i
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS ZONASI (KASUS DI TELUK WEDA)
MARTINI DJAMHUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus Di Teluk Weda), adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Martini Djamhur NRP C262080021
iv
v
RINGKASAN MARTINI DJAMHUR. Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda). Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ACHMAD FAHRUDIN. Penelitian Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda) dilaksanakan di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara pada periode Juni sampai November 2012, yang bertujuan : 1) menginventarisasi dan mengidentifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (pulau-pulau kecil, mangrove, lamun dan terumbu karang); 2) menganalisis kesesuaian kawasan konservasi untuk kegiatan ekominawisata bahari; 3) menganalisis kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan; dan 4) menganalisis permintaan wisata, pemodelan interpretatif struktural kelembagaan dan status keberlanjutan ekominawisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil. Analisis yang digunakan adalah : 1) analisis toponim, identifikasi jenis, keragaman jenis dan lifeform; 2) kriteria konservasi, matriks kesesuaian dan analisis spasial; 3) Kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan; dan 4) Travel Cost Method (TCM), Interpretative Structural Modeling (ISM) dan Rapfish. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini : 1) terdapat 28 (dua puluh delapan) pulau kecil yang tidak berpenduduk. Mangrove yang ditemukan terdiri dari 6 Famili. Jenis lamun yang ditemukan terdiri dari 10 spesies. Bentuk pertumbuhan (life-form) terumbu karang yang ditemukan terdiri dari 14 lifeform dengan tipe hamparan karang dominan berada pada daerah fringing serta barrier dan dasar perairan dengan tipe topografi berbentuk slope dan drop off; 2) Kesesuaian kawasan untuk pengembangan ekominawisata bahari yang lebih luas menampung wisatawan adalah ekowisata mangrove; 3) Kapasitas asimilasi yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas kimia perairan berada di bawah baku mutu budidaya laut, pelabuhan dan wisata bahari. Daya dukung pemanfaatan untuk ekominawisata bahari yang lebih dominan adalah pada pemanfaatan untuk kegiatan ekowisata mangrove; dan 4) Hasil analisis yang paling berpengaruh pada besarnya jumlah kunjungan wisatawan adalah biaya perjalanan dan pendapatan masing-masing wisatawan dari Negara asalnya. Kelembagaan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan sustainable development adalah pemerintah, wisatawan dan perguruan tinggi, untuk mewujudkan pengembangan wisata, produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, meningkatkan mutu produk perikanan, dan jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap, dengan membantu nelayan dalam penentuan harga perikanan, mengelola sumberdaya alam, peraturan investasi daerah dan membuat kebijakan yang konsisten. Status keberlanjutan akan mencapai optimal jika nilai status keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dilakukan perbaikan pada atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keempat dimensi tersebut. Kata kunci: inventarisasi, identifikasi, konservasi, zonasi, ekominawisata bahari, daya dukung, model interpretatif struktural.
vi
SUMMARY MARTINI DJAMHUR. Development model for regional conservation of coastal and small islands: case study of Weda Bay. Under supervision of MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ACHMAD FAHRUDIN. A study on development model for regional conservation in the coastal and small islands of Weda Bay, Regency Central Halmahera, Province North Maluku was conducted from June to November 2012. The objectives of the study were 1) to assess and identify existing ecosystem and natural resources there in; 2) to analyze the suitability of conservation area for marine fisheries ecotourism; 3) to analyze assimilative capacity and carrying capacity for environmental utilization; and 4) to analyze structural institution model based on tourism demand, marine fisheries ecotourism, and the sustainability of coastal and small islands in Weda Bay. Analyses performed for this study were 1) toponymy analysis, based on species identification, diversity, and lifeform; 2) conservation criteria, suitability matrices, and spatial analysis; 3) assimilative thresholds and carrying capacity for environment and utilization; 4) Travel Cost Method (TCM), Interpretative Structural Modeling (ISM) and Rapfish. From this study, there are 28 uninhabited islands, 6 families of mangroves, 10 species of seagrass, 14 types of lifeform with dominant reef feature of fringing and barrier, while bottom feature consisted of slopes and drop offs. To accommodate both conservation and economic development, mangrove area should be developed for ecotourism purpose. Assimilative capacity in this study indicated that several chemical parameters were under threshold limits for mariculture, port, and tourism development. Carrying capacity for marine fisheries ecotourism indicated that dominant use should directed to mangrove tourism. Finally, development model for supporting increased tourist visits to study area should consider travel cost and tourist income according to country of origin. Institutional management for coastal and small islands should incorporate government, tourists and university, in order to promote sustainable development for tourism and natural resource production. For supporting local fish-based product, fisherman, and capture fishery capitalization, there should be regulation in setting market price, fishery resource management, regional investment regulation, and consistent applied policy. Optimal sustainability for development of coastal and small islands in Weda Bay is possible when improvements are applied to ecology, economy, socio-culture, and institutional dimension. Keywords: assessment, identification, conservation, zonation, marine fisheries ecotourism, carrying capacity , interpretative structural model.
vii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
ix
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS ZONASI (KASUS DI TELUK WEDA)
MARTINI DJAMHUR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc 2. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Prof Dr Ir Alex SW Retraubun, MSc 2. Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
Judul Disertasi Nama NIM
: Model -Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus Di Teluk Weda) Martini Dj arnhur
: C262080021
Disetujui
Komisi Pembimbing
~__________~t ~~ -
~~ ~. .---.)
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Ketua
~4
Dietriech Anggota
A
Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Tanggal Ujian : 7 Februari 2014
Tanggal Lulus :
21M AR 2014
xi
Judul Disertasi Nama NIM
: Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus Di Teluk Weda) : Martini Djamhur : C262080021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Ketua
Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA Anggota
Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 7 Februari 2014
Tanggal Lulus :
xii
xiii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 sampai selesai adalah Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil (Kasus di Teluk Weda). Diselesaikannya penulisan disertasi ini, atas doa, dorongan dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan program doktoral. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Ayahanda (Alm) Djamhur Munaf dan Ibunda Nursyamsu Sutan Paduko atas doa dan dukungannya. 2. Adik (Mulyati, Mulyani dan Mira Fitriyani), Ipar (Saiful Samad, Abdul Mufid dan Rizky Kurnia Putra) dan Ponakan (Abdurrachman Najib, Achmad Mustaqfirin, Nurilma Amalia dan Najwa Ilmukhair) atas doa, dukungan dan bantuannya. 3. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA, Bapak Prof Dr Ir Dietriech G Bengen DEA, dan Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin MSi selaku pembimbing atas bantuan dan bimbingannya selama ini. 4. Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda MSc dan Bapak Dr Ir Luky Adrianto MSc, selaku penguji Preliminary yang telah memberikan saran. 5. Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi MSc dan Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi MSc, selaku penguji Ujian Tertutup yang telah memberikan saran. 6. Bapak Prof Dr Ir Alex SW Retraubun MSc dan Bapak Prof Dr Ir Dedi Soedharma DEA, selaku penguji Ujian Terbuka yang telah memberikan saran. 7. Bapak Dekan FPIK dan Rektor Universitas Khairun atas izin pendidikan. 8. Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dan atas bantuannya dalam melaksanakan penelitian. 9. Mr Rob Sinke dan Bapak Ir M. Nur (LF) Wenno atas bantuan dan sarannya. 10. Saudara, sahabat dan teman yang telah membantu dan mendukung selama ini. 11. Rekan mahasiswa Angkatan 13 Tahun 2008, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2014 Martini Djamhur
xiv
xv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Kerangka pemikiran 1.4 Tujuan dan manfaat penelitian 1.5 Kebaharuan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi teluk 2.2 Ekosistem estuaria 2.3 Ekosistem pulau-pulau kecil 2.4 Ekosistem mangrove 2.5 Ekosistem lamun 2.6 Ekosistem terumbu karang 2.7 Penataan ruang (zonasi) 2.8 Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil 2.9 Daya dukung 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu penelitian 3.2 Jenis dan sumber data 3.3 Metode pengumpulan data dan analisis 4 PROFIL UMUM TELUK WEDA 4.1 Letak Teluk Weda 4.2 Iklim 4.3 Kualitas perairan 4.4 Kondisi ekologi 4.5 Kondisi ekonomi 4.6 Kondisi sosial 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kawasan Kecamatan Weda Utara 5.2 Kawasan Kecamatan Weda dan Weda Tengah 5.3 Kawasan Kecamatan Weda Selatan 5.4 Deliniasi dan kesesuaian kawasan konservasi 5.5 Daya dukung 5.6 Nilai ekonomi 5.7 Kelembagaan 5.8 Keberlanjutan
xv xvii xix xxi 1 1 1 2 5 5 7 7 7 10 13 15 15 17 20 28 31 31 32 33 57 57 57 59 68 69 73 79 82 86 97 99 123 137 139 148
xvi
6 PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kawasan konservasi Kecamatan Weda Utara 6.2 Kawasan konservasi Kecamatan Weda Tengah 6.3 Kawasan konservasi Kecamatan Weda 6.4 Kawasan konservasi Kecamatan Weda Selatan 6.5 Daya dukung 6.6 Kelembagaan 6.7 Keberlanjutan 6.8 Implikasi kebijakan KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
161 161 161 162 162 163 164 165 167 169 171 182
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27 Tabel 28 Tabel 29
Tabel 30
Tabel 31
Karakteristik pulau oseanik, kontinental dan benua Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang Penzonasian Kawasan Konservasi Kebutuhan Data Penelitian Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria baku kerusakan padang lamun Status padang lamun Kriteria baku kerusakan terumbu karang Kesesuaian lahan untuk ekowisata selam Kesesuaian lahan untuk ekowisata snorkeling Kesesuaian lahan untuk ekowisata pancing Kesesuaian lahan untuk ekowisata mangrove Kesesuaian lahan untuk ekowisata pantai Kesesuaian lahan untuk ekowisata lamun Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut Kesesuaian lahan untuk budidaya keramba jaring apung Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Hasil pengamatan kualitas perairan Tahun 2012 Tabel 22 Konstanta harmonik pasang surut di beberapa wilayah sekitar Kabupaten Halmahera Tengah Produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 2004-2011 Nilai produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 20042011 Peningkatan produksi dan nilai produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 2004-2011 Jumlah perahu penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Tengah Jumlah nelayan di Kecamatan Halmahera Tengah Jumlah alat tangkap (unit) di Kecamatan Halmahera Tengah Jumlah Siswa SMA/SMK/Madrasah Aliyah (5 tahun terakhir, status Negeri dan Swasta) Kabupaten Halmahera Tengah Jumlah Siswa SMA/SMK/ Madrasah Aliyah yang studi lanjut (5 tahun terakhir, status Negeri dan Swasta) Kabupaten Halmahera Tengah Jumlah SMA/SMK/Madrasah Aliyah Kabupaten Halmahera Tengah
11 14 16 17 24 32 35 36 36 36 40 40 41 41 42 42 43 43 48 48 60 61 70 71 71 71 72 72
73
73 74
xviii
Tabel 32 Tabel 33 Tabel 34 Tabel 35 Tabel 36 Tabel 37 Tabel 38 Tabel 39 Tabel 40 Tabel 41 Tabel 42 Tabel 43 Tabel 44 Tabel 45 Tabel 46
Tabel 47 Tabel 48 Tabel 49 Tabel 50 Tabel 51
Program Studi yang ada di SMK Kabupaten Halmahera Tengah Tingkat Pengangguran (usia produktif yang belum bekerja) Kabupaten Halmahera Tengah Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan level pendidikan (5 tahun terakhir) Kabupaten Halmahera Tengah Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan bidang kompetensi Kabupaten Halmahera Tengah Ekosistem mangrove di Teluk Weda Ekosistem lamun Di Teluk Weda Ekosistem terumbu karang di Teluk Weda Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan Weda Utara Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan Weda dan Weda Tengah Luasan zonasi pada kawasan konservasi hasil deliniasi Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di Teluk Weda Jumlah individu, spesies dan indeks keragaman ikan indikator dan ikan target Rekapitulasi persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di Teluk Weda Daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan di Teluk Weda Asal negara, hari kunjungan, biaya perjalanan dan pendapatan wisatawan yang berkunjung ke Weda Resort di Teluk Weda Nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi Teluk Weda Nilai produksi perikanan Tahun 2012 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo Nilai stress, koefisien determinasi (R²) dan iterasi hasil analisis Rapfish Arahan dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan konservasi di Teluk Weda
74 74
75 75 79 80 81 82 87 100 102 106 136
138 139 139 159 160 167
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Gambar 24 Gambar 25 Gambar 26 Gambar 27 Gambar 28 Gambar 29 Gambar 30 Gambar 31 Gambar 32
Kerangka pikir model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi Peta lokasi penelitian di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi limbah Matriks DP-D untuk elemen tujuan program Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data P3K (Alder et al. 2000 dalam Fauzi dan Anna 2005) Stasiun Klimatologi Kulo Jaya Balai Wilayah Sungai Maluku Utara Curah Hujan di Kabupaten Halmhera Tengah Tahun 2008-2012 Penguapan air di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2008-2012 Beberapa jenis lamun yang ditemukan PPI Weda DKP Halmahera Tengah Fasilitas Air bersih PDAM Halmahera Tengah Infrastruktur transportasi darat, laut dan udara Kabupaten Halmahera Tengah Ekowisata di Teluk Weda Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Sagea Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Gume Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Tete Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Kife Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Seves Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Goeng Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Dua Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Kobe Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Loleo Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Tilope Hiu Endemik Halmahera (Hemiscyllium halmahera) Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun Kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut
4 31 46 50 52 54 58 58 59 69 70 76 78 78 84 84 84 84 85 96 96 96 98 98 104 105 108 110 113 115 117 118
xx
Gambar 33 Gambar 34 Gambar 35 Gambar 36 Gambar 37 Gambar 38 Gambar 39 Gambar 40 Gambar 41 Gambar 42 Gambar 43 Gambar 44 Gambar 45 Gambar 46 Gambar 47
Gambar 48
Gambar 49
Gambar 50 Gambar 51 Gambar 52 Gambar 53 Gambar 54 Gambar 55 Gambar 56 Gambar 57 Gambar 58 Gambar 59 Gambar 60 Gambar 61
Kesesuaian pemanfaatan keramba jaring apung Kapasitas asimilasi Amonia di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Nitrit di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Nitrat di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Fosfat di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Arsen di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Kadmium di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Kromium di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Merkuri di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Nickel di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Tembaga di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Timbal di Teluk Weda Kapasitas asimilasi Seng di Teluk Weda Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen pelaku Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen tujuan program Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen tolok ukur Diagram model struktur hirarki dan Grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen kendala utama Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen aktivitas Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Peran atribut dimensi ekologi dengan nilai Root Mean Square Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Peran atribut dimensi ekonomi dengan nilai Root Mean Square Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya Peran atribut dimensi sosial budaya dengan nilai Root Mean Square Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan Peran atribut dimensi kelembagaan dengan nilai Root Mean Square Diagram layang-layang status keberlanjutan multidimensi Indeks keberlanjutan multidimensi Peran atribut multidimensi dengan nilai Root Mean Square
123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 141
143
144
146 148 150 151 151 152 153 154 155 156 157 158 159
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23 Lampiran 24 Lampiran 25
Matriks kesesuaian untuk deliniasi penetapan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Kriteria Penunjukkan/Penetapan Kawasan Konservasi berdasarkan Karakteristik Kawasan Matriks Zonasi Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil Peta pulau-pulau kecil di Teluk Weda Peta sebaran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda Peta deliniasi kawasan konservasi di Teluk Weda Peta zonasi kawasan konservasi Weda Utara Peta zonasi kawasan konservasi Weda Tengah Peta zonasi kawasan konservasi Weda Peta zonasi kawasan konservasi Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Utara Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Tengah Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Utara Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Tengah Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Utara Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Tengah Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Weda Utara
182 185 193 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216
xxii
Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29 Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34
Lampiran 35
Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut di Weda Selatan Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring apung di Weda Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring apung di Weda Selatan Sistem kelembagaan pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah Tabel Simbol & Pewarnaan dalam Peta Rencana Zonasi
217 218 219 220 221 222 223 224
225 230
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Tengah adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara yang beribu kota di Weda. Secara geografis letak kabupaten terbentang antara 0o45’LU – 0o15’LS dan 127o45’BT – 129o26’BT dan berada pada bagian kaki Pulau Halmahera. Kabupaten ini memiliki teluk yang luas yang dinamakan Teluk Weda. Teluk ini dikeliling 8 kecamatan yaitu 7 kecamatan terletak pada bagian pulau Halmahera dan 1 kecamatan berada di bagian timur Pulau Halmahera. Teluk Weda yang merupakan kawasan teluk yang luas menyimpan sumberdaya alam sangat prospektif baik sebagai sumberdaya alam dapat pulih (mangrove, terumbu karang, lamun dan sumberdaya ikan), maupun sumberdaya alam yang tak dapat pulih (mineral dan bahan tambang) yang sangat potensial untuk dikembangkan. Selain itu Teluk Weda berperan penting sebagai pintu gerbang dan penghubung kabupaten-kabupaten di dalam dan di luar Maluku Utara. Sumberdaya alam hayati teluk ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diantaranya terumbu karang yang digunakan sebagai bahan bangunan dan mangrove yang digunakan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar. Selain itu berbagai pemangku kepentingan telah mengeksploitasi sumberdaya mineral dan bahan tambang untuk di ekspor ke luar daerah. Berbagai pemanfaatan ini dapat mengakibatkan degradasi ekosistem, pencemaran lingkungan berupa buangan limbah rumah tangga, industri dan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral dan bahan tambang. Demikian pula dengan adanya pemekaran kabupaten, terjadi peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut secara besar-besaran untuk kegiatan pembangunan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat baik penduduk setempat maupun karyawan pertambangan. Untuk mencegah terjadinya degradasi lingkungan, eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam di Kabupaten ini, dilakukan kajian tentang model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi. 1.2 Permasalahan Di Kabupaten Halmahera Tengah sebagai kabupaten baru akan terjadi pembangunan di berbagai sektor yang akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya di Teluk Weda. Seiring dengan perkembangan pembangunan ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada di kawasan Teluk Weda. Sehingga harus ada penata kelolaan teluk yang dapat memberikan perimbangan antara pembangunan daratan dan kelestarian di Teluk Weda. Melihat potensi sumberdaya yang dimiliki oleh Teluk Weda dan peluang pengembangannya serta kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat, terdapat beberapa permasalahan yang merupakan kendala dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam kompleksitas permasalahan tersebut ada beberapa hal yang diidentifikasi di Teluk Weda saat
2
ini, potensi sumberdaya alam daerah ini dimanfaatkan oleh masyarakat dan pihakpihak lain yang berusaha di daerah ini untuk dieksploitasi secara besar-besaran untuk pembangunan. Hal ini jika tidak dilakukan penataan kelolaan dengan baik akan menimbulkan dampak negatif bagi teluk Weda akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan kerusakan akibat eksploitasi sumberdaya alam. Untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan, perlu dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda secara terpadu, sedangkan sampai saat ini belum dilakukan dan masih bersifat sektoral terutama pemanfaatan potensi perikanan dan pariwisata. Selanjutnya dengan adanya pemekaran di Kabupaten Halmahera Tengah tentunya penduduknya akan semakin bertambah dan aktivitas pembangunan akan semakin tinggi, sehingga cenderung memberikan tekanan terhadap ekosistem dan sumberdaya yang ada. Dengan demikian, dapat dipastikan dalam beberapa tahun kedepan hampir seluruh lahan akan terpakai untuk berbagai aktivitas pembangunan, apalagi Teluk Weda memiliki banyak pulau-pulau kecil yang lebih dekat dengan daratan (mainland), juga potensi yang ada di daratan (mainland) terutama estuaria yang terdapat di daerah tersebut dikuatirkan akan terjadi kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam. Salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda secara terpadu yaitu dengan melakukan pembagian kawasan berdasarkan pemanfaatannya. Pemanfaatan kawasan ini dilakukan berdasarkan peruntukan kawasan tersebut sesuai dengan penataan ruang wilayah pengelolaan yang telah ditetapkan pada Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Halmahera Tengah. Adapun penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan penzonasian kawasan pada zona pengelolaannya. Zona pengelolaan pada rencana detail tata ruang dapat dibagi menjadi beberapa kawasan sesuai deliniasi kawasan yang diperuntukkan. Hasil deliniasi tersebut dapat berupa kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategi nasional tertentu dan kawasan alur. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendasar tentang peñata kelolaan di Teluk Weda dengan model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi. 1.3 Kerangka Pemikiran Pengembangan suatu wilayah teluk memerlukan upaya pengelolaan yang sangat penting untuk memacu perkembangan sosial-ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah, hal ini sangat diperlukan karena realitas sosial-ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan kata lain, pembangunan tidak dapat disamaratakan pada seluruh wilayah, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Inilah sesungguhnya yang merupakan argumentasi akan perlunya suatu pengembangan wilayah. Logika di atas tentang pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral, karena yang pertama sangat berorientasi pada permasalahan (issues) pokok wilayah secara saling terkait, sementara yang disebutkan terakhir sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor itu, tanpa terlalu memperhatikan keterkaitannya dengan sektor-sektor lain.
3
Namun demikian, walaupun berbeda dalam orientasi tapi keduanya saling melengkapi; dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa pembangunan sektoral, sementara pembangunan sektor tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat menciptakan perselisihan (konflik) kepentingan antar sektor-sektor tersebut, yang pada gilirannya akan kontraproduktif dengan pengembangan wilayah. Realitas menunjukkan bahwa Kabupaten Halmahera Tengah sebagai kabupaten memiliki teluk yang luas serta memiliki potensi sumberdaya dan jasa kelautan serta perikanan yang prospektif untuk mendukung proses pembangunan wilayah yang optimal. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa kelautan dan perikanan, sesungguhnya Kabupaten Halmahera Tengah memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan. Dengan demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan teluk terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Konsep pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa kelautan serta perikanan di wilayah yang banyak memiliki ekosistem yang lengkap seperti di teluk Weda ini, hal yang tepat untuk dilakukan dengan pendekatan keterpaduan. Minimal keterpaduan ini dapat mengintegrasikan kegiatan perikanan dan wisata bahari yang dikembangkan pada wilayah berpotensi. Identifikasi dan inventarisasi potensi pemanfaatan sumberdaya di teluk yaitu dengan mengidentifikasi dan inventarisasi : sumberdaya perikanan dan biota lainnya, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang, estuaria, dan pulau-pulau kecil. Sedangkan fungsi tujuan pengelolaan, memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan biota lainnya yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang efisien. Hasil identifikasi dan inventarisasi potensi pemanfaatan sumberdaya tersebut, kemudian dilakukan analisis kesesuaian kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan yang digunakan sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi yang telah dihasilkan tersebut dilakukan pembagian zonasi (zona inti dan pemanfaatan terbatas). Zonasi yang terbentuk tersebut kemudian dilakukan analisis kesesuaian pemanfaatan pada zona pemanfaatan terbatas dengan menggunakan kriteria : ekowisata selam, ekowisata snorkeling, ekowisata pancing, ekowisata pantai, ekowisata mangrove, ekowisata lamun, budidaya keramba jaring apung dan budidaya rumput laut. Hasil kesesuaian pemanfaatan ini kemudian dilakukan analisis daya dukung berdasarkan kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan pemanfaatan. Pengelolaan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang dihasilkan dapat berkelanjutan, dilakukan analisis keberlanjutan, sesuai kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta kelembagaan. yang terkait dengan pengembangan kawasan konservasi. Diagram alir kerangka pendekatan masalah dari model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi, dapat dilihat pada Gambar 1.
4
SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TELUK WEDA
EKOSISTEM PESISIR & PULAU-PULAU KECIL
EKOSISTEM MANGROVE
EKOSISTEM LAMUN
EKOSISTEM TERUMBU KARANG
KESESUAIAN KAWASAN KONSERVASI
KRITERIA EKOLOGI
KRITERIA EKONOMI
KRITERIA SOSIAL BUDAYA
KRITERIA KELEMBAGAAN
ZONASI
ZONA INTI
ZONA PEMANFAATAN TERBATAS
ZONA PERIKANAN BERKELANJUTAN
KESESUAIAN PEMANFAATAN
BUDIDAYA RUMPUT LAUT & KERAMBA JARING APUNG
EKOWISATA BAHARI
DAYA DUKUNG
KAPASITAS ASIMILASI
KAWASAN
PEMANFAATAN
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG KEBERLANJUTAN
TCM
ISM
RAPFISH
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS ZONASI DI TELUK WEDA
Gambar 1 Kerangka pikir model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi
5
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda melalui penetapan kawasan konservasi dengan pendekatan keterpaduan ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan kajian khusus terhadap beberapa hal dalam penelitian ini, antara lain: 1. Inventarisasi dan identifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (pulaupulau kecil, mangrove, lamun dan terumbu karang). 2. Analisis penetapan zonasi pada kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Analisis pemanfaatan kawasan konservasi untuk kegiatan ekowisata selam, ekowisata snorkeling, ekowisata pantai, ekowisata mangrove, ekowisata lamun, ekowisata pancing, keramba jaring apung dan budidaya rumput laut. 4. Analisis keberlanjutan ekominawisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil. Manfaat yang diharapkan pada penelitian di Teluk Weda ini : 1. Tersedianya informasi potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil 2. Tersedianya informasi model pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan. 3. Dapat memberikan masukan bagi pengambil keputusan di Kabupaten Halmahera Tengah dan instansi terkait. 4. Sebagai kajian ilmiah, dimana hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya dan stakeholders yang terkait dengan model pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. 1.5 Kebaruan atau Novelty Penelitian tentang kawasan konservasi pada dasarnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Ada beberapa peneliti hanya terfokus pada pulaupulau kecil dan ada pula yang hanya pada pesisir saja. Sedangkan penetapan kawasan konservasi berdasarkan deliniasi kawasan konservasi berbasis zonasi yang terdapat di teluk yang luas yang memadukan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Kebaruan atau novelty dari penelitian ini adalah penetapan dan pemanfaatan kawasan konservasi yang digunakan sebagai model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi di Teluk Weda.
6
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Teluk Teluk adalah air yang dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya atau air yang ketiga sisinya dikelilingi oleh daratan. Teluk ditemukan diantara tanjung-tanjung. Teluk dan tanjung sering ditemukan bersama pada sisi pantai yang sama, juga membentuk garis pantai yang disebut garis pantai discordant (Rini 2008). Teluk adalah bagian perairan pedalaman (internal waters) yang ditutup oleh garis dasar penutup teluk, muara, pelabuhan dan garis-garis dasar yang menutup lekukan di pantai sampai 100 mil laut dan maksimum 125 mil laut. Dengan kata lain, perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang berada ke arah daratan dari garis dasar kepulauan (Rais 2003). Definisi Teluk (Bay) berdasarkan UNCLOS 1982 adalah lekukan ke arah darat, di mana garis penutup teluk mencakup air dalam teluk yang sama atau lebih luas dari laut yang dicakup oleh radius penutup teluk sama. Sebaliknya jika cakupan oleh radius penutup teluk lebih luas daripada air dalam teluk maka tidak diberlakukan sebagai teluk, walaupun mungkin sehari-hari orang menyebutnya “teluk” (Rais 2003). Untuk penerapan UU No. 22 Tahun 1999 disepakati bahwa jika panjang garis penutup teluk maksimum 12 mil, maka teluk dapat ditutup dengan garis dasar. Dengan kata lain, jika garis penutup teluk lebih panjang dari 12 mil, maka garis penutup teluk tidak dapat dipakai sebagai garis dasar untuk menentukan batas wilayah laut. Ketentuan UNCLOS untuk garis dasar negara kepulauan dibolehkan menarik garis penutup teluk maksimum 24 mil laut. (UNCLOS 1982 Article 10) Misalnya garis penutup teluk tidak memenuhi syarat sebagai garis dasar untuk menentukan batas, karena lebih panjang dari 12 mil, maka dicari semua alternatif, di mana garis dasar tersebut maksimum 12 mil laut. Jika, misalnya, garis penutup melebihi 12 mil, seperti garis 1 dalam kasus ini, maka harus dicari alternatif lain untuk garis penutup teluk sebagai garis dasar, misalnya garis 2. Kalau inipun tidak memenuhi syarat, maka alternatif garis 3 yang dipilih, dan seterusnya, sampai memperoleh garis penutup teluk < 12 mil. 2.2 Ekosistem Estuaria Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang di bawa oleh air tawar dan air laut (Bengen 2002). Daerah estuaria adalah daerah peralihan antara laut dan sungai dengan salinitas yang lebih rendah dari laut dan sedikit lebih tinggi dari perairan tawar. Pada zona peralihan inilah terjadi percampuran antara air laut dan air sungai. Pola percampuran ini sangat dipengaruhi oleh topografi dari pantai itu sendiri dan sudah barang tentu pola percampurannya memberikan stratifikasi yang berbeda pula terhadap estuaria itu sendiri. Bentukan estuaria itu sendiri dapat terjadi dalam dua pola bentukan. Bentukan yang pertama adalah bentukan asli yang merupakan bentukan dari pola topografi yang secara alami terjadi pertemuan
8
antara air laut dan air tawar. Namun pola bentukan ini amat sangat umum bahkan menyatukan pengkategorian estuaria pada daerah pertemuan antara laut dan sungai serta daerah tanpa adanya aliran sungai namun terdapat sumbar air tawar seperti pada daerah-daerah basah (wetland) dan kawasan lainnya. Bentukan yang kedua adalah bentukan dengan model sirkulasi air laut dan air sungai. Bentukan ini sangat di berkaitan dengan pola pasang surut, arus air sungai dan arus pantai, topografi dan kedalaman dari perairan itu sendiri. Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang kaya dan komplit unsur hara dengan berbagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang didalamnya. Pada ekosistem ini biota yang hidup mempunyai toleransi yang tinggi untuk dapat bertahan hidup, karena merupakan daerah peralihan antara sungai dan laut. Tingginya tingkat pemanfaatan di daerah estuaria menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti hilangnya sumberdaya estuaria. Pengembangan sumberdaya estuaria yang dilakukan secara tidak terencana telah mengakibatkan berbagai dampak baik yang berlangsung dalam waktu yang singkat maupun dalam jangka lama seperti kerugian ekonomi (opportunity cost) (Dahuri et al. 2001). Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif yang setaraf dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang (Bengen 2002), karena : 1. Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang cepat didaur ulang. 2. Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun. 3. Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang surut, sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria. Fungsi ekologis estuaria secara umum mempunyai peran penting sebagai berikut : 1) sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), 2) penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang dll) yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground), dan 3) sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Pemanfaatan estuaria secara umum oleh manusia sebagai berikut : 1) sebagai tempat pemukiman, 2) sebagai tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, 3) sebagai jalur transportasi, dan 4) sebagai pelabuhan dan kawasan industri. Estuaria dapat dikelompokkan atas 4 (empat) tipe, berdasarkan karakteristik geomorfologinya (Bengen 2002), karena : 1. Estuaria dataran pesisir; paling umum dijumpai, yaitu pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai. 2. Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup; terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai, sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut. 3. Fjords; merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktifitas glasier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut.
9
4. Estuaria tektonik; terbentuk akibat aktifitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang. Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air terdapat 3 (tiga) tipe estuaria : 1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang surut. 2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang surut. 3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi. Karakteristik fisik adalah perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut : 1. Salinitas. Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pang surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. 2. Substrat. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria. 3. Sirkulasi air. Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang surut menciptakan suatu gerakan dan transpor air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air. 4. Pasang surut. Arus pasang surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Disamping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria. 5. Penyimpanan zat hara. Peranan estuaria sebagai penyimpanan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani. Keistimewaan lingkungan perairan estuaria lainnya adalah sebagai penyaring dari berjuta bahan buangan cair yang bersumber dari daratan. Sebagai kawasan yang sangat dekat dengan daerah hunian penduduk, daerah estuaria umumnya dijadikan daerah buangan bagi limbah-limbah cair. Limbah cair ini mengandung banyak unsur diantaranya nutrien dan bahan-bahan kimia lainnya. Dalam kisaran yang dapat ditolelir, kawasan estuaria umumnya bertindak sebagai penyaring dari limbah cair ini, mengendapkan partikel-partikel beracun dan menyisakan badan air yang lebih bersih. Inipun dengan kondisi dimana terjadi suplai yang terus-menerus dari air sungai dan laut yang cenderung lebih bersih
10
dan menetralkan sebagaian besar bahan polutan yang masuk ke daerah estuaria tersebut. Disamping itu semua, hal yang sangat berhubungan dengan masyarakat dan kegiatan ekonomi masyarakat, lingkungan kawasan perairan estuaria kebanyakan dijadikan sebagai lahan budidaya bagi ratusan jenis ikan, bivalva (oyster dan clam), krustasea (kepiting) dan invertebrata lainnya. 2.3 Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Hampir 70% area daratan bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Pulaupulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990 in Bengen 2004). Status Indonesia sebagai Negara kepulauan yang secara nasional telah ditetapkan sejak deklarasi Juanda pada tahun 1957, selanjutnya dikukuhkan dengan Undang-Undang No.4/PrP/1960 yang kemudian telah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 1996, tentang perairan Indonesia, kini telah diperkuat secara internasional dengan berlakunyya Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Definisi pulau yang digunakan sebagaimana yang dituangkan dalam (UNCLOS 1982 Bab VIII Pasal 121 Ayat 1) yaitu pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi (IHO 1993). Pemahaman tentang definisi pulau kecil terdapat beragam batasan yang dikemukakan. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000 (DKP 2001), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama 200.000 orang. Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama 500.000 orang. Berdasarkan batasan pulau kecil yang dikemukakan pada pertemuan CSC, 1984 yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2. Namun banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari 2.000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km, sehingga pulau-pulau ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil (UNESCO 1991). Hasil pertemuan Internasional Hydrological Programme IHP-III UNESCO yaitu berdasarkan kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km 2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Diaz and Huertas 1986). Bila batasan pulau kecil didasarkan pada pemanfaatan sosial-ekonomi dan demografi, maka pemanfaatan pulau kecil dengn ukuran kurang atau sama dengan 2.000 km2 hendaknya berbasis konservasi. Dengan demikian maka seharusnya hanya sekitar 50% dari luas area pulau kecil dimaksud dapat dimanfaatkan bagi berbagai peruntukan sosial-ekonomi dan demografi. Apabila mengacu pada batasan pulau kecil yang ditetapkan oleh DKP (2001) dan pemanfaatan yang berbasis konservasi, maka pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 hendaknya penduduknya berjumlah kurang dari atau sama dengan 20.000 orang.
11
Pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol dengan ciriciri sebagai berikut (Dahl 1998; Bengen 2002) : Berukuran kecil dan terpisah dari pulau induk/pulau besar (mainland island), sehingga bersifat insular. Memiliki sumberdaya alam, terutama sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan masuk ke laut. Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran. Memiliki keanekaragaman hayati teresterial rendah, namun memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi. Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan. Variasi iklim kecil, tapi potensial terjadi perubahan cepat. Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar). Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Pulau dapat dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok, yaitu : pulau oseanik dan pulau kontinental (sering disebut juga sebagai pulau besar). Selanjutnya pulau oseanik dapat dibagi atas 2 (dua) kategori, yaitu pulau vulkanik dan pulau koral/karang (Dahl 1998; Salm et al, 2000). Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pulau kontinental, terlebih dengan benua, baik dilihat dari ukurannya maupun stabilitas dan penggunaannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihatnya pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik pulau oseanik, kontinental dan benua Pulau Oseanik
Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas Area daratan kecil Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau kontinental terdekat
Pulau Kontinental Karakteristik Geografis Dekat dari benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Suhu agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat
Benua Area daratan sangat besar Suhu udara bervariasi Iklim musiman
Karakteristik Geologi Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/ permeable
Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
Keanekaragaman hayati rendah Pergantian spesies cukup tinggi Tingginya pemijahan masal hewan laut bertulang belakang
Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Seringnya pemijahan masal hewan laut bertulang belakang
Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar
Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih dekat pasar
Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan masal hewan laut bertulang belakang
Karakteristik Ekonomi
Sumber : Salm et al. 2000
Sumberdaya daratan luas Sumberdaya laut sering tidak penting Pasar relatif mudah
12
Pulau atau kepulauan yang terdapat di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, dengan asal pembentukannya berdasarkan proses geologi. Tipe-tipe utama dan asal pembentukan dari pulau disajikan sebagai berikut : Pulau kontinental (Continental Island) terbentuk sebagai bagian dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Karena batuan di pulau kontinental berasal dari benua, maka tipe batuannya beragam dari umur yang berbeda dengan struktur yang kompleks. Karena itu pulau kontinental memiliki beragam jenis tanah dan kaya akan mineral (Dahl 1998). Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Pulau Vulkanik (Vulcanic Island) sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerkan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakan terumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pulau Daratan Rendah (Low Island) adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pada umumnya pulau-pulau daratan rendah tergolong ke dalam pulau-pulau kecil, dimana pulau ini biasa berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan tsunami. Karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Pulau Atol (Atolls) adalah pulau karang yang berbentuk cincin, dan umumnya tergolong ke dalam pulau-pulau kecil. Pada dasarnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang pada awalnya membentuk karang tepi (fringing reef), kemudian berkembang menjadi karang penghalang (barrier reef) dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidance) dari pulau vulkanik semula, dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang (Stoddart 1975). Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau-pulau kecil dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok pulau daratan dan kelompok pulau berbukit (Hehanussa 1988; Hehanussa dan Haryani 1998; Hehanussa dan Bakti 2005). Pulau dataran secara topografi terdiri dari 3 (tiga) kelompok : pulau alluvium, pulau karang/coral dan pulau atol, tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Jenis batuan geologis pulau dataran umumnya berumur muda berupa endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar terdiri dari lapisan endapan masif atau pecahan karang/coral. Pulau berbukit terdiri dari 5 (lima) kelompok : pulau vulkanik, tektonik, teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran, umumnya memperlihatkan morfologi
13 dengan lereng yang lebih besar dari 10o dan elevasi lebih besar dari 100 m di atas permukaan laut. 2.4 Ekosistem Mangrove Kawasan hutan mangrove adalah salah satu kawasan pantai yang sangat unik, karena keberadaan ekosistem ini pada daerah muara sungai atau pada kawasan estuaria. Mangrove hanya menyebar pada kawasan tropis sampai subtropis dengan kekhasan tumbuhan dan hewan yang hidup di sana. Keunikan ini tidak terdapat pada kawasan lain, karena sebagian besar tumbuhan dan hewan yang hidup dan berasosiasi di sana adalah tumbuhan khas perairan estuaria yang mampu beradaptasi pada kisaran salinitas yang cukup luas. Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan lautan. Mangrove umumnya tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai yang datar. Biasanya pada daerah yang mempunyai muara sungai besar dan delta dengan aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir. Sebaliknya mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan bergelombang besar dengan arus pasang surut yang kuat karena pada daerah tersebut tidak memungkinkan adanya endapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Luas ekosistem hutan mangrove di dunia diperkirakan saat ini kurang lebih 15,9 juta hektar, dan diperkirakan 27% dari luas tersebut atau sekitar 4,29 juta hektar terdapat di kawasan pesisir Indonesia. Keberadaan hutan mangrove ini sangat penting sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara rasional. Setiap tipe vegetasi mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya antara lain kondisi tanah, topografi, iklim, pasang surut dan salinitas air. Sehingga setiap daerah vegetasi mangrove umumnya membentuk suatu karakteristik yang berbeda-beda pada setiap habitatnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove antara lain: 1) tanah dan struktur topografi, 2) iklim, 3) sedimentasi, 4) pasang surut dan 5) salinitas. Sebenarnya masih banyak faktor-faktor lain yang perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan keberadaan mangrove, termasuk ulah manusia yang kadang bahkan sering menyebabkan terganggunya kestabilan ekosistem mangrove. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih mendalam lagi di kemudian hari. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu, juga meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Dampak utama yang ditimbulkan akibat berbagai kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 2.
14
Tabel 2 Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove Kegiatan Tebang habis
Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan
Kegiatan Pembuangan sampah cair (sewage)
Pembuangan sampah padat Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar Penambangan dan ekstraksi mineral Di daratan sekitar hutan mangrove
Dampak Potensial Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan hutan mangrove yang ditebang habis ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang komersial penting Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan pertanian, perikanan, lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh susbtrat hutan mangrove Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove Dampak Potensial Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahkan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hydrogen sulfida (H2S) dan amonia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewan dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.
Kerusakan total ekosistem hutan mangrove di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mangakibatkan : musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang komersial penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. Pengendapan sedimen yang berlebihan yang dapat mengakibatkan : terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove.
Sumber : Berwick 1983 dalam Dahuri et al. 2001
15
2.5 Ekosistem Lamun Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris disebut seagrass. Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya merupakan tumbuhan tingkat rendah dan dikenal juga sebagai alga laut. Padang lamun adalah ekosistem perairan dangkal yang didominasi oleh lamun. Pada ekosistem ini banyak ragam biota yang hidup berasosiasi dengan lamun. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut : 1. Produsen detritus dan zat hara. 2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan slaing menyilang. 3. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. 4. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Selain fungsi peting di atas, padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai : 1. Tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram. 2. Tempat rekreasi atau pariwisata. 3. Sumber pupuk hijau. Lamun mempunyai peran penting ditinjau dari beberapa aspek : 1. Keanekaragaman hayati : padang lamun memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia diperkirakan memiliki 13 jenis lamun. Selain itu padang lamun juga merupakan habitat penting untuk berbagai jenis hewan laut, seperti : ikan, moluska, krustacea, ekinodermata, penyu, dugong, dll. 2. Kualitas air : padang lamun dapat membantu mempertahankan kualitas air. 3. Perlindungan: padang lamun dapat mengurangi dampak gelombang pada pantai sehingga dapat membantu menstabilkan garis pantai. 4. Ekonomi: padang lamun menyediakan berbagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk menyokong kehidupan masyarakat, seperti untuk makanan, perikanan, bahan baku obat, dan pariwisata. Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Dampak utama yang ditimbulkan akibat berbagai kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun disajikan pada Tabel 3. 2.6 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem paling depan yang berhadapan dengan laut adalah terumbu karang. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (Bengen 2002).
16
Tabel 3 Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun Kegiatan Dampak Potensial Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri, dan saluran navigasi Pencemaran limbah industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin Pembuangan sampah organik cair (sewage)
Pencemaran oleh limbah pertanian Pencemaran minyak
Perusakan total padang lamun Perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insang hewan ikan Terjadinya akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification Penurunan kandungan oksigen terlarut Dapat terjadi eutrofikasi yang mengakibatkan blooming perifiton yang menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat menghalangi cahaya matahari Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun Pencemaran pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi Lapisan minyak pada daun lamun dapat menghalangi proses fotosintesa
Sumber : Bengen 2002 Secara umum terumbu karang terdiri atas 3 (tiga) tipe yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1) Suhu air > 18oC, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 3640oC; 2) Kedalaman perairan < 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang; 3) Salinitas air yang konstan berkisar antara 3036o/oo; dan 4) Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota dengan komposisi sebagai berikut : 1) Beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerangkerangan, ekinodermata; 2) Beranekaragam ikan, 50-70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; 3) Reptil, umumnya ular laut dan penyu; dan 4) Ganggang dan rumput laut, algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun. Peran terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya.
17
Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain : 1) Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias; 2) Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur; 3) Bahan perhiasan; dan 4) Bahan baku farmasi. Kegiatan manusia dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang memberikan dampak yang besar terhadap kerusakan terumbu karang (Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang Kegiatan Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak Pembuangan limbah panas Pengundulan hutan di lahan atas Pengerukan di sekitar terumbu karang Kepariwisataan
Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida) Penangkapan ikan dengan bahan peledak
Dampak Potensial Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu Meningkatnya suhu air 5-10oC di atas suhu ambient, dapat mematikan karang dan biota lainnya Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi Kerusakan fisik karang oleh jangkar kapal Rusaknya karang oleh penyelam Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata
Mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang (anemon)
Sumber : Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002 2.7 Penataan Ruang (Zonasi) Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan yang spesifik; pembagian suatu wilayah khusus ke dalam beberapa kawasan (zona) dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Penataan ruang (zonasi) merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis ke dalam subwilayah, dimana setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus.
18
Kay and Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Aspek yang harus dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir pulau-pulau kecil, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola jenis-jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan. Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta perubahannya (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009) dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 serta Permen KKP Nomor 02 Tahun 2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Terkait dengan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui UndangUndang 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan : konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan.
19
Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Salm and Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial, pengembangannya untuk rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas eksploitasi sumberdaya, memiliki potensi nilai ekonomi dari sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi. Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN, 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversitas, genetik diversitas, ekosistem dan proses ekologi, menjamin pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi. Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan peningkatan biomass ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an (Robert and Hawkins 2000 in Wiadnya et al. 2005). Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona, yaitu : 1. Zona inti atau perlindungan. Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit
20
aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diizinkan adanya aktifitas eksploitasi. 2. Zona penyangga. Zona ini bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol, dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diizinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang dapat diganggu, dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal. 3. Zona pemanfaatan. Lokasi di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diizinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut di atas ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi, sebagaimana sasaran kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. 2.8 Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan system zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Konservasi Sumberdaya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Kawasan konservasi maritim adalah daerah perlindungan adat dan budaya maritim yang mempunyai nilai arkeologi historis khusus, situs sejarah kemaritiman dan tempat ritual keagamaan atau adat dan sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu hidup. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati secara komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu system.
21
Diantara ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang berada dalam kondisi kritis adalah estuaria, mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ekosistem dan sumberdaya tersebut berperan penting sebagai penyedia makanan, tempat perlindungan dan tempat berkembangbiak berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota lainnya. Salah satu upaya perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan suatu kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi. Kawasan konservasi yang didefinisikan sebagai suatu kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi didalamnya yang memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy 1997; Barr et al. 1997) : a. Melindungi keanekaragaman hayati serta sturktur, fungsi dan integritas ekosistem. Kawasan konservasi dapat berkontribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkat tropik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologi dalam suatu ekosistem. b. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan koservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di daerah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktifitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut. e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir, laut dan pulaupulau kecil. Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Sasaran utama penetapan kawasan konservasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar prosesproses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dantetap
22
dipertahankan produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan (Agardy 1997). Untuk dapat mencapai sasaran tersebut di atas, maka penetapan kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus ditujukan untuk (Kelleher and Kenchington 1992; Jones 1994; Barr et al. 1997; Salm et al. 2000): Melindungi habitat-habitat kritis Mempertahankan keanekaragaman hayati Mengkonservasi sumberdaya ikan Melindungi garis pantai Melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya Menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam Merekolonosasi daerah-daerah yang tereksploitasi Mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan Dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan dalam proses pemilihan lokasi (Agardy 1997) : 1. Identifikasi habitat atau lingkungan kritis; distribusi sumberdaya ikan ekologis dan ekonomis penting, dan bila memungkinkan lokasi proses-proses ekologis kritis, dan dilanjutkan dengan memetakan informasi-informasi tersebut dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. 2. Teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan; petakan konflik pemanfaatan sumberdaya, berbagai ancaman langsung (over-eksploitasi) dan tidak langsung (pencemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya. 3. Tentukan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi (lokasi yang diidentifikasi oleh pengambil kebijakan menjadi prioritas untuk dilindungi). 4. Kaji kelayakan suatu kawasan prioritas yang dapat dijadikan kawasan konservasi, berdasarkan proses perencanaan lokasi. Secara umum terdapat 2 (dua) kategori ukuran kawasan konservasi, yakni : kategori disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan kategori agregasi (satu kawasan konservasi yang berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan tersendiri. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Teluk yang akan menjadi prioritas dalam penyusunan perencanaan kawasan konservasi dapat dilakukan dengan mengikuti kriteria yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Permen KP RI Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil, Permen KP RI Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Akreditasi Terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil, Permen KP RI Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
23
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil, dan Permen KP RI Nomor 02 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, dan Permen KP RI Nomor 30 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan, serta Kepmen KP RI Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktifitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Zona-zona tertentu menuntut pengelolaan yang intensif, sementara zona lainnya tidak perlu. Sistem zonasi pada kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari : a) zona inti; b) zona pemanfaatan terbatas; dan/atau c) zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan. Zona inti wajib dimiliki oleh setiap jenis kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Setiap jenis kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dapat memiliki satu atau lebih zonasi sesuai dengan luasan dan karakter biofisik serta sosial ekonomi dan budaya kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Zona inti antara lain diperuntukkan : a. perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut; b. perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan; c. perlindungan situs budaya/adat tradisional; d. penelitian; dan/atau e. pendidikan Zona pemanfaatan terbatas antara lain diperuntukkan : a. perlindungan habitat dan populasi ikan; b. pariwisata dan rekreasi; c. penelitian dan pengembangan; dan/atau d. pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti dan zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan Kepmen KP RI Nomor 17 Tahun 2008, adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Tujuan ditetapkannya konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk memberikan acuan atau pedoman dalam melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya. Sasaran pengaturan kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Penzonasian kawasan konservasi disajikan pada Tabel 5.
24
Tabel 5 Penzonasian Kawasan Konservasi Kawasan Zona Sub Zona Kawasan Konservasi Konservasi Konservasi A Perairan
A1
A2
A3
A4
Konservasi Koservasi B Pesisir dan PulauPulau Kecil B1
Penjelasan
Wilayah yang mempunyai cirri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengeloalan wilayah tersebut secara berkelanjutan Taman Nasional Kawasan konservasi perairan yang Perairan mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi Taman Wisata Kawasan konservasi perairan Perairan dengan tujuan dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi Suaka Alam Perairan Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya Suaka Perikanan Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan cirri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai cirri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah tersebut secara berkelanjutan Suaka Pesisir Merupakan wilayah pesisir yang menjadi tempat hidup dan perkembangbiakan (habitat). Mempunyai keterwakilan ekosistem di wilayah pesisir yang masih asli, luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat, dan/atau mempunyai kondisi fisik wilayah mampu mengurangi dampak bencana
25
Tabel 5 Lanjutan Kawasan
Zona
Sub Zona Kawasan Konservasi
Penjelasan
B2 Suaka Pulau Kecil
B3
B4
Konservasi C
Konservasi Maritim C1
C2
Merupakan pulau kecil yang menjadi tempat hidup dan perkembangbiakan (habitat), mempunyai keterwakilan ekosistem di pulau kecil yang masih asli dan/atau alami, luas wilayah pulau kecil yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat, dan/atau mempunyai kondisi fisik wilayah pulau kecil yang mampu mengurangi dampak bencana Taman Pesisir Merupakan wilayah pesisir yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, dan kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi Taman Pulau Kecil Merupakan wilayah pulau kecil yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, dan kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi Wilayah konservasi dengan situs budaya atau tempat kapal tenggelam Daerah Perlindungan Adat Maritim Daerah Perlindungan Budaya Maritim
Sumber : Permen KP RI Nomor 17 Tahun 2008 Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari 4 jenis yaitu: suaka pesisir suaka pulau kecil taman pesisir taman pulau kecil Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai suaka pesisir memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan wilayah pesisir yang menjadi tempat hidup dan berkembangbiaknya (habitat) suatu jenis atau sumberdaya alam hayati yang khas, unik, langka dan dikhawatirkan akan punah, dan/atau merupakan tempat
a. b. c. d.
26
hidup bagi jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya memerlukan upaya perlindungan, dan/atau pelestarian; b. mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di wilayah pesisir yang masih asli dan/atau alami; c. mempunyai luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumberdaya ikan yang perlu dilakukan upaya konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan d. mempunyai kondisi fisik wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan dan/atau mampu mengurangi dampak bencana. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai suaka pulau kecil memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan pulau kecil yang menjadi tempat hidup dan berkembangbiaknya (habitat) suatu jenis atau beberapa sumberdaya alam hayati yang khas, unik, langka, dan dikhawatirkan akan punah, dan atau merupakan tempat kehidupan bagi jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya memerlukan upaya perlindungan, dan/atau pelestarian; b. mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di pulau kecil yang masih asli dan/atau alami; c. mempunyai luas wilayah pulau kecil yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumberdaya ikan yang perlu dilakukan upaya konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan d. mempunyai kondisi fisik wilayah pulau kecil yang rentan terhadap perubahan dan/atau mampu mengurangi dampak bencana. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai taman pesisir memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan wilayah pesisir yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; b. mempunyai luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pesisir yang berklanjutan; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai taman pulau kecil memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan pulau kecil yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; b. mempunyai luas wilayah pulau kecil/gugusan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pulau kecil yang berkelanjutan; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menuntut penerapan kriteria. Kriteria berfungsi
27
untuk mengkaji kelayakan suatu lokasi bagi kawasan konservasi. Penerapan kriteria sangat membantu dalam mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara obyektif, yaitu secara mendasar terdiri atas kelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salm et al. 2000). Kriteria ekologi adalah nilai suatu ekosistem dan jenis biota di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dapat dilihat pada criteria sebagai berikut : a. Keanekaragaman hayati : didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam, harus memperoleh nilai paling tinggi. b. Kealamian : didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya bagi perikanan atau wisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-proses biologis. c. Ketergantungan : didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi. d. Keterwakilan : didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologi atau karakteristik alam lainnya. e. Keunikan : didasarkan keberadaan suatu spesies endemic atau yang hampir punah. f. Integritas : didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologi. g. Produktifitas : didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau manusia. h. Kerentanan : didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi baik oleh penagruh alam atau akibat aktiftas manusia. Kriteria sosial adalah manfaat sosial dan budaya pesisir dapat dilihat dari kriteria sebagai berikut : a. Penerimaan sosial : didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat lokal. b. Kesehatan masyarakat : didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat. c. Rekreasi : didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk sekitar. d. Budaya : didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi. e. Estetika : didasarkan pada nilai keindahan dari lokasi. f. Konflik kepentingan : didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh pada aktifitas masyarakat lokal. g. Keamanan : didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya. h. Aksesibilitas : didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi baik dari darat maupun laut. i. Kepedulian masyarakat : didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi dapat berkontribusi pada pengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi. j. Konflik dan kompatibilitas : didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat membantu menyelesaikan konflik antara kepentingan sumberdaya alam dan
28
aktifitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas antara sumberdaya alam dan manusia dapat dicapai. Kriteria ekonomi adalah manfaat ekonomi pesisir dapat dilihat dari kriteria sebagai berikut : a. Spesies penting : didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi. b. Kepentingan perikanan : didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan. c. Bentuk ancaman : didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia. d. Manfaat ekonomi : didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang. e. Pariwisata : didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. 2.9 Daya Dukung Daya dukung (carrying capacity) didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam (Pearce and Kirk 1986). Kapasitas lingkungan adalah satu konsep kunci pada ide dari pengembangan yang berkelanjutan (GESAMP 2001), oleh karenanya harus tertuju pada beberapa inisiatif mendisain untuk meningkatkan pengembangan berkelanjutan. Pengertian Kapasitas lingkungan (kapasitas asimilasi) adalah “satu hak milik dari lingkungan dan kemampuan untuk mengakomodasi satu aktivitas tertentu tanpa mengakibatkan dampak yang tidak dapat diterima”. Kapasitas lingkungan atau daya dukung lingkungan dapat menaksir dampak kumulatif atau dampak kombinasi dan tingkatan yang layak (acceptable level) dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan. Dengan mengestimasi kapasitas total, maka pemanfaatan lingkungan yang berbeda-beda (akuakultur, pemanfaatan lain dan komponen-komponen ekosistem alami) dapat dialokasikan. Kapasitas lingkungan merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi kedalam suatu lingkungan. Namun demikian peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya atau ekosistem. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan. Di alam dikenal the law of limiting factors, yang menyatakan adanya batas minimum dan maksimum dalam alam. Diluar batas toleransi ini, maka akan terjadi kerusakan dari sumberdaya alam dan ekosistem ini bahkan berpeluang untuk terjadinya kehancuran sumberdaya dan ekosistem tersebut. Disamping itu, daya dukung tidak hanya dilakukan dalam penilaian aspek fisik dan ekologisnya saja akan
29
tetapi juga dapat digunakan dalam memperkirakan nilai daya dukung dari aspek sosial, misalnya penilaian terhadap terjadinya perubahan prilaku sosial sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentukbentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama dalam tujuan menjaga, mengendalikan, dan juga melestarikan lingkungan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk menyerap bahan, energi dan/atau komponen lainnya yang memasuki atau dibuang kedalamnya. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. WTO (1992) bahwa daya dukung adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan terdiri dari : 1. Daya Dukung Ekologis adalah tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. 2. Daya Dukung Fisik adalah jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik. 3. Daya Dukung Sosial adalah tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. 4. Daya Dukung Ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.
30
31
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan pada 4 wilayah kecamatan di kawasan Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara Bulan Juni – Oktober 2012. Pemilihan lokasi stasiun mengacu pada Bengen (2000) dimana pemilihan lokasi stasiun didasarkan atas pertimbangan: • Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona yang terdapat di wilayah kajian. • Pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian. Waktu penelitian dibagi dalam 2 periode waktu yaitu : Periode pertama adalah survei awal untuk sosialisasi rencana penelitian di Teluk Weda dan sekaligus dilakukan pengumpulan data sekunder di lokasi penelitian dan di berbagai instansi terkait lainnya pada Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk mendukung penelitian yang dilakukan. Periode kedua adalah pengambilan data primer dalam bentuk groundcheck, penggunaan kuesioner serta wawancara dengan stakeholders. Peta Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah 3.2 Jenis dan sumber data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode pengamatan, pengukuran,
32
dan ground check terhadap objek penelitian serta penggunaan kuesioner dan wawancara dengan stakeholders yang terkait dengan materi penelitian, juga dilakukan Focus Discussion Group (FGD) untuk mengetahui persepsi dari nilai konservasi dan partisipasi dalam penzonasian. Adapun data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL, Bappeda, Balitbangda, BPS dan instansi terkait, monografi (desa dan kecamatan), hasil penelitian, laporan LSM, stakeholders, serta data lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Kebutuhan data penelitian disajikan pada Tabel 6. Data ekologi meliputi komponen fisik, kimia & biologi yang diperuntukkan sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. Data ekonomi meliputi data-data yang terkait dengan kegiatan pembangunan yaitu perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata (bahari dan pantai). Data sosial meliputi jumlah penduduk, penyebaran, jenis kelamin, mobilitas penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Data kelembagaan meliputi kelembagaan formal dan non formal. Kelembagaan formal merupakan kewenangan yang dimiliki oleh instansi terkait sesuai undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Sedangkan kelembagaan informal adalah adat istiadat yang berlaku di suatu daerah yang masih di pakai sampai saat ini. Tabel 6 Kebutuhan Data Penelitian No
Kategori
a
Fisika, kimia, oseangografi
b
Fisiografi
c
Iklim
d
a b
a
b
Jenis Data 1. Data Biogeofisik kecepatan arus, pasang-surut, gelombang, temperatur perairan, kecerahan perairan, kedalaman perairan, material dasar perairan, salinitas perairan, pH, phosphat, dan nitrat. bentang alam, topografi dan hidrologi
Sumber
Keterangan
Ground Check
Data Primer
Instansi Terkait BMG Kota Ternate Ground Check
Data Sekunder Data Sekunder Data Primer
temperatur udara, arah angin, curah hujan, dan kelembaban Ekosistem pulau-pulau kecil, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria 2. Data Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan pemukiman, pemerintahan, industri, dan Ground lahan darat Check pariwisata Pemanfaatan pelabuhan pertambangan, pelabuhan Ground lahan Check umum, pelabuhan perikanan, perikanan perairan tangkap, perikanan budidaya, industri perikanan, dan pariwisata 3. Data Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Kelembagaan Demografi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, BPS pertumbuhan penduduk, rasio jenis Kabupaten kelamin, tingkat pendidikan dan mata Halmahera pencarian Tengah Infrastruktur sarana dan prasarana pemukiman, Bappeda pemerintahan, perekonomian, Kabupaten transportasi dan perbankan Halmahera Tengah
Data Primer Data Primer
Data Sekunder
Data Sekunder
33
Tabel 6 Lanjutan c
Perekonomian
tingkat pendapatan, pola konsumsi, dan kesempatan kerja
d
Kelembagaan
struktur pemerintahan mulai dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, desa, dan dusun, serta kelembagaan masyarakat dan kelembagaan adat
a
Citra Satelit
b
Peta
Peta Rupa Bumi, Peta Topografi, Peta Batimetri, Peta LPI, Peta Wilayah Administratif, Peta Pemanfaatan Lahan (skala peta sesuai standar yang seharusnya)
c
Buku Laporan
RTRW, Propeda, Renstra, Administrasi dan Pemerintahan, Kebijakan Pembangunan Sektoral dan data lainnya yang terkait
4. Data Pendukung Citra Landsat 7 ETM (liputan terakhir)
BPS Kabupaten Halmahera Tengah Bag Pemerintaha n Setda Kabupaten Halmahera Tengah
Data Sekunder
BTIC / LAPAN Bakosurtanal , Dishidros TNI-AL, Bappeda Kabupaten Halmahera Tengah Bappeda, BPS, DKP, Instansi Terkait
Data Sekunder Data Sekunder
Data Sekunder
Data Sekunder
3.3 Metode pengumpulan data dan analisis 3.3.1 Idetifikasi dan inventarisasi Metode pengumpulan data toponim pulau dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu data utama dan data pelengkap. Data utama berupa nama dan posisi pulau, sedangkan data pelengkap berupa kondisi fisik, ketersediaan infrastruktur, kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya sebuah pulau (Kaelan et al. 2003) . Analisis data yang dilakukan meliputi analisis potensi biofisik (nama pulau, posisi geografis, wilayah administrasi, karakteristik pantai, vegetasi dominan). Pengolahan data posisi geografis pulau hasil survei dilakukan dengan cara pemberian nama berdasarkan petunjuk toponimi yaitu penamaan berdasarkan sejarah dan persepsi masyarakat setempat. Metode penelitian yang digunakan untuk iventarisasi dan identifikasi adalah metode yang sesuai dengan ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan terumbu karang. Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang diamati dengan melakukan ground check lapangan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi ekositem mangrove, lamun dan terumbu karang. Metode pengambilan data potensi mangrove yang digunakan adalah metode observasi yaitu pengamatan secara langsung dan mengadakan pencatatan secara sistematis dengan menggunakan plot garis transek (transect line plots method) yang menyediakan informasi tentang deskripsi secara kuantitatif dari komposisi spesies, struktur komunitas dan persentasi penutupan hutan mangrove terhadap jenis pohon, jumlah pohon, dan indeks nilai penting mangrove (Khouw 2009). Dalam metode ini akan menghasilkan data primer yang sangat diperlukan dalam pengumpulan data.
34
Metode pengambilan data potensi ekosistem lamun dilakukan menurut Kordi (2011) yaitu untuk mengetahui permintakatan sebaran lamun atau struktur komunitas lamun, pada pengambilan sampel dapat digunakan metode garis transek (transect line method), informasi yang dihasilkan adalah komposisi jenis lamun, frekuensi, kerapatan, penutupan dan indeks nilai penting. Metode pengambilan data potensi ekosistem terumbu karang dilakukan dengan teknik Line Intercept Transect – LIT (UNEP 1993), dengan ukuran transek 50 meter. Pengamatan ini menyediakan informasi tentang deskripsi secara kuantitatif dari persentase tutupan, keragaman jenis dan dominasi karang batu. Identifikasi jenis mangrove dilakukan menurut Bengen (2002), sedangkan identifikasi jenis lamun dilakukan menurut Kordi (2011), serta identifikasi jenis terumbu karang dilakukan berdasarkan Yap and Gomes (1998). 3.3.2 Penentuan zonasi dan kesesuaian kawasan konservasi Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode pengamatan, pengukuran, dan ground check terhadap objek penelitian serta penggunaan kuesioner dan wawancara dengan stakeholders yang terkait dengan materi penelitian. Adapun data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari Bakosurtanal, Dishidros TNIAL, Bappeda, Balitbangda, BPS dan instansi terkait, monografi (desa dan kecamatan), hasil penelitian, laporan LSM, stakeholders, serta data lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data ekologi meliputi komponen fisik, kimia dan biologi yang diperuntukan sebagai kawasan ekominawisata bahari pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. Data ekonomi meliputi data-data yang terkait dengan kegiatan pembangunan yaitu perikanan (tangkap dan budidaya) dan pariwisata (bahari dan pantai). Data sosial meliputi jumlah penduduk, penyebaran, jenis kelamin, mobilitas penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Data kelembagaan meliputi kelembagaan formal dan non formal. Kelembagaan formal merupakan kewenangan yang dimiliki oleh instansi terkait sesuai undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Sedangkan kelembagaan non formal adalah adat istiadat yang berlaku di suatu daerah yang masih di pakai sampai saat ini. - Analisis spasial Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan haruslah bersesuaian dengan ciri biologi-fisik-kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung satu sama lainnya. Untuk mencapai hal tersebut maka dibutuhkan analisis kesesuaian lahan dan analisis daya dukung lingkungan terhadap lahan yang akan dimanfaatkan. Analisis spasial dilakukan terhadap kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil, dan kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan kategori aktivitas seperti tersebut di atas. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan.
35
Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan ArcGIS Version 10. - Identifikasi kondisi eksisting Identifikasi kondisi eksisting pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda dapat dilakukan pada pulau-pulau kecil, mangrove, lamun dan terumbu karang, tergantung pada kawasan mana yang akan dikelola berdasarkan kriteria penetapan zonasi. Dalam menentukan kriteria pulau-pulau kecil harus terlebih dahulu dilihat apakah pulau tersebut bergugus, pulau yang dekat dengan pulau daratan dan bukan pulau gugus. Pulau bergugus jika ada lebih dari satu pulau berdekatan dan bertipe sama dari segi geomorfologinya. Pulau yang dekat dengan pulau daratan biasanya mempunyai karateristik yang mirip dengan pulau daratan/pulau utama atau karakteristiknya banyak dipengaruhi oleh pulau utama, baik dari segi biofisik maupun sosial ekonominya. Sedangkan bukan pulau gugus adalah single island, terpisah dari pulau utama yang terdekat. Dalam penzonasian pulau gugus, harus dipandang satu kesatuan yang utuh, tidak bias masing-masing pulau. Adapun kriteria konservasi di pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan menetapkan kriteria konservasi terhadap tiga ekosistem yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang yang terdapat di lokasi tersebut. Kriteria konservasi mangrove yaitu memiliki beberapa parameter lingkungan untuk dapat tumbuh dengan optimal (KKP 2009). Adapun parameter lingkungan untuk mangrove tumbuh dengan optimal antara lain : Cahaya, Suhu, Pasang surut, Gelombang dan arus serta Salinitas. KLH (2004), bahwa analisis data mangrove dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan kepadatan vegetasi mangrove dengan menggunakan kriteria baku kerusakan mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup. Kriteria baku kerusakan mangrove merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam : Baik (Sangat Padat), Baik (Sedang), dan Rusak (jarang). Tabel 7 Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria Baik Rusak
Sangat Padat Sedang Jarang
Penutupan (%)
Kerapatan Pohon/Ha
≥ 75 ≥ 50 - < 75 < 50
≥ 1500 ≥ 1000 - < 1500 < 1000
Sumber : Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Kriteria konservasi padang lamun yaitu memiliki persyaratan lingkungan untuk dapat tumbuh dengan optimal (KKP 2009). Adapun persyaratan lingkungan padang lamun adalah : Suhu, Kecepatan arus, Salinitas, Kecerahan, Substrat, dan Oksigen terlarut (DO) KLH (2004), bahwa analisis data padang lamun dilakukan berdasarkan hamparan lamun yang terbentuk oleh satu jenis lamun (vegetasi tunggal) dan atau
36
lebih dari 1 jenis lamun (vegetasi campuran). Status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan. Kriteria baku kerusakan padang lamun adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati padang lamun yang dapat ditenggang. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup. Tabel 8 Kriteria baku kerusakan padang lamun Tingkat Kerusakan Tinggi Sedang Rendah
Luas Areal Kerusakan (%) ≥50 30 – 49,9 ≤ 29,9
Sumber : Kepmen LH No.51 Tahun 2004 Tabel 9 Status padang lamun Tingkat Kerusakan Baik Kaya/Sehat Rusak Kurang Kaya/Kurang Sehat Miskin
Luas Areal Kerusakan (%) ≥60 30 – 59,9 ≤ 29,9
Sumber : Kepmen LH No.51 Tahun 2004 Kriteria konservasi terumbu karang dibagi dalam dua kategori yaitu kriteria pendukung dan kriteria pembatas (KKP 2009). Kriteria pendukung konservasi terumbu karang adalah : coral cover (luas penutupan karang), coral diversity (keanekaragaman jenis), keunikan habitat, kealamian (tingkat degradasi), aksesibilitas lokasi, konektifitas dengan daerah konservasi lain yang paling berdekatan dan kelangkaan jenis. Kriteria pembatasnya adalah aktifitas manusia, keamanan/keselamatan dan pencemaran. Faktor pembatas pertumbuhan karang adalah : persentase penutupan karang, suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan substrat perairan. KLH (2004), bahwa analisis data terumbu karang dilakukan berdasarkan status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu kerusakan terumbu karang dengan menggunakan persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. Kriteria baku kerusakan terumbu karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang. Tabel 10 Kriteria baku kerusakan terumbu karang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (%) Baik sekali 75 - 100 Baik 50 – 74,9 Rusak Sedang 25 – 49,9 Buruk 0 – 24,9 Baik
Parameter Presentase luas tutupan Terumbu Karang yang hidup
Sumber : Kepmen LH Nomor 04 Tahun 2001 Keterangan : Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang : 50 - 100%
37
- Analisis kesesuaian lahan Analisis kesesuaian lahan yang akan dilakukan adalah kesesuaian lahan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan jenis konservasi yang akan ditetapkan, yaitu : a) suaka pesisir, b) suaka pulau kecil, c) taman pesisir dan d) taman pulau kecil. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang akan dilakukan, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan dilakukan. 1) Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan Teluk Weda dilakukan dengan meng-overlay-kan berbagai peta yang diperoleh dari berbagai sumber. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip pemanfaatan kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui : Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan dan kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung. Kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan. Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara lain kesesuaian kawasan dengan peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya. Hasil penyusunan peta kawasan yang telah sesuai dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. 2) Penyusunan matriks kesesuaian Kesesuaian lahan untuk zonasi kawasan dengan berbagai kategori aktivitas seperti tersebut di atas, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan justifikasi ilmiah (hasil studi pustaka) dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting karena dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter yang digunakan dan kisaran yang diperbolehkan. Penetapan kesesuaian lahan kawasan konservasi dengan membuat matriks kesesuaian berdasarkan kriteria penunjukkan/penetapan kawasan konservasi yang mengacuh pada Undang-Undang Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 dengan kriteria penunjukkan/penetapan kawasan berdasarkan karakteristik kawasan. Analisis kesesuaian lahan kawasan untuk berbagai peruntukan seperti pengembangan kawasan konservasi suaka pesisir, suaka pulau kecil, taman pesisir
38
dan taman pulau kecil merupakan modifikasi dari teknik klasifikasi kesesuaian lahan menurut sistem FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) pada kategori kelas yaitu : Pertama, penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter yang menentukan mendapat bobot paling besar, sedangkan kriteria yang sesuai diberi skor tertinggi. Kedua, penilaian peruntukan lahan ditentukan berdasarkan total hasil perkalian bobot (B) dan Skor (S) dibagi dengan total nilai bobot-skor dikalikan 100. Ketiga, pembagian kelas lahan dan nilainya, dibagi dalam tiga kelas berikut : S1 = Sesuai (Moderately Suitable), yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk suatu penglolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produktivitas lahan serta tidak akan menaikkan masukan (input) yang telah biasa diberikan. S2 = Sesuai bersyarat (Marginally Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang cukup besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukkan (input) yang diperlukan. S3 = Tidak sesuai (Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan untuk diatasi, teteapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Keempat, membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan, sehingga kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu diperoleh. 3) Pembobotan (Weighting) dan pengharkatan (Scoring) Pembobotan (weighting) pada setiap parameter (faktor pembatas) ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan, besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan. Pemberian nilai (skoring) ditujukan untuk menilai beberapa parameter (faktor pembatas) terhadap satu evaluasi kesesuaian. Pembobotan (weighting) dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan penentuan kawasan konservasi berdasarkan analisis stakeholders (pemangku kepentingan). Pembobotan tingkat kepentingan terbagi atas : Bobot 1 = Tingkat Kepentingan Rendah Bobot 3 = Tingkat Kepentingan Sedang Bobot 5 = Tingkat Kepentingan Tinggi Pemberian nilai (scoring) diberikan terhadap evaluasi kesesuaian dengan kategori kesesuaian sebagai berikut : Kategori Kesesuaian 1 = Tidak Sesuai (TS) Kategori Kesesuaian 2 = Sesuai Bersyarat (SB) Kategori Kesesuaian 3 = Sesuai (S) 4) Kriteria kesesuaian penzonasian Parameter yang digunakan dalam deliniasi kawasan konservasi Teluk Weda berdasarkan tingkat kepentingan yang paling dibutuhkan bagi setiap kawasan konservasi. Hasil kajian kesesuaian berdasarkan Permen KP RI Nomor 17 Tahun
39
2008 dan Permen KP RI Nomor 02 Tahun 2009 (Lampiran 1) dan kriteria penunjukkan/penetapan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik kawasan (Lampiran 2). Adapun matriks zonasi pada kawasan konservasi menurut Permen KP RI Nomor 17 Tahun 2008 dan Permen KP RI Nomor 30 Tahun 2010 (Lampiran 3) dibagi atas tiga zona, yaitu : (1) Zona inti Parameter zona inti kriterianya : a) merupakan daerah pemijahan, pengasuhan dan/atau alur ruaya ikan; b) merupakan habitat biota perairan tertentu yang prioritas dank khas/endemik, langka dan/atau kharismatik; c) mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; d) mempunyai ciri khas ekosistem alami, dan mewakili keberadaan biota tertentu yang masih asli; e) mempunyai kondisi perairan yang relatif masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; f) mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis ikan tertentu untuk menunjang pengelolaan perikanan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses bio-ekologis secara alami; dan g) mempunyai ciri khas sebagai sumber plasma nutfah bagi kawasan konservasi perairan. Kategori zona inti apabila memenuhi nilai perhitungan atau skor ≥ 80%. (2) Zona pemanfaatan terbatas Parameter zona inti kriterianya : a) mempunyai daya tarik pariwisata alam berupa biota perairan beserta ekosistem perairan yang indah dan unik; b) mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensial dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi; c) mempunyai karakter objek penelitian dan pendidikan yang mendukung kepentingan konservasi; dan d) mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk berbagai kegiatan pemanfaatan dengan tidak merusak ekosistem aslinya. Kategori zona perikanan berkelanjutan (pemanfaatan langsung) apabila memenuhi nilai atau skor 50% - < 60%, sedangkan pemanfaatan tidak langsung nilai perhitungan 60% - < 79%. (3) Zona lainnya (perikanan berkelanjutan) Parameter zona lainnya kriterianya : a) fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu di luar zona inti dan zona pemanfaatan; b) dapat berupa antara lain zona perlindungan, zona rehabilitasi dan zona perikanan berkelanjutan dan sebagainya. Kategori zona pemanfaatan khusus, apabila nilai perhitungan < 50%. Matriks kesesuaian lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan ekominawisata bahari dapat dilakukan dengan menentukan kesesuaian lahan untuk ekowisata selam (diving), ekowisata berenang (snorkeling), ekowisata pantai, ekowisata mangrove, ekowisata lamun, ekowisata pancing, budidaya keramba jaring apung, dan budidaya rumput laut. Kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari dan budidaya, disajikan pada Tabel 11 – 18.
40
Tabel 11 Kesesuaian lahan untuk ekowisata selam No
Kelas dan skor kesesuaian Skor SB Skor TS 3 20-75 2 <20
Parameter
Bobot
Jenis ikan karang (sp) Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%)
5
S > 75
5
>80
3
3
>65
3
4
Jenis life-form (sp)
3
>10
5
Suhu perairan (oC)
3
6
Salinitas (o/oo)
1 2
Skor 1
Acuan a
50– 80 25– 65
2
<50
1
b, c
2
1
a, d
3
4–10
2
1
a
23-25
3
2
1
3
30-36
3
1
e, f, g, h i, j
Kedalaman karang 3 (m) 8 Kecepatan arus 1 (cm/dt) Sumber : a. Yulianda et al. 2010 b. Davis and Tisdell 1995 c. Davis and Tisdell 1996 d. Gomes and Yap 1998
3-20
3
2
1
a, e
0-25
3
26– 36 28– 30 21– 30 26-50
<25Tdk ada karang <4-Tdk ada karang <23>36 <28>36 <3->30
2
>50
1
a, k
3
7
e. f. g. h.
Nybakken 1988 Mulyanto 1992 Hubbard 1990 Tamrin 2006
2
i. Nontji 2007 j. Kinsman 2004 k. Jokiel and Morrissey 1993
Tabel 12 Kesesuaian lahan untuk ekowisata snorkeling No 1
Parameter
Bobot
Tutupan karang 5 hidup (%) 2 Jenis life-form (sp) 5 3 Kecerahan perairan 3 (%) 4 Jenis ikan karang 3 (sp) 5 Kecepatan arus 3 (cm/dt) 6 Kedalaman karang 1 (m) 7 Lebar hamparan 1 datar karang Sumber : a. Davis and Tisdell 1995 b. Yulianda et al. 2010 c. Supriharyono 2007
S > 67
Kelas dan skor kesesuaian Skor SB Skor TS 3 34-67 2 <34
Skor 1
Acuan a, b, c, d, e a, d a, b, c, d, e a, d, e
>10 >80
3 3
6-10 50-80
2 2
<6 <50
1 1
>50
3
26-50
2
<26
1
<0.1
3
2
>0.5
1
1-3
3
>0.10.5 >3-5
2
<1->5
1
b, c, d, e b, c, d
>100
3
20100
2
<20
1
b, e
d. Barnes and Hughes 2004 e. Marine National Park Division 2001
41
Tabel 13 Kesesuaian lahan untuk ekowisata pancing No
Parameter
Bobot
1
Kelompok jenis ikan
5
2
Kecepatan arus (cm/dt) Tinggi gelombang (cm) Kecerahan perairan (m) Suhu perairan (0C) Salinitas (0/00)
5
S ikan target, ikan mayor, ikan indikator <20
5
3 4 5 6
Kelas dan skor kesesuaian Skor SB Skor TS 3 Ikan 2 Ikan target, mayor ikan indicator
Acuan
Skor 1
B
3
20-100
2
>100
1
C
<50
3
50-100
2
>100
1
F
3
<8
3
8-10
2
>10
1
A
1
25-30
3
>30-32
2
1
d, g
1
20-32
3
>32-36
2
1
e, i
<10
3
10-15
2
1
F
>500
3
300-500
2
<25>32 <20>36 >15>30 <300
1
H
7
Kedalaman 1 perairan (m) 8 Jarak dari alur 1 pelayaran dan kawasan lainnya (m) Sumber : a. Yulianda et al. 2010 b. Maduppa 2009 c. Polanunu 1998
d. Nybakken 1988 e. Nontji 2007 f. Sugiarti 2000
g. Mulyanto 1992 h. Bengen 2008 i. Romimohtarto dan Juwana 1999
Tabel 14 Kesesuaian lahan untuk ekowisata mangrove No 1 2
3 4
5
Kelas dan skor kesesuaian Skor SB Skor TS 3 100-200 2 <100
Parameter
Bobot
Ketebalan mangrove (m) Kerapatan mangrove (ind/100m2) Jenis mangrove (sp) Jenis biota
5
S >200
5
>10-25
3
5-10
2
<5
1
d
3
>3
3
1-3
2
0
1
d, e
3
Ikan, udang, kepiting, moluska, reptile, burung 0-<2
3
Ikan moluska
2
Salah satu biota air
1
d, e
3
2-5
2
>5
1
d
>500
3
300-500
2
<300
1
f
Tinggi pasang 1 surut (m) 6 Jarak dari 1 kawasan lainnya Sumber : a. Ayoh 2004 b. Yaakup et al. 2006
c. Yulianda et al. 2010 d. MERDI in DPK 2006 e. Bengen 2002
Skor 1
Acuan a, b, c
42
Tabel 15 Kesesuaian lahan untuk ekowisata pantai No
Parameter
Bobot
1
Tipe pantai
5
2
Lebar pantai (m) Kedalaman perairan (m) Material dasar perairan Kecepatan arus (cm/dt) Kemiringan pantai (0) Kecerahan perairan (%) Pasang Surut (m) Penutupan lahan pantai
5 5
0-2
3
>2-5
2
3
Pasir
3
Pasir berkarang
3
<34
3
3
<25
1
Biota berbahaya
1
3 4
5 6 7 8 9
10
Skor 3
Kelas dan skor kesesuaian SB Skor TS Sedikit 2 terjal terjal 3-5 2 <3
S Agak landai >5
Skor 1
Acuan
1
a, b, c, e a, c
>5
1
a, c, e
2
Berkarang
1
a, b, c, d, e
34-51
2
>51
1
3
>25-45
2
>45
1
a, c, d, e a, c
>50
3
30-50
2
<30
1
3
<0.1
3
0.1-0.5
2
>0.5
1
1
Kelapa, lahan terbuka Tidak ada
3
Semak belukar
2
1
a, c, d, e
3
2
1
a, b, c, d
<1
3
Bulu babi, ikan pari 1-2
Hutan, kawasan pemanfaatan Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu >2
1
a, c, d, e
11
Ketersediaan 1 air tawar (jarak/km) Sumber : a. Wong 1998 b. Daby 2003
3
2
a, b, c, d, e D
c. Yulianda et al. 2010 d. Supriharyono 2007 e. Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Tabel 16 Kesesuaian lahan untuk ekowisata lamun Kelas dan skor kesesuaian Skor SB Skor 3 34-67 2
No
Parameter
Bobot
1
Ketebalan lamun (%) Kecerahan prairan (%) Jenis ikan (sp) Jenis lamun (sp)
5
S >67
3
>80
3
50-80
3
>10
3
3
3
Jenis substrat
1
Cymodocea, Halodule, Halophila Pasir berkarang
2
3 4
5
6
Kecepatan 1 0-17 arus (cm/dt) 7 Kedalaman 1 1-3 lamun (m) Sumber : a. Yulianda et al. 2010
Acuan
TS <34
Skor 1
2
<50
1
a
6-10
2
<6
1
a
2
Thalassia, Enhallus
1
a
3
Syringodium, Thalassodendrum Pasir
2
1
a
3
>15-33
2
Pasir berlumpur, lumpur >33-50
1
a
3
>3-6
2
>6-10
1
a
a
43
Tabel 17 Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelas dan skor kesesuaian Acuan SB Skor TS 3 16-25 2 26-35
Parameter
Bobot
Tinggi Gelombang (cm) Ketersediaan benih Kecepatan arus (cm/det) Salinitas (So/oo) Suhu (ToC)
1
S 0-15
5
Banyak
3
Cukup
2
5
<0.75
3
0.76-1.0
2
3
32-34
3
28-32
2
3
26-28
3
20-30
2
pH (ppm) Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Fosfat (mg/l) Kedalaman perairan (m) Material dasar perairan
3 3 3 3 1
7.5-8.0 <0.1 <0.1 <0.1 1.5-4.3
3 3 3 3 3
7-8.5 0.1-0.9 0.1-0.9 0.1-0.9 4.4-7.2
2 2 2 2 2
1
Pasir, karang & lamun
3
Pasir berkarang & lamun
2
Sumber : a. Bengen et al. 2007 b. Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
c.
Acuan Skor 1
a
Kurang/ tdk ada >1.0
1
a
1
a, b
<28>34 <20>30 <7->8.5 >0.9 >0.9 >0.9 7.3-10
1
a, b
1
a, b
1 1 1 1 1
a, b c c c a, b
Pasir halus & karang
1
a, b
Iksan 2005
Tabel 18 Kesesuaian lahan untuk budidaya keramba jaring apung No 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11
Kelas dan skor kesesuaian Skor SB Skor TS 3 0.762 >1.0 1.0 3 >0.52 >1.0 1.0 3 7.1-10 2 <4.0>10
Parameter
Bobot
Kecepatan arus (cm/dt) Tinggi gelombang (m) Kedalaman perairan dari dasar jaring (m) Suhu perairan (ToC) Salinitas (So/oo)
5
S <0.75
5
<0.5
5
4.07.0
3
29-30
3
26-<29
2
3
25-30
3
>30-33
2
Oksign terlarut (mg/l) pH perairan (ppm)
3
>6
3
3-<6
2
3
6.08.0 <0.1 <0.1 <9.1 >500
3
6.0-6.5
2
3 3 3 3
0.1-0.9 0.1-0.9 0.1-0.9 300500
2 2 2 2
Nitrat (mg/l) 1 Nitrit (mg/l) 1 Fosfat (mg/l) 1 Jarak dari alur 1 pelayaran dan kawasan lainnya (m) a. DKP RI 2002 Sumber : b. Nybakken 1988 c. Mulyanto 1992 d. LP Undana 2006
e. f. g. h.
Skor 1
Acuan a
1
a
1
a
<26>30 <25>33 <3
1
b, c, d
1
d, e, f
1
d
<6.0>0.8 >0.9 >0.9 >0.9 <300
1
d
1 1 1 1
g g g h
Nontji 2003 Romimohtarto dan Juwana 1999 Tiensongrusmee et al. 1986 Bengen 2002
44
- Analisis spasial ekominawisata bahari Analisis spasial dilakukan terhadap 8 (delapan) jenis kesesuaian untuk ekowisata bahari dan kegiatan budidaya. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, selanjutnya dibuat dalam bentuk layers atau coverage yang menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian ekowisata bahari dan budidaya. Algoritma yang digunakan untuk penilaian nilai indeks masing-masing jenis ekowisata bahari dan budidaya sebagai berikut : - Ekowisata selam : ("jenis ikan karang" * 0.21) + ("kecerahan perairan" * 0.21) + ("tutupan komunitas karang" * 0.13) + ("jenis life-form" * 0.13) + ("suhu perairan" * 0.10) + ("salinitas" * 0.13) + (“kedalaman karang” * 0.04) + (“kecepatan arus” * 0.04) - Ekowisata snorkeling : ("tutupan karang hidup" * 0.24) + ("jenis life-form" * 0.24) + ("kecerahan perairan" * 0.14) + ("jenis ikan karang" * 0.14) + ("kecepatan arus" * 0.14) + ("kedalaman karang" * 0.05) + (“lebar hamparan datar karang” * 0.05) - Ekowisata pancing : ("kelompok jenis ikan" * 0.23) + ("kecepatan arus" * 0.23) + ("tinggi gelombang" * 0.23) + ("kecerahan perairan" * 0.14) + ("suhu perairan" * 0.05) + ("salinitas" * 0.05) + (“kedalaman perairan” * 0.05) + (“jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya” * 0.05) - Ekowisata pantai : ("tipe pantai" * 0.16) + ("lebar pantai" * 0.16) + ("kedalaman perairan" * 0.16) + ("material dasar perairan" * 0.10) + ("kecepatan arus" * 0.10) + ("kemiringan pantai" * 0.10) + ("kecerahan perairan" * 0.05) + ("pasang surut" * 0.08) + ("penutupan lahan pantai" * 0.03) + ("biota berbahaya" * 0.05) + ("ketersediaan air tawar" * 0.03) - Ekowisata mangrove : ("ketebalan" * 0.28) + ("kerapatan" * 0.28) + ("jenis mangrove" * 0.17) + ("jenis biota" * 0.17) + ("tinggi pasut" * 0.06) + ("jarak kawasan lainnya" * 0.06) - Ekowisata lamun : ("ketebalan lamun" * 0.29) + ("kecerahan perairan" * 0.18) + ("jenis ikan" * 0.18) + ("jenis lamun" * 0.18) + ("jenis substrat" * 0.06) + ("kecepatan arus" * 0.06) + (“kedalaman lamun” * 0.06) - Budidaya rumput laut : ("tinggi gelombang" * 0.19) + ("ketersediaan benih" * 0.13) + ("kecepatan arus" * 0.13) + ("salinitas" * 0.08) + ("suhu perairan" * 0.08) + ("pH perairan" * 0.08) + ("nitrat" * 0.08) + ("nitrit" * 0.08) + ("fosfat" * 0.08) + ("kedalaman perairan" * 0.03) + ("material dasar perairan" * 0.03) - Budidaya keramba jaring apung : ("kecepatan arus" * 0.16) + ("tinggi gelombang" * 0.16) + ("kedalaman perairan dari dasar perairan" * 0.16) + ("suhu perairan" * 0.10) + ("salinitas" * 0.10) + ("Oksigen terlarut" * 0.10) + ("pH perairan" * 0.10) + ("nitrat" * 0.03) + ("nitrit" * 0.03) + ("fosfat" * 0.03) + ("Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya" * 0.03)
45
Tingkatan kesesuaian memiliki kisaran nilai indeks tertentu. Nilai indeks kesesuaian ekominawisata bahari dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukan Yulianda et al. 2010 disajikan berikut ini :
Dimana : = indeks kesesuaian ekominawisata = nilai parameter ke-I (bobot x skor) = nilai maksimum dari suatu kategori ekominawisata Hasil analisis kesesuaian untuk tiap jenis ekominawisata bahari yang akan dikembangkan menghasilkan luasan setiap kelas kesesuaian ekowisata dan budidaya. 3.3.3 Daya dukung Terdapat 2 (dua) metode/pendekatan dalam menentukan daya dukung bagi pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu : 1. Pendekatan yang mengacu pada kapasitas asimilasi lingkungan perairan di lahan yang sesuai untuk suatu peruntukan tertentu. 2. Pendekatan yang mengacu pada daya dukung lahan, yaitu luas lahan yang sesuai berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dan kapasitas lahan tersebut untuk menampung suatu aktivitas tertentu. - Kapasitas asimilasi Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi lingkungan perairan seperti yang dikemukakan oleh Quano (1993) adalah metode hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban limbahnya. Variabel yang diamati adalah debit aliran sungai, konsentrasi limbah di muara sungai, dan konsentrasi limbah di lingkungan perairan. Metode ini cukup dapat menggambarkan atau menunjukkan kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan dimaksud. Selanjutnya data dihitung berdasarkan formula sebagai berikut (Chapra, 1983) : BP = Σ Qi x Ci x 3600 x 24 x 30 x 12 x 10-6 BP Qi Ci
= beban pencemaran yang berasal dari muara sungai (ton/tahun) = debit muara sungai ke-i (m3/detik) = konsentrasi limbah parameter ke-i (mg/l)
Nilai kapasitas asimilasi diperoleh dengan membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah diperairan laut dengan total beban pencemaran parameter tersebut di muara sungai. Titik perpotongan dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter merupakan kapasitas asimilasi. Kemudian dianalisis dengan memotong garis baku mutu yang diperuntukkan berdasarkan Keputusan Menteri KLH Nomor 51/Men-KLH/2004. Pola hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi limbah disajikan pada Gambar 3.
46
Gambar 3 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi limbah Data yang diamati merupakan data pencemaran yang mempengaruhi kualitas air di lokasi penelitian. Hubungan yang ingin dilihat adalah pengaruh nilai parameter yang ada di muara sungai terhadap nilai parameter tersebut di lingkungan perairan. Alat analisis yang digunakan untuk melihat hubungan tersebut adalah ”regresi linier” dimana sebagai peubah bebas (independent) adalah nilai parameter di muara sungai, dan sebagai peubah tak bebas (dependent) adalah nilai parameter di lingkungan perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peubah pencemaran di lingkungan perairan dapat dijelaskan oleh peubah pencemaran di muara sungai atau dapat dituliskan dalam bentuk hubungan matematik yaitu : y = f(x) sehingga bentuk hubungan tersebut dalam regresi linier dapat dituliskan sebagai berikut : y = a + bx dimana : y = nilai parameter di lingkungan perairan a = nilai tengah atau rataan umum = koefisien regresi untuk parameter di muara sungai b x = nilai parameter di muara sungai x dan y adalah jenis dari parameter yang sama, yang diukur di muara sungai dan di lingkungan perairan. Peubah x merupakan jumlah nilai dari semua muara yang diamati untuk parameter tertentu, dan peubah y merupakan nilai parameter lingkungan perairan yang dianggap tepat untuk mewakili seluruh nilai parameter yang ada di lingkungan perairan, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa y merupakan penduga terbaik untuk nilai parameter di lingkungan perairan tersebut. - Daya dukung lahan dan daya dukung kawasan Berkaitan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan juga semakin bertambah yang akhirnya berdampak kepada semakin terbatasnya lahan, baik untuk tempat tinggal (permukiman) maupun untuk kegiatan pemanfaatan yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis untuk menentukan seberapa besar daya dukung suatu lahan untuk menampung
47
suatu kegiatan pemanfaatan pada suatu wilayah tanpa merusak kelestarian lingkungan yang ada. Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan untuk mendukung suatu aktivitas secara terus menerus tanpa menimbulkan penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Daya dukung yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan lahan (ruang) dalam menampung suatu kegiatan ditinjau dari aspek kesesuaian lahan (fisik). Hasil dari analisis ini akan memberikan informasi mengenai berapa besar luas lahan yang dapat dimanfaatkan. Berdasarkan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk kegiatan memancing ikan, keramba jaring apung, dan budidaya rumput laut dapat dianalisis dengan formula sebagai berikut : DDL = LLS X KL dimana : DDL = Daya Dukung Lahan LLS = Luas Lahan Sesuai KL = Kapasitas Lahan Sedangkan metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung lahan bagi pengembangan wisata selam, wisata renang (snorkeling), wisata lamun dan wisata mangrove adalah dengan pendekatan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. DDK dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
dimana : DDK = Daya dukung kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu Potensi ekologis pengunjung (K) dan unit area (Lt) ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan seperti terlihat pada Tabel 19. ) dihitung berdasarkan lamanya waktu Waktu kegiatan pengunjung ( yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan oleh kawasan ( ) seperti yang disajikan pada Tabel 20.
48
Tabel 19 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis Kegiatan K =(Σ Pengunjung) Unit Area ( ) Keterangan Selam
2
2.000 m2
Snorkling
1
500 m2
Wisata Lamun
1
500 m2
Wisata Mangrove
1
50 m
Rekreasi Pantai
1
50 m
Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m Setiap 1 orang dalam 100 m x5m Setiap 1 orang dalam 100 m x5m Dihitung panjang track, setiap 1 orang sepanjang 50 m 1 orang setiap 50 m panjang pantai
Sumber : Yulianda et al. (2010). Tabel 20 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Waktu yang Total waktu 1 hari/ No. Kegiatan dibutuhkan/ (jam) ( jam ) 1 2 3 4 5
Selam Snorkling Wisata Mangrove Wisata Lamun Rekreasi Pantai
2 3 2 2 3
8 6 8 4 6
Sumber : Yulianda et al. (2010) 3.3.4 Analisis ekonomi a) Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method) Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method/TCM) merupakan metode yang digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari satu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk kunjungan suatu tempat (Lipton DW et al. 1995). Garrod and Willis (1990) in Christiernsson (2003) mengemukakan fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata formulanya adalah : V = f (TC, S) Dimana : V = jumlah kunjungan TC = biaya perjalanan pada suatu lokasi wisata S = vector biaya perjalanan pada lokasi wisata alternatif.
Fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk model individu sebagai berikut: ln Vi = β0 – β1lnTCi + β2lnYi
49
Dimana : Vi TCi Yi Β0, β1 & β2
= trip (hari) kunjungan individu ke-i = biaya perjalanan individu ke-i = pendapatan individu ke-i = konstanta
b) Surplus konsumen (Consumer Surplus) Langkah-langkah untuk menghitung surplus konsumen (Consumer Surplus/ CS) individu adalah masukkan rata-rata variabel TC dan Y ke dalam fungsi (Ci) sehingga diperoleh nilai V. Selanjutnya CS setiap individu pengunjung diperoleh dari hasil pembagian jumlah kunjungan (Vi) dengan nilai parameter dari total biaya perjalanan (β1). Formula sebagai berikut : CSi = -Vi/βi Dimana : CSi = consumer surplus individu ke i Vi = jumlah kunjungan ke i Βi = biaya perjalanan ke i c) Total nilai manfaat (Total Benefit) Total nilai manfaat dari kawasan wisata diperoleh dari hasil perkalian Consumer Surplus Individu dengan jumlah pengunjung riil (berdasarkan data yang ada), sebagai berikut: TB = CSi x TV Dimana : TB = total manfaat ekonomi lokasi wisata CSi = consumer surplus individu ke i TV = total kunjungan pertahun 3.3.5 Analisis kelembagaan Analisis kelembagaan yang dilakukan menggunakan pengembangan model kelembagaan pengelolaan teluk dengan menggunakan metoda Interpretative Structural Modeling (ISM) yang dikembangkan oleh Saxena et al. (1992) in Eriyatno and Sofyar (2007). Langkah-langkah ISM adalah sebagai berikut (Kanungo and Batnagar, 2002 in Eriyatno and Sofyar, 2007) dan Marimin (2008) terdiri dari : 1) Identification of Element 2) Contextual Relationship 3) Structural Self Interaction Matrix (SSIM) 4) Reachability Matrix (RM) 5) Level Partitioning 6) Canonical Matrix 7) Digraph 8) Model Structural Informasi atau data yang diperoleh pada teknik ISM adalah kumpulan pendapat dari pakar panelis (stakeholders) sewaktu menjawab keterkaitan antar elemen. Pengembangan model kelembagaan ini bertujuan untuk membangun alternatif institusi pengelolaan Teluk yang tepat, sesuai dengan karakteristik daerah, perkembangan masyarakat dan peraturan yang berlaku dengan model pengelolaan di
50
kawasan teluk yang akan dibentuk sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulaupulau kecil sesuai Permen KP RI Nomor 17 Tahun 2008, yang terdiri dari kawasan konservasi suaka pesisir, suaka pulau kecil, taman pesisir dan taman pulau kecil. Analisis terhadap model pengembangan kelembagaan ini pada dasarnya untuk menyusun hirarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji kemudian membuat klasifikasi ke dalam 4 sektor untuk menentukan sub elemen mana yang termasuk ke dalam variabel autonomous (sektor 1), dependent (sektor 2), linkage (sektor 3), dan independent (sektor 4). (Kholil 2005, Eriyatno 1999 dan Marimin 2008). Secara garis besar keempat variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 dan teknik analisis kelembagaan dengan metode ISM dapat dilihat pada Gambar 5. 11
10
9
INDEPENDENT (IV)
LINKAGE (III) 8
7
6 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
4
AUTONOMOUS (I)
3
2
DEPENDENT (II)
1
0
Gambar 4 Matriks DP-D untuk elemen tujuan program Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling/ISM). Menurut Eriyatno (1999), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. Saxena et al. (1992) ISM bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan iteratif. ISM juga menganalisis eleman-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor-faktor penilaian dan lainnya. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual). Sistem kelembagaan Teluk dapat diuraikan atas 5 elemen yang terdiri dari (1) Elemen pelaku (masyarakat yang terpengaruh), (2) Elemen kebutuhan dari program, (3) Elemen tujuan program, (4) Elemen kendala utama, (5) Elemen perubahan yang dimungkinkan, (6) Elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai untuk setiap aktivitas, dan
51
(9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Adapun pada penelitian ini dasar pertimbangan dalam pemilihan elemen dari program yang ingin dicapai adalah elemen dominan yang sudah dikonsultasikan dengan pakar dalam pengembangan kawasan konservasi Teluk Weda di Kabupaten Halmahera Tengah. Masing-masing elemen sistem pengembangan ini terdiri dari sejumlah sub elemen, meliputi : 1. Elemen pelaku (masyarakat yang terpengaruh) Kebutuhan pelaku dalam pengembangan pulau-pulau kecil dapat diartikan sebagai aktor-aktor yang terlibat dalam upaya mengembangkan pulau kecil di Kabupaten Halmahera Tengah. Sub elemen pelaku tersebut adalah: 1. Kelompok nelayan 2. Pengusaha Industri perikanan 3. Tokoh masyarakat 4. Pemerintah daerah 5. Pemerintah pusat 6. Wisatawan dalam negeri 7. Wisatawan luar negeri 8. Lembaga keuangan dan Bank 9. Investor pariwisata bahari 10. Perguruan tinggi 2. Elemen tujuan program Sejumlah sub elemen dari elemen tujuan adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan produktivitas perikanan tangkap 2. Meningkatkan diversifikasi produk perikanan tangkap 3. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat 4. Meningkatkan pelayanan jasa lingkungan 5. Mewujudkan pemanfaatan SD yang berkelanjutan 6. Mewujudkan pengembangan wisata 7. Memperluas lapangan kerja 8. Meningkatkan kegiatan perekonomian daerah 9. Meningkatkan minat investor kepariwisataan 10. Melakukan pengembangan teknologi 11. Meningkatkan pendapatan daerah 12. Meningkatkan pendapatan masyarakat 3. Elemen tolok ukur Elemen tolok ukur diperlukan sebagai acuan akan keberhasilan dari tujuan. Sejumlah sub elemen dari elemen tolok ukur adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya jumlah hasil tangkapan 2. Meningkatnya mutu produk perikanan 3. Meningkatnya diversifikasi produk perikanan 4. Meningkatnya produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam 5. Meningkatnya pendapatan masyarakat 6. Meningkatnya industri wisata 7. Meningkatnya jumlah investor dan investasi 8. Meningkatnya taraf hidup masyarakat 9. Meningkatnya jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap 10. Harga produk perikanan yang stabil
52
4. Elemen kendala utama Sub elemen dari kendala adalah sebagai berikut: 1. Nelayan kurang berdaya dalam penentuan harga perikanan 2. Nelayan kurang konsisten menjaga mutu perikanan tangkap 3. Lemahnya nelayan dalam mengakses modal pada lembaga keuangan dan bank 4. Lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam 5. Kurangnya pembinaan terhadap nelayan 6. Lemahnya sistem kelembagaan 7. Lemahnya koordinasi antar pihak terkait 8. Tingginya kebutuhan ekspor perikanan tangkap 9. Peraturan investasi daerah yang kurang mendukung 10. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten 5. Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan Sub elemen dari aktivitas yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: 1. Memfasilitasi akses modal pengembangan 2. Memfasilitasi pelaksanaan pendidikan 3. Menfasilitasi tersedianya infrastruktur yang memadai 4. Memberikan pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam 5. Melaksanakan promosi keanekaragaman hayati 6. Mendirikan sarana pelayanan 7. Memfasilitasi penyediaan data dan informasi 8. Membuat kebijakan yang konsisten 9. Memfasilitasi penelitian dan pengembangan bekerjasama dengan perguruan tinggi 10. Melakukan koordinasi antar instansi terkait
Gambar 5 Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM
53
3.3.6 Analisis keberlanjutan Model yang dibangun dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis zonasi di Teluk Weda adalah teknik RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik ini dikembangkan sebagai alat analisis dalam pengambilan kebijakan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta kelembagaan yang disesuaikan dengan kondisi kawasan dan mengacu pada beberapa parameter ilmiah dari hasil penelitian dan referensi terkait. Keberlanjutan (sustainability) merupakan kunci kebijakan yang dibutuhkan untuk perikanan di seluruh dunia. Sampai saat ini masih sulit untuk menghitung sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, khususnya ketika dihubungkan dengan informasi dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Teknik RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries) adalah suatu metode multi disiplin terkini yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Ordinasi RAPFISH dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta kelembagaan. Hasil status menggambarkan keberlanjutan disetiap aspek yang disajikan dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Manfaat dari teknik RAPFISH ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen keberlanjutannya dan dampaknya terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil (Alder et al. 2000). Teknik RAPFISH mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sangat sederhana, mudah dinilai, cepat dan biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher 1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan dan mendefinisikan pesisir dan pulau-pulau kecil secara fleksibel. RAPFISH akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MultiDimensional Scaling (MDS) dengan prosedur disajikan pada Gambar 6. Analisis RAPFISH dimulai dengan me-review atribut dan mendefinisikan pesisir dan pulau-pulau kecil yang akan dianalisis, kemudian dilanjutkan dengan scoring yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan RAPFISH. Setelah itu dilakukan MDS untuk menentukan posisi relatif dari pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap ordinasi good dan bad. Selanjutnya analisis Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk menentukan aspek ketidakpastian dan anomali dari atribut yang dianalisis.
54
Gambar 6 Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data P3K (Alder et al. 2000 dalam Fauzi dan Anna 2005) Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan bahwa teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidean Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut : d=
√(│X
1
– X2│2 + │Y1 – Y2│2 + │Z1 – Z2│2 +…)
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidean (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δij) dengan persamaan berikut : dij = ∝ + βδij + ℇ Ada tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas, yaitu metode Least Square (KRYST), metode Euclidean Distance (ALSCAL) dan metode Maximum Likehood. Metode ALSCAL merupakan metode yang paling sesuai untuk RAPFISH dan mudah tersedia pada setiap software statistik (Alder et al. 2000). Metode ALSCAL mengoptimisasi jarak kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = 0ijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) dengan formula yang disebut S-Stress sebagai berikut :
55
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidean yang dibobot, atau disajikan :
Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) kondisi fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS adalah mengukur seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S. Nilai stres yang rendah menunjukkan good of fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Di dalam RAPFISH, model yang baik ditunjukkan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25). Análisis keberlanjutan model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi di Teluk Weda dilakukan dengan pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang merupakan pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan (Pitcher and Preikshot 2001; Kavanagh and Pitcher 2004). Analisis keberlanjutan ekologi dinyatakan dalam indeks keberlanjutan : kesesuaian ekowisata selam, kesesuaian ekowisata snorkeling, kesesuaian ekowisata mangrove, kesesuaian ekowisata lamun, kesesuaian ekowisata pantai, kesesuaian ekowisata pancing, kesesuaian budidaya rumput laut, kesesuaian keramba jaring apung, daya dukung ekowisata selam, daya dukung ekowisata snorkeling, daya dukung ekowisata mangrove, daya dukung ekowisata lamun, daya dukung pantai, daya dukung ekowisata pancing, daya dukung budidaya rumput laut, daya dukung keramba jaring apung, daya dukung budidaya rumput laut kapasitas perairan, daya dukung budidaya rumput laut kapasitas asimilasi, dan daya dukung keramba jaring apung kapasitas perairan. Analisis keberlanjutan ekonomi dinyatakan dalam indeks keberlanjutan : budidaya rumput laut, keramba jaring apung, daerah penangkapan ikan pelagis, daerah penangkapan ikan demersal, wisat pantai, wisata bahari, wisata sejarah/budaya, spesies penting, spesies endemik dan bentuk ancaman. Analisis keberlanjutan sosial budaya dinyatakan dalam indeks keberlanjutan: tingkat dukungan masyarakat, kepedulian masyarakat, penelitian dan pendidikan, estetika, perlindungan situs budaya, keamanan, aksesibilitas, tempat rekreasi dan konflik kepentingan. Analisis keberlanjutan kelembagaan dinyatakan dalam indeks keberlanjutan: pemerintah pusat, wisatawan dalam negeri, perguruan tinggi, mewujudkan pengembangan wisata, meningkatkan industri pariwisata, meningkatnya produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, meningkatnya mutu produk perikanan, meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pualu
56
kecil, meningkatnya jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap, nelayan kurang berdaya dalam penentuan harga ikan, lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan investasi daerah yang kurang mendukung, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, membuat kebijakan yang konsisten. Analisis keberlanjutan multi dimensi dinyatakan dalam indeks keberlanjutan hasil gabungan dari nilai tertinggi pada keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan. Analisis dilakukan melalui tiga tahapan: A. Penentuan Atribut Penentuan atribut model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis zonasi di Teluk Weda dilakukan terhadap empat dimensi pengelolaan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta kelembagaan. Pada setiap dimensi dipilih atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan untuk digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi dipilih yang secara kuat mewakili dimensi yang bersangkutan dan tidak tumpang tindih dengan atribut lain. B. Pembuatan Skor Pemberian skor atau peringkat dilakukan pada atribut yang teridentifikasi berdasarkan tujuan pengelolaan potensi kawasan. Mengacu pada teknik RAPFISH (Pitcher and Preikshot 2001; Susilo 2003), skor yang diberikan berupa nilai “buruk” yakni mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam pengelolaan kawasan dan nilai “baik” yakni mengkondisikan pengelolaan kawasan yang paling menguntungkan. Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara. Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. (1999) dan Heershman et al. (1999), maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak tiga yakni nilai buruk skor 0, nilai antara skor 1, nilai baik skor 2. C. Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks efektivitas pengelolaan di wilayah kajian. Peran masing-masing atribut terhadap nilai yang dianalisis dengan “attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Pengaruh setiap atribut dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-x.
4 PROFIL UMUM TELUK WEDA
4.1 Letak Teluk Weda Definisi Teluk (Bay) berdasarkan UNCLOS 1982 adalah lekukan ke arah darat, di mana garis penutup teluk mencakup air dalam teluk yang sama atau lebih luas dari laut yang dicakup oleh radius penutup teluk sama. Sebaliknya jika cakupan oleh radius penutup teluk lebih luas daripada air dalam teluk maka tidak diberlakukan sebagai teluk, walaupun mungkin sehari-hari orang menyebutnya “teluk” (Rais 2003). Teluk adalah bagian perairan pedalaman (internal waters) yang ditutup oleh garis dasar penutup teluk, muara, pelabuhan dan garis-garis dasar yang menutup lekukan di pantai sampai 100 mil laut dan maksimum 125 mil laut. Dengan kata lain, perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang berada ke arah daratan dari garis dasar kepulauan (Rais 2003). Untuk penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disepakati bahwa jika panjang garis penutup teluk maksimum 12 mil, maka teluk dapat ditutup dengan garis dasar. Dengan kata lain, jika garis penutup teluk lebih panjang dari 12 mil, maka garis penutup teluk tidak dapat dipakai sebagai garis dasar untuk menentukan batas wilayah laut. Ketentuan UNCLOS untuk garis dasar negara kepulauan dibolehkan menarik garis penutup teluk maksimum 24 mil laut. (UNCLOS 1982 Article 10) Teluk Weda yang terletak di Kabupaten Halmahera Tengah pada posisi o 0 45’LU – 0o15’LS dan 127o45’BT – 129o26’BT merupakan kawasan teluk yang luas dengan kondisi sumberdaya alam yang sangat prospektif baik sebagai sumberdaya alam yang tak dapat pulih (mineral dan bahan tambang) yang sangat potensial untuk dikembangkan dan sebagai pintu gerbang dan penghubung kabupaten-kabupaten di dalam dan di luar Maluku Utara dan sumberdaya alam dapat pulih antara lain mangrove, terumbu karang, lamun dan sumberdaya ikan lainnya (Doa et al. 2007). 4.2 Iklim Data yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kulo Jaya Balai Wilayah Sungai Maluku Utara di Kecamatan Weda Tengah selama tahun 2012 (Gambar 7), menunjukkan bahwa suhu tertinggi terjadi pada bulan September sebesar 33,5oC. Sedangkan suhu terendah sebesar 24oC terjadi pada bulan Juni dan Juli. Lama penyinaran matahari Tahun 2012 di Kabupaten Halmahera Tengah terendah 0,02% dan tertinggi 0,67% dari lama penyinaran matahari (11,56 jam/hari). Curah hujan selama lima tahun terakhir, sejak tahun 2008-2012 (Gambar 8), terjadi hari hujan dengan intensitas beragam. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli tahun 2008 sebesar 6,18 mm2, bulan Februari 2009 sebesar 4,01 mm2, bulan Juli 2010 sebesar 8,94 mm2, bulan Agustus 2011 sebesar 7,5 mm2 dan bulan Mei 2012 sebesar 5,57 mm2
58
Gambar 7 Stasiun Klimatologi Kulo Jaya Balai Wilayah Sungai Maluku Utara Gambar 9 menjelaskan bahwa telah terjadi penguapan sebesar 69,10 mm2 pada bulan Juni 2008, penguapan sebesar 68,62 mm2 pada bulan Juni 2009, penguapan sebesar 67,91 mm2 pada bulan Juli 2010, penguapan sebesar 72,57 mm2 pada bulan Agustus 2011 dan 56,73 mm2 pada bulan Agustus 2012.
Gambar 8 Curah Hujan di Kabupaten Halmhera Tengah Tahun 2008-2012 Sumber : data diolah 2013
59
Gambar 9 Penguapan air di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2008-2012 Sumber : data diolah 2013 4.3 Kualitas Perairan Kualitas perairan di Teluk Weda memberikan indikasi terjadi perubahan kualitas perairan setiap saat, hal ini akibat dari banyaknya perusahaan pertambangan yang mengangkut hasil eksploitasinya biji nikel yang belum diolah, kemudian diarahkan ke tepi pantai untuk diangkut oleh kapal pertambangan. Hasil pengangkutan tersebut dapat mencemari perairan Teluk Weda karena mengandung bahan fisika dan kimia. Pengamatan fisik dan kimia dilakukan dengan pengambilan sampel air di perairan dan kemudian diolah di laboratorium, juga diperoleh dari hasil monitoring secara berkala oleh PT Weda Bay Nickel. Hasil analisis laboratorium dan monitoring PT Weda Bay Nickel disajikan pada Tabel 21. - Parameter Fisika Perairan a. Pasang Surut Pola pasang surut perairan yang terjadi di sekitar Halmahera Tengah umumnya berpola semidiurnal condong keharian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal) dengan nilai bilangan Fomizhal (F) berkisar 0.26 m sampai 1,50 m. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pola pergerakan pasang surut disekitar Halmahera Tengah (Tabel 22). dengan konstanta pasang surut yang ada maka nilai kisaran pergerakan pasang surut di Halmahera Tengah tidak jauh berbeda dengan nilai pasang surut di sekitar lokasi pengamatan pasang surut atau kondisi pergerakan pasang surut sebesar 1.25 Dm (128 cm) tiap pergerakan pasang surut.
60
Nilai konstanta pasang surut yang terjadi di perairan sekitar Halmahera Tengah (Teluk Salolo) memberikan makna bahwa pasang surut yang terjadi di sekitar Teluk Weda juga berpola semidiurnal. Pada bagian lain keterbukaan wilayah Teluk Salolo yang lebih kecil dibandingkan dengan Teluk Weda maka dapat dikatakan bahwa sistem pertukaran transpor massa air di Teluk Weda lebih besar dibandingkan dengan Teluk Salolo yang berada di perairan Teluk Buli. Dengan demikian bahwa nilai tunggang air pada Teluk Weda jauh lebih besar fluktuasinya dibandingkan dengan Teluk Salolo (DKP 2008). Tabel 21 Hasil pengamatan kualitas perairan Tahun 2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Parameter kualitas perairan TSS (mm) TDS (mg/l) pH DO (mg/l) Suhu (oC) Konduktifitas (S/m) Turbiditas (m) Salinitas (o/oo) ppm Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Fosfat (mg/l) Aluminium (Al) (mg/l) Arsen (As) (mg/l) Barium (Ba) (mg/l) Boron (B) (mg/l) Kadmium (Cd) (mg/l) Kalcium (Ca) (mg/l) Kromium (Cr) (mg/l) Kobalt (Co) (mg/l) Tembaga (Cu) (mg/l) Besi (Fe) (mg/l) Timbal (Pb) (mg/l) Magnesium (Mg) (mg/l) Mangan (Mn) (mg/l) Raksa (Hg) (mg/l) Nickel (Ni) (mg/l) Kalium (K) (mg/l) Selenium (Se) (mg/l) Natrium (Na) (mg/l) Seng (Zn) (mg/l)
Minimal 21,00 10.224,00 8,00 3,38 29,00 31,00 11.260,00 20,00 0,001 0,001 0,001 0,05 0,0005 0,01 0,1 0,005 0,05 0,002 0,001 0,001 0,004 0,001 0,05 0,001 0,00005 0,001 0,05 0,0005 0,05 0,005
Maksimal 108,00 22.190,00 9,00 5,07 31,00 513,50 26.470,00 35,00 0,010 0,002 0,009 0,05 0,0007 0,16 7,6 0,005 503,00 0,002 0,001 0,001 0,01 0,001 1.470,00 0,007 0,00012 0,004 389,00 0,0005 11.100,00 0,005
Sumber : Hasil Lapangan 2012 dan PT. Weda Bay Nickel 2012
Rata-rata 58,00 15.707,00 8,25 4,32 30,00 146,41 19.780,00 31,00 0,004 0,002 0,005 0,05 0,00054 0,116 4,8 0,005 357,41 0,002 0,001 0,001 0,0062 0,001 1.050,01 0,0034 0,000084 0,0016 280,41 0,0005 7.808,01 0,005
61
Tabel 22 Konstanta harmonik pasang surut di beberapa wilayah sekitar Kabupaten Halmahera Tengah Lokasi Tidore Ternate Sorong Teluk Salolo Lelei
NIL
So
M2
S2
N2
K1
O1
M4
MS4
K2
P1
Zo
A go A go A go A go A go
99 -
41 244 27 185 41 165 49 152 59 109
40 216 22 148 18 150 27 219 15 286
36 87 5 210 7 185 9 87 52 306
24 137 14 91 23 134 14 232 22 295
47 207 10 112 13 187 12 119 15 106
13 27 107 2 166
12 200 1 339 3 198
11 216 8 142 5 150 7 219 4 286
8 137 6 81 8 134 5 232 7 295
152
193 150 -
90 100 102 150 -
F 0,88 0,48 0,34 0,51
Sumber : DKP Provinsi 2008 b. Suhu Nilai parameter suhu perairan dari hasil pengukuran, secara umum menunjukkan fenomena alami, dimana makin tinggi pergerakan matahari memberikan nilai yang lebih besar. Suhu diperairan Teluk Weda berkisar antara 29oC – 31oC. Parameter suhu perairan secara spasial menunjukkan fenomena alami, dimana suhu di sekitar muara sungai lebih rendah dibandingkan pada selain daerah tersebut. Secara global parameter kualitas perairan umumnya dipengaruhi oleh massa air laut terbuka (pasifik) yang dicirikan oleh nilai suhu yang lebih tinggi atau dalam kategori perairan hangat. Umumnya bahwa sebaran komunitas mangrove memberikan nilai kualitas perairan yang lebih stabil terhadap suhu perairan yang dipengaruhi oleh pergerakan tinggi matahari . Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Oganisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya (Effendi 2003). c. Sirkulasi air laut Sirkulasi dari arus laut terbagi atas dua kategori yaitu sirkulasi di permukaan laut (surface circulation) dan sirkulasi di dalam laut (intermediate or deep circulation). Arus pada sirkulasi di permukaan laut didominasi oleh arus yang ditimbulkan oleh angin sedangkan sirkulasi di dalam laut didominasi oleh arus termohalin. Arus termohalin timbul sebagai akibat adanya perbedaan densitas karena berubahnya suhu dan salinitas massa air laut. Perlu diingat bahwa arus termohalin dapat pula terjadi di permukaan laut demikian juga dengan arus yang ditimbulkan oleh angin dapat terjadi hingga dasar laut. Sirkulasi yang digerakan oleh angin terbatas pada gerakan horisontal dari lapisan atas air laut. Berbeda dengan sirkulasi yang digerakan angin secara horisontal, sirkulasi termohalin mempunyai komponen gerakan vertikal dan merupakan agen dari pencampuran massa air di lapisan dalam (Nining 2002 dalam Azis 2006). Arus permukaan laut umumnya digerakan oleh stress angin yang bekerja pada permukaan laut. Angin cenderung mendorong lapisan air di permukaan laut
62
dalam arah gerakan angin. Arus yang terjadi diteluk Weda dengan kecepatan berkisar 0,07 – 0,49 m/detik dengan kecepatan arus rata-rata 0,26 m/detik. Tetapi karena pengaruh rotasi bumi atau pengaruh gaya Coriolis, arus tidak bergerak searah dengan arah angin tetapi dibelokan ke arah kanan dari arah angin di belahan bumi utara dan arah kiri di belahan bumi selatan. Jadi angin dari selatan (di belahan bumi utara) akan membangkitkan arus yang bergerak ke arah timur laut. Arus yang dibangkitkan angin ini kecepatannya berkurang dengan bertambahnya kedalaman dan arahnya berlawanan dengan arah arus di permukaan. Arus laut dapat juga terjadi akibat adanya perbedaan tekanan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Perbedaan tekanan ini terjadi sebagai hasil adanya variasi densitas air laut dan slope permukaan laut. Densitas air laut bervariasi dengan suhu dan salinitas. Air tawar yang hangat adalah ringan, sementara air laut yang dingin adalah berat. Pada kedalaman yang besar (di bawah 2000 m),densitas air laut hampir uniform (konstan) jadi variasi densitas umumnya terbatas pada lapisan dekat dengan permukaan (Azis 2006). Perairan yang densitasnya rendah (hangat) mempunyai permukaan laut yang lebih tinggi daripada perairan yang densitasnya tinggi (dingin) akibatnya terdapat slope (kemiringan) permukaan laut antara daerah densitas rendah dan tinggi, karena adanya slope permukaan laut (juga adanya slope isobar di lapisan-lapisan dalam) tekanan air di daerah densitas rendah lebih besar daripada tekanan air di daerah densitas tinggi. Perbedaan tekanan ini menggerakan massa air di daerah tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. Tetapi air tidaklah benar-benar bergerak menuruni slope permukaan laut, akibat pengaruh rotasi bumi atau gaya coriolis gerakan air ini dibelokan ke arah kanan di belahan bumi utara dan ke arah kiri di belahan bumi selatan. Gaya akibat perbedaan tekanan disebut "gaya gradien tekanan" dan gaya ini diimbangi oleh gaya coriolis yang timbul akibat rotasi bumi. Arus yang timbul sebagai akibat kesetimbangan gaya gradien tekanan dan gaya coriolis disebut arus "geostropik". Kecepatan arus geostropik berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Azis 2006). Seperti dijelaskan sebelumnya, disamping arus laut yang bergerak di permukaan terdapat juga arus yang bergerak di lapisan dalam. Sirkulasi ini dikenal dengan nama sirkulasi "termohalin". Arus di lapisan dalam ini bergerak lebih lambat daripada arus permukaan, namun arus ini memainkan peranan yang penting dalam pertukaran massa air di laut Azis 2006). Pada teras pertama Teluk Weda kedalaman lapisan campuran (Mixed Layer Depth atau MLD) bervariasi dari 22 meter menjadi 50 meter. Kedalaman MLD dengan ketebalan lebih dari 50 meter diamati pada stasiun 9, dan 12, sedangkan yang dangkal diamati pada Stasiun 10, 11 dan 20 (Gambar 10). Profil suhu vertikal dan salinitas di stasiun teras pertama ditunjukkan pada Gambar 11 (a & b). Pada angka tersebut jelas menunjukkan adanya penurunan panas pada semua kolom air tepat di bawah MLD ke bawah. Pada permukaan MLD suhu berkisar pada suhu 27.72oC (Stasiun 12) pada pesisir barat dari teluk ke (Stasiun 1) sampai suhu 28,20oC di bagian utara. Pada batas terendah dari lapisan campuran atau di bagian atas termoklin suhu bervariasi antara 27,33-27,68oC. Salinitas tercatat lebih tinggi dari 34o/oo pada semua stasiun menunjukkan bahwa teluk ini sangat dipengaruhi oleh Laut Halmahera. Rendahnya nilai salinitas tercatat di stasiun 10, 11 dan 20 menunjukkan bahwa pengaruh dari sungai lebih sedikit
63
dapat mempengaruhi suhu dan salinitas di permukaan dibandingkan daratan utama. Di teras kedua minimum MLD tercatat sebesar 25 m (Stasiun 2), sementara pada tiga stasiun yang lain, MLD tercatat hampir dua kali lebih tinggi (42-52 m). Profil vertikal suhu dan salinitas di stasiun teras kedua ditunjukkan pada Gambar 12a. Seperti halnya dengan teras pertama penurunan panas terdapat pada semua kolom air tepat di bawah MLD ke bawah. Pada permukaan MLD suhu berkisar antara 27,75oC (Stasiun 13) ke 28,18oC (Stasiun 2). Pada batas terbawah dari lapisan campuran atau di bagian atas termoklin, suhu bervariasi antara 27,04-27,79oC . Salinitas tercatat lebih tinggi dari 34 o/oo di semua stasiun. Hal ini menunjukkan tidak ada lapisan salinitas maksimum yang tercatat pada daerah penelitian ini (Gambar 12b) (LIPI dan Weda Bay Nickel 2007).
Gambar 10 Stasiun pengamatan Ocean Profilling di Teluk Weda Sumber : LIPI dan Weda Bay Nickel 2007
Gambar 11 Mixed Layer Depth (MLD) teras pertama di Teluk Weda Sumber : LIPI dan Weda Bay Nickel 2007
64
Gambar 12 Mixed Layer Depth (MLD) teras kedua di Teluk Weda Sumber : LIPI dan Weda Bay Nickel 2007 Pada sub-basin Teluk Weda, lapisan campuran bervariasi dari 25 meter sampai 57 meter. Kedalaman MLD lebih dari 50 meter terjadi di Stasiun16, 18, 8 dan 5. MLD dangkal terjadi di Stasiun15 dan 3. Profil suhu secara vertikal dan salinitas yang ditunjukkan pada Gambar 12 (a). Pada permukaan MLD suhu berkisar antara 28,35 (Stasiun 3) sampai 27.77oC (Stasiun 14). Pada batas bawah dari lapisan campuran suhu bervariasi antara 26.33 (Stasiun 14) sampai 27,79 oC (Stasiun 3). Sangat menarik untuk mengetahui pada titik ini terdapat fenomena pada distribusi vertikal salinitas di sub-basin Teluk Weda. Pada Gambar 13 (b) terlihat bahwa salinitas maksimum terjadi di semua stasiun. Fenomena ini memainkan peranan penting untuk memahami dinamika sirkulasi air di Teluk Weda. Lapisan salinitas maksimum menunjukkan bahwa pada kedalaman antara 100 dan 400 meter yang ada massa air tertentu datang dari luar. Massa air yang masuk ini bisa dari Samudera Pasifik seperti yang ditunjukkan oleh Wyrtki (1961). Jika benar maka massa air ini dikenal sebagai Southerrn Subtropical Bawah Air diidentifikasi oleh salinitas yang maksimum ( 34,6-35,3o/oo ), suhu berkisar antara 24-13oC dan kandungan oksigen yang rendah ( 2,6-3,6 ml/l).
Gambar 13 Mixed Layer Depth (MLD) sub-basin di Teluk Weda Sumber : LIPI dan Weda Bay Nickel 2007
65
d. Kecerahan Kecerahan air di Teluk Weda berkisar antara 0.6 meter - 13.72 meter. Pengukuran parameter kecerahan perairan dilakukan pada waktu siang hari dengan kondisi cuaca cerah dan perairan tidak berombak. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah. (Effendi, 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Tingkat kekeruhan air tersebut dinyatakan dengan suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan secchi disk (Jeffries and Mills 1996 in Effendi 2003). e. Konduktivitas Konduktivitas (Daya Hantar Listrik) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Oleh karena itu semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Reaktivitas, bilangan valensi dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap nilai DHL. Asam, basa dan garam merupakan penghantar listrik (konduktor) yang baik (APHA, 1976; Mackereth et al. 1989 in Effendi 2003). Konduktivitas di Teluk Weda berkisar antara 31,00-513,50 dengan rata-rata konduktivitas 146,41. Hal ini menunjukkan bahwa daya hantar listrik (DHL) di perairan Teluk Weda akan meningkat dengan meningkatnya pH dan salinitas di perairan. f. Turbiditas Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas air adalah Turbiditas (Kekeruhan). Turbiditas sering di sebut dengan kekeruhan, apabila di dalam air media terjadi kekeruhan yang tinggi maka kandungan oksigen akan menurun, hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam perairan sangat terbatas sehingga tumbuhan/phytoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis untuk mengasilkan oksigen. Turbiditas yang terjadi di perairan Teluk Weda diakibatkan oleh adanya penambangan di kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan besarnya turbiditas 11260-26470 NTU dengan rata-rata 19780 NTU. Dengan demikian berarti bahwa peningkatan turbiditas di perairan Teluk Weda dapat mengurangi produktivitas primer, sehingga akan menurunkan tingkat kesuburan perairan. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan telarut, maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976; Davis and Cornwell 1991 in Effendi 2003). Lloyd (1985) in Effendi (2003), peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Peningkatan turbiditas sebesar 5 NTU di danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%.
66
g. Padatan Total, Terlarut dan Tersuspensi (TSS, TDS) Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (APHA 1976 in Effendi 2003). Residu dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama penentuan residu ini, sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas lain yang menghilang pada saat pemanasan tidak tercakup dalam nilai padatan total (Boyd 1988 in Effendi 2003). Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan Millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasadjasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Settleable solid adalah jumlah padatan tersuspensi yang dapat diendapkan selama periode waktu tertentu dalam wadah yang berbentuk kerucut terbalik. Padatan terlarut total (Total Dissolve Solid atau TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Rao 1992 in Effendi 2003). TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. TSS di perairan Teluk Weda berkisar antara 21-108 mg/liter dan rata-rata 58 mg/liter, sedangkan TDS berkisar antara 10224-22190 mm dan rata-rata 15707 mm. Berdasarkan nilai TSS dan TDS tersebut menunjukkan bahwa tingkat sedimentasi yang tinggi tersebut diakibatkan tingkat erosi yang tinggi dan adanya penambangan oleh perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan, serta perubahan tata guna lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan daerah. - Parameter Kimia Perairan a. Salinitas Pengukuran sanilitas perairan Teluk Weda selama pengambilan data dilakukan diperoleh nilai salinitas berkisar antara 20 o/oo hingga 35o/oo. Perairan dengan dominasi komunitas mangrove seperti pada wilayah teluk, umumnya massa air yang masuk ke teluk (outflow) memiliki kadar garam yang relatif lebih rendah (rata-rata 31o/oo) dibandingkan kadar pada perairan dengan substrat berbatu (berkisar 32 o/oo – 34 o/oo). Parameter salinitas perairan secara spasial menunjukkan fenomena alami, dimana salinitas di sekitar muara sungai lebih rendah dibandingkan pada daerah selain daerah tersebut. Secara global parameter kualitas perairan umumnya dipengaruhi oleh massa air laut terbuka (pasifik) yang dicirikan oleh nilai salinitas yang lebih tinggi atau dalam kategori perairan hangat. Umumnya bahwa sebaran komunitas mangrove memberikan nilai kualitas perairan yang lebih stabil terhadap nilai parameter salinitas (bernilai 31 o/oo – 32 o/oo). Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (boyd 1988 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan
67
oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (o/oo). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5 o/oo, perairan payau antara 0,5 o/oo – 30 o/oo, dan perairan laut 30 o/oo - 40 o/oo. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40 o/oo - 80 o/oo. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. b. pH Mackereth et al. (1989) in Effendi (2003) mengemukakan bahwa pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas dapat mencapai nol (0). Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan yang bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banya ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia yang terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengn amonium (Tebbut 1992 in Effendi 2003). Pengukuran pH di perairan Teluk Weda berkisar antara 8-9 dengan rata-rata pH sebesar 8,25, ini berarti proses biokimia perairan berlangsung dengan baik. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny and Olem 1994 in Effendi 2003). c. Oksigen Terlarut (DO atau Disolved Oxygen) Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin 2000). Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut diperairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries and Mills 1996 in Effendi 2003). Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle 1968 in Salmin 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet 1970 in Salmin 2005).
68
Kandungan oksigen terlarut di perairan Teluk Weda berkisar antara 3,385,07 ppm dengan rata-rata 4,32 ppm, ini menunjukkan bahwa dengan kandungakn oksigen terlarut yang demikian dapat dilakukan kegiatan wisata bahari dan kegiatan budidaya (keramba jaring apung dan rumput laut). Hal ini sesuai dengan Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor 51 tahun 2004 yang menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (KLH 2004). 4.4 Kondisi Ekologi Kondisi ekologi Teluk Weda adalah kondisi yang memberikan nilai tersendiri terhadap keadaan biofisik suatu daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat manusia yang berada di sekitar teluk. Nilai ekologi Teluk Weda terdiri dari parameter kualitas perairan, kondisi iklim, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil (estuaria, mangrove, lamun, terumbu karang, ikan dan biota lainnya) yang saling terkait dan mempengaruhi ekominawisata di Teluk Weda. Mangrove sebagai vegetasi yang tumbuh dilingkungan estuaria pantai yang dapat ditemui di garis pantai tropika dan subtropika yang biasa memiliki fungsifungsi sosial ekonomi dan lingkungan (FAO 2003). Hutan mangrove yang terbentuk tergantung pada kondisi yang mendukung, yaitu faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik utama yang mempengaruhi hutan mangrove adalah iklim (temperatur, angin dan badai, curah hujan, zona-zona kehidupan) dan edafis (geomorfologi mangrove, salinitas, faktor-faktor lainnya), yang menyusun ekosistem, yaitu flora dan fauna mangrove, hubungan antara mangrove, dan inplikasi pengelolaannya (Kustanti 2011). Jenis-jenis mangrove yang terdapat di Teluk Weda adalah Achantus ilicifolius, Aegiceras comiculatum, Avicennia alba, Avicennia marina, Bruguiera cylindrical, Bruguiera gymnorhizza, Bruguiera sexangula, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Hibiscus tiliaceus, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Sonneratia casiolaris, Terminalia cattapa, Xylocarpus granatum, Xylocarpus molluccensis. (Mustari 2009, DKP Halteng 2011 dan Dinas Kehutanan Halteng 2012). Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris disebut seagrass . Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya merupakan tumbuhan tingkat rendah dan dikenal juga sebagai alga laut. Padang lamun merupakan komponen makroalgae yang ditemukan pada lokasi ini cukup produktif. Tumbuhnya tanaman lamun umumnya membentuk holdplast pada batuan yang terdapat di sekitar pantai dan terumbu karang di perairan pantai. Sebaran lamun di daerah Teluk Weda sangat terbatas dan keberadaannya jauh dari garis pantai (daerah yang selalu tergenang). Spesies lamun yang diterdapat di daerah ini adalah : Enhallus acoroides, Thallasia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila minor, Syiringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata dan Halodule uninervis. Contoh lamun yang ditemukan disajikan pada Gambar 14.
69
Terumbu karang adalah ekosistem paling depan yang berhadapan dengan laut. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari alga berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat. Fungsi ekologis terumbu karang yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus, sebagai habitat berbagai biota laut, sebagai lokasi wisata dan masih banyak fungsi lainnya. Distribusi terumbu karang di Teluk Weda menyebar di beberapa lokasi yaitu di kecamatan Weda Utara, Weda Tengah, Weda dan Weda Selatan (Batasan lokasi penelitian) dan kecamatan Patani, Patani Utara, Patani Barat serta Kecamatan Pulau Gebe.
Gambar 10 Beberapa jenis lamun yang ditemukan 4.5 Kondisi Ekonomi Daerah Halmahera Tengah merupakan daerah pantai karena sekitar 80% wilayahnya berada di daerah pantai sedangkan 20% lainnya di daerah pegunungan. Namun demikian, kontributor terbesar ada di pertambangan non migas dengan pertambangan yang dieksploitasi adalah nikel. Mata pencaharian masyarakat di daerah adalah nelayan, petani, PNS, pengusaha, pedagang, buruh tambang, dan lain-lain. Potensi sumberdaya darat di daerah ini umumnya mencakup hasil hutan, perkebunan, pertanian dan pertambangan. Sedangkan potensi sumberdaya laut yaitu perikanan, biota laut dan rumput laut. Infrastruktur perikanan yang dapat menunjang perikanan tangkap dapat dilihat dengan adanya PPI DKP Halteng, namun belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh nelayan untuk mendaratkan ikan dan melakukan pelelangan, hal ini terjadi karena nelayan langsung membawa hasil tangkapannya ke pasar dan di jual di desa setempat. Fasilitas perikanan disajikan pada Gambar 15. Produksi dan nilai produksi di Kabupaten Halmahera Tengah sejak tahun 2004-2011 terjadi peningkatan, namun peningkatannya tidak secara tajam. Data produksi dan nilai produksi perikanan Halmahera Tengah disajikan pada Tabel 23 dan 24.
70
Gambar 11 PPI Weda DKP Halmahera Tengah Tabel 23 Produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 2004-2011
Sumber : BPS Halmahera Tengah 2005-2012 Berdasarkan produksi dan nilai produksi perikanan tahun 2004-2011 di Kabupaten Halmahera Tengah (Tabel 25), dapat dijelaskan bahwa telah terjadi peningkatan produksi rata-rata 0,09% dari tahun 2004-2007, meningkat 3,02% pada tahun 2008, kemudian meningkat tajam 5,05% pada tahun 2009, selanjutnya menurun 2,06% pada tahun 2010 dan menurun 0,23% pada tahun 2011. Tabel 25 menjelaskan bahwa telah terjadi peningkatan nilai produksi pada tahun 2004 - 2005 sebesar 0,02%, meningkat perlahan 0,29% pada tahun 2006, kemudian meningkat tajam pada tahun 2007 sebesar 9,18%, selanjutnya terjadi penurunan nilai produksi 3,50% pada tahun 2008, tahun 2009 terjadi peningkatan sebesar 5,70%, kemudian menurun 1,02% pada tahun 2010 dan 0,70% pada tahun 2011.
71
Tabel 24 Nilai produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 2004-2011
Sumber : BPS Halmahera Tengah 2005-2012 Tabel 25 Peningkatan produksi dan nilai produksi perikanan Halmahera Tengah Tahun 2004-2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total
Produksi (Ton) 9.110,20 9.209,80 9.311,90 9.411,90 12.703,56 18.218,70 20.463,88 20.717,46 109.147,40
Peningkatan (%) 0,09 0,09 0,09 3,02 5,05 2,06 0,23
Nilai Produksi (Rp) 19.221.680 19.422.100 21.890.550 98.,923.900 128.340.485 176.225.935 184.790.275 190.695.325 839.510.250
Peningkatan (%) 0,02 0,29 9,18 3,50 5,70 1,02 0,70
Sumber : Data diolah 2013 Tabel 26 Jumlah perahu penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Tengah Kecamatan Weda Utara Weda Tengah Weda Weda Selatan Patani Patani Barat Patani Utara Pulau Gebe Total
Perahu tanpa motor (unit) 214 137 384 164 296 174 158 211 1.728
Perahu motor tempel (unit) 43 25 115 35 43 38 41 126 466
Sumber : BPS Halmahera tengah (2012) Perahu sebagai alat transportasi dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan setempat adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel.
72
Jumlah perahu dari keempat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian adalah perahu tanpa motor tempel sebesar 899 unit dan perahu motor tempel sebesar 218 unit dari keseluruhan perahu yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah (Tabel 26). Tabel 27 Jumlah nelayan di Kecamatan Halmahera Tengah Kecamatan Weda Utara Weda Tengah Weda Weda Selatan Patani Patani Barat Patani Utara Pulau Gebe Total
Nelayan tetap (orang) 355 123 871 487 612 320 669 867 4.304
Nelayan tidak tetap (orang) 48 17 104 58 54 38 122 123 564
Sumber : BPS Halmahera tengah (2012) Tabel 27 menjelaskan bahwa jumlah nelayan di empat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, yaitu nelayan tetap sebesar 1.836 orang dan nelayan tidak tetap sebesar 227 orang. Ini menunjukkan bahwa jumlah nelayan tetap dan nelayan tidak tetap lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan empat kecamatan lainnya. Adapun jumlah alat tangkap yang terdapat di empat lokasi penelitian menunjukkan bahwa Weda Utara sebesar 196 unit, Weda Tengah sebesar 119 unit, Weda sebesar 227 unit dan Weda Selatan sebesar 227 unit dari keseluruhan alat tangkap di Kabupaten Halmahera Tengah (Tabel 28).
Pancing tonda
Pancing lainnya
Bubu
7
23
34
8
6
22
4 10
18 38
24 67
4 8
5
4 23
12 32 53 5 31 49 15 12 28 12 33 61 31 47 77 96 234 393
6 11 8 13 13 71
-
Alat tangkap lainnya
Rawai tetap
Weda Utara 18 17 34 27 Weda Tengah 12 9 21 18 Weda 25 24 39 43 Weda Selatan 24 19 37 35 Patani 21 18 14 25 Patani Barat 9 7 14 17 Patani Utara 17 22 37 37 Pulau Gebe 51 26 69 71 Total 177 142 265 273 Sumber : BPS Halmahera tengah (2012)
Jaring angkat
Jaring insang tetap
Jaring insang hanyut
Pukat cincin
Pukat pantai
Kecamatan
Tabel 28 Jumlah alat tangkap (unit) di Kecamatan Halmahera Tengah
14 45 16 5 7 22 17 32 154
73
4.6 Kondisi Sosial Kondisi sosial masyarakat di Kabupaten Halmahera Tengah dapat terlihat dari masih adanya sifat gotong royong masyarakat setempat. Selain hal tersebut juga dipertahankan adat istiadat turun temurun yang masih berlangsung sampai saat ini. Adat istiadat inilah yang merupakan asset daerah yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan pariwisata di daerah dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Untuk mempertahankan kondisi sosial dan budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda yang berkelanjutan, maka dibutuhkan berbagai infrastruktur yang dapat menunjang kegiatan tersebut. - Infrastruktur pendidikan dan Kebudayaan Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan telah menjadi kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Melalui pendidikan, seseorang akan ditempa untuk menjadi pribadi yang berkualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas ini nantinya akan menjadi modal utama dalam pembangunan nasional. Berkualitasnya suatu daerah ditentukan dengan SDM yang berkualitas tentunya harus didukung dengan pendidikan yang berkualitas pula. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan tercermin dari meningkatnya partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan. Peningkatan partisipasi ini hendaknya juga diiringi dengan peningkatan sarana dan prasarana pendukung pendidikan, terutama untuk wilayah yang masih terbelakang dan terpencil, sehingga pemerataan pendidikan dapat tercapai. Peningkatan kesadaran penduduk dalam hal peningkatan SDM di Kabupaten Halmahera Tengah dapat dilihat dari peningkatan jumlah murid yang menamatkan pendidikan tingkat menengah atas yang memasuki berbagai jenjang pendidikan baik umum maupun kejuruan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal sangat diminati oleh masyarakat baik yang terdapat di sekitar ibukota kabupaten maupun yang letaknya jauh dari ibukota kabupaten. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah siswa yang lulus lima tahun terakhir pada Tabel 29 - 32. Tabel 29 Jumlah Siswa SMA/SMK/Madrasah Aliyah (5 tahun terakhir, status Negeri dan Swasta) Kabupaten Halmahera Tengah Sekolah SMA SMK Aliyah Total
2008 952 386 183 1521
2009 1,034 413 205 1652
Jumlah (orang) 2010 1,151 460 238 1849
2011 1,166 575 221 1962
2012 1,383 729 200 2312
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah (2012) Tabel 30 Jumlah Siswa SMA/SMK/ Madrasah Aliyah yang studi lanjut (5 tahun terakhir, status Negeri dan Swasta) Kabupaten Halmahera Tengah Sekolah SMA SMK Aliyah Total
2008 91 8 61 160
2009 116 10 54 180
Jumlah (orang) 2010 164 52 60 274
2011 176 84 49 309
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah (2012)
2012 210 105 44 359
74
Tabel 31 Jumlah SMA/SMK/Madrasah Aliyah Kabupaten Halmahera Tengah Sekolah Negeri SMA 9 SMK 7 Madrasah Aliyah 2 Total 18 Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah (2012)
Swasta 1 1 2
Tabel 32 Program Studi yang ada di SMK Kabupaten Halmahera Tengah Program Studi
Jumlah SMK (yang ada prodi tersebut)
Jumlah (orang)
Teknik Komputer dan 1 Jaringan Agrobisnis tanaman pangan 2 dan hortikultura Agrobisnis perikanan 3 Nautika Kapal penangkap 1 ikan Geologi Pertambangan 1 Akuntansi 1 Total 9 Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah (2012)
119 205 281 156 95 127 983
Doa et al. 2007, menyatakan bahwa Kabupaten Halmahera Tengah merupakan daerah pantai karena sekitar 80% wilayahnya berada di daerah pantai sedangkan 20% lainnya di daerah pegunungan. Namun demikian, kontributor terbesar ada di pertambangan non migas. Sejauh ini, pertambangan yang dieksploitasi adalah nikel. Pertambangan nikel yang berada di Kabupaten Halmahera Tengah yaitu PT. Weda Bay Nickel (WBN) dan di Pulau Gebe dikelola oleh PT. Aneka Tambang (ANTAM). Oleh karena itu peningkatan kesadaran pendidikan sangat diperlukan untuk peningkatan SDM di daerah tersebut. Peningkatan SDM, tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kebutuhan tenaga kerja yang sesuai keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang sesuai dengan pengelolaan sumberdaya alam yang dimanfaatkan selama untuk peningkatan pendapat dan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan sebagian besar penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja serta penduduk yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya. Adapun usia produktif yang belum bekerja, kebutuhan tenaga kerja berdasarkan level pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan bidang kompetensi disajikan pada Tabel 33 35. Tabel 33 Tingkat Pengangguran (usia produktif yang belum bekerja) Kabupaten Halmahera Tengah Jumlah usia produktif yang belum bekerja (orang) 2008 2009 2010 2011 3.345 2.126 1.513 7.223 Sumber : BAPPEDA dan BPS Halmahera Tengah (2012)
2012 7.223,40
75
Tabel 34 Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan level pendidikan (5 tahun terakhir) Kabupaten Halmahera Tengah Jumlah (orang) Level Pendidikan 2008 2009 2010 2011 2012 SD/SMP 12445 18562 27128 30112 36361 SMA 6341 7276 8014 8501 9537 SMK 5131 6843 7715 8843 9121 D1 743 814 987 1156 1732 D2 727 883 934 1072 1552 D3 1143 1647 2145 2145 2145 D4/S1 3748 3748 3748 3748 3748 >=S2 204 214 245 311 350 Sumber : BAPPEDA dan BPS Halmahera Tengah (2012)
Tabel 35 Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan bidang kompetensi Kabupaten Halmahera Tengah Bidang Kompetensi Teknologi Informatika Listrik/jaringan Mesin/mekanik Sipil/perumahan Pertanian/kehutanan Peternakan/masak Perikanan Pertambangan Finance & Account Dan lain-lain Sumber : Data diolah 2012
2011
Jumlah (orang) 2012 2013 2014
2015
10
20
30
40
44
30 47 10 10 10 10 20 20 10
100 100 20 30 20 20 30 40 30
200 200 40 30 40 40 60 50 50
250 250 40 60 50 60 60 60 50
250 250 50 111 104 129 182 211 110
Bentuk kebudayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah antara lain : 1) tari-tarian daerah untuk penyambutan tamu dan hiburan masyarakat dalam pada waktu tertentu. 2) Pulau Imam terdapat kuburan penduduk dan kuburan leluhur yang dikeramatkan oleh masyarakat Weda. 3) Ikan-ikan yang dilarang ditangkap dan tidak boleh dimakan oleh masyarakat setempat. - Infrastruktur listrik, air bersih dan kesehatan Infrastruktur listrik memegang peranan penting untuk keberlangsungan kegiatan pembangunan di Kabupaten Halmahera Tengah. Pemakaian listrik dari Perusahaan Listrik Negara telah mengalami peningkatan di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2011 adalah 1.411 pelanggan dibandingkan tahun 2010 sebanyak 1.327 pelanggan. Besarnya daya yang dibangkitkan adalah 3.496.607 kWh dan enegri terjual sebesar 2.801.847 kWh. Air bersih merupakan infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di Kabupaten Halmahera Tengah. Penggunaan air yang diperoleh dari KPAM belum merata dan belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Padahal hampir di setiap kecamatan terdapat muara sungai yang airnya sangat baik untuk dikelola oleh KPAM kemudian didistribusikan ke seluruh pelanggan.
76
Gambar 12 Fasilitas Air bersih PDAM Halmahera Tengah Fasilitas kesehatan yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2011 yaitu, 1 Rumah Sakit Umum Weda, 8 Puskesmas yang tersebar di 8 kecamatan, 62 Posyandu, 7 poskesdes, serta 4 Polindes. Untuk menunjang keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di Halmahera Tengah, terdapat 61 Pelayanan Keluarga Berencana Desa (PKBD) dan 16 klinik KB. - Infrastruktur transportasi Infrastruktur transportasi darat yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2011 adalah jalan sepanjang 508,40 km. Dilihat dari statusnya, jalan di Kabupaten Halmahera Tengah sepanjang 44,08 km merupakan jalan Negara, sedangkan 52,00 km merupakan jalan provinsi, dan 412,32 km merupakan jalan kabupaten. Infrastruktur transportasi laut adalah pelabuhan Weda yang terdapat di desa Fidi Jaya. Pada tahun 2011, jumlah penumpang yang berangkat dari pelabuhan Weda adalah sebanyak 867 orang dan yang datang sebanyak 888 orang. Sedangkan jumlah barang yang dibongkar tercatat sebesar 11.673 ton dan yang dimuat sebanyak 113.671 ton dari kapal motor laut dan kapal barang. Infrastruktur selain pelabuhan Weda, juga memiliki darmaga penyeberangan feri yang menghubungkan antar kecamatan dan antar pulau. Adapun rute perjalanan kapal penyeberangan feri adalah dari Kecamatan Weda ke Kecamatan Patani dilanjutkan ke Kecamatan Gebe dan kemudian menyeberang ke Kabupaten Waisai Kota di Raja Ampat dengan lama perjalanan ± 2 minggu pergipulang dan seterusnya. Infrastruktur transportasi udara terdapat di Desa Lelilef Kecamatan Weda Tengah (Lokasi PT Weda Bay Nickel), pesawat yang digunakan adalah pesawat berukuran kecil dan helikopter. - Infrastruktur telekomunikasi Infrastruktur telekomunikasi sangat diperlukan untuk menunjang komunikasi dan informasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Infrastruktur telekomunikasi yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah terdiri dari Kantor Pos, JNE, TiKi, PT. Telkom, Telkomsel, Indosat dan XL. Jumlah surat yang diterima di dalam negeri melalui Kantor Pos di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2011 tercatat 2.946 lembar yang dikirim dengan fasilitas biasa dan 3.024 lembar dikirim dengan fasilitas kilat
77
khusus. Sedangkan surat dari dalam negeri yang dikirim Kantor Pos Kabupaten Halmahera Tengah tercatat sebanyak 132 lembar surat biasa dan 147 lembar surat kilat khusus. Di samping melayani pengiriman surat di dalam negeri, kantor pos juga melayani pengiriman pos ke luar negeri. Kantor Pos Kabupaten Halmahera Tengah menerima surat dari luar negeri sebanyak 2 lembar di tahun 2011. Selain jasa pengiriman surat, beberapa jasa pelayanan lain yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah pengiriman uang (wesel). Wesel pos yang dikirim dari Halmahera Tengah pada tahun 2011 bernilai sekitar Rp.11.246,01 juta. Sedangkan wesel pos yang diterima bernilai sekitar Rp.4.159,65 juta. Jasa JNE dan TiKi juga memgang peranan dalam pengirim barang dan jasa dari dalam negeri dan luar negeri. Sedangkan Jasa PT. Telkom berjasa dalam komunikasi internet yaitu warung telekomunikasi (wartel) dan instansi-instansi terkait yang mengakses komunikasi dengan internet. Adapun Telkomsel, Indosat dan XL telah berdiri towernya terutama kecamatan yang memiliki akses pertambangan, dan untuk Telkomsel sendiri sudah menjangkau daerah-daerah terpencil. - Infrastruktur pariwisata Objek wisata di Kabupaten Halmahera Tengah antara lain : Talaga Nusliko di Kecamatan Weda (1,5 km dari ibukota kabupaten); Pulau Imam dan Pulau Dua di depan darmaga Kecamatan Weda (0,5 km dari ibukota kabupaten); Taman Laut Tanjung Oelie di Lelilef Sawai Kecamatan Weda Tengah (27 km dari ibukota kabupaten); Taman Laut Pasi Gurango, Talaga Legaye Lol (Yanelo) dan Goa Boki Maruru di Kecamatan Weda Utara (40, 41 dan 44 km dari ibukota kabupaten). Akomodasi hotel/penginapan/resort, kamar dan tempat tidur di Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2011, adalah sebanyak 8 unit, 105 kamar, dan 105 tempat tidur.
Gambar 13 Infrastruktur transportasi darat, laut dan udara Kabupaten Halmahera Tengah
78
Gambar 14 Ekowisata di Teluk Weda
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekosistem Pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah merupakan ekosistem yang lengkap, sehingga keberadaannya memiliki peranan penting bagi kelangsungan mahluk hidup yang terdapat disekitarnya. Untuk mengetahui keberadaannya, maka perlu dilakukan identifikasi dan invetarisasi dari ekosistem tersebut. Hasil identifikasi berdasarkan penamaan secara toponimi, maka pulau-pulau kecil yang diidentifikasi pada penelitian ini sebanyak 28 buah pulau yang tidak berpenduduk, sehingga belum tersedia sarana/prasarana seperti pelabuhan (TPI), air bersih, pendidikan, listrik, komunikasi dan lain-lain. Adapun keberadaan pulau-pulau kecil di Teluk Weda dibatasi pada Kecamatan Weda Utara, Kecamatan Weda, Kecamatan Weda Tengah dan Kecamatan Weda Selatan, disajikan pada Lampiran 3. Pulau-pulau kecil yang membentuk gugus pulau terdapat di Kecamatan Weda dan Kecamatan Weda Tengah. Penyebaran mangrove merupakan indikator penting dalam menentukan keberadaan suatu komunitas hutan mangrove. Pada umumnya di wilayah pesisir dapat ditemukan sejumlah pohon bakau yang tumbuh dan menyebar pada daerah teluk ataupun daerah terlindung dari pengaruh fisik ombak secara permanen. Penyebaran hutan mangrove di setiap kecamatan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Ekosistem mangrove di Teluk Weda
Keterangan : Aa Ac Ai Bg Bc Bs Cd Nf
: : : : : : : :
Avicennia alba Aegiceras corniculatum Achantus ilicifolius Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera cylindrica Bruguiera sexangula Ceriops decandra Nypa fruticans
Ra Rm Rs Sa Xg (+) (-)
: : : : : : :
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Sonneratia alba Xylocarpus granatum Ada Tidak ada
80
Jenis lamun yang ditemukan di Teluk Weda lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis lamun yang ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia. Takaendengan dan Azkab (2009) mengemukakan bahwa di pulau Talise Sulawesi Utara ditemukan 7 jenis lamun yang tergolong kedalam 5 marga yaitu Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, dan Cymodoceae. Jenis lamun yang ditemukan pada penelitian ini memiliki jumlah yang sama dengan yang ditemukan di Tanjung Merah, Selat Lembeh Bitung. Susetiono (2004) mengemukakan bahwa terdapat 8 jenis lamun yang ditemukan di padang lamun Tanjung Merah selat Lembeh Bitung. Berdasarkan Susetiono (2007), jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian ternyata lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis lamun yang ditemukan di Teluk Kuta Lombok dengan 10 jenis lamun. Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang ditemukan di semua lokasi penelitian pada Tabel 37. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di kawasan Teluk Weda, Kepel dan Baulu (2011) pada penelitian yang dilakukan di perairan pesisir pulau Yamdena kabupaten Maluku Tenggara Barat mengemukakan bahwa Enhalus acoroides dan Thalassia sp merupakan jenis lamun dengan nilai kelimpahan yang tinggi. Kemampuan hidup pada semua substrat dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan, diduga merupakan penyebab dari tingginya kelimpahan dari jenis lamun tersebut (Kepel dan Baulu 2011). Tabel 37 Ekosistem lamun Di Teluk Weda
Keterangan : Ea = Enhalus acoroides Th = Thallasia hemprichii Hp = Halodule pinifolia Hu = Halodule uninervis Si = Sryngodium isoetifolium Cs = Cymodocea serrulata
Cr = Cymodocea rotundata Ho = Halophila ovalis Hm = Halophila minor Hd = Halophila decipiens (+) = ada (-) = tidak ada
81
Ekosistem terumbu karang banyak ditemukan disetiap pesisir dan pulaupulau kecil di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah. Bentuk pertumbuhan (lifeform) terumbu karang dikategorikan berdasarkan karakteristik morfologi (Tabel 38) antara lain : Acropora digitate (ACD), Acropora submassive (ACS), Acropora tabulate (ACT), Coral massive (CM), Coral submassive (CS), Coral heliopora (CHL), Coral millepora (CME), Soft coral (SC), Sponge (SP), Turf algae (TA), Other (OT), Algae, Dead coral (DC), dan Rubbles (Khouw 2009). Tabel 38 Ekosistem terumbu karang di Teluk Weda
Keterangan : ACD = Acropora digitate ACS = Acropora submassive ACT = Acropora tabulate CM = Coral massive
CS = Coral submassive CHL = Coral heliopora CME = Coral millepora SC = Soft coral SP = Sponge
TA OT Alg DC Ru
= Turf algae = Other = Algae = Dead coral = Rubbles
Marsuki et al. (2013) melanjutkan bahwa kondisi lingkungan yang berada tidak jauh dari garis pantai yang mempengaruhi dominannya Coral massive (CM), dimana daerah ini biasanya mendapat tekanan lingkungan lebih tinggi seperti arus dan hempasan ombak yang kuat serta polusi dari darat ke laut. Namun Dead coral (DC) dan Rubbles (Ru) juga memiliki nilai tutupan karang yang besar bila dilihat secara keseluruhan, hal ini menandakan bahwa tekanan lingkungan di daerah rataan terumbu di perairan Pulau Indo cukup tinggi. Dari hasil penelitian diketahui tipe hamparan karang dominan berada pada daerah fringing serta barrier dan umumnya berada pada dasar perairan dengan tipe topografi dasar berbentuk slope dan drop off. Hal ini tidak hanya terjadi di perairan Teluk Weda, seperti yang dikemukakan Yaser (2013) bahwa hamparan terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Sangkulirang dan Sandaran juga berada pada profil dasar laut yang berbentuk droff off dengan sudut kemiringan yang sangat besar sehingga berbentuk seperti tebing dasar laut. Yaser (2013) melanjutkan bahwa tipe formasi terumbu karang yang terdapat di perairan pesisir Kecamatan Sangkulirang dan Sandaran juga berupa tipe fringing reef.
82
Dari hasil identifikasi dari genus karang yang dijumpai pada perairan Teluk Weda menunjukkan bahwa genus terbanyak dijumpai adalah dari genus Porites disusul oleh genus Acropora dan Montifora. Genus dominan tersebut merupakan kelompok genus karang batu dengan penyebaran di sekitar daerah sebelum tubir. Ketiga genus karang tersebut juga merupakan jenis-jenis karang yang terdapat di perairan Pulau Panjang Jepara, seperti yang diungkapkan Indarjo et al. (2004) pada penelitian yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus tahun 2002. Indarjo et al (2004) melanjutkan bahwa Porites merupakan jenis karang yang paling bertahan terhadap sedimentasi serta mampu hidup diperairan yang dangkal. 5.1 Kawasan Kecamatan Weda Utara 5.1.1 Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Keberadaan pulau-pulau kecil di Kecamatan Weda Utara terdiri dari tiga buah pulau kecil yang disajikan pada Tabel 39. Hasil identifikasi dan inventarisasi pulau-pulau kecil adalah : 1) Pulau Tete Pulau Tete secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Messa, Kecamatan Weda Utara. Secara astronomis Pulau Tete terletak pada 128º18.9.9" BT dan 0º27.10.0" LU. Pulau Tete terletak di Kecamatan Weda Utara dengan luas pulau 0.69 Ha. Pulau Tete dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 300 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan baik secara nasional maupun oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat adalah Pulau Tete yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Pelindung (tempat berlindung). Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau ini sering digunakan oleh masyarakat setempat (nelayan) untuk berlindung jika terjadi gelombang/ombak besar, sehingga masyarakat setempat menyebutnya Pulau Tete. Jenis pantai di Pulau Tete yaitu pantai berpasir. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau. Tabel 39 Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan Weda Utara No 1 2 3
Nama Pulau P. Tete P. Mesa P. Tumnya
Posisi Lintang 0o27'07.1" 0o23'59.3" 0o24'11.3"
Bujur 128o09'20.9" 128o17'35.5" 128o15'40.8"
Luas 2
M 306905.76 8949.50 1982.65
Ha 30.69 0.89 0.20
2) Pulau Mesa/Mintu Pulau Mesa secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Mesa, Kecamatan Weda Utara. Secara astronomis Pulau Mesa terletak pada 128o17'35.5" BT dan 0o23'59.3" LU. Pulau Mesa terletak di Kecamatan Weda Utara dengan luas pulau 0.89 Ha. Pulau Mesa dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 420 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak).
83
Nama yang resmi digunakan secara nasional yaitu Pulau Mesa, sedangkan nama yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat adalah Pulau Mintu yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Kelelawar. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau ini banyak terdapat kelelawar, sehingga masyarakat setempat menyebutnya Pulau Mintu. Jenis pantai di Pulau Mesa yaitu pantai pasir putih. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau (jenis Api-Api). 3) Pulau Tumnya Pulau Tumnya secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Mesa, Kecamatan Weda Utara. Secara astronomis Pulau Mesa terletak pada 128º17.24.0" BT dan 0º23.42.0" LU. Pulau Tumnya terletak di Kecamatan Weda Utara dengan luas pulau 0.20 Ha. Pulau Tumnya dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 420 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan baik secara nasional maupun oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat adalah Pulau Tumnya yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti pulau kecil tempat menyelam. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau ini banyak terdapat karang, sehingga masyarakat setempat menyebutnya Pulau Tumnya. Jenis pantai di Pulau Tumnya yaitu pantai pasir putih. Vegetasi pulau ini yaitu semak. 5.1.2 Ekosistem mangrove Kecamatan Weda Utara memiliki distribusi hutan mangrove yang tidak merata serta terputus-putus di wilayah pesisirnya. Hasil kajian diperoleh 6 Famili (Verbenaceae, Acanthaceae, Sonneratiaceae, Meliaceae, Rhizophoraceae dan Areaceae) dengan 11 jenis yang mendominasi yaitu Avicennia alba, Acanthus ilicifolius, Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia alba, Ceriops decandra dan Xylocarpus granatum. Ketebalan hutan mangrove berkisar antara 80–200 m. Zona hutan mangrove yang terbentuk umumnya di zona depan ditumbuhi Rhizophora sp dan Sonneratia sp, zona tengah oleh Bruguiera sp dan Ceriops sp, sedangkan zona belakang oleh Achantus sp, Xylocarpus sp dan Nypa sp. Jenis substrat terdiri dari pasir berlumpur, lumpur, dan pasir bercampur pecahan karang. Fauna yang ditemukan terdiri dari fauna lautan berupa gastropoda (bia kodok dan siput) dan fauna daratan yaitu burung elang, burung bangau, burung bidadari. Kondisi hutan mangrove dibeberapa stasiun (Pulau Gume, Pulau Tete, Tanjung Kife) masih sangat bagus namun di desa Sagea kondisinya sudah rusak, hal ini karena hutan mangrove selain dijadikan sebagai kayu bakar, lahannya juga dikonversi menjadi jalan penghubung antara desa sehingga banyak sekali mangrove yang telah rusak. Tingkat pemanfaatan hutan mangrove di Tanjung Kife (Desa Waleh) masih sangat bagus karena masyarakat hanya melakukan penebangan sebagai kayu bakar setiap satu tahun yaitu saat bulan puasa dan pengambilan ini hanya sebagian masyarakat saja yang melakukannya.
84
Gambar 15 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Sagea
Gambar 16 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Gume
Gambar 17 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Tete
Gambar 18 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Kife
85
Gambar 19 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Seves Berdasarkan Gambar 15, 16, 17, 18 dan 19 tersebut terlihat bahwa komunitas vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Weda Utara terdiri dari 10 spesies dengan total 1.822 individu, dengan kategori pohon sebanyak 306 individu, 404 individu dikategori anakan serta 1.131 kategori semaian. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa regenerasi hutan mangrove sangat tinggi karena dari 1.822 individu kategori pertumbuhan pohon 16,79%, kategori anakan 22,17% dan kategori semaian 62,07%. Jumlah individu mangrove terbanyak di Tanjung Kife sebanyak 531 individu dan terendah di Desa Sagea sebanyak 249 individu. Rendahnya jumlah individu di desa Sagea karena tingkat pemanfaatan terhadap hutan mangrove di daerah ini sangatlah tinggi, yaitu mangrove selain dijadikan sebagai kayu bakar juga lahannya dikonversi menjadi lahan pertanian dan jalan. 5.1.3 Ekosistem lamun Lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian di Kecamatan Weda Utara berjumlah 8 spesies dari 2 famili, masing-masing famili Potamogetonaceae ditemukan 6 spesies terdiri dari Halodule pinifolia, H.uninervis, Sryngodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, C.rotundata dan famili Hydrocaritaceae dengan 2 spesies yaitu Halophila ovalis dan Thalassia hemprichii. Tabel 37, memperlihatkan bahwa lokasi dengan jumlah spesies terbanyak ditemukan di Seves. Lokasi ini memiliki karakteristik habitat yang bervariasi yang terdiri dari pasir, pasir berkarang, lumpur bercampur pasir dan bongkahan karang mati. Bervariasinya tipe substrat ini memungkinkan bagi tiap spesies menempati tipe habitat yang bervariasi tersebut. Takaendengan dan Azkab (2009) mengemukakan bahwa jenis substrat tersebut menjadi indikator kuat tumbuhnya lamun jenis Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Pada lokasi Pulau Tete dan Tanjung Tilope hanya ditemukan jumlah spesies yang sedikit disebabkan karena habitat yang tidak bervariasi dan hanya terdiri pasir berlumpur serta bongkahan karang, sehingga hanya spesies-spesies tertentu yang mampu hidup dan ditemukan.
86
5.1.4 Ekosistem terumbu karang Berdasarkan bentuk pertumbuhan (lifeform) yang ditemukan di lokasi penelitian, maka bentuk pertumbuhan di Kecamatan Weda Utara memiliki seluruh bentuk pertumbuhan, seperti yang disajikan pada Tabel 38. Coral massive (CM), Coral submassive (CS), Dead coral (DC) dan Rubbles (Ru) merupakan tutupan karang yang paling dominan karena dapat ditemukan di semua titik lokasi penelitian. Kondisi yang sama juga terjadi di Pulau Indo Selat Tiworo Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Marsuki et al. (2013) mengemukakan bahwa tutupan karang hidup yang terdapat di Pulau Indo didominasi oleh Coral massive (CM). Johan (2003) mengemukakan bahwa jenis karang yang dominan disuatu habitat tergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karang–karang yang umumnya berbentuk massive dan submassive. Kecamatan Weda Utara ditemukan bentuk pertumbuhan (lifeform) sebagai berikut : Acropora digitate (ACD), Acropora submassive (ACS), Acropora tabulate (ACT), Coral massive (CM), Coral submassive (CS), Coral heliopora (CHL), Coral millepora (CME), Soft coral (SC), Sponge (SP), Turf algae (TA), Other (OT), Algae, Dead coral (DC), dan Rubbles. 5.2 Kawasanan Kecamatan Weda dan Weda Tengah 5.2.1 Ekosistem pulau-pulau kecil Kecamatan Weda dan Weda Tengah membentuk gugus pulau yang terdiri dari 24 (dua puluh empat) buah pulau yang disajikan pada Tabel 40. Hasil identifikasi dan inventarisasi pulau-pulau kecil adalah : 1) Pulau Anjing Pulau Anjing secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Anjing terletak pada 127º52.26.9" Bujur Timur dan 0º18.17.4" Lintang Utara. Pulau Anjing terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.18 Ha. Pulau Anjing dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 15 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan ratarata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Anjing yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Pemeliharaan Anjing. Sejarah penamaan pulau tersebut didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau tersebut digunakan sebagai tempat pemeliharaan anjing, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Pulau Anjing. Jenis pantai di Pulau Anjing yaitu pantai tanah/karang. Pulau ini merupakan pulau karang. Sekeliling pulau terdapat vegetasi mangrove, ada lamun dan terumbu karang yang masih dalam kondisi baik. Pulau ini berbentuk seperti bukit sangat kecil yang ditumbuhi semak sehingga merupakan pulau curam. Perairan sekitar pulau banyak terdapat ikan dan menjadi daerah penangkapan nelayan bila musim gelombang.
87
Tabel 40 Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan Weda dan Weda Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Pulau P. Anjing P. Bajo P. Belingsili/Belilsili P. Fanaf Leyap P. Gengon P. Gengsili P. Golisilengnya P. Imam/ P. Kuleyevo P. Leksileng P. Mdili/Pado P. Mutyel P. Nenas P. Pieng P. Sabubu P. Sang P. Saridaun P. Selweme P. Sueng Sili P. Suengmnya P. Tengtong P. Tilang Mdi /Batu P. Ustel P. Yagi P. Yefi
Posisi Lintang Bujur 0º18’17.4" 127º52’26.9" 0º21’29.8" 127º54’19.9" 0º21’2.9" 127º54’9.8" 0º23’10.0" 127º54’28.7" 0º18’19.3" 127º52’23.3" 0º23’23.3" 127º54’19.2" 0º23’1.2" 127º54’11.3" 0º19’54.4" 127º53’7.5" 0º23’17.6" 127º54’17.6" 0º20’42.4" 127º53’20.3" 0º21’35.0" 127º54’11.9" 0º23’54.6" 127º54’44.3" 0º22’40.5" 127º54’11.0" 0º21’13.6" 127º53’8.2" 0º23’48.0" 127º54’47.4" 0º22’18.4" 127º54’21.1" 0º22’42.3" 127º54’6.2" 0º22’51.7" 127º54’14.8" 0º22’50.0" 127º54’20.4" 0º21’8.8" 127º54’13.8" 0º20’22.0" 127º54’2.6" 0º21’37.8" 127º54’5.3" 0º18’14.1" 127º52’28.3" 0º21’21.3" 127º53’35.4"
Luas M2 1809.01 8689.11 12303.61 11440.74 459.67 9055.57 69673.31 108626.56 25936.07 17725.05 26990.59 17341.20 913.90 2417.21 10002.94 297.01 9645.97 12415.90 1348.43 14310.99 587.46 20459.19 6074.07 1027638.27
Ha 0.18 0.87 1.23 1.14 0.05 0.91 6.97 10.86 2.59 1.77 2.70 1.73 0.09 0.24 1.00 0.03 0.96 1.24 0.13 1.43 0.06 2.05 0.61 102.76
2) Pulau Bajo Pulau Bajo secara administrative wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Bajo terletak 127º54.19.9" BT dan 0º21.29.8" LU. Pulau Bajo terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.87. Pulau ini terletak agak sedikit ke arah luar dari pulau-pulau yang lainnya. Pulau Bajo berjajar dengan dua pulau lainnya yaitu Pulau Mutyel dan Pulau Ustel. Pulau Bajo dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 25 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Bajo yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Singgah Orang Bajo. Sejarah penamaan pulau tersebut didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau tersebut dulunya digunakan sebagai tempat persinggahan orang Bajo, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Pulau Bajo. Jenis pantai di Pulau Bajo yaitu pantai berpasir dan tanah/karang. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau yang tumbuh di sekeliling pulau. Pada bagian daratannya terdapat vegetasi semak dan pohon-pohon yang berukuran cukup
88
besar. Pulau ini terbentuk dari pulau dataran yang berupa pulau karang. Daerah sekitar pulau ini terdapat padang lamun dan menjadi tempat makan ikan, sehingga banyak nelayan yang menangkap ikan di daerah ini. 3) Pulau Belingsili/Belilsili Pulau Belingsili secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Nusliku, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Belingsili terletak pada 127º54.9.8" BT dan 0º21.2.9" LU. Pulau Belingsili terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 1.23 Ha. Pulau Belingsili dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 20 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 67 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional yaitu Pulau Belingsili, sedangkan nama yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat adalah Pulau Belilsili yang berasal dari Bahasa Weda/Tidore yang memiliki arti Pulau Tempat Bambu. Sejarah penamaan pulau tersebut didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau tersebut banyak terdapat tanaman Bambu China (bambu bergaris), sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Pulau Belilsili. Jenis pantai di Pulau Belingsili yaitu ada yang curam/terjal dan ada yang terendam air laut dengan substrat pasir sedikit lumpur. Vegetasi yang dominan yaitu mangrove, bambu dan belukar. Sekeliling pulau terdapat terumbu karang yang masih cukup baik kondisinya. Pulau ini merupakan pulau dataran karang yang terangkat dan membentuk pulau. Lokasi sekitar pulau juga menjadi areal tangkap ikan bagi nelayan dari Weda. 4) Pulau Fanaf Leyap Pulau Fanaf Leyap secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Fanaf Leyap terletak pada 127º54.28.7" BT dan 0º23.10.0" LU. Pulau Fanaf Leyap terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 1.14 Ha. Pulau Fanaf Leyap dapat ditempuh dengan kapal motor temple selama kurang lebih 45 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Fanaf Leyap yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Batu Lubang. Sejarah penamaan pulau tersebut didasarkan pada kondisi pulau dimana di pulau tersebut terdapat batu berlubang (ada lubang), sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Pulau Fanaf Leyap. Jenis pantai di Pulau Fanaf Lenyap yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu belukar. 5) Pulau Gengon Pulau Gengon secara administrative wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Gengon terletak pada 127º52.23.3" BT dan 0º18.19.3" LU. Pulau Gengon terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.05 Ha. Pulau Gengon dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 15 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak).
89
Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Gengon yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Pembelian. Sejarah penamaan pulau tersebut didasarkan pada kondisi pulau dimana pada zaman dulu pulau tersebut digunakan sebagai tempat jual-beli, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Pulau Gengon. Jenis pantai di Pulau Gengon yaitu pantai lumpur berpasir. Pulau Gengon merupakan pulau dengan vegetasi utama pohon bakau (mangrove). Sekeliling pulau terdapat lamun dan terumbu karang yang masih dalam kondisi baik. Perairan ini juga sampai sekarang menjadi daerah penangkapan ikan bila musim gelombang tiba. Perairan di pulau ini merupakan daerah yang terlindung dari ombak dan gelombang, kondisi alamnya masih alami sehingga dapat dikembangkan pemanfaatan untuk pariwisata yang berbasis konservasi. 6) Pulau Gengsili Pulau Gengsili secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Gengsili terletak pada 127º54.19.2" BT dan 0º23.23.3" LU. Pulau Gengsili terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.91 Ha. Pulau Gengsili dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 45 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Gengsili yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Dorang Ada di Situ. Jenis pantai di Pulau Gengsili yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu belukar. 7) Pulau Golisilengnya Pulau Golisilengnya secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Golisilengnya terletak pada 127º54.11.3" BT dan 0º23.1.2" LU. Pulau Golisilengnya terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 6.97 Ha. Pulau Golisilengnya dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 40 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Golisilengnya yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Selat Kecil. Jenis pantai di Pulau Golisilengnya yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau (mangrove). 8) Pulau Imam/Kuleyevo Pulau Imam secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Imam terletak pada 127º53.7.5" BT dan 0º19.54.4" LU. Pulau Imam terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.86 Ha. Pulau Imam dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 5 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Pulau Imam merupakan pulau yang paling dekat jaraknya dengan daratan utama (Pulau Halmahera) karena tepat berhadapan dengan Pelabuhan Weda.
90
Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Imam/Kuleyevo yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Keramat/Suci. Sejarah penamaan pulau tersebut didasarkan pada kondisi pulau dimana masyarakat setempat menganggap pulau tersebut keramat/suci, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Pulau Imam/Kuleyevo. Jenis pantai di Pulau Imam yaitu pantai pasir putih dan sedikit curam serta daratannya berupa tanah keras. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau dan kelapa. Vegetasi lainnya yang terdapat di pulau ini yaitu semak belukar dan pohon-pohon hutan berukuran besar. Pada bagian perairan selain ada mangrove, di sekelilingi pulau banyak terdapat lamun. Pulau ini terbentuk dari dataran terumbu karang yang terangkat. Pulau ini digunakan oleh masyarakat setempat sebagai lokasi kuburan/pemakaman bagi penduduk Weda. 9) Pulau Leksileng Pulau Leksileng secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Leksileng terletak pada 127º54.17.6" BT dan 0º23.17.6" LU. Pulau Leksileng terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 2.59 Ha. Pulau Leksileng dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 45 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Leksileng yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Teringat Sesuatu. Jenis pantai di Pulau Leksileng yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu belukar. 10) Pulau Mdili/Pado Pulau Mdili/Pado secara administrative wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Mdili/Pado terletak pada 127º53.20.3" BT dan 0º20.42.4" LU. Pulau Mdili/Pado terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 1.77 Ha. Pulau Mdili/Pado dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 10 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan ratarata 6 . 7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Mdili/Pado yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Orang Lepra (Pengasingan). Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi pulau, dimana menurut cerita masyarakat setempat pulau ini sering digunakan sebagai tempat untuk pengasingan, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Mdili/Pado. Jenis pantai di Pulau Mdili/Pado yaitu pantai batu karang (tanah tandus). Sekeliling pulau ada vegetasi mangrove dan pada bagian bukitnya hanya vegetasi rumput alang-alang dan sedikit semak. Di pulau ini terdapat bekas menara komunikasi SSB yang sudah tidak terpakai. Pulau ini dahulunya sebagai tempat pengasingan bagi orang yang berpenyakit lepra, tetapi tidak lagi untuk sekarang.
91
11) Pulau Mutyel Pulau Mutyel secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Mutyel terletak pada 127º54.11.9" BT dan 0º21.35.0" LU. Pulau Mutyel terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 2.70 Ha. Pulau Mutyel terletak sejajar dengan Pulau Bajo dan Pulau Ustel. Pulau Mutyel dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 25 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Mutyel yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Membawa Perahu. Pulau Mutyel memiliki tipe pantai bersubstrat lumpur dan berpasir sebagai substrat utama vegetasi mangrove. Selain mangrove, pada perairan sekelilingnya juga terdapat lamun yang cukup luas dan kondisi perairannya tenang. Perairan di pulau ini juga menjadi tempat menangkap ikan para nelayan dengan menggunakan alat pancing dan jaring insang hanyut. 12) Pulau Nenas Pulau Nenas secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Kobe, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Nenas terletak pada 127º54.44.3" BT dan 0º23.54.6" LU. Pulau Nenas terletak di Kecamatan Weda Tengah dengan luas pulau 1.73 Ha. Pulau Nenas dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 60 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Nenas yang berasal dari Bahasa Indonesia yang memiliki arti Pulau Berbentuk Buah Nenas. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi bentuk pulau tersebut yang menyerupai tanaman nenas, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Nenas. Jenis pantai di Pulau Nenas yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau dan belukar. 13) Pulau Pieng Pulau Pieng secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Pieng terletak pada 127º54.11.0" BT dan 0º22.40.5" LU. Pulau Pieng terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.09 Ha. Pulau Pieng dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 35 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Pieng yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Berbentuk Piring. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi bentuk pulau tersebut yang menyerupai piring, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Pieng. Jenis pantai di Pulau Pieng yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu belukar.
92
14) Pulau Sabubu Pulau Sabubu secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Sabubu terletak pada 127º53.8.2" BT dan 0º21.13.6" LU. Pulau Sabubu terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.24 Ha. Pulau Sabubu dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 10 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 67 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Sabubu yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Memancing. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi bentuk pulau tersebut yang sering digunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk memancing, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Sabubu. Jenis pantai di Pulau Sabubu yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau dan belukar. Pulau ini merupakan pulau yang tidak berpenduduk, sehingga belum tersedia sarana/prasarana seperti pelabuhan (TPI), air bersih, pendidikan, listrik, komunikasi dan lain-lain. Pulau ini merupakan pulau mangrove karena hanya terdiri dari pohon bakau dan tidak ada daratan. Di sekeliling Pulau Sabubu juga terdapat terumbu karang yang tampak masih cukup baik kondisinya. Pulau ini sepatutnya dijaga kondisi vegetasinya karena jika pohon bakaunya ditebang, maka Pulau Sabubu akan hilang karena pulau ini daratannya hanya berupa vegetasi mangrove. 15) Pulau Sang Pulau Sang secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Sang terletak pada 127º54.47.4" BT dan 0º23.48.0" LU. Pulau Sang terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 1.00 Ha. Pulau Sang dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 60 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Sang yang berasal dari Bahasa Tidore yang memiliki arti Pulau Bia Kima. Jenis pantai di Pulau Sang yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu rumput dan ilalang. 16) Pulau Saridaun Pulau Saridaun secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Saridaun terletak pada 127º54.21.1" BT dan 0º22.18.4" LU. Pulau Saridaun terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.03 Ha. Pulau Saridaun dapat ditempuh dengan kapal motor temple selama kurang lebih 40 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 67 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Saridaun yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Mencari Daun (Ramuan Obat). Sejarah penamaan pulau didasarkan pada cerita masyarakat setempat dimana pulau tersebut dijadikan tempat untuk mencari daun (ramuan obat), sehingga masyarakat menyebutnya
93
Pulau Saridaun. Jenis pantai di Pulau Saridaun yaitu pantai tanah karang. Vegetasi yang dominan yaitu tanaman sirih dan belukar. 17) Pulau Selweme Pulau Selweme secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Selweme terletak pada 127º54.6.2" BT dan 0º22.42.3" LU. Pulau Selweme terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.96 Ha. Pulau Selweme dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 35 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 67 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Selweme yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Berlindung. Sejarah penamaan pulau didasarkan pada kondisi pulau tersebut yang sering dijadikan tempat untuk berlindung bagi para nelayan, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Selweme. Jenis pantai di Pulau Selweme yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu belukar. 18) Pulau Sueng Sili Pulau Sueng Sili secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Sueng Sili terletak pada 127º54.14.8" BT dan 0º22.51.7" LU. Pulau Sueng Sili terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 1.24 Ha. Pulau Sueng Sili dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 40 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Sueng Sili yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Semang Perahu. Sejarah penamaan pulau didasarkan pada kondisi pulau tersebut yang berbentuk seperti semang (sayap) perahu, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Sueng Sili. Jenis pantai di Pulau Sueng Sili yaitu pantai berpasir. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau. 19) Pulau Suengmnya Pulau Suengmnya secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Suengmnya terletak pada 127º54.20.4.0" BT dan 0º22.50.0" LU. Pulau Suengmnya terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.13 Ha. Pulau Suengmnya dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 40 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan ratarata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Suengmnya yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Pantangan Kecil. Jenis pantai di Pulau Suengmnya yaitu pantai batu karang. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau. 20) Pulau Tengtong Pulau Tengtong secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Tengtong terletak pada 127º54.13.8" BT dan 0º21.8.8" LU. Pulau Tengtong terletak di Kecamatan Weda
94
dengan luas pulau 1.43 Ha. Pulau Tengtong dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 20 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 67 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Tengtong yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Toleng-Toleng (Duduk-Duduk). Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada cerita masyarakat setempat dimana pulau tersebut sering digunakan sebagai tempat untuk istirahat (duduk-duduk), sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Tengtong. Jenis pantainya ada yang pasir berlumpur dan ada juga yang berbatu. Pulau ini sama seperti pulau Belilsili yang memiliki vegetasi utama berupa pohon bakau (mangrove) dan lahan daratnya hanya berupa semak belukar. Sekeliling pulau masih terdapat terumbu karang yang masih dalam kondisi cukup baik. Perairan pulau ini juga masih merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan setempat. 21) Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Desa Weda, Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal terletak pada 127º54.2.6"BT dan 0º20.22.0"LU. Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.06 Ha. Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 15 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal yang berasal dari Bahasa Weda/Bahasa Indonesia yang memiliki arti Pulau Berbentuk Kapal. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada kondisi pulau yang berbentuk seperti kapal, sehingga masyarakat menyebutnya Pulau Tilang Mdi/Batu Kapal. Pulau ini memiliki jenis pantai yang tebing curam dengan vegetasi mangrove yang tidak tebal dan semak belukar pada bagian lahan daratnya. Sekeliling pulau terdapat terumbu karang dan lokasi ini masih termasuk dalam daerah penangkapan ikan bagi para nelayan. 22) Pulau Ustel Pulau Ustel secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Ustel terletak pada 127º54.5.3" BT dan 0º21.37.8" LU. Pulau Ustel terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 2.05 Ha. Pulau Ustel dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 25 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Ustel yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tiga Rupa. Pulau Ustel memiliki tipe pantai lumpur berpasir. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau. Sekeliling pulau juga terdapat terumbu karang dan lamun sehingga cukup banyak terdapat ikan dan menjadi tempat menangkap ikan bagi nelayan dengan alat tangkap pancing dan jaring insang hanyut. Lokasi diantara ketiga pulau yaitu Pulau Bajo, Pulau Mutyel dan Pulau Ustel dapat dimanfaatkan
95
sebagai lokasi untuk budidaya rumput laut. Hal ini karena lokasi tersebut merupakan daerah yang terlindung dari gelombang, dan ditunjang dengan kondisi alamiah yang belum tersentuh dengan pencemaran. 23) Pulau Yagi Pulau Yagi secara administrative wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Yagi terletak pada 127º52.28.3" BT dan 0º18.14.1" LU. Pulau Yagi terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 0.61 Ha, yaitu di antara Pulau Anjing dan Pulau Gengon. Pulau Yagi dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 15 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional dan Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat adalah Pulau Yagi yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tempat Menagih Hutang. Kondisi Pulau Yagi sama dengan Pulau Sabubu yaitu hanya merupakan kumpulan pohon bakau dengan substrat dasar berupa lumpur dan dikelilingi oleh lamun dan terumbu karang. Perairan sekitar pulau ini juga menjadi tempat menangkap ikan jika musim gelombang tiba. 24) Pulau Yef Pulau Yef secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda. Secara astronomis Pulau Yefi terletak pada 127º53.35.4" BT dan 0º21.21.3" LU. Pulau Yefi terletak di Kecamatan Weda dengan luas pulau 102.76 Ha. Pulau Yefi dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 10 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional yaitu Pulau Yef, sedangkan nama yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat adalah Pulau Yefi yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Ini. Pulau Yef memiliki beberapa tipe pantai walaupun dalam areal yang sangat kecil, ada bagian yang berpasir, ada bagian yang terjal dan ada bagian yang ditutupi mangrove. Vegetasi pulau ini berupa mangrove yang mengelilingi pulau, pohon kelapa serta bagian daratannya masih berupa semak belukar dan hutan dengan pohon-pohon yang berukuran besar dimana merupakan tempat hidup kelelawar yang banyak kelihatan pada sore hari. Sekeliling pulau masih terdapat terumbu karang yang kelihatan jelas dari permukaan air. 5.2.2 Ekosistem mangrove Distribusi atau penyebaran hutan mangrove di Kecamatan Weda dan Weda Tengah merata di setiap wilayah pesisir dan umumnya berada di daerah teluk. Hasil studi pada tiap stasiun diperoleh 5 Famili (Verbenaceae, Rhizophoraceae, Areaceae, Sonneratiaceae dan Meliaceae) dengan 9 jenis yaitu Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandra, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, R.mucronata, R. stylosa, Sonneratia alba dan Xylocarpus granatum. Khsusnya Nypa frutincans hanya ditemukan di Desa Goeng, hal ini karena adanya aliran sungai yang menyebabkan jenis ini dapat tumbuh. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 39.
96
Zonasi hutan mangrove setiap stasiun pengambilan sampel umumnya sama mulai dari arah laut ke darat yaitu Rhizophora sp, Bruguiera sp, dan Ceriops sp, Avicennia sp, Sonneratia sp, Xylocarpus sp dan Nypa fruticans. Jenis substrat yang ditemukan yaitu pasir, lumpur, lumpur berpasir dan pasir bercampur pecahan karang. Fauna yang ditemukan terdiri dari fauna lautan berupa gastropoda dan fauna daratan yaitu burung elang, burung bangau dan biawak. Kondisi hutan mangrove di wilayah ini pada tiap stasiunnya masih baik, namun di beberapa tempat seperti di Ibu Kota Kecamatan sangat memprihatinkan karena mangrove dimanfaatkan sebagai kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual, selain itu lahan mangrove juga dikonversi menjadi lahan pertanian dan pengembangan kota kabupaten. Namun sekarang penebangan mangrove sebagai kayu bakar oleh masyarakat hanya dilakukan di zona belakang sedangkan di zona depan sudah dilarang oleh pemerintah. Ketebalan hutan mangrove berkisar antara 30–100 meter. Identifikasi hutan mangrove yang dilakukan di Wdda Tengah dan Weda diperoleh hasil distribusi kelas ukuran mangrove seperti yang terlihat pada Gambar 20, 21,dan 22.
Gambar 20 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Goeng
Gambar 21 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Pulau Dua
Gambar 22 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Kobe
97
Gambar 20, 21 dan 22 menunjukkan bahwa komunitas vegetasi hutan mangrove yang ditemukan pada ketiga lokasi di Kecamatan Weda terdiri dari 9 spesies dengan total 1.701 individu, yang terdiri dari 187 individu kategori pohon, 468 individu kategori anakan dan 1.046 individu kategori semaian, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa regenerasi hutan mangrove sangat tinggi di Kecamatan Weda. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa regenerasi hutan mangrove sangat tinggi karena dari 1.701 individu kategori pertumbuhan pohon 10,99%, kategori anakan 27,51% dan kategori semaian 61,49%. 5.2.3 Ekosistem lamun Kecamatan Weda dan Weda Tengah ditemukan pesies lamun yang berjumlah 8 spesies, masing-masing 5 spesies dari famili Potamogetonaceae serta 3 spesies yang tergolong dalam famili Hydrocaritaceae Hamparan lamun di wilayah ini ditemukan secara luas dan berasosiasi dengan terumbu karang serta hutan mangrove. Hamparan yang luas tersebut tersebar mulai dari wilayah Nusliku sampai Kobe, spesies yang umumnya ditemukan yaitu Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. 5.2.4 Ekosistem terumbu karang Kecamatan Weda dan Weda Tengah ditemukan bentuk pertumbuhan (lifeform) sebagai berikut : Acropora digitate (ACD), Acropora submassive (ACS), Acropora tabulate (ACT), Coral massive (CM), Coral submassive (CS), Coral heliopora (CHL), Soft coral (SC), Turf algae (TA), Other (OT), Algae, Dead coral (DC), dan Rubbles. 5.3 Kawasan Kecamatan Weda Selatan 5.3.1 Ekosistem pulau-pulau kecil Pulau Mof/Mofi secara administratif wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Weda Selatan. Secara astronomis Pulau Mof/Mofi terletak pada 127º55.20.6" BT dan 0º10.30.8" LU. Pulau Mof/Mofi terletak di Kecamatan Weda Selatan dengan luas pulau 45.71 Ha. Pulau Mof/Mofi dapat ditempuh dengan kapal motor tempel selama kurang lebih 150 menit dari Pelabuhan Weda (kecepatan rata-rata 6-7 knot dan kondisi arus agak berombak). Nama yang resmi digunakan secara nasional yaitu Pulau Mof, sedangkan nama yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat adalah Pulau Mofi yang berasal dari Bahasa Weda yang memiliki arti Pulau Tanjung Putus. Sejarah penamaan pulau ini didasarkan pada cerita masyarakat setempat yang menyebutkan bahwa pulau tersebut dulunya merupakan sebuah tanjung, tetapi karena peristiwa alamiah (terjangan ombak/gelombang) tanjung tersebut terpisah dari daratan induknya (Pulau Halmahera). Oleh karena hal tersebut, maka masyarakat setempat menyebutnya Pulau Mofi. Jenis pantai di Pulau Mof/Mofi yaitu pantai lumpur berpasir. Vegetasi yang dominan yaitu pohon bakau.
98
5.3.2 Ekosistem mangrove Distribusi hutan mangrove di wilayah ini tidak merata dan terputus-putus di wilayah pesisirnya dan umumnya berada pada daerah yang terlindung. Hasil kajian di setiap stasiun pengamatan diperoleh jenis mangrove terdiri dari 4 Famili yaitu Rhizophoraceae, Myrsinaceae, Combretaceae dan Sonneratiaceae dengan jenis yang umumnya ditemukan yaitu Aegiceras corniculatum, Bruguiera gymnorrhiza. B. cylindrica, Rhizophora apiculata, R. mucronata dan Sonneratia alba. Khususnya jenis Bruguiera cylindrica dan Aegiceras corniculatum hanya ditemukan di Desa Loleo dengan jenis substrat lumpur berpasir. Zonasi yang terbentuk adalah zona depan ditumbuhi Rhizophora sp, zona tengah oleh Bruguiera sp, Aegiceras sp dan zona belakang oleh Sonneratia sp. Ketebalan hutan mangrove berkisar antara 50-100 m. Fauna yang ditemukan terdiri dari fauna lautan berupa gastropoda (bia kodok dan siput) dan fauna daratan yaitu burung elang, burung bangau. Keberadaan mangrove di Teluk Weda disajikan pada Gambar 23 dan 24. Tingkat pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat selain sebagai kayu bakar juga lahannya dikonversi menjadi jalan penghubung antar desa dan ini terjadi di Desa Loleo.
Gambar 23 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Desa Loleo
Gambar 24 Distribusi kelas ukuran spesies mangrove di Tanjung Tilope Gambar 23 dan 24 tersebut menunjukkan bahwa komunitas vegetasi hutan mangrove yang ditemukan Kecamatan Weda Selatan terdiri dari 6 spesies dengan total 1.600 individu, yang terdiri dari 112 individu dikategorikan pohon, 344 individu anakan dan 1.144 kategori semaian. Berdasarkan data tersebut dapat
99
dikatakan bahwa regenerasi hutan mangrove sangat tinggi karena dari 1600 individu kategori pertumbuhan pohon 7,0%, kategori anakan 21,5% dan kategori semaian 71,5%. 5.3.3 Ekosistem lamun Spesies lamun yang ditemukan di Kecamatan Weda Selatan, terdiri dari 6 spesies yang terdistribusi pada famili Potamogetonaceae sejumlah 4 spesies dan famili Hydrocaritaceae sebanyak 2 spesies. Di lokasi Loleo ditemukan 6 spesies yang teridiri dari Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan Thalassia hemprichii. Komunitas lamun di wilayah ini menempati ruang yang cukup luas dan berada diantara komunitas mangrove dan terumbu karang dengan tipe substrat terdiri dari pasir berlumpur, pasir bercampur hancuran karang mati. Sendangkan di Tjg. Tilope hanya ditemukan 2 spesies yang terdiri dari E. acoroides dan T. hemprichii dengan tipe substrat terdiri dari lumpur berpasir dan bongkahan karang mati. 5.3.4 Ekosistem terumbu karang Kecamatan Weda Selatan ditemukan bentuk pertumbuhan (lifeform) sebagai berikut: Acropora digitate (ACD), Acropora submassive (ACS), Coral massive (CM), Coral submassive (CS), Coral heliopora (CHL), Coral millepora (CME), Sponge (SP), Turf algae (TA), Dead coral (DC), dan Rubbles. 5.4 Deliniasi dan kesesuaian kawasan konservasi Perencanaan pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sangat diperlukan dalam meningkatkan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan di kawasan Teluk Weda. Sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil tersebut yang terdiri dari ekosistem pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Hasil deliniasi di kawasan Teluk Weda maka dapat ditentukan kawasan konservasi berdasarkan kriteria yang disajikan pada Lampiran 1 dan 2, sedangkan pewarnaan untuk menetapkan kawasan konservasi, zonasi sesuai peruntukkan dan kesesuaian kawasan, disajikan pada Lampiran 34. Adapun luasan kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan konservasi di Teluk Weda terbagi dalam empat kawasan yaitu, kawasan Weda Selatan, Weda, Weda Tengah dan Weda Utara. Luasan zonasi pada kawasan konservasi dari masing-masing kawasan disajikan pada Tabel 41. Peta deliniasi kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 5. Deliniasi kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan penetapan kawasan konservasi menunjukkan bahwa empat zonasi yang terbentuk dapat dikategorikan sebagai kawasan konservasi yang terdiri dari sub zona taman pesisir dan taman pulau kecil. Sub zona taman pesisir terdapat di kawasan Weda Selatan, sub zona suaka pesisir terdapat di Weda Tengah, sub zona taman pulau kecil terdapat di kawasan Weda dan Weda Utara. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sub zona taman pesisir di kawasan Weda Selatan memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan wilayah pesisir yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian,
100
pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; b. mempunyai luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pesisir yang berkelanjutan; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sub zona suaka pesisir di kawasan Weda Tengah memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan wilayah pesisir yang menjadi tempat hidup dan berkembangbiaknya (habitat) suatu jenis atau sumberdaya alam hayati yang khas, unik, langka dan dikhawatirkan akan punah, dan/atau merupakan tempat hidup bagi jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya memelukan upaya perlindungan, dan/atau pelestarian; b. mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di wilayah pesisir yang masih asli dan/atau alami; c. mempunyai luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumberdaya ikan yang perlu dilakukan upaya konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan d. mempunyai kondisi fisik wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan dan/atau mampu mengurangi dampak bencana. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sub zona taman pulau kecil di kawasan Weda dan Weda Utara memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan pulau kecil yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; b. mempunyai luas wilayah pulau kecil/gugusan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pulau kecil yang berkelanjutan; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. Hasil pemetaan kawasan konservasi kemudian dilakukan penzonasian sesuai peruntukan dengan menentukan zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona lainnya (perikanan berkelanjutan). Peta hasil zonasi kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 6,7,8, dan 9. Tabel 41 Luasan zonasi pada kawasan konservasi hasil deliniasi Kawasan No 1 2 3
Zona Inti Pemanfaatan terbatas Perikanan berkelanjutan Total
Weda Utara
Weda Tengah
Weda Ha
Weda Selatan
Ha
%
Ha
%
%
Ha
%
79,44
13,39
58,33
8,04
383,37
11,42
288,34
19,66
59,05
9,95
79,72
10,98
782,75
23,30
219,39
14,96
454,87
76,66
587,90
80,98
2.192,96
65,28
958,66
65,38
593,36
100
725,95
100
3.359,08
100
14.466,39
100
101
Salah satu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk kegiatan ekowisata bahari (selam, snorkeling, pancing, pantai, mangrove dan lamun) dan mina bahari (keramba jaring apung dan budidaya rumput laut), sehingga kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan ekominawisata bahari dapat meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat yang berada di Teluk Weda. 5.4.1 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata selam Ekowisata selam merupakan ekowisata yang banyak diminati oleh wisatawan manca Negara dan wisatawan Lokal. Pemandangan alam bawah laut menjadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, untuk itu ekowisata perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan wisatawan. Salah satu sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata selam yaitu adanya obyek wisata berupa ekosistem terumbu karang. Terumbu karang yang terdapat di Teluk Weda memiliki keberagaman mulai dari kedalaman 3 meter sampai 10 meter. Tiap titik kedalaman memiliki ciri khas tertentu yang merupakan suatu tantangan tersediri bagi penyelam. Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dari dalam dari 50-70 meter. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman 25 meter atau kurang (Nybakken 1988). Secara visual, perairan Teluk Weda merupakan perairan yang dipenuhi hamparan gugusan karang dan gugusan karang berpasir. Kondisi ini menyebabkan untuk keluar dan masuk ke Kota Weda dari arah laut memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti alur antara pulau maupun antar gugusan karang sehingga armada laut yang digunakan tidak kandas di gugusan karang dan atau pada gugusan karang berpasir. Hasil olahan citra Landsat 7ETM untuk wilayah Teluk Weda diperoleh jumlah gugusan karang sebanyak 85 gugus dengan luas keseluruhan 1.773,41 Ha, sedangkan jumlah gugusan karang berpasir sebanyak 18 gugus dengan luas keseluruhan 418,05 Ha. Ekowisata dengan kegiatan selam pada dasarnya menawarkan kondisi alam bawah air seperti keberadaan terumbu karang dan ikan karang serta parameter dinamika perairan yang menunjang berlangsungnya kegiatan penyelaman. Dari 19 lokasi penyelaman untuk mengetahui kondisi terumbu karang dengan metode lifeform pada lokasi penelitian yang terdiri masing-masing 1 lokasi untuk wilayah Kecamatan Weda Selatan dan Kecamatan Weda, 10 lokasi mewakili wilayah kecamatan Weda Tengah dan 7 lokasi untuk wilayah kecamatan Weda Utara. Hasil penyelaman tersebut dijumpai sebanyak 13 jenis karang yang terdiri dari 5 jenis karang kelompok Hard Corals dari jenis Acropora dan 8 jenis dari kelompok Hard Corals Non Acropora. Kelompok karang jenis Hard Corals terdiri dari formasi Acropora branching (ACB), A. tabulate (ACT), A encrusting (ACE), A. submassive (ACS) dan A. digitate (ACD) sedangkan dari kelompok Hard Corals Non Acropora terdiri dari formasi jenis Coral Branching (CB), Coral Massive (CM), Coral Encrusting (CE), Coral Submassive (CS), Coral Foliose CF), Coral Mushroom (CMR), Coral Millepora (CME) dan Coral Heliopora CHL. Selama penyelaman dijumpai pula jenis kelompok yang bersimbiosis dengan terumbu karang yakni kelompok Algae (5 formasi), komponen fauna serta komponen abiotik (sand dan rubbles).
102
Tabel 42 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di Teluk Weda No
Lokasi
1
Tanjung Loleo1)
2 3 4 5 6 7
2)
Nusliku Tanjung Kobe3) Lelilef3) Lelilef3) Lelilef3) Tanjung Ulie3)
8 9 10 11 12 13 14
Tanjung Ulie3) Tanjung Botepu3) Tanjung Botepu3) Tanjung Botepu3) Tanjung Botepu3) Muara Sagea4) Muara Sagea4)
15 16 17 18 19
Desa Fritu4) Desa Fritu4) Pulau Tete4) Pulau Gume4) Messa4)
Hard Coral (%) 14,81
Non Hard Coral (%) 33,33
7,14 12,20 10,20
26,19 21,95 26,53
0,12 6,52 1,60
Dead Coral (%) 24,07 23,81
Algae (%) 5,56 0,00 0,00
Other Fauna (%) 11,11 19,05 29,27
Abiotic (%) 11,11
29,62 42,32 24,88
17,07 22,45 0,00 11,14 4,20
8,16 16,20 8,74 23,60
18,37 52,68 16,12 36,72
23,81 19,51 14,29 0,00 14,80 8,68
1,29 3,96 0,76 9,98 2,22 1,38 -
4,74 20,18 6,86 22,50 32,14 57,36 47,20
0,23 24,52 2,42 0,98 0,00 0,68 6,00
22,56 28,72 23,30 24,34 23,64 26,60 7,54
4,89 11,60 5,94 42,20 28,56 6,66 36,56
15,97 11,02 60,72 0,00 11,92 6,90 2,30
5,30 5,96 14,58 14,52 17,39
29,76 35,40 18,75 11,29 23,91
6,32 4,96 25,00 17,74 26,09
2,70 11,88 4,17 11,29 6,52
23,96 17,62 22,92 22,58 15,22
31,96 19,38 14,58 22,58 10,87
Keterangan ; 1) = Kecamatan Weda Selatan; 2) Kecamatan Weda; 3) = Kecamatan Weda Tengah 4) = Kecamatan Weda Utara
Hasil perhitungan persen penutupan karang hidup di kedalaman 3 – 10 m menunjukkan kondisi terumbu karang di semua lokasi penyelaman berada dalam kategori rusak/kritis. Hal tersebut akibat jumlah persentase kategori tutupan hard coral < 25 % (Tabel 42) dengan nilai kisaran penutupan karang sebesar 0,12 – 17,39 % (rata-rata 7,22%). Kondisi yang diperlihatkan tersebut menggambarkan bahwa pada saat pengamatan persentase karang hidup lebih sedikit. Dengan memperhatikan nilai persentase komponen hard coral dan komponen non hard coral dengan persentase penutupan berkisar 4 – 57 % (rata-rata 27,10 %) maka secara kumulatif persentase penutupan karang di Teluk Weda berada masih dalam kategori layak untuk mel;akukan penyelaman sesuai DKP (2004) yang menyatakan bahwa penutupan karang 23 % masih layak untuk untuk melakukan kegiatan penyelaman. Kondisi terumbu karang tersebut di atas dalam kategori rusak juga didukung oleh rendahnya keragaman ikan karang (H < 1) yang dijumpai pada 12 titik pengamatan Ikan karang indikator dari famili Chaetodontidae dijumpai total 19 jenis ikan indikator. Berdasarkan kehadiran jumlah individu ikan karang indikator yang teramati berada dalam kategori cukup dan baik sekali kecuali pada lokasi Tanjung Ulie (V) dengan kategori kurang. Kondisi kehadiran ikan indikator dengan kategori cukup tersebut juga diperlihatkan pada kondisi keberadaan ikan target yang dalam kategori cukup (1
2). Ikan karang dalam kelompok ikan target yang dijumpai selama penyelaman terdiri dari 17 sub kelompok (famili)
103
dengan 163 spesies terdiri dari famili Acanthuridae (18 jenis), Siganidae (7 jenis), Mullidae (4 jenis); Lutjanidae (10 jenis), Lethrinidae (4 jenis), Scaridae (19 jenis)l, Kyposidae (1 jenis), Caesionidae (10 jenis), Labridae (27 jenis), Nemipretidae (4 jenis), Pomacanthidae (5 jenis), Pomacentridae (26 jenis), Carangidae (2 jenis), Serranidae (19 jenis), Holocentridae (2 jenis), Balistidae (4 jenis) dan Apogonidae (1 jenis). Kehadiran jumlah spesies ikan indikator terhadap jumlah individu menunjukkan nilai kelimpahan individu ikan target dalam kategori cukup (1000 – 2000 ekor) hingga tinggi (> 2000 ekor) kecuali pada lokasi Tanjung Ulie dalam kategori rendah (< 1000 ekor). Tabel 43 Jumlah individu, spesies dan indeks keragaman ikan indikator dan ikan target Ikan Indikator Ikan Target No Lokasi Jumlah Jumlah H Individu spesies Individu spesies 1 Lelilef (VI)1) 67 9 0,83 4222 63 2 Lelilef (VI) 1) 175 13 0,94 4031 88 1) 3 Tanjung Ulie (V) 116 12 0,99 1661 62 1) 4 Tanjung Ulie (V) 17 4 0,41 754 36 1) 5 Tanjung Botepu III) 44 8 0,68 3166 58 6 Tanjung Botepu III) 1) 74 11 0,92 1160 52 1) 7 Tanjung Botepu IV) 98 8 0,74 2021 39 1) 8 Tanjung Botepu IV ) 57 7 0,64 2259 45 2) 9 Muara Sagea (II) 184 11 0,84 3888 86 10 Muara Sagea (II) 2) 178 13 0,88 3101 76 2) 11 Desa Fritu (I) 42 7 0,66 2591 45 2) 12 Desa Fritu (I) 41 7 0,71 4384 64 Keterangan ;1) = Kecamatan Weda Tengah 2) = Kecamatan Weda Utara
H 1,361 1,515 1,403 1,126 1,389 1,355 1,104 1,109 1,482 1,418 1,101 1,359
Dengan memperhatikan kondisi terumbu karang serta kehadiran ikan indikator dan ikan target pada komunitas karang (Tabel 43) , maka secara umum menggambarkan bahwa pada lokasi Teluk Weda relatif kecil untuk menjadi lokasi penyelaman. Sebagai perairan teluk maka secara parsial wilayah Teluk Weda merupakan perairan dangkal hingga beberapa 1000 meter kearah laut. Jarak berikutnya merupakan wilayah dengan topografi berbentuk slope yang berhadapan langsung dengan perairan pasifik, pada lokasi ini banyak dijumpai gugusan karang. Spot-spot karang dan kehadiran ikan indikator dan ikan target dalam kondisi yang baik untuk pengembangan ekowisata selam. Kegiatan penyelaman yang dilakukan pada 25 titik penyelaman (Dive site) di teluk weda oleh Weda Resort (2012) memperlihatkan kondisi karang dominan pada kategori baik (good) hingga sangat baik (exccelent). Persentase life coral cover (%) karang kategori kelompok acropora rata-rata 28,9 % dengan kisaran minimum dan maksimum sebesar 5,5 % dan 61,2 % sedangkan untuk kelompok kategori non acropora rata-rata persentase life coral cover sebesar 36,3 % dan nilai minimum dan maksimumnya sebesar 8,1% dan 93,7 %. Kondisi persentase karang ini secara umum memenuhi kriteria untuk melakukan penyelaman menurut DKP (2004).
104
Kondisi karang dalam kategori sangat baik (excellent) dan baik (good) umumnya dijumpai pada terumbu karang di bagian selatan Teluk Weda. Kondisi sangat baik (4 lokasi) dijumpai pada terumbu karang di Tanjung Putus-Putus, Loleo dan pada gugusan karang Elmos bagaian barat daya dan bagian tenggara. Kondisi tutupan karang dalam kategori kondisi baik dibagian selatan Teluk Weda dijumpai pada Tanjung Putus-Putus bagian barat, Loleo bagian timur (2 lokasi). Kondisi karang kategori baik juga dijumpai pada perairan bagian utara dan tenggara Teluk Weda utamanya pada perairan di bagian timur laut Sungai Kobe dengan gugusan karang Kobe (5 lokasi) yakni depan pantai pasir putih, Pulau Dua, gugusan karang Kobe dan bagian utara gugusan karang Kobe dan juga sebagai lokasi sering dijumpainya ikan hiu endemik Halmahera (Hemiscyllium halmahera). Kondisi spesifik wilayah Teluk Weda diperlihatkan pada perairan utara Teluk Weda, antara Pulau Tete dan gugusan karang Kobe merupakan areal ruaya hiu endemik (Hemiscyllium halmahera). Dengan dijumpainya hiu endemik (keunikan) pada perairan Teluk Weda maka kriteria kegiatan penyelaman dapat dilakukan sesuai Permen KP RI Nomor 02 Tahun 2009 untuk kebutuhan konservasi.
Gambar 25 Hiu Endemik Halmahera (Hemiscyllium halmahera) Sumber : Malut Pos 13 Agustus 2013 Selain keberadaan terumbu karang, juga terdapat parameter lain yang turut mendukung ekowisata selam. Parameter tersebut antara lain : jenis ikan karang, kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life-form, suhu perairan, salinitas, kedalaman karang dan kecepatan arus. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata selam disajikan pada Gambar 26. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 314,23 Ha, sesuai bersyarat (SB) adalah 174,61 Ha dan tidak sesuai (TS) adalah 213,71 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata selam. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata selam di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 10, 11, 12 dan 13.
105
Gambar 26 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam 5.4.2 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata snorkeling Sama halnya dengan ekowisata selam, salah satu ekowisata yang menjadikan terumbu karang serta faktor fisik perairan sebagai obyek wisata yaitu ekowisata snorkeling atau skin diving. Ekowisata snorkeling merupakan salah satu jenis aktifitas yang dikenal dengan wisata minat khusus. Wisata minat khusus adalah wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai suatu obyek atau kegiatan yang dapat dilakukan di lokasi daerah tujuan wisata tersebut (DKP 2004). Snorkeling merupakan kegiatan menikmati keindahan bawah laut yang mungkin dapat dilakukan oleh hampir semua orang. Kegiatan snorkeling hanya dapat menikmati panorama bawah laut dari lapisan permukaan air saja. Keterbatasan dalam berkegiatan snorkeling adalah perairan yang terlalu dalam. Semakin dalam perairan maka letak terumbu karang, ikanikan karang dan objek bawah laut lainnya akan semakin sulit dinikmati oleh para wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling. Ekowisata snorkeling ini memiliki perbedaan dalam menentukan parameter kesesuaian ekowisata snorkeling dibandingkan dengan wisata selam. Kegiatan ekowisata snorkeling yang dilakukan pada perairan dangkal, maka kondisi bioekologi pada perairan dangkal menjadi indikator utama dalam membangun kriteria pemanfaatan ekowisata snorkeling di Teluk Weda. Selain keberadaan terumbu karang, parameter yang turut menentukan kesesuaian ekowisata snorkeling antara lain: kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman karang dan lebar hamparan datar karang. Keberadaan terumbu karang, jenis tutupan karang hidup, jenis life-form dan jenis ikan karang telah diuraikan pada bagain kesesuaian pemanfaatan ekowisata selam. Dari 85 jumlah gugusan karang dan sebanyak 18 gugusan karang berpasir yang keduanya menempati ruang sebesar 2191,46 Ha dari luas perairan Teluk weda seluas 115.428,64 Ha (1,9 %). Pada areal seluas tersebut terdapat terumbu karang dengan jenis tutupan karang hidup yang bervariasi dengan kisaran 0,12 – 17,39 % untuk komponen Hard coral (Tabel 44), sedangkan rata-rata persentase tutupan karang dijumpai pada komponen non hard coral (27,10 %) dan dari
106
komponen fauna lainnya (22,21 %). Adapun uraian kondisi ikan karang baik ikan indikator maupun ikan target disajikan pada Tabel 46. Jenis life-form yang dijumpai di wilayah Weda Selatan pada topografi dasar perairan bertebing di kedalaman 1 – 18 m di dominasi oleh kelompok soft coral dan coral masive dengan komponen penyusun kelompok dead coral oleh material patahan karang dan karang mati mencapai persentase tutupan hingga 60%. Pada perairan weda utara dengan bentuk topografi berbentuk slope yang jarak dari daratan sekitar 200 m dan pada kedalaman hingga 10 m dijumpai Jenis life-form dominan masih disusun oleh kelompok soft coral dan coral masive dengan komponen penyusun kelompok dead coral oleh material patahan karang dan karang mati dan substart dasar perairan disusun oleh substrat pasir berkarang. Untuk jenis Jenis life-form pada perairan Weda tengah tidak berbeda dengan kondisi yang dijumpai pada kedua lokasi sebelumnya namun perbedaanya pada jenis topogfi bertebing jumpai pada jarak sekitar 1000 m dari daratan. Tabel 44 Rekapitulasi persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di Teluk Weda Non Dead Other Hard Algae Abiotic Nilai Coral Fauna Coral (%) (%) (%) (%) (%) Maksimum 17,39 57,36 26,09 28,72 52,68 60,72 Minimum 0,12* 4,74 0,00 0,00 4,89 0,00 Rata-rata 7,22 27,10 11,46 13,45 22,21 15,81 Keterangan : * nilai minimum sebenarnya dijumpai pada muara Sungai Kobe Hard Coral (%)
Kecerahan perairan merupakan parameter yang juga sangat penting dalam penentuan zona wisata snorkeling. Perairan yang jernih tentunya akan menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut. Selain akan memudahkan para wisatawan untuk menikmati dan mengagumi semua keindahan panorama yang ada di bawah laut seperti keindahan terumbu karang, ikan karang dan biota-biota laut lainnya. Kecerahan perairan dapat juga dijadikan sebagai indikasi bahwa ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut hidup dengan baik. Kecerahan yang tinggi mengartikan bahwa padatan tersuspensi di perairan tersebut sangat minim, sehingga partikel-partikel yang menempel di terumbu karangpun sangat minim. Keadaan ini membuat karang dengan leluasa melakukan proses fotosintesis untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Hasil pengukuran kecerahan dengan sechi disk dilokasi penelitian berkisar 63 - 100 % pada kedalaman perairan 1 m – 32,6 m. Umumnya kecerahan perairan di bagian utara lokasi penelitian lebih keruh (63 – 71 %) dibandingkan di bagian selatannya (< 72 %), akibat masukan run-off Sungai Kobe dan aktifitas penambangan nikel di pesisir Pantai Kobe. Kecerahan rata-rata hasil pengukuran di bagian utara Teluk Weda sebesar 68 % (10,2 m) dan di bagian selatannya bernilai 80 % (12,2 m). Nilai kecerahan rata-rata tersebut memenuhi kriteria untuk melakukan kegiatan berenang atau snorkeling menurut Purbani (1999) dalam Bahar et al. (2006) yakni kecerahan > 5 m demikian pula untuk kriteria kecerahan menurut kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk wisata bahari dengan kecerahan > 8 m.
107
Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penunjang kegiatan snorkeling terutama untuk untuk keselamatan para wisatawan. Arus yang lebih lemah lebih memungkinkan pandangan terhadap obyek dasar perairan maupun ikan karang lebih optimum akibat minimnya tingkat pengadukan. Selain itu kecepatan arus yang lebih kuat memerlukan tenaga yang lebih besar saat melakukan snorkeling. Kecepatan arus yang terukur saat penelitian berkisar 0,07 – 0,49 m/detik dengan kecepatan arus dominan rata-rata 0,26 m/detik. Kecepatan arus terlemah dijumpai pada perairan bagian dalam Teluk Weda dan kecepatan arus maksimum dijumpai pada perairan antara pulau-pulau kecil di dalam Teluk Weda. Dari kecepatan arus tersebut menunjukkan bahwa faktor kecepatan arus sebagai penunjang ekoswisata snorkling sangat sesuai, Purbani (1999) dalam Bahar et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan arus yang aman untuk berenang < 0,4 m/detik. Kedalaman 3 hingga 10 m merupakan kedalaman penyelaman yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi tutupan karang di perairan Teluk Weda. Kedalaman penyelaman umumnya lebih dangkal pada perairan bagian tengah teluk weda dibandingkan pada bagian utara dan selatannya. Kondisi tersebut diperlihatkan pada lokasi tubir yang lebih dekat ke arah pantai pada perairan bagian utara dan selatan Teluk Weda dibandingkan pada bagian tengah. Kedalaman penyelaman 3 – 10 m tersebut akan mengalami perubahan kedalaman akibat pergerakan pasang surut dengan tunggang air pasang surut sebesar 1,9 m. Dari perubahan kedalaman tersebut ( 1,9 m) masih memenuhi kriteria kategori cukup dan cukup sesuai untuk melakukan penyelaman dan snorkeling (Bakosurtanal 1995 dan Purbani 1999 dalam Bahar et al. 2006) yang menyatakan bahwa kedalaman ideal menyelam dan snorkeling pada kedalaman 6 – 18 m, sedangkan kedalaman minimum yang masih diperbolehkan untuk snorkeling pada kedalaman 1 – 3 m (Yulianda et al. 2010) Luas hamparan datar karang yang teranalisis pada Citra Landsat 7 ETM diperoleh 85 gugusan karang menyebar di perairan Teluk Weda. Dari luasan tersebut selanjutnya dengan pendekatan persamaan lingkaran diperoleh diameter atau lebar hamparan datar karang. Nilai lebar hamparan ini diartikan sebagai nilai lebar rata-rata dari sisi manapun dari bentuk hamparan karang yang tidak beraturan. Dari tahapan konversi yang dilakukan diperoleh panjang hamparan karang maksimum dan minimum serta-ratanya masing–masing sepanjang 1955,85 m, 53,63 m dan 383,34 m. Lebar hamparan karang < 100 m dijumpai pada 5 gugusan karang (4,7 %), untuk panjang hamparan 100 – 500 m terbentuk pada 59 gugusan karang (69,4 %) dan sisanya 22 gugusan karang merupakan gugusan karang dengan lebar hamparan > 500 m (25,9 %). Makin lebar hamparan karang maka makin leluasa untuk melakukan snorkling pada satu gugusan karang, dengan demikian lebar karang > 100 sesuai untuk melakukan kegiatan snorkeling. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata snorkling dengan kriteria tutupan karang hidup, jenis life-form, kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman karang dan lebar hamparan datar karang disajikan pada Gambar 27.
108
Gambar 27 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 408,88 Ha, sesuai bersyarat (SB) adalah 142,50 Ha dan tidak sesuai (TS) adalah 150,18 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata snorkling. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata snorkeling di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 14,15,16 dan 17. 5.4.3 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing Pemancingan ikan di Teluk Weda merupakan kegiatan yang umum dilakukan oleh nelayan setempat, baik untuk kebutuhan hidup maupun untuk kebutuhan ekonomi. Sedangkan pemancingan dalam bentuk ekowisata merupakan kegiatan dalam bentuk kesenangan yang dilakukan oleh penggemar pancing. Adapun parameter kesesuaian ekowisata pancing yaitu kelompok jenis ikan, kecepatan arus, tinggi gelombang, kecerahan perairan, suhu perairan, salinitas, kedalaman perairan serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. Hasil penelitian ikan karang untuk kelompok ikan target diperoleh sebanyak 164 spesies dari 17 famili (Tabel 43) dengan 5 peringkat kehadiran spesies terbanyak berturut-turut dari famili Labridae (27 jenis), Scaridae dan Serranidae masing-masing 19 jenis, Acanthuridae (18 jenis) dan famili Lutjanidae dan Caesionidae masing-masing 10 jenis. Hasil perhitungan kelimpahan individu ikan target (Dartnall and Jones 1986) umumnya berada dalam kategori cukup (1000 – 2000 ekor) hingga tinggi (> 2000 ekor) kecuali pada lokasi Tanjung Ulie dalam kategori rendah (< 1000 ekor). Berdasarkan data hasil penelitian dan merujuk dan memodifikasi kriteria Dartnall and Jones (1986) terhadap jumlah spesies dan jumlah individu ikan dapat dikatakan bahwa jumlah spesies ikan target sangat sesuai (< 150 spesies) sedangkan untuk jumlah invidu ikan target dalam kategori sesuai (< 1000 – 2000 ekor) dan sangat sesuai (< 2000 ekor). Kecepatan arus dan tinggi gelombang sangat penting dalam keberhasilan dan keselamatan pemancingan (Sugiharti 2000). Kondisi dimaksud bahwa makin besar kecepatan arus dan gelombang maka ikan target akan berlindung dan hasil pemancingan akan makin sedikit serta keamanan sekaligus juga kelamatan,
109
kenyamanan bagi wisatawan akan terganggu. Dari data pengukuran kecepatan arus berkisar 0,07 – 0,49 m/detik dengan kecepatan arus rata-rata 0,26 m/detik sedangkan tinggi gelombang signifikan berkisar 0,7 – 4,8 m. Kecepatan arus yang diperoleh menunjukkan parameter kecepatan arus sesuai untuk kegiatan minawisata pancing sesuai kriterian Polanunu (1998), untuk parameter tinggi gelombang berada dalam kategori sesuai bersyarat dengan tinggi gelombang berkisara 50 – 100 cm (Sugiharti 2000). Tinggi gelobang signifikan > 100 cm terjadi pada musim timur sekaligus pada musim tersebut parameter kesesuaian untuk kegiatan minawisata pancing dalam kategori tidak sesuai. Parameter kecerahan perairan terhadap kegiatan ekowisata pancing erat kaitannya pada upaya identifikasi lokasi pemancingan, makin cerah perairan maka makin jelas obyek dasar perairan termasuk ikan target untuk dijadikan lokasi pemancingan. Dari hasil pengukuran kecerahan perairan Teluk Weda rata-rata sebesar 68 % dengan kedalaman penetrasi cahaya dapat mencapai kedalaman 10,2 m. Dengan nilai kecerahan tersebut berada pada kategori sesuai untuk kegiatan ekowisata pancing menurut Yulianda et al. (2010). Selain parameter kecerahan, parameter suhu dan salinitas juga memberi kontribusi pada kegiatan ekowisata pancing. Perubahan suhu dan salinitas secara langsung menyebabkan ikan target beruaya untuk mencari habitat yang sesuai dalam batas nilai toleransinya pada suhu dan salinitas perairan. Sumber variasi salinitas dapat berasal dari perubahan iklim baik secara lokal (hujan) maupun secara regional (ENSO). Salinitas perairan Teluk Weda dari hasil pengukuran berkisara 26 - 35o/oo dan disekitar muara sungai bersalinitas 00 – 15o/oo . sedangkan nilai suhu perairan hasil pengukuran berkisar 28,80 - 31,40oC. Berdasarkan kriteria parameter suhu untuk kegiatan minawisata pancing termasuk dalam kategori sesuai (25 - 28oC) dan sesuai 28 – 32oC sebagaimana yang disyarat oleh Nybakken (1988) dan Mulyanto (1992). Dari tiga kriteria kesesuaian ekowisata pancing untuk parameter salinitas oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) menunjukkan bahwa ketiga kriteria kesesuaian tersebut dijumpai pada perairan Teluk Weda. Kategori tidak sesuai dijumpai pada lokasi sekitar muara sungai dengan salinitas < 20 o/oo dan kategori sesuai dan sesuai bersyarat dijumpai di wilayah lainnya pada Teluk Weda. Penyebaran gugusan karang di perairan Teluk Weda menyebabkan variasi kedalaman perairan. Hamparan gugusan karang tersebut membentuk alur-alur antara gugusan karang dan antar pulau-pulau kecil. Berdasarkan peta batimetri teluk weda diketahui bahwa kedalaman perairan di bagian selatan dan utara teluk lebih curam dibandingkan pada bagian tengah dari Teluk Weda. Kedalaman 50 m umumnya terdapat pada jarak kurang dari 800 m dari garis pantai untuk wilayah utara dan selatan Teluk Weda sedangkan pada bagian tengah Teluk Weda berada pada jarak lebih dari 1 km dari garis pantai. Berdasarkan kriteria kesesuaian parameter kedalaman untuk ekowisata pancing oleh Sugiharti (2000), maka perairan bagian tengah Teluk Weda dalam kategori sesuai akibat luas areal kedalaman < 10 m lebih luas (jauh dari garis pantai) dibandingkan pada bagian utara dan selatan sekaligus wilayah tersebut berada dalam kategori sesuai bersyarat. Kesesuaian parameter jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya yang merujuk kriteria Bengen (2008) untuk kegiatan ekowisata pancing secara
110
keseluruhan wilayah Teluk Weda dalam kategori sesuai (jarak > 500 m) dan sesuai bersyarat (jarak 300 – 500 m). Keseuaian tersebut didasarkan pada : Alur pelayaran yang dilakukan masyarakat umumnya berada jauh dari garis pantai (< 1 km) dengan tujuan menghindari gelombang pantul dari pantai dengan profil pantai yang curam. Bentuk Teluk Weda yang relatif melengkung, maka alur pelayaran masyarakat berupaya memperpendek jarak tempuh dengan memotong jalur terdekat (tidak mengikuti profil pantai). Masyarakat mencegah kandasnya armada mereka dengan menghindar untuk melintas pada hamparan gugus karang dan pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam Teluk Weda. Alur masuk dan keluar pelabuhan Kota Weda telah ditetapkan, yaitu alur tersebut berada di bagian utara Pulau Kuleyevo (Pulau Imam) yang juga melintas di antara gugusan karang. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata pancing dengan kriteria Jenis ikan karang, Kecepatan arus, Tinggi gelombang, Kecerahan perairan, Suhu perairan, Salinitas, Kedalaman perairan Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 439,56 Ha, sesuai bersyarat (SB) adalah 114,25 Ha dan tidak sesuai (TS) adalah 71,78 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata pancing. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 18, 19, 20 dan 21. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing di Teluk Weda berdasarkan parameter kesesuaian ekowisata pancing sebesar 34,92 Ha juga terlihat pada jumlah jenis dan jumlah alat tangkap perikanan yang melakukan penangkapan ikan pada perairan Teluk Weda. Berdasarkan data alat tangkap (BPS 2012) jenis dan jumlah alat tangkap nelayan yang bermukin di sekitar perairan Teluk Weda yakni armada pancing tonda sebanyak 178 unit, rawai tetap sebanyak 111 unit dan 26 unit pancing lainnya, sedangkan jumlah bubu sebanyak 25 unit.
111
Dari alat tangkap tersebut digunakan oleh nelayan tetap sebanyak 1.836 jiwa dengan jumlah armada motor tempel 218 unit serta perahu tanpa motor sebanyak 899 unit. Dari kondisi tersebut menunjukkan keterlibatan masyarakat dalam membangun minawisata pancing sangat potensial. 5.4.4 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai Ekowisata pantai adalah tempat wisata yang banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun manca Negara. Pengembangan obyek wisata pantai yang mengacu pada ekowisata, pada dasarnya wisatawan diajak untuk menikmati keindahan alam sembari melakukan tindakan konservasi terhadap ekosistem di sekitar obyek wisata. Ekowisata pantai akan memberikan wisatawan berbagai pilihan atraksi wisata. Ekowisata pantai akan menambah wawasan wisatawan karena pembelajaran terhadap alam juga menjadi atraksi tersendiri dan juga memberikan pilihan lebih dengan atraksi wisata lain bagi wisatawan. Ekowisata membutuhkan peran aktif dari wisatawan itu sendiri, semakin banyak atraksi wisata dalam sebuah obyek wisata akan berdampak pada semakin menariknya suatu daerah pariwisata. Pantai yang banyak diminati adalah pantai yang landaian dan berpasir putih/hitam yang halus karena dibutuhkan untuk kegiatan berjemur, santai dan berenang dan juga untuk atraksi budaya. Parameter kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai adalah tipe pantai, lebar pantai, kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, pasang surut, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar. Pantai dengan substarat berpasir umumnya dijumpai pada daerah yang diapit oleh tanjung-tanjung di sepanjang pantai Teluk Weda. Profil pantai yang landai di Teluk Weda Bagian tengah umumnya pantai didominasi oleh substrat pasir berlumpur sedangkan pantai dengan substrat berpasir banyak dijumpai di bagian utara dan selatan Teluk Weda. Penyebaran pantai berpasir dalam bentuk spot-spot lebih banyak dijumpai pada bagian utara Teluk Weda dan oleh masyarakat dijadikan akses masuk dan keluar desa mereka, sedangkan pada bagian selatan Teluk Weda hamparan pasir juga terbentuk oleh konfigurasi pulaupulau kecil yang memicu pembentukan endapan pasir dan membentuk pantai karang berpasir. Jumlah spot-spot hamparan pantai berpasir di Teluk Weda sebanyak 13 tempat dengan luas keseluruhan 21,51 Ha, sedangkan hamparan karang pasir sebanyak 18 spot dengan luas total 65.33 Ha. Pada lokasi dijumpai pantai berpasir umumnya mempunyai tipe pantai agak landai dengan jarak kedalaman 50 m berada > 600 m dari garis pantai (slope atau kemiringan 4o – 7o sebelum tubir) baik di bagian utara maupun selatan Teluk Weda. Dari kriteria kesesuai ekowisata pantai untuk parameter tipe pantai oleh Wong (1998), Daby (2003) dan Yulianda et al. (2010) menunjukkan bahwa tipe pantai berpasir di Teluk Weda dalam kategori sesuai dengan tipe pantai agak landai. Kemiringan pantai berpasir berkisar 4o – 7o sebelum tubir dan tunggang pasang surut 1,9 m memberikan penambahan lebar pantai berkisar 2 – 3 m oleh pengaruh pergerakan pasang surut sekaligus memberi kategori kesesuaian pasang surut dalam kategori tidak sesuai akibat tunggang air > 0,5 m (Yulianda et al. 2010). pada bagian lain pemanfaatan pantai berpasir oleh masyarakat yang menjadikannyan sebagai lokasi tambat labuh perahu, penjemuran ikan serta
112
lapangan olah raga memberikan gambaran bahwa lebar pantai berpasir di Teluk Weda dalam kategori sesuai menurut kriteria Wong (1998) dan Yulianda et al. (2010). Kesesuaian lebar pantai tersebut akibat lebat pantai berpasir di Teluk Weda < 5 m. Variasi slope pantai berpasir terhadap perubahan kedalaman akibat pasang surut dengan tunggang air 1,9 m memberi penambahan kedalaman perairan pantai < 2 m sehingga parameter kesesuaian kedalaman perairan pantai dalam kategori sesuai bersyarat (kedalaman perairan < 2 – 5 m) menurut kriteria Wong (1998) dan Yulianda et al. (2010). Jumlah spot pantai berpasir (13 spot) lebih sedikit dibandingkan hamparan spot karang berpasir (18 spot). Luas total penyebaran spot karang berpasir terselut mencapai 65,33 Ha. Dari kondisi tersebut maka kesesuaian material dasar perairan terhadap ekowisata pantai termasuk dalam kategori sesuai bersyarat menurut kriteria Wong (1998) dan Yulianda et al. (2010). Kesesuaian tersebut akibat komposisi fraksi material dasar perairan didominasi oleh material pasir berkarang, kehadiran fraksi karang tersebut karena wilayah Teluk Weda merupakan teluk terbuka dan menghadap ke Laut Pasifik dan memberikan rambatan gelombang ke pantai yang cukup besar dan mengangkut material patahan karang. Parameter kecepatan arus dan kecerahan perairan dalam analisis kesesuai untuk ekowisata pantai merujuk pada kriteria Wong. (1998) dan Yulianda et al. (2010) yakni kategori sesuai jika arus < 34 cm/detik, sesuai bersyarat 34 – 51 cm/detik dan tidak sesuai jika arusnya > 51 cm/detik. Dari data pengukuran kecepatan arus diperoleh kecepatan rata-rata 0,26 m/detik (26 cm/detik) dan dalam kategori sesuai. Parameter kecerahan untuk ekowisata pantai dimaksudkan untuk memberikan kesan bagi wisatawan untuk dapat melihat dengan mudah obyek dasar perairan pantai. Hasil pengukuran kecerahan rata-rata perairan Teluk Weda sebesar 68 % memberikan makna bahwa kriteria parameter kecerahan untuk ekowisata pantai dalam kategori sesuai (> 50 %). Kemiringan pantai pada bagian ini adalah kemiringan pantai didepan pantai berpasir. Tipe kemiringan pantai di perairan bagian tengah dan selatan berbentuk tebing sedangkan pada bagian utara teluk Weda berbentuk slope. Dengan merujuk besaran sudut kategori tebing dan slope, dimana kategori tebing mempunyai kemiringan topografi berkisar 25 – 45o, sedangkan slope membentuk sudut < 25o. Dengan kondisi ini maka kesesuaian kemiringan pantai dalam kategori sesuai bersyarat menurut Wong (1991) dan Yulianda et al. (2010). Masyarakat kabupaten Halmahera Tengah umumnya memanfaatkan pantai sebagai bagian dari lahan perkampungan mereka sekaligus sebagai akses masuk dan keluar perkampungan. Kondisi tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan pantai dan darat diperuntukan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan mereka baik untuk aktifitas sosial (lahan terbuka) maupun untuk kebutuhan hidup (tanaman produksi). Hasil identifikasi jenis vegetasi yang dijumpai pada lahan sekitar perairan pantai dijumpai banyak tanaman produkstif di sekitar perairan pantai seperti kelapa, pisang, sukun dan lain-lain. Lahan terbuka diperlihatkan diarahkan untuk kegiatan menjemur hasil perikanan, sarana olah raga dan lokasi tambat labuh. Dari penutupan lahan pantai ini maka kesesuaian parameter penutupan lahan untuk ekowisata pantai termasuk kategori sesuai. Pada bagian lain lahan pantai berpasir dan pemenuhan kebutuhan masyarakat atas air tawar diperoleh dari daerah dalam perkampungan dalam bentuk sumur gali maupun dari sumber air sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh disekitar perkampungan. Dari
113
parameter ketersediaan air tawar untuk ekowisata pantai dalam kategori sesuai karena sumber air tawar berjarak < 1 km (Wong 1998, Yulianda et al. 2010 dan Supriharyono 2007). Berdasarkan hasil penelitian terhadap kehadiran biota perairan terutama kehadiran biota berbahaya (bulu babi dan ikan pari) menunjukkan bahwa hampir di setiap pantai berpasir yang terdapat gugusan karang dijumpai adanya bulu babi. Pola penyebaran bulu babi tersebut menyebar secara berkelompok pada bagian karang tertentu. Informasi kehadiran ikan pari pada perairan pantai diperoleh dari masyarakat yang menyatakan diwaktu tertentu pernah menangkap ikan pari di perairan pantai dekat pemukiman mereka. Kondisi ini menyebabkan kriteria kesesuaian ekowisata pantai dengan parameter biota berbahaya termasuk dalam kategori sesuai bersyarat. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai dengan parameter tipe pantai, lebar pantai, kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, pasang surut, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar disajikan pada Gambar 29.
Gambar 29 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 101,38 Ha, sesuai bersyarat (SB) adalah 49,75 Ha dan tidak sesuai (TS) adalah 100,16 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata pantai. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 22 dan 23. 5.4.5 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove Ekosistem mangrove di Indonesia memberikan kontribusi secara langsung bagi peningkatan pendapatan Negara. Produk yang diperoleh dari hutan mangrove dapat berupa kayu bakar, bahan bangunan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, bahan obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga,bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin serta tempat rekreasi (Puspitaningasih 2012).
114
Ekosistem mangrove sebagai tempat rekreasi atau wisata bagi wisatawan memberikan kontribusi yang baik untuk dikembangkan, oleh karena itu diperlukan analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove untuk menentukan kawasan yang dapat dijadikan kawasan ekowisata mangrove, baik untuk wisata jelajah maupun wisata burung (bird waching) serta hewan-hewan yang mendiami ekosistem mangrove yang menarik bagi wisatawan. Keberadaan ekosistem mangrove di wilayah Teluk Weda dijumpai hampir disepanjang pantai bagian tengah dari Teluk Weda dengan luas hamparan mangrove secara keseluruhan 1408,53 Ha. Jenis mangrove yang terdapat di perairan pantai Teluk Weda yakni 13 spesies dimana 7 spesies dominan berturutturut Bruguiera gymnorizha, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Xylocarpus granatum dan Ceriops decandra. Terdapat enam parameter yang mendukung kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove antara lain yakni ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, jenis biota, tinggi pasut, dan jarak kawasan lainnya. Dari hasil pengukuran ketebalan mangrove dari data citra landsat 7 ETM yang diukur dari daratan ke arah laut pada jarak maksimal vegetasi mangove diperoleh ketabalan minimum 11,35 m yang dijumpai pada mangrove di bagian selatan Teluk Weda dan ketebalan mangrove maksimum sejauh 1887,38 m yang dijumpai pada mangrove di sekitar desa Nusliku Teluk Weda bagian Utara. Dari 56 gugusan mangrove hanya 11 gugus yang mempunyai ketebalan < 100 m, 13 gugus mempunyai ketebalan 100 – 200 m dan sisanya > 200 m (22 Gugus). Dari ketebalan mangrove ini sebagai parameter kesesuaian wisata mangrove berada pada kelas sesuai menurut kriteria Ayoh (2004), Yulianda et al. (2010) dan Yaakup et al. (2006). Hasil perhitungan kerapatan mangrove (pohon) dan jumlah jenis mangrove pada lokasi sampel diperoleh jumlah jenis mangrove tertinggi dan kerapatannya terdapat pada mangrove di Desa Goeng (Kecamatan Weda) sebanyak 7 jenis dengan kerapatan 8 individu/100 m2, disusul pada mangrove disekitar desa Sagea (Kecamatan Weda Utara) sebanyak (7 jenis) dengan kerapatan sebesar 4 individu/100 m2, Pada lokasi Tanjung Seves (Kecamatan Weda Utara) dijumpai 6 jenis mangrove dengan kerapatan 6 individu/100 m2. dan Tanjung Kife di Kecamatan Weda Utara sebanyak 6 jenis dengan kerapatan 8 individu/100 m2 dan mangrove di siktar Desa Loleo Kecamatan Weda sebanyak 6 jenis dengan kerapatan selatan 2 individu/100 m2. Pada lokasi mangrove tersebut selama pengambilan data dijumpai jenis biota lain seperti Ikan, udang, Kepiting, Molusca, reptil dan burung. Uraian parameter jumlah jenis mangrove, kerapatan mangrove dan kehadiran biota lain pada komunitas mangrove menunjukkan kelas kesesuaian yang sama yakni kategori sesuai dengan skor kesesuaian yang berbeda. Kesesuain jumlah jenis mangrove merujuk pada Yulianda et al. (2010) dan DKP (2006) dengan kriteria kesesuaian jumlah jenis < 3, untuk kerapatan mangrove merujuk Yulianda et al. (2010) dengan kriteria kategori sesuai kerapatan mangrove sebesar > 3 – 25 individu/100 m2 dan untuk kehadiran biota lain pada komunitas mangrove sesuai dengan Yulianda et al. (2010) dan DKP (2006) dengan kriteria ditemukan biota lain pada vegetasi mangrove seperti ikan, udang, kepiting, moluska, reptil dan burung. Tinggi pasang surut pada kesesuaian wisata mangrove diarahkan pada seberapa jauh pergerakan air saat pasang menggenangi komunitas mangrove.
115
Makin jauh air pasang masuk pada komunitas mangrove maka peluang pertumbuhan mangrove lebih optimum sekaligus kehadiran dan kelimpahan biota yang berasosiasi dengan mangrove akan lebih tinggi. Dengan merujuk nilai tunggang air pasang surut pada stasiun pengukuran sorong diperoleh tunggang air sebesar 1,9 m. Berdasarkan kriteria pasang surut yang disampaikan oleh Yulianda et al. (2010) maka parameter tinggi pasang surut terhadap wisata mangrove dalam kategori sesuai. Parameter jarak komunitas mangrove dengan kawasan lainnya adalah jarak minimum keberadaan mangrove dengan kawasan lainnya seperti perkampungan, lokasi penambangan, pelabuhan, pusat pemerintahan dan lain-lain. Berdasarkan hasil pemantauan saat penelitian umumnya pemukiman masyarakat berada dalam komunitas mangrove, hal yang sama juga terlihat pada aktifitas pelabuhan, dimana pelabuhan dan beberapa fasilitas umum lainnya dibangun pada kawasan mangrove dengan melakukan reklamasi. Dari kondisi ini menggambarkan bahwa kriteria jarak komunitas mangrove terhadap kawasan lainnya relatif dekat (< 300 m) sehingga dikategorikan tidak sesuai menurut Bengen (2002). Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove dari 6 parameter kriteria disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 256,58 Ha, sesuai bersyarat (SB) adalah 363,84 Ha dan tidak sesuai (TS) adalah 16,94 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata mangrove. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 24, 25, dan 26. 5.4.6 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun Ekosistem lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas didasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bai pertumbuhannya. Ekosistem lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 – 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik (Mann 2000).
116
Nilai ekonomi biota yang berkaitan dengan padang lamun belum banyak diketahui, namun pemanfaatan lamun secara langsung di berbagai negara sudah banyak dilakukan. Di beberapa negara, lamun digunakan untuk menggantikan makanan bagi hewan dan komponen pupuk di daerah pesisir, sebagai bahan baku pembuatan kertas dan bahan pengganti dalam pabrik nitro selulosa, serta bahan pencegah kebakaran (Puspitaningasih 2012). Selain manfaat yang telah disebutkan, salah satu pemanfaatan lamun adalah sebagai tempat untuk rekreasi atau ekowisata pada padang lamun. Luas hamparan lamun dari hasil analisis citra landsat 7 ETM diperoleh luas hamparan komunitas lamun sebesar 111,11 Ha yang dominan tersebar di bagian utara dan tengah Teluk Weda dalam 18 gugusan padang lamun. Hasil perhitungan ketebalan padang lamun berdasarkan luas gugusan padang lamun diperoleh ketebalan minimum dan maksimum sepanjang 41,41 m dan 371,96 m. Dari ketebalan padang lamun tersebut terhadap kriteria kesesuaian berada dalam kategori sesuai bersyarat dan sesuai menurut Yulianda et al. (2010), jika dengan mempertimbangkan jumlah gugusan lamun dengan ketebalan lamun dalam kategori sesuai bersyarat lebih sedikit (42 %), sehingga secara umum kriteria kesesuain ketebalan padang lamun untuk wisata lamun dalam kategori sesuai. Parameter kecerahan perairan untuk wisata lamun dimaksudkan sebagai parameter dalam kajian prospek keberlanjutan sumberdaya pada komunitas lamun. Kecerahan merupakan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis padang lamun. Kecerahan juga sebagai indikasi adanya masukan material tersuspensi yang menyebabkan kekeruhan sehingga menghambat proses fotosintesis. Hal ini secara luas akan mengganggu produktifitas primer padang lamun. Hasil pengukuran kecerahan perairan diperoleh rata-rata sebesar 68 %, dengan nilai kecerahan tersebut maka kategori kesesuaian menurut Yulianda et al. (2010) untuk kegiatan wisata lamun berada dalam kategori sesui bersyarat. Hasil wawancara dengan masyarakat dan nelayan di lokasi penelitian tentang jenis ikan yang sering mereka temukan di padang lamun melalui media gambar teridentifikasi 7 jenis ikan. Ikan-ikan tersebut yakni ikan kakatua (Scarus spp), ikan uhi garis-garis (Siganus javus), ikan uhi abu-abu (Siganus spinus), ikan gutila (Lethrinus lentjam), ikan gorara (Lethrinus spp) ikan gudida (Lutjanus johnii), dan ikan pagar-pagar (Abudefduf spp). Dari jumlah jenis ikan yang menjadikan padang lamun sebagai habitatnya tersebut menunjukkan bahwa kriteria kesesuaian wisata lamun dengan para meter jumlah jenis ikan berada dalam kategori kesesuaian bersyarat (Yulianda et al. 2010) dengan jumlah spesies ikan padang yang teridentifikasi sebanyak 6 – 10 spesies. Jenis lamun yang ditemukan pada perairan Teluk Weda sebanyak 10 jenis yakni Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule minor, Cymodocea serrulata dan Syringodium isotifolium. Jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang selalu dijumpai pada setiap lokasi. Dengan ditemukannya kedua jenis tersebut menggambarkan parameter jenis lamun dalam kategori tidak sesuai untuk kesesuaian wisata lamun (Yulianda et al. 2010). Jenis lamun tersebut menyebar pada kedalaman 3 meter dan substrat dasar perairan dari material pasir berkarang,
117
sehingga kesesuaian parameter kedalaman lamun dan jenis substrat untuk wisata selam dalam kategori sesuai (Yulianda et al. 2010). Kecepatan arus yang berkembang pada padang lamun memberi kontribusi pada produktifitas padang lamun dan juga berfungsi pada transport nutrien bagi organisme sekaligus pengangkutan bahan buangan. Hasil pengukuran kecepatan arus pada padang lamun diperoleh kecepatan arus berkisar 0,09 – 0,15 m/detik atau rata-rata kecepatan arus pada padang lamun sebesar 0,12 m/detik (12 cm/detik). Dengan kecepatan arus tersebut maka parameter kesesuaian kecepatan arus untuk wisata lamun termasuk dalam kategori sesuai menurut Yulianda et al. (2010) dengan nilai kesesuaian kecepatan arus berada antara 0 – 17 cm/detik. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun dengan parameter kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun terdiri dari : ketebalan lamun, kecerahan perairan, jenis ikan, jenis lamun, jenis substrat, kecepatan arus, dan kedalaman lamun disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 28,15 Ha, sesuai bersyarat (SB) adalah 3,99 Ha dan tidak sesuai (TS) adalah 11,71 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata lamun. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 27 dan 28. 5.4.7 Kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut Rumput laut merupakan salah satu komoditas sektor perikanan dan kelautan yang akhir-akhir ini semakin gencar dibudidayakan. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya aplikasi dari produk olahan dari komoditi ini dalam dunia industri. Produk olahan dari rumput laut baik berupa agar-agar, karaginan dan alginat sangat bermanfaat baik dalam industri makanan, industri farmasi, industri kosmetik, industri tekstil maupun industri kulit. Disamping permintaan produk olahan rumput laut yang semakin tinggi, permintaan rumput laut kering juga semakin tinggi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri produksi rumput laut kering dan produk olahan dari rumput laut di Indonesia harus mengimpor dari
118
negara lain. Industri pengolahan rumput laut di Indonesia yang terdiri dari 30 pabrik pengolahan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik apalagi mancanegara. Teluk Weda yang memiliki pulau-pulau kecil dapat dijadikan daerah untuk budidaya rumput laut, oleh karena itu diperlukan suatu kajian untuk menetapkan kawasan bagi kegiatan budidaya rumput laut. Salah satu persyaratan adanya kegiatan budidaya rumput laut adalah dengan menganalisis kesesuaian pemanfaatan minawisata budidaya rumput laut yang parameternya sebagai berikut: tinggi gelombang, ketersediaan benih, kecepatan arus, salinitas, suhu perairan, pH perairan, nitrat, nitrit, fosfat, kedalaman perairan, dan material dasar perairan. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32 Kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 111,32 Ha dan sesuai bersyarat (SB) adalah 31,99 Ha dari total luas kesesuaian kawasan budidaya rumput laut. Peta kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 29 dan 30. Kesesuaian parameter tinggi gelombang untuk kriteria budidaya rumput laut merujuk pada kriteria yang dinyatakan oleh Bengen et al. ( 2007). Tinggi gelombang signifikan (0,7 – 4,8 m) merupakan gelombang maksimum dari bangkitan angin untuk durasi 3 kali lipat dari nilai rata-rata kecepatan angin yang bertiup (Fetch). Dari hal ini maka dapat dikatakan tinggi gelombang rata-rata maksimumnya adalah sepertiga tinggi gelombang signifikan (0,2 – 1,6 m) dengan tinggi gelombang rata-rata 0,32 m. Tinggi gelombang rata-rat ini menyebabkan kategori kesesuaian parameter tinggi gelombang berada dalam kategori tidak sesuai. Parameter dengan kategori tidak sesuai untuk minawisata budidaya rumput laut juga terjadi pada parameter ketersediaan benih, akibat belum adanya sentra pelayanan benih rumput laut baik untuk kebutuhan Kabupaten Halmahera Tengah maupun Provinsi Maluku Utara. Pengambilan benih di alam ataupun
119
alokasi benih rumput laut belum dilakukan identifikasi lokasi maupun jumlah stock rumput laut di alam. Hasil pengukuran kecepatan arus dengan kecepatan berkisar 0,07 – 0,49 m/detik (rata-rata 0,26 m/detik) menjadikan parameter kecepatan arus untuk minawisata budidaya rumput laut dalam kategori sesuai bersyarat (Bengen et al. 2007), sedangkan untuk parameter salinitas sesuai bersyarat (Bengen et al. 2007) akibat salinitas perairan berkisar 26.00 - 35,00 o/oo untuk perairan laut sedangkan 3 lokasi di sekitar muara sungai bersalinitas 00 – 15,00 o/oo. Kriteria bersyarat tersebut dimaksudkan bahwa pada parameter salinitas yang optimum untuk lokasi minawisata budidaya rumput laut dijumpai pada lokasi-lokasi tertentu. Kesesuaian parameter suhu dengan merujuk pada sumber ktireria yang sama (Bengen et al. 2007), menunjukkan bahwa parameter suhu berada dalam kategori sesuai bersyarat dengan suhu perairan terukur selama penelitian berkisar 28,80 – 31,40 o C. Kriteria kesesuaian tersebut juga sama dengan kriteria untuk parameter pH, dimana pH perairan terukur berkisar 6,00 – 7,4. Kesesuaian parameter nitrat, nitrit dan fosfat semuanya berada pada kategori sesuai dengan nildan ai konsentrasi kandungan masing-masing unsur < 1 mg/l (Ikhsan 2005). Hasil penelitian konsentrasi nitrat, nitrit dan fosfat berturut-turut berkisar 0,01 – 0,10 mg/l, 0,001 – 0,002 mg/l dan 0,001 – 0,092 mg/l. Kedalaman perairan merupakan salah satu kriteria teknis untuk melakukan minawisata budidaya rumput laut termasuk jenis material dasar perairan. Berdasarkan kriteria material dasar perairan (Bengen et al. 2007) dengan hasil temuan dilapangan selama penelitian menunjukkan bahwa kriteria materia dasar perairan dalam kategori sesuai bersyarat dengan dijumpainya material pasir berkarang dan komunitas lamun di kedalaman 1 – 3 m sekaligus menunjukkan parameter kedalaman perairan berada dalam kategori sesuai. 5.4.8 Kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung Budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu teknologi budidaya yang handal dalam rangka optimasi pemanfaatan perairan. Budidaya keramba jaring apung merupakan kegiatan pembesaran ikan yang dilakukan di dalam keramba jaring. Ikan-ikan yang menjadi target budidaya tersebut adalah ikan-ikan yang habitatnya tidak jauh dari lokasi penangkapannya. Salah satu jenis ikan yang dapat dibudidaya adalah ikan-ikan yang mencari makan di daerah lamun atau karang, tetapi kehidupannya lebih banyak di daerah karang. Misalnya ikan beronang (Siganus sp) selain memiliki rasa yang enak, juga mudah dipelihara di dalam keramba jaring apung. Selain itu ikan yang dapat dibudidayakan adalah jenis ikan karang yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapu, ikan napoleon, dan lain-lain, karena ikan tersebut lebih banyak dipasarkan dalam keadaan hidup. Sama halnya dengan budidaya rumput laut, budidaya keramba jaring apung dapat dilakukan di Teluk Weda mengingat lokasi budidaya dapat diletakkan di sekitar daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Parameter yang mendukung kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung antara lain : kecepatan arus, tinggi gelombang, kedalaman perairan, suhu perairan, salinitas, oksigen terlarut, pH perairan, nitrat, nitrit, fosfat, dan Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya.
120
Hasil penelitian dari 25 stasiun pengukuran parameter pendukung dalam kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung menunjukkan nilai kisaran masing-masing parameter yaitu kecepatan arus berkisar 0,07 – 0,49 m/detik (rata-rata 0,26 m/detik), tinggi gelombang signifikan berksisar 0,7 – 4,8 m. (hasil perhitungan), kedalaman perairan yang masih terlihat gugusan karang hingga kedalaman 12 m, suhu perairan 28,80 – 31,40oC, salinitas 26.00 - 35,00 o /oo untuk perairan laut sedangkan 3 lokasi di sekitar muara sungai bersalinitas 00 – 15,00 o/oo, kadar oksigen terlarut (DO) mempunyai kisaran nilai 3,38 – 5,08 mg/l, pH perairan bernilai 6,00 – 7,4, kadar nitrat berkisar 0,01 – 0,10 mg/l, nitrit 0,001 – 0,002 mg/l, fosfat 0,001 – 0,092 mg/l, dan Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya relatif berjauhan. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan paramater terhadap budidaya laut keramba jaring apung menunjukkan bahwa secara umum hasil pengukuran berada pada kategori sesuai. Khususnya suhu, salinitas dan pH berada dalam kriteria sangat sesuai, sedangkan parameter lainnya berada pada kategori tidak sesuai dan sesuai bersyarat serta terdapat beberapa lokasi yang tidak sesuai untuk budidaya ikan dengan KJA berdasarkan parameter kedalaman pada kedalaman tertentu. Hasil penelitian dalam kesesuaian berdasarkan faktor lingkungan menunjukkan bahwa arus sangat berperan dalam sirkulasi air dengan membawa bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air. kaitannya dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi organisme penempel (fouling) pada jaring sehingga desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus serta kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, karang). Keberadaan organisme penempel akan lebih banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cm/detik sehingga akan mengurangi sirkulasi air dan oksigen (Mayunar et al. 1995), sedangkan Ahmad et al. (1991) mengemukakan kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA berkisar 5 – 15 cm/detik. Dengan merujuk kesesuai parameter kecepatan arus dan tinggi gelombang untuk minawisata keramba jaring apung diperoleh kelas kesesuain parameter kecepatan arus (Tiensongrusmee et al. 1986) berada pada kategori sesuai (0,2 – 0,4 m/detik) sedangkan kecepatan arus rata-rata sebesar 0,26 m/detik. Kondisi kelas kategori yang sama (sesuai) untuk parameter tinggi gelombang menurut DKP (2002) sebesar < 0,5 m terjadi pada musim tertentu dan demikian juga kategori sesuai bersyarat. Kesesuaian parameter tinggi gelombang tersebut didasarkan pada penerjemahan nilai dari gelombang signifikan dari hasil perhitungan bangkitan gelombang oleh angin yang bernilai 0,7 – 4,8 m. Gelombang signifikan merupakan gelombang maksimum dari bangkitan angin untuk durasi 3 kali lipat dari nilai rata-rata kecepatan angin yang bertiup tanpa mendapatkan halangan (Fetch angin). Dari hal ini maka dapat dikatakan tinggi gelombang rata-ratan maksimumya adalah sepertiga tinggi gelombang signifikan (0,2 – 1,6 m) atau dengan rata-rata tinggi gelombang 0,32 m. Tinggi gelombang ini menghasil kategori kesesuaian parameter tinggi gelombang dalam kategori sesuai dan sesuai bersyarat menurut DKP (2002). Kedalaman perairan sangat penting bagi kelayakan budidaya dengan sistem keramba Jaring Apung (KJA), kedalaman perairan dari dasar jaring merupakan suatu faktor teknis dalam menjamin sistem sirkulasi pada KJA. Berdasarkan kriteria kelas kesesuaian minawisata keramba jaring apung oleh DKP (2002) menyatakan bahwa jarak dasar KJA dengan kedalaman perairan < 4 m dan > 10
121 merupakan kriteria tidak sesuai. Kriteria sesuai berada pada kedalaman 4 – 7 m dan untuk kedalaman 7 – 10 m merupakan kedalaman jarak dasar KJA dengan dasar perairan berada dalam kategori sesuai bersyarat. Dengan memperhatikan data kedalaman kriteria sesuai (4 – 7 m) dan asumsi konstruksi KJA mempunyai tinggi 2 meter, maka memerlukan kedalaman maksimal 9 1,9 m oleh pengaruh tunggang air pasang surut. Berdasarkan peta batimetri untuk kedalaman tersebut umumnya dijumpai pada daerah dengan profil pantai berbentuk slope yakni di bagian selatan dan utara Teluk Weda serta beberapa daerah di sebelah selatan Teluk Weda bagian tengah. Dengan demikian kedalaman perairan dengan dasar jaring umumnya dalam kategori tidak sesuai akibat kedalaman perairan > 10 m. Perkembangan biota laut sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar 28,80 – 31,40oC, berada dalam kategori sangat layak untuk perairan untuk kegiatan budidaya menurut Nybakken (1988), Mulyanto (1992) dan LP Undana (2006). Kondisi kesesuaian tersebut juga dinyatakan oleh Mayunar et al. (1995) yang menyebutkan suhu optimum untuk budidaya ikan adalah 27 – 32oC, sedangkan untuk budidaya rumput laut membutuhkan suhu pada kisaran 20 – 30oC (Mubarak et al. 1990 in Junaidi 2012) dan untuk tiram 20 – 32oC (Atjo 1992 in Junaidi 2012). Hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter suhu, menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian sangat layak untuk dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram. Salinitas perairan Teluk Weda dari hasil penelitian bernilai 26 – 35o/oo untuk perairan laut sedangkan 3 lokasi di sekitar muara sungai bersalinitas 0 – 15o/oo, kisaran salinitas untuk perairan laut ini masih baik untuk kegiatan budidaya baik perikanan, rumput laut maupun tiram karena salinitas optimal untuk budidaya ketiga komoditas tersebut berada pada kisaran 30 – 35o/oo. Khusus untuk budidaya perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan sesuai dengan jenis ikan yang akan dibudidaya. Hal ini disebabkan ikan tertentu membutuh salinitas tertentu pula. Ikan memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas, nilai salinitas yang sesuai untuk ikan berkisar 20 – 34 o/oo (Imanto et al. 1995) beberapa jenis ikan memiliki nilai salinitas berbeda. Kerapu secara umum memiliki salinitas optimum pada kisaran 27 – 34o/oo (Ahmad et al. 1991, Mayunar et al. 1995). Seperti halnya dengan suhu, hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter salinitas, menunjukkan hampir keseluruhan wilayah Teluk Weda sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan minawisata Keramba Jaring Apung kecuali disekitar daerah muara sungai yang bersalinitas 0 – 15o/oo dalam kategori tidak sesuai sebagaimana nilai kriteri kesesuaian menurut Nontji (2003), Romimohtarto dan Juwana (1999) serta LP Undana (2006). Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen di dalam air dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen, begitu juga sebaliknya. Mayunar et al. (1995) menyebutkan untuk bertahan hidup ikan memerlukan kadar oksigen 1 mg/l, namun untuk dapat tumbuh dan berkembang minimal 3 mg/l. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang optimal berkisar 5 – 8 mg/l (Ahmad et al. 1991). Hasil penelitian menunjukkan kadar Oksigen terlarut (DO) berkisar 3,38 – 5,08 mg/l, nilai ini
122
berdasarkan kriteria kesesuai untuk minawisata KJA oleh LP Undana, (2006) berada kategori sesuai bersyarat. Kesesuaian bersyarat tersebut juga senada dengan nilai kadar DO yang diberikan oleh Kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk parameter DO, bahwa menunjukkan kondisi kurang baik jika kadar DO di bawah 5 mg/l. Hasil pengukuran lapangan nilai pH berkisar 6,00 – 7,4 merupakan nilai sangat sesuai menurut LP Undana (2006) untuk minawisata KJA dengan nilai parameter kesesuaian pH 6 – 8. Kategori kesesuaian tersebut juga sesuai dengan parameter kelayakan yang disampaikan oleh Boyd and Lichtkoppler (1979) dalam Mayunar et al. (1995) yang menyebutkan pH optimal untuk budidaya ikan 6,5 – 9,0 dan 7,5 – 8,5 untuk budidaya rumput laut (Utojo et al. 2007, Mubarak et al. 1990) serta 6,75 – 9 untuk tiram mutiara (Atjo 1992). Untuk budidaya tiram mutiara membutuhkan pH optimum pertumbuhannya yang lebih rendah (6,75 – 7,0). Parameter nitrat, nitrit dan fosfat di perairan untuk keramba jaring apung merupakan parameter penting dalam ketersediaan pakan alami di perairan. Kesesuaian kadar nitrat, nitrit dan fosfat akan memicu proses fotosintesis oleh phytoplankton dan selanjutnya menjadi bagian dari rantai makanan. Selain itu kadar nitrat, nitrit dan fosfat menjadi indikator untuk melihat kesuburan perairan. Berdasarkan data penelitian kadar perairan nitrat berkisar 0,01 – 0,10 mg/l, konsentrasi nitrit berkisar 0,001 – 0,002 mg/l dan konsentrasi fosfat berkisar 0,000 – 0,092 mg/l. Jumlah konsentrasi tersebut secara keseluruhan ketiga parameter berada dalam kategori sesuai untuk minawisata Keramba Jaring Apung menurut Tiensongrusmee et al. (1986) dengan nilai kategori sesuai < 0,1 mg/l. Parameter jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya pada minawisata keramba jaring apung tidak berbeda dengan kriteria keseusian yang sama pada wisata pancing. Hasil penilaian kesesuai tersebut berada pada kelas kesesuaian sesuai bersyarat dengan jarak aktifitas dan parameter berkisar 300 – 500 m (Bengen et al. 2007). Kriteria kesesuaian tersebut didasarkan pada: Alur pelayaran yang dilakukan masyarakat umumnya berada jauh dari garis pantai (< 1 km) dengan tujuan menghindari gelombang pantul dari pantai dengan profil pantai yang curam. Bentuk Teluk Weda yang relatif melengkung, maka alur pelayaran masyarakat berupaya memperpendek jarak tempuh dengan memotong jalur terdekat (tidak mengikuti profil pantai). Alur masuk dan keluar pelabuhan Kota Weda telah ditetapkan, dimana alur tersebut berada di bagian utara Pulau Kuleyevo (Pulau Imam) yang juga melintas diantara gugusan karang Secara teknis untuk membuat keramba jaring apung harus berada pada kedalaman minimal 6 m (4 1,9) yang jaraknya berada pada jarak antara 300 – 500 m dari aktifitas penambangan maupun perkampungan masyarakat. Hasil pemetaan kelayakan masing-masing parameter faktor lingkungan yang selanjutnya di-overlay-kan untuk mengetahui kelayakan berdasarkan parameter pendukung diperlihatklan pada Lampiran 29 dan 30, sedangkan hasil analisis kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung disajikan pada Gambar 34.
123
Gambar 33 Kesesuaian pemanfaatan keramba jaring apung Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring apung di Teluk Weda yang sesuai (S) adalah 75,74 Ha, dan sesuai bersyarat (SB) adalah 13,56 Ha dari total luas kesesuaian kawasan keramba jaring apung. Peta kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 31 dan 32. 5.5 Daya dukung 5.5.1 Daya dukung kapasitas asimilasi Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi lingkungan perairan seperti yang dikemukakan oleh Quano (1993) adalah metode hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban limbahnya. Variabel yang diamati adalah debit aliran sungai, konsentrasi limbah di muara sungai, dan konsentrasi limbah di lingkungan perairan. Dalam penelitian ini, kapasitas asimilasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar perairan Teluk Weda mampu menerima beban masukan senyawa ammonia, nitrat, nitrit, dan fosfat dan lain-lain, sehingga tidak menurunkan fungsi ekologi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Analisis kapasitas asimilasi perairan Teluk Weda didasarkan pada analisis hubungan antara konsentrasi parameter kimia di perairan pesisir dan beban limbah parameter kimia terlarut di estuari. Hasil perhitungan dari beban limbah dan konsentrasi masing-masing parameter dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51Tahun 2004 adalah baku mutu yang ditetapkan sebagai baku mutu untuk pembangunan pelabuhan, wisata bahari dan biota laut. Sedangkan baku mutu air limbah berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2006 adalah baku mutu yang ditetapkan untuk baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan bijih nikel. Pengertian baku mutu air, baku mutu air limbah dan baku mutu air laut sebagai berikut : a) baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
124
zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air; b) baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepaskan ke dalam sumber air dari suatu usaha atau kegiatan; dan c) baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang ada atau harus ada dan zat atau bahan pencemar yang ditenggang adanya di dalam air laut. a. Amonia (NH3) Amonia (NH3) dan garam-garam bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Amonia banyak digunakan dalam produksi urea, industri bahan kimia (asam nitrat, amonium fosfat, amonium nitrat, dan amonium sulfat), serta industri bubur kertas (pulp dan paper). Sumber amonium di perairan adalah pemecahan nitrogen organic (protein dan urea) dan nitrogen anrganik yang terdapat di dalam tanah dan air,yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+). Amonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan amonium (NH4+) dapat terionisasi. Amonia bebas yang tidak terionisasi (unionized) bersifat toksit terhadap organism akuatik. Toksisitas amonia terhadap organism akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu (Effendi 2003).
Gambar 34 Kapasitas asimilasi Amonia di Teluk Weda Kapasitas asimilasi ammonia ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,40% variasi konsentrasi ammonia di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban ammonia di estuaria, hal ini dapat dijelaskan bahwa . Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas
125
asimilasi sebesar 21,09 ton/tahun, sementara beban ammonia yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 2.047,57 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi ammonia (mg/liter) dengan beban pencemaran ammonia (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut dan baku mutu perairan pelabuhan. Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dai 0,02 mg/liter. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/liter, perairan bersifat toksit bagi beberapa jenis ikan (Sawyer and McCarty 1978 in Effendi 2003). Kadar ammonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) dari pupuk pertanian. Kadar ammonia yang tinggi dapat juga ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen (anoxic). b. Nitrit (NO2) Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat.
Gambar 35 Kapasitas asimilasi Nitrit di Teluk Weda Kapasitas asimilasi nitrit ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,90% variasi konsentrasi nitrit di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban nitrit di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 1,66 ton/tahun, sementara beban nitrit yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 152,49 ton/tahun.
126
Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi nitrit (mg/liter) dengan beban pencemaran nitrit (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut dan baku mutu wisata bahari. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/liter dan sebaliknya tidak melebihi 0,06 mg/liter (Canadian Council of Resource and Environment Ministers 1987 in Effendi 2003). Di perairan, kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/liter (Sawyer and McCarty 1978 in Effendi 2003). Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/liter dapat bersifat toksit bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore 1991 in Effendi 2003). c. Nitrat (NO3) Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dlam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen yang berlangsung pada kondisi anaerob.
Gambar 36 Kapasitas asimilasi Nitrat di Teluk Weda Kapasitas asimilasi nitrat ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 98,90% variasi konsentrasi nitrat di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban nitrat di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 48,79 ton/tahun, sementara beban nitrat yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 44.357,84 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat (mg/liter) dengan beban pencemaran nitrat (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut dan baku mutu wisata bahari. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotropik memiliki kadar nitrat antara 0 - 1 mg/liter, perairan
127 mesotropik memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/liter, dan perairan eutropik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 – 50 mg/liter (Volenweider 1969; in Wetzel 1975; in Effendi 2003). Amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi merupakan proses mikrobiologis. Oleh karena itu proses ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan aerasi (Novotny and Olem 1994 in Effendi 2003). d. Fosfat (PO4) Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan 1972). Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsure-unsur utama lain yang merupakan penyusun bisfer karena unsure ini tidak terdapat di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relative sedikit dan mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsure yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsure ini menjadi factor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktifitas perairan. Jonse and Bachmann (1976) in Davis and Cornwell (1991) mengemukakan korelasi positif antara kadar fosfor total dengan klorofil a.
Gambar 37 Kapasitas asimilasi Fosfat di Teluk Weda Kapasitas asimilasi fosfat ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 98,60% variasi konsentrasi fosfat di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban fosfat di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 5,53 ton/tahun, sementara beban fosfat yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 493,72 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi fosfat (mg/liter) dengan beban pencemaran fosfat (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut. Berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004, disebutkan bahwa baku mutu konsentrasi maksimum fosfat yang layak untuk kehidupan biota laut adalah 0,015 mg P-PO4/L. Sedimen merupakan tempat penyimpanan utama fosfor dalam siklus yang terjadi di lautan, umumnya dalam bentuk partikulat yang berikatan dengan oksida besi dan senyawa hidroksida. Senyawa fosfor yang
128
terikat di sedimen dapat mengalami dekomposisi dengan bantuan bakteri maupun melalui proses abiotik menghasilkan senyawa fosfat terlarut yang dapat mengalami difusi kembali ke kolom air (Paytan and McLaughlin 2007). e. Arsen (As) Arsen membentuk senyawa arsenat (AsO43-) atau arsenit (AsO33-) di perairan. Senyawa anorganik arsen dapat diubah secara biologis menjadi senyawa organo arsen yang bersifat tiksik. Kadar arsen pada kerak bumi (earth crust) sekitar 2-5 mg/kg. Sumber arsen di perairan adalah logam arsenida dan sulfida. Selain itu, pelapukan batuan juga melepaskan arsen dalam bentuk oksida (As 2O3) dan senyawa sulfur (AsS dan As2S3), Effendi 2003.
Gambar 38 Kapasitas asimilasi Arsen di Teluk Weda Kapasitas asimilasi arsen ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,60% variasi konsentrasi arsen di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban arsen di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 0,60 ton/tahun, sementara beban arsen yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 57,21 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi arsen (mg/liter) dengan beban pencemaran arsen (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut dan baku mutu wisata bahari. Kadar arsen yang tinggi dapat merusak klorofil. Pada perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan pertanian, kadar arsen sebaiknya kurang dari 0,1 mg/liter. Konsentrasi arsen yang mematikan bagi microalgae (lethal) berkisar antara 2,0 – 10,0 mg/liter. Kadar arsen yang melebihi 10 mg/liter bersifat toksik bagi ikan. Kadar arsen yang aman pada perairan laut adalah sebesar 0,01 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). f. Kadmium (Cd) Kadmium merupakan logam yang hingga saat ini belum diketahui dengan jelas peranannya bagi tumbuhan dan mahluk hidup lain. Di dalam air, kadmium
129
terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar 0,2 mg/kg (Moore 1991), selanjutnya untuk melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar kadmium sekitar 0,0002 mg/liter.
Gambar 39 Kapasitas asimilasi Kadmium di Teluk Weda Kapasitas asimilasi kadmium ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,80% variasi konsentrasi kadmium di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban kadmium di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 5,29 ton/tahun, sementara beban kadmium yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 490,02 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi kadmium (mg/liter) dengan beban pencemaran kadmium (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut, baku mutu wisata bahari dan baku mutu perairan pelabuhan. Limbah yang banyak mengandung unsur kadmium umumnya berasal dari limbah industri electro-plating, kendaraan, pigmen, peleburan logam, baterai, dan pestisida. Kandungan cadmium di laut terbuka dilaporkan berkisar 0,01 – 0,05 mg/liter, sementara di pantai berkisar 0,05 – 1,0 mg/liter. Pada perairan tercemar mencapai 10 mg/liter (Bishop 1983). Faktor konsentrasi dari air laut ke plankton di laut umumna berkisar antara 100-1000. Fitoplankton di air yang tidak tercemar mengandung cadmium 300-1000 ng/g berat kering, sementara pada perairan yang tercemar dilaporkan mencapai 220.000 ng/g. Mengkonsumsi ikan yang tercemar cadmium dapat menyebabkan kerusakan hati (Mokhtasor 2007). g. Kromium (Cr) Kromium merupakan unsur yang jarang ditemukan di perairan alami. Kerak bumi mengandung kromium sekitar 100 mg/kg (Moore 1991). Kromium yang ditemukan di perairan adalah kromium trivalen dan kromium heksavalen, namun pada perairan yang memiliki pH > 5, kromium trivalent tidak ditemukan. Apabila
130
masuk ke perairan, kromium trivalen akan dioksidasi menjadi kromium heksavalen yang lebih toksik.
Gambar 40 Kapasitas asimilasi Kromium di Teluk Weda Kapasitas asimilasi kromium ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,90% variasi konsentrasi kromium di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban kromium di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 2,01 ton/tahun, sementara beban kromium yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 184,49 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi kromium (mg/liter) dengan beban pencemaran kromium (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut dan baku mutu wisata bahari. Kadar kromium pada perairan tawar biasanya kurang dari 0,001 mg/liter dan pada perairan laut sekitar 0,00005 mg/lite. Kromium trivalen tidak ditemukan di perairan tawar, sedangkan perairan laut sekitar 50% kromium merupakan kromium trivalen (McNeely et al. 1979). Sumber utama pencemaran kromium di laut adalah buangan perkotaan. Di laut kromium terkonsentrasi secara signifikan di organisme. Plankton mampu mengkonsentrasi dengan faktor 104 sampai 105, sementara ikan mampu mengkonsentrasi dengan faktor 100-1.000 (Mearn and Young 1977 in Bishop 1983 in Mokhtasor 2007). Kadar kromium yang diperkirakan aman bagi kehidupan akuatik adalah sekitar 0,05 mg/liter dan kadar kromium 0,1 mg/liter dianggap berbahaya bagi kehidupan organism laut. h. Merkuri (Hg) Merkuri (Hg) merupakan logam yang dianggap paling berbahaya, baik untuk organisme laut maupun manusia. Merkuri di laut berasal dari buangan industri, limpasan air hujan, dan dari atmosfer. Di air tawar, merkuri umumnya ditemukan pada bahan organic dan anorganik. Ketik masuk ke dalam air laut, merkuri tetraklorida yang terlarut terbentuk oleh ekstraksi senyawa merkuri ari
131
senyawa anorganik. Kekuatan ikatan senyawa antara sebagian senyawa anorganik dengan merkuri sangat kuat, sehingga memungkinkan senyawa ini tahan lama. Merkuri mengendap di sedimen laut, dalam kondisi anaerobic akan bereaksi dengan sulfid membentuk senyawa kompleks yang tidak terlarut dalam air (Mokhtasor 2007). Merkuri adalah unsur renik pada kerak bumi, yakni hanya sekitar 0,08 mg/kg Moore, 1991 in Effendi 2003). Pada perairan alami merkuri juga hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cairan pada suhu normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan particular dan mengalami presipitasi.
Gambar 41 Kapasitas asimilasi Merkuri di Teluk Weda Kapasitas
asimilasi
merkuri ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,90% variasi konsentrasi merkuri di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban merkuri di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 0,09 ton/tahun, sementara beban merkuri yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 8,78 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri (mg/liter) dengan beban pencemaran merkuri (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut, baku mutu wisata bahari dan baku mutu perairan pelabuhan. Merkuri mempunyai kemampuan yang tinggi untuk ikut proses bioakumulasi pada organisme laut. Hal ini menyebabkan merkuri akan terakumulasi pada jaringan mahluk hidup. Pada plankton, merkuri terkonsentrasi dari 2-10 ng/g, walaupun pernah ditemukan konsentrasi sampai 170 ng/g. Pada moluska dan udang-udangan konsentrasi ini meningkat menjadi 10-2.000 ng/g, dimana senyawa merkuri terikat sebagai metal merkuri dalam protein tubuhnya. Pada ikan-ikan predator seperti tuna, pedang atau salmon, konsentrasi merkuri sekitar 1.000 ng/g, sementara konsentrasi maksimum yang diizinkan adalah 500 ng/g (Mokhtasor 2007).
132
i. Nickel (Ni) Kadar nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore 1991). Pada proses pelapukan nikel membentuk mineral hidrolisat yang tidak larut. Di perairan nikel ditemukan dalam bentuk koloid, namun garam-garam nikel, misalnya nikel ammonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengab hidroksida, karbonat dan sulfat. Pada pH > 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida dan karbonat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1991).
Gambar 42 Kapasitas asimilasi Nickel di Teluk Weda Kapasitas asimilasi nickel ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,90% variasi konsentrasi nikel di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban nickel di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 1,79 ton/tahun, sementara beban nickel yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 167,45 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi nikel (mg/liter) dengan beban pencemaran nikel (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut dan baku mutu wisata bahari. Kadar nikel pada perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/liter (Scoullos and Hatzianestis 1989 in Moore 1991), sedangkan pada perairan laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (McNeely et al. 1979). Untuk melindungi kehidupan organisme akuatik, kadar nikel sebaiknya tidak melebihi 0,025 mg/liter. Kontak langsung dengan larutan yang mengandung garam-garam nikel dapat mengakibatkan dermatitis, sedangkan mengisap nikel terus-menerus dapat mengakibatkan kanker paru-paru. (Effendi 2003).
133
j. Tembaga (Cu) Tembaga atau copper (Cu) merupakan logam berat yang dijumpai pada perairan alami dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Pada tumbuhan termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam transport electron dalam proses fotosintesis (Boney, 1989 in Effendi, 2003). Apabila masuk ke dalam perairan alami yang alkalis, ion tembaga akan mengalami presipitasi dan mengendap sebagai tembaga hidroksida dan tembaga karbonat. Kadar tembaga pada kerak bumi sekitar 50 mg/kg (Moore, 1991 in Effendi 2003).
Gambar 43 Kapasitas asimilasi Tembaga di Teluk Weda Kapasitas asimilasi tembaga ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 98,50% variasi konsentrasi tembaga di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban tembaga di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 1,04 ton/tahun, sementara beban tembaga yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 115,56 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi tembaga (mg/liter) dengan beban pencemaran tembaga (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut, baku mutu wisata bahari dan baku mutu perairan pelabuhan. Tembaga masuk ke laut melalui buangan limbah industri dan dari atmosfer yang tercemar oleh asam pabrik tembaga, pelapisan logam, tekstil, serta outfall dan pengecatan anti fouling pada kapal. Pencemaran tembaga ini mungkin berdampak kecil terhadap perairan laut, namun bisa berdampak serius pada perairan pantai (Mokhtasor 2007). k. Timbal (Pb) Lead atau timbal atau timah (Pb) pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kadar timbal di dalam air relatif sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen. Timbal diserap dengan baik oleh tanah
134
sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar timbal pada kerak bumi sekitar 15 mg/kg. Sumber alami utama timbal adalah galena (PbS), gelesite (PbSO4) dan cerrusite (PbCO3) (Novotny and Olem 1994; Moore 1991 in Effendi 2003).
Gambar 44 Kapasitas asimilasi Timbal di Teluk Weda Kapasitas asimilasi timbal ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,90% variasi konsentrasi timbal di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban timbal di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 1,05 ton/tahun, sementara beban timbal yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 97,86 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi timbal (mg/liter) dengan beban pencemaran timbal (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut, baku mutu wisata bahari dan baku mutu perairan pelabuhan. Pencemaran timbal ke laut juga berasal dari buangan di wilayah pesisir dari daratan dan dari atmosfer. Limbah yang mengandung unsur Pb umumnya berasal dari limbah industri cat, baterai, bahan bakar mobil, dan pigmen. Timbal akan mengendap di sedimen dan dapat mengalami bioakumulasi pada organisme laut. Plankton mempunyai kemampuan meningkatkan konsentrasi Pb dari air laut di dalam selnya. Rata-rata konsentrasi Pb dalam sedimen laut dalam adalah 27-45 mg/g, sementara di laut Irlandia, yang tercemar oleh buangan industri, konsentrasi Pb mencapai 600 mg/g sedimen (Mukhtasor 2007). l. Seng (Zn) Unsur seng merupakan unsur logam berat yang kurang beracun bila dibandingkan dengan unsure logam berat lainnya. Kandungan seng di perairan laut yang tercemar mencapai 100 ppm di perairan pantai dan sedimennya. Namun konsentrasi ini menurun ketika mengikuti proses rantai makanan. Limbah yang banyak mengandung unsur seng umumnya berasal dari limbah industry baterai, campuran logam galvanisir, karet dan limbah pertambangan (Mokhtasor 2007).
135
Gambar 45 Kapasitas asimilasi Seng di Teluk Weda Kapasitas asimilasi seng ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,40% variasi konsentrasi seng di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban seng di estuari. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 5,45 ton/tahun, sementara beban seng yang masuk ke perairan rata-rata sebesar 529,19 ton/tahun. Hasil analisis kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa konsentrasi seng (mg/liter) dengan beban pencemaran seng (ton/tahun) masih berada di bawah baku mutu biota laut. Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam. Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah. Seng yang berikatan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut, sehingga kadar seng dalam air sangat dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Ion seng mudah terserap ke dalam sedimen dan tanah. Silika terlarut dapat meningkatkan kadar seng, karena silica mengikat seng. Jika perairan bersifat asam, kelarutan seng meningkat. Kadar seng pada perairan alami <0,05 mg/liter (Moore 1991 in Effendi 2003); pada perairan asam mencapai 50 mg/liter; dan pada perairan laut 0,01 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Dahuri et al. (2001), mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat tercapai apabila pemanfaatan sumberdaya alam tidak melebihi fungsi ekologis sumberdaya tersebut. Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan terumbu karang menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan ekonomis, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
136
5.5.2 Daya dukung kawasan dan pemanfaatan Yulianda et al. (2010), mengemukakan bahwa daya dukung kawasan merupakan penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh penjumlah nilai dari seluruh parameter. Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya dukung kawasan. Daya dukung kawasan disesuaikan dengan karaktersitik sumberdaya dan peruntukan. Daya dukung pemanfaatan merupakan daya dukung pada kawasan konservasi yang diizinkan untuk dikembangkan sebesar 0,1% dari luas zona pemanfaatan, sehingga daya dukung kawasan dalam kawasan konservasi perlu dibatasi dengan daya dukung pemanfaatan. (Yulianda et al. 2010). Adapun hasil analisis daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan ekominawisata (selam, snorkeling, pantai, mangrove, lamun, pancing, keramba jaring apung dan budidaya rumput laut) di Teluk Weda, disajikan pada Tabel 45. Tabel 45 Daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan di Teluk Weda No
Teluk Weda
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Selam Snorkeling Pantai Mangrove Lamun Pancing KJA KJA Kapasitas Perairan BRL BRL Kapasitas Perairan BRL Kapasitas Asimilasi Total
Luas Area (M2) 4.878.426,41 5.513.736,39 1.259.421,25 6.204.220,83 281.536,34 6.438.076,64 757.388,88 757.388,88 1.113.157,51 1.113.157,51 942.844,41
Daya Dukung Kawasan (M2) 19.513,71 22.054,95 50.376,85 496.337,67 1.126,15 64.380,77 7.573,89 1.454,56 11.131,58 21.378,10 18.107,25
Daya Dukung Pemanfaatan (orang/hari) 1.951 2.205 5.038 49.634 113 6.438 757 195 1.113 286 242 67.973
Hasil analisis daya dukung pemanfaatan pada Tabel 45 menjelaskan bahwa daya dukung pemanfaatan pada kegiatan ekowisata selam dapat menampung wisatawan sebesar 1.951 (orang/hari), kegiatan ekowisata snorkeling dapat menampung wisatawan sebesar 2.205 (orang/hari), kegiatan ekowisata pantai dapat menampung wisatawan sebesar 5.038 (orang/hari), kegiatan ekowisata mangrove dapat menampung wisatawan sebesar 49.634 (orang/hari), kegiatan ekowisata lamun dapat menampung wisatawan sebesar 113 (orang/hari), kegiatan ekowisata pancing dapat menampung wisatawan sebesar 6.438 (orang/hari),
137
kegiatan minawisata keramba jaring apung dapat menampung sebesar 757 (orang/hari), kegiatan minawisata keramba jaring apung berdasarkan kapasitas perairan dapat menampung sebesar 195 (orang/hari), kegiatan minawisata budidaya rumput laut dapat menampung sebesar 1.113 (orang/hari), kegiatan minawisata budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas perairan dapat menampung sebesar 286 (orang/hari), serta kegiatan minawisata budidaya rumput laut berdasarkan kapasitas asimilasi dapat menampung sebesar 242 (orang/hari). Nilai yang dihasilkan dari daya tampung orang/hari yang diuraikan tersebut menyatakan bahwa ini adalah batasan maksimum wisatawan pada kawasan Teluk Weda yang dapat memperoleh kenyamanan dalam beraktifitas tanpa menyebabkan penurunan kualitas sumberdaya yang ada. Dahuri (2002), daya dukung kawasan pada akhirnya akan menentukan kelangkaan sumberdaya alam vital dan jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh manusia dan organisme hidup yang mendiami kawasan tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (deteriorasi). Jadi daya dukung adalah pembatas akhir (ultimate constraint) yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, dan salinitas. 5.6 Nilai ekonomi Biaya perjalanan wisatawan di Teluk Weda adalah biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan wisata (wisata diving, wisata snorkeling dan wisata birdwaching). Biaya tersebut adalah biaya transportasi, biaya sewa alat selam, sewa kapal motor, biaya sewa pemandu selam, biaya alat untuk melihat burung dan biaya sewa penginapan. Biaya yang dimaksud sudah tercantum secara lengkap dalam biaya perjalanan (Tabel 46). Fungsi permintaan wisatawan dengan menggunakan pendekatan persamaan linier berganda, diperoleh model permintaan sebagai berikut : Nilai elastisitas permintaan (biaya perjalanan) sebesar -0,99 menunjukkan bahwa terjadi fungsi permintaan bersifat elastik yaitu terdapat hubungan terbalik antara biaya perjalanan dengan tingkat kunjungan wisatawan. Jika terjadi perubahan total biaya perjalanan sebesar 1%, maka tingkat kunjungan wisatawan akan berubah sebesar 0,99%. Tingkat pendapatan merupakan variabel yang dapat mempengaruhi tingkat permintaan, apabila terjadi peningkatan sebesar 1%, maka akan terjadi peningkatan level permintaan sebesar 0,04%. Nilai-nilai koefisien hasil analisis persamaan linier berganda di atas menghasil koefisien korelasi (Multiple-R) sebesar 0,83 menunjukkan hubungan positif yaitu adanya hubungan antara biaya kunjungan dan pendapatan terhadap hari kunjungan ke Teluk Weda sebesar 83%. Sedangkan nilai koefisien determinasi (R-Square) sebesar 0,68 yang menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model biaya perjalanan, pendapatan pertahun mampu
138
menjelaskan keragaman variabel tak bebas, yaitu jumlah wisatawan yang berkunjung ke Teluk Weda sebesar 68%. Tabel 46 Asal negara, hari kunjungan, biaya perjalanan dan pendapatan wisatawan yang berkunjung ke Weda Resort di Teluk Weda Asal Negara Indonesia Australia Belanda Amerika Serikat Inggris Amerika Serikat Perancis Swiss Belanda Jerman Belanda Belanda Belanda Denmark Belanda Total Rata-rata
Hari Kunjungan (Y) 3 4 7 10 10 10 13 13 14 14 14 14 14 15 20 175 12
Biaya Perjalanan (Rp) (X1) 3.450.495 6.351.160 12.500.478 12.750.498 17.767.023 11.652.988 11.652.988 12.500.478 10.805.498 11.652.988 11.652.988 11.653.988 11.653.168 12.500.478 20.551.633 179.096.843 11.939.790
Pendapatan (Rp) (X2) 34.646.285 387.453.725 394.844.725 468.229.575 383.738.775 468.229.575 431.790.000 426.956.675 394.844.725 433.297.375 394.844.725 394.844.725 394.844.725 353.367.600 394.844.725 5.756.777.935 383.785.196
Surplus konsumen wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Teluk Weda yaitu hasil pembagian jumlah kunjungan dengan parameter dari total biaya perjalanan, diperoleh model surplus konsumen sebagai berikut : →
Total nilai manfaat dari kawasan wisata diperoleh dari hasil perkalian Consumer Surplus Individu dengan jumlah pengunjung riil (berdasarkan data yang ada), sebagai berikut: →
Derived demand diperoleh dengan melakukan regresi berganda pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Pada variabel yang dimasukkan dalam fungsi permintaan adalah variabel yang memiliki pengaruh yang sangat kuat, seperti yang dikemukakan oleh Christiernsson (2003) and Grigalunas et al. (1998), variabel yang paling berpengaruh adalah biaya perjalanan (TC) dan pendapatan (Y). Dalam model ini, pengunjung yang berasal dari Negara yang berbeda, akan menghabiskan biaya perjalanan yang berbeda. Dan semakin tinggi biaya perjalanan, maka jumlah pengunjung akan menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa kurva demand atas kunjungan wisata memiliki garis kemiringan negatif (slope negative). Berdasarkan hasil surplus konsumen individu wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Teluk Weda maka diperoleh nilai tiap kunjungan wisata bagi tiap kawasan wisata yang masuk pada kategori ekowisata selam dan ekowisata snorkeling disajikan pada Tabel 47.
139
Tabel 47 Nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi Teluk Weda No 1 2 3 4
Kecamatan Weda Selatan Weda Tengah Weda Weda Utara Total
Wisata Bahari Rp 8.735.443.531,83 Rp 10.788.271.236,77 Rp 1.349.156.851,58 Rp 2.382.487.614,02 Rp 23.255.359.234.20
Tabel 47 menjelaskan bahwa nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi Weda Tengah memiliki nilai tertinggi dengan nilai sebesar Rp.10.788.271.236,77 yang berarti jika wisatawan datang ke lokasi tersebut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi kabupaten Halmahera Tengah dari sektor ekowisata bahari. Demikian pula jika nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi Teluk Weda digalakkan untuk kegiatan yang produktif setiap tahun, maka nilai ini akan lebih memberikan peluang yang besar untuk masyarakat di kawasan Teluk Weda dalam meningkatkan pendapatannya. Selain nilai kunjungan wisata yang diperoleh dari ekowisata bahari di kawasan konservasi, juga terdapat nilai produksi perikanan yang diperoleh dari hasil tangkapan perikanan di daerah yang diteliti, hal ini dapat dilihat dari nilai produksi perikanan yang disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Nilai produksi perikanan Tahun 2012 No Kecamatan Nilai Produksi Perikanan 1 Weda Selatan Rp 66.661.946.010 2 Weda Tengah Rp 80.161.381.960 3 Weda Rp 15.312.618.420 4 Weda Utara Rp 28.559.378.620 Total Rp 190.695.325.000 Berdasarkan hasil analisis nilai kunjungan wisata dan nilai produksi perikanan tahun 2012 (BPS 2012), menunjukkan bahwa nilai kunjungan wisata lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi perikanan di empat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke kawasan konservasi Teluk Weda memberikan keuntungan lebih besar bagi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan masyarakat. 5.7 Kelembagaan 5.7.1 Identifikasi Elemen Sistem kelembagaan Teluk Weda dapat diuraikan atas elemen-elemen yang terdiri dari (1) Elemen pelaku (masyarakat yang terpengaruh), (2) Elemen kebutuhan dari program, (3) Elemen tujuan program, (4) Elemen kendala utama, (5) Elemen perubahan yang dimungkinkan, (6) Elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai untuk setiap aktivitas, dan (9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Adapun pada penelitian ini dasar pertimbangan dalam pemilihan elemen dari program yang ingin dicapai adalah elemen dominan yang sudah dikonsultasikan dengan pakar
140
dalam pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. Sistem model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah dapat diuraikan atas 5 elemen. Perubahan masing-masing elemen sistem dalam upaya pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda terdiri dari sejumlah sub-elemen, meliputi: a. Elemen Pelaku (masyarakat yang terpengaruh) : Kebutuhan pelaku dalam model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diartikan sebagai aktor-aktor yang terlibat dalam upaya mengembangkan pesisir dan pulau-pulau kecil. b. Elemen Tujuan Program : Tujuan program dalam model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diartikan untuk peningkatan berbagai elemen tujuan dalam upaya pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil. c. Elemen Tolok Ukur : Elemen tolok ukur diperlukan dalam model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai acuan akan keberhasilan dari tujuan. d. Elemen Kendala Utama : Kendala utama dalam model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bagian yang dapat menghambat pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil. e. Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan : Aktifitas yang dibutuhkan dalam model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk perencanaan tindakan. 5.7.2 Sistem kelembagaan Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen menghasilkan matriks SSIM (Self Structural Interpretative Matrix) dan hasil penilaian tersebut dikonversi menjadi matriks reachability (RM) awal. Matriks Reachability yang belum memenuhi aturan transitivity, kemudian dilakukan konversi menjadi matriks Reachability yang memenuhi aturan transitivity, sehingga diperoleh matriks Reachability akhir. Selanjutnya dibentuk SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity. SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity dinterpretasikan dalam kelembagaan, kemudian disajikan dalam diagram model struktur hirarki elemen sistem pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda (Lampiran 33). Strukturisasi Sub-elemen Sistem Pengembangan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antara lain : a. Elemen Pelaku Sistem Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan
Pulau Kecil Strukturisasi elemen pelaku, yang terdiri dari 10 sub-elemen, dengan menggunakan teknik ISM dan melalui penilaian V, A, X, dan O akan menghasilkan matriks reachability, struktur model hirarki, dan klasifikasi subelemen. Sub elemen pelaku dilambangkan sebagai berikut: 1. Kelompok Nelayan (L1) 2. Pengusaha industri perikanan (L2) 3. Tokoh masyarakat (L3) 4. Pemerintah daerah (L4)
141
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pemerintah pusat (L5) Wisatawan dalam negeri (L6) Wisatawan luar negeri (L7) Lembaga keuangan dan Bank (L8) Investor wisata bahari (L9) Perguruan Tinggi (L10) L4
L9
L2
L8
L1
L3
L5
L7
L6
L10
Gambar 46 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen pelaku Diagram dan grafik yang ditampilkan pada Gambar 46, menjelaskan bahwa elemen pelaku sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil pada level I pemerintah pusat, wisatawan dalam negeri dan perguruan tinggi; level II tokoh masyarakat dan wisatawan luar negeri; level III kelompok nelayan; level IV pengusaha industri perikanan dan lembaga keuangan dan bank; dan level V pemerintah daerah dan investor pariwisata bahari. Kawasan Teluk Weda merupakan kawasan yang dalam pengelolaan dan pemanfaatan membutuhkan keterpaduan (integration), terkait dengan beragamnya ekosistem dan pemanfaatan yang dilakukan. Kondisi tersebut menjadikan pengelolaan berupa pengembangan kawasan di Teluk Weda merupakan kegiatan yang mengelaborasi sejumlah kepentingan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan dapat dipahami sebagai hak untuk mengatur pola penggunaan internal dan mengubah sumber daya dengan membuat perbaikan (Ostrom and Schlager 1996). Kegiatan pengelolaan ini dapat ditampilkan oleh satu stakeholder atau bersama-sama oleh kelompok atau sebagai hasil kerjasama antara berbagai kelompok. Manajemen kolaboratif, atau co-management, telah didefinisikan sebagai pembagian kekuasaan dan tanggung jawab pengguna sumberdaya antara pemerintah dan lokal (Berkes et al. 1991). Singleton (1998) mendefinisikan co-manajemen sebagai istilah yang diberikan kepada sistem yang menggabungkan pemerintahan sebagai kontrol dengan lokal, pengambilan keputusan yang terdesentralisasi dan akuntabilitas, idealnya dengan menggabungkan kekuatan dan mengurangi kelemahan masing-masing. Mengacu pada hal tersebut, dalam perencanaan kawasan di Teluk Weda, sebagai bentuk bentuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang dalam pengelolaan sumberdaya, diperlukan pelibatan segenap stakeholder terkait
142
dari pemerintah daerah, investor pariwisata bahari, pengusaha industri perikanan, lembaga keuangan dan bank, kelompok nelayan, tokoh masyarakat, wisatawan luar negeri, pemerintah pusat, wisatawan dalam negeri dan perguruan tinggi. Desentralisasi tanggung jawab dapat menjadikan keberlangsungan segenap ekosistem yang ada di Teluk Weda lebih terjamin dengan keterlibatan stakeholder terkait baik sebagai pengguna sekaligus pengawas. Stakeholder dalam kapasitasnya sebagai pengguna (users) akan berusaha dalam pemanfaatan sumberdaya tetap memperhatikan kaidah-kaidah dan mentaati segenap aturan yang telah ditetapkan secara bersama pada proses perencanaan, sekaligus mengawasi terjadinya bentuk pemanfaatan yang merugikan. Lebih lanjut pelaksanaan co-management tidak hanya terkait dengan pembagian tanggung jawab pengelolaan, tetapi juga mensyaratkan adanya kerjasama, partisipasi, peningkatan pengetahuan lokal, dan penggunaan pengetahuan ekologi tradisional dan pengetahuan ilmiah (Iwasaki-Goodman 2005). b. Elemen tujuan program pengembangan kawasan konservasi pesisir dan
pulau kecil Strukturisasi elemen Tujuan yang terdiri dari 12 sub elemen, dengan menggunakan teknik ISM dan melalui penilaian V, A, X, dan O akan menghasilkan matriks reachability, struktur model hirarki, dan klasifikasi subelemen. Sub-elemen tujuan dilambangkan sebagai berikut : 1. Mewujudkan pengembangan wisata (T1) 2. Meningkatkan produktivitas perikanan tangkap (T2) 3. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (T3) 4. Meningkatkan pelayanan jasa lingkungan di pesisir dan pulau-pulau kecil (T4) 5. Meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (T5) 6. Mewujudkan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (T6) 7. Memperluas lapangan kerja (T7) 8. Meningkatkan diversifikasi produk perikanan tangkap (T8) 9. Meningkatkan kegiatan perekonomian daerah pesisir dan pulau-pulau kecil (T9) 10. Meningkatkan minat investor kepariwisataan (T10) 11. Melakukan pengembangan teknologi (T11) 12. Meningkatkan pendapatan daerah (T12) Diagram dan grafik yang ditampilkan pada Gambar 47, menjelaskan bahwa elemen tujuan program sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil pada level I mewujudkan pengembangan wisata; level II meningkatkan produktivitas perikanan tangkap, meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, meningkatkan pelayanan jasa lingkungan di pesisir dan pulau-pulau kecil dan melakukan pengembangan teknologi; level III meningkatkan diversifikasi produk perikanan tangkap dan meningkatkan minat investor kepariwisataan; level IV mewujudkan pemanfaatan SD yang berkelanjutan; level V meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil; level VI memperluas lapangan kerja; level VII meningkatkan kegiatan perekonomian daerah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan level VIII meningkatkan pendapatan daerah.
143
T12
T9
T7
T5
T6
T2
T8
T10
T3
T4
T11
T1
Gambar 47 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen tujuan program Berdasarkan hirarki di atas menunjukkan bahwa tujuan program dalam mewujudkan pengembangan wisata memegang peranan penting pada pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. Pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan sebuah daerah yang dapat dijadikan kawasan konservasi terutama didedikasikan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan budaya yang diasosiasikan, atau dikelola melalui upaya hukum (Olsen 2002). Dalam jangka panjang, pelaksanaan Co-management pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik melalui : 1) Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menunjang kehidupan; 2) Peningkatan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu; dan 3) Peningkatan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan Terkait dengan hal tersebut diperlukan perbaikan yang mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil. Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang selama ini dilaksanakan secara sektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan. Setiap perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil perlu mempertimbangkan beberapa pertimbangan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. (Supriharyono 2009). Perilaku masyarakat dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda masih secara tradisional yaitu dengan penggunaan teknologi penangkapan dan pengolahan hasil perikanan yang sederhana. disamping itu dinamika sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil seperti, kepemimpinan informal, keragaan nelayan, kualitas
144
program pemberdayaan, kompetensi fasilitator, dan kualitas pendukung memiliki pengaruh positif langsung terhadap perilaku nelayan. Serta pemberdayaan masyarakat berpengaruh positif yang nyata terhadap perilaku nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan. Pengembangan masyarakat pesisir mengarah pada meningkatnya kualitas hidup nelayan dan keluarganya melalui pengelolaan secara terpadu dengan mengakomodasi kepentingan ekologis, sosial budaya, dan ekonomi yang ditekankan pada mekanisme kerja sistem penyuluhan, sistem sosial, dan sistem lingkungan antara pemerintah, swasta, dan pihak terkait diperlukan guna mengembangkan masyarakat pesisir yang mampu memelihara kondisi pengelolaan bagi kesejahteraan (Amanah et al. 2006). c. Elemen tolok ukur sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Strukturisasi elemen tolok ukur, yang terdiri dari 10 subelemen, dengan menggunakan teknik ISM dan melalui penilaian V, A, X, dan O akan menghasilkan matriks reachability, struktur model hirarki, dan klasifikasi subelemen. Sub elemen tolok ukur dilambangkan sebagai berikut: 1. Meningkatnya industri pariwisata (U1) 2. Meningkatnya jumlah hasil tangkapan (U2) 3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (U3) 4. Meningkatnya produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (U4) 5. Meningkatnya mutu produk perikanan (U5) 6. Meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (U6) 7. Meningkatnya jumlah investor dan investasi di pesisir dan pulau-pulau kecil (U7) 8. Meningkatnya diversifikasi produk perikanan (U8) 9. Meningkatnya jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap (U9) 10. Harga produk perikanan yang stabil (U10) U3
U2
U7
U8
U1
U4
U10
U5
U6
U9
Gambar 48 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen tolok ukur Diagram dan grafik yang ditampilkan pada Gambar 48, menjelaskan bahwa elemen tolok ukur program sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil pada level I meningkatnya industri pariwisata, meningkatnya
145
produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, meningkatnya mutu produk perikanan, dan meningkatnya jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap; level II meningkatnya diversifikasi produk perikanan dan harga produk perikanan yang stabil; level III meningkatnya jumlah investor dan investasi di pesisir dan pulau-pulau kecil; level IV meningkatnya jumlah hasil tangkapan; dan level V meningkatnya taraf hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat, sementara pada saat yang sama aktivitas manusia mengerahkan tekanan pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga mengancam manfaat yang sama (Nobre 2009). Untuk mempromosikan penggunaan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pendekatan ekosistem adalah nilai yang cukup besar, pertama dalam memahami hubungan kausal antara sistem lingkungan dan sosial-ekonomi, dan dampak kumulatif dari berbagai kegiatan yang dikembangkan dalam ekosistem pesisir (Nobre and Ferreira 2009 ), kedua untuk mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta keanekaragaman hayati (Browman and Stergiou 2005; Murawski 2007). Co-management adalah konsensus ilmiah muncul melengkapi Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Co-management juga menyoroti kebutuhan penggunaan pengetahuan terbaik yang tersedia tentang ekosistem untuk mengelola sumberdaya kelautan, dengan penekanan pada fungsi ekosistem menjaga layanan (Murawski 2007). Teluk Weda merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari sejumlah ekosistem memiliki potensi perikanan yang besar. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup pada sumberdaya perikanan ini. Terkait dengan perencanaan kawasan konservasi dengan salah satu tujuannya adalah peningkatan pendapan, tolak ukur yang relevan untuk digunakan berupa peningkatan produksi perikanan. Peningkatan produksi perikanan ini tidak semata-mata berupa peningkatan hasil tangkap tapi diutamakan berupa diversifikasi produk perikanan. Diversifikasi produk perikanan merupakan salah satu strategi dalam mengkomersilkan sektor perikanan di Teluk Weda. Diversifikasi selain lebih memberikan pilihan produk juga akan mmberikan nilai tambah bagi masyarakat. Nilai tambah yang dimaksud berupa adanya kegiatan supplementer bagi kegiatan perikanan seperti, pengemasan dan pemasaran sehingga menambah rantai suplai (supply chain) dalam pemanfaatan sumerdaya perikanan di Teluk Weda. d. Elemen kendala utama sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Strukturisasi elemen kendala utama, yang terdiri dari 10 sub elemen, dengan menggunakan teknik ISM dan melalui penilaian V, A, X, dan O akan menghasilkan matriks reachability, struktur model hirarki, dan klasifikasi subelemen. Sub elemen kendala dilambangkan sebagai berikut : 1. Nelayan kurang berdaya dalam penentuan harga perikanan (K1) 2. Nelayan kurang konsisten menjaga mutu perikanan tangkap (K2) 3. Lemahnya nelayan dapat mengakses modal pada lembaga keuangan dan bank (K3) 4. Lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam pesisir dan pulau- pulau kecil (K4)
146
5. 6. 7. 8. 9.
Kurangnya pembinaan terhadap nelayan (K5) Lemahnya sistem kelembagaan di pesisir dan pulau-pulau kecil (K6) Lemahnya koordinasi antar pihak terkat (K7) Tingginya kebutuhan ekspor perikanan tangkap (K8) Peraturan investasi daerah yang kurang mendukung (K9) 10. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten (K10) K5
K7
K3
K6
K8
K2
K1
K4
K9
K10
Gambar 49 Diagram model struktur hirarki dan Grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen kendala utama Diagram dam grafik yang ditampilkan pada Gambar 49, menjelaskan bahwa elemen kendala program sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil pada level I nelayan kurang berdaya dalam penentuan harga perikanan, lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola SDA pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan investasi daerah yang kurang mendukung dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten; level II nelayan kurang konsisten menjaga mutu perikanan tangkap; level III tingginya kebutuhan ekspor perikanan tangkap; level IV lemahnya nelayan dapat mengakses modal pada lembaga keuangan dan bank dan lemahnya sistem kelembagaan di pesisir dan pulau-pulau kecil; level V lemahnya koordinasi antar pihak terkait; dan level VI kurangnya pembinaan terhadap nelayan. Perencanaan pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda diharapkan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat khususnya nelayan sesuai dengan kapasitas ekonomi yang sesuai dengan daya dukung serta kebijakan sosial ekonomi yang berpihak kepada kelompok yang terpinggirkan. Kebijakan sosial ekonomi perlu direkayasa-ulang, yakni diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan sosial ekonomi dapat dipercepat dan dilakukan secara berkelanjutan. Pengembangan masyarakat pesisir dan pulau-pulau harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumberdaya alam yang unik; (2) optimalisasi pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir dan laut dengan mengitegrasikan segenap informasi ekologis, ekonomis dan sosial; dan (3)
147
peningkatan pendekatan multidisipliner dan koordinasi antar sektoral dalam mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kompleks. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan hasil yang diharapkan, yaitu (1) terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil beserta sumberdaya didalamnya, dan (2) membaiknya kondisi sosial ekonomi-budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera mengejar ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat diwujudkan (Cincin et al. 1998). Lebih lanjut Dahuri et al. (1996) menjelaskan upaya pembinaan nelayan untuk pembangunan nasional dapat dilakukan melalui program: a) pembinaan nelayan memerlukan pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan, terutama kemiskinan nelayan yang terjadi; b) pembinaan nelayan memerlukan pendekatan sosial engineering yang tepat, efektif dan efisien; c) penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya; d) penguatan dan pembinaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil; e) pengembangan mata pencaharian alternatif; f) penanganan penangkapan ikan ilegal, tidak tercatat dan tidak diatur; g) dukungan kebijakan pengembangan perikanan tangkap; dan h) dukungan kebijakan pengembangan perikanan budidaya. e. Elemen aktifitas yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Strukturisasi elemen aktivitas yang dibutuhkan, yang terdiri dari 10 sub elemen, dengan menggunakan teknik ISM dan melalui penilaian V, A, X, dan O akan menghasilkan matriks reachability, struktur model hirarki, dan klasifikasi sub elemen. Sub elemen aktivitas yang dibutuhkan dilambangkan sebagai berikut: 1. Membuat kebijakan yang konsisten (A1) 2. Memfasilitasi pelaksanaan pendidikan (A2) 3. Memfasilitasi akses modal pengembangan (A3) 4. Memfasilitasi penelitian dan pengembangan bekerjasama dengan perguruan tinggi (A4) 5. Memfasilitasi tersedianya infrastruktur yang memadahi (A5) 6. Memberikan pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam (A6) 7. Melaksanakan promosi keaneka-ragaman hayati pesisir dan pulau-pulau kecil (A7) 8. Mendirikan sarana pelayanan (A8) 9. Melakukan koordinasi antar instansi terkait (A9) 10. Memfasilitasi penyediaan data dan informasi (A10) Diagram dan grafik yang ditampilkan pada Gambar 50, menjelaskan bahwa elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan program sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil pada level I membuat kebijakan yang konsisten; level II memfasilitasi pelaksanaan pendidikan, memfasilitasi penelitian dan pengembangan bekerjasama dengan perguruan tinggi, memfasilitasi tersedianya infrastruktur yang memadahi,
148
memberikan pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam dan melakukan koordinasi antar instansi terkait; dan level III adalah memfasilitasi akses modal pengembangan, melaksanakan promosi keanekaragaman hayati pesisir dan pulaupulau kecil, mendirikan sarana pelayanan dan memfasilitasi penyediaan data dan informasi.
A3
A2
A7
A4
A8
A5
A10
A6
A9
A1
Gambar 50 Diagram model struktur hirarki dan grafik hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) elemen aktivitas Selama ini pengelolaan sumberdaya sering merupakan the missing ingredient dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. secara sederhana pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas sumber-sumber hidup yang penting. Upaya masyarakat untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan melalui power yang dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia (personal/human development). Pembangunan manusia merupakan proses pembentukan pengakuan diri (self-respect), percaya diri (selfconfident) dan kemandirian (self-reliance) dapat bekerja sama dan toleran terhadap sesamanya dengan menyadari potensi yang dimilikinya. hal ini dapat terwujud dengan menimba ilmu dan ketrampilan baru, serta aktif berpartisipasi didalam pembangunan ekonomi, sosial dan politik dam komunitas mereka (Hanson 2003; Kennish 2002). Terkait dengan hal tersebut tersedianya infrastruktur yang memadahi, akan mengurangi missing ingredient dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil di Teluk Weda, Melalui penyediaan infrastruktur yang memadahi, setiap stakeholder yang terlibat memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi, merumuskan solusi permasalahan yang ada sekaligus menggagas kegiatan yang diperlukan dalam mengelola kawasan Teluk Weda 5.8 Keberlanjutan Hasil analisis keberlanjutan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang diperuntukan untuk kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher and Preikshot 2001). Analisis keberlanjutan ini
149
mempertimbangkan empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi kelembagaan. Nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masing-masing dimensi yang merupakan hasil pendapat pakar. Nilai skoring indeks berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0-100% dengan kriteria antara lain : nilai indeks terletak antara 0–24.99% (tidak berkelanjutan), nilai indeks terletak antara 25–49.99% (kurang berkelanjutan), nilai indeks terletak antara 50–74.99% (cukup berkelanjutan), dan nilai indeks terletak antara 75–100% (berkelanjutan). Analisis keberlanjutan untuk setiap dimensi terdiri dari beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, kemudian diberi bobot menggunakan metode Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis dilakukan dengan software Rapfish. Pemberian skor atribut pada masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. 5.8.1 Status keberlanjutan dimensi ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi utama dalam menjaga keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat dikelola secara berkelanjutannya untuk generasi yang akan datang. Tanpa adanya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, maka akan terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan di Teluk yang merupakan habitat bagi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Dimensi ekologi dibutuhkan untuk mewujudkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rapfish terhadap sembilan belas atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 61,68% dengan status cukup berkelanjutan. Hasil analisis yang diperoleh menggambarkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan kawasan untuk kegiatan ekowisata dan minawisata akan berkelanjutan tanpa adanya tekanan degradasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Atribut-atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yang berdampak positif tetap harus dijaga dan ditingkatkan sedangkan atribut yang berdampak negatif harus ditekan. Atribut ekologi yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil : 1) Kesesuaian minawisata budidaya rumput laut, 2) daya dukung minawisata budidaya rumput laut, 3) daya dukung minawisata budidaya rumput laut kapasitas perairan, 4) daya dukung budidaya rumput laut kapasitas asimilasi, 5) kesesuaian minawisata keramba jaring apung, 6) daya dukung minawisata keramba jaring apung, 7) daya dukung minawisata keramba jaring apung kapasitas perairan, 8) kesesuaian ekowisata pancing, 9) daya dukung ekowisata pancing, 10) kesesuaian ekowisata selam, 11) daya dukung ekowisata selam, 12) kesesuaian ekowisata snorkeling, 13) daya dukung ekowisata snorkeling, 14) kesesuaian ekowisata pantai, 15) daya dukung ekowisata pantai, 16) kesesuaian ekowisata mangrove, 17) daya dukung ekowisata mangrove, 18) kesesuaian ekowisata lamun, dan 19) daya dukung ekowisata lamun. Adapun
150
atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage.
Gambar 51 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Hasil analisis Leverage diperoleh lima atribut ekologi yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan antara lain : 1) kesesuaian minawisata keramba jaring apung, 2) daya dukung ekowisata pancing, 3) daya dukung ekowisata selam, 4) daya dukung ekowisata snorkeling dan 5) daya dukung ekowisata pantai. Hasil analisis Leverage disajikan pada Gambar 52. Peran atribut dimensi ekologi dengan nilai Root Mean Square menjelaskan bahwa atribut daya dukung ekowisata selam merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya dukung ekowisata selam, daya dukung ekowisata snorkeling dan daya dukung minawisata pancing termasuk relatif rendah karena sangat terkait dengan besarnya tutupan karang. Hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga keberlanjutan ekologi pada ekosistem terumbu karang adalah melakukan penetapan kawasan konservasi sesuai dengan persyaratan pengelolaan kawasan konservasi yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sesuai peruntukkannya. Dimensi ekologi juga terdapat dua atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan yaitu kesesuai minawisata keramba jaring apung dan daya dukung ekowisata pantai. Kedua atribut tersebut berhubungan langsung dengan atribut lainnya pada dimensi ekologi, hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan luasan akan berdampak pada kualitas objek wisata dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kunjungan wisata ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda.
151
Gambar 52 Peran atribut dimensi ekologi dengan nilai Root Mean Square 5.8.2 Status keberlanjutan dimensi ekonomi Dimensi ekonomi merupakan dimensi pendukung untuk menjaga keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat mempertahankan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan dimensi ekonomi berarti sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki nilai positif dan bernilai ekonomis penting untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rapfish terhadap sepuluh atribut dimensi ekonomi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 55,98% dengan status cukup berkelanjutan.
Gambar 53 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi
152
Hasil analisis yang diperoleh mengambarkan bahwa posisi indeks keberlanjutan ekonomi berada pada kuadran negatif maka ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan selama ini kurang optimal. Adapun untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan. Atribut ekonomi yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pualu kecil: 1) budidaya keramba jaring apung, 2) budidaya rumput laut, 3) daerah penangkapan ikan pelagis, 4) daerah penangkapan ikan demersal, 5) wisata pantai, 6) wisata bahari, 7) wisata sejarah/budaya, 8) spesies penting, 9) spesies endemik, dan 10) bentuk ancaman. Adapun atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Hasil analisis Leverage diperoleh enam atribut ekonomi yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan antara lain : 1) wisata pantai, 2) daerah penangkapan ikan demersal, 3) wisata bahari, 4) daerah penangkapan ikan pelagis, 5) budidaya rumput laut, dan 6) budidaya keramba jaring apung. Hasil analisis Leverage disajikan pada Gambar 54.
Gambar 54 Peran atribut dimensi ekonomi dengan nilai Root Mean Square Peran atribut dimensi ekonomi dengan nilai Root Mean Square menjelaskan bahwa atribut wisata pantai merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekonomi, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan demersal dan wisata bahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan, hal ini dipengaruhi kawasan penangkapan ikan karang telah mengalami degradasi akibat rusaknya terumbu karang, sedangkan untuk wisata pantai juga dipengaruhi oleh abrasi pantai yang terjadi di pesisir Teluk Weda akibat pembangunan.
153
Dimensi ekonomi juga terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pemanfaatan kawasan yaitu daerah penangkapan ikan pelagis, budidaya rumput laut dan budidaya keramba jaring apung. Ketiga atribut tersebut berhubungan langsung dengan atribut lainnya pada dimensi ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan luasan akan berdampak pada kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap kegiatan minawisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Weda. 5.8.3 Status keberlanjutan dimensi sosial budaya Dimensi sosial budaya merupakan dimensi pendukung yang dilakukan oleh masyarakat dan stakeholder yang menjaga dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan masnuisa di masa yang akan datang. Dimensi ini menunjukkan bahwa tanpa campur tangan manusia yang memiliki kepedulian terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, maka akan terjadi degradasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, untuk itu diperlukan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta adat istiadat yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rapfish terhadap sembilan atribut dimensi sosial budaya diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 68,06% dengan status cukup berkelanjutan.
Gambar 55 Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya Hasil analisis yang diperoleh mengambarkan bahwa posisi indeks keberlanjutan sosial budaya mengindikasikan adanya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan yang dilakukan selama ini masih kurang, namun untuk kategori keberlanjutan masih dalam taraf cukup berkelanjutan. Adapun untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka perlu memperbaiki atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks, sedangkan atribut atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan dan harus ditingkatkan. Atribut sosial budaya yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat
154
keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pualu kecil : 1) tingkat dukungan masyarakat, 2) kepedulian masyarakat, 3) penelitian dan pendidikan, 4) estetika, 5) perlindungan situs budaya, 6) keamanan, 7) aksesibilitas, 8) tempat rekreasi, 9) konflik kepentingan. Adapun atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Hasil analisis Leverage diperoleh empat atribut sosial budaya yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan antara lain : 1) tempat rekreasi, 2) estetika, 3) perlindungan situs budaya, dan 4) penelitian dan pendidikan. Hasil analisis Leverage disajikan pada Gambar 56.
Gambar 56 Peran atribut dimensi sosial budaya dengan nilai Root Mean Square Peran atribut dimensi sosial budaya dengan nilai Root Mean Square menjelaskan bahwa atribut tempat rekreasi merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi sosial budaya, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa estetika, dan perlindungan situs budaya memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan, hal ini dipengaruhi karena kawasan ini oleh masyarakat masih dianggap kurang penting untuk dikembangkan, padahal estetika dan situs budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat yang masih memegang teguh adat istiadat yang selama ini masih dipertahankan. Untuk lebih meningkatkan atribut estetika dan perlindungan situs budaya, maka perlu secara terus menerus melakukan perbaikan terhadap cagar budaya yang masih ada untuk dikelola sebagai kawasan wisata. Dimensi sosial budaya juga terdapat atribut sensitif yang yaitu penelitian dan pendidikan, atribut ini merupakan atribut yang berhubungan langsung dengan atribut lainnya, karena dengan adanya penelitian dan pendidikan yang dilakukan di daerah ini, maka tingkat pemahaman masyarakat tentang manfaat wisata
155
sejarah dan wisata alam akan memberikan dampak positif terhadap tingkat pemahaman masyarakat tersebut pada perlindungan situs budaya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. 5.8.4 Status keberlanjutan dimensi kelembagaan Dimensi kelembagaan juga merupakan dimensi pendukung yang dapat mengikat masyarakat dan stakeholder dalam melakukan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan adanya dimensi kelembagaan berarti masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama dalam melakukan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rapfish terhadap sepuluh atribut dimensi kelembagaan diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 76,01% dengan status berkelanjutan.
Gambar 57 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan Hasil analisis yang diperoleh mengambarkan bahwa posisi indeks keberlanjutan kelembagan mengindikasikan adanya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan yang dilakukan selama ini baik, karena untuk kategori keberlanjutan berada pada posisi berkelanjutan. Adapun untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka perlu peningkatan terhadap atribut-atribut yang masih rendah terhadap nilai indeks, sedangkan atribut -atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan dan harus ditingkatkan. Atribut kelembagaan yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pualu kecil : 1) pemerintah pusat (pelaku), 2) wisatawan dalam negeri (pelaku), 3) perguruan tinggi (pelaku), 4) mewujudkan pengembangan wisata (tujuan program), 5) meningkatkan industri pariwisata (tolok ukur), 6) meningkatnya produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (tolok ukur), 7) meningkatnya mutu produk perikanan (tolok ukur), 8) meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (tolok ukur), 9) meningkatnya jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap (tolok ukur), 10) nelayan kurang berdaya
156
dalam penentuan harga ikan (kendala utama), 11) lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil (kendala utama), 12) peraturan investasi daerah yang kurang mendukung (kendala utama), 13) kebijakan pemerintah yang tidak konsisten (kendala utama), dan 14) membuat kebijakan yang konsisten (aktifitas). Adapun atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Hasil analisis Leverage diperoleh lima atribut kelembagaan yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan antara lain : 1) meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (tolok ukur), 2) lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil (kendala utama), 3) perguruan tinggi (pelaku), 4) kebijakan pemerintah yang tidak konsisten (kendala utama), dan 5) wisatawan dalam negeri (pelaku). Hasil analisis Leverage disajikan pada Gambar 58. Peran atribut dimensi kelembagaan dengan nilai Root Mean Square menjelaskan bahwa atribut meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (tolok ukur) merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi kelembagaan, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan secara keseluruhan.
Gambar 58 Peran atribut dimensi kelembagaan dengan nilai Root Mean Square Hasil analisis menunjukkan bahwa lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil (kendala utama) dan
157
perguruan tinggi (pelaku), memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih terfokus melakukan kegiatan di daratan dibandingkan di pesisir dan pulaupulau kecil, demikian juga kurang adanya peran perguruan tinggi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan sumberdaya alam pesisir dan pulaupulau kecil. Untuk itu perlu adanya dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi dalam melakukan kerjasama berbagai penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkesinambungan untuk masa yang akan datang. Dimensi kelembagaan juga terdapat atribut yang sensitif yaitu kebijakan pemerintah yang tidak konsisten (kendala utama), dan wisatawan dalam negeri (pelaku), atribut ini merupakan atribut yang berhubungan langsung dengan atribut lainnya, karena dengan adanya kebijakan pemerintah yang konsisten, maka kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil akan terwujud, dan kegiatan ekominawisata bahari akan diminati oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Sedangkan kunjungan wisatawan dalam negeri akan lebih meningkat lagi, jika dilakukan promosi yang lebih baik dalam rangka peningkatan kunjungan wisata dan peningkatan pendapatan masyarakat di pesisir dan pulaupulau kecil Teluk Weda khususnya dan Kabupaten Halmahera Tengah Umumnya. 5.8.5 Status keberlanjutan multidimensi Status keberlanjutan akan mencapai optimal jika nilai status keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap dimensi tersebut. Dari ketiga dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial budaya) yang cukup berkelanjutan ditingkatkan menjadi berkelanjutan, sedangkan untuk dimensi kelembagaan atribut-atribut lainnya harus ditingkatkan lagi untuk mencapai optimal, terutama pemerintah pusat sebagai pelaku utama. Adapun nilai status keberlanjutan secara keseluruhan disajikan pada Gambar 59.
Gambar 59 Diagram layang-layang status keberlanjutan multidimensi
158
Hasil analisis Rapfish multidimensi keberlanjutan pengelolaan kawasan Teluk Weda berdasarkan kondisi yang ada, diperoleh nilai 57,24% yang berarti termasuk kedalam status cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 52 atribut dari 4 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan. Posisi titik nilai indeks keberlanjutan tersebut berada pada kwadran negatif yang berarti pengelolaan berjalan ke arah yang kurang baik. Hasil analisis keberlanjutan multidimensi disajikan pada Gambar 60.
Gambar 60 Indeks keberlanjutan multidimensi Nilai indeks keberlanjutan multidimensi cukup berkelanjutan, namun karena berada pada kuadran negatif, maka tetap harus ada upaya untuk memperbaiki atribut-atribut yang berdampak negarif terhadap nilai indeks keberlanjutan serta mempertahankan dan meningkatkan atribut-atribut yang telah berdampak positif terhadap nilai indeks keberlanjutan kegiatan pengelolaan kawasan ekominawisata pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. Adapun atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Hasil analisis Leverage diperoleh lima atribut multidimensi yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan antara lain : 1) Estetika, 2) perlindungan situs budaya, 3) penelitian dan pendidikan, 4) budidaya rumput laut, dan 5) budidaya keramba jaring apung. Atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis Leverage dari keempat dimensi sebanyak 20 atribut (Gambar 61). Untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Weda perlu perbaikan pada atribut-atribut tersebut. Atribut-atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan ditingkatkan kapasitasnya dan sebaliknya menekan kapasitas atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan.
159
Gambar 61 Peran atribut multidimensi dengan nilai Root Mean Square Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Weda tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rapfish. Dalam hal pemberian skoring yang dilakukan terhadap setiap atribut dapat diperkecil kesalahannya, hal ini dapat dilihat dari proses analisis data yang dilakukan berulang-ulang menjadi stabil dengan pemberian skoring karena perbedaan relatif kecil, sehingga kesalahan dalam menginput data dan data yang hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 49. Tabel 49 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo Nilai indeks keberlanjutan (%) Indeks keberlanjutan MDS Montecarlo Perbedaan Ekologi 61,68 59,42 2,26 Ekonomi 55,98 55,75 0,23 Sosial budaya 68,06 67,63 0,42 Kelembagaan 76,01 73,71 2,30 Multidimensi 57,24 56,38 0,86
160
Hasil analisis Rapfish menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Weda dapat dipercaya. Hal ini terlihat pada Tabel 50 dengan nilai stress yang berkisar antara 0,08-0,13 (8-13%) dan nilai koefisien determinasi (R²) berkisar antara 0,96-0,98. Hal ini menunjukkan bahwa nilai stress diperoleh lebih kecil dari 0,25 (25%) dapat diterima, karena nilai R² mendekati nilai 1.0 (Fisheries 1999). Tabel 50 Nilai stress, koefisien determinasi (R²) dan iterasi hasil analisis Rapfish Indeks Stress Koefisien Determinasi (R²) Iterasi keberlanjutan Ekologi 0,12 0,96 2 Ekonomi 0,11 0,97 3 Sosial budaya 0,11 0,98 3 Kelembagaan 0,13 0,96 3 Multidimensi 0,08 0,98 3
161
6 PEMBAHASAN UMUM
Teluk Weda yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah sebagai teluk yang luas di Provinsi Maluku Utara merupakan daerah yang harus direncanakan pengelolaan secara baik. Untuk mewujudkan semua ini maka harus dilakukan penataan ruang secara terpadu antara daratan dan lautan. Pengelolaan kawasan teluk yang berkelanjutan perlu ditetapkan dengan melakukan penetapan kawasan yang sesuai dengan peruntukkannya, terutama kawasan yang akan dijadikan kawasan konservasi yang bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. 6.1 Kawasan Konservasi Kecamatan Weda Utara Inventarisasi dan identifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil menjelaskan bahwa kawasan Kecamatan Weda Utara memiliki tiga buah pulau kecil, namun yang dapat dijadikan kawasan konservasi adalah pulau Tumnya dan pulau Mesa/Mintu. Pulau Tumnya adalah pulau karang dan pulau Mesa/Mintu adalah pulau mangrove. Pulau Tumnya memiliki bentuk pertumbuhan (life-form) terumbu karang yang lengkap. Berdasarkan hasil kesesuaian kawasan konservasi, maka pulau Tumnya ditetapkan sebagai zona inti pada kawasan konservasi. Pulau Mesa/Mintu adalah pulau yang ditumbuhi oleh mangrove, selain itu pulau tersebut juga merupakan habitat dari hewan kelelawar. Berdasarkan hasil kesesuaian kawasan konservasi, maka pulau Mesa ditetapkan sebagai zona inti pada kawasan konservasi. Zona pemanfaatan terbatas ditetapkan pada kawasan pulau Mesa dan pulau Tumnya. Zona pemanfaatan terbatas pada kawasan pulau Mesa dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata mangrove, sedangkan zona pemanfaatan terbatas pada kawasan pulau Tumnya dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata selam dan ekowisata snorkeling. Zona perikanan berkelanjutan pada pulau Mesa dan pulau Tumnya dimanfaatkan sebagai minawisata pancing. Kawasan konservasi di Kecamatan Weda Utara dapat meningkatkan pendapatan masyarakat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi lebih tinggi dibandingan dengan nilai produksi perikanan, dengan perbandingan yang demikian dapat memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan kreatifitas dan kualitas dalam menangani wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan wisata, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) di kawasan tersebut. 6.2 Kawasan Konservasi Kecamatan Weda Tengah Inventarisasi dan identfikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Weda Tengah adalah kawasan pesisir yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang dan karang berpasir, kawasan ini tidak terdapat pulau-pulau kecil. Kawasan yang dijadikan kawasan konservasi berada di Tanjung Ulie yang berdekatan dengan keberadaan perusahaan PT Weda Bay Nickel sampai dengan Lelilef Waibulan. Walaupun kawasan ini berdekatan dengan perusahaan
162
pertambangan, namun kawasan ini memiliki terumbu karang yang masih baik dan kawasan tersebut merupakan daerah ruaya hewan hiu endemik. Zona inti ditetapkan pada terumbu karang yang terdapat di ujung Tanjung Ulie. Zona pemanfaatan terbatas berada ditetapkan di sekitar zona inti, zona pemanfaatan terbatas sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata selam dan ekowisata snorkeling. Zona perikanan berkelanjutan ditetapkan didepan zona pemanfaatan terbatas mengarah ke laut dari Tanjung Ulie sampai Lelilef Waibulan. Zona perikanan berkelanjutan ditetapkan sebagai kesesuai kawasan untuk kegiatan minawisata pancing. Kawasan konservasi di Kecamatan Weda Tengah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), hal ini di dukung dengan keberadaan tempat wisata Weda Resort yang terdapat di Sawai Itepo yang berdekatan dengan Lelilef Waibulan. Dengan adanya tempat wisata tersebut dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat di sekitarnya untuk kegiatan wisata, karena hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi lebih tinggi dibandingan dengan nilai produksi perikanan dan nilai kunjungan wisata dari kawasan konservasi yang lainnya. 6.3 Kawasan Konservasi Kecamatan Weda Kawasan di Kecamatan Weda merupakan kawasan yang memiliki ekosistem yang lengkap, hal ini dapat dilihat dari hasil inventarisasi dan identifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa terdapat 24 (dua puluh empat) buah pulau kecil yang di kelilingi oleh mangrove, lamun dan terumbu karang. Kawasan yang tetapkan sebagai zona inti adalah kawasan pulau-pulau kecil yang lebih dekat ke daratan (mainland). Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan daerah pemeliharaan (nursery ground), memijah (spawning ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota yang ada disekitarnya. Zona pemanfaatan terbatas berada di depan zona inti, yaitu zona yang dimafaatkan untuk kegiatan ekowisata selam, snorkeling, pantai, mangrove dan lamun. Adapun zona pemanfaatan perikanan berkelanjutan kawasan lebih luas lagi dan mengarah ke Weda Tengah, kawasan ini dimanfaatkan sebagai kegiatan minawisata pancing, budidaya rumput laut dan keramba jaring apung. Kawasan konservasi di Kecamatan Weda dapat meningkatkan pendapatan masyarakat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi lebih tinggi dibandingan dengan nilai produksi perikanan, dengan perbandingan yang demikian dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) di kawasan tersebut. 6.4 Kawasan Konservasi Kecamatan Weda Selatan Kawasan di Kecamatan Weda Selatan merupakan kawasan yang memiliki ekosistem yang lengkap, namun hanya terdapat satu buah pulau kecil yang terletak di ujung Tanjung Tilope. Hasil inventarisasi dan identifikasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang masih cukup baik.
163
Kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai zona inti terdapat di pulau Mofi sampai Tanjung Tilope dan sebagian Tilope. Zona pemanfaatan terbatas terdapat di sekitar zona inti, yaitu ditetapkan untuk kegiatan ekowisata pantai, mangrove, lamun, snorkeling dan selam. Zona perikanan berkelanjutan ditetapkan sebagai kegiatan minawisata pancing, budidaya rumput laut dan keramba jaring apung. Kawasan konservasi di Kecamatan Weda Selatan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kunjungan wisata di kawasan konservasi lebih tinggi dibandingan dengan nilai produksi perikanan, dengan perbandingan yang demikian dapat memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan kreatifitas dan kualitas dalam menangani wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan wisata, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) di kawasan tersebut. 6.5 Daya dukung Daya dukung telah didefinisikan sebagai ukuran maksimum populasi atau kegiatan yang dapat dipertahankan tanpa mengalami penurunan produktivitas ekosistem di masa depan atau terhadap kesesuaian penggunaan (Odum 1997). Daya dukung ekologi adalah sebagai batas alami dari populasi yang ditetapkan oleh sumber daya dalam lingkungan tertentu (Caughley and Sinclair 1994). Daya dukung sebagai ukuran populasi maksimum yang dapat berkelanjutan pada beberapa tingkat hirarki yang terintegrasi dengan proses biologi dan proses lingkungan di daerah tertentu, dengan sumberdaya yang terbatas, baik secara spasial dan temporal (Kessler 1994 and del Monte-Luna et al. 2004). Berdasarkan sejumlah pertimbangan (MacLeod and Cooper 2005) mengemukakan bahwa : • Daya dukung fisik mengacu pada keterbatasan ruang, yaitu jumlah kegiatan suatu daerah dapat bertahan sebelum ada beberapa perubahan kualitas, misalnya, jumlah tempat berlabuh. • Daya dukung sosial mengacu pada kepadatan populasi manusia suatu wilayah dapat dipertahankan sebelum mulai terjadi penurunan secara aktual atau persepsi penurunan kenyamanan, seperti wisata pantai. • Daya dukung ekonomi mengacu pada sejauh mana suatu wilayah dapat menjadi berubah sebelum barang dan jasa ekonomi terpengaruh, misalnya, pembangunan pesisir yang berlebihan untuk pariwisata yang mengurangi keinginan daerah. Terkait dengan keberadaan kegiatan penambangan dan pembangunan di daratan Halmahera Tengah, perlu dilakukan analisis kapasitas asimilasi, daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan di Teluk Weda. Daya dukung kapasitas asimilasi dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat kerusakan lingkungan akibat penambangan dan limbah dari daratan yang akan merusak lingkungan perairan Teluk Weda. Lebih lanjut, kajian yang berkaitan dengan kegiatan budidaya (keramba jaring apung dan rumput laut), diperlukan untuk mengetahui zat-zat kimia yang hanyut dan larut ke perairan laut sehingga tidak terkontaminasi terhadap ikan dan rumput laut yang dibudidayakan. Hal ini juga untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem yang ada di
164
Teluk Weda, sehingga ekosistem dan biota-biota yang ada di perairan tidak akan terdegradasi dan punah. Daya dukung kawasan dan pemanfaatan dikaji untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang akan diperuntukkan sebagai kegiatan ekowisata yang terdapat di kawasan konservasi dengan menentukan seberapa besar kemampuan kawasan tersebut untuk menampung wisatawan yang akan berkunjung. Hal ini sesuai dengan daya dukung untuk kawasan lindung terfokus pada penerimaan sumberdaya alam dan dampak kunjungan manusia, serta mempertimbangkan karakteristik biofisik kawasan lindung, faktor sosial, dan kebijakan manajemen menjadi lebih penting sebagai penentu daya dukung dibandingkan jumlah pengunjung (Prato 2001). 6.6 Kelembagaan Sistem kelembagaan dibutuhkan untuk mengatur kawasan konservasi untuk pengelolaan dan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Elemen pelaku sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang diharapkan dalam menyelenggarakan adalah pemerintah pusat, wisatawan dalam negeri dan perguruan tinggi. Pemerintah pusat diharapkan dapat memperkenalkan kawasan konservasi di Teluk Weda dengan cara melakukan promosi secara regional maupun internasional lewat lembaga yang berwenang dibidang pariwisata. Wisatawan dalam negeri diharapkan lebih mengenal dan berkunjung ke lokasi wisata yang ada di Teluk Weda, juga dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan lokasi tersebut kepada calon wisatawan yang lain yang belum pernah berkunjung ke daerah tersebut. Perguruan tinggi diharapkan dapat melakukan penelitian pada zona inti agar dapat diketahui seberapa besar zona tersebut dapat direhabilitasi jika telah terjadi kerusakan, sedangkan yang masih baik dapat dipertahankan ekosistemnya. Pada zona pemanfaatan terbatas diharapkan perguruan tinggi dapat membantu memberikan pelatihan kepada masyarakat setempat dalam hal pengelolaan kawasan tersebut dengan pelatihan penyelaman yang baik yang tidak merusak ekosistem karang dan lingkungannya, untuk kawasan mangrove dilakukan penanaman kembali mangrove yang sudah terdegradasi bekerjasama dengan Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan masyarakat yang terdapat di Kabupaten Halmahera Tengah. Pengelolaan zona perikanan berkelanjutan diharapkan perguruan tinggi dapat melakukan kajian yang berkaitan dengan keramba jaring apung dan budidaya rumput laut, sehingga nelayan yang melakukan usaha budidaya tersebut dapat meningkatkan pendapatannya dan keahliannya dalam pengembangan kegiatan budidaya tersebut. Elemen pelaku sistem dapat melakukan manajemen kolaboratif, atau comanajemen, yang didefinisikan sebagai pembagian kekuasaan dan tanggung jawab pengguna sumberdaya antara pemerintah dan lokal (Berkes et al. 1991). Singleton (1998) mendefinisikan co-manajemen sebagai istilah yang diberikan kepada sistem yang menggabungkan pemerintahan sebagai kontrol dengan lokal, pengambilan keputusan yang terdesentralisasi dan akuntabilitas, idealnya dengan menggabungkan kekuatan dan mengurangi kelemahan masing-masing. Salah satu elemen tujuan program pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil adalah mewujudkan pengembangan wisata.
165
Pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan sebuah daerah yang dapat dijadikan kawasan konservasi terutama didedikasikan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumber daya alam dan budaya yang diasosiasikan, atau dikelola melalui upaya hukum (Olsen 2002). Setiap perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil perlu mempertimbangkan beberapa pertimbangan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. (Supriharyono 2007). Untuk mewujudkan pengembangan wisata tersebut diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat yang mendiami kawasan konservasi, sehingga pengelolaan kawasan konservasi dapat dibarengi dengan pengembangan wisata yang sesuai dengan pemanfaatannya. Teluk Weda merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari sejumlah ekosistem memiliki potensi perikanan yang besar. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup pada sumberdaya perikanan ini. Terkait dengan perencanaan kawasan konservasi dengan salah satu tujuannya adalah peningkatan pendapan, tolak ukur yang relevan untuk digunakan berupa peningkatan produksi perikanan. Peningkatan produksi perikanan ini tidak semata-mata berupa peningkatan hasil tangkap tapi diutamakan berupa diversifikasi produk perikanan. Diversifikasi produk perikanan merupakan salah satu strategi dalam mengkomersilkan sektor perikanan di Teluk Weda. Diversifikasi selain lebih memberikan pilihan produk juga akan mmberikan nilai tambah bagi masyarakat. Nilai tambah yang dimaksud berupa adanya kegiatan supplementer bagi kegiatan perikanan seperti, pengemasan dan pemasaran sehingga menambah rantai suplai (supply chain) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Teluk Weda. Perencanaan pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda diharapkan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat khususnya nelayan sesuai dengan kapasitas ekonomi yang sesuai dengan daya dukung serta kebijakan sosial ekonomi yang berpihak kepada kelompok yang terpinggirkan. Kebijakan sosial ekonomi perlu direkayasa-ulang, yakni diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan sosial ekonomi dapat dipercepat dan dilakukan secara berkelanjutan. Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera mengejar ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat diwujudkan (Cincin et al, 1998). Elemen aktifitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindak program dalam memfasilitasi akses modal pengembangan, melaksanakan promosi keanekaragaman hayati pesisir dan pulau-pulau kecil, mendirikan sarana pelayanan dan memfasilitasi penyediaan data dan informasi merupakan perencanaan yang harus dilakukan untuk mewujudkan kawasan konservasi yang lestari dan berkelanjutan untuk masa depan masyarakat yang mendiami kawasan Teluk Weda. 6.7 Keberlanjutan Keberlanjutan ekominawisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk mempertahankan kualitas ekologi lingkungan Teluk dan melakukan
166
sosialisasi terhadap masyarakat setempat untuk meningkatkan pendapatannya dengan membentuk kelembagaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keberlanjutan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang diperuntukan untuk kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher and Preikshot 2001). Dimensi ekologi merupakan dimensi utama dalam menjaga keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat dikelola secara berkelanjutannya untuk generasi yang akan datang. Tanpa adanya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, maka akan terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan di Teluk yang merupakan habitat bagi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Atribut daya dukung ekowisata selam merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara keseluruhan. Dimensi ekonomi merupakan dimensi pendukung untuk menjaga keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat mempertahankan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan dimensi ekonomi berarti sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki nilai positif dan bernilai ekonomis penting untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Atribut wisata pantai merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Indeks keberlanjutan ekonomi berada pada kuadran negatif maka ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan selama ini kurang optimal, sehingga untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan. Dimensi sosial budaya merupakan dimensi pendukung yang dilakukan oleh masyarakat dan stakeholder yang menjaga dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan masnuisa di masa yang akan datang. Dimensi ini menunjukkan bahwa tanpa campur tangan manusia yang memiliki kepedulian terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, maka akan terjadi degradasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, untuk itu diperlukan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta adat istiadat yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat. Atribut tempat rekreasi merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi sosial budaya, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya secara keseluruhan. Dimensi kelembagaan juga merupakan dimensi pendukung yang dapat mengikat masyarakat dan stakeholder dalam melakukan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan adanya dimensi kelembagaan berarti masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama dalam melakukan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. atribut meningkatnya pendapatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (tolok
167
ukur) merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi kelembagaan, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan secara keseluruhan. Status keberlanjutan akan mencapai optimal jika nilai status keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap dimensi tersebut. Dari ketiga dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial budaya) yang cukup berkelanjutan ditingkatkan menjadi berkelanjutan, sedangkan untuk dimensi kelembagaan atribut-atribut lainnya harus ditingkatkan lagi untuk mencapai optimal, terutama pemerintah pusat sebagai pelaku utama. 6.8 Implikasi kebijakan Implikasi dari pemanfaatan kawasan konservasi di Teluk Weda bagi kegiatan ekowisata selam, ekowisata snorkeling, ekowisata pantai, ekowisata mangrove, ekowisata lamun, minawisata pancing, budidaya keramba jaring apung, budidaya rumput laut secara berkelanjutan ditampilkan pada Tabel 51. Tabel 51 Arahan dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan konservasi di Teluk Weda No. 1
Dimensi Ekologi
Arahan Meminimalisasi beban pencemaran yang dapat merusak lingkungan perairan estuaria dan laut Mengoptimalka n ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil
Prioritas Kebijakan Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap lingkungan perairan estuaria dan laut Memanfaatkan kawasan konservasi sebagai kawasan prioritas utama dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil Melakukan rehabilitasi terhadap ekositem pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah terdegradasi Melarang pemanfaatan di kawasan yang dijadikan zona inti
Institusi/ Lembaga Pelaksana Masyarakat setempat Pemerintah Daerah Dinas Pariwisata Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Lingkungan Hidup Dinas Perhubungan Perusahaan Tambang Lembaga Swadaya Masyarakat Perguruan Tinggi
168
2
Ekonomi
Meningkatkan pendapatan masyarakat dan PAD Meningkatkan daya saing dan daya juang bagi masyarakat sekitar kawasan konservasi
Melakukan pelatihan kegiatan ekowisata Melakukan pelatihan pengolahan sumberdaya perikanan Melakukan pelatihan kewirausahaan Mendorong masyarakat untuk mengembangkan usaha ekowisata di kawasan konservasi yang dijadikan kawasan wisata Membina masyarakat dengan membentuk kelompok usaha mandiri Menfasilitasi masyarakat dalam usaha wisata
3
Sosial dan Budaya
Melestarikan sejarah budaya masyarakat Meningkatkan keterlibatan masyarakat
Mendorong masyarakat untuk mempertahankan sejarah budaya yang masih ada sampai saat ini Melakukan promosi budaya lokal sebagai daya tarik wisata dalam bentuk festival Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat setempat Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kesesuaian wisata
4
Kelembagaan
Kelembagaan formal Kelembagaan non formal
Membuat peraturan daerah yang dapat menunjang kegiatan konservasi Mensosialisasikan undangundang yang telah ditetapkan pemerintah Melakukan pelatihan yang menyangkut undang-undang telah ditetapkan pemerintah Mempertahankan peraturan dan adat istiadat yang masih ada sesuai dengan pengelolaan kawasan konservasi Membentuk kelompok swadaya masyarakat yang berkaitan dengan penetapan kawasan konservasi
Masyarakat setempat Pemerintah Daerah Dinas Pariwisata Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Perhubungan
Perusahaan Tambang (CSR) Lembaga Swadaya Masyarakat Perguruan Tinggi Masyarakat setempat Pemerintah Daerah Dinas Pariwisata Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lembaga Swadaya Masyarakat Perguruan Tinggi Masyarakat setempat Pemerintah Daerah Dinas Pariwisata Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lembaga Swadaya Masyarakat Perguruan Tinggi
169
7 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah disampaikan, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan : 1. a) Hasil identifikasi dan inventarisasi ekosistem Teluk Weda menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil terdiri dari 28 pulau, secara keseluruhan pulau ini merupakan pulau yang tidak berpenduduk. b) Mangrove yang ditemukan terdiri dari 6 Famili dengan jumlah spesies yang terbanyak di Desa Sagea Kecamatan Weda Utara. c) Jenis lamun yang ditemukan terdiri dari 10 spesies dengan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang ditemukan di semua lokasi penelitian. d) Bentuk pertumbuhan (life-form) terumbu karang yang ditemukan terdiri dari 14 lifeform dengan tipe hamparan karang dominan berada pada daerah fringing serta barrier dan umumnya berada pada dasar perairan dengan tipe topografi dasar berbentuk slope dan drop off. 2. Kesesuaian kawasan konservasi untuk pengembangan ekowisata bahari di Teluk Weda pada zona pemanfaatan terbatas memiliki luasan kawasan terbesar untuk kegiatan ekowisata mangrove dan kegiatan ekowisata lamun merupakan kawasan dengan luasan terkecil. Kegiatan pada kawasan zona perikanan berkelanjutan memiliki luasan kawasan berbesar untuk keramba jaring apung dan yang terkecil untuk kegiatan budidaya rumput laut. 3. Daya dukung kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa kualitas kimia perairan secara keseluruhan masih berada di bawah baku mutu untuk biota laut, pelabuhan dan wisata bahari. Daya dukung pemanfaatan untuk ekominawisata bahari yang lebih dominan adalah pemanfaatan untuk kegiatan ekowisata mangrove. 4. a) Hasil analisis yang paling berpengaruh pada besarnya jumlah kunjungan wisatawan adalah biaya perjalanan dan pendapatan dari masing-masing wisatawan dari Negara asalnya. b) Kelembagaan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan sustainable development adalah pemerintah, wisatawan dan perguruan tinggi, untuk mewujudkan pengembangan wisata, produktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, meningkatkan mutu produk perikanan, dan jumlah permodalan kegiatan perikanan tangkap, dengan membantu nelayan dalam penentuan harga perikanan, mengelola SDA, peraturan investasi daerah dan membuat kebijakan yang konsisten. c) Status keberlanjutan akan mencapai optimal jika nilai status keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dilakukan perbaikan pada atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keempat dimensi tersebut.
170
171
DAFTAR PUSTAKA
Abhijit M, Kasturi S, Kakoli B. 2011. Standing biomass and carbon storage of above-ground structures in dominant mangrove trees in the Sundarbans. Forest Ecology and Management. 261: 1325–1335. Affan JM. 2011. Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam keramba jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di Perairan Pantai Timur Kabupaten Bangka Tengah. J. Sains MIPA. 17(3): 99-106. Affan JM. 2012. Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya keramba jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di Perairan Pantai Timur Bangka Tengah. Depik. 1(1):78-85. Agardy TS. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. California (US): Academic Pres. Ahmad T, Imanto PT, Muchari A, Basyarie P, Sunyoto B, Slamet, Mayunar, Purba R, Diana S. 1991. Operasional pembesaran kerapu dalam keramba jaring apung. Dalam Mansur, A. (Ed.). Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone, (7): 8–10. Ali AY. 2010. Halmahera Tengah Kabupaten Bahari Yang Terus Berkembang. Bogor (ID): Penerbit Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Alikodra HS. 1999. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove dilihat dari Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar VI Ekosisitem Hutan Mangrove : 3344. Azis MF. 2006. Gerakan Air Di Laut. Oceana, Volume XXXI. 4:9-21 ISSN 02161877. Sumber : www.oceanografi.lipi.go.id (11 Februari 2014) Bahar A, Lamuru M, Nasrullah. 2006. Analisis kesesuaian Wisata snorkeling dan menyelam berdasarkan parameter biofisik di daerah terumbu karang Pulau Samalona, Kota Makassar. Torani. 16(6): 427 – 437. Ball MC. 1998. Mangrove species richness in relation to salinity and waterlogging: a case study along the Adelaide River floodplain, Northern Australia. Global Ecology and Biogeography Letters. 7: 73–82. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Halmahera Tengah. 2007. Penamaan Pulau-Pulau Kecil Dan Pemanfaatan Ruang Di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Bogor (ID): Bappeda dan PT. Coastmar Lestari. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah. 2010. Materi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten 2010-2030. Halmahera Tengah (ID): Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Provinsi Maluku Utara, 2006. Revitalisasi Sumberdaya Pesisir dan Laut Maluku Utara. Maluku Utara (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Utara.
172
Barton DN. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR Report 14/94 (NW): Centre for Studies of Environment and Resources, University of Bergen, Norwey (NO): 128 p. Bengen DG, Reatraubun ASW. 2006. Menguak Realitas Dan Urgensi Pengelolaan Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Bogor (ID): Penerbit Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bengen DG. 2000. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002a. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan dalam seminar sehari “Peluang Pengembangan Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indoensia”, Hotel Indonesia, Jakarta (ID). 10 Oktober 2002. Bengen DG. 2002b. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Bogor (ID) : Laporan Akhir Kerjasama Antara Kantor Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bengen DG. 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Ekososiosistem. Bogor (ID): Penerbit Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Berkes F, George P, Preston R. 1991. Co-management: the evolution of the theory and practice of joint administration of living resources. Alternatives. 18 (2): 12–18. Beveridge MCM. 1996. Cage aquaculture (eds 2nd). Farnham (GB): Fishing News Books LTD. Blaber SJM, Cyrus DP, Albaret JJ, Ching CV, Day JW, Elliot M, Fonseca MS, Hoss DE, Orensanz J, et al. 2000. Effects of fishing on the structure and functioning of estuarine and nearshore ecosystems. ICES Journal of Marine Science. 57: 590–602. Blasco F, Saenger P, Janodet E. 1996. Mangroves as indicators of coastal change. Catena. 27: 167–178. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Tengah 2005-2012. Halmahera Tengah Dalam Angka. Halmahera Tengah (ID): BPS bekerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Halmahera Tengah. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Tengah. 2005. Halmahera Tengah Dalam Angka. Halmahera Tengah (ID): BAPPEDA dan BPS Kabupaten Halmahera Tengah. Camara. 1996. Exploring Geographyc Systems. Washington (US): University of Washington.
173
Caughley GC, Sinclair ARE. 1994. Wildlife Ecology and Management. Cambridge (US): Blackwell Science Massachusetts. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer, Vaduz, Liechtenstein Germany (LI): 447 p Chapra, S.C., Reckhow, K.H., 1983. Engineering Approaches for Lake Management. Vol 2: Mechanistic Modeling. Butterworth Publishers, Boston (US): pp. 492. Christiernsson A. 2003. An economic valuation of the coral reefs at phi phi island : a travel cost method (thesis). Stockholm (SW): Department of Bussiness Administration and Sosial Science, Lulea University of Technology. Cicin-Sain, B., Knecht, R.W., 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Washington (US): Island Press. Clark DA, Brown S, Kiicklighter DW, Chambers JQ, Thomlinson JR, Ni J, Holland EA. 2001. Measuring net primary production in forest: an evaluation and synthesis of existing field data. Ecol. Appl. 11: 371–384. Clark RB. 1977. Marine Pollution. Oxford (GB): Clarendon Press. Constanza R et al. 1997. The value of the world’s ecosystem service and natural capital. Ecol. Econ. 25, 3–15. Dahl AL. 1998. Small Island Environmental Management. Geneva (SZ): UNEP Earthwatch. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indinesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah : Guru Besar tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey Methods: Living Resources in Coastal Areas, ASEAN. Australia Cooperative Program on Marine Science Handbook. Townsville (AU): Australia Institute of Mar. Davis ML, Cornwell DA. 1991. Introduction to Environmental Engineering, 2nd edition. New York (US): Mc-Graw Hill Inc. Dawes CJ, Phillips RC, Morrison G. 2004. Seagrass Communities of the Gulf Coast of Florida: Status and Ecology. St. Petersburg (US): Florida Fish and Wildlife Conservation Commission Fish and Wildlife Research Institute and the Tampa Bay Estuary Program. Del Monte LP, Brook BW, Zetina-Rejón MJ, Cruz-Escalona VH. 2004. The carrying capacity of ecosystems. Global Ecology and Biogeography. 13:485–95. Diaz A, Huertas JF. 1986. Hydrology and Water Balance of Small Islands : A Review of Existing Knowledge. Paris (FR): UNESCO. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2000. Buku Petunjuk Teknis Perencanaan Tata ruang Laut. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Diretorat Jenderal Kelautan Pesisir dan PulauPulau Kecil. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2001. Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Diretorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan.
174
[DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003. Buku Panduan. Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Diretorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2004. Pedoman pengembangan wisata bahari berbasis masyarakat doi kawasan konservasi laut. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008, Tentang kriteria penunjukkan/penetapan kawasan berdasarkan karakteristik kawasan. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2009. Seri Kebijakan dan Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaaan Terumbu Karang. Satker Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan, Provinsi Maluku. 2006. Laporan Hasil Identifikasi Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di Provinsi Maluku. Maluku (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. Doa HH, Ali AY, Samad S, Ahmad SH, Mustari W, Bengen DG, Raharjo A, Wantasen A, Djamhur M, et al. 2007. Meretas Potensi Dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Halmahera Tengah Sebagai Dasar Pijak Pembangunan Berkelanjutan Kabupaten Kepulauan. Bogor (ID): Penerbit Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Dugan PR. 1972. Biochemical Ecology og Water Pollution. New York (US): Plenum Press. Dutton IM, Bengen DG, Tulungen JJ. 2001. The Challenges of Coral Reef Management in Indonesia. In : Wolanski, E (Ed). Oceanographic Processes of Coral Reefs : Physical and Biological Links in the Great Barrier Reef. Florida (US): CRC Press. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumbar Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor (ID): IPB Press,.
175
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor (ID): IPB Press. Fahrudin A, Noell C. 2003. The implementation of improvement of coral reefs uses. Istecs Journal. 14-24 Fahrudin A. 2008. Valuasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat Di Kawasan Konservasi Terumbu Karang. Makalah. Coastaleco’s Webblog. http://coastaleco.wordpress.com/category/makalah (5 Desember 2012) FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980-2005: A Thematic Study Prepared in the Framework of the Global Forest Resources Assessment 2005. FAO Forestry Paper 153, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy. Feagin RA, Mukherjee N, Shanker K, Baird AH, Cinner J, Kerr AM, Koedam N, Sridhar A, Arthur R, et al. 2010. Shelter from the storm. Use and misuse of coastal vegetation bioshields for managing natural disasters. Conserv. Lett. 3: 1–11. Field CD. 1995. Impact of expected climate change on mangroves. Hydrobiologia. 295: 75-81. GESAMP. 2001. Planning and Management For Sustainable Coastal Aquaculture Development. IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/ UN/UNEP. FAO. Report No. 68. 87 p. Gomes NCM, Cleary DFR, Pinto FN, Egas C, Almeida A. 2010. Taking root: enduring effect of rhizosphere bacterial colonization in mangroves. PLoS ONE. 5 (11): e14065. Good JW, Weber JW, Charland JW. 1999. Protecting estuaries and coastal wetlands through state coastal zone management programs. Coastal Management. 27:139–186. Grasso M. 2000. Understanding, modeling and valuing the linkages between local communities and the mangroves of the caete’ river bay Brazil [thesis]. Maryland (US): Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park. Grigalunas TA and Johnston R. 1999. Natural Resource Damage Assessment Manual for Tropical Environments. Manila (PH): United Nations Development Prog. (Mar.).119 pp. Hanson AJ. 2003. Measuring progress towards sustainable development. Ocean and Coastal Management. 46: 381–390 Haris A. 2012. Rancang Bangun Pengelolaan Minawisata Bahari Pulau Kecil Berbasis Konservasi: Kasus Pulau Dullah Kota Tual - Provinsi Maluku [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Heershman MJ, Good JW, Bernd-Cohen T, Goodwin RF, Lee V, Pogue P. 1999. The Effectiveness of Coastal Zone Management in the United States. Journal Coastal Management. 27: 113-138. Hehanusa PE, Bakti H. 2005. Sumber Daya Air di Pulau Kecil. Jakarta (ID): LIPI Press. Hehanusa PE, Haryani GS. 1998. Ketersediaan Air sebagai Dasar Perencanaan Pengembangan Kapet di Pulau Biak, Irian Jaya. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Hal, B-7 – B-9.
176
Hehanusa PE. 1988. Geohydrology of Uplifted Island Arc with Special Reference to Ambon, Nusa Laut and Kei Islands, Indonesia. Proc. Southeast Asia and the Pacific Regional Workshop on Hydrology and Water Balance of Small Island. Chinese Nat. Comm. For the IHP and UNESCO/ROSTSEA. P. 204212. Hess AL. 1990. Overview: Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. In Beller W, Pd’Ayala and P.Hein (Eds). Sustainable Development and Environment Management of Small Island. Paris (FR): Unesco. Holguin G, Vazquez P, Bashan Y. 2001. The role of sediment microorganisms in the productivity, conservation, and rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Biol. Fert. Sediments. 33: 265–278. Ikhsan K. 2005. Kajian Pertumbuhan Produksi Rumput Laut (Eucheuma cottonii), dan kandungan Karaginan pada Berbagai Bobot Bibit dan Asal Thallus di Perairan Dea Guruaping Oba Maluku Utara [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Imanto PT, Lisyanto N & Priono B. 1995. Desain dan konstruksi keramba jaring apung untuk budidaya ikan laut. Dalam Sudradjat et al. (Eds.). 1995. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta: 157 171. Indarjo A, Wijatmoko W dan Munasik. 2004. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Panjang Jepara. Ilmu Kelautan. (9) 4. 217-224 [IHO] International Hydrographic Organization. 1993. A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982. Monaco (MO): International Hydrographic Bureau. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2002. ITTO Mangrove Workplan 2002-2006. Yokohama (JP): International Tropical Timber Organization. Iwasaki-Goodman M, 2005. Resource management for the next generation: comanagement of fishing resources in the Western Canadian Arctic region. In: Kishigami N, Savelle J, editors. Indigenous use and management of marine resources. Osaka (JP): The National Museum of Ethnology; 2005. p. 101– 21. Johan O. 2003. Metode Survei Terumbu Karang Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Terangi. Kaelan et al. 2003. Buku Panduan. Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Kasim M. 2005. Estuary : Lingkungan Unik yang sangat penting. http://maruf.wordpress.com/tag/estuary.html [23 Maret 2011] Kasim M. 2005. Mangrove Dan Konsep Ecotourism. http://www.pantai.netfirms.com/Mangrove.html [23 Maret 2011] Kasim M. 2005. Seagrass Ekosistem Yang Terabaikan. http://www.pantai.netfirms.com/Seagrass.html [23 Maret 2011] Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excel Software For Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries Status. The
177
Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall. Fisheries Centre Research Reports 12(2). Kay R, Alder J. 2005. Coastal planning and management. London (UK) and New York (US): E & FN Spon. Kennish MJ. 2002. Environmental threats and environmental future of estuaries. Environmental Conservation. 29: 78–107 Kepel RC dan Baulu S. 2011. Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 1(7): 27-31. Kessler JJ. 1994. Usefulness of the human carrying capacity concept in assessing ecological sustainability of land-use in semi-arid regions. Agriculture, Ecosystems & Environment. 48:273–84. Kholil, 2005. Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan sampah terpadu berbasis nirlimbah (zero waste), studi kasus di Jakarta Selatan [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Khouw AS. 2009 Metode Dan Analisa Kuanititatif Dalam Bioekologi Laut. Penerbit Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L) Bogor bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan PulauPulau Kecil. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. [KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2009. Buku Panduan Kriteria Penetapan Penzonasian Di Pulau-Pulau Kecil Dan Perairannya. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Diretorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2009. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Pengelolaan Terumbu Karang. Seri Kebijakan Dan Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan. Satker Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang Diretorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup, FPIK IPB. 2005. Laporan Akhir: Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Kementerian Lingkungan Hidup kerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Kepmenneg LH Nomor 04 Tahun 2001, Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kepmenneg LH Nomor 200 Tahun 2004, Tentang Kriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kepmenneg LH Nomor 201 Tahun 2004, Tentang Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup.
178
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kepmenneg LH Nomor 51 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Permen LH Nomor 9 Tahun 2006, Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Pertambangan Bijih Nikel. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. Koch MS, Snedaker SC. 1997. Factors influencing Rhizophora mangle (red mangrove) seedling development in Everglades carbonate soils. Aquat. Bot. 59: 87–98. Kordi MGH, 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass). Fungsi, Potensi, dan Pengelolaan. Jakarta (ID): Penerbit PT Rineka Cipta. Krauss KW, Lovelock CE, McKee KL, Lopez-Hoffman L, Ewe SML, Sousa WP. 2008. Environmental drivers in mangrove establishment and early development: a review. Aquatic Botany. 89: 105-127. Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Jakarta (ID): IPB Press. Lahmann EJ. 1988. Effects of Different Hydrological Regimes on the Productivity of Rhizophora mangle L. – A Case Study of Mosquito Control Impoundments at Hutchison Island. Florida (US) [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan [WBN] Weda Bay Nickel. 2007. Marine Environmental Baseline Study of Weda Bay. (Tidak dipublikasikan). Jakarta (ID): Kerjasama LIPI dan Weda Bay Nickel. Laporan : 19 Januari – 14 Februari 2007. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2010. Tentang Lamun. [23 http://seagrass-indonesia.oseanografi.lipi.go.id/id/tentang-lamun.html Maret 2011] Lipton DW. 1995. Economic Valuation of Natural Resources : A. Handbook for Coastal Resources Policymakers. Decision Analysis Series No.5. Coastal Ocean Office. National Oceanic and Atmospheric Administration. U.S. Deparment of Commerce. Lozada T, de Koning GHJ, Marche R, Alexandra-Maria K, Tscharntke T. 2006. Tree Recovery and Seed Dispersal by Birds: Comparing Forest, Agroforestry, and Abandoned Agroforestry in Coastal Ecuador. Perspectives in Plant Ecology, Evolution and Systematics. 8 :131–140 MacLeod M, Cooper JAG. 2005. Carrying capacity in coastal areas. In: Schwartz, M. (Ed.), Encyclopedia of Coastal Science. Springer, Heidelberg, 226 pp. Mann KH. 2000. Ecology of Coastal Waters: With Implication for Management. Massachusetts (US): Blackwell Science, Inc. Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor (ID) : IPB Press. Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia,. Marschner, P., Crowley, D., Yang, C.H., 2004. Development of specific rhizosphere bacterial communities in relation to plant species, nutrition and sediment type. Plant Sediment. 261: 199–208. Marsuki IS, Sadarun B,dan Palupi RD. 2013 Kondisi Terumbu Karang dan Kelimpahan Kima di Perairan Pulau Indo. Jurnal Mina Laut Indonesia. 1(1): 61-72.
179
Mayunar, Purba R, Imanto PT. 1995. Pemilihan lokasi budidaya ikan laut. Jakarta (ID): Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian: 179 – 189. Moore JW. 1991. Inorganic Contaminants of Surface water. New York (US): Springer-Verlag. Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita. Murawski SA. 2007. Ten myths concerning ecosystem approaches to marine resource management. Marine Policy 31, 681–690. Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG, Meynecke J, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, et al. 2008. The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: a review. Aquat. Bot. 89: 155–185. Nobre AM, Ferreira JG. 2009. Integration of ecosystem-based tools to support coastal zone management. SI 56. Journal of Coastal Research, 1676–1680 Nobre AM. 2009. An ecological and economic assessment methodology for coastal ecosystem management. Environmental Management. 44 (1): 185– 204. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Penerbit Djambatan. Noor RY, Khazali M, Suryadiputra NN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor (ID): Wetland International Indonesia Programe. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): PT Gramedia. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology 3rd edition. Toronto (CN): W.B. Saunders Company. Odum EP. 1997. Ecology: A Bridge between Science and Society. Sinauer Associates, Incorporated, 330 pp. Olsen SB. 2002. Assessing progress towards the goals of coastal management. Journal of Coastal Management. 30: 325–345. Ostrom E, Schlager E. 1996. The formation of property rights, in: Hanna S, Folke C, Maler KG (Eds.), Rights to Nature, Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment. Iceland Press, washington, DC, pp. 127–156. Pearce DG, Kirk RM 1986. Carrying Capacities for Coastal Tourism. Ind, Environ. 9 (1): 3-7. [PERDA] Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012-2032. Halmahera Tengah (ID): Pemda. Pitchairamu C, Muthuchelian K, Siva N. 2008. Floristic Inventory and Quantitative Vegetation Analysis of Tropical Dry Deciduous Forest in Piranmalai Forest, Eastern Ghats, Tamil Nadu, India. Ethnobotanical Leaflets. 12: 204-216 Pitcher TJ, Kalikoski D, Short K, Varkey D, Pramod G. 2009. An evaluation of progress in implementing ecosystem-based management of fisheries in 33 countries. Marine Policy. 33 (2009): 223-232. Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research. 49 (2001): 255-270
180
Pitcher TJ, Tesfamichael D. 2006. Multidisciplinary evaluation of the sustainability of Red Sea fisheries using Rapfish. Fisheries Research. 78 (2006) 227–235. Pramudji, Purnomo L.H. 2003. Mangrove Sebagai Tanaman Penghijauan Pantai. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan, Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana. 1(25) : 13 – 20. Pramudji. 2004. Mangrove di Pesisir Delta Mahakam Kalimantan Timur. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Prato T. 2001. Modeling carrying capacity for national parks. Ecol. Econ. 39: 321–331. Puspitaningasih. 2012. Mengenal Ekosistem Laut dan Pesisir. Bogor (ID): Penerbit Pustaka Sains. Quano. 1993. Training Manual on Assesment of the Quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environment. Bangkok (TH): (UNEP) United Nation Environmental Program. Rais J. 2003. Panduan Pedoman Penentuan Batas Wilayah Laut Kewenangan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. USAIDIndonesia Coastal Resources Management Project. Jakarta (ID) : Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003. Rauf A. 2007. Pengembangan terpadu pemanfaatan ruang Kepulauan Tanakeke berbasis daya dukung [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rico-Gray V, Palacios-Ríos M. 1996. Salinidad y nivel del agua como factores en la distribución de la vegetación en la ciénaga del NW de Campeche, México. Acta Botánica Mexicana. 34: 53–61. Rini A. 2008. Ensiklopedi Penomena Alam. Yokjakarta (ID): Pinus Book Pulisher,. Romimohtarto K dan Juwana S. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut. Jakarta (ID): Penerbit Djambatan. Rustiadi E, Saeful SH, Panuju DR. 2002. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Bogor (ID): Jurusan Tanah Institut Pertanian Bogor. Salm RV, Clack JR, Siirila E. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. Third Edition. Gland (SW): International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Saxena JJP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretative Structural Modelling. System Practice. 6(12): 651:670. Singleton S. 1998. Constructing Cooperation: the Evolution of Institutions of Comanagement. Michigan (US): University of Michigan Press. Stoddart DR. 1975. Almost-atoll of Aitutaki : Geomorphology of Reef and Islands. Atoll Res. Bull. 190: 31-57. Sugiarti. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kotamadya Dati II Pasuruan Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama,.
181
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun. Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta Pulau Lombok. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Susilo SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Takaedengan K, Azkar MH. 2010. Struktur Komunitas lamun di Pulau Talise Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. (36) 1. 85-95 Tomlinson PB. 1986. The Botany of Mangroves. Series. New York (US): Cambridge University Press. Twilley RR, Chen RH, Hargis T. 1992. Carbon sinks in mangrove forests and their implications to the carbon budget of tropical coastal ecosystems. Water Air Soil Pollut. 64, 265–288. [UNEP] United Nation Environmental Program. 1993. Monitoring Coral Reefs For Global Change. Regional Seas. Reference Methods For Marine Pollution Studies 61. Australian Institute Of Marine Science. UNESCO. 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. Studies and Report on Hydrology No. 49. Prepared by A. Falkland (ed.) and E. Custodio with contribution from A. Diaz Arenas and L. Simler. Paris (FR). Vermatt JE, Thampanya U. 2006. Mangroves mitigate tsunami damage: a further response. Estuar Coast Shelf Sci. 69: 1–3. William N. 2005. Tsunami insight to mangrove value. Curr. Biol. 15 (3): 73. Wong. 1998. Coastal Tourism Development in Southeast Asia: Relevance and Lessons for Coastal Zone Management. j.ocecostmanag. 38: 89-109. Wyrtki. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian waters, Naga Report Volume 2. The University of California (US), Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. Yap HT, Gomes ED. 1998. Coral reef degradation and pollution in the East Asian seas region. UNEP Regional Seas Reports and Studies. 69:185-208. Yaser M. 2013 Gambaran Sebaran Kondisi Terumbu Karang di Perairan Kecamatan Sangkulirang dan Sandaran Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis. 2(18): 28-40 Yulianda F, Fahrudin A, Adrianto L, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2010. Kebijakan Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Bogor (ID): Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan – Departemen Kehutanan RI. SECEM – Korea International Cooperation Agency. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Hartaeti S, Kusharjani, Kang HS. 2010. Pengelolaan Pesisir dan Laut secara Terpadu. Bogor (ID): Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan – Departemen Kehutanan RI. SECEM – Korea International Cooperation Agency.
182
LAMPIRAN
Lampiran 1 Matriks kesesuaian untuk deliniasi penetapan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil No 1
Kriteria EKOLOGI Keanekaragaman Hayati - Ekosistem 1) Terumbu Karang 2) Lamun 3) Mangrove 4) Pulau-Pulau Kecil 5) Estuaria - Jenis 1) Karang (11 lifeform) 2) Ikan Karang (182 jenis)
Bobot
Bila terdapat 23 ekosistem
Bila terdapat 1 ekosistem
5
Bila terdapat 10 lifeform Bila terdapat 120 jenis Bila terdapat 19 jenis Bila terdapat 7 taxa Bila terdapat 5 jenis Bila terdapat 5 jenis
Bila terdapat 69 lifeform Bila terdapat 61- 120 jenis Bila terdapat 10-19 jenis Bila terdapat 57 taxa Bila terdapat 45 jenis Bila terdapat 45 jenis
Bila terdapat 5 lifeform Bila terdapat 61 jenis Bila terdapat 10 jenis Bila terdapat 5 taxa Bila terdapat 4 jenis Bila terdapat 4 jenis
Tutupan karang 75-100% Tidak terdapat abrasi pantai
Tutupan karang 51-74 Abrasi pantai 25-50%
Tutupan karang 50 Abrasi pantai > 50%
4
Bila terdapat semua komponen keunikan/ kelangkaan
Bila terdapat 23 komponen keunikan/ kelangkaan
Bila terdapat 1 komponen keunikan/ kelangkaan
2
Tidak berpenduduk Terbuka semua sisi Terdapat > 3 pulau dalam gugusan
Berpenduduk sementara 50% terbuka
Berpenduduk
Terdapat 2-3 pulau dalam gugusan
Pulau bukan bagian dari gugus pulau
5) Lamun (10 Jenis) 6) Mangrove (21 jenis)
3
4
Keunikan/Kelangkaan 1) Sebagai habitat satwa (burung dan penyu) 2) Memiliki bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan 90 derajat 3) Memiliki rugousity, seperti goa-goa, alur-alur, dll 4) Memiliki spesies langkah atau dilindungi Kerentanan Pulau - Status pulau -
5
Kondisi Pantai
Keterbukaan terhadap samudera pasifik Keterkaitan Pulau/Gugus Pulau
Skor 1
Bila terdapat 45 ekosistem
4) Bentos
Kealamian - Kondisi Terumbu Karang
Kategori Kesesuaian Skor 2
5
3) Rumput Laut
2
Skor 3
4 4
2 4
> > > > > >
< < < < < <
25% terbuka
183
Lampiran 1. Lanjutan 1
2
3
4
1
2
EKONOMI Spesies Penting 1) Terdapat ikan pelagis ekonomis penting 2) Terdapat ikan karang (kelimpok target dan hias) 3) Terdapat moluska ekonomis penting (kerang, siput, gurita dan cumi) 4) Terdapat echinodermata (teripang) 5) Terdapat krustasea ekonomis penting (udang, lobster dan kepiting) 6) Terdapat rumput laut ekonomis penting Kepentingan Perikanan 1) Sebagai daerah penangkapan ikan pelagis 2) Sebagai daerah penangkapan ikan karang 3) Sebagai daerah penangkapan siput dan gurita 4) Sebagai daerah penangkapan lobster 5) Sebagai daerah penangkapan teripang 6) Sebagai daerah perikanan budidaya Bentuk Ancaman 1) Penggunaan bom atau sianida 2) Penggunaan jangkar perahu 3) Penggunaan belo (tongkat perahu) 4) Penggunaan tuba Pariwisata 1) Terdapat wisata bahari 2) Terdapat wisata pantai 3) Terdapat wisata sejarah/ budaya SOSIAL DAN BUDAYA Tingkat Dukungan Masyarakat 1) Pemerintah desa 2) Tokoh adat 3) Tokoh agama 4) Lembaga Swadaya Masyarakat 5) Masyarakat Tempat Rekreasi 1) Terdapat daratan pantai luas 2) Terdapat perairan pantai tenang 3) Tempat lautan yang tenang
5
Bila memenuhi 5-6 komponen
Bila memenuhi 3-4 komponen
Bila memenuhi 1-2 komponen
5
Bila memenuhi 5-6 komponen
Bila memenuhi 3-4 komponen
Bila memenuhi 1-2 komponen
2
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 2-3 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
4
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 2-3 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
3
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 3-4 komponen
Bila memenuhi 1-2 komponen
3
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi 1 komponen
184
Lampiran 1. Lanjutan 3
4
5
6
7
8
Budaya 1) Memiliki sejarah 2) Memiliki nilai budaya dan seni 3) Memiliki agama Estetika 1) Bentuk pulau 2) Keanekaragaman ekosistem tinggi 3) Keanekaragaman habitat tinggi 4) Keanekaragaman jenis biota 5) Habitat satwa burung Konflik Kepentingan 1) Perorangan 2) Marga (kelompok) 3) Masyarakat adat Keamanan 1) Aman sepanjang musim 2) Aman pada musim barat atau timur Aksesibilitas Keterkaitan dengan ketersediaan alat transportasi
2
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi 1 komponen
3
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 3-4 komponen
Bila memenuhi 1-2 komponen
2
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi 1 komponen
3
Sepanjang musim
Salah satu musim
Tidak aman sepanjang musim
4
Tersedia alat transportasi reguler
Tersedia alat transportasi masyarakat
Menyewa alat transportasi masyarakat
3
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi 1 komponen
2
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 2-3 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
1
Terdapat > 2 lembaga sosial
Tidak ada lembaga sosial
Terdapat > 1 dukungan lembaga sosial Terdapat dukungan pemerintah pusat dan daerah
Terdapat hanya 1 lembaga sosial Terdapat hanya 1 dukungan lembaga sosial Terdapat dukungan pemerintah pusat atau daerah
1
Kepedulian Msyarakat 1) Kegiatan penelitian 2) Kegiatan pengawasan (Monitoring) 3) Kegiatan pendidikan dan pelatihan Penelitian dan Pendidikan 1) Penelitian dan pendidikan oleh pemerintah 2) Penelitian dan pendidikan skala proyek 3) Penelitian dan pendidikan oleh perguruan tinggi 4) Penelitian dan pendidikan oleh LSM KELEMBAGAAN Keberadaan Lembaga Sosial
2
Dukungan Infrastruktur Sosial
1
3
Dukungan Pemerintah
2
9
Tidak terdapat dukungan lembaga sosial Tidak terdapat dukungan pemerintah
185
Lampiran 2 Kriteria Penunjukkan/Penetapan Kawasan Konservasi berdasarkan Karakteristik Kawasan 1. Keanekaragaman hayati Keanekaragaman hayati yang dihitung pada parameter ini hanya untuk tiga ekosistem utama di pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu ekosistem karag, lamun dan mangrove, indeks keanekaragaman dapat dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener yaitu : Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman N = Jumlah total individu Ni = Jumlah individu dalam genus ke-i Nilai yang diberikan terhadap keanekaragaman hayati adalah : H < 1 = nilai indeks keanekaragaman rendah =1 H > 1 - 3 = nilai indeks keanekaragaman sedang =2 H > 3 = nilai indeks keanekaragaman tinggi =3 2. Keterwakilan Parameter ini dinilai dengan mempertimbangkan apakah ekosistem/habitat yang bersangkutan sudah termasuk ke dalam jaringan kawasan yang dilindungi (konservasi) di suatu wilayah biogeografi atau pulau. Jika sudah termasuk, maka untuk menghitung keterwakilan ini dapat menggunakan formula :
Dimana : Pr = Keterwakilan dalam persen (%) Eec = Jumlah ekosistem yang dinilai dan sudah tercakup kawasan konservasi Ees = Jumlah sebaran ekosistem yang dinilai di suatu wilayah atau pulau. Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan keterwakilan adalah : Pr > 75% = terwakili 40 ≤ Pr ≤ 75% = cukup terwakili Pr ≤ 40% = tidak terwakili
=3 =2 =1
3. Keaslian (Originality) Parameter ini dinilai dengan menghitung persentase campur tangan manusia pada ekosistem/habitat yang bersangkutan. Dalam hal ini, campur tangan manusia dinilai dengan menghitung luasan ekosistem/kawasan yang digunakan. Perhitungan keaslian ekossitem/habitat dilakukan dengan menggunakan formula :
186
Lampiran 2 lanjutan Dimana : Or = keaslian dalam persen (%) Am = luasan ekosistem binaan/buatan An = luasan ekosistem yang dinilai Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan keaslian adalah : > 75% = asli =3 40 ≤ Or ≤ 75% = cukup asli = 2 < 40% = tidak asli =1 4. Keunikan/Kekhasan (Uniquiness) Parameter ini dinilai dengan melihat keberadaan atau kekayaan jenis satwa dan atau tumbuhan pada suatu kawasan/habitat yang dinilai atau ekosistem di dalam suatu wilayah biogeografi atau pulau. Nilai keunikan ini diperhitungkan dengan memperhatikan jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem yang dinilai terdapat di tempat lain atau tidak. Nilai yang diberikan terhadap keunuikan/kekhasan adalah : Hanya terdapat di satu daerah di Indonesia = unik =3 Terdapat di beberapa daerah dalam satu wilayah biogeografi yang sama = cukup unik = 2 Banyak terdapat di wilayah Indonesia = tidak unik = 1 5. Kelangkaan (Rarity) Parameter ini dinilai dengan menghitung penyebaran jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat di dalam suatu wilayah biogeografi. Perhitungan dilakukan dengan memperbandingkan jumlah ekosistem yang dinilai dengan/terhadap jumlah seluruh jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat yang terdapat di dalam wilayah biogeografi yang bersangkutan. Perhitungan kelangkaan dilakukan dengan menggunakan formula :
Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan kelangkaan adalah : > 75% 40 ≤ La ≤ 75% < 40%
= langka =3 = cukup langka = 2 = tidak langka = 1
6. Habitat ikan khas/langka/unik/endemic dan dilindungi Penilaian dibuat terpisah antara ikan langka/unik/endemic/khas dan ikan yang dilindungi. Hal ini untuk menentukan apakah lokasi tersebut akan dijadikan suaka perikanan. Penilaian ikan khas/langka/unik/endemic adalah Ada beberapa (>2) jenis ikan khas/langka/unik/endemik =3 Hanya satu atau dua jenis ikan khas/langka/unik/endemik =2 Tidak ada ikan khas/langka/unik/endemik =1
187
Lampiran 2 lanjutan Penilaian ikan dilindungi adalah : Ada beberapa (>2) jenis ikan dilindungi Hanya satu atau dua jenis ikan dilindungi Tidak ada ikan dilindungi
=3 =2 =1
7. Laju Kepunahan (Rate of Exhaustion) Parameter ini dinilai dengan menghitung kecepatan berkurangnya suatu jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat dalam suatu satuan waktu tertentu. Untuk ini diperlukan data keberadaan kawasan yang merupakan data seri. Laju kepunahan dihitung dengan menggunakan formula :
Dimana : Lk Eao Eai I
= Laju kepunahan = jumlah jenis atau luasan ekosistem pada tahun ke 0 = jumlah jenis atau luasan ekosistem pada tahun ke i = jumlah tahun perubahan berlangsung
Selain itu diperlukan pengetahuan mengenai keberadaan jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat yang sama di wilayah biogeografi yang bersangkutan. Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan laju kepunahan adalah : < 40% = tidak punah = 3 40 ≥ Lk ≥ 75% = punah =2 > 75% = sangat punah = 1 8. Keberadaan/Keutuhan Ekosistem (Ecosystem Integrity) Parameter ini dinilai dengan melihat kelengkapan rantai/siklus makanan (food cycle), yaitu dengan melihat mangsa/makanan dan pemangsaan dari suatu jenis satwa sebagai komponen penyusun suatu ekosistem. Oleh karena itu nilai keutuhan ekosistem merupakan nilai relative yang harus dikaitkan dengan tujuan utama penetapan kawasan yang bersangkutan. Nilai yang diberikan terhadap keberadaan/keutuhan ekosistem adalah : Lengkap =3 Cukup lengkap =2 Tidak lengkap =1 9. Keutuhan Kawasan (Intactness) Parameter ini dinilai dengan menghitung persentase jenis atau kawasan yang telah dimanfaatkan oleh manusia. Cara perhitungan keutuhan kawasan dengan menggunkan formula :
188
Lampiran 2 lanjutan Dimana : ln = keutuhan kawasan/sumberdaya alam dalam persen (%) Esm = jumlah sumberdaya yang dimanfaatkan Eso = jumlah sumberdaya asal Nilai yang diberikan terhadap keutuhan kawasan adalah : > 75% 40 ≤ ln ≤ 59% < 40%
= utuh =3 = cukup utuh = 2 = sangat utuh = 1
10. Luasan (Size of Area) Parameter ini dinilai dengan mempertimbangkan wilayah jelajah (home range) dari satu atau beberapa jenis satwa yang menjadi ntarget perlindungan atau dengan melihat luasan asosiasi/habitat jenis tumbuhan atau ekosistem dimaksud. Nilai yang diberikan didasarkan pada persen peliputan dari wilayah jelajah dan atau ekosistem/habitat. Cara perhitungan luasan digunakan formula:
Dimana : L = nilai luasan dalam persen (%) Ele = luasan wilayah jelajah/ekossitem/habitat Elk = luasan kawasan yang diusulkan Nilai yang diberikan terhadap luasan adalah : > 75% = terliput =3 = cukup terliput = 2 40 ≤ L ≤ 59% < 40% = tidak terliput = 1 11. Keindahan Alam (Natural Beauty) Penilaian keindahan alam, diperlukan daftar pertanyaan (questionnaire) terhadap para pengunjung kawasan yang dinilai atau masyarakat yang mengetahui keadaan kawasan secara tepat. Hal ini mengingat keindahan merupakan nilai relatif yang diberikan oleh seseorang. Nilai yang diberikan untuk parameter ini sangat bergantung pada jumlah responden yang menyepakati bahwa kawasan yang dinilai termasuk dalam kategori indah. Perhitungan keindahan alam dilakukan dengan menggunakan formula :
Dimana : Ka = nilai keindahan alam dalam persen (%) Ers = jumlah responden yang sepakat mengatakan indah Ero = jumlah seluruh responden
189
Lampiran 2 lanjutan
Keindahan yang dipertimbangkan/dinilai adalah keindahan alami, tidak termasuk buatan manusia/binaan. Nilai yang diberikan terhadap keindahan alam adalah : > 75% = indah =3 40 ≤ Ka ≤ 75% = cukup indah = 2 < 40% = tidak indah = 1 12. Kenyamanan Alam (Natural Amenities) Penilaian kenyamanan alam, diperlukan daftar pertanyaan (questionnaire) terhadap para pengunjung kawasan yang dinilai atau amsyarakat yang mengetahui keadaan kawasan secara tepat. Hal ini mengingat kenyamanan merupakan nilai relatif yang diberikan seseorang. Nilai yang diberikan untuk parameter ini sangat bergantung pada jumlah responden yang menyepakati bahwa kawasan yang dinilai secara alami nyaman untuk dikunjungi. Kenyamanan alami dihitung dengan menggunakan formula :
Dimana : Na = kenyamanan alami dalam persen (%) Ers = jumlah responden yang sepakat mengatakan nyaman Ero = jumlah seluruh responden Jumlah responden yang diambil harus memperhitungkan jumlah pengunjung atau jumlah masyarakat yang mengetahui kondisi kawasan secara tepat. Nilai yang diberikan terhadap kenyamanan alam adalah : > 75% = nyaman =3 40 ≤ Na ≤ 75% = cukup nyaman = 2 < 40% = tidak nyaman = 1 13. Aksesibilitas (Accessibility) Ketercapaian dinilai dengan memperhatikan ketersediaan jalan masuk (akses) atau perhubungan dari kota-kota terdekat ke obyek-obyek menarik di dalam kawasan yang dinilai. Namun jalan masuk yang diperhitungkan adalah sampai dengan pintu masuk kawasan yang bersangkutan. Perhitungan ketercapaian dilakukan dengan menggunakan formula :
Dimana : Kp = aksesibilitas dalam persen (%) Eoc = jumlah obyek menarik yang daqpat dicapai Eos = jumlah seluruh obyek menarik yang terdapat dalam kawasan yang dinilai
190
Lampiran 2 lanjutan
Nilai yang diberikan terhadap aksesibilitas adalah : > 75% = mudah dicapai =3 40 ≤ Kp ≤ 75% = cukup mudah dicapai = 2 < 40% = sulit dicapai =1 14. Nilai Sejarah (Historical Values) Parameter ini dinilai dengan mempertimbangkan keberadaan benda-benda bersejarah atau nilai bersejarah lainnya dari berbagai sumber, terutama yang bersifat resmi. Nilai ini dihitung dengan dasar jumlah atau nilai sejarah dari hal yang dinilai. Oleh karena itu, nilai ini merupakan relative yang bergantung pada pihak-pihak yang berkaitan terutama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nilai yang diberikan terhadap nilai sejarah adalah : Bersejarah =3 Cukup bersejarah = 2 Tidak bersejarah = 1 15. Tekanan Penduduk (Population Pressure) Parameter ini dinilai dengan menghitung laju pertambahan tingkat pemanfaatan sumberdaya kawasan yang dinilai dengan penduduk disekitarnya. Nilai tekanan penduduk dihitung dengan mencari selisih pemanfaatan per kapita pada tahun ke i dengan tahun ke 0, kemudian membandingkan dengan pemanfaatan per kapita pada tahun ke 0. Cara perhitungan tekanan penduduk dengan menggunakan formula :
Dimana : PP So Si Po Pi
= laju pertumbuhan tekanan penduduk = jumlah sumberdaya yang dimanfaatkan pada tahun ke 0 = jumlah sumberdaya yang dimanfaatkan pada tahun ke i = jumlah penduduk/pemanfaatan pada tahun ke 0 = jumlah penduduk/pemanfaatan pada tahun ke i
Nilai yang diberikan terhadap tekanan penduduk adalah : > 75% = serius =3 40 ≤ PP ≤ 75% = cukup serius = 2 < 40% = tidak serius = 1
191
Lampiran 2 lanjutan
16. Aspirasi Masyarakat (Community Aspiration) Penilaian aspirasi masyarakat diperlukan daftar pertanyaan (questionnaire) terhadap masyarakat sekitar dan atau yang mempunyai perhatian terhadap kawasan yang dinilai. Dalam hal ini, keinginan daerah diasumsikan merupakan aspirasi masyarakat. Nilai yang diberikan untuk parameter ini sangat bergantung pada jumlah responden (masyarakat sekitar) yang menyepakati penunjukkan kawasan yang dinilai. Cara perhitungan aspirasi masyarakat dengan menggunakan formula :
Dimana : Am = aspirasi masyarakat dalam persen (%) Eps = jumlah penduduk yang setuju dengan penunjukkan Epo = jumlah penduduk seluruh responden Jumlah responden yang diambil harus memperhitungkan jumlah penduduk setempat. Nilai yang diberikan terhadap aspirasi masyarakat adalah : > 75% = sangat mendukung = 3 = mendukung = 2 40 ≤ Am ≤ 75% < 40% = tidak mendukung = 1 17. Potensi ancaman Beberapa faktor utama yang mengancam kelestrarian sumberdaya keanekaragaman hayati dan pesisir lautan antara lain, pemanfaatan berlebih, penggunaan alat tangkap dan teknik yang merusak lingkungan, perubahan dan degradasi fisik habitat, pencemaran, perubahan iklim, bencana alam, dan lainlain. Penilaian terhadap potensi ancaman ini adalah : Berpotensi ancaman tinggi, terdapat > 5 faktor ancaman yang ada = 1 Berpotensi ancaman sedang, terdapat ≥ 2 hingga 5 faktor ancaman yang ada = 2 Kurang berpotensi, terdapat < 2 faktor ancaman yang ada = 3 18. Kearifan lokal Kearifan lokal masyarakat sangat menunjang dalam menjaga kawasan konservasi. Penilaian terhadap parameter ini adalah : Memiliki kearifan lokal yang menunjang konservasi = 3 Memiliki kearifan lokal tetapi tidak efektif = 2 Tidak memiliki kearifan lokal = 1
192
Lampiran 2 lanjutan
19. Nilai penting perikanan Nilai penting perikanan dapat diperoleh dengan menganalisis ekonomi wilayah yang akan dinilai. Analisis ekonomi wilayah dilakukan dengan menghitung LQ (Location Quotient). Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sector basis atau non basis dari suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sector unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Pendekatan dengan menggunakan metode LQ ini adalah dengan menganalisis nilai PDRB sub sektor i di wilayah suatu kabupaten. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dimana : LQij = indeks kuosien lokasi Xij = jumlah PDRB kabupaten yang dinilai pada sub sektor perikanan Xi. = jumlah PDRB provinsi yang dinilai pada sub sektor perikanan X.j = jumlah PDRB total di kabupaten yang dinilai X.. = jumlah PDRB total di provinsi yang dinilai Penilaian pada hasil LQ adalah : LQ > 1 = 3 LQ = 1 = 2 LQ < 1 = 1 20. Potensi rekreasi dan pariwisata Sektor pariwisata di derah akan akan menjadi kawasan konservasi juga perlu diperhatikan, parameter ini dapat dilihat alokasi kawasan konservasi memiliki potensi rekreasi dan pariwisata bahari yang ramah lingkungan seperti diving, snorkeling, fishing, pantai pasir putih/hitam, dan lain-lain, hal ini dapat dilihat dari cluster yang dikeluarkan oleh departemen pariwisata : Berpotensi tinggi apabila (terdapat > 3 jenis wisata) = 3 Cukup berpotensi apabila (terdapat 1 – 3 jenis wisata) = 2 Kurang berpotensi apabila (tidak ada potensi) = 1 21. Estetika Keindahan alam dapat digambarkan melalui keindahan alam seperti terumbu karang di perairan, hamparan pasir putih/hitam, kebersihan lingkungan, dan ombak yang memecah serta kenyamanan berada di dalam lokasi. Berestetika tinggi = 3 Cukup berestetika = 2 Tidak memadai = 1
193
Lampiran 3 Matriks Zonasi Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No
1
2
3
4
Kriteria
Kekhasan/Keunikan 1) Sebagai habitat satwa (burung, kepiting kenari dan penyu) 2) Memiliki bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan 90 derajat 3) Memiliki rugousity, seperti goa-goa, alur-alur, dll 4) Memiliki spesies langkah atau dilindungi Kelangkaan
Laju Kepunahan (kecepatan berkurangnya suatu jenis atau ekosistem/habitat) Kealamian/Keaslian - Kondisi Terumbu Karang
Bobot
5
4
5
4 -
5 6 7
8
9
10
Kondisi Pantai
Perlindungan/Pelestarian JenisJenis Biota migrasi tertentu Perlindungan/Pelestarian Habitat dan Populasi Ikan Keterwakilan (ekosistem/habitat yang masuk dalam kawasan yang dilindungi) Luasan (wilayah jelajah, ekosistem dan habitat) Sumberdaya ikan - Pelagis - Demersal - Biota Lainnya
3 3 2
4
1
Kerentanan terhadap bencana - Status pulau -
Keterbukaan terhadap samudera pasifik
2
Kategori Kesesuaian Zona Inti (3) Pemanfaatan Perikanan terbatas (2) berkelanjut -an (1)
Bila memenuhi semua komponen keunikan
Sangat Langka (> 80%) Kepunahan < 20%
Bila memenuhi 23 komponen keunikan
Bila memenuhi hanya 1 komponen keunikan
Kepunahan 20 - 79%
Tidak Langka (< 50%) Kepunahan > 80%
• Tutupan Karang 75100% • Tdk terdapat abrasi pantai
• Tutupan Karang 5174% • Abrasi pantai 2550%
• Tutupan Karang 50% • Abrasi pantai >50%
> 80%
50-79%
< 50%
> 80%
50-79%
< 50%
Sangat Mewakili (>80%) Sangat Terliput (>80%)
Mewakili (50-79%)
Tidak Mewakili (<50%) Tidak Terliput (< 50%)
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
• Tidak berpenduduk
• Berpenduduk sementara • 50% Terbuka dari samudera pasifik
• Terbuka dari semua sisi samudera pasifik
Langka (5079%)
Terliput (5079%)
Bila memenuhi hanya 1 komponen • Berpenduduk • 25% Terbuka dari samudera pasifik
194
Lampiran 3. Lanjutan 11
12
13
14
15
16
Perlindungan Situs Budaya/Adat Istiadat 1) Memiliki sejarah 2) Memiliki nilai budaya dan seni 3) Memiliki agama Wisata Bahari 1) Terdapat wisata bahari 2) Terdapat wisata pantai 3) Terdapat wisata sejarah/ budaya Tempat Rekreasi 1) Terdapat daratan pantai luas 2) Terdapat perairan pantai tenang 3) Tempat lautan yang tenang Penelitian dan Pendidikan 1) Penelitian dan pendidikan oleh pemerintah 2) Penelitian dan pendidikan skala proyek 3) Penelitian dan pendidikan oleh perguruan tinggi 4) Penelitian dan pendidikan oleh LSM Pengembangan 1) Pengembangan oleh pemerintah 2) Pengembangan skala proyek 3) Pengembangan oleh perguruan tinggi 4) Pengembangan oleh LSM Gugus Pulau/Keterkaitan Pulau
1
2
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
Bila memenuhi 3 komponen
Bila memenuhi 2 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 23 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 23 komponen
Bila memenuhi hanya 1 komponen
>3 pulau dalam gugusan
2-3 pulau dalam gugusan
Pulau bukan dari gugus pulau
2
2
2
4
195
Lampiran 4 Peta pulau-pulau kecil di Teluk Weda
196
Lampiran 5 Peta sebaran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda
197
Lampiran 6 Peta deliniasi kawasan konservasi di Teluk Weda
198
Lampiran 7 Peta zonasi kawasan konservasi Weda Utara
199
Lampiran 8 Peta zonasi kawasan konservasi Weda Tengah
200
Lampiran 9 Peta zonasi kawasan konservasi Weda
201
Lampiran 10 Peta zonasi kawasan konservasi Weda Selatan
202
Lampiran 11 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Utara
203
Lampiran 12 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Tengah
204
Lampiran 13 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda
205
Lampiran 14 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Weda Selatan
206
Lampiran 15 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Utara
207
Lampiran 16 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Tengah
208
Lampiran 17 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda
209
Lampiran 18 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Weda Selatan
210
Lampiran 19 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Utara
211
Lampiran 20 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Tengah
212
Lampiran 21 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda
213
Lampiran 22 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing di Weda Selatan
214
Lampiran 23 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai di Weda
215
Lampiran 24 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai di Weda Selatan
216
Lampiran 25 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Weda Utara
217
Lampiran 26 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Weda
218
Lampiran 27 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Weda Selatan
219
Lampiran 28 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun di Weda
220
Lampiran 29 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun di Weda Selatan
221
Lampiran 30 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut di Weda
222
Lampiran 31 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut di Weda Selatan
223
Lampiran 32 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring apung di Weda
224
Lampiran 33 Peta kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring apung di Weda Selatan
225
Lampiran 34 Sistem kelembagaan pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda Kabupaten Halmahera Tengah a. Elemen Pelaku Sistem Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau
Kecil. Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen pelaku ini menghasilkan matrik SSIM (Self Structural Interpretative Matrix) dan hasil penilaian tersebut dikonversi menjadi matrik reachability (RM) awal.
Matrik Reachability di atas yang belum memenuhi aturan transitivity, kemudian dilakukan konversi menjadi matrik Reachability yang memenuhi aturan transitivity, sehingga diperoleh matrik Reachability akhir. Selanjutnya dibentuk SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity.
SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity dinterpretasikan dalam kelembagaan elemen pelaku sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda..
226
b. Elemen tujuan program pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau
kecil Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen pelaku ini menghasilkan matrik SSIM (Self Structural Interpretative Matrix) dan hasil penilaian tersebut dikonversi menjadi matrik reachability (RM), yang belum memenuhi aturan transitivity.
Matrik Reachability di atas yang belum memenuhi aturan transitivity, kemudian dilakukan konversi menjadi matrik Reachability yang memenuhi aturan transitivity, sehingga diperoleh matrik Reachability akhir (Tabel 8). Selanjutnya dibentuk SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity (Tabel 9).
SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity dinterpretasikan dalam kelembagaan elemen tujuan program sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda.
227
c. Elemen tolok ukur sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen pelaku ini menghasilkan matrik SSIM (Self Structural Interpretative Matrix) dan hasil penilaian tersebut dikonversi menjadi matrik reachability (RM), yang belum memenuhi aturan transitivity.
Matrik Reachability di atas yang belum memenuhi aturan transitivity, kemudian dilakukan konversi menjadi matrik Reachability yang memenuhi aturan transitivity, sehingga diperoleh matrik Reachability akhir. Selanjutnya dibentuk SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity.
SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity dinterpretasikan dalam elemen tolak ukur sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda.
228
d. Elemen kendala utama sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen pelaku ini menghasilkan matrik SSIM (Self Structural Interpretative Matrix) dan hasil penilaian tersebut dikonversi menjadi matrik reachability (RM), yang belum memenuhi aturan transitivity.
Matrik Reachability di atas yang belum memenuhi aturan transitivity, kemudian dilakukan konversi menjadi matrik Reachability yang memenuhi aturan transitivity, sehingga diperoleh matrik Reachability akhir. Selanjutnya dibentuk SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity.
SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity dinterpretasikan dalam kelembagaan elemen tolak ukur sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda
229
e. Elemen aktifitas yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen aktifitas ini menghasilkan matrik SSIM (Self Structural Interpretative Matrix) dan hasil penilaian tersebut dikonversi menjadi matrik reachability (RM), yang belum memenuhi aturan transitivity.
Matrik Reachability di atas yang belum memenuhi aturan transitivity, kemudian dilakukan konversi menjadi matrik Reachability yang memenuhi aturan transitivity, sehingga diperoleh matrik Reachability akhir. Selanjutnya dibentuk SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity.
SSIM akhir yang memenuhi aturan transitivity dinterpretasikan dalam kelembagaan elemen aktifitas yang dibutuhkan sistem pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda.
Lampiran 35 Tabel Simbol & Pewarnaan dalam Peta Rencana Zonasi
231
232
233
234
235
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon, pada tanggal 1 Maret 1964 sebagai putri pertama dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Djamhur Munaf (Alm) dan Ibunda Nursyamsu Sutan Paduko. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Dosen Yayasan tahun 1995 sampai 2001 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate, kemudian tahun 2001 diangkat sebagai Dosen Negeri Universitas Sam Ratulangi Manado dipekerjakan pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. Penulis beralih status sebagai Dosen Negeri pada Universitas Khairun setelah dinegerikan tahun 2003. Pada penulisan tugas akhir doktoral, penulis menyusun disertasi yang berjudul “Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda)”.