METEOROLOGI INDONESIA VOLUME I
KARAKTERISTIK DAN SIRKULASI ATMOSFER
Bayong Tjasyono HK.
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
Bayong Tjasyono HK. Meteorologi Indonesia I: Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer/ Bayong TjasyonoJakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika xvi+173 hlm: 16x21 cm ISBN: -979-99507-5-9 1. Meteorologi
1. Judul 551.5
Penulis
: Bayong Tjasyono HK.
Editor &Reviewer : Suratno Welly Fitria Dyah Lukita Sari Penerbit
: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jl. Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720 Telp. (6221) 4246321; Faks. (6221) 4246703
Cetakan I, Tahun 2006 Cetakan II, Tahun 2007 Cetakan III, Tahun 2009 Cetakan IV, Tahun 2012 © Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2009
Kata Pengantar Penerbit Cetakan ke-4 Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas perkenanNya, buku Meteorologi Indonesia 1, Karakteristik & Sirkulasi Atmosfer dapat diterbitkan kembali untuk cetakan ke-4. Buku ini diterbitkan kembali atas dasar banyaknya permintaan dari para pengguna, yaitu peneliti, mahasiswa, dan dari lingkungan BMKG sendiri. Penerbitan kembali untuk cetakan ke-4 ini dilakukan setelah proses penyempurnaan yaitu dengan mengkompilasi usulan perubahan/ koreksi dari pengguna dan Reviewer yang secara khusus ditunjuk untuk memberikan masukan/koreksi baik dari segi penulisan maupun substansinya. Reviewer untuk buku ini adalah Drs. Suratno, M,Si yang dianggap mempunyai kompetensi di bidang ini. Usulan perubahan tersebut kemudian disampaikan kepada Penulis untuk mendapat persetujuannya. Besar harapan kami, buku ini dapat digunakan menjadi acuan baik untuk pembelajaran maupun penelitian, sehingga dapat mempunyai andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan, utamanya di bidang meteorologi. Kepada Reviewer dan Penulis kami mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan usaha penyempurnaan buku ini bisa berlanjut, sehingga menjadi buku yang semakin berbobot. Jakarta, Agustus 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Dr. Masturyono, M.Sc
Meteorologi Indonesia Volume 1
i
Prakata Buku Meteorologi Indonesia disusun berdasarkan pengalaman memberi kuliah-kuliah pada Program Sarjana Meteorologi dan Program Pascasarjana (Magister dan Doktoral) Ilmu Kebumian bidang khusus Sains Atmosfer di Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Naskah Meteorologi Indonesia juga ditunjang oleh pengalaman penelitian di bidang Meteorologi dan Sains Atmosfer yang dibiayai oleh ITB, BMG (sekarang BMKG), Depdiknas, RUT, Bank Dunia, dan lain-lain. Pada dasarnya buku ini dapat dimanfaatkan untuk umum, namun lebih khusus sebagai buku referensi operasional penelitian dan pengembangan bidang Meteorologi di Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Buku ini dapat dimanfaatkan sebagai buku ajar pada fakultasfakultas ilmu kebumian, kelautan, geografi, lingkungan, pertanian, kehutanan, geohidrologi, hidrologi, meteorologi, sains atmosfer, dan lainlain. Buku ini terdiri dari dua volume yaitu Volume I : Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer dan Volume II : Awan dan Hujan Monsun. Buku Meteorologi Indonesia Volume I membahas Posisi Indonesia secara geografis dan meteorologis, Aplikasi dan divisi meteorologi, Komposisi dan struktur atmosfer, Sifat fisis atmosfer Indonesia, Proses transmisi panas dan pemanasan atmosfer, Insolasi dan teori radiasi benda hitam, Gerak fluida atmosferik, Sirkulasi atmosfer global dan lokal, Siklon tropis di sekitar perairan Indonesia Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMG yang telah mensponsori dan mendanai penyusunan buku Meteorologi Indonesia sampai selesai. Kepada Pak Maman yang telah membantu pengetikan dan Pak Otang yang membuat gambar-gambar naskah buku ini, serta kepada semua pihak yang mendukung penyelesaian buku ini kami mengucapkan terima kasih. Akhirnya penulis mengharapkan semoga buku Meteorologi Indonesia dapat mencapai sasaran dan bermanfaat bagi penggunanya. Bandung, Agustus 2006 Bayong Tjasyono HK. ii
Meteorologi Indonesia Volume 1
Pengantar Meteorologi berkembang dari negara-negara maju yang pada umumnya terletak di daerah subtropis dengan 4 musim yaitu musim panas (summer), musim gugur (autumn), musim dingin (winter) dan musim semi (spring). Meteorologi Indonesia mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri. Wilayah Indonesia adalah bagian sistem bumi sebagai kesatuan alam antara : i). atmosfer yaitu lapisan gas yang sangat cepat tanggap terhadap gaya eksternal seperti matahari, (ii). biosfer yaitu lapisan kehidupan termasuk tumbuhtumbuhan, hewan dan manusia yang aktivitasnya mempunyai efek terhadap iklim lokal maupun global, (iii). hidrosfer yaitu lapisan air permukaan yang mempunyai kapasitas panas besar, (iv). kriosfer yaitu bagian permukaan bumi dengan temperatur rata-rata di bawah titik beku seperti di Puncak Jaya Wijaya (Papua), (v). pedosfer yaitu lapisan padat permukaan. Kelima komponen lapisan bumi ini dimiliki oleh bumi Indonesia dan interaksi kelima komponen ini menghasilkan cuaca dan iklim Indonesia yang khusus terutama keunikan pembentukan awannya dan kompleksitas atmosfernya. Bumi sebagai anggota sistem matahari (tata surya) berevolusi mengelilingi matahari melalui orbit eliptik dengan eksentrisitas 0,017 dan periode 1 tahun (365,3 hari). Bumi juga berotasi mengelilingi sumbu imaginernya dengan periode 1 hari (23 jam, 56 menit, 42 sekon), -5 -1 sehingga kecepatan sudut rotasinya adalah 7,29 x 10 rad.s . Dua gerakan revolusi dan rotasi bumi menyebabkan migrasi tahunan (gerak semu) matahari dari lintang tropis Cancer (23,5° U) pada tanggal 22 Juni, ke lintang ekuator (0°) pada 23 September, ke lintang tropis Capricorn (23,5° S) pada tanggal 22 Desember dan ke ekuator kembali pada tanggal 21 Maret. Dampak dari migrasi tahunan matahari adalah 4 musim. Tetapi meteorologi Indonesia tidak mengenal 4 musim yang disebutkan di atas karena kita pada umumnya tidak tahu kapan bulan terpanas dan kapan bulan terdingin, sebaliknya kita lebih tahu bulan dengan jumlah curah hujan berlimpah dan bulan dengan jumlah curah Meteorologi Indonesia Volume 1
iii
hujan sedikit. Jadi, Indonesia Iebih lazim mempunyai musim hujan (rainy season) dan musim kering (dry season). Wilayah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di bumi yang mempunyai garis pantai 80.791 km, terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil, dibatasi oleh lintang tempat sekitar 7° U atau vortisitas -5 -1 -5 -1 bumi 1,8 x 10 s dan 10° S atau vortisitas bumi 2,5 x 10 s , terletak antara dua benua (Asia dan Australia) dan antara dua osean (Pasifik dan Hindia), dilalui oleh ekuator geografis, dilalui oleh ekuator klimatologis (atau zona konvergensi intertropis), dilalui oleh arus lintas Indonesia (Arlindo) dari samudera Pasifik ke Hindia, menerima insolasi maksimum dan panas laten dalam jumlah besar, dikuasai oleh monsun Australasia dan arus monsun Indonesia (The Indonesian Monsoon Current), dan terjadi ekinoks 2 kali setahun. Ekinoks adalah kedudukan matahari tepat pada ekuator terjadi pada tanggal 21 Maret dan 23 September yang disebut hari kulminasi. Di Pontianak wisatawan mancanegara berdatangan pada hari kulminasi untuk membuktikan bahwa pada jam 12.00 di tugu ekuator tidak terjadi bayangan. Ketika ekinoks panjang siang dan malam hari sama yaitu 12 jam, insolasi maksimum di ekuator dan menuju nol di kutub-kutub bumi. Indonesia sebagai daerah ekuatorial (10° U 10° S) menerima surplus energi panas untuk segala musim. Dampak ekinoks terlihat pada distribusi curah hujan bulanan yang menunjukkan maksima ganda seperti di Pontianak. Energi panas ini dipakai untuk menggerakan atmosfer secara global ke daerah-daerah lintang menengah dan tinggi melalui awan Cumulus tinggi (Cumulonimbus) yang terbentuk di daerah ekuatorial. Ada tiga daerah ekuatorial dimana konveksi troposfer dan formasi awan Cumulusnya menjadi penting, yaitu Indonesia, Afrika ekuatorial (Afrika Tengah), dan Amerika ekuatorial (Amerika Selatan). Tetapi diantara ketiganya, Indonesia adalah daerah konvektif sangat aktif, pembentukan awan Cumulusnya bervariasi secara musiman dan non musiman ataupun tahunan oleh fenomena monsun, El Nino/La Nina, Osilasi Selatan, Osilasi Madden Julian, oleh fenomena lokal seperti angin laut darat, arus anabatik katabatik, angin seperti Föhn dan lain-lain. iv
Meteorologi Indonesia Volume 1
Curah hujan maksimum dalam musim panas berkaitan dengan intensifikasi tekanan rendah panas (heat low). Curah hujan di daerah monsun disebabkan : a) oleh Cumulus bermenara atau Cumulonimbus jika geser angin (wind shear) vertikal dan konvergensi troposferik bawah keduanya kecil, hujannya disebut "hujan deras" (shower), atau b) oleh Nimbostratus kuat (deep Ns) dengan dibarengi Cumulonimbus jika geser angin vertikal dan konvergensi troposferik bawah keduanya besar. Meskipun intensitas hujan cukup besar tetapi pada umumnya langit mendung dan hujannya disebut "hujan biasa" (rain). Sebagai wilayah kepulauan (benua maritim) yang berpegunungan, cuaca dan iklim Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin lokal seperti angin darat - laut dan angin lembah - gunung. Sistem angin harian (diurnal) sangat penting dalam klimatologi karena terjadi secara reguler dan sering. Kasus ini terjadi di beberapa tempat di benua maritim Indonesia. Perubahan panas antara slang dan malam merupakan gaya penggerak utama sistem angin harian, karena ada beda panas yang kuat antara udara di atas darat dan di atas laut atau antara udara di atas tanah tinggi (pegunungan) dan tanah rendah. Karena durasinya terbatas, maka sistem angin harian biasanya hanya efektif pada area-area relatif kecil, dan jarang meluas atau menembus ke daerah yang jauh, karena itu sistem angin ini kebanyakan menyebabkan variasi lokal. Ada dua tipe utama lokasi angin harian yaitu: daerah pantai, sepanjang laut, dan dekat danau besar dimana sistem angin darat dan laut (atau danau) sering terjadi, dan daerah pegunungan dimana beda tipe lembah dan gunung menyebabkan terjadinya angin lembah dan gunung. Cuaca mempengaruhi kehidupan baik terhadap manusia, binatang maupun tanaman. Karena itu memanfaatkan cuaca dan iklim dengan balk dan tepat merupakan suatu usaha meningkatkan produksi. Banjir merupakan masalah yang kompleks dan tidak bisa ditinjau dari satu segi saja. Jumlah curah hujan yang sama mungkin menyebabkan banjir di tempat yang satu tetapi belum tentu di tempat lain. Menjaga keseimbangan air (water balance) merupakan salah satu langkah yang sebaiknya dilakukan. Perkembangan kota misalnya tanpa ditunjang data Meteorologi Indonesia Volume 1
v
iklim terutama curah hujan dapat dilanda banjir jika jalan atau bangunan tidak dilengkapi dengan saluran yang memadai. Jalan beraspal dan bangunan beton di suatu kota jika tidak diimbangi dengan lahan-lahan yang disediakan untuk tanaman, maka daya resap tanah terhadap air hujan makin lama makin berkurang dan ini menyebabkan pori-pori permukaan tidak mampu lagi meresapkan air hujan yang mempunyai ukuran tetes lebih besar. Faktor meteorologi utama yang menyebabkan banjir adalah curah hujan. Jenis hujan akan mempengaruhi hidrologi air pemukaan, misalnya hujan gerimis (drizzle) biasanya mempunyai diameter tetes hujan kurang dari 1 mm, dan intensitas curah hujan kecil, sehingga air hujan mempunyai banyak kesempatan untuk meresap ke dalam poripori tanah, tetapi hujan deras (shower) yang mempunyai diameter tetes antara 4 - 6 mm dengan intensitas curah hujan tinggi, memungkinkan tertutupnya pori-pori tanah oleh tetes hujan besar, sehingga banyak air hujan yang tidak sempat meresap ke dalam tanah dan terjadi air bah atau banjir. Faktor lain yang bukan meteorologis adalah sifat-sifat tanah itu sendiri, misalnya tanah gundul, tanah dengan tutupan tanaman, tanah miring, tanah datar, tanah lembap, tanah keras, pendangkalan sungai, semuanya akan mempengaruhi terjadinya banjir. Analisis frekuensi banyak dipakai dalam menanggulangi banjir yaitu dalam perencanaan bendungan atau waduk, gorong-gorong dan sebagainya. Secara praktis suatu keharusan untuk membuat kantong-kantong air, meningkatkan daya serap tanah terhadap air hujan yang berarti menjaga keseimbangan air dan daur hidrologi. Memang curah hujan merupakan salah satu bagian yang penting bagi semua aspek kemasyarakatan baik dalam pertanian, hidrologi dan lain-lain. Curah hujan ditempat yang tinggi mempunyai energi potensial yang dapat diubah menjadi energi lain, misalnya energi listrik. Karena itulah kesadaran umat manusia terhadap kelestarian alam sangat didambakan agar setiap tetes hujan yang jatuh ke permukaan bumi dapat dikelola dengan baik dan tepat sehingga mendatangkan manfaat bagi kita semua dan bukan sebaliknya mendatangkan malapetaka (katastrol) dan menimbulkan bencana alam kebumian.
vi
Meteorologi Indonesia Volume 1
Daftar Gambar Gambar
1.1.
1.2. Gambar
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13.
Gambar
3.1. 3.2. 3.3.
Halaman Penampang vertikal bagian-bagian bumi Indonesia yang interaksinya membentuk sistem cuaca dan iklim yang khas. 4 Posisi geografis dan meteorologis bumi Indonesia terhadap samudera dan benua lain 5 Perubahan fasa air menjadi fasa uap dan fasa es. Komponen atmosferik yang berubah dengan ketinggian. Lapisan atmosfer berdasarkan profit temperatur vertikal. Tropopause dalam bidang meridian. Lapisan troposfer dan stratosfer yangdibatasi tropopause. Lapisan homosfer dan heterosfer yang dibatasi turbopause. Daerah ionosfer dan profil densltas elektron Sumber radiasi yang menyebabkan ionisasi di ionosfer. Pengukuran ionosfer dengan ionosonde. Struktur ionosfer. Distribusi bulanan tinggi isoterm 0°C dan tropopause di atas Jakarta. Distribusi spektral penampang absorpsi Pengukuran konsentrasi rata-rata tahunan ozon troposferik dan stratosferik di Jerman. Definisi stabilitas udara. (a).Sifat sinar cahaya dalam proses refraksi. (b). Sudut kritis dan refleksi total. Variasi jalannya sinar terhadap indeks refraksi.
Meteorologi Indonesia Volume 1
22 23 25 26 27 29 32 33 35 36 38 42 48 56 65 70 70 vii
3.4. 3.5.
Refraksi gelombang radioelektrik oleh atmosfer. Bagan sinar radar pada bumi nil (a) dan bumi fiktif (b). 3.6. Kesalahan sudut elevasi (a) akibat refraksi atmosfer. 3.7. Distribusi vertikal stabilitas statis di atas Jakarta. 3.8. Histogram indeks stabilitas Showalter menurut musim di atas Jakarta 3.9. Profit vertikal temperatur potensial ekivalen. 3.10. Distribusi vertikal refraktivitas radio dalam bulan Januari dan Oktober di atas Jakarta. 3.11. Variasi harian refraktivitas radio di atas Jakarta. Gambar
4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 4.10. 4.11. 4.12. 4.13. 4.14.
viii
Konveksi dalam zat cair yang dipanasi. Deret waktu jumlah noda matahari rerata tahunan dalam beberapa ratus tahun yang lalu Insolasi dan eteknya terhadap atmosfer. Sudut inklinasi dan intensitas insolasi Lintang tempat dan insolasi. Sudut jatuh sinar matahari di lembah (pegunungan). Panjang slang sepanjang tahun untuk berbagai lintang tempat. Keseimbangan panas bumi. Insolasi di kutub selatan. Kedudukan ekinoks. Hubungan inklinasi dengan perubahan musim di BBU. Solstis musim panas di BBU. Solstis musim panas di BBS. Distribusi energi yang dipancarkan benda hitam pada 6000 K (vertikal kiri dan horizontal bawah) dan pada 300 K (vertikal kanan dan horizontal atas).
71 72 74 79 81 83 84 91 99 100 101 101 102 103 107 109 111 112 113 114
117
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar
5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6. 5.7. 5.8. 5.9. 5.10. 5.11. 5.12. 5.13. 5.14.
5.15. 5.16. 5.17. 5.18.
Sistem angin dan tekanan terestrial idaman (ideal). Rata-rata tekanan dan angin di Indonesia a). Januari dan b). Juli. Model sel Hadley. 5.4.I l u s t r a s i s k e m a t i k distribusi tekanan dan angin yang diamati. Ilustrasi skematik distribusi tekanan dan angin yang diamati. Pola sirkulasi atmosfer meridional skematik di BBU. Gaya gradien tekanan dalam musim dingin dan musim panas. Bagan gaya gravitasional monsun. Sirkulasi zonal ekuatorial tahun non El Nirio. Sirkulasi zonal ekuatorial tahun El Nino. Bagan sirkulasi dasar dalam tahun El Nino. Pola dasar angin darat dan laut Perbedaan temperatur permukaan darat laut dan hubungannya dengan kecepatan angin laut. Pola dasar angin lembah dan gunung. Beth area zona konvektif lepas pantai sekitar Papua New Guinea dalam monsun barat laut dan monsun tenggara. Terjadinya angin Föhn. Jumlah global badai tropis bulanan. lsoterm permukaan taut. Garis arus udara pukul 12.00 waktu universal, 14 Januari 1982.
Meteorologi Indonesia Volume 1
124 125 129 131 132 135 136 138 139 139 141 145 146
147 148 150 153 153
ix
Daftar Tabel Tabel 2.1. 2.2. 2.3.
Halaman Gas dalam udara kering. 20 Data Radiosonde di alas Jakarta. 40 Hubungan tinggi geometrik dan tinggi geopotensial. 40
Tabel 3.1. 3.2. 3.3.
Kategori stabilitas atmosfer. Stabilitas atmosfer termodifikasi menurut Pasquill. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km) Januari 1979, Jakarta 3.4. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km) Juli 1979, Pukul 19.00 W.L, Jakarta 3.5. Stabilitas rata-rata bulanan (derajat per km) di atas Jakarta, 1979 3.6. Distribusi frekuensi indeks stabilitas Showalter (I.) di atas Jakarta,1980 3.7. Interval kelas predominan indeks stabilitas Showalter (I.) di atas Jakarta, 1980. 3.8. Refraktivitas radio rata-rata bulan Januari, di atas Jakarta. 3.9. Refraktivitas radio rata-rata bulan Oktober, di atas Jakarta. 3.10. Simpangan baku (SB) refraktivitas radio troposfer di atas Jakarta. 3.11. Refraktivitas radio dalam lapisan troposfer bawah.
Tabel 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. Tabel 5.1. 5.2.
63 64 73 74 75 78 78 82 83 84 85
Karakteristik fisis Planet terestrial. 93 Sumber radiasi lain relatif terhadap energi matahari yang diterima bumi. 97 Energi total berbagai fenomena dan proses lokal dalam atmosfer. 98 Lamanya slang hari paling panjang. 110 Skala gerak atmosfer. 123 Jumlah curah hujan di beberapa stasiun terpilih dalam dasarian ke 2, Januari 1982. 154
Meteorologi Indonesia Volume 1
xi
Padanan Kata Indonesia — Inggris air cair kelewat dingin angin ribut angin ribut mendadak arus arus keluar arus masuk arus udara keatas arus udara kebawah awan induk awan panas badai guruh badai guruh konvektif bawah permukaan bayangan hujan belalai air butiran cuaca buruk (bengis) curah hujan dewasa es lapis, hujan yang membeku endapan (presipitasi) konveksi gaya gabung garis awan badai garis badai guruh garis-garis arus gelombang timuran gema gerimis guruh, guntur hujan campur salju hujan lebat Meteorologi Indonesia Volume 1
supercooled liquid water gust squall currents outflow inflow updraft downdraft mother cloud warm cloud thunderstorm convective thunderstorms subsurface rain shadow waterspout droplet severe weather rainfall mature glaze convectional precipitation affinity squall line line of thunderstorm stream lines easterly wave echo drizzle thunder sleet heavy rainfall xiii
hujan meteor hujan torensial (amat lebat) jalur jeda waktu jutaan tahun kabus, kabut tipis kabut beku kebasahan kecuraman kedadalan kekeringan kekurangan gizi kelembapan kelewat jenuh kelistrikan, elektrisitas keping saiju kestabilan, stabilitas ketakstabilan bersyarat ketakstabilan,labilitas ketinggian kilat, halilintar kondisi kering kondisi mantap korban jiwa kristal embun beku kumpulan kristal labil, tak mantap lempung (tanah liat) lenyap luah listrik, pelucutan listrik Iuah listrik penghubung lubang cangkulan nisbah (perbandingan) percampuran olakan bergolak padang rumput xiv
meteor shower torrential rains track time lag millions mist rime moisture steepness breakdown drought malnutrition humidity supersaturation electricity snowflake stability conditional instability instability altitude lightning aridity steady state conditions victim rimed crystal crystal aggregate unstable clay dissipation discharge connecting discharge swath mixing ratio turbulent eddy steppe Meteorologi Indonesia Volume 1
paras peleburan paras laut peluncuran elektron pembekuan pemicuan pemuatan listrik, elektrifikasi penakar hujan penakar hujan pencatat otomatik peng-es-an pengumpulan perintis berlangkah perintis lembing pertambahan puing-puing awan, runtuhan awan puting beliung, belalai gajah ribuan tahun ratusan tahun rerata (rata-rata) tahunan sambaran balik sambaran ganda sambaran utama serpihan embun beku setan-setan debu setara stabil, mantap tak berhenti - henti tangkapan tidak bergerak titik awal tetes tetes hujan tumbukan
Meteorologi Indonesia Volume 1
melting level sea level electron avalance coagulation triggering electrification raingage recording raingage icing aggregation stepped leader dart leader accretion cloud debris tornado millennia centuries annual mean return strike multiple strike main strike rime splintering dust devils equivalent stable incessant coalescence immobile starting point drop raindrop collision
xv
Daftar Isi Halaman Prakata Pengantar Daftar Gambar Daftar Tabel Padanan Kata Daftar Isi Bab 1. Pendahuluan 1.1. Hubungan Manusia dengan Meteorologi 1.2. Posisi Wilayah Indonesia Secara Geografis dan Meteorologis 1.3. Aplikasi Meteorologi 1.4. Studi Meteorologi di Indonesia 1.5. Resume
3 6 14 18
Bab 2. Komposisi dan Struktur Atmosfer Bumi 2.1. Komposisi Atmosfer 2.2. Struktur Vertikal Atmosfer 2.3. Atmosfer di Atas Indonesia 2.4. Lapisan Ozon Stratosferik 2.5. Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Atmosfer 2.6. Resume
19 19 24 38 41 48 51
Bab 3. Sifat Fisis Atmosfer Indonesia 3.1. Konsepsi Stabilitas Atmosfer 3.2. Konsepsi Ref raktivitas Atmosfer 3.3. Stabilitas Troposfer di Atas Indonesia 3.4. Refraktivitas Troposfer di Atas Indonesia 3.5. Resume
55 55 64 72 82 86
Bab 4. Radiasi Matahari 4.1. Proses Transmisi Panas 4.2. Proses Pembentukan Energi Matahari
89 90 94
Meteorologi Indonesia Volume 1
1 1
xvii
4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7.
Insolasi Pemanasan Atmosfer Musim Teori Radiasi Benda Hitam Resume
100 104 108 114 119
Bab 5. Sirkulasi Atmosfer 5.1. Gerak Fluida Atmosferik 5.2. Sistem Angin dan Tekanan Planeter Idaman 5.3. Sirkulasi Atmosfer Global 5.4. Angin Lokal dan Angin Föhn 5.5. Siklon Tropis di Sekitar Perairan Indonesia 5.6. Resume
121 121 123 127 140 149 155
Daftar Pustaka
159
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6.
Daftar Istilah Padanan Metrik Inggris Konstanta Sistem Satuan Radius dan Nisbah Jenuh Kritis Daftar Simbol
Biodata
xviii
Meteorologi Indonesia Volume 1
Bab 1 Pendahuluan Dalam arti yang luas, geofisika dapat didefinisikan sebagai sains (ilmu pengetahuan) yang mempelajari proses dan gejala fisis dari pusat bumi sampai rumbai-rumbai bumi (fringe of the earth) atau puncak atmosfer. Meteorologi adalah sains yang mempelajari proses fisis dan gejala cuaca terutama pada lapisan atmosfer bawah (troposfer). Tubuh ilmu yang lebih luas dari meteorologi disebut Sains Atmosfer (atmospheric science) yang mencakup kajian seluruh lapisan atmosfer. Meteorologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu geofisika yang dapat bertindak sebagai ilmu murni (meteorology), ilmu terapan (applied meteorology) dan rekayasa (engineering meteorology). Meteorologi statistik sering disebut klimatologi yaitu studi (kajian) tentang nilai rerata, variasi distribusi unsur-unsur cuaca, dan hubungan statistik unsur-unsur cuaca tersebut. Meteorologi fisis mempelajari gejala atmosfer ditinjau dari fisikanya, misalnya alih radiasi gelombang elektromagnetik melalui atmosfer, proses fisis pembentukan awan dan hujan, kelistrikan atmosfer, optik atmosfer, dan masalah lain yang berkaitan dengan disiplin fisika dan kimia. Meteorologi dinamis, studi tentang gerak atmosfer dengan memperhitungkan gaya yang menyebabkannya, berdasarkan pendekatan analitik dinamika fluida. Proses yang terlibat sangat kompleks tetapi pada dasarnya sirkulasi atmosfer terjadi akibat adanya perbedaan pemanasan bumi-atmosfer yang secara geografis dan musiman tidak sama, serta adanya rotasi bumi. 1.1. Hubungan Manusia dengan Meteorologi Hubungan antara manusia dan meteorologi secara positif semakin rumit. Oleh gangguan segala macam aktivitas manusia di muka bumi, maka cuaca yang tampak sekarang semakin kompleks. Pembangunan bukan hanya sekedar mendirikan industri besar, membuat jalan raya, membangun gedung bertingkat, membuka hutan untuk pemukiman atau lahan pertanian dan sebagainya, tetapi yang Meteorologi Indonesia Volume 1
1
tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang sehat dengan memperhitungkan faktor cuaca. Banyak fakta dan contoh yang menggambarkan pentingnya faktor cuaca diperhitungkan, misalnya jatuhnya pesawat terbang akibat cuaca buruk, tanah longsor dan banjir akibat hujan torensial, gagal panen akibat musim kemarau panjang, dan sebagainya. Pada hari Selasa 11 April 2006, di Jakarta, di JI. Abdul Muis di belakang Kantor Departemen Komunikasi dan Informatika, juga di tempat lain terjadi badai hujan disertai tornado (puting beliung) dan petir yang menewaskan tiga orang akibat mikrolet dan juga mobil pribadi yang tertimpa pohon tumbang dan menyebabkan banjir lokal (Pikiran Rakyat, 12 April 2006). Semua ini disebabkan oleh perubahan cuaca yang datangnya secara tiba-tiba tanpa isyarat dan berlalu dengan meninggalkan kerugian dan kehancuran baik harta maupun jiwa. Manusia hidup di dalam lapisan atmosfer paling bawah yang disebut troposfer. Gejala cuaca juga terjadi pada troposfer. Manusia dan cuaca saling bergantungan, karena itu pengaruh cuaca harus diperhitungkan untuk segala macam aktivitas manusia. Dalam hal ini meteorologi tidak lagi sebagai sains murni sebagaimana pendapat banyak orang di masa lalu, terlebih di negara berkembang seperti Indonesia, pendapat yang demikian tidaklah tepat. Meteorologi tidak sekedar sains murni tetapi telah menjadi sains terapan yang langsung dapat digunakan dan diterapkan sebagai salah satu faktor dan parameter dalam operasional pembangunan. Dalam menentukan daerah industri perlu dilakukan survei meteorologi terlebih dulu agar zat pencemar yang keluar dari cerobong pabrik tidak menimbulkan kerugian bagi manusia, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain, yang berada di sekitar daerah industri. Unsur meteorologi yang menentukan pencemaran udara ialah arah dan kecepatan angin dominan seperti angin monsun dan angin lokal, dan kestabilan atmosfer. Kestabilan atmosfer ditentukan oleh distribusi temperatur dengan ketinggian. Informasi mengenai cuaca dan iklim yang baik dapat membantu dalam perencanaan pembuatan jalan raya 2
Meteorologi Indonesia Volume 1
sehingga memungkinkan jalan tersebut tidak melewati daerah-daerah yang berkabut tebal dan dapat dilengkapi dengan saluran-saluran air yang memadai guna mencegah terjadinya banjir pada waktu hujan lebat. Di dalam pembangunan di sektor pertanian perlu ada kerjasama antara ahli meteorologi dan ahli pertanian. Aplikasi meteorologi di dalam pertanian adalah penting mengingat tiap jenis tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan memerlukan kondisi cuaca yang berbeda-beda. Banyak lagi aplikasi meteorologi di dalam bidang-bidang lain seperti: di dalam penerbangan, pelayaran, pariwisata, kedokteran, dan lain-lainnya. 1.2. Posisi Wilayah Indonesia Secara Geografis dan Meteorologis Wilayah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari lintang geografis 7° 20’ U sampai 14° S, dan bujur 92° T sampai 141° T dengan panjang garis pantai total 43.670 mil atau 80.791 km. Dari aspek meteorologis, benua maritim Indonesia mempunyai kompleksitas dalam fenomena cuaca dan iklim. Atmosfer di atas Indonesia sangat kompleks dan pembentukan awannya sangat unik. Indonesia adalah massa bumi yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil yang digenangi air laut sampai sejauh 200 mil, terdiri dari zona pesisir, landas benua, lereng benua, cekungan samudera dan atmosfer di atasnya sampai sejauh rumbai-rumbai bumi 1000 km dari paras laut. Wilayah Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta diapit oleh Benua Asia dengan Benua Australia yang merupakan posisi silang dunia. Wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan alamiah antara litoster (lapisan padat), hidrosfer (lapisan cair), atmosfer (lapisan gas), dan kriosfer (lapisan es), lihat Gambar 1.1. Interaksi keempat lapisan tersebut membentuk sistem cuaca dan iklim di Indonesia. Bumi adalah salah satu anggota tata surya yang berevolusi mengelilingi matahari melalui orbit elips yang mempunyai eksentrisitas 0,017 dengan periode satu tahun, dan berotasi Meteorologi Indonesia Volume 1
3
mengelilingi sumbu imajinernya dengan periode 23 jam 56 menit 42 sekon ~ 1 hari. Dengan demikian kecepatan sudut rotasi bumi adalah: (1.1) Efek dari revolusi dan rotasi bumi adalah musim, yaitu musim dingin, musim semi, musim panas, dan musim gugur. Tetapi, Indonesia tidak mengenal musim-musim tersebut karena temperatur udara sepanjang tahun hampir konstan. Sebaliknya, Indonesia lebih mengenal musim hujan dan musim kemarau, karena variasi curah hujannya sangat besar. Jika persistensi angin dipakai sebagai dasar penentuan musim, maka wilayah belahan bumi selatan (BBS) Indonesia/belahan bumi utara (BBU) Indonesia mempunyai 4 musim yaitu musim monsun barat laut/timur laut, musim pancaroba pertama, musim monsun tenggara/barat daya, dan musim pancaroba kedua. Musim pancaroba ditandai oleh angin yang berubah-ubah. Persistensi angin adalah perbandingan antara kecepatan angin paduan yang memperhitungkan arahnya dan kecepatan angin rerata.
Gambar 1.1. Penampang vertikal bagian-bagian bumi Indonesia yang interaksinya membentuk sistem cuaca dan iklim yang khas.
Interaksi antara atmosfer dan Samudera Pasifik menimbulkan peristiwa El Niño dan La Niña. El Niño adalah episode panas dan La Niña adalah episode dingin di bagian tengah Samudera Pasifik, biasanya di antara daerah Nino 3 (daerah 5°U 5°S,150°B 90°B) dan Nino 4 (daerah 5°U 5°S,160°T 150°B) yang disebut daerah Nino 3.4 (daerah 5°U 10°S,180°B 120°B). Fenomena El Niño menyebabkan
4
Meteorologi Indonesia Volume 1
musim kemarau panjang dan La Niña musim kemarau lebih basah di Indonesia. lnteraksi antara atmosfer dan Samudera Hindia yaitu laut pantai barat Sumatera dan Afrika Timur menyebabkan fenomena Dipole Mode. Dipole Mode positif jika temperatur permukaan laut pantai barat lebih dingin dan negatif jika lebih panas dibandingkan temperatur permukaan laut pantai timur Afrika. Dipole Mode bernilai positif menyebabkan kurang hujan dan negatif menyebabkan banyak hujan di Indonesia. Indonesia berada pada daerah monsun, karena daerah monsun dibatasi oleh garis lintang 35°U dan 35°S dan garis bujur 30°B dan 170°T menurut Ramage (1971). Gambar 1.2, menunjukkan posisi geografis dan meteorologis bumi Indonesia. Indonesia termasuk pada daerah ekuatorial yang didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh lintang 10° U dan 10°S atau daerah yang dibatasi oleh vortisitas bumi f = 2 sin = 2 x 7,29 x 10-5 x sin 10°= 2,5 x 10-5 s-1 dengan adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan adalah lintang tempat. Daerah ekuatorial menerima surplus energi di semua musim.
Gambar 1.2. Posisi geografis dan meteorologis bumi Indonesia terhadap samudera dan benua lain. Tanda menunjukkan migrasi tahunan matahari. Pada tanggal 23 September dan 21 Maret matahari di ekuator, tanggai 22 Juni dan 22 Desember, matahari masing-masing berada di atas tropis Cancer dan tropis Capricorn. Meteorologi Indonesia Volume 1
5
1.3. Aplikasi Meteorologi Meteorologi terapan (applied meteorology) adalah istilah umum yang mencakup aplikasi meteorologi pada aktivitas manusia. Dari segi kegunaannya, meteorologi dapat dibagi menjadi : a.
Meteorologi Pertanian (agrometeorologi) yaitu aplikasi meteorologi di dalam bidang pertanian dan kehutanan. Dalam pertanian lebih mengutamakan unsur iklim (rerata cuaca) daripada unsur cuaca. Iklim mempengaruhi produksi pangan, karena itu aplikasi klimatologi (meteorologi statistik) dalam pertanian adalah sangat penting mengingat tiap jenis tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan memerlukan kondisi cuaca/iklim yang berbeda. Jelas bahwa salah satu tugas kemanusiaan bagi meteorologiwan (ahli meteorologi) adalah memberi bantuan tentang aplikasi meteorologi (terutama klimatologi) dalam setiap usaha memproduksi bahan pangan. Perlu adanya kerjasama antara ahli meteorologi dan ahli pertanian dalam pembangunan di sektor pertanian, karena kerjasama ini akan dapat mengemukakan gagasan-gagasan baru yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi nasional dan kesejahteraan bangsa. Mengurangi deforestasi (kerusakan hutan) dan meningkatkan usaha-usaha reforestasi (penghutanan kembali) akan sangat bermanfaat karena akan meminimalkan terjadinya bencana alam akibat perubahan iklim, kerusakan siklus hidrologi dan akan mengurangi emisi karbon dioksida. Pentingnya aplikasi meteorologi dalam bidang pertanian mengharuskan Organisasi Meteorologi se-Dunia (OMD) atau World Meteorological Organization (WMO) sering mengadakan simposium/seminar dalam bidang meteorologi pertanian sebagai upaya untuk meningkatkan produksi tanaman pangan.
b.
Meteorologi Penerbangan (aeronautik) yaitu aplikasi meteorologi dalam dunia penerbangan. Informasi cuaca yang diperlukan dalam penerbangan biasanya meliputi berita cuaca untuk lepas landas (take off), cuaca ketika pesawat akan mendarat (landing) dan cuaca sepanjang jalur penerbangan. Dari peta cuaca dapat dipelajari
6
Meteorologi Indonesia Volume 1
keadaan cuaca sepanjang jalur penerbangan, sekurangkurangnya untuk beberapa jam kemudian. Seorang pilot berusaha untuk berjuang melawan angin yang memperlambat laju pesawat terbang dengan cadangan bahan bakar yang semakin menipis, lebih-lebih jika ada kabut yang sangat mempengaruhi visibilitas (jarak penglihatan) seorang pilot. Keadaan yang gawat (kritis) ini sangat sulit dihindari tanpa mengetahui cuaca lokal sebelumnya. Seorang pilot kemungkinan masih dapat menghindari cuaca buruk demikian, dengan mengubah rute (jalur) penerbangan semula, atau dengan melakukan pendaratan darurat selagi masih ada waktu dan masih sempat, atau jika kondisinya mengijinkan dan persediaan bahan bakar masih cukup banyak, maka pesawat dapat berputar-putar dahulu di udara sambil menunggu kondisi cuaca baik, cerah dan aman untuk melakukan pendaratan. Salah satu kondisi cuaca yang sangat berbahaya dalam penerbangan ialah munculnya awan cumulonimbus (Cb). Awan jenis ini sangat berbahaya dan ganas, karena di dalam awan ini terdapat hujan deras, badai atau batu es (hailstones), selain itu pesawat yang terbang di bawah awan Cb dapat diangkat masuk kedalam awan sehingga pilot mendapat kesulitan untuk mengendalikan pesawatnya. Awan jenis cumulus terutama cumulonimbus disebut "jalur maut" bagi dunia penerbangan dan harus dihindari. c.
Meteorologl Sinoptik, mempelajari gejala cuaca yang pengamatan unsur cuacanya dilakukan secara simultan (bersamaan) dan meliputi daerah yang luas. Kajian ini dipakai untuk meramalkan kondisi cuaca yang lalu dan sekarang. Pengamatan sinoptik dilakukan setiap 6 jam yaitu pada jam 00.00, 06.00, 12.00, dan 18.00 waktu universal. Data cuaca dari setiap daerah kemudian dikirim ke Kantor Pusat Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta, yang kemudian oleh BMG dikirim ke negara-negara lain untuk dipakai sebagai dasar peramalan cuaca sinoptik. Pengiriman data cuaca dalam bentuk berita yang berisi kode (sandi) cuaca dalam kelompok-kelompok dengan masingmasing kelompok terdiri dari 5 dijit, misalnya kelompok Nddff yaitu data N : perawanan atau jumlah awan yang menutupi langit di atas
Meteorologi Indonesia Volume 1
7
stasiun pengamat dalam perdelapanan, N = 2 berarti seperempat langit tertutup awan, N = 0 langit cerah dan N = 8 langit mendung, dd: arah angin dalam puluhan derajat, dd = 09 berarti arah angin 90° atau angin timur, dd = 36 berarti arah angin 360° atau angin utara, dd = 0 berarti angin tenang (calm). Dalam meteorologi arah angin yang dinyatakan dengan derajat diubah menjadi 8 penjuru angin misalnya angin utara, timur laut, timur ...., dan seterusnya, tetapi dalam penerbangan diubah menjadi 16 penjuru angin misalnya angin utara (U), utara timur laut (UTL), timur laut (TL), timur timur laut (TTL) dan seterusnya. Sandi-sandi cuaca yang lain dapat dilihat pada stasiun cuaca utama, BMG. Observasi meteorologi yang paling utama adalah observasi sinoptik yang dilakukan lebih sering dan lebih rinci, datanya kemudian ditransmisikan ke biro meteorologi atau ke pusat peramalan secara regional. Jaringan stasiun meteorologi ditentukan oleh Organisasi Meteorologi se Dunia (OMD). Untuk stasiun sinoptik atau klimatologi di darat sebaiknya jarak stasiun satu sama lain 150 km atau kurang dan untuk stasiun udara atas di darat berjarak maksimum 300 km. Observasi unsur cuaca dilakukan secara teratur (regular) oleh lebih dari 700 stasiun yang tersebar di permukaan bumi. d.
8
Hidrometeorologi yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang penampungan air (water supply) seperti bendungan (waduk) air, irigasi dan lain-lain. Hidrometeorologi dapat didefinisikan sebagai studi (kajian) proses fisis atmosfer yang mempengaruhi sumber air di bumi, bidang ini diminati oleh ahli hidrologi. Definisi hidrometeorologi menurut Organisasi Meteorologi se Dunia (OMD) dalam Kongres ke empat (1963) adalah studi fasa siklus hidrologi di atmosfer dan di darat dengan menekankan pada hubungan antara unsur-unsur yang terlibat. Ahli hidrometeorologi yang mengetahui kebutuhan ahli teknik dapat memberikan jenis data yang lebih teliti dan menyajikannya dalam bentuk yang terbaik. Air berubah menjadi uap melalui penguapan air laut dan tawar atau melalui transpirasi tanaman. Uap air yang naik menjadi dingin dan mengkondensasi menjadi tetes awan dan kristal es yang kemudian jatuh sebagai Meteorologi Indonesia Volume 1
presipitasi (hujan dan salju). Sebagian presipitasi yang jatuh kembali ke laut, sebagian dibutuhkan oleh tanaman, hewan dan manusia. Sebagian besar curah hujan mengalir di darat sebagai limpasan (run off) yang bergabung dengan lelehan salju, dan sebagian lagi mengalir ke sungai yang pada akhirnya menuju ke laut. Semua air tawar (fresh water) di muka bumi berasal dari curah hujan dan salju. Sebagian air ini merembes ke dalam tanah sebagai cadangan air tanah dan arus bawah tanah, sisanya akan kembali ke atmosfer melalui penguapan. Transformasi air melalui semua fasanya (cair, uap, dan es) di bumi disebut siklus (daur) hidrologi. e.
Meteorologi Bangunan yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang arsitektur, agar estetikanya lebih indah dan bangunannya terasa lebih nyaman. Ketika manusia belum mampu untuk membangun tempat tinggal, maka mereka berlindung secara alam di dalam guagua. Di dalam gua mereka merasa terlindungi bukan saja oleh serangan musuh atau binatang buas tetapi juga terlindungi oleh cuaca dan iklim buruk. Perkembangan selanjutnya, mereka membuat tenda yang memberi perlindungan dari curah hujan dan radiasi matahari yang terik. Ketika orang telah mapan, maka mereka mulai memperhatikan sumber daya alam yang dimiliki seperti kayu dan batu yang dipakai sebagai bahan bangunan untuk melindungi keluarganya agar sesuai dengan musim yang terjadi dan memperkecil ancaman cuaca ekstrim di daerahnya. Ribuan tahun yang lalu orang telah memikirkan cara pemanasan buatan dan cara menyejukkan udara untuk melawan serangan dingin ekstrim dan panas terik dari intensitas radiasi matahari yang kuat. Pemikiran orang terdahulu ini kemudian diwujudkan sekarang dalam bentuk alat pemanas (heater) untuk mengatasi musim dingin dan alat pengatur udara (air conditioning) untuk mengatasi musim panas. Tetapi alat-alat semacam ini masih terbatas pemakaiannya karena biayanya belum terjangkau oleh masyarakat luas. Pentingnya pengaruh cuaca pada bangunan, sekarang direalisasikan oleh sebagian besar ahli arsitektur. Seorang arsitek dapat menyiapkan rancang bangun dengan mengetahui faktor fundamental seperti : (a) jenis bangunan yang dibutuhkan apakah rumah, mesjid, gereja,
Meteorologi Indonesia Volume 1
9
kantor, atau toko; (b) lokasi bangunan dan (c) perkiraan biaya, tetapi sangat tidak menguntungkan jika hal itu tidak didukung oleh pengetahuan meteorologi yang memadai. Aspek estetika tentu tidak boleh diabaikan, tetapi dalam hal ini antara seni dan meteorologi harus dipadukan. Idealnya, seorang arsitek sebaiknya mengetahui temperatur udara, radiasi matahari , kelembapan udara, dan kecepatan angin, ditambah dengan pengetahuan analisis frekuensi dan hubungan antar peubah iklim tersebut. Tetapi dalam praktek idealisme semacam ini jarang dilaksanakan kecuali untuk proyek-proyek penelitian khusus. Dalam praktek seorang arsitek akan menjumpai masalahmasalah yang berkaitan dengan iklim makro maupun dengan iklim mikro di situs (site) bangunan. Konsultasi dengan ahli meteorologi yang kompeten akan segera memberi penguasaan tentang iklim makro, iklim regional, dan iklim lokal situs bangunan. f.
10
Meteorologi Kedokteran yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang kedokteran yang dikaitkan dengan kesehatan manusia. Hubungan iklim dengan penyakit sangat rumit. Kerjasama penelitian antara ahli meteorologi dan ahli kedokteran sangat diperlukan untuk menentukan peranan iklim sebagai penyebab penyakit khusus. Banyak penyakit yang berkaitan dengan iklim atau musim tertentu, terutama dengan temperatur dan kelembapan udara. Sejumlah parasit yang menyerang manusia terbatas pada daerah yang panas dan lembap. Beberapa penyakit bergantung pada hewan perantara dan terbatas pada lingkungan yang menguntungkan hewan tersebut, misalnya demam kuning dan malaria disebabkan oleh jenis nyamuk tertentu yang berkembang biak dengan pesat di daerah beriklim tropis. Sebagian besar penyakit mengikuti pola musiman yang berbeda. Radang paru-paru dan influensa biasanya merupakan penyakit musiman. Penyakit ini sering terjadi dalam musim dingin yang disebabkan oleh lemahnya daya tahan pada sistem pernafasan bagian atas. Campak atau cacar air dan penyakit jengkering (scarlet fever) kebanyakan terjadi pada musim semi. Kondisi atmosfer yang baik dapat membantu tubuh untuk menangkis penyakit. Udara segar, temperatur sejuk, dan Meteorologi Indonesia Volume 1
kelembapan sedang, semuanya mengandung nilai pengobatan. Udara segar dan cahaya matahari telah lama dimanfaatkan dalam perawatan penyakit TBC (tuberculosis). Perubahan iklim sering menyebabkan berbagai jenis penyakit, dalam hal ini dibutuhkan istirahat dan makan yang cukup. g.
Aplikasi Meteorologi dalam Bidang Lain i. Meteorologi Lingkungan dan Pencemaran Udara Studi pencemaran udara memerlukan koordinasi berbagai disiplin ilmu. Cara zat pencemar dari sumbernya masuk ke atmosfer termasuk bidang rekayasa. Bagaimana zat pencemar dapat mempengaruhi manusia, hewan, tanaman termasuk bidang biologi dan kedokteran. Proses bagaimana zat pencemar dan sumbemya sampai pada organisme dan struktur termasuk bidang meteorologi. lstilah kabas (smog) pertama kali dipakai untuk menggambarkan pencemaran udara di daerah industri. Lingkungan atmosfer di mana ada kehidupan bergantung pada aktivitas industri, pertanian, percobaan nuklir, dan teknologi lainnya. Di antara banyak masalah yang mempengaruhi kualitas lingkungan adalah karbon dioksida (CO2) yang dapat mempengaruhi pola cuaca dan iklim global. Perkara gas rumah kaca pada akhimya merupakan tantangan lingkungan yang berlanjut pada ancaman. Permasalahan dengan berdampak pada manusia dan lingkungan mungkin terjadi lebih besar lagi, karena gas penyebab rumah kaca mempunyai waktu tinggal yang lama di atmosfer sehingga gasgas ini biasanya bercampur dengan baik bahkan dapat disebarkan keliling dunia sebelum berkurang atau dibersihkan keluar dari atmosfer oleh curah hujan. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca seperti CO2 akan mempercepat proses pemanasan global dan meningkatkan frekuensi peristiwa cuaca ekstrim. Konsentrasi zat pencemar di atmosfer ditentukan oleh faktor meteorologis seperti stabilitas udara, arah dan kecepatan angin, dan tinggi campuran.
Meteorologi Indonesia Volume 1
11
ii.
Meteorologi Modifikasi Cuaca Modifikasi cuaca diartikan sebagai modifikasi awan secara buatan atas usaha manusia. Sejarah modifikasi cuaca dimulai tahun 1946 sejak percobaan pembenihan awan dengan es kering oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir. Satu tahun kemudian, Vonnegut menemukan perak iodida (Ag I), suatu bahan yang dapat bertindak sebagai inti es. Di Indonesia, sejarah modifikasi cuaca dimulai sejak dilakukan percobaan hujan buatan di atas wilayah Perum Otorita Jatiluhur pada tahun 1979 oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang dibantu oleh tim ahli dari perguruan tinggi. Sebelum sejarah modifikasi cuaca dimulai, orang berusaha mendatangkan hujan melalui jampi-jampi (mantera), taritarian, sembahyang atau berbagai acara ritual lainnya. Tujuan modifikasi cuaca adalah meningkatkan jumlah curah hujan, menindas batu es hujan, melenyapkan kabut, dan melerai siklon. UPT Hujan Buatan sedang melakukan penerapan modifikasi cuaca dengan Ground Base Generator (GBG) untuk menanggulangi banjir di wilayah Jakarta.
iii. Meteorologl Maritim Yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang maritim dan kelautan. Jika kabut atau cuaca buruk dijumpai di laut atau di darat, masalahnya tidak begitu serius dibandingkan jika terjadi di udara. Pengemudi kapal dapat mengatur kecepatan kapalnya atau dapat menurunkan jangkar sampai keadaan cuaca memungkinkan kembali melanjutkan pelayarannya. Meskipun demikian angin kencang dapat menyebabkan gelombang laut yang tinggi, sehingga dapat membahayakan para nelayan yang sedang mencari ikan. Para nelayan biasanya berangkat pada sore atau malam hari dan kembali pada siang hari dengan memanfaatkan angin darat dan angin laut. Wilayah Indonesia yang terletak pada lintang antara 7U dan 10 S dan mempunyai parameter Coriolis atau vortisitas bumi yang kecil yaitu antara 1,78 x 10-5 s-1 di belahan bumi utara (BBU) dan 2,53 x 10-5 s-1di belahan bumi selatan, dapat dikatakan hampir bebas dari jalur 12
Meteorologi Indonesia Volume 1
siklon tropis. Tetapi kondisi cuaca di Indonesia terutama bagian timur dapat dipengaruhi oleh siklon tropis di perairan sebelah utara Australia. Syarat utama pertumbuhan siklon tropis adalah temperatur laut di atas 26°C, parameter Coriolis harus lebih besar dari nilai pada lintang 5°, kelembapan udara troposferik cukup besar. Siklon tropis menyebabkan bencana terutama oleh angin kencang, hujan lebat, dan gelombang badai (storm surge). Gelombang badai adalah naiknya permukaan laut sepanjang pantai secara cepat oleh gerakan angin ke pantai. Di Bangladesh gelombang badai oleh siklon tropis pada tanggal 13 November 1970 mencapai tinggi antara 6 dan 9 m yang menelan korban jiwa 200 sampai 300 ribu orang mati tenggelam. iv. Meteorologi Enjiniring Yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang rekayasa atau teknik. Meteorologi enjiniring adalah bidang ilmu yang mencakup bidang antar muka antara meteorologi dan enjiniring atau teknik, di mana proses meteorologis berinteraksi dengan sasaran rekayasa (engineering). Pada waktu sekarang hubungan antara ahli meteorologi dan ahli teknik telah berkembang dalam area dari kajian hidrologi sampai pencemaran udara. Ada tiga area interaksi antara meteorologi dan enjiniring yaitu hidrologi, pencemaran udara, dan beban pada bangunan. Beban yang sangat mencolok pada bangunan adalah gaya angin. Masalah-masalah enjiniring meningkat karena variabilitas curah hujan secara spasial dan temporal cukup besar. Model kepulan Gauss dipakai untuk memperhitungkan proses gerakan zat pencemar. dan memformulasikan kenaikan kepulan asap dari cerobong pabrik. Model kepulan Gauss dapat diperluas dari sumber titik menjadi jenis sumber yang lain misalnya sumber garis dan sumber area. Di sekitar gedung medan arus menjadi sangat kompleks sehingga medan konsentrasi zat pencemar yang diproduksi oleh sumber yang terletak dekat tanah di sekitar gedung dapat secara signifikan berubah atau berbeda dari yang dihitung Meteorologi Indonesia Volume 1
13
dengan formula difusi konvensional. Formula ini menganggap bahwa medan arus mempunyai garis arus parallel yang lurus sehingga kecepatan angin dianggap tetap pada jarak yang cukup jauh. Sebenarnya garis arus, kecepatan angin, dan turbulensi berubah yang bergantung pada konfigurasi sumber dan geometri bangunan. Meteorologi enjiniring juga membahas efek desktruktif angin pada gedung, menara, dan jembatan. 1.4. Studi Meteorologi di Indonesia Indonesia sebagai benua maritim dengan iklim monsun ekuatorial memiliki dinamika atmosfer yang kompleks dan unik. Atmosfer di atas Indonesia mempunyai peranan yang sangat dominan dalam sistem cuaca dan iklim global. Kondisi ini merupakan tantangan dan juga peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan dan mengembangkan IPTEK Meteorologi dan memanfaatkan informasi cuaca yang unik untuk menunjang pembangunan dalam menyongsong era globalisasi. Pentingnya Indonesia sebagai subjek riset atmosfer ekuatorial telah ditunjukkan oleh kemauan dan minat ilmuwan dunia untuk menyelenggarakan "The International Conference on the Scientific Result of the Monsoon Experiment' pada tahun 1981, Denpasar Bali, dan "The International Symposium on Equatorial Atmosphere Observation over Indonesia" yang diselenggarakan di Jakarta dan Bandung selama 5 tahun berturut-turut dart tahun 1989, 1990, 1991, 1992 sampai 1993. lni membuktikan bahwa pengamatan atmosfer ekuatorial di atas Indonesia menjadi sangat penting. Realisasi dari seminar-seminar internasional tentang meteorologi dan sains atmosfer di Indonesia ialah didirikannya "Pusat Riset Cuaca dan Iklim Ekuatorial Internasional" di Koto Tabang (900 m, d.p.l) ± 20 km dari Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang diresmikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia pada tanggal 26 Juni 2001. Dengan demikian terbuka luas kesempatan untuk melakukan penelitian yang berskala lokal, nasional, regional, dan internasional. Lembaga Riset yang mengkaji fenomena cuaca dan sistem iklim di Indonesia adalah Badan Meteorologi dan 14
Meteorologi Indonesia Volume 1
Geofisika (BMG), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Riset di Perguruan Tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (Program Studi Meteorologi dan Kelompok Keahlian Sains Atmosfer), Institut Pertanian Bogor, dan Universitas serta Instansi Riset lain yang mengkaji masalah cuaca dan iklim. Mungkin saja Fakultas Geografi dan Fakultas Pertanian sebuah Perguruan Tinggi dapat melakukan riset dalam bidang meteorologi dan klimatologi. Di area Pusat Riset Cuaca dan lklim Intemasional Koto Tabang dioperasikan peralatan observasi atmosfer global (Global Atmospheric Watch GAW) oleh Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization WMO). Di area ini juga dipasang Radar Lapisan Batas (Boundary Layer Radar- BLR), Radar Akustik (Sodar), Radiosonde, dan peralatan observasi cuaca lainnya. Akhir-akhir ini dioperasikan Radar Atmosfer Ekuatorial (Equatorial Atmosphere Radar EAR) yang mempunyai sistem antena kuasi sirkular dengan diameter 110 m sebanyak 560 buah. Daya keluaran 100 kW, frekuensi 47 MHz, lebar berkas sinar 3,4° dan jangkauan observasi 1,5 20 km untuk turbulensi atmosfer, lebih dari 90 km untuk iregularitas ionosfer. Pusat Riset Cuaca dan Iklim Internasional merupakan kerjasama antara WMO, RASC (Radio Science Center for Space and Atmosphere) University of Kyoto, Jepang dan Pemerintah Indonesia melalui Instansi Riset BMG, LAPAN, dan BPPT. Ditinjau dari aspek meteorologis, wilayah Indonesia merupakan salah satu daerah riset yang sangat menarik di muka bumi. Cuaca dan iklim Indonesia telah diinvestigasi secara intensif selama periode kolonial Belanda yang karya ilmiahnya dipublikasikan dalam "Verhandelingen", Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium (KMMO) te Batavia. Salah satu publikasi yang hingga kini masih menjadi acuan riset meteorologi Indonesia ialah karya Braak (1929) yang membahas sejumlah fenomena skala meso yang sangat penting dan menarik, misalnya peristiwa "Bohorok" yaitu angin semacam Föhn di Sumatera yang bersifat kering, panas, dan dapat merusak tanaman. Peristiwa lain ialah "Sumatera" yaitu garis awan badai cumulonimbus (Cb) yang waktu hidupnya mencapai satu hari atau lebih. Meteorologi Indonesia Volume 1
15
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, riset meteorologi di Indonesia masih diteruskan oleh beberapa ilmuwan Belanda. Karya ilmiahnya sebagian diterbitkan oleh Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Salah satu contoh misalnya Schmidt dan Ferguson (1952) mengkaji klasifikasi iklim di Indonesia berdasarkan metode Mӧhr. Jenis iklimnya ditentukan oleh nilai nisbah antara jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Dan nilai nisbah ini, mereka menggolongkan 8 jenis iklim, dari iklim A yang paling basah sampai iklim H yang paling kering. Riset di daerah monsun sangat menarik, sehingga Organisasi Meteorologi se Dunia (OMD) mengkoordinir pelaksanaan proyek besar di bidang meteorologi monsun yang diberi nama MONEX (Monsoon Experiment). Hasil-hasil risetnya diseminarkan secara internasional dan salah satunya Indonesia melalui Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Intemasional tentang hasil-hasil MONEX. Konferensi ini diadakan di Denpasar, Bali pada tanggal 26 30 Oktober, 1981. Sampai sekarang baru dua perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi meteorologi dengan terminal program strata tiga (S3) yaitu di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Program studi meteorologi di ITB lebih menekankan pada proses fisis dan dinamis atmosfer, proses fisis awan atau modifikasi cuaca, sedangkan di IPB lebih menekankan meteorologi terapan, misalnya agrometeorologi. Sejak tahun 1998 ITB menyelenggarakan program Sarjana Meteorologi, dan Pascasarjana yaitu program Magister dan Doktoral Sains Kebumian bidang khusus Sains Atmosfer di Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM). Sebelumnya meteorologi digabung dengan studi oseanografi dan studi geofisika dalam Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA ITB. Jaringan stasiun meteorologi di wilayah Indonesia masih belum tersebar merata baik di darat maupun di laut, terutama di kawasan timur
16
Meteorologi Indonesia Volume 1
Indonesia. Jaringan stasiun atmosfer atas juga masih belum memadai jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia dan kompleksitasnya atmosfer ekuatorial. Stasiun meteorologi khusus seperti stasiun radar cuaca, stasiun listrik atmosfer dan sebagainya masih jarang didirikan di wilayah Indonesia yang merupakan daerah konvektif paling aktif dibandingkan daerah ekuatorial Afrika dan Amerika. Untuk mengatasi kekurangan data meteorologi, Indonesia bekerjasama dengan lembaga riset atau universitas luar negeri diantaranya dengan Universitas Kyoto yang membangun radar atmosfer ekuatorial di Koto Tabang, Bukittinggi, Sumatera Barat, yang berlokasi pada lintang 0,20° S dan bujur 100,32 T.
Meteorologi Indonesia Volume 1
17
1.5. Resume Meteorologi adalah cabang dari geofisika. Tubuh ilmu meteorologi yang lebih luas disebut sains atmosfer yang mencakup kajian seluruh Iapisan atmosfer. Meteorologi adalah sains yang mengkaji proses fisis dan gejala cuaca. Akibat ulah dan aktivitas manusia, cuaca yang tampak sekarang semakin kompleks. Perubahan cuaca datangnya secara mendadak tanpa isyarat dan berlaku dengan meninggalkan kerugian dan kehancuran harta bahkan jiwa. Wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan alamiah antara litosfer, hidrosfer, atmosfer, dan kriosfer (lapisan es di puncak pegunungan Jayawijaya, Papua). Interaksi keempat lapisan ini membentuk sistem cuaca dan iklim yang khas di Indonesia. Indonesia termasuk daerah ekuatorial yang mempunyai surplus energi di segala musim. Meteorologi dapat diterapkan pada kebanyakan aktivitas manusia, misalnya dalam bidang pertanian, penerbangan, pengairan, bangunan, kedokteran, Iingkungan dan pencemaran udara, modifikasi cuaca, maritim, enjiniring, peramalan, dan lain-lain. Pentingnya Indonesia sebagai subyek penelitian atmosfer ekuatorial telah ditunjukan oleh kemauan dan minat ilmuwan dunia untuk menyelenggarakan konferensi, simposium atau seminar Intemasional tentang monsun dan atmosfer di alas Indonesia. Aktivitas-aktivitas internasional ini direalisasikan dengan didirikannya Pusat Riset Cuaca dan Iklim Ekuatorial Internasional, di Koto Tabang, Bukittinggi, Sumatera Barat (0,20 S - 100,32 T) yang diresmikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia tanggal 26 Juni 2001 yang didukung oleh lembaga riset BMG, LAPAN, BPPT, dan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari aspek meteorologis. Indonesia merupakan salah satu daerah riset yang sangat menarik. Cuaca dan iklim Indonesia telah dikaji secara intensif sejak zaman kolonial Belanda. Sampai sekarang baru ada dua perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi meteorologi strata satu (program Sarjana), strata dua (program Magister) dan strata tiga (program Doktoral) yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor.
18
Meteorologi Indonesia Volume 1
Bab 2 Komposisi dan Struktur Atmosfer Bumi Atmosfer berasal dari dua kata Yunani yaitu atmos berarti uap dan sphaira berarti bulatan, jadi atmosfer adalah lapisan gas yang menyelubungi bulatan bumi. Atmosfer bumi mempunyai ketebalan sekitar 1000 km yang dibagi menjadi lapisan-lapisan berdasarkan profil temperatur, komposisi atmosfer, sifat radioelektrik, dan lain-lain. Karena sebaran panas tidak sama di dalam atmosfer, maka terjadi gejala-gejala cuaca yaitu dari angin lemah sampai sangat kencang di dalam badai atau siklon, dari cuaca cerah, cuaca berawan sampai hujan deras (shower). Kajian tentang deskripsi dan pemahaman fenomena atmosfer disebut Sains Atmosfer yang secara tradisi dibagi menjadi Meteorologi dan Klimatologi. Atmosfer tropis mencakup daerah antara 23,5 U (tropis Cancer) dan 23,5° S (tropis Capricorn). Ahli meteorologi sering memakai batas lain untuk mendefinisikan atmosfer tropis dengan memakai sumbu sel tekanan tinggi subtropis yaitu batas sirkulasi atmosfer yang didominasi oleh angin timuran di tropis dan angin baratan di subtropis. Batas dari atmosfer tropis adalah lintang 30U dan 30S yang disebut "lintang kuda" (horse latitude). Atmosfer ekuatorial dapat didefinisikan sebagai atmosfer yang dibatasi oleh lintang 10U dan 10S. Jadi atmosfer di atas wilayah Indonesia dapat dikatakan sebagai "atmosfer ekuatorial". 2.1. Komposisi Atmosfer Tanpa atmosfer, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan akan mati. Atmosfer bertindak sebagai pelindung kehidupan di bumi dari radiasi matahari yang kuat pada siang hari dan mencegah hilangnya panas ke ruang angkasa pada malam hari. Sangat beruntung bahwa atmosfer menyebabkan hambatan benda-benda yang bergerak melaluinya, sehingga sebagian meteor yang melalui atmosfer akan menjadi panas dan hancur sebelum mencapai permukaan bumi. Atmosfer bersifat dapat dimampatkan (compressible) sehingga lapisan Meteorologi Indonesia Volume 1
19
atmosfer bawah lebih padat daripada lapisan diatasnya, akibatnya tekanan udara berkurang dengan ketinggian. Massa total atmosfer adalah sekitar 56 x 1014 ton. Setengah dari massa tersebut kira-kira terletak di bawah 6.000 m dan lebih dari 99% terletak di bawah ketinggian 35.000 m dari permukaan bumi. Lapisan atmosfer merupakan campuran dari gas-gas yang tidak tampak dan tidak berwama. Empat gas yaitu nitrogen, oksigen, argon, dan karbondioksida meliputi hampir seratus persen dari volume udara kering, (lihat tabel 2.1). Gas lain yang stabil seperti neon, helium, metan, kripton, hidrogen, xenon dan kurang stabil termasuk ozon dan radon juga terdapat di atmosfer dalam jumlah yang sangat kecil. Tabel 2.1. Gas dalam udara kering. Macam Gas GAS UTAMA
GAS MINOR a. Permanen
b. Semi Permanen
c. Variabel
Unsur Gas N2 O2 Ar CO2 Ne He Kr Xe CH4 CO H2 N 2O O3
H 2S SO2 NH3 No2
20
Fraksi Volume 78,085% 20,950% 0,930% 0,033% 18 ppm 5 ppm 1 ppm 0,09 ppm 1,5 ppm 0,1 ppm 0,5 ppm 0,25 ppm sampai dengan 10 ppm di ozonosfer (stratosfer), 5-50 ppb dalam udara tak terpolusi. sampai dengan 500 ppb dalam udara terpolusi di permukaan tanah 0,2 ppb di atas tanah 0,2 ppb di atas tanah 6 ppb di atas tanah 100 ppb di atas tanah
Meteorologi Indonesia Volume 1
Simbol ppm dan ppb menyatakan satuan konsentrasi “part per million'” dan "part per billion". Satuan-satuan ini biasanya dipakai untuk menyatakan gas perunut (trace gases). "Part" diartikan sebagai bagian volume (parts in volume).
Dari waktu tinggal di atmosfer, maka unsur-unsur udara dapat diklasifikasikan menjadi 3 golongan: a. Gas permanen dengan waktu tinggal sangat lama, misalnya waktu tinggal He adalah 2 juta tahun. b. Gas semi permanen dengan waktu tinggal beberapa bulan sampai tahun, misalnya CO2 = 0,35 tahun, dan CH4 = 3 tahun. c. Gas variabel dengan waktu tinggal dari beberapa hari sampai minggu. Unsur-unsur ini adalah gas aktif secara kimia. Siklusnya berkaitan dengan siklus air (cuaca), misalnya waktu tinggal uap air berorde 10 hari, SO2 berorde 5 hari, dan NH3 berorde 1 sampai 4 hari. Sampai pada ketinggian lebih dan 60 km, proporsi gas relatif masih tetap, kecuali fasa gas air (uap air). Sekitar 99% didominasi oleh gas nitrogen dan oksigen, dan yang paling banyak jumlahnya di atmosfer adalah nitrogen. Proporsi gas di atmosfer berubah jika udara ditinjau bersama dengan komposisi uap aimya. Secara praktis, atmosfer dapat berada pada tempat yang langka uap air dan pada tempat lain jumlah uap air (kebasahan) dapat mencapai 4%. Meskipun berat molekuler uap air lebih kecil dari pada berat molekuler beberapa gas lain, namun uap air ini berada dalam ketebalan beberapa kilometer atmosfer paling bawah. Hal ini dapat dimengerti bila disadari bahwa sumber air atmosferik secara langsung adalah lautan yang mencakup 70% luas permukaan bumi dan bahwa temperatur udara atas di dalam troposfer sangat dingin sehingga air tidak dapat mempertahankan wujudnya dalam bentuk gas. Air di atmosfer dapat berada dalam ketiga wujud (fasa). Perubahan fasa cair Meteorologi Indonesia Volume 1
21
(air) menjadi gas (uap air) disebut penguapan (evaporasi) dan sebaliknya disebut pengembunan (kondensasi). Perubahan fasa cair menjadi fasa padat (es) disebut pembekuan dan sebaliknya disebut pencairan. Perubahan fasa es menjadi fasa uap disebut sublimasi dan sebaliknya disebut deposisi, lihat Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Perubahan fasa air menjadi fasa uap dan fasa es.
Di samping unsur-unsur gas yang disajikan pada tabel 2.1, atmosfer juga mengandung jenis bahan yang bukan bagian dari komposisi gas. Beberapa dari jenis bahan ini adalah partikel garam, partikel debu, dan tetes air. Bila uap air yaitu bagian dari udara natural (alam) berubah menjadi cair atau padat (partikel air atau es) maka partikel-partikel ini menjadi benda asing dalam atmosfer, dan menyebabkan awan, kabut, hujan, saiju, embun atau batu es (hailstone). Perubahan wujud (fasa) uap air di udara sangat penting dalam menentukan kondisi cuaca. Nitrogen (N2) terdapat di udara dalam jumlah paling besar yaitu sekitar 78% bagian volume. N2 tidak Iangsung bergabung dengan unsur lain, tetapi nitrogen bagian dari senyawa organik. Oksigen (O2) sangat penting bagi kehidupan yaitu mengubah makanan menjadi energi hidup. Meskipun nitrogen dan oksigen meliputi jumlah 99% volume udara, tetapi kedua gas ini sangat pasif terhadap proses cuaca. Unsur-unsur atmosfer yang berubah terhadap ketinggian sampai 240 km, ditunjukkan pada Gambar 2.2. 22
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 2.2. Komponen atmosterik yang berubah dengan ketinggian (Sumber Donn, 1975).
Gas-gas yang penting dalam proses cuaca ialah : a. Uap air (H2O) yang dapat berubah fasa (wujud) menjadi fasa cair (misalnya tetes-tetes awan) dan fasa padat (misalnya salju, batu es). b. Karbondioksida (CO2), yang bertindak sebagai gas rumah kaca (GRK) dan menyebabkan efek rumah kaca (ERK), yaitu transparan terhadap radiasi gelombang pendek matahari dan menyerap radiasi gelombang panjang bumi. Kenaikan kadar CO2 akan menyebabkan kenaikan temperatur permukaan bumi dan menimbulkan pemanasan global. Sejak revolusi industri, konsentrasi CO2 terus naik yang disebabkan antara lain kenaikan pemakaian bahan bakar karbon (BBK) dan hidrokarbon. c. Ozon (O3), gas ini terdapat terutama pada ketinggian antara 20 dan 30 km di atas permukaan laut (d.p.l). Ozon sangat penting karena menyerap radiasi ultraviolet yang mempunyai energi tinggi dan berbahaya bagi tubuh manusia. Atmosfer pada ketinggian 20 30 km biasanya sudah sangat tipis, sehingga jika seluruh ozon yang ada ini dimampatkan di bawah kondisi tekanan permukaan laut, maka ketebalan lapisan ozon (ozonosfer) hanya sekitar satu inci (25,4 mm) saja. Meteorologi Indonesia Volume 1
23
d.
Aerosol dan asap, terutama partikel-partikel higroskopis (misalnya partikel garam) dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan.
Gas helium (He) dan hidrogen (H2) adalah gas yang paling ringan, sehingga sering dipakai untuk mengisi balon meteorologi. Gas ini sangat jarang terdapat di atmosfer bawah kecuali pada paras (level) yang tinggi. Neon (Ne), argon (Ar), xenon (Xe), dan kripton (Kr) tidak mudah bergabung dengan unsur lain, disebut gas mulia. Meskipun gas ini kurang penting di atmosfer, tetapi neon biasanya dipakai dalam pemasangan iklan atau reklame (advertisement) dan argon dipakai untuk bola lampu cahaya listrik. 2.2. Struktur Vertikal Atmosfer Atmosfer dapat ditinjau sebagai lapisan gas sangat tebal yang menyelimuti bumi dari permukaan dan meluas ke atas dengan densitas (massa jenis) terus menerus menjadi kecil. Atmosfer dipengaruhi oleh gaya tarik bumi yaitu gravitas (gravity), sehingga atmosfer semakin tipis jika menjauhi permukaan bumi sampai pada akhirnya tidak dapat lagi dibedakan dari gas planet lain. Karena itu puncak atmosfer atau batas atas atmosfer tidak terdefinisi secara tegas, tetapi rumbai-rumbai bumi (fringe of the earth) yang mencapai ketinggian sekitar 1000 km dapat dianggap sebagai puncak atmosfer bumi. Penurunan massa jenis sangat cepat pada setengah pertama lapisan atmosfer yang terletak di bawah ketinggian 5,5 km (3,5 mil), dan 75% massa atmosfer terdapat pada lapisan di bawah 20 km atau 99,9% massa atmosfer terletak pada lapisan di bawah 50 km atau pada tekanan atmosfer di atas 1 mb (1 milibar = 100 pascal). Tebal atmosfer bumi (1000 km) sangat tipis sekitar 16% jika dibandingkan dengan jejari bumi (6370 m). 1. Nomenklatur (tata nama) Lapisan Atmosfer Berdasarkan Temperatur Berdasarkan distribusi temperatur vertikal, lapisan atmoster mulai dari permukaan ke atas dibagi menjadi troposfer, stratosfer, 24
Meteorologi Indonesia Volume 1
mesosfer dan termosfer, masing-masing lapisan merupakan bulatanbulatan yang konsentris terhadap pusat bumi. Puncak dari masingmasing lapisan disebut tropopause, stratopause, mesopause, dan termopause, lihat Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Lapisan atmosfer berdasarkan profil temperatur vertikal. Garis titik-titik menunjukkan puncak dari masing-masing lapisan.
Batas lapisan-lapisan atmosfer ditentukan oleh diskontinuitas profil temperatur dan masing-masing lapisan mempunyai sifat fisis khusus sebagai berikut : a. Troposfer Secara harafiah troposfer (tropo : berubah, dan sphaira : bulatan atau lapisan) adalah lapisan yang berubah-ubah. Gejala cuaca, misalnya awan, hujan, badai guruh, dan sebagainya terjadi pada lapisan troposfer. Akibat adanya percampuran vertikal yang kuat dan curah hujan maka waktu tinggal rerata aerosol dalam troposfer agak pendek, berkisar dari beberapa hari sampai minggu. Troposfer adalah lapisan atmosfer paling bawah dengan ketebalan lapisan rerata 10 km. Di atas ekuator puncak troposfer (tropopause) mencapai sekitar 18 km (paling tinggi) sedangkan di atas Meteorologi Indonesia Volume 1
25
kutub hanya mencapai 6 km (paling rendah), lihat Gambar 2.4. Tropopause tidak kontinu, tetapi terputus oleh adanya aerojet (let stream) subtropis (JS) dan polar (JP) yaitu angin kencang di atas troposfer atau di stratosfer bawah.
Gambar 2.4. Tropopause dalam bidang meridian. JS : aerojel subtropis dan JP : aerojet polar (kutub).
Troposfer mempunyai susut temperatur (lapse rate) yang nilainya antara 0,5 dan 1° C per 100 m dengan nilai rerata 0,65° C per 100 m atau 6,5°C per kilometer. "Susut temperatur" didefinisikan sebagai penurunan temperatur terhadap ketinggian atmosfer atau gradien temperatur vertikal negatif dan secara matematik dapat ditulis: (2.1) dengan T adalah temperatur dan z adalah ketinggian atmosfer. Tanda negatif berarti temperatur turun terhadap ketinggian. Berdasarkan definisi di atas maka troposfer mempunyai susut temperatur positif. Troposfer sangat sedikit menyerap radiasi matahari, sebaliknya permukaan bumi banyak memberi panas pada troposfer melalui konduksi, konveksi, dan panas laten kondensasi atau sublimasi yang dilepaskan ketika uap air berubah wujud menjadi tetes air atau kristal es. 26
Meteorologi Indonesia Volume 1
b. Stratosfer Stratosfer (strata : lapisan, dan sphaira : bulatan) artinya bulatan (lapisan) yang berlapis, karena pada lapisan stratosfer terdapat juga lapisan ozon (ozonosfer). Stratosfer terletak di atas troposfer pada ketinggian antara 10 dan 60 km. Karena tropopause lebih tinggi di ekuator daripada di kutub, maka stratosfer lebih tipis di ekuator daripada di kutub, lihat Gambar 2.5. Di ekuator, tropopause mempunyai ketinggian 18 km dengan temperatur sekitar 80 C, sedangkan di kutub tropopause hanya mencapai ketinggian 6 km dengan temperatur 40o C.
Gambar 2.5. Lapisan troposfer dan stratosfer yang dibatasi oleh tropopause.
Stratosfer ditandai oleh susut temperatur negatif atau kenaikan temperatur terhadap ketinggian (inversi temperatur), disebabkan oleh ozonosfer yang menyerap radiasi ultra violet berenergi tinggi dari matahari. Pertukaran antara gas troposfer dan stratosfer sangat kecil karena stratosfer adalah lapisan yang stabil atau inversi temperatur. Bagian atas stratosfer dibatasi oleh permukaan diskontinuitas temperatur kedua (yang pertama adalah puncak troposfer), disebut stratopause yang terletak pada ketinggian sekitar 60 km dengan temperatur berorde 0C. Stratosfer mempunyai percampuran vertikal yang sangat lemah. Badai guruh yang mempunyai arus udara ke atas (updraft) sangat kuat dapat menembus beberapa kilometer ke dalam stratosfer bawah. Meteorologi Indonesia Volume 1
27
c. Mesosfer Mesosfer (meso: tengah, dan sphaira: bulatan) artinya lapisan gas bagian tengah yang menyelubungi bulatan bumi. Mesosfer terletak di atas stratopause dari ketinggian 60 sampai 85 km, yang ditandai dengan susut temperatur positif dengan gradien temperatur berorde 0,4C per 100 meter. Penurunan temperatur ini disebabkan mesosfer mempunyai keseimbangan radiatif negatif. Puncak mesosfer dibatasi oleh mesopause yaitu permukaan yang mempunyai temperatur paling rendah di atmosfer, sekitar -100C. Lapisan mesosfer tumpang tindih (overlaps) bersamaan dengan ionosfer bawah. d. Termosfer Termosfer (termo: panas, dan sphaira: bulatan) artinya lapisan panas yang menyelubungi bulatan bumi pada ketinggian 85 km sampai 300 km. Termosfer ditandai oleh susut temperatur negatif atau kenaikan temperatur dari -100°C sampai ratusan bahkan ribuan derajat. Bagian atas mesosfer disebut termopause yang meluas dari ketinggian 300 km sampai pada rumbai-rumbai bumi (fringe of the earth) sekitar 1000 km. Termopause adalah paras transisi ke profil temperatur yang mendekati isotermal atau temperatur konstan. Termosfer dan termopause meluas ke atas sampai berbaur dengan atmosfer matahari ribuan kilometer di atas permukaan bumi dan dalam perluasannya sebagian gas ini terionisasi. Temperatur termopause adalah konstan terhadap ketinggian tetapi bervariasi terhadap aktivitas matahari. Temperatur malam berosilasi antara 300 dan 1200°C atau antara 600 dan 1500 K, sedangkan pada siang hari temperatur berosilasi antara 700°C dan 1700°C atau antara 1000 dan 2000 K. Kenaikan temperatur disebabkan termosfer menyerap radiasi EUV (extreme ultraviolet). Karena makin ke atas konsentrasi (densitas) atmosfer makin kecil maka perpindahan panas menjadi sulit, sehingga temperatur konstan. 2. Nomenklatur Lapisan Atmosfer Berdasarkan Komposisi Atmosfer Berdasarkan komposisi, atmosfer dapat dibagi menjadi dua lapisan yaitu homosfer dan heterosfer. Lapisan homosfer terletak 28
Meteorologi Indonesia Volume 1
antara permukaan laut sampai ketinggian 85-100 km, yaitu sampai mesopause, di mana oksigen dan nitrogen pada umumnya masih dalam bentuk molekul. Di dalam homosfer terdapat percampuran turbulen sehingga komposisi udara cukup konstan atau massa molekuler udara konstan, sama dengan 28,97 gram. Di atas ketinggian 100 km, percampuran vertikal gas-gas atmosferik dikendalikan oleh difusi molekuler akibat peningkatan nilai lintasan bebas rerata molekuler (mean free path) terhadap ketinggian atmosfer. Paras (level) antara percampuran turbulen dan difusi molekuler disebut turbopause. Lapisan percampuran di bawah turbopause disebut homosfer dan lapisan diatasnya disebut heterosfer yang terletak dari ketinggian sekitar 100 sampai 1000 km. Heterosfer ditandai oleh disosiasi molekul oksigen dan molekul nitrogen menjadi atom oksigen dan atom nitrogen. Disosiasi ini menyebabkan penurunan massa molekuler atmosfer dari 28,97 gram dalam homosfer menjadi 15,79 gram pada ketinggian 200 km, lihat Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Lapisan homosfer dan heterosfer
Meteorologi Indonesia Volume 1
29
Ketinggian (km) atmosfer
: 100
150
200
Massa molekuler (gram)
: 26,22
20,06
15,79
Di atas lapisan heterosfer, dijumpai lapisan "eksosfer" yang merupakan batas atas atmosfer bumi. Lapisan ini ditandai oleh kebocoran atom tertentu ke ruang angkasa terutama atom-atom yang lebih ringan, karena itu eksosfer dikenal sebagai daerah menghilang. Karena temperatur eksosfer tinggi dan massa jenis partikel sangat rendah, maka kemungkinan terjadi pelepasan (pelarian) beberapa atom dan molekul gas dari medan gravitasi bumi. Dan teori kinematik gas, nilai pendekatan lintasan bebas rerata molekul (l) yang didefinisikan sebagai jarak rerata yang ditempuh molekul antara dua tumbukan, dapat dinyatakan menurut ekspresi berikut: (2.2) keterangan : k : konstanta Boltzmann -23 -1 = 1,38 x 10 JK T : temperatur mutlak (absolut) p : tekanan atmoster a : penampang tumbukan molekul 2 2 9 2 40 A = 0,4 nm = 0,4 x 10 m 3. Nomenklatur Lapisan Atmosfer Berdasarkan Sifat Radioelektrik Fotoionisasi (photoionisation) molekul-molekul atmosferik hanya terjadi pada lapisan di atas ketinggian 50 km sampai lebih dari 500 km. Lapisan di bawah ketinggian 60 km disebut netrosfer dan lapisan ionosfer meluas dari ketinggian 60 km sampai pada paras (level) yang sangat tinggi, tetapi dalam hal ini ditinjau lapisan ionosfer yang terletak di bawah rumbai-rumbai (fringe) bumi. Beberapa molekul udara terionosasi oleh radiasi ultraviolet dari matahari yang menghasilkan gas terionisasi, disebut plasma, dan daerah ini disebut ionosfer. lonisasi adalah sebuah 30
Meteorologi Indonesia Volume 1
proses di mana elektron yang berrnuatan negatif terkelupas dari atom atau molekul netral untuk membentuk ion bermuatan positif dan elektron bebas. Ion-ion ini yang memberi nama lapisan ionosfer dalam atmosfer. a. Daerah lonosfer Berdasarkan sifat-sifat radioelektrik, ionosfer dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu : 1. Daerah D, ketinggian pendekatan antara 60 dan 80 km, memantulkan radiasi gelombang panjang kilometrik = 1000 m atau lebih). Konsentrasi elektron bervariasi antara 103 dan 104 elektron per cm3. 2. Daerah E, ketinggian pendekatan antara 80 dan 160 km, memantulkan radiasi gelombang hektometrik. Konsentrasi 5 3 elektron bervariasi dari 10 pada siang hari sampai 10 elektron 3 per cm pada malam hari. 3. Daerah F, ketinggian pendekatan 160 km sampai paras yang sangat tinggi, memantulkan radiasi gelombang metrik. 6 3 Konsentrasi elektron mencapai 2 x 10 elektron per cm pada ketinggian 400 km. Daerah F terdiri dari dua lapisan yaitu F1 dengan ketebalan sekitar 60 km, dan F2 yang mempunyai ketebalan cukup besar. Ketinggian pendekatan F1 antara 160 dan 210 km dan lapisan F2 mempunyai ketebalan mulai dari ketinggian di atas 210 km. Pada siang hari, keempat daerah ionosfer D, E, F1, dan F2 muncul karena dikendalikan oleh matahari. Tetapi lapisan F2 selain oleh matahari juga dikendalikan oleh faktor lain, misalnya medan magnetik bumi dan angin atmosferik yang menyebarkan lagi (redistribute) ion-ion dalam lintang dan bujur. Akibatnya lapisan ionosfer F2 muncul pada malam dan siang hari, sedangkan lapisan D, E, F1 hanya muncul pada siang hari. Lapisan E-Sporadis (Es) seringkali juga muncul bila bumi melewati daerah lintasan komet-komet besar. Keempat daerah ionosfer ini sangat penting dalam komunikasi frekuensi tinggi. Gambar 2.7, menunjukkan daerah-daerah ionosfer dan profil ketinggian densitas elektron. Meteorologi Indonesia Volume 1
31
Gambar 2.7. Daerah lonosfer D, E, F1, F2 dan profil densitas elektron.
b. Pembentukan lonosfer Ada dua jenis radiasi yang menyebabkan ionisasi dalam atmosfer yaitu, sinar X dan radiasi ultraviolet ekstrim (EUV). Sinar X luaran dari matahari adalah tak beraturan, meningkat kuat pada gejolak panas matahari (solar flares) besar. Sinar X mengionisasi gas dalam daerah D dan bagian bawah daerah E. Radiasi EUV (extreme ultraviolet) adalah radiasi pengionisasi yang lebih penting. EUV dihasilkan dalam khromosfer matahari pada daerah gangguan yang melapisi kelompok noda matahari (sunspot). Pada umumnya luaran EUV dari matahari mendekati konstan, tetapi berubah secara bulanan dan tahunan karena perubahan jumlah noda matahari, lihat Gambar 2.8. 32
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 2.8. Sumber radiasi yang menyebabkan ionisasi di ionosfer. Sumber : IPS Radio dan Space Services, Australia. 1993.
Radiasi EUV diserap oleh atom-atom dan molekul-molekul oksigen dan nitrogen (O, O2, N, N2) pada ketinggian 100 - 400 km dan mengionisasi dalam daerah E, F1, dan F2. Radiasi matahari UV (ultraviolet) mempunyai panjang gelombang lebih panjang dari pada radiasi EUV. Radiasi UV tidak menyebabkan ionisasi, tetapi hampir semuanya diserap oleh ozon (O3) pada ketinggian sekitar 30 km. Radiasi EUV matahari diserap karena ia mengionisasi atom dan molekul. Karena radiasi matahari menembus atmosfer bumi sampai dalam, maka intensitasnya berkurang. Tingkat produksi elektron sebanding dengan intensitas EUV dan densitas udara. Pada puncak atmosfer intensitas EUV besar, tetapi densitas udara kecil, sehingga ion dan elektron yang dihasilkan juga sedikit. Pada dasar daerah E, densitas udara besar tetapi intensitas EUV sangat rendah sehingga jumlah ion dan elektron yang diproduksi juga sedikit. Meteorologi Indonesia Volume 1
33
c. Produksi dan Redistribusi Elektron Foton (paket energi) radiasi EUV (ultraviolet ekstrim) bertumbukan dengan atom atau molekul netral dan menginjeksikan elektron dalam bentuk ion positif dan elektron bebas. Proses ini dikenal sebagai fotoionisasi. Dalam daerah F2, jenis (species) utama adalah atom oksigen terionisasi O+, sedangkan dalam daerah F1 dan E jenis utamanya ialah molekul oksigen O2+ dan oksida nitrik NO+ terionisasi. Jika elektron dan ion bertumbukan, kadang-kadang terjadi proses penggabungan (recombination process), elektron bermuatan negatif ditarik oleh ion bermuatan positif, yang menghasilkan sebuah atom atau molekul netral. Penggabungan (rekombinasi) elektron dengan ion molekuler lebih efisien dari pada rekombinasi dengan ion atomik. Karena daerah F2 kebanyakan terdiri dari ion-ion atomik (O+), rekombinasi di sini berjalan lambat, berbeda dengan daerah F1 dan E yang kebanyakan terdiri dari ion-ion molekuler (O2+, NO+) yang rekombinasinya berjalan lebih cepat. Hal ini merupakan salah satu alasan, mengapa daerah F2 masih muncul pada malam hari ketika semua ion dan elektron di daerah E dan F1 telah hilang melalui rekombinasi. Waktu hidup khas (typical lifetimes) elektron bebas dalam masing-masing daerah E, F1, dan F2 adalah 20 detik, 1 menit, dan 20 menit. Sebab lain munculnya daerah F2 sepanjang malam hari adalah angin atmosferik dalam gas netral. Selama siang hari, atmosfer atas pada lintang-lintang rendah dipanasi oleh matahari, sedangkan angin pada ketinggian sekitar 300 km bertiup ke arah lintang-lintang tinggi seperti daerah polar (kutub). Angin dalam udara netral bertiup secara horizontal tetapi ion-ion dan elektron-elektron tidak dapat bergerak melintas (memotong) garis-garis gaya medan magnetik bumi. Jadi pada siang hari, ion-ion dan elektron-elektron cenderung dihembus (ditiup) sepanjang garis-garis medan magnet paras (level) yang lebih rendah di mana partikel-partikel bermuatan ini menghilang oleh rekombinasi (penggabungan). Pada malam hari, atmosfer atas di lintang-lintang
34
Meteorologi Indonesia Volume 1
rendah mendingin dan angin bertiup kearah ekuator. Ion-ion dan elektron-elektron kemudian dipompa garis-garis medan ke paras (ketinggian) yang lebih tinggi, di mana rekombinasi berlangsung lebih lambat, karena itu daerah F2tetap muncul pada malam hari. d. Refleksi Gelombang Radio HF oleh lonosfer Sifat yang sangat penting dari ionosfer dalam masalah komunikasi radio adalah kemampuannya untuk memantulkan gelombang-gelombang radio yang mempunyai frekuensi tertentu. Berbagai metode telah dipakai untuk menyelidiki sifat-sifat reflektif ionosfer. Instrumen yang banyak dipakai disebut ionosonde yaitu radar frekuensi tinggi (high frequency HF). Pulsa-pulsa energi radio yang sangat pendek ditransmisikan secara vertikal kedalam ionosfer. Jika frekuensi radio tidak terlalu tinggi maka pulsa-pulsa akan dipantulkan kembali ke bumi. lonosonde mencatat waktu tunda (time delay) antara transmisi dan penerimaan pulsa. Karena frekuensi pulsa berubah, diperoleh rekaman waktu tunda pada frekuensi-frekuensi berbeda, lihat Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Pengukuran ionosfer dengan ionosonde.
Meteorologi Indonesia Volume 1
35
Dalam kasus refleksi (pemantulan) pulsa-pulsa radio oleh ionosfer, waktu tunda tidak mudah (sederhana) dikaitkan dengan jarak aktuaI yang ditempuh atau tinggi refleksi. Waktu tunda tersebut dikonversikan ke dalam besaran jarak yang dinamai tinggi refleksi virtual. Data kemudian disimpan secara fotografik, setiap rekaman disebut ionogram yang memberikan informasi tentang jangka (range) frekuensi yang dipantulkan dari ionosfer dan tinggi refleksi untuk waktu dan lokasi khusus. lonogram memberikan mayoritas data ionosferik dan mengungkapkannya secara rinci, lihat Gambar 2.10. Di dalam setiap daerah ionosfer ada sebuah lapisan dengan densitas elektron maksimum. Densitas elektron terbesar ditemukan pada lapisan F2, lihat Gambar 2.7.
0 Gambar 2.10. Struktur ionosfer.
36
Meteorologi Indonesia Volume 1
Frekuensi yang direfleksikan pada setiap paras (level) ionosfer sebanding dengan akar densitas elektron N pada lapisan tersebut, yaitu:
dengan fc adalah frekuensi yang dipantulkan oleh sebuah lapisan ionosfer, dan N adalah densitas elektron lapisan tersebut pada titik refleksi. Jadi frekuensi yang dipantulkan dari lapisan F2, yang dinamakan frekuensi kritis daerah F2, adalah frekuensi tertinggi yang akan direfleksikan ionosfer. Frekuensi ini di nyatakan dengan f0F2 yang merupakan frekuensi yang sangat penting untuk komunikasi frekuensi tinggi (HF). Frekuensi yang lebih tinggi dari pada f0F2 akan menembus ionosfer, jadi tidak terpakai untuk komunikasi HF (high frequency). Frekuensi kritis untuk daerah F1 dan E masing-masing ditunjukkan oleh f0F1 dan f0E. Dalam ionosfer, kehadiran medan magnetik bumi membelah setiap gelombang radio menjadi dua gelombang terpolarisasi sirkular berlawanan yang disebut komponen ordiner (o) dan ekstraordiner (x). Gelombang o dan x menjalar secara bebas (tidak bergantungan), jadi pada setiap ionogram ada dua jejak (trace). Jejak ordiner (o) dipakai untuk analisa, sehingga muncul subskrip "o" dalam suku f0E, f0F1, dan f0F2. Pengukuran frekuensi sebuah ionosonde mulai dari sekitar 1 MHz, kemudian meningkat hingga 22,2 MHz. Awalnya pada frekuensi kurang dari sekitar 1,5 MHz, tidak ada gema (echo) yang diterima. Semua energi yang ditransmisikan diserap dalam daerah D. Ketika frekuensi ditingkatkan, gema muncul pertama dari daerah E dan setelah itu dari daerah F1 dan F2 dengan waktu tunda yang lebih besar. Waktu tunda antara transmisi dan penerima sebuah pulsa oleh ionosonde tidak secara langsung berhubungan dengan tinggi (atau jarak) ionosfer, karena plasma ionosferik memperlambat pulsa yang menghasilkan waktu tunda lebih besar daripada yang diperkirakan, jadi tinggi ionosfer virtual selalu lebih besar daripada tinggi sebenarnya. 2.3. Atmosfer di Atas Indonesia Atmosfer di atas wilayah Indonesia memainkan peranan penting dan unik dalam dinamika atmosfer global. Di wilayah Indonesia Meteorologi Indonesia Volume 1
37
di mana 70% adalah perairan, maka jumlah uap air yang dapat diendapkan sangat besar, sehingga pembentukan awannya unik dan jumlah curah hujannya berfluktuasi dari bulan ke bulan, dari musim ke musim, atau dari tahun ke tahun. Kerumitan dinamika atmosfer ekuator dan keunikan atmosfer benua maritim menyebabkan kesulitan untuk melakukan prediksi cuaca dengan tingkat ketelitian yang tinggi.
Gambar 2.11. Distribusi bulanan tinggi isoterm 0 C dan tinggi tropopause di atas Jakarta
38
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 2.11, menunjukkan distribusi bulanan tinggi lapisan isoterm 0 C di troposfer dan tinggi tropopause pada pukul 7.00 dan 19.00 WIB di atas Jakarta. Tinggi lapisan isoterm 0 C terletak antara 4.500 5.500 m, sedangkan tinggi tropopause terletak antara 16.000 dan 17.500 m dari paras laut. Makin tinggi tropopause makin rendah suhunya. Suhu udara permukaan rata-rata sekitar 24 C tetapi suhu puncak troposfer dapat mencapai -85 C, dengan susut suhu (lapse rate) mendekati 0,65 C/100 m. Tabel 2.2, menunjukkan salah satu hasil pengukuran parameter atmosfer dari permukaan sampai stratosfer bawah dengan radiosonde. Radiosonde mengukur 3 parameter atmosfer yaitu tekanan (p), temperatur (T), dan temperatur titik embun (Td) atau kelembapan relatif (RH) untuk setiap paras (ketinggian) dari permukaan sampai stratosfer bawah. Ketinggian dinyatakan dalam tinggi geopotensial dengan satuan meter yang didefinisikan sebagai:
(2.3)
Keterangan : h : tinggi geopotensial (m) g : percepatan gravitasi (ms-2) z : tinggi geometrik (m) g0 : percepatan gravitasi permukaan bumi rata-rata secara global = 9,8 ms-2 Jelas bahwa pada atmosfer bawah, nilai z dan h hampir sama karena g ~ g0, dan makin tinggi maka beda z dan h makin besar.
Meteorologi Indonesia Volume 1
39
Tabel 2.2. Data Radiosonde di atas Jakarta Tanggal : 15 Desember 1977 Pukul : 11.45 Waktu Universal Kondisi Cuaca : Berawan
Paras 0 °C Tropopause
p (mb)
h (m)
T (C)
RH%
1011.0 1000 850 700 800 500 400 300 250 200 175 150 125 100 80 60 50 40 30
0 95 1 526 3 156 4.432 5 896 7 679 9.756 11.031 12.526 13.400 14 350 15.490 16.730 17.995 19.620 20 846 22.080 23.786
27.3 26.6 19,9 10.5 05.2 - 03,1 13,9 - 21.7 -38.2 - 50.5 - 57.5 - 65,1 - 72,3 - 80,5 -83,5 - 76,2 - 69.1 - 63.0 - 58,7
87 90 78 74 60 55 39 33 51 47 -
p = 544 mb p = 86 mb
h = 5.230 m h = 17.600 m
RH = 65% T = 84,3 C
Tabel 2.3. Hubungan tinggi geometrik (z) dan tinggi geopotensial (h) z (km)
0
1
10
20
30
60
90
h (km)
0
1.00
9.99
19.94
29.116
59.45
88.76
g (ms-2)
9,80
9.80
9.77
9.74
9.71
9.62
9.53
120
200
117.80 193.93 9.44
9.21
Radiosonde terdiri dari kotak yang dilengkapi dengan pemancar radio dan alat pengindera atau sensor untuk tekanan, temperatur, dan kelembapan nisbi (relatif). Hasil pengamatan dikirim ke stasiun di permukaan dalam bentuk sinyal radio. Radiosonde dinaikkan dengan sebuah balon yang diisi dengan gas yang lebih ringan dari udara sampai 40
Meteorologi Indonesia Volume 1
balon ini pecah, kemudian radiosonde akan turun dengan memakai payung yang telah disediakan. Selain data tekanan, temperatur, dan kelembapan, diperoleh informasi tambahan data laju dan arah angin dengan memakai alat pencari arah elektronik yang mengikuti lintasan dan laju balon dengan radar, alat ini sering disebut rawindsonde. Sensor tekanan adalah dari jenis aneroid, ketelitiannya diperkirakan hingga beberapa milibar. Sensor temperatur adalah dari jenis bimetal, yang diperlengkapi dengan pelindung radiasi untuk mengurangi kesalahan karena radiasi. Kesalahan radiasi beberapa derajat mungkin terjadi pada paras yang tinggi. Sebagai sensor kelembapan dipakai sejenis kulit yang panjangnya peka terhadap kelembapan nisbi (relatif). 2.4. Lapisan Ozon Stratosferik a. Absorpsi Radiasi oleh Ozon dan Gas Lain Setiap atom dan molekul atmosferik mempunyai beda efisiensi dan beda panjang gelombang untuk menyerap radiasi. Pada panjang gelombang yang terpendek, maka penyerap utama radiasi matahari dalam atmosfer bumi adalah molekul oksigen dan ozon. Molekul oksigen menyerap foton dengan panjang gelombang lebih pendek dari sekitar 240 nm (1 nm = 10-9 m), lihat Gambar 2.12. Penetrasi radiasi matahari melalui atmosfer sebagai fungsi panjang gelombang sampai pada 310 nm ditunjukkan pada Gambar 2.14. Kebanyakan radiasi dengan panjang gelombang lebih pendek dari sekitar 100 nm diserap dalam atmosfer pada ketinggian di atas 100 km oleh N2, O2, N, O, dan senyawa ionik dari unsur-unsur ini. Pada panjang gelombang di atas 100 nm, unsur N2, N, dan O berhenti menyerap, sehingga radiasi dapat menembus lebih dalam lagi. Absorpsi yang kuat oleh molekul oksigen membatasi foton dengan panjang gelombang lebih pendek dari sekitar 210 nm sampai pada ketinggian 50 km dan lebih tinggi. Foton dengan panjang gelombang di atas sekitar 210 nm juga diserap oleh O2 secara lemah, diduga ozon (O3) sebagai unsur penyerap terbesar pada pita gelombang 210 310 nm. Absorpsi ozon ini Meteorologi Indonesia Volume 1
41
memberikan energi yang memanasi stratosfer dan mesosfer. Karena itu, penurunan konsentrasi ozon stratosferik menyebabkan kenaikan intensitas sebagian besar radiasi energetik yang mencapai permukaan bumi.
Gambar 2.12. (a). Distribusi spektral penampang absorpsi molekul oksigen. (b). Kedalaman penetrasi radiasi matahari sebagai fungsi panjang gelombang. Penyerap utama, batas disosiasi dan ionisasi juga diberi tanda. Sumber Graedel and Crutzen, 1993.
b. Pembentukan Ozonosfer Ozon di stratosfer dihasilkan dari fotodisosiasi molekul oksigen oleh radiasi matahari ultraviolet (UV). Proses ini menghasilkan dua atom oksigen, satu diantaranya bergabung dengan molekul oksigen untuk membentuk ozon : O2(g) + h (< 242 nm) O(g) + O(g)
(2.4)
tanda (g) artinya berbentuk gas, hv adalah energi foton dengan h : konstanta Planck dan v : frekuensi radiasi. Tinjau bagaimana ozon stratosferik terbentuk dan bagaimana ia menyerap energi foton. Di dalam lapisan stratosfer dan mesosfer, konsentrasi molekul 02, lebih besar dari pada konsentrasi atom oksigen. Karena itu atom 0 yang terbentuk dalam lapisan stratosfer dan mesosfer 42
Meteorologi Indonesia Volume 1
sering mengalami tumbukan dengan molekul O2, tumbukan ini cenderung membentuk ozon :
O(g) + O2(g) O*3 (g)
(2.5)
tanda asterik (*) menunjukkan bahwa molekul ozon melepaskan energi. Reaksi O dengan O2 yang membentuk O3 akan melepaskan energi 105 kJ/mol. Waktu hidup molekul O3 sangat pendek dan akan terurai lagi menjadi O2 dan O. Dekomposisi ini adalah kebalikan dari proses di mana O3 terbentuk. Alih kelebihan energi dilakukan oleh benda (molekul) ketika M melalui tumbukan. Benda M ini tidak ikut dalam reaksi, hanya mengambil alih kelebihan energi dalam reaksi. Benda M biasanya adalah molekul N2 atau O2, karena molekul-molekul ini sangat banyak terdapat di atmosfer. Pembentukan ozon (O3) dan alih kelebihan energi oleh M, dapat dirangkum dengan persamaan berikut: *
O(g) O2(g) O 3 (g) * O3 (g) M(g) O3(g) O(g)
O2(g)
(2.6) M*(g)
M(g) O3(g)
M*(g),
neto (2.7)
Kecepatan pembentukan ozon (O3) bergantung pada * kecepatan relatif tumbukan antara O3 dan M (persamaan 2.7), dan * disosiasi dari O3 kembali ke O2 dan O (proses kebalikan) dalam persamaan (2.6). Peristiwa tumbukan sangat penting agar pembentukan O3 lebih mudah. Molekul ozon mampu menyerap radiasi menghasilkan dekomposisi menjadi O2 dan O. Jika stratosferik, maka energi foton yang tinggi akan permukaan bumi, sehingga tanaman, hewan, kemungkinan tidak akan hidup seperti sekarang.
matahari yang tidak ada ozon menembus ke dan manusia
Fotodekomposisi ozon akan membalikkan reaksi dengan proses putaran kembali (recycling), sehingga proses siklis pengubahan ozon, yaitu pembentukan dan dekomposisi ozon, dapat dirangkum sebagai berikut:
Meteorologi Indonesia Volume 1
43
1. O2(g) +
h ( 242 nm)
O(g)
O(g)
2. O(g)
O2(g)
M(g)
O3(g)
M*(g)
3. O3(g) +
h ( 1140 nm)
O2(g)
O(g)
4. O(g)
O(g)
O2(g)
M*(g)
+ +
+ +
M(g)
(2.8)
Catatan : Radiasi elektromagnetik (EM) dapat digambarkan sebagai arus foton dimana energi tiap foton diberikan ofeh persamaan :
E = h Keterangan : -34 h = 6,625 x 10 J.s disebut konstanta Planck u : frekuensi radiasi Proses pertama dan ketiga adalah fotokimia yang memakai energi foton matahari untuk memulai reaksi kimia. Proses kedua dan keempat adalah reaksi kimia eksotermis (melepas panas). Hasil neto dari keempat proses tersebut adalah daur (siklus) di mana energi radiasi matahari diubah menjadi energi panas. Daur ozon di stratosfer menyebabkan kenaikan temperatur yang mencapai maksimum pada stratopause. c. Lubang Ozon Siklus katalitik terhadap kerusakan ozon di stratosfer telah ditemukan pada tahun 1974 yaitu keterlibatan khlorin yang dikemukakan oleh Richard Stolarski and Ralph Cicerone, Universitas Michigan dan rantai khlorfluorokarbon (CFC) atau freon yang dikemukakan oleh Mario Molina and Sherwood Rowland, Universitas California. Freon, terutama CFCI3 (freon 11) dan CF2Cl2 (freon 12) telah banyak dipakai sebagai bahan pembakar (propellants) dalam kaleng-kaleng semprotan, sebagai gas alat pendingin atau sebagai gas pengatur udara (air conditioner), dan sebagai agen busa untuk plastik. Freon (CFC) sebenamya tidak reaktif di lapisan atmosfer bawah dan relatif tidak dapat larut (insoluble) dalam air, sehingga CFC tidak jatuh ke permukaan bumi oleh 44
Meteorologi Indonesia Volume 1
tetes-tetes hujan. Sangat disayangkan, kurang reaktivitasnya CFC membuat bahan ini secara komersial bermanfaat, tetapi juga waktu hidup CFC di atmosfer menjadi lebih lama, dan akhirnya dapat berdifusi ke dalam stratosfer. Diperkirakan beberapa juta ton khlorfluorokarbon sekarang berada di lapisan atmosfer. Ketika CFC berdifusi ke lapisan stratosfer, maka ia menjadi subyek terhadap aksi radiasi energi tinggi. Panjang gelombang dalam daerah antara 190 dan 225 nm menyebabkan fotolisis atau perpecahan ikatan karbon-khlorin dari freon : CFxCl4x(g) h(=190225 nm) CFxCl3x(g) Cl(g) (2.9) Pembentukan atom khlor dengan kecepatan terbesar terjadi pada ketinggian sekitar 30 km. Atom khlor dapat bereaksi cepat dengan ozon untuk membentuk khlor monoksida CIO dan molekul oksigen 02. CIO dapat bereaksi dengan atom 0 untuk membentuk kembali atom khlor : Cl(g)
O3(g) CIO(g) O2(g)
ClO(g) O(g) O3(g)
O(g)
CI(g)
O2(g)
(2.10) (2.11)
2O2(g), neto
Hasil reaksi-reaksi di atas adalah perubahan ozon menjadi O2. Fungsi khlor dalam hal ini sebagai katalisator, karena CI dipakai pada langkah pertama dalam mekanisme persamaan (2.10) kemudian terbentuk kembali dalam langkah kedua (persamaan 2.11). Diperkirakan bahwa setiap atom CI akan merusak sekitar 100.000 molekul ozon sebelum khlor itu sendiri dirusak oleh reaksi-reaksi lain. Meskipun kecepatan difusi dari molekul-molekul ke dalam stratosfer dari permukaan bumi kemungkinan rendah, tetapi kerusakan ozonosfer oleh freon (CFC) telah diyakini melalui observasi. Sejak akhir
Meteorologi Indonesia Volume 1
45
tahun 1970-an, peneliti-peneliti telah mendapatkan penipisan tahunan dari lapisan ozon di atas Kutub Selatan yang terjadi selama musim semi austral (belahan bumi selatan). Ilmuwan sekarang dengan jelas menemukan bahwa Kutub Utara juga mengalami peristiwa yang serupa dengan belahan bumi selatan, tetapi kerusakan ozon selama akhir musim dingin kurang tegas. d. Efek Reduksi Ozon Stratosferik Efek perubahan konsentrasi ozon stratosferik dirasakan secara langsung oleh sistem biologis. Gambar 2.13, menunjukkan bahwa penetrasi radiasi matahari ke permukaan bumi pada panjang gelombang di atas sekitar 210 nm dibatasi dengan kuat oleh absorpsi ozon. Absorpsi ini dapat meluas sampai lebih dari 300 nm, meskipun efisiensinya turun dengan cepat. Pengurangan kadar ozon stratosferik akan meningkatkan iradians dalam daerah panjang gelombang antara 290 dan 320 nm yang disebut daerah ultraviolet B (UV-B) yaitu daerah di mana organisme biologis sangat sensitif. Jadi setiap penurunan kadar ozon akan meningkatkan penetrasi radiasi dalam daerah panjang gelombang dimana DNA sangat sensitif. Keadaan semacam ini membuat pemeliharaan perisai ozonosfer perlu mendapat prioritas yang tinggi. Radiasi UV-B menyebabkan kanker kulit manusia. Studi menunjukkan bahwa reduksi lapisan ozon 1%, meningkatkan dosis (takaran) UV-B efektif sebesar 2%. Kenaikan dosis ini pada gilirannya menyebabkan kenaikan sebesar 4% timbulnya carcinoma sel basal dan kenaikan sekitar 6% dalam carcinoma sel squamous. Penurunan 10% ozon stratosferik akan menyebabkan kenaikan timbulnya kanker sel basal sebesar 50% dan sel squamous sebesar 90%. Misalnya di Jerman, reduksi 10% ozon stratosferik menyebabkan sekitar 20.000 tambahan kasus kanker kulit tiap tahun. Carcicoma ini, tidak sama dengan kanker kulit melanoma yang juga disebabkan oleh pencahayaan (exposure) UV-B. Peristiwa melanoma sangat jarang tetapi lebih mematikan. Efek lain dari kenaikan radiasi UV-B pada manusia adalah kejadian katarak yang lebih sering dan melemahnya sistem kekebalan (immune) tubuh. 46
Meteorologi Indonesia Volume 1
Sekitar 200 jenis tanaman telah diuji kepekaannya (sensitivity) terhadap radiasi UV-B. Sekitar setengahnya menunjukkan efek merugikan yang signifikan (nyata) termasuk reduksi luas daun ratarata, reduksi panjang tunas (shoot) dan berkurangnya kecepatan fotosintesis. Informasi dari hasil pertanian menunjukkan bahwa reduksi ozon stratosferik sebesar 25% akan menimbulkan penurunan 50% hasil kedelai (soybean). Ada kejelasan juga bahwa persediaan nitrogen alami dipengaruhi secara negatif oleh kenaikan pencahayaan UV-B. Meskipun di bawah kondisi alamiah, banyak jenis plankton yang peka (sensitive) terhadap dosis UV-B paras bawah (low-level). Kehilangan ozon atmosferik protektif, berarti kerugian langsung dari radiasi atau kerugian tidak langsung dari penurunan aktivitas fotosintetis ketika plankton bergerak menuju ke kedalaman yang lebih dalam. Reduksi jumlah plankton, diperkirakan mempunyai pengaruh pada anggota ekosistem tingkat yang lebih tinggi seperti zooplankton dan ikan. Studi yang menguji proses ini secara lebih rinci sedang dilakukan secara aktif terutama di Antartika. Penelitian yang lebih ekstensif konsentrasi ozon troposferik harus menunggu pengembangan instrumentasi yang lebih dapat diandalkan (reliable), terutama teknik optik. Teknik spektografik telah lama tidak praktis untuk dipakai pengamatan jangka panjang. Pengukuran yang dilakukan dengan teknik optik dari tempat-tempat paras (level) rendah yaitu kurang dari 1 km, pada pokoknya lebih rendah dari pada yang diukur sekarang dengan teknik kimia dan optik modern pada stasiun representatif dalam area yang sama. Pengukuran berulang (repetitive) di Hohenpeissenberg, Jerman selama periode 1967 - 1988 jelas menunjukkan bahwa ozon troposferik meningkat dan ozon stratosferik menurun, lihat Gambar 2.13.
Meteorologi Indonesia Volume 1
47
Gambar 2.13. Pengukuran konsentrasi rata-rata tahunan ozon troposferik dan stratosferik di Hohenpeissenberg, Jerman selama periode 1967 - 1988 yang dinyatakan sebagai tekanan parsial dalam nbar = 10-9 bar. Sumber Graedel and Crutzen. 1993.
2.5. Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Atmosfer Jika orang yang berjalan-jalan sampai harus memakai alat pelindung gas, seperti yang pernah dialami di Kalimantan ketika terjadi kabas (kabut-asap) atau smog (smoke-fog), maka sudah waktunya diadakan penelitian terhadap lingkungan atmosfer. Proses industri dapat mempengaruhi atmosfer dalam dua cara yaitu merubah komposisi dan kadar panas atmosfer. Sejak revolusi industri tingkat pencemaran atmosfer terus naik, jumlah zat pencemar tahunan dari hasil pembakaran terus meningkat, yang sebagian besar berasal dari pusat-pusat kota yang ramai dan padat penduduknya. 48
Meteorologi Indonesia Volume 1
Efek pencemaran mempunyai beberapa tingkatan; pertama adalah perubahan komposisi gas-gas atmosfer yang dapat berdampak serius pada kesehatan manusia, kedua adalah penambahan partikel atau aerosol ke dalam atmosfer, dan ketiga adalah perubahan temperatur atmosfer. Karbondioksida bersifat transparan terhadap radiasi gelombang pendek matahari dan menyerap radiasi gelombang panjang bumi, sehingga kenaikan kadar CO2 menyebabkan kenaikan temperatur udara. Meskipun pemanasan akibat CO2 akan terjadi di masa mendatang, tetapi efek tersebut mungkin dapat diimbangi oleh kenaikan kandungan aerosol di atmosfer yang menyebabkan pendinginan karena radiasi matahari yang datang akan dipantulkan kembali. Karbondioksida adalah hasil pembakaran sempurna bahan bakar minyak (bbm) kendaraan bermotor. Meskipun CO2 dihasilkan dalam jumlah sangat besar oleh kendaraan bermotor, oleh pembakaran bahan bakar industri dan rumah tangga, tetapi gas ini tidak berbahaya secara langsung terhadap manusia. Pengaruhnya terutama pada kadar panas atmosfer sebagaimana sifat karbondioksida terhadap radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang. Jika pembakaran karbon (bahan bakar minyak) kendaraan bermotor tidak sempurna maka dihasilkan bentuk karbon monoksida (CO). Secara kimia CO adalah gas aktif dan sangat beracun. Bahaya kesehatan akan terjadi hanya dengan konsentrasi CO sebesar 100 ppm (parts per million) = 0,01% dalam beberapa jam. Kondisi semacam ini terjadi di dalam ruang yang penuh asap dan pada daerah yang berventilasi jelek (angin tenang dan atmosfer stabil) dengan pembuangan gas kendaraan bermotor yang pekat. Belerang dioksida (SO2) dan asam belerang (H2SO4) dihasilkan dari pembakaran dalam jumlah yang lebih kecil dari pada CO, tetapi SO2 dan H2SO4 lebih beracun. Jika asam belerang dihirup dalam pernafasan maka akan terjadi kerusakan jaringan secara permanen. Gas buang industri hidrogen sulfida (H2S) yang ditandai dengan bau telur busuk dalam dosis tinggi sangat mematikan. Proses industri tertentu Meteorologi Indonesia Volume 1
49
dapat menghasilkan hidrogen fluorida (HF), salah satu bahan kimia yang sangat korosif dan dapat menyebabkan kerusakan tanaman meskipun dalam konsentrasi 1 ppb (part per billion). Karbon disulfida (CS2) adalah gas berbau busuk dan berbahaya yang dihasilkan dalam jumlah besar di pabrik-pabrik kertas. Di samping asap anorganik ini, sejumlah senyawa organik yang mudah menguap dan beracun dapat dihasilkan misalnya etilin, formaldehida dan sejumlah larutan. Etilin adalah hidrokarbon dari asap buang otomobil jenis bis dan truk. Sedikit bagian per milyar (ppb) dan etilin dapat merusak tanaman berbunga terutama jenis tanaman pangan (penghasil makanan). Formaldehida, zat yang berkaitan dengan bahan kimia yaitu komponen kabas (smog) yang sangat pedih dan mengganggu. dihasilkan dari pembakaran sampah kandang ternak. Larutan organik berasal dari udara di daerah industri yang menyebabkan gangguan biasa sampai sangat beracun. Percobaan dan pengujian born atom dan pabrik tenaga nuklir, semuanya merupakan ancaman baru dengan kadar racun kemungkinan meningkat tinggi. Tidak ada seorangpun yang dapat memprediksi dampak dan resiko nyata dari gas-gas radioaktif yang dilepaskan. Bahaya radioaktif adalah yang berkaitan baik dengan medis maupun dengan keturunan. Reduksi ozon stratosferik meningkatkan penetrasi radiasi dalam daerah panjang gelombang di mana organisme biologis sangat sensitif. Dampak reduksi ozon stratosferik adalah kanker kulit, peningkatan katarak, penurunan hasil pertanian, dan penurunan jumlah plankton di laut. Sejumlah besar aerosol yang diinjeksikan ke atmosfer disebabkan oleh aktivitas dan ulah manusia seperti yang diuraikan di atas, dan sebagian aerosol atmosfer dihasilkan secara alamiah yang terdiri dari letusan vulkano (gunung api), percikan garam dari gelombang laut, debu yang dihembuskan angin, dan sebagainya. Aerosol yang berasal dari pembakaran di permukaan tanah atau dari pesawat dalam penerbangan mempunyai dampak klimatik. Dua efek aerosol yang mungkin terjadi: pertama, partikel mungkin memantulkan kembali radiasi 50
Meteorologi Indonesia Volume 1
matahari ke ruang angkasa, dengan demikian mempunyai efek pendinginan bumi dan atmosfer; kedua, partikel mungkin menyerap radiasi matahari, karena itu mempunyai efek pemanasan atmosfer. Telah diketahui peningkatan kadar aerosol dalam jumlah besar terdapat dalam daerah perkotaan, tetapi belum ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa efek tersebut telah menyebar ke seluruh dunia. Karena urbanisasi berjalan terus maka penyebaran dampak (efek) diperkirakan akan berlanjut dengan kemungkinan konsekuensi yang serius bagi kehidupan melalui perubahan iklim. Jelaga yang ada di atmosfer adalah partikel karbon yang halus dan sangat aktif. Karbon mempunyai kemampuan menyerap atau melekatkan molekul-molekul gas beracun, terutama hidrokarbon berat yang sering terbentuk secara bersamaan dengan proses pembakaran yang menghasilkan jelaga. Asap yang sangat beracun yang disaring pada jalan pernafasan atas, kemudian dibawa ke bagian dalam paruparu bersamaan partikel karbon halus. Sentuhan partikel-partikel ini secara terus menerus dalam waktu yang lama akan sangat berbahaya. Di kota-kota besar, kecepatan jatuh jelaga setiap tahun dapat mencapai 1 pon / (kaki)2 atau mencapai 25 x 106 pon jelaga / mil2 dan jika diperluas menjadi ukuran sebuah kota rata-rata maka jatuhnya jelaga setiap tahunnya adalah ratusan sampai ribuan juta pon (1 pon = 0,45 kg, 1 kaki = 30,5 cm = 0,305 m dan 1 mil = 1,61 km). 2.6. Resume Atmosfer melindungi kehidupan di bumi, karena benda langit (meteor) yang jatuh melaluinya mengalami gesekan dan terbakar sebelum mencapai permukaan bumi. Atmosfer mempunyai sifat kompresibel, sehingga makin ke atas atmosfernya makin tipis dan tekanannya makin berkurang. Gas atmosfer yang penting dalam proses cuaca ialah uap air (H2O) karena dapat berubah fasa menjadi fasa cair dan fasa padat atau es, karbondioksida (CO2) karena bertindak sebagai gas rumah kaca, dan ozon (O3) karena dapat menyerap radiasi ultraviolet matahari berenergi tinggi yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Meteorologi Indonesia Volume 1
51
Nomenklatur lapisan atmosfer berdasarkan profil temperatur vertikal adalah troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer. Berdasarkan komposisi, atmosfer dibagi menjadi homosfer dan heterosfer. Sedangkan berdasarkan sifat radioelektrik, atmosfer dibagi menjadi lapisan netrosfer (lapisan netral) yaitu lapisan dari permukaan sampai ketinggian sekitar 60 km dan lapisan ionosfer yaitu lapisan di atas ketinggian 50 km di mana terjadi fotoionisasi molekul atmosferik. lonosfer dibagi menjadi daerah D, E, F1, F2 bergantung pada sifat radioelektriknya. Pada siang hari daerah ionosfer D, E, F1, F2 muncul karena dikendalikan oleh aktivitas matahari, tetapi pada malam hari hanya lapisan F2 yang muncul karena lapisan ini selain dikendalikan oleh matahari juga dikendalikan oleh angin atmosferik dan medan magnetik bumi. Sifat reflektif gelombang radio frekuensi tinggi (HF) ionosfer diselidiki dengan ionosonde yaitu radar frekuensi tinggi HF. Pembentukan dan intensitas ionosfer ditentukan oleh sinar X dan radiasi EUV (extreme ultraviolet). Karena kelompok noda matahari bervariasi secara bulanan dan tahunan, ini berarti bahwa sifat-sifat ionosfer kemungkinan besar juga berubah dalam skala waktu tersebut. Angin atmosferik mendistribusikan ion-ion dalam lintang dan bujur (longitude), sehingga daerah F2 ionosfer muncul pada malam dan siang hari. Puncak ionisasi maksimum berada dalam masing-masing daerah E, F1, dan F2, dan masing-masing lapisan mempunyai frekuensi kritis yaitu f0E, f0F1, dan f0F2. Troposfer di atas Indonesia mempunyai ketebalan antara 16,0 dan 18,0 km, sedangkan isoterm 0C terletak antara ketinggian 4,5 dan 5,5 km. Temperatur udara permukaan rata-rata sekitar 24C tetapi temperatur puncak troposfer dapat mencapai sekitar 85C dengan susut temperatur sekitar 6,5C/km. Salah satu pengukuran radiosonde di atas Jakarta, pada tanggal 15 Desember 1977 menunjukkan bahwa paras 0C terdapat pada ketinggian 5,2 km dan tinggi tropopause adalah 17,6km dengan temperatur sebesar 84,3C. Atmosfer di atas wilayah Indonesia memainkan peranan penting dalam perubahan atmosfer global.
52
Meteorologi Indonesia Volume 1
Dampak aktivitas manusia terhadap atmosfer dan akibatnya pada kesehatan manusia dan lingkungan sangat signifikan. Karbon dioksida sebagai gas rumah kaca mempunyai efek pemanasan permukaan bumi. Karbon monoksida (CO) secara kimia adalah gas aktif dan sangat beracun. Gas ini berbahaya bagi kesehatan jika kadar CO melebihi 100 ppm = 0,01%. Belerang dioksida (SO2) dan asam belerang (H2SO4) lebih beracun lagi. Jika asam belerang terhirup oleh pernafasan maka terjadi kerusakan jaringan secara permanen. Gas buang industri hidrogen sulfida (H2S) dalam dosis tinggi sangat mematikan. Hidrogen fluorida (HF) yang dihasilkan oleh proses industri adalah salah satu bahan kimia yang sangat korosif. Aerosol atmosferik akibat aktivitas manusia maupun dihasilkan secara alamiah mempunyai dampak pendinginan terhadap atmosfer jika partikel ini memantulkan kembali radiasi, atau mempunyai dampak pemanasan jika partikel ini menyerap radiasi matahari. Reduksi kadar ozon stratosferik atau penipisan ozonosfer dapat menyebabkan kanker kulit, meningkatkan penyakit katarak, menurunkan sistem kekebalan tubuh, penurunan jumlah plankton di laut, dan penurunan hasil pertanian.
Meteorologi Indonesia Volume 1
53
Bab 3 Sifat Fisis Atmosfer Indonesia Dibandingkan dengan atmosfer lintang tengah yang mempunyai kelabilan konvektif lemah, maka atmosfer Indonesia menunjukkan kelabilan konvektif di segala musim. Refraksi atmosfer ditentukan oleh kadar uap air, sehingga refraktivitas radio di troposfer Indonesia lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain. Ini disebabkan Indonesia merupakan daerah monsun ekuatorial lembap. Baik stabilitas konvektif maupun refraktivitas radio atmosfer bervariasi terhadap musim di Indonesia. Dalam troposfer bawah sampai ketinggian 700 mb (3150 m) pada umumnya udara tidak stabil atau labil secara konvektif. Dalam troposfer bawah, beda kadar uap air sangat penting dalam memperhitungkan indeks refraksi, tetapi pada lapisan troposfer atas ketika kadar uap air rendah, maka variasi indeks refraksi terutama disebabkan oleh perubahan temperatur. Karena musim monsun barat lebih lembap daripada musim monsun timur dan musim monsun variabel di atas wilayah Indonesia, maka diperkirakan indeks refraksi atau refraktivitas radio lebih besar dalam musim hujan daripada dalam musim-musim lainnya. 3.1. Konsepsi Stabilitas Atmosfer a. Definisi stabilitas Parsel udara (air parcel) dikatakan stabil, labil atau netral terhadap lingkungan jika padanya diberi impuls gaya mula dan kemudian parsel udara tersebut kembali ke posisi asal, terus bergerak, atau berhenti pada kedudukan terakhir, lihat Gambar 3.1. Dalam keadaan stabil, parsel udara setelah bergerak dari posisi 1 kembali lagi ke posisi semula, dalam keadaan labil, parsel udara dari posisi 1 akan terus bergerak ke posisi 2, posisi 3, dan seterusnya, dalam keadaan netral, parsel udara dari posisi 1 bergerak ke posisi 2 dan berhenti di tempat terakhir. Meteorologi Indonesia Volume 1
55
Misalkan tidak ada percampuran antara udara yang naik dan lingkungannya, dari persamaan hidrostatik diperoleh : (3.1) yang menunjukkan percepatan vertikal sama dengan nol.
Gambar 3.1. Definisi stabilitas udara
Jika parsel tidak dalam keseimbangan hidrostatik maka parsel udara mempunyai percepatan (z) yaitu : (3.2) Keterangan : : gradien tekanan vertikal
: gaya gradien tekanan vertikal per satuan massa p z g t
: : : : :
tekanan atmosfer ketinggian atmosfer densitas parsel udara percepatan gravitasi waktu
: percepatan waktu parsel udara 56
Meteorologi Indonesia Volume 1
Suku
, dengan ' adalah densitas udara lingkungan.
Jadi persamaan (3.2) dapat diekspresikan menjadi : (3.3) atau dengan memasukan persamaan keadaan p = RT, diperoleh: (3.4) Keterangan : R : konstanta gas individu untuk udara T, T’ : temperatur parsel udara dan udara lingkungan
: volume spesifik udara atau volume per satuan massa =
z disebut gaya apung per satuan massa yang bekerja pada parsel udara. Untuk udara basah (moist air) maka T dan T’ diganti dengan temperatur virtual Tv, dan T’v , dimana: Tv = T(1 + 0,61 r)
(3.5)
Temperatur virtual (Tv) adalah temperatur udara kering yang mempunyai tekanan dan volume spesifik sama seperti udara basah, dan perbandingan campuran (r) adalah perbandingan massa uap air dengan massa udara kering. Persamaan (3.4) menyatakan bahwa jika parsel udara lebih panas dari pada udara lingkungan maka gaya apung konveksi bernilai positif dan awan akan terus tumbuh sampai temperatur parsel udara sama dengan temperatur udara lingkungan atau gaya apung konveksi sama dengan nol.
Meteorologi Indonesia Volume 1
57
Dalam praktek meteorologi, temperatur aktual T sering dipakai sebagai pengganti temperatur virtual TV, karena beda keduanya sangat kecil. Jika y adalah penurunan temperatur terhadap ketinggian (susut temperatur) dan To adalah temperatur parsel pada paras referensi bawah, maka :
dan
dengan ’ adalah susut temperatur (lapse rate) udara lingkungan. Dianggap bahwa suhu lingkungan dan suhu parsel pada paras referensi bawah adalah sama dengan T0. Jika kedua persamaan di atas dikurangkan, diperoleh : (’ z = T T’
(3.6)
Jika persamaan (3.6) disubstitusikan ke persamaan (3.4), maka diperoleh: (3.7) Jadi nilai percepatan vertikal parsel udara adalah fungsi beda susut temperatur lingkungan ’ dan susut temperatur individu . Susut temperatur dapat didefinisikan sebagai penurunan temperatur (T) terhadap ketinggian (z). Secara matematik, susut temperatur dapat diekspresikan :
Tinjau Tinjau suatu kasus dimana paras referensi adalah pada permukaan tanah. Jika parsel udara diberi impuls gaya mula ke atas, dan : 58
Meteorologi Indonesia Volume 1
i.
Jika z positif atau ’ , maka parsel terus bergerak ke atas, dan atmosfer menjadi labil.
ii. Jika z = 0 atau ' = 0, maka parsel dalam keadaan seimbang, dan atmosfer menjadi netral. iii. Jika z negatif atau ’ < , maka parsel kembali ke posisi semulanya (parsel turun kembali ke paras referensi), dan atmosfer menjadi stabil. Jika paras referensi stabil maka parsel udara akan kembali ke paras keseimbangan setelah bergerak, tetapi inersianya menyebabkan parsel melewati paras referensi, sehingga terjadi osilasi. Definisikan bilangan positif N sedemikian rupa sehingga : (3.8) d adalah susut temperatur adiabatik udara kering. Persamaan (3.7) kemudian dapat ditulis : 2
z = Nz N disebut frekuensi Brunt - Vaissala. Solusi persamaan di atas adalah:
z = A sin Nt
(3.9)
dan parsel udara berosilasi sekitar paras z = 0 dengan amplitudo A dan periodenya t = 2/N. Karena susut temperatur biasanya mendekati adiabatik kering, maka periode osilasi biasanya agak lebih lama. b. Stabilitas udara kering, jenuh dan tak jenuh Untuk udara kering : Jika,
’ d : atmosfer labil ’ = d : atmosfer netral ’ d : atmosfer stabil
Meteorologi Indonesia Volume 1
59
Untuk udara jenuh : Jika, ’ s : atmosfer labil ’ = s : atmosfer netral ’ s : atmosfer stabil Untuk udara tidak jenuh : Jika, ’ d : atmosfer labil mutlak ’ = d : atmosfer netral kering; netral untuk udara kering dan labil untuk udara jenuh ’ = s : atmosfer netral jenuh; netral untuk udara jenuh dan labil untuk udara kering s ’ d : atmosfer labil bersyarat; stabil untuk udara kering dan labil untuk udara jenuh ’ = s : atmosfer stabil mutlak s adalah susut temperatur adiabatik jenuh untuk udara basah, s d. Dalam praktek, dapat ditinjau susut temperatur adiabatik untuk udara basah tak jenuh dianggap sama seperti untuk udara kering, yaitu: = d = g/cpd (3.10) dimana : d cpd g
: : : :
susut temperatur adiabatik untuk udara tak jenuh susut temperatur adiabatik untuk udara kering panas spesifik pada tekanan tetap untuk udara kering percepatan gravitasi
Nilai numerik susut temperatur adiabatik kering adalah :
Susut temperatur adiabatik untuk udara jenuh adalah:
60
Meteorologi Indonesia Volume 1
Keterangan : rs : perbandingan campuran jenuh L : panas laten transformasi (perubahan fasa) Rd : konstanta gas untuk udara kering R : konstanta gas untuk uap air T : temperatur udara Dari persamaan (3.11) dapat dilihat bahwa susut temperatur adiabatik jenuh s adalah fungsi jumlah uap air di udara. Jika udara mendekati kering, maka rs = 0 dan s = d. c. Kriteria stabilitas dengan temperatur potensial Stabilitas atmosfer dapat juga diekspresikan dalam susut temperatur potensial yaitu dengan mendiferensiasi temperatur potensial terhadap ketinggian z. Temperatur potensial , ditulis dengan ekspresi berikut :
dengan cp adalah panas spesifik udara pada tekanan konstan. Jika persamaan temperatur potensial dideferensiasi secara logaritmik terhadap ketinggian, maka diperoleh :
atau
Meteorologi Indonesia Volume 1
61
dengan memasukkan persamaan hidrostatik dan persamaan keadaan udara kering. Untuk udara kering dan udara tak jenuh, persamaan di atas menjadi : (3.12) Prosedur serupa dapat dilakukan untuk udara jenuh. Kriteria stabilitas dengan temperatur potensial untuk udara tak jenuh dapat ditulis sebagai berikut : labil
:
netral : stabil
:
Stabilitas statik S didefinisikan sebagai : S = d ’
(3.13)
di mana : d : susut temperatur adiabatik udara kering ’ : susut temperatur udara lingkungan Dari persamaan (3.12), maka stabilitas statik S dapat dinyatakan dengan temperatur potensial sebagai berikut (3.14)
d. Stabilitas atmosfer PGT dan ASME Dalam teknik, stabilitas atmosfer dapat diperkirakan dari observasi cuaca. Stabilitas atmosfer PGT (Pasquill, Gifford, dan Turner) dibagi menjadi 6 kategori, yaitu :
62
Meteorologi Indonesia Volume 1
A : labil kuat B : labil sedang C : labil ringan
D : netral E : stabil ringan F : stabil
Stabilitas atmosfer ASME (American Society of Mechanical Engineers) terdiri dari 4 kategori yang berkaitan dengan stabilitas PGT sebagai berikut : labil kuat labil netral stabil
: : : :
kelas A dan B kelas C kelas D kelas E dan F
Enam kelas stabilitas atmosfer berdasarkan pengamatan cuaca ditunjukkan pada tabel 3.1 dan tabel 3.2. Definisi "malam" dalam tabel ini berarti satu jam sebelum matahari terbit dan satu jam setelah matahari terbit. Perlu dicatat bahwa jika pengukuran kecepatan angin -1 baku (ketinggian 10 m) lebih besar dari 6 ms dan kondisi atmosfer berawan, maka terjadi stabilitas netral (kelas D). Tabel 3.1. Kategori stabilitas atmosfer
Kecepatan angin (m/s) pada 10 m
SIANG
MALAM
Insolasi
Awan Tipis Liputan atau awan awan < 3/8 rendah > 4/8
Kuat
Sedang
Lemah
<2
A
A-B
B
-
-
2-3
A-B
B
C
E
E
3-5
B
B-C
C
D
E
5-6
B
C-D
D
D
D
>6
C
D
D
D
D
Meteorologi Indonesia Volume 1
63
Tabel 3.2. Stabilitas atmosfer termodifikasi menurut Pasquill Kecepatan angin rata-rata (u) dalam m/s
Gradien suhu vertikal T/Z C100m)
U1
1u2
2u3
3u5
5u7
u7
T/Z1,5 1,4 T/Z1,2 1,1 T/Z0,9 0,8 T/Z0,7 0,6 T/Z 0,0 0,1 T/Z 2,0 T/Z 2,0
A A B C D F F
A B B C D F F
A B C D D E F
B B C D D D E
C C D D D D E
D D D D D D D
Insolasi (incoming solar radiation) kuat terjadi bila tinggi o matahari lebih besar dari 60 di atas horison dan kondisi atmosfer cerah. Insolasi (radiasi matahari yang diterima) lemah terjadi bila tinggi matahari antara 15 dan 35 di atas horizon dan langit cerah. Insolasi moderat terjadi bila tinggi matahari antara 35 dan 60 di atas horizon dan langit cerah atau tinggi matahari lebih besar 60 tetapi ada sebagian langit tertutup awan. 3.2. Konsepsi Refraktivitas Atmosfer a. Prinsip Refraksi Refraksi (pembiasan) adalah proses dimana cahaya dibelokkan ketika melalui sebuah medium yang berubah densitasnya atau dari sebuah medium ke medium lain yang mempunyai densitas (kerapatan) berbeda. Sebagai contoh misalnya sebuah batang dicelupkan ke dalam air akan tampak membengkok pada garis air sinar cahaya dibiaskan ketika cahaya ini melintas dengan kecepatan berbeda dalam media dengan densitas berbeda. Atmosfer bumi mempunyai sifat kompresibel (dapat dimampatkan) jadi densitas (kerapatan) yang terbesar terletak pada atmosfer bawah, kemudian densitas berkurang dengan ketinggian. Gambar 3.2a, menunjukkan prinsip refraksi. Sinar AO dibelokkan ketika muncul dari medium rapat (misalnya air) kedalam medium kurang rapat (misalnya udara), dan mengikuti lintasan OB. 64
Meteorologi Indonesia Volume 1
Seorang pengamat yang matanya pada B melihat sumber cahaya seolah-olah dalam arah OA’ dari pada arah sebenarnya, sebagai konsekuensi refraksi (pembiasan). Garis NOP, tegak lurus bidang antar muka media, disebut garis normal. Sinar AO yang menuju bidang antar muka, disebut sinar datang dan OB disebut sinar bias. Sudut antara sinar datang dan garis normal (AOP) disebut sudut datang, sedangkan sudut antara sinar bias dan garis normal (NOB) disebut sudut bias.
Gambar 3.2. (a). Sifat sinar cahaya dalam proses refraksi (b). Sudut kritis dan refleksi total. Sinar BO melebihi sudut kritis sehingga dipantulkan sempuma
Ada tiga kemungkinan prinsip refraksi yaitu : 1.
Sinar cahaya yang tegak lurus bidang antar muka media tidak mengalami refraksi (pembiasan). Jadi sebuah sinar yang sejajar dengan garis NOP tidak dibelokkan.
2.
Jika sinar cahaya datang dari medium rapat ke medium kurang rapat (seperti pada Gambar 3.2a) maka sinar akan dibelokkan menjauhi garis normal. Jadi sudut refraksi (NOB) lebih besar dari sudut datang (AOP).
3.
Jika sinar cahaya datang dari medium kurang rapat ke medium yang lebih rapat maka sinar akan dibelokkan mendekati garis normal. Jika BO adalah sinar datang maka sinar akan dibelokkan arah AO, jadi AOP adalah sudut bias.
Meteorologi Indonesia Volume 1
65
Jika sinar cahaya memasuki sebuah medium yang lebih rapat, maka sinar akan dibiaskan mendekat garis normal. Jika sinar BO pada Gambar 3.2a, dianggap sebagai sinar datang, maka sinar ini akan dibelokkan dalam arah AO atau mendekati garis normal. Dalam hal ini sudut AOP adalah sudut refraksi. Prinsip refraksi nomor 2 dapat dikembangkan dalam kasus sudut datang sinar mencapai sudut kritis. Ketika sudut datang sebuah sinar yang bergerak dari medium lebih rapat ke kurang rapat bertambah terus menerus yang pada akhirnya sampai pada situasi dimana sinar bias dibelokkan jauh dari garis normal sehingga tidak memasuki medium kurang rapat seluruhnya tetapi berjalan sejajar dengan bidang antar muka media. Sudut datang di mana situasi ini terjadi disebut sudut kritis yang bergantung secara natural pada medium khusus yang terlibat. Jika sudut kritis dilampaui sudut sinar datang, maka sinar bias (retracted ray) dibelokkan seluruhnya kembali kedalam medium rapat, fenomena ini disebut refleksi total, lihat Gambar 3.2b. Sudut kritis dapat didefinisikan sebagai batas sudut datang agar tidak terjadi refleksi (pemantulan) total atau sudut datang yang jika melebihi nilai kritis akan terjadi refleksi total. Dispersi dapat ditinjau sebagai jenis refraksi yang berbeda. Cahaya tampak sebenarnya terdiri dari cahaya dengan banyak wama yang jika dipadukan menghasilkan cahaya putih. Jika cahaya putih dilewatkan melalui sebuah medium dengan ketebalan berubah, seperti pada prisma gelas, komponen-komponen cahaya akan dibiaskan secara berbeda sesuai dengan panjang gelombangnya masing-masing. Pita warna yang dihasilkan disebut spektrum, yang terdiri dari daerah warna merah, jingga (orange), kuning, hijau, biru, dan violet. Warnawarna spektral ini biasanya diamati dalam pelangi atau bianglala (rainbow). Jadi dispersi dapat dikatakan proses cahaya putih diuraikan kedalam wama-warna komponennya. Panjang gelombang cahaya biru kira-kira setengahnya cahaya merah, sehingga biru dibiaskan lebih besar dari pada merah.
66
Meteorologi Indonesia Volume 1
b. Indeks Refraksi Atmosfer Kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik dalam medium homogen adalah :
v (11)½ (3.15) Keterangan : 1 : kapasitas induktif listrik (permitivitas medium) 1 : kapasitas induktif magnet Karena sifat massa udara cukup bervariasi maka kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik mengalami perubahan kecil yang mengakibatkan refraksi dan menimbulkan perubahan arah penjalaran gelombang elektromagnetik. Dalam ruang bebas (hampa), kecepatan gelombang elektromagnetik sama dengan kecepatan cahaya c, dan diberikan oleh : ½
c (00) (3.16) di mana indeks nol menunjukkan kondisi dalam ruang bebas. Dalam studi optik atmosfer, didefinisikan indeks refraksi yang diekspresikan sebagai berikut : (3.17) di mana : = 10 adalah konstanta dielektrik medium = 10 adalah pemieabilitas medium Karena dalam kebanyakan media ~ 1 maka : n
=
(3.18)
Pada umumnya, konstanta dielektrik medium 1, maka n 1, artinya Meteorologi Indonesia Volume 1
67
Dalam bentuk umum, indeks refraksi adalah sebuah fungsi kompleks sebagai berikut:
m
n
ik
(3.19)
di mana suku nyata n adalah indek refraksi ordiner (biasa) = c/v. Suku khayal ik berkaitan dengan absorpsi medium, k adalah koefisien absorpsi medium dan i adalah bilangan kompleks. Suku ik ~ 0, untuk dielektrik sempurna, suku ik menjadi penting dalam kaitannya dengan hamburan (scattering) partikel-partikel awan dan presipitasi. Atenuasi radiasi elektromagnetik dalam atmosfer disebabkan oleh absorpsi dan hamburan hidrometeor. Indeks refraksi dipengaruhi oleh temperatur udara, tekanan udara dan uap air. Untuk udara kering, indeks refraksi n dinyatakan dalam refraktivitas radio N adalah:
N = (n 1)106 = K1 p/T
(3.20a)
dengan mensubstitusikan persamaan keadaan, diperoleh:
N = (n 1)106 = K1 R = K . Untuk uap air, refraktivitas radio N diekspresikan sebagai berikut:
N = (n 1)106 = K2 e/T K3 e/T2 (3.20b) Keterangan : K : konstanta = K1 R R : konstanta gas individu untuk udara : densitas udara p : tekanan udara dalam milibar T : temperatur mutlak dalam kelvin e : tekanan uap air parsial dalam milibar Untuk gelombang mikro dengan panjang gelombang lebih besar 2 cm atau frekuensi kurang dan 15 GHz, maka nilai aproksimatif
68
Meteorologi Indonesia Volume 1
K1 = 77,6 K/mb, K2 = 5,6 K/mb, dan K3 = 3,75 x 10
5
2
K /mb
Untuk udara kering, indeks refraksi mempunyai nilai sama dalam spektrum elektromagnetik, dan sama untuk gelombang cahaya atau gelombang radio. Tetapi jika udara itu basah (moist air), maka refraktivitas radio N bergantung pada jumlah uap air di udara. Indeks refraksi untuk udara basah adalah jumlah dari indeks refraksi udara kering dan uap air, jadi:
N = 77,6 p/T 5,6 e/T + 3,75 x 105 e/T2 (3.21) Karbondioksida (CO2) juga menyokong refraktivitas radio N, tetapi kontribusinya kurang dari 0,1% sehingga dapat diabaikan. Untuk temperatur atmosfer maka suku kedua dari persamaan (3.21) sangat kecil dibandingkan dengan suku-suku lain, sehingga suku kedua dapat diabaikan. Untuk tujuan praktis persamaan (3.21) dapat ditulis sebagai berikut:
N = 77,6/T (p + 4810 e/T), model linier
(3.22)
Dekat permukaan laut, nilai khas dari refraktivitas radio N = 300, atau indeks refraksi n = 1,0003. Biasanya indeks refraksi berkurang dengan ketinggian, karena penurunan tekanan barometrik (p) dan tekanan parsial uap air (e) Iebih cepat dibandingkan dengan temperatur udara. Penurunan indeks refraksi menyebabkan penambahan kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik dengan ketinggian, sehingga sinar dibelokkan ke bawah. Indeks refraksi atmosfer dapat dihitung berdasarkan pengukuran p, T, dan RH (kelembapan relatif) dengan bantuan radiosonde. Ketelitian dari refraktivitas radio N bergantung pada ketelitian pengukuran ketiga parameter meteorotogis tersebut. c. Efek hukum Snell Tinjau sinar yang bergerak dari lapisan atmosfer dengan indeks refraksi n, ke suatu lapisan dengan indeks refraksi n2, dimana n1 > n2, dan menurut hukum Snell maka :
Meteorologi Indonesia Volume 1
69
dengan i adalah sudut datang dan r sudut refraksi yang diukur terhadap garis normal. vi dan vr masing-masing adalah kecepatan sinar datang dan sinar dibiaskan. Karena n2 n1, maka r i dan vr vi, sehingga sinar dibiaskan ke bawah (menjauhi garis normal), lihat Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Variasi jalannya sinar terhadap indeks refraksi (n2 n1).
Gambar 3.4, menunjukkan refraksi penjalaran gelombang radioelektrik sebuah radar oleh atmosfer kompresibel. Tanpa indeks refraksi maka sinar radar merupakan garis lurus. sedangkan dengan indeks refraksi maka sinar radar akan dibelokkan.
Gambar 3.4. Refraksi gelombang radioelektrik oleh atmosfer.
70
Meteorologi Indonesia Volume 1
d. Bumi fiktif Jika jari-jari bumi nyata R diganti dengan jari-jari bumi fiktif R dan dianggap bahwa atmosfer homogen sehingga penjalaran gelombang elektromagnetik merupakan garis lurus, maka hubungan antara jari-jari bumi fiktif dan bumi nyata dapat dinyatakan dengan ekspresi berikut:
R = kR
(3.24)
di mana k adalah faktor yang bergantung pada kondisi meteorologis, nilai k bervariasi dari 1,1 sampai 1,6. Faktor k, dimana penjalaran gelombang radar merupakan garis lurus, dapat ditulis dalam bentuk berikut :
k =
1 1R(dn/dh)
(3.25)
dengan dn/dh adalah gradien vertikal indeks refraksi, h adalah ketinggian. Jika dianggap bahwa gradien vertikal indeks refraksi adalah konstan terhadap ketinggian, artinya dn/dh linier dan sama dengan 8 1 4 x 10 m yaitu nilai dn/dh untuk atmosfer baku, maka faktor k = 4/3, sehingga jari-jari bumi fiktif R= 4/3 R. Gambar 3.5, menunjukkan bagan sinar radar pada bumi nyata dengan jari-jari R dan bumi fiktif dengan jarijari R’. Bentuk bumi fiktif Iebih dempak dari pada bumi nyata.
Gambar 3.5. Bagan sinar radar pada bumi nyata (a) dan pada burnt fiktif (b). Meteorologi Indonesia Volume 1
71
Model lain dari indeks refraksi atmosfer adalah bentuk eksponensial sebagai berikut :
N = Ns exp {ln Ns/N1 (hhs)}, model eksponensial di mana : Ns : h : hs : N1 :
(3.26)
refraktivitas radio pada permukaan bumi tinggi sasaran tinggi radar refraktivitas radio pada ketinggian 1 km.
Dengan adanya refraksi atmosfer, maka terjadi kesalahan sudut elevasi () yaitu beda antara sudut elevasi semu (tampak) sebuah sasaran yang dideteksi oleh radar dengan sudut elevasi nyata. Refraksi dapat mengganggu pada jarak sasaran yang jauh pada sudut elevasi yang kecil dekat horizon. Pada sudut lebih besar =3, kesalahan ini dapat diabaikan, lihat Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Kesalahan sudut elevasi () akibat refraksi atmosfer
3.3. Stabilitas Troposfer di Atas Indonesia a. Stabilitas Statis Tabel 3.3 menunjukkan distribusi vertikal stabilitas statis, stasiun Kemayoran (Jakarta) dalam bulan Januari dan tabel 3.4, menunjukkan distribusi vertikal stabilitas statis, stasiun Kemayoran, Jakarta, dalam bulan Juli. Stabilitas statis (S) tiap lapisan dihitung dengan persamaan (3.14) 72
Meteorologi Indonesia Volume 1
berdasarkan data radiosonde bulan Januari jam 07.00 W.L (waktu lokal) dan 19.00 W.L yang mewakili musim basah dan bulan Juli jam 7.00 W.L dan 19.00 W.L yang mewakili musim kering. Gambar 3.7, menunjukkan distribusi vertikal stabilitas statis rata-rata bulan Januari dan Juli jam 19.00 W.L. Lapisan troposfer bawah lebih stabil dan pada troposfer menengah kurang stabil, kemudian mendekati tropopause stabilitas statis menjadi besar. Tropopause adalah batas antara troposfer yang mempunyai susut temperatur positif dan stratosfer yang mempunyai susut temperatur negatif yang menandakan lapisan inversi temperatur atau lapisan stabil. Tabel 3.3. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km), Januari 1979, Jakarta
Tebal lapisan (mb)
Pukul 07.00 W.L
Pukul 19.00 W.L
Dasarian Dasarian Dasarian Dasarian Dasarian Dasarian 1 2 3 1 2 3
1000 -850
4,80
4,70
4,74
3,89
4,05
4,39
850-700
4,67
5,05
4,95
4,26
4,49
4,40
700 -600
4.32
3.92
3,89
4,63
4,52
3,99
600 - 500
4,18
4,07
3,95
4,40
4,45
3.96
500 - 400
3.95
3,91
3,93
3,73
3,70
3,95
400 - 300
2,79
2,68
2,51
3,02
2,60
2,53
300 - 200
1,25
1,09
1,23
1,29
1,47
1,75
200 - 150
2,11
1,87
1,46
1,77
2,10
2,20
150 - 103
4,41
4,62
4,71
3,47
4,26
3,84
Meteorologi Indonesia Volume 1
73
Tabel 3.4. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km), Juli 1979. Pukul 19.00 W.L. Jakarta Tebal lapisan (mb)
Dasarian 1
Dasarian 2
Dasarian 3
1000 850 850 700 700 600 600 500 500 400 400 300 300 200 200 150 150 100
3,95 4,33 5,65 4,00 4,04 2,27 1,24 2,60 4,51
3,92 4,57 5,11 3,70 3,72 2,22 1,19 1,41 6,46
4,02 5,12 5,02 3,17 4,94 1,98 1,34 2,41 6,94
Perubahan musiman dari struktur vertikal stabilitas statis dapat dikaji melalui tabel 3.5 yang menunjukkan variasi vertikal perbedaan stabilitas musiman dalam bulan Juli dan Januari. Lapisan troposfer bawah agak stabil pada bulan Juli dibandingkan pada bulan Januari. Secara rata-rata stabilitas statis lebih besar dalam bulan Juli dari pada Januari, hal ini mencerminkan tropopause lebih rendah pada bulan Juli dari pada tropopause bulan Januari. Pengukuran tinggi tropopause pada tahun 1979 di atas Jakarta menunjukkan bahwa tinggi rata-rata tropopause pada bulan Juli adalah 16,4 km dengan temperatur 80,4oC dan bulan Januari adalah 17,3 km dengan temperatur 85,1 °C.
Gambar 3.7. Distribusi vertikal stabilitas statis bulan Januari dan Juli jam 19.00 W.L, Jakarta.
74
Meteorologi Indonesia Volume 1
Tabel 3.5. Stabilitas rata-rata bulanan (derajat per km) di atas Jakarta. 1979.
Tebal lapisan (mb)
Januari 07.00 W.L
Januari 19.00 W.L
Juli 19.00 W.L
1000 - 850 850 - 700 700 - 600 600 - 500 500 - 400 400 - 300 300 - 200 200 -150 150 - 100
4,76 4,89 4,04 4,07 3,93 2,66 1,19 1,81 4,58
4,11 4,38 4,38 4,27 4,79 2,72 1,50 2,02 3,86
3,96 4,67 5,26 3,62 4,23 2,16 1,26 2,14 5,97
Pada lapisan troposfer 1000 - 100 mb yang pada umumnya terletak di bawah lapisan tropopause untuk atmosfer Jakarta, nilai rata-rata pada musim basah (Januari)
= 3,45 C/km dan pada
musim kering (Juli) adalah 3,70 C/km. Pada pagi hari stabilitas ratarata lebih besar dibandingkan pada sore hari untuk bulan yang sama (Januari). Parameter stabilitas diperoleh dari b e
, di mana d
adalah a
temperatur potensial antara lapisan atas (z2) dengan lapisan bawah (z1) dan z adalah ketebalan lapisan di troposfer yang dinyatakan dalam milibar. b. Indeks Stabilitas Showalter Indeks stabilitas Showalter dihitung berdasarkan metode berikut. Sebuah parsel udara dari 850 mb diangkat secara adiabatik kering sampai menjadi jenuh. Dan kemudian secara adiabatik jenuh Meteorologi Indonesia Volume 1
75
menggunakan 850 mb tetapi pada ketinggian yang lebih tinggi. Temperatur dari parsel yang diangkat ke ketinggian 500 mb kemudian dikurangkan secara aljabar dari temperatur keadaan pada ketinggian 500 mb yang diukur oleh radiosonde. Selisih temperatur yang diperoleh adalah indeks stabilitas Showalter. Indeks stabilitas yang negatif menyatakan kelabilan, dan yang positif menyatakan kestabilan atmosfer. Jadi indeks stabilitas Showalter adalah cara yang sangat sederhana dan secara termodinamis mudah dimengerti dan jelas untuk mengukur kestabilan atau kelabilan atmosfer. Kestabilan atau kelabilan atmosfer di atas Jakarta dinyatakan dengan indeks stabilitas Showalter. Data yang dipergunakan adalah data radiosonde di atas Kemayoran pada pukul 07.00 W.L selama tahun 1980. Indeks stabilitas ditentukan secara grafik dengan menggunakan diagram skew T In p. Dalam diagram ini garis isobar adalah lurus dan horizontal. Ordinat dari diagram ini adalah In p. Sepanjang tiap isobar temperatur berubah secara linear, tetapi isoterm miring ke atas kanan dan membuat sudut kira-kira 45 dengan isobar. Terlebih dulu dirajah (plot) data temperatur dari radiosonde pada ketinggian 850, 700, 600, dan 500 mb. Dari titik temperatur pada ketinggian 850 mb ditentukan perbandingan campuran maksimumnya rs ialah dengan memperkirakan garis perbandingan campuran maksimum (jenuh) yang melewati titik temperatur tersebut. Kemudian dicari perbandingan campuran dari parsel udara pada ketinggian 850 mb dengan menggunakan hubungan :
r = RH . rs (3.27) Paras kondensasi angkat (PKA; lifting condensation level, LCL) ditentukan secara gratis sebagai perpotongan antara garis adiabatik kering yang lewat titik temperatur 850 mb dan garis perbandingan campuran jenuh yang nilainya sama dengan r, dihitung dengan persamaan (3.27) di atas. Setelah itu parsel diangkat secara adiabatik jenuh sampai ketinggian 500 mb dengan menarik adiabat jenuh melewati titik paras kondensasi angkat (PKA) sampai memotong garis isobar 500 mb. Titik potong ini menunjukkan temperatur T dari parsel 76
Meteorologi Indonesia Volume 1
Is = T T di mana Tadalah temperatur keadaan pada 500 mb.
(3.28)
Hasil perhitungan indeks stabilitas Showalter Is tersebut tercantum dalam bentuk distribusi frekuensi tabel 3.6, yang meliputi pengukuran radiosonde bulan Januari sampai dengan Desember 1980. Perhitungan indeks stabilitas Showalter menunjukkan bahwa Is ada yang positif, yang negatif, dan yang nol. Telah dikemukakan di atas bahwa Is adalah ukuran relatif kestabilan atau kelabilan atmosfer. Makin besar nilai Is, makin stabil dan sebaliknya makin kecil nilai Is makin labil atmosfernya. Is positif, atmosfer disebut stabil dan Is negatif, atmosfer labil. Maksimum relatif dari jumlah Is yang mempunyai nilai negatif terdapat pada bulan-bulan Januari, April, dan Oktober. Sedangkan dalam musim kemarau jumlah Is yang mempunyai nilai negatif adalah minimum, yaitu pada bulan Juli dan Agustus. Untuk dapat memberikan interpretasi yang lebih baik, maka dikaji distribusi dari Is, baik distribusi frekuensinya, maupun distribusi kumulatifnya. Distribusi frekuensi dari Is untuk masing-masing keempat musim di Jakarta ditunjukkan pada tabel 3.6. Kolom ke 1 dari tabel 3.6 menyatakan kesebelas interval kelas dari Is. Kolom ke 2 memuat titik tengah dari masing-masing interval kelas dalam kolom ke 1. Kolom berikutnya menyatakan frekuensi dari Is untuk masing-masing interval kelas dinyatakan dalam persen. Di bagian bawah dari tabel 3.6 dalam kolom masing-masing musim tercantum nilai rata-rata Is dan deviasi standarnya s untuk masing-masing musim. Dari tabel 3.6 digambarkan histogram untuk masing-masing musim dan hasilnya adalah Gambar 3 8. Dari Gambar 3.8 dapat dilihat bahwa interval kelas predominan untuk masing-masing musim adalah tidak sama, lihat tabel 3.7. Interval kelas predominan untuk musim hujan dan musim peralihan I adalah sama 1,40,0, yaitu interval kelas dari Is yang negatif. Sedangkan interval kelas predominan untuk musim kemarau dan musim peralihan II terletak pada daerah Is positif atau stabil. Dan untuk musim kemarau nilai pada daerah Is positif yang paling besar, karenanya troposfer dalam musim kemarau adalah yang paling stabil. Meteorologi Indonesia Volume 1
77
Tabel 3.6. Distribusi frekuensi indeks stabilitas Showalter (Is) di atasJakarta,1980.
Interval Kelas Is
Titik Tengah
5,9 4,5
Frekuensi (%) Is Musim Hujan
Musim Peralihan I
Musim Kemarau
Musim Peralihan II
5,2
1
0
0
0
4,4 3,0
3,7
0
0
0
1
2,9 1,5
2,2
5
19
8
8
1,4 0,0
0,7
38
29
17
28
0,1 1,5
0,8
27
27
23
45
1,6 3,0
2,3
19
11
26
10
3,1 4,5
3,8
9
9
10
7
4,6 6,0
5,3
2
4
11
1
6,1 7,5
6,8
0
0
4
0
7,6 9,0
8,3
0
1
0
0
9,1 10,5
9,8
1
0
1
0
Is=0,8
Is= 0,5
Is=1,8
Is =0,5
Catatan : Is : Indeks stabilitas Showalter rata-rata s : Simpangan baku Tabel 3.7. Interval kelas predominan indeks stabilitas Showalter (Is) di atas Jakarta, 1980.
Musim Musim hujan Musim peralihan I Musim kemarau Musim peralihan II
Interval kelas predominan 1,4 1,4 1,6 0,1
0,0 0,0 3,0 1,5
Dari nilai rata-rata Is dan simpangan baku s untuk masingmasing musim yang tercantum pada tabel 3.7 dapat dilihat bahwa Is, 78
Meteorologi Indonesia Volume 1
untuk musim kemarau terletak di daerah yang paling stabil jika dibandingkan dengan ketiga musim lainnya. Simpangan baku dan distribusi frekuensi untuk musim kemarau mempunyai nilai yang paling besar dan untuk musim peralihan II nilai yang paling kecil.
Gambar 3.8. Histogram indeks stabilitas Showalter menurut musim di atas Jakarta, 1980. Meteorologi Indonesia Volume 1
79
c. Stabilitas Konvektif Stabilitas konvektif ditentukan oleh profil vertikal temperatur potensial ekivalen e, yang didefinisikan sebagai temperatur parsel udara yang akan dipunyai jika dibawa dari temperatur ekivalen (Te), sampai pada tekanan 1000 mb dalam proses adiabatik kering. Temperatur ekivalen adalah temperatur parsel udara yang akan dimiliki jika semua uap air dikondensasikan oleh proses pseudoadiabatik, kemudian parsel dibawa secara adiabatik kering ke tekanan asalnya. Secara pendekatan temperatur ekivalen diekspresikan sebagai berikut:
Te = T exp
L rs cp Tc
(3.29)
Keterangan : L : panas laten kondensasi rs : perbandingan campuran jenuh Tc : temperatur kondensasi isentropik cp : panas spesifik pada tekanan konstan Temperatur kondensasi isentropik Tc adalah temperatur di mana kejenuhan tercapai jika udara lembab di dinginkan secara adiabatik dengan perbandingan campuran r dipegang konstan. Formula semi empiris temperatur potensial ekivalen (e) dinyatakan sebagai berikut :
e = exp (2675 r/Tc) (3.30) dengan:
1000 = T p
(3.31)
Keterangan : T : temperatur udara P : tekanan udara : temperatur potensial 80
Meteorologi Indonesia Volume 1
=
cp cv cp = 0,286 : konstanta -1
-1
cp = 1005 J kg K : panas spesifik pada tekanan konstan -1 -1 cv = 718 J kg K : panas spesifik pada volume konstan Temperatur potensial ekivalen dapat ditentukan dengan diagram aerologi skew TIn p. Gambar 3.9, menunjukkan profil temperatur potensial ekivalen e dalam musim hujan, musim kemarau, dan kedua periode transisi. Temperatur potensial ekivalen lebih panas jika ada awan konvektif dibandingkan dengan jika tidak ada awan konvektif atau pada kondisi cuaca cerah. Profil vertikal temperatur potensial ekivalen menunjukkan nilai minimum pada troposfer tengah bagian bawah (700 mb) dan maksimum pada troposfer atas.
Gambar 3.9. Profil vertikal temperatur potensial ekivalen e rata-rata. a). musim hujan (Januari) b). periode transisi pertama (April) c). musim kemarau (Juli) d). periode transisi kedua (Oktober) Meteorologi Indonesia Volume 1
81
Dibandingkan dengan atmosfer lintang tengah yang mempunyai kelabilan Iemah, maka atmosfer tropis menunjukkan kelabilan konvektif kuat. Atmosfer di atas wilayah Indonesia pada umumnya labil secara konvektif, hal ini ditunjukkan oleh profil vertikal temperatur potensial ekivalen e dari permukaan sampai pada lapisan 700 hPa. Profil vertikal e lebih panas jika ada awan konvektif dibandingkan dalam kondisi atmosfer cerah atau tidak ada awan konvektif. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan awan konvektif disebabkan oleh gaya apung konveksi akibat pemanasan permukaan dari radiasi matahari. 3.4. Refraktivitas Troposfer di Atas Indonesia a. Distribusi Vertikal Refraktivitas Radio Indeks refraksi troposfer ditentukan oleh persamaan (3.22) untuk setiap ketinggian, hasilnya disajikan pada tabel 3.8 dan 3.9 yang menunjukkan nilai refraktivitas radio di lapisan troposfer pada bulan Januari dan Oktober. Di atas ketinggian 10 km, tekanan parsial uap air menjadi kecil yang dapat diabaikan, sehingga suku pertama persamaan (3.21) yang disebabkan oleh udara kering menjadi dominan pada daerah ini. Tabel 3.8. Refraktivitas radio rata-rata bulan Januari, di atas Jakarta Waktu lokal
Tekanan (mb)
3.00
6.00
9.00
12.00
15.00
16.00
21.00
24.00
1000
386,3
385,0
369,4
364,8
366,1
384,6
387,8
379,6
900
326,5
326,1
321,4
325,0
327,1
326,5
327,4
327,8
800
283,0
278,9
277,8
280,4
280,0
278,7
281,4
179,1
700
236,2
234,1
231,7
235,0
235,6
239,0
242,4
237,7
600
199,7
200,0
199,1
199,4
199,0
201,7
200,7
200,0
.
82
500
162,9
163,6
163,0
163,3
163,7
163,2
185,8
164,6
400
128,8
128,5
127,6
126,8
128,4
129,6
129,2
129,5
300
98,2
98,0
97,7
97,5
97,6
98,0
98,2
98,3
200
70,9
71,1
70,9
70,8
70,6
70,7
70,9
70,9
100
40,8
40,9
40,7
40,7
40,9
40,8
41,1
40,8
Meteorologi Indonesia Volume 1
Tabel 3.9. Refraktivitas radio rata-rata bulan Oktober, di atas Jakarta Tekanan (mb) 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100
Waktu lokal 3.00 384,1 325,7 277,5 204,8 188,2 156,7 125,5 96,7 70,8 40,0
6.00 377,8 318,6 272,7 206,0 182,0 153,8 124,7 96,7 70,9 40,1
9.00 354,8 315,2 265,4 203,3 182,1 153,6 124,1 98,9 70,9 39,9
12.00 344,3 317,4 289,0 206,9 181,1 153,9 123,8 96,5 70,8 39,9
15.00 358,9 319,9 273,3 215,4 184,0 152,9 124,5 97,8 70,9 39,8
18.00 373,0 321,5 285,0 225,7 188,4 155,8 126,0 97,5 70,9 39,8
21.00 371,7 322,3 260,4 216,1 186,9 156,4 124,8 97,2 70,8 40,2
24.00 381,2 323,6 277,4 223,4 190,4 155,9 125,3 97,1 70,8 40,2
Karena tekanan barometrik p dan tekanan parsial uap air e turun secare cepat dengan ketinggian, sedang temperatur udara T turun secara lambat dengan ketinggian, maka indeks refraksi turun dengan ketinggian. Nilai khas indeks refraksi di permukaan adalah sekitar 1,000378 atau refraktivitas radio 378 dalam musim hujan, Januari dan indeks refraksi sekitar 1,000368 atau refraktivitas radio 368 dalam musim transisi, Oktober. Beda nilai indeks refraksi ini disebabkan oleh beda kadar uap air antara musim hujan dan musim transisi.
Gambar 3.10. Distribusi vertikal refraktivitas radio N dalam bulan Januari () dan Oktober () di atas Jakarta. Meteorologi Indonesia Volume 1
83
Gambar 3.10, menunjukkan gradien vertikal indeks refraksi dalam medium troposfer nonhomogen. Pada ketinggian di bawah 330 mb, distribusi vertikal indeks refraksi menunjukkan variasi musiman, sebaliknya pada ketinggian di atas 330 mb atau sekitar 9 km di atas paras laut, profil vertikal indeks refraksi tidak menunjukkan variasi musiman. b. Variasi Indeks Refraksi Unsur-unsur cuaca mengalami varlasi jam-jaman dan harian terutama pada lapisan bawah troposfer. Efek ini menimbulkan variasi harian indeks refraksi. Gambar 3.11, menunjukkan grafik harian indeks refraksi terhadap ketinggian lapisan troposfer dalam musim hujan Januari dan musim transisi Oktober. Fluktuasi harian indeks refraksi tampak jelas pada troposfer bawah, sebaliknya fluktuasi ini tidak tampak pada lapisan troposfer yang tinggi. Tabel 3.10, menunjukkan simpangan baku (standard deviation) refraktivitas radio N dalam bulan Januari dan Oktober. Tabel 3.10, Simpangan baku (SB) refraktivitas radio troposfer di atas Jakarta Tekanan (mb)
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
SB, Januari
9,7
2,0
1,7
3,3
0,9
1,0
1,0
0,3
0,2
0,1
SB, Oktober
14,1
3,4
6,3
8,7
3,4
1,5
0,7
0,3
0,1
0,1
Gambar. 3.11. Variasi harian refraktivitas radio N di atas Jakarta Kiri: Januari, dan kanan: Oktober
84
Meteorologi Indonesia Volume 1
Karena musim monsun barat Iebih lembap dari pada musim monsun timur dan musim monsun variabel (transisi) di atas wilayah Indonesia, maka dapat diharapkan bahwa indeks refraksi Iebih besar dalam musim hujan ketimbang musim lainnya. Jelas bahwa troposfer di atas wilayah Indonesia Iebih lembap dalam musim hujan dan pada periode transisi. Tabel 3.11, menunjukkan refraktivitas radio N, dalam troposfer bawah selama musim monsun barat dan periode transisi atau monsun variabel. Pada lapisan 2000 m di atas paras laut rata-rata, refraktivitas radio Iebih besar dalam musim hujan dari pada periode transisi. Tabel 3.11. Refraktivitas radio N dalam lapisan troposfer bawah.
Tekanan (mb)
Tinggi (m)
Januari
Oktober
Januari Oktober
1000
95
378,0
368,2
9,8
900
1020
326,0
320,5
5,5
800
2025
279,9
275,1
4,8
c. Efek Refraksi Troposfer Pada Radar Cuaca Karena gradien vertikal indeks refraksi (dn/dh) adalah negatif, maka gelombang radar cuaca di troposfer akan dibelokkan ke bawah. Efek refraksi troposfer adalah memperpanjang jarak horizon, jadi meningkatkan cakupan radar cuaca. Pembelokan gelombang radar dalam troposfer disebabkan oleh variasi kecepatan penjalaran gelombang radioelektrik dengan ketinggian. Refraksi troposfer menyebabkan kesalahan pengukuran sudut elevasi. Pada sudut elevasi yang kecil, terutama dekat horizon, maka refraksi troposfer merupakan sumber gangguan. Kesalahan atau gangguan tersebut dapat diabaikan untuk sudut Iebih besar 3° dalam kebanyakan aplikasi radar. Refraksi menyebabkan beda antara sudut elevasi semu dan sudut elevasi sebenarnya. Karena itu perlu dilakukan koreksi data radar akibat refraksi atmosfer. Pada umumnya untuk Meteorologi Indonesia Volume 1
85
mengatasi refraksi troposfer dilakukan pengamatan refraktivitas radio permukaan. Dalam troposfer bawah, beda uap air sangat penting dalam memperhitungkan indeks refraksi n, tetapi pada lapisan troposfer yang lebih tinggi di mana kadar uap air rendah, maka perubahan indeks refraksi terutama disebabkan oleh perubahan temperatur udara. Penjalaran gelombang elektromagnetik abnormal disebut pembuluh (duct) atau kelewat refraksi (superrefraction). Pembuluh terjadi jika indeks refraksi turun dengan cepat terhadap ketinggian. Inversi temperatur sangat menentukan terjadinya kelewat refraksi. Pembuluh (duct) bertindak sebagai pemandu (guide) yang mengarahkan energi pada jarak yang besar. Pembuluh kelewat refraksi yang dekat dengan tanah disebut "pembuluh dasar" (ground based duct) dan yang terletak di atas permukaan disebut "pembuluh tinggi" (elevated duct). Ada beberapa kemungkinan kondisi meteorologis yang mengarah pada pembentukan pembuluh kelewat refraksi, yaitu : a. Radiasi malam yang terjadi pada malam cerah ketika tanah lembap dapat membentuk inversi temperatur pada tanah dan penurunan tajam uap air dengan ketinggian. Kondisi ini sering memproduksi penjalaran gelombang radar abnormal. b. Gerakan udara kering panas dari darat di atas badan air yang lebih dingin memproduksi inversi temperatur. Kondisi ini menyebabkan pembuluh kuat sehingga terjadi anomali ekstrim penjalaran gelombang radar. Pada umumnya radar yang ditempatkan rendah lebih rentan (mudah kena) kelewat refraksi dari pada radar yang ditempatkan lebih tinggi. 3.5. Resume Konsepsi stabilitas udara analogi dengan mekanika misalnya kedudukan sebuah kerucut jika diletakkan dengan alas di bawah dikatakan stabil, jika diletakkan dengan ujung kerucut di bawah dikatakan labil, dan jika kerucut diletakkan miring, dikatakan netral. Parsel udara dikatakan stabil, labil, dan netral terhadap lingkungannya 86
Meteorologi Indonesia Volume 1
jika padanya diberi impuls gaya awal. maka parsel akan kembali ke posisi semula, akan terus bergerak, atau tetap pada posisi terakhir. Dalam praktek, susut temperatur (lapse rate) adiabatik udara basah tak jenuh dapat dianggap sama seperti untuk udara kering ( = d). Selain dengan temperatur, stabilitas udara dapat dinyatakan dengan temperatur potensial. Dalam teknik, stabilitas udara dapat ditentukan dengan observasi cuaca dan ketinggian matahari (sudut zenit matahari). Dari perhitungan indeks stabilitas Showalter, dapat disimpulkan bahwa troposfer pada musim kemarau adalah yang paling stabil dibandingkan dengan pada musim hujan dan kedua musim transisinya. Tetapi dari profil vertikal temperatur potensial ekivalen diperoleh bahwa pada troposfer bawah sampai pada ketinggian 700 mb (1 mb = 100 Pa = 1 h Pa) atau sekitar 3.150 m, troposfer di atas Jakarta tidak stabil secara konvektif untuk segala musim. Jika cahaya melalui medium yang berubah densitasnya maka akan mengalami proses pembelokan. Jika sinar cahaya memasuki ke medium kurang rapat, sinar akan dibelokkan menjauhi garis normal dan jika sinar cahaya memasuki ke medium lebih rapat, sinar akan dibelokkan mendekati garis normal. Karena atmosfer bersifat kompresibel maka kerapatannya makin ke atas makin tipis. Densitas yang paling besar berada di permukaan. Refraksi gelombang elektromagnetik di atmosfer dipengaruhi oleh tekanan udara, temperatur udara, dan uap air. Karena tekanan barometrik dan tekanan parsial uap air turun secara cepat sedangkan temperatur udara turun secara lambat dengan ketinggian maka indeks refraksi atau refraktivitas radio turun dengan ketinggian. Di Indonesia refraktivitas radio bergantung pada musim. Musim basah lebih lembap jadi nilai refraktivitas radio lebih besar dibandingkan pada musim kemarau yang kurang lembap. Sampai ketinggian 330 mb (sekitar 9 km) distribusi vertikal refraktivitas radio menunjukkan variasi musiman, tetapi di atas ketinggian 330 mb refraksivitas radio tidak menunjukkan variasi musiman. Dalam troposfer bawah, beda uap air sangat penting karena menentukan nilai refraktivitas radio, tetapi pada troposfer atas di mana kadar uap air sangat rendah, maka perubahan refraktivitas radio terutama disebabkan oleh perubahan temperatur udara. Meteorologi Indonesia Volume 1
87
Bab 5 Sirkulasi Atmosfer Di atas daerah-daerah lintang rendah, pola arus atmosferik sangat serbasama atau variasi dari hari ke hari kecil. Di atas lintang menengah, migrasi siklon dan anti siklon menyebabkan variasi angin terus menerus. Dengan meninjau gerak udara pada lintang-lintang rendah yang serbasama dan rata-rata angin yang berubah pada lintang-lintang yang lebih tinggi, maka dapat dikembangkan gambaran angin rata-rata di atas bumi. Angin rata-rata ini menggambarkan sistem angin planeter atau sirkulasi umum atmosfer. Sirkulasi atmosfer umum disebabkan oleh rotasi bumi terhadap sumbu semunya dan oleh pemanasan geografis yang tidak sama baik pada permukaan bumi maupun dalam atmosfer. Perubahan panas antara siang dan malam merupakan gaya gerak utama sistem angin harian, karena ada beda panas yang kuat antara udara di atas darat dan laut atau antara udara di atas tanah tinggi (pegunungan) dan tanah rendah (lembah). Karena durasinya terbatas, maka sistem angin harian biasanya hanya efektif pada area relatif kecil, sehingga sistem angin ini menyebabkan variasi iklim lokal. Ada dua tipe utama lokasi angin harian yaitu di daerah pantai dengan sistem angin darat-laut, dan daerah pegunungan dengan sistem angin lembah-gunung. 5.1. Gerak Fluida Atmosferik Gerak atmosfer dapat dibagi menjadi dua kelas besar, keduanya disebabkan oleh adanya distribusi pemanasan diabatik yang tidak merata dalam atmosfer ; a. Gerak akibat gradien pemanasan horizontal baik secara langsung maupun tak langsung, menyebabkan lebih dari 98% energi kinetik atmosferik. Hampir semua energi kinetik ini dikaitkan dengan medan angin horizontal skala-sinoptik dan planeter. b. Gerak akibat kelabilan (instability) konvektif menyebabkan kurang dari 2% energi kinetik atmosferik. Konveksi disebabkan oleh gradien Meteorologi Indonesia Volume 1
121
pemanasan diabatik vertikal. Gerak konvektif mempunyai skala ruang dengan jangka (ranging) dari sekitar 30 km dalam badai guruh yang terbesar turun sampai kurang dari 1 mm dalam gerak skala mikro pada lapisan permukaan. Meskipun gerak konvektif kontribusinya kecil terhadap energi kinetik atmosferik, tetapi gerak ini memainkan peranan penting dalam transport panas terselubung (latent heat) dan panas terasa (sensible heat). Gerak atmosfer pada dasarnya dikuasai oleh persamaan gerak, persamaan kontinuitas dan hukum-hukum termodinamika. Sirkulasi atmosfer yang diamati dapat ditinjau sebagai solusi khusus persamaan-persamaan yang menguasai gerak atmosfer. Sistem gerak yang terjadi di atmosfer dapat diklasifikasikan bergantung pada metode yang dipakai. Salah satu metode klasifikasi yang sangat berguna adalah berdasarkan skala waktu dan jarak. Gerak atmosfer sering tersusun dari sebuah spektrum sistem sirkulasi skala waktu dan skala jarak yang berbeda. Skala waktu biasanya dihubungkan dengan skala jaraknya, makin besar skala jarak (panjang) makin lama skala waktunya. Sistem sirkulasi atmosfer paling besar mempunyai skala panjang (length) sebanding dengan diameter bumi. Sirkulasi atmosfer yang paling kecil mempunyai skala jarak sebanding dengan lintasan bebas rerata molekul-molekul individu. Menurut skala jarak, spektrum gerak atmosfer dapat dibagi menjadi: gerak skala planeter, gerak skala sinoptik, gerak skala meso dan gerak skala kecil (kadang-kadang disebut gerak skala mikro). Batas-batas antara subdivisi (bagian-bagian) ini tidak terdefinisi dengan baik, karena spektrum gerak atmosfer adalah kontinu (terus menerus). Meskipun demikian, sistem gerak dalam setiap bagian mempunyai bentuk dinamik khusus. Pendekatan yang berbeda dapat dimasukkan ke dalam persamaan dinamik untuk sistem gerak dalam tiap bagian (subdivisi). Klasifikasi gerak atmosfer merupakan alat konseptual yang sangat berguna dalam kajian dinamika atmosfer. Gerak skala-planeter termasuk sistem sirkulasi dengan skala horizontal sebanding dengan dimensi bumi. Gerak skala-sinoptik mempunyai skala horizontal lebih kecil dari pada gerak skala-planeter, tetapi masih cukup besar untuk diatasi dengan jaringan observasi 122
Meteorologi Indonesia Volume 1
konvensional. Jarak antar stasiun dalam jaringan sinoptik berorde ratusan kilometer. Kebanyakan sistem sirkulasi sinoptik berkaitan dengan perubahan cuaca harian. Sistem gerak dengan skala horizontal yang mempunyai orde (golongan) 10 — 100 km disebut sistem gerak skala meso. Contoh sistem gerak skala meso adalah badai guruh, garis badai (squall lines), dan siklon. Sirkulasi dengan dimensi horizontal lebih kecil dari pada gerak skala meso disebut gerak skala-kecil, misalnya awan cumulus kecil, olakan (eddies), turbulen konvektif, dan mekanis dekat permukaan bumi. Sistem gerak skala-kecil ini memainkan peranan sangat penting dalam dinamika atmosfer paling bawah. Tabel 5.1. menunjukkan ringkasan klasifikasi gerak atmosfer. Tabel 5.1. Skala gerak atmosfer Skala Jarak
Dimensi Tipik (km)
Contoh
Planeter Sinoptik Skala meso Skala kecil
10.000 1.000 100 10
Sel Hadley Siklon Badai guruh Cumulus kecil
Ada beberapa cara menggolongkan gerak atmosfer, misalnya menurut derajat regularitas (sifat keteraturan) dapat dibagi menjadi arus laminer dan arus turbulen (bergolak). Beberapa gerak udara disebabkan terutama oleh gaya gradien tekanan, beberapa dipicu oleh gaya apung (bouyancy force). Gerak udara juga dapat ditimbulkan oleh beberapa mekanisme kelabilan (instability mechanism). Beberapa proses kelabilan disebabkan terutama oleh sifat termal seperti kelabilan vertikal, dan yang lain terutama oleh bentuk mekanis, seperti kelabilan geser (shear instability) yang sering diamati dekat permukaan bumi. Pembahasan sistem gerak atmosfer dalam bab ini lebih menekankan pada klasifikasi menurut skala jarak (length scales). 5.2. Sistem Angin dan Tekanan Planeter Idaman Gambar 5.1, menunjukkan gambaran umum distribusi angintekanan terestrial (bumi). Pola sebenamya sangat berbeda dari pada yang ditunjukkan pada Gambar 5.1, akibat ketidakteraturan Meteorologi Indonesia Volume 1
123
(irregular) pemanasan permukaan bumi dan efek perpindahan (migration) daerah tekanan rendah dan tekanan tinggi. Perlu dicatat bahwa angin memusat (convergence) pada pita (band) tekanan rendah, yang ditandai oleh gerak udara naik, dan menyebar (divergence) dari sabuk tekanan tinggi, yang ditandai oleh gerak udara turun secara vertikal.
Gambar 5.1. Sistem angin dan tekanan terestrial ideal (idaman).
Karena sifat permukaan bumi tidak homogen, maka pola skematik pada Gambar 5.1 mengalami banyak modifikasi seperti terlihat pada Gambar 5.2 yang menunjukkan angin rata-rata untuk bulan Januari dan Juli di Indonesia. Peta angin ini menunjukkan kondisi rata-rata. Sabuk (belt) tekanan dan angin pada umumnya dari hari ke hari kondisinya dapat sangat berbeda. Akan sangat bermanfaat untuk meninjau sabuk tekanan dan angin dengan menunjuk pada kondisi rata-rata riil dan kondisi ideal, agar dapat menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan pola angin ideal (idaman) dan angin rata-rata rill. Sabuk (belt) tekanan planeter terdiri dari: a. Daerah Angin Tenang Ekuatorial Sepanjang tahun terdapat sabuk tekanan rendah mengelilingi bumi dalam daerah ekuatorial akibat pemanasan bumi berlebihan pada daerah ini. Setelah tengah hari (sore hari) biasanya terjadi hujan deras 124
Meteorologi Indonesia Volume 1
(shower) dari konveksi kuat dan pendinginan adiabatik di mana temperatur hariannya paling tinggi. Kebanyakan gerak udara di sini adalah vertikal dengan angin lemah dan berubah-ubah (variable), yang biasanya mempunyai gerakan ke arah barat. Jadi, daerah ini dikenal sebagai sabuk angin tenang ekuatorial (belt of equatorial calms). Atmosfer terik (hot), lembap, lengket (sticky) dan menyesakkan napas dengan angin tenang dan laut seperti kaca yang licin disebut daerah melempem atau daerah angin tenang (doldrums). Selama musim dingin belahan bumi utara (BBU), tekanan rendah ekuatorial bergerak ke arah selatan akibat efek pemanasan benua Australia dalam musim panas belahan bumi selatan (BBS). Tetapi selama musim panas BBU ketika matahari berada di utara ekuator, terjadi gerakan sabuk tekanan rendah agak jauh ke utara akibat pemanasan daerah-daerah kontinental yang luas. Perlu diperhatikan bahwa posisi daerah melempem (doldrums) rata-rata tahunan pada umumnya terletak di utara ekuator atau di belahan bumi utara (BBU).
Gambar 5.2. Angin rata-rata pada ketinggian 5.000 kaki di atas Indonesia Atas: Januari dan bawah: Juli. Meteorologi Indonesia Volume 1
125
b. Sabuk Angin Tenang Subtropis Dalam gambar ideal (Gambar 5.1) ada dua sabuk (belt) yang ditandai oleh tekanan tinggi (sering disebut tekanan tinggi subtropis) dan angin relatif lemah atau tenang yang terjadi secara simetris terhadap ekuator pada lintang 30° U dan 30° S. Subsidensi (penurunan) udara yang mempertahankan pola tekanan tinggi dipanasi secara adiabatik, sehingga menghasilkan kelembapan relatif rendah dan langit cerah. Sifat kering udara yang turun ini menyebabkan gurun-gurun besar pada atau di sekitar lintang-lintang kuda (horse latitudes) yaitu lintang 30° utara dan selatan. Pada BBS, lintang kuda kebanyakan berada di atas laut, sehingga kondisinya agak serbasama (uniform) sepanjang tahun. Konfigurasi tahunan hampir serupa dengan pola idaman, kecuali pada kontinental yang mematahkan punggung tekanan tinggi. Patahan-patahan ini menjadi kurang nyata dalam musim dingin BBS (Juli) akibat pendinginan darat yang meningkatkan subsidensi udara dan memperbesar sabuk tekanan tinggi. Pada BBU, terjadi modifikasi pola idaman tahunan lebih drastis (tegas) yang mengikuti variasi temperatur di lautan (osean). Selama musim dingin BBU, sabuk tekanan tinggi secara kasar mengelilingi bumi, meskipun posisinya di atas kontinen bergeser ke utara dan di atas osean ke selatan dari lintang paralel 30°. Juga, tekanan tinggi secara rata-rata diperkuat di atas kontinen, terutama di atas Asia, di mana tekanan tinggi Siberia sangat kuat sebagai konsekuensi pendinginan (refrigeration) yang nyata massa daratan luas ini. Selama musim panas BBU ada sebagian pembalikan tekanan di atas Amerika Utara dan pembalikan sangat kuat di atas Asia. Pada waktu bersamaan, intensifikasi sabuk tekanan tinggi terjadi di atas lautan karena relatif dingin terhadap kontinen. Daerah tekanan tinggi sebelah barat Amerika Serikat dikenal sebagai tekanan tinggi Pasifik, sedangkan di atas Samudera Atlantik sering menunjukkan ganda (doublet) yang dikenal sebagai tekanan tinggi Bermuda dan Azores. b. Sabuk Tekanan Rendah Subpolar Meskipun observasi pada lintang-lintang oseanik tinggi BBS relatif jarang, tetapi cukup memberi indikasi bahwa ada perubahan kecil dari musim panas ke musim dingin. Keadaan ini diduga terjadi 126
Meteorologi Indonesia Volume 1
pada daerah lautan BBS yang menempati cukup besar pada lintanglintang subpolar. Tetapi di BBU terjadi perubahan tahunan yang cukup besar pada daerah ini akibat beda temperatur yang nyata antara darat dan air. Dalam bulan Januari, tekanan rendah membalik menjadi tekanan tinggi di atas darat untuk membentuk tekanan tinggi Kanada dan Siberia, tetapi menjadi daerah tekanan rendah sangat kuat dan berpotensial menjadi badai (stormy) di atas Samudera Atlantik Utara dan Pasifik Utara yang relatif panas dengan memakai referensi tekanan rendah Iceland dan Aleutian. d. Tekanan Tinggi Polar Secara rata-rata, daerah tekanan tinggi berada di atas kedua daerah polar (kutub). Tetapi, intensitas dan lokasi pusat tekanan tinggi ini diketahui berubah, jarang terpusat pada kutub-kutub geografis. Hasil-hasil eksplorasi daerah polar selama Tahun Geofisika Intemasional dan Kooperasi Geofisika Intemasional (19571959) telah banyak menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang meteorologi daerah polar. 5.3. Sirkulasi Atmosfer Global Karena angin planeter secara fisis adalah bagian dari pola global yang melibatkan sabuk tekanan seperti diuraikan pada subbab 5.2, maka angin ini sangat berbeda dari pola idaman (ideal). Variasi ini sangat jelas, ketika darat dan air menyebabkan beda distribusi dan variasi temperatur. Dalam subbab 5.3 akan dibahas tentang pengetahuan angin planeter dalam sebuah sistem tunggal yang mampu menjelaskan pola-pola angin global yang diamati. Karena pengetahuan angin paras atas (upper level) masih terbatas maka penjelasan sumber sirkulasi umum (general) masih mengandung banyak masalah dalam Sains Atmosfer. Salah satu cara pendekatan masalah yang baik adalah dengan meninjau, pertama, teori klasik berdasarkan pada konveksi, kemudian kedua, dengan mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih baru. Pola gerak atmosfer pada saat tertentu selalu menunjukkan kompleksitas yang besar. Gerak udara di atas bumi mempunyai karakteristik bentuk umum yang sebenarnya tersembunyi oleh Meteorologi Indonesia Volume 1
127
superposisi banyak unsur gerak udara skala yang lebih kecil. Harus dipahami bahwa atmosfer adalah sebuah sistem yang sangat nonlinier yaitu selalu ada interaksi antara sistem-sistem gerak skala berbeda. Konsekuensinya, sistem gerak skala besar secara fisis tidak dapat dipisahkan dari sistem skala yang lebih kecil. Salah satu metode untuk mengeluarkan bentuk-bentuk kecil ini adalah melakukan rata-rata membujur (longitudinal) atau rata-rata waktu. Gerak skala kecil biasanya mempunyai perluasan membujur sangat terbatas, dan mempunyai periode waktu relatif singkat. Kompleksitas pola gerak udara yang disebabkan oleh kehadiran gerak-gerak skala kecil ini dapat dikeluarkan dengan merata-ratakan medan angin di atas lingkaran membujur dan/atau pada periode waktu yang diperpanjang, misalnya satu bulan. Medan-medan yang dirata-ratakan secara membujur (longitudinally) dan waktu adalah pokok pembicaraan dalam subbab 5.3 ini. a. Sirkulasi Hadley Model pertama yang menggambarkan pola sirkulasi udara global dikemukakan oleh G. Hadley pada tahun 1735. Sirkulasi Hadley pada dasarnya adalah sirkulasi termal langsung seperti dideskripsikan pada Gambar 5.3. Berdasarkan pengamatan, udara dalam lintanglintang rendah lebih panas dari pada udara dalam lintang-lintang tinggi. Jadi udara tropis akan naik secara vertikal dan bergerak ke arah utara dalam troposfer atas, sedangkan udara polar dingin akan turun dan bergerak ke arah selatan dalam troposfer bawah. Udara tropis panas yang bergerak ke utara akan kehilangan banyak energi panasnya melalui pendinginan radiatif sebelum udara panas ini mencapai daerah polar (kutub) untuk mengganti udara dingin yang turun dan bergerak ke selatan. Udara dingin dan kutub akan menyerap panas dan tanah (udara dingin ini dipanasi secara radiasi) dalam lintang-lintang rendah dan kemudian naik dalam daerah ekuatorial. Bentuk esensial sirkulasi Hadley diilustrasikan dalam Gambar 5.3. Sirkulasi termal jenis ini dengan jelas mampu mengangkut energi termal ke arah kutub untuk mengimbangi sekurang-kurangnya sebagian (dan diharapkan semuanya) kelebihan (surplus) energi radiasi di daerah ekuatorial dan kekurangan (deficit) energi radiasi di daerah polar. Meskipun demikian model ini mempunyai beberapa cacat dinamis yang cukup serius. 128
Meteorologi Indonesia Volume 1
Ada hubungan antara distribusi tekanan dan sirkulasi yang digerakkan secara termal. Menurut Gambar 5.3, ada perubahan (gradient) tekanan dari ekuator ke kutub, karenanya ada gaya gradien tekanan dari kutub ke ekuator dalam troposfer bawah dan gaya gradien tekanan dari ekuator ke kutub dalam troposfer atas. Rotasi bumi menimbulkan gaya deflektif (penyimpang) yang disebut gaya Coriolis yang menyimpangkan angin ke arah sejajar dengan isobar sehingga keseimbangan geostropik secara pendekatan dapat dipertahankan. Ini berarti bahwa angin di troposfer akan mempunyai komponen timuran (easterly) kuat di lapisan bawah dan komponen baratan (westerly) kuat di lapisan atas. Besar gaya Coriolis adalah:
Fc = 2 . sin . v
(5.1)
Keterangan : 2 Fc : gaya Coriolis per satuan massa dalam ms : kecepatan sudut rotasi bumi 5 1 = 7,29 x 10 rad . s : lintang tempat geografi dalam derajat 1 v : kecepatan angin dalam ms
Gambar 5.3. Model sel Hadley. Udara naik secara lambat di daerah tropis panas dan bergerak ke utara, kehilangan energi termal oleh radiasi, kemudian turun di atas daerah polar dingin dan kembali ke lintang-lintang rendah dalam atmosfer bawah dekat permukaan bumi. Meteorologi Indonesia Volume 1
129
Disebabkan oleh gaya gesekan antara permukaan bumi dan troposfer bawah, angin timuran dalam atmosfer bawah mengarah pada alih momentum baratan yang konstan dari bumi ke atmosfer atau sebuah alih momentum timuran dan atmosfer ke bumi. Perubahan konstanta momentum sudut antara bumi dan atmosfer demikian tidak dipenuhi dalam keadaan mantap (steady state). Jika kecepatan angin rata-rata dalam atmosfer bawah mempunyai komponen timuran dalam daerah yang satu, maka di beberapa daerah lain kecepatan angin ratarata harus mempunyai komponen baratan, sehingga pertukaran momentum sudut neto antara bumi dan atmosfer adalah nol. b. Observasi Sirkulasi Global Ada perbedaan yang besar antara model Hadley dan pola sirkulasi global yang diamati. Pengamatan distribusi tekanan dan angin permukaan disajikan secara skematik dalam Gambar 5.4. Di atas ekuator ada sabuk tekanan rendah ekuatorial (equatorial low pressure belt), pada sekitar lintang 30° U dan 30° S (lintang-lintang kuda) terdapat sabuk tekanan tinggi subtropis (subtropical high pressure belts). Antara sabuk tekanan rendah ekuatorial dan sabuk tekanan tinggi subtropis, angin adalah timur lautan (northeasterly) di BBU dan tenggaraan (southeasterly) di BBS, masing-masing disebut angin pasat timur laut dan tenggara. Nama angin pasat (trade winds) muncul karena sirkulasi angin ini sangat penting untuk navigasi kapal layar "perdagangan" ("trader”). Antara sabuk tekanan tinggi subtropis dan kedua sabuk tekanan rendah yang dijumpai pada lintang sekitar 60° U dan 60° S, angin utama adalah baratan. Pada kutub utara dan selatan biasanya daerah tekanan tinggi, dan angin di daerah polar biasanya timuran. Distribusi tekanan dan angin secara skematik ditunjukkan pada Gambar 5.4. Lokasi batas-batas antara berbagai daerah mempunyai variasi musiman yang besar. Pada setiap hari khusus, distribusi tekanan dan angin juga mempunyai variasi zonal (timur barat) yang besar.
130
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 5.4. Ilustrasi skematik distribusi tekanan dan angin pennukaan yang diamati.
c. Model Triseluler Sirkulasi Atmosfer Sampai pertengahan abad ke 20, penjelasan sirkulasi umum atmosfer berdasarkan pada gradien (beda) temperatur ekuatorial polar dan rotasi bumi. Pusat panas (tekanan rendah) ekuatorial dan pusat dingin (tekanan tinggi) polar sebagai dasar model sirkulasi Hadley tidak lagi menggambarkan sirkulasi global yang diamati. Sirkulasi langsung secara termal model Hadley tidak mungkin dapat menjelaskan tekanan yang diamati. Distribusi angin permukaan yang diamati adalah paduan keseimbangan gaya gradien tekanan, gaya Coriolis, dan gaya gesekan permukaan. Menurut Maury (1855), sirkulasi atmosfer meridional terdiri atas dua sel, yaitu satu sel pada daerah antara ekuator dan lintang sekitar 30° Utara atau Selatan disebut sirkulasi Hadley dan satu sel tak langsung (indirect cel) pada lintang tinggi. Ferrel (1856) telah mengkaji bahwa tekanan tinggi (H) di lintang sekitar 30° U atau S (lintang kuda) dan tekanan rendah terdapat di daerah ekuator dan kutub. Sirkulasi Meteorologi Indonesia Volume 1
131
atmosfer meridional yang diusulkan Ferrel (1856) mirip dengan teori Maury (1855), tetapi terdiri atas 3 sel sirkulasi, yaitu sel Hadley, sel Ferrel, dan sel Polar (lihat Gambar 5.5). Teori baru tentang sirkulasi meridional telah banyak dikaji oleh beberapa ahli, misalnya, Rossby (1941), Palmen (1954), dan lain-lain. Para ahli ini mengemukakan teori sirkulasi atmosfer meridional yang mirip dengan teori Ferrel, yaitu terdiri atas 3 sel sirkulasi.
Gambar 5.5. Pola sirkulasi atmosfer meridional skematik di belahan bumi utara (BBU). Tanda panah pada setengah lingkaran belahan bumi menunjukkan arah angin permukaan.
Gambar 5.5, menunjukkan ilustrasi skematik penampang vertikal sirkulasi meridional rata-rata di BBU. Ada tiga sel (triseluler) sirkulasi atmosfer yaitu; set Hadley termal langsung yang meluas sampai lintang 30° U, sel Ferrel termal tidak langsung yang mencakup daerah antara 30° U dan 60° U, dan sel sirkulasi polar yang agak lemah. Sirkulasi termal langsung dengan udara naik di daerah ekuatorial yang dikemukakan Hadley, keberadaannya sekarang disebut sel Hadley, tetapi penjalaran ke arah kutub sel ini hanya mencapai lintang sekitar 30° U. Antara lintang 30° U dan 60° U yang terdapat gradien temperatur utaraselatan paling kuat, sirkulasi meridional rata-rata berlawanan arah dengan sirkulasi termal langsung. Sirkulasi termal tidak langsung ini disebut sel Ferrel, udara naik di daerah lebih dingin pada lintang sekitar 60° U dan turun di daerah lebih panas sekitar lintang 30° U. Selain sel Hadley dan Ferrel, ada sel ketiga di atas daerah polar, disebut sel Polar yang mempunyai sirkulasi sangat lemah. 132
Meteorologi Indonesia Volume 1
Dari data pengamatan pada musim dingin dan musim panas di BBU, diperoleh bahwa terdapat variasi musiman yang besar baik posisi maupun kekuatan sel sirkulasi. Sel Hadley jauh lebih kuat dalam musim dingin daripada dalam musim panas. Selama musim panas, sel Hadley digerakkan ke arah utara ke dalam daerah antara 15° U dan 45° U. Penurunan cabang sel Hadley BBS menjalar ke utara sejauh 15° U. Juga sel Ferrel mengalami variasi posisi musiman. Selama musim panas, sel Ferrel berlokasi dalam daerah antara 45° U dan 65° U. Selama musim dingin, sel ini mencakup daerah antara 35° U dan 75° U. Sel polar kurang terdeteksi karena data pengamatan di daerah polar sangat jarang dan sirkulasi sel polar sangat lemah. Permukaan bumi di daerah tropis kebanyakan diliputi oleh laut, karena udara dalam daerah angin pasat bergerak ke ekuator yang mengumpulkan panas sensibel (panas yang dapat dirasakan) dan uap air dari permukaan laut, maka terdapat lapisan udara lembap dalam troposfer bawah. Stratifikasi vertikal lapisan udara lembap biasanya adalah labil bersyarat (conditionally unstable) yaitu stabil di luar awan dan labil di dalam awan. Konveksi lembap dari awan-awan cumulus dapat teramati di daerah ini. Karena angin pasat berhembus ke ekuator, maka makin banyak uap air terakumulasi dalam lapisan lembap, sehingga lapisan lembap menjadi lebih tebal dan awan cumulus tumbuh lebih tinggi. Ketika udara mencapai cabang sel Hadley yang naik, biasanya udara ini mempunyai kadar uap air sangat tinggi, kondisi ini bila digabung dengan gerak udara naik yang mantap (steady) akan menghasilkan awan cumulonimbus yang sangat tebal dan tinggi. Pita (band) awan timur barat biasanya dapat diidentifikasi dari citra satelit terutama di atas Samudera Atlantik dan Pasifik, ini adalah daerah yang disebut Zona Konvergensi Antar Tropis, ZKAT (Inter-Tropical Convergence Zone ITCZ). Karena distribusi darat dan laut antara BBU dan BBS tidak simetris, maka ITCZ kebanyakan terletak dalam daerah antara ekuator dan 10° U.
Meteorologi Indonesia Volume 1
133
d. Angin Monsun Kata "monsoon" artinya season (bahasa Inggris) atau mausim (bahasa Arab) atau musim (bahasa Indonesia). Angin monsun adalah angin yang arahnya berbalik secara musiman. Pembalikan arah angin jelas membutuhkan pembalikan gaya gradien tekanan (gaya yang disebabkan oleh beda tekanan atmosfer). Gaya gradien tekanan (Fp) dapat dieksresikan sebagai berikut : (5.2)
Angin di mana ada keseimbangan antara gaya gradien tekanan dan gaya Coriolis disebut angin geostrofik. Angin geostrofik sejajar isobar dan terjadi pada ketinggian sekitar 1500 m di mana efek gesekan permukaan dapat diabaikan. Angin geostrofik dapat diekspresikan sebagai berikut: (5.3) Keterangan : Vg : kecepatan angin geostrofik p : beda tekanan tinggi dan tekanan rendah n : jarak dua isobar : densitas udara f : parameter Coriolis, f = 2 sin : lintang geografis : kecepatan sudut rotasi bumi 5 1 = 7,29 x 10 rad . s Tanda negatif pada persamaan (5.2) menunjukkan bahwa gaya gradien tekanan Fp mempunyai arah dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. 134
Meteorologi Indonesia Volume 1
Angin monsun disebabkan oleh beda sifat fisis antara osean dan kontinen; kapasitas panas osean lebih besar dari pada kontinen. Permukaan osean memantulkan radiasi matahari lebih banyak dari pada permukaan daratan (kontinen), dan radiasi matahari dapat memasuki air sampai dalam dengan bantuan gerakan air (arus laut), sedangkan di darat panas hanya mencapai beberapa sentimeter saja. Hasil dari beda sifat fisis ini adalah osean lambat panas bila ada radiasi matahari dan lambat dingin bila tidak ada radiasi matahari, dibandingkan kontinen. Akibatnya, osean lebih dingin dalam musim panas dan lebih panas dalam musim dingin dibandingkan kontinen. Pergantian dari musim dingin ke musim panas atau sebaliknya, dapat membalikkan arah gaya gradien tekanan, dengan demikian angin monsun mengalami pembalikan arah, lihat Gambar 5.6. Arah gaya gradien tekanan dari kontinen ke osean dalam musim dingin dan dari osean ke kontinen dalam musim panas.
Gambar 5.6. Gaya gradien tekanan dalam musim dingin dan musim panas
Secara latitudinal (melintang) dan longitudinal (membujur), Indonesia di bawah pengaruh kekuasaan (regime) sirkulasi ekuatorial dan monsunal yang sangat berbeda karakteristiknya. Monsun dapat digambarkan sebagai fenomena angin laut raksasa akibat beda panas BBU BBS yang dikaitkan dengan migrasi matahari tahunan. Anggap bahwa udara dingin di BBS (belahan bumi selatan) dipisahkan oleh udara panas di BBU (belahan bumi utara) oleh sebuah dinding yang berdiri pada ekuator, seperti ditunjukan secara bagan pada Gambar 5.7. Meteorologi Indonesia Volume 1
135
Gambar 5.7. Bagan gaya gravitasional monsun.
Tekanan permukaan (berat total kolom udara persatuan luas) lebih besar di BBS dari pada di BBU. Gradien tekanan dari selatan ke utara menunjukkan adanya energi potensial. Jika dinding diambil maka udara dingin mulai turun dan bergerak ke utara, sedangkan udara panas naik dan bergerak ke selatan, jadi ada kenaikan energi kinetik akibat energi potensial. Jungkir balik vertikal ini bergantung pada musim yang mendefinisikan sirkulasi monsun. Beda panas utara — selatan yang sangat penting diperkirakan antara benua Asia dan ocean Hindia. Selama musim panas boreal (BBU), benua Asia dipanasi secara efektif dan luas. Puncak gunung yang tinggi seperti dataran tinggi (plateau) Tibet, memberi kontribusi secara langsung udara troposferis tengah. Daerah monsun adalah daerah di mana sirkulasi atmosfer permukaan dalam bulan Januari dan Juli memenuhi persyaratan berikut (Ramage, 1971). a. Arah angin utama pada bulan Januari dan Juli berbeda paling sedikit 120°. b. Frekuensi angin utama rata-rata dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%. c. Kecepatan angin paduan rata-rata sekurang-kurangnya satu 1 bulan melebihi 3 ms . d. Indeks monsun 40%, daerah non monsunal mempunyai indeks monsun 40%. 136
Meteorologi Indonesia Volume 1
Untuk menghitung indeks monsun (I), pertama ditinjau angin utama yang rnempunyai penyimpangan sekurang-kurangnya 120° antara bulan Januari dan Juli, kemudian dianalisa frekuensi rata-rata arah angin utama (prevailing winds) masing-masing dalam bulan Januari dan Juli sebagai berikut : (5.4) Keterangan : Fjan : frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Januari (%) Fjul : frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Juli (%) Monsun adalah angin periodik dengan periode musiman. Daerah monsun dibatasi oleh garis bujur 30° B dan 170° T dan oleh garis lintang 35° U dan 25° S (Ramage, 1971). Jadi jelas benua maritim Indonesia termasuk dalam daerah monsun. e. Sirkulasi Walker Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal (timur — barat) sepanjang ekuator. Pada tahun normal, sirkulasi ini ditandai oleh kenaikan udara di Samudera Pasifik bagian barat dekat benua maritim Indonesia dan penurunan udara di Samudera Pasifik bagian timur lepas pantai Amerika Selatan, lihat Gambar 5.8. Sirkulasi ini dinamakan Sirkulasi Walker sebagai penghargaan bagi Sir Gilbert Walker yang pada tahun 1920an telah mengetahui adanya variasi tekanan atmosfer timur barat sepanjang Samudera Pasifik. Tekanan jungkat-jungkit (see saw) Walker disebut Osilasi Selatan untuk membedakannya dari osilasi tekanan serupa seperti Osilasi Atlantik Utara dan Osilasi Pasifik Utara.
Meteorologi Indonesia Volume 1
137
Gambar 5.8. Sirkulasi zonal ekuatorial dalam tahun-tahun non El Nino.
Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi temperatur permukaan laut (TPL) di Samudera Pasifik bagian timur dan bagian barat. Perubahan dalam TPL dan karenanya kadar panas osean kemudian dialihkan kedalam atmosfer dalam bentuk perubahan tekanan atmosfer. Berdasarkan pengamatan ini diketahui bahwa ada kopel (perangkai) yang kuat antara osean dan atmosfer. Peristiwa ikatan osean dan atmosfer demikian disebut peristiwa ENSO (El Nino—Southern Oscillation). Dalam tahun-tahun El Nino terjadi subsidensi di atas benua maritim Indonesia dan awan-awan konvektif bergerak ke Pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang. ENSO dapat dikaji dari sistem sirkulasi pada paras (level) 850 mb dan 200 mb, lihat Gambar 5.9. Model dasar interaksi osean adalah kenaikan temperatur Samudera Pasifik Ekuatorial. Di atas pusat anomali temperatur ini akan terjadi banyak penguapan dan konveksi kuat. Akibat gerak vertikal ini maka angin pasat di sebelah barat pusat anomali temperatur akan melemah dan angin pasat di sebelah timur pusat ini akan menguat, lihat Gambar 5.10.
138
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 5.9. Sirkulasi zonal ekuatorial dalam tahun-tahun El Nino.
Gambar 5.10. Bagan sirkulasi dasar dalam tahun El Nino.
Peristiwa El Nino ditandai oleh indeks osilasi selatan (IOS) negatif. IOS dihitung dari beda tekanan atmosfer di atas Tahiti dan di atas Darwin. keduanya terletak di belahan bumi selatan. IOS bernilai negatif artinya tekanan atmosfer di atas Darwin (Australia) lebih besar dibandingkan tekanan atmosfer di atas Tahiti. ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika terjadi peristiwa ENSO, sirkulasi zonal di atas Indonesia menyebar, sehingga Meteorologi Indonesia Volume 1
139
terjadi subsidensi udara atas yang lebih kering. Divergensi massa udara mengakibatkan awan-awan yang terbentuk bergeser ke Pasifik bagian tengah dan timur, sehingga di atas wilayah Indonesia terjadi defisiensi curah hujan bahkan dapat terjadi bencana alam kekeringan. Keterlambatan musim tanam padi terjadi pada tahun-tahun ENSO dibandingkan dalam kondisi normal. Tanpa bantuan irigasi maka produksi pangan akan turun. Tahun ENSO juga mengakibatkan musim kemarau panjang atau musim hujan pendek. 5.4. Angin Lokal dan Angin Föhn a. Angin Darat dan Laut Proses terjadinya angin darat dan laut pada dasarnya sama dengan angin monsun yaitu disebabkan oleh beda sifat fisis antara permukaan darat dan laut. Periode angin monsun adalah musiman, sedangkan angin darat dan laut adalah harian. Beda panas antara permukaan darat dan air adalah penyebab utama pembentukan angin darat dan laut. Pada siang hari, darat agak cepat panas jika ada radiasi matahari, sedangkan permukaan air lebih dingin, karena panas hilang pada lapisan air yang lebih tebal oleh turbulensi dan gelombang dan oleh penetrasi langsung dan absorpsi. Akibatnya terjadi sel konveksi kecil sehingga angin dekat permukaan bumi berhembus ke darat disebut angin laut (the sea breeze), lihat Gambar 5.11. Pada malam hari, darat lebih cepat dingin akibat kehilangan radiasi gelombang panjang, sedangkan air karena inersia termalnya menjadi tetap panas dengan temperatur hampir sama seperti ketika siang hari, sehingga pola tekanan harian berbalik dan terbentuk angin darat (the land breeze) karena udara darat yang relatif dingin bergerak ke area tekanan lebih rendah di atas laut.
140
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 5.11. Pola dasar angin darat dan laut : a) angin laut slang hari dan b) angin darat malam hari. Garis-garis horizontal menunjukkan permukaan isobaris.
Angin laut biasanya lebih kuat dibandingkan angin darat, -1 kecepatannya mencapai 4-8 ms dan ketebalan lapisan udara mencakup ketinggian 1000 m. Angin laut di tropis dapat masuk kedarat sejauh 100 km. Di beberapa lokasi, angin laut mungkin dapat mendorong rintangan (barrier) topografis pantai dan menembus ke darat. Membedakan angin laut pada jarak lebih 50 km dari pantai akan sulit karena angin ini berinteraksi dengan sirkulasi lokal lain. Pada beberapa jarak di darat. udara naik pada bagian konveksi angin laut dan kembali ke laut pada sekitar 1500-3000 m. Angin laut biasanya muncul dekat pantai beberapa jam setelah matahari terbit dan mencapai maksimum ketika beda temperatur darat laut mencapai maksimum. Secara musiman, angin laut paling Meteorologi Indonesia Volume 1
141
kuat jika insolasi (insolation) kuat, karena itu pertumbuhan angin laut paling baik selama musim kering. Di luar tropis, musim panas merupakan musim angin laut kuat karena kecepatan angin sirkulasi umum lemah dan massa udara labil menguntungkan pembentukan angin laut. Kekuatan dan arah angin laut dikendalikan oleh faktor-faktor lokal; temperatur air permukaan dingin disebabkan oleh arus laut dingin atau kenaikan (upwelling) air dari bawah akan meningkatkan kekuatan angin laut. Faktor-faktor yang meningkatkan temperatur di atas darat pada siang hari, misalnya kurangnya tanaman dan permukaan kering mempunyai efek yang sama. Tutupan tanaman lebat, rawa atau sawah yang kebanjiran (flooded ricefield) biasanya menurunkan kekuatan angin laut karena kondisi ini akan menurunkan beda temperatur darat laut. Adanya gunung dekat pantai sering menimbulkan sistem angin gabungan angin laut lembah. Jika angin laut memusat (konvergen) dengan angin dari arah berbeda maka sering terbentuk "front angin laut" yang dapat menyebabkan pembentukan awan lokal dan hujan. Misalnya angin laut di Kepulauan Hawaii berinteraksi dengan angin pasat. Awan tumbuh dalam zona konvergensi antara sistem skala sinoptik dan lokal yang berlawanan ini. Di atas pulau dan semenanjung (peninsulas), sistem angin laut yang konvergen dan pantai yang berhadapan (opposite coasts) dapat menyebabkan curah hujan maksimum sore hari (afternoon) yang reguler. Angin darat lebih lemah dari pada angin laut dalam kebanyakan iklim tropis. lni disebabkan beda temperatur darat — laut di tropis jauh lebih besar akibat pemanasan slang hari dari pada akibat pendinginan waktu malam hari. Penyebab utamanya adalah pendinginan cepat permukaan darat sepanjang malam hari. Pengaruh pendinginan ini terbatas pada lapisan udara permukaan yang tipis, sehingga angin darat jarang mempunyai kecepatan melebihi 3 ms', tetapi kecepatannya dapat meningkat oleh arus katabatik (katabatic flow). Ketebalan lapisan udara dalam angin darat biasanya hanya beberapa meter. Angin darat secara normal tidak mencapai lebih dari 15 20 km ke laut. Angin darat biasanya 142
Meteorologi Indonesia Volume 1
mulai sekitar 3 jam setelah matahari terbenam dan meningkat kecepatannya sampai matahari terbit dan masih terus berhembus setelah matahari terbit. Malam yang panjang dan cerah yang terjadi selama musim kering, untuk daerah di luar tropis selama musim dingin juga kondisi menguntungkan terjadinya angin darat. Semua sirkulasi lokal dipengaruhi oleh angin sirkulasi general tanpa kecuali angin laut dan darat. Jika angin skala sinoptik kuat maka angin laut dan darat tidak terjadi, karena turbulensi mencegah beda temperatur dan tekanan lokal antara permukaan air dan darat. Untuk angin general yang lebih lemah maka angin laut dan darat umumnya tidak berubah baik arah maupun kecepatannya. Di daerah angin melempem (doldrum) dan dekat ekuator di mana angin skala sinoptik sangat lemah maka sirkulasi lokal mendominasi. Variasi lain angin laut dan darat dikaitkan dengan bentuk umum garis pantai yang dapat menyebabkan konvergensi atau divergensi. Konvergensi dan pembentukan awan didukung di atas tanjung (headlands) sedangkan divergensi dan garis-garis patah pembentukan awan lebih didukung di atas teluk (bays). Sistem angin laut — darat terjadi di atas pulau yang tidak sangat kecil (minimum diameter sekitar 15 km). Di atas laut, seperti Selat Malaka, konvergensi angin darat yang berlawanan dapat terjadi pada malam hari yang menimbulkan hujan. Seperti halnya kebanyakan angin lokal, maka angin laut dan darat tidak dipengaruhi oleh gaya Coriolis, kecuali jika angin ini berhembus pada jarak yang jauh pada lintang-lintang ekstra—tropis. Di luar tropis, gaya Coriolis dapat menyebabkan sedikit penyimpangan yang menjadi sejajar dengan pantai, tetapi situasi ini jarang ditemui pada lintang-lintang rendah. Angin darat dan laut dapat berinteraksi dengan angin gradien skala sinoptik yang menghasilkan angin paduan (resultant winds) yang berhembus miring terhadap garis pantai. Misalnya angin gradien yang berhembus paralel dengan pantai di atas darat dapat berinteraksi dengan angin laut yang menghasilkan angin pantai paduan (resultant onshore wind) yang bertiup dengan sudut 45° terhadap garis pantai.
Meteorologi Indonesia Volume 1
143
Dalam praktek angin laut dan darat sangat penting. Secara tradisional nelayan (fisherman) menggunakan angin darat untuk melaut pada pagi-pagi sekali dan kembali ke darat dengan angin laut pada sore hari. Sirkulasi pantai lokal tidak menguntungkan karena pada dasarnya sel sirkulasi tertutup. Karena alasan ini maka lokasi aktivitas yang menimbulkan pencemaran udara dalam daerah pantai tropis di mana angin laut dan darat secara klimatotogis menjadi penting sebaiknya harus dihindari. lni disebabkan polutan yang diemisikan pada siang hari meskipun dihamburkan secara vertikal dalam kenaikan sel angin laut menuju darat (landward), akan kembali ke permukaan menuju laut dan darat. Pada malam hari subsidensi di atas darat dapat pula membawa polutan kembali turun ke permukaan. Di Jakarta angin laut dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi di daerah-daerah lintang menengah dan tinggi angin laut dibatasi oleh musim-musim yang lebih panas. Meskipun di Indonesia pengaruh angin musim cukup besar, tetapi pengaruh angin laut dan angin darat masih dapat dirasakan, terbukti dengan perahu-perahu layar nelayan yang pergi mencari ikan pada malam hari dengan bantuan angin darat dan perahu-perahu layar tersebut kembali ke pantai besok siangnya dengan bantuan angin laut. Di Indonesia dimana lintang geografisnya cukup kecil, gaya Coriolis tidak banyak berpengaruh. Gaya Coriolis pada persamaan (5.1) dapat dituliskan dengan ekspresi berikut : Fc = 2 sin V sin dimana V adalah kecepatan angin, adalah lintang geografis, dan adalah kecepatan sudut rotasi bumi yang besarnya sama dengan 5 1 7,29 x 10 detik . Kekuatan dari angin laut bergantung pada perbedaan temperatur antara darat dan laut, makin besar perbedaannya makin kuat anginnya. Gambar 5.12, menunjukkan perbedaan temperatur antara darat dan laut, dan hubungannya dengan komponen kecepatan angin laut pada ketinggian 900 m.
144
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 5.12. Perbedaan temperatur permukaan darat—laut dan hubungannya dengan kecepatan angin laut (Wyatt, 1963).
b. Angin Gunung dan Lembah Di daerah pegunungan tropis. sering terjadi sistem angin harian yang kuat dan reguler, yang disebabkan oleh pemanasan dan pendinginan udara pada lereng. Pada siang yang bermatahari lereng gunung mendapat panas secara cepat akibat radiasi yang diterima besar. Atmosfer bebas di atas dataran rendah kurang dipengaruhi oleh masukan insolasi besar ini sehingga udara sedikit lebih dingin dibandingkan udara di atas lereng gunung. Karena itu udara lereng gunung menjadi labil dan cenderung menaiki lereng disebut angin lembah (valley wind) atau arus anabatik, lihat Gambar 5.13a. Angin lembah dengan mudah dapat dikenali karena sering dibarengi dengan formasi awan cumulus dekat puncak gunung atau di atas lereng gunung (escarpments). Pada malam hari, terjadi perbedaan temperatur kebalikannya, ketika dataran tinggi menjadi dingin secara cepat akibat kehilangan radiasi gelombang panjang. Udara yang lebih dingin (densitas lebih besar) kemudian bergerak menuruni lereng di bawah pengaruh gravitasi dan disebut angin gunung (mountain wind) atau arus katabatik, lihat Gambar 5.13b. Arus anabatik (anabatic flows) biasanya lebih kuat dan lebih persisten (tidak berubah-ubah) dari pada arus katabatik. Arus anabatik cenderung kuat di luar daerah tropis pada waktu musim panas, ketika Meteorologi Indonesia Volume 1
145
insolasi sangat kuat dan malamnya pendek. Dalam keadaan demikian angin anabatik (anabatic winds) dapat kontinyu sepanjang malam jika terjadi pada skala luas. Ini terjadi misalnya pada kaki bukit (foothills) gunung Himalaya. Untuk daerah Tanah tinggi Papua New Guinea dimana gunung besar mengelilingi cekungan terbuka (open basin), arus anabatik mantap pada sore hari mempunyai kecepatan 12 — 13 m/s. Angin anabatik biasanya memperkuat monsun atau angin pasat pada lereng di atas angin (windward side) gunung. Angin ini dapat memberi kontribusi pada curah hujan orografik, dan daerah ini sering memperlihatkan curah hujan maksimum pada sore hari (afternoon). Tetapi pada lereng di bawah angin (leewards slopes) angin anabatik biasanya ditindas oleh angin sirkulasi umum (atau monsun).
Gambar 5.13. Pola dasar angin lembah dan gunung : (a) angin lembah atau arus anabatik, siang hari dan (b) angin gunung atau arus katabatik malam hari. Gans-garis horizontal menunjukkan permukaan isobar*.
Angin katabatik biasanya lebih lemah dari pada angin anabatik karena beda termal biasanya lebih kecil dan gesekan mengurangi kecepatan angin dekat permukaan bumi. Tetapi angin katabatik dapat menjadi kuat keadaan ini terjadi untuk gunung tropis yang tinggi, karena efek elevasi maka pendinginan malam hari dapat sangat cepat di bawah keadaan langit cerah. Dalam keadaan ini, arus katabatik dapat sangat kuat, kecepatannya melebihi 15 m/s pada Gunung Wihelm di Papua New Guinea. Efek utama yang tampak dari angin katabatik adalah 146
Meteorologi Indonesia Volume 1
pembuyaran cepat awan-awan dekat puncak gunung atau di atas lereng seperti Gunung Kenya. Udara dingin yang turun mengakibatkan formasi kabut lembah dan cekungan karena arus katabatik mendinginkan udara lembah sampai temperatur titik embunnya. Dalam anomali kondisi iklim seperti yang terjadi di Papua New Guinea selama peristiwa El Nino, arus katabatik sepoi-poi (gentle katabatic flow) dapat meningkatkan potensial formasi embun beku (frost). Arus katabatik dan angin darat dapat juga bergabung dalam area topografi pantai yang curam untuk meningkatkan arus udara lepas pantai (offshore) malam hari. Arus ini dapat memusat dengan arus musiman skala sinoptik yang arahnya berlawanan dan menghasilkan zona konveksi lepas pantai malam hari, lihat Gambar 5.14.
Gambar 5.14. Beda area zona konvektif lepas pantai sekitar Papua New Guinea selama (a) monsun barat laut (musim basah) dan (b) monsun tenggara (musim kering). Sumber Mc Gregor and Nieuwolt, 1998.
c. Angin Föhn Angin Föhn dikenal di Austria dan Jerman di mana angin ini sering ditemukan pada lereng utara pegunungan Alpen. Di sebelah barat Amerika Serikat dan Kanada, angin ini disebut chinook. Biasanya angin chinook disertai dengan aktivitas siklonik yang menghasilkan awan dan endapan pada lereng di atas angin (windward). Setelah angin Föhn turun pada lereng di bawah angin (leeward), maka udara mengalami pemanasan secara adiabatik sehingga kelembapannya kecil dan Meteorologi Indonesia Volume 1
147
temperaturnya menjadi semakin panas (Gambar 5.15). Angin yang lembap jika menaiki gunung akan menghasilkan hujan, kemudian pada waktu turun dari pegunungan akan bersifat panas dan kering. Tinjau proses terjadinya angin Föhn pada Gambar 5.15. Anggap bahwa angin relatif lembap menaiki daerah pegunungan dengan puncak 4000 m. Setelah udara naik setinggi 1500 (dasar awan) maka udara akan mengalami kondensasi dan terjadi pembentukan awan. Jika temperatur permukaan tanah adalah 10 °C, maka udara akan mengalami pendinginan sebesar 1°C/100 m, yaitu pada susut temperatur (lapse rate) adiabatik kering, dan temperatumya menjadi 5 °C pada dasar awan. Kenaikan udara selanjutnya menyebabkan pendinginan 0,6oC/100 m pada susut temperatur adiabatik jenuh karena adanya panas laten kondensasi yang diberikan pada udara.
Gambar 5.15. Terjadinya angin Föhn
Pada ketinggian 5500 m yaitu pada puncak awan maka temperaturnya menjadi 29 °C. Pada lereng di bawah angin (leeward), udara akan menjadi panas dengan 1 °C/100 m oleh proses adiabatik di bawah angin (leeward) menjadi 11 °C dibandingkan 5 °C pada lereng di atas angin (windward) ketinggian 1,5 km, dan pada waktu mencapai o permukaan tanah kembali temperaturnya menjadi 26 C dibandingkan dengan 10 °C pada waktu udara belum menaiki pegunungan. lni berarti 148
Meteorologi Indonesia Volume 1
pada waktu angin Föhn turun dari pegunungan, temperaturnya 16 °C lebih panas dari pada sebelum menaiki lereng pegunungan. Föhn yang sangat kuat tidak menyenangkan, karena angin tersebut panas, kering, dan kencang, sehingga dapat mempengaruhi macam-macam reaksi fisiologis (fisik) atau psikologis (jiwa) misalnya dapat lekas marah, sakit kepala dan sebagainya. Selain itu dapat juga menimbulkan kekeringan pada tanah, pohon-pohon, ranting, sehingga mudah menimbulkan kebakaran hutan. Di Indonesia, angin Föhn sering terjadi pada waktu musim kemarau atau musim timur, misalnya : "angin Gending" di Probolinggo, "angin Kumbang" di Tegal/Brebes, "angin Bohorok" di Deli, "angin Padang Lawas" di Sumatera Barat dan "angin Brubu" di Sulawesi Tenggara. Umumnya pegunungan di pulau Jawa berderet dari barat ke timur. Pada musim kemarau angin timur membelok ke utara, kemudian turun di sebelah utara pegunungan yang bersifat kering, panas, dan kencang. Sedangkan di lereng bagian selatan pegunungan angin akan naik dan akibat pengaruh orografi maka angin ini dapat mendatangkan hujan di lereng bagian selatan. 5.5. Siklon Tropis di Sekitar Perairan Indonesia Siklon tropis muncul di samudera tropis yang disertai dengan angin dahsyat berputar dan hujan sangat lebat. Pelepasan panas kondensasi oleh awan konvektif dalam badai merupakan sumber energi utama siklon tropis. Kebanyakan siklon tropis terbentuk pada daerah lintang antara 10° dan 20° dari ekuator. Tidak munculnya siklon tropis di daerah ekuatorial, menunjukkan pentingnya efek rotasi bumi atau gaya Coriolis yang menghasilkan vortisitas untuk pembentukan siklon tropis. Sekitar 67% kejadian siklon tropis terdapat di belahan bumi utara. Gelombang badai (storm surge) adalah meningkatnya permukaan laut sepanjang pantai secara cepat akibat angin siklon tropis yang menggerakkannya ke pantai. Siklon tropis yang menghantam Bangladesh pada tanggal 28 April 1991 berkecepatan 235 km/jam, Meteorologi Indonesia Volume 1
149
menyebabkan gelombang badai mencapai setinggi 6 meter dan menelan korban lebih dari 125.000 jiwa mati. Sebelumnya pada tanggal 13 November 1970, Bangladesh juga diterpa gelombang badai yang mencapai ketinggian 9 meter dan menelan korban sekitar 300.000 mati tenggelam. Tiap tahun muncul antara 80 dan 100 siklon tropis, menyebabkan kerugian ekonomi 6 sampai 7 milyar dolar A.S. Karena benua maritim Indonesia terletak di daerah yang dilalui ekuator geografis maka vortisitas akibat rotasi bumi tidak cukup untuk mengintensifkan siklon tropis. Gangguan dan depresi tropis dapat terjadi pada perairan Indonesia tetapi intesifikasi dan pertumbuhan selanjutnya menjadi badai atau siklon tropis terjadi pada lintang-lintang yang jauh dari ekuator yang mempunyai vortisitas cukup besar dan mengikuti punggung panas (thermal ridge) temperatur permukaan laut. Distribusi badai tropis bulanan menunjukkan bahwa badai tropis muncul sebagian besar pada akhir musim panas dan awal musim gugur, meskipun siklon tropis dapat terbentuk pada bulan apa saja di Pasifik bagian barat, lihat Gambar 5.16. Waktu hidup siklon tropis dari beberapa jam sampai dapat bertahan dua minggu, dan secara ratarata waktu hidup siklon tropis berkisar 6 hari sejak siklon tersebut mulai terbentuk sampai memasuki daratan atau membelok ke perairan subtropis yang lebih dingin.
Gambar 5,16. Jumlah global badai tropis bulanan, Sumber Anthens, 1982.
150
Meteorologi Indonesia Volume 1
Jika siklon tropis bergerak menjauhi lingkungan udara tropis yang lembap dan panas atau bergerak ke daratan maka siklon akan melemah intensitasnya yang selanjutnya akan mati. Ada tiga efek fisis utama yang menyebabkan kematian siklon tropis di atas daratan: I. Jika siklon tropis meninggalkan osean maka penguapan yang memberikan uap air untuk konveksi dan panas laten kondensasi akan berkurang. ii. Daratan lebih cepat dingin dari pada osean, sehingga temperatur potensial ekivalen turun dan udara yang naik menjadi lebih dingin. iii. Meningkatnya parameter kekasaran (Z0) di darat. Di atas air parameter kekasaran dinyatakan oleh persamaan Charnock : (5.4a) dengan: (5.4b) Keterangan: -2 g : gravitasi = 9,8 ms Ux : kecepatan gesekan yang didefinisikan dalam persamaan (5.4b) : tegangan permukaan : densitas udara permukaan Pada kondisi siklon tropis, nilai Ux = 1 dan jika dimasukkan ke dalam persamaan (5.4a), diperoleh parameter kekasaran di atas air sebesar Z0 = 0,3 cm, sedangkan di atas daratan nilai Z0 berkisar antara 10 dan 100 cm. Siklon tropis dikenal dengan nama berbeda bergantung pada lokasi kejadiannya. Di Atlantik dan Pasifik bagian timur siklon tropis diberi nama "hurricanes", sebuah nama yang berasal dari suku pribumi kuno di Amerika Tengah yang dikenal sebagai Tainos. Untuk suku Tainos, "Huracan" adalah "Dewa Kejahatan" dan dari sinilah Hurricane diterima Meteorologi Indonesia Volume 1
151
sebagai nama siklon tropis. Di Pasifik bagian barat siklon tropis dikenal sebagai “typhoons", di Filipina disebut "baguio" sebuah nama yang berasal dari kota Baguio di mana curah hujan dalam periode 24 jam bulan Juli 1911 mencapai 1168 mm. Penamaan hurricanes di Atlantik dan typhoons di Pasifik hingga tahun 1978 memakai nama-nama wanita. tetapi adanya pengaduan tentang prasangka diskriminasi jender maka nama laki-laki sekarang biasa juga dipakai. Untuk mengenal Hurricane sejak tahun 1973 dipakai namanama gadis. Hal ini tidak ada referensi dimaksudkan terhadap orang hidup atau yang sudah mati. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan menggunakan nama-nama gadis dapat membantu di dalam komunikasi yang jelas. Dalam tahun 1960 daftar semi permanen dari nama-nama Hurricane menurut alphabet telah disusun. Pada umumnya nama Hurricane tidak menggunakan huruf pertama Q. U, X, Y dan Z. Sebagai contoh daftar nama-nama Hurricane pada tahun 1973 adalah : Anna, Blanche, Carol, Debbie, Eve, Francelia, Gerda, Holly, Inga, Jenny, Kara, Martha, Netty, Orva, Peggy, Rhoda, Tanya, Virgy, Wenda. Siklon tropis menyebabkan berbagai kerusakan dan kerugian. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh angin kencang, gelombang badai, dan hujan lebat. Kerusakan harta milik yang disebabkan oleh angin saja bervariasi terutama dengan kualitas bangunan dan kecepatan angin maksimum. Siklon tropis muncul pada laut yang panas dengan temperatur permukaan 26,5 °C atau lebih. Dari pola isoterm permukaan laut, kemudian sel-sel panas dihubungkan satu sama lain sehingga diperoleh punggung panas (thermal ridge), lihat Gambar 5.17. Peta isoterm dan punggung panas digambar bersamaan munculnya badai tropis Bruno dan Errol. Meskipun di laut Banda ada sel temperatur permukaan laut o panas (30,5 C), tetapi gaya Coriolis masih terlalu lemah, maka badai tropis belum muncul pada perairan ini. Sel panas kemudian berkembang dan makin panas di sekitar laut Timor dan laut Arafuru.
152
Meteorologi Indonesia Volume 1
Gambar 5.17. lsoterm permukaan laut dalam 0,1C
Gambar 5.18. Garis arus udara permukaan pukul 12.00 waktu universal (W.U), 14 Januari 1982.
Di perairan ini muncul depresi tropis tanggal 15 Januari 1982 di sebelah timur laut Arafuru. Depresi ini kemudian meningkat intensitasnya menjadi siklon tropis BRUNO pada tanggal 19 Januari 1982. Di Meteorologi Indonesia Volume 1
153
samudera Indonesia. terdapat sel panas dengan temperatur o permukaan laut 30,5 C dimana muncul badai tropis pada tanggal 13 Januari 1982. Badai ini bergerak ke barat dan meningkat intensitasnya menjadi siklon tropis ERROL pada tanggal 18 Januari 1982. Gambar 5.18, menunjukkan garis arus udara permukaan pada tanggal 14 Januari 1982 yaitu periode kejadian badai tropis di belahan bumi selatan. Pada peta sinoptik ini terlihat adanya dua putaran garis arus udara searah jarum jam karena gaya Coriolis membelokkan angin kekiri di belahan bumi selatan. Dua putaran arus udara ini berhubungan dengan munculnya siklon tropis BRUNO dan ERROL. Kecepatan angin di pulau-pulau wilayah Indonesia bagian selatan tercatat sekitar 20 knot atau lebih pada waktu badai tropis. Beberapa stasiun hujan di wilayah Indonesia bagian selatan yang dekat dengan lintasan siklon tropis menunjukkan kenaikan curah hujan dari nilai curah hujan normal yang berkisar dari 123% sampai 355%, lihat tabel 5.2. Selama periode siklon tropis dasarian 2 Januari 1982 tinggi gelombang laut di sebelah selatan ekuator (lintang antara 7o dan 11oS) tercatat 2 sampai 5 meter. Tabel 5.2. Jumlah curah hujan di beberapa stasiun terpilih dalam dasarian 2 Januari 1982. Nama Stasiun
Curah hulan dasarian 2, Januari
Curah hujan normal satu dasarian, Januari
Bengkulu Tanjung Karang Banyuwangi Sumbawa Boar Arnakai (P. Seram) Manokwarin Jayapura
125.0 mm 138.0 mm 128.0 mm 303,0 mm 123.0 mm 290.0 mm 197,0 mm
102.2 mm 89,3 mm 59.7 mm 106,7 mm 34,7 mm 103.7 mm 113,0 mm
Porsentase torhadap curah hujan normal, Januari 123% 155% 214% 284% 355% 280% 174%
Catatan :
154
Data curah hujan berasal dari BMG. Jakarta Dasarian 1: tanggal 1-10. dasarian 2: tanggal 11-20, dasarian 3: tanggal 21-akhir bulan
Meteorologi Indonesia Volume 1
5.6. Resume Sirkulasi atmosfer disebabkan oleh rotasi bumi terhadap poros semunya dan oleh pemanasan geografis yang tidak merata pada permukaan bumi bersama atmosfernya. Menurut skala jarak, gerak atmosfer dapat dibagi menjadi: gerak skala planeter, gerak skala sinoptik, gerak skala meso, dan gerak skala mikro. Karena sifat permukaan bumi tidak homogen maka pola skematik sistem angin terestrial idaman (ideal) mengalami banyak modifikasi dibandingkan pola angin yang diamati. Sistem angin terestrial ditentukan oleh sabuk (belt) tekanan planeter yang terdiri dari sabuk tekanan rendah ekuatorial, sabuk tekanan tinggi subtropis, sabuk tekanan rendah subpolar dan tekanan tinggi polar. Harus dipahami bahwa atmosfer adalah sebuah sistem nonlinier yaitu selalu ada interaksi antara sistem-sistem gerak skala berbeda, sehingga sistem gerak skala besar secara fisis tidak dapat dipisahkan dari sistem skala yang lebih kecil. Model pertama sirkulasi atmosfer global dikemukakan oleh Hadley pada tahun 1735 yang terdiri satu sel yaitu udara naik di daerah ekuatorial dan turun di daerah polar. Sirkulasi Hadley adalah sirkulasi meridional termal langsung. Kemudian Maury (1855) mengemukakan sirkulasi atmosfer meridional yang terdiri atas dua sel, satu sel pada daerah antara ekuator dan sekitar lintang kuda (30° U dan 30° S) yang disebut sel Hadley dan satu sel tak langsung (indirect cell) pada lintang tinggi. Sirkulasi atmosfer meridional yang diusulkan Ferrel (1856) mirip dengan teori Maury (1855), tetapi terdiri atas 3 sel sirkulasi yaitu sel Hadley, sel Ferrel, dan sel polar. Angin monsun disebabkan oleh sifat fisis antara osean dan kontinen. Osean lambat panas ketika ada radiasi matahari dan lambat dingin ketika tidak ada radiasi matahari dibandingkan kontinen. Akibatnya osean lebih dingin/panas dalam musim panas/dingin dibandingkan kontinen. Pergantian dari musim dingin ke musim panas atau sebaliknya dapat membalikkan arah gaya gradien tekanan dan arah angin monsun. Untuk menentukan daerah monsun dan non Meteorologi Indonesia Volume 1
155
monsun dihitung indeks monsun yaitu jumlah frekuensi arah angin utama rerata (%) dalam bulan Januari dan Juli dibagi dua. Daerah monsun, jika indeks monsun > 40% dan non monsun jika indeks monsun <40%. Wilayah Indonesia sebagian besar adalah daerah monsun. Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal sepanjang ekuator yang ditandai oleh kenaikan udara di Pasifik bagian barat dan bagian timur. Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi temperatur permukaan laut (TPL). Episode panas samudera Pasifik Tengah disebut tahun El Nino, dan episode dingin disebut tahun La Nina. Peristiwa El Nino ditandai oleh indeks osilasi selatan (IOS) negatif. IOS menyatakan beda tekanan atmosfer di atas Tahiti dan di atas Darwin. El Nino menyatakan parameter laut, sedangkan IOS adalah parameter atmosfer. Peristiwa kopel laut atmosfer disebut ENSO (El NinoSouthern Oscillation). ENSO menyebabkan defisiensi curah hujan dan kemarau panjang, sehingga musim tanam padi di Indonesia mengalami penundaan. Bumi Indonesia merupakan campuran darat, laut dan pegunungan sehingga angin lokal juga dominan misalnya angin darat dan laut, angin gunung dan lembah, dan angin Föhn. Angin semacam Föhn dapat terjadi di Indonesia, misalnya di Jawa angin Föhn terjadi pada musim kemarau atau musim monsun tenggara. Monsun tenggara setelah melewati pegunungan di Jawa yang membujur dari barat ke timur kemudian turun di bagian utara dengan sifat kering dan panas, disebut angin Kumbang di daerah Brebes, dan angin Gending di daerah Probolinggo. Sebagian besar (65%) siklon tropis terbentuk pada daerah lintang tempat antara 10 dan 20 dari ekuator. Siklon tropis tidak muncul pada daerah lintang sekitar 5 dari ekuator, karena gaya Coriolis tidak cukup menghasilkan vortisitas relatif untuk pertumbuhan badai tropis. Siklon tropis juga sedikit sekali (sekitar 13%) terbentuk pada daerah lintang tempat di atas 22 U. 156
Meteorologi Indonesia Volume 1
Vortisitas relatif: dengan
disebut efek kelengkungan,
disebut efek geser angin, v adalah kecepatan angin dan r adalah jejari siklon. Vortisitas bumi dengan kecepatan sudut rotasi , pada lintang tempat sama dengan parameter Coriolis f = 2 sin . Meskipun wilayah Indonesia pada umumnya tidak terletak pada jalur siklon tropis, tetapi pada tahap awal munculnya siklon tropis yaitu pada tahap depresi sampai badai tropis dapat terjadi di perairan Indonesia. Beberapa tempat di wilayah Indonesia yang dekat dengan jalur siklon tropis menunjukkan kenaikan jumlah hujan di atas normal, dan kenaikan tinggi gelombang laut akibat kenaikan kecepatan angin.
Meteorologi Indonesia Volume 1
157
Daftar Pustaka Anthes, R.A., 1982. Tropicalcyclones. Their evolution, structure and effects, Meteorological Monograph. Vol. 19, No. 41, American Meteo. Soc. Australian Government, 1993. IPS radio and space service, User Training Manual, Australia. Battan, L. J., 1973. Radar observation of the atmosfer, the Univ. of Chicago. Bayong Tjasyono H. K., 1987. Iklim dan Lingkungan, Penerbit PT Cendekia Jaya Utama, Bandung.. Bayong Tjasyono H. K., 1992. Klimatologi Terapan, Penerbit Pionir Jaya, Bandung. Bayong Tjasyono H. K., 1992. Studi ENSO dan Pengaruhnya Terhadap Musim di Kontinen Maritim Indonesia, Lap. Riset No. 11960492, OPF —ITB, Bandung. Bayong Tjasyono H. K., 1998. Klimatologi Umum, Penerbit ITB, Bandung. Bayong Tjasyono H. K., and Djakawinata S., 1999. The Influence of meteorological factors on tropospheric refractive index over Indonesia, J. Matematika dan Sains, Vol. 4, No. 1. Bayong Tjasyono H. K., 2003. Geosains, Penerbit ITB, Bandung. Bayong Tjasyono H. K., 2004. Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung. Braak, C., 1929. The climate of the Netherlands Indies, Volumes I and II, Verhandelingen No. 8, KMMO to Batavia. Dewan Hankamnas, 1996. Benua Maritim Indonesia, BPPT, ISBN 97995038-1, Jakarta. Meteorologi Indonesia Volume 1
159
Donn, WI. L., 1975. Meteorology, Mc Graw Hill Book Company, New York. Erich J. Plate, 1982. Engineering Meteorology, Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Graedel, T. E., and P. J. Crutzen, 1993. Atmospheric Change, W. H. Freeman and Company, New York. Hashiguchi, H., S. Fukao, M. D. Yamanaka, S. W. B. Harijono and H. Wirjosumarto, 1996. An overview of the Planetary Boundary Layer Observation over Equatorial Indonesia with L. Band Clear Air Doppler Radar, Beitr. Phys. Atmosph., 69 : 13 — 25. Houghton, H. G., 1985. Physical Meteorology, MIT Press, Cambridge. Irving Sax, N., 1974. Industrial Pollution, Van Nonstrand Reinhold Company, New York. Mason, B. J., 1971. The Physics of Clouds, Clarendon Press, Oxford. Mc Gregor, G. R. and Simon Nieuwolt, 1998. The Climates of the Low Latitudes, John Wiley & Sons, New York. Neiburger, M., J. G. Edinger, and W. D. Bonner, 1980. Understanding our atmospheric environment, W. H. Freeman and Company, New York. Pasquill, F., 1961. The estimation of dispersion of windborn material, Meteorological Magazine-Vol. 90.. Ramage, C. S., 1971. Monsoon Meteorology, Academic Press, New York. Roger, R. R., and M. K. Yau, 1989. A Short Course in Cloud Physics, Pergamon Press, Oxford. 160
Meteorologi Indonesia Volume 1
Schmidt, F. H., and J. H. A. Ferguson, 1952. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea, Verhandelingen No. 42, KMMO to Batavia. Sellers, W. D., 1972. Physical Climatology, The University of Chicago Press. Showalter, A. K., 1953. A Stability indeks for thunderstorm forecasting, Bul. Americ. Meteor. Soc., Vol. 34, No. 6. Skolnik, M. I., 1962. Introduction to radar systems, Mc Graw Hill, New York. Susilo P., dan Bayong Tjasyono HK., 1981. Aplikasi data radiosonde untuk analisis ketidakstabilan lapisan udara di atas Jakarta, Lap. Riset No. 5142381, DIP - ITB, Bandung. Tatom, F. B., and S. J. Vitton, 2001. The transfer of energi from a tornado into the ground, Seismological Society of America. Trenberth, K. E., 1996. El Nino Definition, Workshop on El Nino, Southern Oscillation and Monsoon, ICTP, Trieste, Italy. Wallace, J. M., and P. V. Hobbs, 1977. Atmospheric Science, Academic Press, New York. Wyatt, R. A., 1963. The sea breeze at Hobart, Australia, Workshop, Bul. Meteorology.
Meteorologi Indonesia Volume 1
161
LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar lstilah Lampiran 2. Padanan Metrik - Inggris Lampiran 3. Konstanta Lampiran 4. Sistem Satuan Lampiran 5. Radius dan Nisbah Jenuh Kritis Lampiran 6. Daftar Simbol
Meteorologi Indonesia Volume 1
163
Lampiran 1 Daftar Istilah abroholos Hujan badai bengis di pantai Brazil yang terjadi terutama antara Mei dan Agustus. adiabatik
Proses adiabatik adalah proses di mana panas tidak masuk atau meninggalkan sistem.
adiabat jenuh Garis pada diagram yang menyatakan susut temperatur adiabatik jenuh. adiabat kering Garis pada diagram aerologi yang menyatakan susut temperatur adiabatik kering. aeronomi
Istilah yang menunjukkan cabang fisika atmosfer yang mengkaji daerah atmosfer di atas 50 km di mana terjadi proses disosiasi dan ionisasi.
aerosol atmosfer Partikel padat atau cair sangat kecil yang mengapung di atmosfer. agregasi (penggabungan) Proses pertumbuhan keping-keping saiju oleh tumbukan dan pelekatan (adherence). agrometeorologi Studi saintifik tentang cuaca dan iklim dalam hubungannya dengan pertanian. akresi es
Formasi lapisan es pada benda di bumi atau pada pesawat udara dalam penerbangan.
akresi (pertambahan) Dalam meteorologi, biasanya menyatakan pertumbuhan partikel es oleh tumbukan dan tangkapan dengan tetes-tetes air. Istilah ini juga dapat dipakai untuk pertumbuhan tetes air atau partikel es oleh tumbukan dan tangkapan. alti - elektrograf Alat pada baton untuk memperoleh rekaman komponen vertikal medan listrik di dalam badai guruh. Meteorologi Indonesia Volume 1
165
anemometer Alat untuk mengukur kecepatan angin. anemovane Alat untuk mengukur kecepatan dan arah angin. angin ageostrofik Beda vektor antara angin aktual dan angin geostrofik, disebut juga simpangan geostrofik. angin Fohn Angin ini sering ditemukan pada lereng utara pegunungan Alpen. Angin Fohn adalah angin yang turun dari pegunungan bersifat panas dan kering. Angin semacam Fohn ditemukan juga di Indonesia, misalnya angin Kumbang di daerah Cirebon / Tegal dan lain-lain. angin laut
Angin yang bertiup ke arah darat akibat pemanasan yang tidak sama antara massa tanah dan air, kebalikannya disebut angin darat.
angin pasat Sistem angin di daerah tropis yang berhembus dari tekanan tinggi subtropis kearah palung ekuatorial. Angin adalah timurlautan di BBU dan tenggaraan di BBS. angin planeter Sistem angin skala luas, relatif konstan yaitu angin pasat timur laut dan tenggara di tropis, angin baratan di subtropis dan angin timuran di daerah kutub. angin puyuh atau setan debu Angin pusaran (whirlwind) di mana debu dan pasir dibawa ke atas dari permukaan tanah oleh konveksi sangat kuat dari daerah terik berpasir atau beraspal. angin ribut mendadak (squall) Angin kuat yang meningkat secara tiba-tiba, biasanya berakhir beberapa menit dan melemah secara tiba-tiba juga, dibedakan dengan angin ribut (gust) yang mempunyai durasi lebih panjang. angin tenang Pada skala Beaufort, angin tenang dinyatakan dengan skala 0 dan mempunyai kecepatan kurang dari 1 knot (0,5 ms-1). angin zonal Angin barat — timur. Angin timur — barat diperhitungkan sebagai angin zonal negatif. 166
Meteorologi Indonesia Volume 1
atmosfer
Berasal dari dua kata Yunani, yaitu atmos berarti uap dan sphaira berarti bulatan. Atmosfer adalah lapisan gas yang menyelubungi bumi.
atmosfer bebas Atmosfer di atas lapisan batas yang mengabaikan pengaruh gesekan permukaan dan fluks panas pada gerak udara. awan
Kumpulan butiran air, kristal es, atau campuran keduanya yang sangat kecil dengan dasarnya di atas permukaan bumi. Batas diameter partikel cair sekitar 200 m, tetes yang lebih besar dari 200 m disebut gerimis atau hujan.
awan kristal es Awan yang tersusun hampir seluruhnya kristal-kristal es, misalnya awan cirrus, cirrocumulus, dan cirrostratus. badai
Istilah yang biasanya dipakai untuk fenomena atmosfer bengis seperti badai guruh, badai hujan, badai debu, dan badai salju.
badai guruh Satu atau lebih luah listrik tiba-tiba diwujudkan dalam cahaya kilat disertai dengan guruh. baguio
Nama lokal siklon tropis yang menghantam Filipina, terjadi dari Juli sampai November.
barat
Angin kencang (squall) barat lautan pada pantai utara Sulawesi yang sering terjadi dari Desember sampai Februari.
belalai air (waterspout) Tornado yang terjadi di laut. curah hujanProduk kondensasi cair total dari atmosfer yang diukur dalam penakar hujan. daerah ekuatorial Daerah yang dibatasi oleh lintang 10° U dan 10° S. Daerah ini selalu mendapat surplus energi panas tidak bergantung pada musim. Curah hujan ekuatorial selalu maksimum dibandingkan daerah-daerah lintang yang lebih tinggi. Benua maritim Indonesia termasuk di daerah ekuatorial. Meteorologi Indonesia Volume 1
167
daerah melempem (doldrums) Istilah pelayaran (nautical term) yang menggambarkan area angin Iemah dan variabel di sekitar ekuator; suatu area dengan tekanan atmosferik rendah. daerah tropis Daerah yang dibatasi oleh tropis Cancer (23,5° U) dan tropis Capricorn (23,5° S) atau daerah yang dibatasi oleh lintang kuda (horse latitudes) 30° U dan 30° S. daur hidrologi Daur gabungan pertukaran air, termasuk perubahan fasa, dengan transport vertikal dan horizontal, tentang pertukaran air di antara bumi, atmosfer, dan osean. dekad, dasarian Periode 10 hari berturut-turut. Di Indonesia dekad 1: tanggal 1-10, dekad 2: tanggal 11-20, dan dekad 3: tanggal 21- akhir bulan. diabatik
Proses termodinamika diabatik di mana panas masuk atau meninggalkan sistem, misalnya evaporasi dan kondensasi.
diagram adiabatik Alternatif untuk diagram aerologi atau diagram termodinamika. efek Coriolis Sebuah gaya semu akibat rotasi bumi yang bekerja pada partikel yang bergerak. Gaya Coriolis membelokkan angin ke kanan di belahan bumi utara dan ke kiri di belahan bumi selatan. Besarnya gaya Coriolis = 2 sin .V, dimana adalah kecepatan sudut rotasi bumi, adalah lintang tempat, dan V adalah kecepatan angin. efek rumah kaca Hasil penetrasi radiasi matahari gelombang pendek yang sebagian besar diserap permukaan bumi, sedangkan radiasi bumi gelombang panjang yang diemisikan akan diserap oleh uap air, karbon dioksida untuk pemanasan atmosfer. efisiensi koalisensi Fraksi jumlah tumbukan antara tetes air yang menghasilkan tetes yang lebih besar.
168
Meteorologi Indonesia Volume 1
efisiensi kolisi Fraksi jumlah total tetes-tetes air (awan atau hujan) yang terletak dalam sapuan volume geometrik yang menyimpang tidak tertumbuk dengan yang tertumbuk oleh tetes besar. ekinoks
Kedudukan matahari tepat di ekuator. Tempat-tempat di bumi mempunyai lama siang sama dengan lama malam. Ekinoks musim semi terjadi pada tanggal 21 Maret dan ekinoks musim gugur terjadi pada tanggal 23 September.
eksosfer
Puncak atmosfer bumi di mana atom-atom dapat menghilang (escape) ke luar angkasa. Daerah di atas 500 km yang ditandai oleh transisi pelan-pelan dari atmosfer bumi ke gas antar planet.
ekstingsi atmosferik Penurunan intensitas cahaya ketika melalui atmosfer. elektrisitas atmosfer Berbagai fenomena listrik yang terjadi secara alamiah dalam atmosfer bawah. Badai guruh merupakan manifestasi elektrisitas atmosfer. El Nino
Fasa panas samudera Pasifik ekuatorial bagian tengah dan timur.
evaporimeter Alat untuk mengukur besarnya penguapan. fisika awan Studi proses fisis pembentukan termasuk elektrifikasi partikel awan. fohn
Angin kering panas yang terjadi pada lereng di bawah angin pegunungan. Nama fohn berasal dari pegunungan Alpen, tetapi sekarang dipakai secara umum, misalnya fohn di daerah Cirebon disebut angin kumbang, dll.
fotosintesis Pembuatan zat makanan karbohidrat dari karbondioksida dan air dalam khlorofil dengan menggunakan energi cahaya, dan melepaskan oksigen. Meteorologi Indonesia Volume 1
169
geofisika
Dalam arti luas adalah studi tentang proses-proses fisis dari pusat bumi sampai atmosfer atas, dan dalam arti sempit disebut geofisika padat (solid earth geophysics) yaitu studi tentang proses-proses fisis dalam bumi padat atau litosfer. Sesungguhnya geofisika berarti fisika bumi (physics of the earth) sebagai cabang fisika eksperimental.
geografi
Adalah studi yang mendeskripsikan permukaan bumi seperti roman (ciri-ciri) fisis, iklim, vegetasi, tanah, penduduk, dan distribusi unsur-unsur tersebut.
guruh
Suara yang menyertai cahaya kilat, disebabkan oleh pemanasan dan ekspansi udara sepanjang lintasan kilat.
hari berawan Hari ketika perawanan rerata pada jam-jam observasi lebih dari enam okta (perdelapanan). hari guruh Hari ketika terdengar guruh pada lokasi tertentu. hidrosfer
Bagian bumi yang dicakup oleh air.
higrometer Alat untuk mengukur kelembapan udara. hujan
Presipitasi cair dalam bentuk tetes-tetes air dengan diameter lebih dari 500 m (batas ukuran tetes gerimis).
hujan asam Deposisi basah senyawa sulfur dan nitrogen. Prosesnya dapat melalui tetes hujan (rainout) di mana senyawa sulfur dan nitrogen bertindak sebagai inti kondensasi yang larut dalam tetes awan atau melalui penghanyutan (washout) di mana aerosol-aerosol disapu oleh air hujan yang jatuh dari awan. hurricane
170
Badai siklonik, biasanya berasal dari tropis, yang mencakup area yang luas dan mempunyai kecepatan angin 120 km/jam atau lebih. Nama yang berasal dari bahasa Spanyol atau Portugal, dipakai dalam siklon tropis yang terjadi di daerah Samudera Hindia barat, Teluk Meteorologi Indonesia Volume 1
Meksiko dan pantai Queensland. Pada dasamya mempunyai tipe yang sama seperti taifun di Pasifik barat dan siklon di teluk Benggala. iklim
lklim suatu tempat adalah sintesis nilai dari hari ke hari unsur cuaca yang mempengaruhi tempat. Sintesis di sini tidak berarti sekedar rerata sederhana, tetapi juga mencari nilai-nilai ekstrim, frekuensi tipe cuaca yang berkaitan dengan nilai unsur-unsur cuaca. Data iklim biasanya dinyatakan dalam bulanan atau musiman dan ditentukan dalam periode cukup panjang (biasanya 30 tahun) untuk menjamin nilai-nilai representatif bulanan atau musiman.
iklim arid
Suatu iklim yang curah hujannya tidak cukup untuk mendukung tanaman.
indeks refraksi Indeks refraksi n sebuah medium adalah tingkat refraksi gelombang energi yang lewat melalui medium. Indeks refraksi adalah perbandingan kecepatan gelombang elektromagnetik dalam vakum c dengan kecepatannya dalam medium v, yaitu n = c/v, tidak berdimensi. indeks Showalter Indeks labilitas diturunkan dengan menganggap kenaikan parsel udara adiabatik yang berasal dari 850 mb ke paras 500 mb kemudian temperatur T' yang diperoleh dikurangkan pada temperatur lingkungan paras 500 mb yang diukur dari radiosonde T. insolasi
Berasal dari insolation (incoming solar radiation) artinya radiasi matahari (langsung) yang diterima bumi.
inversi temperatur Kenaikan temperatur dengan ketinggian, kebalikan susut temperatur ionisasi
Proses dimana elektron-elektron yang bermuatan negatif terkelupas dari atom atau molekul netral untuk membentuk ion-ion bermuatan positif dan elektron-elektron bebas.
Meteorologi Indonesia Volume 1
171
ionosfer
Lapisan atmosfer bumi yang tebalnya sekitar 60 sampai 700 km di atas permukaan, terdiri terutama dari oksigen dan nitrogen terionisasi, dan bertindak sebagai reflektor signal-signal komunikasi bumi. Daerah atmosfer dimana gas terionisasi oleh radiasi ultraviolet ekstrim (UVE). Lapisan ionosfer dibagi menjadi lapisan D, E, F1, dan F2.
isoterm
Garis yang menghubungkan titik-titik dengan temperatur sama.
jendela atmosfer lstilah yang dipakai pada daerah spektrum radiasi uap air 8,5 sampai 11 m. Radiasi bumi pada jangka panjang gelombang ini sedikit diserap oleh uap air dan dalam kondisi tidak ada awan, radiasi panjang gelombang 8,5 - 11 m keluar ke atmosfer luar bumi. kabas (smog) Singkatan dari kabut dan asap (smoke and fog) adalah kabut tebal yang sering dijumpai di kawasan industri yang lembap. kabut adveksi Kabut yang terbentuk oleh udara relatif panas, lembap dan stabil lewat di atas permukaan dingin. keping salju Pengumpulan kristal es yang terjadi pada berbagai bentuk. keseimbangan hidrologi Anggaran hidrologis yaitu hubungan antara evaporasi E, presipitasi P, limpasan Q, drainase bawah permukaan D, dan perubahan simpanan air S untuk area dan periode waktu tertentu dan dinyatakan oleh persamaan : P = E + 0 + D + S S dapat bernilai positif atau negatif kilat
Luah (pelucutan) listrik yang tampak atau cahaya kilat, dikaitkan dengan badai guruh.
klimatologi Adalah studi tentang hasil proses fisis atmosfer atau studi tentang iklim bumi. 172
Meteorologi Indonesia Volume 1
kondensasi Proses pembentukan air cair dari uap air. konstanta matahari Jumlah energi radiatif matahari yang jatuh 2 (datang) tegak lurus pada bidang 1 cm di puncak atmosfer bumi per sekon pada jarak rata-rata 150 juta km, 6 -2 -1 -2 nilainya adalah 1,37 x 10 erg cm s atau 2,0 kal cm menit-1 atau 2,0 ly menit-1. konveksi
Alih panas yang dibawa oleh molekul-molekul di dalam fluida. Proses konveksi sering beroperasi dalam atmosfer yang sangat penting dalam pertukaran panas vertikal dan sifat massa udara lain (uap air, momentum, dan lain-lain) melalui troposfer.
kriosfer
Bagian permukaan bumi yang tertutup oleh salju atau es, misalnya G. Jaya Wijaya di Papua.
kristal es
Kristal-kristal es di atmosfer yang terbentuk pada inti es dengan temperatur di bawah titik beku.
la Nina
Fasa dingin samudera Pasifik ekuatorial bagian tengah dan timur, kebalikan El Nino.
langley
Satuan energi per satuan luas, 1 langley = 1 kal . cm .
litosfer
Bagian padat bumi termasuk kerak bumi.
-2
meteorologi Adalah studi tentang proses fisis atmosfer dan gejala cuaca. meteorologi terapan Aplikasi meteorologi dalam berbagai aktivitas, seperti industri, lalu lintas, hidrologi, dan pertanian. milibar
Seperseribu bar, 1 mb = 100 Pa = 1 hPa = 102 Nm-2.
monsun
Nama angin musiman berasal dari bahasa Arab "mausim" yang artinya season atau musim.
musim
Periode dengan unsur iklim mencolok, misalnya musim panas ditandai oleh temperatur yang tinggi, musim hujan ditandai oleh jumlah curah hujan berlimpah.
Meteorologi Indonesia Volume 1
173
oseanografi Adalah studi tentang osean (laut), termasuk sifat air, arus, temperatur, kedalaman, dasar laut, tanaman (flora), dan hewan (fauna) laut, dan sebagainya. ozonosfer, lapisan ozon Lapisan atmosfer yang mempunyai konsentrasi ozon terbesar. palung ekuatorial Palung dangkal tekanan rendah, biasanya terletak dekat ekuator, ditandai oleh zona konvergensi udara yang bergerak ke arah ekuator dari tekanan tinggi (antisiklon) subtropis belahan bumi utara dan selatan. panas (heat) Bentuk energi biasanya diukur dalam kalori atau joule, dimensinya ML2T-2. panas laten Panas yang dilepaskan atau diserap per satuan massa oleh sistem yang mengalami perubahan fasa (wujud) pada temperatur dan tekanan konstan. panas spesifik Besaran panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur 1 gram zat sebesar 1 °C. Satuannya adalah kalori per gram per °C. panjang gelombang Jarak horizontal punggung-punggung atau lembah-lembah gelombang berturutan, diukur tegak lurus terhadap punggung atau lembah. paras kondensasi Paras (geometrik atau tekanan) dimana kondensasi terjadi dalam atmosfer. paras laut rata-rata Tinggi permukaan laut rata-rata dengan memasukkan tingkat air pasang dalam periode 19 tahun. pengintian, nukleasi Inisiasi perubahan fasa dari uap air menjadi air cair atau dari air cair menjadi es. pentad, 5-hari Periode 5 hari berturut-turut. Pentad sering dipakai dalam meteorologi dibandingkan dekad, karena setahun habis dibagi 5 hari = 73 kecuali tahun kabisat kelebihan 1 hari, lihat juga dekad. 174
Meteorologi Indonesia Volume 1
perawanan (cloudiness) Jumlah awan yang menutupi langit. Dalam berita sinop, perawanan diberi simbol N, dinyatakan dalam perdelapanan. N = 4 artinya separo langit tertutup awan, N = 0 artinya langit cerah, dan N = 8 artinya langit mendung. persamaan gas Gas idaman (perfect gas) yang memenuhi persamaan keadaan : = RT, dengan p tekanan, volume spesifik, densitas gas, T temperatur dan R konstanta gas spesifik. persamaan hidrostatik Dalam atmosfer diam terhadap bumi, variasi tekanan dengan tinggi geometrik z diberikan oleh persamaan :
p g , dengan : densitas atmosfer z dan dalam tinggi geopotensial Z oleh persamaan:
p 9,80665 z presipitasi Dipakai dalam meteorologi untuk menunjukkan endapan dalam bentuk cair atau padat yang berasal dari atmosfer. pulau panas kota Isoterm panas yang tertutup di pusat keramaian (aktivitas) penduduk kota. radiasi benda hitam Radiasi yang diemisikan oleh benda hitam. Intensitas radiasi benda hitam hanya bergantung pada temperatur benda hitam. radiasi global Jumlah radiasi matahari Iangsung dan difus yang diterima oleh permukaan (biasanya horizontal). radiasi langit Alternatif untuk radiasi difus. refraksi
Perubahan arah gelombang energi (gelombang cahaya,suara atau radio) ketika melewati medium (zat perantara) dengan densitas yang berubah atau melalui batas yang memisahkan media dengan densitas berbeda.
Meteorologi Indonesia Volume 1
175
satu atmosfer Sebuah satuan ukuran tekanan atmosfer yaitu tekanan gas pada permukaan bumi yang disebabkan oleh tumpukan seluruh atmosfer diatasnya. -5
1 atm = 76 cm Hg = 1,013 x 10 Pa = 1.013 mb, 1 mb = 1 hPa = 100 Pa. sel Hadley Sistem semi tertutup gerak vertikal atmosfer bumi. Udara panas, lembap, naik di daerah ekuatorial, bergerak ke dan turun pada lintang tengah (30°U, 30°S), kemudian kembali ke zona ekuatorial sebagai angin pasat. Sirkulasi termal sederhana yang pertama kali dikemukakan oleh George Hadley dalam abad ke 18 yang dapat menjelaskan angin pasat (trade winds) pada troposfer antara lintang 0 dan 30°. sikion tropis Siklon yang terjadi pada lintang-lintang tropis. sirkulasi Hadley Sering disebut sirkulasi angin pasat yaitu sirkulasi meridional di daerah tropis. sirkulasi Walker Sirkulasi udara zonal, arah barat — timur, di daerah ekuatorial. solstis
Kedudukan matahari terjauh dari ekuator yaitu pada tropic of Cancer (23,5° U) dan tropic of Capricorn (23,5° S).
solstis musim panas BBU Terjadi pada tanggal 22 Juni, kedudukan matahari pada 23,5° U. solstis musim dingin BBU Terjadi pada tanggal 22 Desember, kedudukan matahari pada 23,5° S. Kebalikannya terjadi untuk belahan bumi selatan (BBS). stasiun agromet Stasiun yang pengukurannya dikaitkan dengan agrometeorologi. stasiun curah hujan Stasiun yang hanya mengukur curah hujan. Di Indonesia jumlahnya mencapai ribuan tetapi di antaranya banyak yang tidak aktif, perlu perbaikan atau pemasangan penakar hujan baru. 176
Meteorologi Indonesia Volume 1
stratosfer
Lapisan atmosfer bumi di atas troposfer.
sublimasi/deposisi Transisi fasa padat suatu zat ke fasa gas dan sebaliknya tanpa melalui fasa cair, misalnya es berubah menjadi uap air (sublimasi) atau uap air menjadi es (deposisi). susut temperatur (lapse rate) Penurunan temperatur dengan ketinggian. susut temperatur superadiabatik Susut temperatur yang lebih besar dari susut temperatur adiabatik kering (1 °C/100 m). taifun
Nama Cina dari siklon tropis yang terjadi di Samudera Pasifik bagian barat.
tangkapan, koalisensi D a l a m m e t e o r o l o g i , d i p a k a i u n t u k pertumbuhan tetes-tetes air oleh tumbukan (kolisi). temperatur celsius Temperatur berdasarkan pada skala dimana air membeku pada 0° dan mendidih pada 100° (pada tekanan atmosfer baku); disebut juga temperatur berskala 100 (centigrad temperature). temperatur mutlak Temperatur yang diukur terhadap nol mutlak. Nol mutlak adalah temperatur -273,15 °C yaitu nol pada skala temperatur kelvin. termometer Alat yang dipakai untuk mengukur temperatur udara. teori Bergeron - Findeisen Teori yang menjelaskan inisiasi (permulaan) presipitasi dari sebuah awan oleh sublimasi konsentrasi kristal es yang jumlahnya sedikit di antara butiran air kelewat dingin yang dominan (paling besar jumlahnya). Teori ini disebut juga teori kristal es. tinggi skala atmosfer Ketinggian atmosfer di mana tekanan/ densitasnya menjadi e-1x tekanan/densitas permukaan.
Meteorologi Indonesia Volume 1
177
tornado
Putaran bengis biasanya siklonik, mempunyai diameter sekitar 100 m dan arus vertikal kuat pada pusatnya yang mampu mengangkat benda berat kedalam udara.
tropopause Batas atas troposfer. Di ekuator mencapai sekitar 18 km tetapi di kutub hanya 6 km. troposfer
Lapisan atmosfer bumi terbawah berdasarkan profil temperatur vertikal tebalnya di kutub sekitar 6 km, tetapi di atas ekuator sekitar 18 km. Pada troposfer temperatur turun dengan ketinggian, di Indonesia sekitar 0,65° C per 100 m. Peristiwa cuaca seperti awan dan hujan terjadi pada lapisan ini.
udara alam Campuran udara kering, uap air dalam ketiga fasanya, dan aerosol. udara basah Campuran udara kering dan uap air. Dalam meteorologi dipakai untuk udara dengan kelembapan relatif tinggi. udara kering Kumpulan gas-gas atmosfer yang didominasi oleh nitrogen, oksigen, argon, dan karbon dioksida yang meliputi hampir 100% volume udara kering.
178
Meteorologi Indonesia Volume 1
Lampiran 2 Padanan Metrik - Inggris 1 centimeter
= 0,39 inci
1 inci
=2,54cm =25,4 mm
1 meter
= 3,28 kaki
1 kaki
= 0,305 m = 30,5cm
1 kilometer
= 0,62 mil
1 mil
= 1,61 km
1 gram
= 0,035 ounce
1 ounce
= 28,3 gram
1 kilogram
= 2,20 pound
1 pound
= 0,45 kg
1 millibar
= 0,025 inci air raksa
1 meter per sekon
= 1,94 knot
1 meter per sekon
= 2,23 mil per jam
1 metrik ton
= 2.204,6 pound
1 °C (centigrade)
= 1,8 °F
Temperatur Celsius
1 inci air raksa 1 ms1 1 mil per jam
= 0,515 knot = 0,447 ms-1
= 5/9x (Temperatur Fahrenheit — 32)
1 °F
= 5/9 °C
Temperatur Fahrenheit
= 9/5 x Temperatur Celsius + 32
Meteorologi Indonesia Volume 1
= 33,86 mb
179
Lampiran 3 Konstanta 1. Konstanta Fisis Dasar Konstanta gas universal
= 8,314 J/mol K
Bilangan Avogadro
= 6,02 x 10 mold
Konstanta Boltzmann
= 1,38 x 10 J/K
Konstanta Planck
= 6,63x10 J s
Konstanta Stefan - Boltzmann
= 5,67 x 10 Wm K
Kecepatan cahaya dalam vakum
= 2,998 x 10 m/s
23
23
-34
-8
-2
-4
8
2. Bumi Percepatan gravitasi permukaan
= 9,81 m/s2
Jari-jari Bumi rata-rata
= 6,37 x 106 m
Kecepatan sudut rotasi Bumi
= 7,292 x 10-6 rad/s
Luas permukaan Bumi
= 5,1 x 1014 m2
Jarak rata-rata Bumi - Matahari
= 1,49 x 108 km
Jarak rata-rata Bumi - Bulan
= 8,80 x 106 km
Konstanta Matahari
= 2,0 kal/cm2 menit
3. Atmosfer
1400 W/m2
Tekanan atmosfer baku
= 1 atm = 101.325 Pa
Massa total udara atmosferik
= 5,3 x 1018 kg
Berat molekuler udara atmosfer rata-rata, sampai ketinggian 100 km = 28,964 g/mol Konstanta gas untuk udara kering
= 287 JK-1 kg-1
Susut temperatur adiabatik kering
= 9,76 K/km
180
Meteorologi Indonesia Volume 1
Densitas udara kering pada 0 °C dan 1 atm (STP), berubah dengan P dan T = 1,29 kg/m3 4. Berat Molekuler dan Atomik H
: hidrogen
= 1,01 g/mol
He : helium
= 4,00 g/mol
Ne : neon
= 20,18 g/mol
Ar
: argon
= 39,95 g/mol
C
: karbon
= 12,01 g/mol
N
: nitrogen
= 14,00 g/mol
m
: oksigen
= 16,00 g/mol
S
: sulfur
= 32,06 g/mol
H2O : air
= 18,02 g/mol
NaCI
= 58,44 g/mol
CO2
= 44,01 g/mol
SO2
= 64,06 g/mol
H 2S
= 34,08 g/mol
NH3
= 17,02 g/mol
Udara kering
= 28,96 g/mol
5. Termodinamika Panas spesifik udara pada tekanan tetap (cp) = 29,1 J/mol K = 1005 J/kg K Panas spesifik udara pada volume tetap (cv) = 20,8 J/mol K = 718 J/kg K Panas spesifik air (cw)
= 76 J/mol K = 4218 J/kg K
Panas laten peleburan (0 °C) Meteorologi Indonesia Volume 1
= 6,01 x 103J/mol 181
4
Panas laten penguapan (0 °C)
= 4,50 x 10 J/mol
Panas laten sublimasi (0 °C)
= 5,10 x 10 J/mol
Tekanan uap air jenuh pada 0 °C
= 6,11 mb
4
6. Air Berat molekuler air
= 18,02 g/mol
Konstanta gas untuk uap air
= 461 JK-1 kg.’
Densitas air cair pada 0 °C
= 103 kg/m3
Densitas es pada 0 °C
= 917 kg/m3
Panas spesifik uap air pada tekanan tetap
= 1952 JK-1 kg-1
Panas spesifik uap air pada volume tetap
= 1463 JK-1 kg
Panas spesifik uap air pada 0 °C
= 4218 JK-1 kg-1
Panas spesifik es pada 0 °C
= 2106 JK-1 kg-1
182
-1
Meteorologi Indonesia Volume 1
Lampiran 4 Sistem Satuan Biasanya dipakai sistem satuan internasional SI (System International d' Unites atau sistem SI) yang didasarkan pada satuan-satuan dasar panjang dalam meter, massa dalam kilogram dan waktu dalam sekon, disingkat satuan MKS. Temperatur absolut dalam kelvin (K), arus listrik dalam ampere (A) dan satuan massa kimia dalam mole (mol). Temperatur dalam °C didefinisikan oleh : t = T -273,15 dengan t dalam °C dan T dalam K 5
Tekanan 1 atmosfer (1 atm) = 1,01325 x 10 Pa 2
dengan 1 pascal (Pa) = 1 N/m , 1 milibar = 100 Pa Energi 1 calori (cal) = 4,184 J dengan joule (J) adalah satuan SI 1 elektronvolt = 1,6 x 1019 J, yaitu energi 1 elektron dengan beda potensial 1 volt. Jika energi dinyatakan dengan satu mole, maka satu elektronvolt sesuai dengan 96,3 kJ/mol Sistem SI memakai awalan yang menunjukkan faktor perkalian. Beberapa nama, simbol dan faktornya adalah : Faktor .1
10 10-2 10-3 10-6 10-9 10.12 10-15 10.18
Awalan
Simbol
Faktor
Awalan
Simbol
deci centi miii mikro nano pico femto atto
d c m n p f a
10 102 103 106 109 1012
deca hecto kilo mega giga tera
da h k M G T
Meteorologi Indonesia Volume 1
183
Lampiran 5 Radius dan Nisbah Jenuh Kritis (Penjelasan Persamaan 7.11) Nilai radius kritis dan nisbah jenuh kritis dapat diperoleh dari ekspresi pendekatan (persamaan 7,9) sebagai berikut :
(7.9) Jari-jari kritis (r-*):
Nisbah jenuh kritis (S*)
184
Meteorologi Indonesia Volume 1
Meteorologi Indonesia Volume 1
185
Lampiran 6 Daftar Simbol Simbol
Kejelasan
a
absorptivitas radiasi, a =1 untuk benda hitam
a
konstanta dalam hukum Wien
A
luas penampang
A
nomor massa : jumlah proton dan netron dalam inti atom
c
kecepatan cahaya dalam ruang bebas (hampa)
cp
panas spesifik udara pada tekanan konstan
cpd
panas spesifik pada tekanan tetap untuk udara kering
cv
panas spesifik udara pada volume konstan
C
satuan temperatur Celsius
d.p.l
di atas permukaan laut
D
koefisien difusi molekuler uap air dalam udara
D
drainase bawah permukaan (subsurface)
e
tekanan parsial uap air
ei
tekanan uap jenuh di atas es
es
tekanan uap jenuh di atas air
es(r)
tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes sferik dengan jari-jari r
es(~)
tekanan uap jenuh di atas air datar
e(r)
tekanan uap keseimbangan tetes larutan dengan jari-jari r
E
energi foton radiasi elektromagnetik
E
energi yang dilepas dalam teori relativitas Einstein
E
efisiensi koleksi atau faktor koreksi
E
evaporasi (penguapan)
Eb
jumlah radiasi yang diemisikan benda hitam
f
186
parameter Coriolis, vortisitas bumi
Meteorologi Indonesia Volume 1
Simbol
Kejelasan
F
fluks radiasi
F
satuan temperatur Fahrenheit
F,
gaya Coriolis per satuan massa
Fd
suku termodinamika yang berkaitan dengan difusi uap air dalam udara
Fk
suku termodinamika yang berkaitan dengan konduksi panas
FP
gaya gradien tekanan per satuan massa
Fjan
frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Januari
FJuli
frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Juli
g
percepatan gravitas
go
percepatan gravitas permukaan bumi rata-rata
h
konstanta Planck
h
tinggi geopotensial
i
bilangan kompleks
i
faktor derajat disosiasi ionik
I
intensitas radiasi total benda hitam
I
indeks monsun
k
konstanta Boltzmann
K
koefisien konduktivitas termal udara
I
lintasan bebas rerata molekuler
L
panas laten perubahan fasa
L
panas laten penguapan
Lf
panas laten peleburan
Ls
panas laten sublimasi
m
massa yang hilang dalam teori relativitas Einstein
m
massa tetes (benda)
ms
berat molekuler zat larut
Meteorologi Indonesia Volume 1
187
Simbol
Kejelasan
M
massa udara basah
M
kadar air awan dalam satuan massa per satuan volume
Md
massa udara kering
Ms
massa zat larut
Mv
massa uap air
n
indeks refraksi
N
refraktivitas radio = (n — 1) 106
N
perawanan : jumlah langit yang tertutup awan
N
jumlah proton dalam inti atom
N
frekuensi Brunt — Vaisala
N
refraktivitas radio
p
tekanan atmosfer
pd
tekanan udara kering
P
presipitasi (endapan)
PKK q
kelembapan spesifik
Q
limpasan permukaan
r
perbandingan campuran
r
jari-jari butiran
r
reflektivitas radiasi
r0
jari-jari awal tetes (droplet)
rc
jari-jari kritis tetes
rs
perbandingan campuran jenuh
*
188
paras kondensasi konvektif
r
jari-jari kritis tetes larutan
R
jari-jari bumi
R
konstanta gas individu untuk udara
R
jari-jari tetes (drop)
Meteorologi Indonesia Volume 1
Kejelasan
Simbol RH
kelembapan relatif (nisbi)
Rd
konstanta gas untuk udara kering
Rv
konstanta gas untuk uap air
R
jari-jari bumi fiktif
S
stabilitas statis
S
konstanta matahari
S
kelewat jenuh
SK
suhu konveksi
Si
rasio jenuh relatif terhadap es
*
S
S*-1
rasio jenuh kritis kelewat jenuh kritis
t
waktu
T
temperatur udara, temperatur parsel udara
T
temperatur radiatif efektif permukaan matahari
T
temperatur udara lingkungan
T
temperatur udara harian rerata
T0
temperatur parsel udara pada paras referensi
Tc
temperatur kondensasi isentropik
Te
temperatur ekivalen
Tv
temperatur virtual
T7
pengamatan temperatur udara pada jam 7.00 waktu lokal
T13
pengamatan temperatur udara pada jam 13.00 waktu lokal
T18
pengamatan temperatur udara pada jam 18.00 waktu lokal
Tmaks
temperatur udara maksimum
Tmin
temperatur udara minimum
u(R)
kecepatan jatuh terminal tetes dengan jari-jari R
u®
kecepatan jatuh terminal butiran dengan jari-jari r
Meteorologi Indonesia Volume 1
189
Simbol
Kejelasan
Ux
kecepatan gesekan
V
volume benda
V
kecepatan angin
Vg
kecepatan angin geostrofik
w
kecepatan vertikal udara keatas (updraft)
z
ketinggian atmosfer, tinggi geometrik percepatan vertikal, gaya apung per satuan massa
ZKI
zona konvergensi intertropis
Z0
parameter kekasaran
kesalahan sudut elevasi akibat refraksi atmosfer
volume spesifik, volume per satuan massa
dalam persamaan menyatakan nilai sebanding
susut temperatur udara
susut temperatur udara lingkungan
susut temperatur adiabatik udara tak jenuh
d
susut temperatur adiabatik udara kering
s
susut temperatur adiabatik udara basah
S
simpanan air (storage)
u
beda kecepatan jatuh antara keping salju dan kristal es
konstanta = Rd/Rv = 0,623
konstanta dielektrik medium
1,0
190
permitivitas (kapasitas induktif listrik) medium homogen dan dalam ruang bebas (hampa)
viskositas kinematik udara
temperatur potensial udara
panjang gelombang
Meteorologi Indonesia Volume 1
Simbol
Kejelasan
viskositas dinamik udara
perbandingan campuran kondensat dalam parse! udara
perbandingan campuran kondensat dalam udara lingkungan
1, 0
kapasitas induktif magnetik dalam medium homogen dan dalam ruang bebas (hampa)
frekuensi radiasi elektromagnetik
vortisitas relatif
parameter pertumbuhan
1
parameter pertumbuhan kondensasi normalisasi
densitas udara
densitas udara lingkungan
d
densitas udara kering
L
densitas tetes
v
densitas (massa jenis) uap air
penampang tumbuhan molekul
konstanta Stefan — Boltzmann
tegangan permukaan tetes
transmisivitas radiasi
lintang termpat geografis
kecepatan sudut rotasi bumi
Meteorologi Indonesia Volume 1
191
Prof. Dr. Bayong Tjasyono HK., DEA., adalah dosen tetap pada Program Sarjana Meteorologi, Magister dan Doktoral Sains Kebumian, ITB dan sebagai dosen luar biasa pada Program Pascasarjana IPA, UPI, Bandung. Sekarang (2005— 2007) menjabat Ketua Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, ITB. Menyelesaikan studinya di ITB dan memperoleh Sarjana Muda Geofisika dan Meteorologi (1970), Sarjana Satu Geofisika dan Meteorologi (1971) dan Sarjana Geofisika dan Meteorologi (1972). Diplome d'Etudes Approfondies (DEA), Meteorologi, diraih dari Universite de Clermont, Prancis pada tahun (1976 —1977) dan Doktor Meteorologi, dari Universitas yang sama pada tahun (1977 — 1979). Dalam pengajaran, beliau memberi kuliah di ITB, UPI Program Sarjana, Magister dan Doktoral dalam matakuliah Meteorologi, Klimatologi, Geosains, Georiksa (IPBA), Sains Atmosfer, Meteorologi Monsun, Meteorologi Fisis dan Dinamis, Modifikasi Cuaca, Mikrofisika Awan dan Hujan, dan Atmosfer Ekuatorial. Membimbing Skripsi S1, Tesis S2, dan Promotor Disertasi S3 dibidang Meteorologi dan Sains Atmosfer. Penelitian dalam bidang Meteorologi dan Sains Atmosfer dibiayai oleh ITB, DPPM — P & K, Bank Dunia, RUT, BMG, LAPAN, BPPT dan lain-lain. Beliau juga melakukan percobaan dan eksperimen bersama instansi riset lain seperti :
Peluncuran balon stratosfer di Watukosek, Jawa Timur, LAPAN. Percobaan Hujan Buatan di Waduk Jatiluhur (Jawa Barat), Waduk Riam Kanan (Kalimantan Selatan), Gunung Kidul (Yogyakarta), Soroako (Sulawesi Selatan), BPPT. Percobaan petir di Ciater, Bandung dan Kebun Teh Gunung Mas, Bogor, Kerjasama Universitas Jepang dan Indonesia (ITB, LAPAN, PLN). Monsoon Experiment, World Meteorological Organization (WMO). 192
Meteorologi Indonesia Volume 1
Hasil-hasil risetnya didesiminasikan melalui Prosiding seminar nasional dan internasional, Jurnal Ilmiah, Buku Referensi, Buku Ajar, dan Laporan Riset. Pengabdian pada masyarakat, misalnya memberi kursus, Iokakarya dibidang meteorologi untuk media masa, instansi riset dan lain-lain, seperti BMG, LAPAN, BPPT, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan instansi lain yang terkait (penyiar radio, Wartawan, Penyiar TV). Kunjungan Kerja (1996) ke Universitas Kyoto, Universitas Nagoya, Institut Riset Meteorologi dan Badan Meteorologi Jepang, serta memberi short course (kuliah singkat) di Universitas Tokyo tentang Iklim Benua Maritim Indonesia. Pengajar pada International Summer Course, Kerjasama ITB — Universitas Kyoto, 2004.
Meteorologi Indonesia Volume 1
193