yang baik. Berdasarkan nilai rata-rata heterozigositas dan persentase loki polimorfik diketahui bahwa secara umum keragaman genetik ikan Batak yang dianalisis tergolong rendah. Analisis RAPD menunjukkan secara genetik tidak ada perbedaan yang nyata diantara ke lima populasi ikan Batak. Kata kunci: Variasi genetik, Tor soro, metode RAPD
PENDAHULUAN Potensi plasma nutfah ikan air tawar asli di Indonesia cukup besar. Di Pulau Sumatera terdapat 30 jenis, Kalimatan 149 jenis, Jawa 12 jenis dan Sulawesi 149 jenis, KOTTELELAT et al. (1983). Beberapa jenis telah dimanfaatkan sebagai ikan budidaya. Salah satu diantaranya yang sedang dalam taraf domestikasi untuk dimanfaatkan sebagai komoditas budidaya nantinya adalah ikan Ihan/ikan Batak/Masheer (Tor soro). Habitat ikan Batak adalah aliran sungai dan perairan umum pada dataran tinggi yang penyebarannya meliputi Sumatera, Jawa, Malaysia, Birma, Thailand dan Indocina (KOTTELELAT, 1993). Di Jawa, ikan Batak ditemukan di daerah Kuningan dan Sumedang dan dikenal sebagai ikan Dewa. Selain untuk dikonsumsi, ikan Batak bagi masyarakat Sumatera Utara mempunyai nilai religius tersendiri yang dipakai dalam upacara adat sehingga mempunyai nilai ekonomis tinggi. Populasi ikan Tor soro di Pulau Jawa mulai langka dan di Sumtera menurun akibat adanya eksploitasi penangkapan ikan tersebut dan juga rusaknya lingkungan tempat ikan berkembangbiak. Habitat yang kurang bagus dapat menyebabkan perkembangan populasi tertekan dan kemampuan reproduksi menurun. Padahal reproduksi penting terhadap kelangsungan keragaman gen menurut WHITMORE (1999) disitasi SUWARSO (2002), reproduksi merupa-
292
kan unit yang fundamental dan keberadaannya penting untuk pembentukan individu baru dan keragaman sumberdaya genetik suatu populasi. Domestikasi adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan sumber plasma nutfah jenis-jenis ikan yang saat ini semakin langka seperti halnya ikan Batak. Pengembangan ikan Batak melalui program domestikasi, didahului dengan mengumpulkan informasi atau data dasar genetik dari ras–ras ikan Batak yang merupakan syarat awal dalam menentukan variasi genetik atau kekerabatan yang dimiliki. Menurut DUNHAM (2002), variasi genetik penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang suatu spesies dan juga dapat menjamin fitness suatu spesies atau populasi dengan memberikan spesies atau populasi tersebut kemampuan untuk beradaptasi pada perubahan lingkungan. Penentuan variasi genetik pada ikan dapat dilakukan berdasarkan karakter morfologi dan genotipnya. Secara genotip, variasi genetik dapat dilakukan melalui pendekatan molekuler dengan berbagai macam metode antara lain adalah alozim/isozim, DNA mitokondria, Restrictrion Fragment Length Polymorphism (RLFP), Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD), DNA mikrosatelit dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variasi genetik ikan Batak dengan metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) sehingga diperoleh informasi tentang
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
status genetik ikan Batak sebagai bahan masukan dalam penentuan pengelolaan ikan Batak tersebut. BAHAN DAN METODE Ikan uji Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Batak (Tor soro) yang berasal dari Sungai Aek Sirambe, Aek Sarula Tarutung, Bahorok dan Asahan dari Sumatera Utara serta ikan dari Sumedang Jawa Barat (Gambar 1). Sampel ikan hidup dipotong bagian siripnya yang kemudian disimpan dalam larutan alkohol 70% sampai akan digunakan. Ekstraksi DNA DNA ikan diekstraksi dengan menggunakan metode Phenol-Chloroform. Bagian dari tubuh ikan yang akan diekstraksi adalah
potongan sirip dengan berat 5-10 mg, sirip tersebut dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml yang telah berisi 500 ul larutan TNES urea. Kemudian ditambahkan 15 ug/ml protein kinase dan diinkubasikan pada suhu 55oC selama 1 jam. Setelah didinginkan pada suhu kamar, ditambahkan ke dalamnya larutan Phenol-Chloroform-Isoamylalcohol sebanyak 1000 ul. Kemudian disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Lapisan supernatannya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung baru, dan ditambahkan 1000 ul larutan etanol 90% dan 10 ul larutan natrium asetat (CH3COONa) divortex sampai terlihat endapan putih. DNA diendapkan dengan cara mensentrifus campuran tersebut pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit, kemudian larutan di atasnya dibuang dan DNA dikeringkan pada suhu kamar. Kemudian dilarutkan kembali dalam 50-100 ul TrisEDTA (TE) buffer dan disimpan dalam 4oC sebelum digunakan pada tahap selanjutnya.
Sumedang S. Bahorok
S. Asahan S. Aek Sirambe
S. Aek Sarula, Tarutung
Gambar 1. Peta posisi dari empat lokasi aliran sungai sebagai habitat ikan Batak yang diamati
RAPD Primer yang digunakan dalam RAPD adalah OPC-01 dengan urutan basa TTC GAG CCA G dan OPC-02 dengan urutan basa GTG AGG CGT C. Proses amplifikasi dilakukan menggunakan metode Polymerize Chain
Reaction (PCR) dengan komposisi reaksi yang terdiri: 10 ug, 10 pmol primer dan “pure taq DNA” (Promega) dengan total volume keseluruhannya 25 ul. Siklus PCR yang digunakan dalam amplifikasi adalah satu siklus denaturasi pada suhu 94oC selama 2 menit. 35 siklus penggandaan yang terdiri dari 94oC
293
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
selama 1 menit, 36oC selama 1 menit dan 72oC selama 2,5 menit. Selanjutnya satu siklus terakhir pada suhu 72oC selama 10 menit. Hasil PCR kemudian dipisahkan secara elektroforesis dengan menggunakan gel agarose 2-3% dalam Tris-Boric-EDTA (TBE) buffer dan diamati dengan illuminator (UV) serta di cetak gambarnya dengan polaroid. Analisa data Nilai heterozigositas dan loki polimorfik dihitung berdasarkan persamaan HARDYWEINBERG dan NEI (1978) sedangkan analisa statistik yang digunakan adalah analisa perbandingan berpasangan Fst (SOKAL dan ROHLF, 1995) dalam program Tools for Population Genetic Analysis (TFPGA). Kekerabatan antar populasi dianalisa dengan menggunakan jarak genetik D, yang dihitung menurut WRIGHT (1978) modifikasi dari ROGERS (1972) dengan program TFPGA. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari 2 primer yang dicoba hanya 1 primer menunjukkan hasil PCR yang baik. Primer OPC-01 mempunyai fragmen yang dapat digunakan sebagai pembeda diantara populasi ikan Batak yang diuji. Salah satu contoh hasil RAPD tertera pada Gambar 2. Keragaman genetik yang ditentukan oleh nilai rata-rata heterozigositas dan persentase loki polimorfik dari ikan Batak yang dianalisis C21
C Br Tu
Br5
= = =
Sumedang Bahorok Tarutung
Br22
As Ah
Tu1
= =
berkisar antara 0.0808 – 0.0932 dan 22-33% (Tabel 1). Nilai heterozigositas paling tinggi terlihat pada populasi dari Tarutung (0.1250) dan nilai terendah adalah ikan yang berasal dari Sumedang (0.0808). Persentase polimorfik tertinggi berasal dari daerah Tarutung dan Sumedang yaitu 33%, sedangkan persentase ikan Batak yang berasal dari Asahan, Aek Sirambe dan Bahorok sama yaitu 22%. Secara umum ikan Batak yang dianalisis memiliki keragaman genetik yang rendah bila dibandingkan dengan ikan air tawar lain seperti ikan Baung (NUGROHO, 2005) dan ikan Pangasius (RINA, 2001). Rendahnya keragaman genetik ini mengindikasikan bahwa populasi ikan Batak memiliki laju migrasinya yang sempit dan terisolasi sehingga pertukaran gen dengan populasi lain sangat kecil, disamping itu juga budidaya komoditas ini masih belum banyak dilakukan. Hambatan pengembangan ikan jenis ini adalah adanya aturan tidak tertulis bahwa ikan ini dikeramatkan sehingga tidak ada masyarakat yang berani untuk membudidayakannya. Terjadinya pembatasan pertukaran gen ini mengakibatkan peluang perkawinan sekerabat atau inbreeding sangat besar. Keadaan ini dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan rendahnya variasi genetik bahkan lebih jauh lagi akan muncul peluang homosigot yang lebih tinggi. Jika hal ini terjadi ditambah pula dengan rusaknya habitat ikan Batak tersebut, maka keberadaan ikan ini di alam mengkhawatirkan terjadinya pengurang fitnes, fiabilitas dan kelangsungan hidup. Tu3
Ah1
Ah12
As4
As1
Asahan Aek Sirambe
Gambar 2. RAPD ikan Tor soro menggunakan primer OPC-01 Tabel 1. Heterozigositas dan persentase loki polimorfik ikan Batak hasil RAPD menggunakan primer OPC01
294
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Uraian Heterozigositas Loki polimorfik (%)
Sumedang 0,0808 33,33
Tarutung 0,1250 33,33
Bahorok 0,0932 22,22
Asahan 0,0905 22,22
Aek Sirmbe 0,092 22,22
Tabel 2. Nilai P dari uji perbandingan berpasangan Fst Uraian Tarutung Bahorok Asahan Aek Sirambe
Sumedang 0,3272 0,5350 0,1207 0,8343
Tarutung xxxxxxxx 0.9996 0,9993 0,8601
Secara statistik dengan menggunakan uji perbandingan berpasangan Fst menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan genetik secara nyata antara populasi ikan Batak yang diuji (P>0,05) berdasarkan tipe restriksinya (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa ikan Batak yang berasal dari Sumatera Utara dan ikan Batak dari Sumedang Jawa Barat masih satu keturunan. Jarak genetik (D) yang dihitung menurut WRIGHT (1978) modifikasi dari ROGERS (1972) secara komputasi dengan program TFPGA berdasarkan fragmen RAPD dari primer OPC-01 antara koleksi ikan Batak tertera pada Tabel 3. Berdasarkan perhitungan jarak genetik dari 5 populasi ikan Batak, diperoleh nilai jarak genetik terdekat adalah antara populasi dari Tarutung dengan populasi dari Bahorok yaitu sebesar 0.1199, kemudian antara populasi Tarutung dan Bahorok dengan populasi dari Asahan yaitu 0.1636 dan antara Aek Sirambe dengan populasi dari Sumedang yaitu 0.1813. Sedangkan jarak paling jauh adalah jarak genetik antara populasi Tarutung, Bahorok dan Asahan dengan populasi dari Sumedang dan Aek Sirambe dengan jarak genetik sekitar 0.2667. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik tersebut dengan menggunakan program Unweighted
Bahorok
Asahan
Aek Sirambe
xxxxxxxx 0,9999 0,9656
xxxxxxxxx 0,8250
xxxxxxxxx
Pair Group Arithmatic Average (UPGMA) menunjukkan bahwa antara populasi ikan dari daerah Tarutung, Bahorok dan Asahan mempunyai kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan kekerabatan antara ketiganya dengan ikan dari daerah Aek Sirambe dan Sumedang (Gambar 2). Kedekatan jarak genetik antara populasi ikan Batak dari sungai di daerah Tarutung dengan Bahorok dan ikan dari Asahan mengindikasikan bahwa ikan Batak dari daerah-daerah tersebut masih berasal dari satu populasi. Hal ini diduga karena secara geografis sungai yang mengalir di ketiga daerah tersebut dulunya berasal dari satu hulu yang sama yaitu Danau Toba yang merupakan habitat asal ikan Batak (Gambar 1). Meskipun populasi ikan Batak asal Sumatera Utara dengan Sumedang Jawa Barat memiliki garis keturunan yang sama, namun terdapat perbedaan jarak genetik yang cukup jauh antara Tarutung, Bahorok dan Asahan dengan Sumedang. Hal ini diduga karena secara geografis letak Sumedang terpisah jauh dari ketiga daerah tersebut disamping itu kondisi lingkungan perairan yang berbeda dan pola migrasi yang terbatas juga bisa menyebabkan jauhnya kekerabatan antara populasipopulasi ikan tersebut.
Tabel 3. Jarak Genetik, D, ikan Tor soro dari Asahan, Aek Sirambe, Tarutung, Bahorok dan Sumedang Uraian Tarutung Bahorok Asahan Aek Sirambe
Sumedang 0,2769 0,2451 0,3744 0,1831
Tarutung xxxxxxxx 0,1199 0,1749 0,2433
Bahorok
Asahan
Aek Sirambe
xxxxxxxx 0,1524 0,1679
Xxxxxxxxx 0.2928
Xxxxxxxxx
295
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tarutung
Bahorok
Asahan
Sumedang
Aek Sirambe
0.300
0.225
0.150
0.075
0.000
Gambar 3. Dendrogram ikan Batak dari Asahan, Aek Sirambe, Tarutung, Bahorok dan Sumedang
Menurut IGUCHI (1999) disitasi RINA (2001), isolasi karena perbedaan jarak merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan akan mempengaruhi laju aliran gen antara lokasi yang terpisah dan pada akhirnya akan mengakibatkan meningkatnya perbedaan genetik. Ikan Batak yang berasal dari Aek Sirambe ditinjau dari jarak genetiknya memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan populasi dari Sumedang dibandingkan populasi ikan yang berasal dari daerah Sumatera Utara lainnya. Hal ini terjadi karena adanya genetic introgession dari Sumedang ke danau Toba dimana Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar pernah melakukan restocking ikan Batak asal Sumedang di Danau Toba yang kemudian beradaptasi dan terjadi perkembangbiakan populasi. Dari semua populasi ikan Batak yang dianalisis, memiliki satu lokus yang sama yaitu lokus dengan berat molekul 1500. Lokus ini bisa diindikasikan sebagai ciri dari ikan Batak. Dari 5 populasi ikan Batak yang diuji hanya satu yang mempunyai lokus dengan berat molekul (BM) 2000 yaitu populasi ikan dari Sumedang. Sedangkan populasi yang memiliki lokus dengan BM 650 hanya populasi yang berasal dari Asahan dan lokus dengan BM 600
296
hanya dimiliki oleh populasi dari Aek Sirambe. Berdasarkan perbedaan lokus ini, ketiga populasi tersebut potensial digunakan untuk program pemuliaan. Hal tersebut dilakukan untuk mempersempit peluang terjadinya perkawinan sekerabat jika pemuliaan dilakukan terhadap ikan Batak. KESIMPULAN Berdasarkan nilai rata-rata heterozigositas dan persentase loki polimorfik keragaman genetik ikan Batak di daerah Sumatera Utara tergolong rendah. Secara statistik tidak terdapat perbedaan genetik yang nyata antara ikan Batak dari daerah Tarutung, Asahan, Bahorok, Aek Sirambe dan Sumedang. Secara kekerabatan antara populasi ikan dari daerah Tarutung, Bahorok dan Asahan mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan dengan kekerabatan antara ketiganya dengan ikan dari daerah Aek Sirambe dan Sumedang.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
DAFTAR PUSTAKA DUNHAM, R.A. 2002. Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic Approach. CABI Publishing, Cambridge, USA. 85-99 p. KOTELLAT, M., WITTHEN, JA., and WIRYOATMODJO, S. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition and EMDI Project Indonesia, Jakarta, Indonesia. 221 p. MILLER, M.P. 1997. Tools For Population Genetic Analysis (TFPGA) Version 1.3. Department of Biological Science. Northern Arizona University, Arizona, USA. MORIA, S.B., HARYANTI, PERMANA, I.G.N., dan SUSANTO, B. 2005. Karakteristik Genetik Induk Rajungan Portunus pelagicus dari Beberapa Perairan Melalui Analisis RFLP MtDNA. JPPI, Vol. 11(5):57-62. NUGROHO, E. 2001. Capability of Mitochondria DNA-D-Loop Markers from Shark Species Identification. IFR Journal, Vol 7(1): 62-66. NUGROHO, E. TAKAGI, M, and TANIGUCHI, N. 1997. Practical Manual on Detection of DNA Polymorphism in Fish Population Study. Bulletin of Marine Sciences and Fisheries Kochi University, No.17:109-129. NUGROHO, E., HADIE, W., SUBAGJA, J. dan KURNIASIH, T. 2005. Keragaman Genetik dan Morfometrik pada Ikan Baung Mystus nemurus dari Jambi, Wonogiri dan Jatiluhur. JPPI, Vol 11(7): 1-6. NUGROHO, E., KURNIASIH, T., SUBAGJA, J., dan ASIH, S. 2005. Evaluasi Keragaman Genetik Ikan Batak (Tor Soro). Kumpulan Hasil Riset
Tahun 2005. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. NUGROHO, E., WIDIATI, A., IMRON dan KADARINI, T. 2002. Keragaan Genetik Ikan Nila Gift berdasarkan Polimorfism Mitokondria DNA D-loop. JPPI, Vol 8 (3): 1-6. PERMANA, I.G.N., MORIA, S.B., HARYANTI dan SUGAMA, K. 2003. Genetics Identification and Variation of Red Snapper Lutjanus sp through Allozyme Electrophoretic Analysis. IFR Journal, Vol. 9 (1): 33-40. RINA. 2001. Keragaman Genetik Ikan Pangasius Indonesia berdasarkan Analisis Mitokondria DNA dengan Teknik PCR-RFLP. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. SUGAMA, K. and PRIJONO, A. 1998, Biochemical Genetic Differentiation Among Wild Populations of Milkfish (Chanos chanos) in Indonesia. IFR Journal Vol. 4 (1) : 11-18. SUWARSO. 2002. Variasi Genetik dalam Struktur Genetik Populasi Ikan Kakap Merah Lutjanus malabaricus (Lutjanidae) dan Interaksi Lingkungan di Pulau Jawa. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. WIJANA, I.M.S. 1999. Keragaman Enzim dan Morfologi Belut, Monopterus altus Zuiew (Sybranchidea: Synbranchidae). Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. YUNUS, M., BUSTAMAN, M., CHRISTIANTHY, S., SUWARNO dan LUBIS, E. 1999. Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi Hasil Silang Balik IRBB5 dan IR64. Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol 4(2): 56-60.
297