PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SOSIAL SISWA Ahmad PGSD, FKIP Universitas Almuslim email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilatar belakangi adanya fenomena sosial rendahnya kemampuan memecahkan masalah, dewasa ini bangsa Indonesia terus menerus diterpa permasalahan sosial, jumlah penduduk yang lebih dari 380 juta mengakibatkan berbagai macam permasalahan sosial dapat terjadi, sekolah diharapkan mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah sosial sejak dini, namun kenyataan terjadi disekolah dasar pembelajaran IPS masih mengembangkan penanaman konsep terkait materi belum mencakup pengembangan kemampuan pemecahan masalah sosial sebagai salah satu kemampuan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu diupayakan model pembelajaran berbasis masalah guna meningkatkan kualitas pembelajaran IPS di sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa. Metode penelitian menggunakan eksperimen kuasi (Quasi-Experimental) dengan desain “Nonequivalent Control Group Pretest-posttest Design” melibatkan 64 orang siswa sekolah dasar kelas IV. Data diperoleh dari data kuantitatif dan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum penerapan model pembelajaran berbasis masalah (pretest), kemampuan pemecahan masalah sosial siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan. Pada saat posttest diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan memecahkan masalah sosial siswa. Kemampuan memecahkan masalah sosial siswa di kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol dengan perolehan N-Gain kemampuan memecahkan masalah sebesar 0,55. Sedangkan pada kelas konvensional kemampuan memecahkan masalah sebesar 0,34. Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Kemampuan Pemecahan Masalah Sosial
1. PENDAHULUAN Pembelajaran IPS di sekolah dasar selama ini cenderung lebih bersifat teoretis dan terkesan terpisah dari kehidupan nyata siswa dengan menitikberatkan pada bagaimana menghabiskan materi pelajaran dari buku teks. Pembelajaran IPS juga belum menggunakan pendekatan, model dan metode yang bervariasi dan inovatif.
Guru cenderung menggunakan metode ceramah dan metode hafalan, sehingga siswa menjadi pasif dalam proses pembelajaran. Mereka hanya mendengar dan menulis serta menghafal apa yang diterangkan dan diperintahkan oleh guru. Selain itu, proses pembelajaran juga belum memberikan kesempatan yang memadai kepada siswa untuk
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 1
mengembangkan kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri dan memecahkan masalah. Kemampuan-kemampuan dasar tersebut memerlukan proses pembelajaran yang bisa melibatkan siswa secara aktif menemukan jawaban, berpikir dan memecahkan fenomena dan permasalahan yang dihadapinya. Artinya, bahwa salah satu tujuan akhir dari proses pembelajaran IPS di sekolah dasar adalah siswa memiliki kemampuan dasar dalam memecahkan masalah. Kemampuan memecahkan masalah ini sangat penting bagi siswa, karena pada hakikatnya siswa adalah bagian dari masyarkat. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu siswa akan selalu menemukan berbagai masalah dalam kehidupannya, baik masalah yang sederhana, kompleks, masalah pribadi dan masalah sosial yang harus dihadapi dan dipecahkannya. Oleh karena itu, maka diperlukan usaha sejak dini untuk melatih dan mengembangkan kemampuan anak dalam memecahkan masalah. Ketidakmampuan siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya akan berpengaruh kepada kehidupannya. Siswa akan merasa kesulitan dalam menemukan solusi dalam permasalahan yang sedang dihadapinya. Sehingga jika siswa merasa tidak kuat dan merasa tidak ada solusi yang tepat, dikhawatirkan mereka akan mencari cara pemecahan masalah yang negatif, seperti mengkonsumsi narkoba, minum minuman keras, kebut-kebutan dan lain sebagainya yang akan merugikan diri mereka sendiri. Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa usaha perbaikan proses pembelajaran melalui upaya pemilihan model pembelajaran yang tepat dan inovatif dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar adalah Model Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Based Learning). Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa pembelajaran berbasis masalah penting untuk diterapkan guna meningkatkan penguasaan konsep IPS dan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah sosial siswa sekolah dasar. Oleh karena itulah, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Peningkatan Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial Siswa.” 2. KAJIAN LITERATUR Pendidikan IPS di Sekolah Dasar Ilmu pengetahuan sosial yag disingkat IPS di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1970-an sebagai hasil kespakatan komunitas akademik dan secara formal mulai digunakan dalam sistem pendidikan nasional dalam kurikulum 1975. Dalam dokumen kurikulum tersebut IPS merupakan salah satu nama mata pelajaran yang diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. IPS dalam kepustakaan asing lebih dikenal dengan istilah Sosial Studies, Sosial Education, Sosial Studies Education, Sosial Science Education, Citizenship Education, dan Studies of Society and Environment (Sapriya, 2008:6). James A. Banks (dalam Sapriya) memberikan definisi sosial studies sebagai berikut: The sosial studies is that part of the elementary and high school curriculum which has the primary responsibility for helping students to develop the knowledge, skills, attitudes, and values needed to participate in the civic life af their local communities, the nation, and the world (1990:3). Menurut Banks, studi sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah dasar dan menengah yang mempunyai tanggung jawab pokok membantu para siswa untuk
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 2
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang diperlukan dalam hidup bernegara di lingkungan masyarakatnya. Pengertian lain Ilm Pengetahuan Sosial sebagaimana dirumuskan oleh The National Council for the Sosial Studies (NCSS) adalah: “Sosial studies is the integrated study of the sosial sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, sosial studies provide coordinated systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion and sosiology, as well as appropriate content from humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of sosial studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decision for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world (NCSS, 1994: 3). Dalam pendapat lain mengenai Sosial Studies Van Cleaf, D.W. (1991:2) menyatakan “Sosial studies is generally considered to be the study of people and their relationship tp their environment. The invironment includes the physical world, sosial world, and spritual world-past, present, and future. While the spritual woeld effects human behavior, public schools usually exclude aspects of the spritual world in their sosial studies programs.” Dari rumusan ini, dapat diketahui bahwa IPS dirumuskan sebagai suatu kajian terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan untuk meningkatkan kemampuaan kewarganegaraan (civic competenence). Pada tingkat sekolah, IPS menyediakan kajian terkoordinasi dan sistematis dengan mengambil dari disiplin-disiplin
antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi, serta ilmuilmu kemanusiaan, matematika dan ilmuilmu alam. Tujuan utama IPS ialah membantu generasi muda mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan yang informatif dan rasional bagi kebaikan masyarakat sebagai warga negara dari masyarakat yang berbudaya majemuk dan demokratis dalam dunia yang saling memiliki ketergantungan. Somantri (2001) telah melihat fungsi dan peran IPS sebagai medium “strategis dalam usaha pembentukan warga negara yang baik dan handal sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.” Dengan demikian sosial studies yang diadopsi ke dalam IPS di Indonesia merupakan salah satu bidang studi yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat serta hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, baik sosial maupun fisik. Adapun pendidikan IPS khusus untuk sekolah dasar dan menengah, Somantri,N. (2001) telah mendefinisikan bahwa pendidikan IPS adalah penyederhanaan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Dalam sebuah proses pembelajaran, seorang guru haruslah memiliki kapasitas sebagai seorang guru yang menguasai segala hal yang berhubungan dengan proses belajarmengajar. Hal ini dimaksudkan agar tercapainya tujuan yang diharapkan dalam proses belajar-mengajar tersebut, yaitu bagaimana siswa mampu memperoleh pengetahuan serta mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan Memecahkan Sosial Manusia terlahir dihadapkan dengan permasalahan, semakin banyak
Masalah kedunia berbagai populasi
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 3
manusia tentunya permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, masalah timbul baik berasal dari sendiri maupun berasal dari interaksi dengan manusia lainnya bahkan masalah yang berhubungan dengan lingkungan. Menurut Sanjaya (2006) “problema atau masalah adalah suatu kesenjangan (gap) antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan, atau kenyataan dengan apa yang diharapkan”. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan, keluhan, kerisauan atau kecemasan. Pendapat lain yang dikemukakan Suryabrata (2010:12) mendefinisikan bahwa masalah adalah kesenjangan yang muncul apabila adanya das sollen (apa yang seharusnya terjadi) dan das sein (apa yang ada dalam kenyataan). Ini artinya, masalah dapat diperoleh dari sesuatu yang tidak semestinya terjadi, dari apa yang diperlukan tetapi tidak didapatkan, dari harapan tetapi tidak tercapai. Selanjutnya Ricard (2004:26) menjelaskan “masalah telah dikaitkan erat dengan keadaan yang melibatkan ketidaknyamanan, penderitaan, atau keputusasaan, suatu situasi tidak harus menunggu hingga kondisinya menjadi sedemikian buruknya sebelum pemecahan masalah kreatif dapat diterapkan untuk meningkatkan keadaan situasi tersebut”. Dari pendapat di atas masalah dapat dikatakan bahwa kesenjangan apa yang diharapkan dan apa yang terjadi tidak sesuai sehingga menimbulkan keresahan atau pun ketidaknyamanan. Masalah tersebut cenderung harus segera diatasi agar keresahan yang dirasakan bisa segera teratasi. Manusia dalam kehidupannya selalu di hadapkan dengan berbagai macam masalah, sehingga perlu cara untuk menyelesaikannya karena masalah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Masalah tersebut bisa saja berasal dari diri sendiri maupun interaksi pada kehidupan sosial manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungannya. Hal tersebut menjadikan pemecahan masalah menjadi aktivitas dasar bagi
manusia (Hadojo,2005:123). Setiap masalah memerlukan pemecahannya sehingga manusia terbebas problematika kehidupan. Oleh sebab itu siswa sebagai salah satu komponen dalam pendidikan berada pada bagian dari masyarakat, harus selalu dilatih dan dibiasakan berpikir mandiri untuk memecahkan masalah, karena pemecahan masalah selain menuntut siswa untuk berpikir, juga dapat mendorong siswa menjadi kreatif. Kreatif merupakan salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi. Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada siswa dan siswa tersebut langsung dapat mengetahui cara dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Santrock (2002:298) menjelaskan pemecahan masalah meliputi usaha menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan, tujuan yang dimaksud merupakan masalah yang dihadapi. Menurut Hadojo (2005:124) syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah sebagai berikut: 1). Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa harus dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya. 2). Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedural rutin yang telah diketahui siswa. Karena itu, faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang esensial. Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus memiliki banyak pengalaman dalam berbagai masalah, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang diberi banyak latihan pemecahan masalah memiliki nilai lebih tinggi dalam tes pemecahan masalah dibandingkan dengan siswa yang latihannya lebih sedikit. Apabila dihadapkan pada situasi seperti
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 4
ini, maka sebaiknya guru berusaha mendorong siswa memecahkan permasalahan melalui langkah-langkah model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Leeuw, Sudjitmat (Takiddin, 2010) mengatakan bahwa belajar pemecahan masalah pada hakikatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason) yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai. Menurut Hadojo (2005:124) “adapun pemecahan masalah, secara sederhana, merupakan proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut”. Selanjutnya Foshay dan Kirkly (2003) mengidentifikasikan suatu urutan dasar dari tiga aktivitas kognitif dalam proses pemecahan masalah sebagai berikut: 1) Mempresentasikan masalah yang meliputi pemanggilan kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasikan tujuan dan kondisi awal yang relevan untuk masalah. 2) Mencari solusi yang meliputi penghalusan tujuan dan pengembangan suatu rencana tindakan dalam mencapai tujuan. 3) Mengimplementasikan solusi dengan cara menjalankan rencana tindakan dan mengevaluasi hasil Kemudian Johnson (2002:201) menjelaskan proses pemecahan masalah dapat berkonsentrasi pada pertanyaanpertanyaan berikut: 1. Apa masalahnya? 2. Apa hasil yang dicari 3. Solusi apa saja yang mungkin dan apa alasan yang mendukungnya? 4. Apa kesimpulannya? Mengungkapkan masalah dapat berupa pengajuan-pengajuan pertanyaan, hal ini dituntut guru untuk menciptakan pertanyaan dan mendorong siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Melalui menjawab pertanyaan tersebut si
swa telah berusaha untuk menyelesaikan masalah yang telah disediakan guru. pertanyaan tersebut disesuaikan dengan tingkat kognisi dan perkembangan siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadojo (2005) “suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa, pertanyaan yang dihadapkan pada siswa haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut, jadi pertanyaan itu harus sesuai dengan struktur kognitif siswa”. Peranan guru diperlukan dalam kemampuan menyelesaikan masalah pada siswa, guru perlu memberikan arahan dan bimbingan secara tidak langsung bila diperlukan agar siswa mampu memahami pertanyaan dan dapat menyelesaikan masalah yang di ajukan guru. Menurut penjelasan Hadojo (2005) “mengajarkan pemecahan masalah kepada siswa merupakan kegiatan dari seorang guru di mana guru itu membangkitkan siswasiswanya agar menerima dan merespons pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan kemudian ia membimbing siswa-siswanya untuk sampai kepada penyelesaian masalah”. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat dinyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah sosial adalah kemampuan siswa dalam mengenal adanya masalah, mempertimbangkan pendekatanpendekatan untuk pemecahan masalah, memilih dan menerapkan pendekatanpendekatan pemecahan masalah, dan mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam memecahkan kesulitan atau ketimpangan yang bersumber dari masyarakat sendiri. Bagaimana pentingnya mengajarkan pemecahan masalah dalam pembelajaran menurut pandangan Micheal Pressley (Presley, 2003; Pressley dan Hilden, 2006; McCormick dan Presley, 1997) dalam (Santrock, 2007), menyatakan “kunci pendidikan adalah menolong anak untuk mempelajari kumpulan strategi dalam pemecahan masalah”.
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 5
Untuk mengetahui bagaimana kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan sosial dapat dilihat dari skor tes kemampuan pemecahan masalah. Tes ini lebih di fokuskan pada proses pada penyelesaian masalah-masalah yang di berikan guru. Kemudian hasil yang diperoleh siswa atau dengan perkataan lain langkah-langkah pengerjaan siswa dalam menyelesaikan soal harus dinilai secara obyektif berdasarkan ketentuan setiap
aspek. Kemudian dalam memberi alternatif skor untuk setiap langkah pemecahan masalah adalah berdasarkan model Schoen dan Oehmke (dalam Takiddin (2010) dapat dibuat secara kuantitatif berupa angka 0, 1, 2, 3, dan 4. Tiap skor mewakili tingkat operasi yang dilakukan pada setiap langkah pemecahan. Untuk lebih jelasnya model Schoen dan Oehmke, tergambar pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Pedoman Perskoran Kemampuan Pemecahan Masalah
Skor
Mengenal adanya masalah
Mempertimbangkan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah
0
Salah menginterpretasi/ salah sama sekali
Tidak ada pertimbangan, membuat pertimbangan yang tidak relevan
1
Salah menginterpretasi sebagian soal permasalahan, mengabaikan kondisi soal permasalahan Memahami masalah selengkapnya
Membuat pertimbangan pendekatan pemecahan masalah yang tidak dapat dilaksanakan karena tidak memiliki hubungan dengan konsep-konsep yang diperlukan Mempertimbangkan pendekatan yang benar tetapi salah dalam hasil/tidak ada hasil Mempertimbangkan pendekatan yang benar, tetapi belum lengkap Membuat pertimbangan pendekatan sesuai dengan prosedur dan mengarah pada solusi yang benar Skor Maksimal 4
2
3
4
Skor Maksimal 2
Memilih dan menerapkan pendekatanpendekatan pemecahan masalah Tidak memilih dan menerapkan pendekatan Melaksanakan prosedur yang benar mungkin menghasilkan jawaban yang benar tetapi salah dalam pelaksanaan rencana Melakukan proses yang benar dan mendapatkan hasil yang benar
Skor Maksimal 2
Mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan Tidak ada solusi yang dapat dipertanggung Jawabkan Ada solusi, tetapi tidak lengkap
Ada solusi yang bisa dipertanggung jawabkan
Skor Maksimal 2
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 6
Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran Berbasis Masalah diadopsi dari istilah bahasa Inggris Problem Based Instruction (PBI) dan ada juga yang menggunakan istilah Problem Based Learning (PBL).Robert Delisle (Tan, 2003:30) menyatakan bahwa: Problem based learning (PBL) works well with all students, making its strategies ideal for heterogenous classrooms where students with mixed abilities can pool their talents collaboratively to invent a solution. These technique also lend themselves to an interdiciplinary orientation since answering a problem frequently requires information from several academic areas… teachers… say they have seen their students learn more ideas, and enjoy school more. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) sangat baik bagi seluruh siswa, strategi pembelajarannya ideal untuk kelas yang heterogen dimana siswa-siswa yang mempunyai kemampuan yang beragam bisa memadukan bakat mereka secara kolaboratif untuk menemukan solusi. Tehnik pembelajarannya juga memberi diri
mereka sendiri kepada orientasi interdisipliner melalui pemecahan masalah seringkali mensyaratkan informasi dari beberap area akademik guru menyatakan bahwa mereka melihat siswa-siwanya lebih mempelajari ide-ide dan lebih menikmati sekolahnya). Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis, kreatif, keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep dasar dari suatu materi pelajaran (Nurhadi dkk, 2004:56). Adapun sintaks pembelajaran berbasis masalah dalam penelitian ini berdasarkan sintaks yang dirumuskan oleh Hadi dan Nur (Trianto, 2009:97). Pada pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 (lima) langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan berdasarkan langkah-langkah pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap Tahap-1 Orientasi siswa kepada masalah
Tahap-2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Tahap-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tingkah laku guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru membantu siswa untuk mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 7
Pada pembelajaran model Problem Based Learning langkah-langkah dan proses pembelajaran dengan mengangkat isu-isu serta permasalahan sosial yang terjadi di sekitar siswa menjadikan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah sosial secara kreatif. Masalah sosial yang dapat diangkat merupakan masalah sosial yang dekat dengan siswa, seperti permasalahan sosial siswa berkenaan dengan Kompetensi Dasar mengenal permasalahan sosial didaerahnya siswa kelas IV Sekolah dasar. Berbagai masalah terkait dengan berbagai aspek kehidupan, baik masalah aspek sosiologi, lingkungan, transportasi, budaya, dan lain sebagainya. Ada kalanya suatu permasalahan dianggap tidak bermasalah dikarenakan kepekaan masyarakat terkait masalah masih rendah hal tersebut ditandai dengan pembiaran suatu masalah karena dianggap hal yang wajar, namun lambat laun akan permasalahan terakumulasi menjadi besar dan berakibat fatal. Dapat dicontohkan permasalahan sosial terhadap kemacetan yang sering terjadi, hal ini disebabkan karena prilaku individu yang tidak taat terhadap peraturan lalu lintas, ditambah lagi dengan kebiasaan-kebiasaan prilaku interaksi dengan alat transportasi yang salah. Sehingga dalam jumlah yang banyak penyimpangan tersebut mengakibatkan permasalahan sosial yang besar. Oleh karena itu perlunya kemampuan menganalisis permasalahan dan pemecahan masalah sosial dalam pembelajaran. Pembelajaran PBL mengangkat isu-isu permasalahan sebagai bahan kajian dalam pembelajaran sehingga setelah proses pembelajaran siswa memperoleh keterampilan sosial tersebut. 3. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Desain eksperimen yang digunakan adalah kuasi eksperimen Nonequivalent Control Group Pretestposttest Design dimana kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random. Teknik pengumpulan data terdiri dari tes kemampuan memecahkan masalah sosial. Untuk instrumen pelengkap, digunakan lembar observasi, angket tanggapan siswa, dan pedoman wawancara dengan guru. Penelitian ini berlokasi di Sekolah Dasar Negeri 7 Idi Kabupaten Aceh Timur. Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa dan siswi kelas IV semester 2 (dua) Sekolah Dasar Negeri 7 Idi Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Pretest dan Posttest Sebelum pembelajaran diberikan dilakukan tes awal (pretest) untuk mengukur kemampuan awal siswa dan setelah pembelajaran/perlakuan diberikan tes akhir (posttest) kemampuan akhir siswa. Dari hasil analisis data dan uji statistik dengan taraf signifikansi 5% terhadap data pretest dan posttest kemampuan memecahkan masalah sosial siswa diketahui bahwa hasil pretest dikelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan secara signifikan, sedangkan pada hasil posttest kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan. Peningkatan Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial Siswa Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan memecahkan masalah sosial siswa antara kelas eksperimen dan, dilakukan uji t. untuk melihat peningkatannya digunakan data gain yang dinormalisasi. Rerata gain yang dinormalisasi merupakan gambaran peningkatan kemampuan memecahkan masalah sosial siswa dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan pembelajaran konvensional dan rerata gain yang dinormalisasi ini digunakan untuk mendapatkan kualitas perhitungan yang lebih baik dalam mengukur peningkatan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen.
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 8
Data hasil penelitian tes kemampuan pemecahan masalah sosial siswa terdiri dari 2 soal uraian dengan mengangkat permasalahan sesuai dengan topik pembelajaran mengenal permasalahan sosial didaerah dengan skor
ideal 20 dapat dinyatakan pada diagram persentase skor rata-rata tes awal, tes akhir, dan N-Gain kemampuan memecahkan masalah sosial pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada gambar 1.
N-Gain Kelompok Kontrol dan Eksperimen
Axis Title
15 10 5 0 K.kontrol K.Eksperimen
Pretest 4,46
posttest 6,64
N-Gain 0,13
4,4
14,44
0,64
Gambar 1. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Kemampuan Pemecahan Masalah Sosial untuk Kedua Kelompok Berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa diperoleh skor rata-rata tes awal siswakelas kontrol sebesar 4,46 atau 22,30% dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 4,40 atau 22,00 % dari skor ideal 20. Sedangkan rata-rata tes akhir kelas kontrolsebesar 6,64 atau 33,20% dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 14,44 atau 72,20 % dari skor ideal 20. Dari perbandingan data tersebut dapat dilihat bahwa skor rata-rata kelas kontrol lebih kecil dari pada kelas eksperimen. Skor rata-rata gain yang dinormalisasikan (N-Gain) kemampuan memecahkan masalah sosial siswa pada kelas kontor sebesar 0,13 dengan kategori rendah dan kelompok eksperimen 0,64 dengan kategori sedang. Pengujian normalitas data dengan KolmogorovSmirnov, dan pengujian homogenitas data, dari hasil pengujian kedua data normal dan homogen. Selanjutnya data dilakukan uji perbedaan (komparatif) dengan menggunakan Analisis Independent Sample T Test dengan taraf signifikan 0,05
Hasil analisis data menunjukkan bahwa siswa setelah mengikuti pembelajaran baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa pada kelas eksperimen melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol melalui pembelajaran konvensional. Penerapan model pembelajaran PBL pada kelas eksperimen, dapat diperoleh temuan-temuan kemunculan kemampuan pemecahan masalah siswa pada proses pembelajaran. Temuan-temuan tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Proses belajar mempelajari mengenal permasalahan sosial dari aspek transportasi, pergaulan, dan lingkungan. Setiap pertemuan, model pembelajaran PBL mengangkat permasalahan atau isuisu yang berkembang pada masyarakat setempat. Permasalahan tersebut dekat dan nyata bagi siswa, yang dikemas dalam LKS. Aktivitas pembelajaran yang dapat
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 9
merangsang kemampuan memecahkan masalah sosial siswa berlangsung melalui tiga hal, pertama pada tahapan eksplorasi pengetahuan siswa, kedua kolaborasi pada kelompok, dan ketiga presentasi diskusi kelas pertanggung jawaban hasil diskusi. Melalui aktivitas pembelajaran siswa menganalisis isu dan permasalahan yang diangkat dalam pembelajaran sehingga dapat merangsang kemampuan pemecahan masalah sosial siswa. Langkah pertama pada pembelajaran, yaitu guru mengorientasikan masalah, selanjutnya siswa di tugaskan untuk mengobservasi permasalahan yan terkait dengan alat transportasi, sebelumnya guru menjelaskan bagaimana keadaan lingkungan yang nyaman, bagaimana berkendaraan yang baik dan apa saja manfaat berkendaraan. Selanjutnya siswa diminta untuk mengamati lingkungan sekolah yang berdekatan dengan persimpangan jalan raya, kegaitan kendaraan yang ada di sekitar siswa. siswa setelah mengikuti pembelajaran baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa pada kelas eksperimen melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol melalui pembelajaran konvensional. Selanjutnya guru menyajikan permasalahan melalui LKS yang harus dipecahkan siswa melalui aktivitas kerja kelompok. Langkah penyelesaian masalah yang harus ditempuh siswa ada LKS melalui empat tahap pertama mengenal adanya masalah; kedua mempertimbangkan pendekatanpendekatan untuk pemecahannya; ketiga memilih dan menerapkan pendekatanpendekatan pemecahan masalah; dan keempat mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan amatan peneliti terjadi dialog dalam kelompok dan adu argumen untuk menjawab pertanyaan
sesuai dengan tahapan pemecahan masalah sosial, dialog yang terjadi pada kelompok telah memunculkan kemampuan berpikir siswa, bahkan siswa telah mampu memecahkan permasalahan dari LKS yang ada, melalui diskusi, silang pendapat dan kolaborasi di dalam kelompok memunculkan argumentasi dan ide-ide baru, di sinilah peranan guru untuk memfasilitasi dan mengarahkan siswa yang tidak paham dengan cara-cara mengerjakan LKS tersebut. Siswa telah mampu mengenal adanya masalah, mampu memberikan solusi untuk memecahkan masalah, kedua tahapan ini lebih banyak muncul dari kelompok, di bandingkan dengan tahapan memberikan pertimbangan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah dan tahapan memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan dasar pemecahan masalah pada siswa dikarenakan siswa selama ini belum terbiasa dengan pembelajaran berbasis masalah. Selanjutnya kemunculan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa pada saat presentasi hasil diskusi kelompok ke depan kelas, setiap kelompok melaporkan jawaban diskusi mereka dari LKS yang telah dikerjakan. Dari kegiatan diskusi dan presentasi kelas yang telah dilakukan, siswa menganalisis dan berargumentasi sehingga memunculkan pemikiran dan pemecahan masalah yang variatif dari masing-masing kelompok, jika ada kesalahan pemahaman dari siswa maka di sinilah peranan guru meluruskan jawaban tersebut dan memberikan pemahaman yang benar, hal ini dikenal dengan pelurusan konsep. Peranan guru untuk merangsang siswa berpikir sangat diperlukan, di mana guru perlu memberikan motivasi dan penghargaan, sehingga siswa tidak takut salah, semua pendapat siswa merasa dihargai di dalam kelas, dengan demikian siswa berani memberikan argumentasi dan mempertahankan pendapatnya, dan siswa
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 10
dapat menerima pendapat yang lebih benar sehingga dalam proses pembelajaran siswa aktif dan berpartisipasi setiap langkahlangkah pembelajaran yang berlangsung. Guru tidak menjadi satu-satunya sumber belajar, namun, sumber belajar itu berada pada setiap pengalaman siswa, lingkungan siswa dan guru menjadi fasilitator serta mediator. Dengan demikian isu dan permasalahan yang diangkat pada pembelajaran, sebagai wujud pengalaman nyata siswa berkenaan dengan permasalahan sosial siswa sehari-hari yang di bahas dalam pembelajaran. Berdasarkan temuan di lapangan dapat diketahui bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah sosial siswa. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah sosial siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Peningkatan yang terjadi di kelas eksperimen lebih baik dikarenakan model pembelajaran berbasis masalah menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah, sehingga siswa akan mempelajari bagaimana memecahkan masalah dan siswa bisa menggali pengetahuan mereka sendiri secara mandiri dalam meningkatkan penguasaan konsep IPS mereka. Hal ini sesuai dengan pandangan Lang & Evans (2006) yang menyatakan bahwa: Through PBL, traditional teacher and student roles change. Student assume more responsibility and so are better motivated with more feelings and more accomplishment, setting the pattern for them to become successful lifelong learners” they become “better practitioners of their proffession” (MCLI). Learning become relevant and authentic, occurs in ways similar to how it will be used in the future, and high order thinking is promoted. (Melalui pembelajaran berbasis masalah peran tradisional guru dan siswa mengalami perubahan. Siswa menjadi menjadi lebih bertanggungjawab dan lebih
termotivasi dengan perasaan yang lebih baik dan lebih berprestasi, membentuk pola bagi mereka untuk menjadi pebelajar yang sukses selamanya, menjadi praktisi yang lebih baik bagi profesi mereka. Pembelajaran menjadi relevan dan autentik, pembelajaran yang bermanfaat bagi masa depan mereka kelak, dan melalui PBM dipromosikan cara berpikir tingkat tinggi). Selanjutnya Ibrahim dan Nur (Trianto, 2009:96) juga menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyakbanyaknya kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang tua dengan melibatkan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri. Selain itu untuk melengkapi pernyataan di atas, Sudjana (Trianto, 2009:96) juga menyatakan bahwa manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya. Sanjaya (2006:220) juga menyatakan bahwa di antara kelebihan pembelajaran berbasis masalah adalah pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya, dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa, dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 11
baru, dan pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 5. PENUTUP Simpulan Berdasarkan pada hasil penelitian tentang dampak pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan penguasaan konsep IPS dan kemampuan memecahkan masalah sosial siswa sekolah dasar, maka diperoleh simpulan sebagai berikut: a. Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru melalui diskusi kelompok kecil melalui tahap orientasi siswa kepada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya pemecahan masalah, dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. b. Hasil uji beda terhadap skor rata-rata pretest siswa kelas kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam kemampuan memecahkan masalah sosial antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional pada pengukuran sebelum dilaksanakan pembelajaran (pre test). c. Hasil uji beda terhadap skor rata-rata posttest siswa kelas kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam kemampuan memecahkan masalah sosial antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dan yang belajar dengan model pembelajaran konvensional pada pengukuran setelah dilaksanakan pembelajaran (posttest).
d. Hasil uji beda terhadap skor rata-rata NGain siswa kelas kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam peningkatan (N-Gain) kemampuan memecahkan masalah sosial antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dan yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Rekomendasi Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Diharapkan kepada guru untuk menjadikan model pembelajaran berbasis masalah ini sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di sekolah dasar dan berusaha untuk menerapkannya pada masa-masa yang akan datang, baik pada mata pelajaran IPS maupun pada mata pelajaran lainnya. Tapi, tentu saja sebelumnya guru perlu memperhatikan dan mempertimbangkan karakteristik materi yang harus dikuasai oleh siswa tersebut. 2. Diharapkan kepada kepala sekolah untuk selalu memotivasi para guru di sekolah yang ia pimpin untuk menjadikan model pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di sekolah dasar pada umumnya dan pada mata pelajaran IPS pada khususnya.
6. REFERENSI Foshay, R. dan Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching problem Online . Tersedia: Solving. (www.Plato.com) [20 Desember 2010]. Hadojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press. Jhonson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning. Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 12
Bermakna. Bandung: Mizan Learning Center (MLC). Lang, Helmutt. R & Evans, David. N. (2006). Models, Strategies, and Methodes for Effective Teaching. Boston: Pearson Education, Inc. McMillan, J. H dan Schumacher, S. (2001). Research in Education. New York: Longman. Nurhadi (2003). Kontekstual dan penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press. Ricard. F. (2004). Semua Ada Solusinya: Keterampilan Berpikir yang Anda Butuhkan untuk Memecahkan Aneka Masalah secara Kreatif. Bandung: PT.Mizan Pustaka. Richard, P. dan Elder Linda, E. (2005). A Guide for Educator to Critical Thinking Competence Standards: Fondation for Critical Thinking. Sagala, S. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Santrock. W, J. (2007). Perkembangan Anak.Edisi ke Sebelas. Jakarta: Erlangga. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga. Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan: Jakarta Kencana Prenada Media Group. ______________(2009). Kurikulum dan Pembelajaran (Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: Kencana Prenada Media Group. Sapriya. (2008). Pendidikan IPS. Laboratorium PKn: Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. (2009). Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Somantri, N. M. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Kerjasama PPs UPI dengan PT. Rosda Karya. Sugiyono. (2010). Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Takiddin. (2010). Dampak Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Peningkatan Penguasaan Konsep IPS dan Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial Siswa. Tesis SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik (konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tan, Oon-Seng. (2003). Problem Based Learning Innovation: Using Problems to Power Learning in the 21st Century. Thomson.
JUPENDAS, ISSN: 2355-3650, Vol. 01, No. 01, Maret 2014 | 13