METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan tanaman F1 hasil okulasi (turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian Sungei Putih-Pusat Penelitian Karet, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang-Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ± 54 meter di atas permukaan laut. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Maret 2011. Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan adalah genotipe (tanaman F1) hasil persilangan intraspesifik dari klon RRIM 600 x PN 1546 sebanyak 25 genotipe dan 2 tetua (RRIM 600 sebagai tetua betina dan PN 1546 sebagai tetua jantan). Genotipe yang digunakan tersebut ditanam pada tahun 2008 dan ditanam dengan jarak 5 m x 4 m. Bahan kimia alkohol, sudan III, FAA (Formalin Acetic Acid), KOH 15%, HNO3, kertas saring serta bahan-bahan lain yang mendukung penelitian ini. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : meteran kain, alat ukur tinggi tanaman, scliper, alat bor kulit, timbangan analitik, pisau silet, mikroskop, deck glass, cover glass, gelas ukur, tabung gelas, sendok, stirer, oven, dan alat-alat lain yang mendukung penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) nonfaktorial yang terdiri dari 25 genotipe dan 2 tetua. Jumlah blok (ulangan)
= 3 blok
Jumlah plot / blok
= 27 plot
Jumlah tanaman per plot
= 5 tanaman
Jumlah sampel per plot
= 5 tanaman
Jumlah tanaman sampel
= 405 tanaman
Jumlah tanaman seluruhnya = 405 tanaman Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier sebagai berikut: Yij = µ + ρi + δj + εij Dimana: Yij
: nilai pengamatan pada blok ke-i dalam genotipe ke-j
µ
: nilai tengah (nilai rata-rata umum)
ρi
: pengaruh blok ke-i
δj
: pengaruh genotipe ke-j
εij
: pengaruh galat terhadap blok ke-i pada genotipe ke-j Data hasil penelitian pada genotipe yang berbeda nyata dilanjutkan dengan
uji beda rataan menurut Uji Jarak Berganda Duncan atau duncan multiple range test (DMRT) pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Analisis Ragam dan Pendugaan Komponen Ragam Sumber Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah db Keragaman Kuadrat Tengah Harapan Blok b-1 JKB KTB σ2 e + g σ2b Genotipe g-1 JKG KTG σ2 e + b σ2 g Error (b-1)(g-1) JKE KTE σ2 e Total bg-1 JKTotal Keterangan: b = blok g = genotipe db = derajat bebas
1. Keragaman Genotipe dan Fenotipe Keragaman sifat dihitung melalui analisis sidik ragam yang dikemukakan oleh Singh and Chaudary (1977) dalam Tempake dan Luntungan (2002) adalah sebagai berikut :
σ 2g =
KTg − KTe r
KTe = σ 2 e
σ 2 p = σ 2g +σ
KKG =
KKF =
σ 2g x
σ 2p x
2
e
r
× 100%
× 100%
Keterangan : = Rataan populasi x KKG = Koefisien Keragaman Genetik KKF = Koefisien Keragaman Fenotipe σ2g = Ragam genotipe σ2p = Ragam fenotipe 2 σe = Ragam galat r = Ulangan
Universitas Sumatera Utara
Kriteria keragaman menurut Murdaningsih, dkk (1990) dalam Tempake dan Luntungan (2002) adalah : Rendah
= 0 – 25% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi
Sedang
= 25 – 50% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi
Tinggi
= 50 – 75% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi
Sangat Tinggi = 75 – 100% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi 2. Heritabilitas Heritabilitas dari seluruh sampel dihitung dengan rumus :
h2 =
σ 2g σ 2g = σ 2 p σ 2 g + σ 2e
Menurut Stansfield (1991) kriteria heritabilitas adalah sebagai berikut : Heritabilitas tinggi
> 0,5
Heritabilitas sedang
= 0,2 – 0,5
Heritabilitas rendah
< 0,2
3. Kemajuan Genetik Harapan Kemajuan Genetik (HKG) dapat dihitung dan diduga menurut cara sebagai berikut :
HKG = K ( σ 2 p )(h 2 ) Keterangan : K x h2
= Konstanta 2,06 untuk intensitas seleksi 0,05 = Nilai tengah populasi = Nilai heritabilitas
Universitas Sumatera Utara
4. Seleksi Genotipe Berdasarkan Produksi Lateks dan Kayu Secara umum telah diketahui bahwa populasi semaian F1 menyebar secara normal, sehingga intensitas seleksi yang dipergunakan adalah areal yang terletak pada 10% dan 1% di sebelah kanan kurva normal. Pendugaan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan rumus sebaran Z sebagai berikut: Z=
X −µ SD
Keterangan: Z = konstanta 1,32 untuk seleksi 10% dan 2,48 untuk seleksi 1% pada 25 genotipe yang akan diseleksi X = nilai minimum untuk parameter seleksi µ = nilai rata-rata populasi SD = simpangan baku Hasil seleksi 10% genotipe terbaik akan masuk dalam Pengujian Pendahuluan dan 1% genotipe terbaik masuk dalam Pengujian Plot Promosi. 5. Analisis Korelasi Antar Peubah Amatan Terhadap Produksi Nilai korelasi (rij) dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
rij =
ΣX i Yi − (ΣX i )(ΣYi ) / n
{ ΣX i2 − (ΣX i ) 2 / n }{ ΣYi 2 − (ΣYi ) 2 / n }
Penafsiran nilai rij dapat juga dilakukan dengan menggunakan program aplikasi SPSS® 19 sehingga diperoleh matriks korelasi.
Universitas Sumatera Utara
PELAKSANAAN PENELITIAN
Persiapan Areal Membersihkan areal pertanaman dari gulma-gulma agar mudah melakukan kegiatan penelitian. Bagan penelitian terlampir pada lampiran 2. Sensus Tanaman Untuk mengetahui jumlah dan kondisi seluruh populasi tanaman di lapangan, dilakukan sensus tanaman dengan cara menomori masing-masing tanaman. Membuat Batas Tinggi Penyadapan Untuk menentukan batas tinggi penyadapan, terlebih dahulu dibuat batas tinggi penyadapan dengan melingkari batang tanaman pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Penandaan ini dibuat dengan menggunakan spidol atau cat. Menyiapkan Penampungan Lateks Penampungan lateks dibuat dengan kertas saring yang berukuran 7,5 cm x 10 cm yang direkatkan dengan lakban (selotip) pada batang tanaman dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah (sesuai ketinggian penyadapan). Penyadapan Penyadapan dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00 - 11.00) dengan metode testateks yang menggunakan pisau penusuk kulit yang dibuat mirip dengan alat ciptaan Cramer. Jarak antara pisau masing-masing 2 cm. Pisau ini ditekan ke kulit batang tanaman sehingga lateks akan mengalir keluar dari luka. Lateks ditampung kemudian dibawa ke laboratorium untuk ditimbang berat keringnya. Penyadapan dilakukan sebanyak 10 kali sadap.
Universitas Sumatera Utara
Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (m) Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan alat ukur berskala yang diukur dari permukaan tanah sampai ke titik tumbuh ujung tanaman. Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian. Jumlah Cabang Primer (cabang) Jumlah cabang primer dihitung pada batang utama untuk setiap tanaman. Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian. Tinggi Cabang Pertama (m) Tinggi cabang pertama diukur dengan menggunakan alat ukur berskala yang diukur dari permukaan tanah sampai ke titik pangkal cabang pertama tanaman. Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian. Lilit Batang (cm) Lilit batang diukur pada ketinggian 50 cm di atas permukaan tanah menggunakan meteran kain (ukuran 100 cm). Semua genotipe F1 hasil okulasi (turunan) hasil persilangan RRIM 600 x PN 1546 diukur untuk mengetahui besaran lilit batang yang dimiliki. Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian. Tebal Kulit (mm) Kulit diambil dengan menggunakan alat pelubang kulit yang terbuat dari besi dengan diameter 1 cm. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur ketebalan kulit adalah scliper. Contoh kulit diambil 5 cm di atas batas bidang penyadapan. Untuk menghitung tebal kulit yang sebenarnya, skala yang ditunjukkan oleh scliper dikalikan faktor koreksi sebesar 0,5 mm. Contoh kulit
Universitas Sumatera Utara
yang diambil untuk masing-masing genotipe berasal dari 2 tanaman sampel yang dipilih berdasarkan kondisi fisik (fenotipik) tanaman. Jumlah dan Diameter Pembuluh Lateks Untuk menghitung jumlah dan diameter pembuluh lateks dilakukan menurut metode Gomez et al. (1972). Pembuatan preparat pembuluh lateks dilakukan dilaboratorium Fisiologi dan Penyakit Balai Penelitian Sungei Putih. Contoh kulit yang telah diambil untuk pengukuran tebal kulit sekaligus digunakan untuk pengukuran jumlah dan diameter pembuluh
lateks. Contoh kulit yang
diambil langsung dari lapangan difiksasi dalam larutan FAA (Formalin Acetic Acid) yang ditempatkan pada botol plastik atau pirex. Contoh kulit yang diambil diberi tanda dengan pensil 2B sesuai nomor masing-masing genotipe. Larutan FAA merupakan campuran dari 10 ml formalin 40%, 5 ml asam asetat glasial, 70 ml alkohol absolut (95%) dan 15 ml aquades. Selanjutnya kulit dibawa ke laboratorium untuk langsung dibuat preparat atau disimpan terlebih dahulu. Pembuatan preparat semi permanen, kulit yang telah difiksasi dipindahkan dan dimasukkan ke dalam larutan KOH 15% selama 1 jam, kemudian dibilas dengan aquades atau air mengalir selama 5 menit dan dikeringkan dengan kertas tisue. Selanjutnya direndam ke dalam larutan HNO3 selama 2 jam dan dibilas lagi dengan aquades atau air mengalir selama 5 menit dan dikeringkan dengan kertas tisue. Untuk tahapan berikutnya atau proses selanjutnya direndam dalam larutan alkohol 70% selama 15 menit, dibilas kembali dengan aquades atau air mengalir dan dikeringkan dengan dihisap menggunakan kertas tisue agar tidak ada kandungan airnya, dan terakhir untuk dapat dilihat di bawah mikroskop diberikan pewarna Sudan III selama 30 menit. Pembuatan larutan KOH 15% yaitu dari
Universitas Sumatera Utara
campuran 15 gram KOH ditambahkan 85 ml aquades. Sedangkan untuk larutan HNO3, dibuat perbandingan volume antara HNO3 pekat dan aquades 1:2 dan larutan alkohol 70% adalah campuran dari 70 ml alkohol absolut dan 30 ml aquades. Setelah itu dilakukan pewarnaan, kemudian preparat diiris dengan menggunakan pisau silet yang tajam secara membujur untuk melihat jumlah pembuluh, sedangkan untuk melihat diameter pembuluh kulit dipotong melintang. Masing-masing irisan tipis dari pereparat tersebut di letakkan di gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup (cover glass) yang sebelumnya diberikan gliserin untuk menjaga peraparat itu tidak mengering. Setelah itu dilakukan pengamatan dibawah mikroskop dan diamati dengan pembesaran 10 x. Dengan pemberian warna Sudan III, maka jaringan pembuluh lateks akan berwarna merah cerah yang dapat dilihat perbedaan dengan jaringan lain yang tidak mengalami perubahan warna. Pengamatan terhadap jumlah dan diameter pembuluh lateks dilakukan secara bersamaan. Diameter pembuluh lateks diukur dengan menggunakan skala okuler. Besaran skala diukur mulai dari nol sampai dengan skala yang berimpit dan satu ukuran skala di mikroskop setara dengan satu mikron, dengan demikian ukuran diameter pembuluh lateks dapat diketahui. Perbesaran yang digunakan adalah 40 x. Produksi Karet Kering (g/p/s) Produksi karet kering diukur dengan cara menimbang berat kering lateks yang telah ditampung pada kertas saring. Berat kering lateks ditimbang setelah lateks dikeringkan di dalam oven pada suhu 700C selama 24 jam. Produksi Kayu (cm3/pohon)
Universitas Sumatera Utara
Produksi kayu diukur dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Wan Razali Mohd et al, (1983) yaitu sebagai berikut:
{
}
V p = 0,0435485 + 0,00005031 × (LB / π ) × TT 2
Keterangan: Vp = volume pohon LB = lilit batang TT = tinggi tanaman π = 3,142
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tinggi Tanaman (m) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam tinggi tanaman dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap tinggi tanaman. Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini . Tabel 2. Rataan Tinggi Tanaman dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Tinggi No. Rataan Tinggi Genotipe Tanaman (m) Genotipe Tanaman (m) 2 7,51 abcd 25 5,29 f 5 6,96 cde 27 7,83 abcd 11 8,17 abcd 28 7,80 abcd 12 8,46 ab 29 7,87 abcd 13 7,08 cde 30 6,99 cde 14 7,67 abcd 31 7,40 bcde 15 6,07 e 33 7,45 bcde 16 8,50 ab 36 7,54 abcd 17 7,58 abcd 37 7,92 abcd 18 6,92 de 39 7,31 bcde 19 7,55 abcd 40 8,18 abcd 20 7,49 abcd RRIM 600 8,20 abc 23 7,70 abcd PN 1546 8,60 a 24 7,98 abcd Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Dari tabel di atas terlihat bahwa tanaman paling tinggi terdapat pada klon primer PN 1546 yaitu 8,60 m yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 5, 13, 15, 18, 25, 30, 31, 33, dan 39, dan tanaman terendah terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 5,29 m yang berbeda nyata terhadap genotipe lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Cabang Primer (cabang) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam jumlah cabang primer dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe tidak berbeda nyata terhadap jumlah cabang primer. Rataan 25 genotipe dan tetua terhadap jumlah cabang primer dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Rataan Jumlah Cabang Primer dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Jumlah Cabang No. Rataan Jumlah Cabang Genotipe Primer (cabang) Genotipe Primer (cabang) 2 3,53 25 2,58 5 2,87 27 2,87 11 3,51 28 4,07 12 3,73 29 2,40 13 3,40 30 3,93 14 3,60 31 3,67 15 4,22 33 4,17 16 4,27 36 4,32 17 3,60 37 4,28 18 2,73 39 3,40 19 3,89 40 4,53 20 5,47 RRIM 600 3,60 23 3,57 PN 1546 3,80 24 4,67 Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa genotipe yang memiliki jumlah cabang primer tertinggi pada genotipe no. 20 yaitu 5,47 cabang dan terendah pada genotipe no. 29 yaitu 2,4 cabang. Tinggi Cabang Pertama (m) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam tinggi cabang pertama dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9. Hasil analisis statistika dengan metode sidik
Universitas Sumatera Utara
ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe tidak berbeda nyata terhadap tinggi cabang pertama. Rataan 25 genotipe dan tetua terhadap tinggi cabang pertama dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Rataan Tinggi Cabang Pertama dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Tinggi Cabang No. Rataan Tinggi Cabang Genotipe Pertama (m) Genotipe Pertama (m) 2 2,79 25 2,71 5 2,35 27 3,14 11 3,03 28 3,30 12 3,17 29 2,49 13 2,56 30 2,97 14 3,15 31 2,64 15 2,43 33 2,99 16 3,07 36 2,67 17 2,60 37 2,85 18 2,57 39 2,46 19 2,87 40 2,57 20 2,56 RRIM 600 3,01 23 2,72 PN 1546 3,09 24 2,77 Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa tinggi cabang pertama tertinggi terdapat pada genotipe no. 28 yaitu 3,3 m dan terendah terdapat pada genotipe no. 5 yaitu 2,35 m. Lilit Batang (cm) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam lilit batang dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap lilit batang. Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap lilit batang dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5. Rataan Lilit Batang dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Lilit Batang No. Genotipe (cm) Genotipe 2 24,23 gh 25 5 24,73 gh 27 11 26,26 eh 28 12 30,87 abcdefg 29 13 28,60 cdefg 30 14 34,93 ab 31 15 20,88 h 33 16 33,47 abc 36 17 25,03 fgh 37 18 26,53 defgh 39 19 31,40 abcdef 40 20 30,13 abcdefg RRIM 600 23 30,36 abcdefg PN 1546 24 29,53 bcdefg
Rataan Lilit Batang (cm) 16,38 i 27,53 cdefgh 35,56 a 30,53 abcdefg 27,67 cdefgh 30,10 abcdefg 28,34 cdefg 29,21 bcdefg 29,09 bcdefg 28,22 cdefg 32,90 abcd 30,40 abcdefg 31,97 abcde
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa lilit batang tertinggi terdapat pada genotipe no. 28 yaitu 35,56 cm yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 11, 13, 15, 17, 18, 24, 25, 27, 30, 33, 36, 37 dan 39, dan lilit batang terendah terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 16,38 cm yang berbeda nyata terhadap genotipe lainnya. Tebal Kulit (mm) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam tebal kulit dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap tebal kulit. Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap tebal kulit dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Rataan Tebal Kulit dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Tebal Kulit No. Genotipe (mm) Genotipe 2 2,77 e 25 5 2,79 e 27 11 3,35 abcde 28 12 3,31 abcde 29 13 3,21 abcde 30 14 3,83 a 31 15 2,91 de 33 16 3,69 abc 36 17 3,18 bcde 37 18 2,88 e 39 19 3,31 abcde 40 20 3,38 abcde RRIM 600 23 3,60 abcd PN 1546 24 3,43 abcde
Rataan Tebal Kulit (mm) 1,92 f 2,88 e 3,68 abc 3,18 bcde 3,43 abcde 3,00 cde 3,30 abcde 3,72 ab 3,03 cde 3,00 cde 3,48 abcde 3,11 bcde 3,18 bcde
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Dari tabel di atas terlihat bahwa tebal kulit tertinggi terdapat pada genotipe no. 14 yaitu 3,83 mm yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 15, 17, 18, 25, 27, 29, 31, 37, 39, klon RRIM 600 dan PN 1546, dan tebal kulit terendah terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 1,92 mm yang berbeda nyata terhadap genotipe lainnya. Jumlah Pembuluh Lateks Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam jumlah pembuluh lateks dapat dilihat pada Lampiran 14 dan 15. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap jumlah pembuluh lateks. Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap jumlah pembuluh lateks dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. Rataan Jumlah Pembuluh Lateks dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Jumlah No. Rataan Jumlah Genotipe Pembuluh Lateks Genotipe Pembuluh Lateks 2 2,50 ef 25 3,08 cdef 5 2,17 f 27 3,83 bcde 11 4,08 abcd 28 5,17 a 12 3,67 bcdef 29 4,92 ab 13 3,50 cdef 30 3,42 cdef 14 4,42 abc 31 5,00 ab 15 3,42 abc 33 2,75 def 16 3,83 bcde 36 3,08 cdef 17 4,33 abc 37 4,00 abcde 18 3,00 def 39 4,08 abcd 19 4,50 abc 40 4,50 abc 20 3,83 bcde RRIM 600 3,50 cdef 23 4,33 abc PN 1546 2,17 f 24 4,08 abcd Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Gambar 1. Sayatan Longitudinal Pembuluh Lateks Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah pembuluh lateks tertinggi terdapat pada genotipe no. 28 yaitu 5,17 yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 12, 13, 16, 18, 20, 25, 27, 30, 33, 36, klon RRIM 600 dan PN 1546, dan jumlah pembuluh lateks terendah terdapat pada genotipe no. 5 dan klon PN 1546 yaitu
Universitas Sumatera Utara
2,17 yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 11, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 23, 24, 27, 28, 29, 31, 37, 39 dan 40.
Gambar 2. Sayatan Transversal Pembuluh Lateks Diameter Pembuluh Lateks (mµ) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam diameter pembuluh lateks dapat dilihat pada Lampiran 16 dan 17. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe tidak berbeda nyata terhadap diameter pembuluh lateks. Rataan 25 genotipe dan tetua terhadap diameter pembuluh lateks dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8. Rataan Diameter Pembuluh Lateks dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Diameter No. Rataan Diameter Genotipe Pembuluh Lateks (mµ) Genotipe Pembuluh Lateks (mµ) 2 17,58 25 17,42 5 17,58 27 17,33 11 17,33 28 18,00 12 17,25 29 18,00 13 17,58 30 18,25 14 17,83 31 18,75 15 17,75 33 17,42 16 18,17 36 17,67 17 18,17 37 17,67 18 18,67 39 17,33 19 17,83 40 17,67 20 17,50 RRIM 600 18,75 23 18,08 PN 1546 17,25 24 17,92 Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa diameter pembuluh lateks tertinggi terdapat pada genotipe no. 31 dan klon RRIM 600 yaitu 18,75 mµ dan terendah terdapat pada genotipe no. 12 dan klon PN 1546 yaitu 17,25 mµ. Produksi Karet Kering (g/p/s) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam produksi karet kering dapat dilihat pada Lampiran 18 dan 19. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap produksi karet kering. Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap produksi karet kering dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 9. Rataan Produksi Karet Kering dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Produksi Karet No. Rataan Produksi Karet Genotipe Kering (g/p/s) Genotipe Kering (g/p/s) 2 0,081 jk 25 0,097 ijk 5 0,078 k 27 0,231 defghij 11 0,195 efghijk 28 0,267 cdefg 12 0,208 efghijk 29 0,261 cdefgh 13 0,291 abcdef 30 0,205 efghijk 14 0,273 bcdef 31 0,291 abcdef 15 0,203 efghijk 33 0,153 fghijk 16 0,112 hijk 36 0,355 abcd 17 0,119 ghijk 37 0,363 abcd 18 0,147 fghijk 39 0,306 abcde 19 0,381 abc 40 0,409 a 20 0,237 defghi RRIM 600 0,403 ab 23 0,318 abcde PN 1546 0,068 k 24 0,179 efghijk Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa produksi karet kering tertinggi terdapat pada genotipe no. 40 yaitu 0,409 g/p/s yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 33 dan klon PN 1546, dan produksi karet kering terendah terdapat pada klon PN 1546 yaitu 0,068 g/p/s yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 13, 14, 19, 20, 23, 27, 28, 29, 31, 36, 37, 39, 40 dan klon RRIM 600. Produksi Kayu (cm3/pohon) Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam produksi karet kering dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap produksi kayu. Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap produksi kayu dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 10. Rataan Produksi Kayu dari 25 Genotipe dan Tetua No. Produksi Kayu No. Produksi Kayu 3 Genotipe (cm /pohon) Genotipe (cm3/pohon) 2 0,04366404 ijk 25 0,04358837 l 5 0,04365775 jk 27 0,04370501 efghij 11 0,04369300 fghij 28 0,04380571 a 12 0,04375835 abcde 29 0,04374443 bcdef 13 0,04370382 fghij 30 0,04368809 ghij 14 0,04378864 abc 31 0,04372161 efghi 15 0,04362792 k 33 0,04370486 efghij 16 0,04379344 ab 36 0,04371696 efghi 17 0,04367154 ijk 37 0,04372529 defgh 18 0,04367398 hijk 39 0,04369826 fghij 19 0,04374743 bcdef 40 0,04377713 abcd 20 0,04372596 defgh RRIM 600 0,04374312 cdefg 23 0,04373135 defg PN 1546 0,04377707 abcd 24 0,04373287 defg Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa produksi kayu tertinggi terdapat pada genotipe no. 28 yaitu 0,04380571 cm3/pohon yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 11, 13, 15, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 31, 33, 36, 37, 39 dan klon RRIM 600 dan produksi kayu terendah terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 0,04358837 cm3/pohon yang berbeda nyata terhadap genotipe lainnya. Pendugaan Parameter Genetik Hasil perhitungan nilai pendugaan komponen ragam genotipe (σ2g) dan ragam fenotipe (σ2p), koefisien keragaman genetik (KKG), heritabilitas (h2) serta nilai harapan kemajuan genetik (HKG) disajikan pada Tabel 11. Pentingnya nilai komponen ragam genotipe adalah untuk menunjukkan tingkat penampilan genotipe/klon tanaman dan besarnya akan mempengaruhi KKG maupun nilai h2. Nilai KKG berkisar antara 1,33% - 40,49%, nilai KKF 2,47% - 44,74% dan HKG berkisar antara 0,264 – 6,355.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 11. Nilai pendugaan komponen ragam genotipe (σ2g), ragam fenotipe (σ2p), koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipe (KKF), heritabilitas (h2) dan harapan kemajuan genetik (HKG) Karakter σ2 g σ2 p KKG (%) KKF (%) h2 HKG Produksi Karet Kering 0,009 0,011 40,49 st 44,74 0,819 t 0,174 r Tinggi Tanaman 0,351 0,511 7,84 r 9,46 0,687 t 1,011 r Tinggi Cabang Pertama 0,016 0,070 4,55 r 9,48 0,230 s 0,126 r Lilit Batang 12,671 16,872 12,40 s 14,31 0,751 t 6,355 st Tebal Kulit 0,103 0,153 10,01 r 12,21 0,672 t 0,542 r Jumlah Pembuluh Lateks 0,445 0,653 17,81 s 21,57 0,682 t 1,135 r Diameter Pembuluh Lateks 0,056 0,194 1,33 r 2,47 0,291 s 0,264 r Produksi Kayu 0,675 t Keterangan :
r = rendah s = sedang
t = tinggi st = sangat tinggi
Tabel 11 menunjukkan nilai duga heritabilitas berkisar antara 0,230 – 0,819. Berdasarkan kriteria heritabilitas diperoleh dua parameter yang mempunyai nilai duga heritabilitas sedang yaitu pada parameter tinggi cabang pertama (0,23) dan diameter pembuluh lateks (0,291), enam parameter mempunyai nilai duga heritabilitas tinggi yaitu pada parameter produksi karet kering (0,819), tinggi tanaman (0,687), lilit batang (0,751), tebal kulit (0,672), jumlah pembuluh lateks (0,682) dan produksi kayu (0,675). Hubungan Karakter Agronomi Terhadap Produksi Karet Kering Tabel 12. Matriks Korelasi Karakter Agronomi Terhadap Produksi Karet Kering Jumlah Diameter Produksi Lilit Tebal Karakter Pembuluh Pembuluh Karet Batang Kulit Lateks Lateks Kering Lilit 1 0,821** 0,469* 0,181 0,454* Batang Tebal 1 0,399* 0,134 0,374 Kulit Jumlah Pembuluh 1 0,322 0,570** Lateks Diameter Pembuluh 1 0,211 Lateks Keterangan : *,** = Berkorelasi nyata pada taraf 5% dan 1% berdasarkam korelasi Pearson
Universitas Sumatera Utara
Hasil analisis korelasi antar karakter agronomi terhadap produksi karet kering disajikan pada tabel 12 di atas. Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah pembuluh lateks berkorelasi positif sangat nyata terhadap produksi karet kering dan lilit batang juga berkorelasi positif nyata terhadap produksi karet kering. Hubungan Karakter Agronomi Terhadap Produksi Kayu Hasil analisis korelasi antar karakter agronomi terhadap produksi kayu disajikan pada tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Matriks Korelasi Karakter Agronomi Terhadap Produksi Kayu Jumlah Tinggi Lilit Produksi Tinggi Karakter Cabang Cabang Batang Kayu Tanaman Primer Pertama Tinggi 1 0,303 0,502** 0,776** 0,815** Tanaman Jumlah Cabang 1 0,119 0,378 0,377 Primer Tinggi Cabang 1 0,460* 0,536** Pertama Lilit 1 0,977** Batang Keterangan : *,** = Berkorelasi nyata pada taraf 5% dan 1% berdasarkam korelasi Pearson
Dari tabel diatas terlihat bahwa tinggi tanaman, tinggi cabang pertama dan lilit batang berkorelasi positif sangat nyata terhadap produksi kayu.
Universitas Sumatera Utara
Pola Penyebaran Genotipe Hasil Persilangan RRIM 600 x PN 1546
Gambar 3. Pola Penyebaran Genotipe Hasil Persilangan RRIM 600 x PN 1546 Berdasarkan Data Fenotipik Seleksi Genotipe Berdasarkan Potensi Produksi Karet Kering dan Kayu Hasil analisis nilai sebaran Z pada intensitas seleksi 10% dan 1% berdasarkan potensi produksi karet kering dan kayu dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 14. Seleksi Genotipe Berdasarkan Potensi Produksi Karet Kering dan Kayu Produksi Karet Kering Produksi Kayu Deskripsi Statistik (g/p/s) (cm3/pohon) Jumlah Genotipe 25 25 Rata-rata 0,230 0,043714 Simpangan Baku 0,096 5,13 x 10-5 Nilai Minimum 10% 0,357 0,043782 Nilai Minimum 1% 0,469 0,043841 Seleksi 10% 3 3 Seleksi 1% -
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel di atas terlihat bahwa berdasarkan intensitas seleksi 10% diperoleh sebanyak 3 genotipe yang memiliki potensi produksi karet kering dengan nilai rata-rata di atas 0,357 g/p/s sedangkan pada intensitas seleksi 1% tidak terdapat genotipe yang memiliki nilai rata-rata di atas 0,469 g/p/s. Sementara, seleksi berdasarkan produksi kayu diperoleh sebanyak 3 genotipe yang memiliki potensi produksi karet kering dengan nilai rata-rata di atas 0,043782 cm3/pohon sedangkan pada intensitas seleksi 1% tidak terdapat genotipe yang memiliki nilai rata-rata di atas 0,043841 cm3/pohon. Pembahasan Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman, lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, produksi karet kering dan produksi kayu serta tidak berbeda nyata terhadap parameter jumlah cabang primer, tinggi cabang pertama dan diameter pembuluh lateks. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa genotipe berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman. Dari rataan (Tabel 2) dapat dilihat bahwa tinggi tanaman tertinggi terdapat pada klon primer PN 1546 yaitu 8,60 m dan terendah terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 5,29 m. Diduga perbedaan tinggi tanaman ini akibat adanya perbedaan susunan genetik dari masing-masing genotipe. Hal ini sesuai dengan literatur Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari jenis tanaman yang sama. Jika ada dua jenis tanaman yang sama ditanam pada lingkungan yang berbeda, dan timbul variasi yang sama dari kedua
Universitas Sumatera Utara
tanaman tersebut maka hal ini dapat disebabkan oleh genetik dari tanaman yang bersangkutan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) dapat dilihat bahwa genotipe berbeda nyata terhadap parameter lilit batang. Dari rataan (Tabel 5) dapat dilihat bahwa lilit batang tertinggi terdapat pada genotipe no. 28 yaitu 35,56 cm dan lilit batang terendah terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 16,38 cm. Adanya perbedaan lilit batang pada masing-masing genotipe diduga lebih disebabkan oleh faktor genetik dari klon yang digunakan sebagai tetua persilangan yang akan berpengaruh terhadap produksi lateks. Klon RRIM 600 sebagai tetua betina merupakan klon dari populasi Wickham, sedangkan klon PN 1546 merupakan tetua jantan yang berasal dari koleksi IRRDB 1981. Menurut Simmond (1989), karakter yang mempengaruhi produksi di antaranya pertumbuhan tanaman, ketebalan kulit, jumlah dan diameter pembuluh lateks, serta ketahanan penyakit. Hasil penelitian Woelan et al.,(2007), bahwa karakter produksi secara langsung berhubungan dengan tebal kulit, jumlah dan diameter pembuluh lateks, serta lilit batang. Liu (1998) menyatakan bahwa tanaman karet memiliki sifat heterozygous sehingga keragaman yang terbentuk cukup tinggi untuk masing-masing karakter. Semua karakter yang diamati nyata dipengaruhi oleh genotipe dan interaksi antara genotipe x lingkungan. Pengaruh genotipe yang nyata dari semua karakter menunjukkan adanya variasi (perbedaan) dan seleksi atas karakter tersebut menjadi lebih efektif. Interaksi genotipe x lingkungan yang nyata bagaimanapun akan memberikan pengaruh kepada besarnya nilai keragaman genetik. Dengan pemisahan komponen ragam interaksi dan ragam lingkungan, maka proporsi ragam genetik lebih jelas.
Universitas Sumatera Utara
Heritabilitas merupakan suatu gambaran besarnya konstribusi faktor genetik terhadap fenotipik tanaman. Heritabilitas merupakan alat ukur dalam kegiatan seleksi pada pemuliaan tanaman dan merupakan dasar dari suatu perbaikan tanaman dalam upaya mendapatkan kultivar unggul. Nilai heritabilitas dan variabilitas genetik yang tinggi merupakan syarat efektif dalam kemajuan seleksi. Hal ini disebabkan karena setiap karakter yang diharapkan akan memberikan kemajuan yang besar jika karakter tersebut mudah untuk diwariskan kepada keturunannya. Nilai pendugaan komponen ragam dan heritabilitas disajikan pada Tabel 11. Pada Tabel 11 juga menunjukkan nilai heritabilitas setiap karakter dengan kriteria sedang sampai tinggi. Menurut Mangoendidjojo (2003) heritabilitas dikatakan tinggi bila nilai h2 > 50%, sedang apabila nilai h2 terletak antara 20%50% dan dikatakan rendah bila nilai h2 < 20%. Pada Tabel 11 menunjukkan nilai heritabilitas untuk karakter tinggi cabang pertama dan diameter pembuluh lateks termasuk ke dalam kriteria sedang. Nilai heritabilitas sedang untuk suatu karakter menggambarkan karakter tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Interaksi antara faktor genotipe dengan lingkungan memiliki kemampuan yang sama kuatnya dalam mengekspresikan karakter tersebut, sehingga menyebabkan seleksi terhadap karakter-karakter tersebut kurang efektif dan karakter tersebut sangat sulit untuk diwariskan. Nilai heritabilitas untuk produksi karet kering, tinggi tanaman, tebal kulit, lilit batang, jumlah pembuluh lateks dan produksi kayu memiliki kriteria tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut lebih ditentukan oleh faktor genetik tanaman dibandingkan dengan faktor lingkungan. Menurut Fehr (1987), nilai heritabilitas yang tinggi untuk suatu
Universitas Sumatera Utara
karakter menggambarkan karakter tersebut lebih ditentukan oleh faktor genetik, karakter yang demikian akan lebih mudah diwariskan pada generasi berikutnya. Nilai kemajuan genetik untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai kemajuan genetik untuk lilit batang memiliki kriteria sangat tinggi dan karakter produksi karet kering, tinggi tanaman, tinggi cabang pertama, tebal kulit, jumlah pembuluh dan diameter pembuluh lateks memiliki kriteria rendah. Nilai kemajuan genetik yang rendah merupakan sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen-gen bukan aditif. Gen-gen bukan aditif tidak diwariskan kepada keturunannya. Hal ini didukung oleh Tempake dan luntungan (2002) yang menyatakan bahwa kemajuan genetik merupakan produk dari nilai-nilai diferensial seleksi, heritabilitas yang menentukan efisiensi sistem seleksi sehingga seleksi akan efektif bila nilai kemajuan genetik tinggi ditunjang oleh salah satu nilai KVG atau heritabilitas tinggi. Hayward (1990) dalam Suprapto dan Kairuddin (2007) juga menyatakan bahwa sifat-sifat yang dikendalikan oleh gengen bukan aditif menyebabkan kemajuan genetik yang rendah. Hal ini disebabkan pengaruh tindak gen bukan aditif tidak diwariskan dan akan lenyap semasa seleksi. Pada Tabel 12 disajikan besarnya nilai koefisien korelasi antara karakter agronomi terhadap produksi karet kering dimana jumlah pembuluh lateks memperlihatkan korelasi positif yang sangat nyata dengan produksi karet kering (0,570) demikian pula untuk lilit batang berkorelasi positif nyata dengan produksi karet kering (0,454). Hal ini menunjukkan bahwa kedua karakter komponen hasil tersebut merupakan penciri yang sangat akurat di dalam seleksi karet untuk memilih genotipe unggul yang lebih produktif. Menurut Gomez et al (1972); Ho
Universitas Sumatera Utara
(1976); Millford et al (1969) dan Premakumari et al (1996) beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karakter jumlah dan diameter pembuluh lateks, indeks penyumbatan, kadar sukrosa lateks dan kadar tiol merupakan peubah yang berhubungan erat dengan potensi produksi lateks. Pada Tabel 13 disajikan besarnya nilai koefisien korelasi antara karakter agronomi terhadap produksi kayu dimana tinggi tanaman, tinggi cabang pertama dan lilit batang berkorelasi positif sangat nyata terhadap produksi kayu masingmasing sebesar 0,815; 0,536; dan 0,977. Menurut Wan Razali Mohd et al (1983) bahwa volume kayu karet sangat ditentukan oleh besaran lilit batang dan tinggi tanaman maka volume kayu karet yang dihasilkan semakin besar dan sebaliknya semakin kecil lilit batang dan ketinggian tanaman maka volume kayu yang dihasilkan semakin kecil. Demikian halnya dengan semakin tinggi cabang primer dan tebal kulit maka kayu log yang dihasilkan semakin besar.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN
Kesimpulan 1. Koefisien keragaman genetik (KKG) dan heritabilitas (h2) dari genotipe yang diteliti cukup tinggi untuk rata-rata produksi karet kering, tinggi tanaman, lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks dan produksi kayu, dengan nilai KKG 7,84 - 40,49% dan nilai h2 antara 0,672 – 0,819 dan seleksi atas dasar karakter ini memberikan kemajuan genetik sebesar 0,542 – 6,355. 2. Terdapat tiga genotipe yang memiliki potensi sebagai penghasil lateks yaitu genotipe no. 19, 37 dan 40, dan tiga genotipe yang memiliki potensi sebagai penghasil kayu yaitu genotipe no. 14, 16 dan 28.
Universitas Sumatera Utara