MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
WIDODO ISMANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2009 Widodo Ismanto NRP. P062050674
ABSTRACT WIDODO ISMANTO. Wediombo Sustainability Karst Ecotourism Development Model in Gunungkidul District at Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (ARIS MUNANDAR as Chairman. ANDRY INDRAWAN and SYAIFUL ANWAR as members of the Advisory Committee).
Wediombo Karst is part of Gunung Sewu Mountain Karst Area which had been decided as the world heritage since 1994 by the International Speleology Mac Donald British Cave Research Association. Due to its beautiful land- and seascape panorama, beautiful caves, and unique flora and fauna, this area is potential to be developed as ecotourism area. The objective of this research is to provide a model to develop Wediombo as Karst Ecotourism Area. The research was conducted in 3 steps, i.e. (1) identification of biophysics, socio-economics, socio-culture, legal review, and tourist typology; (2) analysis of demand-supply, cost-benefit priority, and area-zoning; and (3) model development. In identifications step, data was analyzed descriptively. Area-zoning was analyzed using micro-ROS method. Model was developed using AHP and SWOT (AWOT) analysis. The results showed that Wediombo Karst Area has many potential places to be developed as ecotourism area, including beaches, caves, forests, traditional agriculture, and mountain areas. In addition socio-cultural, socio-economics, and legal aspects as well as analysis of tourist typology; demand-supply, cost-benefit priority support the development of karst ecotourism. Micro-ROS analysis shows that Wediombo area spreads over zoning scale 1 to 6, suggesting the natural condition still dominant. Zone development priority analyses suggests that zone A (Wediombo Beach) is the first priority, followed consecutively by zone B (cave and beach), zone E (local culture), zone C (Lowo Cave), zone D (forest area) and zone F (roadside area, stretching from rural boundary to Wediombo Beach). The AWOT analysis shows that Strengths and Threats (S-T) are the main factor for development of strategy. These results suggest that ecotourism development strategy concern in diversification based on local community. The first priority for the development of ecotourism is education tourism, which is expected will derive community awareness on sustainability of the environment including local culture.
Key words: Model, Gunungsewu karst, Wediombo, micro-ROS, AWOT, S-T Strategy, karst ecotourism
RINGKASAN Kawasan Wediombo memiliki potensi kekayaan alam yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata dan mempunyai daya jual yang tinggi. Salah satunya adalah potensi kars-nya yang merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi. Untuk menjaga kawasan kars ini agar tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata, diperlukan pengembangan ekowisata. Permasalahan yang muncul bahwa sampai saat ini belum ada konsep yang jelas mengenai pengembangan ekowisata kars sehingga terancam keestariannya. Penelitian bertujuan untuk membangun model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah : 1. Mengidentifikasi potensi kawasan dengan mengidentifikasi karakteristik biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars Wediombo, legal aspek dan tipologi wisatawan untuk pengembangan ekowisata kars. 2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya. 3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan 4. Menyusun model pengembangan ekowisata kars di Wediombo dan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan di kawasan kars Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama delapan (8) bulan yaitu sejak bulan Oktober 2007 hingga Juni 2008. Analisis data meliputi : analisis deskriptif, analisis statistika, analisis supply dan demand, eckenrode, Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), micro Recreational Opportunity Spectrum (micro-ROS), dan analisis AWOT yang merupakan gabungan antara metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Kars Wediombo mempunyai banyak potensi yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang meliputi pantai, goa, hutan alam, perladangan tradisional, kawasan pegunungan, flora dan fauna. Komponen-komponen yang mendukung meliputi, kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial-ekonomi masyarakat lokal, dan tipologi wisatawan yang diperkuat oleh aspek hukum. Hasil identifikasi demand menunjukkan bahwa semua wisatawan yang datang ke kawasan kars Wediombo pada umunya bersama keluarga. Wisatawan tersebut berasal dari luar Kota Yogyakarta dan tingkat pendapatan berkisar 1,6-2 juta/bulan. Umumnya wisatawan sanggup membayar biaya masuk kawasan lebih besar dari biaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Dilihat dari hubungan antara pendapatan, kesanggupan membayar, dan umur menunjukkan adanya korelasi sedang antar ketiganya. Ini berarti bahwa semua pengunjung yang memiliki kesanggupan membayar lebih dari yang ditentukan karena faktor pendapatan dan umur. Dari sisi supply, terlihat bahwa banyak objek wisata yang dapat menarik wisatawan di kawasan ekowisata kars Wediombo seperti pantai, suasana alam, goa-goa, pegunungan, dan berbagai jenis flora dan fauna. Namun demikian,
wisata pantai yang paling banyak dikunjungi, namun kondisi sarana dan prasarana masih kurang terutama atraksi budaya dan kebersihan, serta tempat-tempat ibadah. Dalam rangka menuju pembangunan ekowisata kars yang berkelanjutan, maka prioritas manfaaf (benefit) yang diharapkan dalam pengembangannya lebih diprioritaskan pada manfaat ekonomi dan selanjutnya manfaat lingkungan dan sosial. Ini berarti bahwa pengembangan ekowisata kars Wediombo setidaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan pendapatan asli daerah (PAD) dengan tetap memperhatikan kelestarian linfgkungan dan kondisi sosial masyarakat. Adapun pilihan keputusan prioritas manfaat adalah perubahan pola hidup. Sementara dilihat dari prioritas biaya (cost) yang dikeluarkan dari pengembangan ekowisata kars, maka biaya perbaikan lingkungan menempati posisi pertama, kemudian diikuti faktor ekonomi dan sosial mempunyai. Adapun pilihan keputusan prioritas adalah biaya perencanaan kawasan dan konservasi sedimen. Kawasan Wediombo secara kealamiahan masuk dalam skala 1 sampai 6 (micro-ROS), yang artinya didominasi oleh kawasan alami. Pantai Jungwok, Dadapan, Hutan Alam, Goa dan pegunungan pada skala 1 sampai 4, untuk Pantai Wediombo pada skala 3 sampai 6. Pengembangan kawasan wisata kars Wediombo dibagi enam zone dengan peringkat pertama Zone A (Pantai Wediombo), kemudian berturut-turut Zone B (Pantai dan Goa), Zone E (Pusat Budaya), Zone C (Goa Lowo), Zone D dan Zone F masing-masing kawasan Hutan alam dan Kawasan sepanjang jalan menuju Pantai Wediombo. Setiap zone memiliki kantong-kantong rekreasi yang menarik untuk dikembangkan sebagai objek wisata Strategi pengembangan wisata di kawasan kars Wediombo adalah “Pengembangan Wisata Pendidikan” pada setiap jenis atraksi wisata yang dikembangkan pada kantong-kantong rekreasi di semua zone pemanfaatan dan selanjutnya wisata penelitian, wisata petualang, wisata spiritual dan wisata massa. Melalui wisata pendidikan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungannya dengan menempatkan alam dan budaya lokal sebagai nilai utama, sehingga masyarakat bisa tetap memperoleh keuntungan melalui wisata tersebut dan kawasan kars serta keanekaragaman hayati yang unik dapat terpelihara dan terlindungi dengan baik. Komponen yang paling berperan adalah diversifikasi kekuatan (Strengths) dan ancaman (threats), artinya strategi pengembangan ekowisata kars bertumpu kepada diversifikasi dan melibatkan masyarakat lokal. Tujuan yang paling diharapkan dalam pengembangan wisata pendidikan adalah adanya keberlanjutan baik keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial sebagaimana tiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan hasil KTT Bumi tahun 1992 yang dikuatkan dengan keluarnya UU No. 23 tahun 1999 tentang Lingkungan Hidup. Melalui keberlanjutan ini, dalam jangka panjang dapat membantu mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan melalui kegiatan konservasi yang berjalan terus selaras dengan pembangunan ekonomi dan kondisi sosial masyarakat. Dalam pengembangan wisata ini perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan stakeholder pada beberapa institusi kelembagaan terkait sehingga kawasan dapat dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan tetap mengacu pada tata ruang wilayah yang ada sebagaimana diatur dalam UU No. 27 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan daerah yang ada.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
WIDODO ISMANTO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Disertasi
: Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Nama Mahasiswa
: Widodo Ismanto
Nomor Pokok
: P062050674
Program Studi
: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Anggota
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB
Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, M.S. Tanggal Ujian :……………………
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Lulus : ……………………
PRAKATA
Disertasi ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS PSL-IPB). Tema dari penelitian ini adalah ekowisata kars, sedangkan judul yang dipilih adalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasan pokok yang mendasari judul yaitu masih sedikitnya pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata, sehingga kawasan kars masih dianggap sebagai kawasan yang tandus, kering, kekurangan pangan dan kawasan miskin. Kawasan kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan kars Gunungsewu yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia sejak tahun 1994 oleh International Speleology Mac Donnald British Cave Research Assosiation dan Keputusan menteri ESDM tahun 1993 sebagai kawasan kars yang dilindungi dan tahun 1994 ditetapkan sebagai kawasan eko-kars. Untuk mengoptimalkan Kawasan Wediombo sebagai kawasan ekowisata, maka dilakukan identifikasi biofisik untuk mengetahui potensi dan penyebaran kawasan wisata, sedangkan untuk mendukung
pengembangan ekowisata
dilakukan identifikasi sosial-budaya, sosial-ekonomi masyarakat setempat, aspek legal dan tipologi wisatawan. Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS dan Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc selaku pembimbing dengan sabar memberikan berbagai masukan dan saran yang sangat berharga. Juga kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA sebagai penguji luar komisi ujian tertutup. Penghargaan juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng dan Ibu Dr. Ir. S. Sekartjakrarini, MSc. Sebagai penguji luar komisi ujian terbuka, yang banyak memberikan masukan. Selain itu penulis menyampaikan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, MS yang telah mengarahkan dan memotivasi penulis untuk melakukan penelitian
mengenai ekowisata kars. Ungkapan terimakasih juga penulis berikan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riyani, MS yang membantu memberikan masukan. Penulis juga merasa berhutang budi kepada Dr. Ir. Hikmad Ramdan, MS dan Dr. Ir. Thamrin Rasyid, MS yang membuka pikiran penulis sebelum dan sesudah melakukan penelitian mengenai ekowisata kars. Juga kepada Dr. Ir. Suaedi, MS maupun Sdr. Rahman Kurniawan mahasiswa S3 PSL yang telah meluangkan waktu untuk berkenan berdiskusi dengan penulis dan memberikan masukan
yang sangat
berarti. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih terhadap kawan-kawan program S3 PSL dan rekan mahasiswa yang lain yang telah memberikan saran dari saat kolokium maupun seminar yang merupakan tambahan yang berarti. Tidak lupa kepada Sdri. Ririn, Sdri Suli dan staf sekretariat program S3 PSL yang lain yang sejak awal menjadi “perantara” antara penulis dan pembimbing karena keterbatasan waktu. Terakhir kepada kedua orangtua yang setiap saat mendoakan untuk kemudahan anaknya dalam menjalankan proses pembelajaran, dan tak lupa kepada mertua yang mendorong dan memotivasi untuk menyelesaikan S3; istriku tercinta Tresni Prayetni Dewi, teman setia yang dengan sabar memotivasi dan mendorong untuk menyelesaikan disertasi ini; serta anak-anakku tersayang, Arif Eko Putranto dan Haris Jati Kuncoro, yang sabar telah menunggu ayahnya mengurangi waktu untuk menemani mereka.
Bogor, 2009 Widodo Ismanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Juli 1963 di Nganjuk Jawa Timur, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Markijo dan Wardjinah (Alm). Pendidikan Akademi ditempuh di Jurusan Geofisika, Akademi Meteorologi dan Geofisika, lulus tahun 1986. Sarjana ditempuh di Jurusan Statistik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UT, lulus tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan S2 Kajian Energi Program Studi Pembangunan, Fakultas Teknologi Industri ITB, lulus tahun 2003. Pada tahun 2005 penulis diterima di Program S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Sebelumnya penulis pernah bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika setelah menyelesaikan dari Akademi Meteorologi dan Geofisika sampai tahun 1990. Kemudian penulis mengundurkan diri atas permintaan sendiri dan bekerja di Petromer Trend Companies in Indonesia hinga PetroChina International Companies in Indonesia Ltd. sampai sekarang. Penulis menikah dengan Tresni Prayetni Dewi, putri ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Sumardjo dan Srimulyani pada tahun 1994 dan dikarunia dua putra Arif Eko Putranto dan Haris Jati Kuncoro. Pada tahun 1986-1989 aktif
di Himpunan Ahli Geofisika Indonesia
(HAGI) selain sebagai anggota juga menulis mengenai kegempaan di Indonesia di Jurnal HAGI. Pernah menulis di Suara Karya dan Kompas mengenai Gempa bumi yang dihubungkan dengan penataan lingkungan. Bagian disertasi yang telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kepariwisataan Indonesia terakreditasi B (ISSN 1907-9419) pada bulan Maret 2008 volume 3, nomor 1, halaman 101-113, dengan judul Identifikasi Potensi Wediombo Sebagai Kawasan Ekowisata Kars di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk bagian disertasi yang lain dalam proses pemuatan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xvii
GLOSARIUM............................................................................................... xviii BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Kerangka Pemikiran.......................................................................
6
1.3. Perumusan Masalah ......................................................................
9
1.4. Tujuan Penelitian ..........................................................................
11
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................
12
1.6. Novelty (Kebaruan)........................................................................
13
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
14
2.1. Potensi Biofosik, Sosial ekonomi, dan sosial Budaya ..................
15
2.2. Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata ..................................
20
2.3. Tipologi Pengunjung .....................................................................
23
2.4. Aspek Permintaan (Demand) dan Penawaran (Supply) Wisata .....
25
2.5. Analisis Micro-ROS ......................................................................
27
2.6. Analisis Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya ..............................
27
2.7. Strategi Pengembangan Ekowisata ...............................................
28
BAB III. METODE PENELITIAN .........................................................
31
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................
31
3.2. Tahapan Penelitian .........................................................................
32
3.3. Metode Penelitian .........................................................................
33
3.3.1. Identifikasi Potensi Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars ..................................................................
33
3.3.2. Studi Supply dan Demand, serta Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya Ekowisata Kars Wediombo .......................
38
3.3.3. Pembagian Zonasi Kawasan Pengembangan ......................
43
3.3.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Berkelanjutan .....................................................................
44
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................
52
4.1. Potensi Pengembangan Ekowisata Kars .......................................
52
4.1.1. Kondisi Biofisik, Sosial Ekonomi, dan Sosial Budaya ......
52
4.1.2. Aspek Legal .......................................................................
79
4.1.3. Tipologi Wisatawan ...........................................................
83
4.2. Besarnya Demand dan Supply, serta Manfaat dan Biaya Pengembangan Ekowisata Kars di Kawasan Wediombo ..............
92
4.2.1. Hasil Demand dan Supply ..................................................
93
4.2.2. Prioritas Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) .....................
106
4.3. Pembagian Zone Kawasan Kars Wediombo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta .............................................................
112
4.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Gunungkidul Yogyakarta ....................................................................................
139
4.4.1. Penentuan dan Peringkat Faktor-Faktor Internal dan Eksternal dalam Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo .........................................................................
139
4.4.2. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo............
144
4.5. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo ............................................................................
167
4.5.1. Kebijakan Umum ..............................................................
167
4.5.2. Kebijakan Operasional .......................................................
168
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
171
5.1. Kesimpulan ....................................................................................
171
5.2. Saran-Saran .....................................................................................
173
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
175
LAMPIRAN.................................................................................................
182
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perbandingan cara pengelolaan ekowisata ..........................................
21
2.
Tipologi wisatawan dalam Micro-ROS ..............................................
25
3.
Penentuan bobot faktor manfaat (Benefit) ...........................................
41
4.
Penentuan bobot faktor biaya (Cost) ...................................................
41
5.
Nilian penataan kawasan rekreasi alam ...............................................
44
6.
Faktor-faktor dalam analisis SWOT ...................................................
47
7.
Kategori wisata dalam skala Micro-ROS ............................................
48
8.
Matrik perbandingan berpasangan berdasarkan skala Saaty................
50
9.
Nilai indeks random untuk penentuan consistency ratio (CR) ............
51
10.
Karakteristik fauna di kawasan Wediombo ........................................
56
11.
Keberadaan fauna di Kawasan Wediombo (catatan desa dan Wawancara ..........................................................................................
58
12.
Tanaman endemik yang dikembangkan ..............................................
60
13.
Tanaman produksi yang dikembangkan .............................................
60
14.
Kegiatan pendukung wisata di kawasan kars Wediombo ...................
62
15.
Status kawasan di Desa Jepitu ............................................................
71
16.
Kondisi profesi masyarakat Jepitu ......................................................
71
17.
Karakteristik masyarakat lokal ............................................................
72
18.
Jenis budaya tradisional kawasan Wediombo .....................................
74
19.
Persepsi masyarakat lokal kawasan kars Wediombo ..........................
76
20.
Partisipasi masyarakat local di sekitar kawasan kars Wediombo .......
79
21.
Motivasi dan kegiatan wisatawan di kawasan Wediombo ..................
86
22.
Persepsi wisatawan ..............................................................................
89
23.
Kemauan membayar wisatawan di kawasan kars Wediombo ............
91
24.
Analisis Pearson hubungan antar variable ..........................................
102
25.
Matrik manfaat dari pendapat pakar sisi ekonomi, lingkungan dan sosial..............................................................................................
107
26.
Matrik biaya dari sisi ekonomi, lingkungan, dan sosial ......................
108
27.
Manfaat pengembangan ekowisata kars Wediombo............................
110
28.
Biaya (Cost) pengembangan ekowisata kars Kawasan Wediombo .....
111
29.
Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara Biofisik.................................................................................................
115
30.
Hasil evaluasi setting kawasan wisata Wediombo secara sosial..........
115
31.
Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara administratif .........................................................................................
116
32.
Daftar fauna yang berada di kawasan Wediombo................................
119
33.
Matrik kategori zone kawasan dan objek pengelolaan menurut IUCN ...................................................................................................
126
34.
Zone kawasan kegiatan wisata di kawasan kars Wediombo ...............
128
35.
Matrik penentuan nilai jumlah wisatawan berkunjung .......................
129
36.
Matrik penentuan nilai banyaknya kesempatan berekreasi .................
130
37.
Matrik penentuan nilai persaingan kawasan wisata .............................
130
38.
Nilai kelayakan kawasan Wediombo ..................................................
131
39.
Matrik analisa viabilitas zone-zone kawasan Wediombo ...................
132
40.
Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone A).............................................................................
133
Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone B) .............................................................................
134
Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone C) .............................................................................
135
Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone D).............................................................................
136
Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone E) .............................................................................
137
Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone F)..............................................................................
138
46. Hasil identifikasi faktor-faktor kekuatan (Strength) ...........................
139
47. Hasil identifikasi faktor-faktor kelemahan (Weaknesses)....................
140
48.
Hasil identifikasi faktor-faktor peluang (opportunities) ......................
141
49.
Hasil identifikasi faktor-faktor ancaman (Threats)..............................
141
50.
Formulasi rancangan pengembangan ekowisata kars Wediombo Matrik SWOT ......................................................................................
143
51.
Matrik strategi pengembangan dengan pewilayahan (zone)................
150
52.
Daya tarik alternatif kegiatan ekowisata di kawasan kars Wediombo ............................................................................................
153
Matrik andalan (flagship) dan penyangga (buffer) wisata ...................
161
41. 42. 43. 44. 45.
53.
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kluster pengembangan wisata di Pantai Selatan Yogyakarta, Kawasan Wediombo termasuk dalam kluster Pantai Rongkop ..........
3
2.
Tiga pilar sistem manajemen lingkungan (SML) ................................
8
3.
Kerangka pemikiran penelitian ...........................................................
9
4.
Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan Ekowisata kars yang berkelanjutan di wediombo................................
12
5.
Skema deomorfologi kars ....................................................................
16
6.
Proses pengikisan batuan karbonat membentuk struktur goa .............
17
7.
Lokasi penelitian kawasan Wediombo ................................................
31
8.
Tahapan penelitian pengembangan kawasan ekowisata Wediombo . ..........................................................................................
32
9.
Hierarkhi mekanisme pemilihan pengembangan wisata .....................
49
10.
Peta kelerengan kawasan Wediombo ..................................................
53
11.
Letak goa berdasarkan proses pembentukan .......................................
55
12.
Potensi penyebaran kawasan wisata Wediombo .................................
67
13.
Potensi pergerakan wisatawan di kawasan Wediombo .......................
68
14.
Lingkaran optimalisasi ekowisata dan kelembagaan ...........................
69
15.
Stakeholder yang berperan dalam bisnis ekowisata ............................
70
16.
Pendapatan masyarakat lokal per bulan ..............................................
73
17.
Beberapa rangkaian upacara Ngalangi ................................................
75
18.
Diagram hari puncak kunjungan wisatawan .......................................
84
19.
Diagram motivasi dan aktivitas wisatawan di kawasan kars Wediombo ............................................................................................
87
20.
Diagram jenis kelompok wisatawan ...................................................
94
21.
Diagram kelompok umur wisatawan yang berkunjung ke Wediombo ............................................................................................
95
22.
Diagram pendpatan wisatawan di kawasan kars Wediombo ..............
95
23.
Diagram kemauan membayar wisatawan ............................................
96
24.
Diagram lamanya jarak tempuh wisatawan ........................................
97
25.
Peta waktu perjalanan ke kawasan Wediombo Gunungkidul ..............
98
26.
Diagram jumlah kunjungan wisatawan di kawasan Wediombo ..........
99
27.
Diagram lamanya wisatawan berkunjung ke kawasan Wediombo......
100
28.
Jenis transportasi wisatawan ke kawasan Wediombo..........................
100
29.
Tempat yang paling menarik menurut wisatawan ...............................
103
30.
Kondisi sarana dan prasarana di kawasan Wediombo .........................
103
31.
Kekurangan kondisi infrastruktur .......................................................
104
32.
Kantong-kantong potensi kawasan wisata berdasar Micro-ROS.........
112
33.
Pembagian zoning kawasan kars Wediombo.......................................
125
34.
Hierarkhi model pengembangan kawasan ekowisata kars Berkelanjutan di Wediombo ................................................................
146
Prioritas komponen SWOT dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo...................................................................
148
Prioritas faktor SWOT (Kekuatan) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo...................................................................
156
Prioritas faktor SWOT (Ancamann) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo...................................................................
157
Prioritas faktor SWOT (Peluang) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo...................................................................
158
Prioritas faktor SWOT (Kelemahan) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo...................................................................
159
Prioritas masing-masing aktor yang berperan dalam pengembangan Kawasan ekowisata kars Wediombo ...................................................
160
Optimalisasi pengembangan ekowisata ...............................................
162
35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
42. Prioritas masing-masing tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo..................................................... 164 43. 44. 45.
Prioritas masing-masing strategi pengembangan kawasan ekowisata Kars Wediombo ..................................................................................
165
Lingkaran optimalisasi ekowisata kars Wediombo dan Kelembagaan (Pengembangan dari Weaver, 2001) .............................
167
Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang Berkelanjutan .......................................................................................
170
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Kuesioner pengembangan ekowisata kars di Wediombo .....................
182
2.
Pembobotan kriteria prioritas manfaat dan biaya ................................
207
3.
Kuesioner penilaian variabel pengembangan kawasan ekowisata kars.
208
4.
Peta tematik curah hujan ....................................................................
209
5.
Peta tematik tingkat erosi ....................................................................
210
6.
Peta tematik kepadatan penduduk ........................................................
211
xvii
Glosarium Istilah-istilah Ampyang: Makanan yang terbuat dari kacang tanah dengan gula merah, sehingga membentuk seperti rempeyek Asum Dahar: Prosesi ziarah ke tempat Gusti Ibu Kanjeng Nganglang Jagad Noto Kusumo, dilaksanakan setiap tahun sehabis panen di dusun Manukan pada sebuah watu dukun dilaksanakan pada Jumat wage atau Jumat legi Conical: pegunungan di kawasan kars yang berbentuk kerucut Critically Endangered (CR): Kategori ditujukan kepada spesies yang menghadapai resiko tinggi menuju kepunahan dalam waktu dekat. Dolin: merupakan cekungan-cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter beberapa meter hingga lebih kurang satu kilometer. Endangered (EN): Tidak masuk dalam spesies CR tetapi menghadapi resiko kepunahan di alam liar dalam waktu yang agak dekat (rentang waktunya lebih lama dari CR) Extinct (EX): Kategori untuk spesies yang dapat dipastikan tidak ada lagi individunya yang masih hidup. Extinct in the wild (EW): Berlaku untuk spesies yang tidak dapat diketemukan lagi di habitat/lingkungan aslinya. Keberadaan hidupnya berada di wilayah aslinya, dengan tujuan pengembangbiakkan. Gawar Kentheng/Sriatan: adalah pasang batas dusun dengan menggunakan tali dari bambu yang diberi ijuk. Dilaksanakan bulan Shuro (Muharom) hari Jum’at legi. Gumbreg: dilaksanakan setiap tahun 2 kali, fungsinya untuk sesaji hewan ternak dan alat pertanian, dengan makanan khas ketupat dan jadah. Jadah: Ketan yang sudah matang, selama proses pematangan ketan dicampur dengan santan kelapa kemudian ketan yang matang digiling sampai halus. Kars: kawasan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik. Kawasan kars: kawasan batuan karbonat (batuan gamping dan atau dolomit) yang memperlihatkan morfologi kars yang ditandai oleh bukit berbangun kerucut dan menara, lembah dolina, gua, dan stalagtit serta sungai bawah tanah. Kirim ndowo: fungsi memanjatkan kepada Tuhan (memperingati arwah leluhur),
xviii
pelaksanaan pada saat mulai cocok tanam dan setelah panen. Hari acara senin kliwon atau senin wage Least Concern (LC): Tidak termasuk spesies dalam CR, EN, VU dan LC. Keberadaannya masih tersebar dalam wilayah tertentu. Memule: doa yang dilakukan setiap keluarga yang akan menikahkan anak atau untuk awal mulai pertanian atau pembangunan rumah. Pelaksanaan setiap hujan turun atau akan menikahkan anak atau membangun rumah. Near Treathened (NT): Tidak masuk dalam spesies VU tetapi menghadapi resiko punah dalam jangka waktu panjang. Ngalangi: Ucapan rasa sukur setelah selesai panen dilakukan dengan cara melakukan ritual laut dengan cara melabuh tumpeng, ayam, kain, benang, gunting, jarum di Pantai Wediombo, sedangkan waktu ritual menagkap ikan di Pantai Jungwok Nyadran: Nadar yang dipenuhi dan mengunjungi peristirahatan Gusti Worawari dalam satu tahun sekali setelah panen bersama waktu Rosulan. Ngirim Pari: mengirim padi dengan kunyit, asem, dan bedak dari padi (rujak asem) ketika padi mau berisi. Polje: merupakan kawasan yang berlantai datar, dapat berupa batuan dasar atau batuan lepas seperti alluvium, cekungan tertutup dengan lereng terjal paling tidak pada salah satu sisinya, dan mempunyai drainase kars. Pit Cave: goa yang mempunyai kedalaman tegak lurus Red list data book: Buku merah yang berisi tentang fauna yang berpotensi akan punah menurut IUCN Resan: tempat yang masih banyak ditumbuhi pohon dan menurut kepercayaan ada “penghuninya” tidak boleh dirusak, ketika acara rosul dibersihkan daun yang berada di bawah pohon tersebut Satelit Ketela: Makanan terbuat dari ketela yang diparut kemudian di kukus dan mempunyai bentuk tipis seperti lempeng. Speleology: ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dan ekosistem yang tejadi di dalam goa Srimping: Jadah dicetak tipis bulat dikeringkan, setelah itu di goreng Uvala: merupakan gabungan dari dolin-dolin dengan diameter 500-1000 m dan kedalaman 100-200 m.
xix
Vulnerable (VU): Tidak masuk dalam spesies EN tetapi menghadapi resiko punah dalam jangka waktu menengah. Worang: makanan terbuat dari ketan yang di kukus samapai matang dan cara makan dengan menggunakan parutan kelapa
Operasional Daya dukung adalah: kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotic (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan factor lingkungan dan factor lainnya yang berperan di alam. Ekosistem adalah: sebuah entitas yang terdiri dari tumbuhan, hewan serta lingkungan disekitarnya, serta pertukaran energi dan materi pada lingkungan tersebut (Barbour dalam UU N0.67/2004 tentang pedoman umum pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil). Ekowisata adalah: kegiatan wisata berdasarkan lingkungan yang menitikberatkan aspek konservasi dan aspek pemberdayaan masyarakat lokal dari unsure social, ekonomi dan budaya serta mengandung aspek pendidikan. Kebijakan adalah: serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya (William Jenkins, 1978). Kawasan adalah: wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang) Klasifikasi kawasan kars adalah: kegiatan menentukan atau membagi suatu kawasan kars menjadi satu atau beberapa kelas sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dan potensi yang dimilikinya Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah: pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan di masa yang akan datang. Pengembangan kawasan adalah: upaya adaptif mengembangkan kawasan yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan untuk mencapai keserasian antarsektor dan antarwilayah, serta antarnegara yang bertetangga sehingga dapat mensejajarkan diri dengan negara yang lebih maju. Konservasi sumber daya alam: pengelolaan sumber alam terbaharui dan tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
xx
Daya dukung lingkungan adalah: kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain. Pengelolaan berkelanjutan adalah: pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang
xxi
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang membutuhkan
kompensasi untuk menikmati waktu luangnya (leisure time) dengan melakukan perjalanan wisata. Naisbit (1994) telah memperkirakan bahwa mulai tahun 2000 sektor pariwisata akan menjadi industri terbesar di dunia dan menyumbang ekonomi global. Sebagai penyumbang ekonomi global, pakar ini menyatakan bahwa
sektor
pariwisata
tidak
ada
tandingannya
dikarenakan
mampu
mempekerjakan 204 juta orang di seluruh dunia, atau 10,6% dari angkatan kerja global, menghasilkan 10,2% produk nasional bruto dunia, dengan keluaran bruto mendekati US$ 3,4 triliun, dan menjadi produsen terkemuka dengan pendapatan pajak terbesar mencapai US$ 655 milyar (WTO, 2000). Kondisi ini terus mengalami kenaikan, sebagaimana ditunjukkan dengan pendapatan pajak yang mencapai US$ 733 milyar (WTO, 2006). Sektor pariwisata memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai salah satu sumber penerimaan devisa maupun sebagai pencipta lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 4.871.351 orang, dan penerimaan sebesar US$ 4.447,98
Juta (BPS, 2006). Wisatawan yang mengunjungi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) berjumlah 2.139.540 orang (BPS Yogyakarta, 2006). Sumbangan sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Gunungkidul semakin meningkat. Pada tahun anggaran 1993/1994, sumbangan sektor pariwisata terhadap PAD mencapai Rp.111 juta (5,9%), kemudian pada tahun anggaran 1998/1999 meningkat Rp.304 juta (6,8%). Selain itu kunjungan wisata tahun 1993 berjumlah 179.374 orang (termasuk 393 wisata mancanegara), sedangkan pada tahun 1998 meningkat menjadi 300.847 orang (termasuk 453 wisata mancanegara). Ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi kenaikan kunjungan wisata rata-rata 12% per tahun (Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, 2000). Kekayaan alam dan keajaiban alam yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merupakan potensi yang dapat dikembangkan dan mempunyai
2 daya jual yang tinggi. Kawasan Pegunungan Seribu dengan potensi kars-nya, merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi dan kelestarian lingkungan. Selain unik, kars merupakan kawasan yang cukup langka di Indonesia bahkan di dunia dan belum banyak dikembangkan sebagai daerah ekowisata. Keputusan
Menteri
ESDM N0. 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan tanggal 1 Desember 2004 telah menetapkan bahwa kawasan kars Pegunungan Seribu Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan eko-kars. Kawasan ini merupakan kawasan kars tropik dan telah ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (The World Heritage) pada tahun 1994 oleh International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, dan menyebutkan bahwa Kars Gunung Sewu merupakan salah satu kars terbaik di dunia. Untuk menjaga kawasan kars tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata maka, diperlukan pengembangan ekowisata, karena ekowisata merupakan bagian dari semua jenis wisata antara lain: wisata masa, wisata alternatif dan wisata berkelanjutan (Weaver, 2001). Pariwisata di Yogyakarta dikembangkan sebagai wisata budaya dan konservasi, serta menempatkan jenis wisata lain sebagai wisata pendukung, dan berdasarkan keseimbangan pasar dan potensi yang tersedia, termasuk kawasan di Kabupaten Gunungkidul (Bapeda Yogyakarta, 2000). Bapeda
Gunungkidul
(2005)
mengelompokkan
kawasan
pesisir
Wediombo termasuk daerah wisata yang masuk dalam kategori pengembangan E, yaitu wisata dan konservasi skala nasional, sedangkan di sebelah utara pengembangan I yaitu hutan produksi jati, di sebelah barat merupakan pusat pengembangan D sebagai panjat tebing skala internasional dan di sebelah timur adalah pengembangan F yaitu sektor industri perikanan. Berdasarkan kluster pengembangan wisata, wilayah ini disebut sebagai kluster pengembangan pantai Rongkop (Gambar 1). Kawasan Wediombo memiliki unsur strategis yang tinggi, yang mencakup aspek ilmiah, ekonomi, kemanusiaan dan konservasi
yang
merupakan dasar bagi kegiatan pengelolaan kawasan yang berbasis pada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sasarannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang telah menghuni kawasan
3 tersebut secara turun temurun, yang
pada umumnya merupakan komunitas
marginal.
North Pegunungan Karik Goa Cirme Sandang Beji Aortapaar Pesanggrahan Goa Topan Wonokobaran Gembirawati Panggang Pantai Parang Rodeo
Pallyan
Goa Sodo Saptosari Goa Maria Tritia
Kluster Panggang dan sekitarnya
Pt. Ngobaran Pt. Nguyahan Pt. Subuh Pt. Langkap
Kluster Pantai Saptosari dan sekitarnya
Samudera Hindia
Pt. Ngicahan
Rongkop
Tepus
Pt. Grigik
Pt. Boran Pt. Kukla
Pt. Sepanjang Pt. Krakel Pt. Dhini Pt. Sandak Pt. Stik
Kluster Pantai Tepus dan sekitarnya
Gunung Batur
Pantai Slang Pantai Wedlember Pantai Ngungap
Pantai Sadeng
Kluster Pantai Rongkop dan sekitarnya
Gambar 1. Kluster Pengembangan Wisata di Pantai Selatan Yogyakarta; Kawasan Wediombo termasuk dalam Kluster Pantai Rongkop Wediombo merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Gunungkidul yang sedang dikembangkan sebagai kawasan wisata (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2000). Pemanfaatan yang dilakukan pada saat ini adalah sebagai wisata pantai, tetapi kawasan ini belum tertata dengan baik. Jumlah pengunjung rata-rata 13.510 wisatawan/tahun dengan pemasukan Rp. 17.656.000/tahun (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2008). Kawasan Wediombo, merupakan wilayah kars yang mempunyai potensi wisata berbasis alam, yang meliputi goa dan kars, pantai yang dikelilingi tebing kars, sungai bawah tanah, dan hutan. Tumbuhan seperti kina, segawe, nyamplung (Callophylum inophylum), lowo merupakan tumbuhan endemi pada habitat ini. Fauna yang ada meliputi trenggiling (Manis javanica), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), lutung (Trachy pithechus cristatus), kijang (Muntiacus muntjak), ular phyton (Phyton reticulatus), bajing goa (Rheithrosciurus), penyu hijau (Chelonia mydas) dan berbagai fauna lain yang hidup di dalam goa maupun diluar goa.
4 Kawasan Wediombo mempunyai dataran yang luas yang dikelilingi bukit-bukit kars dan
berpotensi untuk kegiatan
camping ground, trekking, hiking, dan
kegiatan wisata lainnya. Masyarakat lokal Kawasan Wediombo mempunyai kebudayaan khas yang bersifat tradisionil, dan merupakan potensi yang menarik untuk dikembangkan sebagai pendukung kegiatan wisata. Berbagai potensi daya tarik alam (lanskap) pada Kawasan Kars Wediombo mendukung pengembangan konsep ekowisata yang berbasis kepada kawasan kars. Permasalahannya fragile
(Aurighi
et
adalah al.,
2004),
kawasan kars merupakan ekosistem yang sehingga
kalau
dikembangkan
harus
memperhitungkan daya dukungnya. Strateginya adalah mengembangkan bentuk wisata yang mempunyai fungsi penyangga, sehingga tekanan kegiatan wisata ke obyek kars secara langsung dapat dikurangi, sekaligus sumbangan terhadap perekonomian dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu perencanaan spatial kawasan dengan mempertimbangkan nilai lingkungan
alami
penting
dilakukan. Beberapa metode pengelolaan ekowisata antara lain adalah: (1) Limit of Acceptable Change (LAC) (Stankey et al. dalam Farrel dan Marion JL, 2002) menekankan terhadap perlindungan kawasan, tetapi dari sisi ekonomi tidak optimal. (2)
Visitor Impact Management (VIM) (Susan
et al., 2003),
menekankan mengenai dampak kondisi sekarang tetapi tidak mengkaji potensial yang menyebabkan dampak tersebut. (3) Visitor Experience Resources Protection (VERP) (Hof dan Lime, 1997), yang berisi gambaran kondisi sumberdaya alam ke depan dan kondisi sosial,
menentukan tingkat penggunaan sumberdaya yang
tersedia, dimana, kapan dan mengapa. Pada lingkungan yang berbeda perlu dilakukan percobaan, dan kemampuan pengawasan untuk menyiapkan informasi mengenai cara
pengelolaan yang harus diuji. Metode micro-ROS tetap
mengutamakan perlindungan lingkungan, dan dapat digunakan untuk menilai pada kawasan yang sempit, memberikan kesempatan rekreasi se-optimum mungkin untuk mendapatkan pengalaman berwisata (Parkin et al., 2000). Metode ini diperkirakan sesuai diterapkan di Kawasan Wediombo. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan identifikasi potensi kawasan secara biofisik, sosial-ekonomi, sosial-budaya, tipologi wisatawan dan aspek legal, kemudian analisis demand
5 supply, analisis prioritas manfaat-biaya dan analisis spasial untuk ekowisata dengan micro-ROS. Model pengembangan ekowisata dianalisis dengan analisis SWOT dan analisis AHP. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di kawasan karst antara lain; Penelitian di kawasan kars Belize di Amerika Tengah dan Caribia membahas mengenai peningkatan tekanan penduduk dan menekankan kepada perlindungan lingkungan (Day, 1996), penelitian ekowisata di kepulauan Ogasawara (Ichiki, 2002), membahas mengenai identifikasi kawasan yang potensial sebagai kawasan ekowisata. Penelitian lain adalah sistem keberlanjutan Kars dilihat dari sisi managemen kebiasaan masyarakat dan lingkungan fisik, yang ditekankan pada kemampuan masyarakat untuk menyelaraskan kehidupan sesuai lingkungannya (Sunkar, 2004). Beberapa penelitian tersebut ternyata hanya menekankan kepada perlindungan lingkungan pada kawasan fragile, kemampuan masyarakat bertahan dan identifikasi kawasan tanpa menyinggung maksimalisasi kesempatan berekreasi pada kantong kawasan yang potensial untuk pengembangan wisata, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya pada suatu wilayah (region) yang luas. Penelitian di Kawasan Wediombo ini merupakan penelitian dengan pendekatan terpadu selain melakukan perencanaan konservasi, juga menganalisis prioritas manfaat dan biaya, keselarasan permintaan dan kesediaan, menganalisis SWOT objek wisata, dan penentuan alternatif jenis wisata. Upaya untuk mengembangkan Kawasan Kars Wediombo sebagai wilayah ekowisata masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar antara lain adalah belum adanya sarana dan prasarana yang memadai sebagai kawasan ekowisata, belum lengkapnya inventarisasi dan informasi spasial mengenai potensi kawasan wisata dan belum terumuskannya aspek aspek strategi pengembangan ekowisata kars Kawasan Wediombo secara optimal. Kondisi ini dapat teridentifikasi dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke Wediombo masih terbatas pada hari-hari besar dan libur. Wisatawan hanya mengenal wisata Pantai Wediombo dengan waktu kunjungan relatif singkat. Banyak kawasan yang mempunyai nilai wisata tinggi belum dimanfaatkan secara optimal, baik kawasan pantai, kawasan hinterland
maupun budaya daerah
6 Wediombo dan sekitarnya. Semua potensi yang ada belum dikemas sebagai atraksi wisata yang menarik. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut supaya dapat merancang model pengembangan wilayah Kars Wediombo dan sekitarnya sebagai kegiatan ekowisata yang terpadu. 1.2.
Kerangka Pemikiran Secara konseptual, ekowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk wisata
yang berbasis kepada sumberdaya alam dan keberlanjutan, difokuskan kepada pengalaman dan pembelajaran tentang sumberdaya alam, mengendalikan dampak negatif yang rendah, tidak konsumtif dan berorientasi kepada masyarakat lokal (kontrol, manfaat, dan skala). Tipenya adalah kawasan alam dan mempunyai konstribusi untuk mencari pengalaman dan konservasi atau perlindungan kawasan (Fennel, 1999). Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan, yang meliputi alam maupun budaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Ditjen Pariwisata, 1995). Kawasan Kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan Kars Gunungsewu yang ditetapkan sebagai warisan dunia (International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, 1994). Ditinjau dari segi pengelolaan, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan berupaya mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Suhandi, 2001). Ekowisata dapat dikatakan lahir karena kecenderungan wisatawan dalam memilih objek atau lokasi wisata untuk dikunjungi. Wisatawan tidak hanya sekedar ingin melihat dan menikmati daya tarik objek wisata, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah mendapatkan tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru. Ekowisata kawasan kars masih sangat sedikit yang dikembangkan, bahkan belum diperhitungkan sebagai potensi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan penduduk lokal. Pantai kars yang terdapat di Gunungkidul, khususnya
7 kawasan Wediombo merupakan tujuan utama pengunjung yang berupa pantai teluk dengan batuan vulkanik atau disebut pantai gunung api (Sunarto, 2000). Selain mempunyai potensi wisata alam dan pantai, terdapat potensi taman laut, wisata penelitian dan diving zone. Di sebelah barat di luar Kawasan Wediombo terdapat wisata panjat tebing yang bertaraf internasional (tebing yang curam di Pantai Siung). Potensi lainnya adalah terdapatnya bentukan bentang alam pada batuan karbonat (batu gamping) yang mempunyai bentuk sangat khas berupa bukit berbentuk kerucut (conical), lembah, cekungan tertutup berbentuk lonjong atau bulat (dolin), sungai bawah tanah dan goa. Karena sifatnya yang sangat porous batu gamping tidak mampu menahan air permukaan lebih lama meresap ke bawah membentuk sungai-sungai bawah tanah. Karakteristik lainnya adalah kondisi kering dengan hutan yang ditumbuhi vegetasi jati, akasia, mahoni, semua jenis tumbuhan yang tahan terhadap kondisi kekurangan air dan beberapa habitat fauna yang tidak ditemukan di kawasan lain. Sebagai kawasan kars, Wediombo sering diidentikkan sebagai kawasan tandus, kekurangan air dan kondisi perekonomian masyarakatnya rendah (Fryerand Jacson dalam Nibbering, 1991). Dikawasan ini, sebagian penghasilan hidup petani berasal dari pertanian tadah hujan, yang menghasilkan tanaman dengan produktivitas rendah, dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Jika terdapat vegetasi atau hutan, hanya tanaman tahan kekeringan yang dapat tumbuh, seperti pohon jati, sengon, akasia, jambu mete dan pohon-pohon lain yang bersifat tahan kekeringan. Namun demikian sesungguhnya secara ekonomi kawasan kars dapat dikembangkan secara produktif, dengan melihat setidaknya 4 potensi. Pertama, potensi pertanian lahan kering. Kedua, potensi hutan yang cukup baik bagi industri manufaktur yaitu kayu jati, mahoni, akasia, jambu mete dan lain-lain yang sifatnya tahan terhadap iklim dan morfologi kars. Ketiga, adalah potensi tambang berupa kars (batu gamping), untuk pemenuhan industri kerajinan batu marmer, bahan baku semen dan lain-lain. Namun demikian apabila kegiatan penambangan tidak terkontrol maka kelestarian kawasan kars akan rusak, sehingga terjadi degradasi lingkungan. Keempat, adalah potensi pemandangan alam dan keunikan kawasan kars untuk dijadikan
kawasan wisata. Untuk
mengembangkan kawasan kars sebagai kawasan wisata, maka konsep ekowisata
8 merupakan konsep yang sesuai, karena mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan alam serta, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal sesuai dengan tujuan ekowisata. Blamey (1997; 2001) mengidentifikasi elemen kriteria ekowisata meliputi elemen pendidikan, berbasis alam dan keberlanjutan. Konsep dan program pengembangan
ekowisata berkelanjutan pada dasarnya menuntut adanya
kerjasama dan pelibatan antara pihak-pihak yang berkepentingan meliputi berbagai keahlian mulai dari perencanaan sampai ke implementasi. Sementara pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi membutuhkan kerja sama yang sinergi, adaptif antara pemangku kawasan pelestarian alam, masyarakat sekitar serta pihak swasta, maka ekowisata merupakan alat yang mampu sebagai kunci konservasi, berdasarkan ketiga pilar manajemen lingkungan (Gambar 2).
Aspek Biofisik
Aspek Sosial Budaya SML
Aspek Ekonomi
Gambar 2. Tiga Pilar Sistem Manajemen Lingkungan (SML)
Dikembangkannya kawasan kars sebagai kawasan ekowisata diharapkan akan meningkatkan PDRB, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, konservasi sumberdaya alam, menyerap tenaga kerja, mengurangi tingkat urbanisasi yang tinggi dan melestarikan budaya lokal, sehingga kawasan kars menjadi daerah yang maju dan dapat membangun secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian sebagaimana telah diuraikan dirangkum pada Gambar 3.
9
Kawasan KARST Wediombo
Nilai Kawasan yang Tinggi
Ekologi
Ekonomi
1. Goa kars 2. Pantai 3. Bentuk pengunungan 4. Flora dan fauna 4. Sungai bawah tanah
Wisata Spiritual
Sosial
Potensi Pengembangan Ekowisata Kars
Wisata Pendidikan
Wisata Petualang
Wisata Penelitian
Wisata Massa
PERMASALAHAN - Terfragmentasi (tdk terpadu) - Konflik kepentingan - Pemanfaatan kars tidak optimal
Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang Berkelanjutan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.3.
Perumusan Masalah Secara potensi kawasan Wediombo merupakan kawasan yang sangat
fragile, mempunyai keunikan dan kelengkapan keanekaragaman hayati yang tidak ditemukan di kawasan lain. Kawasan Wediombo sangat sesuai jika dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Kondisi yang terjadi adalah bahwa pengembangan wisata kawasan Wediombo tidak mendapatkan hasil yang optimal, karena jumlah kunjungan wisatawan pada hari-hari biasa sangat sedikit. Potensi kawasan kars Wediombo dan sekitarnya yang dikembangkan sebagai kawasan ekowisata kars belum banyak diketahui oleh wisatawan, penduduk lokal, pihak swasta (sebagai pengelola kawasan wisata) maupun
10 pemerintah daerah. Hal ini ditinjau dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan maupun wisata khusus. Potensi
kawasan kars secara ekonomi dapat
dikembangkan secara produktif, jika dilakukan identifikasi biofisik, identifikasi sosial budaya dan identifikasi sosial ekonomi. Agar pengembangan dapat tertata dengan baik dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan pewilayahan (zoning) pengembangan. Identifikasi kawasan unggulan kars dan kawasan pendukung kars sebagai kawasan wisata, membantu untuk membuat zoning kawasan, maka pengembangan ekowisata kars dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa Permasalahan mendasar antara lain adalah pengelolaan kawasan masih terfragmentasi (tidak terpadu) dan hanya pada pengembangan ekowisata tertentu saja, munculnya konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan ekowisata terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan konservasi kawasan disamping partisipasi masyarakat masih kurang dalam ikut mengembangkan ekowisata kars karena tingkat sumberdaya manusia yang masih rendah, tidak adanya data inventarisasi kawasan potensi wisata termasuk hasil analisis supply dan demand. Hal ini
disebabkan oleh belum
dilakukannya identifikasi potensi secara biofisik, sosial budaya dan sosial ekonomi termasuk tipologi wisatawan, potensi permintaan maupun penawaran wisatawan dan potensi penawasan dan permintaan ekowisata. Permasalahan lain adalah belum dilakukan zoning kawasan untuk mengetahui besarnya pengalaman yang bisa diperoleh wisatawan dan belum adanya kebijakan konservasi kawasan dalam rangka pengembangan ekowisata kars yang berbasis ekologi dan perlindungan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya degradasi lingkungan dapat terjadi akibat perbuatan masyarakat lokal maupun akibat kondisi alam, seperti kondisi hutan, goa, pantai, menipisnya jumlah flora dan fauna tertentu dan kondisi batuan yang tidak dapat menampung air hujan sehingga jika musim kering akan kekurangan sumber air. Semua permasalahan-permasalahan tersebut
pada
akhirnya
bermuara
pada
belum
terumuskannya
konsep
pengembangan ekowisata kars Wediombo dan sekitarnya yang berkelanjutan. Permasalahan yang dirumuskan di atas merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala bagi pengembangan Wediombo sebagai kawasan ekowisata kars. Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam membangun objek ekowisata
11 adalah: identifikasi potensi dan kelayakan, pengembangan, pengelolaan, pemeliharaan dan pemasaran. Sementara sukses tidaknya mengkomersialkan suatu objek ekowisata berkelanjutan tergantung pada kejelian mengidentifikasi aneka daya tarik sumber daya alam dan potensi untuk mengembangkan, mendidik SDM yang dibutuhkan secara terarah dan konseptual, pengembangan secara fisik sesuai konsep wisata berkelanjutan dengan menganalisa dampak yang akan terjadi (Robby, 2003). Berdasarkan uraian di atas, secara umum permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana potensi Kawasan Kars Wediombo ditinjau dari kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial ekonomi, dukungan hukum, dan tipologi wisatawan dalam hubungannya dengan pengembangan ekowisata kars Wediombo ? 2. Seberapa besar Supply dan Demand serta bagaimana prioritas manfaat (Benefit) dan biaya (Cost) kawasan ekowisata kars Wediombo? 3. Bagaimana zonasi Kawasan Kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata sudah dilakukan sesuai kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan? 4. Bagaimana model pengembangan kawasan ekowisata kars yang harus diterapkan di Wediombo supaya dapat berkembang dalam konteks sebagai wilayah ekowisata kars berkelanjutan yang berbasis kepada masyarakat lokal ? Perumusan masalah model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta secara skematis disajikan pada Gambar 4. 1.4
Tujuan Penelitian Sesuai dengan kondisi tersebut, maka tujuan penelitian adalah membangun
model
pengembangan
kawasan
ekowisata
kars
yang
berkelanjutan
Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah : 1. Mengidentifikasi potensi kawasan dengan mengidentifikasi karakteristik biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars Wediombo, legal aspek dan tipologi wisatawan untuk pengembangan ekowisata kars.
12 2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya. 3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan 4. Menyusun model pengembangan ekowisata
kars di Wediombo dan
sekitarnya. Potensi Pengembangan Ekowisata Kars
Kawasan KARST Wediombo
Fragil, Unik, dan Keanekaragaman tinggi
PERMASALAHAN
Analisis Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Kabupaten Gunungkigdul
karakter biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars
Demand, supply, dan prioritas manfaat dan biaya
zonasi pengembangan kawasan ekowisata kars
Model Pengembangan Kawasan Kars Wediombo yang bekelanjutan
Gambar 4.
Skema Perumusan Masalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars yang Berkelanjutan di Wediombo, Gunungkidul.
1.5. Manfaat Penelitian Beberapa pengembangan
manfaat
yang
dapat
diperoleh
dari
penelitian
model
kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan di Kawasan
Wediombo Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain :
13 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai sumber informasi dan bahan pustaka dalam pengembangan ekowisata khususnya terkait kawasan kars. 2. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat lokal dalam memahami peranan partisipasi mereka dalam pengembangan ekowisata kars dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan kars. 3. Manfaat bagi penyelenggara jasa wisata yaitu, memberikan gambaran mengenai peluang dan prospek dunia pariwisata di Kawasan Wediombo yang berwawasan ekowisata. 4. Manfaat bagi pemerintah yaitu, sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, distribusi kesejahteraan dan pelestarian lingkungan.
1.6.
Novelty
1.
Dihasilkan model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo berkelanjutan melalui keterpaduan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan pada semua zona wisata.
2.
Dalam membangun model tersebut digunakan berbagai metode secara terintegrasi yang meliputi metode analisis statistik, analisis Supply dan Demand, analisis Eckenrode, analisis MPE, analisis Micro-ROS, dan analisis AWOT.
II. TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Kars Wediombo mempunyai keunikan dan keanekaragaman kekayaan alami yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Untuk mengetahui pengertian mengenai ekowisata, maka beberapa definisi ekowisata diuraikan sebagai berikut. Konsep ekowisata muncul pada pertengahan tahun 1980 oleh CeballosLascurain (dalam Weaver, 2001) yang mengakui bahwa antara kegiatan wisata dengan lingkungan akan menimbulkan keuntungan dan menimbulkan kerugian. Beberapa definisi ekowisata berkembang antara lain: Ekowisata adalah perjalanan wisata pada kawasan alam yang relatif tidak terganggu dan terkontaminasi dengan spesifikasi objek pendidikan, kekaguman, dan keindahan dari tanaman liar, binatang, budaya yang ada (dulu dan sekarang) yang ditemui (Ceballos-Lascurain dalam Boo, 1990). Menurut Valentine (1992), ekowisata adalah wisata yang berbasis sumber daya alam, yaitu ekologi berkelanjutan dan dasarnya adalah kawasan alami yang relatif tidak ada gangguan, tidak ada kerusakan dan degradasi, berkonstribusi secara langsung melindungi dan mengelola kawasan lindung. Perkembangan selanjutnya adalah menurut Goodwin (1996) yang menyatakan bahwa ekowisata adalah wisata alam yang menimbulkan dampak rendah dengan konstribusi terhadap pemeliharaan spesies dan habitat lainnya, secara langsung adalah berkonstribusi terhadap konservasi dan secara tidak langsung menciptakan pendapatan masyarakat lokal, oleh sebab itu perlindungan terhadap kawasan dunia kehidupan liar merupakan sumber pendapatan. Menurut Fennel (1999), ekowisata adalah bentuk keberlanjutan dari wisata berbasis sumber daya alam dengan fokus utama adalah mencari pengalaman dan pendidikan dan mengelola etika yang menyebabkan dampak rendah, tidak konsumtif, dan berorientasi lokal (kontrol, manfaat, dan skala), berkonstribusi terhadap konservasi dan preservasi pada kawasan. Berdasarkan Ecotourism Association of Australia (EAA, 2000), ekowisata adalah wisata berkelanjutan secara ekologi dengan fokus utama adalah mencari pengalaman kawasan alami, yang mengacu kepada lingkungan dan budaya, apresiasi dan konservasi.
15 Menurut Weaver (2001) ekowisata merupakan konsep wisata yang memelihara apresiasi dan pengalaman untuk belajar dari lingkungan alami atau beberapa komponen termasuk budaya di dalamnya. Tampak bahwa keberlanjutan lingkungan alam dan sosial budaya perlu dipromosikan sebagai kegiatan wisata, karena lebih diminati wisatawan dan diperkirakan akan berkembang. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekowisata menekankan tujuan untuk mencari pengalaman maupun bersifat pendidikan dengan memperhatikan faktor alam dengan cara konservasi dan proteksi. Dengan definisi demikian pengembangan ekowisata sangat tepat jika diterapkan pada kawasan kars seperti Kawasan Wediombo dengan melihat segi biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
2.1.
Potensi Biofisik, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Kawasan kars merupakan kawasan yang mempunyai bentang lahan yang
komplek dan mempunyai keanekaragaman habitat kars yang unik sehingga penting untuk dikonservasi (Infield, 2004). Keanekaragaman yang unik ini adalah sebagai akibat formasi geologinya yang tersusun terutama oleh batuan kapur atau limestone. Kawasan kars memiliki karakter hidrologi yang khas yang cenderung kering di permukaan, tetapi terdapat sumber air bawah tanah seperti sungai bawah tanah. Sifat inilah yang akan menghasilkan proses pembentukan suatu kawasan yang akan menghasilkan potensi-potensi tujuan wisata, yang dapat dikembangkan sesuai dengan sifat kerapuhannya. Struktur batuan yang mudah larut oleh air akan menghasilkan fenomena alam yang menarik, oleh karena itu potensi untuk wisata kawasan kars dapat diperkirakan sesuai dengan proses pembentukannya sebagaimana diuraikan berikut. Kawasan Kars Wediombo membentang sepanjang pegunungan selatan Jawa dan secara morfologi dibagi menjadi dua yaitu Eksokars dan Endokars. Eksokars merupakan kenampakan yang dapat diamati dan ditemui secara langsung di permukaan. Sedangkan Endokars merupakan kenampakan yang dapat dijumpai di bawah permukaan yang berupa goa-goa ataupun luweng yang dapat dimasuki oleh manusia. Geomorfologi Kawasan Kars Gunung Sewu yang dikembangkan oleh Van Bemmelen (1970) disajikan pada Gambar 5.
16
Keterangan: 1.Perbukitan/Plateau Kars 2.Bukit/Perbukitan/Kubah/Kerucut kars (Konikal, Sinoid, Pepino) 3. Bukit/Perbukitan Menara Kars (Mogote) 4. Lembah Dolina
5. Lembah Uvala 6. Lembah Polje 7. Lembah Kering 8. Dataran Kars
Gambar 5. Skema Geomorfologi Kars (Van Bemmelen, 1970) Wilayah selatan Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan yang berada pada sistem kars dari geologi Pegunungan Selatan. Kelompok batuan yang tertua pada sistem kars ini berumur Oligo-Miocene (± 22,5 juta tahun) dan termuda berumur Pliosen (± 5 juta tahun) (Verstappen, 1997). Wilayah tersebut tersusun oleh batuan volkanik klastik asam, batuan sedimen klastik, dan batuan sedimen karbonat. Namun demikian, batuan sedimen karbonat (limestone) paling banyak ditemukan di permukaan. Menurut Surono et al. (1992), wilayah pantai selatan dan sekitarnya, merupakan kawasan yang seluruhnya terbentuk oleh Formasi Wonosari. Penyusun utama batuan Formasi Wonosari adalah batu gamping yang kompak, keras, namun rapuh. Selain itu dijumpai batu gamping napalan, batu gamping konglomeratan, batu pasir dan batu lanau (Surono et al., 1992). Walaupun kawasan pantai selatan ini terbentuk dari Formasi Wonosari yang didominasi oleh batuan kapur, dijumpai anomali yaitu adanya bentuk lahan struktural denudasional di Pantai Wediombo (Surono et al., 1992). Anomali ini adalah adanya kenyataan
17 bahwa batuan penyusun Pantai Wediombo bukan batuan kapur, melainkan terdiri dari batuan beku andesit, dan termasuk bagian dari Formasi Nglanggran. Lebih spesifiknya, kawasan Pantai Wediombo sebelah barat tersusun oleh formasi semilir, sedangkan selain kawasan tersebut semua tersusun oleh formasi kepek (Surono et al., 1992).
Verstappen (1977) mengelompokkan proses dan asal
tenaga eksogen dalam proses pembentukan bentuk lahan (landform) menjadi sembilan, satu diantaranya adalah proses pelarutan. Proses pelarutan inilah yang menghasilkan bentuk lahan kars. Karakteristik bentuk lahan kars menurut King (1975) meliputi konfigurasi permukaan, struktur atau penyusun bentuk lahan, dan proses yang menyebabkan terjadinya bentuk lahan. Bentuk lahan kars yang dapat dijumpai di Kabupaten Gunungkidul adalah dolin, uvala, ponor, kegel kars, turm kars, dan lembah kering.
Kars di
Gunungkidul dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan karakteristik dolin dan perkembangannya yaitu kars polygonal, kars labirin, dan kars tower yang tumbuh dan berkembang secara bersamaan (Lehman dalam Haryono dan Day, 2004). Sebagai akibat pelarutan oleh air, pada permukaan kawasan kars ditemukan lubang-lubang yang tidak teratur, permukaan kars yang terkikis air, dan hancurnya saluran dan jaringan yang mempunyai kompleksitas tinggi dan berlanjut hanya beberapa meter dari batuan permukaan. Gambar 6 menunjukkan proses terbentuknya goa dan proses pengikisan batuan gamping menurut beberapa teori, yaitu abandon flank margin cave, pit cave dan collapsed phreatic cave forms a banana hole.
PALEOSOL WITH
PIT PIT
PIT BURIED PALEOSOL
COLLAPSED PHRETIC CAVE ABANDONED PHREATIC
FORMER SEA DIFFUSE VADOSE
CURRENT SEA FRESHWATER
ABANDONED FLANK MARGIN
DEVELOPING PHREATIC
DIFFUSE PHREATIC FLOW
Gambar 6. Proses Pengikisan Batuan Karbonat Membentuk Struktur Goa (Ford dan William, 1989)
18 Teori awal tentang perkembangan kars menjelaskan bahwa goa berkembang
dalam zone vados oleh pergerakan air melalui rekahan batuan.
Dalam hal ini, air bergerak atau mengalir pada rekahan (bidang perlapisan dan atau struktur) batu kapur sambil melarutkannya, kemudian sungai bawah tanah mulai terbentuk. Tahapan berikutnya sungai mengikis saluran hingga membentuk goa. Namun demikian, Davies (dalam Haryono, 2007) berpendapat bahwa tidak mungkin goa terbentuk dalam mintakat (zone) vados karena yang terjadi adalah pembentukan ornamen goa karena proses pengendapan. Dengan argumen tersebut maka Davies mengemukakan teori baru
yang dikenal dengan deep phreatic
theory yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di bawah muka air tanah oleh pergerakan hidraulik air. Teori ini diperkuat oleh Seinnerton (dalam Haryono, 2007) yang mengatakan bahwa air tanah tidak mungkin mampu melarutkan batu gamping, karena pada umumnya telah jenuh, sehingga muncul teori water table yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di dekat muka air tanah (water table) dan teori ini didukung oleh teori baru karena sebagian goa berbentuk goa horizontal. Ford dan William (dalam Mylroie dan Carew, 2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian modern dan laboratorium, goa dapat terbentuk baik di mintakat vados, phreatik maupun dekat muka air tanah.
Mereka
menjelaskan terdapat empat tipe goa berdasarkan proses pembentukannya, yaitu bathyphreatic cave, phreatic cave with multiple loops, cave with mixture of phreatic and watertable level components, dan ideal water table cave. Menurut Ford dan Wiliam (dalam Haryono, 2007) tahapan akhir perkembangan kars setelah kars poligonal adalah terjadinya proses perataan permukaan (planasi) yang dominan, sehingga cekungan-cekungan sudah tidak ditemukan lagi karena sudah berhubungan membentuk dataran dengan kubahkubah tersebar acak di tengahnya. Beberapa kars berciri labirin ditemukan di sebelah barat dan tengah Wediombo yang bercirikan oleh lembah-lembah kering memanjang yang dibatasi oleh jajaran kubah kars di kanan kirinya dengan dinding yang terjal (canyon). Kawasan kars mempunyai 3 ciri (Haryono dan Day, 2004). Pertama, mudah terjadi pelapukan yang sangat tinggi dan tingginya proses pelarutan di bawah permukaan yang membentuk goa-goa, sungai bawah tanah, dan bentuk
19 lahan dengan banyak patahan-patahan pada batuan sebaran pegunungan. Kedua, cadangan air yang sempat terjebak di permukaan akan mengakibatkan pelarutan bagian lebih tinggi
menuju ke tempat yang lebih rendah dengan membawa
sedimen-sedimen halus dari hasil pelapukan. Ketiga, dapat diidentifikasi secara umum adanya bentuk pegunungan berupa persegi ketupat yang berpasangan karena adanya pengaruh tenaga endogen dari dalam bumi. Karena sifatnya yang sangat fragile, mudah larut dalam air, maka topografi kars memiliki sistem air bawah permukaan yang dominan berupa lorong-lorong solusional dan sangat rentan terhadap degradasi, terutama disebabkan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini disebabkan karena cepatnya aliran air serta minimnya mekanisme filtrasi pada lorong-lorong sistem bawah tanah (Haryono, 2007). Beberapa habitat kars hidup di bawah permukaan dan di atas permukaan. Biota bawah permukaan banyak dijumpai di goa, maka muncul biospeleologie yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehihupan bawah tanah. Berdasarkan sebaran biota goa dikenal beberapa istilah (Vermeullen dan Whitten, 1999), yaitu: Site endemic, local endemic dan regional endemic. Site endemic yaitu jenis yang sebarannya dapat mencapai 100 km2 tetapi ada yang dari kurang 1 km, biasanya terdapat dalam satu kawasan kars. Sebagai contoh Stenasellus javanicus, ditemukan di goa kars Cibinong (Magniez dan Rahmadi, 2006). Local endemic, jenis yang mempunyai sebaran luasan sekitar 10-100 km2, yang biasanya mencakup dua atau lebih kawasan kars yang terpisah secara geologis dan tergabung dalam satu deretan pegunungan. Contohnya kepiting goa, isopoda, ditemukan di Gunung Sewu dan bukit kapur selatan. Regional endemic, mempunyai sebaran 10.000 km2 sampai 1 juta km2 atau dalam satu pulau. Contohnya
Xeniaria jacobsoni (Burr) merupakan jenis dermaptera yang
melimpah di guano kelelawar. Kondisi sosial ekonomi kawasan Wediombo sama dengan kawasan kars lain yang berada di kawasan Pegunungan Seribu. Sebagian besar kegiatan industri masih sangat terbatas pada industri kecil dan menengah sebanyak 96% (catatan desa), pola industri ini baik untuk pemerataan penghasilan bagi masyarakat, tetapi tidak strategis untuk pengembangan kegiatan perekonomian secara makro.
20 Pertanian lebih mengarah kepada pertanian lahan kering karena kawasannya merupakan kawasan marginal yang sulit air, maka pola penanaman sistem tanam pertanian dengan cara tumpang sari. Kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar merupakan sumber pendapatan petani dan tersedianya tenaga untuk menentukan penggarapan lahan. Petani dengan beberapa pilihan berusaha untuk menghasilkan panen untuk memenuhi kebutuhan pokok dari sedikit tanah yang tersedia, mengolah lahan di sekitar tempat tinggal banyak dilakukan di kawasan kars (Soemarwoto dan Conway, 1992). Untuk bisa bertahan, masyarakat kawasan kars pada umumnya mengembangkan dasar bekerja secara sosial antar masyarakat, dengan filosofi menghindari konflik (rukun) dan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain saling menghormati (hormat), serta sifat kegotongroyongan sangat tinggi. Kawasan Gunung Sewu yang bekerja di ladang sebagian besar orang tua, kondisi ini disebabkan oleh anaknya yang belajar di sekolah dan meninggalkan aktivitas pertanian, maupun kampung halaman (Collier et al., 1996). 2.2
Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata Analisis perbandingan cara pengelolaan ekowisata dapat dilakukan secara
Limits of Acceptable Change (LAC), Visitor Impact Management (VIM), Recreational Opportunity Spectrum (ROS), micro-ROS, Visitor Experience and Resource Protection (VERP) dan Visitor Activities (VARM) (Nielson dan Tayler, 1997). Secara ringkas berbagai cara pengelolaan ini ditunjukkan pada Tabel 1. Dengan membandingkan cara-cara pengelolaan tersebut maka dapat ditentukan cara pengelolaan yang paling cocok dari segi visi misi pemda Gunungkidul maupun rencana pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata.
21 Tabel 1. Perbandingan cara pengelolaan ekowisata Limit of Acceptable Change (LAC) Dikembangkan oleh peneliti yang bekerja di kawasan hutan untuk merespon tentang dampak pengelolaan wisata. Proses ini mengidentifikasi sumber dan kondisi sosial dan langkah untuk melindungi. Proses ini untuk mempertimbangkan kawasan hutan mengenai kondisi sosial, sumber daya alam yang tersedia, pada pengembangan kawasan wisata. Keunggulan: produk akhir berupa strategi taktik perencanaan berlandaskan perubahan yang dapat ditoleransi seminimal mungkin untuk masing-masing klas kesempatan dengan indikator perubahan yang dapat digunakan untuk memonitor keadaan ekologi dan sosial. Kelemahan: prosesnya fokus dan menekankan pada petunjuk data dan analisa. Jika tidak ada permasalahan, maka strategi dan perencanaan belum dapat dibuat sebagai topik pengelolaan. Visitor Experience Resource Protection (VERP) Merupakan proses yang menitikberatkan kepada daya dukung kawasan dalam hal ini adalah kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya dimasa yang akan datang. Mengutamakan strategi keputusan berkenaan dengan kemampuan daya dukung berdasarkan nilai kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya dimasa yang akan datang. Mengutamakan strategi keputusan berkenaan dengan kemampuan daya dukung berdasarkan nilai kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan. Keunggulan: Prosesnya menggambarkan kecakapan kelompok dan merupakan petunjuk kebijakan dari kawasan. Proses ini menitikberatkan terhadap hubungan dan sensitivitas dan kesempatan wisatawan yang merupakan hal yang penting bagi pengalaman wisatawan. Zoning merupakan fokus pengelolaan. Kelemahan: Tambahan pekerjaannya adalah mempersyaratkan kegiatan percontohan pada pendekatan lingkungan yang berbeda. Kemampuan pengawasan tidak efisien dan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan tes terlebih dahulu. Visitor Impact Mangement (VIM) Tujuannya adalah mengendalikan ketiga dampak pokok yaitu: dampak secara fisik, dampak biologi dan dampak sosial. Standarnya dengan menentukan batasan dari ketiga indikator tersebut. Keunggulan: Proses ini menciptakan keseimbangan keputusan secara ilmu pengetahuan dan secara hukum, terutama mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan strategi pengelolaan. Kelemahan: Tidak menggunakan konsep ROS, menekankan terhadap dampak pada kondisi sekarang, dan tidak mengkaji potensial dampak.
22 Tabel 1. (lanjutan) Management Process for Visitor Activities (VAMP) Proses tersebut menciptakan petunjuk untuk perencanaan dan pengelolaan, pengembangan dan pendirian taman. Dasar dari konsep VAMP merupakan bagian dari prinsip ROS. Kerangka kerja akan memberikan manfaat kemudahan untuk VIM, LAC dan VERP. Fokusnya adalah mengkaji kesempatan ketika semua mempertanyakan dampak yang ditinggalkan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Keunggulan: Proses pengambilan keputusan yang komprehensif berdasarkan hirarki. Bermanfaat berfikir secara terstruktur untuk menganalisa kesempatan dan dampak, yang dikombinasikan dengan prinsip ilmu sosial dan pemasarannya yang difokuskan terhadap kesempatan wisatawan. Kelemahan: Definisi mengenai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belum dibangun di dalam rencana pengelolaan dan zoning.
Recreational Opportunity Spectrum (ROS) Perencanaan pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi dan komprehensif, berperan untuk merespon peningkatan permintaan rekreasi, dan menanggulangi konflik akibat penggunaan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas. Pewilayahan menggunakan enam kelas lahan dai primitive samapai perkotaan (urban) dengan tujuan untuk mengenal kondisi biofisik, sosial dan hubungan pengelolaan untuk menyusun parameter dan petunjuk kesempatan rekreasi. Kekuatan: merupakan proses yang praktis untuk mendorong pengelolaan secara rasional dengan tiga perpektif: melindungi sumberdaya, kesempatan untuk digunakan umum dan pengelola mempunyai kemampuan menyeimbangkan kondisi kawasan. Proses tersebut merupakan hubungan antara supply dan demand. Kelemahan: Konsep ini didalam pembagian skala lahan membutuhkan kawasan yang luas dan tidak bisa digunakan pada kantong kawasan yang sempit. Semua pembagian pewilayahan harus diterima secara total oleh management sebelum keputusan dibuat, ketidak setujuan akan mempengaruhi program. Micro-ROS Micro-ROS merupakan pengembangan dari ROS yang membagi kawasan pengembangan kesempatan berekreasi kawasan menjadi sembilan kelas. Keunggulan dari Micro-ROS dibandingkan dengan ROS adalah, kalau ROS untuk menentukan zoning kawasan membutuhkan kawasan yang luas, sedangkan micro-ROS menentukan zoning pada kawasan yang tidak luas dan akan lebih mendalam untuk mengidentifikasi kantong-kantong potensi rekreasi kawasan rekreasi dan menilai kesempatan berekreasi seluas-luasnya untuk wisatawan.
23 Dari hasil kajian beberapa proses pengelolaan ekowisata dan berdasarkan kondisi di Kawasan Wediombo maka perlu dilakukan zoning kawasan. Kawasan kars keberadaannya relatif terbatas dan mempunyai sifat kefragilan yang tinggi, maka perlu adanya perlindungan kawasan supaya lestari. Hal lain adalah tujuan dari pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal maupun pendapatan daerah sesuai dengan tujuan Rencana induk pengembangan pariwisata daerah Gunungkidul, maka dirancang supaya dapat digunakan untuk rekreasi seluas-luasnya dengan tanpa merusak keseimbangan alam. Pengembangan wisata mengacu kepada keseimbangan demand dan supply. Berdasarkan kondisi tersebut dan juga tuntutan dari PEMDA, maka proses pengelolaan yang dapat digunakan dari semua pola pengelolaan yang dibahas adalah dengan metode micro-ROS, yang merupakan proses pengelolaan pariwisata yang mendekati kebutuhan untuk Kawasan Wediombo dan sekitarnya.
2.3.
Tipologi Pengunjung Tipologi pengunjung merupakan salah satu dasar untuk membuat
perencanaan dalam menentukan arah pengembangan ekowisata. Kegiatan wisatawan merupakan cara untuk dapat mengidentifikasi banyaknya wisatawan mengunjungi kawasan wisata, dan dapat ditentukan karakter zoning berdasarkan metode micro-ROS dan dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan wisatawan. Penelitian untuk mengidentifikasi ekowisata atau segmen ekowisata dari karakter-karakter wisatawan belum diterapkan dengan cara yang konsisten. Hal ini sangat diperlukan sebagai informasi dan proses, tetapi hasil kondisi ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian lain dalam waktu dan tempat yang berbeda. Usaha untuk merancang tipe-tipe wisatawan dinamakan segmentasi, klasifikasi dan clustering. Identifikasi tipe wisatawan secara jelas sangat bermanfaat untuk perencanaan, manajemen, dan pemasaran wisata (Smith dan Smale, 1980; Taylor, 1986). Karakter wisatawan dapat memberikan informasi kepada manajemen untuk memusatkan mengenai perbedaan motivasi, pengalaman, dan dampak dari karakter wisatawan
(Diamantis, 1998; Eagles, 1992) dan untuk mengetahui
karakter wisatawan yang sering dijumpai pada lokasi yang berbeda dalam perkembangan kawasan wisata (Duffus dan Dearden, 1990). Lebih jauh lagi
24 dalam konteks keberlanjutan, sangat dibutuhkan penerapan karakter wisatawan untuk mencocokkan kondisi kemampuan sumber daerah wisata (Wall, 1993). Terdapat beberapa teknik untuk mengidentifikasi wisatawan atau untuk membedakan ekowisatawan dari tipe-tipe wisatawan yang lain (Blamey, 1997; Bottrill dan Pearce, 1995). Secara garis besar kategori tipologi wisatawan adalah cognitif-normatif dan aktivitasnya (Hvenegaard, 2002). Contohnya penelitian aktivitas wisatawan (Wall, 1993). Namun demikian yang paling penting untuk mengklasifikasi karakter wisatawan adalah dengan menanyakan kepada responden wisatawan untuk mengetahui aktivitas dan motivasinya. Secara konseptual ada dua kategori secara umum untuk menentukan tipologi wisatawan yaitu interaksional dan kognitif normatif (Murphy, 1985). Pada tipologi Interaksional, pengkelasan tipologi wisatawan didasarkan pada hubungan wisatawan dengan kawasan yang dituju (Healy, 1992). Interaksional tipologi wisatawan digunakan dalam studi ekowisata dengan identifikasi ekowisata adalah aktivitasnya (Eagles, 1992). Klasifikasi Tipologi wisatawan dengan cara kognitif normatif difokuskan pada motivasi dari wisatawan. Menurut Plog (1972; terakhir di uji oleh Smith, 1990) mengelompokkan tipologi wisatawan meliputi allocentric yaitu, wisatawan hanya ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum diketahui, bersifat petualang, dan mau memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat lokal.; psycocentric, yaitu wisatawan yang hanya ingin mengunjungi daerah tujuan wisata yang sudah mempunyai fasilitas standar yang sama dengan negaranya; dan mid-centric yaitu, terletak diantara tipologi psycocentric. Untuk menggambarkan hubungan posisi
allocentric dan
tipologi wisatawan
menurut Plog (1972) dengan tipologi kawasan ekowisata micro-ROS ditunjukkan pada Tabel 2.
25 Tabel 2. Tipologi Wisatawan dalam micro-ROS Tipologi Wisatawan
1
2
3
4 5 6
7
Allocentris
ν
ν
ν
v
Mid-centris
ν
ν
ν
ν
ν
ν
ν
Psycocentris
ν
ν
ν
ν
ν
ν
ν
8 9
ν
ν
Keterangan: 1-2 : Wild/sangat alami/remote(kawasan alami) 3-4 : alami 5-6 : ekstensif alami 7 : kawasan sub urban 8-9 : kawasan kota/berkembang/industri (stadium/sarana olah raga dll)
2.4.
Aspek Permintaan (Demand) dan Penawaran (Supply) Wisata Tujuan utama dari ekowisata adalah untuk meningkatkan pendapatan
daerah dan masyarakat lokal tanpa merusak lingkungan.
Untuk mendukung
tujuan tersebut aspek permintaan (demand) maupun aspek penawaran (supply) yang dirasakan wisatawan maupun pengamatan langsung perlu dianalisis guna mendapatkan gambaran secara tepat mengenai kawasan kars untuk mencapai tujuan dari ekowisata. Ekowisata akan berkembang secara baik jika daerah merasa memiliki, merencanakan dan menata kawasan dalam upaya pengembangan kawasan ekowisata (Walker, 1997). Pengembangan ekowisata pada kawasan lindung syaratnya adalah integrasi membuat keputusan dan perencanaan antara manager kawasan, masyarakat lokal, dan pengembang (Mitchell, 1994; Woodley, 1993; Slocombe 1993). Pengembangan ekowisata kawasan lindung secara berkelanjutan atas permintaan (demand) lokal dan penawaran (supply) wisatawan harus dikuasai dan direncanakan diantara semua stakeholder. Wolfe (1964) mengatakan bentuk rekreasi terbuka meliputi permintaan dan penawaran dengan konsep geografi asal, tujuan dan hubungannya. Permintaan definisinya adalah mengidentifikasikan
prakiraan dari sisi jumlah wisatawan yang dihubungkan
dengan pengeluaran (Clawson dan Knetsch dalam Walker, 1997). Informasi empiris mengenai permintaan wisatawan didasarkan pada populasi dan demografi mengidentifikasi fungsi permintaan menjadi 4 aspek, menurut Bargur dan Abel (dalam Walker, 1997) meliputi: 1) Mengidentifikasi pengeluaran dalam skala lokal, regional atau nasional (jumlah dan tipe wisatawan untuk kesediaan membantu secara ekonomi).
26 2) Mengidentifikasi kebutuhan pemasukan untuk menyeimbangkan pengeluaran (cakupan dan kategori dari pelayanan dan aktifitas). 3) Memilih mengembangkan aktifitas dan pelayanan yang menguntungkan dengan perencanaan. 4) Membagi aktifitas sesuai kondisi cuaca. Rencana rekreasi dan rencana wisata harus berdasarkan kepada faktor permintaan, dilanjutkan dengan dirumuskannya secara holistik karakteristik wisatawan yang meliputi: pekerjaan, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, etnis, nilai, pengalaman, pendidikan, pengaruh politik, status sosial ekonomi dan kemampuan fisik (Shivers dan Hjelte, 1971). Aspek penawaran (supply), dapat ditentukan berdasarkan titik tujuan dimana permintaan telah dipenuhi. Kawasan yang ditawarkan (supply) atau titik tujuan, mempunyai hubungan dengan permintaan yang tidak dapat dipenuhi pada kawasan kedatangan awal wisatawan (Mitchell, 1991). Penawaran wisata menghubungkan dua prinsip, yaitu pertama adalah pelayanan permintaan wisatawan, dan kedua adalah lokasi atraksi wisata (Mitchell, 1994). Gunn (1972) mengklasifikasikan penawaran (supply) yang diseimbangkan dengan fungsi permintaan dalam lima kategori: tranportasi hubungannya dengan pasar, gerbang dimana informasi dibutuhkan, menyiapkan fasilitas dan kawasan yang baik, atraksi dan kesempatan rekreasi, dan jaringan yang menghubungkan kategori di atas. Clawson dan Knetsch (dalam Vander Zee, 1990) membagi atraksi wisata menjadi 3 kategori yaitu: orientasi pengguna, berbasis alam, atau kawasan sedang. Kawasan orientasi pengguna mempunyai tipe dekat dengan rumah wisatawan dan telah mempunyai akses, yang meliputi taman kota, tempat bermain, dan kawasan rekreasi kota kecil. Kawasan berbasis alam didominasi beberapa sumber fisik yang kelihatan, yang meliputi pegunungan, padang pasir atau laut. Jarak dari rumah wisatawan mungkin dipertimbangkan dengan tujuan waktu dan uang yang dibelanjakan untuk mendatangkan kepuasan. Kawasan di tengah adalah kawasan diantara kedua di atas, biasanya dengan kendaraan tidak lebih dua jam dari tempat tinggal wisatawan dengan mempertimbangkan hari libur.
27 2.5.
Analisis micro-ROS Jubenville, Richards dan Heywood (dalam Parkin et al., 2000)
menjelaskan bahwa micro-ROS mempertimbangkan rekreasi individu dengan kategori
yang
lebih
luas.
Sistem
yang
dikembangkan
micro-ROS
mempertimbangkan sisi rekreasi yang bersifat individu dan pada kawasan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan skala ROS. Perbedaan yang mendasar adalah micro-ROS melihat penataan kesempatan berekreasi diklasifikasi secara utuh dalam penataan ukuran, sedangkan kriteria ROS menyimpulkan bahwa penentuan ukuran kawasan dilakukan sebelum mengklasifikasikan primitive atau semi primitive non-motorized. Micro-ROS dapat mempertimbangkan terhadap luas kawasan yang kecil, sehingga untuk kesempatan berekreasi dapat diidentifikasi dan memungkinkan pengelolaan kantong-kantong kawasan yang terisolasi. Manfaat dari pendekatan micro-ROS adalah mengumpulkan data rekreasi kawasan terbuka termasuk di dalamnya untuk memperoleh informasi berkualitas tinggi di tingkatan regional yang akan menyediakan data sesungguhnya sebagai dasar perencanaan rekreasi, manajemen dan informasi pemasaran. 2.6.
Analisis Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya Dalam menentukan manfaat dan biaya harus dilihat secara luas pada
manfaat dan biaya sosial. Karena menyangkut kepentingan masyarakat luas maka manfaat dan biaya dapat dikelompokkan dengan berbagai cara (Mangkoesoebroto, 1998; Musgrave dan Musgrave, 1989). Salah satunya yaitu mengelompokkan manfaat dan biaya suatu proyek secara riil (langsung dan tidak langsung) dan semu. Manfaat riil adalah manfaat yang timbul bagi seseorang yang tidak diimbangi oleh hilangnya manfaat bagi pihak lain. Manfaat semu adalah yang hanya diterima oleh sekelompok tertentu, tetapi sekelompok lain terkena dampaknya. Manfaat langsung berhubungan dengan tujuan utama dan timbul karena meningkatnya hasil kegiatan ekowisata yang menyebabkan pendapatan daerah meningkat dan pembangunan infrastruktur berkembang. Manfaat tidak langsung disebabkan oleh kegiatan ekowisata, yang mempengaruhi kawasan sekitarnya dan meningkatkan sektor lain seperti perikanan, hasil khas daerah, dan lainnya.
28 Analisis prioritas manfaat bertujuan untuk mengetahui manfaat yang dihasilkan jika dikembangkan ekowisata dengan mengidentifikasi beberapa variabel yang mendukung pengembangan ekowisata dan manfaat yang dihasilkan. Menurut Weaver (2001) bahwa manfaat langsung ekowisata dari segi lingkungan memberikan insentif untuk melindungi dan merehabilitasi lingkungan alam. Untuk faktor biaya dengan melihat variabel-variabel yang kemungkinan akan terpengaruh dengan kegiatan ekowisata karena perilaku wisatawan. Untuk mendapatkan nilai pendapat pakar, variabel manfaat dan biaya dibuat matrik dan dikelompokkan sesuai dengan kriteria ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (ekologi). Tujuan mengetahui prioritas manfaat dan prioritas biaya apabila kawasan kars Wediombo dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, akan bermanfaat untuk mendukung menyusun rancangan pengembangan ekowisata dengan melihat faktor-faktor manfaat maupun faktor-faktor pengeluaran biaya yang harus ditindaklanjuti dengan melihat urutan ranking yang dihasilkan. 2.7.
Strategi Pengembangan Ekowisata
Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (PP 6 tahun 1996). Selain itu penyelenggaraan pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya wajib menyediakan sarana dan fasilitas keselamatan dan keamanan serta menjaga kelestarian objek dan daya tarik wisata budaya serta tata lingkungannya (PP 67 tahun 1996 pasal 50). Beberapa strategi pengembangan wisata kars antara lain penelitian yang dilakukan di kawasan kars Belize di Amerika Tengah dan Caribia membahas mengenai peningkatan tekanan penduduk dan menekankan kepada perlindungan lingkungan (Day, 1996). Ekowisata di kepulauan Ogasawara yang membahas mengenai identifikasi kawasan yang potensial sebagai kawasan wisata (Ichiki, 2002). Penelitian lain adalah sistem keberlanjutan kars dilihat dari sisi manajemen kebiasaan masyarakat dan lingkungan fisik, yang ditekankan pada kemampuan
29 masyarakat utnuk menyelaraskan kehidupan sesuai lingkungannya (Arzyana, 2004). Beberapa penelitian tersebut, ternyata hanya menekankan kepada perlindungan lingkungan, kemampuan masyarakat bertahan dan menyesuaikan diri dengan kondisi alamnya dan identifikasi kawasan, tanpa membahas mengenai maksimalisasi kesempatan berekreasi pada kantong kawasan yang potensial untuk pengembangan wisata sehingga dapat meningkatkan ekonomi. Penelitian di Kawasan Wediombo ini selain membahas konservasi juga memaksimalkan kantong-kantong potensi kawasan wisata sesuai dengan ketetapan peraturan pemerintah. Pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata, maka perlu dilakukan inventarisasi secara internal yang meliputi kekuatan maupun kelemahan yang terdapat di kawasan kars, dilihat secara biofisik, ekonomi dan sosial budaya. Sedangkan dari sisi eksternal dapat dilihat peluang maupun ancaman. Kedua faktor tersebut
akan memberikan dampak yang positif berupa peluang dan
kekuatan, sedangkan yang berdampak negatif yaitu kelemahan dan ancaman. Dengan menggunakan fungsi internal dan eksternal, maka akan diberikan bobot dan skala peringkat pada parameter-parameter yang telah ditentukan, sehingga akan didapat nilai (skor). Nilai tersebut akan memberikan arahan tentang prospek pengembangan pariwisata sehingga akan memberikan konsep yang terarah dalam merancang pengembangan ekowisata di kawasan kars Wediombo. Untuk menentukan prioritas kawasan wisata, dilakukan analisis viabilitas berdasarkan konsep micro-ROS. Hasil yang didapatkan adalah prioritas urutan zone wisata sebagai kawasan ekowisata. Penentuan nilai faktor, aktor, tujuan dan alternatif dilakukan dengan menggunakan cara perbandingan berpasangan yang akan mendapatkan prioritas masing-masing tujuan. Dengan cara tersebut maka alternatif pengembangan wisata dapat diurutkan berdasarkan prioritas yang didapat. Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujudkan tiga tujuan dasar dari konservasi keanekaragaman hayati yaitu: (a) melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan sistem manajemen kawasan lindung, (b) meningkatkan nilai ekosistem mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, dengan menaikkan pendapatan, kesempatan berusaha dalam
30 ekowisata dan usaha yang sesuai dengan kawasan, (c) keuntungan dari hasil ekowisata juga dapat dinikmati oleh masyarakat lokal, melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dari kegiatan ekowisata (UNEP, 2003). Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002). Tempat tujuan wisata merupakan elemen yang penting, karena tempat tujuan tersebut umumnya merupakan alasan utama bagi wisatawan untuk berkunjung (Cooper dan Fletcher, 1993). Beberapa komponen yang penting akan sangat mempengaruhi jumlah wisatawan
antara lain: atraksi wisata, fasilitas,
aksesibilitas, pelayanan dan keamanan . World Tourism Organization (WTO) dan United
Nation Environment Programe (UNEP) (dalam Stecker, 1996)
menetapkan kriteria-kriteria untuk suatu kawasan ekowisata. Kriteria tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tujuan wisata yaitu: 1) Kekhasan atraksi alam yang berfungsi sebagai andalan atau pembawa bendera (flagship attraction) bagi atraksi lainnya; berupa (a) tipe hutan, sungai, danau, (b) keanekaragaman hayati, (c) keunikan spesies tertentu berupa kemudahan mengamati flora dan fauna. 2) Atraksi pendukung (pelengkap) yang dapat berfungsi sebagai penyangga (buffer) atau pemberi variasi, mencakup (a) berenang (pantai, sungai, air terjun), (b) kegiatan olah raga (jalan kaki, memancing, mendayung), (c) budaya lokal (kebiasaan tradisional, kesenian), (d) peninggalan sejarah. 3) Infrastruktur dan aksesibilitas terhadap (a) bandara atau pusat-pusat wisata, (b) jalan raya, penerbangan, kereta, pelabuhan, (c) fasilitas kesehatan, (d) komunikasi. 4) Iklim seperti (a) cuaca yang mendukung rekreasi, (b) banyaknya curah hujan dan distribusinya. 5) Kondisi politik dan sosial seperti (a) adanya stabilitas sosial dan politik, (b) masyarakat lokal dapat menerima kedatangan wisatawan, (c) terjaminnya keamanan wisatawan.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan kars Wediombo yang terletak di Desa Jepitu dan Desa Nglaban Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya terletak paling timur propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berbatasan dengan Jawa Tengah pada posisi 08011’22” LS dan 110042’34” BT. Daerah ini merupakan daerah pegunungan kars dimana kekurangan air menjadi sumber masalah bagi kehidupan penduduknya. Rata-rata curah hujan 2145 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 115 hari per tahun. Bulan basah berkisar antara 4 – 6 bulan, sedangkan bulan kering berkisar antara 4 – 5 bulan. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober-Nopember dan berakhir pada bulan Mei–Juni. Puncak curah hujan terjadi pada bulan Desember-Pebruari. Suhu Udara rata-rata harian 27,7o C, suhu minimum 23,2o C dan kelembaban nisbi berkisar antara 80% – 85%. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari – Maret dan terendah bulan September (Pemda Kabupaten Gunungkidul, 2008). Penelitian dilakukan selama delapan (8) bulan yaitu sejak bulan Oktober 2007 hingga Juni 2008. Kawasan penelitian ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Lokasi Penelitian Kawasan Wediombo.
32 3.2. Tahapan Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kawasan Kars Wediombo yang terdiri atas: (1) objek utama dan (2) lingkungan penyangga di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian terbagi dalam tiga tahapan. Penelitian diawali dengan identifikasi potensi kawasan secara biofisik, sosial-budaya dan demografi maupun ekonomi dan tipologi wisatawan. Selanjutnya menganalisis aspek demand dan supply, kemudian menganalisis prioritas manfaat dan biaya dengan metode eckenrode dilanjutkan dengan MPE, kemudian melakukan zonasi kawasan yang mempunyai
potensi sebagai kawasan wisata. Tahapan akhir adalah
merumuskan model pengembangan ekowisata kars berbasis konservasi dan masyarakat lokal dengan menggunakan metode AWOT dan analisis hirarkhi proses (AHP). Adapun tahapan-tahapan penelitian seperti pada Gambar 8. Identifikasi Potensi Kawasan Biofisik Sosial-ekonomi
1
Sosial-Budaya Legal Aspek
Tipologi Wisatawan Analisis Deskriptif dan Analisis Statistika (Regresi)
Zoning kawasan Kars untuk Pengembangan Ekowisata
Wisata Goa
3
Analisis Supply dan Demand, serta Manfaat dan Biaya Supply dan Demand Prioritas Manfaat dan Biaya
Analisis supply dan demand, skala likert, metode eckenrode,
dan MPE
Penyusunan Model Pengembangan Kawasan Kars
Wisata ALam
Kekuatan dan Kelemahan
Wisata Budaya
Kesempatan dan Tantangan
Wisata Lainnya Metode Micro-ROS
Gambar 8.Tahapan Penelitian Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars di Wediombo
2
Alternatif Kebijakan
4
AWOT (AHP in SWOT Analysis)
RUMUSAN MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS BERKELANJUTAN
33 3.3 Metode Penelitian 3.3.1. Identifikasi Potensi Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars A. Identifikasi Biofisik, Sosial-Ekonomi dan Sosial-Budaya Tahap penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi di kawasan kars Wediombo secara biofisik, sosial-ekonomi maupun sosial-budaya untuk dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas: (1) pengumpulan data potensi kawasan kars dengan melakukan pengamatan langsung dan penelusuran data sekunder, (2) penyusunan peringkat potensi kawasan kars berdasarkan jumlah pengunjung setiap kawasan wisata. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan langsung dilapangan dan dengan melakukan wawancara langsung dengan responden maupun penyebaran kuesioner. Pengamatan yang dilakukan yaitu, kawasan penyebaran potensi wisata, persepsi penduduk dan tokoh masyarakat terhadap ekowisata, pendapat wisatawan, pendapat pakar dan pendapat pemerintah daerah. Hasil dari wawancara yang mendalam dengan penduduk lokal dan tokoh masyarakat untuk menggali informasi kawasan-kawasan yang menarik, maupun keberadaan flora dan fauna yang kemudian dibuat tabel, kemudian dilakukan penelusuran potensi kawasan dengan mendatangi tempat-tempat yang merupakan potensi apakah memenuhi standar kawasan yang unik sesuai dengan faktor kecukupan dalam ekowisata. Data sekunder berupa hasil penelitian sebelumnya dengan cara penelusuran pustaka mengenai keunikan kawasan kars Wediombo dan sifat kefragilan kars maupun data kunjungan wisatawan. Pengumpulan data biofisik diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung dan didukung
oleh peta kawasan dari Bapeda Gunungkidul dan
Bakosurtanal. Kawasan yang dipetakan adalah kawasan pantai, kawasan pegunungan, kawasan hutan dan kawasan goa. Pada kawasan pantai dilakukan pengamatan langsung dengan melihat bentuk pantai dengan bentang karsnya, dan melihat potensi yang dapat
34 dikembangkan, pengamatan jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan dan informasi dari penduduk setempat mengenai kegiatan yang pernah dilakukan dikawasan pantai. Kondisi geologi diidentifikasi berdasarkan peta geologi yang sudah ada dan juga pengamatan langsung kondisi geologi yang tampak akibat proses penyingkapan batuan. Dengan melihat peta yang sudah ada secara geologi, maka secara konsep
geologi Kawasan Wediombo dapat dijadikan sebagai
kawasan yang menarik untuk diteliti. Sedangkan kondisi longsor dan kemiringan kawasan berdasarkan informasi dari bokusurtanal dengan menggunakan skala ordinal yang kemudian dipetakan, sehingga data tingginya longsoran dan kemiringan kawasan dapat diidentifikasi. Peta curah hujan berdasarkan hasil data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) berupa nilai ordinal, kemudian dipetakan penyebaran tingkat curah hujannya. Berdasarkan keterangan penduduk, kawasan pantai
mempunyai potensi
kegiatan yang sudah dilakukan seperti
kegiatan surfing dan diving. Pengamatan goa dilakukan dengan melihat peta sebelumnya, dan dilakukan pengamatan langsung kondisi goa. Jenis goa dapat dikategorikan berdasarkan proses pembentukannya, sedangkan akses menuju kekawasan adalah sebagai data yang menunjukkan kemudahan akses yang berupa, jalan setapak , jalan lebar dan jenis konstruksinya (jenisnya aspal, jenis batu atau jenis tanah dan lain-lain) dengan menggunakan skala micro-ROS. Untuk data hutan hanya berdasarkan peta hutan alam yang sudah ada dan hasil pengamatan secara acak mengenai jenis tumbuhan yang dapat ditemukan di kawasan hutan. Jenis flora diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk, dan pengamatan langsung terhadap beberapa pohon yang sudah langka, sehingga datadata mengenai jenis pohon yang ada disekitar kawasan penelitian dapat diidentifikasi. Untuk jenis fauna yang ada, pengambilan data diperoleh berdasarkan hasil keterangan penduduk setempat dan penyebaran kuesioner dengan cara mengisi jenis fauna yang ditemukan. Dari informasi dan pengamatan langsung dan didukung oleh data hasil identifikasi sebelumnya, dipetakan penyebaran jenis fauna yang berada di kawasan penelitian. Untuk habitat fauna yang berada di sekitar goa dilakukan dengan cara pengamatan langsung maupun informasi
35 penduduk setempat, sehingga jenis binatang yang ditemukan di kawasan goa dapat diidentifikasi. Data sosial ekonomi penduduk berdasarkan dari hasil wawancara dan kuesioner ditambah data secara ordinal yang didapat dari kantor desa, yang kemudian dilakukan
penyusunan informasi secara matrik, untuk mengetahui
kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Untuk data sosial budaya data diperoleh dari keterangan penduduk dan wawancara yang mendalam sehingga diperoleh data nominal.
Data tersebut memberikan informasi dusun yang mempunyai
banyak variasi budaya sehingga dapat dijadikan dusun pusat budaya. Selanjutnya dipetakan dusun-dusun yang dianggap sebagai pusat budaya dan kepadatan penduduk setiap dusun. b. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan untuk kondisi biofisik, sosialekonomi, dan sosial-budaya digunakan analisis deskriptif dengan mengumpulkan berbagai purtaka terkait topik penelitian. Seluruh data potensi biofisik, potensi sosial-ekonomi dan potensi sosial-budaya di Kawasan Kars Wediombo diolah dan diuraikan secara terintegrasi antara data satu dengan data lainnya. Untuk data pantai diolah berdasarkan peta dan kondisi kawasan pemetaan dan dilengkapi dengan penjelasan mengenai kondisi pasir, batuan yang muncul, terumbu karang, tempat pemijahan ikan alami, keberadaan penyu hijau (Chelonia mydes) dan banyaknya wisatawan yang mengunjungi kawasan pantai. Untuk kawasan goa, diolah dengan cara memetakan posisi goa dan ditambah beberapa keterangan mengenai kondisi di dalam goa maupun hewan yang dapat ditemui. Pengolahan identifikasi flora dan fauna di lakukan pemetaan dan keterangan hanya pada kawasan yang berpotensi sebagai kawasan wisata. Pengolahan data sosial ekonomi, dilakukan pembuatan diagram batang dan dibuat matrik dengan jumlah jenis data yang didapat. Untuk pengolahan sosial budaya dibuat peta berdasarkan kepadatan penduduk, maupun pemetaan pusat kebudayaan untuk dusun yang dianggap sebagai pusat budaya.
36 B. Identifikasi Tipologi Wisatawan Tujuan tahap penelitian ini adalah
mengetahui tipologi wisatawan
berdasarkan motivasi kunjungan, jumlah kunjungan di kawasan wisata kars Wediombo dan kegiatan yang dilakukan selama berada di kawasan wisata. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Tipologi wisatawan yang dihimpun meliputi data jumlah kunjungan per hari selama tahun baru dan liburan, data jumlah kunjungan wisatawan 3 tahun terakhir keduanya berupa data ordinal, data kuesioner mengenai motivasi dan aktivitas wisatawan ke Kawasan Wediombo berupa data nominal. Data primer di dapat berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dengan wisatawan berdasarkan motivasinya berkunjung ke kawasan. Sedangkan kuesioner yang lain adalah dilakukan pengamatan langsung aktivitas wisatawan selama mengunjungi kawasan wisata. Data sekunder didapat dari Dinas Pariwisata yang mendata jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan Wediombo dan menanyakan bulan puncak wisatawan datang ke kawasan Wediombo. b. Metode Analisis Data Untuk mendapatkan kecenderungan kunjungan wisatawan, dilakukan analisis statistika dengan pendekatan regresi linear terhadap data kunjungan wisatawan selama tujuh tahun terakhir dengan rumus matematis sebagai berikut: Rumusan estimasi: Yt = At + B................................ dengan,
1
Yt = Jumlah wisatawan tahun ke-t At = proyeksi jumlah wisatawan pada tahun ke-t B = hasil konstanta
Adapun untuk menghitung estimasi income perkapita dengan jumlah wisatawan yang datang dengan menggunakan metode linear least square (Mc.Intosh dan Goeldner dalam Barret, 1999) Yt = It + b................................... dengan,
2
Yt = Jumlah wisatawan tahun ke-t It = proyeksi income tahun ke-t ; b = konstanta
Dari hasil pengambilan sampel secara acak, di dapat banyaknya wisatawan yang mempunyai motivasi sama maupun yang berbeda antara satu dan yang lain
37 dan kegiatan yang dilakukan selama di kawasan. Maka dilakukan perhitungan secara proses kesamaan dan perbedaan mengenai kondisi tersebut. Untuk menghitung puncak hari jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Wediombo pada tahun 2008, diolah berupa diagram lingkar. Sedangkan untuk analisis jumlah motivasi wisatawan maupun kegiatan wisatawan dihitung dengan menggunakan persentasi dan diagram batang berdasarkan jumlah wisatawan. C. Aspek Legal Dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Tujuan menelusuri legal aspek adalah untuk mengkaji seluruh aturanaturan yang bersifat undang-undang maupun peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah
propinsi maupun daerah Gunungkidul,
diantaranya adalah Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah mengeluarkan peraturan untuk mengoptimumkan pengembangan wisata di seluruh kawasan DIY. Oleh sebab itu Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam mengembangkan kawasan wisata karsnya mengacu kepada aturan propinsi dan beberapa aturan daerah Gunungkidul berupa RIPPDA. Rumusan strategi pengembangan kawasan kars Wediombo diharapkan masuk dalam rencana dan aturan hukum yang digariskan pemerintah daerah Gunungkidul. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis
data
yang
dikumpulkan
adalah
undang-undang,
peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah propinsi dan peraturan pemerintah daerah Gunungkidul untuk mengatur dan merencanakan pengembangan wisata di kawasan Gunungkidul secara umum dan di Kawasan Wediombo secara khusus. Data tersebut berisi tentang aturan-aturan maupun kebijakan yang telah dipilih dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Gunungkidul atas dukungan pemerintah propinsi dalam merencanakan pengembangan kawasan wisata kars. b. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam mengkaji legal sapek pengembangan kawasan ekowisata kars adalah analsisi deskriptif dengan
38 mereview aturan dan perencanaan yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah propinsi dan peraturan pemerintah daerah Gunungkidul. Aturan dan perencanaan tersebut kemudian dihubungkan dengan rencana pengembangan ekowisata, dan kemudian dilakukan pencocokan kesesuaian aturan terhadap strategi pengembangan Ekowisata kars di Kawasan Wediombo. 3.3.2. Studi Supply dan Demand, serta Prioritas Manfaat dan Biaya Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo. A. Analisis Demand dan Supply Penelitian ini merupakan analisis sintesis sisi supply dan demand secara terpadu. Analisis supply dilakukan secara langsung dengan melakukan pengamatan, pengukuran, analisis spasial pada peta-peta tematik di Kawasan Wediombo berupa: peta kemiringan, keberadaan kantong-kantong potensi wisata, peta tingkat erosi dan lain-lain. Analisis juga dilakukan berdasarkan masukan wisatawan dari sisi aspek supply objek wisata Wediombo yang meliputi kemenarikan kawasan wisata; sarana dan prasarana yang tersedia; kondisi infrastruktur yang tersedian berupa jalan, tempat ibadah, tempat makan yang nyaman, atraksi variasi wisata dan kebersihan kawasan wisata. Analisis demand dilakukan dengan cara observasi langsung dan memberikan kuesioner terhadap wisatawan. Observasi langsung dilakukan terhadap
variabel
yang
meliputi:
konsentrasi
berkumpulnya
wisatawan,
keberadaan waktu menikmati kawasan wisata apakah berpindah atau hanya di satu tempat, menikmati wisata berkelompok, berpasangan atau sendiri dan lainnya. Kuesioner dan wawancara dengan wisatawan meliputi demografi profil wisatawan, umur, pendapatan, kemauan membayar, lamanya jarak tempuh, banyaknya mengunjungi kawasan, waktu yang dihabiskan untuk berkunjung, jenis transportasi yang dipakai sampai menghitung korelasi diantaranya. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dari sisi demand berupa data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung menentukan titik-titik kantong wisata yang dikunjungi wisatawan, tipe wisatawan
39 maupun kegiatannya selama di kawasan kantong wisata, selanjutnya dengan memberikan kuesioner maupun wawancara langsung dengan wisatawan. Data primer hasil kuesioner yang dihimpun mencakup data demografik banyaknya kunjungan wisatawan, kawasan yang dikunjungi wisatawan, waktu tempuh ke tujuan wisata, bulan puncak kunjungan wisata, penggunaan alat transportasi, motivasi dan akomodasi maupun mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk mengunjungi kawasan Kars Wediombo. Data sekunder berupa jumlah kunjungan wisata selama tujuh tahun terakhir, didapat dari hasil pencatatan Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul. Data dari sisi supply yang dibutuhkan adalah data yang berkenaan dengan kondisi sumberdaya alam (kesempatan berekreasi), pelayanan pemandu wisata, informasi yang tersedia dan fasilitas lainnya. Berbagai data tersebut dihimpun melalui kuesioner yang ditujukan kepada wisatawan selama mengadakan kunjungan ke kawasan wisata. Untuk pengamatan secara langsung dengan melihat kegiatan wisatawan di titik-titik kantong kawasan wisata dengan melihat aktivitas yang dilakukan wisatawan. b. Metode Analisis Data Analisis demand dilakukan penggambaran beberapa pendapat wisatawan dengan menggunakan diagram batang dan peta lamanya perjalanan (waktu tempuh
wisatawan).
Dilakukan
survey
informasi
wisatawan
dengan
mengelompokkan beberapa indikasi meliputi: •
Identifikasi data demografi berdasarkan profil wisatawan: mengumpulkan beberapa informasi dari wisatawan dengan siapa datang, umur, jumlah masing-masing kelompok, pendapatan.
•
Identifikasi data demografi berdasarkan distribusi wisatawan: asal wisatawan, lama waktu tempuh.
•
Identifikasi sisi ke kawasan wisata: salah satu indikator permintaan (demand) sumberdaya alam adalah apakah pernah mengunjungi kawasan kars, berapa kali berkunjung dan lamanya kunjungan.
•
Identifikasi motivasi dan transportasi: mendata wisatawan berkunjung ke kawasan wisata dengan menggunakan apa dan motivasi datang ke kawasan.
40 Karena belum ada akomodasi di sekitar kawasan, maka jenis akomodasi lokal tidak ditanyakan dalam penelitian. Sedangkan analisis supply berdasarkan pendapat wisatawan mengenai kondisi kawasan selama mengadakan kunjungan ke kawasan, dari segi minat, keunikan, sarana dan prasarana hingga kebutuhan lain selama di kawasan wisata. B.
Analisis Prioritas Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas manfaat dan prioritas
biaya pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata berdasarkan hasil kuesioner pakar. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data primer didapat dengan melakukan wawancara dan kuesioner empat orang pakar dari pelaku wisata, pengambil kebijakan daerah, tokoh masyarakat dan ahli kars dari perguruan tinggi. Penyebaran kuesioner dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, adalah memberikan kuesioner berupa pengaruh faktor manfaat dari sisi lingkungan, ekonomi dan sosial budaya dan juga kuesioner berupa pengaruh faktor biaya terhadap sisi lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Kedua, memberikan kuesioner berupa pendapat dari sisi manfaat dengan memberikan skor 1 (sangat tidak berpengaruh) dan skor 5 (sangat berpengaruh) sedangkan dari sisi biaya memberikan skore 1 (sangat kecil) dan skor 5 (sangat tinggi). Dari hasil tersebut maka data–data dapat dikumpulkan dan dianalisa. b. Metode Analisis Data Dari hasil kuesioner dan wawancara dapat dilakukan pembobotan dari pengaruh ekonomi, lingkungan dan sosial budaya dengan menggunakan metode Eckenrode (Maarif dan
Tanjung, 2003). Untuk menentukan besarnya bobot
ketiga faktor tersebut dengan cara membandingkan besarnya bobot dari ketiga faktor tersebut dari segi pengaruh untuk manfaat (Tabel 3) dan biaya (Tabel 4). Hasil dari pembobotan akan digunakan sebagai dasar pengali dari nilai yang di dapat faktor yang lain. Sedangkan prioritas skala yang dilakukan untuk faktor manfaat (benefit) dengan menggunakan skala 1 sampai 5 (sangat tidak berpengaruh hingga sangat berpengaruh). Sedangkan skala untuk faktor biaya (cost) dengan menggunakan skala 1 sampai dengan 5 (sangat kecil hingga sangat
41 tinggi). Hasil kuesioner tersebut kemudian ditabelkan dalam bentuk data kuantitatif untuk selanjutnya dilakukan analisis. Tabel 3. Penentuan Bobot Faktor Manfaat (Benefit) Kriteria
Besar
Sedang
Kecil
2
1
0
Bobot
Lingkungan Ekonomi Sosial budaya Nilai (k-1)
Keterangan: besar = 3, sedang = 2 dan kecil = 1
Tabel 4. Penentuan Bobot Faktor Biaya (Cost) Kriteria
Besar
Sedang
Kecil
2
1
0
Bobot
Lingkungan Ekonomi Sosial budaya Nilai (k-1)
Keterangan: besar = 3, sedang = 2 dan kecil = 1
Bobot merupakan nilai preferensi tujuan tak berdemensi. Bobot mempunyai sifat sebagai berikut: 0≤ We ≤ 1,
dimana We= bobot ke e, dan e=1,2,....,k
k ∑ We = 1 ℮=1 Pernyataan We > Wk, artinya tujuan /kriteria Ze lebih penting dari tujuan/kriteria Zk. Ketika We=Wk, artinya tujuan/kriteria Ze sama penting dari tujuan/ kriteria Zk. n ∑ λej J=1 We = -----------------------K n ∑ λej ∑ eej e=1 j=1
untuk e=1,2.....,k
dimana λej = nilai tujuan ke λ oleh pakar ke j; n = jumlah pakar
42 c. Validasi dan Reliabilitas Karena
data
yang
didapatkan
merupakan
data
kualitatif
yang
dikuantitatifkan dengan cara likert, maka sebelum digunakan dan diolah diuji dulu tingkat validitas data dengan mengggunakan SPSS. Data dikatakan valid jika mempunyai dukungan yang kuat terhadap skor total, dengan kata lain sebuah jenis pertanyaan dikatakan mempunyai validitas yang tinggi jika terdapat skor kesejajaran (korelasi yang tinggi) terhadap skore total pertanyaan. Uji validitas jenis hasil pertanyaan dilakukan dengan menggunakan uji korelasi momen Pearson. Korelasi dikatakan signifan (valid) jika lebih besar dari taraf signifikan 95% atau lebih tinggi lagi 99%. Jumlah pertanyaan untuk mengetahui manfaat pengembangan ekowisata dua belas pertanyaan, untuk pertanyaan mengetahui biaya (cost) sebelas pertanyaan. Setelah uji validasi data kemudian dilakukan uji reliabilitas yang berkaitan dengan masalah adanya kepercayaan terhadap instrumen pertanyaan. Suatu instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi jika hasil dari pengujian menunjukkan hasil yang tetap. Dengan demikian masalah reliabilitas test/instrumen berhubungan dengan masalah ketetapan hasil. Metode yang digunakan untuk pengujian reliabilitas adalah dengan metode belah dua (split half method), yaitu metode yang dilakukan dengan cara mengkorelasi antara total skore pada nomer pertanyaan yang ganjil (belahan pertama) dan pertanyaan yang genap (belahan ke dua)
dengan menggunakan teknik korelasi product moment
(rb), kemudian dilanjutkan dengan pengujian dengan rumus Sperman-Brown (Sugiyono, 2007) dengan: n∑ xi yi – (∑ xi)(∑yi) rb= --------------------------[n∑ xi2-(∑ xi)2] [n∑ yi2-(∑ yi)2]
; ri =
2 rb ; (1 + rb)
ri
= reliabilitas internal seluruh instrumen
rb
= korelasi product moment antara belahan pertama dan ke dua (xi=belahan pertama; yi=belahan ke-dua)
43 Setelah dilakukan validasi dan reability maka nilai pembobotan dari keempat pakar dihitung rata-rata nilainya dengan cara rata-rata geomean,
dan
dihitung dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE). Dari hasil MPE akan diketahui ranking secara jelas dari masing-masing variabel yang ditanyakan dari sisi manfaat dan sisi biaya pengembangan ekowisata kars Wediombo. Jumlah kuesioner yang akan diberikan ke pakar untuk prioritas manfaat (benefit) berjumlah dua belas pertanyaan, untuk kuesioner prioritas biaya (cost) kuesionernya berjumlah sebelas pertanyaan. 3.3.3. Pembagian Zonasi Kawasan Pengembangan Tujuan dari penelitian ini untuk membagi zone wild/remote/natural sampai urban berdasarkan teori micro-ROS dan mengidentifikasi kawasan yang mungkin dapat dijadikan buffer zone, sehingga fungsi konservasi dapat dilaksanakan dengan baik. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder dikumpulkan berdasarkan peta maupun laporan dari BAPPEDA Gunungkidul dan Dinas Pariwisata Gunungkidul. Data primer berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara yang mendalam dengan penduduk lokal. Kawasan yang bersifat sangat fragile maupun tempat hidupnya flora dan fauna langka perlu dilindungi merupakan perhatian utama untuk pengembangan ekowisata. Kawasan yang di amati dan diteliti meliputi: •
Kawasan pusat budaya desa di sekitar Wediombo
•
Kawasan pantai dan keunikan yang dapat diamati.
•
Kawasan goa dan sekitarnya
•
Kawasan hutan
•
Daerah hidupnya flora dan fauna yang ditemukan di kawasan hutan, goa, pantai. Data yang didapat, kemudian diidentifikasi berdasarkan ketentuan yang
terdapat dalam micro Recreational Opportunity Spectrum (micro-ROS)
yang
44 dikembangkan oleh Jubenville dan Richards dan Heywood (dalam Parkin et al., 2000) pada kawasan yang lebih sempit. b. Metode Analisis Data Data yang telah didapat kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan metode
jangkauan
kesempatan
berekreasi,
dengan
menggunakan
micro
Recreational Opportunity Spectrum (micro-ROS). Data yang dikaji dan diukur dalam hubungannya dengan kesempatan kawasan yang akan digunakan dalam kegiatan ekowisata. Pembagian kawasan dalam micro-ROS dikelompokkan dalam sembilan
kelompok. Tabel 5 merupakan pembagian dari kelompok 1 (wild-
natural-remote the
most natural) sampai ke kelompok 9 (urban-develop-
industrial-the least natural). Tabel 5.
Nilai Penataan Kawasan Rekreasi Alam (adapted Batt, 1998a dalam Parkin et al. 2000)
Rimba/sangat alami/ terpencil 1 2 3 4 Sangat Alamiah Alamiah
Urban/berkembang/ industri 5 6 7 8 9 alamiah SubHunian ekstensif urban(wisat (wisata massa) a budaya)
3.3.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Berkelanjutan Tujuan penelitian adalah menganalisis strategi rumusan yang tepat berdasarkan kekuatan maupun kelemahan secara internal dan kesempatan maupun peluang dari sisi eksternal yang dilanjutkan dengan memilih rumusan alternatif pengembangan ekowisata kawasan kars Wediombo. a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data pengamatan langsung, data sekunder berdasarkan informasi, laporan dari PEMDA dan sumber lainnya. Fokus utama adalah dengan melihat potensi yang telah ditentukan dari sisi internal dan eksternal,
dan
dilanjutkan
dengan
alternatif
pengembangan
ekowisata.
Pengambilan data dibuat kuesioner terhadap pakar dan tokoh masyarakat yang mengetahui kondisi kawasan Wediombo dengan dua tahapan, yaitu: pertama, memberikan pertanyaan mengenai faktor internal kekuatan (strength) dengan
45 memberikan skor 1(kurang bagus) hingga skor 4 (sangat bagus), kemudian faktor kelemahan dengan batasan skor 1(baik) hingga 4 (sangat lemah), sedangkan faktor eksternal kesempatan (opportunities) dan faktor ancaman (threats) batasan skor nya adalah skor 1 (rendah) hingga skor 4 (tinggi). Kedua, memberikan kuesioner uraian masing-masing faktor untuk memberikan tanda apakah tersedia variabel tersebut tersedia di kawasan, jika semua faktor tersedia dan terpenuhi maka nilai maksimal adalah 4 (tertinggi), jika tidak ada faktor nya maka nilai 0. Semua hasil kuesioner berupa bilangan ordinal yang akan digunakan untuk menganalisis. Pengambilan data untuk menentukan alternatif wisata, dengan membuat kuesioner yang berisi tentang tingkat perbandingan dengan pairwise Comparison yang ditujukan kepada pakar. Skala yang dibuat adalah 1 sampai 9, dengan angka yang ditentukan 1, 3, 5, 7 dan 9 yang menunjukkan sama penting (1) hingga ekstrrim (9), sedangkan angka selain tersebut posisinya di antara angka ganjil tersebut merupakan nilai di antara dua penilaian yang berdekatan (Saaty, 1980). b. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam membangun model pengembangan kawasan ekowisata kars wediombo di kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta menggunakan metode AWOT yang merupakan gabungan antara metode analisis AHP dan SWOT (AHP in SWOT Analysis). Adapun penjelasan metode analisis seperti berikut : 1. Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats ) Komponen-komponen yang dikaji dalam analisis SWOT meliputi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantanga. Kekuatan (Strength), kelemahan (weaknesses) merupakan faktor internal sedangkan kesempatan (opportunity) dan tantangan (threat) merupakan faktor eksternal yang diamati. Dalam penelitian ini digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang feasibel untuk dikembangkan sebagai suatu kawasan wisata, maka model analisis ini didasarkan pada logika, dimana pemikiran ini dapat dimaksimalkan pada kekuatan dan peluang, namun juga secara bersamaan meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dapat terjadi.
46 Faktor-faktor internal berupa kekuatan potensi kawasan kars Wediombo yang telah teridentifikasi dapat membantu pengambil kebijakan untuk melihat dan memperhatikan peluang-peluang baru, sedangkan penilaian obyektif terhadap kelemahan-kelemahan yang ada dapat memberikan bobot realisme untuk rencanarencana yang akan dibuat oleh pengambil kepijakan. Di sisi lain juga terdapat faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi operasi dan kinerja pembangunan kawasan
kars
Wediombo.
Kemampuan
atau
ketidakmampuan
untuk
mengidentifikasi peluang dan ancaman dari luar akan sangat menentukan apakah akan berhasil atau gagal menjalankan misi dan mewujudkan visi pembangunan kawasan kars. Secara konseptual analisis faktor-faktor eksternal dan internal mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasikan faktor-faktor eksternal yang secara strategis merupakan peluang dan ancaman terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir dan laut. 2. Mengidentifikasikan faktor-faktor kunci internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan yang dihadapi dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut. 3. Mengumpulkan data dan informasi mengenai faktor-faktor tersebut. 4. Apabila dianggap perlu, membuat proyeksi mengenai perkembangan faktorfaktor tersebut selama periode perencanaan. Identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dilakukan melalui penyebaran kuisioner dan wawancara mendalam dengan stakeholder terkait. Hasil identifikasi faktor-faktor tersebut selanjutnya dilakukan analsisi SWOT untuk menentukan kemungkinan alternatif strategi. Menurut Rangkuti (2000), penentuan strategi berdasarkan elemen-elemen SWOT digunakan matriks yang akan menghasilkan empat kemungkinan alternatif dari suatu strategi yaitu: 1.
Strategi SO:
Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pemikiran untuk
memanfaatkan seluruh kekuatan guna merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2.
Strategi ST: Strategi ini dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul.
3.
Strategi WO: Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
47 4.
Strategi WT: Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Adapun keempat strategi tersebut seperti pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Faktor-Faktor dalam Analisis SWOT (Rangkuti, 2000) Faktor Eksternal
Faktor Internal Kekuatan (strength)
Kelemahan(weaknesses)
Peluang (opportunities)
Strategi SO
Strategi WO
Ancaman (threats)
Strategi ST
Strategi WT
Hasil analisis ini akan diperoleh pra konstruksi strategi pengembangan kawasan kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata untuk mendukung konservasi kawasan kars dan kesejahteraan penduduk lokal. Selanjutnya faktorfaktor internal dan eksternal yang telah teridentifikasi ditentukan skala prioritas untuk segera ditangai atau ditindaklanjuti agar pengelolaan kawasan kars dapat dimanfaatakan sebagai kawasan ekowisata secara optimla dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penentuan skala prioritas setiap faktor internal dan eksternal hasil analisis SWOT dilakukan dengan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). 2. Analytical Hierarchy Process (AHP) Alternatif rumusan pemilihan pengembangan kawasan wisata kars dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan dengan analytical hierarchy process (AHP) atau analisis hirarki proses (Saaty, 1990), dan pengolahan dilakukan dengan menggunakan aplikasi Criterium Decision Plus (CDP). Data yang diperoleh berupa data primer hasil dari kuesioner dan diskusi dengan pakar, dengan melakukan pengontrolan konsistensi jawaban hingga 10%. AHP memungkinkan digunakan untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif,
yaitu
dengan
melakukan
perbandingan
berpasangan.
(pairwise
comparisons). Selanjutnya Saaty (1990) menentukan cara konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan, menjadi suatu himpunan bilangan yang
48 merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif. Beberapa langkah dalam AHP adalah: 1.
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah.
2.
Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan fokus (tujuan umum), sub kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji. Fokus yang dipilih adalah rumusan pengembangan ekowisata kars, yang kemudian diikuti sub kriteria berupa komponen SWOT yang terdiri atas empat komponen yaitu, kekuatan (strength), peluang (opportunity), kelemahan (weaknesses), dan ancaman (threats) dengan cara menentukan bobot keempat sub kriteria tersebut berdasarkan pendapat pakar. Untuk sub kriteria aktor (Weaver, 2001) ada empat aktor utama yaitu, pemerintah, masyarakat lokal, swasta, LSM dan kemudian ditambah dengan perguruan tinggi. Selanjutnya sub kriteria tujuan berupa pertimbangan biaya, efektifitas dan keberlanjutan (Inskeep’s, 1991). Untuk sub kriteria alternatif berdasarkan kondisi kawasan yang digabungkan dengan skala micro-ROS dengan susunan kriteria alternatif
jenis wisata
ditunjukkan dalam Tabel 7. Adapun hierarkhi alternatif pengembangan wisata di kawasan kars Wediombo disajikan dalam Gambar 9. Tabel 7. Kategori Wisata dalam Skala Micro-ROS No. 1 2 3 4 5
Jenis wisata Wisata Spiritual Wisata Penelitian Wisata Petualang Wisata massa Wisata Pendidikan
1
2
ν ν ν
ν ν ν
ν
ν
skala micro-ROS 3 4 5 6 7 ν ν ν ν ν ν ν ν ν ν ν ν ν ν
Keterangan skala : 1-2 : rimba/sangat alami/terpencil 3-4 : alami 5-6 : alami ekstensif 7 : sub-urban 8-9 : perkotaan/kawasan berkembang/industri/ ada pusat olah raga
8
9
49
Fokus
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS WEDIOMBO
STRENGHTS
Komponen SWOT Faktor SWOT
Aktor
A
B
C
Pemerintah
D
WISATA SPIRITUAL
E
Masyarakat
Efektivitas
Tujuan
Strategi Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo
WEAKNESSES
WISATA PENELITIAN
OPPORTUNITIES
F
G
Swasta
Biaya
H
THREATS
I
Perguruan Tinggi
J
K
L
LSM
Keberlanjutan
WISATA PETUALANG
WISATA MASSA
WISATA PENDIDIKAN
Gambar 9. Hierarki Mekanisme Pemilihan Pengembangan Wisata 49
50 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala 1-9, Skala perbandingan secara berpasangan seperti Tabel 8. Tabel 8. Matrik Perbandingan Berpasangan Berdasarkan Skala Saaty Tingkat Kepentingan 1 3
5
7 9
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya Elemen kunci satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting dari pada elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
2,4,6,8
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya Stau elemen dengan didukung dan didominasi terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai diberikan jika ada dua kompromi antara dua pilihan
Sumber : Saaty (1993).
4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. Pengolahan dilakukan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran utama. Jika NPpq didefenisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka : S
NPpq =
∑ NPHpq(t , q − 1) xNPTt (q − 1) t −1
51
Dimana :
p T NPpq
= 1,2,....,r = 1,2,.....,s = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1
5. Mengisi konsistensi judgment stakeholder dengan menghitung Consistency Ratio, Nilai konsistensi yang dianggap baik adalah < 0,1 Jika tidak konsisten (nilainya > 0,1) maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi, Consistency Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Nilai Consistency Ratio dihitung dengan rumus : CR =
CI RI
Dimana : CI = Indeks konsistensi RI = Indeks Random CI = (p – n) / (n – 1) Dimana : p = rata-rata Consistensy Vector n = Banyak alternatif Sedangkan RI merupakan nilai random indeks sebagaimana yang ditetapkan oleh Oarkridge laboratory (Marimin, 2004) seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai Indeks Random untuk Penentuan Nilai Consistensy Ratio (CR) N RI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Potensi Pengembangan Ekowisata Kars Sesuai dengan teori tentang kars dan kawasan pegunungan seribu yang disebut sebagai kawasan warisan dunia (The World Heritage), dan juga kriteria kawasan yang berpotensi sebagai ekowisata, kawasan kars Wediombo memenuhi unsur dengan kriteria cukup sebagai kawasan ekowisata yang di dalamnya mengandung unsur pendidikan, pengalaman, konservasi maupun keunikan disamping keunggulan lain. Sifat kars yang porous, jenis flora dan fauna, bentuk topografi, kondisi eksokars dan endokars merupakan keunggulan bagi pengembangan wisata yang berbasis alam. Potensi tersebut dapat dioptimalkan apabila kondisi kawasan kars dapat diketahui gambarannya secara terinci. 4.1.1. Kondisi Biofisik, Sosial-Ekonomi, dan Sosial-Budaya A. Kondisi Biofisik Salah satu komponen yang dapat digunakan untuk mengembangkan kawasan ekowisata adalah kondisi kawasan yang unik, fragile dan mengandung unsur pendidikan. Komponen-komponen tersebut antara lain berupa pegunungan dan lembah kars, fauna dan flora yang mendiami kawasan kars dan faktor yang lain, sehingga kondisi biofisik suatu kawasan memegang peran penting sebagai potensi kawasan pengembangan ekowisata. Untuk mengetahui kondisi biofisik kawasan kars Wediombo, dijelaskan sebagai berikut : 1. Kondisi Topografi Kawasan Wediombo sebagian besar daerahnya mempunyai struktur tanah ekosistem kars potensial telaga dolin dan sebagian lagi berupa kawasan ekosistem kars potensial goa kars dengan luas keseluruhan kurang lebih 3.500 ha. Bentuk geomorfologi yang khas berupa bukit kerucut dalam berbagai bentuk hasil endapan tanah terraprosesa maupun hasil pelarutan batu gamping seperti: dolina, uvala, polje dan goa kars (P4 UGM, 2000). Secara geologi berumur OlegoMiosen dan kelompok batuan sedimen karbonat berumur Miosen-Pliosen, sedangkan kawasan pantainya ditemukan susunan batuan vulkanik bertipe andesit
53 dan batugamping berlapis, sedangkan Formasi Wonosari mendominasi Kawasan Wediombo dan terdapat Formasi Semilir di sekitar Gunung Batur. Kawasan Timur dan Utara Pantai Wediombo berupa pegunungan yang didalamnya terdapat hutan tropis yang bercirikan tanaman kars, dan terdapat beberapa goa vertikal dan horizontal. Kawasan Selatan Pantai Wediombo berupa pegunungan yang dilapisi tanah tipis dan pantai yang berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Elevasi pada zona ini berkisar 300 – 600 m dpl, dengan kemiringan lereng ratarata 25o – 30o . Peta kelerengan dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Peta Kelerengan Kawasan Wediombo
Formasi Wonosari penyusun utamanya berupa batu gamping, kompak, keras dan rapuh. Selain itu ditemukan batu gamping napalan, batu gamping konglomeratan dan batu lanau (Surono et al., 1992). Ketebalan formasi diduga 800 m, pembentukannya pada laut dangkal. Formasi wonosari merupakan batuan sumber dari beberapa jenis bahan galian industri dari kawasan kars. Bahan yang potensial adalah batu kapur jenis bedhes (batu kapur keras) dan keprus (batu gamping lunak), selain dua jenis bahan tambang tersebut dari formasi wonosari berpeluang untuk penambangan watu lintang (balsit) teragil sebagai lensa-lensa
54 pada batu gamping. Formasi semilir yang terletak disekitar gunung batur merupakan proses dari kegiatan vulkanik, hal ini juga adanya batuan andesit yang berupa batuan vulkanik tersingkap cukup jelas kelihatan muncul di Pantai Wediombo, maka kawasannya disebut pantai gunung api. Gisiknya yang panjang dengan pasir putih dengan panjang 2 km berupa teluk, mempunyai keunikan untuk dikembangkan sebagai wisata bahari dan pendidikan. Pantai Wediombo sebelah selatan dibatasi oleh bukit kapur Manjung. Pantai ini dapat berfungsi sebagai benteng alam dari ombak Samudera Indonesia dengan ombaknya yang cukup besar. Di sebelah timur hamparan ladang penduduk dengan pegunungan dan tumbuhan khasnya hingga perbatasan Pulau Glatik, yang berupa pantai yang disebut Pantai Jungwok yang masih alami dengan ombak langsung dari arah Samudera Indonesia. Sementara di sebelah barat membentang bukit batur dengan pemandangan karsnya yang indah dengan semak maupun pohon khas yang hanya ditemukan di kawasan kars. Jalan menuju ke goa atau pantai lain dari Pantai Wediombo berpotensi digunakan jalur trekking karena akan melewati ladang tradisional penduduk. Kondisi tersebut merupakan potensi wisata yang berbasis kepada sumberdaya alam. Goa sebagai bagian dari morfologi endokars banyak sekali ditemukan. Di sebelah timur arah dari Pantai Wediombo dengan melalui jalan setapak, pegunungan kars dan ladang penduduk dengan waktu tempuh 1 jam terdapat Goa Bentis dan Goa Banyusumurup yang mempunyai keindahan sangat alami berupa stalagtit muda yang masih berkembang. Di sebelah utara yang berjarak kurang lebih 3 km dari jalan utama menuju Pantai Wediombo, terdapat Goa Lowo yang dapat ditempuh dengan jalan setapak, dan merupakan runtuhan goa abandon flank margin, sedangkan di lokasi goa ditemukan lubang vertikal dengan kedalaman kurang lebih 75 meter (sumber keterangan salah satu tim penelusur goa, 2008) yang dihuni oleh berbagai jenis kelelawar. Dekat lokasi goa terdapat sinhole vertikal yang belum diketahui kedalamannya dan merupakan sungai bawah tanah (tim penelusur goa Jepitu, 2008). Goa lain yang ditemukan adalah Goa Greweng dan Goa Pertapaan yang terdapat di dekat Pantai Jungwok dan Pantai Dadapan. Goa Greweng mempunyai lorong menuju ke Goa Banyusumurup, keduanya mempunyai stalagtit dan stalagmit.
55 Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan beberapa goa mempunyai tipe pembentukan yang berbeda, maka gambaran tipe-tipe pembentukan goa terdapat pada Gambar
11. Goa Lowo merupakan hasil dari pembentukan secara
horizontal, kemudian mengalami runtuh di pintu goa, maka termasuk dalam abondan flank margin yang runtuh. Untuk goa yang lain pembentukannya secara horizontal, sedangkan sinhole secaar vertikal.
f) PALEOSOL WITH EPIKARST
a),b),c),d), e)
PIT CAVE PIT CAVE
PIT CAVE BURIED PALEOSOL AND EPIKARST
COLLAPSED PHRETIC CAVE FORMS A BANANA HOLE ABANDONED PHREATIC CAVE
FORMER SEA LEVEL
ABANDONED FLANK MARGIN CAVE
DIFFUSE VADOSE FLOW
DEVELOPING PHREATIC CAVE
CURRENT SEA LEVEL DIFFUSE PHREATIC FLOW TO LENS MARGINS
FRESHWATER LENS
Nama Goa a) Goa Lowo b) c) d) e) f)
Jenis pembentukan Abondan flank margin yang runtuh Abandon flank margin cave Abandon flank margin cave Abandon flank margin cave Abandon flank margin cave Pit Cave
Goa Bentis Goa Banyusumurup Goa Pertapan Goa Greweng Sinhole di sekitar Goa Lowo
Gambar 11 . Letak Goa Berdasarkan Proses Pembentukan
2. Keanekaragaman Flora dan Fauna Kawasan kars Wediombo dan sekitarnya merupakan kawasan konservasi yang
mulai
ditetapkan
pada
tahun
2005.
Kawasan
ini
mempunyai
keanekaragaman flora dan fauna yang sangat berfariasi. Keanekaragaman yang ditemukan di kawasan kars mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga banyak diburu orang yang menyebabkan punahnya beberapa flora dan fauna. Adapun karakteristik fauna yang berada di Kawasan Wediombo pada Tabel 10.
56 Tabel 10. Karakteristik Fauna di Kawasan Wediombo N0.
1.
Jenis Fauna Kera ekor panjang (Macaca fasicularis)
Habitat Perbukitan kars sepanjang selatan Wediombo, hutan alam dan pinggir pantai sebelah selatan
Jenis Makanan Buah-buahan, umbi,ketela,ja gung dan bijibijian lain, pisang, daundaunan, bunga dan lain-lain
Keterangan Daya Tarik Hidup berkelompok, mudah beradaptasi dan warna bulunya keabu abuan, mempunyai ekornya panjang, kera jantan mempunyai jambang yang lebat. Lutung termasuk Threatened animals (IUCN)
Hasil Verifikasi Mudah ditemukan pada jalur selatan menuju pemancingan dan goa pertapan dan greweng, dan kadang-kadang musuh petani karena merusak hasil panen
Jarang kelihatan, pertama terlihat di kawasan hutan alam
2.
Lutung (Trachy pithecus cristatus)
Jarang menampakkan diri, habitat sangat sedikit
3.
Landak goa (Hystrix javanica)
Tinggal di dalam Goa Banyusumurup dan hampir semua goa di Kawasan Wediombo
umbi-umbian
mempunyai bulu yang runcing, dan sistem pertahanan mengandalkan ketajaman durinya.
Hanya dapat dilihat pada malam hari, jejak kaki landak banyak ditemukan di permukaan goa
4.
Trenggiling (Manis Javanica)
Di perbukitan batu kapur dan hutan alam
Serangga
Mempunyai kulit seperti buah salak, dan mulut runcing. Mempunyai kemampuan menggali rumah rayap cukup dalam.
Jarang terlihat, hanya beberapa penduduk pernah melihat.
5
Kijang (Muntiacus muntjak)
Di perbukitan kars sebelah utara Pantai Wediombo
daun-daunan
mempunyai daya gerak cepat, dan takut pada kehadiran manusia. Jika dilihat dengan menggunakan teropong maka aktivitas kijang dapat diikuti dengan jelas.
Sulit ditemui, berada di sebelah utara dan selatan Pantai Wediombo, hanya dapat dilihat dengan menggunakan teropong.
57 Tabel 10 (lanjutan) N0.
6.
Jenis Fauna Kelelawar (Nycteris javanica)
Habitat Di goa dan pepohonan
Jenis Makanan serangga
7
Penyu hijau (Chelonia mydas)
Di Laut
Plankton, ikan kecil dan lainnya
8
Ular Phyton (phyton reticulatus) dan berbagai ular berbisa
Di Goa Lowo, Hutan dan perbukitan
Tikus, katak, monyet, kelelawar, babi hutan dan lainlain
9
Isopoda goa (Javanoscia elongata), dan yang lain.
Hidup di dalam goa, dengan cahaya yang sangat terbatas. Mempunyai mata yang sangat kecil sampai buta.
10
Berbagai jenis burung antara lain: kepodang (Oriolus chinensis), jalak (Sturnus contra), terkukur (Streptopeli a chinensis) dan lainlain
Pegunungan kars, tegalan, hutan alam
Keterangan Daya Tarik berbulu coklat, hingga kehitaman dan bergelantungan di dinding goa atau pohon dan bergerak secara bergerombol
Hasil Verifikasi Dapat ditemukan di goa Lowo, dengan ukuran beraneka macam dengan jumlah yang cukup banyak. Karena keterbatasan koloni menurut IUCN masuk dalam kategori vulnarible
mempunyai warna batok kehijau-hijaun, dan jumlah telur mencapai puluhan dan akan ditimbun di kawasanpasir pinggir pantai
Sudah jarang terlihat,hidup disepanjang pantai hanya sebagian kecil penduduk pernah menangkap
Ukuran bisa mencapai puluhan kilogram, ada yang berbisa. Warna kulit bervariasi.
Hampir di semua kawasan dapat ditemukan berbagai jenis.
Jumlah populasi masih banyak diperoleh dan hidup di goa gunungsewu. Untuk fauna yang lain populasi sedikit. Semua fauna yang berada dalam goa oleh IUCN diletakkan di Red list Data Book serangga, ulat dan biji-bijian
warna, bunyi, bentuk dan pergerakan antara sesama burung jika senang berkelompok
Hutan, pegunungan, tegalan
58 Jenis fauna yang ditemukan di Kawasan Wediombo dan sekitarnya adalah kera ekor panjang (Macaca fasicularis), Trenggiling (Manis javanica), Kijang (Muntiacus muntjak), berbagai macam jenis ular, berbagai macam burung yang hampir punah, penyu hijau (Chylonia mydas), landak kars (Hystrix javanica), kelelawar (Nycteris javanica) berbagai ukuran dan lain-lain. Habitat landak berada di sekitar goa dan bagi penduduk merupakan hama tanaman. Habitat penyu hijau terdapat di sepanjang pantai Kawasan Wediombo. Habitat kera ekor panjang mempunyai jumlah yang paling banyak sekitar lebih dari 5000 ekor dan hidup di selatan sekitar pantai. Jika musim panen tiba, kera merupakan hama bagi petani, sehingga beberapa upaya untuk mencegahnya telah dilakukan oleh masyarakat lokal misalnya dengan menanam beberapa pohon yang menjadi sumber makanan kera. Informasi beberapa penduduk pernah melihat penampakan kera yang berbulu hitam dan tidak berekor muncul disekitar kawasan hutan di tepi pantai paling timur wilayah Wediombo, tetapi hanya berjumlah 3 ekor. Selain kelelawar yang menghuni goa, juga ditemukan waktu penelitian binatang lain sejenis arthropoda yang berkembang di dalam goa.
Fauna darat lain yang dapat
ditemukan adalah kijang yang hidup disekitar pantai Wediombo dan sekitar Tanjung Manjung yang merupakan kawasan paling selatan Wediombo. Kawasan Pantai Wediombo terdapat ikan panjo (Synentognathi) yang merupakan khas dari Pantai Wediombo, selain ikan yang biasa ditemukan ditempat lain. Jenis fauna yang ada di Kawasan Wediombo ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11. N0. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Keberadaan fauna di Kawasan Wediombo (catatan desa dan wawancara, 2008)
Nama Daerah Trenggiling Kera ekor panjang Lutung Kijang Kepodang Jalak Terkukur Kelelawar Penyu hijau Laba-laba Kepiting jacobson Udang goa Isopoda goa Landak
Nama latin Manis javanica Macaca fasicularis Trachy pithecus cristatus Muntiacus muntjak Oriolus chinensis Sturnus contra Streptopelia chinensis Nycteris javanica Chelonia mydas Charon grayi Sesarmoides jacobsoni Macrobrachium poeti Javanoscia elongata Hystrix javanica
Famili Manidae Cercopithecidae Cercopithecidae Cervidae Opiolidae Sturnidae Columbidae Nycteridae Cheloniidae Charontidae Sesarmidae Palaemonidae Philusciidae Hystricidae
59 Beberapa kawasan wisata yang mengandalkan keberadaan fauna misalnya adalah pengembangan wisata di Rwanda menawarkan satu jenis fauna yang termasuk langka. Jenis wisatanya adalah mengembangkan wisata melihat gorila dengan tujuan untuk melestarikan kehidupan gorila maupun melindungi kawasan tempat habitat gorila. Pada tahun 1976 sampai 1980 pendapatan yang diperoleh lebih kecil dengan biaya yang dikeluarkan, sejak tahun 1989 pendapatan mencapai $US 1 juta dan telah mendatangkan pemasukan bagi negara. Di Rwanda Parc National des Volcans, permintaan wisatawan untuk mengunjungi pegunungan tempat habitat gorila lebih besar dibandingkan dengan kemampuan daya dukung batas kunjungan (24 wisatawan/hari), maka pemerintah dapat menaikkan biaya hampir $US 200 per wisatawan untuk 1 jam kunjungan. Biaya tersebut termasuk biaya untuk konservasi dan pelayanan yang lain (pemandu, keamanan dan lainnya). Kondisi ini berakhir sejak terjadi perang sipil di Rwanda (Lindberg dan Huber dalam Eagle et al., 2002). Di Taman Nasional Costarica merupakan tempat berlindungnya kehidupan liar dan cadangan sumber makanan makluk hidup dengan luas kawasan 25% dari luas Costarica. Banyak lahan yang dibeli dan dikelola oleh negara mulai tahun 1970. Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1980, dan dikuranginya bantuan dana internasional tahun 1990, Costarica memilih menaikkan biaya masuk ke taman nasional. Sistem yang dilakukan adalah biaya masuk untuk wisatawan mancanegara (wisman) lebih mahal dibandingkan dengan wisatawan nusantara (wisnus). Walaupun biayanya dinaikkan, taman nasional Costarica tetap terkenal sebagai kawasan wisata dunia. Rata-rata penerimaan dari sektor wisata secara annual $US 1 milyar dan ini merupakan sistem yang sukses di taman nasional Costarica yang dibentuk berdasarkan konsep industri ekowisata (Brown dalam Eagle et al. 2002). Kawasan Wediombo hutan tanaman rakyat dapat ditemukan di sebelah selatan Kawasan Wediombo dengan luas kurang lebih 20 hektar. Vegetasi banyak ditemukan baik berupa tumbuh-tumbuhan endemik alami maupun tanaman hasil budidaya. Kegiatan pengkayaan jenis yang dilakukan adalah memperbanyak tanaman yang sudah ada di Wediombo dan mendatangkan tanaman yang belum ada di daerah Wediombo untuk mendukung produksi dan konservasi. Tanaman
60 endemik yang dikembangkan ditunjukkan pada Tabel 12. Sebagian besar tanaman endemik yang berada di Kawasan Wediombo sudah jarang. Untuk melindungi dari kepunahan dilakukan konservasi dengan menanam pohon endemik merata di Kawasan Wediombo (catatan desa dan wawancara, 2008). Tabel 12. Tanaman endemik dikembangkan(catatan desa dan wawancara, 2008) No.
Nama Daerah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lo Kina Wungli Pule Ketapang Sagawe Nyamplung Rondomopol Lowo Timoho Pudakan
Nama latin Podocarpus neriifocius D.Don Cinchona ledgeriana Moens Oroxylum indicum (L.) Vent Alstonia scholaris R.Br. Terminalia catappa L. Adenanthera microsperma T. & B. Calophyllum inophyllum L. Tridax procumbens L. Ficus glumerata Roxb. Kleinhovia hospital L. Artocarpus kemando Miq.
Tanaman endemi
Famili Podocarpaceae Rubiaceae Bignoniaceae Apocynaceae Combretaceae Fabaceae Clusiaceae Asteraceae Moraceae Sterculiaceae Moraceae
perlu dilestarikan, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengembangan dan konservasi tanaman endemi, untuk
memenuhi kebutuhan
kayu masyarakat lokal dikembangkan tanaman produksi. Tanaman produksi yang banyak dikembangkan ditunjukkan dalam Tabel 13. Tabel 13. Tanaman produksi yang dikembangkan (wawancara, pengamatan, 2008) N0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Nama Daerah Akasia Sengon Sawo kecik Jati Cendana Petai Kelengkeng Kayu manis Sukun Sungkai Kepel Mahoni Tanjung Duwet Kelapa Gading Cemara laut Eboni
Nama latin Acacia auriculi formis A.Cunn.ex Benth Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Manilkara kauki Dub Tectona grandis L.f. Santalum album L Parkia speciosa Hassk Euphoria longana (Lour.) Steud Cinnamomum burmanii (Nees & Th.Nees) Artocarpus communis Forst Peronema canescens Jack Stelechocarpus burahol (BI.) Hook F.Th Swietenia mahagoni (L.) Jacq Mimusops elengi L. Syzygium cumini (L.)Skeels Cocos nucifera var.eburnea Casuarina equisetifolia L. Diosphyros celebica
Famili Fabaceae Mimosaceae Sapotaceae Dryopteridaceae Santalaceae Fabaceae Sapindaceae Lauraceae Moraceae Verbenaceae Annonaceae Meliacea Polypodiacea Myrtaceae Arecaceae Casuarinaceae Sapotaceae
61 Kondisi tersebut bisa dimanfaatkan sebagai variasi wisata alam seperti yang dilakukan di hutan Haliburton dan cadangan belantara di Ontario Canada. Kawasan hutannya merupakan private forest dengan luas 20.000 ha. Kawasan tersebut dikelola untuk kegiatan wisata memancing, camping, berburu, sepeda gunung, mobil salju, ekowisata dan wisata petualang dengan akomodasi dan fasilitas lain yang baik (logging camp). Wisatawan membayar minimum CDN $70/orang. Hutan tersebut menjadi tujuan utama wisata dan merupakan kawasan terpencil.Wisatawan melakukan perjalanan dengan jarak jauh untuk mendapatkan pengalaman pada kawasan terbuka yang ditawarkan. Lahan hutan milik Haliburton telah ditebang untuk menghasilkan pendapatan sejak dibeli pada tahun 1950, makin lama sumber kayu untuk dimasa yang akan datang makin berkurang. Namun demikian dengan pengelolaan yang terintegrasi kawasan hutan tersebut dikembangkan sebagai kawasan wisata dan
kawasan penghasil kayu sangat
berhasil. Sekitar 70% pendapatannya sekarang berasal aktivitas ekowisata dan wisata petualang. Tahun 2001 Haliburton mengembangkan wisata tahunan yang baru diantaranya lokasi melihat bintang (http://www.haliburtonforest.com/ dalam Eagle et al. 2002). 3. Kegiatan Pendukung Wisata Kegiatan pendukung wisata di Kawasan Wediombo mempunyai banyak variasi wisata. Beberapa kegiatan wisata telah dilakukan oleh wisatawan di Pantai Wediombo, dengan kegiatan antara lain, wind surfing, penelusuran goa, memancing tradisional, diving (belum dikelola) dan lain-lain yang diuraikan pada Tabel 13. Beberapa lokasi digunakan sebagai tempat pemancingan bagi para pengunjung yang datang khusus untuk memancing. Letak kawasan memancing di atas bukit yang cukup terjal dengan puncak datarannya sedang, sehingga pemancing akan mendapatkan pengalaman yang baik selama proses pemancingan. Jenis ikan cukup banyak ditemukan di kawasan ini antara lain ikan panjo, ikan kakap dan berbagai ikan besar lainnya. Di Kawasan Pantai Wediombo telah beberapa kali dilakukan kegiatan surving yang dilakukan oleh beberapa orang asing dengan jumlah 3 sampai 6 orang. Beberapa kelompok mahasiswa dan peneliti telah melakukan penjelajahan ke goa dan penyusuran sepanjang pantai, dan sifatnya masih belum terdokumentasi dan belum diinterpretasikan dalam
62 bentuk laporan, selain itu belum dikoordinasikan dengan masyarakat lokal maupun pengelola wisata. Tabel 14. Kegiatan Pendukung Wisata di Kawasan kars Wediombo No.
Jenis Kegiatan
Sasaran
Hasil Verifikasi
1.
Kegiatan memancing
Jenis memancing bersifat tradisionil, dengan menggunakan alat pancing galah dari tebing puncak ketinggian tebing dengan sasaran ikan Panjo, kakap, dan ikan besar lainnya
2
Kegiatan wind
Menikmati permainan surving dengan angin yang mendukung maupun teluk yang luas
Hari libur atau sabtu malam, beberapa rombongan yang berjumlah 5-7 orang khusus datang ke Wediombo untuk memancing di Pulau Glatik dan Tanjung Manjung dan penduduk lokal hampir setiap hari memancing pada kawasan sepanjang pantai Beberapa orang asing datang untuk menikmati permainan ini yang dipusatkan di Pantai Wediombo setiap bulan purnama Belum ada yang melakukan, karena belum dikelola dan SDM belum ada, potensi yang bisa dimanfaatkan Pantai Wediombo dan conical
surfing
2
Kegiatan climbing
3
Kegiatan menyusuri pantai
4
Budaya masyarakat lokal
5
Kegiatan penyelusuran sungai bawah tanah
6
Outbond (theme park)
7
Hiking dan trekking
Beberapa pegunungan yang berbentuk conical menuju ke Kawasan Wediombo berpotensi sebagai panjat tebing, dan di tebing Pantai Wediombo Beberapa kelompok mahasiswa telah melakukan wisata menyusuri pantai sepanjang Wediombo, hingga ke kawasan pantai lain untuk menikmati keindahan pasir putihnya dan panorama lama sepanjang pantai Melihat budaya ngalangi, nyadaran, wayang kulit dan lain-lain serta makanan khas seperti ampyang, satelit ketela, cemplon dan lain-lain. Beberapa kelompok mahasiswa dan pecinta sungai bawah tanah menyusuri sungai bawah tanah untuk mengetahui ujung dari hulu sungai. Menikmati keindahan alam pegunungan dan pohon khusus kars, yang cukup mendukung dimanfatkan. Menikmati panorama alam pegunungan dan pantai maupun ladang penduduk, habitat kera, kijang, burung, kura-kura, dan lain-lain disamping tumbuhan endemi.
Pada musim liburan sekolah kegiatan ini sering dilakukan
Masyarakat sudah melakukan ritual ngalangi setiap hasil panen, beberapa masayarakat datang untuk melihat acara tersebut. Pernah dilakukan di sendang puring, penelusuran sampai ke ujung kars dan tidak dapat dimasuki lagi. Sendang ini sebagai sumber air bagi penduduk pada musim kering Belum dikelola dan di manfaatkan
Belum dikelola dan di manfaatkan
63 Keindahan pemandangan di dasar laut pantai Wediombo belum dimanfaatkan dan dikelola, sehingga masih belum ada kegiatan kearah tersebut, hanya di sebelah barat kawasan diluar daerah penelitian telah dikembangkan kegiatan panjat tebing yang bertaraf internasional, dibentuk oleh perkumpulan mahasiswa dan pecinta panjat tebing yang berasal dari Indonesia dan dari luar negeri. Dari hasil pemetaan dan pengamatan secara langsung, maka diproleh pemetaan posisi kawasan yang dapat dijadikan potensi sebagai kawasan pendukung pengembangan wisata, maupun pergerakan atau tempat tinggalnya beberapa hewan (kera ekor panjang, kijang, penyu hijau), yang ditampilkan pada Gambar 13. 4. Infrastruktur Kawasan Pembangunan yang dilakukan di kawasan ini hampir dapat dipastikan belum optimal. Dalam RIPPDA pemerintah daerah dan instansi terkait kawasan, Kawasan Wediombo dan sekitarnya akan dikembangkan sebagai kawasan konservasi dan pariwisata. Sarana jalan menuju kawasan walaupun bergunung dan jauh dari pusat pemerintahan sudah cukup baik, tetapi penambahan sarana dan prasarana khususnya untuk mendorong sektor pariwisata belum dilakukan. Penginapan atau hotel disekitar kawasan pada radius 10 km belum ditemukan, hanya di sekitar Pantai Baron dengan jarak kurang lebih 20 km ke arah barat dari Kawasan Wediombo ditemukan penginapan yang cukup baik. Penginapan lain yang sifatnya hotel (kelas melati) dapat ditemukan di kabupaten Gunungkidul. Kawasan pantai Wediombo merupakan kawasan pantai yang dikelilingi oleh hutan garapan dan beberapa ladang penduduk, jarak dari permukiman 4.5 km. Untuk menuju ke beberapa Goa harus melewati beberapa ladang maupun bukit kars dengan melalui jalan setapak. Disekitar Goa Banyusumurup dan Goa Bentis ditemukan rumah ladang penduduk, jika diperlukan dapat digunakan sebagai tempat menginap dan juga tempat melepaskan lelah bagi pengunjung yang akan memancing dan melihat kawanan habitat kera ekor panjang. Ke-arah selatan ditemukan Pantai Jungwok dan pulutan yang berbatasan langsung dengan laut lepas dan ditemukan goa pertapaan. Disekitar pantai Wediombo terdapat tiga
64 warung yang dapat memberikan jasa memasak ikan laut hasil membeli penjaja ikan di Pantai Wediombo. Bangunan untuk berkumpulnya petugas jaga pantai dibangun disekitar pintu masuk kawasan pantai Wediombo dan menuju ke- arah kawasan utara pantai dijadikan tempat pendaratan nelayan. Kondisi sarana transportasi angkutan darat yang dapat melayani ke lokasi Kawasan Wediombo sangat minim. Minibus merupakan transportasi yang digunakan dari ibukota kabupaten Gunungkidul menuju ke arah kawasan yang paling dekat dengan kawasan wisata, terdapat di persimpangan menuju pantai Wediombo. Dari persimpangan untuk menuju kelokasi pantai Wediombo belum ada angkutan khusus dan masih menggunakan ojek sepeda motor. Oleh sebab itu hampir semua pengunjung menggunakan sepeda motor, kendaraan pribadi atau bus rombongan. Sarana listrik belum menjangkau sampai sekitar pantai dan sarana air bersih belum tersedia, karena masih berupa tadah hujan dan membeli atau mengambil dari kolam penampungan air sungai bawah tanah. Sarana lain berupa informasi belum ada dan terkoordinasi, hanya fungsi pengawasan perusakan lingkungan yang berjalan. Sarana untuk ibadah dan sarana lain yang sifatnya rekreasi pantai belum tersedia. Fasilitas kebersihan untuk tempat penampungan sampah yang terdapat disekitar warung pantai Wediombo, dilakukan dengan cara membuat lubang galian disekitar lokasi. Sedangkan sampah disekitar pantai belum tersedia tempat penampungan sampah, sehingga sampah pengunjung banyak berserakan di pinggiran pantai, yang berdampak mengurangi kenyamanan maupun tingkat kebersihan di sepanjang pantai. Fasilitas dan pelayanan perbelanjaan (makanan dan minuman) tersedia di lokasi penelitian dengan tingkat kenyamanan yang sangat minim. Warung makanan dan minuman yang berada di lokasi pantai Wediombo sebanyak tiga unit, selain hal tersebut tidak ada sarana lain yang berupa oleh-oleh maupun kerajinan tangan (souvenir). Pasar yang menjadi pusat perbelanjaan masyarakat lokal hanya ada seminggu dalam satu kali dan terletak di desa Jepitu, berjarak 4.5 km dari kawasan pantai Wediombo. Masyarakat disekitar Kawasan Wediombo banyak berladang di sekitar pantai dan sepanjang sela-sela pegunungan kars dan di kiri-kanan jalan menuju
65 kawasan pantai Wediombo. Hasil panen yang diperoleh hanya satu kali dalam satu tahun dan jatuh pada waktu musim penghujan. Fasilitas dan pelayanan pos dan telekomunikasi belum tersedia di Kawasan Wediombo, tetapi bagi wisatawan yang berkunjung kekawasan ini dapat menggunakan telpon seluler tertentu. Adanya jaringan telpon seluler tersebut merupakan salah satu faktor pendukung pengembangan Kawasan Wediombo. Untuk pelayanan pos hanya tersedia di kecamatan dan berjarak +15 km dari lokasi Kawasan Wediombo. Pada umumnya masyarakat yang berkunjung ke Kawasan Wediombo hanya mengenal wisata pantai dan mendapatkan informasi dari teman, hanya beberapa wisatawan yang mendapatkan informasi dari petunjuk jalan (rambu-rambu),
maupun
informasi
dari
Dinas
Pariwisata
Kabupaten
Gunungkidul. Fasilitas jalan untuk menuju ke lokasi Kawasan Wediombo cukup halus dan ber- kelok-kelok dengan jenis topografi jalan yang menaik dan menurun secara curam. Jarak dari ibukota propinsi kurang lebih 77 km dan ditempuh dalam waktu 2,5 jam, sedangkan dari ibukota kabupaten kurang lebih 35 km dengan jarak tempuh 1 jam. Sepanjang perjalan menuju Kawasan Wediombo, terdapat pemandangan yang cukup indah dengan di sebelah kiri dan kanan terdapat hutan dan pegunungan kars. Potensi pergerakan wisatawan untuk menikmati kantong-kantong potensi wisata disajikan pada Gambar 14. Gambaran pergerakan wisatawan berdasarkan dari hasil identifikasi potensi kawasan wisata di wilayah Wediombo secara biofisik dan sosial-budaya masyarakat lokal. Dari jalur utama wisatawan mempunyai kesempatan untuk melihat pusat budaya
yang meliputi dusun
Senggani, Manukan dan Dusun Karanglor. Kemudian langsung menuju ke Pantai Wediombo dengan jarak kurang lebih 4,5 km dari jalur jalan kabupaten. Selama perjalanan wisatawan dapat menikmati keindahan pegunungan kars, hutan jati maupun campuran dan sendang puring yang berjarak 2,5 km dari jalan kabupaten merupakan tempat aktifitas penduduk lokal untuk mengambil air dan kebutuhan lainnya (bila musim kemarau). Pantai Wediombo (Zone A) merupakan kawasan tujuan utama wisatawan untuk saat ini dan merupakan satu-satunya kawasan yang menyediakan fasilitas tempat makan, toilet dan fasilitas lain yang sederhana.
66 Kesempatan pergerakan wisatawan dapat dimulai dari Pantai Wediombo menuju ke kawasan goa dan pantai (Zone B), ke kawasan Goa Lowo (Zone C), kawasan Hutan Alam (zone D), sepanjang jalur menuju pantai Wediombo (Zone F), untuk melihat pusat budaya bisa langsung ketika datang ke Kawasan Wediombo atau dalam akhir kunjungan. 5. Elemen Institusi Elemen sektor pariwisata dikelola oleh Dinas Pariwisata Gunungkidul tetapi hanya sebatas penarikan restribusi untuk masuk ke Pantai Wediombo. Dinas perhubungan menangani kegiatan perparkiran maupun pengelolaan jalan menuju ke Pantai Wediombo. Penarikan restribusipun hanya dilakukan pada musim libur maupun tahun baru, diluar hari tersebut tidak ada penarikan restribusi, karena tidak ada wisatawan yang berkunjung. Potensi wisata kawasan lain belum ditangani secara baik oleh institusi yang terkait, sehingga fungsi elemen Dinas Pariwisata untuk pengembangan Kawasan Wediombo masih sangat minim. Masyarakat lokal ikut terlibat dalam perparkiran, dan menjaga kelestarian alam. Fungsi pengawasan sudah cukup baik, tetapi peran lebih yang diharapkan dari masyarakat lokal untuk menunjang pengembangan ekowisata praktis belum ada dan masih bersifat hanya fungsi pengawasan kelestarian alam. Beberapa perkumpulan telah dibentuk oleh masyarakat lokal sampai dibentuk masyarakat permasi (persatuan masyarakat konservasi) guna menjaga kelestarian alamnya. Dari
hasil
wawancara
dengan
kepala
bagian
Dinas
Pariwisata
Gunungkidul, biaya untuk membangun sarana dan prasarana Kawasan Wediombo telah disosialisasikan oleh pemerintah provinsi kepada para investor. Dari hasil penawaran tersebut beberapa investor tertarik untuk menanamkan modalnya jika pemerintah provinsi telah menjamin kelangsungan berusaha dan menerapkan aturan yang jelas. Konsep yang akan dikembangkan adalah kawasan konservasi dan kawasan strategis, sesuai dengan konsep ekowisata dimana pengendalian penataan kawasan diatur oleh pemerintah provinsi.
67
Gambar 12. Potensi Penyebaran Kawasan Wisata Wediombo 67
68
Gambar 13. Potensi Pergerakan Wisatawan di Kawasan Wediombo
68
69 Pengelolaan pariwisata bersifat pengelolaan terpadu yang melibatkan beberapa institusi kelembagaan
yang meliputi
Dinas perhubungan, Dinas
pariwisata, Pekerjaan umum (PU), Pengendalian lingkungan, Kelautan, Pertanian, Kehutanan dan Pendidikan. Sosialisasi mengenai pengelolaan kawasan wisata ini telah dilakukan oleh pemerintah provinsi dan mendapat dukungan dari semua unsur yang terlibat. Masyarakat lokal termasuk terlibat dalam kegiatan pengembangan ekowisata. Pengelolaan terpadu tersebut dipadukan dengan lingkaran optimalisasi wisata (Weaver, 2001) pada Gambar 14. Pemasaran kawasan wisata, dilakukan oleh Dinas Pariwisata Gunungkidul yang didukung oleh pemerintah provinsi, mencoba melakukan langkah bekerjasama dengan melibatkan semua stakeholder dan masyarakat lokal untuk mempromosikan kawasan kars. Ekowisata Kesempatan efektif untuk menghargai dan belajar tentang alam
Dinas P& K Dinas PU
Keberlanjutan lingkungan dan sosiobudaya KELEMBAGAAN
Dinas lingkungan
Dinas Pertanian Dinas Perhubungan
Dinas Pariwisata
Dinas kehutanan Dinas Kelautan & Perikanan
Keberlanjutan Operasional
Keterpaduan Pengelolaan Investor
Pemda Provinsi
Kepuasan wisatawan dan masyarakat Gambar 14. Lingkaran Optimalisasi Ekowisata dan Kelembagaan (Pengembangan Weaver, 2001). Beberapa kelompok yang dilibatkan antara lain: Biro perjalanan, come tours (kunjungan wisata yang melibatkan jurnalis), Asosiasi Wisata Indonesia, Masyarakat Pariwisata Indonesia, ASITA, masyarakat lokal (Pokdarwis) dan lain-
70 lain sesuai dengan konsep sistem
business ekowisata (Weaver, 2001) pada
Gambar 15.
Private sektor
Masyarakat lokal
Public sektor
LSM
Gambar 15. Stakeholder yang berperan dalam bisnis ekowisata (Weaver, 2001). Institusi Perguruan tinggi bekerjasama dengan penduduk lokal dan pemerintah daerah berupaya melakukan pelestarian alam dengan cara melakukan penanaman pohon-pohon yang berproduksi, sedangkan pohon yang sudah mulai langka diusahakan untuk dilestarikan dengan cara memberikan pengertian kepada masyakat dengan melibatkan unsur kearifan alam. Kegiatan lain dilakukan kunjungan ke goa-goa, tetapi sifatnya hanya pengamatan dan tanpa dianalisis maupun diidentifikasi sebagai potensi wisata, sehingga sifatnya masih berupa kunjungan ke lokasi. B. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Wediombo Kawasan Wisata Wediombo paling banyak masuk dalam kawasan Desa Jepitu sebesar 1.625 ha yang berada pada ketinggian 300 m dari permukaan laut. Perincian status tanah diuraikan pada Tabel 15. Dari data tersebut maka kawasan yang paling banyak adalah berupa tegalan atau kebun, baru disusul untuk pekarangan atau bangunan, pertokoan, perkantoran dan pasar desa. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kawasan Wediombo berprofesi sebagai petani (banyak tegalan dan kebun).
71 Tabel 15. Status Kawasan di Desa Jepitu (catatan Desa, 2008) Status Tanah
Jumlah bidang
Luas (hektar)
Persen (%)
Tanah Milik
239
19,68
0,98
Tanah Hak Pakai
239
19,68
0,98
Tanah bersertifikat
412
660,60
33,00
Kawasan Pertokoan
0,43
0,02
Kawasan Perkantoran
0,20
0,01
0,213
0,04
0,70
0,03
57,336
2,86
1.242,957
62,09
Pasar Desa Tanah Wakaf Pekarangan/bangunan Tegalan/kebun
Profesi penduduk Kawasan Wediombo khususnya Desa Jepitu disajikan pada Tabel 16. Dari tabel diketahui bahwa penduduk yang beternak kambing sebesar 42.9%, diikuti peternak sapi 26,4%, buruh tani
7,5%, petani pemilik
19,9% dan berturut-turut adalah petani penggarap 3,5%, petani penyekap 0,09%, nelayan 0,5% dan sisanya 0,3% pegawai negeri sipil atau guru. Petani yang ada di Kawasan Wediombo bersifat tadah hujan, sehingga jumlah panen dalam satu tahun hanya sekali pada waktu musim hujan. Karena sifat tanah kawasan kars dan kondisi air terbatas, maka hasil panen yang diperoleh hanya cukup sebagai cadangan persedian pangan bagi petani dalam jangka satu tahun, sehingga dinilai secara ekonomi sangat kecil. Pola pertanian maupun perladangan yang digunakan adalah secara tumpang sari. Tabel 16. Kondisi Profesi Masyarakat Jepitu (catatan Desa dan wawancara, 2008) Status
Jumlah (orang)
persen (%)
Petani Pemilik
961
19,90
Petani Penggarap
190
3,50
Petani Penyekap
50
0,09
403
7,50
Nelayan
30
0,50
Pegawai Negeri Sipil/Guru
17
0,30
Peternak Kambing
2.300
42,90
Peternak Sapi
1.415
26,40
Buruh Tani
72 Hampir semua masyarakat desa nglaban dan jepitu mempunyai ternak (sapi atau kambing) dan akan dijual pada saat masyarakat membutuhkan biaya antara lain,untuk hajatan, biaya sekolah dan lain-lain. Komoditas utama adalah padi, jagung, kacang hijau, kacang panjang dan ketela yang ditanam hanya satu kali dalam satu tahun karena sifat pertaniannya tadah hujan. Karakteristik Masyarakat yang menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari 45 laki-laki (76,5%) dan 15 perempuan (23,5%). Tingkat pendidikan responden adalah sebagai berikut: SD (58,3%), SLTP (23,3%), SLTA (16,7%) dan Perguruan Tinggi/S1 (1,7%). Sedangkan uraian tentang karakteristik masyarakat yang menjadi responden disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Karakteristik Masyarakat Lokal (Kuesioner, 2008). No. 1
Parameter jenis kelamin
2
umur
3
pendidikan
4
bahasa yang dikuasai
Kriteria laki-laki perempuan total 17-35 tahun 36-50 tahun 50-keatas total SD SMP SMA PT/sarjana total daerah Indonesia lain-lain total
Jumlah
%
45 15 60 35 18 7
76.,5 23,5
60 35 14 10 1 60 35 25 0 60
58.3 30,0 11,7 58,3 23,3 16,7 1,7 58,3 41,7
Masyarakat yang menjadi sampel (responden) pada umumnya mempunyai pemahaman yang cukup untuk mengetahui isi dari pertanyaan, sehingga dapat melakukan komunikasi secara mudah dan terarah sesuai tujuan. Pemahaman pentingnya mengetahui,
mengenai arti kawasan lindung sebagian besar masyarakat telah tetapi
dikarenakan
untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari
masyarakat Wediombo tergantung dari penjualan kayu, maka penebangan pohon masih berlangsung. Meskipun sebagian besar responden memiliki mata pencaharian dari sektor pertanian, namun dari hasil kuesioner mereka mempunyai
73 keinginan untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata Kawasan Wediombo. Sebagian besar masyarakat sekitar lokasi penelitian mendukung jika Kawasan Wediombo dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis kepada sumberdaya alam (ekowisata). Dengan alasan dapat meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana di lokasi wisata, dan penduduk ingin dilibatkan dalam kegiatan wisata di kawasan kars Wediombo sesuai dengan konsep ekowisata. Masyarakat sekitar kawasan yang menjadi responden adalah masyarakat asli Gunungkidul dan beberapa pendatang sekitar kabupaten Wonogiri yang sudah menetap cukup lama di Kawasan Wediombo. Pertanian mereka bersifat sangat tradisional dengan menggunakan sapi sebagai alat untuk menajak. Beberapa penduduk Wediombo mempunyai pencaharian menebang pohon dari hutan yang dikelola oleh masyarakat. Beberapa lahan yang berada di Kawasan Wediombo kemungkinan dapat
dikembangkan
pengembangan
sebagai
kawasan
agrowisata
antara
lain
adalah
ternak dan pertanian tadah hujan secara terbatas. Dari hasil
kuesioner dapat diketahui besarnya nilai pendapatan masyarakat dan ditabelkan
Pendapatan (Rp)/Bulan
pada Gambar 16.
20,8%
> 250.000
47,9% 150.000250.000 31,2%
< 150.000 0,0%
10,0%
20,0%
30,0%
40,0%
50,0%
Persentase (%) Gambar 16. Pendapatan Masyarakat Lokal per bulan
74 Pendapatan lebih besar dari 250.000 rupiah (20,8%), antara 150.000 rupiah sampai 250.000 rupiah (47,9%) dan yang kurang dari 150.000 rupiah (31,2%). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa, sebagian penduduknya mempunyai penghasilan di bawah satu juta rupiah per bulan, ini dikarenakan mereka mengandalkan hasil pertanian dan buruh pertanian yang mempunyai produktifitas rendah. Jumlah penduduk di Kawasan Wediombo paling banyak penduduknya perempuan dan mempunyai usia produktif. Tingkat pendidikan yang ditempuh sebagian besar sampai Sekolah Dasar (SD).
C. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Wediombo Beberapa budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Wediombo antara lain adalah seni tradisional, ritual maupun jenis makanan khas penduduk. Kondisi ini ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18.
Jenis Budaya Tradisional Kawasan Wediombo (catatan Desa dan Wawancara, 2008)
Budaya Ritual
Uraian suran, selikuran(hari ke-21 bulan romadhon), memule/sedekah lilo (tabur benih, nikahan, bangun rumah, memasukkan padi), kirim ndowo, gumbregan, terbangan, gawar kentheng, nyadran, ngalangi, resan, asum dahar
Makanan khas
ampyang, timel, puli, gathot, krecek, cemplon, onde-onde jadah (gemblong,woran), gethuk, wajik, srimping, , apem, satlit ketela
Seni Tradisional
Wayang kulit, karawitan, reog, ketoprak, jatilan
Budaya ritual masih sangat kuat dan dijalankan setiap tahun. Kegiatan tersebut selalu dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat Wediombo. Makanan khas yang dihasilkan sebagian besar perpaduan antara gula jawa, ketan dan tepung tapioka. Beberapa seni tradisional masih dilakukan setiap tahun pada acara peringatan maupun upacara keagamaan. Kawasan selatan Desa menuju ke Pantai Wediombo, ada suatu tempat yang menjadi kepercayaan masyarakat bahwa kawasan tersebut tempat peristirahatan
gusti wora-wari tokoh dari kerajaan
75 mataram, sehingga setiap tahun di adakan nyadran dengan cara melakukan ritual kirim berkah dengan berjalan kaki ke kawasan tersebut yang berjarak 5 km dari desa terdekat Kawasan Wediombo. Beberapa acara ritual antara lain adalah ngalangi terdapat pada Gambar 17.
Sesaji yang akan dilabuh
Masyarakat Makan Bersama
Pengiring
Atraksi Tari di Pinggir Pantai
Gambar 17. Beberapa Rangkaian Upacara Ngalangi
1. Persepsi Masyarakat Lokal Untuk mendapatkan gambaran dari masyarakat lokal mengenai kondisi sosial-budaya masyarakat, maka dilakukan penyebaran kuesioner untuk mengetahui persepsi masyarakat jika akan dilakukan pengembangan ekowisata. Persepsi ini dapat diketahui dari pemahaman maupun pandangan mereka antara lain adalah: Kawasan Wediombo sebagai kawasan wisata dan konservasi, pengetahuan mengenai tujuan wisatawan berkunjung, persetujuan terhadap pengembangan ekowisata, keinginan untuk terlibat langsung dalam memajukan wisata maupun pengelolaannya dan ikut berpartisipasi aktif dimasa yang akan
76 datang. Persepsi dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan pengembangan ekowisata kawasan kars Wediombo disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Persepsi Masyarakat Lokal di Kawasan Kars Wediombo No. 1
2
3
4
Parameter Pengetahuan masyarakat lokal mengenai kawasan Wediombo dan sekitarnya merupakan kawasan konservasi pengetahuan masayarakat mengenai kawasan konservasi perlu dilestarikan
Persetujuan masayarakat jika Kawasan Wediombo dijadikan tempat wisata
harapan masyarakat jika Wediombo dan sekitarnya sebagai ekowisata
kriteria
Sampel
%
ya
56
93,3
tidak
3
5,0
tidak tahu
1
1,7
ya
56
93,3 5,0
tidak
3
tidak tahu
1
1,7
ya
60
100
tidak
0
tidak tahu terlibat menjaga kelestarian alam
0 18
33,3
menjual jasa
10
17,8
mengembangkan souvenir
6
8,9
jualan
5
6,7
menjual budaya ikut memperindah pantai/goa/hutan dll menjual tanaman polowijo wisata kebun
5
6,7
11
20,0
5
6,7
60
100,0
46
76,7
tidak tahu
5
Persetujuan masyarakat jika kawasan dikelola dengan baik dan masyarakat lokal ikut berperan
setuju tidak setuju tidak tahu
7
Tingkat partisipasi masyarakat untuk lebih aktif jika dikembangkan ekowisata dan konservasi Tingkat kejadian bencana alam di Kawasan Wediombo
8
Banyaknya tingkat kejahatan yang pernah terjadi
6
9
10
Tingkat konflik yang pernah terjadi
manfaat yang di dapat jika Kawasan Wediombo dikembangkan sebagai kawasan ekowisata
ya kemungkinan ya
14
23,3
pernah tsunami mei 2006
27
45,0
tidak pernah pernah pencurian pasir dan satwa
33
55,0
27
45,0
33
55,0
tidak pernah pernah kel.konservasi dan masyarakat
20
33,3
kadang-kadang
8
13,3
tidak pernah meningkatkan pendapatan masyarakat
32
53,3
25
41,7
hutan,pantai, goa lestari
10
16,7
membuka lapangan kerja baru
25
41,7
Sebagian besar masyarakat yang menjadi responden memiliki pemahaman yang cukup baik tentang konservasi karena peran dari kelompok Persatuan Masyarakat Konservasi (Permasi) yang ada di Wediombo, yang terus menerus
77 melakukan penyuluhan bagi masyarakat sekitar Kawasan Wediombo untuk menyadarkan masyarakat pentingnya menjaga kondisi lingkungan, menjaga keindahan alam dan manfaat untuk kehidupan. Hampir sebagaian besar masyarakat mengetahui bahwa Kawasan Wediombo sebagai kawasan konservasi (93,3 %), tidak tahu (5 %) dan tidak bisa menjawab (1,7 %). Masyarakat yang tidak tahu dan tidak bisa menjawab rata-rata berusia lanjut (di atas 55 tahun). Semua masyarakat yang ada di sekitar Kawasan Wediombo setuju (100 %) dan mendukung apabila Kawasan Wediombo dikembangkan sebagai obyek wisata. Dengan melihat kondisi tersebut merupakan modal dasar bagi pengembangan obyek wisata dimasa yang akan datang karena adanya dukungan dan persetujuan dari masyarakat setempat. Namun masyarakat secara bulat setuju dan mendukung. Belum semua masyarakat Wediombo memahami tentang kegiatan wisata yang berbasis kelestarian alam sesuai dengan konsep ekowisata. Sebagian beranggapan bahwa pengembangan ekowisata yang dimaksud, seperti wisata pada umumnya yang akan banyak mendatangkan banyak wisatawan untuk sekali berkunjung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya Kawasan Wediombo cukup baik, meskipun untuk pemahaman ekowisata belum diketahui dengan baik. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai tujuan konsep ekowisata dan pengembangannya, agar mereka tidak salah persepsi. Harapan mereka adalah hanya untuk dapat meningkatkan pendapatan mereka jika wisata di daerahnya dikembangkan. Pengetahuan masyarakat terhadap peran yang akan dilakukan untuk ikut berpartisipasi aktif jika dikembangkan wisata dan konservasi (76,7 %) ingin aktif berperan dan yang menjawab kemungkinan ikut berperan (23,3 %). Sedangkan pengetahuan mengenai manfaat yang akan di dapat terutama meningkatkan pendapatan masyarakat (41,7 %), dapat melestarikan hutan, goa dan pantai (16,7 %) dan yang berpendapat dapat membuka lapangan kerja baru (41,7 %). Ini menunjukkan adanya dukungan yang baik masyarakat lokal untuk ikut terlibat dan mendukung kelestarian alam (konservasi), jika pendapatan mereka sudah terpenuhi dari sektor pengembangan ekowisata.
78 Harapan masyarakat lokal yang diinginkan adalah membuat penginapan, menambah infrastruktur lain yang mendukung pengembangan wisata, kondisi pantai diperindah antara lain dengan cara disediakan penampungan sampah disepanjang pantai dan penataan pantai, disediakan listrik maupun tower operator dan mengharapkan pengembangan wisata kebun, peningkatan sumberdaya manusia dan tetap menjaga kelestarian alam. 2. Partisipasi Masyarakat Tingkat partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata di kawasan kars Wediombo dapat dilihat dari pengetahuan mengenai kawasan kars Wediombo yang mempunyai beberapa tempat yang berpotensi dijadikan tempat wisata. Masyarakat yang mengetahui kawasan yang menarik adalah masyarakat yang membuka ladang di sekitar hutan kars dan juga beberapa perambah hutan, pencari kayu di hutan dan beberapa pemburu. Oleh sebab itu masyarakat akan dengan mudah untuk menunjukkan tempat-tempat yang menarik untuk dilihat. Beberapa goa yang ditemukan sampai saat ini banyak masyarakat lokal yang mengetahui keberadaan goa bahkan untuk memasuki goa, tetapi masyarakat kelompok Persatuan masyarakat konservasi (Permasi) sudah melakukan penelusuran ke goa sinhole, hutan alam dan pegunungan kars dengan mendidik dan melibatkan masyarakat lokal. Kuesioner mengenai partisipasi masyarakat ditunjukkan pada Tabel 20. Kondisi masyarakat yang memahami pentingnya potensi lokasi kawasan yang menarik untuk dikunjungi wisatawan, merupakan modal utama untuk perencanaan dan pengembangan ekowisata dimasa yang akan datang. Jenis-jenis usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat disekitar Kawasan Wediombo antara lain adalah, usaha warung makan dan minuman yang lebih bervariasi dan juga usaha jasa yang berupa atraksi wisata pantai, penyelusuran goa, panjat pegunungan, theme park, outbond, agrowisata dan lain-lain yang belum ada di kawasan ini.
79
Tabel 20. Partisipasi Masyarakat Lokal di Sekitar Kawasan Kars Wediombo No. 1
Parameter
Kriteria
3
Apakah mengetahui secara detail tempat-tempat di Kawasan Wediombo Memiliki pekerjaan selain di kawasan Wediombo Lamanya menekuni pekerjaan lain
4
Lamanya bekerja
5
Jadwal pekerjaan
6
Letak lokasi usaha
7
Pendapatan perbulan
2
Jumlah
%
14 46 49 11 5 8 9 38 41 19 40 20 3 7 4 26 19 27 14
23,3 76,7 81,7 18,3 8,3 13,3 15,0 63,3 68,3 31,7 66,7 33,3 6,3 14,6 8,3 54,2 39,6 45,0 23,3
ya beberapa saja ya tidak 1 tahun 2 tahun 3 tahun lebih 3 tahun setengah hari sehari penuh setiap hari tidak tentu di area batas desa di pintu masuk wisata disekitar pemukiman sekitar pantai <150.000 150.000-250.000 >250.000
3. Saran dan Harapan Masyarakat Saran-saran
yang
disampaikan
masyarakat
untuk
menunjang
pengembangan kawasan kars Wediombo adalah, perlu membuat jaringan listrik hingga sampai di pinggir pantai Wediombo yang berjarak 4,5 km dari batas desa, dibangun penginapan di sekitar kawasan wisata pantai, kawasan pantai diperindah agar lebih menarik dan perlu pengembangan potensi kantong wisata lain, sumber daya manusia ditingkatkan terutama sebagai jasa untuk menjelaskan kawasan mana yang layak untuk dikunjungi, juga wisata kebun maupun yang lain. Masyarakat juga menginginkan untuk dapat terlibat aktif untuk mengembangkan kawasan kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata.
80 4.1.2. Aspek Legal Landasan hukum penyusunan rencana induk pengembangan pariwisata di kawasan Gunungkidul antara lain adalah: Undang-undang No.9 tahun 1985 tentang perikanan, Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang No.9 tahun 1990 tentang kepariwisataan. Undang-undang No.9 tahun 1985 tentang perikanan, karena perairan dan zona ekonomi eksklusif Indonesia mengandung sumberdaya ikan yang sangat potensial dan penting arti, peranan, dan manfaatnya sebagai modal dasar pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pengelolaan sumberdaya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan dan petani. Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang konservasi tentang sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedududkan serta peranan penting, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik sekarang maupun dimasa datang (sustainable). Untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati terpelihara maka perlu langkah konservasi. Undang-undang No.9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, bahwa keadaan alam, flora dan fauna, serta seni dan budaya yang dimilki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Kepariwisataan mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam rangka pengembangan dan meningkatkan kepariwisataan perlu keterpaduan dalam kegiatan penyelenggarakan kepariwisataan, serta memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta objek dan daya tarik wisata.
81 Penyusunan pengembangan ekowisata Kawasan Kars Wediombo juga memakai acuan pelaksanaan yang meliputi: •
Keputusan Presiden No.16 tahun 1994 jo.24 tahun 1995 jo. 18 tahun 2000.
•
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional II 1997-2012.
•
Peraturan Daerah No. 4 tahun 1999 tentang Pengembangan Pariwisata DIY.
•
Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
•
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Propinsi DIY 1999-2018
•
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gunungkidul Disamping acuan pelaksanaan tersebut, terdapat acuan lain dalam
pengembangan pariwisata Kabupaten Gunungkidul yang menggunakan dasar visi dan misi pengembangan pariwisata Propinsi DIY yang tercantum dalam RIPPDA Propinsi DIY. Arah pengembangan kepariwisataan DIY mencakup 3 hal yaitu: 1). Arah pengembangan sosial Pengembangan sosial diarahkan kepada upaya perbaikan kondisi sosial dan pemenuhan sosial masyarakat. Perbaikan kondisi sosial diorientasikan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masayarakat, penyediaan fasilitas sosial yang didasarkan pada kondisi kependudukan kawasan. 2). Arah pengembangan ekonomi Pengembangan ekonomi diarahkan kepada peningkatan pendapatan daerah dan pendapatan per kapita dengan cepat, sesuai dengan tujuan kebijaksanaan pembangunan yang ditujukan pada peningkatan produktivitas, efisiensi dan sumberdaya manusia yang berkualitas dan meningkatkan pertumbuhan yang produktif. 3). Arah pengembangan fisik Pengembangan fisik meliputi pengembangab pemanfaatan lahan, pengembangan
sumber
air,
dan
pengembangan
kawasan
wisata.
Pengembangan pemanfaatan lahan didasarkan pada lahan-lahan yang mempunyai kelas kemampuan lahan tinggi, yaitu lahan kelas I hingga kelas III. Lahan kelas I dimanfaatkan sebagai pertanian lahan basah, sedangkan lahan kelas II dan III yang sekarang sebagai lahan kering dikembangkan menjadi lahan basah (tergantung kondisi kawasan).
82 Pengembangan sumber air dilakukan secara bertahap. Prioritas pertama adalah pemenuhan kebutuhan penduduk dan tahap selanjutnya untuk industri, pertanian dan kegiatan lain jika memungkinkan. Arah pengembangan kawasan wisata alam pantai dilakukan dengan meminimalkan perubahan kawasan lindung kars di belakangnya (hinterland), dan dilakukan peningkatan produktivitas hasil tangkapan nelayan dan cara pemasarannya. Pengembangan kawasan kars untuk wisata meliputi bukit kars, goa, sungai bawah tanah, dengan menitikberatkan kepada pariwisata alam dan ilmu pengetahuan. Untuk bahan galian dilakukan secara selektif karena kawasan kars merupakan kawasan lindung. Berdasarkan zone pengembangan yang telah ditetapkan, Kawasan Wediombo termasuk zone selatan (Gunung Sewu), yang akan dikembangkan sebagai kawasan wisata dan konservasi. Konsep tata ruang Kabupaten Gunungkidul dipakai untuk mengembangkan fungsi kawasan sebagai aset sumber daya wisata yang dikembangkan di masa yang akan datang. Kegiatan pengembangan pariwisata di Gunungkidul perlu diselaraskan dengan struktur tata ruang yang ada.
Jenis
kawasan lindung dan budidaya yang telah ditetapkan menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Gunungkidul yaitu: pertama, kawasan lindung terdiri dari suaka alam ekosistem kars, kawasan lindung sekitar mata air, kawasan lindung goa kars, kawasan lindung sepadan pantai dan kawasan rawan bencana tanah longsor; ke dua, kawasan budidaya berupa permukiman, pertanian lahan kering dan hutan. Dengan mengacu fungsi kawasan tersebut, maka dapat diarahkan zonasi ruang pengembangan ekowisata, terutama pada kawasan lindung. Salah satu contoh pengelolaan kawasan kars yang berhasil adalah gambaran mengenai pengelolaan dan konservasi di kawasan kars di Tumbling Creek Cave di Toney county Missouri yang dikenal sebagai kawasan penelitian dan pendidikan goa, yang dinamakan Ozark Underground Laboratory (konsultan mencari air di goa dan kawasan kars di Missouri). Spesies yang termasuk Endengered di kawasan Tumbling Creek Cave yaitu kelelawar abu-abu (Myotis grisescens) dan kelelawar Indiana (Myotis sodalist) yang mengalami penurunan. Maka Departemen konservasi di Missouri mengatur sistem pertanian di sekitar Tumbling Creek Cave dengan pertanian ringan pada kawasan yang telah
83 ditentukan dan menanam pohon yang mudah tumbuh di kawasan kars. Selain itu dilakukan pemantauan populasi kelelawar dan tercatat pada tahun 1964 jumlah kelelawar kurang lebih 60.000 dan terus mengalami penurunan dibawah 10.000 tahun 2001, selanjutnya tahun 2004 mengalami kenaikan populasi kelelawar menjadi 34.000 dan tahun 2005 mendekati 40.000, artinya sejak tahun 2004 mengalami kenaikan 7000-10.000 kelelawar/tahun. Beberapa pengelolaan dilakukan di kawasan tersebut antara lain, mengestimasi guano (kandungan nutrisi) dan temperature goa, melindungi goa, membangun system saluran air bawah tanah dan mengatur penggunaan lahan kars. Keberhasilan mempertahankan kondisi ekologi atas dukungan dari Departemen konservasi Missouri yang bekerjasama dengan Ozark Underground Laboratory, beberapa institusi dan perguruan tinggi dan dukungan masyarakat. Selain itu memberikan sosialisi terhadap guru dan konservasionis pentingnya menjaga kawasan kars dan habitatnya dengan menyediakan buku, video, poster, model kelelawar, dan model tiga dimensi air sungai bawah tanah kawasan kars. Semua itu menggambarkan bagaimana hubungan antara sistem goa dengan permukaan dapat terjadi (Alley dan Elliot, 2005). Metode yang dilakukan di kawasan kars Trumbling creek cave tersebut akan memberikan pelajaran bagaimana aturan dan sistem dapat dijalankan di Kawasan Wediombo untuk melestarikan lingkungannya.
4.1.3. Tipologi Wisatawan Tipe wisatawan yang datang ke Kawasan Wediombo berdasarkan motivasi dan kegiatannya paling banyak termasuk mid centris, hal ini berdasarkan dari keinginan wisatawan untuk mengunjungi kawasan wisata yang sudah mempunyai fasilitas standar dengan kawasan wisata lain, tetapi kondisi yang terdapat di Kawasan Wediombo masih sangat minim. Berdasarkan motivasi wisatawan untuk menikmati pemandangan yang indah dan keinginan mengunjungi tempat yang belum diketahui sebelumnya (unik). Wisatawan bersedia untuk memanfaatkan fasilitas yang disediakan masyarakat lokal khususnya tempat makan dan fasilitas lain yang sifatnya masih sederhana. Waktu berkunjung wisatawan untuk menikmati Kawasan Wediombo hanya beberapa jam. Beberapa wisatawan yang
84 bersifat allocentris, adalah mereka yang hanya bertujuan melakukan penelusuran beberapa goa yang berada di sekitar Kawasan Wediombo. 1. Jumlah Wisatawan Berkunjung Berdasarkan hasil pengamatan puncak kunjungan wisatawan ke kawasan Wediombo terdapat dalam Gambar 18.
15-Jun-08 8-Jun-08
1-Jan-08 900
6-Jan-08 13-Jan-08
800 700
1-Jun-08
15-Jan-08
600 25-May-08
20-Jan-08
500 400
18-May-08
27-Jan-08
300 200
11-May-08
3-Feb-08
100 0
4-May-08
10-Feb-08
27-Apr-08
17-Feb-08
20-Apr-08
24-Feb-08
13-Apr-08
2-Mar-08
6-Apr-08
9-Mar-08
30-Mar-08
16-Mar-08 23-Mar-08
Gambar 18. Diagram Hari Puncak Kunjungan Wisatawan (Data Primer, 2008)
Dari diagram diketahui bahwa wisatawan berkunjung ke Kawasan Wediombo pada hari libur tahun baru dan pada hari libur anak sekolah, artinya bahwa tekanan kawasan wisata oleh wisatawan akan terjadi pada bulan tersebut. Untuk tahun 2008 puncak kedatangan wisatawan terjadi pada tahun baru tanggal satu januari 2008 dengan jumlah 842 wisatawan, dan akan mengalami penurunan setelah melewati tahun baru pada beberapa hari. Untuk jumlah pengunjung pada tahun 2001 berjumlah 13.408 wisatawan sampai tahun 2004 berjumlah 15.214 wisatawan, kemudian pada tahu 2005 berjumlah 11.450 mengalami penurunan dan pada tahun 2007 berjumlah 15.013 wisatawan. Perkiraan estimasi trend peningkatan wisatawan dilakukan mulai tahun 2005 dengan hasil persamaan :
85 Yt = 9269 + 1781,5 t Dimana: Yt = jumlah wisatawan tahun ke-t t = tahun ke- t. Nilai 9269 merupakan nilai konstanta (a) yang menunjukkan bahwa pada tahun awal ke 0 jumlah wisatawan 9269 orang, sedangkan nilai 1781,5 t merupakan koefisien regresi, yang menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 tahun akan mengalami kenaikan jumlah wisatawan 1782 wisatawan. Sedangkan persamaan untuk mengetimasi besarnya income mempunyai persamaan: Yi = 9692 i – 3868,4. Dimana : Yi = jumlah income tahun ke I ; i = jumlah wisatawan tahun ke- t
2. Motivasi dan Aktivitas Wisatawan Tipologi wisatawan diketahui berdasarkan motivasi dan kegiatannya atau aktivitasnya (Murphy, 1985). Berdasarkan hasil survey diperoleh bahwa wisatawan berkunjung karena melihat keindahan alam (65,3%), mencari pengalaman (22,4%) dan yang dekat dengan tempat tinggal (5,3%), alasan banyak ikan (4,1%) dan penelitian (2,9%). Artinya adalah bahwa motivasi wisatawan mengunjungi Kawasan Wediombo karena terdapatnya unsur sumberdaya alam yang menarik dan unik, disamping dari kunjungan ini menghasilkan suatu pengalaman berekreasi.
Hasil kuesioner mengenai motivasi dan kegiatan
wisatawan di Kawasan Wediombo ditunjukkan pada Tabel 21. Kegiatan yang dilakukan wisatawan selama mengunjungi Kawasan Wediombo adalah menikmati panorama alam (35,8%), piknik (35,3%), memotret (15,6%), melihat pertanian tradisionil masyarakat lokal (3,3%), berjalan dihutan (2,5%) dan lainnya (4,7%). Dari kedua kriteria tersebut maka faktor keindahan sumberdaya alam merupakan kunci dari daya tarik wisatawan, sehingga perlu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas keberadaan sumberdaya alam dengan melakukan konservasi di Kawasan Wediombo. Gambar 19 berupa
86 diagram motivasi dan aktivitas wisatawan yang merupakan dasar dari tipologi wisatawan. Berdasarkan hasil pengambilan sampel secara acak terhadap wisatawan yang berjumlah 135 orang responden dengan perincian responden laki-laki 66,7% dan perempuan 33,3%. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar wisatawan berkunjung ke wilayah ini bersifat rombongan, sehingga pimpinan rombongan kebanyakan diwakili oleh laki-laki, dengan tujuan utama mereka adalah mengunjungi kawasan pantai. Dari hasil data yang diperoleh menunjukkan bahwa responden yang sudah bekerja (59,3%) dan yang belum bekerja (40,7%). Rata-rata wisatawan yang mengunjungi di wilayah ini merupakan usia produktif 17 - 35 tahun (85,2%), kemudian usia matang 36 - 50 tahun (11,1%) dan beberapa pengunjung yang berusia diatas 50 tahun (3,7%). Tabel 21. Motivasi dan Kegiatan Wisatawan di Kawasan Wediombo No. 1
2
Parameter Motivasi Kunjungan ke Wediombo
Kegiatan selama di Wediombo
Kriteria a. dekat tempat tinggal b. melihat keindahan alam c. penelitian d. mencari pengalaman e. banyak ikan a. piknik b. memotret c. mengamati pertanian tradisional d. menikmati panorama alam e. berjalan di hutan f. lainnya
Jumlah
%
9 111 5 38 7 97 43 9
5,3 65,3 2,9 22,4 3,3 35,3 15,6 3,3
106 7 13
38,5 2,5 4,7
87 65,3%
70,0%
Persentase (%)
60,0% 50,0% 40,0% 22,4%
30,0% 20,0%
5,3%
4,1%
2,9%
10,0% 0,0% Dekat Tempat Melihat Tinggal Keindahan Alam
Penelitian
Mencari Pengalaman
Banyak Ikan
Kriteria Kunjungan
a) Motivasi wisatawan mengunjungi Kawasan Wediombo
40,0%
35,3%
Persentase (%)
35,0%
30,5%
30,0% 25,0% 20,0%
15,6%
15,0% 10,0% 3,3%
5,0%
4,7% 2,5%
0,0% Piknik
Memotret Mengamati Menikmati Berjalan di Hutan Masyarakat Panorama Alam
Lainnya
Aktivitas Wisatawan
b) Aktivitas wisatawan selama mengunjungi Kawasan Wediombo Gambar 19.
Diagram Motivasi dan Aktivitas Wisatawan di Kawasan Kars Wediombo
3. Karakteristik Wisatawan Dari hasil pengambilan sampel, ternyata yang mempunyai pendidikan sampai perguruan tinggi 58,3 % sedangkan yang yang berpendidikan SLTA 41,7 %. Kedatangan mereka dengan membawa keluarga (59,3 %), suami/istri (11,1 %) dan kelompok (29,6 %) maupun sendiri (2,2%). Dari hasil pengambilan sampel,
88 pengunjung yang datang ke Kawasan Wediombo sebagian besar menikmati suasana pantai dan sedikit yang mempunyai minat khusus seperti memancing dan penelusuran goa/ bukit. Karakter wisatawan ini disebabkan oleh sebagian besar bersama keluarga maupun suami istri dan kelompok, maka yang dipilih adalah jenis wisata yang mudah terjangkau, ada sarana dan prasarana dan dapat dinikmati secara bersama. Oleh sebab itu Pantai Wediombo merupakan pilihan wisatawan untuk berkunjung. Tingkat pendidikan wisatawan yang tinggi menunjukkan bahwa mereka sudah memahami pentingnya nilai keindahan yang bersifat alami. 4. Persepsi Wisatawan Hasil yang diperoleh dari penyebaran kuesioner dan beberapa wawancara yang mendalam dengan pertanyaan pernah mendengar mengenai kawasan batu gamping atau kars, maka didapatkan jawaban sebagai berikut, pernah sebanyak (55,6%), belum pernah (39,3%) dan yang menjawab tidak tahu (5,2%). Artinya bahwa sebagian wisatawan banyak yang sudah mengetahui kawasan batu gamping dan sebagian lagi tidak pernah mendengar istilah kawasan batugamping sedangkan hanya sedikit yang tidak tahu untuk menjawabnya. Kondisi ini terjadi karena tingkat pendidikan wisatawan yang mengisi kuesioner berlatar belakang tinggi. Tabel 22 menggambarkan hasil penelitian mengenai persepsi wisatawan yang dapat ditemui di kawasan kars Wediombo. Kemudian ditanyakan mengenai Kawasan Wediombo dan sekitarnya termasuk kategori yang mana, maka yang menjawab kawasan pantai dengan panorama indah (75,6%), kawasan ekosistem asli (31,9%), pariwisata dan rekreasi (23,7%), untuk tempat penelitian (17,0%) dan yang menjawab sebagai kawasan yang mempunyai keunikan dan keragaman (14,8 %). Wisatawan yang menjawab kawasan pantai dengan panorama yang indah merupakan wisatawan yang datang bersama keluarga, kelompok dan suami istri dan hanya mengenal wisata Pantai Wediombo.
89 Tabel 22. Persepsi wisatawan (kuesioner, 2008) No.
Parameter
1
pernah mendengar kawasan kars/gamping
2
Menurut wisatawan Wediombo dan sekitarnya dalam kategori
3
Tingkat kepentingan kawasan kars Wediombo dikembangkan sebagai kawasan wisata unggul Mengetahui istilah ekowisata
4
5
ekowisata adalah
6
Pengertian istilah konservasi
Kriteria a. belum pernah b. pernah c. tidak tahu a.kasawan pantai dengan panorama indah b. untuk penelitian c. pariwisata dan rekreasi d. kawasan ekosistem asli e. keanekaragaman dan keunikan a. sangat penting
Jumlah
%
53 75 7
39,3 55,6 5,2
102 23 32 43 20 93
75,6 17,0 23,7 31,9 14,8 68,9
42 81 44 49
31,1 64,8 35,2 36,3
76 24 11 63 77 35
56,3 17,8 8,1 46,7 57,0 25,9
b. penting a. pernah b. belum a. pariwisata berwawasan lingkungan b. pariwisata lingkungan dan masyarakat lokal c. pariwisata ramah lingkungan d. pariwisata bertanggung jawab a. perlindungan b. pelestarian c. pemanfaatan
Wisatawan yang menjawab ekosistem asli merupakan bagian dari wisatawan yang datang secara berkelompok, bersama keluarga dan suami istri yang mempunyai motivasi melihat keindahan alam, kegiatannya piknik dan menikmati panorama alam. Wisatawan yang menjawab pariwisata dan rekreasi, merupakan wisatawan dengan tujuan ke Kawasan Wediombo untuk mengunjungi pantai. Wisatawan yang menjawab penelitian, datang secara berkelompok dan sebagian sedang mengadakan penelitian di Kawasan Gunungkidul, lainnya bervariasi yaitu bersama keluarga dan lebih dari tiga kali mengunjungi Kawasan Wediombo. Wisatawan yang menjawab kawasan yang mempunyai keunikan dan keragaman adalah wisatawan yang mempunyai motivasi mengunjungi Kawasan Wediombo untuk melihat keindahan alam. Kemudian
pertanyaan
berikutnya
adalah
mengenai
pentingnya
dikembangkan kawasan wisata yang unggul, maka jawaban sangat penting (68,9 %) dan penting (31,1%). Karena mereka beranggapan bahwa dengan keindahan alamnya dan pantai teluknya yang paling panjang di seluruh Kawasan Gunungkidul, maka Kawasan Wediombo berpotensi menjadi kawasan unggulan
90 untuk kawasan wisata. Untuk istilah ekowisata menyatakan bahwa yang pernah mendengar (64,8%) dan belum (35,2%), ini menunjukkan bahwa wisatawan yang pernah mendengar ekowisata adalah wisatawan yang mengetahui mengenai arti konservasi.Untuk yang mengatakan belum pernah mendengar ekowisata adalah wisatawan yang tidak mengetahui arti konservasi. Kuesioner mengenai pengertian ekowisata
yang menjawab pariwisata lingkungan dan masyarakat
lokal (56,3%), pariwisata yang berwawasan lingkungan (36,3%), pariwisata ramah lingkungan (17,8%) dan yang menjawab pariwisata yang bertanggung jawab (8,1%). Untuk jawaban pengertian ekowisata selain pariwisata yang bertanggung jawab sangat bervariasi tipologi wisatawannya. Wisatawan yang menjawab wisata yang bertanggung jawab, tujuan
ke Kawasan Wediombo
melihat pantai dengan motivasi kunjungan melihat keindahan alam. Dengan karakter motivasi dan tujuan tersebut, wisatawan tipe ini cenderung melihat dari tanggung jawab wisatawan untuk menjaga kelestariannya selama mengunjungi Kawasan Wediombo. Pengunjung juga diberi kuesioner pengertian konservasi maka yang menjawab pelestarian (57,0%), perlindungan (46,7%) dan pemanfaatan (25,9 %). Artinya bahwa pengunjung sudah mengetahui tentang pentingnya menjaga kelestarian alam untuk mendapatkan atraksi ekowisata yang menarik. Adapun saran-saran wisatawan adalah perlu disediakan sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan bersih serta jaringan listrik agar masuk ke kawasan wisata. 5. Kemauan wisatawan untuk membayar biaya masuk Kawasan Wediombo Untuk mengetahui keinginan dan kemauan wisatawan untuk membayar karcis mengunjungi Kawasan Wediombo, maka dilakukan penyebaran kuesioner mengenai
pandangan
pengembangan
Kawasan
Wediombo
kepada
para
wisatawan. Hasil dari kuesioner tersebut dapat dilihat pada Tabel 23. Wisatawan yang berkunjung di Kawasan Wediombo pada waktu penelitian menunjukkan bahwa yang sudah bekerja (60,7%), dan yang belum bekerja (39,3%). Rata-rata pendapatan wisatawan antara 1.6 juta rupiah sampai 2 juta rupiah (48,2%), lebih kecil dari 1 juta rupiah (29,4 %), 1 juta sampai 1,5 juta rupiah (5,9 %), 2,1 juta sampai 2.5 juta rupiah (5,9 %) dan lebih dari 2,5 juta
91 rupiah
(10,6%). Artinya bahwa pendapatan para wisatawan sangat beragam.
Namun demikian kesanggupan untuk membeli karcis dengan harga Rp.3500 (77,1%), dengan harga Rp.5000 (13,3%) dan lainnya (9,5%). Tabel 23. Kemauan Membayar Wisatawan di Kawasan Kars Wediombo No.
Parameter
1
Status bekerja
2
Rata-rata pendapatan
3
Jumlah keluarga yang menjadi tanggungan
4
Kesediaan membayar
5
Wediombo dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang unggul
Kriteria a. sudah b. belum a. < 1 juta rupiah b. 1 s/d 1.5 juta rupiah c. 1.6 s/d 2 juta rupiah d. 2.1 s/d 2.5 juta rupiah e. > 2.5 juta rupiah a. 1 orang b. 2 orang c. 3 orang d. 4 orang e. > 4 orang a. Rp.3500 b. Rp. 5000 c. lainnya a. setuju b. tidak setuju
Jumlah 82 53 25 5 41 5 9 11 24 16 19 5 81 14 10 135 0
% 60,7 39,3 29,4 5,9 48,2 5,9 10,6 14,7 32,0 21,3 25,3 6,7 77,1 13,3 9,5 100
Artinya bahwa dalam kondisi tersebut wisatawan mempunyai kemauan untuk membayar lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif resmi sekarang sebesar Rp.2000, maka sangat berpotensi jika dikembangkan secara lebih baik. Pertanyaan lain adalah wisatawan setuju jika kawasan ini dikembangkan sebagai kawasan ekowisata unggul (100 %). Uraian pengembangan wisata lainnya yang terdapat di Australia sebelah tenggara terdapat di kawasan yang masih alami disebut pulau Montague. Ekosistem yang ada meliputi penguin, anjing laut dan burung laut dan fitur budaya (sejarah Suku Aborigin dan Orang Eropa). Mulai tahun 1990 hingga saat ini badan pengelola taman nasional New South Wales dan kehidupan liar mengembangkan sistem daya dukung kawasan, konsultasi masyarakat dan monitoring dampak yang terjadi. Pengukuran dampak ekonomi dari wisata ditunjukkan dari hasil pengamatan secara finansial. Pada tahun 1998 wisata alam menghasilkan pendapatan gross AU$200.000. Kemudian pada tahun 1999 terjadi kenaikan pengeluaran wisatawan yang berkunjung ke pulau dengan melihat pendapatan gross kurang lebih AU$1,4 juta termasuk pendapatan masyarakat lokal AU$ 468.000. Dari kegiatan tersebut berdampak perkembangan ekonomi
92 masyarakat lokal meningkat dan lebih peduli menjaga kawasan konservasi dan kawasan wisata (http://www.npws.nsw.gov.au/parks/south/sou018.html dalam Eagle et al. 2002). Jika Kawasan Wediombo dapat dikelola seperti yang dilakukan di Pulau Montague dan melibatkan masyarakat lokal dengan mengelola kawasan kars Wediombo secara profesional, maka kemungkinan dikunjungi lebih banyak wisatawan mempunyai kesempatan yang besar karena didukung oleh keindahan alam, flora dan fauna maupun budaya masyarakat lokal yang bervariasi. 6. Saran dan Harapan Wisatawan Kebanyakan para wisatawan menyarankan untuk menambah sarana dan prasarana yang masih sangat minim, sehingga banyak wisatawan yang hanya singgah beberapa jam tanpa mendapatkan kepuasan atraksi lain selain keindahan panorama pantai dan sekitarnya. Perlu adanya penataan pada kawasan yang berpotensi untuk menarik wisatawan yang hingga saat ini belum dilakukan secara baik. Potensi hutan, keindahan goa kars, Peninggalan sejarah, ladang tadah hujan, budaya petani tradisional khas kawasan kars dan pengembangan infrastruktur penginapan maupun wisata kuliner sangat memungkinkan untuk dipromosikan sebagai atraksi wisata. Kondisi tersebut sampai saat ini belum disentuh secara profesional dan bahkan belum tersedia sarana dan prasarananya. 4.2. Besarnya Demand dan Supply, serta Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya Pengembangan Ekowisata Kars di Kawasan Wediombo Berdasarkan hasil identifikasi potensi secara biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Kawasan Wediombo mempunyai beberapa lokasi yang berpotensi sebagai tujuan wisata dan layak untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi, antara lain: 1. Beberapa Pantai: Pantai Wediombo berupa pantai teluk yang paling luas, Pantai Jungwok dengan panorama alamnya yang masih sangat alamiah, dan Pantai Dadapan. 2. Goa: Goa Pertapan yang terletak di dekat Pantai Jungwok, Goa Greweng dengan sungai bawah tanahnya, Goa Banyusumurup, Goa Bentis, Luweng Sumbon, Goa Lowo dan Sinhole
93 3. Hutan Alam dengan flora dan faunanya dan perladangan secara tradisional penduduk lokal, memancing tradisional dari bukit kars yang terjal. 4. Budaya: Ritual keagamaan, Seni tradisional dan terdapat makanan kas Dari aspek hukum, penyusunan acuan visi dan misi yang dilakukan di Kawasan Wediombo, undang-undang maupun peraturan yang digunakan sudah mendukung untuk pengembangan Kawasan Kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata. Tipologi wisatawan berdasarkan motivasi tujuan utamanya ke Pantai Wediombo untuk melihat keindahan alam, mencari pengalaman dan berturut-turut dekat tempat tinggal, penelitian dan banyak ikan. Sedangkan berdasarkan kegiatan berturut-turut adalah menikmati panorama alam, piknik, memotret dan lainnya. Dari hasil identifikasi, maka untuk mendukung pengembangan Kawasan Kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata dilakukan analisis demand dan supply, serta prioritas manfaat (Benefit) dan prioritas biaya (Cost) seperti berikut : 4.2.1. Hasil Demand dan Supply A. Hasil Identifikasi Demand (Permintaan) Data
identifikasi
permintaan
(demand)
wisatawan
berdasarkan
pengamatan langsung diperoleh bahwa semua wisatawan yang datang di Pantai Wediombo mempunyai tipe secara berkelompok, bersama keluarga dan berpasangan. Kegiatan wisatawan mengunjungi Pantai Wediombo antara lain; kegiatan berenang, duduk-duduk menikmati ombak dan panorama alam, jalan menyusuri pantai dan duduk di warung pinggiran pantai. Beberapa kelompok tertentu datang pada waktu sore bertujuan untuk memancing. Untuk hasil survei dan wawancara digambarkan secara statistik deskriptif yang berupa identifikasi data demografi profil wisatawan, identifikasi data demografik sebaran wisatawan, identifikasi jumlah penggunaan kawasan, maupun identifikasi penggunaan transportasi dan akomodasi. Berdasarkan pemaparan deskriptif, dilakukan analisis secondary untuk menginvestigasi survei.
adanya hubungan diantara variable
hasil
94 1) Identifikasi Data Demografi Profil Wisatawan Kebanyakan wisatawan yang datang ke Kawasan Wediombo, secara berkelompok atau berpasangan. Dari hasil survei diperoleh bahwa wisatawan yang berkunjung secara sendiri sebesar 2,2%, datang bersama keluarga 57%, bersama suami atau istri 11,1% dan 29,6% berkelompok (Gambar 20). Ini menunjukkan bahwa Kawasan Wediombo sangat diminati oleh keluarga, kelompok dan suami istri atau pasangan lain sebagai wahana wisata. Wisatawan yang berkunjung sendiri ke Kawasan Wediombo merupakan wisatawan yang dekat dengan lokasi Pantai Wediombo, dan ditempuh dalam waktu sekitar 0,5 jam sampai 1,0 jam.
57,1 Persentasi (%)
60 50 29,6
40 30 11,1
20
2,2
10 0
Sendiri
Keluarga
Suami-Istri
Kelompok
Bentuk Kunjungan Gambar 20. Diagram jenis kelompok wisatawan (n = 135) Survei usia wisatawan dilakukan dengan melalui kuesioner. Di Kawasan Wediombo yang
merupakan tujuan utama
wisatawan berkunjung adalah di
Pantai Wediombo. Kondisi ini berdasarkan dari pengamatan dan kuesioner bahwa hampir semua wisatawan hanya berkunjung ke kawasan pantai, hanya beberapa wisatawan yang dapat ditemui mempunyai motivasi selain mengunjungi kawasan pantai. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa wisatawan yang mempunyai usia dibawah 15 tahun terdapat dalam semua kelompok. Hasil survei didapatkan bahwa kelompok usia wisatawan yang datang berusia produktif antara 17 sampai
95 35 tahun mencapai 85,2%, usia 36 hingga 50 tahun 11,1% dan lebih dari 50 tahun 3,7% (Gambar 22). Kondisi ini menunjukkan bahwa wisatawan yang mempunyai minat terhadap keindahan panorama alam kars di Kawasan Wediombo membutuhkan waktu dan jarak tempuh yang jauh dari tempat asal wisatawan, selain memerlukan biaya yang tinggi juga memerlukan stamina yang baik. Oleh sebab itu wisatawan yang mengunjungi ke Kawasan Wediombo sebagian besar mempunyai usia yang produktif (17 tahun-35tahun).
85,2%
90,0% 80,0% Persentase (%)
70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 11,1%
20,0%
3,7%
10,0% 0,0% 17-35
36-50
> 50
Umur Pengunjung (Tahun)
Gambar 21.
Diagram Kelompok Umur Wisatawan yang Berkunjung Ke Wediombo
Survei pendapatan wisatawan dilakukan dalam penelitian, karena berguna dalam rumusan pengembangan wisata berdasarkan kemampuan dan kemauan wisatawan untuk membayar. Pendapatan Wisatawan dibawah 1 juta rupiah sebesar 29,4%, 1 juta hingga 1.5 juta sebesar 5,9%, 1.6 sampai 2 juta sebesar 47,1%, 2.1 sampai 2.5 juta sebesar 5,9% dan diatas 2.5 juta rupiah sebesar 11,8% dan yang tertinggi wisatawan yang berpenghasilan antara 1.6 juta sampai 2 juta rupiah (Gambar 22).
96
Persentase (%)
Pendapatan Wisatawan 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% < 1 juta
1 - 1,5 juta 1,6 - 2 jutan 2,1 - 2,5 juta
> 2,5 juta
Pendapatan (Rp)
Gambar 22 . Diagram Pendapatan Wisatawan di Kawasan Kars Wediombo Survei juga dilakukan untuk mengamati kemauan wisatawan untuk membayar biaya masuk lebih dari yang sudah ditetapkan pemda sebesar Rp.2000, dengan asumsi infrastruktur dan yang lain ditingkatkan. Hasil survei diperoleh bahwa 76,2% sanggup membayar Rp.3500, 14,3% sanggup membayar Rp. 5000 dan diatas lima ribu rupiah 9,5% (Gambar 23) Kemauan Membayar Wisatawan 9,5% 14,3%
76,2% Rp. 3.500
Rp. 5.000
Lainnya
Gambar 23. Diagram Kemauan Membayar Wisatawan
Dari hasil jawaban, wisatawan sebagian besar mempunyai pendapatan menengah (1,6 juta rupiah-2 juta rupiah), ini menunjukkan bahwa dengan tingkat
97 pendidikan dan usia produktif pendapatan tersebut dapat diterima, artinya tingkat kesejahteraan mereka cukup baik yang menyebabkan kemauan untuk membayar karcis kunjungan lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Gunungkidul. Untuk wisatawan yang mempunyai pendapatan di bawah 1 juta rupiah sebagian menamatkan berpendidikan SMA sampai D3, dengan umur antara 17 tahun-38 tahun, dan sebagian besar wisatawan mempunyai waktu tempuh dari tempat wisatawan 1 jam (sekitar ibukota kabupaten) dan hanya beberapa wisatawan yang lebih dari 1 jam tetapi kurang dari 2 jam tempuh. Untuk wisatawan yang mempunyai pendapatan 2 juta rupiah atau lebih rata-rata mempunyai pendidikan perguruan tinggi dan jarak tempuh 2 jam atau lebih dengan usia antara 31 tahun sampai 55 tahun, dan pergi bersama keluarga hanya sebagian kecil berkelompok. 2) Identifikasi Data Demografik Sebaran Wisatawan Sebaran wisatawan diidentifikasi berdasarkan lamanya jarak tempuh ke Kawasan Wediombo dari daerah asal wisatawan. Hasil yang didapatkan adalah 11,1% kurang dari
1 jam artinya wisatawan berasal dari sekitar Kawasan
Wediombo hingga pusat kabupaten, 22,2% membutuhkan 1 jam, 1,5 hingga 2 jam sebesar 22,2% dan lebih dari 2 jam 44,4%. Dari data yang di dapat ternyata wisatawan yang datang paling banyak berasal dari luar Kabupaten Gunungkidul dengan waktu tempuh di atas 2 jam sebesar 44,4 %.
44,4%
45% 40%
Persentase (%)
35% 30%
22,2%
25%
22,2%
20% 15%
11,1%
10% 5% 0% < 1 jam
1 jam
1,5-2 jam
> 2 jam
Lama Jarak Tempuh (Jam)
Gambar 24. Diagram Lamanya Jarak Tempuh Wisatawan (n=135)
98 Jarak tempuh yang memerlukan waktu lama (>2jam) artinya wisatawan berasal dari luar Kabupaten Gunungkidul, bahkan sampai kota Yogyakarta atau lebih jauh lagi. Kemauan wisatawan untuk datang ke Kawasan Wediombo sangat besar sehingga memerlukan biaya yang besar, sehingga Kawasan Wediombo mempunyai nilai yang tinggi sebagai kawasan wisata. Sesuai dengan Gambar 24, maka dibuat peta waktu pejalanan dari titik pusat wisata Kawasan Wediombo ke titik awal wisatawan, untuk melihat apakah ada kesesuaian dengan teori Clawson dan Knetsch’s (dalam Van der Zee, 1990) membedakan sisi kawasan wisata dari tiga kategori yaitu: berdasarkan pemakai (user based), berbasis sumber nya (reources based) dan kawasan diantara pemakai dan sumber (intermediate base). Peta waktu perjalanan menunjukkan bahwa 11,1% berasal dari Rongkop dan sekitarnya (masyarakat sekitar kawasan), 22,2% berasal dari kota Wonosari dan sekitarnya, 22,2% dari Yogyakarta hingga Solo dan 44,4 % berasal dari luar kota Yogyakarta dan Solo (Gambar 25). Extreem Tourist 44,4% 22,2%
22,2%
11,1%
Gambar 25. Peta Waktu Perjalanan ke Kawasan Wediombo, Gunungkidul
99 Dari gambar tersebut menunjukkan banyak wisatawan yang membutuhkan waktu tempuh dari tempat tinggal ke Kawasan Wediombo 1,5 jam lebih. Artinya termasuk dalam kategori intermediate base sampai resources base.
3) Identifikasi Penggunaan Kawasan Salah satu indikator fungsi permintaan (demand) adalah berapa kali wisatawan pernah datang ke Wediombo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59,3% baru pertama kali mengunjungi kawasan, 7,4% dua kali, 3,7% tiga kali dan 33,3% sudah lebih dari 3 kali (Gambar 26). Artinya hampir sebagian besar wisatawan baru pertama kali mengunjungi Kawasan Wediombo, sedangkan yang pernah mengunjungi Kawasan Wediombo lebih dari tiga kali sepertiganya dari jumlah wisatawan yang disurvei. Wisatawan yang mengunjungi lebih dari 3 kali mempunyai jarak tempuh 1 jam atau kurang, artinya wisatawan mempunyai tempat tinggal disekitar kawasan Kabupaten Gunungkidul dan sekitarnya.
60%
59,3%
Persentase (%)
50% 40%
33,3%
30% 20% 7,4% 3,7%
10% 0% 1 Kali
2 Kali
3 Kali
Lebih 3 Kali
Jumlah Kunjungan
Gambar 26. Diagram Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kawasan Wediombo
Survei lamanya wisatawan mengunjungi Kawasan Wediombo dilakukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan wisatawan terhadap kondisi kawasan rekreasi. Hasil survei diperoleh bahwa sebanyak 33,3% hanya 1 jam menghabiskan waktunya di kawasan wisata, 40,7% sekitar 2 jam, 7,4% sekitar 3
100 jam dan 22,2% lebih dari 3 jam (Gambar 27). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa banyak wisatawan yang hanya mendapatkan pengalaman wisata di Pantai Wediombo, untuk potensi atraksi wisata yang lain belum dikelola dan dipromosikan, akibatnya
kesempatan untuk mengunjungi ke potensi atraksi
wisata di Kawasn Wediombo belum terlaksana. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan berekreasi untuk mencari pengalaman, keunikan, nilai pendidikan, nilai petualangan, nilai penelitian dan nilai wisata masa maupun spiritual belum dapat dikembangkan dan dikelola secara optimum.
39.3
Persentase (%)
40
32.1
30
21.4
20 7.1
10 0 1 jam
2 jam
3 jam > 3 jam
Lama berkunjung
Gambar 27. Diagram Lamanya Wisatawan Berkunjung Ke Kawasan Wediombo
4). Transportasi dan Akomodasi Survei mengenai transportasi yang digunakan wisatawan menunjukkan belum adanya alat transportasi umum untuk mencapai lokasi. Semua wisatawan menggunakan kendaraan pribadi atau sewa. Gambar 28 menunjukkan jenis transportasi yang digunakan wisatawan. Sebagian besar wisatawan (55,6%) menggunakan
motor,
25,9%
menggunakan
mobil
pribadi
dan
menggunakan bus rombongan dengan cara menyewa secara beramai-ramai.
18,5%
101
55,6% 60%
Persentase (%)
50% 40% 25,9% 30%
18,5%
20% 10% 0% Motor
Mobil
Bus
Jenis Kendaraan
Gambar 28. Jenis Transportasi Wisatawan ke Kawasan Wediombo
Karena belum tersedia transportasi yang khusus untuk melayani wisatawan ke Kawasan Wediombo, maka wisatawan menyediakan sendiri transportasi. Wisatawan yang membawa keluarga dengan jarak tempuh 2 jam atau lebih banyak menggunakan mobil, untuk yang mempunyai jarak tempuh kurang dari 2 jam menggunakan sepeda motor. Beberapa rombongan mempunyai jarak tempuh 2 jam atau lebih menggunakan transportasi bus.
5). Analisis Hubungan Variabel Hasil Survei Analisis ini digunakan untuk melihat apakah vaktor demografi hasil survey mempunyai hubungan antara variabel satu dengan lainnya, yang meliputi: 1. Hubungan antara lamanya perjalanan terhadap lamanya menikmati kawasan, jumlah kunjungan, pendapatan dan umur. 2. Hubungan antara jumlah kunjungan terhadap jam kunjungan, pendapatan, kesanggupan membayar dan umur. 3. Hubungan jam kunjungan terhadap pendapatan, kesanggupan membayar dan umur. Hubungan antara pendapatan dengan kesanggupan membayar dan umur wisatawan, maupun hubungan antara kesanggupan membayar dengan umur, disajikan pada Tabel 24.
102 Tabel 24. Analisis Pearson hubungan antar variabel
Jam tempuh
Jam tempuh 1
Frekuensi Kunjungan 0,074
Jam Kunjungan 0,068
1
Frekuensi kunjung Jam kunjungan pendapatan
0,549
Kesanggupan Membayar 0,275
0.537**
0,165
0,19
0,089
1
0,231
0,193
0,229
1
0,471
0,582
1
0,158
Pendapatan
Kesanggupa n membayar umur
Umur 0,186
1
Pada bagian ini dikemukakan hasil perhitungan koefisien korelasi (r) untuk semua variabel yang dimasukkan dalam perhitungan. Jika r semakin besar nilainya, yaitu semakin mendekati angka 1, maka hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat. Hasil pengolahan data didapat bahwa: Jam tempuh (waktu lamanya perjalanan) dengan pendapatan mempunyai hubungan sedang (0,549). Jam tempuh dengan kesanggupan membayar mempunyai hubungan rendah (0,275), sedangkan hubungannya dengan jumlah kunjungan, jam kunjungan maupun umur tidak ada korelasi. Frekuensi kunjungan dengan jam kunjungan mempunyai hubungan yang sedang (0,537), sedangkan terhadap pendapatan, kesanggupan membayar, dan umur tidak mempunyai korelasi. Jam kunjungan (lamanya berada di kawasan wisata) dengan pendapatan dan umur mempunyai korelasi sedang (0,231 dan 0,229), sedangkan terhadap kesanggupan membayar tidak mempunyai korelasi. Pendapatan terhadap kesanggupan membayar dan umur mempunyai tingkat hubungan sedang dengan masing-masing 0,471 dan 0,582.
B.
Hasil Identifikasi Supply (Penawaran) Permintaan yang dimaksud adalah hasil pendapat wisatawan
dari
kuesioner yang hubungannya dengan kegiatan wisatawan selama di Kawasan Wediombo yang meliputi: •
Kawasan yang paling menarik untuk dikunjungi menurut wisatawan dari hasil kuesioner.
103 •
Sarana dan prasarana yang tersedia, menurut pendapat wisatawan apakah telah memenuhi syarat atau bahkan sebaliknya jauh dari harapan wisatawan.
•
Infrastruktur dari kondisi jalan, tempat ibadah, tersedianya tempat makan yang nyaman, atraksi lain yang dapat ditemui di Kawasan Wediombo hingga penilaian kebersihan kawasan. Hasil kuesioner diketahui bahwa menurut wisatawan kawasan yang
menarik yaitu Pantai Wediombo (56,1%), suasana alam (26,1%), goa (7,3%), pegunungan (7,3%) dan hewan (2,4%), padahal dari hasil kuesioner dan wawancara banyak wisatawan yang belum melihat goa, maupun keanekaragaman flora dan fauna, karena kurang adanya informasi (Gambar 29) 56,2
60
Persentase (%)
50 40 26,8 30 20 7,3 10
7,3
2,4
0 Hewan
Pegunungan
Goa
Suasana Alam
Pantai
Objek yang Menarik Gambar 29. Tempat yang Paling Menarik Menurut Wisatawan
Sarana dan prasarana merupakan supply yang sangat lemah, karena dari hasil pengamatan dan kuesioner terhadap wisatawan diperoleh proses pendapat yaitu: 27,6% berpendapat sangat kurang, 51,7% berpendapat kurang, 10,3% berpendapat cukup dan 3,4% berpendapat lengkap (Gambar 30).
104
60%
51,7
Persentase (%)
50% 40% 27,6 30% 20%
10,3
10%
3,4
0% Sangat Kurang
Kurang
Cukup
Lengkap
Kondisi Sarana Wisata
Gambar 30. Kondisi Sarana dan Prasarana di Kawasan Wdiombo
Pada Gambar 30 dapat diartikan bahwa sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Wediombo tidak terpenuhi kebutuhannya dari sisi sarana dan prasarana, karena masih sangat minimnya kondisi tersebut. Wisatawan yang berpendapat Kawasan Wediombo mempunyai sarana dan prasarana yang cukup adalah wisatawan yang berkunjung bersama keluarga, berkelompok, bersama suami istri adalah wisatawan yang mempunyai tempat tinggal di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan sudah datang ke Pantai Wediombo lebih dari tiga kali, hanya beberapa wisatawan yang berasal dari sekitar Yogyakarta dan Solo dengan frekuensi kunjungan baru pertama kali, berkunjung secara berkelompok dan bersama keluarga. Usia wisatawan antara 17 tahun sampai 30 tahun. Wisatawan yang berpendapat lengkap adalah wisatawan yang
mempunyai
frekuensi berkunjung lebih dari 3 kali dan bertempat di Kawasan Gunungkidul dan Wonogiri. Infrastruktur merupakan salah satu supply yang diidentifikasi terhadap demand, maka didapatkan hasil pada Gambar 31, dengan
kekurangan
infrastruktur jalan (32,1%), tempat makan (35,7%), atraksi lain (14,3%) dan kebersihan pantai dan ibadah (14,3%). Hasil kuesioner tersebut menunjukkan bahwa dari sisi supply secara umum tingkat kepuasan wisatawan untuk berkunjung dan menikmati kawasan masih kurang.
Kekurangan Infrastruktur
105
32,1
Jalan
35,7
Tempat Makan
14,3
Atraksi Lain
14,3
Kebersihan/Ibadah
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
Persentase (%)
Gambar 31. Kekurangan Kondisi Infrastruktur
Kawasan Elcielo di Tamaulipas Meksiko merupakan kawasan wisata yang menghitung sisi demand dan supply dalam mengoptimumkan pengembangan kawasan wisata. Untuk mengetahui demand dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada wisatawan pada bulan-bulan puncak wisatawan berkunjung. Kuesionernya juga untuk mengukur kecukupan supply dan mengidentifikasi sisi penggunaan dan pembelanjakan di kawasan wisata. Wisatawan yang datang 10% wisatawan mancanegara dan 90% wisatawan nusantara, yang datang sendiri 1,6%, 28,6% berkelompok, 31,7% dengan keluarga dan 38,1% dengan teman. Dari sisi supply hampir rata-rata wisatawan setuju mengenai kondisi restoran, kamar mandi, ganti pakaian, dan informasi. Ini berarti bahwa dari sisi supply telah memenuhi yang diinginkan wisatawan di kawasan ekowisata Wediombo dilihat dari ketersediaan sarana dan prasarana sehingga kawasan ekowisata dapat dinikmati pengunjung secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Walker (1997) bahwa kawasan ekowisata akan mendapatkan hasil yang optimum jika sarana dan prasarana dari segi supply dapat terpenuhi seperti strategi pengembangan wisata di Elcielo Meksiko. Dampaknya adalah hampir 63,3% wisatawan membelanjakan uangnya US$19 atau sedikit lebih kecil setiap hari selama mengunjungi kawasan tersebut.
106 4.2.2. Prioritas Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) Sebelum data hasil pendapat pakar dengan menggunakan skala lickert dilakukan pengolahan, maka dilakukan uji validasi dengan tingkat signifikan 95% hingga 99%. Dari Hasil uji validasi, dilakukan uji reliabilitas dengan metode belah dua (split-half method) dengan menggunakan perhitungan Sperman Brown. Tabel 25 dan Tabel 26 merupakan matrik hasil yang didapat dari pendapat pakar yang dilihat dari sisi manfaat dan biaya. Untuk menguji apakah setiap kuesioner mempunyai validasi dan reliability yang signifikan atau tidak, maka dilakukan perhitungan yang hasilnya akan dibandingkan dengan r tabel dengan taraf signifikan minimal 95% dan 99%. Angka dalam tabel menunjukkan bahwa dengan taraf 95% dan N=4 mempunyai nilai sebesar 0,950. Sedangkan taraf signifikan 99% dengan N=4 mempunyai nilai sebesar
0,990. Dari hasil uji
validasi untuk instumen manfaat (benefit) nilai setiap pertanyaan sebesar 0,98 > 0,95 berarti valid dengan taraf signifikan 95%, sedangkan untuk instrumen biaya (cost) nilai yang diperoleh 0,994 > 0,99 berarti valid pada taraf signifikan 99%. Dari hasil uji validasi dan reliabilitas untuk kuesioner yang menanyakan mengenai manfaat ekowisata, menunjukkan bahwa setiap kuesioner mempunyai tingkat validasi signifikan dengan level 95%, sedangkan tingkat reliabilitasnya 0,98. Dari hasil uji tersebut maka nomor pertanyaan yang tidak valid hanya pada pertanyaan pada variabel “kecemburuan sosial”
dari segi cost pada kriteria
ekonomi dan lingkungan, maka data tersebut tidak digunakan dalam penelitian. Untuk hasil reliabilitas maka dilakukan pengelompokkan pertanyaan ganjil dan genap, setelah dilakukan pengujian dengan Spearman Brown maka di dapat r=0,98 yang menunjukkan tingkat reliabilitas tinggi.
107 Tabel 25. Matrik manfaat dari pendapat pakar sisi ekonomi, lingkungan, sosial No.
Ekonomi
Pertanyaan P1
P2
P3
P4
Nilai Total
4 4 3 2 2 2 2 2 3 4 4
5 3 4 3 3 3 3 3 4 5 5
5 3 4 3 3 3 3 3 4 5 5
18 14 14 10 10 10 10 10 14 18 18
5
4
4
18
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pendapatan meningkat Sektor informal meningkat perlindungan pantai perlindungan biota laut perlindungan terumbu karang perlindungan hutan perlindungan flora kawasan kars perlindungan fauna kawasan kars Nilai estetika penyerapan tenaga kerja perubahan pola hidup
4 4 3 2 2 2 2 2 3 4 4
12
tempat rekreasi
5
Lingkungan N0.
Pertanyaan
P1
P2
P3
P4
Nilai Total
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pendapatan meningkat Sektor informal meningkat perlindungan pantai perlindungan biota laut perlindungan terumbu karang perlindungan hutan perlindungan flora kawasan kars perlindungan fauna kawasan kars Nilai estetika penyerapan tenaga kerja perubahan pola hidup
4 3 5 5 5 4 4 4 3 3 3
4 3 5 5 5 4 4 4 3 3 3
3 2 4 3 4 3 5 5 4 2 2
3 2 4 3 4 3 5 5 4 2 2
14 10 18 16 18 14 18 18 14 10 10
12
tempat rekreasi
4
4
2
2
12
Sosial N0.
Pertanyaan
P1
P2
P3
P4
Nilai Total
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pendapatan meningkat Sektor informal meningkat perlindungan pantai perlindungan biota laut perlindungan terumbu karang perlindungan hutan perlindungan flora kawasan kars perlindungan fauna kawasan kars Nilai estetika penyerapan tenaga kerja perubahan pola hidup
4 3 2 2 2 2 2 2 4 3 4
2 2 3 3 3 3 3 3 3 4 5
2 2 3 3 3 3 3 3 3 4 5
4 3 2 2 2 2 2 2 4 3 4
12 10 10 10 10 10 10 10 14 14 18
12
tempat rekreasi
3
5
5
3
16
Keterangan: 1=sangat tidak berpengaruh; 2=kurang berpengaruh; 3=berpengaruh; 4=lebih berpengaruh; 5=sangat berpengaruh P1 sampai dengan P4 = Pendapat pakar ke-1 sampai pakar ke-4.
108 Tabel 26. Matrik biaya dari sisi ekonomi, lingkungan dan sosial No.
Pertanyaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
biaya perencanaan kawasan biaya operasi sosialisasi masyarakat biaya kerusakan karang biaya kerusakan biota laut biaya kerusakan hutan flora dan fauna perangkap sedimen perubahan budaya hidup kecemburuan sosial pencemaran
No.
Pertanyaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
biaya perencanaan kawasan biaya operasi sosialisasi masyarakat biaya kerusakan karang biaya kerusakan biota laut biaya kerusakan hutan flora dan fauna perangkap sedimen perubahan budaya hidup pencemaran
No.
Pertanyaan
Ekonomi P1 4 4 4 4 5 5 4 4 3 3 3
P2 P3 4 5 4 3 4 3 4 3 5 3 5 3 4 3 4 5 3 2 3 2 3 2 Lingkungan
P4 5 3 3 3 3 3 3 5 2 2 2
P1 3 2 2 3 3 3 3 4 3 3
P2 4 4 4 4 4 4 4 3 2 4
P4 3 2 2 3 3 3 3 4 2 3
P3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 Sosial
P1 P2 P3 P4 1 biaya perencanaan kawasan 3 3 2 2 2 biaya operasi 3 3 2 2 3 sosialisasi masyarakat 4 4 3 3 4 biaya kerusakan karang 4 3 2 2 5 biaya kerusakan biota laut 3 3 2 2 6 biaya kerusakan hutan 4 3 2 2 7 flora dan fauna 3 3 2 2 8 perangkap sedimen 2 2 3 3 9 perubahan budaya hidup 4 4 3 3 10 pencemaran 2 2 3 3 Keterangan: 1=sangat kecil; 2=sedikit; 3= sedang; 4=tinggi; 5=sangat tinggi
A.
Nilai Total 18 14 14 14 16 16 14 18 10 10 10 Nilai Total 14 12 12 14 14 14 14 14 10 14 Nilai Total 10 10 14 11 10 11 10 10 14 10
Prioritas Manfaat (Benefit) Survei yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode eckenrode
dengan memberikan kuesioner kepada pakar yang terdiri: 1 orang pengambil keputusan daerah (Kepala Bapeda), 1 orang pelaku pengembangan wisata
109 merangkap ahli geologi kars (Kepala Bidang Kepariwisataan), 1 orang dosen Fakultas Kehutanan UGM ahli pengembangan Kawasan Wediombo dan 1 Pakar Wisata. Analisis manfaat dan biaya yang dikembangkan dengan menggunakan pendekatan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), digunakan untuk dapat mengetahui prioritas yang akan didapat maupun prioritas biaya yang akan dibutuhkan. Pemecahan masalah
dan solusi yang diinginkan yaitu mendapat
skenario kriteria yang optimal dari pengembangan ekowisata kars Wediombo secara benefit-cost, maka untuk menyusun suatu analisis yang mengaplikasikan metode pendekatan tersebut, dilakukan wawancara dan kuesioner pakar sehingga didapat hasil pengolahan pada Tabel 27. Untuk mendapatkan nilai bobot dari pengaruh ekonomi, lingkungan dan sosial budaya dilakukan metode Eckenrode (Maarif dan Tanjung, 2003). Maka hasil yang didapat adalah bahwa pengembangan tersebut
mempengaruhi
perubahan pola hidup (ranking 1), tempat rekreasi (ranking 2), pendapatan meningkat (ranking 3), penyerapan tenaga kerja (ranking 4), perlindungan pantai (ranking 5), nilai estetika (ranking 6), kemudian disusul perlindungan terumbu karang, perlindungan flora, perlindungan fauna kawasan kars, perlindungan biota laut dan yang terakhir adalah sektor informal meningkat dan perlindungan hutan.
110 Tabel 27. Manfaat Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo No. 1 2 3 4 No.
5 6 7 8 9 10 11 12
Pilihan Keputusan manfaat (benefit) Pendapatan meningkat Sektor informal meningkat perlindungan pantai Perlindungan biota laut
Nilai dari Sisi Kriteria Keputusan Ekonomi Lingkungan Sosial 4,47 3,46 2,83
Pilihan Keputusan Manfaat (benefit) Perlindungan terumbu karang Perlindungan hutan Perlindungan flora kawasan kars Perlindungan fauna kawasan kars Nilai estetika Penyerapan tenaga kerja Perubahan pola hidup Tempat rekreasi Bobot
Nilai dari Sisi Kriteria Keputusan Ekonomi Lingkungan Sosial
2,45 4,47 3.87
3,46 3,46 2,45
2,45 2,45 2,45
Nilai
Ranking
3,73
3
2,88 3,54 2,92
9 5 8
Nilai
Ranking
2,45 2,45
4,47 3,46
2,45 2,45
3,12 2,78
7 10
2,45
4,47
2,45
3,12
7
2,45 3,46 4,47 4,47 4,47 0,42
4,47 3,46 2,45 2,45 2,83 0,33
2,45 3,46 3,46 4,47 3,83 0,25
3,12 3,46 3,55 3,80 3,78
7 6 4 1 2
Penilaian: Hasil rata-rata geomean pendapat keempat pakar
B. Prioritas Biaya (Cost) Biaya Ekonomi, adalah biaya yang harus dikeluarkan selama operasional pengelolaan dan pembenahan yang merupakan pengeluaran awal, biaya operasi maupun biaya pemeliharaan. Biaya untuk kerugian lingkungan, adalah kerugian yang dialami lingkungan akibat dari pengembangan kawasan sebagai kawasan ekowisata yang mengakibatkan antara lain kerusakan karang, stalagtit dan stalagmit yang terdapat dalam goa, hutan beserta flora dan fauna. Biaya untuk kerugian sosial, sebagai akibat pengembangan pariwisata, dampaknya adalah terbatasnya lahan usaha yang diberikan dibanding dengan lahan usaha pariwisata dapat menimbulkan kecemburuan sosial antar sesama warga
dengan
stakeholders
lain.
Kemudian
pengaruh
pariwisata
akan
mempengaruhi perubahan gaya hidup akibat berinteraksi dengan wisatawan baik kebiasaan dan budaya, sehingga dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai budaya
111 yang menjadi ciri khas penduduk sekitar kawasan. Hasil kuesioner dan wawancara mengenai biaya (cost) dalam Tabel 28. Prioritas biaya (cost) yang perlu dikeluarkan dari pengembangan ekowisata kars adalah bobot lingkungan menempati posisi pertama, kemudian diikuti faktor ekonomi dan sosial yang mempunyai bobot sama. Prioritas biaya (Cost) yang kemungkinan dikeluarkan berdasarkan hasil wawancara dan pemberian kuesioner adalah: biaya perencanaan kawasan dan konservasi sedimen mendapat nilai tertinggi (peringkat 1), biaya kerusakan hutan (peringkat 2), biaya kerusakan biota laut (peringkat 3), biaya kerusakan karang dan sosialisasi masyarakat (peringkat 4), biaya perlindungan flora dan fauna (peringkat 5), biaya operasi dan perencanaan (peringkat 6), biaya pencemaran (peringkat 7), perubahan biaya hidup (peringkat 8). Tabel 28. Biaya (cost) Pengembangan Ekowisata Kars Kawasan Wediombo No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pilihan Keputusan Biaya (cost) biaya perencanaan kawasan biaya operasi dan perencanaan sosialisasi masyarakat biaya kerusakan karang biaya kerusakan biota laut biaya kerusakan hutan flora dan fauna perangkap sedimen perubahan budaya hidup pencemaran bobot
Nilai dari Sisi Kriteria Keputusan Ekonomi Lingkungan Sosial
Nilai
Ranking
4,47
3,46
3,46
3,46
1
3,46 3,46 3,46
2,83 2,83 3,46
2,91 3,21 3,21
2,91 3,21 3,21
6 4 4
3,87 3,87 3,46 4.47 2.45 2,45 0,30
3,46 3,46 3,46 2,45 2,62 3,46 0,40
3,28 3,34 3,16 3,46 2,75 2,86 0,30
3,28 3,34 3,16 3,46 2,75 2,86
3 2 5 1 8 7
Penilaian: Hasil dari geomean pendapat empat pakar mengenai biaya (cost)
Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dan pembobotan kriteria ekonomi, lingkungan dan sosial dengan metode eckenrode, maka
manfaat pengembangan ekowisata adalah
perubahan pola hidup menempati peringkat pertama karena dengan adanya pengembangan ekowisata kegiatan masayarakat lokal akan dituntut untuk lebih kreatif, sebagai pusat rekreasi yang berbasis kepada sumberdaya alam, pendapatan
112 masyarakat dan daerah meningkat, sedangkan yang lain adalah prioritas di bawahnya. Biaya yang akan ditanggung kawasan, masyarakat lokal maupun pemerintah daerah untuk tiga variabel yang paling menonjol adalah jika terjadi kerusakan pantai dan hutan, biaya sosialisasi untuk masyarakat pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam dan biaya kerusakan pantai, sedangkan untuk variabel dibawahnya biaya yang dibutuhkan makin berkurang. 4.3. Pembagian Zone Kawasan Kars Wediombo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta Zone wild (sangat alami) adalah kawasan yang mempunyai akses yang sangat minim dan cenderung belum banyak untuk kegiatan manusia. Kawasan tersebut perlu dilindungi, karena sifatnya yang sangat fragile dan terdapat flora dan fauna yang langka. Berdasarkan hasil identifikasi potensi penyebaran kawasan inti di kawasan kars Wediombo ditemukan goa goa seperti lowo, goa Bentis, banyusumurup, goa Pertapan dan goa Kreweng; kawasan hutan seperti kawasan hutan alam, kawasan pemancingan, pegunungan, dan pantai di sepanjang pinggir pantai Wediombo. Untuk
mengembangkan strategi pengembangan
dilakukan pembuatan peta-peta overlay dengan menggunakan peta tematik mengenai kemiringan kawasan, tingkat curah hujan, peta kepadatan penduduk, peta kawasan pengembangan wisata, dan lain-lain yang akan disajikan dalam lampiran-lampiran. Dari hasil metode micro-ROS maka akan memberikan informasi dan arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Hasil survey potensi penyebaran kawasan yang dapat dijadikan sebagai kawasan wisata berdasarkan ketentuan micro-ROS dalam Gambar 32, sedangkan skala tingkat kelamiahannya pada Tabel 29, 30 dan Tabel 31. Dasar dari pembagian kawasan berdasarkan hasil identifikasi potensi tempat wisata dan mengacu konsep micro-ROS, oleh sebab itu dilakukan pengelompokan setiap potensi kawasan wisata berdasarkan kesempatan wisatawan untuk dapat menikmati setiap potensi kawasan wisata secara optimum. Pengelompokan kawasan potensi wisata meliputi: 1. Kelompok A (Pantai Wediombo) kesempatan berekreasi pada radius 200 m menikmati rekreasi pantai, diving, surfing, memancing tradisional, sunset,
113 berenang, melihat kehidupan nelayan, proses pengerjaan ladang tradisional, melihat keunikan batuan andesit, membeli ikan langsung dari nelayan dan menikmati ikan segar di warung sekitar pantai. Kesempatan pada radius 500 m sampai 1 km melihat tebing kars, hutan pegunungan kars, habitat kijang dengan menggunakan teropong dan beberapa tanaman endemik.
Goa Lowo
D
Goa Bentis dan Banyusumurup
A B
C
E
F
Gambar 32. Kantong-kantong Potensi Kawasan Wisata Berdasar Micro-ROS
2. Kelompok B melihat Goa Banyusumurup dan Goa Bentis, di dalam goa melihat stalagtit dan stalagmit maupun sungai bawah tanah dan beberapa fauna goa yang langka di permukaan radius 200 m melihat pegunungan kars, perladangan tradisional, dan radius 100 m sampai 200 m pegunungan kars, ladang penduduk dan kera ekor panjang. selama perjalanan potensi yang dapat dinikmati ladang penduduk dan produksinya, lembah, pegunungan kars dan hutan campuran. 3. Kelompok C Kawasan memancing di bukit Manjung, kesempatan yang didapat pada radius terdekat meliputi wisata memancing, melihat sunset,
114 melihat bukit kars. Untuk radius yang lebih luas lagi dapat menemukan penyu hijau, habitat kijang. 4. Kelompok D (Goa Lowo), radius terdekat melihat runtuhan goa dan sinhole, dan di dalam goa mempunyai kesempatan melihat habitat kelelawar terletak di sisi ujung tengah goa yang mempunyai kedalaman 75 m, ular phyton, bajing permukaan goa, ladang penduduk. Radius yang lebih luas lagi 200 m dikelilingi bukit kars. Perjalanan menuju Goa Lowo dari jalur utama ke Pantai Wediombo kesempatan yang dapat diperoleh selain pegunungan kars dan ladang penduduk dapat melihat luweng sumbon, sumur banyu urip dan runtuhan sinhole. Beberapa burung khas kawasan kars dapat, serta tradisi petani mengambil kebutuhan air, selama beraktifitas berladang
di sumur
banyu urip. 5. Kelompok E (Hutan alam), Kesempatan yang didapat melihat khas tanaman hutan kars, dan berkesempatan melihat burung kawasan hutan kars, ayam hutan (jarang terlihat), trenggiling (jarang terlihat), kera ekor panjang, lutung dan beberapa fauna khas kars yang belum teridentifikasi. Banyak tanaman endemi yang masih ditemukan di hutan alam seperti lowo, lo, ketapang, kina dan beberapa tanaman produksi. 6. Kelompok F, kesempatan yang diperoleh adalah melihat Goa Pertapan dan Goa Greweng dan pantai yang alami. Goa Greweng alurnya dapat menembus Goa Banyusumurup dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam, fauna yang ditemukan berdasarkan laporan penduduk antara lain, ikan, kepiting, udang dan beberapa yang belum teridentifikasi. Kesempatan lainnya adalah melihat pantai dengan tanaman pandan yang terjaga, penyu hijau, ikan hias dan memancing tradisional.
115 Tabel 29. Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara biofisik Setting Lingkungan Pantai Wediombo Pantai Jungwok Pantai Dadapan Goa Greweng, Lowo, Pertapan Pegunungan Hutan Alam Kawasan terbuka Goa Bentis dan Banyusumurup
1-2 Q Q Q PQ PQ PQ
3-4. Q P P P
PQ
Skala 5-6 QR
7 P
8-9.
R
Keterangan: P =akses, Q =kealamiahan, R = Fasilitas 1-2=setapak, sangat alami, tidak tersedia 3-4= setapak, alamiah, tidak tersedia 5-6= non motorized, alamiah ekstensif, sarana berladang 7 = motorized, sub-urban, dikelola secara tradisional 8-9= mudah, kawasan hunian
Dari tabel tersebut maka kondisi kawasan wisata Wediombo dapat dibedakan yaitu : •
Potensi
kealamiahan Kawasan Wediombo dari sangat alamiah sampai
alamiah •
Akses menuju kawasan dari sangat alamiah sampai sub-urban
•
Kelengkapan fasilitasnya dari tidak tersedia sampai tersedia dengan sederhana Sedangkan ditinjau secara sosial, kawasan ekowisata Wediombo dapat
dibedakan antara lain peruntukan lahan dan frekuensi masyarakat yang dijumpai, yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara sosial Setting Lingkungan Pantai Wediombo Pantai Jungwok Pantai Dadapan Goa Greweng, Lowo, Pertapan Pegunungan Hutan Alam Kawasan terbuka Goa Bentis dan Banyusumurup
1-2
3-4.
skala 5-6
M M M LM
L L L
M LM
L
7 LM
LM
Keterangan: L =peruntukan lahan, M =masyarakat yang dijumpai 1-2=hutan lebat, jarang 3-4= hutan produksi, beberapa penduduk lokal dan beberapa pengunjung khusus 5-6= ladang sudah dikelola, sering dijumpai masyarakat dan wisatawan 7 = rumah dan ladang, desa ; 8-9= kota
8-9.
116 Dari gambaran hasil tabel dari sisi sosial didapatkan bahwa: •
Penggunakan lahan menunjukkan dari kawasan hutan lebat sampai kawasan perladangan
•
Masyarakat yang dijumpai dari kondisi jarang bertemu sampai kondisi rural Sementara potensi wisata wediombo ditinjau secara administratif
dititipberatkan pada pelayanan terhadap wisatawan, biaya penggunaan dan kontrol pengelolaan. Adapun potensi ketiga faktor tersebut seperti pada Tabel 31. Tabel 31. Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara administratif Setting Lingkungan Pantai Wediombo Pantai Jungwok Pantai Dadapan Goa Greweng, Lowo, Pertapan Pegunungan Hutan Alam Kawasan terbuka Goa Bentis dan Banyusumurup
1-2
SB SB SB
3-4. SB SB K K
Skala 5-6 K K K
7 SB
8-9.
K K S
K
Keterangan: S =pelayanan terhadap wisatawan, B =biaya pengguna, K =kontrol pengelolaan 1-2= tidak ada, tidak ada, kurang terkontrol 3-4= khusus memancing, tidak ada, agak terkontrol 5-6= juru kunci, tergantung wisatawan, terkontrol 7 = tersedia secara tradisional, ditentukan pengelola, baik 8-9= profesional, mahal dan ditentukan, baik.
Secara administratif kantong-kantong potensi kawasan Wediombo adalah: •
Pelayanan dari tidak ada sampai ada pelayanan tetapi masih tradisional
•
Biaya penggunaan dari tidak dipungut biaya sampai ditentukan biayanya
•
Pengontrolan pengelolaan dari posisi sedang ke posisi baik Secara biofisik (Tabel 29), Kawasan Pantai Wediombo merupakan
kawasan tujuan utama wisatawan datang ke Wediombo, sehingga interaksi sosial (Tabel 30) yang terjadi tergolong semi modern karena antara pedagang, pemancing, nelayan dan wisatawan saling berinteraksi di kawasan Pantai Wediombo. Akses menuju kawasan cukup bagus (skala 7), kondisi kawasan masih alami (skala 3-4) terutama sebelah barat ujung teluk sampai alami ekstensif
117 (skala 5-6), tersedia tempat makan, toilet yang masih sederhana, sedangkan dilihat secara sosial pelayanan terhadap wisatawan masih standar minimal, penggunaan lahan sebagai tempat wisata sudah tertata. Beberapa kesempatan variasi kegiatan wisata di kawasan Pantai Wediombo adalah untuk diving, surving maupun rekreasi memancing dan menikmati panorama alam. Dilihat secara peta tematik tingkat erosi kawasan Pantai Wediombo rendah, sedangkan tingkat kemiringan 150-250. Pantai Jungwok dan Dadapan secara biofisik akses menuju kawasan melalui jalan setapak (skala 1-4), kondisi masih sangat alami (1-2) dan belum tersedia fasilitas, secara sosial masyarakat yang dijumpai adalah yang membuka ladang di sekitar kawasan, sedangkan secara administratif kontrol pengelolaan terkontrol (skala 3-4). Potensi kesempatan berekreasi adalah memancing dan melihat habitat kera ekor panjang bahkan penyu hijau.Tingkat kemiringan 80-150 (cenderung landai) dan tingkat erosional tinggi. Goa Lowo secara biofisik akses menuju ke kawasan dengan jalan setapak (1-4), kondisi masih sangat alami (1-2), fasilitas belum ada, secara sosial masyarakat yang dijumpai adalah petani yang berladang di sekitar kawasan, secara administratif kontrol pengelolaan agak terkontrol (3-4). Potensi rekreasi adalah melihat kelelawar goa, dapat masuk ke dalam goa secara vertikal, potensi experience lain adalah melihat ladang penduduk secara tradisional dan pemandangan hutan. Peta tematik menunjukkan tingkat erosi tinggi dan tingkat kemiringan tinggi (150-250 ). Goa Bentis dan Banyusumurup, akses menuju kawasan melalui jalan setapak (1-4), kondisi kawasan masih sangat alami sampai alami (1-4) dan terdapat rumah penduduk (rumah ladang) sebagai tempat singgah wisatawan sebelum masuk goa. Ada interaksi antara wisatawan dengan pemilik rumah ladang, peruntukan lahan untuk ladang tradisional. Ada pelayanan terhadap wisatawan dan kontrol pengelolaan (5-6), biaya penggunaan tergantung wisatawan. Goa bentis tingat erosi rendah sedangkan goa banyusumurup tinggi, sedangkan
tingkat
kelerengan
80-150.
Kesempatan
untuk
mendapatkan
pengalaman adalah keunikan dalam goa stalagtit-stalagmit, fauna goa dan sungai bawah tanah, selain itu melihat ladang penduduk dan pemandangan alam.
118 Kawasan Hutan, akses dengan jalan setapak (1-4), masih alami (1-4), kadang-kadang menjumpai masyarakat yang berladang disekitar hutan dan penebang pohon, kontrol pengelolaan rendah sampai agak terkontrol(1-4). Kesempatan berekreasi menikmati hutan alam kars, dan fauna berupa berbagai burung dan hewan hutan kars. Untuk kawasan terbuka yang berpotensi kawasan menuju ke Goa Bentis dengan akses jalan setapak, dan terletak di sekitar ladang penduduk. Potensi wisata sebagai tempat camping. Pegunungan, berada disekitar tempat potensi wisata dan akses menuju ke lokasi bervariasi (1-4) dan masih alami. Potensi mendapatkan pengalaman rekreasi untuk outbond dan hiking. Potensi lain adalah identifikasi keberadaan fauna berdasarkan tingkat populasi yang perlu dilindungi sesuai dengan ketentuan International Union Concervation and Nature (IUCN). Fauna yang hidup di dalam goa menurut IUCN masuk dalam kategori Red list data book (IUCN dalam Eagle et al., 2002). Dari hasil identifikasi secara langsung dan hasil penelitian sebelumnya, fauna yang ditemukan di Kawasan Wediombo disajikan dalam Tabel 32. Keberadaan fauna yang hidup di dalam goa dari kategori Endangered (EN) sampai Least concern (LC), tetapi yang paling banyak adalah kategori VU dan EN. Artinya bahwa fauna yang berada di Kawasan Goa dan permukaan Wediombo mempunyai nilai kelangkaan yang tinggi dan perlu dilindungi. Ada beberapa fauna yang belum teridentifikasi menurut skala IUCN seperti tikus goa, bajing kawasan kars, n ikan panjo dan lainnya.
119 Tabel 32. Daftar Fauna yang berada di Kawasan Wediombo No. 1 a b c d e f g h
Jenis Fauna
Kategori IUCN
Kepiting goa (Sesarmoides jacobsoni) Udang goa (Macrobrachium poeti) Ikan goa (Puntius microps) Isopoda goa (Javanoscia elongata) Laba-laba (Charon grayi) Landak (Hystryx brachyuran) Kelelawar (Nycteris javanica) Ular phyton (Phyton reticulatus)
Vulnerable (VU) Endangered (EN) Endangered (EN) Endangered (EN) Endangered (EN) Vulnerable (VU) Vulnerable (VU) Least Concern (LC)
Fauna yang ada di permukaan
a
Kera ekor panjang (Macaca fasicularis)
c d
e
Tempat Habitat
Fauna yang ada dalam goa
2
b
Potensi Wisata
Least concern (LC)
Lutung (Trachy pithecus cristatus)
Vulnerable (VU)
Trenggiling (Manis javanica)
Vulnerable (VU)
Kijang (Muntiacus muntjak) Penyu hijau (Chelonia mydas)
Hasil
penelitian
Endangered (EN)
lain
kawasan
Penelitian, pendidikan penelitian, pendidikan Penelitian, pendidikan Penelitian, pendidikan Penelitian, pendidikan penelitian, petualang Penelitian, pendidikan penelitian, petualang pendidikan, penelitian petualang, masa pendidikan, penelitian masa, petualang pendidikan, penelitian
masa, pendidikan penelitian, pendidikan masa
South
Banyusumurup, Greweng Banyusumurup Banyusumurup, Puring Bentis Bentis Banyusumurup, bentis Lowo Lowo, Bentis sepanjang bukit kars sebelah selatan pinggir pantai kawasan hutan alam sebelah timur Hutan alam Bukit sebelah utara pantai W.O. sepanjang pinggir pantai
Queensland
Australia,
mengidentifikasi kawasan yang digunakan sebagai kawasan wisata pada kawasan terbuka dan pemberian nilai untuk biofisik, sosial dan administratif diambil rataratanya. Perbandingan antar pembahasan kawasan Kars Wediombo dengan hasil penelitian di Queensland hampir sama, tetapi kawasan Kars Wediombo lebih sulit mengidentifikasi karena terdapat beberapa potensi kawasan wisata yang dapat dikembangkan dengan karakter berbeda, salah satunya ditemukannya variasi fauna yang masuk dalam kategori Red list data book dari IUCN.
120 Secara keseluruhan Kawasan Wediombo mempunyai potensi tempat wisata yang bersifat alami dan unik serta mendukung pengembangan wisata dengan konsep ekowisata, sedangkan berdasarkan potensi wilayah harus dikembangkan sebagai kawasan ekowisata sesuai dengan tujuan Pemda Gunungkidul sebagai kawasan wisata berbasis alam dan konservasi (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2000). Dari hasil pengamatan dan pemetaan dihasilkan beberapa zone yang dikelompokkan menjadi: 1. Zone Wisata Pantai Wediombo (Zone A) Akses menuju ke kawasan ini sangat mudah, dan bisa memarkir kendaraan dekat dengan lokasi. Jalanan bisa dilalui berbagai kendaraan karena merupakan jalan aspal. Kawasan ini termasuk semi modern, sehingga merupakan kawasan yang menjadi tujuan utama bagi para wisatawan. Pantainya berupa teluk yang panjangnya mencapai 1,5 km sampai ke Tanjung Watu Semar, yang mempunyai hamparan pasir putih. Bagian selatan Pantai terdapat batuan andesit yang muncul dipermukaan bercampur dengan pasir putihnya. Karena Ombaknya yang cenderung tenang dan perairannya masih asli, Pantai Wediombo dapat digunakan tempat wind surfing dan diving. Pantai bagian utara merupakan tempat bersandarnya kapal nelayan, sedangkan di sekitar Pantai Wediombo beberapa kijang maupun kura-kura dapat di lihat. Pinggiran pintu masuk terdapat warung tradisional sebagai tempat makan, mandi dan menara pengawas pantai dan konservasi walaupun sifatnya masih sederhana. Perladangan penduduk juga ditemukan di kawasan yang dekat dengan pintu masuk. Potensi kawasan yang dapat dikembangkan 80 hektar. Secara topografi kawasan tersebut mempunyai tingkat erosi yang rendah, dengan tingkat kelerengan 8% – 15% sedangkan di sebelah barat mendekati Tanjung Karang Momang tingkat kelerengan 15%- 25%. 2. Zone Wisata Pantai dan Goa (Zone B) Letak nya di sebelah selatan Pantai Wediombo. Akses menuju ke lokasi dengan cara berjalan kaki dari Pantai Wediombo ke arah selatan sampai Tanjung Manjung, hingga ke timur Tanjung Dengkeng. Kawasan tersebut di kategorikan kawasan semi primitive hingga primitive, karena belum tersedia sarana dan
121 prasarana bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut. Beberapa Pantai berada di kawasan ini, yaitu: Tanjung Manjung, Pantai Jungwok, Pantai Dadapan, Tanjung Watukopi, Tanjung Sinden hingga Tanjung Dengkeng. Semua Tanjung tersebut masih sangat asli dan alami, belum banyak wisatawan yang datang. Pantainya langsung berbatasan dengan Pantai Selatan, oleh sebab itu kawasan ini sangat indah dinikmati panorama alamnya. Dua tempat kawasan pemancingan tradisional banyak diminati para wisatawan minat khusus. Beberapa hewan yang ditemukan adalah, penyu hijau yang terdapat disepanjang tanjung dan ikan panjo yang jarang ditemukan ditempat lain, kera ekor panjang yang hidup di sekitar pantai, landak goa dan beberapa ekor kijang maupun hewan yang lain. Terdapat empat goa yang masih asli dengan stalagtit maupun stalagmite muda yang masih berkembang dan disalah satu goa terdapat sungai bawah tanah. Di dalam goa ditemukan beberapa hewan khas goa seperti laba-laba goa, ikan goa, udang goa, kepiting goa dan beberapa yang belum teridentifikasi. Banyak perladangan penduduk secara tradisional berada di kawasan ini dengan cara penanaman tumpangsari dan tegalan tadah hujan. Disamping itu beberapa rumah ladang untuk istirahat setelah habis berladang dibangun di kawasan ini yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat wisatawan yang akan menuju ke goa atau pantai Jungwok, Pantai Dadapan atau ketempat kawasan pemancingan. Potensi kawasan yang dapat dikembangkan kurang lebih seluas 135 hektar dan mempunyai potensi sebagai wisata minat khusus goa dan pantai. Tingkat erosi di sebelah barat rendah dan di sebelah timur tingkat erosi tinggi, dengan tingkat kelerengan 8% - 15%. 3. Zone wisata Goa, yang terdapat dikawasan goa lawa (Zone C) Kawasan ini dapat dikembangkan sebagai zone semi pristine, karena untuk menuju kekawasan tersebut hanya dapat dilalui melalui jalan setapak dengan melewati pegunungan, hutan tanaman kars dan ladang penduduk dengan kondisi topografi menaik dan menurun. Keunikan lain adalah bentuk goa merupakan runtuhan bentuk flank margin dan bagian tengah berbentuk lubang vertikal dan di dalamnya dihuni oleh ribuan ekor kelelawar dengan ukuran beranekaragam. Karena tingkat kesulitan untuk menuju kawasan tinggi, maka kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai kawasan wisata minat khusus, wisata petualang dan wisata pendidikan. Kawasan yang dapat dikembangkan kurang lebih 40 hektar,
122 karena sifatnya yang sangat fragile dan terdapat flora dan fauna yang langka maka perlu adanya aturan agar kawasan tersebut tidak mengalami kerusakan. Tingkat erosi termasuk tinggi dan tingkat kelerengan mencapai 15% -25%. 4. Zone Wisata Alam Hutan (Zone D) Jenis hutan alam yang ditumbuhi oleh berbagai pohon yang dapat bertahan di kawasan kars. Jenis pohon yang ada di hutan ini sebagian besar pohon jati, kemudian di ikuti pohon lain yang bersifat tanaman produksi dan beberapa pohon endemik yang hampir punah. Beberapa hewan yang hampir punah masih ditemukan, seperti trenggiling, kera hitam, ayam hutan dan beberapa burung cangak hitam. Hewan yang masih banyak populasinya ditemukan adalah kera ekor panjang, ular sanca dan beberapa ular lain, burung kas hutan kars dan beberapa hewan lain yang belumteridentifikasi. Akses untuk menuju kawasan hutan dapat ditempuh dengan melalui jalan setapak dan berjarak kurang lebih 5 km dari Pantai Wediombo. Dari sifat kondisi kawasan maka kawasan hutan alam masih bersifat semi primitive hingga primitive. Pengembangan kawasan hutan alam diperkirakan dapat mencapai 130 hektar. Tingkat erosi di hampir semua kawasan hutan alam tinggi, dengan tingkat kelerengan 8% - 15%, hanya sedikit bagian timur yng tingkat kelerengan tinggi. 5. Zone Wisata Budaya (Zone E) Kategori yang dianggap sebagai pusat budaya adalah dusun yang masih memelihara dan menjalankan budaya tradisional, yang dilihat dari budaya upacara adat dan keagamaan, budaya
memelihara kesenian tradisional dan budaya
menghasilkan makanan khas masyarakat lokal. Beberapa dusun budaya meliputi dusun Senggani, dusun Manukan dan dusun Karang Lor. Akses untuk menuju ke tiga dusun cenderung rural area (sub urban park). 6. Zone Wisata Lain (Zone F) Kawasan ini merupakan jalan masuk ke kawasan Pantai Wediombo, yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa kesempatan untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata yaitu: F1: melihat Sendang Puring yang merupakan pusat sumber air bagi masyarakat Kawasan Wediombo pada musim kemarau. Sumber air keluar dari sungai bawah
123 tanah yang muncul dari tebing bukit kars, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi, mencuci pakaian dan kebutuhan lain. Melihat ritual nyadran yang dilakukan setiap tahun dipusatkan di peristirahatan Gusti Worawari berupa pohon yang terletak di pertengahan perladangan masyarakat pada km-4,1 menuju Pantai Wediombo kemudian masuk ke arah barat dengan melalui jalan tanah kurang lebih 1,5 km. F2: melihat conical kars, sepanjang jalan menuju ke Pantai Wediombo di kiri dan kanan jalan mempunyai kesempatan melihat pegunungan yang berbentuk conical. Pada Km-2.5 wisatawan mempunyai kesempatan melihat dua conical yang dibatasi oleh lembah yang terletak di kedua sisi jalan. F3: melihat ladang tradisional dan hutan. Pada Km-0,8 terdapat hutan campuran meliputi akasia,jati dan lainnya dan perladangan penduduk. Untuk Km-1,5 berupa hutan jati yang tumbuh di kedua bukit dan ditengahnya merupakan ladang penduduk. F4: titik peristirahatan dan tempat kuliner, kawasan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan terletak di Km-0,4, pasar Jepitu dan Km-4,1. Di Pasar Jepitu akses dan sarana sudah baik, jika dikembangkan sebagai wisata kuliner berupa hidangan laut sangat mendukung karena hasil laut dapat diambil dari pusat perdagangan ikan di Pantai Sadeng kurang lebih 4 Km ke arah timur. Pada Km0,4 dekat dengan batas Dusun Nglaban berupa kawasan bukit yang cenderung landai dengan panorama dapat melihat bukit-bukit kars ke arah selatan, dan dapat dibangun peristirahatan dan tempat kuliner hidangan laut. Selanjutnya Km-4,1 merupakan ladang penduduk yang luas dan mempunyai kesempatan melihat pemandangan bukit kars dari jauh serta ke arah selatan dapat menikmati pemandangan air laut maupun keindahan panorama pada waktu matahari tenggelam, dapat dibangun wisata kuliner dan menikmati hasil panen tadah hujan dari ladang pemduduk berupa kacang tanah, ketela pohon, dan lainnya serta hidangan laut yang bahannya dapat diambil dari nelayan Pantai Wediombo. Karena aksesnya mudah dan selalu ramai dilewati wisatawan, maka kawasan tersebut termasuk zone semi modern. Tingkat erosi mendekati Kawasan Pantai Wediombo rendah dengan tingkat kelerengan 0% - 8% dan 8% - 15%, sedangkan dibagian utara dan tengah tingkat erosinya tinggi dengan tingkat
124 kelerengan 8% -15% dan 15% - 25%. Semua pembagian wilayah tersebut di petakan pada Gambar 33 sedangkan berdasarkan hasil zoning dibuat tabel 33. berdasarkan International Union of Conservation and Natural ( IUCN) sebagai berikut:
90
E
E pasar
F3
Km-0,4
F4
Km-0,8
ladang
E Km-1,9
F2 Km-2,5
F1
Sendang puring
F4 Km-4,1 A
Ladang luas
C
D B
Gambar 33. Pembagian Zoning Kawasan Kars Wediombo
125
90
Tabel 33. Matrik kategori zone kawasan dan objek pengelolaan menurut IUCN (dalam Eagle et al., 2002) Kategori Zona Kawasan dan Objel Pengelolaan Menurut IUCN No.
1.
2. 3. 4. 5. 6.
Zone
Zone A
Zone B Zone C Zone D Zone E Zone F
IUCN Kategori
Research sains
Ia III V II IV V IV II
1 2 2 2 2 2 2 2
V
2
perlind. Kwsn. alami 2 3 2 3 3 2
sustain.
pemeliharaan Atribut budaya tradisional
2 2 2 2 2 2 2
2 3 2 2 2 3
1
2
2
1
perlind. SDA dan Budaya
wisata/ rekreasi
Pendidikan
2 1 1 2 1 1
1 1 2 3 1 3 2
1 1 1 3 1 3 1
2
1
1
Preserve. Biodever.
pemel. lingk.
1 1 2 1 1 2 1 1
2
2
1
Keterangan : 1 = objek primer; 2 = objek sekunder; 3 = objek potensial Kategori IUCN: Ia = pengelolaan kawasan yang dilindungi terutama pengelolaannnya untuk pengembangan sains. II = taman nasional, kawasan yang dilindungi terutama untuk ekosistem dan rekreasi. III = monument alam, kawasan yang dilindungi untuk konservasi dan spesifik bentang alam. IV = kawasan pengelolaan habitet atau spesies, kawasan yang dilindungi untuk konservasi hingga intervensi pengelola. V = melindungi lanskap dan kawasan pantai.
126
127 Kawasan Zone A (Pantai Wediombo), kategori IUCN termasuk Ia, karena ditemukan batuan andesit yang muncul di permukaan pinggir Pantai Wediombo. Berdasarkan hasil identifikasi secara geologi, batuan tersebut merupakan peninggalan endapan proses gunung api purba. Kategori III, karena di Pantai Wediombo mempunyai teluk yang paling luas di kawasan pantai Gunungkidul dan di batasi oleh bentang kars, disamping keberadaan karang yang masih asli selain itu ditemukan penyu hijau. Kategori V, Pantai Wediombo merupakan tujuan utama wisatawan, maka perlu dilindungi supaya tidak rusak oleh kegiatan wisatawan, di pinggiran pantainya merupakan lahan perladangan tradisional yang dan tumbuh beberapa pohon endemi (lowo, ketapang, lo, widuri dan yang lain). Pewilayahan B (pantai dan goa), masuk kategori III karena terdapatnya goa yang mempunyai keunikan baik di permukaan goa maupun di dalam goa yang memerlukan perlakuan khusus, juga pantai yang mempunyai banyak pohon yang perlu dikonservasi. Kategori IV, di dalam goa terdapat beberapa fauna yang tergolong mempunyai tingkat kelangkaan tinggi dan masuk dalam kategori vulnarable hingga endangered dan menurut IUCN masuk dalam Red list data book (buku merah). Kategori V, karena goa dan pantai di zone ini termasuk sangat fragile, maka perlu dijaga kelestariannya.Zone C (Goa Lowo) masuk dalam kategori IV, karena terdapatnya habitat kelelawar dengan berbagai ukuran yang termasuk pada taraf vulnarable dan beberapa habitat lain sepeti ular phyton, bajing kars dan fauna lainnya. Selain itu terdapat sinhole yang di dasarnya diperkirakan sungai bawah tanah. Zone D (hutan alam) masuk dalam kategori II, karena merupakan hutan alam kars yang mempunyai flora dan fauna yang khas untuk kawasan kars, maka perlu dilindungi kelestariannya dan dikembangkan sebagai tempat rekreasi untuk melihat flora dan fauna. Zone F (kawasan sepanjang jalan ke Pantai Wediombo dan kawasan lainnya yang berpotensi dikembangkan sebagai kawasan wisata) masuk dalam kategori V, berpotensi sebagai kawasan wisata pendidikan, penelitian , kuliner, massa dan petualang karena adanya dukungan lanskap berupa lembah datar dan pegunungan yang berbentuk kerucut (conical) dan adanya tempat yang masih di sakralkan oleh penduduk setempat dan diperingati setiap tahun dengan upacara nyadran.
128 Sesuai dengan metode micro-ROS, dibuat zoning kawasan yang meliputi, zone Pantai Wediombo (A), zone pantai dan goa (B), zone goa (C), zone wisata alam hutan (D), zone pusat budaya (E) dan zone lainnya (F). Tabel 34. Zone Kawasan Kegiatan Wisata di Kawasan Kars Wediombo No.
Zone Kawasan
1.
Zone A
2.
Zone B
3.
Zone C
4.
Zone D
5.
Zone E
6.
Zone F
Kesempatan Kegiatan Wisata Menikmati pemandangan panorama laut dan tebing kars, duduksantai/piknik, berenang di laut, diving, surfing, outbond, theme park, kehidupan nelayan, menikmati ikan goreng yang ikannya dibeli langsung dari nelayan, melihat sunset, penelitian, memancing dan melihat tanaman endemik, ritual ngalangi. Beberapa bangunan sederhana untuk sarana penunjang sudah ada dan masih sederhana. Melihat keindahan dalam goa, camping ground, , trekking, hiking, memancing di puncak bukit, menikmati ketela rebus,menikmati keindahan ladang penduduk, melihat pergerakan kera ekor panjang, menikmati panorama kars, menikmati keindahan pantai, bertapa, melihat penggarapan ladang secara tradisional, ritual ngalangi Menikmati pergerakan kelelawar, menikmati pemandangan alam/pegunungan konikal, melihat sinhole, melihat perladangan tradisional, melihat ular phyton, melihat bajing goa, trekking, hiking, menikmati luweng Sumbon, melihat perladangan tradisional Menikmati hutan kars dan beberapa tumbuhan endemik, hiking, dan mengamati fauna khas kawasan kars Wediombo. Menikmati budaya lokal yang dimiliki Kawasan Wediombo yang meliputi 3 dusun. Sepanjang perjalanan menuju kawasan Pantai Wediombo melihat bukit konikal, hutan jati dan campuran, ladang penduduk, menikmati ritual rosulan dan kemungkinan dapat dikembangkan sebagai wisata kuliner.
Apabila diperlukan, maka pembatasan jumlah pengunjung maupun tipe dari pengunjung yang datang ke lokasi wisata dapat dilakukan melalui tarif harga yang berbeda untuk setiap produk yang ditawarkan. Pemahaman mengenai pentingnya
menjaga
kelestarian
lingkungan
kawasan
wisata
dapat
disosialisasikan untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat jumlah dan aktifitas wisatawan baik secara langsung (misal kegiatan outbond dan presentasi sifat kefragilan kars) maupun tidak langsung (brosur, peraga, rambu peringatan dan lainnya). Langkah selanjutnya untuk menentukan alternatif prioritas wisata yang berbasis ekologi, dilakukan analisis viabilitas berdasarkan hasil dari micro-ROS, dengan mempertimbangkan aspek
jumlah wisatawan berkunjung, jumlah
kesempatan berekreasi, kemenarikan berkunjung, persaingan dan kelayakan. Nilai jumlah
wisatawan berkunjung sebagaimana tercantum dalam Tabel 35
129 berdasarkan
hasil pengamatan lapangan. Nilai 5 jika jumlah
wisatawan
berkunjung banyak, nilai 4 sedang, nilai 3 sedikit, nilai 2 sangat sedikit dan nilai 1 tidak ada yang berkunjung (kondisi tertentu). Tabel 35. Matrik Penentuan Nilai Jumlah Wisatawan Berkunjung No. Zone Kawasan 1.
Zone A
2.
Zone B
3.
Zone C
4.
Zone D
5.
Zone E
6.
Zone F
Jumlah Wisatawan
Nilai
Wisatawan yang berkunjung setiap minggu ratarata 150 wisatawan dan lebih banyak lagi jika pada musim liburan sekolah dan tahun baru Setiap akhir minggu beberapa orang wisatawan hanya untuk memancing, untuk pantai masih belum ada yang berkunjung , goa hanya beberapa peneliti yang datang dan kawasan camping ground baru beberapa kali digunakan Belum ada wisatawan yang berkunjung, beberapa peneliti pernah masuk kawasan goa Lowo Belum ada wisatawan yang berkunjung, beberapa peneliti pernah masuk kawasan hutan alam 3 desa merupakan pusat budaya, belum ada wisatawan yang khusus berkunjung ke desa tersebut untuk menikmati kebudayaannya, kebudayaan dipertunjukkan jika mengadakan bulan setelah panen raya setiap tahun (ngalangi, rosulan, wayang kulit, reog dan lain-lain) Sepanjang perjalanan dari jalan kabupaten menuju ke Pantai Wediombo, ramai kendaraan yang lewat
5 3
1 1 1
1
Nilai jumlah kesempatan berekreasi berdasarkan dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat, dan wawancara dengan wisatawan mengenai tujuan berkunjung ke kawasan Wediombo (Tabel 36). Nilai 5 menunjukkan banyak variasi atraksi wisata, nilai 4 variasi atraksi wisata agak banyak, nilai 3 atraksi variasi sedang, nilai 2 atraksi variasi wisata sedikit, nilai 1 sangat sedikit. Nilai persaingan ditentukan berdasarkan kemungkinan adanya persaingan kegiatan yang ditawarkan di Kawasan Wediombo (Tabel 37).
Nilai 1
menunjukkan tidak ada sama sekali persaingan, nilai 2 menunjukkan adanya sedikit tingkat persaingan, nilai 3 nilai persaingan sedang, nilai 4 nilai persaingan tinggi dan nilai 5 nilai persaingan sangat tinggi. Beberapa objek wisata diluar kawasan Wediombo yang menjadi pesaing kegiatan
130 Tabel 36. Matrik Penentuan Nilai Banyaknya Kesempatan Berekreasi No.
Zone Kawasan
1.
Zone A
2.
Zone B
3.
Zone C
4.
Zone D
5.
Zone E
6.
Zone F
Banyaknya Kesempatan Berekreasi
Nilai
Menikmati panorama pantai, panorama pegunungan kars, melihat batuan andesit tersingkap, menikmati hamparan pasir putih, memancing, berenang di pantai, diving, surving, menikmati habitat kijang, menikmati hidangan ikan laut, memotret, ladang tradisional, pertunjukan budaya ngalangi, dudkduduk/piknik, outbond, theme park, melihat penyu hijau (jarang terlihat), pendaratan nelayan/rumah nelayan, melihat sunset. Menikmati goa Bentis, Banyusumurup, Pertapan dan Greweng. Menikmati panorama stalagtit dan stalagmite, menikmati sungai bawah tanah, menikmati perladangan penduduk, menikmati panorama pegunungan kars, menikmati pergerakan kera ekor panjang, menikmati singkong rebus dengan cangkir dari batok kelapa, melihat landak (malam hari), menikmati pantai Jungwok dan Dadapan, memancing tradisional, trekking, hiking, camping ground, melihat hutan bukit kars. Menikmati pergerakan kelelawar (malam hari), melihat sinhole, melihat panorama pegunungan kars, bajing goa, trekking, melihat luweng sumbon (dalam perjalanan). Menikmati hutan alam, menikmati flora dan fauna khas kawasan kars. rekreasi budaya yang terdapat di 3 desa dan makanan khas Menikmati panorama pegunungan kars, hutan jati dan campuran, ladang penduduk, wisata kuliner (potensi)
5
5
3
2 2 2
Tabel 37. Matrik Penentuan Nilai Persaingan Kawasan Wisata No.
Zone Kawasan
Pesaing
Nilai 5
1.
Zone A
2.
Zone B
3.
Zone C
Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Krakal, Pantai Siung, Pantai Sundak, Pantai Parangtritis Pantai Baron, Pantai Krakal, Pantai Kukup, Pantai Siung, (perladangan penduduk Kawasan Wediombo lebih baik) Pantai Baron
4.
Zone D
Hutan Bunder, Kawasan Purwodadi
3
5.
Zone E
Purwodadi (Pantai Siung)
5
6.
Zone F
Pantai Baron, Pantai Sundak, Pantai Krakal, Pantai Siung, Parang tritis, Pantai Samas
3
5 4
131 Nilai kelayakan ditentukan berdasarkan kemungkinan faktor utama kerusakan atau pencemaran lingkungan yang dapat terjadi akibat adanya kegiatan tersebut. Nilai 5 menunjukkan kemungkinan terjadi kerusakan atau pencemaran akibat kegiatan yang dilakukan sangat sedikit, nilai 4
menunjukkan dampak
sedikit, nilai 3 dampak cukup, nilai 2 dampak tinggi dan nilai 1 sangat tinggi. Tabel 38. Nilai Kelayakan Kawasan Wediombo No.
Zone Kawasan
1.
Zone A
2.
Zone B
3.
Zone C
4.
Zone D
5.
Zone E
6.
Zone F
Nilai Kelayakan
Nilai
Untuk menikmati panorama alam, ombak pantai, berenang, dan lain-lain relatif sedikit kemunginan terjadi kerusakan, jika ada pengawasan sadar kebersihan untuk kegiatan masing-masing wisatawan dan pengawasan pengambilan pasir putih. Kawasan Pantai Wediombo mempunyai pantai teluk yang luas dan dapat menampung aktifitas pengunjung dalam jumlah besar. Untuk Pantai Jungwok dan Pantai Dadapan, masih banyak tanaman yang bersifat langka, maka pengawasan perlu diperketat. Selain itu kawasan ini digunakan sebagai wisaat memancing secara tradisional. Untuk Goa perlu pembatasan wisatawan agar tidak merusak kars yang masih alami. Perlu pembatasan wisatawan, karena kawasan ini salah satu tempat tinggal kelelawar dan beberapa fauna lain (bajing goa, tikus goa, ular phyton dan yang lain). Selain itu di sekitar goa ditemukan sinhole yang kedalamannya belum diketahui. Perlu membuat jalan setapak secara khusus untuk dapat menikmati kondisi hutan alamnya, sehingga kegiatan wisatawan dapat terlokalisisr. Setiap tahun ada kegiatan yang dilakukan di Pantai Wediombo dan Pantai Jungwok, sedangkan 3 desa yang dianggap merupakan pusat budaya perlu dilestarikan. Jika dikelola dengan baik karena adanya dukungan sumber ikan di Pantai Sadeng, maka kawasan sepanjang jalan menuju kawasan Wediombo dapat dikembangkan seabgai kawasan wisata kuliner dan agrowisata.
4
2
2
3 5
4
Penilaian-penilaian terhadap aspek zonasi kawasan yang meliputi, aspek jumlah wisatawan yang berkunjung, banyaknya kesempatan berekreasi, banyaknya pesaing dan kelayakan penggunaan kawasan Tabel 39.
dirangkum dalam
132 Tabel 39. Matrik Analisa Viabilitas Zone-Zone Kawasan Wediombo Banyaknya Jumlah kesempatan Kunjungan rekreasi 5 5
No.
Zone
1
Zone A
2
Zone B
3
3
Zone C
4
Pesaing
Kelayakan Total
Ranking
5
4
19
1
5
5
2
15
2
1
3
4
2
10
4
Zone D
1
2
3
3
9
5
5
Zone E
1
2
5
5
13
3
6
Zone F
1
2
3
4
9
5
Berdasarkan analisa viabilitas zone kawasan, maka kawasan Pantai Wediombo (zone A) merupakan prioritas utama (ke-1) yang perlu dikembangkan, karena banyak potensi yang diminati wisatawan. Untuk tahap selanjutnya kawasan pantai dan goa menjadi prioritas ke-2 (zone B), kemudian berturut-turut Zone E (desa budaya), Zone C dan Zone D, F. Semua
kawasan tersebut
memenuhi potensi dikembangkan sebagai kawasan ekowisata kars. Untuk memberikan gambaran potensi produk wisata yang dapat dikembangkan di masing-masing zone, maka dilakukan deskripsi untuk menerangkan potensi kegiatan yang dapat dikemas dimasing-masing kantong potensi wisata.Selain itu diuraikan kendala yang ada, solusi untuk mengatasi kendala, keterlibatan stakeholders sampai menentukan profil wisatawan yang sesuai untuk mengunjungi kawasan pada setiap zone. Gambaran produk wisata yang berbasis ekologi dideskripsikan berdasarkan hasil ranking prioritas viabilitas zone yang dikembangkan. Langkah tersebut adalah salah satu strategi pengembangan kawasan ekowisata kars. Uraian setiap prioritas zone adalah seperti Tabel 40.
133 Tabel 40.
Deskripsi Zona Produk Ekowisata di Kawasan Ekowisata Kars Wediombo (Zone A)
Zone A (Pantai Wediombo) Kegitan Utama:
Daya tarik:
Lokasi :
Sasaran:
Menikmati panorama alam dan mencari pengalaman
Keindahan pantai dan tebing kars, kegiatan surfing, diving
Pantai Wediombo
Pengunjung harian, wisata pendidikan, wisata petualang, wisata penelitian, wisata massa
Ilustrasi:
Deskripsi produk: Melihat pemandangan pantai, pemandangan bukit kars, memancing tradisional, melihat flora endemi. Ada beberapa wisatawan asing melakukan kegiatan surfing pada bulan tertentu. Potensi yang belum dikelola meliputi: diving, theme park, outbond , agrowisata dan kuliner
Pantai Wediombo Pelayanan:
Warung makan dan toilet Tempat parkir Tempat duduk dipinggir pantai (dari bambu)
Kendala:
Tidak ada tempat penampungan sampah. Tidak ada tempat ibadah Tidak ada tempat pembilas yang memadai Tidak ada rambu-rambu kawasan yang menarik
Pihak terkait: Dinas pariwisata Masyarakat lokal (pengawasan pencurian pasir putih) dan yang lain.
Tata tertib pengunjung: Pengunjung tidak boleh membawa pasir putih dari pantai. Pengunjung tidak boleh berenang di sisi utara Pantai Wediombo.
Solusi:
Disediakan tempat sampah di pinggir pantai, dibangun sarana dan prasarana yang memadai. Perlu pemandu wisata Perlu promosi wisata berupa ramburambu.
Profil wisatawan : Rombongan (piknik), berpasangan pelajar/mahasiswa, keluarga
134 Tabel 41.
Deskripsi Zona Produk Ekowisata di Kawasan Ekowisata Kars Wediombo (Zone B)
Zone B (Pantai dan Goa) Kegitan Utama:
Daya tarik:
Lokasi :
Sasaran:
Menikmati panorama alam, memancing tradisional, Caving, agrowisata
Keindahan pantai dan tebing kars, memancing tradisional, menelusuri goa, ladang tradisional, melihat kera ekor panjang, ikan hias, penyu hijau
Pantai Jungwok, Pantai Dadapan, Bukit Jungwok, Bukit Gelatik, Goa Bentis, Goa Banyusumurup, Goa Pertapan dan Goa Greweng, Ladang tradisional Deskripsi produk:
Wisata pendidikan, wisata petualang, wisata penelitian, wisata minat khusus dan memancing
Ilustrasi:
Memancing di bukit, melihat keindahan pantai, tebing kars, masuk ke dalam goa, melihat ladang tradisional, melihat kera ekor panjang, melihat berbagai ikan hias di laut, melihat tanaman endemi, melihat kijang, melihat matahari tenggelam (sunset). Ladang tradisional Pelayanan:
Panorama Goa Bentis Pihak terkait:
Belum tersedia Ada juru kunci di Goa Bentis dan Banyusumurup Tempat istirahat rumah ladang Arahan dari juru kunci dan hidangan singkong rebus.
Dinas pariwisata Masyarakat lokal (pengawasan pencurian pasir putih) dan yang lain.
Kendala: Belum dikelola Tidak ada sarana dan prasarana Tidak ada rambu-rambu kawasan yang menarik dan masih sangat alami Pemandu wisata
Tata tertib pengunjung: Pengunjung tidak boleh membawa pasir putih dari pantai. Tidak boleh merusak tanaman pandan di sekitar pantai Tidak boleh mengambil kurakura, mengganggu habitat kera Tidak boleh merusak ornamen goa.
Solusi: Perlu penataan kawasan wisata Perlu pemandu wisata Perlu promosi wisata berupa rambu-rambu. Aturan mengenai perlindungan lingkungan disosialisasikan dan dijalankan.
perlu
Profil wisatawan : Penelitian, petualang, pendidikan, wisatawan memancing
135 Tabel 42.
Deskripsi Zona Produk Ekowisata di Kawasan Ekowisata Kars Wediombo (Zone C)
Zone C (Goa) Kegiatan Utama:
Daya tarik:
Lokasi :
Sasaran:
Menikmati panorama alam, melihat pergerakan kelelawar, bajing goa, ular phyton, caving, trekking, hiking, agrowisata, melihat sinhole.
Keindahan panorama pegunungan dan tebing kars, menelusuri luweng dan goa, ladang tradisional, melihat kera ekor panjang.
Goa Lowo, luweng sumbon, sumur banyu urip, sinhole dan ladang tradisional
wisata pendidikan , wisata petualang, wisata penelitian, wisata minat khusus
Deskripsi produk:
Ilustrasi:
Trekking, hiking, melihat keindahan panorama gunung kars dan tebing kars, masuk ke dalam goa, melihat ladang tradisional dan aktifitas petani, melihat kera ekor panjang, melihat pergerakan kelelawar, bajing goa, melihat sinhole dan sungai bawah tanah (belum dikelola)
Panorama Goa Lowo Pihak terkait: Pelayanan: Belum tersedia Tempat istirahat tersedia
belum
Kendala: Belum dikelola Tidak ada sarana dan prasarana Tidak ada rambu-rambu kawasan yang menarik dan masih sangat alami Pemandu wisata
Dinas pariwisata Masyarakat lokal sebagai fungsi pengawasan
Tata tertib pengunjung: Tidak boleh mengambil mengganggu habitat kera, kelelawar, dan habitat yang ditemukan dalam goa lowo Tidak boleh merusak ornamen goa
Solusi: Perlu penataan kawasan wisata Perlu pemandu wisata Perlu promosi wisata berupa rambu-rambu. Aturan mengenai perlindungan lingkungan perlu disosialisasikan dan dijalankan.
Profil wisatawan: Penelitian, petualang, pendidikan
136
Tabel 43.
Deskripsi Zona Produk Ekowisata di Kawasan Ekowisata Kars Wediombo (Zone D)
Zone D (Hutan Alam) Kegiatan Utama:
Daya tarik:
Lokasi :
Sasaran:
Menikmati panorama alam dan tanaman endemik, maupun fauna yang tedapat di hutan alam. Ilustrasi:
Keindahan panorama pegunungan dan tebing kars, tanaman endemik dan fauna.
Hutan alam
wisata pendidikan, wisata petualang, wisata penelitian.
Deskripsi produk: Trekking, hiking, melihat keindahan panorama gunung kars dan tebing kars, tanaman endemi dan fauna yang terdapat di kawasan hutan.
Kawasan hutan kars Pelayanan: Belum tersedia Tempat istirahat belum tersedia
Pihak terkait: Dinas pariwisata Dinas Kehutanan Masyarakat lokal sebagai fungsi pengawasan
Kendala: Belum dikelola Tidak ada sarana dan prasarana Tidak ada rambu-rambu kawasan yang menarik dan masih sangat alami Pemandu wisata
Tata tertib pengunjung: Tidak boleh merusak tanaman yang terdapat dalam hutan alam Tidak boleh mengganggu keberadaan fauna yang ada.
Solusi: Perlu penataan kawasan wisata Perlu pemandu wisata Perlu promosi wisata berupa rambu-rambu. Aturan mengenai perlindungan lingkungan perlu disosialisasikan dan dijalankan.
Profil wisatawan : wisata Penelitian, wisata petualang, wisata pendidikan.
137
Tabel 44.
Deskripsi Zona Produk Ekowisata di Kawasan Ekowisata Kars Wediombo (Zone E)
Zone E (Desa Pusat Budaya) Kegiatan Utama:
Daya tarik:
Lokasi :
Sasaran:
Menikmati budaya yang masih dipelihara oleh penduduk lokal dan makanan khas
Keunikan budaya, ritual dan penganan khas yang dapat ditemui di dusun kawasan Wediombo.
Dusun Senggani, Manukan dan Karanglor
wisata pendidikan, wisata penelitian, wisata spiritual
Deskripsi produk:
Ilustrasi:
Ritual (ngalangi, nyadran, gawar kentheng, memule, gumbregan, terbangan, suran, kirim ndowo), seni tradisional (wayang kulit, jatilan, ketoprak, reog, karawitan, campursari), makanan khas (jadah, getuk, wajik, srimpeng, resan, apem, satlit ketela, timel, puli, ampyang, cemplon, krecek, onde-onde, gatot). Arak-arakan Ngalangi Pelayanan:
Belum tersedia secara khusus Khusus ngalangi sudah dilakukan setelah musim panen setiap tahun Kendala:
Belum dikelola Tidak ada sarana dan prasarana untuk menikmati kegiatan budaya Tidak promosi keunikan budaya , sehingga wisatawan belum tertarik untuk menyaksikan acara budaya. Pemandu wisata untuk menjelaskan sejarah munculnya ritual dan budaya yang ada.
Pihak terkait:
Dinas pariwisata Masyarakat lokal sebagai fungsi penggerak
Tata tertib pengunjung:
Solusi: Perlu promosi dan pengenalan keunikan budaya yang ada di kawasan Wediombo Perlu pemandu wisata
Profil wisatawan: wisata Penelitian, wisata pendidikan, wisatawan spiritual dan tempat kuliner
138 Tabel 45.
Deskripsi Zona Produk Ekowisata di Kawasan Ekowisata Kars Wediombo (Zone F)
Zone F (sepanjang jalan menuju Pantai Wediombo) Kegiatan Utama:
Daya tarik:
Lokasi :
Sasaran:
Sepanjang perjalanan menuju kawasan Pantai Wediombo melihat bukit konikal, hutan jati dan campuran, ladang penduduk, dan kemungkinan dapat dikembangkan sebagai wisata kuliner.
Keindahan panorama pegunungan dan tebing kars, ladang penduduk, hutan campuran dan telaga tempat penduduk mengambil air dan jika dibangun infrastruktur sebagai tempat istirahat (point peristirahatan).
sepanjang jalan menuju Pantai Wediombo dan memungkinkan untuk dibangun tempat makan khas hasil laut dan masakan khas masyarakat lokal
wisata pendidikan, wisata kuliner dan wisata massa.
Deskripsi produk:
Ilustrasi:
Trekking, hiking, melihat keindahan panorama gunung kars dan tebing kars, ladang penduduk dan perilaku masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan air, berbagai hidangan ikan laut dan hasil ladang tradisional (jagung, ketela, kacang). Aktifitas masyarakat di sendang puring Pelayanan: Belum tersedia sarana dan prasarana Tempat istirahat belum tersedia
Pihak terkait: Dinas pariwisata Dinas Kehutanan Masyarakat lokal sebagai fungsi pelaku dan pengawasan
Kendala: Belum dikelola Tidak ada sarana dan prasarana Tidak ada rambu-rambu kawasan yang menarik dan masih sangat alami Pemandu wisata
Profil wisatawan: wisata penelitian
Tata tertib pengunjung: Tidak boleh merusak tanaman yang terdapat disekitar jalan Tidak boleh mengganggu keberadaan fauna yang ada.
Solusi: Perlu penataan kawasan wisata Perlu pemandu wisata Perlu promosi wisata berupa rambu-rambu. Aturan mengenai perlindungan lingkungan disosialisasikan dan dijalankan.
perlu
pendidikan, tempat kuliner, wisata masa, wisata
139 4.4. Model Pengembangan Ekowisata Yogyakarta
Kars Wediombo, Gunungkidul,
4.4.1. Identifikasi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal dalam Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Penentian
faktor-faktor internal dan eksternal dilakukan melalui
penyebaran kuisioner dan wawancara mendalam dengan stakeholder terkait. Selanjutnya dilakukan analisis SWOT untuk menentukan nilai skala peringkat faktor-faktor SWOT. Hasil kajian di lapangan dan analisis data dengan SWOT dapat menggambarkan kemungkinan adanya potensi dan permasalahan yang ada, yaitu gambaran yang komprehensif mengenai faktor-faktor internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan, serta faktor-faktor eksternal yang merupakan peluang dan ancaman dalam pengembangan ekowitasa kawasan kars di Wediombo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Identifikasi masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan (lingkungan internal), peluang dan ancaman (lingkungan eksternal) berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara yang mendalam dengan tokoh masyarakat, ahli ekowisata, penyelenggara kebijakan wisata dan BAPEDA. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 46. Tabel 46. Hasil Indentifikasi Faktor-faktor Kekuatan (Strengths) No.
Faktor-faktor Kekuatan
1.
Potensi sumberdaya alam yang menonjol: a. Pantai b. Goa c. Hutan alam d. Flora dan Fauna e. Pegunungan Kars Tempat pemijahan ikan laut alami
2.
3.
4.
5.
Kondisi pantai memungkinkan untuk kegiatan surving, diving dan memancing secara tradisional. Kaya flora dan fauna
Variasi budaya lokal dan keamanan yang baik
Keterangan Kawasan Wediombo mempunyai potensi yang menonjol berupa pantai teluk yang paling luas di Selatan Gunungkidul, Goa-goa yang masih alami dengan stalagtit dan stalagmitnya, hutan alam khas kawasan kars
karena bentuk pantainya yang berupa teluk yang luas, arus yang cenderung lemah dan tebingnya masih alami, maka kawasan ini menjadi tempat pemijahan ikan alami. Banyak ikan panjo, kakap dan ikan besar lainnya ditemukan. Bentuk pantai yang cenderung landai, maka sudah dilakukan kegiatan surving oleh beberapa wisatawan mancanegara. Potensi lain adalah diving karena karang nya masih alami. Kawasan Wediombo merupakan kawasan yang paling hijau dibandingkan dengan kawasan lain di Gunungkidul. Banyak tanamn endemi yang ditemukan di kawasan ini antara lain segawe, lo, lowo, nyamplung dan lain-lain, sedangkan faunanya kera Budaya wayang kulit, jatilan, reog, ngalangi, rosulan, campursari
140
Tabel 47. Hasil Indentifikasi Faktor-faktor Kelemahan (Weaknesses) No.
Faktor-faktor Kelemahan
1.
Jauh dari pusat pemerintahan
2. 3.
Sarana dan prasarana yang kurang memadai Pendanaan, Sumberdaya Manusia (SDM) dan promosi kurang
4.
Musim kekurangan air
5
Kelembagaan
kering
Keterangan Kondisi jalan sangat bagus dan mudah dilalui oleh kendaraan, hanya kondisi jalan berliku dan naik dan turun secara mendadak, sehingga perlu ekstra hati-hati. Lokasi dari pemukiman penduduk kurang lebih 4.2 km, dan jika dibandingkan dengan wisata lain di Kabupaten Gunungkidul terletak paling timur dan jauh dari pusat kegiatan pemerintahan. Sarana ibadah, penginapan, mandi belum tersedia secara baik Masalah pendanaan untuk membangun sarana dan prasarana kawasan sangat terbatas, dan sumberdaya manusia masyarakat lokal masih rendah dan kegiatan promosi yang hampir tidak ada. Maka mengakibatkan potensi yang ada tidak menarik, daya dukung masyarakat lokal dalam membantu pengembangan ekowisata sangat kurang dan tidak dikenalnya potensi wisata yang ada karena tidak adanya promosi. Kawasan Wediombo merupakan kawasan yang paling hijau dibandingkan dengan kawasan lain di Gunungkidul. Banyak tanaman endemi yang ditemukan di kawasan ini antara lain segawe, lo, lowo, nyamplung, kina dan lain-lain, sedangkan faunanya kera ekor panjang Belum ada secara khusus kelembagaan yang khusus mengembangkan kawasan Wediombo sebagai daerah ekowisata, hanya dikelola oleh Dinas Pariwisata Gunungkidul yang hanya menarik restribusi, tetapi pengelolaan dari kebersihan pantai hingga penataan pantai maupun prasarana kebersihan belum ada.
141 Tabel 48. Hasil Indentifikasi Faktor-faktor Peluang (Opportunities) Faktor-faktor Peluang
No. 1.
Sebagai wisata minat khusus
2.
Wisata alam pantai dan pengembangan permainan dan rekreasi (theme park)
3.
Konservasi
4.
Meningkatkan PAD
5
Dukungan stakeholder
Tabel 49. No.
Keterangan Karena ditemukan beberapa potensi wisata berupa pantai, goa, hutan, flora dan fauna merupakan potensi untuk mengembangkan wisata khusus yang berupa pendidikan, maupun petualangan dan pengembangan hiking. Pantai Wediombo merupakan kawasan pantai yang mudah dijangkau, menyajikan pemandangan yang alami, berpotensi untuk diving, wind surving dan sudah terdapat sarana dan prasarana walaupun dalam kategori sederhana. Sekeliling kawasan pada radius hingga 200m dapat dikembangkan sebagai theme park. Karena sifat kars yang fragile, maka dengan konsep ekowisata akan menumbuhkembangkan nilai alam makin dijaga akan makin tinggi nilai jualnya, maka pelestarian alam akan dapat diwujudkan baik oleh masyarakat lokal maupun wisatawan Dengan potensi-potensi alam yang ada, maka pengembangan ekowisata akan dapat mendatangkan pemasukan daerah yang pada akhirnya memberikan peluang untuk PAD Jika potensi yang ada dikelola dengan baik, dan sarana prasarana ditingkatkan, variasi budaya ditonjolkan, keterlibatan masyarakat lokal, pemerintah, dan stakeholder terkait secara aktif, disertai dengan promosi yang baik, maka berpotensi akan meningkatkan jumlah wisatawan yang akan menghasilkan devisa daerah.
Hasil Identifikasi Faktor-faktor Ancaman (Treaths) Faktor-faktor Ancaman
1.
Pencurian putih
pasir
2.
Pembukaan ladang dilereng kawasan lindung
3.
Perburuan satwa langka dan penebangan hutan
4.
Penambangan batu gamping yang tidak terkontrol
5
Kalah bersaing dengan kawasan wisata lain yang lengkap variasi wisata maupun sapras
Keterangan Karena kawasan pantai di dominasi oleh pasir putih, maka banyak masyarakat yang memanfaatkan pasir putih untuk dijual, sehingga pengerukan pasir putih disepanjang pantai pernah dilakukan, yang akan menyebabkan hancurnya ekosistem pantai. Beberapa pegunungan di Wediombo selain sebagaian berupa gunung kars, tetapi di sebelah selatan berupa pegunungan yang tersusun tanah. Karena terbatasnya lahan tanah, maka sebagian petani membuka ladang di pinggiran pegunungan kawasan lindung yang akan berakibat terjadinya erosi yang menyebabkan kerusakan. Sebagian penduduk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjual pohon yang ditanam di hutan(sebagian hutan rakyat), dan berburu satawa langka yang ada di kawasan Wediombo. Karena kars (batu gamping) mempunyai nilai jual yang cukup baik, maka banyak terjadi penambangan pada kawasan yang seharusnya dilindungi, yang akan berakibat kerusakan kars dan keindaha kars akan terdegradasi. Dibandingkan dengan kawasan wisata lain di Gunungkidul, Wediombo paling kurang sarana dan prasarananya,selain itu variasi atraksi alam yang masih sedikit, akan mengurangi minat kunjungan wisatawan.
142 Setelah penentuan faktor-faktor internal dan eksternal seperti di atas berdasarkan elemen kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka langkah selanjutnya adalah menyusun berbagai alternatif faktor strategi yang dapat dilakukan dalam mengembangkan produk wisata alam berbasis ekologi di Kawasan Kars Wediombo. Strateginya mencakup strategi S-O (StrengthsOpportunities), strategi W-O (Weaknesses-Opportunities), strategi S-T (StrengthsThreats) dan strategi W-T (Weaknesses-Threats). Uraian Formulasi Rancangan Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo disusun pada Tabel 50 sebagai berikut:
143 Tabel 50. Formulasi Rancangan Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Matrik SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)
Opportunities – O 1. wisata minat khusus 2. wisata alam pantai dan pengembangan permainan dan rekreasi (theme park). 3. konservasi 4. peningkatan PAD 5. dukungan stakeholder
Strengths – S
Weaknesses –W
1. Pantai teluk luas, kaya biota laut, keberadaan goa 2. tempat pemijahan ikan laut alami 3. kondisi pantai memungkinkan diving, surving dan memancing. 4. kaya flora dan fauna 5. variasi budaya lokal dan keamanan yang baik
1. jauh dari pusat pemerintahan. 2. sarana dan prasarana yang kurang memadai 3. SDM masih rendah 4. pendanaan dan promosi kurang 5. kelembagaan
Strategi S – O
Strategi W-O
1. memanfaatkan potensi kawasan kars Wediombo sebagai kawasan wisata berbasis alam untuk konservasi dan meningkatkan PAD (S1,S2,S3,S4,S5,O1,O2,O3). 2.memanfaatkan sumberdaya pantai sebagai wisata alam pantai dan pengembangan permainan dan rekreasi(S1,S3,O1,O2) 3.memanfaatkan kondisi pantai membudidayakan hasil ikan untuk peningkatan PAD (S2,O4,05). 4.Keberadaan budaya lokal yang bervariasi dan didukung keamanan yang baik untuk wisata khusus dan menarik investor (S5, O1, O4,05).
1. meningkatkan sarana dan prasarana untuk menjaring wisatawan perlu dukungan stakeholder (S2,S5,O4,O5) 2. meningkatkan sumberdaya manusia untuk memandu kegiatan wisata(S3, O1, O2,O3). 3. meningkatkan pendanaan dan peningkatan promosi tentang ODTW (W4,O1,O2). 4. meningkatkan peran serta pemerintah daerah untuk pengembanganwisata (W5,O1,O2,O5)
Threats –T
Strategi S-T
Strategi W – T
1. pencurian pasir putih. 2. pembukaan ladang dilereng kawasan lindung 3. perburuan satwa langka dan penebangan hutan. 4. penambangan batu gamping yang tidak terkontrol. 5. kalah bersaing dengan kawasan wisata lain yang lebih lengkap sarana dan prasarananya.
1. mengembangkan potensi wisata alam untuk membuka kesempatan kerja, masyarakat lokal(S1,S3,S4,T1,T2,T3,T4) 2. memaksimalkan keunggulan sumberdaya alam untuk menarik wisatawan (S1,S3,S4,S5,O5) 3. mengenalkan potensi diving, surving dengan melengkapi perlengkapan yang dibutuhkan untuk dapat bersaing dengan kawasan wisata lain (S3, T5) 4. adanya variasi budaya lokal yang dipadu dengan kearifan alam, merupakan unggulan yang sulit ditemukan di kawasan lain dan didukung oleh keamanan yang baik (S1,S5,T5).
1. menaikkan pendanaan dan promosi wisata agar masyarakat sadar pentingnya pelestarian sumberdaya alam sebagai modal wisata (W1,T1,T2,T3,T4). 2. membenahi dan menambah sarana dan prasarana yang tidak memenuhi keinginan wisatawan supaya dapat bersaing dengan kawasan yang lebih maju (W2,T5). 3. meningkatkan keterlibatan masyarakat secaralangsung maupun tidak langsung untuk mendukung wisata (W3, T4)
144 Hasil identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dari setiap komponen SWOT, selanjutnya ditentukan prioritas komponen SWOT dan faktor-faktor yang perlu segera ditangani ke depan dalam rangka pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata yang berkelanjutan. Penentuan komponen dan faktorfaktor prioritas dilakukan dengan menggunakan analisis AHP yang diuraikan pada sub bab berikut. 4.4.2. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Model pengembangan wisata alam berbasis ekologi (ekowisata) yang dapat diterapkan di Kawasan Kars Wediombo dilakukan analisis AHP. Responden yang diambil adalah tenaga ahli yang
pernah mengadakan pengembangan
tanaman di Kawasan Wediombo (UGM), Kepala Bagian Pengembangan Pariwisata
Dinas
Pariwisata
Kabupaten
Gunungkidul,
Kepala
Bapeda
Gunungkidul, Ahli Geologi Kars dan Tokoh Masyarakat Wediombo, karena responden dianggap mengetahui permasalahan yang ada di Kawasan Kars Wediombo. Model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta disusun dalam enam level yang
terdiri fokus
pengembangan sebagai level pertama; komponen SWOT (strength, weaknesses, opportunitis, dan threats) sebagai level kedua; faktor SWOT (masing-masing lima sub level) sebagai level ketiga, yaitu a. Strengths dengan sub elemen : (1) potensi sumberdaya alam yang menonjol (2) tempat pemijahan ikan laut alami, (3) kondisi pantai memungkinkan untuk kegiatan surving, diving dan memancing secara tradisional, (4) kaya flora dan fauna, dan (5) variasi budaya lokal dan keamanan yang baik b. Weaknesses dengan sub elemen : (1) jauh dari pusat pemerintahan, (2) sarana dan prasarana yang kurang memadai, (3) pendanaan, Sumberdaya Manusia (SDM) dan promosi kurang, (4) musim kering kekurangan air, dan (5) kelembagaan yang belum jelas topuksinya. c. Opportunities dengan sub elemen : (1) sebagai wisata minat khusus, (2) wisata alam pantai dan pengembangan permainan dan rekreasi (theme park),
145 (3) konservasi, (4) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan (5) dukungan stakeholder d. Threats dengan sub elemen : (1) pencurian pasir putih, (2) pembukaan ladang di lereng kawasan lindung, (3) perburuan satwa langka dan penebangan hutan, (4) penambangan batu gamping yang tidak terkontrol, dan (5) kalah bersaing dengan kawasan wisata lain yang lengkap variasi wisata maupun sarana dan prasarananya Level keempat adalah aktor yang berperan dalam pengembangan kawasan yaitu pemerintah, masyarakata, swasta, perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); dan level kelima adalah tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengembangan kawasan ekowisata kars yaitu tercapainya efektivitas, biaya, dan keberlanjutan dalam pengembangan kawasan; serta level keenam adalah alternatif strategi pengembangan kawasan kars yaitu wisata spiritual, wisata penelitian, wisata petualang, wisata pendidikan, dan wisata massa. Berdasarkan hasil analisis AHP maka dapat diketahui masing-masing bobot level dan tingkat konsistensi rasionya (CR). Nilai CR menunjukkan informasi yang diperoleh terdapat pada tingkat kepercayaan sangat tinggi, cukup baik dan dapat diterima jika nilainya kurang dari 10 % (Marimin, 2004). Adapun bobot masing-masing elemen dan sub elemen pada setiap level seperti pada Gambar 34.
146 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS WEDIOMBO (1,00)
Fokus
STRENGTH (0,565)
Komponen SWOT Faktor SWOT
Aktor
OPPORTUNITIES (0,118)
THREATS (0,262)
a
b
c
d
e
k
l
m
n
o
f
g
h
i
j
p
q
r
s
t
0,415
0,310
0,118
0,118
0,040
0,039
0,287
0,287
0,272
0,116
0,123
0,238
0,191
0,296
0,153
0,220
0,242
0,242
0,242
0,054
Pemerintah (0,402)
Tujuan
Strategi Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo
WEAKNESSES (0,055)
WISATA SPIRITUAL (0,058)
Masyarakat (0,145)
Swasta (0,281)
Efektivitas (0,201)
Keberlanjutan (0,447)
WISATA PENELITIAN (0,168)
WISATA PETUALANG (0,195)
Perguruan Tinggi (0,116)
LSM (0,056)
Biaya (0,352)
WISATA MASSA (0,058)
WISATA PENDIDIKAN (0,521)
Gambar 34. Hierarkhi Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta 146
147 Keterangan : 1. Faktor Strengths a. Potensi sumberdaya alam (SDA) yang menonjol b. Pemijahan ikan laut alami c. Kondisi pantai selain pasir putihnya yang luas, juga potensi untuk diving, surving, dan penelitian d. Kaya akan flora dan fauna e. Variasi budaya lokal dan keamanan yang baik 2. Faktor Opportunities f. Sebagai wisata minat khusus g. Wisata alam pantai dan pengembangan permainan dan rekreasi (theme park) h. Kawasan konservasi i. Peningkatan PAD j. Dukungan yang penuh dari stakeholder 3. Faktor Weaknesses k. Jauh dari pusat pemerintahan l. Sarana dan prasarana yang kurang memadai, termasuk jaringan listrik belum ada m. Pendanaan, SDM rendah dan promosi kurang n. Musim kering kekuarangan air o. Kelembagaan yang tidak jelas tupoksinya 4. Faktor threats p. Pencurian pasir putih q. Pembukaan ladang di lereng kawasan lindung r. Perburuan satwa langka dan penebangan hutan s. Penambangan batu gamping yang tidak terkontrol t. Kalah bersaing dengan kawasan wisata lain yang lebih lengkap sarana dan prasarana maupun variasi wisata
148 1. Level Komponen SWOT Hasil analisis AHP, memperlihatkan bahwa komponen SWOT yaitu strengths memiliki nilai skoring tertinggi yaitu sebesar 56,5 % dan selanjutnya komponen threats, opportunities, dan weaknesses, dengan nilai skoring masingmasing 26,2 %; 11,8 %; dan 5,5 % dengan nilai konsistensi rasio sebesar 4,3 % seperti Gambar 35. 11,8%
5,5%
56,5%
26,2%
Tsrenghts Strength
Threats
Opportunities
Weaknesses
Gambar 35. Prioritas Komponene SWOT dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo Pada gambar terlihat komponen SWOT kekuatan (strength) menduduki prioritas pertama dan komponen ancaman menduduki prioritas kedua. Ini berarti bahwa kekuatan yang dapat dimanfaatakan secara maksimal untuk mengatasi ancaman dan kelemahan yang dihadapi selama ini dengan memanfaatkan peluang yang ada. Jika dikaitkan dengan hasil analisis penyusunan strategi seperti pada Tabel 35 di atas menunjukkan bahwa dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo maka diversifikasi strategi strength dan threats (strategi ST) merupakan strategi yang tepat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi. Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman yang dihadapi dalam mengembangkan produk ekowisata dan banyak melibatkan masyarakat lokal. Meskipun dalam mengembangkan Kawasan Kars Wediombo mengalami ancaman (Threats), tetapi
Kawasan Wediombo
mempunyai kekuatan dari sisi internal. Oleh karena itu strategi yang harus
149 diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi produk wisata alam berbasis ekologi dan berkelanjutan. Untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh Kawasan Kars Wediombo untuk mengatasi ancaman atau tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan produk ekowisata, maka perlu dilakukan beberapa faktor strategi berdasarkan posisi S-T (diversifikasi) sebagai berikut: 1. Pantai Wediombo merupakan kawasan andalan wisata Kawasan Wediombo dan mempunyai akses jalan yang cukup baik, maka semua infrastruktur, sarana dan prasarana sebaiknya dipusatkan dibangun di sekitar kawasan Pantai Wediombo dengan tetap berwawasan lingkungan, untuk mendukung berkembangnya kantong-kantong potensi wisata. 2. Mengembangkan potensi wisata alam dan potensi agrowisata untuk membuka kesempatan kerja kepada
masyarakat lokal, sehingga potensi ancaman
pencurian pasir, penebangan hutan dan perburuan satwa langka dan penambangan batu gamping dapat di minimumkan, sehingga potensi kerusakan kawasan kars Wediombo dapat dikurangi (S1, S3, S4, S5, T1,T2, T3, T4). 3. Memaksimalkan keunggulan sumberdaya alam untuk menarik wisatawan, dengan menambah variasi atraksi alam dan budaya masyarakat lokal, sehingga akan memberikan kepuasan tersendiri bagi wisatawan untuk mendapatkan pengalaman wisata (S1, S3, S4, S5, O5). 4. Mengenalkan potensi diving, surving dengan melengkapi sarana dan prasarana yang berhubungan dengan kegiatan tersebut untuk dapat menjadi daya tarik tersendiri yang tidak ditemukan pada kawasan wisata lain sehingga dapat bersaing (S3, T5). 5. Adanya variasi budaya lokal yang dipadu dengan kearifan alam, merupakan unggulan yang sulit ditemukan di kawasan wisata lain, maka potensi ini perlu dilestarikan secara berkelanjutan, disamping adanya dukungan keamanan yang baik (S1, S5, T5).
150 6. Perlu melibatkan semua stakeholder untuk mewujudkan pengembangan ekowisata Kawasan Wediombo dan harus melibatkan masyarakat lokal untuk ikut membangun kawasan menjadi Kawasan Ekowisata. 7. Dari hasil alternatif wisata, pemilihan semua metode mendukung untuk mengembangkan alternatif-alternatif wisata yang telah dihasilkan. Strategi-strategi pengembangan ekowisata kars Kawasan Wediombo diterapkan pada zone-zone potensi wisata yang ditunjukkan pada Tabel 51. Tabel 51. Matriks Strategi pengembangan dengan pewilayahan (zone) Strategi Strategi-1 Strategi-2 Strategi-3 Strategi-4 Strategi-5 Strategi-6 Strategi-7 Keterangan: Zone A= Pantai Wediombo Zone B= Goa dan Pantai Zone C= Goa Lowo Zone D= Hutan Alam Zone E= Pusat Budaya
Pewilayahan Zone Zone Zone Zone Zone A B C D E F1 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Zone F F2 F3
v
v v
F4 v v v
v v
v v
v v
Zone F: F1= sendang puring dan Nyadran F2= Conical kars F3=ladang tradisional dan hutan F4= titik peristirahatan untuk kuliner
Adapun penjelasan strategi seperti Tabel 53 adalah sebagai berikut : Strategi-1 adalah pembangunan sarana dan prasarana dipusatkan di kawasan Pantai Wediombo (Zone A), tetapi bisa dikembangkan di zone F1 (sendang puring) khusus membangun tempat pemandian dan penampungan air maupun sistem drainase. Kawasan datar di pinggir jalan menuju Pantai Wediombo dapat dibangun titik point untuk peristirahatan dan kuliner yang dekat dengan perladangan untuk dapat mengoptimalkan hasil pertanian masyarakat lokal (F4). Strategi-2 adalah mengembangkan potensi alam dan agrowisata, Pantai Wediombo dan sekitarnya (ZoneA) dan kawasan pantai dan goa (Zone B) mempunyai potensi besar untuk dioptimumkan dan ladang tradisional dan hutan (Zone F1), titik peristirahatan untuk kuliner ( Zone F4).
151 Strategi-3 adalah memaksimalkan keunggulan sumberdaya alam dan menambah variasi atraksi budaya yang dapat dikembangkan meliputi, kawasan Pantai Wediombo (Zone A), kawasan pantai dan goa (Zone B), Dusun Budaya (Zone E), dan kawasan lain (Zone F). Strategi-4 adalah hanya dapat dikembangkan di Pantai Wediombo, karena letak teluk dan luasnya maupun keaslian karangnya masih terjaga dengan baik selain keunggulan keanekaragaman hayatinya. Strategi-5 adalah dapat diterapkan di Pantai Wediombo (Zone A) untuk pusat kegiatan budaya Ngalangi yang berhubungan ke Pantai Jungwok untuk mengambil ikan dengan gawar terletak di Zone B pada acara budaya Ngalangi, selain itu perladangan tradisional merupakan salah satu ciri budaya masyarakat Wediombo, selain budaya lainnya (Zone F1). Strategi-6 adalah semua kawasan berpotensi untuk pengembangan kawasan ekowisata, dan semua stakeholder dilibatkan sesuai dengan yang telah direncanakan oleh Dinas Pariwisata Gunungkidul dengan pengelolaan terpadu. Strategi-7 adalah alternatif wisata berdasarkan prioritasnya meliputi wisata pendidikan, wisata petualang, wisata penelitian, wisata spiritual dan wisata massa semua potensi kantong-kantong kawasan wisata mendukung alternatif wisata yang telah ditentukan. Dalam mendukung salah satu strategi pengembangan produk wisata melalui strategi S-T berupa diversifikasi produk wisata alam berbasis ekologi, maka perlu disusun alternatif produk wisata alam dengan meminimalisir kemungkinan terjadinya kerusakan atau pencemaran lingkungan yang dapat terjadi akibat adanya kegiatan wisata. Oleh karena itu, mengelola wisatawan merupakan cara yang sangat penting untuk memperkecil dampak terhadap lingkungan termasuk dampak sosial budaya dan ekonomi karena kegiatan wisata (Mason, 2003). Salah satu cara untuk mencapai tujuan adalah dengan menggabungkan aturan dan pendidikan terhadap wisatawan. Poon (1993) menyimpulkan bahwa, permintaan wisata adalah pengalaman budaya baru, lingkungan fisik dan aktifitas. Hal pokok adalah budaya asli dan lingkungan fisik yang khusus seperti hutan alam, pegunungan kars, karang, goa,
152 pantai dan lainnya yang menjadi tujuan wisata. Dalam mengembangkan produk wisata seharusnya diusahakan dapat memenuhi permintaan pasar. Oleh karena itu sebagai langkah awal, kemungkinan alternatif kegiatan yang dapat dilakukan di Kawasan Wediombo sesuai dengan hasil usulan permintaan dan supply
dari
wisatawan (Tabel 37). Daya tarik atraksi yang terdapat di Kawasan Kars Wediombo dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) aspek utama yaitu estetika-geofisik, ekologibiologi dan sosial budaya. Aspek estetika-geofisik yang dapat dikembangkan sesuai dengan hasil micro-ROS meliputi pantai, goa, sinhole, sungai bawah tanah, pegunungan, lokasi camping ground, panorama alam dan ladang penduduk. Sedangkan aspek ekologi-biologi yang menjadi daya tarik wisata adalah jenis flora dan fauna khas di Kawasan Wediombo. Aspek sosial-budaya yang terdapat di Kawasan Wediombo yang berpotensi untuk dikembangkan adalah mitos tenggelamnya tujuh kapal Tentara Belanda oleh perlawanan gusti wora-wari salah satu pejuang dari kerajaan yogyakarta yang mengusir Tentara Belanda di Kawasan Pantai Wediombo (Pantai Jungwok), kesenian ngalangi, rosulan, memancing tradisional, lahan perladangan dengan proses tradisional maupun budaya-budaya lain hasil identifikasi. Tabel daya tarik dan alternatif kegiatan ekowisata di Kawasan Kars Wediombo diuraikan dalam Tabel 52.
153 Tabel 52. Daya Tarik dan Alternatif Kegiatan Ekowisata di Kawasan Kars Wediombo No.
Daya Tarik Atraksi
A.
Estetika-Geofisik 1. Pantai : a. Wediombo b. Jungwok c. Dadapan 2. Pegunungan 3. Panorama Alam 4. Ladang penduduk 5. Goa a. Bentis b. Banyusumurup c. Pertapan d. Greweng e. Lowo f. Luweng Sumbon g. Sinhole 6.Lokasi camping ground 7.Pemancingan tradisional 8. Hutan alam
Kegiatan
Keterangan
1.Menikmati pemandangan pantai
Dapat dilakukan di Pantai Wediombo, Jungwok dan Dadapan, hampir semua wisatawan menikmati keindahan Pantai Wediombo
2. Menikmati hidangan ikan laut
Dapat dinikmati dipantai Wediombo langsung dari tangkapan nelayan dan dapat di lakukan pemesanan menggoreng di setiap warung dengan sambal bawang.
2. Diving (potensi) dan wind surfing
Wind surving pernah dilakukan di Pantai Wediombo dan hanya pada bulan purnama oleh orang asing. Sedangkan diving belum dikelola.
3.Trekking dan hiking pegunungan dan menyusuri pantai
Dilakukan anak-anak sekolah secara berkelompok dan pada musim liburan sekolah. Semua trak/jalan dari Pantai Wediombo menuju ke semua goa, dapat dijadikan komoditas trekking dan hiking, dengan berkesempatan melihat ladang penduduk dan pegungan kars. Dapat dilakukan di Pantai Wediombo, Jungwok dan Dadapan, hampir semua wisatawan menikmati keindahan Pantai Wediombo
4. Memancingtradisional
5. Penelusuran Goa dan Sungai Bawah tanah
6.Keunikan penduduk lokal bertani dengan cara tradisional pada kawasan yang tandus
Hanya beberapa mahasiswa dan peneliti yang masuk ke goa dengan melihat keindahan stalagtit dan stalagmite, dapat dilakukan di semua goa, kecuali Goa Lowo. Sedangkan penelitian sungai bawah tanah dilakukan di Sendang Puring Dapat dikembangkan disekitar Pantai Wediombo(belum dikelola dan dipromosikan)
154 Tabel 52 (lanjutan) No.
Daya Tarik Atraksi
Kegiatan 7. Melihat keindahan bukit-bukit kars
Dapat dilakukan di Pantai Wediombo, bukit sekitar Pantai Wediombo dan beberapa bukit kars di Pantai Jungwok maupun pegunungan Batur
8. Camping ground
Dapat dilakukan di kawasan lembah terbuka di sebelah timur Pantai Wediombo menuju ke Goa Bentis dan Banyusumurup atau disekitar Pantai Wediombo (belum dikelola)
9. Menikmati pohonpohon endemik
10.Menikmati keindahan matahari tenggelam. 11.Menikmati pergerakan kelelawar dan ditemukan bajing goa maupun ular phyton
B.
Biologi-Ekologi 1.Flora Segawe, Lowo, Legaran, Lo, Ketos,Nyamplung,Pule, Timoho, Pudakan, Arengareng (pohon endemik)
12. Melihat habitat Kijang 13. Melihat habitat kura-kura 14. Melihat habitat Landak
2.Fauna (fauna) a) b) c) d) e) f) g) h) i) C.
Kera ekor panjang Kijang Landak Goa Kelelawar Ular Phyton Ayam hutan Trenggiling Bajing Goa Penyu laut
Sosial-Budaya
Keterangan
15. Ngalangi
Dapat dilakukan di sepanjang pinggiran Pantai Wediombo dan sekitarnya, dan kawasan lain di hutan alam dan bukitbukit kapur (belum dikelola dan dipromosikan) Dapat dilakukan di bukit menuju Pantai Wediombo, atau di bukit pemancingan Pantai Jungwok Dilihat di Goa Lowo dan dapat melihat sinhole dan pemandangan pegunungan kars yang masih sangat alamiah.
Terdapat di sebelah utara Pantai Wediombo maupun bukit manjung, hanya dapat dilihat melalui teropong, karena sulit didekati. Terdapat diseluruh kawasan pantai, tetapi sudah jarang terlihat Dapat dilihat di sekitar Goa Bentis dan Banyusumurup pada malam hari (belum dikelola)
Dilakukan di Pantai Jungwok dan berakhir di Pantai Wediombo, dengan iring-iringan jalan kaki dengan pakaian tradisional, dan melabuh sesajian di Pantai Wediombo. Waktu diadakan setelah musim panen tiba.
155
Tabel 52 (lanjutan) No.
D.
Daya Tarik Atraksi
Makanan Khas
Kegiatan
Keterangan
16. Nyadran
Dilakukan di kawasan ladang penduduk berupa sebuah pohon dan berjarak 2 km dari Pantai Wediombo, yang menurut cerita penduduk tempat peristirahatan gusti wora-wari, salah satu pejuang kerajaan Yogyakarta.
17.Wayang kulit, reog, Jatilan dan Campursari
Dapat di nikmati di 3 dusun berdasarkan hasil identififikasi sebagai pusat budaya yaitu: Dusun Karang Lor, Senggani dan Manukan.
18. ampyang, timel, puli, gatot, krecek, cemplon, jatah, getuk, wajik, apem dan lainnya.
Semua penduduk mampu membuat makanan tradisonal dan dapat memesan jika menginginkan untuk mencoba. Hingga saat ini belum dikembangkan
2. Level Faktor SWOT 2.1. Faktor Strengths Hasil diskusi dengan pakar dan pihak terkait dalam penelitian model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, diperoleh 5 (empat) faktor kekuatan (strength) yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo. Kelima kekuatan tersebut meliputi : (1) potensi sumber daya alam yang menonjol; (2) pemijahan ikan laut alami; (3) kondisi pantai selain pasir putihnya yang luas juga berpotensi untuk diving, surving, dan penelitian; (4) kaya akan flora dan fauna; dan (5) variasi budaya lokal dan keamanan yang baik. Hasil analisis pendapat pakar terhadap 5 (lima) faktor kekuatan tersebut diperoleh bahwa kekuatan yang paling prioritas untuk dimanfaatakan dalam strategi pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo adalah potensi sumberdaya alam yang menonjol karena memiliki nilai skor paling tinggi yaitu 41,5 %, selanjutnya kondisi pantai selain dengan pasir putihnya yang luas juga potensi untuk diving, surving, dan penelitian dengan nilai skoring sebesar 31,0 %. Sedangkan kekayaan akan flora dan fauna serta variasi budaya lokal dan
156 keamanan yang baik menduduki prioritas ketiga dengan nilai skoring masingmasing 11,8 %, sementara pemiahan ikan laut menduduki prioritas keempat (terakhir) dengan nilai skor sebesar 4,0 %. Adapun posisi prioritas masing-masing faktor kekuatan seperti pada Gambar 36.
45%
41,5
40% 31,0
Persentase (%)
35% 30% 25% 20%
11,8
15%
11,8
10%
4,0
5% 0% Potensi SDA mennjol
Pemijahan ikan laut
Potensi pasir putih, Diving, surveng dan penelitian
Kaya flora dan fauna
Variasi budaya lokal
Faktor Kekuatan (Strength) (Strengths)
Gambar 36. Prioritas Faktor SWOT (Kekuatan/Strength) dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo 2.2. Faktor Threats Sama seperti faktor kekuatan (Strengths) berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan pihak terkait dalam penelitian model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, diperoleh 5 (lima) faktor ancaman (threats) yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo. Kelima
ancaman
tersebut meliputi : (1) pencurian pasir putih, (2) pembukaan ladang di lereng kawasan lindung; (3) perburuan satwa langkah dan penebangan hutan; (4) penambangan batu gamping yang tidak terkontrol; dan (5) kalah bersaing dengan kawasan wisata lain yang lebih lengkap sarana dan prasarana maupun variasi wisata
157 Hasil analisis pendapat pakar terhadap 5 (lima) faktor ancaman tersebut diperoleh bahwa ancaman yang paling berbahaya dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo adalah pembukaan ladang di lereng kawasan lindung, perburuan satwa langkah dan penebangan hutan dan penambangan batu gamping yang tidak terkontrol dengan nilai skor yang relatif sama masing-masing sebesar 24,2 %. Sedangkan ancaman pencurian pasir putih menduduki prioritas kedua dengan nilai skoring sebesar 22,0 %. Sementara ancaman kalah bersaing dengan kawasan wisata lain yang lebih lengkap sarana dan prasarana maupun variasi wisata menduduki prioritas ketiga (terakhir) dengan nilai skor sebesar 5,4 %. Adapun posisi prioritas masing-masing faktor ancaman seperti pada Gambar 37. 24,2
25%
24,2
24,2
22,0
Persentase (%)
20%
15%
10% 5,4
5%
0% Pencurian pasir putih
Pembukaan Perburuan satw a ladang di lerang langka
Penambangan batu gamping
Kalah bersaing dengan w isata lain
Faktor Ancaman (Thre ats)
Gambar 37. Prioritas Faktor SWOT (Ancaman/Threats) dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo 2.3. Faktor Opportunities Pada prioritas faktor SWOT untuk peluang (opportunities), terdapat 5 (lima) faktor yang teridentifikasi yaitu (1) kawasan kars Wediombo dapat dijadikan sebagai wisata minat khusus, (2) untuk pengembangan wisata alam pantai dan pengemnbangan permainan dan rekreasi (theme park), (3) kawasan konservasi, (4) untuk peningkatan pandapatan asli daerah (PAD), dan (5) mendapat dukungan penuh dari stakeholder terkait. Berdasarkan hasil analisis, prioritas utama terhadap peluang yang dapat dimanfaatakan dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo adalah
158 peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemanfaatan sumberdaya wisata yang ada dengan nilai skor sebesar 29,6 %. Sedangkan untuk faktor peluang selanjutnya adalah pemanfaatan kawasan sebagai wisata alam pantai dan pengembangan permainan dan rekreasi, kawasan konservasi, mendapat dukungan penuh dari stakeholder terkait, dan
dijadikan sebagai kawasan wisata minat
khusus menempati urutan dua, tiga, empat dan lima dengan nilai skor masingmasing 23,8 %, 19,1 %, 15,3 %, dan 12,3 %.
Untuk faktor SWOT peluang
(opportunities), susunan prioritasnya seperti pada Gambar 38. 29,6 30% 23,8 25%
Persentase (%)
19,1 20% 15%
15,3 12,3
10% 5% 0% Wisata minat khusus
Wisata alam pantai
Konservasi
PAD
Dukungan stakeholder
Faktor Peluang (Opportunities)
Gambar
38.
Prioritas Faktor SWOT (Peluang/Opportunities) Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo
dalam
2.4. Faktor Weaknesses Pada faktor SWOT kelemahan (Weaknesses) juga diperoleh 5 (lima) faktor berdasarkan hasil diskusi dengan pakar yaitu (1) kawasan jauh dari pusat pemerintahan, (2) sarana dan prasarana yang kurang memadai termasuk jaringan listrik yang belum ada, (3) pendanaan, kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah serta promosi yang kuran, (4) kekuarangan air pada musim kemarau, dan (5) kelembagaan yang tidak jelas tupoksinya. Berdasarkan hasil analisis, prioritas utama terhadap kelemahan yang yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai termasuk jaringan listrik yang belum ada dan pendanaan, kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah serta
159 promosi yang kuran dengan nilai skor masing-masing sebesar 28,7 %. Sedangkan untuk faktor kelemahan selanjutnya adalah kekurangan air pada musim kemarau dengan nilai skor sebesar 27,2 %, kelembagaan yang tidak jelas tupoksinya sebesar 11,6 %, dan prioritas terkahir adalah faktor kelemahan kawasan yang jauh dari pusat pemerintahan dengan nilai skor sebesar 3,9 %. Untuk faktor SWOT kelemahan (weaknesses), susunan prioritasnya seperti pada Gambar 39.
28,7 30%
28,7
27,2
Persentase (%)
25% 20% 11,6
15% 10% 3,9 5% 0% Jauh dari pusat pemerintaha
Sapras yang minim
Dana, SDM, Kurang air pada Kelembagaan dan Promosi musim kemarau tidak lejas kurang tupoksinya
Faktor Kelemahan (Weaknesses)
Gambar
39.
Prioritas Faktor SWOT (Kelemahan/Weaknesses) Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo
dalam
3. Level Aktor Dalam rangka mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang dialami dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam pengembangan kawasan kars menjadi kawasan ekowisata kars di Wediombo, maka diperlukan peran serta dari berbagai aktor (stakeholder) terkait. Berdasarkan hasil diskusi para pakar, diidentifikasi 5 (lima) aktor yang turut berperan dalam pengembangan kawasan ekowisata kars yaitu pemerintah, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Hasil analisis AHP, menunjukkan bahwa pemerintah menduduki prioritas yang memegang peran utama dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo dengan nilai skor sebesar 40,2 %. Selanjutnya disusul olek aktor swasta, masyarakat, perguruan tinggi, dan LSM sebagai peringakat kedua, ketiga,
160 keempat, dan kelima dengan nilai skor masing-masing sebesar 28,1 %, 14,5 %, 11,6 %, dan 5,6 % (Gambar 40).
11,6%
5,6% 40,2%
28,1% Pemerintah
Gambar 40.
14,5% Masyarakat
Swasta
Perguruan Tinggi
LSM
Prioritas Masing-Masing aktor yang Berperan Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo
dalam
Peran pemerintah dalam pengembangan kawasan ekowisata kars tidak saja dilihat dari kebijakannya dalam menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan ekowisata dengan dikeluarkannya surat keputusan atau peraturan-peraturan, tetapi juga menfasilitasi setiap kegiatan ekowisata dalam bentuk program-program pengembangan wisata dan penyediaan infrastruktur yang memadai yang dapat dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan pengelolaan kawasan wisata sehingga kegiatan ekowisata yang sedang dikembangkan dapat berlangsung secara berkelanjutan. Agar pengelolaan kawasan ekowisata dapat berjalan dengan baik, sangat diperlukan juga peran dari pemerintah dalam memperkuat kelembagaan pengelolaan kawasan dengan membentuk badan khusus baik secara informal ataupun non informal dengan melibatkan aktor lain yang terkait secara terpadu. Hal ini penting mengingat kawasan ekowisata kars Wediombo memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata karena di dalamnya terkandung cukup banyak atraksi-artraksi wisata yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dinikmati oleh masyarakat
161 secara umum. Dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki kawasan kars untuk pengembangan ekowisata, maka posisi kawasan kasr Wediombo di Kabupaten Gunung Kidup, Yogyakarta akan menjadi tujuan kunjungan kawasan wisata andalan baik secara lokal, nasional, maupun mancanegara dengan memperhatikan atraksi pendukungnya. Menurut World Tourism Organization dan United Nation Environment Program dalam Stecker (1996) bahwa andalan wisata kawasan Kars Wediombo
merupakan salah satu faktor kriteria yang mempengaruhi tujuan
wisata. Andalan kegiatan wisata dan atraksi pendukung (buffer) kegiatan wisata ditunjukkan pada Tabel 53. Tabel 53. Matriks andalan (flagship) dan penyangga (buffer) wisata No. 1
2
Prioritas Zone Zone A (Pantai Wediombo)
Zone B (Pantai dan Goa)
3
Zone E (Pusat Budaya)
4
Zone C (Goa Lowo)
5
Zone D (Hutan alam)
6
Zone F (wisata lainnya)
Andalan (Flagship attraction)
Buffer
panorama pantai,tebing kars, batuan andesit, hamparan pasir putih, diving, penyu hijau, flora endemi, habitat kijang
surfing, memancing,outbond theme park,sunset, pendaratan nelayan, berenang di pantai, membeli ikan dari nelayan dan langsung dimasak
Goa Banyusumurup, Bentis, Pertapan, Greweng, Pantai Jungwok dan Dadapan, ikan hias, penyu hijau, fauna dalam goa antara lain (wader goa, lab-laba goa, kepiting jacobsoni, dan lain-lain), landak, kera ekor panjang,tebing kars, flora endemi panorama laut selatan yang dibatasi tebing kars
trekking, hiking, memancing tradisional, agrowisata tradisional, outbond, camping ground
Kelelawar, bajing goa, ular phyton runtuhan goa, sinhole, kera ekor panjang guano Hutan alam kars, trenggiling, landak, lutung berbagai burung, babi hutan, ayam hutan panorama hutan Kars berbentuk conical, hutan jati, ladang penduduk, hutan campuran, ziarah peristirahatan gusti wora-wari
Ngalangi, nyadran, makanan khas wayang kulit, reog trekking, hiking, perladangan tradisional trekking, hikking, penjelajahan hutan perilaku masyarakat lokal memenuhi kebutuhan air, mandi di sendang puring, hasil ladang penduduk (jagung, ketela,kacang, mangga dan berbagai buah), hidangan laut, hikking
Andalan (flagship attraction) dan wisata penyangga (buffer), merupakan faktor yang menentukan dalam pengelolaan kawasan ekowisata. Pengelolaan
162 kawasan dilakukan secara terpadu yang melibatkan unsur kelembagaan yang mengatur dan mengarahkan
pengembangan dan pengelolaan ekowisata dan
investor sebagai penyandang dana. Keterpaduan pengelolaan akan menciptakan keberlanjutan operasional dalam pengembangan ekowisata, dan menimbulkan pengertian untuk menghargai, belajar dan menjaga keberlanjutan lingkungan dan sosial budaya yang pada akhirnya menciptakan kepuasan wisatawan dan masyarakat lokal yang berdampak meningkatkan jumlah pengunjung dan peningkatan pendapatan adaerah (Pengembangan Weaver, 2001). Skema optimalisasi pengembangan ekowisata ditampilkan pada Gambar 41.
Andalan (Flagship atraction) atraksi alam
kelembagaan
Buffer/penyang ga
Keterpaduan pengelolaan
Investor
Keberlanjutan operasional Ekowisata Menghargai, belajar alam, keberlanjutan lingkungan dan sosial
Kepuasan wisatawan dan masyarakat
Gambar 41. Optimalisasi Pengembangan Ekowisata Dalam pengembangan kawasan ekowisata termasuk kawasan ekowisata kars tentunya didukung oleh para aktor (stakeholder) yang terkait seperti pihak swasta, masyarakat sekitar, dan perguruan tinggi, serta LSM. Pemilik modal
163 memegang peran penting dalam pengembangan kawasan ekowisata terutama dalam menanamkan modalnya untuk mengembangkan kawasan wisata. Hasil pengembangan ekowisata oleh pihak swasta dengan sendirinya akan dinikmati oleh masyarakat baik masyarakat sekitar dengan mengembangkan kegiatan perekonomian mereka maupun masyarakat pada umumnya yang melakukan kunjungan ke kawasan tersebut. Sementara pihak perguruan tinggi memiliki peran untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan ekowisata dengan memberikan program-program pendidikan informal dengan bekerjasama dengan pihak lain. Sedangkan pihak LSM memiliki peran untuk meningkatka kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi. Posisi kedua aktor tersebut sangat strategis untuk meningkatkan keterampilan dan tanggung jawab masyarakat untuk selalu menjaga kawasan karena adanya rasa meiliki dan tanggung jawab yang tinggi terhadap kawasan. 4. Level Tujuan Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian di lapangan ditemukan 3 (tiga) tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo yaitu tujuan efektivitas, biaya, dan keberlanjutan. Hasil analisis pendapat para pakar terhadap 3 (tiga) tujuan tersebut diperoleh bahwa tujuan yang paling diharapkan tercapai dalam pengembangan kawasan ekowisata di kawasan kars Wediombo adalah keberlanjutan dengan skor tertinggi yaitu 44,7 %, dan selanjutnya tujuan biaya dan efektivitas dengan skor masing-masing 35,2 % dan 20,1 % (Gambar 42).
164
Tujuan Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo 20,1% 44,7%
35,2%
Efektivitas
Gambar 42.
Biaya
Keberlanjutan
Prioritas Masing-Masing Tujuan yang Ingin Dicapai dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo
Tingginya nilai skor tujuan keberlanjutan dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa tujuan keberlanjutan menjadi perhatian utama baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pengembangan wisata di kawasan kars Wediombo. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengembangkan kawasan
wisata
menuju
pembangunan
berkelanjutan
yaitu
bagaimana
memanfaatkan potensi yang dimiliki kawasan kars Wediombo baik untuk generasi saat ini maupun bagi generasi yang akan datang. Dalam pengembangan kawasan kars Wediombo menjadi kawasan wisata yang berkelanjutan, terdapat tiga pilar yang perlu mendapat perhatian utama yaitu pilar keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial. Dengan kata lain dalam pemanfaatan kawasan kars Wediombo sebagai kawasan wisata setidaknya memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan pembangunan daerah tanpa merusak nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat serta dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. 5. Level Strategi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Kars Wediombo Berkaitan dengan strategi pengembangan ekowisata kars di Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, terdapat 5 (lima) strategi yang dapat dikembangkan yaitu (1) wisata spiritual, (2) wisata penelitian, (3) wisata petualang, (4) wisata massa, (5) wisata pendidikan.
165 Hasil analisis pendapat para pakar terhadap5 (lima) strategi pengembangan ekowisata tersebut diperoleh bahwa strategi yang perlu dikembangkan dalam pengembangan kawasan ekowisata di kawasan kars Wediombo adalah wisata pendidikan dengan skor tertinggi yaitu 52,7 %, dan selanjutnya wisata petualang, dan wisata penelitian sebagai prioritas kedua dan ketiga dengan skor masingmasing 19,5 % dan 16,8 %. Sedangkan wisata massa dan wisata spiritual sebagai prioritas terakhir dengan nilai skor sebesar 5,8 %. Adapun nilai skoring masingmasing strategi pengembangan ekowisata kars di Wediombo seperti pada Gambar 43.
52,1
Strategi Pengembangan
Wisata Pendidikan Wisata Massa
5,8
19,5
Wisata Petualang
16,8
Wisata Penelitian Wisata Spiritual 0%
5,8
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Persentase (%)
Gambar 43.
Prioritas Masing-Masing Strategi Ekowisata Kars Wediombo
Pengembangan
Kawasan
Tingginya nilai skor strategi pengembangan ekowisata kars di Wediombo dibandingkan dengan strategi lainnya menunjukkan bahwa strategi pengembangan wisata
pendidikan
sangat
memegang
peran
penting
dalam
membekali
pengetahuan setiap pengunjung yang datang ke kawasan Wediombo tersebut tentang perlunya menjaga potensi kawasan sebagai salah satu warisan dunia yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata denan ciri khusus adalah kawasan kars. Hal ini sangat berbeda dengan kawasan-kawasan lainnya di Indonesia yang telah dimanfaatakan sebagai kawasan wisata. Jika dikaitkan dengan hasil analisis
166 zonasi dan SWOT menunjukkan bahwa kelima strategi pengembangan kawasan wisata tersebut di atas potensi yang dapat dikembangkan pada setiap zone yang telah ditetapkan, tetapi dari hasil analisis AHP, pakar lebih memilih strategi wisata pendidikan. Ini berarti bahwa kelima strategi tersebut dapat dikembangkan pada setiap zone namum dalam pengembangannya harus mengandung nuansa-nuansa pendidikan yang dapat membekali pengetahuan dan wawasan terutama tentang kawasan kars bagi setiap pengunjung yang datang. Agar pengelolaan wisata yang bernuansa pendidikan ini dapat dikelola secara optimal, maka berdasarkan pengembangan pendapat Weaver (2001) bahwa sebaiknya
dikelola
secara
terpadu
yang
melibatkan
beberapa
institusi
kelembagaan yang meliputi Dinas perhubungan, Dinas pariwisata, Pekerjaan umum (PU), Pengendalian lingkungan, Kelautan, Pertanian, Kehutanan dan Pendidikan. Sosialisasi mengenai pengelolaan kawasan wisata ini telah dilakukan oleh pemerintah provinsi dan mendapat dukungan dari semua unsur yang terlibat. Masyarakat lokal termasuk terlibat dalam kegiatan pengembangan ekowisata. Pemasaran kawasan wisata, dilakukan oleh Dinas Pariwisata Gunungkidul yang didukung oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mencoba melakukan langkah bekerjasama dengan melibatkan semua stakeholder dan masyarakat lokal untuk
mempromosikan kawasan kars. Adapun pengelolaan
terpadu kawasan ekowisata kars Wediombo dengan memperkuat institusi kelembagaan yang terkait secara skematis digambarkan seperti Gambar 44 di bawah ini
167
Ekowisata Pendidikan Kars Wediombo Kesempatan efektif untuk menghargai dan belajar tentang alam
LSM Dinas P& K Dinas PU
Keberlanjutan lingkungan, ekonomi dan sosio-budaya
Kelembagaan
Dinas lingkungan Dinas kehutanan Dinas Kelautan & Perikanan
Dinas Pertanian Dinas Perhubungan
Dinas Pariwisata G. Kidul
Keberlanjutan Operasional
Keterpaduan Pengelolaan Investor
Pemda DIY
Kepuasan wisatawan dan masyarakat Gambar 44. Lingkaran Optimalisasi Ekowisata Kars Wediombo Kelembagaan (Pengembangan dari Weaver, 2001).
4.5. Rekomendasi Kebijakan Wediombo.
dan
Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars
4.5.1. Kebijakan Umum Kawasan kars Wediombo di kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata kars. Hal ini dilhat dari tipologi wilayahnya yang cukup mendukung dimana di dalamnya terdapat pantai, pegunungan, terdapat goa-goa, dan beranekaragam flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Hal ini yang membuat pemerintah daerah menetapkan kawasan kars Wediombo sebagai kawasan pendidikan dan konservasi. Dari potensi wisata yang dimiliki, kawasan kars Wediombo dapat dibedakan atas enam zone pemanfaatan wisata mulai dari zone A-F yang masih bersifat alami dengan potensi pemanfaatan yang berbeda-beda. Namun demikian sarana dan prasanaran pendukung wisata di kawasan tersebut masih sangat minim dengan tingkat pengetahuan dan pendapatan masyarakat yang masih rendah.
168 Dari sisi demand, sebagian wisatawan datang bersama keluarga dan usianya tergolong produktif dan penghasilan rata-rata menengah. Jarak tempuh wisatawan menuju ke kawasan Wediombo hampir sebagian berasal dari luar Yogyakarta maupun dari Luar Solo dan Wonogiri, banyaknya wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi Pantai Wediombo di atas 50%, sedangkan 30%nya lebih dari 3 kali. Untuk lamanya kunjungan sebagian besar hanya 2 jam, kemudian berturut-turut 1 jam, 3 jam dan lebih dari 3 jam. Berdasarkan perhitungan analisis pearson maka jam tempuh (lamanya perjalanan dari asal wisatawan ke Kawasan Wediombo) dengan pendapatan wisatawan, frekuensi kunjungan dan lamanya jam kunjungan, pendapatan dan kesanggupan membayar, pendapatan dan umur, mempunyai hubungan sedang. Sedangkan dari sisi supply, kawasan yang paling menarik dikunjungi adalah Pantai Wediombo. Berdasarkan potensi dan pemasalahan yang dialami kawasan kars Wediombo, maka perlu dirumuskan strategi pengembangan wisata di kawasan ini dan salah satu strategi yang cukup potensian untuk dikembangkan adalah “Pengembangan Wisata Pendidikan” pada setiap jenis straksi wisata yang dikembangkan pada setiap zona ekowisata. Melalui pengembangan wisata pendidikan ini diharapkan dapat merubah persepsi dan perilaku
masyarakat dan pengunjung akan pentingnya
memelihara kawasan kars sebagai salah satu warisan dunia yang memiliki keunikan dan nilai yang tinggi untuk dimanfaatakan sebagai kawasan wisata dengan tetap menjaga kelestariannya sehingga kawasan dapat dimanfaatan secara optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan kebijakan tersebut dapat dirumuskan model pengembangan ekowisata kars Wediombo yang berkelanjutan seperti pada Gambar 45.
4.4.2. Kebijakan Operasional Dari hasil analisis prioritas ditemukan strategi pengembangan kawasan menjadi kawasan wisata yaitu pengembangan wisata pendidikan, maka berikut dirumuskan strategi pokok sebagai kebijakan operasional dalam pengembangan kawasan ekowisata sebagai berikut : 1. Karena sebagian besar wisatawan bersama keluarga, maka sarana dan prasarana perlu ditingkatkan untuk menambah variasi wisata baik berupa
169 kunjungan ke pantai, goa (khusus) ataupun pengembangan wisata outbond dan theme park bagi keluarga. 2. Melihat kondisi infrastruktur, maka perlu ditingkatkan kualitas tempat makan, sarana jalan (perlu pertimbangan sebagai kawasan ekowisata), kebersihan dan tempat ibadah. 3. Potensi wisatawan yang datang cukup menjanjikan, karena sebagian wisatawan sanggup membelanjakan uangnya yang cukup besar untuk sekedar menikmati panorama alam berupa pantai di Kawasan Wediombo. 4. Agar jam kunjungan bisa lebih lama, bahkan sampai berhari-hari perlu disediakan penginapan yang layak dan menarik dengan mengacu kepada keindahan alam Kawasan Wediombo. 5. Perubahan pola hidup, sebagai kawasan rekreasi yang menjanjikan, pendapatan meningkat dan penyerapan tenaga kerja merupakan faktor-faktor utama yang perlu dicermati jika ekowisata dikembangkan. Sedangkan biaya yang akan timbul adalah biaya perencanan dan rusaknya perangkap sedimen, biaya kerusakan hutan, kerusakan biota laut, sosialisasi kepada masyarakat lokal dan kerusakan terumbu karang merupakan potensi yang timbul, tetapi dengan pengelolaan yang baik keempat faktor yang menimbulkan biaya besar dapat di eliminasi. 6. Dari hasil zoning kawasan, sebagian kantong-kantong potensi kawasan wisata bersifat sangat alami hingga alami. 7. Menetapkan kriteria-kriteria yang mempengaruhi tujuan wisata dengan menetapkan andalan kawasan kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata (flagship attraction) dan atraksi penyangga (buffer). 8. Secara keseluruhan ekowisata merupakan pengembangan pariwisata yang cocok untuk kawasan kars Wediombo dengan mengutamakan nuansa wisata pendidikan. 9. Dalam pengembangan wisata ini, pengelolaannya perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan stakeholder pada beberapa institusi kelembagaan terkait. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk kelembagaan pengelolaan kawasan baik formal maupun non formal.
170
Kawasan Kars Wediombo
The World Heritage
Potensi Untuk Pengembangan Ekowisata
DUKUNGAN ASPEK LEGAL 1. UU No. 5/1990 (Konservasi) 2. UU No. 9/1985 (Perikanan) 3. UU No. 9/1990 (Pariwisata) 4. UU No. 32/2004 (Pemda) 5. UU No. 27/2007 (Tata Ruang)
BIOFISIK 1. Goa kars 2. Pegunungan 3. Pantai 4. Flora dan fauna 5. Sungai bawah tanah
SOSIALEKONOMI (Beragam mata pencaharian masyarakat yang dapat dikembangkan)
SOSIALBUDAYA 1. Ritual 2. Makanan khas 3. Seni tradisional
PRIORITAS MANFAAT (Kesejahteraan dan PAD) SUPPLY (Menarik sbg tujuan wisata)
ZONA WISATA (KantongKantong Wisata)
DEMAND (Pengunjung dari dalam dan luar kawasan)
Aspek ekonomi lebih dominan daripada ekologi dan sosial
CENDERUNG TERJADI DEGRADASI
Tingkat kesadaran dan penghargaan masyarakat thd alam masih rendah
PRIORITAS BIAYA Perlindungan Lingkungan
Keterlibatan Stakeholder
Keseimbangan antara manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan melalui peningkatan kesadaran dan penghargaan masyarakat thd alam (SDA)
Penguatan Kelembagaan
PENGEMBANGAN WISATA PENDIDIKAN PADA SEMUA KANTONG REKREASI
Faktor Internal dan Eksternal
KAWASAN EKOWISATA KARS WEDIOMBO YANG BERKELANJUTAN
Gambar 45. Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang Berkelanjutan 170
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kawasan kars Wediombo banyak potensi objek wisata yang dapat kembangkan secara lebih produktif untuk pengembangan ekowisata. Potensi penyebaran objek wisata di kawasan kars Wediombo meliputi goa kars, kawasan hutan alam, pegunungan kars (bentuk conical), sungai bawah tanah, dan pantai di sepanjang pinggir selatan Kawasan Wediombo yang cenderung terletak di sebelah selatan Kawasan Wediombo. Kawasan ini memenuhi syarat sebagai kawasan ekowisata yang di dalamnya mengandung unsur pengalaman, pendidikan, dan konservasi dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan yang didukung oleh aspek legal (regulasi) pemanfaatan dan perlindungan lingkungan yang ada. Hasil identifikasi demand menunjukkan bahwa semua wisatawan yang datang ke kawasan kars Wediombo pada umunya bersama keluarga. Wisatawan tersebut berasal dari luar Kota Yogyakarta. Dilihat dari hubungan antara pendapatan, kesanggupan membayar, dan umur menunjukkan adanya korelasi sedang antar ketiganya, namun demikian tidak membatasi jenis pengunjung tersebut karena semua dapat menikmati kawasan Wediombo. Ini berarti bahwa semua pengunjung memiliki kesanggupan membayar tanpa dibatasi oleh pendapatan dan umur. Dari sisi supply, terlihat bahwa kawasan kars Wediombo memiliki keunikan dan keunggulan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang dapat menarik wisatawan. Namun kondisi fasilitas masih relatif kurang sehingga perlu penyediaan fasilitas yang lebih memadai. Penyediaan fasilitas ini harus disesuaikan dengan kondisi kawasan dan diarahkan untuk perlindungan kawasan sehingga kawasan dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai tujuan wisata yang berkelanjutan Dalam pengembangan ekowisata kars Wediombo, maka prioritas manfaat (benefit) yang diharapkan adalah manfaat ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan pendapatan asli daerah (PAD) dengan tetap memperhatikan kelestarian kawasan dan kondisi sosial masyarakat. Prioritas manfaat ekonomi yang lebih diharapkan adalah terjadinya perubahan pola hidup masyarakat. Sedangkan prioritas biaya (cost) yang perlu dikeluarkan adalah biaya
172 perbaikan lingkungan walaupun memerlukan biaya yang besar. Biaya ini dapat dimanfaatkan untuk perencanaan kawasan dan konservasi sedimen, biaya kerusakan hutan, biaya kerusakan biota laut, biaya kerusakan karang dan sosialisasi masyarakat, biaya perlindungan flora dan fauna, biaya operasi dan perencanaan, biaya pencemaran, dan biaya perbaikan kehidupan bagi masyarakat setempat. Hasil analisis dengan micro-ROS teridentifikasi kantong wisata yang dapat dikembangkan secara lebih produktif dan dapat berfungsi sebagai kawasan penyangga (buffer) bagi lingkungan kars. Dengan teknik micro-ROS ini pula, peluang wisata/rekreasi yang minor dapat diangkat sebagai potensi wisata. Kantong-kantong wisata ini secara garis besar dibagi dalam enam zone yang dapat dinikmati oleh setiap pengunjung dan didalamnya dapat dikembangkan atraksi budaya yang memiliki nuansa pendidikan sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan persepsi masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan sumberdaya yang terkandung di dalam kawasan. Strategi pengembangan ekowisata kars di Wediombo yang prioritas untuk dikembangkan adalah pengembangan wisata pendidikan pada semua zone pemanfaatan kawasan wisata. Tujuan yang paling diharapkan adalah adanya keberlanjutan baik keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial sebagaimana tiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka peran aktor sangat diperlukan dimana aktor pemerintah menduduki prioritas utama sebagai dinamisator, fasilitator, dan regulator dalam pengembangan kawasan. Peran aktor tersebut dapat terlihat dari usahanya untuk memanfaatkan kemampuan dan peluang yang ada untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang ada, namun kekuatan dari dalam dan ancaman merupakan elemen yang perlu diprioritaskan untuk ditangan dengan baik. Dalam pengembangan wisata ini perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan stakeholder pada beberapa institusi kelembagaan terkait sehingga kawasan dapat dikelola secara oprimal dan berkelanjutan baik keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial budaya maupun keberlanjutan operasionalnya untuk menciptakan kepuasan bagi masyarakat sekitar dan wisatawan yang datang. Disisi lain nuansa pendidikan perlu digalakkan pada setiap kantong-kantong rekreasi agar masyarakat sekitar dan
173 setiap pengunjung dapat menghargai dan belajar tentang pentingnya menjaga kawasan sebagai salah satu warisan dunia yang perlu dikkonservasi agar terhindar dari degradasi lingkungan.
5.2. Saran-Saran 1. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan kawasan kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata yang berkelanjutan, maka dalam pengelolaanya perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan seluruh stakeholder pada beberapa institusi kelembagaan terkait. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk kelembagaan pengelolaan kawasan baik formal maupun non formal. 2. Untuk menambah variasi potensi wisata, maka perlu dilakukan pengamatan dan
pemetaan secara spesifik keberadaan tanaman endemik di Kawasan
Wediombo sebagai potensi kawasan penelitian. Demikian juga halnya dengan flora dan fauna yang berada dalam kegelapan goa. 3. Sesuai
dengan
konsep
micro-ROS,
kesempatan
berekreasi
harus
memperhatikan kemampuan daya dukung kantong potensi kawasan wisata supaya kegiatan wisata berkelanjutan (ekowisata). Untuk mengatasi masalah kekurangan air sebagai salah satu daya dukung ekowisata, maka penelitian daya dukung air bawah sangat penting untuk menentukan potensi besarnya sumber air. 3. Perlu penambahan sarana dan prasarana maupun infrastruktur guna mendukung kemauan maupun kenyaman wisatawan selama mengunjungi kawasan Wediombo. 4. Perlu lebih banyak melibatkan masyarakat lokal untuk mendukung pengembangan ekowisata dengan meningkatkan SDM, sehingga diharapkan variasi budaya, makanan khas maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisionil dikemas dan di tawarkan kepada wisatawan. 5. Kawasan Wediombo sepanjang jalan menuju kawasan pada kawasan yang landai berpotensi untuk tempat makan (kuliner) karena ada akses daya dukung sumber ikan yang berasal dari Pantai Sadeng sebelah timur kawasan Wediombo.
174 6. Perlu manajemen wisata yang professional dan promosi yang baik guna mengenalkan potensi yang terdapat di Wediombo berbeda dengan kawasan lain khususnya di Gunungkidul, sehingga mempunyai daya tarik tersendiri.
7. Beberapa potensi kawasan wisata dapat dijadikan buffer zone wisata, supaya wisatawan tidak hanya terkonsentrasi pada satu atraksi wisata yang akan berdampak pada lingkungan.
175
DAFTAR PUSTAKA Alley, J and Elliot, WR. 2005. Karst Conservation in the Ozarks: Forty years at Tumbling Creek Cave. National Cave and Karst Management Symposium, Proceedings. Aurighi, M, Cencur C, Kuschnig, Selvaggi, Pacivic, Veselic, Zojer. 2004. Collision of interest in land use, water management and environmental protection in karst area. Proceeding of the International Transdisciplinary Conference on Development and Conservation of Karst Region, Hanoi, Vietnam. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Kunjungan Tamu Asing. Jakarta: BPS-Statistik Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik Yogyakarta. 2006. Kota Yogyakarta dalam angka. Tahun 2006. Badan Pusat Statistik Yogyakarta. [BAPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Gunungkidul. 2005. Master Plan Pengembangan Kawasan Pesisir. Yogyakarta [BAPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Yogyakarta. 2000. Profil Daerah Propinsi D.I. Yogyakarta. http://bapeda.jogjaprov.id/pustaka/profil-diy06.pdf.(23 Jan. 2008) Blamey, R.K. 1997. Ecotourism: The Search for an operational definition. J. Sustain. Tour. 5 (2): 109-130. Blamey, R.K. 2001. ‘Principle of Ecotourism’. In Weaver, D.B. (Ed.) Encyclopedia of Ecotourism. Wallingford, UK: CAB International, PP. 5-22. Boo, E . 1990. Ecotourism: the Potential and Pitfalls. Whasington: World Wildlife Fund.. Bottrill, C.G. and Pearce, D.G. (1995) Ecotourism: Towards a key elements approach to operationalising the concept. J. Sustain. Tour. 3 (1):45-54. Collier, W, Santoso, Soentoro, K dan Wibowo, R. 1996. Pendekatan baru dalam pembangunan pedesaan di Jawa: Kajian pedesaan selama Dua puluh lima tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
176
Cooper, C. and Fletcher. J. 1993. Tourism, Principles & Practice. Essex: Longman Group Limited. Day
M. 1996. Conservation of Kars In Belize. J. Cave Karst Studies. 58(2):139-144
Duffus, D.A. and Dearden, P. (1990) Non-consumptive wildlife-oriented recreation: A Conceptual Framework. Biol. Conserve.53, 213-231. Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gunungkidul, 2000. RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta. Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gunungkidul. 2008. Data Jumlah Pengunjung Obyek Wisata Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Laporan Tahunan Diamantis, D. (1998) Consumer behaviour and ecotourism products. Ann. Tour.Res. 25, 515-518. Ditjen Pariwisata 1995. “Proyek Pengembangan Pariwisata Sumatera Utara”. Medan: C.V. Miko Yova Consultan Engineering. [EAA] Ecotourism Association of Australia. 2000. What is Ecotourism? http://www.ecotourism.org.au/About_ecotourism.htm. (11 Nop. 2007) Eagles, P.F.J (1992) The travel motivations of Canadian ecotourists. J. Travel Res. 31(2): 3-7. Eagle PFJ, MCool SF and Haynes CD. 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas. Guidelines for Planning and Management.UK: IUCN Publication. Fennel. D. 1999. Ecotourism: An Introduction. London: Routledge. Farrel, T.A and Marion, L.J. 2002. The Protected Area Visitor Impact Management (PAVIM) Framework. USA: A Simplified Process for Making Management Decisions. J. Sustain.Tour. Goodwin, H. 1996. In Pursuit of Ecotourism. Biodiversity and Conservation. Gunn, C.A. 1972. Vacationscape: Designing Tourist Regions. Austin: University of Texas Bureau of Business Research.
177
Haryono, E and Day, M. 2004. Landform differentiation within the Gunungkidul kegelkarst, Java, Indonesia. J. Cave Karst Studies, 66(2): 62-69 Haryono, E. 2007. Geomorfologi Karst. Workshop dan Field Training.Yogyakarta: Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM. Healy, RG. 1992. The Role of Tourism in Sustainable Development. Paper presented at the IV th Worth Congress on National Park and Protected Areas, Caracas, Venezuela. Hof
M. and Lime DW. 1997. Visitor experience and resource protection framework in the national park system. Proceeding from a Workshop on Limits of Acceptable Change and Related Planning Processes. Missoula: University of Mantana’s Lubrecht Experimental Forest.
Hvenegaard, GT. 2002. Using Tourist Typologies for Ecotourism Research. J. Eco. 1(1):1-12 Ichiki S. 2002. Ecotourism in Ogasawara Island. Tokyo: Whale Watching Association and Bonin Ecotourism Commission Infield, M. 2004. Building support for karst landscape conservation in Vietnam: Working with local communities and national value. Proceeding of the International Transdisciplinary Conference on Development and Conservation of Karst Region, Hanoi, Vietnam. Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. Newyork: Van Nostrand Reinhald Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. 2002. Kebijakan, Rencana Strategi, dan Program: Cetak Biru Pemasaran Pariwisata Indonesia. Dokumen 4. PT Wastumatra, Jakarta. King, B. 1975. Social Impact of tourism: Host perception. Ann. Tour. Res. 20:650-665 Magniez, G.J., dan Rahmadi, C. 2006. A new species of the genus Stenasellus (Crustacea, Isopoda, Asellota, Stenasellidae). Bull. Mens. Soc. Linn. Lyon 75(4):173-177. Mangkoesoebroto, G. 1998. Ekonomi publik, Yogyakarta: BPFE Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo.
178
Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB-Press. Maarif dan Tanjung. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Mason, P. 2003. Tourism Impacts, Planning and Management. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann Linacre House, Jordan Hill. Mitchell, L.S. 1991. A Conceptual Matrix for the Study of Tourism. Aix en Provence, France: Universite de Droit, d’Economie et des Sciences d’ Aix-Marseille. Mitchell, L.S. 1994. Research on the Geography of Tourism. In Travel, Tourism, and Hospitality Research: A Handbook for Manager and Researchers, ed. J.R. Brent Ritchie and Charles R. Goeldner. New York: John Wiley and Sons: 197-242. Murphy, P.E. 1985. Tourism: A Community Approach. London: Routledge. Musgrave, R.A. and P.B. Musgrave. 1989. Public Finance and Theory and Practice. McGraw-Hill, Inc. Mylroie, JE and Carew, JL. 2003. Kars development on carbonate island. Mississippi: Journal Speleogenesis and Evolution of Kars Aquifers. 1(2): 55-76 Naisbitt, J. 1994. Global Paradox. Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil. Jakarta: Binarupa Aksara. Nibbering, J.W. 1991. Crisis and Resilience in Upland use in java in Hardjono J. (ed.) 1991, Indonesia: Resources, Ecology and Environment, Singapore: Oxford University Press Nielsen, P and Tayler, G. 1997. A Comparative Analysis of Protected Area Planning and Management Framework. Missoula: Proceeding Limits of Acceptable Change and Related Planning Processes. Parkin D, Batt D, Waring B, Smith E, Phillips H. 2000. Providing for a diverse range of outdoor recreation opportunities: a “micro-ROS” approach to planning and management. Australia Parks Leisure, 2(3):41-47.
179
Plog, S.C. 1972. Why destination areas rise and fall in popularity. Paper presented at Southern California Chapter of the Travel Research Association. Pemda
Kabupaten Gunungkidul. 2008. Kondisi Umum Kabupaten Gunungkidul. http://www.gunungkidulkab.go.id/home.php (21 Jan 2008)
Poon, A. 1993. Tourism, Technology and Competitive Strategies, Wallingford: CAB International. [P4 UGM] Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gadjah Mada. 2000. Laporan akhir Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21 (Edisi keenam). Jakarta: Gramedia Pustaka. Richards, G.P. and Heywood, J.L. 1999. The Development of a Recreation Setting Inventory and Classification System. Australian Park Leisure, 1(3):42-47. Robby, A. 2003. Membedah konsep http:/www.sinarharapan.com/
pariwisata
berkelanjutan.
Saaty, TL. 1980. The Analytic Hierarcy Process, Newyork: McGraw-Hill Saaty, TL. 1990. Multicriteria Decision Making: The Analytic Hierarchy Process, Pittsburgh: RWS Publication Saaty, TL. 1994. Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with the Analytic Hierarchy Process, Pittsburg: RWS Publication. Shiver, JS. and Hjelte, G. 1971. Planning Recreational Places. C ranbury, New Jersey: Associated Univ. Pr. Slocomb, SD. 1993. Environmental Planning, Ecosystem Science, and Ecosystem Approaches for Integrating Environment and Development. Environ. Manage. 17:289-303. Smith, S.L.J. 1990. A test of Plog’s allocentric/psychocentric model: evidence from seven nations. J. Travel Res. 28 (4):40-43.
180
Smith, S.L.J. and Smale, B. 1980. Classification of visitors to agreements for recreation and conservation sites, national parks and related sites. Contact: J. Urban Environ. Affairs 12(1):35-52. Stecker, B. 1996. Potential for Conservation and Sustainable Use of Tropical Forests. Esborn: Report to GTZ. Soemarwoto, O and Conway, G.R. 1992. The Javanese Homegarden. J. Farming Sys. Res. Extension 2(3):95-118 Sugijono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suhandi, A. 2001. Pengembangan Ekowisata berbasis masyarakat di Kep. Togean Sulawesi Tengah. Palu: Makalah dalam loka karya terbatas ”Pengembangan Kawasan Konservasi Terpadu kepulauan Togean”. Cari data primer Sunarto. 2000. Kajian profil kawasan pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta, Bapeda Propinsi DIY. Sunkar, A. 2004. Sustainability of Gunung Sewu Karst System: The management of human behaviour and physical environment. Proceeding the International Transdisciplinary Conference on Development and Conservation of Karst Region, Hanoi, Vietnam. Surono, B.T., Sudarno, I. and Wiryosujono, S. 1992. Geology of the Surakarta Giritontro Quadrangles, Java: Bandung, Geological Research and Development Center, Indonesia, scale 1:100,000, 2 sheets. Susan M, Smith A and David N. 2003. Environmental Performance Reporting for Natural Area Tourism: Constributions by Visitor Impact Management Frameworks and Their Indicators. J. Sustain. Tour. 11(4): 348-375. Taylor, G.D. 1986. Multi-dimensional segmentation of the Canadian pleasure travel market. Tourism Management 7 (3):146-153. [UNEP] United Nation Environment Programe. 2002. About ecotourism. www.uneptie.org/pc/tourism/ecotourism/home.htm [UNEP] United Nation Environment Programe. 2003. Tourism and local agenda 21. The role of local authorities in sustainable tourism. UNEP Publication, January 2003.
181
Valentine. 1992. Nature based Tourism. In Hall and Weiler. Special Interest Tourism. London: Belhaven Press. Van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology of Indonesia, Volume 1A, General Geology: The Hague: Martinus Nijhoff, 732 p. Vander Zee, D. 1990. The Complex Relationship between Landscape and Recreation. Landscape Ecology. 4(4):225-236 Vermeullen, J. and Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the Management of Limestone Resources: Lesson from East Asia. Washington DC: The World Bank. Verstappen, H. 1997. The effect of climatic change on South East Asian Geomorphology. J. quaternary Sci. 12(5):413-418. Wall, G. 1993. Towards a tourism typology. In J.G. Nelson, R. Butler and G. Wall (eds) Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing (pp. 45-58).Waterloo, ON: Heritage Resources Centre, University of Waterloo. Walker, S.L. 1997. Ecotourism Demand and Supply in El Cielo Biosphere Reserve, Tamaulipas, Mexico. Thesis. San Marcos, Texas. Weaver, D. 2001. Ecotourism. Milton: John Wiley and Sons. Woodley, A. 1993. Tourism and Sustainable Development: The Community Perspective. In Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing, ed. J.G. Nelson, R. Butler, and G. Wall, Department of Geography Publication Series number 37. Waterloo: University of Waterloo:136-147. Wolfe, Roy, I. 1964. Perspective on Outdoor Recreation: A Bibliographic Survey. Geographical Review 54:203-238. [WTO] World Tourism Organization. 2006. Tourism Highlights 2005 edition. Madrid: World Tourism Organization. [WTO] World Tourism Organization. 2000. Summary of International Tourist Arrival and Receipts for 2000. Madrid: Published primary.