ISSN. 2443-1435 PENERAPAN METODE DISCOVERY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA Eka Rosdianwinata (
[email protected]) Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara kemampuan pemecahan matematika dengan kecerdasan emosional pada siswa dijenjang SMP. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional. Pengambilannya sampel untuk penelitian dilakukan secara purposive sampling adapun siswanya adalah siswa kelas VIII SMP disalah satu sekolah yang berada di kabupaten Purwakarta pada tahun pelajaran 2013/2014. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dikuantitatifkan dimana metode kuantitatif sendiri digunakan untuk membuktikan hipotesis dengan membandingkan dua kelas dengan perlakuan yang berbeda dengan desain penelitian quasi eksperiment. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery sama dengan pada siswa yang pembelajarannya konvensional. Hasil yang didapatkan dari Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang sudah melakukan pembelajaran dengan metode discovery tidak mengalami peningkatan kualitas yang baik. Meskipun didapatkan skor yang dicapai siswa pada awal pembelajaran sampai pada akhir pembelajaran menjadi lebih baik. Kata Kunci:
Metode Pembelajaran matematika
discovery,
kemampuan
pemecahan
ABSTRACT This study aims to examine whether there is relationship between the ability of mathematical problem solving with emotional intelligence at students of Junior High School.The hypothesis of the study is that the students‟ ability of mathematical problem solving which using discovery strategy in learning is better than students‟ ability which using conventional learning strategy. The sample obtaining of the study is conducted by purposive sampling at the second year students of one of SMP in Purwakarta regency in academic years 2013/2014. The method used in this study is a qualitative study that quantified where quantitative method it self is used top rove the hypothesis by comparing the two classes with different treatments by using quasi experiment research design. The results hows that the mathematical problem solving ability of students who learning using the discovery method is the same as the conventional learning students.The results obtained from the mathematical problem solving ability of students who have completed the learning with discovery method, those quality does not in crease well. Although the obtained scores a chieved by students at the beginning of learning until the end of the lesson for the better. Key Words : discovery learning method, mathematical problem solving ability.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 1
ISSN. 2443-1435 Pendahuluan Dunia pendidikan saat ini sedang dihadapkan pada dua masalah besar, yaitu mutu pendidikan yang rendah dan sistem pembelajaran disekolah yang kurang memadai. Masalah pendidikan pun menjadi topik utama yang sedang diperbincangkan pada saat ini, baik dikalangan masyarakat, guru, orang tua, bahkan dilingkungan pakar pendidikan. Hal ini menjadi suatu yang sangat wajar karena setiap orang berkepentingan dan menginginkan pendidikan yang terbaik bagi semua lapisan masyarakat dalam hal ini adalah siswa. Terlebih dalam masalah pembelajaran disekolah selalu menjadi sorotan dikarenakan pada saat ini masih rendahnya prestasi belajar siswa terutama pada bidang matematika. Sedangkan seperti yang sudah diketahui bahwa standar kelulusan untuk dapat berhasil dalam bangku sekolah salah satunya adalah lulus nilai mata pelajaran matematika. Sedangkan pada kenyataanya nilai mata pelajaran khususnya matematika yang sebagian besar siswa dapatkan masih dibawah standar kelulusan yang sudah pemerintah tetapkan yakni dengan skor 5,5. Sedangkan pada tahun ajaran 2007/2008 menunjukan bahwa siswa paling banyak tidak lulus diakibatkan nilai matematika yang tidak tuntas yakni dengan skor 5,25 sebesar 15,29 %, sedangkan yang lainnya diakibatkan mata pelajaran bahasa Indonesia sebesar 13,84%, bahasa Inggris 12,51% dan IPA sebesar 9,70% (Hasratudin, 2009). pengetahuan-pengetahuan lain yang dipelajari disekolah. Mengingat bahwa matematika merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan, sehingga matematika itu sendiri sudah diperkenalkan sejak tingkat dasar sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Namun dengan demikian
matematika bukan hanya memberikan kemampuan dalam perhitunganperhitungan kuantitatif saja seperti yang sering kali kita sangkakan, tetapi m atematika juga berpengaruh terhadap penataan cara berfikir terutama dalam pembentukan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, melakukan evaluasi hingga kemampuan memecahkan masalah serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengingat hal tersebut diharapkan dalam proses pembelajaran itu sendiri dapat menyenangkan serta diharapkan terjadi komunikasi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa itu sendiri sehingga akan menghasilkan komunikasi dua arah, maka dalam belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang dan proses pembelajaranpun akan tercapai. Namun fakta lain menunjukkan bahwa praktek dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah yang berlangsung selama ini dan hampir di semua jenjang pendidikan pada umumnya berlangsung satu arah, yaitu guru sebagai pusat pembelajaran (teacher centered). Guru lebih aktif memberikan informasi atau menjelaskan materi yang diikuti dengan penulisan rumus dan pemberian contoh soal yang dikerjakan bersama siswa dengan dominasi guru, kemudian diakhiri dengan pemberian latihan. Sehingga dalam hal ini diperlukan metode agar siswa belajar secara aktif dan guru hanya mengarahkan atau membimbing siswa dalam penemuannya, agar siswa tersebut merasa dihargai dan pada akhirnya kan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Demikian pula tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran matematika oleh National Council Of Teacher Of
Volume 1, Nomor 1, April 2015 2
ISSN. 2443-1435 Mathematics (NCTM) dalam Wahyudin (2008), yang menetapkan standarstandar kemampuan matematis seperti pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi yang seharusnya dimiliki oleh siswa. Untuk melakukan proses memecahkan permasalahan itu sendiri tentunya diperlukan kemampuan pemecahan yang cukup. Menurut Johnson dan Rising (Rokhayati, 2010) matematika adalah pola brefikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis. Matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat, representasinya dengan symbol, lebih berupa bahasa symbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi. Para ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Persoalan tentang bagaimana mengajarkan pemecahan masalah yang ingin dipecahkan, saran dan bentuk program yang disiapkan untuk mengajarkannya, serta variable-variabel pembawaan peserta didik. NTCM (Widjajanti, 2011) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar itu. Oleh karenanya, kemampuan pemecahan masalah menjadi focus pembelajaran matematika disemua jejang pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah didalam matematika, para siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan serta kepercayaan diri didalam situasisituasi yang tidak biasa, sebagaimana
situasi yang akan mereka hadapi ketika sudah memasuki kehidupan dimasyarakat. Adapun indicator pemecahan masalah matematika yang diambil peneliti sesuai dengan kebutuhan penelitian sebagai berikut: 1. Memahami masalah (understanding the problem) 2. Merencanakan masalah (devising a plan) 3. Menyelesaikan masalah (carrying out the plan) 4. Memeriksa kembali hasil (looking back) Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika sangatlah diperlukan oleh masyarakat oleh karenanya guru matematika khususnya berkewajiban membekali siswa dengan kemampuan tersebut sebagai dasar untuk menjalani masa depannya. Rumusan Masalah Sebagairnana yang tersirat dalam judul dan latar belakang penelitian ini, perlu diadakan suatu ikhtiar untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Sehingga yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan metode discovery lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional? Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan yang diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika melalui metode Discovery.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 3
ISSN. 2443-1435 Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan metode discovery dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dikuantitatifkan, dimana penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Metode kuantitatif sendiri digunakan untuk membuktikan hipotesis dengan membandingkan dua kelas dengan perlakuan yang berbeda dengan desain penelitian quasi eksperiment atau eksperimen semu yang terdiri atas dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen yang siswanya menggunakan metode discovery dan kelas kontrol yang siswanya menggunakan metode konvensional. Upaya mengetahui adanya perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika dan kecerdasan emosional siswa terhadap pembelajaran matematika dilakukan penelitian dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2001) berikut. Kelas eksperimen: O X O ---------------------Kelas kontrol : O O
Metode kualitatif berperan menjawab pertanyaan peneliti yang berasal dari hasil pengamatan, wawancara, dan observasi yang telah dilakukan dan dianalisis secara kualitatif dengan mendeskripsikan temuantemuan yang didapatkan selama penelitian dilapangan. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 2 Plered. Pengambilannya sampel untuk penelitian dilakukan secara purposive sampling. Hasil Penelitian Hasil Penelitian diperoleh melalui tes kemampuan pemecahan masalah matematika diawal dan diakhir pembelajaran, serta pengisian angket kecerdasan emosional siswa. Data tersebut didapat dari 55 siswa, terdiri dari 27 siswa kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran discovery dan 28 siswa kelas control yang menggunakan metode pembelajaran secara konvensional. Data kemampuan pemecahan masalah matematika diperoleh dari pretest dan post-test. Dari skor pre-test dan post-test selanjutnya digitung gain ternormalisasi (N-Gain) kemampuan pemecahan masalah menggunakan strategi pembelajaran discovery dan pembelajaran konvensional. Berikut merupakan deskripsi pre-test, pos-test dan N-gain pada kelas eksperimen dan kelas control.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 4
ISSN. 2443-1435 Tabel Statistic Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Eksperimen
Data Statistik
Kontrol
Pre-Test
Postes
N_Gain
Rata-Rata
17.407
21.222
0.35
Sd
2.9123
2.3260
0.15
Pre-
Postes
N_Gain
15.214
18.679
0.19
3.6246
3.4432
0.44
Test
Skor Maksimum Ideal = 28 Berdasarkan tabel diatas, maka untuk data pre-test diperoleh rataan pre-test baik pada kelas eksperimen maupun kelas control mempunyai persamaan yakni berkualitas rendah. Dimana siswa kelas eksperimen mendapatkan rataan sebesar 17.407 dan siswa kelas control mendapatkan nilai rataan sebesar 15.214. Dalam hal ini kedua kelas relative mempunyai kualitas rendah. Data post-test diperoleh nilai rataan pada kelas eksperimen dan pada kelas kontrol juga mempunyai kesamaan yakni berkualitas tinggi. Dimana siswa kelas eksperimen mendapatkan rataan sebesar 21.222 dan siswa kelas control mendapatkan nilai rataan sebesar 18.679. Dalam hal ini kedua kelas relative mempunyai kualitas tinggi. Menunjukan bahwa post-test kedua kelas relative berbeda dengan kualitas yang juga menunjukan perbedaan dimana kelas eksperimen menunjukan peningkatan yang cukup besar bila dibandingkan dengan peningkatan pada kelas control. Meskipun perbedaan dari kedua kelas tersebut tidak terlalu besar, namun jika dilihat dari segi peningkatan menunjukan peningkatan yang besar.
Analisis skor N-gain kemampuan pemecahan masalah matematika menggunakan data gain ternormalisasi, data gain ternormalisasi juga menunjukan klasifikasi peningkatan skor siswa yang dibandingkan dengan skor maksimal idealnya. Rataan N-gain menggambarkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapatkan pembelajaran discovery maupun yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Tabel diatas dapat pula dikatakan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran discovery memiliki rataan skor N-gain lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional. Klasifikasi skor N-gain kelas eksperimen termasuk kategori sedang, sementara klasifikasi skor N-gain untuk kelas control termasuk kategori rendah. Hal diatas menunjukan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang mendapatkan strategi pembelajaran discovery dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional lebih tinggi. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa
Volume 1, Nomor 1, April 2015 5
ISSN. 2443-1435 pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran discovery lebih memberikan kontribusi yang baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang mendapatkan pembelajaran discovery dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional perlu dilakukan uji statistic lanjutan. Uji statistic yang diperlukan untuk membuktikan hipotesis pertama yaitu yang menyatakan bahwa “kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional”. Hasil uji statistic yang telah dilakukan maka didapat nilai Sig. (2tailed) yaitu 0.312 yang berarti bahwa lebih dari . Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima, artinya Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery sama dengan pada siswa yang pembelajarannya konvensional. Untuk membuktikan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya konvensional ternyata tidak terbukti karena setelah diolah hasilnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan
metode discovery sama dengan pada siswa yang pembelajarannya konvensional. Hal ini berarti bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional tidak terdapat perbedaan yang signifkan. Simpulan Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode discovery peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan siswa untuk membentuk pengetahuan matematika sehingga diperoleh pengetahuan yang diddaptkan secara maksimal. Oleh karena itu guru tidak mendominasi pembelajaran dan tidak senantiasa menjawab dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa. Guru bukan memberikan jawaban akhir, namun dalam hal ini guru berdiskusi dengan siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kembali mengenai pertanyaan siswa agar ketika diberikan pertanyaan siswaw berfikir lebih lanjut sehingga penguasaan materi atau konsep menjadi semakin kuat. Setelah penelitian dilakukan dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya konvensional ternyata tidak terbukti karena setelah diolah hasilnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery sama dengan pada
Volume 1, Nomor 1, April 2015 6
ISSN. 2443-1435 siswa yang pembelajarannya konvensional. Hal ini berarti bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional tidak terdapat perbedaan yang signifkan. Metode discovery dalam pembelajaran matematika direspon dengan baik, oleh karena itu metode pembelajaran dengan menggunakan metode discovery dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam merubah pandangan yang berorientasi berpusat pada guru mendai berpusat pada siswa meskipun berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat perbedaan yang signifikan namun masih bisa digunakan sebagai alternative pembelajaran mengingat dalam prosesnya siswa antusias dalam mengikuti proses pembelajaran dan tidak lupa bahwa dalam penerapan metode discovery dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan interaksi antar siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungan sekitar serta mampu memberikan keyakinan kepada siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Daftar Pustaka Afriyani, Dian. (2008). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Kecenderungan Pemecahan Masalah Pada Mahasiswa. Skripsi pada
Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hasratuddin. (2009). Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Laporan Penelitian Hibah Mahasiswa Program Doktor. UPI Bandung. Sahrudin. Asep (2013). Implemetasi Strategi Pembelajaran Discovery Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Motivasi Belajar Siswa SMA. Thesis pada MPM Pascasarjan Unpas. Unpas Bandung : Tidak Diterbitkan. Sugiyono. (2013). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung:UPI. Widjajanti, Djamliah Bondan. (2011). Kemampuan pemecahan masalaha matematis mahasiswa calon guru matematika: Apa dan bagaimana mengembangkannya. Seminar nasional matematika dan pendidikan matematika FMIPA UNY pada 5 Desember 2004.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 7
ISSN. 2443-1435 PENGARUH PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA Ika Meika Asep Sujana
[email protected] [email protected] Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian mix method dengan strategi embedded konkuren dengan tujuan penelitian untuk mengetahui: (1) Bagaimana kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor; (2) Apakah kemampuan berpikir kreatif siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul dan asor); Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMAN CMBBS Banten, dengan sampel kelas XI IPA sebanyak dua kelas. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes matematika berbentuk pilihan ganda beralasan dan uraian, lembar observasi kegiatan siswa dan guru juga wawancara tentang pembelajaran. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari hasil pretes, postes dan gain ternormalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kemampuan berpikir kreatif siswa unggul dan siswa asor sebelum pembelajaran tidak berbeda; (2) kemampuan berpikir kreatif siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul). ABSTRACT This research is mixed method with concurrent embedded strategy that aims to find out: (1) How the ability of mathematical creative thinking of superior students and asor students ; (2) Iscreative thinking ability of students who learn by learning cognitive conflict better than the conventional learning based on students' pre requisites ability (superior andasor). The population of the research is SMAN CMBBS students, with two classses of class XI IPA as sample. The instruments used in this research are multiple choice mathematics test reasoned and description, teachers and students activity observation sheets, and interview about learning. The data are analyzed quantitatively and qualitatively that obtained from pre-test and post-test results and gain normalized. The results show that: (1) The creative thinking ability of superior students and asor students before learning is same ; (2) The creative thinking ability of students who learn by learning cognitive conflict is better than the conventional learning based on students' pre requisites ability(superior) Key words: Mix Method, Cognitive Conflict, Mathematical Creative Thinking.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 8
ISSN. 2443-1435 Pendahuluan Pembelajaran matematika selama ini masih kurang melibatkan siswa dalam pembentukan pengetahuannya sendiri, siswa lebih banyak mendengarkan dan menerima pengetahuan yang disampaikan guru. Siswa sangat tergantung pada cara guru dalam mengajar. Siswa pasif sedangkan guru aktif.Sebagian besar aktifitas belajar matematika adalah bersifat berlatih menyelesaiakan soalsoal. Studi Wahyudin (1999) yang menemukan bahwa sebagian besar peserta didik tampak mengikuti dengan baik setiap penjelasan atau informasi dari guru, siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan kepada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dan siswa hanya menerima saja yang disampaikan oleh guru. Padahal yang diinginkan adalah manusia Indonesia yang mandiri, mampu untuk memunculkan gagasan dan ide yang kreatif serta mau dan mampu menghadapi tantangan atau permasalahan yang dihadapinya. Akan tetapi, tuntutan dalam dunia pendidikan sekarang ini sudah banyak berubah. Guru bukan lagi sosok yang harus mengajar dalam arti memindahkan (transfer) pengetahuan yang dimilikinya kedalam pikiran siswa, namun harus mendorong siswa untuk mencari sendiri pengetahuannya. Hal ini didasarkan pada teori belajar konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, sehingga tidak mungkin mentransfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997) dan
siswalah yang harus aktif dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran konflik kognitif, siswa dituntut untuk mengungkapkan konsepsinya mengenai materi yang diajarkan, sehingga siswa termotivasi untuk membuktikan konsepsinya.Kegiatan seperti ini menuntut siswa mencari sendiri pengetahuannya.Dengan demikian siswa menjadi ingat dan yakin pada konsep ilmiah yang ditemuinya. Secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan cara berpikir kreatif dalam pembelajaran. Konsepsi alternatif adalah konsep yang dibentuk siswa berdasarkan pengalaman yang dialaminya atau pengetahuan yang diperolehnya sebelum melalui proses pembelajaran. Seorang guru harus menghargai konsepsi alternatif siswa baik konsepsi tersebut sesuai ataupun tidak sesuai dengan konsep ilmiah.Konsep ilmiah adalah konsep yang telah diuji oleh ilmuwan dan terbkukti kebenarannya.Tugas guru dalam pembelajaran salah satunya adalah mengubah atau memperbaiki konsepsi alternatif siswa yang keliru dengan konsep ilmiah matematika. Kenyataan di lapangan, pembelajaran masih di dominasi oleh keterampilan manipulatif dan sistem evaluasinya juga masih menekankan pada keterampilan berhitung sehingga siswa kurang menguasai konsepkonsep matematika dan mengalami kesulitan dalam penyelesaian soal-soal yang bersifat konseptual. Penguasaan konsep yang lemah inilah yang akan berdampak pada kurangnya berpikir kreatif siswa. Ini sesuai dengan penelitian Tall dan Bakar (2000) bahwa siswa dan mahasiswa yang telah mempelajari konsep fungsi kurang
Volume 1, Nomor 1, April 2015 9
ISSN. 2443-1435 kritis dan kreatif dalam menelaah masalah-masalah konjektur. Selanjutnya berdasarkan pengalaman penulis dalam mengajar matematika di kelas XI pada siswa SMAN CMBBS dari tahun 2007 kebanyakan siswa yang nilainya di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) adalah siswasiswi yang pemahaman konsepnya bagus dan mereka mampu mengkoneksikan materi-materi yang telah di ajarkan secara baik. Akan tetapi tingkat kreatif siswa masih belum terukur dengan baik, karena masing-masig siswa yang telah mencapai KKM hanya memberikan jawaban sesuai dengan contoh yang dijelaskan guru atau sesuai dengan penjelasan yang ada dalam buku panduan saja. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pembelajaran Konflik Kognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMA". Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: (1) Untuk memperoleh deskripsi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor, (2) Untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul dan asor). Tinjauan Pustaka Konflik Kognitif Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran konflik kognitif, dalam filisofi ini pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui
asimilasi dan akomodasi dari pengetahuan awal yang dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya, dalam pembelajaran dengan konflik kognitif ini siswa didorong untuk mampu mengkontruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata dan interaksi dengan lingkungannya, Ibrahim (2011:42) menjelaskan bahwa berdasarkan pandangan ahli kontruktivisme seperti piaget dan vygotsky tentang pembelajaran, dapat diperoleh hal-hal berikut ini: (1) Siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan pemahaman mereka, atau dengan kata lain guru tidak dapat mengirimkan ide kepada siswa yang pasif; (2) Pengetahuan dan pemahaman adalah unik bagi setiap siswa; (3) Kegiatan berfikir semenjak awal pembelajaran adalah unsur yang paling penting untuk belajar secara efektif; (4) Lingkungan sosial budaya dari sebuah komunitas belajar matematika berinteraksi dengan ide matematika awal siswa dan sekaligus meningkatkan perkembangan ide matematika tersebut; (5) Model-model untuk ide-ide matematika membantu siswa mengungkap dan mendiskusikan ide-ide matematika; (6) Pengajaran yang efektif merupakan kegiatan yang terpusat pada siswa. Dalam proses pembelajaran, siswa sering mengalami kebimbangan dalam menentukan solusi atau alasan terhadap suatu pertanyaan yang dihadapi apakah solusi yang ia berikan benar atau salah. Dalam pemberian solusi atau alasan terhadap suatu pertanyaan ini tentu dipengaruhi oleh kemampuan kognitif yang dimiliki siswa. Jika siswa tidak mampu menyesuaikan struktur kognitifnya dalam situasi konflik yang
Volume 1, Nomor 1, April 2015 10
ISSN. 2443-1435 dihadapinya, maka siswa tersebut dikatakan berada dalam situasi konflik kognitif. Konflik kognitif ini disadari atau tidak sering terjadi dalam proses belajar mengajar, hal ini karena kemampuan kognitif dari siswa juga materi yang sedang diajarkan. Konflik kognitif terjadi dalam proses belajar yaitu ketika terjadi ketidakseimbangan antara informasi atau pengetahuan yang telah dimilki siswa dengan informasi yang dihadapi dalam suasana belajar. Sebagai contoh ketika seorang siswa belum bisa memastikan suatu kurva dengan persamaan , tanpa menggambarkan kurva tersebut untuk apakah kurva selalu naik, selalu turun, turun kemudian naik atau naik kemudian turun?. Ketika siswa tertegun dan bingung untuk menjawabnya maka dapat kita katakan siswa tersebut mengalami konflik kognitif. Dalam situasi konflik kognisi, siswa akan memanfaatkan kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari justifikasi, konfirmasi atau verifikasi terhadap pendapatnya. Artinya kemampuan kognitifnya memperoleh kesempatan untuk diberdayakan, disegarkan, atau dimantapkan, apalagi jika siswa tersebut masih terus berupaya. Misalnya siswa akan memanfaatkan daya ingatnya, pemahamannya akan konsep-konsep matematika ataupun pengalamannya untuk membuat suatu keputusan yang tepat. Dalam situasi konflik kognitif seperti ini, siswa dapat memperoleh kejelasan dari lingkungannya, antara lain dari guru ataupun siswa yang lebih pandai (scaffolding). Dengan kata lain, konflik kognitif yang ada pada diri seseorang
yang direspon secara tepat atau positif dapat menyegarkan dan memberdayakan kemampuan kognitif yang dimiliki siswa. Berpikir Kreatif Matematis Berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya (1) sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu masalah dari berbagai perspektif, (4) cenderung menatap dunia secara relatif dan kontekstual, bukannya secara universal atau absolut, (5) biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan. Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus: (1) bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2) tinjau ulang ide, (3) melakukan sesuatu karena dorongan internal dan bukan karena dorongan eksternal, (4) pola pikir divergen/ menyebar, (5) pola pikir lateral/imajinatif. (Suryabrata, 2012: 15). Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat dirumuskan pengertian berpikir kreatif adalah jika seseorang dapat berpikir luwes, lancar, original dan elaborasi untuk menyelesaikan suatu masalah matematika, yang sifatnya menghasilkan sesuatu ide baru
Volume 1, Nomor 1, April 2015 11
ISSN. 2443-1435 berdasarkan situasi yang diberikan, menemukan beberapa cara yang mungkin untuk menyelesaikan masalah matematika. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian mix-method.Mix-method adalah perpaduan antara metode kualitatif dan kuantitatif dimana peneliti melakukan perlakuan kepada subjek penelitian untuk selanjutnya ingin diketahui pengaruh perlakuan serta peneliti ingin mengetahui secara deskripsi dari perlakuan tersebut.Strategi penelitian mixmethod yang digunakan dalam penelitian ini merupakan startegi embedded konkuren. Mix-method dengan startegi embedded konkuren adalah mix-method yang menggunakan prosedur-prosedur dalam penelitiannya mempertemukan atau menyatukan data kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh analisis komprehensip dari masalah penelitian.
Dalam strategi ini, pengumpulan dua jenis data dalam satu waktu, kemudian menggabungkannya menjadi satu informasi dalam interpretasi hasil keseluruhan. (Creswell, 2010: 23). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMAN Cahaya Madani Banten Boarding School. Hasil Penelitian Hasil Pretes dan Psotes yang diukur dengan nilai Gain Untuk melihat penigkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Konflik Kognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional adalah dengan menghitung gain kedua kelompok dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi.Sebaran data skor gain kemampuan berpikir kreatif matematisberdasarkan prasyarat siswa (unggul dan asor) disajikan dalam Tabel1 berikut.
Tabel 1 Skor Gain KemampuanBerpikir Kreatif Matematis Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kemampuan awal siswa
̅ 𝑿
S
̅ 𝑿
S
Unggul
0,74
0,18
0,52
0,09
Asor
0,49
0,13
0,38
0,19
Total
0,61
0,20
0,44
0,17
Keterangan: Skor Maksimum Ideal (SMI) 100 Dari table 1terlihat bahwa ratarata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Untuk mengetahui apakah perbedaan skor rata-rata gain ternormalisasi siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol cukup signifikan atau tidak, maka data diuji dengan menggunakan uji Anova dua jalur. Sebelum dilakukan analisis uji anova, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data skor gain ternormalisasi.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 12
ISSN. 2443-1435
Tabel 2 Hasil Uji Homogenitas Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test of Homogeneity of Variance Levene Statistic
df1
df2
Sig.
.591
1
50
.445
.495
1
50
.485
.495
1
49.012
.485
.577
1
50
.451
Nilai Based on Mean _Gain_BK Based on Median Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean Berdasarkan hasil perhitungan uji homogenitas yang tersaji pada tabel 2 di atas, nilai signifikan = 0,445. Berarti Ho diterima, maka data skor gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang memiliki varians homogen. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data gain, ternyata kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata nilai gain kemampuan berpikir kreatif matematika siswa unggul dan siswa asor pada kelas ekperimen dan kelas kontrol, dihitung dengan ANOVA dua jalur. Dengan menggunakan SPSS 18.0 yaitu General Linear Mode (GLM)Univariate,
Volume 1, Nomor 1, April 2015 13
ISSN. 2443-1435 Tabel 3 Hasil Uji Anova Dua Jalur Skor Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Kelompok Unggul-Asor dan Model Pembelajaran Multiple Comparisons Gain_BK Tukey HSD (I) Prasyarat
(J) Prasyarat
95% Mean
Confidence Interval
Differen Std.
Lower
Upper
ce (I-J)
Error
Sig.
Bound
Bound
Unggul
Asor Eksp
.2477*
.06322
002
.0794
.4159
Eksp
Unggul Kontrol
.2220*
.06603
008
.0462
.3977
Asor Kontrol
.3539*
.06107
000
.1914
.5164
Unggul Eksp
-.2477*
.06322
002
-.4159
-.0794
Unggul Kontrol -.0257
.06603
980
-.2015
.1500
Asor Kontrol
.1062
.06107
315
-.0563
.2687
Unggul
Unggul Eksp
-.2220*
.06603
008
-.3977
-.0462
Kontrol
Asor Eksp
.0257
.06603
980
-.1500
.2015
Asor Kontrol
.1319
.06398
180
-.0383
.3022
Asor
Unggul Eksp
-.3539*
.06107
000
-.5164
-.1914
Kontrol
Asor Eksp
-.1062
.06107
315
-.2687
.0563
Unggul Kontrol -.1319
.06398
180
-.3022
.0383
Asor Eksp
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .026. *. The mean difference is significant at the .05 level. Dari tabel 3 di atas, nilai sig yang lebih besar dari 0,05 terjadi pada kelompok siswa asor eksperimen dengan kelompok siswa unggul dan siswa asor kelas kontrol juga pada siswa unggul dan siswa asor pada kelas kontrol. Selainnya nilai sig lebih kecil dari 0,05. Dengan kata lain pada setiap
kelompok prasyarat siswa terjadi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis, kecuali pada kelompok siswa asor eksperimen dengan kelompok siswa unggul dan siswa asor kelas kontrol. Dalam hal ini peningkatan pada kelas eksperimen lebih besar dari pada kelas kontrol.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 14
ISSN. 2443-1435 Pembahasan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Unggul dan Siswa Asor Berdasarkan analisis terhadap hasil rata-rata pretes kemampuan berpikir kreatif matematis pada kelas ekperimen dan kelas kontrol masingmasing adalah 20,27 dan 14,53. Perbedaan nilai kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa secara keseluruhan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan atau kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa secara keseluruhan baik siswa pada kelas ekperimen maupun siswa pada kelas kontrol relatif tidak sama. Adapun hasil analisis nilai ratarata pretes siswa unggul dengan siswa asor baik pada kelas ekperimen maupun pada kontrol terlihat adanya perbedaan, rata-rata nilai pretes siswa unggul eksperimen 23,38, siswa asor ekperimen 17,15. Pada kelas kontrol rata-rata nilai pretes siswa unggul 21,91 dan siswa asor 9,13. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa unggul tidak sama dengan siswa asor. Akan tetapi dari hasil analisis uji anova, perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada hasil pretes siswa unggul eksperimen dengan siswa asor kontrol, untuk kelompok awal siswa lainnya tidak berbeda signifikan. Dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa secara keseluruhan antara kelas ekperimen dan kelas kontrol berbeda. Sedangkan kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor tidak berbeda secara signifikan atau relatif berada pada kondisi awal yang sama kecuali pada siswa unggul
ekperimen dengan siswa asor kontrol berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada tingkat kreatif yang berbeda sebelum pembelajaran diberikan di kelas. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Konflik Kognitif Berdasarkan Kemampuan Prasyarat Siswa (Unggul dan Asor) Berdasarkan analisis data postes dan data gain, kemampuan berpikir kreatif matematis dengan uji anova dua jalur pada taraf signifikan 0,05 diperoleh hasil kemampuan berpikir kreatif matermatis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul dan asor) lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Baik dari hasil postes ataupun dari gain, kemampuan berpikir kreatif matematis pada kelompok siswa unggul kelas eksperimen berbeda signifikan dengan kelompok siswa lainnya (asor eksperimen, unggul kontrol dan asor kontrol), sedangkan pada kelompok siswa asor kelas eksperimen kemampuan atau peningkatannya tidak berbeda signifikan dengan kelompok siswa unggul dan siswa asor kelas kontrol. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa pembelajaran konflik kognitif yang diterapkan cukup berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis terutama pada kelompok siswa unggul.Sedangkan pada kelompok siswa asor eksperimen terlihat dari jawaban PG beralasan, dimana mereka menjawab lebih terinci dibandingkan dengan siswa kelas kontrol (unggul
Volume 1, Nomor 1, April 2015 15
ISSN. 2443-1435 dan asor), ini memberikan gambaran dari pembelajaran konflik kognitif cukup pengaruh positif bagi kelompok siwa asor. Hasil temuan lain selama proses pembelajaran bahwa siswa dapat memperluas wawasannya pada saat diskusi berlangsung; timbulnya konflik kognitif sehingga mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama temannya dan guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-temannya di kelas. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, temuan dan pembahsan tentang kemampuan pemahaman konsep dan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor sebelum pembelajaran dimulai pada kelas ekperimen dan kelas kontrol tidak berbeda signifikan. Setelah pembelajaran diterapkan yaitu pembelajaran konflik kognitif pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor. Dimana nilai siswa pada kelas dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran konvensional. (2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar
dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional diukur dari kemampuan awal siswa (untuk kelompok unggul) Daftar Pustaka Creswell, John W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Fisher, R. (1995). Thinking Children to Think, Cheltenham, United Kingdom: Stanley Thornes Ltd. Ibrahim.(2011) peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional melalui pembelajaran bermasismasalah pada siswa sekolah menengah atas. Disertsai UPI: Tidak diterbitkan. Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi pada PPS UPI: Tidak diterbitkan. Kwon J, dan Lee,G. What do we know about students’ cognitive conflict in science classroom: a theoretical model of cognitive conflict process. Diakses dari http:/www.ed.psu.edu/C1/Jour nals/2001. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 16
ISSN. 2443-1435
Tall, D dan Bakar, M (2000).Student's Mental Prototype for Function and Graph. Tersedia: http://www.warwick.ac.uk/ Wahyudin.(1991). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran
Matematika.Disertasi. Program Pasca Sarjana UPI. Bandung: tidak dipublikasikan. Wahyudin, (2012).Filsafat dan ModelModel pembelajaran matematika. Bandung: Mandiri.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 17
ISSN. 2443-1435 PEMBELAJARAN KOLABORATIF MELALUI STRATEGI WRITING FROM A PROMPT DAN WRITING IN PERFORMANCE TASKS DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS MATEMATIS SISWA SMP Ratu Mauladaniyati
[email protected] Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar ABSTRAK Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk dipelajari oleh siswa. Tetapi, pada kenyataannya masih banyak siswa yang hasil belajar matematikanya rendah. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kemampuan mengkomunikasikan ide-ide/ gagasan secara tertulis pada saat diberikan soal-soal uraian yang jawabannya harus dijelaskan secara sistematis. Hal itu disebabkan oleh kemampuan menulis matematis siswa yang merupakan bagian dari aspek komunikasi belum dikembangkan secara optimal. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa adalah dengan pembelajaran kolaboratif melalui strategi Writing from A Prompt (WfAP)dan strategi Writing in Performance Tasks (WiPT). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dan strategi WiPT terhadap peningkatan kemampuan menulis matematis siswa SMP.Menurut metodenya, penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji ANOVA satu jalur dan uji Scheffe. Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran konvensional.Kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dan pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT lebih baik dari pembelajaran konvensional. Kata Kunci : Pembelajaran Kolaboratif, Strategi Writing from A Prompt, Strategi Writing in Performance Tasks, Kemampuan Menulis Matematis. ABSTRACT Mathematics is very important lesson to learn by students. But, in the reality most of the students are get low result in mathematics. One of the problem is the weakness of the skill to communicate the ideas systematically. It caused by the mathematical writing skill students and it is part of communication aspect that has not developed yet optimally. One of teaching alternative it can be used to increase the mathematical writing skill students is teaching collaborative through Writing from A Prompt (WfAP) strategy and Writing in Performance Tasks (WiPT) strategy. The purpose of this research is to know the influence of collaborative teaching through WfAP strategy and through WiPT strategy to the increase of mathematical writing skill at junior high school students. This method use experiment research and the data analysis of this research use test one way ANOVA and test Scheffe. Based on the data analysis it can be conclude that there are the differences between the mathematical writing skill students who get collaborative teaching through WfAPstrategy, collaborative teaching through WiPTstrategy, and convensional teaching. The mathematical writing skill students who get collaborative teaching
Volume 1, Nomor 1, April 2015 18
ISSN. 2443-1435 through WfAPstrategy and collaborative teaching through WiPTstrategy better than convensional teaching Key word : Collaborative Teaching, Writing from A Prompt Strategy, Writing in Performance TasksStrategy, The Mathematical Writing Skill. Pendahuluan Komunikasi matematis merupakan salah satu bahan kajian dalam pengembangan kurikulum matematika.Di dalam kurikulum matematika disebutkan bahwa kemahiran matematika mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pembacaan masalah, koneksi dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika (dalam Depdiknas, 2004). Dari hasil wawancara dengan beberapa guru matematika, ada beberapa faktor yang membuat matematika sulit untuk dipelajari siswa, diantaranya yaitu kesulitan mengkomunikasikan ide-ide/ gagasan secara tertulis pada saat diberikan soal-soal uraian yang jawabannya harus dijelaskan secara sistematis.Kebanyakan siswa menjawab soal uraian tersebut dengan jawaban yang benar tetapi mereka tidak menjelaskan secara detail.Mereka hanya menulis angkaangka lalu dioperasikan, tidak mengetahui alasan pengoperasian angka-angka tersebut. Jawaban yang muncul ketika ditanya hal tersebut adalah mereka dapat itu dari cara yang diberikan bimbingan belajar atau dari guru lesnya. Oleh karena itu, salah satu aspek dalam kegiatan komunikasi yang dirasa penting untuk ditingkatkan yaitu kemampuan menulis matematis.Karena siswa umumnya merasa kesulitan dalam mengkomunikasikan ide-ide/ gagasannya secara tertulis yang dituangkan pada lembar jawaban.
Kemampuan menulis tersebut merupakan bagian dari aspek komunikasi yang dikemukakan oleh Baroody (1993) yang menyatakan bahwa ada lima aspek dalam kegiatan komunikasi matematis, yaitu (a) representing, (b) listening, (c) reading, (d) discussing dan (e) writing. Aspek yang kelima dari komunikasi adalah menulis (writing). Menurut Lado, Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi berbahasa dalam bentuk simbol-simbol grafis yang menyatakan pemahaman suatu bahasa sedemikian hingga orang lain dapat membaca simbol-simbol grafis sebagai penyajian satuan-satuan ekspresi berbahasa (dalam Ahmadi, 1990). Trianto (2002) menyatakan bahwa membelajarkan menulis sangat penting, karena mengkomunikasikan gagasan secara tertulis itu merupakan kegiatan yang sulit bagi banyak orang. Karena itu pembelajaran menulis seyogyanya tidak dipandang hanya sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, tetapi merupakan kegiatan dalam mata pelajaran lain termasuk mata pelajaran matematika (UNNES, 2003). Kemampuan menulis matematis sebagai bagian dari aspek komunikasi matematis belum dikembangkan secara optimal, khususnya pada siswa Sekolah Menengah Pertama. Kenyataan di lapangan ditemukan bahwa kemampuan menulis matematis siswa SMP masih rendah.Ini terbukti dengan pemberian
Volume 1, Nomor 1, April 2015 19
ISSN. 2443-1435 beberapa soal kepada sekelompok siswa, hasilnya mereka pada umumnya dalam menjawab pertanyaan kurang dapat menulis matematis dengan baik.Siswa hanya diajarkan untuk menjawab soal dengan menulis diketahui, ditanyakan, dan jawab.Mereka hanya menuliskan rumus tanpa menjelaskan dari mana rumus diperoleh.Alasan setiap langkah-langkah dalam pengerjaan soal pun tidak disertakan, selain itu siswa juga jarang menggambarkan atau mengubah persoalan kedalam bahasa matematis.Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan menulis siswa di SMP dalam pembelajaran matematika masih harus ditingkatkan dan dikembangkan. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian adalah: apakah ada perbedaan kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt, pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing in performance tasks dan pembelajaran konvensional? Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apakah kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt dan
pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing in performance tasks lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan konvensional.Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai suatu strategi pembelajaran alternatif dalam pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode eksperimen.Disain yang digunakan adalah disain kelompok kontrol pretespostes. Penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan (eksperimen). Hasil Penelitian Dan Pembahasan Setelah diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, tahap selanjutnya adalah menerapkan strategi pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt, pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing in performance task, dan pembelajaran konvensional. Dari hasil pengolahan data postes untuk masing-masing kelas diperoleh rerata hasil pretes kemampuan menulis matematis, seperti pada Tabel 1 berikut ini.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 20
ISSN. 2443-1435 Tabel 1 Rerata Hasil Postes Kemampuan Menulis Matematis
Postes
Pembelajaran
Rerata
Std. Deviasi
Kolaboratif strategi WfAP
38,19
4,107
Kolaboratif strategi WiPT
37,56
3,826
Konvensional
32,28
4,066
Skor Ideal : 48 Dari data tersebut terlihat bahwa
kemampuan
menulis
ada perbedaan rerata antara, yang
matematis
yang
kemudian harus diuji secara statistik.
berdistribusi
tidak
Adapun langkah-langkah pengujiannya
normal
sebagai berikut.
Dengan
1) Uji Normalitas dan Homogenitas
signifikan
Dengan hipotesis yang digunakan sebagai berikut: H0 :
Sampel
berasal
kemampuan
=
0,05,
kriteria
pengujiannya adalah terima H0 jika
dari
tolak H0 jika nilai Sig. (signifikansi) < 0,05.
menulis
matematis
yang
berdistribusi normal Sampel
α
taraf
nilai Sig. (signifikansi) > 0,05, dan
populasi data skor postes
H1 :
menggunakan
berasal
Pengujian
populasi data skor postes
tersebut
dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk,
dari
hipotesis dengan
taraf
signifikansi 0,05. Berikut hasil uji normalitas dari ketiga sampel:
Tabel 2 Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Menulis Matematis Shapiro-Wilk Pembelajaran
Df
Sig.
Kolaboratif WfAP .967
32
.412
skor postes Kolaboratif WiPT .951
32
.155
32
.218
Konvensional
Statistic
.956
Volume 1, Nomor 1, April 2015 21
ISSN. 2443-1435
Berdasarkan Tabel di atas, diperoleh nilai signifikansi untuk pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT dan pembelajaran konvensional masingmasing lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi norma. Pasangan hipotesis yang digunakan adalah: H0 : = = H1 , untuk : suatu i = 1,2,3 j= 1,2,3, i j H0 : Ketiga varians data skor postes kemampuan menulis matematis sama H1 : Terdapat paling sedikit satu varians data skor postes kemampuan menulis matematis yang berbeda Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji Levene, dengan taraf signifikansi 0,05. Berikut hasil uji homogenitas dari ketiga sampel:
Berdasarkan Tabel di atas, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,804. Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima. Dengan demikian ketiga kelompok
tersebut memiliki variansi yang sama ditinjau dari aspek kemampuan menulis matematis. 2) Uji ANOVA Satu Jalur Pasangan hipotesis ANOVA satu jalur tes kemampuan menulis matematis adalah sebagai berikut: H0 : = = H1 : untuk suatu i = 1,2,3 j= 1,2,3, i j H0 : Tidak terdapat perbedaan rerata data skor postes kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran konvensional. H1 : Terdapat paling sedikit satu rerata data skor postes kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran konvensional yang berbeda Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4 berikut ini:
Volume 1, Nomor 1, April 2015 22
ISSN. 2443-1435 Tabel 4 Hasil ANOVA Satu Jalur Postes Kemampuan Menulis Matematis Sum of Squares
Df
Between Groups 673.771 skor postes Within Groups Total
1489.219
3
2162.990
5
Berdasarkan Tabel di atas, menunjukan bahwa hasil uji ANOVA satu jalur terhadap rerata postes kemampuan menulis matematis untuk ketiga kelas (strategi pembelajaran) memiliki nilai signifikan 0,000.Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05, sehingga H0 ditolak. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan
Mean Square F
Sig.
336.885 2
000
21.038
16.013
rerata data skor postes kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran konvensional. Untuk mengetahui kelas mana yang berbeda kemampuan menulis matematis, maka dilakukan tiga kali uji Scheffe
Tabel 5 Hasil Uji Scheffetentang Perbedaan Rerata Postes Kemampuan Menulis Matematis Mean Dependen
(I)
Difference
Std.
(I-J)
Error
Sig.
Kolaboratif WfAP Kolaboratif WiPT
.625
1.000
.823
Konvensional
-5.906*
1.000
.000
5.281*
1.000
.000
t Variable Pembelajaran
skor postes
(J) Pembelajaran
Kolaboratif WfAP
Kolaboratif WiPT Konvensional
Pembahasan Dari hasil uji Scheffe, ternyata nilai signifikansi untuk kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional sebesar 0,000. Ini berarti terdapat perbedaan kemampuan menulis matematis yang signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Bila dilihat dari rerata
Volume 1, Nomor 1, April 2015 23
ISSN. 2443-1435 postes kemampuan menulis matematis pada Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP telah dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan menulis matematis. Prompt diberikan pada pembelajaran membantu siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas matematis. Prompt juga berguna dalam memberikan arahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematis atau dalam memahami konsep matematis serta membimbing siswa dalam kegiatan menulis. Prompt ternyata cukup efektif dalam menggali pengetahuan siswa dan menanamkan konsep matematika. Misalnya prompt berupa lembar kerja melengkapi tulisan dan gambar ternyata dapat mendorong siswa dalam memahami konsep-konsep matematika. Kemampuan menulis teks (written texts) dalam penelitian ini tampak pada siswa dalam menulis pembuatan kesimpulan. Prompt merupakan kerangka tulisan sangat membantu siswa dalam membuat kesimpulan atau rangkuman. Dengan prompt kerangka tulisan ini, kinerja siswa dalam membuat rangkuman pembelajaran matematika menjadi terstruktur dan sistematis. Kemampuan menulis matematis dalam penelitian ini meningkat dengan bantuan prompt pada saat menyelesaikan soal-soal cerita. Tahaptahap penyelesaian soal cerita dengan kerangka tulisan memudahkan siswa dalam menjawab soal-soal. Siswa terbimbing dan terarah dalam mencari
apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal yang diberikan. Dalam pelaksanaan penelitian ini, tugas-tugas matematis selalu diiringi prompt. Tugas-tugas dalam penelitian ini meliputi: (a) tugas yang telah dilengkapi dengan prompt, seperti memahami konsep dengan melengkapi tulisan, menulis kesimpulan atau rangkuman dengan kerangka tulisan, melengkapi tabel maupun gambar; (b) tugas-tugas yang berupa soal-soal matematika, bentuk soal dapat berbentuk soal rutin maupun non rutin. Bentuk-bentuk tugas ini diberikan secara bergantian dan bervariasi. Tugas-tugas tersebut dalam penelitian ini sebagian besar diselesaikan di kelas, hanya beberapa tugas yang dirancang sebagai tugas rumah. Melalui pembelajaran kolaboratif dengan strategi WfAP dalam penelitian ini, ternyata secara bertahap siswa terbiasa dalam menuliskan kembali konsep matematis dalam bahasa sendiri, membuat contoh-contoh sendiri melalui gambar, dan pada setiap akhir pembelajaran siswa tidak mengalami kesulitan dalam menuliskan rangkuman pembelajaran. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Shield dan Swinson (1996), yang menyatakan bahwa menulis matematis membantu merealisasikan tujuan pembelajaran matematika, yaitu pemahaman tentang materi yang dipelajari.Tujuan pembelajaran yang ditulis dalam hal ini diwujudkan secara tertulis dalam rangkuman. Hasil penelitian ini pun sejalan dengan pendapat Pajares (2002), yang menyatakan bahwa dengan menulis, tujuan yang didasarkan pada pendekatan kinerja akan memberikan dampak positif bagi kemandirian siswa
Volume 1, Nomor 1, April 2015 24
ISSN. 2443-1435 SMP. Tugas merangkum pembelajaran merupakan tugas yang selalu diberikan dikelas pada akhir-akhir pembelajaran.Waktu yang diberikan dalam merangkum ini kurang lebih antara 10-15 menit.Tugas guru pada saat siswa membuat rangkuman dalam membimbing siswa (terlibat/bersamasama) untuk mengembangkan kemampuan menulisnya. Setelah pembelajaran berlangsung, setiap kelompok memajang hasil kerja kelompoknya. Dengan ini siswa lain dapat melihat hasil kerja kelompok lain. Pada umumnya siswa kelompok lain ingin melihat hasil tulisan kelompok lain dan mendiskusikan pada saat pembelajaran selesai. Kegiatan pemajangan hasil kerja kelompok ini dinilai cukup efektif untuk saling berbagi pengetahuan kepada siswa tentang pembelajaran yang baru saja dilaksanakan. Beberapa kekurangan dalam pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP ini antara lain kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas dan prompt tidak bersamaan, pembelajaran didominasi oleh siswa pandai, adanya kesenjangan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang dalam menyelesaikan tugas, siswa cemas dengan pemberian tugas-tugas dan prompt yang kurang optimal bagi siswa yang kurang pandai. Tasks yang diberikan pada awal pembelajaran merangsang siswa untuk mengungkapkan ide-ide matematisnya.Tasks ini juga berguna dalam memberikan arahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematis atau dan menuntuk untuk mengembangkan kemampuan menulis siswa. Dengan menulis melalui performancetasks ini peran guru bukan lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar, tetapi guru tampil sebagai fasilitator dan organisator. Guru memfasilitasi siswa belajar dan mengatur bagaimana siswa belajar. Dampak dari pemberian tasks dalam penelitian ini adalah siswa tidak merasa terbebani dalam menulis, lebih mudah mengingat kembali materi pembelajaran yang diperoleh dan menguatkan ingatan siswa. Melalui menulis, otak (jaringan mental) siswa bekerja, gerakan fisik seperti tangan dan mata bekerja, lisan (diskusi) merupakan faktor yang menentukan dalam proses internalisasi pengetahuan siswa. Melalui kegiatan menulis dalam penelitian ini, guru juga memperoleh informasi yang nyata terhadap kesalahan-kesalahan. Dibuat oleh siswa dalam memahami konsep, kesalahan dalam menyimpulkan hasil belajar, kekuranglengkapan dalam menulis kesimpulan, dan kesalahan membuat gambar.Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Masingila dan Winiowska (1996), bahwa aktivitas menulis bagi guru dapat digunakan untuk memantau/memonitoring kesalahan siswa, miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep matematis, dan menulis sebagai wujud nyata dari presentasi siswa. Dalam kegiatan diskusi kelompok pada saat penerapan pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT ada beberapa kelemahan yang kurang dapat diatasi oleh guru antara lain kesulitan dalam mengendalikan siswa dalam belajar kelompok, siswa yang sudah selesai mengerjakan kadang mengganggu siswa lain dan siswa berpindah-pindah ke kelompok lain. Selain itu, dalam pembelajaran kolaboratif kerja guru cukup berat dalam memfasilitasi dan membimbing kerja siswa untuk menyelesaikan bahan
Volume 1, Nomor 1, April 2015 25
ISSN. 2443-1435 ajar yang diberikan. Guru harus terampil dan cekatan selama pembelajaran berlangsung, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Proses pembelajaran dalam penelitian ini, dibuktikan hasil belajar matematika siswa SMP yakni kemampuan menulis dan pemahaman matematika siswa SMP yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT lebih baik daripada siswa SMP yang belajar matematika secara konvensional. Peningkatan kemampuan menulis matematis, untuk kegiatan pembelajaran khususnya dengan pokok bahasan bangun ruang sisi datar untuk siswa SMP yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dan strategi WiPT.Adapun untuk peningkatan kedua strategi tersebut secara konsisten tidak berbeda secara signifikan untuk siswa SMP.Karena dari hasil uji Scheffe, nilai signifikansi untuk kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT sebesar 0,823. Ini berarti tidak terdapat perbedaan kemampuan menulis matematis yang signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt,pembelajaran
kolaboratif melalui strategi writing in performance tasks dan pembelajaran konvensional. Adapun saran-sarannya,antara lain yaitupada setiap proses belajar mengajar matematika yang dilakukan, harus diupayakan agar dapat mengakomodasi potensi kemampuan menulis siswa. Hal ini dapat terwujud apabila semua fasilitas pembelajaran terutama menyangkut model dan bentuk bahan ajar/ tugas yang diterapkan dalam pembelajaran matematika dapat dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlibatan siswa dalam mengembangkan kemampuan menulis matematisnya.Untuk peneliti selanjutnya, perlu juga dilakukan penelitian mengenai pengaruh pembelajaran kolaboratifmelalui strategiwriting from a prompt dan strategi writing in performance tasks terhadap aspek komunikasi dan kemampuan matematika yang lain. Daftar Pustaka Baroody, A. J. (1993). Problem Solving, Reasoning and Communicating. New York: Macmillan Publising. Depdiknas (2004). Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Masingila, J. O. dan Wisniowska, E. P. (1996). Developing and Assessing Mathematical Understanding in Calculus through Writing. Years Book 1996. Portio dan Kennye, Margaret. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, V.A : NCTM.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 26
ISSN. 2443-1435 RegionalCenter for Education in Science ang Mathematic. Vol. XV No. 2 Dec. 1992, Malaysia.
Pajares, F. (1999). “Relation between Achievement Goals and SelfBeliefs of Middle School Student in Writing and Science”. Journal for Research in Mathematics Education, 2000 Supplement: Contemporary Educational Psychology.
Trianto, A. (2002). “Pembelajaran Keterampilan Menulis”. Makalah pada Lokakarya Seminar Nasional Membaca dan Menulis Training of Trainer (TOT) bagi guru SLTP.
Swinson, K. (1992). Writing Activities as Strategies for Konwledge Constuction and the Identification of Misconceptions in Mathematics. SEAMEO,
UNNES (2003). Laporan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Baca Tulis Sekolah Menengah Pertama. Kerjasama Direktorat PLP dan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Semarang.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 27
ISSN. 2443-1435 PENGGUNAAN MODEL COOPERATIVE SCRIPT TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMK Rusdian Rifa’i
[email protected] Dosen Prodi Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar ABSTRAK Penelitian ini merupakan studi kuasi eksperimen berdesain kelompok kontrol non-ekiuvalen yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran cooperative script terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas X AP1 dan siswa kelas X AP2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1) tes kemampuan pemahaman, 2) tes komunikasi matematis, dan 3) skala sikap siswa. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh kesimpulan: 1) tidak terdapat perbedaan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, 2) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah 3) terdapat interaksi antara model pembelajaran cooperative script dan pembelajaran konvensional dengan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah terhadap peningkatan kemampuan pemahaman siswa, 4) tidak terdapat perbedaan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, 5) terdapat perbedaan peningkatan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah 6) terdapat interaksi antara model pembelajaran cooperative script dan pembelajaran konvensional dengan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah terhadap peningkatan komunikasi matematis siswa; 7) terdapat hubungan antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, dan 8) siswa bersikap positif terhadap model pembelajaran cooperative script dalam pembelajaran matematika. Kata kunci: kemampuan pemahaman, pembelajaran cooperative script.
komunikasi matematis, dan
model
ABSTRACT Thisstudy is a quasi-experimental study designed control group of nonequivalent that aims to investigate the effect ofcooperative scriptlearning modeluse on the students‟ abilityof mathematicalunderstanding andcommunication. The sample of this study is class X AP 1 and class X AP 2 students. The instruments used in this study are: (1) Understanding ability test, (2) Mathematical communication test, and (3) The student attitude scale. The findings and data analysis show: (1) There is nodifference inthe understanding ability ofstudents whoobtaincooperativescriptlearning modelwithstudents who receivedconventional learning, (2) There is a difference increasing of students‟ understanding ability who obtain cooperativescriptlearning modelwithstudents who receivedconventional
Volume 1, Nomor 1, April 2015 28
ISSN. 2443-1435 learning based on Mathematical Early Ability (MEA) of students are capable of high, medium and low, (3) There is an interactionbetweencooperativescript learning modelandconventional learningwithMEA ofstudentsare capableof high, mediumand lowtowards theincreaseof students' understandingability, (4)There is nodifference in mathematical communication of students who obtaincooperativescriptlearning modelwithstudents who receivedconventional learning, (5) There is a difference increasing in mathematical communication of students who obtaincooperativescriptlearning modelwithstudents who receivedconventional learning based on MEA of students are capable of high, medium and low, (6) There is an interactionbetweencooperativescript learning modelandconventional learningwithMEA ofstudentsare capableof high, mediumand lowtowards the increase of students‟ mathematical communication, (7) there is a relationship between understanding ability and mathematical communication of students, and (8) students respond positively on cooperative script learning model in learning mathematics. Key words: understanding ability, mathematical communication, and cooperative script learning model.
Pendahuluan Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi yang cukup, mudah, dan cepat dari berbagai sumber. Dalam dunia pendidikan, siswa perlu memiliki kemampuan, memperoleh, memilih, dan mengelola informasi untuk menghadapi keadaan yang selalu berubah. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemauan bekerjasama yang efektif. Budiarto, dkk (2004:4) mengungkapkan bahwa matematika sebagai sarana pendidikan untuk mencerdasakan, membentuk kepribadian, dan mengembangkan keterampilan siswa. Dengan demikian guru harus mampu menciptakan situasi dan kondisi kelas yang dapat menggali berbagai potensi
siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Beberapa penelitian mengenai kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis pada mata pelajaran matematika dengan materi tertentu belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Wihatma (2004), Sabilulungan (2008), dan Hendriana (2009), diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional sangat rendah. Begitu juga hasil uji coba Hendriana (2009) pada populasi siswa SMP di kota Cimahi Bandung, bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional pada mata pelajaran matematika dengan materi tertentu ternyata rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa adalah 55%, lebih rendah dari rata-rata kemampuan pemahaman matematis siswa yang mencapai 64%. Upaya untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa
Volume 1, Nomor 1, April 2015 29
ISSN. 2443-1435 diantaranya dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran. Untuk mengefektifkan proses pembelajaran, guru hendaknya mengkondisikan siswa agar memiliki banyak pengalaman yaitu dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, diantaranya dengan menyediakan berbagai stimulus yang siap untuk direspons oleh siswa. Semakin banyak stimulus yang diberikan dan semakin banyak respons yang terima siswa, maka semakin banyak pula pengalaman dan pemahaman yang diperoleh siswa. Well (Sanjaya, 2009:102) mengungkapkan bahwa yang perlu diperhatikan guru dalam proses pembelajaran adalah menciptakan suasana lingkungan belajar yang dapat membentuk struktur kognitif siswa untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya. Rumusan Masalah 1. Apakah kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah? 3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran cooperative script dan pembelajaran konvensional dengan KAM siswa yang berkemampuan tinggi sedang, dan rendah terhadap peningkatan kemampuan pemahaman siswa?
4. Apakah komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah? 6. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran cooperative script dan pembelajaran konvensional dengan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah terhadap peningkatan komunikasi matematis siswa? 7. Apakah terdapat hubungan antara kemampuan pemahaman dengan komunikasi matematis siswa? 8. Bagaimana sikap siswa terhadap model pembelajaran cooperative script dalam pembelajaran matematika? Landasan Teori a. Kemampuan Pemahaman Bloom (Ruseffendi, 1998:221) mengungkapkan bahwa terdapat tiga macam pemahaman yaitu, tranlation, interpretation, dan ekstrapolation. Pemahaman translasi berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menterjemahkan kalimat dalam soal menjadi bentuk kalimat lain, misalnya dapat menyebutkan variabel-variabel yang diketahui dan yang ditanyakan. Pemahaman interpolasi berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam
Volume 1, Nomor 1, April 2015 30
ISSN. 2443-1435 menyelesaikan soal, sedangkan pemahaman ekstrapolasi berkaitan dengan kemampuan siswa menerapkan konsep dalam perhitungan matematis untuk menyelesaikan soal. Pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep matematika menurut NCTM (1989:223) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam mendefinisikan konsep secara tulisan, membuat contoh dan bukan contoh, menggunakan model, diagram, dan simbol untuk merepresentasikan suatu konsep, mengenal berbagai makna konsep, menentukan sifat-sifat dan mengenal syarat-syarat suatu konsep, dan membedakan konsepkonsep.
dalam proses pembelajaran, di mana terjadi pengalihan pesan. Proses komunikasi juga membantu siswa mengembangkan bahasanya sendiri untuk mengekspresikan ide-ide matematis, dan membantu membangun pengertian dan keakuratan ide serta membuatnya dapat disampaikan kepada orang lain. Bentuk komunikasi yang digunakan oleh guru sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika, bentuk komunikasi multi arah dapat membantu siswa mengasah kemampuan berkomunikasi, menyampaikan, dan mengekspresikan ide-ide matematisnya.
b. Komunikasi Matematis Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media. Nurahman (2011:106) mengungkapkan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan ide, simbol, istilah, serta informasi matematika yang diamati melalui proses membaca, menulis, menyimak, menelaah, menginterpretasikan, mengevaluasi, mempresentasikan, dan diskusi. Dalam berkomunikasi harus dipikirkan bagaimana caranya pesan yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami oleh orang lain. Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui dialog atau saling berinteraksi di dalam kelas
c.
Cooperative Script Model pembelajaran cooperative script merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif. Dalam perkembangan pembelajarannya, model pembelajaran cooperative script telah mengalami banyak adaptasi, sehingga melahirkan beberapa pengertian dan bentuk yang sedikit berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, namun pada intinya sama. Pada model pembelajaran cooperative script siswa akan dipasangkan dengan temannya dan akan berperan sebagai pembicara dan pendengar. Pembicara membuat kesimpulan dari materi yang akan disampaikan kepada pendengar, dan pendengar akan menyimak, mengoreksi, menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap. Menurut Suprijono (2009:126) bahwa cooperative script merupakan metode belajar di mana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan meringkas bagian-bagian materi yang dipelajari. Dalam model
Volume 1, Nomor 1, April 2015 31
ISSN. 2443-1435 pembelajaran cooperative script kerja kelompok hanya terdiri dari dua orang siswa, antara dua orang tersebut memiliki peran masing-masing yaitu sebagai pembicara dan pendengar, dan saling bertukar peran, jika tugasnya telah selasai. Model pembelajaran cooperative script merupakan metode pembelajaran yang mengembangkan upaya kerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran cooperative script merupakan suatu strategi yang efektif bagi siswa untuk mencapai hasil akademik dan sosial termasuk meningkatkan prestasi, percaya diri dan hubungan interpersonal positif antara satu siswa dengan siswa yang lain. Model pembelajaran cooperative script banyak menyediakan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawabannya dan menilai ketepatan jawaban, sehingga dapat mendorong siswa yang kurang pintar untuk tetap berusaha dalam belajar. Model pembelajaran ini memudahkan siswa melakukan interaksi sosial, sehingga mengembangkan keterampilan berdiskusi, dan siswa bisa lebih menghargai orang lain. Menurut Suprijono (2009:126) bahwa langkah-langkah model pembelajaran cooperative script secara umum yaitu: 1) Guru mengelompokkan siswa secara heterogen untuk berpasangan, 2) Guru memberikan materi kepada tiap siswa untuk dipelajari dan membuat ringkasan, 3) Guru menetapkan siswa yang berperan sebagai pembicara dan siswa yang berperan sebagai pendengar, 4) Pembicara menjelaskan ringkasannya dan pendengar menyimak ide-ide pokok yang kurang lengkap, 5) Bertukar peran semula sebagai pembicara ditukar menjadi
pendengar atau sebaliknya dan lakukan seperti di atas, 6) Kesimpulan siswa dengan guru, dan 7) Penutup. Model pembelajaran cooperative script memungkinkan terjadinya pembelajaran yang efektif karena siswa bisa lebih aktif dan berinteraksi dengan guru dan teman sekelompoknya, sehingga pembelajaran lebih terarah dan lebih menarik. Selain itu, model pembelajaran cooperative script memiliki beberapa keunggulan. Fanany (2013:54) mengungkapkan bahwa keunggulan model pembelajaran cooperative script yaitu melatih keberanian siswa dalam menjelaskan ide matematika, melatih pendengaran dan ketelitian ketika menyimak penjelasan dari pembicara, dan setiap siswa mendapat peran. Adapun kelemahan model pembelajaran cooperative script menurut Fanany (2013:54) adalah hanya digunakan pada mata pelajaran tertentu, hanya dilakukan oleh dua orang, sehingga koreksi hanya sebatas dua orang tersebut tidak melibatkan seluruh siswa dalam satukelas. Metodologi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan studi kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol nonekuivalen. O X1 O ------------O X2 O
Volume 1, Nomor 1, April 2015 32
ISSN. 2443-1435 Dalam penelitian ini subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi subjek dikelompokkan seadanya. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X Administrasi Perkantoran (AP) yaitu kelas X AP1 dan kelas X AP2. Sebelum pembelajaran, siswa dikelompokkan dalam tiga klasifikasi yaitu siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan kemampuan awal matematis (KAM) dengan menggunakan aturan patokan. Kemampuan awal matematis siswa diestimasi melalui nilai ulangan akhir semester ganjil. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat tes kemampuan pemahaman, tes komunikasi
matematis, dan angket skala sikap dengan skala Likert. Penilaian kelayakan butir tes dan butir skala berpedoman pada Suherman dan Sukjaya (1990:237). Analisis data pretes, postes, gain kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa dianalisis menggunakan statistik parametris atau non-parametris. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil analisis data pretes dan postes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol seperti pada Tabel berikut.
Deskriftip Data Pretes dan Postes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis
Pretes S Kelas
Aspek
Skor N Idea ean
Postes ain
D
ean
D
,89
,76
7,97
,07
,67
,57
,70
6,91
,88
,62
,46
,60
8,60
,17
,72
,89
,79
7,94
,15
,69
l Kemampua Eksperime n
n Pemahaman 5 Komunikasi Matematis Kemampua n
Kontrol
4
Pemahaman 5 Komunikasi Matematis
Volume 1, Nomor 1, April 2015 33
ISSN. 2443-1435 Hasil analisis gain kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis berdasarkan KAM siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol seperti pada Tabel 2 berikut. Interaksi antara Pembelajaran dan KAM terhadap Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Kemampuan Pemahaman Source
Sum of
Df
Squares Corrected
Mean
F
Komunikasi Matematis Sig.
Sum of
Square
1,787a
3
,596
Intercept
26,563
1
Kelas
,083
1
,083
KAM
1,758
2
,879
Error
,674
6
,010
Total
36,275
Corrected
2,461
Df
Squares 58,358
Mean
F
sig.
Square
000
1,695a
3
,565
66,807
000
000
24,117
1
24,117
2851,442
000
8,110
006
,153
1
,153
18,120
000
86,127
000
1,614
2
,807
95,420
000
,558
6
,008
0
32,358
0
9
2,253
9
Model 26,563 2602,233
Total
Pembahasan Ditinjau dari rata-rata postes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Ditinjau dari rata-rata gain kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative
script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kondisi-kondisi yang dijelaskan di atas, antara lain karena siswa belum terbiasa menerima model pembelajaran cooperative script dalam membuat ringkasan dan mempresetasikan materi matematika di depan kelas. Pada saat siswa membuat ringkasan, siswa kesulitan menentukan materi matematika yang akan diringkas. Pada saat siswa mempresentasikan materi matematika, siswa gugup dalam menjelaskan materi matematika, sehingga siswa yang berperan sebagai pendengar kurang memahami materi yang disampaikan oleh siswa yang berperan sebagai pembicara. Pada umumnya siswa masih bergantung pada informasi yang disampaikan guru, karena biasanya siswa pada
Volume 1, Nomor 1, April 2015 34
ISSN. 2443-1435 proses pembelajaran matematika hanya mendengar, menulis informasi yang disampaikan guru. Hal ini menjadikan siswa pasif pada proses pembelajaran matematika, komunikasi antara siswa dengan siswa maupun anatara siswa dengan guru terbatas. Ditinjau dari rata-rata gain kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah ternyata berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Ini berarti model pembelajaran cooperative script dan pembelajaran konvensional memberikan kontribusi terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa memiliki hubungan yang positif dan kuat. Ini berarti semakin baik pemahaman siswa terhadap matematika, semakin baik pula siswa mengkomunikasikan gagasan matematika. Jika pemahaman siswa terhadap matematika kurang, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan gagasan matematika. Ditinjau dari sikap siswa, ternyata siswa memiliki sikap yang positif terhadap matematika. Ini merupakan
salah satu faktor yang akan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran matematika. Erma (2014:3) mengungkapkan bahwa siswa yang bersikap positif terhadap matematika akan bersemangat untuk belajar, bertanya, dan akan meningkatkan pencapaian siswa. Jika siswa tidak suka terhadap matematika, maka siswa akan terhambat dan kesulitan dalam memahami konsep matematika. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran cooperative script dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Terdapat interaksi antara model pembelajaran cooperative script dan pembelajaran konvensional dengan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Terdapat hubungan antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Siswa bersikap positif terhadap model pembelajaran cooperative script dalam pembelajaran matematika.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 35
ISSN. 2443-1435 Daftar Pustaka Budiarto, M. T, dkk (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika (Buku 1). Jakarta: Depdiknas. Lambas, dkk. (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika (Buku 3). Jakarta: Depdiknas. Turmudi. (2009). Taktik dan Strategi Pembelajaran Matematika (Referensi untuk SMK, Mahasiswa, dan Umum). Jakarta: Leuseur Cipta Pustaka. Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenanda Media Group. Sabilulungan, A. (2008). Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Sahrudin. Asep (2013). Implemetasi Strategi Pembelajaran Discovery Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Motivasi Belajar Siswa SMA. Thesis pada MPM Pascasarjan Unpas. Unpas Bandung : Tidak Diterbitkan.
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaphorical Thingking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Desertasi SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Tamur, M. (2012). Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbasis Etnomatematika sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Mahasiswa PGSD. Tesis SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press. Nurahman. I. (2011). Pembelajaran Kooperatif Tipe Team-Acelerated Instruction (TAI) untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa SMP. Bandung: Pasundan Journal of Mathematics Educations. 1 (1): 106-107. Suprijono, A. (2009). Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Volume 1, Nomor 1, April 2015 36
ISSN. 2443-1435 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN DAMPAKNYA PADA SELF CONFIDENCE SISWA SMP Sumpena Rohaendi
[email protected] Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP STKIP Subang ABSTRAK Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair. Tujuan lain adalah untuk mengetahui dampak self confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh kesimpulan terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model think pair share dengan konvensional. Karena rerata gain ternormalisasi pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model think pair share lebih kecil dari kelas kontrol. Hal tersebut menunjukkan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share tidak lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional berdasarkan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah). Sedangkan data hasil self confidence siswa dapat disimpulkan bahwa dampak self confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share adalah sangat tinggi. Hal ini diperlihatkan dari data hasil angket self confidence. Berdasarkan hasil analisis hubungan (korelasi), ternyata tidak terdapat hubungan yang positif antara kemampuan pemahaman matematis dengan self confidence siswa. Kata kunci: kemampuan pemahaman matematis, model pembelajaran think pair share, dan self confidence siswa. Pendahuluan Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan khususnya dalam mata pelajaran matematika mulai dari pembaharuan kurikulum, materi pelajaran sampai pada peningkatan mutu pendidik sebagai tenaga profesional. Akan tetapi pada kenyataannya dalam pembelajaran matematika masih banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar yang ditunjukkan dengan rendahnya prestasi yang diperoleh siswa. Hal ini
didasarkan pada hasil tes yang dilakukan oleh Trend in International Mathematics and Scienes Study (TIMSS) pada tahun 1999 yang menunjukkan bahwa, siswa Indonesia berada pada peringkat 34 dari 38 negara dalam penguasaan matematika (Herman, 2003). Pada tahun 2007, Indonesia di posisi ke 36 dari 48 negara dengan skor rata-rata 397. Skor ini masih jauh di bawah rata-rata TIMSS yaitu skor rata-ratanya 500. (Iryanti, 2009). Laporan terbaru TIMSS tahun 2011, menyebutkan
Volume 1, Nomor 1, April 2015 37
ISSN. 2443-1435 bahwa nilai rata-rata matematika siswa Indonesia menempati urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42 negara (Napitulu, 2012: 1). Hasil tes yang dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa, penguasaan matematika siswa Indonesia hanya menempati peringkat 61 dari 65 negara (Suganda, 2012). Berkaitan dengan penguasaan matematika siswa, peneliti melakukan wawancara dengan guru bidang studi matematika di SMPN 1 Rancakalong, yang hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman matematika masih rendah yaitu di bawah 60, akibatnya nilai matematika selalu kurang dari (Kriteria Ketuntasan Mengajar) KKM yaitu 75. Hal ini tentu saja perlu dikaji dan diselidiki faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Ruseffendi (2006: 7) mengemukakan bahwa, “Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar diantaranya yaitu kecerdasan anak, kesiapan anak, bakat anak, dan kemauan anak”. Selain faktor yang terdapat dalam diri siswa tentunya banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. Peran tenaga pendidik juga ikut memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas siswa dalam belajar matematika. Guru harus benar-benar memperhatikan, memikirkan sekaligus merencanakan proses belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi siswa agar siswa antusias dalam menerima pelajaran dan terlibat dalam proses belajar mengajar, sehingga pembelajaran tersebut menjadi efektif. Untuk dapat belajar dengan
efektif maka seorang guru harus menguasai metode-metode pembelajaran, di pihak lain seorang pendidik (guru) hendaknya memahami teori-teori pelajaran yang akan disampaikan, sehingga siswa dapat memahami materi. Rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa akan berpengaruh pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah serta menimbulkan dampak pada sikap yang harus dimiliki siswa yaitu sikap percaya diri (self confidence). Hal ini juga didukung oleh Rohayati (2011) dan Suhardita (2011) bahwa kurang dari 50% siswa masih kurang percaya diri dengan gejala seperti siswa merasa malu kalau disuruh ke depan kelas, perasaan tegang dan takut yang tiba-tiba datang pada saat tes, siswa tidak yakin akan kemampuannya sehingga berbuat mencontek padahal pada dasarnya siswa telah mempelajari materi yang diujikan serta tidak bersemangat pada saat mengikuti pelajaran di kelas dan tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah. Pemilihan aspek psikologis yaitu selfconfidence dalam penelitian ini karena menurut Suhardita (2011) siswa akan memperoleh rasa percaya diri dari pengalaman hidup dan berhubungan dengan kemampuan melakukan sesuatu dengan baik. Dengan kepercayaan diri yang baik, seseorang akan dapat mengaktualisasikan potensi yang ada dalam dirinya. Kepercayaan diri atau selfconfidence merupakan modal utama seorang siswa untuk dapat maju, karena pencapaian prestasi yang tinggi itu sendiri harus dimulai dengan percaya bahwa ia dapat dan sanggup melampaui prestasi yang pernah dicapainya. Tanpa memiliki
Volume 1, Nomor 1, April 2015 38
ISSN. 2443-1435 kepercayaan diri yang penuh, seorang siswa tidak akan dapat mencapai prestasi yang tinggi. Tingkat kepercayaan diri yang dimiliki siswa inilah yang merupakan aspek psikologis lain yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Setiap kali seorang siswa akan ditantang untuk dapat menjadi yang terbaik di sekolahnya baik dari sisi akademik maupun prestasi yang lain. Untuk itu mutlak bagi seorang siswa memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Model pembelajaran think pair share merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Think pair share dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. Selain dampak terhadap proses belajar siswa, model pembelajaran think pair share akan berdampak dalam pengaturan konsep kepercayaan diri atau self confidence mereka. Salah satu langkah think pair share yakni pada langkah share (berbagi) inilah kepercayaan diri siswa lebih dominan dilatih untuk muncul. Hal ini disebabkan pada langkah ini siswa memberikan berbagai ide-ide kreatifnya di depan kelas yang membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model
2.
3.
pembelajaran kooperatif tipe think pair share lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional berdasarkan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah)? Bagaimana dampak self confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share? Apakah terdapat hubungan yang positif antara kemampuan pemahaman matematis dan self confidence siswa?
Kajian Pustaka 1. Kemampuan Pemahaman Matematis Kemampuan adalah daya usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Kemampuan ini berkaitan dengan kompetensi, sedangkan kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak, memiliki sifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih setiap waktu. Pemahaman (understanding) diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari (Sumarmo, 1987). Dengan kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 39
ISSN. 2443-1435 2. Kooperatif Tipe Think Share Model pembelajaran think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompokkelompok kecil. Dengan model pembelajaran ini, siswa dilatih bagaimana mengutarakan pendapat dan siswa juga belajar menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi/tujuan pembelajaran (Trianto, 2007: 61). Tujuannya adalah untuk mendorong siswa untuk berpikir tentang pertanyaan, masalah dan kemudian memperbaiki pemahaman mereka melalui diskusi dengan pasangannya. Dengan langkah langkah berpikir (Thinking, berpasangan (Pairing), berbagi (Sharing) dan langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan.
3. Self Confidence Self confidence atau percaya diri adalah sejauhmana kita punya keyakinan terhadap penilaian dirinya atas kemampuan kita dan sejauh mana kita bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil. Menurut Perry (dalam Sadat, 2013: 19), self confidence adalah kemampuan untuk mempercayai kemampuan sendiri dan setiap orang telah diberi kemampuan untuk percaya diri. Menurutnya, kepercayaan diri merupakan kunci vital untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan, kepercayaan diri membuat seseorang mampu mengatasi tantangan baru, menyelesaikan pemecahan masalahmasalah yang sulit, melewati batasan yang menghambat, dan mengeluarkan bakat serta kemampuan sepenuhnya. Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa self confidence merupakan perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri yang mencakup penilaian dan penerimaan yang baik terhadap dirinya secara utuh, bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain sehingga individu dapat diterima oleh orang lain maupun lingkungannya.
Metode dan Desain Penelitian Adapun desain penelitian yang digunakan adalah. Skema Desain Penelitian Kategori Pemahaman (Pm) Siswa Kemampuan Awal Matematika (KAM)
Kelas Eksperimen
Konvensional (Konv)
Think Pair Share (TPS) Tinggi (T)
Pm TPS- T
Pm Konv-T
Sedang (S)
Pm TPS- S
Pm Konv-S
Rendah (R)
Pm TPS- R
Pm Konv-R
Volume 1, Nomor 1, April 2015 40
ISSN. 2443-1435 Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Data Hasil Angket Self Confidence secara umum
Kelas
Angket Awal Rata-rata
Angket Akhir
Kriteria
Rata-rata
total
Kriteria
total
Eksperimen
78
Tinggi
82
Sangat Tinggi
Kontrol
79
Tinggi
82
Sangat Tinggi
Data Statistik Skor Self Confidence
Kelas
Angket Awal 𝑚𝑛
Eksperime
2,0
n
S ̅
𝑚𝑎𝑘𝑠
48,0
Angket Akhir
116,34
𝑚𝑛
S ̅
𝑚𝑎𝑘𝑠
1,5580
4,0
38,0
122,438
1,2506
,4818
01,0
42,0
123,09
,7448
4
Kontrol
6,0
36,0
118,03 0
1
Ket: Jumlah siswa kelas eksperimen 32 orang Jumlah siswa kelas kontrol 33 orang skor ideal pada angket self confidence adalah 150 Hasil analisis korelasi kemampuan pemahaman matematis dan self confidence siswa seperti pada tabel berikut ini. Hasil Uji Hubungan (Korelasi) antara Kemampuan Pemahaman Matematis dan Self Confidence Siswa Kelas Eksperimen
Volume 1, Nomor 1, April 2015 41
ISSN. 2443-1435
Hasil Uji Hubungan (Korelasi) antara Kemampuan Pemahaman Matematis dan Self Confidence Siswa Kelas Kontrol
Dasarkan hasil analisis hubungan (korelasi) antara postes kemampuan pemahaman matematis dan self confidence siswa, baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol ternyata tidak terdapat hubungan (korelasi) yang positif antara kemampuan pemahaman matematis dan self confidence siswa. Hal ini disebabkan, jika siswa mempunyai kemampuan pemahaman matematis tinggi atau rendah maka dampak ke self confidence nya belum tentu tinggi atau rendah untuk memberikan ideide kreatifnya di depan kelas. Sebaliknya jika siswa tidak mempunyai kemampuan pemahaman matematis tinggi, bisa saja ia memiliki self confidence yang tinggi atau sangat tinggi untuk memberikan ide-ide kreatifnya. Hal ini juga didukung oleh Rohayati (2011) dan Suhardita (2011) bahwa kurang dari 50% siswa masih kurang percaya diri dengan gejala seperti siswa merasa malu kalau disuruh ke depan kelas, perasaan tegang dan takut yang tiba-tiba datang pada saat tes. Pembahasan Berdasarkan data analisis gain ternormalisasi kemampuan pemahaman matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol,
diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata kemampuan pemahaman matematis antara pembelajaran kooperatif tipe think pair share dengan konvensional. Jika dikaitkan dengan data gain ternormalisasi kemampuan pemahaman berdasarkan KAM siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe think pair share dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang dan rendah). Jika dilihat dari rerata gain ternormalisasi, kelas eksperimen lebih kecil dari kelas kontrol maka kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share tidak lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional berdasarkan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah). Banyak faktor yang menyebabkan rumusan masalah yang
Volume 1, Nomor 1, April 2015 42
ISSN. 2443-1435 diajukan tidak sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Diantaranya siswa belum terbiasa melaksanakan pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe think pair share yaitu pada langkah think dan pair. Pada saat think, kegiatan yang dilakukan adalah guru mengajukan suatu permasalahan yang berupa lembar kerja siswa dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawabannya namun pada kenyataannya siswa kurang memahami dalam menjawab suatu permasalahan, sehingga siswa tidak berpikir sendiri, pada langkah pair, kebanyakan siswa hanya mengandalkan orang yang sudah mengerjakan, dan suasana kelas menjadi ramai. Kebiasaan siswa di sekolah dalam pembelajaran matematika hanya bergantung kepada informasi yang disampaikan guru dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran. Padahal, seharusnya siswa bertindak aktif dalam pembelajaran matematika, agar siswa memahami matematika secara lebih dalam serta dapat menemukan pengetahuan sendiri yang harus dimilikinya untuk menghadapi materi selanjutnya. Boaler (dalam Hasnida, N.C.G dan Zakaria, E. 2011) mengemukakan bahwa “siswa dapat memutuskan dan menggunakan sendiri pemahamannya dengan terlibat secara aktif”. Namun ternyata setelah siswa diberi perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share hasil yang diperoleh tidak memuaskan, sehingga pembelajaran dengan model kooperatif tipe think pair share tidak memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap kemampuan pemahaman siswa.
Ditinjau dari hasil pengolahan data angket awal baik kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh nilai rata-rata total berturut-turut adalah 78 dan 79. Sedangkan angket akhir masingmasing rata-rata totalnya adalah 82. Berdasarkan kriteria interpretasi self confidence angket awal tergolong tinggi dan angket akhir tergolong sangat tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa dampak self confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share adalah sangat tinggi. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share tidak lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional berdasarkan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah). 2. Dampak self confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share adalah sangat tinggi. Hal ini diperlihatkan dari data hasil angket self confidence. 3. Tidak terdapat hubungan yang positif antara kemampuan pemahaman matematis dan self confidence siswa.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 43
ISSN. 2443-1435 Daftar Pustaka Al – Uqshary, Y. (2005). Percaya Diri. Jakarta: Gema Insani. Dasari, D. (2002). Pengembangan Pembelajaran Matematika Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang: JICA IMSTEP FPMIPA UPI. Hendriana,H.(2012). “Pengembangan Matematika Humanis dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa”. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No1. Napitulu, E.L. (2012).”Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun”. Kompas (13 November 2013). Rohayati, I. (2011). “Program Bimbingan Sebaya untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa.” Jurnal UPI Edisi Khusus No.1, Agustus 2011. ISSN: 1412565X. Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. ____________. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sahrudin. Asep (2013). Implemetasi Strategi Pembelajaran
Discovery Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Motivasi Belajar Siswa SMA. Thesis pada MPM Pascasarjan Unpas. Unpas Bandung : Tidak Diterbitkan. Suganda, A.T. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas X Madrasah Aliyah. Tesis pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak dipublikasikan. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suhardita, K. (2011). “Efektifitas Penggunaan Teknik Permainan dalam Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa.” Jurnal UPI, Edisi Khusus No.1, Agustus 2011, ISSN: 1412565X. Trianto.
(2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher.
Ubaedy,A.N. (2011). Total Confidence. 9 Langkah Mendongkrak Pede. Bogor: Bee Media Pustaka
Volume 1, Nomor 1, April 2015 44
ISSN. 2443-1435 THE EFFECTS OF TEACHING MODEL AND LEARNING STYLE TOWARDS STUDENTS’ SPEAKING SKILL AT PRIVATE SCHOOLS IN RANGKASBITUNG Erna Irawati
[email protected] Dosen Prodi Pendidikan B. Inggris FKIP Universitas Mathla’ul Anwar ABSTRACT This experimental study aims to identify how significant the effect of collaborative MURDER teaching model towards students‟ speaking skill, the effect of learning style towards students‟ speaking skill and the interaction effect of teaching model and learning style towards students‟ speaking skill. The population is students of Al-Qudwah and Al-Bayan Integrated Junior High School, and the sample are students in class VIII grade consist of thirty and thirty one students in which their English ability are almost same. The technique of getting the samples in this research is clustersampling to get sample randomly. Data is got by using test, posttest after treatment. This research uses oral test to measure students‟ speaking skill. The result of this research are: (1) there is significant effect of collaborative MURDER teaching model towards students‟ speaking skill. (2) There is significant effect of learning style towards students‟ speaking skill. (3) There is no interactive effect of teaching model and learning style towards students‟ speaking skill. The effect of teaching model towards students‟ speaking skill that has been taught by collaborative MURDER teaching model is better than students‟ speaking skill that has been taught without collaborative MURDER teaching model. In learning style, students in visual learning style are better than students in auditory learning style. CollaborativeMURDERcanbe an alternativelearning modelthatcanbe usedinJunior High School.
Keywords: collaborative MURDER, learning style, English speaking skill. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu upaya manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan keterampilan hidup yang perlu ditingkatkan melalui pendidikan atau proses belajar mengajar.Salah satu keterampilan tersebut adalah komunikasi atau keterampilan berbicara.Keterampilan ini yang menjadikan manuusia sukses dalam kehidupan sosial mereka. Hal
ini dapat dicapai secara optimal apabila guru, sebagai agen perubahan, selalu mengembangkan proses belajar-mengajar yang sesuai dengan era dan kondisi saat ini. Salah satu dari banyak cara untuk mencapai tujuan itu adalah mengembangkan program pendidikan yang berfokus pada keterampilan berbahasa siswa. Bahasa memiliki kepentingan besar bagi kehidupan kita sehari-hari.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 45
ISSN. 2443-1435 Mengajar bahasa Inggris tidak hanya mengajar tata bahasa atau struktur, tetapi juga keterampilan bahasa (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis). Salahsatu keterampilan yang penting adalah berbicara karena membantu kita untuk berkomunikasi, menyebarkan atau mendapatkan ide atau informasi.Keterampilan berbahasa Inggris adalah kegiatan yang kompleks dan membutuhkan cara yang tepat dalam pembelajaran tersebut. Dengan demikian, model pembelajaran dan gaya belajar yang mendukung siswa untuk meningkatkan keterampilan berbicara mereka perlu dipertimbangkan. Ihsan (2011:7) menyatakan bahwa ada enam faktor yang memengaruhi kegiatan belajar mengajar, yaitu: tujuan, guru, peserta didik, materi, metode mengajar, dan lingkungan/situasi. Faktor-faktor tersebut meliputi model pembelajaran dan gaya belajar yang memiliki dampak pada keberhasilan siswa dalam mencapai keterampilan mereka. Dalam mengajar berbicara, faktor internal dan eksternal perlu dipertimbangkan oleh guru. Model pembelajaran merupakan salah satu faktor eksternal, dan gaya belajar merupakan salah satu faktor internal yang akan mempengaruhi prestasi siswa. Dalam mengajar berbicara, kelas harus menarik dan atraktif untuk menarik motivasi siswa.Hal itu bisa dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat dan memahami gaya belajar siswa. Selain itu, masalahnya adalah kurangnya motivasi siswa dalam belajar bahasa Inggris.Bahasa Inggris memiliki peran besar dalam hidup kita, dan motivasi belajar siswa dalam
belajar bahasa Inggris akan muncul jika suasana hati mereka baik. Suasana dalam proses pembelajaran penting diperhatikan untuk meningkatkan prestasi siswa karena suasana hati akan meningkatkan sisi positif dalam berpikir, perasaan, dan kegiatan mereka selama proses belajar-mengajar. Berdasarkan permasalahan di atas, sistem atau model pengajaran harus mempertimbangkan suasana hati untuk melakukan proses belajar mengajar yang efektif dan optimal yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Menurut Bisri (2008:1) pembelajaran yang efektif melibatkan semua siswa untuk menjadi pemelajar aktif secara fisik, mental dan sosial. Syah (2001:237) mengatakan bahwa proses belajar-mengajar perlu menerapkan interaksi timbal balik dan mengambil keuntungan dari konsep multi arah untuk menciptakan pembelajaran aktif siswa. Salah satu metode pengajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif tidak sama dengan pembelajaran kooperatif, pembelajaran kolaboratif lebih dari pembelajaran kooperatif. Wahyudin (2008:349) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pengalaman yang menanamkan rasa kesadaran dalam proses belajar siswa bahwa mereka adalah tim. Ini adalah teknik untuk mencapai hasil tertentu yang lebih cepat, lebih baik dan setiap orang melakukan sedikit tugas daripada jika semua tugas harus dilakukan oleh sendiri. Sementara pembelajaran kolaboratif mencakup semua proses pembelajaran, siswa
Volume 1, Nomor 1, April 2015 46
ISSN. 2443-1435 saling mengajar dan mungkin juga jika siswa yang mengajar guru. Borich dalam Setyosari, (2009:7) menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan keterampilan untuk bertukar pikiran dan perasaan diantara siswa satu sama lain pada tingkat yang sama. MURDER merupakan singkatan yang terdiri dari Mood (Suasana Hati), Understand (Memahami Konsep), Recall (Pengulangan), Detect (Mendeteksi), Elaborate (Menguraikan), dan Review (Mengulang). Dalam kolaboratif MURDER, fokus pertama adalah untuk membangkitkan suasana hati siswa dalam belajar. Paradigma ini akan menghasilkan sikap positif terhadap belajar, maka siswa akan siap untuk berpikir, merasa, dan melakukan kegiatan belajar dengan baik. Kolaborasi MURDER juga menekankan pemahaman yang kuat tentang konsep, pengulangan materi untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep yang telah dipelajari, deteksi kesalahan atau solusi dari masalah yang diberikan, dan solusi yang rumit menjadi lebih lengkap dan sempurna, sehingga siswa terbiasa mengasosiasikan dan menganalisa masalah dengan konsep terkait. Berdasarkan penjelasan di atas, diharapkan bahwa kolaboratif MURDER dapat menjadikan kelas efektifdan dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Pembelajaran efektif terjadi ketika siswa berperan aktif dan terlibat dalam tugas dan interaks dengan materi ajar. Menurut Tying, kolaboratif MURDER membantu dalammengingat, memahami, menguraikan dan mengananlisis
pengetahuan lebih dalam. Kolaboratif MURDER diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Di samping itu, pengaruh gaya belajardalammeningkatkan keterampilan berbicara dianggap penting pula. Cara siswa belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing pun harus lebih banyak melibatkan siswadan menghasilkan pengetahuan lebih bermakna dan dapat dipindahtangankan dalam peserta didik. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat pengaruh model mengajar terhadap keterampilan belajar siswa? 2. Apakah terdapat pengaruh gaya belajar terhadap keterampilan belajar siswa? 3. Apakah terdapat pengaruh interaksi model pembelajaran dan gaya belajar terhadap keterampilan berbicara siswa? Metode Penelitian Penelitian ini menganalisis pembelajaran bahasa Inggris melalui model pembelajaraan kolaboratif MURDER dan menganalisis gaya belajaruntuk mengetahui pengaruhnya dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa, oleh karena itu penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen ini adalah penelitian untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Ada dua variabel terikat dan satu variabel bebas dalam penelitian ini.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 47
ISSN. 2443-1435 Penelitian eksperimen ini menggunakan model pembelajaran yang berbeda.Model pembelajaran kolaboratif MURDER diberikan kepada kelas eksperimen, dan kelas kontrolmenggunakan model pembelajaran konvensional. Gaya belajar yang diterapkan di kedua kelompok; eksperimen dan kontroli adalah; auditoridan visual. Desain penelitian yang digunakan adalahDesain
Faktorialsebagai
berikut:
Sampel dan Populasi Penelitian Subjek dari populasi penelitian ini adalah siswa dari dua sekolah di SMP Terpadu di Rangkasbitung, yaitu SMP Terpadu Al-Qudwah dan SMPTerpaduAl-Bayan.Penelitian inidilakukan di kelas VIII. Di SMP Terpadu Al-Bayan, kelas VIII terdiri dari empat kelas di mana setiap kelas memiliki keterampilan bahasa Inggris yang sama. Sementara itu, di SMP Terpadu Al-Qudwah, kelas VIII terdiri dari empat kelas yang masing-masing kelas juga memiliki keterampilanberbahasa Inggris yang sama. Informasi ini didapat berdasarkannilai siswa dari guru bahasa Inggris yang mengajar di kelas VIII disana.Semua subjek populasi
dari delapan kelas di dua sekolah tersebut adalah 259 siswa. Terdapat dua kelas dalam penelitian ini; eksperimen dan kontrol. Kelas eksperimen adalah kelompok siswa yang diajar denganmodel pembelajaran kolaboratif MURDER dan kelas kontrol adalah kelompok siswa yang diajar dengan model konvensional.Penelitian dilakukan di kelas VIII putriSMP Terpadu AlQudwah sebagai sampel dalam penelitian ini. Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua varabel bebas dan satu variabel terikat.Variabel bebas dari penelitian ini adalah model pembelajaran kolaboratif MURDER dangaya belajar, sedangkan variabel terikatnya yaitu keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Penelitian ini mengukur keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang diukur oleh oleh model pembelajaran kolaboratif MURDER dan gaya belajar.
Hasil Temuan dan Diskusi Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh signifikan model pembelajaran kolaboratif MURDER terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional dengan mempertimbangkan gaya belajar mereka. Dalam penelitian ini, speaking test dilakukan satu kali di pertemuan terakhir setelah treatment.Tes ini diberikan kepada kelompok eksperimen dan kontrol.Kelompok
Volume 1, Nomor 1, April 2015 48
ISSN. 2443-1435 eksperimen diberi model pembelajaran kolaboratif MURDER dan kelompok kontrol diberi model pembelajaran konvensional.Keterampilan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah keterampilan berbicara dengan diberikan monolog dalam bentuk recount dan narasi untuk berinteraksi dalam kehidupan sosial mereka, sehingga dapat dilihat apakah ada pengaruh yang signifikan atau tidak dari kolaboratif MURDER terhadap keterampilan berbicara siswa.
(A2), dan dengan melihatgaya belajar siswa; visual (B1) dan auditori (B2). Dan menyatukan model pembelajaran kolaboratif MURDER dan gaya belajar visual (A1B1),model pembelajaran kolaboratif MURDER dan gaya belajar auditori (A1B2), model belajar konvensional dangaya belajar visual (A2B1), model belajar konvensional dangaya belajar auditory (A2B2). Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.Deskripsi Statistik
1. Deskripsi Data Ada tiga faktor dalam penelitian ini; pengaruh model pembelajaran kolaboratif MURDER terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa, pengaruh gaya belajar terhadap keterampilan berbicara siswa, dan pengaruh interaksi antara kolaboratif MURDER dan gaya belajar terhadap keterampilan berbicara siswa. Data diperoleh melalui tes yang diberikan kepada kelas eksperimen dan kontrol untuk mengetahui keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dan menyebarkan kuesioner untuk mengetahui gaya belajar siswa.Skor keterampilan berbicara diperoleh setelah mengklasifikasikan kelas menjadi kelas eksperimen yang menerapkan kolaboratif MIURDER (A1), kelas kontrol yang menerapkan model konvensional
2. Hipotesis Penelitian Untuk mengeetahui perbedaan diantara masing-masing grup dan interaksi diantara variabelnya, digunakan tes Turkey. Selain itu, tes ini digunakan untuk mengetahui kelompok mana yang lebih baik setelah perlakuan yang diterapkan; model pembelajaran kolaboratif MURDERatau konvensional berdasarkan gaya belajar siswa. Berikut adalah ringkasan dari analisis data:
Volume 1, Nomor 1, April 2015 49
ISSN. 2443-1435 Tabel 5. Tes Pengaruh Interaksi
A. Diskusi Hasil temuan dan diskusi penelitian ini didasarkan pada faktorfaktor yang diteliti. Faktor tersebut meliputi pembelajaran bahasa Inggris menggunakan kolaboratif MURDER, gaya belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Inggis dengankolaboratif MURDER, dan pengaruh interaksi dari kedua model pembelajaran kolaboratif MURDERdangaya belajar terhadapketerampilan berbicara bahasa Inggris siswa. 1. Terdapat pengaruh signifikan model pembelajaran kolaboratif MURDER terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Berdasarkan analisis hasil penelitian, model pembelajaran kolaboratif MURDER memiliki pengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa.Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan nilai rata-rata keterampilan berbicara di kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah treatment.Model pembelajaran kolaboratif MURDER efektif dalam meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar bahasa Inggris siswa khususnya dalam keterampilan berbicara, terlebih lagi didukung dengan menggunakan video atau bahan ajar audio yang dikombinasikan dengan gaya belajar siswa. 2. Terdapat pengaruh signifikan gaya belajarterhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Dalam pengujian hipotesis pengaruh keterampilan berbicara siswa yang memiliki gaya belajar visual dan auditori, berdasarkan ANOVA 2 cara dengan program SPSS 20.0, nilai signifikansi untuk gaya belajar adalah 0,002 <0,005. Hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh gaya belajar terhadap keterampilan berbicara siswa, dan didukung oleh nilai rata-rata gaya belajar visual dan auditori. Siswa visual mendapat skor rata-rata 77,00sedangkan siswa auditori mendapat skor rata-rata 71,23. Kesimpulannya siswa visual lebih baik daripadasiswa auditori, tetapi kedua gaya belajar; visual an auditori memberikan pengaruh
Volume 1, Nomor 1, April 2015 50
ISSN. 2443-1435 terhadap keterampilan berbicara siswa. 3. Tidak terdapat pengaruh signifikan model pembelajaran kolaboratifMURDER dan gaya belajar terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Nilai signifikansi model pembelajaran dan gaya belajar dari hasil perhitungan ANOVA 2 cara adalah 0,424 <0,05 dengan F = 0,648. Ini berarti Ho diterima yang dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari model pembelajaran dan gaya belajar terhadap keterampilan berbicara siswa. Oleh karena itu tidak ada uji lanjut. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dalam hasil penelitian dan temuan keterampilan berbicara bahasa Inggris antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kolaboratifMURDER dan siswa yang diajar tanpa perlakuan khusus dengan gaya belajar mereka, kesimpulan adalah sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh signifikan model pembelajaran terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang dibuktikan dengan nilai F 62.726 dengannilai signifikansi 0.000 < 0.05. Kesimpulannya, pembelajaran bahasa Inggris menggunakan model pembelajaran kolaboratif MURDER dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. 2. Terdapat pengaruh signifikan gaya belajar terhadapketerampilan
berbicara bahasa Inggris siswa.Hal ini dibuktikan dengan nilai F 10.492 dengan nilai signifikansi 0.002 < 0.005.Kesimpulannya, terdapat pengaruhgaya belajar terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Tetapi siswa dengan gaya belajar visualmencapai hasil lebih baik dalam tes berbicara daripada siswa auditori. 3. Tidak terdapat pengaruh interaksimodel pembelajaran dan gaya belajarterhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang dibuktikan dengan nilai F 0.648 dengan nilai signifikansi 0.424 >0.05.Kesimpulannya, tidak ada pengaruh interaksi model pembelajaran dan gaya belajar terhadap keterampilan bebicara siswa.Oleh karena itu tidak ada uji lanjut. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut. 1. Untuk guru bahasa Inggris, model pembelajaran kolaboratif MURDER dapat digunakan sebagai alternatif model pembelajaran dalam pengembangan pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Karena dapat diterapkan untuk setiap materiajar bahasa Inggris. Model pembelajaran kolaboratif MURDER dapat menjadi model pembelajaran alternatif untuk diterapkan dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa. 2. Untuk menerapkan pembelajaran kolaboratif MURDER, guru harus membuat skenario dan
Volume 1, Nomor 1, April 2015 51
ISSN. 2443-1435
3.
perencanaan, sehingga pembelajaran dapat terjadi secara sistematis sesuai dengan rencana, dan pemanfaatan waktu yang efektif agar tidak ada waktu yang terbuang oleh hal-hal yang tidak relevan pada saat pembangunan suasana hati (mood) siswa, memahami, mengingat, mendeteksi, menjelaskan kembali dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas. Model pembelajaran kolaboratif MURDER membutuhkan waktu lebih lama dari pembelajaran konvensional. Dengan demikian model pembelajaran kolaboratif MURDER dianjurkan untuk diterapkan di topik bahasa Inggris yang penting, seperti teks fungsional; deskriptif, naratif dan recount, sehingga siswa dapat menerapkan ilmu dan prosedur yang dipelajari.
Rekomendasi bagi peneliti selanjutnya adalah untuk menganalisis dan melihat pengauh model pembelajaran kolaboratif MURDER terhadap kemampuan bahasa Inggris yang lain, seperti menulis, mendengarkan danmembaca. Penelitian ini dilakukan di SMP Swasta di Rangkasbitung, penelitian
selanjutnya dapat diterapkan di daerah lain di tingkat sekolah yang berbeda, SMA atau Perguruan Tinggi. Daftar Pustaka Hughes, A. 1991. Testing for Language Teachers. New York: Cambridge University Press. Ihsan, F. 2011. Dasar-Dasar Kependidikan.Jakarta: Rineka Cipta. Izzati, N. 2010. Meningkatkan Keterampilan Berpikir Matematis pada Tingkat Koneksi dan Analisis Siswa MTS Negeri melalui Pembelajaran Kolaboratif MURDER. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan. Jacobs, dkk. 1997. Cooperative Learning in the Thinking Classroom: Research ad Theoretical Perspectives. Presentasi dalam International Conference on Thinking:Singapore. Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Landasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial.Malang: UNM. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Syah, M. 2001. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung: UPI
Volume 1, Nomor 1, April 2015 52
ISSN. 2443-1435 THE EFFECTIVENESS OF TEACHING METHODS AND LEARNING STYLE TO IMPROVE STUDENT’S WRITING ABILITY AT 10th GRADE OF SMKN 2 PANDEGLANG ACADEMIC YEAR OF 2014/2015 Rani Dewi Yulyani Department of English Language, University of Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta ABSTRACT This study deals with the investigation between teaching methods and learning style. The process in conducting the study, two classess were chossen as sample in sixteen classes. The implicit and explicit methods choosen to know which method gives significant effect to the students deals with their learning style, holistic and sequential learners. The study focused on student‟s writing ability, recount text. The first class used the implicit method as the experiment class and the other used explicit method as a comparison class. To see which methods were more effectives to introduce the simple tenses that are on the recount text. It also to see whether learning style gives significant effect on both method. The result of the study suggest that the materials given are not deep enough to see the difference on both methods. It was suggested to provide more materials related to the structure of grammar to deeply see the difference between the methods. Key words: teaching methods, learning style, structure of grammar Introduction English is stated as the first foreign language in Indonesia. As the first foreign language, English is included in curriculum as one of the foreign language that should be studied by students. It means that every school in Indonesia has to insert English as one of the language subjects. The syllabus shows the competence covered the four skills; listening, reading, speaking, and writing. Students have to master the skills which materials and competency are stated at the syllabus. However, the teacher needs to see the detailed materials that the students have to master, do selecting process of materials, then deciding which material comes first, then others. Harmer(1991) states that the teacher needs to see each part of linguistic
studies of the student learn, still the teacher has to select and decide when parts of the material that they have to know and learn.This organization of the detailed materials and its competence, called a syllabus. It covers all the skills. Based on Cushing (2002), she states that writing is more real to bring the understanding and sense as the goal of language study, which not only as the goal of study.It means that the skill improvement can be seen when written language can be as media for students to communicate. It can be as a measurement of students‟ success. However, there are so many components in English study to have good in writing. Grammar is a significant point to improve students‟ language ability in every skill, especially in writing. The process deals on the grammar in
Volume 1, Nomor 1, April 2015 53
ISSN. 2443-1435 making good writing. It cannot be questionable. The method in introducing grammar to the students must be as consideration. The explicit method uses to present the grammar which is stated at the syllabus on each grade. It is because easier for teacher to explain rather than let the students analyze the substance of the linguistics. However, the teaching of grammar which is stated at the curriculum 2013 uses different method that the students have to be active in finding out of every aspect of linguistics by themselves. It means that the students have to be taught implicitly about grammar. It is much more as student‟s center (implicitly) rather than teacher‟s centre (explicitly). The students use their cognitive process to find the information. This research uses sequential and holistic learning style. Sequential learners are focusing on the teacher explanation, individual, verbal sorting and holistic learners are visual learners, like to work in group, use many sources to take information. It can be seen that each students has their style in learning, the teacher has to provide the suitable teaching method to accommodate the student‟s learning style. It can be inferred that the use of explicit method for the sequential learners and implicit method is for holistic learners. These factors will see the effectiveness of explicit and implicit methods as the teaching methods. The sequential and holistic learners are as learning style. The use of both methods and the appropriate learning style will be used to improve student‟s writing ability. It is to prove whether implicit teaching method is suitable for holistic learners and explicit
teaching method is really suitable for sequential learners. Implicit Teaching Method Harmer (1987) explains the term of implicit and explicit method with covert and overt grammar teaching. Covert grammar teachingis where grammatical facts are hidden from the studentsand overt- grammar teaching means that the teacher actually provides the students with the grammatical rules and explanations. It can be inferred that implicit method is the teaching method where the material is not directly introduced to the students, while explicit method uses direct method to introduce material to the students. It can be inferred that implicit method much more on the students‟ comprehension of what is displayed by teacher. Arthur reber on Long (2003)states, implicit learning as a primitive process of apprehending structures by attending to frequency cues. Based on the theory the researcher summarizes that implicit method puts where the grammar is not teach directly. It is in on the real context that the students need to comprehend more of what they learn. Explicit Teaching Method Researchers have different labels on explicit and implicit method. Harmer labels the explicit as overt grammar teaching and implicit as covert grammar teaching. Snow (2007) labels explicit grammar instruction as deductive approach and implicit grammar instruction as inductive approach.And Ellis (2009) uses explicit and implicit to differentiate between the method of the teaching grammar.The
Volume 1, Nomor 1, April 2015 54
ISSN. 2443-1435 explanation is only the different term that the researcher uses for implicit and explicit method. The explanation below is going to explain more clearly what the explicit method is. It is stated by Cowan (2008). He states that the explicit grammar method is as focus on forms, it teaches more than the learner needs, does not present a realistic model of language use.It is known that the teacher will only explain the form without presenting it into the real context of the form that is given. Based on the theory the researcher summarizes that the explicit method uses direct method to introduce grammar instruction. It means that the learners focus on the structure which is given by the teacher. The objective is only the target language that is given in the class.
information, select certain information for further processing, use meanings; values; skills; strategies to solve problems, make decisions, and create new meanings, change any or all of the processes or structures described in this list. Based on the explanation above, the researcher summerizes that learning style is the strategy that is used by someone to comprehend easily the materials or information that is given.
Learning Style Desmarais and Rithie (2001) gives explanation what is learning cited on Schunk (1991), Learning involves the acquisition and modification of knowledge, skills, strategies, beliefs, and behaviours. Learning style means the strategy that is used to learn. Verster (2010) gives the meaning of learning style which is stated by Ellis (1985), Learning style as the more or less consistent way in which a person percieves, conceptualizes, organizes, and recalls information. It means that the style of someone learning to take their understanding on what they learn. On this research, the researcher uses two learning styles. MacKeracher (1996) states the definition of learning style on Herod (2004), learning styles may be thought of as the way in which people: take in
Population The population of the research was the students of Vocational High School (SMKN) 2 Pandeglang in the academic year of 2014/2015.
Research Method Place of the Research The study was conducted at SMKN 2 Pandeglang. The school is located in Pandeglang. The address is Jl. Amd. Km 03 KadubanenPandeglang-Banten. The school has classes, each level has 13 classes.
Finding And Discussions The findings on this study are to answer the research questions. Here are the explanation: 1. Is there significant effect of implicit method in student‟s writing ability? 2. Is there significant effect of explicit method in student‟s writing ability? 3. Is there significant difference of student‟s writing ability between students who were taught by using implicit and explicit method? 4. Is there significant difference between students who is holistic learner and those who is
Volume 1, Nomor 1, April 2015 55
ISSN. 2443-1435 sequential learner in relation with their writing ability? 5. Is there significant interaction between teaching methods and learning style on student‟s writing ability?
The researcher used the SPSS 20 by using dependent t-test and two way anova. The scores were gained from both pre-and post-test scores. Here are the description;
Table 2 The Description of Students’ Number Between-Subjects Factors
Teaching Method
Value Label
N
\Implicit 1 Method
2 4
Explicit 2 Method
2 4
Holistic 1 Learner
Learning Style
2 4
Sequential 2 Learner
2 4
1. The significant effect of implicit method in student’s writing ability. Table 3 and Table 4 used the paired sample t-test to see the mean differences of the result based on pre-and post test at implicit class. Here are the tables:
Table 3 Paired Samples Statistic Implicit Method Paired Samples Statistics Mean
air 1
N
Std.
Std.
Deviation
Error Mean
Post-Test P
74.88
24
5.605
1.144
Pre-Test
54.04
24
10.960
2.237
Table 4 Paired Samples Test Implicit Method
Volume 1, Nomor 1, April 2015 56
ISSN. 2443-1435 Paired Samples Test Paired Differences M Std. ean
Std.
t
Sig. d
f (2-tailed)
95%
Deviation Error Mean Confidence Interval of the Difference
ost-Test
Pair 1
Pre-Test
0.833
12.603
2.573
The estimation is that if pvalue which is shown on sig(2-tailed) is lower than α = 0,05 and if tobserved is higger than tα(0.05) = df 24 = n-1 meaning that there is a significant effect of the use of implicit method on student‟s writing abilitybetween means score of pre-test and post test at implicit class. The assumption is H1 is accepted and H0 is rejected. 2.
Lower
Upper
15.511
26.155
.098
3
.000
The table above shows that pvalue 0.000 <α = 0,05 and tobserved = 8.098 > tα(0.05) = 1.714. Based on the estimation above, it can be interpreted that there is significant effect of the use of implicit method on student‟s writing ability between means score of pre-test and post-test at implicit class.
The significant effect of explicit method in student’s writing ability.
Table 5 and Table 6 used the paired sample t-test to see the mean differences of the result based on pre-and post test at explicit class. Here are the tables: Table 5 Paired Samples Statistic Explicit Method Paired Samples Statistics Mean N Std.
air 1
Std.
Deviation
Error Mean
Post-Test P
75.50
24
6.521
1.331
Pre-Test
59.79
24
10.517
2.147
T
Volume 1, Nomor 1, April 2015 57
ISSN. 2443-1435 Table 6 Paired Samples Test Explicit Method Paired Samples Test Paired Differences Mean
Dft
Std.
Std. Error
95% Confidence
Deviation
Mean
Interval of the
Sig. (2-tailed)
Difference
air 1
ost-Test - Pre-Test
5.708
12.533
2.558
The estimation is if p-value which is shown on sig(2-tailed) is lower than α = 0,05 and if tobserved is higger than tα(0.05) = df 24 = n-1 means that there is significant effect between means score of pre-test and post-test at explicit class (explicit method)in student‟s writing ability. The assumption is H1 is accepted and reject H0.
Lower
Upper
10.416
21.001
140
23
.000
The table above shows that pvalue 0.000 <α = 0,05 and tobserved = 6.140 > tα(0.05) = 1.714. Based on the estimation above, it can be interpreted that there is significant effect of the use of explicit method on student‟s writing ability between means score of pre-test and post-test at explicit class.
3. The significant difference of student’s writing ability between students who were taught by using implicit and explicit method. Table 7 Test of Between Subjects Effect Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Writing Ability Source
Type III Sum of
Df
Mean Square
Sig. F
Squares Corrected Model
Partial Eta Squared
112.896a
3
37.632
1.040
.384
066
271351.688
1
71351.688
7497.707
.000
994
TeachingMethod
4.688
1
4688
.130
.721
003
LearningStyle
25.521
1
25.521
.705
.406
016
TeachingMethod *
82.688
1
82.688
2.285
.138
049
Error
1592.417
44
36.191
Total
273057.000
48
1705.313
47
Intercept
LearningStyle
Corrected Total
a. R Squared = .066 (Adjusted R Squared = .003)
Volume 1, Nomor 1, April 2015 58
ISSN. 2443-1435
The estimation is if Ftabis higher than Fα(0.05) than reject H0. It can be seen on the table that Ftab (0.130) is less than Fα(0.05)= 4.08. It can be interpreted that there is no significant difference between students who were taught by using implicit method and those who were taught by using explicit method in relation with their writing ability. It means that H0 is accepted. Due to the result of p-value based on Table 8, it can be seen that p-value of teaching
method on sig=0.721 is higher than α=0.05. It can also interpreted that there is no significant difference of students‟ writing ability between students who were taught by using implicit method and those who were taught by using explicit method.
4. The significant different between students who is holistic learner and those who is sequential learner in relation with their writing ability. Table 8 Test of Betw een Subjects Effect Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Writing Ability Source
Type III Sum Df
Mean Square
F
Sig. Partial
of Squares
Eta Squared
Corrected Model
112.896a
3
37.632
1.040
.384
.066
Intercept
271351.688
1
271351.688
7497.707 .000
.994
TeachingMethod
4.688
1
4.688
.130
.721
.003
LearningStyle
25.521
1
25.521
.705
.406
.016
82.688
1
82.688
2.285
.138
.049
Error
1592.417
44
36.191
Total
273057.000
48
Corrected Total
1705.313
47
TeachingMethod * LearningStyle
a. R Squared = .066 (Adjusted R Squared = .003) The estimation is if Ftabis higher than Fα(0.05) than H0is rejected.It can be seen on Table 10
that Ftab(0.705) is less than Fα(0.05)= 4.08. It can be assumed that there is no significant difference between
Volume 1, Nomor 1, April 2015 59
ISSN. 2443-1435 students who is holistic learner and those who is sequential learner in relation with their writing ability. It means that H0 is accepted. Related to the p-value (sig) of learning style, it can be seen that p-value (0.406) is
higher than α=0.05, it is obviously stated that there is no significant difference between students who is holistic learner and those who is sequential learner in relation with their writing ability.
5. There is no significant interaction between teaching methods and learning style on student’s writing ability? Table 9 Test of Between Subjects Effect Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Writing Ability Source Type III Sum
Df
of Squares
Mean
F
Sig.
Square
Corrected Model
112.896a
Intercept
271351.688
TeachingMethod
4.688
1
LearningStyle
25.521
Squared
37.632
1.040
.384
.066
1 271351.688
7497.707
.000
.994
4.688
.130
.721
.003
1
25.521
.705
.406
.016
82.688
1
82.688
2.285
.138
.049
Error
1592.417
44
36.191
Total
273057.000
48
Corrected Total
1705.313
7
TeachingMethod * LearningStyle
3
Partial Eta
a. R Squared = .066 (Adjusted R Squared = .003) The estimation is if Ftabis higher than Fα(0.05) than H0is rejected.It can be seen on Table 9 that Ftab(2.285) is less than Fα(0.05)= 4.08. It can be assumed that there is no significant difference between students who is holistic learner and those who is sequential learner in relation with their writing ability. It means that H0 is accepted. Related to the p-value (sig) of learning style, it can be seen that p-value (0.138) is higher than α=0.05, it is obviously stated that there is no significant
interaction between methods and learning student‟s writing ability
teaching style on
The Discussion Connected to the research finding that was explained above, focusing on the teaching method due to the materials given, it is known that implicit method has significant effect on improving student‟s writing ability. It can be concluded that there is significant effect of the use of
Volume 1, Nomor 1, April 2015 60
ISSN. 2443-1435 implicit method in student‟s writing ability. In line with Andrews (2007) if adult of language learners have sufficient opportunity to interact with the new learning, the have the cognitive ability to unconsciously analyze the material and transfer that learning to the new experiences. Green and Hecht (1992) on Ellis (2009), they gave suggestion due to the result of the research that the implicit knowledge has to be given to the learners. Andrew(2009) on his research found that students got different result due to his grammar rule study. He used three rules of grammar, which are complex rule, rules combined, and simple rule. He did the research at private school with 70 participants in grade 7 to 12. He found that the students who are taught by explicit method did higher result on complex rule and combined rule. However, for simple rule, there is no significant effect on student‟s who are taught implicitly and explicitly on student‟s writing ability. The differences between the researcher research and Andrews‟ is Andrew introduced two grammar structures which are simple rule (subject-verb agreement) and complex rule (relative clauses). However, this research only focus on the simple rule of tenses that are on the recount text. Conclusion In conclusion, both methods, implicit and expicit can be the good methods to introduce the grammar to the students since there are significant effect that is shown both on the previous research and related to this research. It should be an alternative of teaching method
especially to improve student‟s writing ability. It also can significantly effect student‟s writing ability due to their grammar. Recommendation In line with the discussion above, it is because this study only used the simple rules to see the significant effect on both methods, implicit and explicit teaching methods. So, this study has not yet to see on what level both teaching methods have their difference in improving student‟s writing ability. It is recommended to use more materials related to therole ofgrammar to see the effect of both teaching methods and student‟s learning style. References Brown, Douglas H. 2004. Language Assessment: Principle and classroom practices. New York: Pearson Education, Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: an Interactive Approach to Language Pedagogy. Second Edition. San Francisco State University Coulmas, Florian. Writing Systems: An Introduction to their Linguistic Analysis.Cambridge: Cambridge University Press, DepartemenPendidikanNasional. 2013. Kurikulum SMA/SMK/MA. Jakarta: DEPDIKNAS Gebhard, G Jerry. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: a Teacher Self-
Volume 1, Nomor 1, April 2015 61
ISSN. 2443-1435 Development and Methodology Guide. USA: The University of Michigan Press, Gould, Eric, Robert DiYanni, and William Smith. 1989. The Act of Writing. New York:Random House. Harmer, Jeremy. 2007. How to teach English. New York: Longman. Olson, R. David. 2012. Writing: Language Communication. Encyclopedia Britannica, Inc. accessed on March 28th, 2014 at 15.00 on elibraryUSA.
Stubbs, Sue. 2000. Targeting Text Information: Recount, Information Report, and Explanation. Australia: Blake Education, Tarigan, Guntur Henry. 1985. MenulisSebagaiSuatuKeterampi lanBerbahasa. Bandung: Angkasa, Ur,
Penny. 2003. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. Cambridge: Cambridge University Press,
Richards C Jack,and Willy A. Renandya. 2002. Methodology in Language Teaching. United States of America: Cambridge University Press,
Wallwork, Adrian. 2011. English: for Writing Research Papers. Cited on Nicholas Highman on Handbook of Writing for the Mathematical Sciences, New York:Springer,
Snow, Don. 2007. From Language Learner to Language Teacher: An Introduction to Teaching English as a Foreign Language. USA: TESOL,
Weigle, Cushing Sara. 2002. Assessing Writing.Edited by J. Charles Alderson and Lyle F. Bachman. Cambridge: Cambridge University Press,
Volume 1, Nomor 1, April 2015 62
ISSN. 2443-1435 ENHANCING STUDENS’ ACTIVE INVOLVEMENT IN READING LEARNING AND READING COMPREHENSION BASED ON THE READING TEXT-BASED SITUATIONAL NEEDS AND INTEREST Yudi Rahmatullah ABSTRACT The research aims to enhance the students‟ active involvement in reading learning and reading comprehension based on the reading text-based situational needs and interest. The research is conducted in SMAN Cahaya Madani Banten Boarding school (CMBBS) at the twelfth grade students. The data is collected from interview, observation and questionnaire. The data is analyzed from the students‟ active involvement in reading learning and the students‟ reading comprehension based on the reading text-based situational needs and interest. From the two types of the reading texts, the researcher sees the students‟ active involvement in each group and amongst the group in reading learning and the students‟ reading comprehension on the reading text-based situational needs and interest. The findings of the research are the students‟ active involvement in reading learning using the reading text-based situational needs is well-enhanced and the students‟ reading comprehension using the reading text-based situational needs is also wellenhanced. The students involved themselves actively in reading learning on the reading text-based situational needs in each group and amongst the groups and the students comprehended the reading text-based situational needs well. The conclusions of the research are the reading texts-based situational needs can enhance the students‟ active involvement in reading learning and the students‟ reading comprehension on the reading texts. INTRODUCTION Reading is one of the receptive skills that must be mastered by students. This skill is very complex in the process of providing information and knowledge in different varieties of reading texts. It requires students to grasp important information and understand ideas and thoughts on what the reading texts convey. The process on reading needs concentration and involvement. The students need concentration to read the texts in order to be able to identify the important information, ideas and thoughts. They must recognize some detailed ideas to general ones, so that they are able to comprehend the whole content of the reading texts. They also need to get important
information and understand the knowledge on the reading texts. Meanwhile, involvement means the students read the reading texts without any difficulties. Since they recognize the meaning of the words, phrases, and sentences on the reading texts, they will find the reading texts easy to understand. The students, of course, will involve actively to the reading learning in order to find some important information on the reading texts. They will comprehend the whole content of the reading texts clearly to further recognize some detailed ideas. In facts, in English as Foreign Language (EFL) class, the students are lack of concentration and involvement in reading learning. The students do not involve on reading the texts with their peers in class and do not
Volume 1, Nomor 1, April 2015 63
ISSN. 2443-1435 concentrate on finding the ideas and important information on the texts. Due to some difficulties to identify the meaning of words, phrases, and sentences, the teacher needs some techniques to let the students read the texts and involve themselves actively on reading learning. The students‟ comprehension in reading needs to be improved and their involvement in reading texts must be enhanced in order to make them more active in reading learning activity. To make the students involve in reading learning and concentrate to read the reading texts, researcher tries to provoke the students use their „schema‟ or pre-existent knowledge which is used to comprehend the reading texts. The students‟ background knowledge will increase their understanding to the reading texts. Researcher tries to activate the students‟ schema’ to make the students involve actively on reading learning and comprehend the texts by choosing the appropriate reading texts that are proper for their level on reading materials. There are two types of the reading texts that researcher selects on this research. The first type is the reading text-based situational needs and the second one is the reading text-based interest. the reading text-based situational needs and interest will activate the students‟ background knowledge when they are reading the reading texts. They will be able to comprehend the text easily and they will be able to involve themselves actively in reading learning. They do not waste the time to translate word by word to know the meaning of the whole reading texts.
Besides the reading text-based situational needs that explain about culture, the researcher also notices the reading text-based interest. The textbased interest is the way to involve the students actively on the texts since they choose their own interest to read and discuss certain topics in class. The text-based interest will be appropriate reading texts since the students read what they want to and they know the topics of the reading texts. They will recognize what to be the content of reading texts and what the texts are all about. If the students know the topics of the reading texts and they recognize the meaning of words, phrases and sentences, they will be able to understand its content easily. Therefore, researcher will investigate the students‟ active involvement and the students‟ reading comprehension on reading texts based on the students‟ situational needs and the students‟ interest. Researcher will put the students in groups, so they are able to predict, discuss, and share the reading texts with their peers, and of course they will get more opportunities to work together. RESEARCH QUESTION In order to have a specific way to solve these problems, it is important to construct the following questions: 1. How to enhance the students‟ active involvement in reading learning and reading comprehension on reading text? 2. Are the text-based situational needs and interest able to enhance the students‟ active involvement in reading learning and reading comprehension?
Volume 1, Nomor 1, April 2015 64
ISSN. 2443-1435 METHODOLOGY The researcher used a case study. The case study describes the detailed information form the research. It describes then about individual or groups of actors, and seeks to understand their perceptions of events said Cohen (2001). In this research, individual and groups were the students who involved on investigating the students‟ active involvement and the students‟ reading comprehension on reading texts based on the students‟ situational needs and interest. This research was involved three phases. For each phase, researcher paid attention to the students‟ active involvement and reading comprehension to the two kinds of reading texts; text-based situational needs and text-based interest. There were two titles for textbased situational needs (Appendix 1) and different ten titles for text-based interest (Appendix 2). Researcher observed the process of reading learning using those kinds of texts. Researcher subsequently emphasized to the students' active involvement in reading learning and the students' reading comprehension on reading texts individually an in a group. So, during the six weeks, researcher focused on collecting the data and analyzed the data from the interviews, observations, questionnaires. After researcher got the data from interview, then researcher observed the students by using the two types of reading texts. The first and second week observation, later researcher compared them. Which types of reading texts showed the best enhancement on the students‟ active
involvement in reading learning and the students‟ reading comprehension on the reading texts. The third to the forth data are obtained to see the consistency and stability of the first and second data. For the last data collecting, the researcher gave the questionnaire to the students. So, it was enough for researcher to collect the data from interviews, observations, and questionnaires for six weeks. 1. Participants The data was obtained through the students‟ activities and experiences in reading classroom. There are 4 classes of twelfth graders at SMAN Cahaya Madani Banten Boarding School (CMBBS); however researcher took one class as a sample in this research. The class consists of 20 students from XII IPA2 graders. The data was gathered from them through interviews, observations, and questionnaire. FINDINGS AND DISCUSSION Interview From the students‟ answers on interview, the researcher found the important things that would be the factors to enhance the students‟ active involvement in reading learning and reading comprehension. Firstly, the students did not get various reading texts. They did not get reading texts that were interesting and new for them. Beside that, the students did not get reading texts that was easy to understand and not too long to be read and discussed. Secondly, it was clear that the students did not have the chance to have some discussion in reading class. The students could not discuss the reading texts that they
Volume 1, Nomor 1, April 2015 65
ISSN. 2443-1435 read to know about the content of the reading texts, so they could not comprehend the reading texts easily. Next, the students did not have the opportunity to acquire other activities in reading class. They ignored to read the texts and translated them. However, they preferred to practice their speaking and pronunciation in reading class. Besides learning about new vocabulary on the reading texts, when the researcher interviewed the students, they said that they also liked to know about pronunciation. They liked to practice how to pronounce a new vocabulary on the reading texts. Observation The students showed their active involvement on discussing the reading text-based situational needs on narrative text Batu Kuwung. The researcher also paid attention to the active involvement in groups and amongst the groups in reading class. The result of the students‟ active involvement in groups and amongst the groups in discussing text-based situational needs on narrative text Batu Kuwung was well-enhanced. To see the students‟ understanding in reading text-based situational needs, the researcher checked the students‟ presentation. The researcher saw on how they organized the narrative text completely and orderly from Introduction, complication and resolution. It was clear that the students comprehend the text-based situational needs well. They presented and retold the text-based situational needs on narrative text Batu Kuwung completely and organized the story of
text-based situational Kuwung orderly.
needs
Batu
From all the first observation, researcher saw that how to enhance the students‟ active involvement in reading learning and reading comprehension was by providing the students the appropriate reading texts, let the student to predict and discuss what to be the story of the texts, and give the chance the students to get some reading activities that tackled them to read the text. Questionnaire For the third phase of the research, the researcher collected the data from questionnaire. There are 17 questionnaire items that could reinforce the research data. There were so much information that researcher got from questionnaire items. The results from questionnaire items showed that most of the students in XII IPA 2 liked to learn reading. There were about 75% students that preferred learning to read the texts as their preference. There were 60% of students who did not want to write in notebook when they were learning to read the texts. The students also did not want to study by themselves. They needed their peers and teacher to help them discussing the learning. There were about 20% of students who did not like to study alone. Discussion The first research question is how to enhance the students‟ active involvement in reading learning and reading comprehension. The researcher could see that it was related to the kinds of reading texts that the teacher must provide for the
Volume 1, Nomor 1, April 2015 66
ISSN. 2443-1435 students. As the researcher quote from Baker, he said that the selection of reading texts must be done by the teacher It is essential to provide a good classroom environment with a wide variety of relevant texts that are attractive to learners. What the teacher also must consider is the reading texts that the teacher develops should be relevant to students‟ level of language ability, because the students expect reading texts that is easy to understand and not too long to be read and discussed. The researcher takes another statement from Guthrie and Wigfield (1997). They said that teacher needs to decide types of reading materials that are needed by the students. So, It is clear that why the students unable to involve actively on reading learning and to comprehend the reading text is because the reading text itself. Secondly, the students need reading learning activities that tackle them to be involved in the reading class actively and to comprehend the reading texts. The activities in reading class must make the students eager to discuss the reading texts. Due to the students do not want to write in reading class, and they consider speaking and pronunciation practice as well in reading class. So, the teacher must provide the good learning techniques in reading class. Brown (2000:16) said that technique is any wide of variety of exercises, activities or tasks used in language classroom for realizing lesson objective. So, the technique is very important in this research to give students exercises in the classroom. The second research question is are the text-based situational needs and interest able to enhance students
active involvement in reading learning and reading comprehension. The researcher could see that the textbased situational needs enhanced the students active involvement in reading learning and students‟ comprehension on the reading texts. As the researcher mentioned in chapter 2 that the situational needs have some types of information such as financial, religion, culture, manpower, etc. said Brown, and so the students have a good active involvement and comprehension in discussing the text-based situational needs. The students show their active involvement not only in group, but also amongst the groups in the reading class. Besides the reading texts, the right teaching techniques in reading class are needed to make the students involve themselves actively in reading class and comprehend the reading texts. Like reading activities that the researcher used in the research, there were prediction, discussion, and presentation. By using those kinds of activities, the students show their best enhancement for their active involvement in the reading learning and the reading comprehension in thr reading text-based situatonal needs. It is know that prediction is vitally important, if we want our students engage fully with the text, said Harmer By predicting, students will get some ideas about what they read, argued Mikulecky and Jeffries (1996). So the students can discuss and get some ideas in reading learning and can comprehend the text well. The group discussion also, in fact, enhanced the students‟ active involvement in reading learning and the students‟ comprehension on reading texts. The researcher could
Volume 1, Nomor 1, April 2015 67
ISSN. 2443-1435 see that in reading-texts situational needs, the students show their good discussion in groups and amongst the group in class. It is based on Blachowicz and ogle. They said that it will be better if the teachers put the students in a group when they are learning reading. The small group discussion will give them an opportunity to take part on discussing the reading texts. For the conclusion, reading text-based situational needs, prediction, discussion, and presentation, and group discussion enhance the students‟ active involvement in reading learning and students‟ comprehension on reading texts. Suggestions There are some suggestions that can be made by the researcher in the end of this research: 1. To the teachers It is expected that the teacher should use reading text-based situational needs for the students in reading learning. It aims to enhance students‟ active involvement in reading learning and improve students‟ reading comprehension in reading texts. It is also improving the students‟ ability in learning new vocabulary, speaking and pronunciation, especially in reading using the appropriate texts for them.
The teachers can ask the students to work in groups to predict and discuss the reading texts that are related to the topic being discussed. And in the end of the discussion session, the teacher can give a chance to the students to give detailed explanation about the readings texts that the students had read by presenting them. 2. To the students It is suggested that the students should practice more in reading learning by predicting, discussing and presenting. They can also learn reading not only in written form but also in daily communication. The students can start from discussing the little thing that they know about the reading texts they bring to the class, so that they can improve active involvement in reading learning and their comprehension in reading texts. 3. To the researcher It is suggested that another researcher should adopt and adapt the use of text-based situational needs to enhance the students‟ active involvement in reading learning and their comprehension in reading texts. The other researcher can combine other techniques to be applied with the text-based situational needs that it can make the students more interested in learning reading.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 68
ISSN. 2443-1435 REFERENCES Adi, Sugeng Susilo. (2012, May). Educafl. Adapting, Designing, and Evaluating EFL Resources: Establishing Criteria. p.1-7. Alyousef, H. S. 2006. Teaching Reading Comprehension to efl/esl Learners. Journal of Language and Learning. Volume 5 (1) February 14, 2006. Baker, Thomas. Applying Reading Research to the Development of an Integrated Lesson Plan. English Teaching Forum Volume 46 Number 1 March 25, 2008. Blacowicz, Camille, and Donna Ogle.2008.Reading Comprehension. New York: The Guildford Press. Broughton, Geoffrey. et. al. 2003.Teaching English as a Foreign Language. London & New York: Routledge. Cohen, Louis. Et Al.2001.Research Method in Education 5th Edition. London and New York: Routledge. Frank, Jerrold.2013.English Teaching Forum. Volume 51 Number 4. U.S Department of State for Teacher of English. U.S. Embassy. Hancock, Dawson R. and Bob Algozzine.2006.Doing Case Study Research. New York: Teacher College Press.
Iwahori, Yurika.2008.Reading in a Foreign Language. Developing Reading Fluency: A Study of Extensive Reading In EFL.Volume 20 No. 1 April, 2008. Lems, Kristim, et.a.2010. Teaching reading to English language learners. New York: Guilford Press. Naidu, Bharathi. et. al. (2012, December). English Language Teaching. Reading Strategy: Tackling Reading through Topic and Main Ideas. Vol. 6, No. 11. Nation, I.S.P.2009.Teaching ESL/EFL Reading and Writing. New York: Routledge. Pambayun, Ellys Lestari.2013.Qualitative Research Methodology in Communication. Jakarta: Lentera Ilmu Cendikia. Moser, Gary P., and Timothy G. Morrison. (1998, August). Reading Horizon. Increasing Students' Achievement and Interest in Reading. p. 244-245. Stoller, F. L., et al. 2013. Instructional Enhancements to Improve Students’ Reading Ability. English Teaching Forum Volume 51 Number 1 January 2013 Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 69
ISSN. 2443-1435 PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS EKSPOSISI DAN BERPIKIR KRITIS (STUDI KUASI EKSPERIMEN PADA SISWA KELAS X SMAN 19 BANDUNG) Nanang Maulana (
[email protected]) Dosen Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kemampuan siswa dalam keterampilan menulis, pembelajaran menulis di sekolah khususnya kurang begitu mendapatkan perhatian yang dominan sehingga kemampuan siswa dalam menulis masih sangatlah rendah. Secara psikologis kebanyakan siswa menganggap bahwa kegiatan menulis sebagai beban karena merasa kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Secara metodologis, guru umumnya kurang bervariasi dalam memilih metode yang digunakan.Alasan lain yang mendasari penelitian ini adalah bahwa pemikiran kritis pada siswa sangat rendah, hal ini dikarenakan kurangnya perhatian terhadap berpikir kritis siswa di sekolah. Berlandasakan alasan tersebut diterapkan sebuah metode problem based learning dan diujicobakan di SMAN 19 Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil penerapan metode dalam pembelajaran menulis ekspopsisi dan berpikir kritis. Untuk mencapai tujuan tersebut metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Kata Kunci: Menulis Eksposisi, Berpikir Kritis, Problem Based Learning. ABSTRACK This research is motivated by the lack of ability of the students in writing skills. Learning to write especially in school is less to get the dominant concern. So, students‟ skills in writing are still very low. Psychologically most students assume that writing activities as a burden because they feel less able to use the Indonesian properly. Methodologically, the teacher are generally less variable in choosing the method use. Another reason underlying this study is students‟ critical thinking is very low. This is due to lack of attention to critical thinking of studens in the school. Based on thrse reason, a method of problem based learning and tested in SMAN 19 Bandung should be applied. The purpose of this study id to determine the result of applying the method in teaching writing and critical thinking exposition. To achieve these objectives the method use in this study is quasi-experimental. Keywords: Writing an Exposition, Critical thinking, Problem Based Learning.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 70
ISSN. 2443-1435 Pendahuluan Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Berkaitan dengan itu, Tarigan (2008:1) mengatakan, bahwa keterampilan berbahasa mencangkup empat aspek, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan bericara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Salah satu pembelajaran menulis yang diajarkan di sekolah adalah pembelajaran menulis eksposisi. Pada umumnya, menulis dianggap sebagai suatu keterampilan berbahasa yang sangat sulit dan dijadikan beban oleh siswa, menurut Nurmala (2006:8) kesulitan ini disebabkan oleh faktor psikologis dan metodologis. Secara psikologis, kebanyakan siswa menganggap bahwa kegiatan menulis sebagai beban karena merasa kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Secara metodologis, guru umumnya kurang bervariasi dalam memilih metode yang digunakan. Hal itu tidaklah berlebihan karena menulis merupakan sebuah kegiatan yang kompleks. Kendala lain adalah kurang mampunya siswa mengunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah ejaan yang disempurnakan. Alasan lain yang mendasari penelitian ini adalah bahwa pemikiran kritis pada siswa sangat rendah. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian terhadap
berpikir kritis siswa di sekolah. Guru cenderung lebih mengutamakan atau fokus pada hasil tulisan siswa. Alwasilah dalam Mulyati (2010:4) mengatakan terdapat kekeliruan yang harus diluruskan mengenai pengajaran bahasa Indonesia. Kekeliruan tersebut, yakni pengajaran bahasa terlampau berkonsentrasi pada empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis) yang tercerabut dari fungsi bahasa Indonesia sebagai alat berpikir. Menurutnya, pendidikan bahasa seyogyanya diminati sebagai upaya pembangunan literasi kritis yang meliputi sikap dan keterampilan kritis-analitis dalam memahami dan menginterpretasikan teks-teks ujaran maupun tulisan. Model pembelajaran yang dianjurkan penggunaannya adalah metode yang mengusung masalah dalam kegiatan belajar. Metode problem based learning adalah metode pembelajaran berbasis masalah, metode mengajar dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, proses peserta didik melaksanakan kerja kelompok, umpan balik, diskusi, berpikir kritis yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan dan laporan akhir. Dengan demikian, peserta didik lebih aktif terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang berusaha menemukan solusi nyata untuk masalah yang nyata pula. Peserta didik harus menganalisis dan menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
Volume 1, Nomor 1, April 2015 71
ISSN. 2443-1435 melaksanakan eksperimen membuat inferensi, dan menarik kesimpulan. Berkaitan dengan permasalahan di atas, diperlukan penelitian yang holistik dan mendalam untuk memberikan solusi yang tepat sehingga kemampuan menulis dan berpikir siswa dapat meningkat. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian mengenai Penggunaan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Eksposisi dan Berpikir Kritis. Kajian Teori Pengertian Eksposisi Eksposisi adalah jenis teks yang berfungsi untuk mengungkapkan gagasan atau mengusulkan sesuatu berdasarkan argumentasi yang kuat. Teks ini berbeda dengan teks diskusi yang berisi dua sisi argumentasi; teks eksposisi hanya berisi satu sisi argumentasi: sisi yang mendukung atau sisi yang menolak. Marahimin (2010:195) Tesis adalah inti sebuah eksposisi juga keseluruhan eksposisi itu. Maksudnya, seluruh wacana itu harus sejalan dan mendukung tesis. Tesis ini harus diikuti oleh uraianuraian pembuktian, Marahimin menjelaskan bahwa uraian yang mendukung atau membuktikan kebenaran tesis ini biasanya disebut kelas-kelas. Marahimin (2010:195) menyebutkan bahwa eksposisi dibangun atas tesis, kelas dan kesimpulan. Kelas ini haruslah berdasakan pembuktian dan dilakukan minimal ada tiga kali pembuktian. Dengan demikian,
sebuah eksposisi sederhana dibangun atas lima paragraf yakni, paragraf tesis, tiga paragraf kelas atau pembuktian dan paragraf kesimpulan. Pengertian senada juga disampaikan oleh Samsudin dalam jurnalnya yang berjudul Peningkatan Kemampuan Menulis Eksposisi Berita dan Menulis Eksposisi Ilustrasi Siswa Kelas V Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Terpadu Membaca dan Menulis (Vol. 13 No. 2 Oktober 2012). Ia mengatakan bahwa eksposisi adalah karangan yang berfungsi untuk memberitahukan, memaparkan, menguraikan atau menerangkan sesuatu kepada audien tertentu. Jadi pada dasarnya, eksposisi adalah tulisan yang berusaha untuk menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu. Pengertian Berpikir Kritis Dalam berpikir kritis ada beberapa aspek penting yang harus dilaksanakan sebelum mengambil sebuah kesimpulan dari sebuah permasalahan. Seperti yang dikatakan Dike dalam Diyas (2012:26) kemampuan berpikir kritis mempunyai 3 aspek yakni definisi dan klarifikasi masalah, menilai dan mengolah informasi berhubungan dengan masalah, memberikan solusi masalah atau membuat kesimpulan dan memecahkan. Hal yang paling pertama dilakukan adalah mendefinisikan masalah atau mengklarifikasi masalah, kemudian setelah tahap
Volume 1, Nomor 1, April 2015 72
ISSN. 2443-1435 klarifikasi masalah selesai seseorang mulai mencari informasi-informasi yang berhubungan dengan masalah. Kemudian, data-data atau informasi tersebut disusun dan pilah agar pembuatan kesimpulan dan solusi tepat dan sesuai dengan masalah yang dihadapi. Hal yang esensial dari kegiatan berpikir kritis adalah mencari berbagai informasi dan sumber berdasarkan masalah, kemudian informasi tersebut dianalisis dengan pengetahuan dasar yang sudah dimiliki siswa untuk membuat kesimpulan.
antara teori dan praktik, aksesibilitas informasi dan ledakan pengetahuan. b. Perlunya penekanan kompetensi dunia nyata dalam belajar. c. Perkembangan dalam dunia pembelajaran, psikologi dan pedagogi. Pada awalnya problem based learning adalah metode yang sering digunakan di fakultas kedokteran, namun sekarang problem based learning digunakan oleh banyak fakultas, mulai dari fakultas ekonomi dan bisnis, teknik, arsitektur, hukum, fakultas sosial, dan banyak lagi.
Pengertian Problem Based Learning Salah satu metode yang banyak diadopsi untuk menunjang pendekatan pembelajaran learner centered dan yang memberdayakan pemelajar adalah problem based learning. Metode ini, dikembangkan sekitar tahun 1970 di McMaster University di Canada (Amir, 2013:21). Tan dalam Amir (2013:12) menyatakam perkembangan ini semakin nyata terutama karena beberapa hal berikut. a. Adanya peningkatan tuntutan untuk menjembatani kesenjangan
Kelompok Kelas eksperimen (KE) Kelas kontrol (KK) Pembahasan Pengaruh Metode Problem Based Learning terhadap Menulis Eksposisi
Metode Penelitian Dalam kesempatan ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuasi eksperimen dengan model desain kontol prtespascates berpasangan (matching pretest-posttest control group desain). Model desain dari kontol prtes-pascates berpasangan adalah sebagai berikut:
Prates
Perlakuan Problem
01
based learning
03
inquiri
Pascate s 02 04
Berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir, tampak ada perbedaan signifikan antara kemampuan siswa dalam menulis eksposisi sebelum diberi perlakuan dan sesudah diberi
Volume 1, Nomor 1, April 2015 73
ISSN. 2443-1435 perlakuan. Rata-rata skor tes awal di kelas eksperimen adalah 46, 80 sedangkan rata-rata tes akhir di kelas ekperimen adalah 72,93. Demikian juga di kelas kontrol, terjadi peningkatan yang signifikan. Rata-rata skor tes awal eksposisi adalah 38,37 sedangkan rata-rata tes akhir adalah 62,27. Dengan demikian, penggunaan metode problem based learning memberikan pengaruh ditandai dengan adanya peningkatan kemampuan siswa dalam menulis eksposisi. Perbedaan hasil tes akhir, menggambarkan perbedaan ratarata kemampuan menulis eksposisi. Setelah proses pembelajaran, ratarata kemampuan menulis eksposisi kelas eksperimen mencapai peningkatan rata-rata 26,13. Sedangkan untuk peningkatan NGain adalah sebesar 0,46 dengan kategori sedang. Sementara itu, ratarata menulis eksposisi di kelas kontrol mencapi peningkatan ratarata sebesar 23,9, sedangkan untuk peningkatan N-Gain adalah sebesar 0,76 dengan kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata tes awal, terdapat perbedaan kemampuan awal siswa kelas eksperimen dengan kemampuan awal siswa kelas kontrol. Hasil penghitungan MannWhitney yang menyatakan adanya perbedaan hasil belajar dengan sig. (2-tailed) 0,16 < 0,05. Hasil uji perbedaan ini menunjukan adanya perbedaan antara siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Berdasarkan hasil penghitungan uji perbedaan ratarata N-Gain di atas menunjukan
bahwa terdapat perbedaan peningkatan menulis eksposisi antara siswa yang memperoleh metode problem based learning dengan siswa yang memperoleh metode inquiri. Uraian di atas menunjukan bahwa metode problem based learning mempunyai pengaruh terhadap kemampuan menulis eksposisi. Ini sejalan dengan pendapat Nurmala (2006:8) yang mengatakan bahwa kesulitan menulis disebabkan oleh faktor psikologis dan metodologis. Secara psikologis kebanyakan siswa menganggap bahwa kegiatan menulis sebagai beban karena merasa kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Secara metodologis, guru umumnya kurang bervariasi dalam memilih metode yang digunakan. Pengaruh Metode Problem Based Learning terhadap Berpikir Kritis Berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir, tampak ada perbedaan signifikan antara kemampuan siswa dalam berpikir kritis sebelum diberi perlakuan dan sesudah diberi perlakuan. Rata-rata skor tes awal di kelas eksperimen adalah 29,77 sedangkan rata-rata tes akhir di kelas ekperimen adalah 72,77. Demikian juga di kelas kontrol, terjadi peningkatan yang signifikan. Rata-rata skor tes awal eksposisi adalah 24,77 sedangkan rata-rata tes akhir adalah 46,47. Dengan demikian, penggunaan metode problem based learning memberikan pengaruh ditandai dengan adanya peningkatan
Volume 1, Nomor 1, April 2015 74
ISSN. 2443-1435 kemampuan siswa dalam menulis berpikir kritis. Perbedaan hasil tes akhir, menggambarkan perbedaan ratarata kemampuan berpikir kritis. Setelah proses pembelajaran, ratarata kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen mencapai peningkatan rata-rata 43. Sedangkan untuk peningkatan N-Gain adalah sebesar 0,60 dengan kategori sedang. Sementara itu, rata-rata berpikir kritis di kelas kontrol mencapi peningkatan rata-rata sebesar 21,7, sedangkan untuk peningkatan NGain adalah sebesar 0,28 dengan kategori rendah. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata tes awal, terdapat perbedaan kemampuan awal siswa kelas eksperimen dengan kemampuan awal siswa kelas kontrol. Hasil penghitungan MannWhitney yang menyatakan adanya perbedaan hasil belajar dengan sig. (2-tailed) 0,27 > 0,05. Hasil uji perbedaan ini menunjukan adanya kemampuan yang sama antara siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Sementara itu, hasil penghitungan uji perbedaan ratarata menggunakan Mann-Whitney mengenai kemampuan akhir menunjukan adanya perbedaan antara siswa yang memperoleh metode problem based learning dengan siswa yang memperoleh metode inquiri. Jadi, kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh metode problem problem based learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh metode inquiri. Berdasarkan hasil penghitungan uji perbedaan ratarata N-Gain di atas menunjukan
bahwa terdapat perbedaan peningkatan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh metode problem based learning dengan siswa yang memperoleh metode inquiri. Uraian di atas menunjukan bahwa metode problem based learning mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis. Ini sejalan dengan pendapat Tan dalam Amir (2009:43) bahwa fokus pendidik dalam problem based learning yang pertama adalah memfasilitasi, menuntut dan memediasi, Selain itu, Amir (2009:44) mengatakan bahwa salah satu tujuan dan manfaat problem based learning adalah mencoba membuat proses berpikir pemelajar lebih baik. Pemelajar tidak lagi belajar mengandalkan memori (ingatan) dan mencontoh. Kelebihan dan Kelemahan Metode Problem Based Learning Berdasarkan Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan didapatkan beberapa poin penting mengenai metode problem based learning ini. Poin penting tersebut adalah kelebihan dan kekurangan metode problem based learning berdasarkan hasil penelitian. Kelebihan dan kekurangannya adalah sebagai berikut. a) Kelebihan Kelebihan yang ada dalam metode ini berdasarkan hasil penelitian adalah metode ini berpusat pada siswa, guru sebagai fasilitator saja. Hal ini memungkinkan siswa akan lebih
Volume 1, Nomor 1, April 2015 75
ISSN. 2443-1435 aktif dan dapat mengekspresikan segalan gagasan, ide, perasaan dan lainnya. Selain itu, metode ini berhubungan langsung dengan dunia nyata sehingga siswa tahu masalah yang sebenarnya kemudian siswa akan mencari solusi nyata untuk masalah yang dihadapi. Kelebihan lainnya adalah secara tidak langsung metode ini menuntut atau mengajarkan siswa untuk bersosialisasi dengan masyarakat, ini akan membuat siswa lebih peka lagi dengan masalahmasalah sosial yang ada di maysarakat. b) Kelemahan Metode ini menjadikan masalah sebagai inti dari pembelajaran. Masalah yang baik dapat merangsang rasa ingin tahu, keinginan untuk mengamati, motivasi serta adanya keterlibatan. Jika salah memilih masalah maka semua akan sia-sia. Namun, hal tersebut bisa diatasi dengan cara memperhatikan karakteristik masalah yang akan diangkat. Kelemahan lainnya adalah terkait dengan alokasi waktu. Penerapan metode problem based learning dalam pembelajaran memerlukan waktu yang banyak karena siswa dituntut untuk mencari informasi mengenai masalah yang disajikan. Pencarian informasi ini tidak hanya terpaku pada buku tapi bisa dicari dari mana saja. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Terdapat peningkatan hasil belajar menulis eksposisi pada
2.
3.
4.
siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan metode problem based learning dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode inquiri. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh metode problem based learning lebih baik daripada kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh metode inquiri. Pengaruh metode problem based learning lebih baik daripada metode inquiri terhadap keterampilan menulis eksposisi yang ditandai dengan mampunya siswa dalam menulis eksposisi sesuai dengan ciri eksposisi yakni terdapat paragraf yang berisi tesis, argumentasi dan penegasan. Pengaruh metode problem based learning lebih baik daripada metode inquiri terhadap berpikir kritis yang ditandai dengan mampunya siswa menuangkan ide dan gagasannya secara sistematik, mulai dari mendefinisikan masalah, mencari dan mengolah informasi yang berhubungan dengan masalah kemudian memberikan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Daftar Pustaka Amir, T. (2009).Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Darsifin, I. (2008). Penggunaan Model Kooperatif skrif
Volume 1, Nomor 1, April 2015 76
ISSN. 2443-1435 dalam Pembelajaran Menulis Narasi di Kelas VII Smp Negeri 1 Ciganlontang Kab. Bandung. Tesis. Magister pada PPS Upi Bandung: tidak diterbitkan. Depdiknas. (2013). Buku Guru. Jakarta. Diyas. S. D. (2012). Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Mengingkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik pada Pembelajaran Ipa Kelas VIII Smp Negeri 5 Sleman. Skripsi Sarjana pada Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam UNY: tidak diterbitkan. Fisher, A. (2007). Berpikir Kritis; Sebuah Pengantar. Jakarta. Erlangga. Fisher, R. (1992). Teaching Children to Think. Herts: Simon and Schuster Education. Haniati, D. (2006). Pembelajaran Menulis Karangan Narasi dengan Teknik 5w+1h; Studi Kuasi Eksperiment terhadap Siswa Kelas X Sma Pasundan 2 Kota Cimahi. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Literasi Berbasis Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis-Kreatif. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Nurmala, S. D. (2008). Keefektifan Pembelajaran Menulis Karangan Deskripsi Melalui Pendekatan Proses dan Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar pada Siswa Kelas v Sekolah Dasar.Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Rahmat. (2010). Pengukuran ketrampilan Berpikir #kritis. (Online). Samsudin, A. (2012) “Peningkatan Kemampuan Menulis Eksposisi Berita dan Menulis Eksposisi Ilustrasi Siswa Kelas V Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Terpadu Membaca dan Menulis”. Jurnal Penelitian Pendidikan.(Vol. 13 No. 2 Oktober 2012)
Mulyati, Y. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran
Volume 1, Nomor 1, April 2015 77
ISSN. 2443-1435 KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI MORAL DALAM CERITA PENDEK KEAGAMAAN SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR Trisnawati Jurusan Bahasa Indonesia SPS UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung
[email protected] ABSTRACT Purpose of this study are (1) to describe the structure of religious short stories, (2) to describe the values embodied in religious short stories, and (3) to describe the utilization of research results and decrypt religious stories as a literary appreciation of the teaching materials from structural analysis of the values of the short story. The research is conducted as a qualitative descriptive study. Research data collection technique is done by using library or documentation study on religious stories. Steps in collecting data are reading religious short stories carefully, noting the appropriate data, identifing and classifing the data and making the data tabulation. Results of this studies stated that religious stories are built by two elements, facts and means story includes plot, character, and setting, point of view, style and theme and element of the story that are values contained in the story, especially moral values. Keywords: descriptive study, structural and moral values ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan struktur cerpen keagamaan, (2) mendeskripsikan bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen keagamaan, dan (3) mendeskripsikan pemanfaatan hasil kajian cerpen keagamaan sebagai bahan ajar apresiasi sastra dari analisis struktur dan nili-nilai cerpen. Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan atau studi dokumentasi terhadap cerpen keagamaan. Langkahlangkah pengumpulan data adalah membaca cerpen keagamaan secara cermat, mencatat data yang sesuai, mengidentifikasi dan mengklasifikasi data, dan membuat tabulasi data. Hasil penelitian menyebutkan bahwa cerpen keagamaan dibangun oleh dua unsur, yaitu fakta dan sarana cerita yang meliputi alur, karakter, dan latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan tema dan unsur pembangun cerita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen khususnya nilai moral. Kata kunci: deskriptif, kajian struktural dan nilai-nilai moral
Pendahuluan Pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek, termasuk moral. Melalui apresiasi sastra, misalnya kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih serta dikembangkan. Siswa tidak hanya terlatih untuk membaca saja, tetapi harus mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra (Noor, 2011: 46).
Volume 1, Nomor 1, April 2015 78
ISSN. 2443-1435 Dalam melakukan penelitian pada karya sastra cerpen yang bertema keagamaan menurut Mangunwijaya (Jauhari, 2010: 29) mengatakan bahwa pada awal mula, segala sastra adalah religius. Nilainilai religius yang ada dalam karya sastra juga sifatnya menyeru, mengajak, merangsang kepada kebaikan, melarang melakukan kejahatan, dan mengakui kebesaran Tuhan. Berdasarkan pengamatan, persoalan dan problematika yang dihadapi dalam pengajaran sastra yaitu pada pencapaian kognitif bahkan hafalan semata, dan pada umumnya sekolah-sekolah tidak mempunyai buku-buku sastra yang cukup karena sekolah-sekolah masih berorientasi pada pemenuhan buku pelajaran umum dan lainnya daripada harus memenuhi bukubuku sastra. Dalam penelitian ini masalah yang dirumuskan berdasarkan latar belakang masalah yaitu bagaimanakah struktur cerita pendek keagamaan, nilai-nilai apa yang terkandung dalam cerpen keagamaan, dan bagaimanakah pemanfaatan hasil kajian cerpen keagamaan sebagai bahan ajar apresiasi sastra. Kajian Teori Struktur cerpen terdiri atas tiga bagian yaitu fakta cerita, tema, dan sarana cerita. Fakta cerita meliputi karakter, alur, dan latar. sarana cerita meliputi sudut pandang dan gaya bahasa (Stanton, 2007: 22). Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi keterkaitan berbagai unsur karya sastra yang secara bersama
menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi. Dalam penelitian ini nilai moral menjadi kajian dalam analisis cerpen keagamaan. Nilai moral merupakan ajaran yang berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan masyarakat. Dalam karya sastra, moral merupakan ajaran kesusilaan yang bertujuan mengajarkan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada pembaca. Nurgiyantoro (2010: 320321) mengemukakan bahwa secara umum moral mengarah pada pengertian atau ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila. Istilah “bermoral”, misalnya tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Berbeda dengan Nurgiyantoro wujud ajaran moral menurut Zuriah (2007: 27-32) dikelompokkan dalam tiga ruang lingkup yaitu akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akhlak terhadap sesama manusia, dan akhlak terhadap lingkungan alam dan sosial masyarakat. Dalam penelitian ini analisis nilai moral menggunakan tiga ruang lingkup menurut Zuriah. Setelah menganalisis struktur dan nilai moral, cerpen keagamaan digunakan sebagai alternatif atau dimanfaatkan sebagai bahan ajar sastra. Bahan ajar menurut Prastowo (2011: 16) mengemukakan bahwa bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau insruktur dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Bahan yang
Volume 1, Nomor 1, April 2015 79
ISSN. 2443-1435 dimaksud dapat berbentuk bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Pendapat lainya menyebutkan bahwa bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar. Metode Penelitian Analisis struktural dan nilai moral dalam cerpen keagamaan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif adalah metode yang mendeskripsikan faktafakta yang kemudian disusul dengan analisis. Mula-mula data dideskripsikan dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan. Metode deskriptif juga merupakan data yang diperoleh apa adanya. Tujuannya adalah mendeskripsikan data atau memberikan gambaran secara sistematis (Semi, 1993: 24). Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dan studi dokumentasi terhadap cerita pendek keagamaan. Aplikasi studi dokumentasi dilakukan oleh peneliti membaca cerpen keagamaan secara cermat dan mendalam untuk memahami isinya, dan memahami unsur-unsur yang membangun cerpen tersebut, serta memahami unsur-unsur yang berkaitan dengan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerpen.
Data penelitian Data dikumpulkan dari enam cerpen tersebut (sampel total). Cerita pendek yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen yang bertema keagamaan yang berbeda pengarang terdiri atas cerpen, 1) Robohnya Surau Kami, 2) Salam dari Penyangga Langit, 3) Duka Ibu, 4) Menjelang Lebaran, 5) Gus Muslih,dan 6) Jangan Main-main dengan Tuhan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah proses mencari serta menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data di lapangan, kemudian diklasifikasi berdasarkan pokok kajian dan dimaknai berdasarkan referensi yang menjadi rujukan. Hasil Penelitian dan Pembahasan Alur cerpen 1 Robohnya surau kami memiliki alur regresif atau sorot balik. Tokoh yang berperan dalam Cerpen 1, hanya enam orang, yaitu, Kakek, Aku, Ajo Sidi, Haji Saleh, Istri Aku, dan Istri Ajo Sidi. Dalam analisis ini, tokoh seperti Istri Aku dan Istri Ajo Sidi dianalisis sekaligus karena pergerakan mereka sama dan penokohan yang dibebankan mereka relatif juga sama. Latar tempat pada Cerpen 1 terdiri atas jalan, surau, rumah, dan di Indonesia ( di negeri Indonesia). Latar waktu yang diungkapkan oleh pengarang bersifat umum, seperti tahun yang lalu, bertahun-tahun, sekali se-Jumat, sekali enam bulan, sekali setahun, sekarang, di malam
Volume 1, Nomor 1, April 2015 80
ISSN. 2443-1435 hari, sekali hari, sepanjang hari, esok, pagi-pagi, setiap waktu, pada suatu waktu, setiap hari, setiap malam, besoknya, dan tadi subuh. Latar suasana melukiskan suasana tertentu yang mampu menggerakkan emosi atau jiwa pembaca. Pada Cerpen 1 pengarang menggunakan sudut pandang “ia” yang berperan sebagai persona ketiga. Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam Cerpen 1 adalah Majas Personifikasi, Majas Hiperbola, dan Majas Alusio. Tema dari cerpen ini adalah ketuhanan atau divine. Analisis nilai moral cerpen 1 adalah sebagai berikut. Dalam Cerpen 1 terdapat tujuh nilai moral yang berkaitan dengan akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu taat beribadah, menyerahkan diri kepada Tuhan, bertawakal, menaati perintah-Nya, menerima karunia-Nya, memuji Tuhan, dan bersyukur kepada Tuhan. Akhlak terhadap sesama manusia dalam cerpen 1 adalah saling menolong, sukarela, tidak peduli, pemarah, percaya diri, rendah diri, tidak adil, tidak menerima keputusan, bunuh diri, dan tidak bertanggung jawab. Akhlak terhadap lingkungan alam dalam cerpen 1 adalah menjaga tempat ibadah. Alur dalam Cerpen 2 memiliki alur progresif. Tokoh yang terdapat dalam Cerpen 2 adalah Markatab, Kang Dakir, Pak Marja, Para Penyangga Langit, dan Kiai Tongat. Latar tempat pada Cerpen 2 ialah di kampus, di kursi ruang duduk, pintu depan rumah, ke arah pintu, Madrasah, di kampung, langit, alam raya, di bumi, rumah, dan di tanah. Latar waktu yang terdapat dalam
cerita hanya ada satu latar waktu yaitu sehari. Latar suasana yang terdapat dalam cerita menggambarkan peristiwa atau keadaan suasana yang terjadi pada waktu tertentu yaitu suatu suasana ketenangan yang dialami tokoh. Sudut pandang pada Cerpen 2 pengarang menggunakan “kami” yang berperan sebagai persona ketiga. Gaya bahasa dalam cerpen 2 adalah majas personifikasi. Tema dari cerpen ini adalah kepercayaan terhadap tradisi. Tema ini berkaitan dengan aspek agama karena cerita ini menceritakan peristiwa antar tokoh yang memiliki kepercayaan pada satu tradisi dan didalamnya terdapat nilai keagamaan yang tinggi menyangkut nilai agama. Analisis nilai moral dalam cerpen 2 berkenaan dengan akhlak terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah mengirim doa untuk para Nabi, kepatuhan kepada Tuhan. akhlak terhadap sesama manusia adalah sikap tenang, saling menghargai, sikap bersabar. Akhlak terhadap lingkungan alam melestarikan tradisi yang ada di lingkungan. Analisis struktur cerpen 3 Duka Ibu memiliki alur progresif. Tokoh yang terdapat dalam Cerpen 3 ini hanya ada empat orang. Tokoh utama dalam cerita adalah Badriyah sedangkan tokoh tambahan yaitu Biba, Zaid, dan Azam. Tokoh utama Badriyah diceritakan dari awal cerita sampai akhir cerita. Latar tempat yang terjadi pada Cerpen 3 yaitu Somalia, kamp-kamp darurat, di Mardaf, ibu kota Somalia, dan langit. Latar waktu yang diungkapkan oleh pengarang bersifat umum, seperti lima hari
Volume 1, Nomor 1, April 2015 81
ISSN. 2443-1435 yang lalu, dua tahun yang lalu, dan setengah hari. Latar suasana yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa cerpen adalah sewaktu peristiwa keharuan yang terjadi. Sudut pandang Cerpen 3 pengarang menggunakan persona ketiga yaitu “ia” . Gaya bahasa dalam cerpen 3 memaparkan cerita yaitu menggunakan gaya bahasa majas personifikasi. Tema dari cerpen ini adalah kesabaran. Tokoh Badriyah membuktikan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup yang menimpa dirinya dan orang-orang yang disayanginya menjadi korban. Sampai pada akhirnya anak yang sangat dicintainya menjadi korban kekejaman atas peperangan yang terjadi di negaranya. Analisis nilai moral dalam cerpen 3 berkenaan dengan akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bersyukur kepada Tuhan, menerima cobaan dari Tuhan, berpasrah kepada Tuhan, dan bersabar. Akhlak terhadap sesama manusia adalah saling menolong, tekad yang kuat dan saling menyayangi. Akhlak terhadap lingkungan alam adalah bersedih atas alam yang hancur. Analisis struktur alur cerpen 4 Menjelang Lebaran memiliki alur progresif. Tokoh pada Cerpen 4 ini terdiri dari Kamil, Sri, Mas dan Ade, serta Nah. Tokoh ini saling berhubungan karena Kamil adalah suami dari Sri, Sri adalah istri dari Kamil, Mas dan Ade adalah anak dari Kamil dan Sri, serta Nah adalah seorang pembantu dari keluarga Kamil dan Sri. Latar tempat meliputi di rumah, tempat kerja, di meja makan, ke Jawa, ke pasar swalayan, ke Yogya, ke Solo, lantai kamar,
ruangan, ke desa, di kursi, di kamar tidur, dan di kereta api. Latar waktu meliputi, hari-hari, pukul lima sore, sore-sore, kemarin-kemarin, sore hari, bulan ini dan besok, tiga hari yang lalu, dan malam. Latar suasana meliputi keadaan suasana pada saat peristiwa itu terjadi dan yang melatarbelakangi latar tempat dan latar waktu. Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang pada Cerpen 4 adalah persona ketiga. Di Cerpen 4 pengarang menggunakan kata ganti “dia” untuk Sri istrinya Kamil sebagai tokoh tambahan. Gaya bahasa yang terdapat dalam Cerpen 4 adalah gaya pengarang dalam menampilkan bahasa yang disusun. Gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen 4 adalah majas personifikasi, majas hiperbola, dan majas alusio. Tema dari Cerpen 4 ini adalah bertema kesabaran, tentunya kesabaran dalam menyelesaikan masalah. Analisis nilai moral cerpen 4 berkenaan mengenai akhlak terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah bersembahyang kepada Tuhan dan berpasrah diri pada Tuhan. Akhlak terhadap sesama manusia adalah saling menghargai, saling mengatasi masalah, tenang, teliti, saling menyayangi, bijaksana, saling mengerti, dan putus asa. Akhlak terhadap lingkungan alam adalah membayangkan keadaan desa. Analisis alur cerpen 5 Gus Muslih adalah progresif. Tokoh yang terdapat dalam cerpen ini hanya empat orang yang telibat. Tokoh tersebut adalah Gus Muslih, kelompok orang tua, kaum muda, dan panitia ceramah. Latar tempat pada Cerpen 5 adalah dari kota-P, di
Volume 1, Nomor 1, April 2015 82
ISSN. 2443-1435 mesjid, serambi mesjid, jalan raya, dan di tengah jalan. Latar waktu yag diungkapkan oleh pengarang bersifat umum, seperti malam, beberapa jam, kemarin, dan beberapa hari. Latar suasana tidak banyak menceritakan hanya beberapa suasana yang melatari cerita ini, yaitu peristiwa berdasarkan urutan waktu pada suasana tertentu yang dialami oleh tokoh. Sudut pandang pada Cerpen 5 pengarang menggunakan sudut pandang persona pertama dan persona ketiga yaitu aku dan mereka, serta dia. Gaya bahasa yang terdapat dalam Cerpen 5 merupakan bahasa yang digunakan pengarang dalam menyusun cerita, sehingga bahasa menjadi menarik dan memerlukan sebuah arti. Gaya bahasa pada cerpen 5 adalah majas personifikasi. Tema dari Cerpen 5 ini adalah ketulusan hati kiai muda. Tema ketulusan hati kiai muda merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial. Analisis nilai moral cerpen 5 berkenaan dengan akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bersembahyang kepada Tuhan dan bersyukur. Akhlak terhadap sesama manusia adalah berkeyakinan teguh, saling merasakan kesedihan, saling melindung, sikap tenang, sikap jujur, saling menolong, saling menyayangi, dan saling berdebat. Akhlak terhadap lingkungan alam adalah menghargai tradisi. Analisis alur cerpen 6 progresif. Tokoh pada Cerpen 6 tidak banyak. Diantaranya Aku dan Daud. Kedua tokoh tersebut sangat menonjol
dalam cerita, karena kedua tokoh tersebut bersama-sama dari awal cerita hingga akhir cerita. Pada Cerpen 6 ini tokoh Aku sebagai tokoh utama sedangkan Daud merupakan tokoh tambahan. Latar tempat pada Cerpen 6 terdiri atas sebuah perjalanan, di tengah gurun pasir, bukit berdaun hijau, dan sebuah telaga. Latar waktu pada Cerpen 6 tidak dapat dirujuk dengan angka karena diungkapkan secara umum. Waktuwaktu pada cerita ini diantaranya „beberapa hari‟, „di pagi hari‟,dan „tadi malam‟ tidak dapat dipastikan kapan terjadinya secara nyata. Latar suasana dalam cerita menggambarkan suasana yang terjadi dari setiap peristiwa. Suasana yang digambarkan dalam Cerpen 6 meliputi suasana peristiwa antar tokoh. Sudut pandang pada Cerpen 6 adalah persona ketiga, dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, kita, dan kami. Gaya bahasa dalam Cerpen 6 menggunakan gaya bahasa majas personifikasi dan majas hiperbola. Tema yang dapat disimpulkan dari paparan di atas adalah keyakinan terhadap adanya Tuhan. Karena semua kejadian berkaitan dengan tokoh yang meyakini bahwa maut ada di tangan Tuhan bukan di tangan manusia. Analisis nilai moral cerpen 6 berkaitan dengan akhlak Tuhan yang Maha Esa adalah teguh pada keyakinan terhadap Tuhan, percaya kepada Tuhan, dan berharap muzi‟zat Tuhan. Akhlak berkenaan dengan sesama manusia adalah saling berdebat, percaya diri, saling menantang, tidak mudah menyerah, saling membutuhkan, dan saling
Volume 1, Nomor 1, April 2015 83
ISSN. 2443-1435 menolong. Akhlak berkenaan dengan lingkungan alam adalah menikmati keindahan alam. Hasil Analisis Struktur Cerpen 1 Ronohnya Surau Kami, dan Cerpen 2 Salam dari Penyangga Langit, Cerpen 3 Duka Ibu, Cerpen 4 Menjelang Lebaran, Cerpen 5 Gus Muslih dan Cerpen 6 Jangan Mainmain dengan Tuhan mempunyai alur progresif (alur maju). Dari unsur tokoh, Cerpen 1 dengan tokoh utamanya (Kakek), Cerpen 2 dengan tokoh utamanya (Markatab), Cerpen 3 dengan tokoh utamanya (Badriyah), Cerpen 4 dengan tokoh utamanya (Kamil), Cerpen 5 dengan tokoh utamanya (Gus Muslih), dan Cerpen 6 tokoh utamanya (Aku). Unsur latar terdiri dari tempat, waktu dan suasana, semua cerpen jelas menggunakan latar. Unsur sudut pandang Cerpen 1 menggunakan persona ketiga, Cerpen 2 menggunakan sudut pandang persona ketiga, Cerpen 3 menggunakan sudut pandang persona ketiga, Cerpen 4 menggunakan sudut pandang persona ketiga, Cerpen 5 menggunakan sudut pandang persona pertama dan persona ketiga, dan Cerpen 6 menggunakan sudut pandang persona ketiga. Unsur gaya bahsa yang digunakan dalam Cerpen 1 adalah personifikasi, hiperbola, dan alusio, unsur gaya bahasa Cerpen 2 menggunakan gaya bahasa personifikasi, Cerpen 3 menggunakan gaya bahasa personifikasi, Cerpen 4 menggunakan gaya bahasa personifikasi dan alusia, Cerpen 5 menggunakan gaya bahasa personifikasi, dan Cerpen 6
menggunakan gaya bahasa personifikasi dan hiperbola. Unsur tema dalam Cerpen 1 bertema ketuhanan, Cerpen 2 bertema kepercayaan terhadap tradisi, Cerpen 3 bertema kesabaran, Cerpen 4 bertema kesabaran, Cerpen 5 bertema ketulusan hati, dan Cerpen 6 bertema keyakinan. Dalam penelitian cerpen keagamaan mengandung beberapa nilai moral dari tiga aspek. Tiga aspek tersebut adalah (1) nilai moral yang berkenaan dengan akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa yakni mengenal Tuhan dan hubungan akhlak kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) nilai moral yang berkenaan terhadap sesama manusia yaitu terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang yang lebih tua, terhadap sesama, dan terhadap orang yang lebih muda, (3) nilai moral yang berkenaan dengan akhlak terhadap lingkungan yaitu lingkungan alam dan sosial masyarakat atau kelompok. Simpulan Dalam cerpen 1 sampai cerpen 6 memiliki alur regresif maupun progresif, dan karakter dalam cerpen memiliki karakter yang berbedabeda, latar meliputi latar tempat, waktu dan suasana, sudut pandang memakai persona ketiga, gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen 1 sampai 6 memakai gaya bahasa personifikasi, dan tema yang diangkat dalam cerpen 1 sampai 6 bertema keagamaan yang meliputi keyakinan terhadap Tuhan. Dalam nilai-nilai moral cerpen 1 sampai 6 memiliki nilai yang berkenaan dengan akhlak kepada Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 84
ISSN. 2443-1435 Dalam penelitian ini cerpen keagamaan digunakan untuk dijadikan modul atau seperangkat pembelajaran apresiasi sastra. Keenam cerpen yang telah dianalisis dapat digunakan sebagai alternatif bahan ajar pelajaran Bahasa Indonesia dalam apresiasi sastra kelas VII SMP. Hasil analisis ini dapat digunakan sebagai pelengkap dari materi pelajaran apresiasi sastra.
Daftar Pustaka Jauhari, H. (2010). Cara memahami nilai religius dalam karya sastra dengan pendekatan reader’s response. Bandung: CV ARFINO RAYA. Moleong, (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro, B. (2010). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Prastowo, A. (2011). Panduan kreatif membuat bahan ajar inovatif: menciptakan metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Yogyakarta: DIVA Press. Noor, R. (2011). Pendidikan karakter berbasis sastra , solusi pendidikan moral yang efektif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Semi, A. (1993). Rancangan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Stanton, R. (2007). Teori fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman penulisan karya ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Zuriah, N. (2005). Metodologi Penelitian Sosial dan pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Volume 1, Nomor 1, April 2015 85