MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN MASALAH Bambang Suteng Sulasmono Program Magister Manajemen Pendidikan –FKIP-UKSW Salatiga
[email protected] ABSTRAK Kecakapan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang dipandang penting untuk dikuasai dan dikembangkan oleh para peserta didik. Oleh karena itu terdapat sejumlah model pembelajaran yang dikembangkan dewasa ini bertujuan untuk memfasilitasi proses pembelajaran agar dapat mengembangkan kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah. Pembelajaran untuk memecahkan masalah itu sendiri berakar pada paradigma konstruktivisme, yang menekankan peran peserta didik dalam mengkonstruksi makna selama proses pembelajaran. Beberapa model pembelajaran yang menopang proses pengembangan kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah adalah model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis kasus dan model pemecahan masalah secara kolaboratif. Kata kunci: kecakapan pemecahan masalah, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis kasus dan pemecahan masalah secara kolaboratif ABSTRACT Problem solving skills are seen as important learning outcomes for the learners. Therefore there are a number of model developed which is intended to facilitate the learning process so that learners can develop skills in problem solving. Learning to solve problems are rooted in constructivism, which emphasizes the role of learners in constructing meaning during the learning process. Some learning models that support the development of learners' skills in problem-solving are: problem-based learning model, case-based learning model and collaborative problem solving model. Keywords: problem solving skills, problem-based learning, case-based learning, and collaborative problem solving
1.
Pendahuluan Jonassen dan Serrano (2002) menyatakan bahwa kebanyakan model
pembelajaran dewasa ini termasuk „anchored instruction‟ dari Cognition and Technology Group at Vanderbilt, belajar berbasis masalah (problem based learning) dari Savery & Duffy, lingkungan belajar terbuka („open-ended learning environments) dari Land & Hannafin, lingkungan belajar konstruktivis dari Jonassen, maupun skenario berbasis tujuan (goal-based scenarios) dari Schank, Fano, Bell dan Jona; semuanya memiliki ciri yang sama yaitu hendak membidik problem solving 1
(pemecahan masalah) sebagai hasil belajarnya. Masing masing model itu mendukung kegiatan belajar bagaimana memecahkan masalah. Di samping itu Jonassen & Seranno (2002) juga mencatat bahwa akhir-akhir ini telah terjadi peningkatan perhatian terhadap hasil belajar pemecahan masalah/problem solving dalam bidang perancangan pembelajaran. Kedua penulis itu juga mengutip pendapat Merril (2000) yang menyatakan bahwa prinsip pertama (dalam disain pembelajaran-pen) adalah: pembelajaran harus terjadi dalam konteks pemecahan suatu masalah. Berikut akan dikemukakan tiga dari berbagai model pembelajaran yang memfasilitasi belajar pemecahan masalah yaitu (a) model belajar berbasis masalah (problem based learning), (b) model belajar berbasis kasus (case-based learning) dan (c) model pemecahan masalah (secara) kolaboratif (collaborative problem solving). Namun oleh karena ketiga model itu bertolak dari pijakan paradigma yang sama maka sebelumnya akan dikemukakan terlebih dulu landasan filosofis ketiga model pembelajaran tersebut. 2.
Landasan Filsafati Pembelajaran untuk Pemecahan Masalah. Menurut Savery & Duffy (1996) landasan filosofis model belajar berbasis
masalah adalah konstruktivisme. Sementara Riesbeck (1996) menyatakan bahwa model case-based reasoning (yang merupakan akar dari model belajar berbasis kasus-pen) memberi daging pada kerangka pikir konstruktivis yang menyatakan bahwa fakta-fakta dan konsep konsep bukanlah satu sistem kesatuan, melainkan terdistribusi di seluruh memori. Sedang Nelson (1999) memang tidak secara eksplisit menyebut paradigma dibalik model pemecahan masalah kolaboratif yang diajukannya, namun karena model ini
sebenarnya
merupakan
perpaduan
dari
pembelajaran
kooperatif
dengan
pembelajaran berbasis masalah maka tak terlalu keliru kiranya jika disimpulkan bahwa model inipun mempunyai akar filsafati pada konstruktivisme. Memang konstruktivisme itu sendiri bukanlah sesuatu yang tunggal melainkan jamak, dalam arti terdiri dari beberapa aliran. Dalam catatan Prawat (1999) ada enam aliran konstruktivisme yaitu (1) konstruktivisme radikal (konstruktivisme berbasis skemata), (2) konstruktivisme berbasis teori pemrosesan informasi, (3) konstruktivisme sosio-kultural, (4) konstruktivisme interaksionalis simbolik, (5) konstruksionisme sosial (konstruktivisme sosio-psikologikal), dan (6) konstruktivisme sosial berbasis ide (aliran 2
Dewey). Dua aliran yang disebut terdahulu, menurut Prawat, termasuk kategori konstruktivisme modern sedang empat aliran sisanya termasuk konstruktivisme posmodern. Perbedaan antara konstruktivisme modern dan pos-modern itu sendiri terletak pada perbedaan pandangan masing-masing tentang (a) „pemilik‟ pengetahuan, (b) masalah dualisme pikiran dan dunia, (c) serta proses pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme modern berpendapat bahwa (a) pengetahuan itu milik individu, (b) pengetahuan akan dengan sendirinya memecahkan masalah dualisme “pikiran-dunia”, dan (c) pengetahuan adalah hasil sistem penarikan kesimpulan yang sederhana. Sebaliknya konstruktivisme pos-modern berpendapat (a) pengetahuan merupakan kekayaan kolektivitas yang terorganisir, (b) masalah dualisme “pikiran-dunia” tidak dengan sendirinya dipecahkan oleh pengetahuan, dan (c) pengetahuan adalah hasil konstruksi sosial Bagaimanapun juga dari keragaman aliran konstruktivisme itu Savery & Duffy (1996) telah menarik benang merah yang merupakan inti dari filsafat konstruktivisme yaitu: 1) pemahaman seseorang itu merupakan hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungan; pemahaman seseorang itu merupakan fungsi dari
isi bahan
pelajaran, konteks pembelajaran, kegiatan siswa, dan yang paling penting tujuan siswa. 2) konflik kognitif atau teka-teki adalah stimulus bagi kegiatan belajar dan akan menentukan organisasi serta sifat dari apa yang dipelajari. 3) pengetahuan terbangun melalui negosiasi sosial dan melalui penilaian atas viabilitas pengetahuan atau kemampuan bertahan lama dan berkembangnya di masa depan pemahaman-pemahaman seseorang. Savery & Duffy juga telah menjabarkan ketiga gagasan pokok di atas ke dalam 8 (delapan) prinsip perancangan dan/atau pembelajaran yang konstruktivistik sebagai berikut ini. 1) Tempatkan semua kegiatan belajar dalam tugas atau masalah yang lebih besar. Itu berarti bahwa belajar harus mempunyai tujuan di luar dari yang sekedar ditugaskan. Tujuan dari setiap kegiatan belajar harus jelas bagi pebelajar. Pebelajar 3
harus mempunyai tujuan dalam belajar, dan harus melihat pentingnya kegiatan belajar khusus dalam hubungannya dengan tugas yang lebih besar. 2) Dukunglah pebelajar dalam mengembangkan seluruh masalah atau tugasnya sendiri. Tujuan-tujuan yang dimiliki oleh pebelajar akan sangat menentukan apa yang akan dipelajari, sehingga pebelajar harus menentukan sendiri tugas yang hendak dikerjakan. 3) Rancanglah tugas-tugas yang otentik. Lingkungan belajar yang otentik adalah lingkungan yang tuntutan berpikirnya konsisten dengan tuntutan kognitif lingkungan asal dari tugas belajar itu. Diperlukan diskusi dan negosiasi antara pengajar dan pebelajar untuk mengembangkan masalah atau tugas yang otentik tuntutan kognitifnya. 4) Rancanglah tugas-tugas dan lingkungan belajar untuk merefleksikan kompleksitas lingkungan di mana pebelajar harus berfungsi kelak. Pebelajar harus ditempatkan dalam lingkungan belajar yang kompleks. Hal itu sejalan dengan teori pemagangan kognitif dan teori kelenturan kognitif, di samping mencerminkan pentingnya peranan konteks dalam menentukan pemahaman seseorang terhadap konsep atau prinsip tertentu. 5) Biarkan pebelajar menentukan sendiri proses yang akan digunakan dalam menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah. Dengan membiarkan pebelajar mengembangkan prosesnya sendiri dalam memecahkan masalah, maka mereka telah terlibat dalam berpikir otentik. 6) Rancang lingkungan belajar yang mendukung dan menantang pemikiran pebelajar. Pemberian kesempatan kepada pebelajar untuk menentukan masalah dan proses pemecahannya sendiri dimaksudkan agar mereka menjadi pekerja atau pemikir yang efektif. Dengan demikian hubungan antara pebelajar dengan pengajar lebih dekat dengan konsep konsep „perancah belajar‟ (learning scaffold) dan „wilayah perkembangan terdekat‟ (the zone of proximal development) dari Vygotsky. 7) Doronglah pengujian gagasan melalui gagasan atau pandangan alternatif dan konteks-konteks alternatif. Konsturktivisme berpandangan bahwa pengetahuan itu dinegosiasikan secara sosial. Oleh karenanya kualitas atau kedalaman 4
pemahaman seseorang itu hanya dapat dibangun dan dimantapkan dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Melalui interaksi dalam lingkungan sosial pebelajar dapat melihat apakah pemahamannya tentang suatu pengetahuan dapat mengakomodasi isu-isu dan pandangan-pandangan orang lain, dan apakah ada sudut pandang yang bermanfaat untuk disatukan ke dalam pemahamannya. 8) Sediakan kesempatan dan dukungan agar pebelajar melakukan refleksi baik tentang materi yang dipelajari maupun proses belajar yang mereka jalani. Salah satu tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan ketrampilanketrampilan pengaturan diri -menjadi mandiri. Refleksi dapat membantu siswa mengembangkan kesadaran meta-kognisi, yaitu kesadaran tentang cara belajar dan apa yang dipelajarinya. Demikianlah prinsip-prinsip pembelajaran yang bersumber dari filsafat konstruktivisme. Berikut akan diulas ketiga model belajar/pembelajaran yang dapat dicandra sebagai bersumber dari filsafat tersebut. 3.
Model Belajar Berbasis Masalah (Problem Based Learning). Pembelajaran berbasis masalah pertama kali berkembang di lingkungan
pendidikan medis/kedokteran untuk menjawab kebutuhan adanya kurikulum yang tidak terlalu kompetitif dan dapat mendorong siswa agar lebih terlibat dalam pembelajaran, sehingga tidak terlalu memberi tekanan/stres sebagaimana yang terjadi dalam kurikulum tradisional. Walaupun mungkin munculnya pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih dipicu oleh kebutuhan praktis, namun kaijan yang kemudian berkembang telah menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah memuat banyak prinsip dalam teori kognitif sekarang ini. Lebih dari itu kini telah berkembang berbagai upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis masalah ke pembelajaran bidang studi di luar kedokteran.
Landasan Teoritis Belajar Berbasis Masalah Landasan teoritis bagi pembelajaran berbasis masalah adalah teori kognitif
tentang belajar. Teori kognitif berpendapat bahwa proses belajar seseorang terjadi bukan dengan cara menyerap informasi melainkan dengan menafsirkan informasiinformasi tersebut. Efektivitas belajar bergantung pada proses-proses internal dalam diri siswa, yang harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. 5
Lebih dari itu pandangan terbaru dalam teori kognitif menyatakan bahwa proses kognisi itu secara fundamental sangat ditentukan oleh situasi (situated cognition). Artinya, kegiatan pengembangan pengetahuan adalah bagian tak terpisahkan dari apa yang dipelajari, dan oleh karena itu memisahkan pengetahuan dari konteks di mana pengetahuan itu digunakan, sama artinya dengan membuang makna dan tujuan belajar yang ada dalam situasi kehidupan nyata. Dengan mengabaikan watak keterikatan proses kognisi pada lingkungannya, pendidikan tradisional telah mengingkari tujuannya sendiri yaitu untuk meningkatkan pengembangan pengetahuan siswa yang kokoh dan bermanfaat. Oleh karena itu para pakar strategi belajar kognitif merekomendasikan agar sebagian besar kurikulum bidang studi di sekolah-sekolah diorganisasikan seputar masalah-masalah kehidupan nyata yang dapat dipecahkan siswa dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Hal itu dapat dilakukan dengan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah jadinya mengorganisasikan kurikulum di sekitar persoalan-persoalan yang distrukturkan secara longgar dan para siswa memecahkan persoalan itu dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari sejumlah disiplin ilmu.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah. Pembelajaran berbasis masalah menurut Baptise (2003) dilandasi oleh sejumlah
nilai dan asumsi yaitu (a) kerjasama/partnership, (b) kejujuran dan keterbukaan/ honesty and openness, (c) rasa hormat/respect, dan (d) kepercayaan/ trust. Pembelajaran berbasis masalah dijalankan atas dasar pengakuan pentingnya kerjasama. Pembelajaran ini mendorong mereka yang terlibat di dalamnya untuk memandang setiap orang lain dalam kacamata persaudaraan dan kolaborasi serta menjauhkan gagasan-gagasan berkompetisi. Sejak awal pembelajaran berbasis masalah juga bersifat terbuka. Struktur pengalaman belajar, mulai dari tugas tugas individual sampai ke tujuan tujuan kurikuler, semua dapat diketahui secara terbuka oleh siapapun. Interaksi antar pribadi juga mencerminkan pengutamaan kejujuran dan keterbukaan. Nilai lain yang juga mendasari pembelajaran berbasis masalah adalah rasa hormat. Oleh karena sistem belajar diarahkan untuk memelihara integritas maka semua pihak harus saling menghormati satu sama lain. Rasa hormat itu tercermin dalam kedisiplinan, tatakrama, pemberian perhatian, pengajuan pertanyaan secara sopan dan 6
bermakna, dan yang paling penting adalah terlibat dalam proses belajar. Ketika semua nilai di atas terwujud atau diintergrasikan dalam lingkungan belajar maka kepercayaan akan mulai tumbuh dan kemudian terbangun dengan kokoh. Jadi karakteristik pokok dari pembelajaran berbasis masalah adalah (a) pembelajarannya berpusat kepada siswa, (b) lembaga memainkan peranan sebagai fasilitator atau penunjuk jalan, (c) masalah atau skenario belajar menjadi landasan, pusat perhatian dan struktur belajar, dan (d) informasi dan pemahaman baru siswa diperoleh melalui belajar yang diarahkan sendiri (self directed learning). Tampak bahwa pembelajaran berbasis masalah memang sejalan dengan paradigma kontruktivisme yang berpendapat bahwa makna itu dikonstruksi oleh individu melalui pengalamannya dalam konteks tertentu. Konteks belajar dan kegiatan pebelajar berdampak pada bagaimana sesuatu itu dipahami, dan oleh karena itu dipelajari. Melalui konteks pemecahan masalah yang diciptakan, dan juga kegiatan yang harus dilakukan pebelajar dalam konteks itu, pembelajaran berbasis masalah berdampak terhadap kegiatan pebelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan Fokus dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pebelajar sebagai konstruktor dari pengetahuannya sendiri dalam konteks yang mirip dengan situasi di mana ia akan menerapkan pengetahuan kelak.
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah. Sebagai sebuah model maka ada banyak strategi untuk mengimplementasikan
pembelajaran berbasis masalah. Savery & Duffy (1996) misalnya lebih suka mengadopsi model Barrow, dalam menjelaskan implementasi pembelajaran berbasis masalah di lingkungan pendidikan kedokteran. Proses pembelajaran berbasis masalah di bidang kedokteran mencakup: (a) penyajian masalah berupa tugas mendiagnosa pasien dan merekomendasikan penanganannya, (b) pebelajar kemudian belajar mandiri dengan peluang konsultasi pada pakar, (c) pertemuan kembali para pebelajar untuk mengevaluasi sumber daya dan kemudian bekerja menangani masalah dengan tingkat pemahaman baru, (d) penilaian di akhir proses dilakukan dalam bentuk penilaian diri atau penilaian teman. 7
Sedang Borich (1996) dan juga Slavin (2000) mengemukakan teknik IDEAL yang dikembangkan oleh Bransford & Stein tahun 1993, sebagai teknik pemecahan masalah. Teknik IDEAL merupakan akronim dari lima langkah pemecahan masalah dalam proses pembelajaran berbasis masalah yang terdiri dari Identify, Define, Explore, Act dan Look. Kelima langkah pemecahan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
Identifikasi masalah. Pebelajar pertama-tama harus mengetahui apa masalah atau masalah-masalah yang akan dipecahkannya. Pada tahap ini pebelajar menanyai dirinya sendiri apakah ia memahami persoalannya dan apakah persoalan itu telah dinyatakan dengan jelas.
Tentukan batasan-batasan istilah. Pebelajar mencek apakah mereka memahami makna setiap kata yang terdapat dalam pernyataan masalah.
Mengeksplorasi strategi-strategi. Pebelajar mengumpulkan informasi yang relevan dan menguji cobakan strategi strategi untuk memecahkan masalah.
Bertindak berdasar strategi. Sesudah para pebelajar mencari berragam pilihan strategi, mereka kemudian menggunakan salah satu di antaranya.
Meninjau dampak-dampaknya. Di tahap ini pebelajar menanyai diri sendiri apakah mereka telah mencapai pemecahan masalah yang dapat diterima.
4.
Model Belajar/Pembelajaran Berbasis Kasus (Case-Based Learning). Pembelajaran berbasis kasus (Case-based instruction) menurut Ertmer dkk
(1996) telah lama diterima sebagai metode pengajaran efektif di sekolah sekolah hukum dan bisnis dan sekarang meningkat penggunaannya dalam bidang profesional lain seperti kesehatan, ilmu politik, jurnalistik, pendidikan guru, arsitektur, psikologi dan pengukuran pendidikan, serta desain pembelajaran. Kagan (1993) juga mencatat terjadinya peningkatan perhatian para peneliti dan pendidik terhadap pemanfaatan kasus-kasus dalam kelas dalam pendidikan guru selama beberapa tahun terakhir ini.
Landasan Teoritis Belajar Berbasis Kasus Landasan teoritis pembelajaran/belajar berbasis kasus adalah teori pemrosesan
informasi, karena belajar berbasis kasus dilandasi oleh model berpikir berbasis kasus (case-based reasoning/CBR). Menurut Riesbeck (1996) CBR pada intnya adalah memecahkan masalah dengan mengadaptasikan solusi-solusi lama, dan menafsirkan 8
situasi-situasi baru dengan membandingkannya dengan situasi-situasi lama. Ada tiga proses dasar dalam CBR yaitu pemanggilan kembali, adaptasi dan penyimpanan. Ketika pemecah masalah diperhadapkan pada situasi baru, proses pemanggilan kembali (informasi-pen) akan menemukan kasus (deskripsi beberapa bagian episode dari kasus lama) yang mirip dengan situasi baru itu. Proses adaptasi kemudian akan terjadi ketika pemecah masalah menerapkan informasi-informasi yang telah direkam dalam kasus lama ke dalam situasi baru, dan menimbang perbedaan-perbedaan signifikan di antara situasi lama dan situasi baru itu. Proses penyimpanan terjadi manakala pebelajar menambahkan kasus baru yang sudah diadaptasikan, sejalan dengan pengetahuan tentang bagaimana hal itu harus dikerjakan, ke dalam ingatan, untuk digunakan di masa depan. Model penalaran berbasis kasus di atas mengimplikasikan bahwa hal yang paling penting untuk dipelajari dalam sebuah pembelajaran adalah kasus-kasus baru dan cara cara baru dalam mengindeks kasus-kasus tersebut. Persoalan yang dihadapi manusia, dan juga komputer, dalam memecahkan kasus adalah persoalan pemberian indeks yaitu bagaimana memberi nama/label kepada kasus-kasus baru secara tepat sehingga mereka dapat dipanggil kembali kelak dalam situasi yang relevan. Jika kasuskasus diberi label terlalu khusus maka mereka tidak akan dapat diingat jika situasi yang mirip muncul. Jika kasus-kasus diberi label dengan rincian rincian yang tak relevan atau terlalu abstrak, maka mereka akan diingat justru ketika tidak diperlukan. Jadi mempelajari cara terbaik memberikan indeks pada kasus-kasus berarti mempelajari prinsip prinsip penting yang melandasi sebuah kasus. Penalaran berbasis kasus itu juga mengimplikasikan prinsip-prinsip perancangan lingkungan pembelajaran yang mencakup: (a) Dalam rangka mempelajari kasus-kasus, siswa memerlukan pengalaman. Oleh karena itu lingkungan belajar harus menyimulasikan dunia di mana mereka dapat memperoleh pengalaman itu. (b) Dalam rangka membangun kasus berbasis luas, para pebelajar memerlukan lebih banyak contoh-contoh dibanding yang mungkin diperolehnya secara mandiri. Lebih dari itu mereka perlu diperhadapkan pada kasus-kasus nyata, bukan sekedar simulasi. Oleh karena itu lingkungan belajar harus menyediakan
9
akses ke kasus-kasus yang berbasis pada pengalaman-pengalaman dari dunia nyata. (c) Dalam rangka mengindeks kasus-kasus dengan indeks yang meningkatkan pemangggilan dan penggunaan kembali kasus-kasus itu, maka para pebelajar memerlukan tujuan tujuan dan rencana-rencana yang jelas. Oleh karena itu lingkungan belajar harus mencakup tugas tugas dan peran-peran yang jelas bagi para pebelajar. (d) Dalam rangka agar mampu belajar memberi indeks secara lebih baik, maka para pebelajar sesekali perlu mengalami kegagalan. Oleh karena itu lingkungan belajar harus menantang para pebelajar dengan masalah-masalah yang sulit. (e) Dalam rangka membangun indeks yang lebih baik pebelajar perlu membangun penjelasan yang baik tentang apa yang salah. Oleh karena itu lingkungan belajar harus sangat mendukung bagi terjadinya proses proses pemberian penjelasan.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Kasus Blumenfeld, Soloway, Marx, Krajcik, Guzdizal dan Palincar sebagaimana
dikutip Ertmer dkk (1996) menyatakan bahwa belajar berbasis kasus memerlukan keterlibatan dari „pengetahuan, usaha, ketekunan dan pengaturan diri’ dari pebelajar yang harus membuat rencana, mengumpulkan informasi, membangun dan merevisi solusi masalah,. Meskipun komponen komponen itu tidak merupakan syarat khusus bagi belajar berbasis kasus
namun memang merupakan hal yang penting dalam
lingkungan belajar yang mensyaratkan siswa terlibat dalam tugas tugas belajar yang kompleks dan mendua arti. Meskipun ada banyak variasi bentuk dan gaya, pembelajaran berbasis kasus cenderung melibatkan masalah-masalah yang kompleks yang terjadi dalam praktik kehidupan. Sebagai pendekatan yang berpusat pada pebelajar, pembelajaran berbasis kasus memberikan berbagai macam tuntutan pada pebelajar yang jauh melebihi tuntutan pembelajaran tradisional, atau kelas yang berpusat pada Guru. Para pebelajar harus dapat menyelesaikan sejumlah tugas yang sulit, mengajukan masalah, terlibat secara pribadi atau dalam kelompok dalam menganalisa situasi problematik, membuat keputusan tentang bobot relatif dari masing masing potongan bukti, membuat keputusan dari sekian banyak pilihan/kemungkinan, menggunakan orang lain sebagai 10
sumber dan melaksanakan keputusan yang dipilih berdasarkan pada rekomendasirekomendasi yang diajukan. Pendek kata para pebelajar harus memiliki ketrampilanketrampilan proses belajar mandiri. Blumenfeld dkk juga dikutip Ertmer dkk (1996) sebagai menyebut adanya tiga faktor penting bagi keberhasilan belajar berbasis kasus dan proyek yaitu: (a) pebelajar tertarik dan menghargai proyek (kasus) ybs; (b) persepsi pebelajar terhadap kompetensinya untuk menyelesaikan proyek/ tugas (c) pebelajar memusatkan perhatian pada proses proses belajar bukannya pada hasil pekerjaan mereka Faktor-faktor itu – minat dan penghargaan pada tugas belajar, persepsi terhadap kemampuan dan fokus pada proses proses mencapai tujuan – hakikatnya merupakan karakteristik dari pebelajar yang mampu mengatur diri sendiri (self-regulated learner). Jadi keberhasilan belajar berbasis kasus bergantung pada kemampuan pebelajar untuk mengatur belajarnya. Dengan perkataan lain sekedar memberikan kesempatan untuk mengintegrasikan pengetahuannya melalui studi kasus pada pebelajar, belum menjamin bahwa terjadinya pembelajaran berbasis kasus, jika para pebelajar itu tidak memiliki ketrampilan atau motivasi yang diperlukan untuk mengatur belajarnya. Dalam rangka pengembangan pembelajaran berbasis kasus dengan bantuan komputer, Hung dkk (2003) menyatakan bahwa pada intinya prinsip-prinsip yang menandai pembelajaran berbasis kasus adalah sebagai berikut: (a) Dari segi seting tujuan: diperlukan penyediaan ceritera menyeluruh (cover story) untuk memberikan seting belajar yang bermakna. (b) Dari sisi motivasi: kegiatan belajar harus menarik dan relevan dengan pebelajar. (c) Dari sisi peran-peran pebelajar: diperlukan rekayasa peran-peran khusus bagi masing-masing pebelajar dalam keterlibatan mereka dalam tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan di mana mereka dapat menerapkan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. (d) Dari segi kegiatan belajar: harus disediakan kesempatan belajar yang kaya bagi para pebelajar
11
(e) Dari sisi sumber daya: harus pula disediakan sumber sumber informasi dalam bentuk ceritera-ceritera yang terkait. (f) Dalam hal umpan balik: pebelajar harus menerima umpan balik yang memadai baik dari pengajar maupun lingkungan belajar simulatifnya.
Strategi Pembelajaran Berbasis Kasus Belajar berbasis kasus dilaksanakan dengan skenario pembelajaran yang
berbasis tujuan (goal based scenarios/GBS). Dalam GBS pebelajar diberi permainan peran dan masalah yang menarik untuk dipecahkan, atau tujuan-tujuan untuk dicapai. Peran dan masalah masalah harus benar benat merupakan minat nyata pebelajar dan bukan sekedar soal beritera yang artifisial. Masalah dipecahkan melalui interaksi pebelajar dengan lingkungan simulatif, seperti laboratorium penelitian pertanian, tenda komando atau rumah sakit. Simulasi itu mencakup pula interaksi-interaksi berbasis grafis atau video
dengan agen-agen
simulasi. Jika pebelajar menghadapi masalah atau macet, seorang tutor, dalam bentuk video muncul untuk memberikan saran, menceriterakan ceritera dan sejenisnya. Ceritera ceritera itu berasal dari arsip-teks multi media, video wawancara dengan pakar bidang tertentu, dan ceritera pengalaman pribadi yang mirip dengan situasi simulasi yang dihadapi pebelajar. Ada dua kelompok ketrampilan utama yang harus dipelajari melalui GBS yaitu: 1) Ketrampilan-ketrampilan proses, seperti menjadi teller bank, menerbangkan pesawat, di mana fokusnya adalah belajar satu atau beberapa langkah prosedur yang saling berhubungan. Ketrampilan semacam ini harus diajarkan dengan GBS yang diarahkan oleh peran (role-driven GBS’s) 2) Ketrampilan-ketrampilan mencapai hasil seperti membangun jembatan atau mengatasikerusakan mesin disel, di mana fokusnya adalah pada hasil, dan teknikteknik yang diperlukan untuk mencapai hasil. Ketrampilan semacam ini harus diajarkan dengan GBS yang diarahkan oleh hasil (outcome-driven GBS’s)
GBS yang diarahkan oleh peran (role-driven GBS’s) Dalam GBS`ini ada cara salah dan benar untuk melakukan sesuatu, dan tatanan
tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu sering menjadi penting. Permainan peran dalam situasi yang disimulasikan memperkuat pengetahuan para pebelajar 12
dengan rehearsal, pengulangan dan refleksi. Pengalaman-pengalaman khusus dalam GBS memotovasi dan memperkuat prinsip prinsip prosedural. Dengan membiarkan pebelajar mencoba cara cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu mereka belajar mengapa sesuatu harus dikerjakan dengan cara tertentu. Inti dari sistem semacam ini adalah
kekayaan dan keaneka-ragaman dari
interaksi-interaksi yang disimulasikan. Interaksi-interaksi itu diorganisasikan ke dalam skrip, yaitu urutan-rutan kejadian yang dipersiapkan terlebih dulu berdasarkan dugaan, yang kadang dilengkapi dengan cabang-cabang di mana kegiatan mungkin menyebar, tergantung pada pilihan seorang aktor terhadap apa yang ada dalam skrip. Kunci dari kegiatan semacam ini adalah dimilikinya sejumlah besar skrip, masing masing dengan cabang yang banyak, untuk „menampung‟ banyak hal yang dapat terjadi dalam menampilkan satu tugas yang sama.
GBS yang diarahkan oleh hasil (outcome-driven GBS’s) Dalam GBS`s model ini fokusnya adalah hasil dan proses pencapaian hasil,
bukan pada prosedur atau skrip, dengan asumsi bahwa jarang ada satu langkah berikut yang benar, dan biasanya banyak kemungkinan tentang jawaban yang terbaik. Pensimulasi membiarkan pebelajar mencoba tindakan yang berbeda-beda dan melihat apa yang terjadi. Simulasi-simulasi yang diarahkan oleh hasil ini dibangun dengan menambahkan agen-agen dan obyek-obyek, keadaan-keadaan mereka dan saling hubungannya, tindakan-tindakan yang munkin dilakukan pebelajar, dan bagaimana keadaan-keadaan, hubungan-hubungan dan tindakan-tindakan
yang
mungkin itu berubah pada setiap tindakan yang dilakukan masing masing pebelajar. Jadi GBS`s ini tidak bertumpu pada skrip-skrip tingkat tertinggi. Contoh dari belajar berbasis kasus boleh jadi adalah Creative Problem Solving/CPS atau Pemecahan Masalah (secara) Kreatif/PMK, yang oleh Sewell dkk (2003) dinilai sebagai kerangka kerja yang amat cocok dengan Pendidikan IPS, karena dimulai dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pengambilan keputusan serta tindakan sosial. CPS terdiri atas enam tahap kegiatan yaitu (a) mengenali adanya masalah, (b) menemukan fakta-fakta, (c) menemukan masalah, (d) menemukan ide-ide, (e) menemukan solusi-solusi, (e) mewujudnyatakan solusi. Keenam langkah itu mendukung tingkat berpikir tinggi karena dalam masing masing tahap itu sisa harus 13
memusatkan perhatiannya pada a) bagaimana mengenali adanya masalah, b) bagaimana mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memperjelas masalah, c) bagaimana membuat rumusan permasalahan, d) bagaimana mencurahkan ide-ide pemecahan masalah, e) bagaimana berpikir logis melaui ide ide kreatif guna memutuskan solusi masalah yang tepat, dan f) bagaimana melaksakan solusi 5.
Model Pemecahan Masalah Kolaboratif Nelson (Reigeluth; 1999) mencatat bahwa kini semakin banyak pendidik yang
menyadari kebutuhan akan adanya teori dan metode metode pembelajaran untuk membantu siswa terlibat dalam proses pemecahan masalah secara kolaboratif, efektif dan efisien. Menjawab kebutuhan itu model belajar kooperatif telah memberi pedoman tentang bagaimana mengorganisasikan kelompok-kelompok belajar dan menyarankan kegiatan-kegiatan khusus untuk menstrukturkan pengalaman belajar siswa. Sedang model belajar berbasis masalah menekankan pengembangan skenario masalah yang dikonstruksi secara cermat, melalui kelompok-kelompok kolaboratif, dengan bantuan tutor untuk bekerja memecahkan masalah. Dalam penilaian Nelson (Reigeluth; 1999), kedua pendekatan itu memang memberikan pedoman pembelajaran yang bernilai dalam membangun lingkungan belajar yang kolaboratif, namun demikian kedua-duanya tidak bersifat menyeluruh. Oleh karena itu Nelson menawarkan model pemecahan masalah kolaboratif, yang menurutnya mencakup keseluruhan proses belajar kolaboratif, termasuk membangun kesiapan pebelajar untuk belajar secara kolaboratif, pengembangan ketrampilanketrampilan kelompok, membentuk kelompok, terlibat dalam pemecahan masalah secara kolaboratif, dan mengakhiri proses melalui kegiatan mensintesakan, menilai dan penutupan yang sesuai.
Landasan teoritis Oleh karena pemecahan masalah kolaboratif merupakan perpaduan antara
pendekatan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah maka landasan teoritis model ini dapat dilacak dari landasan teoritis kedua pendekatan itu. Agar tidak mengulang apa yang sudah disajikan terdahulu maka berikut hanya akan disajikan tiga pilar psikologis pembelajaran kooperatif.
14
Pembelajaran kooperatif pada hakikatnya dilandasi oleh tiga pilar teori belajar yang bersumber pada teori belajar sosialnya Albert Bandura, teori watak sosial dari belajarnya Vygotsky dan teori saling ketergantungan sosial dari psikologi sosial. Ketiga teori itu pada dasarnya menyatakan pentingnya kehadiran orang lain dalam proses belajar seseorang. Teori belajar sosialnya Albert Bandura menekankan pentingnya kehadiran orang lain (pengajar dan sesama pebelajar) sebagai model perilaku baik dalam belajar melalui modeling maupun vicarious experience. (Borich, 1996; Brown, 1999; Gredler, 1994 dan Slavin, 2000). Konsep scaffold (perancah) yang berupa bantuan bagi pebelajar yang tengah belajar dalam „wilayah perkembangan terdekat‟ (the zone of proximal development) nya Vygotsky juga melandasi pembelajaran kooperatif. Dalam kegiatan-kegiatan kooperatif para pebelajar belajar melalui interaksi kerjasama dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Para pebelajar diperhadapkan pada proses berpikir teman sebayanya sehingga hasil maupun proses berpikir seorang pebelajar dapat dipelajari oleh pebelajar lainnya (Wertsch, 1985; Steiner & Mahn, 1996 dan Slavin, 1995). Teori saling ketergantungan positif dalam interaksi yang promotif yang berkembang dalam psikologi sosial juga menjadi roh dari pembelajaran kooperatif. Sebab tanpa itu maka belajar dalam kelompok tidak akan menghasilkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif harus memenuhi lima karakteristik yaitu (a) saling ketergantungan positif, (b) tanggungjawab perseorangan, (c) tatap muka, (d) komunikasi antar anggota, dan (e) evaluasi proses kelompok (Johnson &Johnson, 1998 dan Johnson dkk 2000).
Karakteristik Pemecahan Masalah secara Kolaboratif Nellson menyatakan bahwa pendekatan pemecahan kolaboratif tidak dapat
dipergunakan untuk mengajarkan bahan bahan pelajaran yang berupa informasiinformasi faktual maupun tugas-tugas prosedural yang harus dijalani dengan langkah yang pasti. Kondisi kondisi bahan ajar, lingkungan belajar, karakteristik pebelajar dan pengajar yang sesuai bagi penggunaan model ini adalah sebagai berikut: 1) Jenis bahan ajar/konten Pendekatan pemecahan masalah secara kolaboratif sangat cocok dengan tugas tugas heuristik, pengembangan pemahaman konseptual, dan strategi-strategi kognitif. 15
Tugas-tugas heuristik adalah tugas-tugas yang terbangun dari sistem ketrampilan dan pengetahuan yang kompleks yang dapat dikombinasikan dengan berbagai macam cara untuk menjalankan tugas dengan berhasil. Pengembangan pemahaman konseptual mencakup baik pengembangan skema-skema bagi pengetahuan baru maupun asimilasi isi pelajaran ke dalam skema yang sudah ada. Strategi kognitif mencakup ketrampilan-ketrampilan berpikir kritis, strategi-strategi belajar, dan ketrampilan ketrampilan meta-kognitif. 2) Lingkungan Belajar Lingkungan yang amat cocok bagi belajar pemecahan masalah secara kolaboratif adalah lingkungan yang kondusif bagi kerjasama, percobaan, dan inkuiri, yaitu lingkungan yang mendorong terjadinya pertukaran gagasan dan informasi secara terbuka. Lingkungan belajar haruslah mencerminkan nilai-nilai yang secara hakiki terkandung dalam sebuah kolaborasi. Waktu, ruang, dan sumber daya yang memadai harus disediakan. Perencanaan yang matang diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi setiap kelompok untuk bertemu dan menyelesaikan tugas. Ruang yang memadai juga harus disediakan untuk pertemuan-pertemuan kelompok maupun pengerjaan tugas. Berragam informasi, bahan, sumber daya manusia harus cukup tersedia bagi pebelajar. 3) Karakteristik Pebelajar Karakteristik pebelajar yang cocok untuk terlibat dalam belajar pemecahan masalah secara kolaboratif adalah pebelajar yang merupakan pebelajar mandiri (selfregulated learner) yang nyaman dengan dan berkemauan untuk memikul tanggungjawab atas belajarnya sendiri. 4) Karakteristik Pengajar Pengajar juga harus yang merasa nyaman dengan berkurangnya kekuasaan kontrol nya terhadap pebelajar maupun pembelajaran. Mereka harus mau mendorong pebelajar untuk belajar mandiri dan lebih menempatkan diri sebagai fasilitator ketimbang manajer. Pengajar haruslah fleksibel dan toleran terhadap tingkat ketidakpastian tertentu tentang apa yang sesungguhnya dipelajari dan bagaimana kegiatan belajar akan berlangsung. Pengajar juga harus siap dengan pendekatan
16
mengajar yang bervariasi manakala diperlukan, seperti diskusi kelompok kecil dan besar, pembelajaran langsung, dan pembelajaran aktif.
Strategi Pemecahan Masalah secara Kolaboratif Pembelajaran untuk memecahkan masalah secara kolaboratif dilaksanakan
melalui 9 (sembilan) tahap yang mencakup (1) membangun kesiapan, (2) membentuk kelompok dan normanya, (3) menentukan batasan masalah awal, (4) menentukan dan membagi tugas-tugas, (5) terlibat dalam proses pemecahan masalah bersama secara iteratif (berulang-alik), (6) merampungkan solusi atau tugas, (7) mensintesakan dan melakukan refleksi, (8) mengukur hasil hasil dan proses, serta (9) melakukan penutupan. (a) Membangun Kesiapan Dalam kegiatan persiapan ini dilakukan (a) pemahaman terhadap proses pemecahan masalah secara kolaboratif, (b) pengembangan skenario tugas atau masalah otentik untuk mengikat kegiatan-kegiatan pembelajaran dan belajar, serta (c) pelatihan ketrampilan-ketrampilan proses bekerja kelompok. (b) Membentuk Kelompok Dan Normanya Dalam tahap ini dilakukan pembentukkan kelompok-kelompok kerja kecil yang heterogen keanggotannya. Kelompok – kelompok itu kemudian didorong untuk membangun pedoman pelaksanaan kerja sebagai norma bersama. (c) Menentukan Batasan Masalah Awal Di tahap ketiga, semestinya berlangsung pemahaman bersama tentang masalah melalui negosiasi, identifikasi isu-isu dan tujuan-tujuan belajar, curah pendapat tentang solusi awal atau rencana pelaksanaan tugas, memilih dan membangun rencana kegiatan tertentu, mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan, serta mengumpulkan informasi informasi awal untuk mevalidasi rencana kegiatan. (d) Menentukan dan Membagi Peran Dalam tahap ini dilakukan identifikasi peran-peran pokok yang diperlukan untuk menjalankan rencana kerja, dan negosiasi tentang pembagian peran di antara para pebelajar. (e) Proses Pemecahan Masalah Bersama Secara Iteratif (Ulang-Alik) 17
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan membangun dan menajamkan rencana kerja, mengidentifikasi dan membagi tugas-tugas, mengumpulkan informasi, sumbersumber dan ahli yang diperlukan. Pebelajar juga bekerjasama dengan pengajar untuk memperoleh sumber-sumber maupun ketrampilan-ketrampilan tambahan yang diperlukan, menyebarluaskan informasi, sumber sumber dan kepakaran yang diperoleh kepada sesama anggota kelompok, terlibat dalam pencapaian souisi atau perkembangan kerja kelompok, melaporkan secara reguler sumbangan individual dan kegiatan kegiatan kelompok, berpartisipasi dalam kerjasama dan evaluasi antar kelompok, serta melakukan evaluasi formatif atas solusi atau pelaksanaan tugas. (f) Merampungkan Solusi atau Tugas Pada tahap ini dilakukan penyusunan draft versi akhir solusi atau laporan tugas, evaluasi akhir atau tes kemanfaatan dari solusi atau hasil kinerja, serta merevisi dan melengkapi versi akhir dari solusi atau laporan kerja. (g) Melakukan Sintesa dan Refleksi Inti dari kegiatan dalam tahap ini adalah mengidentifikasi perolehan belajar, pebelajar diminta untuk saling bertanya-jawab tentang pengalaman-pengalaman serta perasaan-perasaan mengenai proses pelaksanaan tugas, dan melakukan refleksi atas proses belajar kelompok dan individual. (h) Mengukur Hasil dan Proses Pengukuran hasil dan proses belajar dilakukan dengan mengevaluasi hasil karya dan artifak artifak yang diciptakan para pebelajar, serta mengevaluasi proses yang sudah dilasanakan selama proses pembelajaran. (i) Mengakhiri Kegiatan. Sebagai akhir dari kegiatan dilakukan upaya untuk memformalkan pengalaman kelompok melalui kegiatan penutupan Demikian garis besar kegiatan dalam proses pemecahan masalah secara kolaboratif yang merupakan perpaduan antara pembelajaran kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah. 6.
Penutup
18
Paparan di atas menunjukkan bahwa sebagai model yang sama sama berpijak pada paradigma konstruktivis, serta bertolak dari psikologi kognitif dan teori pemrosesan informasi tentang belajar ketiga model di atas mempunyai banyak kesamaan. Kesamaan itu misalnya tampak dalam hal karakteristik pebelajar yang tepat bagi (namun sekaligus hendak dikembangkan melalui) ketiga model pembelajaran itu yaitu pebelajar yang mandiri dan mampu mengatur sendiri belajarnya (self-regulated learner). Peran pengajar dalam ketiga model pembelajaran itu pun lebih sekedar sebagai fasilitator pembelajaran bukan penguasa/penentu pembelajaran. Lingkungan belajar yang tepat bagi ketiga model itu juga lingkungan belajar yang otentik dalam arti persoalan atau kasus yang menjadi basis pembelajaran semestinya juga merupakan persoalan atau kasus yang otentik. Proses-proses kognitif yang dikembangkan atau dituntut dalam proses pembelajaran dalam ketiga model itupun merupakan proses proses kognitif tingkat tinggi. Perbedaan di antara ketiga model di atas tampaknya lebih pada asal-usul perkembangannya, rincian teknis pelaksanaannya maupun bidang studi yang lebih tepat untuk menggunakannya. Belajar berbasis masalah misalnya lebih tepat digunakan dalam pembelajaran bidang studi di mana ia berasal-usul, yaitu bidang kedokteran, dan bidang bidang yang mempunyai hakikat yang setara dengannya. Sementara belajar berbasis kasus lebih tepat digunakan dalam pembelajaran bidang studi hukum, ekonomi, pendidikan dan ilmu ilmu sosial lainnya. Sementara model pemecahan masalah secara kolaboratif tampaknya juga lebih tepat dipergunakan dalam pembelajaran bidang ilmu sosial. Satu hal yang jelas adalah bahwa ketiga model itu memang bermanfaat bagi pengembangan
disain
pembelajaran
yang
hendak
menopang
perkembangan
kemampuan para pebelajar dalam memecahkan masalah.
*****
19
20
DAFTAR PUSTAKA Baptise, S.E. 2003. Problem-Based Learning.A Self-Directed Journey; NJ: SLACK Inc. Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. Third Edition, NJ: Prentice Hall Brown, K.Mc., 1999. Social Cognitive Theory. http://hsc.usf.edu/~kmbbrown/Social_ Cognitive_Theory_Overview.htm diakses tanggal 12 Desember 2004 Gredler, M.E.B. 1994. Belajar dan Membelajarkan (terj. Munandir) Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa & PAU-UT Ertmer, P.A., Newby, T.J., and MacDougall, M. 1996. Students‟ Responses and Approaches to case-based Instruction: The Role of Reflective Self-Regulation; American Educational Research Journal. Fall Vol. 33 (3) pp 719 – 752 Hung, D., Chen, D.T. & Tan, S.C. 2003. A Social-Constructivist Adaption of CaseBased Reasoning: Integrating Goal-Based Scenarios with ComputerSupported Collaborative Learning; Educational Technology: March-April. Johnson D.W. & Johnson R.T. 1998 Cooperative Learning And Social Interdependence Theory; Social Psychological To Social Issues;?: ? Johnson D.W., Johnson R.T. & Stanne, M.B., 2000. Cooperative Learning Methods: A Meta-Analysis; Minnesota: University of Minnesota Jonnasen, D.H. & Serrano, J.H. 2002. Case-Based Reasoning and Instructional Design: Using Stories to Support Problem Solving; ETR&D: Vol. 50 (2) pp 65 – 77. Kagan, D.M. 1993. Contexts for the Use of Classroom Cases; American Educational Research Journal. Winter Vol. 30 (4) pp 703 – 723. Nelson, ,L.M. 1999. Collaborative Problem Solving. Dalam Reigeluth. C.M. (ed) Instructional Design Theories and Models Volume II. A new paradigm of Instructional Theory; New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Prawat R.S. 1996. Constructivism Modern and Postmodern; Educational Psychologist, Vol. 31 No ¾ Summer & Fall 215 –226. Reigeluth, C.M. 1999. (ed), Instructional Design Theories and Models Volume II. A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Riesbeck, C.K. 1996 Case-based Teaching and Constructivism: Carpenters and Tools. Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications. Savery, J.R. & T.M. Duffy. 1996. Problem Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework. Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications. Slavin, R.E., 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice; Boston: Allyn & Bacon Slavin, R.E., 2000. Educational Psychology. Theory and Practice. Sixth Edition. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon Steiner, V. J. & Mahn, H. 1996. Socio cultural Approaches to Learning and Development: A Vygotskyan Framework, Educational Psychologist, Vol. 31 (¾) 21
Wertsch, J.V.,1985. Vigotsky and the Social Formation of Mind; Cambridge: Harvard University Press *****
22