MENYOAL KEPUNAHAN BAHASA: SEBUAH DIALEKTIKA HISTORIS TANPA SOLUSI Imelda 1 Judul Buku
: Language in Danger
Tahun
: 2003
Penulis
: Andrew Dalby
Penerbit
: Penguin Books
Tebal
: xii + 329 halaman
Pada awal abad ke-20, isu kepunahan bahasa mulai menjadi sorotan. Isu ini tidak hanya menarik perhatian para ahli bahasa, tetapi juga para ahli bidang ilmu alam, sosial, dan kebudayaan. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, yaitu karena manusia menyimpan semua informasi pengetahuan kehidupannya dalam bahasa. Singkatnya, bahasa merupakan kunci peradaban manusia. Buku Language in Danger merupakan sebuah wujud kekhawatiran seorang sejarawan sekaligus ahli bahasa, Dalby. Dengan gaya menulis yang kerap kali dipicu oleh pertanyaan, Dalby memberikan paparan khas seorang sejarawan yang senang dengan deskripsi-deskripsi panjang. Dalam bukunya, Dalby seolah sedang bercerita dengan anak cucunya ikhwal kepunahan bahasa di masa lampau. Prolog buku Dalby ini dimulai dengan uraian kecepatan hilangnya bahasa di masa depan. Saat ini, ada 5000 bahasa yang masih bertahan. Dalam hitungan 100 tahun ke depan, bahasa-bahasa tersebut akan turun jumlahnya menjadi setengah saja. Penurunan jumlah bahasa tersebut bila dihitung dalam 100 tahun berarti setiap dua minggu kita kehilangan satu bahasa. Fakta kecepatan hilangnya bahasa tersebut merupakan gambaran yang memicu deskripsi-deskripsi Dalby. Secara 1
Peneliti pada Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB), LIPI
1
umum, bukunya ini mencoba untuk menjawab pertanyaan “Mengapa kepunahan bahasa terjadi? dan “Apakah kepunahan bahasa menjadi suatu hal yang penting? Dalby mengurai bukunya menjadi tujuh pokok bahasan, yaitu (1) language and our species, (2) language and change, (3) language and community, (4) language and nation, (5) how to become a global language, (6) when we lose a language, dan (7) the loss of diversity. Setiap pokok bahasan tersebut diuraikan lagi menjadi empat sampai enam sub pokok bahasan. Paparan Dalby juga dibantu oleh dua peta, satu tabel, dan catatan belakang pada tiap bab. Selain tiga hal yang menunjang tersebut, terdapat pula indeks yang bisa membantu pembaca yang hanya ingin membaca bagian-bagian tertentu saja. Deskripsideskripsi panjang yang diuraikan oleh Dalby ditunjang oleh buku-buku yang diterbitan dari berbagai tahun, yaitu antara tahun 1643 sampai tahun 2000. Dari kumpulan referensi yang digunakan Dalby dapat terlihat bahwa pembaca akan dibawa ke dalam ruang waktu yang cukup jauh ke belakang hingga ke masa kini. Pada pokok bahasan pertama, Dalby memulai uraiannya tentang keberadaan bahasa bagi manusia sebagai homo sapiens. Dalam rincian, ada enam pertanyaan yang secara eksplisit dan implisit diuraikan, antara lain: (1) how do we learn to do it (language)?, (2) how languages go apart?, (3) how languages come together?, (4) what are the long-term result of language in competition?, (5) how many form of speech there are in the world?, dan (6) what are the number of languages there will be in the world in the future? Pada kali pertama memulai uraiannya, Dalby menyoroti bahasa sebagai alat khas yang dipelajari manusia yang selalu berinovasi. Inovasi ini dapat terlihat dari kecenderungan bahasa selalu berdinamika dari masa ke masa. Bahasa yang bergerak sentrifugal dan sentripetal menghasilkan bahasa-bahasa dan dialek-dialek yang beragam. Pergolakan politik Anglo-Saxon melawan Britania, Norman melawan Inggris, dan Britania melawan India adalah contoh yang menjadi alasan perpecahan dan penyatuan bahasa yang diambil Dalby untuk memaparkan secara lebih jelas kepada pembacanya. Pokok-pokok yang berhubungan dengan ikhwal perkembangan bahasa kemudian diperdalam lagi dengan sub pokok bahasan Language and Change. Pada bahasan ini, ciri khas sudut pandang sejarah terlihat sangat jelas. Dalby meletakan pondasi uraiannya pada kerajaan Roma
2
(Latin menjajah Eropa). Dalam uraiannya, pembaca dibawa pada ruang waktu 300 sebelum masehi. Pada ruang waktu itu, situasi kebahasaan penduduk Mediterania sedang dalam tahap bilingual. Situasi ini digunakan Dalby untuk meneropong tahun 2100 yang diperkirakan memiliki situasi kebahasaan yang serupa, bilingual. Sebagai pemicu uraian, Dalby mengajukan pertayaan-pertanyaan yang berputar pada kondisi kebahasaaan masyarakat Mediterania yang bilingual. Pertanyaan-pertanyaannya antara lain: (1) how did people become bilingual?, (2) how local language died?, (3) what happen in the triumph of Greek and Latin?, dan (4) Why all local languages of the Empire were supplanted by Latin and Greek? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan quick linguistic tour yang dipimpin oleh Dalby. Dominasi politik, penjajahan, yang dilakukan kerajaan Roma memaksa orang-orang menjadi bilingual. Ini karena orang-orang yang terjajah memiliki kepentingan untuk tetap hidup dan bertahan. Selain untuk kehidupan, kondisi bahasa yang mendua juga dipicu oleh gengsi bahasa yang digunakan kaum terpelajar. Dalam tataran yang lebih atomis lagi, keluarga-keluarga penduduk yang terjajah mendidik anakanak mereka untuk mempelajari bahasa baru, Latin dan Yunani. Motivasi yang berasal dari dalam keluarga ini pada akhirnya memunculkan anak-anak yang berdwibahasa. Refleksi mengenai serangan atomis kebahasaan di masa lampau kemudian dipantulkan kembali ke masa depan. Dalam konteks masa depan, Dalby memperkenalkan televisi sebagai anggota keluarga yang perlahan namun pasti mengubah kecenderungan kebahasaan anak-anak. Secara tegas Dalby mengungkapkan bahwa “Television is now an honoured member of family: it provides scenes of prosperous daily life that everyone wants to emulate, and television does not speak a local dialec (hal. 81).” Selanjutnya pada pokok bahasan ketiga, Language and Community, Dalby menyorot perubahan bahasa dengan membawa pembaca masuk ke dalam ruang waktu yang lebih ke depan, yaitu pada tahun 731 setelah masehi. Pada masa ini di Britania ada lima bahasa nasional yang di gunakan, yaitu Angels, British, Scots, Picts, dan Latin. Bahasa Latin menjadi bahasa utama dari semua penutur bahasa-bahasa yang telah disebutkan. Dengan demikian, penduduk Britania dapat dipastikan cenderung bilingual. Dengan kondisi penduduk seperti ini, Dalby mencoba mengkaji masyarakat yang bahasanya minoritas dan mayoritas untuk mengetahui pikirkan mereka ketika mengubah
3
bahasanya. Perlu pula diketahui bahwa, paparan historis Dalby masuk ke dalam tataran atomis, keluarga, penggunaan bahasa. Seperti bab-bab sebelumnya, dalam bab ini Dalby mengajukan pertanyaan yang secara langsung atau tidak langsung diungkapkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain: (1) what is/are the majority and minority attitude/s’?, (2) how long can bilingual last?, (3) why traditional local language still alive?, (4) how quickly will billingual disappear?, dan (5) Can goverment policies make a diffrence to the long term continuation of bilingualism—and in that way promote the survival of minority languages? Bilingualisme yang masih menjadi perhatian Dalby, pada bab ini lebih diperdalam penjelasannya. Kondisi perekonomian masyarakat merupakan latar belakang orang menjadi bilingual. Kondisi bilingualisme ini tidak akan berlaku lama ketika pemilik bahasa minoritas tidak lagi menghargai bahasanya. Rasa malu berbahasa minoritas ini menjadi nyata ketika kaum muda dan tua sama-sama tidak berbahasa daerah lagi. Namun, sikap bahasa yang negatif tidak serta merta menghilangkan bahasa karena sering kali praktik keagamaan membuat orang tetap menjadi bilingual. Perkembangan perubahan bahasa diluar praktik keagamaan diperlancar dengan praktik kawin campur. Peralihan bahasa yang dihantarkan sikap negatif dan perkawinan campur ini ditengarai oleh Dalby dapat dihambat oleh kebijakan politis pemerintah. Dengan demikian, Dalby ingin mengatakan bahwa pemerintah memegang peranan penting dalam mengarahkan bahasa yang digunakan masyarakatnya. Begitu pentingnya peran pemerintah dalam mengarahkan ‘tren’ bahasa masyarakatnya sehingga Dalby membuat bab khusus yang sifatnya memberitahu keterkaitan antara bahasa dan negara. Bab ini ditulis dalam judul pokok bahasan Language and Nation. Dalam paparan ini, Dalby mengeksplorasi ungkapan ‘the evil spirit of linguistic nationalism’ 2 dengan mengambil latar kebijakan kebahasaaan di negara Amerika Serikat. Ada tiga proposisi yang menjadi dasar argumen dan deskripsinya, yaitu 1. A ‘nation’ of people can be defined by the language that those people speak ; 2. A nation ought to be a political unit with an independent government; 3. Such a government ought to rule within non-overlapping boundaries that can be visualized on a map (hal. 128). Proposisi-proposisi tersebut ditengarai sebagai pembatas kebebasan masyarakat dalam bahasa. Penjara nasionalisme 2
Ungkapan ini disitir dari Arnold Toynbee.
4
ini terejawantah pada penggunaan lingua franca untuk menjaga keutuhan bangsa. Sebagai lanjutan, lingua franca ini akhirnya dapat mematikan bahasa-bahasa daerah, seperti di Indonesia dan Malaysia di Asia. Hal demikian juga terjadi di Amerika, yaitu ketika pemerintah memaksa anak-anak orang Indian berbahasa Inggris karena hanya bahasa itu yang digunakan dalam bidang pendidikan. Saat ini, ketika telah menyadari pentingnya pluralisme, pemerintah Amerika kesulitan karena kebanyakan orang tua bersuku Indian tetap tidak mau, mungkin tidak bisa, mengajarkan bahasa daerahnya lagi. Jalinan demi jalinan pembahasan kepunahan bahasa diikat demikian ketat oleh Dalby. Pada setiap akhir pembahasan dan awal pembahasan, ikatan itu terbaca dengan jelas. Seperti pada pokok bahasan lima ini contohnya. Bahasa Inggris yang dibahas pada akhir pokok bahasan empat kembali dieksplorasi. Eksplorasi historis mengenai bahasa Inggris ini dimulai dengan judul pokok bahasa yang bernada bertanya, yaitu how to become a global language. Uraianuraian yang menjawab pertanyaan utama tersebut dipecah dalam empat subbahasan, antara lain: (1) national education and national development, (2) the rise of English, (3) converging on English, dan (4) English or Englishes. Keempat sub bahasan itu memaparkan perjalanan bahasa Inggris pada abad 18 dan 19. Pada permulaannya, bahasa Inggris digunakan dalam dunia pendidikan untuk tujuan peningkatan taraf hidup manusia. Selanjutnya, bahasa Inggris juga disebarkan melalui tangan-tangan penjajah, pemerintah, dan pedagang. Ketika tiga penghantar bahasa ini masuk ke dalam suatu komunitas, masyarakat mulai meminjam kosakata bahasa Inggris. Setelah kosakata berjalin berkelindan dengan bahasa lokal, bahasa Inggris model baru diproklamasikan. Fenomena ini terjadi pada negara Kanada, Malaysia, Australia dan lain-lain. Pembahasan mengenai kepunahan bahasa telah dieksplorasi dari Mediterania hingga meluas ke Amerika dan bahkan Asia. Tampaknya tidak lengkap bila Dalby tidak mengungkapkan apa pentingnya membahas kepunahan bahasa-bahasa yang telah dan sedang berlangsung di atas dunia. Untuk alasan tersebut, dibahaslah berbagai kerugian kepunahan bahasa. Subpokok bahasan when we lose a language dikembangkan dengan pertanyaan ‘What do we lost as each language is forgoten?’ Dengan mengambil sisi kehidupan orang Hawai, Dalby menjawab pertanyaan ini. Secara singkat diungkapkan bahwa kepunahan bahasa berdampak pada kepunahan kebudayaan,
5
kepunahan pengetahuan mengenai alam tempat masyarakat tersebut hidup, dan juga kepunahan pengetahuan lokal masyarakat. Selain dampak negatif, ada pula pemaparan percepatan kepunahan yang disebabkan oleh bencana dan penyakit yang menurunkan jumlah penutur suatu bahasa. Dampak negatif kepunahan bahasa juga ditilik lebih mendalam dengan mengambil contoh kehidupan masyarakat Kalifornia yang bahasa-bahasanya hilang tanpa jejak. Setelah memotret kerugian dari sisi masyarakat, Dalby merampungkan eksplorasi historisnya dengan menjawab pertanyaan ‘why our long-term future is threatened by the disapearance of languages?’ pada sub pokok bahasan the loss of diversity. Dengan sedikit bernada diplomasi, Dalby mengungkapkan tiga alasan, yaitu (1) pengetahuan yang dibutuhkan oleh anak cucu di masa depan dan kita pada saat ini akan hilang karena bahasa dan kebudayaan tempat bahasa itu hidup dihancurkan, (2) pengetahuan yang kita dapatkan dari bahasa lain terlalu sulit untuk dijangkau, dan (3) kreativitas dan fleksibilitas kebahasaan yang diwarisi oleh nenek moyang akan hilang begitu saja (hal. 287). Tamasya historis kebahasaan yang dipimpin oleh Dalby menemui ujungnya dalam pemaparan berbagai kerugian yang dialami manusia. Dalby tidak memberikan pemecahan apapun untuk mencegah kepunahan bahasa, seolah-olah prediksinya tentang masa depan bahasa Inggris sebagai bahasa di seluruh dunia (pokok bahasan lima) akan menjadi kenyataan dan tidak mungkin dicegah lagi. Hal ini tentu menjadi kekurangan Dalby dari segi isi. Selain itu, Dalby yang berlatar profesi sebagai sejarawan selalu memberikan paparan-paparan yang teramat panjang. Paparan historis yang terlalu panjang ini juga menjadi kekurangan Dalby dalam penulisan. Ini karena pembaca akan kelelahan untuk menikmati tulisan Dalby secara intensif. Selain kekurangan di atas, Dalby juga memiliki kelebihan. Ia berhasil memberikan contoh-contoh yang lebih dari sekedar pertimbangan bahasa, seperti pengetahuan tentang ilmu pengobatan yang kebanyakan disimpan dalam bahasa-bahasa kaum minoritas. Hal yang diungkapkan tersebut tentu dapat menjadi alasan yang kuat untuk kepentingan menyelamatkan bahasa-bahasa minoritas. Buku Language in Danger secara umum berguna dan pantas dibaca oleh para ahli dari berbagai bidang ilmu yang memiliki perhatian lebih tentang bahasa-bahasa di dunia yang semakin hari
6
hidupnya semakin terancam punah. Khusus untuk para ahli linguistik, ilmu botani, dan antropolog yang ada di Indonesia, buku ini memberikan renungan-renungan historis yang penting untuk lebih memperhatikan masa depan bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang semakin hari vitalitasnya semakin menurun.
7