MODEL PEMBERDAYAAN PENANGGULANGAN PERSEPSI POSITIF SEBELUM MENIKAH PADA REMAJA DI PACITAN
Sri Iriyanti1), M. Fashihullisan2) STKIP PGRI Pacitan. Jln. Cut Nya’ Dien No 4A Ploso Pacitan email:
[email protected] 2 STKIP PGRI Pacitan email:
[email protected] 1
Abstract: The purpose of this study was to develop a model to change the perception of adolescents about sex before marriage. The development of the model should be able to be applied significantly by identifying the factors that encourage the formation of these perceptions. The model is expected to be effective to shift the perception of adolescents towards the expected direction. The model establishment to change the perception of a positive perception on premarital sex among teenagers is developed in three stages, socialization, stage, and phase change of attitude changes the factors that influence the perception in adolescents. This model was developed to be applied by the four authorities; parents, schools, communities, and government. This model should be jointly undertaken by the authorities to enable the strengthening of the effectiveness of the model. Keywords: Perception, model Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pergeseran persepsi seks sebelum menikah pada remaja. Pengembangan model tersebut harus mampu diterapkan secara nyata dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong pembentukan persepsi tersebut. Model tersebut diharapkan akan efektif menggeser persepsi remaja menuju arah yang diharapkan. Model pembentukan persepsi untuk merubah persepsi positif pada seks sebelum menikah di kalangan remaja dikembangkan dalam tiga tahap yaitu sosialisasi, tahap perubahan sikap dan tahap perubahan faktor-faktor yang pengaruhi persepsi pada remaja. Model ini dikembangkan untuk diaplikasikan oleh empat otoritas yaitu orang tua, sekolah, masyarkaat dan pemerintah. Model ini harus secara bersamasama dilakukan oleh oleh otoritas tersebut agar terjadi penguatan efektivitas model. Kanta Kunci: pergeseran, persepsi, seks muncul dan berkembang pada fase remaja. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian muncul dalam bentuk aktivitas seksual. Data tersebut misalnya dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Centers For Disease Control and Prevention pada tahun (2011), menyatakan 47% siswa sekolah menengah
Remaja merupakan masa dimana manusia sedang mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik secara fisik, psikis dan sosial. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matang dan mulai berfungsinya organorgan tubuh, termasuk organ reproduksinya. Ketertarikan dengan lawan jenis juga mulai 1154
Sri Iriyanti & M. Fashihullisan, Model Pemberdayaan Penanggulangan Persepsi Positif...
di AS telah melakukan hubungan seksual dan 40% di antaranya tergolong aktif, bahkan mereka mengaku tak menggunakan kondom saat terakhir kali bercinta. Penelitian yang dilakukan harian umum pikiran rakyat dalam Nurihsan & Mubiar (2011), tanggal 7 Desember 2009 memberitakan bahwa sebanyak 47% remaja di kota Bandung mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah, sementara di Jabodetabek 51%, Surabaya 54% dan Medan 52%. Data Mitra Citra Remaja (MCR), sebuah media konsultasi bagi remaja yang berada di bawah naungan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Jawa Barat pada tahun 2005, diperoleh angka 206 remaja mengaku melakukan hubungan seks pranikah atau mencapai 6,58%. Angka ini belum termasuk mereka yang berkonsultasi mengenai keperawanan, yakni 58 orang. Jumlah total kasus soal kesehatan reproduksi yang masuk, untuk hubungan seks pranikah, petting, aktivitas seksual lainnya (fantasi, kissing, necking) (Mukaromah, 2005). Perilaku remaja yang semakin tenggelam dalam perilaku seks bebas ini seringkali didasari oleh pergeseran persepsi tentang seks pada remaja akibat semakin mudah melakukan akses pada pornografi. Pendapat ini didukung dalam penelitian Wijaya (dalam Anissa, 2009) bahwa 51,5 % (48,5 % responden pria dan 6 % responden wanita ) yang berusia 13-15 tahun, 67,3 % berusia 16-17 tahun dan 26,7 % berusia diatas 18 tahun menyatakan dari hasil penelitian ini terungkap 7 % dari responden melakukan hubungan seks pranikah. 100 % dari mereka yang melakukan hubungan seks pranikah ini mengaku mendapatkan gagasan untuk melakukan hubungan seks dari vcd porno yang mereka lihat, 73 % dari teman, 66 % dari internet, 47 % dari media cetak seperti koran atau majalah. Menurut Miftah (2011), faktor-faktor yang mendorong perilaku seks di luar nikah, salah satunya adalah terjadi mispersepsi terhadap makna pacaran yang mengangggap bahwa hubungan seks adalah bentuk penyaluran kasih sayang. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi mengenai pacaran maka akan semakin tinggi pula perilaku free sex dan sebaliknya semakin rendah persepsi pacarannya maka akan semakin rendah pula perilaku free sex-nya. Dari fakta tersebut
1155
maka terlihat bahwa faktor persepsi merupakan faktor penting dalam pembentukan perilaku. Bertolak dari fenomena-fenomena tersebut maka penting untuk dilakukan kajian tentang pergeseran persepsi seks di kalangan remaja Pacitan. Pacitan merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang beru mengalami perkembangan dan keterbukaan interaksi sosial. Interaksi yang lebih intensif dengan daerah lain akibat semakin mudahnya transportasi, menyebabkan terjadi peningkatan perpindahan penduduk, dan juga peningkatan pemanfaatan teknologi informasi misalnya internet. Konsekuensi dari perubahan itu menjadikan terjadi pergeseran persepsi seks di kalangan remaja sebagai akibat terbentuknya tata nilai baru di kalangan remaja dari semula dalam nilai-nilai tradisional yang tertutup menjadi terbentuknya nilai baru yang lebih terbuka mengenai seks. Setelah melakukan kajian maka penting untuk melakukan pengembangan model untuk merubah persepsi remaja dari yang semula positif pada seks sebelum nikah, mejadi negatif. Pengembangan model tersebut harus mampu diterapkan secara nyata dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong pembentukan persepsi tersebut. Model tersebut diharapkan akan efektif menggeser persepsi remaja menuju arah yang diharapkan. METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang berbentuk studi kasus. Menurut Punch (dalam Poerwandari, 2001) studi kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Stake (dalam Heru Basuki, 2006)menjelaskan bahwa nama studi kasus ditekankan oleh beberapa peneliti karena memokuskan tentang apa yang dapat dipelajari secara khusus pada kasus tunggal. Studi kasus tidak selalu menggunakan pendekatan kualitatif, ada beberapa studi kasus yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa studi kasus adalah suatu bentuk penelitian atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan
1156
Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 7, Nomor 2, Desember 2015, hlm. 1125-1187
Penelitian dilakukan dalam kondisi dimana kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran subyek penelitian dan lingkungannya sedapat perorangan (individual) maupun kelompok, mungkin tidak terganggu kehidupannya. Teknik bahkan masyarakat luas. pengumpulan data yang dipergunakan dalam Penelitian dilakukan di daerah Pacitan penelitian ini adalah: mawancara mendalam, yaitu salah satu kabupaten di Propinsi Jawa observasi, dokumentasi dan FGD (Focus Group Timur. Pacitan dipertimbangkan sebagai lokasi Discussioan). penelitian karena Pacitan merupakan daerah Analisis data dilakukan dengan meng yang jauh dari kota besar. Lokasi penelitian gunakan analisis trianggulasi karena penelitian yang relatif jauh dari kota besar diharapkan tidak menggunakan jenis penelitian kualitatif. memiliki interaksi yang kuat dengan budaya Keakuratan penelitian dilakukan dengan analisis perkotaan sehingga diharapkan faktor-faktor trianggulasi dimana peneliti menggunakan yang berpengaruh pada subyek penelitian tidak triangulasi penelitian berupa; triangulasi data, terlalu komplek dan rumit. Penelitian akan triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan dilakukan pada bulan April sampai November triangulasi metodologis. 2015 sedangkan publikasi dilakukan pada bulan November 2015. Penelitian dilakukan di wilayah HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Pacitan baik di daerah pedesaan maupun daerah perkotaan. HASIL Penelitian yang dilakukan merupakan Masalah Persepsi Seks sebelum Nikah di penelitian yang cukup sensitif bagi masyarakat Pacitan dan juga dengan pertimbangan kebaikan subyek Berikut adalah gambaran proses pem penelitian yang memiliki resiko sosial yang bentukan persepsi positif terhadap seks sebelum tinggi makaBerikut semuaadalah kegiatan pengumpulan gambaran proses pembentukan persepsi positif terhadap menikah pada kalangan remaja: data dilakukan naturalistik. seks sebelumdalam menikahkondisi pada kalangan remaja:
Budaya Pernikahan di Bawah Umur Persepsi Keperawanan Persepsi Aktivitas Seks Di Luar Nikah Persepsi Hamil di Luar Nikah
Kondisi Faktual Remaja
Kondisi Kos Jauh dari Orang Tua
Rendahnya Kesadaran Resiko Kesehatan Rendahnya Kesadaran Resiko Hamil Di luar Nikah Proses Penguatan Persepsi Rendahnya Kesadaran Resiko Terganggunya
Persepsi Positif terhadap Perilaku Seks Sebelum Menikah Pada Remaja
Rendahnya Kesadaran Hukum Gambar 1 Gambar 1 Gambaran Proses Pembentukan Persepsi Positif Gambaran Proses Pembentukan Persepsi Positif Terhadap Seks Sebelum Terhadap Seks Sebelum Menikah Pada Kalangan Remaja Menikah Pada Kalangan Remaja Gambar 1 memperlihatkan bahwa titik awal pembentukan persepsi positif
terhadap 1perilaku seks sebelum menikah pada remaja adalah persepsimenikah yang rendah Gambar memperlihatkan bahwa titik awal seks sebelum pada remaja adalah pada keperawanan, persepsi yang positif terhadap aktivitas seks di luar nikah dan pembentukan persepsi positif terhadap perilaku persepsi yang rendah pada keperawanan, persepsi persepsi yang salah pada fenomena hamil di luar nikah. Kondisi ini merupakan kondisi faktual yang ada di remaja dan sudah terbentuk secara nyata dalam diri remaja. Ketiga persepsi ini sulit untuk dirubah karena telah terbentuk dalam waktu yang panjang dalam interaksi remaja dengan lingkungan sekitarnya mulai dari lahir sampai menginjak remaja. Persepsi positif terhadap perilaku seks sebelum menikah pada remaja akan
Sri Iriyanti & M. Fashihullisan, Model Pemberdayaan Penanggulangan Persepsi Positif...
yang positif terhadap aktivitas seks di luar nikah dan persepsi yang salah pada fenomena hamil di luar nikah. Kondisi ini merupakan kondisi faktual yang ada di remaja dan sudah terbentuk secara nyata dalam diri remaja. Ketiga persepsi ini sulit untuk dirubah karena telah terbentuk dalam waktu yang panjang dalam interaksi remaja dengan lingkungan sekitarnya mulai dari lahir sampai menginjak remaja. Persepsi positif terhadap perilaku seks sebelum menikah pada remaja akan berdampak pada sikap permisif yang tentu saja berpeluang untuk mengikuti perilaku seks sebelum menikah. Hal ini merupakan tentu berbahaya apabila dibiarkan berkembang pada persepsi yang ada pada remaja, karena kemapanan persepsi dalam jangka panjang akan berpotensi besar diikuti oleh perilaku seks sebelum menikah. Sebagaimana data dalam kerangka sosiologis pembentukan ketiga bentuk persepsi ini adalah terbentuknya tata nilai dasar remaja yang telah ada dan berkembang ketika melakukan sosialisasi dan interaksi sosial mulai dari lahir sampai masa remaja. Perubahan ketiga persepsi yang telah ada pada remaja di Pacitan tersebut apabila ingin dirubah maka harus ditelusuri beberapa aspek diantaranya: Orang Tua Tata nilai dan pandangan orang tua yang tercermin dalam perkataan, perbuatan dan perilaku orang tua dan satuan keluarga. Hal ini akan menjadi modal dasar dalam pembentukan persepsi bagi remaja mulai dari lahir sampai remaja. Oleh karena itulah orang tua harus mempunyai kesadaran yang tinggi bahwa apapun yang mereka lakukan, apapun yang mereka katakan akan berpengaruh besar pada pesepsi anaknya. Sebagai contoh ketika orang tua membiarkan perilaku remaja yang mengarah pada perilaku seks sebelum menikah, maka secara tidak langsung memberikan pesan kepada anaknya bahwa perilaku seperti itu tidak terlalu dipsermasalahkan oleh orang tuanya. Teman Sebaya Teman sebaya merupakan salah satu entitas penting yang berinteraksi dengan remaja, terutama dalam pembentukan persepsi. Teman sebaya remaja di Pacitan yang cenderung permisif bagi perilaku yang mengarah pada seks sebelum menikah akan memberikan pesan yang cukup
1157
jelas bagi pembentukan persepsi seorang remaja. Teman sebaya tersebut seringkali dilatarbelakangi oleh tahapan kehidupan yang menuju proses pernikahan akibat pernikahan dini sehingga seringkali menunjukkan secara visual perilaku seks sebelum menikah. Remaja yang masih sekolah, yang masih belum memutuskan akan melakukan tahapan pernikahan akan menerima pesan-pesan tersebut sehingga menjadi modal pembentukan persepsi. Masyarakat Masyarakat merupakan lingkungan lain yang cukup dominan dalam pembentukan persepsi remaja. Oleh karena itulah masyarakat harus memiliki daya tangkal dengan mengidentifikasi secara baik perilaku remaja agar tetap patuh pada nilai-nilai yang telah ada, meskipun para remaja tersebut mau menikah maupun pacaran. Masyarakat juga harus mampu mengembangkan proses sangsi yang jelas agar memberikan pesan pada para remaja bahwa perilaku menuju seks sebelum menikah merupakan suatu perbuatan yang tidak dimaafkan. Sekolah Sekolah merupakan salah satu lingkungan yang penting bagi kehidupan remaja. Lebih dari seperempat waktu hidup remaja adalah di sekolah, sehingga sekolah merupakan lingkungan yang cukup berperan untuk membangun persepsi para remaja. Sekolah ini tentu saja harus mampu menjamin seorang remaja untuk terbebas dari stimulus negatif dalam pembentukan persepsi, baik melalui opini yang ada di sekolah maupun kenyataan-kenyataan pembiaran yang ada di sekolah. Pemerintah Pemerintah merupakan subyek dari otoritas struktural yang sebetulnya memiliki kekuatan-kekuatan untuk membuat aturan dan juga menggerakkan aparatur. Kedua hal tersebut tentu saja akan efektif melakukan pengaturan dan tindakan untuk menghalangi, mengatur dan mengarahkan persepsi yang ada di remaja. Persepsi yang positif pada perilaku yang mengarah seks sebelum menikah harus dihalangi dengan otoritas struktural melalui peraturanperaturan maupun menggerakkan aparatur untuk mengendalikan pembentukan perspsi yang tidak diharapkan ini.
1158
Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 7, Nomor 2, Desember 2015, hlm. 1125-1187 dihalangi dengan otoritas struktural melalui peraturan-peraturan maupun menggerakkan aparatur untuk mengendalikan pembentukan perspsi yang tidak diharapkan ini.
PEMBAHASAN
kehidupan remaja yaitu orang tua, teman sebaya, masyarakat, sekolah dan pemerintah. berikut PEMBAHASAN Model Pemberdayaan untuk Penguatan Model Pemberdayaan untuk Penguatan Persespsi Seksmodel Sebelum Menikah adalah skema yang dapat dikembangkan Persespsi merupakan Seks Sebelum merupakan HalMenikah yang Beresiko agar remaja dapat berpersepsi bahwa seks Hal yang Beresiko Pengembangan model ini tidak terlepas dari lima entitas yang berinteraksi sebelum menikah merupakan hal yang beresiko: dengan kehidupan remaja yaitu orang tua, teman sebaya, masyarakat, sekolah dan Pengembangan model ini tidak terlepas pemerintah. berikut adalah skema model yang dapat dikembangkan agar remaja dari lima entitas yang berinteraksi dengan dapat berpersepsi bahwa seks sebelum menikah merupakan hal yang beresiko: SOSIALIASI FAKTA BAHAYA KONDISI PERILAKU SEKS REMAJA
SEKOLAH
ORANG TUA
BINA LINGKUNG AN SOSIALISASI HIV/AIDS
PERSEPSI POSITIF TERHADAP SEKS SEBELUM MENIKAH PADA
MASYARAK AT
PEMERINTA H
PENYESUA IAN KURIKULU
SOSIALISASI UU PERLINDUNGA N ANAK
PENGURANGAN PERNIKAHAN DINI
PERSEPSI NEGATIF TERHADAP SEKS SEBELUM MENIKAH PADA
Gambar 2 Model Pengembangan PersepsiGambar Negatif 2terhadap Seks Sebelum Menikah Pada Remaja Model Pengembangan Persepsi Negatif terhadap Seks Sebelum Menikah Pada Remaja
merupakan variabel yang sulit untuk dikendalikan Model pengembangan persepsi negatif danterhadap juga apabila berusaha dikendalikan tetap terhadap seks sebelum menikah merupakan Model pengembangan persepsi negatif seks sebelum menikah mampu menembus ruang dan waktu. Bahkan proses yang tidak hanya dapat dilakukan oleh merupakan proses yang tidak hanya dapat dilakukan oleh satu pihak, tetapi harus media massa yang resmi berizin sekalipun sulit satu pihak, tetapi harus dilakukan oleh semua untuk dikendalikan seperti misalnya koran, pihak. Perkembangan persepsi yang ada pada majalah, radio dan TV. Media yang tidak kalah remaja dipengaruhi oleh interaksi remaja dengan sulit untuk dikendalikan adalah media global pihak-pihak yang bersinggungan langsung yang sumbernya berasal dari seluruh dunia dan dengan remaja. Pihak-pihak tersebut dapat secara dapat dengan mudah diakses kapanpun yaitu aktif melakukan perubahan-perubahan sehingga media internet. Kondisi sulitnya pengendalian dapat melakukan peningkatan stimulus bagi media menjadikan media diabaikan dalam model perkembangan persepsi negatif remaja terhapa ini, tetapi menguatkan faktor-faktor lain yang seks bebas sebelum menikah. lebih mudah dikendalikan. Sebetulnya ada satu lagi pihak yang Penguatan faktor lain diharapkan dapat ikut bertanggung jawab dalam perkembangan membentengi bekerjanya faktor media, karena persepsi remaja ini, tetapi sulit untuk dikendalikan diharapkan remaja sudah mampu membentengi yaitu media. Hal tersebut dikarenakan media
Sri Iriyanti & M. Fashihullisan, Model Pemberdayaan Penanggulangan Persepsi Positif...
dirinya secara mandari setelah terbangun persepsi yang negatif terhadap seks sebelum menikah. Terhadap tiga tahapan dalam model yang dikembangkan ini yaitu: Tahap Sosialiasi Tahap ini merupakan tahap dilakukan sosialisasi pada seluruh pemangku kepentingan yang memiliki otoritas pada pengendalian faktorfaktor yang berpengaruh pada persepsi remaja. Pemangku kepentingan tersebut adalah meliputi orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Orang tua diberikan sosialisasi bahwa hampir semua remaja memiliki kondisi persepsi yang buruk, termasuk juga anak-anak mereka sehingga anak-anak mereka juga potensial untuk mengarak pada perilaku seks sebelum menikah. Sekolah juga disadarkan dengan sosialisasi bahwa beberapa kejadian hamil diluar nikah yang terjadi pada siswanya bukan hanya sekedar kecelakaan, tetapi merupakan konsekuensi logis kondisi buruknya persepsi pada seluruh siswa mereka. Siapapun siswanya akan berpotensi mengalami kehamilan, hanya saja potensi itu seringkali tidak berwujud dengan pengetahuan mengenai alat kontrasepsi, atau kondisi lain yang melindunginya. Sekolah tidak bisa lagi masa bodoh karena seringkali sekolah merupakan tempat utama pemupukan persepsi yang tidak diharapkan tersebut. Masyarakat merupakan entitas lain yang juga harus disadarkan karena seringkali masyarakat juga tidak mau tahu. Melemahnya kelembagaan-kelembagaan sosial di masyarakat seringkali kontrol sosial yang dijalankan oleh masyarakat menjadi kurang efektif. Pelemahan kelembagaan sosial di masyarakat berakibat pada kurang adaptifnya tata nilai yang ada di masyarakat dalam memahami perubahan. Masyarakat hanya beranggapan bahwa persepsi yang positif mengenai seks sebelum menikah hanya dimiliki oleh remaja-remaja yang menyimpang dari nilai-nilai sosial yang telah ada. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan kenyataan bahwa semua remaja baik yang menyimpang atau yang tidak menyimpang secara sosial akan berkecenderungan yang sama. Pemerintah merupakan otoritas yang paling luas dan paling kuat diantara otoritas-otoritas yang lain. Pemerintah dapat memaksa otoritas yang lain untuk mengikuti programnya, baik pada orang tua, sekolah dan juga masyarakat. Hanya
1159
saja seringkali pemerintah terlalu abai dengan fenomena ini, karena pemegang kebijakan dalam pemerintah seringkali masih beranggapan bahwa kondisi ini merupakan tanggung jawa privat orang tua, tanggung jawab pendidikan sekolah dan tanggung jawab pengendalian masyarakat. Penyebab kecenderungan tersebut adalah aparat pemerintah seringkali tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi dan resiko apa yang akan terjadi. Pemerintah lupa bahwa kerusakan generasi muda dan hilangnya masa depan, pernikahan dini, kehamilan yang tidak diharapkan, penyebaran penyakit menular seksual akan berimbas pada pemerintah juga. Pemerintah apabila tidak segera berubah sikap, maka akan merasakan panen problematika tersebut di waktu mendatang, sehingga disibukkan mengatasi dampakdampaknya seperti misalnya peningkatan biaya kesehatan, peningkatan pengangguran tidak terampil dan tidak terdidik serta dampak lainnya. Kondsi tersebut akan berakibat juga pada pelemahan ekonomi, pembengkakan pos anggaran yang kurang penting serta terhambatnya roda pembangunan. Tahap Perubahan Sikap Sosialisasi diharapkan berdampak pada perubahan kesadaran. Kesadaran yang terjadi pada pemilik otoritas tersebut diharapkan akan berdampak pada perubahan sikap. Selanjutnya mereka diarahkan untuk mempergunakan beberapa otoritasnya untuk bersama-sama dengan otoritas lain mengendalikan faktor-faktor penting yang berpengaruh pada sikap remaja. Perubahan sikap tersebut akan tidak efektif apabila secara parsial hanya dilakukan oleh salah satu pihak, karena tidak akan mampu merubah faktor yang berpengaruh pada pembentukan persepsi pada remaja. Tahap Perubahan Faktor-faktor yang Peng aruhi Persepsi Remaja. Beberapa perubahan yang diharapkan secara bersama-sama dilakukan oleh pemilik otoritas sosial yaitu orang tua, sekolah dan masyarakat terkait dengan beberapa hal sebagai berikut: Bina Lingkungan Semua orang dan semua otoritas harus melakukan bina lingkungan. Siapapun harus peduli apabila terjadi ketidak beresan di
1160
Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 7, Nomor 2, Desember 2015, hlm. 1125-1187
lingkungan sekitarnya, seperti misalnya anak remaja yang berduaan di tempat sepi, anak remaja yang keluyuran sampai malam dan sebagainya. Semua otoritas harus menyadari bahwa kondisi lingkungan dan kondisi yang tidak peduli dengan lingkungan akan berdampak buruk pada persepsi remaja. Orang tua harus mengawasi lingkungan pergaulan anaknya, lingkungan bermain anaknya dan juga lingkungan kosnya kalau memang sudah kos. Masyarakat juga harus selalu mengawasi lingkungannya dengan menguatkan lagi kelem bagaan sosial untuk melakukan kontrol atas penyimpangan sosial. Sekolah harus memantau bagaimana lingkungan pergaulan siswanya. Pemerintah juga mulai membuat regulasiregulasi untuk mengendalikan lingkungan atau melakukan patroli-patroli untuk mengendalikan penyimpangan sosial remaja. Lingkungan kos juga harus tidak luput dari pembinaan orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Orang tua harus memilihkan kos yang terkendali atau kos yang ditunggui oleh ibuk kosnya dengan pengaturan yang ketat dan komunikatif dengan orang tua agar perilaku anaknya yang kos dapat dikendalikan. Sekolah juga harus menjalin para pemilik kos untuk mengendalikan siswanya yang kos, atau bahkan sekolah sedapat mungkin menyediakan asrama. Masyarakat juga harus mampu menekan kos dan para penghuni kos untuk mematuhi norma-norma masyarakat. Bina lingkungan ini tentu saja akan berdampak pada lingkungan kehidupan remaja yang baik. Lingkungan yang baik tentu saja akan mampu mengarahkan dan mejaga perilaku para remaja. Remaja yang berada pada lingkungan yang baik tentu saja ikut terjaga persepsinya mengenai seks sebelum menikah. Penyesuaian Kurikulum Kurikulum saat sekarang seakan-akan hanya milik otoritas tunggal sekolah. Kurikulum yang seperti itu seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dalam konteks kehidupan mereka. Pengambil kebijakan kurikulum di sekolah yang salah satunya adalah guru, memiliki pengalaman hidup yang jauh berbeda dengan kehidupan remaja pada siswa-siswanya yang diajar. Oleh karena itulah diperlukan pengakomodasian dan penyesuaian kurikulum dengan masa kekinian sehingga mampu berpengaruh pada kehidupan siswa.
Perubahan kurikulum tersebut diantaranya adalah dengan memasukkan pesan-pesan moral mengenai kenakalan remaja terutama dalam perilaku seks sebelum menikah. Perubahan kurikulum yang lain adalah dengan cara penam bahan tugas-tugas diluar waktu belajar sekolah agar para siswa sudah tersita waktunya dan tidak berkesempatan untuk melakukan penyimpanganpenyimpangan sosial. Perubahan kurikulum juga dapat dilakukan dengan menajamkan materi mengenai perilaku-perilaku menyimpang di kalangan remaja yang dapat merusak masa depan atau menambahkan materi-materi mengenai resiko perilaku seks sebelum menikah bagi remaja. Perubahan kurikulum tersebut tentu saja harus didukung oleh semua kalangan. Hal ini penting karena otoritas diluar sekolah seringkali menekan sekolah untuk menjalankan kurikulum yang hanya berbasis pada aspek kognitif dan aspek psikomotorik. Otoritas lain diluar sekolah menuntut capaian hasil belajar dengan mengabaikan aspek afektif, terutama yang berkaitan dengan aspek persepsional mengenai sesuatu yang tidak seharusnya terjadi sebagaimana pada persepsi mengenai seks sebelum menikah. Sosialisasi HIV/AIDS HIV/AIDS merupakan penyakit yang sangat mudah menyebar, terutama pada perilaku seks bebas dan berganti-ganti pasangan. Potensi bahaya HIV/AIDS akan bermanfaat apabila dapat dimanfaatkan secara optimal oleh semua otoritas untuk membuat jera para remaja. Besarnya potensi penularan HIV/AIDS menjadikan kontrol sosial yang efektif apabila tersampaikan kepada semua remaja. Kondisi inilah yang harus termanfaatkan dengan cara melakukan sosialiasi HIV/AIDS pada semua remaja yang dilakukan oleh semua otoritas. Orang tua sejak dini harus mulai mem berikan penjelasan pada anaknya tentang potensi penularan HIV/AIDS. Sekolah harus juga sejak dini mengenalkan apa itu HIV/AIDS dan juga bagaimana penularannya. Masyarakat juga mulai memasyarakatkan potensi bahaya HIV/ AIDS pada seluruh kalangan, misalnya melalui RT, RW, Kelurahan, organisasi-organisasi ke masyarakatan. Pemerintah juga mulai menambah program mengenai sosialisasi dan pemahaman mengenai bahaya penularan HIV/AIDS.
Sri Iriyanti & M. Fashihullisan, Model Pemberdayaan Penanggulangan Persepsi Positif...
Potensi bahaya penularan HIV/AIDS pada seluruh anggota masyarakat dan juga para remaja akan mampu merubah persepsi remaja tentang seks sebelum menikah. Siapapun juga termasuk remaja tidak akan mau bila dirinya tertulari HIV/ AIDS. Oleh karena itulah mereka akan menggeser persepsi mereka menuju arah yang diharapkan. Sebagaimana HIV/AIDS, UU perlindungan anak yang mengatur bahwa hubungan seks dengan anak merupakan perilaku kriminal dapat dimanfaatkan juga untuk memperbaiki persepsi remaja. Semua remaja tentu saja akan jera apabila suatu tindakanya memiliki resiko hukum. Kondisi inilah yang harus dimanfaatkan secara optimal oleh semua otoritas yang bersinggungan dengan remaja. Orang tua harus mengingatkan anakanaknya mengenai resiko hukum apabila me la k ukan hubungan seks sebelum menkah. Sekolah lewat kurikulum dan materi belajar juga menyampaikan UU perlindungan anak. Masyarakat melalui kelembagaan sosialnya juga secara masif harus menyampaikan kepada seluruh orang tentang UU perlindungan anak. Begitu juga pemerintah dengan segala aparatunya harus melakukan sosialisasi bahakan penindakan ketika terjadi pelanggaran UU perlindungan anak. Ketakutan pada UU perlindungan anak akan berpengaruh pada pergeseran persepsi remaja. Pengurangan Pernikahan Dini Pernikahan dini merupakan masalah warisan dari perilaku tradisional beberapa daerah. Budaya, kesulitan ekonomi dan beberapa masalah lokal lainnya menjadi alasan terjadinya pernikahan dini. Pernikahan dini secara langsung berkaitan dengan otoritas orang tua dan masyarakat, sedangkan sekolah dan pemerintah tidak berkaitan secara langsung. Penguatan orang tua dan masyarakat efektif berdampak pada pengurangan pernikahan dini. Orang tua dan masyarakat diharapkan merubah kecenderungan dengan menyadari bahwa pernikahan dini cukup beresiko dan kurang baik bagi semua pihak, terutama pada masa depan remaja. Hal ini tentu saja berdampak pada penurunan kecenderungan pernikahan dini. Pemerintah dan sekolah sebetulnya sudah memiliki regulasi yang jelas mengenai pernikahan dini. Regulasi pemerintah dan sekolah cukup membatasi perilaku pernikahan dini, tetapi seringkali masih juga ditabrap oleh pelaku
1161
pernikahan dini. Sebagai contoh pernikahan dini seringkali dilakukan oleh remaja yang sudah tidak sekolah atau juga melakukan pernihakan diluar pernikahan formal yang dilaporkan pemerintah. Pemerintah dan sekolah memiliki potensi yang besar untuk merubah cara pandang remaja, orang tua dan masyarakat bahwa pernikahan dini tidak produktif dan beresiko tinggi. Lewat sosialisasi yang masif secara berlahan-lahan pemerintah dapat ikut berperan mengurangi pernikahan dini. Bagitu juga sekolah memiliki potensi juga untuk sosialisasi mengenai resiko pernikahan dini pada siswa-siswanya sehingga pandangan ini akan menyebar ke seluruh masyarakat. Penurunan pernikahan dini tentu saja akan berdampak pada persepsi remaja. Remaja sudah jarang menemui teman seuisanya berproses menikah atau bahkan menikah. Persepsi yang terbangun diantara para remaja adalah kehi dup a n sekolah, bukannya kehidupan yang mempersiapkan diri untuk pernikahan. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Model pembentukan persepsi untuk me rubah persepsi positif pada seks sebelum menikah di kalangan remaja dikembangkan dalam tiga tahap yaitu sosialisasi, tahap perubahan sikap dan tahap perubahan faktor-faktor yang pengaruhi persepsi pada remaja. Model ini dikembangkan untuk diaplikasikan oleh empat otoritas yaitu orang tua, sekolah, masyarkaat dan pemerintah. Model ini harus secara bersama-sama dilakukan oleh oleh otoritas tersebut agar terjadi penguatan efektivitas model. SARAN Diperlukan peningkatan kesadaran remaja akan resiko ketika berpersepsi positif pada seks sebelum menikah yaitu meliputi peningaktan kesadaran resiko kesehatan, peningaktan kesa daran resiko di luar nikah dan juga peningkatan kesadaran resiko terganggunya masa depan. Diperlukan aplikasi model pembentukan persepsi untuk merubah persepsi positif pada seks sebelum menikah di kalangan remaja melalui tiga tahap yaitu sosialisasi, tahap perubahan sikap dan tahap perubahan faktor-faktor yang pengaruhi persepsi pada remaja. Model tersebut harus diaplikasikan oleh empat otoritas yaitu orang tua, sekolah,
1162
Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 7, Nomor 2, Desember 2015, hlm. 1125-1187
masyarkaat dan pemerintah agar dapat merubah persepsi remaja sehingga tidak lagi berpersepsi positif pada seks sebelum menikah. DAFTAR PUSTAKA Anissa, K. 2009. Making Love Sama dengan Cinta Itu Seks. Cetakan 1. Yogyakarta : Garasi Fashihullisan, M. Martini. 2014. Model Pemberdayaan dalam Penanggulangan Perilaku Seks Bebas Pelajar di Pacitan, Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol.6. No.2, 2014. Hal.994 -1005. Heru Basuki, A. M. 2006. Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Kemanusiaan Dan Budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma. Indrawijaya, A. I. 1989. Perilaku Organisasi. Cetakan keempat. CV Sinar Baru. Bandung. http://www.pikiranrakyat.com/ cetak/0204/21/1105.htm
Kartono, K. 1988. Psikologi Remaja. Jakarta: CV Rajawali. Loekmono. 1988. Seksualita, Pornografi dan Pernikahan. Semarang: Satya Wacana. Miftah, Zainul. 2011. Persepsi Mengenai Pacaran dan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Seks Bebas Remaja. Jurnal MPA 293 Februari 2011. Probolinggo.
Mitra Citra Remaja-PKBI Jabar. 1999. Perkembangan Seksualitas Remaja. Mukaromah, Yayu. 2005. Kasus Remaja yang melakukan hubungan seks. http://pikiranrakyat.com/cetak/2005/htm
Nurvita, M. 2008. Kepercayaan Diri pada Anak Ditinjau dari Persepsi terhadap Peran Pengasuhan Anak. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sarwono,S. W. (2000). Psikologi Remaja. Edisi 1. Jakarta : Rajawali Press. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. PT Grasindo. Jakarta. Walgito, 2003. Pengantar Psikologi Umum. Andi Offset. Yogyakarta. Wijaya, A. 2004. Eksplorasi 55 Masalah Seksual. Jakarta : PT Gramedia Pustaka. Jakarta.