PERANAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DALAM UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DI KPH CEPU, PERUM PERHUTANI UNIT I, JAWA TENGAH
Rr. MITA RAMAYATI PRATIWI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERANAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DALAM UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DI KPH CEPU, PERUM PERHUTANI UNIT I, JAWA TENGAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Rr. Mita Ramayati Pratiwi E 14203032
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN Rr. MITA RAMAYATI PRATIWI. Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA. Salah satu permasalahan yang kerap terjadi dalam pengelolaan hutan jati di KPH Cepu yaitu terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran ini bukanlah kebakaran yang terjadi secara alami atau karena faktor alam melainkan dipicu oleh kegiatan manusia, atau lebih dikenal dengan aktivitas pembakaran hutan. Mengingat tingginya aksesibilitas terhadap hutan, masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu komponen potensial untuk turut menjaga hutan. Terkait hal tersebut, maka diperlukan suatu upaya pendekatan terhadap masyarakat sekitar hutan melalui penataan hubungan sinergis antara pengelola hutan dengan masyarakat, salah satunya yaitu melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM menekankan adanya kerjasama dalam hal pengelolaan hutan dengan masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga tercipta kepedulian untuk menjaga kelestarian hutan tersebut. Salah satunya dalam hal perlindungan hutan yaitu mengurangi gangguan keamanan tegakan jati seperti kebakaran hutan. Pelaksanaan kegiatan yaitu oleh anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), khususnya seksi keamanan. Penelitian berlangsung di KPH Cepu selama bulan Juni hingga Juli 2007. Metode penelitian yaitu menggali informasi keterlibatan LMDH dalam pengendalian kebakaran hutan baik melalui wawancara, observasi lapangan dan juga pengumpulan data-data sekunder Pengamatan dilakukan pada 6 BKPH yang dipilih sebagai sampel penelitian. Untuk LMDH, pengamatan dilakukan terhadap satu LMDH yang terdapat di enam BKPH tersebut. Acuan pemilihan yaitu berdasar data statistik kebakaran hutan KPH Cepu, dan informasi mengenai lokasi/BKPH yang rawan terbakar, serta LMDH yang potensial. Analisa peranan pelaksanaan PHBM dalam pengendalian kebakaran hutan dilakukan dengan membandingkan data luas kebakaran (kondisi kebakaran hutan) pada kurun waktu sebelum penerapan PHBM dan setelah penerapan PHBM, sesuai pedoman evaluasi PHBM dari Perhutani dan juga uji statistik menggunakan Paired Sample T-test Dari hasil evaluasi peran PHBM terhadap gangguan hutan menurut Perhutani, pelaksanaan PHBM memberikan hasil positif dalam hal penurunan luas kebakaran hutan tepatnya dari tahun 2002, tahun awal pelaksanaan PHBM, hingga tahun 2005. Dari hasil pengujian secara statistik diperoleh p-value sebesar 0,811, sehingga asumsi H0 diterima, yang berarti adanya PHBM tidak berpengaruh nyata terkait upaya pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu. Dapat disimpulkan PHBM telah berperan dalam pengendalian kebakaran hutan namun belum optimal. Adapun bentuk kegiatan masyarakat desa sekitar hutan antara lain terlibat aktif dalam deteksi dini dan pelaporan, patroli hutan, penyuluhan mengenai kebakaran hutan, serta membantu pemadaman kebakaran. Kata kunci : kebakaran hutan, pengendalian, KPH Cepu, PHBM, peranan
SUMMARY Rr. MITA RAMAYATI PRATIWI. The Role of Collaborative Forest Management on Forest Fire Control Management in KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Central Java. Under supervision of LAILAN SYAUFINA. One of most problems of KPH Cepu’s teak forest is forest fire. The fire that is happened there could not be categorized as a natural disaster because this problem usually caused by human activity, especially by the activity of people who lived around the forest. Based on that case, Perum Perhutani (KPH Cepu) treats Community Collaboration in Forest Management as the solution. This is a programme that explores the collaboration between Perhutani and traditional peoples in manage forest in Cepu area. In KPH Cepu, the activity that is started in 2002, is not only about sharing the land, but also in all steps of forest management: from planting, forest protection, until harvesting. Forest fire control management is also a part of forest protection. Perum Perhutani hopes that this program could improve sense of care by the people around the forest to protect forest condition to reach forest sustainability. The program (usually called PHBM in Indonesia), is held by people around the forest that is grouped into Forest Village People Community (LMDH in Indonesia). For forest protection activity is held by the people who joined that community especially the Forest Safety Division. In this research, all the primary information and data was collected by doing interview and observation of the real condition there, and for the secondary data was collected from KPH Cepu’s official and also LMDH’s official. To know the result about the role between the program to Perhutani forest, all data and information was processed using statistical and Perhutani’s evaluation method. For statistical process is using paired sample t-test to present the effectiveness of the program into forest fire control management in teak forest of KPH Cepu. Besides that, the research also explains about kinds of activity that is held by the people joining the program. From 12 Small Forest Management Units (BKPH) in KPH Cepu, observation is held in 6 BKPH. Information about LMDH was collected from one LMDH of those BKPHs. These 6 BKPHs was chosen by the forest fire condition there based on forest fire statistical data and also information from KPH official. As the result of the test, the collaboration gives p-value 0.811. This score means that H0 assumption is accepted, that means that the program is not give a good impact to the forest fire control program in KPH Cepu. But, the program was decreased forest fire problems in Cepu for 3 years, 2002 until 2005 around 251 Ha in average. The activities of Forest Safety division in forest fire control management are forest patrol and fire detection, also socialize about forest fire to village people.
Key words: forest fire, forest fire control program, role, Collaborative Forest Management, KPH Cepu
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2007
Mita Ramayati Pratiwi NRP E14203032
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
:
Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah
Nama Mahasiswa
:
Rr. Mita Ramayati Pratiwi
NIM
:
E 14203032
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. NIP: 131 849 392
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP: 131 578 788
Tanggal Lulus : 07 Desember 2007
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB. Dalam penelitian yang berjudul ”Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah” ini, penulis mengkaji mengenai keefektifan maupun metode kegiatan kerjasama antara masyarakat sekitar hutan dengan pengusaha dalam hal pengendalian kebakaran hutan mengingat penyebab utama kebakaran hutan saat ini ialah aktivitas manusia sebagai pengguna api di hutan. Penelitian berlangsung di KPH Cepu dari bulan Juni hingga bulan Juli yang difasilitasi oleh penelitian program Hibah Bersaing DIKTI 2007 yang berjudul Penilaian Kesehatan Hutan Produksi dengan Menggunakan Metode Forest Health Monitoring (FHM). Walau objek kajian tidak terlalu luas, sebatas satu KPH dari lingkup pengelolaan hutan jati di Jawa, namun diharapkan penelitian ini dapat memberi informasi dan masukan mengenai bentuk kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan dalam hal keikutsertaan menjaga hutan dan dapat diterapkan di wilayah pengelolaan hutan lainnya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna perbaikan skripsi ini maupun untuk pengembangan penelitian lebih lanjut. Penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Desember 2007
Penulis
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juni 1985, merupakan putri pertama dari pasangan Bapak H. RM. Drs. Soekamto Danardjaja, BBA dan Ibu Hj. Sumijati, BSc (almh). Penulis lulus dari SMU Negeri 8 Jakarta pada tahun 2003, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor setelah lulus seleksi penerimaan mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di Fahutan IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan seperti Forest Management Students Club (FMSC) selama 2 periode (2004-2006) dengan amanah terakhir sebagai Bendahara, Komunitas Seni Budaya Masyarakat Roempoet (KSBMR) juga selama 2 periode (2004-2006). Penulis juga terlibat aktif dalam kepanitiaan beberapa kegiatan mahasiswa baik tingkat Jurusan/Departemen, Fakultas maupun IPB. Memasuki semester 6 (tahun 2006) penulis memilih bidang peminatan khusus Kelompok Ilmu/Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan untuk kajian penyusunan tugas akhir. Pada tahun 2007, penulis berkesempatan melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di IUPHHK PT. ITCI KARTIKA UTAMA, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, serta mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XX di Unila, Lampung melalui pelaksanaan kegiatan PKM Pengabdian Masyarakat di Desa Hegarmanah, Sukabumi, Jabar. Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah, di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam proses penelitian maupun penyusunan skripsi berjudul Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah ini, penulis memperoleh begitu banyak bantuan dan dukungan. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada: 1. Allah SWT, betapa karunia-Mu begitu besar bagi semua. Terima kasih ya Allah untuk semua yang telah kuperoleh hingga saat ini, begitupun tuntunanMu dalam proses penelitian ini, mulai dari inspirasi judul hingga penyusunan skripsi. 2. Papa tercinta dan Mama di surga, terima kasih untuk semua doa, nasehat, juga dorongan semangat yang tiada henti mengisi hari-hari kehidupan penulis. Penulis juga berterima kasih untuk seluruh keluarga penulis, untuk perhatian, semangat serta kasih sayang yang senantiasa penulis peroleh dalam hidup. 3. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc., selaku dosen pembimbing atas kesempatan yang ditawarkan sehingga penulis dapat melakukan penelitian ini, juga pengarahan, bimbingan, dan kesabaran yang penulis peroleh selama proses penelitian, dari rencana, pelaksanaan hingga penyusunan tugas akhir ini. 4. Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi, selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas berbagai masukannya bagi penulis. 5. Bapak Efendi Tri Bahtiar, S.Hut selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan atas kritik dan sarannya bagi penulis. 6.
Ir. Kasno, M.Sc. atas kesempatan keikutsertaan penulis menjadi bagian dalam penelitian Program Hibah Bersaing (FHM 2007) serta bimbingan dan masukan serta nasehat yang sangat berharga bagi penulis.
7. Ibu Dr. Ir. Noor Farikha Haneda, MS. atas kesempatan keikutsertaan penulis dalam penelitian Program Hibah Bersaing (FHM 2007), juga bimbingan yang penulis peroleh selama ini. 8. DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS atas kesempatan pelaksanaan Penelitian Program Hibah Bersaing tahun 2007, sehingga penelitian ini dapat berlangsung.
9. Keluarga besar KPH dan Puslitbanghut Cepu atas segala bantuan dan pengarahan serta rasa kekeluargaan yang penulis peroleh selama pelaksanaan penelitian di Cepu. 10. Keluarga besar LMDH di wilayah KPH Cepu atas segala informasi dan kerjasama yang penulis dapatkan yang berperan besar dalam penelitian ini. 11. Bapak Dr. Ir. Chamim Mashar, MS. atas segala bantuan dan masukannya. 12. Bapak Soni Trison, S.Hut, M.Si. atas segala bantuan dan dukungannya 13. Mbak Vien dan Edo Muhammad Suhada, atas bantuannya baik waktu, pemikiran, serta supply semangatnya yang tiada henti. Mari berjuang !! 14. Keluarga besar KPAP DSVK Silvikultur untuk bantuan terkait permasalahan perizinan sebelum pelaksanaan kegiatan ke berbagai pihak dan hal akademik. 15. Saudara-saudariku seperjuangan (FHM crew 2007): Lukman Hakim, Mamat Rahmat, Bagus Ary.W, Sopari Yantina, Novia Tri. M, dan Dwi Pratiwi (Wiwiek). Terima kasih untuk segala bantuan, dukungan, juga kasih sayang yang tercurah selama pelaksanaan perjuangan kita. 16. Bapak Wardana dan keluarga besar Lab. Kebakaran Hutan dan Lahan, juga teman-teman satu lab : Bagus, Lukman, Sopa dan Ade W, untuk bantuan kerjasama serta kekeluargaan yang penulis peroleh selama ini. 17. Staff Perpustakaan IPB, atas segala bantuan yang penulis dapatkan. 18. Saudara-saudariku BDH 40 (Silvicrew 40) atas semua hal yang telah dijalani bersama selama ini yang memberi warna-warni dalam perjuangan penulis. 19. Rekan-rekanku seangkatan (THH, MNH dan KSH 40), kakak-kakakku (Fahutan 37,38, dan 39) dan adik-adikku (Fahutan 41,42, dan 43), serta semua teman satu perjuangan di bumi kampus IPB yang juga mewarnai kehidupan penulis selama ini. Semoga silaturahmi kita dapat terus terjaga. 20. Ibu Har dan saudari-saudariku anggota Diastin Family (38-42), atas keindahan kebersamaan kita selama ini. Semoga tali silaturahmi kita tiada terhenti. 21. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu di sini. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi yang memerlukan.
Desember, 2007 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................ DAFTAR GAMBAR............................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ BAB I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................... 1.2 Kerangka Pemikiran ....................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Api dan Kebakaran Hutan .............................................. 2.2 Sebab-sebab Kebakaran Hutan ....................................... 2.3 Pengaruh Kebakaran Hutan ............................................. 2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan ...................................... 2.5 Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
i ii iii iv
1 3 4 4
5 6 9 10 14
BAB III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 3.2 Bahan dan Alat ................................................................ 3.3 Jenis Data ……………………………………………… 3.4 Metode Pengumpulan Data ……………………………. 3.5 Metode Analisis Data .....................................................
18 18 18 19 20
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum KPH Cepu ............................................ 4.2 Keorganisasian dan Pembagian Wilayah Kerja .............. 4.3 Kegiatan Kerja Kehutanan .............................................. 4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .............................
23 24 26 27
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kejadian Kebakaran Hutan di KPH Cepu ....................... 5.2 Kondisi pelaksanaan PHBM di Cepu ............................. 5.3 Peranan PHBM dalam Pengendalian Kebakaran Hutan
33 42 49
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .................................................................... 6.2 Saran ...............................................................................
62 63
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
64
LAMPIRAN ..........................................................................................
67
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Klasifikasi luas areal terbakar .....................................................
10
2.
Pembagian wilayah hutan KPH Cepu .........................................
24
3.
Keadaan lapangan bagian hutan di KPH Cepu ...........................
24
4.
Pembagian wilayah kerja KPH Cepu ...........................................
26
5.
Kejadian kebakaran hutan per BKPH di KPH Cepu periode tahun 1996 hingga 2006 (tanpa tahun 1999) ................................
6.
34
Frekuensi kejadian kebakaran hutan berdasarkan klasifikasi luas kebakaran hutan menurut Chandler et al. (1983) dari 6 wilayah BKPH di KPH Cepu selama tahun 2001-2006 …………………..
38
7.
Deskripsi kondisi beberapa LMDH di wilayah KPH Cepu ........ .
44
8.
Data Rekapitulasi Gangguan Hutan : Kebakaran Hutan Tahun 2000 - 2006 KPH Cepu .....................................................
ii
56
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Skema kerangka pemikiran penelitian ..........................................
3
2.
Proses pembakaran .......................................................................
5
3.
Indutri kerajinan ukiran tunggak jati (BKPH Cabak) ...................
32
4.
Kondisi kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu periode tahun 1996 hingga 2006 berdasarkan luas areal yang terbakar ..............
5.
Rata-rata luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode1996-2006 .........................................................................
6.
35
37
Frekuensi kejadian kebakaran hutan per BKPH di KPH Cepu dalam periode 1996-2006 ..............................................................
37
7.
Areal bekas terbakar di BKPH Pasarsore, KPH Cepu ..................
39
8.
Grafik musim kebakaran di KPH Cepu …………………………
41
9.
Kegiatan LMDH terkait pemanfaatan dana sharing Perhutani ....
46
10.
Pengangkutan tunggak, bentuk usaha LMDH dan warga ............
47
11.
Papan peringatan larangan membakar hutan .................................
49
12.
Kegiatan patroli hutan rutin (berjaga di pos keamanan) ..............
52
13.
Pos Penjagaan Hutan di BKPH Pasarsore (a) dan BKPH Cabak (b)
53
14.
Kegiatan penyuluhan kebakaran hutan di Desa Cabak …………..
54
15.
Menara pengawas hutan di Gubug Payung, BKPH Pasarsore .....
59
16.
Alat pemadam kebakaran milik pengurus LMDH .......................
60
iii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Proporsi berbagi sharing antara Perhutani dan LMDH
68
2.
Peta wilayah KPH Cepu …………………………………………
69
3.
Data Kebakaran per-per BKPH Cepu tahun 1996-2006 …………
71
4.
Peta curah hujan propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta …..
72
5.
Data kebakaran hutan per petak untuk 6 BKPH di KPH Cepu Periode 2000 s.d. 2006 …………………………………………...
73
6.
Daftar LMDH wilayah KPH Cepu (sampai dengan Juni 2007) …
74
7.
Rekapitulasi realisasi sharing produksi kayu jati KPH Cepu ……
75
8.
Susunan pengurus LMDH ……………………………………….
77
9.
Jadwal patroli seksi keamanan beberapa LMDH KPH Cepu ……
79
10.
Laporan kebakaran hutan ………………………………………..
82
11.
Surat keterangan tugas Sie. Keamanan LMDH Tunggak Semi …
87
12.
Hasil pengujian statistik : T-Test ………………………………..
88
13. Penghitungan penurunan luas area terbakar KPH Cepu …………
89
14.
Klasifikasi luas area terbakar per tahun per BKPH ……………..
90
15.
Frekuensi kebakaran hutan tiap bulan di 6 BKPH tahun 2001-2006
91
iv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang juga berperan besar sebagai aset bangsa Indonesia ialah sumber daya hutan. Produksi hasil hutan, baik kayu maupun hasil hutan nonkayu merupakan sumber pemasukan negara terbesar kedua setelah sektor migas. Oleh sebab itu keberadaan hutan penting untuk dilestarikan. Namun hingga saat ini kelestarian hutan Indonesia makin terancam dengan semakin maraknya gangguan-gangguan hutan, antara lain pengurangan luasan areal fisik hutan karena kejadian kebakaran dan perambahan lahan, atau gangguan terhadap tegakan hutannya sendiri meliputi kasus penebangan liar (illegal logging), gangguan akibat adanya hama atau juga penyakit, juga penggembalaan yang dilakukan di dalam areal hutan. Kebakaran hutan merupakan satu dari gangguan tersebut, namun kerusakan yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kebakaran tak hanya menghabiskan tegakan, tetapi dapat merusak kondisi tempat hidup (tapak) terutama untuk kasus kebakaran bawah dan permukaan. Gangguan ini hampir setiap tahun terjadi di kawasan hutan di Indonesia. Kebakaran tak hanya terjadi di hutan alam yang terkadang masih sulit dijangkau aksesnya tetapi juga di hutan tanaman yang pengelolaannya lebih terpantau. Fenomena ini tentunya menimbulkan kerugian bagi pengelola hutan khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Salah satu contoh hutan tanaman yaitu hutan jati di wilayah Jawa yang pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani, seperti halnya hutan jati di KPH Cepu yang pengelolaannya dibawah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Tegakan di KPH Cepu ini juga rawan terkena kasus kebakaran hutan. Walaupun aksesibilitas ke dalam hutan terbilang mudah, namun tetap saja hampir di setiap tahun ditemukan kebakaran melanda hutan di dalam wilayah KPH tersebut. Kondisi iklim Indonesia yang memiliki curah hujan serta kelembaban tinggi menyebabkan kemungkinan terjadinya kebakaran karena faktor alam sangat kecil terjadi, sehingga hampir seluruh kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
2
disebabkan karena adanya campur tangan manusia. Dapat dikatakan kasus tersebut bukanlah kebakaran hutan, melainkan pembakaran hutan. Umumnya kejadian ini marak pada hutan-hutan yang arealnya berdekatan dengan lokasi pemukiman penduduk dan intensitas interaksi masyarakat terhadap hutan tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya pengendalian kebakaran hutan kini lebih ditekankan pada upaya-upaya pendekatan kepada masyarakat untuk menghentikan kegiatan pembakaran hutan maupun lahan. Upaya pengendalian kebakaran hutan sendiri terdiri dari tiga hal yakni pencegahan, pemadaman, dan penggunaan api untuk tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan. Dalam hal ini, pencegahan merupakan hal yang lebih utama untuk diupayakan, mengingat besarnya biaya untuk pemadaman dan kerugian yang ada bila kebakaran telah terjadi. Pencegahan kebakaran hutan meliputi kegiatan 3E, yakni Education (pendidikan), Engineering (teknis), dan (Law) Enforcement (penegakan hukum). Untuk setiap upaya pencegahan kebakaran hutan, pengelola hutan selalu berpedoman pada ketiga hal tadi, adapun bentuk kegiatan di lapangan dapat bervariasi dan berkembang. Pihak Perum Perhutani (termasuk KPH Cepu) ikut serta menerapkan kegiatan pencegahan kebakaran hutan yang dititikberatkan pada upaya pendekatan kepada masyarakat, salah satunya melalui pelaksanaan program PHBM (Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat). Kegiatan-kegiatan dalam PHBM ini diadakan dalam rangka menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan, agar tercipta rasa ikut memiliki hutan sehingga masyarakat tidak menjadi pelaku kerusakan hutan seperti melakukan aktivitas pembakaran melainkan menjadi rekan kerja dalam pengendalian masalah tersebut, terutama dalam upaya pencegahan kasus kebakaran hutan. Namun hingga saat ini peran program PHBM dalam upaya pengendalian kebakaran hutan masih kurang dikaji dan dipublikasikan, sehingga masih diperlukan adanya penelitian mengenai hubungan keduanya dan keefektifan penerapannya, dimana bila terbukti efektif, maka program ini dapat dijadikan salah satu model upaya pengendalian kebakaran hutan yang dapat diadopsi oleh pengelola-pengelola hutan lainnya.
3
1.2. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang serta hal yang ingin dicapai, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat terlihat pada gambar berikut : KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH
Pengelola
Tegakan Jati di Wilayah Cepu
Gangguan Hutan : KEBAKARAN HUTAN 99% penyebab karena ulah manusia (Pembakaran)
PHBM
Perlu upaya pengendalian : Pendekatan masyarakat
PHBM melalui LMDH merupakan bentuk kerjasama masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani untuk ikut merawat hutan, termasuk menjaga hutan dari gangguan, salah satunya kebakaran hutan.
Peranan PHBM dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di wilayah KPH Cepu 1. Kejadian kebakaran KPH Cepu (’96-’06) 2. Keefektifan PHBM dalam pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu 3. Kegiatan LMDH dalam upaya pengendalian kebakaran hutan
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian.
4
1.3. Tujuan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk : a. Menganalisa kejadian kebakaran hutan berupa luas area terbakar dan frekeunsi kebakaran hutan dalam kurun waktu sebelum diterapkannya program PHBM dan setelah penerapan PHBM. b. Menguraikan bentuk-bentuk kerjasama masyarakat melalui LMDH dengan Perhutani dalam hal penanggulangan kasus kebakaran hutan di KPH Cepu yang disesuaikan dengan Prinsip Pengendalian Kebakaran Hutan. c. Menguji keefektifan penerapan program PHBM dalam upaya pengendalian kebakaran hutan, dimana kelak dapat dimodifikasi untuk dapat diterapkan di daerah lain. 1.4.. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keefektifan penerapan program PHBM dalam upaya pengendalian kebakaran hutan, dimana konsep PHBM ini dapat dimodifikasi dan diterapkan oleh pengelola hutan di wilayah lain yang juga memiliki kendala terkait interaksi negatif antara masyarakat sekitar hutan dengan kawasan hutan yang dikelolanya.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Api dan Kebakaran Hutan Menurut Brown dan Davis (1973), api dalam kebakaran merupakan gejala fisik alam yang terjadi karena adanya kombinasi antara sumber penyalaan (temperatur penyalaan/panas), oksigen, dan bahan-bahan sebagai bahan bakar, serta mempunyai karakteristik yaitu bersifat panas, berpijar, dan biasanya menyala. Kombinasi ketiga hal tersebut kini lebih dikenal dengan segitiga api. Bila salah satu komponen tersebut tidak tesedia, maka kecil kemungkinan api dapat menyala. Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang gerakannya bebas dan menghabiskan bahan-bahan bakar dalam hutan, seperti : tunggak-tunggak, rumput-rumputan, biji-bijian, semak, tanah, maupun pepohonan keseluruhan (Rachmatsjah 1985). Tambahan penting menyangkut pengertian kebakaran hutan yaitu setiap kebakaran yang bukan dilakukan secara sengaja pada areal-areal yang tidak direncanakan. Apabila kebakaran terjadi karena adanya unsur kesengajaan, maka tidak disebut kebakaran melainkan pembakaran (Saharjo 2003). Proses kebakaran hutan terjadi bukan saja melalui proses kimia melainkan juga proses fisika yang menghabiskan bahan-bahan berkayu serta merubah strukturnya sambil melepaskan energi panas. Adapun proses pembakaran dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.
Sellulosa + Oksigen + Energi (bahan bakar) (O2) (temperatur tinggi)
Karbondioksida (CO2) + Air + Energi (panas)
Gambar 2 Proses pembakaran. (Brown & Davis 1973)
6
Api dalam proses pembakaran di atas mempunyai potensi merusak. Namun, tidak semua dampaknya bersifat merusak. Setelah melaksanakan pengamatan, diketahui bahwa ternyata di alam pembakaran dapat mempercepat proses penguraian bahan-bahan yang tertimbun serta membantu dalam usaha-usaha pengelolaaan hutan dalam rangka pembersihan lapangan, yang akan memperingan pekerjaan bidang penanaman. 2.2. Sebab-Sebab Kebakaran Hutan Dalam pengendalian kebakaran hutan, hal utama yang perlu terlebih dahulu diketahui yaitu sebab-sebab kebakaran, karena sebab ini akan berpengaruh terhadap
perencanaan,
penanggulangan,
dan
pemadaman,
serta
upaya
antisipasinya kelak sebagai upaya pencegahan. Sumber api penyebab kebakaran hutan dapat dibagi dua : alam dan ulah manusia. Adapun sumber dari alam dapat karena petir, batubara, dan gesekan kayu. Sedangkan sumber akibat ulah manusia diantaranya sengaja membakar, puntung rokok yang disambung dengan botol yang berisi minyak tanah atau sebungkus korek api, penggunaan obor minyak tanah untuk penyulut api, konflik sosial, api unggun, iseng, operasi pembalakan (Saharjo 2003). Sebagai faktor alam, api dari petir berpotensi sangat kecil menjadi penyebab kebakaran hutan Indonesia. Sebagai negara dengan curah hujan tinggi, di Indonesia bila ada petir maka akan disertai turunnya hujan, sehingga dapat langsung memadamkan bila sempat terjadi nyala api akibat petir. Sedangkan faktor cuaca pernah melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan besar-besaran di Indonesia, khususnya kebakaran hutan tahun 1997-1998 dan 2002, yaitu karena adanya pengaruh kemarau panjang akibat El-Nino. Kebakaran hutan di Indonesia menurut Asian Development Bank (ADB) tahun 1997/1998 diacu dalam Sumantri (2003) disebabkan 99% oleh perbuatan manusia dan 1% oleh faktor alam. Kasus akibat oleh manusia dapat terjadi karena disengaja (pembakaran hutan) maupun tidak disengaja (unsur kelalaian). Pembakaran hutan umumnya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu, yang seringkali sangat kompleks dan sukar untuk ditelusuri. Hal ini yang menyulitkan upaya pendekatan untuk penanggulangan masalah kebakaran hutan.
7
Berdasarkan kaji ulang penelitian mengenai kasus kebakaran hutan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam diketahui bahwa beberapa aktifitas manusia yang menjadi penyebab kebakaran hutan di beberapa daerah Indonesia diantaranya sebagai berikut (Wibowo 2003) : a. Sumatera Selatan : kegiatan perladangan dan usaha mendapatkan rumput untuk ternak. b. Kalimantan Selatan (Riam Kanan) : terjadinya kebakaran pada areal reboisasi karena api yang merambat dari penyiapan lahan masyarakat untuk perladangan. c. Jawa Timur (KPH Banyuwangi) : kebakaran terjadi akibat penggunaan api oleh para pencari rotan dan madu. d. Jawa Barat (Gunung Ciremai) : kebakaran terjadi akibat pendaki gunung atau wisatawan yang lalai dalam penggunaan api. Siswanto (1993) mengungkapkan beberapa motivasi manusia untuk menimbulkan api di hutan bermacam-macam, misalnya: a. Perladangan berpindah, yang masih merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang hidup di dalam hutan. b. Pembakaran alang-alang dalam rangka melaksanakan reboisasi di lahan kritis, yang sering kali atau terkadang tidak dapat dikendalikan lagi sehingga berakibat pada terjadinya kebakaran yang luas c. Pembakaran alang-alang pada padang penggembalaan dengan tujuan mendapatkan rumput-rumput baru yang segar sebagai pakan ternak. d. Perburuan binatang liar di hutan yang sering terjadi dan umumnya disertai dengan membuat sumber api, baik untuk menghangatkan diri ataupun untuk merangsang hewan buruan. e. Rekreasi dan perkemahan di hutan yang kurang hati-hati sehingga dapat mengakibatkan menjalarnya sisa sumber api yang ditinggalkan. f. Khusus untuk hutan di Pulau Jawa sering dijumpai adanya unsur kesengajaan membakar hutan sebagai akibat dari adanya rasa sakit hati kepada petugas pengelola hutan, pengalihan perhatian petugas untuk memepermudah pengambilan rencek (kayu bakar), merangsang turunnya hujan dan sebagainya.
8
Sumber api penyebab kebakaran hutan pada umumnya sangat erat hubungannya dengan kegiatan manusia dalam menggunakan api serta kesadaran mereka akan bahaya yang ditimbulkan oleh api apabila tidak terkendalikan. Sumantri (2003) menggolongkan jenis kegiatan manusia yang sering dilaporkan sebagai penyebab kebakaran hutan di Indonesia atas tiga kelompok kategori, yaitu sebagai berikut: a. Contoh Kelompok Kelalaian: Wisatawan yang meninggalkan api unggun setelah berkemah di hutan, pencari lebah madu yang menggunakan obor dalam aktivitasnya, pembuat arang di dalam hutan, dll. b. Contoh Kelompok Kesengajaaan: Pembakaran oleh pencuri kayu hutan dengan tujuan mengalihkan perhatian petugas, pemburu liar yang menggunakan api untuk menarik hewan buruannya, membakar untuk kesenangan (kasus di NTT), adanya konflik penguasaan lahan yang tak berakhir damai sehingga membakar hutan membakar untuk mendapat bahan pakan ternak, dll. c. Kelompok Kesengajaan Membakar Limbah Vegetasi Setelah ada keputusan melarang kegiatan membakar limbah vegetasi, maka perusahaan pengelolaan hutan yang melakukan kegiatan ini pasca persiapan lahannya dapat dikenakan tuduhan sebagai pelaku pembakaran dan terkena sanksi yang cukup berat. Maka banyak pengelola tersebut yang memanfaatkan tenaga petani/masyarakat sekitar untuk membersihkan lahan mereka, atau sengaja membakar ladang atau lahan lain untuk menyamarkan sumber api, atau lokasi awal kebakaran tersebut. Kondisi kesejahteraan sosial masyarakat sekitar hutan memegang kunci dalam hal adanya tekanan maupun gangguan pada hutan seperti terjadinya kebakaran. Adapun sumber utama masalah kebakaran hutan dan lahan terkait manusia meliputi dua hal pokok, yaitu kesejahteraan dan tingkat pendidikan penduduk di sekitar dan di dalam hutan yang masih rendah. Apabila masyarakat di sekitar hutan, yang umumnya hidup dengan kondisi serba kekurangan, tidak ditunjang dengan upaya pendidikan dan peningkatan kesadaran akan arti dan fungsi hutan maka akan cenderung menimbulkan tekanan bagi hutan.
9
2.3. Pengaruh Kebakaran Hutan Pengaruh kebakaran hutan sangat beragam, namun dapat dikelompokkan ke dalam pengaruh ekologis (terganggunya siklus nutrisi alami, terhambatnya dekomposisi, siklus hidrologi, atau suhu global), ekonomis (menurunkan produksi pertanian, gangguan transpotasi maupun aktivitas akibat asap), sosial dan kesehatan (maraknya wabah ISPA pada penduduk), bahkan psikologis dan politis (Suratmo 2003). Pengaruh ini ada yang sudah terjadi dan terasa pada saat kebakaran berlangsung tetapi ada pula yang hingga bertahun-tahun pasca kejadian (Rachmatsjah 1985). Besarnya pengaruh kebakaran pada suatu hutan tergantung pada berbagai faktor, diantaranya tipe kebakaran, intensitas api, frekuensi kebakaran dan lama kebakaran, luas areal yang terbakar, tipe hutan, umur pohon dan ketahanan pohon terhadap api (Husaeni 1994). Adapun tekanan bagi hutan akibat kebakaran yaitu kerusakan areal hutan tersebut. Berikut tersaji klasifikasi kebakaran hutan menurut besarnya atau luasan areal yang terbakar (Hawley & Stickel 1948 diacu dalam Rachmatsjah 1985) : Kelas A
: areal yang terbakar seluas 0.25 acre (0.10 ha)
Kelas B
: areal yang terbakar antara 1,5 - < 10 acre (0,61 – ≤ 4,05 ha)
Kelas C
: areal yang terbakar antara 10 - < 100 acre (4,05 – < 40,47 ha)
Kelas D
: areal yang terbakar antara 100 - < 300 acre (40,47 – 121,41 ha)
Kelas E
: areal yang terbakar luasannya > 300 acre (≥ 121,41 ha)
(Catatan : 1 acre = 0.40469 ha). Sejalan dengan perkembangan, terdapat klasifikasi lain untuk luas areal terbakar menurut Chandler et al. (1983), yang lebih lengkap dalam mengklasifikasikan kelas kebakaran berdasar luas. Klasifikasinya yaitu tercantum
10
Tabel 1. Klasifikasi luas areal terbakar Kelas areal
Luas areal terbakar (acre)
Luas areal terbakar (Ha)
A
≤ 0.25
≤ 0.10
B
0.26 – 9
0.11 – 3.64
C
10 – 99
4.05 – 40.06
D
100 – 200
40.47 – 80.94
E
300 – 999
121.41 – 404.29
F
1000 – 4999
404.69 – 2023.05
G
≥ 5.000
≥ 2023.45
Sumber : Chandler et al. (1983)
2.4. Pengendalian Kebakaran Hutan Menurut Husaeni (2003), pengendalian kebakaran hutan (forest fire management) adalah semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar maupun penggunaan api secara sengaja, dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan. Pengendalian kebakaran ini mencakup tiga komponen kegiatan, yaitu : a. Mencegah terjadinya kebakaran hutan. b. Memadamkan kebakaran hutan dengan segera sewaktu api masih kecil. c. Penggunaan api untuk tujuan-tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan. Sedangkan Suratmo (1974) mengemukakan bahwa pengendalian kebakaran hutan tidaklah hanya meliputi aktivitas dalam pemadamannya saja, tetapi juga meliputi pencegahan dan aktivitas persiapan pemadaman kebakaran. Dalam aplikasinya di lapangan, upaya pengendalian kebakaran memerlukan perencanaan yang matang. Hal ini merupakan tugas dari pengelola hutan setempat yang juga bertanggung jawab dalam hal pengendalian kebakaran. Upaya ini juga harus terus dievaluasi dan direvisi setiap tahun, mengingat kondisi musim dan karakteristik bahan bakar yang perubahannya sangat dinamis bahkan untuk di suatu kawasan yang sama sekalipun.
11
2.4.1. Pencegahan Kebakaran Hutan Dari ketiga komponen upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan diatas, terlihat pencegahan berada di posisi teratas, juga menjadi hal yang jauh lebih utama untuk dilakukan. Karena bila kebakaran sudah terjadi, maka yang muncul hanyalah kerugian, seperti kehilangan aset berupa potensi hutan, harus melakukan pemadaman hingga upaya perbaikan kualitas lahan bekas terbakar, dimana biaya pengadaan tentunya tidak kecil secara nominal. Dalam beberapa slogan kerap dinyatakan bahwa lebih baik mencegah daripada menanggulangi, hal ini juga berlaku terkait kebakaran hutan dan lahan. Dalam mencegah kebakaran banyak metode yang dapat dipilih dan digunakan. Metode yang sering dilakukan yaitu menggunakan metode 3 E, yaitu Education (pendidikan/penyuluhan), (Law) Enforcement (penegakan hukum), dan Engineering (keteknikan). Untuk mencapai hasil yang optimal, hendaknya pelaksanaan metode ini tidak dilakukan secara terpisah-pisah, melainkan dikombinasikan. Berdasarkan Husaeni (2003), maksud dari metode 3 E ini yaitu : a. Education (Pendidikan / penyuluhan) Fokus pencegahan E pertama dari rangkaian 3 E ini yaitu upaya pengenalan dan peningkatan kesadaran tentang bahaya, akibat atau besarnya kerugian akibat terjadinya kebakaran, sumber api penyebab kebakaran hutan, serta cara-cara pencegahannya. Sasaran dari kegiatan ini yaitu masyarakat umum, namun lebih dikhususkan bagi masyarakat sekitar hutan. Dalam aplikasi di lapangan, hendaknya kegiatan disesuaikan dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan seperti: penyuluhan perorangan, penyuluhan pada kelompok masyarakat, memanfaatkan media massa, kampanye, pendidikan di sekolah, pemasangan papan peringatan, poster, pendekatan melalui ceramah dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, dll. b. (Law) Enforcement (Penegakan Undang-Undang dan Peraturan) Untuk mengefektifkan metode ini, maka segala peraturan maupun undangundang terkait pencegahan kebakaran hutan haruslah ditegakkan secara sungguhsungguh, adil dan tak pandang bulu. Oleh sebab itu diperlukan kerjasama yang baik antara pihak pengelola hutan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan.
12
Enforcement ini hendaknya juga didukung dengan upaya penyuluhan, yakni terkait pemasyarakatan peraturan-peraturan terkait. c. Engineering (keteknikan) Maksud keteknikan disini yakni upaya pencegahan kebakaran yang ditikberatkan pada kegiatan-kegiatan teknis di lapangan. Metodenya terbagi menjadi dua yakni: manajemen bahan bakar, seperti isolasi bahan bakar, modifikasi bahan bakar, maupun pengurangan bahan bakar dan penerapan teknik silvikultur, meliputi penyiangan, pendangiran dan pemupukan untuk mempercepat penutupan tajuk, pemangkasan cabang untuk memutus kontinuitas vertikal bahan bakar, dan penerapan sistem tumpangsari untuk penanaman, yakni untuk meningkatkan pengawasan sehingga dapat mencegah tanaman muda dari ancaman kebakaran. Sedangkan menurut Sumantri (2003), metode pencegahan kebakaran hutan dikelompokkan menjadi pokok-pokok pencegahan kebakaran hutan, meliputi : a. Upaya untuk menggarap manusia sebagai sumber api, melalui 5 kegiatan utama dengan berbagai variasinya, seperti : 1). Peningkatan pendapatan dan pendidikan 2). Pola penyadaran dan pembinaan melalui penyuluhan 3). Mendorong proses peran serta masyarakat 4). Rekayasa sosial 5). Law enforcement b. Upaya untuk memodifikasi pemicu bahan bakar : kayu, gambut, dan batubara melalui teknik silvikultur, manajemen bahan bakar, penambangan terbatas, perencanaan sistem pengairan pada lahan gambut yang memenuhi syarat sesuai tapak, fuel break, green belt, dll. c. Upaya untuk kewaspadaan : rambu-rambu, patroli, indeks kekeringan, daerah rawan, peringatan dini, apel siaga, dll. d. Upaya untuk kesiap-siagaan : pengadaaan sarana dan prasarana, metode atau Standart Operating Procedure (SOP) dalam pencegahan, pendanaan, pengembangan SDM, pelatihan, simulasi, dan gladi posko.
13
2.4.2. Pemadaman Kebakaran Hutan Tindakan pemadaman kebakaran hutan baru dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya kebakaran hutan dan diketahui pula letaknya (Suratmo 1974). Untuk itulah, kegiatan deteksi kebakaran dan pelaporan sangat diperlukan, dimana perlu adanya persiapan juga untuk pemadaman, yang meliputi : 1). Penyediaan alat atau metode untuk mengetahui adanya kebakaran hutan (metode deteksi), misalnya dengan patroli darat, penggunaan stasiun pengawas (menara api), atau patroli udara dengan pesawat patroli yang dilengkapi peta areal. 2). Penyediaan alat komunikasi. 3). Penyediaan alat angkutan. 4). Persiapan alat pemadam kebakaran hutan. 5). Pembentukan organisasi beserta anggota tim (personil). 6). Mengadakan latihan untuk anggota tim. Adapun prinsip pemadaman kebakaran hutan terdiri atas dua langkah, yang pertama yaitu menghentikan menjalarnya api, dan kedua memadamkan api (Anonymous 1977 diacu dalam Rachmatsjah 1985). Proses penyalaan api tergambarkan melalui segitiga api, yaitu tersedianya oksigen, bahan bakar, dan sumber panas yang cukup dan berkombinasi sesuai. Prinsip lain dalam pemadaman mendasarkan pada konsep segitiga api ini, yaitu menghilangkan satu unsur atau lebih dari sisi-sisi segitiga api tersebut, sehingga api tak dapat menyala. Hal yang dapat dilakukan sesuai prinsip tersebut adalah dengan pendinginan bahan bakar, yaitu agar suhu diturunkan sampai di bawah suhu penyulutan; pengurangan oksigen dengan memukul nyala api, menutupi dengan tanah, atau menyiramnya dengan air; atau melaparkan, yaitu menghilangkan pasokan bahan bakar yang tersedia atau membiarkan api membakar ke arah penghalang alami. Adapun metode pemadaman api terdiri atas : 1. Metode Jalur : yaitu membuat jalur mekanik dengan membersihkan bahan-bahan yang mudah terbakar. Jalur dibuat melintang/memotong arah menjalarnya api, sehingga penjalaran api akan terhenti sewaktu mencapai jalur.
14
2. Metode Pembakaran Balik : yaitu membuat jalur mekanik yang tidak lebar terlebih dahulu, kemudian dilebarkan dengan pembakaran ke arah berlawanan datangnya api. 3. Metode Pemadaman Api Secara Langsung : yaitu dengan memadamkan bahan bakar yang telah terbakar atau memisahkan bahan bakar tersebut dari bahan bakar yang belum terbakar. Kegiatan dilaksanakan pada tepi api di areal kebakaran. Metode ini dapat dilakukan bila nyala api masih kecil dan tenaga pemadam berjumlah besar. 2.5.
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sudah
ditetapkan menjadi satu-satunya sistem pengelolaan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani, sehingga sudah menjadi “icon/brand” di Perhutani untuk seluruh lini pekerjaan pada seluruh strata. Namun, PHBM bukanlah kegiatan pertama yang diadakan oleh Perum Perhutani untuk membina hubungan sinergi antara kegiatan masyarakat dengan hutan, juga antara masyarakat dengan pihak Perhutani sebagai pengelola hutan. Tercatat telah diterapkan program-program sejenis, diantaranya pada tahun 1974 diluncurkan program Ma-Lu (Mantri-Lurah) dan Ma-Ma (Malang-Magelang) yang berlanjut dengan program Inmas Tumpangsari. Namun karena penerapan di lapangan kurang berhasil, maka diupayakan kegiatan lain seperti penerapan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) tahun 1982, yang lalu ditindaklanjuti tahun 1986 dengan diadakannya program Perhutanan Sosial serta PMDH terpadu di tahun 1994 (Yuwono 2007). Penerapan PHBM di Perum Perhutani dilandasi dan didukung oleh aturanaturan, yaitu : a. Surat
Keputusan
Nomor
:
136/Kpts/Dir/2001
tentang
Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat b. Surat Keputusan Nomor : 001/Kpts/Dir/2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu c. Peraturan-peraturan lainnya yang dibuat di tingkat Propinsi/Unit serta Kabupaten/KPH
15
Azas yang melandasi program ini adalah “bersama dan berbagi” (care and share), yaitu kesediaan pihak-pihak terkait untuk berbagi dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai kaidah keseimbangan, keberlanjutan, keserasian dan keselarasan. Adapun prinsip-prinsip dasar PHBM adalah sebagai berikut : a. Keadilan dan demokratis b. Keterbukaan dan kebersamaan c. Pembelajaran bersama dan saling memahami d. Kejelasan hak dan kewajiban e. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan f. Kerjasama kelembagaan g. Perencanaan Partisipatif h. Kesederhanaan sistem dan prosedur i.
Perusahaan sebagai fasilitator
j.
Kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah Dalam sistem ini, masyarakat sekitar hutan tidak lagi menjadi sebatas
pelaksana semata, melainkan posisinya sebagai mitra yang sejajar yang mampu bekerja sama membangun, melindungi, dan memanfaatkan sumberdaya hutan, bersama-sama dengan stakeholder lain untuk menumbuhkembangkan budaya dan tradisi pengelolaan sumberdaya hutan di lahan-lahan desa yang berada di sekitar kawasan hutan. Sehingga budaya “memiliki” dan “bertanggungjawab” terhadap pengelolaan hutan dan pelestarian sumberdaya hutan oleh masyarakat dapat terbangun dan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Adapun implementasi PHBM semakin kuat karena berlandaskan hukum dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No.P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam atau di Sekitar Hutan dalam rangka Social Forestry di Pulau Jawa oleh Menteri Kehutanan RI. Secara umum, pola kerjasama dalam PHBM melibatkan 3 unsur yang berdasar pada “kemitraan sejajar” yaitu : PT. Perhutani (Persero) (dulu, kini Perum Perhutani), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), dan pihak lain yang berkepentingan seperti pemerintah, LSM, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Swasta, Lembaga pendidikan dan lembaga donor.
16
Pihak lain ini dapat berperan sebagai investor atau motivator, fasilitator dalam pelaksanaan PHBM (PT. Perhutani Unit I 2002). Memasuki tahun 2007, tepatnya bulan Maret, pihak Direksi Perum Perhutani menetapkan perbaikan dari kegiatan PHBM yang telah berjalan dengan meluncurkan program PHBM PLUS melalui Keputusan Direksi Perum Perhutani No.286/KPTS/DIR/2007. Menurut Direksi Perum Perhutani (2007), jiwa dari pelaksanaan PHBM Plus yaitu mengelola sumberdaya hutan secara bersama, berdaya, dan berbagi dengan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) atas dasar fleksibilitas dan karakteristik usaha serta kondisi sosial/kultural masyarakat setempat. Berbagi disini menurut Pedoman Pelaksanaan PHBM, meliputi berbagi peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pelestarian hutan, juga berbagi hasil, baik hasil hutan kayu, bukan kayu, atau hasil usaha produktif. Untuk hasil hutan kayu dari penebangan maupun tipe kayu perkakas hasil penjarangan, ketentuan berbagi yang umum berlaku yaitu Perhutani 75% dan LMDH 25%. Sedangkan untuk hasil penjarangan pertama berupa kayu bakar, yaitu kayu berdiameter < 7cm, merupakan hak masyarakat sepenuhnya (100%). Bagian sebesar 25 % inilah yang diistilahkan dengan dana sharing dari Perhutani, yang akan diberikan bagi pengembangan masyarakat melalui sistem pengelolaan oleh LMDH. Adapun proporsinya secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) dalam PHBM Plus meliputi beberapa bidang seperti: Perencanaan, Pembinaan Sumber Daya Hutan, Produksi, Pemasaran dan Industri, Keamanan, Keuangan dan Sumber Daya Manusia (SDM), yang dilaksanakan oleh para stakeholders , dengan berkaidah 4K yaitu : a. Keseimbangan
: ekologi, sosial, ekonomi
b. Kesesuaian
: kultur, budaya setempat
c. Keselarasan
: pembangunan wilayah / daerah
d. Keberlanjutan
: fungsi dan manfaat SDH.
Dalam pembentukan LMDH, sebagai pelaksana PHBM untuk suatu wilayah/desa, memerlukan beberapa rangkaian tahapan kegiatan, seperti :
17
a. Sosialisasi Berupa pengadaan pertemuan dengan masyarakat beserta para tokoh-tokoh setempat, untuk menjelaskan apa itu PHBM, bentuk kegiatannya, serta nilainilai lebih yang dapat diperoleh masyarakat kelak. Pertemuan minimal dilaksanakan sebanyak 3 kali. Waktu sosialisasi ini kurang lebih sekitar 3 bulan, namun dapat lebih dari itu. b. Pembentukan Penetapan dan pembentukan pengurus LMDH desa tersebut, yang berasal dari masyarakat dan disetujui oleh masyarakat desa tersebut. Para pengurus dikenal dan diketahui warga. Pelaksanaannya yaitu melalui musyawarah desa, yang juga dihadiri perwakilan dari pihak Perhutani. c. Penetapan legalitas lembaga Pembentukan akte notaris untuk lembaga tersebut, yang diajukan oleh perwakilan lembaga (ketua) dan pihak Perhutani (ADM atau Asper), atau dari pihak lembaga saja. d. Pelaksanaan kegiatan berdasarkan ketetapan yang telah ada Tahapan akhir yaitu melaksanakan kegiatan berdasarkan segala ketentuan yang tercantum dalam akte tersebut, diantaranya penetapan AD/ART lembaga serta rencana kerja lembaga selama kepengurusan maupun tahunan. Dalam rangka mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan PHBM untuk tingkat lembaga khususnya, maka dibentuk Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM). FK yang berhubungan langsung dan erat dengan LMDH desa yaitu FK PHBM Desa. Selain FK PHBM tingkat Desa, juga dibentuk FK tingkat Kecamatan, FK tingkat Kabupaten serta FK PHBM Propinsi. Adapun tugas Forum Komunikasi PHBM adalah (Gubernur Jawa Tengah 2001) : a. Memberikan masukan dalam penyusunan rencana PHBM. b. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan PHBM. c. Membantu kelancaran pelaksanaan PHBM. d. Melaporkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a,b dan c kepada Gubernur bagi FK PHBM tingkat Propinsi, dan kepada Bupati/Walikota bagi FK tingkat Kabupaten/Kota.
18
BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Kegiatan survei informasi awal dilakukan di Kantor Perum Perhutani Pusat, Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta pada minggu kedua Mei 2007. Sedangkan penelitian ini dilaksanakan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, pada bulan Juni sampai dengan Juli 2007. 3.2. Bahan dan Alat Bahan penelitian antara lain : data statistik kebakaran tahun 1996 – 2006 dari Perum Perhutani, data sekunder mengenai KPH Cepu, data kondisi sosial masyarakat sekitar hutan KPH Cepu, dan data pendukung lainnya. Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain : alat perekam suara (tape recorder, MP4 player) alat tulis, kamera, daftar pertanyaan untuk wawancara terbuka bagi responden baik masyarakat maupun petugas Perhutani. 3.3. Jenis Data Data yang diperlukan terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud yaitu data-data yang diperoleh melalui wawancara serta pengamatan langsung di lapangan yang meliputi: kegiatan penanggulangan kebakaran hutan di KPH Cepu baik oleh LMDH sebagai pelaksana PHBM, maupun oleh pihak Perhutani sendiri, perkembangan LMDH, kondisi tegakan hutan serta masyarakat di beberapa BKPH di KPH Cepu. Sedangkan data sekunder yang diperlukan antara lain: data statistik kebakaran hutan wilayah KPH Cepu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2006, data-data mengenai kondisi kawasan KPH Cepu, data kondisi sosial masyarakat sekitar hutan KPH Cepu, perkembangan kegiatan LMDH, laporan kebakaran hutan dari beberapa BKPH, maupun data-data pendukung lainnya. Data tahun 1999 tidak diikutsertakan karena dinilai tidak valid. Hal ini dikarenakan untuk tahun 1999 hanya tercantum satu nilai data saja, yaitu dari satu BKPH dengan luas wilayah yang sangat kecil sehingga dianggap tidak mewakili
19
kondisi yang sebenarnya di lapangan. Selain itu, kondisi data sangat berbeda bila dibandingkan dengan data dari tahun-tahun lainnya. Untuk data tahun lain, pada beberapa BKPH ada yang tidak tercantum nilainya (tidak ada nilai luas areal terbakar), maka hal tersebut diasumsikan bernilai 0 atau tidak ada kejadian kebakaran hutan. Asumsi didasarkan pada hasil wawancara dengan pihak Perhutani bahwa memang ada sejumlah tahun yang tidak terjadi kasus kebakaran hutan di BKPH tersebut. 3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap, yaitu informasi pra-penelitian dan selama penelitian. Untuk kegiatan pra-penelitian, dilakukan dengan mengunjungi kantor Perum Perhutani Pusat, melakukan wawancara terbuka dengan petugas terkait dan mengumpulkan dokumen guna memperoleh informasi mengenai kondisi kebakaran hutan di KPH Cepu selama periode terakhir serta sejarah pelaksanaan PHBM di Perum Perhutani, yang menjadi dasar pelaksanaan penelitian. Pengumpulan data selama penelitian ditujukan untuk pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung terhadap para responden, yakni personil KPH Cepu (pejabat di lingkungan KPH Cepu, Divisi Keamanan Hutan KPH Cepu, KBKH/Asper, KRPH/ Mantri, Mandor, Polter, dll.), masyarakat (petani, pengurus LMDH) dan petugas PHBM KPH Cepu (Ka. Divisi PHBM/Suplap, para tenaga penyuluh/LSM), serta observasi lapangan. Sedangkan untuk data sekunder, berupa data statistik kebakaran hutan KPH Cepu yang diperoleh dari Divisi Keamanan KPH Cepu. Adapun data ini merupakan hasil rekapitulasi data kebakaran hutan tiap-tiap BKPH per tahunnya. Selain itu dikumpulkan juga beberapa laporan kebakaran dari beberapa RPH dan BKPH yang dikunjungi. Penentuan BKPH contoh dilakukan dengan memperhatikan frekuensi kebakaran hutan (jumlah tahun terbakar). Dari 12 BKPH yang terdapat di wilayah KPH Cepu, diambil 6 BKPH sebagai contoh, dengan asumsi 3 BKPH dengan frekuensi kebakaran tertinggi dan 3 BKPH terendah. Penetapan juga berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Perhutani mengenai BKPH yang rawan terjadi
20
kasus kebakaran hutan. BKPH contoh tersebut adalah: BKPH Cabak, BKPH Nglebur, BKPH Pasarsore, BKPH Kendilan, BKPH Nglobo, BKPH Kedewan. Penentuan BKPH tersebut juga terkait dalam menetapkan LMDH contoh yang akan diamati. LMDH kajian yaitu satu LMDH yang berada di wilayah BKPH contoh tersebut. LMDH kajian (contoh) juga ditetapkan berdasarkan hasil rekomendasi Bagian PHBM KPH Cepu, diantaranya LMDH dengan perolehan sharing tertinggi, atau LMDH yang berada di desa dengan masyarakat dinamis. Kurun waktu data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan pelaksanaan PHBM. Data diusahakan mencerminkan kondisi waktu pelaksanaan program yang sebanding, yaitu antara sebelum pelaksanaan dan setelah pelaksanaan. Kisaran waktu ditetapkan selama 5 tahun (5 tahun sebelum dan 5 tahun setelah). Berdasarkan informasi awal, PHBM berlangsung sejak 2001, maka data yang digunakan yaitu mulai tahun 1996 s.d. 2006. Informasi mengenai kondisi lokasi praktek maupun sosial masyarakat diperoleh berdasarkan keterangan dari pihak KPH Cepu, pemerintah desa, maupun instansi-instansi terkait. 3.5. Metode Analisis Data Data-data mengenai kondisi kejadian kebakaran hutan yang telah terjadi di KPH Cepu dalam kurun waktu pengamatan maupun informasi mengenai keberlangsungan program PHBM di KPH Cepu diolah dengan cara melihat jumlah total kejadian, rata-rata maupun perkembangan yang ada dan diulas secara deskripsi baik dengan narasi atau berupa grafik maupun tabel. Proses pengolahan lebih detail sebagai berikut : 3.5.1. Kejadian Kebakaran Hutan a. Analisa berdasarkan data statistik kebakaran hutan KPH Cepu tahun 1996 hingga 2006, tanpa tahun 1999. b. Analisa kejadian kebakaran hutan untuk tingkat KPH: b.1). Menentukan luas total areal kebakaran hutan setiap tahunnya selama periode pengamatan, dengan menjumlahkan data luas areal terbakar setiap BKPH dalam satu tahun yang sama.
21
b.2). Menentukan tahun-tahun dengan luas kebakaran hutan yang ekstrem, (tahun dengan luas kebakaran terbesar dan terkecil). c. Analisa kejadian kebakaran hutan tiap-tiap BKPH, yang meliputi luas maupun frekuensi kebakaran. c.1). Penilaian berdasar luas kebakaran : c.1.1). Menghitung rata-rata dari luas total areal terbakar selama 10 tahun dari setiap BKPH. c.1.2). Menentukan BKPH dengan areal terbakar terluas dan terkecil. c.1.3). Melakukan klasifikasi luas areal terbakar berdasarkan klasifikasi Chandler et al (1983) untuk setiap kasus kebakaran. c.2). Penilaian frekuensi kejadian kebakaran hutan: c.2.1). Menghitung berapa kali atau berapa tahun kebakaran hutan terjadi di BKPH tersebut selama tahun 1996 hingga 2006. c.2.2). Menentukan BKPH dengan frekuensi kasus kebakaran hutan paling banyak (sering) dan paling sedikit (jarang). Frekuensi kebakaran di sini tidak menyatakan jumlah kebakaran selama setahun, melainkan jumlah tahun kebakaran selama jangka waktu data dalam pengamatan (10 tahun). 3.5.2. Keefektifan PHBM terhadap Pengendalian Kebakaran Hutan a. Menghitung rata-rata luas kejadian kebakaran per BKPH dari tahun sebelum pelaksanaan PHBM (tahun 1996-2001), dan dengan metode yang sama juga dilakukan untuk tahun setelah penerapan PHBM (tahun 2002- 2006) menggunakan Microsoft Excel. b. Nilai rata-rata ini kemudian menjadi data baru: Data Rata-rata Luas Sebelum PHBM dan Sesudah PHBM (Lampiran 12). c. Mengolah data (b) menggunakan SPSS 13.0. menggunakan uji statistik berupa Paired Sample T Test, atau Uji T Untuk Dua Sampel yang Berpasangan (paired). Dua sample yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda. e. Di dalam pengujian digunakan hipotesis/asumsi sebagai berikut : H0
:
adanya PHBM tidak berpengaruh nyata terhadap upaya
22
pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu H1
:
adanya PHBM berpengaruh nyata terhadap upaya pengendalian kebakaran di KPH Cepu.
f. Melakukan pengambilan keputusan/ hasil pengujian : Bila nilai p-value > 0,05, maka H0 diterima Bila nilai p-value < 0,05, maka H0 ditolak g. Dilakukan pembahasan pengkajian mengenai kondisi atau faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengujian tersebut setelah diperoleh hasil uji. 3.5.3. Pengaruh PHBM terhadap Kejadian Kebakaran Hutan KPH Cepu Menurut standar evaluasi PHBM dari Perhutani Pusat (Direksi Perum Perhutani 2003) penilaian pengaruh PHBM untuk kebakaran hutan dilakukan terhadap laju penurunan gangguan keamanan hutan, dalam hal ini yaitu luas area yang terbakar (dalam satuan Ha). Penghitungan hanya dilakukan untuk data kebakaran pada tahun setelah penerapan PHBM yaitu mulai tahun 2002. Karena tahun 2006 luas kebakaran kembali meningkat maka penghitungan hanya dilakukan selama 3 tahun, mulai dari 2002 hingga 2005. Penghitungan laju penurunan luas area terbakar dilakukan dengan mengurangi luas tahun terukur dengan luas tahun sebelumnya lalu hasil diubah dalam bentuk persen untuk discoring dengan acuan sebagai berikut: penurunan < 50 % , score 1 penurunan 50 % - 60 %, score 3 penurunan > 60 % , score 5 3.5.4. Pelaksanaan Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan di Lapangan Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara, dilakukan pembahasan mengenai pelaksanaan upaya pengendalian kebakaran hutan oleh Perhutani, sebagai pengelola hutan utama dari tegakan di kawasan tersebut, serta kegiatankegiatan LMDH, sebagai pelaksana PHBM, yang terkait dengan upaya pengendalian kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu. Kegiatan dapat berupa halhal yang telah, sedang, maupun akan berlangsung, dimana dapat menjadi salah satu model kegiatan perlindungan hutan yang melibatkan masyarakat secara aktif.
23
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum KPH Cepu 4.1.1. Letak Geografi dan Luas Kawasan Berdasarkan peta geografis, KPH Cepu terletak antara 111°16” – 111°38” Bujur Timur dan 06°528” – 07°248” Lintang Selatan. Secara administratif, wilayah KPH Cepu meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro. Hal ini didasari oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 73 / Um / 52 pada tanggal 16 Juni 1952. Perum Perhutani KPH Cepu mempunyai luas total kawasan 33.047,3 ha, yang berada dalam dua wilayah kabupaten di atas, yaitu : 1. Kabupaten Blora, Propinsi Jateng seluas : 27.098,2 ha 2. Kabupaten Bojonegoro, Propinsi Jatim seluas : 5.949,1 ha Secara umum, kawasan hutan Cepu di bagian utara terletak pada pegunungan Kendeng, di bagian barat termasuk ke dalam DAS Lusi, sedangkan di bagian selatan merupakan kawasan penyangga aliran Sungai Bengawan Solo. Adapun batas – batas wilayah KPH Cepu ialah : a). Sebelah Utara
: KPH Kebonharjo, Perum Perhutani Unit I Jateng
b). Sebelah Timur
: KPH Parengan, Perum Perhutani Unit II Jatim
c). Sebelah Selatan
: Sungai Bengawan Solo
d). Sebelah Barat
: KPH Randublatung, Perum Perhutani Unit I Jateng
Sebagai pusat pengelolaan, areal kantor KPH Cepu terletak di Jalan Sorogo, Cepu, Jawa Tengah. Namun kini karena gedung di Sorogo tersebut akan direnovasi maka kegiatan dipindahkan di Wisma Tamu (Guest House) KPH Cepu, di daerah Tuk Buntung, lebih dekat di pusat Kecamatan Cepu.
4.1.2. Pembagian Wilayah Hutan Terkait kepentingan kegiatan perencanaan hutan, maka wilayah hutan KPH Cepu dikelompokkan kedalam 7 (tujuh) bagian hutan (BH) beserta luas arealnya yang tercantum pada Tabel 2.
24
Tabel 2. Pembagian wilayah hutan KPH Cepu No.
Bagian Hutan
Luas areal (ha)
1.
BH Payaman
3.376,3
2.
BH Cabak
4.506,8
3.
BH Nanas
4.979,7
4.
BH Ledok
4.453,3
5.
BH Kedewan
5.949,1
6.
BH Kedinding
5.007,2
7.
BH Blungun
4.792,9
JUMLAH
33.047,3
Sumber : Sekilas Mengenal KPH Cepu, Perum Perhutani KPH Cepu 2005
4.1.3. Keadaan lapangan Keadaan lapangan wilayah KPH Cepu sebagian besar berkonfigurasi datar sampai bergelombang, dan sebagian kecil berbukit yang disela-selanya terdapat mata air yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar lokasi tersebut, seperti sumber air Banyu Urip yang terdapat di petak 42 RPH Pasarsore. Adapun ketinggian lokasi dari permukaan laut berkisar 30 – 250 m. Kondisi lapangan kawasan hutan khususnya bagian hutan KPH Cepu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Keadaan lapangan bagian hutan di KPH Cepu No
Bagian Hutan
Konfigurasi Lapangan
1.
Payaman
Miring, bergelombang, sedikit berbukit
2.
Cabak
lereng, bergelombang
3.
Nanas
lereng/miring, berbukit, sangat bergelombang
4.
Kedewan
Miring, landai, datar sangat bergelombang
5.
Ledok
lereng, miring, bergelombang sedikit curam di tepi sungai
6.
Kedinding
Miring, landai, sangat bergelombang
7.
Blungun
datar, sangat berbukit, bergelombang
Sumber : RPKH KPH Cepu Jangka 2003-2012 diacu dalam Aprilia (2006)
25
4.1.4. Jenis Tanah Jenis tanah di wilayah hutan KPH Cepu pada umumnya terdiri dari 4 jenis tanah yaitu Litosol, Grumusol, Mediteran dan Aluvial. Sebagian besar berupa tanah Grumusol kelabu tua dan asosiasi Grumusol coklat keabuan serta kelabu kekuningan. Kawasan hutan KPH Cepu sebagian besar berbatu (kapur). 4.1.5. Iklim Wilayah hutan KPH Cepu dan sekitarnya beriklim tropis, yang ditandai dengan kehadiran musim hujan dan musim kemarau yang bergantian sepanjang tahun. Menurut Schmidt dan Ferguson, tipe iklim di wilayah KPH Cepu yaitu bertipe iklim C dan D. Adapun kondisi iklim ini sangat sesuai untuk ditanami jati. Temperatur rata-rata yaitu 26° C, sedangkan curah hujan rata-rata di wilayah Cepu ini yaitu 1.636 mm/tahun. 4.2. Keorganisasian dan Pembagian Wilayah Kerja KPH Cepu dipimpin oleh seorang Administratur (ADM), dengan dibantu oleh 5 Ajun Administratur. Tiap-tiap Ajun Administratur membawahi bagianbagian yang dikepalai oleh Kepala Sub Seksi dan Kepala Urusan. Untuk struktur pelaksanaan pengelolaan di lapangan, Perum Perhutani KPH Cepu dibagi menjadi 12 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang dikepalai
oleh
seorang
Kepala
Bagian
Kesatuan
Pemangkuan
hutan
(KBKPH/Asper) dan 34 orang Kepala setingkat KBKPH/Asper, yaitu 3 orang Kepala TPK dan Kepala Bangun-bangunan (bangunan asset Perhutani). Adapun satuan terkecil unit kerja KPH adalah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yang dipimpin oleh seorang Kepala RPH (KRPH/ Mantri). Sedangkan terkait kegiatan pengelolaan hutan, KPH Cepu menerapkan pembagian wilayah-wilayah kerja. KPH Cepu terbagi ke dalam 2 Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH), yaitu SKPH Cepu Utara dan SKPH Cepu Selatan. Masing-masing SKPH terbagi kedalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH), dengan keseluruhan jumlahnya yaitu 12 BKPH. Jumlah BKPH di KPH Cepu dan luas masing-masing tersaji dalam Tabel 4.
26
Tabel 4. Pembagian Wilayah Kerja KPH Cepu Sub KPH Cepu Utara BKPH 1.Wonogadung
2. Cabak
3. Nanas
4. Nglebur
5. Kedewan
RPH 1. Nglamping
Sub KPH Cepu Selatan Luas BKPH (ha) 2.410,0
BKPH 7. Ledok
21. Gianti
2. Ketringan
22.Gagakan
3. Kedungprahu
23. Kejalen
4. Kemuning
2.650,5
8. Kendilan
24. Gerdusapi
5. Cabak
25. Ngasahan
6. Pengkok
26. Mejurang
7. Talun
2.576,9
9. Pasarsore
27. Ngawenan
8. Nanas
28. Pasarsore
9. Bleboh
29.Temengeng
11. Bulak
2.643,1
10. Nglobo
30. Nglobo
12. Nglebur
31. Dulang
13. Sumberjo
32. Kaliklampok
14. Beji
2.739,8
2.922,1
2.993,5
2.911,5
34. Klopoduwur 11. Blungun
16. Dandangilo 17. Kawengan
Luas BKPH (ha) 2.938,2
33. Jomblang
15. Kedewan
6. Sekaran
RPH
3.208,5
2.360,0
36. Ngodo
18. Ngelo
37. Blungun
19. Sekaran
12. Pucung
20. Kasiman Luas Sub KPH Cepu Utara
35. Payaman
38. Galuk
2.681,9
39. Pucung 16.239,8 ha
40. Wadung 41. Klompok Luas Sub KPH Cepu Selatan
16.807,2 ha
Luas total area KPH Cepu = 16.239,8 ha + 16.807,7 ha = 33.407,3 ha Sumber : “Sekilas Mengenal KPH Cepu” Perum Perhutani KPH Cepu (2005)
Segenap jajaran petugas KPH Cepu berupaya untuk selalu melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan dan berupaya mengembangkan pengetahuan serta keterampilan dengan mengikuti berbagai bentuk pelatihan, baik yang diadakan oleh intern pihak KPH maupun dari pihak lain. Adapun pedoman/prinsip pelaksanaan kerja di KPH Cepu ialah : ”Mengawali setiap pelaksanaan tugas dengan semangat, dan mengakhirinya dengan prestasi”.
27
4.3. Kegiatan Kerja Kehutanan Sebagai suatu kesatuan unit pengelolaan hutan jati, maka KPH Cepu melaksanakan berbagai macam kegiatan mulai dari penanaman hingga produksi (panen). Dengan tujuan memperoleh hasil produksi terbaik dari tegakan jati yang dikelolanya dan berdasar pada prinsip kelestarian, maka kegiatan pengelolaan bersifat sinergis dan terkait satu sama lain. Adapun kegiatan-kegiatan teknis kehutanan yang dilaksanakan di KPH Cepu yaitu penanaman, khususnya dalam upaya reboisasi lahan-lahan bekas tebangan, maupun di tanah-tanah kosong. Penanaman ini selain menggunakan tanaman jati juga memanfaatkan jenis-jenis tanaman rimba. Khusus jati, KPH Cepu juga mengembangkan penanaman JPP, atau Jati Plus Perhutani yaitu tanaman jati yang bibitnya berasal dari pemuliaan pohon jati plus. Penanaman JPP ini telah berlangsung sejak tahun 2001. Selain penanaman, juga dilaksanakan upaya pemeliharaan tegakan, dengan tujuan memperoleh tegakan jati yang baik. Kegiatan dalam pemeliharaan ini antara lain penyulaman, babat, dangir, pemupukan dan wiwilan (tanaman berusia 1-3 tahun), pembabatan tumbuhan bawah dan prunning/pemangkasan (untuk tanaman umur 4 s.d 6 tahun), dan penjarangan, bagi tegakan hutan yang telah memenuhi tata waktu frekuensi penjarangan. Untuk tegakan yang siap tebang, pada T-2 (2 tahun sebelum penebangan) dilaksanakan penerasan dengan tujuan untuk mematikan pohon sehingga akan memudahkan pelaksanaan penebangan. Umumnya, tegakan yang akan ditebang yaitu tegakan-tegakan pada KU tua seperti KU VII keatas. Dalam usaha memperoleh tegakan yang sehat dan baik, maka selain pemeliharaan, bidang perlindungan atau keamanan hutan juga menjadi salah satu prioritas kegiatan di kawasan hutan KPH Cepu. Kegiatan keamanan meliputi penerapan upaya-upaya pre-emptif, preventif, dan represif secara terpadu, yang dalam pelaksanaannya tidak hanya oleh petugas KPH Cepu (polisi kehutanan) saja tetapi melibatkan pihak Polri, Pemda setempat, juga menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan keamanan hutan juga merupakan salah satu bentuk implementasi program PHBM di lapangan. Adapun pengadaan berbagai kegiatan ini merupakan upaya untuk mengurangi laju tingkat kerugian perusahaan akibat gangguan keamanan seperti
28
pencurian pohon, yang kini menjadi ancaman terberat Perum Perhutani secara umum dan khususnya di KPH Cepu. 4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Secara umum kondisi sosial masyarakat yang berada di sekitar wilayah KPH Cepu masih bersifat marginal, dinamikanya relatif lamban, serta masih sulit menerima hal-hal baru begitupun inovasi di banyak bidang. Kondisi ini sama, baik untuk masyarakat sekitar hutan yang termasuk daerah Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap alam dan lingkungan bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka tinggi, terlihat dari tingginya interaksi masyarakat terhadap kawasan hutan. Lahan pertanian berupa sawah dan tegalan yang ada di sekitar wilayah kerja KPH Cepu luasnya sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah penduduk, selain itu keterbatasan lapangan kerja juga sangat berdampak kepada konfigurasi interaksi masyarakat dengan kawasan hutan. Pada periode terakhir ini, kondisi tersebut lebih melahirkan interaksi yang bersifat negatif terhadap hutan. Hal inilah yang kini menjadi ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan dan problem bagi pengelola hutan, khususnya pihak Perhutani yaitu petugas KPH Cepu. Untuk itu kini dikembangkan bentuk pengelolaan dengan berbasis kemitraan dengan masyarakat sekitar hutan, yaitu dengan pelaksanaaan PHBM (Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat), dimana kegiatannya didasari prinsip berbagi, baik tanggung jawab akan kondisi hutan, pengelolaan lahan, maupun hasil dari kegiatan yang dilakukan (sharing hasil penebangan). Kondisi umum masyarakat maupun desa sekitar hutan wilayah KPH Cepu dari beberapa LMDH yang dijadikan unit contoh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. LMDH Tunggak Semi, Desa Temengeng, Blora (BKPH Pasarsore) Desa Temengeng sendiri secara administratif berada di Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Adapun batas-batas wilayah desa ini antara lain : a. sebelah Utara
: Desa Sambong, Kec. Sambong, Kab. Blora
b. sebelah Selatan
: Desa Galuk, Kec. Kedungtuban, Kab. Blora
29
c. sebelah Timur
: Desa Sambongrejo, Kec. Sambong, Kab. Blora
d. sebelah Barat
: Desa Blungun, Kec. Jepon, Kab.Blora
Luas wilayah dari Desa Temengeng yaitu 1085 ha, dengan pemanfaatan lahan untuk pemukiman (46 ha), sawah (77 ha), tegalan/ladang (93 ha), serta hutan seluas 868.9 ha. Dari lahan pertanian yang ada, sebagian besar merupakan tanah dengan kualitas sedang dan kritis. Selain itu kepemilikan lahan milik sangat terbatas. Terkait masalah tadi maka interaksi masyarakat terhadap hutan tinggi, baik pemanfaatan lahan (sebagai pesanggem), lahan penggembalaan ternak, juga pengambilan rencek (kayu bakar). Pada tahun 1999, hutan di desa Temengeng juga tak luput dari aktivitas penjarahan kayu besar-besaran oleh masyarakat sekitar, dan menyebabkan sejumlah tegakan mengalami kerusakan, khususnya untuk tegakan dengan kayu yang berada pada kelas umur sedang. 2. LMDH Wana Jati Lestari, Desa Nglobo, Blora (BKPH Nglobo) Desa Nglobo memiliki luas wilayah 1.889 ha (dimana 1.821,5 merupakan hutan negara), dengan jumlah penduduk sebanyak 2112 jiwa: 1.061 pria dan 1.051 perempuan, dengan tingkat pendidikan formal beragam: dari buta huruf hingga sarjana namun terbanyak yaitu lulusan SMA (Profil Desa Nglobo 2005). Namun berdasar data kependudukan desa terbaru (tahun 2007), jumlah penduduk Desa Nglobo sekarang sebanyak 2087 jiwa. Batas-batas wilayah Desa Nglobo yaitu : a. sebelah Utara
: Desa Cabak, Kecamatan Jiken
b. sebelah Timur
: Desa Ngawenan, Kecamatan Sambong
c. sebelah Selatan
: Desa Blungun, Kecamatan Jepon
d. sebelah Barat
: Desa Genjakan, Kecamatan Jiken
Desa ini dahulu merupakan desa IDT (Inpres Desa Tertinggal), kini merupakan desa pertanian. Kondisi lahan yang ada jauh lebih kecil daripada jumlah penduduk di dalamnya. Melalui PHBM, dimana ada sistem berbagi pengolahan lahan, masyarakat jadi mempunyai lahan untuk diolah dan memiliki pekerjaan. Kondisi masyarakat desa Nglobo juga dinamis, bahkan dapat dikatakan paling dinamis diantara masyarakat desa-desa lainnya di wilayah sekitar KPH Cepu. Masyarakatnya terkenal berpikiran kritis terutama terhadap suatu kebijakan
30
baru yang diterapkan pada desa mereka. Hal ini dipengaruhi dengan keadaan desa yang cukup kaya, baik hutan maupun minyak, sehingga beberapa perusahaan membuka unit pengelolaannya di sana, seperti Perum Perhutani maupun Pertamina. 3. LMDH Wana Lestari, Desa Kedewan, Bojonegoro (BKPH Kedewan) Lembaga ini berada di Desa Kedewan, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Secara administrasi daerah, wilayah ini sudah masuk Provinsi Jawa Timur, namun dalam pembagian wilayah hutannya, masih termasuk dalam lingkup KPH Cepu, tepatnya BKPH Kedewan, RPH Beji – Kedewan. Desa yang memiliki luas sebesar 889,48 ha ini ditinggali sejumlah 3577 jiwa, yaitu 1724 laki-laki dan 1853 perempuan. Pemanfaatan lahan di desa Kedewan berupa sawah tadah hujan, tegalan/ladang, pemukiman, dll. Adapun batas-batas desa Kedewan : a. sebelah Utara
: Desa Kaligede, Kecamatan Senori
b. sebelah Timur
: Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan
c. sebelah Selatan
: Desa Argomulyo, Kecamatan Kedewan
d. sebelah Barat
: Desa Beji, Kecamatan Kedewan
Desa Kedewan merupakan batas desa terujung bagian barat areal pengelolaan KPH Cepu. Penduduknya bermata pencaharian terbesar sebagai buruh swasta, juga ada kegiatan lain seperti buruh tani, petani, pegawai negeri, pengrajin, dan pedagang. Untuk pendidikan mulai dari tidak tamat SD hingga sarjana, namun jumlah terbesar yaitu masyarakat yang mengenyam pendidikan sampai lulus SD saja. 4. LMDH Alas Rejo, Desa Sambongrejo, Blora (BKPH Kendilan) LMDH ini terletak di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, dan masih termasuk dalam Kabupaten Blora. Desa Sambongrejo memiliki luas 310.028 ha, adapun pemanfaatan lahan terbesar berupa ladang. Total jumlah penduduknya 3037 jiwa dengan mata pencaharian utama sebagi buruh tani. Tingkat pendidikan masyarakat terbanyak yaitu tamatan SMP.
31
Batas-batas wilayah Desa Sambongrejo yaitu : a. sebelah Utara
: Desa Sambong
b. sebelah Timur
: Desa Gadu
c. sebelah Selatan
: Desa Kalen
d. sebelah Barat
: Desa Temengeng
Pada masa penjarahan besar-besaran (tahun 1999), desa Sambong merupakan desa yang pertama kali menjadi korban. Masyarakat desa ada yang berusaha menjaga keamanan desanya maupun hutan, tetapi adapula yang menjadi buruh balak (blandong). Namun pelaku utama dari penjarahan bukanlah penduduk desa ini, melainkan dari luar. Tegakan jati yang sudah berada di KU sedang maupun tua habis dijarah, kondisi inilah yang menyebabkan tanaman jati di desa ini sekarang masih berada di KU muda sehingga rawan terbakar. 5. LMDH Wana Bhakti, Desa Cabak, Blora (BKPH Cabak) Lembaga ini terdapat di Desa Cabak, Kec. Jiken, Kab. Blora, sedangkan wilayah pangkuan hutannya meliputi RPH Kemuning dan RPH Cabak, BKPH Cabak, KPH Cepu. Desa Cabak memilki luas 1.474.344 ha dengan jumlah penduduk 2.144 orang. Luasan areal terbesar yaitu berupa hutan produksi, seluas 1.341.700 ha. Penduduknya sebagian besar tidak tamat SD dan bermata pencaharian sebagai petani, pekerja sektor industri, maupun bidang perdagangan. Adapun batas-batas wilayah desa yaitu : a. sebelah Utara
: Desa Jiken
b. sebelah Timur
: Desa Nglebur
c. sebelah Selatan
: Dukuh Ngawenan
d. sebelah Barat
: Desa Nglobo
32
Desa Cabak ini merupakan desa batas wilayah KPH Cepu paling timur dari desa-desa lainnya. Umumnya di desa ini mudah ditemukan industri kerajinan tunggak kayu jati yang diolah menjadi meubel ukir dengan nilai estetika tinggi.
Gambar 3 Indutri kerajinan ukiran tunggak jati (BKPH Cabak). 6. LMDH Wana Tani Makmur, Desa Nglebur, Blora (BKPH Nglebur) Lembaga yang memiliki luas wilayah pangkuan seluas 3008,2 Ha ini meliputi beberapa RPH, seperti : a). RPH Nglebur, RPH Bulak, RPH Sumberejo – BKPH Nglebur b). RPH Pengkok – BKPH Cabak c). RPH Janjang – BKPH Nanas d). RPH Ketringan – BKPH Wonogadung Luas areal Desa Nglebur yaitu 3.701,9 Ha, dengan pemanfaatan terbesar untuk areal pertanian. Jumlah penduduk tahun 2002 sebanyak 4.994 jiwa yang sebagian besar bekerja sebagai petani, lalu di bidang jasa dan PNS. Adapun batasbatas wilayah desa Nglebur yaitu : a. sebelah Utara
: Desa Jiken, Kecamatan Jiken
b. sebelah Timur
: Desa Bleboh, Kecamatan Jiken
c. sebelah Selatan
: Desa Ledok, Kecamatan Jiken
d. sebelah Barat
: Desa Cabak, Kecamatan Jiken
Kondisi desa yang berada agak di dalam, jauh dari jalan raya membuatnya cukup aman dan ditambah pula dengan adanya pos penjagaan Perhutani sebelum memasuki jalan menuju desa ini.
33
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Kejadian Kebakaran Hutan di KPH Cepu Sebagai salah satu pengelola tegakan jati di Pulau Jawa, KPH Cepu tak
luput dari berbagai tekanan terhadap hutan. Salah satu kasus gangguan hutan yang intensitas terjadinya tinggi yaitu pembakaran hutan. Kondisi kejadian kebakaran di KPH Cepu secara keseluruhan tersaji dalam data statistik kasus kebakaran hutan yang terjadi pada periode 1996 s.d 2006 (11 tahun) di wilayah hutan KPH Cepu (Lampiran 3). Berdasarkan data tersebut, dalam periode 1996-2006 hampir setiap tahun terjadi kasus kebakaran hutan. Umumnya dalam satu tahun tidak semua BKPH mengalami kasus kebakaran hutan. Namun pada tahun 1997, 2002, dan 2004 tercatat kasus kebakaran hutan terjadi di seluruh wilayah BKPH di KPH Cepu. Kondisi ini terjadi karena ada pengaruh kondisi iklim pada tahun-tahun tersebut yang memicu meratanya kasus kebakaran hutan pada semua areal BKPH. Data tahun 1999 tidak digunakan dalam pengolahan data karena data dianggap tidak valid. Hal ini karena kejadian kebakaran yang tercantum hanya 1 data dari 1 BKPH saja. Berdasarkan hal tersebut data kebakaran hutan yang diolah hanya selama 10 tahun yaitu dari tahun 1996 hingga 2006 tanpa tahun 1999 (Tabel 5).
34
35
Adapun kondisi total kejadian kebakaran berupa luas areal terbakar di KPH Cepu selama periode 1996 – 2006 disajikan pada Gambar 4. 1.400,00
Luas area terbakar (ha)
1.158,52 1.200,00
867,20
1.000,00
765,82
800,00 600,00
516,60 409,66
399,55
347,00
400,00
527,65
276,40
114,10
200,00 0,00 1996 1997 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun kejadian kebakaran hutan Gambar 4 Kondisi kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu periode tahun 1996 hingga 2006 berdasarkan luas areal yang terbakar.
Dari grafik di atas terlihat kejadian kebakaran di KPH Cepu terjadi setiap tahun dengan luasan areal terbakar yang berbeda-beda, atau dapat dikatakan kondisi kebakarannya fluktuatif. Dalam periode tahun 1996-2006 tersebut, kisaran luas kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu yaitu antara 114,10 hingga 1158,52 ha. Kejadian kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 1997 (1158,52 ha), sedangkan luas kebakaran hutan terkecil yaitu tahun 2005 (114,10 ha). Berdasarkan data kebakaran selama 10 tahun tersebut dapat dihitung bahwa telah terjadi kasus kebakaran hutan seluas total 5.383,50 ha yang melanda kawasan hutan KPH Cepu. Kejadian kebakaran ini tentu saja memberikan dampak terhadap kondisi tegakan jati juga site tempat tumbuhnya yang telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar (total) Rp 16.412.388.000. Rata-rata setiap tahunnya KPH Cepu mengalami penurunan kualitas luas areal hutannya seluas 489,41 ha akibat terjadinya kasus kebakaran hutan. Tahun 1997 menjadi tahun dengan kasus kebakaran terluas dikarenakan adanya pengaruh ENSO (El-Nino South Oscillation) yang melanda Indonesia pada tahun tersebut. Pengaruh ini menyebabkan musim kemarau yang terjadi jauh lebih
36
panjang daripada biasanya, sehingga baik ketersediaan maupun pengeringan bahan bakar hutan semakin tinggi sehingga rawan terbakar. Selain itu, karena kering dan biasanya disertai tiupan angin maka bila terjadi kebakaran di satu titik maka penjalaran api mudah terjadi, sehingga kebakaran hutan cepat menyebar dan meluas. Kondisi ini menyulitkan upaya pemadaman kebakaran, sehingga luas areal hutan yang terbakar pun besar. Pada tahun 2005, tidak terjadi fenomena El-Nino, namun berlangsung Dipole Mode Negatif di Samudera Hindia serta badai tropis Tim yang membawa uap air cukup tinggi sehingga curah hujan di wilayah barat Indonesia relatif tinggi dan potensi hujan besar (Kompas 2007). Kondisi ini juga yang dimungkinkan menjadi penyebab tahun 2005 merupakan tahun dengan luas kebakaran terkecil di KPH Cepu selama periode 1996 – 2006. Ditambah pula upaya penanganan yang jauh lebih terpadu, mengingat telah terlaksanannya PHBM serta adanya pelatihan penanggulangan kebakaran hutan setahun sebelumnya. Data tahun 1999 tidak akurat diakibatkan pada tahun tersebut terjadi gejolak sosial di wilayah KPH Cepu. Gejolak tersebut antara lain penjarahan hutan secara besar-besaran, juga penyerangan terhadap fasilitas berupa sarana dan prasarana pengelolaan hutan milik Perhutani, diantaranya kasus pembakaran rumah dinas KBKPH Cabak. Penyerangan ini dilakukan oleh penduduk dari wilayah sekitar KPH Cepu. Karena kondisi itulah, aparat Perhutani (khususnya petugas lapangan) pada tahun tersebut lebih memfokuskan kegiatan pada upaya perlindungan hutan maupun keselamatan kehidupan mereka sendiri, sehingga kegiatan pengelolaan dan pelaporan data-data keamanan, khususnya data kebakaran, tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Kondisi ini yang mempengaruhi ketersediaan data yang tercatat di KPH. Diduga pada tahun tersebut tetap ada kebakaran hutan, bahkan dalam luasan areal yang besar. Diprediksi bahwa kasus kebakaran di wilayah KPH Cepu pada tahun 2007 akan mengalami penurunan. Hal ini didasari oleh informasi kondisi iklim dan cuaca dari badan meteorologi setempat yang menyatakan bahwa tahun 2007 termasuk iklim basah, maksudnya walaupun wilayah Cepu mengalami musim kemarau namun masih tetap diselingi atau terjadi hujan dalam beberapa periode, sehingga temperatur tidak terlalu tinggi. Adanya iklim basah merupakan salah
37
satu pengaruh La-Nina yang kini melanda Indonesia diantaranya Pulau Jawa tepatnya pada bulan Sepetember hingga November (WAF-LAPAN 2007). Efek La-Nina berlawanan dengan El-Nino, La-Nina menyebabkan musim daerah tersebut cenderung basah, curah hujan tinggi. Kemarau yang berkepanjangan diduga tidak akan terjadi selama 2007 ini, sehingga KPH Cepu dapat terhindar dari suatu pemicu kasus kebakaran hutan. Pada Tabel 5 juga terdapat informasi mengenai kondisi kebakaran hutan tiap-tiap BKPH di KPH Cepu. Adapun hasil analisa tercantum pada Gambar 5. dan Gambar 6. Rata-rata luas areal terbakar (Ha)
80,00 70,00 60,00 50,00
68,97
63,98
60,64
54,34 48,32
44,37
43,60
54,59
35,83
40,00
22,90
30,00
20,61
20,00 10,00
20,11
ar a Bl n un gu n Ng lo Pa bo sa rso re Le do k Ke nd ila n Pu cu ng
an
Se k
Ke d
ew
as
Na n
eb ur
k
Ng l
Ca ba
W on og ad
un g
0,00
BKPH
12 10 8
10 9 7
8
9
10 8
9
10
7
6
6
6 4 2 0
W
on og ad un C g ab Ng ak le bu Na r Ke na de s w Se an ka Bl ran un gu Ng n Pa lo sa bo rs or Le e Ke dok nd i Pu lan cu ng
Jumlah tahun kebakaran
Gambar 5 Rata-rata per tahun luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu selama periode 1996-2006.
Gambar 6
BKPH
Frekuensi kejadian kebakaran hutan per BKPH di KPH Cepu dalam periode 1996-2006.
38
Pada Gambar 5 terlihat bahwa rata-rata luas kebakaran hutan yang terjadi di setiap BKPH di wilayah KPH Cepu pada periode 1996-2006 berkisar antara 20,11 ha hingga 68,97 ha. Kebakaran terluas terjadi di BKPH Cabak (68,97 ha), sedangkan kebakaran hutan terkecil terjadi pada BKPH Blungun (20,11 ha). Gambar 6 menunjukkan kondisi kuantitatif dari kejadian kebakaran hutan, berupa jumlah tahun kejadian kebakaran yang terjadi di tiap-tiap kawasan BKPH di dalam kawasan KPH Cepu. Adapun berdasarkan data yang ada, kisaran frekuensi jumlah terjadinya kebakaran hutan di KPH Cepu yang diperoleh yaitu dari 6 hingga 10 tahun. Kejadian kebakaran hutan terbanyak dialami tiga BKPH yaitu BKPH Kedewan, BKPH Pasarsore dan BKPH Kendilan. Kondisi ini disebabkan karean daerah-daerah tersebut memiliki akses yang tinggi terhadap kegiatan manusia seperti dilalui jalan raya antar Kabupaten sehingga peluang terjadinya kebakaran hutan akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab menjadi lebih besar. Berdasarkan data mengenai luas areal terbakar pada setiap kejadian kebakaran hutan yang diklasifikasikan berdasarkan Chandler et al (1983) seperti pada Tabel 1, kondisi kebakaran hutan dari 6 BKPH contoh di wilayah Cepu termasuk dalam kelas areal terbakar B dan C, seperti pada tabel berikut. Tabel 6. Frekuensi kejadian kebakaran hutan berdasarkan klasifikasi luas kebakaran hutan menurut Chandler et al. (1983) dari 6 wilayah BKPH di KPH Cepu selama tahun 2001-2006. Kelas areal terbakar
Luas areal terbakar (ha)
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
Total kejadian
A B
≤ 0,10 0,11 – 3,64
=0 = 58
C
4,05 – 40,06
D E
40,47 – 80,94 121,41 – 404,29
0 5+1+18+2+1+6+2+4+4+2+6+ 1+4+2 1+1+16+1+22+10+4+15+1+ 5+5+10+17+3+1+3+3 1+1 0
F G
404,69 – 2023,05 ≥ 2023,45
0 0
Sumber : Data hasil olahan dalam penelitian
= 118 =2 =0 =0 =0
39
Sebagian besar kejadian kebakaran di 6 wilayah BKPH di Cepu tergolong ke dalam kelas C atau luas areal terbakar berkisar 4,05 hingga 40,06 ha yang tercatat sebanyak 118 kejadian. Sedangkan kelas lainnya yaitu B masih cukup banyak ditemukan (58 kejadian). Kelas dengan luas areal yang lebih tinggi hanya mencapai kelas D, yaitu luas kebakaran sebesar 40,47 - 80,94 ha, yang hanya berjumlah 2 kejadian. Secara umum, luas kebakaran hutan di KPH Cepu yang berada pada kelas B dan C, yang dapat dikategorikan berada dalam kondisi baik, atau kejadian kebakaran tidak merusak hutan dalam luasan yang besar. Kondisi ini hendaknya dapat dipertahankan bahkan dikurangi jumlah maupun luasan areal hutan terbakar. Kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu merupakan tipe kebakaran permukaan, maksudnya, kebakaran yang terjadi pada lantai hutan, menghabiskan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah namun tidak mencapai tajuk pohon. Bahan bakar tersebut antara lain serasah dedaunan, ranting, anakan pohon, limbah pembalakan, semak-semak, lapisan atas tanah, maupun biota tanah yang hidupnya di permukaan. Arah dan kecepatan penjalaran api dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin serta topografi (Rachmatsjah 1985).
Gambar 7 Areal bekas terbakar di BKPH Pasarsore, KPH Cepu. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa faktor penyebab kasus kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu ialah kegiatan manusia. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya kasus pembakaran tersebut, antara lain : a. Tindak pembakaran yang sengaja dilakukan oleh para pembalak liar untuk mengelabui para petugas ketika mereka menjalankan aksi pencurian kayu. Dengan membakar hutan, para petugas yang awalnya terfokus untuk mengejar
40
dan menangkap para pencuri tersebut, kemudian terbagi konsentrasinya untuk melakukan pemadaman kebakaran hutan terlebih dahulu. Umumnya kesengajaan membakar hutan dilakukan oleh orang-orang yang ingin mengambil hasil-hasil hutan secara illegal yaitu dari sekeliling wilayah Cepu. b. Faktor ketidaksengajaan, biasanya oleh penggembala yang masuk hutan dan menyalakan api untuk kebutuhan mereka, pejalan kaki atau pengendara kendaraan yang melewati pinggiran hutan lalu menyalakan api dan membiarkannya menyala hingga api terus menjalar atau membuang korek yang masih menyala ke lantai hutan dimana terdapat tumpahan minyak atau bensin yang tidak diketahui, kegiatan rekreasi di dalam hutan dan membakar serasah sebagai hiburan (khususnya malam hari, karena nyala api terlihat indah dan menarik). Para pelaku banyak yang belum menyadari bahaya dari penyalaan api di dalam hutan maupun cara-cara pencegahan kebakaran hutan. Dalam mengatasinya, penyuluhan kebakaran hutan menjadi sarana utama. c. Pembakaran dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa (orang gila), yang terkadang masuk ke dalam areal hutan dan menyulut api. Berkaitan dengan salah satu faktor penyebab kebakaran yaitu aktifitas dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, maka umumnya daerah hutan yang paling rawan terhadap kasus pembakaran hutan ialah areal yang berdekatan dengan akses manusia, yaitu hutan-hutan yang lokasinya berada di tepian jalan, berdekatan dengan jalan raya. Walaupun penyebab utama kasus kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu ialah aktifitas manusia, namun kondisi cuaca di lokasi juga turut berpengaruh. Berdasarkan peta curah hujan Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, wilayah Cepu merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang kering (curah hujan rendah) dan bertemperatur tinggi/panas (Lampiran 4). Kondisi ini memicu kejadian kebakaran hutan, diantaranya dari tingginya suhu lingkungan sebagai suhu penyalaan dalam proses pembakaran. Selain itu, akibat kondisi daerah yang kering dan panas tanaman jati beradaptasi dengan meranggas (menggugurkan daun). Daun-daun ini akan mengering dan menjadi serasah di lantai hutan yang merupakan supply bahan bakar potensial.
41
Diketahui bahwa kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu marak terjadi pada saat memasuki dan selama musim kemarau yang biasa berlangsung mulai dari pertengahan Juli hingga akhir Oktober (Gambar 8). Masa tersebut sering diistilahkan sebagai bulan-bulan kering atau bulan-bulan dimana rawan terjadi
90 80 70 60 50
56
22 14 0
0
0
1
0
1
3
0
u Fe ari br ua ri M ar et Ap ri l M ei Ju ni J Ag uli us Se t pt us em b O er kt N obe ov em r D es ber em be r
40 30 20 10 0
80
Ja n
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
kasus kebakaran hutan.
Bulan kejadian kebakaran hutan
Gambar 8 Grafik musim kebakaran di KPH Cepu Kejadian kebakaran di KPH Cepu mulai marak terjadi pada saat memasuki pertengahan tahun. Berdasarkan data kejadian kebakaran selama tahun 20002006, kasus kebakaran hutan mulai ditemukan pada bulan April serta Juni sebanyak satu kejadian. Kebakaran hutan mulai meningkat memasuki bulan Juli (22 kasus), puncak kejadian terjadi pada bulan Agustus (80 kasus), kemudian menurun pada bulan September (58 kasus), Oktober (14 kasus), dan pada bulan November (3 kasus). Sedangkan bulan-bulan lainnya tidak tercatat ada kejadian kebakaran hutan (0 kasus). Terkait hal tersebut, maka upaya pencegahan berupa peringatan akan bahaya kebakaran hutan melalui penyuluhan kebakaran hendaknya dilakukan pada bulan ketiga dan keempat, yang disertai dengan pemantauan kondisi keamanan huan. Memasuki pertengahan tahun, kegiatan patroli kebakaran hutan hendaknya lebih diintensifkan. Kegiatan ini selain berfungsi untuk mencegah terjadinya kasus pembakaran hutan juga sebagai deteksi dini bilamana terjadi kasus kebakaran sehingga pemadaman dapat segera dilakukan.
42
Selama musim kemarau, kondisi temperatur wilayah KPH Cepu yang memang tinggi akan semakin meningkat. Pohon jati semakin aktif menggugurkan daun dan proses pengeringannya juga lebih cepat sehingga ketersediaan bahan bakar potensial berupa serasah dedaunan di lantai hutan tinggi. Bila ada pihak tak bertanggungjawab yang menjadi sumber penyalaan api, maka serasah-serasah tersebut akan mudah terbakar. Selain itu, dengan tingkat kelembaban udara yang rendah serta banyaknya angin di musim kemarau, maka bila terjadi penyalaan (kebakaran), maka laju penjalaran api akan berlangsung mudah dan cepat sehingga memperbesar luas areal yang terbakar yang akan menyulitkan proses pengendalian khususnya pemadaman. Kondisi ini yang menyebabkan maraknya kejadian kebakaran hutan selama musim kemarau di wilayah KPH Cepu. Dari sejumlah tipe tegakan jati berdasar kelas umurnya, selama ini kebakaran hutan jati di wilayah KPH Cepu yang mendapat penanganan serius hanya bagi tegakan-tegakan muda saja. Pihak Perhutani menilai kebakaran di tegakan tua tidak memberikan kerugian yang besar bagi perusahaan, tidak sebesar bila terjadi kebakaran pada tegakan muda. Tanaman jati di usia tua memang cenderung memiliki ketahanan terhadap api atau panas, karena kulit kayunya yang tebal. Sedangkan tanaman muda, belum memiliki mekanisme tersebut, sehingga rentan terhadap kebakaran hutan. Besarnya kerugian perusahaan akibat kebakaran hutan pada tegakan-tegakan muda disebabkan karena selain perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk pemadaman, kebakaran hutan menyebabkan kematian tanaman sehingga diperlukan penyulaman sebanyak tanaman yang mati tersebut, yang berarti menambah anggaran pengeluaran perusahaan. 5.2. Kondisi Pelaksanaan PHBM di KPH Cepu Pelaksanaan PHBM di Jawa Tengah, KPH Cepu khususnya, didasari oleh beberapa peraturan terkait, diantaranya: a). Keputusan Direksi Perum Perhutani No.136/Kpts/Dir/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. b). Keputusan Gubernur Jawa Tengah No.24 Tahun 2001 tanggal 22 September 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Bersama Masyarakat di Propinsi Jawa Tengah.
43
c). Keputusan Kepala PT. Perhutani (Persero) Unit I Jawa Tengah No. 2142 / KPTS / I /2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat di Unit I Jawa Tengah, yang ditetapkan 13 Desember 2002 di Semarang, sebagai pedoman dalam aplikasi program. d). Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/Dir/2007 tanggal 8 Maret 2007 mengenai PHBM Plus, yang juga dilaksanakan di wilayah KPH Cepu. Di KPH Cepu penerapan PHBM di lapangan dimulai tahun 2002. Pelaksanaannya berada di bawah Divisi PHBM dan Bina Lingkungan yang dikepalai oleh seorang Kepala (KSS PHBM dan Bina Lingkungan), yaitu Bapak Zaenal Abidin, yang sering disapa Pak SupLap (Supervisor Lapangan). Jabatan Kepala PHBM dan Bina Lingkungan setingkat dengan Asper. Divisi ini berkedudukan di kantor pusat KPH. Sosialisasi ketetapan atau kegiatan PHBM bagi masyarakat desa dilakukan oleh mandor penyuluh PHBM. Sebelum tahun 2004, hanya terdapat 4 mandor penyuluh untuk seluruh BKPH di Cepu, tetapi kini telah ada seorang mandor untuk setiap BKPH, sehingga diharap kinerja serta pendekatan kepada masyarakat akan jauh lebih efektif. Penyuluhan juga dibantu oleh TPM (Tenaga Pendamping Masyarakat) berjumlah 2 orang yang berasal dari LSM Obor, Blora. Pelaksanaan PHBM di tingkat masyarakat desa (masyarakat sekitar hutan) dimulai dengan sosialisasi terhadap anggota masyarakat desa tersebut untuk membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lembaga yang berkekuatan hukum melalui akte notaris ini merupakan kepanjangan tangan dari pihak Perhutani dalam memasyarakatkan PHBM kepada masyarakat, serta ujung tombak pelaksana dari program tersebut. Dari 12 BKPH di wilayah KPH Cepu, minimal terdapat satu (LMDH) untuk satu BKPH. Hingga bulan Juni 2007 di wilayah KPH Cepu tercatat terdapat 37 LMDH yang sah karena sudah memiliki akte notaris. Data lengkap mengenai LMDH yang terdapat di KPH Cepu terdapat pada Lampiran 6. Dalam penelitian ini, LMDH yang diamati hanya satu LMDH per BKPH untuk 6 BKPH pilihan, namun tetap memperhatikan keterwakilan area Cepu, sehingga LMDH diambil dari BKPH contoh dari paling ujung Timur maupun ujung Barat wilayah KPH Cepu.
44
Tabel 7 Deskripsi kondisi beberapa LMDH di wilayah KPH Cepu No
Nama
Desa
BKPH
Legalitas
LMDH 1.
Tunggak Wana
Temengeng
Pasarsore
Jati Nglobo
Nglobo
No.614, 868.9 Ha
Wana Alas Rejo
Akta
No.262, 1.821,5 Ha
(27/12/2002) Kedewan
Kedewan
Lestari 4.
Akta
sudah
(27/06/2003)
Lestari 3.
Sharing
pangkuan
Semi 2.
Luas
Akta
sudah
(4 BKPH)
No.314 545 Ha
sudah
(19/03/2003) Sambongrejo
Kendilan
Akta No. 496 1,939.4 Ha
sudah
(19/10/2004) 5.
Wana
Cabak
Cabak
Bhakti 6.
Wana Tani Nglebur
Akta
No.
82 1,288.5 Ha
sudah
Akta No. 263 3.008,2 Ha
sudah
(16/12/2002) Nglebur
Makmur
(27/10/2002)
(4 BKPH)
Sumber : Divisi PHBM dan Bina Lingkungan KPH Cepu (2007)
Mengenai pelaksanaan PHBM, KPH Cepu memilki kelebihan yang menguntungkan yaitu keberadaan desa-desa sekitar hutan yang saling berdekatan, sehingga akses untuk menjangkauanya cukup mudah dan cepat. Keadaan ini sangat menolong pihak petugas PHBM KPH saat proses sosialisasi dan pembentukan lembaga di awal waktu pelaksanaan program dan hingga kini yaitu dalam hal pemantauan kinerja lembaga. Salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap keberadaan LMDH yaitu kondisi hutan di sekitar desa tersebut karena terkait erat dengan sharing yang dapat diperoleh masyarakat. Dari sejumlah LMDH di wilayah KPH Cepu, baru 19 desa yang telah memperoleh sharing melalui LMDH. Bila kondisi hutan di wilayah pangkuan desa masih baik tentu lembaga yang dibentuk dapat memperoleh hasil dari hutan setelah mereka juga berperan aktif menjaga dan memelihara kondisi hutannya. Namun, bila hutannya sudah rusak, tentu bila masyarakat mengerjakan tugas LMDH (menjaga hutan), apa yang mereka akan peroleh belum jelas, tidak ada sharing. Kondisi inilah yang menyebabkan masih ada 6 desa lagi yang belum mendirikan LMDH. Pihak Perhutani pun tidak menyanggupi apabila harus memberi insentif terlebih dahulu
45
hingga tegakan di desa tersebut baik. Namun di tahun 2007 ini, divisi PHBM berencana agar 6 desa tersebut dapat dibentuk LMDH, dengan bentuk-bentuk kerjasama lain yang terbaik dan saling menguntungkan, seperti penanaman tebu. Keenam lembaga yang dikaji dalam penelitian ini telah memperoleh sharing dari Perhutani. Berdasarkan wawancara, pemanfaatan dana tersebut umumnya dibagi berdasarkan persentase tertentu sesuai hasil kesepakatan lembaga, aparat desa dan FK, dan dimanfaatkan untuk pengembangan dan kinerja lembaga sendiri, pembangunan fasilitas maupun sarana dan prasarana desa, maupun kegiatan yang manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat (membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Beberapa bentuk pemanfaatan dana sharing antara lain untuk : a. Pembangunan gapura desa maupun papan-papan keterangan jalan-jalan desa. (LMDH Alas Rejo, Desa Sambongrejo, BKPH Kendilan dan LMDH Wana Bhakti, Cabak). b. Perbaikan jalan desa, jalan antar desa, maupun sarana desa lain. (LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur; LMDH Wana Bhakti, Cabak; dan LMDH Wana Lesatari, Kedewan). c. Pembangunan kantor sekretariat serta Koperasi simpan pinjam LMDH. (LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur dan LMDH Tunggak Semi, Desa Temengeng, BKPH Pasarsore). d. Pembelian hewan ternak (umumnya sapi), untuk dikelola bersama warga. (LMDH Wana Jati Lestari, Nglobo; LMDH Wana Bhakti, Cabak; LMDH Wana Lestari, Kedewan). e. Kerjasama pengolahan hasil hutan, berupa kerajian meubel tunggak jati. (LMDH Wana Jati Lestari, Nglobo dan LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur). f. Dana kinerja pengurus lembaga (salah satunya dana kegiatan patroli hutan). g. Pengadaan sarana dan prasarana kerja LMDH. h. Pembangunan sarana ibadah masyarakat desa, seperti musholla desa, perbaikan masjid, maupun fasilitas desa lainnya. Keberhasilan suatu LMDH diukur berdasarkan besarnya sharing yang diperoleh. Semakin besar sharing yang diterima maka lembaga dinilai semakin
46
berhasil atau maju sehingga semakin banyak pula kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga tersebut untuk pengembangan baik kinerja lembaga itu sendiri maupun untuk pembangunan fasilitas desa. Untuk tahun 2006 LMDH Wana Tani Makmur, Desa Cabak, BKPH Nglebur, merupakan LMDH dengan perolehan sharing terbesar yaitu Rp 596.533.169.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 9 Kegiatan LMDH terkait pemanfaatan dana sharing Perhutani: (a). Perangkat kerja di Sekretariat LMDH Wana Bhakti, Cabak; (b). Pembangunan kantor LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur; (c). Bengkel kerja meubel tunggak jati di LMDH Wana Jati Lestari, Desa Nglobo; (d). Pemeliharaan sapi, bentuk peningkatan kesejahteraan warga melalui LMDH
47
Pengurus LMDH tersusun dalam struktur organisasi LMDH. Tugas pengurus sesuai dengan jabatannya dalam struktur tersebut. Susunannya yaitu Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris (I dan II) dan Bendahara (I dan II), juga seksiseksi yang terdiri atas ketua beserta anggotanya. Susunan pengurus dari beberapa LMDH terdapat pada lampiran 8. Untuk seksi-seksi ini terkait kegiatan pengelolaan hutan, dalam lembaga terdapat 5 seksi dengan tugasnya masingmasing, yaitu : 1. Seksi Usaha : mengembangkan usaha lembaga, modal, maupun kegiatan yang dapat dijalankan oleh anggota baik melalui intern maupun dari luar lembaga, misalnya koordinasi pengangkutan tunggak jati oleh masyarakat. 2. Seksi SDH : ikut mengamati, melihat dan menjaga kekayaan atau potensi hutan: ikut serta dalam risalah tegakan/sensus kayu. 3. Seksi Keamanan: terlibat langsung dalam usaha menjaga keamanan hutan, melalui patroli atau kegiatan lainnya di bawah komando pihak Perhutani. 4. Seksi Humas: sebagai mediator dan komunikator lembaga kepada masyarakat. Humas mensosialisasikan ketetapan-ketetapan Perhutani, LMDH, kepada masyarakat, juga sebagai jembatan aspirasi maupun respon warga terhadap LMDH dan Perhutani agar hubungan semua pihak terjalin baik. 5. Seksi Produksi : ikut menghitung produksi Perhutani per tahunnya di wilayah pangkuan tersebut, seperti hasil tebangan, juga besar sharing untuk lembaga.
Gambar 10 Pengangkutan tunggak, bentuk usaha LMDH dan warga. Evaluasi kinerja setiap LMDH desa dilakukan oleh Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) tingkat desa. Umumnya FK PHBM di KPH Cepu dari
48
LMDH yang diamati beranggotakan sekitar 10 orang. Keterlibatan FK dalam kegiatan LMDH yaitu melalui pertemuan rutin atau rapat pleno bersama yang diadakan 3-4 bulan sekali. Sebelum tahun 2006, masih ditemukan jabatan rangkap, dimana pengurus LMDH juga sebagai anggota FK. Kondisi ini menyebabkan penilaian kurang objektif karena hasil pelaksanaan kegiatan dinilai oleh pelaksana itu sendiri. Namun kini hal tersebut tidak ditemukan lagi. Dengan sosialisasi lebih intensif maka pemahaman masyarakat mengenai evaluator mulai baik, sehingga pihakpihak yang seharusnya berperan sebagai FK mulai menjalankan tugasnya dan pengurus LMDH semata-mata sebagai badan legislatif, murni bertugas sebagai pengkoordinasi juga pelaksana kegiatan. Sejauh ini kendala utama pelaksanaan PHBM adalah kurangnya pemahaman dan sosialisasi program, tak hanya kepada masyarakat, bahkan bagi kalangan aparat Perhutani sekalipun. Pelaksanaan PHBM belum sepenuhnya mendapat dukungan dari aparat Perhutani, masih ada sejumlah oknum yang tidak suka dengan terbukanya sistem pengelolaan hutan juga adanya sistem berbagi terhadap masyarakat sekitar hutan. Untuk itu, kini semakin digiatkan bentuk-bentuk sosialisasi. Penerapan sistem PHBM Plus merupakan bentuk perbaikan mekanisme sikap aparat Perhutani terhadap masyarakat. Hal ini terlihat dari persyaratan pertama dalam Bab IV Pasal 4 Pedoman PHBM Plus 2007, yaitu: harus ada perubahan pola pikir (mindset) pada semua aparat Perum Perhutani dari penguasa menjadi fasilitator, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari ditakuti menjadi dicintai. Sehingga masyarakat tidak lagi antipati terhadap aparat maupun program-program Perhutani, melainkan mau turut serta terlibat karena kini Perhutani lebih membuka diri bagi masyarakat sekitar hutan yang dikelolanya. Selain itu, belum adanya kolaborasi antar LMDH membuat perkembangan antar LMDH sangat terlihat perbedaannya. Bila ada model kerjasama berupa investasi dana dari LMDH dengan sharing besar terhadap LMDH dengan sharing kecil, atau kerjasama pengolahan potensi desa maka pemerataan kemajuan masyarakat maupun LMDH dalam satu wilayah KPH tersebut jauh lebih baik.
49
5.3. Peranan PHBM dalam Pengendalian Kebakaran Hutan Mengenai maraknya kasus kebakaran hutan yang terjadi di wilayah pengelolaannya, pihak Perum Perhutani KPH Cepu pun tidak tinggal diam. Sebagai pengelola, porsi tanggung jawab terbesar untuk mengatasi problem kebakaran hutan jati di wilayah Cepu dipegang oleh Perum Perhutani KPH Cepu. Untuk itulah upaya penanggulangan dirancang dan juga diaplikasikan di lapangan. Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain : a. Melakukan kegiatan preventif berupa patroli hutan, terutama pada bulan-bulan rawan kebakaran atau musim kemarau panjang. b. Memasang papan-papan peringatan dan larangan melakukan pembakaran hutan. c. Mengadakan pendekatan kepada masyarakat melalui ramah tamah. d. Pemadaman dini, yakni ketika api maupun luas area masih kecil, walau dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Metode yang digunakan yaitu dengan memukul-mukul api menggunakan gepyokan dan membuat ilaran api
Gambar 11 Papan peringatan larangan membakar hutan. Dalam pelaksanaannya, upaya pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu berdasar pada pedoman yang ada berupa ”Buku Saku Pengendalian Kebakaran Hutan” yang diadakan oleh Direktorat Perlindungan Hutan Ditjen PHPA yang bekerjasama dengan FAO tahun 1995/1996. Pengadaan pedoman dan distribusi ke tiap unit-unit pengelolaan lapangan (KPH) dilakukan oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada Mei 1997.
50
Setelah terbangunnya hubungan kerjasama yang lebih erat dengan masyarakat sekitar hutan melalui PHBM maka penanganan kebakaran hutan tidak hanya dilakukan oleh pihak Perhutani saja, tetapi juga mendapat dukungan dan bantuan dari masyarakat. Wujud nyata peranan program PHBM terhadap kegiatan pengelolaan hutan terlihat dari kegiatan-kegiatan LMDH yang dijalankan oleh pengurus serta anggotanya yaitu seluruh masyarakat desa. LMDH sebagai jembatan antara Perhutani dan masyarakat, menjadi gugus depan dalam pelaksanaan kegiatan serta menjadi motor untuk meningkatkan partisispasi masyarakat sekitar hutan di dalam wilayah hutan pangkuan mereka. Dalam ruang lingkup kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), kegiatan pengendalian kebakaran hutan sendiri merupakan bagian dari bidang perlindungan hutan. Bidang ini termasuk ke dalam jenis kegiatan Dalam Kawasan Hutan, tepatnya Kegiatan Pengusahaan Hutan (PT Perhutani Unit I Jawa Tengah 2002). Pelaksanaan kegiatan ini merupakan tanggung jawab utama dari salah satu divisi yang dimiliki LMDH, yaitu divisi atau seksi Keamanan. Secara umum, tugas dari seksi ini yaitu membantu menjaga serta meningkatkan keamanan hutan dengan tetap mengacu pada arahan dan komando dari pihak Perhutani (Asper, Mantri, penyuluh PHBM, dll). Namun, sesuai kinerja dari Perhutani, penanganan kebakaran hutan belum ada suatu divisi khusus (semacam Brigdalkarhut), sehingga kegiatan pengendalian kebakaran ini dilakukan beriringan dengan pencegahan gangguan hutan lainnya. Untuk patroli hutan misalnya, kegiatan tersebut tidak dilakukan semata-mata untuk antisipasi kebakaran hutan saja, sebagai wujud deteksi dini, melainkan dilakukan juga guna mencegah terjadinya pencurian kayu. Berdasarkan hasil wawancara kepada pihak Pehutani (6 BKPH) dan 6 LMDH contoh dari setiap BKPH tersebut, baik terhadap ketua lembaga juga anggota seksi keamanan, diketahui bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh LMDH maupun masyarakat di lapangan sebagai peran serta dalam upaya perlindungan kebakaran hutan, yang meliputi :
51
a. Deteksi dini dan pelaporan kejadian kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran hutan yang efektif memerlukan deteksi dan pelaporan yang baik. Deteksi menunjukkan lokasi kebakaran dan informasi tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dalam pengendalian kebakaran hutan melalui mekanisme pelaporan kejadian kebakaran. Kalau deteksi tidak efisien, kerusakan akibat kebakaran bisa menjadi demikian besar oleh karena terlambatnya upaya-upaya penanggulangan (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 1997). Masyarakat sekitar hutan, dimana keberadaannya paling dekat dengan hutan, merupakan subjek yang paling kompeten sebagai sumber informasi untuk kegiatan deteksi dan pelaporan kejadian kebakaran. Masyarakat yang dulu sering dianggap ancaman, sehingga pengawasan hutan diperketat, kini dijadikan mitra Perhutani yang dapat saling membantu dalam suasana kerjasama yang menjunjung azas kekeluargaan. Di wilayah KPH Cepu, selama ini banyak kegiatan harian masyarakat yang berlokasi dekat dengan hutan atau bahkan di dalam kawasan hutan tersebut, namun bukan berupa interaksi negatif, seperti mengambil tunggak jati atau daundaun jati. Dengan demikian, masyarakat dapat turut berperan mengawasi keadaan hutan, melakukan deteksi dini dan segera melapor kepada aparat apabila sewaktuwaktu terjadi gangguan hutan, salah satunya kebakaran hutan. Perubahan paradigma manajemen Perhutani seperti yang tercantum dalam Prinsip PHBM PLUS Pasal 6 No.1, yaitu : Pelaksanaan PHBM PLUS diawali dengan perubahan pola pikir mindset pada semua jajaran di Perum Perhutani dari yang birokratif, sentralistik, kaku, ditakuti, menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai. (Direksi Perum Pehutani 2007) menjadikan para petugas Perhutani, khususnya yang berada di lapangan kini lebih dekat dan bersahabat terhadap masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak lagi takut terhadap aparat. Masyarakat kini memiliki keberanian untuk bermitra dengan para petugas Perhutani dan dengan sukarela bekerja sama, misalnya melaporkan bila terjadi kebakaran hutan di suatu area kepada petugas.
52
Namun kolaborasi tersebut tetap dilandasi rasa segan dan hormat antar kedua pihak dan diperkuat dengan adanya pengayoman melalui LMDH. Dalam melakukan pelaporan, masyarakat yang mengetahui titik kejadian kebakaran segera menghubungi petugas dengan mengunjungi pos-pos penjagaan yang tersebar di wilayah hutan, karena bila tak berkeliling petugas berjaga-jaga di pos. Metode pelaporan juga berkembang sesuai perkembangan teknologi. Beberapa peralatan komunikasi yang digunakan sebagai sarana pelaporan antara lain radio, HT, serta handphone (HP). Bagi warga yang sudah memiliki sarana komunikasi tersebut (umumnya HP) dapat menghubungi petugas lebih cepat dan mudah. Laporan dari masyarakat kemudian ditindaklanjuti oleh petugas. Bila kapasitas petugas untuk menangani kebakaran tersebut terbatas maka petugas akan meminta bantuan masyarakat. b. Patroli lapangan/hutan rutin Adapun bentuk patroli ini ada dua macam, yaitu patroli berkeliling hutan baik dengan kendaraan atau berjalan menyisir hutan, atau dengan berjaga-jaga di pos pengawasan hutan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pengamanan lapangan. Petugas Perhutani maupun LMDH, tetap melakukan patroli rutin ini sesuai jadwal untuk wilayah pangkuan mereka. Kegiatan ini terkadang dilakukan secara bersama-sama antara petugas Perhutani dengan anggota LMDH yang bertugas, namun terkadang tidak.
Gambar 12 Kegiatan patroli hutan rutin (berjaga di pos keamanan). Petugas Seksi Keamanan di setiap LMDH biasanya sudah memiliki jadwal patroli masing-masing. Ada yang pembagiannya seminggu sekali, atau 5 hari
53
sekali. Untuk LMDH ”Wana Bhakti” Desa Cabak, patroli dilakukan setiap 5 hari sekali per satu petugas, sedangkan di LMDH ”Wana Lestari” Desa Kedewan jadwal sama hanya dilakukan oleh tiga orang anggota seksi keamanan. Pada LMDH ”Alas Rejo” Desa Sambongrejo jadwal tugas patroli setiap petugas yaitu seminggu sekali. Adapun jadwal patroli lengkap dari ketiga LMDH tersebut diatas terdapat pada Lampiran 9. Sistem pelaksanaan patroli LMDH ”Wana Tani Makmur” Desa Nglebur di siang hari dilaksanakan oleh petugas LMDH saja, sedangkan untuk malam hari dilakukan bersama-sama dengan petugas Perhutani. Sedangkan pada LMDH ”Wana Jati Lestari” Desa Nglobo, patroli dilaksanakan secara berselang satu hari untuk setiap petugas. Dalam kegiatan patroli bersama biasanya antara petugas Perhutani dengan petugas LMDH bertemu pada pos-pos penjagaan. Pos ini terdapat di beberapa titik di dalam areal hutan, baik di dalam tegakan, atau yang dekat dari aksesibilitas umum, pada tepi jalan raya misalnya. Berjaga-jaga pada pos baik siang atau malam hari, biasanya dilakukan bila kondisi dianggap tidak terlalu rawan.
(a)
(b)
Gambar 13 Pos Penjagaan Hutan di BKPH Pasarsore (a) dan BKPH Cabak (b). Kegiatan patroli ke dalam kawasan hutan dilakukan secara rutin, namun khusus untuk antisipasi kejadian kebakaran, intensitas kegiatan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan yang rawan terjadi kebakaran yaitu ketika mulai memasuki musim kemarau, diantaranya mulai dari pertengahan Juli hingga Oktober. Pada bulan-bulan rawan kasus kebakaran tersebut, patroli yang digunakan yaitu dengan berjalan menyusuri hutan, mengamati bilamana di suatu tegakan terdapat bendabenda yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan, seperti obat nyamuk bakar
54
yang sudah disulut atau dinyalakan, juga segera melakukan pemadaman bila menemukan titik api/lokasi yang terbakar. c. Penyuluhan kebakaran hutan terhadap masyarakat Untuk kegiatan ini, petugas LMDH yang terlibat yaitu petugas seksi humas yang bekerjasama dengan seksi keamanan. Anggota seksi humas biasanya melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui ramah tamah atau ikut terlibat dalam rapat-rapat desa, kumpul RT atau RW, dan ikut berbicara dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian keberadaan hutan serta manfaatnya yang dapat diperoleh masyarakat sendiri, dampak negatif akibat gangguan hutan salah satunya kebakaran hutan, serta kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan bersama dengan Perhutani, baik sistem kerjanya, peraturan, maupun keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat. Metode ini selain untuk bidang keamanan hutan, juga digunakan dalam sosialisasi saat penerapan PHBM.
Gambar 14 Kegiatan penyuluhan kebakaran di Desa Cabak. Selain itu, pendekatan juga dilakukan oleh petugas seksi keamanan ketika mereka patroli, yakni dengan berbincang-bincang dengan penduduk yang sedang masuk hutan, atau juga terhadap penggembala, yang kebanyakan anak-anak dan akan masuk ke hutan, agar mereka tidak menyalakan api yang dapat menyebabkan kebakaran hutan atau juga melakukan tindak pengrusakan hutan lainnya. Pendekatan personal juga dilakukan secara non-formal, seperti saat mengobrol di warung atau saat berkumpul santai antar warga.
55
Walau terkadang mendapat tanggapan kurang enak, seperti sindiransindiran, namun hal ini tidak menyurutkan semangat anggota LMDH. Para petugas tetap melakukan sosialisasi tersebut sehingga secara perlahan namun pasti mampu mengubah pandangan warga. Banyak masyarakat yang kemudian menjadi segan atau malu bila hendak masuk hutan untuk mencuri kayu, melakukan pembakaran, atau tindak kejahatan terhadap hutan lainnya. d. Pemadaman kebakaran hutan bersama karyawan Perhutani Walaupun upaya pengawasan dan pencegahan telah diupayakan sedemikian rupa, kejadian kebakaran hutan dapat tetap saja muncul di hutan wilayah pemangkuan. Biasanya kondisi ini terjadi pada bulan-bulan dengan tingkat kekeringan tinggi, sehingga rawan terjadi kebakaran hutan. Apabila terjadi kebakaran, maka dilakukan pemadaman kebakaran hutan secepatnya agar luas kebakaran hutan tidak besar. Pemadaman dilakukan menggunakan peralatan sederhana, seperti pemukul api tradisional atau yang sering disebut gepyokan (istilah bahasa setempat), yaitu pemukul api yang terbuat dari ranting-ranting berdaun lebar dan tahan api, membuat ilaran api, atau dengan menyingkirkan bahan-bahan bakar, serasah-serasah dedaunan jati misalnya, agar api tidak menjalar dan meluas. Di wilayah Cepu, gepyokan yang sering digunakan yaitu ranting daun ploso, karena daunnya lebar dan cukup tahan terhadap api. Pemadaman ini dilakukan oleh para petugas Perhutani yang berada dekat dengan lokasi kejadian kebakaran. Apabila kapasitas tenaga dinilai kurang, maka petugas mengajak pengurus LMDH untuk ikut serta, dan apabila masih dibutuhkan tambahan tenaga lagi maka pengurus akan mengerahkan masyarakat. Banyaknya tenaga yang diperlukan tergantung pada besarnya kebakaran yang dipengaruhi keadaan lapangan seperti ada angin atau tidak, atau dekat sungai atau sekat alami lainnya. Keterlibatan LMDH atau masyarakat sekitar dalam pemadaman kebakaran hutan tercantum dalam Laporan Kebakaran Hutan yang dibuat oleh KRPH dan diketahui KBKPH setiap terjadi kasus kebakaran hutan, contohnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
56
Dalam pelaksanaan kegiatannya, seksi keamanan hutan LMDH tak hanya didukung oleh pihak Perhutani saja, melainkan juga pemerintah daerah setempat, dalam hal ini kepala desa. Contoh dukungan ini tercermin dari adanya Surat Keputusan bagi 10 anggota seksi keamanan LMDH ”Tunggak Semi” Desa Temengeng dari ketua lembaga, pihak Perhutani serta Kepala Desa Temengeng. Dalam surat tersebut (Lampiran 11) tercantum tugas dan tanggung jawab para petugas seksi keamanan, luas areal pangkuan hutan, nama-nama para petugas, serta keterangan keikutsertaan seluruh masyarakat Desa Temengeng Kecamatan Sambong dalam menjaga kawasan hutan. Melalui surat ini, selain memperkuat hubungan kerjasama antara LMDH, Perhutani serta pemerintah Desa, juga menjamin adanya dukungan dan perlindungan bagi aparat oleh pihak desa juga Perhutani, apabila ada suatu masalah yang melibatkan pihak luar desa. Keberadaan LMDH tentunya membantu pihak Perhutani selaku pengelola hutan jati dalam mengelola kawasan hutannya, mulai dari kegiatan awal berupa pengadaan bibit, pemeliharaan serta perlindungan tegakan, hingga pemanenan. Dalam hal perlindungan hutan, khususnya kebakaran hutan, penerapan PHBM dengan berbagai bentuk kegiatan nyatanya di lapangan seperti yang sudah dijelaskan di atas, sedikit banyak tentu berperan positif terhadap kondisi hutan. Berdasar pada data pada Tabel 8, juga data sejumlah kejadian kebakaran hutan per petak dari 6 BKPH di KPH Cepu (Lampiran 5), terlihat bahwa setelah tahun 2002, luas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah KPH Cepu mengalami Tabel 8 Data Rekapitulasi Gangguan Hutan : Kebakaran Hutan Tahun 2000 2006 KPH Cepu Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 TOTAL
Luas (ha) 276 400 867 765 516 114 528 3.486
Kejadian Kebakaran Hutan Kerugian Penurunan luas (x Rp 1.000) tahunan (ha) 42.886 72.957 -124 163.483 - 467 140.676 102 105.890 249 29.177 402 114.780 -414 669.829
Sumber : Bagian PSDH KPH Cepu (2007) Keterangan : tanda (-) berarti pada tahun tersebut terjadi kenaikan luas area terbakar
57
Terkait hal tersebut, maka dilakukan pula penghitungan penurunan luasan tersebut kemudian dilakukan scoring sesuai standar evaluasi PHBM (Direksi Perum Perhutani 2003). Perhitungan dilakukan setiap tahun, karena evaluasi PHBM oleh Perhutani juga dilakukan setiap tahun. Dalam hal ini menilai pengaruh pelaksanaan PHBM terhadap dampak ekologi hutan akibat gangguan keamanan hutan dimana kebakaran merupakan bagian di dalamnya. Luas areal terbakar untuk tahun 2002 yaitu sebesar 867 Ha, untuk tahun 2003 luasan mengalami penurunan sebesar 102 Ha yaitu menjadi 765 Ha. Pada tahun 2004 luas areal yang terbakar yaitu sebesar 516 Ha, yang berarti turun sebesar 249 Ha dari tahun 2003. Pada tahun 2005, luas areal yang terbakar yaitu 114 Ha, mengalami penurunan sebesar 402 Ha dari luas kebakaran hutan di tahun 2004. Adapun dari ketiga tahun tersebut, laju penurunan luas areal terbakar ratarata dari ketiga tahun tersebut yaitu 251 ha Untuk penilaian kebakaran hutan dilihat dari penurunan luas areal terbakarnya (Lampiran 13). Untuk tahun 2003, dengan penurunan luas sebesar 11,76 % (102 Ha) memperoleh skor 1 dari standar evaluasi. Kebakaran tahun 2004, penurunaan luas kebakaran sebesar 32,55 % (249 Ha) memperoleh skor 1 dari standar yang sama, sedangkan untuk kebakaran hutan tahun 2005, luas areal yang terbakar mengalami penurunan 77,91 % (402 Ha) memperoleh skor 5, yang merupakan skor tertinggi dalam standar evaluasi. Kejadian kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu memang diakibatkan oleh aktivitas manusia yang menggunakan api, namun juga sangat dipengaruhi kondisi cuaca. Dari ketiga tahun yang mengalami penurunan kejadian kebakaran hutan, tahun 2005 merupakan tahun dengan laju penurunan terbesar, dan hal ini merupakan prestasi yang baik antara Perhutani maupun masyarakat di wilayah KPH Cepu dalam hal penanggulangan kebakaran hutan. Namun, pencapaian prestasi ini juga tak luput terkait dengan faktor alam. Kondisi cuaca pada masa itu yang terbilang normal, tidak ada pengaruh ElNino melainkan terdapat fenomena badai tropis Tim yang membuat pemampatan awan cukup tinggi sehingga potensi terjadinya hujan tinggi. Namun, kondisi berbeda terjadi di tahun 2006, dimana terjadi fenomena angin monsoon dari timur yang bersifat kering dan telah menyebabkan kekeringan ekstrem hampir di 80%
58
wilayah Jawa Tengah, bahkan untuk wilayah Jateng bagian timur yang langganan kekeringan seperti Blora, Rembang, Pati, Grobogan, Klaten, Wonogiri, dan Sragen tidak akan ada hujan (Kompas 2006). Kondisi inilah yang mengakibatkan kasus kebakaran hutan besar-besaran kembali melanda wilayah hutan Cepu, sehingga total luas areal terbakar tahun 2006 kembali meningkat. Analisa peranan PHBM terkait pengendalian kebakaran hutan ini juga diujicoba secara uji statistik terhadap data luas kebakaran hutan antara tahuntahun sebelum pelaksanaan dengan tahun setelah pelaksanaan PHBM di KPH Cepu dengan metode Paired sample T-test dan diperoleh hasil berupa p-value sebesar 0,811. Nilai tersebut (p-value) lebih besar dari 0,05, maka asumsi Ho diterima, yang berarti adanya PHBM tidak berpengaruh nyata terhadap upaya pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu. Berdasarkan uji tersebut diperoleh juga perbedaan rata-rata sebesar -3,34. Perbedaan ini masih termasuk dalam range nilai, yaitu nilai terendah : -33,32 dan nilai tertinggi : 26,65. Namun karena dari hasil uji probabilitas (p-value) hubungan keduanya tidak nyata, maka dapat dikatakan bahwa penerapan PHBM tidak berpengaruh nyata dalam upaya mengendalikan kasus kebakaran hutan di KPH Cepu. Walaupun setelah tahun 2002 luas kebakaran hutan memang berkurang, hanya saja dari hasil uji menggunakan two sample paired t-test keefektifan peranan PHBM tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan nilai hasil rata-rata luas areal terbakar pada tahun-tahun sebelum pelaksanaan PHBM tetap lebih kecil dibandingkan luas area terbakar di tahun-tahun setelah pelaksanaan. Berdasarkan nilai, terlihat bahwa luas kebakaran hutan tidak mengalami penurunan tetapi meningkat, sehingga membuat peran serta masyarakat melalui LMDH/PHBM seakan tidak ada atau tidak terlihat jelas. Dari hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa prestasi Perhutani dengan pelaksanaan PHBM dalam penanganan gangguan keamanan hutan berupa kasus kebakaran/pembakaran hutan belum sangat optimal. Kondisi tersebut tidak seperti pengaruh kegiatan terhadap kasus gangguan hutan lainnya, seperti pencurian kayu. Ada beberapa hal yang diduga mempengaruhi terjadinya hal tersebut, diantaranya :
59
a. Keterbatasan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan Walaupun kasus kebakaran hutan marak terjadi di wilayah hutan KPH Cepu, namun kondisi ini sepertinya belum dinilai menjadi permasalahan utama bagi perusahaan pengelola hutan ini. Hal ini terlihat dari penanganan kebakaran hutan yang ada selama ini. Selama ini belum dibentuk tim khusus terkait masalah kebakaran hutan, baik patroli maupun pemadam kebakaran hutan. Kegiatan keamanan masih dilakukan secara bersamaan dan gabungan, baik untuk menangani pencurian juga kebakaran. Selain itu sarana dan prasarana untuk penanggulangan kebakaran kurang memadai, bahkan tidak ada. Sebagai contoh sarana pengawas berupa menara pengawas (menara api). Sarana ini pernah ada, namun karena pemanfaatannya kurang maka kini kondisinya kurang terawat. Salah satu menara pengawas yang kondisinya masih baik dan masih digunakan yaitu menara pandang yang terdapat di Gubug Payung. Pemanfaatan menara inipun kini lebih mengarah sebagai sarana pariwisata.
Gambar 15 Menara pengawas hutan di Gubug Payung, BKPH Pasarsore. Bila
terjadi
kebakaran
hutan,
upaya
pemadaman
hanya
sebatas
menggunakan alat-alat yang ada di lapangan, seperti ranting-ranting daun yang tebal dan tahan api, seperti tanaman ploso atau membuat ilaran api. Pelatihan kebakaran hutan pernah diadakan pada tahun 2004, namun hanya sekali dan tidak ditindaklanjuti. Pada saat pelatihan tersebut, ada beberapa desa yang memperoleh alat-alat pemadaman kebakaran, namun kini kondisi alat sudah tidak memadai untuk digunakan sesuai fungsinya.
60
Contoh kasus di Desa Nglebur, alat pemukul api yang sudah rusak lalu dialih fungsikan dengan memanfaatkan pegangan alat tersebut sebagai patok untuk membuat papan peringatan. Walau demikian, pengurus LMDH desa tersebut berinisiatif untuk mengupayakan pengadaan alat pemadam kebakaran (Yamato Sprayer-30L), yang pengadaannya tidak khusus untuk kebakaran hutan saja tetapi lebih kepada pengamanan industri tunggak yang dikelola oleh pengurus LMDH desa tersebut (LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur).
Gambar 16 Alat pemadam kebakaran milik pengurus LMDH. b. Kebersamaan kerja antara aparat dan masyarakat belum terjalin utuh. Pelaksanaan patroli kebakaran hutan masih dilakukan terpisah antara petugas dan masyarakat. Bila memungkinkan, baru terkadang diadakan patroli bersama. Belum tercipta sinergitas seutuhnya dalam pelaksanaan dan pembagian tugas. maupun penyusunan jadwal kegiatan patroli belum disusun secara bersama antara petugas dari Perhutani dan masyarakat (LMDH). Penyusunan jadwal hendaknya dilakukan menjelang musim kemarau, dan patroli kolaboratif tersebut dilakukan secara intensif saat musim kemarau atau bulan-bulan rawan kebakaran. Dengan pembagian peran tersebut diharapkan kendala keterbatasan tenaga untuk patroli pencegahan kebakaran hutan dapat diantisipasi.
c. Pandangan petugas Perhutani mengenai kebakaran hutan. Secara umum penilaian kerugian dalam pengelolaan hutan jati oleh Perhutani yaitu hanya bila perusahaan kehilangan kayu atau pohon. Dampak dari kebakaran hutan jati di Cepu secara ekonomis memang tidak terlalu nampak.
61
Dampak lebih terhadap sektor ekologis lingkungan walaupun secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan maupun kondisi pohon dan tegakan. Kejadian kebakaran hutan di hutan jati yang merupakan kebakaran permukaan tentu jarang bahkan tidak sampai mematikan pohon-pohon secara langsung, namun tetap berpengaruh dan kelak akan merugikan. Apabila ada batang pohon yang terluka baik karena terkena api atau terkena alat saat pemadaman, hal ini merupakan jalan masuknya penyakit atau hama yang dapat menyebabkan kebusukan pada batang, atau rapuh, sehingga saat dipanen kondisi batang tidak utuh/cacat. Kondisi tersebut tentunya akan menurunkan kualitas dan nilai jual dari batang tersebut. Namun dampak-dampak kebakaran hutan seperti tersebut di atas dinilai tidak terlalu berdampak signifikan terhadap perusahaan. Sepanjang tidak mematikan pohon suatu gangguan dianggap tidak terlalu membahayakan, sehingga kebakaran hutan seakan dianggap bukanlah ancaman besar bagi tegakan jati. Anggapan ini khususnya ditujukan bagi tegakan tua, sehingga membuat kebakaran di tegakan tua terkadang tidak diantisipasi. Bahkan, saat diskusi dengan petugas lapangan muncul pula anggapan bahwa kebakaran memberikan efek positif bagi tanaman. Anggapan-anggapan seperti ini membuat penanganan kebakaran hutan terkesan bukan menjadi hal utama sehingga kejadian kebakaran hutan tetap saja muncul dari tahun ke tahun dengan kendala kurang lebih sama. d. Faktor penyebab kebakaran hutan Selain itu maraknya kasus kebakaran hutan di KPH Cepu dapat terjadi mengingat bahwa faktor penyebab kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak seluruhnya terkait dengan manusia, namun masih ada faktor lain seperti kondisi cuaca/faktor musim. Musim kemarau yang panjang rawan menjadi faktor pendukung terjadinya kasus kebakaran hutan di KPH Cepu, mengingat temperatur udara di wilayah Cepu memang cukup tinggi bahkan pada saat bukan musim kemarau sekalipun. Karena itu, terkadang upaya penanggulangan kurang dioptimalkan, dan bila terjadi kebakaran hutan keadaan cuacalah yang dikambing hitamkan sepenuhnya.
62
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data beserta pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa : 1.
Kondisi kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu setiap tahunnya cukup fluktuatif baik menurut luas maupun frekuensinya. Kebakaran hutan mulai marak terjadi memasuki pertengahan tahun, dengan faktor penyebab yaitu aktivitas manusia dengan berbagai latar belakangnya, dan juga dipicu kondisi lingkungan berupa iklim yang kering. Ratarata luas areal yang terbakar pada tahun-tahun sebelum pelaksanaan PHBM lebih kecil (43,186 Ha) dibandingkan rata-rata luas areal terbakar setelah PHBM berlangsung (46,522 Ha).
2.
Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan di KPH Cepu melalui kegiatan PHBM antara lain ikut serta dalam patroli hutan, deteksi dini dan pelaporan, penyuluhan kebakaran, serta terlibat lansung dalam pemadaman bila terjadi kebakaran hutan.
3.
Penerapan PHBM di KPH Cepu telah berperan dalam upaya pengendalian kebakaran hutan, terlihat dari adanya penurunan luas kebakaran hutan setelah tahun 2002, walaupun belum optimal. Melalui PHBM antara aparat Perhutani dan masyarakat sekitar hutan mulai terjalin kerjasama yang baik dalam upaya mengelola dan menjaga hutan di wilayahnya.
63
6.2. Saran Untuk lebih meningkatkan keberhasilan dari pelaksanaan berbagai upaya pengendalian kebakaran hutan antara Perhutani dan masyarakat maupun pengembangan kegiatan PHBM, maka disarankan beberapa hal : 1. Perlunya disusun rencana kerja kolaboratif (pembagian tugas secara bersama) antara pihak Perhutani dengan LMDH terkait kegiatan pengamanan hutan khususnya untuk pengendalian kebakaran hutan. Patroli dilakukan bersama berdasarkan penjadwalan bersama antara petugas RPH tersebut dan seksi keamanan LMDH, sehingga masalah keterbatasan personil dalam patroli dapat diatasi. 2. Pengadaan papan-papan peringatan waspada kebakaran hutan yang lebih menarik, edukatif, dan jelas bagi masyarakat yang beraktivitas di sekitar hutan khususnya menjelang bulan-bulan rawan kebakaran hutan, sebagai salah satu bentuk penyuluhan kebakaran hutan. 3. Perlunya kerjasama yang lebih terpadu antar LMDH, agar peningkatan kesejahteraan dapat lebih merata. Kerjasama ini tidak hanya sebatas tukar-menukar informasi kegiatan saja melainkan juga kerjasama di bidang usaha sesuai dengan potensi dan keunggulan dari masing-masing desa dan LMDH. 4. Publikasi kegiatan PHBM semakin diperluas sehingga dapat sebagai sarana
untuk
menggali
input
positif
oleh
pengembangan PHBM oleh Perum Perhutani.
pihak
lain
dalam
64
DAFTAR PUSTAKA Aprillia, Y. 2006. Evaluasi pengelolaan hutan jati di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use:Second edition. United States of America : McGraw-Hill Book Company. Chandler C, P Cheney, P Thomas, L Traubaud, and D Williams. 1983. Fire in Forestry Volume II : Forest Fire Management and Organization. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hasibuan, H. 1990. Program Perhutanan Sosial dan Hubungannya Dengan Keamanan Hutan (Studi Kasus di RPH Wangun, BKPH Sundulan, KPH Tuban). Di dalam : Kartasubrata,J. Editor. Prosiding Seminar III Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa dan Di Luar Jawa. Jakarta, 25-26 Juni 1991. Bogor : PSP-IPB. Hlm 131-137. Husaeni, EA. 1994. Hasil-Hasil Penelitian Kebakaran Hutan yang Dilaksanakan oleh Fakultas Kehutanan IPB. Makalah. Di dalam : Prosiding Diskusi Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Jakarta, 27 Desember 1993. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. hlm 33-48. ------- 2003. Prinsip Pengendalian Kebakaran Hutan. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanaian Bogor. hlm 167-172. [KPH Cepu]. 2005. Mengenal KPH Cepu. Jawa Tengah : KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. [Pemda Jateng] Gubernur Jawa Tengah. 2001. Keputusan Gubernur Jawa Tengah No.24 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat di Propinsi Jawa Tengah. Semarang : Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah. [Perum Perhutani] Direksi Perum Perhutani. 2007. Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS). Jakarta : Perum Perhutani.
65
[Perum Perhutani] Kepala PT. Perhutani Unit I Jateng. 2002. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan bersama Masyarakat di Unit I Jawa Tengah. Semarang : PT. Perhutani (Persero) Unit I Jawa Tengah. Biro Pembinaan Sumber Daya Hutan. [Perum Perhutani] Perusahaan Umum Perhutani. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Jakarta : Perum Perhutani. [Perum Perhutani] Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. 1997. Buku Saku Pengendalian Kebakaran Hutan. Semarang : Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. [Perum Perhutani Unit I] Tim Kajian PHBM PT. Perhutani Unit I Jateng. 2002. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Unit I Jawa Tengah. Jawa Tengah : Biro Pembinaan Sumberdaya Hutan PT.Perhutani (Persero) Unit I Jawa Tengah. Rachmatsjah, O. 1985. Masalah Kebakaran Hutan dan Cara Penanggulangannya Proyek Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-Sumber Kehutanan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Saharjo, BH. 2003. Sumber Api. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. hlm 147-149. Santoso, S. 2001. SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Siswanto, W. 1993. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia [makalah]. Di dalam: Prosiding Diskusi Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia; Jakarta 27 Desember 1993. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. hlm 49-67. Sulistya, W. 2006. Musim kemarau: Jateng mengalami kekeringan ekstrem. Kompas 1 Agustus 2006: 24. http://rafflesia.wwf.or.id. (20 Agustus 2007). Sumantri. 2003. Metode Pencegahan Kebakaran Hutan. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanaian Bogor. hlm 195-198. Suratmo, FG. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
66
Walpole, RE. 1992. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. [WFP-LAPAN] WFP, LAPAN. 2007. Pemantauan Kekeringan di Lahan Persawahan Jawa Bali, Agustus 2007 [buletin]. http://www.lapanrs.com/SMBA/pdf/WFP_LAPAN_Early_Warning_Bulleti n_Jul07(final).pdf (20 Agustus 2007). Wibowo, A. 2003. Review Hasil Penelititan dan Pengembangan Kebakaran Hutan di Indonesia. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Yuwono, T. 2007. PHBM dan Revitalisasi Peran Petugas Perhutani. [artikel] Duta Rimba Edisi 14/Th.2. Jakarta : Perum Perhutani. hlm 30-32.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Proporsi sharing antara Perhutani dan LMDH a. Objek berbagi : Kayu perkakas dan kayu bakar baik (jati maupun non jati) dari kawasan hutan produksi yang dikelola secara PHBM.
b. Ketentuan berbagi: 1. Hasil penjarangan pertama berupa kayu bakar (diameter < 7 cm) seluruhnya merupakan hak masyarakat (LMDH).
2. Hak LMDH dari penjarangan pertama berupa kayu perkakas dan hasil penjarangan lanjutan (berupa kayu bakar dan kayu perkakas) : P = (Mi / I ) x 25 % x produksi Keterangan: P = Hak LMDH asal tebang penjarangan Mi = Masa pengelolaan bersama dalam interval penjarangan I
= Interval waktu antara penjarangan yang dilakukuan dengan penjarangan sebelumnya
3. Hak LMDH dari tebangan akhir: Pa = ( M / D ) x 25 % x Produksi Keterangan: Pa = Hak LMDH asal tebangan akhir M = Masa pengelolaan bersama D = Umur tanaman atau tegakan pada saat tebangan akhir
LAMPIRAN 2. PETA WILAYAH KPH CEPU
Sumber : Divisi PSDH KPH Cepu
Sumber : Divisi PSDH KPH Cepu
LAMPIRAN 3 DATA KEBAKARAN PER PER BKPH KPH CEPU TAHUN 1996 S/D 2007 No
BKPH
1 2 1 Wonogadung 2 Cabak 3 Nglebur
Th.1996 Rp Luas Ha 3 4 7,90 45.500 62,10
Th.1997 Rp Luas Ha 5 6 8,79 43.950
Th.1998 Rp Luas Ha 7 8 -
Th.1999 Th.2000 Th.2001 Th.2002 Th.2003 Th.2004 Th.2005 Th.2006 Luas HaRp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 Luas Ha Rp x 1000 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 62,60 5.794 41,00 6.967 143,00 25.966 129,35 23.796 122,10 21.615 16,90 4.647 74,80 14.333
345.750
42,00
210.000
-
-
-
-
-
-
-
-
3,00
600
304,10
51.376
117,40
20.096
-
-
161,10
104,25
735.625
278,10
1.541.000
139,00
1.072.000
-
-
-
-
13,00
2.700
7,00
525
57,40
4.305
41,00
7.050
-
-
-
-
38,00
197.500
88,65
530.000
7,00
42.500
-
-
-
-
51,40
10.620
3,00
725
-
-
3,50
962
7,00
1.925
7,50
2.063
5 Kedewan
42,50
314.750
158,80
1.868.250
25,00
345.000
-
-
70,50
13.537
8,50
1.750
7,60
2.090
46,65
12.327
24,40
4.605
19,20
5.280
80,00
22.000
6 Sekaran
50,66
675.630
139,10
1.674.300
38,00
330.500
-
-
6,00
1.200
13,25
2.781
115,30
26.573
23,40
6.435
26,80
6.719
-
-
23,50
6.463
7 Blungun
14,50
72.500
19,10
104.250
38,00
253.500
-
26,00
1.950
-
-
50,00
3.742
3,00
600
43,50
11.962
-
-
7,00
1.925
-
-
70,70
378.500
-
-
-
5,20
390
-
-
7,00
1.450
70,87
11.174
3,25
650
2,00
650
70,00
13.813
41,50
291.250
39,50
248.750
43,00
297.500
1,00
29,70
6.637
28,00
3.500
107,00
10.085
13,00
3.074
26,65
3.674
13,00
2.700
16,95
3.823
-
-
66,80
930.650
47,00
550.925
-
33,80
6.750
75,90
15.245
60,00
14.623
67,15
17.829
67,00
17.722
16,50
3.300
9,50
2.413 17.600
9 Pasarsore 10 Ledok
1.750
11 Kendilan
31,50
281.250
63,90
826.450
10,00
50.000
-
30,60
5.708
83,00
15.712
146,30
36.837
50,90
9.760
23,70
6.515
39,50
10.675
64,00
12 Pucung
16,75
110.000
183,08
1.375.940
-
-
-
12,00
900
85,50
13.682
218,00
40.267
-
-
17,30
4.320
-
-
13,30
2.496
409,66
3.069.755
1.158,52
9.732.040
347,00
2.941.925
1,00
276,40
42.866
399,55
72.957
867,20
163.483
765,82
140.676
516,60
105.890
114,10
29.177
527,65
111.869
Jumlah Total
1.750
25
24.940
4 Nanas
8 Nglobo
Ket
Ex/Permint Data Rutin/Shet 2
Sumber : Divisi Keamanan Hutan KPH Cepu (2007)
LAMPIRAN 4
LAMPIRAN 5. DATA KEBAKARAN HUTAN PER PETAK UNTUK 6 BKPH DI KPH CEPU PERIODE 2000 s.d. 2006
LAMPIRAN 13 Penghitungan Penurunan Luas Area Terbakar KPH Cepu Kejadian kebakaran hutan Tahun Satuan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha TOTAL
Kebakaran Hutan Volume 276 400 867 765 516 114 528 3.486
Kerugian (Rp 1.000) 42.886 72.957 163.483 140.676 105.890 29.177 114.780 669.829
Sumber : Bagian PSDH KPH Cepu (2007)
Penurunan luas terbakar di tahun 2003: = Luas kebakaran tahun 2002 – Luas kebakaran tahun 2003 = 867 Ha – 765 Ha = 102 Ha = (102Ha : 867Ha) x 100 % = 11.76 % Penurunan luas terbakar untuk Tahun 2004: = Luas kebakaran tahun 2003 – Luas kebakaran tahun 2004 = 765 Ha – 516 Ha = 249 Ha = (249Ha : 765Ha) x 100 % = 32.55 % Penurunan luas terbakar untuk tahun 2005: = Luas kebakaran tahun 2004 – Luas kebakaran tahun 2005 = 516 Ha – 114 Ha = 402 Ha = (402Ha : 516Ha) x 100 % = 77.91 % Scoring penurunan gangguan keamanan hutan (Evaluasi PHBM, Perum Perhutani) : bila menurun (> 60%) : skor 5 bila menurun (50% - 60%) : skor 3 bila menurun (< 50%) : skor 1 Hasil scoring penurunan luas kebakaran hutan tiap tahun : Tahun 2003 : 11.76 % : skor 1 Tahun 2004 : 32.55 % : skor 1 Tahun 2005 : 77.91 % : skor 5
LAMPIRAN 14. Klasifikasi luas areal terbakar per tahun per BKPH No
BKPH
1 1
2 Wonogadung
2
Cabak
3
Nglebur
4
Th.1996 Luas Ha Kelas 3 4 7.90 C
Th.1997 Luas Ha Kelas 5 6 8.79 C
Th.1998 Luas Ha Kelas 7 8 0.00 A
Th.2000 Luas Ha Kelas 9 10 62.60 D
62.10
D
42.00
D
0.00
A
0.00
A
104.25
D
278.10
E
139.00
E
0.00
A
Nanas
38.00
C
88.65
D
7.00
C
0.00
5
Kedewan
42.50
D
158.80
E
25.00
C
6
Sekaran
50.66
D
139.10
E
38.00
7
Blungun
14.50
C
19.10
C
38.00
8
Nglobo
0.00
A
70.70
D
9
Pasarsore
41.50
D
39.50
C
10
Ledok
0.00
A
66.80
11
Kendilan
31.50
C
12
Pucung Jumlah Total
16.75 409.66
C -
Th.2001 Luas Ha Kelas 11 12 41.00 D
Luas H 15 129.
A
3.00
B
13.00
C
7.00
C
A
51.40
D
3.00
B
70.50
D
8.50
C
7.60
C
46.
C
6.00
C
13.25
C
115.30
D
23.4
C
26.00
C
0.00
A
50.00
D
3.0
A
5.20
C
0.00
A
7.00
C
70.
43.00
D
29.70
C
28.00
C
107.00
D
13.
D
47.00
D
33.80
C
75.90
D
60.00
D
67.
63.90
D
10.00
C
30.60
C
83.00
D
146.30
E
50.
183.08 1,158.52
E
0.00 347.00
A
12.00 276.40
C
85.50 399.55
D
218.00 867.20
E
0.00
-
-
0.00
Th.2002 Luas Ha Kelas 13 14 143.00 E
-
-
323.
57.4 0.00
-
0.00 784
Ex/Permint Data Rutin/Shet 2
Lampiran 15. Frekuensi kebakaran hutan per bulan untuk 6 BKPH di KPH Cepu selama tahun 2001-2006.
Bulan
Tahun
Kelas kebakaran hutan
Frekuensi kebakaran hutan
Total jumlah kebakaran per bulan
Januari
2001
A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
2002
2003
2004
2005
2006
Februari
2001
2002
2003
2004
0
2005
2006
Maret
2001
2002
2003
2004
2005
2006
April
2001
2002
2003
2004
2005
A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
0
1
2006
Mei
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Juni
2001
2002
2003
2004
2005
C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
1
2006
Juli
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Agustus
2001
2002
2003
2004
2005
2006
A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 16 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 18 22 0 0 2 10 1 0 1 4 0 0 6
22
80
September
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Oktober
2001
2002
2003
2004
2005
2006
C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
15 0 0 2 0 0 0 0 1 0 0 4 5 0 0 4 5 0 0 2 10 1 0 6 17 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 4 3 0 0 0 1 0 0 2 3 0
57
14
November
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Desember
2001
2002
2003
2004
2005
2006
A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3
0