MODEL BALANCED SCORECARD DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) David Wijaya Alumnus Magister Manajemen PPM School of Management
Abstract: This article discusses the implementation of school-based management (SBM) in Sukabumi.
The results showed that all schools at all education units in Sukabumi have implemented SBM concept, but some schools have implemented SBM concept in accordance with general principles of SBM. Therefore, SBM strategies are needed by using performance management approach-the Balanced Scorecard modelthat examines four perspectives (financial perspective, customer perspective, internal processes perspective, learning and growth perspective) in order to improve the expected school performance. Keywords: Balanced Scorecard, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
PENDAHULUAN Sekolah merupakan penyelenggara pendidikan. Akan tetapi, dalam praktiknya, upaya perbaikan pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah sangat bergantung pada keputusan birokrasi pendidikan yang memiliki jalur yang sangat panjang, bahkan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah akan kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk berkembang, serta memajukan lembaganya guna meningkatkan kualitas pendidikan. Peran serta masyarakat (khususnya orang tua siswa) dalam penyelenggaraan pendidikan masih sangat minim. Pada umumnya, partisipasi masyarakat hanya berupa dukungan dana, bukan pada proses pendidikan itu sendiri. Dalam hal akuntabilitas, sekolah tidak memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, bahkan masyarakat cenderung mempercayakan hasil pelaksanaan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah. Salah satu solusi atas berbagai permasalahan tersebut adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan. Seiring dengan berkembangnya paradigma otonomi daerah, pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah diserahkan ke kabupaten/kota sampai tingkat sekolah. Dalam bidang pendidikan, muncul konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang diterapkan pada semua satuan pendidikan. Menurut Dally (2010), agar kebijakan MBS dapat diimplementasikan sesuai dengan harapan, maka strategi yang perlu dikembangkan adalah: (a) mengembangkan sekolah yang memiliki perencanaan strategik dengan membangun visi yang dapat menggerakkan sekolah, merancang program dan kegiatan sekolah pada sebuah dokumen program dan rencana kerja sekolah (RKS) yang menjadi milik bersama serta dilaksanakan secara konsisten; (b) mengembangkan sekolah yang mandiri dengan ditopang oleh sikap profesionalisme, pembagian tugas dan kewenangan yang jelas melalui mekanisme pertanggungjawaban sekolah dalam rangka transparansi dan akuntabilitas sekolah; dan (c) mengembangkan sekolah yang memberdayakan masyarakat melalui upaya peningkatan peran dan partisipasi masyarakat melalui komite sekolah sebagai perwakilan dari peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Artikel ini membahas implementasi manajemen berbasis sekolah melalui konsep Balanced Scorecard. Balanced Scorecard merupakan konsep manajemen yang mengukur kinerja organisasi secara seimbang dari berbagai perspektif yang berfokus pada keberhasilan implementasi strategi organisasi. Dengan adanya konsep pengukuran kinerja secara komprehensif, Balanced Scorecard telah diimplementasikan oleh berbagai organisasi kelas dunia sebagai sistem manajemen strategis dan bahkan sebagai sarana pemandu serta pendorong proses perubahan manajemen dan budaya organisasi termasuk pada implementasi manajemen berbasis sekolah. Model Balanced Scorecard yang ditemukan oleh Robert Kaplan dan David Norton menerjemahkan misi dan strategi sekolah ke dalam berbagai tujuan dan ukuran, yang tersusun dalam empat perspektif, yaitu perspektif keuangan di mana sekolah diharapkan dapat memberikan layanan pendidikan yang lebih baik kepada masyarakat, perspektif pelanggan di mana sekolah diharapkan dapat memberdayakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan evaluasi penilaian kinerja sekolah, perspektif proses internal di mana sekolah diharapkan dapat memberikan hasil sesuai dengan program dan kegiatan yang Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
45
telah direncanakan, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan di mana sekolah diharapkan dapat meningkatkan dan menciptakan nilai. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang dibahas dalam artikel ini adalah pengaruh penerapan konsep Balanced Scorecard terhadap implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS). Hasil pembahasan dalam artikel ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholder sekolah sebagai dasar penerapan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan menggunakan pendekatan Balanced Scorecard sehingga akan berdampak terhadap peningkatan kinerja sekolah secara berkesinambungan. Selain itu, hasil penelitian dalam artikel ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menciptakan demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat.
PEMBAHASAN Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) pertama kali ditemukan di AS. Konsep tersebut muncul ketika masyarakat AS mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan sekolah terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat AS. Pada saat itu, kinerja sekolah dianggap tidak sesuai dengan tuntutan peserta didik untuk terjun ke dunia usaha dan sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara global. Fenomena tersebut diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan manajemen sekolah. Masyarakat dan pemerintah AS sepakat untuk melakukan reformasi manajemen sekolah. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, mereka memandang perlunya membangun sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar (basic skill) bagi peserta didik. Oleh karena itu, muncul penataan sekolah melalui konsep MBS yang merupakan wujud reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi struktur pemerintahan ke struktur sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Penerapan model MBS di AS menurut Mohrman et al. (1994) ternyata dapat meningkatkan kualitas belajar-mengajar karena adanya mekanisme pengambilan keputusan yang lebih efektif dan lebih cepat sehingga mendorong kinerja baru sebagai motivasi berprestasi kepala sekolah dalam melakukan tugasnya sebagai manajer sekolah. Jadi, MBS merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat yang berhubungan dengan program sekolah) secara langsung sehingga rasa memiliki, tanggung jawab, dan dedikasi warga sekolah dapat meningkat. Dalam Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat (1) ditegaskan bahwa yang dimaksud manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar masyarakat dapat lebih memahami, membantu, dan mengendalikan pendidikan. Dalam hal ini, sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi kepada orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah. Format model MBS adalah “back to basic education”, yaitu kembali ke jati diri pendidikan sebagai proses pemahaman nilai-nilai kemanusiaan yang baik. Jadi, layanan pendidikan dengan program MBS harus terus membaik sehingga dapat menciptakan pendidikan yang konsisten antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Secara vertikal, strategi pengembangan MBS dapat dilakukan dengan pola dari atas ke bawah (top-down) sehingga membutuhkan “political will”, sedangkan strategi lainnya adalah dari bawah ke atas (bottom-up) yang berasal dari masyarakat dan sekolah sebagai kebutuhan akan kualitas pendidikan dan memenangkan kompetisi pendidikan yang datang dari bawah. MBS menurut Oswald (1995) merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu keutuhan entitas sistem yang di dalamnya terkandung adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk mengambil keputusan. Model MBS mengemban dua dimensi pemahaman, antara lain: (1) the governance reform in school management, yaitu menyangkut reformasi manajemen sekolah dan pentingnya membangun otonomi sekolah untuk merespons aspirasi stakeholders sekolah serta (2) an overall push for curriculum and instructional reform, yaitu menyangkut reformasi
46
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58
pengembangan kurikulum dan pengajaran, terbukanya peluang bagi pengembangan inovasi dalam proses belajar mengajar. Kedua dimensi tersebut merupakan satu keutuhan, di mana orientasi utama perubahan manajemen sekolah ditujukan untuk kepentingan peningkatan kualitas belajar mengajar (Satori, 2001). Setelah otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan, penerapan MBS menurut Satori (2001) bertujuan untuk: (1) meningkatkan kualitas pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya dan potensi yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; (3) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua siswa, sekolah, dan pemerintah tentang kualitas sekolah; serta (4) meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian kualitas pendidikan yang diharapkan. Satori (2001) juga mengemukakan manfaat dari penggunaan model MBS, yakni: (1) sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya karena dapat lebih mengetahui peta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mungkin dihadapinya; (2) sekolah lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input dan output pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat luas; (3) pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat lebih memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolah lebih tahu apa yang terbaik bagi penyelenggaraan program sekolahnya; (4) penggunaan sumber daya akan lebih efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi dan membantu memenuhi kebutuhan sekolah; (5) keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan sekolah akan menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6) sekolah bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan di sekolahnya kepada pemerintah, orang tua siswa, peserta didik, dan masyarakat; (7) sekolah dapat berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan kualitas pendidikan; serta (8) sekolah dapat merespons aspirasi masyarakat yang senantiasa berubah dengan pendekatan yang tepat dan cepat. Prinsip-prinsip umum yang patut menjadi pedoman dalam pelaksanaan model MBS menurut Satori (2001) adalah (1) memiliki visi, misi, dan strategi ke arah pencapaian kualitas pendidikan, khususnya kualitas peserta didik sesuai dengan jenjang sekolah masing-masing; (2) berpijak pada pembagian kewenangan (power sharing), yaitu pengelolaan pendidikan sepatutnya berlandaskan pada keinginan untuk saling mengisi, membantu, dan menerima berbagai kekuasaan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing; (3) adanya profesionalisme di seluruh bidang dan berbagai komponen, baik praktisi pendidikan, pengelola pendidikan, dan manajer pendidikan lainnya, termasuk profesionalisme dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota maupun komite sekolah di satuan pendidikan; (4) meningkatkan partisipasi masyarakat yang kuat termasuk orang tua siswa; (5) komite sekolah sebagai institusi dapat menopang keberhasilan visi dan misi sekolah; serta (6) adanya transparansi dan akuntabilitas manajemen sekolah dilihat dari akuntabilitas manajemen maupun keuangan. Fattah (2002) mengemukakan bahwa MBS diartikan sebagai pengalihan pengambilan keputusan dari tingkat pusat sampai tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi tingkat sekolah dalam pemberdayaan sumber daya (resources) sekolah sehingga sekolah mampu menggali, mengalokasikan, dan mempertanggungjawabkan (accountability) kepada para pihak yang berkepentingan (stakeholders) di sekolah. Oleh karena itu, MBS memberikan beberapa keuntungan seperti: (a) kebijakan dan kewenangan sekolah akan membawa pengaruh langsung bagi siswa, orang tua siswa, dan guru; (b) adanya peningkatan pemanfaatan sumber daya lokal; (c) efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, angka mengulang, angka putus sekolah, dan moral guru; serta (d) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan guna memberdayakan guru, manajemen sekolah, merancang ulang sekolah, dan mengubah rencana sekolah. Sejalan dengan definisi MBS tersebut, Duhou (2002) mendefinisikan konsep MBS sebagai cara untuk memaksa sekolah itu sendiri dalam mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi pada peserta didik menurut yurisdiksi dan mengikuti sekolahnya. Ketika sekolah dibebankan dengan pengembangan program pendidikan yang bertujuan untuk melayani kebutuhan peserta didik dalam mengikuti sekolah khusus, warga sekolah akan mengembangkan program yang lebih meyakinkan karena mereka mengenal siswa dan kebutuhannya. Oleh karena itu, MBS secara konseptual dapat digambarkan sebagai perubahan formal struktur penyelenggaraan, bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama peningkatan pengambilan keputusan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai sarana penting untuk mendorong dan menopangnya. MBS sebagai konsep desentralisasi pendidikan yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan tersebut memasukkan paradigma konsep yang jelas dalam mencapai tujuannya, yaitu kinerja sekolah yang unggul. Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
47
Dengan mengadopsi konsep Fattah (2000), maka paradigma konsep MBS dapat digambarkan sebagai berikut:
Aspek Edukatif
Aspek Politik
Desentralisasi
Aspek Administrasi
Aspek Keuangan
Kurikulum Proses belajar mengajar (PBM) Sumber daya
MBS
Perbaikan Kualitas
Tujuan (Kinerja Sekolah)
Komitmen stakeholders sekolah Membuat modul Analisis SWOT Profesionalisasi
Tujuan Politik
Efisiensi Manajemen
Efisiensi Keuangan
Pemerataan Kesempatan
Gambar 1: Paradigma Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Sumber: Fattah, Nanang (2000). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Andira. Praktik MBS di Indonesia Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa wujud otonomi daerah dalam pelaksanaannya adalah otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang luas artinya mencakup semua bidang kecuali hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, politik luar negeri, dan kewenangan lainnya. Otonomi yang nyata artinya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang nyata dan diperlukan serta tumbuh dan berkembang di daerah. Otonomi yang bertanggung jawab artinya pertanggungjawaban daerah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban daerah. Otonomi daerah telah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2001. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, muncul banyak masalah seperti makna otonomi kurang dihayati dan diterapkan guna mencapai demokratisasi, kemandirian, dan pemberdayaan. Menurut Jalal dan Supriadi (2001), kurang mulusnya pelaksanaan otonomi daerah disebabkan karena belum adanya dukungan dari pemerintah pusat untuk merealisasikan otonomi daerah, bervariasinya kemampuan dan kebutuhan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, serta pelaksanaan pembangunan. Di bidang pendidikan, sekolah mengalami kesulitan dana sehingga sekolah bagaikan hidup segan, mati tidak mau. Sejalan dengan reformasi dan demokratisasi pendidikan yang sedang bergulir, pemerintah telah bertekad bulat untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah di semua jenjang pendidikan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan pendidikan sebagian besar diserahkan pada pemerintah daerah. Kewenangan yang diserahkan meliputi administrasi pegawai, keuangan, perlengkapan, dan dokumen pendukungnya. Adapun tujuan otonomi daerah di bidang pendidikan antara lain (1) meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih dekat, cepat, mudah, murah, dan sesuai kebutuhan masyarakat dengan menekankan pada prinsip demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya, kemajemukan bangsa (memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah), sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; (2) pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik di sepanjang hayat; (3) memberikan keteladanan dan membangun kemauan; (4) mengembangkan kreativitas peserta didik; (5) mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung, dan memberdayakan
48
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58
seluruh komponen masyarakat (peran serta masyarakat); (6) pemerataan dan keadilan; (7) meningkatkan kesejahteraan pendidikan dan tenaga kependidikan; (8) akuntabilitas publik; (9) transparansi; (10) memperkuat integritas bangsa (memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antardaerah dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI); serta (11) meningkatkan daya saing di era global (Usman, 2009). Pelaksanaan otonomi pendidikan dimulai dari tingkat provinsi kemudian tingkat kabupaten/kota dan akhirnya berdampak sampai tingkat sekolah. Sebagian besar sekolah menuntut dan diberikan otonomi untuk mengelola sekolahnya sendiri. Fakta menunjukkan bahwa rendahnya kualitas sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah buruknya kualitas manajemen dan kebijakan pendidikan (Sallis, 2003). Warga sekolah hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh atasannya. Pendapat Sallis tersebut mendukung kebijakan Juran (salah seorang begawan kualitas dunia) yang mengatakan bahwa 85% masalah kualitas ditentukan oleh pihak manajemen, sisanya oleh faktor-faktor yang lain. Selama Orde Baru, manajemen sekolah bersifat sangat sentralistik, sehingga telah menempatkan sekolah pada posisi marjinal, yakni kurang diberdayakan tetapi malah diperdayakan, kurang mandiri, pasif atau menunggu instruksi, bahkan inisiatif dan kreativitasnya untuk berkembang cenderung terpasung. Akan tetapi, seiring dengan diberlakukannya konsep otonomi pendidikan, Depdiknas telah melakukan reorientasi manajemen sekolah dari manajemen pendidikan berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah (school-based management/SBM) atau disebut juga site based management. Konsep MBS telah terbukti berhasil diterapkan di negara-negara maju, tetapi masih merupakan konsep manajemen pendidikan yang baru di negara kita. MBS merupakan suatu perwujudan otonomi daerah di bidang pendidikan dan telah diundang-undangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi, ”Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”. Artikel ini membahas implementasi MBS di Kota Sukabumi. Secara kuantitatif, sekolah-sekolah di semua satuan pendidikan telah menerapkan konsep MBS. Namun, secara kualitatif, tidak semua sekolah menerapkan konsep MBS sesuai dengan prinsip-prinsip umum MBS. Hal ini menunjukkan terjadinya kesenjangan antara harapan (dasein) dan kenyataan di lapangan (dasolen). Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan sekolah untuk melaksanakan konsep MBS disebabkan karena belum adanya strategi yang jelas guna mengukur kinerja sekolah dalam kerangka pemberdayaan implementasi MBS. Menurut buku ”Implementasi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat” (2003), ada enam prinsip yang menjadi pedoman implementasi MBS, yaitu: (1) memiliki visi, misi, dan strategi ke arah pencapaian kualitas pendidikan, khususnya kualitas siswa sesuai dengan jenjang pendidikan; (2) berpijak pada pembagian kewenangan, yaitu pengelolaan pendidikan sepatutnya berlandaskan pada keinginan untuk saling mengisi, membantu dan menerima, serta kewenangan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing; (3) adanya profesionalisme di seluruh bidang, yaitu implementasi MBS menuntut derajat profesionalisme dari berbagai komponen—praktisi, pengelola, dan pemimpin pendidikan—termasuk profesionalisme komite sekolah; (4) melibatkan partisipasi masyarakat yang kuat, yaitu tanggung jawab pelaksanaan pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah (guru dan kepala sekolah), tetapi juga menuntut keterlibatan dan tanggung jawab dari seluruh komponen lapisan masyarakat, termasuk orang tua siswa; (5) membentuk komite sekolah, yaitu setiap sekolah harus membentuk komite sekolah sebagai lembaga yang melaksanakan MBS; dan (6) adanya transparansi dan akuntabilitas, yaitu MBS harus berpijak pada keterbukaan pengelolaan sekolah, termasuk masalah fisik dan non-fisik, sekolah dan komite sekolah merupakan lembaga terdepan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sekolah. Dari enam prinsip umum yang wajib dijadikan pedoman dalam implementasi MBS seperti dikemukakan di atas, maka terdapat tiga kategori sekolah di Kota Sukabumi menurut satuan pendidikan dalam implementasi kebijakan MBS. Pertama, sekolah-sekolah yang proaktif mengimplementasikan MBS, yaitu: (a) SDN Dewi Sartika Cipta Bina Mandiri, (b) SMPN 5, (c) SMAN 1, dan (d) SMKN 1. Kedua, sekolahsekolah dengan kategori baru memahami konsep MBS, yaitu: (a) SDN Brawijaya, (b) SMPN 3, (c) SMAN 4, dan (d) SMKN 2. Ketiga, sekolah-sekolah dengan kategori belum memahami konsep MBS, yaitu: (a) SDN Sindangsari, (b) SMPN 14, (c) SMAN 2, dan (d) SMKN 3. Bertitik tolak dari hasil analisis implementasi MBS di Kota Sukabumi serta dikaitkan dengan hasil penilaian kinerja, maka dapat dikemukakan bahwa sekolah yang merespons implementasi kebijakan MBS sangat bervariasi, baik merespons terhadap nilai-nilai kebijakan MBS maupun substansi konsep MBS itu sendiri. Pada umumnya, sekolah tersebut memiliki visi, misi, dan strategi dalam upaya meningkatkan kuaModel Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
49
litas pendidikan, tetapi dalam pelaksanaannya terdapat kecenderungan akan kurang relevannya visi, misi, dan rencana strategi dengan program dan kegiatan yang dilakukan. Bagi sekolah yang proaktif mengimplementasikan MBS dan merespons nilai-nilai kebijakan MBS, tidak ditemukan kendala yang berarti pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun, bagi sekolah yang baru mulai melaksanakan MBS, apalagi sekolah yang masih ragu-ragu dan selalu menunggu petunjuk dari atasan merupakan suatu hal yang sangat berat untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, diperlukan strategi pemberdayaan implementasi MBS dengan menggunakan pendekatan Balanced Scorecard. Balanced Scorecard merupakan metode yang dikembangkan oleh Robert Kaplan dan David Norton untuk mengukur setiap aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka merealisasikan tujuan perusahaan tersebut. Pada awalnya, Balanced Scorecard ditujukan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja eksekutif yang hanya diukur dari perspektif keuangan. Akibatnya, fokus perhatian eksekutif hanya dicurahkan untuk meningkatkan kinerja keuangan sehingga mereka cenderung mengabaikan kinerja nonkeuangan seperti kepuasan pelanggan, produktivitas, dan efektivitas biaya yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa, pemberdayaan dan komitmen karyawan dalam menghasilkan produk atau jasa guna mencapai kepuasan pelanggan. Seiring berjalannya waktu, Balanced Scorecard dikembangkan lebih lanjut sebagai sarana komunikasi antarunit dalam suatu organisasi. Balanced Scorecard juga dikembangkan sebagai alat bagi organisasi yang berfokus pada strategi (LAN-RI, 2008). Dewasa ini, Balanced Scorecard tidak hanya diterapkan dalam dunia bisnis, tetapi juga kalangan pemerintahan. Pemerintah yang memiliki fungsi pelayanan publik sudah menggunakan konsep Balanced Scorecard guna membantu melakukan pengukuran kinerjanya. Seperti dikemukakan oleh Gaspersz (2002) bahwa aparatur pemerintah merupakan orang-orang yang dipercaya serta diberikan mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, efektifitas kinerjanya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Efektifitas kinerja tersebut dapat diukur dengan menggunakan kriteria peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, pendapatan ekonomi, keamanan lingkungan, dan lain-lain. Karena luasnya implementasi Balanced Scorecard dalam dunia bisnis, maka definisi Balanced Scorecard terasa sempit jika dibandingkan dengan fungsi Scorecard yang sesungguhnya. Kata benda “score” seperti dijelaskan oleh Yuwono (2002) bermakna “penghargaan atas poin-poin yang dihasilkan (seperti dalam permainan)”. Dalam konteks kata kerja, “score” berarti “memberikan angka”. Jadi, Scorecard secara bebas dapat diartikan sebagai kesadaran (bersama) di mana segala sesuatu perlu diukur. Objeknya berupa entitas bisnis, organisasi, perusahaan, divisi, unit, tim, atau bahkan individu yang ingin kita kendalikan atau evaluasi. Jika suatu entitas bisnis perlu dikendalikan, maka kita membutuhkan tolak ukurnya. Jadi, ketika kita berbicara tentang Balanced Scorecard di mana terdapat tambahan kata “balanced” di depan kata “score”, maksudnya adalah angka (grade atau score) tersebut harus mencerminkan keseimbangan antara sekian banyak unsur penting dalam kinerja. Kata “keseimbangan” meliputi makna yang tidak terbatas. Keseimbangan dalam perspektif Balanced Scorecard memiliki dasar yang kuat secara filosofis. Jadi, Balanced Scorecard adalah “seperangkat ukuran yang memberikan sudut pandang secara cepat tetapi menyeluruh tentang bisnis kepada para manajer, mencakup ukuran keuangan yang menjelaskan hasil dari tindakan yang telah diambil serta ukuran operasi seperti kepuasan pelanggan, proses internal, inovasi organisasi dan peningkatan aktivitas operasi sebagai penggerak kinerja keuangan di masa yang akan datang.” Jika diadaptasi ke dalam dunia pendidikan, menurut Yuwono (2002), aspek-aspek yang diukur dalam manajemen kinerja sekolah dengan pendekatan Balanced Scorecard meliputi empat perspektif, antara lain: 1. Perspektif Keuangan Dalam perspektif keuangan, pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan tiga tahapan siklus kehidupan sekolah, yaitu antara lain: (a) growth, yaitu siklus kehidupan sekolah yang memiliki potensi pertumbuhan sekolah terbaik, (b) sustaint, yaitu siklus kehidupan sekolah yang memiliki tingkat pengembalian sekolah terbaik dengan sasaran keuangan sekolah diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian investasi pendidikan, serta (c) harvest, yaitu siklus kehidupan sekolah di mana sekolah benar-benar memanen/menuai hasil investasinya dengan sasaran keuangan sekolah diarahkan untuk memaksimalkan arus kas masuk sekolah dan pengurangan modal kerja sekolah.
50
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58
2. Perspektif Pelanggan Dalam perspektif pelanggan, ada dua kelompok pengukuran yang harus dilakukan oleh sekolah, yaitu sebagai berikut: a) Customer core measurement, yang memiliki beberapa komponen pengukuran, antara lain: (1) market share, yang mengukur bagian yang dikuasai oleh sekolah atas keseluruhan pasar jasa pendidikan yang ada, yang meliputi jumlah pelanggan jasa pendidikan, jumlah penjualan jasa pendidikan, dan volume penjualan jasa pendidikan; (2) customer retention, yang mengukur tingkat di mana sekolah dapat mempertahankan hubungannya dengan pelanggan jasa pendidikan; (3) customer acquisition, yang mengukur tingkat di mana suatu unit usaha sekolah dapat menarik pelanggan jasa pendidikan yang baru atau memenangkan kompetisi pendidikan atas sekolah pesaingnya; (4) customer satisfaction, yang mengukur tingkat kepuasan pelanggan jasa pendidikan terkait dengan kriteria kinerja sekolah dalam value proposition sekolah; serta (5) customer profitability, yang mengukur pendapatan bersih sekolah dari seorang pelanggan jasa pendidikan atau segmen pasar jasa pendidikan setelah dikurangi dengan biaya-biaya khusus yang dibutuhkan oleh sekolah agar dapat mendukung pelanggan jasa pendidikan tersebut. b) Customer value proposition, yaitu pemicu kinerja sekolah yang terdapat pada core value proposition sekolah yang didasarkan pada atribut-atribut sebagai berikut: (1) product/service attributes, yang mengidentifikasi apa yang diinginkan pelanggan jasa pendidikan atas produk jasa pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah; (b) customer relationship, yang menyangkut perasaan pelanggan jasa pendidikan terhadap proses pembelian produk jasa pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah; serta (c) image and reputation, yaitu faktor-faktor tidak berwujud yang berfungsi untuk membangun citra dan reputasi sekolah melalui periklanan jasa pendidikan dan menjaga kualitas jasa pendidikan. 3. Perspektif Proses Internal Dalam perspektif proses internal, sekolah perlu melakukan analisis rantai nilai (value chain analysis). Scorecard memungkinkan kepala sekolah untuk mengetahui seberapa baik sekolah mereka berjalan dan apakah produk jasa pendidikan mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan jasa pendidikan. Dalam perspektif proses internal, proses inovasi pendidikan dimasukkan ke dalam proses internal. Proses inovasi pendidikan dilakukan dengan tujuan untuk memahami kebutuhan pelanggan jasa pendidikan dan menciptakan produk jasa pendidikan yang mereka butuhkan. 4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, sekolah melakukan pengukuran kinerja berdasarkan faktor SDM, sistem, dan prosedur organisasi sekolah yang merupakan fondasi keberhasilan knowledge worker organization dengan tolak ukur: (a) employees capability, yaitu bagaimana karyawan sekolah menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi sekolah, (b) information system capability, yaitu kemampuan sistem informasi pendidikan yang dibutuhkan oleh seluruh tingkat manajemen sekolah dan karyawan sekolah, (c) motivation empowerment and alignment, yang menjamin adanya proses pendidikan yang berkesinambungan terhadap upaya memberikan motivasi dan inisiatif yang sebesar-besarnya bagi karyawan sekolah. Dalam manajemen sekolah, Balanced Scorecard menekankan bahwa semua ukuran kinerja keuangan dan non-keuangan sekolah harus menjadi bagian dari sistem informasi bagi semua orang di seluruh tingkat manajemen sekolah. Balanced Scorecard lebih dari sekadar sistem pengukuran taktis atau operasional sekolah. Sekolah yang inovatif dapat menggunakan Scorecard sebagai sistem manajemen strategis guna mengelola strategi sekolah jangka panjang. Sekolah menggunakan fokus pengukuran Scorecard untuk menghasilkan berbagai proses manajemen sekolah yang penting, antara lain: (1) memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi sekolah; (2) mengomunikasikan serta mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis sekolah; (3) merencanakan, menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis sekolah; dan (4) meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategis sekolah (Sagala, 2007). Bagaimana sekolah membangun suatu sistem manajemen strategis perlu memperhatikan hal-hal penting seperti (1) mengembangkan Balanced Scorecard untuk menerjemahkan visi umum sekolah ke dalam strategi sekolah yang dipahami dan dapat dijelaskan, yakni proses untuk membangun konsensus dan komitmen terhadap strategi sekolah; (2) berkomunikasi dengan manajer tengah (middle manager), yaitu Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
51
kepala sekolah dan para wakilnya sebagai manajer puncak yang bersama-sama belajar dan berdiskusi tentang strategi sekolah yang baru dengan menggunakan Balanced Scorecard sebagai sarana komunikasi; (3) mengembangkan Scorecard dari unit bisnis strategis (strategic business unit—SBU) sekolah, yaitu sekolah menggunakan Scorecard sebagai contoh kemudian setiap unit bisnis strategis sekolah menerjemahkan strategi sekolahnya ke masing-masing Scorecard; (4) mengurangi investasi non-strategis melalui Scorecard, yaitu menjelaskan prioritas strategis sekolah dan memperkenalkan beberapa program sekolah yang tidak berkontribusi terhadap strategi sekolah; (5) meluncurkan program perubahan sekolah melalui Scorecard, yaitu memperkenalkan pentingnya program perubahan penyilangan bisnis bagi sekolah yang diluncurkan ketika unit-unit bisnis strategis sekolah mempersiapkan Scorecard-nya; (6) meninjau kembali unit bisnis strategis sekolah melalui Scorecard, yaitu tim eksekutif sekolah meninjau kembali Scorecard dari setiap unit bisnis strategis sekolah sehingga memperbolehkan para wali kelas sebagai penanggung jawab unit bisnis strategis sekolah untuk berpartisipasi dengan cara mengerahkan pengetahuan mereka dalam menentukan strategi dari setiap unit bisnis strategis sekolah; (7) mendefinisikan kembali visi sekolah, yaitu meninjau kembali setiap unit bisnis strategis sekolah melalui Scorecard guna memperkenalkan beberapa isu penyilangan sekolah yang tidak dikenal termasuk strategi sekolah dan Scorecard sekolah diperbarui; (8) mengomunikasikan Scorecard kepada semua orang di sekolah, yaitu pada akhir tahun ajaran, ketika tim manajemen sekolah merasa nyaman dengan pendekatan strategis sekolah, Scorecard disebarkan ke seluruh organisasi; (9) menentukan tujuan kinerja dari setiap individu di sekolah, yaitu manajemen puncak sekolah menghubungkan tujuan individu dan kompensasi insentifnya dengan Scorecard mereka; (10) memperbarui rencana jangka panjang dan anggaran belanja sekolah, yaitu menentukan setiap ukuran dari tujuan sekolah dalam lima tahun, menentukan kebutuhan investasi untuk menemukan tujuan yang diketahui dan didanai, dan menetapkan tahun pertama dari rencana lima tahunan sekolah menjadi Laporan Tahunan Anggaran Belanja Sekolah; (11) beberapa sekolah sejenis membuat majalah bulanan dan triwulanan, yaitu setelah beberapa sekolah sejenis menyetujui Scorecard dari setiap unit bisnis strategis sekolah, majalah bulanan diproses dan dilengkapi dengan majalah triwulanan yang lebih menitikberatkan pada isu strategis manajemen sekolah di daerah sekolah tersebut berada; (12) membuat majalah strategi tentang laporan tahunan sekolah, yaitu laporan tahunan sekolah yang membahas strategi sekolah, melakukan pembaruan manajemen strategi sekolah, komite eksekutif sekolah membuat daftar sepuluh isu strategis sekolah, dan setiap unit bisnis strategis sekolah mengembangkan posisi pada setiap isu sekolah tersebut sebagai pendahuluan guna memperbarui strategi dan Scorecard-nya; dan (14) menghubungkan kinerja setiap individu dengan Scorecard sekolah, yaitu setiap individu di sekolah diminta untuk menghubungkan tujuan individu di sekolah dengan Scorecard dan seluruh kompensasi insentif sekolah dihubungkan dengan Scorecard (Sagala, 2007). Ada tiga prinsip yang memungkinkan Balanced Scorecard dikaitkan dengan strategi: (1) cause and effect relationships, yaitu Balanced Scorecard menjabarkan tujuan dan pengukuran masing-masing perspektif dengan baik dalam satu kesatuan yang terpadu; (2) performance drivers, yaitu hasil mencerminkan tujuan umum strategi sekolah; dan (3) linkage to financials, yaitu keberhasilan sekolah dalam pencapaian tujuannya—kualitas pendidikan, kepuasan pelanggan jasa pendidikan, inovasi dan pemberdayaan karyawan sekolah—tidak dapat meningkat jika dianggap sebagai tujuan akhir sekolah, sehingga pencapaian tujuan sekolah harus dikaitkan dengan tujuan keuangan (Yuwono, 2002). Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Artikel ini membahas implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) di provinsi Jawa Barat dengan menggunakan model Balanced Scorecard. Dalam buku ”Implementasi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat” (2003), dijelaskan beberapa indikator dari model implementasi MBS. Setiap indikator tersebut digunakan untuk menjelaskan setiap aspek dari komponen yang mendukung proses manajemen sekolah, yaitu indikator dari aspek arah dan kebijakan sekolah yang mencakup: (a) visi, misi, dan strategi; (b) rencana kerja (jangka panjang, menengah, dan pendek); serta (c) laporan. Seluruh indikator tersebut mewakili nilai-nilai yang terkandung dalam MBS, yang mencakup enam prinsip umum MBS yang telah dijelaskan di atas. Keenam prinsip umum tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga prinsip utama berdasarkan kedekatan makna dari setiap prinsip, yaitu: (1) melakukan perencanaan strategis (membangun visi, misi, strategi, dan program kerja); (2) memiliki kemandirian (yang ditandai dengan sikap profesionalisme, pembagian kewenangan, serta transparansi dan akuntabilitas); dan (3) adanya partisipasi masyarakat (yang ditandai dengan adanya komite sekolah). Ketiga prinsip utama tersebut disajikan pada Gambar 2 di bawah ini.
52
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58
PERENCANAAN STRATEGIS
• • • • •
Perumusan visi dan misi sekolah Analisis lingkungan strategis sekolah Penyusunan rencana strategis sekolah Pelaksanaan rencana kerja sekolah Pengukuran kinerja sekolah
PARTISIPASI KEMANDIRIAN
MASYARAKAT
• Sikap profesionalisme • Pembagian kewenangan • Transparansi dan akuntabilitas sekolah
Gambar 2: Restrukturisasi Implementasi MBS Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2003). Implementasi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat. Transparansi dan Akuntabilitas Sekolah Model Balanced Scorecard dalam implementasi MBS menjelaskan tentang integrasi konsep manajemen strategis dan Balanced Scorecard agar lebih memberdayakan proses implementasi MBS. Integrasi dari kedua konsep tersebut memiliki makna bahwa pendekatan manajemen strategis, yang mencakup pengamatan lingkungan eksternal maupun internal, perumusan strategi, pengimplementasian strategi, serta evaluasi dan pengendalian; digunakan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan internal maupun eksternal sehingga memengaruhi implementasi MBS; sedangkan model Balanced Scorecard dengan empat perspektifnya—perspektif pelanggan, pembelajaran dan pertumbuhan, keuangan, serta proses internal— dapat digunakan dalam sistem pengendalian strategis, sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari siklus manajemen strategis. Perencanaan strategis merupakan bagian dari manajemen strategis. Perencanaan strategis merumuskan tujuan dan sasaran organisasi serta strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Oleh karena itu, perencanaan strategis sebagai bagian dari tiga prinsip utama MBS, yaitu pendekatan manajemen strategis yang mencakup pengamatan lingkungan eksternal maupun internal; perumusan strategi (visi, misi, tujuan, strategi, dan kebijakan); implementasi strategi (program, anggaran, dan prosedur); serta evaluasi dan pengendalian; diintegrasikan di dalamnya. Di samping itu, kita perlu memahami bahwa bagian lain dari manajemen strategis selain perencanaan strategis adalah manajemen kinerja yang bertugas melakukan pengukuran kinerja terhadap implementasi perencanaan strategis dalam kaitannya dengan akuntabilitas dan pemantauan kinerja, serta evaluasi untuk menyusun umpan balik (feed back). Oleh karena itu, dalam tahapan evaluasi dan pengendalian kinerja, sebagai bagian dari siklus manajemen strategis, sangat relevan bagi kita untuk mengintegrasikan pendekatan Balanced Scorecard beserta empat perspektifnya. Pendekatan Balanced Scorecard merupakan sistem pengukuran kinerja yang komprehensif sehingga mampu memanfaatkan informasi multidimensional pada empat perspektifnya dalam rangka perumusan dan implementasi strategi. Bahkan dalam kenyataannya, pendekatan Balanced Scorecard tidak hanya digunakan sebagai sistem pengukuran kinerja, tetapi diaplikasikan sebagai sistem manajemen strategis yang melakukan pendekatan proses manajerial secara terintegrasi, sehingga mengedepankan seluruh proses manajemen yang mencakup perencanaan (planning), implementasi (implementing), dan pengendalian (controlling). Pendekatan Balanced Scorecard juga relevan jika diaplikasikan pada tahap evaluasi dan pengendalian kinerja, yakni sebagai bagian dari siklus manajemen strategis dalam rangka implementasi MBS. Model implementasi MBS dengan pendekatan manajemen strategis dan Balanced Scorecard yang ditemukan oleh Dally (2010) ditampilkan pada Gambar 3 di bawah ini.
Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
53
Gambar 3: Model Implementasi MBS dengan Pendekatan Manajemen Strategis dan Balanced Scorecard Sumber: Dally, Dadang. (2010). Balance ScoreCard: Suatu Pendekatan dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Dalam pendekatan Balanced Scorecard, ada dua jenis pengukuran yang dilakukan, yaitu pengukuran hasil kinerja dan pengendali kinerja. Sistem Balanced Scorecard mengombinasikan pengukuran hasil kinerja dan pengendali kinerja yang selaras dengan tujuan strategis organisasi. Jadi, dalam mengukur kinerja sekolah berdasarkan empat perspektif Balanced Scorecard, pengukuran kinerja sekolah dapat dilakukan melalui:
54
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58
Tabel 1 Pengukuran Kinerja Sekolah dengan Pendekatan Balanced Scorecard Tujuan Strategis Perspektif Keuangan: Meningkatkan pemerataan layanan pendidikan dengan subsidi pembiayaan pendidikan anak dari keluarga tidak mampu.
Pengukuran Strategis Hasil Kinerja
Pengendali Kinerja
• Meningkatnya jumlah anak yang bersekolah dari keluarga tidak mampu.
• Survei dan pendataan penduduk keluarga tidak mampu.
• Meningkatnya APK/ APM.
• Survei dan pendataan pendidikan di sekolah.
Perspektif Pelanggan: Meningkatkan pemberian layanan pendidikan yang berkualitas oleh sekolah kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu.
• Menurunnya Angka DO dan mengulang.
• Survei dan pendataan pendidikan di sekolah.
• Meningkatnya angka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
• Survei dan pendataan pendidikan di sekolah.
• Meningkatnya daya tampung sekolah.
• Rasio murid : ruang kelas.
• Meningkatnya rombongan belajar di sekolah.
• Rasio murid : rombongan belajar.
• Meningkatnya kreativitas guru.
• Rasio murid : guru.
Perspektif Proses Internal: Meningkatkan daya tampung dan sarana/prasarana sekolah untuk menampung anak-anak dari keluarga tidak mampu yang disubsidi oleh pemerintah. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan: Mengembangkan kreativitas guru untuk mengembangkan metode pembelajaran yang berkualitas dan biayanya terjangkau.
• Meningkatnya metode pembelajaran.
• Rasio alat peraga : murid.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Artikel ini merupakan studi kasus implementasi MBS dengan menggunakan metode Balanced Scorecard di Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh sekolah pada semua satuan pendidikan di Kota Sukabumi telah menerapkan konsep MBS. Akan tetapi, tidak semua sekolah menerapkan konsep MBS sesuai dengan enam prinsip umum MBS, yakni: (1) memiliki visi, misi, dan strategi ke arah pencapaian kualitas pendidikan; (2) berpijak pada pembagian kewenangan; (3) adanya profesionalisme di seluruh bidang; (4) melibatkan partisipasi masyarakat yang kuat; (5) membentuk komite sekolah; serta (6) adanya transparansi dan akuntabilitas. Dari enam prinsip umum yang menjadi pedoman implementasi MBS di atas, kita dapat mengklasifikasikan sekolah menjadi tiga kategori, yaitu: (a) sekolah-sekolah yang proaktif dalam mengimplementasikan MBS, (b) sekolah-sekolah dengan kategori baru memahami konsep MBS, dan (c) sekolah-sekolah dengan kategori belum memahami konsep MBS. Sekolah yang merespons implementasi kebijakan MBS sangat bervariasi, yaitu baik merespons terhadap nilai-nilai kebijakan MBS maupun substansi konsep MBS itu sendiri. Sekolah-sekolah tersebut telah memiliki visi, misi, dan strategi dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, tetapi visi, misi, dan strategi tersebut kurang relevan dengan program dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah. Bagi sekolah yang proaktif mengimplementasikan MBS dan merespons nilai-nilai kebijakan MBS, tidak ditemukan kendala yang berarti pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun, bagi Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
55
sekolah yang baru mulai memahami konsep MBS bahkan belum memahami konsep MBS sama sekali, sangat berat untuk melaksanakan konsep MBS tersebut. Dengan demikian, diperlukan strategi pemberdayaan implementasi kebijakan MBS. Pendekatan yang dianggap mampu untuk memberdayakan MBS adalah pendekatan manajemen kinerja dengan menggunakan model Balanced Scorecard agar dapat meningkatkan kinerja sekolah yang diharapkan. Menurut Dally (2010), ada tiga aspek yang perlu mendapat perhatian dalam merancang strategi pemberdayaan MBS. Pertama, membangun visi bersama. Aspek ini sangat perlu diperhatikan dalam merancang strategi pemberdayaan MBS karena konsep MBS merupakan konsep yang baru dan membutuhkan penyesuaian di lingkungan sekolah. Agar tidak terjadi persepsi yang berbeda-beda antara komite sekolah, kepala sekolah, dan guru; maka kita membutuhkan komitmen bersama antara berbagai pihak tersebut. Dengan demikian, berbagai pihak tersebut harus memiliki visi yang sama sehingga seluruh warga sekolah dapat mengetahui ke mana sekolah akan melangkah dan apa yang hendak dicapai oleh sekolah. Timbulnya konflik di sekolah akan berdampak negatif terhadap implementasi kebijakan MBS yang berupa pertengkaran atas sumber daya sekolah atau perselisihan yang diakibatkan karena tujuan warga sekolah yang saling berlawanan. Sekolah perlu menetapkan visi bersama secara jelas, yang mengutamakan prioritas, tujuan warga sekolah secara bersama-sama, dan kerja sama bukan mengedepankan kompetisi antarwarga sekolah sehingga masalah-masalah tersebut dapat dihindari (Stewart, 1994). Kedua, kemandirian kepala sekolah mutlak untuk dimiliki. Kepala sekolah adalah pemimpin operasi tertinggi di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah mencakup cara-cara dan upayanya dalam memengaruhi, memberikan dorongan dan bimbingan, serta menggerakkan guru, staf, siswa, dan orang tua siswa demi tercapainya tujuan sekolah. Namun, dalam praktik administratif, kepala sekolah sering kali tercabut dari fitrah keguruannya sehingga ia lebih bersikap sebagai birokrat daripada mengutamakan nilai-nilai profesionalismenya (Suparno dkk., 2001). Jadi, kemandirian kepala sekolah mutlak untuk dimiliki sehingga bebas mengatur kurikulum atau kedinasan sesuai dengan konteks sekolah masing-masing. Kepala sekolah harus mampu menetapkan kebijakan atau target sekolah berdasarkan kondisi dan kemampuan nyata yang dimiliki sekolahnya. Kepala sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga ia dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan dirinya pada atasan. Agar dapat mandiri, kepala sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup guna menjalankan tugasnya. Ketiga, pelibatan komite sekolah harus berorientasi pada pemberdayaan sekolah. Komite sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, dan luar sekolah. Komite sekolah dibentuk berdasarkan musyawarah mufakat yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, sebagai representasi dari berbagai unsur masyarakat yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa komite sekolah sering kali melakukan pengendalian proses pendidikan secara berlebihan, sehingga akhirnya berorientasi pada laba dan kepentingan lembaganya. Oleh karena itu, setiap sekolah seharusnya memiliki komite sekolah yang berorientasi pada pengguna (client model), pembagian kewenangan (power sharing and advocacy model), serta kemitraan (partnership model) yang berfokus pada peningkatan kualitas layanan pendidikan. Sekolah merupakan institusi yang memberikan layanan publik dalam bidang pendidikan. Dalam melakukan pengukuran kinerja, sekolah dapat menggunakan sistem manajemen kinerja Balanced Scorecard sehingga melalui perspektif keuangan, sekolah akan memberikan nilai layanan kepada masyarakat. Dalam perspektif pelanggan, masyarakat selaku pengguna jasa pendidikan dapat terlibat langsung dalam proses perumusan kebijakan sekolah sekaligus dapat mengevaluasi kinerjanya. Dipandang dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, sekolah dapat terus-menerus meningkatkan dan menciptakan nilai untuk masyarakat serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Dari perspektif proses, sekolah dengan program dan kegiatan yang dilaksanakannya dapat memberikan hasil-hasil pendidikan sesuai dengan yang diharapkannya. Konsep manajemen kinerja dengan pendekatan Balanced Scorecard dalam upaya meningkatkan pemberdayaan MBS sebagai bentuk inovasi pendidikan membutuhkan dukungan dari para birokrat pendidikan, sehingga harapan untuk meningkatkan pemberdayaan MBS dalam menciptakan sekolah berkualitas dapat diwujudkan.
56
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58
DAFTAR RUJUKAN Dally, Dadang. (2010). Balanced ScoreCard: Suatu Pendekatan dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2003). Implementasi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat. Duhou, Ibtisam Abu. (2002). School Based Management. Jakarta: Logos. Fattah, Nanang. (2000). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Andira. Fattah, Nanang. (2002). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Gaspersz, Vincent. (2002). Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi: Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. (2001). Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita Karya Nusa. LAN-RI. (2008). Kajian Manajemen Strategik: Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II. Lembaga Administrasi Negara: Pusat Pendidikan dan Pelatihan SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Sagala, H. Syaiful. (2004). Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima. Sagala, H. Syaiful. (2007). Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sallis, Edward. (2003). Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Educational Management Series. Satori, Dj. (2001). Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat: MBS Dewan Sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Stewart, Aileen Mitchell. (1994). Empowering People. London: Financial Times Management. Suparno, Paul, R. Rohandi, G. Sukadi, dan St. Kartono. (2001). Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Usman, Husaini. (2009). Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Yuwono, Sony, Edy Sukarno, dan Muhammad Ichsan. (2002). Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Model Balanced Scorecard dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Wijaya)
57
58
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, Vol. 14, No. 1, Mei 2014: 45 - 58