MODEL PENCEGAHAN KDRT BERBASIS MANAJEMEN KONFLIK DALAM Q.S. AL-NISA (04) : 34-35 Oleh: Abd. Syukur Abu Bakar. Dosen UIN Alauddin Makassar DPK Universitas Islam Makassar
Abstrak: The existence of conflict as unavoidable phenomenon in the domestic environment requires good conflict management. The good conflict management is expected to change the negative effect of the conflict to be positive effect. At least, the conflict management can decrease the domestic violences that generally put women as the victims of the men. To apply good conflict management, Q.S. al-Nisa (04) : 34-35 can be an inspiration by starting the management conflict between husband and wife, hakam involvement from both of them, as well as the God involvement by His guidance. Keberadaan konflik sebagai fenomena yang tidak dapat dihindari dalam lingkungan domestik memerlukan manajemen konflik yang baik. Manajemen konflik yang baik diharapkan dapat mengubah efek negatif dari konflik menjadi efek positif. Setidaknya, manajemen konflik dapat mengurangi kekerasan yang domestik yang umumnya menempatkan perempuan sebagai korban dari laki-laki. Untuk menerapkan manajemen konflik yang baik, Q.S. al-Nisa (04): 34-35 dapat menjadi inspirasi dengan memulai konflik manajemen antara suami dan istri, keterlibatan Hakim dari keduanya, serta keterlibatan Allah dengan bimbingan-Nya. Kata Kunci: Model Pencegahan, Kekerasan dalan Rumah Tangga, Managemen Konflik I.
PENDAHULUAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menegaskan tujuan luhur dari penyatuan pria dan wanita dalam ikatan perkawinan adalah sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal menarik yang patut dicermati dari tujuan perkawinan tersebut adalah adanya sebuah garis lurus yang meghubungkan antara dimensi antroposentris dengan dimensi dimensi teosentris karena pencapaian tujuan perkawinan akan berpengaruh pada kualitas pendekatan diri seorang hamba kepada Allah Swt. Konsekuensinya, mewujudkan tujuan luhur
tersebut merupakan sebuah kewajiban yang bernilai ibadah sehingga harus diperjuangkan dan dipertahankan. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari pusaran konflik. Konflik tersebut, tentu saja, sangat berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga apabila tidak dikelola dengan baik karena bisa berujung pada munculnya kekerasan dalam rumah tangga yang secara umum kebanyakan mendudukkan perempuan sebagai obyek penderita dalam pusaran konflik tersebut. Konflik yang sudah cenderung mengarah pada perilaku agresif tersebut digambarkan oleh Killman dan Thomas dalam Sadu Wasistiono sebagai suatu fenomena ketidakcocokan obyektif antara nilai atau tujuanseperti perilaku yang secara sengaja mengganggu upaya pencapaian tujuan dan secara emosional mengandung muatan permusuhan. 1 Eksistensi rumah tangga sebagai unit terkecil dari sebuah komunitas yang lebih besar yaitu masyarakat tidak bisa dipisahkan dari pusaran konflik karena di dalamnya terjadi negoisasi kepentingan individu seperti bapak, ibu, dan anak dengan berbagai latar belakang yang berbeda baik secara psikologis, sosiologis, dan semacamnya. Fakta empiris membuktikan bahwa kuatnya pusaran konflik dalam bingkai rumah tangga telah membawa banyak membawa bahtera rumah tangga harus karam dalam gelombang perceraian. Mencermati hal tersebut, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa konflik yang muncul di antara pasangan suami istri karena adanya salah satu pihak yang berbuat aniaya atas yang lainnya dapat merusak tujuan luhur rumah tangga tersebut bahkan dalam konteks yang lebih luas dapat merusak peradaban sebuah bangsa yang tentunya dibangun atas pondasi rumah tangga tersebut. Konsekuensinya, sikap aniaya yang membawa konflik tersebut bukan hanya bentuk pengkhianatan seseorang atas pasangannya tapi jauh lebih mendalam dari itu adalah bentuk pengkhianatan hamba terhadap Tuhannya. 2 Dalam upaya meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga yang rawan konflik tersebut, perlu dibangun sebuah paradigma bahwa konflik bukanlah hal yang selamanya dipahami secara negatif karena juga di balik konflik tersebut tersimpan banyak nilai-nilai positif selama kita mau mengelolanya dengan baik. Konsep manajemen konflik yang ditawarkan oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Nisa Ayat 34 dan 35 dapat menjadi inspirasi dalam melakukan proses manajemen konflik tersebut. II.
PEMBAHASAN A. Kekerasan dalam Rumah Tangga 1
Sadu Wasistiono, Manajemen Konflik, http://ipdn.ac.id. (Diakses 20 Desember 2015) Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, (JakartaL PT.Elex Media Komputindo, 2014), h. 87 2
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu fenomena sosial yang banyak muncul belakangan ini yang secara umum kebanyakan mendudukkan kaum perempuan sebagai korbannya. Dalam Situs Majalah Kartini Edisi 30 Desember 2015, disebutkan bahwa berdasarkan data dari catatan tahunan Komnas Perempuan, terdapat sekitar 8.626 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal sepanjang tahun 2015. Dalam KDRT tersebut, kasus kekerasan fisik masih menempati tingkat tertinggi dengan jumlah mencapai 3.410 kasus atau 40 persen. Setelah itu, diikuti dengan tindak kekerasan secara psikis sebesar 2.444 kasus atau 28 persen, kekerasan seksual sebanyak 2.274 kasus atau 26 persen dan kekerasan ekonomi sebanyak 496 kasus atau enam persen. 3 Data tersebut tentunya menjadi suatu catatan tersendiri pada tahun 2015 mengingat tingginya intensitas kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat diilustrasikan sebagai perilaku yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai dengan penggunaan kekuatan pada orang lain. Secara umum, kekerasan dalam rumah tangga dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis kekeran yaitu: 1. 2. 3. 4.
Kekerasan yang terbuka yang biasanya dapat disaksikan langsung oleh orang lain seperti memukul, menendang, dan semacamnya. Kekerasan tertutup yang biasanya berbentuk tersembunyi seperti mengisolasi dari pergaulan, dan semacamnya. Kekerasan agresif yang dilakukan bukan untuk perlindungan tapi untuk memperoleh sesuatu seperti merampas, dan semacamnya. Kekerasan defensif yang dilakukan untuk perlindungan tapi dilakukan secara berlebihan. 4
Dengan klasifikasi yang lebih detail, Elly Nurhayati menggambarkan jenisjenis kekerasan yang biasa terjadi dalam lingkungan rumah tangga sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik yaitu sperti memukul, menampar, menendang, menginjak-injak, membunuh dan semacamnya. 2. Kekerasan psikologis seperti membentak, mengancam, mengintimidasi, dan semacamnya. 3. Kekerasan seksual seperti mencium, memeluk, melakukan hubungan seksual yang semuanya dilakukan secara paksa tanpa persetujuan kedua belah pihak.
3
Majalah Kartini: Portal Berita Wanita, Catatan Kekekrasan terhadap Perempuan Sepanjang Tahun 2015, http://www.majalahkartini.co.id. (Diakses 31 Desember 2015) 4 Jack D.Douglas & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 11
4. Kekerasan finansial seperti tidak memberi uang belanja, mengambil uang korban tanpa persetujuan, dan semacamnya. 5. Kekerasan spiritual seperti melecehkan keyakinan pasangan, membatasi untuk melakukan kegiatan keagamaan, memaksa melakukan kegiatan keagamaan tertentu, dan semacamnya. 5 Pada dasarnya, berbagai bentuk kekerasan yang biasa terjadi dalam lingkungan rumah tangga tersebut masih bisa berkembang menjadi beberapa klasifikasi kekerasan seperti kekerasan intelektual manakala salah satu pasangan tidak memperoleh kesempatannya untuk mengembangkan potensi intelektualnya karena ditekan oleh pasangannya, kekerasan interpersonal manakala salah seorang pasangan diisolasi oleh pasangan dari interaksi sosial dengan manusia yang ada di sekitarnya, dan masih banyak klasifikasi kekerasan yang umumnya mendudukkan perempuan sebagai korban. Hal yang sangat disayangkan kemudian adalah fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang banyak dialami oleh kaum perempuan seperti sebuah gunung es yang susah untuk dihancurkan dengan beberapa penyebab seperti tingkat ketergantungan perempuan yang dalam hal ini adalah istri terhadap suami yang umumnya berbentuk kebutuhan finansial. Konsekuensiya, berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami diterima begitu saja tanpa ada keberanian untuk melaporkan dengan asumsi bahwa melaporkan tindakan-tindakan kekerasan tersebut berimplikasi pada hilangnya tanggungan finansial suami atas mereka dan anak-anaknya. Di samping itu, adanya budaya patriarkhi dalam kehidupan masyarakat juga tidak kurang dampak negatifnya terhadap keberlangsungan kekerasan dalam rumah tangga. Kaum laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin rumah tangga memposisikan diri dalam bingkai vertikal-koordinatif dengan istrinya sehingga segala otoritas dan kekuasaan dalam rumah tangga menjadi miliknya sehingga kekerasan yang dilakukannya atas sang istri merupakan konsekuensi dari otoritas dan kekuasaan tersebut. Menyikapi hal tersebut, Romany Sihite menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang kurang mendapatkan perhatian masyarakat karena pihak korban sendiri yang cenderung menyembunyikan kekerasan tersebut akan membuat berbagai kekerasan dalam rumah tangga tersebut sebagai kejahatan terselubung (hidden crime) yang kurang tersentuh oleh hukum.6 B. Manajemen Konflik Konflik merupakan sebuah fenomena yang sulit dihindari kemunculannya dalam kehidupan rumah tangga. Persoalannya sekarang bukan membahas bagaimana 5
Elly Nurhayati, Menggugat Harmoni, (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2002), h. 12 Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), h. 145 6
menghilangkan konflik tersebut karena konflik akan selalu ada seiring kehidupan rumah tangga berjalan dalam bingkai kebersamaan berbagai individu yang tentunya memiliki berbagai latar belakang yang berbeda satu sama lain. Hal yang biasanya menjadi pemicu dari konflik tersebut seperti rasa cemburu, kebutuhan akan penghargaan yang tidak terpenuhi, faktor ekonomi yang kurang mencukupi atau justru berlebihan, dan semacamnya. Munculnya konflik adalah hal yang wajar karena rumah tangga tanpa konflik akan terasa hambar ibarat sayur tanpa garam. Hal yang terpenting kemudian dilakukan adalah bagaimana mengelola konflik tersebut dengan manajemen konflik yang tepat sehingga masing-masing pihak bisa mengambil pembelajaran di dalam konflik tersebut lalu mengubah dampak negatif konflik tersebut menjadi dampak positif. Fenomena di atas sejalan dengan definisi dari manajemen konflik sebagai suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi (interpretation). Dalam proses manajemen konflik tersebut, pihak luar atau di luar yang berkonflik bertindak sebagai pihak ketiga perlu mengkaji berbagai informasi yang berkaitan dengan latar belakang munculnya konflik dan pihak-pihak yang berkonflik harus memiliki kepercayaan pada pihak ketiga tersebut. 7 Dalam kaitannya dengan tahapan munculnya konflik sampai pengelolaannya, Wijono menggambarkan sebagai berikut: 1. Konflik masih tersembunyi (laten): Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya. 2. Konflik yang mendahului (antecedent condition): Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya. 3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict): Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan. 4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
7
Rizal Zein dkk. Manajemen Konflik, https://vianisilv.wordpress.com. (Diakses 26 Desember 2016)
5. Penyelesaian atau tekanan konflik: Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan. 6. Akibat penyelesaian konflik: Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak akan terganggu. 8 Tahapan munculnya konflik sampai pengelolaannya sebagaimana digambarkan oleh Wijono tersebut menunjukkan bahwa manajemem konflik menjadi salah satu faktor penentu dalam melihat efek konflik tersebut pada seseorang, baik positif atau negatif. C. Model Pencegahan KDRT Berbasis Manajemen Konflik dalam Q.S. al-Nisa (04) : 34 - 35 Eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk (al-Huda) dalam kehidupan manusia berfungsi untuk memberikan isyarat-isyarat normatif Ilahiyah dari dimensi teosentris kepada manusia pada dimensi antroposentris bagaimana supaya manusia bisa melepaskan diri dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya termasuk mengelola konflik yang dihadapinya. Salah satu isyarat normatif Ilahiyah yang berbicara tentang konsep manajemen konflik adalah Q.S. al-Nisa (04):34-35 sebagai berikut:
9
Terjemahnya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), 8 9
Wijono, Konflik dalam Organisasi, (Semarang: Satya Wacana, 1993), h. 38-41 Q.S. al-Nisa (04) : 34-35
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Dalam Q.S. al-Nisa (04) : 34-35 tersebut, model pencegahan KDRT berbasis manajemen konflik digambarkan sebagai sebuah proses yang terdiri atas tiga tahapan yaitu otoritas laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga yang bisa memberikan nasehat pada istrinya, isolasi terhadap istri, dan pemukulan. Apabila tahapan-tahapan tersebut belum mampu menyadarkan istri maka menghadirkan juru damai dari masing-masing pihak perlu dilakukan. Hal yang menarik kemudian untuk diperhatikan dalam Q.S. al-Nisa (04) : 34 adalah redaksi ayat () yang bermakna “pukullah mereka” yang notabene mengandung makna kekerasan dalam rumah tangga. Menyikapi hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa pukulan yang diberikan tersebut adalah bukan pukulan yang bertujuan untuk menyakiti tapi pukulan yang menunjukkan sikap ketegasan seorang pemimpin terhadap komunitas yang dipimpin dan menjadi tanggung jawabnya yang dalam hal ini adalah istrinya.10 Dalam ayat di atas, pemukulan bukanlah satu-satunya tindakan yang identik dengan kekerasan dalam rumah tangga, redaksi ayat
( )
yang bermakna “pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka” juga mengandung makna kekerasan seksual yang dalam hal ini adalah mengisolasi istri dari kebutuhan seksualnya, hanya saja yang perlu kemudian direnungkan bahwa model pencegahan KDRT berbasis manajemen konflik dalam Q.S. al-Nisa (04) : 34 tersebut bukan berarti mencegah KDRT dengan KDRT yang lain tapi intensitas dan tujuannya yang cenderung lebih mengarah pada proses pembinaan bukan penyiksaan yang cenderung menjadi motif dari berbagai kasus KDRT yang ada selama ini. Hal ini pula yang 10
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,Jilid 2 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), h. 423
disinggung oleh Rasulullah Saw. dalam hadits beliau sebagaimana dikutip oleh Imam as-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir sebagai berikut:
أﻳﻀﺮب أﺣﺪﻛﻢ اﻣﺮأﺗﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻀﺮب اﻟﻌﺒﺪ ﰒ ﳚﺎﻣﻌﻬﺎ ﰲ أﺧﺮ اﻟﻴﻮم Artinya: Apakah seseorang dari kalian memukul istrinya seperti ia memukul hamba sahayanya kemudian di penghujung hari dia menyetubuhinya. 11 Dalam pandangan penulis, dengan pertimbangan bahwa hubungan antara lakilaki dan perempuan bersifat kemitraan, maka tahapan-tahapan manajemen konflik yang terdiri atas pemberian nasehat, isolasi, dan pemukulan tidak hanya bersifat satu arah dengan mendudukkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyeknya, tapi dalam kasus-kasus tertentu perempuan atau istri juga bisa memberikan nasehat kepada suaminya yang bersalah serta mengisolasi suaminya dari pergaulan, termasuk pergaulan suami istri, apabila nasehat tersebut tidak dipatuhi. Hanya saja untuk yang ketiga yaitu pemukulan masih sangat tabu apabila ada seorang istri yang memukul suaminya sehingga sebaiknya dihindari. Secara umum bisa dikatakan bahwa Q.S. al-Nisa (04):34 mengisyaratkan bahwa manajemen konflik rumah tangga pada tahap pertama dilakukan dalam lingkungan domestik rumah tangga antara suami istri itu sendiri tanpa pelibatan orang lain dengan berbagai tahapan manajemen konflik yang sifatnya pembinaan dengan ketegasan bukan penyiksaan dengan kekerasan. Dalam Q.S. al-Nisa (04):35, model pencegahan KDRT berbasis manajemen konflik digambarkan dengan adanya pelibatan orang lain sebagai hakam yang terdiri dari perwakilan masing-masing pihak yang dalam hal ini adalah suami istri yang bertikai. Pelibatan hakam ini diperlukan mengingat apabila suami istri sudah tidak bisa lagi menyelesaikan konflik di antara mereka karena adanya emosi yang meluapluap di antara keduanya, maka KDRT sangat potensial terjadi di antara mereka sehingga dibutuhkan kehadiran orang yang lebih berpikiran dingin. Adapun fungsi hakam tersebut adalah untuk mendamaikan dengan mempertemukan harapan dan keluhan masing-masing pihak yang berkonflik. Allah Swt. kemudian menegaskan bahwa apabila masing-masing pilak yang berkonflik memiliki i’tikad yang kuat untuk melakukan perdamaian maka mereka akan diberikan taufik oleh-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa model pencegahan KDRT berbasis manajemen konflik pada Q.S. al-Nisa (04) : 34-35 melibatkan tiga komponen manajemen konfli 11
Imam as-Syauqani, Tafsir Fathul Qadir, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Fachruddin dan Asef Saifullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 837
mulai dari dimensi antroposentris yang dalam hal ini adalah suami istri yang berkonflik lalu menghadirkan hakam dari perwakilan masing-masing (suami istri) serta dimensi teosentris yang dalam hal ini adalah Allah Swt. Seseorang yang telah melewati tahapan manajemen konflik dengan pelibatan ketiga komponen tersebut maka konflik yang potensial berujung pada KDRT akan dapat dihindari dan justru menjadikan konflik tersebut sebagai pembelajaran untuk diambil hikmahnya. III. KESIMPULAN Konflik merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari kemunculannya dalam berbagai dimensi kehidupan manusia termasuk dalam bingkai rumah tangga. Konflik yang tidak dikelola dengan baik sangat potensial akan berujung pada KDRT sehingga al-Qur’an memberikan isyarat normatif ilahiyah dalam proses manajemen konflik sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. al-Nisa (04) : 34-35 bahwa manajemen konflik bisa dilakukan dalam lingkungan domestik rumah tangga pada pertama kali dengan tiga tahapan yaitu nasehat, isolasi dan pemukulan yang sifatnya pembinaan. Apabila hal tersebut belum cukup, maka pelibatan hakam dari masingmasing pihak diperlukan sampai Allah Swt. akan memberikan taufik-Nya sehingga konflik tersebut akan menjadi media introspeksi diri bagi keduanya (suami istri) ke depannya. DAFTAR RUJUKAN al-Qur’an al-Karim Douglas, Jack D. & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Umar, Nasaruddin, Ketika Fikih Membela Perempuan, JakartaL PT.Elex Media Komputindo, 2014. Majalah Kartini: Portal Berita Wanita, Catatan Kekekrasan terhadap Perempuan Sepanjang Tahun 2015, http://www.majalahkartini.co.id. (Diakses 31 Desember 2015) Nurhayati, Elly, Menggugat Harmoni, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2002. Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,Jilid 2 (Jakarta: Lantera Hati, 2002), h. 423 Sihite, Romany, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007.
as-Syauqani, Imam, Tafsir Fathul Qadir, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Fachruddin dan Asef Saifullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 837 Wasistiono, Sadu, Manajemen Konflik, http://ipdn.ac.id. (Diakses 20 Desember 2015) Wijono, Konflik dalam Organisasi, (Semarang: Satya Wacana, 1993), h. 38-41 Zein, Rizal dkk. Manajemen Konflik, https://vianisilv.wordpress.com. (Diakses 26 Desember 2016)