Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam Memecahkan Masalah Matematika Kontekstual Mustamin Anggo Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Haluoleo E-mail:
[email protected] Abstrak Metakognisi berkaitan dengan kesadaran seseorang terhadap berpikirnya dan kemampuan mengatur berpikirnya dalam belajar atau memecahkan masalah. Beberapa kesulitan yang dialami oleh subjek penelitian dalam memecahkan masalah matematika kontekstual, ternyata berkaitan dengan ketidakmampuan dalam menerapkan metakognisi. Kurangnya penerapan metakognisi tersebut terjadi ketika: (1) menterjemahkan situasi kontekstual masalah yang dipecahkan, dan (2) penerapan prosedur matematika formal yang tidak didasari kesadaran dan pengaturan berpikir. Kata kunci: metakognisi, kesulitan memecahkan masalah
Pemecahan masalah matematika dengan menggunakan prosedur matematika formal telah banyak dipelajari siswa pada semua tingkat pendidikan. Penggunaan prosedur pemecahan tersebut biasanya dikaitkan dengan bentuk masalah matematika formal, yaitu masalah matematika yang disajikan dalam bentuk kalimat matematika dengan menggunakan simbolsimbol atau variabel-variabel tertentu. Namun demikian sesungguhnya prosedur pemecahan masalah menggunakan prosedur matematika formal diharapkan juga dapat membantu setiap penggunanya dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapai yang umumnya tersaji tidak dalam bentuk masalah matematika formal. Ketika masalah matematika tersaji tidak dalam bentuk masalah matematika formal, biasanya muncul beberapa kesulitan, terutama berkaitan dengan bagaimana cara menerapkan prosedur matematika yang telah dipelajari untuk dapat memecahkan masalah. Bagi orang awam, mungkin dengan mudah akan mengatakan bahwa ini bukan masalah matematika, sehingga tidak bisa diselesaikan menggunakan prosedur matematika. Tetapi bagi siswa yang belajar matematika tentu tidak bijaksana bila berkata demikian, karena belajar matematika mestinya akan menjadikan seseorang dapat terbantu dalam menghadapi dan memecahkan masalah matematika di lingkungan kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah matematika yang berkaitan dengan lingkungan kehidupan seharihari tersebut dikenal sebagai bentuk masalah matematika kontekstual. Penggunaan masalah matematika kontekstual dalam pembelajaran didasari oleh kesadaran bahwa pembelajaran yang langsung pada penyajian konsep-konsep matematika formal yang abstrak ternyata cukup sulit dan membosankan bagi siswa, karena penyajian matematika dengan cara demikian menjadikan siswa tidak dapat melihat makna dari apa yang dipelajarinya (Sutarto Hadi, 2005: 17). Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang lebih menarik dan siswa dapat langsung terlibat dalam mengembangkan proses berpikirnya tentang berbagai konsep sesuai konteks yang sudah dikenalnya. Banyak ahli telah mengemukakan pandangan tentang pemecahan masalah dan cara mengatasi kesulitan yang dialami. Salah satu diantaranya adalah Lester (Gartman dan Freiberg, 1993) yang mengemukakan bahwa tujuan utama mengajarkan pemecahan masalah dalam matematika adalah tidak hanya untuk melengkapi siswa dengan sekumpulan keterampilan
22
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
atau proses, tetapi lebih kepada memungkinkan siswa berpikir tentang apa yang dipikirkannya. Berpikir tentang apa yang dipikirkan dalam hal ini berkaitan dengan kesadaran siswa terhadap kemampuannya untuk mengembangkan berbagai cara yang mungkin ditempuh dalam memecahkan masalah. Proses menyadari dan mengatur berpikir siswa sendiri tersebut, dikenal sebagai metakognisi. Terlaksananya proses metakognisi dalam pemecahan masalah memungkinkan terbangunnya pemahaman yang kuat dan menyeluruh terhadap masalah disertai alasan yang logis. Pemahaman semacam ini merupakan sesuatu yang selalu ditekankan ketika berlangsung pembelajaran matematika di semua tingkatan pendidikan, karena kesesuaiannya yang kuat dengan pola berpikir matematika. Secara sederhana metakognisi didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi tentang kognisi seseorang (Gama, 2004). Flavell (Slavin, 2000) menggambarkan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang belajarnya sendiri dan tentang bagaimana cara belajar. Sementara itu Brown (Lee dan Baylor, 2006) menggambarkan metakognisi terdiri dari aktivitas untuk mengatur dan memantau belajar manusia. Dari kedua gambaran tersebut, terlihat adanya penekanan berbeda tentang metakognisi. Flavell cenderung memandang metakognisi dari aspek pengetahuan tentang kognisi seseorang, sementara Brown cenderung memandang metakognisi sebagai proses mengatur kognisi seseorang. Flavell (1979) mengemukakan adanya tiga variabel yang saling berinteraksi dan berpengaruh pada pengetahuan metakognisi seseorang, yakni variabel tugas, individu, dan strategi. Ketiga variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) variabel tugas berkaitan dengan informasi yang tersedia selama berlangsungnya proses berpikir, (2) variabel individu berkaitan dengan segala sesuatu tentang keyakinan seseorang dan orang lain sebagai pemroses kegiatan berpikir, dan (3) variabel strategi berkaitan dengan pemilihan strategi yang kemungkinan lebih efektif untuk mencapai tujuan, dan jenis kognisi apa yang semestinya dilakukan. Brown (Lee dan Baylor, 2006) secara khusus membatasi empat komponen dari metakognisi yaitu: perencanaan, pemantauan, pengevaluasian, dan perevisian. Keempat komponen ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Perencanaan berkaitan dengan aktivitas yang disengaja yang mengorganisir seluruh proses belajar, (2) Pemantauan berkaitan dengan aktivitas mengarahkan rangkaian kemajuan belajar, (3) Pengevaluasian proses belajar diri sendiri meliputi pengukuran kemajuan yang dicapai pada aktivitas belajar, dan (4) Perevisian proses belajar diri sendiri meliputi modifikasi rencana sebelumnya dengan memperhatikan tujuan, strategi dan pendekatan belajar lainnya. Pada bagian lain, Cohors-Fresenborg dan Kaune (2007) merangkum komponenkomponen metakognisi kedalam tiga aktivitas metakognisi yang dilakukan pada pemecahan masalah, terdiri dari: (1) merencanakan (planning), (2) memantau (monitoring), dan (3) refleksi (reflection). Meski berbagai pengelompokkan metakognisi yang telah dikemukakan secara sepintas tampak berbeda, namun secara umum pengelompokkan tersebut memiliki keterkaitan yang kuat. Perbedaan yang terjadi diantaranya berkaitan dengan situasi yang ditinjau oleh masing-masing ahli. Pengelompokkan oleh Brown dikaitkan dengan kegiatan belajar atau proses pendidikan, sedangkan pengelompokkan oleh CohorsFresenborg dan Kaune lebih spesifik berkaitan dengan kegiatan pemecahan masalah. Pada penelitian ini, aktivitas metakognisi yang menjadi perhatian adalah yang terlaksana pada kegiatan pemecahan masalah. Dengan demikian, aktivitas metakognisi yang diperhatikan meliputi aktivitas yang cakupannya dibatasi pada tiga komponen yaitu perencanaan, pemantauan, dan refleksi. Ketiga kompunen ini merupakan satu rangkaian dan saling terkait dalam aktivitas metakognisi. Pengelompokkan ini adalah sebagaimana
Mustamin Anggo,Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam Memecahkan ... 23
dikemukakan Cohors-Fresenborg dan Kaune, yang dipilih karena kesesuaiannya dengan penelitian ini yakni proses metakognisi ketika berlangsung pemecahan masalah. Masalah matematika kontekstual dimaksudkan sebagai masalah matematika yang disajikan dengan menggunakan suatu konteks tertentu yang sudah dikenal dengan baik. Nelissen (1997) mendefinisikan konteks adalah situasi yang menarik perhatian anak dan yang mereka dapat kenali dalam teori. Situasi ini mungkin salah satu dari bentuk yang bersifat khayalan atau nyata, dan menyebabkan anak membangkitkan pengetahuan yang telah mereka peroleh melalui pengalaman – misalnya dalam bentuk metode kerja sendiri secara informal, sehingga membuat belajar menjadi suatu aktivitas yang bermakna bagi mereka. Pendapat lain tentang konteks juga dikemukakan oleh Johnson (2002; 16) yakni konteks dimaksudkan tidak saja berkaitan dengan lingkungan, atau dunia luar yang dapat dikenali melalui panca indera, atau peristiwa yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi konteks juga meliputi pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Berdasarkan kedua definisi di atas, konteks dimaksudkan sebagai lingkungan atau situasi yang dapat berupa objek, peristiwa, fakta atau konsep yang telah dikenal dengan baik oleh seseorang sehingga ia dapat membangkitkan pengetahuan tentang hal tersebut dalam bentuk metode kerjanya sendiri. Pada pembelajaran matematika di sekolah, guru biasanya menjadikan kegiatan pemecahan masalah sebagai bagian penting yang mesti dilaksanakan. Hal tersebut dimaksudkan disamping untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, juga untuk melatih siswa agar mampu menerapkan pengetahuan yang dimilikinya kedalam berbagai situasi dan masalah berbeda. Gagne (Orton, 1992: 35) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan bentuk belajar paling tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua kegiatan mempelajari aturan, teknik, dan isi pelajaran sehingga dapat memahami matematika, dimaksudkan agar siswa mampu mecahkan masalah matematika. Khusus dalam pemecahan masalah matematika, salah satu yang banyak dirujuk adalah pentahapan oleh Polya (1973), meliputi empat tahapan penting yang perlu dilakukan yaitu: (1) memahami masalah (understanding the problem), (2) memikirkan rencana (devising a plan), (3) melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan (4) melihat kembali (looking back). Tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan Polya, memuat rincian langkah yang semestinya ditempuh dan dilaksanakan oleh siswa (pebelajar), sehingga pemecahan masalah dapat dilakukan secara efisien dan diperoleh solusi yang tepat. Langkah-langkah pemecahan masalah yang dianjurkan mengarahkan siswa untuk selalu dapat menyadari potensi kemampuannya dan dapat mengatur kemampuan tersebut untuk digunakan pada pemecahan masalah. Apa yang telah dibahas ini mengarah kepada pengerahan kemampuan menyadari dan mengatur proses berpikir, yang merupakan inti gagasan Polya. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan subjek penelitian dipilih dari mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Haluoleo Kendari, yang duduk di semester I. Subjek dipilih dari mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika kontekstual, namun setelah menyadari kesalahan dalam proses berpikirnya, subjek kemudian dapat memecahkan masalah tersebut. Sebagai pendukung kelancaran pelaksanaan fungsi peneliti sebagai instrumen utama, maka digunakan beberapa instrumen pendukung, yaitu: (1) lembar tugas masalah matematika
24
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
kontekstual, dan (2) pedoman wawancara berdasarkan masalah yang dipecahkan. Aktivitas metakognisi yang terlaksana diidentifikasi berdasarkan 2 sumber data, yakni: (1) hasil pemecahan masalah, dan (2) hasil wawancara. Proses pemecahan masalah dilakukan dengan metode think aloud, yaitu suatu metode mengungkapkan proses kognisi yang berlangsung dalam pikiran dengan menggunakan kata-kata, tulisan, atau tingkah laku, sehingga dapat dimengerti oleh orang lain. HASIL PENELITIAN Berikut ini disajikan hasil pemecahan masalah matematika kontekstual oleh subjek penelitian. Pemecahan dilakukan secara tertulis dan think aloud, selanjutnya dilaksanakan wawancara berbasis masalah. Masalah yang dipecahkan sebagai berikut: Seorang perajin tenun akan membuat sarung adat dan baju adat Wolio, dengan persediaan benang warna keemasan sebanyak 84 gulung dan benang warna perak 70 gulung. Untuk membuat satu sarung adat memerlukan 2 gulung benang emas, dan 4 gulung benang perak, sedangkan satu baju adat memerlukan 5 gulung benang emas dan 3 gulung benang perak. Bila keuntungan yang dapat diperoleh dari satu sarung adat adalah Rp. 25.000, dan keuntungan dari satu baju adat adalah Rp. 35.000, berapakah maksimum banyaknya sarung dan baju adat yang dapat dibuat sehingga diperoleh keuntungan maksimum? Pemecahan masalah diawali dengan membuat tabel, namun terjadi kekeliruan penempatan data, sehingga pemecahan masalah tidak dapat berjalan dengan baik, dan akhirnya disepakati untuk diulang pada keesokan harinya. Proses pemecahan masalah oleh subjek penelitian.
Pada proses pemecahan masalah ini subjek mengalami kesulitan membuat model matematika dari masalah kontekstual. Akibatnya adalah semua pekerjaan selanjutnya menjadi sangat membingungkan dan tidak menuju apa yang diaharapkan. Dengan demikian, akhirnya proses pemecahan masalah dihentikan, dan disepakati untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Perbaikan Kegiatan perbaikan ini dilakukan setelah subjek gagal melakukan pemecahan pada hari sebelumnya. Masalah yang dipecahkan sama dengan masalah yang coba untuk dipecahkan sebelumnya.
Mustamin Anggo,Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam Memecahkan ... 25
Hasil pemecahan masalah oleh subjek penelitian (perbaikan).
26
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Analisis proses metakognisi dilakukan terhadap hasil pemecahan dan hasil wawancara. Melalui analisis ini, dilakukan identifikasi keterlaksanaan suatu aktivitas metakognisi. Berikut ini disajikan pembahasan proses metakognisi pada pemecahan masalah matematika kontekstual. 1. Proses pemecahan masalah dihari pertama. Pemecahan masalah diawali dengan membaca soal sambil memikirkan maknanya. Pada usaha pemecahan di hari pertama, subjek mengalami kegagalan. Kegagalan terjadi sebagai akibat ketidak mampuan subjek dalam memahami masalah sehingga gagal ketika menyajikannya dalam bentuk tabel. Keadaaan ini berakibat pada model matematika yang dihasilkan menjadi tidak tepat. Karena alasan tersebut, maka subjek diberi kesempatan mengulangi proses pemecahan masalah keesokan harinya. 2. Proses pemecahan masalah dihari kedua. a. Untuk memahami masalah, subjek langsung menetapkan untuk membuat tabel. Hasil pemecahan masalah dan hasil wawancara menunjukkan kesadaran subjek dalam memahami masalah. Tabel dalam hal ini dimanfaatkan sebagai alat representasi untuk mendukung pemahaman. Selanjutnya subjek melakukan analisis terhadap pernyataan yang ada pada soal untuk melengkapi tabel. Analisis tersebut dilakukan dengan memperhatikan ungkapan yang digunakan, serta data-data yang ada. Pada tahap ini subjek juga menggunakan variabel x dan y, yang diperlukan sebagai alat representasi ketika hendak membangun suatu fungsi yakni fungsi tujuan yang dilambangkannya dengan f(x, y) = 25.000x + 35.000y. b. Setelah tabel selesai dibangun, selanjutnya subjek merencanakan menentukan persamaan dengan menggunakan data yang termuat pada tabel. Dalam hal ini sebenarnya subjek membangun pertidaksamaan (bukan persamaan seperti yang disebutkannya). Ketika membuat rencana ini, sepertinya subjek melakukannya dengan menyadari makna pemikirannya dan menyadari strategi yang digunakannya, namun dengan kesalahan penyebutan pertidaksamaan, maka dapat dkatakan kesadaran tersebut tidak optimal dimiliki. Selanjutnya subjek melaksanakan rencana yang telah dibuatnya, dengan membuat pertikasamaan yang salah yaitu 2x + 4y≥ 84 dan 4x + 3y≥ 70 . Bentuk ini seharusnya adalah 2x + 4y≤ 84 dan 4x + 3y≤ 70 . Untuk memahami pemikiran subjek ketika melakukan kesalahan ini, peneliti melakukan klarifikasi melalui wawancara ketika berlangsung proses pemecahan masalah. Hasil klarifikasi menunjukkan bahwa subjek memang tidak menyadari pengetahuannya berkaitan dengan membangun pertidaksamaan tersebut. c. Selanjutnya subjek membuat rencana untuk menentukan titik potong, namun tidak dijelaskan titik potong apa yang hendak ditentukannya. Pada pelaksanaan rencana tersebut, subjek menentukan titik potong antara garis dengan sumbu x dan y. Pada pelaksanaan kegiatan ini, subjek lebih dulu menuliskan pertidaksamaannya kemudian menentukan nilai y = 0 atau x = 0, lalu kemudian menuliskan bentuk persamaan garis. Hal ini menunjukkan bahwa subjek tidak menyadari dasar pemikiran berkaitan dengan rencananya menentukan titik potong. Bila dicermati ungkapan yang dikemukakan di atas dan dihubungkan dengan hasil pekerjaan tertulis, subjek seolah-olah memandang bahwa persamaan garis lahir sebagai akibat dari didefinisikannya nilai x = 0 atau y = 0. d. Berikutnya subjek membuat rencana menentukan titik potong antara dua garis, tetapi subjek menyebutnya sebagai “titik potong dua persamaan”. Sebelumnya subjek belum pernah menuliskan secara khusus dua buah persamaan garis, selain ketika membuat
Mustamin Anggo,Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam Memecahkan ... 27
e.
f.
g.
h.
persamaan pada saat menentukan titik potong garis dengan sumbu x dan y. Namun demikian ketika melaksanakan rencana ini, subjek dapat menuliskan dua persamaan garis dengan benar. Berdasarkan hasil pemecahan dan hasil wawancara, dapat dikatakan bahwa subjek menyadari dasar pemikirannya tentang pembuatan rencana tersebut sehingga dapat memilih strategi pemecahan yang sesuai. Pelaksanaan rencana tersebut dilakukan dengan menggunakan cara eliminasi dan substitusi. Ketika melaksanakan kegiatan ini, subjek tampak melakukannya dengan baik dan memperhatikan kecermatan dan kesesuaian hasil yang diperoleh. Selanjutnya subjek merencanakan untuk membuat gambar. Pembuatan rencana ini memang tidak didukung penjelasan yang jelas tentang maksud pembuatannya. Rencana di atas dilaksanakan dengan memperhatikan hasil yang diperoleh pada kegiatan pemecahan yang telah dilakukan, kemudian menterjemahkannya kedalam gambar. Namun demikian subjek masih menyebut “persamaan” terhadap suatu pertidaksamaan. Berdasarkan hasil pemecahan dan hasil wawancara, dapat dikatakan bahwa subjek tidak menyadari beda antara persamaan dan pertidaksamaan ketika digambarkan pada diagram kartesius. Pada pelaksanaan rencana pemecahan ini juga tidak tampak adanya aktivitas metakognisi yang terlaksana. Hasil pelaksanaan rencana tersebut kemudian diikuti dengan kegiatan evaluasi pemecahan untuk menentukan daerah penyelesaian. Penentuan daerah penyelesaian ini dilakukan dengan hanya melihat gambar lalu membuat arsiran tanpa melakukan pertimbangan-pertimbangan untuk menetapkan suatu daerah yang memenuhi syarat sebagai daerah penyelesaian atau tidak. Hasil wawancara tentang hal ini disajikan sebagai berikut. Hasil pemecahan dan hasil wawancara menunjukkan bahwa pada kegiatan ini tidak ada aktivitas metakognisi yang terlaksana. Kegiatan berikutnya adalah subjek membuat rencana menentukan nilai maksimum dengan memperhatikan fungsi tujuan yang akan digunakan untuk menentukan nilai maksimum. Pembuatan rencana ini tidak disertai dengan penetapan titik kritis. Pelaksanaan rencana tersebut dilakukan dengan substitusi nilai-nilai titik yang langsung dipilih subjek dari gambar yang telah dibuatnya. Pemilihan titik dilakukan dengan memperhatikan titik-titik pojok pada daerah yang diarsir (kecuali titik (0, 0) tidak dipilih). Pilihan yang dilakukan memang benar, namun tidak ada penjelasan yang dapat dikemukakannya mengapa titik tersebut dipilih. Hasil pemecahan dan hasil wawancara, kurang mendukung informasi tentang adanya aktivitas metakognisi yang terlaksana, baik ketika membuat rencana maupun ketika melaksanakan rencana. Setelah perhitungan selesai dilaksanakan, kemudian subjek melakukan evaluasi untuk menentukan nilai maksimum. Hasilnya kemudian diterjemahkan sesuai dengan konteks masalah yang dipecahkan. Hasil pemecahan dan hasil wawancara menunjukkan bahwa aktivitas metakognisi yang terlaksana adalah analisis struktur pengambilan keputusan.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasail penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Subjek mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika antara lain dapat disebabkan oleh ketidakmampuan subjek dalam menterjemahkan situasi kontekstual dari masalah yang dipecahkan kedalam model matematika formal. 2. Pengetahuan subjek dalam menggunakan prosedur matematika formal tidak didukung oleh kesadaran terhadap alasan pemanfaatan prosedur dan pegaturan proses berpikir, sehingga berdampak pada hilangnya makna dari penerapan prosedur pada proses
28
AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012
pemecahan masalah, dan timbul kesulitan ketika memecahkan masalah matematika kontekstual. 3. Pelibatan aktivitas metakognisi dalam pemecahan masalah, berguna dalam membantu mengatasi kesulitan memecahkan masalah matematika kontekstual. 4. Penerapan metakognisi bermanfaat dalam membangun kesadaran subjek terhadap pengetahuannya dan pengaturan berpikir selama berlangsung proses pemecahan masalah. DAFTAR PUSTAKA Cohors-Fresenborg, E., and Kaune, C., 2007, Modelling Classroom Discussion and Categorizing Discursive and Metacognitive Activities, In Proceeding of CERME 5, 1180 – 1189. Flavell, J. H., 1979, Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive – Developmental Inquiry, in Nelson, T. O. (Ed), 1992, Metacognition, Allyn and Bacon, Boston. Gama, C. A., 2004, Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment, D. Phil Dissertation, University of Sussex Gartman, S., and Freiberg, M., 1993, Metacognition and Mathematical Problem Solving: Helping Students to Ask The Right Questions, The Mathematics Educator, Volume 6 Number 1, 9 – 13. Hadi, S., 2005, Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya, Tulip, Banjarmasin. Johnson, E. B., 2002, Contextual Teaching and Learning; What It is and Why It’s Here to Stay, Corwin Press Inc., California Jonassen, D. H., 2004, Learning to Solve Problems and Instructional Design Guide, San Francisco, C. A. Pffeifer. Lee, M., and Baylor, A. L., 2006, Designing Metacognitive Maps for Web-Based Learning, Educational Technology & Society, 9 (1), 344 – 348 Nelissen, 1997, Thinking Skill in Realistic Mathematics, Download tanggal 12 September 2006. Orton, A., 1992, Learning Mathematics; Issues, Theory and Classroom Practice, Second Edition, Cassell, New York. Polya, G., 1973, How To Solve It, Second Edition, Princeton University Press, Princeton, New Jersey. Slavin, R. E., 2000, Educational Psychology, Theory and Practice, Sixth edition, Allyn and Bacon, Boston.