BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perbankan Syariah Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan
berdasarkan
syariah
(hukum)
islam.
Usaha
pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dan lain-lain), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Universitas Sumatera Utara
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syari’at islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negaranegara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat
Universitas Sumatera Utara
terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Semoga saja UU No.10 ini dapat membawa kesegaran baru bagi dunia perbankan kita. Terutama bagi dunia perbankan syariah di tanah air, berdirinya bank-bank baru yang bekerja berdasarkan prinsip syariah akan menambah semarak lembaga keuangan syariah yang telah ada disini seperti BPRS, BMT, dan Koperasi Syariah (Muhamad, 2003: 22). 2.1.1. Pengertian Perbankan dengan Prinsip Syariah Istilah lain yang digunakan untuk sebutan bank syariah adalah bank Islam. Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio menyebutkan defenisi bank Islam:
Universitas Sumatera Utara
”Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuanketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata bermuamalat secara Islam” (Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, 1992: 1-2). Warkum Sumitro menyebutkan defenisi bank Islam adalah: “Bank Islam berarti yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuanketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits (Warkum Sumitro, 2002: 35).” Di dalam operasionalisasinya bank Islam harus mengikuti dan praktekpraktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijithad para ulama yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sudarsono menyatakan bahwa bank syariah adalah: “Lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagang utamanya (Sudarsono, 2004: 27).” Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan pengertian prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Umum UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah menyebutkan tentang fungsi disahkannya peraturan perbankan yang berdasarkan prinsip syariah. Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, dalam UndangUndang perbankan syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim (Ibid). Dengan diperkenankannya jenis bank berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dalam
sistim
perbankan
kita
saat
itu
di
samping
bank
konvensional yang kita kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistim bunga, tetapi atas dasar prinsip bagi hasil atau jual beli sebagaimana digariskan syari’at Islam. Juga diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang terlebih dahulu dikenal dalam sistim perbankan kita.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu, pendirian jenis bank bagi hasil ini akan dapat memberi pelayanan kepada bagian dari masyarakat yang karena prinsip agama atau kepercayaan tidak bersedia memanfaatkan jasa-jasa bank konvensional. Bagaimana pun juga harus diakui bahwa dalam masyarakat banyak kelompok yang memiliki prinsip bahwa sistem bunga yang dianut oleh perbankan merupakan pelanggaran terhadap syari’at agama dan merupakan riba yang di dalam hukum Islam merupakan perbuatan dosa atau haram, sejalan dengan itu, bank dengan prinsip bagi hasil dimaksudkan untuk melayani segmen pasar tersebut. 2.1.2. Prinsip Perbankan Syar’iah Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain: a)
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
b)
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
c)
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Universitas Sumatera Utara
d)
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
e)
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
2.1.3. Ciri-ciri Perbankan Syariah Sistem perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang beropersi berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan bank konvensional. Ciri-ciri yang berdapat dalam sistem perbankan syariah antara lain: 1.
Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah yang nominal, yang besarnya tidak kaku. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an, S. Al-Baqarah ayat (280) dengan terjemahan: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
2.
Penggunaan persen kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian sudah berakhir.
3.
Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank Islam tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed
Universitas Sumatera Utara
return) yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui untung ruginya suatu proyek yang dibiayai oleh bank hanya Allah semata. 4.
Bank Islam tidak menerapkan jual beli dan sewa menyewa uang dari mata uang yang sama, yang dari transaksi itu dapat menghasilkan keuntungan.
5.
Adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya (Ibid: 20). Ciri-ciri perbankan syariah seperti tersebut di atas bersifat
universal dan kumulatif. Artinya bank syariah yang beroperasi di mana saja harus memiliki ciri- ciri yang disebutkan di atas, jika tidak dipenuhi, maka hilanglah identitasnya sebagai bank syariah. Selain itu sistem perbankan yang menggunakan prinsip syariah memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: 1.
Peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan.
2.
Membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif.
3.
Prinsip bahwa pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang halal sesuai dengan prinsip syariah dan memiliki keunggulan imperatif terhadap sistem perbankan konvensional (Tarigan (ed), 2002: 20). Selain itu sistem perbankan syariah yang menerapkan pola
pembiayaan usaha dengan prinsip bagi hasil sebagai salah satu usaha pokok dalam kegiatan perbankan syariah juga akan menumbuhkan
rasa
tanggungjawab pada masing- masing pihak, baik bank maupun debiturnya
Universitas Sumatera Utara
akan memperhatikan prinsip kehati- hatian dan akan memperkecil kemungkinan resiko terjadinya kegagalan usaha. Adanya karakteristik perbankan syariah dengan bank konvensional menyebabkan timbulnya keengganan bagi pengguna jasa perbankan terutama bagi pengguna jasa yang akan berpindah dari bank konvensional ke bank syariah. Keengganan tersebut disebabkan antara lain karena hilangnya
kesempatan untuk mendapatkan
penghasilan tetap
berupa
bunga dari simpanan. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi bank syariah untuk mendapatkan nasabah dengan cepat. 2.1.4. Peranan Dan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan menentukan bahwa: “Usaha bank umum dalam menyediakan pembiayaan dan/atau melalukan kegiatan usaha lain berdasarkan prinsip syariah ditetapkan dengan ketentuan Bank Indonesia“. Berdasarkan ketentuan di atas, kegiatan- kegiatan usaha yang dilakukan Bank Umum dengan menerapkan prinsip syariah, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR. Dikatakan Bank Umum Syariah wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi : 1. Sebagai Penghimpun Dana, yaitu dengan cara: a) Dengan prinsip Wadiah. Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
Universitas Sumatera Utara
kapan saja si penyimpan menghendakinya (Wiroso, 2005: 20). Adapun prinsip rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadiah adalah sebagai berikut: (Wiroso, 2005: 20). 1. Barang yang dititipkan, 2. Orang yang penitipkan/penitip, 3. Orang yang menerima titipan/ penerima titipan, dan 4. Ijab qobul. Didalam Pedoman Akutansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) dijelaskan kakakteristik wadiah, tabungan wadiah, dan bonus simpanan wadiah sebagai berikut: 1. Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana pemerintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Termasuk didalamnya giro wadiah yang diblokir untuk tujuan tertentu misalnya dalam rangka escrow account, giro yang diblikir oleh yang berwajib karena suatu perkara. 2. Tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati dengan kuintansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. 3. Atas bonus simpanan wadiah dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
b) Dengan prinsip mudharabah. Mudharabah adlah perjanjian atas suatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahibuk mal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelola usaha (Wiroso, 2005: 33). Keuntungan akan dibagi sesuati dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersangkutan, dimana jika rugi akan ditanggung oleh shaibul mal. Mudharabah dalam penghimpun dana di perbankan syariah terdapat produk: a. Tabungan. b. Deposito. 2. Sebagai Penyaluran Atau Pembiyaan Dana 1. Piutang a) Qardh Qardh adalah Transaksi pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) wajib dikembalikan dengan jumlah yang lama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada muqtaridh (Veithzal dan Arviyan, 2010: 216). b) Murabahah Murabahah adalah transaksi jual beli antara bank dengan nasabah, dimana bank dapat memperoleh sejumlah keuntungan. (bank menjadi penjual dan nasabah mennjadi pembeli) bank membeli barang yang
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati (Veithzal dan Arviyan, 2010: 216). c) Salam Salam adalah transaksi jual beli dengan cara pesanan (muslam fiih) antara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam ilaih) (dimana barangnya belum ada, sehingga barang yang menjadi obyek diserahkan secara tangguh dan hali bank menjadi pembeli dan nasabah menjadi penjual). Ketentuan dan haraga barang disepakati pada awal akad, dan pembayaran dilakukan dimuka secara penuh. Apabila bank bertindak sebagai
muslam
kemudian
memesan
kepada
pihak
lain
untuk
menyediakan barang (muslam fiih), maka hal ini disebut salam pararel (Veithzal dan Arviyan, 2010: 217). d) Istihna’ Istihna’ adalah transaksi jual beli barang (mashnu’) antara pemesan (mustashni’) dengan menerima pesanan (shani) (alur transaksi istihna’ serupa dengan salam, hanya saja dalam istihna’, bank dapat membayar harga pembelian dalam beberapa kali termin pembayaran). Spesifikasi dan hara barang pesanan disepakti pada awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagai shani’ kemudian menunjuk pihak lain untuk membyat barang masnu’), maka hal ini disebut istihna pararel (Veithzal dan Arviyan, 2010: 215).
Universitas Sumatera Utara
2. Investasi. 1. Mudarabah. a) Mudharabah Mutlaqah (Investasi tidak terikat) Mudharabah Mutlaqah adalah yaitu pihak pengusaha diberi kuasa penuh untuk menjalankan proyek tanpa larangan/ganguan apapun urusan yang berkaitan dengan proyek itu dan tidak terikat dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan, dan pelanggan. Investasi tidak terikat ini pada usaha perbankan syariah diaplikasikan pada tabungan dan deposito (Veithzal dan Arviyan, 2010: 216). b) Mudharabah Muqaidah/Muqayyadah (Investasi terikat) Mudharabah
Muqaidah/Muqayyadah adalah
pemiliik
dana
membatasi/ memberi syarat kepada mudharib dalam pengelolaan dana seperti misalnya hanya untuk melakukan mudharabah bidang tertentu , cara, waktu, dan tempat tertentu saja. Bank disini hanya sebagai agent saja dan menerima imbalan berupa fee (Veithzal dan Arviyan, 2010: 216). c) Musyarakah Musyarakah adalah sebagai suatu perkongsian dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan modal masing-masing. Atau dikatakan pula
Universitas Sumatera Utara
sebagai transaksi kerja sama patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk mrmbiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati (Veithzal dan Arviyan, 2010: 215). 3. Sewa a. Ijarah Ijarah adalah transaksi sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa sewa berakhir, barang sewaan dikembalikan kepada muaajir. Secara prinsip, ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat (Veithzal dan Arviyan, 2010: 215). b.Ijarah Muntahhiyah bittamlik Ijarah Muntahhiyah Bittamlik adalah sewa menyewa yaitu pada akhir masa sewa barang yang disewa dapat diperjual belikan dan di ikutin berpindah kepemilikan barang tersebut (Veithzal dan Arviyan, 2010: 215). 3. Sebagai Penyediaan Jasa – jasa a) Rahn Rahn adalah Transaksi penyerahan barang/harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang (Veithzal dan Arviyan, 2010: 217).
Universitas Sumatera Utara
b) Wakalah Wakalah adalah pemberian kuasa dari pemberi kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa (Veithzal dan Arviyan, 2010: 218). c) Kafalah Kafalah adalah transaksi pemberian jaminan (makful ‘alaih) yang diberikan satu pihak kepda pihak lain ketika pemberi jaminan (kafill) bertanggungjawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful). Lebih dikenal Bank Garansi (Veithzal dan Arviyan, 2010: 215). d) Hawalah Hawalah adalah transaksi pengalihan piutang nasabah (muhlil) kepada bank (muhal‘alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhlil meminta muhal ‘alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo muhal akan membayar kepada muhal ‘alaih. Muhal ‘alaih memperolah imbalan sebagai jasa pengalihan (Veithzal dan Arviyan: 215). e) Sharf Sharf adalah transaksi jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Pada dasarnya prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf, sepanjang dilakukan pada waktu yang sama (spot) dan bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing (Veithzal dan Arviyan, 2010: 217).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Kinerja Operasional Bank Syariah Penghimpun Dana Penyaluran Dana 1.
Wadiah a. Giro b. Tabungan
2.
Mudarabah a. Tabungan b. Deposito
1.
Jasa – Jasa perbankan 1. Rahn
Piutang a. Qardh b. Murabahah c. Salam d. Istishna 2. Investasi 2. Wakalah a. Mudarabah b. Mutlaqah c. Muqayyadah d. Musyarakah 3. Sewa 3. Kafalah a. Ijarah b. ijarah muntahiyyah bittamlik 4. Hawalah 5. Sharf
2.2. Sejarah Perkembangan BMT a. Masa Rasulullah SAW – Ali bin Abi Thalib. Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (Al-Jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan
mereka.
Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda-nundanya
Universitas Sumatera Utara
lagi.
Dengan
kata
lain,
beliau
segera
menginfakkannya
sesuai
peruntukannya masing-masing. Pada masa Abu Bakar menceritakan ia adalah seorang pedagang dan Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal. Pada masa Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir, penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-
Universitas Sumatera Utara
orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999). Pada masa Utsman bin Affan. Namun, dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri, seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999). Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Universitas Sumatera Utara
b. Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999). c. Sejarah BMT di Indonesia Mulai dikembangkan tahun 1984 oleh mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syariah bagi usaha kecil. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti. Maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga keuangan
yang beroperasi menggunakan
gabungan konsep Baitul Mal dan Baitut Tamwil, yang target, sasaran, serta skalanya pada sektor usaha mikro.Dengan semakin banyaknya orangorang yang memiliki perhatian terhadap lembaga kecil ini serta disamping juga perlu adanya pembinaan pada BMT-BMT serta dibutuhkan adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT ataupun penghubung BMT kepada lembaga ekonomi yang lebih besar baik pemerintah atau swasta, dan tentunya juga dalam usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan BMT dimasa depan, maka berdiri pulalah lembaga pembina BMT yang berupa Lembaga Pengembangan
Universitas Sumatera Utara
Swadaya Masyarakat (LPSM), apakah itu yang bernama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet Dhuafa (DD) Republika. Pada tahun 1995, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) telah didirikan dan mengibarkan bendera dakwahnya dengan memberdayakan para pengusaha kecil. Ini dilakukan dengan mendirikan berbagai lembaga keuangan alternatif yang berprinsip syariah di lapisan grass root. Lembaga keuangan itu bernama Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau padanan kata dari Balai Usaha Mandiri Terpadu. BMT menerapkan prinsip syariah atau bagi hasil yang sangat mudah dikenalkan pada masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan. Masyarakat di Indonesia memang sudah akrab dengan pola bagi hasil. Masyarakat Aceh, misalnya, dalam mengelola sawah sudah lama menggunakan sistem mawah bagi hasil antara pemilik sawah dengan petani pengelola dengan bagi hasil 50:50. Dengan kata lain, apa yang kini dipraktekkan seluruh BMT adalah wujud reinkarnasi kultural berekonomi masyarakat tempo dulu dalam bentuk pelembagaan yang lebih modern dan sesuai dengan tuntutan zaman. Pelembagaan BMT diilhami oleh sejarah kuatnya posisi lembaga-lembaga ekonomi di masa awal kebangkitan ekonomi umat Islam. Namun demikian, baitul maal dan BMT punya banyak perbedaan, baik sejarah maupun perannya. Bila pada tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah di Indonesia, maka pada tahun 1999 jumlahnya menjadi 3 unit. Dra.Mursida
Universitas Sumatera Utara
Rambe dan Ninawati, SH, yang kemudian diresmikan bersama 17 BMT lainnya oleh Bapak B.J Habibie pada tanggal 21 April 1995 di Yogyakarta. Kurang lebih tujuh tahun lamanya, terhitung sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter pada akhir tahun 1997, peranan Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) cukup besar dalam membantu kalangan usaha kecil dan menengah. Peranan BMT tersebut sangat penting dalam membangun kembali iklim usaha yang sehat di Indonesia (Sadrah, 2004: 27). 2.2.1. Pengertian Baitul Mal Wattamwil (BMT) Salah satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada masyarakat Islam lapisan bawah. Kelahiran BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi
dalam
rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syari`ah dan prinsip koperasi. (Ridwan, 2004: 5). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syariah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi :
Universitas Sumatera Utara
1. Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya (Soemitra, 2010: 451). 2. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) = menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya (Pinbuk Perwakilan Sumatera Utara, cara pembentukan BMT, Medan: 1). Visi BMT mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.. Titik tekan perumusan Visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran, serta berkeadilan berlandaskan syariah dan diridhoi Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai lembaga usaha yang mandiri , BMT memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Sadrah, 2004: 29): a) Berorientasi bisnis, yakni memiliki tujuan mencari laba bersama dan meningkatkan pemanfaatan sehala potensi ekonomi yang sebanyakbanyaknya bagi para anggota dan lingkungannya. b) Bukan merupakan lembaga social, tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengelola dana social umat seperti zakat, infak, shadaqah, hibah dan wakaf. c) Lembaga ekonomi umat yang dibangun dari bawah secara swadaya yang melibatkan peran serta masyarakat di sekitarnya. 2.2.2. Tujuan Berdirinya BMT BMT memiliki tujuan memberikan pelayanan dan pemberdayaan social ekonomi umat melalui kegiatan-kegiatan kongkrit : 1. Pelaksanaan kegiatan usaha simpan berbasis syariah. 2. Penyediaan jasa pembiayaan, investasi dan konsumtif. 3. Sebagai Amal Zakat yang menerima dan menyalurkan ZIS. 4. Membantu pengusaha kecil muslim dalam masalah permodalan. 5. Menggeser peranan rentenir yang sangat mencekik / menghisap darah. 6. Menyelamatkan tabungan umat Islam dari ancaman bunga (riba), dan sekaligus menghindarkan mereka dari perbuatan maksia (kufur nikmat). 7. Tersedianya semacam koperasi syariah sebagai alternatif lembaga keuangan ummat.
Universitas Sumatera Utara
8.Tersedianya semacam koperasi syariah sebagai alternatif lembaga mendirikan, membangun dan mengembangkan BMT merupakan wujud nyata dari amal sholih dan merupakan pelaksanaan dakwah bil hal. 2.2.3. Peraturan dan Badan Hukum BMT. BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan
syariah
Islam,
keimanan,
keterpaduan
(kaffah),
kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme. Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistim operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syariah sehingga produk-produk yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syariah. Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Juga dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syariah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya
BMT
(Lembaga
Keuangan
Mikro
Syariah).
Meskipun
sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja, sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai.
Universitas Sumatera Utara
Adapun status dan legalitas hukum, BMT dapat memperoleh status kelembagaan sebagai berikut : a. Kelompok swadaya masyarakat yang berada di bawah pengawasan PINBUK berdasarkan Nashkah Kerjasama YINBUK. b. Berdasarkan Hukum Koperasi : 1. Koperasi simpan pinjam syariah (KSP Syariah). 2. Koperasi serba usaha syariah (KSU Syariah) atau Koperasi Unit Desa Syariah (KUD Syariah). 3. Unit Usaha Otonom dari Koperasi seperti KUD, Kopontren atau lainnya. Dengan demikian keberadaan BMT menjadi organisasi yang sah dan legal. Sebagai lembaga keuangan syariah, BMT harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah, di dalamnya mengandung keterpaduan sisi sosial dan bisnis, dilakukan secara kekeluargaan dan kebersamaan untuk mencapai sukses kehidupan di dunia dan di akhirat. 2.2.4. Produk dan Mekanisme Operasional BMT 1. Beberapa pemrakarsa yang mengetahui mengenai BMT menyampaikan dan
menjelaskan ide atau gagasan itu kepada rekan-rekannya termasuk
apa itu BMT, visi, misi tujuan dan usaha-usahanya. Sehingga para pemrakarsa dapat bertambah. 2. Dengan berbekal modal awal, pengelola membuka kantor dan menjalankan BMT, dengan giat menggalakkan simpanan masyarakat dan memberikan pembiayaan pada usaha mikro dan kecil disekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Pembiayaan dengan menggunakan bagi hasil sesuai dengan akad. Dari bagi hasil ini, pengelola membayar honor semampunya (bertahap dan membesar), sewa kantor, listrik, dll. 4. Yang paling penting adalah bahwa, dari bagi hasil ini pengelola membayar pula bagi hasil kepada penyimpan dana, diusahakan lebih besar sedikit dibandingan dengan bunga pada bank konvensional. 5. Dengan memberikan bagi hasil kepada para penabung dan penjelasan yang tepat tentang visi, misi, tujuan dan usaha-usaha BMT, kekayaan BMT akan semakin bertambah diimbangi dengan pembiayaan pada usaha mikro dan kecil semakin banyak dan lancar. BMT akan semakin maju dan berkembang. BMT mempunyai beberapa produk, namun biasanya nama produk dalam suatu BMT terkadang berbeda – beda namun tujauannya sama saja. yaitu antara lain adalah jenis-jenis usaha BMT sebenarnya dimodifikasi dari produk perbankan Islam. Oleh karena itu, usaha BMT dapat dibagi kepada dua bagian utama, yaitu memobilisasi simpanan dari anggota dan usaha pembiayaan. Bentuk dari usaha memobilisasi simpanan dari anggota dan jamaah itu antara lain berupa: 1. Simpanan Mudharabah Biasa. 2. Simpanan Mudharabah Pendidikan. 3. Simpanan Mudharabah Haji. 4. Simpanan Mudharabah Umrah. 5. Simpanan Mudharabah Qurban.
Universitas Sumatera Utara
6. Simpanan Mudharabah Idul Fitri. 7. Simpanan Mudharabah Walimah. 8. Simpanan Mudharabah Akikah. 9. Simpanan Mudharabah Perumahan. 10. Simpanan Mudharabah Kunjungan Wisata. 11. Titipan zakat, Infaq, shadaqah (ZIS). 12. Produk simpanan lainnya yang dikembangkan sesuai dengan lingkungan dimana BMT itu berada. Sedangkan jenis usaha pembiayaan BMT lebih diarahkan pada pembiayaan usaha makro, kecil bawah dan baawah. Diantara usaha pembiayaan tersebut adalah: 1. Pembiayaan Mudharabah. 2. Pembiayaan Musyarakah. 3. Pembiayaan Murabahah. 4. Pembiayaan Al Bai; Bithaman Ajil. 5. Al-Qardhul Hasan. Usaha-usaha
diatas merupakan kegiatan-kegiatan BMT yang
berkaitan langsung dengan masalah keuangan. Selain kegiatan-kegiatan keuangan tersebut, BMT juga mengembangkan usaha dibidang sector ril, seperti kios telepon, kios benda pos, memperkenalkan teknologi maju untuk peningkatan produktivitas hasil para nasabah, mendorong tumbuhnya industri rumah tangga atau pengolahan hasil, mempersiapkan jaringan perdagangan atau pemasaran masukan dan hasil produksi, serta usaha
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang layak, menguntungkan dalam jangka panjang dan tidak menganggu program jangka pendek. 2.2.5. Profil BMT Secara umum profil BMT dapat dirangkum dalam butir-butir berikut (Andri Soemitra, 2010: 452-455): a) Tujuan BMT, yaitu menambahkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan pada masyarakat pada umumnya. b) Sifat
BMT,
yaitu
mempunyai
bisnis
yang
bersifat
mandiri,
ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelola secara professional serta berorientasi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat lingkungannya. c) Visi BMT, yaitu menjadi lembaga keuangan yang mandiri, sehat dan kuat, yang berkualitas ibadah anggotanya meningkat sedemikian rupa sehingga
mampu
berperan
menjadi
wakil
pengabdi
Allah
memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. d) Misi BMT, yaitu mewujudkan gerakan pembebasan anggota dan masyarakat dari belengu rentenir maupun jerat kemiskinan. e) Fungsi BMT, 1. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong, dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi dan kerja anggota.
Universitas Sumatera Utara
2. Mempertinggi kualitas SDM. 3. Menggalang
dan
mengorganisir
potensi
masyarakat
dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. f) Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu: 1. Keimanan
dan
ketakwaan
pada
Allah
SWT.
Dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan muamalah islam ke dalam kehidupan nyata; 2. Keterpaduan di mana nilaii-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakan etika dan moral yang dinamis, proaktif, adil, dan berakhlak mulia; 3. Kekeluargaan (kooperatif); 4. Kebersamaan; 5. Kemandirian; 6. Profesionalisme; dan 7. Istikamah: konsisten, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa.
Universitas Sumatera Utara