1
MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN KONSELING REALITAS PADA PESERTA DIDIK SMK Oleh: Sitti Hartinah Dosen Progdi BK UPS Tegal Abstrak: Hasil riset menunjukkan masih kurangnya kuantitas dan kualitas layanan konseling bagi peserta didik tingkat sekolah menengah kejuruan, karena kemampuan guru BK masih rendah dalam menguasai pendekatan konseling karena bukan berlatar belakang guru BK disamping itu peserta didikpun cenderung lebih banyak berkonsultasi dengan teman sesama usia. Konselor sebaya tidak hanya sekedar menolong tapi konselor sebaya merupakan tindakan mulai yang langsung menyentuh pribadi peserta didik untuk mengembangkan sisi-sisi ketinggian martabat manusia.Terlihat dari fungsinya konseling sebaya seolah lebih dekat dengan istilah sahabat sejati. Posisi konseling sebaya sebagai teman yang bisa mengarahkan konseli pada sikap dan perilaku yang diharapkan. Berbagai hasil riset membuktikan konseling sebaya efektif dalam meningkatkan perkembangan kepribadian dan mengatasi berbagai masalah peserta didik, remaja, bahkan orang tua. Terapi realitas yang berorientasi masa sekarang, mengajak berpikir realistis, dipandang cocok bagi remaja sehingga dapat menjadi salah satu inovasi dalam melaksanakan layanan konseling sebaya. Kata Kunci: Pendekatan Konseling Realitas dan Layanan Peer Counseling, Pendahuluan Di tengah tantangan menghadapi globalisasi permasalahan peserta didik SMK sebagai remaja semakin kompleks. Selain itu dilihat dari tingkat perkembangannya, peserta didik SMK sebagai remaja sangat rentan muncul beraneka masalah sejak yang ringan sampai ke yang berat. Setiap remaja dengan berbagai atributnya dari sikap, keyakinan, konstrak, perilaku, dan respon uniknya masing-masing dalam menghadapi tantangan yang dihadapinya. Kondisi ini diperparah karena didikan menjadi seorang Nakhoda Kapal harus memiliki jiwa yang kuat dan tegar, ditunjang lingkungan nelayan yang akan menambah deretan panjang munculnya masalah. Terdapat sejumlah tantangan teridentifikasi yang secara umum dihadapi oleh remaja. Sebagai contoh seorang remaja diresahkan oleh masalah seksual, yang lain mungkin mengalami kesulitan untuk mengontrol kecenderungan untuk membakar, sementara yang lain berjuang dengan isu-isu yang berkaitan dengan keanggotaan di geng.Tantangan semacam ini bersama sebuah gagasan yang mempengaruhi masyarakat Barat bahwa perilaku salah bahkan kriminalitas dikalangan remaja dapat tumbuh hingga ke tingkat mengancam jalinan sosial masyarakat, telah membuat banyak orang di masyarakat kita untuk menjadi ketakutan, sampai tingkat tertentu dengan remaja yang tidak memiliki gaya hidup konvensional. Sebagai seorang konselor menemui seorang remaja yang sedang mengalami sebuah isu yang erkaitan dengan tantangan semacam ini, maka sebagai seorang konselor akan mengakui bahwa kita tidak memiliki informed background dalam kaitannya dengan sifat tantangan yang mereka hadapi. Kondisi ini menuntut semakin eksis dan profesionalnya kinerja layanan yang harus diberikan oleh guru BK ataupun konselor sekolah. Kenyataan di sekolah menunjukkan bahwa eksistensi dan kinerja profesional guru BK masih dihadapkan kepada berbagai kendala. Akhmad Sudrajat (2008), mengungkapkan kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis. 2
Hasil Survey mahasiswa (2011), tentang Pelayanan Konseling Sekolah, melalui survei di SMP/SMK/SMA Kota Tegal, menemukan banyak hal-hal yang belum tercapai dalam pelaksanaan layanan bimbingan konseling antara lain: (1) Rasio perbandingan jumlah konselor dengan peserta didik, semua konselor di sekolah rata-rata melayani peserta didik di atas standar, (2) Kinerjanya tidak profesional, lemah yang ditandai dengan pemahaman konseling masih rendah dan belum mampu menerapkan pendekatan konseling dalam praktik, b) pemahaman dalam menerapkan dalam praktek masing-masing kegiatan dan teknik keorganisasian profesi konseling masih rendah, c) Pemahaman menjadi anggota profesi konseling masih rendah, d) Pemahaman pemberian layanan konseling dan pemberian layanan konseling kelompok/bimbingan kelompok belum memadahi. (3) Konselor belum mengembangkan kemampuan profesional konseling secara berkelanjutan, yang ditandai: a) Rendahnya tingkat pendidikan dalam bidang konseling, b) keikutsertaan dalam workshop untuk meningkatkan wawasan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap konselor masih relatif minim, c) Perolehan sertifikat profesi untuk melaksanakan pelayanan konseling tidak menjamin, (4) Di sekolah-sekolah tertentu: a) guru pembimbing tidak relevan dengan latar belakangnya, b) Ratio guru pembimbing dengan peserta didik masih tinggi, (c) Kepala sekolah yang mengangkat guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing masih dijumpai Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing di satu sisi memberi citra positif, karena ada kepedulian kepala sekolah terhadap program Bimbingan dan Konseling. Di sisi lain memberi citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling, karena dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian tentang Bimbingan dan Konseling, sangat minimnya pengalaman praktik, pelatihan-pelatihan bagi konselor sekolah. Hasil survei secara acak terhadap siswa tempat PPL mahasiswa (Hartinah, 2010) tentang pihak mana yang mereka mintai bantuan jika mengalami masalah pribadi, menunjukkan bahwa hampir separuh peserta didik menjawab minta bantuan/berkonsultasi pada sesama teman, sebagian kecil dari peserta didik menjawab minta bantuan teman di luar sekolah, sebagian kecil peserta didik menjawab minta bantuan orang tua, sangat sedikit yang menjawab minta bantuan guru yang dirasa dekat, sebagian kecil menjawab minta bantuan teman dekat dan saudara dekat, dan tidak ada juga yang menjawab minta bantuan wali kelas. Adanya kecenderungan peserta didik bermasalah berkonsultasi pada temannya, dapat memberikan efek positif namun bisa juga memberikan efek negatif bagi perkembangan kepribadiannya. Efek positif diperoleh jika teman tempat dia berkonsultasi sikap dan perilakunya berkembang positif, dan di sisi lain teman sebaya tentu lebih mudah memahami masalah temannya, karena berada pada tahap perkembangan yang relatif sama. Sebaliknya efek negatif bisa terjadi jika peserta didik yang bermasalah berkonsultasi pada temannya yang juga bermasalah, sementara temannya tersebut terlanjur mencari penyelesaian masalah dengan sikap dan perilaku negatif, maka peserta didik akan terjerat pada masalah yang lebih berat dan dapat membahayakan bagi perkembangan kepribadiannya. Misalnya masuknya siswa pada genk tertentu, terlibat pergaulan bebas, merokok, dan yang lebih berat ketagihan narkoba, semuanya kemungkinan merupakan pelarian dari masalah pribadi yang diceritakan pada teman yang juga bermasalah. Dengan demikian ada dua persoalan pokok yang perlu dicari alternatif penyelesaiannya dalam memberikan layanan konseling bagi peserta didik, yaitu pertama, permasalahan keengganan peserta didik berkonsultasi kepada konselor sekolah, dan kedua permasalahan lemahnya tingkat penguasaan konselor sekolah akan pendekatan konseling serta aplikasinya pada praktek. Mencermati kenyataan tersebut, perlu dikembangkan model layanan konseling yang bisa lebih banyak melayani peserta didik, dan inovasi-inovasi dalam penggunaan pendekatan layanan melalui pengembangan berbagai pendekatan konseling yang ada. Pengembangan model hipotetik tentang aplikasi Peer-counseling (konseling sebaya), dengan menggunakan 3
salah satu atau lebih pendekatan konseling yang telah teruji secara empirik, diprediksi dapat menjadi alternatif solusi fenomena layanan konseling di SMK pada umumnya. Tulisan ini bertujuan membahas salah satu pendekatan konseling yang dikemukakan oleh Gerald Corey (2005) yaitu pendekatan konseling realitas yang dikembangkan William Glasser (sekarang dikenal dengan Choice Theory) untuk dirumuskan model aplikasinya dalam layanan ”peer counseling”. Dipilihnya pendekatan realitas sebagai salah satu pendekatan dalam melaksanakan ”peer counseling” karena pendekatan ini berorientasi ke depan, sederhana untuk dilakukan, konsen pada masa sekarang, dan mengajak berpikir realistis. Bagi remaja yang sedang berada pada puncak perkembangan intelektual, segala sesuatu perlu realistis, dan mereka sedang ingin menguji segala sesuatu dengan logika, selain itu mereka biasanya tidak begitu perhatian pada masa lalu, yang penting bagi mereka adalah menikmati hidup sekarang. Beberapa pertanyaan pokok yang ingin dijawab melalui tulisan ini adalah: (1) Bagaimana pandangan ahli konseling realitas tentang manusia? Mengapa individu bermasalah menurut pandangan ahli realitas? Apa yang harus dilakukan dalam konseling menurut terapi realitas? Langkah apa yang akan dilakukan dalam melaksanakan peer counseling? Seberapa efektif layanan peer counseling untuk membantu menyelesaikan masalah? Bagaimana model layanan terapi realitas pada pelaksanaan peer counseling? Cara pengumpulan data yang digunakan dalam menyusun model secara empiris ini adalah metoda deskriptif dengan teknik Book Survey, dimana data yang digunakan adalah hasil kajian konseptual dan data hasil penelitian dari berbagai pihak kemudian disusun jadi satu model. Pandangan Terapi Realitas tentang Manusia Terapi realitas didasarkan pada asumsi bahwa manusia berjuang untuk dapat mengontrol kehidupan mereka untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap tingkah laku manusia bertujuan dan muncul karena kekuatan dari dalam diri. Semua perilaku manusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut teori ini manusia lahir dengan 5 kebutuhan pokok (a) mempertahankan hidup/survival, b) cinta dan perasaan diakui/love and belonging, c) berkuasa, kuat, beprestasi/power or achivement, d) memiliki kebebasaan atau kemandirian/ freedom or independence, e) kesenangan, kegembiraan/fun. Setiap individu membutuhkan kelima kebutuhan tersebut, meskipun kadar kebutuhannya berbeda-beda. Menurut Glasser kebutuhan akan cinta dan perasaan diakui merupakan kebutuhan paling pokok Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dasar dan dalam kehidupannya mereka berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan bertahan hidup (survival), mencintai dan dicintai (love and belonging), kekuasaan atau prestasi (power or achievement), kebebasan atau kemerdekaan (freedom or independence), dan kesenangan (fun) (Corey, 2005). Glesser (2000) meyakini bahwa di antara kebutuhan dasar tersebut kebutuhan mencintai dan dicintai merupakan yang utama dan paling sukar pemenuhannya. Keberhasilan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya akan memberikan identitas berhasil pada dirinya, sedangkan kegagalan akan pemenuhan kebutuhan dasar menyebabkan individu mengembangkan identitas gagal (Rasjidan, 1994). Individu yang memiliki identitas berhasil akan menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip 3 R, yaitu right, responsibility, dan reality (Ramli, 1994). Right merupakan nilai atau norma patokan sebagai pembanding untuk menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah. Responsibility merupakan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Reality merupakan kesediaan individu untuk menerima konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku. Individu, dalam kehidupan sehari-hari, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara langsung. Individu berusaha melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka merasa nyaman. Hal ini yang disebut “kehidupan yang berkualitas” (quality world). Dunia yang 4
berkualitas merupakan “surga pribadi” yang diharapkan setiap individu. Jadi dapat dimaknai cara pandang yang unik untuk memenuhi kebutuhan. Kehidupan yang berkualitas didasarkan atas kebutuhan dasar, tetapi dunia yang berkualitas berbeda dengan kebutuhan. Dunia yang berkualitas bersifat umum, sedangkan dunia yang berkualitas bersifat khusus. Agar individu dapat memperoleh dunia yang berkualitas dengan baik maka individu harus berhubugan dengan orang lain; yakni orang-orang yang dekat dengan kita dan nyaman bila didekatnya Orang bertingkah laku untuk menutupi gap antara apa yang ia inginkan dengan apa yang ia terima dan ia dapat. Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri. Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru. Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuannya. Manusia Bermasalah dalam Perspektif Terapi Realitas Menurut William Glasser orang menjadi depresi, pusing, marah, dan cemas merupakan bagian dari total perilaku oleh mereka sendiri. Ketika orang mengembangkan perilaku yang menyakiti, sebenarnya karena perilaku itu yang dapat mereka pilih, dan perilaku ini membuat mereka memperoleh apa yang mereka inginkan. Terapi realitas percaya: dasar masalah sebagian besar konseli adalah: ketidakpuasan dalam hubungan atau keterlibatan dengan orang lain. Banyak sekali problem konseli disebabkan ketidakmampuan dalam menjalin hubungan dengan orang-orang terdekat secara memuaskan dalam kehidupannya. Semakin mampu konseli berhubungan dengan orang-orang terdekatnya semakin besar peluangnya untuk memperoleh kebahagiaan Sedikit sekali konseli yang menyadari inti problemnya terletak pada cara dia memilih perilaku, yang diketahuinya adalah dia disakiti, dikucilkan, dan tidak bahagia Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas. Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan. Menurut Glasser (1965:9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”. Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan 5
tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku. Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memiliki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya. Proses Konseling Menurut Terapi Realitas Tujuan utama pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan (connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain yang mereka pilih untuk mendasari kualitas hidupnya. Di samping itu, konseling realitas juga bertujuan untuk membantu klien belajar memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih baik, yang meliputi kebutuhan mencintai dan dicintai, kekuasaan atau berprestasi, kebebasan atau independensi, serta kebutuhan untuk senang. Sehingga mereka mampu mengembangkan identitas berhasil. Tujuan konseling realitas adalah sebagai berikut; (1) Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.(2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.(3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.(4) Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.(5) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri Fungsi dan Peran Konselor dalam konseling Realitas antara lain (a) sebagai pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis.(b) Berperan sebagai moralis.(c) Menyampaikan dan meyakinkan kepada klien bahwa seburuk apapun suatu kondisi masih ada harapan. (d) Mengajarkan klien untuk mengevaluasi perilakunya, misalnya dengan bertanya, “Apakah perilaku Anda (atau nama) saat ini membantu Anda untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan Anda?); (e) Memberikan kontrak.(f) Mengembangkan kondisi fasilitatif dalam konseling dan hubungan baik dengan klien. Pengalaman Konseli dalam Konseling : (a) konseli tidak diharapkan untuk mengkaji jejak masa lalu atau jalan yang menggelincirkan dari gejala-gejala masalah, (b) konseli akan menemukan konselornya sebagai seorang yang lemah lembut, tetapi sungguh-sungguh mengkonfrontasi. Konselor realitas akan sering bertanya pada konseli dengan pertanyaan: ”Apakah apa yang kamu pilih untuk dilakukan membawamu lebih dekat kepada orang yang kamu ingin lebih dekat dengannya sekarang ? ”Apakah apa yang kamu lakukan sekarang membuat kamu lebih dekat dengan orang-orang yang kamu ingin dekat dengannya?” Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan sebagai proses evaluasi diri. Konseli akan dapat berfikir : ”Saya dapat memulai menggunakan apa yang kita bicarakan hari ini dalam hidupku...” Beberapa Karakteristik Terapi Realitas yang Perlu Diperhatikan Konselor: (a) memfokuskan perhatian pada hubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan, yang seringkali menjadi penyebab masalah konseli, (b) fokus pada apa yang bisa dikontrol konseli dalam hubungan dengan orang lain, (c) konselor tidak perlu terlalu banyak mendengarkan penolakan konseli, kesalahan, kritikannya, karena ini merupakan perilaku-perilaku yang tidak efektif, (d) menekankan pada pilihan perilaku dan tanggung jawab, (e) menolak transference, (f) Fokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau, (g) menghindari Fokus pada gejala-gejala masalah, (h) menolak pandangan tradisional tentang sakit mental. Hubungan antara konselor dan Konseli: (a) didasari pemahaman dan hubungan penuh dorongan semangat, (b) didasari kerelaan konselor untuk mengembangkan gaya terapeutik individualnya sendiri, (c) pelibatan diri antara konselor dengan konseli, konselor 6
harus mempunyai kualitas kepribadian tertentu, termasuk kehangatan, keharmonisan/kesesuaian, pemahaman, penerimaan, perhatian, respek pada konseli, keterbukaan, dan kesukarelaan untuk ditantang orang lain, (c) satu cara yang paling baik mengembangkan hubungan terapeutik tersebut adalah dengan mendengarkan konseli, termasuk membicarakan secara luas topik-topik yang relevan dengan konseli, (d) konselor membantu konseli meningkatkan pemahaman yang mendalam tentang konsekuensi dari perilakunya sekarang, (e) proses konseling selalu merupakan proses mentoring, konselor sebagai guru dan konseli sebagai siswa. Teknik dan prosedur konseling: (a) menciptakan suasana konseling (mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan persepsi konseli sehingga konseli mengeksplorasi keseluruhan tingkah lakunya dan membuat evaluasi sendiri seberapa efektif perilakunya mampu memenuhi keinginannya), (b) prosedur yang mengarah kepada perubahan (konselor berusaha mengetahui bagaimana konseli membuat pilihan-pilihan dalam berhubungan dengan orang lain, konselor perlu keterampilan untuk mencari dan mendefinisikan keinginan konseli serta mencari kunci ketidakpuasan hubungan dengan orang terdekatnya sekarang, konselor meyakinkan konseli perilakunya sekarang tidak mengantarkannya pada apa yang ia inginkan, konseli didorong untuk membuat rencana perilaku baru yang mengarah pada keinginannya, kemudian konseli membuat komitmen sendiri sesuai rencananya), (c) secara sederhana prosedur konseling Realitas, digambarkan Wubbolding (2000, 2001, 2002, Wubbolding & Associates, 1998 dengan 4 huruf (WDEP), W = Wants and Needs, D = Direction and Doing, E = Self-Evaluation, P = Planning and Action. Konsep Pendekatan Peer Counseling Dengan sederhana dapat didefinisikan bahwa konseling sebaya adalah layanan bantuan konseling yang diberikan oleh teman sebayanya (biasanya seusia/tingkatan pendidikannya hampir sama) yang telah terlebih dahulu diberikan pelatihan-pelatihan untuk menjadi konselor sebaya sehingga diharapkan dapat memberikan bantuan baik secara individual maupun kelompok kepada teman-temannya yang bermasalah ataupun mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadiannya. Mereka yang menjadi konselor sebaya bukanlah seorang yang profesional di bidang konseling tapi mereka diharapkan dapat menjadi perpanjangan tangan konselor profesional. Dengan adanya layanan peer counseling berarti sekolah menyiapkan siswa-siswa tertentu untuk menjadi konselor non profesional bagi membantu masalah teman-temannya. Para siswa calon peer counselor akan mendapatkan serangkaian pelatihan yang memadai untuk jadi konselor sebaya, sehingga diharapkan meningkatkan kemampuan siswa (yang dilatih sebagai peer-conselor dan konseli yang dibimbingnya) dalam menghadapi masalah. Dalam School Dictionary (William D. Halsey, 1987) arti kata Peer adalah “ A person who is equal to another, as in status, social class, age, or ability “, yang artinya kurang lebih seseorang yang sebaya/sama dengan yang lain seperti dalam hal status, kelas sosial, umur atau kemampuan. Light & Keller yang dikutip oleh A.T Rahayu (1999:10) memberikan definisi “ Peers are relatively equal by virtue of their age, sex and rank (AS Child & AS Student), peers stand in the same relation to persons in authority and therefore see the world through the same eyes “. Definisi tersebut dapat diartikan bahwa teman sebaya diidentifikasikan dalam usianya, jenis kelamin, tingkatan (sebagai anak dan peserta didik), pendidikannya relatif sama dan melihat dunia dengan pandangan yang sama. Konselor sebaya adalah para peserta didik yang memberikan bantuan kepada peserta didik lain di bawah bimbingan konselor ahli (Carr, 1981 : 3). Lebih lanjut Carr menjelaskan bahwa konselor sebaya terlatih yang direkrut dari jaringan kerja sosial memungkinkan terjadinya sejumlah kontak yang spontan dan informal. Kontak-kontak yang demikian memiliki multiplaying impact pada berbagai aspek pada anak-anak lainnya. Kontak-kontak tersebut juga dapat memperbaiki atau meningkatkan iklim sosial dan dapat menjadi jembatan 7
penghubung antara konselor profesional dengan para anak yang tidak sempat atau tidak bersedia berjumpa dengan konselor. Berdasarkan dua definisi tersebut, dipahami bahwa pengertian peer adalah teman sebaya atau setara dalam hal usia, pendidikan, jenis kelamin, status sosial dan kesamaan lain yang membuat mereka merasa dan terlihat sepakat dalam setiap pandangan. Sedangkan counseling menurut Shertzer & Stone (Nugent, 1981 : 4) adalah “an interaction process which facilitates meaningful understanding of self and environment and result in the estabilishment and or clarification of goals and values for future behavior “. Artinya proses interaksi yang membantu pemahaman diri dan lingkungan yang berarti dan dampak-dampak pembentukan atau pencerahan tujuan-tujuan dan nilai-nilai perilaku yang akan datang. Tolbert (Priyatna, 1994 : 101) memberikan pendapat bahwa konseling merupakan hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dimana konselor melalui hubungan itu dan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar dimana konseli dibantu untuk me mahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaan masa depan yang dapat ia ciptakan dengan meng gunakan potensipotensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan baik pribadi maupun masyarakat, dan lebih jauh dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. Jadi, dari kedua definisi tersebut, dipahami bahwa konseling adalah suatu proses penyelesaian masalah konseli yang dibantu oleh seorang yang memiliki keahlian konseling melalui tatap muka sehingga didapat suatu pembelajaran yang bernilai untuk masa sekarang dan yang akan datang. Melalui penjabaran ini, dipahami tentang arti peer dan counseling. Istilah Peer Counseling dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Konseling Sebaya. Menurut Peter Van Kan (Fathur Rahman, 2001 : 3) menyatakan bahwa “ Peer Counseling refers to a body of techniques and at the same time to an approach to people and their difficulties and challenge “. Arti tulisan tersebut merupakan suatu kumpulan teknik dan pendekatan terhadap pribadi-pribadi beserta permasalahannya untuk diselesaikan bersama. Uraian tadi mempertegas bagaimana seharusnyanya menciptakan iklim atau atmosfir sekolah sebagai lingkungan perkembangan yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa atau upaya memfasilitasi siswa dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangannya. Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting, terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade terakbir ini, yaitu (1) perubahan struktur ke-luarga, dari keluarga besar ke keluarga kecil, (2) kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda, (3) ekspansi jaringan komunikasi di antara kawula muda, dan (4) panjangnya masa atau penundaan memasuki masyarakat orang dewasa. Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah; (a) Social Cognition: kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain, rnemungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya. Mereka telah mampu melihat bahwa orang itu sebagai individu yang unik, dengan perasaan, nilai-nilai, minat, dan sifat-sifat kepribadian yang beragam, Kemampuannya ini berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau membentuk persahabatan dengan teman sebayanya (Sigelman & Shaffer, 1995: 372,376).(b) Konformitas: motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya. Berdasarkan survey nasional terhadap remaja di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecen-derungan yang kuat untuk menjadi populer dan konformitas (Conger, 1983:328-329). Konformitas kepada norma kelompok terjadi, apabila: (1) norma tersebut secara jelas dinyatakan, (2) individu berada di bawah pengawasan kelompok, (3) kelompok memiliki 8
sanksi yang kuat, (4) kelompok memiliki sifat kohesif yang tinggi, dan (5) kecil sekali dukungan terhadap penyim pangan dari norma (David W, Johnson, 1970: 229). Menurut Katty King, MA (1999 : 2) memberikan pengertian bahwa: Peer Counseling is (1) Voluntary activity; (2) No forcement for the opinion or solution; (3) Active listening; (4) Understand each other. Pengertian pertama, aktifitas peer counseling itu dilaksanakan atas dasar kesuka relaan, tidak ada unsur paksaan keharusan yang membuat konselor sebaya konseli secara terpaksa melakukan aktifitas konseling sebaya. Sedang untuk pengertian yang kedua (no forcement for the opinion or solution), tidak ada paksaan dalam memberikan solusi dan melaksanakan solusi, tidak ada kesan bahwa konselor sebaya lebih bijak dan lebih cerdas. Dalam konseling sebaya juga tidak boleh ada kesan menggurui, jadi keputusan terakhir didasarkan pada keinginan konseli (peserta didik yang dibantu dalam proses konseling) itu sendiri. Pengertian yang ketiga (Active listening) yaitu mendengarkan secara kritis (tidak sekedar mendengar saja), penuh analisa dan bersungguh-sungguh dalam proses penyelesaian masalah, ada komunikasi yang efektif mengenai proses solusinya. Understand each other adalah saling pengertian satu sama lain, memahami prinsip dan kepribadian masing-masing. Dengan demikian Peer Counseling merupakan bentuk pemberian layanan konseling sebagai proses yang wajar, yang diberikan oleh teman sebaya secara sukarela di lingkungan sekolah, untuk meningkatkan fungsi sosial pemecahan masalah dimana sebelumnya siswa sukarelawan (peer counseler) mengikuti kegiatan training konseling sebaya terlebih dahulu. Konseling sebaya tidak diarahkan untuk mereka yang bermasalah berat atau yang kiranya membutuhkan pertolongan konselor professional. Nelson-Jones (Supraktiknya, 2000 : 7) menyatakan/berpendapat bahwa tujuan konseling sebaya adalah menolong peserta didik mengatasi perasaan negatif terhadap diri mereka sendiri, perasaan sepi, terisolasi dan melatih ketrampilan yang diperlukan dalam hidup (life skill) seperti ketram pilan berkomnikasi, ketrampilan mengatasi masalah, mengatasi konflik, mengambil keputusan, mengatasi kecemasan serta stres da sebagainya. Jadi menurut penulis, konseling sebaya memiliki jangkauan penanganan yang luas karena lebih bersifat preventif, kuratif dan develop mental. Konseling sebaya tidak hanya berkisar pada bagaimana mengeluarkan peserta didik dalam membentuk kematangan pribadi dan sosial.Fungsi konseling sebaya menurut Supraktiknya (2000 : 176) adalah sebagai berikut; (1) Sebagai teman; (2) Menolong konseli agar mampu mengidentifikasikan tingkah laku yang tidak bertanggungjawab dalam dirinya; (3) Memberikan layanan kepemimpinan; (4) Menghilangkan perasaan-perasaan negatif; (5) Menyarankan kepada konseli agar mencari bantuan yang lebih professional; (6) Mendo'akan si konseli. Penulis berpendapat bahwa konselor sebaya dalam hal ini peserta didik pembimbing merupakan pihak yang dipercaya dalam memberikan layanan konseling walaupun masih bertaraf praprofessional (setegah-setengah dan tidak professional). Hak yang menjadi kekhasan konselor sebaya adalah bahwa dia bisa bergerak ke tataran non formal, lebih dekat secara pribadi dengan konseli dan persahabatan sebaya mereka yang tidak secanggung guru pembimbing dan peserta didik (konseli). Konseling sebaya memang tidak hanya sekedar menolong dan menggerakkan peran sosial siswa di sekolah tapi konseling sebaya juga merupakan suatu tindakan mulia yang langsung menyentuh pribadi siswa untuk mengembangkan sisi-sisi ketinggian martabat manusia. Terlihat dari fungsinya yang sampai pada taraf mendo'akan si konseli, konseling sebaya seolah lepas dari formalitas dan institusi pendidikan sebagai eksistensinya, fungsi konseling sebaya seolah lebih dekat dengan istilah “Sahabat Sejati”. Hal itulah yang menjadi tantangan peneliti untuk menciptakan suatu program “Persahabatan Sejati“ di lingkungan yang cenderung formal yaitu sekolah. Jadi fungsi konseling sebaya itu adalah sebagai teman yang bisa mengarahkan konseli pada sikap dan perilaku yang diharapkan. 9
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Peer Counseling Menurut Mary R.E.R (Supraktiknya, 2000 : 224) prinsip-prinsip konseling sebaya adalah sebagai berikut : (a) Menjunjung tinggi martabat sang pribadi (b) Hak untuk menentukan nasib sendiri (c) Individualitas (d) Konfidensialitas (e) Kemandirian (f) Universalisme (g) Partisipasi (h) Tidak menilai (i) Objektivitas (j) Memberikan uluran tangan (k). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Menjunjung tinggi martabat sang pribadi Setiap pribadi memiliki martabat, tidak peduli betapa parah masalah nya. Dasar martabatnya ialah fakta bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah, manusia memiliki derajat yang tinggi disamping makhluk yang lain, sehingga dapat membedakan diantaranya. b. Hak untuk menentukan nasib sendiri Setiap orang kecuali kadang-kadang karena dibuat tidak berdaya oleh masalah yang sedang dihadapinya, bisa memecahkan sendiri masalahnya. Ia tidak boleh dipaksa melakukan tindakan yang tidak pernah diinginkannya sendiri, mereka mempunyai kecenderungan untuk mampu menentukan nasibnya sendiri. c. Individualitas Setiap orang adalah unik. Cara yang ditempuhnya untuk memecahkan masalah berbeda dari cara yang ditempuh orang-orang lain yang meng hadapi masalah serupa. suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang sebagai individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain yang memiliki karakteristik yang khas. d. Konfidensialitas Relasi dalam konseling sebaya dilindungi oleh sikap yang memberikan kepada konseli privacy atau kerahasiaan pribadi sebanyak yang diperlukannya untuk mengatasi masalah. Konfidensialitas menciptakan suasana percaya bagi konseli, sehingga mereka memiliki sebuah kebebasan yang khas. e. Kemandirian Konseling sebaya melibatkan baik konselor maupun konseli yang sebaya usia dalam proses memecahkan masalah. Relasi tersebut diarahkan menuju saat dimana konseli mampu mandiri dalam memecah kan masalahnya. Tugas konselor sebaya adalah menolong konseli meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah, bukan membuat konseli menjadi tergantung kepadanya. f. Universalisme Konselor sebaya wajib menolong siapa saja yang memerlukan bantuannya, ada kecenderungan kewajiban menolong sangat tulus tanpa pamrih didasari niat yang ikhlas tanpa memandang jenis kelamin, kelas sosial, latar belakang agama atau politik, warna kulit atau ras. g. Partisipasi Konseli wajib berpartisipasi secara aktif dalam proses memecahkan masalah, melakukan adaptasi secara moral dan mental secara penuh ikut ambil bagian dalam perasaan dan pemahaman yang dalam merasa bagian dalam hidupnya. h. Tidak menilai Konselor sebaya tidak boleh menilai konseli berdasarkan tindak perbuat annya yang mungkin dipandang tidak pada tempatnya, diluar jangkauan kemampuan yang wajar secara pribadi yang pilah dan utuh. i. Objektivitas Seorang konselor sebaya tidak boleh terlibat secara emosional dengan konselinya sehingga ia tidak bisa lagi bersikap obyektif dalam menjalankan tugasnya. 10
Hilanglah obyektifitas ini bisa terwujud dalam sikap terlibat secara berlebihan sampai memaksakan pandangannya sendiri dan tidak memberikan kesempatan kepada si konseli untuk mengambil keputusan sendiri. j. Memberikan uluran tangan Seseorang yang tengah dirundung masalah mungkin bahkan terlampau tak berdaya untuk meminta pertolongan. Seorang konselor sebaya wajib mengulur kan tangan kepada teman, ikut memberikan secara suka rela bantuan pada teman yang sedang bermasalah tanpa menyinggung harga dirinya. k. Berpikir kritis Konselor sebaya harus selalu mawas diri, kritis, cakap dan kreatif dalam bertindak dan berbuat, apakah kehadirannya merupakan bagian dari masalah atau bagian dari pemecahan masalah. Keduabelas prinsip tersebut merupakan sikap-sikap yang harus dipegang konselor sebaya dalam melaksanakan tugasnya sehingga nantinya tidak akan terjadi halhal yang menyimpang. Menjunjung tinggi martabat si konseli (peserta didik yang mengharapkan jasa konseling sebaya) merupakan suatu keharusan, konselor sebaya tidak boleh menganggap konseli sebagai orang yang tidak tahu atau orang yang lemah, tapi justru konseli adalah orang yang dengan segala keunikannya akan menyerap sendiri pengalaman konseling sebaya itu dalam pribadinya yang pada akhirnya dia akan mendasari segala keputusan yang diambilnya, perilaku dan sikapnya dikemudian hari. Peneliti menyimpulkan, prinsip-prinsip konseling sebaya tersebut tidak lain adalah sikap dari seorang sahabat sejati dengan itikad baik dan dengan segenap kemampuannya bersedia mendampingi orang lain menuju kehidupan yang bermakna. Prosedur Pelaksanaan Peer Counseling Menurut Suwardjo (2001:5), langkah yang dapat ditempuh oleh guru pembimbing di sekolah adalah sebagai berikut : (a) Memilih calon pembimbing sebaya (b) Memberikan pelatihan (c) Mengorganisir pelaksanaan bimbingan teman sebaya (d) Pembinaan dan peningkatan pembimbing sebaya Adapun langkah yang dimaksud dapat dijelaskan secara rinci seperti dibawah ini sebagai berikut; (a) Memilih calon pembimbing sebaya yaitu dalam upaya ini guru Bimbingan dan Konseling memilih serta melakukan seleksi terhadap sejumlah peserta didik yang memiliki kepribadian, kemampuan serta memiliki wawasan luas serta bersikap dewasa yang memiliki kharisma sehingga dapat mendukung tugas dan perannya nanti antara lain secara psikologis lebih dewasa dari teman pada umumnya, popular (secara positif), mempunyai kemampuan akademik lebih atau minimal merata, proaktif, emosi cukup stabil, mampu menjaga rahasia, serta dapat bekerja sama dengan guru dan siswa lain.(b) Memberikan pelatihan, setelah pemilihan telah dilaksanakan maka langkah berikutnya adalah penetapan peserta didik yang sudah terpilih dan ditetapkan sebagai kriteria yang memenuhi persyaratan dimaksud untuk segera mengikuti serangkaian pelatihan atau training yang menekankan pada pemahaman dan penguasaan sikap-sikap dasar yang harus dimiliki oleh calon seorang konselor teman sebaya seperti kemampuan mengadakan layanan konseling penerimaan, pemahaman, empati, serta kesejatiannya sebagai calon konselor; (c) Mengorganisir pelaksanaan bimbingan teman sebaya berupa serangkaian kegiatan yang telah didesain sedemikian rupa berupa mengoordinasikan, mendampingi proses kegiatan tersebut atau guru pembimbing sebagai tempat berkonsultasi. (d) Pembinaan dan peningkatan pembimbing sebaya, langkah berikutnya adalah melakukan upaya dimana guru pembimbing melakukan pendampingan, pembinaan serta peningkatan kemampuan para pembimbing sebaya, agar mereka dapat melakukan tugasnya sesuai 11
yang dikehendaki oleh konselor dan diharapkan mampu memainkan perannya secara baik dan benar sehingga peserta didik yang dibantu dapat merasakan manfaatnya. Langkah persiapan yang harus dilaksanakan sebelum program konseling sebaya berjalan adalah menentukan konselor sebaya dan mem berikan pelatihan pada konselor sebaya. Calon konselor sebaya tidak didapatkan begitu saja melainkan harus melalui seleksi dan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh calon konselor sebaya. Kriteria tersebut antara lain adalah kapasitas kepribadian seperti supel sehingga dikenal baik oleh teman-temannya, tidak termasuk siswa bermasalah, kemampuan berkomunikasi yang baik. Kapasitas intelektual seperti aktif dalam organisasi dan prestasi akademik yang minimal rata-rata bahkan diatas rata-rata capaian temannya dikelas. Selanjutnya, dalam pelaksanaan program tersebut ada koordinasi, konsultasi, pengawasan secara intensif, pengembangan keterampilan dan kemampuan bagi konselor sebaya yang dilakukan oleh guru BK. Barbara B. Varenhorst melakukan cara lain tentang pengadaan konselor sebaya dalam pedoman pengembangan programya (Krumboltz, 1976 : 544) yaitu tidak ada seleksi konselor sebaya. Varenhorst berkeputusan seperti itu karena menurutnya seleksi itu menyakitkan, jadi semua siswa berhak mengikuti program konseling sebaya. Jika siswa tereliminasi, itu karena keinginan siswa sendiri untuk keluar dari program. Dengan menerima semua siswa yang berminat mengikuti program, dapat ditemukan aspek intervensi-konseling dari konseling sebaya itu sendiri dimana siswa yang bermasalah dan yang merasa tidak sukses, bisa belajar mengenai solusi-solusi bagi masalahnya, memperbaiki konsep dirinya sendiri melalui training konselor sebaya yang diikutinya. Menurut Barbar B. Varenhorst (Krumboltz, 1976 : 542) sebagai perintis pelaksanaan program ini memberikan prosedur menjadi beberapa bagian yaitu (a): Pelaksanaan Training selama 18 jam bagi para peserta didik yang menjadi sukarelawan (Peer Counseling). (b) Pengidentifikasian terhadap peserta didik dan keadaannya yang datang untuk berkonseling sebaya yang biasa disebut dengan “ Tugas “. (c) Adanya supervisi dan training yang kontinyu dalam bentuk kelompok “Praktikum “mingguan, dimana terdapat diskusi tentang pengalaman dan permasalahan selama proses konseling sebaya berlangsung. Pendapat Suwardjo ternyata hampir mirip dengan pendapat Barbara B. Varenhorst yaitu adanya pembekalan dan koordinasi, pengawasan dan diskusi tentang pengalaman dan permasalahan. Tetapi dalam hal pengadaan konselor sebaya, terdapat perbedaan dimana Varenhorst tidak mengadakan seleksi, sedangkan Suwardjo ada seleksi dan kriteria tertentu untuk konselor sebaya. Untuk bahasan ini, penulis lebih cenderung memilih cara pengadaan calon konselor sebaya menurut Suwardjo karena dengan tidak adanya penyaringan membutuhkan waktu yang lama dan dana besar. Dengan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa ada kriteria calon konselor sebaya dalam penelitian ini yaitu : (a) Lebih dewasa secara psikologis dari teman pada umumnya. (b) Bukan peserta didik yang bermasalah. (c) Prestasi akademik yang minimal rata-rata. (d) Populer secara positif atau dikenal baik oleh teman-teman sekelas. (e) Emosi cukup stabil. (f) Proaktif. (g) Mampu menjaga rahasia. (h) Sanggup untuk bekerjasama dengan peneliti selama penelitian berlangsung. Konselor sebaya lebih dewasa dengan teman di kelas dimaksudkan agar konselor sebaya mampu berfikir lebih rasional dalam memecahkan permasalahan serta tidak mudah terpancing emosi. Konselor sebaya mesti bukanlah peserta didik bermasalah agar konselor sebaya bisa dan mampu dapat memberikan perhatian sepenuhnya pada konseli bukan justru sibuk dengan masalah sendiri. Prestasi akademik yang minimal ratarata memberikan indikasi bahwa konselor sebaya adalah peserta didik pandai dan rajin sehingga di harapkan tidak malas juga dalam menangani masalah. Konselor sebaya mesti 12
dikenal baik/populer oleh peserta didik kelas artinya disenangi oleh siswa kelasnya serta bisa diandalkan. Mampu menjaga sebuah rahasia adalah syarat penting agar konseling sebaya menjadi program yang dapat dipercaya. Konselor sebaya juga sanggup bekerjasama dengan konselor. Materi Training Bagi Konseling Sebaya. Materi-materi yang disajikan dan menjadi bahan diskusi dalam training para konselor sebaya meliputi nilai-nilai hidup, kesadaran diri, komunikasi, seksualitas, konseling (Supraktiknya, 2000 : 11) dan materi lain yang dianggap perlu dan sesuai dengan konseling sebaya. Sumber-sumber materi yang akan dipergunakan dalam training konseling sebaya, penulis dapatkan dari berbagai buku-buku yang mengulas materi-materi tersebut sehingga tidak terpaku pada buku-buku konseling melainkan juga buku-buku tentang pengembangan diri. yang meliputi aspek perkembangan sosial peserta didik, yaitu hal-hal yang menyangkut: (1) kemampuan berkomunikasi, serta menerima dan menyampaikan pendapat secara logis, efektif dan produktif (2) kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial (di rumah, sekolah, dan masyarakat) dengan menjungjung tinggi tata krama, norma, dan nilai-nilai, agama, adat-istiadat dan kebiasaan yang berlaku (3) hubungan dengan teman sebaya (di sekolah, dan di masyarakat) (4) pengendalian emosi, penanggulangan konflik dan permasalahan yang timbul di masyarakat (baik di sekolah maupun di luar sekolah) (5) pemahaman dan pelaksanaan disiplin dan peraturan sekolah, di rumah, di masyarakat (6) pengenalan, perencanaan dan pengamalan pola hidup sederhana yang sehat dan bergotong-royong Keterampilan konseling untuk diajarkan kepada tenaga non profesional dari perlakuan Co Counselor (peer counseling) telah dimodifikasi oleh Carkhuff (1969), Ivey (1973), Gordon (1970). Keterampilan tersebut meliputi: (1) Attending yaitu perilaku yang secara langsung berhubungan dengan respek, yang ditunjukan ketika helper memberikan perhatian penuh pada helpee, melalui komunikasi verbal maupun non verbal, sebagai komitmen untuk fokus pada helpee. Helper menjadi pendengar aktif yang akan berpengaruh pada efektivitas bantuan. Termasuk pada komunikasi verbal dan non verbal adalah; Empath, (2) Summarizing yaitu dapat menyimpulkan berbagai pernyataan helpee menjadi satu pernyataan. Ini berpengaruh pada kesadaran untuk mencari solusi masalah, (3) Questioning yaitu: proses mencari apa yang ada di balik diskusi, dan seringkali berkaitan dengan kenyataan yang dihadapi helpee. Pertanyaan yang efektif dari helper adalah yang tepat, bersifat mendalam untuk mengidentifikasi, untuk memperjelas masalah, dan untuk mempertimbangkan alternatif, (4) Genuineness/kesejatian adalah mengkomunikasikan secara jujur perasaan sebagai cara meningkatkan hubungan dengan dua atau lebih individu, (5) Assertiveness/ketegasan, termasuk kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan secara jujur, yang ditunjukkan dengan cara berterus terang, dan respek pada orang lain, (6) Confrontation adalah komunikasi yang ditandai dengan ketidak sesuaian/ketidakcocokan perilaku seseorang dengan yang lain, (7) Problem Solving adalah proses perubahan sesorang dari fase mengeksplorasi satu masalah, memahami sebab-sebab masalah, dan mengevaluasi tingkah laku yang mempengaruhi penyelesaian masalah itu. Hal-hal yang Berkaitan dengan Training: para professional bertanggung jawab untuk memberikan kepada para non profesional, pelatihan yang baik, penjelasan tentang standart etik, supervisi yang pantas, dan suport atau dukungan pada orang yang dilatih dan dapat 13
berkontribusi pada tersedianya tenaga yang potensial. Brown (1974) sebagaimana dikutip Judy A. Tindall dan Dean Gray (1985) mengemukakan bahwa program yang sukses untuk pelatihan mesti mengontrol tiga aspek: (1) macam-macam pelatihan, (2) interaksi yang efektif dari peers dan professional, dan (3) Supervisi dan kontrol yang pantas. Penerapan Konseling Realitas pada Program“Peer Counseling” di SMK Pelaksanaan konseling berpendekatan Terapi Realitas serta didorong oleh beberapa pokok pikiran tentang pelaksanaan peer counseling, maka dapat ditawarkan berbagai bentuk aplikatif dari program peer counseling. Model ini lebih merujuk pada pandangan Gysbers &Henderson (1994); Gysbers & Moore, (1981). Dalam model itu terdapat tujuh komponen dengan dua kategori utama yaitu: komponen struktur, dan komponen program. Pada bangunan komponen struktur terbangun beberapa hal sebagai beikut; (1) definisi program peer counseling, (2) rasional pentingnya program peer counseling, dan (3) asumsi yang berisi prinsip yang mendasari program peer counseling. Sedangkan pada bangunan komponen program meliputi (1) aktivitas-aktivitas utama dalam pelaksanaan program peer counseling, (2) peran dan tanggung jawab personil sekolah yang terlibat dalam program peer counseling. Beberapa kegitan yang termasuk bangunan komponen program adalah: (a) Merancang program “peer counseling”, dengan mengikusertakan berbagai pihak meliputi konselor profesional, kepala sekolah, persetujuan dan dukungan para guru dan administrasi. Materinya meliputi: pemilihan ”peer counselor” dan pelatihan bagi peer counselor, bentuk pelatihan, personil yang akan melatih dan kriterianya, biaya pelatihan, tempat pelatihan, berapa lama pelatihan akan dilakukan, pihak-pihak yang dimintai dukungan untuk pelatihan, keterampilan dasar konseling yang akan dilatihkan bagi peer counselor, pemahaman tentang pendekatan terapi realitas yang dijadikan kerangka pikir teoritik dan praktis dalam latihan konseling, serta evaluasi pelatihan.(b) Pelaksanaan pelatihan peer counselor (mulai dari teoritis sampai praktek). Pelatihan dilaksanakan sesuai rencana, dan pendekatan terapi realitas dijadikan acuan dalam memahami hakekat peer counsele sebagai manusia, dan bagaimana masalah terjadi pada diri counsele, bagaimana mengarahkan peer counsele pada perubahan perilaku, dengan kerangka WDEP, bagaimana hubungan konseling harus terjalin antara konselor dengan konseli, prosedur dan teknik-teknik konseling, dan bagaimana menilai kemajuan konseli dalam konseling. Pelatihan keterampilan dasar konseling akan berguna untuk berkomunikasi dalam konseling, sesuai tahap-tahap konseling. Pelatihan konseling dilakukan berupa latihan melaksanakan konseling individual maupun konseling kelompok.(c) Bekerjanya peer counselor dalam melayani peer counselee pada counseling individual ataupun konseling kelompok dibawah pengawasan supervisor (konselor profesional)(d) Melakukan pembahasan dari berbagai kesulitan yang mungkin ditemui peer counselor, dan menindaklanjuti proses konseling jika perlu. (e) Melaksanakan evaluasi terhadap hasil kerja peer counselor, untuk peningkatan kemampuan peer counselor, dan mengkaji berbagai kekuatan dan kelemahan yang terjadi.(f) Melakukan kaji tindak dari dampak program peer counseling pada peer counselor dan pada peer counselee. E. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan (1) Layanan peer counseling memiliki peluang cukup besar untuk diterapkan di sekolah, jika digerakan oleh konselor profesional dan didukung berbagai pihak, khususnya kepala sekolah, dan guru.(2) Pendekatan terapi realitas, dapat menjadi salah satu pendekatan yang bisa dilatihkan pada peer counselor, bersamaan dengan pelatihan keterampilan dasar konseling, karena pendekatan ini praktis, sederhana untuk mengarahkan peer counselee pada perubahan perilaku.(3) Pendekatan terapi realitas dipandang cocok bagi siswa SMK, terutama karena pendekatan ini berorientasi pada masa sekarang, mengutamakan realitas, dan latihan 14
bertanggung jawab yang sangat dibutuhkan pada usia remaja sesuai tingkat perkembangan intelektual, moral dan sosialnya. (4) Perlu riset mendalam untuk mencobakan keefektifan program layanan peer counseling dengan pendekatan konseling realitas dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah peserta didik SMK. Melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan, diharapkan sesama anak sekolah mampu saling dorong, saling bantu, dan mampu menjadi sumber resilience bagi sesama anak-anak di sekolah. Dengan dimilikinya I have, teman teman sekelas akan dapat lebih terfasilitasi dalam menemukan dirinya (I am) yang pada gilirannya akan menjadikan mereka lebih berdaya guna (I can). Tugas konselor sebaya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) melakukan sosialisasi program konseling sebaya pada teman-teman di kelas secara informal yaitu melalui kesempatan-kesempatan diskusi atau kesempatan-kesempatan yang memungkinkan untuk sosialisasi, seperti di saat istirahat, di kantin, dan perjalanan pulang sekolah.(2) Melaksanakan program konseling sebaya dimana peserta didik konselor sebaya melayani konseling teman sekelasnya atau teman dekatnya di kelas lain dalam mencurahkan problematika pergaulannya dengan lawan jenis. Peserta didik yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu peserta didik lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi, perkembangan, atau masalah peserta didik yang perlu mendapat layanan bantuan bimbingan atau konseling. DAFTAR PUSTAKA: ABKIN. (2008). Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling. Bandung: ABKIN ABKIN. (2009). Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling. Surabaya: ABKIN Asmangiyah.(2008).http://www.lpmpdki.web.id/id/Riset-dan Penelitian/ Implementasi Pelayanan- Konseling-Sekolah.html Bamberger, P., and Sonnenstuhl, W.J. (1995). Peer referral networks and utilization of a union-based EAP. The Journal of Drug Issues, 25, 2, 291-312. Barclay, J.H., and Harland, L.K. (1995). Peer performance appraisals: The impact of rate competence, rate location, and rating correctability on fairness perceptions. Group & Organization Management, 20, 1, 39-60. Burley, S., Gutkin, T., and Naumann, W. (1994). Assessing the efficacy of an academic hearing peer tutor for a profoundly deaf student. American Annals of the Deaf, 139, 4, 415-419. Carr, R.A. (1981). Theory and Practice of Peer Counseling. Ottawa: Canada Employment and Immigration Commission. Charlebois, P. LeBlanc, M., Tremblay, R.E., Gagnon, C. and Larivée, S. (1995). Teacher, Mother, And Peer Support In The Elementary School As Protective Factors Against Juvenile Delinquency. International Journal of Behavioral Development, 18, 1, 122.. Cohen, P. (Spring, 1995). The content of their character: Educators find new ways to tackle values and morality. Curriculum Update. Corey, Gerald. (2005). Theory And Practice Of Counseling & Psychotherapy. USA: Thomson Brooks/Cole. Depdiknas (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Jurusan PPB FIP UPI. Dirjen P4TK, Depdiknas.(2007). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas. Dolan, B. (1994). A teen hot line. The B.C. Counsellor, 16, 2, 28-34. 15
Emerson, B.L., &Hinkle, J.S. (1988). A police peer counselor uses reality therapy. Journal of Reality Therapy, 8, 1, 2-5. (PsychLit) Erhamwilda (2007). Survei terhadap Kecenderungan Siswa-Siswa SMA untuk Berkonsultasi dalam Mengatasi Masalahnya. Penelitian Mandiri. Tidak diterbitkan. Frisz, R.H. (1999). Multicutural Peer Counseling: Counseling the Multicultural Student. Journal of Adolescence. 1999. 22.515-526 (Online). http://www.idealibrary.com. Gysbers, N. C., & Henderson, P. (1994). Developing and Managing Your School Guidance Program (second ed). Alexanderian, V.A: Amarican Association for Counseling and Development. Gysbers, N.C., & Moore, E.J. (1981). Improving Guidance Programs. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Graetz, B., and Shute, R. (1995). Assessment of peer relationships in children with asthma. Journal of Pediatric Psychology, 20, 2, 205-216. Handoz. (2007). Teori tentang Self Concept. http://erikarianto. wordpress.com /2008/01/05/konsep-diri-self-concept/ Hartnett, Sharon. (2007) Does Peer Group Identity Influence Absenteeism in High School Students? High School Journal, v91 n2 p35-44 Dec 2007-Jan 2008. University of North Carolina Press Heppner, P.P, and Johnston, J.A. (1994). Peer consultation: Faculty and students working together to improve teaching. Journal of Counseling and Development, 72, 5, 492499. Heppner, P.Paul, I Bruce E. Wampold & I Dennis M. Kivlighan. (2008). Research Design in Counseling. Thirth Edition. USA: Thomson Brooks/Cole. Jersild, Athur.T. (1975). Child Psychology. Sevent Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc, Englewood Clifts. Kamps, D.M., Barbetta, P.M., Leonard, B.R., and Delquardi, J. (1994). Classwide Peer Tutoring: An Integration Strategy To Improve Reading Skills And Promote Peer Interactions Among Students With Autism And General Education Peers. Journal of Applied Behavior Analysis, 27, 49-61. Kan, P.V. (1996). Peer Counseling in Explanation. (on line). Tersedia: http://www.peercounseling. com. Magin, D.J., and Churches, A.E. (1995). Peer Tutoring In Engineering Design: A Case Study. Studies in Higher Education, 20, 1, 73-85. Morgan, C.T. (1986). Introduction to Psychology. New York: MC.Graw Hill Book Company. Mungin Eddy Wibowo. (2001). Model Konseling Kelompok di SMU. Disertasi. Bandung: Pasca UPI. Tidak diterbitkan. Nelson, J.R., Smith, D.J., and Colvin, G. (1995). The effects of a peer-mediated selfevaluation procedure on the recess behavior of students with behavior problems. Remedial and Special Education, 16, 2, 117-126. Rey Carr (1994). Peer Counseling. Peer Counselor Journal (p.7). Roesener, L. (1995). Changing the culture at Beacon Hill. Educational Leadership, 52, 7, 2832. Silver, E., Coupey, s. Bauman, L., Doctors, S., &Boeck, M. (1992). Effects Of A Peer Counseling Training Intervention On Psychological Functioning Of Adolescents. Journal of Adolescent Development, 7, 110-128. Suwardjo. (2008). Model Konseling Sebaya Untuk Pengembangan Daya Lentur (Resiliences). (Studi Pengembangan Modeling Teman Sebaya untuk Mengembangkan Daya Lentur Anak Asuh Panti Sosial Asuhan Anak, Propinsi Istimewa Yogyakarta). Disertasi. Bandung: Pasca UPI (tidak diterbitkan). 16
Supratiknya, A, 2000. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta : Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma Sudrajat Akhmad, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/tag/bimbingan-dan-konseling/ Syamsu Yusuf L.N. (2005). Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling di SMP (Materi Workshop Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi Konselor SMP). Jakarta : Direktorat PLP Depdiknas Bekerjasama dengan ABKIN. Tanpa nama. (2007). Peer counseling. (http://www.wilsherifoundation.org/dw Pages/senior.htm/ Tindall, Judy A & H.Dean Gray (1985). Peer Counseling, In Depth Look At Training Peer Helpers. United State of America: Accelerated Development Publishers. Varenthorst, Barbara B (1984). Peer Counseling: Past Promises, Curent Status, and Future Directions. Editor: Steven D. Brown &Robert W.Lent . Handbook Of Counseling Psychology. New York: John Wiley &Son.
17