5 REFORMASI DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) Imam* *Kemenag Tulungagung
[email protected]
Abstract Education reform in Indonesia initiated the decentralization of education. Decentralization of education is meant kewengan central government and provincial government allowed only limited autonomy organizing activities specified in government regulations. While the local government authority covering the planning, implementation, monitoring, control and evaluation. Form of education decentralization is local autonomy which gave birth to school-based management. There are some who carried out the order of SBM reforms such as planning and evaluation of programs and curriculum management. In an effort optimasilsi implementation of MBS is the first regulation kewenagan clear between central and local government, and education units. To-two Need for Reform MBS according to the characteristics of Indonesia All three Application MBS in total. All four should be the training of MBS to the organizers of education and socialization model of MBS to Stakeholders Kata Kunci: Reformasi Manajemen Berbasis Sekolah
Pendidikan
dan
Reformasi dalam Manajemen Berbasis Sekolah – Imam 742
Pendahuluan Reformasi di Indonesia telah berlangsung 17 tahun silam, dimulai pada Mei 1998 merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Reformasi di Indonesia seperti air bah yang seakan ingin berubah diseluruh setruktur kehidupan. Reformasi di Indonesia yang melahirkan orde reformasi, masyarakat mempunyai harapan besar terhadap perubahan. Karena reformasi mengimplikasikan unsur dan makna “koreksi kritis” di dalamnya. Dengan demikian, reformasi tidak hanya dimaksudkan suatu perubahan struktur, melainkan sebagai “usaha untuk membentuk ulang dan membangun ulang suatu struktur, sebagai usaha melaksanakan perbaikan tatanan di dalam struktur. Dengan demikian, ketika tatanan lama sudah tidak lagi dapat dipertahankan misalnya, seperti dikonotasikan pada masa Orde Baru perlu dilakukan reformasi terhadap tatanan tersebut, dan diganti dengan tatanan yang lebih demokratis, tatanan yang lebih menjunjung tinggi keadilan, dan lebih menjamin hak-hak dasar manusia. Reformasi yang berlangsung, misalnya kewenangan pemerintah pusat dalam mengurus dan mengatur tugas pemerintah telah mengalami perubahan. Pemerintah pusat tidak lagi bersifat sentralistis, tidak sedikit urusan yang diselesaikan pemerintah daerah. Sejak digulirkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah dan diamandemen UU N0. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, tampaknya peran dan fungsi pemerintah daerah menjadi semakin besar dalam berbagai hal termasuk pendidikan. Dari UU tersebut maka ada perubahan peran dan fungsi pemerintah dari bersifat sentralistik menjadi bersifat desentralistik. Perubahan sentralisasi menjadi desentralisasi merupakan untuk membatasi kewenangan pemerintah pusat dan propinsi. Pemerintah pusat dan propinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Di berlakukannya undang-undang tersebut masih terjardi seperti yang disampaikan1 the process of political interaction dari pada tecnical or practical administration. Tarik menarik kepentingan dari pada tercapainya efektifitas dan efesiensi, itulah yang searusnya dihindari, demi optimalisasi UU tersebut. Penyelenggaraan pendidikan juga mengalami perubahan yang disebut dengan intilah desentralisasi pendidikan. Pertanyaannya mengapa perlu desentralisasi pendidikan? Beberapa studi tentang desentralisasi menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat komplek, 1
Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa depan (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), t.h.
743
Edukasi, Volume 03, Nomor 01, Juni 2015: 741-750
dikerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidak pastian, dan berada pada lingkungan yang cepat berubah tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah manajemen berbasis sekolah (MBS). Reformasi dalam Historis Secara harfiah, reformasi pada dasarnya berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan formare yang berarti membentuk. Dalam hal ini, reformasi didefinisikan sebagai usaha untuk membentuk kembali”. Menurut istilah reformasi didefinisikan sebagai penataan kembali bangunan masyarakat, cita-cita, lembaga-lembaga dan saluran-saluran yang ditempuh dalam mencapai cita-cita.2 Reformasi pertama kali digunakan oleh Paus Gregorius VII yang mencita-citakan terjadinya reformation atius orbis (reformasi atas tatanan dunia) (Wignjosoebroto, 2000). Reformasi Gregorian ini ditujukan untuk menggerakkan proses kearah terciptanya tatanan baru, yang salah satunya adalah pengakuan atas kekuasaan para baron di hadapan otoritas para uskup-yang lantas meletakkan dasar bagi kemungkinan dipisahkannya yuridiksi antara Negara Teritorial (yang dikuasai penguasa dunia) dengan Gereja (yang dikontrol oleh Paus selaku pemimpin rohani). Istilah reformasi kembali menjadi popular pada masa Martin Luther, ia menyerukan pentingnya segera dilakukan rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran kristiani. Reformasi Lutherian ini mengajarkan keharusan untuk segera melakukan proses depolitisasi gereja agar dapat berkonsentrasi pada urusan-urusan yang sepenuhnya eklesiastikal, dan dengan demikian melakukan proses sekularisasi terhadap Negara-negara nasional berserta hukumhukumnya. Berangkat dari dua peristiwa penggunaan istilah reformasi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa istilah reformasi mengimplikasikan unsur dan makna “koreksi kritis” di dalamnya. Dengan demikian, reformasi tidak hanya dimaksudkan suatu struktur, melainkan sebagai “usaha untuk membentuk ulang dan membangun ulang suatu struktur, sebagai usaha melaksanakan perbaikan tatanan di dalam struktur. Karena perubahan tersebut juga termasuk di bidang pendidikan maka kemudian istilah reformasi juga dipakai pada bidang pendidikan, seperti reformasi pendidikan yang terjadi di 2
Sinambela, Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), t.h.
Reformasi dalam Manajemen Berbasis Sekolah – Imam 744
negara Jepang yang di motori oleh Meiji mulai tahun 1868 yaitu mengeluarkan kebijakan Kyouikurei memuat regulasi aturan untuk menerapkan desentralisasi pendidikan dengan mengizinkan daerahdaerah mendirikan sekolah3 dan Reformasi pendidikan di China tahun 1993 oleh Li Langing dengan pendidikan berbasis budaya.4 Reformasi Pendidikan Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu enam puluh tahun. Perbedaan antara reformasi dan revolusi terletak pada pelibatan perubahan nilainilai.5 Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu pendidikan. Reformasi dalam bidang pendidikan6 diibaratkan seperti pohon yang terdiri dari 4 bagian yaitu akar, batang, cabang dan daun. Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang 3
Aso, Makoto, Ikuo Amano, Education and Japan’s Modernization (Tokyo: Ministry of Foreign Affair, 1972), t.h. 4 Kompas, ”Seminar Pendidikan untuk Peningkatan Mutu Rakyat” di Museum Nasional Jakarta. Selasa 18 Oktober, 2012. 5 Huntington, S.P, The Clash of Civilizations Foreign Affairs, Vol. 72, No. 3, Summer, 1993, pp. 22-49. 6 Bacharach, Samuel B, Editor, Education Reform; Making Sense of It All (Massachusetts: Allyn dan Bacon. Inc, 1990), t.h.
745
Edukasi, Volume 03, Nomor 01, Juni 2015: 741-750
diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis. Reformasi pendidikan banyak substansi yang harus direnungkan dan tidak sedikit pula persoalan yang membutuhkan jawaban. Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya membangun suatu masyarakat. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan,7 karena pendidikan sebagai sarana terbaik dan didesain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual.. Pertanyaan yang muncul adalah apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan. Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik. Reformasi Pendidikan di Indonesia8 bahwa Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional dirancang oleh Kementerian pendidikan nasional untuk dapat melaksanakan Misi 5K yaitu (1) Ketersediaan, (2) Keterjangkauan, (3) Kualitas dan Relevansi, (4) Kesetaraan, dan (5) Kepastian dengan cara seefisien dan seefektif mungkin. Desentralisasi Pendidikan Regulasi desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah dan diamandemen UU N0. 32 Tahun 2004, tentang pemerinta daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah dan pusat, maka penyelenggaraan pendidikan juga mengalami perubahan yang disebut 7
Conference Book. London. 1978. Kementerian Pendidikan Nasional, Reformasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sub. Penguatan Organisasi, 2010). 8
Reformasi dalam Manajemen Berbasis Sekolah – Imam 746
dengan intilah desentralisasi pendidikan. Mengingat bahwa otonomi bertujuan memandiririkan suatu lembaga atau suatu daerah. Untuk mencapai kemandirian tersebut9 maka diperlukan pemberdayaan terhadap penyelenggaraan pendidikan di daerah. Perubahan sentralisasi menjadi desentralisasi merupakan untuk membatasi kewenangan pemerintah pusat dan propinsi. Pemerintah pusat dan propinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Kewenangan pemerintah daerah meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Pelaksanaan desentraliasi pendidikan adalah lebih mengutamakan pada peningkatan peran dan partisipsi daerah termasuk masyarakat dalam rangka terselenggaranya pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk dilaksanakan di daerah. Implikasi desentralisasi pendidikan menghasilkan otonomi pendidikan.10 Pada desentralisasi pendidikan peran serta masyarakat menjadi sangat penting, sementara masyarakat masih belum sepenuhnya mengetahui hal itu. Menurut (Damsar, 2011) Masyarakat merupakan satu realitas yang didalamnya terjadi interaksi sosial dan terdapat pola interaksi sosial. Hubungan antara pendidikan dan masyarakat, termasuk di dalamnya ada proses dan pola interaksi, bersifat saling mempengaruhi atau pengaruh timbal balik. Pola-pola yang dilakukan pendidikan dalam mempengaruhi masyarakat sangat dipengaruhi oleh system pendidikan itu sendiri. Kurun waktu tertentu system pendidikan mengalami perubahan, seiring dengan perubahan zaman yang dikehendaki masyarakat, yang mampu menjawab tantangan global. Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) Menurut Tilaar,11 Krisis pendidikan yang dialami Indonesia dewasa ini berkisar pada krisis menejemen Pendidikan Reformasi birokrasi yakni otonomi daerah kemudian melahirkan otonomi pendidikan menjawab kebuntuan krisis manajemen pendidikan, karena otonomi pendidikan melahirkan manajemen berbasis sekolah. Dengan diterapkan Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 9
Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), t.h. 10 Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), t.h. 11 Tilaar, Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia, 1999), t.h.
747
Edukasi, Volume 03, Nomor 01, Juni 2015: 741-750
(MPMBS) atau juga disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) agar krisis manajemen pendidikan akan bisa diminimalisir atau bahkan dapat diselesaikan. Sebenarnya tujuan dari MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik. Reformasi diberbagai negara misalnya Amerika, Kanada, dan Australia yang dimulai pada dekade 1970-an berhasil menerapkan desentralisasi pendidikan dengan model MBS.12 Melalui MBS sekolah mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung kebutuhan-kebutuhan sekolah. Kewengan pengambilan keputusan dilakukan oleh Kepala sekolah dengan unsur dewan sekolah itu dapat juga melakukan kontrol lebih besar pada setiap kegiatan di sekolah. Pada posisi seperti itu ide-ide cerdas dapat muncul dari dewan sekolah tanpa harus menunggu perintah dari atasan, sehingga melahirkan karya inovatif, kreatif (Rich, 1988) sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan sekolah. Menurut Slamet PH dalam Zainudin13 berdasarkan temuan dilapangan terdapat tiga alasan normatif atas penerapan MBS yaitu: 1) keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah, 2) sekolah lebih memahami permasalahan – permasalahan sekolah sendiri, 3) perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada rasa memiliki. Dari perspektif tersebut, MBS harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dalam implementasi MBS, ada empat sumber daya yang harus didesentralisasikan dalam MBS yaitu (1) power/authority, (2) knowledge, (3) information dan (4) reward. Pertama power/authority kekuasaan atau kewenangan yang desentralisasikan menyangkut tiga hal yaitu budget, personil dan curriculum. Kedua knowledge menyangkut pengetahuan yang didesentralisasikan yaitu ketrampilan pekerjaan, ketrampilan kelompok dan ketrampilan organisasi. Ketiga information yaitu informasi yang didesentralisikan didistribusikan kepada konstituen sekolah dan kepada stakeholders. Ke-empat reward adalah penghargaan yang didesentralisasikan dalam bentuk fisik dan non fisik, penghargaan fisik berupa hadian berbentuk uang dan non fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar dll.14
12
Zainuddin, Reformasi Pendidikan Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), t.h. 13 Ibid. 14 Mohrman, Susan Albers et.al, School-Based Management: Organizing for High Performance (San Francisco: Josey Bass, 1994), t.h.
Reformasi dalam Manajemen Berbasis Sekolah – Imam 748
Desentralisasikan melaui MBS dua hal yaitu (1) perencanaan dan evaluasi program dan (2) pengelolaan kurikulum.15 Pertama perencanaan dan evaluasi program meliputi; visi dan misi sekolah, identifikasi timbulnya permasalahan, prioritas permasalahan, alternatif pemecahan, prioritas pemecahan masalah, tujuan program sekolah, rencana induk pengembangan sekolah, sumberdana pembiayaan program, proposal Block –grant, dan membuat rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Ke-dua pengelolaan kurikulum meliputi; pengelolaan proses belajar mengajar, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dan masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah. Pelaksanaan MBS mengalami beberapa kendala diantaranya adalah (1) masih tarik menarik kepentingan antara DPR, kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam hal pengalokasian anggaran pendidikan, . (2) masih terjadi tumpang tindih dalam regulasi aturan seperti regulasi aturan UN dengan aturan MBS. (3) Terkait masalah kurikulum, kurikulum 2013 mengarah pada semangat sentralisasi yang bertentangan dengan MBS, (4) belum sepenuhnya penyelengara pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan serta stakeholders memahami pelaksanaan MBS secara utuh. Untuk optimasilsi pelaksanaan MBS yang perlu dilakukan pertama adanya regulasi aturan yang jelas antara kewenagan pemerintah pusat dan daerah serta satuan pendidikan sehingga dengan begitu dapat meminimalisir kerancuan dalam pelaksaaannya. Ke-dua Penerapan MBS secara total, maka pelaksanaan lulsusan diserahkan penuh pada satuan pendidikan bukan ditentukan oleh BSNP melaui UN, fungsi BSNP dirubah menjadi badan penjaminan mutu pendidikan yang lebih mengedepankan mutu pendidikan secara umum. Ke- tiga Perlu adanya Reformasi MBS sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia Ke-empat Perlu adanya diklat MBS secara terus menerus kepada seluruh pemerhati pendidikan utamanaya kepada penyelengara pendidikan dan sosisalisasi MBS kepada stakeholders. Kesimpulan Reformasi menekankan faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik. Faktor faktor yang direformasi Faktor Struktur dan Faktor Kultur. 15
Kementerian Pendidikan Nasional, Reformasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sub. Penguatan Organisasi, 2010), t.h.
749
Edukasi, Volume 03, Nomor 01, Juni 2015: 741-750
Reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis. Reformasi Pendidikan di Indonesia diawali desentralisasi pendidikan yang kemudian melahirkan manajemen berbasis sekolah (MBS). Ada beberapa MBS yang dilaksanakan orde reformasi yaitu perencanaan dan evaluasi program serta pengelolaan kurikulum. Sebagai upaya optimasilsi pelaksanaan MBS yaitu pertama adanya regulasi aturan yang jelas antara kewenagan pemerintah pusat dan daerah serta satuan pendidikan. Ke-dua Penerapan MBS secara total. Ke- tiga Perlu adanya Reformasi MBS sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia Ke-empat Perlu adanya diklat MBS kepada penyelengara pendidikan dan sosisalisasi MBS kepada Stakeholders. Daftar Pustaka Aso, Makoto, Ikuo Amano. 1972. Education and Japan’s Modernization. Tokyo: Ministry of Foreign Affair. Bacharach, Samuel B, Editor. 1990. Education Reform; Making Sense of It All, Massachusetts: Allyn dan Bacon. Inc. Conference Book. 1978. London. Huntington, S.P. 1993. The Clash of Civilizations Foreign Affairs, Vol. 72, No. 3, Summer. _______. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. NewYork: Simon and Schuster. Ferry Rustam, 2003. Reformasi Pendidikan pada Masa Jepang Meiji, Makara Sosial Humaniora Vol. 7, No 2. Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Reformasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sub. Penguatan Organisasi. Kompas, Selasa 18 Oktober, 2012. ”Seminar Pendidikan untuk Peningkatan Mutu Rakyat” di Museum Nasional Jakarta. Mohrman, Susan Albers et.al., 1994. School-Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco: Josey Bass. Nurkholis, 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo. Rich, John Martin, 1988. Inovation in Education Reformers and Their Critics, Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.
Reformasi dalam Manajemen Berbasis Sekolah – Imam 750
Sedarmayanti, 2010. Reformasi Administrasi Publik, reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa depan. Bandung: PT Refika Aditama. Sinambela, Lijan Poltak, 2011. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: PT Bumi Aksara. Tilaar, 2000. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. _______. 1999. Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia. Undang – Undang Republik Indonesia No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, 2003. Bandung: Citra Umbara. Undang – Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 2005. Bandung: Citra Umbara. Zainuddin, 2008. Reformasi Pendidikan Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.