MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG, PROVINSI SULAWESI UTARA
BROERIE POJOH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pengembangan “Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Mei 2010
Broerie Pojoh NRP P061060161
ABSTRACT BROERIE POJOH. Model Development of Agro-Eco-Industrial Park Bitung, North Sulawesi Province. Under Direction of RIZAL SYARIEF, as Chairman of the Supervision Committee, KUDANG BORO SEMINAR and SUDARMASTO as Co-Chairmen Supervision Committee. Industrial challenges of the 21st century gave birth to the concept of sustainable industry which in turn was followed by industrial ecology, a concept which tries to apply the non-waste ecological systems to industrial production systems. The application of industrial ecology concept gave birth to the term ecoindustrial park (EIP). The general purpose of this research is to build a model development of Agro-eco-industrial park (AEIP) Bitung, North Sulawesi Province. Method used is FAST (synergy tool facility), Connectance Value, Likert Scale, ISM Method, AHP methods and Powersim Studio Expert 2005. The research shows that in terms of production and environmental management, agro-based industries in Bitung City were assessed to be as good enough. Pattern of linkages among industries was 23.64%, or still in low figure. Result also showed that AEIP alternative priority model that includes the activities of manufacturing industries, cooperation and exchange of waste materials, cattle, poultry, slaughter house, composting, renewable energy generation sources, and wastewater treatment facilities is of alternative model that can be developed in Bitung City. The design of dynamic models of that alternative priority model produces dominant variables, namely: Marine Fisheriesbased Industry Sub-Model, Coconut-based Industry Sub-Model, Agro-Industrial Complex Sub-Model, Renewable Energy Generation Sub-Model, and Waste and by-Products Sub-Model. The dynamic models showed that in 15th year, the AgroEIP model will reduce waste and or increase by-products usage as follows: reduce fish blood of 161,950 liters (24.96%), reduce cattle urine of 161,950 liters (6.25%), feces of beef cattle and chickens as many as 2,015,733 kg (94.40%); increase usage of marine fisheries by-products as many as 24,290,500 kg (93.59%), coconut water by-products as many as 11,803,600 liters (93.01%), coconut shell as many as 2,160,000 kg (>100%), “paring” of coconut flesh as many as 2,447,200 kg (90.64%), and in general lowering of the liquid waste, i.e. coconut milk, fish blood, and urine of cattle as many as 12,127,500 liters (1% of the total liquid waste). Steps that can accelerate the realization of the model are development of Industrial Park in Kelurahan Tanjung Merah and approval of Special Economic Zone (KEK) in Bitung City. In order to meet the need of coconut and marine fish raw materials, the Government should try to reduce IUU (illegal, unreported, unregulated) activities, and to build non-conventional coconut production policy, i.e. derived essential coconut products for health care and body treatments. Keywords:sustainable industry, industrial ecology, connectance value of industry, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, dynamic models.
RINGKASAN BROERIE POJOH. Model Pengembangan “Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, KUDANG BORO SEMINAR dan SUDARMASTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Tantangan industri abad ke-21 melahirkan konsep industri berkelanjutan yang selanjutnya diikuti oleh ekologi industri, suatu konsep yang mencoba mengaplikasi sistem ekologi yang nir-limbah ke sistem produksi industri. Penerapan dari konsep ekologi industri melahirkan istilah eco-industrial park (EIP). Tujuan Umum Penelitian ini adalah membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Penambahan kata “agro” berkaitan dengan eksistensi mayoritas industri agro yang beraktivitas di kota itu. Tujuan khususnya adalah: mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur; menganalisis program pengembangan model; dan menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model. Metode penelitian yang digunakan adalah FaST (facility synergy tool), pengelompokan SWOT, Connectance value, Bagan alir, Skala Likert, Metode ISM (Modul ISM VAXO), Metode AHP (Criterium Decision Plus Versi 3.0), Metode deskritif, dan Program Powersim Studio Expert 2005. Hasil penelitian terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur menunjukkan bahwa mayoritas industri yang beraktivitas di Kota Bitung adalah industri agro berbasis perikanan laut dan kelapa dimana dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerjanya dinilai cukup baik. Selanjutnya diketahui bahwa aktivitas industri agro mendapat dukungan positif dari pemangku kepentingan, seperti warga masyarakat dan aparat Pemerintah dan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan positif dari warga masyarakat, aparat pemerintah, dan pelaku industri agro. Kondisi eksisting kualitas air sungai dan sumur di rencana lokasi Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah termasuk dalam kategori baik. Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung adalah sebesar 23,64% atau masih dalam kategori rendah. Hasil penelitian terhadap Program Pengembangan AEIP menunjukkan bahwa elemen kunci dari tujuan program adalah membangkitkan energi dengan sumber terbarukan dan meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. Elemen kunci dari kendala utama program adalah kurangnya pemahaman terhadap konsep AEIP dan rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Selanjutnya diketahui bahwa Model AEIP prioritas yang meliputi kegiatan-kegiatan industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, RPH, pengomposan, pembangkitan energi listrik terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan alternatif model prioritas yang dapat dikembangkan di Kota Bitung. Perancangan model dinamik dari alternatif model prioritas tersebut menghasilkan variabel-variabel dominan, yaitu: Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model Industri AgroKompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan. Pola keterkaitan antar industri di dalam AEIP Bitung adalah sebesar 36,67% atau meningkat dibandingkan dengan nilai pola keterkaitan antar industri manufaktur/agro eksisting. Beberapa hal pokok dari hasil simulasi adalah potensi bahan baku perikanan laut dan kelapa lebih kecil dari kebutuhan industri. Jumlah industri hasil simulasi adalah 64 unit yang terdiri atas enam unit industri besar (masing-masing
tiga unit industri besar berbasis perikanan laut dan tiga unit industri besar berbasis kelapa) dan 58 unit industri menengah dan kecil dimana pembangunan semua unit industri dilakukan dalam selang waktu 15 tahun. Kebutuhan lahan untuk pendirian ke-64 unit industri dan fasilitas pendukungnya diperkirakan seluas 520.000 m2, atau masih menyisakan lahan seluas 460.000 m2 apabila rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah seluas 980.000 m2 (yang diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) terealisir. Pada tahun ke-15 setelah AEIP Bitung didirikan dan ketika semua unit industri telah didirikan dan beraktivitas, Nilai Produksi AEIP Bitung adalah Rp 825,6 milyar dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 1.526 orang. Terdapat korelasi positif antara meningkatnya nilai produksi AEIP dan meningkatnya penggunakan bahan ikutan dan limbah industri. Potensi pembangkitan energi listrik terbarukan pada tahun ke-15 adalah 58.648 kWh dengan nilai produksi Rp 56,89 juta. Pada tahun ke-15, AEIP Bitung menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Penurunan limbah cair adalah sebagai berikut: darah ikan sebesar 161.950 liter (24,96%), urine ternak sapi 161.950 liter (6,25%), feces ternak sapi, ayam, dan RPH adalah 2.015.733 kg (94,40%). Peningkatan pemanfaatan bahan ikutan perikanan laut sebanyak 24.290.500 kg (93,59%) dan bahan ikutan air kelapa sebanyak 11.803.600 liter (93,01%), tempurung kelapa 2.160.000 kg (>100%), dan paring kelapa 2.447.200 kg (90,64%). Secara keseluruhan menurunkan limbah cair air kelapa, darah ikan, dan urine ternak sapi sebanyak 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total). Untuk merealisir pembangunan AEIP Bitung maka langkah-langkah yang dapat mempermudah realisasinya adalah terwujudnya pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah dan ditunjuknya Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tahapan-tahapan kegiatan yang dapat dilakukan untuk membangun AEIP Bitung adalah: Penyusunan masterplan kawasan industri; Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; Sosialisasi AEIP; Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham; Pendirian perusahan pengelola kawasan industri; Perumusan tata tertib kawasan industri; Penetapan pola harga kapling industri; dan Penyiapan sistem rekruitmen tenan; Pembangunan infrastruktur kawasan industri; Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan; Pembangunan fasilitas daur ulang; Pembangunan fasilitas riset; Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa; Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian; Pembangunan fasilitas training; Pembangunan pusat promosi dan bisnis; Penyiapan sistem transportasi bersama; Pembangunan klinik kesehatan; Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan Pembangunan perumahan karyawan; Program kerjasama pertukaran materi dan limbah; dan Program pengembangan masyarakat (CSR). Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku perikanan laut dan kelapa maka perlu ada upaya untuk melakukan beberapa hal seperti menekan atau menurunkan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated), budidaya perikanan laut, intensifikasi produksi kelapa, dan membangun kebijakan produksi industri kelapa non-konvensional, yakni produk-produk esensial turunan kelapa untuk pemeliharaan kesehatan dan perawatan tubuh. Kata kunci: industri berkelanjutan, ekologi industri, nilai keterkaitan antar industri, eco-industrial park, agro-eco-industrial park, model dinamik.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG, PROVINSI SULAWESI UTARA
BROERIE POJOH P061060161
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi: Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira-Sa’id, MA. Dev. 2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mesdin K. Simarmata, M.Sc. 2. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA.
Judul Disertasi : Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung, Provinsi Sulawesi Utara Nama : Broerie Pojoh NRP : P061060161 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Doktor (S3)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua
Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc. Anggota
Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE.,M.A. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 16 April 2010
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah (Mazmur 62:3). Terima kasih Tuhan Yesus karena kasihMu membuat semua tahapan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat dilakukan dengan baik. Tema penelitian ini menyangkut keberlanjutan aktivitas industri dengan judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.” Penelitian ini merupakan sumbangan bagi upaya mengantisipasi tantangan industri abad ke-21 yang menuntut perubahan paradigma produksi dari melihat limbah dan bahan ikutan sebagai beban menjadi tantangan usaha. Pada
kesempatan
ini
penulis
menyampaikan
terima
kasih
dan
penghargaan yang tinggi kepada: 1. Menteri Perindustrian RI yang telah memberikan penugasan untuk mengikuti perkuliahan Program S3 melalui pemberian SK Tugas Belajar. 2. Kepala
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Industri,
Departemen
Perindustrian beserta staf yang telah memberikan persetujuan bagi penugasan untuk mengikuti Program ini. 3. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Departemen Perindustrian serta staf yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti program perkuliahan dan mengatur seluruh pembiayaan selama perkuliahan. 4. Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, Dr. Joseph J. Pardede, yang memberi dorongan semangat dalam proses pengambilan keputusan untuk mengikuti program ini. 5. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan
sangat
terbuka
dan
penuh
kehangatan
membimbing
dan
mengarahkan untuk melewati tahap demi tahap proses penelitian ini. 6. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam penelitian dan penulisan ini. 7. Dr. Sudarmasto, S.Teks., SE., MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang memberi bimbingan dengan penuh perhatian dan penuh kebapakan. 8. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., selaku Ketua Program Studi PSL IPB, beserta jajaran Dosen dan Staf, yang memberi cakrawala berpikir ilmiah dalam melewati tahap demi tahap menuju gelar tertinggi akademik. 9. Walikota Bitung yang telah memberi izin penelitian di Kota Bitung.
10. Ir. James Rompas MS, selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kota Bitung yang telah memberikan informasi yang diperlukan sekaligus sebagai Tim Ahli. 11. Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh yang membagi pengetahuan dan sekaligus sebagai Tim Ahli. 12. Drs. Herman Rompis, MS yang memberikan bantuan penyiapan tenaga surveyor untuk pengumpulan data. 13. Dr. Ir. I Ketut Ardana yang dengan ikhlas
membantu meletakkan dasar
dalam membangun model yang menjadi salah satu fokus penelitian ini. 14. Ir. Jackry Lolowang, MS. yang dengan tulus membantu mengumpulkan data industri berbasis perikanan laut di Kota Bitung. 15. Ir. Henry Pajow, MSi yang telah membantu memasok data yang diperlukan. 16. Pihak-pihak industri manufaktur di Kota Bitung yang telah menjawab kuisioner yang disampaikan oleh penulis. 17. Rekan-rekan sekantor di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado yang mendukung dan mendoakan keberhasilan studi penulis. 18. Rekan-rekan
seangkatan
PSL-IPB
2006
yang
telah
menciptakan
kebersamaan dalam keseharian kuliah serta saling mendorong untuk keberhasilan bersama. 19. Saudara-saudaraku yang mendoakan, mendorong, dan berharap akan keberhasilan studi ini; khususnya untuk Ibu Mertua (Ibu Juliana Goni), yang tak putus-putusnya mendoakan kesehatan dan keberhasilan studi penulis. 20. Rekan-rekan kost di Jln. Perwira 12, Caringin, dan Asrama Sam Ratulangi Bogor Baru yang melewati masa ini dalam kebersamaan yang membangun. 21. The last but not the least, untuk anak kami tercinta Rachel Ribka Pojoh yang menjadi inspirasi untuk penyelesaian studi ini, dan khususnya untuk istriku yang kukasihi, Deeske, untuk doa dan dorongan serta kerelaan untuk berkorban. Penelitian dan laporan hasil penelitian ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang diberikan untuk penyempurnaannya akan diterima dengan senang hati. Bogor,
Mei 2010
Broerie Pojoh
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 2 November 1962 sebagai anak ke-empat dari tujuh bersaudara dari keluarga Guru yang bersahaja, yaitu Papa, Petrus Pojoh (Alm) dan Mama, Agustina Silap (Almh). Pada tahun 1974 menyelesaikan studi di SD Kristen X Kotamobagu, selanjutnya tahun 1977 menyelesaikan studi di SMP Kristen Kotamobagu, dan Tahun 1981 menyelesaikan studi di SMA Negeri Kotamobagu. Pada tahun 1981 mengikuti pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan menyelesaikannya pada tahun 1985. Pada Tahun 1985-1988 bekerja sebagai Asisten Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan Fakultas MIPA Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Pada saat yang sama, Tahun 1986-1988 bekerja di SCDP UPP-PPK Bolaang. Pada tahun 1988 diterima dan bekerja sebagai PNS di Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado, dengan jabatan terakhir sebagai Staf Peneliti dalam Bidang Penelitian dan Pengembangan Industri. Pada Tahun 1994 mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia melalui OTOBappenas untuk mengikuti Program S2 pada Program Environmental Science and Policy di University of Wisconsin-Green Bay, USA dan tamat Tahun 1996. Setelah mengabdi selama sepuluh tahun, pada Tahun 2006 mendapat beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Kementerian Perindustian RI untuk mengikuti Program S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB Bogor. Karya ilmiah dengan judul ”Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara” yang merupakan bagian dari Disertasi ini telah dinilai layak dan akan diterbitkan pada Jurnal Riset Industri, Vol. IV, No. 2, Agustus 2010, beberapa bagian lain sedang dalam proses penerbitan pada jurnal lainnya.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................. xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xx SINGKATAN-SINGKATAN ............................................................................. xxi I.
PENDAHULUAN........................................................................................ 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.2.1. Tujuan Umum ........................................................................... 1.2.2. Tujuan Khusus .......................................................................... 1.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 1.5. Novelty................................................................................................
1 1 4 4 4 4 5 5
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 7 2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan .............................................. 7 2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur .............................................. 8 2.2.1. Batasan dan Pengertian ........................................................ 8 2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri ...................................... 8 2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri .......................................... 9 2.2.4. Strategi Pembangunan Industri ............................................. 9 2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri........................................ 9 2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri .......................................... 11 2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung .................................. 14 2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan Industri ................................................................... 15 2.2.9. Lokasi Kawasan Industri ........................................................ 15 2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus .................................................... 16 2.3. Ekologi Industri ................................................................................... 17 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri .................................................... 17 2.3.2. Tujuan Ekologi Industri .......................................................... 19 2.3.3. Peran Ekologi Industri............................................................ 20 2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri....................................... 22 2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih ..................................... 23 2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) .................................................... 24 2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi ........................................................ 31 2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri............................................................ 32 III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 34 3.1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 34 3.1.1. Definisi ...................................................................................... 34 3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian ...................................... 34 3.2. Rancangan Penelitian ......................................................................... 35 3.2.1. Pendekatan Penelitian yang Digunakan .................................. 35
xiv 3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung .................. 3.2.3. Tahapan Penelitian ................................................................. 3.3.Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 3.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 3.4.2. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 3.4.3. Penetapan Responden ............................................................. 3.4.4. Variabel yang Diamati............................................................... 3.5. Metode Analisis .................................................................................. 3.5.1. Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro ................................. 3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP Bitung ............................... 3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung ....................................................................................... IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ................................................. 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.................................................... 4.1.1. Sejarah Kota Bitung .................................................................. 4.1.2. Letak dan Luas ................................................................... 4.1.3.Topografi .................................................................................. 4.1.4. Iklim .......................................................................................... 4.2. Perekonomian .................................................................................... 4.3. Penggunaan Lahan ............................................................................ 4.4. Ketenagakerjaan................................................................................. 4.5. Prasarana ........................................................................................... 4.5.1. Listrik ........................................................................................ 4.5.2. Perikanan Laut ......................................................................... 4.6. Status Lingkungan Hidup Kota ........................................................... V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO .............................................. 5.1. Industri Manufaktur ............................................................................. 5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk yang Dihasilkan ................................. 5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan ................................................ 5.2.2. Pengelompokkan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ........................................................................... 5.3. Limbah Industri ................................................................................... 5.4. Bahan Ikutan Industri .......................................................................... 5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan ....................................................... 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri .......... 5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri .......... 5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro ................................................... 5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri .............................................. 5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kel. Tanjung Merah ......
35 42 42 44 44 44 46 46 46 47 49 51 53 53 53 53 53 54 56 57 58 58 58 59 60 63 63 64 65 68 70 71 72 72 74 75 76 77 78 82
xv 5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri ..................................................................................... 5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri ...................................................................... 5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri ........... 5.6.5. Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri.............. 5.6.6. Rangkuman ........................................................................... 5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri.........................................................
83 84 86 88 89 93 94
VI. PROGRAM PENGEMBANGAN MP-AEIP BITUNG................................... 98 6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi AEIP Bitung .............................. 98 6.1.1. Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP Bitung ................. 98 6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas............................................ 107 6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas ................................... 110 6.1.4. Rangkuman ........................................................................... 116 6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan MP-AEIP Bitung .............................................................................. 117 6.2.1. Penyusunan Model ................................................................ 117 6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung ......... 142 6.2.3. Simulasi Model ...................................................................... 143 VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PENERAPAN MP-AEIP BITUNG .................................................................................. 7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung.............................. 7.2. Implikasi Terhadap Keberlanjutan Industri Agro ............................... 7.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung ............................................... 7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung ............................ 7.3.3. Rekruitmen Tenan MP-AEIP Bitung ....................................... 7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP ....................................... 7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan
160 160 167 168 168 169 171 172
MP-AEIP Bitung..................................................................... 172 VIII. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 174 8.1. Simpulan .......................................................................................... 174 8.2. Saran .............................................................................................. 174 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 176 LAMPIRAN .............................................................................................. 182
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 2.1. Persebaran Industri di Indonesia ............................................................. 9 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia ............................................................. 11 2.3. Jumlah Kawasan Industri dan Luas (s/d 2000) ......................................... 12 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri ............................................................ 14 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri ............... 21 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME ....................................... 30 3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan ............................................ 36 3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian .............................. 47 3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen ............................ 50 3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang diharapkan .................................................................... 52 4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006 .............................................................................................. 54 4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 ...................................... 55 4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2004-2006 ..................................................... 58 4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001-2006 (ton) .................. 60 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002–2006 ...................... 63 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006 ........................... 63 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006 ....................... 64 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk yang Dihasilkan .............................. 64 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro ................................................. 71 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Bahan Ikutan ............................................. 71 5.7. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur....................................................................................... 72 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri..................................................................................... 74 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro ................... 75 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri.................................................................................... 77 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri .................................................................................... 80 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait .............................. 95 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan ............................................................... 97 6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP........................................... 109 6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam Pemodelan .................................................................................. 120 6.3. Tahapan Pembangunan Industri Agro dan Fasilitas AEIP ...................... 123
xvii 6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan dalam Pemodelan ................................................................................ 6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Model ....... 6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan................................................................................. 6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan ................................. 6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut ............................................... 6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut .................................................................. 6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP .......................... 6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut ............ 6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa ................ 6.13. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Kelapa (Setara Kopra) ..................................................... 6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa Agro-EIP Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut............................. 6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa................................................ 6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, dan RPH.................................................. 6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks.................... 6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks .................................. 6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ............................ 6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan ................................. 6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut............................................................... 6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat..................................... 6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces, dan Urine............. 6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa.................................................................................. 6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa.... 6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa (Setara Arang Tempurung Kelapa) ....................... 6.27. Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos....................................................... 6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP ................................ 6.29. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP .......................................................... 6.30. Keterkaitan Nilai Produksi AEIP dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri ....................................................... 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam AEIP ..................................................................
127 135 136 138 143 144 144 145 145 146 146 147 148 148 149 149 150 151 152 153 154 154 155 156 157 158 159 166
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................ 6 2.1. Elemen dari Ekologi Industri yang Beroperasi pada Beberapa Level ........ 17 2.2. Proses Munculnya Prasarana Ekologi Industri.......................................... 20 2.3. Ekosistem Industri di Kalundborg, Denmark ............................................. 22 2.4. Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi ............................ 32 2.5. Matriks Komunitas Spesies ...................................................................... 33 3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Model Pengembangan Agro-EIP ............. 37 3.2. Diagram Kotak Hitam Model Pengembangan Agro-EIP ............................ 38 3.3. Perumusan Masalah ................................................................................. 40 3.4. Diagram Alir Perancangan Model ............................................................. 41 3.5. Pendekatan Sistem Analisis ..................................................................... 42 3.6. Tahapan Penelitian................................................................................... 43 3.7. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 45 3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan) ........................... 48 4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006 ....................................... 57 4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005.................. 59 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan).............. 65 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan) ............... 67 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro ................................... 73 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro .............................................................. 73 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri.................................................................................... 74 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara ...................................................... 84 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung ............................................................ 85 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung .................................... 86 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri......................................... 88 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait ...................... 96 6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan .................. 98 6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung ....................................................................... 101 6.3. Diagram Model Struktural Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung ................................................................................................... 102 6.4. Posisi Sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di Dalam Empat Sektor ........................................................... 106 6.5. Diagram Model Struktural dari Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung ....................................................................... 107 6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP ...................................................................... 108 6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP ................................................................... 109 6.8. Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di Dalam Empat Sektor ................................................................................................ 114
xix 6.9. Diagram Model Struktural dari Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas .............................................................................................. 6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung ..................................... 6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ......................................................................................... 6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 ..................................................................................................... 6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut ..................... 6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa ................................... 6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks .................................... 6.16. Diagram Alir Sub-Model Sumber Energi Terbarukan .............................. 6.17. Diagram Alir Luas Lahan yang Dibutuhkan ................................................ 6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan................................. 6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja ................................................... 6.20. Diagram Alir Nilai Produksi Agro-EIP ........................................................ 6.21. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut Secara Grafis............................................................... 6.22. Perbandingan Data Faktual dan Hasil Simulasi Potensi Kelapa Provinsi Sulut Secara Grafis ....................................................................... 6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja Agro-EIP .......................................... 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri ............................................
115 118 121 122 128 129 130 131 131 132 133 133 141 141 159 171
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5a. 5b. 6a. 6b. 7a. 7b. 8. 9 . 10. 11.
Jadwal Pelaksanaan Penelitian ................................................................... Foto-foto Pengambilan Sampel Air ............................................................. Foto-foto Survei Lapangan .......................................................................... Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah ............................... Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ Hasil Reachability Matrix (RM) Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) ................................................ Hasil Reachability Matrix (RM) Final Kendala Utama Program ............... Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO).............................................................. Hasil Reachability Matrix (RM) Final Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO)............................................................... Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas ................................... Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi dalam Expert Survey ............... Struktur MP-AEIP Bitung ........................................................................ Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam MP-AEIP Bitung ......................
182 183 184 188 191 192 193 194 195 196 197 201 203 204
12. Koefisien dan Persamaan-persamaan MP-AEIP Bitung ......................... 205
xxi
SINGKATAN-SINGKATAN 1. KI
: Kawasan Industri
2. IE / EI
: Industrial ecology / Ekologi Industri
3. EIP(s)
: Eco-industrial park(s).
4. AEIP
: Agro-eco-industrial park
5. AEIP Bitung
: Agro-eco-industrial park Bitung
6. MP-AEIP Bitung : Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas industri manufaktur, termasuk di Indonesia, diibaratkan sebagai dua sisi mata pisau karena menghasilkan produk industri yang dibutuhkan untuk kehidupan, sekaligus menyebabkan pencemaran lingkungan. Pencemaran air permukaan, air tanah, sungai, danau, dan laut oleh residu bahan kimia organik maupun anorganik serta perubahan iklim global merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari aktivitas tersebut.
Diperlukan upaya sistematis
untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti perubahan pola hidup manusia ataupun penerapan pendekatan pengelolaan aktivitas industri manufaktur secara komprehensif. Upaya untuk mengatasi pencemaran industri di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dimulai sejak era tahun 1970an. Pendekatan utama yang digunakan adalah command-and-control dengan orientasi end-of-pipe (kebijakan dengan paradigma mengatasi masalah bukan mencegah terjadinya masalah). Kritik banyak diberikan pada pendekatan ini terutama karena tidak adanya insentif bagi pelaku industri untuk berbuat lebih baik dari yang dipersyaratkan peraturan lingkungan. Juga, penanganan pencemaran industri dilakukan tidak dalam konteks ”efektif dan efisien.” Para kritikus tersebut, selanjutnya mengajukan pendekatan lain yaitu market-based incentives, seperti tax, charges, subsidi, dan transferable discharge permits (TDP). Namun, kedua pendekatan tersebut memandang sistem produksi industri manufaktur sebagai suatu proses linear, di sisi yang satu adalah input sedangkan di sisi yang lain adalah produk dan limbah industri. Ekologi
industri
(industrial
ecology)
adalah
disiplin
ilmu
yang
mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk mencapai tujuan industri yang berkelanjutan (Chertow 1988). Ekologi industri merupakan disiplin ilmu baru, yang memandang proses produksi industri manufaktur bukan sebagai proses linear tetapi sebagai proses tertutup (closed-loop process). Pada tahun 1989, Frosch dan Gallopoulos mempopulerkan konsep ini dengan menyatakan ”kenapa tidak, sistem industri bertingkah-laku seperti sebuah ekosistem, dimana limbah dari suatu spesies dapat menjadi input bagi spesies lain? Kenapa tidak, output dari suatu industri menjadi input bagi industri lainnya, sehingga
2 mengurangi penggunaan bahan mentah, pencemaran, dan menghemat perlakuan atas limbah?” (Frosch & Gallopoulos 1989 dalam Peck 1996). Beberapa penelitian terhadap konsep ekologi industri telah dilakukan. Korhonen (2001) melakukan studi terhadap industri perkayuan di Finlandia dan menformulasi model pengembangan industri perkayuan yang meliputi faktorfaktor: roundput, keragaman, saling ketergantungan dan lokalitas. Kassinas (1997)
menyimpulkan
memperkuat
bahwa
kemampuan
jaringan
bersama
co-location
perusahan
dan
inter-firm
dapat
publik
untuk
maupun
mendapatkan keuntungan lingkungan. Li (2005) menunjukkan bahwa konsep ekologi industri dapat menjadi penyokong dicapainya keuntungan kompetitif jika hambatan-hambatan seperti kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya tekanan terhadap kesadaran perlindungan lingkungan dan kurangnya kerjasama antara usaha dapat dihilangkan. Juga ditemukan bahwa perlu adanya pemberian fasilitas kepada sektor usaha industri melalui pendekatan fasilitatif. Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam konsep kawasan industri melahirkan istilah eco-industrial park (EIP), dimana ”eco” merupakan integrasi dari ekologi dan ekonomi (Ayres dan Ayres 2002; Li 2005). Pembangunan EIP pertama dilakukan pada tahun 1995 di Amerika Serikat yang disponsori oleh the US President’s Council for Sustainable Development. Sejak itu, konsep EIP dikenal secara luas sebagai cara baru pengembangan industri (Koenig 2005). Beberapa penelitian terhadap konsep EIP telah dilakukan. Hewes (2005) menyatakan bahwa agar supaya konsepsi Industrial Symbiosis (IS) dan EIP dapat terwujud maka keterkaitan manusiawi diperlukan. Hasil kajian dari Hewes menunjukkan bahwa strategi yang paling berhasil dalam pengembangan IS dan EIP bukan pada bagaimana memecahkan masalah teknis tapi bagaimana membangun hubungan sosial, yang merupakan faktor yang sering kurang diperhitungkan dalam ekologi industri.
Geng
(2004) mendapati bahwa
penggunaan air segar maupun pembuangan limbah cair di kawasan industri dapat dihemat dengan biaya sistem yang minimal. Implementasi dari konsep ekologi industri maupun EIP di negara-negara berkembang perlu didahului oleh studi yang mendalam. Chiu dan Yong (2004) menyarankan kepada negara-negara berkembang di Asia yang bermaksud mengaplikasi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan merumuskan strategi yang sesuai, bukan menerapkan secara mentah model yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Sampai saat
3 ini Indonesia belum mengembangkan strategi nasional bagi pengembangan “eco-industrial park”. Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia antara lain dilakukan dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri yang merupakan revisi atas Keppres No. 41 tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri di daerah, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri, dan meningkatkan upaya pembangunan industri berwawasan lingkungan. Revisi di atas dilakukan karena tujuan-tujuan tersebut belum dapat dicapai secara optimal Salah satu tujuannya yaitu mendorong kegiatan industri manufaktur untuk berlokasi di kawasan industri belum tercapai secara optimal.
Salah satu
indikator belum tercapainya tujuan di atas adalah tingginya tingkat pencemaran udara atau tercemarnya sungai-sungai, khususnya di perkotaan. Terpencarnya pabrik/industri menyulitkan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan atau penegakan hukum lingkungan (Kristanto 2002). Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen dari industri yang ada di Indonesia berada/berlokasi di dalam kawasan industri. Kristanto berargumen bahwa upaya untuk mendorong kegiatan industri berlokasi di suatu kawasan industri tidak dilengkapi dengan instrumen penegakan hukum sehingga kurang optimal dalam pencapaian sasarannya. Pencemaran industri yang semakin besar, munculnya kesadaran dan kebutuhan untuk mengatasinya, serta kebijakan pemerintah untuk menurunkan tingkat pencemaran dengan cara merumuskan kebijakan penataan kawasan industri yang baru merupakan momentum yang tepat untuk mengkaji model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan: (1) Sesuai Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). (2). Lokasi penelitian terletak di wilayah yang memiliki infrastrukur yang sangat memadai, antara lain sangat dekat Pelabuhan Laut Samudra Bitung (6 km), Pelabuhan Udara Sam Ratulangi (48 km), jalan akses penghubung ke Manado, (3) Perkembangan dan pertumbuhan industri di lokasi penelitian diduga kurang
4 memadai dari yang diharapkan, (4) Mulai adanya protes atas dampak negatif dari aktivitas industri manufaktur, dan (5) Mulai bermasalahnya suplai bahan baku, energi, dan air, serta (6) Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) belum memadai.
1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum: Membangun model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
1.2.2. Tujuan Khusus 1. Mengevaluasi kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di Kota Bitung. 2. Menganalisis program pengembangan AEIP Bitung. 3. Menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model AEIP Bitung.
1.3. Kerangka Pemikiran Rencana penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa mayoritas aktivitas industri manufaktur konvensional saat ini bergantung sepenuhnya pada kemajuan dan perubahan teknologi dan eksploitasi sumberdaya alam. Proses produksi sumber daya alam menjadi bahan baku atau barang jadi dan pemanfaatannya oleh konsumen telah menghasilkan limbah industri dalam jumlah besar sehingga telah berakibat pada perubahan lingkungan global, hujan asam, akumulasi logam berat, dan residu pestisida.
Kesadaran akan peran
industri sebagai dua mata pisau (menghasilkan produk dan sekaligus pencemaran) pada akhirnya mengkristal dan diadopsi menjadi salah satu perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa melalui pembentukan World Commision on Environment and Development (WCED), yang merumuskan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Brundtland 1987). Selanjutnya disebutkan dalam Brundtland Report, tantangan industri abad ke-21 mengarahkan pada perubahan pemikiran atas hubungan antara pembangunan industri dan perlindungan lingkungan, yang melahirkan konsep industrial sustainability (pembangunan industri berkelanjutan), konsep yang merujuk pada laporan dari WCED, yang selanjutnya melahirkan konsep ekologi industri (industrial ecology). Aplikasi konsep ekologi industri ke dalam sistem pemusatan industri (kawasan industri) melahirkan konsep Eco-Industrial Park (EIP).
5 Aspek legal pengembangan industri manufaktur diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/2009 tentang Kawasan Industri.
Salah satu poin
penting dari PP tersebut adalah dorongan kepada industri manufaktur untuk berlokasi di dalam Kawasan Industri. Potensi keuntungan teoritis dan pengalaman penerapannya di negaranegara maju memunculkan tantangan untuk menerapkannya di negara-negara berkembang. Jawaban terhadap tantangan tersebut perlu dilandasi oleh kajian komprehensif, cermat, dan mendalam terhadap faktor-faktor seperti dasar-dasar teoritis; batasan dan asumsi; situasi industri manufaktur terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan; prinsip-prinsip ekologi industri, dan elemenelemen penyusun model, yang merupakan arsitektur dari model. Sintesis terhadap arsitektur model menggunakan peralatan analisis seperti ISM, AHP, dan Powersim menghasilkan Model Pengembangan AEIP Bitung. Kerangka pemikiran penelitian yang berisi keterkaitan antara faktor-faktor di dalamnya adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.1.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan,
khususnya
yang berkenaan
dengan
pengembangan AEIP.
Selain itu, output dari penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan atau pemangku kepentingan lain dalam rangka pengembangan industri, antara lain melalui penerapan kebijakan pengembangan kawasan industri.
1.5. Novelty Nilai kebaharuan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap penyusunan Model Pengembangan AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara melalui sintesis terhadap komponen-komponen penyusun arsitektur model.
6 Sistem Produksi Industri Manufaktur
Keberlanjutan Industri
Tantangan Industri Abad XXI
Peraturan Perundangan (UU No. 5/1985; PP 24/2009; UU 39/29; PERDA, dll)
Ekologi Industri
Kawasan Industri
Industri Manufaktur/ Agro di Kota Bitung
Eco-Industrial Park (EIP)
Tantangan Penerapan di Negara-negara Berkembang
Arsitektur Model Dasardasar Teori
Batasan/ asumsi
Prinsip-prinsip ekologi industri
Elemen Struktural
Elemen Fungsional
Situasi Aktivitas Industri Agro
Peralatan Analisis
MP-AEIP Bitung
Implikasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 1.1. Kerangka Penelitian
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB (Komisi Brudtland) dalam laporannya yang berjudul Our Common Future mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Brundtland 1987). Namun, didalam definisi sederhana tersebut tidak secara eksplisit dicantumkan kata pembangunan atau lingkungan. Upaya-upaya untuk mengembangkan definisi tersebut di atas terus dilakukan. Pada Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2002 di Johanesburg, definisi pembangunan berkelanjutan memasukkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kates et al 2005). Kates et al selanjutnya menulis bahwa walaupun definisi tersebut dengan cepat diadopsi, tetapi tidak ada persetujuan menyeluruh tentang detail dari tiga pilar tersebut. Cara lain untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah dengan melihat tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, United Nation General Assembly mengadopsi 60 tujuan yang ingin dicapai meliputi kemerdekaan, pembangunan, lingkungan, hak-hak azasi manusia, kaum yang rentan, kelaparan, kaum miskin, Afrika, dan PBB (Kates et al 2005). Cara lainnya untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah dengan cara mengukurnya (Kates et al 2005). Sebagai contoh, Commission on Sustainable Development membangun 58 indikator pembangunan berkelanjutan. Indikator-indikator tersebut berupa iklim, udara yang bersih, produktivitas lahan, produktivitas lautan, air segar, dan biodiversiti. Disamping dilakukan
itu,
melalui
mendefinisikan
nilai
yang
pembangunan
mewakili
pembangunan tersebut (Kates et al 2005).
atau
yang
berkelanjutan
dapat
mendukung
model
Deklarasi Millenium menyatakan
nilai-nilai fundamental yang penting bagi kerjasama dunia pada abad ke-21 adalah kebebasan, kesamaan hak, solidaritas, toleransi, penghormatan terhadap alam, dan tanggung jawab bersama. Hal
yang
paling
penting
adalah
mendefinisikan
pembangunan
berkelanjutan ke dalam praktek (Kates et al 2005). Praktek tersebut berupa mendefinisikan
konsep,
membangun
tujuan-tujuan
yang
ingin
dicapai,
membangun indikator, dan membangun sistem nilai. Ini meliputi membangun
8 gerakan sosial, kelembagaan organisasi, mengaitkan antara ilmu pembangunan berkelanjutan dengan teknologi, dan menegosiasi kompromi antara mereka yang secara prinsip memperhatikan alam dan
lingkungan, atau yang
lebih
memperhatikan pembangunan ekonomi, dan yang lebih mendedikasikan diri untuk peningkatan kondisi kemasyarakatan.
2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur Bahasan dalam sub-bab ini, khususnya mengenai batasan dan pengertian, visi dan misi pembangunan industri, kebijakan pembangunan industri, strategi pembangunan
industri,
rencana pengembangan
industri prioritas dalam
kerangka penataan ruang, peran pemangku kepentingan dalam pembangunan kawasan industri, dan klasifikasi jenis industri, disarikan dari “Kebijakan Pembangunan Industri Nasional” (Deperind 2005) dan beberapa sumber lain.
2.2.1. Batasan dan Pengertian Industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer.
Yang
dimaksudkan dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (Deperind 2005).
2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri Visi pembangunan industri nasional dalam jangka panjang adalah membawa Indonesia untuk menjadi “Sebuah negara industri tangguh di dunia,” dengan visi antara, yaitu: “Pada tahun 2030 Indonesia menjadi Negara Industri Maju Baru.” Dengan visi tersebut maka sektor industri antara lain mengemban misi untuk “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan sumber bahan baku terbarukan.” Untuk mencapai misi tersebut maka institusi pembina industri mengemban misi antara lain “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan pemanfaatan sumber bahan baku terbarukan agar lebih menjamin kehidupan generasi yang akan datang secara mandiri.”
9
2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri Salah satu dari tujuan pembangunan industri jangka pendek (2004-2009) adalah untuk meningkatkan penyebaran industri. Hal ini dirumuskan mengingat bahwa aktivitas industri saat ini sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa (Tabel 2.1.). Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang (2010-2025) meliputi: (a). memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry); (b).meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak perekonomian nasional; dan (c). meningkatkan peran sektor industri kecil dan menengah terhadap struktur industri, sehingga terjadi keseimbangan peran antara industri besar dengan industri kecil dan menengah (Deperind 2005). Tabel 2.1. Persebaran Industri di Indonesia No
1988 Unit Usaha*) (%) 1.418.895 61,95 22.436 1,01 314.014 13,71 556.748 24,31 75.131 3,28 450.566 19,67 871.394 38,05 288.829 12,61 97.738 4,27 212.680 9,29 173.543 7,58 19.604 4,31 2.290.289 100,00
WILAYAH/PROVINSI
I
Jawa 1 DKI Jakarta 2 Jawa Barat dan Banten 3 Jawa Tengah 4 DIY 5 Jawa Timur II Luar Jawa 1 Sumatera 2 Kalimantan 3 Bali/NTB/NTT 4 Sulawesi 5 Maluku/Papua Indonesia (%)
2003 Unit usaha*) 1.893.78 23.733 387.983 798.814 133.613 549.625 1.136.342 381.611 694.844 333.989 246.614 27.684 3.030.116
(%) 62,50 0,78 12,80 26,36 4,41 18,14 37,50 12,60 4,83 11,02 8,14 0,91 100,00
Sumber: Deperind (2005).
*) unit usaha kumulatif
2.2.4. Strategi Pembangunan Industri Strategi operasional pembangunan industri antara lain dilakukan dengan fokus pada pemberian dorongan untuk pertumbuhan klaster industri prioritas. Selanjutnya, untuk mengatasi ketimpangan persebaran industri maka ditetapkan strategi operasional, yaitu penetapan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku yang kegiatan industrinya belum banyak berkembang, di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional).
2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri Peraturan perundangan tentang Kawasan Industri telah mengalami beberapa kali perubahan.
Pertama, adalah Keppres No. 53 tahun 1989,
kemudian berubah menjadi Kappres No. 41 tahun 1996, dan yang terakhir
10 adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2009. Khusus yang disebut terakhir, diundangkan tanggal 3 Maret 2009, dan sesuai dengan Pasal 32 dari PP tersebut, mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Berikut dijelaskan mengenai definisi kawasan industri, perusahan industri, kawasan peruntukan industri, dan tujuan pembangunan kawasan industri seperti yang dimaksudkan di dalam PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Perusahan kawasan industri adalah perusahan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Perusahan ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri di wilayah Indonesia. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (PP No.24/2009). Di dalam PP 24/2009 dinyatakan bahwa pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk (a). mengendalikan pemanfaatan ruang, (b). meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, (c). mempercepat pertumbuhan industri di daerah, (d). meningkatkan daya saing industri, (e). meningkatkan daya saing investasi, dan (f). memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antara sektor terkait. Selanjutnya disebutkan di dalam PP 24/2009, pembangunan suatu kawasan industri baru harus terintegrasi ke dalam pembangunan daerah dan rakyat
setempat.
Pengembang
harus
melibatkan
dan
memprioritaskan
masyarakat yang lahannya dibebaskan untuk mendapatkan kesempatan berusaha ditempat tersebut serta turut menikmati hasil pembangunannya. Konversi lahan tidak perlu dalam bentuk pemberian uang tapi bisa dalam bentuk saham kepada pemiliknya.
Jadi, pendekatan yang harus dilakukan adalah
pendekatan pengembangan komunitas (community development). Dari sudut pandang manajemen, kawasan industri dibagi menjadi kawasan industri nonmanajemen dan kawasan industri manajemen.
Kawasan industri
nonmanajemen mempunyai bentuk lahan Peruntukan Industri, Kantong Industri, dan Sentra Industri Kecil. Dalam sistem ini, masing-masing perusahan industri
11 mengelola industrinya sendiri-sendiri.
Kawasan industri manajemen ditandai
oleh manajemen pengelola kawasan industri yang dibedakan menurut skala usaha industrinya, yaitu: Kawasan Industri (industrial estate), Kawasan Berikat (export processing zone), dan kompleks industri (industrial complex); dan Usaha industri kecil, yang bentuknya berupa Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK), Permukiman Industri Kecil (PIK), dan Lingkungan Industri Kecil (LIK). Pengelola Kawasan Industri adalah perusahan pengelola kawasan industri, yang
berkewajiban
melakukan
kegiatan:
penyediaan/penguasaan
tanah,
penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan AMDAL,
penyusunan
tata
tertib
kawasan
industri,
pematangan
tanah,
pemasaran kavling industri, dan pembangunan serta pengadaan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan.
2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri Kemajuan industri di banyak negara antara lain disumbang oleh eksistensi kawasan industri. Ada dua hal yang harus menjadi pokok perhatian dalam pengembangan
kawasan
industri,
yaitu
pengembang
dan
kebijakan
pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono 2004). Peran pemerintah pusat dalam pengembangan kawasan industri di beberapa Negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand sangat dominan (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia Negara Malaysia, 285 KI Jepang Korea Selatan, 300 KI Taiwan Singapura Thailand, 27 KI
Pemerintah 78% (pusat dan lokal) 85% 70% (pusat dan lokal) 90% 85% 48%
Swasta 22% 15% 10% 10% 15% 52% (kerjasama pemerintah dan swasta) 70% 94%
Filipina, 20 KI 30% (pusat dan lokal) Indonesia, 203 KI 6% (pusat dan lokal) Sumber: ULI (1975) dalam Dirdjojuwono (2004) Ket: persentasi menyatakan kontribusi dalam bentuk penanaman modal
Pengembangan industri di luar negeri dilakukan dengan beberapa alasan: (1) Kawasan Industri merupakan alat pemerataan (over population di kota-kota besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa investasi di kawasan industri sama dengan investasi fasilitas umum, dan (3)
12 Swasta lebih berorientasi profit dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas pemerataan dan fasilitas umum (ULI 1975 dalam Sagala 2003). Di Indonesia, pengembangan kawasan industri dimulai sejak tahun 1970, dengan mengemban dua misi besar, yaitu: (1) merangsang tumbuhnya iklim industri, (2) menjadi sarana bagi pengaturan ruang (Sagala 2003). Tingkat utilitas Kawasan Industri yang masih rendah di Indonesia karena pengembangannya masih berorientasi real estate (profit). Hal ini terlihat dari perbandingan harga jual lahan dengan harga pokok sebesar 4-6 kali. Di Korea, pemerintah menetapkan harga jual lahan di dalam kawasan industri tidak lebih dari 1,2 kali harga pokok. Secara umum dinegara industri, harga jual lahan ditetapkan 1,2-1,3 kali harga pokok (Sagala 2003). Setelah diundangkannya Keppres 53/1989, dunia usaha dalam dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. Oleh karena itu terjadi “rush” sehingga direncanakan dibangun 203 KI dengan luas 66.771 ha di 20 Provinsi.
Namun, bagi sebagian provinsi, rencana pengembangan kawasan
industri hanya merupakan euphoria belaka (Tabel 2.3.). Tabel 2.3. Jumlah dan Luas Kawasan Industri (s/d 2000)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Provinsi DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimanan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya Jumlah
Jumlah Kawasan Industri
Luas (ha) Rencana
Terkuasai
2 11 1 19 1 1 4 103 14 1 33 1 2 2 2 2 1 1 1 1 203
470 2.578 150 14.517 1.442 300 1.149 32.986 3.186 50 7.044 117 495 190 730 243 100 703 120 200 66.771
0 1.262 108 1.236,5 0 126,8 1.009,3 12.681,63 955,78 0 1.933,51 0 0 0 230 0 76 265,5 0 0 19.885,02
Dimatangkan 0 980 108 281,5 0 126,8 1.009,3 7.522,39 619,78 0 1.233 0 0 0 51,5 0 76 203 0 0 12.741,28
13 Sesuai dengan data pada Tabel 2.3., bagi daerah-daerah tertentu, termasuk Provinsi Sulawesi Utara, permintaan yang terjadi sampai dengan tahun 1995 masih merupakan euphoria belaka dalam menyambut dibukanya kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri. Data sampai dengan Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah Kawasan Industri yang aktif di Indonesia berjumlah 88 buah dengan total areal 27.250 ha yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan tingkat utilitas 42% (8.000 ha) dan jumlah industri 6.000 buah atau 10% dari total industri yang ada di Indonesia (Jawa Post Online, 21 September 2006). Dengan diundangkannya PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri diharapkan akan meningkatkan utilitas kawasan industri dan merangsang munculnya kawasan-kawasan industri baru di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Upaya penyebaran industri ke luar Pulau Jawa menghadapi beberapa masalah dan kendala, yaitu (Deperind 2005): • Adanya kecenderungan peningkatan harga lahan yang tinggi jika diindikasikan rencana kegiatan pembangunan kawasan; • Infrastruktur pendukung kawasan industri di daerah seperti: jaringan jalan, pelabuhan, penyediaan listrik, air bersih, fasilitas pengolahan limbah, telekomunikasi, penyediaan tenaga kerja dan permodalan belum memadai; • Transportasi darat, laut dan udara untuk kelancaran arus barang masih belum effisien sehingga seringkali menimbulkan biaya tinggi, atau mengurangi minat penanaman modal; • Belum ada insentif khusus bagi pengembang kawasan industri maupun industri yang berlokasi di dalam kawasan industri; • Belum ada peraturan yang jelas mengatur kewenangan pusat dan daerah dalam pengembangan kawasan industri; • Keterkaitan antar zona industri sering terganggu oleh peraturan daerah masing-masing. Itu sebabnya, hingga saat ini persebaran unit usaha industri masih sangat timpang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Lebih dari 90% unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Provinsi lain yang memiliki unit usaha cukup besar adalah Sumatera Utara (6%), sedangkan
14 provinsi di KTI yang mempunyai unit usaha yang cukup besar adalah Sulawesi Selatan (Dirdjojuwono 2004).
2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung Menurut Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). Koridor Bitung-Kema merupakan bagian dari Koridor Manado-Bitung yang telah mendapat perhatian pemerintah secara serius, antara lain dengan dibentuknya Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Manado-Bitung. Visi yang diemban oleh institusi ini adalah merealisasikan kawasan ekonomi terpadu Manado-Bitung sebagai pusat
pengembangan
industri, komersial, dan
jasa. Tabel 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri Kegiatan 1 2 3 4 5 6
7
8
9 10
11 12
1
Pemerintah Pusat 2 3 4 5 6
Menetapkan WPPI dan √ √ Zona Industri Menetapkan tata ruang regional Menyusun pedoman √ teknis KI Menetapkan lokasi KI Menerbitkan ijin KI Membentuk konsorsium pendanaan (DN dan LN) √ untuk pembangunan Membangun infrastruktur (jaringan jalan, aliran listrik, telepon, gas, pengolahan air) Membangun kemitraan dengan berbagai kegiatan √ √ dalam klaster industri Menjamin kelancaran arus √ barang dan keamanan Menjamin ketersediaan lahan dan keamanan kawasan Memantau dan mengawasi KI Membina KI √ Sumber: Deperind (2005). Keterangan:1 = Departemen Perindustrian 2 = Departemen Perdagangan 3 = Departemen Dalam Negeri 4 = Departemen Perhubungan 5 = Departemen Keuangan
7
Pemda 8 9
Swasta 10
√ √
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
6=Departemen PU (Kimpraswil) 7=Departemen ESDM 8=Provinsi 9=Kabupaten/Kota
15 Misi KAPET Manado-Bitung antara lain adalah untuk merealisasikan kawasan tersebut sebagai pusat industri agro dan industri manufaktur. Strategi yang digunakan untuk mencapai misi tersebut adalah wilayah Manado-Bitung difokuskan
untuk
pengembangan
industri skala
menengah dan besar.
Disamping itu, mengembangkan industri yang berorientasi bahan baku sehingga dapat berkompetisi dengan wilayah lainnya di Indonesia (KAPET Manado-Bitung 2007). Di Koridor Bitung-Kema direncanakan untuk dibangun Kawasan Industri pada satu hamparan lahan seluas 98 ha yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari. Status lahan adalah tanah Milik Negara. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperbesar hingga mencapai 512 hektar karena lahan disekitarnya saat ini masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa milik masyarakat.
2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan Industri Keberhasilan dari program penyebaran industri ke luar Pulau Jawa dapat dicapai antara lain apabila terdapat koordinasi yang baik antara pemangku kepentingan. Secara rinci peran masing-masing pemangku kepentingan dalam rangka persebaran industri dan pengembangan kawasan industri adalah seperti pada Tabel 2.4.
2.2.9. Lokasi Kawasan Industri Bentuk lokasi industri yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah lahan peruntukan industri dan kawasan industri untuk industri skala menengah dan besar, sedangkan untuk industri kecil/kerajinan adalah perkampungan industri kecil (PIK) (Dirdjojuwono 2004). Bagi industri menengah dan besar, pengembangan lokasi industri terjadi sejalan dengan permintaan lahan. Pada tahap awal, alokasi lahan akan berupa peruntukan lahan industri. Apabila permintaan lahan bertambah maka peluang untuk membangun kawasan industri akan muncul. Menurut Sagala (2004), peluang pengembangan kawasan industri di Kabupaten/Kota dapat terealisasi apabila tingkat realisasi investasi di daerah tersebut mencapai 6-10 buah per tahun. Suatu kawasan industri yang lengkap
16 dengan infrastrukturnya layak dikembangkan pada lahan seluas 20 ha dengan waktu pengembalian 3 tahun atau dengan tingkat permintaan lahan 7-10 ha per tahun atau identik dengan pertumbuhan industri 5-7 buah per tahun (REI Indonesia). Bagi daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan investasi di bawah itu, kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk lahan peruntukkan industri (Sagala 2004).
2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Penjelasan mengenai KEK di bawah ini diangkat dari UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Insentif yang diberikan adalah fasilitas PPh, pengurangan PBB kepada penanam modal, dan fasilitas barang impor. Pengembangan KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: (a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung; (b) pemerintah provinsi/kabupaten /kota yang bersangkutan mendukung KEK; (c). terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan; dan (d). mempunyai batas yang jelas. KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, yaitu (a) pengolahan ekspor; (b) logistik; (c). industri; (d). pengembangan teknologi; (e). pariwisata; (f). energi; dan/atau, (g) ekonomi lain.
17
2.3. Ekologi Industri 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri Ekologi industri (industrial ecology) merupakan suatu konsep yang “provocative” dan “oxymoronic” (frase yang mengkombinasikan dua kata yang kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya) (Lifset and Graedel
2002).
White (Lifset and Graedel 2002) mendefinisikan ekologi industri sebagai “studi tentang aliran-aliran materi dan energi dari aktivitas industri dan konsumen, dan dampak dari aliran-aliran tersebut terhadap lingkungan, dan pengaruh dari faktor-faktor ekonomi, politik, regulasi, dan sosial terhadap aliran, penggunaan, dan transformasi dari sumberdaya.” Elemen kunci ekologi industri adalah (Lifset and Graedel 2002): • analogi biologi • penggunaan perspektif sistem • peran dari perubahan teknologi • peran perusahan/industri • dematerialisasi dan eco-efisiensi, dan • penelitian dan aplikasi yang berorientasi masa depan. Elemen-elemen kunci tersebut dapat diintegrasi ke suatu gambaran yang lebih luas, misalnya dari segi operasional ekologi industri pada beberapa level (Gambar 2.1.). Keberlanjutan
Ekologi Industri
• • • •
Level industri: desain untuk lingkungan pencegahan pencemaran eco-efisiensi akuntansi “hijau”
Antar industri: • eco-industrial parks (industrial symbiosis) • siklus hidup produk • inisiatif sektor industri
Regional/global: • budjet dan siklus • studi aliran materi dan energi • dematerialisasi dan dekarbonisasi
Gambar 2.1. Elemen dari ekologi industri yang beroperasi pada beberapa level (Lifset and Graedel 2002) Indigo Development (ID) (2005) menyatakan bahwa ekologi industri (EI) masih dalam tahapan formulasi, dengan beragam definisi dan area aplikasi yang
18 bervariasi. Suatu konsensus telah dicapai pada beberapa isu, tetapi masih ada perbedaan yang kritis di beberapa area diantara ahli-ahli ekologi industri. Beberapa definisi dari ekologi industri menurut Indigo Development (2005) adalah: - EI adalah suatu pendekatan sistem menggunakan metode-metode ilmu sistem untuk analisis dan sintesis. - Pendekatan sistem ini memiliki fokus pada interaksi sistem industri dan sistem ekologi (lokal sampai global). - EI berupaya untuk mendisain ulang aktivitas industri untuk mengurangi dampak ekologi dari aktivitas manusia ke level yang dapat diterima oleh sistem alam. - EI adalah interdisipliner, menghubungkan penelitian dan perencanaan di banyak bidang ilmu, termasuk ekologi, enjinering, ekonomi, manajemen bisnis, administrasi dan hukum publik, dan lainnya. - EI mempelajari aliran materi dan enersi didalam ekonomi, yang berkisar dari industri dan fasilitas publik ke planet. Ia mencari strategi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak dari aliran tersebut (studi ini biasanya disebut “industrial metabolism”). - EI mencari transformasi dari ekonomi linear yang banyak limbahnya ke sistem produksi dan konsumsi yang tertutup.
Dalam sistem ini, buangan industri,
pemerintah, dan konsumen akan digunakan kembali, didaur ulang, dan dibuat kembali ke nilai tertinggi yang mungkin. - EI memungkinkan pembuatan inovasi jangka pendek dengan pertimbangan dampak jangka panjangnya.
Sama halnya, itu memungkinkan pengambil
keputusan lokal mempertimbangkan dampak regional maupun global. - EI adalah suatu cara untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan kelangsungan hidup ekonomi dan bisnis. Keseimbangan ini harus dinamis, dan adaptif terhadap pengetahuan baru tentang dampak industri dan respons alam. EI adalah suatu komponen utama dalam “ilmu keberlanjutan” dengan peran untuk mendisain jalur transisi untuk aktivitas industri.
Itu memberikan
suatu landasan tujuan (walaupun kompleks) untuk mengkoordinasi disain dari kebijakan publik dalam realitas lingkungan dan teknik.
19
2.3.2. Tujuan Ekologi Industri Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan ekologi industri adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan (Lifset and Graedel 2002). Ekologi industri menekankan pada optimasi aliran sumberdaya. Bidang ilmu ekologi industri adalah positif dan sekaligus normatif. Positif-ekologi industri mencoba untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan, tapi bukan untuk merubahnya. Normatif-untuk beberapa derajat tertentu membaiknya interaksi manusia dengan lingkungan merupakan bagian dari tujuan ekologi industri. Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai ekologi industri khususnya dalam cakupan dan penekanannya (Indigo Development 2005). - Skala waktu: beberapa ahli ekologi industri menekankan pada perubahan yang perlahan dalam sistem yang ada, yang lain menghendaki transformasi yang lebih luas dalam industri dan kemasyarakatan. - Model ekosistem: bagi beberapa ahli, tema yang sangat populer adalah modeling sistem industri berdasarkan prinsip dan dinamika dari ekosistem. Tetapi, beberapa ahli ekologi industri dan insinyur mempertanyakan kegunaan dari pendekatan itu. - Aliran material: beberapa ahli ekologi industri memberi fokus pada tugas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan dampak dari aliran material pada industri dan masyarakat. Pada beberapa artikel, keseluruhannya membahas lebih dari itu. - Lingkup aplikasi: banyak diskusi berkonsentrasi pada perubahan dalam industri manufaktur sementara yang lain menyatakan EI sesuai untuk pertanian, jasa, dan industri finansial, termasuk desain dan manajemen dari kebijakan publik, infrastruktur dan operasional fasilitas.
Beberapa ahli
memperluas domain dari EI ke bidang perilaku konsumen. - Konsep keanekaragaman, daya dukung, dan restorasi mendapat penekanan dari peneliti universitas tetapi jarang disinggung oleh ahli ekologi industri yang lebih berorientasi teknis. - Beberapa ahli melihat perubahan institusi sebagai komponen fundamental dari EI. Yang lain menekankan pada inovasi teknis. - Pilihan material: perpindahan dari material sintetis tidak terbarukan menjadi bio-material yang terbarukan merupakan pusat perhatian dari beberapa ahli
20 ekologi. Yang lainnya lebih menekankan pada peningkatan kinerja lingkungan dari material berbasis minyak bumi dan bahan sintetis lainnya. Ekologi industri merupakan penelitian saintifik dan juga suatu kerangka untuk mendesain dan mengambil keputusan pada sektor publik dan pemerintah. Kedua aspek ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi bukan yang berbeda. Keduanya perlu dihubungkan dengan erat untuk memastikan suatu basis yang baik untuk aplikasi dan penelitian yang berlanjut dari hasil-hasil proyek-proyek EI.
2.3.3. Peran Ekologi Industri Keterbatasan sumberdaya di masa yang akan datang - yang tidak dapat diatasi oleh kemajuan teknologi - memberi kesadaran atas kebutuhan untuk peningkatan yang siknifikan atas efisiensi penggunaan sumberdaya alam. Peningkatan level konsumsi sampai batas kapasitas bumi membutuhkan peningkatan
yang
dramatis
dalam
efisiensi
penggunaan
sumberdaya.
Pengurangan yang substantif dalam jumlah sumberdaya yang digunakan per unit output disebut dematerialisasi (dematerialization). Salah satu strategi yang sedang dipelajari untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, seperti
Prasarana industri eksisting
Hasil
Ekologi industri penuh
Pengembangan ekosistem industri dan sinergik
Lingkungan yang terintegrasi penuh di dalam budaya perusahan
Perubahan siknifikan dalam produk dan pengemasan
Daur ulang yang terbangun sempurna
Pengembangan peralatan manajemen
Inisiatif daur ulang sebagian
Pemenuhan ketentuan
yang dilakukan di Jerman, adalah ecological tax reform (Peck 1996).
Prasarana ekologi industri
Waktu
Gambar 2.2. Proses munculnya prasarana ekologi industri (Peck 1996)
21 kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tahun 2040, perlu peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya sampai 90%. Sebagai contoh, bila sebuah mobil saat ini mempunyai rasio penggunaan bahan bakar 1 liter untuk 100 km jarak tempuh, maka pada tahun 2040 diperlukan kendaraan yang memiliki efisiensi penggunaan bahan bakar sebesar 1 liter untuk 1000 km jarak tempuh. Ekologi industri merupakan pendekatan yang potensial untuk melakukan dematerialisasi ekonomi global (Peck 1996). Ekologi industri menekankan pada perumusan kebijakan publik, sistem teknologi dan manajerial yang memfasilitasi dan mempromosi produksi dalam bentuk yang lebih koperatif.
Mengimplementasi ekologi industri meliputi life
cycle analysis, prosesing tertutup, penggunaan kembali dan daur ulang, mendisain lingkungan dan pertukaran limbah.
Diasumsikan bahwa ekonomi
yang efisien yang beroperasi secara harmoni dengan sistem alam tidak akan menghasilkan limbah.
Gambar 2.2. mengilustrasikan perubahan proses
industrialisasi ke prasarana ekologi industri secara penuh (Peck 1996). Tabel 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri Tititk penerapan
Karakteristik
Contoh-contoh
Teknologi remediasi
• Gejala • Sumberdaya dan lingkungan yang mengalami kerusakan
Teknologi Penanggulangan
• Akumulasi limbah atau perlakuan endof-pipe
Teknologi pencegahan pencemaran
• desain proses industri • desain produk atau komposisi
• Merubah produk atau proses atau mengurangi atau menghindari limbah • Biaya lebih hemat dibanding metode penanggulangan • Mengurangi aliran limbah
• Kertas bebas klorin • Elektroplating bebas sianida • Bahan bakar bebas timbal • Desai proses industri
Teknologi berkelanjutan
• produk atau jasa alternatif
• Manfaat ganda: efisiensi lingkungan, ekonomi, sosial, dan sumberdaya
• • • •
• Setelah fakta terjadi • mahal • berkisar antara teknologi rendah sampai teknologi tinggi • Akumulasi atau perlakuan terhadap limbah sebelum dibang • Memakan modal, energy, dan sumberdaya • Menghasilkan aliran limbah • Agak mahal
• Remediasi tanah • Pembersihan lahan yang tercemar • Perlakuan air • Penghilangan gas sulfur • Pusat pengolahan limbah cair • catalytic mufflers
Penerangan yang efisien Daur ulang kertas Energi terbarukan Kosmetik dan obat dengan bahan dasar alami
Sumber: Thompson Gow and Associates, 1995 Environmental Scan. Winnipeg: Canadian Council of Ministers on the Environment, 1995) dalam Peck (1996).
Seperti salah satu definisi ekologi industri yang dikemukakan sebelumnya disebutkan bahwa ekologi industri merupakan pertukaran material diantara sektor industri yang berbeda dimana limbah dari suatu industri menjadi input
22 untuk yang lainnya. Sebagai contoh, ekses dari fasilitas generator listrik dapat digunakan sebagai input oleh industri sement portland (Gambar 2.3.). Peck selanjutnya menyatakan bahwa untuk mencapai level prasarana ekologi industri, diperlukan adanya kemajuan teknologi. teknologi
lingkungan
telah
diidentifikasi,
yaitu:
Empat generasi
remediasi,
penanganan,
pencegahan pencemaran, dan teknologi berkelanjutan (Tabel 2.5.).
Gambar 2.3. Ekosistem industri di Kalundborg, Denmark (Peck 1996).
2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri Desrochers (2001) menyebutkan klaster industri sebagai salah satu sebutan lain dari konsep eco-industrial parks (EIPs). Namun, berdasarkan content analysis dari definisi-definisi klaster industri maupun ekologi industri di atas dapat disimpulkan bahwa kedua konsep bukan merupakan konsep yang sama. Selanjutnya, merujuk pada definisi yang digunakan oleh Departemen Perindustrian RI, maka dapat disimpulkan bahwa EIP dapat merupakan bagian dari klaster industri. Hal ini karena, dari segi luasan areal, satu klaster industri dapat meliputi beberapa kota yang terfragmentasi dengan cakupan wilayah yang sangat luas; sedangkan EIP dipersyaratkan sebagai hamparan lahan yang kompak dengan luasan minimal 20 ha atau lebih. Disamping itu, dalam konsepsi
23 klaster industri tercakup institusi seperti perbankan atau institusi terkait lainnya yang bukan merupakan bagian dari industri manufaktur. Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa konsep klaster industri dan ekologi industri bukan merupakan konsep yang sama tetapi saling menunjang, dimana ekologi industri sebagai suatu metode yang dapat memperkuat atau menunjang pendekatan klaster industri. Yang disebut terakhir merupakan pendekatan yang sedang digunakan oleh Departemen Perindustrian dalam pengembangan industri pengolahan/manufaktur nasional.
2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih Produksi bersih (clean atau cleaner production) adalah suatu pendekatan manajemen lingkungan yang bertujuan untuk merangsang proses, produk dan jasa baru yang lebih bersih dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Konsep ini memberi tekanan pada pendekatan pencegahan dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan pada seluruh siklus hidup dari produk dan jasa (Jackson dalam Ayres and Ayres 2002). Ada resonansi yang jelas antara ekologi industri dan produksi bersih. Keduanya dimotivasi oleh perhatian terhadap dampak lingkungan yang semakin meningkat dari sistem ekonomi industri.
Keduanya muncul pada saat yang
hampir bersamaan sebagai hasil dari proses evolusi manajemen lingkungan. Survei terhadap literatur menegaskan adanya tumpang tindih antara kedua model tersebut. Produksi bersih mengklaim bahwa ekologi industri merupakan bagian dari model tersebut. Penekanan yang diberikan oleh produksi bersih (seperti yang terdapat dalam program United Nation Environmental Program, UNEP) terletak pada teknologi proses, seperti pencegahan pencemaran dan minimalisasi limbah (Jackson dalam Ayres and Ayres 2002). Di lain pihak, ekologi industri memberi perhatian pada penggunaan atau penggunaan kembali limbah yang dihasilkan oleh satu industri untuk digunakan sebagai input bagi industri lainnya. Tujuan dari ekologi industri adalah untuk mengurangi dampak sistem industri terhadap lingkungan atau untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Di bawah definisi yang luas ini, kedua model sangat mirip. Perbedaan akan jelas apabila melihat interpretasi yang sempit dari kedua konsep.
Sementara kedua konsep menekankan pada efisiensi material,
produksi bersih memberi peran yang setara pada reduksi bahan beracun berbahaya (B3) melalui substitusi, dengan menyarankan pengurangan atau
24 pelarangan penggunanaan beberapa bahan toksik. Selanjutnya, produksi bersih diasumsikan dilakukan secara mandiri oleh industri secara individual. Ekologi industri lebih menekankan pada hubungan yang lebih kuat antara industri, dan karenanya memerlukan kerangka kerjasama yang erat diantara para pelaku. Produksi bersih telah mendapatkan peran khusus di dalam sistem regulasi. Di lain pihak, ekologi industri tidak sedang diarahkan oleh inisiatif regulasi, tapi beroperasi dengan dasar kerjasama industri, yang terutama dipicu oleh keuntungan ekonomis dari penggunaan kembali sumberdaya. Kedua konsep dapat saling belajar dari satu sama lain. Sebagai contoh, ekologi industri dapat belajar dari produksi bersih tentang pentingnya kerangka “substitusi.” Di lain pihak, bergantung sepenuhnya pada strategi pencegahan pencemaran secara individual sepertinya tidak akan mengarahkan pada efisiensi material atau dematerialisasi pada sistem yang luas atau level makro ekonomi. Jadi, produksi bersih dapat belajar dari ekologi industri tentang pentingnya hubungan
kerjasama
antara
industri
untuk
mencapai
pembangunan
berkelanjutan. Kedua konsep berargumen memberikan strategi operasional untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun yang penting adalah bagaimana
membangun dan mengoperasionalkan konsep masing-masing untuk mencapai tujuan tersebut.
2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) Ekosistem industri regional dapat didefinisikan sebagai “eco-industrial parks” atau biasa disingkat EIPs. Dengan kata lain, EIP merupakan aplikasi dari konsep ekologi industri. The United States President’s Council on Sustainable Development menyatakan EIP sebagai “suatu sistem industri dimana terjadi pertukaran material dan enersi secara terencana dan berupaya untuk menurunkan penggunaan bahan baku dan enersi, menurunkan limbah, dan membangun hubungan
keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial”
(Korhonen 2001). Konsep EIP masih dalam tahapan awal pengembangan. Gibbs and Deutz (2005) menyatakan bahwa membangun EIP merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Di negara maju seperti Amerika Serikat, pengembangannya baru dimulai sejak tahun 1995. Studi yang dilakukan tahun 2002 mencatat ada sekitar 34 buah ”eco-industrial park” di Amerika Serikat, dimana yang beroperasi sebanyak
25 6 kawasan, dalam tahap konstruksi 5 kawasan, dalam tahap perencanaan sebanyak 7 kawasan, sedangkan yang dinyatakan gagal (atau kembali menjadi kawasan industri konvensional) sebanyak 16 kawasan (Gibbs and Deutz 2005). Adanya kegagalan diatas antara lain disebabkan oleh dominasi pemerintah dalam pembangunan tersebut (public-planning). Padahal, pembangunan “ecoindustrial park” yang ”kiblatnya” adalah ekosistem industri di Kalunborg, Denmark, dibangun oleh karena adanya kesepakatan antara perusahanperusahan dengan orientasi keuntungan (private-planning) (Desrochers 2001). Sebagai jalan tengah, Desrochers mengusulkan perpaduan antara kedua sistem perencanaan diatas, yaitu kombinasi antara public planning dan private planning. Tingkat keberhasilan dari implementasi konsep EIPs di negara-negara maju antara lain disebabkan oleh fasilitasi pemerintah, regulasi lingkungan yang mengikat, konsistensi peraturan, tingkat sosial-ekonomi masyarakat yang tinggi, kesadaran masyarakat yang tinggi, dan lain-lain. Model yang berhasil diterapkan di negara-negara maju tersebut belum serta merta akan berhasil apabila diterapkan di negara berkembang, seperti Indonesia.
Chiu dan Yong (2004)
menyarankan negara-negara berkembang di Asia yang berencana mengadopsi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan meramu strategi yang paling tepat sebelum mengembangkan dan menerapkan konsep tersebut. Kedua penulis selanjutnya menyatakan bahwa penelitian perlu terus dilakukan untuk meningkatkan daya adaptasi dan aplikasi model terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang terus berubah di negara-negara berkembang Asia. Suatu EIP akan cenderung lebih berhasil jika konsep tersebut menjadi bagian dari inisiatif komunitas dalam kisaran yang lebih luas (Chiu dan Yong 2004), yaitu: -
pembangunan perumahan untuk pekerja dari bisnis EIP
-
pembuatan rencana stategis komunitas untuk mengurangi jumlah sampah (penduduk, komersial, publik, dan industri).
-
pembangunan pertukaran produk ikutan regional yang efektif, memberi pasar untuk material yang dibuang sebagai limbah.
-
penguatan perencanan pembangunan ekonomi untuk merangsang bisnis yang cocok dengan profil yang dibutuhkan oleh EIP atau yang merubah limbah menjadi produk dan lapangan kerja.
26 -
memobilisasi sumberdaya pendidikan untuk membantu bisnis lokal dan pekerjaan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi energi dan mencegah pencemaran.
-
mengurangi emisi gas rumah kaca melalui program aksi komunitas yang dipimpin oleh EIP.
-
membiayai beberapa kegiatan pembangunan EIP melalui kerjasama publik dan swasta. Semua kawasan industri bergantung pada komunitas sekitarnya baik
tenaga kerja, sumberdaya material, jasa, dan perdagangan. Penduduk lokal biasanya terlibat dalam konsultasi publik, yang berperan dalam persetujuan proyek sehubungan dengan dampak lingkungan usaha/industri. Institusi lokal seperti lembaga pendidikan berperan dalam penyiapan tenaga kerja lokal. Tenaga kerja dari luar wilayah biasanya membutuhkan tempat tinggal/kost yang dapat disediakan oleh komunitas sekitar perusahan. Karena alasan-alasan diatas maka pengelola kawasan industri perlu berinisiatif untuk membangun hubungan yang kuat dengan komunitas sekitar kawasan industri.
Keterlibatan komunitas sekitar didukung oleh banyaknya
keuntungan yang dapat diberikan oleh pengelola kawasan industri melalui lapangan kerja maupun bisnis yang timbul karena adanya kawasan tersebut. Perusahan, pengembang, penduduk, dan lainnya perlu bekerja bersama untuk menangkap keuntungan-keuntungan dari konsep ekologi industri ini. Inisiatif demikian akan memberikan dukungan yang kuat untuk mendukung EIP. Pertukaran bahan ikutan yang efektif membutuhkan pemasok dan pengguna yang besar. Tenaga kerja terlatih, perumahan, dan akses terhadap keuangan membantu untuk menarik minat perusahan pengguna EIP. Pada saat bersamaan, komunitas sekitar menikmati banyak manfaat, seperti: lingkungan yang lebih bersih, ekonomi yang semakin kuat dan efisien, lapangan kerja baru, dan reputasi yang baik sebagai tempat yang baik untuk memulai usaha. Beberapa kendala yang dapat ditemui dalam penerapan EIP adalah daya tolak perusahan untuk memberikan kepada pihak ketiga semua informasi mengenai input dan output produksi. Hal ini menyulitkan identifikasi terhadap potensi keterkaitan.
Kurangnya pengetahuan tentang bisnis yang terletak di
bagian lain di dalam kawasan industri dan peluang keterkaitan yang ada. Adanya kebutuhan terhadap mekanisme untuk mempromosi kerjasama dan pertukaran informasi tentang manfaat ekonomi dari ekologi industry (Peck 1996).
27 Dibandingkan
dengan
kawasan
industri
tradisional,
EIP
memiliki
karakteristik (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998): 1) Mendefinisikan pemangku kepentingan dan melibatkannya dalam desain kawasan industri 2) Mengurangi
dampak
lingkungan
melalui
substitusi
terhadap
bahan
berbahaya, absorpsi CO 2 , pertukaran materi, dan pengolahan terpadu dari limbah 3) Memaksimalkan efisiensi energi melalui desain dan konstruksi fasilitas, cogeneration, dan cascading. 4) Mengkonservasi bahan-bahan melalui desain dan konstruksi fasilitas, menggunakan kembali, menangkap kembali, dan mendaur ulang. 5) Hubungkan dan buat jaringan perusahan-perusahan dengan penyuplai dan pelanggan di dalam komunitas yang lebih luas dimana EIP terletak. 6) Secara terus menerus meningkatkan kinerja lingkungan baik oleh perusahan secara individu maupun komunitas perusahan secara keseluruhan. 7) Miliki sistem regulasi yang memberikan beberapa fleksibilitas sementara merangsang perusahan untuk mencapai kinerja tujuan. 8) Gunakan instrumen ekonomi yang menghambat limbah dan pencemaran. 9) Terapkan sistem manajemen informasi yang memfasilitasi aliran energi dan limbah. 10) Ciptakan mekanisme untuk melatih manajer dan pekerja tentang strategi, alat, dan teknologi baru untuk meningkatkan kinerja 11) Lakukan pemasaran untuk menarik perusahan yang dapat mengisi atau melengkapi perusahan lainnya.
2.3.6.1. Model Kalundborg, Denmark Pertukaran limbah antara perusahan yang berbeda tipe telah berlangsung selama satu abad, dilatarbelakangi oleh adanya nilai bisnis yang bagus (Peck 1996). Tetapi, pengembangan “ekosistem industri” merupakan fenomena baru, dimana contoh yang paling dikenal adalah di Kalundborg, Denmark. Disana, ekosistem industri telah terbangun yang terdiri atas pembangkit listrik tenaga batu bara, pabrik pemurnian minyak, pabrik gyproc (pembuat plasterboard), perusahan
farmasi,
usahatani
perikanan,
dan
Kota
Kalundborg
(http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77). Di Kalundborg, uap air dan berbagai bahan mentah seperti belerang, abu, dan lumpur dipertukarkan satu sama lain membentuk “ekosistem industri.”
28 Perusahan-perusahan keuntungan
ekonomis
peningkatan
efisiensi
yang
berpartisipasi
berupa
penurunan
penggunaan
masing-masing biaya
mendapatkan
pembuangan
sumberdaya dan
kinerja
limbah,
lingkungan.
Pertukaran materi dan energi tahun 1995 adalah sekitar 3 juta ton/tahun, dengan perkiraan penghematan sebesar US $10 juta/tahun. Disamping itu, gas yang ditangkap di perusahan pemurnian minyak yang sebelumnya dibuang, dikirim ke pembangkit listrik yang diperkirakan menghemat setara dengan 30.000 ton batu bara/tahun (http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy. asp?id=77).
2.3.6.2. Model Kawasan Industri Burnside, Nova Scotia, Kanada Dibangun dengan pertimbangan bahwa informasi merupakan kunci utama di dalam bisnis industri manufaktur. Oleh karena itu, kawasan industri ini membangun Pusat Informasi Lingkungan yang bertugas memberikan informasi tentang pilihan-pilihan terbaik untuk penurunan limbah industri, penggunaan kembali (recycle), dan manajemen. Cote, salah satu pioner ekologi industri di Kanada, telah membantu membangun keterkaitan ekologi industri pada Kawasan Industri besar di Burnside, Nova Scotia tersebut. Pendirian Pusat Informasi Lingkungan/Pusat Produksi Bersih pada tahun 1995 dilakukan Cote dengan bantuan dari Pemerintah Federal dan Provinsi serta sumber lainnya (Peck 1996). Peran utama dari Kantor itu adalah untuk mempromosikan dan memfasilitasi “peng-hijau-an” lebih dari 1200 unit bisnis yang berada di Burnside, kawasan industri terbesar di Bagian Timur Kanada. Jasa yang diberikan oleh kantor tersebut adalah: mempromosikan konservasi materi dan energi melalui audit; mencari teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumbedaya bagi partner bisnis; memfasilitasi pengurangan limbah pengepakan melalui audit limbah; dan mengidentifikasi dan memfasilitasi keterkaitan limbah dan energi diantara perusahan-perusahan. Keterkaitan ekologi industri dipromosikan oleh Kantor tersebut, melalui kegiatan pertukaran limbah. Pusat Produksi Bersih di Burnside merupakan contoh praktis dari pendekatan untuk mempromosi ekologi industri pada kawasan industri yang sudah berdiri sebelumnya. Contoh-contoh hubungan simbiotik yang aktual dan potensial di Kawasan Industri adalah: • Daur ulang cardboard rusak yang dikumpulkan oleh satu perusahan dalam kawasan dan mengirimnya keluar untuk diproses kembali.
29 • Penggunaan kembali kelebihan polystyrene di pabrik komputer oleh perusahan pengepakan. • Berbagai perusahan daur ulang atau penggunaan kembali yang menangani toner bekas, pengisian kembali tinta toner, re-treading ban mobil, dan perbaikan meubel. • Adanya potensi untuk program pengambilan kembali logam perak di industri percetakan.
2.3.6.3. Model Value Park, Dow Chemical Jerman Berbeda dengan yang dilakukan di Kalundborg, titik berat diletakkan pada kerjasama dalam bidang fasilitas bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan. Di kawasan industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus industri, bukan pada limbah akhir (Peck 1996).
2.3.6.4. Model PALME, Perancis PALME (Programme d’actions labelise pour la maitrise de l’environement) merupakan kawasan industri eco-label yang sedikit berbeda dengan EIP (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998). PALME tidak menekankan pada siklus, jaringan makanan, atau keterkaitan antar industri tapi pada manajemen lingkungan dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi tenant di kawasan industri ini sangat ketat. Tujuh belas elemen eco-label dari model ini diperlihatkan pada Tabel 2.6. Di dalam model ini upaya dilakukan untuk menghadapi tantangan dengan cara menerapkan mekanisme administratif dan manajemen sehingga tercapai sinergi bagi semua tahapan operasi bagi semua tenant. Di dalam model ini dilakukan negosiasi awal untuk membangun kontrak sosial dengan semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tidak hanya mengidentifikasi tujuan lingkungan masing-masing tapi berkomitmen untuk memberikan peran khusus sehingga rencana yang ditetapkan dapat berjalan dengan baik. Pemangku kepentingan meliputi juga antara lain badan energi dan transportasi, kelompok-kelompok sosial masyarakat, dan pemerintahan lokal. Produk akhir dari negosiasi yang dilakukan adalah persetujuan tertulis yang berisi daftar rencana tindakan dari semua pemangku kepentingan.
2.3.6.5. Model Pemanfaatan “Brownfields” Contoh dari model ini adalah pemanfaatan “brownfields” di Amerika Serikat (Peck 1996). Model ini sekaligus dilakukan untuk merehabilitasi lahan dan
30 menciptakan lapangan pekerjaan baru. Kebijakan pemerintah yang dilakukan meliputi: recycling, konservasi energi, produksi bahan dan barang yang berguna secara sosial dan yang berkelanjutan, dan pembangunan kembali areal sehingga menjadi alami dan dapat menunjang kesehatan masyarakat. Tabel 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME No
Elemen eco-label
1
Persiapkan rencana pembangunan lokasi industri dan kumpulkan semua peraturan dan pedoman yang relevan 2 Persiapkan laporan “Status Lingkungan” awal dari lokasi 3 Bangun rencana lansekap dan persyaratan arsitektur untuk bangunan 4 Pastikan untuk memenuhi persyaratan lingkungan dan hukum, dan pedoman operasional 5 Bangun dan terapkan rencana bagi flora dan fauna alami untuk memelihara atau membangun kembali keseimbangan ekologi dari lokasi 6 Terapkan kesadaran masyarakat dan program informasi menyangkut lingkungan alami dan konservasi 7 Bangun jasa konsultasi produksi bersih 8 Bangun dan terapkan program “lokasi konstruksi yang bersih” 9 Bangun rencana manajemen limbah padat 10 Bangun rencana limbah industri dan efluent 11 Bangun rencana untuk mengatur air hujan dan aliran air permukaan, dan konstruksi dari instalasi yang dibutuhkan 12 Berikan saran bagi perusahan menyangkut penurunan tingkat kebisingan dan materi yang digunakan untuk bangunan dan mesin. 13 Monitor kualitas udara dan kebisingan dari lokasi 14 Bangun rencana manajemen energi dari lokasi 15 Teliti sumber energi alternatif 16 Bangun manajemen keterkaitan dengan pemerintah lokal 17 Bangun unit monitoring dan koordinasi untuk hal-hal yang sudah disebut di atas Sumber: Cote dan Cohen-Rosenthal (1998).
2.3.6.6. Fujisawa Factory Eco-Industrial Park Proyek EIP ini merupakan inisiatif dari EBARA Corporation of Japan bekerja sama dengan Zero Emissions Research Initiatives (ZERI) dari United Nations University dan Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri Jepang (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998). Fujisawa Factory Eco-Industrial Park ini akan mengkombinasikan komponen-komponen industri, komersial, pertanian, permukiman, dan rekreasi ke dalam multi-faceted community. EIP ini meliputi konservasi dan cascading energi, energi terbarukan, konservasi limbah menjadi energi, greenhouse, perlakuan limbah cair menggunakan rawa, penggunaan kembali limbah cair yang sudah diolah, konversi abu menjadi portland cement
31 dan keramik, penggunaan kembali dan daur ulang, dan kegiatan lainnya. EIP ini akan didukung oleh Pusat Emisi Nol, Klinik Lingkungan, dan Pusat Logistik.
2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi Pulau Sulawesi memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif sehingga sangat prospektif untuk dipromosikan ke pasar berskala regional maupun internasional (Depkimpraswil 2002). Keunggulan kompetitifnya meliputi sektor-sektor perkebunan (kakao, cengkeh, kopi, jambu mete, pala), perikanan laut (tuna dan cakalang), tanaman pangan (padi dan jagung), serta pertambangan (nikel dan marmer).
Sedangkan keunggulan komparatifnya
adalah eco-cultural tourism yang didasarkan atas keunikan budaya lokal dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti ditemukan pada taman-taman nasional (Rawa Aopa dan Dumoga) dan taman-taman laut (Wakatobi, Bunaken, dan Takabonerate). Pulau Sulawesi, disamping Pulau Kalimantan, merupakan prime mover pengembangan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). RTRW
Pulau
Sulawesi
harus
mengakomodasikan
Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan
pengembangan KTI agar berbagai upaya pembangunan lintas wilayah dan lintas sektor dapat berjalan secara serasi, selaras, saling menguatkan (sinergis), dan dapat memberikan multiplier effect yang besar bagi kawasan-kawasan di sekitarnya. Skenario pengembangan untuk mewadahi atau memberi bingkai bagi strategi pengembangan tata ruang wilayah Pulau Sulawesi adalah skenario pengembangan yang berorientasi ke luar dengan sistem outlet hirarkis fungsional dan dengan memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan (Gambar 2.4.). Menurut arahan tipologi (besaran dan fungsi utama) kota di Pulau Sulawesi, Kota Bitung merupakan besaran kota sedang; memiliki fungsi utama sebagai pelabuhan utama primer dan fungsi utama kota sebagai kota nasional (PKL); dan dominasi kegiatan wilayah di sekitarnya di masa mendatang adalah jasa dan industri.
32
Tolitoli
Manado
Gorontalo
Nasional Nasional & Internasional
Nasional Bitung Nasional
Poso
KTI: Maluku, Irian
Palu Luwuk Palopo
Kalimantan Selatan dan Timur
Pare pare Watam -pone
Kolaka
Kendari Nasional
Makassar
Nasional & Internasional
Baubau Takalar
Bulukumb a
NTT & NTB
Gambar 2.4.
Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi (Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Pulau Sulawesi (Depkimpraswil 2002).
2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri Pola keterkaitan antar industri dapat diukur dengan pengukuran kuantitatif menggunakan “connectance value,” yang didefinisikan sebagai jumlah interaksi langsung dalam suatu jaring makanan dibagi dengan jumlah keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi (Hardy dan Graedel 2002). Nilai keterkaitan (C) dihitung menggunakan rumus: C = 2 L / [S(S-1)] Dimana: -
S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu). L adalah jumlah interaksi antar industri. C berkisar antara 13,5% - 84,6%, dengan nilai median adalah 42,3%.
Ilustrasi dari suatu ekosistem yang terdiri atas sembilan spesies adalah seperti pada Gambar 2.5. Hasil perhitungan dengan rumus di atas diperoleh nilai C = 0,416 atau 41,6%. Semakin tinggi nilai keterkaitan (C) tersebut diatas belum mengindikasikan stabilitas ekosistem atau efisiensi (de Ruiter et al 1995 dalam Graedel 2002).
Hardy dan
Oleh karena itu diperlukan perhitungan simbiosis lainnya.
33 Keterkaitan yang besar berarti bahwa aliran material sedang dipertukarkan bukan dibuang. Itu tidak menyatakan tentang besaran aliran atau kepentingan lingkungannya. Namun, secara jelas terlihat bahwa, kuantitas yang lebih besar yang digunakan secara simbiosis adalah lebih penting bagi lingkungan dibandingkan dengan kuantitas yang kecil.
Dengan demikian, penggunaan
material yang secara potensial berbahaya secara lingkungan lebih penting dibandingkan dengan penggunaan material yang ramah lingkungan.
Mangsa atau sumberdaya
A
B
C
D
Y
E
F
X
E F X G C D Y A B
E 0 0 0 0 0 0 0 0 0
F 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pemangsa atau konsumen X G C D 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
G
Y 0 1 1 1 0 0 0 0 0
A 1 0 0 0 1 1 1 0 0
B 0 0 0 1 0 1 1 0 0
Gambar 2.5. Matriks komunitas spesies Keterangan: A, B, C, D, Y, E, F, X, dan G adalah spesies di dalam komunitas 0 = tidak ada interaksi; 1 = ada interaksi
34
III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual 3.1.1. Definisi Eco-Industrial Park yang digunakan Model “eco-industrial park” (EIP) adalah “suatu sistem industri dimana terjadi pertukaran material dan energi secara terencana dan berupaya untuk menurunkan penggunaan bahan baku dan energi, menurunkan limbah, dan membangun hubungan keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial” (The United States President’s Council on Sustainable Development dalam Korhonen 2001).
3.1.2. Asumsi Dasar dan Batasan Penelitian 3.1.2.1 Asumsi Dasar Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dasar, yaitu sebagai berikut: a. Aplikasi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kawasan Industri dalam jangka panjang akan bersifat efektif dan efisien. b. Regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri bersifat konsisten dan tidak anti-competitive. c. Tidak adanya resistensi terhadap penerapan rancangan model oleh pemangku kepentingan. d. Setelah semua fasilitas penunjang AEIP Bitung selesai dibangun (dengan tahun initial/awal 2010) maka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan keseluruhan pabrik adalah lima belas tahun. 3.1.2.2. Batasan Penelitian 1. Batasan penelitian ini adalah seperti yang dirumuskan di dalam tujuan umum, yaitu perancangan model pengembangan “agro-eco-industrial park” (AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara; dan ke-tiga tujuan khusus penelitian, yaitu mengevaluasi kondisi aktual dari aktivitas industri agro; menyusun model pengembangan AEIP Bitung, dan menganalisis implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan model. 2. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk merancang desain tata letak, mendesain infrastruktur atau mendesain bangunan, dan fasilitas pendukung Agro-eco-industrial park. 3. Model yang dibangun tidak memasukkan unsur teknologi sebagai variabel dalam pemodelan.
35 4. Kinerja AEIP diketahui melalui simulasi Model Pengembangan AEIP (MPAEIP) Bitung, yang dibatasi pada variabel-variabel: Nilai Produksi AEIP Bitung, Penyerapan Tenaga Kerja, Penurunan Kuantitas limbah padat, dan Penurunan
Kuantitas
Limbah
Cair.
Model
yang
dibangun
tidak
mempertimbangkan biaya investasi, biaya produksi, pajak, dan tidak dilakukan analisis finansial di dalam penyusunan model. 5. Model dibangun dengan menggunakan “Kawasan AEIP sebagai faktor pembatas” sedangkan ketersediaan bahan baku digunakan sebagai rujukan untuk menentukan jumlah dan kapasitas produksi.
3.2. Rancangan Penelitian 3.2.1. Pendekatan Penelitian yang Digunakan Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan menggunakan pendekatan sistem (goal oriented).
Pendekatan sistem adalah suatu
pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pendekatan ini
diperlukan
karena
dihadapi
dan
menggunakan
semakin
kompleks
dapat
permasalahan peralatan
yang yang
menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh (Marimin 2007). Langkah-langkah yang dilakukan di dalam analisis sistem adalah: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, dan (4) pemodelan: Model Pengembangan AEIP Bitung (disingkat MP-AEIP Bitung), Provinsi Sulawesi Utara.
3.2.2. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung 3.2.2.1. Analisis Kebutuhan (Need Analysis) Setelah mendapatkan data yang diperlukan untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh melalui analisis terhadap pemangku kepentingan, maka dapat diperkirakan analisis kebutuhan, seperti pada Tabel 3.1.
36 Tabel 3.1. Analisis Kebutuhan Pemangku Kepentingan Pemangku Kepentingan
Kebutuhan
Industriawan
1. pendapatan usaha meningkat 2. suplai sumberdaya alam, bahan baku dan energi terjamin dan kontinu dengan harga rendah 3. tenaga kerja tersedia dengan upah kompetitif 4. biaya penanganan limbah relatif murah 5. modal usaha tersedia 6. peluang pasar besar 7. iklim berusaha yang kondusif 8. adanya sistem insentif bagi industri yang berlokasi di dalam kawasan industri 9. bebas dari gangguan premanisme dan pungutan liar 10. peraturan pemerintah yang konsisten 11. harga lahan di dalam kawasan industri terjangkau 12. tersedianya infrastruktur pendukung aktivitas industri 13. ketersediaan teknologi aplikatif 1. peningkatan pajak/devisa negara 2. aktivitas produksi industri dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan 3. lapangan kerja tersedia 4. kualitas lingkungan terpelihara 5. kemudahan atas pengawasan dampak lingkungan aktivitas industri 6. terkonsentrasinya industri di dalam kawasan industri 7. citra industri dalam bidang lingkungan meningkat 8. tumbuhnya industri baru (industri komplementer) 9. program corporate social responsibility diterapkan. 10. kurangnya dampak negatif seperti kriminalitas, kemacetan lalu lintas, dan prostitusi. 1. permintaan atas lahan industri di dalam kawasan industri meningkat 2. ditetapkannya kebijakan relokasi industri ke kawasan industri 3. tersedianya infrastruktur pendukung aktivitas industri 4. iklim berusaha yang kondusif 5. modal usaha tersedia 6. bebas dari gangguan premanisme dan pungutan liar 7. regulasi pemerintah yang konsisten 1. tersedianya lapangan kerja 2. lingkungan hidup yang tidak tercemar 3. adanya pembiayaan program corporate social responsibility dari industri 4. tersedianya produk industri dengan harga relatif terjangkau 5. tersedianya pasar bagi bahan baku yang diproduksi masyarakat 6. tidak adanya gangguan kesehatan/keselamatan karena aktivitas industri 7. berputarnya roda perekonomian masyarakat (tempat kost, rumah makan, warung, kios, dan tempat hiburan) 8. terpeliharanya budaya dan keyakinan lokal/kearifan lokal 1. tersalurnya dan meningkatnya kredit investasi 2. dikembalikannya pinjaman modal tepat waktu (risiko kredit menurun) 3. konsistensi peraturan pemerintah 4. peraturan pemerintah yang kondusif 1. peraturan pemerintah yang kondusif 2. konsistensi peraturan pemerintah 3. meningkatnya realisasi investasi 4. meningkatnya lapangan kerja 1. tersedianya mitra kerja untuk penelitian dan pengembangan 2. penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan
Pemerintah dan Pemda
Pengelola/ pengembang kawasan industri
Masyarakat
Perbankan
Badan Penanaman Modal Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian
3.2.2.2. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eryatno 2003). Hasil identifikasi sistem dinyatakan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat
37 yang merupakan gambaran keputusan yang dapat dilakukan secara kontinu (Gambar 3.1.). Peran aktivitas industri
+
Rekruitmen TK lokal
+
+/Persepsi masyarakat
Potensi SDA
+ + Energi listrik terbarukan
Kekurangan pasokan bahan baku
+
+
+
+ Kinerja Industri Agro
+/-
+/-
Limbah industri
Pertukaran materi dan limbah
Bahan ikutan
+
Keberlanjutan industri
+
+
Pasokan energi
+
+ +
+
+ -
Model AEIP
+
+
+
Dampak lingkungan Industri baru
+ + +
Kualitas lingkungan
Kerjasama antar industri
+
Ketersediaan lahan industri
+
Pasokan lahan industri
Gambar 3.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat MP AEIP Bitung Hasil dari diagram lingkar sebab akibat dilanjutkan pada interpretasi kedalam konsep kotak hitam (black box). Dalam penyusunan kotak gelap, perlu diketahui macam informasi yang dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu peubah input, peubah output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Diagram kotak hitam dari MP-AEIP Bitung disajikan pada Gambar 3.2.
38 Input tak terkontrol: - Populasi penduduk - Angkatan kerja - Kebutuhan lapangan kerja - Perubahan paradigma berpikir terhadap limbah industri - Harga produk di pasaran
Input lingkungan: - Peraturan perundangan - Perubahan pola hidup
Output dikehendaki: - Kesempatan kerja dan berusaha - Keberlanjutan aktivitas industri - Biaya sosial penanganan pencemaran berkurang - Kelestarian LH - Hubungan harmonis industrimasyarakat - Peningkatan kinerja industry - Peningkatan kerjasama industri - Peningkatan keragaman industri
Model Pengembangan AEIP Bitung Input terkontrol: - pemeliharaan LH - perubahan pola penyediaan pasokan bahan baku, air, dan energi - peluang usaha baru - desain infrastruktur yang murah - Program pengembangan masyarakat - insentif kepada tenan
Output tidak dikehendaki: - Limbah tak terkelola - Kelangkaan SDA dan energi - Biaya investasi meningkat - Konflik sosial - Perkembangan industri yang lamban.
Manajemen AEIP
Gambar 3.2. Diagram Kotak Hitam MP-AEIP 3.2.2.3. Formulasi Permasalahan Keberlanjutan aktivitas industri sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, sebagai sumber devisa negara, dan penyerap lapangan kerja.
Namun dilain pihak, aktivitas industri mengakibatkan pencemaran
lingkungan yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat. Terdapat beberapa metode penanggulangan pencemaran industri, yaitu command-andcontrol yang sangat umum diaplikasi, dan market-based incentives. Namun demikian,
metode
penanggulangan
pencemaran
industri
tersebut
lebih
cenderung melihat proses produksi industri dan pencemaran lingkungan yang dihasilkannya sebagai suatu proses yang linear. Ekologi industri, dilain pihak, melihat proses produksi industri sebagai suatu siklus, dimana limbah atau byproducts yang dihasilkan oleh suatu industri dipandang sebagai input atau peluang usaha bagi industri lainnya. Disamping itu, penerapan konsep tersebut harus dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan kelangkaan sumbedaya alam, bahan baku, dan energi. Salah satu implikasi dari rencana kebijakan pemerintah tentang kawasan industri adalah setiap daerah yang berencana mengembangkan industri manufakturnya harus memiliki kawasan industri.
Penetapan suatu kawasan
39 menjadi kawasan industri perlu didahului oleh kajian yang komprehensif dan mempertimbangkan perkembangan terakhir (state of the art) dalam bidang tersebut. Beberapa contoh keberhasilan penerapan konsep ekologi industri di dunia adalah seperti di Kalundborg, Denmark dan Finlandia (Korhonen 2001). Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum menyimpulkan bahwa pengembangan kawasan industri berkelanjutan dapat dicapai melalui implementasi konsep pengembangan kawasan industri berbasis ekologi. Tetapi masih sedikit contoh penerapan ekologi industri yang terdokumentasi. Sebelum dapat dibangunnya sistem manajemen yang lebih jelas, kebijakan, atau desain dari konsep itu, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menghubungkan antara teori dengan studi kasus, tidak hanya di wilayah yang berbeda tetapi juga di negara yang berbeda, karena faktor kondisi lokalitas sangat penting untuk konsep ekologi industri (Korhonen 2001). Perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi aktual industri agro, status kualitas lingkungan, dan pola keterkaitan antar industri berbasis agro/manufaktur di Kota Bitung? 2. Bagaimana bangun Model Pengembangan AEIP Bitung? 3. Bagaimana implikasi dan rekomendasi kebijakan penerapan Model AEIP di Kota Bitung? Permasalahan di atas perlu dicarikan solusinya supaya tujuan menuju keberlanjutan aktivitas industri manufaktur dapat dicapai. Hal ini dapat dilakukan antara
lain
dengan
menerapkan
manajemen
pengembangan
industri
menggunakan konsep ”eco-industrial park” (EIP) (Gambar 3.3.). Selanjutnya, diagram alir perancangan model dicantumkan pada Gambar 3.4.
40
Aktivitas industri berbasis agro yang berkelanjutan Status quo: Industri manufaktur di luar KI dengan lokasi tersebar
KI yang sudah ada/beroperasi
KI baru
Pendirian industri manufaktur baru
Industri manufaktur tidak wajib dalam KI
Klasifikasi industri manufaktur di Provinsi Sulut
Peraturan perundangan/kebijakan industri
Pendirian KI di Provinsi Sulawesi Utara
Pendekatan klaster industri
BERKELANJUTAN? Sosial Ekonomi
MP AEIP Bitung
Lingkungan
Gambar 3.3. Perumusan Masalah
- Karakteristik dan pola keterkaitan industri berbasis agro - Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri - Program pengembangan AEIP
Contoh-contoh kasus/hasil-hasil penelitian terbaru: faktor-faktor hubungan sosial, jaringan co-location dan hubungan antara perusahan; roundput, keragaman, saling ketergantungan, dan lokalitas; kesadaran perlindungan lingkungan; public planning vs private planning
41
Penetapan Tujuan
• Analisis Kebutuhan • Formulasi Masalah
Kinerja Industri
Analisis Kondisi Aktual Industri Manufaktur/Agro
•
Analisis Laboratorium
•
Survey Lapangan
Persepsi Pemangku Kepentingan
Pola Keterkaitan antar Industri
Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model
Alternatif Model Prioritas
Tahapan Implementasi Model
Perancangan Model Dinamik
Tidak
Pengujian Model
ya Implementasi Model
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3.4. Diagram Alir Perancangan Model 3.2.2.4. Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pendekatan sistem analisis adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.5.
42
Metode
• Analisis Kebutuhan • Formulasi Permasalahan
Pendekatan Sistem
• Identifikasi Sistem Evaluasi terhadap kondisi aktual dari industri agro/manufaktur di Kota Bitung
Mulai
Tabulasi (FasT-facility synergy tool), Connectance value, bagan alir
Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri agro/manufaktur di Kota Bitung
Skala Likert
Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitung
Metode ISM (Program ISM VAXO)
Metode AHP
Model alternatif AEIP prioritas
(Program Criterium Decision Plus)
Model Pengembangan AEIP Bitung
Sintesis terhadap output tujuan-tujuan khusus penelitian dan selanjutnya model dirancang dengan menggunakan Program Powersim Studio Expert 2005
Metode Deskriptif
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3.5. Pendekatan Sistem Analisis Perancangan Model AEIP Bitung
3.2.3. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 3.6.
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 3.7.). Mayoritas industri yang berkembang di koridor ini adalah industri berbasis-agro, dimana yang menjadi industri unggulan yaitu industri perikanan laut dan industri kelapa (Dinas Perindag Kota Bitung, 2008). Tidak jauh dari Kota Bitung, yaitu Kota Manado terdapat Bandara Primer, sedangkan di Kota Bitung terdapat Pelabuhan Utama Primer, oleh karena itu disebut sebagai kota-kota pintu gerbang nasional (Dirjen Penataan Ruang, Departemen Kimpraswil, 2002). Kedua
sarana
tersebut
berperan
besar
sebagai
faktor
pendorong
berkembangnya dan terkonsentrasinya aktivitas industri di Kota Bitung.
43
Mulai Tahap 1 Survei dan pengumpulan data, survei pakar
Ekonomi
Sosial
Kondisi aktual dari aktivitas industri manufaktur di Kota Bitung
Lingkungan
Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri manufaktur di Kota Bitung
Pola Keterkaitan antar Industri
Analisis Kebutuhan Formulasi masalah Analisis hubungan kontekstual antar sub-elemen
Tahap 2
Elemen kunci
Struktur hirarkhi sub-elemen
Identifikasi sistem
Pengelompokan sub-elemen
Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitung
Alternatif AEIP
Tahapan Implementasi Alternatif AEIP
Tahap 3
Tahap 4
Simulasi Model
Model Pengembangan AEIP Bitung
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan Model
Selesai
Gambar 3.6. Tahapan Penelitian
44 Pelaksanaan penelitian selama 24 bulan. Penelitian dimulai pada bulan September 2007 sampai dengan Agustus 2009. Jadwal pelaksanaan penelitian disajikan pada Lampiran 1.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain sebagai berikut: Dokumen-dokumen:
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah,
Peraturan
perundangan/Perda, Masterplan Rencana Pembangunan Kawasan Industri Kota Bitung, dan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan aktivitas industri manufaktur/agro. a) Peta-peta: peta administrasi dan peta RTRW lokasi penelitian. b) Bahan-bahan penyusunan kuesioner yang digunakan untuk pengambilan data primer meliputi: persepsi pemangku kepentingan, pendapat pakar, dan lain-lain. Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi berbagai software untuk keperluan analisis seperti Criterium Decision Plus, Modul ISM VAXO, dan Powersim Studio 2005.
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer yang digunakan adalah survei lapang berupa pengamatan secara langsung, wawancara, dengan atau tanpa panduan kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Wawancara individu menggunakan kuisioner, dilaksanakan di lokasi penelitian terhadap beberapa responden/pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan yang menjadi
responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi industriawan, aparatur pemerintah, akademisi/peneliti, dan masyarakat. Khusus untuk kuisioner bagi para industriawan, digunakan kuisioner dengan beberapa modifikasi merujuk pada Lowe (2001). Selain menggunakan kuesioner juga dilakukan wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan pakar/praktisi. Indepth interview dimaksudkan untuk menggali informasi sekaligus mendapatkan kesepakatankesepakatan bersama dalam merumuskan pengembangan industri manufaktur dengan menggunakan model AEIP. Pemilihan pakar secara lokal karena pertimbangan akan pengetahuan terhadap karakteristik pengembangan industri.
45
Lokasi Penelitian
Gambar 3.7. Lokasi Penelitian
46 Jumlah responden dipilih secara acak sederhana (simple random sampling), jumlahnya ditetapkan secara proporsional terhadap jumlah populasi dalam kelompok. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari penelusuran literatur/referensi dari berbagai sumber, yaitu BPS, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terkait, serta Dinas Perindustrian dan Provinsi Slawesi Utara dan Kota Bitung, Bappeda, BPLH, Perguruan Tinggi, dan sumber relevan lainnya.
3.4.3. Penetapan Responden Pertimbangan
yang
digunakan
di
dalam pemilihan
pakar
adalah
keberadaan, keterjangkauan, dan kesediaan untuk diwawancarai; reputasi, kedudukan, kredibilitas dan pengalaman di bidangnya. Responden pakar dapat berasal dari luar lokasi penelitian. Responden pakar adalah James Rompas, Ketua Bappeda Kota Bitung, yang telah berpengalaman dalam pengembangan industri/kawasan
industri
Institusi/Kelembagaan
dan
dan
Jen
Agribisnis.
Tatuh,
ahli
Responden
dalam masyarakat
bidang dipilih
berdasarkan domisili atau keterkaitan tugas dengan sektor industri. Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri dan kebijakan industri di Koridor Kema-Bitung maka akan dilakukan pengukuran dengan menggunakan Skala Likert (Sugiyono 2006). Penetapan jumlah responden dilakukan dengan menggunakan Tabel Nomogram Herry King, dengan tingkat kepercayaan 95% (atau tingkat kesalahan 5%) (Sugiyono 2006:100).
3.4.4. Variabel yang Diamati Data penelitian yang diperlukan dibedakan atas data primer dan sekunder, meliputi parameter lingkungan, ekonomi, dan sosial. Secara rinci jenis data dan variabel yang akan diamati/ dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.1.
3.5. Metode Analisis Metode penelitian yang dibahas berikut adalah untuk menjawab ke-lima tujuan khusus penelitian. Ringkasan dari metode penelitian yang meliputi tujuan penelitian, sumber data, data, metode analisis, dan output yang diharapkan adalah seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 3.4.
47
3.5.1. Evaluasi Kondisi Aktual dari Aktivitas Industri Agro (A). Kinerja Industri Agro Untuk mengevaluasi kinerja industri di Kota Bitung digunakan metode FaST (facility synergy tool). Output dari analisis FaST adalah profil database industri. Metode FaST dirumuskan oleh Industrial Economics, Inc., Cambridge, MA 1998 (Anonim 1998) untuk perencanaan EIP, yang memberikan informasi Tabel 3.2. Parameter, Data, Variabel, dan Jenis Data Penelitian No
Parameter
Data
Variabel
Jenis Data
1
Lingkungan
Limbah industri
Limbah cair Limbah padat Kepala, sirip, ekor, dan isi perut ikan Air kelapa Sabut dan tempurung kelapa Paring kelapa Bungkil kelapa Curah hujan Kecepatan angin Lama penyinaran Sampah kota Pencemaran air permukaan Pencemaran tanah Konversi lahan Erosi tanah dan degradasi lahan Perkembangan perusahan industri Perkembangan tenaga kerja Perkembangan nilai produksi Investasi Pertumbuhan ekonomi, kontribusi beberapa sektor dalam PDRB
Primer/sekunder Primer/sekunder Primer/sekunder
Permintaan dan penawaran lahan Angkatan kerja Penyerapan tenaga kerja Jalan Listrik Air Minum Perhubungan laut Tanaman pangan dan perkebunan Perikanan Persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri agro/manufaktur Program-program pengembangan masyarakat Peraturan dan kebijakan terkait pengembangan industri dan atau kawasan industri Kelembagaan terkait pengembangan KI/AEIP Jumlah kerjasama pemanfaatan limbah industri dan atau byproducts Hubungan kontekstual antar elemen dari tujuan dari program; kendala utama dari program.
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Primer/Sekunder Primer/sekunder
Bahan ikutan industri (by-products)
Iklim
Status Kualitas Lingkungan/Isu Pokok Lingkungan Hidup
2
Ekonomi
Industri manufaktur
Pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian Penggunaan lahan Ketenagakerjaan Prasarana
Pertanian 3
Sosial
Hubungan sosial antara industri dan masyarakat sekitar
Kebijakan dan regulasi pemerintah Kelembagaan 4
Ekosistem industri
5
Faktorfaktor penentu pengembangan AEIP
Pola keterkaitan antar Industri agro dan industri terkait Elemen-elemen yang terkait dengan pengembangan AEIP
Primer/sekunder Primer/sekunder Primer/sekunder Primer/sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Primer/sekunder Primer/sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Primer/sekunder
Primer/sekunder Primer/sekunder
Primer
48 dasar utama yang diperlukan untuk merencanakan AEIP, dalam bentuk profil database industri yang menggambarkan input dan output dari setiap fasilitas yang dapat dilibatkan dalam AEIP.
Berikut diberikan ilustrasi tentang profil
database yang akan dihasilkan (Gambar 3.8.). Profil database industri yang akan dikaji akan terdiri atas satu profil industri untuk setiap jenis industri yang terdapat di Kota Bitung. Situasi aktivitas industri di Kota Bitung meliputi semua data seperti yang tercantum pada “Kolom Data” dari Tabel 3.2. Faktor-faktor tersebut selanjutnya dikelompokkan
menurut pengelompokan
kekuatan
(S),
kelemahan
(W),
kesempatan (O), dan ancaman (T). Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk mengetahui prinsip-prinsip ekologi industri dari aktivitas industri agro di Kota Bitung. Salah satu contoh dari prinsipprinsip
ekologi
industri
adalah
pola
keterkaian
antara
industri
dalam
pemanfaatan by-products secara bersama dan dengan terencana.
Untuk
mengukur keterkaitan tersebut digunakan “connectance value” (C) (Hardy dan Graedel 2002). Profil industri: Diagram aliran materi tahunan Kebutuhan energi
Kebutuhan air
Input materi
Produk
Industri X
Output non-produk
Gambar 3.8. Ilustrasi Profil Industri (Diagram Aliran Materi Tahunan) Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dan juga dengan menggunakan informasi database dari profil industri yang telah diperoleh sebelumnya, dibuat bagan alir pola keterkaitan antar industri agro.
49 (B). Analisis Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur dan Rencana Pembangunan Kawasan Industri Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri dan rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung, dilakukan pengukuran dengan menggunakan Skala Likert (Sugiyono 2006). Pengukuran dilakukan terhadap beberapa objek persepsi, yaitu manfaat langsung atau manfaat tidak langsung, pengaruh terhadap kenyamanan hidup; dan tingkat persetujuan terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung. Untuk keperluan analisis kuantitatif maka jawaban pemangku kepentingan terhadap objek persepsi akan diberikan skor.
Dengan mengalikan jumlah
responden yang memilih skala tertentu maka akan diketahui posisi persepsi pemangku kepentingan terhadap objek persepsi yang dipertanyakan. (C). Analisis Pola Keterkaitan Antar Industri Analisis pola keterkaitan antar industri dilakukan untuk mengetahui prinsipprinsip ekologi industri yang telah berkembang pada aktivitas industri di Kota Bitung.
Salah satu contoh dari prinsip-prinsip ekologi industri adalah pola
keterkaian antara industri dalam pemanfaatan by-products dan limbah industri secara bersama dan dengan terencana. Untuk mengukur keterkaitan tersebut digunakan “connectance value” (C) (Hardy dan Graedel 2002). Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dan juga dengan menggunakan informasi database dari profil industri yang telah diperoleh sebelumnya, dibuat bagan alir pola keterkaitan antar industri yang telah berkembang dan yang potensial
dikembangkan.
Identifikasi
pola
keterkaitan
yang
potensial
dikembangkan akan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya wilayah, trend investasi dan permintaan, regulasi, teknologi, dan lainnya.
3.5.2. Program Pengembangan MP-AEIP (A). Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP dianalisis menggunakan Metode ISM (Interpretive Structural Modelling) (Marimin 2004). Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian di dalam kuisioner diberikan dalam bentuk simbol V, A, O, dan X, sebagai berikut: •
V: Sub-elemen (1) mempengaruhi/mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan sub-elemen (2), tetapi tidak sebaliknya.
50 •
•
•
A: Sub-elemen (2) mempengaruhi/mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan sub-elemen (1), tetapi tidak sebaliknya. X: Sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling mempengaruhi/ mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan. O: Sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling mempengaruhi/ mendukung/menyebabkan/memberikan kontribusi tercapainya/memerlukan dukungan. Jenis-jenis hubungan kontekstual dari elemen-elemen di atas adalah
seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 3.3. Pernyataan hubungan kontekstual antar sub-elemen, yang dinyatakan dengan simbol-simbol V, A, X, dan O diisi ke dalam sel-sel yang terletak di sebelah atas garis diagonal tabel hubungan kontekstual tersebut. Sel-sel yang masih kosong (di bawah garis diagonal) diisi dengan simbolsimbol yang merupakan pencerminan dari simbol-simbol hubungan kontekstual sebelumnya (contoh: bila e ij adalah V maka e ji adalah V). Tabel yang semua selnya telah lengkap terisi disebut Structural Self-Interaction Matrix (SSIM). Tabel 3.3. Elemen dan Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen No 1
Elemen Tujuan dari Program
2
Kendala Utama dari Program
3
Program Implementasi AEIP
Selanjutnya,
Reachability
Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen Sub-elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen tujuan lainnya Sub-elemen kendala yang satu menyebabkan sub-elemen kendala lainnya Sub-elemen program pengembangan yang satu mempengaruhi sub-elemen program pengembangan lainnya
Matrix
(RM)
diperoleh
dengan
cara
mengkonversi SSIM menggunakan ketentuan-ketentuan, sebagai berikut: V : e ij = 1; e ji = 0 A : e ij = 0; e ji = 1 X : e ij = 1; e ji = 1 O : e ij = 0; e ji = 0 (B). Alternatif AEIP Kajian terhadap Alternatif AEIP dilakukan dengan menggunakan Teknik AHP (Marimin 2004). Adapun yang menjadi kriteria penentuan alternatif A-EIP
51 prioritas adalah Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP yang telah diperoleh sebelumnya. (C). Tahapan Implementasi Program Pengembangan AEIP Bitung Kajian terhadap Tahapan Implementasi program pengembangan AEIP Bitung dilakukan menggunakan metode ISM, seperti yang telah dijelaskan untuk mengkaji Faktor-faktor Penentu Pengembangan Model di atas. (D). Perancangan Model Dinamik Pengembangan AEIP Bitung Perancangan model dilakukan dengan cara mensintesis output dari tujuantujuan khusus penelitian menggunakan Program Powersim Studio 2005. Output dari tujuan umum ini adalah program komputer “Model Pengembangan AEIP Bitung” (yang disingkat: MP-AEIP Bitung).
Rangkuman dari tujuan Penelitian,
Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan dicantumkan di dalam Tabel 3.4. 1. Pengujian Model Oleh karena Model AEIP Bitung yang akan dibangun merupakan model yang belum nyata atau belum ada realitas di lapangan, maka pengujian model hanya akan dilakukan dengan cara melakukan pengujian kesesuaian model, yaitu: (a) apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar, (b) apakah prosedur perhitungan sudah sesuai (Hartrisari 2007). 2. Simulasi Model Berdasarkan struktur model yang dibangun selanjutnya dilakukan simulasi terhadap beberapa variabel dominan dari model dinamik AEIP Bitung. Simulasi model dilakukan dalam kurun waktu lima belas tahun (2010-2024).
3.5.3. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi aktual dan persepsi masyarakat terhadap aktivitas industri manufaktur serta perancangan Model Dinamik Pengembangan AEIP maka selanjutnya disusun Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan AEIP. Rekomendasi tersebut dapat menjadi bahan untuk pengembangan kawasan indusri agro berbasis ekologi (AEIP), khususnya di Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara.
52 Tabel 3.4. Tujuan Penelitian, Sumber Data, Jenis Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan Tujuan Penelitian
Sumber data
Jenis Data
Metode Analisis
Tujuan Khusus 1: Mengevaluasi kondisi aktual aktivitas industri agro di Kota Bitung
Data primer dan sekunder Studi pustaka Responden pemangku kepentingan
• Akitivitas industri agro/manufaktur di Kota Bitung • Persepsi aktivitas industri manufaktur/agro • Persepsi terhadap kebijakan pemerintah tentang kawasan industri.
• FaST (facility synergy • Kinerja industri agro tool). • Kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan • Pengelompokan SWOT ancaman aktivitas industri agro di Kota Bitung • Connectance value • Pola keterkaitan dan pertukaran materi antara industri yang telah ada dan yang potensial • Bagan alir dikembangkan • Skala Likert • Persepsi pemangku kepentingan terhadap dampak positif maupun negatif aktivitas industri di Kota Bitung. • Persepsi pemangku kepentingan terhadap kebijakan kawasan industri (rencana pendirian Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung)
Tujuan khusus 2: Menganalisis program pengembangan AEIP
Survei lapang Responden pakar Studi pustaka
• Data aktivitas industri manufaktur/agro • Persepsi pemangku kepentingan • Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP
• Metode ISM / Modul • Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP ISM VAXO • Alternatif AEIP Prioritas • Pairwise comparison • Program Implementasi AEIP Metode AHP/ Criterium Decision Plus Versi 3.0
Tujuan Khusus 3: Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Penerapan AEIP
• Implementasi Model Dinamik AEIP
• Data hasil simulasi model
• Metode deskritif
• Rekomendasi kebijakan
Tujuan Umum: Perancangan Model Pengembangan AEIP Bitung
• Sumber data Tujuan Khusus Penelitian No. 12
Output Tujuan khusus 1-2
• Sintesis tujuan khusus 1-2 dengan menggunakan Program Powersim Studio Expert 2005
• Program komputer “Model Pengembangan AEIP Bitung” disingkat MP-AEIP Bitung
Output yang Diharapkan
53
IV. KONDISI WILAYAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah Kota Bitung Berikut ini disajikan sejarah singkat Kota Bitung yang diangkat dari Bitung Dalam Angka 2007 (BPS Bitung 2008).. Sebelum tahun 1964, Bitung hanyalah merupakan kelompok desa-desa pinggir pantai biasa. Baru pada Tahun 1964 dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara No. 244 Tahun 1964, Bitung ditetapkan menjadi satu Kecamatan dengan jumlah penduduk 32.000 jiwa tersebar pada 28 desa dengan luas wilayah 29,79 km². Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1975, maka pada tanggal 10 April 1975 Kecamatan Bitung diresmikan menjadi Kota Administratif pertama di Indonesia, dengan luas wilayah 304 km² terdiri atas 3 kecamatan dan 35 desa. Kerena perkembangannya yang pesat maka Bitung kemudian dijuluki sebagai Kota Serba Dimensi, yaitu Kota Pelabuhan, Kota Industri, Kota Perdagangan, Kota Pariwisata dan Kota Pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990 maka pada tanggal 10 Oktober 1990 Kota Administratif Bitung ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung, dengan luas wilayah 304 km², 3 kecamatan dan 44 kelurahan. Memasuki era otonomi daerah, penyebutan kotamadya dirubah menjadi “kota” sehingga menjadi “Kota Bitung.”
4.1.2. Letak dan Luas Kota Bitung terletak pada posisi geografis diantara 1023’23‘’ – 10 35’ 39” LU dan
12501‘43‘’ – 125018’13’’BT. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut
Maluku, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Likupang dan Kecamatan Dimembe (Kabupaten Minahasa Utara), sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku dan Samudera Pasifik, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa Utara). Wilayah daratan mempunyai luas 30.400 ha, secara administratif terbagi atas 8 Kecamatan dan 69 Kelurahan.
4.1.3. Topografi Dari aspek topografis, sebagian besar daratan Kota Bitung berombak berbukit (45,06%) dan bergunung (32,73%). Hanya 4,18% merupakan daratan landai serta sisanya 18,03% berombak. Di bagian timur mulai dari pesisir pantai Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian barat, merupakan daratan
54 yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0-150, sehingga secara fisik dapat dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri, perdagangan dan jasa serta permukiman. Di bagian utara keadaan topografi bergelombang dan berbukit-bukit yang merupakan kawasan pertanian, perkebunan, hutan lindung, taman margasatwa dan cagar alam. Di bagian selatan terdapat Pulau Lembeh yang keadaan tanahnya pada umumnya kasar ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan palawija. Pulau ini memiliki pesisir pantai yang indah sebagai potensi yang dapat dikembangkan menjadi daerah wisata bahari.
4.1.4. Iklim 4.1.4.1. Kecepatan Angin Kota Bitung terletak di pinggir pantai sehingga memiliki ekspos yang besar terhadap tiupan angin.
Di dalam Tabel 4.1. diperlihatkan kecepatan angin
maksimum dan rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006. Data menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata sepanjang tahun adalah 19,83 knots (1 knot=1,85 km/jam). Tabel 4.1. Kecepatan Angin Maksimum dan Rata-rata di Kota Bitung Tahun 2006 Bulan
Kecepatan angin Kecepatan angin maksimum (knot) rata-rata (knot) Januari 36 25 Pebruari 23 22 Maret 41 28 April 22 18 Mei 24 15 Juni 42 18 Juli 65 38 Agustus 62 19 September 49 14 Oktober 41 16 Nopember 21 15 Desember 16 10 Sumber: Stasiun Meteorologi Maritim Bitung
Rata-rata tahunan kecepatan angin di lokasi penelitian adalah 19,83 knot atau sekitar 10,19 meter/detik. Berdasarkan data ini maka di lokasi ini dapat dibangun pembangkit listrik dengan turbin skala kecil (<100 kW) maupun skala besar (≥100 kW).
Turbin skala besar dapat beroperasi pada saat kecepatan
angin minimal 5 meter/detik, sedangkan turbin skala kecil dapat beroperasi pada kecepatan angin minimal 3 meter/detik. Data di atas juga menunjukkan bahwa
55 pada bulan Desember dimana kecepatan angin adalah yang terendah, kondisi kecepatan angin masih dapat menggerakkan turbin skala besar. Salah satu contoh daerah yang telah membangun pembangkit listrik tenaga angin di Indonesia adalah Nusa Penida, Bali. Data Bulan April 2007 s/d Maret 2008 menunjukkan bahwa kecepatan angin di wilayah tersebut berkisar antara 4,6-14,4 meter/detik pada pagi hari dan 5,3-14,0 meter/detik pada sore hari. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2007, pembangkit listrik tenaga angin di wilayah tersebut dapat menghasilkan 122.840 kW/tahun atau 10.126 kW per bulan dengan kontribusi <5% terhadap produksi listrik di wilayah tersebut. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa dengan tingkat harga Rp 700/kW, pembangkit listrik tenaga angin tidak menguntungkan (Ardana 2009). Walaupun secara finansial tidak menguntungkan, namun listrik tenaga angin merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak mengakibatkan emisi gas buang atau polusi yang berarti ke lingkungan. Disamping itu, sifatnya adalah terbarukan sehingga dapat berkontribusi pada ketahanan pasokan energi. Beberapa dampak lingkungan pembangkitan energi ini adalah dampak visual, derau suara, ekologi, dan keindahan. Meskipun dampak-dampak lingkungan ini menjadi ancaman dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga angin, namun jika dibandingkan dengan penggunaan energi fosil, dampaknya masih jauh lebih kecil (Breeze 2005). 4.1.4.2. Lama Penyinaran Matahari Lama penyinaran matahari di Kota Bitung diperlihatkan di dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2. Penyinaran Matahari di Kota Bitung Tahun 2006 Bulan Penyinaran matahari (%) Januari 63 Pebruari 68 Maret 67 April 50 Mei 58 Juni 57 Juli 77 Agustus 61 September 67 Oktober 73 Nopember 68 Desember 65 Rata-rata 64,5 Sumber: Stasiun Meteorologi Maritim Bitung (2007).
Data menunjukkan bahwa rata-rata penyinaran matahari di lokasi penelitian adalah 64,5%. Dengan merujuk pada data rata-rata penyinaran matahari
56 sebesar 57,25% di Nusa Penida (dimana pembangkit listrik tenaga surya telah dibangun), dapat disimpulkan bahwa pembangkit listrik tenaga surya dapat dibangun di lokasi penelitian. Energi matahari merupakan salah satu solusi penyediaan energi di masa yang akan datang. Salah satu kendalanya adalah investasi awal cukup mahal, tapi biaya operasionalnya terbilang murah dibandingkan dengan pemanfaatan energi gas bumi maupun batubara. Energi matahari dapat dimanfaatkan dengan teknik solar thermal atau photogalvanic. Kendala utama teknik tersebut adalah kategorinya sebagai high-technology dalam bidang nanoteknologi. Teknologi ini belum dikuasai di Indonesia dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengembangkannya. Dengan demikian, produksinya secara masal akan sulit dilakukan. Saat ini, modul surya masih diimport dengan harga yang relatif mahal. Namun kedepannya, diperkirakan akan semakin kompetitif sejalan dengan penemuan cara-cara produksi yang lebih efektif dan efisien serta efek dari semakin langkanya sumberdaya bahan bakar fosil. Pembangkit listrik tenaga surya di Nusa Penida, Bali memiliki kapasitas modul surya sebesar 32,4 kWp, trafo 50kVa, dengan output harian 130 kWh, 229 volt arus bolak balik (Ardana 2009). Dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit ini memiliki biaya operasional lebih kecil. Namun, sama seperti pembangkit listrik tenaga angin, dengan tingkat harga Rp 700/kWh, pengembangan energi listrik ini tidak layak secara finansial (Ardana 2009).
4.2. Perekonomian Pertumbuhan ekonomi Kota Bitung Tahun 2006, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000, mengalami peningkatan sebesar 2,91 persen. Pertumbuhan ini melambat jika dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,38 persen. Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2007 (Gambar 4.1.) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 kontribusi Sektor Angkutan dan Komunikasi berada pada urutan pertama terhadap total PDRB yakni sebesar 24,18 persen, diikuti oleh Sektor Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga Sektor Pertanian sebesar 21,69 persen. Tingginya kontribusi sektor Angkutan dan Komunikasi didominasi oleh aktifitas Pelabuhan Samudera Bitung, sedangkan Sektor Pertanian disumbang oleh Sub-sektor Perikanan dengan kontribusi sebesar 19,32 persen dari PDRB. Sektor Industri dipengaruhi oleh
57 keberadaan industri non-migas, yang sebagian besar adalah industri pengolahan makanan seperti pengolahan ikan, minyak kelapa, dan lain-lain. Gambar 4.1. Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2006
Lainnya 19.35%
Konstruksi 12.30%
Angkutan/ Komunikasi 24.18%
Industri 22.48%
Pertanian
Sumber : BPS Kota Bitung (2007).
PDRB per kapita Kota Bitung pada tahun 2006 sebesar Rp 15.322.271 dan pendapatan per kapitanya adalah Rp 13.122.474. Angka ini merupakan angka atas dasar harga berlaku, artinya mengikuti perubahan harga. Jika berdasarkan harga pada tahun 2000 sebagai tahun dasar, maka PDRB per kapitanya adalah Rp 10.251.489 dan pendapatan per kapitanya sebesar Rp 8.051.692,Nilai Location Quotiens (LQ) Tahun 2006 dari tiga sektor unggulan adalah: Sektor Industri Pengolahan (2,54); Listrik, Gas dan Air Bersih (2,54); Pengangkutan dan Komunikasi (1,80); dan Pertanian (1,12). Nilai LQ>1 mengindikasikan bahwa Kota Bitung mempunyai kecenderungan spesialisasi yang lebih besar dari Provinsi Sulawesi Utara, yaitu cenderung untuk mengekspor (BPS Bitung, 2007).
4.3. Penggunaan Lahan Lahan di Kota Bitung dimanfaatkan sebagai lahan kering (99,25%), lahan sawah (0,25%), dan lainnya (0,50%). Perkembangan penggunaan lahan Kota Bitung Tahun 2004-2006 dicantumkan pada Tabel 4.3. Data menunjukkan bahwa ketersediaan lahan untuk pengembangan industri di Kota Bitung relatif terbatas, karena peluang pengembangan hanya pada lahan tegalan dan perkebunan. Oleh karena itu maka peluang pengembangan industri dapat dilakukan ke wilayah otonom tetangga, yaitu Kabupaten Minahasa Utara.
58 Tabel 4.3. Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2004-2006 No 1
2
3
Penggunaan Lahan Lahan Kering : Permukiman Tegalan Hutan Perkebunan Fasilitas Umum Tanah Sawah : Sawah Tanah Basah/Rawa/Tambak Lainnya Juml ah
2004 Ha
2005 %
Ha
2006 %
Ha
%
4376 1899 9651 12972 800
14,39 6,25 31,75 42,67 2,63
5286 1852 9651 12062 847
17,39 6,09 31,75 39,68 2,79
5.286 1.852 9.651 12.062 847
17,39 6,09 31,75 39,68 2,79
76 75
0,25 0,25
76 75
0,25 0,25
76 75
0,25 0,25
551 30.400
1,81 100,00
551 30.400
1,81 100,00
551 30.400
1,81 100
Sumber : BPS Bitung (2007)
4.4. Ketenagakerjaan Jumlah penduduk Kota Bitung pada Tahun 2008 adalah 176.161 jiwa (Anonim 2008). Transformasi struktur ekonomi perkotaan yang dicirikan oleh pergeseran peranan sektor primer ke sektor tersier, juga dapat dicirikan oleh pergeseran penyerapan tenaga kerja sektor primer ke sektor tersier. Tahun 2006 sektor pertanian menyerap sebagaian besar dari jumlah tenaga kerja yaitu sebanyak 24,60%, kemudian sektor transportasi dan komunikasi 18,92%, sektor industri sebesar 15%, dan sektor perdagangan 14,86% sama dengan penyerapan di sektor jasa. Seiring dengan pesatnya perkembangan akivitas industri dan arus bongkar muat di Pelabuhan Bitung maka sektor konstruksi juga menyerap cukup banyak tenaga kerja yakni mencapai 8,51%, dan sektor lainnya menyerap kurang dari 2%.
4.5. Prasarana 4.5.1. Listrik Kebutuhan akan tenaga listrik, baik untuk tenaga penerangan maupun usaha di Kota Bitung dipenuhi oleh PT. PLN (PLTA Tanggari 1 dan 2 dan PLTA Tonsea Lama yang secara geogafis terletak di wilayah otonom lain), dan PLTD Kota Bitung. Perkembangan daya terpasang PLN dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sampai dengan tahun 2005, daya terpasang di Kota Bitung telah mencapai 45.221 KVA dengan daya tersalur sebesar 46.453 KVA. Penggunaan daya
terbesar
adalah
oleh
sektor
industri
mencapai 44,07%, diikuti
pelanggan rumah tangga sebesar 34,89%, usaha 15,09%, kantor 3,95% dan
59 sosial 2%. Produksi dan distribusi listrik selengkapnya di sajikan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Distribusi penggunaan daya listrik di Kota Bitung Tahun 2005 Sumber : BPS Bitung (2007).
Penurunan debit air dari Danau Tondano akibat musim kemarau mengganggu kinerja PLTA sehingga menyebabkan pasokan listrik ke kota ini berkurang. Diakhir Bulan Agustus 2009 pasokan listrik turun menjadi 26 MW sehingga menyebabkan pemadaman listrik 3-5 kali sehari bagi semua pengguna, termasuk bagi industri manufaktur. Salah satu jalan keluarnya adalah himbauan kepada pihak industri sebagai pengguna terbesar untuk tidak menggunakan listrik PLN pada beban puncak jam 17.30-20.00 Wita (Manado Post, 2 September 2009). Suatu himbauan yang kontraproduktif terhadap upaya untuk merangsang investasi dan mengembangkan kapasitas produksi industri.
4.5.2. Perikanan Laut Perekonomian Kota Bitung seperti diuraikan sebelumnya didominasi oleh sektor pertanian terutama sub-sektor perikanan. Namun demikian dalam perkembangannya, sektor industri ternyata berkembang cukup pesat. Industri di Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan, diikuti industri galangan kapal, dan industri minyak kelapa. Di samping itu ada juga industri transportasi laut, makanan, baja, industri menengah dan kecil. Sub-sektor perikanan, terutama perikanan laut, menghasilkan output yang fluktuatif. Pada tahun 2005 produksinya meningkat 0,66%, yakni dari 133.043,6 ton menjadi 133.924,8 ton pada tahun 2006, seperti terlihat pada Tabel 4.4.
60 Tabel 4.4. Produksi Perikanan Laut Kota Bitung Tahun 2001 - 2006 (ton) Tahun
Ikan
Binatang berkulit keras
Binatang berkulit lunak
Binatang air lainnya
Jumlah
2001
125 178,9
354,7
281,6
-
125.815,2
2002
125 691,9
662,0
176,8
-
126.530,7
2003
114 815,7
405,3
268,5
-
115.489,5
2004
116 652,7
4,2
411,1
366,0
117.434,0
2005 2006
132 198,1 133.042,4
3,8 5,4
501,2 520,5
340,5 356,5
133.043,6 133.924,0
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung (2007).
4.6. Status Lingkungan Hidup Kota Hasil survei menunjukkan bahwa belum ada industri agro di Kota Bitung yang pernah menerima penghargaan lingkungan yang diberikan oleh pihak pemerintah maupun organisasi tertentu sehubungan dengan prestasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahan. Kesadaran lingkungan dari pekerja pabrik dinilai cukup baik oleh manajemen pabrik. Kesadaran itu melekat pada Standar Operasional Prosedur (SOP) dari perusahan, yaitu membersihkan lantai processing, membersihkan saluran air, alat-alat bongkar kapal, dan membuang sampah pada tempatnya. Untuk menjaga agar kesadaran lingkungan tersebut terjaga, pihak manajemen melakukan upaya pemahaman serta pengawasan. Namun, karena keterbatasan dana sehingga program pelatihan formal yang dianggap penting di dalam meningkatkan kesadaran lingkungan para pekerja belum pernah diadakan. Mengacu pada standar penulisan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dari Kementerian Lingkungan Hidup RI, Isu Pokok Lingkungan Hidup di Kota Bitung adalah sampah kota, pencemaran air permukaan, pencemaran tanah, konversi lahan pertanian ke penggunaan lain, dan erosi tanah dan degradasi lahan. (A). Sampah Kota Penanganan sampah padat di Kota Bitung terkendala oleh bermasalahnya lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Tewaan dan minimnya jumlah armada angkutan sampah yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota. Permasalahan TPA Tewaan terdiri atas status legalitas kepemilikan lahan dan
61 letak TPA di wilayah dengan elevasi yang relatif tinggi.
Status legalitas
kepemilikan lahan TPA terjadi karena sistem administrasi aset Kota yang tidak dilakukan dengan baik sehingga keberadaan dokumen kepemilikan lahan tidak bisa dilacak. Akibatnya, lahan tersebut dikuasai kembali oleh ex-pemilik dan selanjutnya mengenakan beban sewa kepada Dinas Kebersihan bilamana akan menggunakan TPA tersebut. Letak TPA Tewaan di wilayah dengan elevasi yang relatif tinggi menyebabkan beberapa permasalahan. Pertama, karena TPA dirancang sebagai open dumping landfill maka sampah yang dibuang serta air lindi dari sampah tersebut sangat berpotensi untuk merusak sistem aliran air tanah di wilayah di bawahnya.
Kedua, material sampah sangat potensial terbawa ke
wilayah di bawahnya oleh aliran air permukaan seperti air hujan. Ini sudah terbukti terjadi di awal Juni 2009 dimana akibat hujan lebat menyebabkan material sampah terbawa aliran air hujan dan mencemari kolam-kolam ikan di wilayah di bawahnya. Akibatnya adalah kematian puluhan ribu ekor ikan air tawar yang dibudidaya oleh masyarakat (Harian Komentar, 3 Juni 2009). Jumlah armada angkutan truk yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota Bitung sangat terbatas, yakni sebanyak delapan buah. Keterbatasan armada angkutan ini mengakibatkan dari produksi sampah yang berjumlah 1.395.708 m3/tahun, hanya sebanyak 47.450 m3/tahun yang dapat terangkut ke TPA. Dengan demikian ada sejumlah besar volume sampah kota yang tidak terangkut ke TPA sehingga terbiar menumpuk di tempat umum, atau di permukiman warga, dan atau dibuang ke badan air. (B). Pencemaran Air Permukaan Air permukaan adalah badan air yang terbuka yang dapat berupa sumur, sungai atau laut. Sumber pencemaran terhadap air permukaan di Kota Bitung yang utama adalah industri, rumah tangga, dan restoran yang membuang limbahnya langsung ke badan air. Air permukaan pada titik-titik tertentu, seperti pada areal pemukiman padat, lokasi perbengkelan, dan industri rawan terhadap pencemaran. Di lokasi pemukiman padat, air permukaan kemungkinan tercemar oleh bakteri yang berasal dari septic tank. Air permukaan di sekitar aktivitas perbengkelan juga berpeluang tercemar oleh ceceran oli bekas yang merembes ke dalam tanah. Sedangkan pada areal sekitar industri berpotensi tercemar oleh limbah industri.
62 Hal yang kontradiktif masih terjadi dimana ada pabrikan yang beranggapan bahwa membuang limbah industri yang mengandung bahan organik seperti minyak kelapa dan darah ikan dengan kadar yang rendah akan membantu meningkatkan populasi plankton sehingga dapat meningkatkan kehidupan biota laut. (C). Pencemaran Tanah Pencemaran tanah terjadi di titik-titik tertentu seperti di perbengkelan, lokasi permukiman, bisnis, dan industri. Penanganan oli bekas di lokasi perbengkelan umumnya belum maksimal, karena masih terjadi ceceran-ceceran oli bekas di permukaan tanah.
Sumber pencemaran tanah lainnya adalah tempat-tempat
penimbunan besi tua yang banyak terdapat di Kota Bitung. Di tempat-tempat tersebut, besi tua hanya ditumpuk di tempat terbuka. Paparan besi tua terhadap sinar matahari dan air hujan menyebabkan unsur-unsur dari bahan logam dapat tercuci ke permukaan tanah. Unsur-unsur logam tersebut dengan mudah dapat mencapai sumber-sumber air seperti sumur, sungai, atau laut. (D). Konversi Lahan Penelitian menyangkut konversi lahan pertanian/alih fungsi lahan di Kota Bitung pada akhir 1990an dilaporkan oleh Turangan (1999). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sampai dengan Tahun 1996, konversi lahan pertanian mencapai 279,29 ha, namun data tidak dirinci per satuan waktu tahunan sehingga kecenderungannya tidak kelihatan. Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Bitung 2007) memberikan informasi bahwa hanya dalam selang waktu dua tahun, yaitu tahun 2004 s/d 2006 terjadi konversi lahan pertanian seluas 957 ha, atau
rata-rata 2,56%/tahun dari total lahan
pertanian secara keseluruhan di Kota Bitung. Konversi lahan pertanian terjadi untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan fasilitas umum serta ekonomi. (E). Erosi Tanah dan Degradasi Lahan Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, daratan Kota Bitung dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu berombak berbukit (45,06%), bergunung (32,73%), berombak (18,03%), dan daratan landai (4,18%). Disisi lain, tekstur tanah umumnya adalah berpasir dan liat berpasir. Kondisi permukaan tanah dan tekstur tanah tersebut menyebabkan mudah terjadinya erosi tanah pada saat musim penghujan. Erosi yang terjadi secara terus menerus menyebabkan terjadinya degradasi lahan perkebunan dan hutan.
63
V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO Pada bab ini akan dibahas mengenai status industri manufaktur/agro di Kota Bitung. Status industri yang dibahas meliputi kinerja industri, jenis-jenis industri dan produk yang dihasilkan, limbah industri, bahan ikutan industri, persepsi pemangku kepentingan, evaluasi terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri, dan pola keterkaitan antar industri.
5.1. Industri Manufaktur Sektor industri manufaktur merupakan sektor andalan Kota Bitung. Pada tahun 2006 terdapat 2.515 unit usaha, meningkat secara siknifikan dibanding tahun 2002 yaitu 2.375 unit usaha (Tabel 5.1.). Bertumbuhnya sektor ini sangat membantu perekonomian kota, terutama dengan meluasnya kesempatan kerja, dimana pada tahun 2006 terserap tenaga kerja sebanyak 22.545 orang (Tabel 5.2.) (Dinas Perindag Kota Bitung, 2007). Jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) pada tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51 unit. Tabel 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002 – 2006 No
Jenis Usaha
1 2
2002 2.330
Industri Kecil & Menengah Industri Agro, Logam & 45 Kimia Jumlah 2.375 Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
2003 2.360
Tahun 2004 2.381
2005 2.424
2006 2.462
47
51
51
53
2.407
2.432
2.475
2.515
Dari 53 unit usaha industri besar (industri agro, logam, dan kimia), jumlah industri agro adalah 35 unit usaha atau sekitar 67 persen atau merupakan mayoritas dari keseluruhan industri besar yang ada di Kota Bitung. Tabel 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006 No 1
Tenaga Kerja
2002
2003
Industri Kecil & 11.092 11.174 Menengah 2 Industri Agro Logam & 7.647 10.116 Kimia Jumlah 18.739 21.290 Sumber : Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
Tahun 2004
2005
2006
11.245
11.380
11.479
10.510
10.510
11.066
21.755
21.890
22.545
Kinerja investasi industri manufaktur di Kota Bitung dapat dinilai baik. Penilaian ini didasarkan pada adanya penambahan sebanyak 140 unit usaha antara tahun 2002 dengan 2006 atau dengan rata-rata 23 unit usaha/tahun (Dinas Perindag Kota Bitung 2007). Mengacu pada Sagala (2004), peluang
64 pengembangan kawasan industri di Kota Bitung cukup besar karena tingkat realisasi investasinya lebih besar dari 10 buah per tahun. Untuk industri kecil dan menengah di tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51 unit usaha. Rata-rata perkembangan Industri Kecil dan Menengah serta Industri Agro, Logam dan Kimia yaitu sebesar 21%. Bila semua jenis industri digabung maka dengan nilai investasi sebesar Rp 572,203 milyar mampu menghasilkan produksi sebesar Rp 1.232,411 milyar. Tabel 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006 Tahun No
Nilai Produksi
1
Industri Kecil & Menengah
2002
2
Industri Agro Logam kimia Jumlah
2003
2004
2005
2006
118.097
119.525
121.57
124.780
132.891
851.095
897.905
976.462
976.462
1.098.520
969.192
1.017.43
1.098.032
1.101.242
1.232.411
Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk-produk yang Dihasilkan Jenis-jenis industri agro di Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan laut dan industri kelapa. Berdasarkan survei yang dilakukan diketahui bahwa penamaan produk-produk utama dari industri perikanan laut oleh pabrikan berbeda antara satu pabrik dengan lainnya, demikian juga dengan penamaan di dalam Informasi Industri Formal yang dikeluarkan oleh Dinas Perindag Kota Tabel 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk-produk yang Dihasilkan No
Jenis industri
Jenis produk yang dihasilkan
1 2 3
Tepung kelapa Minyak kelapa Minyak sawit
4
Tepung kelapa Minyak kelapa Minyak kelapa sawit Perikanan laut
5 6 7 8 9
Tepung ikan Pakan ternak Minyak murni Karbon aktif Nata de Coco
Fresh tuna, fresh loin tuna, frozen loin tuna, frozen tuna, frozen cooked loin tuna, smoked fish, dried fish, canned tuna Tepung ikan Pakan ternak VCO Karbon aktif Nata de Coco
Jumlah unit usaha 1 2 2
Produksi/tahun (ton)
30
94.960
1 6 1 1
175 7.785,2 1 7.200
6.400 239.075 305.805
Sumber: Data diolah dari Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag Kota Bitung 2008).
65 Bitung Tahun 2008. Untuk keperluan analisis maka jumlah unit usaha maupun produksi dari semua jenis industri perikanan laut tersebut disatukan, seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 5.4. Produk-produk utama yang dihasilkan oleh industri kelapa adalah tepung kelapa, minyak kelapa, dan minyak goreng.
5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan Diagram aliran materi tahunan dari industri perikanan laut di Kota Bitung diperlihatkan pada Gambar 5.1.
Kebutuhan Energi 3.736 MW
Input materi: 158.260 ton*)
Kebutuhan air: 3,17 juta m3
Industri Perikanan Laut
Produk: 94.960 ton
Output non-produk By-products: 13.266 ton*) Limbah cair: 3,17 juta m3. Gambar 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007, Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi. Ket: *) Bahan mentah
Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Perikanan Laut di Kota Bitung diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1. Produksi sebanyak 94.960 ton adalah data faktual yang diperoleh dari Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag Kota Bitung 2008). 2. Input materi (bahan baku) sebanyak 158.260 ton merupakan data prediksi dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata produk perikanan laut sebesar 60% (94.960x(1/0,6)). 3. By-products sebanyak 13.266 ton merupakan perkalian antara produk yang dihasilkan dari by-product pada Tabel Jenis-jenis industri dan produk yang dihasilkan di atas (7.960,2 ton) dengan rendemen rata-rata tepung ikan dan pakan ternak sebesar 60% (7.960,2x(1/0,6)).
66 4. Kebutuhan air sebesar 3,17 juta m3 merupakan perkalian antara input materi (158.260.000 kg) dengan pemakaian air sebesar 20 lt/kg bahan baku. 5. Kebutuhan energi listrik sebanyak 3.736 MW merupakan penggunaan listrik oleh sektor industri (44,07%) terhadap daya tersalur sebesar 46.453 KVA dibagi dua (setengah bagian digunakan oleh industri kelapa). Data input materi bahan baku perikanan laut melebihi potensi produksi perikanan laut Kota Bitung Tahun 2006 sebesar 133.042,4 ton. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan bahan baku sebanyak 25.217,6 ton per tahun yang diimpor dari luar daerah, seperti Provinsi Maluku Utara dan Gorontalo. Data yang sangat menonjol besarnya adalah penggunaan air sebanyak 3,17 juta m3 per tahun. Bila dibagi dengan jumlah industri perikanan laut yang beroperasi sebanyak 30 unit maka penggunaan air bersih adalah sebanyak 294 m3/perusahan/hari, suatu jumlah yang sangat besar. Diagram aliran materi tahunan dari industri kelapa di Kota Bitung diperlihatkan pada Gambar 5.2. Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Kelapa di Kota Bitung diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1. Kebutuhan energi listrik: sama dengan penjelasan pada diagram aliran materi tahunan industri perikanan laut. 2. Kebutuhan air adalah terutama digunakan oleh industri kelapa parut kering (KPK) yang menghasilkan produk sebanyak 6.400 ton. Penggunaan air untuk industri KPK adalah 20 liter air bersih/kg KPK yang dihasilkan atau sebanyak 128 ribu m3 per tahun. Sedangkan air cucian untuk industri kelapa lainnya diprediksi sebanyak 10% dari kebutuhan industri KPK, sehingga total kebutuhan air industri kelapa adalah 140,8 ribu m3 per tahun. 3. Input materi kelapa setara kopra adalah 409.109 ton merupakan data prediksi dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata produk kelapa sebesar 60% (245.475x(1/0,6)). 4. Jumlah air kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 m3 diperoleh dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 ml). Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya air kelapa (ml) per butir kelapa.
67 Gambar 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan) Kebutuhan energi: 3.736 MW
Input materi: Kelapa setara Kopra:409.109 ton
Kebutuhan air: 140,8 ribu m3
Industri Kelapa
Produk: 245.475 ton tepung kelapa dan minyak kelapa
Output non-produk Limbah cair: 140,8 ribu m3 Bahan ikutan: Air kelapa: 6.400 m3 Tempurung kelapa: 12.800 ton Paring daging kelapa: 6.400 ton.
Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007, Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi.
5. Jumlah tempurung kelapa yang dihasilkan sebanyak 12.800 ton diperoleh dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(400 gr). Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram KPK, sedangkan 400 menunjukkan beratnya tempurung kelapa (gr) per butir kelapa. 6. Jumlah paring kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 ton diperoleh dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 gr). Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya paring kelapa (gr) per butir kelapa. Data input materi bahan baku kelapa melebihi potensi produksi kelapa Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007 sebesar 229.613 ton setara kopra (Sulut Dalam Angka 2008). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan bahan baku sebanyak 179.496 ton setara kopra per tahun yang diimpor dari luar daerah, seperti Provinsi Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
68
5.2.2. Pengelompokan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman 5.2.2.1. Kekuatan (A). Industri Perikanan Laut - Posisi geografis di alur pelayaran laut internasional (APLI) yang memberi keuntungan untuk pemasaran produk ke negara-negara Asia Pasifik, seperti Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. - Posisi sebagai sentra produksi industri perikanan laut ditunjukkan oleh jumlah unit usaha pengolahan produk perikanan laut dan armada penangkap ikan di kota ini yang relatif besar. - Tersedianya fasilitas pelabuhan perikanan, laboratorium pengujian perikanan, sekolah perikanan, akademi perikanan, pelabuhan samudera laut, kedekatan dengan bandar udara, pembuatan dan perbaikan kapal, dan lain-lain. - Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bidang produksi, pengujian, pendidikan dan pelatihan, pembuatan kapal penangkapan ikan, perbaikan kapal dan penangkapan ikan. - Kualitas sumberdaya perikanan laut (golden fish ground) yang tinggi/relatif belum tercemar sehingga menghasilkan produk tangkapan yang berkualitas tinggi. (B). Industri Kelapa - Tersedianya plasma nuftah Kelapa Dalam (KD). - Kondisi agroklimat yang sesuai untuk pertanaman KD dan kelapa hibrida (KH). 5.2.2.2. Kelemahan (A). Industri Perikanan Laut - Kemampuan teknologi armada tangkap yang relatif ketinggalan dibandingkan dengan kemampuan negara tetangga, seperti Philipina, Thailand, dan Taiwan. - Kapasitas tampung produk perikanan yang terbatas, khususnya pada musimmusim tangkap puncak. - Kendala birokrasi yang rumit dan pungutan liar. - Kemampuan SDM yang terbatas. - Sistem monitoring dan pengawasan terhadap illegal fishing yang masih lemah.
69 (B). Industri Kelapa - Status industri perkelapaan yang dikategorikan sebagai sunset industry. - Rata-rata umur tanaman kelapa relatif tua. - Tingkat aktivitas peremajaan kelapa relatif rendah. - Luasan lahan untuk ekstensifikasi usaha sangat terbatas. - Nilai usaha yang rendah antara lain karena mayoritas petani menerapkan sistem monokultur. - Masih kurangnya diversifikasi produk industri kelapa. - Kemampuan SDM dalam bidang teknologi yang masih terbatas. - Air kelapa belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan nilai tambah produk. 5.2.2.3. Peluang (A). Industri Perikanan Laut - Kebijakan nasional yang mendorong investasi. - Kebijakan
nasional
pengelolaan
wilayah/daerah
masing-masing
untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). - Permintaan ekspor produk perikanan laut yang relatif tinggi. - Menjadi alur migrasi lintas internasional dari jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti tuna dan cakalang. (B). Industri Kelapa - Kebijakan nasional yang mendorong investasi. - Kebijakan
nasional
pengelolaan
wilayah/daerah
masing-masing
untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). - Posisi kelapa sebagai komoditas sosial masyarakat (tree of life). - Permintaan atas Crude Coconut Oil (CCO) sebagai bahan baku pembuatan margarine yang tak tergantikan oleh sumber minyak nabati lainnya. 5.2.2.4. Ancaman (A). Industri Perikanan Laut - Penjualan hasil tangkapan di laut kepada nelayan asing. - Persaingan usaha yang semakin ketat dengan provinsi-provinsi lain di Kawasan Timur Indonesia yang juga memiliki potensi perikanan laut yang besar. - Semakin ketatnya ketentuan-ketentuan standar produk perikanan laut di negara-negara importir.
70 - Sertifikasi produk perikanan. - Pembuangan limbah domestik, industri manufaktur, dan pertambangan yang bermuara di laut. - Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru dan meningkatkan biaya operasional usaha. (B). Industri Kelapa - Penebangan pohon kelapa dengan laju yang cukup tinggi untuk digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan bakar pembuatan batu bata. - Konversi lahan perkebunan kelapa untuk penggunaan bukan pertanian yang cukup tinggi. - Permintaan produk dari importir yang dikaitkan dengan praktek lingkungan pabrik pengolahan kelapa. - Persaingan penggunaan bahan baku dengan penggunaan domestik. - Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru dan meningkatkan biaya operasional usaha.
5.3. Limbah Industri Limbah industri agro yang dominan dihasilkan oleh industri perikanan dan kelapa adalah limbah cair karena kedua jenis industri tersebut menggunakan air dalam jumlah besar di dalam proses produksi. Limbah cair umumnya diolah secara konvensional dengan sistem septic tank atau dengan pengolahan secara fisika, seperti penyaringan, untuk selanjutnya dialirkan ke badan air. Di dalam Tabel 5.5. maupun Tabel 5.6. dicantumkan data tentang limbah cair dan padat yang dihasilkan oleh industri agro.
Kecuali untuk data dari
industri karbon aktif, data limbah cair dan padat di dalam tabel tersebut merupakan hasil prediksi yang dilakukan oleh peneliti dengan merujuk pada sumber pustaka dan atau informasi dari sumber yang relevan, seperti manajer produksi dari beberapa pabrik. Data untuk industri tepung kelapa diperoleh dengan merujuk pada laporan dari Pojoh dkk. (2000).
Dalam laporan itu disebutkan bahwa satu kilogram
tepung kelapa dihasilkan dari rata-rata lima butir kelapa tua segar (umur 10-12 bulan). Satu butir kelapa tua segar mengandung air kelapa sebanyak rata-rata 200 ml,
tempurung kelapa sebanyak rata-rata 400 gram, dan paring kelapa
sebanyak rata-rata 200 gram.
Air pencuci untuk lima butir daging kelapa
diperkirakan sebanyak 20 liter/kg KPK. Air kelapa yang menyatu dengan air
71 cucian daging kelapa itulah yang merupakan limbah cair industri kelapa. Industri tepung ikan, pakan ternak, dan minyak murni menghasilkan limbah cair dan limbah padat dalam jumlah yang tidak siknifikan. Tabel 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro No 1 2 3
Jenis industri Tepung kelapa Minyak kelapa Minyak kelapa sawit
Limbah cair*) (m3/tahun) 147.200 Tidak signifikan Tidak signifikan
Limbah padat*) (ton/tahun) -
Plastik, spons, karton 5 Tepung ikan Tidak signifikan Tidak signifikan 6 Pakan ternak Tidak signifikan Tidak signifikan 7 Minyak murni Tidak signifikan Tidak signifikan 8 Karbon aktif 288 Keterangan :*) Data hasil prediksi (kecuali untuk data industri karbon aktif yang merupakan data faktual) 4
Perikanan laut
3,17 juta
5.4. Bahan Ikutan Industri Bahan ikutan dari industri perikanan laut meliputi: kepala, daging hitam, sirip, ekor, tulang, dan isi perut ikan laut, sedangkan dari industri kelapa adalah air kelapa, tempurung kelapa, dan paring kelapa.
Data kuantitas tempurung
kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung kelapa dalam satuan kilogram dengan berat tempurung per butir kelapa (400 gram). Data kuantitas paring kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung kelapa dalam satuan kilogram dengan berat paring kelapa per butir (200 gram). Industri tepung ikan, pakan ternak, maupun karbon aktif tidak menghasilkan bahan ikutan yang siknifikan jumlahnya. Tabel 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Hasil Ikutan Hasil Ikutan*) (per Tahun) • Tempurung kelapa: 12.800 ton 1 Tepung kelapa • Paring daging kelapa: 6.400 ton • Air kelapa: 6.400 m3 2 Minyak kelapa Bungkil kopra: 34.650 ton 3 Perikanan laut 13.266 ton 4 Tepung ikan Tidak signifikan 5 Pakan ternak Tidak signifikan 6 Minyak murni Tidak signifikan 7 Karbon aktif Tidak signifikan Keterangan: *) data hasil prediksi No
Jenis industri
72
5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 69,74% atau mayoritas warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur menyatakan setuju bahwa industri manufaktur/agro memberi banyak manfaat bagi mereka; dan tinggal di sekitar industri manufaktur relatif nyaman (Tabel 5.7. dan Gambar 5.3.). Tabel No
1
5.7.
Persepsi Warga Agro/Manufaktur
Pertanyaan
Masyarakat
N Sangat setuju 39
terhadap
Aktivitas
Industri
Kategori jawaban (Responden) Setuju RaguTidak Sangat tidak ragu setuju setuju 81 29 7 1
Industri manufaktur 157 bermanfaat bagi warga masyarakat 2. Tinggal di sekitar 157 16 83 34 18 industri manufaktur relatif nyaman Jumlah 55 164 63 25 Persentasi 17,52 52,22 20,06 7,96 Persentasi Kumulatif 17,52 69,74 89,80 97,76 Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009). Ket: Pertanyaan (1) terdiri atas 5 sub-pertanyaan; pertanyaan (2) terdiri pertanyaan; dan pertanyaan (3) terdiri atas 2 sub-pertanyaan
6
7 2,24 100 atas 4 sub-
Warga masyarakat berpendapat bahwa aktivitas industri agro yang terdapat di desa/kelurahan mereka merupakan: 1. Penyedia lapangan pekerjaan; 2. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini meningkatkan nilai jual lahan; 3. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi pemasok bahan baku/bahan penolong; 4. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini membuat bisnis ojek, kos, warung makan dan bisnis lainnya berkembang dengan baik; dan 5. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini menerapkan program tanggung jawab sosial (CSR) dengan cukup baik. Selanjutnya, tehadap keberadaan dan operasional harian dari industri manufaktur/agro yang terdapat di sekitar permukiman warga masyarakat, masyarakat memiliki persepsi bahwa (Gambar 5.4). 1. Walaupun tinggal menetap di sekitar pabrik/industri agro namun tetap merasa nyaman tinggal di disini.
73
Persepsi w arga m asyarakat bahw a industri agro di Kota Bitung m em beri banyak m anfaat
Sangat tidak setuju Ragu-ragu Tidak setuju
Sangat setuju
Setuju
Gambar 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro 2. Belum pernah terjadi gangguan kesehatan yang fatal di daerah ini karena pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro, dan 3. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro dapat diatasi dengan baik oleh Perusahan. Hal-hal yang dikemukakan di atas sejalan dengan fakta yang berkembang bahwa sampai saat survei dilakukan, tidak ada komplain atau keberatan yang berarti yang disampaikan oleh masyarakat terhadap eksistensi industri manufaktur/agro, khususnya dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa. Kalaupun ada keluhan warga masyarakat maka dengan itikad baik dari pihakpihak terkait dan dengan mediasi pihak Pemerintah Kota, dapat dicarikan solusi Persepsi w arga m asyarakat bahw a tinggal dan m enetap di sekitar industri agro relatif nyam an
Sangat tidak Tidak setuju setuju
Sangat setuju
Ragu-ragu
Setuju
Gambar 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro yang dapat diterima semua pihak. Contohnya ditunjukkan oleh kesediaan masyarakat untuk bernegosiasi secara damai dengan pihak perusahan tertentu yang diduga telah menyebabkan pencemaran industri sehingga menyebabkan kematian puluhan ribu ekor ikan air tawar yang dibudidaya (Harian Komentar, 4
74 Juni 2009). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial antara industri dan masyarakat di sekitarnya relatif baik.
5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 68,15% atau mayoritas warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur setuju dengan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah (Tabel 5.8. dan Gambar 5.5). Bagi masyarakat, pembangunan kawasan industri tidak akan mempengaruhi kesempatan kerja dan peluang usaha bagi mereka karena rencana lokasi berada sangat dekat dengan permukiman mereka. Tabel 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Kategori jawaban (Responden) No
1
Pertanyaan Tanggapan terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung Persentasi Persentasi Kumulatif
N
Sangat setuju
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
157
44
63
34
14
2
28,03 28,03
40,12 68.15
21,66 89,81
8,92 98,73
1,27 100
Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009).
Justru, rencana pembangunan tersebut diduga akan meningkatkan kesempatan kerja dan peluang usaha bagi warga masyarakat. Masyarakat juga menyatakan bersedia menjual lahan hak milik sesuai harga pasar atau menjadi pemegang saham apabila lahan diperlukan untuk membangun suatu Kawasan Industri.
Persetujuan w arga m asyarakat atas rencana pem bangunan Kaw asan Industri di Kota Bitung
sangat tidak tidak setuju setuju
sangat setuju
ragu-ragu
setuju
Gambar 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
75
5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri Data
persepsi
aparat
pemerintah
terhadap
aktivitas
industri
agro/manufaktur diberikan pada Tabel 5.9. Data menunjukkan bahwa mayoritas aparat pemerintah setuju bahwa industri manufaktur bermanfaat dan aktivitasnya memiliki prospek yang cerah.
Manfaat industri adalah sebagai penyedia
lapangan kerja yang utama bagi masyarakat dan merupakan penggerak utama perekonomian Kota. Namun bertentangan dengan pendapat warga masyarakat, aparat pemerintah memiliki persepsi bahwa kinerja lingkungan industri manufaktur di kota ini masih cukup rendah dengan alasan-alasan bahwa: 1. Biaya penanganan limbah industri merupakan beban besar bagi pihak industri. 2. Pihak pabrikan kurang memiliki kesadaran yang baik untuk menjaga lingkungan yang baik. 3. Teknologi penanggulangan pencemaran industri sangat mahal dan kurang tersedia 4. Tekanan dari masyarakat dan NGO belum dilakukan secara optimal. 5. Lokasi pabrik relatif terpencar sehingga sulit di monitor 6. Posisi masyarakat lemah dibandingkan industriawan 7. Pemberhentian aktivitas suatu industri penyebab pencemaran lingkungan akan berdampak besar bagi perekonomian Kota. Tabel 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur Jawaban No 1 2. 3
Pertanyaan Manfaat industri manufaktur Kinerja lingkungan industri manufaktur di Bitung masih rendah Aktivitas industri agro memiliki prospek yang cerah
N
Sangat setuju
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
31
9
16
1
5
Sangat tidak setuju 0
31
7
13
7
3
1
31
7
15
8
1
0
Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 2 subpertanyaan; Pertanyaan (2): 7 sub-pertanyaan; Pertanyaan (3): 12 sub-pertanyaan.
Aparat pemerintah berpendapat bahwa aktivitas industri agro memiliki prospek yang cerah karena:
76 1. Aktivitas industri agro di Kota ini akan semakin berkembang di masa yang akan datang. 2. Industri agro akan semakin menjadi tumpuan bagi penyediaan lapangan kerja. 3. Pasokan bahan baku bagi industri agro di Kota ini akan terus ada secara berkelanjutan. 4. Pasokan air dan energi bagi industri agro akan terus berkelanjutan. 5. Dampak lingkungan aktivitas industri dapat dikendalikan dengan baik. 6. Teknologi penanggulangan pencemaran industri agro yang baru dan terjangkau harga dan operasionalnya akan semakin tersedia di masa yang akan datang. 7. Akan semakin berkembang sistem manajemen dan monitoring dan evaluasi lingkungan yang semakin baik dalam mengantisipasi dihasilkannya by products dan limbah industri. 8. Ketersediaan lahan di Kota ini akan dapat mendukung pertambahan jumlah industri agro 9. Infrastruktur pendukung industri agro akan terus berkembang. 10. Tenaga kerja profesional akan terus bertambah dan mendukung aktivitas industri agro di Kota ini. 11. Kesadaran lingkungan pihak industriawan akan semakin baik di masa yang akan datang. 12. Pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi ke Samudera Pasifik akan semakin meningkatkan geliat aktivitas industri agro di Kota ini.
5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Data persepsi aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri diberikan pada Tabel 5.10. Aparat pemerintah setuju, walaupun dengan persentasi yang tidak terlalu tinggi
(51,61%) bahwa
terpencarnya lokasi pembangunan industri akan membawa banyak dampak buruk dalam hal: 1. Pabrik/industri agro dibangun di lokasi-lokasi yang terpencar cenderung mengakibatkan tingginya dampak pencemaran industri. 2. Terpencarnya lokasi pabrik menyebabkan Pemerintah sulit melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi , khususnya terhadap pencemaran industri. 3. Terpencarnya lokasi pabrik mengurangi nilai estetika kota.
77 Tabel 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Jawaban No
1 2
Pertanyaan Terpencarnya lokasi industri memberi banyak dampak buruk Pembangunan Kawasan Industri di kota ini sangat diperlukan
N
Sangat setuju
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
31
2
14
6
8
1
31
12
14
4
1
0
Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 9 subpertanyaan; Pertanyaan (2):47 sub-pertanyaan.
4. Terpencarnya lokasi pabrik meningkatkan biaya transportasi produk, bahan baku, dan tenaga kerja. 5. Terpencarnya lokasi pabrik menyuburkan premanisme. 6. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan efektivitas pengendalian pencurian air dan listrik. 7. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan daya saing produk dari segi tingkat kepercayaan konsumen. Selanjutnya, aparat pemerintah menyatakan setuju dengan persentase yang tinggi (83,87%) bahwa pembangunan suatu kawasan industri sangat diperlukan di Kota ini dan dukungan untuk itu telah tersedia berupa: 1. Tersedianya lahan yang cukup luas pada kawasan sesuai RTRW untuk membangun suatu kawasan industri. 2. Di masa yang akan datang, semua industri wajib untuk merelokasi industri ke atau mendirikan industri baru/melakukan perluasan usaha di dalam Kawasan Industri. 3. Pemerintah siap mengatur agar suatu kawasan industri terbangun di kota ini.
5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro Sebanyak 91% dari industri agro yang disurvei menyatakan bahwa pengendalian pencemaran industri sangat penting bagi pabrik mereka. Tanpa adanya upaya tersebut maka proses produksi dari pabrik dapat mengganggu kehidupan masyarakat di sekitar pabrik dan kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu pihak pabrik melakukan beberapa upaya seperti: (1) pada setiap saluran pembuangan air limbah dipasang saringan agar air yang mengalir ke laut sudah bebas dari tulang ikan berukuran besar, (2) memeriksa kualitas air bersih, air limbah, dan air laut di laboratorium analisis, (3) menerapkan upaya
78 pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL), dan (4) Mengurangi kepekatan air yang mengandung darah ikan dengan cara menambahkan air bersih kedalamnya sebelum dibuang ke badan air. Untuk yang disebut terakhir, ada pihak industri yang berpendapat bahwa bahan organik yang terdapat di dalam limbah cair industri yang dibuang ke badan air (laut) bermanfaat bagi kehidupan biota laut. Walaupun untuk derajat tertentu klaim ini dapat dilegitimasi, namun memperlakukan limbah cair dengan cara pengenceran untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan tidak diperkenankan oleh peraturan perundangan. Memang fakta di lapangan menunjukkan bahwa walaupun praktek tersebut sudah dilakukan puluhan tahun namun dampaknya terhadap kualitas perairan laut tidak siknifikan antara lain terkait dengan kemampuan asimilasi perairan laut yang tinggi dan laju arus air laut yang besar di Selat Lembeh.
5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Data persepsi industri agro terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung dinyatakan pada Tabel 5.11. Terhadap diundangkannya PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri, khususnya terhadap pasal (7) dan pasal (8), industri agro yang disurvei menjawab setuju dan mendukung ketentuan tersebut dengan catatan: 1. Fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap; 2. Alternatif bagi pendirian industri baru; 3. Mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat; dan 4. Adanya kemudahan misalnya harga lahan yang terjangkau. Adanya fasilitas kawasan industri yang lengkap akan menjadi faktor penghela dan pendorong pembangunan industri di dalam kawasan industri. Fasilitas pendukung yang diperlukan adalah jalan, komunikasi, listrik, air, kapling siap pakai, gudang, kesehatan, pusat pengolahan air limbah dan pusat daur ulang limbah padat. Pembangunan industri di dalam kawasan industri dapat terjadi karena relokasi industri eksisting ke dalam kawasan industri atau pendirian industri baru. Industri baru yang dapat dibangun adalah industri yang bertumpu pada sumberdaya lokal. Ketersediaan bahan baku lokal, khususnya perikanan laut, dapat dijaga apabila daya tangkap perikanan laut dapat ditingkatkan tapi dilain
79 pihak menekan penjualan ikan kepada nelayan asing di tengah laut serta menekan illegal fishing, oleh aparat penegak hukum. Pihak industri agro yakin bahwa pendirian industri di dalam kawasan industri dapat menekan dampak pencemaran terhadap masyarakat. Selama ini terlihat bahwa letak industi agro terletak di kantong-kantong permukiman penduduk. Hal ini terjadi karena lemahnya perencanaan dan law enforcement terhadap RTRW. Fakta menunjukkan bahwa pengembangan industri akan selalu diikuti oleh tumbuhnya permukiman dan pusat bisnis di sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena didorong oleh ketersediaan fasilitas-fasilitas industri seperti jalan, air, dan listrik yang selalu menjadi faktor penarik tumbuhnya permukiman baru. Dengan diterapkannya sistem kawasan industri yang memiliki batas fisik yang jelas maka ekspansi permukiman penduduk tidak dapat dilakukan ke dalam kawasan industri yang telah memiliki status legal formal. Dengan demikian maka setting dan lansekap awal dari kawasan tersebut akan tetap terjaga. Catatan lain terkait dengan dukungan terhadap implementasi kawasan industri adalah harga lahan yang terjangkau. Pengalaman menunjukkan bahwa bila ada indikasi perencanaan pengembangan kawasan industri maka akan merangsang munculnya mafia tanah. Dilain pihak, ada fakta yang menunjukkan bahwa pihak pengembang kawasan industri selalu menetapkan harga yang sangat mahal terhadap kapling industri seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Kodrat (2006). Itu sebabnya perlu diberlakukan kebijakan harga maksimal kapling industri seperti yang ditetapkan oleh Pemerintah beberapa negara, seperti Korea Selatan. Bahkan China, dalam upaya menarik investasi industri ke negaranya, memberikan hak penggunaan lahan dengan waktu dan luasan sesuai yang diperlukan secara gratis (Wawancara dengan Rompas 2009). Terkait dengan bentuk antisipasi terhadap PP No. 24/2009 tentang Kawasan Industri, pihak industri menyatakan bahwa bila harus dilakukan maka relokasi industri ke kawasan industri akan dilakukan secara bertahap. Pihak pabrikan juga akan mengajak pihak lain untuk mengembangkan usaha di dalam kawasan industri yang dibangun pemerintah.
Ada pihak industri yang akan
mengantisipasinya dalam bentuk pembelian kapling industri, namun ada juga yang menolak apabila harus relokasi ke kawasan industri karena lokasi saat ini sudah sesuai dan sangat ideal. Ada juga beberapa industri yang tidak perlu bebuat sesuatu karena saat ini lokasinya sudah terletak di areal rencana kawasan industri.
80 Penolakan perusahan untuk relokasi ke kawasan industri juga terkait dengan mahalnya biaya relokasi dan kesulitan pengadaan tenaga kerja. Namun, ada juga pihak pabrikan yang merasa skeptis dengan rencana pengembangan kawasan industri ini berdasarkan pengalaman dimana sampai saat ini kawasan industri perikanan yang sudah lama direncanakan belum terealisir sampai saat ini. Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan responden pelaku usaha industri diperoleh informasi bahwa penegakan peraturan perundangan terkait dengan pengelolaan lingkungan di level pabrik belum dilakukan secara konsisten (Wawancara dengan Prasethio S. 31 Maret 2009). Hal itu mengurangi insentif bagi pihak pabrikan/industri untuk membangun pusat pengolahan limbah yang representatif. Ada pabrik yang membangun fasilitas pengolahan limbah yang representaif dengan harga yang mahal (contohnya adalah PT. Bimoli), namun ada juga yang membangun fasilitas pengolahan limbah industri tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi jenis dan kuantitas limbah industri yang dihasilkannya secara periodik. Bagi beberapa pihak pelaku usaha, yang diutamakan adalah tampak fisik dari fasilitas untuk memenuhi ketentuan tetapi bukan kinerja pengolahan limbahnya. Tabel 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri No 1
Pertanyaan Tanggapan perusahan atas PP No. 24/2009 tentang Kawasan Industri (KI), khususnya pasal (7) dan (8)
N 11
2
Bentuk antisipasi yang akan dilakukan perusahan terkait pertanyaan No. (1)
11
3
Tanggapan perusahan terhadap rencana pembangunan KI di Kel. Tanjung Merah, Kota Bitung Apakah sudah familiar dengan istilah ecoindustrial park?
11
4
11
Jawaban Setuju/mendukung ketentuan tersebut, dengan catatan: (1) fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap; (2) alternatif bagi pendirian industri baru; (3) mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat; dan (4) adanya kemudahan misalnya harga lahan yang terjangkau. (1) Relokasi ke KI dilakukan secara bertahap; (2) mengajak perusahan lain untuk mengembangkan usaha di dalam KI yang dibangun pemerintah; (3) tidak akan relokasi ke KI karena lokasi perusahan saat ini sudah sesuai dan sangat ideal; (4) mencari lahan di KI; (5) lokasi perusahan berada di areal rencana KI; (1) Setuju dengan permohonan agar perusahan tidak direlokasi ke KI tersebut karena alasan biaya dan tenaga kerja; (2) Belum setuju karena rencana KI Perikanan di Aertembaga saja belum ada investornya; Belum familiar
Sumber: Hasil survei lapangan pada Industri Agro di Kota Bitung (2009)
81 Di lain pihak, pihak pemerintah sebagai pengawas dampak lingkungan hidup sering bertindak pasif, yaitu menunggu atau membiarkan terjadinya pelanggaran baru kemudian mencoba mengambil tindakan yang belum tentu berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan. Sebagai Kota Pelabuhan dan pusat pengembangan indusri manufaktur di Provinsi Sulawesi Utara maka tanpa adanya pengelolaan lingkungan yang tepat maka di masa yang akan datang kota ini, seperti kota-kota industri lainnya di Indonesia, akan menghadapi permasalahan lingkungan yang besar. Munculnya permasalahan tersebut terkait dengan pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi, tidak optimalnya penataan ruang,
perubahan gaya hidup karena
pertumbuhan ekonomi, ketergantungan yang besar pada sumber energi minyak bumi, dan kurangnya perhatian masyarakat. Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi akan mendorong pelebaran wilayah perkotaan (city widespread). Konsekuensinya adalah akan semakin lebarnya jarak permukiman penduduk dengan pusat aktivitas industri. Hal ini akan menyebabkan semakin intensifnya lalu lalang kendaraan dan munculnya titik-titik kemacetan lalu lintas yang baru. Tanpa adanya introduksi sistem transportasi masal, seperti Pakuan Express, maka akan mengakibatkan peningkatan pencemaran udara. Tingginya tingkat pencemaran di pusat-pusat perekonomian dan industri yang
menyumbang
pada
peningkatan
pencemaran
lingkungan
akan
merangsang penduduk untuk bermukim di luar kota. Namun, tumbuhnya permukiman baru di wilayah-wilayah penyanggah akan menyebabkan masalah baru bagi wilayah tersebut.
Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu
dilakukan penataan terhadap aktivitas industri dan permukiman penduduk di wilayah kota. Aktivitas industri perlu dikonsentrasikan di suatu wilayah tertentu di dalam suatu kawasan industri. Dengan terkonsentrasinya aktivitas industri maka pengawasan dan pengelolaan lingkungan dapat lebih mudah dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan kawasan industri berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan. Dengan tertatanya aktivitas industri manufaktur tersebut di atas maka kecenderungan masyarakat untuk bermukim jauh dari pusat kota dapat dikurangi.
Kecenderungan ini akan semakin siknifikan apabila pemerintah
menerapkan kegiatan revitalisasi permukiman di kampung-kampung yang
82 terletak di wilayah perkotaan.
Revitalisasi tersebut dapat dilakukan dalam
bentuk pembangunan rumah susun yang dapat ditempati warga masyarakat yang menjadi pemilik dari bagian lahan rumah susun tersebut dan permukim baru. Untuk menunjang keberhasilan program tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi terhadap peraturan perundangan terkait dengan pemilikan rumah susun. Pemerintah Kota, seperti di Kota Bitung, tidak perlu menunggu sampai kondisi lingkungan menjadi parah baru kemudian mulai bertindak. Rencana dan tindakan perlu dirumuskan dan diambil seawal mungkin. Perubahan gaya hidup biasanya terjadi di kota tertentu dimana kontribusi sektor industri manufaktur dan jasa telah melampaui sektor primer dalam PDRB. Pada tahun 2006 di Kota Bitung, kontribusi Sektor Angkutan berada pada urutan pertama terhadap total PDRB yakni sebesar 24,18 persen, diikuti oleh Sektor Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga Sektor Pertanian sebesar 21,69 persen. Sektor Konstruksi juga memberikan kontribusi yang cukup besar yakni 12,3 persen (Bitung Dalam Angka 2007). Keberadaan Pelabuhan Samudera Bitung yang berskala besar menyumbang perekonomian yang cukup siknifikan bagi Kota Bitung. Data ini merupakan sinyal bahwa kecenderungan terjadinya perubahan pola hidup masyarakat sudah sedang terjadi. Ketergantungan pada minyak bumi yang besar juga menyumbang pada pencemaran lingkungan. Hal ini terutama terkait dengan aktivitas transportasi masyarakat. Namun, hal itu juga dapat diakibatkan oleh karena pembangkitan energi listrik oleh industri manufaktur yang menggunakan bahan bakar fosil tersebut. Transisi ke sumber bahan bakar lain, seperti LPG, dapat mengurangi kontribusi sektor industri terhadap pencemaran udara di Indonesia. Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian pencemaran udara. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dapat dilakukan melalui sosialisasi dan keteladanan, terutama dari pemerintah.
5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah Beberapa tahapan dari rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah dilakukan atas bantuan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI), Departemen Perindustrian RI. Bantuan tersebut meliputi Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Industri (Master Plan) dan Penyusunan Kajian AMDAL Kawasan Industri. Pada tanggal 17 Maret 2009 bertempat di Kantor Bappeda Kota Bitung telah dilaksanakan dua kegiatan, yaitu
83 Presentasi Laporan Akhir Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung dan Persiapan Penyusunan AMDAL Kawasan Industri di Kota Bitung.
5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri Secara garis besar, yang melatarbelakangi rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung adalah faktor-faktor skala global dan nasional; dan skala regional (BPPIP Depperin 2009). Faktor-faktor dalam skala global dan nasional adalah persaingan sektor industri yang semakin ketat di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi; dan visi pembangunan industri nasional “Pada tahun 2020, Indonesia menjadi sebuah Negara Industri Maju Baru.” Tantangan yang dihadapi, baik di tingkat pusat maupun daerah, adalah tidak tersedianya instrumen pembangunan bagi investor; tidak optimalnya pemanfaatan SDA akibat infrastruktur yang kurang efisien, sumberdaya manusia yang belum memadai dan iklim usaha yang kurang baik; dampak pembangunan belum cukup memadai untuk mengatasi kesenjangan kesejahteraan wilayah; dan perlunya upaya pengembangan kawasan industri yang berbasis kompetensi inti daerah sebagai upaya percepatan pembangunan ekonomi daerah. Faktor-faktor dalam skala regional adalah penetapan kawasan industri di Tanjung Merah, Kota Bitung sejak tahun 1989 (RIK Bitung 1989; RUTR Kota Bitung 1992; KAPET Manado-Bitung 1996; RTRW Kota Bitung 2000); potensi sumber daya laut dan kesesuaian pengembangan kelapa di Sulawesi Utara untuk peningkatan PAD; geoposisi Sulawesi Utara dan Kota Bitung yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik; adanya usulan penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung; dan belum adanya instrumen pembangunan
yang
lebih
operasional
bagi
investor
terkait
dengan
pengembangan kawasan industri. Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung terletak pada satu hamparan lahan seluas 98 ha sebagai lokasi Kawasan Industri. Status lahan adalah tanah Milik Negara yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperluas hingga mencapai 512 hektar karena lahan disekitarnya milik masyarakat.
masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa
84
5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri Faktor-faktor pendukung pembangunan Kawasan Industri dibedakan atas lingkungan eksternal dan lingkungan internal (BPPIP Depperin 2009). (A). Lingkungan eksternal Beberapa faktor lingkungan eksternal pendukung adalah keanggotaan Indonesia (khususnya Provinsi Sulawesi Utara) di dalam BIMP-EAGA. Disamping itu, provinsi ini merupakan “pintu gerbang” Kawasan Timur Indonesia ke wilayah internasional karena kedekatannya dengan lintas perdagangan antar negara.
Juga, daerah ini memiliki keunggulan komparatif pada sumberdaya
alam, khususnya yang berbasis kelapa dan perikanan laut. Faktor lingkungan eksternal pendukung lainnya adalah: penetapan wilayah perkotaan Manado-Bitung, dalam PP No. 26/2008 tentang RTRWN, sebagai PKN (Gambar 5.6).
Di dalamnya ditetapkan empat kawasan andalan, yaitu
industri manufaktur, perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Keberadaan BPKAPET Manado-Bitung merupakan faktor pendukung.
Dari semua faktor
pendukung yang sudah disebutkan, keberadaan Pelabuhan Samudera Bitung merupakan faktor pendukung utama.
Rencana Lokasi KI di Kel. Tanjung Merah
Gambar 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara Keterangan: Kawasan Industri di Koridor Bitung-Kema Kawasan Pelabuhan Internasional Bitung Kawasan Ekonomi Khusus (KAPET Manado-Bitung, KPE Sangihe/Sitaro, & KPE Talaud, KPE Tomohon Sumber: RTRW Provinsi Sulawesi Utara
85 Tantangan yang dihadapi bagi Kota ini adalah bagaimana menyiapkan instrumen untuk menangkap peluang yang muncul dari trend ekonomi global dalam bidang investasi, industri, teknologi informasi, pola konsumsi, dan pola kawasan industri. (B). Lingkungan internal Faktor-faktor lingkungan internal pendukung pengembangan kawasan industri di Kota Bitung adalah arahan RTRW Kota Bitung dan RTRW Provinsi Sulawesi Utara, rencana pengembangan Pelabuhan Bitung menuju International Hub Port, pemantapan program One Stop Service dalam hal pelayanan investasi, dan rencana pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung sepanjang 46 km dengan lebar 60 m. Khusus untuk yang disebut terakhir, rencana tersebut terkendala oleh belum adanya investor yang berminat karena “load factor” yang masih rendah. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluarnya misalnya dengan melibatkan Pemerintah Daerah secara langsung sebagai partner investasi dalam pengadaan/pembebasan tanah. (C). Dukungan Masyarakat dan Aparat Pemerintah Baik warga masyarakat maupun aparat pemerintah setuju terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung (Gambar 5.7. dan Gambar 5.8.). Gambar 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rencana pembangunan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan masyarakat dan aparat pemerintah daerah. Dukungan ini akan memuluskan implementasi rencana tersebut.
86 Gambar 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung
5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri Kebijakan dan regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri antara lain adalah: •
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
•
Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
•
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
•
Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
•
Undang-undang No. 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
•
Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, dan PP 24/2009 tentang Kawasan Industri
•
Undang-undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Bab III, Pasal 13 ayat 2). Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Pasal 14 ayat 2) Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) menyangkut rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung ditulis bahwa yang menjadi aspek inti/penghela pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) spesialisasi
87 produk unggulan pada kawasan tertentu/spesialisasi kawasan, (2) adanya industri pendorong, dan (3) output: penetapan jenis produk berdaya saing dengan
penetapan
target
pasar
tertentu.
Aspek
kunci/pendukung
pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) SDM: fasilitasi pendampingan, tenaga ahli, pendidikan/pelatihan, (2) penelitian/pengembangan: teknologi dan inovasi, informasi, dan riset, (3) pasar: pasar/outlet, informasi pasar dan jaringan pasar, (4) akses ke sumber input: infrastruktur, modal, bahan baku, (5) keterkaitan: antar sektor/komoditas, antarpelaku, antardaerah, hulu-hilir, dan (6) iklim usaha: regulasi/Perda dan kebijakan. Berdasarkan pada Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, UU 22/1999, dan PP 25/2000 maka perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha.
Pada era Pasca Otonomi
Daerah, sesuai UU No. 22/1999 dan PP 25/2000 pasal 2(4) butir j: kewenangan Pemerintah (Pusat) dalam membuat standar bagi pemberian izin oleh daerah, dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman.
Pemerintah Provinsi
melakukan koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas kabupaten/kota.
Berdasarkan PP 84/2000 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah: Pasal 4(3) butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian izin. Pasal 8 (3) butir b: dinas kabupaten/kota berfungsi dalam pemberian izin. Dari segi pelaku usaha, setelah Keppres 53/1989 diundangkan, dunia usaha dalam negeri dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. UU tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan Undang-undang yang diamanatkan oleh UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007. Pada pasal 31 ayat 1 UU No 25 tahun 2007 mengenai Penanaman Modal berbunyi, “Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.” Ayat 2 menyatakan, “Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.” Serta ayat 3, “Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan undang-undang.” Ada empat syarat umum dalam pengajuan proposal Kawasan. Pertama, harus sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung. Kedua, pemerintah provinsi beserta pemerintah kabupaten atau kota yang terkait harus mendukung Kawasan tersebut. Kawasan
88 juga wajib terletak pada lokasi yang dekat dengan jalur perdagangan atau pelayaran internasional, atau dekat wilayah yang memiliki sumber daya alam unggulan. Keempat, kawasan harus memiliki batas yang jelas. Rincian dari persyaratan ini bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penetapan kawasan ekonomi khusus, yang diharapkan bisa rampung dalam waktu kurang dari enam bulan setelah Undang-undang Kawasan Ekonomi Khusus disahkan tanggal 15 September 2009.
5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) terkait dengan rencana pembangunan
Kawasan
Industri
di
Kota
Bitung
dikemukakan
bahwa
kelembagaan yang terkait dengan pengembangan Kawasan Industri di Kota Sektor Pertanian: Input benih, sarana prasarana produksi, budidaya, teknologi, pembinaan pelatihan SDM, pengolahan, pemasaran, pengelolaan lahan-air
Pemerintah Daerah: Kebijakan, PERDA, penjaminan kepada Bank, insentif
Sektor PU: Sarana prasarana (program Agropolitan), infrastruktur pengairan, infrastruktur jalan
Sektor Koperasi/UKM: Pelatihan SDM, pengembangan usaha, pendampingan SDM, fasilitasi modal usaha, penyiapa n kelembagaan
Sektor Perindustrian: Penyediaan sarana prasarana pengolahan, teknologi, pembinaan pelatihan SDM
Lembaga Riset: Sektor Perdagangan: Pengembangan pasar, jaringan informasi pasar, pembinaan SDM
FASILITASI PEMERINTAH KAWASAN INDUSTRI
Pelatihan, informasi, teknologi
Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Koperasi Petani:
SWASTA/ MASYARAKAT
Penyediaan, pengelolaan dana bergulir/kredit bagi petani
Lembaga Pengelolaan Bisnis: Distribusi dan pengadaan input, pengolahan, pemasaran, riset, informasi, dan promosi
Pengusaha Lokal Pengolahan dan Pemasaran
Petani: Produksi/budidaya
LSM/Perguruan Tinggi: Pemberdayaan, pendampingan
Bank: Permodalan
Asosiasi dan KADINDA: Kemitraan, informasi, jaringan pasar
Gambar 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri (Bappeda Kota Bitung 2009 - digambar kembali)
89 Bitung meliputi Sektor Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Pekerjaan Umum, dan Koperasi/UKM, Lembaga Riset, Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal, Pemerintah Daerah, Koperasi Petani, Lembaga Pengelolaan Bisnis, Pengusaha Lokal, Perguruan Tinggi, LSM, Perbankan, Petani, Asosiasi, dan Kadinda. Peran utama Pemerintah adalah memberikan fasilitasi bagi Swasta/Masyarakat (Gambar 5.9.).
5.6.5.Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri Pembahasan selanjutnya adalah menyangkut evaluasi terhadap rencana lokasi tapak proyek kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah dengan menggunakan pendekatan “Kerangka Kinerja Lingkungan” yang dikemukakan oleh Lowe (2001). Data yang digunakan untuk melakukan evaluasi adalah data skala Kota Bitung (bukan data spesifik lokasi karena adanya keterbatasan data, kecuali disebutkan). (A). Penggunaan Energi Rencana lokasi Kawasan Industri Tanjung Merah terletak di wilayah yang memiliki ekspos terhadap penyinaran matahari yang sangat besar.
Data
menunjukkan bahwa penyinaran matahari pada tahun 2006 berkisar antara 5077% atau diperkirakan antara 6,00-9,24 jam per hari (BPS Bitung 2007). Belum ada
hambatan penyinaran matahari oleh bangunan karena rencana lokasi
terletak di dan sekitar hamparan lahan perkebunan. Topografi yang landai dari lokasi kawasan industri mengurangi kemungkinan adanya bagian-bagian tertentu dari kawasan industri yang akan terhalang dari sinar matahari. Ekspos yang besar terhadap sinar matahari merupakan potensi untuk pengembangan sumber energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi kawasan industri.
Namun di lain pihak, akan meningkatkan biaya untuk
pendinginan udara (air conditioning). Rencana lokasi Kawasan Industri terletak di pinggir pantai sehingga memiliki ekspos yang besar terhadap tiupan angin. Ekspos yang besar terhadap angin juga merupakan potensi untuk pengembangan energi terbarukan. Disamping itu, pergerakan udara yang relatif tinggi akan meminimalkan potensi inversi atmosfir, yang dapat menyebabkan kabut (smog) seperti yang menjadi fenomena klasik di Jabodetabek. Namun, ekpos yang besar terhadap angin dan atau tiupan angin kencang berpotensi meningkatkan risiko kerusakan fasilitas dan gangguan produksi di kawasan industri.
90 Potensi pembangkitan energi angin dipengaruhi oleh kekuatan dan kesinambungan tiupan angin.
Pengaturan lokasi dengan mempertimbangkan
topografi lahan, tegakan tanaman, dan bangunan mempengaruhi aliran angin yang ingin dimanfaatkan.
Variasi dari efektivitas pembangkitan energi angin
dipengaruhi oleh interaksi antara pola angin regional dan topografi lokasi, badan air yang besar (laut), dan areal hutan. Akses terhadap sumber energi sampingan yang dihasilkan oleh industri eksisting sangat potensial karena letak lokasi yang hanya sekitar enam kilometer dari pusat aktivitas industri manufaktur saat ini. Kedekatan lokasi ini merupakan salah satu keunggulan dari rencana lokasi kawasan industri ini. Karena kedekatan tersebut maka fasilitas bagi akses terhadap energi sampingan dapat dipersiapkan dengan relatif mudah. Dari hasil wawancara dengan Prasethio (Direktur PT. Bimoli) pada 31 Maret 2009 diperoleh argumentasi bahwa kawasan industri seharusnya dibangun di Kecamatan Aertembaga atau di bagian Timur dari Kota Bitung. Prasethio berargumen bahwa pendirian kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah (yang sedang diproses) berisiko karena lokasi tersebut terpapar oleh tiupan angin kencang, terutama pada musim angin Timur/Selatan. Selanjutnya diinformasikan pelaku industri tersebut bahwa tiupan angin kencang secara kontinu merusak bangunan/pabrik, seperti yang dialami oleh PT. Bimoli. Bila kawasan industri ditempatkan di bagian Timur dari Kota Bitung maka kawasan tersebut akan lebih aman dari terpaan angin kencang karena terlindung oleh Pulau Lembeh. Juga, bila diperlukan maka pada kawasan tersebut dapat dibangun dermaga yang khusus melayani pengguna kawasan industri. (B). Penggunaan Air Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Kota Bitung hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di wilayah ini dimana pada bulan Oktober sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan. Hal ini terjadi karena angin bertiup dari arah Barat/Barat Laut yang banyak mengandung air. Sedangkan pada bulan Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim kemarau, karena dipengaruhi oleh arus angin dari arah Timur/Selatan yang tidak banyak mengandung air. Karakter curah hujan Kota Bitung menunjukkan bahwa curah hujan yang relatif tinggi tersebut meningkatkan ketersediaan air, namun sebaliknya dapat
91 meningkatkan potensi kontaminasi air permukaan. Selanjutnya, karena topografi dari rencana lokasi kawasan industri yang landai (0-25 meter dpl) maka intensitas curah hujan yang tinggi relatif tidak menyebabkan erosi yang siknifikan atau kejadian longsor. Sungai yang melintasi tapak proyek adalah Sungai Tanjung Merah. Air dari sungai, setelah diolah terlebih dahulu, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan kawasan industri. Hasil analisis laboratorium terhadap air sumur dan air kali yang melintas di rencana lokasi Kawasan Industri menunjukkan bahwa sampel Air Sumur memenuhi syarat SNI Air Minum, sedangkan sampel Air Kali memenuhi syarat Air Golongan D (Lampiran 4). (C). Penggunaan Bahan Baku/Sumberdaya Infrastruktur yang telah tersedia adalah jalan raya hotmix dengan lebar 6 meter. Di dalam lokasi tapak proyek sendiri belum tersedia infrastruktur maupun fasilitas tertentu karena masih merupakan lahan perkebunan kelapa, sayursayuran, dan palawija. Dengan status lahan eksisting sebagai lahan perkebunan maka konversi penggunaan lahan tidak akan menyebabkan kehilangan habitat alami. Juga, sebagai lahan pertanian maka potensi telah terjadinya kontaminasi lahan sangat kecil. Namun dilain pihak, konversi lahan pertanian ini ke penggunaan lain menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif. Kehilangan produksi akibat konversi ini diperkirakan sebesar 500 ton kopra per tahun, disamping ratusan ton produk palawija. Sebagaimana yang diargumentasikan oleh Prasethio (Wawancara tanggal 31 Maret 2009), lokasi kawasan industri sebaiknya ditempatkan di bagian Timur dari Kota Bitung. Namun demikian, topografi wilayah di bagian Timur Kota Bitung umumnya termasuk dalam kategori berombak-berbukit, bergunung, dan berombak. Namun Prasethio berargumen bahwa kemampuan teknologi dapat memberikan jalan keluar dari kendala tersebut. Hal ini sejalan dengan Ayres dan Ayres (2002) yang menulis bahwa sebaiknya pembangunan kawasan industri dilakukan di lahan-lahan yang tidak produktif, seperti misalnya lahan yang memiliki topografi berombak berbukit atau lahan brownfield (lahan bekas penggunaan lain tapi sudah tidak digunakan lagi).
Kriteria ini lebih sesuai
dengan kondisi lahan yang terdapat di Bagian Timur Kota Bitung tersebut. Keuntungan lain yang akan diperoleh bila Kawasan Industri didirikan di wilayah
92 tersebut adalah tersedianya pantai yang tenang karena terlindung oleh Pulau Lembeh. (D). Emisi atmosfir Pola angin di Kota Bitung adalah angin Barat/Barat Laut yang bertiup dari bulan Oktober sampai dengan bulan April dan angin Timur yang bertiup dari bulan Juni sampai dengan bulan September. Baik karena pola angin maupun kecepatannya maka inversi amosfir tidak terjadi di Kota Bitung.
Dengan
demikian maka kemungkinan terjadinya kabut/smog sangat kecil. Sumber-sumber emisi yang sudah ada di lokasi tapak proyek hanya berasal dari gas buang dari kendaraan yang lalu lalang dan juga dari permukiman warga di sekitarnya. Jarak tempuh kendaraan truk dari lokasi ke pelabuhan relatif pendek (hanya sekitar 6 km) sehingga emisi yang dikeluarkan untuk setiap kilogram bahan yang diangkut relatif rendah. (E). Ekosistem Sebagai lahan pertanian yang sudah diusahakan puluhan bahkan ratusan tahun, rencana lokasi kawasan industri bukan lagi merupakan habitat alami. Dengan
demikian,
konversi
lahan
menjadi
areal
industri
tidak
akan
mengakibatkan terjadinya kehilangan habitat alami/satwa liar. (F). Lingkungan Sekitar Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah merupakan kawasan industri pertama yang akan dibangun di Kota Bitung. Saat ini, industri manufaktur (termasuk industri agro) didirikan di lokasi yang terpencar-pencar, dengan konsentrasi di sepanjang garis pantai di Kecamatan Madidir/Pelabuhan Samudera Bitung.
Pembangunan kawasan industri di
Kelurahan Tanjung Merah berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan karena akan mempermudah penerapan sistem manajemen lingkungan, baik oleh pihak pengelola Kawasan Industri maupun pemerintah. Di sekitar rencana lokasi kawasan industri terdapat beberapa areal permukiman/kelurahan. Terdapatnya permukiman penduduk di sekitar lokasi dapat memberikan keuntungan dari sisi penyediaan tenaga kerja dan fasilitas pemondokan dengan segala fasilitas pendukungnya. Namun, lokasi permukiman yang terlalu dekat dengan kawasan industri memiliki tingkat risiko bahaya yang cukup tinggi.
93 Lokasi kawasan industri yang relatif dekat dengan fasilitas pendukung seperti pelabuhan akan meminimalisasi lalu lalang truk pengangkut dan hilir mudik pekerja sehingga dapat menurunkan emisi gas dan menciptakan keuntungan lainnya.
5.6.6. Rangkuman Hasil evaluasi dengan menggunakan pendekatan Kerangka Kinerja Lingkungan
(“Environmental
Performance
Framework”)
menunjukkan bahwa elemen kinerja lingkungan, yaitu
(Lowe
2001)
penggunaan energi,
penggunaan air, ekosistem, dan lingkungan tetangga (evaluasi terhadap emisi limbah cair dan limbah padat tidak dilakukan karena data pendukung belum tersedia) mendukung pembangunan kawasan industri di rencana lokasidi Kelurahan Tanjung Merah yang telah ditetapkan Pemerintah Kota Bitung. Salah
satu
elemen
kinerja
lingkungan,
yaitu
penggunaan
bahan
baku/sumberdaya tidak mendukung penetapan lokasi menjadi kawasan industri. Hal ini terkait dengan fakta bahwa pembangunan kawasan industri di lokasi dimaksud akan menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif dalam luasan yang cukup besar. Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2006 menunjukkan bahwa lahan datar (0-15 derajat) di Kota Bitung hanya seluas 4,18% dari total areal Kota Bitung (304 km2), atau hanya sekitar 1.271 ha. Dengan demikian, terhadap total luasan lahan datar yang ada, persentasi rencana luasan lahan kawasan industri seluas 98 ha adalah sebesar 7,7%, suatu persentasi yang relatif besar. Hal-hal yang mendukung penetapan lokasi sebagai kawasan industri adalah kedekatannya dengan Pelabuhan Samudera Bitung sehingga beban emisi gas buang ke udara oleh transportasi darat yang ditimbulkannya akan relatif kecil. Kedekatan lokasi juga meningkatkan efektifitas dan efisiensi lalu lalang pekerja/pengguna kawasan industri. Walaupun lokasi kawasan industri dekat dengan pelabuhan dan permukiman, tetapi jaraknya cukup aman sehingga risiko yang dapat ditimbulkan terhadap masyarakat adalah minimal. Tiupan angin kencang memang berisiko merusak fasilitas kawasan industri dan berpotensi menggangu proses produksi, namun di lain pihak merupakan potensi pengembangan energi terbarukan. Jadi, walaupun ada elemen kinerja lingkungan yang tidak mendukung penetapan lokasi di Kelurahan Tanjung Merah
94 sebagai kawasan industri (elemen penggunaan bahan baku/sumberdaya), namun elemen kinerja lingkungan lainnya mendukung penetapan dimaksud. Kondisi aktual dari industri manufaktur/agro di Kota Bitung dapat diringkas sebagai berikut: 1) Walaupun secara umum kualitas lingkungan masih cukup baik namun ada permasalahan dalam hal lemahnya penegakan peraturan perundangan (law enforcement), kecenderungan meningkatnya pencemaran industri terutama terhadap komponen tanah dan air permukaan serta masalah lingkungan sosial sebagai dampak dari alih fungsi lahan pertanian. 2) Rencana pengembangan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah cukup layak dipandang dari segi Kerangka Kinerja Lingkungan. Namun, ada beberapa dampak yang perlu dikelola dengan baik agar kualitas lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial dapat dipelihara. Permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam ringkasan di atas perlu dikelola dengan baik agar aktivitas industri dapat diarahkan menuju ke tahapan industri yang berkelanjutan. Upaya pengelolaan tersebut dapat dilakukan melalui penerapan Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park (MP Agro-EIP).
5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri Sekitar 64% pabrik industri agro yang disurvei menyatakan bahwa mereka telah memiliki ikatan dengan pihak lain terkait dengan penjualan hasil sampingan yang dihasilkan. Sekitar 36% menyatakan bahwa mereka belum memiliki ikatan dengan pihak lain dengan alasan bahwa jumlah hasil sampingan yang dihasilkan relatif sedikit jumlahnya. Dari persentasi 36% tersebut, ada satu pabrik yang menyatakan tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan bersama dengan pabrik lain yang dapat menghasilkan pendapatan dari hasil sampingan yang dihasilkan pabrik, atau menurunkan biaya manajemen lingkungan, dan keuntungan lainnya. Ada pabrikan yang sedang mempraktekkan bentuk keterkaitan (kerjasama) ini yaitu dengan membeli limbah pre-cooking dari pabrik pengolahan ikan kaleng untuk digunakan di dalam proses produksi pada pabrik mereka. Namun, persetujuan untuk berpartisipasi dibarengi dengan beberapa persyaratan seperti: perlu dilakukan pertemuan pendahuluan dan perencanaan tentang apa yang akan dilakukan dan bersedia berpartisipasi selama harga bisa bersaing.
95 Prinsip-prinsip ekologi industri, yaitu pola keterkaitan antara industri agro dengan industri sejenis atau industri lainnya, di Kota Bitung dapat dilihat pada Tabel 5.12. Keterkaitan antar industri yang dicantumkan di dalam Tabel 5.12. selanjutnya digambarkan ke dalam Diagram Pola Keterkaitan Antar Industri seperti pada Gambar 5.10. Tabel 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait Perusahan
Jenis Perusahan
A
Kelapa
B
Minyak kelapa
C D
Minyak sawit Perikanan laut
E
Perikanan laut
F
Perikanan laut
G
Perikanan laut
H
Perikanan laut
I J K L
Perikanan laut Perikanan laut Perikanan laut Arang aktif
Perusahan yang terkait (dari segi penggunaan by-products dan atau limbah industri) M Pakan ternak
N Pembuatan arang tempurung
Pakan ternak Pakan ternak
-
O Pembuatan minyak kelapa dari paring -
P Pembuatan nata de coco
Q -
R -
S -
-
-
-
-
-
-
Pembuatan bakso
-
-
-
Pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal -
-
-
Pakan ternak Pakan ternak
-
-
-
-
-
-
Pakan ternak Pakan ternak -
-
-
-
-
-
Pengekspor air rebusan -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Data hasil survei industri agro di Kota Bitung (2009) Keterangan: - belum ada keterkaitan antar industri
Produk ikutan yang dihasilkan oleh pabrik tepung kelapa yang saat ini memiliki nilai ekonomis adalah paring kelapa dan tempurung kelapa. Paring kelapa biasanya dikeringkan terlebih dahulu oleh pabrikan tepung kelapa dan selanjutnya dijual kepada pabrik pembuatan minyak kelapa. Tempurung kelapa dijual dalam bentuk bahan mentah kepada pengusaha pembuatan arang tempurung. Keduanya dijual secara lokal. Air kelapa saat ini belum memiliki nilai jual yang berarti karena hanya relatif sedikit yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata de coco, sehingga sejumlah besar masih dibuang dalam bentuk yang sudah tercampur dengan air bersih pencuci daging kelapa. Pabrik perikanan laut menghasilkan by-products berupa: kepala, sayap, ekor, isi perut, daging hitam, tulang, kulit, air rebusan, air cucian yang mengandung darah ikan, dan abu sisa pembakaran kayu.
Pabrikan juga
96 menghasilkan fishmeal, yang merupakan bahan olahan dari kepala, sayap, ekor, dan tulang ikan yang telah dikeringkan sebelumnya. Fishmeal dijual sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak. Ada pabrik yang menyatakan bahwa di waktu mendatang fishmeal akan diekspor ke Jepang. Daging hitam biasanya di kirim ke Pulau Jawa untuk dijadikan bakso. Kepala ikan, selain sebagai bahan baku pembuatan fishmeal, juga dijual dalam bentuk segar kepada pembeli yang selanjutnya menjualnya di pasar lokal. Air rebusan ikan pernah di ekspor ke Jepang dan di waktu yang akan datang berpotensi untuk diekspor kembali. A
C
B
D
F
E
M N
G
H
O
P
I
Q
J
R
K
S
L
Gambar 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait Keterangan: A-L: Perusahan-perusahan yang tercantum di dalam Kolom 1/2 Tabel 4… M: Perusahan pembuatan pakan ternak N: Perusahan pembuatan arang tempurung O: Perusahan pembuatan minyak kelapa dari paring kelapa P: Perusahan pembuatan nata de coco Q: Perusahan pembuatan bakso R: Perusahan pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal S: Perusahan pengekspor air rebusan ikan
Gambar 5.15. menunjukkan bahwa tidak semua industri agro di Kota Bitung memiliki keterkaitan dengan industri sejenis atau jenis industri lainnya. Nilai keterkaitan (C) dari industri agro dan industri lainnya di Kota Bitung dihitung menggunakan rumus C = 2 L / [S(S-1)]. Dimana S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu) dan L adalah jumlah interaksi antar industri (Tabel 5.15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Nilai C = (2 x13) : 11 (11-1) = 26 : 110 = 0,2364 atau 23,64%. Nilai ini masih dibawah nilai medium, yaitu 42,3 % (Hardy dan Graedel 2002). Ini berarti bahwa pola keterkaitan antar industri agro di Kota Bitung masih rendah.
97
Industri
Tabel. 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan (C) Antar Industri Agro dan Industri Terkait di Kota Bitung Industri Jumlah A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
B 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
E 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
F 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
G 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
H 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
J 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
L 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
M 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
N 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
O 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
P 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Q 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
R S 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah
4 1 0 3 1 2 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13
Pola keterkaitan yang potensial dikembangkan di Kota Bitung di masa yang akan datang dapat diketahui dengan menganalisis informasi mengenai jenis limbah industri/bahan ikutan yang masih dibuang ke udara atau yang langsung dibuang ke lingkungan (belum dimanfaatkan) atau yang diperjualbelikan.
98
VI. PROGRAM PENGEMBANGAN “AGRO-ECO-INDUSTRIAL PARK” BITUNG Pada
bab
sebelumnya
telah
dibahas
mengenai
Status
Industri
Manufaktur/Agro di Kota Bitung. Berdasarkan informasi tersebut, pada bab ini akan dibahas: (1) Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” Bitung (disingkat AEIP Bitung) dan (2) Perancangan model dinamik Pengembangan AEIP Bitung. Pengembangan AEIP Bitung dilakukan melalui tiga tahapan analisis, yaitu: (a) Analisis terhadap Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP, (b) Analisis Model AEIP Prioritas, dan (c) Analisis Tahapan Implementasi AEIP. Keluaran dari hasil análisis tahapan (a) merupakan masukan bagi tahapan analisis (b), demikian selanjutnya hasil análisis tahapan (b) menjadi masukan bagi tahapan análisis (c).
Selanjutnya, informasi yang diperoleh pada
Pengembangan AEIP Bitung merupakan masukan bagi Perancangan Model Dinamik Pengembangan AEIP Bitung.
6.1. Penentuan dan Tahapan Implementasi Model AEIP Prioritas 6.1.1. Analisis terhadap Faktor-faktor Penentu Pengembangan AEIP Bitung Faktor-faktor penentu pengembangan AEIP Bitungdiperoleh melalui analisis hubungan kontekstual antar elemen menggunakan metode ISM. Output dari analisis
ini adalah elemen kunci,
model struktural elemen, dan
pengelompokan elemen. Sintesis atas ketiganya menghasilkan faktor-faktor penentu pengembangan. Keterkaitan antara masing-masing elemen dengan pengembangan AEIP Bitungditunjukkan pada Gambar 6.1. Elemen Program Pengembangan
ElemenTujuan Program
Elemen Kendala Utama Program
Faktor-faktor Penentu Pengembangan Program Gambar 6.1. Diagram Perumusan Faktor-faktor Penentu Pengembangan Program
99 6.1.1.1. Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung (A). Sub-sub Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sub-sub elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung adalah seperti berikut (diketik dengan huruf italic dan diikuti penjelasannya): (T1). Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru. Pola keterkaitan antar industri dalam pemanfaatan materi dan limbah dapat merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru. (T2). Meningkatkan peluang kerja. Terciptanya jenis usaha baru pada gilirannya akan meningkatkan peluang kerja bagi pencari kerja termasuk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri. (T3). Meningkatkan daya saing usaha industri. Meningkatnya daya saing usaha terutama terkait dengan meningkanya citra perusahan dimata konsumen dunia yang semakin sadar lingkungan. (T4). Meningkatkan pendapatan industri. Peningkatan pendapatan dapat terjadi karena adanya upaya pemanfaatan bahan ikutan dan atau limbah industri. Juga karena menurunnya biaya pengelolaan limbah yang harus dikeluarkan oleh pihak industri. (T5). Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan. Pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan potensial untuk dicapai karena adanya upaya untuk memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan adanya upaya pengelolaan limbah sebelum dibuang ke lingkungan. (T6). Meningkatkan nilai tambah produk industri. Meningkatnya pendapatan industri dapat terjadi karena adanya aktivitas peningkatan nilai tambah dari limbah dan bahan ikutan. (T7). Menurunkan jumlah limbah industri. Kuantitas limbah dapat berkurang karena adanya penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle dari sumberdaya alam/bahan baku. (T8). Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat
di sekitar kawasan industri dapat semakin diupayakan karena
perubahan paradigma pihak industri yang memandang masyarakat sebagai mitra strategis dalam usahanya. Dalam model ini, masyarakat menjadi pemasok tenaga kerja, bahan baku, dan atau bahan penolong.
100 (T9). Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi. Aktivitas industri yang berkelanjutan hanya dapat tercapai apabila didukung oleh pasokan bahan baku, air, dan energi yang berkelanjutan. (T10). Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan. energi listrik
dari sumber terbarukan
seperti angin,
Pembangkitan
surya, dan
laut/gelombang sangat mungkin untuk diupayakan di Kota Bitung.
arus
Secara
geografis Kota Bitung terletak di pinggir pantai dengan intensitas sinar matahari yang cukup, kecepatan angin yang memadai, dan arus laut/gelombang yang memungkinkan untuk pembangkitan energi listrik. (T11). Meningkatkan hubungan yang harmonis antara industri dan masyarakat. Dalam model ini hubungan harmonis antara industri dan masyarakat merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan yang harus dicapai.
Dengan terjalinnya
hubungan yang harmonis tersebut maka masyarakat dapat menjadi pagar sosial bagi aktivitas industri. (T12). Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan. Efisiensi usaha dan lingkungan dapat dicapai karena penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle di atas dan adanya upaya pemanfaatan bahan ikutan dan limbah. Dengan adanya upaya di atas maka biaya pengolahan limbah dapat berkurang secara siknifikan. (T13). Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela.
Salah satu
komponen utama dari Model EIP adalah kerjasama pertukaran materi dan limbah antar industri di dalamnya. Kerjasama tersebut akan merangsang lahirnya jenis industri baru, misalnya dalam rangka memanfaatkan bahan ikutan dan atau limbah cair. Kerjasama yang dilakukan secara sukarela, yaitu yang dibangun karena kebutuhan dan yang saling menguntungkan, akan berjalan secara optimal dan berkelanjutan.
(B). Hubungan Kontekstual Antar Sub-Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana: •
V: apabila sub-elemen (1) memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen (2), tetapi tidak sebaliknya.
•
A: apabila sub-elemen (2) memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen (1), tetapi tidak sebaliknya.
101 •
X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling memberikan kontribusi.
•
O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling memberikan kontribusi. Hubungan kontekstual antar sub-elemen Tujuan Program dicantumkan di
dalam Lampiran 5a dan Lampiran 5b. (C). Posisi Sub-Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor Posisi sub-elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam empat sektor diperlihatkan di dalam Gambar 6.2. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa sub-sub elemen, yaitu: Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan (T10), Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T13), Menurunkan jumlah limbah industri (T7), Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan (T5), Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi (T9), dan Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan (T12), berada pada Sektor IV (independent). Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian ke-enam tujuan tersebut akan menimbulkan multiplier effect terhadap tercapainya ke-tujuh tujuan lainnya. Sub-sub elemen tujuan lainnya, yaitu Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru (T1), Meningkatkan 13 10, 13
12 7
D a y a
11 5,10 9, 12
Sektor IV
Sektor III
9 8
1, 2, 3, 4, 6, 8, 11
7
D0 o r o n g
1
2
3
4
5
6
6
7
8
9
10
11
12
13
14
5 4 3
Sektor I
2
Sektor II
1 0
Ketergantungan
Gambar 6.2. Matriks Daya Dorong-Ketergantungan untuk Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung peluang kerja (T2), Meningkatkan daya saing usaha industri (T3), Meningkatkan pendapatan industri (T4), Meningkatkan nilai tambah produk industri (T6),
102 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (T8), dan Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T11), berada pada Sektor III atau sebagai peubah linkages (pengait) dan mencerminkan bahwa sub-sub elemen tujuan ini memiliki keterkaitan yang kuat dengan tujuan lainnya. (D). Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing subelemen tujuan, tersusun diagram model struktural tujuan program, seperti pada Gambar 6.3. Dari gambar tersebut diketahui bahwa terdapat empat hirarki 1
2
3
4
6
5
9
12
8
11
7
10
13
Gambar 6.3. Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung tujuan program Pengembangan AEIP Bitung. Berdasarkan peringkat daya dorong (driver power) maka tujuan-tujuan Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T13) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu dijadikan sebagai patokan dalam pengembangan AEIP Bitung. Sub-elemen tujuan lainnya, yaitu Menurunkan jumlah limbah industri (T7) juga perlu diperhatikan karena memiliki kekuatan penggerak yang lebih kuat dibandingkan dengan ke-sepuluh sub-sub elemen tujuan lainnya. (E). Elemen Kunci Tujuan Program Pengembangan AEIP Bitung Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci Tujuan Program adalah: 1. Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan. 2. Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela.
103 6.1.1.2. Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung (A). Sub-sub Elemen dari Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sub-sub elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung adalah sebagai berikut (diketik dengan huruf italic dan diikuti penjelasannya): (K1). Belum tersedianya instrumen pembangunan kawasan industri bagi investor. Instrumen pembangunan kawasan industri mengatur tentang teknis pembangunan, peraturan perundangan pendukung, sistem insentif yang diberlakukan, dan ketentuan lainnya. (K2). Keterbatasan modal untuk mendirikan kawasan industri.
Biaya untuk
membangun kawasan industri relatif sangat besar. Oleh karena itu maka pembangunannya perlu dilakukan dalam kerangka kerjasama antara beberapa pihak, seperti Pemerintah dan Investor. Khusus untuk rencana pembangunan Kawasan Industri Bitung (yang diasumsikan menjadi cikal bakal AEIP Bitung), kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk penyiapan lahan oleh Pihak Pemerintah Provinsi dan Kota Bitung (dimana lahannya seluas 98 ha sudah tersedia) dan pembangunan sarana dan prasarana oleh pihak investor. Dengan adanya kerjasama tersebut maka kendala keterbatasan modal dapat diatasi. (K3). Konsep EIP belum dipahami dengan baik. Konsep EIP merupakan konsep yang baru. Hasil survei lapangan yang dilakukan terhadap pihak pelaku industri menunjukkan bahwa semuanya belum mengetahui dan memahami konsep tersebut. Bahkan, banyak pihak akademik pengembangan industri yang masih meragukan peluang keberhasilan penerapan konsep tersebut di lapangan. (K4). Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri. Salah satu kendala pengembangan industri di Kota Bitung adalah adanya keterbatasan lahan industri. Oleh karena itu, kompetisi penggunaannya dengan sektor lain sangat ketat.
Sebagai contoh kasus, salah satu persyaratan penetapan suatu
lokasi/wilayah untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah ketersediaan lahan industri seluas minimal 500 ha. Di Kota Bitung sendiri, lahan industri yang telah tersedia adalah seluas 98 ha dan dapat diperluas menjadi 512 ha. Namun, perluasan tersebut diduga akan tidak mudah dilakukan karena adanya beberapa faktor penghambat.
104 (K5). Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. Lahan seluas 98 ha yang direncanakan menjadi Kawasan Industri merupakan lahan pertanian subur yang ditanami kelapa dan palawija. Upaya untuk memperluas lahan industri tersebut menjadi 512 ha juga akan mengakibatkan kehilangan lahan pertanian subur. (K6). Meningkatnya harga lahan bila terindikasi adanya rencana pembangunan kawasan industri.
Fakta menunjukkan bahwa harga lahan biasanya akan
meroket apabila terindikasi adanya rencana pembangunan di lokasi atau sekitar lokasi
tertentu.
Indikasi adanya
rencana
pembangunan
juga
biasanya
memunculkan para spekulan tanah yang mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di beberapa negara seperti Korea Selatan, pihak Pemerintah menetapkan berapa kelipatan harga yang diizinkan untuk diberlakukan Pihak Pengembang terhadap tenant. (K7). Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tidak konsisten. Para ahli menilai bahwa negara ini memiliki banyak peraturan perundangan yang tidak diterapkan secara konsekuen dan konsisten. Dilain pihak, dukungan peraturan perundangan dalam bidang pengembangan industri dinilai masih lemah dan cenderung tidak konsisten. Para pemimpin yang baru berkuasa cenderung mengganti peraturan perundangan dengan yang baru walaupun yang lama telah terbukti efektif dalam penerapannya. (K8). Kurang tersedianya tenaga kerja terampil. Tenaga kerja terampil dengan latar belakang pendidikan teknik industri masih kurang tersedia di wilayah ini karena kurang tersedianya secara lokal lembaga pendidikan dalam bidang tersebut. Tenaga kerja dimaksud biasanya harus didatangkan dari kota-kota di Pulau Jawa.
Namun, tenaga kerja dengan spesialisasi dan spesifikasi yang
diperlukan lebih memilih untuk bekerja di industri-industri besar di Pulau Jawa yang memberikan pendapatan tetap yang lebih besar. (K9). Biaya tenaga kerja relatif mahal dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Secara rata-rata, biaya tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Utara lebih mahal dibandingkan dengan biaya tenaga kerja di Pulau Jawa. Kondisi ini menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya industri padat karya di wilayah ini. (K10). Pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru yang relatif rendah. Eksistensi faktor penghambat seperti kurang tersedianya tenaga kerja terampil dan murah, pasar yang relatif terbatas, keterbatasan pasokan listrik, sarana dan
105 prasarana perghubungan yang kurang memadai, kurangnya daya tarik investasi, dan faktor-faktor lainnya menjadi kendala bagi pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru. (K11). Belum adanya jenis industri di tingkat lokal yang dapat dijadikan sebagai industri jangkar. Salah satu jenis industri yang dapat menjadi industri jangkar adalah industri portland cement. Jenis industri ini biasanya akan menghasilkan “ekses panas” yang dapat digunakan oleh industri lain disekitarnya sebagai sebagai sumber energi untuk mengeringkan produk, misalnya. Atau, industri tersebut dapat menggunakan abu yang dihasilkan oleh industri di sekitarnya menjadi bahan baku aktivitas produksinya. (K12). Pasokan energi listrik mulai terkendala. Keterbatasan pasokan energi listrik telah menjadi fenomena di Indonesia di tahun 2009. Fenomena tersebut juga dialami oleh masyarakat dan industri di Provinsi Sulawesi Utara pada musim kemarau 2009. Fenomena tersebut terjadi karena kerusakan pembangkit listrik tenaga panas bumi dan berkurangnya debit air Danau Tondano sehingga mengurangi kemampuannya menggerakkan turbin.
Kendala tersebut perlu
diantisipasi dengan cara reboisasi lahan-lahan pertanian di sekitar Danau Tondano dan pembangkitan energi listrik menggunakan sumber-sumber energi terbarukan. (K13). Pasar di sekitar wilayah rencana kawasan industri relatif kecil. Relatif kecilnya pasar di wilayah ini terkait dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit. Dengan demikian maka orientasi ekspor perlu menjadi pilihan bagi aktivitas industri manufaktur di wilayah ini. (B). Hubungan Konteksual Antar Sub-Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana: •
V: apabila sub-elemen (1) menyebabkan sub-elemen (2), tetapi tidak sebaliknya.
•
A: apabila sub-elemen (2) menyebabkan sub-elemen (1), tetapi tidak sebaliknya.
•
X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling menjadi penyebab.
•
O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling menjadi penyebab.
106 Hubungan kontekstual antar sub-elemen Kendala Utama Program dicantumkan di dalam Lampiran 6a dan Lampiran 6b. (C).
Posisi Sub-Elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor Posisi Sub-Elemen Kendala Utama Program di dalam Empat Sektor
diperlihatkan di dalam Gambar 6.4. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa sub11 10
3
9
7
D a y a
8
Sektor IV
6
4
D 0 o r o n g
1
Sektor III
7
5
2
3 12, 134
56
5 6
7
8
9
10
4
12
8, 9, 10
3
Sektor I
11
Sektor II
2 2
1
11
1 0
Ketergantungan
Gambar 6.4. Posisi sub-elemen Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung di dalam Empat Sektor sub elemen, yaitu: Konsep EIP belum dipahami dengan baik (K3), Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tida konsisten (K7), Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur (K5), dan Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri (K4), berada pada Sektor 4 (independent).
Hal ini menunjukkan bahwa penanganan terhadap ke-empat
kendala utama dari program tersebut akan menimbulkan multiplier effect terhadap tercapainya penanganan kendala utama dari program lainnya. (D).
Diagram Model Struktural Pengembangan AEIP Bitung
Elemen
Kendala
Utama
Program
Berdasarkan kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing subelemen Kendala Utama Program, tersusun diagram model struktural Kendala Utama Program, seperti pada Gambar 6.5. Dari gambar tersebut diketahui bahwa terdapat lima hirarki Kendala Utama dari Program.
Berdasarkan
peringkat daya dorong (driver power) maka Konsep EIP belum dipahami dengan
107 baik (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur (K5))
merupakan
sub-sub
elemen
kunci
yang
perlu
ditangani
dalam
pengembangan AEIP Bitung. Sub-sub elemen Kendala Utama Program lainnya, yaitu Terbatasnya lahan untuk pendirian kawasan industri (K4) dan Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung tidak konsisten (K7) juga perlu diperhatikan karena memiliki kekuatan penggerak yang lebih kuat dibandingkan dengan sub-sub elemen kendala utama program lainnya dan memiliki keterkaitan yang kuat satu dengan lainnya.
1
2
11
8
9
10
6
12
13
4
7
3
5
Gambar 6.5. Diagram Model Struktural Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung (E). Elemen Kunci Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung Elemen-elemen kunci Kendala Utama Program Pengembangan AEIP Bitung adalah: 1. Konsep EIP belum dipahami dengan baik 2. Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur.
6.1.2. Penentuan Model AEIP Prioritas Untuk mengetahui Model AEIP prioritas maka dilakukan analisis dengan menggunakan Teknik AHP. AEIP Bitung.
Fokus/tujuan dari struktur AHP adalah Alternatif
Sedangkan yang menjadi kriteria penilaian terhadap alternatif
adalah ke-empat faktor-faktor penentu pengembangan AEIP yang telah diperoleh berdasarkan hasil analisis sebelumnya (Gambar 6.6).
108
Alternatif AEIP Bitung
Sasaran
Kriteria
Alternatif
Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan
A
Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela
B
Konsep AEIP belum dipahami dengan baik
C
Rencana lokasi KI adalah lahan pertanian subur
D
E
Gambar 6.6. Struktur AHP Alternatif AEIP Keterangan: A. Model AEIP dengan konsentrasi pada pertukaran materi dan limbah industri (merujuk pada Model Kalundborg, Denmark) B. Model AEIP yang meliputi industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair (merujuk pada Fujisawa Factory EIP). C. Model AEIP dengan konsentrasi pada upaya penyediaan informasi khususnya menyangkut teknologi pengelolaan lingkungan (merujuk pada Model Burnside, Nova Scotia, Kanada). D. Model AEIP dengan konsentrasi pada pemenuhan manajemen lingkungan dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi tenan di kawasan industri ini sangat ketat (merujuk pada Model PALME, Perancis). E. Model AEIP dengan konsentrasi pada kerjasama dalam bidang fasilitas bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan.
Di kawasan
industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus industri, bukan pada limbah akhir (merujuk pada Model Value Park, Dow Chemical, Jerman). Hasil analisis terhadap data hasil penelitian (Lampiran 8) yang dilakukan dengan menggunakan Program Decision Plus Version 3 diperlihatkan di dalam
109 Tabel 6.1. dan Gambar 6.7. Secara keseluruhan, nilai konsistensi rasio (CR) menunjukkan bahwa jawaban dari tenaga ekspert yang disurvei adalah meyakinkan dengan tingkat kepercayaan di atas 90%. Hasil analisis di dalam Tabel 6.1. menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria prioritas adalah Konsep EIP belum dipahami dengan baik dan diikuti oleh Meningkatnya kerjasama antar industri secara sukarela. Tabel 6.1. Data Hasil Analisis AHP dari Alternatif AEIP
Kriteria Penilaian
Nilai konsistensi ratio (CR)
Model AEIP
A
B
C
D
E
Nilai tertimbang dari kriteria
Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan
0,006
0.289
0.289
0.053
0.08
0.289
0.109
Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela
0,056
0.293
0.381
0.094
0.117
0.115
0.361
Konsep AEIP belum dipahami dengan baik
0,237
0.137
0.419
0.076
0.19
0.178
0.480
Rencana lokasi Kawasan Industri adalah lahan pertanian subur
0,028
0.109
0.387
0.083
0.108
0.312
0.050
Hasil (Alternatif)
0,006
0.209
0.390
0.081
0.147
0.174
-
Diagram nilai-nilai keputusan terhadap alternatif pengembangan AEIP diperlihatkan dalam Gambar 6.7. Diagram tersebut menunjukkan bahwa Model AEIP (Model B) yang meliputi
kegiatan-kegiatan industri manufaktur, ker-
Gambar 6.7. Nilai Keputusan Alternatif AEIP Bitung jasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber
110 energi terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair merupakan Model AEIP prioritas yang dapat dikembangkan menjadi AEIP Bitung. Kegiatan-kegiatan berbasis agro-kompleks di dalam model prioritas di atas membutuhkan lahan terbuka yang memiliki karakteristik alami. Dengan demikian maka sebagian dari lahan rencana kawasan industri perlu dipertahankan sesuai dengan kondisinya saat ini. Keberadaan lahan dengan kondisi alami tersebut dapat berkontribusi pada pemeliharaan lingkungan hidup.
6.1.3. Tahapan Implementasi AEIP Prioritas (A). Sub-sub Elemen Tahapan Implementasi AEIP Prioritas Hasil
identifikasi
terhadap
elemen-elemen
yang
diperlukan
untuk
Implementasi AEIP Prioritas (Model B) adalah sebagai berikut (kalimat yang ditulis dengan huruf miring): (P1). Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham. Lahan bagi peruntukan kawasan industri telah tersedia di Kelurahan Tanjung Merah dengan luas 98 ha yang merupakan lahan ex-HGU yang izinnya tidak diperpanjang lagi oleh Pemerintah Daerah. Lahan ini dapat diperluas menjadi sekitar 512 ha apabila dilakukan pembebasan lahan masyarakat, atau dengan cara menyertakan pemilik sebagai pemegang saham kawasan industri. Hal yang disebut terakhir merupakan salah satu solusi yang dianjurkan di dalam Keppres No. 41 Tahun 1996 dan peraturan penggantinya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. (P2). Penyusunan masterplan kawasan industri.
AEIP Bitung akan merujuk
pada masterplan Kawasan Industri Bitung yang telah dipersiapkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian tahun 2009. Namun, perlu dilakukan penyesuaian merujuk pada Lowe, EA (2001). (P3). Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP.
POKJA dibentuk untuk
mempersiapkan lahan, masterplan dan desain bangunan, sosialisasi program, pengurusan perijinan, dan pendirian perusahan pengelola kawasan industri. (P4). Sosialisasi AEIP. Lingkup kegiatan dalam rangka memperkenalkan konsep AEIP serta program-program yang akan dilakukan dalam rangka penyiapan lahan kawasan dan rekruitmen investor kawasan serta tenant. (P5). Pendirian perusahan pengelola kawasan industri. Perusahan pengelola merupakan salah satu komponen yang wajib dimiliki oleh Kawasan Industri.
111 (P6). Perumusan tata tertib kawasan industri. Perusahan Pengelola.
Perumusan dilakukan oleh
Untuk mencapai kinerja industri dan lingkungan yang
optimal maka Tata Tertib Kawasan Industri harus dijalankan dan ditaati secara konsekuen. (P7). Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela. Kerjasama secara sukarela perlu mendapat penekanan utama karena model kerjasama yang demikian yang bisa berjalan dengan baik sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai secara efektif. (P8). Penyiapan sistem rekruitmen tenant. Suatu kawasan industri perlu menetapkan jenis tenant yang menjadi prioritas untuk direkrut. Khusus untuk wilayah Sulawesi Utara, tenant yang paling sesuai untuk direkrut adalah yang terkait
dengan
perikanan
laut atau
kelapa. Prioritas
rekruitmen
perlu
mempertimbangkan trend global. (P9). Penetapan pola harga kapling industri. Hal ini perlu dilakukan terutama oleh Pemerintah karena harga kapling industri dinilai terlalu mahal bagi pihak industriawan. Pemerintah perlu menetapkan berapa kali kelipatan harga kapling industri terhadap harga lahan awal yang diizinkan untuk dikenakan kepada tenant, sehingga dapat merangsang investasi. (P10). Pembangunan infrastruktur kawasan industri. Infrastruktur yang memadai merupakan faktor penentu dalam menarik investasi. Salah satu keterbatasan Kota Bitung Bitung saat ini adalah belum adanya akses jalan bebas hambatan ke Kota Manado, maupun yang menghubungkan rencana lokasi kawasan industri dengan Pelabuhan Samudera Bitung.
Karena tingkat kepentingannya yang
besar maka pembangunan infrastruktur perlu menjadi prioritas pembangunan, yang dapat dilakukan dengan sistem kerjasama antar Pemerintah dan Investor. (P11). Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan. Kekurangan pasokan energi listrik merupakan salah satu faktor penghambat pembangunan industri di Kota Bitung.
Pasokan listrik menjadi semakin
bermasalah pada musim kemarau, seperti yang terjadi pada bulan JuliNovember 2009.
Musim kemarau panjang menyebabkan debit air Danau
Tondano menurun sehingga tidak dapat memasok listrik secara optimal. Kondisi tersebut menyebabkan pemadaman listrik secara bergiliran, termasuk bagi industri manufaktur.
Permasalahan ini diduga akan terjadi setiap musim
kemarau. Oleh karena itu, pembangunan Kawasan Industri perlu didukung oleh
112 pembangkitan listrik dengan sumber energi terbarukan seperti angin, surya, dan arus laut. Kota Bitung memiliki ketiga potensi alam tersebut. (P12). Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat. Pengolahan limbah cair secara terpusat akan berkontribusi pada pemeliharaan lingkungan secara siknifikan. Salah satu contoh kawasan industri yang telah menerapkan metode ini adalah PT. Kawasan Industri Makassar. Air limbah organik diolah secara tersentral di Pusat Pengolahan Limbah Cair, untuk selanjutnya dibuang ke badan air penerima.
Air buangan yang tercampur dengan air kali selanjutnya
digunakan oleh masyarakat untuk budidaya tambak. Penggunaan air buangan secara terus-menerus oleh petani merupakan bukti bahwa pengolahan air limbah telah dilakukan dengan baik sehingga memenuhi baku mutu limbah cair. (P13). Pembangunan fasilitas daur ulang. Fasilitas daur ulang perlu dibangun untuk mengolah limbah padat yang dihasilkan oleh industri, seperti plastik, stirofoam, kertas, dll. (P14). Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk.
Adanya fasilitas
pusat penyimpanan produk (gudang maupun cold storage) akan sangat menguntungkan bagi tenant. Cold stortage dengan kapasitas besar akan sangat bermanfaat terutama pada saat puncak musim panen ikan laut. Pembangunan fasilitas ini oleh masing-masing industri tidak menguntungkan. (P15). Pembangunan perumahan karyawan.
Pembangunan perumahan bagi
karyawan akan menguntungkan dalam hal ketepatan waktu kerja dan mengurangi biaya ekonomi dan sosial dari lalu lalang orang. (P16). Pembangunan klinik kesehatan. Pembangunan pusat klinik kesehatan akan bermanfaat bagi pemeliharaan kesehatan karyawan dan keluarganya. (P17). Pembangunan fasilitas riset.
Adanya fasilitas riset di dalam kawasan
industri akan berguna dalam melakukan penelitian-penelitian terapan yang secara langsung menyentuh kebutuhan industri. Aktivitas pusat riset ini dapat dikembangkan melalui kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Riset di daerah. (P18). Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa. Fasilitas perbaikan dan rekayasa diperlukan untuk mendukung secara langsung aktivitas industri. (P19). Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian.
Fasilitas laboratorium
pengujian saat ini semakin diperlukan mengingat semakin ketatnya standar
113 kualitas produk yang diberlakukan oleh konsumen, terutama konsumen di Luar Negeri. (P20). Pembangunan fasilitas training.
Fasilitas training diperlukan sebagai
tempat pelatihan dan pengembangan kemampuan SDM. (P21). Pembangunan pusat promosi dan bisnis. memerlukan fasilitas promosi dan bisnis. memperkenalkan
kawasan
industri dan
Setiap kawasan industri
Promosi perlu dilakukan untuk produk-produk
yang
dihasilkan.
Kegiatan bisnis diperlukan untuk memasarkan produk industri dan juga sebagai sarana pendukung aktivitas industri manufaktur. (P22). Penyiapan sistem transportasi bersama. Sistem transportasi bersama akan berkontribusi pada pengurangan biaya ekonomi dan sosial lalu lalang orang, termasuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. (P23). Penyusunan Program CSR.
Program-program tanggung jawab sosial
masyarakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak pelaku industri. Penerapan program ini secara baik akan mendapatkan umpan balik positif dari masyarakat. (B). Hubungan Kontekstual Implementasi AEIP Prioritas Simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan hubungan kontekstual antar sub-elemen adalah V, A, X, dan 0, dimana: •
V: apabila sub-elemen (1) mendukung sub-elemen (2), tetapi tidak sebaliknya.
•
A: apabila sub-elemen (2) mendukung sub-elemen (1), tetapi tidak sebaliknya.
•
X: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), saling mendukung.
•
O: apabila sub-elemen (1) dan sub-elemen (2), tidak saling mendukung. Hubungan kontekstual antar sub-elemen dari Implementasl AEIP Bitung
Prioritas dicantumkan di dalam 7a dan Lampiran7b. (C). Posisi Sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas di dalam Empat Sektor Posisi sub-elemen plot ke dalam empat sektor dari Implementasi AEIP Prioritas diperlihatkan di dalam Gambar 6.8. Struktur
sub-elemen
dari
Implementasi AEIP Prioritas diperlihatkan di dalam Gambar 6.8. Dari gambar
114
5 2
D a y a D o 0 r o n g
Sektor IV
6 7, 8 11 13 2
3
4
4
5
6
7
8
9
1 9 10 Sektor I
22
20 19 18 17 16 15 Sektor III 14 13 12 13, 17, 18, 19, 20, 11 21 10 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 8 7 6 5 Sektor II 4 3 23 2 16 1 12, 14 15 0
Ketergantungan
Gambar 6.8. Posisi Sub-elemen Program Pengembangan AEIP Prioritas dalam Empat Sektor tersebut diketahui bahwa sub-sub elemen, yaitu: Pendirian perusahan pengelola kawasan industri
(P5), Penyusunan masterplan kawasan industri (P2),
Perumusan tata tertib kawasan industri P6), Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan (P11), Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela (P7), dan Penyiapan sistem rekruitmen tenan (P8), berada pada Sektor IV (independent).
Hal ini
menunjukkan pencapaian ke-lima program tersebut akan menimbulkan multiplier effect terhadap pencapaian program lainnya. (D). Diagram Model Struktural Elemen Implementasi AEIP Prioritas Berdasarkan daya dorong dan ketergantungan masing-masing sub-elemen Implementasi AEIP Prioritas, tersusun diagram model struktural, seperti terlihat pada Gambar 6.9. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa terdapat sembilan hirarki Implementasi AEIP Prioritas. Berdasarkan peringkat daya dorong (driver power) maka Penyusunan masterplan kawasan industri (P2), dan Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP (P3) merupakan sub-sub elemen kunci yang perlu dijadikan sebagai patokan dalam Implementasi AEIP Prioritas.
Sub-elemen
program lainnya, yaitu Sosialisasi AEIP (P4) juga perlu diperhatikan karena memiliki daya dorong yang lebih kuat dibandingkan dengan sub-elemen program lainnya.
115 14
12
15
16
23
13
17
18
7
19
8
20
10
6
9
1
5
21
22
11
4
2
3
Gambar 6.9. Diagram Model Struktural elemen Implementasi AEIP Prioritas (E). Elemen Kunci dari Implementasi AEIP Prioritas Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci dari program Implementasi AEIP Prioritas adalah: 1. Penyusunan masterplan kawasan industri. 2. Pembentukan POKJA pengembangan AEIP Bitung. Hasil kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa model prioritas adalah Model AEIP yang terdiri atas aktivitas industri manufaktur yang didukung oleh kegiatan-kegiatan pertukaran material dan limbah, industri agro-kompleks seperti penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), dan pengolahan limbah cair, dan fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan. Pembahasan selanjutnya mengenai Perancangan Model Dinamik AEIP Bitung merupakan penjabaran dari model ini. (F). Tahapan Pelaksanaan Implementasi AEIP Prioritas Berdasarkan hasil analisis terhadap sub-sub elemen Implementasi AEIP Prioritas maka urutan tahapan program yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan masterplan kawasan industri. 2. Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP.
116 3. Sosialisasi AEIP. 4. Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham. 5. Pendirian perusahan pengelola kawasan industri. 6. Perumusan tata tertib kawasan industri. 7. Penetapan pola harga kapling industri. 8. Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela. 9. Penyiapan sistem rekruitmen tenant. 10. Pembangunan infrastruktur kawasan industri. 11. Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan. 12. Pembangunan fasilitas daur ulang. 13. Pembangunan fasilitas riset. 14. Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa. 15. Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian. 16. Pembangunan fasilitas training. 17. Pembangunan pusat promosi dan bisnis. 18. Penyiapan sistem transportasi bersama. 19. Penyusunan Program CSR. 20. Pembangunan klinik kesehatan. 21. Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat. 22. Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk. 23. Pembangunan perumahan karyawan.
6.1.4. Rangkuman Rangkuman dari hasil bahasan di atas adalah sebagai berikut: 1. Sub-sub
elemen
kunci
Tujuan
Pengembangan
AEIP
adalah:
(a)
Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan, (b) Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela. 2. Sub-sub elemen kunci Kendala Utama Pengembangan AEIP adalah: (a) Konsep AEIP belum dipahami dengan baik, (b) Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur. 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa Model AEIP yang meliputi kegiatankegiatan: industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan fasilitas
117 pengolahan limbah cair merupakan alternatif model AEIP prioritas yang dapat dikembangkan di Kota Bitung. 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa elemen-elemen kunci dari Implementasi AEIP Prioritas adalah: (a) Penyusunan masterplan kawasan industri, (b) Pembentukan POKJA pengembangan AEIP.
6.2. Perancangan Model Dinamik Program Pengembangan AEIP Bitung 6.2.1. Penyusunan Model Dinamik Model
dinamik
Pengembangan
AEIP
Bitung
disusun
dengan
mempertimbangkan kondisi pasokan bahan baku, kondisi aktual industri manufaktur, persepsi masyarakat terhadap aktivitas industri manufaktur, pola keterkaitan antar industri, kondisi lingkungan, dan tahapan Implementasi AEIP Prioritas. Dalam membangun model, parameter-parameter tersebut di atas didekati dengan variabel-variabel, yaitu: limbah cair dan bahan ikutan, bahan baku, jumlah industri manufaktur/industri agro, tenaga kerja, nilai produksi, dan pembangkitan energi terbarukan. Penerapan prinsip-prinsip ekologi industri dilakukan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara industri (simbiosis) dan pola jaringan tertutup (closed loop), seperti di dalam Gambar 6.10. Model dibangun dengan asumsi bahwa bahan baku, baik perikanan laut maupun kelapa, tersedia secara lokal dan atau tersedia melalui pasokan impor dari lokasi/daerah lain, dan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah yang menjamin pasokan bahan baku (misalnya melalui penegakan hukum terhadap penjualan ikan di tengah laut secara ilegal dan atau pemberantasan praktek illegal fishing). Model dibangun dengan mempertimbangkan “kawasan” sebagai faktor pembatas sehingga yang menjadi komponen penyusun aliran informasi dalam setiap “flow” adalah jumlah industri, kapasitas produksi, dan akumulasi produksi. Dengan demikian maka kebutuhan bahan baku dalam model ini diketahui melalui pendekatan produksi.
118
INPUT LINGKUNGAN
AGROEIP Nilai Produk si
k ale ng
Pe m bangk it Te naga An
Industri Be rbasis Pe rik anan Laut
Pe m bangk it Te naga Su
Industri Be rbasis Ke lapa
Prod Hortik ultura Minyak k e de lai
Pe nye rapan TK
Lim bah Padat
Produk Industri Pe rik anan Laut
Lim bah C air
Produk Industri Ke lapa
Ind VC O
Bahan Ik utan
Arm ada Pe nangk ap Ik an Industri Biodie se l TPA
Ind Pak an
Industri Nata de C oco
Indust turuna k e lapa lainnya
Pe ngara Te m pu
Pe ngom posan Bhn O rganik Pe ngge m uk an Sapi
Tam an/ R TH
Pusat Pe ngolahan Lim bah C air
Pe te rnak an Ayam
R PH
Pusat Pe nyim panan dingin
Gambar 6.10. Parameter-parameter dalam Model AEIP Bitung Keterangan: Struktur Model AEIP Bitungterdiri atas variabel-variabel yang terdapat di dalam kotak dengan garis terputus, sedangkan variabelvariabel di luarnya merupakan input lingkungan.
119 Berdasarkan hasil analisis terhadap status industri manufaktur/agro yang meliputi kinerja industri agro, persepsi pemangku kepentingan terhadap aktivitas industri agro, pola keterkaitan antar industri, dan model alternatif prioritas, maka disusun Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park Bitung (AEIP Bitung), Provinsi Sulawesi Utara yang disingkat MP-AEIP Bitung. Model tersebut terdiri atas sub-sub model, yaitu: (1) Sub-model Industri Berbasis Perikanan Laut, (2) Sub-model Industri Berbasis Kelapa, (3) Sub-model Industri Agro-Kompleks, dan (4) Sub-model Sumber Energi Terbarukan (5) Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan (Gambar 6.13 s/d Gambar 6.20.). Struktur Model MP-AEIP Bitung disajikan di dalam Lampiran 10, sedangkan Koefisien dan Persamaan masingmasing variabel disajikan di dalam Lampiran 12. Di dalam model ini, kegiatan-kegiatan industri seperti peternakan ayam, penggemukan sapi, pengomposan, dan pengarangan tempurung, secara optional dapat terletak di sekitar atau di luar kawasan AEIP Bitung, tapi secara legal formal menjadi bagian dari AEIP Bitung. Tujuan utama dibangunnya model adalah untuk menunjukkan output berkaitan dengan waktu dari Kawasan AEIP Bitung, baik dalam bentuk Nilai Produksi, Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja, dan Pengelolaan Lingkungan khususnya terhadap penurunan limbah industri dan peningkatan penggunaan bahan ikutan perikanan laut dan kelapa. Data dasar yang digunakan untuk mendeskripsikan Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut diperlihatkan dalam Tabel 6.2. Penjumlahan dari semua Kebutuhan Bahan Baku dari semua jenis industri berbasis Perikanan Laut memberikan informasi mengenai Kebutuhan Bahan Baku (Ikan Segar) dari AEIP Bitung. Kebutuhan bahan baku tersebut selanjutnya dibandingkan dengan Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara. Apabila nilainya adalah positif maka terdapat peluang untuk mengekspor, sebaliknya bila nilainya adalah negatif maka untuk memenuhi kebutuhan industri perlu dilakukan upaya pasokan bahan baku melalui import dari daerah lain, khususnya dari wilayah Indonesia Bagian Timur.
120 Tabel 6.2. Data Dasar Industri Berbasis Perikanan Laut yang Digunakan dalam Pemodelan Data Dasar
Sumber Data
0,6 0,6 0,2 0,6 0,15
Pajow (2009) Idem Idem Idem Data Prediksi
Kapasitas Produksi (kg/unit/hari) - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Kayu - Tepung Ikan
9.585 5.838 14.771 4.054
Disperindag Kota Bitung (2008)
4
Harga Produk (Rp/kg): - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Asap - Ikan Kayu - Tepung Ikan Isi Ikan per Kaleng (kg)
15000 12000 12500 25000 6.250 1,298
5
Air Tawar (kg)
0,386
6
Minyak Kedelai (kg)
0,325
7
Air Garam (kg)
0,0035
Pajow (2009)1) Idem Idem Idem Idem PT. Deho Canning Co. (2009) PT. Deho Canning Co. (2009) PT. Deho Canning Co. (2009) PT. Deho Canning Co. (2009)
8
Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulut (kg)
181.451.000
Sulut Dalam Angka 2008
9
Rasio Tenaga Kerja IB
13.349 kg/ TK/Thn
Dinas Perindag Kota Bitung (2008)
No 1
2
2
3
Peubah Rendemen dari ikan segar (%) - Ikan Kaleng - Ikan Beku - Ikan Kayu - Ikan Asap Rendemen Tepung Ikan dari ikan segar,%
1)
1)
Keterangan
Industri Besar Ind Besar, Sedang, Kecil Industri Besar Industri Kecil Diturunkan dari data bahwa berat bersih ikan (fillet) adalah 60% dr berat ikan segar (dengan kadar air 60%), kemudian dikeringkan menjadi tepung dengan kadar air 10%. - Total produksi dibagi jumlah industri per hari (jumlah hari dalam setahun: 360 HOK) - Total 5 unit usaha existing - Total 20 unit usaha existing - Total 5 unit usaha existing - Total 2 unit usaha existing
Nilai rata-rata dari 10 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch Nilai rata-rata dari 5 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch Nilai rata-rata dari 5 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch Nilai rata-rata dari 10 kode kaleng ukuran ∅ 603 inch dengan prediksi konsentrasi garam sebanyak 2%. 6 5 Y = -0,845x + 31,526x – 4 3 388,76x + 1355,8x + 2 4960,6x - 21270x + 127195 R2 = 0,9422 -
Keterangan: Komunikasi pribadi (2009).
Grafik produksi perikanan laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 diperlihatkan di dalam Gambar 6.11. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa persamaan fungsi produksi perikanan laut adalah Y= -0,845x6+31,526x5388,76x4+1355,8x3+4960,6x2-21270x+127195 dengan koefisien determinasi (R2)
121 adalah 0,9422. Grafik menunjukkan bahwa produksi perikanan laut di Provinsi Sulawesi Utara tumbuh secara polinomial, yaitu mengalami peningkatan dan penurunan produksi secara gradual. Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 19942007 250000
Produksi (ton)
200000
150000 Series1 Poly. (Series1) 100000
y = -0.845x 6 + 31.526x 5 - 388.76x 4 + 1355.8x 3 + 4960.6x 2 21270x + 127195 R2 = 0.9422
50000
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
13 14
Tahun
Ket: tanda baca titik pada penulisan angka dibaca koma.
Gambar 6.11. Grafik Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 Grafik produksi kelapa (setara kopra) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 19942007 disajikan dalam Gambar 6.12. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa persamaan fungsi produksi kelapa adalah Y=-1,1229x6 +54,399x5981,5x4+8275,5x3-4621x2+68849x+251736 dengan nilai koefisien determinasi (R2) adalah 0,801.
Grafik menunjukkan bahwa produksi kelapa di Provinsi
Sulawesi Utara tumbuh secara polinomial, yaitu mengalami peningkatan dan penurunan produksi secara gradual. Pembangunan jenis-jenis industri dan kegiatan lainnya di AEIP Bitung dilakukan secara bertahap, sebagaimana yang diperlihatkan di dalam Tabel 6.3. Waktu keseluruhan pembangunan diasumsikan selama 15 tahun dengan beberapa pertimbangan, yaitu: lama waktu realisasi investasi, ketersediaan bahan baku, selesai dibangunnya dan beroperasinya industri pemasok bahan baku, ketersediaan pasar, dan faktor lainnya.
122 Produksi Kelapa (Setara Kopra) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 350000
Produksi (ton)
300000 250000 Series1
200000 6
4
5
3
2
y = -1.1229x + 54.399x - 981.5x + 8275.5x - 34621x + 68849x + 251736 R2 = 0.801
150000 100000
Poly. (Series1) Poly. (Series1)
50000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
13 14
Tahun
Ket: tanda baca titik pada penulisan angka dibaca koma.
Gambar 6.12. Grafik Produksi Kelapa Setara Kopra Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1994-2007 6.2.1.1. Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut terdiri atas Produksi Ikan Kaleng; Ikan Beku, Ikan Kayu, Ikan Asap, Tepung Ikan, dan Pakan Ternak. “Flow” dari ikan kaleng, ikan beku, dan ikan asap terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri, pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Sedangkan ”flow” dari ikan asap, tepung ikan, dan pakan ternak terdiri atas tambahan industri, pertumbuhan industri, dan jumlah industri, yang mana informasi jumlah industri tersebut bersama-sama dengan kapasitas produksi industri menentukan pertumbuhan produksi, yang akhirnya menentukan akumulasi (level) dari produksi. Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis produk industri tertentu dilakukan secara bertahap dengan selang waktu sekitar satu sampai lima belas tahun. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk Fungsi DELAYPPL, IF, dan PULSE.
123 Tabel 6.3. Tahapan Pembangunan Industri Agro dan Fasilitas AEIP Bitung No
Tahun Pembangunan (20..)
Jenis Industri 10
11
12
13
14
15
1
Ikan Kaleng
2
Ikan Beku
3
Ikan Kayu
4
Minyak Kelapa
5
Kelapa Parut Kering (KPK)
6
Arang Aktif
7
Ikan Asap
8
Tepung Ikan
xx
9
Pakan Ternak
xx x
10
Minyak Kelapa dari Paring
11
Biodiesel
12
VCO
16
17
18
19
20
21
22
23
24
x
Jumlah (Unit) 1
x
1 x
1
x
1
x
1 x
x
1 x
x
x
x
x
x
4
xx
4 xx x
6
x
4 x
x
x
x
1
x
13
Arang Tempurung
x
14
Nata de Coco
x
x
x
x
x
5
15
Coco Vinegar
x
x
x
x
x
x
6
16
Kecap Kelapa
x
x
x
x
x
x
6
17
Minuman Ringan
18
Santan
19
Bahan Kosmetik
20
Peternakan Ayam
21
Penggemukan Sapi
22
RPH
23
Pengomposan
24
Pembangkit Listrik Tenaga Angin
x
1
25
Pembangkit Listrik Tenaga Surya
x
1
x
x
4 x
x
x
x
3
x
x
x
x x
4
2 2 1
x
1
x
1
x
x
Jumlah
2
64
Produksi Ikan Kaleng, Ikan Beku, dan Ikan Kayu dalam sub-model Industri Berbasis Perikanan Laut dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: PP pl = KP pl *JIpl PIpl = PP pl *Waktu Dimana: PP pl = Pertumbuhan produksi Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu (kg/hari) PIpl = Produksi industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu (kg) KP pl = Kapasitas produksi industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu (kg/unit/hari). JIpl = Jumlah industri Ikan Kaleng; Ikan Beku; Ikan Asap; atau Ikan Kayu (unit). Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan:
124 Nilai Produksipl = Produksipl *Harga Produk Industri pl Dimana:
pl = jenis-jenis industri perikanan laut
Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg Produksi Ikan Asap, Tepung Ikan, dan Pakan Ternak dalam sub-model Industri Berbasis Perikanan Laut dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: Pertumbuhan Ind pl = PULSE(Tambahan Industripl , STARTTIME+ Waktu Dimulai <
>, Interval Waktu<>) Dimana: Pertumbuhan Ind pl
= pertumbuhan industri perikanan laut.
STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari) Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari) Tambahan Jlh Ind pl = IF(TIME-STARTTIME>, penambahan jumlah Industri pl <>, 0<> ) Dimana:
Tambahan Jlh Ind pl = tambahan jumlah industri perikanan laut
Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran masa dari setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi produk dari jenis industri tertentu dalam berat tertentu. Kebutuhan Bahan Baku pl = 1/(Produksipl *Rendemen x ) Dimana:
Kebutuhan Bahan Baku pl Rendemen pl
= kg = % (angka pecahan positif).
Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut di atas direpresentasikan dalam Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut, seperti Gambar 6.15.
125 6.2.1.2. Sub-Model Industri Berbasis Kelapa Sub-Model Industri Berbasis Kelapa terdiri atas Produksi Minyak Kelapa; Kelapa Parut Kering (KPK), Arang Aktif, Biodiesel, Arang Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan. Aliran masa dari produksi Minyak Kelapa, KPK, dan Arang Aktif terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri, pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Aliran masa dari Biodiesel, Arang Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan terdiri atas: Tambahan Industri, Pertumbuhan Industri, Jumlah Industri, Kapasitas Produksi, Pertumbuhan Produksi, dan Akumulasi Produksi. Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis produk industri tertentu dilakukan secara bertahap dengan selang waktu sekitar satu sampai lima belas tahun. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya DELAYPPL , IF, dan PULSE. Produksi Minyak Kelapa, KPK, dan Arang Aktif dalam sub-model Industri Berbasis Kelapa dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: PP k = KP k *JIk PIk
= PP k *Waktu
Dimana: PP k = Pertumbuhan produksi minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg/hari) PIk = Produksi industri minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg) KP k = Kapasitas produksi minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (kg/unit/hari). JI k = Jumlah industri minyak kelapa; produksi KPK; atau arang aktif (unit). Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan: Nilai Produksik = Produksik *Harga Produk Industri k Dimana:
k = jenis-jenis industri berbasis kelapa
Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg
126 Produksi Biodiesel, Arang Tempurung, VCO, Minyak dari Paring, Coco Vinegar, Kecap Kelapa, Minuman Ringan, Bahan Kosmetik, dan Santan dalam sub-model
Industri
Berbasis
Kelapa
dibangun
berdasarkan
persamaan
matematik sebagai berikut: Pertumbuhan Ind k = PULSE(Tambahan Industrik , STARTTIME+ Waktu Dimulai <>, Interval Waktu<>) Dimana: k
= jenis-jenis industri berbasis kelapa.
Pertumbuhan Ind k
= pertumbuhan industri kelapa.
STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari) Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari) Tambahan Jlh Ind k = IF(TIME-STARTTIME>, penambahan jumlah Industri k <>, 0<> ) Dimana: Tambahan Jlh Ind k = tambahan jumlah industri kelapa. Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran massa dari setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi produk dari jenis industri tertentu dalam berat tertentu. Kebutuhan Bahan Baku k = 1/(Produksik *Rendemen k ) Dimana:
Kebutuhan Bahan Baku k Rendemen k
= kg = % (angka pecahan positif).
Data dasar yang digunakan dalam penyusunan model industri berbasis kelapa adalah seperti pada Tabel 6.4. Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut di atas direpresentasikan dalam Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa (Gambar 6.16.).
127 Tabel 6.4. Data Dasar Industri Berbasis Kelapa yang Digunakan dalam Pemodelan No 1
Peubah Potensi Kelapa (Setara Kopra) Provinsi Sulut
Data Dasar 229.613.000 (kg)
Sumber Data Sulut Dalam Angka 2008
Keterangan 6 5 Y= -1,1229x + 54,399x 4 3 981,5x + 8275,5x 2 4621x + 68849x + 251736 2 R = 0,801
2
Rasio Tenaga Kerja IB
199.500 kg produk kelapa/TK/ tahun
Dinas Perindag Kota Bitung (2008)
Rasio diperoleh dengan membandingkan kapasitas produksi total dengan jumlah tenaga kerja
3
Rendemen: Arang aktif
75%
PT. Mapalus Makawanua (2009) Patandung (2009)1)
Terhadap arang tempurung Terhadap batok kelapa
Wikipedia (2010) Dinas Perindag Kota Bitung (2008) Pojoh dkk. (2000) Data prediksi dibandingkan dengan rendemen minyak kelapa Dinas Perindag Kota Bitung (2008) Lumingkewas (2009)2)
Terhadap minyak kelapa Terhadap kopra
Arang Tempurung Biodiesel Bungkil Kopra
30%
KPK Bahan Kosmetik
20% 20%
Minyak Kelapa
60%
90% 58,4%
Minyak dari 25% Paring Paring dari KPK 25% Pojoh dkk. (2000) Santan 30% Lumingkewas (2009)2) VCO 15% Lumingkewas (2009)2) 1) 2) Keterangan: Komunikasi Pribadi (2009).
Terhadap kelapa segar Terhadap kelapa segar
Terhadap kopra Terhadap paring Terhadap kelapa segar Terhadap kelapa segar Terhadap kelapa segar
6.2.1.3. Sub-Model Industri Agro-Kompleks Sub-Model Industri Agro-Kompleks terdiri atas Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), dan Pengomposan. Aliran masa industri Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, dan Rumah Potong Hewan (RPH) terdiri atas jumlah industri, kapasitas produksi setiap unit industri, pertumbuhan produksi, dan akumulasi produk. Untuk mengantisipasi adanya keterbatasan pasokan bahan baku maka pembangunan industri untuk jenis ini dilakukan secara bertahap. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya “DELAYPPL.” Aliran masa dari Industri Penggemukan Sapi; Peternakan Ayam, dan Rumah Potong Hewan (RPH) dalam Sub-Model Agro-Kompleks dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut:
128
Potensi Perikanan Laut Provinsi Sulawesi Utara
Eksport Ikan Segar Rend Ikan Kaleng Secara Langsung
Minyak Kedelai per kaleng
Garam per Kaleng
Air Tawar per Kaleng
Kebut Minyak kedelai
Isi per Kaleng
Kebut Kaleng
Kebut Total Ikan Segar
Import Ikan Segar dari Luar Sulut
Kebut Garam
Jlh TK per Ind Ikan Asap
Harga Ikan Kaleng
Kebut Air Tawar Pengisi Ikan Kaleng
Jlh TK Ind Ikan Asap NP Ikan Kaleng
BB Ikan Kaleng Prod Ikan Kaleng PProd Ikan Kaleng
Rendemen Ratarata Ind Perikanan Laut
NP Ikan Beku
Jlh Ind Ikan Kaleng BB Ikan Beku
Prod Eksisting Ind Kebut Eksisting dari Perikanan Laut Ind Perikanan Laut
Tambahan Ind Ikan Asap
Harga Ikan Beku
KP Ikan Kaleng Jlh Ind Ikan Asap
Kebut Ikan Segar Rendemen Ikan Beku Agro-EIP
Rendemen IkanAsap
Prod Ikan Beku
N B
Pertmb Ind Ikan Asap
PProd Ikan Beku
Prod Ind Tepung Ikan PProd Tepung Ikan
BB Ikan Asap
Rendemen Ikan Kayu Jlh Ind Ikan Beku
Prod Ind Ikan Asap PProd Ikan Asap
KP Ikan Beku
KP Ind Tepung Ikan NP Ind Tepung Ikan
NP Ikan Kayu
Jlh Ind Tepung Ikan Pertmb Ind Tepung Ikan Tambahan Jlh Ind Tepung Ikan
Bahan Baku Ikan Kayu
Prod Pakan Ternak
Harga Ik Asap
Harga Tepung Ikan
Jlh TK Ind Tepung Ikan
Prod Ikan Kayu
KP Ikan Asap
Harga Ikan Kayu
Jlh Ind Pakan Ternak Jlh TK per Ind Tepung Ikan
NP Ikan Asap
PProd Pakan Ternak
Pertmb Ind Pakan Ternak
NP Pakan Ternak Harga Pakan
PProd Ikan Kayu
Gambar 6.13. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut
129
Gambar 6.14. Diagram Alir Sub-Model Industri Berbasis Kelapa
130
Gambar 6.15. Diagram Alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks
131
Gambar 6.16. Sub-Model Sumber Energi Terbarukan
Gambar 6.17. Luasan Lahan yang Dibutuhkan
132
Gambar 6.18. Diagram Alir Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan
133
Gambar 6.19. Diagram Alir Penyerapan Tenaga Kerja
.
Gambar 6.20. Diagram Alir Nilai Produksi AEIP Bitung
134 PP ak = KP ak *JIak PIak = PP ak *Waktu Dimana: PP ak = Pertumbuhan produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (ekor/hari) PIak = Produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (ekor) KP ak = Kapasitas produksi penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (kg/unit/hari). JIak = Jumlah industri penggemukan sapi; peternakan ayam; atau RPH (unit). Dari setiap ”level” yang merupakan akumulasi produksi dari masing-masing industri akan diperoleh nilai produksi, dengan persamaan: Nilai Produksiak = Produksiak *Harga Produk Industri ak Dimana:
ak = jenis-jenis industri agro kompleks
Satuan-satuan: Nilai produksi = Rp Produksi = kg Harga Produk Industri = Rp/kg Produksi Kompos dalam Sub-model Industri Agro-Kompleks dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: Pertumbuhan Ind ak = PULSE(Tambahan Industriak , STARTTIME+ Waktu Dimulai <>, Interval Waktu<>) Dimana: Pertumbuhan Ind ak
= pertumbuhan industri agro-kompleks.
STARTTIME+Waktu dimulai = Saat dimana pertambahan industri pertama kali terjadi (hari) Interval waktu = jarak waktu tambahan jumlah industri (hari) Tambahan Jlh Ind ak = IF(TIME-STARTTIME>, penambahan jumlah Industri ak <>, 0<> ) Dimana: Tambahan Jlh Ind ak = tambahan jumlah industri agro-kompleks
135 Selanjutnya, merujuk pada akumulasi produksi untuk setiap jenis industri akan diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh setiap aliran massa dari setiap jenis industri, dengan mempertimbangkan rendemen dari masing-masing produk industri. Rendemen merupakan nilai persentasi yang menyatakan jumlah bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan produk dari jenis industri tertentu dalam berat tertentu. Kebutuhan Bahan Baku ak = 1/(Produksiak *Rendemen n ) Dimana:
Kebutuhan Bahan Baku ak
= kg
Rendemen ak
= % (angka pecahan positif).
Data dasar yang digunakan dalam penyusunan Sub-model Industri AgroKompleks adalah seperti pada Tabel 6.5. Tabel 6.5. Data Dasar Industri Agro-Kompleks yang Digunakan dalam Pemodelan No
Data Dasar
Sumber Data
Keterangan
1
Peubah Rendemen Kompos
75%
Data asumsi
2
Urine sapi
5 ltr/ekor/hari
3 4 5
Air cuci kandang Feces ternak sapi Feces ayam
25 ltr/ekor/hari 10 kg/ekor/hari 0,01 kg/ekor/hari
Suharyanto dan Rinaldy (2009) Data asumsi Nugroho (2008) Suharyanto dan Rinaldy (2009)
Terhadap feces, urine dan darah ikan -
Dinamika yang terbentuk sebagai hasil integrasi berbagai elemen tersebut di atas direpresentasikan dalam Diagram alir Sub-Model Industri Agro-Kompleks (Gambar 6.15.). 6.2.1.4. Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan Sub-model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan dibangun berdasarkan hasil kajian mengenai potensi sumber energi terbarukan dan keterkaitan beberapa elemen. Struktur Sub-Model adalah seperti pada Gambar 6.16., sedangkan koefisien dan persamaan masing-masing disajikan dalam Lampiran12. Dalam Sub-Model ini, pembangunan kedua jenis pembangkit listrik ini dilakukan pada tahun ke-sebelas setelah kawasan industri dibangun. Dalam model yang dibangun, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk adanya DELAYPPL.
136 Potensi sumber energi terbarukan terdiri atas tenaga angin dan radiasi matahari yang diprediksi secara kumulatif menggunakan data dasar rata-rata tahunan menjadi tenaga alam, total produksi listrik, serta nilai produksi listrik. Data dasar yang digunakan dalam Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan disajikan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Data Dasar Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan No 1
Data Dasar 800
Sumber Data Rostyono, 1988
Ket
2
Peubah Intensitas radiasi 2 matahari (w/m ) Konversi tenaga angin
4000 w/knots
Rostyono, 1988
-
3
Simpul angin1)
5
Data asumsi
-
4
Kecepatan angin rata-rata
19,85 knots
BPS Bitung (2008)
-
5
Lama Penyinaran
64,5%
BPS Bitung (2008)
-
-
1)
Ket: Tempat pemusatan angin yang berpotensi menggerakkan turbin
Sub-Model Sumber Energi Terbarukan dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: TA = KA*KTA*JSA Dimana: TA = Tenaga angin KA = Kecepatan angin KTA = Konversi Tenaga Angin JSA = Jumlah simpul angin TM = LP*IRM Dimana: TM = Tenaga matahari LP = Lama penyinaran IRM = Intensitas radiasi matahari 6.2.1.5. Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan merupakan salah satu pokok perhatian di dalam MP-AEIP Bitung, karena tujuan dari model ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari bahan ikutan dan limbah dengan cara memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan tersebut berpotensi menguntungkan dari sisi ekonomi dan dari sisi berkurangnya beban limbah yang harus diolah. Berkurangnya beban limbah yang harus diolah berarti menurunkan biaya perlakuan terhadap limbah serta mengurangi biaya lingkungan dan sosial dari limbah cair industri.
137 Limbah dan Bahan Ikutan yang dihasilkan oleh semua jenis industri adalah: limbah air cucian bahan baku serta alat dan mesin, darah ikan, darah ternak, urine, feces ternak, dan air pemasakan ikan. Bahan ikutan yang dihasilkan oleh semua jenis industri adalah: air kelapa, tempurung kelapa, paring kelapa, kepala ikan, sirip, ekor, daging coklat, dan isi perut. Dari keseluruhan limbah dan bahan ikutan tersebut di atas, hanya limbah air cucian bahan baku serta alat dan mesin saja yang belum diolah lebih lanjut menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis. Di dalam AEIP Bitung, limbah air cucian ini dikumpulkan secara terpusat dan diolah di Pusat Pengolahan Limbah Cair Terpusat, yang selanjutnya dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan oleh petani tambak ikan. Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan merupakan kesatuan yang utuh dengan sub-model lainnya.
Parameter-parameter penyusun sub-model ini
adalah: 1. Limbah Padat Industri = Merupakan penjumlahan dari limbah padat semua jenis industri. 2. Air Cucian Alat dan Mesin= Merupakan penjumlahan dari semua air cucian alat dan mesin dari semua jenis industri 3. Limbah Cair Ikan= Merupakan hasil perkalian dari jumlah ikan segar yang dibutuhkan dengan pemakaian air bersih dari industri perikanan laut. 4. Bahan Ikutan Air Kelapa= Merupakan hasil perkalian dari jumlah air kelapa per butir kelapa segar dengan jumlah kelapa segar yang dibutuhkan. 5. Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut= Merupakan hasil perkalian dari kebutuhan bahan ikutan dengan rendemen bahan ikutan ikan. 6. Paring Kelapa= Merupakan hasil perkalian dari jumlah kelapa segar yang dibutuhkan dengan rendemen paring kelapa dalam industri KPK. 7. Tempurung Kelapa= Merupakan perkalian antara jumlah kelapa segar yang dibutuhkan dengan rendemen tempurung kelapa. 8. Limbah Cair Industri Total= Merupakan hasil penjumlahan dari limbah cair industri kelapa, industri perikanan laut, dan industri agro-kompleks. Data dasar yang digunakan dalam Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan disajikan pada Tabel 6.7.
138 Tabel 6.7. Data Dasar Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan No
Peubah
Data Dasar
Sumber Data
Keterangan
1
Kandungan darah ikan
1%
Data asumsi
2
Konversi limbah padat industri berbasis kelapa Konversi limbah padat industri berbasis perikanan laut
5000kg/m3
Data asumsi
Terhadap berat ikan segar -
1500kg/m3
Data asumsi
-
1500kg/m
3
Data asumsi
-
5
Konversi limbah padat industri agro-kompleks Konversi ternak sapi potong ke ternak ayam potong
50 ekor ayam/1 ekor sapi
Data asumsi
6
Faktor air cucian Ind KPK
2 ltr/kg kelapa
Data asumsi
Dari sisi tingkat kesulitan pemotongan ternak -
7
Faktor air cucian Ind lainnya
0.1 ltr/kg bahan
3
4
-
Struktur Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan adalah seperti pada Gambar 6.18., sedangkan koefisien dan persamaan masing-masing disajikan dalam Lampiran 12. 6.2.1.6. Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan Tenaga Kerja merupakan satu kesatuan dengan parameterparameter lainnya dari Model AEIP Bitung.
Dengan demikian, penyerapan
tenaga kerja merupakan penjumlahan dari tenaga kerja masing-masing jenis industri yang terdapat di dalam AEIP Bitung. Salah satu komponen penting dari Parameter Penyerapan Tenaga Kerja adalah Variabel Pola Keterkaitan Antar Industri, yang nilainya sebesar 23,64%. Datum persentasi ini merupakan hasil analisis terhadap pola keterkaitan antar industri eksisting berdasarkan data survei lapangan yang telah dilakukan. Berdasarkan datum ini maka apabila pola keterkaitan antar industri adalah ≤ 23,64% maka jumlah penyerapan tenaga kerja merupakan gabungan dari: 'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Aktif'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Asap'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Beku'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kaleng'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kayu'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri KPK'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Tepung Ikan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Pakan Ternak. Apabila pola keterkaitan antar industri > 23.64% maka jumlah penyerapan tenaga kerja merupakan gabungan dari:
139 'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Aktif'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Beku'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kaleng'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Ikan Kayu'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri KPK'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Nata'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Penggemukan Sapi'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Peternakan Ayam'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Pakan Ternak'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Tepung Ikan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri VCO'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Arang Tempurung'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Biodiesel'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minyak dari Paring'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Minuman Ringan'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Coco Vinegar'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Kecap Kelapa'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Bhn Kosmetik'+'Jumlah Tenaga Kerja Industri Santan.' Diagram alir dari Penyerapan Tenaga Kerja AEIP Bitung diperlihatkan dalam Gambar 6.19. Terkait dengan adanya pentahapan pembangunan dari jenis-jenis industri, maka pentahapan tersebut juga berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Di dalam diagram alir dari Penyerapan Tenaga Kerja, pentahapan tersebut dinyatakan dalam bentuk Fungsi Delay, yang secara visual terlihat dalam bentuk tanda pagar pada ”link” yang menghubungkan ”auxiliary,” dan Fungsi IF dan PULSE. 6.2.1.7. Nilai Produksi AEIP Bitung Nilai Produksi merupakan satu kesatuan dengan parameter-parameter lainnya dari Model AEIP Bitung. Dengan demikian, Nilai Produksi merupakan penjumlahan dari nilai produksi masing-masing jenis industri yang terdapat di dalam AEIP Bitung. Salah satu komponen penting dari Parameter Nilai Produksi adalah Variabel Pola Keterkaitan Antar Industri, yang nilainya sebesar 23,64%. Datum persentasi ini merupakan hasil analisis terhadap pola keterkaitan antar industri berdasarkan data survei lapangan yang telah dilakukan. Berdasarkan datum ini maka apabila pola keterkaitan antar industri adalah ≤ 23,64% maka jumlah Nilai Produksi merupakan gabungan dari: 'Nilai Produksi Arang Aktif'+' Nilai Produksi Industri Ikan Asap'+' Nilai Produksi Industri Ikan Beku'+' Nilai Produksi Industri Ikan Kaleng'+' Nilai Produksi Industri Ikan Kayu'+' Nilai Produksi Industri KPK'+' Nilai Produksi Industri Minyak Kelapa'+' Nilai Produksi Industri Tepung Ikan'+' Nilai Produksi Industri Pakan Ternak Apabila pola keterkaitan antar industri > 23.64% maka Nilai Produksi merupakan gabungan dari:
140 ”Nilai Produksi Industri Arang Aktif'+''Nilai Produksi Industri Ikan Beku'+''Nilai Produksi Industri Ikan Kaleng'+''Nilai Produksi Industri Ikan Kayu'+''Nilai Produksi Industri KPK'+''Nilai Produksi Industri Minyak Kelapa'+''Nilai Produksi Industri Nata'+''Nilai Produksi Industri Penggemukan Sapi'+''Nilai Produksi Industri Peternakan Ayam'+''Nilai Produksi Industri Pakan Ternak'+''Nilai Produksi Industri Tepung Ikan'+''Nilai Produksi Industri VCO'+''Nilai Produksi Industri Arang Tempurung'+''Nilai Produksi Industri Biodiesel'+''Nilai Produksi Industri Minyak dari Paring'+''Nilai Produksi Industri Minuman Ringan'+''Nilai Produksi Industri Coco Vinegar'+''Nilai Produksi Industri Kecap Kelapa'+''Nilai Produksi Industri Bhn Kosmetik'+''Nilai Produksi Industri Santan.' Diagram alir dari Nilai Produksi AEIP Bitung diperlihatkan dalam Gambar 6.20. Terkait dengan adanya pentahapan pembangunan dari jenis-jenis industri, maka pentahapan tersebut juga berdampak terhadap Nilai Produksi AEIP Bitung. Di dalam diagram alir dari Nilai Produksi, pentahapan tersebut dinyatakan dalam Fungsi Delay, yang secara visual terlihat dalam bentuk tanda pagar pada ”link” yang menghubungkan ”auxiliary,” dan Fungsi IF dan PULSE. 6.2.1.8. Pengujian Model Pengujian model dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan dari model yang dibangun. Mengingat bahwa model AEIP Bitung yang akan dibangun merupakan model yang belum nyata atau belum ada realitas di lapangan, khususnya di Kota Bitung, maka pengujian model hanya akan dilakukan dengan cara melakukan pengujian kesesuaian model, yaitu: (a) apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar dan (b) apakah prosedur perhitungan sudah sesuai. a. Apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar. Persamaan-persamaan fungsi yang digunakan dalam membangun model antara lain adalah persamaan fungsi potensi perikanan laut dan persamaan fungsi potensi kelapa Provinsi Sulawesi Utara. Kedua persamaan adalah fungsi polinominal, yaitu: a.1. Hasil Tangkapan Perikanan Laut Persamaan fungsi hasil tangkapan perikanan laut Provinsi Sulut adalah Y= -0,845x6+31,526x5-388,76x4+1355,8x3+4960,6x2-21270x+127195 dengan koefisien determinasi (R2) adalah 0,9422. Ploting fungsi hasil tangkapan dan hasil simulasi diperlihatkan pada Gambar 6.21.
141
250000
Produksi (ton)
200000 150000 100000 50000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Tahun Series2
Series1
Gambar 6.21. Perbandingan data faktual dan hasil simulasi potensi perikanan laut Provinsi Sulawesi Utara secara grafis Ket: Series 1: Potensi faktual; Series 2: Hasil Simulasi
Hasil plotting dalam grafik menunjukkan bahwa secara visual hasil simulasi produksi perikanan laut memiliki trend yang sama dengan nilai potensi faktual. Hal ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,9442. a.2. Produksi Kelapa Persamaan fungsi potensi kelapa Provinsi Sulut: adalah Y= -1,1229x6 + 54,399x5-981.5x4 + 8275,5x3 - 4621x2 + 68849x + 251736 dengan koefisien determinasi (R2)= 0,801. 350000
Produksi (ton)
300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Tahun Series1
Series2
Gambar 6.22. Perbandingan data faktual dan hasil simulasi potensi kelapa Provinsi Sulawesi Utara secara grafis Ket: Series 1: Potensi faktual;
Series 2: Hasil Simulasi
142 Hasil plotting dalam grafik menunjukkan bahwa secara visual hasil simulasi produksi kelapa memiliki trend yang sama dengan nilai potensi faktualnya. Hal ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,801. b. Apakah prosedur perhitungan sudah sesuai Prosedur-prosedur perhitungan yang digunakan dalam menyusun model diperlihatkan dalam Koefisien dan Persamaan-persamaan Model AEIP Bitung (Lampiran 12). Koefisien dan persamaan yang digunakan telah disesuaikan dengan kebutuhan realistis penyusunan model dan cara-cara perumusan model yang sesuai dengan program komputer yang digunakan.
Sebagai contoh,
apabila pendirian unit industri tertentu dilakukan pada tahun tertentu setelah AEIP Bitung dibangun maka persamaannya menggunakan Fungsi Delay (tenggat waktu).
Jika pendirian suatu unit industri tertentu dilakukan pada
kondisi tertentu maka digunakan Fungsi IF. Selanjutnya, model telah dibangun dengan menggunakan data dasar yang merujuk pada referensi dan atau informasi dari pakar dalam bidang yang bersesuaian.
6.2.2. Pola Keterkaitan Antar Industri di dalam AEIP Bitung Hasil analisis terhadap Pola Keterkaitan Antar Industri Agro (C) di dalam Model Pengembangan AEIP Bitung yang dibangun dicantumkan pada Lampiran 11.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai C dari MP-AEIP Bitung adalah
0,3667 atau 36,67%. Sedangkan nilai keterkaitan antar industri Manufaktur/Agro yang saat ini sedang beroperasi di Kota Bitung adalah C=0,2364 atau 23,64% atau dengan kenaikan sebesar 13,03%. Walaupun terjadi peningkatan, namun nilai C ini masih di bawah Nilai C Median, yaitu 42,3% (Hardy dan Graedel 2002). Nilai C dari MP-AEIP Bitung diduga akan meningkat apabila pola keterkaitan antar industri manufaktur/agro di dalam kawasan industri semakin diperkuat dan atau keterkaitan dengan industri yang berada di luar AEIP dibentuk. Beberapa pola keterkaitan antar industri agro di dalam MP-AEIP Bitung maupun dengan industri lain di luar AEIP Bitung potensial untuk dibangun. Pertama, air rebusan ikan (pre-cooking) yang kaya akan nilai gizi mempunyai peluang untuk dibeli oleh perusahan lain untuk diolah lebih lanjut, atau langsung di ekspor. Peluang keterkaitan lain adalah dalam memanfaatkan karbon cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan arang tempurung, pemanfaatan daging ikan berwarna coklat, kepala ikan untuk pasar lokal, dan lain-lain.
143
6.2.3. Simulasi Model Simulasi model ditujukan untuk melakukan proyeksi terhadap variabel yang merupakan indikator utama dalam Model Pengembangan AEIP Bitung sesuai dengan dinamika model. Berikut ini dikemukakan hasil proyeksi pengembangan AEIP Bitung untuk kurun waktu lima belas tahun kedepan, yaitu Tahun 2009 s/d Tahun 2024. 6.2.3.1. Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut Jumlah unit usaha dan waktu pembangunan industri berbasis perikanan laut disajikan dalam Tabel 6.8. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah unit usaha yang dirancang untuk didirikan dalam AEIP Bitung dalah sejumlah tujuh belas unit usaha. Kurun waktu yang diperlukan untuk membangun jenis industri ini adalah tiga belas tahun. Lamanya waktu tersebut dirancang untuk mengantisipasi kelangkaan dana investasi dan ketersediaan bahan baku perikanan laut. Tabel 6.8. Jumlah Industri Berbasis Perikanan Laut Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Industri Besar Perikanan Laut (unit) 0 0 0 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3
Industri Menengah dan Kecil Perikanan Laut (unit) 0 0 1 1 1 7 7 7 8 8 10 14 14 14 14
Jumlah Industri Perikanan Laut (unit) 0 0 1 2 2 8 8 8 10 10 12 16 16 17 17
Hasil simulasi yang dilakukan dengan kondisi jumlah unit usaha dan kapasitas produksi sesuai dengan model yang dibangun menunjukkan bahwa total kebutuhan bahan baku sudah berada dalam kategori kekurangan pasokan dengan kisaran angka ± 240.000 ton s/d 297.000 ton per tahun (Tabel 6.9.). Kondisi ini tentu saja akan semakin buruk bilamana industri-industri berbasis perikanan laut yang baru didirikan di kawasan AEIP Bitung. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, seperti pemberantasan illegal fishing, penegakan hukum penjualan ikan di tengah laut, dan lain-lain. Upaya-upaya tersebut akan didiskusikan secara detail pada bagian akhir bab ini.
144 Tabel 6.9. Hasil Simulasi Kondisi Ketersediaan dan Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Tahun
Produksi Perikanan Laut Provinsi Sulut (kg)
Kebutuhan Terkini Provinsi Sulut (kg)
Kebutuhan AEIP Bitung(kg)
Kebutuhan Total (kg)
Potensi Impor (kg)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
127.195.000 111.883.321 110.078.392 120.192.253 137.554.744 156.675.625 172.898.296 183.445.117 187.854.328 187.808.569 186.355.000 186.517.021 189.297.592 191.074.153 180.385.144
412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400 412.301.400
0 0 7.180 14.380 3.216.580 6.425.960 9.635.360 12.844.760 16.061.340 19.763.940 23.466.540 27.176.320 30.886.120 34.595.920 64.893.520
412.301.400 412.301.400 412.308.580 412.315.780 415.517.980 418.727.360 421.936.760 425.146.160 428.362.740 432.065.340 435.767.940 439.477.720 443.187.520 446.897.320 477.194.920
285.106.400 300.418.079 302.230.188 292.123.527 277.963.236 252.051.735 249.038.464 241.701.043 240.508.412 244.256.771 249.412.940 252.960.699 253.889.928 255.823.167 296.809.776
Data menunjukkan bahwa persentasi kebutuhan bahan baku hasil tangkapan perikanan laut untuk AEIP Bitung terkait dengan jumlah unit industri dalam bangun Model AEIP Bitung adalah relatif kecil (Tabel 6.10.). Data menunjukkan bahwa persentasi tersebut berkisar antara 0% s/d 13,60%. Ini mengindikasikan bahwa selama ini industri kelapa di Provinsi Sulawesi Utara sudah mengalami kendala pasokan bahan baku. tersebut selama ini
dipasok
Kekurangan kebutuhan
dari luar Kota Bitung, seperti Kabupaten
Tabel 6.10. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Perikanan Laut Terhadap Kebutuhan Total dari AEIP Bitung Tahun 1 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
2
Kebutuhan Total Ikan Laut Segar dari Industri Berbasis Perikanan Laut di Provinsi Sulawesi Utara 3
Persentasi Kolom 2 Terhadap Kolom 3 4
0 0 7.180 14.380 3.216.580 6.425.960 9.635.360 12.844.760 16.061.340 19.763.940 23.466.540 27.176.320 30.886.120 34.595.920 64.893.520
412.301.400 412.301.400 412.308.580 412.315.780 415.517.980 418.727.360 421.936.760 425.146.160 428.362.740 432.065.340 435.767.940 439.477.720 443.187.520 446.897.320 477.194.920
0 0 0,002 0,035 0,77 1,53 2,28 3,02 3,75 4,57 5,39 6,18 6,97 7,74 13,60
Kebutuhan Ikan Laut dari AEIP Bitung
Sitaro, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud, dan Provinsi Maluku Utara. Adanya peningkatan persentasi dari tahun ke tahun disebabkan oleh bertambahnya jumlah unit usaha industri berbasis perikanan laut yang dibangun dan beroperasi.
145 Tabel 6.11. Hasil Simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut Tahun
Industri Besar Perikanan Laut (Rp)
Industri Menengah dan Kecil Perikanan Laut (Rp)
Jumlah Industri Perikanan Laut (Rp)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
0 0 0 0 28.755.000.000 57.510.000.000 86.265.000.000 115.020.000.000 143.775.000.000 176.029.200.000 208.283.400.000 240.537.600.000 272.791.800.000 305.046.000.000 470.239.200.000
0 0 44.875.000 89.875.000 134.875.000 2.468.500.000 4.808.500.000 7.148.500.000 9.533.375.000 11.918.375.000 15.200.875.000 19.877.000.000 24.557.000.000 29.237.000.000 33.917.000.000
0 0 44.875.000 89.875.000 28.889.875.000 59.978.500.000 91.073.500.000 122.168.500.000 153.308.375.000 187.947.575.000 223.484.275.000 260.414.600.000 297.348.800.000 334.283.000.000 504.156.200.000
Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Perikanan Laut dicantumkan dalam Tabel 6.11. Hasil simulasi menunjukkan bahwa industri berbasis perikanan laut mulai memberikan hasil tahun ke-4 setelah Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-15 setelah selesainya pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp 504.156.200.000. 6.2.2.2. Sub-Model Industri Berbasis Kelapa Jumlah unit usaha dan waktu pembangunan unit usaha industri berbasis kelapa disajikan dalam Tabel 6.12. Unit usaha yang akan dibangun di dalam AEIP Bitung berjumlah 40 unit usaha dan dibangun dalam kurun waktu 15 tahun. Kurun waktu yang cukup panjang tersebut dirancang untuk mengantisipasi kelangkaan dana investasi dan ketersediaan bahan baku kelapa. Tabel 6.12. Jumlah dan Waktu Pembangunan Industri Berbasis Kelapa Tahun
Industri Besar Kelapa (unit)
Industri Menengah Kecil Kelapa (unit)
Jumlah Industri Kelapa (unit)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
0 0 1 1 1 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 5 5 7 13 14 18 21 24 25 30 30 35 37
4 4 6 6 8 15 17 21 24 27 28 33 33 38 40
Hasil simulasi menunjukan bahwa total kebutuhan bahan baku sudah berada dalam kategori kekurangan pasokan dengan kisaran antara 184.724 ton s/d 269.089 ton per tahun (Tabel 6.13.). Kondisi ini tentu saja akan semakin
146 buruk bilamana industri-industri berbasis kelapa yang baru mulai didirikan di kawasan AEIP Bitung. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan
untuk
Tabel 6.13. Hasil Simulasi Ketersediaan dan Kebutuhan Kelapa (Setara Kopra) Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Produksi Kelapa Provinsi Sulut (kg)
Kebutuhan Terkini Provinsi Sulut (kg)
Kebutuhan AEIP Bitung (kg)
Kebutuhan Total (kg)
Import Kelapa Provinsi Sulut (kg)
251.736.000 293.311.276 303.118.902 303.031.363 302.669.178 303.907.563 304.574.602 301.340.931 291.800.934 275.745.452 255.626.000 236.210.502 223.430.534 222.420.081 234.745.802
486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667 486.791.667
0 18.000 40.787 963.587 2.006.053 3.053.640 4.101.240 5.688.840 7.281.227 8.873.627 10.466.027 12.063.213 13.660.413 15.275.563 17.042.830
486.791.667 486.809.667 486.832.453 487.755.253 488.797.720 489.845.307 490.892.907 492.480.507 494.072.893 495.665.293 497.257.693 498.854.880 500.452.080 502.067.230 503.834.497
235.055.666 193.498.390 183.713.550 184.723.890 186.128.542 185.937.744 186.318.305 191.139.575 202.271.958 219.919.841 241.631.693 262.644.377 277.021.545 279.647.149 269.088.695
mengatasi masalah tersebut yang akan didiskusikan secara detail pada bagian akhir dari bab ini. Data menunjukkan bahwa persentasi kebutuhan bahan baku kelapa untuk AEIP Bitung terkait dengan jumlah unit industri dalam bangun Model AEIP Bitung adalah relatif kecil (Tabel 6.14). Persentasi tersebut berkisar antara 0,0037 s/d 3,38%. Ini mengindikasikan bahwa
selama ini industri kelapa di
Provinsi
Tabel 6.14. Hasil Simulasi Persentasi Kebutuhan Bahan Baku Kelapa AEIP Bitung Terhadap Kebutuhan Total Provinsi Sulut Tahun 1 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Kebutuhan Bahan Baku Kelapa dari AEIP Bitung(ton) 2 0 18.000 40.787 963.587 2.006.053 3.053.040 4.101.240 5.688.840 7.281.227 8.873.627 10.466.027 12.063.213 13.660.413 15.275.563 17.042.830
Kebutuhan Bahan BakuTotal dari Industri Berbasis Kelapa di Provinsi Sulawesi Utara (ton) 3 486.791.667 486.809.667 486.832.453 487.755.253 488.797.720 489.845.307 490.892.907 492.480.507 494.072.893 495.665.293 497.257.693 498.854.880 500.452.080 502.067.230 503.834.497
Persentasi Kolom 2 Terhadap Kolom 3 4 0 0,0037 0,0084 0,20 0,41 0,62 0,84 1,16 1,47 1,79 2,10 2,42 2,73 3,04 3,38
Sulawesi Utara sudah mengalami kendala pasokan bahan baku. Kekurangan kebutuhan tersebut selama ini dipasok dari luar daerah, seperti Provinsi
147 Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Adanya peningkatan persentasi simulasi dari tahun ke tahun disebabkan oleh bertambahnya jumlah unit usaha industri berbasis kelapa yang dibangun dan yang selanjutnya beraktivitas. Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa dicantumkan dalam Tabel 6.15. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai produksi industri berbasis kelapa mengalami peningkatan yang siknifkan pada tahun ke-empat setelah Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-10 setelah selesainya pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp 2.908.342.279.100,Tabel 6.15. Nilai Produksi Industri Berbasis Kelapa Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Jumlah Industri Kelapa (unit) 4 4 6 6 8 15 17 21 24 27 28 33 33 38 40
Nilai Produksi Industri Kelapa (Rp) 0 0 0 6.300.000.000 12.600.000.000 18.900.000.000 28.800.000.000 52.725.600.000 76.651.200.000 100.576.800.000 124.502.400.000 148.428.000.000 172.353.600.000 196.279.200.000 220.204.800.000
6.2.2.3. Sub-Model Industri Berbasis Agro-Kompleks Unit usaha agro-kompleks yang akan dibangun di dalam AEIP Bitung berjumlah 3 buah, yakni industri peternakan ayam, industri penggemukan sapi, dan RPH yang dibangun pada tahun ke-8 setelah AEIP Bitung dibangun. Pentahapan pembangunan dilakukan sebagai antisipasi terhadap ketersediaan pakan yang dihasilkan oleh industri pakan ternak.
Hasil simulasi terhadap
jumlah ternak ayam, ternak sapi (setara ayam), dan RPH diperlihatkan pada Tabel 6.16.
148 Tabel 6.16. Jumlah Ternak Ayam, Sapi, RPH Tahun
Penggemukan Sapi (ekor)
Peternakan Ayam (ekor)
0 0 0 0 0 0 0 360 720 1.080 1.440 1.800 2.160 2.520 2.880
0 0 0 0 0 0 0 7.200 14.400 21.600 28.800 36.000 43.200 50.400 57.600
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Produksi RPH (ekor) 0 0 0 0 0 0 0 25.200 50.400 75.600 100.800 126.000 151.200 176.400 201.600
Sisa Ternak Tersedia (ekor) 0 0 0 0 0 296.250 539.250 355.650 172.050 -11.550 -195.150 -109.500 -23.100 63.300 149.700
Hasil simulasi terhadap kebutuhan total pakan industri agro-kompleks per tahun diperlihatkan pada Tabel 6.17. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada Tabel 6.17. Hasil Simulasi Kebutuhan Pakan Industri Agro-Kompleks Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Kebutuhan Total Pakan (kg) 0 0 0 0 0 0 0 453.600 907.200 1.360.800 1.814.400 2.268.000 2.721.600 3.175.200 3.628.800
Produksi Pakan (kg)
Sisa Pakan Tersedia (kg)
0 0 0 0 0 269.250 539.250 809.250 1.079.250 1.349.250 1.619.250 2.158.500 2.698.500 3.238.500 3.778.500
0 0 0 0 0 269.250 539.250 355.650 172.050 -11.550 -195.150 -109.500 -23.100 63.300 149.700
Tahun 2019 s/d 2022 kebutuhan pakan tidak dapat dipasok secara penuh oleh industri pakan yang ada di dalam AEIP Bitung.
Sejak tahun 2023 pasokan
pakan menjadi positif (surplus) sehingga industri pakan dapat mengekspor ke luar AEIP Bitung. Surplus pasokan pakan ternak juga dapat diantisipasi dengan cara meningkatkan jumlah ternak pada industri agro-kompleks. Hasil simulasi Nilai Produksi Industri Agro-Kompleks dicantumkan dalam Tabel 6.18. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pendapatan industri tersebut mulai terealisasi sejak tahun 2017 atau tujuh tahun setelah Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-lima belas setelah selesainya
149 pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari industri ini berjumlah Rp 6.951.500.000.,Tabel 6.18. Nilai Produksi Industri Berbasis Agro-Kompleks Tahun
Peternakan Ayam (Rp)
Penggemukan Sapi (Rp)
RPH (Rp)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
0 0 0 0 0 0 0 90.000.000 180.000.000 270.000.000 360.000.000 450.000.000 540.000.000 630.000.000 720.000.000
0 0 0 0 0 0 0 720.000.000 1.440.000.000 2.160.000.000 2.880.000.000 3.600.000.000 4.320.000.000 5.040.000.000 5.760.000.000
0 0 0 0 0 0 0 25.200.000 50.400.000 75.600.000 100.800.000 126.000.000 151.200.000 176.400.000 201.600.000
Industri Pengomposan (Rp) 0 0 0 0 0 0 0 17.950.000 53.900.000 89.900.000 125.900.000 161.900.000 19.900.000 233.900.000 269.900.000
Industri AgroKompleks (Rp) 0 0 0 0 0 0 0 853.150.000 1.724.300.000 2.595.500.000 3.466.700.000 4.337.000.000 5.209.000.000 6.080.300.000 6.951.500.000
6.2.2.4. Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan yang direncanakan untuk dibangun di dalam AEIP Bitungberjumlah 2 unit, yakni satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Kedua pembangkit listrik tersebut direncanakan dibangun pada tahun ke-11 setelah AEIP Bitung dibangun. Pentahapan pembangunan dilakukan sebagai antisipasi terhadap ketersediaan dana untuk membangun fasilitas tersebut. Tabel 6.19. Potensi Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Potensi Tenaga Angin (watt) 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600 396.600
Potensi Tenaga Surya (watt) 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000 516.000
Produksi Listrik Tenaga Angin (watt) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28.555.200 28.555.200 28.555.200 28.555.200 28.555.200
Produksi Listrik Tenaga Surya (watt) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7.523.280 15.046.560 22.569.840 30.093.120
Produksi Listrik Total (watt) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28.555.200 36.078.480 43.601.760 51.125.040 58.648.320
Hasil simulasi Produksi Total Listrik dari kedua pembangkit listrik tersebut dicantumkan dalam Tabel 6.19. Hasil simulasi menunjukkan bahwa produksi
150 pembangkit listrik dimulai pada Tahun 2020 dan meningkat terus pada tahuntahun selanjutnya. Hasil simulasi terhadap total produksi listrik tenaga angin dan tenaga surya pada Tahun 2024 adalah sebesar 58.648.320 watt. Bila dibandingkan, total kapasitas produksi tersebut hanya sekitar 0,36% dari penggunaan energi listrik oleh industri manufaktur yang saat ini beroperasi di Kota Bitung. Angkanya masih sangat kecil, namun hal ini lebih disebabkan oleh
kapasitas
pembangkitan listrik yang dibangun yang masih kecil (merujuk pada yang sudah dibangun di P. Nusa Penida, Bali). Studi terhadap penerapan EIN (Eco-industrial Networks) di Vancouver, Canada memprediksi adanya penghematan konsumsi daya listrik dan sekaligus biaya listrik sebesar 37,40% (Anonim 2002). Peluang untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas produksi lebih besar sangat terbuka karena dukungan potensi radiasi sinar matahari dan tenaga angin yang memadai. Juga, terdapat peluang untuk membangun pembangkit listrik energi gelombang seperti yang telah dibangun di Pantai Parang Rucuk Tanjungsari Gunung Kidul (Nugrohoadi 2007). Hasil simulasi terhadap Nilai Produksi listrik sumber energi terbarukan diperlihatkan dalam Tabel 6.20. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai produksi pembangkit listrik sumber energi terbarukan mulai terealisasi sejak tahun 2020 atau sebelas tahun setelah Kawasan AEIP Bitung selesai dibangun. Pada tahun ke-15 setelah selesainya pembangunan Kawasan AEIP Bitung, nilai produksi dari pembangkit listrik ini berjumlah Rp 56.888.870,Tabel 6.20. Nilai Produksi Listrik Sumber Energi Terbarukan Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Nilai Produksi Listrik (Rp) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 27.698.544 34.996.126 42.293.707 49.591.289 56.888.870
151 6.2.2.5. Sub-Model Bahan Ikutan, Limbah Padat, Limbah Cair, dan Kompos (A). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut Bahan ikutan industri perikanan laut berupa kepala, sirip, ekor, tulang, isi perut, dan daging coklat dimanfaatkan oleh industri pembuatan tepung ikan dan industri pakan ternak. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa ada industri tertentu yang menjual bahan ikutan tersebut, namun ada juga yang memberikannya secara cuma-cuma kepada industri pengguna. Data hasil simulasi di dalam Tabel 6.21. menunjukkan bahwa pada tahun 2011, 2012, 2013 dan tahun 2022 dan 2023 terjadi kekurangan pasokan bahan ikutan industri perikanan laut.
Kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi
dengan beberapa cara seperti import ikan segar dari daerah lain, pembangunan cold storage skala besar untuk mengantisipasi musim panen besar, penegakan hukum atas illegal fishing dan penjualan ikan di tengah laut kepada nelayan asing. Tabel 6.21. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut (kg) 0 0 2.872 5.752 1.286.632 2.570.384 3.854.144 5.137.904 6.424.536 7.905.576 9.386.616 10.870.528 12.354.448 13.838.368 25.957.408
Penggunaan Bahan Ikutan Perikanan Laut (kg) 0 0 0 0 0 1.705.250 3.415.250 5.125.250 6.835.250 8.545.250 10.614.250 14.030.500 17.450.500 20.870.500 24.290.500
Sisa Tersedia Bahan Ikutan Perikanan Laut (kg) 0 0 2.872 5.752 1.286.632 865.134 438.894 12.654 -410.714 -639.674 -1.227.634 -3.159.972 -5.096.052 -7.032.132 1.666.908
(B). Limbah Cair Kelapa dan Perikanan Laut Serta Limbah Padat Hasil simulasi kuantitas limbah cair dan limbah padat dari AEIP Bitung diperlihatkan dalam Tabel 6.22. Limbah cair Industri Kelapa merupakan akumulasi dari air cucian alat dan mesin (yang merupakan bagian yang dominan) dan sisa air kelapa yang tidak termanfaatkan oleh industri pengguna bahan ikutan air kelapa. Pada tahun 2024, limbah padat industri kelapa dan perikanan laut berjumlah 27.433 m3.
152 Tabel 6.22. Hasil Simulasi Limbah Cair dan Limbah Padat AEIP Bitung Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Limbah Cair dari Industri Kelapa (ltr) 0 -57.300 -109.095 2.539.125 5.379.045 7.958.809 10.537.849 12.926.869 15.320.614 17.463.514 19.619.994 21.501.999 23.520.855 25.279.820 27.433.396
Limbah Cair dari Industri Perikanan Laut (ltr) 0 0 143.600 287.600 64.331.600 128.519.200 192.707.200 256.895.200 321.226.800 395.278.800 469.330.800 543.526.400 617.722.400 691.918.400 1.297.870.400
Limbah Cair Total (ltr)
Limbah Padat (m3)
0 -93.300 -37.136 2.719.444 69.727.474 136.619.307 203.510.817 270.257.307 337.116.581 413.469.611 489.836.221 566.072.315 642.445.661 719.405.116 1.329.844.572
0 126 255 564 2.151 3.852 5.552 7.507 9.489 11.680 13.967 16.271 18.612 21.143 27.234
Limbah cair Industri Perikanan Laut merupakan akumulasi dari air bersih yang digunakan untuk mencuci ikan, memasak, dan mencuci alat dan mesin, sebesar 20 liter/kg ikan segar. Data menunjukkan bahwa kuantitas limbah cair tersebut sangat besar, dimana pada tahun 2024 berjumlah 1.297.870 m3 atau dengan jumlah aliran materi sebesar sekitar 3.605 m3/hari. Dengan kata lain, jenis industri ini memerlukan pasokan air bersih per hari sekurang-kurangnya sebesar jumlah di atas. Bila dibandingkan dengan pasokan air bersih Kota Bitung Tahun 2005 sebesar 8.021.537 m3, jumlah tersebut merupakan 16,17% dari pasokan air bersih Kota tersebut. Data ini menunjukkan bahwa industri berbasis perikanan laut mengkonsumsi air bersih dalam jumlah yang besar. Limbah cair dalam Model AEIP Bitung, yaitu darah ikan serta urine dan feces ternak sapi, dan feces di RPH merupakan faktor input Industri Pakan Ternak. Ketersediaan faktor input dan penggunaannya tersebut disajikan pada Tabel 6.23. Untuk
mengurangi
biaya
pengolahan
limbah
cair
dan
sekaligus
meningkatkan nilai tambah produk perikanan laut maka dapat dilakukan upaya penampungan terhadap air pemasakan ikan, yang memiliki kandungan protein yang tinggi. Hasil survei lapangan tahun 2009 menunjukkan bahwa telah ada industri perikanan laut di Kota Bitung yang mengekspor air sisa pemasakan ikan ke Jepang, namun belum dilakukan secara kontinu. Disamping dengan cara mengekspor ke luar negeri, air sisa pemasakan ikan tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku oleh industri pakan ternak yang berada di dalam AEIP Bitung.
153 Tabel 6.23. Ketersediaan dan Penggunaan Darah Ikan, Feces Ayam dan Sapi dan Urine Sapi Tahun
Darah Ikan (kg)
Penggunaan Darah Ikan (kg)
Feces Ayam (kg)
Feces Sapi (kg)
Feces di RPH (kg)
Penggunaan Feces (kg)
Urine Sapi (kg)
Penggunaan Urine Sapi (kg)
2010
0
0
0
0
0
0
0
0
2011
0
0
0
0
0
96.000
0
0
2012
72
0
0
0
0
192.000
0
0
2013
144
0
0
0
0
288.000
0
0
2014
32.166
0
0
0
0
384.000
0
0
2015
64.260
0
0
0
0
480.000
0
0
2016
96.354
0
0
0
0
576.000
0
0
2017
128.448
18.000
72.000
194.400
504
672.000
324.000
18.000
2018
160.613
36.000
144.000
388.800
1.008
863.733
648.000
36.000
2019
197.639
54.000
216.000
583.200
1.512
1.055.733
972.000
54.000
2020
234.665
72.000
288.000
777.600
2.016
1.247.733
1.296.000
72.000
2021
271.763
90.000
360.000
972.000
2.520
1.439.733
1.620.000
90.000
2022
308.861
108.000
432.000
1.166.400
3.024
1.631.733
1.944.000
108.000
2023
345.959
126.000
504.000
1.360.800
3.528
1.823.733
2.268.000
126.000
2024
648.935
161.950
576.000
1.555.200
4.032
2.015.733
2.592.000
161.950
Akumulasi dari limbah cair industri berbasis kelapa dan limbah cair industri berbasis perikanan laut sebesar 3.681 m3/hari di dalam AEIP Bitung akan diolah secara tersentral pada Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke lingkungan. Pada kondisi eksisting, industri perikanan laut yang beroperasi di Kota Bitung diduga membuang limbah cair ke lingkungan dalam jumlah yang jauh lebih besar dibanding jumlah di atas. Hasil survei lapangan dan penelusuran literatur menunjukkan bahwa setiap industri perikanan laut memiliki fasilitas pengolahan limbah cair, namun dari informasi yang diperoleh diketahui bahwa pengolahan tersebut sedang dilakukan secara tidak optimal. Bahkan, ada pihak industriawan tertentu yang beranggapan bahwa membuang limbah cair industri perikanan ke laut akan berkontribusi secara positif pada perkembangbiakan biota laut. (C). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa Data dalam Tabel 6.24. menunjukkan bahwa dengan beroperasinya industri pengguna bahan ikutan air kelapa, yaitu: nata de coco, coco vinegar, kecap kelapa, dan minuman ringan maka bahan ikutan air kelapa yang saat ini hampir semuanya dibuang ke ingkungan, dapat termanfaatkan dengan baik.
154 Tabel 6.24. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr) 0 18.000 40.787 963.587 2.006.053 3.053.640 4.101.240 5.148.840 6.201.227 7.253.627 8.306.027 9.363.213 10.420.413 11.495.563 12.690.430
Penggunaan Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr) 0 144.000 288.000 432.000 647.000 1.151.000 1.655.000 2.446.200 3.238.200 4.317.400 5.469.200 6.908.400 8.348.400 10.075.600 11.803.600
Sisa Tersedia Bahan Ikutan Air Kelapa (ltr) 0 -126.000 -247.213 531.587 1.358.253 1.902.640 2.446.240 2.702.640 2.963.027 2.936.227 2.836.827 2.454.813 2.072.013 1.419.963 886.830
Pemanfaatan bahan ikutan air kelapa tersebut disamping akan meningkatkan nilai tambah kelapa dan menciptakan lapangan kerja, juga akan berkontribusi pada penurunan biaya pengolahan dan peningkatan kualitas lingkungan. (D). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Paring Kelapa Data dalam Tabel 6.25. menunjukkan bahwa hampir di semua tahun simulasi setelah industri pembuatan minyak kelapa dari paring daging kelapa didirikan, ada kelebihan bahan ikutan yang berkisar antara 225.000-693.600 kg. Pada Tahun 2024, keberadaan industri minyak kelapa dari paring daging kelapa dapat memanfaatkan bahan ikutan sampai dengan 90,64%. Tabel 6.25. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Paring Kelapa Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Paring Kelapa (kg) 0 0 0 225.000 450.000 675.000 900.000 1.125.000 1.350.000 1.575.000 1.800.000 2.025.000 2.250.000 2.475.000 2.700.000
Penggunaan Paring Kelapa (kg) 0 0 0 0 0 71.800 215.600 431.400 719.200 1.007.200 1.295.200 1.583.200 1.871.200 2.159.200 2.447.200
Sisa Tersedia Paring Kelapa (kg) 0 0 0 225.000 450.000 603.200 684.400 693.600 630.800 567.800 504.800 441.800 378.800 315.800 252.800
155 (E). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Tempurung Kelapa Data dalam Tabel 6.26. menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung)
tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif. Misalnya, di tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung) adalah sebesar 1.512 ton. Kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara. Pertama, seperti yang diusulkan oleh pelaku usaha industri arang aktif di Kota Bitung (Wawancara pribadi dengan Perera 2009), untuk meningkatkan pasokan arang tempurung maka Pemerintah dapat membuat regulasi yang melarang atau menetapkan pungutan yang mahal terhadap ekspor bahan baku arang tempurung keluar daerah/ke luar negeri. Ekspor bahan baku arang tempurung berpotensi menghilangkan nilai tambah produk dalam jumlah yang relatif besar. Sebagai pembanding, nilai ekspor bahan baku arang tempurung di awal tahun 2009 adalah US $ 250-300/ton, sedangkan nilai ekspor arang aktif adalah sekitar US $ 900/ton (Perera 2009). Tabel 6.26. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Tempurung Kelapa Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Tempurung Kelapa (setara arang tempurung kelapa) (kg) 0 0 0 54.000 108.000 162.000 216.000 270.000 324.000 378.000 432.000 486.000 540.000 594.000 648.000
Penggunaan untuk Industri Arang Aktif (kg) 0 0 0 0 0 0 240.000 480.000 720.000 960.000 1.200.000 1.440.000 1.680.000 1.920.000 2.160.000
Sisa Tempurung Setara arang tempurung kelapa (kg) 0 0 0 54.000 108.000 162.000 -24.000 -210.000 -396.000 -582.000 -768.000 -954.000 -1.140.000 -1.326.000 -1.512.000
Cara lainnya untuk meningkatkan pasokan arang tempurung adalah dengan melakukan sosialisasi secara luas dan kontinu kepada petani kelapa tentang cara-cara memproduksi arang tempurung kelapa yang berkualitas dan jaminan pembelian produk dengan harga yang kompetitif oleh produsen arang aktif.
Sosialisasi dapat diperluas ke wilayah-wilayah penghasil kelapa yang
156 selama ini belum menjadi pemasok arang tempurung kelapa, seperti Kabupaten Sitaro, Kabupaten Sangihe, dan Kabupaten Talaud. (E). Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Darah Ikan dan Feces Ternak Ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces dan urine ternak sapi serta darah ikan disajikan dalam Tabel 6.27. Data menunjukkan bahwa ketersediaan feces dan urine ternak adalah 4.861.508 kg sedangkan yang dimanfaatkan oleh industri pengomposan adalah 2.771.633 kg. Sisa feces dan urine ternak sebesar 1.511.800 kg merupakan peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi kompos. Tabel 6.27. Ketersediaan dan Penggunaan Feces dan Urine Ternak, Darah Ikan, dan Produksi Kompos Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Ketersediaan Feces, Urine, dan Darah (kg) 0 0 359 719 160.829 321.298 481.768 909.646 1.337.883 1.790.421 2.242.959 2.695.856 3.148.754 3.601.652 5.383.940
Penggunaan Feces, Urine, dan Darah Ikan (kg) 0 96.000 192.000 288.000 384.000 480.000 576.000 708.000 935.733 1.163.733 1.391.733 1.619.733 1.847.733 2.075.733 2.339.633
Produksi Kompos (kg) 0 72.000 144.000 216.000 288.000 360.000 432.000 504.000 647.800 791.800 935.800 1.079.800 1.223.800 1.367.800 1.511.800
6.2.2.6. Luas Lahan yang Dibutuhkan Hasil simulasi perkiraan kebutuhan lahan AEIP Bitung diperlihatkan pada Tabel 6.28. Data menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2024, dimana telah dibangun sejumlah enam unit industri besar dan 56 unit industri menengah dan kecil, kebutuhan lahan industri adalah 260.000 m2. Luas lahan industri apabila ditambah dengan lahan fasilitas pendukung akan menjadi 520.000 m2. Selanjutnya, ditambah dengan lahan untuk 2 (dua) unit pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang masing-masing diasumsikan membutuhkan lahan seluas 5000 m2 maka luas keseluruhan lahan yang dibutuhkan adalah 530.000 m2.
157 Tabel 6.28. Hasil Simulasi Perkiraan Kebutuhan Lahan AEIP Bitung Tahun
Jumlah Industri Besar (unit)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
0 0 1 2 2 3 4 4 5 5 5 5 5 6 6
Jumlah Industri Menengah dan Kecil (unit) 5 5 7 7 9 21 24 28 33 36 39 48 49 54 56
Kebutuhan lahan Industri Besar dan Industri Menengah 3 dan Kecil (m ) 12.500 12.500 37.500 57.500 62.500 112.500 140.000 150.000 182.500 190.000 197.500 220,000 222.500 255.000 260.000
Luas lahan yang Dibutuhkan (lahan industri+ 2 fasilitas pendukng) (m ) 25.000 25.000 75.000 115.000 125.000 225.000 280.000 300.000 365.000 380.000 395.000 440.000 445.000 510.000 520.000
Keterangan: Belum termasuk lahan untuk pembangkit listrik tenaga angin dan surya.
Karena alokasi lahan untuk Kawasan Industri di Kota Bitung (yang diasumsikan sebagai cikal bakal AEIP Bitung) adalah seluas 980.000 m2 (98 ha) maka sisa lahan yang masih tersedia pada tahun 2024 adalah seluas 450.000 m2. Dengan demikian, sampai dengan tahun 2024, masih terbuka kemungkinan untuk melakukan perluasan industri atau mendirikan jenis industri baru, terutama untuk jenis industri yang tidak mengandalkan bahan baku perikanan laut dan kelapa lokal karena adanya keterbatasan pasokan bahan baku tersebut. 6.2.2.7. Penyerapan Tenaga Kerja AEIP Bitung Penyerapan tenaga kerja AEIP Bitung meningkat dari tahun ke tahun dimana jumlah maksimum tercapai pada tahun 2024 sebanyak 1.526 orang (Tabel 6. 29). Jumlah tenaga kerja maksimum tercapai pada saat semua unit industri telah terbangun di kawasan industri tersebut. Trend penyerapan tenaga kerja dalam bentuk grafik dicantumkan di dalam Gambar 6.23. Data hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat penyerapan tenaga kerja hasil simulasi relatif rendah dan relatif tidak sebanding dengan luasan lahan yang digunakan. Ketimpangan ini terjadi oleh karena kecilnya skala usaha industri besar perikanan laut dan kelapa di dalam simulasi model karena masalah pasokan bahan baku. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut menunjukkan bahwa konsumsi bahan baku bagi 3(tiga) unit industri besar dan 14 unit industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut hanya merupakan
158 ±13,60 persen dari total kebutuhan bahan baku. Selanjutnya, hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan bahwa konsumsi Tabel 6.29. Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung Tahun
Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
70 70 176 376 416 564 714 760 836 872 910 980 1.020 1.496 1.526
bahan baku bagi 3 (tiga) unit industri besar dan 37 unit industri menengah dan kecil berbasis kelapa hanya merupakan ±3,38 persen dari total kebutuhan bahan baku. Dengan demikian maka rata-rata penyerapan bahan baku adalah 8,49%. Bila data rata-rata penyerapan bahan baku ini diproyeksikan kepada tingkat penyerapan tenaga kerja eksisting oleh industri manufaktur di Kota Bitung yang berjumlah 22.545 orang, maka diprediksi penyerapan tenaga kerja pada tingkat kapasitas produksi tersebut berjumlah sekitar 1.913 orang. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka penyerapan tenaga kerja hasil simulasi sebanyak 1.526 orang. Rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, data dasar penyerapan tenaga kerja didasarkan pada data statistik penyerapan tenaga kerja dari beberapa industri yang diduga tidak mencantumkan penyerapan tenaga kerja harian lepas yang jumlahnya cukup siknifikan. Kedua, penggunaan pendekatan prediksi berdasarkan data dasar tingkat produksi mengandung kelemahan karena tanpa berproduksipun, perusahan harus mempekerjakan sejumlah tenaga kerja.
159 Penyerapan Tenaga Kerja orang
Penyerapan Tenaga Kerja
1,500
1,000
500
Gambar 6.23. Grafik Penyerapan Tenaga Kerja MP AEIP Bitung 6.2.2.8. Nilai Produksi MP AEIP Bitung Nilai Produksi MP AEIP Bitung diperlihatkan pada kolom 2 dari Tabel 6.30. Nilai produksi MP AEIP Bitung meningkat sejalan dengan bertambahnya tahun. Bila dibandingkan maka peningkatan Nilai Produksi dari MP AEIP Bitung dan kuantitas pemanfaatan air kelapa, tempurung kelapa/arang tempurung, paring, feces dan urine (ternak ayam dan sapi), dan darah ikan berkorelasi secara positif. Tabel 6.30. Keterkaitan Nilai Produksi MP AEIP Bitung dengan Pemanfaatan Bahan Ikutan dan Limbah Industri Tahun
Nilai Produksi MP AEIP Bitung
Pemanfaatan Air Kelapa (ltr)
Pemanfaatan Arang Tempurung (kg)
Pemanfaatan Paring Kelapa (kg)
Pemanfaatan Feces dan Urine (Ayam dan Sapi) (kg)
Pemanfaatan Darah Ikan (ltr)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
0 1.332.000.000 2.709.593.000 10.387.313.000 49.903.833.000 93.660.483.500 140.525.523.500 203.105.913.500 265.948.946.500 332.861.056.500 400.681.865.044 471.550.403.125 542.427.480.707 614.722.608.288 825.617.565.870
0 144.000 288.000 288.000 432.000 647.000 1.151.000 1.655.000 2.446.200 3.238.000 4.317.400 5.469.200 6.908.400 8.348.400 10.075.600
0 0 0 0 0 0 240.000 480.000 720.000 960.000 1.200.000 1.440.000 1.680.000 1.920.000 2.160.000
0 96.000 192.000 288.000 384.000 480.000 576.000 708.000 935.000 1.163.733 1.391.733 1.619.733 1.847.733 2.075.733 2.339.633
0 0 0 0 0 71.800 215.600 431.400 719.200 1.007.200 1.295.200 1.583.200 1.871.200 2.159.200 2.447.200
0 0 0 0 0 0 0 18.000 36.000 54.000 72.000 90.000 108.000 126.000 161.950
160
VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Perancangan Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” (MP-AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Hasil yang diperoleh berupa diagram alir model dan simulasi terhadap variabel-variabel dominan dari model. Berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut, pada bab ini akan dibahas secara deskriptif implikasi dan rekomendasi kebijakan dalam rangka penerapan model.
7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung Diasumsikan bahwa MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari Kawasan Industri Bitung yang saat ini sedang dalam tahapan perencanaan. Apabila industri yang akan dibangun di Kawasan Industri tersebut adalah industri berbasis perikanan laut dan kelapa maka dengan berdirinya MP-AEIP Bitung kondisi kekurangan pasokan bahan baku kedua komoditas tersebut akan semakin besar. Tetapi, karena MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari Kawasan Industri tersebut maka dapat diasumsikan bahwa hal itu tidak akan memperparah kondisi pasokan bahan baku. MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara yang terdiri atas sub-model industri berbasis perikanan laut, sub-model industri berbasis kelapa, sub-model industri berbasis agro-kompleks, sub-model pembangkit listrik sumber energi terbarukan, dan sub-model limbah dan bahan ikutan, dibangun dalam rangka memberikan gambaran tentang prospek pengembangan industri agro dalam kerangka ekologi-industri, yaitu suatu konsep yang mengintegrasikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial dalam pengembangan industri. Model ini dibangun dengan tujuan untuk memperlihatkan potensinya dalam rangka menurunkan limbah industri dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3(tiga) unit industri besar dan 14 unit industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut maka kekurangan pasokan bahan baku ikan segar di Provinsi Sulawesi Utara akan menjadi ±240.000 s/d 297.000 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar ±13,60 persen. Data di atas menunjukkan bahwa selama ini sebagian besar kebutuhan bahan baku perikanan laut dipasok dari luar provinsi.
161 Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas produksi. Kondisi juga terjadi di hampir semua industri berbasis perikanan laut di Indonesia (Nikijuluw 2008). Diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis perikanan laut sedang beroperasi pada level 70% dari kapasitas produksi (Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009). Hal ini mengundang keprihatinan pihak-pihak yang terkait karena sangat menghambat investasi dalam bidang usaha tersebut. Fakta ini tidak sejalan dengan karakteristik Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)-714 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, yang merupakan wilayah tangkap yang kaya akan jenis ikan pelagis besar sehingga termasuk ke dalam wilayah yang banyak disebut sebagai golden fishing ground (Anonim 2009). Sebagai contoh, pada tahun 2008, produksi tangkap perikanan laut Sulawesi Utara adalah 204.169,9 ton atau meningkat 5,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Lalu, Harian Manado Post 29 Januari 2009). Dari jumlah tersebut, yang diekspor ke luar negeri adalah 17,53% dengan nilai US $ 94,68, selebihnya dikonsumsi secara lokal dan dalam negeri. Untuk Kota Bitung sendiri, produksi perikanan tangkap tahun 2000 adalah 119.896 ton dengan nilai Rp 692,7 juta atau merupakan 60 persen dari produksi Provinsi Sulawesi Utara (Anonim 2001). Potensi hasil tangkap tersebut di atas dapat diupayakan untuk ditingkatkan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkap perikanan laut adalah menekan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated) (Nikijuluw 2008) dan sekaligus penegakan hukum terhadap penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. Aktivitas perikanan IUU menyebabkan kehilangan produksi tangkapan perikanan laut yang sangat besar. Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008) menduga jumlah devisa yang hilang akibat perikanan IUU di Indonesia berkisar Rp 19 trilyun/tahun. Karena jumlah kerugian tersebut sangat besar maka pengorbanan besar yang harus dikeluarkan untuk mengatasinya mendapat legitimasi yang kuat. Nikijuluw (2008) menulis bahwa ada tujuh strategi yang dapat dilakukan untuk memerangi perikanan IUU, yaitu: (1) pengembangan perikanan rakyat, (2) pengembangan industri perikanan terpadu, (3) kerjasama internasional, (4) regionalisasi pengelolaan perikanan, (5) perbaikan sistem perizinan, (6) pengembangan sistem pengawasan, dan (7) pengembangan sistem peradilan
162 perikanan. Pengembangan perikanan rakyat dimaksudkan agar nelayan lokal memiliki kemampuan perkapalan penangkap ikan yang lebih baik sehingga aktivitasnya dapat sekaligus berperan sebagai pengawas laut dari illegal fishing. Pengembangan industri perikanan terpadu dimaksudkan untuk melawan sistem yang sama tapi yang dipasok dengan bahan baku dari perikanan IUU. Melalui sistem ini maka harga produk perikanan laut legal akan menjadi semakin kompetitif sehingga dapat mengurangi pangsa pasar produk perikanan dari perikanan IUU. Kerjasama internasional harus dilakukan mengingat IUU merupakan kejahatan lintas negara. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri dan efektif oleh Indonesia. Kerjasama tersebut terutama perlu dilakukan dengan negara tetangga yang memiliki kesamaan visi dan kepentingan. Dilain pihak, regionalisasi pengelolaan perikanan diperlukan mengingat luasnya wilayah perairan Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga perlu berperan dalam menekan perikanan IUU yang sangat merugikan keberlanjutan aktivitas sektor industri manufaktur di daerah. Fakta
menunjukkan
bahwa
selama
ini,
orientasi
pemberian
izin
penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sistem perizinan tersebut perlu dirubah sehingga sesuai dengan tujuan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Sistem pengawasan terhadap IUU sangat tergantung pada dua hal utama, yaitu peralatan pengawasan dan manusia sebagai pengawas. Peralatan pengawasan dapat berupa kapal patroli atau pengawasan melalui sarana satelit dan elektronik yang dikenal dengan vessel monitoring system (VMS). Pengawasan juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat nelayan. Dalam rangka mengefektifkan peradilan terhadap pelaku IUU maka sesuai dengan UU No. 31/2004 tentang Perikanan maka peradilan khusus perikanan telah dibangun di lima tempat, yaitu: Belawan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, dan Tual. Salah satu sasaran dari peradian ini adalah peradilan yang cepat dan sanksi hukum yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera. Penerapan
Sertifikasi
Hasil
Tangkapan
(Catch
Certification)
dari
Masyarakat Uni Eropa sejak 1 Januari 2010 perlu mendapat dukungan semua pihak. Regulasi ini menguntungkan dan memperkuat upaya Indonesia dalam memerangi praktek “IUU Fishing” (Nikijuluw 2008). Mekanisme yang dibangun
163 dalam Regulasi tersebut adalah dengan melarang masuknya produk perikanan yang berasal dari kegiatan “IUU Fishing” ke pasar Uni Eropa. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3 (tiga) unit industri besar berbasis kelapa dan 37 unit industri menengah dan kecil berbasis kelapa maka kekurangan pasokan bahan baku kelapa (setara kopra) di Provinsi Sulawesi Utara akan berkisar antara 184.724 ton s/d 269.089 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar ±3,38 persen. Dengan kata lain, kondisi kekurangan pasokan bahan baku juga sedang dialami oleh industri berbasis kelapa yang sedang beraktivitas di Provinsi Sulawesi Utara dan selama ini sebagian besar kebutuhan bahan baku dipasok dari luar provinsi. Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas produksi. Sama seperti pada industri berbasis perikanan laut, diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis kelapa sedang beroperasi pada level 70% dari kapasitas produksi (Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009). Tidak seperti sektor perikanan laut yang dapat meningkatkan ketersediaan bahan baku ikan segar dengan mengimport dan atau menekan IUU dan penjualan ikan di tengah laut, kekurangan pasokan kelapa secara siknifikan hanya dapat diatasi dengan cara mengimpor kelapa dari luar Provinsi. Upayaupaya lainnya seperti intensifikasi produksi dapat dilakukan tapi hanya akan memberikan peningkatan produksi yang tidak siknifikan. Upaya ekstensifikasi usaha sulit dilakukan karena keterbatasan lahan yang dapat dikonversi menjadi perkebunan. Kontradiktif, saat ini banyak lahan perkebunan kelapa yang mengalami konversi penggunaan menjadi permukiman dan bisnis karena tuntuan kebutuhan. Karena pertimbangan kondisi pasokan bahan baku kelapa tersebut maka orientasi industri berbasis kelapa perlu diubah ke arah industri produk nonkonvensional, yaitu industri yang dapat memanfaatkan produk turunan kelapa menjadi produk kesehatan atau perawatan tubuh. Jenis industri ini tidak mengandalkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar.
Produk-produk
demikian dapat meningkatkan nilai tambah kelapa beberapa kali lipat. Sebagai contoh, konversi arang tempurung menjadi arang aktif memberikan peningkatan
164 nilai tambah tiga sampai empat kali lipat (Wawancara pribadi dengan Perera 2009). Dari hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Agro-Kompleks diketahui bahwa Industri Peternakan Ayam dan Penggemukan Sapi menyerap pakan ternak yang dipasok oleh industri pakan ternak yang terdapat di dalam MP-AEIP. Keterkaitan
ini
potensial
menguntungkan
kedua
pihak
industri
karena
berkurangnya biaya transportasi dan biaya sosial terhadap lingkungan karena dimanfaatkannya bahan-bahan ikutan di dalam pembuatan pakan ternak. Sebagai pembanding, studi tentang penerapan Eco-Industrial Networks (konsep yang sama seperti EIP) di Vancouver, Canada memprediksi bahwa lalu lalang kendaraan untuk semua keperluan kawasan industri (angkutan produk, peralatan dan mesin, tenaga kerja, dan lain lain) akan berkurang sebesar 25% (Anonim 2002). Penurunan lalu lalang kendaraan tersebut akan meningkatkan efisiensi kawasan industri dan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Selanjutnya, eksistensi Rumah Potong Hewan (RPH) sangat potensial meningkatkan nilai tambah produk dan jaminan atas tingkat keamanan ternak potong serta dapat menciptakan peluang ekspor. Industri pengomposan juga memberikan kontribusi pada pemeliharaan lingkungan karena pemanfaatannya terhadap kotoran dan urin yang dihasilkan oleh Industri Peternakan Ayam, Industri Penggemukan Sapi, serta limbah cair, yaitu darah ikan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut. Kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau dan Taman yang terdapat di dalam kawasan industri.
Kelebihan pasokan
kompos yang diproduksi dapat dijual kepada petani palawija, hortikultura, atau kepada rumah tangga-rumah tangga untuk budidaya dan atau pemeliharaan tanaman pekarangan. Industri pengomposan memiliki prospek yang cerah karena meningkatnya kecenderungan penggunaan pupuk organik, sebagai susbtitusi terhadap pupuk sintetis yang telah terbukti kurang ramah lingkungan. Hasil kajian terhadap Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan menunjukkan bahwa potensi alam, seperti tenaga angin dan tenaga surya di Kota Bitung, dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik terbarukan yang ramah lingkungan. Namun demikian, beberapa kajian terakhir menunjukkan bahwa pembangkitan energi tersebut belum menguntungkan secara finansial, seperti yang dilaporkan oleh Ardana (2009) yang meneliti pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Nusa Penida, Bali. Juga, Negara
165 China yang sementara membangun beberapa pembangkit dengan kapasitas 1,5 MW per kincir angin mengalami hal yang sama (Prabowo 2009). Walaupun saat ini belum menguntungkan namun dalam jangka panjang, prospek pembangkit listrik tenaga angin dan surya akan menjadi lebih baik. Ini akan terjadi pada saat bahan bakar fosil menjadi langka sehingga akan memicu peningkatan harganya. Disamping
itu,
pembangunan
pembangkit
listrik
terbarukan
merupakan
pernyataan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan karena secara nyata akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), seperti NO x, CO x , dan SO x. Hasil simulasi terhadap Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan memberikan beberapa informasi penting yang terkait dengan pemanfaatan limbah dan bahan ikutan serta potensi manfaat lingkungan yang dihasilkan. Hasil simulasi terhadap Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut menunjukkan bahwa bahan ikutan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut dapat memenuhi hampir semua kebutuhan untuk pembuatan tepung ikan dan pakan ternak. Bahkan, di tahun 2024 ketika semua industri berbasis perikanan laut telah selesai dibangun, sisa pasokan bahan ikutan yang tidak terserap oleh industri pengguna adalah sekitar 11 ribu ton. Informasi ini menunjukkan bahwa pada tahun itu, kapasitas produksi industri tepung ikan dan pakan ternak dapat ditingkatkan. Hasil simulasi terhadap produksi darah ikan dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa tingkat penggunaannya masih rendah. Hal ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan penggunaannya pada Industri Pakan Ternak. Namun jumlah penggunaannya pada Industri Pakan Ternak sangat tergantung pada kuantitas bahan ikutan yang dihasilkan oleh industri berbasis perikanan laut dan industri berbasis kelapa. Darah dan urine yang tidak termanfaatkan harus diolah terlebih dahulu di Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke lingkungan. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa menunjukkan bahwa di tahun-tahun akhir dari simulasi, penggunaan bahan ikutan air kelapa melampaui ketersediaan air kelapa yang dihasilkan oleh industri Kelapa Parut Kering (KPK). Namun, kekurangan pasokan ini dapat disuplai oleh industri KPK yang terletak di sekitar MP-AEIP Bitung yang belum memanfaatkan bahan ikutan air kelapa secara optimal. Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa bahan ikutan tempurung kelapa menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah pasokan
166 tempurung kelapa (setara arang tempurung)
tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif. Misalnya, di tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung) adalah sebesar 1.512 ton. Namun, kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih luas dan intensif kepada petani kelapa untuk memasok tempurung kelapa. Sosialisasi yang baik yang disertai dengan jaminan pembelian bahan baku dengan harga yang kompetitif akan meningkatkan secara siknifikan pasokan bahan baku dari petani kelapa. Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces ternak sapi dan ayam dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa pasokannya untuk industri pengomposan lebih kecil dari kebutuhan, dengan kisaran antara 132 ton s/d 395,3 ton per tahun. Sisa feces dan urine ternak untuk produksi kompos menjadi positif mulai tahun 2023. Kekurangan pasokan feces dan urine tersebut dapat diatasi dengan cara menyesuaikan kapasitas produksi kompos atau mendatangkannya dari luar MP-AEIP Bitung. Pemanfaatan limbah tersebut secara siknifikan akan menurunkan biaya penanganan limbah dan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan. Secara keseluruhan penerapan MP-AEIP Bitung akan menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan seperti yang tercantum pada Tabel 7.1. Tabel 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam MP-AEIP No
Komponen
1
Darah ikan
2 3
Urine ternak sapi Feces ternak sapi dan ayam Limbah cair total
-
Bahan ikutan perikanan laut Bahan ikutan air kelapa
24.290.500 kg (93,59%) 11.803.600 liter (93,01%) 2.160.000 kg (>100%)
4
5 6 7
Bahan ikutan tempurung kelapa
Peningkatan Penggunaan bahan ikutan -
-
Penurunan limbah cair
Ket
161.950 ltr (24,96%) 161.950 ltr (6,25%) 2.015.733 kg (94,40%) 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total) -
-
-
-
-
Perlu pasokan dari luar
-
-
167 Data di dalam Tabel 7.1. menunjukkan bahwa walaupun penurunan limbah cair dan peningkatan penggunaan bahan ikutan cukup siknifikan namun secara keseluruhan hanya berkontribusi pada penurunan limbah cair total sebesar 1% dari kuantitas limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri.
Kecilnya
persentasi penurunan limbah cair tersebut disebabkan oleh sangat besarnya kuantitas limbah cair yang dihasilkan terutama oleh industri perikanan laut. Sebagai contoh, setiap kilogram ikan segar membutuhkan air cuci sebanyak 20 liter. Data hasil simulasi Tahun 2024 menunjukkan bahwa total limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri adalah 1.329.844 m3 atau sebesar 3.594 m3/hari. Data ini hampir dua kali lipat dibandingkan dengan limbah cair yang dihasilkan Eco-industrial networks (EIN) di Vancouver, Canada, yaitu sebesar 740.915 m3/tahun (Anonim 2002). Limbah cair di EIN tersebut diprediksi dapat diturunkan sampai sebesar 25% atau jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil simulasi dalam MP-AEIP Bitung. Ini berarti perlu dilakukan upaya untuk menurunkan penggunaan air cuci atau memanfaatkan limbah cair sebelum atau sesudah diolah di Pusat Pengolahan Limbah Cair. Upaya tersebut dapat berupa inovasi teknologi untuk menurunkan penggunaan air per satuan berat bahan baku dan atau pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan tertentu.
7.2. Implikasi terhadap Keberlanjutan Aktivitas Industri Agro Tingkat keberlanjutan aktivitas industri agro di Kota Bitung dapat dilihat dari beberapa segi. Dari segi pasokan bahan baku dapat dinilai bahwa aktivitas industri agro sedang beroperasi pada kondisi kekurangan pasokan bahan baku. Hal itu ditunjukkan oleh hasil simulasi MP-AEIP Bitung. Untuk industri eksisting, kekurangan pasokan bahan baku tersebut diantisipasi dengan cara menurunkan kapasitas produksi dan atau mendatangkan bahan baku dari luar wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Sesuai dengan prinsp-prinsip ekologi industri maka keberlanjutan aktivitas industri dapat diupayakan dengan beberapa cara. Pertama, kerjasama antar perusahan dalam hal pertukaran materi dan limbah sehingga produksi limbah industri dan bahan ikutan dapat diupayakan seminimal mungkin. Hasil simulasi MP-AEIP Bitung menunjukkan bahwa kerjasama antar industri berpotensi menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan secara siknifikan.
Kedua, sistem produksi industri di dalam MP-AEIP Bitung yang
mempertimbangkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan juga akan
168 berperan bagi keberlanjutan aktivitas industri. Dari sisi ekonomi, aktivitas industri menguntungkan, dari segi sosial mendapatkan dukungan masyarakat sekitar karena melibatkan masyarakat secara siknifikan, dan dari segi lingkungan memberikan kontribusi pada pemeliharaan kualitas lingkungan.
7.3. Rekomendasi Kebijakan 7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung Berdasarkan hasil kajian mengenai keterkaitan antara sub-sub elemen tujuan program, maka prioritas tujuan program adalah Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T13). Berdasarkan tujuan tersebut, serta dengan mempertimbangkan adanya kendala kunci berupa: Pemahaman terhadap konsep AEIP yang masih kurang (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur (K5), maka implementasi AEIP Bitung dapat dicapai melalui tahapan-tahapan program sebagai berikut: A. Program Persiapan: (1) Penyusunan master plan kawasan industri; (2) Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; (3) Sosialisasi AEIP;
(4)
Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham; (5) Pendirian perusahan pengelola kawasan industri; (6) Perumusan tata tertib kawasan industri; (7) Penetapan pola harga kapling industri; dan (8) Penyiapan sistem rekruitmen tenant. B. Program Penyiapan Fasilitas Pendukung: (9) Pembangunan infrastruktur kawasan industri; (10) Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi
terbarukan;
(11)
Pembangunan
fasilitas
daur
ulang;
(12)
Pembangunan fasilitas riset; (13) Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa;
(14)
Pembangunan
fasilitas
laboratorium
pengujian;
(15)
Pembangunan fasilitas training; (16) Pembangunan pusat promosi dan bisnis; (17) Penyiapan sistem transportasi bersama; (18) Pembangunan klinik kesehatan; (19) Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; (20) Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan (21) Pembangunan perumahan karyawan. C. Keterkaitan antar industri: (22) Program kerjasama pertukaran materi dan limbah. D. Keterkaitan dengan masyarakat sekitar: (23) Program pengembangan masyarakat (CSR).
169
7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara adalah: 1. Realisasi pembangunan Kawasan Industri (KI) di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung. Saat ini (pada saat survei lapangan), rencana pembangunan tersebut sudah sampai pada tahap Penyiapan Masterplan dan Studi AMDAL yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian. Tahapan selanjutnya dari rencana tersebut akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pihak Pengembang. Pada tahapan ini, peran aktif dari Pemerintah Daerah sangat krusial. Hal itu dapat dinyatakan dalam bentuk alokasi dana dalam APBD dan segenap daya dan upaya untuk merealisasikan KI tersebut, melalui sosialisasi program. Langkah strategis yang perlu ditempuh Pemda adalah mewujudkan KI pada lahan 98 ha terlebih dahulu, sehingga perluasan KI menjadi sekitar 512 ha akan menjadi relatif lebih mudah.
Cara ideal
untuk menyiapkan lahan
industri di wilayah ini, dengan tipikal adanya kelangkaan lahan, adalah dengan menyertakan pemilik lahan sebagai pemegang saham KI, seperti yang diamanatkan oleh PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. 2. Penetapan Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang saat ini sedang diperjuangkan di tingkat Pemerintah Pusat. Salah satu persyaratan bagi suatu wilayah untuk ditetapkan sebagai KEK adalah tersedianya lahan seluas minimal 500 ha. Penetapan sebagai KEK akan memberi insentif yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan lahan tersebut. 3. Peningkatan kesadaran lingkungan dari pelaku industri dan pemberian tekanan untuk meningkatkan kinerja lingkungan KI baik dari Pemerintah maupun masyarakat. Juga, meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela, yang saat ini tergolong masih rendah, yaitu 23,64% menjadi sekurang-kurangnya 42,3%, sesuai dengan nilai median kerjasama antar industri yang disarankan oleh Hardy dan Graedel (2002). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Li (2005) yang menulis bahwa konsep EIP dapat membantu meningkatkan keuntungan kompetitif KI apabila kendalakendala seperti kurangnya kesadaran lingkungan dari pelaku industri serta lemahnya kerjasama antar industri dapat dihilangkan.
170 4. Fasilitasi oleh Badan Pemerintah yang sengaja dibentuk untuk itu. Badan Pemerintah
tersebut
dapat
diisi
oleh
para
pakar
dalam
bidang
pengembangan industri manufaktur, pelaku industri yang berpengalaman, ahli hukum, dan tenaga ahli bidang lainnya yang relevan. Badan ini dapat bekerja sama secara harmonis dengan Perusahan Kawasan Industri atau Perusahan Pengelola Kawasan Industri yang memiliki fungsi operasional di dalam kawasan industri. 5. Pemberian kesempatan dan insentif dari Perusahan Pengelola AEIP Bitung kepada tenan untuk bertindak seirama (Ayres and Ayres 2002). Tindakan seirama tersebut terdiri atas dua hal, yaitu: (a) Perencanaan Kawasan Industri (KI) yang merangsang kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan. Ini menyangkut lay out fisik yang harmonis dengan bentang alam, perencanaan infrastruktur untuk pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia, pendirian bangunanbangunan yang hemat energi, penyediaan sumber energi yang tepat (termasuk energi yang terbarukan), perencanaan posisi dari perusahanperusahan yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah, pembangunan pusat daur ulang, dan menyisakan lahan kosong untuk habitat alami; (b) Mempromosikan prosedur organisasi untuk memfasilitasi manajemen lingkungan yang lebih baik pada level pabrik, membangun mekanisme untuk pertukaran kelebihan energi dan limbah, dan membangun sistem informasi dan komunikasi untuk perusahan sehingga mereka dapat menemukan penyelesaian masalah lingkungan sendiri.
Fasilitas ini
dibangun untuk mempercepat terjadinya sinergi antara pabrik-pabrik, didasarkan pada kerjasama sukarela bukan karena tekanan.
Tanpa
mekanisme tersebut maka pengaturan sinergi dan simbiotik akan lambat terjadi. Percepatan adopsi MP-AEIP Bitung dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 7.1.).
171
Adopsi konsep Ekologi Industri PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI: (1) Lay out yang harmonis dengan bentang alam (2) Infrastruktur untuk pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia dan bahan baku serta bahan penolong (3) Bangunan yang di desain hemat energi (4) Sumber energi terbarukan (5) Posisi pabrik yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah (6) Fasilitas umum (daur ulang, penanganan limbah, kantin, pusat kesehatan, pusat penyimpanan, pusat pendidikan/pelatihan) (7) Habitat alami
Membangun kerjasama antara perusahan secara sukarela bukan karena tekanan atau
PROSEDUR KAWASAN INDUSTRI: (1) Fasilitasi manajemen lingkungan yang lebih baik pada level pabrik (2) Membangun mekanisme pertukaran kelebihan energi dan limbah (3) Membangun sistem informasi dan komunikasi
intimidasi
Kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan
Gambar 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri (Ayres dan Ayres 2002). Gambar 7.1. menunjukkan keterkaitan antar perencanaan KI dengan prosedur kawasan industri yang dapat menghasilkan kerjasama antar perusahan secara sukarela sehingga adopsi terhadap konsep ekologi industri dapat terjadi bagi peningkatan kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan.
7.3.3. Rekruitmen Tenan Jenis dan karakteristik tenan yang akan direkrut perlu direncanakan secara matang terlebih dahulu. Proses perencanaan melibatkan Badan Pemerintah (point 4 di atas), Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Litbang. Tenan yang direkrut akan memberikan “warna” bagi kawasan industri.
Sebagai contoh,
mengingat mulai terkendalanya pasokan bahan baku, terutama pada industri berbasis kelapa, rekruitmen dapat dilakukan terhadap tenan yang menguasai teknologi modern dari industri kelapa.
Kriteria yang dapat digunakan untuk
proses rekruitmen adalah: (1) rekrut tenan yang mempraktekan produksi bersih,
172 HACCP, atau ISO (2) rekrut tenant yang mau bekerjasama di dalam program pemanfaatan bahan ikutan/limbah industri, (3) bangun visi menciptakan keberagaman industri supaya dapat saling terkait dalam memanfaatkan bahan ikutan dan limbah industri, (4) selaraskan sumberdaya alam (pasokan bahan baku, energi, air, dan ketersediaan lahan industri) dengan jumlah tenan dan jumlah produksi.
7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP Bitung Kelembagaan atau institusi merupakan “batasan-batasan buatan manusia yang memberi struktur pada interaksi politik, ekonomi dan sosial“ (North 1991). Institusi yang efektif, menurut North, adalah institusi yang “meningkatkan faedah bagi solusi-solusi kooperatif atau meningkatkan biaya dari tidak-bekerja-sama (defection).” Sesuai dengan bahasan sebelumnya maka kelembagaan yang diperlukan untuk menerapkan MP-AEIP Bitung adalah: 1. Pokja
AEIP
Bitung
atau
Badan
Khusus
yang
dibentuk
oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk mempromosikan penerapan MP-AEIP. 2. Perusahan Pengelola AEIP. 3. Tata tertib AEIP. 4. Sistem kerjasama antar industri dalam pemanfaatan materi dan limbah. 5. Sistem rekruitmen tenan, dan 6. Program pengembangan masyarakat (CSR).
7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung A. Kebijakan Strategis 1. Konsistensi
penerapan
peraturan
perundangan
dalam
bidang
pengembangan industri dan lingkungan, seperti Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Industri atau AMDAL. 2. Penegakan hukum yang konsekuen bagi perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated) seperti illegal fishing, penangkapan ikan dengan teknologi yang tidak sah, dan penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. 3. Mendorong dan atau mendukung penerapan ketentuan Uni Eropa bagi Sertifikasi Tangkapan Ikan (Catch Certification) untuk memerangi IUU. 4. Menerapkan hambatan ekspor bahan baku ikan laut segar dan kelapa. 5. Pengembangan industri turunan kelapa non-konvensional.
173 B. Kebijakan Operasional 1. Program insentif bagi tenan Agro-Eco-Industrial Park (AEIP), yang dapat berupa keringanan pajak, harga lahan industri yang terjangkau, penyediaan
sarana
dan
prasarana
penunjang,
dan
kemudahan
pengurusan dokumen usaha industri. 2. Pengembangan budidaya perikanan laut, seperti pertambakan dan budidaya rumput laut. 3. Menghilangkan hambatan-hambatan investasi dan menerapkan sistem investasi terpadu, yang dapat menjamin bahwa prosedur investasi tidak dilakukan secara berbelit-belit, misalnya dengan menerapkan sistem investasi satu atap/terpadu. 4. Mempertahankan dan atau meningkatkan tingkat produksi Kelapa Dalam. 5. Penetapan ”ceiling price” yang logis dari lahan industri untuk merangsang investasi. 6. Penetapan sistem sewa lahan industri atau pelibatan pemilik lahan pertanian sebagai pemegang saham kawasan industri. 7. Pengkajian tentang penurunan penggunaan air bersih pada industri perikanan laut dan kelapa untuk menurunkan beban limbah cair yang harus diolah pada pusat pengolahan limbah cair.
174
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Dari segi produksi dan pengelolaan lingkungan, kinerja industri agro di Kota Bitung dinilai cukup baik. Dengan demikian aktivitas industri agro dan rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah mendapat penilaian positif dari pemangku kepentingan. Analisis terhadap kerangka kinerja lingkungan dari rencana lokasi kawasan industri dimaksud memberikan legitimasi terhadap penilaian positif tersebut. Pola keterkaitan antar industri di Kota Bitung yang terwujud dalam bentuk kerjasama antar industri dalam hal pertukaran materi dan limbah masih rendah sehingga perlu ditingkatkan. Peningkatannya potensial terjadi di dalam MP-AEIP Bitung. Variabel-variabel dominan dari MP-AEIP Bitung adalah: Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut, Sub-Model Industri Berbasis Kelapa, Sub-Model Industri Agro-Kompleks, Sub-Model Pembangkit Listrik Energi Terbarukan, dan Sub-Model Limbah dan Bahan Ikutan.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa
penerapan model potensial menurunkan limbah industri dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Disamping itu, terdapat korelasi positif antara meningkatnya nilai produksi dengan pemanfaatan limbah cair dan bahan ikutan di dalam model. Dengan demikian maka model yang dibangun dapat berkontribusi
pada
pembangunan
industri
yang
berkelanjutan.
Potensi
penurunan limbah dan peningkatan nilai produksi yang sejalan dengan peningkatan pemanfaatan limbah tersebut di atas dapat berkontribusi pada perubahan paradigma berpikir untuk melihat limbah industri dan bahan ikutan bukan sebagai beban tapi sebagai peluang usaha. Faktor-faktor eksternal yang dapat mempercepat penerapan MP-AEIP adalah upaya mengatasi masalah kekurangan pasokan bahan baku, realisasi pembangunan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah, penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung, dan penyiapan kelembagaan eksternal pendukung. Sedangkan faktor-faktor internal
berupa percepatan
adopsi konsep ekologi industri, rekruitmen tenan dengan jenis dan karakteristik sesuai perencanaan, dan penyiapan kelembagaan internal pendukung.
175
8.2. Saran Model Pengembangan AEIP Bitung yang dibangun masih mengandung kelemahan sehingga terbuka untuk dikembangkan dan atau disesuaikan dengan dinamika kondisi lapangan. Pertama, apabila kawasan industri yang legal formal telah dibangun di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung maka model yang dibangun akan semakin absah. Kedua, apabila industri manufaktur di lokasi tersebut mulai beroperasi maka akan diperoleh data yang semakin akurat sebagai masukan bagi pemodelan. Ketiga, pelibatan tenan secara aktif dalam perumusan kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela akan memberikan informasi yang akurat tentang kegiatan-kegiatan yang disepakati untuk dilakukan secara bersama, yang nantinya merupakan elemen penyusun dalam pemodelan.
176
DAFTAR PUSTAKA Anex R. 2004. Something New Under the Sun? [Editorial]. Journal of Industrial Ecology Volume 7, Number 3-4. Anonim. December 2002.. Mark Jeffrey Consultants and Eco-industrial Solutions Ltd. Identification of Eco-industrial Networking Opportunities in Greater Vancouver. Demand Side Management Benefits. Submitted to GVRD, Policy and Planning Division. ----------. 1998. Metode FaST (facility synergy tool). Industrial Economics, Inc., Cambridge, MA. ----------. 2001. Kota Bitung. [email protected]. Aug 31, 2001. ----------. Kalundborg. Business and Sustainable Development: A Global Guide. BSD.Global. Com. http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77. Diakses tanggal 29 Januari 2010 jam 15:28. ----------. 2009. Rencana Penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan (Catch Certification) oleh Uni Eropa. Direktorat Pemasaran Luar Negeri. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. http://home.speedbit.com/search.aspx?q= sertifikasi +hasil+tangkap+perikanan+laut&site=web&aff=107&btn=Search. [9 Januari 2010]. Ardana IK. 2009. Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di PulauPulau Kecil. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Ayres RU and Ayres LW. 2002. Cheltenham, UK. Edward Elgar.
A Handbook of Industrial Ecology.
Berkel RV. 1996. Cleaner Production in Practice: Methodology Development for Environmental Improvement of Industrial Production and Evaluation of Practical Experience. [Abstract of Dissertation]. University of Amsterdam, the Netherlands. International Society for Industrial Ecology. [Diakses tanggal 23 Maret 2007]. Bitung Dalam Angka Tahun 2007. Kantor Statistik Kota Bitung. Bitung. Bourgeois R. dan F Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor. Breeze P. 2005. Power Generation Technologies, Newnes, Great Britain. Brundtland, GH. 1987. Our Common Future: Report of the World Commission on Environment and Development. United Nations. http://www.undocuments. net/ocf-cf.htm Buen J. 2001. Industrial Ecology-only needed in the north? International Journal of Economic Development. 3, 2. Chertow 1988. Eco-industrial park model reconsidered. Journal of Industrial Ecology 2 (3), 8-10.
177 Chertow MC. 2007. Uncovering Industrial Symbiosis. Ecology Volume 11, number 1.
Journal of Industrial
Chiu ASF. 2002. Ecology, Systems, and Networking. Walking the Talk in Asia. Journal of Industrial Ecology Volume 5, Number 2. Chiu ASF dan Yong G. 2004. On the Ecology Potential in Asian Developing Countries. Journal of Cleaner Production 12;1037-1045. Cote RP and Cohen-Rosenthal E. 1998. Designing Eco-Industrial Park: a synthesis of some experiences. Journal of Cleaner Production 6;181-188. Cunningham R and Lamberton G. Industrial Ecology and the development of Eco-Industrial Estate. [artikel tidak dipublikasikan, diakses dari internet]. [Depkimpraswil] Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Sulawesi.
2002.
[Deperind] Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Jakarta. Desrochers P. Winter 2001. Eco-Industrial Parks: the Case of Private Planning. The Independence Review, volume V, nomor 3, pp 345-371. Deutz P and Gibbs D. 2004. Eco-Industrial Development and Economic Development: Industrial Ecology or Place Promotion? Business Strategy and the Environment 13, 347-362. [Dinas Capil dan Kependudukan Kota Bitung]. 2008. Data Kependudukan Kota Bitung. [Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulut]. 2009. Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab. Website Dinas Perikanan dan Kelautan Prov Sulut. Dirdjojuwono RW. 2004. Kawasan Industri Indonesia. Sebuah Konsep Perencanaan dan Aplikasinya. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor. Ehrenfeld J. 2004. Industrial Ecology: a New Field or only a Metaphor? Journal of Cleaner Production, 12;825-831. Ehrenfeld JR. 2006. Advocacy and Objectivity in Industrial Ecology. Journal of Industrial Ecology. Volume 10, Number 4. Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Frosch RA dan Gallopoulos NE. 1989. Strategies for Manufacturing. Scientific American, 261:3, pp 144-152. Gibbs D. August 2003. Trust and Networking in inter-firm relations: the Case of Eco-Industrial Development. Local Economy vol 18, no. 3, 222-236. Gibbs D dan Deutz P. 2005. Implementing Industrial Ecology? Planning for Eco-Industrial Park in the USA. Geoforum 36;452-464.
178 Hardy C and Graedel TE. 2002. Industrial Ecosystems as Food Webs. Journal of Industrial Ecology volume 6, Number 1. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hayward T. 1994. Ecological Thought: An Introduction. Polity Press. Cambridge. Heeres RR, Vermeulen WJV and Walle de FB. 2004. Eco-Industrial Park initiatives in the USA and the Netherlands: first lessons. Journal of Cleaner Production 12;985-995. Hewes AK. 2005. The Role of Championss in Establishing Eco Industrial Parks. [Abstract of Dissertation]. Antioch New England Graduate School. International Society for Industrial Ecology. [23 Maret 2007]. [IEI] Industrial Economics, Incorporated. March 1998. Applying Decision Support Tools for Eco-Industrial Park Planning: a Case Study in Burlington, Vermont. Cambridge, MA. [In-Cites]. An Interview with Dr. David Tilman. cites.com/scientists/dr-david-tilman.html
2001.
http://www.in-
[ID] Indigo Development. 2005. Defining Industrial Ecology. [Diakses pada Juli 2007]. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change 2001. The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge University Press. Cambridge. UK. 2001. Jelinski LW, Graedel TE, Landise RE, McCall DW and Patel CKN. February 2002. Industrial Ecology: Concepts and Approaches. Proceeding of National Academy of Science Volume 89, pp 793-797. Kassinis GI. 1997. Industrial Reorganization and Inter-Firm Networking: In Search of Environmental Co-location Economies. [Abstract of Dissertation]. Princeton University. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007]. Kates RW, Parris TM, dan Leiserowitz AA. What is Sustainable Development? Goals, Indicators, and Practice. Environment: Science and Policy for Sustainable Development, Vol 47, Number 3, pages 8-21. Kim KS and Gallent N. 2002. Industrial Park Development and Planning in South Korea. Regional Studies. Kodrat KF. 2006. Analisis Sistem Pengembangan Kawasan Industri Terpadu Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus: PT. Kawasan Industri Medan). [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Koenig A. 2005. Quo Vadis Eco-Industrial Park? How Eco-Industrial Parks are Evolving. Journal of Industrial Ecology volume 9, number 3.
179 Korhonen J. Industrial Ecology in the Strategic Sustainable Development Model: Strategic Application of Industrial Ecology. Journal of Cleaner Production, 12 (2004), 809-823. Korhonen J, Huisingh D and Chiu ASF. 2004. Introduction: Application of Industrial Ecology - an Overview of the Special Issues. Journal of Cleaner Production 12;803-807. Korhonen J. 2001. Regional industrial ecology: examples from regional economic systems of forest industry and energy supply in Finland. Journal of Environmental Management 63;367-375. -----------------. 2001. Two paths to Industrial Ecology: Applying the Product-based and Geographical Approach. Journal of Environmental Planning and Management 45 (1), 39-57. -----------------. 2002. Industrial Ecosystem-Using the Material and Energy Flow Model of an Ecosystem in an Industrial System. [Abstract of Dissertation]. University of Jyvaskyla, Finland. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007]. Kristanto P. Ekologi Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. 2002. Lambert AJD and Boons FA. 2002. Eco-Industrial Parks: Stimulating Sustainable Development in Mixed Industrial Parks. Technovation 22;471484. Lowe EA. 2001. Eco-Industrial Park Handbook for Asia Developing Countries. August 2001. Lowe EA and Evans LK. 1995. Industrial Ecology and Industrial Ecosystem. Journal of Cleaner Production, volume 3, number 1-2, pp 47-53. Manetsch TJ and Park GL. 1977. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social System Science. Michigan State University. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Martin SA. et al. October 1996. Eco-Industrial Parks: A Case Study and Analysis of Economic, Environmental, Technical, and Regulatory Issues. Final Report. Mitchel B, Setiawan B dan Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.Yogjakarta. Nadin V. Environmental Suatainability and Spatial Planning Systems. Center for Environment and Planning. University of the West of England, Bristol, UK. http://www.uwe.ac.uk/fbe/ spectra/publication.html [23 Februari 2007]. Nikijuluw VPH. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. Blue Water Crime. Cetakan Pertama. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. North, DC. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives 5 (1).
180 Nugroho. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Nugrohoadi. 2 Juli 2007. Listrik Energi Gelombang. http://www.ristek.go.id/ index.php? mod= News&conf=v&id=1961 Odom S. 2001. The Sustainable Systems Analysis Algorithm: A DecisionSupport and Evaluation Methodology Applied to Promote Sustainable Industrial Development. [Abstract of Dissertation]. University of South Carolina. International Society for Industrial Ecology. [Diakses 23 Maret 2007]. Park HS and Won JY. 2007. Ulsan Eco-Industrial Park. Challenges and Opportunities. Journal of Industrial Ecology volume 11, number 3. Peck S. 2002. When is an Eco-Industrial Park not an Eco-Industrial Park? Journal of Industrial Ecology Volume 5, number 3. Peck SW. 1996. Industrial Ecology: From Theory to Practice. http://newcity.ca/Pges/industrial_ ecology.html. [22 Maret 2007]. This paper was originally presented at the Environmental Studies Association of Canada meeting at the 1996 Learned Societies Conference in St. Catherines, Ontario. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Pereira AA. March 2004. State Enterpreneurship and Regional Development: Singapore Industrial Park in Batam and Suzhou. Enterpreneurship and Regional Development 16;129-144. Pojoh B., dkk. 2000. Pengembangan Pembuatan Tepung Kelapa (Dessiccated Coconut). Komunikasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Manado. Roberts BH. 2004. The Application of Industrial Ecology Principles and Planning Guidelines for the Develoment of Eco-Industrial Parks: an Australian Case Study. Journal of Cleaner Production 12;997-1010. Sagala A., et al. 2004. Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Industri. Penerbit BPPT Jakarta. Saaty TL. 1983. Decision Making for Leaders: the Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publication, Pittsburgh. Shi H, Moriguichi Y and Yang J. 2003. Industrial Ecology in China, Part I. Research. Journal of Industrial Ecology, Volume 6, Number 3-4. Sinclair P, Papathanasopoulou E, Mellon W, and Jackson T. 2005. Towards and Integrated Regional Material Flow Accounting Model. Journal of Industrial Ecology Volume 9, Number 1-2. Singhal S and Kapur A. 2002. Industrial Estates Planning and Management in India-an Integrated Approach Towards Industrial Ecology. Journal of Environmental Management 66;19-29.
181 [SSBGW] Sustainable South Bronx and Green Worker Cooperatives with David M. Muchnick, Stephen A. Hammer, Joan Byron, and E. Gail Suchman Esq. 2007. The Oak Point Eco-Industrial Park: A Sustainable Economic Development Proposal for the South Bronx. Suharyanto dan Rinaldy J. Estimasi Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang di Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(18)%20soca-suharyanto%20dkkestimasi %20potensi(1).pdf . [8 Januari 2010]. Undang-undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Ditetapkan pada tanggl 14 Oktober 2009. Bogor. http://www.bktrn.org/peraturan /file/UU_No_39_Tahun_2009_Tentang_KEK.pdf [UN] United Nations. Indonesia: Environment and Development. 1994. A World Bank Country Study. Washington, D.C. Turangan DJ. 1999. Konversi Lahan Pertanian ke Penggunaan Lain di Kota Bitung. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. [Wikipedia]. Biodiesel. http://en.wikipedia.org/wiki/Biodiesel#Technical_standards. [5 Januari 2010]. Wei L. 2005. Managing and Facilitating Eco-Industrial Development of an Industrial Park: A Case Study of Dalian DD Port, China. [Thesis]. University of Waterloo, Waterloo, Ontario, Canada. Yarime M. 2007. Promoting Green Innovation or Prolonging the Existing Technology. Regulation and Technical Change in the Chlor-Alkali Industry in Japan and Europe. Journal of Industrial Ecology Volume 11, Number 4. Yiping F, Cote RP and Rong Q. 2007. Industrial Sustainability in China: Practice and Prospects for Eco-Industrial Development. Journal of Environmental Management 83;315-328. Yong G. 2004. Integrated Water Resources Planning and Management at the Industrial Park Level. [Abstract of Dissertation]. Dalhousie University, Canada. International Society for Industrial Ecology. [Diakses tanggal 23 Maret 2007]. Zhu Q, Lowe EA., Wei Y and Barnes D. 2007. Industrial Symbiosis in China. A Case Study of the Guitang Group. Journal of Industrial Ecology Volume 11, Number 1.
219 Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian dan Penulisan Disertasi No
Kegiatan
1
Draft Proposal Disertasi
2
Sidang Komisi I
3
Perbaikan proposal
4
Ujian kualifikasi Doktor
5
Kolokium
6
Pengesahan proposal
7
Pengumpulan data
8
Kompilasi data dan informasi
9 10
Analisis dan interpretasi data Draft Disertasi I
11
Sidang Komisi II
12 13
Draft Disertasi II Seminar
14
Sidang Komisi III
15
Draft Disertasi III
16 17
Ujian Tertutup Draft Disertasi IV
18
Ujian Terbuka
19
Final Touch Disertasi
2007 9
10
11
2008 12
1
2
3
4
5
6
7
2009 8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
2010 8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
183 Lampiran 2. Foto-foto Pengambilan Sampel Air di Lokasi Rencana Kawasan Industri
Kali yang melintasi lokasi rencana Kawasan Industri yang menjadi tempat pengambilan sampel air
Pengukuran pH air kali
Sumur warga tempat pengukuran dan pengambilan sampel air
184 Lampiran 3. Foto-foto Survei Lapangan
Surat Izin Penelitian yang dicap oleh Kantor Bappeda dan Dinas Perindag Kota Bitung, Dinas Perindag Provinsi Sulut, dan BP-KAPET ManadoBitung
Konsultasi dengan aparat Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Utara
185
Maket Kota Bitung
Kantor Bappeda Kota Bitung
Gerbang Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung
186
Konsultasi dengan Kepsek SMA Negeri 1 Kota Bitung
Konsultasi dan pengumpulan data dengan Lurah Tanjung Merah, Kota Bitung
Pengisian Kuisioner oleh warga masyarakat
Pengisian Kuisioner oleh warga masyarakat
187 Lampiran 4. Hasil Analisis Sampel Air Sumur dan Sungai di Rencana Lokasi Kawasan Industri Kelurahan Tanjung Merah
188 Sambungan Lampiran 4.
189 Sambungan Lampiran 4.
190 Sambungan Lampiran 4:
191
Lampiran 5a. Hubungan Kontekstual Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1
1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1
1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1
0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1
1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1
1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1
0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1
0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
No. Sub Elemen 1 Merangsang tumbuhnya jenis usaha industri baru 2 Meningkatkan peluang kerja 3 Meningkatkan daya saing usaha industri 4 Meningkatkan pendapatan industri 5 Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan 6 Meningkatkan nilai tambah bahan baku dan produk industri 7 Menurunkan jumlah limbah industri 8 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat 9 Mengupayakan keberlanjutan pasokan bahan baku, air, dan energi 10 Memasok energi dari sumber terbarukan 11 Meningkatkan hubungan yang harmonis antara industri dan masyarakat 12 Meningkatkan efisiensi usaha dan lingkungan secara keseluruhan 13 Meningkatkan kerjasama antara industri secara sukarela
192 Lampiran 5b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Tujuan Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Drv
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
7 7 7 7 10 7 11 7 10 12 7 10 12
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Dep 13 13 13 13 6 13 3 13 6 1 13 6 1 Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence
193 Lampiran 6a. Hubungan Konstekstual Antar Sub-elemen Kendala Utama Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1
0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
No. Sub Elemen 1 Belum tersedianya instrumen pembangunan kawasan industri 2 Keterbatasan modal untuk mendirikan kawasan industri 3 Kurangnya pemahaman terhadap konsep Agro-EIP 4 Terbatasnya luasan lahan untuk pembangunan kawasan industri 5 Rencana tapak proyek kawasan industri adalah lahan pertanian subur 6 Meroketnya harga lahan bila terindikasi adanya rencana pembangunan kawasan industri 7 Dukungan kebijakan pemerintah yang masih lemah dan cenderung kurang konsisten 8 Kurangnya pasokan tenaga kerja terampil 9 Biaya tenaga kerja relatif mahal dibandingkan dengan di Pulau Jawa 10 Pertumbuhan jumlah dan jenis industri baru yang relatif rendah 11 Belum adanya jenis industri yang dapat menjadi industri jangkar 12 Pasokan energi listrik mulai terkendala 13 Pasar di sekitar wilayah rencana kawasan industri relatif kecil
194 Lampiran 6b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Kendala Utama Program (Hasil Pengolahan ISM VAXO) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Drv
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 1 10 6 7 5 9 4 4 4 1 5 5
1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0
0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Dep 3 1 1 2 1 5 2 10 10 10 11 3 3 Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence
195 Lampiran 7a. Hubungan kontekstual antara sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1
Keterangan: No. Sub Elemen 1 Program penyiapan lahan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham 2 Penyusunan Master Plan kawasan industri 3 Penyiapan desain "green building" untuk pabrik, kantor, dan bangunan lainnya 4 Pembentukan POKJA Pengembangan Agro-EIP 5 Sosialisasi Agro-EIP 6 Pendirian perusahan pengelola kawasan industri 7 Pembangunan Pusat Informasi Lingkungan 8 Perumusan tata tertib kawasan industri 9 Perumusan sistem kerjasama pertukaran materi dan limbah secara sukarela 10 Penyiapan sistem rekruitmen tenant 11 Penetapan pola harga kapling industri 12 Pembangunan infrastruktur kawasan industri 13 Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan 14 Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat 15 Pembangunan fasilitas daur ulang 16 Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk 17 Pembangunan perumahan karyawan 18 Pembangunan klinik kesehatan 19 Pembangunan fasilitas riset 20 Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa 21 Pembangunan fasilitas laboratorium pengujian 22 Pembangunan fasilitas training 23 Pembangunan pusat promosi dan bisnis 24 Penyiapan sistem transportasi masal 25 Penyusunan program CSR (Corporate social responsibility)
196 Lampiran 7b. Hasil Reachability Matrix Final Antar Sub-elemen Implementasi AEIP (Hasil Pengolahan ISM VAXO) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Drv
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 23 21 9 8 20 14 14 13 13 6 5 12 1 11 1 1 2 11 11 11 11 11 4 3
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1
Dep 5 1 2 1 4 1 4 4 7 7 7 8 3 15 14 15 23 22 14 14 14 14 14 9 21
Keterangan: Drv = driver power Dep = dependence
197 Lampiran 8. Kuisioner untuk memilih Alternatif AEIP Prioritas
Alternatif AEIP Bitung
Sasaran
Kriteria
Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan
Alternatif
A
Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela
B
Kurangnya pemahaman terhadap Konsep AgroEIP
C
Rencana lokasi KI adalah lahan pertanian subur
D
E
Struktur AHP Alternatif AEIP Bitung Keterangan: A. Model AEIP dengan konsentrasi pada pertukaran materi dan limbah industria (merujuk pada Model Kalundborg, Denmark) B. Model AEIP yang meliputi industri manufaktur, kerjasama pertukaran materi dan limbah, penggemukan sapi, peternakan ayam, Rumah Potong Hewan (RPH), pengomposan, pembangkitan listrik sumber energi terbarukan, dan fasilitas pengolahan limbah cair (merujuk pada Fujisawa Factory EIP). C. Model AEIP
dengan
konsentrasi pada
upaya penyediaan informasi
khususnya menyangkut teknologi pengelolaan lingkungan (merujuk pada Model Burnside, Nova Scotia, Kanada). D. Model AEIP dengan konsentrasi pada pemenuhan manajemen lingkungan dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi tenant di kawasan industri ini sangat ketat (merujuk pada Model PALME, Perancis). E. Model AEIP dengan konsentrasi pada kerjasama dalam bidang fasilitas bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan.
Di kawasan
industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus industri, bukan pada limbah akhir (merujuk pada Model Value Park, Dow Chemical, Jerman).
198 ----------------------Memilih prioritas dari Kriteria Penilaian-------------------------Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing KRITERIA dengan skor penilaian seperti pada Tabel berikut: Nilai Skor 1
Keterangan Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting
3
Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang lainnya.
5 7
Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Kriteria yang lainnya Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya
9
Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya
2, 4, 6, 8
Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
Dari segi sasaran, Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing kriteria pada tabel berikut: Diisi jika kriteria di kolom kiri lebih penting dibanding kriteria di kolom kanan
Kolom kiri
9
8
7
6
5
4
3
2
Diisi bila sama penting 1
Diisi jika kriteria di kolom kanan lebih penting dibanding kriteria di kolom kiri 2
3
4
K1
5
6
7
8
Kolom Kanan
9
v
K1
v
K1
v
K2
K2 K3 K4
v
K3
K2
v
K4
K3
v
K4
Keterangan: K1. Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan K2. Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela K3. Kurangnya pemahaman terhadap Konsep AEIP K4. Rencana lokasi KI adalah lahan pertanian subur ----------------------Memilih prioritas dari Alternatif Agro-EIP--------------------------Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing ALTERNATIF dengan skor penilaian seperti pada Tabel berikut: Nilai Skor 1
Keterangan Alternatif yang satu dengan yang lainnya sama penting
3
Alternatif yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Alternatif yang lainnya.
5
Alternatif yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Alternatif yang lainnya Alternatif yang satu sangat penting dibanding Alternatif yang lainnya
7 9 2, 4, 6, 8
Alternatif yang satu ekstrim pentingnya dibanding Alternatif yang lainnya Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
199 1. Dari segi kriteria “Membangkitkan energi listrik dari sumber terbarukan,” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut: Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding Alternatif di kolom kanan 9
8
7
6
A A A A B B B C C D
5
4
3
Diisi bila sama penting
2
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom kiri
1
2
3
4
5
6
7
8
Kolom Kanan
9
v
B C D E C D E D E E
v v v v v v v v v
2. Dari segi kriteria “Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela,” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif AgroEIP pada tabel berikut: Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding Alternatif di kolom kanan 9
8
7
6
5
A A A A B B B C C D
4
3
2
Diisi bila sama penting 1
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom kiri 2
3
4
5
6
7
8
Kolom Kanan
9
v
B C D E C D E D E E
v v v v v v v v v
3. Dari segi Kriteria “Kurangnya pemahaman terhadap Konsep Agro-EIP.” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif AgroEIP pada tabel berikut:
Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding Alternatif di kolom kanan 9
A A A A B B B C C D
8
7
6
5
4
3
2
Diisi bila sama penting 1
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom kiri 2
3
4
v v v v v v v v v v
5
6
7
8
Kolom Kanan
9
B C D E C D E D E E
200 4. Dari segi Kriteria “Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur.” Berilah Tanda (V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap Alternatif Agro-EIP pada tabel berikut: Kolom kiri
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kiri lebih penting dibanding Alternatif di kolom kanan 9
A A A A B B B C C D
8
7
6
5
4
3
2
Diisi bila sama penting 1
Diisi jika Alternatif Agro-EIP di kolom kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom kiri 2
3
4
v v v v v v v v v v
5
6
7
8
Kolom Kanan
9
B C D E C D E D E E
201 Lampiran 9. Biodata Tenaga Ahli yang berpartisipasi di dalam Expert Survey A. Nama Lengkap : Ir. James Philip Alan Rompas, MSi Jabatan : Kepala Bappeda Kota Bitung Pendidikan : S1 : Teknik Sipil dan Perencanaan Unsrat, 1988. S2 : Pasca Sarjana Manajemen Perkotaan, Unsrat Manado/2003 Training: 1. Kursus Manual Pendapatan Daerah di Bitung thn 1990 2. Kursus Pemimpin Proyek di Manado thn 1990 3. Kursus Penyusunan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu di Ujung Pandang thn 1990 4. Pelatihan Tenaga Pelatih (TOT) Penyuluh Bidang Perumahan dan Permukiman di Manado thn 1991 5. Kursus Project Management System di Manado thn. 1992. 6. Kursus Planning of Regional Development Program (PRDP) thn 1995 di Manado 7. Kursus TOT of PRDP di Ujung Pandang thn 1996. 8. Kursus Manajement Proyek Kabupaten/Kota Master Trainning Program (KRMTP) –I di Manado thn 1996. 9. Kursus Manajemen Proyek KRMTP-II di Manado thn 1996 10. Kursus Manajemen Proyek KRMTP-III di Manado thn 1997 11. Kursus Adminitrasi Bantuan Luar Negeri di Manado thn 1997 12. Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan tingkat Dasar (TMPP-D) di Ujung Pandang thn 1998 13. Penataran P- 4 (Pola B2) di Bitung thn 1997 14. Kursus Bimbingan Teknis bidang Kecipta karyaan di Manado thn 1998 15. Pendidikan Komputer TMPP di Ujung Pandang thn 1998 16. Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan tingkat Lanjutan di Ujung Pandang thn 1999 17. Pelatihan Administrasi Bantuan Luar Negeri (ABLN) IISP-II Loan ADB 1296-INO di Manado thn 1999. 18. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam di Manado thn 2000 19. Pelatihan Manajemen Perkotaan di Sanur Bali thn 2000 20. Kursus English for Academic purposes course for Urban Development staff di Manado thn 2000 21. Pelatihan Urban Environmental Management di Kuta Bali thn 2001 22. Diklat Manajemen Pengadaan Barang dan Jasa, di Jakarta thn 2003. 23. Pelatihan Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) di Yogyakarta thn 2004. 24. Diklat Kepemimpinan Bagi Eselon II dengan Pendekatan “System Thinking” di Jakarta thn 2004 25. Latihan MARPOLEX (Marine Polution Exercise) di Cebu Philippina thn 1995 26. Kursus Method and Tehnique of Project Planning (MTPP) dan TOT of MTPP di Berlin Jerman thn 1997 27. Field Study of Urban Management Program di Urban Development Authority (URA) Singapore thn 2000 28. Short Term Trainning in Tourism Development Planning di Nagoya Jepang thn 2000 29. Professional Technical of Urban Management Assistance di Coos Bay, Oregon USA. thn 2001
202 30. Reducing the Cost of Conflict in Local Government di Philadelphia, Pensylvania, USA. thn 2002. 31. Study Democratic Principle and Urban Management Development, di Coos Bay, Oregon, USA thn 2003 32. Study Humanitarianism Understanding, di Coos Bay, Oregon USA.thn 2003 33. Study Ecotourism development, US Forest Service, Business Development Center, di Oregon USA. thn 2004. 34. Local Government & Higher Education Development Training, di Southwestern Oregon Community College, Coos Bay OR, USA,thn 2004. Seminar: 1. Apresiasi Penataan Ruang Propinsi Sulawesi Utara di Manado tgl 5-6 Desember 2000 2. Revitalisasi Pembangunan Sulawesi Utara Menuju Indonesia Baru di Manado tgl 29 Pebruari 2000 3. Revitalisasi Kawasan dan Rencana Induk Sistem Air Bersih di Manado tgl 12-14 Juni 2001. 4. Seminar Nasional Pembangunan Perkeretaapian Sulawesi di Manado tgl 15 Juli 2002 5. Seminar Nasional Pengelolaan Pelabuhan laut dalam era Otonomi Daerah, di Jakarta tgl 12 Pebruari 2003 6. Konferensi Nasional Praktek Inovatif Program Kemitraan Sumberdaya Kota Indonesia-Amerika di Jakarta 1 – 2 Juli 2003
B. Nama Kelamin Umur
: Prof. Dr. Ir. Jen Tatuh, MS. : Pria : 59 Thn
Pendidikan akademik: (1) Doktor, Ekonomi Institusional, IPB-Bogor. (2)
Magister Sains, Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor.
Jabatan fungsional/profesional (sedang berjalan): (1) Guru Besar dalam Manajemen Agribisnis, Unsrat Manado (2)
Dosen Fakultas Pertanian dan Pascasarjana Unsrat Manado.
(3)
Pembantu Dekan Fakultas Pertanian Unsrat Manado Bidang “Kerja Sama, Perencanaan, dan Evaluasi Kinerja”
(4)
Sekretaris Tim Penyelenggara Program Tridharma PT Terpadu, Fakultas Pertanian Unsrat Manado.
(5)
Ketua Pokja Ahli, Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Sulawesi Utara.
(6)
Ketua Komisi Penyuluhan, Provinsi Sulawesi Utara.
203 Lampiran 10. Struktur MP-AEIP Bitung
Lampiran 11. Pola Keterkaitan Antar Industri dalam MP-AEIP Bitung Industri
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Jumlah
204 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 2 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 3 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 4 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 5 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 4 7 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 7 8 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 12 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 6 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 14 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 19 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 3 20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 24 21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 24 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 Jumlah 110 Ket: 1=Ikan Kaleng; 2=Ikan Asap; 3=Ikan Beku; 4=Ikan Kayu; 5=Tepung Ikan; 6=Pakan Ternak; 7=Minyak Kelapa; 8=Kelapa Parut Kering; 9=Arang Aktif; 10=VCO; 11=Biodiesel; 12=Nata de Coco; 13=Arang Tempurung; 14=Minyak dari Paring; 15=Coco Vinegar; 16=Kecap Kelapa; 17=Minuman Ringan; 18=Bahan Kosmetik; 19=Santan Kelapa; 20=Pembangkit Listrik Tenaga Surya; 21=Pembangkit Listrik Tenaga Bayu; 22=Peternakan Ayam; 23=Penggemukan Sapi; 24=RPH; dan 25=Pengomposan. Simbol: 1 = ada keterkaitan antar ke-dua industri; 0 = tidak ada keterkaitan antar ke-dua industri. Nilai keterkaitan antar industri (C) = (2x110) / [25x(25-1)] = 220 / 600 = 0,3667 atau 36,67%.
205 Lampiran 12. Koefisien dan Persamaan-persamaan dari MP-AEIP Bitung
206 Sambungan Lampiran 12
207 Sambungan Lampiran 12
208 Sambungan Lampiran 12
209 Sambungan Lampiran 12
210 Sambungan Lampiran 12
211 Sambungan Lampiran 12
Sambungan Lampiran 12
212
213 Sambungan Lampiran 12
214 Sambungan Lampiran 12
215 Sambungan Lampiran 12
216 Sambungan Lampiran 12
217 Sambungan Lampiran 12
218 Sambungan Lampiran 12