Jurnal At-Tajdid
MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KAJIAN KITAB KUNING DI PONDOK PESANTREN Muhammad Thoriqussu’ud* Abstract: Kitab is a specific term used to refer to papers in the field of religion, written in Arabic alphabet. This designation distinguishes papers in general that is usually written in non-Arabic letters, called as book. The book used as a source of learning in schools and educational institutions such traditional Islam is called as the Yellow Book (Kitab Kuning). The presence of the Kitab Kuning as a learning resource is generally more accessible by traditionalists than modernists. The traditionalists aim to give high reward to the book itself and the writer’s book. Besides that, they also think that they have moral responsibility to preserve the book. The implementation of the teaching of this book is in gradual way. It is from elementary level curriculum that teaches simple books, advanced level, and takhassus level. There are some methods used in teaching implementation that is also accompanied with models of the development of yellow book assessment, such as: memorizing, sorogan, weton or bandongan, mudzakarah and majlis ta’lim. Keywords: Kitab Kuning, Modeling of Study, Pesantren.
* Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya
225
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
PENDAHULUAN Sebagaimana langgar, pesantren pada mulanya merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam di Jawa. Keberadaannya sebagai komunitas belajar agama mempunyai hubungan fungsional dengan masyarakat sekitarnya, tempat pesantren menyelenggarakan kegiatan. Dalam hal ini kyai mampunyai status kepemimpinan ganda, sebagai pe mimpin pesantren dan juga sebagai pemimpin spiritual masyarakat dalam melaksanakan kehidupan agama sehari-hari. System pembelajaran lembaga ini khas diwarnai budaya lokal, namun substansi yang diajarkan adalah ortodoksi Islam yang terkandung dalam kitab kuning sebagai media pembelajaran. Kitab kuning ini me rupakan suatu hal yang harus dipelajari dan dikuasai oleh santri sebagai bekal hidupnya kelak setelah ia keluar dan menjadi alumni dari pesan tren di mana ia mondok. Dewasa ini, pengajian kitab kuning mendapatkan banyak sorotan, utamanya yang berkaitan dengan lemahnya metodologi yang digunakan dalam pembelajaran kitab-kitab kuning yang ada di pesantren, sehingga menyebabkan aspek esensial dari tujuan pendidikan yang diajarkan oleh pesantren tidak dapat tercover secara menyeluruh. Oleh karena itu diperlukan cara baru dalam mencapai tujuan pendidikan yang ada di pesantren. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai model-model pengkajian kitab kuning di pesantren dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem pendidikan yang ada dipesantren dan apa yang menjadi sumber belajarnya dalam upaya pencapaian terhadap tujuan pesantren? 2. Bagaimana model-model dalam upaya pengembangan pengkajian kitab kuning agar supaya tercipta santri yang memiliki pengetahuan di bidang keagamaan secara menyeluruh dan menerapkan nilai-nilai yang ada di dalamnya?
226
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN Pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan memiliki hubungan fungsional dengan masyarakatnya baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam fungsinya yang terakhir, pesantren menye lenggarakan pendidikan dan pembinaan masyarakat melalui transmisi ajaran Islam ortodoks yang akomodatif terhadap system budaya masyarakat. Fungsi ini merupakan ciri khas pesantren sejak awal berdirinya yang secara esensial tidak berubah ketika lembaga itu mengalami perkembangan. Lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak di Indonesia telah lahir dan berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini besifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau atau rumah-rumah ustadz. Lembaga yang terus berkembang dengan nama pesantren ini terus tumbuh dan berkembang didasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para san tri, masjid sebagai pusat aktivitas peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kyai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.1 Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi peng ajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang islami, tetapi untuk meningkatkan moral, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Di samping itu untuk mempersiapkan santrinya menjadi orang alim dalam ilmu agama serta mengamalkannya di dalam masyarakat.2 Pesantren pada umumnya tidak merumuskan tujuan pendidikannya secara rinci, dijabarkan dalam sebuah system pendidikan yang lengkap dan konsisten. Namun secara umum tujuan itu sebagaimana tertulis dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Zarnuji, sebagai pedoman etika Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
227
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
dan pembelajaran di pesantren dalam menuntut ilmu, yaitu “menuntut dan mengembangkan ilmu-ilmu itu semata-mata merupakan kewajiban yang harus dilakukan secara ikhlas”.3 Keikhlasan ini merupakan asas kehidupan di pesantren yang dite rapkan secara praktis dalam pembinaan santri, melalaui amal perbuat annya sehari-hari. Sementara ilmu agama yang dipelari merupakan nilai dasa yang mengarahkan tujuan pendidikannya, “yakni membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschaung (dasar nilai yang bersifat menyeluruh). Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengerjakan kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.4 Diantara cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Allah SWT.5 Dari rumusan tujuan tersebut, tampak jelas bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam di tengah-te ngah kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci keberhasilan hidup bermasyarakat. Agama menurut WM Dixon diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, dan apabila penghargaan kepada ajaran agama merosot, maka sulit mencari penggantinya.6 Pesantren dalam hal ini, akhirnya berperan ganda, yakni pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur usaha, yaitu usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan ala Rasulullah SAW dan pewaris Nabi ke dalam kehidupan pesantren. Kemudian, unsur selanjutnya adalah disiplin sosial yang ketat di pesantren, yaitu kesetiaan tunggal kepada pesantren untuk mendapatkan topangan moril dari kyai untuk kehidupan pribadinya.7 Ukuran yang dipakainya guna mengukur kedisiplinan dan kesetiaan seorang santri kepada pesantrennya atau kepada kyai adalah kesungguhan dalam melaksanakan pola kehidupan tasawuf.
228
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
Pesantren dalam proses perkembangannya masih tetap disebut sebagai suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan ilmu agama Islam. Dengan segala dinamikanya, pesantren dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan ma syarakat lewat kegiatan dakwah Islam, seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya terhadap politik diantara para pengasuhnya dan pemerintah. Hal tersebut bisa dilihat tidak saja pesantren pada posisi dewasa ini, tetapi bisa dilihat posisi pesantren pada zaman dahulu sebelum Belanda datang di Indonesia. Secara pedagogis, pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar ilmu agama Islam dan lembaga yang dipergunakan untuk penyebaran agama Islam. Dalam proses belajar mengajar dalam pesantren diajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengatur bukan saja amalan-amalan peribadatan, apalagi sekedar hubungan orang dengan Tuhannya, melainkan juga perilakunya dalam hubungan dengan manusia di dunia. Berangkat dari hal tersebut di atas, untuk mewujudkan tujuan dalam pendidikan di pesantren tersebut, maka diselenggrakanlah pengajian kitab, yang di dalamnya terhimpun nilai dasar Islam tersebut sebagai tata nilai. Sejumlah kitab yang ditentukan untuk dipelajari di suatu pesantren dipandang sebagai kurikulumnya. Pemahaman kurikulum ini sejalan dengan pandangan Abudin Nata, yaitu “sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau gelar tertentu”.8 Kurikulum pesantren tersebut meliputi delapan mata pelajaran yang oleh Kuntowijoyo9 disebut pengetahuan humaniora pesantren, meliputi Bahasa Arab (ilmu alat), fiqh, ushul fiqh, tafsir, Hadits, Adab (sastra Arab), akhlaq, tasawwuf dan tarikh. Serangkaian mata pelajaran tersebut terdapat dalam berbagai tingkatan kitab yang dipelajari di dalamnya mengandung dua visi pendidikan. Pertama, visi moral, yakni pembinaan sikap mental (watak) dan akhlaq karimah. Kedua, visi intelektual, yakni pengembangan akal pikiran.10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
229
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Dalam pembinaan moral, peran kyai sangat menentukan. Ia me rupakan personifikasi yang utuh dari tata nilai yang terkandung dalam kitab yang diajarkan. Sebab, selain menguasai isi kitab, ia juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadikannya sebagai tata nilai (pranata) dalam mengatur huubungan antara santri dengan pihak kyai. Dijelaskan bahwa tingkah laku yang benar secara Islam dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan kyai, yang mengajarkan kepada masyarakatnya tingkah laku ideal, pola piker, perasaan ideal, symbol-simbol dan amalan-amalan Islam. Melalui pendidikan keteladanan yang menekankan pada amal parktis inilah nilai dasar Islam dapat diintegrasikan dalam jiwa santri dan diamalkan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Menurt Steenbrink, dalam bidang ini pesantren sangat berhasil dalam membentuk Pribadi yang militan. Dalam kurikulum pesantren, pelajaran tasawuf sering diyakini sa ngat efektif dalam penanaman nilai. Sebab, menurut Arifin, dengan ajar an tasawuf santri secara tidak langsung telah tertanamkan dalam jiwanya semacam inner control atau inner moral untuk tidak berani melanggar akidah akhlak yang ada. Terbinanya sikap mental dan akhlak karimah ini merupakan harapan utama orang tua antri dalam mengikuti pendidikan di pesan tren, sebelum menggantungkan harapan pada pengembangan visi yang lain, visi intelektual. Strategi kyai dalam pengembangan visi intelektual ini mempraktikkan pendidikan dengan pendekatan individual; santri dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya. Santri yang cenderung cerdas dan memiliki kelebihan diberi perhatian istimewa, selalu didorong untuk mengembangkan diri, dan menerima kuliah secara individual secukupnya. Bahkan mereka yang ingin menjadi ulama, disarankan untuk mengadakan pengembaraan mencari ilmu (rihlah ilmiah) dari satu pesantren ke pesantren lainnya, untuk bertahassus di bidang spesialisasi kyai pesantren itu. Disamping berfungsi sebagai lembaga pendidikan dengan rumusan tujuan pendidikan seperti yang telah dirumuskan di atas, pesantren juga mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama
230
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
Islam. Hal ini dapat kita ketahui pada sejarah berdirinya pesantren-pesantren pada generasi awal dengan tujuannya yang tinggi dan mulia. Menurut Dofier, tinggi rendahnya pengetahuan santri itu diukur dengan jumlah buku yang telah dipelajari dan dari ulama mana ia telah mengaji. Keberhasilannya dalam belajar dapat diketahui secara informal setealh kyai memberi ijazah, yakni berupa pengakuan kyai tehadap kitab yang telah dibca dan dipelajari santri, serta perkenaanya untuk meng ajarkan kitab tersebut kepada masyarakat. Ijazah ini adakalanya berupa pengakuan kyai dengan menulis nama santri dalam urutan silsilah transmisi ilmunya. Pemberian ijazah ini di satu sisi merupakan bukti konkrit atas kemampuan akademik santri, di sisi lain merupakan jalinan pengikat secara spiritual antara kyai dengan santrinya, minimal sebagai pembimbing seumur hidup. Dengan jalinan ini, maka hubungan antara pada alumni dengan pesantren tmpat mereka belajar tetap terpelihara.
KITAB KITAB SEBAGAI SUMBER BELAJAR Kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan ini membedakan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain Arab, yang disebut buku. Adapun kitab yang dijadikan sumber belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional semacamnya, disebut kitab kuning, yakni karya tulis Arab yang disusun oleh para sarjana muslim Abad pertengahan Islam, sekitar abad 16-18. sebutan “kuning” karena kertas yang digunakan berwarna kuning, mungkin ka rena lapuk di telan masa. Oleh karena itu kitab kuning juga disebut kitab kuno. Istilah kitab kuning ini selanjutnya menjadi nama jenis literatur tersebut dan menjadi karakteristik fisik. Karena kitab kuning sudah menjadi identitas, maka karakteristik fisik tersebut dilestarikan dalam tradisi percetakan. Kitab kuning dicetak dengan kertas kuning berukuran khusus yang sedikitlebih kecil dari ukuran kertas kwarto, sedangkan penataan jilidnya digunakan sistem korasan, berupa lembaran-lembaran yang dapat dipisah-pisah sehingga mudah untuk membacanya, tidak perlu mengangkat seluruh lembaran kitab. Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
231
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Layoutnya, hampir seluruh kitab kuning yang berisi matan dan syarakh untuk bagian matan diletakkan di luar bidang persegi empat, sedangkan bagian syarakh diletakkan di dalamnya. Kitab kuning yang teks bahasa Arabnya diberi terjemah bahasa local, terjemahannya biasanya diletakkan menyondong, disebut jenggotan, di bawh teks Arabnya yang dicetak tebal. Pola ini disebut terjemahan sela baris. Ada kalanya terdapat terjemahan atau komentar bebas yang diletakkan di paron bawah halaman tersebut. Terjemahan melayu kadang mengikuti pola yang berbeda; teks Arab matan dipotong pendek-pendek kemudian diikuti terjemahannya secara harfiah yang diletakkan di dalam tanda kurung. Akan tetapi sering terjadi, terjemahan atau syarahnya dicetak secara terpisah tanpa menyertakan teks Arabnya.11 Sumber belajar, kitab kuning telah dipergunakan sejak abad 16, meskipun tradisi cetak belum tersebar di Indonesia dan lembaga pesantren pun masih dipertentangkan keberadaannya. Kitab kuning yang dipelajari dalam pengajian kitab memiliki corak yang berbeda dari abad ke abad; meskipun kitab yang dipelajari sejenis kelompok kitab karya abad pertengahan Islam. Sejalan dengan corak Islam yang pertama masuk di Indonesia, kitab yang dipelajari sekitar abad 17 bercorak mistik (tasawuf), khususnya faham tasawuf falsafi wahdat al-wujud, seperti kitab al-Tuhfah al-Mursalat ila Ruh an-Nabi ditulis tahun 1000/1590 oleh Syeh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri yang mengajarkan faham martabat tujuh.12 Di Jawa pada abad 17 dipelajari juga kitab Fiqh Taqrib karya Abu Suja’ al Isfahani, dan karya anonim al-Idhah. Kedua kitab tersebut masih digunakan hingga sekarang. Setelah abad 18, kitab-kitab yang dipelajari lebih bercorak orto doks, seperti kitab tasawuf akhlaqi Siyar al-Salikin karya Abd Shamad al-Falimbani, kitab fiqh Sabil al-Muhtadin karya Muhammad Arsyad al-Banjari yang hidup 1710-181213 di kalangan masyarakat melayu. Di jawa, dipelajari juga tiga judul kitab, yakni Taqrib, Bidayatul Al-Hidayat (ringkasan Ihya’) karya al-Ghazali dan Ushul yang merupakan kitab akidah sebanyak enam bis (bab) karya Abd Laits al-Samarkhandi. Corak
232
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
yang dipelajari pada abad ini umumnya tidak berubah hingga sekarang. Namun, setelah akhir abad 19 terdapat penambahan beberapa kita yang dipelajari ; khususnya di bidang tafsir, Hadits dan Ushul Fiqh. Sebelumnya ketiga bidang tersebut kurang mendapat perhatian. Di pesantren studi tafsir hanya terbatas pada kitab Jalalain dan Baidhawi, bahkan untuk dua bidang yang terakhir sama sekali belum disentuh oleh pesantren. Setelah abad 20 ketiga bidang tersebut telah mendapat perhatian pesantren. Lebih dari sepuluh kitab tafsir baik berbahasa Arab, Jawa Melayu, maupun Indonesia telah dipelajarinya. Sejumlah kumpulan kitab Hadis juga tidak terlewatkan dalam kurikulum pesantren. Disiplin Ushul Fiqh telah ditambahkan dalam kurikulum pada banyak pesantren, sehingga memungkinkan berkembangnnya wawasan fiqh yang lebih dinamis dan fleksibel. Meskipun telah terjadi perubahan-perubahan kurikulum pesantren, pemaknaan utama pengajarannya masih di bidang fiqh. Bidang lain seperti filsafat dan metafisika yang menjadi salah satu dimensi intelektual Islam klasik tidak muncul di pesantren. Kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses oleh kala ngan tradisionis yang memberi penghargaan tinggi pada kitab dan pengarangnnya, dan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikannya sebagaimana adanya, sedangkan kalangan modernis kurang mengakses kitab kuning ini. Pada umumnya mereka cenderung menggunakan sumber belajar yang disusun sendiri oleh para pengajar dengan cara mengambil substansi kitab ini, atas dasar pertimbangan efisiensi dan efektivitas mempelajarinya. Karena itu, tidak jarang lembaga pendidikan Islam kalangan modernis menggunakan buku agama berbahasa Indonesia. Terlepas dari kekurangan kitab kuning dari sifat lay out dan efisiensi pembelajarannya, kitab kuning mengandung informasi yang kaya tentang Islam salafi yang banyak di nuil di dalamnya.
MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KAJIAN KITAB KUNING DI PE SANTREN Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi guru-murid dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut : Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
233
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
1.
Kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk anggota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan ghaib yang dapat memberi berkah14 2. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman akal, ketetpan metode mencarinya dan kesungguhan berusaha; melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu dan berkah kyai; serta upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa dan riadhah. Bahkan cara yang terakhir ini memenuhi tradisi pesantren 3. Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Ka rena itu, ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak mengajar santri 4. Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab sendiri, yang demikian ini belum disebut ngaji Pelaksanaan pengajaran kitab ini secara bertahap, dari kurikulum tingkat dasar yang mengajarkan kitab-kitab sederhana, kemudian tingkat lanjutan, dan takhassus. Dalam pengajaran ini dipergunakan ber bagai metode disertai dengan model dalam pengembangan kajian kitab kuning, antara lain : hafalan, sorogan, weton atau bandongan, mudza karah dan majlis ta’lim. Hafalan; santri diharuskan membaca dan menghafal teks-teks berbahasa Arab secara individual, guru menjelaskan arti kata; biasanya digunakan untuk teks nadhom (sajak), seperti Aqidatul Awam (aqidah), Awamil, Imrithi, Alfiyah (nahwu) dan Hidayatus Sibyan (tajwid). Dewasa ini pada beberapa pesantren yang ada, hafalan tidak selalu menekankan pada sejauh mana siswa megnhafal teks Arab yang dipe rintah oleh seorang guru, melainkan terdapat beberapa pesantren yang telah berusaha memodifikasi metode hafalan ini sehingga menjadi model pengembangan kajian kitab kuning di pesantren. Model pengembang an dengan berdasarkan hafalan ini yaitu disamping menghafalkan teks Arab santri juga disuruh untuk menerangkan dan menafsirkan teks-teks yang dihafalkannya, kemudian ditindak lanjuti dengan diskusi antar teman dalam satu kelas. Model pengembangan ini dilaksanakan pada ting-
234
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
kat mutawassithoh ke atas (menengah ke atas) pada beberapa madrasah diniyah di pesantren. Weton atau bandongan; disebut weton karena berlangsungnnya pengajian itu merupakan inisiatif kyai itu sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu terutama kitabnya. Disebut bandongan karena pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang duduk mengitari kyai dalam pengajioan itu dise but halaqoh. Prosesnya, kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama sa,bil mendengarkand an menyimak bacaan kyai, mencatat terjemahan dan keterangan kyai pada kitab itu yang disebut maknani, ngesahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas, tidak terikat pada absensi, lama belajar hingga tamatnya kitab yang dibaca. Weton atau bandongan ini, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, banyak pesantren yang telah berusaha memodifikasi metode ini. Diantaranya adalah setelah kyai membaca dan menjelaskan ditindak lanjuti dengan cara membuka pertanyaan berkaitan dengan materi yang telah dibaca dan dijelaskannya. Dari modifikasi ini, maka terciptalah pengembangan model kajian kitab kuning yang baru, sehingga lebih memungkinkan santri sebagai “obyek pendidikan” pada waktu itu akan menjadi lebih memahami terhadap apa yang disampaikan oleh seorang kyai, sehingga mengalihkan posisi santri pada posisi sebagai “subyek pendidikan” dalam proses pembelajaran kitab kuning di pesantren.15 Sorogan; pengajian secara individual, seorang santri menghadap kyai untuk mempelajari kitab tertentu. Pengajian jenis ini biasanya ha nya diberikan hanya kepada santri yang cukup maju, khususnya yang berminat hendak menjadi kyai. Namun sebaliknya, menurut Dhofier, metode pengajaran seperti ini juga dapat diterapkan untuk santri pemula dalam mempelajari kitab agar memperoleh kematangan untuk mengikuti pengajian weton. Kitab yang dibaca santri dalam pengajian ini ditulis dalam bahasa Arab gundul, maka koreksi kyai terhadap kemampuan b ahasa Arab santri dalam membaca amat penting.16 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
235
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Dari sisi teoritis pendidikan, metode sorogan sebenarnya termasuk metode modern, karena antara kyai-santri dapat saling mengenal; kyai memperhatikan perkembangan belajar santri. Sementara santri belajar aktif dan selalu mempersiapkan diri sebelum ngesahi kitab. Di samping itu kyai telah mengetahui materi dan metode yang sesuai untuk san trinya. Dalam belajar dengan metode ini tidak ada unsur paksaan, ka rena timbul dari kebutuhan santri sendiri. Sorogan ini merupakan model pengembangan kajian kitab kuning, karena di dalamnya terdapat atau terjadi interaksi yang hidup antara kyai dengan santri. Kyai mengoreksi terhadap bacaan santri, dan santripun dapat mengetahui secara jelas tentang apa yang menjadi kesalahan pada dirinya berkaitan dengan lemahnya pemahaman terhadap cara mengartikan literatur Arab dan memahami kitab kuning yang dipelajarinya. Mudzakarah atau musyawarah, pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas persoalan agama pada umumnya. Metode ini digunakan dalam dua tingkatan, pertama, diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih untuk memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin kyai, di mana hasil mudzakarah santri di ajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam seminar. Biasanya dalam mudzakarah ini berlangsung tanya jawab dengan menggunakan bahasa Arab. Kelompok mudzakarah ini diikuti oleh santri senior dan memiliki penguasaan kitab yang cukup memadai, karena mereka harus mempelajari kitab-kitab yang ditetapkan kyai.17 Metode ini mirip dengan metode diskusi yang ada dalam lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan Islam dalam berbagai jenjang pendidikan. Mudzakarah atau musyawarah ini merupakan model pengembangan kajian kitab kuning santri di pesan tren sebagai wahana untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan universal tentang berbagai persoalan yang dihadapinya, baik masalah fiqih, aqidah, muamalah dan lain sebagainya. Unsur kesadaran santri cukup tertantang, disamping itu pelaksanaan pembelajarannya berlangsung dialogis dan take and give dalam bidang keilmuannya.
236
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
Majlis ta’lim; seuatu media penyampaian ajaran Islam secara umum dan terbuka. Diikuti oleh jama’ah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berlatar pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini hanya diadakan pada waktu-waktu tertentu saja. Pelaksanaan peng ajaran ini merupakan salah satu perwujudan hubungan fungsional pesantren dalam mempengaruhi system nilai masyarakat. Ketika dikaitkan dengan modernisasi pendidikan, majlis ta’lim merupakan salah satu model pengembangan pendidikan yang efektif dan efesien. Betapa tidak, masyarakat yang kurang atau tidak bisa membaca kitab kuning dapat mengetahui esensinya hanya dengan pengajian yang diadakan di majlis ta’lim. Dengan kata lain metode ini merupakan jalan alternative untuk memasukkan ilmu dan nilai-nilai keislaman kepada mereka yang tidak memiliki cukup ilmu tentang bahasa Arab.
KESIMPULAN Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengajaran aga ma Islam, tujuan pesantren tidak semata-mata memperkaya pikiran san tri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang islami, tetapi untuk meningkatkan moral, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan ini membedakan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain Arab, yang disebut buku. Kitab yang dijadikan sumber belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional semacamnya, di sebut kitab kuning. Keberadaan kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses oleh kalangan tradisionis yang memberi penghargaan tinggi pada kitab dan pengarangnnya, dan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikannya sebagaimana adanya, sedangkan kalangan modernis kurang mengakses kitab kuning ini.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
237
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Pelaksanaan pengajaran kitab ini secara bertahap, dari kurikulum tingkat dasar yang mengajarkan kitab-kitab sederhana, kemudian tingkat lanjutan, dan takhassus. Dalam pengajaran ini dipergunakan ber bagai metode disertai dengan model dalam pengembangan kajian kitab kuning, antara lain: hafalan, sorogan, weton atau bandongan, mudza karah dan majlis ta’lim. [ ]
ENDNOTES 1
2
3 4
5 6
7
8 9
10 11
12
13
14 15
16
17
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 44. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 248. Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Kudus: Menara Kudus, 1963), hlm. 01. Ismail SM (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 44. Zamarkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., hlm. 21. M. Chabib Thoha, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 297 Abdur Rahman Wahid, Pesantren sebagai Sub Kultur dalam Pesantren dan Pembaharuan, ( Jakarta: LP3ES, t.t.), hlm. 42. Abudin nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Logos, 1997), hlm. 123. Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1987), hlm. 44. Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren., hlm. 20. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 42. Lihat di Azyurmadi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 44. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 50. Manfren Oepen (ed), Dinamika Pesantren, ( Jakarta: P3M, 1988), hlm. 286. Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, ( Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 23. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Jakarta: P3M, 1985), hlm. 61. Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang: Kalimasada, 1993), hlm. 38-39
238
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
Muhammad Thoriqussu’ud
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Malang: Kalimasada, 1993 Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1993 Azra, Azyurmadi, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1991 Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisitradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994 Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994 Ismail SM (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1987 Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997 Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997 Oepen (ed), Manfren, Dinamika Pesantren, Jakarta: P3M,1988 Raharjo (ed), Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985 Thoha, M. Chabib, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 1996 Wahid, Abdur Rahman, Pesantren sebagai Sub Kultur dalam Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, t.t. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1979 Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, Kudus: Menara Kudus, 1963
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
239