MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan hutan. Dari hasil monitoring tersebut dapat dipakai sebagai instrument guna mengetahui apakah pengelolaan hutan yang dijalankan PT BUMWI perlu ada koreksi atau tidak. Berdasar hasil monitoring lingkungan yang dilakukan pada tahun 2013 dihasilkan temuan sebagai berikut : 1. Kerapatan tegakan sekunder : Berdasar hasil monitoring terhadap areal bekas tebangan (LOA) tahun 1988 s/d 1992 yang dilakukan pada tahun 2013 , terlihat bahwa areal LOA blok 1988 s.d. 1992 setelah melalui kurun waktu 20 - 25 tahun telah menunjukkan proses pemulihan yang baik. Hal ini terindikasikan dengan tingginya kerapatan individu atau jumlah individu per hektar pada tingkat strata pohon (lihat gambar 1). 250
217 199
200
183
181
168
185 156
Gambar 1. Kecenderungan kerapatan individu (N/ha) tingkat strata pohon pada areal LOA (1988 s.d. 1992) dan virgin forest (2013 dan AB).
150 100 50 0 2013 AB 1988 1989 1990 1991 1992
2. Potensi Hutan Sekunder : Berdasar hasil monitoring/uji petik standing stock pada Areal Bekas Tebangan (ABT) blok 1988 s.d. 1992 menunjukkan bahwa standing stock cukup tinggi dan pada saat telah masuk umur masak tebang di ujung daur (Et+30) diperkirakan potensi produksi sudah sama/mendekati potensi hutan primer (lihat gambar 2). 300 250 200 150
246.66 202.46
202.18 157.06
143.66 136.25 138.16
100 50 0 2013 AB 1988 1989 1990 1991 1992
Gambar 2. Kecenderungan potensi volume (m3/ha) tingkat strata pohon pada areal LOA (1988 s.d. 1992) dan virgin forest (2013 dan AB).
3.
Struktur vegetasi
Dinamika struktur vegetasi hutan mangrove digambarkan melalui analisis vegetasi berupa komposisi vegetasi dan Indek Nilai Penting (INP) dari hutan mangrove primer dan sekunder. Berdasar penelitian Muhamad Hardika Vindrianata (2012) di areal kerja PT BUMWI, menunjukkan bahwa komposisi vegetasi antara hutan sekunder dan primer tidak menunjukkan banyak perbedaan, bahkan jumlah Famili, Genus dan Jenis vegetasi lebih tinggi pada hutan sekunder dibanding hutan primer. Sedangkan INP tertinggi, baik pada hutan sekunder maupun primer didominasi oleh jenis yang sama, yaitu : Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera parviflora dan Ceriops decandra. Secara rinci digambarkan sebagai berikut : a. Komposisi vegetasi : Tabel 1. Komposisi Vegetasi Areal PT. BUMWI. Tingkat pertumbuhan No.
Jumlah
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Keterangan
HS
HP
HS
HP
HS
HP
HS
HP
1.
Famili
6
3
6
2
4
2
4
3
HP = Hutan Primer
2.
Genus
8
5
8
4
6
4
6
5
HS = Hutan Sekunder
3.
Jenis
12
8
15
10
10
9
11
9
b. Jenis vegetasi dengan Indek Nilai Penting (INP) tertinggi : Tabel 2. Jenis Vegetasi dengan Indek Nilai Penting (INP) tertinggi
Tingkat pertumbuhan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Keterangan
Hutan Sekunder
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Hutan Primer
Ra
Bp
Ra
Bp
Ra
Ra
Ra
Ra
Ra = R. apiculata
Bp
Ra
Cd
Ra
Bp
Bp
Bp
Bp
Bp = B. parviflora
Cd
Cd
Bp
Cd
Cd
Cd
Bg
Bg
Bg = B.gymnorhiza Cd = C. decandra
Demikian pula dari hasil monitoring pada LOA tahun 1988 s/d 1992 juga menunjukkan kecenderungan pemulihan hutan sekunder kembali seperti hutan primer. Indikator pulihnya tegakan adalah kerapatan individu per hektar pada lima blok tebangan pertama (blok 1988 s.d. 1992) dengan rerata mencapai 175 batang/ha dan 3 rerata potensi volume yang mencapai 155,52 m /ha. Susunan dominasi spesies pada areal bekas tebangan juga tidak berubah dari komposisi virgin forest. Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan Bruguiera parviflora yang merupakan jenis dominan pada virgin forest tetap merupakan jenis dominan pada lima blok tebangan pertama.
4. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN)
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa areal KPPN berada dalam kondisi utuh dan tidak terdapat gangguan dari pihak luar. Penutupan vegetasi berada dalam kondisi baik dan tidak terdapat penebangan maupun pembukaan lahan pada areal KPPN. Kondisi spesies yang butuh perhatian khusus yaitu Ceriops decandra (dengan status Near Threatened menurut Red List IUCN v 3.1 tahun 2012), namun kondisinya berada dalam kondisi optimal dengan kelimpahan dan distribusi yang tinggi pada seluruh tingkatan strata.
5. Kawasan Kantong Satwa
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kawasan Kantong Satwa di S. Naramasa berada dalam kondisi baik. Tidak ditemukan kerusakan maupun gangguan di kawasan Kantong Satwa. Terdapat penambahan dua ekor spesies fauna maskot kus kus pohon (Phalanger orientalis) yang diselamatkan dari lokasi yang akan menjadi lokasi blok tebangan yaitu blok URKT 2013. Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener (H’) untuk jenis komposisi fauna yang ditemukan cukup tinggi yaitu sebesar 3,11. Fauna yang terpantau adalah sebanyak 35 jenis fauna dengan jumlah individu sebesar 204 ekor fauna.
6. Kualitas air Penggunaan oli sebagai bahan pelicin pada kegiatan penyaradan kayu terlihat tidak mencemari dan tidak merusak kualitas air pada lokasi bekas tebangan. Rerata nilai pH dari seluruh titik sampel pada areal bekas tebangan adalah sebesar 7.23 sedangkan rerata nilai pH dari seluruh titik sampel pada virgin forest adalah sebesar 6.96. Nilai tersebut masih berada dalam kisaran pH netral (pH 7) dan tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan menurut Kepmen KLH No. KEP-02/MENKLH/I/1988 (pH 6,0 – 9,0). Siklus pasang surut diurnal pada kawasan Teluk Bintuni terlihat mampu menjadi sistem nature purification di ekosistem mangrove yang dikelola oleh PT. BUMWI. Selain itu, kontrol pembatasan penggunaan bahan pelicin sejauh ini cukup baik untuk mencegah agar tidak terjadi pencemaran pada areal tebangan. 7. Pemadatan/Penurunan Tanah
Hasil pemantauan untuk sub komponen tanah menunjukkan bahwa pada areal bekas tebangan (ABT), khususnya pada lokasi Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) tidak terlihat pola penurunan permukaan tanah akibat kegiatan pemanenan kayu pada hutan mangrove, pada areal ABT rata-rata solum setebal 50 cm, sedang pada virgin forest setebal 54 cm . Bahkan terdapat lapisan tanah pada areal bekas tebangan yang lebih tinggi dibanding lokasi virgin forest di sekitar titik sampel. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penebangan kayu dan penyaradan dengan tenaga manusia (manual) tidak memberikan dampak negatif besar terhadap tanah. Pola yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari areal tebangan hanya menggunakan kuda-kuda ongkak tanpa mobilisasi alat berat sehingga dampak terhadap penurunan permukaan tanah sangatlah minimal.
8. Satwa liar Setelah melalui masa pemulihan tegakan selama rentang waktu ≥ 20 tahun, ekosistem mangrove telah kembali menjadi bentang lahan yang mampu mengakomodir kebutuhan habitat bagi jenis-jenis fauna yang menempati niche khas hutan mangrove. Indikatornya adalah tingginya nilai indeks Shannon Wiener (H’) untuk komposisi jenis flora di lokasi lima blok bekas tebangan pertama (blok 1988 s.d. 1992) yang berkisar pada angka indeks 2,9 – 3. Rerata jumlah jenis yang ditemukan pada areal LOA adalah sebanyak 32 spesies dan rerata jumlah individu yang ditemukan cukup melimpah yaitu mencapai 432 individu.
9. Abrasi/Pemunduran Garis Pantai
Lokasi sampel untuk pemantauan abrasi adalah daerah yang paling beresiko terkena abrasi yaitu pantai Blok RKT 2009 yang berhadapan langsung dengan laut lepas. Abrasi yang terjadi pada pantai Blok RKT 2009 bukanlah abrasi yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang dilakukan PT. BUMWI. Abrasi pada lokasi tersebut adalah abrasi alam. Hasil pengukuran abrasi pada blok RKT 2009 selama 6 bulan menunjukkan angka 322 cm.