EFE EKTIVIT TAS PEM MANASAN N GELOM MBANG MIKRO TERHA ADAP INA AKTIVASI Bacillu us cereus UNTUK MENCA APAI FOOD D SAFET TY OBJEC CTIVE PA ADA COO OK-CHIL LL FOOD DS
MEL LINDA FIITRIANA A F2510900211
SEKOLA AH PASC CASARJA ANA IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 20144
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Pemanasan Gelombang Mikro terhadap Inaktivasi Bacillus cereus untuk Mencapai Food Safety Objective pada Cook-chill Foods adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Melinda Fitriana NIM F251090211
RINGKASAN MELINDA FITRIANA. F251090211. Efektivitas Pemanasan Gelombang Mikro terhadap Inaktivasi Bacillus cereus untuk Mencapai Food Safety Objective pada Cook-chill Foods. Di bawah bimbingan SUGIYONO dan HARSI D. KUSUMANINGRUM. Cook-chill foods adalah pangan yang sebelumnya sudah dimasak dan kemudian didinginkan kembali selama proses penyimpanan dan selanjutnya sebelum disantap kembali, biasanya dipanaskan terlebih dahulu dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas organoleptik dan memusnahkan mikroorganisme. Salah satu masalah yang patut dipertimbangkan pada cook-chill foods dalam kemasan yang berbasis sereal seperti nasi atau pasta adalah produk tersebut sangat rentan terkontaminasi spora dan sel vegetatif patogen, khususnya Bacillus cereus. Permasalahan selanjutnya, pada kemasan cook-chill food tersebut hanya tersedia petunjuk untuk memanaskan makanan dengan oven microwave yang digunakan di retail yang mempunyai daya 1800 watt, sedangkan daya oven microwave yang biasa dipakai di rumah tangga biasanya lebih rendah (<1000 watt). Oleh sebab itu ada kemungkinan proses pemanasan kembali tidak mencukupi karena kurangnya standarisasi cara pemanasan makanan dengan oven microwave pada level rumah tangga. Penelitian terdiri dari lima tahap, yaitu; (1) penelitian untuk mengevaluasi cemaran total mikroba (standard plate count) dan sel vegetatif dan spora B. cereus pada cook-chill foodsyang diuji (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise), (2) challenge test di mana cook-chill foods sengaja diinokulasi B. cereus untuk mengamati pengaruh penyimpanan pada suhu retail (15oC), (3) melihat pengaruh pemanasan dengan oven microwave (850 watt dan 410 watt) terhadap inaktivasi B. cereus, (4) menetapkan ketercapaian food safety objective (FSO) dari cook-chill foods, dan (5) mempelajari pengaruh pemanasan dengan oven microwave terhadap kebocoran protein dan asam nukleat dari sel vegetatif dan spora B. cereus. Hasil dari penelitian ini adalah penggunaan oven microwave 850 watt masih dapat mencapai FSO apabila spaghetti bolognaise dipanaskan selama 45 detik dan nasi ayam lada hitam dipanaskan selama 2 menit. Akan tetapi FSO tidak tercapai apabila cook-chill foods yang dijual di hari terakhir penyimpanan tersebut dipanaskan pada waktu yang sama dengan oven microwave 410 watt. Hasil lainnya adalah pemanasan dengan oven microwave menyebabkan kebocoran asam nukleat dan protein pada sel vegetatif dan spora B. cereus yang lebih besar daripada dengan pemanasan konvesional (air mendidih). Kata kunci: Bacillus cereus, cook-chill foods, microwave, pasta, nasi, food safety objective
ii
SUMMARY MELINDA FITRIANA. Effectiveness of Microwave Oven against B. cereus to Reach Food Safety Objective in Cook-chill Foods. Supervised by SUGIYONO and HARSI DWI KUSUMANINGRUM. Cook-chill foods are meal that being cooked and then chilled quickly until further consumption. Usually before being consumed, the foods are reheated by the consumers to improve the organoleptic property and also to destroy bacteria. One of the things that need to be considered is that cook-chill foods that are originated from grains like rice or wheat are vulnerable to be contaminated by pathogen, especially Bacillus cereus. Another problem is that on the packaging of specific cook-chill food that being investigated, there is only instruction manual on how to reheat the food with 1800 W microwave oven. Microwave oven that is being used in household level is usually lower than 1000 W, so there is a possibility under-cooking may happen because there is no standardization on how to heat food with microwave on household level. The research was conducted in five steps, which were; (1) investigation of standard plate count and B. cereus count on two cook-chill foods (spaghetti bolognaise and black pepper chicken rice), (2) challenge test on those cook-chill foods to evaluate the growth of B. cereus on cook-chill food on 15oC, (3) challenge test to evaluate inactivation of vegetative cells and spores of B. cereus by microwave oven (850 watt and 410 watt), (4) to evaluate if FSO of those cook-chill foods could be achieved based on data gathered in the previous results, and (5) to study the effect of microwave oven and moist heat against leakages of nucleic acids and proteins of B. cereus. The results of this research were that microwave oven with 850 watt power could still reach food safety objective (FSO) when cook-chill foods were being reheated for the recommended time on the packagings (45 seconds for spaghetti bolognaise and 2 minutes for black pepper chicken rice), however when using 410 watt microwave oven, FSO could not be achieved. The mechanism of which why microwave oven could destroy vegetative cell and spores of B. cereus was also investigated. The result was that heat treatment using microwave oven differed when compared to moist heat since heat treatment using microwave oven caused leakages of nucleic acid and protein content of the vegetative cells and spores of B. cereusin much larger effect than moist heat. Keywords: cook-chill foods, Bacillus cereus, microwave, rice, spaghetti, food safety objective
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
EFEKTIVITAS PEMANASAN GELOMBANG MIKRO TERHADAP INAKTIVASI Bacillus cereus UNTUK MENCAPAI FOOD SAFETY OBJECTIVE PADA COOK-CHILL FOODS
MELINDA FITRIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi untuk Ujian Tesis: Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP., DEA
vi
Judul Tesis Nama NIM
: Efektivitas Pemanasan Gelombang Mikro terhadap Inaktivasi Bacillus cereus untuk Mencapai Food Safety Objective pada Cook-chill Foods : Melinda Fitriana : F251090211
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc Ketua
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum Anggota Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Januari 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur yang sebesar-besarnya pertama-tama saya ucapkan kepada Allah swt.yang hanya dengan karunia, berkah dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Selain itu saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sugiyono M. AppSc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum sebagai anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu untuk berdiskusi dan memberikan arahan, petunjuk, dan saran sehingga tesis ini dapat disempurnakan.Terima kasih juga kepada orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Mbak Ari, Mas Yerris, Teh Yayam, Mas Taufik, Bu Antin, dan Pak Rozakatas segala bantuannya di laboratorium. Tak lupa saya ingin ucapkan terima kasih kepada rekanrekan di laboratorium; Lita, Arum, Kak Fenny, Bu Aswita, Bu Tita, dan Fitri atas dukungan dan kebersamaannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2014 Melinda Fitriana
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
Cook-chill Foods
4
Bacillus cereus
6
Pemanasan dengan Oven Microwave
9
Food Safety Objective
9
3 METODE PENELITIAN
10
Bahan
11
Alat
11
Metode Pengamatan
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
20
Cemaran B. cereus pada Cook-chill Foods
20
Pertumbuhan B. cereus pada Cook-chill Foods
23
Inaktivasi Sel Vegetatif dan Spora B. cereus dengan Oven Microwave 23 Kebocoran Asam nukleat 26 Food Safety Objective pada Cook-chill Foods 5 SIMPULAN DAN SARAN
29 31
Simpulan
31
Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Karakteristik dua tipe penyakit yang disebabkan oleh B. cereus Contoh beberapa kasus keracunan karena B. cereus pada nasi dan pasta Hasil analisis cemaran (angka lempeng total dan B. cereus) pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam Pertumbuhan sel vegetatif dan spora B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang disimpan pada suhu 15 oC Performance objective (PO) dan evaluasi Food safety objective (FSO) pada spaghetti bolognaise dengan skenario yang berbeda Performance objective (PO) dan evaluasi Food safety objective (FSO) pada nasi ayam lada hitam dengan skenario yang berbeda
8 8 20 23 30 30
DAFTAR GAMBAR Contoh system cook-chill foods pada unit usaha di bidang pangan Cook-chill foods yang digunakan sebagai sampel penelitian; (a) nasi ayam lada hitam, (b) spaghetti bolognaise 3 Diagram alir proses penelitian 4 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt 5 Perubahan nilai log CFU/g spora B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt 6 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 410 watt 7 Kebocoran asam nukleat sel vegetatif B. cereus pada A 260 yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih 8 Kebocoran asam nukleat sel vegetatif B. cereus pada A 280 yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih 9 Kebocoran asam nukleat spora B. cereus pada A260 10 Kebocoran asam nukleat spora B. cereus pada A280 11 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif suspensi B. cereus yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt dan air mendidih 12 Perubahan nilai log CFU/g spora suspensi B. cereus yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt dan air mendidih 1 2
5 11 12 24 24 24 26 27 27 27 28 28
x
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Perbedaan karakteristik dari grup Bacillus cereus Petunjuk untuk menetapkan kualitas mikrobiologis pada makanan siap santap ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap angka lempeng total pada cook-chill foods yang dijual di retail ANOVA terhadap cemaran B. cereus pada cook-chill foods yang dijual di retail
37 38 39 40
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Dalam beberapa waktu terakhir ini, produk cook-chill foods dalam kemasan semakin mudah ditemukan di toko retail di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta. Hal ini merefleksikan keinginan konsumen akan produk pangan yang siap untuk dihangatkan kembali sehingga dapat menghemat waktu preparasi. Hal ini disebabkan karena semakin baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini yang diikuti oleh perubahan gaya hidup. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2012) ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 6% selama pada tahun 2010 dan 2011 dan mpertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun 2012 diperkirakan sebesar 6,3%. Cook-chill foods adalah pangan yang sebelumnya sudah dimasak dan kemudian didinginkan kembali selama proses penyimpanan dan selanjutnya sebelum disantap kembali, biasanya dipanaskan terlebih dahulu (Sandy & Wilkinson, 1988) dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas organoleptik dan memusnahkan mikroorganisme. Cook-chill foods adalah salah satu metode yang sering diapikasikan pada industri katering. Fenomena terakhir yang ditemukan adalah di minimarket tertentu dijual juga cook-chill foods dalam bentuk hidangan komplit (all-in-one meal) dengan menu utama karbohidrat dari nasi, mi dan pasta, contohnya nasi goreng, mi goreng, spaghetti bolognaise, dan sebagainya yang dikemas dalam kemasan. Dalam salah satu prakteknya, cook-chill foods yang dijual di minimarket tertentu tersebut disimpan dalam wadah kontainer plastik dan dipanaskan kembali dengan oven microwave. Konsumen yang ingin langsung mengkonsumsi makanan tersebut di tempat bisa menghangatkan masakannya sendiri atau meminta bantuan petugas kasir dengan oven microwave yang disediakan di retail tersebut. Atau bisa juga konsumen ingin membawa pulang dan kemudian menghangatkannya sendiri di rumah dengan oven microwave atau pemanas lainnya. Penggunaan oven microwave semakin luas penggunaannya di kalangan rumah tangga di Indonesia karena semakin meningkatnya pendapatan orang Indonesia. Selama 2008 hingga Maret 2009 permintaan oven microwave di Indonesia mencapai 45.445 unit (Tempo, 2009). Kontribusi penjualan terbesar pada produk kategori peralatan rumah tangga kecil (small home appliances) di Indonesia adalah light wave oven seperti oven microwave dan diperkirakan pada tahun 2012 permintaan akan oven microwave akan terus tumbuh (Pramesti, 2012). Salah satu masalah yang patut dipertimbangkan pada cook-chill foods dalam kemasan yang berbasis sereal dari biji-bijian seperti nasi atau pasta adalah produk tersebut sangat rentan terkontaminasi spora dan sel vegetatif patogen, khususnya Bacillus cereus. B. cereus terdistribusi secara luas di lingkungan dan sering mencemari tumbuhan sereal seperti padi dan gandum (Doyle et al., 2001), oleh sebab itu keberadaan B. cereus pada produk cook-chill foods yang mengandung nasi atau pasta perlu diwaspadai. Dan pada kenyataannya B. cereus memang sering dilaporkan mengkontaminasi produk nasi atau pasta (Rosenquist et al.,
2
2005; Lee, 2009; Ankolenkar et al., 2009; dan Wogu et al., 2011). Lee (2009) melaporkan bahwa ada kontaminasi B. cereus dalam jumlah tinggi dari 76% sampel pangan siap saji berbasis sereal yang diuji di Malaysia. B. cereus adalah bakteri patogen penghasil spora yang bersifat fakultatif anaerob (Prescott et al., 2001). Proses produksinya cook-chill foods yang dijual di Indonesia tidak dikemas vakum sehingga masih ada cukup oksigen yang tersedia, sehingga keberadaan dan pertumbuhan B. cereus perlu diwaspadai. Proses pemasakan dan proses pemanasan kembali pada umumnya memang dapat membunuh sel vegetatif B. cereus, tetapi tidak memusnahkan sporanya (Little, 2002). Pada saat kondisi bisa mendukung pertumbuhan spora, spora bisa bergerminasi dan mikroorganisme berproliferasi.Waktu dan temperatur yang dibutuhkan untuk bisa memusnahkan semua spora bisa berkontribusi negatif bagi produk pangan dari segi organoleptiknya (Celandroni, 2004). B. cereus bisa menyebabkan dua jenis keracunan; yaitu tipe diare dan tipe emetik (Doyle et al., 2001).Penyakit yang disebabkan oleh B. cereus biasanya jarang dilaporkan, karena biasanya penyakitnya relatif ringan dan berlangsung singkat (Doyle et al., 2001). Akan tetapi dalam beberapa kasus, sudah ada korban jiwa karena keracunan pangan yang diakibatkan oleh B. cereus di mana makanan yang terimplikasi adalah hidangan pasta (Mahler et al., 1997 dan Dierick et al., 2005). Di Indonesia sendiri 30% kasus keracunan makanan disebabkan oleh makanan siap santap yang dihasilkan oleh jasa katering, dan karena biasanya tidak ada data investigasi yang lengkap, dapat diduga keracunan berasal dari mikroba patogen, kemungkinan besar disebabkan mikroba penghasil spora seperti Bacillus cereus dan Clostridium perfringens atau toksin dari Staphylococcus aureus karena makanan yang disajikan sudah dimasak terlebih dahulu atau (Dewanti-Hariyadi, 2005). Tidak seperti pangan yang dibekukan (<-18oC), produk siap masak yang didinginkan dalam refrigerator lebih rentan terhadap temperatur yang tidak sesuai (>10oC) selama masa penyimpanannya, yang memberikan kesempatan patogen untuk tumbuh dalam jumlah cukup tinggi (Novak & Juneja, 2002). Walaupun ada risiko mikrobiologis tersebut, produk cook-chill foods lebih diinginkan oleh konsumen karena produk tersebut mempunyai kualitas kesegaran tertentu dan mempunyai kesan baik sebagai ‘makanan rumahan’ bila dibandingkan dengan makanan beku. Walaupun pada masa penyimpanannya cook-chill foods ini disimpan di dalam refrigerator, akan tetapi masih ada kemungkinan B. cereus bisa tumbuh. Dilaporkan bahwa jumlah strain B. cereus yang semakin tahan pada suhu refrigerator (7oC) (psychrotolerant) semakin meningkat (Giffel et al, 1996).Hal tersebut menyebabkan pertanyaan apakah cook-chill foods yang disimpan di refrigerator aman dari cemaran B. cereus. Apalagi dalam praktek penyimpanannya di retail di Jakarta, makanan dingin siap masak tersebut disimpan pada refrigerator (14oC) yang terbuka dan terkena temperatur ruang, sehingga temperatur penyimpanan selama penjualan kemungkinan menjadi sekitar 18oC, jauh di atas temperatur yang direkomendasikan untuk penyimpanan yaitu pada <4oC (Cronin & Wilkinson, 2009). Food safety Objective (FSO) adalah pernyataan konsentrasi atau frekuensi maksimum dari bahaya (mikroorganisme) yang masih bisa diterima untuk bisa melindungi kesehatan masyarakat. Setelah FSO diset dan ditentukan, performance criteria perlu dijalankan agar FSO bisa diraih. Untuk menetapkan performance
3
criteria perlu diketahui lebih dahulu level inisial dari bahaya (hazard) dan juga perubahan bahaya tersebut selama proses produksi, penyimpanan, preparasi, dan penggunaan (Stewart et al., 2002). Oleh sebab itu dalam penelitian ini, dilakukan evaluasi untuk mengetahui cemaran B. cereus dan juga uji tantangan untuk mengetahui pertumbuhan B. cereus selama masa penyimpanan dan juga pengaruh inaktivasi oleh oven microwave untuk mengurangi bahaya B. cereus pada makanan dingin siap saji sehingga bisa didapatkan data kuantitatif untuk mengetahui dan menetapkan performance criteria. Di Indonesia sudah ada laporan bahwa nasi yang sudah dimasak bisa tercemar B. cereus dalam jumlah cukup tinggi (Primawisdawati, 2010). Akan tetapi sampai saat ini belum ada laporan yang menginvestigasi level kontaminasi sel vegetatif dan spora B. cereus pada cook-chill foods berbasis sereal yang dijual akhir-akhir ini di minimarket di kota besar seperti Jakarta di Indonesia. Potensi bahaya terhadap keamanan pangan yang bisa terjadi pada makanan siap masak di antaranya adalah proses produksi yang tidak higienis, kemungkinan temperatur penyimpanan yang tidak sesuai selama proses produksi, transportasi, pada saat dijual di retail, serta pada saat setelah dibeli oleh konsumen, kemungkinan adanya tekanan ekonomi dan logistik untuk memperpanjang masa penjualan, serta kemungkinan temperatur yang tidak mencukupi pada saat proses pemanasan kembali untuk memusnahkan spora, sel vegetatif ataupun toksin emetik. Selanjutnya penting juga untuk diteliti efek pemanasan oleh oven microwave terhadap sel vegetatif dan spora dari B. cereus pada makanan siap masak ini.Pemanasan dengan oven microwave adalah penggunaan gelombang elektromagnetik pada frekuensi tertentu untuk menciptakan panas pada material (Roussy & Pearce, 1995) di mana panas yang tercipta disebabkan karena adanya gesekan partikel yang cepat (Fellows, 2000). Salah satu masalah yang bisa ditemui dalam pemanasan oleh oven microwave kemungkinan panas yang tercipta tidak merata (Manickavasagan et al., 2009) sehingga ada kemungkinan spora B. cereus bisa bertahan.Selain itu, pada kemasan cook-chill foods tersebut hanya tersedia petunjuk untuk memanaskan makanan dengan oven microwave yang digunakan di retail yang mempunyai daya 1800 watt, sedangkan oven microwave yang biasa dipakai di rumah tangga Indonesia adalah 700 watt atau bahkan lebih rendah yaitu 350 watt. Oleh sebab itu kemungkinan proses pemanasan kembali tidak mencukupi karena kurangnya standarisasi cara pemanasan makanan dengan oven microwave pada level rumah tangga. Selain itu sampai sekarang mekanisme cara kerja oven microwave dalam memusnahkan sel vegetatif dan spora masih dalam perdebatan dan belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa oven microwave menghancurkan organisme dengan mekanisme yang sama seperti pemanasan biasa (Vela & Wu, 1979; Fujikawa et al., 1992; dan Welt et al., 1994) tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ada kemungkinan efek selain pemanasan, yaitu efek dari gelombang mikro (microwave) itu sendiri (Dreyfuss & Chipley, 1980; Celandroni et al., 2004; Kim et al., 2011; dan Shamis et al., 2011). Oleh sebab itu dalam penelitian ini juga akan diteliti pengaruh pemanasan oven microwave versus pemanasan konvensional terhadap kebocoran membran spora B. cereus, karena sampai saat ini dari genus Bacillus, baru spora B. licheneformis dan B. subtilis yang diinvestigasi.
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi cemaran sel vegetatif dan spora B. cereus pada cook-chill foods (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) yang dijual di minimarket 2. Mempelajari pertumbuhan sel vegetatif dan spora B. cereus selama pada cookchill foods (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) selama masa simpan pada suhu retail 3. Mempelajari pengaruh pemanasan ulang dengan oven microwave terhadap inaktivasi sel vegetatif dan spora B. cereus pada cook-chill foods (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) 4. Menentukan ketercapaian Food Safety Objetcive (FSO) pada produk cook-chill foods (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) dengan proses pemanasan ulang menggunakan oven microwave terhadap B. cereus
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai tingkat pencemaran total mikroba dan B. cereus pada cook-chill foods, khususnya pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang dijual di minimarket sehingga dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang tingkat keamanan produk tersebut untuk dikonsumsi. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapatmelakukan tindakan pencegahan kontaminasi Bacillus spp. pada cook-chill foods, khususnya spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam sehingga aman untuk dikonsumsi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Cook-chill foods
Definisi dan Proses Produksi Byrne (1986) mendefinisikan cook-chill foods sebagai produk makanan dalam bentuk lauk atau makanan lengkap yang diproduksi dengan cara dimasak terlebih dahulu (cooked) dan kemudian didinginkan (chilled). Creed (2001) mendefinisikan cook-chill foods sebagai makanan yang sebelumnya disiapkan, dimasak, didinginkan, dan kemudian disimpan di dalam refrigerator dan kemudian dipanaskan kembali sebelum disajikan. Prinsip dasar dari cook-chill foodsadalah suatu sistem katering komplit yang didasari oleh preparasi makanan dalam jumlah
5
Suplai Bahan Baku Pengantaran dan Penyimpanan Bahan Baku Preparasi dan Pemorsian Bahan Baku Pemasakan (temperatur internal minimum 70oC selama 2 menit atau yang ekuivalen) Pendinginan cepat (rapid chilling) (<3oC < 150 menit)
Penyimpanan dingin (<3oC)
o
Distribusi dingin (<3 C)
Penyimpanan dingin (<3oC)
Sajian dingin
Penyimpanan dingin (<3oC)
Pemanasan ulang (>70oC)
Sajian Panas
Gambar 1 Contoh sistem cook-chill foods pada unit usaha di bidang pangan besar pada suatu titik/lokasi, dan kemudian menggunakan teknik pendinginan (chilling) cepat dan penggunaan refrigerator untuk menyimpan makanan yang sudah dimasak tersebut sampai kemudian disajikan kembali. Gambar 1 di bawah adalah tahapan tipikal pada sistem produksi cook-chill foods yang digunakan oleh unit usaha makanan menurut Food Safety Authority of Ireland (2006). Definisi dari proses pemasakan pada cook-chill foods adalah proses pemanasan yang cukup untuk membunuh bakteri patogen (Listeria monocytogenes) sebanyak 6D. Beberapa produk cook-chill foods membutuhkan pemasakan oleh konsumen karena mungkin ada beberapa bahan baku yang masih mentah, sedangkan produk cook-chil-food lainnya bisa langsung dimakan (readyto-eat) atau dimakan setelah dihangatkan kembali (ready-to-reheat) (Fellows, 2000).Setelah preparasi, cook-chill foods diporsi dan didinginkan dalam jangka waktu 30 menit sesudah dimasak. Pendinginan sampai suhu 3oC harus sudah dilakukan dalam jangka waktu 90 menit dan makanan harus disimpan pada suhu 0-3oC (Hill, 1987). Spora dari patogen lainnya yang bisa tahan pemanasan dan patut diwaspadai hadir pada cook-chill foods antara lain (Rybka-Rodgers, 2006); non proteolitik psikrotropik C. botulinum tumbuh pada >3oC; Bacillus cereus tumbuh pada >4o C; proteolitik C. botulinum tumbuh pada >10oC; dan Clostridium perfringens tumbuh pada >15oC. Pertumbuhan bakteri pada cookchill foods tergantung dari beberapa faktor lingkungan dan intrinsik dari makanan, seperti pH dan aw.
6
Bacillus cereus
Karakteristik Genus Bacillus dari famili Bacillaceae bersifat gram-positif, membentuk endospora, berbentuk batang kemoheterotropik yang bersifat motil (Prescott et al., 2005).Bacilus cereus sudah diasosiakan dengan keracunan pangan di Eropa sejak 1906 dan bersifat aerobik (Jay et al., 2005), akan tetapi juga bisa tumbuh baik secara anaerobik (fakultatif anaerobik) (Doyle et al., 2001). Genus Bacillus terlalu luas sebagai genus tunggal. Berdasarkan analisis pada sekuens 16S rRNA dari Bacillus diperoleh hasil bahwa setidaknya ada lima grup rRNA di dalam genus Bacillus. Bacillus anthracis, B. cereus, B. mycoides, B. thuringiensis, B. pseudomycoides, dan B. weihenstephanensis masuk ke dalam grup B. cereus (Doyle, 2001). B. antracis, agen penyebab antrax pada mamalia, bisa dibedakan dengan jelas dari anggota grup lainnya karena tahan pada penisilin dan tidak adanya hemolisis pada sheep blood agar (Riemann & Cliver, 2006). Spesies yang lainnya seperti B. thuringiensis dibedakan berdasarkan pergerakannya (motility) dan pembentukan crystalline parasporal inclusion bodies (Kramer & Gilbert, 1989). Akan tetapi properti ini kemungkinan hilang pada saat isolat dikultur, oleh sebab itu banyak orang menggabungkan B. cereus, B. mycoides, B. thuringiensis, B. pseudomycoides, dan B. weihenstephanensis masuk ke dalam grup B. cereus, dan memperlakukan semua isolat sebagai satu kesatuan (Riemann & Cliver, 2006). Anggota yang paling baru, yaitu B. weihenstephanensis, bisa tumbuh pada 4-7oC, bukan pada 47oC.Spesies baru ini dimasukkan berdasarkan fakta bahwa banyak B. cereus bisa tumbuh pada suhu refrigerator (Giffel et al, 1996).Sel dari enam spesies tersebut berbentuk besar (lebar sel >0,9 µm) dan memproduksi spora berbentuk elips atau silindris pada bagian tengah atau ujung dan tidak menggembungkan sporangia (Doyle et al., 2001). Sumber dan Distribusi pada Makanan B. cereus terdistribusi secara luas di lingkungan dan sering diisolasi dari tanah, tumbuhan (Doyle et al., 2001), dan juga air (Jay et al., 2005) karena kemampuannya memproduksi spora (Riemann & Cliver, 2006).Manusia bukan merupakan sumber yang signifikan pada kontaminasi makanan oleh B. cereus. Organisme ini sudah hadir secara alami pada berbagai macam makanan sehingga ada kemungkinan terkandung juga di dalam usus orang sehat (0-43%). Hewan juga bisa membawa B. cereus pada berbagai bagaian dari tubuhnya dan biasanya menyebabkan mastitis pada sapi (Lake et al., 2004). Berdasarkan sifat penyebarannya yang luas yang bersumber dari lingkungan, B. cereus mudah menyebar ke makanan yang bersumber dari tanaman seperti nasi dan pasta (Doyle et al., 2001) dan juga melalui kontaminasi, B.cereus juga bisa menyebar ke produk makanan lainnya seperti produk daging dan susu (Kramer & Gilbert, 1989). Organisme ini sering diisolasi pada nasi (Ankolenkar et al., 2009; Primawisdawati, 2010; dan Wogu et al., 2011), makanan siap santap (Rosenquist et al., 2005; Lee, 2009) dan makanan kering seperti biji-bijian (Thorsen et al., 2011), pasta (Pirhonnen et al, 2004), dan bumbu (Sagoo et al., 2009) seperti pada
7
lada hitam (Chagas Oliveira Friera & Offord, 2002).Rute transmisinya adalah berupa penelanan makanan yang terkontaminasi.Pada penelitian yang dilakukan oleh Primawisdawati (2010) dilaporkan bahwa di Indonesia, khususnya di wilayah Dramaga, Bogor, dari 40 sampel nasi yang diperiksa hanya 1 sampel yang tidak mengandung Bacillus spp, di mana 20% masuk ke dalam kategori unsatisfactory (103-104 cfu/g) dan 5% sampel dalam status potentially hazardous (>104 cfu/g). Fisiologi Pada kondisi ideal, B. cereus mempunyai temperatur optimum 30-40oC, di mana pertumbuhan masih bisa terjadi antara 4-55oC (Riemann & Cliever, 2006). Strain psikrotoleran telah berevolusi sehingga B. cereus bisa tumbuh pada temperatur 4-6oC (Doyle et al., 2001) akan tetapi strain psikrotropik biasanya tidak tumbuh di atas 43oC (Riemann & Cliver, 2006). Strain psikrotropik dilaporkan bisa memproduksi enterotoksin tipe diare (Duffrene et al., 1994). Waktu generasi organisme ini adalah 18-27 menit dan bisa tumbuh pada pH antara 4,9-9,3 dan pada konsentrasi garam sampai 7,5% (Batt, 1999). Aktivitas air (aw) minimum untuk pertumbuhan vegetatif adalah 0,912-0,950, sedangkan spora bisa bertahan lama pada pangan kering. Sel vegetatif biasanya bisa dimusnahkan oleh pemanasan akan tetapi sporanya bisa tahan panas. Ketahanan akan panas bisa bertambah pada makanan yang tinggi lemak dan berminyak. Spora bisa lebih tahan terhadap panas kering (dry heat) dari pada terhadap panas basah (moist heat). Toksin emetik sangat tahan terhadap panas (bisa bertahan 90 menit pada 126oC) dan enterotoksin diare bisa dimusnahkan pada 56oC selama 5 menit. Refrigerasi bisa mereduksi pertumbuhan B. cereus karena adanya penambahan waktu generasi. Doubling time dari campuran 5 strain B. cereus, termasuk strain yang psikrotropik dan mesofilik pada media di laboratorium adalah 1,6 jam pada 19,5oC; 2,9 jam pada 14,2oC; 4 jam pada 9,6oC; dan 6,7 jam pada 6,5oC (Choma et al., 2000). Waktu lag B. cereus pada 30oC adalah 1,96 jam dan 148,77 jam pada 5oC (Valero et al., 2000). Karakteristik Penyakit Pada makanan yang berpati, kehadiran Bacillus cereus perlu dikhawatirkan.B. cereus bisa menyebabkan dua tipe penyakit tergantung dari toksin yang diproduksi, yaitu tipe diare dan tipe emetik. Tipe emetik dikarakterisasi dengan pusing dan muntah dengan waktu inkubasi 1 sampai 6 jam, tipe yang kedua adalah tipe diare dengan inkubasi 4 sampai 16 jam (Prescott et al., 2005). Tipe diare disebabkan oleh enterotoksin yang diproduksi selama pertumbuhan vegetatif B. cereus di usus halus (Granum, 1994), sedangkan toksin emetik diproduksi oleh sel yang tumbuh pada makanan (Kramer & Gilbert, 1989). Toksin emetik dikarakterisasi sebagai dodekadepsipeptida yang disebut sereulida (Agata et al., 1995). Produktivitas sereulida dari strain B. cereus dilaporkan sangat sensitif terhadap temperatur ruang (Haggblom et al., 2002). Szabo et al. (1991) melaporkan bahwa temperatur optimum untuk memproduksi toksin emetik adalah 20-30oC. Kebanyakan strain emetik dari B. cereus tumbuh pada temperatur lebih dari 40oC. Produksi sereulida oleh strain F481072 tidak terjadi pada temperatur <8oC dan pada 40oC (Häggblom et al., 2002).
8
Tabel 1 Karakteristik dua tipe penyakit yang disebabkan oleh B. cereus (Doyle et al., 2001) Karakteristik
Tipe diare 5
Tipe Emetik
7
Dosis penyebab keracunan Produksi Toksin
10 -10 (total) Di dalam usus halus
Tipe Toksin Periode inkubasi (jam) Durasi Penyakit (jam)
Protein; enterotoksin 8-16 (biasanya >24) 12-24 (biasanya beberapa hari)
Gejala
Sakit perut, diare berair, pusing , Produk daging, sup, sayuran saus puding, susu dan produk susu
Makanan yang terimplikasi
105-108/g Terbentuk pada makanan peptida siklik, toksin emetik 0,5-5 24-6 Pusing, muntah, lemas, diare Nasi, nasi goreng, pasta, pastry, dan mie
Kasus Keracunan Pangan karena B. cereus pada Nasi dan Pasta Pada umumnya, keracunan makanan yang disebabkan oleh B. cereus disebabkan oleh konsumsi makanan berbasis sereal dan juga makanan berpati.B. cereus adalah penyebab dari ‘Sindrom Nasi Goreng (Fried Rice Syndrome). Dari semua makanan, nasi goreng adalah makanan yang paling sering diimplikasi oleh keracunan karena B. cereus. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa patogen ini adalah kontaminan utama pada beras dan spora B. cereus bisa bertahan selama proses pemanasan. Nasi dimasak, akan tetapi kemudian disimpan pada temperatur ruang, yang menyebabkan spora diberi kesempatan untuk bergerminasi kembali dan sel vegetatif berkembangbiak. Proses pemanasan kembali seperti menggoreng biasanya tidak cukup untuk membunuh semua sel vegetatif dan tidak cukup untuk menginaktivasi toksin (Batt, 1999). Tabel 2 Contoh beberapa kasus keracunan karena B. cereus pada nasi dan pasta Produk Makanan
Tahun
Lokasi
Referensi
Nasi Goreng Nasi Pasta
1974 1981 1997
Inggris Singapura Norwegia
Mortimer & McCann ( 1974) Tay et al. (1982) Mahler (1997)
Pasta daging Pasta salad
2005 2003
Norwegia Belgia
Pirhonen et al. (2005) Dierick et al. (2005)
Di Indonesia sendiri, seperti biasa, tidak ada data investigasi yang lengkap. Insiden keracunan pangan karena B. cereus pada umumnya terjadi lebih sering di negara-negara Eropa bagian utara (20-33%) dan juga Kanada (14%). Sedangkan insiden B. cereus lebih jarang terjadi di Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat (1,24,4%) (Riemann & Cliever, 2006). Di Korea Selatan, B. cereus bertanggung jawab untuk 15 kasus keracunanan makanan (392 pasien) yang berkontribusi terhadap 5,5% total KLB pada tahun 2009 (Chang et al., 2011).
9
Pemanasan dengan Oven Microwave
Definisi dan Teori Pemanasan dengan oven microwave adalah penggunaan gelombang elektromagnetik pada frekuensi tertentu untuk menciptakan panas pada material (Roussy & Pearce, 1995). Oven microwave dapat menghasilkan panas pada makanan karena mayoritas makanan mengandung air.Struktur molekuler dari air mengandung atom oksigen yang bermuatan negatif, yang terpisah dengan atom hidrogen yang bermuatan positif, struktur ini menyebabkan terbentuknya electric dipole. Pada saat oven microwave diaplikasikan pada makanan, dipole yang terkandung di air dan juga komponen ion seperti garam cenderung mengorientasikan dirinya terhadap medan listrik. Karena medan listrik ini bergerak dengan sangat cepat dan berjuta-juta kali dari positif ke negatif selama satu detik, dipole yang ada mengikuti pergerakan tersebut dan pergerakan yang cepat ini menimbulkan friksi yang akhirnya menghasilkan panas (Fellows, 2000). Aplikasi Tingginya laju pemanasan dan karena tidak adanya perubahan pada permukaan makanan pada makanan telah menjadikan banyaknya penelitian tentang pemanasan oven microwave pada makanan dalam dunia industri. Aplikasi yang penting pada industri adalah thawing, tempering, dehidrasi, dan pemanggangan (baking). Aplikasi lainnya, yang meliputi pemanasan makanan dalam jumlah besar dengan jumlah kandungan air yang tinggi (seperti blanching dan pasteurisasi) tidak begitu berhasil. Hal ini disebabkan karena kurangnya penetrasi pada potongan makanan yang besar dan karena adanya pendinginan permukaan (evaporative cooling) yang cepat, yang menyebabkan mikroorganisme bisa bertahan. Oven microwave juga sering diaplikasikan pada rumah tangga, yang menggunakan frekuensi pada 2450 MHz. Penggunaan oven microwave pada level rumah tangga biasanya digunakan untuk thawing, memasak, dan juga memanaskan kembali makanan (Fellows, 2000).
Food Safety Objective Untuk mengatur keamanan pangan, dikembangkan suatu pendekatan berdasarkan risiko yang ada. Ada dua jenis panduan yang bisa ditetapkan berdasarkan basis analisis risiko kuantitatif, yaitu Food Safety Objective (FSO) dan Appropriate Level of Protection (ALOP). FSO didefinisikan sebagai frekuensi maksimum dan atau konsentrasi dari bahaya (hazard) pada makanan pada saat dikonsumsi yang berkontribusi terhadap ALOP, sedangkan ALOP adalah suatu level proteksi yang semestinya sudah bisa melindungi hidup dan kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan di dalam wilayahnya (Codex Alimentarius, 2007).
10
FSO bisa berdasarkan pada analisis terhadap risiko terjadinya gangguan kesehatan masyarakat yang diasosiasikan dengan bahaya (hazard) pada makanan, yang bisa didapat dari saran dari expert, panel terlatih dalam jumlah banyak atau dari pengujian resiko secara kuantitatif (Cole et al., 2004). Selain FSO, ada pengukuran risiko lainnya, yaitu Performance Objective (PO) dan Performance Criterion (PC). PO adalah frekuensi maksimum dan atau konsentrasi dari bahaya pada makanan pada setiap langkah spesifik pada rantai produksi tepat sebelum waktu makanan dikonsumsi yang menyediakan atau berkontribusi terhadap FSO atau Appropriate Level of Protection (ALOP). Tidak seperti ALOP dan FSO yang hanya bisa ditetapkan oleh pemerintah, PO juga bisa diatur oleh industri untuk mencapai FSO yang telah ditetapkan dan PO bisa dilihat sebagai target dari pelaku industri untuk mengontrol proses rantai produksi, distribusi, dan penyimpanan produk pangan (Gorris, 2005). Dengan adanya FSO dan PO, bisa tersedia fleksibilitas dalam pemilihan penanganan kontrol terhadap tahap-tahap individu pada proses pengadaan produk pangan. Kontrol terhadap semua tahap pengendalian yang bisa dicapai adalah yang disebut sebagai PC, yang diekspresikan sebagai perubahan pada level bahaya yang harus diraih untuk mencapai FSO atau PO (Codex Alimentarius, 2007). ALOP, FSO, PO, dan PC terhubung secara erat dan menyediakan tautan antara kebijakan kesehatan pemerintah dan target dari industri untuk mengatur bahaya pada rantai proses pengadaan pangan (Gkogka et al., 2013)
3 METODE PENELITIAN
Bahan
Cook-chill Foods Sampel cook-chill foods yang dipilih adalah spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang dibeli di minimarket 7-11 di Jakarta, Indonesia. Spaghetti bolognaise dipilih karena sebelumnya sudah pernah diimplikasikan dengan kasus keracunan karena B. cereus (Pirhonen et al., 2005), sedangkan nasi ayam lada hitam dipilih karena nasi putih masak sudah sering diimplikasikan dengan cemaran B. cereus yang tinggi (Primawisdawati, 2010) dan spora B. cereus juga ditemukan mengkontaminasi bumbu seperti lada hitam (Chagas Oliveira Friera & Offord, 2002).
Kultur Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus cereus ATCC 10876 dalam bentuk biakan murni yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Institut Pertanian Bogor.
11
a
b
Gambar 2 Cook-chilll foods yanng digunakaan sebagai sampel pen nelitian; (a)) nasi ayam ladaa hitam, (b) spaghetti bolognaise
Media Meddia yang digunakan untuk peertumbuhan n mikroorgganisme adalah a mannitol-eegg yolk- poolymyxin aggar (MYP) base, egg yolk y emulsio on dan polym myxin B, Tryptosse Soy Agaar (TSA), plate count agar a (PCA A) dan Brainn Heart Inffusion agar (BHIIB).
Bahan Kiimia y digunnakan antaara lain addalah larutaan, Butterffield’s Bahaan kimia yang phosphatee buffer (BP PB) yang terbuat t darii KH2PO4 sebagai larrutan pengeencer; akuades, spiritus, s daan alkohol 70% sebaggai desinfekktan; hijau malakit, grram’s iodin, safrranin, kristaal violet am mmonium okksalat, alkoh hol 95% daan minyak imersi untuk pew warnaan Graam dan pew warnaan sporra B. cereuss; lysozyme dan reagen nitrit untuk kon nfirmasi B. cereus, c etan nol 95%, dann asam fosffat 85%.
Alatt R (9 power p Ovenn microwavveyang diguunakan adalaah SHARP Carousel R-4A58 level, frekkuensi 24500 MHz, day ya 850 wattt), dan ovenn microwavve MITSUB BISHI RR-20 (frrekuensi 24450 mHz dan 410 wattt). Untuk mengukur kebocoran asam nukleat digunakan doouble beam spectrophotometer (U--2000 Hitacchi Instrumeent).
12
Metode Pengamatan Penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu; (1) penelitian untuk mengevaluasi cemaran sel vegetatif dan spora B. cereus pada cook-chill foods (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) (2) uji tantangan di mana cook-chill foods sengaja diinokulasi B. cereus untuk mengamati pengaruh penyimpanan pada suhu retail (15oC) terhadap pertumbuhannya dan inaktivasinya setelah dipanaskan dengan oven microwave; dan (3) mempelajari mekanisme pengaruh pemanasan dengan oven microwave terhadap struktur spora B. cereus pada cook-chill foods. Di halaman berikutnya dapat dilihat diagram alir proses penelitian (Gambar 3). Evaluasi cemaran B. cereus pada cook-chill foods Pertumbuhan sel dan spora B. cereus selama masa penyimpanan
Inokulasi spora B. cereus pada produk cook-chill foods
Uji dan konfirmasi sel dan spora B. cereus danhitung cawan totalpada H1 &H3 penyimpanan
Inokulasi kultur sel vegetatif B. cereus pada produk pangan siap Penyimpanan sampel selama 4 hari pada 15oC Uji dan konfirmasi sel dan spora B. cereus dan hitung cawan total setiap 24 jam
Pengaruh pemanasan oven microwave terhadap sel dan spora B. cereus pada produk cook-chill foods
Inokulasi kultur sel vegetatif B. cereus pada produk pangan
Inokulasi spora B. cereus pada produk cook-chill foods
Pemanasan produk pangan dengan oven microwave 850 dan 410 watt Spagetthi: 0, 30, 45 dan 60 detik Nasi: 0, 60, 120, dan 240 detik
Uji dan konfirmasi sel dan spora B. cereus dan hitung cawan total setiap waktu pemanasan
Pengaruh pemanasan oven microwave vs air mendidih terhadap struktur sel vegetatif danspora B. cereus
Pengamatan kebocoran protein dan asam nukleat sel vegetatif danspora B. cereus
Gambar 3 Diagram Alir Proses Penelitian
13
Konfirmasi Kultur B. cereus (BAM, 2012) Untuk mengkonfirmasi kultur B. cereus, dipilih koloni merah muda yang positif lesitinase dari agar MYP dan kemudian ditransfer pada cawan nutrient agar (NA). Cawan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada 30oC (BAM, 2012). Selanjutnya dilakukan prosedur pewarnaan spora (Hussey et al., 2007) dan pewarnaan Gram (BAM, 2001). Prosedur pewarnaan spora dilakukan dengan cara membuat olesan bakteri yang difiksasi. Olesan bakteri kemudian digenangi cairan hijau malakit selama 10 menit sambil diletakkan di atas gelas kimia yang berisi air mendidih yang dipanaskan di atas penagas air sehingga uap akan mengenai kaca objek. Kaca objek kemudian dibilas dengan akuades dan ditiriskan. Setelah itu kaca objek direndam dengan safranin selama 1 menit. Selanjutnya kaca objek dibilas dengan akuades, dikeringkan di udara, dan diamati di bawah mikroskop.Spora B. cereus berbentuk elips, posisinya di tengah atau subterminal, dan sporangiumnya tidak membengkak. Untuk pewarnaan Gram (BAM, 2001), dilakukan fiksasi bakteri di atas kaca objek. Kaca obyek kemudian dilarutkan dengan pewarna kristal violet ammonium oksalat selama 1 menit dan setelah itu dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Lalu kaca obyek dilarutkan dengan Gram’s iodine selama 1 menit, dibilas kembali dengan akuades dan kemudian dikeringkan. B. cereus akan tampil sebagai Gram positif yang berbentuk batang besar dalam rantai pendek sampai panjang. Setelah itu 3 mm kultur ditansfer dari tiap goresan ke dalam tabung reaksi yang berisi larutan pengencer fosfat buffer dan kemudian tabung dikocok dengan Vortex. Kultur yang disuspensi kemudian dikonfirmasi lebih lanjut. Untuk membedakan lebih lanjut strain tipikal B. cereus dari grup B. cereus yang lain, seperti B. mycoides, B. thuringiensis, dan B. anthracis dilakukan uji lebih lanjut lagi. Uji konfirmasi lanjut ini meliputi uji motilitas, uji pertumbuhan akar rhizoid, dan uji kristal protein toksin (BAM, 2011). Pada uji motilitas, air distilata steril sebanyak 0,2 mL ditambahkan ke atas permukaan nutrient agar (NA) dan kemudian diinokulasi dengan kultur sebanyak 1 ose. Cawan kemudian diinkubasi selama 6-8 jam pada suhu 30oC setelah itu kultur cair sebanyak 1 ose direndam pada setetes air distilata steril pada objek gelas dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Objek kemudian diamati secepatnya dengan mikroskop untuk melihat motilitasnya. Sebagian besar strain B. cereus dan B. thuringiensis adalah motil karena mempunyai flagella. B. anthracis dan B. mycoides termasuk bakteri non-motil. Akan tetapi beberapa strain dari B. cereus juga non-motil. Untuk menguji pertumbuhan rhizoid, NA diinokulasi dengan kultur berusia 24 jam sebanyak 1 ose dengan cara menyentuhkan dengan lembut pada permukaan agar di bagian tengah cawan. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 30oC selama 48-72 jam.Pertumbuhan rhizoid kemudian diperiksa, yang dikarakterisasi dengan produksi koloni dengan struktur seperti rambut panjang atau seperti akar.Koloni yang berbentuk seperti galaksi juga sering dibentuk oleh B. cereus dan jangan disamakan dengan pertumbuhan rhizoid tipikal, yang merupakan karakteristik pasti dari B. mycoides. Untuk melihat terbentuknya kristal protein toksin, NA diinokulasi dengan 1 ose kultur suspensi yang berusia 24 jam. Cawan NA kemudian diinkubasi selama
14
24 jam pada 30oC dan kemudian pada suhu ruang selama 2-3 hari. Olesan kultur dengan air distilata steril disiapkan pada objek gelas mikroskop. Olesan kemudian difiksasi dengan panas ringan dengan cara dilewatkan pada pembakar Bunsen. Kaca objek kemudian direndam dengan metanol selama 30 detik, metanol dibuang dan keringkan kaca objek dengan udara. Kaca objek lalu direndam dengan 0,5% basic fuchsin dan setelah itu kaca objek dipanaskan ringan dengan api Bunsen sampai uap terlihat. Tunggu selama 1-2 menit dan kemudian langkah-langkah di atas diulang kembali.Setelah itu biarkan selama 30 detik, pewarna dibuang dan kaca objek dicuci dengan air keran.Kaca objek lalu dikeringkan dan diperiksa dengan minyak imersi pada mikroskop polarisasi. Keberadaan spora bebas dan kristal protein toksin kemudian diperiksa. Kristal protein toksin biasanya lebih kecil daripada spora dan berbentuk belah ketupat. Kristal protein toksin diproduksi oleh B. thuringiensis sedangkan anggota lain dari grup B. cereus tidak memproduksi kristal protein toksin ini. Berdasarkan hasil dari uji konfirmasi lanjut di atas, B. cereus bisa diidentifikasikan sebagai isolate yang motil, tidak memproduksi koloni rhizoid atau kristal protein toksin. Strain B. cereus yang tidak motil juga ditemukan cukup sering.
Persiapan Sel Vegetatif B. cereus ATCC 10876 Selanjutnya apabila B. cereus sudah dikonfirmasi, dilakukan pengawetan dan penyegaran kultur sel vegetatif B. cereus dengan mengambil sebanyak 1 ose kultur B. cereus dan kemudian digores pada agar miring TSA dan setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam. Selanjutnya agar miring TSA disimpan ke dalam refrigerator. Persiapan kultur untuk inokulasi dilakukan dengan mengambil 1 ose kultur B.cereus dari agar miring TSA dan selanjutnya diinokulasi ke dalam 10 ml Brain Heart Infusion Broth (BHIB). Suspensi kemudian divorteks untuk kemudian selanjutnya diinkubasi pada 30oC selama 24 jam sehingga akan diperoleh 108 CFU/ml sel B. cereus.
Persiapan Spora B. cereus ATCC 10876 (Laurent et al., 1999; Wijnands et al., 2006; Dahl, 1999) Persiapan kultur dilakukan dengan mengambil 1 ose kultur B. cereus ATCC 10876 dari agar TSA miring yang sudah disiapkan sebelumnya dan setelah itu diinokulasi ke dalam 10 ml larutan BHIB. Selanjutnya larutan suspensi divorteks dan diinkubasi selama 72 jam pada suhu 30oC. Setelah diinkubasi, suspensi divorteks dan kemudian dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 80oC selama 10 menit.Spora yang bisa diperoleh sekitar 108 CFU/ml.
Preparasi Sampel Uji dilakukan dengan cara menimbang sampel dengan sendok steril secara aseptis sebanyak masing-masing 25 g. Untuk sampel berupa cook-chill foods,
15
sebelum ditimbang d sampel sebeelumnya diaaduk karenaa kontaminaasi kemungkkinan tidak terddistribusi merata. Untuuk spaghettti bolognaisse yang bellum dipanaaskan, sampel terdiri dari 20 2 g pasta spaghetti dan d 5 g cam mpuran sauus tomat, daging b Seedangkan unntuk spaghetti yang su udah dipanaaskan giling, dann bawang bombay. dengan ovven microw wave, karen na campuraan saus, daaging dan bawang boombai mencair dan d bercamppur dengan pasta, makka spaghettti diaduk seecara merataa dan kemudian diambil 255 g sampel pasta yangg sudah berccampur denngan saus toomat, daging gilling, dan baawang bom mbay. Untukk nasi ayam m lada hitam m diambil saampel nasi 20 g dan d daging ayam serta saus lada hhitam 5 g. Sam mpel seberat 25g kemuddian diencerrkan dengann 225 ml laarutan penggencer Butterfieldd’s phosphaate-buffered d (BPB) dann kemudian n diaduk deengan stomaacher selama 5 menit. Seelanjutnya dilakukan pengenceraan dari 100-2 dengan cara mentransffer 10 ml dari d sampell homogen (pengencerran 1:10) ke k 90 ml laarutan pengencerr, yang kem mudian dicaampur dan dikocok secara merataa, dan kemuudian dilanjutkaan sampai akkhirnya didaapat pengennceran 10-3. Selan njutnya penngujian dilaakukan denggan mengin nokulasi agaar mannitoll-eggyolkpolym mixin (MYP)) agar (dupllo) dengan setiap s samppel pengenceeran dengann cara menyebar 0.1 mL suuspensi secaara merata pada permu ukaan setiapp cawan deengan ma 24 menggunaakan hockeyy stick yangg steril. Settelah itu, caawan diinkkubasi selam jam pada suhu 30oC C. Koloni B. cereus diobservasi dengan d terb bentuknya koloni k yang dikeelilingi olehh zona presipitasi, yaang mengin ndikasikan bahwa b lesittinase diproduksi.Koloni B. cereus biaasanya berw warna merah h muda padda MYP. Appabila reaksi yanng terjadi tiddak jelas, cawan c diinkkubasi kembbali selama 24 jam sebbelum menghitunng koloni. Selanjutnya S a dipilih caw wan yang mengandung m g sekitar 155-150 koloni pin nk pada agaar MYP yanng kemunggkinan mem mproduksi leesitinase. Bagian bawah caawan ditanndai dengaan spidol hitam unntuk memffasilitasi proses p penghitunngan koloni yang tipikaal B. cereus. Selain uji B. cereus jugga dilakukkan uji staandard plaate count untuk u mengetahu ui jumlah keseluruhan k mikroba paada produk cook-chill foods. f Untuuk uji total platee count, dilaakukan mettode permuukaan dan dari d pengencceran yang telah ditetapkann, sampel sebanyak 0,1 ml diambbil dan diteebarkan di atas agar cawan c PCA dan diratakan dengan d hockkey stick. Cawan C kemuudian diinkkubasi selam ma 24 3 oC. jam pada 30 Kolooni B. cereeus dan ko oloni total total plate count yanng tumbuh pada dihitung dengan d rumuus berikut:
Di mana: N ΣC n1 n2 n3 d
= = = = = =
c Total cfu/g Jumlah h koloni yanng dihitung Jumlah h cawan yanng digunakaan pada penngenceran 1 Jumlah h cawan yanng digunakaan pada penngenceran 2 Jumlah h cawan yanng digunakaan pada penngenceran 3 Pengennceran terenndah
16
Analisis Spora B. cereus (Opstal, 2004) Sebanyak 50 g sampel makanan siap masak diencerkan dengan 450 ml larutan BPB (pengenceran 10-1) dan kemudian dihomogenkan dengan stomacher. Setelah itu dilakukan seri pengenceran dengan mengencerkan 1 ml sampel dari pengenceran sebelumnya dengan 9 ml larutan pengencer BPB hingga tercapai tingkat pengenceran yang diinginkan. Pengujian dilakuan dengan cara menginokulasi masing-masing pengenceran ke dalam cawan petri (duplo). Lalu, larutan TSA sebanyak 13-15 ml dituang ke dalam cawan petri.Cawan kemudian digoyang, dan setelah memadat cawan diinkubasi pada 30oC selama 24 jam.
Evaluasi Cemaran B. cereus pada Cook-chill Foods Penelitian pertama dilakukan untuk mengevaluasi cemaran sel vegetatif dan spora B. cereus pada sampel cook-chill foods. Sampel cook-chill foods (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) diperoleh dari minimarket di Jakarta. Pada praktek penyimpanannya di minimarket, produk cook-chill foods tersebut disimpan di dalam refrigerator terbuka dengan temperatur 14oC, akan tetapi karena tercampur dengan temperatur ruang, kemungkinan temperatur penyimpanan menjadi sekitar 18oC. Evaluasi cemaran B. cereus dilakukan pada sampel cook-chill foods yang dijual pada hari pertama dan hari terakhir masa simpannya (hari ke-3). Jumlah kemasan yang diteliti adalah enam buah, yaitu 3 kemasan nasi ayam lada hitam dan 3 kemasan spaghetti bolognaise. Penelitian diulang tiga kali dari tiap tiga batch yang berbeda. Sampel yang dipilih adalah nasi ayam lada hitam terdiri dari nasi putih dan kemudian di atasnya ada beberapa potong daging ayam yang dibumbui oleh saus lada hitam, sedangkan spaghetti bolognaise terdiri dari pasta spaghetti, saus tomat, daging giling, dan bawang bombai. Cook-chill foods tersebut dijual dan dikemas di dalam wadah plastik jenis other. Dari sekian banyak jenis makanan yang dijual, spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam dipilih karena berbahan dasar sereal dan ada kemungkinan terkontaminasi B. cereus. Makanan siap masak ditaruh di dalam kotak pendingin untuk menjaga kesegarannya dan untuk menjaga temperatur sekitar 15oC dalam proses transportasi menuju laboratorium. Dan selama di dalam laboratorium, sampel disimpan di dalam refrigerator sebelum akhirnya dianalisis secepatnya.
Evaluasi Pertumbuhan Sel Vegetatif dan Spora B. cereus pada Cook-chill Foods Selama Masa Penyimpanan Supaya hasil dari model bisa divalidasi, pada penelitian tahap kedua, dilakukan challenge test terhadap cook-chill foods. Dalam uji tantangan ini, sel vegetatif dan spora B. cereus sengaja diinokulasi ke dalam produk untuk melihat pertumbuhannya selama masa simpan dan inaktivasi oleh pemanasan oven microwave. Challenge test dilakukan dengan dua kali ulangan.
17
Prosedur Inokulasi Sel Vegetatif B. cereus pada Cook-chill Foods Sebelum diinokulasi, produk cook-chill foods dipanaskan terlebih dahulu dengan oven microwave untuk memusnahkan pertumbuhan bakteri yang lain. Untuk mengamati pertumbuhan sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods, suspensi sel vegetatif B. cereus sebanyak 1 ml (kira-kira 105 cfu/ml) ini diinjeksi dengan suntikan steril ke dalam masing-masing cook-chill foods yang diporsi sebesar 100 g (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) sehingga diharapkan terdapat 103 cfu/g B. cereus (Mejia, 2011). Penyuntikan ke dalam kontainer dilakukan melalui penutup karet sehingga tidak mengganggu komposisi udara dan juga untuk mencegah udara dari luar masuk ke dalam kontainer.Setelah diinokulasi produk makanan siap saji digoyang sebentar (20 detik) untuk menciptakan distribusi B. cereus yang lebih baik. Produk makanan siap masak (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) yang sudah diinokulasi oleh sel vegetatif spora B. cereus kemudian disimpan dalam refrigerator pada 15 oC selama tiga hari dan pertumbuhan B. cereus diinvestigasi setiap 24 jam. Masa penyimpanan selama empat hari dipilih karena di kemasan produknya dicantumkan bahwa cook-chill foods tersebut memiliki masa simpan selama empat hari. Suhu penyimpanan 18oC dipilih karena di dalam prakteknya di supermarket, produk tersebut walaupun disimpan di dalam refirigerator yang diklaim memiliki suhu 14oC, akan tetapi refirigerator tersebut tidak dilengkapi dengan penutup sehingga bercampur dengan suhu ruangan di sekitar.
Prosedur Inokulasi Spora B. cereus pada Cook-chill Foods Untuk mengamati pertumbuhan spora, langkah yang dilakukan sama seperti pada pengamatan pertumbuhan sel vegetatif, akan tetapi yang diinokulasi adalah spora B. cereus pada masing-masing pangan siap saji (nasi ayam lada hitam dan spaghetthi bolognaise).
Pengaruh Pemanasan dengan Oven Microwave terhadap Sel Vegetatif dan Spora B. cereus pada Cook-chill Foods Untuk melihat pengaruh pemanasan oven microwave terhadap cook-chill foods dilakukan challenge test. Prosedur inokulasi sel vegetatif dan spora B. cereus pada masing-masing pangan siap saji (nasi ayam lada hitam dan spaghetti bolognaise) sama dengan seperti pada evaluasi pertumbuhan B. cereus, hanya saja jumlah yang diinokulasikan lebih banyak yaitu 1 ml suspensi spora atau sel vegetatif B. cereus 108 cfu/ml sehingga diharapkan terdapat 106B. cereus cfu/g (Mejia, 2011) pada masing-masing produk cook-chill foods. Oven microwave yang digunakan di retail adalah MENUMASTER DEC18E mempunyai daya maksimum 1800 watt dengan 11 power level. Untuk spaghetti bolognaise, petunjuk pemanasan dari produsen dengan oven microwave Menumaster DEC18E pada retail adalah tekan tombol 4 dan dipanaskan selama 45 detik, sedangkan untuk nasi ayam lada hitam adalah tekan tombol 7 dan dipanaskan selama 2 menit. Pada penelitian ini digunakan oven microwave
18
SHARP yang berdaya 850 watt dan oven microwave MITSUBISHI 410 watt. Spaghetti bolognaise dipanaskan selama 0, 30, 45 dan 60 detik pada power level maksimum, sedangkan untuk nasi ayam lada hitam dipanaskan selama 0, 1 menit, 2 menit, dan 4 menit pada power level maksimum. Pada saat dipanaskan dengan oven microwave, bagian penutup plastik bagian atas dibuka. Selain itu pada akhir pemanasan, juga dilakukan pengukuran temperatur pada pangan siap saji. Pengukuran suhu dilakukan pada bagian tengah dan pinggir makanan.Dengan adanya pengukuran temperatur, bisa diketahui juga pengaruh temperatur pemanasan terhadap inaktivasi sel vegetatif dan spora B. cereus. Jumlah sel vegetatif dan spora B. cereus dan standard plate count kemudian dihitung.
Analisis Kebocoran Asam Nukleat dan Protein Untuk menginvestigasi kerusakan membran sel yang disebabkan oleh perebusan dan iradiasi oven microwave, dilakukan pengukuran kebocoran protein intraselular dan asam nukleat dari suspensi spora dan sel vegetatif B. cereus. Masing-masing spora dan sel vegetatif direndam di dalam larutan buffer fosfat, dan 2 ml dari suspensi kemudian dipanaskan dengan oven microwave SHARP pada kekuatan maksimum (850 watt) dan juga direbus pada temperatur didih (100oC) selama 0, 30, 45, dan 60, 120, dan 240 detik. Masing-masing suspensi spora dan sel vegetatif B. cereus yang telah diberi perlakuan disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit. Kandungan asam nukleat dari supernatant diukur secara langsung menggunakan spectrophotometer UV pada 260 nm. Semua percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan.
Food Safety Objective Hasil dari literatur, evaluasi cemaran, model prediksi dan uji tantangan dilakukan untuk menciptakan skenario di mana Performance Objective (PO) dari cook-chill foods bisa didefinisikan sehingga bisa diketahui ketercapaian Food Safety Objective (FSO). Untuk patogen B. cereus pada produk pangan siap santap (ready-to-eat) pada saat dikonsumsi, jumlah yang direkomendasikan adalah 102 cfu/g (satisfactory) (NSW Food Authority, 2009), sehingga ditetapkan nilai FSO cook-chill foods terhadap B. cereus pada saat akan dikonsumsi adalah 102 cfu/g. Berdasarkan data dari hasil peneltian ini, bisa dievaluasi jumlah tingkat kontaminasi inisial (Ho) B. cereus pada cook-chill foods, khususnya pada produk spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam, dan pengaruh penyimpanan pada suhu retail (18oC) terhadap pertumbuhan B. cereus (Σ I) dan pengaruh pemanasan kembali dengan oven microwave terhadap inaktivasi B. cereus (ΣR) sehingga akhirnya bisa diketahui apakah FSO cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) masak pada saat dikonsumsi bisa tercapai atau tidak.
19
Berikut adalah rumus dan perhitungan untuk mengetahui ketercapaian FSO: Ho – Σ R + Σ I < FSO PO = Ho – Σ R + Σ I PO < FSO Ho ΣR ΣI
= = =
FSO PO
= =
kontaminasi inisial (Log CFU/g) Total (kumulasi) reduksi log (per g) dari bahaya (hazard) Total kumulasi peningkatan log (per g) bahaya (hazard) yang muncul karena adanya pertumbuhan atau rekontaminasi Food safety objective (log CFU/g) Performance objective
Analisis Data Program yang digunakan adalah Microsoft Excel dan IBM SPSS Statistic 21. Untuk melihat interaksi antara dua peubah bebas, digunakan Analysis of Variance (ANOVA) atau Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial AxB adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari dua peubah bebas (Faktor) dalam klasifikasi silang yaitu faktor A yang terdiri dari taraf a dan faktor B yang terdiri dari taraf b dan kedua faktor tersebut diduga saling berinteraksi. Saling berinteraksi dimasudkan bahwa pengaruh suatu faktor tergantung dari taraf faktor yang lain, dan sebaliknya jika tidak terjadi interaksi berarti berarti pengaruh suatu faktor tetap pada setiap taraf faktor yang lain. Jadi bila tidak terjadi interaksi antar taraf-taraf suatu faktor saling sejajar satu sama lainnya, sebaliknya bila ada interaksi tidak saling sejajar. Model Matematisnya : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + єijk i = 1, 2, 3,…………,a Di mana: Yijk = µ Ai Bj ABij єijk
= = = = =
j = 1,2,3...........,b dan k =1.2.3,.......u
Pengamatan Faktor A taraf ke-i , Faktor B taraf kej dan Ulangan ke-k Rataan Umum Pengaruh Faktor A pada taraf ke-i Pengaruh Faktor B pada taraf ke-j Interaksi antara Faktor A dengan Faktor B Pengaruh galat pada Faktor A taraf ke-i, Faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Cemaran B. cereus pada Cook-chill Foods Reaksi B. cereus pada media selektif MYP adalah permukaan koloni kering, rata, berwarna merah jambu-lavender dengan dikelilingi zona terang karena presipitasi kuning telur, dan resisten terhadap polymixin. Menurut Peng et al. (2001) kelompok Bacillus spp. yang juga tumbuh di media selektif MYP dan memperlihatkan reaksi positifterhadap kuning telur adalah B. thuringiensis, B. mycoides, B. anthracis dan B. laterosporis. Sampel yang berasal dari refrigerator pendingin (~15oC) dari tempat penjualan di minimarket langsung diuji tanpa dilakukan pemanasan ulang. Analysis of Variance (ANOVA) dilakukan untuk menguji pengaruh jenis cookchill foods dan hari penyimpanan terhadap nilai log CFU/g bakteri. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa jenis cook-chill foods dan hari penyimpanan berpengaruh nyata (p<0.01) terhadap log CFU/g total bakteri dan B. cereus (Lampiran 3). Uji lanjutan setelah ANOVA kemudian diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan mean (rataan) log CFU/g antara jenis cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) dan hari penyimpanan (hari ke-1 dan hari ke-3) dengan uji lanjut Duncan. Hasil analisis cemaran pada sampel spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam dapat dilihat pada Tabel 3. Pada hari pertama produk dijual di minimarket, spaghetti bolognaise mempunyai nilai angka lempeng total (ALT) 5.08 log CFU/g, begitu juga dengan nasi ayam lada hitam pada batch pertama. Pada pengukuran selanjutnya di batch yang berbeda (selang 1 minggu), spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam mempunyai nilai ALT yang sama juga, yaitu sebesar 5.04 log CFU/g pada hari penyimpanan pertama. Tabel 3 Hasil analisis cemaran (angka lempeng total dan B. cereus) pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam Angka Lempeng Total B. cereus Sampel Hari Nilai Log (CFU/g) Spaghetti Bolognaise Nasi Ayam Lada Hitam
1
5.06 + 0.035a
2.37 + 0.29a
3
6.14 + 0.034b
2.33 + 0.38a
1 3
5.06 + 0.035a 6.12 + 0.09b
2 + 0a 2.17 + 0.04a
* Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p<0.05) ** + Nilai deviasi standar Selanjutnya nilai ALT diukur kembali pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang dijual pada hari terakhir penyimpanan di minimarket (hari ke-3). Pada hari terakhir penyimpanan ini, nilai ALT pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam mengalami peningkatan sebesar 1 log daripada hari
21
penyimpanan pertama menjadi 6.15-6.16 log CFU/g pada spaghetti bolognaise dan 6.08-6.16 log CFU/g pada nasi ayam lada hitam. Berdasarkan uji ANOVA pada p <0.05 (Lampiran 3), didapatkan hasil bahwa jenis cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap nilai log ALT, akan tetapi hari penyimpanan (hari ke-1 dan hari ke-3) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05). Berdasarkan hasil analisis bisa disimpulkan bahwa hari penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai log ALT (total mikroba), sedangkan jenis cook-chill foods tidak berpengaruh nyata terhadap nilai log ALT. Selain uji ALT, juga dilakukan analisis cemaran B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam. Pada hari pertama penjualan, spaghetti bolognaise terpapar B. cereus sebesar rata-rata 350 CFU/g pada batch pertama dan rata-rata 200 CFU/g pada batch kedua. Dari delapan sampel spaghetti bolognaise yang diuji, tujuh sampel positif terpapar B. cereus (87.5%). Pada sampel nasi ayam lada hitam, pada pengujian hari pertama, koloni B. cereus tidak terdeteksi pada media MYP agar baik pada batch pertama dan batch kedua (0%) atau <100 CFU/g (2 log CFU/g). Koloni yang tumbuh di atas media MYP pada sampel nasi ayam lada hitam pada hari pertama penyimpanan umumnya adalah koloni bakteri lain yang bukan B. cereus yang menyebabkan media MYP agar menjadi berwarna kuning. Pada hari ketiga penyimpanan di minimarket, 75% sampel nasi ayam lada hitam mulai menunjukkan positif tercemar B. cereus, sehingga menghasilkan nilai rata-rata log 2.18 CFU/g pada batch pertama, dan rata-rata log 2.24 CFU/g pada batch kedua, sehingga didapat hasil rata-rata 2.17 log CFU/g pada hari ke-3. Uji ANOVA pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) dan hari penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata pada nilai log B. cereus, karena nilai F hitung lebih besar daripada sigma (p>0.01). Menurut NSW Food Authorithy (2009) untuk produk siap santap, hasil ALT log >5 CFU/g tergolong dalam kategori unsatisfactory (tidak memuaskan) (Lampiran 2), sedangkan total B. cereus log 2-3 CFU/g masih dalam batas marginal (di antara satisfactory dan unsatisfactory). Pada dasarnya seharusnya secara teori produk cook-chill foods sedianya bisa langsung disantap oleh konsumen karena produk tersebut sudah dimasak sebelumnya (cooked) dan disimpan pada suhu dingin (chilled). Proses pemanasan ulang pada cook-chill foods pada awalnya dimaksudkan lebih untuk meningkatkan kualitas organoleptik daripada untuk menghancurkan patogen. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis cemaran ini, maka bisa dikatakan bahwa produk cook-chill foods yang diteliti (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) ini sebaiknya tidak langsung dimakan, dan sangat disarankan untuk dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi. Proses pemanasan ulang yang sebelumnya lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas organoleptik pada akhirnya dilakukan juga untuk mengurangi atau memusnahkan pathogen yang tumbuh pada cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam). Produk cook-chill foods bisa dikatakan ‘tidak terlindungi’. Mayoritas dari produk ini mengandung aw dan pH yang tinggi, kandungan garam yang rendah dan tanpa pengawet. Beberapa peneliti telah melaporkan resiko keamanan pangan yang diasosiasan dengan kemampuan strain proteolitik C. botulinum (tipe B, E, dan F) untuk bertahan selama proses pemanasan singkat dan kemudian tumbuh
22
pada produk cook-chill foods yang dikemas vakum. Apabila ada kasus kontaminasi setelah proses produksi (kemasan bocor atau kontaminasi selama pengemasan) psikrotropik patogen lainnya yang signifikan adalah Listeria monocytogenes. Pada 3oC fase lag dari berbagai macam bakteri patogen non-spora seperti Listeria monocytogenes adalah sekitar 1 minggu dengan waktu generasi 20 jam (Mossel & Struijk, 1991). Akan tetapi proses pemanasan selama 2 menit pada 70oC sudah cukup untuk mencapai reduksi 6D dari L. monocytogenes (Gaze et al., 1989). Salah satu yang patut diperhatikan ada cook-chill foods adalah pada saat proses penyimpanan dan distribusi. Temperatur yang berlaku bisa bervariasi dan efek dari jangkauan temperatur harus dipertimbangkan (Rybka-Rodgers, 2001). Hal lain yang turut berbahaya adalah adalah temperatur penyimpanan yang tidak sesuai (>4oC). Dalam suatu penelitian pada nasi masak yang disimpan pada temperatur 10 dan 18oC, ditemukan level B. cereus yang tinggi dan juga terbentuk toksin pada hari ke-3 dan ke-6 masa penyimpanan, di mana hanya ada sedikit perubahan pada kualitas organoleptiknya. Dengan semakin populernya produk pangan siap saji, fakta bahwa temperatur yang tidak sesuai bisa terjadi pada level produsen, retail, dan konsumen, penelitian lebih lanjut tentang pertumbuhan B. cereus pada produk tersebut sangat vital (Cronin & Wilkinson, 2009). Proses pemasakan yang diaplikasikan pada produksi cook-chill foods bisa menginaktivasi spora, sehingga bisa memicu germinasi dan meningkatkan kemungkinan multiplikasi sel vegetatif. Oleh sebab itu dibutuhkan proses pendinginan yang cepat, diikuti dengan penyimpanan pada temperatur refrigreasi untuk mencegah berkembangbiaknya sel vegetatif ke level yang membahayakan keamanan produk pangan. Refrigerasi adalah faktor utama untuk mengontrol patogenpada makanan, hanya penyimpanan di bawah 4oC yang bisa memastikan bahwa pertumbuhan patogen seperti B. cereus tidak dimungkinkan.Menurut Andersson et al. (1995) peningkatan konsentrasi B. cereus sangat tinggi pada saat temperatur penyimpanan hanya dinaikkan 2oC dari 6oC ke 8oC. Selain itu, tidak seperti pabrik pengolahan makanan, kebanyakan bisnis yang berbasis katering tidak mempunyai banyak pengetahuan atau saran tentang keamanan pangan, atau kontrol higienitas dalam proses produksi yang baik. Rendahnya automatisasi meningkatkan kemungkinan adanya kesalahan pekerja (human error). Contoh masalah yang bisa ditemukan adalah: tidak meratanya distribusi temperatur pada ruangan dingin, alat pendingin, dan penangas air; atau pekerja yang tidak ahli bisa melupakan langkah produksi yang penting atau rentan (Rocourt, 1996). Karena adanya tantangan pada keamanan teknologi produk cookchill foods, telah mengakibatkan fakta bahwa beberapa produsen makanan kemasan seperti Eurest di Australia, lebih memilih untuk membekukan produknya daripada hanya mendinginkannya. Pada kasus lain di Inggris, 80% dari produk cook-chill foods dengan teknologi sous vide adalah produk beku (Sheard, 1995). Pertumbuhan B. cereus pada Cook-chill Foods Pada penelitian tahap kedua dilakukan challenge test dengan cara menginokulasi spora dan sel vegetatif pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa spora dan sel vegetatif B. cereus bisa tumbuh dengan laju yang lebih cepat pada spaghetti bolognaise daripada nasi
23
ayam lada hitam. Selain itu ternyata pada suhu 15oC ternyata pertumbuhan sel vegetatif selama 3 hari masih bisa ditekan di bawah 1 log CFU/g. Tingkat pertumbuhan sebesar kurang lebih 1 log CFU/g ini hampir sama dengan laju pertumbuhan B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam pada penyimpanan retail. Nasi dan spaghetti memiliki pH yang netral dan sebagian besar mengandung karbohidrat, dan juga mengandung protein dan vitamin. Oleh karena itu nasi dan spaghetti yang telah dimasak merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri. Tabel 4 Pertumbuhan sel vegetatif dan spora B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang disimpan pada suhu 15oC Hari Penyimpanan
Nasi Ayam Lada Hitam
Spaghetti Bolognaise
Σ B. cereus (Log CFU/g) Spora
Sel Vegetatif
Spora
Sel Vegetatif
1
3.57+0.04
3.74+0.08
3.84+0.04
3.72+0.03
2 3
3.71+0.01 3.83+0.02
3.89+0.06 4.08+0.25
4.04+0.04 4.88+0.68
3.88+0.10 4.13+0.21
Inaktivasi Sel Vegetatif dan Spora B. cereus Dengan menggunakan oven microwave yang berdaya 850 watt, pemanasan selama 120 detik bisa menurunkan sel vegetatif B. cereus sebesar 4 log (Gambar 4) pada nasi ayam lada hitam. Sedangkan dengan menggunakan oven microwave Mitsubishi yang berdaya 410 watt, hanya dapat mengurangi sel vegetatif sebesar hanya sebesar 2 log pada waktu selama 120 detik (Gambar 6). Selain itu bisa dilihat bahwa spora B. cereus lebih sulit untuk dihancurkan daripada sel vegetatifnya (Gambar 5). Kim et al. (2009) menuturkan bahwa inaktivasi sempurna spora B. licheniformis bisa dicapai selama 90 menit dengan menggunakan oven microwave 0.5 kW dan 60 menit pada 2 kW, sedangkan dibutuhkan waktu 150 menit bagi air mendidih untuk menginaktivasi spora B. licheniformis seluruhnya.
24
8 7 Log CFU/g
6 5 4 3 2 1 0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
Waktu Pemanasan (detik) Gambar 4 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt. -- spaghetti bolognaise -- nasi ayam lada hitam
6
Log CFU/g
5 4 3 2 1 0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
Waktu Pemanasan (detik)
Gambar 5 Perubahan nilai log CFU/g spora B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt. -- spaghetti bolognaise -- nasi ayam lada hitam
25
6
Log CFU/g
5 4 3 2 1 0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
Waktu Pemanasan (detik) Gambar 6 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 410 watt. -- spaghetti bolognaise -- nasi ayam lada hitam
Spora merupakan representasi dari bentuk metabolisme dorman dari organisme yang berasal dari sel vegetatif. Pembentukan spora biasanya diinduksi karena adanya restriksi dari satu atau lebih nutrisi (Setlow and Johnson, 1997) dan merupakan suatu bentuk pertahanan diri pada lingkungan yang keras. Spora yang berasal dari bakteri bisa mempunyai efek yang signifikan pada makanan karena ketahanannya pada berbagai macam perlakuan proses pengolahan dan pengawetan pada makanan (Ray, 2005). Absorbsi energi dari oven microwave dan frekuensi radio bisa meningkatkan temperatur makanan cukup tinggi untuk menginaktivasikan mikroorganisme untuk efektif pasteurisasi atau sterilisasi. Sudah banyak studi dilakukan untuk melihat efek pemanasan oven microwave terhadap mikroorganisme patogen di makanan. Bakteri yang dilaporkan bisa dinaktivasi dengan pemanasan oven microwave antara lain Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, patogenic Eschericia coli, Enterococcus, Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus (Atmaca et al., 1996), bakteri asam laktat (Kim et al., 1997), dan Salmonella (Lu et al., 20101). Bakteri patogen telah dilaporkan bisa diinaktivasi pada berbagai macam jenis makanan, seperti pada daging ayam, daging sapi, produk ikan dan babi, susu, dan telur, akan tetapi Heddleson & Dorres (1994) melaporkan bahwa pasteurisasi susu di rumah mengundang banyak masalah dan berpotensi bahaya karena adanya pemanasan yang tidak seragam dan kurangnya standarisasi pada oven microwave di level rumah tangga. Beberapa studi juga mendemonstrasikan bahwa pengukuran internal temperatur pada produk daging terkadang tidak mengindikasikan bahwa terjadi inaktivasi Salmonella yang diinokulasikan pada permukaan daging yang disebabkan oleh rendahnya temperatur pada permukaan produk (Schnepf & Barbeau, 1989). Suatu penelitian melaporkan bahwa pemanasan dengan oven microwave selama 1 menit pada nasi yang disimpan pada 18oC dapat memusnahkan sel vegetatif beserta reduksi endospora sebesar hampir 4 log unit (Cronin & Wilkinsson, 2009). Ada dua mekanisme yang ditawarkan untuk menjelaskan mekanisme inaktivasi mikroorganisme oleh oven microwave. Yang pertama adalah oven microwave menginaktivasi mikrorganisme sepenuhnya oleh panas dengan
26
mekanisme yang bisa dibandingkan dengan proses pemanasan konvensional, seperti denaturasi enzim, protein, asam nukleat, dan komponen vital lainnya, dan juga disrupsi membrane (Heddleson & Doores, 1994). Mekanisme lain yang diajukan adalah mekanisme inaktivasi mikroorganisme oleh oven microwave juga meliputi efek non termal. Ada empat teori yang digunakan untuk menjelaskan inaktivasi non termal oleh oven microwave atau ‘pasteurisasi dingin’, yaitu: pemanasan selektif, elektroporasi, runtuhnya membran sel, dan coupling medan magnet (Kim et al., 2009). Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketahanan panas pada spora bakteri, faktor utama adalah karena adanya dehidrasi dan mineralisasi dari bagian inti spora, dan adanya protein larut asam kecil –small acid soluble proteins (SASP) yang melindungi DNA (Setlow & Johnson, 1997). Pada B. cereus, sporanya relatif tahan panas, walaupun nilai D cenderung bervariasi. Rentang nilai D100 adalah 2,2-5,4 menit walaupun telah diobservasi ada beberapa variasi tergantung strain yang berbeda (Batt, 1999). Nilai D121 spora B. cereus bervariasi antara 0,03-2,35 menit (z=7,9-9,9oC) untuk spora yang disuspensi pada buffer fosfat pada pH 7. Pada umumnya spora dari B. cereus yang psikrotropik lebih tidak tahan panas daripada spora dari strain mesofilik (Riemann & Crievel, 2006). Germinasi spora berlangsung cepat dan pada beberapa strain germinasi bisa terjadi dalam jangka waktu 30 menit dan frekuensinya bisa sampai 100% (Batt, 1999). Pada medium di laboratorium, dilaporkan bahwa germinasi bisa terjadi pada -1-59oC; pada nasi, temperatur untuk germinasi bervariasi antara 5-50oC (Kramer & Gilbert, 1989). Sangat tidak praktis untuk mengeliminasi spora dari makanan karena B. cereus hadir secara luas di lingkungan dan bisa bertahan pada produk pangan kering pada masa penyimpanan yang lama. Oleh karena itu, kontrol biasanya diarahkan pada pencegahan germinasi spora, dan mencegah perkembangbiakan menjadi populasi besar. Untuk mencapai hal tersebut, pangan yang sudah dimasak harus secara cepat dan efisien didinginkan dan kemudian dipanaskan secara menyeluruh sebelum disajikan kembali (Setlow & Johnson, 1997). Kebocoran asam nukleat Menurut Lin et al. (2000), senyawa yang terdeteksi pada panjang gelombang 260 adalah asam nukleat dan turunannya, yaitu nukleotida sedangkan pada panjang gelombang 280 nm adalah protein. Keberadaan asam nukleat pada suspensi spora mengindikasikan pelepasan komponen utama karena adanya kerusakan pada membran dalam spora. Dalam penelitian bisa dilihat bahwa air mendidih tidak menyebabkan kebocoran asam nukleat dan protein sebesar oven microwave pada spora (Gambar 7 dan 8), akan tetapi pada sel vegetatif efek pemanasan dengan oven microwave dan air mendidih terhadap kebocoran asam nukleat dan protein hampir serupa.
27
Absorbansi 260 (nm)
5 4 3 2 1 0 0
30
45
60
120
240
Waktu Pemanasan (detik)
Absorbansi 280 (nm)
Gambar 7 Kebocoran asam nukleat sel vegetatif B. cereus pada A 260 yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih. -- oven microwave 850 watt -- air mendidih 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
30
45
60
120
240
Waktu Pemanasan (detik) Gambar 8 Kebocoran protein pada sel vegetatif B. cereus pada A280 nm yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih. -- oven microwave 850 watt -- air mendidih
Absorbansi 260 (nm)
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
30
45
60
120
240
Waktu Pemanasan (detik) Gambar 9 Kebocoran asam nukleat spora B. cereus pada A260. -- oven microwave 850 watt -air mendidih
28
Absorbansi 280 (nm)
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
30
45
60
120
240
Waktu Pemanasan (detik) Gambar 10. Kebocoran asam nukleat pada spora B. cereus pada A280. -- oven microwave 850 watt -- air mendidih
Log CFU/g
Kim et al. (2009) juga melaporkan hal yang senada, walaupun begitu bisa dilihat bahwa air mendidih masih bisa menghambat outgrowth spora B. cereus (Gambar 12) dan pertumbuhan sel vegetatif B. cereus (Gambar 11). Walaupun penggunaan moist heat sudah digunakan secara luas untuk membunuh spora, mekanisme spesifik dan target penghancuran spora oleh metode ini masih belum jelas (Coleman et al., 2007). Kakita et al. (1995) melaporkan bahwa iradiasi microwave menghancurkan DNA yang terletak jauh di dalam inti, hal tersebut tidak terjadi pada pemanasan basah (moist heating). Rendahnya tingkat kebocoran asam nukleat dengan air mendidih kemungkinan disebabkan karena DNA spora dilindungi dengan baik karena mengandung protein spora larut asam yang kecil (Coleman et al., 2007). Oleh sebab itu kemungkinan terjadi kerusakan pada protein spora atau protein spesifik yang rusak karena perlakuan pemanasan basah, atau karena terjadi kebocoran DPA (dipicolinic acid) atau juga karena ada enzim penting yang menjadi tidak aktif atau terdenaturasi (Setlow, 2006). Spora yang diekspos dengan oven microwave memberikan dampak yang lebih besar terhadap ultra struktur spora daripada spora yang didihkan. Perlakuan dengan oven microwave memisahlan mantel luar dari mantel dalam dan menghancurkan mantel luar. Selain itu terjadi hidrolisis korteks dan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
30
60
90
120
150
Waktu Pemanasan (detik)
180
210
240
29 Gambar 11 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif suspensi B. cereus yang dipanaskan dengan oven microwave 850 watt dan air mendidih. -- oven microwave 850 watt -- air mendidih 9 8
Log CFU/g
7 6 5 4 3 2 1 0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
Waktu Pemanasan (detik) Gambar 12 Perubahan nilai Log CFU/g suspensi spora B. cereus yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih. -- oven microwave 850 watt -- air mendidih
pembengkakkan, sama seperti spora yang didihkan. Selain itu adanya perubahan pada integritas struktural dan permeabilitas dari membran sel dan dinding sel mungkin bisa menyebabkan kerusakan pada metabolisme sel sehingga akhirnya menyebabkan kematian sel (Kim et al., 2009). Kim et al. (2009) melaporkan bahwa pada pemanasan dengan suhu tinggi dengan oven microwave, diobservasi bahwa terjadi gangguan pada membran bagian dalam dan runtuhnya mantel spora, dan efek ini tidak terlihat pada perebusan atau otoklaf. Selain itu Celandroni et al. (2009) melaporkan pada Bacillus subtilis yang terpapar pada oven microwave 2000 watt menunjukkan kebocoran protein dan DNA dari spora yang lebih signifikan daripada perebusan yang menunjukkan adanya cedera pada struktur spora.Vaid dan Bishop (1998) juga melaporkan bahwa spora B. megaterium, B. stearotermophillus, dan C. sporogenes yang sangat tahan panas pada pemanasan konvensional menjadi terfragmen pada pemanasan dengan oven microwave. Masih belum dimengerti dengan pasti mengapa spora menjadi terfragmen pada kondisi tersebut, tetapi itu mungkin karena adanya peningkatan tekanan internal di dalam inti spora. Food Safety Objective pada Cook-chill Foods Menurut rekomendasi NSW Food Authorithy (2009), disarankan bahwa cemaran B. cereus pada produk pangan yang siap dikonsumsi yang dianggap satisfactory (memuaskan) adalah apabila jumlahnya <1x102 CFU/g. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, FSO B. cereus ditetapkan sebesar FSO 2 log CFU/g dan untuk total mikroba, FSO-nya adalah sebesar <4 log CFU/g. Setelah FSO ditentukan, performance objective (PO) perlu dijalankan agar FSO bisa diraih. Dengan menggunakan data yang diperoleh dari challenge test dan FSO yang
30
direkomendasikan, dapat disajikan masing-masing delapan skenario PO yang berbeda untuk produk cook-chill foods, khususnya untuk spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam terhadap total mikroba dan B. cereus. Pada Tabel 5 disajikan delapan skenario yang berbeda untuk spaghetti bolognaise. Pada skenario 1-4 oven microwave yang digunakan adalah oven microwave SHARP yang berdaya 850 watt. Dengan menggunakan oven microwave yang berdaya 850 watt, FSO dari spaghetti bolognaise bisa tercapai karena pemanasan dengan oven microwave tersebut bisa mereduksi total mikroba dan B. cereus sebanyak hampir 4 log. Pada skenario 5-8 (Tabel 5), FSO untuk total mikroba pada spaghetti bolognaise tidak bisa tercapai apabila yang digunakan adalah oven microwave MITSUBISHI yang berdaya 410 watt apabila spaghetti bolognaise yang dijual pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-3) dipanaskan sesuai dengan suhu yang direkomendasikan pada kemasan, yaitu selama 2 menit. Tabel 5 Performance objective (PO) dan evaluasi Food safety objective (FSO) pada spaghetti bolognaise dengan skenario yang berbeda Skenario
Bahaya
Ho produk setelah produksi
ΣI Pertumbuhan pada penyimpanan
ΣR
PO
FSO
Produk diterima/ ditolak
1
Total Mikroba
5
0
3.7*
1.3
<4
Diterima
2
Total Mikroba
5
1
3.7*
2.3
<4
Diterima
3
B. cereus
2
0
3.7*
-1.7
<2
Diterima
4
B. cereus
2
1
3.7*
-0.7
<2
Diterima
5
Total Mikroba
5
0
1.95**
3.05
<4
Diterima
6
Total Mikroba
5
1
1.95**
4.05
<4
Ditolak
7
B. cereus
2
0
1.95**
0.05
<2
Diterima
8
B. cereus
2
1
1.95**
1.05
<2
Diterima
* Oven microwave SHARP 850 watt dengan pemanasan selama 45 detik (spaghetti bolognaise) ** Oven microwave MITSUBISHI RR-20T 410 watt dengan pemanasan selama 45 detik (spaghetti bolognaise)
Tabel 6 Performance objective (PO) dan evaluasi Food safety objective (FSO) pada nasi ayam lada hitam dengan skenario yang berbeda Skenario
Bahaya
Ho produk setelah produksi
ΣI Pertumbuhan pada penyimpanan
ΣR
PO
FSO
Produk diterima/ ditolak
1
Total Mikroba
5
0
3.3*
1.7
4
Diterima
2
Total Mikroba
5
1
3.3*
2.7
4
Diterima
3
B. cereus
2
0
3.3*
-1.7
2
Diterima
4
B. cereus
2
1
3.3*
-0.7
2
Diterima
5
Total Mikroba
5
0
1.94**
3.06
<4
Diterima
6
Total Mikroba
5
1
1.94**
4.06
<4
Ditolak
7
B. cereus
2
0
1.94**
0.06
<2
Diterima
8
B. cereus
2
1
1.94**
1.06
<2
Diterima
* Oven microwave SHARP 850 watt dengan pemanasan selama 2 menit (nasi ayam lada hitam) ** Oven microwave MITSUBISHI RR-20T 410 watt dengan pemanasan 2 menit (nasi ayam lada hitam)
31
Pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa FSO nasi ayam lada hitam masih dapat tercapai apabila nasi ayam lada hitam dipanaskan dengan oven microwave 850 watt selama 120 detik, baik untuk produk yang dijual pada hari pertama walaupun hari terakhir penyimpanan. Pada skenario 5-8, oven microwave 410 watt hanya dapat mereduksi log 1.94 CFU/g apabila spaghetti bolognaise dipanaskan selama 45 detik. Spaghetti bolognaise yang dijual hari pertama mempunyai nilai cemaran total mikroba sebanyak log 5 CFU/g, oleh sebab itu FSO untuk nasi ayam lada hitam masih bisa tercapai. Akan tetapi, FSO tidak bisa tercapai pada hari terakhir penyimpanan karena total mikroba sudah tumbuh menjadi log 6 CFU/g. Cook-chill foods membutuhkan kontrol dan pengawasan dalam tingkat tinggi selama proses produksi dan distribusi untuk memenuhi dan menjaga kualitas dan keamanan yang dibutuhkan. Karena banyak mikroorganisme yang bisa tumbuh pada temperatur refrigerator, sangat penting untuk mengontrol jumlah mikroorganisme pada bahan baku dan juga produk seminimum mungkin (Baird-Parker, 1994). Level FSO/PO yang sesuai untuk setiap patogen pada saat suatu produk dikonsumsi harus ditetapkan tidak hanya bergantung pada keterbatasan pemanasan dengan oven microwave, akan tetapi kontribusi dari sistem manajemen makanan untuk meminimalisasi kontaminasi pada saat makanan diproduksi. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan dapat dikatakan bahwa keamanan dari produk cook-chill foods bergantung sebagian besar pada tingkat kontaminasi awal dari bahan baku mentah, rekontaminasi selama proses produksi, kemasan, masa simpan, dan juga pemanasan dengan oven microwave.
32
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat cemaran total mikroba dan B. cereus pada produk cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) masih dalam batas marginal. Produk cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) yang disimpan pada suhu 15oC mempunyai tingkat pertumbuhan mikroba sebesar 1 log selama masa penyimpanan selama tiga hari. FSO produk cook-chill foods masih bisa tercapai apabila produk tersebut dipanaskan pada waktu yang direkomendasikan dengan oven microwave SHARP 850 watt pada level maksimum, akan tetapi FSO tidak tercapai pada oven microwave MITSUBISHI 410 watt, terutama pada cook-chill foods yang dijual pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-3). Selain itu air mendidih ternyata tidak menyebabkan kebocoran asam nukleat dan protein sebesar oven microwave pada spora. Hal ini mengindikasikan bahwa oven microwave dan air mendidih mempunyai mekanisme yang berbeda untuk menginaktifkan spora B. cereus.
Saran Untuk penelitian lebih lanjut disarankan sebaiknya dianalisis juga kadar toksin emetik B. cereus pada produk cook-chill foods untuk mengetahui apabila toksin tersebut sudah terbentuk atau belum pada makanan yang diuji. Selain itu mungkin perlu dilakukan penelitian lebih mendalam untuk mengetahui penyebab perbedaan pengaruh antara pemanasan dengan oven microwave dan pemanasan konvensional dengan mengamati membran sel dengan Scanning Electron Microscope (SEM).
33
DAFTAR PUSTAKA
Andersson A, Ronner U, Granum, PE. 1995. What problem does the food industry have with the spore-forming pathogens Bacillus cereus and Clostridium perfringens? Int F Food Microbiol. 28: 145-155. Ankolenkar C, Rahmati T, Labbe RG. 2009. Detection of toxigenic Bacillus cereus and Bacillus thuringiensis spores in U.S. rice. Int J Food Microbiol. 128: 460-466. Asriani, Laksmi BS, Yasni S, Sudirman I. 2009. Mekanisme antibakteri metabolit Lb. plantarum kik dan monoasilgliserol minyak kelapa terhadap bakteri pathogen pangan. J Teknol Indones Pangan 27: 126-133. Atmaca S, Akdaq Z, Dasdaq S, Celik S. 1996. Effect of oven microwaves on survival of some bacterial strains. Acta Microbiol Immunol Hungary 43: 371378. AOAC.Official Methods of Analysis of AOAC International, 16th Edition, 4th Revision, 1995 Volume I. Bacteriological Analytical Manual (BAM). 2001. BAM R32: Gram Stain. Diakses Online 26 Oktober 2012: http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteriologic alAnalyticalManualBAM/ucm062229.htm Bacteriological Analytical Manual (BAM). 2012. BAM: Bacillus cereus. Diakses Online 26 Oktober 2012.http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteri ologicalAnalyticalManualBAM/ucm070875.htm Badan Pusat Statistik. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan 2012. Berita Resmi Statistik. No. 54/08/Th. XV. Batt CA. 1999. Bacillus-Bacillus cereus Di dalam: Robinson, R.K., Batt, C.A., Patel, P.D. (eds.). Encyclopedia of Food Microbiology 1. London: Academic Press: 119-124. Bradford MM. 1976.A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal Biochem. 72: 248–254. Byrne M. 1986. Chilled food is hot property. Di dalam: Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practice, Second Edition. Boca Raton: CRC Press. Celandroni F, Longo I, Tosorati N, Giannesi F, Ghelardi E, Salvetti S, Baggiani A, Senesi S. 2004. Effect of oven microwave radiation on Bacillus subtilis spores. J Appl Microbiol. 97: 1220-1227. Chagas Oliveira Freire F, Offord L. 2002. Bacterial and yeast counts in Brazillian commodities and spices. Brazil J Microbiol. 33: 405-409. Codex Alimentarius, 2007. Codex Alimentarius Commission, In: Alimentarius, C. (Ed.), Procedural Manual, Seventeenth edition. World Health Organization/Food and Agriculture Organization of the United Nations. Cole, M. 2004. Food Safety Objective – concept and current status. Lecture presented at the 36th Symposium of the Swiss Society of Food Hygiene, Zurich, 8thOctober 2003. Mitt Lebensmittelunt Hygiene, 95: 13-20
34
Coleman WH, Chen D, Li Y, Cowan AE, Setlow P. How Moist Heat Kills Spores of Bacillus subtilis. 2007. J Bacteriol.: 8458-8466. Creed PG. 2001. The potential of food service systems for satisfying consumer needs. Innov Food Sci Emerg. 2: 219-227. Cronin UP, Wilkinson MG. 2009.The growth, physiology and toxigenic potential of Bacillus cereus in cooked rice during storage abuse. Food Control 20: 822-828. Dahl MK. 1999.Bacillus. Di dalam: Robinson, R.K., Batt, C.A., Patel, P.D. (eds.). Encyclopedia of Food Microbiology 1. London: Academic Press: 113-119. Dewanti-Hariyadi R. 2005. Mencegah Keracunan Makanan Siap Santap. Info Teknologi Pangan. Diakses Online 21 Oktober 2012: http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_mknsntp.php Dierick K, Van Coillie E, Swiecicka I, Meyfroidt GDH, Meulemans A, Hoedemaekers G, Fourie L, Heyndrickx M, Mahilon J. 2005. Fatal Family Outbreak of Bacillus cereus-Associated Food Poisoning. J Clin Microbiol. 43: 4277-4279. Doyle MP, Beuchat LR, & Montville TJ. 2001. Food Microbiology, Fundamentals and Frontiers, 2nd Edition. Washington D.C.: ASM Press. Dreyfuss MS, Chipley JR. 1980. Coparison of Effects of Sublethal Oven microwave Radiation and Coneventional Heating on the Metabolic Activity of Staphylococcus aureus. Appl Environ Microbiol. 39: 13-16. Fellows PJ. 2000.Food Processing Technology, Principles and Practice, Second Edition. Boca Raton: CRC Press. Food Safety Authority of Ireland. 2006. Guidance note: Cook-Chill Systems in the Food Service Sector (Revision 1). Dublin: Food Safety Authority of Ireland. Fujikawa H, Ushioda H, Kudo Y. 1992. Kinetics of Eschericia coli destruction by oven microwave radiation. Appl Environ Microbiol. 58: 920-924. Gkogka E, Reij MW, Gorris LGM, Zwietering MH. 2013. Risk assessment strategies as a tool in the application of the Appropriate Level of Protection (ALOP) and Food Safety Objective (FSO) by risk managers. Int J Food Microbiol. 167: 8-28. Gorris LGM. 2005. Food safety objective: an integral part of food chain management. Food Control 16: 801-809. Hamouda T, Shih AY, Baker JR Jr. (2002) A rapid staining technique for the detection of the initiation of germination of bacterial spores. Lett Appl Microbiol. 34: 86–90. Häggblom MM, Apetroaie C, Andersson MA, Salkinoja-Salonen MS. 2002. Quantitaive Analysis of cereuilde, the emetik toxin of Bacillus cereus, produced under various conditions. Appl Environ Microbiol. 68: 2479-2483. Hauge S. 1955. Food Poisoning caused by aerobic spore formingbacili. Di dalam: Doyle, M.P., Beuchat, L.R., & Montville, T.J. 2001. Food Microbiology, Fundamentals and Frontiers, 2nd Edition. Washington D.C.: ASM Press. Health Canada. 2010. Food Safety Tips for Oven microwave oven. Diakes online pada 28 Oktober 2012: http://www.hc-sc.gc.ca/fn-an/securit/kitchencuisine/micro-eng.php Heddleson RA, Doores S. 1994. Factors affecting oven microwave heating of foods and oven microwave induced destruction of foodborne pathogen – a review. J Food Protect. 57: 1025-1037.
35
Hill MA. 1987. The effect of refrigeration on the quality of some prepared foods. Di dalam: Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practice, Second Edition. Boca Raton: CRC Press. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology, Seventh Edition. Springer. Kakita Y, Kashige N, Murata K, Kuroiwa A, Funatsu M, Watanabe K. 1995 Inactivation of Lactobacillus bacteriophage PL-1 by microwave irradiation. Microbiol Immunol. 39: 571–576. Kim, SK, Shin SG, Chang KS, Kim SY, Noh BS, Bhowmik S. 1997. Survival of Lactic acid Bacteria during Oven microwave Vacuum-drying of Plain Yoghurt. Lebensm Wiss Technol. 30: 573-577. Kim SY, Shin SJ, Song CH, Jo EK, Kim HJ, Park JK. 2009. Destruction of Bacillus licheniformis spores by oven microwave irradiation. J. Appl. Microbiol. 106: 877-885. Lake R, Hudson A, Cressey P. 2004. Risk Profile: Bacillus spp. in Rice. Christchurch: Institute of Environmetal Science & Research Limited. Laurent Y, Arino S, Rosso L. 1999. A quantitave approach for studying the effect of heat treatment conditions on resistance and recovery of Bacillus cereus spores. Int J Food Microbiol. 48: 149-157. Lee HY. 2009. Characterization of Bacillus cereus Isolated from Ready-to-eat cereals. Master thesis. Universiti Putra Malaysia. Lin CM, James FP, Cheng IW. 2000. Antibacterial mechanism of allyl isothiocyanate. J Food Protect. 61: 727-734. Little CL, Barnes J, Mitchell RT. 2002. Microbiological quality of take-away cooked rice and chicken sandwiches: Effectiveness of food hygiene training of the management. Comm Dis Public Health 5: 289-298. Mahler H, Pasi A, Kramer JM, Schulte P, Scoging AC, Bar W, Krahenbuhl S. 1997. Fulminant liver failure in association with the emetic toxin of Bacillus cereus. Di dalam: Doyle, M.P., Beuchat, L.R., & Montville, T.J. 2001. Food Microbiology, Fundamentals and Frontiers, 2nd Edition. Washington D.C.: ASM Press. Manickavasagan A, Jayas DS, Vadvambal R. 2009. Nonuniform oven microwave heating of ready-to-eat chicken pies. Can Biosyst Eng. 51: 339-344. Mejia ZS, Beumer RR, Zwietering R. 2011. Risk Evaluation and management to reaching a suggested FSO in a steam meal. Food Microbiol 28: 631-638. Molecular Station. 2007. Bacillus cereus spores. Diakses Online 27 Oktober 2012: http://www.molecularstation.com/molecular-biology-images/511-bacteriapictures/126-bacillus-cereus-spores.html Mortimer PR, McCann G. 1974. Food Poisoning Episodes associated with Bacillus cereus in Fried Rice. Di dalam: Doyle, M.P., Beuchat, L.R., & Montville, T.J. 2001. Food Microbiology, Fundamentals and Frontiers, 2nd Edition. Washington D.C.: ASM Press. Novak JS, Juneja, VK. 2002. Clostridium perfringens: hazard in new generation foods. Innov Food Sci Emerg. 3: 127-132. NSW Food Authority. 2009. Microbiological quality guide for ready-to-eat foods: A guide to interpreting microbiological results.
36
Opstal IV, Bagamboula CF, Vanmuysen SCM., Wuytack EY, Michiels CW. 2004. Inactivation of Bacillus cereus spores in milk by mild pressure and heat treatments. Int J Food Microbiol. 92: 227-234. Pirhonnen TI, Andersson MA, Jaaskelainen EL, Salkinoja-Salonen MS, Honkanen-Buzalski T, Johansson TML. 2005. Biochemical and toxic diversity of Bacillus cereus in a pasta and meat dish associated with a foodpoisoning case. Food Microbiol. 22: 87-91. Parker, B. 1994.Use of HACCP by the chilled food industry. Food Control 5: 167-170. Peng H et al. 2001. Isolation and enumeration of Bacillus cereus from food in a novel chromogenic plating medium. Food Microbiol. 18:231-238. Pramesti, D. 2012. Jelang Lebaran, Oven microwave Laris Manis. Surya. Diakses 25 Oktober 2012: http://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/ 2012/07/25/jelang-lebaran-oven microwave-laris-manis Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2005. Microbiology, Sixth Edition. New York: McGraw Hill. Toxigenicity and genetic diversity of Staphylococcus aureus isolated from Vietnamese ready-to-eat foods. Food Control 21: 166-171. Primawisdawati.2010. Cemaran Bacillus spp. pada Nasi Putih di Wilayah Dramaga, Bogor serta Pengaruh Pemanasan dengan Oven microwave.Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rampal, L, Jegathesan M, Lim, YS. 1984. An outbreak of Bacillus cereus food poisoning in a school hostel, Klang. The Med. J. Malay. 39(2): 116-122. Ray, B. 2005. Fundamental Food Microbiology, 3rd Edition. Boca Raton: CRC Press. Riemann HP, Cliver DO. 2006. Foodborne Infection and Intoxication, 3rd Edition. Elsevier. Rocourt J. 1996. Risk factors for listeriosis. Food Cont. 7: 192–202. Rosenquist H, Smidt L, Andersen SR, Jensen GB, Wilcks A. 2005. Occurrence and significance of Bacillus cereus and Bacillus thuringiensis in ready-to-eat food. FEMS Microbiol Lett. 250: 129-136. Roussy G, Pearce J. 1995.Foundations and industrial applications of microwaves oven and radio frequency fields. Di dalam: USFDA. 2012. Kinetics of Microbials Inactivation for Alternative Food Processing Technologies – Microwave Oven and Radio frequency processing. US Food and Drug Administration. Rybka-Rodgers S. 2001. Improvement of food safety design of cook-chill foods. Food Res Int 34: 449-455. Sandy G, Wilkinson PJ. 1988. Microbiological evaluation of hospital delivered meals service using precooked chilled foods. J. Hospital Infect. 11: 209-219. SCIMAT. 2005. Bacillus cereus. Diakses Online 27 Oktober 2012: http://www.magma.ca/~scimat/b_cereus.htm Setlow P. 2006. Spores of Bacillus subtilis: their resistance to radiation, heat and chemicals. J Bacteriol. 101:514–525. Sheard MA, Rodger C, 1995. Optimum heat treatments for ‘sous vide’ cook-chill products. Food Control 6: 53–56. Snyder P. 1997. Safety of Pasteurized-Chilled Food.Hospitality Institute of Technology and Management. Diakses Online 26 Oktober 2012: http://www.hi-tm.com/Documents/Chillfd.html
37
Stewart CM, Tompkin RB, Cole MB. 2002. Food Safety: new concepts for the new millennium. Innov Food Sci Emerg. 3: 105-112. Te Giffel MC, Beumer RR, Granum PE, Rombouts FM. 1996. Isolation and characterisation of Bacillus cereus from pasteurised milk in household refrigerators in the Netherlands. Int J Food Microbiol. 34: 307-318. Tempo. 2009. Tempo Business Update: Oven microwave dengan Air. Diakses online 25 Oktober 2012 http://www.tempo.co/read/news/2009/05/ 16/140176593/Oven microwave-dengan-Air Thosen L, Azokpota P, Hansen BM, Ronsbo MH, Nielsen KF, Hounhouigan DJ, Jakobsen M. 2011. Formation of cerelide and enterotoxins by Bacillus cereus in fermented African beans. Food Microbiol. 28: 1441-1447. USFDA. 2012. Kinetics of Microbials Inactivation for Alternative Food Processing Technologies – Oven microwave and Radio frequency processing. US Food and Drug Administration. Vela GR, Wu JF. 1979. Mechanism of lethal action of 2,450-MHz radiation on microorganisms. Appl Environ Microbiol. 37: 550-553. Welt BA, Tong CH, Rossen JL, Blund DB. 1994. Effect of Oven microwave Radiation on Inactivation of Clostridium sporogenes (PA 3679) Spores. Appl Environ Microbiol. 60: 482-488. Wijnands LM, Dufrenne JB, Zwietering MH, Leusden FM. 2006. Spores from mesophilic Bacilllus cereus strains germinate better and grow faster in simulated gastro-intestinal conditions than spores from psycrotropic strains. Int J Food Microbiol. 112: 120-128. Wogu MD, Omoruyi MI, Odeh HO, Guobadia JN. 2011. Microbial load in readyto-eat rice sold in Benin City. J Microbiol Antimicrob 3(2): 29-33. Woo I, Rhee I, Park H. 2000. Differential damage in bacterial cells by oven microwave radiation on the basis of cell wall structure. Appl Environ Microbiol. 66: 2243-2247.
38
Lampiran 1 Perbedaan karakteristik dari grup B. cereus (BAM, 2012) Reaksi Reaksi Gram
B. cereus
B. thuringiensis
B. mycoides
B. weihenstephanensis
B. anthracis
B. megaterium
+(a)
+
+
+
+
+
Katalase
+
+
+
+
+
+
Motilitas
+/−(b)
+/−
−(c)
+
−
+/−
Reduksi nitrat
+
+
+
+
+
−(d)
Dekomposisi tirosin
+
+
+/−
+
−(d)
+/−
Ketahanan terhadap lysozyme
+
+
+
+
+
−
Reaksi kuning telur
+
+
+
+
+
−
Penggunaan glukosa secara Anaerobik
+
+
+
+
+
−
Reaksi Voges Proskauer
+
+
+
+
+
−
Produksi Asam dari Manitol
−
−
−
−
−
+
Hemolisis (sel darah merah domba)
+
+
+
ND
−(d)
−
Keterangan: a+, 90-100% dari strain positif.; b +/−, 50-50% dari strain positif.; c −, 90100% dari strain positif.; d −, kebanyakan strain negative; ND Not determined (tidak bisa ditentukan)
39
Lampiran 2 Petunjuk untuk menetapkan kualitas mikrobiologis pada siap santap (NSW Food Authority, 2009) Kualitas Mikrobiologis (cfu/g) Uji Satisfactory Marginal Unsatisfactory Standard Plate <105 >105 <104 Count 102-104 >104 <102 Enterobacteriaceae <3 3-100 >100 Escherichia coli Koagulase (+) 102-103 103-104 <102 staphylococci Clostridium 102-103 103-104 <102 perfringens Bacillus cereus dan 102-103 103-104 <102 Bacillus spp Vibrio 102-104 <3 <3-102 parahaemolyticus ND 25 g Campylobacter spp ND 25 g Salmonella spp terdeteksi Lysteria monocytogenes ND 25 g <102 *ND: not detected (tidak terdeteksi)
makanan
Potential Hazardous
>104 >104 >104 >104 terdeteksi terdeteksi >102
40
Lamppiran 3 AN NOVA dan uji lanjut Duncan terhadap cem maran angka lempeng total pada cook-chill foods yang dijual di retail
41
Lampiran 4 ANOVA A dan uji lanjut l Dunccan terhadaap cemaran B. cereus pada cook-chilll foods yangg dijual di reetail
42
RIWAYAT HIDUP Penulis yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara dilahirkan di Tangerang Selatan pada tanggal 29 Mei 1987 dari pasangan Sapto Hartoyo dan Sri Andiani. Penulis lulus dari kelas akselerasi SMU Pembangunan Jaya, Tangerang pada tahun 2004. Penulis menempuh pendidikan S-1 di Swiss German University, Serpong, Tangerang Selatan pada departemen Food Technology, fakultas Life Sciences dan lulus pada tahun 2009. Penulis sempat melaksanakan kerja magang di PT. Ultrindo Intijaya yang berlokasi di Jakarta dan Rottke yang berlokasi di Jerman.Penulis lalu melanjutkan pendidikan pascasarjana program studi Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010.