THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
MODEL EKONOMETRIK KEPEMIMPINAN SPIRITUAL DI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS DI SUKOHARJO, JAWA TENGAH) Sri Padmantyo1), Ahmad Shilbi Sulton2), Muhammad Sholahuddin3) 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta Email:
[email protected] 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta Email:
[email protected] 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta Email:
[email protected]
Abstract This study aims to analyze the econometric model of spiritual leadership. Allegedly, the variable of vision, hope/faith, altruistic love, meaning/call, membership, commitment, job satisfaction have a positive significant effect on spiritual leadership. Respondents in this study were employees of BMT "X" and BMT "Y" in Sukoharjo, Central Java. Analysis data were using validity and reliability testing, classical assumption (normality test, multikoleniaritas, heteroscedasticity test, autocorrelation test), multiple linear regression, T-test, F test and coefficient of determination. T-test results showed that the variables of vision, meaning, hope/faith, altruistic, love, membership, commitment and job satisfaction partially have positive effects on spiritual leadership significantly. While the test results show that the F test for variable of vision, hope/faith, altruistic love, meaning, membership, commitment and job satisfaction have a significant influence on the spiritual leadership simultaneously. More than two-thirds of the variable of vision, hope/faith, altruistic love, meaning, membership, commitment and job satisfaction play a role in influencing the spiritual leadership. While, there are less than a third part of some other variables have influence on it. The originality of the study Keywords: Spiritual, leadership, love, altruistic, vision PENDAHULUAN Pada era globalisasi seperti saat ini perubahan organisasi telah dianggap penting lebih dari sebelumnya. kepemimpinan organisasi dianggap sebagai tokoh dalam perubahan organisasi. Setiap dari kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabanya (Pujiastuti 2014). Perilaku pemimpin yang kurang baik akhir-akhir ini menimbulkan terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemimpin (Astuti 2013). Pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung, pengarah dan memotivasi bawahan sekarang ini menjadi barang langka. Menurut Robbins (2005), Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju tercapainya sasaran. Seorang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
dikatakan mampu ketika dia memiliki kepribadian (personality) , kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) (Wahyusumidjo 1987). Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik dapat bermanfaat bagi karyawan dan organisasi. Fry (2003) menyatakan bahwa kepemimpinan spiritual menciptakan motivasi intrinsik melalui visi, harapan / iman, dan cinta altruistik, yang mengarah ke kelangsungan hidup spiritual melalui makna / memanggil dan keanggotaan. Fairholm (1996) berpendapat bahwa pemimpin spiritual membantu pengikut mengembangkan inspirasi visi dan misi yang mendorong tingkat yang lebih tinggi dari komitmen dan efektivitas organisasi.
78
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang lebih banyak mengandalkan kecerdasan spiritual (rohani) dalam memimpin, kepemimpinan spiritual juga diartikan sebagai kepemimpinan yang sangat menjaga nilai nilai spiritual (Surbakti 2012). Pemimpin yang menjalankan kekuasaanya berdasar hati nurani. Pentingnya hati nurani diterapkan didalam manajemen kepemimpinan karena hati nurani menuntun pemimpin arif dan bijaksana dalam melaksanakan kepemimpinannya (Surbakti 2012), perlu diketahui untuk mencapai tujuan, baik individu maupun organisasi proses manajemen tidak hanya didominasi oleh pertimbangan rasional atau intelektual saja melainkan juga pertimbangan hati nurani. Hati nurani selalu menuntun perbuatan kita terarah melakukan kebaikan, Hati nurani juga yang bisa membedakan yang benar dan salah. Oleh karena itu jika memimpin dengan hati nurani bisa dipastikan tindakan atau perbuatan yang merugikan manusia lainnya seperti kecurangan, korupsi, dapat terhindar (Surbakti 2012). Teori kepemimpinan spiritual adalah teori kepemimpinan yang dirancang untuk menciptakan motivasi intrinsik. Kepemimpinan spiritual terdiri dari nilai, sikap dan perilaku untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk memiliki rasa spiritual dalam hidupnya melalui keterpanggilan dan keanggotaan, memiliki makna dalam hidup mereka , merasa dimengerti dan dihargai, Mereka merasa mengalami kehidupan yang berarti. Teori Kepemimpinan Spiritual dikembangkan dalam model motivasi intrinsik yang mengembangkan visi, harapan/keyakinan dan cinta altruistik. Tujuan kepemimpianan Spiritual untuk memenuhi kebutuhan mendasar dari pemimpin dan pengikut untuk kelangsungan hidup spiritual melalui keterpanggilan dan keanggotaan. Hal ini memerlukan : pertama, ciptakan visi dimana pemimpin dan pengikut mengalami rasa keterpanggilan , kedua, membangun budaya sosial, berdasarkan nilai cinta altruistik dimana pemimpin dan pengikut memiliki rasa keanggotaan , merasa dimengerti dan dihargai (L. W. Fry 2003). Bagian berikut adalah masingmasing dimensi kepemimpinan spiritual seperti yang dikemukakan oleh (L. W. Fry 2003).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Dimensi Visi, harapan / iman, cinta altruistik, makna / panggilan, keanggotaan (L. W. Fry 2003), komitmen (Allen & Meyer 1991) , Kepuasan kerja (Simamora 2004). Fry (2003) menyatakan dua hal yang menjadi landasan pemikiran perlunya teori kepemimpinan spiritual : pertama, kebutuhan zaman akan organisasi-organisasi pembelajar memerlukan kepemimpinan spiritual, kedua, organisasi-organisasi pembelajar dapat menjadi sumber pertahanan spiritual dan terutama memotivasi para pekerjanya secara instrinsik melalui visi, harapan/keyakinan, dan cinta altruistik. Fry mendefinisikan kepemimpinan spiritual sebagai penggabungan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain sedemikian rupa secara instrinsik sehingga mereka memiliki rasa pertahanan spiritual melalui panggilan tugas dan keanggotaan (Fry 2005; Fry Louis W, Vitucci Steve 2005; Fry 2003). Pemimpin yang berbasis spiritual,mereka berusaha untuk mengintegrasikan spiritualdalam aspek kehidupannya, Kepemimpinan spiritualitas, bukanlah tentang kecerdasan dan keterampilan dalam memimpinbelaka. Namun juga menjunjung nilai-nilaikebenaran, kejujuran, integritas, kredibilitas,kebijaksanaan, belas kasih, yang membentukakhlak dan moral diri sendiri dan orang lain.Kepemimpinan spiritual terdiri dari nilai, sikap dan perilaku untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk memiliki rasa spiritual dalam hidupnya melalui ketepanggilan dan keanggotaan, memiliki makna dalam hidup mereka , merasa dimengerti dan dihargai. Mereka merasa mengalami kehidupan yang berarti. Penelitian ini dilakukan unutk mengetahui apakah visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna/panggilan, keanggotaan, komitmen, Kepuasan kerja berpengaruh secara parsial terhadap spiritual leadership, Untuk menganalisis apakah visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna/panggilan, keanggotaan, komitmen, Kepuasan kerja berpengaruh secara serempak terhadap spiritual leadership, dan menjelaskan berapa besar pengaruh visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna/panggilan, keanggotaan, komitmen, Kepuasan kerja terhadap spiritual leadership serta untuk mengetahui bagaimana
79
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
model spiritual leadership fry pada BMT “X” dan “Y” di Sukoharjo, Jawa Tengah.
kemudian memprakarsai pembentukan BMT di Indonesia, dengan juga melakukan pembinaan, monitoring, evaluasi hingga perlindungan dalam legal status, karena status BMT yang pada saat itu belum jelas. Pada bulan Desember 1995, Presiden Suharto mendeklarasikan BMT sebagai sebuah gerakan nasional untuk pemberdayaan usaha kecil, dan di tahun tersebut BI juga mengijinkan BMT sebagai lembaga yang dapat diberikan bantuan pendanaan dan masuk dalam program linkage dengan bank umum (Baskara 2013). Saat ini keberadaan BMT sudah mencakup seluruh wilayah Indonesia, dengan populasi terbanyak berada di Pulau Jawa. Selain di Pulau Jawa, konsentrasi populasi BMT yang cukup besar terdapat di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (Andriani 2005). PINBUK sendiri, sebagai institusi yang mewadahi lembaga BMT di Indonesia, telah mencatat bahwa jumlah BMT yang beroperasi sampai dengan tahun 2009 di berbagai provinsi mencapai angka 3.536 lembaga. PINBUK juga mencatat bahwa per tumbuhan BMT pertahunnya ratarata men capai angka sekitar 108 lembaga. De ngan fakta seperti ini, maka proyeksi pertumbuhan BMT 20 tahun ke depan akan sangat luar biasa. Apalagi data ini belum mencakup koperasi syariah, Koppontren (koperasi pondok pesantren) atau BMT lain yang belum terdata oleh Pinbuk. Dari sisi nilai aset, yang mana akan berpengaruh pada seberapa besar karyawan yang akan dipekerjakan, atau seberapa banyak nominal uang yang akan dikelola, terdapat lebih kurang 168 BMT yang memiliki aset lebih dari Rp 1 milyar. Bahkan beberapa BMT ada yang memiliki aset hingga puluhan milyar rupiah, seperti BMT Bina Ummat Sejahterah di Lasem dan BMT Beringharjo di Jogjakarta. Sedangkan BMT Marsalah Mursalah lil Ummah (MMU) dan BMT UGT Sidogri Pasuruan pada tahun 2009, masing-masing beraset 56,79 Milyar dan 164,87 milyar rupiah, dan mereka rata-rata telah mempunyai outlet/cabang di beberapa provinsi di Indonesia. Selanjutnya, hampir 80 persen BMT, menurut catatan PINBUK, memiliki aset antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. Hanya 9,32 persen yang memiliki aset di bawah Rp 50 juta (Effendi 2010).
KAJIAN LITERATUR 2.1. Islamic Microfinance in Indonesia Perkembangan kelembagaan keuangan sebagai lembaga intermediasi, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank yang mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan kondisi keuangan dan moneter yang dialami suatu negara. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) jika mengacu pada Undang Undang No.1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro di definisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan,maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan (Baskara 2013). Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) terdiri dari berbagai lembaga diantaranya BPRS (Bank Perkreditan Mikro Syariah), BMT (Baitul Mal Wat Tanwil), serta Koperasi Syariah. Ketiga lembaga tersebut mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain dan berhubungan erat dengan lembaga syariah lainnya yang lebih besar (Zahro 2010). Akan tetapi pada penelitian ini penulis hanya memfokuskan penenlitian pada LKMS Baitul Mal Wat-tanwil Amanah Ummah, Sukoharjo Surakarta. Sejarah keberadaan BMT di Indonesia tidak lepas dari dibentuknya Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK). Yayasan ini dibentuk sekitar bulan Maret tahun 1995 melalui prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) beserta Bank Muamalat yang merupakan bank pertama di Indonesia dengan prinsip syariah. Dalam susunan dewan pendiri tercatat nama B.J. Habibie, mantan presiden Indonesia. YINBUK kemudian membentuk Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) (Irwan 2006). Pendirian PINBUK dimaksudkan sebagai sarana operasional untuk menyalurkan dana yang dihimpun oleh YINBUK. Institusi inilah yang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
80
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
mengemukakan tiga inti kebutuhan tingkat tinggi pada individu, yang merupakan dasar bagi motivasi diri dan integrasi kepribadian, yaitu kompetensi, keterhubungan (relatedness), dan otonomi. Menurut Fry(2003), kepemimpinan spiritual dapat dipandang sebagai sesuatu yang perlu untuk sukses organisasi dalam lingkungan saat ini yang tak dapat diramalkan, yang digerakkan oleh internet. Orang-orang membutuhkan sesuatu yang dapat dipercaya, seseorang ytang dapat dipercaya, dan orang-orang yang dapat percaya kepadanya. Seorang pemimpin spiritual adalah orang yang berjalan dimuka disaat seseorang membutuhkan orang untuk diikuti (sesuai kompoen visi), berjalan dibelakang ketika seseorang membutuhkan dorongan (sesuai komponen harapan/keyakinan), dan berjalan disamping saat seseorang membutuhkan teman/sahabat (sesuai cinta altruistik). Pemimpin spiritual memimpin melalui diskursus intelektual dan dialog, dan keyakinan bahwa bila orang-orang dilibatkan dan mendapat informasi yang tepat, dapat membuat keputusan intelektual dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut yang mempengaruhi hidupnya (Widyarini 2010). Pada intinya konsep spiritual leadership adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual. Tuhan adalah pemimpin sejati yang mengilhami segala bentuk perbuatan, mempengaruhi dan menggerakan hati nurani hambaNya dengan cara yang sangat bijak melalui keteladanan, karena itu kepemimpinan spiritual disebut juga sebagai kepemimpinan yang berdasar etika religius (Tobroni 2010). Reave (2005) menyebutkan bahwa tingkah laku spiritual leadership termasuk menghormati orang lain, kesetaraan, kepedulian, identifikasi dengan kontribusi, reaksi untuk umpan balik dan refleksi diri. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya faktor pemimpin yang melayani. Melayani memiliki makna semangat batin untuk membantu orang lain, menjaga kepercayaan serta mampu menjadi pendengar yang baik. Bezy (2011) mewawancarai dua puluh lima panelis yang menghasilkan identifikasi 179
2.2.
Teori Spiritual Leadership Fry Fry (2003) mengembangkan konsep kepemimpinan spiritual mengingat tantangan lingkungan organisasional abad 21 yang sarat dengan perubahan dan memerlukan organisasiorganisasi pembelajar (Learning Organizations) yang adaptif (Fry 2003). Organisasi-organisasi pembelajar mengutamakan respon yang cepat dengan tanggung jawab yang tinggi, produktif, memotivasi para pekerja secara instrinsik (selfdirected), memberdayakn tim secara fleksibel, struktur yang datang (flat), pengembangan jaringan kerja, berbeda dan global. Pangilan (Calling), Menciptakan visi di mana anggota organisasi merasakan panggilan dalam diri mereka bahwa hidup mereka memiliki makna tertinggi dan bisa membuat perbedaan yang berarti di dalamnya. Keanggotaan (Membership), Membentuk budaya organisasi/sosial berdasar pada cinta sesama, yaitu saat pemimpin dan bawahan saling peduli, perhatian, dan menghargai diri sendiri dan orang lain, sehingga mereka mampu menghasilkan rasa menjadi bagian dari organisasi secara bersama-sama dan saling memahami serta menghormati satu sama lain (Fry, 2003). Spiritual leadership memerlukan: (1) penciptaan visi dimana para anggota organisasi mengalami panggilan hidup dalam hal kehidupan mereka, (2) mengembangkan suatu budaya sosial berdasarkan pada cinta altruistik dimana pemimpin dan pengikut mempunyai perawatan, perhatian dan apresiasi asli untuk diri sendiri dan orang lain, memproduksi rasa keanggotaan dan merasa dipahami dan dihargai. Fry (2003) menegaskan bahwa pemimpin bertanggung jawab menyusun visi, tujuan misi, strategi dan implementasinya. Dalam menyusun visi, ia juga bertanggung jawab menciptakan kesesuaian nilai antar semua level dalam organisasi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Fry menjelaskan bahwa kepemimpinan spiritual melalui visi, harapan/keyakinan, dan cinta altruistik memberikan dasar motivasi instrinsik melalui keterlibatan dalam tugas dan identifikasi terhadap tujuan. Hal ini sesuai dengan teori motiviasi intrinsik “self Dedeterminism” Ryan R.M dan Decy E.L(2000); Ryan (2004) yang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
81
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
kata kunci atau frase yang menggambarkan karakteristik (kualitas khas atau ciri-ciri) yang membedakan pemimpin spiritual dari para pemimpin pada umumnya. Karakteristik kepemimpinan umum dibagi menjadi karakteristik interpersonal dan intrapersonal karakteristik. Ada sepuluh karakteristik interpersonal dan 13 karakteristik intrapersonal. Karakteristik kepemimpinan spiritual dibagi menjadi karakteristik agama, karakteristik interpersonal, dan intrapersonal karakteristik. Ada tujuh karakteristik religius, 22 karakteristik interpersonal, dan 19 karakteristik intrapersonal.
UAD, Yogyakarta
Kepemimpinan spiritual memfasilitasi pengembangan kesadaran sosial, motivasi diri, melakukan pengembangan karakter. kepemimpinan spiritual muncul dari interaksi antara visi pemimpin, kepedulian terhadap anggota kelompok (cinta altruistik), harapan dan iman. Pemimpin yang membentuk visi berlandaskan melayani dengan tujuan yang lebih tinggi untuk memenuhi nilai-nilai organisasi. Ia juga mengarahkan dan menginspirasi anggotanya untuk mencapai tujuan dalam kerja mereka. Ditambah dengan kepedulian dan keprihatinan mendalam untuk pengembangan anggota kelompok dan mempromosikan kesejahteraan mereka. Ini membantu para pemimpin meningkatkan kepercayaan dan meningkatkan motivasi karyawan untuk meraih prestasi (Sweeney 2007; Sweeney et al. 2009). Akhirnya, pemimpin yang optimis dan yang menyediakan anggota kelompok dengan harapan masa depan yang cerah bagi diri mereka sendiri dan organisasi meningkatkan harapan dan iman karyawan.
organisasi. Spiritual leadership theory merupakan paradigma baru bagi teori kepemimpinan, penelitian dan praktek yang dapat memperluas teori transformasional dan karismatik melalui etika dan nilai-nilai berdasar teori-teori. Menurut Fii Ahsani(2013) Kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada meaning dan membership dan menunjukkan pengaruh positif yang signifikan pada produktifitas karyawan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurfika A (2009), Terdapat pengaruh yang signifikan dari penerapan spiritual leadeship terhadap komitmen organisasi pada perawat. kepemimpinan spiritual berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui perilaku etis dan komitmen organinisasional (Umar 2013). Dan menurut Ahsani(2010) spiritual leadership berpengaruh signifikan terhadap calling, spiritual leadership berpengaruh signifikan terhadap membership dan spiritual leadership berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Menurut Pujiastuti(2014), Dari penelitian sementara, secara umum perangkat desa menurut Fry memiliki visi yang tinggi, harapan untuk capai tujuan ( optimis ) tinggi, cinta altruistik tinggi , arti tinggi dan perasaan keanggotaan yang relatif sedang. Sedangkan menurut Azlimin(2015) Berdasarkan hasil Penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan spiritual leadership melalui visi dan harapan/keyakinan serta cinta sesama pada organisasi tidak berpengaruh terhadap peningkatan komitmen SDM di RSISA Semarang. Tidak ada pengaruh langsung antara spiritual leadership terhadap komitmen SDM.
Penelitian yang dilakukan Fry, L.W.; Steve, Vitucci.;Marie, (2005), menguji model kausal spiritual leadership theory dengan hipotesis : terdapat hubungan positif antara kualitas spiritual leadership, spiritual survival dengan komitmen dan produktivitas organisasi. Kesimpulan penelitian Memberikan dukungan yang kuat terhadap spiritual leadership theory dan pengukurannya. Terdapat hubungan yang positif antara kualitas spiritual leadership, spiritual survival dengan komitmen dan produktivitas
METODE PENELITIAN Teknis analisis data yang dilakukan meliputi : uji Validitas, uji reliabilitas, uji asumsi klasik, analisis regresi linier berganda, uji t dan uji F serta uji determinasi. Uji validitas digunakan untuk menguji apakah instrumen yang digunakan, dalam hal ini angket memenuhi persyaratan validitas, pada dasarnya digunakan korelasi Pearson. Bila t hitung > dari t tabel atau r hitung > dari r tabel, maka nomor pertanyaan tersebut
THE 5TH URECOL PROCEEDING
82
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
valid. Bila menggunakan program komputer, asalkan r yang diperoleh diikuti harga p < 0,05 berarti nomor pertanyaan itu valid (Sanusi 2005). Uji reliabilitas digunakan untuk menunujukkan ukuran kestabilan dan konsistensi dari konsep ukuran instrumen atau alat ukur, sehingga nilai yang diukur tidak berubah dalam nilai tertentu. Konsep reliabilitas menurut pendekatan ini adalah konsistensi diantara butir–butir pernyataan atau pernyataan dalam suatu instrumen. Reliabilitas diukur dengan uji statistik cronbach alpha (a) (Kurniawanda 2013). Menurut Priyatno (2012), model regresi linier dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi beberapa asumsi yang kemudian disebut dengan asumsi klasik. Priyatno (2012) menyatakan bahwa uji normalitas pada model regresi digunakan untuk menguji apakah nilai residual yang dihasikan dari regresi terdistribusi secara normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah yang memiliki nilai residual yang terdistribusi secara normal. Uji Multikolinieritas adalah Keadaan dimana pada model regresi ditemukan adanya korelasi yang sempurna atau mendekati sempurna antarvariabel independen (Priyatno (2012),. Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi yang sempurna atau mendekati sempurna diantara variabel bebas (korelasinya 1 atau mendekati 1). Menurut Ghozali (2011), uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali 2011). Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas juga dapat diketahui dengan melakukan uji glejser. Jika variabel bebas signifikan secara statistic mempengaruhi variabel terikat maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas (Ghozali 2011). Uji autokorelasi menurut Priyatno (2012), adalah keadaan dimana pada model regresi ada
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
korelasi antara residual pada periode t dengan residual pada periode sebelumnya (t-1). Menurut Ghozali (2011), jika terjadi autokorelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang beruntutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Model regresi yang baik adalah yang tidak terdapat masalah autokorelasi, Metode pengujian menggunakan uji Durbin-watson (DW test). Analisis regresi merupakan salah satu teknik analisis data dalam statistika yang seringkali digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan meramal suatu variabel (Kutner, M.H., C.J. Nachtsheim. 2004). Penelitian ini menggunakan model analisis regresi berganda, hal ini menunjukkan hubungan (korelasi) antara kejadian yang satu dengan kejadian lainnya. Analisis tersebut dapat digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dengan model analisis sebagai berikut: Y = α+ B1X1 + B2X2 + B3X3 + B4X4 + B5X5 + B6X6 + B7X7 ℓ Keterangan : Y : Spiritual leadership. X1 : Visi. X2 : Harapan/Iman. X3 : Cinta Altruistik. X4 : Makna / Panggilan X5 : Keanggotaan X6 : Komitmen X7 : Kepuasan kerja α : Konstanta. B : Koefisien Regresi. ℓ : Error. Menurut Efferin (2008), Perlu dilakukannya uji hipotesis karena kita akan melakukan generalisasi dari hasil analisis kita berdasarkan sampel, kepada karakteristik dari populasi. Menurut Priyatno (2012), Uji T atau uji koefisien regresi secara parsial digunakan untuk mengetahui apakah secara parsial variabel independen berpengaruh secara signifikan atau tidak terhadap variabel dependen. Pengujian
83
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikan misalnya 0.05 (5%). Menurut Priyatno (2012), Uji F atau uji koefisien regresi secara bersama-sama digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama sama variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Pengujian menggunakan tingkat signifikansi 0.05 (5%). I. Jika Statistik Hitung (angka t output) > Statistik Tabel (tabel t), maka Ho ditolak. II. Jika Statistik Hitung (angka t output) < Statistik Tabel (tabel t), maka Ho diterima. Nilai koefisien determinasi terdiri antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel-variabel dependen amat terbatas. Nilai R2 jika mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Susanti dan Tarigan 2013).
sedangkan variable independen lainya yang digunakan lebih besar daripada 0,05 maka dapat dinyatakan tidak mengalami uji heteroskedastisitas. Berdasarkan uji Autokorelasi yang dilakukan pengujian dengan SPSS 16 maka dapat diperoleh hasilnya bahwa nilai Durbin Watson 2.355 terletak diantara 1,5 sampai 2,5 maka dapat dinyatakan tidak mengalami gejala autokorelasi. Dengan menggunakan SPSS 16 maka dapat dihasilkan sebagai berikut: Tabel 3.7 Hasil Uji Regresi Linier Berganda Unstandardized coefficients Variabel T Sig B (Constant) 1,686 0,047 0,963 Visi 0,085 2,221 0,030 Harapan / 0,068 2,064 0,043 Iman Cinta 0,055 2,031 0,046 Altruistik Makna / 0,109 3,219 0,002 Panggilan Koanggotaan 0,092 2,182 0,033 Komitmen 0,046 2,424 0,018 Kepuasan 0,043 2,420 0,018 kerja
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa semua item pada kuesioner adalah valid yang disajikan pada lampiran. Sedangkan Pada uji reliabilitas ini menggunakan metode cronbach’s alpha dimana dikatakan reliebel apabila nilai cronbach’s alpha lebih besar daripada 0,6 (dapat dilihat pada lampiran). Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji normalitas KolmogorovSmirnov diperoleh hasil bahwa nilai asymp.sig 0,531 lebih besar daripada 0,05 maka dapat dinyatakan berdistribusi normal. Sedangkan metode yang digunakan untuk uji multikolinieritas adalah menggunakan VIF dan Tolerance Hasil yang didapat nilai tolerance lebih kecil dari 1 dan VIF setiap variabel independen yang digunakan penelitian ini lebih besar dari 1 maka dapat dinyatakan tidak mengalami gejala multikolinieritas. Dalam penelitian ini uji heteroskedastisitas menggunakan metode glejser dan nilai sig. harus lebih besar daripada 0,05. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini nilai sig. pada variabel cinta altruistic mengalami heteroskedastisitas,
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Dari hasil analisis regresi berganda pada table IV.18 diatas, dapat diperoleh persamaan sebagai berikut : Y = 1,686+0,085X1+0,068X2+0,055X3+ 0,109X4+0,092X5+0,046X6+0,043X7+ℓ Nilai konstanta sebesar 1,686, artinya jika variabel visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna / panggilan, keanggotaan, komitmen dan kepuasan kerja maka variabel spiritual leadership adalah 1,686. Nilai koefisien regresi untuk variabel visi adalah X1= +0,085, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel visi akan menaikkan spiritual leadership sebesar 0,085 atau 0,85% dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien regresi untuk variabel harapan/iman adalah X2= +0,068, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel harapan/iman akan menaikkan spiritual leadership sebesar 0,068 atau 0,68% dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien regresi
84
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
untuk variabel cinta altruistik adalah X3= +0,055, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel cinta altruistik akan menambahkan spiritual leadership sebesar 0,055 atau 0,55% dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien regresi untuk variabel makna/panggilan adalah X4= +0,109, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel makna/panggilan akan menaikkan spiritual leadership sebesar 0,109 atau 1,09% dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien regresi untuk variabel keanggotaan adalah X5= +0,092, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel keanggotaan akan menaikkan spiritual leadership sebesar 0,092 atau 0,92% dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien regresi untuk variabel komitmen adalah X6= +0,046, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel komitmen akan menaikkan spiritual leadership sebesar 0,046 atau 0,46% dengan asumsi variabel lain tetap. Nilai koefisien regresi untuk variabel kepuasan kerja adalah X7= +0,043, menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel kepuasan kerja akan menambahkan spiritual leadership sebesar 0,043atau 0,43% dengan asumsi variabel lain tetap. Hasil uji t dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3.8 Hasil Uji T Variabel ttSig Keterang hitun tabel an g Visi 2.22 1.665 0,03 Signifika 1 15 0 n Harapan/iman 2.03 1.665 0,04 Signifika 1 15 3 n Cinta 2.03 1.665 0,04 Signifika altruistic 1 15 6 n Makna/Pangg 3.21 1.665 0,00 Signifika ilan 9 15 2 n Keanggotaan 2.18 1.665 0,03 Signifika 2 15 3 n Komitmen 2.42 1.665 0,01 Signifika 4 15 8 n Kepuasan 2.42 1.665 0,01 Signifika Kerja 0 15 8 n
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Berdasarkan pada hasil analisis yang dilakukan, Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel visi menunjukkan nilai t-hitung sebesar 2.221 dengan nilai signifikan sebesar 0,030 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan t-tabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan t-hitung lebih besar dari t-tabel (3.768> 1.66515), maka H1 diterima. Artinya bahwa variabel visi berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2014) yang mengatakan bahwa perangkat desa Kabupaten Banyumas memiliki pemahaman visi yang tinggi. Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel harapan/iman menunjukkan nilai t-hitung sebesar 2.031 dengan nilai signifikan sebesar 0,043 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan ttabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan t-hitung lebih besar dari t-tabel (2.031> 1.66515), maka H2 diterima. Artinya bahwa variabel harapan/iman berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadehrship. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Azlimin 2015). Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel cinta altruistik menunjukkan nilai thitung sebesar 2.031 dengan nilai signifikan sebesar 0,046 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan t-tabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan thitung lebih besar dari t-tabel (1.714> 1.66515), maka H3 diterima. Artinya bahwa variabel cinta altruistic berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. asil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada perangkat desa Kabupaten Banyumas oleh Pujiastuti (2014). Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel makna / panggilan menunjukkan nilai thitung sebesar 3.219 dengan nilai signifikan sebesar 0,002 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan t-tabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan thitung lebih besar dari t-tabel (1.992> 1.66515), maka H4 diterima. Artinya bahwa variabel makna / panggilan berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Fii
85
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Ahsani (2013) dengan judul pengaruh kepemimpinan spiritual pada manajemen karir dan kepuasan kerja karyawan. Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel keanggotaan menunjukkan nilai t-hitung sebesar 2.182 dengan nilai signifikan sebesar 0,033 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan ttabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan t-hitung lebih besar dari t-tabel (2.408> 1.66515), maka H5 diterima. Artinya bahwa variabel keanggotaan berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ahsani (2010) pada Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel komitmen menunjukkan nilai t-hitung sebesar 2.424 dengan nilai signifikan sebesar 0,018 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan ttabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan t-hitung lebih besar dari t-tabel (1.959> 1.66515), maka H6 diterima. Artinya bahwa variabel komitmen berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fry, L.W.; Steve, Vitucci.;Marie, (2005); Nurfika A (2009) yang mengatakan bahwa komitmen berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. Hasil yang diperoleh dari uji t untuk variabel kepuasan kerja menunjukkan nilai thitung sebesar 2.420dengan nilai signifikan sebesar 0,018 berarti lebih kecil dari 0,05, sedangkan t-tabel dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh nilai sebesar 1.66515. Dikarenakan thitung lebih besar dari t-tabel (2.983> 1.66515), maka H7 diterima. Artinya bahwa variabel kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap spiritual leadership. Hasil uji F menunjukkan bahwa secara bersama-sama pada variabel visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna, keanggotaan, komitmen dan Kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap spiritual lesdership. Hal ini ditunjukkan pada nilai F sig. 0,000 lebih kecil daripada 0,05. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Junita & Sutanto 2015; Fry Louis W, Vitucci Steve 2005; Fii Ahsani 2013).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Hasil uji determinasi R² menunjukkan bahwa nilai R square 0,768 maka dapat diartikan variabel visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna / panggilan, keanggotaan, komitmen dan kepuasan kerja dapat menjelaskan spiritual sebesar 76,8% dan sisanya 23,2% masih ada variabel lain yang mampu mempengaruhinya. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari uji validitas dan reliabilitas, semua variabel valid dan reliable. Dikarenakan t-hitung lebih besar dari t-tabel, variabel visi, harapan/iman, cinta (altruistic), makna (calling), keanggotaan, komitmen dan kepuasan kerja berpengaruh positif signifikan terhadap spiritual leadership. Nilai F signifikan menunjukkan bahwa secara simultan pada variabel visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna/panggilan, keanggotaan, komitmen dan kepuasan kerja memiliki pengaruh positif signifikan terhadap spiritual lesdership. Dari hasil uji nilai R menunjukkan bahwa nilai R square 0,768 maka dapat diartikan variabel visi, harapan/iman, cinta altruistic, makna / panggilan, keanggotaan, komitmen dan kepuasan kerja dapat menjelaskan spiritual sebesar 76,8% dan sisanya 23,2% masih ada variabel lain yang mampu mempengaruhinya. 5.2. Implikasi Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan manajemen perusahaan beserta segala kebijakan yang berkaitan langsung dengan aspekaspek SDM lebih baik melandasinya dengan penerapan spiritual leadership oleh manajer. 5.3. Saran Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambah variable penelitian dan menambah jumlah responden penelitian. Hasil penelitian akan terlihat lebih mendalam terutama keterkaitan antar variable jika menggunakan analisis SEM atau SEM-PLS. REFERENSI Ahsani, 2010. pengaruh kepemimpinan spiritual pada manajemen karir dan produktifitas dengan calling dan membership sebagai
86
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
mediasi di pegawai negeri sipil pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Allen, N.J. & Meyer, J.P., 1991. The Measurement and Antecedents of Affective, Continuance and Normative Commitment to the Organizational. Journal of Occupational Psychology. Andriani, 2005. Baitul Maal wat Tamwil ; Konsep dan Mekanisme di Indonesia. Jurnal Empirisma, STAIN Kediri, Volume 14. Asmaningrum, N., 2009. penerapan spiritual leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat. Astuti, R.P., 2013. Spiritual Intellegance : Tinjauan Teoritis Dan Pembentuk Karakter Spiritual Leadership. Universitas Wijayakusuma Purwokerto. Azlimin, A.H., 2015. Model Peningkatan Komitmen Sumber Daya Manusia Berbasis Spiritual Leadership Dan Spiritual Survival Serta Workplace Spirituality Dengan Moderating Individual Spirituality. 2nd Conference in business, Accounting and Management, Universitas Islam Sultan Agung, 2 No 1. Baskara, I.G.K., 2013. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Jurnal Buletin Studi Ekonomi, 18 No. 2. Bezy, K.G., 2011. An Operational Definition of Spiritual Leadership. Virginia Polytechnic Institute and State University. Effendi, J., 2010. Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Jurnal Ekonomi Islam Republika, Iqtishodia. Efferin, S., 2008. Metode Penelitian Akuntansi (Mengungkap Fenomena dengan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif) Cetakan 1., Graha Ilmu. Fairholm, G.W., 1996. “Spiritual leadership: fulfilling whole‐self needs at work.” Leadership & Organization Development Journal, Vol. 17(Iss: 5). Fii Ahsani, R., 2013. Pengaruh kepemimpinan spiritual pada manajemen karir dan produktifitas karyawan. Fry, 2005. Toward a theory of ethical and
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
spiritual well-being, and corporate social responsibility through spiritual leadership. Positive Psychology in Business Ethics and Corporate Responsibility, pp.47–83. Fry, 2003. “Toward a Theory of Spiritual Leadership” dalam The Leadership Quarterly. , Volume 14. Fry, L.W., 2003. “Toward a Theory of Spiritual Leadership” dalam The Leadership Quarterly. , Volume 14. Fry Louis W, Vitucci Steve, C.M., 2005. spiritual leadership and army transformation : theory, Measursures, and establishing a baseline. Leadership Quartency Greewich Vol 16. Iss 5. Ghozali, I., 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19 Edisi 5., Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Irwan, N., 2006. Analisis Kepuasan Mitra Pembiayaan Koperasi Baitul Maal Wat Tamwil Tadbiirul Ummah. Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Junita, S. & Sutanto, E.M., 2015. Hubungan Kepemimpinan Spiritual dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Karyawan PT Sinar Sakti Kimia. Trikonomika, 14(1), pp.1–12. Kurniawanda, 2013. “Pengaruh professionalisme auditor dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas.” E-jurnal BINAR Akuntansi, 2, No. 1. Kutner, M.H., C.J. Nachtsheim., dan J.N., 2004. Applied Linear Regression Models 4th, New York: McGraw-Hill Companies. Nurfika A, 2009. penerapan spiritual leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat. Priyatno, D., 2012. Cara Kilat Belajar Analisis Data dengan SPSS 20., Yogyakarta: Andi Offset. Pujiastuti, R., 2014. Karakteristik Spiritual Leadership Perangkat Desa Di Kabupaten Banyumas (Berdasar Teori Spiritual Leadership Fry), Reave, L., 2005. Spiritual values and practices related to leadership effectiveness.
87
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Robbins, S.P. dan M.C., 2005. Manajemen, jakarta: PT INDEKS Kelompok Gramedia. Ryan, R.., 2004. Basic psychological need across cultures: A self-determination theory perspective. Paper for the International workshop Researching Will-being in Developing Countries. Ryan R.M dan Decy E.L, 2000. Selfdetermination theory and the facilitatiton of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychological Association, 55. Sanusi, S.R., 2005. Beberapa Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Penelitian. Simamora, H., 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: STIE YKPN. Surbakti, 2012. Manajemen Dan Kepemimpinan Hati Nurani, jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Gramedia. Susanti dan Tarigan, 2013. Pengaruh Kompetensi, Etika, dan Fee Audit terhadap Kualitas Audit. Jurnal Akuntansi, Vol.13 No. Sweeney, P.J., 2007. Trust: The key to combat leadership. In D. Crandall, ed. Leadership lessons from West Point. San Francisco, CA: Jossey-Bass, pp. 252–277. Sweeney, P.J., Thompson, V.D. & Blanton, H., 2009. Trust and influence in combat: An interdependence model. Journal of Applied Social Psychology, 39, pp.235–264. Tobroni, 2010. Spiritual Leadership, The Problem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam. Umar, 2013. Pengaruh spiritual leadership terhadap perilaku etis, kualitas kehidupan kerja, komitmen organisasi karyawan. Wahyusumidjo, 1987. Kepemimpinan dan Motivasi, jakarta: Ghalia. Widyarini, N.M.., 2010. Kepemimpinan Spiritual untuk Indonesia (Mengungkap konsep kepemimpinan spiritual dari Fry dengan kepemimpinan nusantara yang etisuniversal). Jurnal Paramadina edisi khusus, 7 No 2. Zahro, B.I., 2010. Peranan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) serta Pengaruhnya
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Terhadap Usaha Mikro,Kecil dan Menengah (UMKM) Sebagai Penggerak Perekonomian di Indonesia.
88
ISBN 978-979-3812-42-7