Merangkai Mutiara Bangsa, Para Pejuang Sanitasi dari Pelosok Negeri
Cetakan I: Tahun 2015 Cetakan II: Tahun 2016 Beberapa desain background diolah dari freepik.com
Agustince Simatupang Alpian Bartolomeus Marsudiharjo Fransisco Fernando da Gomez Hendro Suwito Herna Sinulingga Ignatius Anggoro Lily Susanti Dopas Marcel Sinay Mita Sirait Rena Tanjung Robertus Jamal Supriadi Saman Shintya Kurniawan Vita Aristyanita Yali Inggibal
i
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) ditetapkan sebagai kebijakan nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008. Pada tahun 2014, Kepmenkes tersebut diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2014 tentang STBM. Nafas dan semangat dalam pendekatan STBM adalah pemberdayaan
masyarakat dan perubahan perilaku.
Wahana Visi Indonesia adalah organisasi kemanusiaan Kristen yang berdedikasi menciptakan perubahan positif bagi anak-anak, keluarga, serta masyarakat yang hidup dalam keterbatasan tanpa membedakan latar belakang agama, ras, suku, dan gender. Wahana Visi Indonesia memberi dukungan kepada masyarakat dan pemerintah untuk melaksanakan berbagai program, salah satunya adalah STBM di beberapa wilayah di Indonesia. Buku ini menampilkan kisah-kisah inspiratif dari masyarakat dan pemerintah di beberapa wilayah dampingan Wahana Visi Indonesia yang melaksanakan program STBM. Semoga pembaca buku ini dapat memperoleh pembelajaran berharga dari pengalaman berbagai daerah dengan potensi dan tantangan masing-masing.
Salam STBM! Lebih Bersih, Lebih Sehat
ii
Agatha, hal. 1
Kasius, hal. 4 Kontributor ………………………………. i Sekilas Tentang STBM ……………………. ii Daftar Isi ………………………………….. iii Pengantar dari Wahana Visi Indonesia …… v & vii Sambutan dari Kementerian Kesehatan RI .. ix
Susi, hal. 15
Wipa, hal. 39
Sugeng, hal. 12
Nanang, hal. 5 Ros dkk, hal. 30
iii
Lukas, hal. 19
Kawan, hal. 25
Toni, hal. 37
Yasinta & Suratmi, hal. 28
Pius, hal. 42
Ma’arif, hal. 33
Surya, hal. 7 Daeng, hal. 17
Yali, hal. 22
iv
Kata Pengantar etika membaca kisah-kisah inspiratif dalam naskah buku ini, masih terbayang jelas wajah Pak Yali dari Desa Manda, pelosok Papua dengan sorot matanya yang berbinar saat menemukan semen yang bisa dibuat dari abu dapur untuk bahan membuat WC. Terngiang lagi suara Ibu Surya di balik telepon yang bersorak kegirangan atas keberhasilan menggerakkan warga Desa Maranti di lekukan Sulawesi Tengah Stop Buang Air Besar Sembarangan. Terkesan kuat kecerdasan Pak Abi dalam menemukan dan menjual ide brilian bio filternya untuk septik komunal di himpitan rumah padat dan gang sempit di Penjaringan, dan keuletan Pak Sugeng yang berkutat dengan aneka barang daur ulang di kubik sempit Bank Sampahnya di Semper Barat. Juga wajahwajah lain dengan keunikan cerita inspiratifnya yang terangkum dalam buku ini: "Merangkai Mutiara Bangsa, Para Pejuang Sanitasi dari Pelosok Negeri." Sungguh mengharukan! Perjuangan penuh peluh kita akhirnya berbuah hasil yg manis. Banyak tantangan, tapi tidak sedikit kejutan-kejutan yang menyenangkan. Di luar batas pemikiran dan kekuatan kita, Tuhan sediakan teman-teman sekerja yang sehati di berbagai tempat, di dalam dan luar organisasi, di mitra kerja, di pemerintahan, di masyarakat. Siap terus bergerilya mencari teman-teman baru yang belum kita temui, di tempat-tempat yang tidak terbayangkan, di lingkungan yang tidak diminati banyak orang, di wajah-wajah yang tak terlirik orang sebelumnya. Para pejuang masyarakat. Pahlawan yg sesungguhnya.
v
Terkenang dalam hati yang bersyukur jerih lelah kawan seperjuangan di Wahana Visi Indonesia yang selalu bersemangat dalam mendukung program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) ini: Mita, Vita, Margie, Daman, Mahda, alm. Binsar, Tince, Nando, Lily, Vero, Marcel, Ella, Stanny, dan kawan-kawan seru yang tergabung dalam Klub STBM. Para manajer proyek yang menjadi teman diskusi yang asyik: Pak Portun, Pak Anggoro, Pak Ronny, Pak Mono, serta Direktur tercinta kami, Kak Grace yang tidak pernah berhenti percaya pada kekuatan pemberdayaan masyarakat. Para guru STBM yang hebat dalam kebersahajaannya: Pak Wano, Pak Suprapto, Pak Budi, Mas Catur. Kawan jejaring AMPL: Pak Eko dan Mbak Wiwit yang cerdas dan jenaka. Juga kawan-kawan di Sekretariat STBM yang kompak. Kawan sekerja yang penuh semangat, inovasi, dan kegigihan dalam memperjuangkan tujuan program yg baik ini. Tidak ada yang tidak mungkin bila kita bersehati mengerjakan pekerjaan baik bagi kemajuan bangsa, demi generasi baru yg lebih bersih, sehat, dan cerdas, demi hormat dan kemuliaan nama Tuhan. Salam, Candra Wijaya
Health Team Leader
vi
Kata Pengantar
Kita semua patut memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan penuh Kasih, yang memberi kesempatan dan kekuatan kepada semua pihak terkait atas terbitnya buku "Merangkai Mutiara Bangsa, Para Pejuang Sanitasi dari Pelosok Negeri." Tidak hanya bersyukur terhadap selesainya proses penulisan dan penerbitannya, namun terlebih bersyukur atas proses pendampingan yang konsisten terhadap masyarakat binaan, sehingga bertumbuh dan berkembang kesadaran masyarakat untuk mengambil alih peran dan menjadi inisiator perubahan lingkungan yang sehat dan nyaman bagi kehidupan mereka. Sebuah proses transformasi pengembangan masayarakat yang mengarahkan kehidupan bersih dan sehat melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat telah membawa perubahan perilaku yang luar biasa di berbagai wilayah dampingan WVI mulai dari Nias sampai dengan di Papua. Ini terbukti lewat 16 cerita yang terhimpun di dalam kumpulan Kisah Inspiratif STBM. Kami berharap kisah-kisah ini dapat menjadi referensi berharga bagi wilayah lainnya yang sedang menuju kepada penyadaran dan perubahan perilaku masyarakatnya untuk membangun kehidupan lingkungan yang bersih dan sehat. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan dalam program kesehatan di berbagai wilayah pelayanan WVI. Pemberdayaan masyarakat dan kesadaran mereka untuk mengupayakan ketersediaan sarana kesehatan menjadi spirit yang terus dihidupkan dalam implementasi program ini. Keterbatasan akses dan tingginya harga bahan baku tidak membatasi semangat masyarakat untuk memiliki fasilitas kesehatan yang memadai.
vii
Perilaku masyarakat yang sehat dapat memberikan harapan pada perbaikan kualitas kesehatan anak. Wahana Visi Indonesia terus mensosialisasikan program STBM sebagai perubahan perilaku yang diadaptasi ke lebih banyak masyarakat Indonesia. Dukungan dan kemitraan dengan berbagai pihak menjadi salah satu pilar keberhasilan program tersebut. Wahana Visi Indonesia sangatlah berbahagia menjadi salah satu stakeholder yang terus menerus menginisiasi program STBM ini di wilayah-wilayah dampingan kami. Akhirnya, kami ingin menyampaikan terima kasih atas kontribusi pelaku STBM di masyarakat baik anak, ibu rumah tangga, anggota masyarakat, kepala desa, tokoh agama, pemerintah lokal, yang telah menjadi inspirator utama dalam buku ini. Juga kepada rekan-rekan penulis yang mampu mengangkat cerita-cerita sukses ini agar menjadi referensi dan pemicu bagi mereka yang sedang berjuang untuk membangun lingkungan yang bersih dan sehat. Juga terima kasih kepada mitra kerja kami di seluruh wilayah dampingan baik pemerintah lokal, jaringan STBM dan masyarakat layanan. Terus berkarya… bangun lingkungan yang bersih dan sehat untuk mendukung kehidupan yang nyaman bagi anak dan keluarga. Selamat Melayani, Grace Hukom Director for Transformation Development Wahana Visi Indonesia
viii
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh, Salam Damai dan Sejahtera Bagi kita Semua, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan dan paradigma pembangunan sanitasi di Indonesia yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan perubahan perilaku higienis dan saniter dengan cara pemicuan. STBM cukup efektif dalam upaya mempercepat peningkatan akses terhadap sanitasi yang layak. Masyarakat merupakan subyek dari pendekatan STBM karena masyarakat dipicu untuk mau, berdaya dan melakukan praktik-praktik hidup bersih dan sehat. Kegiatan STBM dimulai dari adanya pemahaman masyarakat atas permasalahan yang mereka hadapi, adanya inisiatif dan keputusan masyarakat untuk berubah, dan diikuti dengan pelaksanaan kegiatan secara bersama-sama menggunakan sumber daya yang mereka miliki.
ix
Dalam setiap upaya untuk mencapai tujuan, pasti ada berbagai tantangan yang harus dihadapi menuju sebuah keberhasilan. Beberapa pejuang sanitasi yang ada dalam buku "Merangkai Mutiara Bangsa, Para Pejuang Sanitasi dari Pelosok Negeri" ini merupakan contoh champion yang berhasil melewati tantangan dalam upaya merubah perilaku masyarakat. Para champion ini lahir dari sebuah tantangan dan permasalahan yang ada, mereka mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang demi kehidupan yang lebih sehat. dan akhirnya mereka mampu membawa sebuah perubahan dalam sebuah komunitas baik itu dalam kehidupan keluarga atau bahkan dalam kehidupan masyarakat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus kita masyarakatkan agar menjadi budaya sehat bangsa Indonesia yang harus ditanamkan sejak usia dini agar tumbuh mengakar menjadi salah satu budaya bangsa Indonesia. Saya sampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Wahana Visi Indonesia yang telah menyusun dan menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi sumber inspirasi sehingga tumbuh bibit-bibit pejuang sanitasi baru di Indonesia, semakin banyak yang terinspirasi dan ikut berjuang mewujudkan Universal Akses Sanitasi 2019. Wassalamu'alaikum Warrahmatullah Wabarrakatuh.
x
Anjingku, WC-ku
1
A
gatha adalah seorang anak kecil dari keluarga yang hidupnya pas-pasan. Orangtuanya bekerja sebagai petani karet. Namun hal ini tidak mengurangi keceriaan Agatha saat bermain. Setiap hari Agatha pasti bermain bersama teman-temannya, berlari-lari di halaman rumah dan kadang bermain juga dengan Beki, anjingnya. Tidak pernah ada kesedihan terlihat di wajahnya. Selain suka bermain, Agatha juga sangat senang mengikuti kegiatan kelompok anak setiap minggunya di desanya, sebuah desa di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Kelompok anak St. Lusia sudah berdiri satu tahun yang lalu dan anak-anak masih antusias mengikuti kegiatan kelompok anak. Di awal kegiatan, anak-anak diajari oleh Wanita Katolik yang merupakan pendamping kelompok anak untuk berdoa menurut kepercayaan mereka, yaitu kepercayaan Katolik. Setelah selesai kegiatan berdoa bersama, barulah Wahana Visi Indonesia (WVI) Kantor Operasional Sekadau masuk untuk membuat kegiatan, seperti belajar tentang hak anak, pentingnya kesehatan, dan pentingnya memiliki WC di setiap rumah. Setiap minggu kakak-kakak dari WVI selalu mengingatkan pentingnya punya WC dan tidak pernah lupa bertanya siapa yang sudah punya WC dan siapa yang belum. Anak-anak yang sudah mempunyai WC pasti sangat bangga mengangkat tangan ketika ditanya. Sangat berbeda dengan anak-anak yang belum mempunyai WC. Di setiap akhir kegiatan, kakak pendamping dari WVI selalu mengingatkan kepada anak-anak yang belum mempunyai WC supaya meminta orang tuanya membuat WC bagi mereka. Agatha termasuk dalam kelompok yang belum mempunyai WC. Setiap pulang dari kegiatan kelompok anak, Agatha selalu ingat pesan dari kakak WVI untuk membuat WC di rumah. Selain
2
kepada anak, WVI juga memberi penyadaran pentingnya memiliki WC keluarga bagi orang tua. Setiap kali kakak-kakak WVI mengingatkan pentingnya WC, setiap kali itu juga Agatha meminta orang tuanya membuat WC. Karena terus-terusan meminta WC, akhirnya sang ibu juga meminta suaminya agar bisa membuatkan WC di rumah. Suatu malam sang ayah datang kepada Agatha dan berkata, “Agatha, Ayah belum mempunyai uang untuk membuat WC. Membuat WC membutuhkan uang dan Ayah sedang tidak memiliki uang, sehingga kalau mau membuat WC, kita harus menjual anjing kita,” katanya. Mengetahui hal ini, Agatha lalu menangis karena Beki, anjing yang sangat dia sayangi, harus dijual. Agatha berpikir keras, mana lebih penting, “Anjingku atau WCku?” Butuh waktu seminggu sampai akhirnya Agatha merelakan anjing kesayangannya untuk dijual demi membuat WC. Besoknya Ayahnya menjual Beki dengan harga Rp. 500.000. Setelah itu, ayahnya langsung membuat WC untuk anaknya. Ibu dan Ayahnya berdua bahumembahu gotong royong dalam pembuatan WC. Mereka dengan semangat, cucuran keringat, air mata dan dengan kasih sayang membuat WC bagi anaknya. Setelah WC selesai, Agatha sangat senang, dia tidak sedih lagi. Agatha bisa bercerita dengan bangga kepada teman-temannya kalau dia sudah memiliki WC.*
3
Kasius, Kepala Desa Peduli Sanitasi
S
ejak terpilih menjadi Kepala Desa Suka Bangun pada tahun 2012 lalu, Kasius mendapat mandat dari warganya untuk memajukan desanya. Wahana Visi Indonesia (WVI) Kantor Operasional Singkawang pun mulai bekerjasama dengan Kasius. Suatu saat WVI mengundang Kasius untuk membicarakan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Desa Suka Bangun. Sejak saat itu, Kasius bergerak bersama-sama tim STBM dari desa lain di Kecamatan Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Kasius memprakarsai kampanye hidup bersih dan sehat, terutama dengan tidak buang air besar sembarangan. Kasius berhasil mendeklarasikan satu RT di Desa Suka Bangun sebagai wilayah yang Stop Buang Air Besar Sembarangan pada tahun 2013. Berkat dorongan Kasius, warga RT 01 Sebawak sadar untuk tidak Buang Air Besar Sembarangan. Keberhasilan itu mendorong Kasius untuk semakin gigih memperjuangkan agar masyarakat Desa Suka Bangun hidup lebih bersih dan sehat. Menurut Kasius, permasalahan sanitasi bukan terletak pada mampu atau tidak mampu, tetapi terletak pada mau atau tidak mau warga masyarakat melakukan pola hidup bersih dan sehat.*
4
Berkah dari pa h m Mengurus S a
P
erilaku warga Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, yang dulu suka buang sampah sembarangan, ternyata bisa menjadi inspirasi bagi Nanang Suwardi (51). Keprihatinan Nanang akan kondisi lingkungan yang kotor itu telah mendorongnya untuk mendirikan bank sampah.
5
Wahana Visi Indonesia yang bekerja di wilayah Semper Barat mendukung inisiatif Nanang dengan memberikan pelatihan-pelatihan cara mengubah sampah menjadi barang yang bermanfaat. Nanang sudah mulai merintis bank sampah sejak tahun 2008, namun baru tahun 2010 hasil kerja kerasnya dikenal orang. Saat ini,
Bank sampah "Karya Peduli" sudah memiliki 1.000 nasabah dan menghasilkan 3 ton sampah setiap bulannya. "Tapi jangan bangga dengan nasabah. Yang lebih penting bisa mengubah pola pikir masyarakat sehingga tidak lagi buang sampah sembarangan," kata Nanang di Semper Barat, Senin (11/5). Atas keberhasilannya menjaga kebersihan Semper Barat dengan pendirian bank sampah itu, ia dianugerahi Kalpataru pada tahun 2013. Sejak saat itu bank sampah yang Nanang dirikan juga mendapat kunjungan dari pemerhati lingkungan dari berbagai daerah, dan ia diundang berbicara di berbagai perguruan tinggi dan bahkan mendapat kesempatan untuk bertemu presiden.
“Kalau tidak ngurus sampah, tidak akan ketemu Pak SBY," kata Nanang, yang pernah mendapatkan kesempatan bertemu dengan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Ketika kita berbuat sesuatu, sekecil apapun itu, Tuhan akan menggantinya," kata Nanang yang meyakini bahwa pengakuan publik dan pemerintah atas kerja kerasnya merupakan berkah dari Tuhan karena peduli mengurus halhal kecil. Kini hidup Nanang tidak lagi bisa dipisahkan dari sampah, bahkan ia punya semboyan "Lebih baik hidup dari sampah, daripada hidup jadi sampah."
6
Surya
penerang Desa Maranti
“
Tidak pernah saya sangka bahwa masyarakat di Desa Maranti bisa 100% Stop Buang Air Besar Sembarangan. Rasanya masih seperti mimpi…..
..”
Matanya menerawang mengingat bagaimana awalnya beliau memulai pemicuan di desa bersama rekannya Pak Daeng. Tangannya menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya. Suaranya tertahan menahan tangis haru.
7
“Saya bangga, saya bangga sekali. Awalnya saya tidak yakin akan bisa mencapai 100% masyarakat BAB di jamban, tapi setelah verifikasi dan bahkan kemarin deklarasi dihadiri langsung oleh Pak Wakil Bupati di desa kami yang kecil ini….. saya bangga sekali”. Dia berhenti kembali menahan haru. Kali ini matanya lebih cerah dan mulai tersenyum. Inilah Ibu Suryaningsih, yang oleh masyarakat di Desa Maranti dikenal sebagai Ibu Surya Tai, karena beliau selalu menanyakan kepada warga desanya tentang jamban, perilaku buang air besar dan mengecek keberadaan tinja di sekitar rumah orang-orang yang didatanginya di Desa Maranti. Desa Maranti adalah desa yang yang terletak di kaki gunung, di Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong. “Desa kami ini desa yang terpencil, desa yang pa l i ng uj ung , ja la nny a bergelombang, berbatu-batu dan rusak. Jauh dari kota, di kaki gunung. Kami adalah masyarakat yang sangat sederhana. Masyarakat sudah biasa buang air besar di
saluran irigasi, di kebun dan di semak-semak….memang seperti itulah dari dulu.” Bu Surya menggambarkan Desa Maranti dan kebiasaan masyarakat yang hidup di sana. Pada tanggal 21 Mei 2015 yang lalu, Desa Maranti Kecamatan Mepanga melakukan deklarasi Desa Stop Buang Air Besar Sembarangan . Pemicuan pertama kali dilakukan pada bulan Juli 2014 setelah Bu Surya dan Pak Daeng dipilih oleh Kepala Desa untuk dilatih menjadi fasilitator STBM oleh Wahana Visi Indonesia. Ketika dilakukan pemicuan, hanya ada 16 KK (8%) warga desa yang memiliki dan BAB di jamban yang tersebar di 4 dusun Desa Maranti. Awalnya pemicuan hanya dilakukan di Dusun I dan Dusun II, namun masyarakat desa sepakat seluruh dusun harus dilakukan pemicuan dan hal ini mendorong Kepala Desa mengeluarkan peraturan desa tentang Stop BABS dan sanksi bagi warga yang masih BABS. Pada bulan April 2015 atau sekitar 8 bulan kemudian, ketika tim verifikasi Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) turun, total 192 KK
8
9
(100%) masyarakat sudah BAB di jamban sederhana dan WC. Hal ini bisa terjadi karena perjuangan yang dilakukan tanpa henti oleh Bu Surya, Pak Daeng dan perangkat desa setempat.
dari Stop Buang Air Besar Sem barangan,” tambahnya lagi. “Setelah membangun jamban, toh pada akhirnya mereka mengakui juga bahwa merekalah yang senang, bukan saya.”
“Setiap saat saya sempatkan melakukan monitoring. Misalnya pagi-pagi ketika saya berangkat ke sekolah untuk mengajar di PAUD, saya usahakan berangkat lebih pagi supaya saya bisa mampir ke rumah beberapa warga di dusun saya sampai ke dusun PAUD tempat saya mengajar, untuk menanyakan apakah mereka sudah membangun jamban dan kemana mereka BAB hari itu…..” Bu Surya tersenyum dan lebih lanjut menceritakan bahwa biasanya beliau akan langsung menuju ke belakang rumah untuk melihat apakah di rumah tersebut sudah ada jamban atau tidak. “Biar saja mereka bosan saya tanyai dan datangi terus……,” ucapnya sambil tersenyum malumalu….. “Ini demi kesehatan kita bersama, demi kesehatan semua warga. Sehat itu mulai
Ia bercerita bahwa ada beberapa warga yang setelah membangun jamban di rumahnya, mendatangi Bu Surya dan mengatakan bahwa memang rasanya lebih aman punya jamban sendiri di rumah. Seorang tetangga di dusunnya juga bercerita bahwa suatu ketika dia sakit perut, tidak perlu khawatir harus pergi jauhjauh ke sungai. “Apakah saya yang senang? Tidak, bukan saya yang senang. Yang membangun jambanlah yang senang. Karena tidak perlu pergi jauhjauh ke sungai atau bawabawa cangkul dan gali-gali dulu kalau sakit perut, dan tidak perlu khawatir harus mengantar anak ke sungai kalau anak mau berak. Anak-anak balita sudah bisa berak sendiri di jamban di rumah, tidak perlu
harus diantar jauh-jauh ke sungai dan tidak perlu merasa khawatir anak sendirian sebab bisa diawasi di rumah…,” tuturnya bersemangat sambil sesekali mengelus perutnya. Ibu Surya sedang menunggu kelahiran anaknya yang ketiga, saat ini kandungannya berusia 8 bulan. Selain aktif sebagai pengajar di PAUD, Bu Surya juga sangat aktif bermasyarakat dan menaruh perhatian pada isu-isu kesehatan lingkungan serta anakanak. Beliau juga mendampingi kelompok belajar anak dengan Wahana Visi Indonesia, tempat anak-anak mengembangkan keterampilan menari, drama dan kesenian lainnya. “Anak-anak harus berkembang dan aktif…. Saya selalu mendorong mereka supaya aktif, berani berbicara dan berani tampil. Karena anak-anak inilah pemimpinpemimpin di masa depan, jadi mereka harus berlatih berani dari sekarang.” Tidak sedikit tantangan yang
dihadapi oleh Bu Surya ketika menghadapi respon anggota masyarakat yang tidak mau berubah, misalnya yang menolak membangun jamban karena tidak punya waktu atau tidak punya uang. Bu Surya memang tidak pernah memaksa masyarakat untuk membangun jamban. Bu Surya pernah merasa kehilangan akal karena ada 2 KK di dusun kami yang tidak mau membangun jamban. “Saya dan Pak Daeng kehilangan akal. Kepala Desa juga sudah menyerah karena mereka tidak bersedia membangun WC. Akhirnya saya bercerita ke Ibu Lily, staf WVI, untuk meminta bantuan solusi. Ibu Lily menghubungi Puskesmas dan Pak Ngakan, Kaur Kesra Kecamatan. Pak Ngakan datang ke desa kami dan mengunjungi keluarga tersebut. Beliau mengatakan akan membantu keluarga tersebut membangun jamban, dan berniat membuka sepatu dan baju dinasnya untuk menggali lobang membuatkan WC…. Tuan rumahnya sungkan, dan akhirnya berjanji akanmembangun WC.
10
lBesoknya, sehari penuh keluarga tersebut membangun jamban sampai selesai. Tiga hari kemudian, Pak Ngakan datang agi ke sana, dan memang keluarga itu akhirnya membangun WC dan menggunakannya…” Beliau yakin bahwa pasti ada jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi. Masyarakat bahkan mempunyai jalan keluar dan cara-cara sendiri untuk membangun jamban sehat dengan biaya semurah mungkin. Segala kesulitan yang dihadapi selama ini tidak ada apa-apanya, kesehatan yang akan dicapai setelahnya jauh lebih berharga.*
11
ugeng Triyono (52) sempat keberatan ketika dipilih oleh masyarakat RW 04 Semper Barat untuk mengurus bank sampah. Namun begitu mendapatkan penjelasan bahwa kegiatan ini tidak sematamata untuk mencari materi, dia dengan senang hati menerima ajakan itu. Bank Sampah ini adalah inisiatif Kelompok Kerja Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Pokja STBM). Mereka telah mengupayakan pertemuanpertemuan masyarakat untuk membahas tentang masalah sampah di lingkungan mereka. Dari hasil pertemuan ini, masyarakat sepakat untuk mendirikan bank sampah sebagai salah satu upaya menge-lola sampah di wilayah mereka. Wahana Visi Indonesia melalui proyek CLEAN Jakarta
menanggapi inisiatif Pokja STBM ini dengan melakukan pendampingan untuk mendirikan bank sampah. “Ini kan kegiatan sosial, untuk menciptakan kebersihan lingkungan. Mudah-mudahan di sisa umur kami bisa melakukan kebaikan,” kata Sugeng, manajer Bank Sampah Kenanga Peduli Lingkungan (BSKPL) di kantornya yang sekaligus juga berfungsi sebagai gudang sampah di Semper Barat, Jakarta Utara, Jumat (13/10). Masuk akal jika awalnya Sugeng tidak tertarik mengurus bank sampah. Sugeng dulu bekerja di salah satu bank swasta besar di Jakarta, dan saat ini, Sugeng merasa sudah berkecukupan dari
12
mengurus mini market bersama saudaranya. Ditambah pendapatan istrinya sebagai kepala sekolah SD, cukuplah penghasilan keluarga ini untuk mengantarkan ketiga anaknya meraih cita-cita. Rasanya memang tidak ada lagi yang kurang karena Sugeng dan istrinya, Susiwi, berhasil mengantarkan anak sulungnya, Prasidha (26), menjadi manajer IT, anak kedua, Candra, bekerja di perusahaan farmasi, dan anak ketiga, Taufik, kuliah di perguruan tinggi ternama. “Kerja di bank sampah tidak melihat apa yang saya dapat, tapi berharap hasilnya bisa dinikmati orang banyak,” kata Sugeng, memberi alasan mengapa ia mau berkurban waktu dan uang untuk mengurus BSKPL. Meskipun menjadi manajer, Sugeng tidak sungkan untuk terjun langsung mengangkut sampah dari nasabah, bahkan kadangkadang menggunakan kendaraan pribadinya, memberikan semangat bagi anggota timnya. Sebagai pemimpin, Sugeng tidak ingin hanya memberikan perintah saja, tanpa mau merasakan pekerjaan anggota tim. Heni (43) adalah satu dari 185 nasabah BSKPL. Ia tercatat sebagai nasabah BSKPL sejak bank sampah ini berdiri pada bulan Mei 2014. Hampir satu setengah tahun menjadi nasabah, Heni makin semangat
13
mengumpulkan sampah keluarga yang dapat didaur ulang dan menyetorkannya ke BSKPL. Saat ini saldo tabungan Heni berjumlah Rp 225.000, mungkin jumlah yang tidak seberapa. Tapi nilai rupiah tersebut berasal dari barang-barang yang selama ini dibuang begitu saja. Jadi Heni tetap senang mempunyai tabungan dari usaha yang tidak seberapa. Lagi pula bagi Heni, tujuan utama mengumpulkan sampah bukan untuk mencari tambahan uang belanja, tetapi agar lingkungan menjadi bersih. “Lingkungan jadi bersih, kita dapat duit,” begitu kata Heni belum lama ini, mengungkapkan pendapatnya sejak menjadi nasabah BSKPL. Meskipun yang tercatat sebagai nasabah bank sampah adalah Heni, ia selalu mengingatkan ketiga anaknya untuk selalu membuang sampah pada tempatnya dan memisahkan sampah yang bisa disetorkan ke bank sampah. Seperti bank pada umumnya, BSKPL juga membuat buku catatan penyetoran sampah maupun pengambilan uang seperti buku tabungan. Setiap kali ada nasabah yang menyetorkan sampah, petugas BSPKL langsung menimbangnya. Nasabah dapat langsung mengambil uangnya,
namun sebagian besar menabung uangnya dan baru mengambil saat memerlukan. Nilai atau harga jual sampah berbeda-beda 1 kg kardus misalnya bernilai Rp 1.500, 1 kg botol plastik Rp 3.500. Harga ini dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, dapat naik atau turun. Sugeng menjelaskan BSKPL berhasil mengumpulkan sekitar 5 ton sampah setiap bulannya. Biasanya setiap dua bulan sekali, sampah akan diambil oleh agen untuk selanjutnya disetorkan ke pabrik untuk diolah. BSKPL merupakan bank sampah swadaya masyarakat. Para pengurus telah berjuang sangat keras untuk untuk membuat buku rekening, bahkan membuat bangunan dari bambu yang difungsikan sebagai gudang sekaligus kantor. Waktu launching yang dihadiri walikota Jakarta Utara, masyarakat di RW 04 turut berpartisipasi dengan mengumpulkan dana sukarela untuk keperluan acara peresmian tersebut.
Sugeng dan pengurus BSKPL berhasil membangun kemitraan dengan PLN dan Bank BRI. Kemitraan ini membuat BSKPL berkembang menjadi bank sampah versi 2.0, yaitu memberikan pelayanan sampah sekaligus pelayanan bank pada umumnya. BSKPL dilengkapi dengan mini ATM yang memungkinkan nasabah untuk membayar listrik, air, dan pulsa. “Insya Allah BSKPL akan berjalan. Selama ini didampingi, mosok mau dituntun terus. Jangan sampai ilmu yang diberikan WVI tidak dimanfaatkan,” kata Sugeng. “Ini kalau ditangani dengan benar bisa jadi sumber bisnis untuk masyarakat.” Diperkirakan Provinsi DKI Jakarta memproduksi sampah sebanyak 7.000 ton sehari atau 180.000 ton sebulan. Dengan menyerap sampah 5 ton sebulan, BSKPL telah ikut berperan membantu pemerintah dalam pengelolaan sampah.*
Dari kemitraan dengan PLN, BSKPL memperoleh bantuan uang sebesar Rp 10.000.000, sedangkan dari kemitraan dengan BRI, BSKPL mendapatkan bantuan mesin semacam mini ATM.
14
Susi, Pemimpin Tim STBM dari Pajintan
kata Susiana Dewi Suryandari (39) atau Susi saat berbincang dengan staf Wahana Visi Indonesia (WVI) di Puskesmas Pajintan, Singkawang Timur, belum lama ini. Susi adalah karyawan di Dinas Kesehatan Kota Singkawang dan ditempatkan di Puskesmas Pajintan. "Kenapa begitu?" tanya staf WVI. "Lha iya... pendekatannya dengan cara main-main, tapi sangat mengena dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk membangun jamban," tegas Susi.
15
Susi mendapat pelatihan menjadi fasilitator Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) pada akhir Maret 2011 bersama dengan 25 sanitarian dan petugas kesehatan dari 5 kecamatan (Singkawang Timur, Selatan, Barat, Tengah, Utara). Setelah mendapatkan pelatihan dari WVI, Susi melakukan pemicuan di tiga lokasi di wilayah kerjanya di Kelurahan Nyarumkop. Pengalaman yang paling mengesankan bagi Susi ketika harus melakukan pemicuan adalah ketika diajak ke lokasi di mana masyarakat biasa Buang Air Besar (BAB) sembarangan. Di situ masyarakat dipicu mulai dari rasa jijik, rasa malu, sampai-sampai ada sebagian warga masyarakat muntah. Seorang bapak bernama Halidi sempat marah pada Susi. "Kami tersinggung, kenapa ngomongin kotoran kami," ujar Halidi. Saat itulah mereka terhenyak dan sadar bahwa perilaku mereka sangat tidak sehat dan merugikan orang lain. Kesempatan ini dimanfaat Susi untuk menawarkan sebuah perubahan meskipun awalnya sulit. Dalam menjalankan kegiatan pemicuan, Susi mendapatkan dukungan Nain, yang kemudian menjadi pemimpin tim STBM di wilayahnya di RT 9. Dengan proses pertemuan yang cukup panjang masyarakat RT 9 bersepakat untuk mengadakan komite jamban untuk mendorong pembangunan toilet di lingkungan itu. Saat ini seluruh keluarga RT 9 yang berjumlah 36 KK dan beranggotakan 144 jiwa sudah mempunyai jamban dan sudah dinyatakan sebagai daerah yang Stop dari Buang Air Besar Sembarangan.*
16
Fasilitator STBM Mirip Pelatih Sepak B l a Daeng Gawin (47) adalah pria dari Desa Maranti, Kabupaten Parigi Moutong yang sehari-hari sibuk bertani dan mengolah karet untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Di balik pribadinya yang sederhana, pria yang akrab disapa Pak Daeng ini rajin mengikuti pelatihan bersama Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Parimo (WVI Parimo) di Puskesmas Kecamatan Mepanga. Awalnya Pak Daeng tidak terlalu tertarik mengikuti pelatihan ini karena merasa waktunya akan lebih berharga bila digunakan untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Namun karena didesak oleh Kepala Desa, Pak Daeng akhirnya mau mengikuti pelatihan Fasilitator Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Sejak saat itulah, ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk menjadi fasilitator karena dari pelatihan inilah, Pak Daeng mengaku banyak mendapat pencerahan.
17
Dari pelatihan STBM, Pak Daeng ikut terpicu untuk membuat amban murah dan sederhana di rumahnya. Setelah berhasil membuat jamban sendiri, Pak Daeng semakin gencar melakukan pemicuan di masyarakat termasuk menceritakan perubahan yang terjadi padanya dan keluarganya setelah membangun jamban.
Perubahan cara pandang dan tujuan hidup ini dirasakan Pak Daeng sejak menjadi fasilitator STBM termasuk menjadi berani berbicara di depan umum, mulai memperhatikan orang lain, dan belajar membuat sesuatu menjadi lebih baik. Menurutnya, mengajari masyarakat Desa Maranti untuk berubah memang tidak mudah. Ibarat bermain bola, WVI sudah dianggapnya sebagai pelatihnya. “WVI tidak memberikan bantuan satu sak semen pun untuk bangun jamban. Tapi bagi saya, ibarat bermain bola, WVI memberikan saya kesempatan belajar taktik bermain bola. Saya menjadi tahu bagaimana caranya menggugah hati masyarakat dan itu jauh lebih berharga buat saya,” ujarnya lagi.
kipun modelnya bermacammacam namun jamban itu tidak berbau karena semua dialirkan ke lubang resapan yang diberi pipa udara berupa potongan bambu. WVI Parimo telah melakukan program pemberdayaan masyarakat dalam bidang sanitasi dengan strategi dan pendekatan STBM sejak tahun 2014. Target program ini adalah 10 desa yang berada di Kecamatan Mepanga dan Tomini. Dari total 26 desa di kedua kecamatan tersebut, Desa Maranti yang terletak di Kecamatan Mepanga menjadi pertama yang 100% masyarakatnya bebas BABS dan mendeklarasikan diri sebagai Desa Sehat Stop Buang Air Besar Sembarangan.*
Dengan keterbatasan bahan, diakui oleh Pak Daeng masyarakat menjadi lebih kreatif karena mereka membuat WC dengan model yang bermacam-macam. Menurutnya warga desa ada yang memiliki jamban berpondasi tinggi, berpondasi rendah, langsung menempel di tanah, berbahan dasar kayu, cetakan semen, dan bahkan menggunakan kaleng bekas serta corong minyak. Mes-
18
Jamban Absen di Lubuk Tajau
Jamban masih menjadi barang langka di Desa Lubuk Tajau di Kecamatan Nanga Taman, Kabupaten Sekadau, provinsi Kalimantan Barat. Lebih dari 90 persen, atau 388 dari total 417 keluarga di desa ini belum punya jamban di rumah mereka. Tempattempat terbuka menjadi sasaran lokasi buang hajat bagi sebagian besar warga desa. Apa yang terjadi di Lubuk Tajau ini sesungguhnya adalah potret dari tantangan besar yang dihadapi banyak desa di Kalimantan Barat, bahkan mungkin juga di sejumlah provinsi lain di Indonesia.
19
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sekitar 100 juta penduduk belum memiliki akses pada sanitasi yang baik dan sekitar 65 juta masyarakat tercatat masih buang hajat di kebun atau ruang terbuka di dekat rumah, di pinggir sungai, kolam, dan laut. Untuk mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya sanitasi yang bersih dan sehat adalah salah satu fokus program pelayanan yang dijalankan kantor Wahana Visi Indonesia di Kabupaten Sekadau sejak tahun pertama program pendampingannya.
Langkah awal yang telah dilaksanakan adalah mengumpulkan puluhan perwakilan warga dari desa-desa dampingan dan aparat pemerintahan untuk mengikuti pelatihan tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM ). Salah satu peserta pelatihan tersebut adalah Lukas, 41, ketua Kelompok Tani Beringin Jaya Mandiri dari Dusun Kinore, Desa Lubuk Tajau. Lukas termasuk warga yang tidak punya jamban di rumahnya. Dia juga mengaku tidak paham mengapa absennya jamban menjadi masalah besar. Setelah mengikuti beberapa kali pelatihan dan diskusidiskusi, ayah dari lima anak
Tersebut baru paham akan bahaya tidak adanya jamban. "Saya jadi lebih mengerti mengapa buang air sembarangan bisa berakibat buruk bagi kesehatan, terutama bagi kesehatan anak-anak yang masih sangat rentan terserang penyakit," kata Lukas. Selepas pelatihan, Lukas dengan giat mengupayakan perbaikan sanitasi di Lubuk Tajau. Dia meralat sikap awalnya tentang sanitasi dan mulai memfasilitasi pertemuan dengan aparat pemerintahan, dari tingkat dusun sampai RT, serta mengajak
20
warga bergotong-royong membangun jamban percontohan. Ada alasan lain mengapa begitu sedikit jumlah jamban di Lubuk Tajau. Ini bukan soal masyarakat yang terbiasa buang hajat di tempat terbuka, melainkan soal masih kurangnya komitmen dari birokrasi. Karena itulah, Wahana Visi Indonesia berupaya membangun kolaborasi perbaikan sanitasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Kesehatan, Kantor Lingkungan Hidup, serta dengan aparat Kecamatan Hilir dan Kecamatan Nanga Taman.
21
Target kerjasama ini adalah agar bisa melahirkan terobosan kebijakan berupa peraturan daerah untuk perbaikan sanitasi dan kesehatan masyarakat. Adapun di sekolahsekolah, Wahana Visi melakukan edukasi sanitasi dan kesehatan sejak dini dengan bantuan acara panggung boneka keliling sebagai sarana advokasi. Dua tema yang diambil adalah „Stop Buang Air Besar Sembarangan' dan „Cuci Tangan Pakai Sabun'. Acara panggung boneka ini secara bergilir diadakan di sekolah-sekolah yang berlokasi di Kecamatan Sekadau Hilir dan Kecamatan Nanga Taman.*
INOVASI
WC Tanpa Semen Di Manda Tidak mudah membangun WC di Manda, sebuah desa yang bisa ditempuh dengan mobil selama dua jam dari Wamena, Jayawijaya, Papua. Itulah sebabnya, hingga bulan November 2013, hanya ada satu rumah yang dilengkapi WC di desa ini. Tingginya harga material untuk membuat WC merupakan penyebab utama sulitnya membangun WC di Manda. Bayangkan saja, harga satu sak semen bisa mencapai Rp 800.000, lebih dari 10 kali lipat harga semen di Jakarta. Daripada membangun WC, warga memilih jalan pintas dengan Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Akibatnya kotoran manusia sering ditemukan di sekitar honai. Tentu saja, keadaan ini sangat memperburuk kesehatan warga, karena lalat hinggap di kotoran manusia dan membawa kuman ke makanan yang dihinggapi.
22
Menyadari kondisi tersebut, Wahana Visi Indonesia (WVI) mengumpulkan warga masyarakat, yang terdiri dari anak-anak dan orang tua dan mulai melakukan pemetaan desa dan pemicuan yang membuat rasa jijik warga karena masih buang air besar sembarangan. “Saya menjadi salah satu fasilitator agar warga terpicu membangun jamban. Setelah pemicuan ada 15 orang dari Manda berkomitmen untuk membuat WC sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, para warga yang mengaku terpicu sulit untuk digerakkan. Ini sempat membuat saya putus semangat. Tidak dapat bekerja sendiri, saya bersama Yonias Kogoya, seorang gembala gereja, berinisiatif membuat pertemuan di gereja. Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk membuat WC di gereja” ungkap Yali Inggibal tentang awal pemicuan di Manda.
23
Berkat jerih payah Yonias serta anak-anak dan pemuda gereja terbangunlah tiga buah WC di gereja dengan kedalaman lubang WC sekitar 3 meter dan lebar 2 meter. “WC ini kami buat tanpa sedikitpun bantuan dari pihak luar. Bahan yang kami gunakan untuk membuat WC semuanya berasal dari dalam desa. Untuk lantai WC, kami menggunakan kerikil dan abu tungku. Abu tungku dapat kami gunakan sebagai pengganti semen. Abu tungku ketika dicampur dengan air mendidih dapat kemudian dikeringkan dapat menjadi seperti semen. Bahan lokal lain yang kami gunakan adalah seng, kayu, bambu dan alang-alang. Tidak lupa kami membuat keran dari jerigen dan kayu yang dipasang di depan WC untuk mengingatkan kami agar selalu mencuci tangan dengan sabun”. Demikian Yali menjelaskan proses singkat pembuatan WC tanpa semen.
Setelah berkali-kali pertemuan, barulah warga desa sepakat membangun 63 toilet dimana 5 toilet untuk keperluan umum dan sisanya untuk keperluan rumah tangga. Secara gotong royong, bapak, ibu, dan anak, semua ikut ambil bagian membangun toilet. Untuk menjamin pembangunan fisik disertai perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, Yali pun menggerakkan desanya dan desa tetangga untuk menyepakati denda adat sejumlah 300 ribu rupiah jika ada yang tertangkap Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Butuh nyali besar untuk menetapkan denda bagi "saudara" sendiri, tapi Yali tetap pada pendiriannya. Berkat perjuangan Yali dan m a s y a r a k at , Ke m en t e r i a n Kesehatan akhirnya meresmikan Desa Air Garam dan Desa Manda sebagai dua desa pertama yang bebas BABS di Papua.
Hari bahagia tersebut ditandai dengan penyerahan sertifikat oleh Hj. Muhammad Subuh, MPMM, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada hari Jumat, 30 Januari 2015. "Jika Tuhan kasih ide tapi kita tidak pakai, itu berarti kita yang salah," jelas bapak yang sesekali merangkap sebagai guru SD ini saat pengajar di desanya tidak hadir. Setelah sukses mengajak dua desa hidup bersih dan sehat, Yali tergerak untuk mengajak desadesa lainnya agar memiliki kesadaran yang sama untuk membangun toilet. Ketulusan Yali untuk membuat perubahan patut menjadi teladan kita bersama.*
24
Kawan Bergerak Menuju
Kisah ini bermula dari kepedulian kepada sesama untuk hidup bersama-sama dalam lingkungan yang sehat dan nyaman.
Kawan adalah nama sebuah kampung yang terletak di Desa Suka Maju, Kecamatan Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang. Di kampung ini berdiri 63 rumah, yang dihuni sekitar 360 jiwa. Menurut data di bulan September 2014, dari 63 rumah ini yang memiliki WC sebanyak 44 rumah. Jadi, ada 19 rumah yang belum mengakses buang air besar ke jamban. Pada tahun 2012, program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), terutama pilar "Stop Buang Air Besar Sembarangan" diperkenalkan
25
kepada masyarakat Kawan. Saat itu masih banyak warga dengan kebiasaan membuang toke' atau feses di sembarang tempat. Ada yang di sungai, di pohon, di kayu tumbang, bahkan ada yang di kantong plastik dan setelah BAB lalu kantong tersebut di terbangkan sembarangan di sekitar belakang rumah. Dengan perilaku hidup tidak sehat inilah masyarakat Kawan perlu pendampingan agar menyadari pentingnya hidup bersih dan sehat. Melalui pemicuan dan
dan lain sebagainya. monitoring yang secara rutin dilakukan kepada warga Kawan, perlahan tapi pasti warga mulai menyadari pentingnya membuat jamban. Namun ada tantangan tersendiri saat membangun kesadaran warga. Kadang warga berpendapat setiap program pemerintah yang ditawarkan pasti ada bantuannya. Ada juga pandangan warga yang mau membangun WC jika sudah punya rumah yang bagus, sudah ada teras rumah, sudah pasang porselen,
"Rumah saya belum ada terasnya, Pak. Tunggu ada terasnya baru saya buat WCnya," tutur salah satu warga ketika ditanya mengapa belum memiliki WC. Di sisi lain, menurut pemikiran mereka WC itu harus menggunakan kloset, porselen, semen, dan menggunakan atap seng. Itu baru WC namanya. Memang tak di pungkiri, untuk mengubah perilaku masyarakat tidak
26
mudah. Mereka harus melihat bukti dulu, baru akan percaya. Sudah ada dua kampung yang berhasil mendeklarasikan Stop Buang Air Besar Sembarangan di Kecamatan Sungai Betung yaitu Kampung Riam, Desa Cipta Karya dan Kampung Sebawak, Desa Suka Bangun. Dalam sebuah perayaan, ada perwakilan dari Kawan yang juga dilibatkan. Dengan melihat langsung, sedikit demi sedikit warga mulai berpikir, "Untuk membuat WC tidak mesti mahal." Sampai saat ini, pergerakan di Kawan untuk membuat WC sudah semakin gencar. "Kawan bulan Desember mesti deklarasi," tekad Ferry, seorang petugas Promosi Kesehatan di Puskesmas Sungai Betung yang selalu
27
memberikan pendampingan dan monitoring di Kawan. Ditambah dengan dua bidan dan lima orang kader Posyandu yang berdomisili di Kawan, semangat warga untuk membuat WC makin besar. Setiap Jumat ada jadwal untuk gotong royong bersama membuat WC. Bahkan pemerintahan Kecamatan Sungai Betung sudah sangat mendukung warga Kampung Kawan. Ini ditunjukkan oleh camat yang turun langsung melakukan monitoring ke rumah-rumah warga. Semoga dengan semboyan "Bersama Kita Bisa" mampu membuat Kecamatan Sungai Betung mencapai status Stop Buang Air Besar Sembarangan di tahun 2015 ini.*
Promosi Kesehatan dengan WC Keluarga erikut ini adalah kisah dua orang wanita yang hebat dari Kabupaten Sekadau demi lingkungan sehat yang bebas BABS. Suratmi (29) adalah salah satu fasilitator Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Desa Pantok yang telah mengikuti pelatihan dasar STBM yang difasilitasi oleh Wahana Visi Indonesia yang bekerjasama dengan BAPPEDA Sekadau. Setelah memberi sosialisasi kegiatan STBM di lingkunan desa, Suratmi akhirnya memebentuk kelompok kerja gotong royong di lingkungan RT. Pada hari pertama gotong royong kelompok, Suratmi memberanikan diri untuk mendatangi setiap rumah di lingkungan RT-nya yang belum memiliki WC dan belum masuk ke dalam kelompok. Dari rumah ke rumah Suratmi
menjelaskan fungsi dari WC untuk kesehatan. Ia juga menjelaskan tentang keuntungan mengerjakan WC secara gotong royong. Perjuangan ini membuahkan hasil yang baik karena akibat usaha Suratmi, 13 KK bergabung dalam kelompok kerja. Suratmi tetap optimis bahwa, kelompok kerja yang dipeloporinya akan berjalan dengan baik. Bahkan wanita ini berniat menularkan usahanya kepada lingkungan lain. “Setelah kelompok ini berjalan sampai dua sampai tiga kali gotong royong, saya akan melanjutkan pendampingan pemben-
28
tukan kelompok kerja pembangunan WC di RT lainnya,” ujar Suratmi optimis. Hal serupa juga dilakukan oleh wanita hebat lainnya bernama Yasinta. Ia adalah salah satu Sahabat Anak atau anggota kader perlindungan anak di Desa Pantok, Kabupaten Sekadau. Selain berperan sebagai Sahabat Anak, Yasinta juga berperan dalam kegiatan STBM di Desa Pantok khususnya Dusun Landau Mentawak. Yasinta yang sering memberi sosialisasi perlindungan anak terhadap warga juga berhasil memberi sosialisasi tentang STBM terhadap masyarakat. Ia mampu menggerakan 6 RT di Dusun Landau Mentawak untuk membuat WC di rumah tanpa menunggu subsidi dari pemerintah.
29
Kegiatan yang dilakukan oleh Yasinta ini mendapat respon positif dari masyarakat dan juga pemerintah lokal terutama Kepala Desa (Kades) Pantok. Kades Pantok bahkan mulai bergerak dan memimpin langsung kegiatan STBM di desanya. Semoga yang dilakukan oleh Suratmi dan Yasinta, dua wanita hebat dari Sekadau mampu menginspirasi daerahdaerah lain di Kalimantan dan Indonesia untuk segera terbebas dari kebiasan BABS. Tidak akan ada hasil yang luar biasa tanpa adanya usaha-usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.*
“ angan berani-berani buang sampah atau buang air besar sembarangan (BABS) di wilayah RW 4, Semper Barat, Jakarta Utara, kalau tidak mau kena “tilang” (bukti pelanggaran) dari kader-kader Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Memang “tilang” dari para kader STBM ini tidak diikuti denda, tapi Anda bisa dipanggil ketua RT dan mendapat kuliah kebersihan ling-kungan. Malu kan dikuliahi gara-gara mengotori lingkungan?
..” Roswati, Warsih, Nur, Hikmah, Uje, dan Robin adalah para kader dan anggota Pokja STBM RW 4 Semper Barat yang selalu siap menjaga kebersihan lingkungan mereka. Semula mereka juga tidak tahu tentang STBM. Sejak bersama 19 kader STBM lain dari Semper dan Penjaringan ikut pelatihan fasilitator STBM 4 hari di Jakarta tanggal 11-14 September 2013, mereka mulai mengerti tentang STBM dan melakukan aksi pemicuan. Bagi Roswati dan kawan-kawan, pelatihan yang difasilitasi oleh Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Cilincing itu sangat
30
mengesankan dan mereka tertantang untuk mempraktikkan pengetahuan itu di wilayah masing-masing. Mereka tak bosan-bosan membagikan pengetahuannya kepada warga lain. Dari ngobrol-ngobrol saat ketemu warga lain atau saat ada pertemuan warga, para kader STBM selalu menyisipkan pesan-pesan terkait dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan. Para kader STBM ini juga melakukan pemicuan STBM bagi warga Semper Barat maupun bagi warga di wilayan lain. Dalam pemicuan ini, mereka melakukan permainan, misalnya
31
main bola, sambil bercanda. Lalu di sela-sela permainan itu diselipkan pengetahuan tentang pilar-pilar STBM seperti Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) dan Buang Air Besar Semba-rangan (BABS). Pemicuan yang dilakukan terus berkembang, bahkan setiap Jumat pagi pada kegiatan senam ibu-ibu, Ros dan teman-teman Pokja STBM melakukan pemicuan juga. Mereka bahkan memindahkan lokasi senam ke lapangan yang tadinya banyak sampah, supaya ketika selesai senam, ibu-ibu yang hadir bisa langsung dipicu di tempat itu. Lokasi senam akhirnya menjadi bersih karena
ibu-ibu yang terpicu bergerak membersihkannya dari sampah. “Masih adakah yang BABS di kali?” kata Roswati, memberikan gambaran aktivitas pemicuan STBM yang biasa dia lakukan bersama kader STBM lainnya. Jika ada yang tunjuk tangan, maka di peta lokasi rumah warga tersebut diberi tanda. Pemicuan tidak berakhir hari itu juga. Biasanya 2 minggu kemudian dilakukan pemicuan lagi. Yang tadinya BABS, ditanya lagi apa masih BABS. Berkat “kecerewetan” para kader STBM ini, sekarang sudah ada kemajuan dalam hal kebersihan lingkungan di Semper Barat. “Ada yang tadinya BABS di atas kali, kloset di atas kali, sekarang tidak ada,” kata Roswati.
Roswati menjelaskan tidak semua warga legowo saat diberi masukan tentang perilakunya. Meski begitu, ia yakin banyak orang lain yang mau mendengarkan masukannya. Warsih punya strategi lain untuk mendorong supaya warga mau terlibat dalam kegiatan kerja bakti di kampung. Jika ada warga tidak mau kerja bakti, bersama warga lain ia bersihkan sampah di depan rumah warga tersebut. “Lama-lama malu dan tidak buang sampah di got lagi,” ungkap Warsih. Warsih juga meyakini jika ia terus memberitahu warga, maka pasti ada satu hal yang akan diingat. Oleh karena itu, ia merasa perlu terus dan terus mengingatkan warga lain. “Jadi kader STBM harus cerewet,” kata Warsih. Ros, Warsih, dan kader-kader STBM lain tidak begitu saja berubah menjadi terampil berbicara di depan orang banyak. Karena selalu membagikan pengetahuannya kepada orang lain, mereka pun akhirnya terampil berbicara di depan publik.*
32
Kepala Desa Anti BABS Ma’arif A. Pundanga atau akrab disapa Pak Ma’arif (40) adalah Kepala Desa Maranti, Kabupaten Parimo, Sulawesi Tengah, yang berdedikasi untuk mengubah perilaku warganya. Bagaimana tidak, hingga tahun 2014 lalu, sebagian besar warganya masih sering Buang Air Besar Sembarangan (BABS), bahkan mencapai 92% dari total warga. Perilaku warga ini menjadi perhatian Wahana Visi Indonesia (WVI) Kantor Operasional Parimo yang akhirnya mendampingi Desa Maranti sejak tahun 2014 lalu. Untuk mengubah perilaku warga yang sering BABS memang tidak semudah membalik telapak tangan tapi dengan komitmen dari pemimpin desa seperti Pak Ma’arif ini maka sedikit demi sedikit perilaku warga
33
berubah. Awal mula intervensi WVI terhadap Desa Maranti dimulai pada tahun 2014 lewat program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Ketika Ma’rif mendampingi fasilitator STBM melakukan pemicuan di Dusun 1 Desa Maranti, Pak Ma’arif terpicu untuk mengupayakan pemicuan di seluruh dusun bukan hanya Dusun 1. Ia bersama fasilitator yang sudah dilatih STBM, merancang strategi untuk mendorong masyarakat berhenti dari kebiasaan BABS. Salah satu strategi yang diambil adalah musyawarah bersama aparat desa, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat
untuk membuat peraturan desa tentang Stop BABS dan melakukan pemicuan di keempat dusun yang ada di Desa Maranti. Dalam menyemangati warganya, tak jarang Pak Ma’arif menggunakan cara tegas agar warga sadar akan perilaku mereka.Namun, Ia juga tidak segan turun langsung membantu membangun WC apabila ada warga yang membutuhkan. “Coba kita pikirkan bersama! Kita tidak sadar bahwa kotoran yang kita buang di sungai akan digunakan orang lain untuk kebutuhan rumah tangga. Jika hal itu terjadi pada kita, bagaimana perasaan kita? Ulama pernah bilang bahwa kotoran yang kita buang sembarangan akan dipertanggungjawabkan. Jadi kita harus tahu di mana dan bagaimana kita membuang kotoran,” katanya kepada warga desa saat sosialisasi STBM pertama kali digencarkan di desa. Tak hanya itu, berbekal ilmu yang ia dapat Pak Ma’arif juga mengajari warganya untuk
membuat jamban alternatif dari barang-barang sederhana seperti corong minyak tanah berukuran besar supaya warga tetap bisa memiliki jamban meski tidak mampu secara finansial. Sosok bertubuh kecil jangkung ini juga bersyukur karena ia mendapat pelatihan dari WVI. Meski susah pada awalnya namun akhirnya Desa Maranti berhasil mendeklarasikan diri sebagai Desa Bebas Buang Air Besar Sembarangan pada bulan Mei 2015 lalu. Sungguh sebuah keberhasilan yang patut dibanggakan oleh semua warga Desa Maranti. “Sekarang semua warga (100%) sudah bebas BABS dan mulai buang air di jamban yang ada di rumah mereka. Meski jambannya macam-macam bentuknya, yang penting warga sudah sadar untuk keluar dari kebiasaan BABS,” pungkasnya sambil tersenyum.*
34
Aneka WC di Desa Maranti
35
36
Tiada Lagi Jamban Terbang Di Dusun Riam erilaku buang air besar sembarangan di sungai dan hutan telah menjadi kebiasaan yang turun temurun di masyarakat Dusun Riam Pelayo. Bahkan di dusun ini dikenal yang namanya jamban terbang. Tak heran jika di sekitar hutan dan sungai mereka bertebaran kotoran manusia dan tercium bau yang tidak sedap.
37
Riam Pelayo adalah salah satu dusun di desa Cipta Karya, Kecamatan Sungai Betung yang dihuni oleh 65 keluarga dengan jumlah jiwa kurang lebih 300 orang. Jalan sempit berbatu-batu adalah satu-satunya akses untuk menuju dusun terpencil di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dusun ini jaraknya sekitar 20 kilometer dari ibukota kabupaten dan sekitar 90 kilometer dari Kota Singkawang.
Karena lokasinya yang demikian sulit, masyarakat Dusun Riam masih hidup dalam kegelapan di malam hari karena belum adanya listrik yang masuk. Di dusun inilah, Toni (29 tahun) tinggal bersama orangtuanya setelah menamatkan kuliahnya. Sebagai satu-satunya sarjana di dusunnya, Toni telah memegang peranan penting sebagai pemimpin masyarakat baik di gereja maupun di lingkungannya. Dia juga bekerja sebagai guru Agama Katolik di SMK Katolik di Bengkayang. Ketika pertama kali Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Singkawang (WVI Singkawang) masuk dan mensosialisasikan program sanitasi, banyak masyarakat yang menolak dan menganggap jamban bukanlah hal yang penting untuk kehidupan mereka. "Selain buang air besar di hutan dan sungai, masyarakat di sini juga mengenal jamban jamban terbang, Pak. Itu loh yang pakai kantung plastik terus dilemparkan, terbang deh," kata Bu Margareta sambil tersenyum simpul ketika pertama kali WVI Singkawang melakukan penyuluhan di Dusun Riam..” Melihat kondisi masyarakatnya, Toni tidak mau tinggal diam. "Saya merasa tergerak untuk melakukan perubahan di dusun saya, dan saya juga ingin agar masyarakat berubah," ujar Toni.
Hal ini dibuktikannya dengan langsung membangun jamban di rumahnya setelah WVI Singkawang melakukan pertemuan pertama bersama masyarakat. Toni pun segera aktif mengajak masyarakatnya untuk secara bergotong royong membangun jamban masing-masing. Pada awalnya memang tidak mudah untuk mengajak masyarakat Riam yang tergolong keras karakternya. Namun dengan sosialisasi terusmenerus dari Toni bersama dengan WVI, akhirnya masyarakat mulai sadar. Ditambah lagi dengan adanya program air bersih yang dibangun dan masuk ke dusun ini, masyarakat jadi lebih termotivasi untuk membangun jamban sehat di rumahnya. Sekarang sudah tidak ada lagi masyarakat yang membuang hajat di kantong plastik dan melemparnya sembarangan. Yang paling membanggakan adalah ketika perayaan peresmian 100 persen kepemilikan jamban di Dusun Riam. Bupati Bengkayang, Suratman Gidot, secara khusus menghadiri acara ini. "Saya sangat bangga dengan masyarakat Dusun Riam, karena Riam adalah satu-satunya dusun yang semua masyarakatnya telah memiliki jamban pada akhir tahun 2013," ujar Bapak Suratman dengan bangga.
Selamat tinggal jamban terbang....!!!!* 38
Minggu, 23 Juni 2013. Wahana Visi Indonesia (WVI) Kantor Operasional Nias mengadakan pemicuan Stop BABS (Stop Buang Air Besar Sembarangan) di Dusun 2, Desa Hilibanua Kecamatan Namohalu Esiwa Kabupaten Nias Utara. Fasilitator pemicuan saat itu adalah Yasokhi Zega, staff Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Utara. Saat pemicuan, Yasokhi aktif menyuluh pesan-pesan kesehatan, terutama tentang pentingnya menghentikan kebia-
39
saan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) karena sangat tidak baik untuk kesehatan. Berdasarkan data baseline survey Wahana Visi di Nias tahun 2009, sebanyak 28,4 % rumah tangga belum memilki jamban keluarga, dan hanya 8,6 % rumah tangga yang memiliki toilet yang sudah menggunakan septic tank. Oleh karena itu, sejak tahun 2012, WVI Nias bersama dengan pemerintah, termasuk dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten
Nias Utara, sudah banyak melakukan kegiatan bersama tentang STBM, khususnya tentang stop BABS. Di Dusun 2 Desa Hilibanua sendiri, dari total 68 KK baru sekitar 34 KK atau 50% warga yang sudah memiliki WC.
“Menurutmu, WC yang bagus itu seperti apa?” saya bertanya pada Wipa. Tanpa pikir panjang, dia menjawab sambil tersenyum, “WC yang bagus itu yang seperti punya saya karena ada atap, penutup WC, pintu, dinding, air dan pembersih.”
Pemicuan stop BABS yang dilakukan di halaman Gereja Katolik St. Onesimus Lauru tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu 17 KK yang akan menindaklanjuti kegiatan dengan membangun WC sederhana di rumah masingmasing agar tidak BABS lagi. Waktu pembuatan disepakati selama 2 minggu sejak tanggal pemicuan, yang selanjutnya akan dimonitor bersama-sama hasilnya.
Wipa merujuk ke WC sederhana yang dibangun di belakang rumahnya. WC itu dibangun oleh keluarga Wipa setelah ayahnya, Ama Rea, mengikuti pemicuan stop BABS yang difasilitasi oleh WVI bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Utara pada akhir tahun 2011 yang lalu. Sampai sekarang 2 tahun setelah WC dibangun- WC tersebut masih utuh dan terawat karena memang digunakan dan rajin dibersihkan. Menurut Wipa, setiap rumah harus memiliki WC agar orang tidak BABS, sekaligus mencegah penyakit. “Bangun WC supaya gak buang air sembarangan lagi. Untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit, supaya tidak diare,” kata Wipa.
Senin 8 Juli 2013, saya bersama Yustinus Harefa, Fasilitator Pendamping WVI kembali ke desa Hilibanua untuk monitoring ke-17 KK tersebut. Dalam monitoring kali ini kami mengajak Wipa (9) salah seorang anak dari Desa Hilibanua untuk melakukan monitoring bersama. Kami menugasinya untuk mengambil foto jamban dari bagian dalam dan luar.
40
Rabu 8 Agustus 2013, diadakan pertemuan di dusun 2 Desa Hilibanua untuk mengevaluasi pelaksanaan rencana tindak lanjut pemicuan Stop BABS. Agenda utamanya adalah memberikan apresiasi sederhana kepada keluarga yang sudah memenuhi sekaligus memotivasi keluarga lainnya. Namun, sisi penting lainnya adalah agar Wipa bisa menyampaikan hasil monitoringnya di depan masyarakat. Hal ini juga sebagai bentuk nyata anak berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat.
41
Dari pertemuan ini dihasilkan rencana tindak lanjut kepada seluruh KK di Dusun 2 Hilibanua untuk mulai membangun WC agar terbebas dari BABS. Pertemuan dengan model Monitoring Parisipatif Anak (MPA) ini membuat anak berani menyuarakan pikiran serta pendapatnya dan bernai tampil di depan umum.*
Dulu Lawan, Sekarang Kawan Sebagai kepala dusun di Dusun Ladak, seharusnya tidak ada kesulitan bagi Pius untuk memengaruhi masyarakat yang dipimpinnya. Namun ternyata itu tidak berlaku saat Pius ingin menggerakkan seluruh masyarakat Dusun Ladak untuk memiliki WC keluarga di rumah masingmasing. Pria kelahiran 12 Desember 1973 ini harus menerima banyak tentangan dari keluarga-keluarga yang tidak setuju untuk membangun WC di rumahnya.
“Saya bahkan sampai harus bermusuhan dengan warga lain ketika memotivasi mereka untuk membangun
” ungkap Pius.
WC,
Awal keterlibatan Pius di program STBM ini adalah keikutsertaanya dalam Pelatihan Fasilitator STBM yang diselenggarakan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) Kantor Operasional Sekadau di tahun 2012. Dari pelatihan itulah Pius mulai menyadari bahwa kampungnya juga memiliki masalah serius. Menurutnya, masih banyak keluarga di kampung yang melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Tercatat 112 KK yang berdiam di Dusun Ladak. Waktu itu, kurang dari separuhnya sudah memiliki WC. Dari sisi lokasi, dusun ini cukup terpencil. Perlu waktu tempuh menggunakan motor hampir 2 jam dari pusat kecamatan. Untuk sampai ke pusat dusun, harus terlebih dahulu melewati jalan setapak dan dipenuhi tebing yang terjal.
42
Pius merasa dusunnya bisa melakukan hal yang sama. Dengan tetap berkoordinasi dengan WVI dan juga Puskesmas, Pius semakin bersemangat. Tepat pada tanggal 20 September 2014, Puskesmas dan Pemerintah Kecamatan Nanga Taman serta Pemerintah Desa memverifikasi semua rumah Meski menemui banyak tantangan, tapi pria yang dianugerahi 3 anak ini, memutuskan untuk tetap melanjutkan perjuangan. Pius terus menginisiasi pembentukan kelompok-kelompok kerja gotong royong dan memantau arisan WC tiap kelompoknya. Kelompok besar terdapat di tingkat RT (3 RT) dan masing-masing ketua RT mengkoordinir kegiatan di kelompok yang lebih kecil. Didampingi oleh staff WVI, Pius biasanya juga mencatat setiap warganya yang sudah memiliki WC. Ia semakin tertantang ketika menghadiri dan menyaksikan Deklarasi Stop BABS di Kampung Sapau Kenatok, Dusun Landau Mentawak yang dihadiri oleh Wakil Bupati Sekadau.
43
di Dusun Ladak. Hasilnya, Dusun Ladak dapat diresmikan sebagai Dusun Stop BABS. Kerja keras Pius selama ini terbayarkan. Dusun yang terdiri dari 112 KK ini merupakan dusun pertama di Desa Meragun yang 100% telah memiliki WC. Sebanyak 247 anak (113 laki-laki dan 134 perempuan) kini menikmati tersedianya WC sehat di rumah mereka. Masyarakat Dusun Ladak kini sudah memahami dan menyadari pentingnya WC ada di rumah mereka.
“Sekarang saat mereka punya WC dan sudah merasakan enaknya BAB di rumah. Mereka su-
”
dah menjadi kawan saya, kata Pius dengan wajah gembira.*
ha iya... Pendekatannya dengan cara main-main, tapi sangat mengena dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk membangun jamban [Susi]
Tapi bagi saya, ibarat bermain bola, WVI memberikan saya kesempatan belajar taktik bermain bola. Saya menjadi tahu bagaimana caranya menggugah hati masyarakat dan itu jauh lebih berharga buat saya [Daeng]
“Ini kan kegiatan sosial, untuk menciptakan kebersihan lingkungan. Mudah-mudahan di sisa umur kami bisa melakukan Kebaikan.” [Sugeng]
Anjingku atau WC-ku [Agatha] Tidak pernah saya sangka bahwa masyarakat di Desa Maranti bisa 100% Stop Buang Air Besar Sembarangan. Rasanya masih seperti mimpi….. [Surya]
aya jadi lebih mengerti mengapa buang air sembarangan bisa berakibat buruk bagi kesehatan, terutama bagi kesehatan anakanak yang masih sangat rentan terserang penyakit [Lukas]
Wahana Visi Indonesia Jl. Graha Bintaro Blok GK/GB 2 No.09, Pondok Aren, Tangerang Selatan 15228, Indonesia Telp. +62 21 2977 0123 Fax. +62 21 2977 0101 www.wahanavisi.org
“Saya akan melanjutkan pendampingan...” [Suratmi]
“Ini kalau ditangani dengan benar bisa jadi sumber bisnis untuk masyarakat.” [Sugeng]
“..untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit, supaya tidak diare.” [Wipa]
“Saya merasa tergerak untuk melakukan perubahan di dusun saya, dan saya juga ingin agar masyarakat berubah.” [Toni] "Untuk membuat WC tidak mesti mahal." [Kawan]
"Jika Tuhan kasih ide tapi kita tidak pakai, itu berarti kita yang salah.” [Yali]
“Sekarang saat mereka punya WC dan sudah merasakan enaknya BAB di rumah. ” [Pius] “..yang penting warga sudah sadar untuk keluar dari kebiasaan BABS.” [Ma’arif]
“Kalau tidak ngurus sampah, tidak akan ketemu Pak SBY.” [Nanang]