Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Antara Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dengan Kontrak Karya Generasi IV Terkait Emas Batangan (Studi Kasus pada PT. NM) Mohammad Priyodhya, Rini Yulius Program Ekstensi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan emas batangan apakah diperlakukan sebagai Barang Kena Pajak seperti yang diatur dalam Kontrak Karya atau Barang Tidak Kena Pajak seperti yang diatur dalam Undang-Undang PPN yang berlaku serta usaha apa yang dapat dilakukan perusahaan pemegang Kontrak Karya terkait perbedaan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktiknya emas batangan diperlakukan sebagai Barang Kena Pajak sehingga Pajak Masukan yang dimiliki perusahaan dapat dikreditkan. Beberapa saran dari penulis adalah terkait peningkatan sistem dokumentasi yang lebih baik dan merubah bentuk emas hasil produksi dari berbentuk batangan menjadi selain batangan. Treatment Analysis of Value Added Tax Between the Law No. 42 of 2009 about VAT with Contract of Work 4th Generation Related Gold Bars (Case Study at PT. NM) Abstract The objective of this study is to determine the treatment of Value Added Tax on the transfer of gold bullion whether treated as taxable goods as regulated in the Contract of Work or nontaxable goods as regulated in the VAT prevailing law and what attempt that CoW holder company could do related the differences. The results showed that in practice gold bullion is treated as taxable goods that VAT-In that owned by company can be credited. Some suggestions from the author is increase in a better system documentation and change the form of gold result of production from bullion become other than bullion. Keywords : Taxable goods; gold bullion; contract of work; value added tax; VAT prevailing law.
I.
Pendahuluan Sejak negara ini berdiri, pajak telah menjadi bagian terpenting dalam sumber
pendanaan keuangan pemerintah Indonesia. Dari berbagai jenis sumber pendanaan yang ada, pajak merupakan sumber pendanaan yang paling potensial. Kondisi ini tidak terlepas dari ciri,
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
sifat, serta keberadaan pajak sebagai sumber penerimaan negara yang tergolong stabil, tidak mudah goyah, dan tidak fluktuatif walaupun ditengah kondisi perekonomian yang kadang tidak stabil. Salah satu jenis pajak yang memberikan peranan besar dalam perpajakan di Indonesia selain Pajak Penghasilan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hampir seluruh transaksi yang terjadi baik itu jual-beli ataupun sewa-menyewa dikenakan PPN. Kebijakan mengenai perlakuan PPN ini tidak hanya diatur dalam Undang-Undang, namun juga diatur dalam Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, atau perjanjian kerjasama lainnya yang bersifal mengatur secara lebih khusus kepada perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan (lex specialist). Perbedaan penerapan PPN pada perusahaan pertambangan pemegang Kontrak Karya tidak jarang muncul ketika sebuah perusahaan pertambangan emas menilai apakah barang hasil produksinya yakni emas batangan merupakan Barang Kena Pajak (BKP) atau Barang Tidak Kena Pajak (BTKP). Implikasi yang terjadi apabila emas batangan tersebut diakui sebagai Barang Tidak Kena Pajak adalah perusahaan tidak dapat mengkreditkan pajak masukan yang dimilikinya. Berikut ini adalah ringkasan perubahan yang terjadi pada undang-undang PPN mulai dari awal sampai dengan yang terakhir terkait dengan status emas batangan: Tabel 1.1 Rincian Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Sejak Tahun 1983 – 2009 Terkait Emas Batangan
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
Awal mula perbedaan tersebut terjadi pada tanggal 22 Desember 2000 saat Pemerintah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dari Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan adanya perbedaan penafsiran antara kedua kebijakan tersebut diatas, maka Pemerintah perlu memberikan kepastian hukum atas perlakuan PPN kepada pengusaha pertambangan emas, khususnya perusahaan pertambangan emas yang menandatangani Kontrak Karya Generasi IV. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini, penulis akan membahas bagaimana perlakuan PPN yang terjadi pada perusahaan PT. NM sebagai pemegang Kontrak Karya Generasi IV. 1.1
Rumusan Masalah Berasarkan ilustrasi yang telah penulis jabarkan dalam latar belakang, dapat dilihat
bahwa pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan kewajiban perpajakan di bidang pertambangan emas dalam hal ini adalah kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dipenuhi oleh perusahaan kepada pemerintah. Dari pokok permasalahan tersebut, dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana kedudukan Kontrak Karya dalam hukum jika dibandingkan dengan Undang Undang Nomor 42 tahun 2009 terkait perlakuan PPN terhadap hasil produksi perusahaan pertambangan emas, yakni emas batangan.
2.
Bagaimana status emas batangan hasil produksi perusahaan pertambangan pemegang Kontrak Karya Generasi IV apakah diperlakukan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) atau Barang Tidak Kena Pajak (BTKP).
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
3.
Usaha-usaha apa saja yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Pemegang Kontrak Karya Generasi IV terhadap masalah perbedan penafsiran status emas batangan antara Undang-Undang PPN yang berlaku umum dengan Kontrak Karya Generasi IV.
1.2
Tujuan Penulisan Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis jabarkan diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah: 1. Melakukan analisa kedudukan Kontrak Karya dalam hukum di Indonesia khususnya terkait pasal-pasal yang mengatur kewajiban perpajakan perusahaan kepada Negara. 2. Melakukan analisa status emas batangan hasil produksi PT. NM apakah diperlakukan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) atau Barang Tidak Kena Pajak (BTKP). 3. Melakukan analisa terhadap usaha-usaha apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan pemegang Kontrak Karya Generasi IV terkait perbedaan penafsiran klasifikasi emas batangan antara Undang-Undang PPN yang berlaku umum dengan Kontrak Karya Generasi IV. 1.3
Metode Penelitian Metode-metode yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan literatur dari buku-buku, tulisan, jurnal, artikel serta literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 2. Metode penelitian lapangan dengan melakukan pengamatan dan penelitian terhadap objek yang diteliti. Data-data lainnya berupa laporan keuangan, kebijakan perusahaan, serta wawancara juga dilakukan untuk mengetahui aktivitas kegiatan. 3. Metode deskriptif yaitu dengan cara menentukan, mengumpulkan, dan melakukan analisis data sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih objektif terhadap permasalahan yang akan diteliti.
2.
Tinjauan Teoritis
2.1
Teori Hukum Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (2004)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat lex generalis, yaitu:
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang); 3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M. dalam buku Pengantar Ilmu Hukum (2009) menjelaskan bahwa didalam hukum kontrak terdapat suatu prinsip bahwa perjanjian yang dibuat dengan itikad baik mengikat para pembuatnya sebagaimana undangundang. Apabila hal ini disimpangi oleh pengadilan berarti pengadilan telah menyimpangi sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak sehingga mengancam kepastian hukum. Menurut Prof. Subekti dalam buku Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (2008) yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi. 2.2
Teori Perpajakan Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN)
kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A. Barang Kena Pajak dapat dibedakan kedalam dua jenis, yaitu barang berwujud dan barang tidak berwujud. Jenis-jenis Barang Tidak Kena Pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat 2 adalah sebagai berikut: a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan d. uang, emas batangan, dan surat berharga.
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
2.3
Kontrak Karya Dalam Kontrak Karya Generasi IV, ketentuan-ketentuan yang mengatur Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) diatur dalam Pasal 13 ayat 7. Berikut ini adalah kutipan isi dari Pasal 13 ayat 7 Kontrak Karya Generasi IV. “Perusahaan harus didaftarkan sebagai pengusaha kena pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai dan dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai harus dikenakan pada: (a) Penjualan produksi didalam negeri termasuk tetapi tidak terbatas kepada dore bullion dengan tarip 10% (sepuluh persen) dari harga jual atau tarip lain sesuai dengan undang-undang pajak dan peraturan-peraturan yang berlaku, dan untuk penjualan ekspor atas hasil produksi dengan tarip 0% (nol persen) dari harga jual. (…)” Maksud dari kutipan tersebut diatas adalah bahwa penjualan atas hasil produksi perusahaan yang telah didaftarkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila dilakukan di dalam negeri akan dikenakan tarif PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga jual, sedangkan apabila penjualan dilakukan secara ekspor akan dikenakan tarif PPN sebesar 0% (nol persen).
3.
Gambaran Umum Objek Penelitian PT. NM didirikan pada tanggal 29 November 1986. Perusahaan menandatangani
Kontrak Karya (“KK”) dengan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 2 Desember 1986 untuk melakukan kegiatan yang meliputi eksplorasi dan penambangan emas dan mineral lainnya, kecuali bahan hidrokarbon, batu bara, dan mineral radio aktif, di wilayah yang berlokasi di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Indonesia. Kegiatan pabrik pengolahan dimulai di bulan Agustus 2010, dan penuangan pertama emas dan perak dore resmi dilakukan pada tanggal 13 di bulan yang sama. Hasil produksi PT.NM yakni berupa emas batangan dan perak granules dengan komposisi 95% emas dan 5% perak. Penjualan atas hasil produksi PT.NM seluruhnya dilakukan secara ekspor, tidak ada penjualan dalam negeri.
4.
Analisis dan Pembahasan
4.1
Analisis Kedudukan Kontrak Karya dalam Hukum Dalam Kontrak Karya Generasi IV dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
yang berlaku umum terdapat perbedaan penafsiran mengenai perlakuan emas batangan
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
apakah diperlakukan sebagai Barang Kena Pajak atau Bukan Barang Kena Pajak. Perbedaan tersebut memicu timbulnya persengketaan hukum yang mempertanyakan kepastian hukum mana yang lebih didahulukan apakah kesepakatan dalam Kontrak Karya Generasi IV ataukah Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku umum. Secara umum, dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 33A menjelaskan bahwa Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan berdasarkan kontrak karya yang masih berlaku, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak karya tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak. Ketentuan-ketentuan yang diperlakukan secara khusus ini dikenal dengan istilah lex-specialis. Dengan demikian, pada dasarnya ketentuan di dalam Kontrak Karya mempunyai kedudukan yang seimbang dengan Undang-Undang. 1. Sifat lex specialis Kontrak Karya Berdasarkan teori yang telah dikemukakan oleh Bagir Manan (2004) mengenai prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat lex generalis, perlu dilakukan analisa apakah Kontrak Karya memenuhi prinsip tersebut atau tidak. Pertama, ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang PPN mengenai pengenaan tarif sebesar 10% untuk penjualan dalam negeri dan 0% untuk penjualan ekspor tetap berlaku pada Kontrak Karya, namun Kontrak Karya mengatur lebih khusus bahwa untuk penjualan emas batangan tetap dikenakan PPN sesuai tarif yang berlaku umum. Kedua, Kontrak Karya dapat dipersamakan dengan Undang-Undang, karena Kontrak Karya merupakan perjanjian yang telah disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan investor, sehingga semua pasal yang telah diatur dalam Kontrak Karya merupakan kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk dijalankan sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Lebih lanjut dalam Undang-Undang PPh Pasal 33A disebutkan bahwa perhitungan pajak dilakukan berdasarkan Kontrak Karya yang berlaku, artinya adalah Undang-Undang PPh tetap merujuk pada ketentuan yang telah diatur dalam Kontrak Karya, sehingga dapat dikatakan bahwa Kontrak Karya dapat dipersamakan dengan Undang-Undang. Ketiga, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kontrak Karya khususnya dalam pasal yang membahas mengenai PPN berada pada lingkungan hukum yang sama dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang PPN, yakni keduanya sama-sama mengatur mekanisme PPN. Berdasarkan ketiga analisis tersebut dapat dikatakan bahwa Kontrak Karya memenuhi asas lex specialis derogat lex generalis. Sifat lex specialis dari suatu Kontrak Karya telah ditegaskan dalam ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berikut ini:
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
1. Surat Menteri Keuangan Nomor S-1427/MK.01/1992 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara tanggal 25 November 1992, yang menyebutkan bahwa: “… dengan ini diberitahukan bahwa perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah mendapat persetujuan DPR dan Presiden seperti antara PN Tambang Batubara dan perusahaan-perusahaan sebagaimana dimaksud dalam surat Presiden Nomor S-50/Pres/10/1981 tanggal 31 Oktober 1981 kepada Sdr. Menteri Pertambangan dan Energi, berlaku sama/dipersamakan dengan Undangundang. Oleh karena itu, ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian dibidang pertambangan Batubara diberlakukan secara khusus (special treatment/lux specialis). ....” 2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14 /PJ.321/1993 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara, yang menyatakan bahwa: “…. Demikian pula terhadap Perjanjian Kerjasama lainnya yang sejenis yang telah disetujui/disahkan oleh Presiden dan telah mendapat persetujuan dari DPR, juga berlaku sebagai lex specialist seperti dimaksud dalam Surat Edaran ini.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat dapat diindikasikan bahwa suatu Kontrak Karya mempunyai kedudukan yang sama dengan Undang-Undang sehingga ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kontrak Karya tersebut diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialist) sedangkan hal-hal yang tidak diatur dapat mengikuti ketentuan yang berlaku secara umum. 2. Ketetapan Hukum Yurisprudensi Menurut Prof. Subekti dalam buku Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (2008) yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi. Hasil studi kepustakaan yang penulis lakukan terhadap beberapa putusan Mahkamah Agung perihal sengketa antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak lain yang menandatangani Kontrak Karya generasi yang sama dengan Kontrak Karya milik PT. NM menunjukkan bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali Pemeriksa
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
Pajak dan menegaskan bahwa berdasarkan Kontrak Karya Generasi IV, emas batangan merupakan Barang Kena Pajak dan oleh karena itu terutang PPN. Berikut ini adalah ringkasan putusan Mahkamah Agung yang secara umum lebih mendahulukan apa yang diatur didalam Kontrak Karya dibandingkan dengan Undang-Undang yang berlaku umum: a) Putusan Mahkamah Agung No.99B/PK/PJK/2005 atas putusan Pengadilan Pajak No. Put.04656/PP/M.III/16/2005 menyatakan: “… bahwa Majelis berpendapat Surat Terbanding bertentangan dengan ketentuan yang dituangkan dalam Kontrak Karya yang bersangkutan. Majelis menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia tanggal 2 Desember 1986 produksi emas murni batang tuangan adalah Barang Kena Pajak”. b) Putusan Mahkamah Agung No.06/B/PK/PJK/2007 atas putusan Pengadilan Pajak No. Put. 08138/PP/M.III/16/2006 menyatakan: “… bahwa sesuai dengan Pasal 13 ayat 7 (i) (a) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Newmont Minahasa Raya tanggal 2 Desember 1986, barang emas murni batang tuangan (dore bullion) adalah barang kena pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai tarif sebesar 0%”. Putusan Mahkamah Agung No.99B/PK/PJK/2005 dan No.06/B/PK/PJK/2007 menunjukkan bahwa permohonan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak ditolak oleh Mahkamah Agung, sehingga emas batangan hasil produksi perusahaan pertambangan dalam sengketa tersebut diakui sebagai Barang Kena Pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat 7 Kontrak Karya. Berdasarkan kedua analisa diatas, suatu Kontrak Karya dapat dipersamakan dengan dengan Undang-Undang dan berlaku khusus (lex specialis), sehingga ketentuan-ketentuan yang dimuat didalamnya harus lebih didahulukan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku umum. 4.2
Analisis Pajak Masukan PT. NM Pada penelitian ini, penulis mengangkat kasus sengketa pajak yang sedang dihadapi
oleh PT. NM dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun pajak 2010. Berikut ini adalah kronologi sengeta pajak tersebut:
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
1. PT. NM melakukan kompensasi atas Pajak Masukan yang lebih bayar selama tahun 2010 mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2010. Rincian jumlah Pajak Masukan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Ringkasan Jumlah Lebih Bayar yang Dilaporkan dalam SPT Masa PPN Tahun 2010
Sumber: Data olahan
Pembetulan 1 yang dilakukan pada SPT PPN Masa Maret, Juni, dan September dilakukan oleh PT. NM dalam rangka menambahkan jumlah Pajak Masukan yang masih belum dilaporkan pada SPT Normal. Sedangkan untuk Pembetulan 1 yang dilakukan pada SPT Masa Desember dilakukan untuk menambahkan kompensasi Pajak Masukan Masa Januari sampai November yang belum dilaporkan pada SPT Normal. 2. Dalam rangka Pembetulan 2 SPT Masa Desember 2010, PT. NM meneliti kembali jumlah yang dapat direstitusikan, dan berdasarkan hasil penelitian pada SPT Masa Januari 2010 masih terdapat kompensasi sebesar Rp 3.451.528.367 dari masa PPN Desember 2009 yang jumlahnya masih terbawa sampai dengan Masa Desember 2010. Jumlah kompensasi tahun pajak 2009 sebesar Rp 3.451.528.367 tersebut telah (dengan kesadaran sendiri) PT. NM keluarkan dari jumlah yang akan direstitusi, sehingga tidak terjadi klaim ganda atas PPN masukan sejumlah Rp 3.451.528.367 tersebut 3. Pada Pembetulan 3 SPT PPN Masa Desember 2010 yang dilaporkan ke KPP tanggal 13 Juni 2011, terdapat kenaikan jumlah Pajak Masukan yang diajukan restitusi. Hal ini karena masih terdapat Pajak Masukan yang belum diperhitungkan dalam SPT Pembetulan 2, sehingga terjadi kenaikan sebesar Rp 1.345.743.691 dari Rp 10.502.106.116 menjadi Rp 11.847. 849.807.
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
4. Pada bulan Juni 2011 PT. NM mengajukan restitusi PPN untuk periode Januari – Desember 2010 dengan cara yang sama seperti tahun sebelumnya, yaitu dengan melakukan pembetulan SPT Masa Desember 2010 yang semula mengkompensasi lebih bayar PPN menjadi restitusi. 5. Dari hasil permohonan restitusi periode Januari - Desember 2010, telah diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak Nomor PRIN-246/PL/WPJ.07/KP.0405/2012 tertanggal 9 September 2011 oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga (“KPP PMA Tiga”) untuk masa pajak Januari - Desember 2010. 6. Dalam proses pemeriksaan, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP“) mengeluarkan Keputusan No. KEP-26/PJ/2012 untuk memindahkan Kantor Pelayanan Pajak (“KPP“) dimana PT. NM terdaftar, dari semula KPP PMA Tiga, dipindahkan ke KPP Wajib Pajak Besar Satu. 7. Pada tanggal 21 Mei 2012, Pemeriksa Pajak menyampaikan hasil pemeriksaan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak yang secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.2 Ringkasan Surat Ketetapan Pajak PPN Tahun 2010
Sumber: Data olahan
8. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya koreksi positif atas Pajak Masukan Masa Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September 2010 yang tidak terkait dengan barang modal berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) UU No. 42 tahun 2009 (lampiran 4). 9. Selain itu, atas Pajak Masukan Bulan Januari 2010 juga dilakukan koreksi positif karena terdapat Pajak Masukan yang sudah dilakukan restitusi pada Desember 2009 namun masih terbawa sampai Januari 2010. Kemudian, pemeriksa mengkoreksi kompensasi atas jumlah yang sama dalam SKPLB Masa Desember 2010 padahal PT.
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
NM telah mengeluarkan nilai sejumlah tersebut dalam pembetulan SPT Masa Desember 2010. 10. Atas SKPLB Masa Desember 2010, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) No. 80316/091-0312-2012 tanggal 4 Juni 2012 sehingga PT. NM dapat menerima Pajak Masukan yang telah diajukan restitusi dalam SPT Masa Desember 2010. 11. Pada bulan Agustus 2012, PT. NM mengajukan Keberatan kepada Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Wajib Pajak Besar Satu atas PPN Masa Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Desember 2010 yang berisi bahwa PT. NM tidak setuju atas koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak. Tabel 4.3 berikut ini memberikan rincian permohonan keberatan yang diajukan PT. NM. Tabel 4.3 Rincian Permohonan Keberatan PPN Tahun 2010
Sumber: Data olahan
12. Hasil keputusan keberatan atas PPN Masa Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Desember 2010 diterima oleh PT. NM pada tanggal 14 Mei 2013 yang secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini: Tabel 4.4 Ringkasan Hasil Keputusan Keberatan PPN Tahun 2010
Sumber: Data olahan
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
Penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera pada surat keputusan keberatan merupakan koreksi atas nilai Pajak Masukan pada masa tersebut yang dikoreksi seluruhnya oleh Pemeriksa bagian Keberatan dengan alasan emas batangan termasuk jenis barang yang tidak dikenai PPN, sehingga produk yang dihasilkan dan dijual oleh Wajib Pajak berupa emas batangan bukan merupakan Barang Kena Pajak. Selain itu juga dikenakan sanksi kenaikan 100% sesuai Pasal 13 ayat 3 UndangUndang KUP (lampiran 5). 13. Terdapat ketidakkonsistenan dasar koreksi antara proses pemeriksaan dan keberatan. Pada saat proses pemeriksaan, Pemeriksa Pajak melakukan koreksi hanya atas Pajak Masukan yang dianggap tidak terkait dengan barang modal. Namun pada proses keberatan, Pemeriksa Pajak mengubah pokok sengketa menjadi sengketa baru yang sebelumnya tidak pernah diungkapkan dalam proses pemeriksaan, yaitu sengketa atas Pajak Masukan terkait dengan pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang PPN (penyerahan emas batangan) berdasarkan Pasal 4A UU No. 42 tahun 2009. Hal ini terlihat pada lampiran Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) yang menampilkan rincian daftar hasil penelitian keberatan beserta alasan dilakukannya koreksi. 14. Atas keputusan keberatan tersebut, pada 2 Agustus 2013 PT. NM mengajukan Surat Permohonan Banding kepada pengadilan pajak atas Keputusan Keberatan masa Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Desember 2010 dengan rincian seperti yang tertera pada tabel 4.5 berikut ini: Tabel 4.5 Rincian Permohonan Banding PPN Tahun 2010
Sumber: Data olahan
Secara ringkas, untuk PPN tahun 2010 Pemeriksa Pajak awalnya hanya melakukan koreksi atas dua hal, yakni Pajak Masukan yang tidak ada kaitannya dengan pembelian barang
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
modal dan masih adanya kompensasi sebesar Rp 3.451.528.367 dari masa PPN Desember 2009 yang jumlahnya masih terbawa sampai dengan Masa Desember 2010. Namun, pada saat Pemeriksaan bagian Keberatan terdapat perubahan pokok sengketa yang semula koreksi dilakukan atas dasar Pajak Masukan yang tidak ada hubungannya dengan barang modal menjadi penyerahan/penjualan emas batangan hasil produksi PT. NM dianggap bukan merupakan Barang Kena Pajak, sehingga Pajak Masukan milik PT. NM tidak dapat dikreditkan. Implikasinya adalah jumlah pajak yang masih harus dibayar pada keputusan keberatan mengalami kenaikan akibat tidak diakuinya seluruh Pajak Masukan yang sudah dilaporkan. 4.2.1
Dasar Koreksi Pemeriksa Pajak Pada saat proses pemeriksaan, Pemeriksa Pajak mengacu kepada Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 yang menyebutkan “Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan”, sehingga berdasarkan ketentuan tersebut hanya Pajak Masukan atas perolehan barang modal yang boleh dikreditkan. Pemeriksa Pajak juga mengenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) karena mengkompensasikan Pajak Masukan yang seharusnya tidak dapat dikreditkan seperti yang telah diatur dalam Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang KUP. Pada saat proses keberatan, Pemeriksa Pajak bagian keberatan melakukan perubahan pada pokok sengketa yang semula koreksi dilakukan atas dasar Pajak Masukan yang tidak ada hubungannya dengan barang modal menjadi penyerahan/penjualan emas batangan hasil produksi PT. NM dianggap bukan merupakan Barang Kena Pajak. Hal ini mengacu kepada Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-undang No. 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang PPN No. 42 tahun 2009. Dengan demikian, transaksi penyerahan emas batangan yang dilakukan oleh PT. NM dianggap sebagai penyerahan nonBKP sehingga pajak masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP dalam rangka menghasilkan emas batangan tersebut tidak dapat dikreditkan. Selain itu, Pemeriksa Pajak beranggapan bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan Wajib Pajak tidak menyebutkan secara spesifik tunduk kepada UU PPN tahun tertentu. Dengan demikian, UU PPN yang menjadi acuan adalah UU PPN yang berlaku dari waktu ke waktu (prevailing laws).
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
4.2.2
Risiko Hutang Pajak atas Sengketa antara PT. NM dengan Pemeriksa Pajak Perbedaan yang mendasar dalam perlakuan emas batangan antara Kontrak Karya dan
Undang-Undang PPN yang berlaku umum memiliki risiko akan hutang pajak (tax exposure) yang cukup besar bagi kedua belah pihak, yakni PT. NM dan Pemeriksa Pajak. Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya, penulis melakukan 2 (dua) pendekatan untuk menganalisa bagaimana status Pajak Masukan milik PT. NM. Pendekatan pertama, apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, maka PT. NM akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sesuai Pasal 27 ayat 5d Undang-Undang KUP. Atas keputusan pengadilan yang menolak permohonan banding PT. NM, maka perhitungan jumlah hutang pajak yang mungkin terutang bagi PT. NM adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Perhitungan Jumlah Pajak yang Mungkin Terutang apabila Permohonan Banding PT. NM Ditolak
Sumber: Data olahan
Pendekatan Kedua, apabila hakim membacakan Keputusan Banding yang menyatakan menerima Permohonan Banding PT. NM bahwa emas batangan hasil produksinya diakui sebagai Barang Kena Pajak (BKP) seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 13 ayat 7 huruf i poin a Kontrak Karya, maka PT. NM terbebas dari kewajiban untuk membayar pajak terutang sebesar Rp 37.222.291.575 yang telah penulis jabarkan sebelumnya. Jika mempertimbangkan analisis kedudukan Kontrak Karya yang telah penulis bahas pada awal bab ini, PT. NM memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memenangkan persengketaan ini. Kontrak Karya yang merupakan perjanjian yang bersifat khusus (lex
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
specialis) sudah seharusnya dipatuhi oleh kedua belah pihak yang telah menandatangani perjanjian tersebut. Selain itu, sudah ada putusan serupa dari Pengadilan Pajak yang diperkuat oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa emas batangan merupakan Barang Kena Pajak seperti yang telah diatur dalam Kontrak Karya. . 4.3
Usaha-Usaha yang Dapat Dilakukan oleh Perusahaan Pemegang Kontrak Karya Generasi IV Ketika perusahaan berada dalam tahapan dilakukan Pemeriksaan oleh Pemerksa Pajak,
dan terdapat kemungkinan Pemeriksa Pajak akan tetap berpegang teguh dengan ketentuan didalam Undang-Undang PPN yang berlaku umum bahwa emas batangan merupakan kelompok Barang Tidak Kena Pajak, berikut ini adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk memperjuangkan agar emas batangan tetap diakui sebagai Barang Kena Pajak: 1. Usaha Terkait Penyelesaian Sengketa Pajak Apabila setelah proses pemeriksaan selesai kemudian Pemeriksa Pajak melalui Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diakibatkan oleh koreksi atas emas batangan yang menurut Pemeriksa Pajak diakui sebagai Bukan Barang Kena Pajak, maka perusahaan dapat melakukan tahapan-tahapan berikut ini: i.
Perusahaan/Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan kepada Kanwil Direktorat Jenderal Pajak. Yang perlu menjadi perhatian WP adalah persyaratan formal yang diminta oleh tim Keberatan seperti permintaan dokumen harus disampaikan dengan lengkap dan tepat waktu seperti yang telah ditentukan dalam surat peminjaman dokumen. Koreksi-koreksi yang tidak disetujui oleh WP pada saat pembahasan hasil pemeriksaan, menurut Pasal 25 ayat (8) UU KUP dianggap belum termasuk sebagai utang pajak. Oleh karena itu, dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP dikatakan bahwa saat WP mengajukan Keberatan WP tidak wajib membayarnya dan hanya wajib membayar utang pajak sesuai dengan yang disetujuinya pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Selain itu, perusahaan juga harus mengetahui bahwa Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
ii.
Perusahaan dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak apabila Surat Keputusan Keberatan menyatakan menolak permohonan Keberatan perusahaan. Pada saat melakukan permohonan banding, perusahaan tidak harus melunasi 50% dari jumlah pajak yang terutang atas keputusan keberatan. Berdasarkan Pasal 27 ayat (5a) UU KUP: “Dalam hal Wajib Pajak mengajukan Banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.” Sama hal nya seperti pada Permohonan Keberatan, perusahaan harus memperhatikan persayaratan formal dalam Permohonan Banding seperti memberikan dokumen-dokumen yang diminta oleh Pengadilan Pajak. Setelah semua dokumen diserahkan ke Pengadilan Pajak, perusahaan wajib hadir dan mengikuti jalannya sidang pada waktu yang telah ditentukan dalam surat undangan persidangan. Perusahaan juga harus mengetahui bahwa Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
iii.
Apabila perusahaan masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Perusahaan harus membuat Surat Permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung yang berisi penolakan atas Keputusan Pengadilan Pajak dengan alasan putusan tersebut nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Mahkamah Agung yang telah menerima permohonan Peninjauan Kembali harus memberikan keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat permohonan Peninjauan Kembali diterima .
2. Usaha Terkait Bukti Tambahan Pada saat melakukan permohonan Keberatan, Banding dan Peninjauan Kembali, perusahaan dapat menggunakan argumen yang tertulis dalam Surat Menteri Keuangan Nomor
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
S-1427/MK.01/1992 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara tanggal 25 November 1992 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14 /PJ.321/1993 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara perihal sifat lex specialis dari Kontrak Karya. Selain itu, perusahaan juga dapat memberikan argumen bahwa sudah ada Putusan Pengadilan Pajak yang diperkuat oleh Mahkamah Agung atas sengketa yang sama, yakni Putusan Mahkamah Agung No.99B/PK/PJK/2005 atas putusan Pengadilan Pajak No. Put.04656/PP/M.III/16/2005 dan Putusan Mahkamah Agung No.06/B/PK/PJK/2007 atas putusan Pengadilan Pajak No. Put. 08138/PP/M.III/16/2006. Dengan demikian perusahaan memiliki alasan yang kuat mengapa emas batangan merupakan Barang Kena Pajak seperti yang telah diatur dalam Kontrak Karya Generasi IV. 3. Usaha Terkait Bisnis Perusahaan Apabila perusahaan tidak ingin terlibat lagi dalam sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal
Pajak
perihal
Kontrak
Karya
dan
emas
batangan,
perusahaan
dapat
mempertimbangkan untuk mengubah hasil akhir produksinya dari bentuk emas batangan menjadi bentuk selain batangan, seperti misalnya granules. Hal ini dilakukan untuk memfasilitasi peraturan Pasal 4A ayat 2 Undang-Undang PPN Tahun 29 yang menyatakan secara jelas emas batangan merupakan salah satu dari jenis Bukan Barang Kena Pajak. Perubahan hasil akhir produksi yang cukup signifikan ini perlu analisa dan pertimbangan khusus dari manajemen akan biaya dan manfaat yang akan terjadi, apakah nantinya dengan mengubah hasil akhir produksi emas dari bentuk batangan menjadi granules dapat menurunkan nilai penjualan emas di pasar atau dapat menambah biaya produksi. Berdasarkan hasil wawancara dengan manajer keuangan PT. NM, implikasi apabila dilakukan perubahan bentuk emas hasil produksi perusahaan dari yang semula berbentuk batangan menjadi bentuk granules adalah resiko terkait preferensi pihak-pihak yang akan membeli emas tersebut, apakah mereka lebih suka membeli emas dalam bentuk batangan atau dalam bentuk granules.
5.
Kesimpulan dan Saran
5.1
Kesimpulan Berdasarkan analisa yang telah penulis lakukan, kesimpulan yang didapat dari
penelitian ini adalah emas batangan dapat dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak sesuai
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
Pasal 13 ayat 7 Kontrak Karya Generasi IV dan tidak mengikuti ketentuan yang berlaku umum dalam Pasal 4A ayat 2 Undang-undang PPN Tahun 2009 dengan alasan Kontrak Karya merupakan perjanjian yang bersifat khusus (lex specialis) sehingga apa yang telah diatur didalamnya wajib diikuti kedua belah pihak yang membuat kesepakatan tersebut. Hal ini telah didukung oleh Putusan Pengadilan Pajak dan diperkuat Putusan Mahkamah Agung atas sengketa perusahaan lain pemegang Kontrak Karya Generasi IV yang memiliki sengketa yang sama dengan PT. NM. Dalam kedua putusan tersebut dinyatakan bahwa emas batangan merupakan Barang Kena Pajak. Dengan demikian, Pajak Masukan yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan emas yang terkait dengan kegiatan untuk memproduksi emas batangan dapat dijadikan pengurang Pajak Keluaran, sehingga jika dalam perhitungan PPN terjadi lebih bayar dapat di restitusi atau dapat juga di kompensasi ke masa pajak berikutnya. 5.2
Saran PT. NM perlu untuk lebih memberikan perhatian dalam mengelola data-data atau
dokumen-dokumen yang terkait dengan suatu masalah yang sedang disengketakan. Hal ini akan berpengaruh ketika data atau dokumen tersebut diminta oleh pihak yang berwenang pada saat sedang dilakukan Pemeriksaan/Keberatan/Banding/Peninjauan Kembali untuk dijadikan alat bukti akan keterjadian suatu transaksi Manajemen PT. NM sebaiknya perlu untuk mempertimbangkan merubah bentuk emas hasil akhir produksinya dari yang semula berbentuk emas batangan menjadi emas yang berbentuk granules. Dengan demikian, diharapkan PT. NM sudah tidak akan terjerat lagi dengan permasalahan emas batangan yang dianggap Bukan Barang Kena Pajak. Penelitian selanjutnya diharapkan mampu untuk dapat melakukan penelitian yang lebih menyeluruh terhadap beberapa perusahaan yang menandatangani Kontrak Karya dari berbagai Generasi terkait hal-hal yang mengatur masalah perpajakan. 5.3
Implikasi Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan referensi bagi perusahaan
pemegang Kontrak Karya yang memiliki permasalahan yang serupa dengan PT. NM serta memberikan keyakinan bagi para investor untuk melakukan investasi di Indonesia agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat semakin membaik. Bagi akademisi diharapkan bahwa penelitian ini mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai penerapan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia serta dapat
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
membuka sudut pandang baru dalam melihat sebuah kasus mengenai Pajak Pertambahan Nilai dalam praktik di dunia kerja. Bagi PT. NM dan pemegang Kontrak Karya Generasi IV lainnya diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan tambahan referensi mengenai perlakuan emas batangan dalam menghadapi persengketaan dengan Pemeriksa Pajak. Sedangkan bagi regulator diharapkan penelitian ini mampu dijadikan sebagai masukan agar terdapat suatu kebjikakan atau produk hukum yang mampu memfasilitasi kepentingan antara Pemerintah dan Investor agar tercipta kenyamanan dalam berinvestasi sehingga dapat menarik minat para investor baru untuk berinvestasi di Indonesia. Daftar Referensi Halim, A. Ridwan. (2005). Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab. Edisi Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia H.S., Salim (2005). Hukum Pertambangan di Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Raja Grafindo Persada Ilyas, Wirawan B. (2004). Hukum Pajak. Edisi Lima. Jakarta: Salemba Empat Irawan, Budi. (2004). Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kontrak Karya Generasi IV Pertambangan Emas. Thesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok Kamil, Ahmad & Fauzan. (2004). Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Edisi Pertama. Jakarta: Prenada Media Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. NM Tahun 1986 Manan, Bagir. (2004). Hukum Positif Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta: FH UII Press Mardiasmo. (2011). Perpajakan. Edisi Revisi. Cetakan Ketujuh belas. Yogyakarta: CV Andi Marzuki, Peter Mahmud. (2009). Pengantar Ilmu Hukum. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Mertokusumo, Sudikno. (2007). Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar. Edisi Kelima. Yogyakarta: Liberty Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-14/PJ.321/1993 Tanggal 09 Juni 1993 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara Surat Menteri Keuangan Nomor S-1427/MK.01/1992 Tanggal 25 Nopember 1992 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara PriceWaterhouseCoopers. (2012). Mining in Indonesia: Investment and Taxation Guide. 4th Edition Putusan Mahkamah Agung No. 99B/PK/PJK/2005 perihal Hasil Sengketa antara Direktorat Jenderal Pajak dengan PT. Newmont Minahasa Raya Putusan Mahkamah Agung No. 06/B/PK/PJK/2007 perihal Hasil Sengketa antara Direktorat Jenderal Pajak dengan PT. Newmont Minahasa Raya Sekaran, Uma., & Bougie, Roger. (2010). Research Methods for Business: A Skill Building Approach. United Kingdom: John Wiley and Sons Utrecht. (1961). Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar Waluyo. (2010). Perpajakan Indonesia. Edisi Sepuluh. Jakarta: Salemba Empat
Analisis Perlakuan..., Mohammad Priyodhya, FE UI, 2014