i
METODE DETEKSI CENDAWAN PENYEBAB INFEKSI LATEN PADA BUAH JERUK IMPOR DAN PERLAKUAN FITOSANITARI
NURHOLIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Metode Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten pada Buah Jeruk Impor dan Perlakuan Fitosanitari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015 Nurholis NIM A351130304
iv
RINGKASAN NURHOLIS. Metode Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten pada Buah Jeruk Impor dan Perlakuan Fitosanitari. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA dan EFI TODING TONDOK. Infeksi laten adalah hubungan parasitik patogen yang bersifat dorman dalam tanaman inang, yang dapat berubah menjadi patogen yang aktif. Patogen infeksi laten pada buah jeruk impor berpotensi tinggi sebagai sumber inokulum yang dapat menyebabkan epidemik penyakit tumbuhan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah tersedianya metode yang akurat, cepat dan dapat diaplikasikan untuk mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dan diperolehnya perlakuan fitosanitari yang efektif dalam mematikan cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor. Deteksi cendawan penyebab infeksi laten telah dilakukan berdasarkan studi kasus buah jeruk impor asal Argentina melalui pintu pemasukan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Deteksi cendawan telah dilakukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel dari buah jeruk menggunakan metode konvensional dan molekuler. Deteksi secara konvensional terdiri atas direct agar plating technique (DAPT), kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT, overnight freezing incubation technique (ONFIT), kombinasi SST dan Inkubasi. Deteksi secara molekuler menggunakan pasangan primer universal ITS1F dan ITS4. Iradiasi UV-C digunakan sebagai perlakuan fitosanitari yang dilaksanakan secara in vitro dan in vivo terhadap cendawan temuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk berhasil dideteksi menggunakan metode konvensional dan molekuler. metode DAPT berhasil mendeteksi Alternaria citri, Colletotrichum gloeosporioides dan Fusarium incarnatum pada hari ketiga setelah inkubasi. Cendawan yang sama juga ditemukan melalui metode kombinasi SST dan DAPT pada hari kedua setelah inkubasi. Menggunakan metode ONFIT berhasil menemukan A. citri, C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. boninense dan Guignardia mangiferae pada hari ketiga setelah inkubasi. Metode kombinasi SST dan inkubasi tidak menemukan cendawan. Temuan kelima spesies cendawan tersebut adalah hasil identifikasi secara konvensional melalui karakter morfologi yang diperkuat oleh teknik identifikasi secara molekuler. Keberadaan DNA cendawan infeksi laten dalam buah jeruk juga berhasil dideteksi secara langsung melalui metode molekuler. Hasil sikuen mengidentifikasi cendawan tersebut adalah Alternaria sp. dan Fusarium sp. Perlakuan UV-C terbukti efektif mematikan semua cendawan temuan pada pengujian in vitro selama 120 menit dan mampu menghambat pertumbuhan A. citri dan C. gloeosporioides hingga 100% pada pengujian in vivo selama 5 jam Katakunci: pembekuan, konvensional, molekuler, polymerase chain reaction, ultraviolet-C
vii
SUMMARY NURHOLIS. Detection Methods of Fungal Latent Infection on Imported Citrus Fruits and Phytosanitary Treatment. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA and EFI TODING TONDOK. Latent infection is a quiescent or dormant parasitic relationship of pathogens on their host, which can change into an active one. The latent infection pathogens on imported citrus fruits have high potential as the source of inoculum for plant disease epidemic in Indonesia. The objectives of this study are to detect the latent pathogens in imported citrus fruits and to obtain phytosanitary treatment for controlling the pathogens. Detections of the fungal latent infection have been done to the case study of imported citrus fruits from Argentina through entry point of Tanjung Perak Sea Port, Surabaya. Detection of fungi were done on calyx, peel, seed and carpel of citrus fruits using conventional and molecular methods. Conventional detections have been performed through direct agar plating technique (DAPT), senescence stimulating technique (SST) and DAPT combination, overnight freezing incubation technique (ONFIT), SST and incubation combination. A pair of universal primer ITS1F and ITS4 has been used in molecular detection. The UVC irradiation has been tested as phytosanitary treatment that was carried out by in vitro and in vivo test. The result of the study showed that fungal latent infection on imported citrus fruits were successfully detected by conventional and molecular methods. Through DAPT methods, have been detected Alternaria citri, Colletotrichum gloeosporioides and Fusarium incarnatum at the third days after incubation. The same species were obtained by combination methods of SST and DAPT at the second days after incubation. Moreover, through the ONFIT methods have been found A. citri, C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. boninense and Guignardia mangiferae at the third days after incubation. No fungi were found by combined SST and incubation methods. The five species of the fungal latent infection were conventionally identified by morphological characters and confirmed by molecular identification techniques. The universal primers were able to amplify the fungal DNA on fresh citrus fruits. Sequencing of DNA showed that the fungi were Alternaria sp. and Fusarium sp. The UV-C treatment for 120 minutes showed an effective treatment against all detected fungi in vitro test. The fungal growth of A. citri and C. gloeosporioides can be inhibited 100% by exposing UVC for 5 hours in vivo test. Keywords: freezing, conventional, molecular, polymerase chain reaction, ultraviolet-C
viii
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
METODE DETEKSI CENDAWAN PENYEBAB INFEKSI LATEN PADA BUAH JERUK IMPOR DAN PERLAKUAN FITOSANITARI
NURHOLIS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Antarjo Dikin MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Maret 2015 ini adalah Metode Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten pada Buah Jeruk Impor dan Perlakuan Fitosanitari. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc dan Dr Efi Toding Tondok, SP MSc sebagai komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis selama penelitian berlangsung hingga selesainya penyusunan karya ilmiah ini; 2. Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Studi Fitopatologi dan Dr Ir Pudjianto, MSi sebagai Ketua Program Studi Entomologi yang selalu memotivasi baik selama perkuliahan hingga selesainya penyusunan karya ilmiah ini; 3. Dr Ir Antarjo Dikin, MSc, Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan saran perbaikan tesis ini; 4. Dr Ir Eliza Rusli, MSi, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta ijin berupa sarana dan prasarana penunjang penelitian di Laboratorium Karantina Uji, BBKP Surabaya; 5. Dr Ir M. Mussyafak Fauzi, SH MSi, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Seokarno Hatta Jakarta, yang telah memberikan ijin berupa sarana dan prasarana penunjang penelitian; 6. Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa pendidikan program khusus magister Sains di Institut Pertanian Bogor; 7. Rekan-rekan mahasiswa program khusus magister sains karantina tumbuhan angkatan 3, atas semangat dan kebersamaannya selama menjalani studi; 8. Resti Indah Hayati Sukma (istri), Alesha Azqia Nurputri Sukma (anak), Eman Sulaeman dan Jariyah (kedua orang tua) atas dukungan, pengertian, segala doa dan kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini tepat pada waktunya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi Badan Karantina Pertanian dalam upaya cegah tangkal Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Bogor, Mei 2015 Nurholis
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting dan Permasalahan Buah-buahan Biologi dan Penyakit Penting pada Buah Jeruk Biologi buah jeruk Penyakit penting pada buah jeruk Infeksi Laten Deteksi Infeksi Laten Perlakuan UV-C BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Deteksi dan Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Deteksi konvensional Identifikasi konvensional Deteksi molekuler Identifikasi molekuler Uji Postulat Koch Perlakuan UV-C pada Cendawan Penyebab Infeksi Laten Perlakuan UV-C in vitro Perlakuan UV-C in vivo Analisa data HASIL DAN PEMBAHASAN Importasi Buah di Pelabuhan Tanjung Perak Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Deteksi konvensional Deteksi molekuler Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Uji Postulat Koch Perlakuan UV-C pada Cendawan Penyebab Infeksi Laten Perlakuan UV-C in vitro Perlakuan UV-C in vivo KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii xii xiii 1 1 3 3 4 4 5 5 5 10 11 12 14 14 14 14 14 15 15 15 16 16 16 17 17 18 18 19 19 21 26 36 37 37 40 43 43 43 44 50
xii
DAFTAR TABEL 1 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode direct agar plating technique (DAPT) 2 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT 3 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT) 4 Spesies cendawan laten temuan dengan metode deteksi konvensional dan molekuler 5 Identifikasi isolat cendawan laten temuan secara konvensional dan molekuler 6 Morfometri konidia cendawan laten temuan 7 Tingkat homologi 535 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat A. citri temuan dengan isolat dari negara lain 8 Tingkat homologi 539 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat C. gloeosporioides temuan dengan isolat dari negara lain 9 Tingkat homologi 571 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat C. boninense temuan dengan isolat dari negara lain 10 Tingkat homologi 621 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat G. mangiferae temuan dengan isolat dari negara lain 11 Tingkat homologi 591 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat F. incarnatum temuan dengan isolat dari negara lain 12 Rata-rata persentase penghambatan perlakuan UV-C in vitro terhadap cendawan temuan pada 5 hari setelah inkubasi 13 Rata-rata persentase penghambatan perlakuan UV-C in vivo terhadap kemunculan A. citri dan C. Gloeosporioides pada 7 hari setelah inkubasi
19 20 21 23 23 26 28 30 31 33 35 39 40
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Anatomi buah jeruk Gejala penyakit bercak hitam disebabkan oleh G. citricarpa Gejala penyakit busuk hitam disebabkan oleh A. citri Gejala penyakit melanosa disebabkan oleh D. citri Gejala penyakit antraknosa disebabkan oleh C. gloeosporioides Gejala penyakit busuk coklat disebabkan oleh P. citrophthora Gejala penyakit busuk pangkal buah disebabkan oleh B. theobromae Gejala penyakit busuk asam disebabkan oleh G. citri-aurantii Gejala penyakit busuk disebabkan oleh P. italicum dan P. digitatum Posisi ultraviolet dalam spektrum elektromagnetik Kemunculan cendawan laten dengan metode direct agar plating technique (DAPT)
5 6 6 7 7 8 9 9 10 12 19
xiii
12 Kemunculan cendawan laten dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT 13 Kemunculan cendawan laten dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT) 14 Hasil amplifikasi DNA cendawan pada buah jeruk impor dengan primer universal 15 Visualisasi hasil amplifikasi DNA target dengan primer spesifik A. citri pada 1,2 % gel agarosa 16 Pohon filogeni isolat A. citri temuan dan isolat dari negara lain 17 Morfologi A. citri 18 Pohon filogeni isolat C. gloeosporioides temuan dan isolat dari negara lain 19 Morfologi C. gloeosporioides 20 Morfologi C. boninense 21 Pohon filogeni isolat C. boninense temuan dan isolat dari negara lain 22 Morfologi G. mangiferae 23 Pohon filogeni isolat G. mangiferae temuan dan isolat dari negara lain 24 Morfologi F. incarnatum 25 Pohon filogeni isolat F. incarnatum temuan dan isolat dari negara lain 26 Gejala penyakit oleh cendawan laten temuan hasil postulat Koch 27 Skor keparahan penyakit busuk hitam Alternaria yang disebabkan oleh A. citri 28 Pertumbuhan koloni cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vitro 29 Koloni cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vitro 30 Pertumbuhan cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vivo 31 Pertumbuhan cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vivo 32 Kotak lampu UV-C merk Camag yang digunakan untuk perlakuan UV-C in vitro 33 Lemari UV-C yang digunakan untuk perlakuan UV-C in vivo
20 21 22 25 27 27 29 29 31 32 32 33 34 35 36 37 38 39 41 42 69 69
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Data pengukuran konidia cendawan temuan Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan A. citri temuan dengan beberapa isolat dari negara lain Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan C. gloeosporioides temuan dengan beberapa isolat dari negara lain Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan C. boninense temuan dengan beberapa isolate dari negara lain Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan G. mangiferae temuan dengan beberapa isolat dari negara lain Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan F. incarnatum temuan dengan beberapa isolat dari negara lain
51 53 55 57 59 62
xiv
7
Rata-rata diameter koloni cendawan harian setelah perlakuan beberapa waktu papar UV-C 8 Rata-rata jumlah buah yang ditumbuhi miselia cendawan setelah perlakuan beberapa waktu papar UV-C 9 Sidik ragam (ANOVA) rata-rata persentase penghambatan perlakuan beberapa waktu papar UV-C in vitro terhadap cendawan temuan 10 Sidik ragam (ANOVA) rata-rata persentase penghambatan perlakuan beberapa waktu papar UV-C in vivo terhadap cendawan temuan 11 Peralatan dalam perlakuan UV-C
64 65 66 68 69
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan buah-buahan Indonesia pada tahun 2013 adalah 15.49 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 13.85 juta ton (BPS 2013). Hal ini berarti terjadi kekurangan produksi buah-buahan sebesar 1.64 juta ton. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 03 tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa dalam rangka mencukupi kebutuhan produk hortikultura di dalam negeri dapat dilakukan melalui impor produk hortikultura, dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan produk hortikultura yang belum tercukupi dari pasokan di dalam negeri. Ketentuan kuota sebagaimana diatur dalam Permentan No. 03 tahun 2012 tersebut, bertentangan dengan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) (RI 1994). GATT melarang pengaturan kuota didalam perdagangan bebas, namun Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement menyebutkan untuk menjamin kualitas produk pertanian yang dilalulintaskan dan melindungi tumbuh-tumbuhan atau pertanian di negaranya, setiap anggota berhak untuk mengambil tindakan yang berkaitan dengan fitosanitari, tetapi harus tetap didasarkan pada prinsip atau kaidah dan bukti ilmiah yang cukup (Anderson dan Nielsen 2005; Roberts 2005). Pemahaman kualitas dalam produk pertanian yang diimpor ke dalam suatu negara adalah produk tersebut harus zero tolerance bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) (Sikdar et al. 2014). Oleh karena itu, untuk memastikan produk pertanian yang diimpor tersebut berkualitas bebas OPTK harus dilakukan deteksi dini yang cepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah di setiap tempat pemasukan (Faisal et al. 2011). Perdagangan bebas menyebabkan semakin derasnya mobilitas manusia dan produk pertanian masuk atau keluar dari suatu negara. Dari sudut pandang perkarantinaan dan perlindungan tanaman, hal ini harus diwaspadai karena keduanya berpeluang sebagai media pembawa OPTK (Kementan 2011). Cendawan merupakan salah satu patogen yang banyak dilaporkan menyebabkan kerusakan pada buah-buahan terutama pascapanen dan juga dapat bersifat patogen laten yang tidak menunjukkan gejala penyakit (Johnston et al. 2005). Schaad et al. (2003) mengungkapkan deteksi cendawan pada buah yang diimpor sulit dilakukan bila cendawan tersebut menginfeksi secara laten. Kesulitan pendeteksian ini karena infeksi laten tidak menyebabkan timbulnya gejala pada buah-buahan, sehingga cendawan laten ini sulit untuk diisolasi dari bagian gejala. Pada perdagangan internasional buah-buahan biasanya dipanen sebelum matang dan disimpan pada suhu rendah selama transportasi dan pemasaran (Faisal et al. 2011). Keadaan belum matang inilah yang menyebabkan patogen berada pada kondisi laten dalam jaringan inang dan ketika buah menjadi matang, patogen kembali aktif sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada buah (Bukar 2009). Hal ini yang menjadi dasar kekhawatiran ketika buah dimasukkan ke Indonesia patogen masih berada pada posisi laten, namun pada saat di tempat penyimpanan patogen mampu berkembang aktif dan menjadi sumber inokulum, sehingga dapat
2
memberikan ancaman terhadap pertanian di Indonesia. Oleh karena itu, sudah sangat diperlukan metode yang dapat mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah-buahan impor. Michailides et al. (2010) melaporkan bahwa metode Direct Agar Plating Technique (DAPT) mampu mendeteksi pertumbuhan cendawan Monilinia spp. dalam waktu inkubasi 4 sampai 7 hari pada suhu 25 °C. Luo dan Michailides (2001) mampu mendeteksi Monilinia fructicola yang terinfeksi laten pada stadia pembungaan tanaman dalam 5 sampai 7 hari setelah inkubasi (HSI). Selain itu, M. fructicola, M. laxa, (penyebab busuk coklat pada buah-buahan), Botrytis cinerea (penyebab busuk pada buah anggur) dan Alternaria (penyebab penyakit hawar pada kacang-kacangan) dapat terdeteksi dalam 5 sampai 7 hari menggunakan metode Overnight Freezing Incubation Technique (ONFIT) (Michailides et al. 2010). Penggunaan metode deteksi secara molekuler dilaporkan mampu mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten relatif lebih cepat dibandingkan metode konvensional. Sikdar et al. (2014) melaporkan Phacidiopycnis washingtonensis dan Sphaeropsis pyriputrescens dalam buah apel dapat terdeteksi dalam 6 jam menggunakan motode Real Time PCR. Keberadaan cendawan penyebab infeksi laten pada buah-buahan impor harus diwaspadai, karena cendawan tersebut sangat berpotensi menyebar di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan perlakuan untuk mematikan cendawan tersebut sebelum dimasukkan ke Indonesia. Tindakan yang umumnya dilakukan selama ini pada buah-buahan pascapanen adalah menggunakan fungisida (Gachango et al. 2012). Tetapi fungisida yang digunakan biasanya hanya untuk melindungi buah dari ancaman cendawan yang berasal dari luar bukan yang berasal dari dalam buah itu sendiri. Selain itu penggunaan fungisida banyak dilaporkan menimbulkan resistensi pada patogen dan meninggalkan residu pada buah-buahan. Beberapa perlakuan alternatif selain penggunaan fungisida telah banyak dilakukan. Salah satu alternatif perlakuan yang dinilai tidak banyak menimbulkan dampak negatif adalah menggunakan perlakuan fisik (Talibi et al. 2014). Perlakuan fisik yang telah digunakan untuk mematikan cendawan pada buah jeruk adalah dengan perlakuan panas, seperti panas kering, perendaman air panas dan microwave. Selain dapat mematikan cendawan, perlakuan panas ini juga dapat memberikan dampak buruk dengan menurunkan kualitas buah jeruk. Perlakuan panas 50 °C selama 10 menit sudah dapat menyebabkan perubahan warna kulit jeruk menjadi kecoklatan (Rab et al. 2011). Nutrisi dalam buah jeruk berkurang akibat pengaruh perlakuan panas 50 °C selama 5 menit (Khan et al. 2007). Perlakuan fisik yang dilaporkan justru dapat meningkatkan kualitas buah jeruk adalah dengan perlakuan iradiasi (Gonzalez-Aguilar et al. 2001; Betancurt et al. 2009). Iradiasi sinar gamma 0.35 kGy dilaporkan dapat menurunkan viabilitas cendawan penyebab kanker pada buah jeruk. Alternaria spp. dapat dihambat pertumbuhannya oleh iradiasi gamma pada dosis 6 kGy (Temur dan Tiryaki 2012). Iradiasi ultraviolet-C dilaporkan mampu menghambat berbagai patogen penyebab penyakit busuk buah di tempat penyimpanan. Penicillium digitatum dapat dimatikan 100% pada waktu papar UV-C selama 10 menit (Fernandez dan Hall 2004). Colletotrichum gloeosporioides penyebab antraknos pada buah pisang dapat dihambat 100% pada waktu papar UV-C selama 45 dan 120 menit (Bokhari et al. 2013). Iradiasi UV-C paling banyak dilakukan untuk mematikan cendawan
3
pada komoditas pascapanen karena biaya yang relatif murah dan mudah dalam penggunaannya (Civello et al. 2006). Tujuan Penelitian Tersedianya metode yang akurat, cepat dan dapat diaplikasikan untuk mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dan diperolehnya perlakuan fitosanitari yang efektif dalam mematikan cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor. Manfaat Penelitian Metode deteksi cendawan penyebab infeksi laten yang akurat, cepat dan dapat diaplikasikan pada buah jeruk impor dan perlakuan fitosanitari yang efektif dalam mematikan cendawan penyebab infeksi laten yang dihasilkan dari penelitian ini, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam tindakan karantina berupa pemeriksaan dan perlakuan di setiap tempat pemasukan komoditas buah jeruk impor oleh Badan Karantina Pertanian.
4
TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting dan Permasalahan Buah-buahan Salah satu komoditas unggulan pertanian yang banyak dikembangkan adalah buah-buahan. Secara rasional, meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan buah-buahan karena hal tersebut merupakan tuntutan bagi kecukupan gizi penduduk. Di Indonesia, saat ini konsumsi buah-buahan baru mencapai sekitar 40 kg/kapita/tahun, sedangkan yang direkomendasikan FAO sebesar 65.75 kg/kapita/tahun. Laju peningkatan permintaan pasar dalam negeri terhadap komoditas buah-buahan cenderung meningkat. Pada tahun 2000-2005 laju permintaan buah-buahan di dalam negeri diperkirakan mencapai 6.5% per tahun dan pada tahun 2005-2010 meningkat menjadi 6.8% per tahun serta pada tahun 2010-2015 mencapai 6.9% per tahun (Yuliastuti et al. 2014). Buah-buahan memainkan peranan yang sangat penting dalam nutrisi manusia dengan mensuplai faktor pertumbuhan penting seperti vitamin dan mineral esensial dalam makanan yang dimakan manusia sehari hari. Salah satu faktor pembatas yang dapat mempengaruhi nilai ekonomi buah-buahan adalah periode umur buah yang relatif pendek akibat serangan patogen. Diperkirakan 2025% buah pascapanen dirusak oleh patogen selama penanganan pascapanen. Infeksi cendawan pada buah dapat terjadi pada musim tanam, pemanenan, penanganan pascapanen, pengangkutan, tempat penyimpanan sampai kepada pemasaran atau bahkan ketika dibeli konsumen. Buah-buahan mengandung gula berkadar tinggi dan elemen nutrisi lainnya dan nilai pH yang rendah membuat buah-buahan tersebut disukai oleh patogen (Bhale 2011). Penyakit pascapanen berdampak serius pada kualitas buah jeruk. Kehilangan hasil selama di tempat penyimpanan dapat mencapai 40% bila buah-buahan tersebut tidak diberi perlakuan dingin atau pestisida (Brown 1986a). Sholberg dan Conway (1998) melaporkan kehilangan hasil pada komoditas pascapanen akibat patogen dapat mencapai 10-30% per tahun, walaupun sudah menggunakan teknik dan fasilitas penyimpanan yang modern. Di Indonesia kerusakan buah-buahan akibat patogen pascapanen mencapai 50% atau lebih akibat masih buruknya penanganan produk pascapanen. Jarak transportasi yang jauh dan ditambah periode penyimpanan di pasar dapat membuat buah-buahan tersebut lebih rentan terhadap penyakit. Menurut Faisal et al. (2011), keberadaan penyakit pada buah-buahan pascapanen dapat mengakibatkan pengurangan jumlah nutrisi buah, kontaminasi buah-buahan oleh mikotoksin yang dihasilkan oleh patogen, metabolit toksik dihasilkan oleh jaringan tanaman yang sakit dalam merespon infeksi cendawan, perubahan rasa pada buah-buahan yang terdapat penyakit, sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen. Penyakit tanaman pascapanen dapat diukur melalui kejadian penyakit dengan menghitung ada atau tidaknya gejala dan tingkat keparahan penyakit dari gejala yang diekspresikan. Cuaca dan kondisi lingkungan juga memainkan peranan penting dengan menyebabkan stress pada tanaman dan menurunkan pertahanan alami serta menciptakan kondisi lingkungan yang cocok untuk patogen dalam menginfeksi tanaman (Agrios 2005). Michailides et al. (2010)
5
menjelaskan kondisi cuaca sangat mempengaruhi epidemiologi penyakit dilapangan, selain itu besar kecilnya intensitas kejadian penyakit pascapanen bergantung kepada infeksi laten yang terjadi di lapangan selama musim tanam, kontaminasi propagul cendawan selama pemanenan, keefektifan perlakuan fitosanitari pascapanen dan penanganan di tempat penyimpanan dan pemasaran. Biologi dan Penyakit Penting pada Buah Jeruk Biologi buah jeruk Buah jeruk adalah buah tahunan yang berasal dari Asia. Cina merupakan tempat pertama kali buah jeruk tumbuh. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan. Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan masa penjajahan Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Italia (Yuliastuti et al. 2014). Tanaman jeruk tergolong divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rutales, Genus Citrus dan spesies Citrus sp. Bagianbagian buah jeruk terdiri atas 1) kulit yaitu bagian terluar buah jeruk yang terbagi kedalam dua bagian yaitu flavedo (bagian kulit terluar) dan albedo (bagian kulit dalam), 2) karpel adalah daging buah jeruk yang mengandung banyak cairan 3) Biji dan 4) Kalik yaitu bagian jeruk yang menghubungkan buah jeruk dan tangkai (Iglesies et al. 2007).
Kulit Biji
Kalik
Karpel Gambar 1 Anatomi buah jeruk (Etebu & Nwauzoma 2007) Penyakit penting pada buah jeruk Penyakit bercak hitam. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Guignardia citricarpa (Anamorf : Phyllosticta citricarpa). Cendawan ini menyebabkan bercak nekrotik pada kulit buah. Serangan berat cendawan ini dapat menggugurkan buah muda dan menurunkan hasil panen (Brown 2011). Gejala penyakit ini dimulai dengan bercak berwarna merah dan oranye berukuran kecil dengan pinggiran bercak berwarna hitam sampai keseluruhan bercak berwarna coklat atau hitam. Penyakit ini berkembang pada kondisi lingkungan hangat dan basah. Semua kultivar jeruk dilaporkan masih rentan
6
terhadap serangan penyakit ini. Kultivar yang sangat rentan adalah Sweet Valencia, lemon, jeruk mandarin dan jeruk peras (McBride et al. 2010). Karakteristik morfologi G. citricarpa dicirikan dengan makrokonidia dibentuk dalam piknidia, coklat gelap sampai hitam, berbentuk bulat berukuran 115-190 µm. Makrokonidia hialin, bentuk bervariasi, obovoid, tidak bersekat, berukuran (6-) 8-10,5 (-13) x (5-) 5,5-7 (-9) µm, dikelilingi oleh struktur mantel agar-agar. Mikrokonidia hialin, berbentuk halter, berukuran 5-8 x 0,5-1 µm (EPPO 2009).
Gambar 2 Gejala penyakit bercak hitam disebabkan oleh G. citricarpa (Mc Bride et al. 2010) Penyakit busuk hitam Alternaria. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Alternaria citri (Embaby et al. 2013). Serangan cendawan ini mulai terjadi sejak di lapangan. Penyakit ini penyebab busuk hitam pada buah yang disimpan untuk waktu yang lama. Patogen dapat menginfeksi laten di dalam buah jeruk. Pada saat buah jeruk mencapai senescence (pengusangan), patogen mulai tumbuh dalam jaringan buah jeruk dan memproduksi konidia. Busuk hitam Alternaria juga dapat menjadi masalah bagi industri pengolahan karena dapat mengontaminasi jus (Brown 2011).
A
B
Gambar 3 Gejala penyakit busuk hitam disebabkan oleh A. citri. Gejala luar (A), Gejala dalam (B) (Embaby et al. 2013) Karakteristik morfologi A. citri dicirikan dengan koloni mengumpul, berwarna abu-abu, kuning langsat, coklat sampai hitam. Konidiofor sederhana atau bercabang, lurus atau bengkok, bersepta, pucat, lebar hingga 3-5 µm. Konidia tunggal, rantai sederhana atau bercabang, lurus atau sedikit melengkung,
7
berbentuk oval, panjang 8-60 (rata-rata 42 µm), lebar 6-24 (rata-rata 17 µm) (Ellies 1971). Penyakit melanosa. Penyakit ini disebabkan oleh Diaporthe citri (anamorf : Phomopsis citri). Penyakit ini menurunkan kualitas buah jeruk di pasar, walaupun masih layak untuk dikonsumsi. Penyakit ini tidak sampai menurunkan produksi olahan buah jeruk (Nelson 2008). Gejala pada buah berupa perubahan warna buah menjadi gelap, terdapat kudis (tonjolan melebar pada kulit buah) dengan berbagai ukuran, terbentuk retakan-retakan pada kudis. Kudis ini akan meluas ketika cendawan menginfeksi sejak buah masih muda (Rhodes 2014). Fase anamorf cendawan ini menghasilkan 2 tipe konidia, alfa dan beta konidia. Alfa konidia berukuran 5-9 x 2.5-4 µm, tidak bersekat dan hialin. Beta konidia berukuran 20-30 x 0.7-1.5 µm, berbentuk filiform dan bengkok di salah satu ujungnya, seperti tanda koma (,) (Nelson 2008).
Gambar 4 Gejala penyakit melanosa disebabkan oleh D. citri (Nelson 2008) Penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichum gloeosporioides. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar di tempat penyimpanan. Penyakit antraknosa banyak menyerang buah-buahan yang dipanen lebih awal yang proses pemasakannya dipercepat oleh etilen (buah-buahan klimakterik) (Zivkovic et al. 2010).
Gambar 5 Gejala penyakit antraknosa disebabkan oleh C. gloeosporioides (Brown 2011)
8
C. gloeosporioides adalah saprofit fakultatif yang mampu tumbuh dan bersporulasi di bahan-bahan organik mati, dengan bantuan air spora dapat menyebar ke permukaan buah yang belum matang, kemudian membentuk struktur apresoria. Apresoria ini tetap laten dan tidak menyebabkan kerusakan pada buah sebelum panen. Apresoria membentuk kapak penetrasi dan menginfeksi ketika buah diperlakukan dengan etilen selama proses pemasakan. Gejala awal penyakit antraknosa yaitu kulit buah berwarna abu-abu keperakan dan kasar. Selanjutnya, kulit yang terinfeksi menjadi coklat keabu-abuan sampai hitam sehingga buah menjadi busuk. Ukuran busuk bervariasi dan bentuknya tidak teratur (Rhodes 2014). Karakteristik morfologi C. gloeosporioides dicirikan dengan aservuli memiliki seta, panjang bervariasi antara 50-130 µm. Konidia tunggal, silinder, panjang 10-15 µm dan lebar 5-7 µm, ujung tumpul, tidak bersekat, hialin, dan halus. Apresoria berbentuk oval, bulat, berwarna coklat sampai coklat tua, berukuran 8-12 x 6-9 mm. Koloni pada PDA berkembang dengan baik, miselia aerial, setelah 10 hari berdiameter 8-9 cm, seperti kapas, putih keabu-abuan, dengan titik-titik hitam (Weir et al. 2012). Penyakit busuk coklat. Penyakit busuk coklat disebabkan oleh cendawan Phytophthora citrophthora. Penyakit ini dapat terjadi sejak di lapangan sampai ke tahap pascapanen. Cendawan Phytophthora bertahan dalam tanah dan menyebar melalui percikan air dan kontak sehingga dapat menginfeksi buah. Umumnya, infeksi berkembang pada pohon-pohon yang berjarak 3 sampai 4 meter dari permukaan tanah. Gejala dimulai dengan perubahan warna kulit buah menjadi pucat. Selanjutnya kulit buah menjadi coklat muda dan kasar. Apabila kondisi lembab, busuk coklat dapat menyebar dengan cepat dan miselia putih dapat terbentuk pada daerah yang terinfeksi. Buah dengan busuk coklat memiliki bau tengik (Brown 2011).
Gambar 6 Gejala penyakit busuk coklat disebabkan oleh P. citrophthora (Brown 2011) Karakteristik morfologi P. citrophthora menghasilkan banyak sporangia pada media agar V-8. Sporangia biasanya diproduksi dalam simpodial. Sporangia berbentuk bulat telur. Ukuran rata-rata sporangia adalah 50 x 33 µm dengan panjang sekitar 1.6 kali lebih panjang dari lebarnya. Sporangia berkecambah langsung dalam media dengan memproduksi tabung kecambah yang berkembang menjadi massa miselium. Serlanjutnya memproduksi zoospora dan dilepaskan dalam medium air (Ko 1993).
9
Penyakit busuk pangkal buah. Penyakit busuk pangkal buah disebabkan oleh cendawan Botryodiplodia theobromae. B. theobromae adalah saprofit fakultatif yang melengkapi siklus hidupnya pada kayu pohon jeruk yang telah mati di kebun. Air menyebarkan konidia dari kayu mati tersebut ke permukaan buah yang belum matang. Cendawan tetap laten dan tidak menyebabkan pembusukan buah sebelum panen. Infeksi berkembang setelah panen terutama di bawah kondisi suhu tinggi dan kelembaban relatif. Patogen biasanya menginfeksi mulai dari pangkal buah. Selanjutnya melalui karpel, sehingga menyebabkan pembusukan hitam di kedua ujung buah. Pembusukan berkembang cepat selama dan setelah fase pengusangan (Brown 1986b). Karakteristik morfologi B. theobromae dicirikan dengan koloni pada media berwarna keabu-abuan sampai hitam, berbulu dengan miselium aerial berlimpah. Piknidia sederhana atau majemuk dan lebar 5 mm. Konidiofor hialin, sederhana, kadang-kadang bersepta, jarang bercabang dan berbentuk silinder. Konidia uniseluler, hialin, granulosa, subovoid, berdinding tebal, konidia memiliki 1 septa, berukuran 20-30 x 10-15 µm (Ellis 2014).
Gambar 7 Gejala penyakit busuk pangkal buah disebabkan oleh B. theobromae (Brown 2011) Penyakit busuk asam. Penyakit busuk asam disebabkan oleh cendawan Geotrichum citri-aurantii. Penyakit ini hampir menyerang seluruh kultivar jeruk. Kerusakan lebih parah terjadi pada buah yang disimpan dalam jangka waktu yang lama. Cendawan hanya menginfeksi buah melalui luka pada kulit buah (Rhodes 2014).
Gambar 8 Gejala penyakit busuk asam disebabkan oleh G. citri-aurantii (Brown 2011)
10
Gejala awal adalah busuk berair, berwarna kuning gelap. Jaringan buah yang membusuk memiliki bau asam yang dapat menarik lalat buah dan dapat menular pada buah lainnya yang luka selama penyimpanan. Cendawan berada dalam tanah dan bisa mencapai permukaan buah melalui tiupan angin atau percikan air hujan yang menyebabkan kontak antara buah dan tanah. Penyakit ini berkembang cepat pada suhu yang hangat, dengan suhu optimum mencapai 27 °C (Brown 2011). Penyakit busuk oleh kapang biru dan kapang hijau. Busuk kapang biru disebabkan oleh cendawan Penicillium italicum. Cendawan ini menginfeksi buah jeruk melalui luka. Kapang biru dibentuk oleh massa spora berwarna biru yang diproduksi dalam buah busuk. Gejala berupa busuk yang mirip dengan gejala kapang hijau, tetapi pada kapang biru spora berwarna biru dan dikelilingi oleh miselium putih. Kapang biru lebih mudah menyebar pada buah di tempat penyimpanan dan dalam kemasan karton (Brown 2011). Kapang hijau disebabkan oleh cendawan Penicillium digitatum. Kapang hijau merupakan massa spora yang berwarna hijau yang dihasilkan pada buah yang terinfeksi. Cendawan ini mulai menyerang buah jeruk di lapangan, pengepakan dan tempat penyimpanan dan di pasar. Infeksi terjadi hanya melalui luka yang telah mengandung nutrisi tersedia untuk merangsang spora. Pembusukan buah dimulai pada daerah buah yang terinfeksi. Selama pembusukan berlangsung, miselia putih tumbuh dan menghasilkan spora berwarna hijau. Miselium putih berkembang menjadi luas. Dalam beberapa hari seluruh buah dapat tertutupi oleh spora berwarna hijau. Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak antara buah yang sakit ke buah yang berdekatan yang terjadi dalam wadah pengiriman (karton), tetapi spora jamur hanya akan menginfeksi buah yang rusak (Ariza et al. 2002). A
B
Gambar 9 Gejala penyakit busuk disebabkan oleh P. italicum (a), P. digitatum (b) (Edwards 2011) Infeksi Laten Tanaman atau bagian tanaman diinfeksi oleh berbagai jenis patogen (Agrios 2005). Kerentanan inang menjadi salah satu penyebab terjadinya penyakit tanaman yang ditandai dengan timbulnya gejala penyakit. Ketika gejala infeksi tidak diekspresikan secara eksternal, hal ini disebut infeksi laten (Sinaga 2003). Sinclair (1991) mendefinisikan infeksi laten sebagai hubungan parasitik antara
11
inang dan patogen, dimana patogen berada dalam posisi non aktif di dalam jaringan tanaman, dan akan berubah menjadi aktif bila kondisi inang sesuai untuk perkembangannya sehingga dapat menginduksi gejala makroskopik, memainkan peranan yang penting dalam kejadian dan keparahan penyakit pascapanen. Menurut Michailides et al. (2010) jika kondisi lingkungan cocok, kejadian infeksi laten akan memperbesar resiko perkembangan penyakit pascapanen dan sebaliknya apabila kondisi lingkungan tidak cocok maka resiko perkembangan penyakit dapat dihindari. Keberhasilan patogen dalam menginfeksi secara laten, kemudian berkembang kepada timbulnya penyakit tergantung pada jumlah inokulum, kerentanan inang dan kondisi lingkungan yang kondusif untuk menginfeksi. Infeksi laten memberikan pengaruh yang sangat merugikan pada buah yang sudah matang. Mehrota (2001) menjelaskan beberapa cendawan patogen yang menginfeksi buah yang belum matang tidak dapat mengekspresikan gejala, patogen bersifat dorman dalam jaringan tanaman. Ketika buah menjadi matang, patogen berkembang karena kondisi menjadi cocok sehingga dapat terbentuk gejala. Buah yang masih muda sulit diinfeksi cendawan patogen karena buah yang masih hijau atau muda tidak menyediakan nutrisi yang dibutuhkan cendawan, enzim potensial penting yang dimiliki cendawan belum cukup untuk menginfeksi buah muda, dan beberapa metabolit toksin yang ada pada buah muda mampu menahan infeksi cendawan. Prusky dan Lichter (2006) menjelaskan bahwa inang dan patogen, merupakan 2 hal penting yang dapat menentukan perubahan dari infeksi laten ke infeksi aktif, atau dari fase biotrofi ke fase nekrotrofi. Pada fase biotrofi, patogen menginfeksi secara laten karena patogen tidak mempunyai kekuatan enzimatik untuk menembus pertahanan inang. Pada fase ini tanaman inang memiliki struktur pertahanan yang masih kuat. Selama proses pengusangan, struktur pertahanan inang semakin mengalami penurunan, hal ini dimanfaatkan patogen untuk menginfeksi inang secara aktif dan pada kondisi ini disebut fase nekrotrofi. Deteksi Infeksi Laten Deteksi cepat, tepat dan akurat diperlukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi patogen penyebab infeksi laten (Faisal et al. 2011). Beberapa teknik tradisional, seperti penyimpanan buah pada lingkungan yang kondusif agar patogen berkembang (Zoffoli et al. 2009), peletakan bagian tanaman secara langsung pada media agar (Dugan et al. 2002) atau menginduksi percepatan pengusangan buah (senescence) dengan paraquat (Holz et al. 2003) telah banyak dilakukan sebelumnya untuk mendeteksi patogen dari dalam jaringan tanaman dan untuk memperkirakan perkembangan terjadinya kerusakan buah selama penyimpanan (Sanzani et al. 2012). Metode lainnya untuk mendeteksi keberadaan infeksi laten adalah dengan cara menstimulasi sporulasi cendawan dengan membuat buah menjadi cepat matang. Mehrota (2001) mengemukakan ketika buah menjadi matang, patogen dapat berkembang karena kondisi menjadi cocok. Untuk mempercepat dan menyeragamkan kematangan buah yang paling umum digunakan adalah gas etilen menggunakan larutan etrel (2-chloroethyl phosphonic acid) (Chauhan et al. 2012).
12
Narayanasamy (2011) menyebutkan sangat penting untuk mengenali infeksi tanaman oleh patogen secepat mungkin, lebih bagus deteksi dilakukan sebelum penampakan gejala untuk menghindari kejadian penyakit dan untuk membatasi penyebaran penyakit lebih lanjut. Deteksi patogen dalam tanaman dilakukan dengan tujuan : 1. Menentukan keberadaan dan kuantitas patogen dalam tanaman untuk menginisiasi tindakan preventif dan kuratif. 2. Mensertifikasi benih dan bahan tanaman untuk program karantina atau sertifikasi kesehatan tanaman. 3. Menghitung populasi patogen di lokasi serangan dan menghubungkan dengan kehilangan hasil. 4. Menilai variasi infeksi patogen, termasuk infeksi laten atau infeksi aktif. 5. Mengidentifikasi secara cepat patogen atau strain baru untuk membatasi penyebaran lebih lanjut. 6. Mempelajari hubungan taksonomi dan evolusi dari patogen tanaman. 7. Memecahkan komponen kompleks penyakit-penyakit yang diinduksi oleh dua atau lebih patogen. 8. Mempelajari interaksi antara tanaman dan patogen kaitannya dengan fenomena patogenesis dan fungsi gen. Perlakuan UV-C Penyakit pascapanen umumnya dikendalikan oleh fungisida pada pra dan pascapanen. Benzimidazol dan imazalil adalah bahan aktif fungisida yang sering digunakan dalam pengendalian penyakit pascapanen (Gachango et al. 2012). Tetapi, permasalahan penyakit pascapanen semakin kompleks karena fungisida dapat menyebabkan resistensi patogen. Disamping itu, permintaan buah-buahan bebas residu kimia oleh konsumen selalu meningkat, sehingga strategi pengendalian alternatif seperti perlakuan fisik menjadi sebuah pilihan yang prosfektif (Cia et al. 2007). Iradiasi ultraviolet adalah salah satu strategi non fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Canale et al 2011; Darras et al. 2012). Spektrum UV dapat dibagi kedalam 3 panjang gelombang. UV gelombang pendek (UV-C) antara 200-280 nm, UV gelombang sedang (UV-B) 280-320 dan UV gelombang panjang (UV-A) antara 320-400 nm (Civello et al. 2006). SPEKTRUM ELEKTROMAGNETIK sinar sinar kosmik gamma gelombang pendek
sinar X
ULTRAVIOLET
sinar infra gelombang mikro tampak merah gelombang panjang
Gambar 10 Posisi ultraviolet dalam spektrum elektromagnetik (Civello et al. 2006) Banyak penelitian yang telah membuktikan keefektifan radiasi ultraviolet-C (panjang gelombang 190-280 nm) dalam menurunkan deteriorasi buah-buahan dan sayuran yang tidak meninggalkan residu pada produk, biaya murah dan
13
mudah diaplikasikan (Rivera-Pastrana et al. 2007). Perlakuan UV-C pada pascapanen dilakukan dengan memaparkan komoditi pada periode waktu tertentu dibawah sinar UV-C. Tingkat pengrusakan atau inaktivasi mikroorganisme oleh radiasi UV-C tergantung pada dosis yang digunakan (Civello et al. 2006). UV-C sangat efisien dalam mengendalikan penyakit pascapanen pada buah jeruk dan mengendalikan infeksi laten pada produk pascapanen (Stevens et al. 1996). UV-C telah digunakan sebagai agen germisida karena mampu menghambat perkecambahan spora cendawan. Selain itu, UV-C juga dapat menginduksi ketahanan buah-buahan dan sayuran terhadap infeksi cendawan patogen (Terry dan Joyce 2004). Pengujian in vitro membuktikan bahwa radiasi UV-C dapat menunda dan menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan miselium B. cinerea dan M. fructigena. Iradiasi UV-C juga dapat meningkatkan akumulasi fitoaleksin (scoparon dan scopoletin) pada buah-buahan dan mampu menghambat patogen busuk buah P. digitatum dan mampu menginduksi aktivitas phenylalanine ammonia-liase dan peroxidase pada buah jeruk. Namun, kerusakan yang terlihat pada buah akibat pemaparan UV-C terlalu lama juga telah dilaporkan pada buah jeruk dan pisang. UV-C dapat menyebabkan perubahan warna coklat pada jaringan kulit buah jeruk dan pisang. Tetapi, perlakuan UV-C pada waktu papar rendah tidak menyebabkan perubahan warna pada bagian kulit buah jeruk, juga tidak berpengaruh terhadap aroma dan rasa (Rivera-Pastrana et al. 2007).
14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Uji Karantina Tumbuhan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya dan Laboratorium Uji Karantina Tumbuhan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Soekarno Hatta Jakarta pada bulan Juli 2014 – Maret 2015. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jeruk impor asal Argentina, Potato Dextrose Agar (PDA), asam laktat 25%, alkohol 70%, etanol 70%, Sodium hypochlorite 5%, tween 20, akuades steril, kertas bloter, etrel, Thermo Scientific “GeneJET Plant Genomic DNA purification” mini kit, DNeasy Plant Kit Qiagen. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah thermocycler, sentrifuge, shaker, laminar air flow, freezer, cork borer, cawan petri, rak plastik, wadah plastik, kotak lampu UV-C merk camag, lemari UV-C, plastik berlubang, mikoroskop kompon, mikroskop stereo dan pipet. Deteksi dan Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Terdapat dua tipe metode yang diuji untuk mendeteksi infeksi laten yaitu secara konvensional dan molekuler. Metode deteksi dilakukan berdasarkan studi kasus impor jeruk asal Argentina, menggunakan 3 kali ulangan dengan masing masing ulangan terdiri atas 5 buah jeruk. Sampel pengujian diperoleh dari pemasukan buah jeruk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dengan nomor registrasi : 2014.2.04.01.S01.I.020852. Deteksi konvensional Direct agar plating technique (DAPT). Media Acidified Potato Dextrose Agar (APDA) dibuat dengan menambahkan 25% asam laktat sebanyak 0.625 ml ke PDA. Buah jeruk dicuci menggunakan air mengalir. Buah jeruk disterilisasi permukaan menggunakan larutan Sodium hypochlorite (NaOCl) 5% selama 2 menit. Buah selanjutnya dibilas 2 kali dengan akuades steril. Buah jeruk dipotongpotong dengan ukuran 3×3×3 mm kubik secara aseptik untuk mendapatkan bagian kalik, kulit, karpel dan biji buah. Potongan bagian buah dikeringanginkan di atas kertas bloter steril, kemudian ditempatkan pada media APDA dan diinkubasi pada 25 ºC selama 5 sampai 7 hari. Overnight freezing incubation technique (ONFIT). Peralatan yang akan digunakan seperti rak plastik, plastik berlubang dan plastik wadah didesinfeksi terlebih dahulu dengan NaOCl 5% selama 5 menit. Jeruk dimasukan ke dalam plastik berlubang dan diikat pada bagian atasnya, kemudian direndam dalam etanol 70% selama 10 detik, direndam dalam larutan NaOCl 5% yang mengandung tween 20 selama 4 menit. Sampel yang telah dikeringanginkan disusun diatas rak dalam wadah plastik dan ditutup rapat. Kelembapan di dalam
15
wadah dijaga dengan menambahkan air. Buah dibekukan di dalam freezer –20 °C selama 15 jam, selanjutnya wadah ditempatkan pada suhu ruang. Kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT. Permukaan buah dicuci dengan air bersih mengalir, selanjutnya disterilisasi permukaan menggunakan NaOCl 5% selama 2 menit. Buah dibilas 2 kali dengan akuades steril. Buah dikeringanginkan pada kertas bloter steril. Buah direndam dalam larutan etrel (2-chloroethyl phosphonic acid) 1500 ppm selama 5 menit, kemudian buah dikeringanginkan selama 30 menit agar etrel diserap oleh buah. Buah dipotong-potong untuk mendapatkan bagian kalik, kulit, karpel dan biji buah, kemudian potongan buah ditempatkan pada media APDA. Kombinasi SST dan inkubasi. Langkah awal pengerjaan sama seperti pada metode kombinasi SST dan DAPT, setelah dikeringanginkan, tanpa dipotongpotong, buah langsung diinkubasikan dalam wadah plastik selama 7 hari. Identifikasi konvensional Identifikasi dilakukan melalui karakter morfologi dengan mengamati bentuk, ukuran dan warna konidia serta mengamati tipe miselia, selanjutnya disesuaikan dengan kunci identifikasi cendawan untuk mengidentifikasi sampai ke level spesies. Deteksi molekuler Ekstraksi DNA total buah jeruk. DNA total diekstrak dari buah jeruk yang tidak bergejala penyakit dengan mengambil sebanyak 0.1 g bagian kulit (sampel 1), biji (sampel 2), kalik (sampel 3) dan karpel (sampel 4). Sebelum ekstraksi, buah jeruk disterilisasi permukaan menggunakan NaOCl 5% selama 2 menit dan dibilas 2 kali dengan akuades steril, kemudian dikeringanginkan 10 menit. Ekstraksi DNA total dilakukan berdasarkan Thermo Scientific “GeneJET Plant Genomic DNA Purification” mini kit #K0791, #K0792 dengan tahapan ekstraksi sesuai dengan arahan protokol. DNA hasil ekstraksi disimpan pada -20 °C sebelum digunakan. Amplifikasi DNA cendawan. Amplifikasi rDNA area ITS cendawan dilakukan dengan Thermalcycler menggunakan pasangan primer universal ITS1F (CTTGGTCATTTAGAGGAAGTAA) (Gardes dan Bruns 1993) dan ITS4 (CCTCCGCTTATTGATATGC) (White et al. 1990) dengan ukuran produk amplifikasi sekitar 600 pb. Amplifikasi DNA target cendawan dilakukan dalam volume 50 µl yang mengandung 20 µl PCR master mix, 2 µl primer ITS1F, 2 µl primer ITS4, 4 µl DNA hasil ekstraksi dan 22 µl ddH2O. Amplifikasi DNA dilaksanakan melalui tahap denaturasi utas ganda DNA pada 94 °C selama 35 detik, tahap penempelan primer ke DNA target pada 51 °C selama 1 menit, tahap pemanjangan DNA pada 72 °C selama 2 menit selama 35 siklus. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dilakukan pada gel agarosa 1.2%. Identifikasi molekuler Identifikasi molekuler dilakukan terhadap : 1. Hasil positif amplifikasi DNA cendawan dari buah jeruk Identifikasi spesies terhadap hasil positif amplifikasi DNA cendawan dari buah jeruk dilakukan melalui teknik perunutan basa nukleotida. DNA target cendawan yang berhasil diamplifikasi, selanjutnya dikirim ke First Base,
16
Malaysia untuk dirunut sikuennya. Sikuen area ITS 1 dan ITS4 DNA masingmasing cendawan temuan dibandingkan dengan sikuen DNA cendawan yang sama asal negara lain yang tersimpan dalam GenBank menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST). Homologi area ITS1 dan ITS4 DNA cendawan dilakukan menggunakan program BioEdit menggunakan formulasi ClustalW dengan pilihan “sequence identity matrix”. Analisis filogenetik dilakukan menggunakan software ClustaX version 2 dan Mega version 6, berdasarkan pendekatan neighbor-joining dengan nilai boostrap 1000 kali. 2. Isolat biakan masing-masing cendawan temuan Ekstraksi, amplifikasi dan perunutan basa nukleotida DNA cendawan dilakukan dari isolat biakan murni masing-masing cendawan temuan. Isolat diidentifikasi secara molekuler menggunakan DNeasy Plant Kit Qiagen sesuai dengan protokol. Teknik ekstraksi, amplifikasi dan perunutan basa nukleotida DNA sama seperti pada langkah identifikasi pada hasil positif amplifikasi DNA cendawan dari buah jeruk. Uji Postulat Koch Cendawan yang telah diisolasi, selanjutnya dilakukan uji postulat Koch untuk mengetahui kemampuan patogenik cendawan tersebut terhadap buah jeruk lokal. Buah jeruk lokal diperoleh dari kebun jeruk di Desa Petung Sewu, Kecamatan Dawu, Kabupaten Malang. Buah jeruk dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan debu atau sisa-sisa pestisida yang masih menempel. Buah disterilisasi permukaan dengan NaOCl 5% selama 2 menit, selanjutnya dibilas 2 kali dengan akuades steril. Buah dilukai dengan jarum steril, lalu diletakkan potongan biakan cendawan berumur 7 hari menggunakan cork borer diameter 5 mm. Pada kontrol tetap dilukai dan hanya ditempelkan potongan media PDA saja (tanpa biakan cendawan). Buah dimasukan ke dalam wadah plastik, dan ditutup dengan plastik berlubang untuk menjaga kelembapan dalam wadah plastik. Pengamatan gejala dilakukan setiap hari sampai dengan 21 hari setelah inokulasi. Perlakuan UV-C pada Cendawan Penyebab Infeksi Laten Perlakuan UV-C in vitro Biakan cendawan berumur 7 hari diambil menggunakan cork borer diameter 5 mm dan diletakkan pada media PDA dalam cawan petri ukuran 9 cm, selanjutnya dilakukan penyinaran UV-C dengan panjang gelombang 254 nm selama 0 (kontrol), 45, 60, 90 dan 120 menit. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Setelah perlakuan, cendawan diinkubasikan pada suhu kamar. Pertumbuhan koloni cendawan diamati setiap harinya sampai hari ketujuh. Pengujian menggunakan RAL faktorial 5 x 5 dengan 5 kali ulangan. Faktor pertama adalah cendawan Alternaria citri, Colletotrichum gloeosporioides, Colletotrichum boninense, Fusarium incarnatum dan Guignardia mangiferae. Faktor kedua adalah lama penyinaran UV-C, yaitu 0 (kontrol), 45, 60, 90 dan 120 menit.
17
Perlakuan UV-C in vivo Buah jeruk disterilisasi permukaan dengan NaOCl 5% selama 2 menit, selanjutnya dibilas 2 kali dengan akuades steril. Permukaan buah jeruk dilukai dengan jarum steril. Biakan cendawan berumur 7 hari diambil menggunakan cork borer diameter 5 mm dan diinokulasikan pada buah jeruk yang telah dilukai. Selanjutnya buah diinkubasikan pada suhu ruang selama 7 hari, agar memberikan kondisi lingkungan yang cocok bagi cendawan untuk mengkoloni buah. Buah diberi perlakuan UV-C selama 4 dan 5 jam. Kontrol dipersiapkan tanpa perlakuan UV-C. Perlakuan dilaksanakan dalam 3 kali ulangan. Masing-masing unit perlakuan terdiri atas 10 buah jeruk. Perlakuan UV-C dilakukan pada cendawan A. citri dan C. gloeosporioides. Pengamatan dilakukan sampai hari ketujuh. Persentase penghambatan pertumbuhan cendawan dihitung dengan rumus: (Kaiser et al. 2005) dk - dp Persentase penghambatan = x 100% dk Persentase penghambatan dk dp
= Penghambatan perlakuan terhadap kontrol = diameter koloni cendawan pada kontrol = diameter koloni cendawan yang diberi perlakuan
Analisa data Data hasil pengujian perlakuan UV-C dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance, ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 5%. Analisis data dilakukan menggunakan piranti lunak program Minitab 16.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Importasi Buah di Pelabuhan Tanjung Perak Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya melaporkan bahwa tahun 2013 terdapat 15 jenis buah impor dari berbagai negara masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak. Buah impor masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak adalah anggur, apel, jeruk, pear, lengkeng, durian, buah naga, kiwi, plum, mangga, pisang, delima, strawberry, sawo, dan melon. Salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya komoditas buah impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak adalah kebijakan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 yang membatasi tempat pemasukan buah impor hanya melalui 4 tempat pemasukan yaitu bandar udara Soekarno-Hatta, pelabuhan Belawan, pelabuhan Makasar dan pelabuhan Tanjung Perak. Buah jeruk merupakan salah satu komoditas buah impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Menurut data BBKP Surabaya, buah jeruk impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak tahun 2013 sebanyak 82 177 479.50 kg dengan frekuensi pemasukan sebanyak 1 646 kali. Buah jeruk tersebut berasal dari negara Cina, Australia, Pakistan, Mesir, Turki, Spanyol, Argentina, Afrika Selatan, Uruguay dan Malaysia. Importasi buah jeruk yang cukup tinggi dapat menimbulkan potensi terbawanya OPTK dari negara lain. Buah jeruk adalah media pembawa OPTK. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 14 tahun 2002 menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam media pembawa OPTK adalah tumbuhan dan bagian-bagiannya. Tindakan penanganan buah jeruk impor di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 tentang tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah segar dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tetapi, tujuan peraturan ini lebih ditekankan kepada pencegahan masuknya OPTK hanya jenis lalat buah saja dan untuk memenuhi keamanan pangan segar asal tumbuhan. Oleh karena itu, sudah sangat diperlukan perhatian lebih intensif terhadap pemeriksaan patogenpatogen yang terbawa buah jeruk impor. Patogen pascapanen terutama cendawan dilaporkan banyak menyerang buah jeruk setelah dipanen. Cendawan dapat menginfeksi buah jeruk secara laten tanpa menimbulkan gejala, sehingga pemeriksaan karantina terhadap cendawan patogen pada buah jeruk impor harus juga menjadi skala prioritas. Buah jeruk impor sangat berpeluang membawa OPTK dan tergolong kedalam produk pascapanen beresiko tinggi karena dapat menjadi sumber inokulum dan dapat menimbulkan epidemik penyakit bila telah masuk ke Indonesia. Upaya pendeteksian patogen terutama cendawan terinfeksi laten telah dilakukan sebagai langkah awal dalam pencegahan masuknya OPTK terbawa jeruk impor. Upaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan metode yang lebih akurat, cepat dan dapat diaplikasikan dalam mendeteksi cendawan terinfeksi laten. Deteksi cendawan terinfeksi laten berdasarkan studi kasus buah impor yang masuk melalui pintu pemasukan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
19
Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Deteksi konvensional Deteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor asal Argentina berhasil diperoleh beberapa cendawan yang mempunyai karakter morfologi yang berbeda pada masing-masing metode uji. Berdasarkan morfologi warna koloni dan tipe miselium, diperoleh 3 morfotipe berbeda dengan metode DAPT yaitu koloni cendawan berwarna hijau (KHU), coklat (KCT) dan merah muda (KMM) dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 37.5%, 32.5% dan 30%. Ketiga morfotipe tersebut memiliki tipe miselium aerial (Tabel 1). Cendawan mulai terdeteksi pada hari ketiga setelah inkubasi (Gambar 11). Tabel 1 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode direct agar plating technique (DAPT) Jumlah isolat pada bagianb
Morfotipea
Kalik
KHU
11 (73.33)
KMM KCT Jumlah Total
Kulit
Biji
Karpel
Jumlah Total
Frekuensi (%)
4 (26.67)
0
0
15
37.5
1 (6.67)
9 (60)
2 (22.22)
0
12
30
3 (20)
2 (13.33)
7 (77.78)
1 (100)
13
32.5
15
9
1
40
100
15
a
isolat cendawan temuan dibedakan atas 3 morfotipe: KHU, koloni hijau; KMM, koloni merah muda; KCT, koloni coklat. bAngka dalam kurung menunjukkan persentase jumlah isolat.
A
B
C
D
Gambar 11
Kemunculan cendawan laten dengan metode direct agar plating technique (DAPT). 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D)
Berdasarkan karakter morfologi warna koloni dan tipe miselium, metode kombinasi SST dan DAPT diperoleh 3 morfotipe berbeda yaitu koloni cendawan berwarna coklat (KCT), merah muda (KMM) dan hijau (KHU) dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 51.28%, 25.64% dan 23.08%. Ketiga morfotipe
20
tersebut memiliki tipe miselium aerial (Tabel 2). Cendawan mulai terdeteksi pada hari kedua setelah inkubasi (Gambar 12). Tabel 2 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT Jumlah isolat pada bagianb
Morfotipea
Kalik
Kulit
Biji
Karpel
Jumlah Total
Frekuensi (%)
KHU
6 (40)
0
1 (10)
2 (100)
9
23.08
KMM
2 (13.33)
8 (66.67)
0
0
10
25.64
KCT
7 (46.67)
4 (33.33)
9 (90)
0
20
51.28
Jumlah Total
15
12
10
2
39
100
a
isolat cendawan temuan dibedakan atas 3 morfotipe: KHU, koloni hijau; KMM, koloni merah muda; KCT, koloni coklat. bAngka dalam kurung menunjukkan persentase jumlah isolat
Buah jeruk sehat dibekukan dalam freezer semalaman melalui metode ONFIT. Melalui metode ini diperoleh 5 karakter morfologi cendawan berbeda yang tumbuh pada permukaan buah jeruk, yaitu koloni berwarna hijau (KHU), merah muda (KMM), coklat (KCT), putih (KPH) dan hitam (KHM) dengan persentase kejadian berturut-turut adalah 17.86%; 25%; 19.64%; 17.86% dan 19.64%. Persentase kejadian tertinggi terdapat pada morfotipe KMM. (Tabel 3). Cendawan mulai terdeteksi pada hari ketiga setelah inkubasi (Gambar 13).
A
B
C
D
Gambar 12 Kemunculan cendawan laten dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT. 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D)
21
Tabel 3 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT) Morfotipe
Jumlah isolat
Frekuensi (%)
Koloni berwarna hijau (KHU)
10
17.86
Koloni berwarna merah muda (KMM)
14
25
Koloni berwarna coklat (KCT)
11
19.64
Koloni berwarna putih (KPH)
10
17.86
Koloni berwarna hitam (KHM)
11
19.64
Total
56
100
A
B
C
D
E
F
Gambar 13
Kemunculan cendawan laten dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT); wadah kiri adalah perlakuan, wadah kanan adalah kontrol. 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D), 5 HSI (E), 6 HSI (F)
Deteksi molekuler Deteksi molekuler pada buah jeruk menunjukan bahwa cendawan terdeteksi pada bagian kalik, kulit dan biji menggunakan primer universal ITS1F dan ITS4 yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA pada gel agarosa 1.2%. Cendawan dalam buah jeruk terdeteksi dalam waktu 6 jam menggunakan primer ini sesuai
22
dengan ukuran target sekitar 600 pb. Pada bagian karpel tidak terdeteksi cendawan (Gambar 14). Area ITS rDNA telah banyak dilaporkan dapat mengidentifikasi cendawan patogen tanaman (Lacomi et al. 2002; Zhang et al. 2004; Zhao et al. 2007). Hasil sikuen dari ekstraksi DNA buah jeruk secara langsung, pada bagian kalik adalah Alternaria sp., pada bagian kulit dan biji adalah Fusarium sp. Penentuan spesies Fusarium sp. merupakan hasil blast berdasarkan nomor aksesi GenBank HQ630965.1 dengan homologi 85% dan spesies Alternaria sp. didasarkan pada nomor aksesi GenBank GU584948.1 dengan homologi 90%. Menurut Sikdar et al. (2014) tangkai dan kalik merupakan bagian buah apel yang banyak terinfeksi laten oleh Phacidiopycnis washingtonensis dan Sphaeropsis pyriputrescens. Metode molekuler lebih sedikit mendeteksi cendawan terinfeksi laten dibandingkan dengan metode konvensional (Tabel 4). Hal ini terjadi karena konsentrasi DNA cendawan dalam buah jumlahnya sedikit, sehingga tidak mampu teramplifikasi oleh primer. Sikdar et al. (2014) menjelaskan bahwa DNA cendawan pada buah yang menunjukan gejala penyakit dapat dideteksi pada konsentrasi minimal 5 ng. Hal ini yang menyebabkan PCR tidak dapat mendeteksi keberadaan cendawan dalam buah yang tidak bergejala. Sebaiknya digunakan real time PCR karena mampu mendeteksi DNA dibawah konsentrasi kurang dari 5 ng.
target sekitar 600 pb
Gambar 14
Hasil amplifikasi DNA cendawan pada buah jeruk dengan primer universal. Marker 1 kb (M), sampel pada kulit (1), sampel pada biji (2), sampel pada kalik (3), sampel pada karpel (4), kontrol negatif (5)
Sebanyak lima morfotipe cendawan berbeda berhasil dideteksi menggunakan berbagai metode uji baik konvensional maupun molekuler (Tabel 4). Kelima morfotipe cendawan tersebut juga berhasil diidentifikasi secara teknik konvensional dan molekuler (Tabel 5). Deteksi secara konvensional dilakukan dengan mengamati karakter morfologi dari masing-masing cendawan, seperti pengukuran konidia, panjang konidiofor, bentuk konidia dan tipe miselia yang tumbuh pada media. Selanjutnya diidentifikasi menggunakan berbagai literatur kunci identifikasi cendawan. Hasil identifikasi konvensional menunjukkan bahwa kelima morfotipe cendawan temuan tersebut adalah lima spesies yang berbeda berdasarkan perbedaan karakter morfologi. Deteksi secara molekuler dilakukan dengan mengamplifikasi DNA kelima morfotipe cendawan menggunakan primer universal, selanjutnya dilakukan perunutan basa nukleotida DNA. Hasil
23
identifikasi molekuler juga menunjukkan bahwa kelima morfotipe cendawan temuan tersebut adalah lima spesies yang berbeda sesuai dengan hasil identifikasi secara konvensional. Tabel 4 Spesies cendawan laten temuan dengan metode deteksi konvensional dan molekuler No.
a
Metode
Spesies Cendawan Temuan
Jumlah
Deteksi Waktu Kemunculana
1.
Direct agar plating techique (DAPT)
Alternaria citri, Fusarium incarnatum, Colletotrichum gloeosporioides
3
3 HSI
2.
Overnight freezing incubation technique (ONFIT)
Alternara citri, Fusarium incarnatum, Colletotrichum gloeosporioides, Colletotrichum boninense, Guignardia mangiferae
5
3 HSI
3.
Kombinasi senescence stimulating technique (SST) & DAPT
Alternaria citri, Fusarium incarnatum, Colletotrichum gloeosporioides
3
2 HSI
4.
Molekuler
Alternaria sp. dan Fusarium sp.c
2
6 jamb
HSI, Hari Setelah Inkubasi, bdeteksi dengan primer ITS1F dan ITS4, csetelah disikuen
Tabel 5
Identifikasi isolat cendawan laten temuan secara konvensional dan molekuler Identifikasi Isolat
Isolat
Konvensional
Molekuler Asal
No. Aksesi Genbank
100
Jepang
AB267479.1
Colletotrichum gloeosporioides
100
USA
JX010153.1
Leslie et al. 2006
Fusarium incarnatum
99
Italia
KJ562367.1
Colletotrichum boninense
Damm et al. 2012
Colletotrichum boninense
100
Brazil
JX258784.1
Guignardia mangiferae
EPPO 2009
Guignardia mangiferae
98
Jepang
AB731125.1
Spesies
Referensi
Spesies
KHU
Alternaria citri
Ellies 1971
Alternaria citri
KCT
Colletotrichum gloeosporioides
Weir et al. 2012
KMM
Fusarium incarnatum
KPH KHM
Homologi (%)
Hasil identifikasi 3 morfotipe cendawan pada metode DAPT yaitu morfotipe KHU, KCT dan KMM berturut-turut adalah A. citri, C. gloeosporioides dan F. incarnatum. Cendawan tersebut menempati lokasi yang berbeda-beda pada bagian buah jeruk. Cendawan yang paling dominan ditemukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel berturut turut adalah A. citri, F. incarnatum, C. gloeosporioides dan C. gloeosporioides (Tabel 1). Michailides et al. (2010) juga menyebutkan bahwa metode DAPT ini dapat mengisolasi patogen yang menginfeksi laten pada bagian kalik dan kulit berbagai jenis buah. Menurut Brown (1986a), perbedaan lokasi cendawan pada bagian buah disebabkan ketersediaan nutrisi dan virulensi patogen di dalam buah.
24
Temuan ketiga spesies cendawan penyebab infeksi laten sangat berpotensi menimbulkan kerusakan buah di tempat penyimpanan. Menurut Michailides dan Elmer (2000) patogen sudah memulai infeksi pada tahap pembungaan tanaman atau pada saat buah masih muda di lapangan. Di California, petani buah kiwi telah menggunakan metode DAPT ini untuk menentukan pemakaian fungisida pada buah-buahan di lapangan sebelum masa panen. Selain itu, metode DAPT ini dapat dimanfaatkan oleh bagian pengepakan dan pengapalan untuk menyortir buah yang terinfeksi laten. Informasi keberadaan patogen laten dalam buah-buahan dapat mengurangi penyebaran penyakit di tempat penyimpanan sekaligus dapat merencanakan waktu pemasaran (Michailides et al. 2010). Hasil identifikasi 5 morfotipe cendawan pada metode ONFIT yaitu morfotipe KHU, KMM, KCT, KPH dan KHM berturut-turut adalah A. citri, F. incarnatum, C. gloeosporioides, C. boninense dan G. mangiferae. Metode ONFIT dapat mendeteksi cendawan lebih banyak dibandingkan dengan metode lainnya (Tabel 4). Menurut Michailides et al. (2010) hal ini dapat terjadi karena metode ONFIT bekerja langsung merusak jaringan buah, sehingga memudahkan patogen penyebab infeksi laten untuk mendapatkan nutrisi dari buah tersebut. Sebelumnya, Cerkauskas dan Sinclair (1980) melaporkan bahwa jaringan tanaman dapat dirusak menggunakan herbisida berbahan aktif paraquat, sehingga dapat mengaktifkan patogen laten pada tanaman kedelai. Herbisida tersebut adalah bersifat toksik, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang lebih aman. ONFIT merupakan metode yang aman karena tidak menggunakan pestisida berbahaya. Luo dan Michailides (2003) menjelaskan penggunaan metode ONFIT pada tahap awal pembentukan buah dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit busuk coklat Monilinia sp. pada buah plum di lapangan pada saat panen. Jumlah inokulum cendawan yang tinggi di lapangan adalah faktor yang mempercepat pertumbuhan cendawan pada metode ONFIT. Hasil identifikasi 3 morfotipe cendawan pada metode kombinasi SST dan DAPT yaitu morfotipe KCT, KMM dan KHU berturut-turut adalah C. gloeosporioides, F. incarnatum dan A. citri. Cendawan tersebut menempati lokasi yang berbeda-beda pada bagian buah jeruk. Cendawan yang paling dominan ditemukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel berturut turut adalah C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. gloeosporioides dan A. citri (Tabel 2). Cendawan C. gloeosporioides paling banyak terdeteksi melalui metode ini. Menurut Brown (1986a), C. gloeosporioides dan A. citri sering ditemukan bersifat laten pada buah jeruk. C. gloeosporioides mulai mengoloni buah ketika buah sudah mengalami fase senescence (pengusangan). Penyebab pengusangan buah adalah karena pengaruh etilen. Etilen dapat mempercepat masa pengusangan buah, sehingga menyebabkan penurunan ketegaran jaringan dalam buah. Kondisi ini mempermudah cendawan mengolonisasi lebih lanjut. Cristescu et al. (2008) melaporkan aplikasi etilen mampu mempercepat masa pengusangan, sehingga dapat mengaktifkan perkecambahan konidia B. cinerea, Penicillium expansum, Rhyzopus stolonifer, Gloeosporium perennans, Diplodia natalonis, dan P. citri. Pada metode kombinasi SST dan Inkubasi tidak ditemukan cendawan pada permukaan buah. Hal ini karena buah belum mencapai pengusangan. Knoester et al. (1998) menyebutkan etilen berperan terhadap pengusangan buah. Pemberian etilen dapat menyebabkan ikatan antar sel tanaman menjadi lemah, sehingga memudahkan patogen untuk menginfeksi (Cohn et al. 2001). El-Kazzaz et al.
25
(1983) melaporkan pemberian etilen dengan konsentrasi 1 ml etilen/l air belum dapat membuat buah mencapai pengusangan sehingga tidak dapat mengaktifkan cendawan Alternaria alternata, C. gloeosporioides, P. expansum, R. stolonifer, B. theobromae dan B. cinerea, tetapi konsentrasi tersebut mampu mengaktifkan cendawan P. digitatum, P. italicum dan Thielaviopsis paradoxa. Hal ini menurut Brown (1986a) disebabkan perbedaan kemampuan patogen dalam menginfeksi buah. Metode konvensional yang paling akurat dan cepat dalam mendeteksi cendawan terinfeksi laten pada buah jeruk impor asal Argentina adalah metode ONFIT (Tabel 4). Melalui metode ini berhasil diperoleh 5 spesies cendawan penyebab infeksi laten yang tumbuh pada permukaan buah jeruk mulai hari ketiga setelah inkubasi. Metode ONFIT yang dilakukan sebelumnya dapat memunculkan cendawan M. fructicola pada buah plum mulai dari hari kelima setelah inkubasi pada suhu pembekuan -16 °C (Michailides et al. 2010). Setelah dilakukan pengembangan metode ONFIT pada buah jeruk dengan melakukan pembekuan pada suhu -20 °C terbukti mampu mendeteksi kemunculan cendawan mulai hari ketiga setelah inkubasi. Hasil pengembangan metode ini, tekstur buah jeruk masih terlihat utuh, sehingga masih memudahkan dalam hal pengamatan cendawan. Luo dan Michailides (2003) menyebutkan semakin rendah suhu pembekuan dapat menyebabkan buah mudah rusak sehingga menyulitkan proses identifikasi cendawan. Kecepatan deteksi kemunculan cendawan sangat diperlukan dalam melakukan tindakan pemeriksaan media pembawa oleh Badan karantina pertanian, agar cepat dilakukan pengambilan keputusan terhadap pemasukan buah jeruk, sehingga buah jeruk tidak tertahan lama di pelabuhan. Spesies A. citri diidentifikasi lebih lanjut menggunakan primer spesifik untuk membuktikan kebenarannya mengingat spesies tersebut dalam Permentan 93 tahun 2011 tergolong dalam kategori A1 (belum terdapat di Indonesia). Pasangan primer spesifik yang digunakan adalah PG20 dan Pro2 dengan ukuran target 813 pb (Isshiki et al. 2003) dan UCREAF1 dan UCREAR3 dengan ukuran target 1395 pb (Katoh et al. 2007). Primer yang digunakan mengidentifikasi pertama kali adalah primer universal dengan ukuran target sekitar 600 pb.
A
B
Gambar 15 Visualisasi hasil amplifikasi DNA target dengan primer spesifik A. citri pada 1,2 % gel agarosa. Amplifikasi DNA A. citri dengan primer PG20 dan Pro2 (A). Marker 1 kb (M), kontrol negatif (1), A. citri (2), A. alternata (3). Amplifikasi DNA A. citri dengan primer UCREAF1 dan UCREAR3 (B). Marker 1 kb (M), kontrol negatif (1), A. citri (2), A. alternata (3)
26
Hasil elektroforesis DNA menunjukkan bahwa kedua primer yang digunakan mampu mengamplifikasi DNA target A. citri. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pita DNA pada gel agarosa 1.2% sesuai dengan ukuran target 813 pb pada primer PG20 dan Pro2 dan 1395 pb pada primer UCREAF1 dan UCREAR3, namun pada primer PG20 dan Pro2 terdapat 2 pita DNA (Gambar 15A). Hal ini diduga primer tersebut masih kurang spesifik, sementara itu, pada sampel A. alternata (pembanding) tidak terlihat pita DNA. Identifikasi A. citri menggunakan primer spesifik UCREAF1 dan UCREAR3 menunjukkan bahwa primer dapat mengamplifikasi DNA target pada sampel A. citri dengan visualisasi 1 pita DNA, sehingga dapat dibuktikan bahwa sampel tersebut adalah positif A. citri (Gambar 15B). Primer spesifik UCREAF1 dan UCREAR3 lebih baik dalam mendeteksi spesies A. citri dibandingkan primer PG20 dan Pro2. Smith et al. (1996) dan Sharma et al. (2013) menyebutkan PCR merupakan pengujian deteksi organisme yang spesifik, sensitif dan cepat sampai ke level spesies. Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten Cendawan temuan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dibiakan dalam media PDA. Selanjutnya cendawan diidentifikasi secara konvensional terlebih dahulu dan dilakukan uji konfirmasi secara molekuler. Identifikasi konvensional dilakukan secara morfometri dengan mengukur 30 konidia masingmasing cendawan temuan dan mengamati seluruh bagian cendawan secara makroskopis dan mikroskopis (Tabel 6). Identifikasi spesies cendawan menggunakan berbagai literatur kunci identifikasi cendawan. Tabel 6 Morfometri konidia cendawan laten temuan Konidia Terpendek (µm)
Konidia Terpanjang (µm)
Rata-rata Konidia (µm)a
Panjang
Lebar
Panjang
Lebar
Panjang
Lebar
A. citri
14.98
8.89
56.58
17.87
42.14
16.07
C. gloeosporioides
11.83
3.43
16.93
7.54
14.65
5.26
C. boninense
13.56
6.35
17.14
5.79
15.13
6.17
G. mangiferae
10.26
6.32
12.59
7.11
11.37
6.92
F. incarnatum
8.11
3.09
24.86
2.98
15.74
3.07
Cendawan Temuan
a
Pengukuran dilakukan pada 30 konidia
Isolat KHU diidentifikasi sebagai A. citri Hasil pengamatan cendawan secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia isolat KHU adalah 42.14 µm dan lebar 16.07 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA terlihat mengumpul, miselia aerial, berwarna abu abu di bagian atas koloni dan coklat di bagian bawah koloni (Gambar 17, A dan B). Konidia berbentuk seperti gada, bersekat dan tunggal (Gambar 17C). Berdasarkan kunci identifikasi Ellies (1971), karakteristik morfologi isolat KHU diidentifikasi sebagai A. citri. Karakteristik morfologi A. citri dicirikan dengan koloni mengumpul, berwarna abu abu, kuning langsat, coklat sampai hitam. Konidiofor sederhana atau bercabang, lurus atau bengkok, bersepta, pucat, lebar hingga 3-5 µm. Konidia tunggal, rantai sederhana atau bercabang, lurus atau sedikit melengkung,
27
berbentuk oval, panjang 8-60 (rata-rata 42 µm), lebar 6-24 (rata-rata 17 µm) (Ellies 1971). Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 16), cendawan A. citri berada dalam 1 grup dengan isolat dari negara USA, Brazil dan Cina. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan A. citri temuan memiliki kekerabatan yang sangat dekat secara genetik dengan isolat dari negara-negara tersebut. Keragaman genetik A. citri dalam grup tersebut sangat rendah, meskipun isolat tersebut berasal dari negara yang berbedabeda. Penjelasan tersebut diperkuat oleh tingkat homologi sikuen nukleotida diantara keempat isolat tersebut (Tabel 7). Keempat isolat tersebut menunjukkan persentase homologi yang tinggi antara 93-100%. Sementara itu, A. alternata berada di luar grup, berarti jelas berbeda dengan A. citri. Persentase tingkat homologinya pun paling rendah yaitu sebesar 92.1%. Alternaria_citri_KHU A. citri (cendawan temuan) Alternaria_citri_EF104220.1_USA A. citri (USA/EF104220.1) Alternaria_citri_EU520049.1_China A. citri (Brazil/DQ489290.1) Alternaria_citri_DQ489290.1_Brazil A. citri (Cina/EU520049.1) Alternaria_alternata_KM374667.1_China A. Alternata (Cina/KM374667.1)
(USA/EF104220.1) 0.002
Gambar 16 Pohon filogeni isolat A. citri temuan dan isolat dari negara lain
A
2 cm
C Gambar 17
2 cm
B
50 µm
Morfologi A. citri. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada media PDA (A), Koloni permukaan bawah (B). konidia (perbesaran 400 x) (C)
Dalam Permentan no 93 tahun 2011, A. citri termasuk dalam OPTK kategori A1 yang belum ada di Indonesia. Temuan OPTK A1 ini dapat digunakan sebagai
28
alasan ilmiah untuk melakukan pemusnahan terhadap pemasukan buah jeruk asal Argentina dengan no registrasi 2014.2.04.01.S01.I.020852. Permentan no 42 tahun 2012 menyebutkan bahwa apabila hasil pemeriksaan kesehatan terhadap buah segar dan sayuran buah segar terbukti tidak bebas OPTK golongan I maka dapat dilakukan tindakan pemusnahan. Tabel 7 Tingkat homologi 535 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat A. citri temuan dengan isolat dari negara lain No.
Asal Isolat
Homologi (%)a 1
2
3
4
1
AC-KHUb
IDg
2
AC-BZc
93.2
ID
3
d
100
93.2
ID
e
98.6
92.8
98.6
ID
f
92.1
93.9
92.1
92.3
4 5
AC-US
AC-CN
AA-CN
5
ID
a
Tingkat kemiripan urutan basa nukleotida A. citri dihitung menggunakan program Bioedit versi 6.05. bA. citri isolat KHU (cendawan temuan). cA. citri isolat Brazil (DQ489290.1). dA. citri isolat USA (EF104220.1). eA. citri isolat Cina (EU520049.1). fA. alternata isolat Cina (KM374667.1). gID (identity) yaitu menunjukan spesies yang sama.
Isolat KCT diidentifikasi sebagai C. gloeosporioides Hasil pengamatan isolat KCT secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia adalah 14.65 µm dan lebar 5.26 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA memperlihatkan mengumpul, miselia aerial, berwarna putih kekuning-kuningan (Gambar 19, A dan B). Konidia berbentuk batang, tidak bersekat, hialin dan melimpah (Gambar 19D). Terdapat aservuli berwarna hitam dan memiliki seta (Gambar 19C). Berdasarkan kunci identifikasi Weir et al. (2012), karakteristik morfologi isolat KCT diidentifikasi sebagai C. gloeosporioides. Karakteristik morfologi C. gloeosporioides dicirikan dengan aservuli memiliki seta, panjang bervariasi antara 50-130 µm. Konidia tunggal, silinder, panjang 10-15 µm dan lebar 5-7 µm, ujung tumpul, tidak bersekat, hialin, dan halus. Apresoria berbentuk oval, bulat, berwarna coklat sampai coklat tua, berukuran 8-12 x 6-9 mm. Koloni pada PDA berkembang dengan baik, miselia aerial, setelah 10 hari berdiameter 8-9 cm, seperti kapas, putih keabu-abuan, dengan titik-titik hitam (Weir et al. 2012). C. gloeosporioides adalah cendawan kosmopolit yang dilaporkan sudah banyak terdapat di Indonesia. Walaupun demikian, masuknya cendawan tersebut ke dalam wilayah Indonesia tetap harus dicegah, karena dikhawatirkan cendawan tersebut merupakan ras yang berbeda dengan cendawan C. gloeosporioides yang sudah ada di Indonesia. Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 18), cendawan C. gloeosporioides temuan berada dalam 1 subgrup dengan isolat dari negara Argentina, Brazil dan USA. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan C. gloeosporioides temuan memiliki kekerabatan yang lebih dekat secara genetik dengan isolat dari ketiga negara tersebut dibandingkan dengan isolat dari negara Indonesia dan Malaysia.
29
Penjelasan ini sekaligus membuktikkan bahwa cendawan C. gloeosporioides yang ditemukan dari hasil deteksi adalah cendawan yang benar-benar terbawa dalam buah jeruk asal Argentina. Keragaman genetik isolat C. gloeosporioides dari negara Argentina, Brazil dan USA terlihat berbeda dengan isolat dari negara Indonesia dan Malaysia. Perbedaan ini diduga karena perbedaan ras dari C. gloeosporioides. Perbedaan genetik antar C. gloeosporioides diperkuat oleh perbedaan persentase tingkat homologi antar isolat yang besar (Tabel 8). C. gloeosporioides (Argentina/FN566870.1) Colletotrichum_gloeosporioides_FN566870.1_Argentina 70 76 88
C. gloeosporioides (Brazil/HQ874975.1) Colletotrichum_gloeosporioides_HQ874975.1_Brazil C. gloeosporioides (USA/JN121209.1) Colletotrichum_gloeosporioides_JN121209.1_USA
C. gloeosporioides (cendawan temuan) Colletotrichum_gloeosporioides_KCT C. gloeosporioides (Indonesia/JX009429.1) Colletotrichum_gloeosporioides_JX009429.1_Indonesia C. gloeosporioides (Malaysia/GU066679.1) Colletotrichum_gloeosporioides_GU066679.1_Malaysia C. capsici (Indonesia/HQ259127.1) Colletotrichum_capsici_HQ259127.1_Indonesia
0.01
Gambar 18
Pohon filogeni isolat C. gloeosporioides temuan dan isolat dari negara lain
A
2 cm
B
2 cm
50 µm
C Gambar 19
D
50 µm
Morfologi C. gloeosporioides. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada PDA (A), koloni permukaan bawah (B), aservuli (perbesaran 400 X) (C), konidia (perbesaran 400 X) (D)
30
Tabel 8 Tingkat homologi 539 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat C. gloeosporioides temuan dengan isolat dari negara lain Homologi (%)a
No.
Asal Isolat
1
CG-KCTb
IDi
2
CG-MYc
87.9
ID
3
CG-INd
99.4
88.3
ID
4
CG-AGe
99.6
87.7
99.0
ID
5
CG-BZf
99.4
87.7
98.8
99.8
ID
6
CG-USg
99.8
87.7
99.2
99.8
82.3
86.5
82.5
82.1
7 a
h
CC-IN
1
2
3
4
5
6
7
99.6
ID
82.1
82.1
ID
Tingkat kemiripan urutan basa nukleotida C. gloeosporioides dihitung menggunakan program Bioedit versi 6.05. bC. gloeosporioides isolat KCT (cendawan temuan). cC. gloeosporioides isolat Malaysia (GU066679.1). dC. gloeosporioides isolat Indonesia (JX009429.1). eC. gloeosporioides isolat Argentina (FN566870.1). fC. gloeosporioides isolat Brazil (HQ874975.1). gC. gloeosporioides isolat USA (JN121209.1). hC. capsici isolat Indonesia (HQ259127.1). iID (identity) yaitu menunjukan spesies yang sama.
Isolat KPH diidentifikasi sebagai C. boninense Hasil pengamatan isolat KPH secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia adalah 15.13 µm dan lebar 6.17 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA memperlihatkan mengumpul, miselia aerial, berwarna putih seperti kapas (Gambar 20, A dan B). Konidia berbentuk batang, tidak bersekat, hialin dan melimpah, yang membedakan dengan C. gloeosporioides adalah konidia C. boninense meruncing di bagian ujung (Gambar 20D). Terdapat aservuli berwarna hitam dan memiliki seta (Gambar 20C). Berdasarkan kunci identifikasi Damm et al. (2012), karakteristik morfologi isolat KPH diidentifikasi sebagai C. boninense. Karakteristik morfologi C. boninense dicirikan dengan aservuli berwarna hitam, panjang seta 75-140 µm, seta C. boninense lebih panjang dari C. gloeosporioides, memiliki septa 3-5. Konidiofor bercabang. Konidia hialin, pucat, silindris dengan meruncing pada bagian ujung. Ukuran konidia (14-)15-16(-18) x 5-6 µm (rata rata 15 x 6 µm). Apresoria berwarna coklat ovoid sampai lobed, berukuran 9-11 x 6-8 µm. Koloni pada media PDA mengarah ke abu abu. Miselium dan konidia aerial (Damm et al. 2012). Belum ada laporan temuan C. boninense pada buah jeruk sebelumnya di Indonesia. Di kawasan Asia, cendawan ini banyak dilaporkan menyerang buah jeruk di Cina (Peng et al. 2012). Temuan cendawan ini harus diwaspadai, karena berpotensi menyebar di Indonesia. Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 21), cendawan C. boninense temuan berada dalam 1 grup dengan isolat dari negara Argentina dan USA. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan C. boninense temuan memiliki kekerabatan yang lebih dekat secara genetik dengan isolat dari kedua negara tersebut dibandingkan dengan isolat dari negara Filipina. Penjelasan ini sekaligus membuktikkan bahwa cendawan C. boninense yang ditemukan dari hasil deteksi adalah cendawan yang
31
benar-benar terbawa dalam buah jeruk asal Argentina. Keragaman genetik isolat C. boninense temuan dan dari negara Argentina dan USA terlihat berbeda dengan isolat dari negara Filipina. Perbedaan genetik ini diperkuat oleh perbedaan persentase tingkat homologi antar isolat (Tabel 9). Agrios (2005) menjelaskan perbedaan keragaman genetik ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan masing-masing spesies.
2 cm
A
2 cm
B
50 µm
C Gambar 20
25 µm
D Morfologi C. boninense. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada PDA (A), koloni permukaan bawah (B), aservuli (perbesaran 400 X) (C), konidia (perbesaran 400 X) (D)
Tabel 9 Tingkat homologi 571 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat C. boninense temuan dengan isolat dari negara lain No.
Asal Isolat
Homologi (%)a 1
2
3
4
5
1
CB-KPHb
IDh
2
CB-BZc
84.1
ID
3
CB-AGd
99.2
84.3
ID
4
CB-USe
99.1
84.9
98.9
ID
5
CB-FPf
85.2
89.9
85.3
85.9
ID
6
CG-KCTg
76.6
64.7
76.3
77.2
66.4
a
6
ID
Tingkat kemiripan urutan basa nukleotida C. boninense dihitung menggunakan program Bioedit versi 6.05. bC. boninense isolat KPH (cendawan temuan). cC. boninense isolat Brazil (JQ346207.1). dC. boninense isolat Argentina (FN566878.1). eC. boninense isolat USA (GU994379.1). fC. boninense isolat Filipina (KP714268.1). gC. gloeosporioides isolat KCT (cendawan temuan). hID (identity) yaitu menunjukan spesies yang sama.
32
Colletotrichum_boninense_GU994379.1_USA C. boninense (USA/GU994379.1) 100
86
Colletotrichum_boninense_KPH C. boninense (cendawan temuan) Colletotrichum_boninense_FN566878.1_Argentina C. boninense (Argentina/FN566878.1) Colletotrichum_boninense_JQ346207.1_Brazil C. boninense (Brazil/JQ346207.1) Colletotrichum_boninense_KP714268.1_Filipina C. boninense (Filipina/KP714268.1) Colletotrichum_gloeosporioides_Nurholis C. gloeosporioides (cendawan temuan)
0.05
Gambar 21 Pohon filogeni isolat C. boninense temuan dan isolat dari negara lain Isolat KHM diidentifikasi sebagai G. mangiferae Hasil pengamatan isolat KHM secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia adalah 11.37 µm dan lebar 6.92 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA memperlihatkan mengumpul, miselia non aerial, berwarna hitam (Gambar 22, A dan B). Konidia berbentuk bulat, tidak bersekat, dan hialin (Gambar 22C). Berdasarkan kunci identifikasi EPPO (2009), karakteristik morfologi isolat KHM diidentifikasi sebagai G. mangiferae. Karakteristik morfologi G. mangiferae dicirikan dengan memiliki rata-rata ukuran konidia 11-12 x 6.5-7.5 µm. Askospora berukuran 15-17 x 6.5-7.5 µm. Temperatur pertumbuhan maksimum adalah 30-36 °C (EPPO 2009). Cendawan ini sudah terdapat di Indonesia.
2 cm
A
B
2 cm
25 µm
C Gambar 22
Morfologi G. mangiferae. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada PDA (A), koloni permukaan bawah (B). konidia (perbesaran 400 X) (C)
33
G. mangiferae (Argentina/GU060444.1) Guignardia_mangiferae_GU060444.1_Argentina Guignardia_mangiferae_JX559612.1_Brazil G. mangiferae (Brazil/JX559612.1)
mangiferae (cendawan Guignardia_mangiferae_KHM 44 G.
temuan)
Guignardia_mangiferae_KC311456.1_USA G. mangiferae (USA/KC311456.1) 50 G. mangiferae (Cina/EU821361.1) Guignardia_mangiferae_EU821361.1_China
Guignardia_mangiferae_JX157866.1_India G. mangiferae (India/JX157866.1)
G. mangiferae (Indonesia/FJ538339.1) Guignardia_mangiferae_FJ538339.1_Indonesia G. mangiferae (Thailand/FJ538348.1) Guignardia_mangiferae_FJ538348.1_Thailand G. citricarpa (Brazil/HQ833027.1) Guignardia_citricarpa_HQ833027.1_Brazil 0.01
Gambar 23
Pohon filogeni isolat G. mangiferae temuan dan isolat dari negara lain
Tabel 10 Tingkat homologi 621 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat G. mangiferae temuan dengan isolat dari negara lain Homologi (%)a
No.
Asal Isolat
1
GM-KHMb IDk
2
GM-AGc
96.5
ID
3
GM-BZd
93.7
94.8
ID
4
GM-USe
100
96.5
93.7
ID
5
GM-CNf
99.8
96.7
93.9
99.8
ID
6
GM-IDg
90.6
93.1
92
90.6
90.8
ID
7
GM-THh
90.2
95.7
93.5
93.2
93.4
96.1
ID
8
GM-INi
90.3
98.4
95
96.3
96.5
93.7
96.4
ID
9
j
78.5
80.6
79.7
78.5
78.7
84.6
83.5
81.3
a
GC-BZ
1
2
3
4
5
6
7
8
9
ID
Tingkat kemiripan urutan basa nukleotida G. mangiferae dihitung menggunakan program Bioedit versi 6.05. bG. mangiferae isolat KHM (cendawan temuan). cG. mangiferae isolat Argentina (GU060444.1). dG. mangiferae isolat Brazil (JX559612.1). e G. mangiferae isolat USA (KC311456.1). fG. mangiferae isolat Cina (EU821361.1). gG. mangiferae isolat India (JX157866.1). hG. mangiferae isolat Thailand (FJ538348.1). iG. mangiferae isolat Indonesia (FJ538339.1). jG. citricarpa isolat Brazil (HQ833027.1). kID (identity) yaitu menunjukan spesies yang sama.
Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 23), cendawan G. mangiferae temuan tidak berada dalam 1 grup dengan isolat dari Indonesia. Majerlou dan Safaie (2012) menjelaskan spesies cendawan yang berada bukan satu grup dalam pohon filogeni merupakan individu yang berbeda. Agrios (2005) juga menegaskan bahwa perbedaan ras antar spesies menunjukan perbedaan individu. Oleh karena
34
itu, terdapat peluang besar G. mangiferae temuan berbeda ras dengan G. mangiferae asal Indonesia. Sehingga dapat diketegorikan sebagai patogen baru yang perlu diwaspadai pemasukkannya ke dalam wilayah Indonesia. Perbedaan genetik G. mangiferae temuan dan isolat Indonesia ini diperkuat oleh perbedaan persentase tingkat homologi (Tabel 10). G. mangiferae temuan lebih dekat secara genetik dengan isolat asal negara Argentina, Brazil, USA, China dan India. Penjelasan ini sekaligus membuktikkan bahwa cendawan G. mangiferae yang ditemukan dari hasil deteksi adalah cendawan yang benar-benar terbawa dalam buah jeruk asal Argentina. Isolat KMM diidentifikasi sebagai F. incarnatum Hasil pengamatan isolat KMM secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia adalah 15.74 dan lebar 3.07 (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA memperlihatkan mengumpul, miselia aerial, berwarna merah muda seperti kapas (Gambar 24, A dan B). Terdapat 2 bentuk konidia yaitu makrokinidia dan mikrokonidia. Makrokonidia berbentuk seperti bulan sabit, ujungnya runcing berukuran lebih besar dari mikrokonidia dan bersekat (Gambar 24C). Mikrokonidia berbentuk oval, tidak bersekat, ujungnya tumpul (Gambar 24D). Berdasarkan kunci identifikasi Leslie et al. (2006), karakteristik morfologi isolat KMM diidentifikasi sebagai F. incarnatum. Karakterisitik morfologi F. incarnatum dicirikan dengan konidia bervariasi, makrokonidia lebih ramping dengan permukaan dorsal melengkung dan permukaan ventral lurus, berukuran 17-40 × 2,5-4 µm, memiliki 3 sampai 5-septa. Mikrokonidia (dan "mesokonidia") berukuran 10-20 × 2,5-3,5 µm, biasanya 1 septa. Mikrokonidia paling banyak melimpah. Tipe miselium aerial (Leslie et al. 2006).
2 cm
2 cm
B
A
C Gambar 24
50 µm
D
25 µm
Morfologi F. incarnatum. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada PDA (A), koloni permukaan bawah (B), makrokonidia (perbesaran 400 X) (C), mikrokonidia (perbesaran 400 X) (D)
35
Tabel 11 Tingkat homologi 591 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat F. incarnatum temuan dengan isolat dari negara lain Homologi (%)a
No.
Asal Isolat
1
FI-KMMb
IDi
2
FI-USc
94.8
ID
3
FI_USd
95
99.4
ID
4
FI-CNe
93.2
95.9
95.3
ID
5
FI-IDf
69.6
70.8
70.5
70.4
ID
6
FI-AGg
89.5
89.3
89.5
93.1
71.3
ID
7
h
67.2
67.9
67.4
70.7
65.6
74.6
FO-IN
1
2
3
4
5
6
7
ID
a
Tingkat kemiripan urutan basa nukleotida F. incarnatum dihitung menggunakan program Bioedit versi 6.05. bF. incarnatum isolat KMM (cendawan temuan). cF. incarnatum isolat USA (GQ505723.1). dF. incarnatum isolat USA (GQ505695.1). eF. incarnatum isolat Cina (KJ572780.1). fF. incarnatum isolat India (KJ371106.1). gF. incarnatum isolat Argentina (JQ316667.1). hF. oxysforum isolat Indonesia (DQ094338.1). iID (identity) yaitu menunjukan spesies yang sama.
Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 25), cendawan F. incarnatum temuan berada dalam 1 grup dengan isolat dari negara Argentina. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan F. incarnatum temuan tersebut memiliki kekerabatan yang lebih dekat secara genetik dengan isolat dari negara Argentina dibandingkan dengan isolat dari negara India dan Cina. Penjelasan ini sekaligus membuktikkan bahwa cendawan F. incarnatum yang ditemukan dari hasil deteksi adalah cendawan yang benar-benar terbawa dalam buah jeruk asal Argentina. Perbedaan genetik ini diperkuat oleh perbedaan persentase tingkat homologi antar isolat (Tabel 11). Belum ada laporan mengenai keberadaan cendawan F. incarnatum di Indonesia. 70 60 100
F. incarnatum (cendawan temuan) Fusarium_incarnatum_KMM F. incarnatum (Argentina/JQ316667.1) Fusarium_incarnatum_JQ316667.1_Argentina F. incarnatum (USA/GQ505695.1) Fusarium_incarnatum_GQ505695.1_USA
F. incarnatum (USA/GQ505723.1) Fusarium_incarnatum_GQ505723.1_USA incarnatum (Cina/KJ572780.1) 58 F. Fusarium_incarnatum_KJ572780.1_China F. incarnatum (India/KJ371106.1) Fusarium_incarnatum_KJ371106.1_India F. oxysforum (Indonesia/DQ094338.1) Fusarium_oxysforum_DQ094338.1_Indonesia 0.01
Gambar 25
Pohon filogeni isolat F. incarnatum temuan dan isolat dari negara lain
36
Uji Postulat Koch Hasil uji postulat Koch menunjukkan bahwa cendawan C. gloeosporioides dan A. citri paling parah menimbulkan kerusakan buah jeruk pada pengamatan 21 hari setelah inokulasi (Gambar 26, D1 dan D2). C. gloeosporioides merupakan cendawan kosmopolit yang juga sudah terdapat di Indonesia dan dilaporkan banyak menimbulkan kerusakan pada buah-buahan di tempat penyimpanan. A. citri termasuk kedalam daftar OPTK A1 yang belum terdapat di Indonesia. Dari gejala busuk hitam pada hasil uji postulat Koch, A. citri sangat berpotensi menimbulkan kerusakan pada buah jeruk lokal. Temuan cendawaan ini diharapkan semakin meningkatkan kewaspadaan Badan Karantina Pertanian dalam setiap pemeriksaan buah-buah jeruk dari luar negeri, terutama dari negara Argentina. Cendawan A. citri menyebabkan penyakit Alternaria black rot (busuk hitam Alternaria) pada buah jeruk (Katoh et al. 2007). Cendawan ini memiliki kisaran inang yang luas di alam, bersifat saprofit fakultatif pada tanaman. Spora termasuk tular udara, dapat juga ditemukan pada tanah dan air. Kehilangan hasil akibat serangan cendawan ini dapat mencapai 80% di lapangan (Yazdanpanah dan Mohamadi 2014). Uji postulat Koch A. citri pada jeruk lokal menghasilkan gejala termasuk kedalam kategori skor 3 (kategori parah) pada Gambar 27 (Mojerloe & Safaie 2012). Parahnya gejala busuk hitam oleh A. citri pada pengujian patogenisitas karena A. citri mampu mendegradasi dinding sel buah jeruk dengan cepat melalui enzim polygalacturonase (Isshiki et al. 2003; Yazdanpanah dan Mohamadi 2014).
Gambar 26 Gejala penyakit oleh cendawan laten temuan hasil postulat Koch. Kontrol (tanpa inokulasi cendawan hanya PDA) (A1, A2), inokulasi F. incarnatum (B1,B2), inokulasi C. gloeosporioides (C1,C2), inokulasi A. citri (D1,D2), inokulasi C. boninense (E1,E2), Inokulasi G. mangiferae (F1,F2)
37
0
Gambar 27
1
2
3
Skor keparahan penyakit busuk hitam Alternaria yang disebabkan oleh A. citri (Mojerloe dan Safaie 2012)
Perlakuan UV-C pada Cendawan Penyebab Infeksi Laten Perlakuan UV-C in vitro Perlakuan UV-C in vitro membuktikan bahwa waktu papar UV-C 120 menit dapat menghambat pertumbuhan semua cendawan uji sebesar 100%. Waktu papar UV-C 90 menit sudah mampu menghambat pertumbuhan G. mangiferae sebesar 100% dan hal ini tidak berbeda nyata dalam menghambat A. citri sebesar 97.1% (Tabel 12). Bokhari et al. 2013 juga melaporkan bahwa pada pengujian in vitro, iradiasi UV-C selama 45 menit dan 120 menit dapat menghambat pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides sebesar 100%. Perkecambahan konidia B. cinerea mampu ditekan 10 kali lipat dibandingkan kontrol menggunakan iradiasi UV-C dengan panjang gelombang 254 nm (Darras et al. 2012). Keberhasilan UV-C dalam mematikan cendawan sangat ditentukan oleh ketepatan lamanya waktu papar dan jarak antara lampu UV-C dengan cendawan uji (Sharma dan Srivastava 2014). Cara kerja UV-C ini adalah dengan merusak basa timin pada susunan basa nukleotida DNA, akibatnya fungsi gen yang menyandikan metabolisme cendawan terganggu dan akhirnya cendawan mati (Shintani 2003; Bokhari et al. 2013). Selain itu, UV-C mampu mempertahankan ketegaran buah, sehingga dapat menunda masa pengusangan dan memperpanjang masa simpan buah-buahan di tempat penyimpanan (Sharma dan Srivastava 2014). Perlakuan UV-C memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan cendawan uji sampai hari kelima inkubasi (Gambar 28 dan 29). Semua cendawan temuan tidak tumbuh pada waktu papar UV-C 120 menit sampai hari kelima inkubasi. Tetapi pada waktu papar 90 menit A. citri mulai tumbuh pada hari kelima dan pada waktu papar 45 dan 60 menit tumbuh pada hari keempat. C. gloeosporioides mulai tumbuh dengan waktu papar 90 menit pada hari keempat dan waktu papar 45 dan 60 menit pada hari ketiga. Pola pertumbuhan C. boninense dan F. incarnatum sama dengan C. gloeosporioides pada waktu papar 90, 60 dan 45 menit. G. mangiferae tidak tumbuh pada waktu papar 90 menit sampai hari kelima. Tetapi waktu papar 60 menit G. mangiferae mulai tumbuh pada hari keempat dan waktu papar 45 menit tumbuh pada hari ketiga. Semua cendawan temuan pada kontrol tumbuh pada hari pertama. G. mangiferae sudah dapat dihambat 100% oleh iradiasi UV-C pada waktu papar 90 menit dibandingkan cendawan lainnya. Hal ini diduga karena dinding sel G. mangiferae lebih tipis dibandingkan cendawan lainnya, sehingga mudah dipenetrasi oleh iradiasi UV-C. Canale et al. (2011) menjelaskan iradiasi UV-C menghambat pertumbuhan G. citricarpa secara in vitro dengan mempenetrasi dinding sel dan merusak susunan
38
Diameter Koloni (mm)
Diameter Koloni (mm)
basa nukleotida cendawan. Menurut Civello et al. (2006) cendawan memiliki perbedaan dalam sensitivitas terhadap iradiasi UV-C, yang dipengaruhi oleh ukuran dan kompleksitas struktur sel cendawan.
Hari
A
B
Diameter Koloni (mm)
Diameter Koloni (mm)
Hari
Hari
C
D
Diameter Koloni (mm)
Hari
Hari
E Gambar 28
Pertumbuhan koloni cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vitro. A. citri (A), C. gloeosporioides (B), C. boninense (C), F. incarnatum (D), G. mangiferae (E)
39
Gambar 29 Koloni cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vitro. A. citri (A), C. gloeosporioides (B), C. boninense (C), F. incarnatum (D), G. mangiferae (E), Kontrol (1), UV-C 45 menit (2), UV-C 60 menit (3), UV-C 90 menit (4), UV-C 120 menit (5) Tabel 12 Rata-rata persentase penghambatan perlakuan UV-C in vitro terhadap cendawan temuan pada 5 hari setelah inkubasi Cendawan
Rata rata penghambatan (%) berdasarkan waktu papar (menit)a 0 (kontrol)
45
60
90
120
A. citri
0.0±0.0i
64.1±4.1efg
83.0±1.8bc
97.1±1.3a
100.0±0.0a
C. gloeosporioides
0.0±0.0i
58.8±5.2fg
75.2±1.0cd
86.2±1.4b
100.0±0.0a
C. boninense
0.0±0.0i
56.9±2.6g
69.7±2.7de
83.1±2.2bc
100.0±0.0a
F. incarnatum
0.0±0.0i
28.2±10.8h
57.2±7.3g
74.5±2.8cd
100.0±0.0a
G. mangiferae
0.0±0.0i
68.1±14.5def
83.4±2.5bc
100.0±14.5a
100.0±0.0a
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
Beberapa cendawan tetap tumbuh pada perlakuan UV-C dengan waktu papar kurang dari 90 menit (Tabel 12). Hal ini dikarenakan waktu papar tersebut belum dapat mematikan seluruh koloni cendawan. Civello et al. (2006) menjelaskan bahwa lamanya waktu papar UV-C sangat berpengaruh dalam mematikan mikroorganisme dan pengaruhnya berbeda-beda pada setiap jenis
40
mikroorganisme. Canale et al. (2011) melaporkan spora lebih rentan terhadap radiasi UV-C dibandingkan miselium. Sehingga perlakuan UV-C terhadap miselium cendawan diperlukan waktu papar yang lebih lama. Spora umumnya berada di permukaan atas pada media biakan cendawan, sehingga lebih mudah terpapar UV-C dibandingkan miselium yang tumbuh sampai ke dalam media. Perlakuan UV-C in vivo Perlakuan UV-C in vivo membuktikan bahwa waktu papar UV-C 5 jam mampu menghambat pertumbuhan cendawan A. citri dan C. gloeosporioides sebesar 100% sampai hari ketujuh inkubasi yang dibuktikan dengan tidak terdapat miselia cendawan yang tumbuh pada permukaan buah jeruk (Tabel 13). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata dengan lama penyinaran 4 jam. Perlakuan UV-C 5 jam lebih baik dalam menghambat pertumbuhan kedua cendawan tersebut dibandingkan perlakuan 4 jam. Pada perlakuan UV-C 4 jam miselia cendawan A. citri masih bisa tumbuh pada hari keenam dan miselia cendawan C. gloeosporioides pada hari ketujuh. Perlakuan fitosanitari membutuhkan hasil zero tolerance (mematikan semua patogen), sehingga dalam pengujian ini disarankan penggunaan UV-C dengan waktu papar 5 jam (100%) bukan 4 jam (93.3%). Pada perlakuan 4 jam masih terdapat cendawan yang tumbuh, sehingga cendawan masih berpotensi berkembang aktif dalam buah jeruk dan menjadi sumber inokulum. Tingginya penyakit busuk buah-buahan dan sayuran di tempat penyimpanan dapat ditekan oleh iradiasi UV-C. Bokhari et al. 2013 melaporkan pemaparan iradiasi ultraviolet gelombang pendek (UV-C) diketahui dapat menurunkan tingkat kerusakan beberapa komoditi akibat serangan cendawan di tempat penyimpanan, sehingga umur simpan buah-buahan tersebut menjadi lebih lama. Iradiasi UV-C menghasilkan efek fungisida lebih baik bila dibandingkan UV-A dan UV-B (Terry dan Joyce 2004; Darras et al. 2012). Iradiasi UV-C sangat efektif dalam mengendalikan antraknosa pada pisang di tempat penyimpanan (Bokhari et al. 2013). Siddiqui et al. (2012) melaporkan pemaparan UV-C pada kacang tanah selama 60 menit dapat menurunkan infeksi oleh R. solani dan Macrophomina phaseolina. Perlakuan UV-C mampu mempertahankan ketahanan wortel, jeruk dan tomat terhadap patogen melalui akumulasi senyawa fitoaleksin (Mercier et al. 2001). Tabel 13
Rata-rata persentase penghambatan perlakuan UV-C in vivo terhadap kemunculan A. citri dan C. Gloeosporioides pada 7 hari setelah inkubasi
Cendawan
Rata rata penghambatan (%) berdasarkan waktu papar (jam)a 0 (kontrol)
A. citri
0.0±0.0b
C. gloeosporioides 0.0±0.0b a
4 jam
5 jam
93.3±11.5a
100.0±0.0a
92.6±6.4a
100.0±0.0a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
41
Jumlah Jeruk (buah)
Jumlah Jeruk (buah)
Perlakuan UV-C selama 4 jam menunjukan A. citri masih dapat tumbuh pada hari keenam dan C. gloeosporioides pada hari ketujuh (Gambar 30). Kedua cendawan tersebut masih tumbuh karena penetrasi waktu papar UV-C selama 4 jam belum sampai ke bagian terdalam buah jeruk, sehingga tidak dapat menonaktifkan konidia cendawan. Canale et al. (2011) menjelaskan perlakuan UV-C dapat mengurangi gejala bercak spot hitam pada buah jeruk yang diinfeksi oleh G. citricarpa, tetapi gejala baru masih bisa nampak setelah beberapa hari karena masih ada konidia di dalam buah jeruk yang tidak terkena paparan UV-C. Viabilitas spora dan miselium G. citricarpa masih aktif dalam jaringan buah jeruk karena iradiasi UV-C tidak mempenetrasi baik pada jaringan tanaman.
hari
Gambar 30
hari
A
B
Pertumbuhan cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vivo. A. citri (A), C. gloeosporioides (B)
Buah jeruk yang diberi paparan UV-C selama 5 jam sampai hari ketujuh inkubasi, tidak ditumbuhi oleh miselia cendawan A.citri dan C. gloeosporioides (Gambar 31, A2 dan B2) bila dibandingkan pada kontrol (Gambar 31, A1 dan B1) setelah dideteksi menggunakan teknik pembekuan (ONFIT). Deteksi ONFIT mengakibatkan buah menjadi berwarna kecoklatan karena pengaruh pembekuan. Buah yang diperlakukan UV-C tetapi tidak dilakukan pembekuan (Gambar 31, A3 dan B3) juga tidak ditumbuhi miselia cendawan bila dibandingkan pada buah yang tidak diperlakukan UV-C dan tanpa pembekuan (Gambar 31, A4 dan B4). Selain itu, buah yang tidak diinokulasi A. citri dan C. gloeosporioides ditumbuhi oleh cendawan (Gambar 31, A5 dan B5). Cendawan yang muncul tersebut adalah cendawan yang sudah terbawa dan terinfeksi laten dalam buah jeruk. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan cendawan pada perlakuan kontrol, bukan hanya ditemukan A. citri dan C. gloeosporioides saja, tetapi juga ditemukan cendawan lain seperti Fusarium sp. dan P. digitatum. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan UV-C dengan waktu papar 5 jam bukan hanya mematikan cendawan A. citri dan C. gloeosporioides yang sengaja diinokulasikan, tetapi juga dapat mematikan cendawan yang sudah terdapat secara laten di dalam buah jeruk.
42
Keefektifan perlakuan UV-C ini diharapkan dapat menjadi alternatif perlakuan fitosanitari dalam mematikan cendawan-cendawan yang terinfeksi laten pada buah jeruk impor sebelum komoditas yang diimpor tersebut dilakukan pelepasan oleh petugas karantina di tempat-tempat pemasukan di seluruh Indonesia.
A1
A2
A3
A4
A5
B1
B2
B3
B4
B5
Gambar 31 Pertumbuhan cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vivo. A. citri (A), C. gloeosporioides (B), kontrol dan dideteksi dengan pembekuan (1), perlakuan UV-C dan dideteksi dengan pembekuan (2), perlakuan UV-C tanpa pembekuan (3), tanpa perlakuan UV-C dan tanpa pembekuan (4), tanpa inokulasi cendawan tetapi dengan pembekuan (5)
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Metode yang akurat, relatif cepat dan dapat diaplikasikan telah diperoleh untuk mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten yaitu metode ONFIT diikuti oleh teknik identifikasi secara konvensional melalui karakter morfologi dan teknik molekuler melalui perunutan basa nukleotida DNA. Lima cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor yang berhasil dideteksi dan diidentifikasi adalah A. citri, F. incarnatum, C. boninense, C. gloeosporioides, dan G. mangiferae. Tiga spesies pertama belum terdapat di Indonesia. Perlakuan UV-C terbukti efektif mematikan semua cendawan temuan pada pengujian in vitro selama 120 menit dan mampu menghambat pertumbuhan cendawan A. citri dan C. gloeosporioides sebesar 100% pada pengujian in vivo selama 5 jam. Saran Perlu dilakukan deteksi patogen laten lain bukan dari golongan cendawan yang kemungkinan dapat menyebabkan infeksi laten dalam buah jeruk impor. Sangat direkomendasikan pengujian Real Time PCR untuk mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten.
44
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th Ed. California (US): Elsevier Academic Press. Anderson K, Nielsen CP. 2005. GMOs, the SPS Agreement and the WTO. Di dalam: Anderson K, McRae C, Wilson D, editor. The Economics of Quarantine and The SPS Agreement. Canberra (AU): University of Adelaide Press. Ariza MR, Larsen TO, Petersen BO, Duus JO, Barrero AF. 2002. Penicillium digitatum metabolites on synthetic media and citrus fruits. J Agric Food Chem. 50:6361-6365. Betancurt P, Ares MI, Montalbán A, Arcia P, Borthagaray MD, Curutchet A, Pica L, Soria, Abreu AV. 2009. Effect of irradiation as quarantine treatment on citrus fruit quality. Int Nucl Atlant Conf. Brazil. Bhale UN. 2011. Survey of market storage diseases of some important fruits of Osmannabad District (M.S) India. Sci Res Rep. 1(2):88-91. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi buah-buahan menurut provinsi tahun 2013 [internet]. Jakarta (ID). [diunduh 2014 Juli 12]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55& notab=10. Brown GE. 1986a. Postharvest decays of Florida citrus fruit. Di dalam: S. Nagy, JA Attaway, editor. Citrus Nutrition Quality. Washington (US): American Chemical Symphosium Series 143. Brown GE. 1986b. Diplodia stem-end rot, a decay of citrus fruit increased by ethylene degreening treatment and its control. Proc Fla State Hort Soc. 99:105-108. Brown GE. 2011. Citrus post-harvest decay and their control [internet]. Florida(US). [diunduh 2015 April 26]. Tersedia pada: http://irrec.ifas.ufl. edu/postharvest /index/decay.shtml. Bokhari NA, Siddiqui I, Parveen K, Rizwana H, Soliman DAW. 2013. Management of anthracnose of banana by UV irradiation. J Anim Plant Sci. 23(4): 1211-1214. Bukar A, Mukhtar MD, Adamu S. 2009. Isolation and identification of postharvest spoliage fungi associated with sweet oranges (Citrus chinensis) traded in Kano Metropolis. Bayero J of Pure and Appl Sci. 2(1):122-124. Canale MC, Benato EA, Cia P. 2011. In vitro effect of UV-C irradiation on Guignardia citricarpa and on postharvest control of citrus black spot. Trop Plant Pathol. 36: 356-361. Cerkauskas RF, Sinclair JB. 1980. Use of paraquat to aid detection of fungi in soybean tissues. Phytopathology. 70:1036-1038. Cia P, Pascholati SF, Benato EA, Camili EC, Santos CA. 2007. Effects of gamma and UV-C irradiation on the postharvest control of papaya anthracnose. Postharvest Biol Tec. 43:366-373. Civello PM, Vicente AR, Martinez GA. 2006. UV-C technology to control postharvest diseases of fruits and vegetables. Di dalam: Rojas RT, Hernandez MET, Leon AG, editor. Recent Advances in Alternative
45
Postharvest Technologies to Control Fungal Diseases in Fruits and Vegetables. 1-32. Chauhan SK, Singh P, Jawa NK. 2012. Studies on the standardization of ripening techniques for oranges. J Stored Prod Postharvest Res. 3(8):117-121. Cohn J, Sessa G, Martin GB. 2001. Innate immunity in plants. Curr Opin Immunol. 13:55-62. Cristescu SM, Woltering EJ, Harren FJM. 2008. Real time monitoring of ethylene during fungal plant interaction by laser based photoacoustic spectroscopy. Di dalam : Cristescu, editor. Real Time Monitoring of Ethylene. Amsterdam (NL). Damm U, Cannon PF, Woudenberg JHC, Johnston PR, Weir BS, Tan YP, Shivas RG, Crous PW. 2012. The Colletotrichum boninense species complex. Stud Mycol. 73:1-36. Darras AI, Demopoulos V, Tiniakou C. 2012. UV-C irradiation induces defence responses and improves vase-life of cut gerbera flowers. Postharvest Biol Technol. 64: 168–174. Dugan FM, Lupien SL, Grove GG. 2002. Incidence, aggressiveness and in planta interactions of Botrytis cinerea and other Filamentous Fungi Quiescent in Grape Berries and Dormant Buds in Central Washington State. J Phytopathol. 150(7): 375-381. Edwards D. 2011. Blue and green mold [internet]. California (US). [diunduh 2015 April 26]. Tersedia pada: https://ucanr.edu/repository/view.cfm?article=83 491. El-Kazzaz MK, Sommer NF, Kader AA. 1983. Ethylene effects on in vitro and in vivo of certain postharvest fruit-infecting fungi. Phytopathology.73:9981001. Ellis D. 2014. Lasiodiplodia theobromae [internet]. Adelaide (AU). [diunduh 2015 April 26]. Tersedia pada: http://mycology.adelaide.edu.au/ Fungal_Descriptions/Coelomycetes/Lasiodiplodia/. Ellies MB. 1971. Dematiaceous Hyphomycetes. 1st ed. England (GB): Commonwealth Mycological Institute. Embaby EM, Hazaa M, Hagag LF, Ibrahim TE, El-Azem FSA. 2013. Decay of some citrus fruit quality caused by fungi. J Appl Sci Res. 9(11):5920-5929. EPPO. 2009. Gugnardia citricarpa. Bulletin EPPO. 39:318-327. Etebu E, Nwauzoma AB. 2014. A review on sweet orange (Citrus cinensis L Osbeck): health, diseases and management. Am J Res Comm. 2(2):33-70. Faisal PM, Nagendran K, Ranjitham P. 2011. Specific detection of Colletotrichum musae inciting anthracnose disease in Banana. Libyan Agr Res Cent J Int. 2(6):279-286. Fernadez YJ, Hall DJ. 2004. In vitro response of Penicillium digitatum and Geotrichum candidum to ultraviolet (UV-C) exposure. Froc Fla Stat Hort Soc. 117:380-381. Gachango E, Kirk W, Schafer R, Wharton P. 2012. Evaluation and comparison of biocontrol and conventional fungicides for control of postharvest potato tuber diseases. Biol Control. 63:115-120. Gardes M, Bruns TD. 1993. ITS primers with enhanced specificity for basidiomycetes-application to the identification of mycorrhizae and rusts. Mol Ecol. 2:113-118.
46
Gonzalez-Aguilar GA, Wang CY, Buta JG, Krizek DT. 2001. Use of UV-C irradiation to prevent decay and maintain postharvest quality of ripe „Tommy Atkins‟ mangoes. Int J Food Sci Technol. 36:767–773. Holz G, Gutschow M, Coertze S. 2003. Occurrence of Botrytis cinerea and subsequent disease expression at different positions on leaves and bunches of grape. Am phytopathol Soc. 351-358. Iglesies DJ, Cercós M, Colmenero-Flores JM, Naranjo MA, Ríos G, Carrera E, Ruiz-Rivero O, Lliso O, Morillon R, Tadeo FR, et al. 2007. Physiology of fruit ripening. Braz J Plant Physiol. 19(4):333-362. Isshiki A, Ohtani K, Kyo M, Yamamoto H, Akimitsu K. 2003. Green fluorescent of fungal colonization and endopolygalacturonase gene expression in the interaction of Alternaria citri with citrus. Phytopathology. 93(7):768-773. Johnston PR, Pennycook SR, Manning MA. 2005. Taxonomy of fruit-rotting fungal pathogens : What‟s really out there ?. New Zeal Plant Protect. 58:4246. Kaiser C, Van der Merwe R, Bekker TF, Labuschagne. 2005. In-vitro inhibition of mycelial growth of several phytopathogenic fungi, including Phytophthora cinnamomi by soluble silicon. South African Avocado Growers Association Yearbook. 28:70-74. Katoh H, Ohtani K, Yamamoto H, Akimitsu K. 2007. Overexpression of a gene encoding a catabolite repression element in Alternaria citri causes severe symptoms of black rot in citrus fruit. Phytopathology. 97(5):557-563. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93 tahun 2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Jakarta (ID): RI. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Jakarta (ID): Kemenhumham. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42 tahun 2012 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah Segar dan Sayuran Buah Segar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Jakarta (ID): Kemenhumham. Khan GA, Rab A, Sajid M, Salimullah. 2007. Effect of heat and cold treatments on postharvest quality of Sweet orange cv. blood red. Sarhad J Agr. 23(1):39-46. Knoester M, Van Loon LC, Van den Heuvel J, Henning J, Bol J, Linthorst HJM. 1998. Ethylene insensitive tobacco lacks non host resistance against soil borne fungi. Proceeding of the National Academy of Sci USA. 95:19331937. Ko WH. 1993. Phytophthora palmivora [internet]. Hawaii (US). [diunduh 2015 April 26]. Tersedia pada: http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/ Type/p_palmi.htm. Lacomi VB, Blancard D, Guenard M, Molinero V, Laurent E and Simoneau. 2002. Development of a PCR based diagnostic assay for detecting pathogenic Alternaria species in cruciferous seeds. Seed Sci Technol. 30:8795. Leslie JF, Summerell BA, Bullock S. 2006. The Fusarium Laboratory manual. 1st ed. Iowa (US): Wiley-Blackell. 388hlm.
47
Luo Y, Michailides TJ. 2001. Risk analysis for latent infection of prune by Monilinia fructicola in California. American Phytopathol Soc. 91(12): 11971208. Luo Y, Michailides TJ. 2003. Threshold conditions that lead latent infection to prune fruit rot caused by Monilinia fructicola. Phytopathology. 93:102-111. McBride S, French R, Schuster G, Ong K. 2010. Citrus disease guide. Texas (US). Texas Department of Agriculture. 12 hlm. Mehrota RS. 2001. Plant Pathology. 1st ed. New York (US): Tata Mc Graw Hill Publishing Company. hlm 572-584. Mercier J, Baka M, Reddy B, Corcuff R, Arul J. 2001. Shortwave ultraviolet irradiation for control of decay caused by Botrytis cinerea in bell pepper: induced resistance and germicidal effects. J A Mer Soc Hort Sci. 126(1):128–133. Michailides TJ, Morgan DP, Luo Y. 2010. Epidemiological assesments and postharvest disease incidence. Di dalam: Prusky D, Gullino ML, editor. Postharvest Pathology, Plant Pathology in the 21st Century. 2nd ed. California (US). Michailides TJ, Elmer PAG. 2000. Botrytis grey mold of kiwi fruit caused by Botrytis cinerea in the United States and New Zealand. Plant Dis. 84:208223. Mojerlou S, Safaie N. 2012. Phylogenetic analysis of Alternaria species associated with citrus black rot in Iran. J Plant Pathol. 3(7):1-4. Narayanasamy P. 2011 Microbial Plant pathogens-Detection and Disease Diagnosis: Fungal Pathogens. 1st ed. Coimbatore (IN): Springer. Nelson S. 2008. Citrus melanose. Plant Dis. 59:1-5. Peng L, Yang Y, Hyde KD, Bahkali AH, Liu Z. 2012. Colletotrichum species on citrus leaves in Guizhou and Yunnan Provinces, China. Mycologie. 33(3):267-283. Prusky D, Lichter A. 2007. Activation of quiescent infections by postharvest pathogens during transition from the biotrophic to the necrotrophic stage. FEMS Microbiol Lett. 268:1-8. Rab A, Sajid M, Saeeda, Najia. 2011. Effects of wet heat treatment (WHT) durations on the quality of sweet orange stored at room temperature. Sarhad J Agric. 27(2):189-194. Rhodes C. 2014. Citrus diseases [internet]. Texas (US). [diunduh 2015 April 26]. http://plantdiseasehandbook.tamu.edu/food-crops/fruitTersedia pada: crops/citrus-diseases/. [RI] Presiden Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. [RI] Presiden Republik Indonesia. 1994. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Jakarta(ID): RI. Rivera-Pastrana DM, Bejar AAG, Martines-Telles MA, Rivera Dominguez M, Gonzales-Aguilar GA. 2007. Postharvest biochemical effects of UV-C irradiation on fruit and vegetables. Rev Fitotec Mex. 30:361-372.
48
Roberts, D. 2005. The integration of economics into SPS risk management policies : issues and challenges. Di dalam: Anderson K, McRae C, Wilson D, editor. The economics of quarantine and the SPS agreement. Canberra (AU): University of Adelaide. Sanzani SM, Schena L, Cicco VD, Ippolito A. 2012. Early detection of Botrytis cinerea latent infections as a tool to improve postharvest quality of table grapes. Postharvest Biol Technol. 68:64-71. Schaad NW, Frederick RD, Shaw J, Schneider WL, Hickson R, Petrillo MD, Luster DG. 2003. Advances in molecular based diagnostics in meeting crop biosecurity and phytosanitary issues. Annu Rev Phytopathol. 41:305-324. Sharma N, Srivastava S. 2014. Hot water and UV-C as methods of physical control in postharvest losses of Emblica officinalis Gaertn. Int Curr Microbiol App Sci. 3(1): 487-493. Sharma P, Deep S, Sharma M, Bhati DS, and Chowdappa. 2013. PCR based assay for the detection of Alternaria brassicicola in crucifers. Indian Phytopath. 66(3):263-268. Shintani H. 2003. The damage due to ultraviolet sterilization and its recovery mechanism. Bokin Boba. 31:385-392. Siddiqui A, Dawar S, Zaki MJ, Hamid N. 2012. Role of ultra violet (UV-C) radiation in the control of root infecting fungi on groundnut and mung bean. Pakistan J Bot. 43: 2221-2224. Sholberg PL, Conway WS. 1998. Postharvest pathology. Plant Dis. 82:689-693. Sikdar P, Okubara, P, Mazzola M, Xiao CL. 2014. Development of PCR assays for diagnosis and detection of the pathogens Phacidiopycnis washingtonensis and Sphaeropsis pyriputrescens in apple fruit. Plant Dis. 98(2): 241-246. Sinaga MS. 2003. Dasar dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Depok (ID): Penebar Swadaya. Sinclair JB. 1991. Latent infection of soybean plants and seeds by fungi. Am Phytopathol Soc. 75(3): 220-224. Smith OP, Peterson GL, Beck RJ, Schaad NW, Bonde MR. 1996. Development of a PCR based method for identification of Tilletia indica, causal agent of Karnal bunt of wheat. Phytopathology. 86:115-122. Stevens JL, Wilson CL, Lu JY. 1996. Plant hormesis induced by ultraviolet lightC for controlling postharvest diseases of tree fruits. Crop Protect. 15:129– 134. Talibi I, Boubaker H, Boudyach EH, Aoumar AAB. 2014. Alternative methods for the control of postharvest citrus diseases. J App Microbiol. 117.doi:10.1111/j am.12495. Temur C, Tiryaki O. 2012. Irradiation alone or combined with other alternative treatments to control postharvest diseases. African J Agri Res. 8(5):421-434. Terry LA, Joyce DC. 2004. Elicitors of induced disease resistance in postharvest horticultural crops: A brief review. Postharvest Biol Technol. 32:1-13. Weir BS, Johnston PR, Damm U. 2012. The Colletotrichum gloeosporioides species complex. Stud Mycol. 73:115-180. White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. Di dalam : Innis MA,
49
Gelfand, Sninsky JJ, White TJ, editor. PCR Protocols: a Guide to Methods and Application. London (GB): Academic Press. hlm 315-322. Yazdanpanah L, Mohamadi N. 2014. Antifungal activity of Satureja hortensis L. essential oil against Alternaria citri. European J Experiment Biol. 4(1):399403. Yuliastuti ER, Dwiastuti R, Hanani N. 2014. Analisis dinamis permintaan buahbuahan di Indonesia: pendekatan model error correction-linear approximation almost ideal demand system. Agrise. 14(3):238-256. Zhang ZG, Wang YC, and Zheng XB. 2004. Sequence analysis of ITS of the ribosomal RNA gene repeat of Phytophthora sojae and P. medicaginis. Mycosystema. 22:524-548. Zhao J, Wang XJ, Chen CQ, Huang LL, and Kang ZS. 2007. A PCR based assay for detection of Puccinia striiformis f.sp tritici in wheat. Plant Dis. 91:16691674. Zivkovic S, Trkulja N, Popovic T, Oro V, Ivanonic Z. 2010. Morphological and molecular identification of Colletotrichum gloeosporioides from Citrus reticulata. Plant Protect Environ. 18:1-2. Zoffoli JP, Lattore BA, Rodriguez J, Aguilera JM. 2009. Biological indicators to estimate the prevalence of gray mold and hairline cracks on table grapes cv. Thompson Seedless after cold storage. Postharvest Biol Technol. 52(1): 126-133.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 1 Data pengukuran konidia cendawan temuan Konidia A. citri Konidia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Panjang (µm) 41.36 34.60 39.47 56.58 43.29 16.45 34.79 38.72 52.85 48.72
Lebar (µm) 16.37 16.65 14.94 17.87 15.79 11.87 14.31 16.48 17.16 17.87
Konidia 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Panjang (µm) 51.19 44.26 45.80 55.77 42.17 54.50 43.57 45.02 54.22 46.56
Lebar (µm) 17.84 15.69 16.75 17.46 14.36 17.20 17.90 15.74 17.78 17.88
Panjang (µm) 14.45 15.92 12.55 16.44 14.76 14.89 15.77 16.32 16.18 14.45
Lebar (µm) 5.34 4.25 5.37 7.16 5.37 4.68 4.24 7.18 6.51 6.22
Panjang (µm) 15.35 14.22 14.68 14.66 15.72 16.44 16.88 16.26 14.35 16.77
Lebar (µm) 6.67 6.12 5.23 5.48 4.79 6.54 6.38 6.83 5.87 7.14
Konidia 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Panjang (µm) 49.32 28.99 38.87 14.98 49.92 28.22 48.79 49.11 18.99 47.33 1264.41 42.14
Lebar (µm) 17.35 14.66 16.89 8.89 17.9 14.42 17.77 17.97 11.85 16.66 482.27 16.07
Panjang (µm) 14.08 14.88 15.35 16.93 16.00 14.59 14.87 14.92 15.99 13.74 439.63 14.65
Lebar (µm) 5.12 6.19 4.27 7.54 6.16 5.88 5.33 5.20 4.99 5.18 157.91 5.26
Panjang (µm) 15.46 16.83 14.68 14.89 16.88 15.46 15.02 16.79 16.68 15.22 453.99 15.13
Lebar (µm) 6.18 6.25 6.22 6.46 6.88 6.36 5.68 5.33 5.55 5.89 185.36 6.17
Konidia C. gloeosporioides Konidia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Panjang (µm) 12.19 12.39 13.13 13.41 15.07 11.83 12.74 14.17 16.30 15.32
Lebar (µm) 5.16 5.40 3.65 3.09 4.19 3.43 5.40 5.16 6.95 3.16
Konidia 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Konidia 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Konidia C. boninense Konidia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Panjang (µm) 15.32 16.86 13.56 16.67 14.96 15.45 16.33 17.14 14.77 16.55
Lebar (µm) 6.74 5.65 6.35 6.77 6.94 6.88 5.57 5.79 6.24 6.58
Konidia 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Konidia 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
52
Konidia G. mangiferae Konidia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Panjang (µm) 10.26 11.22 10.91 10.79 11.35 10.92 10.79 11.99 10.71 10.11
Lebar (µm) 6.32 5.55 7.53 7.29 7.29 6.33 5.83 7.43 7.29 6.60
Konidia 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Panjang (µm) 11.35 10.67 11.55 11.87 11.66 12.57 12.59 11.72 11.48 11.59
Lebar (µm) 7.42 6.74 6.27 7.23 7.41 7.50 7.11 6.22 6.65 6.88
Panjang (µm) 17.78 16.45 15.55 18.16 17.34 17.56 13.33 24.86 13.79 13.84
Lebar (µm) 3.55 2.86 3.42 3.11 3.78 3.25 3.22 2.98 2.86 2.83
Konidia 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Panjang (µm) 11.77 11.14 10.63 10.42 12.44 12.14 11.55 11.84 12.16 11.11 341.39 11.37
Lebar (µm) 7.21 7.28 7.33 7.22 7.20 6.66 6.82 6.99 7.02 7.11 207.86 6.92
Panjang (µm) 18.66 18.48 10.86 17.42 17.18 16.74 16.46 18.08 16.62 15.75 472.403 15.74
Lebar (µm) 3.11 2.99 2.85 2.65 3.33 3.58 3.10 3.23 3.46 2.88 92.33 3.07
Konidia F. incarnatum Konidia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Panjang (µm) 13.13 13.56 15.48 15.71 18.09 8.13 14.49 10.71 14.46 13.75
Lebar (µm) 2.93 2.47 3.09 2.93 3.78 3.09 2.50 2.40 2.83 3.11
Konidia 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata
Konidia 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
53
Lampiran 2 Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan A. citri temuan dengan beberapa isolat dari negara lain ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55 a ACAAATATGA AGGCGGGCTG GAACCTCTCG GGGGTTACAG CCTTGCTGAA TTATTCACCC b ----ATATGA AGGCGGGCTG GAACCTCTCG GGGGTTACAG CCTTGCTGAA TTATTCACCC c ACAAATATGA AGGCGGGCTG GAACCTCTCG GGGGTTACAG CCTTGCTGAA TTATTCACCC d ACAAATATGA AGGCGGGCTG GAACCTCTCG GGG-TTACAG CCTTGCTGAA TTATTCACCC e ACAAATATGA AGGCGGGCTG GAATCTCTCG GGG-TTACAG CCTTGCTGAA TTATTCACCC ****** ********** *** ****** *** ****** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115 a TTGTCTTTTG CGTACTTCTT GTTTCCTTGG TGGGTTCGCC CACCACTAGG ACAAACATAA b TTGTCTTTTG CGTACTTCTT GTTTCCTTGG TGGGTTCGCC CACCACTAGG ACAAACATAA c TTGTCTTTTG CGTACTTCTT GTTTCCTTGG TGGGTTCGCC CACCACTAGG ACAAACATAA d TTGTCTTTTG CGTACTTCTT GTTTCCTTGG TGGGTTCGCC CACCACTAGG ACAAACATAA e TTGTCTTTTG CGTACTTCTT GTTTCCTTGG TGGGTTCGCC CACCACTAGG ACAAACATAA ********** ********** ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175 a ACCTTTTGTA ATTGCAATCA GCGTCAGTAA CAAATTAATA ATTACAACTT TCAACAACGG b ACCTTTTGTA ATTGCAATCA GCGTCAGTAA CAAATTAATA ATTACAACTT TCAACAACGG c ACCTTTTGTA ATTGCAATCA GCGTCAGTAA CAAATTAATA ATTACAACTT TCAACAACGG d ACCTTTTGTA ATTGCAATCA GCGTCAGTAA CAAATTAATA ATTACAACTT TCAACAACGG e ACCTTTTGTA ATTGCAATCA GCGTCAGTAA CAAATTAATA ATTACAACTT TCAACAACGG ********** ********** ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 225 235 a ATCTCTTGGT TCTGGCATCG ATGAAGAACG CAGCGAAATG CGATAAGTAG TGTGAATTGC b ATCTCTTGGT TCTGGCATCG ATGAAGAACG CAGCGAAATG CGATAAGTAG TGTGAATTGC c ATCTCTTGGT TCTGGCATCG ATGAAGAACG CAGCGAAATG CGATAAGTAG TGTGAATTGC d ATCTCTTGGT TCTGGCATCG ATGAAGAACG CAGCGAAATG CGATAAGTAG TGTGAATTGC e ATCTCTTGGT TCTGGCATCG ATGAAGAACG CAGCGAAATG CGATAAGTAG TGTGAATTGC ********** ********** ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 285 295 a AGAATTCAGT GAATCATCGA ATCTTTGAAC GCACATTGCG CCCTTTGGTA TTCCAAAGGG b AGAATTCAGT GAATCATCGA ATCTTTGAAC GCACATTGCG CCCTTTGGTA TTCCAAAGGG c AGAATTCAGT GAATCATCGA ATCTTTGAAC GCACATTGCG CCCTTTGGTA TTCCAAAGGG d AGAATTCAGT GAATCATCGA ATCTTTGAAC GCACATTGCG CCCTTTGGTA TTCCAAAGGG e AGAATTCAGT GAATCATCGA ATCTTTGAAC GCACATTGCG CCCTTTGGTA TTCCAAAGGG ********** ********** ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 345 355 a CATGCCTGTT CGAGCGTCAT TTGTACCCTC AAGCTTTGCT TGGTGTTGGG CGTCTTGTCT b CATGCCTGTT CGAGCGTCAT TTGTACCCTC AAGCTTTGCT TGGTGTTGGG CGTCTTGTCT c CATGCCTGTT CGAGCGTCAT TTGTACCCTC AAGCTTTGCT TGGTGTTGGG CGTCTTGTCT d CATGCCTGTT CGAGCGTCAT TTGTACCCTC AAGCTTTGCT TGGTGTTGGG CGTCTTGTCT e CATGCCTGTT CGAGCGTCAT TTGTACCCTC AAGCTTTGCT TGGTGTTGGG CGTCTTGTCT ********** ********** ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 405 415 a CTAGCTTTGC TGGAGACTCG CCTTAAAGTA ATTGGCAGCC GGCCTACTGG TTTCGGAGCG b CTAGCTTTGC TGGAGACTCG CCTTAAAGTA ATTGGCAGCC GGCCTACTGG TTTCGGAGCG c CTAGCTTTGC TGGAGACTCG CCTTAAAGTA ATTGGCAGCC GGCCTACTGG TTTCGGAGCG d CTAGCTTTGC TGGAGACTCG CCTTAAAGTA ATTGGCAGCC GGCCTACTGG TTTCGGAGCG e CTAGCTTTGC TGGAGACTCG CCTTAAAGTA ATTGGCAGCC GGCCTACTGG TTTCGGAGCG ********** ********** ********** ********** ********** **********
54
Lampiran 2 (lanjutan) ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 425 435 445 455 465 475 a CAGCACAAGT CGCACTCT-- CTATCAGCAA AGGTCTAGCA TCCATTAAGC CTTTTTT-CA b CAGCACAAGT CGCACTCT-- CTATCAGCAA AGGTCTAGCA TCCATTAAGC CTTTTTT-CA c CAGCACAAGT CGCACTCT-- CTATCAGCAA AGGTCTAGCA TCCATTAAGC CTTTTTT-CA d CAGCACAAGT CGCACTCT-- CTATCAGCAA AGGTCTAGCA TCCATTAAGC CTTTTTTTCA e CAGCACAAGT CGCACTACTA CTATCAGCAA AGGTCGAGCA TCCTTTAAGC CTTTTTT-CA ********** ****** ********** ***** **** *** ****** ******* ** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....| 485 495 505 515 525 535 a ACTTTTGACC TCGGATCAGG TAGGGATACC CGCTGAACTT AAGCATATCA ATAAG b ACTTTTGACC TCGGATCAGG TAG------- ---------- ---------- ----c ACTTTTGACC TCGGATCAGG TAGGGATACC CGCTGAACTT AAGCATATCA ATAAG d ACTKTTGACC TCGGATCAGG TAGGSATACC CGCYGAAMTT AAGCATATCA -TAAG e ACTAT-GACC TCGGAGCCAG TTGAATTCTT AGCCAA---- ---------- ----*** * **** ***** * * * *
Keterangan : a A. citri isolat KHU (cendawan temuan). bA. citri isolat Brazil (DQ489290.1). cA. citri isolat USA (EF104220.1). dA. citri isolat Cina (EU520049.1). eA. alternata isolat Cina (KM374667.1)
55
Lampiran 3
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e
....|....| 5 GTTGGTGAAC ---------GTAGGTGAAC GTAGGTGAAC GTTGGTGAAC ----------
Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan C. gloeosporioides temuan dengan beberapa isolat dari negara lain ....|....| 15 CAGCGGAGGG ---------CAGCGGAGGG CTGCGGAGGG CAGCGGAGGG ----------
....|....| 25 ATCATTACTG ---------ATCATTACTG ATCATTACTG ATCATTACTG ----------
....|....| 35 AGTTTACGCT ---------AGTTTACGCT AGTTTACGCT AGTTTACGCT -GTTACCGCT
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 ACCTATAACT GTTGCTTCGG CGGGTAGG-G TCTCC----ACCTATAACT GTTGCTTCGG CGGGTAGG-G TCTCC----ACCTACAACT GTTGCTTCGG CGGGTAGG-G TCTCC----ACCTACAACT GTTGCTTCGG CGGGTAGG-G TCTCC----ACCTACAACT GTTGCTTCGG CGGGTAGG-G TCTCC----ACCT-TAACT GTTGCTTCGG CGGGTAGGCG TCCCCTAAAA **** **** ********** ******** * ** ** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 GCCTCCGGGC GGGTCGGCGC CCGCCGGAGG ATAACCAAAC GCCCCCGGGC GGGTCGGCGC CCGCCGGAGG ATAACCAAAC GCCTCCGGGC GGGTCGGCGC CCGCCGGAGG ATAACCAAAC GCCTCCGGGC GGGTCGGCGC CCGCCGGAGG ATAACCAAAC GCCTCCGGGC GGGTCGGCGC CCGCCGGAGG ATAACCAAAC CCCGTCCGCG GGTGGGGCGC CCGCCGGAGG ATAACCAAAC ** * * ** ***** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 TCTGAGTGGT ACAAGCAAAT AATCAAAACT TTTAACAACG TCTGAGTGGT ACAAGCAAAT AATCAAAACT TTTAACAACG TCTGAGTGGT ACAAGCAAAT AATCAAAACT TTTAACAACG TCTGAGTGGT ACAAGCAAAT AATCAAAACT TTTAACAACG TCTGAGTGGT ACAAGCAAAT AATCAAAACT TTTAACAACG TCTGAGTGAC ACAAGCAAAT AATCAAAACT TTTAACAACG ******** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 GATGAAGAAC GCAGCGAAAT GCGATAAGTA ATGTGAATTG GATGAAGAAC GCAGCGAAAT GCGATAAGTA ATGTGAATTG GATGAAGAAC GCAGCGAAAT GCGATAAGTA ATGTGAATTG GATGAAGAAC GCAGCGAAAT GCGATAAGTA ATGTGAATTG GATGAAGAAC GCAGCGAAAT GCGATAAGTA ATGTGAATTG GATGAAGAAC GCAGCGAAAT GCGATAAGTA ATGTGAATTG ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 AATCTTTGAA CGCACATTGC GCCCGCCAGC ATTCTGGCGG AATCTTTGAA CGCACATTGC GCCCGCCAGC ATTCTGGCGG AATCTTTGAA CGCACATTGC GCCCGCCAGC ATTCTGGCGG AATCTTTGAA CGCACATTGC GCCCGCCAGC ATTCTGGCGG AATCTTTGAA CGCACATTGC GCCCGCCAGC ATTCTGGCGG AATCTTTGAA CGCACATTGC GCCCGCCAGC ATTCTGGCGG ********** ********** ********** ********** ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 TTTCAACCCT CAAGCTCTGC TTGGTGTTGG GGCCCTACAG TTTCAACCCT CAAGCTCTGC TTGGTGTTGG GGCCCTACAG TTTCAACCCT CAAGCTCTGC TTGGTGTTGG GGCCCTACAG TTTCAACCCT CAAGCTCTGC TTGGTGTTGG GGCCCTACAG TTTCAACCCT CAAGCTCTGC TTGGTGTTGG GGCCCTACAG
....|....| ....|....| 45 55 CTACAACCCT TTGTGAACAT --------CT TTGTGA-CAT CTACAACCCT TTGTGAACAT CTACAACCCT TTGTGAACAT CTACAACCCT TTGTGAACAT CATCAACCCT TTGTGAACAT ** ****** *** ....|....| ....|....| 105 115 GCGAC-CCTC CCGGCCTCCC GTGAC-CCTC CCGGCCTCCC GCGAC-CCTC CCGGCCTCCC GCGAC-CCTC CCGGCCTCCC GCGAC-CCTC CCGGCCTCCC AGGACGTCTC CCGGCCCTCT *** *** ****** * ....|....| ....|....| 165 175 TCTGATTTAA CGACGTTTCT TCTGATTTAA CGACGTTTCT TCTGATTTAA CGACGTTTCT TCTGATTTAA CGACGTTTCT TCTGATTTAA CGACGTTTCT TCTGATTTAA CGACGTTTCT ********** ********** ....|....| ....|....| 225 235 GATCTCTTGG TTCTGGCATC GATCTCTTGG TTCTGGCATC GATCTCTTGG TTCTGGCATC GATCTCTTGG TTCTGGCATC GATCTCTTGG TTCTGGCATC GATCTCTTGG TTCTGGCATC ********** ********** ....|....| ....|....| 285 295 CAGAATTCAG TGAATCATCG CAGAATTCAG TGAATCATCG CAGAATTCAG TGAATCATCG CAGAATTCAG TGAATCATCG CAGAATTCAG TGAATCATCG CAGAATTCAG TGAATCATCG ********** ********** ....|....| ....|....| 345 355 GCATGCCTGT TCGAGCGTCA GCATGCCTGT TCGAGCGTCA GCATGCCTGT TCGAGCGTCA GCATGCCTGT TCGAGCGTCA GCATGCCTGT TCGAGCGTCA GCATGCCTGT TCGAGCGTCA ********** ********** ....|....| ....|....| 405 415 CCGATGTAGG CCCTCAAAGG CTGATGTAGG CCCTCAAAGG CCGATGTAGG CCCTCAAAGG CCGATGTAGG CCCTCAAAGG CCGATGTAGG CCCTCAAAGG
56
Lampiran 3 (lanjutan) f TTTCAACCCT ********** ....|....| 425 a TAGTGGCGGA b TAGTGGCGGA c TAGTGGCGGA d TAGTGGCGGA e TAGTGGCGGA f TAGTGGCGGA ********** ....|....| 485 a CGGAGGGACT b CGGAGGGACT c CGGAGGGACT d CGGAGGGACT e CGGAGGGACT f CGGAGGGACT **********
CAAGCTCTGC ********** ....|....| 435 CCCTCCCGGA CCCTCCCGGA CCCTCCCGGA CCCTCCCGGA CCCTCCCGGA CCCTCTCGGA ***** **** ....|....| 495 CTTGCCGTAA CTTGCCGTAA CTTGCCGTAA CTTGCCGTAA CTTGCCGTAA CTAGCCGTAA ** *******
TTGGTGTTGG ********** ....|....| 445 GCCTCCTTTG GCCTCCTTTG GCCTCCTTTG GCCTCCTTTG GCCTCCTTTG GCCTCCTTTG ********** ....|....| 505 AACCCCCCAA AACCCCC-AA AACCCCCCAA AACCCCCCAA AACCCCCCAA AACCCCC-AA ******* **
GGCTCTACGG *** **** * ....|....| 455 CGTAGTAACT CGTAGTAACT CGTAGTAACT CGTAGTAACT CGTAGTAACT CGTAGTAACA ********* ....|....| 515 TTTTCCAAAG TTCTCCAAAG TTTTCCAAAG TTTTCCAAAG TTTTCCAAAG TTTTACTAAG ** * * ***
TTGACGTAGG ** ***** ....|....| 465 TTACGTCTCG TTACGTCTCG TTACGTCTCG TTACGTCTCG TTACGTCTCG TTTCGTCTCG ** ******* ....|....| 525 GTTGACCTCG GTTGACCTCGTTGACCTCG GTTGACCTCG GTTGACCTCG ----------
CCCTTAAAGG **** ***** ....|....| 475 CACTGGGATC CACTGGGATC CACTGGGATC CACTGGGATC CACTGGGATC CATTGGGATT ** ****** ....|.... 535 GATCAGGTA --------GATCAGGTA GATCAGGTA GATCAGGTA ---------
Keterangan : a C. gloeosporioides isolat KCT (cendawan temuan). bC. gloeosporioides isolat Malaysia (GU066679.1). cC. gloeosporioides isolat Argentina (FN566870.1). dC. gloeosporioides isolat Brazil (HQ874975.1). eC. gloeosporioides isolat USA (JN121209.1). fC. capsici isolat Indonesia (HQ259127.1)
57
Lampiran 4
a b c d e f a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d e f
a b c d
....|....| 5 GGTCTCCGTT ---------GGTTTCCGTA ----TCCGTT ----------------GTT ....|....| 65 TGAACATACC -----ACCTA TGAACATACC TGAACATACC CGGAGGAGCA TGAACATACC ....|....| 125 CGGCCCGGAC CGGCCCGGAC CGGCCCGGAC CGGCCCGGAC CGGACCAGAC CGGCCT---*** * ....|....| 185 CTATTGTAAC CTATTTTAAC CTATTGTAAC CTATTGTAAC CTATTTTAAC CTGATTTAAC ** * **** ....|....| 245 GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG ********** ....|....| 305 CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG ********** ....|....| 365 GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT
Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan C. boninense temuan dengan beberapa isolate dari negara lain ....|....| 15 GGTGAACCAG ---------GGTGAACCAG GGTGAACCAG ---------GGTGAACCAG ....|....| 75 TA-CAACTGT CAACTGTTGC TA-CAACTGT TA-CAACTGT TATCAATAAG TA-TAACTGT * ....|....| 135 CGGACCCCCC CGGACCCCCT CGGACCCCCC CGGACCCCCC CGGACCCCCT ----CCCGCC *** * ....|....| 195 GACGTTTCTT GACGTTTCTT GACGTTTCTT GACGTTTCTT GACGTTTCTT GACGTTTCTT ********** ....|....| 255 TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC ********** ....|....| 315 TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG ********** ....|....| 375 TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA
....|....| 25 CGGAGGGATC ---------CGGAGGGATC CGGAGGGATC ---------CGGAGGGATC ....|....| 85 TGCTTCGGCG TTCGAGCGCG TGCTTCGGCG TGCTTCGGCG CGGAGGAGCG TGCTTCGGCG *** ....|....| 145 GCGGGACCGG GTGGGGCCGG GCGGGACCGG GCGGGACCGG GTGGGGCCGG TCCGGGCGGG ** * ** ....|....| 205 CTGAGTGGCA CTGAGTGGCA CTGAGTGGCA CTGAGTGGCA CTGAGTGGCA CTGAGTGGTA ******** * ....|....| 265 GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC ********** ....|....| 325 AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA ********** ....|....| 385 TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT
....|....| 35 ATTACTGAGT ---------ATTACTGAGT ATTACTGAGT --------GT ATTACTGAGT ....|....| 95 GGTAGGCCGT -GTAGGCCGT CGTAGGCCGT GGTAGGCCGT TATCGGCCGT GGTAGGGTCT * ** * ....|....| 155 ACCCGGCGCC ACTCGGCGCC ACCCGGCGCC ACCCGGCGCC ACTCGGCGCC --TCGGCGCC ******* ....|....| 215 TAAGCAAAAT TAAGCAAAAT TAAGCAAAAT TAAGCAAAAT TAAGCAAAAT CAAGCAAA-T ******* * ....|....| 275 GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT ********** ....|....| 335 CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC ********** ....|....| 395 CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC
....|....| 45 TACCGCTCTA ---------TACCGCTCTA TACCGCTCTA AGCGGCAGGA TTACGCTCTA ....|....| 105 CCCCTGAAAA CCCCTGAAAA CCCCTGAAAA CCCCTGAAAA CGGATGAAAA CCGC-----* ....|....| 165 CGCCGGAGGA CGCCGGAGGA CGCCGGAGGA CGCCGGAGGA CGCCGGAGGA CGCCGGAGGA ********** ....|....| 225 AATCAAAACT AATCAAAACT AATCAAAACT AATCAAAACT AATCAAAACT AATCAAAACT ********** ....|....| 285 GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA ********** ....|....| 345 GCCCGCCAGC GCCCGCCAGC GCCCGCCAGC GCCCGCCAGC GCCCGCCAGC GCCCGCCAGC ********** ....|....| 405 TTGGTGTTGG TTGGTGTTGG TTGGTGTTGG TTGGTGTTGG
....|....| 55 TAACCCTTTG ---------TAACCCTTTG TAACCCTTTG CTATCCTATG CAACCCTTTG ....|....| 115 GGACGCCTCC GGACGCCTCC GGACGCCTCC GGACGCCTCC GGACACCTCC -GAC-CCTCC *** ***** ....|....| 175 TAACCAAACT TAACCAAACG TAACCAAACT TAACCAAACT TAACCAAACG TAACCAAACT ********* ....|....| 235 TTTAACAACG TTTAACAACG TTTAACAACG TTTAACAACG TTTAACAACG TTTAACAACG ********** ....|....| 295 ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ********** ....|....| 355 ATTCTGGCGG ATTCTGGCGG ATTCTGGCGG ATTCTGGCGG ATTCTGGCGG ATTCTGGCGG ********** ....|....| 415 GGCTCTACGG GGCTCTACGG GGCTCTACGG GGCTCTACGG
58
Lampiran 4 (lanjutan) e GCATGCCTGT TCGAGCGTCA f GCATGCCTGT TC---CTCCG ********** ** * * ....|....| ....|....| 425 435 a T--CGACGTA GGCCCTCAAA b T--CGACGTA GGCCCTCAAA c T--CGACGTA GGCCCTCAAA d T--CGACGTA GGCCCTCAAA e T--CGACGTA GGCCCTCAAA f TAACGACGTT TCTTCTGAGT * ****** ** * ....|....| ....|....| 485 495 a ACATTTCGTC TCGCACTGGG b ACATTTCGTC TCGCACTGGG c ACATTTCGTC TCGCACTGGG d ACATTTCGTC TCGCACTGGG e ACATTTCGTC TCGCACTGGG f TGGTTCTGGC TCGCACTGGG ** * * ********** ....|....| ....|....| 545 555 a AAGGTTGACC TCGGATCAGG b A-GGTTGACC TCGGATCAGG c AAGGTTGACC TCGGATCAGG d AAGGTTGACC TCGGATCAGG e A-GGTTGACC TCGGATCAGG f AAGGTTGACC TCGGATCAGG * ******** **********
TTTCAACCCT GGCGGGTCGG * ....|....| 445 GGTAGTGGCG GGTAGTGGCG GGTAGTGGCG GGTAGTGGCG GGTAGTGGCG GGTACAAGCA **** ** ....|....| 505 ATCCGGAGGG ATCCGGAGGG ATCCGGAGGG ATCCGGAGGG ATCCGGAGGG ATCCGGAGGG ********** ....|....| 565 TAGGAATACC TAGGAATACC TAGGAATACC TAGGAATACC TAGGAATACC TA-------**
CAAGCTCTGC CGCCCGCCGG * * * * ....|....| 455 GACCCTCCCG GACCCTCCCG GACCCTCCCG GACCCTCCCG GACCCTCCCG AATAATCAAA * ** ....|....| 515 ACTCTTGCCG ACTCTTGCCG ACTCTTGCCG ACTCTTGCCG ACTCTTGCCG ACTCTTGCCG ********** .
TTGGTGTTGG AGGATAACCA * * ....|....| 465 GAGCCTC-CT GAGCCTC-CT GAGCCTC-CT GAGCCTC-CT GAGCCTC-CT ACTTTTAACA * * ....|....| 525 TAAAACCCCC TAAAACCCCC TAAAACCCCC TAAAACCCCC TAAAACCCCC TAAAACCCCC **********
GGCTCTACGG AACTCTGATT **** ....|....| 475 TTGCGTAGTA TTGCGTAGTA TTGCGTAGTA TTGCGTAGTA TTGCGTAGTA ACGGATCTCT * * ....|....| 535 CAATTTTCCA CAATTTTTCA CAATTTTCCA CAATTTTCCA CAATTTTTCA CAATTTTCCA ******* **
A C C C C -
Keterangan : a
C. boninense isolat KPH (cendawan temuan). bC. boninense isolat Brazil (JQ346207.1). cC. boninense isolat Argentina (FN566878.1). dC. boninense isolat USA (GU994379.1). eC. boninense isolat Filipina (KP714268.1). fC. gloeosporioides isolat KCT (cendawan temuan).
59
Lampiran 5
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
....|....| 5 TGCGGA-GGA TGCGGAAGGA TGCGGAAGGA TGCGGA-GGA TGCGGAAGGA TGCGGAAGGA TGCGGAAGGA TGCGGAAGGA -GCGGAAGGA ***** *** ....|....| 65 CTACAA---CTACAA---CTACAA---CTACAA---CTACAA---CTACAA---CTACAA---CTACAA---TTAAAAAAGC ** ** ....|....| 125 GTCGACCTGG GTCGACCTGG GTCGACCTGG GTCGACCTGG GTCGACCTGG GTCGACCTGG GTCGACCTGG GTCGACCTGG GCCGACCCGG * ***** ** ....|....| 185 CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CCGGCTAAGT CTGGCTAAGT * ******** ....|....| 245 TCATTTAATT TCATTCAATT TCATTTAATT TCATTTAATT TCATTTAATT TCATTTAATT TCATTTAATT TCATTTAATT TCATTTAATG ***** ***
Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan G. mangiferae temuan dengan beberapa isolat dari negara lain ....|....| 15 TCATTACTGA TCATTACTGA TCATTACTGA TCATTACTGA TCATTACTGA TCATTACTGA TCATTACTGT TCATTACTGA TCATTACTGA ********* ....|....| 75 CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCGAAATG CGCCCGACCT **** * ....|....| 135 TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTCCGACCCA TTTTGACCCG ** ***** ....|....| 195 GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT GCCCGCCAGT ********** ....|....| 255 GATTAAAACT GATTAAAACT GATTAAAACT GATTAAAACT GATTAAAACT GATTAAAACT GATTAAAACT GATTAAAACT AAATAAAACT * *******
....|....| 25 AATGTAATAA AATGTAATAA AATGTAATAA AATGTAATAA AATGTAATAA AATGTAATAA GATGTGATAA AATGTAATAA AATACG-TAA ** *** ....|....| 85 ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCTCAC ACCTTCACAC ****** *** ....|....| 145 GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGCCGGC GGCGGTCGGC ***** **** ....|....| 205 ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ATACAAAACT ********** ....|....| 265 TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG TTCAACAACG **********
....|....| 35 CTTCTATTGA CTTCTATTGA CTTCTATTGA CTTCTATTGA CTTCTATTGA CTTCTATTGA CTTCTATTGA CTTCTATTGA TCC----TGA *** ....|....| 95 CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAC CCTTGTGTAT ********* ....|....| 155 GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC GCCCCCAGCC ********** ....|....| 215 CAAGAATTCA CAAGAATTCA CAAGAATTCA CAAGAATTCA CAAGAATTCA CAAGAATTCA CAAGAATTCA CAAGAATTCA CCAGCGATTA * ** * * ....|....| 275 GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG GATCTCTTGG **********
....|....| 45 AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTTCCAG AAGGTGATGG ***** * ....|....| 105 TCACTATGTT TCACTATGTT TCACTATGTT TCACTATGTT TCACTATGTT TCACTATGTT TCACTATGTT TCACTATGTT CTACCATGTT ** ***** ....|....| 165 TTAACT---G TTAACT---G TTAACT---G TTAACT---G TTAACT---G TTAACT---G TTAACT---G TTAACT---G TAGTCTCTAG * ** * ....|....| 225 TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTTTGTGAAG TTCTGTGTAG ** **** ** ....|....| 285 TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC TTCTGGCATC **********
....|....| 55 A--GTAGGCG A--GTAGGCG A--GTAGGCG A—GTAGGCG A--GTAGGCG A--GTAGGCG A--GTAGGCG A--GTAGGCG AAGGGAGGCC * * **** ....|....| 115 GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG GCTTTGGCGG ********** ....|....| 175 GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC GCCAGGACGC ********** ....|....| 235 TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGATATA TCCTGAGAAT ****** * ....|....| 295 GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC GATGAAGAAC **********
60
Lampiran 5 (lanjutan)
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
a b c d e f g h i
....|....| 305 GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT GCAGCGAAAT ********** ....|....| 365 CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC CGCACATTGC ********** ....|....| 425 CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC CAAGCTCTGC ********** ....|....| 485 CGGCGTCCTA CGGCGTCCTA CGGCATCCTA CGGCGTCCTA CGGCGTCCTA CGGCGTCCTA CGGCGTCCTA CGGCGTCCTA CGGCGTCTCA **** ** * ....|....| 545 CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA CCGCCGGACA **********
....|....| 315 GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA GCGATAAGTA ********** ....|....| 375 GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCTCTGGT GCCCCCTGGC **** **** ....|....| 435 TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG TTGGTATTGG ********** ....|....| 495 GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG GCCTCGAGCG ********** ....|....| 555 ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC ATCGACCTTC **********
....|....| 325 ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATGTGAATTG ATA-AAATTG ** ***** ....|....| 385 ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGAGG ATTCCGGGGG ******* ** ....|....| 445 GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCAACGTCCG GCGACGTCCG ** ******* ....|....| 505 TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA TAGTAGTAAA ********** ....|....| 565 GGTCTATTTT GGTCTATTTT GGTCTATTTT GGTCTATTTT GGTCTATTTT GGTCT----GGTCTATTTT GGTCTATTTT GGTCACTATT ****
....|....| 335 CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG CAGAATTCAG ********** ....|....| 395 GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT GCATGCCTGT ********** ....|....| 455 CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG CTGCCGGACG ********** ....|....| 515 ATATCTCGCT ATATCTCGCT -TATCTCGCT ATATCTCGCT ATATCTCGCT ATATCTCGCT ATATCTCGCT ATATCTCGCT ATATCTCGCT ********* ....|....| 575 TCCAAGGTTG TCCAAGGTTG TCCAAGTGAC TCCAAGGTTG TCCAAGGTTG ---------TCCAAGGTTG TCCAAGGTTG TTT-------
....|....| 345 TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG TGAATCATCG ********** ....|....| 405 TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA TCGAGCGTCA ********** ....|....| 465 TGCCTTGAAG TGCCTTGAAG TGCCTTGAAG TGCCTTGAAG TGCCTTGAAG TGCCTTGAAG TGCCTTGAAG GGCCTTGAAG CGCCTGGAAG **** **** ....|....| 525 TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGT-GC TTGGAGGAGG ****** * ....|....| 585 ACCTCGGATC ACCTCGGATC CTCGATCAGT ACCTCGGATC ACCTCGGATC ---------ACCT-----ACCTCGGATC ----------
....|....| 355 AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA AATCTTTGAA ********** ....|....| 415 TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT TTTCAACCCT ********** ....|....| 475 ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ACCTCGGCGA ********** ....|....| 535 TGGGCGACGG TGGGCGACGG TGGGCGACGG TGGGCGACGG TGGGCGACGG TGGGCGACGG TGGGCGACGG TGGGCGACGG GGGGCGCTGG ***** ** ....|....| 595 AGGTAGGGAT AGGTAGG-AT AGGAACAGTC AGGTAGGGAT AGGTAGGGAT ------------------AGGTAGGGAT ----------
61
Lampiran 5 (lanjutan)
a b c d e f g h i
....|....| 605 ACCCGCTGAA GACCGT---ATTGGGGCCT ACCCGCTGAA ACCCGCTGAA ------------------A------------------
....|....| 615 CTTAAGCATA ---------C--------CTTAAGCATA CTTAAGCATA -------------------------------------
. T T T -
Keterangan : a G. mangiferae isolat KHM (cendawan temuan). bG. mangiferae isolat Argentina (GU060444.1). cG. mangiferae isolat Brazil (JX559612.1). dG. mangiferae isolat USA (KC311456.1). eG. mangiferae isolat Cina (EU821361.1). fG. mangiferae isolat India (JX157866.1). gG. mangiferae isolat Thailand (FJ538348.1). hG. mangiferae isolat Indonesia (FJ538339.1). iG. citricarpa isolat Brazil (HQ833027.1)
62
Lampiran 6
a b c d e f g a b c d e f g
a b c d e f g
a b c d e f g
a b c d e f g
a b c d e f g
Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan F. incarnatum temuan dengan beberapa isolat dari negara lain
....|....| 5 AGATCTCGTT GGTCTCCGTT GGTCTCCGTT GGTCTCCGTT ---------------------------....|....| 65 GTGAACATAC GTGAACATAC GTGAACATAC GTGAACATAC ---------GTGAACATAC GTGAACATAC
....|....| 15 GGTGA-CCAG GGTGAACCAG GGTGAACCAG GGTGAACCAG ---------------------------....|....| 75 CTATA-CGTT CTATA-CGTT CTATA-CGTT CTATA-CGTT ---------CTATA-CGTT CTATAACGTT
....|....| 25 CGGAGGGACC CGGAGGGATC CGGAGGGATC CGGAGGGATC ------------AGGGATC ---------....|....| 85 GCCTCGGCGG GCCTCGGCGG GCCTCGGCGG GCCTCGGCGG ---------GCCTCGGCGG GCCTCGGCGG
....|....| 125 CC-GCCCGAG CC-GCCCGAG CC-GCCCGAG CC-GCCCGAG CC-GCCTGAG CC-GCCCGAG CCCGCCAGAG ** *** *** ....|....| 185 ATAAATCAAA ATAAATCAAA ATAAATCAAA ATAAATCAAA ATAAATCAAA ATAAATCAAA ATAAATTAAA ****** *** ....|....| 245 AATGCGATAA AATGCGATAA AATGCGATAA AATGCGATAA AATGCGATAA AATGCGATAA AATGCGATAA ********** ....|....| 305 TGCGCCCGCC TGCGCCCGCC TGCGCCCGCC TGCGCCCGCC TGCGCCCGCC TGCGCCCGCC TGCGCCCGCC **********
....|....| 135 GACCC-TAAA GACCCCTAAA GACCC-TAAA GACCCCTAAA GACCCCTAAA GACCC-TAAA GACCCCCTAA ***** ** ....|....| 195 ACTTTCAACA ACTTTCAACA ACTTTCAACA ACTTTCAACA ACTTTCAACA ACTTTCAACA ACTTTCAACA ********** ....|....| 255 GTAATGTGAA GTAATGTGAA GTAATGTGAA GTAATGTGAA GTAATGTGAA GTAATGTGAA GTAATGTGAA ********** ....|....| 315 AGTATTCTGG AGTATTCTGG AGTATTCTGG AGTATTCTGG AGTATTCTGG AGTATTCTGG AGTATTCTGG **********
....|....| 145 -CTCTGTTTT -CTCTGTTTT -CTCTGTTTT -CTCTGTTTT ACTCTGTTTC -CTCTGTTTT -CTCTGTTTC ******** ....|....| 205 ACGGATCTCT ACGGATCTCT ACGGATCTCT ACGGATCTCT ACGGATCTCT ACGGATCTCT ACGGATCTCT ********** ....|....| 265 TTGCAGAATT TTGCAGAATT TTGCAGAATT TTGCAGAATT TTGCAGAATT TTGCAGAATT TTGCAGAATT ********** ....|....| 325 CGGGCATGCC CGGGCATGCC CGGGCATGCC CGGGCATGCC CGGGCATGCC CGGGCATGCC CGGGCATGCC **********
....|....| 35 ATTACCGAGT ATTACCGAGT ATTACCGAGT ATTACCGAGT ---------ATTACCGAGT ----CCGAGT ....|....| 95 ATCAGCCCGC ATCAGCCCGC ATCAGCCCGC ATCAGCCCGC --CTCCCCGT ATCAGCCCGC GAACAGACG** ....|....| 155 TA--GTGGAA TA--GTGGAA TA--GTGGAA TA--GTGGAA TAT-ATGTAA TA--GTGGAA TATAATGTTT ** ** ....|....| 215 TGGTTCTGGC TGGTTCTGGC TGGTTCTGGC TGGTTCTGGC TGGTTCTGGC TGGTTCTGGC TGGCTCTGGC *** ****** ....|....| 275 CAGTGAATCA CAGTGAATCA CAGTGAATCA CAGTGAATCA CAGTGAATCA CAGTGAATCA CAGTGAATCA ********** ....|....| 335 TGTTCGAGCG TGTTCGAGCG TGTTCGAGCG TGTTCGAGCG TGTTCGAGCG TGTTCGAGCG TGTTCGAGCG **********
....|....| 45 T-TACAACTC T-TACAACTC T-TACAACTC T-TACAACTC ---------T-TACAACTC TATACAACTC ....|....| 105 GCCCTGTAAA GCCCCGTAAA GCCCTGTAAA GCCCCGTAAA GTTAACAGAC GCCCTGTAAA GCCCCGTAAC * * ....|....| 165 CTTCTGAGTA CTTCTGAGTA CTTCTGAGTA CTTCTGAGTA CTTCTGAGTA CTTCTGAGTA CTTCTGAGTA ********** ....|....| 225 ATCGATGAAG ATCGATGAAG ATCGATGAAG ATCGATGAAG ATCGATGAAA ATCGATGAAG ATCGATGAAG ********* ....|....| 285 TCGAATCTTT TCGAATCTTT TCGAATCTTT TCGAATCTTT TCGAATCTTT TCGAATCTTT TCGAATCTTT ********** ....|....| 345 TCATTTCAAC TCATTTCAAC TCATTTCAAC TCATTTCAAC TCATTTCAAC TCATTTCAAC TCATTACAAC ***** ****
....|....| 55 CCAAACCCCT CCAAACCCCT CCAAACCCCT CCAAACCCCT ---------CCAAACCCCT ATCAACCC-T ....|....| 115 ACGGGACGGC ACGGGACGGC AAGGGACGGC ACGGGACGGC CCGGGACGGC ACGGGACGGC ACGGGCCGCC *** ** * ....|....| 175 AAACAAACAA AAACAAACAA AAACAAACAA AAACAAACAA AAACCA-TAA AAACAAACAA AA-CAAGCAA ** * * ** ....|....| 235 AACGCAGCAA AACGCAGCAA AACGCAGCAA AACGCAGCAA AACGCAGCAA AACGCAGCAA AACGCAGCGA ******** * ....|....| 295 GAACGCACAT GAACGCACAT GAACGCACAT GAACGCACAT GAACGCACAT GAACGCACAT GAACGCACAT ********** ....|....| 355 CCTCAAGCTC CCTCAAGCTC CCTCAAGCTC CCTCAAGCTC CCTCAAGCCC CCTCAAGCTC CCTCAGGCCC ***** ** *
63
Lampiran 6 (lanjutan)
a b c d e f g
a b c d e f g
a b c d e f g
a b c d e f g
....|....| 365 ---AGCTTGG ---AGCTTGG ---AGCTTGG ---AGCTTGG CCGGGTTTGG ---AGCTTGG CCGGGCCTGG * *** ....|....| 425 CGATTGGCGG CGATTGGCGG CGATTGGCGG CGATTGGCGG CTAGTGGCGG CGATTGGCGG ACAGTGGCGG * ****** ....|....| 485 TCGTCGCGGC TCGTCGCGGC TCGTCGCGGC TCGTCGCGGC GCGGCGCGGC TCGTCGCGGC GCGGCGCGGC ** ****** ....|....| 545 ATACCCGCTG ATACCCGCTG ATACCCGCTG ATACCCGCTG ATACCCGCTG ATACCCGCTG ----------
....|....| 375 TGTTGGGACT TGTTGGGACT TGTTGGGACT TGTTGGGACT TGTTGGGGAT TGTTGGGACT CGTTGGGGAT ****** * ....|....| 435 TCACGTCC-A TCACGTCG-A TCACGTCG-A TCACGTCG-A TCTCGCTGCA TCACGTCG-A TCCCGCCGCA ** ** * ....|....| 495 CACGCCGTTA CACGCCGTAA CACGCCGTAA CACGCCGTAA CAAGCCGTTA CACGCCGTTA CACGCCGTAA ** ***** * ....|....| 555 AACTTAAGCA AACTTAAGCA AACTTAAGCA AACTTAAGCA AACTTAAGCA AACTTAA------------
....|....| 385 CG-CGGTAAC CG-CGGTAAC CG-CGGTAAC CG-CGGTAAC CGGCGAGCCC CG-CGGTAAC CGGCGGAAGC ** ** * ....|....| 445 GCTTCCATAG GCTTCCATAG GCTTCCATAG GCTTCCATAG GCTTCCATTG GCTTCCATAG GCTTCCATTG ******** * ....|....| 505 AAC-CCCAAC AAC-CCCAAC AAC-CCCAAC AAC-CCCAAC AACCCCCAAC AAC-CCCAAC AACACCCAAC *** ****** ....|....| 565 TATCATATAT TATCAATAAG TATCAATAAG TATCAATA-TATCAATAAG -------------------
....|....| 395 CCGC-----CCGC-----CCGC-----CCGC-----TTGCGGC--CCGC-----CCCCTGCGGG * ....|....| 455 CGTACTAATC CGTAGTAATC CGTAGTAATC CGTAGTAATC CGTAGTAGTA CGTAGTAATC CGTAGTAGCT **** ** ....|....| 515 TTCTGAATGT TTCTGAATGT TTCTGAATGT TTCTGAATGT TTCTGAATGT TTCTGAATGT TTCTGAAT-******** ....|....| 575 CGGAGGACTT CGGAGGAAAA CGGAGGAAAA ---------CGGAGGAAA-------------------
....|....| 405 ---------G ---------G ---------G ---------G ----AAGCCG ---------G CACAACGCCG * ....|....| 465 ATACACCTCG ATACACCTCG ATACACCTCG ATACACCTCG AAAC-CCTCG ATACACCTCG A-ACACCTCG * ** ***** ....|....| 525 TGACCTCGGA TGACCTCGGA TGACCTCGGA TGACCTCGGA TGACCTCGGA TGACCTCGGA ----------
....|....| 415 TTCCCCAAAT TTCCCCAAAT TTCCCCAAAT TTCCCCAAAT GCCCCGAAAT TTCCCCAAAT TCCCCCAAAT *** **** ....|....| 475 TTACTGGTAA TTACTGGTAA TTACTGGTAA TTACTGGTAA CAACTGGTAC TTACTGGTAA CAACTGGAGA ***** ....|....| 535 TCAGGTAGGA TCAGGTAGGA TCAGGTAGGA TCAGGTAGGA TCAGGTAGGA TCAGGTAGGA ----------
....|....| 585 TTACTTCCTC GAAACCAACA GAAACCAACA -------------------------------------
. T G G -
Keterangan : a F. incarnatum isolat KMM (cendawan temuan). bF. incarnatum isolat USA (GQ505723.1). cF. incarnatum isolat USA (GQ505695.1). dF. incarnatum isolat Cina (KJ572780.1). eF. incarnatum isolat India (KJ371106.1). fF. incarnatum isolat Argentina (JQ316667.1). gF. oxysforum isolat Indonesia (DQ094338.1)
64
Lampiran 7
Rata-rata diameter koloni cendawan harian setelah perlakuan beberapa waktu papar UV-C Rata-rata diameter koloni hari ke – (mm)
Waktu Papar UV-C (menit) 0 45 60 90 120
1 2.45 0.00 0.00 0.00 0.00
2 6.85 0.00 0.00 0.00 0.00
3 10.35 0.00 0.00 0.00 0.00
4 13.9 1,70 0.60 0.00 0.00
5 16.25 2.70 1.65 0.65 0.00
C.gloeosporioides
0 45 60 90 120
1.60 0.00 0.00 0.00 0.00
6.50 0.00 0.00 0.00 0.00
11.55 0.10 0.05 0.00 0.00
16.10 1.10 0.70 0.10 0.00
18.75 2.80 2.35 1.00 0.00
C.boninense
0 45 60 90 120
2.40 0.00 0.00 0.00 0.00
7.35 0.00 0.00 0.00 0.00
11.35 0.45 0.25 0.00 0.00
13.45 2.20 1.55 0.15 0.00
16.95 3.25 3.40 1.10 0.00
F.incarnatum
0 45 60 90 120
2.05 0.00 0.00 0.00 0.00
5.55 0.00 0.00 0.00 0.00
8.05 0.25 0.05 0.00 0.00
9.65 1.75 1.05 0.35 0.00
12.30 2.95 2.55 1.45 0.00
G.mangiferae
0 45 60 90 120
4.20 0.00 0.00 0.00 0.00
6.75 0.00 0.00 0.00 0.00
10.60 0.40 0.00 0.00 0.00
14.20 1.45 0.15 0.00 0.00
18.25 3.15 1.10 0.00 0.00
Cendawan Temuan A.citri
65
Lampiran 8 Rata-rata jumlah buah yang ditumbuhi miselia cendawan setelah perlakuan beberapa waktu papar UV-C Cendawan Temuan A.citri
C.gloeosporioides
Waktu Papar UV-C (Jam) 0 4 5
Jumlah Buah yang Ditumbuhi Miselia Cendawan (buah) 0.33 0.00 0.00
0 4 5
0.00 0.00 0.00
1
2
3
4
5
6
7
0.67 0.00 0.00
1.33 0.00 0.00
6.33 0.00 0.00
8.67 0.00 0.00
9.67 10.00 0.33 0.67 0.00 0.00
0.33 0.00 0.00
5.00 0.00 0.00
7.67 0.00 0.00
9.00 0.00 0.00
9.33 0.00 0.00
9.33 0.67 0.00
66
Lampiran 9 Sidik ragam (ANOVA) rata-rata persentase penghambatan perlakuan beberapa waktu papar UV-C in vitro terhadap cendawan temuan ————— 07/04/2015 10:04:46 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
General Linear Model: respon versus Cendawan; menit Factor Cendawan
Type fixed
Levels 5
Values Alternaria citri; Colletotrichum boninense; Colletotrichum gloeosporioides; Fusarium
incarnatum; menit
fixed
5
Guignardia mangiferae 0; 45; 60; 90; 120
Analysis of Variance for respon, using Adjusted SS for Tests Source Cendawan menit Cendawan*menit Error Total S = 4,30415
DF 4 4 16 100 124
Seq SS 5271,7 153700,3 4243,7 1852,6 165068,3
Adj SS 5271,7 153700,3 4243,7 1852,6
R-Sq = 98,88%
Adj MS 1317,9 38425,1 265,2 18,5
F 71,14 2074,15 14,32
P 0,000 0,000 0,000
R-Sq(adj) = 98,61%
Unusual Observations for respon Obs 34 82 83 84 86 87 106 109
respon 50,000 39,683 19,697 14,063 66,279 46,032 92,593 54,255
Fit 58,773 28,152 28,152 28,152 57,194 57,194 68,122 68,122
SE Fit 1,925 1,925 1,925 1,925 1,925 1,925 1,925 1,925
Residual -8,773 11,531 -8,455 -14,089 9,085 -11,162 24,470 -13,867
St Resid -2,28 3,00 -2,20 -3,66 2,36 -2,90 6,36 -3,60
R R R R R R R R
R denotes an observation with a large standardized residual. Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence Cendawan Guignardia mangiferae Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides Colletotrichum boninense Fusarium incarnatum
N 25 25 25 25 25
Mean 70,3 68,9 64,0 61,9 52,0
Grouping A A B B C
Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence menit 120 90 60 45 0
N 25 25 25 25 25
Mean 100,0 88,2 73,7 55,2 -0,0
Grouping A B C D E
67
Lampiran 9 (lanjutan) Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence Cendawan Colletotrichum boninense Alternaria citri Fusarium incarnatum Colletotrichum gloeosporioides Guignardia mangiferae Guignardia mangiferae Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides Guignardia mangiferae Colletotrichum boninense Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides Fusarium incarnatum Colletotrichum boninense Guignardia mangiferae Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides Fusarium incarnatum Colletotrichum boninense Fusarium incarnatum Guignardia mangiferae Fusarium incarnatum Colletotrichum gloeosporioides Colletotrichum boninense Alternaria citri
menit 120 120 120 120 120 90 90 90 60 90 60 60 90 60 45 45 45 60 45 45 0 0 0 0 0
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Mean 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 97,1 86,2 83,4 83,1 83,0 75,2 74,5 69,7 68,1 64,1 58,8 57,2 56,9 28,2 -0,0 -0,0 -0,0 -0,0 -0,0
Grouping A A A A A A A B B C B C B C C D C D D E D E F E F G F G G G
Means that do not share a letter are significantly different.
H I I I I I
68
Lampiran 10
Sidik ragam (ANOVA) rata-rata persentase penghambatan perlakuan beberapa waktu papar UV-C in vivo terhadap cendawan temuan
————— 04/04/2015 19:43:09 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
General Linear Model: respon versus cendawan; waktu Factor cendawan waktu
Type fixed fixed
Levels 2 3
Values Alternaria citri; Colletotrichum gloeosporioides 0; 4; 5
Analysis of Variance for respon, using Adjusted SS for Tests Source cendawan waktu cendawan*waktu Error Total S = 5,39267
DF 1 2 2 12 17
Seq SS 0,3 37383,3 0,5 349,0 37733,1
Adj SS 0,3 37383,3 0,5 349,0
R-Sq = 99,08%
Adj MS 0,3 18691,6 0,3 29,1
F 0,01 642,75 0,01
P 0,924 0,000 0,991
R-Sq(adj) = 98,69%
Unusual Observations for respon Obs 4
respon 80,000
Fit 93,333
SE Fit 3,113
Residual -13,333
St Resid -3,03 R
R denotes an observation with a large standardized residual. Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence cendawan Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides
N 9 9
Mean 64,4 64,2
Grouping A A
Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence waktu 5 4 0
N 6 6 6
Mean 100,0 93,0 0,0
Grouping A A B
Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence cendawan Colletotrichum gloeosporioides Alternaria citri Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides Alternaria citri Colletotrichum gloeosporioides
waktu 5 5 4 4 0 0
N 3 3 3 3 3 3
Mean 100,0 100,0 93,3 92,6 0,0 0,0
Grouping A A A A B B
Means that do not share a letter are significantly different.
69
Lampiran 11 Peralatan dalam perlakuan UV-C
A Gambar 32
A
B Kotak lampu UV-C merk Camag yang digunakan untuk perlakuan UV-C in vitro. Posisi nyala UV-C pada panjang gelombang 254 nm (A), kotak lampu UV-C, inventaris BBKP Surabaya (B)
B
Gambar 33 Lemari UV-C yang digunakan untuk perlakuan UV-C in vivo. Bagian dalam lemari UV-C (A), bagian luar lemari UV-C (B)
70
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Januari 1984 di Brebes, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Eman Sulaeman dan Ibu Jariyah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMU Negeri 1 Banjarharjo, Brebes pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus tahun 2006. Pada tahun 2006-2009, penulis pernah bekerja sebagai asisten agronomi di PT.SMART Tbk. kebun kelapa sawit Muara Wahau, Kalimantan Timur. Tahun 2009 sampai sekarang, penulis rnenjadi Pegawai Negeri Sipil di Badan Karantina Pertanian dan ditempatkan di Unit Pelaksana Teknis Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang. Pada tahun 2013, penulis rnernperoleh beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, lnstitut Pertanian Bogor.