MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT MENUJU NIR LIMBAH (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV)
CHAMIDUN DAIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Menuju Nir Limbah (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Oktober 2007
Chamidun Daim P062024334
ABSTRAK Chamidun Daim. 2007. Model Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Menuju Nir Limbah (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV). Dibimbing oleh: Syamsul Ma’arif, Surjono Hadi Sutjahjo, dan Hartrisari Hardjomidjojo.
Pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit memerlukan strategi yang tepat agar dapat dimanfaatkan secara ekonomis sehingga terwujud nir limbah. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah. Sistem pakar digunakan untuk menilai kinerja perusahaan PTPN IV Sumatera Utara, analisis prospektif digunakan untuk merumuskan faktor kunci dan skenario kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah, dan focus group discussion dilakukan untuk merumuskan strategi implementasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) faktor kunci yang mempengaruhi penerapan teknologi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah peningkatan kapasitas pabrik kelapa sawit, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah cari, dan peningkatan nilai ekonomi limbah, (2) sistem pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit untuk menuju nir limbah yang dapat diterapkan adalah menggunakan limbah (by product) dari setiap proses produksi kelapa sawit sebagai input proses produksi kelapa sawit melalui pengolahan limbah cair dan limbah padat menjadi kompos sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan yang dapat meningkatkan produktivitas kebun, (3) model sistem penilaian terpadu PKS (SPT-PKS) yang dirancang PTPN IV Sumatera Utara terbukti dapat memberikan hasil penilaian secara cepat yang akurat dan valid dengan menggunakan kriteria kualitas bahan baku, proses produksi, hasil (PKO dan CPO), pengolahan limbah padat dan cair, serta aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, dan (4) skenario optimal pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan. Skenario ini dicapai melalui peningkatan kapasitas produksi pabrik kelapa sawit, pengelolaan limbah padat dan cair, dan peningkatan nilai ekonomi limbah. Dalam kondisi ini terjadi perbaikan kinerja perusahaan secara keseluruhan dan pemanfataan limbah sebagai pupuk organik yang dapat penggunaan pupuk anorganik. Kata-kata kunci:
kebijakan, limbah, kelapa sawit, pengomposan, PTPN IV Sumatera Utara.
ABSTRACT
Chamidun Daim. 2007. Policy Model Waste Management of Palm Oil Manufacturing Concerning of Zero Waste (Case Study in PT Perkebunan Nusantara IV, North Sumatera). Under Supervisors of Syamsul Ma’arif, Surjono Hadi Sutjahjo, and Hartrisari Hardjomidjojo.
Palm oil processing produce the solid and liquid waste which could be utilized as a production input with high economic value. The objective of this research was to formulate the policy of palm oil company processing in concerning the zero waste. Expert system was used to give a performance of PTPN IV Sumatera Utara, the prospective analysis was used to formulate key factors and policy scenario processing of palm oil waste to reach zero waste, and the focus group discussion was conducted to formulate its implementation strategy. The result show that: (1) PKS performance of PTPN IV in the whole process is good, but in waste processing is not good because it still use the mulching technology, land application and pond; (2) the key factor that influence the technology processing implementation of palm oil to reach zero waste was increasing capacity of palm oil company, solid and liquid waste processing and the increasing of waste economic value. (3) the palm oil company waste management system in concerning the zero waste that can be implemented by using the waste (by product) from every palm oil production process as an input palm oil production process throught solid and waste management become compost; (4) the comprehensive model system of PKS ( SPT-PKS) that was programmed could give a quick, accurate and valid assesment; (5) the optimal scenario of palm oil waste management in corcerning of zero waste was the developing company and better environmental performance. This scenario was reached by the production increasing strategy of palm oil company production capacity, solid and liquid waste management by using the composting technology and the increasing of economic value by composting and product diversification.
Key words: policy, solid waste, liquid waste, oil palm, composting
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT MENUJU NIR LIMBAH (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV)
Oleh:
Chamidun Daim P062024334
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Menuju Nir Limbah (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV) Nama
: Chamidun Daim
NIM
: P062024334
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng. Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Anggota
Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.
Tanggal ujian: 29 Oktober 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal lulus:
PRAKATA Disertasi ini merupakan penelitian kebijakan (policy research) dengan metode deskriptif dan teknik analisis pemodelan positivisme. Obyek penelitian ini adalah sebuah sistem mikro yaitu sistem sustainable production pada pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit. Melalui bidang kebijakan publik diterangkan dan dievaluasi fungsi dan kontribusi langkah-langkah yang telah diambil sektor publik dalam menghasilkan kinerja sustainable production pada pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang memiliki prospek optimum dilakukan melalui aplikasi analisis prospektif. Deskripsi ringkas dari konteks, bidang dan fokus obyek dan tujuan penelitian ini tercermin dalam judul disertasi “Model Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Menuju Nir Limbah (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV)”. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng., Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., dan Ibu Dr Hartrisari Hardjomidjojo, DEA., sebagai tim komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi dalam bentuk saran pemikiran dan bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Kepada Ibu Dr Etty Riani, M.S. selaku Sekretaris Program Studi PSL juga saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan waktunya dalam memberikan dorongan dan semangat kepada saya. Pada kesempatan ini saya sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Direksi PTPN IV beserta seluruh jajarannya terutama bapak Ir. Balaman Tarigan, MM. Selaku Direktur Produksi yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan memfasilitasi focus group discussion. Khususnya kepada isteri saya Rina Diani dan anak saya Ambara Arya Anandita (Didit) yang selalu memberi semangat serta dorongan serta do’anya sehingga saya dapat menyelesaikan sekolah ini dari awal sampai akhir saya ucapkan terima kasih. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam penyelesaian disertasi ini, yang telah memberikan perhatian penuh, bantuan moril dan semangat kepada saya di setiap saat. Sebagai sebuah disertasi, tentunya diharapkan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan disertasi ini. Semoga bimbingan, saran, dan masukan yang diberikan dengan ikhlas membuahkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia khususnya bagi PT Perkebunan Nusantara IV.
Bogor,
Oktober 2007
Chamidun Daim
RIWAYAT HIDUP Chamidun Daim. Penulis lahir di Jepara Jawa Tengah pada tanggal 12 Oktober 1959. SD diselesaikan pada tahun 1971 kemudian dilanjutkan di SMP dan selesai pada tahun 1974. SMA diselesaikan pada tahun 1978 yang kemudian dilanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor. Gelar sarjana diperoleh pada tahun 1982. Penulis menyelesaikan pendidikan magister (S2) Jurusan Strategi di IPPM. Saat ini penulis sedang menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor. Selain pendidikan formal tersebut, penulis juga mengikuti pendidikan informal antara lain Latihan Dasar Kepemimpinan (1981), Dasar-Dasar Analisis Dampak Lingkungan (1987), English for Executive (1987), Basic English Language Tranining (1988), English for Academic Preparation (1989), Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Lanjutan, SEPALA (1993) dan Course of Agrarian Reform, Land Reform Training Institute di Taiwan (1994). Riwayat pekerjaan penulis yaitu sebagai Pengawas teknik lapangan Proyek Persiapan dan Penempatan Petani Teladan di Timor Timur dan Anggota tim survey Penyusunan Tata Ruang dan Pengembangan Sosial Ekonomi di Kabupaten Maliana dan Kovalima, Propinsi Timor Timur (1982-1984), Team Leader untuk kegiatan Perintisan Pemanfaatan Lahan di Propinsi Timor Timur (1984-1985), sebagai Staf Direktorat Penyiapan Areal Permukiman, Dit.Jen Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi di Jakarta (1985-1986). Sejak tahun 1987 sampai 1994 sebagai Kepala Seksi Inventarisasi dan Identifikasi, Dit. Penyiapan Areal Permukiman. Selama masa itu penulis ditugaskan pula sebagai Sekretaris panitia Pengadaan Barang dan Jasa melalui Penunjukan Langsung pada Dit. Penyiapan Areal Permukiman (1988-1989), Pemimpin Proyek Penyediaan Areal Permukiman Transmigrasi di Jakarta/Pusat dan Project Manager of Land Right Studies and Technical Assistance from Word Bank (19891991). Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dan Asisten Administrasi Proyek Penyediaan Areal Pemukiman Transmigrasi (1991-1992). Pada tahun 1992-1993 menjadi Ketua Panitia Pemerikasa dan Penerimaan Barang dan Hasil pekerjaan Proyek Penyediaan areal serta Pengawas Lapangan Proyek Penyediaan Areal di Propinsi Kalimantan Selatan dan Timur. Pada tahun 1993 sampai 1994 menjadi Koordinator Pelaksanaan Pekerjaan Proyek Penyediaan Areal di Propinsi Sumatera Barat Kemudian ditugaskan sebagai Direktur Produksi PT Transindo Bhakti Pertiwi (suatu Badan Usaha milik Yayasan Transmigrasi). Sejak tahun 1995 hingga 2002 menjadi Direktur PT Transindo Aspac Agroniaga (Perkebunan Kelapa Sawit, kerjasama antara Departemen Transmigrasi dengan Aspac Grup). Kemudian sejak tahun 2001 hingga 2005 menjadi Staf Khusus Dit. Bina Investasi dan Kemitraan, Dit.Jen Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi. Sejak tahun 2006 hingga sekarang menjadi Staf Khusus Direktur Perencanaan Teknis Pengembangan Masyarakat dan Kawasan. Penulis pernah mendapatkan tanda jasa dan penghargaan antara lain Satya Lencana Karya Satya Pengabdian 10 tahun dan juga Juara Harapan III Publikasi Karya Tulis di Media Masa tentang Ketransmigrasian.
Bogor, Oktober 2007 Chamidun Daim
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv I.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.5 Kerangka Pikir Penelitian ................................................................. 1.6 Nilai Kebaruan ...................................................................................
1 1 4 5 6 6 8
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Sistem Manajemen Lingkungan ........................................................ 2.2 Produksi Bersih ............................................................................... 2.3 Pengolahan Kelapa Sawit ................................................................. 2.4 Permasalahan Limbah Kelapa Sawit................................................. 2.5 Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit.................................................... 2.6 Pendekatan Sistem .......................................................................... 2.7 Analisis Kebijakan ............................................................................. 2.8 Hasil Penelitian Terdahulu.................................................................
9 9 10 14 19 21 31 37 38
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 3.1 Lokasi Penelitian .............................................................................. 3.2 Tahapan Penelitian............................................................................ 3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................................... 3.4 Metode Analisis Data.........................................................................
40 40 40 41 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 48 4.1 Kondisi Umum PTPN IV Sumatera Utara ......................................... 48 4.2 Review Kebijakan Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit ..................... 57 4.3 Model Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit ............. 65 4.4 Skenario Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit......... 81 4.5 Implikasi Kebijakan............................................................................ 101 V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 110 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 110 5.2 Saran ................................................................................................. 112 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113 LAMPIRAN ..................................................................................................... 120
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Daftar perusahaan industri kelapa sawit yang termasuk peringkat Hitam PROPER tahun 2003-2004......................................................... Perbandingan distribusi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara dan Indonesia tahun 2002 ..................................................................... Baku mutu limbah cair PKS ................................................................... Kandungan unsur hara dari produksi kompos ....................................... Penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan limbah kelapa sawit ...................................................................................................... Tujuan, jenis, dan cara pengumpulan data, metode, dan output yang diharapkan............................................................................................. Luas areal perkebunan yang dikelola oleh PTPN IV pada tahun 2005 (ha) ....................................................................................................... Alat produksi, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai PTPN IV.... Kebijakan, strategi dan program kerja PTPN IV yang ada hubungannya dengan pengelolaan limbah............................................ Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pengelolaan limbah kelapa sawit dan pelaksanaannya ........................ Perbandingan teknologi limbah PKS ..................................................... Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan limbah PKS hasil analisis kebutuhan.................................................... Prospektif faktor kunci dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV ...... Incompatible antar keadaan (state) dari keempat faktor penting dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV jangka waktu 5 tahun ................. Definisi masing-masing skenario strategi ............................................. Hasil penentuan bobot skenario strategi pengelolaan limbah PKS di PTPN IV Sumatera Utara ...................................................................... Produksi TBS pada beberapa percobaan limbah cair ...........................
20 20 23 27 39 41 49 50 57 64 74 82 87 88 88 90 96
xi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Halaman Kerangka pikir penelitian ....................................................................... 7 Proses produksi minyak kelapa sawit dan hasil ikutannya .................... 16 Proses pengolahan pabrik kelapa sawit (PKS)...................................... 22 Tahapan instalansi pengendalian LCPKS ............................................ 23 Pengendalian LCPKS system kolam dengan aerator............................ 25 Tahapan pembuatan kompos dari TKS dan LCPKS ............................. 28 Hubungan antar komponen dalam SPK ................................................ 36 Tahapan penelitian ................................................................................ 40 Pedoman pengisian matriks analisis pengaruh ..................................... 45 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem pengelolaan limbah PKS ....................................................................... 46 Manajemen dialog SPT Pabrik Kelapa Sawit ........................................ 65 Menu interface penilaian kinerja PKS.................................................... 66 Kinerja penanganan bahan baku........................................................... 67 Kinerja penanganan perebusan ............................................................ 68 Kinerja penebahan ................................................................................ 68 Kinerja pengadukan TBS....................................................................... 69 Kinerja pengempaan TBS ..................................................................... 69 Kinerja penyaringan TBS....................................................................... 69 Kinerja oil purifier TBS........................................................................... 70 Kinerja vacuum dryer TBS..................................................................... 70 Kinerja pengeringan biji TBS ................................................................. 70 Kinerja pemecahan biji TBS .................................................................. 71 Kinerja pemisahan inti dan cangkang TBS............................................ 71 Kinerja pengeringan inti sawit................................................................ 71 Kinerja pembersihan inti sawit............................................................... 72 Kinerja kualitas produk minyak sawit kasar (CPO)................................ 72 Kinerja kualitas produk minyak inti sawit (PKO) .................................... 72 Jumlah limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan PKS .................. 73 Kinerja Parameter Kimia Limbah Cair PKS ........................................... 73 Kinerja Parameter Kandungan Hara Limbah Cair PKS ......................... 73 Alternatif penanganan limbah III ............................................................ 75 Kinerja pengomposan limbah cari dan padat PKS Dolok Sinumbah..... 75 Kinerja produk kompos PKS Dolok Sinumbah ...................................... 75 Kinerja Keseluruhan Pengolahan Limbah PKS ..................................... 76 Alternatif penanganan limbah II ............................................................. 77 Kinerja mulsa pada PKS Dolok Ilir......................................................... 77 Kinerja aplikasi lahan PKS Dolok Ilir ..................................................... 77 Kinerja Keseluruhan Pengolahan Limbah PKS Dolok Ilir ...................... 78 Kinerja ekonomi PKS............................................................................. 79 Kinerja sosial PKS ................................................................................. 79 Kinerja lingkungan PKS......................................................................... 80 Kinerja keseluruhan PKS....................................................................... 80 Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan limbah PKS menuju nir limbah ............................................................. 83 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah ....................................... 84
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Panduan penggunaan SPT-PKS ........................................................... Data Proses Produksi PKS.................................................................... Data Penanganan Limbah PKS Dolok Sinumbah ................................. Data Penanganan Limbah PKS Dolok Ilir.............................................. Capaian kualitas CPO dan PK PKS-PKS PTPN-IV tahun 2003-2005... Laba (rugi) tahun 2004-2005 PTPN IV .................................................. Perkembangan Laba Rugi PTPN IV tahun 2001-2005.......................... Alokasi dana PKBL PTPN IV Tahun 2001 - 2005 ................................. Alokasi dana target bina lingkungan tahun 2004 - 2008 ....................... Perkembangan Dana Community Development 2001-2005 ................. Keadaan Keuangan PT Perkebunan Nusantara IV (persero) .............. Foto kegiatan di lokasi penelitian .........................................................
121 142 144 151 152 153 153 154 154 154 155 157
xiii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha tani kelapa sawit dan industri minyak sawit mentah (crude palm oil - CPO) memegang peranan strategis dalam perekonomian Indonesia baik saat ini maupun untuk masa mendatang. Usahatani kelapa sawit berperan dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan dan sumber penghasil devisa. Pada tahun 2002, jumlah tenaga kerja yang tercatat tertampung dalam usahatani kelapa sawit diperkirakan sekitar 2 juta orang, yang terlibat dalam pengelolaan kebun kelapa sawit sekitar 2,9 juta ha (Indonesia Palm Oil Statistics, 2005). Pengembangan usaha kelapa sawit bermanfaat untuk menekan arus urbanisasi, karena umumnya usaha tani ini berlokasi di pedesaan sehingga keberadaannya dapat menyerap tenaga kerja di pedesaan. Dari kegiatan ini, petani memperoleh pendapatan sekitar Rp 2 - 6 juta per ha per bulan. Sebagai tambahan informasi, nilai ekspor CPO pada tahun 2000 diperkirakan mencapai US$2,767 milliar per tahun dan meningkat dengan laju di atas 10 persen per tahun pada periode selama 25 tahun terakhir (Susila et al, 2000). Industri CPO berperan sebagai penghasil bahan baku industri hilir minyak nabati, khususnya untuk bahan baku minyak goreng. Fluktuasi harga serta pasokan CPO di pasar domestik menjadi faktor penting dalam penyediaan minyak goreng. Keresahan masyarakat akan terjadi akibat melonjaknya harga minyak goreng atau pasokan yang terbatas. Meskipun bersifat fluktuatif, namun harga rata-rata bulanan CPO selama 20 tahun terakhir masih relatif tinggi, yaitu US$406 yang jauh di atas biaya produksi sekitar US$200. Produksi industri pengolahan CPO, misalnya oleat, stearat, asam lemak, minyak goreng, shortening dan oleochemicals, akan memberikan nilai tambah yang nyata. Industri
berbasis
kelapa
sawit
merupakan
investasi
yang
relatif
menguntungkan, namun demikian perlu diperhatikan pula beban pencemaran yang ditimbulkan bila tidak dilaksanakan dengan baik. Setiap ton tandan buah segar yang diolah menghasilkan limbah cair sekitar 50% dibandingkan dengan total limbah lainnya, sedangkan tandan kosong sebanyak 23% (Sutarta et al, 2000). Lubis dan Tobing (1989) mengatakan bahwa setiap 1 ton CPO menghasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000 - 60.000 mg/l.
2
Perhitungan besar beban pencemaran yang masuk ke lingkungan akan tergantung pada kegiatan yang terdapat di lingkungan tersebut. Pada daerah pemukiman, beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata per orang yang membuang limbah. Pada lingkungan industri, limbah cair yang dihasilkan bervariasi tergantung dari jenis dan ukuran industri, pengawasan proses industri, derajat penggunaan air dan derajat pengolahan air limbah yang ada. Selain limbah cair, limbah padat (sampah) juga merupakan beban pencemaran yang dapat masuk ke lingkungan baik secara langsung maupun tak langsung. Pemerintah
telah
mengembangkan
teknologi
penerapan
sistem
manajemen lingkungan pada pabrik kelapa sawit, seperti: (1) aplikasi limbah cair pada areal tanaman kelapa sawit dengan BOD 3.500-5.000 mg/l yang dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 50%; (2) aplikasi tandan kosong sawit (TKS) sebagai pupuk dan (3) pemanfaatan TKS dan limbah cair industri minyak sawit untuk, pembuatan pupuk, gas metana, kertas, briket arang, partikel board dan produk serat. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai aturan mengenai upaya-upaya pelestarian lingkungan industri minyak sawit seperti, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 29 Tahun 2003 tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perijinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah Perkebunan Kelapa Sawit, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 142 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 Tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perijinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri dan lain-lain. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak masalah lingkungan hidup mulai diperhatikan di Indonesia, berbagai program yang berkaitan dengan lingkungan tidak mencapai sasaran secara optimal (Alamsyah, 2000). Pada mulanya, strategi pengelolaan lingkungan didasarkan pada pendekatan kapasitas daya dukung (carrying capacity approach). Keterbatasan daya dukung lingkungan secara alami dalam menetralisir pencemaran membuat strategi pengelolaan pencemaran berkembang ke arah pendekatan mengolah limbah yang terbentuk (end of pipe treatment). Pendekatan ini terfokus pada pengolahan dan pembuangan limbah untuk mencegah pencemaran dan
3
kerusakan
lingkungan
(Alamsyah,
2000).
Namun
pada
kenyataannya
pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap terjadi dan cenderung berlanjut. Dalam prakteknya, pendekatan melalui pengolahan limbah menghadapi berbagai kendala, seperti: (1) sifat reaktif yang terjadi setelah limbah terbentuk, (2) kurang efektif dalam memecahkan masalah pencemaran lingkungan karena pengolahan limbah hanya mengubah bentuk limbah dan memindahkannya dari satu media ke media lain, (3) biaya investasi dan operasai pengolahan dan pembuangan limbah relatif mahal. Hal ini menjadi salah satu alasan pengusaha untuk tidak memasang alat pengolah limbah atau mengoperasikan sekedarnya; (4) memberi peluang untuk pengembangan teknologi pengolahan limbah sehingga tidak terpikirkan untuk mengurangi limbah sejak awal pada sumbernya; dan (5) pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menetapkan persyaratan limbah yang boleh dibuang setelah dilakukan pengolahan. Kebijakan pengelolaan lingkungan di bidang industri perkebunan, khususnya industri minyak sawit masih belum mampu menyentuh akar permasalahan. Banyak kendala masalah lingkungan yang muncul di lapangan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan pada jangka panjang. Bila kondisi ini berlanjut, tidak saja kualitas sumberdaya alam dan lingkungan yang seharusnya dapat dijaga kelestariannya akan rusak, hambatan-hambatan non tarif pada perdagangan dunia khususnya untuk minyak sawit akan sulit teratasi di masa mendatang dan akan berakhir pada berkurangnya tingkat keuntungan perusahaan. Penerapan produksi bersih (cleaner production) merupakan konsep terpadu sistem manajemen lingkungan yang dapat menjembatani antara kepentingan lingkungan dan kepentingan perusahaan dalam meraih keuntungan. Produksi bersih didefinisikan sebagai strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa dalam meningkatkan efiensi penggunaan sumberdaya, sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan (KLH, 2003). Produksi bersih diperkenalkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) pada tahun 1993. Sejak saat itu Produksi Bersih terus dikembangkan dan disebarluaskan ke seluruh sektor-sektor terkait di Indonesia. Pada tahun 1995 Pemerintah Indonesia mencanangkan Komitmen Nasional
4
Penerapan Produksi Bersih. Produksi bersih bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan di seluruh tahapan produksi. Di samping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi diseluruh tahapan produksi. Penetapan konsep produksi bersih akan mengakibatkan sumberdaya alam dapat dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kajian terhadap alternatif-alternatif kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) yang dapat memberikan kontribusi optimum pada pemberdayaan industri perkebunan terwujud sistem manajemen lingkungan menuju produksi bersih mutlak diperlukan. Banyaknya pihak yang terlibat dengan kepentingan berbeda-beda serta dampak limbah PKS terhadap berbagai komponen lingkungan menyebabkan permasalahan dalam pengelolaan limbah PKS menjadi kompleks dan
perlu dikaji secara holistik melalui pendekatan
sistem dalam merumuskan kebijakan tersebut.
Pandangan-pandangan dari
berbagai pihak selaku stakeholder dari industri minyak sawit yang bersifat holistik akan sangat berguna dalam penyusunan alternatif kebijakan. Keterlibatan stakeholder dari industri minyak sawit, diharapkan dapat memberikan alternatifalternatif kebijakan yang memberikan kontribusi positif pada langkah-langkah restrukturisasi industri minyak sawit pada masa mendatang. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dirangkum berbagai isu yang menjadi permasalahan penelitian ini yaitu: rendahnya tingkat implementasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, tuntutan pasar global tentang produk yang ramah lingkungan, serta efisiensi perusahaan dalam pengelolaan limbah. Lemahnya implementasi kebijakan pengelolaan lingkungan pada lingkup pabrik kelapa sawit muncul dari kesenjangan antara kelambatan dinamika internal institusi pemerintah terkait dengan kecepatan dinamika eksternal industri minyak sawit secara global. Selain itu, terjadi kesenjangan antara keinginan pemerintah agar industri minyak sawit meningkatkan kemampuan pengelolaan lingkungan dengan kemauan industri minyak sawit dalam melakukan upaya pengelolaan sesuai dengan keinginan pemerintah. Efisiensi perusahaan dapat dicapai dengan pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit menggunakan teknologi yang telah ada. Namun demikian perusahaan belum memanfaatkan secara optimal teknologi pengelolaan limbah
5
tersebut. Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa pengelolaan limbah akan menambah beban biaya produksi. Selain itu sistem kerja perusahaan selama ini belum memperlihatkan kinerja perusahaan secara cepat dalam periode waktu tertentu sehingga tidak terlihat dampak dari pengelolaan limbah secara konvensional. Penerapan produksi bersih masih dilakukan secara sukarela untuk memenuhi permintaan pasar global, bukan karena adanya keinginan untuk menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan urairan tersebut dirumuskan masalah penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kinerja pabrik kelapa sawit PTPN IV terutama yang terkait dengan limbah yang dihasilkan 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerapan teknologi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah? 3. Bagaimana model pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan sehingga dapat meningkatkan produksi kebun yang dapat diterapkan secara terpadu? 4. Bagaimana strategi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah yang sekaligus dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan dengan pemanfataan limbah secara ekonomis?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui tahapan sebagai berikut : 1. Menilai kinerja pabrik kelapa sawit terutama yang terkait dengan limbah yang dihasilkan. 2. Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penerapan
teknologi
pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah. 3. Menyusun skenario pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit yang dapat meningkatkan produksi kebun dan diterapkan secara terpadu. 4. Merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah yang sekaligus dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan dengan pemanfataan limbah secara ekonomis.
6
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat ilmiah penelitian ini adalah aplikasi cara berpikir sistem dalam merumuskan
alternatif
kebijakan
pengelolaan
limbah
industri
berkelanjutan diharapkan dapat menambah khasanah “model
PKS
analisis
kebijakan publik” dalam ilmu lingkungan. Selain itu penerapan metode simulasi sistem untuk analisis kebijakan dapat memperkaya metodologi ilmu lingkungan. 2. Manfaat praktis kepada pembangunan dalam bentuk saran kebijakan dan instrumen kebijakan yang dapat dipakai pengambil keputusan dalam bidang kebijakan pengelolaan limbah industri berkelanjutan pada umumnya dan pabrik kelapa sawit khususnya. 1.5. Kerangka Pikir Penelitian Sistem pengelolaan limbah industri minyak sawit sudah sangat maju. Pemerintah dan kalangan industri telah memanfaatkan teknologi pengelolaan limbah yang didapatkan baik dari pengembangan riset sendiri maupun adopsi teknologi-teknologi dari negara lain. Berdasarkan intensitas pemahaman dan pemilikan teknologi tersebut, seharusnya industri sudah dapat menyelesaikan permasalahan di bidang pengelolaan limbah industri sawit, namun demikian pada kenyataannya pengelolaan limbah industri minyak sawit di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Pokok permasalahan terletak pada pemahaman, pengembangan dan pemilikan sistem yang tidak sama oleh pemerintah dan kalangan industri. Hal ini berakibat pada penerapan yang tidak sesuai harapan. Sistem yang ditawarkan oleh pemerintah tidak dapat diterima oleh kalangan industri minyak sawit. Di samping itu, dalam berbagai
pihak
pengelolaan limbah PKS menuju nir limbah
dengan
berbagai
kepentingan
yang
berbeda
melibatkan sehingga
permasalahan yang menjadi kompleks. Penelitian dilakukan dalam rangka mencari
suatu
solusi
kebijakan
yang
dapat
menjembatani
perbedaan
kepentingan dan pencapaian tujuan sistem secara optimal. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan pengelolaan lingkungan secara global, pemerintah telah mengembangkan sistem yang mengarah pada zero waste (nir limbah). Kalangan industri minyak sawit lebih banyak menanggapi masalah pengelolaan limbah industri minyak sawit dari sisi kepentingan bisnis yang berorientasi pada keuntungan usaha maupun tuntutan pasar global. Sistem
7
yang dikembangkan atau diadopsi masih berkisar pada sistem pengelolaan limbah. Pendekatan sistem diharapkan dapat memberikan penyelesaian masalah dengan
metode
dan
alat
yang
mampu
mengidentifikasi,
menganalisis,
mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Eriyatno, 2002). Model pengelolaan
limbah PKS yang dibangun melalui pendekatan
sistem dibandingkan dengan kondisi pengelolaan limbah PKS yang berlaku saat ini. Jika ternyata antara model yang dibangun
dengan kondisi pengelolaan
limbah PKS saat ini sesuai, maka model pengelolaan tersebut dapat dijadikan alat bagi para pengambil keputusan. Namun sebaliknya, jika ada perbedaan (gap) antara model yang dihasilkan dengan kondisi pengelolaan limbah PKS saat ini, maka perlu dirumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan yang sesuai. Melalui
analisis
prospektif
diharapkan
dapat
dirumuskan
strategi
pengelolaan limbah PKS dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang telah diperhitungkan kemungkinan perubahannya
pada masa yang akan datang.
Secara skematis, kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Kondisi Umum
Teknologi Pengelolaan Limbah
Kinerja Perusahaan
Model Pengelolaan Limbah Berkelanjutan
Strategi Implementasi dan Rekomendasi
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Kebutuhan stakeholder
8
1.6 Nilai Kebaruan Kajian mengenai pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit telah banyak dilakukan, baik oleh peneliti maupun oleh perusahaan kelapa sawit. Kebijakan produksi bersih juga telah diberlakukan oleh pemerintah, namun secara operasional belum dapat diimplementasikan sepenuhnya. Hal ini karena belum ditemukan model penerapan teknologi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju produksi bersih yang efektif dan berkelanjutan. Nilai kebaruan (novelty) penelitian ini adalah: (1) dibuat model penilaian secara cepat (rapid appraisal) mengenai kinerja perusahaan dalam bidang lingkungan secara terpadu dan komprehensif, (2) pelibatan stakeholder kunci dalam perumusan strategi penerapan teknologi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit yang ekonomis dan berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Manajemen Lingkungan Keterkaitan
antara
dunia
usaha
dan
lingkungan
telah
disadari
sejak
dilaksanakannya Conference on Human and Enviromental oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm. Konferensi tersebut melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan (Djajadiningrat, 1997). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi Brundtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pembangunan berkelanjutan mencakup pengertian bahwa kalangan industri harus mulai mengembangkan sistem manajemen lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Dalam pengelolaan lingkungan dikenal tiga standar, yaitu (1) British Standard (BS 7750): 1994 yang berlaku di Inggris; (2) Environmental Management Audit Scheme, (EMAS) yang berlaku di Uni Eropa; dan (3) ISO seri 14000. ISO seri 14000 merupakan standar internasional yang menjadi sarana penting dalam perdagangan global yang terbuka dan tidak memihak, khususnya berkaitan dengan pemberian perlakuan yang tepat dalam penanganan masalah lingkungan (Simatupang, 1995). Penerapan ISO seri 14000 dalam perdagangan global adalah salah satu bentuk konkrit dari implementasi konsep pembangunan berkelanjutan. Simatupang (1995) mengatakan terbitnya ISO seri 14000 pertengahan 1996 merupakan babak baru dalam standarisasi perdagangan dunia setelah diterapkan ISO seri 9000 yang dianggap cukup handal dalam bidang Sistem Manajemen Kualitas (QMS). Dengan demikian, standar ISO seri 14000 dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan daya saing dalam menembus pasar internasional dan sekaligus dijadikan faktor penggiat dalam mengembangkan upaya pengelolaan lingkungan. Standar ISO seri 14000 bertumpu pada prinsip perbaikan terus-menerus (continous improvement) dengan membawa elemen baru bagi peningkatan manajemen organisasi, yaitu pendekatan sistem manajemen untuk mengoptimalkan seluruh kinerja lingkungan dan menengahi setiap kerusakan lingkungan. Penerapan ISO seri 9000 difokuskan pada kepuasan pelanggan dan persyaratan kualitas internal, sedangkan penetapan ISO seri
10
14000 membuat perusahaan bukan saja mampu memuaskan pelanggan dan masyarakat tetapi sekaligus dapat memenuhi persyaratan peraturan lingkungan yang diberlakukan. Dalam ISO/DIS (Draft of International Standard) 14001, perbaikan terus-menerus ini harus dapat mengoptimalkan lima bidang kegiatan dalam model Sistem Pengelolaan Lingkungan (EMS) yang saling berhubungan dan bersamaan, yaitu (1) peninjauan manajemen; (2) kebijakan lingkungan, (3) perencanaan: aspek lingkungan; aspek hukum, persyaratan sasaran dan target; program pengelolaan lingkungan; (4) implementasi dan operasi: struktur dan pertanggungjawaban; pelatihan dan kepatuhan; komunikasi; dokumentasi sistem pengelolaan lingkungan; pengendalian dokumen; pengendalian operasional; kesiapan dan reaksi pada keadaan darurat; dan (5) pemeriksaan dan tindakan perbaikan; monitoring dan pengukuran; tanpa konfirmasi dan tindakan korektif dan pencegahan; pencatatan; audit sistem pengelolaan lingkungan. Manfaat yang diperoleh perusahaan sesudah menerapkan SML ISO 14001 tergantung cara menerapkan standar ISO 14001. Dampak positif penerapan ISO 14001 yang paling baik bagi lingkungan adalah pengurangan limbah. Sertifikasi diberikan bila lembaga sertifikasi yang melakukan penelitian atau audit terhadap proses dan dokumentasi pabrik tersebut melihat kesesuaian pelaksanaan SML di pabrik tersebut dan berpendapat bahwa pabrik mempunyai SML yang memenuhi standar ISO 14001 dan menerapkan SML terus menerus secara aktif dalam kegiatan sehari-hari di pabrik. Sekali sertifikat sudah diberikan, kegiatan SML perlu dilaksanakan dan diawasi dengan cara audit di lapangan minimal 2 kali setahun oleh lembaga sertifikasi SML yang telah memperoleh akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (Hadiwiardjo, 1997).
2.2 Produksi Bersih Pembangunan berkelanjutan dapat dipromosikan melalui rancangan kebijakan yang mendorong pada pengembangan, penyebaran dan perpindahan teknologi yang sesuai dengan tujuan meningkatkan efisiensi energi, air dan bahan baku, serta meminimalisasi terbentuknya limbah dan terlepasnya kontaminan ke media lingkungan dalam rangka menghasilkan produk dan jasa ramah lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu strategi merealisasikan pembangunan berkelanjutan adalah melalui pengembangan dan menerapkan prinsip-prinsip Produksi Bersih. Produksi bersih didefinisikan sebagai strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, sehingga dapat meminimalisasi resiko
11
terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan (KLH, 2003). Produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (Alamsyah, 2000). Definisi produksi bersih (cleaner production) seperti yang diadopsi oleh UNEP adalah aplikasi terus-menerus strategi terintegrasi perlindungan lingkungan pada proses, produk, dan jasa-jasa untuk meningkatkan efisiensi keseluruhan, dan mengurangi resiko pada manusia dan lingkungan. Produksi bersih dapat diaplikasikan pada proses yang digunakan dalam setiap industri, untuk memproduksi, dan pada macam-macam jasa yang disediakan dalam masyarakat. Produksi bersih berfokus pada strategi untuk secara terus-menerus mengurangi polusi dan dampak lingkungan melalui pengurangan di sumbernya yaitu menghilangkan limbah dalam proses. Bagi proses produksi, produksi bersih dihasilkan dari satu atau kombinasi mengkonservasi material mentah, air, energi, menghilangkan material mentah beracun dan berbahaya; dan mengurangi jumlah dan toksisitas semua emisi dan limbah di sumbernya selama proses produksi. Bagi produk, produksi bersih bertujuan untuk mengurangi
dampak
lingkungan,
kesehatan,
dan
keselamatan
produk
selama
keseluruhan siklus hidupnya, dari ekstraksi material mentah, melalui pembuatan, penggunaan, sampai pembuangan akhir dari produk. Bagi jasa, produksi bersih mengimplikasikan penggabungan perhatian lingkungan kedalam disain dan pengiriman jasa. Produksi bersih mengacu pada mentalitas seberapa baik barang-barang dan jasa diproduksi dengan dampak lingkungan minimum di bawah batasan teknologis dan ekonomis
sekarang.
Produksi
bersih
tidak
menghalangi
pertumbuhan,
hanya
menekankan bahwa pertumbuhan harus berkelanjutan secara ekologis. Produksi bersih sebaiknya tidak dianggap hanya sebagai strategi lingkungan, karena juga berhubungan dengan pertimbangan ekonomis. Dalam konteks ini, limbah dianggap sebagai ‘produk’ dengan nilai ekonomi negatif. Setiap aksi untuk m engurangi konsumsi material mentah dan energi, dan mencegah atau mengurangi pembangkitan limbah, dapat meningkatkan produktivitas dan membawa manfaat keuangan pada perusahaan. Produksi bersih adalah strategi ‘win-win’, yaitu dengan tetap melindungi lingkungan, konsumen, dan pekerja sementara juga memperbaiki efisiensi industri, profitabilitas, dan daya kompetitif. Perbedaan kunci antara kontrol polusi dan produksi bersih adalah dari segi waktu. Kontrol polusi terjadi setelah peristiwa (after-the-event),
12
pendekatan reaktif dan mengolah. Produksi bersih adalah filosofi antisipasi dan pencegahan dengan melihat ke depan. Diperkenalkan oleh UNEP tahun 1989, produksi bersih adalah aplikasi berkelanjutan dari strategi lingkungan preventif terintegrasi yang diaplikasikan pada proses, produk, dan jasa untuk meningkatkan eko-efisiensi dan mengurangi resiko bagi manusia dan lingkungan (WBCSD, 1996). Segala upaya yang dapat mengurangi jumlah bahan berbahaya, polutan, atau kontaminan yang terbuang melalui saluran pembuangan limbah atau terlepas ke lingkungan (termasuk emisi-emisi yang cepat menguap di udara) sebelum didaur ulang, doilah, atau dibuang. Produksi adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi dan daur hidup dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (Bappedal, 1996). Thorpe (1999) menyatakan bahwa produksi bersih adalah suatu konsep holistik bagaimana suatu produk dirancang dan dikonsumsi secara benar tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tujuan utama produksi bersih ini adalah implementasi perubahan dalam disain produk, proses manufakturing, dan teknik-teknik manajemen untuk meningkatkan efisiensi, mencegah polusi dan mengurangi limbah (Dames and Moore, 1998:1). Berdasarkan pada definisi dan tujuan objektif mereka, perbedaan antara eko-efisiensi dan produksi bersih adalah eko-efisiensi bermula dari isu-isu efisiensi ekonomi yang mempunyai manfaat positif pada lingkungan, sementara produksi bersih bermula dari isuisu efisiensi lingkungan yang mempunyai manfaat ekonomi positif (WBCSD, 1996). Keuntungan implementasi produksi bersih antara lain (Environment Australia 2000): (1) mengurangi biaya-biaya produksi melalui peningkatan efisiensi, penurunan limbah dari input material, (2) Meningkatkan produktivitas dan memperbaiki produk; (3) Mengurangi konsumsi energi; (4) Mengembalikan nilai produk sekunder (by-product); dan (5) Meminimalkan masalah pembuangan limbah termasuk biaya pengolahan limbah. Potensi kerugian dalam implementasi produksi bersih antara lain kesulitan dalam merubah sistem dan teknologi yang ada. Perubahan dalam sistem dan teknologi akan memerlukan investasi yang relatif besar, tingkatan sumber daya manusia yang baik, dan dukungan investor (OECD, 1995). Produksi bersih diperkenalkan oleh BAPEDAL pada tahun 1993. Sejak saat itu produksi bersih terus dikembangkan dan disebarluaskan ke seluruh sektor terkait di Indonesia. Pada tahun 1995 Pemerintah Indonesia mencanangkan Komitmen Nasional Penerapan
Produksi
Bersih.
Produksi
bersih
bertujuan
untuk
mencegah
dan
meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan di seluruh tahapan
13
produksi.
Di samping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di seluruh tahapan produksi. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004), prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi bersih dituangkan dalam 5R (re-think, re - use, reduction, recovery and recycle) adalah : 1. Re-think adalah suatu konsep pemikiran yang harus dimiliki pada saat awal kegiatan akan beroperasi. Implikasi dari re-think adalah: perubahan dalam pola produksi dan konsumsi yang berlaku baik pada proses maupun produk yang dihasilkan sehingga perlu dipahami secara benar analisis daur hidup produk. Upaya produksi bersih ini tidak akan berhasil tanpa adanya perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait baik pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia usaha. 2. Reuse atau penggunaan kembali adalah teknologi yang memungkinkan suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisika, kimia, dan biologi. Implikasi dari re-use adalah penggunaan kembali un-treated water, pemakaian kemasan bahan kimia untuk bahan kimia sejenis. 3. Reduction atau pengurangan limbah pada sumbernya adalah teknologi yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya pencemaran di awal produksi. Implikasi dari reduction adalah mengurangi dan meminimalisasi penggunaan bahan baku, air dan energi serta menghindari pemakaian bahan baku berbahaya dan beracun serta mereduksi terbentuknya limbah pada sumbernya, sehingga mencegah dari atau mengurangi timbulnya masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan serta resikonya terhadap manusia. 4. Recovery adalah teknologi untuk memisahkan suatu bahan atau energi dari suatu limbah untuk kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa perlakuan fisika, kimia, dan biologi. Implikasi recovery adalah : Me-recover krom pada limbah padat dari industri kulit, me-recover timah hitam dari limbah aki bekas dan lainlain. 5. Recycling atau daur ulang adalah teknologi yang berfungsi untuk memanfaatkan limbah dengan memproses kembali ke proses semula yang dapat dicapai melalui perlakuan fisika, kimia, dan biologi. Implikasi recycling adalah: daur ulang limbah plastik menjadi bijih plastik, daur ulang air proses, energi dan lain-lain. Prinsip-prinsip tersebut lebih diarahkan pada pengaturan diri sendiri (self regulation) daripada pengaturan secara commond and control. Jadi pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk mengubah sikap dan perilaku seluruh
14
stakeholder. Keuntungan penerapan produksi bersih adalah: mengurangi terbentuknya pencemar, mencegah berpindahnya pencemar dari suatu media ke media lain, mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, memberikan peluang untuk mencapai sistem manajemen lingkungan, mengurangi biaya pentaatan hukum, menghindari biaya pembersihan lingkungan, dan memberi keunggulan daya saing di pasar internasional (Noor, 2006). Produksi bersih dilakukan dengan cara mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi. Penerapan produksi bersih dapat: 1. Memberikan peluang keuntungan ekonomi, sebab di dalam produksi bersih terdapat strategi pencegahan pencemaran pada sumbernya yaitu mencegah terbentuknya limbah secara dini, yang dapat mengurangi biaya investasi untuk pengolahan dan pembuangan limbah atau upaya perbaikan lingkungan. 2. Mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pengurangan limbah, daur ulang, pengolahan dan pembuangan yang aman. 3. Memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang melalui penerapan proses produksi dan penggunaan bahan baku dan energi yang lebih efisien (konservasi sumberdaya, bahan baku dan energi). 4. Mendukung prinsip environmental equity dalam rangka pembangunan berkelanjutan. 5. Mencegah atau memperlambat terjadinya degradasi lingkungan dan memanfaatkan sumberdaya alam melalui penerapan daur ulang limbah di dalam proses. 6. Memelihara ekosistem lingkungan. 7. Memperkuat daya saing produk di pasar internasional. Strategi produksi bersih mempunyai arti yang luas karena didalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran melalui pilihan jenis proses yang ramah lingkungan, minimalisasi limbah, analisis daur hidup dan teknologi bersih. Dengan adanya perkembangan dan perubahan cara pandang dalam pengelolaan limbah, konsep produksi
bersih
menjadi
pilihan
kebijaksanaan
pemerintah
untuk
mewujudkan
pembangunan yang berwawasan lingkungan.
2.3 Pengolahan Kelapa Sawit Kawasan perkebunan kelapa sawit merupakan kawasan yang dibangun sesuai dengan kebutuhan pengelolaan tanaman kelapa sawit. Untuk mendapatkan produktivitas optimum dalam jangka panjang, pengelolaan kawasan perkebunan dan industri kelapa sawit
perlu
menerapkan
konsep
environmental
management
system.
Konsep
15
environmental management system harus sesuai dengan pola produksi tanaman kelapa sawit yang berhubungan dengan agroklimat setempat. Sebagai tanaman yang termasuk dalam kelompok tanaman tahunan, pola produksi tanaman kelapa sawit berbeda dari tanaman setahun pada umumnya. Perbedaan ini misalnya pada lama tenggang waktu antara tanam sampai tanaman menghasilkan yang pertama kali. Selanjutnya, begitu tanaman mulai menghasilkan, maka produksi dapat terus dipungut untuk beberapa tahun sampai tanaman berangsur-angsur tidak produktif lagi. Keadaan ini yang membedakan dengan tanaman setahun dimana perencanaan produksi setiap tahunnya dapat dilakukan secara lebih tepat dan cepat. Tanaman kelapa sawit akan tetap produktif sampai umur sekitar 25 tahun. Panen pertamanya dapat dilakukan pada umur 3 sampai 4 tahun setelah tanam dan sesudahnya pemanenan dapat dilakukan setiap waktu. Puncak produksi dicapai pada tahun kesembilan. Selama enam tahun produksi akan stabil baru mengalami penurunan. Secara umum produksi kelapa sawit mengikuti pola yang demikian, namun pengaruh iklim, hama dan penyakit dapat mempengaruhi pola tersebut. Pengaruh iklim terutama intensitas curah hujan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perubahan pola produksi pada periode tertentu. Buah kelapa sawit yang telah matang harus segera dipanen untuk menghindari serangan penyakit karena busuk buah dan peningkatan kadar asam lemak bebas. Demikian pula setelah diproses sebagai minyak, tidak dapat ditimbun terlalu lama dan harus segera diproses lebih lanjut untuk mencegah penurunan mutu minyak yang dihasilkan. Selanjutnya buah kelapa sawit tersebut setelah mengalami pemrosesan akan menghasilkan minyak sawit kasar (crude palm oil) dan hasil sampingan lain seperti minyak biji sawit (palm kernel oil) dan ampas (Susilowati, 1989). Proses produksi minyak kelapa sawit diawali dengan penerimaan TBS di pabrik, perebusan, penebahan, pengadukan, pemisahan dan pemurnian minyak, pengambilan minyak dari sludge dan pengolahan inti (Gambar 2).
16
Gambar 2. Proses produksi minyak kelapa sawit dan hasil ikutannya (Naibaho, 1998) Penerimaan TBS di Pabrik TBS yang sudah ditimbang di loading ramp selanjutnya dicurahkan pada lori (kapasitas 2,5, ton) sebelum dibawa ke tempat perebusan. Letak loading ramp lebih tinggi dari pada letak lori. Perebusan Proses perebusan dilakukan pada bejana besar terbuat dari besi yang dapat memuat beberapa lori. TBS dalam lori yang telah selesai direbus diangkat dengan hoisting crane ke bak penebah. Proses perebusan ditujukan agar enzim sebagai katalis
17
yang menguraikan minyak menjadi asam lemak bebas dan gliserin, menjadi rusak. Lendir dikeluarkan agar minyak lebih mudah terpisah dari air dalam proses pemurnian minyak. Lama perebusan 90 menit dengan suhu 135-150 oC dan tekanan uap 2,5-3,0 atm. Penebahan Pelepasan buah dari tandan setelah direbus dilakukan oleh mesin penebah. Buah yang sudah lepas akan jatuh ke ularan dan dibawa ke stasiun pengadukan. Tandan yang sudah kosong diambil untuk dibakar pada incinerator. Abu hasil pembakaran dibawa ke kebun sebagai pupuk. Banyaknya buah kitte koppen mencerminkan bahwa perebusan kurang sempurna atau banyak buah mentah dipanen. Pengadukan Di tempat pengadukan, buah dilumatkan untuk melepaskan daging buah dari biji. Selanjutnya dilakukan pemanasan dengan suhu 85-95 oC untuk menjaga minyak tidak membeku. Pengempaan Minyak berbentuk bubur yang masuk dari tangki pengadukan kemudian dikempa dengan scew press pada tekanan 50 kg/cm, suhu 85-90 oC, selama 6-10 menit. Pada tekanan 50 kg/cm minyak dapat terpisah dari ampasnya dengan baik dan jumlah biji yang pecah akan minimal. Minyak kasar yang keluar dari mesin kempaan ditampung pada tangki setelah melalui saringan getar untuk memisahkan sabut dan biji. Biji dan serat akan dikirim ke deperikarper. Mengingat pengoperasian scew press berpengaruh terhadap presentase biji yang pecah, yang menyebabkan rendemen inti sawit menjadi rendah, maka untuk meningkatkan ekstraksi minyak dan inti diterapkan pengempaan dua tahap (double pressing). Penerapan pengempaan dua tahap dapat meningkatkan ektraksi inti sebesar 23,02% atau 1,15% terhadap TBS dan dapat menurunkan kadar minyak dalam ampas (Naibaho, 1998). Pemisahan dan pemurnian minyak Minyak yang masih bercampur serat dan kotoran ditampung pada bak pengendap. Minyak yang terdapat pada bagian atas disalurkan ke tangki minyak kasar setelah mengalami penyaringan di ayakan getar. Minyak yang akan dimasukan ke dekanter dipanaskan terlebih duhulu dengan uap panas. Fraksi padat (non oil solid) dan fraksi cair (minyak dan air) dipisahkan dalam dekanter ini dengan gaya sentrifugal. Fraksi
18
padat yang masih mengandung 80% air dikeringkan atau dibuang ke lapangan sebagai buangan lumpur (sludge effluent). Fraksi padat yang sudah dikeringkan (kadar air 9%) disebut lumpur kering (dry sludge). Penggunaan dekanter dilakukan untuk mengurangi limbah, tetapi penggunaannya belum disertai persiapan alat pembantu, misalnya alat angkut bahan padatan yang diproduksi. Minyak yang terpisah dari fraksi padat dialirkan ke continous settling tank. Minyak pada bagian atas tangki ini dialirkan ke tangki minyak sebelum masuk ke pemurnian. Pada bagian bawah continous settling tank akan terkumpul lumpur yang akan dialirkan ke tangki lumpur. Untuk menghindari hidrolisis, minyak yang keluar dari pemurnian masuk ke alat pengering, sedangkan kotoran dialirkan ke fat pit. Pengambilan minyak dari lumpur Lumpur yang berasal dari continous settling tank masih mengandung minyak. Suhu lumpur pada tangki lumpur dinaikkan menjadi 95 oC, lalu dialirkan ke tabung penyaring minyak dari serabut (self cleaning strainer) dan diteruskan ke pemisah minyak dari pasir (desanding cyclone). Minyak yang sudah bebas serabut dan pasir sebelum masuk ke continous settling tank, disaring lagi dari kotoran pada pemisah lumpur. Air dan kotoran dari pemisah lumpur, pemurnian dan rebusan yang masih mengandung minyak dialirkan ke fat pit. Dengan cara pemanasan, minyak dapat dipisahkan dari lumpur, sedangkan air dan kotoran dialirkan ke kolam limbah. Pengolahan inti sawit Ampas yang merupakan campuran serat dan biji dibawa ke deperikarper dengan alat cake breaker conveyor. Ampas halus dikeluarkan melalui fibre cyclone, yang selanjutnya dipakai sebagai bahan bakar ketel uap, sedangkan biji dikeluarkan melalui polishing drum. Biji yang bersih diangkut ke silo biji dan dipanaskan agar inti mudah lepas dari cangkang. Selanjutnya biji dipecah, dipisahkan dan dikeringkan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rendemen minyak dan inti kelapa sawit normal adalah masing-masing sebesar 22% dan 5%, sedangkan kehilangan minyak dan inti kelapa sawit normal masing-masing sebesar 1,23% dan 0,27% (Naibaho, 1998). Pada beberapa PKS di Indonesia, rendemen minyak dan inti kelapa sawit bervariasi, selain oleh faktor tanaman dan iklim, juga sering ditemui akibat peralatan yang sudah tua dan tidak standar lagi (Turner dan Gillbanks, 1974).
19
2.4 Permasalahan Limbah Kelapa Sawit Dampak positif dari perkembangan sektor agroindustri umumnya dan perkebunan kelapa sawit khususnya, juga diikuti oleh dampak negatif terhadap lingkungan akibat dihasilkan limbah cair, padat dan gas dari kegiatan kebun dan pabrik kelapa sawit (PKS). Untuk itu tindakan pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari kegiatan perkebunan kelapa sawit dan PKS perlu dilakukan sekaligus meningkatkan dampak positifnya. Tindakan tersebut tidak cukup dengan mengandalkan peraturan perundang undangan saja, tetapi juga didukung oleh pengaturan sendiri secara sukarela dan pendekatan instrumen-instrumen ekonomi. Pengaturan seperti ini dikenal sebagai mixed policy tools (Alamsyah, 2000). Pencemaran lingkungan dari tumpahan limbah minyak kelapa sawit mentah PT Sinar Alam Permai di sungai Musi telah mengganggu kegiatan sehari-hari sekitar 100 keluarga yang tinggal di pinggir Sungai Musi Kecamatan Ilir Timur Palembang. Beberapa warga mengaku kulit terasa gatal-gatal setelah terkena limbah minyak sawit tersebut. Selama bulan Mei 2004 telah terjadi pencemaran oleh limbah, namun hingga kini perusahaan itu belum memberikan kompensasi apapun terhadap warga. Diusulkan ada dialog antara PT SAP dengan masyarakat sekitar untuk merehabilitasi lahan yang terkena limbah dan memberikan kompensasi yang layak kepada warga yang lingkungannya rusak. Menurut Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan Iwan Wahyudi bahwa pemerintah perlu meninjau kembali dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dari PT SAP. Tidak adanya keterpaduan dalam realisasi konservasi lingkungan menyebabkan Sungai Siak mengalami pencemaran limbah buangan industri yang berada di sepanjang bantaran sungai. Aktivitas di bantaran sungai yang telah mengalirkan limbah cair, padat dan jenis limbah beracun lainnya ke perairan Siak antara lain industri karet, kertas, penggergajian kayu, perkebunan, pertanian, perkampungan, lalu lintas perkapalan, pelabuhan dan masih banyak lagi. Keadaan ini disebabkan pemerintah daerah tingkat II yang dilewati sungai ini menerapkan kebijakan yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing. Apalagi di sepanjang bantaran sungai terdapat berbagai industri
yang
memiliki
perizinan
dari
pemerintah
pusat
melalui
berbagai
departemen/kementerian. Fakta ini cukup menyulitkan pengaturan oleh pemerintah provinsi Riau. Konsep yang ideal untuk mengatasi hal ini adalah “one river one plan” yaitu konsep konservasi satu sungai satu rencana pengelolaan, namun hal tersebut memerlukan pemahaman dari masing-masing pihak yang terkait dengan eksploitasi maupun pelestarian Sungai Siak serta mampu mengoptimalkan perannya tersebut.
20
Kementerian
Lingkungan
Hidup
telah
mengumumkan
peringkat
kinerja
perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hasil penilaian KLH sepanjang tahun 2003. Kriteria penilaian mencakup penilaian pengendalian pencemaran air, udara, pengelolaan limbah B3, penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pelaksanaan produksi
bersih,
manajemen
lingkungan
dan
hubungan
masyarakat
serta
pengembangannya. Berdasarkan laporan tersebut, jenis usaha yang masuk kategori hitam (perusahaan belum mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidupnya secara berarti) meliputi industri tekstil, penyedap rasa, kertas, pertambangan, kelapa sawit, kayu lapis dan pabrik gula. Tabel 1. Daftar perusahaan industri kelapa sawit yang termasuk peringkat hitam PROPER tahun 2003-2004 No
Nama perusahaan
Lokasi
1
PT. Perdana Inti Sawit
Rokan Hulu, Riau
2.
PT. Torganda
Rokan Hulu, Riau
3.
PT. Sari Aditya Loka I
Merangin Jambi
4.
PT. Inti Indo Sawit Subur
Kebun Handil, Jambi
5.
PTPN VI PKS Pinang Tinggi
Muara Jambi, Jambi
Sumber: KLH (2005) Salah satu ketimpangan yang terjadi dalam industri kelapa sawit adalah tidak proporsionalnya perbandingan luas perkebunan sawit rakyat dengan perkebunan besar nasional dan swasta. Ketimpangan ini semakin besar dengan perbedaan perlakuan oleh pemerintah.
Perusahaan asing yang menguasai perkebunan kelapa sawit besar
dilindungi dan diadministrasikan oleh pemerintah, sedangkan perkebunan sawit rakyat yang luasnya tidak seberapa kurang mendapatkan perlindungan atau pembinaan. Tabel 2.
Perbandingan distribusi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara dan Indonesia tahun 2002
Wilayah Sumatera Utara Indonesia
Luas perkebunan (ha) Rakyat
Negara
Swasta
Total
123.493
269.994
259.393
654.511
1.206.154
541.105
2.227.078
4.116.464
Sumber : Deptan (2003) Berdasarkan data distribusi perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2002, jika diasumsikan setiap hektar perkebunan rakyat ditanam dengan modal usaha 3 juta rupiah maka jumlah investasi sekitar Rp3,6 trilyun rupiah. Jika 70% dari total areal terdiri dari tanaman yang menghasilkan memiliki produktivitas 10 ton buah per ha dengan
21
rendemen 18% maka jumlah kelapa sawit kasar yang dihasilkan kurang lebih 1,54 juta ton. Kondisi yang terjadi saat ini adalah petani memperoleh kesulitan untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang bersertifikat, asli dan unggul. Selama ini yang beredar di masyarakat adalah 40% bibit palsu yang diambil dari buah-buah sapuan atau bukan buah khusus untuk pembibitan. Hal ini juga terkait dengan kurangnya akses untuk memperoleh bibit unggul. Petani juga kesulitan menjual tandan buah segar dengan harga yang baik di pasaran. Persoalan lain adalah masyarakat kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Banyak pupuk yang beredar di pasar merupakan pupuk yang tidak bersubsidi bahkan cenderung palsu. Penggunaan pupuk palsu ini berdampak buruk kepada hasil tandan buah segar petani sawit.
2.5 Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit Kenyataan
menunjukan
bahwa
sejak
masalah
lingkungan
hidup
mulai
diperhatikan di Indonesia, maka berbagai macam program yang berkaitan dengan lingkungan tidak mencapai sasaran secara optimal. Hal ini disebabkan pendekatannya yang bersifat pemaksaan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dengan ancaman sanksi. Belajar dari hal tersebut, dewasa ini telah terjadi perkembangan pemikiran di mana limbah yang dulunya dikategorikan sebagai produk samping yang menimbulkan masalah dan selayaknya harus ditanggulangi (end of pipe), saat ini dianggap sebagai indikator tidak efisiennya proses produksi. Pemikiran inilah yang mendorong perubahan strategi penanganan limbah. Pada awalnya strategi pengelolaan lingkungan didasarkan pada pendekatan kapasitas daya dukung (carrying capacity approach). Akibat terbatasnya daya dukung lingkungan alamiah untuk menetralisir pencemaran yang semakin meningkat, upaya mengatasi masalah pencemaran berkembang ke arah pendekatan mengolah limbah yang terbentuk (end of pipe treatment). Pendekatan ini terfokus pada pengolahan dan pembuangan limbah untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Namun pada kenyataannya pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap terjadi dan cenderung terus berlanjut. Limbah pabrik kelapa sawit terdiri atas limbah padat berupa tandan kosong, ampas press dan cangkang; serta limbah cair. Limbah tersebut merupakan produk samping dari produk utama berupa crude palm oil (CPO) dan kernel. Pada saat proses pabrikasi untuk menghasilkan produk utama tersebut dibutuhkan bahan baku berupa tandan buah segar (TBS) dan air. Secara skematis proses pengolahan kelapa sawit
22
sampai menghasilkan produk samping berupa limbah padat dan cair dapat dilihat pada Gambar 3.
PROSES PENGOLAHAN PABRIK KELAPA SAWIT (KS) Bahan Baku
Produk Utama
Limbah
TBS Air
CPO
Kerne l
Limba h Cair Limba h Pa dat (TKS, Ampas press & Cangka ng)
Gambar 3. Proses pengolahan pabrik kelapa sawit (PKS)
Limbah pabrik kelapa sawit yang lain yaitu tandan kosong sawit (TKS) yang dihasilkan dari 23% tandan buah segar (TBS) yang diolah dan serat mesokarp yang juga berasal dari olahan TBS sebanyak 13%. Serat mesokarp ini dapat digunakan sebagai bahan bakar di pabrik kelapa sawit, namun perlakuan itu tidak bisa diaplikasikan pada tandan kosong sawit. Pembakaran tandan kosong sawit tidak diijinkan karena menyebabkan polusi udara. Pada ekologi produksi kelapa sawit, penggunaan kembali tandan kosong sawit dan serat mesokarp sebagai pupuk, baik langsung pada tanaman di perkebunan ataupun tidak langsung pada nursery, merupakan salah satu cara pemanfaatan. Limbah cair dari PKS dapat menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan di sekitar pabrik. Dampak tersebut akan terjadi di lingkungan air (sungai tempat pembuangan limbah cair) dalam bentuk: (1) kerusakan jenis algae bloom/eutrophication dalam bentuk penurunan kadar oksigen dan peningkatan toksin (sebagian alga beracun), (2) kematian organisme air dan makhluk hidup yang mengkonsumsi air tercemar seperti hewan darat dan bahkan manusia, (3) bau busuk, (4) timbulnya penyakit, dan (5) pendangkalan perairan. Pada lingkungan darat, limbah cair PKS dapat menyebabkan
23
gangguan dan kerusakan tanah, terutama untuk limbah yang mengandung minyak, pencemaran air tanah, dan bau busuk. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah cair PKS baik di lingkungan darat maupun lingkungan air membutuhkan pelaksanaan pengelolaan limbah yang memenuhi standar ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51/Men-LH/10/95. Secara rinci ketentuan persyaratan pengelolaan limbah cair PKS dalam bentuk baku mutu limbah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Baku mutu limbah cair PKS Debit limbah maksimum = 2,5 m3 per ton CPO Parameter
Kadar Maksimum (mg/l)
Beban Pencemaran Maksimum (mg/l)
BOD
100
0,25
COD
350
0,88
TSS
250
0,63
Oil dan Fat
25
0,063
N-Total
50
0,125
pH Sumber: Kepmen LH No. 51/Men-LH/10/1995
6,0 – 9,0
Limbah cair kelapa sawit mengandung unsur hara yang tinggi namun juga memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi. Nilai ini apabila dibuang langsung ke lingkungan dapat mencemari lingkungan. Dengan demikian perlu teknologi pengolahan limbah cair. Pengolahan limbah cair PKS terdiri atas 10 bagian. Masing-masing bagian memiliki fungsi sesuai dengan tahapannya dan secara berurutan sehingga limbah yang dihasilkan memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Tahapan pengolahan limbah cair PKS dapat dilihat pada Gambar 4.
Recovery Tank
Deoling Pond
Netralization Pond
Seedling Pond
Primary Anaerobic Pond
Aerobic Pond Facultative Pond
Cooling Pond / Cooling Tower
Secondary Anaerobic Pond
Gambar 4. Tahapan instalasi pengendalian LCPKS
Final Pond
24
Penjelasan
fungsi
masing-masing
tahap
instalasi
pengendalian
LCPKS
dideskripsikan sebagai berikut: 1. Recovery tank, berfungsi untuk mengurangi kadar minyak dari dalam limbah. 2. Deoling pond, berfungsi untuk menangkap minyak (berasal buangan dari recovery tank) yang masih tersisa di dalam limbah, sehingga hanya tersisa 0,4% - 0,6%. 3. Cooling pond, berfungsi untuk menurunkan suhu limbah dari 70-80 oC menjadi 40-50 o
C, agar mikroorganisme dapat menguraikan limbah. Cooling pond dapat digantikan
dengan cooling tower, yang memiliki fungsi sama namun lebih menghemat lahan. 4. Neutralization pond, berfungsi untuk menaikkan pH limbah dari 4 menjadi 7,0 – 7,5 dengan menambahkan kaustik soda (NaOH) atau kapur tohor Ca(OH)2. Dosis penambahan 3 - 3,5 kg/ton limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). Kapur tohor lebih mudah diperoleh dan lebih murah dibandingkan dengan NaOH. 5. Seedling pond, berfungsi untuk mengembangbiakkan bakteri. Jika sudah siap akan dialirkan ke kolam anaerobik. Lama pengaktifan bakteri 5-7 hari. 6. Primary anaerobic pond, berfungsi untuk mengubah bahan organik majemuk oleh bakteri menjadi asam-asam organik yang mudah menguap. 7. Secondary anaerobic pond, merupakan kelanjutan dari primary anaerobic pond, yang berfungsi untuk mengubah asam organik mudah menguap terutama asam asetat menjadi gas seperti metana, karbondioksida dan hidrogen sulfida. 8. Facultative pond, berfungsi untuk menguraikan limbah oleh bakteri fakultatif yang pada penguraian sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh bakteri obligat. Juga berfungsi sebagai kolam transisi sebelum masuk ke kolam aerobik. 9. Aerobic pond, berfungsi untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana oleh aktifitas mikroorganisme. Bahan organik disintesis menjadi sel-sel baru dan hasilnya berupa produk akhir (CO2, H2O, dan NH3) yang stabil. 10. Final pond, berfungsi sebagai penampungan sementara limbah yang telah diolah dan untuk menguji apakah baku mutunya sesuai dengan peraturan pemerintah pusat dan atau daerah, sebelum dikeluarkan dari sistem pengolahan air limbah. Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) menggunakan sistem kolam dengan aerator membutuhkan waktu lebih kurang selama 97 hari. Tahap pengolahan LCPKS dimulai pada kolam pengasaman selama 5 hari, dilanjutkan pada kolam anaerobik primer
dan sekunder masing-masing selama 35 hari. Pada tahap
keempat diendapkan selama 15 hari pada kolam aerobik dan terakhir proses sedimentasi selama 5 hari. Secara skematis tahapan pengolahan LCPKS menggunakan sistem kolam dengan aerator dapat dilihat pada Gambar 5.
25
Gambar 5. Pengendalian LCPKS sistem kolam dengan aerator Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS)
mengandung unsur Nitrogen (N),
Posfor (P), dan Kalium (K) yang relatif tinggi. Kedua unsur tersebut dapat dimanfaatkan dalam aplikasi lahan (land application) untuk memperbaiki struktur tanah. Hasil penelitian PPKS Sumatera Utara menyatakan bahwa setiap 100 ton LCPKS mengandung unsur N sebesar 50 – 67,5 kg; unsur F sebesar 9 – 11 kg, dan unsur K sebesar 100 -185 kg. Pada
prinsipnya
pemanfaatan
LCPKS
dalam
aplikasi
lahan
bertujuan
untuk
meningkatkan produktivitas, memanfaatkan nutrisi, mengurangi pencemaran dan menurunkan BOD < 5.000 mg/l. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) bekerjasama dengan Jerman telah mengembangkan suatu konsep alternatif penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS), yaitu pemisahan lumpur dan diikuti dengan pengolahan fase cair LCPKS pada LCPKS pada reaktor anaerobik unggun tetap.
Pemisahan lumpur dapat dilakukan
dengan dekanter atau teknologi pengapungan (dissolved air floatation), yang bertujuan mengurangi nilai COD, BOD, nitrogen dan pasir, serta mengurangi masalah pada proses pengolahan berikutnya (foaming, sedimentasi dan penyumbatan karena adanya lumpur). Teknologi pengapungan tampaknya lebih cocok dan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memisahkan lumpur LCPKS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemisahan lumpur dari limbah cairnya dapat menurunkan nilai COD dan kandungan N, serta memperkecil kapasitas pengolahan limbah selanjutnya. Lumpur yang dipisahkan ini mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Selain itu lumpur juga dapat ditambahkan pada proses pengomposan sebagai sumber N agar meningkatkan kandungan nutrisi kompos. Limbah cair dan limbah padat PKS memiliki kandungan hara yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pupuk organik. Teknologi pengelolahan limbah padat dan cair yang efektif adalah pengomposan (Sutarta et al., 2005), . Pengomposan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai hara dan peningkatan nilai ekonomi limbah. Teknologi pengomposan limbah padat dan limbar cair kelapa sawit dilakukan
26
dengan tahapan: persiapan lahan, proses pengomposan, dan perhitungan mutu produksi kompos (Darnoko, et al., 1993). Pengomposan TKS dari PKS kapasitas 30 ton TBS/jam diperlukan lantai pengomposan dengan luas 25.000 m2. Lantai dibuat dari semen cor dengan ketebalan 12 cm.
Lokasi pengomposan sebaiknya tidak jauh dari pabrik untuk memudahkan
pengangkutan TKS dan pengaliran LCPKS.
Lahan ini digunakan sebagai lokasi
pengomposan untuk 138 ton TKS/hari atau 5.796 ton TKS per 42 hari. Sekitar 10-20% dari lantai pengomposan sebaiknya beratap untuk digunakan sebagai areal pengeringan, pengayakan dan pengepakan. Awal proses pengomposan dimulai dari cacahan tandan kosong (windrows) dengan awal penyemprotan selama 10 minggu. Kegiatan yang dilakukan adalah pencacahan, pencampuran LCKS dengan TKKS,
pembalikan, pengawasan, dan
penghitungan nilai rendemen kompos. TKS dicacah dengan high speed hammer mill kemudian diangkut menggunakan dump truck, disusun pada areal composting pile dan dibentuk windrows dengan ukuran panjang 45 m x lebar 2,5 meter x tinggi 1,5 meter dengan volume + 40 ton. Tiap unit composting pile dibentuk dengan ukuran panjang 45 m x lebar 2,5 m x tinggi 1,5 m dengan volume + 40 ton LCKS/ton telah dicacah. LCKS yang dibutuhkan sebanyak 2-3 ton LCKS/ton TKS selama proses pengomposan sampai menjadi pupuk kompos. Jumlah minimal LCKS yang dapat dipakai untuk stabilisasi kadar air dan pengadaan hara sebesar 40 ton TKS x 2,5 ton LCKS = 100 ton LCKS. Setiap windrows selama proses pengomposan ditutup dengan cover plastik. Pembalikan composting pile dilakukan 2 kali seminggu dengan menggunakan plow max model T-190 yang bertujuan untuk mempertahankan kandungan oksigen dan kadar air selama 8 minggu dan 2 minggu terakhir hanya dibalik untuk pengeringan hasil menjadi kompos. Pengawasan pada proses pengomposan di windrows dengan menggunakan alat ukur Excalibur untuk mengukur suhu (55-70 oC), kadar air (40-95 %) dan kandungan oksigen > 5%. Nilai rendemen kompos diperoleh berdasarkan perbandingan hasil kompos dengan produksi cacahan kali 100 persen. Kondisi normal rendemen kompos adalah maksimal 50%.
Kondisi rendemen yang diatas 50% kemungkinan disebabkan oleh
kandungan padatan pada LCKS yang disiramkan ke cacahan tankos (windrow) rata-rata mencapai 50%. Padahal kandungan solid yang normal adalah 5 – 15%. Penyebab lainnya adalah perbandingan pemakaian LCKS terhadap cacahan tankos 1 : 3 serta perlakuan penyiraman yang dilakukan selama 8 minggu.
27
Unsur hara yang terkandung dalam kompos tersebut akan disebarkan ke pokok kelapa sawit untuk menambah nutrisi dan perbaikan tekstur tanah (soil condisioner). Penebaran kompos pada pokok kelapa sawit di areal tanaman menghasilkan (TM) dan tanaman belum menghasilkan (TBM) adalah sebesar 50 kg/pokok/tahun. Kandungan unsur hara dari produksi kompos yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan unsur hara dari produksi kompos No
Unsur
Persentase (%)
1.
Nitrogen (N)
1,90 – 2,78
2.
P (P2O5)
0,34 – 0,45
3.
K2O
1,98 – 2,31
4.
Magnesium (MgO)
0,36 – 0,62
5.
Calcium (CaO)
0,60 – 1,05
6.
Bahan organik
32,30 – 37,10
7.
C/N rasio
13,35 – 17,00
8.
Kadar air
45,70 – 49,00
Sumber: PTPN IV (2005)
Di pabrik kelapa sawit yang berkapasitas 30 ton per jam akan dihasilkan sebanyak 128 ton per hari tandan kosong sawit (TKS)
dan 360 m3 LCPKS. Setiap
tandan buah segar (TBS) akan menghasilkan TKS sebanyak 23% dan 0,6 m3 LCPKS dari TBS yang diolah. Pemanfaatan TKS untuk aplikasi lahan akan menghadapi kendala berupa biaya transportasi tinggi, karena dapat terserang sejenis jamur Orcytes dan unsur haranya terbatas. Demikian juga pemanfaatan LCPKS, akan menghadapi masalah seperti keterbatasan luas lahan yang dapat ditangani (maksimal 150 ha), biaya pemeliharaan tinggi dan memerlukan ijin dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal). PTPN IV Sumatera Utara menerapkan sistem pengelolaan limbah PKS untuk pupuk organik (kompos). Dari 128 ton per hari TKS dan 360 m3 LCPKS dapat dihasilkan kompos sebanyak 70 ton per hari. Pada Gambar 6 dapat dilihat
tahapan-tahapan
pembuatan kompos dari TKS dan PCPKS. Waktu yang diperlukan dalam pembuatan dari TKS dan LCPKS adalah 12 minggu. Aktivitas yang paling menonjol pada proses pembuatan kompos adalah pada tahap pembalikan. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan mesin Bakhus 15.30 yang dilakukan 3 sampai 5 kali perminggu selama delapan minggu. Fungsi pembalikan tersebut adalah untuk: aerasi, mempermudah penguapan air limbah, mencegah pertumbuhan oryctes rhinoceros di dalam tumpukan, menghancurkan TKS, penyiraman dan menghasilkan kompos dengan kualitas yang homogen.
28
PRODUKSI KOMPOS TKS
PEM BALI KAN PENCACAHAN T KS
KOMPOS TKS
PEM BENT UKAN TUMP UKAN
PENGERI NGAN
PENYI RAMAN DG LCP KS
Gambar 6. Tahapan pembuatan kompos dari TKS dan LCPKS
Nilai kalor bakar limbah padat pabrik kelapa sawit adalah: ampas press (fiber cake) 4.700 Kcal/kg (basis kering), cangkang 4.950 Kcal/kg (basis kering), dan tandan kosong sawit (TKS) 4.200 kkal/kg (basis kering). Ampas press dan cangkang digunakan sebagai bakar boiler dengan perbandingan ampas press : cangkang = 3:1 sedangkan tandan kosong sawit (TKS) digunakan sebagai mulsa di kebun. Keuntungan pemanfaatan TKS dan LCPKS untuk kompos adalah: 1) memanfaatkan semua limbah cair (LCPKS) dan tandan kosong (TKS)
> zero waste, 2) tidak perlu penambahan
biokativator/mikroba dan bahan kimia, 3) tidak berbau, 4) tidak perlu atap atau tutup kecuali untuk pengeringan, 5) waktu pengomposan relatif singkat, 6) kebutuhan tenaga kerja rendah, 7) hasil kompos berkualitas tinggi dan seragam dan 8) ramah lingkungan. Aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit sebagai pupuk telah dilakukan pada tanaman kelapa sawit menghasilkan baik di Malaysia maupun di Indonesia. Aplikasi ini memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan dapat berfungsi sebagai pengganti pupuk. Kualifikasi limbah cair yang digunakan dalam aplikasi ini adalah limbah dengan BOD antara 3.500 – 5.000 mg/l, yang berasal dari kolam pengolahan primer. Pengaruh positif dari pemanfaatan limbah cair tersebut antara lain peningkatan produksi kelapa sawit dan perbaikan sifat kimia (kandungan hara) dan fisika tanah. Aplikasi limbah cair tersebut juga tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan (kualitas air tanah) sekitar areal perkebunan (Sutarta et al., 2000).
29
Perhitungan besar beban pencemaran yang masuk ke lingkungan tergantung pada kegiatan yang ada di sekitar lingkungan tersebut. Untuk daerah pemukiman, beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata perorang membuang limbah. Untuk industri, limbah cair yang dihasilkan sangat bervariasi tergantung dari jenis dan ukuran industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air dan derajat pengolahan air limbah yang ada. Selain limbah cair, limbah padat (sampah) juga merupakan beban pencemaran yang dapat masuk ke lingkungan baik secara langsung maupun tak langsung. Secara konvensional pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) dilakukan dengan sistem kolam yang terdiri dari kolam anaerobik dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari (Wulfert et al, 2000). Keuntungan dari cara ini antara lain adalah: sederhana, biaya investasi untuk peralatan rendah dan kebutuhan energi rendah. Apabila ditelaah lebih lanjut, sistem kolam mempunyai beberapa kerugian antara lain: 1. Kebutuhan areal untuk kolam cukup luas (sekitar 5 ha untuk PKS dengan kapasitas 30 ton/jam). 2. Perlu biaya pemeliharaan untuk pembuangan dan penanganan lumpur dari kolam. Untuk PKS yang menggunakan separator 2 fase, praktis semua lumpur (sludge) yang berasal dari buah mengalir ke kolam. Padatan tersuspensi dari lumpur ini tidak akan/sedikit didegradasi sehingga konsentrasinya akan semakin meningkat dan akan mengendap di dasar kolam sehingga waktu retensi limbah akan turun dan kapasitas perombakan kolam juga menurun. Disamping itu pembuangan lumpur juga tidak dapat dilakukan pada semua bagian kolam karena luas dan dalamnya kolam. 3. Hilangnya nutrisi. Semua nutrisi yang berasal dari limbah (N, P, K, Mg, Ca) akan hilang pada waktu limbah dibuang ke sungai. 4. Emisi gas metana ke udara bebas. Hampir semua bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik tersuspensi didegradasi secara anaerobik menjadi gas metana dan karbondioksida. Emisi gas metana ke udara bebas dapat menyebabkan efek rumah kaca yang besarnya 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Jumlah gas metan yang diproduksi kolam limbah anaerobik sekitar 10 m3 setiap ton tandon buah segar (TBS) diolah. Aplikasi limbah cair sebagai sumber hara pada areal kelapa sawit dapat dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi setempat (seperti topografi areal dan jarak areal dengan lokasi pengolahan limbah). Beberapa cara aplikasi limbah cair yang dikenal antara lain sistem sprinkler, flatbed, sistem parit atau alur (long bed), dan sistem traktor-tangki.
30
Selain itu untuk limbah padat pengomposan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai hara dan menurunkan volume TKS (Harada et al, dalam Darnoko et al, 1993). Dengan demikian biaya tranportasi per unit hara yang tinggi pada aplikasi TKS secara langsung dapat dikurangi. Disamping itu pemanfaatan TKS sebagai bahan kompos juga akan menjawab permasalahan akibat menumpuknya TKS di pabrik, memberi tambahan keuntungan pada pabrik kelapa sawit (PKS) dari penjualan kompos dan menurunkan biaya penggunaan pupuk anorganik. Penanganan TKS menjadi kompos relatif lebih mudah karena TKS telah terkumpul di tempat tertentu dalam lingkungan PKS. Kompos yang telah matang ditandai dengan nisbah C/N sebesar Y 10. Proses pengomposan ini memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 3 bulan. Lamanya proses dekomposisi TKS karena limbah tersebut banyak mengandung lignoselulosa yang sulit didekomposisi. TKS mengandung 45,95% selulosa; 16,49% hemiselulosa dan 22,84% lignin. Perlakuan fisika (pengurangan ukuran, pemanasan) dan perlakuan kimia (penambahan asam dan basa) merupakan perlakukan pendahuluan untuk delignifikasi limbah kelapa sawit ini. Penambahan unsur hara, penambahan inokulum perombakan lignin dan selulosa, perbaikan aerasi, pengaturan kelembaban merupakan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempersingkat waktu pengomposan (Darnoko et al, 1993). Hasil analisis di laboratorium PPKS menunjukkan bahwa kandungan hara dalam kompos TKS relatif tinggi. Salah satu kelebihan kompos TKS adalah kandungan K yang tinggi, yaitu mencapai 127,9 mg/100 g. Selain itu kompos dari TKS juga memiliki pH tinggi (mencapai pH 8) sehingga berpotensi sebagai bahan pembenah kemasaman tanah. Percobaan yang dilakukan di rumah kaca PPKS dengan menggunakan tanaman indikator jagung menunjukkan bahwa pada akhir percobaan, penambahan kompos cenderung dapat meningkatkan KTK, pH dan ketersediaan hara seperti N, P, K dan Mg. Tanah yang tidak diberi kompos mempunyai pH sebesar 5.6 – 6,0 sedangkan tanah yang memperoleh perlakuan kompos mempunyai pH yang lebih tinggi dari 6,3.
2.6 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan
untuk
menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources) (Eriyatno, 1998).
31
Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno, 2002). Menurut Manetch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini: (1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan (3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu: (1) analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua stakeholders dalam sistem; (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan
yang ada
dalam sistem; (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk
menentukan variabel-variabel sistem
dalam rangka
stakeholders dalam sistem; (4) pemodelan sistem,
memenuhi kebutuhan semua pada tahap ini mencakup suatu
proses interaktif antara analis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem; (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan; dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan O’Brien (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen-komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang secara keseluruhan (holistik) dan
akan bersifat sebagai pengejar
sasaran (goal seeking), sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Sebuah sistem mempunyai masukan (input) yang akan berproses untuk menghasilkan keluaran (output).
Pada sebuah sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai
pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan
32
dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki. Dalam ilmu manajemen secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu kesatuan antara input, proses dan output. Sistem akan membentuk suatu siklus yang berjalan secara terus-menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik. Prinsip sistem ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sering dihadapi atau menyusun (merangkai) berbagai elemen sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat (Midgley, 2000). Untuk menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan sistem harus dilakukan identifikasi terhadap
semua komponen yang terdapat dalam sistem dan menentukan hubungan
dari masing-masing komponen tersebut. Perubahan pada satu komponen dari suatu
sistem akan mempengaruhi
komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal (dari dalam sistem)
maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Misalnya, jika terjadi
perubahan harga input produksi (obat hewan) pada sistem budidaya sapi potong karena adanya intervensi pemerintah maka akan mempengaruhi perilaku sistem. Dalam hal ini intervensi pemerintah terhadap harga input produksi merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku sistem. Sistem dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel input (Djojomartono, 2000). Manetsch
dan
Park
(1997)
menyatakan
bahwa
model
adalah
suatu
penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Aminullah 2003). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah
menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis.
Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan
optimasi, dimana suatu
kriteria model
dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat
33
dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno, 2003). Langkah pertama dalam menyusun
model sistem dinamis adalah dengan
menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk pada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku
simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur
model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Muhammadi et al. (2001) menyatakan, untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal digunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis misalnya Program Powersim. Program Powersim akan dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun. mendapatkan
kesimpulan
dan
kebijakan
Setelah itu, dilakukan analisis untuk
apa
yang
harus
dilakukan
untuk
mengantisipasi/mengubah perilaku sistem yang terjadi. Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi
dalam
sistem, sehingga dapat
dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan konsep. Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel-variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan dan saling berketergantungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar
untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses
yang akan disimulasikan.
34
2. Pembuatan model. Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. 3. Simulasi. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitaif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan
pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan
melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4. Validasi hasil simulasi. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang. Menurut Harrel dan Tumay (2001), pemodelan sistem memfasilitasi pemodel melakukan
serangkaian
simulasi.
Simulasi
menjadi
signifikan
dibutuhkan
jika:
membangun sebuah model matematika sangat sukar atau bahkan tidak mungkin, sistem mempunyai satu atau lebih variabel random bebas, dinamika sistem sangat kompleks, dan tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengenali perilaku sistem. Sistem dinamik diartikan sebagai investigasi karakteristik umpan balik informasi dari sistem (yang dikelola) dan penggunaan model-model untuk meningkatkan disain bentuk organisasional dan pedoman kebijakan (Forrester, 1961 dalam Coyle, 1955 dalam Atmoko, 2001). Untuk melihat perilaku model sistem dinamik digunakan perangkat lunak (software).
Perangkat lunak
ini memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan
dalam mempelajari suatu sistem yang komplek secara dinamik. Perangkat lunak ini juga memungkinkan dilakukannya perhitungan-perhitungan atas model simulasi dalam bentuk grafik. Proses rancang bangun sistem berorientasi pada keputusan yang bersifat partisipatif . Hal ini erat kaitannya dengan aplikasi ilmu sistem untuk perencanaan dan pengendalian program yang membutuhkan partisipasi anggotanya. Selanjutnya, kriteria keputusan sistem harus bersifat lengkap (mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan), operasional (dapat digunakan dalam praktek), tidak berlebihan (dapat menghindarkan perhitungan berulang) dan minimum (dengan tujuan agar lebih mudah meninjau secara komprehensif persoalan). Hal ini merupakan salah satu karakteristik SPK yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan terutama keputusan yang bersifat semi struktural (Eriyatno, 1998).
35
Landasan utama dalam pengembangan SPK untuk model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama sistem penunjang keputusan, yaitu: pengguna, model, dan data. Struktur SPK terdiri atas data yang tersusun dalam sistem manajemen basis data, kumpulan model yang tersusun dalam sistem manajemen basis model, sistem pengelolahan problematik, sistem manajemen dialog dan pengguna (Eriyatno, 1998). Sistem manajemen basis data melakukan tiga fungsi dasar. Fungsi yang pertama adalah sebagai penyimpan data dalam basis data. Fungsi yang kedua adalah menerima data dari basis data. Fungsi yang ketiga adalah sebagai pengendali basis data. Sistem manajemen basis data harus bersifat interaktif dan luwes dalam artian mudah dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi dan struktur elemen-elemen data . Sistem manajemen basis model merupakan sistem perangkat lunak yang mempunyai empat fungsi pokok yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model (laporan-laporan), untuk memperbaharui dan merubah model, serta untuk memanipulasi data. Pada intinya, sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan SPK. Hubungan antar komponen-komponen tersebut dapat di lihat pada Gambar 7.
Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data (SMBD)
Sistem Manajemen Basis Model (SMBM)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan Dialog
Pengguna
Gambar 7. Hubungan antar komponen dalam SPK Sistem manajemen dialog merupakan subsistem untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen dialog adalah menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki pengguna. Sedangkan sistem pengolah problematik adalah subsistem yang bertugas sebagai koordinator dan pengendali dari
36
operasi sistem secara keseluruhan. Sistem ini menerima input dari ketiga subsistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan output ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Sistem ini berfungsi sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antara subsistem. Aplikasi dari SPK baru dapat dikatakan berhasil atau bermanfaat jika terdapat kondisi:
(1)
eksistensi
dari
basis
data
yang
sangat
besar
sehingga
sulit
mendayagunakannya; (2) kepentingan adanya transformasi dan komputasi pada proses pencapaian keputusan; (3) adanya keterbatasan waktu, baik dalam penentuan hasil maupun dalam prosesnya; dan (4) kepentingan akan penilaian atas pertimbangan akal sehat untuk menentukan dan mengetahui pokok permasalahan, serta pengembangan alternatif dan pemilihan solusi. Pada langkah awal aplikasi SPK perlu dilakukan analisis keputusan dimana pengambil keputusan mendefinisikan hal-hal yang penting untuk diputuskan. Untuk langkah lebih lanjutnya, diperlukan penelaahan perspektif ditinjau dari lima sudut pandang yaitu: Konsep ekonomi rasional, pandangan yang berorientasi pada proses pengambilan keputusan tidak hanya pada hasilnya, pandangan prosedur organisatoris, pandangan politis yang ditekankan pada kebutuhan dan pandangan individual yang tercermin pada sikap dan perilaku pengambil keputusan. Simulasi model dan hasil-hasil simulasi model digunakan untuk melihat pola kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, dan dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model.
2.7 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup tiga hal utama, yaitu bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Dwijowijoto, 2003). Setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi dan misi) bersama yang telah disepakati. Dengan demikian, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah
kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru
sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada. Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meski analisa kebijakan lebih fokus kepada
37
perumusan, pada prinsipnya setiap analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis kebijakan menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan, menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang evaluasi, dan kondisi lingkungan kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah sistem; dan (2) kebijakan struktural,
skenario dengan tindakan yang akan menghasilkan sistem yang berbeda
(Aminullah, 2004). Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu kebijakan. Oleh karena itu seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai berikut. 1. Harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan waktu dan akses. 2. Membutuhkan perspektif (pandangan) untuk melihat masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam konteksnya. 3. Membutuhkan kemampuan teknik agar dapat memprediksi kebijakan yang diperlukan di masa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan lebih baik. 4. Harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif. 5. Harus mempunyai etika (moral). Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya untuk
38
menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan.
2.8 Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah kelapa sawit adalah Masni (2004), Luqman Erningpraja (2001), Asdar Iswati (2004), Retno Widhiastuti (2001), Fauzan Kurniawan (2004). Secara ringkas metode dan kesimpulan hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan limbah kelapa sawit Peneliti
Judul
Masni (2004) Kajian Pemanfaatan Limbah PKS sebagai Sumber Karotenoid
Metode
Kesimpulan
Analisis Laboratorium
Limbah kelapa sawit mengandung keratenoid untuk membuat vitamin A, dan secara ekonomi layak.
Luqman Erningpraja (2001)
Rancang Bangun Analisis Sistem Model Produksi Bersih dan Permodelan Kebun Kelapa Sawit
Produksi dapat bersih meningkatkan kinerja perusahaan mencapai 24%
Asdar Iswati (2004)
Desain Pengelolaan Analisis Kebun Plasma Kelapa Laboratorium dan Sawit Berkelanjutan Uji Statistik serta Analisis Ekonomi, Sosial dan Ekologi
Kebun kelapa sawit berkelanjutan merupakan fungsi dari jenis tanah, lereng, kemampuan dan pendapatan petani serta budaya
Retno Widhiastuti (2001)
Pola Pemanfaatan Limbah Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dalam Upaya Menghindari Pencemaran Lingkungan
Percobaan (1) Pemanfaatan Limbah PKS lapangan, Analisis meningkatkan produksi dan Laboratorium dan mengurangi pemakaian pupuk Simulasi Model (2) Perlu pedoman teknis pemanfaatan limbah PKS
Fauzan Kurniawan (2004)
Penentuan Prioritas Penerapan Produksi Bersih Pada Industri Pengolahan Kelapa Sawit
Analitical Kriteria lingkungan merupakan Hierarchy Process prioritas utama (AHP)
Hasil-hasil penelitian tersebut pada umumnya mengkaji aspek teknis pengelolaan limbah cair dan limbah padat kelapa sawit serta pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit, belum mengkaji kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit. Metode analisis yang digunakan masih pada analisis laboratorium dan pemodelan sistem saja, belum terpadu dengan motede pengambilan kebijakan partisipatif. Penelitian tersebut juga belum mengkaji kinerja kebijakan pengelolaan limbah PKS.
39
Pada penelitian ini dirancang sistem pakar untuk menilai kinerja perusahaan secara cepat. Hasil penilaian ini selanjutnya dibandingkan dengan standar pengelolaan lingkungan yang menuju produksi bersih. Dilakukan pula kajian penerapan teknologi pengelolaan limbah yang dapat memberikan nilai ekonomi bagi perusahan dilakukan dan skenario kebijakan menuju produksi bersih yang melibatkan semua stakeholder.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada pada kawasan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV (Persero) Propinsi Sumatera Utara. PTPN IV bergerak di bidang usaha perkebunan dengan kelapa sawit sebagai komoditas utama di samping teh dan kakao. Luas areal tanaman kelapa sawit yang dikelola sebesar 118.904,21 ha. Dalam melaksanakan kegiatannya, PTPN IV bermitra dengan perkebunan plasma (8.996,56 ha). PTPN IV juga mengusahakan industri hilir berupa pabrik fraksionasi dan rafinasi.
3.2 Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan secara bertahap dengan tiga tahapan yaitu tahap pembuatan model penilaian kinerja dan simulasi model dalam bentuk sistem penilaian terpadu pabrik kelapa sawit (SPT-PKS), tahap penentuan faktor kunci dan skenario pengelolaan, dan tahap perumusan strategi implementasi. Pada tahap
pemodelan,
dilakukan
review
kebijakan
yang
berkaitan
dengan
pengelolaan limbah PKS, kajian alternatif teknologi pengelolaan limbah PKS, dan identifikasi jenis, volume, pengolahan, dan dampak limbah PKS. Secara detail tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Tahapan penelitian
41 3.3. Jenis dan Sumber Data Data yang akan digunakan untuk keperluan penelitian ini mencakup data sekunder dan data primer. Sebagai sebuah model sistem mikro (small scale system), data yang diperlukan adalah data sekunder yang terdiri dari data yang bersumber dari berbagai laporan dan dokumen perusahaan dan berbagai instansi yang terkait dengan topik penelitian. Data primer bertujuan untuk mengklarifikasi konstruksi model, khususnya model penilain terpadu pengelolaan limbah PKS berkelanjutan. Data ini diperoleh dari laporan perusahaan, hasil kajian PPKS, observasi langsung di lokasi pabrik, dan wawancara dengan staf pabrik yang berkompeten. Penentuan faktor kunci dan skenario alternatif pengelolaan limbah PKS menggunakan kuesioner dan pedoman wawancara yang terdiri dari dua jenis yaitu: data pemerintah dan industri pengelolaan limbah, baik yang bersumber dari perencana, pengendali dan pelaksana program pemerintah serta yang bersumber dari industri dan data kualitatif yang bersumber dari pendapat (judgment) pakar/pengambil keputusan tentang pengembangan environmental management system industri minyak sawit di Indonesia khususnya pada proses di PKS. Jenis data yang diambil disajikan pada Tabel 6. Tabel 6.
Tujuan, jenis dan cara pengumpulan data, metode analisis, dan output yang diharapkan
No
Tujuan Penelitian
1
Menilai kinerja pabrik kelapa sawit terutama yang terkait dengan limbah yang dihasilkan
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Metode Analisis
Kapasitas pabrik, input yang digunakan, proses, limbah yang dihasilkan, kinerja lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Sistem penilaian terpadu kinerja pabrik kelapa sawit
Data primer dan sekunder
Output yang Diharapkan Kinerja PKS pada PTPN IV.
(SPT PKS)
Perangkat lunak sistem aplikasi yang dapat memberikan penilaian kinerja PKS secara cepat
Deskriptif (review kebijakan)
Faktor kunci dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV
Survai di lokasi pabrik dan wawancara dengan direksi dan staf PTPN IV 2
Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi penerapan teknologi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah
Peraturan tentang pengelolaan dan pengolahan limbah PKS, pendapat stakeholder dan pakar
Analisis kebutuhan
Kuesioner, dokumentasi, Analisis wawancara prospektif
42 Lanjutan Tabel 6 No
Tujuan Penelitian
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Metode Analisis
3
Menyusun skenario pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit yang dapat meningkatkan produksi kebun dan diterapkan secara terpadu
Preferensi para stakeholder yang terkait dengan pengelolaan limbah PKS
Analisis prospektif
Merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah yang sekaligus dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan dengan pemanfataan limbah secara ekonomis
Preferensi para stakeholder yang terkait dengan pengelolaan limbah PKS
4
Diskusi pakar
Wawancara terstruktur dan focus group discussion
Focus group discussion
Output yang Diharapkan Skenario optimal pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit yang dapat meningkatkan produksi kebun dan diterapkan secara terpadu Rumusan strategi implementasi skenario optimal secara operasional yang disepakati oleh stakeholder
3.4 Metode Analisis Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kedua pendekatan tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan analisis. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah review kebijakan, analisis sistem penilaian kinerja perusahaan, analisis kebutuhan stakeholder, analisis prospektif, dan focus group discussion. Review kebijakan, analisis kebutuhan, dan focus group discussion menggunakan pendekatan kualitatif secara partisipatif dengan melibatkan pakar dan stakeholder yang terkait. Analisis sistem penilaian kinerja perusahaan dan analisis prospektif menggunakan pendekatan kuantitatif dengan memanfaatkan data hasil survai, data sekunder, dan pendapat pakar.
1. Review kebijakan Review kebijakan dilakukan terhadap dokumen kebijakan yang terkait dengan pengelolaan limbah PKS menuju nir limbah. Aspek kebijakan yang dianalisis adalah substansi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan kinerja kebijakan terhadap kualitas lingkungan. Kebijakan yang direview adalah peraturan pemerintah (PP) dan keputusan menteri lingkungan hidup (Kepmen LH). PP dan Kepmen yang dianalisis adalah PP 27/1999, Kepmen LH 17/2001, PP 82/2001, PP 41/1999,
43 KepmenLH 51/1995, KepmenLH 50/1996, KepmenLH 111/2003 dan 142/2003, KepmenLH 28/2003, dan KepmenLH 29/2003. Penilaian mengenai kinerja kebijakan dilakukan melalui wawancara mendalam dengan peneliti dan pengambil kebijakan. Responden penelitian untuk review kebijakan adalah peneliti USU, peneliti PPKS, Bapedalda Sumatera Utara, Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Perkebunan, dan Direksi PTPN IV Sumatera Utara. Hasil review kebijakan merupakan masukan dalam penyusunan skenario keberlanjutan pengelolaan limbah PKS.
2. Analisis sistem penilaian kinerja Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer (Eriyatno, 2002) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan
sistem
adalah
analisis
kebutuhan,
formulasi
permasalahan,
identifikasi sistem, pemodelan, verifikasi dan validasi, dan implementasi. Model penilaian kinerja SPT-PKS disusun dalam lingkungan sistem operasi Windows menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0. SPTPKS dirancang dengan tampilan grafis (window) yang bersifat interaktif (user friendly).
Manajemen basis data SPT-PKS dibangun menggunakan sistem
menejemen basis data Access 2000.
Sistem ini dapat dijalankan pada PC
(personal computer) dengan kecepatan minimum 233 MHz dan memori 32 MB. Paket model penilaian kinerja SPT-PKS membutuhkan ruang kosong hardisk sebesar 13 MB. Dalam pengembangan suatu perangkat lunak antar muka pengguna (user interface) merupakan bagian yang berinteraksi secara langsung antara model dengan pengguna. User interface mempengaruhi pemahaman dan penggunaan pada suatu perangkat lunak. Semakin baik tampilan user interface suatu perangkat lunak maka program tersebut semakin mudah untuk dipergunakan bahkan oleh user yang awalnya tidak mengerti model dalam perangkat lunak tersebut. Model penilaian kinerja model SPT-PKS diharapkan mampu membantu peneliti maupun evaluator dalam menganalisa kinerja penanganan limbah pada PKS. Keluaran yang dihasilkan dari model penilaian cepat penanganan limbah
44 PKS adalah berupa nilai penyimpangan atau gap kinerja penanganan limbah PKS terhadap standar ideal yang telah ditetapkan. Model SPT-PKS mencakup empat jenis teknologi penanganan limbah, yaitu teknologi sistem kolam, teknologi aplikasi lahan, teknologi mulsa, dan teknologi pengomposan. Secara umum pada PKS yang ada, terdapat 3 kelompok alternatif penanganan limbah PKS. Alternatif pertama, limbah cair ditangani dengan menggunakan teknologi sistem kolam yang kemudian dibuang ke lingkungan dan tandan kosong sawit dimanfaatkan sebagai pupuk mulsa dengan teknologi mulsa. Alternatif kedua, limbah cair PKS ditangani dengan menggunakan teknologi aplikasi lahan yang menghasilkan pupuk cair organik dan tandan kosong sawit menjadi pupuk mulsa dengan teknologi mulsa. Alternatif ketiga, limbah cair dan tandan kosong kelapa sawit dimanfaatkan sebagai bahan baku teknologi pengomposan yang akan menghasilkan pupuk kompos. Selain faktor internal yang terdiri dari input, proses dan produk sebagai pusat kajian penelitian ini, faktor eksternal yang terdiri dari faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor lingkungan merupakan tonggak model yang mempengaruhi kinerja internal pada teknologi penanganan limbah kelapa sawit. Faktor ekonomi yang menjadi tolak ukur kinerja model adalah nilai investasi teknologi penanganan limbah, biaya penanganan limbah dan nilai tambah produk limbah yang diinterpretasikan dalam peningkatan keuntungan PKS. Faktor sosial melihat dampak yang diperoleh dari produk limbah yang dihasilkan terhadap kehidupan sosial sekitar PKS. Parameter yang dilihat pada fator sosial antara lain, kemungkinan pencemaran, produksi bau limbah, nilai tambah produk limbah dan tersedianya standar mutu terhadap karakteristik limbah yang dibuang ke lingkungan. Verifikasi bertujuan untuk mengetahui apakah model penilaian kinerja PKS penanganan limbah PKS yang telah disusun sesuai dengan tujuan semula, yaitu dapat melakukan penilaian kinerja PKS secara relatif cepat dan akurat. Dari verifikasii model diperoleh informasi tentang pencapaian kinerja pengelolaan limbah PKS atau penyimpangan penanganan limbah PKS terhadap standar ideal.
Perbandingan data kinerja PKS dengan indikator pada model akan
menunjukkan nilai variasi yang signifikan dapat disusun rekomendasi untuk memperbaiki kinerja pelaksanaan PKS. Validitas model SPT-PKS dilaksanakan untuk menilai kinerja PKS PTPN IV Sumatra Utara.
45 3. Analisis kebutuhan stakeholder Stakeholder yang terlibat dalam sistem pengelolaan limbah PKS berkelanjutan pada dimensi adalah pemerintah yang mewakili kepentingan publik, pabrik kelapa sawit yang mewakili kepentingan industri, karyawan PKS dan masyarakat setempat yang mewakili kepentingan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual. Analisis kebutuhan stakeholder dalam sistem pengelolaan terpadu PKS berkelanjutan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Aspek yang dianalisis adalah kebutuhan stakeholder di masa mendatang dalam kaitan dengan sistem produksi bersih dan keberlanjutan usaha kelapa sawit pada PTPN IV. Hasil analisis kebutuhan stakeholder menjadi faktor input dalam penyusunan skenario kebijakan pengelolaan limbah PKS di masa mendatang.
4. Analisis prospektif Analisis prospektif digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan di masa yang akan datang. Analisis prospektif
mampu mengeksplorasi
kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan, sehingga dapat dipersiapkan tindakan strategis masa depan dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berperan penting dalam mencapai keberlanjutan pengelolaan limbah PKS. Tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah sebagai berikut : a. Menjelaskan tujuan studi b. Melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor kunci berdasarkan hasil yang didapat dari model dinamik. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor kunci tabel di atas harus diisi terlebih dahulu. Pedoman pengisian matriks analisis pengaruh disajikan pada Gambar 9:
Gambar 9. Pedoman pengisian matriks analisis pengaruh
46 c. Analisis matriks pengaruh dan ketergantungan. Hasil matriks dengan program prospektif disajikan pada Gambar 10. Pengaruh
Variabel Penentu
Variabel Penghubung
INPUT
STAKES
Variabel Bebas
Variabel Terikat
UNUSED
OUTPUT
Ketergantungan
Gambar 10. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem pengelolaan limbah PKS (Godet, 1999) d. Menentukan keadaan (state) suatu faktor. Ketentuan-ketentuan yang harus diikuti pada tahap ini adalah: 1) keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi (bukan khayalan) dalam suatu waktu di masa datang, 2) keadaan bukan merupakan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor (seperti besar/sedang/kecil atau baik/buruk) tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari sebuah faktor, 3) Setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas, 4) bila keadaan dalam suatu faktor lebih dari satu maka keadaankeadaan tersebut harus dibuat secara kontras, dan 5) selanjutnya mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk terjadi atau berjalan bersamaan (mutual incompatible). e. Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor-faktor yang mungkin terjadi adalah: 1) skenario yang memiliki peluang besar untuk terjadi di masa datang disusun terlebih dahulu, 2) skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor. Oleh sebab itu, sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible (saling bertolak belakang), 3) setiap skenario (mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis)
47 diberi nama, dan 4) langkah selanjutnya adalah memilih skenario yang paling mungkin terjadi. f.
Implikasi Skenario. Merupakan kegiatan terakhir dalam analisis prospektif yang meliputi: 1) skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas kontribusinya terhadap tujuan studi, 2) skenario tersebut didiskusikan implikasinya, dan 3) tahap selanjutnya menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang sudah disusun.
5. Focus group discussion Pembahasan tentang strategi implementasi skenario pengelolaan limbah PKS dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder utama secara partisipatif. Metode pembahasan yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di Kota Medan, sedangkan untuk
stakeholder dan pakar
pengelolaan limbah di Jakarta digunakan metode wawancara. Selain itu, untuk memperkaya analisis dan pembahasan juga dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner. Wakil stakeholder ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Dasar pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden adalah: (1) mempunyai pengalaman yang memadai sesuai dengan bidangnya, (2) mempunyai reputasi, jabatan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai stakeholder yang konsisten atau pakar pada bidang yang akan diteliti, dan (3) kesediaan untuk menjadi responden. Berdasarkan kriteria tersebut, dipilih responden dalam penelitian ini yaitu: peneliti dari Universitas Sumatera Utara, Bapedalda Provinsi Sumatera Utara, Bappeda Provinsi Sumatera Utara, anggota DPRD bidang pembangunan, asosiasi pengusaha perkebunan Provinsi Sumut, direktur bidang produksi PTPN IV, kepala bagian bidang pengolahan PTPN IV, seksi pengolahan limbah PKS Dolok Sinumbah, bagian pengolahan limbah PKS Dolok Ilir, dan tokoh masyarakat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum PTPN IV Sumatera Utara Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penggabungan (merger) dari PTP VI, PTP VII, dan PTP VIII yang berlokasi di Provinsi Sumatera Utara. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan adalah kelapa sawit, kakao dan teh. Penggabungan tersebut dilandasi oleh Akte Notaris Harun Kamil SH Nomor 37 tangal 11 Maret 1996 dan Surat keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2.8335.HT.01.01 tahun 1996 tanggal 8 Agustus 1996 yang dicantumkan dalam Tambahan Berita Negara Nomor 81 tanggal delapan 1996. Visi PTPN IV adalah menjadi perusahaan agribisnis perkebunan yang tangguh dan mampu bersaing, baik di sektor hulu dan hilir di tingkat nasional dan regional. Untuk mewujudkan visi tersebut, PTPN IV mengemban misi sebagai berikut: 1. Menjalankan usaha agribisnis di bidang perkebunan kelapa sawit (komoditas utama), teh dan kakao serta menghasilkan produk minyak sawit, inti sawit, teh jadi, biji kakao kering serta produk turunannya yang berkualitas untuk memberikan kepuasan bagi pelanggan. 2. Meningkatkan daya saing produk serta terus menerus yang didukung oleh sistem, cara kerja dan lingkungan kerja yang mendorong munculnya kreativitas dan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi. 3. Menghasilkan laba yang berkesinambungan untuk menjamin pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan perusahaan serta memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal bagi pemegang saham, karyawan dan stakeholder lainnya. 4. Mengelola usaha secara profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan dengan berpegang teguh pada nilai-nilai etika bisnis dan senantiasa berpedoman pada tata kelola perusahaan secara sehat. 5. Memberikan perhatian dan peran yang sungguh-sungguh dalam membangun kemitraan dan mengembangkan masyarakat lingkungan serta kelestarian lingkungan hidup. Maksud dan tujuan pendirian PTPN IV adalah turut melaksanakan dan menunjang kebijakan dan program pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang ekonomi, khususnya pembangunan di bidang perkebunan. Maksud dan
49 tujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengusahaan budidaya perkebunan berupa tanaman kelapa sawit, teh dan kakao. Luas areal yang diusahakan pada saat ini berupa: (1) tanaman kelapa sawit seluas 126.343,85 ha, terdiri atas tanaman menghasilkan seluas 96.777 ha dan tanaman belum menghasilkan seluas 10.459 ha, tahun tanam yang akan datang (TTAD) seluas 4.087 ha , dan tanaman ulang/baru/konversi seluas 15.020,85 ha; (2) tanaman teh seluas 5.396,11 ha, yang terdiri dari tanaman menghasilkan seluas 5.341,07 ha, tanaman belum menghasilkan seluas 55.04 ha; dan (3) tanaman kakao seluas 4.135 ha yang semuanya merupakan tanaman menghasilkan. Tabel 7. Luas areal perkebunan yang dikelola oleh PTPN IV pada tahun 2005 (ha) No
Komoditi
Status lahan
Prognosa 2004
RKAP 2005
Selisih
99.509
96.777
(2.732)
TBM
8.597
10.459
1.862
TTAD
4.677
4.087
(590)
TM
1.
Kelapa sawit
TU/TB/Konversi Lain-lain Jumlah TM
2.
Kakao
Lain-lain TM TBM
Teh
(712,65)
133.987,35
140.971,55
6.984,20
4.135
4.135
3.383,66
188,59
(3.195,07)
7.518,66
4.323,59
(3.195,07)
5.341,07
5.341,07
55,04
55,04
5.066,31
1.277,18
(3.789,13)
10.462,42
6.673,29
(3.789,13)
108.985,07
106.253,07
2.732
8.652,04
10.514,04
1.862
TTAD
4.677
4.087
(590)
TU/TB/Konversi
5.864
15.020,85
9.156,85
23.790,32
16.093,47
(7.696,3)
151.968,43
151.968,43
Jumlah TM TBM Jumlah seluruhnya
9.156,85
TU Lain-lain
4.
15.020 14.627,7
Konversi Jumlah
3.
5.864 15.340,35
Lain-lain Jumlah
Sumber: Rencana kerja dan anggaran perusahaan (2005)
Areal tanaman yang menghasilkan (TM) kelapa sawit pada tahun 2005 adalah 96.777 ha, berkurang 2.732 ha bila dibandingkan dengan tahun 2004. Berkurangnya areal ini disebabkan adanya mutasi areal TM seluas 7.219 ha
50 yang terdiri atas areal tanaman ulangan (TU) 1.126 ha, TTAD 3.887 ha, areal percobaan PPKS 65 ha, pabrik kompos 8 ha, pengeboran minyak oleh Pertamina 1 ha dan realisasi penanaman TU tahun 2003 sebesar 10 ha dan penambahan areal tanaman belum menghasilkan menjadi tanaman yang menghasilkan adalah 2.365 ha. Tanaman kakao memiliki luas areal lahan yang menghasilkan 4.135 ha. Luas areal ini berkurang setelah sebagian areal dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 3.281 ha pada tahun 2004 dan 2005. Untuk tanaman teh, pada tahun 2005 luas areal TM yaitu 5.341,07 ha dan areal TBM 55,04 ha. Luas areal ini sama untuk tahun 2004. Luas areal tanaman yang menghasilkan dicapai setelah dikurangi dengan areal yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 3.179,85 ha pada tahun 2004 dan 2005. PTPN IV memiliki peralatan produksi untuk operasional dengan kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai disajikan pada Tabel 8. Selain itu perusahaan juga memiliki pabrik perakitan mesin 1 unit dan pabrik kompos 1 unit yang tedapat pada PKS Dolok Sinumbah. Perusahan tidak memiliki load factor.
Tabel 8.
Alat produksi, kapasitas terpasang, dan kapasitas terpakai PTPN IV Alat Produksi
Kapasitas Terpasang
Kapasitas Terpakai
Pabrik Kelapa Sawit 15 unit
560 ton TBS/Jam
474 ton TBS/Jam
Pabrik Fraksionasi dan Rafinasi 1 unit
300 ton CPO/hari
310 ton CPO/hari
400 ton IS/hari
350 ton IS/hari
266 ton DTB/hari
254 ton DTB/hari
Pabrik Pengolahan Inti Sawit 1 unit Pabrik Teh 4 unit
Sumber: PTPN IV (2007)
Selain bergerak pada sub sistem hulu (budidaya), PTPN IV juga bergerak pada sub sistem hilir (industri pengolahan). Industri pengolahan yang beroperasi pada saat ini berupa pabrik fraksionasi dan rafinasi yang berlokasi di Belawan dengan kapasitas 300 ton crude palm oil (CPO) per hari. Produk yang dihasilkan dalam bentuk RDB olien, crude stearin, dan fatty acid. Industri hilir ini pada tahun 2005 sudah di spin off dengan PT Pamina yang merupakan anak perusahaan PTPN IV yang mengusahakan produk sejenis. Pabrik Pengolahan Inti Sawit (PPIS) yang berlokasi di Kebun Pabatu dengan kapasitas 400 ton inti sawit per hari menghasilkan produk berupa palm kornel oil (PKO) dan palm kornel meal (PKM).
51 Pihak manajemen PTPN IV menerapkan budaya kerja perusahaan (corporate culture) yang bersifat aktif agar para karyawan memiliki motivasi dan kinerja yang optimal. Setiap karyawan diberi bimbingan dan dorongan agar memiliki perilaku sebagai berikut: (1) berpikir positif untuk dapat menangkap setiap peluang; (2) proaktif dalam menghasilkan inovasi dan prestasi; (3) kerjasama tim untuk membangun kekuatan; (4) menempatkan kepentingan perusahaan sebagai pertimbangan utama bagi setiap keputusan yang diambil oleh
setiap
jajaran
perusahaan;
dan
(5)
menempatkan
peningkatan
kesejahteraan karyawan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pencapaian sasaran perusahaan. Sasaran PTPN IV adalah menjaga kesinambungan perusahaan dengan mengupayakan pencapaian laba yang optimal agar dapat tumbuh dan berkembang di masa yang akan datang. Pada tahun 2005 ditetapkan beberapa indikator sasaran yang perlu dicapai perusahaan, seperti: tingkat produksi dan produktivitas, pendemen, harga pokok produksi termasuk pembelian, harga pokok penjualan, volume penjualan, pengadaan barang, pendapatan penjualan, kinerja keuangan, laba sebelum pajak, jumlah tenaga kerja, peningkatan kompetensi karyawan, dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) 11 unit kebun yang sudah habis masa berlakunya dan penerbitan HGU baru untuk 6 unit kebun yang belum ada. Untuk mencapai sasaran perusahaan yang telah ditetapkan dilandasi oleh kebijakan-kebijakan dasar sesuai bidang masing-masing. Selanjutnya setiap kebijakan tersebut dilengkapi dengan strategi dan program guna memudahkan pencapaian sasaran. Strategi yang dirumuskan pihak perusahaan secara umum adalah
meningkatkan
kinerja
perusahaan
melalui
upaya
peningkatan
pengendalian biaya dan produktivitas sumber-sumber yang tersedia. Kebijakan PTPN IV dalam rangka mencapai sasaran yang sudah ditetapkan dikelompokkan ke dalam 13 bidang. Kebijakan, strategi, dan program pada masing-masing bidang tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
1. Bidang tanaman Kebijakan bidang tanaman adalah pemeliharaan tanaman yang sesuai dengan baku teknis yang telah disesuaikan dengan kondisi tiap blok serta pemupukan berpedoman pada rekomendasi yang disusun oleh balai penelitian. Permenjaan tanaman kelapa sawit didasarkan bukan hanya kepada umur
52 tanaman tetapi juga mempertimbangkan kondisi blok, kualitas produksi harus tetap dipertahankan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan upaya peningkatan kualitas struktur tanah dengan pemberian limbah cair/padat (LCKS, tankos, dan kompos). Strategi bidang tanaman adalah menyempurnakan sistem panen, mengintensifkan pemeliharaan tanaman dengan melaksanakan pemupukan tepat waktu dan dosis sesuai rekomendasi balai penelitian, dan memperbaiki komposisi umur khususnya kelapa sawit. Program kerja bidang tanaman adalah panen kelapa sawit, kakao dan teh yang dilakukan sesuai rotasi yang ditetapkan, pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai jadwal yang ditetapkan, pemupukan dua kali setahun dan peremajaan tanaman kelapa sawit, konversi tanaman teh ke kelapa sawit, konversi kakao ke kelapa sawit seluas 15.020,85 ha dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan kelapa sawit seluas 10.459 ha dan teh seluas 55,04 ha.
2.
Bidang pengolahan Kebijakan bidang pengolahan adalah semua hasil produksi kebun yang
dipanen setiap hari harus dapat diolah pada hari itu juga dan pabrik hanya mengolah hasil produksi yang kualitasnya memenuhi persyaratan. Strateginya adalah melaksanakan pembelian TBS pihak ketiga (masyarakat) dalam rangka mengoptimalkan kapasitas pabrik kelapa sawit dan meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Program kerja bidang pengolahan adalah melakukan pengaturan jam olah, melakukan sortasi TBS yang akan diolah, mengatur pengolahan TBS plasma dan pihak ketiga, menganalisa hasil olahan produksi secara teratur.
3.
Bidang teknik Kebijakan bidang teknik adalah penggantian mesin-mesin dan peralatan
pabrik agar disesuaikan dengan jadwal dan memperhatikan masa manfaat dan rehabilitasi/penggantian
sarana
dan
prasarana
produksi
lainnya
harus
memperhatikan tingkat kepentingannya. Strategi bidang teknik adalah melaksanakan pemeliharaan (maintenance) mesin-mesin dan instalasi pabrik, meningkatkan pemeliharaan sarana dan prasarana produksi dan melaksanakan penggantian (replacement) atas mesin dan sarana pabrik. Program kerja bidang teknik adalah melaksanakan
53 pemeliharaan/penggantian mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal, mengatur alat transport untuk mengangkut hasil produksi, dan membangun sarana dan prasarana sesuai jadwal.
4.
Bidang perencanaan, pengkajian, dan pengembangan Kebijakannya adalah membuat perencanaan, pengembangan usaha,
pengkajian
dan
peningkatan
informasi
teknologi
dan
sistem
informasi
manajemen, harus berpedoman pada rencana kerja jangka pendek dan rencana jangka panjang. Strategi bidang perencanaan, pengkajian dan pengembangan adalah: melaksanakan pengkajian dan pengembangan usaha mengenai industri hilir teh dan kelapa sawit, pemanfaatan limbah menjadi pupuk dan pemanfaatan pupuk organik, melaksanakan aplikasi lahan (land application) atas limbah pabrik kelapa sawit dan membangun sarana teknologi informasi dan sistem informasi manajemen. Program kerjanya meningkatkan teknologi informasi dan sistem informasi manajemen dan manajemen resiko dan meningkatkan sarana local area network.
5.
Bidang pemasaran hasil Kebijakan pemasaran hasil adalah semua pesanan harus dapat dipenuhi
tepat waktu dengan mutu sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak kerja. Strateginya adalah mempertahankan pasar yang telah ada dan mencari peluang pasar baru, meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, pengujian dan sertifikasi, melakukan koordinasi dengan lembaga pemasaran dalam rangka memperluas pasar, meningkatkan komunikasi dengan pembeli dalam rangka mempercepat pengapalan dan pembayaran atas kontrak penjualan. Program kerja pemasaran hasil adalah melakukan penjualan sesuai jadwal dan produksi yang dihasilkan, mengatur alat pengangkutan sesuai jadwal pengiriman yang ditetapkan, memonitor produksi di gudang, kebun atau tempat penimbunan untuk mendukung rencana penjualan, melakukan penagihan sesuai jadwal, dan melaksanakan pengadaan bahan/barang tepat waktu.
6.
Bidang pengadaan Kebijakan pengadaan adalah pengadaan barang dan bahan sesuai
kebutuhan dan levering tepat waktu. Strateginya adalah berupaya mendapatkan
54 harga beli yang wajar dan bersaing dengan mutu yang terjamin, melaksanakan sistem dan prosedur yang berlaku serta memonitor persediaan barang / bahan di gudang penimbunan umum (GPU) kantor pusat, membina dan mensosialisasikan sistem dan prosedur pengadaan yang berlaku di PTPN IV kepada seluruh mitra kerja.
7.
Bidang keuangan Kebijakan bidang keuangan adalah: pelaksanaan kegiatan-kegiatan
disesuaikan dengan rencana kerja operasional yang dibahas setiap tiga bulan dan pelaksanaan investasi hanya dilakukan jika kondisi keuangan mendukung. Strategi bidang keuangan adalah: mengendalikan arus kas (cash flow) perusahaan, meningkatkan pengendalian pelaksanaan anggaran sesuai RKAP, pengendalian
biaya
melalui
Rencana
Kerja
Operasional
(RKO),
dan
meningkatkan sosialisasi, manajemen perpajakan dan asuransi. Program kerja bidang keuangan adalah: mengadakan pengendalian terhadap penggunaan biaya di kebun/unit kebun dengan melaksanakan penyusunan RKO setiap tiga bulan dan mengadakan evaluasi setiap bulan terhadap realisasi biaya dibanding anggaran dan RKO,
melaksanakan
pembayaran hutang dan bunga sesuai jadwal, dan menyediakan dana yang cukup untuk pembiayaan operasional dan investasi.
8.
Bidang akuntansi Kebijakan akuntansi adalah mengoptimalkan penggunaan komputer,
mengolah
data
dan
penyusunan
laporan.
Strategi
akuntansi
adalah
meningkatkan kegiatan verifikasi agar pencatatan lebih akurat dan penyelesaian laporan tepat waktu. Program kerja akuntansi adalah mengadakan pengecekan semua dokumen pengeluaran secara cermat dan melaksanakan verifikasi secara berkala sesuai kebutuhan.
9.
Bidang sumberdaya manusia Kebijakan sumberdaya manusia adalah pendidikan dan latihan dilakukan
sesuai
kebutuhan
perusahaan
dan
penerimaan
(rekruitmen)
karyawan
dilaksanakan sesuai standar formasi. Strategi sumberdaya manusia adalah penyempurnaan struktur organisasi perusahaan sesuai dengan kebutuhan agar dapat dicapai efisiensi dan efektifitas kerja yang tinggi, menyempurnakan sistem
55 imbal jasa yang lebih kompetitif dan mengarah pada prestasi kerja, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan disiplin kerja agar mampu melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan perusahaan, menyusun man power planning untuk mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dan meningkatkan hubungan industrial, kesehatan dan K3. Program kerja sumberdaya manusia adalah menyusun struktur organisasi dan pembagian kerja (job description), agar ada kejelasan masing-masing fungsi, menyusun peraturan jenjang karier, menyusun dan menentukan karyawan untuk melaksanakan pelatihan sesuai jadwal dan kebutuhan, menyempurnakan sistem imbal jasa dan menyusun rencana pensiun dan pensiun dini.
10.
Bidang umum Kebijakan
bidang
umum
adalah
pengamanan
asset
perusahaan
dilakukan dengan biaya paling efisien. Strateginya adalah meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam upaya mengamankan aset perusahaan, meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyelesaian HGU perusahaan,
dan
meningkatkan
koordinasi
pelayanan
kerumahtanggaan,
keamanan dan sarana komunikasi. Program kerja bidang umum adalah mengiventarisasi areal HGU perusahaan yang akan habis masa berlakunya, melakukan perpanjangan HGU sesuai jadwal yang ditetapkan dan melaksanakan pengamanan aset.
11.
Bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi Kebijakan bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah penyaluran
dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan masyarakat harus didasarkan pada kebutuhan sesuai sasaran agar memberikan manfaat paling besar bagi perusahaan, dan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan BUMN lain dalam rangka pengalihan mitra binaan di luar provinsi Sumatera Utara. Strategi bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dan kebun unit untuk penyaluran, penagihan dana pengembangan usaha kecil dan koperasi, pemberdayaan masyarakat, mengalihkan mitra binaan yang berada di luar provinsi Sumatera Utara ke BUMN lain, meningkatkan pelaksanaan evaluasi dan monitoring kepada mitra kerja,
56 menggambarkan tindakan hukum kepada mitra binaan yang tidak mempunyai itikad baik dalam membayar kembali pinjamannnya. Program kerja bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah menyalurkan dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan masyarakat, melaksanakan evaluasi dan monitoring secara efektif dan efisien, melakukan
penjadwalan
terhadap
mitra
binaan
yang
akan
dialihkan
pembinaannya ke BUMN lain dan meminta persetujuan kemitraan BUMN untuk penagihan mitra binaan di luar provinsi Sumatera Utara.
12.
Bidang kesehatan Kebijakan bidang kesehatan adalah pengiriman pasien ke rumah sakit
rujukan diupayakan seminimal mungkin dan pemakaian obat diupayakan seoptimal mungkin obat generik. Strateginya adalah meningkatkan pelayanan kesehatan
karyawan,
pemeliharaan
mengadakan
kesehatan
dan
penyuluhan
meningkatkan
yang
berkaitan
kemampuan
dengan
rumah
sakit
perusahaan. Program kerja bidang kesehatan adalah melaksanaan pemeriksaan umum (general check up) bagi karyawan, melaksanakan program imunisasi bagi karyawan dan melaksanakan penyuluhan program keluarga berencana dan gizi sehat.
13.
Bidang pabrik mesin tenera Kebijakan bidang pabrik mesin tenera adalah pemeliharaan mesin dan
peralatan-peralatan pabrik diupayakan seoptimal mungkin oleh petugas di bagian pabrik mesin tenera sendiri. Strategi bidang pabrik mesin tenera adalah meningkatkan keahlian dan keterampilan karyawan, meningkatkan kualitas hasil pekerjaan dengan biaya yang bersaing, dan meningkatkan mutu pelayanan terhadap kebun/unit kebun. Program kerja bidang pabrik mesin tenera adalah melaksanakan pemeliharaan mesin-mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal yang ditetapkan dan membuat peralatan mesin sesuai pesanan. Berdasarkan kerangka kebijakan, strategi dan program kerja PTPN IV, yang ada hubungannya dengan pengelolaan limbah hanya terdapat pada bidang tanaman serta pada bidang perencanaan, pengkajian dan pengembangan. Pada bidang tanaman kebijakan yang dirumuskan perusahaan adalah upaya peningkatan kualitas struktur tanah dengan pemberian limbah cair/padat (limbah cair kelapa sawit, tandan kosong dan kompos). Namun kebijakan tersebut tidak
57 diterjemahkan dalam bentuk strategi dan program kerja pada bidang ini. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak dapat secara nyata dijalankan. Bidang
perencanaan,
pengkajian
dan
pengembangan,
strategi
dirumuskan secara jelas oleh pihak manajemen perusahan tapi tidak didasari oleh kebijakan dan juga tidak diikuti dalam bentuk uraian program kerja. Secara rinci, ketidaklengkapan antara kebijakan, strategi dan program kerja yang ada hubungannya dengan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9.
Kebijakan, strategi dan program kerja hubungannya dengan pengelolaan limbah
Bidang
Kebijakan
PTPN
IV
yang
ada
Strategi
Program Kerja
Tanaman
Upaya peningkatan kualitas struktur tanah dengan pemberian limbah cair/padat (LCKS tandan kosong, dan kompos)
Tidak ada
Tidak ada
Perencanaan, Pengkajian, dan Pengembangan
Tidak ada
- Melaksanakan land application atas limbah PKS - Pengkajian dan pengembangan tentang pemanfaatan limbah menjadi pupuk dan pemanfaatan pupuk organik
Tidak ada
Sumber: Rencana kerja dan anggaran perusahaan (2005)
4.2 Review Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Pada awalnya pengelolaan lingkungan didasarkan pada pendekatan kapasitas daya dukung akibat terbatasnya daya dukung alamiah untuk menetralisir pencemaran yang semakin meningkat. Upaya dalam mengatasi masalah pencemaran berubah pendekatan pengolahan limbah yang terbentuk (end of pipe treatment). Namun kenyataannya tidak memecahkan permasalahan yang ada. Dalam prakteknya pendekatan pengolahan limbah mengalami berbagai kendala yaitu: rendahnya pentaatan dan penegakan hukum, lemahnya perangkat peraturan yang tersedia, rendahnya tingkat kesadaran, sifatnya reaktif atau bereaksi setelah limbah itu terbentuk, memerlukan biaya investasi, operasi serta pemeliharaan relatif tinggi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan
58 mengapa kalangan industri tidak atau belum dapat melaksanakan pengelolaan lingkungan secara optimal. Di Indonesia, pengelolaan lingkungan diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan
memperhatikan
keterpaduan
perencanaan
dan
pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam non hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim (pasal 9). Sistem pengelolaan lingkungan ISO 14001 merupakan bagian dari keseluruhan
sistem
manajemen
termasuk
struktur
organisasi,
kegiatan
perencanaan, tanggung jawab, praktek-praktek, prosedur, proses dan sumber daya untuk mengembangkan dan melaksanakan, mencapai, mengkaji, dan memelihara kebijakan lingkungan. Selain manajemen lingkungan, perangkat lain yang disarankan pakar manajemen lingkungan untuk sebaiknya dipergunakan perusahaan dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungannya adalah produksi bersih. Pengembangan program produksi bersih di Indonesia dimulai sejak tahun 1993 dengan melakukan kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran dan pelatihan, bantuan teknis, pengembangan sistem informasi serta pengembangan insentif. Perkembangan program produksi bersih dibagi dalam 4 periode waktu yaitu: tahun 1993: rencana strategi penerapan produksi bersih; tahun 1994: peningkatan kesadaran dan kemampuan; tahun 1995: komitmen nasional produksi bersih; dan tahun 1996: cleaner production action plant. Produksi bersih dalam kebijakan nasional produksi bersih, dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan pada seluruh tahapan produksi. Di samping itu, produksi bersih juga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang, dan
59 energi. Salah satu komponen dalam promosi produksi bersih adalah mendorong perubahan perilaku masyarakat untuk menghasilkan dan menggunakan produkproduk dan jasa-jasa yang ramah lingkungan. Penerapan produksi bersih pada industri dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi bersih. Penerapan teknologi bersih merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja usaha yang nantinya akan terkait dengan penilaian program PROPER (environmental performance rating) yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Keterbatasan teknologi pemisahan konvensional pada industri kelapa sawit, merupakan salah satu kendala rendahnya recovery dan banyaknya bahan yang terbuang menjadi limbah. Dalam kaitan dengan rencana kegiatan usaha diatur tentang kwajiban melakukan
analisis
mengenai
dampak
lingkungan
(AMDAL).
Peraturan
pemerintah yang terkait dengan AMDAL adalah PP No.27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Kepmen ini menyatakan bahwa: Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama, penyakit dan gulma, serta perubahan kesehatan tanah akibat penggunaan pestisida/herbisida. Disamping itu sering pula muncul potensi konflik sosial dan penyebaran penyakit endemik. Skala/besaran yang tercantum di bawah ini telah memperhitungkan potensi dampak penting kegiatan terhadap ekosistem, hidrologi, dan bentang alam. Skala /besaran tersebut merupakan luasan rata-rata dari berbagai ujicoba untuk masing-masing kegiatan dengan mengambil lokasi di daerah dataran rendah, sedang, dan tinggi. Dalam kaitan dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran diatur dalam PP No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pengendalian pencemaran udara diatur dalam PP No.41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Baku mutu lingkungan ditetapkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.02 tahun 1998 tentang pedoman penetapan baku mutu lingkungan. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 tentang indeks standar pencemar udara. Peraturan ini menjelaskan bahwa Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang
60 menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. Dalam peraturan ini diatur tentang: rentang Indeks Standar Pencemar Udara. Indeks ini ditetapkan dengan cara mengubah kadar pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi (pasal 2). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 tentang baku tingkat kebauan. Isi peraturan ini adalah bahwa baku tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda pengukuran/pengujian dan peralatan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran. Pada peraturan ini dijelaskan bahwa: kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan tertentu; zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun campuran berbagai macam senyawa. Kebijakan tentang pembuangan air limbah ke air atau sumber air diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003 tentang pedoman mengenai syarat dan tata cara perizinan serta pedoman kajian pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 142 tahun 2003 tentang perubahan atas keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003. Peraturan ini menyatakan bahwa setiap usaha dan atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air (pasal 1) dan Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang melanggar baku mutu air dan menimbulkan pencemaran air (pasal 2). Pada pasal 3 dinyatakan bahwa syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Untuk melakukan pengelolaan limbah cair, diwajibkan melakukan kajian terlebih dahulu tentang kelayakan pemanfaatan air limbah sebagai pupuk pada tanah diperkebunan. Hasil kajian ini akan menjadi dasar dalam pemberian ijin
61 pemanfaatan tersebut. Selain kedua peraturan tersebut di atas yang mengatur secara spesifik pemanfaatan air limbah industri kelapa sawit, ada satu peraturan lagi yang dikeluarkan oleh KLH yang mengatur tentang baku mutu air limbah yang boleh dibuang ke lingkungan, yaitu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan air limbah untuk digunakan sebagai pupuk pada lahan di perkebunan kelapa sawit yaitu: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit. Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melakukan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit. Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah ini dibuat agar terdapat kesesuaian pemahaman mengenai aspek-aspek yang harus ditinjau dalam menentukan kelayakan lingkungan dari suatu kegiatan pemanfaatan air limbah pada tanah. Pengkajian air limbah pada tanah perlu dilakukan karena adanya potensi akumulasi bahan pencemar dalam tanah serta kemampuan tanah dalam menetralisasi air limbah terbatas dan berbeda-beda tergantung pada karakteristik tanah seperti permeabilitas tanah, komposisi dan sifat kimia tanah. Dalam melakukan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah, pemrakarsa wajib
terlebih
dahulu
memberitahukan
rencana
kegiatan
Pengkajian
Pemanfaatan Air Limbah kepada Bupati/Walikota dengan menyampaikan surat pemberitahuan beserta usulan rencana pengkajian. Selanjutnya Bupati/Walikota menyampaikan usulan pengkajian kepada Instansi yang bertanggungjawab. Pemrakarsa wajib menyampaikan laporan pengkajian pemanfaatan air limbah yang sedang dilakukan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang bertanggung jawab. Evaluasi Laporan Hasil Pemantauan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit di Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan Instansi yang bertanggungjawab yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota. Evaluasi dilakukan dengan melakukan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang meliputi: kondisi tanah, kondisi air tanah, kebauan, kondisi tanaman, serta kondisi air limbah yang sesuai dengan baku mutu sebagaimana ditetapkan dalam izin. Apabila dari hasil evaluasi tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau
62 kerusakan lingkungan, maka pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dapat dilanjutkan. Sedangkan bila hasil evaluasi menunjukkan adanya indikasi pencemaran maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan yang berarti persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dicabut dan pemrakarsa harus melakukan pemulihan kualitas lingkungannya. Tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 tentang pedoman syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit. Dijelaskan bahwa Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit di kabupaten/kota dengan berpedoman pada Keputusan ini. Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit. Persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan izin pemanfaatan air limbah industri sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit, yaitu: BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter; nilai pH berkisar 6-9; dilakukan pada lahan selain lahan gambut; dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam; dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam; tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; dan pembuatan sumur pantau. Surat Keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib mencantumkan ketentuan sekurangkurangnya meliputi: hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat; metode dan frekuensi pemantauan; pelaporan hasil pemantauan, dilakukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) bulan sekali dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup; larangan mengenai : (1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai; (2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan; (3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalam Keputusan in; dan (4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku.
63 Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk/bahan pembenah tanah di pertanaman kelapa sawit sangat dimungkinkan atas dasar adanya kandungan hara dalam limbah tersebut. Pemanfaatan limbah ini disamping sebagai sumber pupuk/bahan organik, juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah dimana biaya tersebut diperkirakan dapat diturunkan sebesar 50 - 60 % (Pamin dkk., 1996). Penurunan biaya ini disebabkan limbah cair yang digunakan adalah limbah yang masih memiliki nilai BOD antara 3.500-5000 mg/l yang berasal dari kolam anaerobik primer. Hal tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah diatur
dalam
Peraturan
Menteri
No.KB.310/452/MENTAN/XII/95
tentang
standarisasi pengolahan limbah PKS dan karet terutama untuk aplikasi lahan sebagai sumber air dan pupuk. Aplikasi limbah cair sebagai pupuk tidak boleh menyebabkan penurunan mutu air tanah, kerusakan tanah dan penurunan mutu air tanah pada sumber-sumber air yang berasal dari air larian dari kegiatan pemanfaatan pupuk tersebut (Sutarta et al., 2000). Direktorat Pengendalian Pencemaran Air dan Tanah BAPEDAL (1999) menyatakan bahwa pemanfaatan limbah cair kelapa sawit sebagai sumber air dan hara bagi tanaman kelapa sawit, sementara dipandang sebagai alternatif penanganan limbah cair sekaligus sebagai salah satu upaya menuju produksi bersih. Lebih lanjut disebutkan mengenai prinsip-prinsip pemanfaatan limbah cair ke tanah, antara lain: (a) limbah tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan produktifitas; (b) limbah tidak mengandung B3; (c) tidak menyebabkan pencemaran lingkungan, baik air, tanah dan wilayah sekitarnya; (d) limbah yang dimanfaatkan memenuhi baku mutu yang ditentukan; (e) Penelitian dilakukan untuk butir-butir sebelumnya oleh pihak netral; dan (f) ijin pemanfaatan limbah diberikan setelah adanya pengkajian terhadap hasil penelitian tersebut. Berbagai
kebijakan
tersebut
telah
mendorong
perusahaan
untuk
melakukan pengelolaan lingkungan, baik secara mandatory maupun voluntary. Namun demikian, masih terdapat beberapa peraturan yang dianggap sebagai beban bagi perusahaan baik beban administratif maupun biaya. Penerapan sistem produksi bersih masih tergantung pada komitmen perusahaan untuk mencapai daya saing produk di pasar internasional. Rangkuman peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pengelolaan limbah kelapa sawit serta kinerjanya disajikan pada Tabel 10.
64 Tabel 10.
Peraturan
Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pengelolaan limbah kelapa sawit dan pelaksanaannya Substansi Isi
Pelaksanaan
Kinerja
PP 27/1999
Analisis mengenai dampak lingkungan
Telah dilaksanakan untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit sesuai dengan peraturan
Dokumen masih sifatnya administratif, namun telah dijadikan dasar untuk pengelolaan lingkungan pada PTPN IV
Kepmen LH 17/2001
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal
Perkebunan kelapa sawit termasuk jenis kegiatan/usaha yang wajib Amdal.
Telah dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. PKS merupakan jenis usaha yang wajib Amdal
PP 82/2001
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
Telah diterapkan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit dengan berbagai teknik seperti land application dan kolam
Sifatnya administratif dan dianggap beban biaya. Perusahaan yang telah menerapkan produksi bersih masih diwajibkan yang berimplikasi pada beban biaya administrasi (double burdon)
PP 41/1999
Pengendalian pencemaran udara
Tidak dilakukan pengukuran oleh pengusaha kelapa sawit dan tidak ada sangsi
Tidak signifikan untuk usaha kelapa sawit
KepmenLH 51/1995
Baku mutu limbah cair
Pengukuran kualitas limbah cair disesuaikan dengan pedoman baku mutu ini
Parameter yang digunakan tidak mengikuti perkembangan teknologi
KepmenLH 50/1996
Baku tingkat kebauan
Dilakukan pengukuran baku mutu
Tidak signifikan untuk usaha kelapa sawit
KepmenLH 111/2003 dan 142/2003
Pedoman mengenai syarat dan tata cara perizinan serta pedoman kajian pembuangan air limbah ke air atau sumber air
Proses pengurusan izin memerlukan persyaratan administratif yang relatif lama. Periode pelaporan relatif singkat dan memerlukan biaya administrasi
Terdapat beberapa parameter yang sulit untuk dicapai baku mutunya karena sulitnya teknologi dan biaya yang relatif mahal
KepmenLH 28/2003
Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
Dapat dilaksanakan oleh perusahaan
Tergantung pada komitmen perusahaan. Pada umumnya disesuaikan dengan permintaan pasar global
KepmenLH 29/2003
Pedoman syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
Dilaksanakan oleh Sifatnya administratif dan perusahaan dengan berbagai dianggap beban biaya. kendala administrasi yang membutuhkan proses yang lama
Berdasarkan hasil review kebijakan tersebut dapat simpulkan bahwa faktor-faktor yang penting diperhatikan dalam pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah: (1) komitmen perusahaan dalam menerapkan
65 sistem manajemen lingkungan khususnya terkait pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, (2) komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan limbah yang ditunjukan dengan penegakan hukum secara adil dan konsisten, dan (3) ketersediaan peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat pusat (undang-undang) sampai pada tingkat SK. Bupati/ Kepala Dinas Teknis Bidang Lingkungan.
4.3 Model Penilaian Kinerja dan Pengelolaan Limbah PKS Model penilaian kinerja dan pengelolaan limbah PKS yang dalam hal ini disebut dengan istilah SPT-PKS merupakan suatu sistem penunjang keputusan (SPK) secara cepat dalam penilaian kinerja dan pengelolaan limbah PKS. Model penilaian kinerja dan pengelolaan limbah PKS ini dirancang merupakan contoh aplikasi yang menggabungkan sistem pakar dengan sistem penunjang keputusan. Secara garis besar, paket program terdiri atas 3 komponen sistem, yaitu Sistem Manajemen Basis Data, Sistem manajemen Basis Pengetahuan, dan Sistem Manajemen Basis Model. Sistem yang satu dapat berinteraksi secara timbal balik dengan sistem yang lainnya melalui pusat pengolahan sistem yang mengelola dan mengatur seluruh bagian atau komponen sistem yang terintegrasi dalam paket program. Pusat pengolahan sistem ini menerima sinyal dari Sistem Manajemen Dialog yang bersifat interaktif dengan pengguna. Konfigurasi model SPT-PKS dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Manajemen dialog SPT Pabrik Kelapa Sawit
66 Model penilaian kinerja dan pengelolaan limbah dimaksudkan untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PKS, mengidentifikasi sumber limbah PKS dan penerapan teknologi pengelolaan limbah PKS. Tampilan antar muka (interface) program menunjukkan manajemen dialog SPTPKS, menunjukkan urutan input data, yang berfungsi sebagai petunjuk bagi pengguna dalam melakukan input data, guna memperoleh kinerja keseluruhan industri kelapa sawit. Pada tampilan program juga dilihat diagram proses dan output dalam bentuk PKO dan CPO, serta tampilan untuk penilaian kinerja ekonomi, lingkungan, sosial, dan kinerja keseluruhan. Hal ini selain untuk membantu pengguna memahami proses yang ada juga membimbing pengguna untuk mengisi kriteria-kriteria parameter pada SPT-PKS. Menu interface SPT-PKS terdiri atas tiga tampilan untuk isian data yaitu penentuan PKS dan kapasitasnya, pengisian indikator proses dan limbahnya, serta isian kinerja lingkungan, ekonomi, dan sosial. Output dari inputan data ini adalah penilaian keseluruhan (overall assesment) dari kinerja pabrik kelapa sawit. Secara visual disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Menu interface penilaian kinerja PKS
67 Pada penelitian ini dilakukan penilaian kinerja PKS Dolok Sinumbah. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa dari 15 PKS yang ada di PTPN IV, hanya PKS Dolok Sinumbah yang telah melakukan kegiatan pengomposan. Selain itu, kapasitas PKS Dolok Sinumbah sebesar 30 ton/jam dapat mewakili kapasitas pabrik yang berkisar antara 5 – 60 ton/jam. Dari kapasitas 30 ton/jam dihasilkan kandungan minyak 7,50 ton/jam. 1. Penilaian Bahan Baku Penilaian bahan baku berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap kualitas bahan baku berdasarkan fraksi tandan buah sawit, panjang tangkai, tandan kosong, buah busuk, dan indeks pengutipan brondolan. Output dari penilaian ini adalah kriteria dalam proses bahan baku yang perlu diperbaiki. Kinerja PKS Dolok Sinumbah tergolong baik untuk kualitas bahan baku. Dari 9 kriteria yang digunakan, hanya fraksi 4 yang memiliki nilai input di atas kriteria ideal, namun masih dalam kategori baik. Hasil penilaian kinerja penanganan bahan baku disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Kinerja penanganan bahan baku
2. Penilaian Kinerja Proses Penilaian proses berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap prosesproses pada pabrik kelapa sawit. Proses-proses ini antara lain: perebusan, pengadukan, penebahan, pengempaan, penyaringan, oil purifier, vaccum dryer, pengeringan biji, pemecahan biji, pemisahan inti dan cangkang, pengeringan inti sawit, dan pembersihan inti sawit. Pada penilaian juga akan diperhitungkan deviasi dari setiap kriteria dan rata-rata deviasi pada proses. Output dari penilaian ini adalah deviasi standar
68 yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar nilai varian suatu faktor kriteria pada suatu proses terhadap dari nilai standar parameter tersebut. Pada proses perebusan (sterilization) diperlukan steam 3,1 ton/jam. Proses perebusan menghasilkan air kondensat sebesar 3,1 ton/jam, uap sebesar 1,5 ton/jam, dan persentase TBS sebesar 28,5 ton/jam. Sedangkan hasil penilaian kinerja proses perebusan tergolong baik dengan rata-rata deviasi 1,92%. Penilaian kinerja proses perebusan disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Kinerja penanganan perebusan
Proses penebahan (stripping) menghasilkan tandan kosong sebesar 3,4 ton/jam dan bahan kering sebesar 0,93 ton/jam. Hasil penilaian kinerja proses penebahan tergolong baik dengan rata-rata deviasi 4,55%. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Kinerja penebahan
Proses pengadukan (digestion) menghasilkan kandungan minyak sebesar 7,43 ton/jam, persentase TBS 25,75 ton/jam. Pada proses ini diperlukan steam sebesar 0,65 ton/jam. Hasil penilaian kinerja proses pengadukan tergolong kurang baik. Kriteria yang menyebabkan kinerja proses ini kurang baik adalah lama pengadukan yang berlangsung hanya 15 menit. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 16.
69
Gambar 16. Kinerja pengadukan TBS
Pada proses pengempaan (pressing) dibutuhkan air sebesar 0,5 ton/jam. Proses pengempaan menghasilkan biji 7,5 ton/jam, persentase TBS 22,41 ton/jam dan kandungan minyak 7,31 ton/jam. Selain itu juga dihasilkan air sebanyak 0,75 ton/jam, bahan kering 3,09 ton/jam, dan padatan non-minyak 0,87 ton/jam. Hasil penilaian kinerja proses pengempaan tergolong kurang baik karena tekanan kerja mesin terlalu tinggi dari nilai ideal. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Kinerja pengempaan TBS
Proses penyaringan (circular vibrating screen) membutuhkan steam sebesar 0,15 ton/jam pada tangki minyak mentah (crude oil tank) yang diteruskan pada siklon pengendap pasir (sand cyclone) dan tangki pengendap kontinu (CST). CST menghasilkan TBS sebesar 22,56 ton/jam dengan kandungan minyak 27,31 ton/jam. Hasil penilaian kinerja proses penyaringan tergolong baik dengan deviasi sebesar 2,95%. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Kinerja penyaringan TBS
70 Kinerja proses oil purifier tergolong kurang baik. Hal ini karena nilai kadar air yang berbeda dengan nilai ideal. Hasil penilaian proses oil purifier disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19. Kinerja oil purifier TBS
Proses vacuum dryer menghasilkan air limbah sebesar 0,32 ton/jam dan drab lumpur 11,27 ton/jam. Output proses vacuum dryer adalah minyak sawit kasar (CPO). Kinerja proses vacuum dryer tergolong kurang baik dengan deviasi 17,39%. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Kinerja vacuum dryer TBS
Hasil penilaian kinerja proses pengeringan biji tergolong baik. Meskipun suhu pengeringan berbeda dari nilai ideal, namum deviasinya relatif rendah yakni 8,33%. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Kinerja pengeringan biji TBS
Hasil penilaian kinerja pemecahan biji (ripple mill) tergolong kurang baik. Terdapat dua kriteria yang tergolong buruk yakni tekanan ripple mill yang rendah (2 kg/cm2) dan persentase broken kernel (1,5%). Hasil penilaian disajikan pada Gambar 22.
71
Gambar 22. Kinerja pemecahan biji TBS
Pada proses pemisahan inti dan cangkang (hydrocyclone) diperlukan air 0,62 ton/jam. Proses ini menghasilkan cangkang 1,80 ton/jam dan air limbah 0,62 ton/jam. Hasil penilaian kinerja proses pemisahan inti dan cangkang tergolong baik untuk semua kriteria. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23. Kinerja pemisahan inti dan cangkang TBS
Hasil penilaian kinerja proses pengeringan inti sawit tergolong baik untuk semua kriteria. Hasil penilaian kinerja disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Kinerja pengeringan inti sawit
Proses pembersihan inti sawit menghasilkan minyak inti sawit (PKO). Hasil penilaian kinerja proses pembersihan inti sawit tergolong buruk dengan kadar kotoran 6%. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 25.
72
Gambar 25. Kinerja pembersihan inti sawit
3. Penilaian Produk Proses penilaian terhadap produk ditujukan untuk melakukan penilaian kualitas minyak sawit kasar (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Penilaian tersebut dilakukan untuk kriteria kadar kotoran, kadar air, kadar asam lemak bebas dan rendemen produk. PKS Dolok Sinumbah menghasilkan CPO sebesar 7,22 ton/jam dan PKO sebesar 3,64 ton/jam. Penilaian kualitas produk CPO dan PKO tergolong baik. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 26 dan 27.
Gambar 26. Kinerja kualitas produk minyak sawit kasar (CPO)
Gambar 27. Kinerja kualitas produk minyak inti sawit (PKO)
4. Penilaian Limbah PKS Penilaian limbah PKS dimaksudkan untuk menghitung kuantitas limbah yang dihasilkan dari setiap proses produksi. Limbah yang dinilai mencakup limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) berupa air limbah dan drab lumpur serta limbah padat dalam bentuk tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan serat. Jumlah air limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit adalah 226,01 ton/hari dan drab lumpur yang dihasilkan 374,40 ton/hari.
73 Sedangkan jumlah tandan kosong yang dihasilkan mencapai 81,58 ton/hari dan 93,60 ton/hari. Penilaian limbah yang dihasilkan PKS Dolok Sinumbah disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28. Jumlah limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan PKS Dolok Sinumbah Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap kandungan kimia dan hara limbah cair. Hasil penilaian menunjukkan kinerja yang tergolong baik untuk kedua parameter. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 29 dan Gambar 30.
Gambar 29. Kinerja parameter kimia limbah cair PKS
Gambar 30. Kinerja parameter kandungan hara limbah cair PKS
74 5. Penilaian Teknologi Pengolahan Limbah PKS Penilaian teknologi pengolahan limbah ditujukan untuk memberikan gambaran kepada pengguna dalam untuk memutuskan teknologi yang akan dipilih untuk pengolahan limbah. Keluaran dari tampilan ini adalah teknologi pengolahan limbah terpilih yang dapat dijadikan dasar untuk penilaian berikutnya. Perbandingan teknologi pengolahan limbah disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Perbandingan teknologi limbah PKS Uraian
Kolam limbah
Aplikasi lahan
Mulsa
Kompos
Limbah yang ditangani
Limbah cair saja
Limbah cair saja
Limbah padat saja
Limbah padat dan cair
Kebutuhan lahan
7 ha
4 ha (kolam) dan 130 ha (kebun)
1200 ha kebun
3 ha
Investasi
Rp2 milyar
Rp4 milyar
Tidak ada
Rp3 milyar
Tenaga kerja
5 orang
10 orang
5 orang/ha
10 orang
Nilai tambah sebagai pupuk
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Bau
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Limbah yang dibuang
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Baku mutu
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Kemungkinan pencemaran
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Dampak negatif sosial
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Nilai tambah bagi PKS
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Pemeliharaan
Sulit
Sedang
Mudah
Mudah
Tidak
Ya
Ya
Memenuhi program Tidak produksi bersih
Sumber: PPKS (2004) Pada penelitian ini khusus untuk penanganan limbah dilakukan perbandingan teknologi pengolahan limbah pada dua PKS yakni PKS Dolok Sinumbah yang menerapkan teknologi pengomposan dengan PKS Dolok Ilir yang menerapkan teknologi aplikasi lahan dan mulsa. Kedua PKS ini memiliki kapasitas pabrik 30 ton/jam.
75 PKS Dolok Sinumbah telah melakukan kegiatan pengomposan. Hal ini berarti menggunakan alternatif penanganan limbah III. Dari kapasitas pabrik 30 ton/jam dihasilkan limbah cari berupa air limbah dan drab lumpur sebanyak 21 m3/jam dan limbah padat berupa tandan kosong dan serat sebanyak 7,50 ton/jam. Kedua jenis limbah ini digunakan sebagai bahan baku pengomposan.
Gambar 31. Alternatif penanganan limbah III Proses pengomposan pada PKS Dolok Sinumbah tergolong baik. Kriteria bahan baku, ukuran tumpukan, pembalikan, dan volume tergolong baik (Gambar 32). Hasil produksi kompos PKS Dolok Sinumbah tergolong baik. Produksi kompos yang dihasilkan di atas nilai ideal, meningkatkan produksi kebun, dan kandungan kimia yang ideal (Gambar 33).
Gambar 32. Kinerja pengomposan limbah cari dan padat PKS Dolok Sinumbah
Gambar 33. Kinerja produk kompos PKS Dolok Sinumbah
76 Secara keseluruhan, teknologi pengolahan limbah yakni pengomposan yang diterapkan oleh PKS Dolok Sinumbah tergolong baik. Hal ini berdasarkan kriteria ekonomi, sosial, dan lingkungan yang semuanya tergolong baik. Secara keseluruhan hasil penilaian kinerja teknologi pengolahan limbah disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34. Kinerja Keseluruhan Pengolahan Limbah PKS Dolok Sinumbah
PKS Dolok Ilir melakukan kegiatan aplikasi lahan dan mulsa untuk pemanfaatan limbah PKS. Hal ini berarti menggunakan alternatif penanganan limbah II. Dari kapasitas pabrik 30 ton/jam dihasilkan limbah cari berupa air limbah dan drab lumpur sebanyak 21 m3/jam dan limbah padat berupa tandan kosong dan serat sebanyak 7,50 ton/jam. Kedua jenis limbah ini digunakan sebagai bahan baku pupuk cair dan mulsa.
77
Gambar 35. Alternatif penanganan limbah II Proses aplikasi lahan dan mulsa pada PKS Dolok Ilir tergolong baik. Kriteria kandungan K, Mg, N, Ca, P, kalori dan peningkatan produksi kebun tergolong baik (Gambar 36). Kriteria BOD, kandungan nitrogen, fosfat, kalium, magnesium dan peningkatan produksi kebun tergolong baik. Kriteria yang dihasilkan di atas nilai ideal, meningkatkan produksi kebun, dan kandungan kimia yang ideal (Gambar 37).
Gambar 36. Kinerja mulsa pada PKS Dolok Ilir
Gambar 37. Kinerja aplikasi lahan pada PKS Dolok Ilir Secara keseluruhan, teknologi pengolahan limbah yakni aplikasi lahan dan mulsa yang diterapkan PKS Dolok Ilir tergolong kurang baik. Berdasarkan kriteria sosial tergolong buruk, kriteria lingkungan tergolong kurang baik,
78 meskipun secara ekonomi tergolong baik. Secara keseluruhan hasil penilaian kinerja teknologi pengolahan limbah pada PKS Dolok Ilir tergolong kurang baik, seperti yang disajikan pada Gambar 38.
Gambar 38. Kinerja Keseluruhan Pengolahan Limbah PKS Dolok Ilir
Berdasarkan hasil tersebut maka diketahui bahwa pemanfaatan limbah dengan teknologi pengompoisan lebih baik dibanding dengan teknologi aplikasi lahan dan mulsa. Hal ini terlihat pada aspek ekonomi dan lingkungan pada PKS.
6. Penilaian Kinerja Ekonomi PKS Penilaian ekonomi berfungsi untuk memberikan penilaian kinerja ekonomi perusahaan berdasarkan standar harga patokan impor dan harga patokan ekspor produk kelapa sawit. Output dari tahapan ini berupa penilaian kualitatif terhadap kinerja ekonomi perusahaan, yang berkenaan dengan harga yang dapat di raih perusahaan. Kinerja ekonomi PKS tergolong baik. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 39.
79
Gambar 39. Kinerja ekonomi PKS 7. Penilaian Kinerja Sosial PKS Penilaian sosial berfungsi untuk memberikan penilaian kinerja sosial perusahaan berdasarkan kepada persentase Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan. Keuntungan bersih PKS Dolok Sinumbah sebesar Rp14,76 milyar. Dana untuk kemitraan (pembinaan usaha) sebesar Rp135 juta dan dana untuk bina lingkungan (community development) sebesar Rp227 juta (Laporan RKAP, 2005). Total dana sosial PKS Dolok Sinumbah sebesar Rp363 juta. Dengan demikian, CSR mencapai 2,46% dari total keuntungan bersih. Kinerja sosial PKS tergolong baik. Nilai CSR mencapai 1% dari total keuntungan perusahaan. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 40.
Gambar 40. Kinerja sosial PKS
8. Penilaian Kinerja Lingkungan PKS Penilaian kinerja lingkungan seperti terlihat pada Gambar 4.14 berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap kinerja lingkungan PKS berdasarkan kadar air kondensat, nilai BOD, COD, TSS, kadar minyak, N, pH, dan debit maksimum. Output dari tahapan ini berupa penilaian kualitatif terhadap kinerja penanganan limbah yang berdampak terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. Kinerja lingkungan PKS tergolong baik. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 41.
80
Gambar 41. Kinerja lingkungan PKS 9. Penilaian Kinerja Keseluruhan Penilaian kinerja keseluruhan berfungsi untuk menampilkan seluruh hasil penilaian terhadap semua aspek input, proses, output serta aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Output dari tahapan ini adalah penilaian akhir terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan proses pada PKS. Kinerja perusahaan secara keseluruhan tergolong baik. Hasil penilaian disajikan pada Gambar 42.
Gambar 42. Kinerja keseluruhan PKS
81 Kinerja keseluruhan PKS Dolok Sinumbah yang dinilai pada kajian ini sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. PKS ini telah melakukan kegiatan pengomposan sesuai dengan mekanisme produksi bersih. Limbah (by product) PKS baik padat maupun cair telah dimanfaatkan seluruhnya untuk aplikasi lahan. Hanya limbah gas belum dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara. Hal ini karena gas yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit dan pengolahan limbahnya belum mencapai batas ambien. Keberlanjutan kegiatan PKS berdasarkan hasil penilaian tersebut dapat dinyatakan berkelanjutan. Secara ekonomi, seluruh kegiatan PKS memberikan keuntungan yang baik. Secara sosial, telah menyerap tenaga kerja lokal dan memberikan
sumbangan
untuk
kesejahteraan
masyarakat.
Pendapatan
masyarakat berkisar Rp2juta – Rp6juta per ha per bulan. Selain itu, PKS telah mengeluarkan sosial dalam bentuk dana kemitraan dan dana bina lingkungan hingga 2,46%. Secara ekologis, proses produksi yang dilakukan tidak memberikan
dampak
negatif
terhadap
lingkungan
khususnya
terhadap
lingkungan air dan tanah. Berdasarkan hasil penilaian kinerja perusahaan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan limbah menuju nir limbah adalah: (1) ketersediaan teknologi limbah cair yang dimiliki oleh PTPN IV, (2) lembaga penelitian yang melakukan berbagai penelitian untuk menemukan teknologi baru dalam rangka inovasi pengelolaan limbah PKS yang lebih efektif dan efisien, (3) nilai ekonomi limbah PKS karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pupuk organik, pakan ternak, bahan bakar, dan lain-lain, (4) ketersediaan teknologi pengolahan limbah padat PKS sehingga limbah memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi/lebih bermanfaat, dan (5) kapasitas pabrik yang akan menentukan kuantitas/jumlah limbah padat mapun cair yang akan dihasilkan.
4.4 Skenario Kebijakan Pengelolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Limbah perkebunan kelapa sawit dalam bentuk gas, limbah padat, dan limbah cair berpotensi menyebabkan polusi bila tidak dikelolah dengan baik. Untuk mengelolah limbah yang diproduksi oleh kebun kelapa sawit, diperlukan suatu sistem kontrol yang meliputi pengelolaan pembukaan lahan, pemeliharaan lahan dan panen tandan buah segar di lapangan, serta pengelolahan minyak sawit mentah dan minyak inti sawit termasuk unit pengolahan limbah. Di sisi lain,
82 limbah dalam bentuk serat, cangkang, tandan kosong sawit, batang, pelepah, dan limbah cair hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimum. Program produksi bersih di perkebunan kelapa sawit diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas penggunaan bahan baku, pemanfatan energi dan sumberdaya lain, guna mewujudkan kepercayaan konsumen domestik maupun internasional terhadap komoditi kelapa sawit. Secara operasional, produksi bersih di perkebunan kelapa sawit merupakan suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan bahan baku, energi, dan sumberdaya mengurangi volume dan toksisitas limbah yang dihasilkan, dan mendaur ulang limbah yang dihasilkan pada produksi (Erningpraja dan Poeloengan, 2004). Penentuan kebijakan pengelolaan limbah PKS di masa mendatang perlu memperhatikan kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan limbah PKS di PTPN IV Sumatera Utara di masa yang akan datang. Kebutuhan stakeholder diperoleh dari analisis kebutuhan semua pihak yang berkepentingan terhadap sistem yang dikaji melalui diskusi para pakar dan bantuan kuesioner. Berdasarkan hasil identifikasi faktor dari responden, terdapat 10 faktor yang perlu merupakan kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV. Secara detail disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan limbah PKS menuju nir limbah No.
Kebutuhan
Dekripsi
1.
Finansial
Ketersediaan dana pengelolaan limbah mencakup biaya administrasi, prasarana dan sarana serta operasional instalasi pengelolaan limbah
2.
Penegakan hukum
Penegakan hukum secara adil dan konsisten bagi semua pihak yang dinyatakan melanggar hukum karena merusak atau mencemari lingkungan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.
3.
Sumberdaya manusia
Sumberdaya manusia yang secara teknis menguasai bidang pengelolaan lingkungan, khususnya limbah PKS
4.
Komitmen PTPN IV
Komitmen PTPN IV mulai dari level manajemen sampai staf untuk menerapkan sistem manajemen lingkungan dalam lingkungan perusahaan.
5.
Kerjasama lintas sektor dan antar daerah
Kerjasama lintas sektor yang terkait dengan pengelolaan limbah PKS dan antar daerah yang secara administrasi berbatasan sehingga berada dalam satu kesatuan ekosistem.
6.
Lembaga penelitian
Lembaga penelitian yang melakukan berbagai penelitian untuk menemukan teknologi baru dalam rangka inovasi pengelolaan limbah PKS yang lebih efektif dan efisien.
83 Lanjutan Tabel 12 No.
Kebutuhan
Dekripsi
7.
Masyarakat di sekitar industri
Masyarakat yang terkena dampak karena tinggal/berada di sekitar kawasan industri PKS
8.
Pemahaman masyarakat tentang lingkungan
Pemahaman dan persepsi masyarakat tentang limbah PKS dan dampaknya bagi kehidupan manusia dan lingkungan.
9.
Media massa
Media massa baik media cetak, elektronik, televisi, dan lain-lain yang berfungsi sebagai kontrol sosial dan berbagai kebijakan pemerintah.
10.
Kapasitas pabrik
Kapasitas pabrik yang akan menentukan kuantitas/jumlah limbah padat mapun cair yang akan dihasilkan.
Strategi pengelolaan limbah PKS dilakukan dengan pendekatan skenario pengelolaan. Berbagai kemungkinan keadaan di masa depan tersebut diformulasikan dalam bentuk skenario strategi. Pendekatan yang digunakan untuk perumusan skenario pengelolaan limbah PKS di PTPN IV adalah analisis prospektif. Analisis prospektif mampu mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan, sehingga dapat dipersiapkan tindakan strategis masa depan dengan cara menentukan faktorfaktor kunci yang berperan penting dalam mencapai keberlanjutan pengelolaan limbah PKS. Faktor penting dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV Sumatera Utara di masa yang akan datang diperoleh dari hasil review kebijakan, hasil analisis sistem kinerja perusahaan, dan hasil analisis kebutuhan stakeholder. Sintesis dari semua hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 43.
Gambar 43. Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan limbah PKS menuju nir limbah
84 Berdasarkan Gambar 43, terdapat 18 faktor yang diperoleh dari hasil review kebijakan, penilaian kinerja perusahaan, dan analisis kebutuhan. Dari 18 faktor tersebut terdapat tiga faktor yang sama dari ketiga`hasil analisis tersebut sehingga secara keseluruhan diperioleh 15 faktor penting yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan limbah PKS menuju nir limbah yaitu: (1) teknologi pengolahan limbah cair, (2) komitmen pemerintah pusat dan daerah, (3) finansial, (4) peraturan perundang-undangan, (5) sumberdaya manusia, (6) penegakan hukum, (7) Komitmen PTPN IV, (8) kerjasama lintas sektor dan antar daerah, (9) lembaga penelitian, (10) masyarakat di sekitar industri, (11) pemahaman masyarakat tentang lingkungan, (12) media massa, (13) nilai ekonomis limbah, (14) teknologi pengolahan limbah padat, dan (15) Kapasitas pabrik. Ke-15 faktor tersebut selanjutnya dianalisis tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah. Hasil analisis prospektif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan limbah PKS di PTPN IV dapat dilihat pada Gambar 44.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.80
Kapasitas Pabrik
1.60
Komitmen Pemerintah PusatDaerah Kerjasama Lintas Sektor dan Antar Daerah Komitmen PTPN IV
1.40
Teknologi Limbah Cair Teknologi Limbah Padat 1.20
P e n g a ru h
Nilai Ekonomis Limbah 1.00
Finansial
Lembaga Penelitian Penegakan Hukum
Sumberdaya Manusia
0.80
Peraturan Perundang-Undangan
0.60
0.40
Pemahaman Masyarakat tentang Lingkungan
Media Massa
0.20
Masyarakat di Sekitar Industri
-
0.20
0.40
0.60
0.80
Ketergantungan 1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
Gambar 44. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah
2.00
dalam
Berdasarkan hasil analisis prospektif pada Gambar 48, terdapat empat faktor yang berpengaruh tinggi terhadap tujuan sistem namun ketergantungan
85 antar faktor relatif rendah, yaitu: (1) kapasitas pabrik kelapa sawit, (2) pengolahan limbah padat, (3) pengolahan limbah cair, dan (4) nilai ekonomis limbah. Kondisi masing-masing faktor tersebut dideskripsikan sebagai berikut. 1. Kapasitas pabrik kelapa sawit Kapasitas PKS yang tersedia saat ini bervariasi, mulai dari PKS yang berkapasitas 5 ton per jam sampai 60 ton perjam. Kapasitas pabrik yang dibangun di suatu kawasan perkebunan terkait dengan ketersediaan bahah baku. PKS yang berkapasitas 30 ton per jam membutuhkan lebih kurang 6000 ha kebun yang sudah berproduksi. Karena jika dalam waktu satu kali 24 jam, PKS beroperasi selama 20 jam maka diperlukan bahan baku sebanyak 600 ton. PKS yang berkapasitas 30 ton per jam akan dihasilkan sebanyak 138 ton per hari TKS dan 360 m3 LCPKS. Setiap tandan buah segar (TBS) akan menghasilkan TKS sebanyak 23% dan 0,6 m3 LCPKS dari TBS yang diolah. Pemanfaatan TKS untuk aplikasi lahan akan menghadapi kendala berupa biaya transportasi tinggi, dapat terserang sejenis jamur Orcytes, dan unsur haranya terbatas. Demikian juga pemanfaatan LCPKS, akan menghadapi masalah seperti luas lahan yang dapat ditangani maksimal seluas 150 ha, biaya pemeliharaan tinggi dan memerlukan ijin dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal). Untuk itu, di PTPN IV menerapkan sistem pengolahan limbah PKS untuk pupuk organik (kompos). Semakin besar kapasitas PKS akan semakin banyak pula limbah padat dan cair yang dihasilkan. 2. Pengolahan limbah padat Limbah padat yang dihasilkan dari PKS adalah tandan kosong sawit (TKS), pelepah daun, dan batang pohon sawit. Pemanfaatan limbah padat PKS dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti pupuk, pakan, bahan baku industri, dan lain-lain. Pada PKS yang berkapasitas 30 ton per jam akan dihasilkan sebanyak 138 ton TKS per hari. Pada saat ini teknologi pengelolaan limbah padat ini baru sebatas untuk bahan baku pembuatan kompos. Pembuatan kompos dari TKS memerlukan LCPKS. Dari 138 ton TKS dapat dihasilkan kompos sebanyak 70 ton per hari.
86 3. Pengolahan limbah cair Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) yang ada saat ini adalah menggunakan sistem kolam dengan aerator membutuhkan waktu lebih kurang selama 97 hari. Tahap pengolahan LCPKS dimulai pada kolam pengasaman selama 5 hari, dilanjutkan pada kolam anaerobik primer dan sekunder masing-masing selama 35 hari, pada tahap keempat selama 15 hari pada kolam aerobik dan terakhir proses sedimentasi selama 5 hari. Karena LCPKS mengandung unsur Nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K) yang cukup tinggi maka unsur-unsur tersebut dapat dimanfaatkan dalam aplikasi lahan (land application) untuk memperbaiki struktur tanah. Hasil penelitian PPKS Sumatera Utara bahwa setiap 100 ton LCPKS mengandung unsur N sebesar 50 – 67,5kg; unsur F sebesar 9 – 11 kg; dan unsur K sebesar 100 -185 kg. Pada prinsipnya pemanfaatan LCPKS dalam aplikasi lahan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, memanfaatkan nutrisi, mengurangi pencemaran dan menurunkan BOD < 5000 mg/l. Teknologi pengelolaan LCPKS disamping menggunakan sistem kolam dengan aerator dapat juga menggunakan teknologi pengomposan dalam rangka pemanfaatan unsur hara yang terkandung di dalamnya. 4. Nilai ekonomis limbah Secara konvensional pengelolaan limbah membutuhkan biaya yang menyebabkan pengeluaran perusahaan menjadi lebih besar. Biaya tersebut diperlukan untuk upah tenaga kerja, penyediaan lahan, transportasi dan teknologi pengolahan limbah. Dengan demikian limbah merupakan external cost bagi perusahaan yang masih menganggap bahwa limbah sebagai sisa produksi yang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Jika anggapan ini diubah maka limbah yang tadinya merupakan external cost dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan. Pada PKS limbah padat dan cair yang dihasilkan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan jika diolah menjadi pupuk organik (kompos). Kompos yang dihasilkan dapat menurunkan jumlah penggunaan pupuk anorganik sehingga dapat menekan biaya produksi dan penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat memperbaiki struktur tanah di areal perkebunan. Jika limbah tidak manfaatkan (diolah kemudian dibuang) maka pihak perusahaan
87 hanya mengeluarkan biaya tanpa memperoleh manfaat sama sekali dari limbah yang dihasilkan. Deskripsi kemungkinan perubahan kondisi (state) masing-masing faktor dalam pengelolaan limbah PKS di masa yang akan datang memiliki jumlah kemungkinan yang berbeda. Seperti faktor kapasitas pabrik kelapa sawit hanya memiliki tiga kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi, yaitu : 1) menurun karena tidak ada perluasan areal kebun dan terjadi penurunan produktivitas kebun; 2) tetap seperti kapasitas yang ada pada saat ini karena luas areal perkebunan dan TBS yang dihasilkan tidak bertambah dan 3) bertambah karena ada perluasan areal perkebunan dan atau peningkatan produksi TBS. Faktor
teknologi
pengelolaan
limbah
padat
hanya
memiliki
tiga
kemungkinan perubahan kondisi yang akan terjadi di masa yang akan datang yaitu: (1) dibuang sebagai limbah yang tidak bernilai dan menimbulkan biaya, (2) diolah menjadi pupuk organik, dan (3) diolah menjadi produk lain yang lebih berniliai ekonomi. Deskripsi kemungkinan perubahan kondisi masing-masing faktor strategis dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Prospektif faktor kunci dalam pengelolaan Limbah PKS di PTPN IV No.
Faktor Strategis
1.
Kapasitas pabrik
2.
3.
4.
Pengelolaan limbah padat Pengelolaan limbah cair Nilai ekonomis limbah
Keadaan (state) masa depan faktor 1A
1B
1C
1D
Menurun
Tetap
Meningkat
-
2A
2B
2C
2D
Tidak ada teknologi pengolahan
Mulsa
Kompos
Penerapan produksi bersih
3A
3B
3C
3D
Sistem kolam aerasi
Aplikasi lahan
Kompos
Penerapan produksi bersih
4A
4B
4C
4D
Tidak bernilai ekonomi
Memiliki nilai ekonomi
Memiliki nilai ekonomi yang tinggi
-
Sumber: Hasil analisis (2007) Berdasarkan hasil identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor dan memeriksa perubahan
mana
yang
tidak
dapat
terjadi
bersamaan
(incompatible)
sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Sedangkan perubahan faktor yang dapat terjadi bersamaan merupakan skenario-skenario strategi yang mungkin terjadi pada pengelolaan limbah PKS di PTPN IV (Tabel 14).
88 Tabel 14. Incompatible antar keadaan (state) dari keempat faktor penting dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV jangka waktu 5 tahun No.
Faktor Strategis
1.
Kapasitas pabrik
2.
3.
4.
Pengelolaan limbah padat
Pengelolaan limbah cair
Nilai ekonomis limbah
Keadaan (state) masa depan faktor 1A
1B
1C
1D
Menurun
Tetap
Meningkat
-
2A
2B
2C
2D
Tidak ada teknologi pengolahan
Mulsa
Kompos
Penerapan produksi bersih
3A
3B
3C
3D
Sistem kolam aerasi
Aplikasi lahan
Kompos
Penerapan produksi bersih
4A
4B
4C
4D
Tidak bernilai ekonomi
Memiliki nilai ekonomi
Memiliki nilai ekonomi yang tinggi
-
Berdasarkan Tabel 13 dan Tabel 14 disepakati 8 skenario strategi pengelolaan limbah PKS di PTPN IV yaitu: kerugian besar, penurunan kualitas lingkungan,
bencana
ekologis,
bertahan
tanpa
kemajuan
yang
berarti,
peningkatan kinerja lingkungan perusahaan, pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan, siap bersaing, dan memenangkan persaingan. Skenario strategi ini dirumuskan dari hasil memasangkan berbagai kondisi (state) setiap faktor yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dalam pengelolaan limbah PKS di PTPN IV. Definisi masing-masing strategi tersebut disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Definisi masing-masing skenario strategi No.
Skenario
Definisi
1.
Kerugian besar (1A) kapasitas produksi PKS menurun (2A) tidak ada pengolahan (3A) sistem kolam aerasi (4A) tidak bernilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian maka perusahaan akan mengalami kerugian besar karena penurunan produksi PKS dan pengeluaran biaya untuk perbaikan lingkungan.
2.
Penurunan kualitas lingkungan (1B) kapasitas produksi PKS tetap (2A) tidak ada pengolahan (3A) sistem kolam aerasi (4A) tidak bernilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian akan terjadi penurunan kualitas lingkungan karena dari waktu ke waktu limbah akan terus menambah beban lingkungan dan pada akhirnya dapat melebihi daya tampung lingkungan.
89 Lanjutan Tabel 15 No.
Skenario
Definisi
3.
Bencana ekologis (1C) kapasitas produksi PKS tetap (2A) tidak ada pengolahan (3A) sistem kolam aerasi (4A) tidak bernilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian akan terjadi bencana ekologi berupa pencemaran lingkungan yang dapat mengancam keselamatan makhluk hidup (fauna) terutama manusia, karena jumlah limbah yang dihasilkan semakin banyak tanpa disertai pengelolaan secara benar dan ekonomis.
4.
Bertahan tanpa kemajuan yang berarti (1B) kapasitas produksi PKS tetap (2B) tidak ada pengolahan (3B) sistem kolam aerasi (4B) bernilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian kinerja perusahaan tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Dalam jangka panjang kondisi yang demikian dapat mengakibatkan kebangkrutan perusahaan karena terjadi peningkatan biaya tanpa disertai peningkatan pendapatan.
5.
Peningkatan kinerja lingkungan perusahaan (1B) kapasitas produksi PKS tetap (2C) pengomposan (3C) pengomposan (4B) memiliki nilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian terjadi perbaikan kinerja lingkungan dengan cara pemanfataan limbah sebagai pupuk organik yang dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk anorganik.
6.
Pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan (1C) kapasitas produksi PKS meningkat (2C) pengomposan (3C) pengomposan (4C) memiliki nilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian terjadi perbaikan kinerja perusahaan secara keseluruhan dan pemanfataan limbah sebagai pupuk organik yang dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk anorganik, sehingga perusahaan dapat berkembang ke arah kemajuan yang lebih baik.
7.
Siap bersaing (1C) kapasitas produksi PKS meningkat (2D) penerapan produksi bersih (3D) penerapan produksi bersih (4B) memiliki nilai ekonomi
Dalam kondisi yang demikian perusahaan siap untuk menghadapi persaingan dengan memanfaatkan semua sumberdaya perusahaan secara optimal dan penerapan sistem manajemen lingkungan.
8.
Memenangkan persaingan (1C) kapasitas produksi PKS meningkat (2D) penerapan produksi bersih (3D) penerapan produksi bersih (4C) memiliki nilai ekonomi tinggi
Dalam kondisi yang demikian perusahaan akan memenangkan persaingan dan dapat menjadi pemimpin pasar (leader).
Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder dan pengisian kuesioner diperoleh skor bobot dan prioritas skenario seperti pada Tabel 16.
90 Tabel 16. Hasil penentuan bobot skenario strategi pengelolaan limbah PKS di PTPN IV Sumatera Utara No.
Skenario
Skor
Persentase 0,0
1.
Kerugian besar
2.
Penurunan kualitas lingkungan
0 6
3.
Bencana ekologis
13
10,8
4.
Bertahan tanpa kemajuan yang berarti
18
15,0
5.
Peningkatan kinerja lingkungan perusahaan
24
20,0
6.
Pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan
35
29,2
7.
Siap bersaing
15
12,5
8.
Memenangkan persaingan
9
7,5
120
100,0
Jumlah
5,0
Sumber: Hasil analisis (2007)
Berdasarkan hasil tersebut maka strategi pengelolaan limbah PKS di PTPN IV adalah pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan (29,2%).
Skenario
ini
merupakan
pilihan
yang
paling
sesuai
untuk
pengembangan PTPN di masa mendatang. Dari 15 PKS yang ada di PTPN IV, hanya 1 PKS yang telah melakukan kegiatan pengomposan. Berdasarkan hasil simulasi penilaian terpadu PKS, ternyata PKS Dolok Sinumbah memberikan kinerja keseluruhan yang baik. Dengan demikian, 14 PKS lainnya perlu melakukan peningkatan kapasitas (masih rata-rata < 30 ton/jam), dan perbaikan kinerja lingkungan melalui kegiatan pengomposan (sistem produksi bersih). Apabila ke-15 PKS pada PTPN IV telah melakukan kegiatan tersebut maka akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Strategi operasionalisasi skenario ini dirumuskan dengan melibatkan semua stakeholder terkait melalui focus group discussion. Pada FGD dibahas mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan (tantangan dan peluang)
dan strategi implementasi untuk keberhasilan upaya peningkatan kapasitas produksi, pengolahan limbah padat dan cair, dan peningkatan nilai ekonomi limbah. Hasil FGD disajikan dalam bentuk rumusan strategi implementasi sebagai berikut.
91 1.
Peningkatan kapasitas produksi Kapasitas PKS yang tersedia saat ini bervariasi, mulai dari PKS yang
berkapasitas 5 ton per jam sampai 60 ton perjam. Kapasitas pabrik yang dibangun di kawasan perkebunan sangat terkait dengan ketersediaan bahan baku. Ketersediaan bahan baku di sekitar pabrik berupa tandan buah sawit. Bahan baku ini harus sesuai dengan kriteria matang panen dan tersedia secara kontinu. Tiap stasiun PKS sedapat mungkin tidak ada stagnasi. Kontinuitas berkaitan dengan efisiensi pabrik pengolahan yang terkait langsung dengan biaya produksi. Ketersediaan bahan baku dalam proses produksi sehingga memenuhi kapasitas terpasang. Ketersediaan bahan baku dapat dipenuhi melalui pengembangan luas lahan kelapa sawit baik oleh perusahaan maupun kerjasama dengan masyarakat. Pada musim panen tahun 2002, tiap hektar diperoleh sekitar 2 ton TBS. Dari kebun rakyat dihasilkan 2,3 juta ton TBS. Besarnya produksi tersebut terdongkrak karena banyak petani rakyat yang mengkonversi lahan karet, tebu, dan coklat menjadi lahan kelapa sawit. Tercatat lahan kelapa sawit rakyat mencapai 180.600 ha (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2002). Alih usaha ini dilakukan karena potensi ekonomi yang besar. Pendapatan yang diperolehnya sebanyak Rp12 juta hingga Rp14 juta per tahun atau sekitar Rp1,2 juta per bulan. Peningkatan produksi ini telah mendorong masyarakat membangun pabrik kelapa sawit mini dengan kapasitas 30 ton per jam. Pabrik itu dibangun di tengah-tengah areal perkebunan sawit di kawasan Sei Lepan, Langkat, Sumatera Utara. Pabrik yang mulai di bangun akan menampung TBS dari para petani dan TBS yang dihasilkan dari kebun kelompok tani, yang luasnya mencapai 1.250 ha (Bangun, 2004). Kapasitas pabrik yang dibangun memperhatikan ketersediaan bahan baku dan kemungkinan pengembangan kapasitas (fixed atau expandable). Produktivitas dan luas lahan perkebunan yang digunakan sebagai sumber bahan baku harus memberikan jaminan kontinuitas produk. Hal ini berkaitan pula dengan ketersediaan lahan untuk PKS dan IPAL. Pengaturan luas lahan perkebunan dengan pendirian pabrik di suatu lahan sehingga kebutuhan TBS untuk proses produksi dapat terpenuhi. Dengan demikian, daya mesin dan instalasi pabrik disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana pengembangannya. Faktor ketersediaan air untuk pengolahan perlu diperhatikan. Pendirian pabrik kelapa sawit akan membutuhkan volume air yang besar dari setiap proses
92 produksi, mulai dari produksi bahan baku, pengolahan kelapa sawit, hingga pengolahan limbah PKS. Kesiapan sistem pengolahan limbah cair dan padat yang mungkin timbul sebagai by product dari pengolahan kelapa sawit. Hal yang harus diperhatikan antara lain adalah dampak kegiatan pengolahan kelapa sawit terhadap kualitas air, tanah, dan udara. Pengembangan kapasitas pabrik membutuhkan investasi yang tergolong tinggi. Berbagai komponen yang memerlukan pembiayaan antara lain: sarana dan prasarana yang diperlukan, pengembangan sumberdaya manusia melalui pelatihan, pemeliharaan infrastruktur, dan biaya sosial yang harus dikeluarkan. Selain itu, aspek lingkungan yang timbul akibat pengembangan kapasitas perlu diinternalisasi
ke
dalam
biaya.
Dengan
demikian,
perusahaan
harus
memperhatikan kemampuan pembiayaan untuk pengembangan kapasitas. Langkah-langkah strategis penerapan upaya peningkatan kapasitas PKS adalah: a. Melakukan berbagai survai untuk persiapan pelaksanaan yakni survai ketersediaan buah untuk jangka waktu 5-10 tahun mendatang, survai lahan, survai ketersediaan air pengolahan, survai teknologi pengolahan kelapa sawit, teknologi pengolahan limbah kelapa sawit, dan kemungkinan pengembangan kapasitas. b. Pembinaan dan pengawasan terhadap standar teknis yang ditetapkan oleh pemerintah dan pasar global produk yang ramah lingkungan sehingga mendorong perusahaan untuk secara sadar melakukan kegiatan yang sesuai dengan standar baku dan kualitas produk internasional. c. Persiapan pemanfaatan limbah PKS untuk peningkatan produksi dan tidak mencemari lingkungan. Secara operasional perusahaan melaksanakan sistem produksi bersih bersih melalui ISO 9000 : 2000, dan ISO 14001 : 2000. d. Peningkatan
produksi
TBS
melalui
peningkatan
produktivitas
lahan
(intensifikasi) maupun penambahan luas areal tanaman (ekstensifikasi). Persiapan pengembangan lahan agar didapat produksi sesuai dengan rencana kapasitas. Selain itu perlu pula menjalin kemitraan dengan petani yang memiliki kebun kelapa sawit dengan mekanisme kerjasama yang jelas dan saling menguntungkan. Salah satunya dengan jaminan harga dan kontinuitas produksi. e. Disain tata letak (lay out) pabrik yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Lay out
93 pabrik ini memudahkan pemeliharaan mesin dan instalasi pabrik secara terencana
dan
terjadual
(preventive
maintenance).
Proses
ini
juga
memperhatikan teknologi pengolahan yang sesuai taksasi TBS yang diolah.
2. Pengelolaan limbah padat Limbah padat yang dihasilkan dari PKS adalah tandang kosong sawit (TKS). Pada PKS yang berkapasitas 30 ton per jam akan dihasilkan sebanyak 138 ton TKS per hari. Hasil kajian menujukkan bahwa pengelolaan limbah padat PKS yang paling sesuai untuk produksi bersih adalah pengomposan dan pemanfaatan sebagai bahan baku produk lainnya. Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan upaya pengembangan dan penerapan teknologi pengolahan limbah padat ini adalah teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah padat. Pada dasarnya sudah banyak tersedia teknologi pengolahan limbah padat kelapa sawit khususnya pada skala pilot project, akan tetapi penerapannya memerlukan beberapa pertimbangan terutama adalah efisiensi dari teknologi tersebut serta pasar dari produk yang dihasilkan. Saat ini yang paling banyak diterapkan adalah untuk mulsa, kompos dan bahan bakar untuk biomass power plant. Pilihan teknologi tergantung pada kebutuhan/pasar. Apabila PKS memiliki kebun yang memerlukan pupuk organik, maka pengolahan menjadi kompos menjadi pilihan terbaik, sebaliknya apabila sekitar lokasi memerlukan energi listrik maka penggunaan TKS untuk biomass power plant lebih tepat. Tandan kosong kelapa sawit mempunyai kadar C/N yang tinggi yaitu 45 55. Hal ini dapat menurunkan ketersediaan N pada tanah karena N termobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Usaha penurunan kadar C/N dapat dilakukan dengan proses pengomposan sampai kadar C/N mendekati kadar C/N tanah. Pengomposan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai hara dan penurunan volume TKS. Kompos yang telah matang ditandai dengan nisbah C/N sebesar 10 - 15. Proses pengomposan ini memerlukan waktu sekitar 6 - 8 minggu. Lamanya proses dekomposisi TKS karena limbah tersebut banyak mengandung lignoselulosa yang sulit dekoposisi. TKS mengandung 45,95% selulosa, 16,49% hemiselulosa, dan 22,84 % lignin (Darnoko et al., 1993). Hasil penelitian aplikasi kompos pada pembibitan kelapa sawit menunjukkan bahwa penambahan kompos TKS pada pembibitan utama dapat
94 meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Diameter batang bibit meningkat 18-33% terhadap perlakuan tanpa aplikasi kompos, sedangkan tinggi bibit meningkat 16-26% terhadap perlakuan tanpa aplikasi kompos. Kombinasi perlakuan aplikasi kompos TKS sebesar 5% dan pupuk standar pembibitan sebesar 50% menunjukkan perbedaan yang nyata lebih tinggi terhadap bobot kering bibit dibandingkan dengan perlakuan pupuk standar sebesar 00% (tanpa kompos). Sementara bobot kering bibit meningkat hingga 65% terhadap perlakuan pemupukan 100% standar pembibitan kelapa sawit. Kompos TKS dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah yang meningkatkan efektivitas pemupukan, selain sebagai sumber unsur hara bagi tanaman. Selain digunakan pada tanaman kelapa sawit, kompos TKS juga dapat digunakan pada tanaman semusim atau hortikultura. Hasil penelitian Darnoko dan Sembiring (2005) menunjukkan bahwa aplikasi 4 ton kompos TKS/ha dapat meningkatkan produksi padi sebesar 5% terhadap kontrol tanpa kompos. Sementara kompos TKS juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara pada tanaman cabe maupun jeruk manis. Penerapan teknologi pengolahan limbah padat harus pula memperhatikan kualitas hasil pengolahan, kualitas cacahan, kualitas limbah cair, pemanfaatan air lindi, sistem pengolahan yang digunakan, kandungan limbah padat, SDM pengelola teknologi limbah, pemilihan dan penguasaan teknologi yang dugunakan,
dan
besarnya
ongkos
produksi.
Selain
itu
perlu
jaminan
pemanfaatan hasil (dipakai sendiri atau dijual) dalam bentuk komitmen yang kuat antara produsen dan konsumen untuk memanfaatkan hasil olahan baik sebagai pupuk organik maupun bahan baku produk lain. Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid (Aritonang 1986; Pasaribu et al. 1998; Utomo et al. 1999). Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg (Ketaren 1986) sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang biasanya dibakar dijadikan abu untuk dimanfaatkan sebagai pupuk sumber kalium. Langkah-langkah strategis penerapan upaya pengelolaan limbah padat adalah:
95 a. Survai kebutuhan lokal dan kajian ekonomi tentang berbagai alternatif teknologi pengolahan limbah padat. Survai ini melibatkan masyarakat secara partisipatif dengan fasilitasi dari lembaga penelitian. b. Kajian tentang pengomposan perlu terus ditingkatkan untuk mengurangi biaya pembelian bahan kimia. Hasil kajian PPKS menujukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan dalam produksi kelapa sawit sebagai hasil pengomposan yakni BRT 25%, hasil yang lebih banyak, life time produksi kelapa sawit lebih panjang (pada umur 25 tahun masih dapat menghasilkan 15 ton/ha). Namun demikian proses pengolahan TKS menjadi kompos menimbulkan asap dan opasitas yang tinggi. Kondisi ini perlu dikaji apakah telah mencapai batas ambien pencemaran udara atau masih di bawah baku mutu. c. Pemilihan mesin pengolahan TKS yang lebih berkualitas dan ekonomis. Untuk efisiensi perlu pemanfaatan enzim. Persiapan unit-unit proses pengeringan solid (limbah padat) dari klarifikasi. d. Memanfaatkan sumberdaya yang ada semaksimal mungkin sehingga ongkos produksi dapat ditekan serendah mungkin. Kualitas hasil pengolahan limbah padat (kompos) sekurang-kurangnya sama atau lebih baik dari produk sejenis. Kegiatan ini dalam kaitan dengan ISO 14001 :2000.
3. Pengelolaan limbah cair Aplikasi limbah cair sebagai sumber hara pada areal kelapa sawit dapat dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi setempat (seperti topografi areal dan jarak areal dengan lokasi pengolahan limbah). Beberapa cara aplikasi limbah cair yang dikenal antara lain sistem sprinkler, flatbed, sistem parit atau alur (long bed), dan sistem traktor-tangki. Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk. Aplikasi limbah cair memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit. Kualifikasi limbah cair yang digunakan mempunyai nilai BOD 3.500–5.000 mg/l yang berasal dari kolam anaerobik primer. Kandungan hara pada 1 m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36, 3,0 kg MOP, dan 1,2 kg kieserit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam akan menghasilkan sekitar 480 m3 limbah cair per hari, sehingga areal yang dapat diaplikasi sekitar 100-120 ha.
96 Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS dan penghematan biaya pupuk sehingga penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat biaya pemupukan hingga 46%/ha. Disamping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah. Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi TBS 16-60%. Limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah di sekitar areal aplikasinya (PPKS, 2004). Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk/bahan pembenah tanah di perkebunan kelapa sawit sangat dimungkinkan atas dasar adanya kandungan hara dalam limbah tersebut. Pemanfaatan limbah ini disamping sebagai sumber pupuk/bahan organik juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah sebesar 50-60% (Pamin, et al., 1996). Berbagai hasil penelitian dan pengamatan aplikasi limbah cair pada perkebunan kelapa sawit umumnya melaporkan bahwa aplikasi tesebut secara nyata dapat meningkatkan produksi kelapa sawit (Tabel 17). Hasil percobaan PPKS menunjukkan bahwa kombinasi pemberian limbah cair dengan dosis 12,66 mm ECH per bulan dengan pupuk organik sebanyak 50% dari dosis standar kebun, dapat meningkatkan produksi tandan buah segar (TBS) sebesar 36% dibanding pada perlakuan tanpa aplikasi limbah cair dengan aplikasi pupuk standar kebun 100%. Tabel 17. Produksi TBS pada beberapa percobaan pemanfaatan limbah cair Malaysia PORIM
EBOR RS
United Plantation
Guthrie
Indonesia (PPKS)
25,8(160)
20,8(129)
28,8(129)
31,8(116)
29,3(136)
Jumlah tandan (tandan/ha/thn)
-
987(111)
-
1264(104)
909(129)
Bobot tandan (kg/tandan)
-
21,1(103)
-
25,2(103)
32,2(106)
Parameter TBS (kg/ha/thn)
Sumber: Sutarta, et al. (2000) Angka dalam kurung menyatakan persentase terhadap kontrol
97 PTPN III juga telah melakukan aplikasi limbah cair PKS di beberapa kebun antara lain kebun Aek Nabara Selatan, Sisumut, Torgamba dan Sei Baruhur. Dosis aplikasi limbah yang digunakan adalah 10 cm ECH/ha/th dengan frekuensi aplikasi setiap dua bulan (setiap aplikasi 185 m3/ha) dan pemberian pupuk an-organik dosis standar. Hasil pengamatan produktivitas tanaman kelapa sawit pada aplikasi limbah cair tersebut menunjukkan adanya peningkatan produktiitas rata-rata sebesar 19,5%. Kenaikan produksi TBS tersebut disebabkan oleh adanya kenaikan kedua komponen produksi yaitu jumlah tandan dan bobot tandan. Berdasarkan hasil penelitian PPKS, dosis aplikasi limbah cair yang dianjurkan adalah 12,66 mm ECH/bulan yang dikombinasikan dengan 50% dosisi pupuk
standar kebun.
Dosis 12,66 mm ECH/bulan setara dengan 126.000 liter/ha. Teknologi pengolahan LCPKS yang ada saat ini adalah menggunakan sistem kolam dengan aerator membutuhkan waktu lebih kurang selama 97 hari. Teknologi pengolahan LCPKS disamping menggunakan sistem kolam dengan aerator dapat juga menggunakan teknologi lahan aplikasi dan pengomposan dalam rangka pemanfaatan unsur hara yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi pengelolaan limbah cair yang paling sesuai untuk produksi bersih adalah pengomposan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan upaya pengembangan dan penerapan teknologi pengolahan limbah cair adalah persepsi tentang limbah cair, konstruksi pengolahan limbah, dan pemanfaatan limbah. Perlu perubahan persepsi tentang limbah cair agar pengembangan teknologi pengolahan limbah cair berhasil. Saat ini limbah cair bukan lagi merupakan limbah yang harus diolah dan dibuang tetapi merupakan sumberdaya yang dapat diolah menjadi gas metan dimana akan diperoleh energi serta kredit CDM. Limbah merupakan sumber nutrisi untuk pengolahan kompos TKS yang memungkinkan tercapainya zero waste dengan penerapan teknologi tersebut. Dengan teknologi membran limbah juga dapat di-recycle sebagai air pengolahan kembali terutama untuk daerah-daerah yang kesulitan air saat kemarau. Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk di perkebunan kelapa sawit dimungkinkan atas dasar adanya kandungan hara dalam limbah cair tersebut. Pada pemanfaatan ini akan mengurangi biaya pengolahan limbah. Biaya tersebut diperkirakan dapat diturunkan sebesar 50-60% (Pamin, et al., 1996).
98 Pada proses konstruksi pengolahan limbah perlu memperhatikan kemungkinan
jebol,
kemungkinan
proses
peluapan
pada
saat
hujan,
kemungkinan terjadinya pencemaran oleh terbawanya sludge dan air limbah pada saat musim hujan kedalam badan air penerima, kecukupan volume kolam untuk memenuhi kebutuhan, mutu bahan baku, debit masuk limbah cair, dan waktu tinggal yang diperlukan, mesin/pompa yang dipergunakan dengan kapasitas dapat melayani limbah yang keluar dari pabrik, dan persiapan lahan dan pembuatan plat bed (rorak untuk penampungan limbah cair). Luas lahan pengolahan air limbah harus sesuai dengan volume limbah yang akan diolah serta waktu tinggal yang tepat sehingga IPAL tidak terbebani dengan volume limbah yang dihasilkan. Pemanfaatan limbah cair untuk land application harus memperhatikan dosis yang akan digunakan, kadar unsur hara setelah aplikasi, dan dampaknya terhadap lingkungan. Juga instalasi pemasangan limbah cair dari kolam pabrik ke kolam penampung utama di areal tanaman kelapa sawit. Faktor kendala sumberdaya manusia harus dapat diantisipasi melalui kegiatan pengawasan dan pembinaan. Langkah-langkah strategis penerapan upaya pengelolaan limbar cair PKS adalah: a. Kajian ekonomi dalam penerapan setiap teknologi pengelolaan limbah cair. Kajian ini harus mempertimbangkan aspek valuasi lingkungan selain aspek finansial dalam proses produksi. b. Kajian kebijakan pengelolaan lingkungan mencakup berbagai peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh perusahaan dalam kaitan dengan pengelolaan limbah cair. Terdapat berbagai peraturan yang dianggap sudah tidak relevan atau bahkan tidak memungkinkan untuk dilaksanakan baik secara ekonomi, sosial, maupun teknologi. Misalnya Kepmen Nomor 51 tahun 1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri yang mensyaratkan BOD 100 mg/l. Hal ini membutuhkan teknologi yang tinggi dengan biaya yang sangat besar. Selain itu pada aplikasi lahan terdapat persyaratan yang membutuhkan biaya besar karena pedoman yang kaku, padahal dengan teknologi yang ada, kondisi yang diinginkan dapat tercapai. c. Pengawasan dan evaluasi terhadap kelayakan standar sebelum diaplikasikan ke lapangan. Kualitas bahan baku limbah cair (BOD, COD, suhu) dan debit yang keluar agar tidak melebihi batas-batas yang telah diperhitungkan dalam
99 perancangan kolam limbah. Untuk air limbah yang dialirkan ke sungai agar benar-benar dilakukan pengawasan, sehingga tidak mencemari lingkungan. d. Perlu pertemuan untuk membahas mengenai limbah dengan masyarakat dan para
pakar.
Pada
kegiatan
ini
dijelaskan
mengenai
limbah
dan
pengelolaannya. Juga disosialisasikan kegiatan yang dilakukan dan rencana kerja perusahaan dalam kaitan dengan pengelolaan limbah sekaligus realisasi pembayaran dana kemitraan dan bina lingkungan. e. Penerapan zero waste dalam setiap proses produksi. Secara periodik sludge yang terdiri dari zat organik terutama dari kolam anaerob perlu diolah menjadi pupuk. Dalam proses produksi harus memelihara kolam limbah secara berkala agar volumenya tetap dapat memenuhi kebutuhan waktu tinggal minimal selama 97 hari. Mengoperasikan kolam limbah dengan benar terutama dalam menjaga pH dan temperatur, sirkulasi (1 : 1) harus dilaksanakan terus menerus selama kolam limbah beroperasi.
4. Peningkatan nilai ekonomi Secara konvensional pengelolaan limbah membutuhkan biaya yang menyebabkan pengeluaran perusahaan menjadi lebih besar, sehingga limbah merupakan external cost bagi perusahaan yang masih menganggap bahwa limbah adalah sisa produksi yang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Jika limbah tidak manfaatkan maka pihak perusahaan hanya mengeluarkan biaya tanpa memperoleh manfaat sama sekali dari limbah yang dihasilkan. Dengan demikian, upaya peningkatan nilai ekonomi limbah menjadi signifikan dalam kaitan dengan produksi bersih dan pengembangan perusahaan. Peningkatan nilai ekonomi limbah dilakukan melalui penerapan teknologi pengomposan dan diversifikasi produk lain. Terdapat dua faktor utama yang harus diperhatikan untuk keberhasilan upaya peningkatan nilai ekonomis limbah yaitu cara pandang bahwa limbah menimbulkan masalah pada suatu pabrik kelapa sawit dan komitmen perusahaan untuk memanfaatkan limbah seoptimal mungkin. Hasil penelitian menjukkan bahwa limbah padat dan limbah cair memiliki nilai ekonomi dan dapat meningkatkan produksi dan menambah umur tanaman, serta mempunyai nilai ekonomi tinggi apabila digunakan sebagai bahan baku industri pulp, kertas, kompos, fiber board, insulating material dan sebagainya. Untuk kasus pulp, kalau di Indonesia mungkin dianggap kayu lebih murah dan rendemennya lebih tinggi, tetapi di Malaysia pulp TKS sudah
100 diproduksi bukan untuk kertas, tetapi untuk produk-produk sanitary di rumah sakit. Teknologi produksi kompos dari tandan kosong sawit (TKS) merupakan satu teknologi pengolahan limbah yang sekaligus dapat mengatasi masalah limbah padat dan limbah cair di PKS. Penerapan teknologi ini memungkinkan PKS untuk menerapkan konsep zero waste yang berarti tidak ada lagi limbah padat dan cair yang dibuang. Proses pengomposan TKS dimulai dengan pencacahan TKS dengan mesin pencacah. TKS yang telah dicacah ditumpuk di atas lantai semen pada udara terbuka atau di bawah atap. Tumpukan dibalik 3- 5 kali seminggu dengan mesin pembalik Bakhus dan disiram dengan limbah cair PKS. Pada akhir pengomposan yang berlangsung selama 6-8 minggu, kompos diayak dan dikemas. Investasi pembuatan pabrik kompos terdiri atas pembangunan lantai semen dan atap, pengadaan chipper untuk mencacah TKS, pengadaan mesin pembalik, instalasi pipa penyiram beserta pompanya dan bulldozer untuk mengangkut TKS yang telah di cacah ke pabrik kompos. Total biaya investasi alat adalah Rp4,3 milyar yang terdiri atas Rp3,7 milyar investasi alat dan Rp0,6 milyar biaya supervisi pembangunan. Biaya produksi kompos terdiri atas energi untuk chipper, bulldozer, pompa, mesin pembalik, upah, biaya pemeliharaan, biaya paten dan royalit serta biaya pemasaran. Kontribusi biaya langsung terhadap biaya produksi adalah 41% sedangkan sisanya merupakan biaya tetap yang terdiri atas penyusutan, biaya administrasi, biaya umum, bunga bank, dan asuransi. Dengan asumsi produksi kompos per tahun 20.700 ton, maka biaya prodoksi kompos adalah Rp134,00/kg dalam bentuk bulk. Harga jual kompos bulk adalah Rp500,00/kg. Keuntungan langsung sebesar Rp366,00/kg atau sekitar Rp7,5 milyar per tahun. Pemanfaatan TKS untuk kompos memberikan nilai ekonomi yang besar. Keuntungan yang dihasilkan sekitar Rp7,5 milyar per tahun atau setara dengan keuntungan yang dihasilkan oleh 1.875 ha kebun kelapa sawit dengan asumsi keuntungan Rp200,00 per kg TBS. Investasi pabrik kompos relatif lebih kecil dibandingkan dengan investasi 1.875 ha kebun kelapa sawit yaitu sekitar Rp22 milyar. Keunggulan lain teknologi pengomposan adalah penggunaan LCPKS yang banyak. Apabila biaya pengolahan LCPKS setahun adalah Rp574 juta maka pemanfaatan LCPKS untuk kompos akan mengurangi biaya pengolahan sekitar Rp191 juta per tahun.
101 Masalah utama teknologi pengomposan adalah pemasaran hasil pengomposan. Kompos dari TKS dan LCPKS banyak digunakan untuk tanaman hortikultura sehingga hanya sesuai untuk PKS yang dekat daerah hortikultura. Untuk keperluan pupuk dalam lingkup PKS, pemasaran pengomposan tidak menjadi kendala karena dapat diserap oleh PKS. Namun untuk skala komersial perlu kajian pemanfaatan kompos pada tanaman lainnya. Komitmen perusahaan dapat dibangun dengan prinsip zero waste. Produksi dilakukan tanpa menghasilkan limbah, seluruhnya dimanfaatkan sebagai by product dengan atau tanpa proses lanjutan yang bernilai ekonomi. Dari aspek ekonomi, perusahaan dapat memilih teknologi pengolahan limbah PKS dengan biaya yang rendah, dan hasil produksi kelapa sawit lebih besar untuk aplikasi lahan hasil produksi pengolahan limbah. TKS dapat pula menjadi bahan energi pembakaran pada incenerator dan boiller yang akan mempunyai nilai tambah dan mengurangi penggunaan bahan bakar solar. Dari aspek sosial, dapat menyerap tenaga kerja lokal dan memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Selain melalui pengomposan, limbah PKS dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Pemeliharaan ternak sebagai usaha sambilan kurang menguntungkan apabila memanfaatkan limbah padat sebagai pakan karena akan menambah biaya produksi, berupa biaya angkut dari pabrik ke lokasi peternak. Kondisi ini dapat menghambat adopsi teknologi pemanfaatan solid. Solid akan dimanfaatkan secara luas oleh peternak apabila pemeliharaan ternak bersifat komersial misalnya penggemukan. Strategi yang dapat ditempuh untuk memaksimumkan pemanfaatan solid sebagai pakan adalah melalui kemitraan antara petani dan pemerintah daerah ataupun pihak swasta (Utomo dan Ermin, 2004) Langkah-langkah strategis penerapan upaya peningkatan nilai ekonomis limbah adalah: a. Melakukan kajian tentang pemanfaatan TKS sebagai bahan baku dalam pembuatan penyanggah besi beton maupun untuk bahan baku campuran conblock, pemanfaatan TKS sebagai sumber energi seperti kebutuhan incenerator maupun boiller, pemanfaatan cangkang untuk power plant,
102 batang sawit untuk serbuk kayu, daun dan pelepah dan bungkil sawit untuk makanan ternak. b. Melakukan sosialisasi penggunaan pupuk organik kepada masyarakat sekitar sehingga dapat memanfaatkan pupuk kompos dari limbah PKS. Kegiatan ini akan mendorong masyarakat untuk menggunakan kompos sehingga meningkatkan permintaan terhadap kompos. Selain itu melakukan sosialisasi kepada seluruh jajaran manajemen tentang nilai ekonomis pemanfaatan limbah tersebut. c. Penelitian dan pengembangan pemanfaatan TKS dan sludge yang bersumber dari IPAL PKS perlu terus dikembangkan menjadi pupuk sehingga dapat mengurangi pengadaan bahan kimia untuk pupuk. Konsep 5R (rethink, reuse,
recycle,
reduse,
dan
recovery)
perlu
dikembangkan
untuk
pemanfaatan limbah padat dan limbah cair yang bersumber dari pabrik kelapa sawit. Pada kegiatan ini perlu melibatkan lembaga penelitian untuk melakukan kajian pemanfaatan limbah.
4.5 Implikasi Kebijakan Perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat di Indonesia, dimana pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan mencapai 5,3 juta ha. Areal perkebunan meningkat dari 290 ribu ha (tahun 1980) menjadi 6.075 ribu ha tahun 2006 atau tumbuh 12,4% per tahun. Peningkatan luas lahan tersebut diikuti oleh peningkatan produksi dari 721 ribu ton (tahun 1980) menjadi 16 ribu ton CPO (tahun 2006). Secara kewilayahan, pengembangan perkebunan kelapa sawit awalnya hanya 3 propinsi lalu berkembang di 22 propinsi. Dari kondisi tersebut sektor perkebunan menyerap tenaga kerja sekitar 3 juta orang, belum termasuk subsistem pendukung lainnya (Deptan, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperlukan peningkatan kapasitas PKS. Hal sesuai dengan tingginya permintaan terhadap komoditas minyak sawit. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun (Gapki, 1998). Kebutuhan terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya di pasar dunia juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain. Jurnal minyak nabati dunia Oil World meramalkan pada tahun 2015 minyak kelapa sawit akan mencapai 23 persen, sedangkan konsumsi minyak kedelai akan menyusut menjadi 21 persen (Bangun, 1998).
103 Permintaan terhadap minyak sawit akan mendorong peningkatan produksi minyak sawit yang pada akhirnya membutuhkan peningkatan kapasitas PKS. Kondisi lahan perkebunan tersebut sangat beragam, mulai dari yang subur dan sesuai untuk perkebunan kelapa sawit hingga lahan-lahan marginal yang kurang subur. Tanaman kelapa sawit banyak menempati tanah-tanah yang bereaksi masam sampai agak masam. Tanah-tanah tersebut memiliki tingkat kesuburan kimia yang rendah, dengan kesuburan fisik yang beragam mulai yang rendah hingga cukup baik. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit merupakan lahan kelas S3 (agak sesuai) yang umumnya merupakan lahan marjinal khususnya dalam hal kesuburan tanahnya sehingga keberhasilan pengusahaan perkebunannya sangat tergantung pada aplikasi pemupukan. Kebun kelapa sawit yang ada pada tahun 1999 sebagian besar berada di kelas S3 (agak sesuai) sekitar 38%, cukup besar di kelas S2 (sesuai) sekitar 28%, dan sangat sedikit di kelas S1 (sangat sesuai) sekitar 5%, serta di kelas NS (tidak sesuai). Kebun di lahan kelas S1 dan S2 hanya di jumpai di Sumatera khususnya di Sumatera Utara, sedangkan di luar Sumatera Utara umumnya berada di kelas S3 dan S2. Upaya pemupukan secara berkesinambungan menjadi satu keharusan untuk mendukung produktivitas tanaman yang cukup tinggi mengingat kelapa sawit tergolong tanaman yang konsumtif terhdap unsur hara. Tercapainya produksi TBS yang optimal dan kualitas minyak yang baik merupakan tujuan dari pemupukan pada tanaman kelapa sawit. Kekurangan salah satu unsur hara akan menyebabkan tanaman menunjukkan gejala defisiensi dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan vegetatif serta penurunan produksi tanaman. Beberapa penelitian telah menunjukkan besarnya respon tanaman terhadap pemupukan, yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Sutarta, et al., 2004). Penanaman kelapa sawit pada berbagai biofisik lingkungan yang berbeda menuntut adanya sistem manajemen pemupukan yang spesifik lokasi (site spesific) dalam rangka menjamin tercapainya produksi yang tinggi dan berkelanjutan. Beberapa perkebunan kelapa sawit terletak pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (marginal) sehingga diperlukan perhatian khusus jumlah dan jenis nutrisi yang harus diberikan. Selain itu, rendahnya kesuburan tanah ditambah dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan hilangnya nutrisi tanah karena pencucian. Aplikasi dan penentuan dosis pupuk yang tepat hanya
104 dapat dicapai dengan melakukan percobaan pemupukan meskipun hal ini memerlukan waktu yang lama (7-8 tahun) untuk mendapat hasil yang memuaskan (Turner dan Gillbanks, 2003). Pemupukan merupakan salah satu komponen biaya yang besar dalam perkebunan kelapa sawit, yaitu sekitar 25% dari total biaya produksi atau 50-70% dari biaya perawatan tanaman. Penelitian efisiensi pemupukan sangat penting dalam
rangka
menjamin
tercapainya
kelangsungan
perudahaan
secara
berkelanjutan. Disisi lain penelitian pemupukan sangat membantu mencegah terjadinya aplikasi pupuk yang berlebihan yang akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Respon tanaman terhadap pemupukan berbeda bergantung kondisi agroekosistem dimana tanaman tersebut berada. Penelitian respon tanaman terhadap pemupukan sudah banyak dilakukan di Indonesia. Pujianto et al. (2006) menguji respon tanama kelapa sawit terhadap pemupukan MOP pada tiga agroekosistem berbeda. Pemanfaatan produk sampingan proses pengolahan pabrik kelapa sawit yaitu LCPKS dan TKS sebagai salah satu sumber nutrisi bagi tanaman sekaligus sebagai bahan substitusi pupuk in-organik sangat membantu penghematan biaya. Untuk menjamin pengunaan bahan tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan maka perlu dilakukan serangkaian penelitian yang sistematis dan komprehensif. Pengunaan LCPKS sebagai bahan sustitusi nutrisi serta pengaruhnya terhadap perubahan sifat kimia tanah telah dilakukan sejak lama dan memberikan pengaruh positif bagi tanaman dan lingkungan (Liwang et al., 2006). Biaya
pemupukan
yang
tinggi
tersebut
menuntut
pihak
praktisi
perkebunan untuk secara tepat menentukan jenis dan kualitas pupuk yang akan digunakan dan mengelolanya sejak dari pengadaan hingga aplikasinya di lapangan. Ketepatan penyediaan semua jenis pupuk di kebun merupakan masalah yang selalu dihadapi pekebun untuk mencapai keseimbangan har sesuai yang dianjurkan rekomendator pemupukan. Namun demikian, adanya berbagai jenis pupuk di pasar termasuk pupuk majemuk memberi peluang pada pekebun untuk memilih pupuk yang tepat bagi tanaman, dan mudah menanganinya. Selain itu bahan organik pada perkebunan kelapa sawit yang melimpah merupakan sumber hara yang perlu dimanfaatkan untuk tanama kelapa sawit maupun tanaman lain.
105 Kebutuhan pupuk sebagai salah satu input dari sistem produksi kelapa sawit cukup besar seiring dengan peningkatan luas areal pekebunan kelapa sawit. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan bahan tanaman dengan potensi produksi yang tinggi, serta penerapan kultur teknis lainnya secara lebih intensif sehingga mampu mengurangi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Kelapa sawit memerlukan pemupukan baik pada tahap pembibitan, tanaman belum menghasilkan (TBM), maupun tanaman menghasilkan (TM). Tanaman kelapa sawit memerlukan pupuk dalam jumlah yang tinggi, mengingat bahwa 1 ton TBS yang dihasilkan setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg TSP, 7,3 kg MOP, dan 4,9 kg Kiserit. Dengan asumsi tanaman kelapa sawit dipupuk secara penuh, Poeloengan et al (2001) memperkirakan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2002 memerlukan 1,22 juta ton Urea, 0,82 juta ton RP, 0,94 juta ton MOP, dan 0,83 juta ton Dolomit. Pencabutan subsidi pupuk telah menyebabkan naiknya harga pupuk sehingga kemampuan pekebun untuk membeli pupuk menurun. Sejak tahun 1998 realisasi pemupukan yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit masih belum sepenuhnya sesuai dengan sasaran yaitu tepat jenis, dosis, waktu, dan cara. Jenis pupuk yang dipakai dibeberapa kebun masih belum sesuai dengan spesifikasi yang iinginkan. Demikian waktu aplikasi pemupukan sering tidak sesuai dengan anjuran akibat sulitnya memperoleh pupuk, selain ketiadaan dana untuk pengadaan pupuk. Realisasi pemupukan pada beberapa perkebunan bervariasi dari 0% (tidak dipupuk) hingga 100% (dipupuk sesuai anjuran). Pemupukan yang tidak tepat waktu menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan hara, menyulitkan pengaturan tenaga kerja di lapangan, dan turunnya efektivitas dan efisiensi pemupukan khususnya jika pemupukan dilakukan pada bulan-bulan kering atau bulan yang terlalu basah. Ketepatan pemupukan harus memperoleh perhatian pekebun, mengingat besarnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dapat meningkatkan produksi antara 6,11% (Foot et al., 1987), 0,35% (Gurmit, 1989), 5,92% (Dolmat et al.,1989). Beragamnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman tersebut oleh beragamnya jenis tanah, umur tanaman, kondisi iklim dan tingkat pengelolaan kultur teknis yang diterapkan oleh pekebun. Penggunaan pupuk majemuk pada tanaman kelapa sawit menghasilkan belum banyak dilakukan pekebun. Selain biaya per unit hara lebih mahal,
106 manajemen aplikasinya juga lebih sulit. Tanaman dalam satu KCD (kesatuan contoh daun) mungkin memerlukan hara dalam jumlah dan komposisi yang berbeda dengan tanaman pada KCD lainnya, sehingga akan menyulitkan aplikasi pupuk majemuk yang memiliki komposisi dan kandungan hara yang telah tertentu. Namun demikian, saat ini terdapat beberapa produsen pupuk yang mampu menghasilkan pupuk majemuk dengan komposisi sesuai dengan anjuran rekomendtor pemupukan, sehingga tidak perlu menambah pupuk tunggal lainnya. Dalam hal ini keberadaan pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan pekebun. Pupuk majemuk memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk tunggal, yaitu lebih praktis dalam pemasaran, transportasi, penyimpanan, dan aplikasinya di lapangan karena satu jenis pupuk majemuk mengandung keseluruhan atau sebagian besar hara yang dibutuhkan tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah dosis aplikasi pupuk majemuk harus selalu memperhatikan jumlah hara yang diperlukan tanaman. Bahan organik yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit yang selama ini masih sering dianggap sebagai limbah merupakan sumber hara yang potensial bagi tanaman kelapa sawit, selain berfungsi sebagai bahan pembenah tanah. Bahan organik dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur tanah, kapasitas memegang air (water holding capacity) , dan sifat kimia tanah seperti KTK (Kapasitas Tukar Kation). Aplikasi kompos tandan kosong kelapa sawit pada percobaan di pot dapat meningkatkan KTK media tanah dari 20,6 mejadi 39,7 me/100 g tanah (Darmosarkoro, et al., 2001). Bahan organik juga mengandung unsur hara, sehingga aplikasi bahan organik juga berfungsi memperkaya hara tanah termasuk unsur hara makro. Selain itu bahan organik juga berfungsi sebagai bahan pembenah tanah. Aplikasi bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur dan porositas tanah. PKS akan menghasilkan minyak sawit mentah (MSM) dan limbah baik padat maupun cair. Limbah PKS, baik padat maupun cair memiliki potensi dan pemanfaatan sebagai pupuk. Setiap ton TBS yang diolah di pabrik akan menghasilkan 220 kg TKS, 670 kg limbah cair, 120 kg serat mesocarp , 70 kg cangkang, dan 30 kg palm kernel cake (Singh, et al., 1990). TKS merupakan bahan organik yang mengandung 42,8 % C, 2,90% K2O, 0,80% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsusr-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51
107 ppm Zn. Setiap ton TKS mengandung unsur hara yang setara dengan 3 kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP dan 2 kg kiserit (Long, et al., 1987). Khusus untuk limbah cair, PKS memiliki potensi menghasilkan limbah cair per ton TBS yang paling besar dibandingkan dengan limbah lainnya (sekitar 50%). Lubis dan Tobing (1989) menyatakan bahwa setiap proses produksi 1 ton CPO dihasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000-60.000 mg/l. LCPKS akan menjadi bahan pencemar bila dibuang ke sungai. Keadaan tersebut akan membahayakan kehidupan manusia dan sejumlah biota di sungai. Ditinjau dari segi kandungan haranya, setiap 1 ton limbah PKS mengandung hara setara dengan 1,56 kg Urea, 0,25 kg TSP, 2,50 kg MOP, dan 1,00 kg kieserite (Lubis dan Tobing, 1989). Limbah cair PKS disamping sebagai sumber hara makro dan mikro yang penting bagi tanaman juga merupakan sumber bahan organik yang dapat berperan pada perbaikan sifat kimia dan sifat fisik tanah antara lain peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) dan porositas tanah (Huan, 1987) Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aplikasi TKS. Secara ekonomi, merupakan pendapatan tambahan bagi pabrik kelapa sawit melalui produksi produk yang memiliki nilai ekonomi (bahan insulasi) atau secara praktis melalui penjualan TKS sebagai bahan baku. Hal ini juga dapat mengurangi biaya pembuangan TKS, sebagai limbah pabrik. Secara ekologi, pemanfaatan TKS secara komersial akan lebih efektif, sehubungan dengan rendahnya polusi udara dan lingkungan. Hal ini juga akan mengurangi ketergantungan industri kehutanan terhadap kayu yang berasal dari hutan, sehingga pemanfaatan limbah padat ini akan memberikan solusi yang lebih baik bagi stabilitas lingkungan dan keseimbangan ekologi. Secara sosial, melalui pembangunan industri baru (industri bahan insulasi), tentunya akan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan perkembangan wilayah termasuk infrastruktur, pendidikan, budaya, dan standar hidup di Indonesia. Aplikasi pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif dalam menjamin keseimbangan hara dalam aplikasi pemupukan. Aplikasi pupuk majemuk hendaknya tetap mengacu pada kebutuhan hara tanaman. Sementara pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit menjadi langkah penting dalam menyikapi semakin meningkatnya harga pupuk. Aplikasi pupuk organik dari limbah kelapa sawit telah banyak diterapkan pekebun guna meningkatkan efektifitas pemupukan, sekaligus sebagai sumber hara bagi tanaman. Selain
108 dapat digunakan pada perkebunan kelapa sawit, pupuk organik dari limbah kelapa sawit juga dapat digunakan pada tanaman pertanian lainnya. Penelitian untuk menghasilkan green products dari bahan kelapa sawit perlu segera untuk dikembangkan, terutama ditujukan sebagai kompetitor dari produk kimiawi yang ada saat ini. Green products mempunyai nilai kompetisi dan penetrasi pasar yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk yang dihasilkan bukan dari tanaman. Beberapa produk yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit adalah Xylose dari tandan buah kosong, aceton, butanol, dan ethanol dari LCPKS, asam sitrat dari LCPKS, asam organik (asam asetat, asam propionat) dari LCPKS. Produk-produk ini dapat dikategorikan sebagai green-chemicals. Penelitian tentang biopolimer untuk bahan adhesiv dan coating berpeluang besar untuk tanaman kelapa sawit, dimana produk sampingan proses pengolahan kelapa sawit banyak mengandung bahan tersebut. Tanaman di daerah tropis mempunyai kelebihan dalam produksi seloluse yang lebih tinggi 2-3 kali dibanding dengan iklim lain. Secara umum Tandan Buah Kosong (TBK) kelapa sawit mengandung 35%-40% selolusa, 15%-21% lignin, dan 24%-27% hemiselolusa. Produk biopolimer-adhesive dari kelapa sawit dapat untuk menggantikan resin sintesis yang diproduksi dari produk petrokimia. Pemanfaatan produk kelapa sawit sebagai sumber energi yang sudah digunakan secara luas seperti biodisesel. Penggunaan green energi membuka peluang penelitian yang cukup besar. Sumber energi yang dapat digunakan sebagai sumber energi dalam proses pengolah produk kelapa sawit untuk menggunakan bahan bakar fosil (Liwang, 2003). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi yang terbarukan belum banyak dilakukan. Oleh karena itu peluang untuk meneliti pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi yang terbarukan masih sangat besar karena hasil penelitian ini dapat memberikan keuntungan baik dari segi finansial maupun lingkungan. Selain keuntungan dari pemanfaatan pupuk hasil pengomposan, terdapat peluang pendapatan yang relatif tinggi dari kegiatan pengomposan limbah pabrik kelapa sawit yaitu mekanisme pembangunan bersih (CDM). Melalui mekanisme CDM, diharapkan akan memungkinkan adanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, tujuan mekanisme CDM adalah: (1) Membantu negara berkembang dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas
109 rumah kaca di atmosfer; dan (2) Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target penurunan emisi negaranya. Kegiatan usaha yang dapat dibiayai oleh proyek CDM antara lain di bidang perkebunan: fermentasi enterik; pengelolaan kotoran ternak; penanaman padi; lahan pertanian; pembakaran padang rumput sesuai peraturan yang ada; pembakaran limbah pertanian; dan bidang persampahan: pembuangan sampah padat di lahan; pengelolaan air buangan; insinerasi sampah; lainnya. Manfaat yang dapat diperoleh dalam kegiatan CDM khususnya di bidang perkebunan adalah hadirnya proyek-proyek ramah lingkungan dengan biaya relatif lebih murah, adanya transfer teknologi dari negara maju dengan biaya terjangkau, dan terciptanya pembangunan berkelanjutan. Yang terpenting, salah satu syarat proyek CDM adalah adanya keuntungan proyek tersebut bagi masyarakat lokal, baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. CDM merupakan satu peluang dalam perdagangan internasional yang permintaannya sangat terbatas. Kegiatan pengomposan limbah PKS dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga akan mendapatkan sebuah kredit yang dinamakan CER (certified emissions reduction). Kredit yang dihasilkan dari CER ini akan dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan oleh negara Annex I melalui CDM. Melalui proyek CDM, negara Annex I mendapat keuntungan yaitu dapat melakukan penurunan emisi dengan harga yang relatif lebih murah jika mereka harus mengembangkan proyek tersebut di negara mereka sendiri. Selain itu negara berkembang sebagai tuan rumah proyek CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan keuangan, transfer teknologi dan pembangunan yang berkelanjutan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah dapat dilakukan dengan pemanfaatan limbah padat dan cair melalui pengomposan. Kesimpulan penelitian analisis kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah sebagai berikut: 1. Faktor kunci yang mempengaruhi penerapan teknologi pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah peningkatan kapasitas pabrik kelapa sawit, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah cair, dan peningkatan nilai ekonomi limbah. 2. Sistem pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit untuk menuju nir limbah yang dapat diterapkan adalah menggunakan limbah (by product) dari setiap proses produksi kelapa sawit sebagai input proses produksi kelapa sawit melalui pengolahan limbah cair dan limbah padat menjadi kompos sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan yang dapat meningkatkan produktivitas kebun. 3. Model sistem penilaian terpadu PKS (SPT-PKS) yang dirancang PTPN IV Sumatera Utara terbukti dapat memberikan hasil penilaian secara cepat yang akurat dan valid. Hasil simulasi pada PKS Dolok Sinumbah menunjukkan kinerja perusahaan secara keseluruhan tergolong baik, berdasarkan kriteria kualitas bahan baku, proses produksi, hasil (PKO dan CPO), pengolahan limbah padat dan cair, serta aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. 4. Skenario optimal pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan. Skenario ini dicapai melalui peningkatan kapasitas produksi pabrik kelapa sawit, pengelolaan limbah padat dan cair, dan peningkatan nilai ekonomi limbah. Dalam kondisi ini terjadi perbaikan kinerja perusahaan secara keseluruhan dan pemanfataan limbah sebagai pupuk organik yang dapat penggunaan pupuk anorganik. Strategi untuk mengimplementasikan skenario optimal ini secara operasional adalah: a. Peningkatan kapasitas pabrik kelapa sawit dilakukan dengan melakukan berbagai survai untuk persiapan pelaksanaan, penetapan peraturan yang
111
bersifat
peningkatan
kualitas
produk
dan
menjamin
kelestarian
lingkungan, persiapan pemanfaatan limbah PKS untuk peningkatan produksi dan tidak mencemari lingkungan, peningkatan produksi TBS melalui
peningkatan
produktivitas
lahan
(intensifikasi)
maupun
penambahan luas areal tanaman (ekstensifikasi), lay out pabrik yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan, dan menjalin kemitraan dengan petani yang memiliki kebun kelapa sawit dengan mekanisme kerjasama yang jelas dan saling menguntungkan. b. Pengelolaan limbah padat dengan melakukan survai kebutuhan lokal secara partisipatif dan kajian ekonomi tentang berbagai alternatif teknologi pengolahan limbah padat, kajian tentang pengomposan dan dampaknya terhadap kualitas udara, pemilihan mesin pengolahan TKS yang lebih berkualitas dan ekonomis, memanfaatkan sumberdaya yang ada semaksimal mungkin sehingga ongkos produksi dapat ditekan serendah mungkin. c. Pengelolaan limbah cair dengan melakukan kajian ekonomi dalam penerapan
setiap
teknologi
pengelolaan
limbah
cair
yang
mempertimbangkan aspek valuasi lingkungan selain aspek finansial dalam proses produksi, kajian kebijakan pengelolaan lingkungan mencakup berbagai peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh perusahaan dalam kaitan dengan pengelolaan limbah cair, pengawasan dan evaluasi terhadap kelayakan standar sebelum diaplikasikan ke lapangan, pertemuan untuk membahas mengenai limbah dengan masyarakat dan para pakar, dan penerapan zero waste dalam setiap proses produksi. d. Peningkatan nilai ekonomi limbah kelapa sawit dicapai melalui kajian pemanfaatan TKS sebagai bahan baku industri olahan selain untuk kompos, melakukan sosialisasi penggunaan pupuk organik kepada masyarakat dan perusahaan perkebunan lainnya untuk memanfaatkan pupuk kompos dari limbah PKS, pengembangan pemanfaatan TKS dan sludge yang bersumber dari IPAL PKS, pengembangan teknologi pengolahan limbah yang efisien.
112
5.2 Saran Berdasarkan analisis dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan limbah untuk menuju nir limbah harus disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah masing-masing. Faktorfaktor yang harus diperhatikan adalah geofisik, pendapatan masyarakat, dan teknologi yang tersedia. 2. Model pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit ini dapat direplikasikan pada pabrik pengolahan kelapa sawit di wilayah lain. Untuk replikasi pada pabrik lainnya
disarankan
penyesuaian
pada
aspek
kebijakan
(komitmen)
perusahaan guna mengantisipasi pasar global. 3. Teknologi pengolahan limbah padat kelapa sawit yang dikaji dalam penelitian ini memiliki kapasitas besar dengan nilai investasi yang relatif mahal. Dengan demikian perlu dikembangkan teknologi pengolahan limbah padat kelapa sawit untuk skala usaha menengah dan kecil sehingga dapat diaplikasikan oleh perkebunan rakyat. 4. Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan kajian dari aspek sosial mengenai perubahan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan pupuk yang lebih ramah lingkungan.
113
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. 2003. Tinjauan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dari Perspektif Lingkungan Hidup dan Sosial Budaya. Seminar Nasional, Mengantisiapasi Regenerasi Pertama Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Bali. Alamsyah, T. 2000. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kegiatan Perkebunan. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit – II. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 13 – 14 Juni 2000. Aminullan, E. 1988. Pola dan Kecenderungan Riset dan Teknologi di Indonesia, 1969 – 2019, Analisis Dinamika Administrasi Tekno-ekonomi. Naskah Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Aminullah, E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Makalah Kuliah Umum. Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor Ardiansyah, Fitrian. 2003. Menuju Pengolahan Perkebunan Kelapa Sawit yang Lestari di Indonesia : Suatu Tinjauan dari Perspektif Lingkungan Hidup. Seminar Nasional, Mengantisiapasi Regenerasi Pertama Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Bali. Aritonang, D. 1986. Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Pakan Ternak di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 4: 9399. [Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1995. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51/ Kep-Men-LH/10/1995. Jakarta Lampiran B.IV. [BPPT] Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2007. Buku Panduan Gelar Teknologi Industri Kelapa Sawit (Dari Hulu Hingga Hilir). Seminar Nasional Workshop Pameran Industri. Pusat Audit Teknologi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Darmosarkoro, W., E.S. Sutarta, Winarna. 2001. Penggunaan Kompos Tandan Kosong Sawit Pada Tanaman Semusim dan Hortikultura. Lokakarya Pengelolaan Lingkungan Pabrik Kelapa Sawit 19 – 20 Juni 2001. Medan. Darnoko, Z. Poeloengan, dan I. Anas. 1993. Pembuatan Pupuk Organik Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Buletin PPKS. 1993, 1(I), 89-99 [Deptan] Departemen Pertanian. 2003. Statistik Perkebunan Indonesia 2003. Kelapa Sawit (Oil Palm). Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.
114 [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Peluang, Tantangan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. Makalah Seminar Nasional Workshop Pameran Industri. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. [Disbun Sumut] Dinas Perkebunan Sumatera Utara. 2002. Data Statistik Perkebunan Sumatera Utara Tahun 2002. Dinas Perkebunan Sumatera Utara. Medan. Djajadiningrat, S.T. 1997. Konsep Produksi Bersih dalam Industri Kaitannya dengan ISO 14000 serta Strategi Implementasinya. Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi VII, Desember 1997. ISSN 0853-7149. Center for Economic and Enviroment Studies (CEES). Jakarta. Djojomartono, M., 2000. Dasar-Dasar Analisis Sistem Dinamik. Program Pascasarjana Ilmu pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut pertanian Bogor. Drucker, P. F. 1993. Post-Capitalist Society, Newyork. NY; Harper Business. Dwijowijoto, R.N. 2003. Kebijakan Publik : fomulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Elex Media Komputindo. IKAPI, Jakarta Eriyatno, 1998. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid I Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Eriyatno, 2002. Ilmu Sistem; Apa dan Bagaimana. Centre for System Studies and Development (CSSD) Indonesia. Gedung Jaya 2nd Floor, Jl. Thamrin 12, Jakarta. Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid I Edisi Ketiga. IPB Press. Bogor. Erningpraja, L. 2001. Rancang Bangun Model Produksi Bersih Kebun Kelapa Sawit. Program Pascasarjana. IPB. Erningpraja, L. dan B Lalang. 2002. Tinjauan Komoditas Perkebunan Kelapa Sawit, Karet, Gula, Kopi, Kakao dan Teh 3 No. 1 Maret. Fiol, C. M and M.A. Lyles. 1985. “Organizational Learning, “Academy of Management Review, October. Freeman, C. 1989. “new Technology and Catching-up” Kuplinsky, R. And Cooper, C. Ed. 1989. Technology in Third Industrial Revolution. London: frank Class. Godet, M., Monti, R., Meunier,F., and Roubelat, F. 1999. Scenarios and Strategies a Toolbox for Scenario Planning, LIPS Working Papers, Special issue Published with the Support of The French Ministry of Foreign Affairs, Paris, France.
115 Gurmit, S. 1989. Fertilizer responses in oil palms on a range of alluvial soils. In: Jalani, S. et al., (eds). 1989 PORIM Int. Palm Oil Development Conference, PORIM, Kuala Lumpur. pp 383-394. Hadiwiardjo, B.H. ISO 14001. 1997. Paduan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. [IPOC] Indonesian Palm Oil Commission. 2004. Indonesian Palm Oli Statistics 1997 – 2003. Komisi Minyak Sawit Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. [IOPRI] Indonesian Oil Palm Research Institute. 2002. Proceedings of Agriculture Confrence : Enhanching Oil Palm Industry Development through Environmentally Friendly Technology. Indonesian Oil Palm Research Institute. [Kepmen LH 51/1995] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu Air Limbah Yang Boleh Dibuang Ke Lingkungan. Jakarta. [Kepmen LH 50/1996] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebauan. Jakarta. [Kepmen LH 45/1997] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang Indeks Standar Pencemar Udara. Jakarta. [Kepmen LH 2/1998] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.02 Tahun 1998 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Jakarta. [Kepmen LH 17/2001] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2001 Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Jakarta. [Kepmen LH 111/2003] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003 Tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air. Jakarta. [Kepmen LH 142/2003] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 142 tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003. Jakarta. [Kepmen LH 28/2003] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 Tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak Sawit Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta. [Kepmen LH 29/2003] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 Tentang Pedoman Syarat Dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta.
116 Ketaren, P.P. 1986. Bungkil Inti Sawit dan Ampas Minyak Sawit sebagai Pakan Ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Volume 8 (4-6): 10-11. Liwang, T. Pujianto, A. Widodo, F. Siregar. 2006. Impact of Palm Oil Mill Effluent to Oil Palm Production and Soil Properties. Proceeding of International Oil Palm Confrence (IOPC) 2006. Bali. Lubis, B. dan Tobing, P.L. 1989. Potensi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit. Bull. Perk. (1)1989. Lucas, H. C.JR., 1993. Analisis, Desain dan Implementasi Sistem Informasi (Penerjemah : Abdul Basith). Erlangga. Jakarta. Maani, K. and Robert Y. Cavana. 2000. System Thinking and Modeling. New Zealand: Prentice Hall. Manetsch, T.J., and G.L. Park. 1997. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System. Third Edition. Departement of Electrical Engineering and System Science. Michigan State University. East Lansing. Michigan. Midgley, G., 2000. Systemic Intervention: Philosophy, Methodology, and Practice. Kluwer Academic/Plenum Publisher, New york, Boston, Dordrecht, London, Moscow. [MPOB] Malaysian Palm Oil Board. 2000. Advances in Oil Palm Research Volume II. Malaysian Palm Oil Board-Ministry of Primary Industries. Malaysia. Muhammadi, E., Aminullah, B. Soesilo, 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Naibaho, P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Noor, E. 2006. Produksi Bersih. Materi Pelatihan Dosen PTN dan PTS SeJawa – Bali dalam Bidang Audit Lingkungan. Bogor. O’Brien, J.A., 1999. Management Information System. McGraw Hill. Arizona. USA. O'Connor, J. and Ian Mc Dermott. 1997. The Art of System Thingking. San Francisco: Thorsons. [OECD] Organization for Economic Cooperation and Development. 1998. OECD work on Sustainable Development. A discussion paper on work to be undertaken over the period 1998–2001. www.oecd.org/subject/sustdev/ oecdwork.htm. Ohmae, K. 1990. The Borderless World, Power and Strategy in the Interlinked Economy. New York K Harper Business.
117 Ohmae, K. 1995. The End of Nations State, The Rise of Regional Eonomies. New York : The Free Press Osborne, D. And Gaebler, T. 1992. Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York : Eddison Wesley. Pakpahan, A. 1999. Kebijakan pembangunan perkebunan. Simposium III Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Bogor, 1-2 Desember 1999. Pamin, K., M. M. Siahaan dan P. L. Tobing, 1996. Pemanfaatan limbah cair PKS pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Lokakarya Nasional Pemanfaatan Limbah Cair cara Land Application pada 26-27 Nopember 1996. Jakarta. Papiptek-LIPI, 1997. Transformasi Industri dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta, CSIS. Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York : Free Press. [PP 27/1999] Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta. [PP 41/1999] Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta. [PP 82/2001] Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. [PPKS]
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2000. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2000-II: Penanganan Terpadu Limbah Industri Kelapa Sawit yang Berwawasan Lingkungan. Medan.
Prahalad, C.K. & Kamel, Gary. 1994. “Competing for The Future”. Harvard business School. [PTPN IV] PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 2003. Kajian Pemanfaatan LCKS dan TKKS Sebagai Bahan Kompos. PTPN IV Bagian Perencanaan,Pengkajian dan Pengembangan. Medan. [PTPN IV] PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 2004. Pengkajian Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Secara Aplikasi Lahan dengan Sistem Long Bed Terhadap Lingkungan di Kebun Dolok Ilir Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara. PTPN IV bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan. [PTPN IV] PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 2005. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan. PTPN IV Bagian Perencanaan,Pengkajian dan Pengembangan. Medan.
118 [PTPN IV] PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 2006a. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Kebun, PKS dan Pabrik Kompos Unit Dolok Sinumbah. PT. Perkebunan Nusantara IV. (Persero) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan. [PTPN IV] PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 2006b. Dokumen Laporan Akhir Hasil Pengujian Kualitas Lingkungan di PKS Dolok Sinumbah. PT. Perkebunan Nusantara IV. (Persero) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan. Pucik, V. 1993. “Globalization and Human Resource Management : dalam Validimir Pucik, Noel M. Tichy dan Carole K. Barnett (Editor). Globalizing Management Creating and Leading the Competitive Organization. New York. NY: John Wiley and Sons. Inc. Pujianto, J.P. Caliman, A. Widodo, T. Liwang. 2006. Yield Response to Potassium Fertilizer on Various Ecological System at Oil Palm Plantation in Indonesia. Proceeding of International Oil Palm Confrence (IOPC) 2006. Bali. Pasaribu, T., A.P. Sinurat, J. Rosida, T. Purwadaria,dan T. Haryati. 1998. Pengkayaan Gizi Bahan Pakan Inkonvensional Melalui Fermentasi Untuk Ternak Unggas. 2. Peningkatan Nilai Gizi Lumpur Sawit Melalui Fermentasi. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Richmond, B. 2000. The ”thinking” in Systems Thinking. Seven Essential Skill. Pegasus Communications. Inc. First Edition. Waltham. USA. Simatupang, B.M. Jakarta.
1995.
Mengantisipasi ISO Seri 14000.
Harian Kompas.
Smith, D. K., 1996, Taking Charge of Change, USA, Addison Wesley, Inc. Soemodihardjo, S. 2000a. Mengenal System Thinking. persiapan untuk diterbitkan . Jakarta.
Makalah, dalam
STAID/BPPT, 1994. Science and Technoology Indicarors of Indonesia 1993, Jakarta, STAID/BPPT. Suratmo, F.G. 1998. Indonesian Prespective and Experiences on Forest Fire Management. Paper for FAO Consultating on Public Policies Affecting Forest Fire in Rome, october 28-30 1998. Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. Susila, W.R,. B.S. Abbas, P.U. Hadi, A. Priyambodo, dan S.O. Lubis (1995). ‘Model Ekonomi Minyak Sawit Mentah Dunia’, Journal Agro Ekonomi, 14 (2), 21-43. Susila, W.R dan B. Dradjat. 2002. Liberalisasi Perdagangan Pada Komoditas Kopi dan Kelapa Sawit. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia.
119 Susila, W. R., Harianto, A. Supriono. 2000. Liberalisasi Perdagangan Pada Komoditas Kopi dan Kelapa Sawit. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Susilowati, S.H. 1989. Pasar Minyak Sawit Dunia dan Kaitannya Dengan Ekspor Minyak Sawit Dunia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sutarta, E., S. Winarna, P.L.Tobing, Sufianto. 2000. Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit – II , Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 13 – 14 Juni. Teece, D. 2000. “Strategies for Managing Knowledge Assets : The Role of Firm Structure and Industrial Context”. Long Range Planning. Vol.33. Turner, P.D and R.A. Gillbanks. 1974. Oil Palm Cultivation and Management. The Incorporated Society of Planters. Kuala Lumpur, Malaysia. Turner, P.D. dan R.A. Gillbanks. 2003. Oil Palm Cultivation and Management. Incorp Soc. Planters. Kuala Lumpur. Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2004. Limbah Padat Pengolahan Minyak Sawit sebagai Sumber Nutrisi Ternak Ruminansia. Jurnal Litbang Pertanian 23(1). Utomo, B.N., E. Widjaja, S. Mokhtar, S.E. Prabowo, dan H. Winarno. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Pengembangan Ternak Potong pada Sistem Usaha Tani Kelapa Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. White, R. P. 1996. The Future of Leadership. A White Water Revolution. Great Britain. Pitman Publishing. Wulfret
K., W. Gindulis, M. Kohler, D. Darnoko, P.L. Tobing dan R. Yuliasari. 2000. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Secara Anaerobik. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit – II, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 13 –14 Juni.
Zulnerlin and A.F. Ibrahaim. 1999. Experience in Zero Burning in Plantations of PT. PP. London Sumatera Indonesia Tbk. Proceeding of The 1999 PORIM International Palm Oil Congress (Agriculture). Kuala Lumpur, Malaysia.