an desain menghiasi keemasan, petipeti. panggilan
pinggiran buku, membingkai setiap halamannya dengan indah, kita setiap halaman dengan sangat cemerlang menggunakan warna indah kita membuat lukisanlukisan hebat, kita juga menghiasi lemari dan Kita tidak melakukan apa pun lagi selama bertahuntahun. Ini adalah jiwa kita. Mereka menugasi kita membuat lukisanlukisan,
memerintahkan kita untuk melukis sebuah kapal, seekor antelop, atau seorang sultan, dengan dibatasi oleh bingkai khusus. Mereka juga menuntut gambar seekor burung dengan gaya tertentu, sosok dengan jenis tertentu, mengambil adegan tertentu dari sebuah kisah, lupakan tentang gambar yang seperti ini atau seperti itu. Apa pun yang mereka inginkan, kita lakukan. ‘Dengar,’ seru Enishte Effendi padaku, ‘gambarlah sebuah kuda sesuai imajinasimu sendiri, di sini.’ Selama tiga hari, seperti senimanseniman hebat zaman dulu, aku membuat sketsa ratusan ekor kuda, sampai aku tahu pasti kuda seperti apa ‘yang sesuai dengan imajinasiku’ itu. Untuk melemaskan tanganku, aku menggambar serangkaian gambar kuda di atas lembaran kasar kertas Samarkand.” Aku mengeluarkan sketsa-sketsa itu dan menunjukkannya pada Elok. Ia memeriksanya dengan penuh perhatian, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke kertas itu, dan mulai mengamati kudakuda berwarna hitam dan putih yang dilatarbelakangi temaram cahaya bulan. “Para empu tua dari Shiraz dan Herat,” ujarku, “mengatakan bahwa seorang illustrator harus membuat sketsa kuda tanpa henti selama lima puluh tahun untuk bias melukiskan dengan tepat seekor kuda yang sesuai dengan keinginan dan gambaran Allah. Mereka berkata bahwa gambar kuda yang terbaik harus dibuat di dalam gelap, mengingat seorang illustrator sejati akan mampu bekerja dengan mata tertutup setelah menjalani periode lima puluh tahun itu, tetapi dalam prosesnya, tangan si ilustrator itu akan mengingat gambar kuda dengan sendirinya.” Mimik polos wajahnya adalah sesuatu yang selalu kulihat sejak lama, saat kami masih kanakkanak. Ia mengatakan padaku bahwa ia sepenuhnya terserap ke dalam gambargambar kudaku. “Mereka membayar kita, dan kita berupaya untuk menciptakan kuda yang paling misterius dan paling liar, sebagaimana yang dilukiskan senimanseniman tua kawakan. Tidak ada lagi selain itu. Tidak adil jika mereka meminta kita bertanggung jawab atas selain ilustrasi.” “Aku tidak yakin itu benar,” ujarnya. “Kita juga memiliki tanggung jawab dan keinginan keinginan sendiri. Aku tidak takut pada siapa pun selain Allah. Hanya Allah sajalah yang menjadi alasan kita mampu membedakan Kebaikan dari Kejahatan.” Itu adalah tanggapan yang pantas. “Allah melihat dan mengetahui semuanya …” kataku dalam bahasa Arab. “Allah akan mengetahui bahwa kau dan aku, kita melakukan pekerjaan ini tanpa menyadari apa yang sedang kita lakukan. Siapa yang akan kau beri tahu tentang Enishte Effendi? Apakah kau sadar bahwa di balik masalah-masalah ini ada keinginan Sultan kita yang mulia?” Hening. Aku bertanyatanya, apakah ia sungguhsungguh seorang badut, atau apakah ia sudah kehilangan kendali emosinya dan mengoceh, dan itu menguak rasa takut yang amat tulus terhadap Allah. Kami berhenti di mulut sumur. Di tengah kegelapan, samarsamar kutangkap sorot matanya, dan aku bisa melihat bahwa ia sedang ketakutan. Aku merasa iba padanya. Namun, sudah terlambat untuk iba. Aku berdoa pada Tuhan agar memberiku satu petunjuk lagi bahwa laki laki yang berdiri di hadapanku tidak hanya seorang pengecut, melainkan juga seseorang yang hina tak terkira.
“Hitung sampai dua belas langkah, lalu galilah,” ujarku. “Lalu, apa yang akan kaulakukan?” “Aku akan menjelaskan semuanya pada Enishte Effendi, dan ia akan membakar gambar gambar itu. Apa lagi yang bisa ada di sana? Jika salah satu dari pengikut Nusret Hoja mendengar penjelasan seperti itu, tidak akan ada yang tersisa dari diri kita ataupun bengkel kerja buku seni. Apakah kau mengenal salah satu dari para pengikut Erzurumi? Terimalah uang ini agar kita bisa pastikan bahwa kau tidak akan mengadukan kami.” “Uang itu diwadahi apa?” “Ada tujuh puluh lima kepingan emas Venesia di dalam sebuah tempat acar tua yang terbuat dari keramik.” Koinkoin emas Venesia memberi satu alasan kuat, tetapi bagaimana aku mengarangngarang tentang ttempat acar keramik itu? Itu adalah sesuatu yang sangat bodoh sehingga mudah dipercayai. Dari situlah aku merasa diyakinkan bahwa Tuhan bersamaku, dan sudah memberiku satu tanda. Kawan lamaku sesama anak didik yang seiring bergantinya tahun menjadi semakin tamak sudah mulai menghitung tepat dua belas langkah ke arah yang kutunjuk. Ada dua hal yang menyibukkan benakku saat itu. Pertama, sebenarnya tidak ada koinkoin Venesia itu atau apa pun yang dikubur di sana! Jika aku tidak memperlihatkan uang itu, maka badut ini akan menghancurkan kami. Seketika aku merasa ingin memeluk si tolol itu dan mencium pipinya, seperti yang kadangkadang kulakukan saat kami masih sama-sama magang, tetapi kami telah dipisahkan waktu bertahuntahun lamanya! Kedua, aku sedang sibuk memikirkan bagaimana kami akan menggali. Dengan kuku-kuku jari kami? Namun, pemikiran ini, jika kau bisa menyebutnya sebagai pemikiran, hanya bertahan sekejap saja. Dengan panik, aku menyambar sebongkah batu yang tergeletak di dekat dinding. Sementara ia masih berada di langkah ketujuh atau kedelapannya, aku menyergapnya dan menghantam bagian belakang kepalanya dengan batu itu sekuat tenaga. Aku menghantamnya dengan amat cepat dan brutal, hingga sejenak aku sempat merasa gentar, rasanya seakanakan hantaman itu mengenai kepalaku sendiri. Ya, aku merasakan kesakitannya. Bukannya merenungkan apa yang sudah kuperbuat, aku malah ingin menuntaskan pekerjaan itu dengan cepat. Ia menggelepar-gelepar di atas tanah, dan kepanikanku pun bertambah. Lama setelah aku melemparnya ke dalam sumur, aku baru menyadari betapa kejinya perbuatanku, dan tak sedikit pun sesuai dengan keanggunan seorang miniaturis pembuat ilustrasi buku yang indah.[] Bab E
AKU ADALAH PAMANMU TERCINTA AKULAH PAMAN kandung Hitam dari pihak ibu, enishtenya, tetapi yang lainnya pun memanggilku “Enishte”. Suatu ketika ibunda Hitam meminta anaknya itu untuk memanggilku “Enishte Effendi,” dan kemudian, tidak hanya Hitam, tetapi juga semua orang mulai memanggilku dengan sebutan itu. Tiga puluh tahun yang lalu, setelah kami pindah ke jalan yang gelap dan lembab, dinaungi pohonpohon kastanye dan limau di luar kawasan Aksaray, Hitam mulai sering mengunjungi rumah kami.
Rumah itu adalah tempat tinggal kami sebelum rumah yang sekarang ini. Saat itu aku sedang pergi ke perkemahan musim panas dengan Mahmut Pasha, lalu aku kembali di musim gugur dan menemukan Hitam dan ibunya telah mengungsi ke rumah kami. Ibunda Hitam, semoga dia damai di kuburnya, adalah kakak almarhumah istriku. Di malam malam musim dingin, aku pulang mendapati istriku dan ibunda Hitam sedang berpelukan dan berurai air mata saling menenangkan. Ayahanda Hitam, yang tidak pernah bias mempertahankan kedudukannya sebagai guru di sekolahsekolah agama kecil di daerah terpencil, berperangai sangat buruk, pemarah, dan mempunyai kelemahan soal minum-minuman keras, Hitam saat itu berusia enam tahun, ia menangis saat melihat ibunya menangis, merasa terpuruk ketika ibunya terdiam dan menyapaku, Enishtenya, dengan muram. Amat menyenangkan melihatnya di hadapanku sekarang,seorang keponakan yang tangguh,dewasa, dan terhormat. Penghormatan yang ditunjukkannya padaku, mencium tanganku dengan takzim dan menempelkannya ke dahinya, caranya berkata, “Merahmurni,” saat ia mempersembahkan padaku sebuah pot tinta Mongol sebagai hadiah, dan kesantunan dan sikap bersahajanya dengan duduk di depanku dengan kedua lutut bersentuhan, semua ini tidak hanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang lakilaki dewasa yang peka sebagaimana yang diharapkan orang darinya, tetapi juga mengingatkanku bahwa aku adalah seorang tua yang sudah sepantasnya dihormati. Ia tampak sangat mirip dengan ayahnya yang pernah bertemu denganku satu dua kali saja. Ia kurus tinggi, dan bahasa tubuh gerak tangannya menunjukkan sikap malumalu. Kebiasaannya adalah menempatkan kedua telapak tangannya di atas lutut saat duduk, atau menatap dalam dan serius ke mataku seakanakan berbicara, “Aku paham, aku mendengarkanmu dengan khidmat,” ketika aku memberitahukan sesuatu yang penting padanya, atau dari caranya mengangguk-anggukkan kepalanya yang samar seperti berirama mengikuti katakataku, semua itu sangat pantas dilakukannya. Kini setelah aku mencapai usia setua ini, aku tahu bahwa penghormatan yang sesungguhnya muncul bukan dari hatinya, melainkan dari aturanaturan tersendiri dan rasa hormat. Selama tahuntahun ketika ibunda Hitam sering membawanya ke rumah kami, dengan sikap yang dibuat-buat, karena dia mengharapkan masa depan untuk anaknya di tempat ini, aku paham bahwa bukubuku bisa membuat anak itu senang, dan hal inilah yang membuat kami dekat. Sebagaimana yang diartikan oleh semua penghuni rumah, ia telah mengabdikan diri untuk menjadi “anak didikku”. Aku menjelaskan padanya betapa para ilustrator di Shiraz telah menciptakan suatu gaya baru dengan menaikkan garis cakrawala menjadi amat jelas di atas bingkai gambarnya. Dan sementara semua orang melukiskan Majnun dalam keadaan kacau di padang pasir, tergila-gila pada Laila, sang empu agung Bihzad lebih pandai lagi karena mampu menerjemahkan kesepian yang dirasakan Majnun dengan melukiskannya berjalan di antara sekelompok perempuan yangsedang memasak, berusaha untuk menyalakan kayu-kayu baker dengan meniupnya, atau berjalan di antara tenda-tenda. Menurutku betapa tak masuk akal ketika sebagian besar illustrator yang menggambarkan peristiwa Hiisrev mengintip Shirin yang sedang mandi di telaga, telanjang di tengah malam, telah mewarnaipasangan itu, kudakuda mereka, dan pakaiannya tanpa membaca puisi Nizami. Intinya adalah seorang ilustrator yang menggunakan kuasnya tanpa menyempatkan diri membaca teks yang akan diilustrasikannya, hanya didorong oleh keserakahan. Kini aku sangat senang melihat Hitam telah memiliki kebajikan mendasar lainnya: Untuk menghindari kekecewaan dalam berkesenian, seseorang janganlah menjadikan kesenian sebagai karir. Terlepas dari naluri artistik dan bakat besar yang dimiliki seseorang, iaseharusnya mencari uang dan kekuasaan di tempat lain agar tidak mengorbankan karya seninya apabila ia tidak mendapat imbalan yang setimpal untuk bakat dan kerja
kerasnya. Hitam menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan semua empu ilustrator dan penulis kaligrafi itu satu persatu diTabriz dengan membuatkan buku untuk para pasha, orangorang kaya dari Istanbul, dan tokoh-tokoh di daerah pedalaman. Semua seniman ini, kuketahui kemudian, menjadi jatuh melarat dan dihanyutkan oleh kegagalan nasib mereka. Tidak hanya di Tabriz, di Mashhad dan Aleppo pun banyak ilustrator yangmeninggalkan pekerjaan mereka dalam membuat buku, danmulai beralih membuat gambargambar satu halaman yang ganjilrasa ingin tahu yang akan menyenangkan para pelancong dari Eropabahkan gambargambar cabul. Isu yang beredar mengatakan bahwa manuskrip yang dihiasi Shah Abbas dan dipersembahkan kepada Sultan kita dalam perjanjian damai Tabriz, telah direncah-rencah, sehingga setiap halamannya bisa digunakan untuk bukubuku lain. Mungkin saja Kaisar Hindustan, Akbar, menghamburkan begitu banyak uang untuk sebuah buku baru yang besar, sehingga para ilustrator yang paling berbakat di Tabriz dan Kazvin menghentikan pekerjaannya dan bergerombol menuju istananya. Ketika menceritakan semua ini, ia dengan senang hati menyertakan kisahkisah lainnya juga. Contohnya, ia menggambarkan sambil tersenyum sebuah kisah menghibur tentang seorang peniru Mehdi atau tentang kekacauan yang terjadi di antara orangorang Uzbek ketika seorang pangeran idiot yang dikirimkan pada mereka oleh orangorang Safawiyah sebagai sandera untuk perdamaian, jatuh sakit karena demam dan meninggal dunia dalam waktu tiga hari. Meskipun demikian, aku tahu dari kemuraman yang terbias di wajahnya, dilema yang tak berkaitan dengan kami, tetapi amat menganggu kami berdua, belum juga tertuntaskan. Hitam, seperti juga para pemuda lainnya yang sering mengunjungi rumah kami, atau mendengar apa yang dikatakan orang tentang kami, atau mereka yang mengetahui keberadaan putriku yang rupawan, Shekure, dari pembicaran orang, telah jatuh cinta pada putriku itu. Mungkin dulu aku tidak menganggap hal itu cukup berbahaya agar aku menjadi waspada, tetapi semua orangtermasuk mereka yang belum pernah melihatnyajatuh cinta pada putriku, yang tercantik dari yang cantik. Vang membuat Hitam gundah gulana adalah hasrat yang menggebu seorang pemuda bernasib sial yang memiliki kebebasan untuk memasuki rumah kami, yang sudah kami terima dengan baik dan amat disukai di rumah kami, dan yang memiliki kesempatan untuk melihat Shekure. Ia tidak memendam rasa cintanya, sebagaimana yang kuharap dilakukannya, tetapi membuat kesalahan fatal dengan mengungkapkan hasratnya yang menggelora kepada putriku. Hasilnya, ia sepenuhnya terusir dari rumah kami. Kurasa kini Hitam pun telah mengetahui bahwa tiga tahun setelah ia meninggalkan Istanbul, putriku menikah dengan seorang tentara kavaleri di puncak kejelitaannya, dan bahwa tentara yang memberinya dua anak lakilaki ini tidak memiliki nalar yang sehat, karena pergi mengikuti sebuah operasi militer dan tak pernah kembali lagi. Tak seorang pun mendengar kabar dari pasukan kavaleri itu selama empat tahun. Kurasa Hitam mengetahui hal ini, bukan hanya karena gunjingan semacam itu beredar luas dengan cepat di Istanbul, melainkan karena selama kami berdiam diri, aku merasa ia mengetahui keseluruhan cerita itu sejak lama, dari caranya memandangi mataku. Bahkan pada saat ini, saat ia melihat-lihat Kitab Sukma yang dibiarkan terbuka di atas rehal, aku tahu ia sedang mendengarkan suara anakanak Shekure yang berlarian di sekeliling rumah. Aku tahu ia menyadari bahwa putriku sudah pulang kembali ke rumah ayahnya beserta kedua anak lakilakinya. Aku lupa menyebutkan rumah baru yang kubangun saat Hitam tak ada. Hitam, seperti juga para pemuda lainnya yang berniat menjadi lelaki kaya raya dan terhormat, menganggap cukup kasar jika ia menyinggung soal seperti itu. Tapi saat kami berjalan masuk, aku memberitahunya di tangga bahwa lantai dua tidak terlalu lembab, dan pindah ke lantai atas akan meredakan nyeri-nyeri di persendianku.
Ketika aku berkata, “lantai dua,” aku merasakan rasa malu yang ganjil, tetapi akan kujelaskan: Orangorang yang memiliki uang lebih sedikit dariku, bahkan seorang serdadu kavaleri sederhana dengan tanah kecil pemberian dinas militer sekalipun, bisa membangun rumah dua lantai dengan cepat. Kami berada di ruangan berpintu biru yang kugunakan sebagai bengkel kerja seni rupa di musim dingin. Aku bias merasakan bahwa Hitam menyadari keberadaan Shekure di kamar penghubung. Aku langsung membeberkan masalah yang menjadi alasanku mengirim surat untuknya ke Tabriz, mengundangnya ke Istanbul. “Tepat seperti kerja sama yang kaulakukan dengan para penulis kaligrafi dan illustrator Tabriz. Aku juga sudah menyiapkan sebuah manuskrip yang sudah diberi ilustrasi,” ujarku. “Klienku adalah Yang Mulia Sultan kita, penyangga dunia ini. Karena buku ini sesuatu yang dirahasiakan, Sultan kita telah membayarku melalui Kepala Bendahara. Dan aku telah membuat kesepakatan dengan masingmasing seniman paling berbakat di bengkel kerja milik Sultan. Aku sedang menugaskan salah satu dari mereka untuk melukis seekor anjing, yang lainnya sebatang pohon, yang ketiga kuminta untuk membuat desain pembatas dan gumpalangumpalan awan di cakrawala, dan yang lainnya kuserahi tanggung jawab menggambar kudakuda. Aku ingin hal-hal yang kugambarkan itu mewakili keseluruhan dunia Sultan kita, seperti lukisanlukisan karya para seniman besar Venesia. Tetapi tidak seperti lukisan Venesia, karyaku tidak semata-mata melukiskan objek material, tetapi juga kekayaan yang terkandung di dalam batinnya, kebahagiaan dan ketakutan di segenap wilayah yang diperintah oleh Sultan kita. Andai aku akhirnya menyertakan lukisan sekeping uang emas, itu untuk meremehkan uang. Aku menyertakan Kematian dan Setan, karena kita takut pada kedua hal itu. Aku tidak tahu apa yang sedang dipergunjingkan. Aku menginginkan keabadian sebatang pohon, keletihan seekor kuda, dan kekasaran seekor anjing untuk merepresentasikan Yang Mulia Sultan kita dan alam duniawinya. Aku juga menginginkan para ilustrator kaderku, dengan nama julukan “Bangau”, “Zaitun”, “Elok” dan “Kupukupu” untuk memilih bahan ilustrasi yang mereka inginkan. Bahkan di malammalam musim dingin yang paling dingin dan paling parah sekalipun, salah satu ilustrator Sultan akan mengunjungiku secara diamdiam untuk memperlihatkan apa yang sudah disiapkannya untuk buku itu. “Gambargambar seperti apa yang sedang kita buat ini? Mengapa kita membuat ilustrasi dengan cara seperti itu? Aku tak bisa memberimu jawaban sekarang ini. Bukan karena aku menyembunyikan rahasia darimu, dan bukan karena aku tak akan mengatakannya padamu. Masalahnya, aku sendiri tidak cukup paham gambargambar seperti apa yang dimaksud. Namun, aku tentu saja tahu lukisan seperti apa yang diharapkan nantinya.” Empat bulan setelah aku mengirimkan suratku, aku mendengar lewat tukang cukur di jalan tempat kami pernah tinggal, bahwa Hitam sudah kembali ke Istanbul, dan kemudian aku mengundangnya ke rumah kami. Aku sangat sadar bahwa ceritaku akan mendatangkan harapan kedukaan dan sekaligus berkah yang akan menyatukan kembali kami berdua. “Setiap gambar harus bisa menceritakan sebuah kisah,” ujarku. “Seorang miniaturis yang membuat ilustrasi berukuran kecil, untuk memperindah manuskrip yang kita baca, harus menggambarkan adegan-adegan yang paling penting: saat-saat pertama sepasang kekasih saling berpandangan, sang pahlawan Rustem yang memenggal kepala sesosok monster jahat; kedukaan Rustem ketika ia menyadari bahwa makhluk asing yang dibunuhnya ternyata adalah putranya sendiri; cinta yang membuat Majnun menjadi gila saat ia berkelana di tengah alam liar yang tak berpenghuni di antara singa, harimau, pelanduk betina dan anjing hutan; Iskandar Agung yang merana, yang datang ke hutan sebelum peperangan dimulai untuk mengetahui hasil akhirnya dari burungburung, menyaksikan seekor rajawali mengoyak daging burung kecil mangsanya. Mata kita yang sudah lelah membaca kisahkisah ini, akan melihat gambargambar tersebut. Jika ada sesuatu di dalam teksnya yang tidak mampu
dicerna oleh pikiran dan imajinasi kita, ilustrasinya langsung membantu. Gambar adalah pengembangan cerita yang beraneka warna. Namun, lukisan tanpa kisah yang melatarbelakanginya adalah sebuah kemustahilan.” “Aku dulu berpikir seperti itu,” tambahku, seakanakan mengandung penyesalan. “Tetapi ternyata itu amat mungkin. Dua tahun yang lalu aku kembali pergi ke Venesia sebagai duta besar Sultan. Aku mengamati potret-potret yang dibuat seniman besar Venesia. Aku mengamatinya tanpa mengetahui adegan ataupun kisah dari gambargambar itu, dan aku berusaha keras menyimpulkan kisah itu dari gambarnya. Suatu hari, aku menemukan sebuah lukisan yang digantung di atas sebuah dinding palazzo, dan terpukau. “Lebih dari apa pun, gambar itu adalah tentang seorang individu, seperti diriku sendiri. Itu adalah gambar seorang kafir, tentu saja, bukan salah satu dari kita. Saat aku memandanginya, aku merasa diriku menyerupai gambar itu, meskipun ia tidak menyerupai aku sama sekali. Ia memiliki wajah bundar yang sepertinya kekurangan tulang pipi, dan terlebih lagi, ia tidak memiliki daguku yang amat indah ini. Walaupun ia tidak seperti aku, saat aku menatap lukisan itu, untuk beberapa alasan tertentu, jantungku berdetak kencang, seolaholah lukisan itu adalah potret diriku sendiri. “Aku tahu dari lelaki Venesia yang mengajakku berkeliling palazzo miliknya itu bahwa potret itu adalah potret seorang temannya, seorang bangsawan seperti dirinya. Ia melibatkan apa pun yang penting dalam kehidupannya dalam potretnya. Di latar belakang terdapat sebuah pemandangan yang dari jendela terbuka tampak seperti sebuah peternakan, sebuah desa, dan sebuah perpaduan warna yang melukiskan hutan dengan amat nyata. Di atas meja di depan si bangsawan terdapat sebuah arloji, bukubuku, Waktu, Kejahatan, Kehidupan, sebatang pena kaligrafi, sebuah peta, kompas, kotak-kotak berisi koin emas, pernakpernik, bendabenda unik dan sisa-sisa, bendabenda misterius yang tampak aneh, yang mungkin dimasukkan ke dalam banyak gambar, bayangan jin dan setan, juga gambar anak perempuannya yang kecantikannya memukau saat dia berdiri di samping ayahnya. “Apa artinya narasi jika gambar ini telah indah dan sempurna? Saat aku menilai karya itu, perlahanlahan aku merasakan kisah yang melatarbelakanginya adalah lukisan itu sendiri. Lukisan itu sama sekali bukan perpanjangan dari sebuah kisah, lukisan itu adalah sesuatu yang berdiri sendiri. “Aku tidak pernah bisa melupakan lukisan yang mengharubiruku itu. Aku meninggalkan palazzo itu, kembali ke rumah tempat aku tinggal sebagai tamu, dan memikirkan lukisan itu sepanjang malam. Aku juga ingin dilukis dalam sikap seperti itu. Tetapi tidak, itu tidak pantas, Sultan kitalah yang pantas untuk dilukis seperti itu! Sultan kita harus digambarkan beserta semua yang dimilikinya, dengan bendabenda yang mewakili dan menunjukkan dunianya. Aku merasa yakin dengan pendapat bahwa sebuah manuskrip bisa diberi ilustrasi sesuai dengan gagasan ini. “Seorang Venesia yang sangat berbakat telah melukiskan seorang bangsawan sedemikian rupa, sehingga kau akan segera tahu bangsawan yang mana yang dimaksudkannya. Jika kau belum pernah melihat orang tersebut, lalu mereka memintamu menjemput orang itu di antara kerumunan ribuan orang lainnya, kau tetap akan bisa memilih lakilaki yang benar dengan bantuan lukisan potret itu. Para seniman besar Venesia telah menemukan teknik melukis di mana mereka bisa membedakan seorang lakilaki dari lakilaki lainnyatanpa mengandalkan pakaian yang dikenakannya atau medali yang disematkan di dadanya, hanya dengan bentuk unik wajahnya. Ini adalah intisari ‘lukisan potret.’ “Andai wajahmu dilukiskan dengan gaya seperti ini, meski hanya sekali, tak akan ada yang mampu melupakan rupamu, dan jika kau kemudian jauh, seseorang akan
memandangi potretmu dan bisa merasakan kehadiranmu seolaholah kau ada di dekatnya. Mereka yang tidak pernah melihatmu secara langsung, bahkan bertahuntahun setelah kematianmu, akan bisa berhadapan denganmu, seakanakan kau sedang berdiri di hadapan mereka.” Kami tetap terdiam selama beberapa waktu. Secercah cahaya sewarna es dari luar menyelusup masuk lewat bagian atas jendela kecil yang menghadap ke jalan. Jendela ini daun penutupnya tak pernah dibuka, dan barubaru ini kututup dengan selembar kain yang dicelupkan ke dalam lilin lebah. “Ada seorang miniaturis,” ujarku. “Ia datang lainnya, demi kitab rahasia Sultan kita. Dan pagi. Ia yang terbaik dalam bidang menyepuh. dari sini suatu malam dan tak pernah tiba di membunuhnya, empu penyepuhku yang malang.”[]
kemari seperti senimanseniman kami kerap bekerja bersama sampai Elok Effendi yang malang, ia pergi rumahnya. Aku khawatir mereka telah
Bab 6
AKU ADALAH ORHAN i} HITAM BERTANYA, “Apakah mereka memang membunuhnya?” Si Hitam ini tinggi, kurus, dan penampilannya agak mengerikan. Aku sedang berjalan ke arah mereka yang tengah duduk bercakap-cakap di lantai dua bengkel kerja berpintu biru, ketika kakekku berkata, “Mereka mungkin sudah membunuhnya.” Kemudian ia menangkap bayanganku. “Apa yang kaulakukan di sini?” Ia memandangiku sedemikian rupa, sehingga aku memanjat naik ke pangkuannya tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian, ia menurunkan kembali tubuhku. “Cium tangan Hitam,” pintanya. Aku mencium punggung tangannya dan menempelkannya ke keningku. Tangannya tidak berbau. “Ia tampan juga,” kata Hitam dan mencium pipiku. “Suatu hari ia akan menjadi seorang pemuda pemberani.” “Ini Orhan. Ia masih enam tahun. Ada satu lagi yang lebih tua, Shevket, yang usianya tujuh tahun. Yang satu itu bocah kecil yang amat nakal.” “Aku kembali ke jalan tua di Aksaray,” sahut Hitam. “Tempatnya dingin, semuanya tertutup salju dan es. Tetapi pemandangannya menunjukkan seolaholah tidak ada yang berubah di sana.” “Aduh! Semuanya sudah berubah, segalanya menjadi lebih buruk,” ujar kakekku. “Buruk sekali.” Ia menoleh ke arahku, “Di mana kakakmu?” “Ia sedang bersama guru kami, empu penjilid.” “Jadi, apa yang sedang kaulakukan di sini?” “Empu itu berkata padaku, ‘Karya yang bagus, sekarang kau boleh pergi.’” “Kau berjalan sendirian kemari?” tanya kakekku. “Kakakmu seharusnya menemanimu,” Kemudian ia berbicara pada Hitam, “Ada seorang tukang jilid temanku di mana mereka bekerja dua kali seminggu selepas sekolah Alquran. Mereka datang sebagai muridnya, mempelajari seni menjilid.”
“Apakah kau senang membuat ilustrasi seperti kakekmu?” tanya Hitam. Aku tidak menjawabnya. “Baiklah kalau begitu,” ujar kakekku. “Tinggalkan kami sekarang.” Hawa panas dari wadah batu bara yang terbuka menghangatkan ruangan yang begitu nyaman sehingga aku malas meninggalkannya. Aku mencium bau cat dan lem, aku berdiri sejenak. Aku juga bisa mencium aroma kopi. “Apakah membuat ilustrasi dengan teknik baru menunjukkan cara berpikir yang baru?” kakekku mulai berbincang lagi. “Inilah alasan mereka membunuh penyepuh malang itu dengan mengabaikan fakta bahwa ia bekerja dengan gaya lama. Aku bahkan tidak yakin ia telah dibunuh, hanya karena ia menghilang. Mereka sedang membuat ilustrasi tentang sebuah kisah kenang-kenangan dalam bentuk sajak, Kitab Segala Pesta, untuk Sultan kita, atas pesanan dari Kepala Iluminator, Tuan Osman. Setiap ilustrator bekerja di rumahnya masing masing. Tuan Osman, bagaimanapun, sibuk di bengkel kerja seni buku di istana. Untuk memulainya, aku ingin kau pergi ke sana dan mengamati segalanya. Aku khawatir yang lainnya, yaitu para ilustrator, berakhir dengan berselisih dan saling bunuh. Mereka dijuluki dengan namanama yang diberikan oleh Tuan Osman bertahuntahun lampau: ‘Kupukupu,’ ‘Zaitun,’ ‘Bangau’ … Kau pergilah dan amati mereka saat mereka bekerja di rumah mereka masingmasing.” Bukannya turun ke lantai bawah, aku malah memutar. Terdengar suara dari kamar sebelah yang dilengkapi kamar kecil tempat Hayriye tidur. Aku masuk. Di dalamnya tidak ada Hayriye, yang ada hanya ibuku. Dia tampak malu melihatku. Dia berdiri dengan setengah badannya di dalam kamar kecil. “Dari mana saja kau?” tanyanya. Namun, dia sebenarnya tahu dari mana aku. Di bagian belakang kamar kecil ada sebuah lubang untuk mengintip, di mana kau bisa melihat bengkel kakekku. Dan jika pintunya terbuka, terlihat lorong yang lebar dan kamar tidur kakekku diseberang lorong di samping tanggatentu saja jika pintu kamar tidurnya dalam keadaan terbuka. “Aku sedang bersama kakek,” sahutku. “Ibu sedang apa di sini?” “Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kakekmu sedang kedatangan tamu dan kau tidak boleh mengganggu mereka?” Dia mengomeliku, tetapi dengan suara yang tidak keras, karena dia tidak ingin tamu itu mendengarnya. “Apa yang sedang mereka lakukan?” tanyanya setelah mengomel, dengan nada suara amat manis. “Mereka sedang duduk-duduk, tetapi tentu saja tidak melukis.Kakek berbicara, yang satunya mendengarkan.” “Dengan sikap seperti apa ia duduk?” Aku menjatuhkan diri di atas lantai, dan menirukan cara duduk tamu itu. “Aku sangat serius sekarang, Ibu. Lihatlah. Aku mendengarkan kakekku dengan alis mata berkerut, seolah olah aku sedang mendengarkan kisah kepahlawanan dibacakan. Aku mengangguk angggukkan kepalaku sekarang, sangat serius, seperti tamu itu.” “Turunlah ke bawah,” pinta ibuku, “panggil Hayriye sekarang juga.” Dia duduk dan mulai menulis di atas secarik kecil kertas di papan tulis yang diangkatnya. “Ibu, apa yang sedang Ibu tuliskan?” “Cepatlah! Bukankah aku sudah menyuruhmu turun dan memanggil Hayriye?” Aku turun lewat dapur. Kakakku, Shavket, sudah kembali. Hayriye tengah menyiapkan sepiring nasi bumbu yang dimaksudkan untuk sang tamu.
“Pengkhianat!” seru kakakku. “Kau pergi begitu saja dan meninggalkanku dengan guru kita. Aku melakukan semua pekerjaan lipat melipat untuk sampul itu sendirian. Jari-jariku sampai lecet-lecet.” “Hayriye, ibu ingin bertemu denganmu.” “Begitu aku selesai di sini. Aku akan memukulmu,” ucap kakakku, “Kau akan membayar untuk kemalasan dan pengkhianatanmu.” Ketika Hayriye pergi, kakakku berdiri dan mendatangiku dengan pandangan mengancam, bahkan sebelum ia menghabiskan nasi bumbunya. Aku tidak bisa melarikan diri tepat pada waktunya. Ia menyambar pergelangan tanganku dan memuntirnya. “Hentikan, Shevket, jangan sakiti aku.” “Apakah kau akan menghindari tugastugasmu lagi dan kabur?” “Tidak. Aku tidak akan pernah kabur lagi.” “Bersumpahlah.” “Aku bersumpah.” “Bersumpahlah atas nama Alquran.” “… atas nama Alquran.” Ia tidak juga melepaskan tanganku, dan malah menyeretku ke arah baki tembaga besar yang kami gunakan sebagai meja makan dan memaksaku untuk berlutut. Ia cukup kuat untuk makan nasi bumbu sambil memuntir tanganku. “Berhenti menyiksa adikmu, tiran!” seru Hayriye. Dia mengenakan kerudung dan hendak beranjak pergi. “Jangan ganggu adikmu.” “Urus saja urusanmu sendiri, budak betina,” seru kakakku. Ia masih saja memuntir tanganku, “Akan pergi ke mana kau?” “Membeli limau,” jawab Hayriye. “Kau pembohong,” sahut kakakku. “Lemari itu masih penuh dengan buah limau.” Begitu kakakku melonggarkan puntirannya di tanganku, aku berhasil melepaskan diri. Aku menendangnya dan menyambar sebuah pegangan lilin dengan dudukannya, tetapi ia menyergapku, lalu mencekikku. Ia memukul pegangan lilin itu, dan baki tembaga itupun terjatuh. “Kalian berdua bencana dari Tuhan!” seru ibuku. Dia tetap bersuara lirih agar tamu itu tidak mendengarnya. Bagaimana dia bisa melewati pintu bengkel kerja yang terbuka hingga ke lorong dan menuruni tangga tanpa terlihat oleh si Hitam? Dia memisahkan kami berdua. “Kalian berdua akan terus membuatku malu, ya?” “Orhan berdusta pada Empu Penjilid,” sahut Shevket. “Ia meninggalkanku di sana untuk mengerjakan semua pekerjaan.” “Diam!” seru ibuku sambil menamparnya. Dia memukulnya perlahan. Kakakku tidak menangis. “Aku ingin ayahku,” tukasnya. “Kalau ia sudah pulang, ia akan membawa pedang dengan gagang bertatahkan batu rubi milik paman Hasan, dan kami akan pindah bersama Paman Hasan.” “Tutup mulut!” bentak ibuku. Dia tibatiba saja menjadi begitu berang sehingga dia menyambar tangan Shevket dan menyeretnya melewati dapur, melewati anakanak tangga menuju ke ruangan yang berhadapan dengan bagian terjauh sisi yang teduh di halaman. Aku mengikuti mereka. Ibuku membuka pintu. Ketika dia melihatku, dia berkata, “Masuk, kalian berdua!”
“Tetapi aku tidak melakukan kesalahan apa pun,” sahutku. Tapi aku masuk juga. Ibuku menutup pintu di belakang kami. Meskipun di dalamnya begitu gelaphanya ada secercah cahaya pudar jatuh dari langit di antara daun-daun jendela yang menghadap pohon delima di halamanaku begitu ketakutan. “Buka pintunya, Ibu,” jeritku. “Aku kedinginan.” “Berhentilah merengek, pengecut!” ujar Shevket. “Dia akan membuka pintu itu tak lama lagi.” Ibu membuka pintunya. “Apakah kalian akan berperilaku baik sampai tamu itu pergi?” tanyanya. “Baiklah kalau begitu, kalian akan duduk di dapur di dekat kompor, sampai Hitam pergi, dan kalian tidak akan naik ke lantai atas, mengerti?” “Kami akan merasa bosan di sana,” seru Shevket. “Ke mana Hayriye pergi?” “Jangan ikut campur urusan orang lain,” ujar ibuku. Kami mendengar suara ringkikan kuda di istal. Kuda itu meringkik lagi. Itu bukan kuda kakek, melainkan kuda milik Hitam. Kami segera merasa riang, seolaholah itu adalah hari raya. Ibu tersenyum, dia ingin agar kami tersenyum juga. Seraya mengambil dua langkah ke depan, dia membuka pintu istal yang menghadap kami, lalu keluar ke tangga di bagian luar dapur. “Sssttt,” serunya sambil memasuki istal. Dia membalikkan tubuhnya dan menuntun kami memasuki dapur Hayriye yang berminyak dan bau, serta dipenuhi tikustikus yang berkeliaran. Dia memaksa kami duduk. “Jangan beraniberani berdiri sampai tamu kita pergi dan jangan bertengkar. Kalau tidak, orang akan mengira kalian anakanak manja.” “Ibu,” aku berkata padanya sebelum dia menutup pintu dapur, “aku ingin mengatakan sesuatu: Mereka telah membunuh tukang sepuh kakek kita,”[] Bab :
AKU DINAMAI HITAM SAAT PERTAMA kali aku memandangi anaknya, aku langsung tahu apa yang telah salah kukenang dari wajah Shekure, tetapi amat kurindukan. (2j Seperti wajah Orhan, wajah Shekure juga tirus, meskipun dagunya lebih panjang dari yang kuingat. Tetapi tentu saja bibir kekasihku lebih mungil dan lebih sempit dari yang kubayangkan. Selama selusin tahun, aku berkelana dari kota ke kota, dan tanpa kusadari aku telah melebarkan bibir Shekure karena terpengaruh hasratku, dan membuatku membayangkan bibirnya lebih berisi, kenyal, dan basah menggoda, bagaikan sebutir buah ceri yang besar dan berkilau. Aku membawa gambar Shekure ke mana-mana, kuhormati dengan gaya seperti yang dilakukan seniman besar Venesia. Kulakukan itu agar aku tidak begitu merasa kehilangan selama aku berkelana, juga ketika aku sulit mengingat-ngingat kekasihku yang wajahnya kutinggalkan di suatu tempat di belakangku, karena selama wajah seorang kekasih terus bercahaya di dalam hatimu, dunia masih akan terus menjadi rumahmu. Bertemu dengan putra bungsu Shekure, berbicara dengannya, melihat wajahnya dari dekat dan menciumnya, membuatku merasakan kegelisahan layaknya mereka yang tidak beruntung, para pembunuh dan para
pendosa. Sebuah suara dari dalam nuraniku berteriak, “Ayo cepatlah pergi dan temui dia.” Sejenak, aku berpikir untuk mohon diri diamdiam dari hadapan Enishteku, dan membuka setiap pintu di sepanjang lorong yang lebar ituaku telah menghitungnya dengan sudut mataku, ada lima pintu yang gelap, salah satunya pasti mengarah ke tanggasampai aku menemukan Shekure. Namun, aku telah terpisah dari kekasihku itu selama dua belas tahun, hanya garagara aku mengungkapkan isi hatiku. Aku memutuskan untuk menunggu dalam diam, mendengarkan Enishteku berbicara, sementara aku mengagumi bendabenda yang pernah disentuh Shekure, dan sebuah bantal besar yang pernah disandarinya entah berapa kali. Ia menceritakan padaku bahwa Sultan ingin agar buku itu selesai tepat pada waktunya, sebelum perayaan seribu tahun hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Sultan kami ingin menunjukkan bahwa setelah seribu tahun dalam penanggalan Muslim, ia dan negerinya mampu menggunakan gaya kaum Frank sebagus dan seindah yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena Sultan juga menginginkan Kitab Segaia Pesta dibuat, maka ia mengizinkan para ilustrator yang diketahuinya sangat sibuk untuk mengasingkan diri di rumah masingmasing agar bisa bekerja dengan tenang, daripada berada di antara kerumunan orang di bengkel kerja. Ia juga tentu mengetahui bahwa mereka semua diamdiam mengunjungi Enishteku secara teratur. “Kau akan menemui Iluminator Kepala Tuan Osman,” ujar Enishteku. “Sebagian orang berkata ia sudah buta, sebagian lagi berkata ia sudah kehilangan kemampuan inderanya. Menurutku ia telah buta sekaligus uzur.” Terlepas dari kenyataan bahwa Enishteku tidak memiliki posisi sebagai seorang Iluminator Kepala, dan itu memang bukan bidang keahlian artistiknya, ia memegang kendali atas sebuah manuskrip yang harus diberi ilustrasi. Kenyataannya, hal ini berlangsung atas izin dan dukungan Sultan. Sebuah situasi yang tentu saja membuat hubungannya dengan Tuan Osman yang lebih tua darinya menjadi tegang. Aku memikirkan masa kanak-kanakku, kubiarkan perhatianku terserap oleh perabot dan bendabenda di dalam rumah ini. Sejak dua belas tahun yang lalu, aku masih saja mengingat karpet biru dari Kula yang menutupi lantai, bejana tembaga, perkakas minum kopi dan bakinya, keranjang tembaga dan cangkircangkir kopi yang mungil, yang didatangkan jauh jauh dari Cina lewat Portugis, sebagaimana yang selalu disombongkan almarhumah bibiku. Semua itu berdampak padaku, seperti rehal tempat dudukan buku yang dihiasi mutiara besar, gantungan sorban yang dipakukan ke dinding, dan bantal beludru berwarna merah dengan kelembutan yang langsung kuingat begitu aku menyentuhnya. Bendabenda itu berasal dari Aksaray, tempat aku menghabiskan masa kanak-kanakku bersama Shekure, dan semua itu masih saja membangkitkan perasaan bahagia dari harihari saat aku melukis di rumah itu. Lukisan dan kebahagiaan. Aku ingin agar para pern-bacaku yang telah sungguhsungguh mencermati cerita dan nasibku untuk memahami kedua hal ini, karena keduanya adalah asal muasal duniaku. Pada suatu ketika, aku disibukkan di tempat ini, di antara bukubuku, kuas kuas kaligrafi dan lukisanlukisan. Lalu, aku jatuh cinta dan direnggut dari surga ini. Selama bertahuntahun aku menjalani masa pembuangan karena cintaku ini, aku sering memikirkan betapa kenyataannya aku begitu berutang pada Shekure dan perasaan cintaku padanya, karena dengan itulah aku mampu bertahan dengan penuh harap menjalani kehidupan dan menaklukkan duniaku. Karena aku, dalam kepolosan masa kanak-kanakku, tidak memiliki keraguan bahwa perasaan cintaku itu pasti berbalas, aku merasa semakin yakin dan memandang dunia ini adalah tempat yang amat indah. Kaulihat, dengan ketulusan seperti itu pula aku melibatkan diri dengan bukubuku untuk kemudian mencintai semua itu, kecintaanku pada membaca yang diminta oleh Enishteku saat itu, serta kesenangan membaca pelajaran-pelajaran sekolah agamaku, ilustrasi, dan lukisan. Namun, sebanyak aku berutang atas keceriaan, kesemarakan, dan kesuburan dalam separuh masa pendidikan pertamaku pada rasa cintaku terhadap Shekure, aku juga berutang atas kesedihan yang meracuni masa-masa berikutnya akibat penolakan yang kuterima atas cintaku. Hasratku di malammalam dingin untuk
meledak dan lenyap bagai pijar api yang mati di atas kompor besi di penginapan di tengah gurun, berulangulang kumimpikan setiap kali usai semalam penuh cinta bersama perempuan mana pun yang terbaring di sampingku, membuatku terlempar ke dalam jurang kehampaan, meninggalkan kesan betapa tak pantasnya diriku semua itu tercipta karena Shekure. “Sadarkah kau,” ujar Enishteku beberapa saat kemudian, “bahwa setelah kematian, jiwa kita masih mampu bertemu dengan roh semua manusia, lakilaki dan perempuan, di dunia ini, yang tertidur nyenyak di ranjangnya?” “Tidak, aku tidak tahu.” “Kita akan melakukan sebuah perjalanan panjang setelah mati, maka aku tidak takut pada kematian. Yang kutakutkan adalah kematian yang datang sebelum aku menyelesaikan buku pesanan Sultan kita,” Sebagian dari diriku lebih kuat, lebih rasional, dan lebih bisa diandalkan daripada Enishte ku, sedangkan sebagian lagi sibuk memikirkan harga tunik yang kubeli dalam perjalanan ke sini untuk bertemu dengan orang yang telah menampik lamaranku pada putrinya ini, juga tentang pakaian kuda dari perak dan pelana buatan tangan untuk kuda yang begitu aku turun dari tangga akan kukeluarkan dari istal dan kupacu pergi. Kukatakan padanya bahwa aku akan memberitahukan semua yang kuketahui dalam kunjunganku ke berbagai miniaturis. Aku mencium tangannya dan menempelkannya di keningku. Lalu aku berjalan menuruni tangga, memasuki halaman, dan merasakan salju yang dingin di atasku, menerima kenyataan bahwa diriku bukan lagi seorang bocah, juga bukan seorang lelaki tua: Aku dengan riang merasakan dunia di atas kulitku. Begitu aku menutup gerbang istal, embusan angin mulai terasa. Aku menuntun kuda putihku dengan memegang pakaiannya, melintasi jalanan berbatu hingga ke jalan tanah di halaman, dan kami berdua menggigil. Aku merasa seolah tungkai-tungkai kakinya yang kuat dan berurat besar, ketidaksabaran dan kekeraskepalaannya, adalah diriku sendiri. Begitu kami memasuki jalan besar, aku hendak melompat menunggangi kuda hebatku itudan menghilang ke jalanan sempit bagaikan seorang penunggang kuda ulung dan tak akan pernah kembali lagisaat seorang perempuan Yahudi gemuk berpakaian merah muda dan membawa buntalan tibatiba muncul entah dari mana dan mendekatiku. Dia adalah seorang perempuan berbadan besar dan lebar, seperti sebuah lemari. Dia juga amat bersemangat, lincah, dan bahkan tampak menggoda. “Lelakiku yang pemberani, pahlawanku, bisa kulihat betapa tampannya dirimu, tepat seperti yang mereka katakan,” katanya. “Apakah kau sudah menikah? Atau kau masih lajang? Bersediakah kau membeli sehelai saputangan sutra untuk kekasih gelapmu dari Esther, penjaja pakaian indah paling utama di Istanbul?” “Tidak.” “Selembar selendang merah dari sutra Atlas?” “Tidak.” “Janganlah berkata tidak padaku seperti itu! Bagaimana mungkin jiwa pemberani seperti dirimu tidak memiliki seorang tunangan atau kekasih gelap? Siapa yang tahu berapa banyak air mata perawan yang menetes karena terbakar hasratnya padamu?” Tubuh perempuan itu memanjang seperti tubuh liat seorang pemain akrobat dan dia mencondongkannya ke arahku dengan posisi tubuh yang anggun. Di saat yang sama, dengan kepiawaian seorang tukang sulap yang bisa memunculkan bendabenda dari udara, dia mengeluarkan sepucuk surat dari tangannya. Bagaikan seorang pencuri aku menyambarnya, dan seakanakan telah berlatih bertahuntahun untuk menghadapi saat-saat seperti ini, dengan cepat dan rapi kumasukkan surat itu ke dalam selempangku. Surat itu tebal dan terasakan seperti api membakar kulitku yang membeku, di bagian antara perut dan punggungku.
“Pacu kudamu pelan-pelan saja,” ujar Esther si penjaja pakaian. “Belok ke kanan di pojok jalan itu, ikuti dinding yang melengkung tanpa menghentikan langkahmu. Begitu sampai di pohon delima, beloklah dan pandangilah rumah yang baru saja kautinggalkan, pandangi jendela di sebelah kananmu.” Perempuan itu berlalu dan menghilang dalam sekejap. Aku menaiki punggung kudaku, tetapi aku melakukannya seperti orang yang baru pertama kali naik kuda. Jantungku berdetak kencang, benakku berkecamuk oleh gairah, kedua tanganku seperti lupa bagaimana mengendalikan tali kekang, tetapi saat kedua tungkai kakiku menjepit kencang tubuh kudaku, akal sehat dan kepiawaianku serta merta mengendalikan kudaku dan juga diriku. Seperti yang petunjuk Esther, kudaku melangkah perlahan tapi pasti, dan betapa indahnya kami kemudian berbelok ke kanan memasuki jalan raya! Saat itulah aku merasa bahwa aku mungkin memang tampan. Seperti dalam dongeng, dari balik setiap kusen dan daun jendela, seorang perempuan pemalu sedang memerhatikanku dan aku merasa aku kembali terbakar oleh api yang dulu pernah membakarku. Inikah yang kuidamkan? Akankah aku pasrah merasakan kembali penderitaan yang pernah kurasakan selama bertahuntahun? Matahari tibatiba saja menerobos dari celah awan, menatapku tajam. Di manakah pohon delima itu? Apakah pohon yang kurus dan muram itu? Ya! Aku menoleh cepat ke sisi kanan tungganganku. Aku melihat sebuah jendela di bawah pohon, tetapi tak ada seorang pun di sana. Aku sudah diperdaya oleh perempuan bernama Esther itu! Tepat saat aku sedang memikirkan kemungkinan buruk itu, daun jendela berselimut es terbuka kencang seakan hendak meledak dan, setelah dua belas tahun, aku memandangi wajah menakjubkan kekasih hatiku di antara cabang-cabang pohon. Wajah itu dibingkai indah oleh pinggiran jendela yang terselimuti es dan cahaya es itu berkilauan terkena sinar matahari. Apakah bola mata hitam kekasihku itu menatapku atau kehidupan lain di luar diriku? Aku tidak tahu apakah dia sedang sedih, atau tersenyum, atau tersenyum sedih. Kuda bodoh ini tidak bisa merasakan isi hatiku. Tenanglah! Perlahan aku memutar tubuhku di atas pelana, menyorotkan pandangan mata penuh gairah selama mungkin, hingga wajahnya yang tirus, elok, dan misterius itu menghilang di balik dahandahan pohon. Lama sesudah itu, setelah membuka suratnya dan melihat ilustrasi di dalamnya, aku memikirkan perjumpaanku dengannya di jendela, dari atas pelana kudaku. Perjumpaanku itu sangat menyerupai lukisan yang telah dibuat ribuan kali, di mana Hiisrev menjumpai Shirin di bawah jendela kamar perempuan ituhanya saja pada kisah kami, ada sebatang pohon yang muram di antara kami berdua. Ketika aku mengenali persamaan ini betapa aku terbakar api cinta, sebagaimana yang mereka kisahkan dalam buku yang sangat kami sukai dan kagumi itu.[] Bab i
AKU ADALAH ESTHER AKU TAHU, kalian semua bertanyatanya tentang apa yang ditulis Shekure dalam surat yang kuberikan pada Hitam. Karena hal ini juga menjadi keingintahuanku, aku telah mengetahui semua yang ada di sana. Jika kalian bersedia, berpurapuralah sedang membolak-balik halaman sebuah buku cerita, dan izinkan aku
memberi tahu kalian tentang apa yang terjadi sebelum aku menyerahkan surat itu. Sekarang, menjelang malam, aku pulang ke rumah kami di perkampungan orang Yahudi yang menyenangkan di mulut Golden Horn bersama suamiku Nesim. Kami adalah dua orang tua yang meniup-niup dan mendengus-dengus, mencoba untuk tetap merasa hangat dengan melemparkan potongan kayu bakar ke dalam tungku. Abaikan caraku menyebut diri kami sendiri ‘tua.1 Ketika aku memasukkan pernakpernikkubendabenda murahan dan tampak seperti barang berharga, khusus untuk memikat para perempuan seperti cincin, giwang, kalung dan manik-manikke dalam lipatan sapu tangan sutra, sarung tangan, sprei dan kemeja warnawarni yang dikirimkan oleh kapal-kapal Portugis, ketika aku memanggul buntalan itu, maka aku adalah Esther si sendok sayur dan Istanbul adalah pancinya, dan tidak ada satu jalan pun yang tidak kujelajahi. Tak sepatah kata pun dari sebuah gunjingan atau surat yang tak kubawa dari satu pintu ke pintu lainnya, dan aku menjalankan peran sebagai mak comblang pada separuh perawan yang ada di Istanbul. Aku tidak menyebutkan semua ini untuk membual. Seperti yang kukatakan, kami sedang beristirahat malam itu, dan “tok … tok … tok …” ada seseorang di balik pintu. Aku pergi membukanya, dan menemukan Hayriye, gadis budak yang tolol itu, sedang berdiri di depanku. Dia memegang secarik surat di tangannya. Aku tidak tahu apakah karena hawa dingin atau karena bersemangat, tetapi dia tampak gemetar saat dia menjelaskan keinginan-keinginan Shekure. Awalnya, kupikir surat itu untuk diberikan pada Hasan. Itu sebabnya aku merasa sangat terkejut. Kautahu tentang suami si cantik Shekure, lelaki yang tidak pernah kembali dari medan perang itujika kau bertanya padaku, menurutku lakilaki itu sudah lama mati. Kautahu, suaminya yang serdadu tak pernah pulang itu memiliki seorang adik yang bersikukuh bahwa kakaknya masih hidup, namanya Hasan. Jadi, bayangkanlah betapa terpananya aku saat kulihat surat Shekure itu bukan ditujukan untuk Hasan, melainkan untuk lakilaki lain. Apa isi surat itu? Esther merasa gila karena rasa ingin tahunya, dan pada akhirnya, aku berhasil membacanya. Tapi sialnya, kita tidak saling mengenal satu sama lain, bukan? Sejujurnya, aku diliputi perasaan malu dan khawatir. Bagaimana aku bisa membacanya, kau tak akan pernah mengetahuinya. Mungkin kau akan merasa malu dan meremehkanku karena telah ikut campur urusan pribadi orang lainseolaholah kau sendiri tidak secomel tukang cukur. Aku akan menghubungkanmu dengan apa yang kuketaui dari surat itu. Inilah yang ditulis oleh si manis Shekure Hitam Effendi, kau adalah seorang tamu di rumahku, berkat hubungan dekatmu dengan ayahku. Tapi jangan kauharapkan sebuah anggukan kepala dariku. Banyak yang terjadi sejak kepergianmu. Aku dinikahkan dan mendapatkan dua orang putra yang kuat dan bersemangat. Salah satunya adalah Orhan, ia adalah bocah yang kau temui tadi, yang masuk ke dalam bengkel kerja. Saat aku menanti kepulangan suamiku selama empat tahun, ada satu hal kecil lainnya yang mengganggu pikiranku. Aku merasa kesepian, tak berdaya dan lemah, hidup bersama dua orang anak dan seorang ayah yang sedang beranjak uzur. Aku merindukan kekuatan dan perlindungan seorang lakilaki, tapi aku tidak membiarkan siapa pun memanfaatkan situasi ini. Oleh karena itu, akan menyenangkan bagiku jika kaumau berhenti mengunjungi kami. Kau pernah membuatku malu dulu, dan sesudahnya, aku harus merasakan penderitaan dalam mendapatkan kembali kehormatanku di depan ayahku! Bersama surat ini, aku juga mengembalikan gambar yang kaulukis dan kaukirimkan padaku saat kau masih seorang pemuda penuh semangat yang belum bijak. Aku melakukan hal ini agar kau tidak menambatkan harapanharapan semu atau salah membaca isyarat. Sebuah kesalahan bila kau memercayai bahwa seseorang bisa jatuh cinta hanya dengan menatap sebuah lukisan. Lebih baik kau berhenti mengunjungi rumah kami untuk selamanya. Shekure yang malang, kau bukan seorang bangsawan, bukan juga seorang pasha yang memiliki segel indah untuk menyegel suratmu! Di bagian bawah halaman surat itu,
dia menandatanganinya dengan namanya yang tampak seperti seekor burung kecil yang ketakutan. Tak ada apa-apa lagi. Aku berkata soal “segel.” Kalian mungkin heran bagaimana aku membuka dan menutup surat bersegel lilin ini. Namun kenyataannya, surat itu tidak disegel sama sekali. “Esther adalah seorang Yahudi yang tidak berpendidikan,” mungkin begitu yang dipikirkan Shekure. “Dia tidak akan mengerti isi tulisanku.” Benar, aku memang tidak bisa membaca, tetapi aku selalu bias meminta seseorang membacakannya untukku, Sementara, untuk yang tak tertulis, aku sendiri sanggup “membacanya.” Apakah kau bingung? Mari kujelaskan, agar mereka yang paling tolol di antara kalian sekalipun bisa memahaminya: Sepucuk surat tidak hanya menyampaikan pesan melalui rangkaian katakata. Sepucuk surat, seperti sebuah buku, bias dibaca dengan menciumnya, menyentuhnya, dan mengelusnya. Karenanya, orang yang pintar akan berkata, “Ayo, bacalah yang diceritakan oleh surat itu!” Adapun orangorang bodoh akan berkata, “Ayo, bacalah yang tertulis dalam surat itu!” Kini, dengarkan, apa lagi yang dikatakan oleh Shekure: 1. Meskipun aku mengirimkan surat ini secara diamdiam, dengan mengandalkan Esther yang menjadikan proses berkirim surat sebagai soal perniagaan dan kebiasaan, aku sedang menunjukkan bahwa aku tidak berniat menutup-nutupinya. 2. Benar bahwa dengan aku melipatnya seperti roti Prancis akan menunjukkan adanya rahasia dan misteri. Namun, surat ini tidak disegel dan ada sebuah lukisan besar yang dilampirkan. Maksud yang terkandung adalah, “Berdoalah, jagalah rahasia kita dengan segala upaya,” yang lebih cocok sebagai undangan pada seorang kekasih daripada sepucuk surat pengusiran. 3. Lebih jauh lagi, wangi surat ini membenarkan penafsiran ini. Wewangiannya cukup samara untuk memberi dua penafsiranapakah dia dengan sengaja membubuhkan parfum pada surat ini?meskipun cukup membangkitkan keingintahuan pembacanya apakah ini aroma minyak bunga tujuh rupa atau harum tangannya? Dan wewangian yang cukup untuk memikat seorang lelaki malang yang membacakan surat itu untukku, pasti akan menimbulkan dampak yang sama pada Hitam. 4. Akulah Esther, yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi aku tahu yang satu ini: Meskipun alur kalimat surat dan tulisan tangan itu seolaholah berkata, “Sial, aku terburuburu, aku menulis asal-asalan dan tanpa keseriusan,” surat ini berbicara dengan anggun seakanakan diterpa angin lembut yang membawa pesan kebalikannya. Bahkan frase “yang kautemui tadi” saat membicarakan Orhan, menunjukkan bahwa surat itu ditulis saat itu juga, menguliti sebuah siasat yang tak kalah jelas dibanding setiap baris yang dituliskan dengan hatihati. 5. Gambar yang dilampirkan melukiskan Shirin yang cantik sedang memandangi sosok Hiisrev yang tampan, dan tampak jatuh cinta, sebagaimana yang tersurat dalam cerita yang aku pun, seorang perempuan Yahudi, tahu benar jalannya. Semua gadis yang sulit mendapatkan cinta di Istanbul amat mengagumi kisah ini, tetapi tak pernah kutahu orang yang mengirimkan sebuah ilustrasi yang berhubungan dengan kisah itu. Selalu terjadi pada kalian orangorang berpendidikan yang beruntung. Seorang gadis buta huruf memintamu membacakan sepucuk surat yang diterimanya. Surat itu begitu mengejutkan, bersemangat, dan membuat risau, sehingga pemiliknya, meskipun malu karena kau jadi tahu persoalan pribadinya, tetap akan memintamu membacakannya sekali lagi. Kau membacakannya lagi. Pada akhirnya, kau membaca surat tersebut berulangulang, sehingga kalian berdua hafal isinya. Sebelum terlalu lama, si perempuan akan mengambil surat itu dan bertanya, “Apakah ia membuat pernyataan itu di sebelah sini?” dan “Apakah ia
menyatakannya di bagian ini?” Begitu kau menunjukkan tempat yang tepat, dia akan mencermati kalimat itu, meski tetap saja tak mampu memahami kata-katanya. Begitu dia menatap hurufhuruf yang melengkung dari katakata itu, terkadang aku akan merasa sangat tersentuh sehingga aku lupa bahwa aku sendiri tidak bisa membaca atau menulis, dan aku merasakan keinginan yang mendesak untuk memeluk gadisgadis tak berpendidikan yang tangisnya membasahi halamanhalaman surat itu. Lalu ada para pembaca surat yang sungguhsungguh terkutukberdoalah agar kau bukan salah satu di antaranya. Ketika si gadis mengambil surat itu dengan tangannya sendiri, untuk menyentuhnya lagi, ingin memandanginya tanpa memahami katakata yang berbicara dalam surat itu, binatang-binatang ini akan berkata padanya, “Apa yang akan kaulakukan? Kau tidak bias membaca, apa lagi yang ingin kaupandangi?” Beberapa di antaranya bahkan tidak akan mengembalikan surat itu, menganggap bahwa sejak itu suratsurat tersebut telah menjadi milik mereka. Kadangkadang, tugas untuk mendatangi mereka dan mengambil kembali suratsurat itu dibebankan kepadaku, Esther. Jenis perempuan baik seperti itulah aku. Jika Esther menyukaimu, dia pun akan menolongmu.[] ab 9 .AKU, SHEKURE DUH, KENAPA aku ada di sana, di jendela itu, saat Hitam lewat di atas kuda putihnya? Mengapa aku membuka daun jendela itu menuruti kata hatiku di saat itu juga, dan memandanginya begitu lama dari balik dahandahan bersalju pohon delima itu? Aku tidak tahu apakah bisa memberimu jawaban. Aku sudah mengirimkan pesan pada Esther melalui Hayriye. Tentu saja aku sangat tahu bahwa Hitam akan melewati jalan itu, Sementara itu, aku akan sendirian di kamar yang ada kamar kecilnya dan memiliki jendela yang menghadap ke pohon delima, memeriksa spreisprei di dalam peti. Tibatiba saja, dan di saat yang tepat, aku mendorong daun jendela itu dengan sekuat tenaga dan cahaya matahari pun membanjiri kamar itu: Berdiri di jendela, aku bertatap muka dengan Hitam yang, bagaikan matahari, membuatku silau. Oh, betapa indahnya. Ia tumbuh dewasa dan sudah kehilangan kekikukan masa mudanya, ia telah berubah menjadi seorang lakilaki yang menawan. Dengarkan Shekure, seru hatiku, ia tidak hanya tampan, lihatlah ke dalam matanya, ia memiliki hati seorang anak kecil, begitu murni, begitu sendirian: Menikahkah dengannya. Entah bagaimana aku mengiriminya sepucuk surat di mana aku malah menyampaikan pesan yang bertentangan dengan hatiku. Meskipun ia dua belas tahun lebih tua dariku, saat aku berusia dua belas aku lebih dewasa darinya. Waktu itu, bukannya berdiri tegak dan tinggi di depanku dengan pakaian seorang lakilaki dewasa dan menyatakan apa yang akan dikerjakannya, melompat dari satu titik atau memanjat hal lain, ia malah membenamkan wajahnya ke dalam buku atau lukisan, ia bersembunyi seolaholah segala di sekitarnya membuatnya malu. Di saat yang sama, ia juga jatuh cinta padaku. Ia membuat sebuah lukisan tentang pernyataan cintanya. Saat itu kami berdua sudah sama-sama dewasa. Ketika aku mencapai usia dua belas tahun, aku merasa bahwa Hitam tidak bisa lagi menatap mataku, seakanakan ia takut aku akan tahu bahwa ia mencintaiku. “Serahkan padaku pisau bergagang gading itu,” katanya seraya menatap ke arah pisau dan bukan ke arahku. Jika aku bertanya, misalnya, “Apakah sari buah ceri itu sesuai dengan seleramu?” Ia tidak bisa langsung mengiyakan dengan seulas senyuman atau anggukan kepala, seperti yang kami lakukan jika mulut kami dipenuhi makanan. Ia malah akan berteriak keras, “Ya” seperti yang sedang berusaha bercakap-cakap dengan seorang tuli. Ia takut memandangi wajahku. Saat itu aku adalah seorang gadis dengan kecantikan yang memesona. Lakilaki mana pun yang menangkap bayangan diriku, bahkan untuk sekali saja, dari kejauhan, atau dari celah tirai, atau pintu yang terbuka, atau bahkan dari balik berlapis lapis penutup kepala yang kukenakan, seketika mereka akan jatuh cinta padaku. Aku bukan seorang pembual. Aku menjelaskan semua ini padamu agar kau memahami kisahku dan mampu membagi kedukaanku dengan lebih baik.
Dalam kisah cinta ternama Hiisrev dan Shirin, ada satu bagian yang aku dan Hitam diskusikan panjang lebar. Sahabat Hiisrev, Shapur, berniat menjodohkan Hiisrev dan Shirin agar mereka saling jatuh cinta. Suatu hari Shirin sedang pergi berjalan-jalan ke pinggiran kota bersama beberapa perempuan kerabat istana ketika dia melihat sebuah lukisan diri Hiisrev yang digantungkan Shapur secara diamdiam di dahan salah satu pohon di tempat mereka berhenti untuk beristirahat. Hanya dengan memandang lukisan diri Hiisrev yang tampan berada di sebuah taman yang indah itu saja, Shirin langsung tertancap panah asmara. Banyak sekali lukisan yang menggambarkan peristiwa iniatau “adegan” ini, sebagaimana yang disebut para ilustratoryang menunjukkan tatapan kagum Shirin dan sorot matanya yang bergelora saat menatap gambar Hiisrev. Ketika Hitam sedang bekerja dengan ayahku, ia melihat lukisan ini beberapa kali dan sudah dua kali membuat tiruannya dengan amat mirip, hanya dengan melihat lukisan aslinya. Setelah ia jatuh cinta padaku, ia membuat sebuah salinan untuk dirinya sendiri. Namun kali ini ia melukiskan dirinya sendiri dan aku, Hitam dan Shekure, untuk mengganti Hiisrev dan Shirin. Jika bukan karena tulisan di bawah lukisan itu, aku tidak bisa mengetahui siapa sepasang lelaki dan perempuan yang dilukiskan dalam gambar itu karena kadangkadang, saat kami bercandacanda, ia akan melukiskan kami dalam sikap tubuh dan warna yang sama: aku berwarna biru, ia berwarna merah. Dan jika ini tidak cukup sebagai petunjuk, ia juga akan menuliskan nama kami di bawah gambarnya. Ia meninggalkan lukisan itu di tempat aku bisa menemukannya, lalu ia akan pergi. Ia mengawasiku dari jauh, melihat bagaimana reaksiku terhadap lukisannya itu. Aku juga sangat sadar bahwa aku tidak akan sanggup mencintainya seperti Shirin maka aku pun berpurapura tak peduli. Pada suatu malam di musim panas ketika Hitam memberikan padaku lukisannya itu, saat kami mendinginkan diri dengan sari buah ceri masam dingin ditambah es batu yang kabarnya dibawa jauh-jauh dari potongan salju yang menutupi Gunung Ulu, aku memberi tahu ayahku bahwa Hitam telah membuat sebuah pernyataan cinta padaku, Saat itu Hitam baru saja lulus dari sekolah agama. Ia mengajar di lingkungan terpencil jauh di sana, dan lebih karena keinginan ayahku daripada keinginannya sendiri, Hitam sedang berusaha mendapatkan dukungan dari Nairn Pasha yang berkuasa dan berpengaruh. Namun, menurut ayahku, Hitam belum menunjukkan kecerdasannya. Ayahku, yang telah bersusah payah untuk mendapatkan sebuah tempat di lingkaran Nairn Pasha, setidaknya dimulai dari pekerjaan sebagai seorang pegawai, mengeluhkan betapa Hitam tidak banyak berusaha demi kemajuan dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut ayahku, Hitam telah bersikap sangat abai. Dan malam itu juga, mengenai Hitam dan aku, ayahku membuat pernyataan, “Menurutku, ia telah menetapkan pandangannya terlalu tinggi, keponakanku yang manja ini,” dan tanpa menghormati kehadiran ibuku, ia menambahkan, “ia lebih cerdas dari yang kita duga.” Aku mengingat dengan pilu apa yang dilakukan ayahku keesokan harinya. Bagaimana aku harus menjaga jarak dari Hitam dan bagaimana ia berhenti mengunjungi rumah kami. Namun, aku tidak akan menjabarkan semua itu, karena aku cemas ini akan membuatmu tidak menyukaiku dan ayahku. Aku berani bersumpah, bahwa kami tidak memiliki pilihan lain. Kautahu, dalam situasi seperti itu, orangorang berakal sehat tibatiba saja bisa merasakan bahwa cinta tanpa harapan adalah ketidakberdayaan, dan yang memahami batasan-batasan dunia yang tidak logis dari hati dan perasaan akan segera mengakhirinya lewat pernyataan santun, “Menurut mereka, kita bukan pasangan yang serasi. Memang begitulah adanya.” Tetapi, aku akan memberitahumu apa yang dikatakan ibuku berulangulang, “Setidaktidaknya, jangan kaubuat anak itu patah hati.” Hitam, yang oleh ibuku dianggap sebagai seorang “anak”, saat itu berusia dua puluh empat, dan aku berumur setengah dari usianya. Karena ayahku menganggap pernyataan cinta Hitam sebagai tindakan kurang ajar, ia tidak akan menganggap keinginan ibuku sebagai lelucon. Meskipun kami belum betul-betul melupakannya saat kami menerima kabar bahwa ia telah meninggalkan Istanbul, kami membiarkannya menyelinap pergi dari kasih sayang kami sepenuhnya. Karena kami tidak juga menerima kabar tentangnya dari kota mana pun selama bertahuntahun, aku beranggapan cukup wajar bagiku menyimpan
lukisan yang dibuat dan ditunjukkannya padaku sebagai kenang-kenangan dari masa kanakkanak dan persahabatan kami. Untuk mencegah ayahku dan suamiku yang terdahulu menemukan lukisan itu, lalu menjadi kesal karena cemburu, aku dengan pandai telah menutupi nama “Shekure” dan “Hitam” di bawah gambar itu, dengan membuat dua nama itu terlihat hanya apabila seseorang menyapu tinta Hasan Pasha milik ayahku ke atasnya, di mana pada suatu kejadian tak disengaja beberapa waktu kemudian, hurufhuruf itu disamarkan menjadi bebungaan. Semenjak aku mengembalikan gambar itu padanya hari ini, mungkin di antara kalian ingin mengetahui, betapa aku yang menunjukkan diriku ke hadapannya di jendela ini, merasa malu dan memikirkan prasangkaprasangka kalian. Setelah memperlihatkan wajahku kepadanya, selama beberapa saat aku tetap di depan jendela, dihujani semburat merah matahari senja, dan aku terpukau menatap taman yang bermandikan cahaya Jingga kemerahan, hingga aku merasakan dinginnya hawa malam yang menusuk. Tak ada angin seembus pun. Aku tak peduli orangorang yang melintas di jalanan akan bergunjing karena melihatku di jendela yang terbuka. Salah satu putri Ziver Pasha, Mesrure, yang selalu tertawa dan senang mengatakan hal-hal mengejutkan di saat-saat terburuk ketika kami bermainmain di pemandian umum dengan ceria setiap minggu, pernah berkata bahwa orang tidak pernah tahu apa yang diinginkan dirinya sendiri. Ini yang kutahu: Terkadang aku mengatakan sesuatu dan seketika menyadari bahwa yang kukatakan itu pikiranku sendiri, tetapi begitu aku sampai pada kesadaran itu, aku menjadi yakin bahwa justru kebalikan dari pemikiranku itulah yang sesungguhnya benar. Aku merasa menyesal ketika Elok Effendi yang malang, salah satu dari para ilustrator yang sering diundang ayahku ke rumah kamidan aku tak akan berpurapura bahwa aku tidak memata-matai merekahilang, seperti suamiku yang malang. “Elok” adalah yang paling buruk rupa dan yang paling lemah jiwanya di antara mereka. Aku menutup daun jendela, meninggalkan ruangan, dan menuruni tangga menuju dapur. “Ibu, Shevket tidak mendengar kata Ibu,” ujar Orhan. “Ketika Hitam sedang mengambil kudanya dari istal, Shevket meninggalkan dapur dan memata-matainya dari lubang.” “Memangnya kenapa!” seru Shevket, sambil mengayun-ayunkan tangannya di udara. “Ibu juga memata-matinya dari lubang kamar kecil.” “Hayriye,” sahutku. “Gorenglah beberapa potong roti dengan sedikit mentega, dan berikan pada mereka dengan selai kacang almond dan gula.” Orhan melompat naik turun dengan lincah meskipun Shevket terdiam. Begitu aku berjalan naik kembali ke tangga, mereka berdua menyergapku, berteriak-teriak, dan mendorong dorongku penuh semangat. “Tenanglah, tenang,” seruku sambil tertawa. “Kalian anakanak bengal.” Aku menepuk-nepuk punggung mereka yang lembut. Betapa indahnya berada di rumah bersama anakanak saat hari menjelang malam! Ayahku diamdiam telah membenamkan dirinya pada sebuah buku. “Tamumu sudah pergi,” ujarku. “Kuharap ia tidak terlalu merepotkanmu.” “Justru sebaliknya,” sahutnya. “Ia telah menghiburku. Ia selalu menghormati Enishtenya.” “Baguslah.” “Tetapi sekarang ia penuh pertimbangan dan perhitungan.” Ia berkata bahwa lebih mudah mengamati reaksiku daripada mendekatkan bahan
pembicaraan dalam sebuah sikap yang meringankan Hitam, Dalam kesempatan lainnya, aku akan menjawabnya dengan ketus. Kali ini, aku hanya memikirkan Hitam menyusuri jalan di atas kuda putihnya, dan aku pun gemetar. Tidak jelas bagaimana terjadinya, tetapi beberapa lama kemudian di kamar yang ada kamar kecilnya, Orhan dan aku saling berpelukan erat. Shevket bergabung dengan kami. Terjadi sebuah pertengkaran kecil yang singkat di antara mereka. Begitu mereka saling memiting, kami semua bergulingan ke atas lantai. Aku menciumi leher belakang mereka, dan juga rambut mereka. Aku merengkuh dan menekan kepala mereka ke dadaku, dan merasakan berat tubuh mereka di payudaraku. “Aah …” seruku. “Rambut kalian bau. Aku akan mengirimkan kalian ke pemandian besok, bersama Hayriye.” “Aku tidak mau pergi ke pemandian bersama Hayriye lagi,” protes Shevket. “Mengapa? Apakah kau terlalu besar untuk didampingi Hayriye?” tanyaku. “Ibu, mengapa kau mengenakan baju ungumu yang terbaik?” balas Shevket. Aku pergi ke kamar lain dan mengganti baju unguku. Aku memakai baju hijau pupus yang biasa kukenakan. Saat aku berganti pakaian, aku merasa menggigil dan gemetar, tetapi aku bisa merasakan bahwa kulitku terbakar, tubuhku bergetar dan hidup. Aku menggosokkan seulas pulas merah muda ke pipiku yang mungkin kotor ketika aku bergulingan dengan anakanak, tetapi aku menghapusnya dengan menjilat telapak tanganku dan menggosokkannya ke pipiku. Tahukah kau bahwa kerabatku, para perempuan yang kutemui di pemandian, dan semua orang yang melihatku, bersumpah bahwa aku lebih tampak seperti seorang perawan berumur enam belas tahun daripada ibu dua anak berusia dua puluh empat tahun yang sudah melewati masa puncaknya? Percayai mereka, benarbenar percayalah pada mereka, atau aku tidak akan memberitahumu apa-apa lagi. Jangan terkejut pada kenyataan bahwa aku berbicara padamu. Selama bertahuntahun aku menelusuri lukisanlukisan di buku ayahku, mencari-cari gambar para perempuan dan kecantikan-kecantikan yang memukau. Mereka sungguhsungguh ada dan selalu tampak malumalu, tersipu, hanya saling menatap seolaholah sedang saling meminta maaf. Mereka tidak pernah tampak mengangkat kepalanya, berdiri tegak, dan berhadapan dengan orang orang di dunia ini, seperti yang dilakukan para serdadu dan para sultan. Hanya dalam sebuah buku murahan yang diberi ilustrasi secara serampangan oleh senimanseniman yang ceroboh, ada beberapa pasang mata perempuan yang terlatih untuk tidak memandangi tanah yang mereka pijak atau sesuatu yang lain dalam ilustrasi tersebutoh, aku tak tahu, kita sebut saja seorang kekasih atau sebuah cangkirmelainkan langsung menatap pembacanya. Aku sudah lama bertanyatanya tentang pembaca buku seperti itu. Aku gemetar karena merasa senang, saat kupikirkan bukubuku berusia dua ratus tahun, berasal dari zaman Timurleng, jilid-jilid buku yang oleh orangorang Kristen yang haus akan hal-hal baru itu dengan senang hati akan ditukar dengan kepingan-kepingan emas dan yang mereka bawa sepanjang jalan pulang ke negerinegeri mereka sendiri: Barangkali suatu hari seseorang dari negeri yang jauh akan mendengarkan kisahku. Bukankah ini kebohongan di balik keinginan untuk dicantumkan di dalam halamanhalaman sebuah buku? Bukankah demi kesenangan seperti inilah para sultan dan para pemimpin Muslim menyiapkan berkantung kantung emas? Agar sejarah mereka dituliskan? Ketika aku merasakan kegairahan semacam ini, seperti perempuanperempuan cantik dengan sebelah mata menjalani kehidupan di dalam buku, dan sebelah mata lainnya di dalam kehidupan di luar buku, aku juga, merindu untuk bisa berbicara dengan kalian yang mengamatiku dari waktu dan tempat yan jauh. Aku adalah seorang perempuan yang menarik dan pintar, dan amat menyenangkan bagiku menyadari bahwa diriku diamati. Jika aku terkadang sedang
kebetulan menceritakan satu dua kebohongan, maka kalian tidak akan menyimpulkan hal yang salah tentang aku. Mungkin kauperhatikan betapa ayahku memujaku, Ia memiliki tiga orang putra sebelum aku, tetapi Tuhan mengambil mereka satu persatu, dan menyisakan aku, putrinya. Ayahku amat memanjakanku, meskipun aku menikahi seorang lakilaki yang bukan pilihannya. Aku memilih seorang serdadu kavaleri yang sebelumnya kuperhatikan dan kudambakan. Jika terserah pada ayahku, maka suamiku tak lain adalah seorang ulama besar yang juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lukisan dan seni, memiliki kekuasaan dan kewenangan, dan kaya raya seperti Karunlelaki terkaya yang tertulis di dalam Alquran. Jenis lakilaki yang bahkan tidak akan ditemui dalam bukubuku karya ayahku, sehingga aku tidak akan pernah menjadi lapuk karena berdiam di rumah selamanya. Ketampanan suamiku sudah menjadi legenda, dan aku mengamininya. Ia menemukan kesempatan untuk muncul di hadapanku saat aku baru pulang dari pemandian umum. Matanya menyala seterang kobaran api, aku langsung jatuh cinta saat itu juga. Ia berambut gelap, berkulit terang, seorang lakilaki bermata hijau dengan tangan yang kuat, tetapi di hatinya ia adalah seorang lelaki polos dan pendiam seperti seorang bocah yang mengantuk. Namun demikian, bagiku, setidak-tidaknya ia juga bernafsu melihat darah, mungkin karena ia menghabiskan seluruh kekuatannya dengan membantai orang dalam peperangan dan mengumpulkan barangbarang jarahan, meskipun di rumah ia selembut dan setenang seorang perempuan terhormat. Lakilaki iniyang oleh ayahku dianggap sebagai serdadu miskin, dan karena itu tidak disetujuinyakemudian diizinkan untuk menikahiku, karena aku mengancam akan bunuh diri jika tidak direstui. Setelah mereka memberi suamiku tanah sebagai anggota militer senilai sepuluh ribu koin perak, sebuah hadiah atas kepatriotannya di medan peperangan di mana ia menunjukkan aksi terhebatnya dalam hal keberanian, semua orang benarbenar merasa iri pada kami. Empat tahun yang lalu, saat ia gagal kembali bersama pasukan yang tersisa dari perang melawan kaum Safawiyah, awalnya aku tidak terlalu mencemaskan hal itu, karena dengan banyaknya pengalaman perang yang dijalaninya, ia telah semakin mahir dalam menciptakan kesempatan-kesempatan untuk menyelamatkan hidupnya sendiri, selain juga membawa pulang barangbarang bagus, memenangkan tanah jatah yang lebih luas, dan dalam menambah jumlah tentara bawahannya. Ada beberapa saksi mata yang berkata bahwa ia melarikan diri ke pegunungan dengan anakanak buahnya, setelah terpisah dari pasukan lainnya. Pada awalnya, aku mencurigai suatu taktik tertentu, dan aku berharap ia akan kembali. Namun, setelah dua tahun, perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan ketiadaannya. Ketika aku menyadari betapa banyak perempuan kesepian seperti aku di Istanbul yang ditinggalkan suaminya yang hilang di medan perang, aku pun pasrah, menyerah pada takdirku. Kala malam, di atas ranjang kami, aku akan memeluk anakanak, melamun,