Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
MENYOAL CERITA RAKYAT SEBAGAI BAHAN AJAR DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH Oleh : Ucu, S.S Abstrak Sebagai sebuah materi ajar, cerita rakyat sebagai bagian dari pembelajaran apresiasi sastra sungguh sangat mengkhawatirkan. Beberapa persoalan yang muncul seputar pembelajaran cerita rakyat ini adalah penelitian mengenai cerita rakyat setempat kurang, materi ajar atau bahan ajar mengenai cerita rakyat sedikit, waktu/ kesempatan pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat terbatas, dan pelaksanaan pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat, kurang meningkatkan minat siswa. Persoalan-persoalan tersebut muncul sekaitan dengan adanya indikasi gagalnya pembelajaran sastra yang dilakukan di Indonesia. Terlepas dari kebijakan yang nanti akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan, namun perlu adanya upaya untuk menjawab persoalan tersebut, setidaknya dalam tataran praktis, agar guru dapat menggunakan model pembelajaran yang memang dapat merangsang kreatifitas dan minat siswa untuk mempelajarinya. I.
PENDAHULUAN
Zoetmulder dalam pengantar buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, mengungkapkan “seluruh dunia telah maklum akan hasil gemilang yang dicapai bangsa Indonesia dahulu kala dalam bidang kesenian. Lewat karya-karya seni mereka mengungkapkan ide-ide religius, beserta pandangan mereka mengenai manusia dan alam semesta” (1994: XI). Bentuk-bentuk kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia banyak rupa, diantaranya karya sastra yang banyak dibuat oleh para mpu, baik sastra lisan maupun tulis, keterampilan hingga menghasilkan arsitektur candi serta hasil budaya lainnya yang menjadi sebuah kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki budaya luhur. Berpijak dari hal di atas, masyarakat Indonesia seyogyanya menjadi masyarakat yang memiliki kekuatan budaya, sehingga dengan besarnya arus kebudayaan lain yang masuk, masyarakat Indonesia telah memiliki pandangan yang baik untuk dapat memilih, bahkan mengeksplorasi dirinya menjadi individu yang memiliki kontribusi bagi perkembangan bangsa ini. Namun, kondisi yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya. Dari perspektif kebudayaan, perkembangan masyarakat saat ini justru mengalami kemerosotan. Lemahnya pertahanan budaya saat ini justru mengakibatkan masyarakat Indonesia kelimbungan, sehingga tidak bisa membedakan budaya mana yang seyogyanya dapat dipegang sesuai dengan karakteristik masyarakat timur dan budaya mana yang
1|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
perlu dicerna. Dengan kondisi ini, maka dapat kita saksikan kemerosotan ekonomi, kericuhan politik, ketegangan dan keretakan sosial sehingga muncul perilakuperilaku menyimpang, seperti korupsi, tawuran pelajar, emansipasi wanita yang kebablasan, bahkan sekarang ini bangsa Indonesia disibukan dengan maraknya aksi terorisme serta berbagai persoalan lainnya yang seyogyanya dapat dieliminasi oleh kita sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang luhur. Perkembangan saat ini memang menjadi sebuah pijakan untuk dapat dilakukan perubahan. Sebagaimana apa yang diyakini oleh Faruk (2003:5) bahwa peradaban manusia suatu saat akan mengalami titik balik, setelah berabad-abad percaya bahwa sejarah umat manusia merupakan suatu kesatuan jaringan yang bergerak dan berkembang secara linear, menuju suatu puncak peradaban yang dinamakan sebagai modernitas tiba-tiba akan muncul suatu kepercayaan baru yang memperlihatkan kecenderungan yang sebaliknya. Keyakinan ini perlu dibarengi dengan sistem yang dapat menuntun masyarakat agar dapat menemukan kembali kekuatan budaya yang pernah dimiliki. Sistem yang dimaksud di atas dapat berupa pola-pola dasar guna menuntun paradigma berpikir dan kepercayaan yang lebih kepada etic-religius, yang tidak hanya menekankan sisi kognitif, namun pula sisi afektifnya, dengan adanya penekanan pada sisi moralitas dan ketuhanan yang dapat tereksplorasi dalam diri manusia Indonesia, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh dimensi pendidikan. Dalam sistem pendidikan di indonesia justru sisi kognitiflah yang lebih banyak mendapat kesempatan untuk dieksplorasi. Sebagai contoh penerapan pembelajaran lebih kepada hafalan, penilaian yang dilakukan oleh setiap guru dimaknai oleh nilai atau angka, sehingga peserta didik disibukan untuk ‘mengejarngejar’ nilai atau angka tersebut. Selain itu sedikitnya waktu untuk mata pelajaran yang dapat mengimbangi sisi kognitif, seperti sastra, bahkan untuk mata pelajaran sastra tidak hanya sedikitnya waktu yang dialokasikan, namun pula keberadaan guru yang kurang memiliki wawasan bersastra, sehingga kesulitan dalam menentukan bahan ajar. Kondisi ini menjadi sebuah ironi bagi cita-cita luhur pelaksanaan pendidikan yang pada dasarnya merupakan proses ‘memanusiakan manusia’. Apabila merujuk pada tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 yaitu “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
|2
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
maka, mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pembelajaran sastra Indonesia dengan bahan ajar cerita rakyat, memiliki kesempatan yang luas untuk menggali potensi siswa. Melalui kegiatan apresiasi, siswa dapat menggali, mengetahui, menghayati serta dapat mengaktualisasikan nilai-nilai sosial, budaya, agama dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan, kebijaksaan hidup serta dapat membangun jiwa untuk mengenali, memilih, meyakini dan mengimplementasikan yang benar adalah benar serta yang salah adalah salah, karena karya sastra (sastra) merupakan cerminan nilai-nilai dari suatu masyarakat. Mendukung pencapaian tujuan pendidikan di atas, sesuai dengan perkembangan yang terjadi, Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP) yang sekarang dilaksanakan, secara eksplisit menyatakan, bahwa guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, namun pula sebagai perencana pendidikan. Artinya, dalam konteks pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran apresiasi sastra Indonesia, guru dapat menggunakan bahan ajar yang sesuai dengan keterampilan dan pengetahuan yang diimikinya dan juga sesuai dengan domisili wilayah yang didiami, salah satunya menggunakan cerita rakyat setempat dalam pembelajaran apresiasi sastra. II.
KAJIAN TEORITIS
A.
Cerita Rakyat
Rusyana (1978: 17) mengemukakan bahwa cerita rakyat adalah sastra lisan yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat yang berkembang dan menyebar secara lisan pada beberapa generasi dalam suatu masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, maka cerita rakyat termasuk ke dalam sastra lisan yang berbentuk cerita lisan yang hidup dan bertahan dalam suatu lingkungan masyarakat disebarkan turun-temurun dalam lingkungan masyarakat tersebut secara lisan. Bascom (Danandjaja, 2002:50), membagi cerita rakyat ke dalam tiga golongan besar, yaitu : (1) Mite (myth), (2) Legenda (legend), dan (3) Dongeng (folktale). 1. Mite (Myth) Mite adalah cerita/ prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Ciriciri mite adalah,
3|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
a.pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya; b. mite mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya. 2. Legenda (Legend) Adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, a. dianggap pernah benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci; b. ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib; c. tempat terjadinya adalah di dunia, seperti yang kita kenal kini. 3. Dongeng (Folktale) Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. B.
Bahan Ajar Cerita Rakyat dalam Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Meskipun saat ini telah muncul kurikulum baru, yang masih dalam tahap perkenalan, yaitu kurikulum perekat bangsa, namun kurikulum yang sekarang masih berlaku adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih belum berdampak signifikan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Sistem kurikulum di dalam KTSP, yang terdiri dari standar kompetensi dan kompetensi dasar belum dapat terjabarkan secara holistik oleh para guru hingga menjadi satuan kegiatan di kelas. Padahal standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Adapun standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarka n penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Berdasarkan standar kompetensi yang ada dalam KTSP, tujuan pengajaran apresiasi sastra, antara lain: (1) agar siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) agar siswa dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pada pengembangan silabus Bahasa dan sastra Indonesia kelas I SD
|4
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
semester 2, kelas V semester 1, kelas VII semester 1, dan X semester 2 tercantum standar kompetensi, kompetensi dasar dan meteri pelajaran yang berkenaan dengan membahas cerita rakyat. Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat memiliki kesempatan untuk dimanfaatkan sebagai salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. C.
Persoalan Cerita Rakyat dalam Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Sebagaimana pembelajaran sastra pada umumnya, berbagai persoalan muncul sekaitan dengan ‘gagalnya’ pembelajaran sastra yang ada di Indonesia. Ada beberapa yang perlu disoroti terkait persoalan yang muncul ini. 1. Penelitian mengenai cerita rakyat setempat kurang, kalaupun ada kurang dieksplorasi menjadi bahan ajar Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rusyana, bahwa ada dua tujuan pembelajaran sastra yakni untuk kepentingan ilmu sastra dan tujuan untuk kepentingan pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk kepentingan ilmu pengetahuan (ilmu sastra), tujuan pembelajaran sastra lebih diorientasikan pada pengetahuan tentang teori sastra, sejarah sastra, sosiologi sastra dan kritik sastra. Sedangkan untuk kepentingan pendidikan, tujuan pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan pendidikan pada umumnya yakni mengantarkan anak didik untuk memahami dunia fisik dan dunia sosialnya, dan untuk memahami dan mengapresiasi nilai-nilai dalam hubungannya dengan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. (Rusyana, 1984:313). Pengembangan kesastraan dalam bentuk penelitian (cerita rakyat) pada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki program pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dengan tema local wisdom, sebagai pengejawantahan tujuan pembelajaran sastra di atas, sebetulnya sudah menjadi sebuah tradisi. Penelitian cerita rakyat oleh setiap mahasiswa pada setiap universitas tersebut sebetulnya dapat dijadikan sebuah bahan ajar, sehingga cerita rakyat yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran lebih variatif. 2. Materi ajar atau bahan ajar mengenai cerita rakyat sedikit Dalam beberapa buku, termasuk buku BSE yang diterbitkan pemerintah, bahan ajar mengenai cerita rakyat justru kurang variatif. Dari setiap tahunnya materi ajar mengenai cerita rakyat hanya berkisar pada cerita rakyat yang telah diterbitkan sejak dahulu. Dalam arti cerita rakyat yang baru kurang disuguhkan, sehingga kurang merangsang minat siswa.
5|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Cerita rakyat merupakan produk budaya masyarakat setempat, sehingga dalam setiap wilayah pasti akan terdapat cerita rakyat. Terlepas dari buku ajar, guru pun kurang dapat memanfaatkan bahan ajar mengenai cerita rakyat, terutama untuk cerita rakyat daerah setempat. 3. Waktu/ kesempatan pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat terbatas Sebagaimana yang tercantum dalam pengembangan silabus Bahasa dan sastra Indonesia, bahwa kesempatan pembelajaran cerita rakyat sangat sedikit. Hal ini dapat terlihat bahwa yang ada dalam SK dan KD hanya pada kelas I (SD) semester 2, kelas V (SD) semester 1, kelas VII (SMP) semester 1, dan X (SMA) semester 2. Dalam konteks ini, maka hendaknya pemanfaatan pembelajaran cerita rakyat ini dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Siswa diharapkan dapat benar-benar ‘terjun ke dalam lautan‘ yang memang dimiliki cerita rakyat, bukan sekedar ‘cuci muka’. 4. Pelaksanaan pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat, kurang meningkatkan minat siswa Dalam konteks pengajaran, fungsi utama sastra (cerita rakyat) bagi siswa adalah bahwa pembelajaran ini dapat memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan dengan pengembangan imajinasi, pengalaman baru, pengembangan wawasan menjadi perilaku insani, pengalaman, pengembangan bahasa, pengembangan kognitif, pengembangan kepribadian juga pengembangan sosial anak (Tarigan, 1995: 6) Pelaksanaan pembelajaran di kelas, akan sangat berhubungan dengan penyampaian guru baik model pembelajaran maupun metode yang digunakan oleh seorang guru dalam meyampaikan materi ajar. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa model pembelajaran yang dilakukan kurang memberikan pengalaman apresiasi dan kreativitas yang dapat memacu kreativitas siswa, hal ini salah satunya disebabkan karena kualitas guru yang kurang menguasai bahan ajar sastra (cerita rakyat) dan kurang dapat memanfaatkan sarana, seperti VCD, komputer serta Internet dan lainnya D.
Model yang Dapat Digunakan dalam Pembelajaran Cerita Rakyat
Pembelajaran cerita rakyat hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara cerita rakyat dengan murid, cerita rakyat dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa
|6
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan guru bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Berdasarkan dari konsep di atas, model analisis wacana kritis/ Critical Discourse Analysis (CDA) dapat diterapkan dalam pembelajaran cerita rakyat. Penerapan model CDA dalam pembelajaran sastra, dapat ditempuh tiga tahapan penyajian yang meliputi (1) tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap re-kreasi. Pada tahap pertama, sebagai tahap penjelajahan, guru dapat memberi kesempatan kepada salah seorang siswa untuk membacakan wacana cerita rakyat dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk “menerjemahkan” cerita rakyat tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan “penerjemahan” ini ialah agar siswa lain yang berasal dan berlatar belakang budaya yang berbeda dapat memahami serta proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Tahap kedua, yang masih dalam tahap penjelajahan, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita rakyat. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan (makna) yang ada di dalam wacana, karakteristik berbentuk cerita (mite, legenda dan dongeng) beserta keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat-sesuai dengan latar wacana cerita rakyat yang dijadikan bahan pembelajaran, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh guru. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih, guru memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh guru ini penting agar “makna” yang diperoleh siswa benar-benar tepat sesuai dengan konteks sosial-budayanya. Tahap ketiga, yanga merupakan tahap interpretasi, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita rakyat yang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan berpendapat” hendaknya menjadi perhatian guru.
7|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Tahap keempat, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan “re-kreasi”, yakni penciptaan kembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan, dalam bentuk tulisan kreatif. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluasluasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis. III.
Simpulan
Dengan dimilikinya berbagai warisan budaya, yang meruapakan sebuah prestasi besar dalam berkesenian, bangsa Indonesia sepatutnya memiliki ketahanan budaya, yang tereksplorasi dalam sistem pendidikan, yang menjadi pola hidup masyarakat sehingga dapat bertahan sehubungan dengan gencarnya perkembangan global. Cerita Rakyat yang merupakan warisan prestasi besar masyarakat Indonesia, yang termasuk ke dalam bahan ajar pendidikan di Indonesia, kurang mendapat tempat dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra. Terlepas mengenai kebijakan pemerintah, pembelajaran apresiasi sastra yang menyuguhkan cerita rakyat perlu di poles dengan baik. Setidaknya dalam tataran praktis, guru dapat menerapkan model pembelajaran yang dapat merangsang kreatifitas dan merangsang keinginan siswa untuk dapat menyenangi sastra Indonesia, terutama cerita rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama grafiti. Faruk. 2003. Kebangkitan Kebudayaan. Jurnal Kebudayaan Selarong volume 01, April-juli 2003. Yogyakarta. Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. ________________. 2001. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro. ______________. 1978. Sastra Lisan Sunda Cerita Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
|8
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Semi, M. Atar. 1993. Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa. Bandung: ITB. Tarigan, H.G. 1995. Dasar- dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa. Zoetmulder 1994. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
9|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 10
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
MENJADI GURU SASTRA YANG MENYENANGKAN Oleh Reka Yuda Mahardika Abstrak Penuh persoalan! Membosankan! Itulah kalimat singkat yang menjadi pembuka wacana ini. Harus diakui, pengajaran sastra di sekolah dari hari ke hari penuh dengan persoalan yang “itu-itu saja” dan “barangkali” bagi sebagian siswa semakin terasa membosankan. Indikasinya kentara terlihat dari keluhan-keluhan guru, siswa, dan bahkan para sastrawan. Beragam persoalan yang tersaji yang tidak kunjung terselesaikan, implikasinya berdampak terhadap rendahnya tingkat apresiasi siswa terhadap sastra. Sejatinya keadaan tersebut tidak akan terjadi seandainya guru sebagai ujung tombak pendidikan mampu berpikir dan bertindak kreatif. I.
Pendahuluan
Seorang rekan guru mengatakan, setiap kali ia mengajari siswanya sastra, ia merasa siswanya tidak memahami dan merasa bosan dengan “materi” yang ia sampaikan. Rekan guru berpendapat hal tersebut terjadi karena siswa merasa tidak “menggemari” mata pelajaran sastra, tidak gemar membaca karya sastra, dan menyepelekan pelajaran sastra yang diampunya. Dampaknya tentu dapat dibayangkan, siswanya memiliki apresiasi yang rendah terhadap sastra. Seorang sastrawan sekaligus akademisi Agus R Sarjono yang penulis kutip dari Blog Agus Triyanton menuturkan bahwa telah terjadi disorientasi dalam pengajaran sastra di sekolah. Diungkapkan, gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakekat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra ini. Oleh karena itu, sudah selayaknya pengajaran sastra harus mempertanyakan ulang seluruh landasannya jika tidak ingin jatuh pada persoalan yang sama berupa gagalnya pengajaran sastra yang tak kunjung selesai (Agus Triyanton). Beragam persoalan dan perdebatan yang dikemukakan mengenai pembelajaran sastra, selalu bermuara kepada sosok “guru”. Ya, apa boleh buat, harus diakui guru selaku manajer memang memiliki peranan sentral/tonggak utama dalam keberhasilan pengajaran sastra di sekolah. Bila manajer tidak mampu mengelola kelas, maka hancurlah kelas itu. Kembali lagi ke curhatan rekan guru di atas, penulis berpikir kesalahan bukan terletak dalam diri siswa. Dalam konteks tersebut guru semestinya melakukan refleksi atas kompetensi kepribadian dan pedagogi yang dimilikinya. Jadi, kalau memang mau mencari-cari kesalahan, maka tidak elok rasanya bila ditimpakan kepada siswa, namun idealnya timpakan kesalahan itu kepada diri sendiri. Dengan kata lain, guru harus berempati dan berintrospeksi diri.
11 |
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
II.
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Pembahasan
A. Pembelajaran Sastra Menyenangkan dengan Guru yang Menyenangkan Semua guru pasti pernah mengalami masa kanak-kanak. Semestinya semua guru berempati kepada semua anak dengan melakukan refleksi kepada dirinya sendiri. Dahulu ketika guru menjadi murid, tentu pernah mengeluhkan mengenai pelajaran sastra yang membosankan. Tuturan-tuturan yang barangkali sempat kita tuturkan ketika masih kanakkanak dulu, seperti “bosan, malas, menjenuhkan”, semestinya dijadikan cermin. Jangan sampai ketika menjadi guru, malah giliran kita yang menerima komentarkomentar negatif tersebut dari siswa. Berempatilah, jangan sampai guru membuat siswa bosan. Idealnya, seorang guru harus mampu mengangkat pelajaran sastra yang termarjinalkan menjadi yang dinomorsatukan., yaitu dengan merambah gaya mengajar yang menyenangkan dan bervariasi. Namun demikian, seringkali guru membuat pembelajaran sastra yang sudah termarjinalkan menjadi makin diabaikan dengan sikap negatif guru sendiri terhadap gaya mengajarnya di kelas. Berhati-hatilah guru bila komentar-komentar sumbang sudah keluar dari mulut siswa. Apalagi bila secara inderawi guru melihat siswa merasa bosan dengan pelajaran sastra yang disampaikan seperti menguap berkali-kali, mengobrol, tertidur, menggangu temannya, bahkan hingga diungkapkan dengan sikap negatif yaitu membangkang. Karena mereka merasa percuma, dengan mendengarkan ataupun tidak mereka tetap bosan dan tidak paham, sehingga mereka melakukan hal-hal yang membuat mereka tidak bosan. Ada korelasi positif antara gaya mengajar guru yang menyenangkan dengan hasil belajar siswa. Jika seseorang senang dan serius menerima pelajaran yang disampaikan oleh seorang guru, maka potensi untuk menyerap materi-materi itu lebih besar ketimbang dari guru yang tidak disukainya. Ketika guru mengajar dengan cara yang diminati siswa, maka siswa akan merasa rileks dalam kegiatan pembelajarannya. Suasana rileks itulah sesungguhnya yang sangat penting dalam sebuah kegiatan pembelajaran. Karena menurut para ahli, siswa mampu melakukan lompatan lebih jauh ke dapan dalam kegiatan belajar daripada dalam suasana yang tegang . Hasil penelitian dalam pembelajaran pada dekade terakhir mengungkapkan bahwa belajar akan efektif, jika peserta didik dalam keadaan gembira. Kegembiraan dalam belajar telah terbukti memberikan efek yang luar biasa terhadap capaian hasil belajar peserta didik. Bahkan potensi kecerdasan intelektual yang selama ini menjadi primadona sebagai penentu keberhasilan belajar, ternyata tidak sepenuhnya benar.
| 12
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Kecerdasan emosional telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap efektivitas pembelajaran di samping kecerdasan intelektual (Darmansyah, 2010). Toni Buzan dalam Darmansyah (2010), mengungkapkan hasil penelitian yang dilakukannya selama 30 tahun tentang asosiasi siswa terhadap kata “belajar”. Ia menemukan kata atau konsep, yaitu: membosankan, ujian, pekerjaan rumah, buang-buang waktu, hukuman, tidak relevan, penahanan, “idih” (yuck), benci, dan takut. Kegembiraan dan kesenangan dalam belajar dapat diciptakan melalui banyak cara. Tergantung kreatifitas guru yang bersangkutan. Hal terpenting tentu saja, apakah ada kemauan atau tidak untuk menjadi guru yang menyenangkan? Bila kemauan sudah ada, nisacaya jalan pun terbentang. Kreatifitas pun datang, dan menjelmalah menjadi guru yang menyenangkan. Dalam makalah ini penulis tidak akan terjebak dengan membicarakan mengenai pentingnya guru untuk menguasai materi mengenai sastra. Karena menurut penulis hal tersebut sudah menjadi keniscayaan yang tidak perlu diperdebatkan. Berani mengambil profesi menjadi guru sastra, berarti asumsinya (resikonya) ia harus berani menguasai materi mengenai sastra. Untuk itu penulis akan menyampaikan beberapa cara/gaya mengajar yang relevan digunakan oleh guru sastra.
B. Jadilah Seorang Guru Humoris “Humor adalah jarak terdekat antara dua orang” Victor Borge Humor adalah sesuatu yang bersifat dapat menimbulkan atau menyebabkan pendengarannya merasa tergelitik perasaan lucunya, sehingga terdorong untuki tertawa. terjadinya hal ini karena sesuatu yang bersifat menggelitik perasaan disebabkan kejutannya, keanehannya, ketidakmasukakalannya, kekontradiksiannya, kenakalannya, dan lain-lain (Darmansyah, 2010). Seorang guru yang memiliki bakat untuk menyenangkan orang lain, tentu tidak akan merasa kesulitan untuk menjadi guru yang menyenangkan. Misalnya, seorang guru humoris tentu akan lebih disukai siswa daripada guru yang kurang humoris. Dalam konteks ini tentu harus dibedakan antara humor dengan lawak apalagi badut. Menurut penulis, guru idealnya harus humoris, tetapi tentu saja jangan sampai melawak apalagi membadut. Sifat humoris tidak akan menurunkan wibawa guru, justru akan menambah wibawa dan image guru, hingga jangan heran sepanjang hayat guru humoris akan dikenal sebagai seorang guru yang menyenangkan. Bukankah hal tersebut mengasyikan? Pemikiran lama menyebutkan tidak semua orang terlahir humoris. Humoris atau tidak, itu ditentukan oleh gen. Padahal faktanya tidak demikian. Penelitian
13 |
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
terbaru menunjukkan tertawa/sifat humoris bisa dilatih dan dilakukan setiap hari. Ini adalah pendapat dari Lee Bark, ilmuwan dari Loma Linda University (www.terapitertawa.com). Kadang para guru enggan untuk melontarkan humor dalam ruang kelas. mereka beranggapan kelas bukan tempat untuk bergurau dan berhumor. Jika benar adanya, maka jangan salahkan murid jika mereka tidak dekat dengan pelajaran yang disampaikan mereka tidak akan berminat dan memang tidak ada sesuatu yang perlu membuat mereka tertarik Yunsirno, 2010). Padahal idealnya seorang guru harus mampu menarik perhatian mulai dari siswa barisan terdepan hingga paling belakang, karena guru dapat dianalogikan sebagai aktor dan kelas adalah panggungnya. Seorang aktor barat, George C. Scott berkata,”Anda harus menjadi tiga orang yang berbeda. Anda harus menjadi manusia seutuhnya. Kemudian Anda harus menjadi karakter yang Anda mainkan, dan yang lebih penting Anda harus mampu menarik perhatian orang yang duduk di baris ke-10 agar ia terus melihat dan menilai Anda (Yunsirno, 2010) Dengan menjadi guru humoris, penulis yakin semua siswa meski dalam jumlah yang banyak akan terus mengikuti perkataan Anda dari awal hingga akhir. Seperti para jamaah mengikuti ceramah AA Gym dari awal hingga akhir tanpa merasa bosan karena sifatnya yang humoris, Alm. Zainuddin M.Z., seorang kyai yang memiliki jutaan murid di seluruh Indonesia adalah sosok yang juga humoris, Mario Teguh pun demikian, Andrie Wongso juga sama. Larry king (2007), yang disebut-sebut sebagai salahsatu pembicara terbaik dunia mengatakan, bahwa seorang pembicara haruslah memiliki selera humor, dan tidak keberatan mengolok-ngolok diri sendiri. Sungguh, konvensionalis terbaik sering mengisahkan pengalaman konyol mereka sendiri. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas adalah tokoh-tokoh terkenal yang menjadi guru di kelasnya masing, yang dikenal sangat humoris, bahkan jenius. Mengapa disebut jenius? Bukankah jenius adalah sebutan bagi seseorang yang secara kuantitif pernah diukur kemampuan otak kirinya dan diberi skor tertentu? Einstein, Habibie, Tomas Alfa Edison adalah tokoh-tokoh yang diakui oleh dunia sebagai sosok jenius. Apakah tokoh-tokoh pembicara yang telah disebutkan di atas dapat dikategorikan sebagai sosok jenius juga? Amstrong dalam bukunya Awakening Genius in The Classroom mengategorikan bahwa orang yang bersifat humoris termasuk orang jenius, selain itu termasuk jenius juga orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, jenaka, imaginatif, kreatif, rasa takjub, bijaksana, penuh daya cipta, penuh vitalitas, peka, fleksibel, dan gembira (Yunsirno, 2010). Menurut riset seorang psikolog Alice M. Isen, Ph.D., dari Cornell University, mereka yang banyak menonton film komedi dan tertawa secara lebih
| 14
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
baik menemukan solusi kreatif dalam memecahkan soal-soal 'puzzle' (www.terapitertawa.com). Dari hasil penelitian tersebut kita dapat mengambil pelajaran lain, bahwa suasana yang riang, rileks, dan penuh tawa dapat membuat seseorang menjadi lebih kreatif dan cerdas. Ketika sudah terbukti sifat humoris menjadi sangat dibutuhkan dan bahkan disebut jenius, alasan apa yang dapat dikemukakan bahwa seorang guru harus mendapat stigma menjadi Guru Killer? Jadilah guru jenius dan “sihir”-lah siswa didik kita menjadi jenius pula!
C. Berceritalah! Cerita/Dongeng dapat merangsang kecerdasan intelegensi, kemampuan berpikir secara logis sistematis, kemampuan berinteraksi, hingga selera berbahasa dan seni. (Winaryu Kustiyah) Cerita adalah sebuah kekuatan! Dr. Syafei Antonio dalam sebuah acara di televisi swasta mengatakan bahwa salah satu metode Nabi SAW dalam mendidik yaitu menggunakan cerita. Ketika kita berbicara sastra, adalah keniscayaan kita akan berbicara mengenai sebuah cerita. Dengan cerita-cerita itulah kelak siswa-siswa akan beroleh sebuah pelajaran yang kelak akan mampu mengubah kehidupan dan bahkan menginspirasinya. Tidaklah heran, tokoh sekaliber Umar Bin Khatab berkata, “Ajarilah anakanakmu sastra, karena sastra bisa mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani dan jujur.” Richard Nixon mengatakan, “Bila ada yang bertanya kepada saya bagaimana caranya menjadi pemimpin, maka saya selalu menyarankan mereka untuk mempelajari filsafat, sastra, dan sejarah”. Sastra mengajarkan pembacanya untuk mengerem sejenak dari laju kehidupan, untuk sedikit berkontemplasi, dan setelah itu mengambil hikmahnya. Sastra mengajarkan seni menyampaikan pendapat, keindahan bertutur, dan teknik merangkai mimpi atau harapan dengan bahasa indah, mengena, tetapi tidak menyakitkan (Yunsirno, 2010). Bercerita adalah sebuah metode yang sangat menarik bagi anak didik khususnya Play Group (PG), TK, dan SD. Akan tetapi bukan berarti hanya PG, TK, dan SD saja yang menyukai metode ini. Sebab SMP, SMA, dan kalangan mahasiswa pun menyukainya, tergantung isi ceritanya. Melalui cerita guru dapat memasukkan pesan-pesan yang dapat memotivasi dan menginspirasi anak didik (Suparman, 2010). Penulis dahulu pernah aktif bercerita/mendongeng dari satu TK ke TK lainnya di seputar kota Bandung. Melalui pengalaman empiris, penulis merasakan sendiri bahwa cerita tidak pernah gagal menarik perhatian anak TK bahkan hingga SD. Dengan cerita, penulis juga beroleh pengetahuan bahwa siswa dapat dengan
15 |
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
mudah mengambil amanat-amanat yang terkandung dalam sebuah cerita. Hal tersebut terbukti dari kegiatan evaluasi berupa tanya jawab di akhir cerita, siswa begitu aktif mengacungkan tangannya untuk berbicara dan menjawab pertanyaan yang penulis berikan. Kenapa anak-anak dapat begitu sangat aktif seperti itu? Penulis berasumsi karena mereka merasa senang, rileks, tidak memiliki beban, tidak takut belajar, dan tidak takut salah. Ironisnya, pembelajaran yang menyenangkan itu tidak dapat mereka rasakan di tingkat SD, SMP, terlebih SMA. Itulah sebabnya Kak Seto menilai anak-anak pada dasarnya sangat kreatif, tetapi pada saat masuk SD kretaivitasnya cenderung menurun. “Anak yang memiliki rasa ingin tahu besar, senang bertanya, imajinasi tinggi, minat tinggi, tidak tahu salah, berani berisiko, bebas berpikir, namun saat SD kreativitasnya cenderung menurun. Hal itu disebabkan karena pendidikan terlalu bersivat konvergen sedangkan cara berpikir divergen kurang diperhatikan. Menurut Kak Seto, yang dikutip dalam Kompas.com, cerita/dongeng menyimpan kekuatan dalam kata-kata yang digunakannya. Daripada menggunakan kekerasan fisik seperti mencubit atau menjewer, dongeng jauh lebih efektif untuk mengubah perilaku anak. Dongeng juga bisa menambah wawasan. Melalui kisahkisah dongeng, anak-anak mendapatkan berbagai informasi. Dongeng juga bisa menjembatani komunikasi yang tidak efektif di dalam keluarga. Kesibukan orangtua yang menumpuk kerap kali menimbulkan masalah. Dengan dongeng, komunikasi yang tersumbat bisa kembali dibina. Bagaiaman dengan tingkat SMA? Apakah mereka menyukai cerita? Sepanjang pengetahuan penulis, siswa setingkat SMA pun menyukai cerita. Terbukti ketika penulis berniat ingin mengenalkan cerita maupun penokohan dari kisah Mahabarata dan Ramayana, penulis bercerita kepada mereka mulai dari riwayat keluarga Pandawa dan Kurawa sampai dengan penokohan para Pandawa. Hasilnya ternyata efektif, siswa begitu antusias mendengarkan dan mereka mampu mengambil hikmah dari setiap adegan. Bahkan, yang menarik, ketika pertemuan berikutnya mereka meminta penulis untuk bercerita lagi mengenai kisah pewayangan. Menurut Yunsirno (2010), agar pembelajaran semakin menyenangkan, guru dapat melakukan teknik-teknik bercerita sebagai berikut: 1) tidak hanya guru yang harus bercerita, siswa juga; 2) bercerita digunakan sesuai kondisi; 3) membuka pertemuan dengan cerita; bercerita dengan variasi suara; maksimalkan penekanan; pemberian waktu; kontak pandang; petunjuk wajah; bergerak; pindah posisi.
D. Bermain Sambil Belajar Satu-satunya sekolah di negeri ini yang paling menggembirakan sepertinya ada di TK. Kenapa menggembirakan? Di sana siswa TK seperti tidak mau pulang. Mereka amat bahagia di sana. Namun selepas TK, anak-anak mulai belajar serius.
| 16
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Tapi jiwa anak-anak masih ada sampai mereka duduk di bangku SMA. Apa buktinya? Mereka amat senang ketika lonceng istirahat berbunyi. Saat itulah mereka akan bermain. Dunia yang telah orang dewasa rebut dari mereka. Maka tidak aneh jika ternyata murid amat senang saat waktu belajar usai karena ia merasa beban hilang dan sebaliknya, waktu mengekspresikan dirinya secara bebas datang (Yunsirno, 2010).\ Bermain bagi anak-anak, sama pentingnya dengan bekerja bagi orang dewasa. Ketika bermain, orang dewasa, terlebih anak-anak, akan mendapatkan pengalaman dari proses bermainnya tersebut. Pengalaman yang diperolehnya kelak akan menambah dan mengembangkan pengetahuannya. Bukankah hal tersebut sesaui dengan pepatah “pengalaman adalah guru yang terbaik”? Dalam situs www.kompas.com, para pakar perkembangan anak menemukan 5 bukti ilmiah dari manfaat bermain, di antaranya: 1) berperilaku lebih baik; 2) mampu bekerja dalam tim dan berempati; 3) banyak bergerak dan aktif; 4) meningkatkan kemampuan belajar; 5) membuat gembira. Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila tercipta suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan sehingga ini semua perlu diciptakan. Pembelajaran dalam suasana dan lingkungan seperti ini tidak hanya bisa dilakukan di dalam kelas, tetapi di luar kelas pun bisa dilakukan. Bermain, tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak maupun remaja. Orang dewasa pun sejatinya butuh bermain. Menurut Peter Gray, psikolog dari Boston College dalam Darmansyah (2010), permainan dan humor bermakna lebih dari sekedar senang-senang. Kegiatan itu meningkatkan intensitas untuk berbagi, mendamaikan hati, dan membuat manusia merasa egaliter.
E. Bernyanyi dan Mendengarkan Musik sambil Belajar Relaksasi yang diiringi dengan musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi (Georgi Lozanof). Pada suatu hari penulis hendak mengajari siswa mengenai parafrase puisi. Setelah mengamati lingkungan yang sudah mulai tidak kondusif, akhirnya penulis memutuskan untuk meminta seluruh siswa mendiskusikan dan menuliskan di papan tulis lirik lagu populer yang berpesan positif. Setelah selesai ditulis di papan tulis, penulis kemudian meminta seluruh siswa untuk menyanyikan lagu itu setelah sebelumnya meminta salah seorang siswa untuk mengiringinya dengan gitar. Suasana yang awalnya tidak kondusif menjadi hangat. Siswa menjadi bergairah lagi. Materi parafrase pun dilanjutkan dengan objek utamanya bukan puisi, melainkan lirik lagu.
17 |
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Bernyanyi dan bermusik merupakan aktivitas yang menggabungkan otak bagian kiri dan kanan secara bersamaan. Sebab, syair atau lirik lagu, dan musik merupakan hasil kinerja otak belahan kiri sedangkan nada adalah hasil kinerja dari otak belahan kanan. Pada otak ada yang disebut dengan Korpus Kalosum. Korpus kalosum ini merupakan “jembatan emas”. Jembatan emas ini adalah penghubung antara kedua belahan otak. Agar kedua belahan otak bekerja secara serasi, seimbang, dan harmonis maka korpus kolosum ini harus senantiasa diaktifkan. Bernyanyi, mendengarkan musik, atau melukis dapat mengaktifkan jembatan emas ini. Sehingga otak kiri dan kanan dapat bekerja secara seimbang (Suparman, 2010). Dalam konteks pembelajaran, Bobbi De Porter dalam Darmansyah (2010) mengatakn bahwa musik sekurang-kurangnya bermanfaat untuk: menata suasana hati, meningkatkan hasil belajar yang diinginkan, dan menyoroti hal-hal penting. Musik berpengaruh pada guru dan pelajar. Sebagai seorang guru, kita dapat menggunakan musik untuk menata suasana hati, mengubah keadaan mental siswa, dan mendukung lingkungan belajar. Musik membantu pelajar bekerja lebih baik dan mengingat lebih banyak. “Musik merangsang, meremajakan, dan memperkuat belajar, baik secara sadar maupun tidak sadar. Di samping itu, kebanayakan siswa memang mencintai musik Dryden & Vos dalam Darmansyah (2010). Sepengatahuan penulis, musik banyak digunakan dalam beragam metode belajar dengan harapan siswa menjadi rileks dan nyaman. Metode Sugestopedia dan Kuantum Learning adalah metode yang menggunakan media musik untuk kegiatan pembelajarannya. Kemudian ada pula yang disebut “Efek Mozart”. Para peneliti menemukan bahwa siswa yang mendengarkan musik Mozart tampak lebih mudah menyimpan informasi dan memperoleh nilai tes yang lebih tinggi. “Mendengarkan musik sehjenis itu (musik piano Mozart) bisa merangsang jalur saraf yang penting untuk kognisi, “demikian laporang peneliti Dr. Frances H. Raucher, Universitas California di Irvine (Brown, 1993).
F. Tersenyum ”Everytime you smile at someone, it is an action of love, a gift to that person, a beautiful thing.” (Mother Teresa) Guru yang murah senyum tentu akan disukai siswa daripada guru yang mahal senyum. Tersenyum sangat mudah dilakukan. Hanya butuh sedetik untuk merubah bentuk bibir menjadi senyum. Dan hanya butuh tujuh detik mempertahankan sang senyum untuk terlihat sebagai ungkapan ketulusan hati. Tetapi kenapa hal sederhana ini kadang jarang terlihat di wajah guru? Sehingga Banyak wajah guru yang menyeramkan dan tampak garang. Bila
| 18
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
senyum saja yang gratis dan mudah sudah sedemikian sulit. Apalagi pengorbananpengorbanan lainnya yang relatif berat. Bila guru sudah pelit senyum, maka jangan heran bila banyak siswa yang tertular. Berwajah sangar, jutek, dan terkesan angkuh. Kegembiraan dan kesenangan dalam belajar dapat diciptakan melalui berbagai cara seperti lingkungan bersih dan kondusif untik belajar, rekreasi, permainan peran, iringan muisk, dan sebagainya. Interaksi guru dan siswa dianggap faktor paling besar kontribusinya dalam membantu menciptakan suasana belajar menyennagkan (Darmansyah, 2010). Interaksi dan komunikasi menyenangkan dapat dilakuakn melalui banyak cara seperti bahasa yang digunakan, cara berkomunikasi, ekspresi wajah yang ditampilkan, dan senyuman (Darmansyah. 2010). Senyum juga menandakan kedewasaan. Misalnya ketika ada seorang guru yang tetap senyum dalam menghadapi murid-murid kecilnya yang nakal. la tidak pernah putus asa dalam menghadapi murid-muridnya yang nakal tetapi senantiasa senyum sambil tetap mendampingi mereka itu. Senyumnya guru semacam itu sebenarnya cermin atau tanda akan kedewasaan. Dengan senyum itu ia mampu mengontrol emosi dan amarah, tetap sabar dan tabah dan tidak mengenal putus asa. Ini merupakan cermin dari sikap dewasanya seseorang.
G. Variasikan Metode Mengajar Tidak ada yang lebih tidak adil dengan perlakuan yang sama terhadap orang yang berbeda. (K. Dunn) Variasi metode pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan perhatian peserta didik terhadap materi yang diajarkan. Ibarat menu makanan, jika setiap hari disajikan dengan makanan yang sama maka tentu akan menjadi bosan. Begitu juga seorang guru yang mengajar dengan satu metode saja, maka siswa akan merasa bosan. Jika seorang guru selalu menyajikan materi dengan metode yang berbedabeda, maka siswa akan merasa ingin tahu metode apa lagi yang akan ditampilkan oleh guru di pertemuan selanjutnya. Ada penantian kejutan-kejutan baru yang dinanti siswa. Dengan metode mengajar bervariasi diharapkan dapat memfasilitasi seluruh siswa yang memiliki kecerdasan dan gaya belajar beragam.. Kita tentu semua tahu, bahwa masing-masing orang memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada 3 gaya belajar yang dikenal, yaitu: visual, auditorial, dan kinestetik.
H. Jadilah Guru Kreatif Orang-orang kratif tidak takut menyatakan pemikiran dan perasaannya. Mereka mau menjadi dirinya sendiri. (Joyce Wycoff).
19 |
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Kualitas kehidupan bangsa Indonesia kelak tentu akan ditentukan oleh kondisi gurunya hari ini. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya negeri ini kelak bila generasi penerus bangsanya ditangani oleh guru-guru yang mengajar alakadarnya. Suka tidak suka, seorang guru haruslah memiliki sifat kretaif. Menurut Longmann Dictionary of Contemporary English, Creativity also creativeness; The ability to produce new and original ideas and things: inventiveness. Atau Kreatif adalah kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dan orisinil yang berwujud ide-ide dan alat-alat, serta yang lebih spesifik lagi, kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru (Wahyudin, 2007). Kemampuan “menghasilkan” dan “menemukan”di sini harus dimaknai dengan sebagai “menghasilkan” dan “menemukan”, tidak kurang tidak lebih. Jadi kretaifitas sesungguhnya adalah “sekadar” menemukan dan menghasilkan sesuatu yang sudah ada, tetapi masih tersembunyi. Sudah ada karena segalanya dipersiapkan oleh Tuhan. Tersembunyi karena kita belum diberi pengetahuan olehNya (Wahyudin, 2007).. Sedangkan menurut KBBI, kreatif berarti memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan. Salah satu hal yang penting yang harus dimiliki oleh seorang guru visioner adalah memiliki sifat kreatif. Mengapa guru harus kreatif? Menurut Hernowo (2007: 8) apabila seorang guru tidak kreatif, maka kehidupan itu akan mati. Tidak akan ada lagi yang baru dalam kehidupan dalam seorang guru. Bayangkan bila kehidupan yang mati itu menular dan mengglobal kepada kehidupan yang lainnya? Guru harus kreatif karena guru kreatif itu bisa menjadikan kehidupan sangat kaya dan bervariasi. Guru yang tidak kreatif bisa membuat kehidupan ini membosankan, monoton, dan tidak berwarna. Lalu bagaimanakah caranya menjadi guru yang kreatif itu? Andi Yudha (2008) menawarkan gagasan bahwa untuk menjadi guru kreatif diperlukan sifat dengan ringkasan sebagai berikut: 1) fleksibel, 2) optimis, 3) respek, 4) cekatan, 5) humoris, 6) inspiratif, 7) lembut. 8) disiplin. 9) responsif, 10) empatik. 11) berteman, 12) suka dunia anak-anak. Kesimpulan makalah ini terletak pada sebuah pertanyaan, apakah ada kemauan guru untuk berpikir kreatif dalam upaya mengubah gaya mengajarnya agar menjadi menyenangkan? Karena sejatinya beribu persoalan dan permasalah dalam pengajaran sastra tidak akan menjadi halangan bagi seorang guru yang menyenangkan dan kreatif.
| 20
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
DAFTAR PUSTAKA Darmansyah. (2010). Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hernowo. (2007). Menjadi Guru yang mau dan mampu mengajar secara kreatif. Bandung: Mizan. King, L. (2007). Seni Berbicara: Kepada siapa saja, kapan saja, dimana saja. Jakarta: Gramedia. Wahyudin. (2007). A to Z, Anak Kreatif. Jakarta: Gema Insani Press. Yudha, A. (2008). Kenapa Guru Harus Kreatif. Bandung: Dar! Mizan Yunsirno. (2010) . Keajaiban Belajar. Pontianak: Pustaka Jenius. www.agustriyanton.wordpress.com www.kompas.com www.terapitertawa.com .
21 |
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 22
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
THE REALISATION OF VIOLATING COOPERATIVE PRINCIPLES IN SUNDANESE HUMOUR
Dini Hadiani Politeknik Manufaktur Negeri Bandung
ABSTRAK To relieve tense, people usually use humour which is a verbal or nonverbal impulse to create a smile or even laugh. Humour can be easily found in our daily lives. It can be used to communicate and create intimacy.This research is focused on analyzing the realisation of violating the cooperative principles and what type of maxims that is usually viloted to create humour. The data were taken fromhumour column in Sundanese magazine Mangle. The humour is analyzed based on Grice’s maxim principles.The results show that maxim of quantity is the most violated maxims employed by the speakers even the hearers to create humourous effect.This is considered the easiest way to create and understand humour. Keywords: Humour,Cooperative principles, Maxim Principles.
I. INTRODUCTION To be able to maintain a smooth conversation, the speaker and the hearer should cooperateto each other.They have to make sure that what they are talking about is connected and related to both of them. The relation cannot be found in an independent sentence. It means that it cannot be found literally in each sentence they produce. This situation is generally referred to as conversational implicatures.It indicates that an implicature is something meant, implied, or suggested which is different from what is said(Yule, 1996 :173). Grice proposes the key idea of implicature. He finds that in all communication, there is an “agreement” between the addresser and addressee, namely co-operative principle (CP), which says: “Make your conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged.” (Grice, 1975, as quoted in Mey, 2001). Grice’s Cooperative Principle of conversation is elaborated in four-sub principles called maxims. They are as follows: 1. The Maxim of Quality try to make your contribution one that is true, specifically:
23
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(i) do not say what you believe to be false (ii)do not say that for which you lack adequate evidence 2. The Maxim of Quantity (i) make your contribution as (ii) informative as isrequired for the current purposes of the exchange (iii) do not make your contribution more informative than is required 3. The Maxim of Relation; make your contributions relevant 4. The Maxim of Manner; be perspicuous, and specifically : (i) avoid obscurity (ii) avoid ambiguity (iii) be brief (iv) be orderly (Levinson, 1983) In short, these maxims specify what participants have to do in order to converse in a maximally efficient, rational, co-operative way : they should speak sincerely, relevantly and clearly, while providing sufficient information. The maxims are the operational standard needed to be fulfilled for implicature. They work as assumption of cooperation. However, even Grice himself has been aware that these maxims are too ideal to be always followed by utterers in their daily conversations; in fact, people often fail to observe the maxims. Violating cooperative principle will creare something absurd. This happens if the information given is exagerrating, invalid, irrelevant, or complicated. This absurd thing is what people use to create humour. To relieve tense, people usually use humour which is a verbal or nonverbal impulse that potentially cause people to smile or even laugh. Humour can be easily found in our daily lives. It can be used to communicate and create intimacy. For some linguists, these phenomena are the challenges for them to find out the truth. Raskin in Meyer (2000), for example, defines humor as a non-bonafide (NBF) mode of communication, which purpose is not to bring any information contained in the text but rather to create a particular effect, such as: funniness or humor. Non-bonafide is opposed to bona-fide mode of communication. What he means by bona-fide communication is “in the earnest, serious, information-conveying mode of verbal communication”. This research tries to reveal the violation of cooperativeprinciples in conversations of Ha..Ha.. Ha. (Barakatak) columns in Mangle magazine. What type of maxim that is mostly violated by the speaker and hearer to create humour is the question wanted to be exposed. Nowadays Sundanese is used widely among the population of West Java. Sundanese is primarily utilized in the family circle, in conversation among friends and intimate acquaintances, and also in public and official places between people who are aware that they both know Sundanese. Sundanesepeople refer to ethnic
24
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
group that lives in most West Java area. They are generally branded as people who are polite, very friendly, honest, easy going, humourous, and so on and so forth. (Faturrahman, 2002). In the writing form, the humours can be read in magazines, books, and columns in newspapers. The most popular magazine in Sundanese is called Mangle. This magazine really supports the movement of Sunda culture because the young generation of sundanese lack their cultural knowledge and values. There are several humour columns in Mangle magazine, but this research focuses on the Ha… Ha… Ha…(Barakatak) columns since most of them are in short conversations. This research uses the maxim principles so that the utterances of the speaker and the hearer need to be observed. Conversations in the writing form seem to be the most appropriate type of data to be observed in this research. II. METHODOLOGY This research is an analysis of conversation implicature. The data are taken from jokes columns in Mangle magazine that was issued in year 2009 no.2181- 2183. The columns contain many short conversations. The column is named Ha..Ha..Ha..(Barakatak), and it is collected from the readers. This makes the data are very rich to view because they are coming from many Sundanese, not a person. This research tries to analyze the conversations by using the theories of maxim principles and the ways of violating the maxim. The procedures of this research are: 1. identifying conversations (data) based on maxims principles 2. analyzing the data based on the maxim principles and violation of the maxims 3. categorizing data 4. interpreting data. Following Thomas (1995), the writer tries to analyze the humour in conversation to find out the realisation of violating cooperative principles based on the maxims. III. FINDINGSAND DISCUSSIONS The research obtains data from conversations that have been identified having violation ofthe cooperative principles. From 60 humour in the column, there are only 21 that can be identified based on cooperative principles especially those which violate the maxims. Based on analysis, the categorization of the findings can be shown as follows:
25
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Conversation
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Table 1. Types of violation the maxims Types of violation the maxims Manner Quantity quality Relation
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Total
v‚ vû v” v* vÁ vW vï v† v v²
vI
vI vá vx v vI
vI vá
vv v§ v
4(16%)
vÓ v v10(40%)
vZ 5 (20%)
6 (24%)
Based on the principal theories, we can only guess what the most probable situation in the utterances setting is. So, it is common if an utterance has a clash between two maxim principles or even more. The analysis is already made by the characteristic. If there is a clash, the two maxims, both are all calculated. From the table, it can be seen that the number of violation the maxims are 25 coming from 21 conversations. Based on the categorization of the principles of maxim, we can calculate that the numbers of violation of the maxims in the conversation are: 1. Quality: 5 times (20%) 2. Quantity: 10 times (40%) 3. Relation: 6 times (24%) 4. Manner: 4 times (16%) According to the findings, it can be seen that the most common violation of the maxims principles is maxim of quantity. Thomas (1995) said that the maxim of
26
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
quantity includes two aspects: the interlocutor should make their contributions as informative as is required (for the current purpose of the exchange); They should not make their contributions more or less informative than is required. Nevertheles, in people’s daily communication, the interlocutors often offer too much or inadequate information, that is to say, it deviates from the maxims of quantity. The following humoursare formed through the violation of maxim of quantity (see the appendix). e.g 1: Conversation 14 Kondo : “Gawat euy” Fahim : “Gawat naon?” Kondo : “Gawat Darurat.” Fahim : “Saha nu Gawat Darurat teh?” Kondo : “Itu di rumah sakit, aya ruangan Gawat Darurat.” Fahim : “Si kasebelan.” In this conversation Kondo violates the maxim of quantity. He tries to mislead his friend by not giving enough information. However, at the end of conversation the implied meaning has been acknowledged by the speaker by givingthe clarification. Conversation 12 “Si Udin asup rumah sakit.” “Boga panyakit naon kitu Si Udin teh?” “Kangker bejana mah. Ngan teuing kangker rahim, teuing kangker payudara...” At the end of the conversation, the speaker violates the maxim of quantity by giving more information than is required. However, we also can say that he has violated the maxim of quality because he is not sure about the disease, so he is lack of adequate evidence. But this makes the story funny because the speaker is talking about a man which is impossible to have cervical and breast cancer. According to the maxim of quality, the interlocutors should offer the true information to others. They should not say what they believe to be false. Neither should they say that for which they lack adequate evidence. The following examples reflect the use of the technique of violating the maxim of quality for humorous purposes. e.g 2: Conversation 5 Pamilon : “Panitia, naha teu puguh ngajurian teh?” Panitia : “Kumaha kitu?” Pamilon : “Naha nu juara sapedah santey teh bet Mang Sakri? Kapan sidik Mang
27
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Sakri mah datangna ka pinis oge pangpandeurina?” Panitia : “Ih ari Bapa. Kapan namina oge sapedah santey. Jadi tangtu juarana oge nu pangsanteyna.” At the end of the conversation the secondspeaker fails to observe maxim of quantity in giving information about the ways they give judgement on the championship. He violates the maxim of quality. It is a violation the maxim of quality since it is not common in a race for the winner to be the last arrive at finish spot. Conversation 16 Nyi Iteung keur gede timburu ka Si Kabayan, pedah manggih ngaran Oneng nu diukir dialus-alus dina sulingna. Iteung : “Kang ngaku siah, ari Oneng teh saha?” Kabayan: “Itu ari Iteung sok salah sangka. Oneng teh ngaram hayam adu nu sok dipasangkeun ku Akang.” Keur kitu kring aya telepon, ku si Iteung diangkat. Iteung : “Halow...., bade ka saha? Muhun. Ari ieu sareng saha? Oh Muhun.” Iteung ngalieuk ka Si Kabayan, “Kang, ieu hayam adu hoyong nyarios cenah sareng Akang!” In the conversation Kabayan violates the maxim of quality because he lies when anwering Iteung’s question about Si Oneng. However, Iteung also violates the maxim of quality when she says that “hayam adu” wants to talk to Kabayan. Conversation 7 “Kuring tas ti KUA, tas nyokot STNK nu ditilang ku polisi poe kamari.” “Ari kuring mah tos ti kantor pos, nyokot buku nikah..” In this conversation, both the speaker and the hearer violate the maxim of quality. They offer false information purposely, which thus creates humorous effects. According to the maxim of relation, the interlocutors should make their contribution relevant. This maxim demands that the hearer should give answers relevant to what the speaker has said in the conversation. The technique of violating the maxim of relation is obviously used in the following humours: e.g3: Conversation 20 Pa Guru : “Barudak, cing pangnyieunkeun kalimah make kecap koneng.” Nina : “Pakulitanana koneng umyang.”
28
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Tuti : “manehna seuri koneng.” Pa Guru : “Alus-alus, cing maneh Uhe?” Uhe : “Si Udin huntuna koneng.” Pa Guru : “Iyy...Sudin ngosok huntu siah!” In this conversation the speaker (Uhe) violates the maxim of relation. He says something that is not relevant to context. Conversation 11 Bubun : “Asa tara katingali ngaronda deui. Ku naon?” Bani : “Embung ah, hayam tatanggana ge geus beak!” Bubun : “Heueuh, nya. Jadi we mun ngaliwet teh tara aya deungeunna!” When Bani says “Embung ah, hayam tatanggana ge geus beak!” he violates the maxim of relation since his response is not relevant with context. Conversation 6 Incu setan: “Bah, tadi uing nyingsieunan nu keur ngaradu jeung marabok!” Abah setan: “Na ari maneh kalakuan sok salah bae...” Incu setan: “Kumaha kitu Bah?” Abah setan: “Nya ulah atuh. Sabab eta mah balad urang deuleu...” Incu setan: “Hampura atuh nya Bah!” In this conversation, the second speaker (Abah setan) violates the maxim of relation, since his response is not relevant to context. The maxim of manner is different from other maxims in that it relates not to what is said, but rather, to how what is said to be said. The interlocutors should try to avoid obscurity and ambiguity to pass the message. This maxim requires that the conveyed meaning should be adequately clear. The following is the example of violating the maxim of manner. e.g 4: Conversation 2 Wawan : “Beda nya geuning pembajak jaman ayeuna jeung pembajak jaman baheula mah.” Agus : “Kumaha bedana teh?” Wawan : “Heueuh jaman ayeuna mah pakarang nu digunakeun teh mun teu pestol jeung bedil pastina ge bom.” Agus : “Ari pembajak jaman baheula kumaha?” Wawan : “Ari pembajak jaman baheula mah pakarangna teh cukup ku....wuluku we jeung munding.”
29
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
In this conversation, the first speaker violates the maxim of manner. The first speaker tries to mislead the second speaker by giving a statement that has ambiguity (‘pembajak’), and he does this on purpose. Conversation 19 Ujo : “Mo, tatarucingan euy?” Darmo : “Sok lah, siapa takut.” Ujo : “Ucing naon anu bisa nyanyi?” Darmo : “Babari lah, ucing geuring euy.” Ujo : “His lain, maneh mah ka dinya wae.” Darmo : “Ucing naon atuh, taluklah.” Ujo : “Ucing Cangkeling Manuk Cingkleung Cindeten atuh.” Darmo : “Tobat!” In this conversation, Ujo tries to mislead Darmo. The type of the utterance is violating the maxim of quantityand the maxim of manner. It violates the maxim of quantity because Ujo provides less information than is required by giving an incomplete utterance. It also violates the maxim of manner since it gives ambiguity in the word “ucing”. Based on the analysis, it can be said that Sundanesehumour in Mangle magazine mostly have a typical of violating the maxim, especially maxim of quantity. Most Sundanese conversationsof humourare really on purpose misleading the hearer since it can create the humorous effects. IV. CONCLUSION In the written form, Sundanesepeople seem to be misleading the hearer on purpose to create humour. They often violate the maxims principle in their conversaton. This seems to be the easiest way to make and to understand humour. From the finding and discussion, it can be said that the realisation of violating cooperative principles happens in sundanese humour. They usually violate the maxims to create humouros effect. V. REFERENCES Faturrahman, Taufik. 2002. Beregejed: Kumpulan GuguyonSunda. Bandung: CV GegerSunten. Levinson, S.C.1983. Pragmatics. New York:Cambridge University Press. Mangle. 2009. Ha..Ha..Ha..: Barakatak. August No.2181- 2183. Bandung.
30
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics. An Introduction. Massachusetts: Blackwell Publisher. Meyer, John C. 2000‘Humor as a Double-Edged Sword: Four Functions of Humour in Communication, Communication Theory, Vol. 10. http: www. Questia.comaccessed on April 1, 2010. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. England: Longman Group Limited. Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford University Press.
31
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
MENERAPKAN NEUROLINGUISTIC PROGRAMMING (NLP) DALAM PEMBELAJARAN Wikanengsih (Dosen Kopertis Wilayah IV dpk STKIP Siliwangi Bandung) 1.
Sejarah Neurolinguistic Programming (NLP) Neurolinguistic Programming (NLP), diciptakan oleh Richard Bandler, seorang ahli pemrograman komputer dan fisika dari University of Santa California. Awalnya, Bandler merasa tertarik terhadap keberhasilan terapis terkenal, yaitu Milton Erickson, Virginia Satir, dan Fritz Perls ketika menangani pasiennya. Melalui penelitian yang dilakukannya, yaitu memodel tingkah laku dan kebiasaan yang dilakukan ketiga terapis tersebut terhadap orang lain, Bandler menemukan fakta yang sangat menakjubkan bahwa strategi dan tingkah laku mereka dapat ditiru dengan hasil yang sangat akurat. Kemudian, Bandler melanjutkan risetnya bersama seorang professor linguistik bernama John Grinder. John Ginder merupakan spesialis peneliti linguistik teori Noam Chomsky, peneliti aksen-aksen dan pembuat model perilaku budaya penutur bahasa. Karena memiliki kesamaan minat itulah keduanya memadukan keahlian mereka pada bidang komputer , linguistik, dan menyusun model perilaku nonverbal manusia. Melalui riset yang dilakukan keduanya, mereka menarik kesimpulan bahwa empat model yang mereka teliti (Virginia Satir seorang terapis terkenal; Gregory Bateson, seorang filosof dan antropolog ; Milton Erickson, seorang ahli hipnotis; dan Fritz Perls, seorang terapis beraliran psikologi Gestalt ) memiliki kesamaan pola ketika berkomunikasi. Pola komunikasi yang digunakan keempat orang tersebut kemudian diterapkan kepada orang lain, dan ternyata menghasilkan pengaruh yang sama besar. Hasil riset mereka, tidak hanya digunakan pada bidang terapis, selanjutnya banyak digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya dalam bidang pendidikan. (Ghannoe, 2010: 13-16). NLP dapat membantu seseorang dalam berkomunikasi dengan dirinya sendiri secara lebih baik, mengurangi ketakutan tanpa alasan, serta mengontrol emosi negative dan kecemasan. (Elfiky: 2007). 2. Definisi Neurolinguistic Programming (NLP). Ditinjau dari asal-usul kata, neuro linguisitc programming terdiri atas tiga buah kata, yaitu neuro, linguistic dan programming. Kata neuro berasal dari bahasa Inggris, artinya saraf, linguistic berarti bahasa, sedangkan programming bermakna pemrograman. Elfiky (2007: 14) dan Andreas (2008: 23-24) mendefinsikan ketiga kata tersebut sebagai berikut: Neuro merujuk pada sistem saraf, jalur mental bagi pancaindra untuk dapat mendengar, mengecap, mambaui, dan merasa. Linguistik merujuk pada kemampuan alami berkomunikasi secara verbal dan nonverbal. Verbal mengacu pada pilihan kata dan frasa, mencerminkan dunia mentalitas manusia. Nonverbal berkaitan dengan ’bahasa sunyi’, seperti postur, gerak-gerik dan tingkah
32
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
laku. ’Bahasa sunyi melahirkan gaya berpikir dan kepercayaan. Kata programming mengacu pada pola berpikir, perasaan, dan tindakan. Perilaku dan kebiasaan keseharian dapat diganti dengan perilaku dan kebiasaan baru yang lebih positif. Kata programming ini dipinjam dari ilmu komputer untuk mensinyalkan bahwa pikiran, perasaan, dan tindakan manusia adalah program-program kebiasaan yang dapat diubah dengan memperbaiki perangkat lunak mental. Definisi NLP dalam Encyclopedia of Systemic NLP and NLP New Coding adalah pola-pola atau pemrograman yang diciptakan dari hubungan antara otak (neuro), bahasa (linguistic) dan kondisi tubuh (body state). Ditinjau dari perspektif NLP, hubungan tersebut akan mempengaruhi perilaku manusia yang efektif dan tidak efektif, dan sangat memengaruhi pembentukan mental individu yang adjustment dan maladjusment . (Dilts, 2000: 849) Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa NLP merupakan pemrograman pikiran (otak manusia) dengan menggunakan bahasa sebagai medianya, baik melalui bahasa verbal maupun nonverbal sehingga dapat menghasilkan pikiran dan perilaku. Dengan kalimat lain NLP adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa terhadap pikiran dan perilaku seseorang. Dalam NLP, bahasa verbal dan nonverbal memiliki kedudukan yang sama sebagai sumber informasi yang akan memengaruhi perilaku. 3. Kerangka Kerja NLP NLP adalah ilmu tingkah laku yang menyediakan perangkat: 1) Epistemologi: sistem ilmu pengetahuan dan nilai-nilai; 2) Metodologi: proses dan prosedur untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai; 3) Teknologi, perangkat (tool): untuk membantu aplikasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai (Dilts, 2000: 849). Kerangka kerja NLP dalam diri individu digambarkan terjadi pada saat individu menerima informasi. Sebagaimana dikemukakan Elfikly (2007:3) bahwa NLP membantu seseorang dalam berkomunikasi dengan dirinya sendiri secara lebih baik, mengurangi ketakutan tanpa alasan, serta mengontrol emosi negatif dan kecemasan. Berikut ini gambar pola komunikasi menurut versi NLP. (Yuliawan: 2010:57)
33
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Gambar 1. Model Komunikasi NLP Gambar di atas menunjukkan bahwa komunikasi yang terjadi pada manusia diawali oleh sebuah kejadian yang dialami seseorang (event external). Kejadian tersebut merupakan informasi yang memasuki pikiran melalui panca indera (visual, auditori, kinestetik, penciuman, dan pencecapan). Informasi tersebut kemudian menjadi sebuah pengalaman. Sebelum menjadi pengalaman yang menetap (internal representation), pikiran menyeleksi pengalaman tersebut melalui tiga cara, yaitu deletion (penghapusan), distorsi (menghubungkan antara berbagai kejadian ), dan generalisasi (penyamarataan). Proses deletion dilakukan oleh otak secara alamiah dengan menghapus bagian-bagian yang tidak diperlukan. Proses distorsi dilakukan dengan cara menghubung-hubungkan antara kejadian yang pernah dialami dengan kejadian lain. Generalisasi merupakan proses menyamaratakan berbagai kejadian yang mirip. (Bandler dan Grinder, 1975: 14-16). Penyeleksian informasi secara bersamaan antara delisi, distorsi dan generalisasi disebut dengan istilah
34
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
metaprogram. Selama proses menyaring informasi, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi, yaitu 1) Value (tata nilai). Value merupakan filter evaluasi. Hal ini berhubungan dengan cara individu memutuskan baik atau buruk, benar atau salahnya sebuah tindakan. 2) Belief (keyakinan). Keyakinan merupakan filter yang berkaitan dengan penerimaan akan nyata atau tidaknya sesuatu. 3) Memories. Memori adalah sebuah proses mengingat (memproduksi) atau memanggil sesuatu yang telah dipelajari. 4) Decition. Decition merupakan keputusan yang terbaik yang dilakukan individu dari beberapa alternatif kemungkinan. 5) Language (bahasa). Bahasa merupakan aspek penting dalam mengode dan mengomunikasikan pengalaman dan ide-ide. 6) Attitude (sikap). Sikap merupakan peta mental yang dioperasikan individu . Penyeleksian melalui faktor-faktort tersebut akan menghasilkan sebuah realitas internal (RI) dalam bentuk pikiran dan perasaan yang menjelma pada keadaan tertentu (state). Keadaan pikiran dan perasaan ini dikendalikan melalui representasi internal dan fisiologi, dan akhirnya akan menentukan perilaku kita (behavior). (Yuliawan, 2010: 57) dan Natalia (2007: 64). Harris (2003: 52-64) memberikan penjelasan tentang kerangka kerja NLP dengan versi berikut ini. NLP merupakan the experiental array (rangkaian pengalaman). Rangkaian ini terdiri atas lima unsur yang berkontribusi terhadap sebuah performance yaitu hasil (outcome), perilaku, mental, emosi, keyakinan, dan nilai. Kelima unsur ini berkaitan erat dan membentuk sebuah sistem, sehingga unsur internal (pikiran dan perasaan) akan memengaruhi perilaku, dan perilaku akan menghasilkan sebuah hasil (outcome). Versi ketiga mengenai kerangka kerja NLP dikemukakan oleh Robert Diltz dengan mengintegrasikan berbagai macam model melalui Neurological level (level neurologi). Proses perubahan pada diri seseorang (NLP berkaitan dengan proses perubahan ) dapat terjadi pada beberapa tingkatan, yaitu: 1) Spiritual. Tingkatan tertinggi yang menaungi tingkatan di bawahnya. Memaknai peran yang dijalanai sehingga berpengaruh besar pada sistem kehidupan individu. 2) Identitas. Tentang identitas diri, misi hidup, dan nilai-nilai inti dalam hidup. 3) Keyakinan (nilai). Rangkaian hal yang diyakini, yang menjadi dasar perilaku. 4) Kapabilitas. Sekumpulan keterampilan, keahlian, stategi yang digunakan dalam kehidupan. 5) Perilaku. Perilaku spesifik yang dilakukan. 6) Lingkungan. Reaksi terhadap lingkungan tempat kita hidup. Versi pertama dan versi kedua pada dasarnya sama, yaitu sebuah rangkaian yang saling bertautan pada saat seorang individu menerima informasi dan mengolah informasi tersebut sesuai dengan persepsi internalnya untuk mencapai tujuan. Versi ketiga yang berkaitan dengan neurological level merupakan ranah/tingkat pencapaian dari proses tersebut.
35
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
4.
Pilar (prinsip) dan Asumsi Dasar dalam NLP NLP memiliki sejumlah pilar. Pilar-pilar tersebut merupakan komponen yang harus diperhatikan pada saat menerapkan sejumlah teknik. Selain prinsip (pilar), NLP memiliki sejumlah asumsi dasar. Asumsi dasar merupakan landasan dari teknik yang digunakan. Pilar (prinsip) NLP meliputi: 1) individu (diri sendiri,); 2) outcome (tujuan); 3) rapport (hubungan baik); 4) kepekaan yang tinggi; 5) ekologi; 6) fleksibel. (Yuliawan, 2010:23). Asumsi dasar (preusuposisi) dalam NLP diformulasikan oleh Bodenhamer (Yuliawan, 2010: 27) dan sumber lain yang merupakan landasan dari teknikteknik dalam NLP, di antaranya dipaparkan berikut ini. 1) The map is not the territory. Peta bukanlah wilayah. Apa yang dialami, dilihat, didengar, dirasakan, bukanlah hal yang sebenarnya, tetapi otaklah yang mengartikan hal tersebut. Dengan kata lain, sebuah wilayah tidak pernah berubah, makna kepada wilayah itulah yang senantiasa dapat berubah. Asumsi ini menjadi landasan dari beberapa teknik yang dapat digunakan jika menghadapi sebuah kejadian. Teknik tersebut diantaranya swish pattern, mapping accros. 2) People respond according to their internal maps. Respon seseorang adalah apa yang ada dalam peta/persepsi internalnya. 3) Meaning are context dependent. Sebuah makna bergantung pada konteks tertentu. 4) We cannot not communicate. Manusia selalu berkomunikasi. Dalam setiap keadaan, manusia pada dasarnya senantiasa melakukan komunikasi. Pada saat diam, berkomunikasi terhadap diri sendiri. Meskipun tidak menggunakan kata-kata secara verbal, bahasa nonverbal selalu digunakan pada saat kita tidak mengeluarkan katakata verbal. Oleh karena itu, bahasa verbal dan nonverbal menjadi kajian dalam NLP. Asumsi ini melandasi penggunaan teknik sensory aquity (kepekaan yang tinggi) atau representasi system (visual, auditori, kinestetik). 5) Wellformed outcome. Ungkapkan dengan bahasa positif. Untuk mencapai tujuan dari sebuah tindakan maka hendaknya bahasa yang digunakan bahasa yang memiliki makna positif. 6) Mind and body are one system and affect each other: pikiran dan tubuh saling mempengaruhi. Asumsi ini menjadi landasan teknik sensocy acuity: kepekaan inderawi,.matching and mirroring; dan state. 7) There are two communication levels: Conscious and Unconscious. Level komunikasi ada dua, yaitu melalui pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Komunikasi yang dilakukan melalui pikiran bawah sadar lebih efektif daripada komunikasi yang dilakukan melalui pikiran sadar. Oleh karena itu, teknik yang dapat dilakukan untuk mempengaruihi pikiran bawah sadar perlu digunakan. Teknik yang dapat digunakan di antaranya teknik alfa. Selain ketujuh asumsi tersebut, masih banyak asumsi yang dijadikan
36
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
landasan penggunaan teknik ketika NLP digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Unsur selanjutnya yang ada dalam NLP seperti dikemukakan Yuliawan (2010: 159) adalah NLP Model (NLP pattern), di antaranya Milton Model dan Meta Model. Teknik-teknik yang digunakan dalam menerapkan model tersebut berkaitan dengan representasi system yang dimiliki seseorang. Representasi berkaitan dengan penggunaan bahasa verbal yang bergantung pada gaya belajar yang dikuasai, seperti gaya visual, audiori atau kinestetik. Selain bahasa verbal, bahasa nonverbal merupakan bagian di dalamnya. Bahasa nonverbal yang dimaksud di antaranya eye accessing cues dan fisiologis (gerak tubuh ) lainnya. Masih dalam Yuliawan (2010: 77-100), teknik lain yang terdapat dalam NLP adalah submodalitas; wellformed outcome; penggunaan bahasa positif; inisiatif dan kontrol diri; ekologis; being connected; sensory acuity; rapport; state; anchor; pacing; mirrorin, leading, calibracing dan methafora. Penggunaan teknik-teknik tersebut disesuaikan dengan kondisi dan situasi sebuah kegiatan. Teknik yang dapat digunakan selama proses pembelajaran adalah state of mind, representation system, rapport, penggunaan bahasa positif, repetisi, metafora, dan unsur lain yang menjadi bagian di dalamnya. Dalam hal ini, guru dituntut kreatif dalam mengolah dan menerapkannya. Berikut disajikan pola kerangka berpikir NLP dalam bentuk bagan hasil analisis penulis berdasarkan teori NLP dari beberapa sumber. RE
Asumsi Dasar
Teknik
RI/Pikiran
Sumber daya
Pilar
Wujud Perilaku (Berubah)
Bagan 1. Pola Kerangka Berpikir NLP
37
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
5.
Menerapkan NLP dalam Model Pembelajaran Penerapan NLP dalam pembelajaran mengacu pada pilar-pilar NLP yang terdiri atas enam hal, yaitu: 1) Praktikkan pada diri sendiri, 2) bangun keakraban (rapport), 3) tetapkan hasil secara spesifik/tujuan, 4) kepekaan yang tinggi, 5) cek ekologis, dan 6) fleksibilitas. (Yuliawan, 2010:23). Keenam pilar tersebut dilengkapi dengan adanya fondasi dasar yang berupa asumsi sebagaimana telah dipaparkan dalam sub bab sebelum ini. NLP diterapkan dalam pendidikan salah satunya sebagai metode pembelajaran. Terdapat beberapa macam penelitian yang telah mengaplikasikan NLP sebagai metode pembelajaran, yaitu untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran. Penekanannya dipusatkan pada komunikasi antara guru dan siswa sehingga proses pembelajaran berjalan dengan menyenangkan. Hal tersebut senada dengan pernyataan Craft (2001: 125) yang mengemukakan bahwa NLP dapat diterapkan dalam proses pembelajaran yang positif dan praktis sebagai salah satu cara yang efektif bagi pembelajar pada segala lapisan usia. Dengan menggunakan prinsip NLP, kita dapat memanfaatkan fleksibilitas tingkah laku dalam proses pembelajaran yang baru dan menyenangkan. Demikian juga (Dryden & Vos, 1999: 123) mengemukakan bahwa dengan menggunakan prinsip NLP, seseorang dapat memanfaatkan fleksibilitas tingkah laku dalam proses pembelajaran yang baru dan menyenangkan. Kegiatan belajar berkembang dengan cepat dan mudah melalui kegembiraan dan eksplorasi dalam suatu atmosfer yang mendukung kegiatan belajar, yang meliputi keberagaman, kejutan, imajinasi, dan tantangan. Penjelasan Craff, Dryden dan Vos tersebut penekanannya pada situasi dan kondisi perasaan siswa pada saat mengikuti pembelajaran, yaitu berada pada kondisi menyenangkan. Pada saat kondisi siswa merasa tenang, senang atau bahagia keadaan gelombang otaknya berada pada keadaan alfa, yaitu berkisar pada gelombang 8-12 putaran per detik, sebagaimana ditulis oleh Beaver (2008: 25); Muhammad Yunus (Inspirasi Indonesia: 2011) bahwa gelombang otak manusia terdiri atas empat tingkat, yaitu gelombang beta, alfa, tetha, dan delta. Penggolongan tingkatan itu merupakan hasil pengukuran dari alat yang bernama EEG (Electro Encephalo Graph). Melalui alat tersebut diperoleh empat kelompok gelombang otak yang disebut Brain Wave States are Measures of Elestrical Activity. (Jaya, 2010: 14); Noer (2010: 65). Gelombang beta berada pada posisi sangat sadar, 12-25 putaran perdetik. Pada saat seperti ini pikiran sadar melakukan pemikiran 100%. Gelombang alpha (rileks) berada pada gelombang antara 8-12 putaran perdetik. Pada saat ini pikiran sadar melakukan pemikiran sebanyak 25%. Gelombang theta (sangat rileks), yaitu keadaaan pada saat antara sadar dan tidur lelap dengan gelombang 4-7 putaran perdetik. Pada posisi ini pikiran sadar nyaris tidak berperan, tetapi pikiran bawah sadar tetap aktif , begitu pula kelima panca indera. Gelombang delta pada konsisi tidur lelap, berada pada putaran 0,5-4 hz. Pada kondisi ini semua informasi tidak dapat masuk karena kelima panca indera tidak aktif, namun pikiran bawah sadar tetap akitf. Keempat gelombang itu merupakan komponen pembentuk kesadaran manusia. Pada saat gelombang alfa secara dominan menguasai otak seseorang, pada saat itulah proses pembelajaran akan terserap secara maksimal karena mudah diakses oleh pikiran
38
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
bawah sadar. Penciptaan suasana yang dapat mendorong gelombang otak siswa berada pada kondisi alfa, salah satu caranya dengan menyertakan musik pada saat belajar. Hal itu telah dibuktikan oleh Luzanov, seorang pengajar dan psikiater Bulgaria dengan format pembelajaran yang bernama Suggestopedy. (Luzanov, 1978: 2). Melalui suggestopedy, dalam penelitian yang dilakukan Luzanov, tentara AS berhasil mempelajari Bahasa Jerman dengan peningkatan 61%, dua kali lebih tinggi dibandingkan pembelajaran bahasa Jerman yang konvensional. (Dryden&Vos, 1999:126). Cara lain yang bisa dilakukan guru pada saat pembelajaran melalui penciptaan suasana pikiran siswa masuk ke dalam suasana trance. Keadaan trance merupakan keadaan otak berada pada gelombang alfa sebagai langkah awal dalam hynosis. Penciptaan suasana ini menurut Bandler dan Grinder (1981: 35) dalam bukunya yang berjudul Trance-Formation Neurolinguistic Programming and the structure of Hypnosis dapat dilakukan melalui teknik pacing and leading. Salah satunya melalui penggunaan kata transisi “dan’ atau “ seperti” pada kalimat yang diucapkan. Pendapat lain yang mengungkapkan tentang penerapan NLP dalam bidang pendidikan adalah Dilts dan Epstein (1995: 27) yaitu untuk menyediakan kerangka kerja dasar yang digariskan pada pengalaman belajar empiris dan situasi latihan dengan tujuan untuk meningkatkan keefektifan dan kecepatan pencapaian tujuan belajar (Dilts & Epstein, 1995:27). NLP menghubungkan perkataan, pikiran, dan tingkah laku dengan tujuan, melalui cara menitikberatkan pada komunikasi efektif dengan bantuan media untuk mengambil perspektif dari suatu permasalahan yang dihadapi (Craft. 2001: 129). Hal tersebut dapat mengubah masalah kesulitan belajar menjadi program percepatan belajar yang diharapkan. Penerapan NLP dalam pendidikan, tidak sebatas hanya dapat diterapkan sebagai metode mengajar, tetapi dapat pula diterapkan sebagai model pembelajaran. Dalam tulisan ini, penulis memasukkan teori yang terdapat dalam NLP, baik asumsi, prinsip, atau teknik yang terdapat di dalamnya ke dalam komponen model pembelajaran. Teknik-teknik tersebut adalah 1. State of mind (keadaan pikiran yang ditunjukkan oleh sikap tubuh guru dan pilihan kata yang digunakan guru ketika memasuki kelas dan memulai pelajaran. State of mind dilakukan melalui rapport (menjalin hubungan), pacing ( menyamakan gerakan, sikap, tindakan antara guru dan murid). 2. Rapport (hubungan baik). Selama proses belajar mengajar, guru menciptakan hubungan yang harmonis dengan para siswa. Teori dalan NLP yang dapat dimanfaatkan selama PBM adalah matching (menyesuaikan). Menyesuaikan adalah mencocokkan aspek perilaku eksternal guru menyamai secara maksimal dengan aspek perilaku para siswa. Rapport dapat ditempuh melalui pacing
39
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(melangkah) dan leading (memimpin). Hal-hal yang dapat disesuaikan meliputi: a. Penyesuaian nonverbal: 1) Seluruh tubuh: penyesuaian sikap tubuh guru dengan sikap tubuh siswa. 2) Sebagian anggota tubuh: bagian yang memungkinkan dapat dilihat atau ditiru, berkaitan juga dengan gerakan, misalnya gerakan tangan atau gerakan mata. 3) Mimik muka. 4) Suara: intonasi atau volume b. Penyesuaian verbal: 1) Gunakan pilihan kata, frasa atau kalimat yang sama. Contoh: Murid bertanya: “Maaf Bu, saya belum memahami penjelasan Ibu tadi.” “Baik, terima kasih, penjelasan ibu yang belum kamu pahami bagian yang mana Nak?” 2) Ide atau pemikiran: mengambil ide siswa dan dijadikan topik pembicaraan, dll. Penyesuaian verbal dan nonverbal seperti yang dikemukakan di atas dilakukan secara individu (misalnya jika seorang murid bertanya atau memberikan komentar) karena penyesuaian akan sulit dilakukan jika guru harus menyesuaikan semua gerak yang dilakukan oleh setiap siswa pada saat yang bersamaan. 3. Penggunaan Kata-kata Modalitas Belajar/Sistem Representasi (Visual, Auditori, dan Kinestetik). Selama proses belajar mengajar berlangsung, guru memilih diksi (pilihan kata) yang bervariasi, terutama dalam menyangkut tiga modalitas belajar siswa. Setiap siswa memiliki modalitas (gaya belajar) yang berbedabeda, mungkin ada siswa yang memiliki modalitas belajar visual, auditori, atau kinestetik. Siswa yang memiliki modalitas belajar dengan gaya visual maka pelajaran akan mudah diserap oleh siswa yang bersangkutan jika gurunya sering menggunakan kata-kata yang berkategori visual (berhubungan dengan indera mata/penglihatan), misalnya: melihat, membaca, memandang, menatap, tampak, kelihatan, terlihat, dll. Siswa yang memiliki modalitas belajar auditori (indera telinga/pendengaran) maka pelajaran akan mudah diserap apabila gurunya sering menggunakan katakata yang berkategori auditori, misalnya: mendengar, sayup-sayup, berisik, ribut, ramai, percakapan, bercakap-cakap, terus terang, menjelaskan, dll. Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik (gerakan dan perasaan) maka pelajaran akan mudah diserap melalui kata-kata yang diucapkan guru berkategori kinestetik, misalnya: bergerak, berpikir, pendiam, bertahan, beraktivitas, merasakan, dll. Dalam prakteknya, ketiga kelompok kata-kata berdasarkan modalitas tersebut, penggunaannya divariasikan, artinya, pada saat mengajar guru menggunakan pilihan kata ketiganya secara bervariasi sehingga semua murid yang memiliki modalitas belajar yang berbeda-beda
40
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
dapat terlayani oleh penjelasan guru. Dalam hal ini, guru dituntut kreatif dalam mengombinasikan penggunaan tiga modalitas belajar (visual, auditori, kinestetik). Contoh: Dalam pembelajaran guru menggunakan kalimat seperti berikut: “Anak-anak pada kesempatan ini ibu akan menjelaskan pengertian tentang……dst. Oleh karena itu, Ibu mohon perhatian kalian untuk mendengarkannya dengan sungguh-sungguh dan penuh perasaan ya….” Kata menjelaskan dan kata mendengarkan termasuk modalitas auditori, kata perhatian, termasuk modalitas visual, dan kata perasaan termasuk modalitas kinestetik. Penggunaan ketiga modalitas tersebut tidak harus terdapat semuanya dalam sebuah kalimat, yang penting ketiga modalitas tersebut secara seimbang dapat digunakan guru selama PBM. Selain melalui penggunaan modalitas dalam bentuk verbal (melalui kata-kata), gerak (bahasa tubuh) dapat dilakukan, misalnya, ketika guru mengatakan kata mendengarkan maka disertai dengan gerakan tangan yang menunjuk ke arah telinga, demikian juga pada saat mengatakan kata berkata, maka tunjukkan tempat kata-kata itu keluar (menunjuk ke arah mulut), atau pada saat mengatakan melihat maka tangan guru menunjuk ke arah mata. Selain itu, ketika mengucapkan kata-kata yang sekiranya dapat disertai dengan gerakan tangan atau anggota tubuh yang lain maka hal itu lebih baik, misalnya ketika menjelaskan guru mengatakan kata gerak atau pindah maka guru harus bergerak atau sambil berjalan, dst. Pemanfaatan kata-kata verbal dan bahasa tubuh merupakan pemanfaatan bahasa (neurolinguistic) dalam istilah Neurolingistic Programming. Jadi pemrograman bukan hanya bisa dilakukan melalui kata-kata, tetapi juga bisa dilakukan melalui bahasa tubuh. Mengombinasikan antara perkataan/bahasa verbal dengan bahasa tubuh, menurut penelitian dalam psikologi menyebabkan komunikasi dua arah berjalan lancar dan mudah diterima oleh lawan bicara. Meharabien (Elfiky, 2000: 118) mengungkapkan bahwa keberhasilan sebuah komunikasi ditentukan oleh penggunaan bahasa verbal (kata-kata) sebanyak 7%, penggunaan vocal/intonasi berpengaruh sebanyak 38%, sedangkan visual/yang terlihat melalui bahasa tubuh berpengaruh sebanyak 55%. Oleh karena itu, maka pada saat berkomunikasi dengan memaksimalkan ketiga hal tersebut (verbal, visual , dan vocal) komunikasi akan berjalan dengan sempurna. Contoh kata-kata berdasarkan sistem representasi (modalitas seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
41
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Tabel 1. Contoh Kosakata Modalitas (Sistem Representasi) VISUAL
AUDITORI
KINESTETIK
Fokus
Mendengar
Memanas
Menonton
Menjawab
Menangkap
Memandang
Mengobrol
Mencium
Membayangkan
Mengumumkan
Mendapatkan
Memperhatikan
Menyatakan
Menggosok
Menggambarkan
Menanyakan
Menghirup
Memindai
Menghubungi
Mengusap
Memata-matai
Mengemukakan
Menjelajahi
Mencerahkan
Menangis
Merasakan
Warna
Mendiskusikan
Nyaman
Melihat
Mengumumkan
Menggerakkan
4. Penggunaan Kata-kata yang Bermakna Positif Kata-kata atau bahasa yang digunakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari sangat memengaruhi mental orang yang bersangkutan. Tindakan seseorang merupakan ekspresi dari pikirannya, sedangkan pikiran sangat berhubungan dengan penggunaan pilihan kata atau bahasa. Seseorang ketika berdialog kepada dirinya sendiri (selftalk) atau ketika berbicara kepada orang lain sering menggunakan kata-kata atau bahasa yang bermakna negative maka hal itu akan menggambarkan mental/orang yang memiliki kepribadian yang negatif. Sebaliknya, jika kata-kata yang digunakan bermakna positif maka tindakannya pun menghasilkan tindakan positif, sehingga akan memiliki kepribadian yang positif pula. Limpahan kata-kata yang diterima seseorang baik melalui selftalk (berdialog kepada diri sendiri) maupun melalui hasil membaca atau mendengar merupakan penginstalan terhadap pikiran atau otaknya. Oleh karena itu, memilih diksi yang bermakna positif sangat tepat jika diajarkan dalam proses pembelajaran bahasa. Pembiasaan menggunakan kata-kata yang bermakna positif dapat menciptakan karakter/pribadi murid yang positif. Penggunaan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk pilihan kata/diksi pada tataran kata (morfologi), frase atau kalimat (sintaksis) atau pada tataran wacana. Selain
42
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
melalui pemberian jam secara khusus mengajarkan penggunaan bahasa yang berenergi positif, guru bisa menerapkan langsung penggunaan bahasa yang berenergi positif itu ketika pembelajaran berlangsung. Artinya katakata yang diucapkan guru banyak mengandung kata-kata positif. Penggunaan kata-kata positif ketika berkomunikasi, baik dalam komunikasi lisan maupun dalam komunikasi tulis berlandaskan pada sebuah teori dalam ilmu psikologi bahwa pikiran bawah sadar manusia tidak mengenal kata-kata yang bermakna negative, seperti kata tidak, bukan, dan jangan. Oleh karena itu, seorang guru sebaiknya menghindari terlalu sering penggunaan kata-kata tersebut. Seandainya penggunaan kata-kata tersebut (tidak, bukan, dan jangan) tidak dapat dihindari maka sertakanlah kata positif di belakangnya. Contoh: Kata rugi merupakan kata yang bermakna negatif, maka gantilah kata tersebut dengan padanan yang bermakna positif, yaitu dengan menggunakan kata tidak untung. Frasa tidak untung mengandung kata negatif yaitu kata tidak, tetapi hal itu akan berterima dalam pikiran bawah sadar karena diikuti oleh kata positif. Tabel 2 Contoh Kata-kata Bermakna Posisitif dan Negatif Negatif
Positif
Itu tidak buruk
Itu cukup baik
Itu buruk
Itu tidak baik
Jangan khawatir
Anda akan baik-baik saja
Itu terlalu sulit
Itu tidak mudah
Aku sakit
Aku merasa tidak sehat
Aku lupa
Aku tidak ingat
Aku sudah bekerja keras
Aku sudah bekerja dengan baik
Jangan menangis
Itu boleh-boleh saja
Aku bangkrut
Aku belum beruntung
5. Repetisi/Pengulangan Repetisi atau pengulangan merupakan langkah untuk menuju pemahaman terhadap sebuah konsep. Repetisi dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan teknik AJARKAN-PUJI. Teknik ini berlandasakan
43
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
pada hasil penelitian bahwa rata-rata siswa dapat memahami sebuah materi pembelajaran melalui mendengar 20%; melalui membaca 30%; melalui melihat 40%; melalui apa yang mereka dapat katakana 50%; melalui apa yang mereka lakukan 60%; dan melalui apa yang mereka dengar, lihat, katakan, dan lakukan 90%. (Jaya, 2010: 104). Oleh karena itu, agar siswa mampu mencapai penguasaan materi dengan maksimal atau mendekati 90% maka mereka harus mengajarkan materi tersebut. Dengan mengajarkan mereka melakukan proses mengingat, mengatakan, mendengar, melakukan dan selanjutnya memahami. Apalagi jika setelah mereka mengajarkan, mereka menerima pujian dari teman dekatnya. Contoh pelaksanaan teknik Ajarkan-Puji sebagai berikut: Setelah guru menjelaskan materi pada pertemuan tersebut, guru menjelaskan tentang teknik yang akan dilakukan yaitu dengan memberi petunjuk bagaimana cara melaksanakan teknik ajarkan-puji kepada para siswa. Setelah siswa memahami, guru memulai memberi perintah. Misalnya: “Anak-anak, sekarang kita akan mempraktikkan teknik ajarkanpuji. Caranya begini: Setelah kalian memahami materi yang Ibu jelaskan tadi, maka sekarang coba ajarkan materi tersebut kepada teman yang duduk di sebelahmu. Jika Ibu mengatakan kata “Ajarkan”, maka mulailah mengajarkan kepada teman di sebelahmu itu, setelah itu ibu akan mengatakan “STOP”, maka berhentilah, selanjutnya Ibu akan mengatakan “Puji”, maka teman yang duduk di sebelah kiri memuji penjelasan teman yang duduk di sebelah kanan. Demikian sebaliknya, lakukan secara bergantian. Setelah teman yang duduk di sebelah kiri mengajarkan kepada teman yang duduk di sebelah kanan, dan teman yang di sebelah kanan sudah memberi pujian, maka selanjutnya teman yang duduk di sebelah kanan mengajarkan kepada teman yang di sebelah kiri, dan teman yang duduk di sebelah kiri memuji penjelasan teman yang duduk di sebelah kanan”. (Modifikasi dari Jaya: 2010) Contoh kalimat pujian: Terimakasih, saya sangat memahami penjelasanmu. Wah, hebat pejelasanmu sangat bagus. Kamu benar-benar luar biasa. Kalimat pujian boleh juga kalimat yang dibuat oleh masing-masing siswa dengan disertai bahasa tubuh, misalnya dengan mengacungkan jempol pada saat memuji. 6. Metafora. Unsur metafora diterapkan melalui penyampaian cerita di awal pembelajaran, ketika pembelajaran dimulai. Guru membacakan sebuah cerita untuk menggiring perasaan siswa ke dalam perasaan asosiatif. Keenam unsur di atas yang merupakan teknik-teknik yang terdapat dalam NLP dapat dimasukkan ke dalam kompeonen model pembelajaran. Penyajian dan penerapnnya sangat bergantung pada kepiawaian guru pada saat proses pembelajran berlangsung. Berikut
44
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
penulis gambarkan secara sederhana kaitan antara teori NLP dengan unsure sebuah model pembelajaran.
Teori NLP: 1. 2. 3. 4.
Asumsi Pilar Teknik Model
Model Pembelajaran: 1. 2. 3. 4.
Orientasi Model Model Mengajar Penerapan Dampak
Bagan 2. Kaitan Antara Teori NLP dengan Teori Model Tentang Penulis: Wikanengsih, dilahirkan di Sumedang, 20 Juli 1968. Dosen Kopertis Wilayah IV dpk di STKIP Siliwangi Bandung pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sejak tahun 1993. Lulus S1 dari IKIP Bandung tahun 1992, lulus S2 dari UPI Bandung tahun 2005, dan lulus S3 dari UPI Bandung tahun 2012. Daftar Pustaka Andreas, S. dan Faulkner. 2008. NLP: The New Technology of Achievement. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Baca.Bandler, R. and Ginder. 1975. The Structure of Magic I. United States of America: Science and Behavior Book. Bandler, R. dan Ginder, J. 1976. The Structure of Magic II. United States of America: Science and Behavior Book.Craf, A. 2001. Neurolinguistic Programing and Learning Theory. Dalam The Curriculum Journal. US: Curriculum Journal.Dilts, R. dan Epstein,T. 1995. Dynamic Learning. Capitola, CA: Meta Publications.Dilts, R dan Delozier. 2000. Enyclopedia of Systemic NLP an NLP New Coding. USA: NLP Universitypress.Dryden, G & Vos, J. 1999. The Learning Revolution. Torrance, CA: The Learning Web.Elfiky, I. 2007. Terapi NLP. Jakarta: Hikmah. Ghannoe. 2010. Buku Pintar NLP (Neuro Linguistic Programming). Terjemahan. Yogyakarta: Flash Books. Harris, C. 2003. NLP Made Easy. London: Element. Jaya, N. 2010. Hypno Teaching. Bekasi: D-Brain.
45
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Luzanov, G. 1978. Suggestoloy and Outline of Suggeatopedy. New York: Gordon & Breach. Natalia, Margaretha Mega. 2007. Program Bimbingan Kelompo Berbasis NLP untuk Menanggulangi Stres pada Siswa SMP. Skripsi. UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Natalia, Margaretha dan Dewi, Kania. 2008. Aplikasi NLP dalam pembelajaran. Bandung: Tinta Emas Publishing.
46
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
47
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
MODEL PEMROSESAN INFORMASI GAYA SUARA ANDA BERBASIS KOMUNIKASI INTERAKSIONAL DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA Oleh: Diena San Fauziya pos-el:
[email protected] Abstrak Pembelajaran berbicara merupakan salah satu tonggak penting dalam membangun siswa yang terampil berbicara. Oleh karena itu, mengoptimalkan pembelajaran berbicara merupakan salah satu upaya yang penting dilakukan. Mengoptimalkan pembelajaran berbicara dapat dilakukan dengan mengadaptasi program acara yang sesuai yang karakteristik pembelajaran, salah satunya adalah program acara Suara Anda. Pengadaptasian ini kemudian dikembangkan dengan memadukannya dengan pemrosesan informasi dan komunikasi interaksional yang dianggap memiliki karakteristik unggul untuk mengoptimalkan pembelajaran berbicara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadaptasian dan pemaduan model pembelajaran yang sudah ada dengan gaya program acara mampu menghasilkan model pembelajaran baru yang efektif digunakan dalam pembelajaran berbicara. Angket dan wawancara menunjukkan respon positif atas penggunaan model yang dikembangkan. Begitu pula hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa dengan model yang dikembangkan, kemampuan berbicara siswa mengalami peningkatan rata-rata yang cukup signifikan yakni 65,5 menjadi 84,2; dengan thitung > ttabel (9,43 > 2,002). Kata kunci: Pemrosesan Informasi, Program Acara Suara Anda, Komunikasi Interaksional, Pembelajaran Berbicara
I. Pendahuluan Berbicara merupakan salah satu kegiatan berbahasa yang paling fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Selain dari kuantitas penggunaannya, bukti kefungsionalan kegiatan berbahasa ini juga terlihat dari efektiftivitas penggunaannya dalam berkomunikasi. Selain pesan lebih cepat sampai, melalui kegiatan berbicara seseorang dapat dengan mudah melakukan penyesuaian ide dan gagasan dengan keadaan. Melalui kegiatan ini pula, seseorang dapat menjadi lebih kritis dalam memandang suatu permasalahan. Sifat kritis tersebutlah yang kemudian akan menjadi modal seseorang lebih terampil dalam berbicara. Sebagai kegiatan berbahasa yang bersifat produktif, berbicara juga menjadi keterampilan yang sangat diperhitungkan orang. Seseorang yang terampil berbicara cenderung mendapat apresiasi lebih dari masyarakat. Bahkan, keterampilan
48
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
seseorang berbicara juga sering kali mengantarkan orang tersebut menuju kesuksesan. Berkenaan dengan paparan di atas, pembelajaran berbicara di sekolah sebagai salah satu pijakan dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa perlu mendapat perhatian ekstra. Apalagi, secara gamblang keterampilan berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006:110) dalam standar isi. Ini artinya, mau tidak mau setiap siswa dituntut untuk dapat menguasai keterampilan tersebut. Di beberapa sekolah, khususnya tingkat SMA, pembelajaran berbicara sering kali tidak berjalan optimal karena beberapa alasan. Pertama, banyak siswa yang sering kali merasa enggan berbicara karena tidak percaya diri. Mereka lebih senang menjadi pembelajar pasif dengan mendengarkan rekannya yang lain yang berbicara. Kedua, guru sulit melakukan pembelajaran yang merata karena alasan keterbatasan waktu. Waktu yang dialokasikan dinilai tidak dapat memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk dapat melakukan kegiatan berbicara, sehingga solusinya kegiatan berbicara secara aktif hanya dilakukan oleh perwakilan saja. Padahal, untuk memperoleh keterampilan berbicara, seseorang harus praktik langsung secara aktif, bukan hanya menjadi pembelajar pasif atau dengan diwakilkan. Untuk dapat mengoptimalkan pembelajaran berbicara, jalan yang harus ditempuh tentulah dengan cara mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul seperti yang telah diuraiakan di atas. Sesuai dengan permasalahan yang muncul, hal pertama yang harus dilakukan adalah merancang sedemikian rupa model pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi masalah tersebut. Rancangan model untuk diterapkan dalam pembelajaran memang telah banyak tersedia. Namun, sangat tidak menutup kemungkinan untuk merancang atau memodifikasi model yang telah tersedia dengan gaya-gaya baru yang inovatif. Rancangan pembelajaran tidak harus selalu berawal dari model-model pembelajaran yang telah ada dan baku. Rancangan bisa bersumber dari apa saja yang sekiranya tepat dan efektif digunakan untuk mengoptimalkan pembelajaran, misalnya adalah program acara televisi yang menarik dan cenderung disukai banyak orang. Salah satu progra acara yang bisa diadaptasi adalah program acara Suara Anda yang tayang di Metro TV. Program acara ini dapat diadaptasi menjadi sebuah gaya pembelajaran dengan mengombinasikannya dengan dasar model pembelajaran yang sejalan, yakni model pembelajaran pemrosesan informasi. Dasar yang digunakan untuk pembelajaran ini tentulah harus memperhatikan karakteristik keduanya, karakteristik dari keduanya salah satunya adalah jenis komunikasi yang digunakan, yakni komunikasi interaksional.
49
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
II. KAJIANTEORITIS
A. Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi, Program Acara Suara Anda, Komunikasi Interaksional, dan Pembelajaran Berbicara
Model pembelajaran pemrosesan informasi, program acara Suara Anda, komunikasi interaksional dan pembelajaran berbicara merupakan dasar dalam penelitian ini. Oleh karena itulah, untuk memperjelas dasar-dasar tersebut, berikut ini diuraikan mengenai teori keempat hal tersebut. 1.
Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi
Model pembelajaran pemrosesan informasi merupakan salah satu model pembelajaran yang berdasarkan pada teori belajar kognitif (Piaget) dan berorientasi pada kemampuan siswa memproses informasi yang dapat memperbaiki kemampuannya. Teori pemrosesan informasi ini dipelopori oleh Robert Gagne. Asumsinya adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan dan perkembangan itu sendiri merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah, sehingga menghasilkan output dalam bentuk hasil belajar (Rusman, 2010:137-139). Lebih lanjut menurutnya, dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal (keadaan individu, proses kognitif) dan kondisi-kondisi ekternal (rangsangan dari lingkungan) dan interaksi antar keduanya akan menghasilkan hasil belajar. Pembelajaran merupakan keluaran dari pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia (human capitalities) yang terdiri dari: (1) informasi verbal; (2) kecakapan intelektual; (3) strategi kognitif; (4) sikap; dan (5) kecakapan motorik. Di samping hal itu, Gagne dalam Trianto (2009:27) mengutarakan bahwa untuk terjadinya belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen kemampuan yang baru dan ditempatkannya bersama-sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Lebih lanjut, dia menekankan pentingnya kondisi internal dan kondisi eksternal dalam suatu pembelajaran, agar siswa memperoleh hasil belajar yang diharapkan. Dengan demikian, akan lebih baik jika memerhatikan dan menata pembelajaran yang memungkinkan mengaktifkan memori siswa yang sesuai agar informasi yang baru dapat dipahaminya. Kondisi eksternal bertujuan antara lain merangsang ingatan siswa, penginformasian tujuan pembelajaran, membimbing belajar materi yang baru, memberikan kesempatan kepada siswa menghubungkannya dengan informasi baru. Sementara itu, pemrosesan informasi dalam Schunk (2012:228) diistilahkan dengan pengolahan informasi. Hakikat antara keduanya adalah sama. Namun, lebih lanjut Shuell dalam Schunk (2012:228) menyebutkan bahwa teori-teori pengolahan informasi memfokuskan pada bagaimana orang memerhatikan peristiwa-peristiwa lingkungan, mengodekan informasi-informasi untuk dipelajari, dan
50
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
menghubungkannya dengan pengetahuan yang ada dalam memori, menyimpan pengetahuan yang baru dalam memori dan menariknya kembali ketika dibutuhkan. Pada dasarnya, model pembelajaran pemrosesan informasi ini memiliki empat prinsip dasar, yakni bahwa (1) manusia merupakan pemroses informasi; (2) pikiran merupakan sebuah sistem pengolahan informasi; (3) kognisi adalah serangkaian proses mental; dan (4) pembelajaran adalah penguasaan representasi-representasi mental (Schunk, 2912:228). Di samping hal itu, (Schunk, 2912:229) menyebutkan empat komponen utama model pemrosesan informasi adalah perhatian, persepsi, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang. Berkenaan dengan prinsip dan komponen tersebut, Gagne dalam Rusman (2010:139) dan dalam Dahar (2011:124-126) menguraikan delapan fase proses pembelajaran, yakni (1) fase motivasi, yang merupakan fase awal dalam memulai pembelajaran dengan adanya dorongan untuk melakukan suatu tindakan dalam mencapai tujuan tertentu; (2) fase pemahaman/pengenalan, yakni fase ketika individu menerima dan memahami informasi yang diperoleh dari pembelajaran; (3) fase pemerolehan, yakni terjadinya proses penyimpanan dalam memori; (4) fase penahanan/retensi, yakni menahan informasi/hasil belajar agar dapat digunakan untuk jangka panjang; (5) fase ingatan kembali/pemanggilan, yakni mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan, bila ada rangsangan; (6) fase generalisasi, yakni menggunakan hasil pembelajaran untuk keperluan tertentu; (7) fase perlakuan/penampilan, yakni perwujudan perubahan perilaku individu sebagai hasil pembelajaran; dan (8) fase umpan balik, yakni ketika individu memperoleh feedback dari perilaku yang telah dilakukannya, dalam fase ini guru memberikan reinforcement kepada siswa. Sanjaya (2006: 35-36) mengemukakan bahwa reinforcement merupakan segala bentuk respon yang diberikan guru kepada siswa sebagai dorongan atau koreksi. Menurutnya, tindakan ini dapat dilakukan dalam bentuk verbal maupun nonverbal seperti anggukan kepala, gelengan kepala, mengernyitkan dahi, mengangkat pundak, dan lain sebagainya. 2.
Program Acara Suara Anda
Program acara Suara Anda merupakan salah satu program acara berita yang tayang di Metro TV. Dalam broadcasting atau penyiaran dikenal dua jenis program berita, yakni hard news/berita keras yang merupakan laporan berita terkini yang harus segera disiarkan; dan soft news/berita lunak yang merupakan kombinasi dari fakta, gosip, dan opini (Saputro, 2012, online). Suara Anda sebagai salah satu program acara berita termasuk pada jenis soft news karena cenderung menampilkan fakta dan opini melalui komunikasi interaktif via telepon. Komunikasi interaktif yang berjalan dua arah inilah yang menjadi salah satu dasar yang dinilai efektif untuk pembelajaran. Selain hal di atas, karakteristik menarik dari Suara Anda adalah adanya delapan pilihan berita yang khusus disiapkan sebagai bahan komentar. Pilihan berita yang ditayangkan sangat dimungkinkan dipilih dengan memperhatikan dan menyesuaikannya dengan minat audience/target pemirsanya. Pernyataan ini
51
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
didasarkan pada uraian Ardianto, dkk. (2009:140) yakni salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyampaikan suatu pesan (berita) adalah dengan memperhatikan pemirsanya. Selain pemirsa, Ardianto (2009:140-142) menyebutkan beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan pesan melalui media televisi, agar pesan tersebut dapat diterima oleh khalayak sasaran, yakni waktu, durasi, dan metode penyajian. 3.
Komunikasi Interaksional
Banyak definisi untuk istilah komunikasi. Namun, dalam hal ini komunikasi dipandang sebagai sebuah proses dalam menyampaiakan sebuah pesan yang kemudian dapat berkembang menjadi sebuah interaksi. Komunikasi interaksional sebagai sebuah model komunikasi dikembangkan oleh Schramm (1954) yang menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator (Rohim, 2009:15). Maksud dari komunikasi dua arah, komunikasi berlangsung dari pengirim ke penerima dan dari penerima ke pengirim. Lebih lanjut, menurutnya proses melingkar dalam komunikasi interaksional menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Pandangan interaksional mengilustrasikan bahwa seseorang dapat menjadi pengirim maupun penerima dalam sebuah interaksi, tetapi tidak menjadi keduanya sekaligus. Rohim (2009:15) mengemukakan bahwa elemen penting dalam model ini adalah umpan balik (feedback) atau tanggapan terhadap suatu pesan. Umpan balik dapat berupa verbal maupun nonverbal sengaja maupun tidak sengaja. Dalam model interaksional, umpan balik terjadi setelah pesan diterima, tidak saat pesan sedang dikirim. Adapun elemen atau bagian lain yang terpenting dalam konsep komunikasi interaksional ditandai dengan adanya bidang pengalaman (field of experience) seseorang, budaya, atau keturunan yang dapat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi dengan yang lainnya. Lebih lanjut, Sanjaya (2012:85-87) menguraikan komponen-komponen dalam komunikasi interaksional adalah adanya (1) pengirim atau komunikator, yakni orang yang menginisiasi pengiriman pesan berupa informasi yang menjadi isi atau materi pembelajaran; (2) penyandian atau encoding, yakni proses yang dilakukan oleh komunikator untuk mengemas maksud atau pesan yang ada dalam benaknya menjadi simbol-simbol: suara, tulisan, gerakan tubuh dan bentuk lainnya untuk dikirimkan kepada komunikan; (3) saluran dan media, yakni di mana pesan dalam bentuk simbol-simbol tadi dilewatkan dari komunikator ke komunikan; (4) penyandian ulang atau decoding, yaitu proses yang dilakukan oleh komunikan untuk menginterpretasikan simbol-simbol yang diterimanya menjadi bermakna; (5) penerima pesan atau komunikan, yakni individu atau kelompok yang menjadi sasaran komunikasi; dan (6) umpan balik atau feedback, yakni informasi yang kembali dari komunikan ke komunikator sebagai respon terhadap pesan yang disampaikan komunikator.
52
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
4.
SEMANTIK
Pembelajaran Berbicara
Pembelajaran berbicara merupakan sebuah kegiatan belajar-mengajar berbicara. Berbicara itu sendiri menurut Nurgiyantoro (2009:275) pada umumnya merupakan aktivitas memberi dan menerima bahasa, menyampaikan gagasangagasan kepada lawan pembicara dan pada waktu hampir bersamaan menerima gagasan yang disampaikan lawan pembicara tersebut. Menyampaikan gagasan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah dalam bentuk mengungkapkan komentar/kritik terhadap suatu informasi. Dalam kegiatan berbicara, memberikan kritik merupakan kegiatan yang melibatkan ketiga aspek perkembangan seseorang, mulai dari aspek kognitif, aspek afektif, dan tentu saja aspek psikomotorik. Anderson & Krathwol (2010:127) mengategorikan kompetensi mengkritik ke dalam bagian mengevaluasi. Dari revisi taksonomi Bloom, mengavaluasi ini masuk pada jenjang kognitif 5 (C5). Menurutnya, mengkritik melibatkan proses penilaian suatu produk atau proses berdasarkan kriteria dan standar eksternal. Dalam mengkritik, siswa mencatat ciri-ciri positif dan negatif dari suatu produk dan membuat keputusan setidaknya sebaian berdasarkan ciri-ciri tersebut. Mengkritik merupakan inti dari apa yang disebut berpikir kritis. Dalam pembelajaran berbicara, diperlukan pemilihan bahan yang sesuai. Mudini & Salamat (2009:16) menjelaskan bahwa pemilihan bahan pembelajaran berbicara bergantung pada jenis keterampilan berbicara yang akan dikembangkan dalam diri siswa. Lebih lanjut, menurut mereka kriteria pemilihan bahan pembelajaran adalah (1) Sesuai dengan jenis keterampilan berbicara yang akan dilatihkan; (2) bervariasi sehingga siswa mendapatkan pengalaman elajar yang beragam; (3) dapat mengembangkan kosakata sehingga keterampilan berbicara tidak menjemukan; (4) memberikan contoh ketepatan ucapan, prononsiasi, dan intonasi sehingga siswa mampu berbicara secara jelas; (5) dapat mengembangkan wawasan yang lebih luas; (6) topik kegiatan berbicara harus aktual (tengah menjadi sorotan publik); (7) bahan diorganisasikan secara sistematis dengan mengikuti prinsipprinsip pembelajaran (dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dekat ke yang jauh, dari yang dikenal ke yang tidak dikenal, dari yang sederhana ke yang kompleks); (8) kegiatan pembelajaran berbicara dikemas secara menarik; (9) menggunakan metode dan teknik yang dapat menumbuhkan minat siswa belajar dan tertarik dengan pembelajaran bahasa; dan (10) memilih sumber dan media pembelajaran yang dapat menumbuhkan pikiran-pikiran kritis dan kreatif. Berkenaan dengan media, Mudini & Salamat (2009:16) menyatakan bahwa media pembelajaran harus meningkatkan motivasi belajar siswa. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada siswa. Selain itu, media juga harus merangsang siswa mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan siswa dalam memberikan tanggapan, umpan balik, dan juga mendorong siswa untuk melakukan praktik berbicara dengan benar.
53
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Selanjutnya, untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam pembelajaran berbicara, Mudini & Salamat (2009:19) menjelaskan bahwa ada dua jenis penilaian yang digunakan dalam pembelajaran berbicara, yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung untuk menilai sikap siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil dilakukan berdasarkan unjuk kerja siswa ketika menyajikan kompetensi berbicara yang dituntut kurikulum atau mempresentasikannya secara individual. Sementara itu, Arsjad & Mukti (1988, 31-32) mengemukakan rambu-rambu dalam berbicara. Menurut mereka, hal-hal yang harus diperhatikan oleh pembicara adalah; menguasai masalah yang dibicarakan; mulai berbicara kalau situasi sudah mengizinkan; memberikan pengarahan yang tepat; berbicara dengan jelas dan tidak terlalu cepat; pandangan mata dan gerak-gerik yang membantu; pembicara sopan, hormat, dan memperlihatkan rasa persaudaraan; dalam komunikasi dua arah, mulai berbicara kalau sudah dipersilakan; kenyaringan suara dapat didengar, tidak teralu lemah dan tidak terlalu keras; dan terakhir, pendengar akan terkesan kalau dapat menyaksikan pembicara, jadi usahakan berdiri atau duduk pada posisi dapat dilihat oleh pendengar. Secara umum, kriteria terampil berbicara dapat dirumuskan ke dalam empat aspek, yakni bahasa, isi, pengorganisasian isi, dan performansi. III.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan. Borg & Gall (Setyosari, 2010:194) menyatakan mendefinisikan metode ini sebagai suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Langkah-langkah penelitian atau proses pengembangan ini terdiri atas kajian tentang temuan penelitian produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan temuan-temuan tersebut, melakukan uji coba lapangan sesuai dengan latar di mana produk tersebut akan dipakai, serta melakukan revisi terhadap hasil uji lapangan. Dalam penelitian ini, kajian pertama dilakukan terhadap program acara Suara Anda, agar program tersebut dapat dikembangkan dan diadaptasi menjadi sebuah gaya pembelajaran, kemudian disinkronkan dengan teori-teori model pemrosesan informasi dan komunikasi interaksional dengan mempertimbangkan kebutuhan berdasarkan kajian empiris (analisis kebutuhan) dan landasan yuridis atas pembelajaran. Model keluaran tersebut kemudian divalidasi oleh pakar (judgment expert) dan diperbaiki sesuai saran pakar dan kemudian menjadi model hipotetik/model awal yang kemudian diujicobakan secara terbatas, direfleksi, direvisi, dan diujicobakan pada subjek yang lebih luas. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik studi dokumentasi, observasi, angket, wawancara, dan tes berbicara. Pengolahan data dilakukan dengan dua cara, yakni analisis kualitatif dan analisis kuantitatif, sesuai dengan karakteristik setiap data.
54
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
IV. Hasil Penelitian Kajian empiris sebagai dasar analisis kebutuhan menunjukkan bahwa pembelajaran berbicara perlu dioptimalkan, baik dari segi persiapan guru, kesempatan dan kebiasaan siswa, waktu, maupun dari bahan pembelajarannya. Hal ini dilakukan agar kemampuan siswa dalam berbicara dapat meningkat. Sementara itu, sebagai landasan yuridis, untuk mengokohkan pentingnya peran guru dalam pembelajaran, Permendikan Nomor 16 Tahun 2007 menyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi sebagai berikut: 1) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik; 2) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, kompetensi tersebut diuraikan lagi menjadi kompetensi khusus, yakni: a) menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta didik mencapai prestasi secara optimal; b) menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya; 3) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; serta 4) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian atas tiga episode tayangan program acara Suara Anda, ditemukan beberapa kriteria Suara Anda, yakni sebagai berikut. 1) Program acara memberikan pilihan berita sebagai sumber informasi/pengetahuan. 2) Pilihan berita ditayangkan sebagai bentuk motivasi dan pemberian kebebasan untuk dapat dipilih sesuai minat dan pengetahuan penonton. 3) Berita ditayangkan sebagai rangsangan awal dan jembatan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sebelumnya telah tertanam dalam memori penonton. 4) Komunikasi secara interaksi dilakukan sebagai bentuk rangsangan agar pembicara (penelepon) dapat dengan mudah memberikan tanggapan/kritikan. 5) Rangsangan yang diberikan pembawa acara bersifat penggalian pengetahuan yang tertanam dalam memori. 6) Kegiatan berbicara disesuaikan dengan alokasi waktu yang tersedia. 7) Penggunaan media penayangan menunjang minat menyimak dan mengumpulkan informasi. Seperti yang telah diuraikan dalam metodologi penelitian, dengan berdasar pada landasan baik empiris, maupun yuridis, pengembangan model dilakukan dengan mengadaptasi, mengombinasikan dan menyinkronkan karakteristik program acara Suara Anda dengan teori model pembelajaran pemrolehan informasi, dan komunikasi interaksional. Sesuai dengan teori model pembelajaran hasil ini kemudian dirumuskan dalam prinsip, syntaks, evaluasi, perencanaan, sistem sosial,
55
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
serta dampak instruksional dan dampak penyerta. Setelah divalidasi pakar dan diujicobakan, berikut ini model akhir hasil pengembangan. 1)
2)
3)
4)
Prinsip Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi Gaya Suara Anda Berbasis Komunikasi Interaksional Prinsip dari model ini adalah sebagai berikut. a) Pembelajaran merupakan sebuah pemrosesan informasi. b) Siswa merupakan pencari dan pemroses informasi yang aktif. c) Pembelajaran bermula dari pengetahuan awal siswa. d) Pilihan bahan pembelajaran merupakan hal penting dalam memotivasi dan menumbuhkan minat belajar siswa. e) Komunikasi dua arah merupakan bentuk komunikasi yang efektif dalam pembelajaran. Syntaks Syntaks atau langkah-langkah pembelajaran dengan model ini adalah sebagai berikut. a) Pemberian motivasi, menumbuhkan minat belajar siswa. b) Pemahaman/pengenalan, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal siswa. c) Pemerolehan, memasukkan informasi baru ke dalam memori siswa. d) Penahanan/retensi, menyimpan informasi baru ke dalam memori. e) Pemanggilan/ingatan kembali, mengeluarkan informasi yang telah disimpan. f) Generalisasi, mentransfer informasi dalam situasi baru. g) Perlakuan/penampilan, megubah tingkah laku sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran. h) Umpan balik, menerima tanggapan atas pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi Pada dasarnya, pembelajaran merupakan sebuah proses. Untuk itulah, evaluasi atau penilaian dilakukan bukan hanya terhadap hasil belajar, melainkan juga terhadap proses. Penilaian proses dilakukan dengan cara observasi dan menjaring tanggapan siswa. Sementara itu, penilaian hasil dilakukan dengan cara tes kemampuan dan membandingkan tes kemampuan awal dengan kemampuan akhir. Perencanaan Perencanaan pembelajaran dilakukan dengan terlebih dahulu merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, kemudian menyiapkan materi ajar yang dapat memfasilitasi tercapainya tujuan. Selain itu, perencanaan juga dilakukan dengan mempertimbangkan latar pembelajaran, baik itu kondisi, alat, dan bahan pembelajaran. Berikut ini penjabaran singkat perencanaan dalam penelitian yang dilakukan. a) Tujuan pembelajaran: siswa terampil dalam mengeluarkan tanggapan dan kritikan atas suatu informasi. b) Materi pembelajaran: tata cara memberikan kritik. c) Latar
56
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
5)
6)
SEMANTIK
(1) Kondisi : penjabaran model (2) Alat : komputer, infokus, pengeras suara/speaker (3) Bahan : sembilan buah tayangan berita/informasi yang aktual, faktual, menarik, sesuai perkembangan siswa, dan menimbulkan daya kritis; misalnya adalah masalah UN dan pemberlakuan kebijakan baru pemerintah (4 in 1 di Pasteur), serta kenaikan BBM. Sistem Sosial Model pembelajaran ini berbasiskan komunikasi interaksional, sehingga ada keterkaitan atau interaksi langsung antara guru dengan siswa. Inilah yang membuat terjalinnya sistem sosial yang baik antara guru dengan siswa. Sistem sosial antara siswa dengan siswa memang tidaklah seintim guru dengan siswa, namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi sistem sosial yang baik antara siswa dengan siswa manakala siswa sebagai pembicara mengaitkan pembicaraannya dengan pembicaraan siswa sebelumnya. Dampak Instruksional dan Dampak Penyerta Dampak instruksional yang diharapkan muncul melalui model ini adalah sebagai berikut. a) Membuat siswa terampil berbicara, khususnya dalam konteks menanggapi/memberikan kritik. b) Melakukan pengolahan pengetahuan dan informasi yang tersimpan dalam memori, baik memori jangka pendek, maupun memori jangka panjang. c) Membuat siswa terampil dalam merespon rangsangan-rangsangan, baik berupa pertanyaan, maupun pernyataan. Sementara itu, dampak penyerta yang diharapkan adalah sebagai berikut. a) Menimbulkan semangat berbicara khususnya dalam meberikan kritik atas suatu informasi. b) Memberikan bantuan kepada siswa agar siswa mudah melakukan proses berbicara. c) Mendorong siswa untuk terus melatih keterampilan berbicara.
Dari penjabaran di atas, jika digambarkan dalam sebuah gambar, berikut ini kerangka operasional dari model pembelajaran pemrosesan informasi gaya Suara Anda berbasis komunikasi interaksional dalam pembelajaran berbicara.
57
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Gambar 1 Kerangka Operasinal Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi Gaya Suara Anda Berbasis Komunikasi Interaksional dalam Pembelajaran Berbicara
Uji coba model tersebut dilakukan di kelas X tingkat SMA. Hasil uji coba menunjukkan bahwa penerapan model tersebut mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dari penilaian hasil, rata-rata nilai kemampuan berbicara siswa mengalami pengingkatan, yakni kemampuan awal 65,5 kemampuan akhir menjadi 84,2. Jika divisualisasikan ke dalam bentuk gambar, maka perbandingan siswa berdasarkan kategori adalah sebagai berikut.
58
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Jumlah Siswa
Perbandingan Kemampuan Awal dan Kemampuan Akhir Siswa dalam Berbicara 25 20 15 10 5 0
Sangat baik Baik Cukup Kemampuan awal
Kemampuan akhir
Kurang
Kemampuan Berbicara Siswa
Dari hasil analisis profil kemampuan akhir siswa dalam berbicara, diperoleh simpulan bahwa pada umumnya siswa telah mampu meningkatkan kemampuannya dalam berbagai aspek. Dari segi bahasa, siswa telah mampu menggunakan kosakata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, dari penggunaan kalimat, siswa telah mampu menggunakan kalimat yang sistematis. Mengenai aspek bahasa lainnya juga, siswa cenderung memperhatikan intonasi ketika berbicara. Begitu pula dari segi pengorganisasian isi, kecenderungan siswa telah berbicara dengan sistematis dan memperhatikan urutan-urutan dalam memberikan kritik. Dari aspek performansi, siswa telah terlihat lebih baik dibandingkan dengan pada saat tes kemampuan awal. Siswa lebih percaya diri dengan tatapan mata yang tegas, ekspresi yang mendukung, dan gerak yang wajar. Sementara itu, dari penilaian proses yang dilakukan dengan observasi oleh observer, diperoleh hasil bahwa observasi terhadap guru dan siswa menunjukkan respon baik, yakni 61,4% sangat baik dan 38,6% penilaian baik untuk guru dari observer 1; dan 92,3% sangat baik dan 7,7% penilaian baik untuk guru dari observer 2. Sementara itu, 66,7% penilaian sangat baik dan 33,3% penilaian baik untuk siswa dari observer 1 dan 85,7% sangat baik dan 14,3% baik untuk siswa dari observer 2. Berdasarkan tanggapan siswa yang terjaring melalui angket, dari 15 pertanyaan positif terhadap model yang diusung, diperoleh 40% jawaban sangat setuju, 45% jawaban setuju, 14% biasa, dan 1% tidak setuju. Hal ini menunjukkan bahwa siswa memiliki respon positif atas model pembelajaran pemrosesan informasi gaya Suara Anda berbasis komunikasi interaksional dalam pembelajaran berbicara. V. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, profil program acara Suara Anda menampilkan karakteristik yang lebih banyak memiliki kelebihan untuk dapat diadaptasi menjadi sebuah gaya pembelajaran. Kelebihan-kelebihan tersebut berkenaan dengan pilihan
59
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
berita sebagai bahan ajar yang dapat membangkitkan minat belajar siswa serta memberikan informasi yang luas; komunikasi dua arah yang dinilai lebih efektif dibandingkan hanya satu arah; serta pengalokasian waktu yang lebih efektif. Kedua, hasil kajian program acara Suara Anda diadaptasi dan disinkronisasikan dengan teori pemrosesan informasi dan komunikasi interaksional menghadirkan satu model pembelajaran yang efektif. Model ini diwujudkan ke dalam enam bagian model, mulai dari prinsip, syntaks, evaluasi, perencanaan, sistem sosial, serta dampak instruksional dan dampak penyerta. Model selanjutnya dijabarkan dalam skenario perencanaan dengan mengikuti syntaks yang telah ditetapkan sesuai dengan syntaks pemrosesan informasi, mulai dari pemberian motivasi, pemahaman, pemerolehan, penahanan/retensi, mengingat kembali, generalisasi, perlakuan, dan umpan balik. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk melaksanakan pembelajaran yang optimal diperlukan perencanaan yang matang akan model yang digunakan. Model yang digunakan tidak harus selalu bergantung pada model pembelajaran yang telah paten. Artinya, guru dituntut kreatif dan inovatif dalam menciptakan perencanaan dengan menciptakan atau mengadaptasi program acara-program acara televisi atau yang lainnya seperti Suara Anda dan menyinkronkannya dengan model yang ada. Ketiga, penilaian hasil menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan antara kemampuan awal siswa dan kemampuan akhir siswa setelah menggunakan model yang diusung, yakni rata-rata nilai dari 65,5 menjadi 84,2, dengan persentasi kemampuan awal diketahui 10% masuk ke dalam kategori baik, 77% cukup, dan 13% kurang; dan persentasi akhir 46% siswa masuk ke dalam kategori sangat baik, 47% baik, dan 7% cukup. Berdasarkan perhitungan statistika, perhitungan uji t yang menunjukkan thitung > ttabel yakni 9,43 > 2,002. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran pemrosesan informasi gaya Suara Anda berbasis komunikasi interaksional efektif digunakan dalam pembelajaran berbicara. Di samping itu, penilaian proses berdasarkan observasi dan tanggapan siswa juga menunjukkan hasil yang mendukung efektivitas penggunaan model. Daftar Pustaka Anderson, L.W. & Krathwol, D.R. 2010. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dalam Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ardianto, E., dkk. 2009. Komunikasi Massa. Bandung: Refika Offset. Arsjad, M.G. & Mukti U.S. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. BSNP. 2006. Standar Isi. Jakarta: BSNP. Dahar, R.W. 2011. Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Mudini & Salamat P. 2009. Pembelajaran Berbicara. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Bahasa. Nurgiyantoro, B. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Edisi Ketiga). Yogyakarta: BPFE.
60
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru. Rohim, S. 2009. Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, & Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Rusman. 2010. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Schunk, D. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. (diterjemahkan oleh Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setyosari, P. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
61
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
62
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
DRAMA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN NONFORMAL (Sebuah Workshop Menulis Naskah dan Pentas Drama) Oleh : Gusjur Mahesa
I. Pendahuluan Di akhir abad XX kerusakan lingkungan mulai menunjukan akibatnya. Sekarang kerusakan lingkungan makin parah dan tidak hanya lokal akibat pengaruhnya tetapi berakibat global. Globalisasi efek dari kerusakan lingkungan makin nyata. Contoh globalisasi ini adalah peningkatan suhu udara bumi yaitu yang terkenal dengan nama pemanasan global (global warming). Gerald Foley mengatakan : Pemanasaan Global bukanlah sebuah teori ilmiah yang samar-samar. Jika benar-benar sedang terjadi pada skala yang cukup berarti, maka pemanasan global mempunyai implikasi praktis yang penting bagi seluruh umat manusia dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke depan. (1993 : 1). Pemanasan global ini mengakibatkan perubahan iklim yang tak menentu. Tulisan Lester R. Brown dalam buku Dunia penuh ancaman 1987 yang disunting Lester R. Brown dkk, menyatakan : Ada berbagai macam interaksi antara perekonomian dunia dengan daya dukung sistem alam, siklus dan sunber daya di bumi, hujan asam mempengaruhi prokstivitas hutan sehingga bisa memperbesar biaya industri hasil hutan. Pertumbuhan penduduk akan mempersempit kawasan hutan sehingga bisa mengurangi curah hujan. Pembakaran bahan bakar fosil meningkatkan pengotoran lapisan atmosfir dengan karbon dioksid, yang lalu mengubah iklim dan pada akhirnya dunia pertanian (1987 : 7). Pemanasan global ini mulai dipicu sebetulnya oleh pembakaran bahan bakar fosil yaitu minyak bumi sejak diciptakanya mobil. Zaman minyak tampil secara perlahan, hampir tidak terasa, pada tahun 1890-an, setelah “oto-mobil” primitif pertama berkiprah di jalan raya. (Christopher Flavin dan Nicholas Lessen. 1995 : 21) Pembakaran bakar fosil makin hari makin naik, makin bertambah tahun makin meluas pemakaiannya. Inilah kontribusi utama manusia yaitu menambah jumlah karbon dioksida dalam atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil yaitu yaitu batu bara, minyak bumi, dan gas alam tersebut menambah makin banyak karbon diksida ke atmosfir. Karbon dioksida adalah salah satu zat yang menambah pemanasan global. Pemanasan global sudah mulai terasa mengancam bumi. Kirkpatrick Sale mempunyai data-data dalam bukunya berjudul Revolusi Hijau. (1996 : 91) Pada musim panas 1988 di Amerika serikat terjadi kekeringan hebat dan lama. Terjadi gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan suhu 100 derajat lebih di beberapa Negara bagian. Angin topan dengan kekuatan dahsyat menimpa kawasan Karibia. Banjir bandang menimpa Bangladesh jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Dan kekeringan melanda cina dan Uni Soviet. Begitulah perubahan
63
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
iklim yang mulai terasa di belahan bumi ini. Tak terkecuali, Indonesia juga terkena dampaknya. Perubahan iklim beserta dampak-dampak yang kini telah dirasakan oleh Indonesia adalah salah satunya banjir rob. Banjir rob ini tiap tahun sudah menjadi agenda berita utama media masa, kasus yang paling mencolok adalah banjir rob di tanjung priok Jakarta Utara. Banjir rob ini merupakan masalah yang kini dapat menyebabkan bencana bagi pesisir sehingga dibutuhkan antisipasi untuk menghadapinya. Dampak yang terasa sekarang dari rob, yaitu banjir akibat pasang air laut yang berlebihan sehingga naik ke darat menggenangi pemukiman di daerah pesisir. Pesisir merupakan ekosistem pantai. Menurut Undang-undang Lingkungan Hidup (UULH 1982) ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.(dalam Zoer’ani Djamal Irwan, 1997 : 27) Jelas ekosistem pantai yaitu pesisir dengan adanya banjir rob jadi terganggu. Saat banjir rob ini semakin berbahaya karena sampah-sampah berserakan di mana-mana dan tentu saja penyakit bakal menimpa masyarakat akibat sampah tak terurus ini. Sampah ini karena perilaku masyarakat sendiri yaitu membuang sampah seenaknya. Maka dari itu masyarakat pesisir membutuhkan pendidikan tentang pesan penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob. Terutama pesisir-pesisir yang penduduknya masih terbilang terbelakang dari informasi-informasi. II. Kajian Teori a. Pendidikan Nonformal Dalam rangka mendidik masyarakat pesisir untuk memberi pengetahuan tentang banjir rob, kebersihan lingkungan dan perubahan iklim maka dibutuhkan pendidikan. Lalu pendidikan macam apa yang dibutuhkan masyarakat pesisir? Dan pendidikan yang bagaimana yang dibutuhkan masyarakat pesisir? Apa itu pendidikan? Pendidikan adalah proses pemartabatan manusia menuju puncak optimal potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimilikinya (Sudarwan Danim. 2010 : 2). Setiap manusia mempunyai kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Termasuk juga penduduk pesisir juga memiliki kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Kemampuan inilah yang diasah melalui proses menuju kualitas kemanusiaan agar mencapai puncak kemampuan yang dimiliki penduduk pesisir. Selanjutnya Sudarwan Danim mengatakan : Pendidikan adalah proses membimbing, melatih, dan memandu manusia terhindar atau keluar dari kebodohan dan pembodohan. Manusia setelah mengikuti proses pendidikan diharapkan bisa keluar dari kebodohan. Penduduk pesisir setelah mengalami pendidikan bisa keluar dari kebodohan apa saja, kebodohan akan ilmu pengetahuan, kebodohan akan lingkungan hidup, kebodohan akan kebersihan, kebodohan akan moral dan nilai-nilai agama dan lain-lainnya. Hal ini sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), disebutkan bahwa, Pendidikan adalah usaha sadardan terencana untuk mewujudkan
64
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
suasaana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan yang dilaksanakan tanpa mempunyai tujuan akan berakhir dengan sia-sia belaka. Maka dari itu pendidikan harus memiliki tujuannya. Tujuan pendidikan secara akademik adalah sebagai berikut : 1. Mengoptimasi potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang dimiliki oleh siswa. 2. Mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk menghindari sebisa mungkin anak-anak tercabut dari akar budaya dan kehidupan berbangsa dan bernegara. 3. Mengembangkan daya adaptasi siswa untuk menghadapi situasi masa depan yang terus berubah, baik intensitas maupun persyaratan yang diperlukan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Meningkatkan dan mengembangkan tanggung jawab moral siswa, berupa kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dengan spirit atau kenyakinan untuk memilih dan menegakkannya. 5. Mendorong dan membantu siswa mengembangkan sikap bertanggung jawab terhadap kehidupan pribadi dan sosialnya, serta memberi kontribusi dalam aneka bentuk secara seluasnya kepada masyarakat. 6. Mendorong dan membantu siswa memahami hubungan yang seimbang antara hukum dan kebebasan pribadi dan sosial. 7. Mendorong dan mengembangkan rasa harga diri, kemandirian hidup, kejujuran dalam bekerja, dan integritas. 8. Mendorong dan mengembangkan kemampuan siswa untuk melanjutkan studi, termasuk merangsang minat gemar belajar demi pengembangan pribadi. 9. Mendorong dan mengembangkan dimensi fisik, mental, dan disiplin bagi siswa untuk menghadapi dinamika kerja yang serba menuntut persyaratan fisik dan ketepatan waktu. 10.Mengembangkan proses berfikir secara teratur pada diri siswa. 11.Mengembangkan kapasitas diri sebagai makhluk tuhan yang akan menjadi pengemban amanah di muka bumi ini. (Sudarwan Danim. 2010 : 41-42) Pendidikan menurut Coombs (1973) dalam buku Pendidikan NonFormal, Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori Pendukung Asas karangan Sudjana (2010), dibagi menjadi tiga jenis yaitu : 1. Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi dan latihan profesional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. 2. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang
65
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media masa 3. Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan pada masyarakat pesisir bisa dilakukan melalui ketiga jenis tersebut diatas. Pendidikan formal bisa melalui sekolah-sekolah. Pendidikan informal dan pendidikan nonformal bisa dilakukan berbagai cara, salah satunya melalui seni yaitu seni drama. Kegiatan pendidikan pada masyarakat lewat seni drama ini merupakan salah satu cara mengenalkan kepada masyarakat pesisir setempat, untuk menyampaikan pesan penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob. b. Drama Sebagai Pendidikan Nonformal Dan Informal Definisi drama secara umum sebuah cerita dengan menggunakan dialogdialog yang akan dipertontonkan atau telah dipertontonkan oleh pemain (aktor). Tetapi beberapa pakar mendefinisikan drama berbeda-beda. Menurut Tjokroatmojo dkk, drama adalah suatu cerita/kisah kehidupan manusia yang disusun untuk dipertunjukan oleh para pelaku dengan perbuatan di atas pentas dan ditonton oleh publik (penonton) (1985:13). Lain lagi menurut Hasanuddin, drama merupakan suatu genre sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai suatu seni pertunjukan (1996:7). Sedangkan Harymawan mengartikan drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (1986: 2). Dari definisi tersebut bisa diambil kata kunci dipertontonkan atau disampaikan kepada penonton. Dari kata kunci inilah sesuatu pesan bisa disampaikan pada penonton. Nah pesannya adalah tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta banjir rob. Dengan demikian drama adalah satu bentuk seni pertunjukan yang berperan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan perubahan iklim yang sedang terjadi secara global. Ada pun drama merupakan cara penyampaian masalah yang bersifat tidak langsung sehingga tidak menyingggung masyarakat yang dikritik. Oleh karena itu, pengembangan dan pendidikan berbasis karakter sangat penting untuk meningkatkan pendidikan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta banjir rob. Dibutuhkan suatu aktivitas yang dapat mendorong kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta banjir rob dengan tujuan mengantisipasi dan meminimalisasi dampak buruk
66
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
lingkungan kotor dan perubahan iklim yang tidak terduga serta dampak banjir rob. Salah satu indikator untuk mensosialisasikan pentingnya pesan penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob adalah dengan melakukan kampanye yang berkelanjutan. Drama cocok untuk hal ini. Oleh karena itu dalam rangka mendidik masyarakat pesisir tentang pesan penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob, Teater Tarian Mahesa (TTM) yang dikomandani Drs. Agus Priyanto.(lihat lampiran 1) bekerjasama dengan Direktorat Pesisir dan Lautan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, (Ditjen KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan mengadakan workshop menulis naskah dan pentas drama. Selanjutnya nama workshop menulis naskah dan pentas drama adalah Residensi, Workshop dan Pementasan Teater. Kesepakatan tercapai pihak Direktorat Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K yang punya kepentingan menyampaikan program kampanye pesan penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob, sebagai penyandang dana dan TTM sebagai pelaksana tutorialnya. Dan peserta didik (siswa) adalah masyarakat pesisir yaitu masyarakat Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Masyarakat Tanjung Pasir diwakili oleh kelompok Karang Taruna Putra Samudra. (Lihat lampiran 2) Jadi disini drama dijadikan media pendidikan untuk kampanye penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob. Dengan demikian drama menjadi media pendidikan nonformal. Desa Tanjung Pasir merupakan pilot project atau diujicobakan untuk pertama kali bahwa drama sebagai program pendidikan nonformal oleh Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Karang Taruna Putra Samudra desa Tanjung Pasir ini nantinya diharapkan dengan sendirinya menjadi media pendidikan nonformal. Anggota karang taruna ini diharapkan bisa menjadi tutor secara tidak resmi bagi keluarga, tetangga, dan temanteman dekatnya kelak. Sebab mereka memang penduduk desa Tanjung Pasir dan bisa jadi seumur hidup mereka menjadi juru kampanye penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob. Pendidikan nonformal punya kelebihan dan kekurangan dibanding dengan pendidikan formal. Menurut HD Sudjana S kelebihan pendidikan Nonformal adalah: 1. Pendanaan lebih murah 2. Program lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat 3. Program lebih fleksibel. Fleksibel ini ditandai oleh : 3.1. Program menjadi tanggung jawab berbagai macam pihak, baik pemerintah, perorangan, maupun swasta. 3.2. Pengendalian dan pengawasan dilakukan secara sederhana mungkin. 3.3. Otonomi dilaksanakan pada pelaksanaan program 3.4. Perubahan atau pengembangan program disesuaikan dengan perubahan kebutuhan peserta didik.
67
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Sedangkan kekurangan pendidikan nonformal dibandingkan dengan pendidikan formal adalah sebagai berikut : 1. Kurangnya koordinasi 2. Tenaga pendidik (tutor) atau sumber belajar professional masih kurang 3. Motivasi belajar peserta didik relatif rendah. Kelebihan dan kekurangan pendidikan nonformal menurut teori kami coba untuk mensinergikan sehingga bukan menjadi kendala dalam proses workshop menulis naskah dan pentas drama. Drama sebagai media pendidikan nonformal bukanlah barang baru. Yayasan Kelola bekerjasama dengan Teater of Embassy juga mengadakan pendidikan nonformal. Mereka memberi nama pendidikan nonformal melalui drama ini dengan sebutan Teater for Development and Education (TDE). Rujukan-rujakan yang mereka gunakan adalah dua buku, yaitu Theatre for Development An Introduction To Context, Applications And Training karangan Kees Epskamp dan Theatre of The Oppressed karangan Augusto Boal. Kebetulan penulis menjadi tutor dalam workshop TDE di Jambi tahun 2011 yang diadakan oleh Yayasan Kelola bekerjasama dengan Teater of Embassy. Tema-tema yang pernah diselenggarakan adalah mengenai persoalan TKI/TKW Indonesia, kekerasan rumah tangga dan kehidupan PRT (Pembantu Rumah Tangga), Orang-orang pinggiran seperti pelacur, lesbian dan homo, dan lain-lain. Augusto Boal inilah yang menjadi pelopor dalam dunia teater pendidikan nonformal. Agusto Boal mengembangkan konsep Brecht yang menolak kreatifitas yang hanya mengejar empati penonton melalui naskah, dialog, peran aktor. Boal membagi dua macam teater kaum tertindas, yaitu: pertama teater yang dilakukan oleh aktor profesional dan kedua teater yang dipraktekan oleh masyarakat di akar rumput. Bentuk teater ini menyatukan pemain dengan penonton. Konsep ini bisa disebut dengan konsep teater demokratik, dimana gagasannya ditawarkan kepada penonton. c. Metode Dan Proses Workshop Drama sebagai media pendidikan nonformal mengambil studi kasus Residensi, Workshop dan Pementasan Teater TTM di desa Tanjung Pasir, Kec Teluk Naga, kab Tangerang, provinsi Banten. Drama pendidikan nonformal semacam ini dikenal juga dengan sebutan TDE atau Theater for Development and Education (TDE). TDE adalah program penyadaran masyarakat berbasis pengembangan dan pendidikan karakter dengan metode teater sebagai media pembelajaran. Dalam pelaksanaan program TDE di Desa Tanjung Pasir, TTM dengan dukungan Direktorat Pesisir dan Laut Ditjen KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan mengusung misi menyampaikan pesan penyadaran masyarakat akan Kebersihan Lingkungan dan Sosialisasi Perubahan Iklim serta bencana banjir rob melalui Residensi, Workshop dan Pementasan Teater.
68
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Program ini diikuti oleh anggota Karang Taruna Putra Samudra dan masyarakat Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Anggota Karang Taruna Putra Samudra terlibat aktif dalam workshop dan pementasan teater sebagai aktor/aktris, pemusik, koor. Waktu pelaksanaan dimulai dari tanggal 26 September 2011 hingga 25 Oktober 2011, atau satu bulan penuh. Jangka waktu satu bulan untuk workshop memang sangat sesuai, akan tetapi untuk menyiapkan sebuah pentas idealnya dibutuhkan waktu dua sampai tiga bulan. Namun, hal ini disesuaikan dengan estimasi anggaran dan arahan pilot project dari Direktur Pesisir dan Laut Ditjen KP3K Kementrian Kelautan dan Perikanan RI. Tempat pelaksanaan TDE adalah Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Pelaksana program TDE adalah Teater Tarian Mahesa (TTM). Workshop dan residensi teater pemberdayaan atau Theater for Development and Education (TDE) di Desa Tanjung Pasir, Tangerang, berpijak dari motto TTM bermuda (bermula dari yang ada). Semua bidang, baik naskah, setting panggung, musik, tari, kostum, penyutradaraan menggunakan metode workshop bermuda. Kami datang hanya membawa konsep dan bahan-bahan dari Direktorat Pesisir Dan Lautan Ditjen KP3K berupa dua buku yaitu hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami karangan Subandono Diposaptono dan Sebuah kumpulan pemikiran mengantisipasi Bencana karangan Subandono Diposaptono, sedangkan bahan-bahan cerita kami eksplorasi di lokasi workshop. Selama satu bulan atau 4 minggu kami rinci menjadi 4 tahap proses workshop. Minggu pertama, kami gunakan untuk perkenalan dan penelitian berupa observasi, mencari data-data untuk target utama membuat naskah dengan alur global. Minggu kedua, melanjutkan penelitian, naskah alur global telah menjadi naskah dialog, casting pemain, konsep setting panggung sudah terbentuk, proses latihan teater dimulai, yaitu blocking, eksplorasi musik, tari, hingga kostum. Minggu ketiga, melanjutkan eksplorasi hingga menuju pemantapan naskah agar sesuai dengan kebutuhan pementasan. Minggu keempat, pertunjukan sudah jadi, tinggal runstrue adegan dari awal hingga akhir. Pertunjukan, gladi kotor, gladi resik dan pentas di hari H. d. Observasi Seni adalah jiwa dari masyarakat. Bentuk kongkrit dari jiwa masyarakat adalah kebudayaan. Maka dari itu seni yang baik adalah sebuah puncak dari kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat sebuah kebudayaan pasti mempunyai tujuh unsur kebudayaan. Ketujuh unsur kebudayaan itu adalah 1) Sistem kepercayaan (religi), 2) Sistem pengetahuan. 3) Perlengkapan hidup manusia, 4) Sistem ekonomi (Mata pencaharian), 5) Sistem kemasyarakatan, 6) Bahasa, 7) Kesenian. (Koentjaraningrat: 1990:203). Kami mengobservasi ke tujuh unsur kebudayaan tersebut. Dari seluruh hasil observasi kemudian dapat dianalisis untuk penulisan naskah, untuk kebutuhankebutuhan workshop dan untuk kebutuhan artistik pementasan teater. Berikut ini hasil obervasi tentang ketujuh unsur kebudayaan yang ada di Tanjung Pasir.
69
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
1) Sistem Kepercayaan. Agama Islam merupakan agama mayoritas penduduk Tanjung Pasir, kirakira hanya 350 orang yang merupakan non-Islam, terdiri dari agama Kristen dan konghucu. Di tengah kampung ada sebuah lapang pasir terdapat 4 makam cina berbentuk bulatan besar kira-kira diameternya 5 meter. Walau menganut agama resmi, warga terutama nelayan mempercayai adanya penunggu laut Tanjung Pasir (*laut jawa) yaitu Nyi Mas Melati. Makam Nyi Mas Melati dipercaya ada di Pulau Rambut dan di Pulau Untung Jawa. Di pulau Untung Jawa ada punden berupa pohon beringin besar dan sebuah makam Islam bertuliskan Nyi Mas Melati binti Surya Menggala di kelilingi pagar tembok persegi empat. Sedang di Pulau Rambut Ada makam yang dipercaya sebenarnya Makam Nyi Mas Melati berbentuk dua pohon cemara laut kecil setinggi kira-kira 4 meter. Kedua batang bawahnya dibungkus kain batik lalu dibungkus lagi kain putih dan dikelilingi pagar bambu persegi empat. Kondisi makam ini kelihatan terawat dan disapu setiap hari, berbeda dengan diluar pagar kelihatan semak belukar. Makam di pulau rambut inilah yang dijadikan tujuan buat berdoa oleh nelayan dalam acara syukuran laut (nadran). 2) Sistem Pengetahuan Faktor alam sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, begitu juga dengan nelayan di Desa Tanjung Pasir. Mereka sangat memerhatikan tandatanda alam dalam proses penangkapan ikan di laut. Misalnya, mereka dapat mengetahui di mana letak strategis di laut untuk menangkap ikan dengan memerhatikan adanya riak-riak air di permukaan laut atau melihat burung camar yang beterbangan di atas permukaan laut. Selain itu, pada waktu-waktu tertentu perolehan ikan ditentukan oleh angin laut. Nelayan Tanjung Pasir menggolongkan dengan dua musim, yaitu Musim Barat (November-April) di mana jumlah ikan lebih sedikit diakibatkan gelombang laut kencang; dan Musim Timur (Mei-Oktober) di mana jumlah ikan meningkat karena gelombang laut cenderung stabil. Di tengah-tengah Musim Barat dan Musim Timur ada yang mereka sebut Musim Utara. Musim Utara adalah musim yang tidak disukai nelayan, karena ombak besar kerap kali merusak perahu nelayan. Oleh karena itu, mereka tidak melaut pada Musim Utara. Posisi bulan juga menentukan harga jual ikan di pasaran, di mana ketika posisi bulan jauh dari jangkauan mata, maka harga ikan cenderung naik. Maka dari itu, perubahan iklim yang cukup ekstrem dan terjadi secara global tentu sangat berpengaruh terhadap pendapatan para nelayan Desa Tanjung Pasir. Masyarakat Tanjung pasir juga mengetahui karakter mendung yang ada di langit desanya. Kalau mendung tebal berada diatas desa dan berada di selatan desanya biasanya mendung itu tidak jadi hujan. Tetapi kalau mendung tebal berada di utara desa yaitu di lepas pantai, maka bisa dipastikan mendung itu bakal jadi hujan yang mengguyur desanya. Di samping faktor alam, rupanya nelayan di Desa Tanjung Pasir mulai terganggu oleh permasalahan baru. Mereka kini
70
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
dihadapkan dengan permasalahan sampah, baik limbah pabrik maupun limbah rumah tangga yang hanyut ke laut. 3) Perlengkapan Hidup Perlengkapan hidup masyarakat nelayan Tanjung Pasir adalah sama seperti masyarakat pada umumnya. Tetapi yang terkhusus sebagai masyarakat nelayan adalah perlengkapan hidup sebagai berikut. a) Tempat Pelelangan Ikan (TPI). TPI merupakan pusat dari semua kegiatan masyarakat Tanjung Pasir, ekonomi dengan pelelangn ikannya. Selain itu halaman TPI juga pusat budaya sebab hiburan seperti lenong, pongdut, nadran (hajat laut) diadakan di sana. Halamannya cukup luas dan strategis. Banyak yang berkunjung ke tempat ini untuk membeli tangkapan nelayan. Berlibur atau sekedar bermain. Acara seperti bazaar dan pasar malam yang dilakukan setiap malam sabtu setiap minggunya diadakan di halaman TPI. Maka dari itu halaman TPI ini kita tetapkan sebagai panggung pementasan drama. b) Bambu. Bambu di tanjung pasir sangat berharga bagi masyarakat nelayan dibandingkan kayu, bambu ini dijadikan untuk membuat bagang atau juga serokan. Penggunaan bambu sebagai media artistik juga berangkat dari pengamatan terhadap penggunaan bambu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tanjung Pasir.
Foto : Bagang nelayan sero Tanjung Pasir c) Bale. Bale adalah tempat duduk yang terbuat dari bambu tersedia banyak di Desa Tanjung Pasir. Di setiap rumah (baik rumah orang kaya maupun miskin) memiliki bale. Bale juga ada di warung. Bale berfungsi sebagai tempat untuk mengobrol, berkumpul atau beristrahat. Bale ini menjadi sarana orang bersosialisasi dengan tetangga, atau orang-orang yang mampir saja. Maka dari itu bale digunakan jadi properti di panggung
Foto : Bale yang ada di senuah warung
71
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
d)Umbul-umbul dan Bendera-bendera Umbul-umbul dan bendera dalam perahu dengan warna yang beragam sangat penting bagi nelayan, umbul-umbul dijadikan tanda dalam mencari ikan, sekaligus untuk membedakan perahu dari kelompok nelayan yang lain. Maka dari itu umbul-umbul itu dihadirkan pula di pengadegan, sebagai properti perahu layaknya perahu sesungguhnya.
Foto : Umbul-umbul dan bendera-bendera di atas perahu nelayan Tanjung Pasir e) Kursi Juru LelangPelelangan tempat transaksi jual beli antara nelayan dan para pelele (pembeli dalam pelelangan) di Tanjung Pasir. Pelelangan dipimpin oleh orang yang bernama juru lelang. Juru lelang ini mempunyai kursi yang tinggi sebab dia harus bisa memamtau setiap tawaran dari para pelele. Maka dari itu kursi juru lelalang dijadikan properti pada adegan pelelangan dalam pertuinjukan teater.
Foto : Juru Lelang duduk di singgasana Kursi Juru lelang di TPI Tanjung Pasir. f) Musik Daur Ulang Sampah Sampah tidak selamanya tidak berguna, oleh tangan-tangan kreatif sampah bisa menjadi berharga, mempunyai nilai seni dan nilai materi yang cukup menjanjikan, seperti di Tanjung Pasir ada kelompok yang mendaur ulang sampah menjadi hiasan dinding, gantungan kunci, bingkai foto dan lain-lain. TTM ikut berkarya melalui pemanfaatan sampah untuk musik, menggunakan rongsokan seperti galon, tutup panci, jerigen, katel, dan yang lainnya. Diharapkan ini sebagai cikal bakal untuk di tanjung pasir ada kelompok musik yang memanfaatkan sampah.
72
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Foto : Alat musik daur ulang sampah. 4) Sistem ekonomi atau Mata pencaharian Mayoritas penduduk Desa Tanjung Pasir di pesisir utara Kabupaten Tangerang berprofesi sebagai nelayan. Di Desa Tanjung Pasir terdapat beberapa jenis nelayan, di antaranya: nelayan pancing; nelayan jaring, nelayan rawe, nelayan serok, nelayan sudu, nelayan bubu, nelayan bagang, dan nelayan jala. Berikut beberapa jenis nelayan yang ada di Tanjung Pasir. Nelayan Sero. Nampak di kejauhan bepuluh bambu menembus permukaan menancap ke dasar laut. Sero, sebuah area yang terbuat dari bambu dan jaring yang dibentuk menyudut. Jaring-jaring yang dikaitkan pada bambu membentang sepanjang hampir 400-500 meter di bawah permukaan laut. Jaring-jaring tersebut dibuat menyudut dengan tujuan agar ikan-ikan tergiring ke sudut yang diinginkan dan lebih mudah ditangkap. Jika ikan kebetulan berada di daerah sero, para nelayan sero tinggal menggiringnya dengan jaring yang telah dipersiapkan dan dengan mudah ikan-ikan itu akan tertangkap. Nelayan jenis ini terkenal sebagai penangkap cumi-cumi. Hal itu disebabkan cumi-cumi lah yang paling sering mereka dapatkan di sero mereka. Untuk membuat satu area sero, paling tidak dibutuhkan sekitar 400 batang bambu dan 50 kg jaring (sekitar 400500 meter). Total biaya yang di keluarkan untuk membuat satu area sero bisa mencapai 50 juta rupiah, itu sudah plus perahu senilai sekitar 8 juta. Biasanya para nelayan sero ini berangkat seitar pukul 05.00 dan pulang pukul 08.00. Perjalanan menuju sero bisa memakan waktu sekitar 15 menit ditempuh dengan perahu condongan, sebutan warga setempat untuk perahu sero. Nelayan Pancing. Nelayan jenis pancihg terbagi lagi ke dalam 3 jenis nelayan pancing, yaitu pancing minggir, pancing nengah dan pancing rawe. Nelayan Pancing Minggir adalah nelayan yang biasanya berangkat melaut sekitar pukul 04.00 – 17.00. Daerah pancingan mereka hanya sekitar wilayah pesisir atau pulau-pulau di sekitar Tanjing Pasir, seperti pulau Rambut, pulau Onrus, pulau Untung Jawa, pulau Bokor dan daerah kepulauan Seribu lainnya. Biasanya dalam sekali melaut, mereka bisa berpindah tempat sampai beberapa kali. Sesuai namanya, alat yang mereka gunakan ialah pancing, tapi bukan pancingan yang sering kita gunakan sehari-hari, melainkan pancingan khusus berupa puluhan sampai ratusan kail pancing yang terpasang pada seutas tali yang cukup panjang. Sekali melaut nalayan jenis ini bisa membawa pulang sekitar 10
73
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
kg – 1 kwintal ikan, tergantung musimnya. Jika diuangkan penghasilan perhari sekitar 200 ribu hingga 1,3 juta rupiah. Jenis ikan yang tertangkap cukup beragam, dari ikan tenggiri, ikan como, ikan kembung, ikan selar juga ikan walung. Biasanya hasil tangkapan akan langsung diserahkan ke penampung untuk diuangkan. Perahu Body Motor, itulah sebutan masyarakat Tanjung pasir untuk parahu pancing. Ukuran perahu ini adalah yang terbesar dibanding perahu nelayan jenis lain. Harga satu perahu pancing bisa berkisar hingga 25 juta per unit. Satu perahu biasanya berlayar dengan satu nahkoda (Juragan) dan 6 orang ABK (anak Buah Kapal) Nelayan pancing nengah biasa melaut hingga satu minggu lamanya. Wilayah pancingangan nya pun terbilang luas, bahkan mencapai daerah Lampung (selat sunda). Sebelum melaut mereka biasa mempersiapkan bekal secukupnya, dari mulai makanan, minuman dan tentunya solar, sekali melaut mereka biasanya membawa sekitar 200 liter solar. Dalam waktu satu minggu, minimalnya mereka bisa membawa pulang 2 kwintal - 8 kwintal, sekitar 13 – 14 juta. Ikan hasil tangkapannya cukup beragam, diantaranya ikan como, ikan kembung, ikan baronang, ikan wakung, kakap merah, tenggiri, hingga tak jarang ikan hiu pun terkait pancing mereka. Untuk menjaga hasil tangkapan tetap segar, mereka membawa es batu yang disimpan khusus di tempat penyimpanan ikan didalam perahu yang biasa disebut palka yang telah didesain khusus agar kesegaran ikan tetap terjaga. Nelayan Pancing rawe bisa disebut juga nelayan malam sebab mereka berangkat sekitar pukul 24.00 dan pulang pukul 08.00. Selain itu, perbedaan yang terlihat ialah pada jumlah kail pancing. Jika nelayan pancing minggir dan nengah menggunakan puluhan kail pancing, nelayan pancing rawe biasa menggunakan ratusan kail pancing. Wilayah pancingnya tak jauh berbeda dengan nelayan pancing minggir. Untuk hasil tangkapan, tentu sangatlah beragam, mengingat durasi melaut yang cukup lama serta jumlah pancing yang mereka gunakan. Beberapa ikan hasil tangkapan nelayan jenis ini diantaranya ikan pari, ikan hiu, sembilang, kakap merah, kakap putih, bara kuda, ikan kerong, ikan jinaha, ikan kupas-kupas dan masih banyak lagi jenis ikan yan masuk daftar hasil tangkapan mereka. Hasil tangkapan mereka sudah pasti masuk pelelangan dan otomatis rupiahnya pun berbeda dengan nelayan yang menjual tangkapannya ke penampung. Nelayan Jaring Setidaknya ada 2 jenis nelayan jaring di Tanjung Pasir ini. Yaitu Nelayan Jaring Rajungan nelayan jenis ini sama dengan petani tambak. Mereka mengkhususkan pada penangkapan kepiting menggunakan jaring. Namun selain kepiting, ikan lemper dan ikan geropak pun terkadang menjadi hasio tangkapan mereka. Mereka biasa bekerja pukul 03.00 – 06.00. Hasilnya pun tak begitu banyak, sekitar 1 – 10 kg (Rp. 25.000 – Rp. 250.000). Hasil tangkapan biasanya langsung masuk pelelangan untuk kemudian dilelang pada para pelele (peserta lelang). Bedanya, uang hasil tangkapan tersebut tidak perlu dibagikan seperti nelayan sero atau pancing. Biasanya, pemilik perahu sekaligus juga nahkoda merangkap nelayan.
74
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Nelayan Jaring Ikan. Nelayan jenis ini biasa melaut antara pukul 03.00 – 09.00. Satu perahu biasa diisi satu atau dua orang. Cara penangkapan ikan mereka terbilang sederhana. Mereka membentangkan jaring hingga sekitar 50 meter, kemudian diangkat kembali. Ada pula yang melempar jaring seperti jika kita menjaring di kolam. Sekali menjaring, sekitar ½ - 10 kg bisa mereka dapatkan. Hasilnya bragam, misalnya ikan kue, ikan kakap putih, ikan talang, ikan tapi-tapi, ikan kupas-kupas dan lain-lain. Selain ikan, tak jarang kepiting pun menjadi salah satu hasil tangkapan mereka. Hasil tangkapan biasanya langsung disetrokan ke TPI. Nelayan Sudu. Nelayan yang satu ini spesialis pencari udang rebon. Dengan perahu yang biasa disebut complengan berawakan 2 - 3 orang, mereka biasa berangkat sekitar pukul 03.00 – 08.00. Alat yang mereka gunakan terbilang sederhana, mereka hanya menggunakan serok untuk mencari udang rebon. Hasil tangkapannya bisa mencapai 3 kg – 2 kwintal per hari, jika diuangkan sekitar 10 ribu hingga 600 ribu. Nelayan Bubu. Nelayan perangkap, ini mungkin nama lain dari nelayan bubu. Bubu ialah semacam perangkap ikan yang digunakan nelayan setempat untuk menangkap berbagai jenis ikan diantaranya ikan baronang, ikan hiper, ikan jihana, ikan kupas-kupas dan lain-lain. Nelayan jenis ini biasa menyimpan bubu pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan. Mereka akan menyimpan perangkap tersebut selama tiga hari kemudian menganggkatnya kembali. Per tiga hari mereka bisa mendapat ½ sampai 20 kg ikan. Pemodal adalah mereka yang disebut dengan istilah Bos, Majikan, atau Juragan. Mereka menginvestasikan modal salah satunya dalam bentuk perahu bagi nelayan untuk mencari ikan di laut. Persentasi bagi hasil 50%-50% tentu cukup menguntungkan pemodal. Atau, dengan kata lain, sebagian besar nelayan adalah buruh. Walau, memang ada beberapa nelayan yang telah memiliki perahu sendiri dan memberikan peluang kerja bagi nelayan lain. Dari semua katagori nelayan kami memakai satu katagori saja yaitu nelayan pancing yang kami hadirkan dalam pengadeganan. 5) Sistem Kemasyarakatan. Desa Tanjung Pasir terletak di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Luas wilayah desa adalah 660,25 Ha, dengan rincian 108,5 Ha merupakan Tanah Negara /TNI AL, 357 Ha merupakan Tanah Kehutanan, dan 194,75 Ha merupakan tanah milik. Tanah yang digunakan oleh penduduk seluas 108 Ha, sementara sisanya merupakan perairan. Kepala Desa merupakan kepala daerah di Desa Tanjung Pasir, dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat) yang bertugas seperti MPR dalam struktur organisasi desa. Sekretaris Desa dibantu oleh KAUR (Kepala Urusan). Ada enam KAUR, yaitu KAUR Pemerintahan, KAUR Pembangunan, KAUR KESRA (Kesejahteraan Rakyat), KAUR TRANTIB (Keamanan dan Ketertiban), KAUR Keuangan, dan KAUR Umum. Aparat desa tersebut dibantu juga oleh para Mitra Desa seperti BPD (Badan Pertimbangan Desa) semacam
75
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
DPR dalam struktur organisasi desa, Karang Taruna, PKK dan KN (Kelompok Nelayan) yaitu Lembaga Nelayan beranggotakan empat orang dipimpin oleh H. Karnadi. Desa Tanjung Pasir terdiri dari enam Kemandoran yang dipimpin oleh seorang Mandor. Satu Kemandoran terdiri dari empat sampai delapan RT, dan RT membawahi KK (Kepala Keluarga) yang ada di wilayahnya. 6) Bahasa. Bahasa di desa Tanjung Pasir adalah bahasa Betawi Pinggiran. Bahasa Betawi dialek Tanjung Pasir-lah yang kami gunakan dalam pementasan teater ini. Sebetulnya bahasa Betawi adalah mirip sekali dengan Bahasa Indonesia. 7) Kesenian Di Tanjung Pasir terdapat kesenian Kosidah, marawis dan dangdut. Maka dari itu alat dan lagu-lagu yang kami mainkan berjenis lagu dan musik jenis ini. e) Pemilihan Peran Biasanya dalam proses teater yang konvensional, naskah sudah ada. Mereka membaca naskah (reading) sebelum mengikuti pemilihan peran (casting) kemudian ditentukan perannya untuk menjadi tokoh dalam naskah. Dalam proses workshop TDE prosesnya berbeda, casting (pemilihan peran) lebih dahulu dilakukan. Pemilihan peran ini dilakukan dengan cara uji coba siapa saja peserta workshop boleh mencoba. Yang cocok segera dipastikan perannya. Selama uji coba itu mereka melakukan improvisasi dialog sesuai dengan perannya. Dialog-dialog ketika melakukan improvisasi peran dicatat untuk menjadi bahan naskah. Proses ini terjadi pada minggu pertama. Pekerja yang berprofesi sebagai nelayan justru yang rajin hadir dalam proses latihan (workshop), sedangkan peserta yang berprofesi buruh atau karyawan pabrik ada kendala soal kehadiran. Kadang-kadang mereka harus lembur dan ada juga yang sistem kerjanya dibagi menjadi 3 shift. Pas kebagian shift malam mereka tidak bisa ikut workshop. Peserta yang memiliki kendala dalam hal kehadiran namun menunjukan antusias yang tinggi kami arahkan sebagai koor dalam pementasan. Ada juga peserta berprofesi sebagai penjaga counter pulsa, pengacara (pengaguran banyak acara), ada juga yang masih sekolah SLTA, SMP dan SD. Pertama kali, kami melaksanakan wokshop di teras dan halaman Rumah Kayu. Kemudian pindah ke Rumah Pintar. Ruangan dan halaman Rumah Pintar cukup luas dan layak untuk digunakan sebgai tempat latihan teater. Setelah kuota peran sudah terpenuhi lalu kami menentukan arena pentas, yaitu halaman parkir TPI (Tempat Pelelengan Ikan), maka latihan pun pindah ke halaman parkir TPI sekalian pembiasaan bagi para pemeran. Awal mula Peserta Workshop didominasi peserta berusia remaja. Di halaman Rumah Kayu, basecamp kami, ada anak-anak kecil yang sedang bermainmain, baik bermain bola maupun bermain permainan anak-anak. Melihat kenyataan ini kemudian ada ide melibatkan anak-anak ikut proses workshop. Maka adegan ditambah satu lagi, yang sebelumnya 6 adegan kini jadi 7 adegan. Kami masukan adegan ruang kalas. Permainan anak-anak ditempatkan sebelum mereka masuk
76
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
ruang kelas. Karena anak-anak harus sekolah setiap harinya, kami tidak memaksa mereka ikut. Namun antusiasme mereka cukup tinggi. Maka, anak-anak kami putuskan latihan cuma sampai pukul 21.00 WIB, sedang peserta remaja tetap hingga pukul 22.00 WIB. Dari 11 tokoh utama dalam cerita, hanya 2 orang dari anggota TTM, selebihnya diperankan oleh Peserta Workshop. Fungsi anggota TTM ini, hanyalah peran kecil, tapi 2 orang anggota TTM ini sudah memiliki jam terbang pemangggungan. Peserta workshop sama sekali belum pernah terlibat dalam dunia teater sebelumnya. Dua orang ini diharapkan bisa jadi contoh bagi peserta workshop dan menularkan ilmu pemanggungan serta pengalamannya di atas pentas. Pada mulanya peserta workshop berjumlah 17 orang. Selama berjalan proses workshop para peserta bertambah terus. Akhirnya peserta workshop berjumlah 35 orang. Terdiri dari anak-anak kecil 8 orang, anak- anak ABG 10 orang, remaja 17 orang. Berikut ini beberapa foto pementasan Ketika Laut Surut hasil dari workshop.
foto pementasan Ketika Laut Surut hasil dari workshop III. Penutup Demikianlah proses Workshop Menulis Naskah Drama dan Sekaligus Mementaskannya bersama Karang Taruna Putra Samudra di desa Tanjung Pasir Kec Teluk Naga, Kab Tangerang Prop Banten. Workshop Menulis Naskah Drama dan Sekaligus Mementaskannya adalah dalam rangka pendidikan nonformal yang mengikuti kebutuhan dari peserta didik yaitu perlunya penyadaran tentang isu perubahan iklim dan kebersihan lingkungan serta bencana banjir rob. Semoga sebuah proses ini bisa berguna dan bermanfaat bagi siapa saja terutama orang yang bergerak di dunia pendidikan nonformal. Tak lupa saya meminta saran dan masukan semoga tulisan ini menjadi lebih bagus.
Daftar Pustaka Brown, Lester R. dkk. 1987. Dunia Penuh Ancaman 1987. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Foley, Gerald. 1993. Pemanasan Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Flavin, Christopher & Nicholas Lenssen. 1995. Gelombang Revolusi energi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sale, Kirkpatrick. 1996. Revolusi Hijau. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
77
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Irwan, Zoer’ani Djamal. 1997. Prinsip-prinsip ekologi dan organisasi ekosistem, komunitas dan lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta Denim, Sudarwan. 2010. Pengantar Pendidikan, Landasan, Teori, Dan 234 Metafora Pendidikan. Alfabeta. Bandung. Sudjana, HD. 2010. Pendidikan Nonformal, wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat teori Pendukung Asas. Falah. Bandung. Tjokroatmojo, dkk. 1985. Pendidikan Seni Drama (Suatu Pengantar). Usaha Nasional. Surabaya. Hasanuddin, WS. 1996. Drama karya dalam dua demensi. Angkasa. Bandung. Harymawan. 1988. Dramaturgi. Rosdakarya. Bandung. Epskamp, Kees. 2006. Theatre For Development An introduction to Context, Applications and Training. Zed Books. London and New York. Boal, Augusto. 1985. Theatre of The Oppressed. Theatre Communications group. New York. Diposaptono, Subandono. 2007. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Sarana Komunikasi utama. Bogor. Diposaptono, Subandono. 2007. Sebuah Kumpulan Pemikiran Mengantisipasi Bencana. Sarana Komunikasi utama. Bogor. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta,1990 Wawancara dengan nara sumber : Lukiyantoro (nelayan sero), Ade Yosel (nelayan pancing nengah), Waluyo (Ketua karang Taruna Putra Samudra, Desa Tanjung Pasir).
Dentum-Dentum Religius Gong Gol A Oleh : Gol A Gong I. Pendahuluan a) Awal Memasuki Ruang-Ruang dalam ‘Membaca Diri’
78
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Segala hal yang ada di dunia diberi tanda dengan kata-kata. Kata-kata lahir menjadi peristilahan di berbagai sisi kehidupan. Istilah-istilah dibuat oleh manusia sejak manusia mengenal benda atau non-benda, kemudian berkenalan dengan huruf, membuatnya menjadi kata, membuatnya jadi makna dengan kata-kata yang lain. Kemudian manusia yang membuatnya, membacanya sendiri. Atau mungkin manusia lain membaca istilah-istilah tersebut hingga melahirkan definisi-definisi lain dan masih dalam kata-kata juga, baik terverbalkan atau hanya ditulis dalam sebuah kalimat, atau bahkan ditulis dalam pikirannya. Sungguh proses yang teramat panjang untuk menjadikan sebuah kata mempunyai makna atau bisa didefinisikan. Pemaknaan kata-kata tersebut bisa menjadi sesuatu yang objektif walau pada dasarnya lahir dari sesuatu yang subjektif, yakni pemikiran seseorang. Proses pemikiran yang patut dihargai oleh siapa saja. Ketika kebenaran dan kesalahan dikembalikan pada sudut pandang manusia tersebut dalam mendefinisikan sesuatu, kita sudah selesai menjadi manusia, semestinya. Tetapi kita hidup dengan banyak orang, ada peng’iya’an terhadap definisi seseorang yang menjadikan sudut pandang itu berkembang menjadi kebenaran yang universal. Keuniversalan ini berkembang seiring adanya penemuan-penemuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari filsafat, sains, sastra, atau ilmu lainnya. Pada awalnya keuniversalan tersebut dimaknai sebagai kebenaran yang hakiki. Tetapi lambat laun, ketika keuniversalan ditempatkan di ruang yang tidak semestinya, maka keuniversalan tersebut menjadi nir kebenarannya. Dengan adanya keuniversalan yang salah kaprah, kita sebagai makhluk berpikir sudah selayaknya memberi apresiasi dengan cara mengkritik keuniversalan yang sudah di luar kewajaran itu. Misalnya pencitraan dalam dunia politik yang hanya memberikan hadiah negatif bagi mayoritas masyarakat di negeri kita. Membaca puisi-puisi Gol A Gong dalam kumpulan puisi ’Membaca Diri’ adalah membaca sesuatu yang universal dari sudut pandang kritis, dalam bentuk yang puisi. Membaca ‘Membaca Diri’ adalah sebuah tantangan yang membuat saya berpikir hampir tiap malam. 76 puisi disajikan dan dibagi-bagi ke dalam 5 fragmen. Tiap fragmen diberi judul yang menjadi pintu gerbang pembaca untuk memasuki sebuah rumah yang berisikan harta kekayaan yang tidak bisa dihitung, dalam bentuk kata-kata, dalam bentuk puisi-puisi. Kemudian pintu itu saya buka satu persatu, di sela-sela kekhusukan membaca karya-karyanya, saya malah teringat suara Gong. Barangkali karena penulisnya sendiri adalah Gol A Gong, barangkali. Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis (Wikipedia). Itu semacam puisi, manakala kata-kata masih berhamburan dalam pikiran ia belum menjadi apa-apa, tetapi setelah dibentuk sedemikian rupa akan menjadi sebuah nada yang jelas. Jika Leon Agusta menuliskan dirinya sebagai sebuah Gendang, maka saya akan mencoba melihat sudut pandang Gol A sebagai seorang pemukul Gong. Gong adalah sebuah alat sederhana yang bunyinya bergaung karena dipukul oleh seseorang.
79
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Ketika Gol A menabuh sebuah gong, gema yang ia pukul tentu terdengar keras oleh Gol A. Tetapi Gol A juga sadar dan mendengar lebih keras apa yang ia dengarkan, melebihi orang lain. Irama yang didentumkan pun tidak sesering alat musik lain dalam paduan harmoni. Ia hadir di saat yang tepat dengan gaung yang begitu menggema ruang di sekitarnya. Itu pula yang saya coba pahami dari kumpulan puisi Gol A Gong, seperti dentum gong yang dipukul. Gol A sebagai pemukul gong memberikan kesan gema yang begitu terasa. Menggema di seluruh ruang kehidupan, dari ruang internal religiusitas Gol A sampai ruang eksternal yang hadir dalam berbagai sisi kehidupan di sekitarnya. b) Ketika Memasuki Ruang-Ruang ‘Membaca Diri’, Ada Dentum-Dentum Gong Religius Gol A Selain ingatan saya terhadap alat musik Gong, 76 puisi yang dibagi ke dalam 5 fragmen tersebut mengingatkan saya akan solat lima waktu. Barangkali karena kekhusukan saya membaca puisi-puisinya persis sedang melaksanakan ibadah. Begitu dekat puisi dengan solat karena kehadirannya bisa menenangkan hati seseorang. Puisi dan solat seperti hadiah dari Tuhan yang diberikan kepada makhluk di dunia ini. Sejak jaman yang tak bermula sampai kini, puisi hadir sebagai bagian dari kehidupan manusia. Bahkan Octavio Paz pernah mengatakan bahwa Puisi adalah suatu mantra atau jampi-jampi yang disemburkan dan menggusur, menghasut ke dalam diri pembaca atau pendengar, suara semburan citra-citra mental. Puisi didengar lewat telinga tetapi cuma dapat dilihat dengan pikiran. Pikiran-pikiran yang dikatakan Paz itulah yang saya kira menjadi keistimewaan dari sebuah puisi. Pikiran yang menjadi mata dari seorang pembaca ketika menafsir puisi, hingga sampai pada suatu titik di mana saya membaca puisipuisi Gol A adalah puisi-puisi yang religius. Kedekatan puisi dengan religiusitas memanglah tidak bisa ditutup-tutupi kebenarannya. Seperti juga solat yang merupakan tiang agama, semua penganut Islam tentu paham tentang hadist yang terkenal tersebut. Ketika kita solat lima waktu, ada bagian-bagian yang harus kita selami dengan khusuk di tiap geraknya. Ada doa yang harus kita rapal dengan detail dan tartil untuk mencapai kemistikan yang bersifat Tuhaniah. Itu pula yang saya dapatkan saat diseret, diceburkan oleh keinginan saya dalam memahi kedalaman 76 puisi Gol A. Sangat berat memang, mengambil sebuah sudut pandang dari puisi-puisi yang kaya ini. Selain judul dan isi, saya melihat tanggal dan tempat penulisan puisi tersebut. Dari tanggal dan tempat yang menjadi penanda lahirnya puisi tersebut, saya menyangka ada kekonsistenan yang ditanam Gol A dalam karya-karyanya. Dan waktu tidak mengubah pendirian Gol A untuk mencintai sajak-sajak yang telah melahirkannya menjadi diri yang dibaca, menjadi makhluk Tuhan. Kereligiusan puisi-puisi Gol A sudah berlangsung lama, tertulis sejak tahun 1983 dalam penanda puisi tersebut hingga tahun 2013 ini. 30 tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk terus berjalan di dunia tulis menulis umumnya, dunia puisi khususnya. Terlebih dengan religiusitas yang konsisten.
80
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Pada sajak ‘Kelahiran’ bisa kita lihat, Berpuluh-puluh kota telah pedih kususuri wajahmu pucat mengingatkanku pada kelam sejarah engkau kaku bisu di sudut kumuh gang Paneleh menggenggam segumpal janji palsu pada masa depan Tak ada yang bisa disalahkan dengan kehidupan Ia tak meminta pun tak berharap. (Hlm. 2”) atau dalam sajak ‘Cakrawala’ yang ditujukan bagi para pemberani “..Padahal peta perjalanan membentang luas Menantang para pemberani mengarungi Dengan atau tanpa perahu” (Hlm. 21) Atau dalam sajak “Sapu Lidi” “Di setiap rumah ada sapu lidi. Semua berebut membersihkan diri Satu lepas, semua mengumpulkan. Mengikatnya kembali. Kuatkuat.” (Hlm. 40) Tiga kutipan bait puisi tersebut adalah gambaran betapa Gol A selalu memakomkan diri menjadi bagian dari kegungan Tuhan. Tak ada yang bisa disalahkan dengan kehidupan/Ia tak meminta pun tak berharap... pertautan katakata yang religius. Tuhan sebagai pemilik kehidupan, tak pernah meminta dan tak pernah berharap. Begitupun dengan Padahal peta perjalanan membentang luas/Menantang para pemberani mengarungi/Dengan atau tanpa perahu... Ketika Tuhan memberikan segala cobaan hidup, di sana Gol A ada sebagai pemberani sekaligus pengajak orang-orang untuk menabrak segala tantangan dengan apa yang manusia punyai. Atau dalam sajak Sapu Lidi Di setiap rumah ada sapu lidi. Semua berebut membersihan diri/Satu lepas, semua mengumpulkan... pertautan kata-kata yang lekat dengan keseharian tetapi makna yang disampaikan adalah bagaimana kita harus membersihkan diri dengan segala hal yang kita punya dalam tubuh kita. Selain tema-tema religius di setiap fragmen, Gol A juga menuliskan kisahkisah yang bernada satire. Ada politisasi puisi, juga kekuasaan puisi dalam membongkar sisi penindasan bagi kaum kecil. Tetapi ada kandungan-kandungan sindiran bagi para penguasa, dan Gol A menuliskan hal itu dalam sajak-sajaknya. Tetapi justru yang lebih menariknya adalah kereligiusan yang tidak pernah lepas dari isi sajak yang ditulisnya, sekalipun bertema kemanusiaan.
81
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Sajak berjudul ‘Antara Tanah Dan Bapakku’ misalnya ada bait seperti ini: Wasiat kakekku pada bapakku: Kuwariskan tanah, bukan ilmu. Tanami cerobong. Cemari langitnya. Tembaki unggasnya. Beraki sungainya. (Hlm. 83) Atau sajak berjudul ‘Orang-Orang Tertindas’ Orang-orang tertindas Melangkah ke kiri terhempas Tak pernah mampu menjangkau cahaya Selalu diingatkan jadi hamba sahaya (Hlm. 51) Pun dengan sajak berjudul Tukang Ojek Puluhan kota kusinggahi kau ada berdetak Menyambutku dengan bahasa padi sederhana Debu mengepul membuatmu batuk berdahak Memberi pelajaran panas hujan ibarat mutiara (Hlm. 29) Dentum Gong Gol A seperti gema yang dipukul dengan suara yang konsisten. Dentum itu terus saja lahir dari tahun ke tahun. Harmoni yang dibangun adalah harmoni yang begitu terasa. Kata-kata yang dialirkan adalah penanda pembacaan diri yang kudus terhadap perjalanannya selama ini sebagai manusia. Gol A yang hidup dengan lancongnya, terus menerus membaca diri dengan puisipuisinya. Bisa kita lihat ia sangat menghargai perjalanan masa kecilnya dalam bait sajak Wasiat kakekku pada bapakku:/Kuwariskan tanah, bukan ilmu./Tanami cerobong. Cemari langitnya./Tembaki unggasnya. Beraki sungainya. Betapa sadar ia akan keselamatan alam dan itu ditanamkan sejak kecil. Di sisi lain dalam sajak berjudul ‘Orang-Orang tertindas’ kita bisa meilhat kepeduliannya terhadap kemanusiaan yang tetap berpijak pada religiusitasnya sebagai makhluk Tuhan, Orang-orang tertindas/Melangkah ke kiri terhempas/Tak pernah mampu menjangkau cahaya/Selalu diingatkan jadi hamba sahaya. Atau dalam sajak ‘Tukang Ojek’ .. Debu mengepul membuatmu batuk berdahak/Memberi pelajaran panas hujan ibarat mutiara bait-baitnya mengisyaratkan segala hal yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan semata. Pada sajak berjudul ‘Lidah’, ‘Tabir’, ‘Metamorfosa’, ‘Ikan dan Baliho’, atau ‘Berkacalah, Bantenku!’ sama-sama mengungkap sisi kemanusiaan yang bersifat Tuhaniah. c) Saya Ke Luar Ruang-Ruang dalam ‘Membaca Diri’ Pada akhirnya, saya tidak mengambil per-fragmen dalam pembahasan kumpulan puisi ini. Walau di awal saya menyebutkan memasuki pintu dalam
82
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
fragmen-fragmen tersebut. Tetapi ketika berada di ruang itu, saya merasakan hal yang hampir sama dengan ruang lainnya. Jadi saya tidak bisa membohingi diri sendiri untuk hanya diam dan menyelesaikan ibadah saya dari satu fragmen ke fragmen lain. Saya keluar masuk ruang-ruang itu. Mencari makna apa saja yang saya bisa dibangun dalam penafsiran hingga menjadi benang merah. Pada akhirnya saya menemukan kecenderungan bahwa telah terjadi sedikit pengkhianatan dalam fragmen-fragmen tersebut. Kebebasan yang telah menjadi kata dibingkai-bingkai lagi, alangkah tidak adilnya kata-kata jika begitu adanya. Di fragmen-fragmenkan, untuk pemfragmenan ini, saya kurang menyetujui apa yang dituliskan Gol A. Karena kebebasan pembaca dibingkai oleh pintu gerbang-pintu gerbang. Pembaca seolah disekat untuk tidak lari menjadi imajinasi yang tak berbatas. Sedangkan imajinasi selalu tidak ada batas. Kemudian solat yang saya umpamakan adalah bagaimana kita harus khusuk semacam ibadah ketika membaca puisi-puisi yang dihadirkan. Di sisi lain, seperti Acep Zamzam Noor bilang bahwa puisi itu bersifat religius ada benarnya. Segala hal yang bersifat kehendak dari dalam hati tentu bersifat Tuhaniah. Dan itu ditunjukkan oleh Gol A dalam puisi-puisinya. Bahkan dalam beberapa sajak, ia begitu menikmati pengembaraannya sebagai makhluk Tuhan. Bisa kita lihat cuplikannya dalam sajak di bawah ini. Sajak berjudul ‘Sepanjang Tol Merak-Jakarta’ ...Sepanjang tol Merak-Jakarta aku bermimpi tentang kanak-kanak lagukan nyanyian alam panggilan ngaji Ustadz di surau kampung tapi aku menggeliat dililit gurita iklan serta haji mabrur jadi badutbadut bualan Sepanjang tol Merak-Jakarta mata batinku jadi bisu (hlm. 82) Atau sajak ‘Keranda’ Menyusuri panas bumi Singapura bersamamu Aku tahu siapa memulai memperlihatkan wajahnya Beberapa hari ini dia selalu tersenyum kepadaku Aku belum ingin menunggumu senja itu Aku masih harus menyusuri jejak-jejakmu Di ujung bumi aku menggenggam tanahmu Daun kering meminta untuk dimakamkan (hlm. 15) Sejauh perjalanan seseorang pergi, pastinya akan kembali pulang. Perjalanan adalah sebuah nama di mana seseorang berangkat lalu kembali ke tempat asal. Gol A yang seorang Banten sadar betul di mana tanah kelahirannya. Kepulangannya bukan
83
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
hanya bermakna pulang dalam makna fisik, tetapi dalam makna batin. Pulang yang berarti pulang kepada-Nya. Kita juga bisa melihat pengembaraan yang lain dan bersifat Tuhaniah dalam judul lain semisal ‘Namaku Ikan’, ‘Perhentian’, atau ‘Ziarah’ dan sajak lainnya. Gong Gol A terus berdentum di manapun ia singgah. Ia menuliskan bermacam tema dengan batas fragmen yang dipilih sendiri. Mulai dari Membaca Waktu, Membaca Perjalanan, Membaca Tahta, Membaca Alam, Membaca Kampung. Tetapi saya kira, apapun yang ia ‘baca’ tentang apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan akan kembali menyentuh titik tertinggi nilai-nilai estetis manusia. Yakni Tuhan sebagai Sang-Pencipta yang melebihi keindahan apapun di dunia dan akhirat kelak. Gong-gong yang dipukulkan Gol A dalam kumpulan puisinya adalah renungan tanpa jeda, di dalam waktu kita akan menemukan Tuhan, dalam perjalanan akan menemukan Tuhan, dalam Tahta kita akan menemukan Tuhan, dalam Alam kita akan menemukan Tuhan, pun ketika kita diam di tempat kelahiran, kita akan menemukan Tuhan. Membaca kumpulan puisi Gol A adalah benar-benar membaca diri, sesuai dengan judul kumpulan puisinya. Yakni ‘Membaca Diri’. Saya kira jika tak berfragmen pun, puisi-puisi Gol A sudah memiliiki fragmennya sendiri. Selain itu, terlihat sekali puisi yang dituliskan berbau rendraisme, kecenderungan seorang penulis mirip dengan penulis lain adalah takdir yang tidak terbantahkan. Ada kecenderungan yang saya lihat bahwa puisi-puisi tersebut lebih asik untuk dideklamasikan karena bersifat menendang dengan katakata yang bersuara. Kecenderungan itu bisa kita lihat dari puisi-puisi yang telah saya bahas di atas. Atau dalam puisi-puisi lain yang bersifat satire politisasi puisi, dengan kata lain puisi yang dimanusiakan dengan cara-cara pengungkapan rasa kemanusiaan sekaligus menyilet penguasa yang telah mengambrukkan keberadaan alam, negara, masyarakat kecil, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Walaupun begitu, bukan berarti puisi-puisi tersebut tidak akan khusuk untuk dibaca sebagai sebuah penyadaran. Kita bisa memahami puisi di manapun dengan berbagai sudut pandang kepentingan. Saya tak bisa menyimpulkan apapun dari kumpulan puisinya. Hanya disadarkan oleh puisi-puisi tersebut untuk tetap menabuhkan Gong, yang walau pun tidak setiap saat, bisa menghadirkan kekhusukan saya dalam menyulam ingatan. Bahwa kita adalah bagian dari permainan Tuhan. Kita adalah alat bermain-main dari Tuhan. Kita dilahirkan, dihidupkan, kemudian dimatikan oleh Tuhan. Kita sebatas itu saja dan selesai di tangan Sang Pencipta. Dan yang paling penting adalah kita adalah kesadaran yang timbul dan tenggelam, seperti sebuah Gong yang hadir dalam irama musik gamelan, semacam irama musik berbagai sisi kehidupan. Dan Gol A berusaha hadir sebagai Gong itu. Tentang Penulis: M. Romyan Fauzan, Penikmat sastra. Berkegiatan di Majelis Sastra Bandung, Komunitas Jendela Kata Kita, Komunitas Malaikat, dan Laskar Panggung Bandung. Lulusan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung. Pengajar di Yayasan Pesantren Al-Fatah, Cikembang, Kec. Kertasari, Kab.
84
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Bandung. Buku yang memuat tulisannya adalah Bandung Ibukota Asia-Afrika, Riksa Bahasa V. Antologi puisi yang memuat tulisannya, Di Kamar Mandi (62 Penyair Jawabarat Terkini), Jejak Sajak, Senyawa Kata Kita, Wirid Angin, Semar Gugat, dan Sauh Seloko (Pertemuan Penyair Nusantara VI), dll. Tulisannya dimuat di harian Pikiran Rakyat, Suara Daerah, Majalah Naordnik, Jurnal Sastra Digital, KalaNews.com, dll. Buku pertama kumpulan esainya berjudul “Perempuan dalam Bingkai Budaya Visual”. Menyunting beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen. Selain mengikuti berbagai kegiatan kesenian, juga mengikuti berbagai seminar bahasa dan budaya. Juga pernah menjadi pemakalah seminar Internasional Forum Bahasa Ilmiah UPI. Alamat E-mail:
[email protected] ,
[email protected]
85
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
86
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
JUDUL ??? Oleh : Romi Afrizal I. Pendahuluan A.
Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa.Untuk itu diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Salah satu pendekatan yang memberdayakan siswa dalam pendekatan kontekstual (CTL). CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat, melalui Direktorat SMP Depdiknas. Proses belajar-mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Dalam proses ini siswa membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajar-mengajar hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan siswa secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan untuk mengelola kelas yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif, disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah. Namun Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
87
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. II. Kajian Teori a) Pengertian pendekatan Kontekstual Pendekatan konstektual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembekajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berfikir kritis danmelaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Kontekstual hanyalah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, konstektual dikebangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif danbermakna. Pendekatan konstektual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ 4 keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya. 2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
b)
Megapa Pembelajaran Kontekstual
Pola pikir sentralistik, dan uniformistk mewarnai pengemasan dunia pendidikan kita keputusan selalu dilaksanakan berdasarkan hierarky-birokrasi. Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih berma’na jika anak “mengalami” sendiri apa yang dialaminya,
88
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
bukan “mengetahui” -nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dari kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang, pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning/CTL) adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu. Alasan mengapa pembelajaran kontekstual dikembangkan sekarang ini: 1. penerapan kontek budaya dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman guru, dan buku teks akan mendorong sebagian siswa untuk tetap tertarik dan terlibat dalam kegiatan pendidikan. 2. penerapan konteks sosial dalam pembangunan silabus, penyusunan buku pedoman, dan buku teks yang dapat meningkatkan kekuatan masyarakat memungkinkan banyak anggota masyarakat untuk mendiskusikan berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat. 3. penerapan konteks personal yang dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, akan membantu lebih banyak siswa untuk secara penuh terlibat dalam kegiatan pendidikan dan masyarakat. 4. penerapan konteks ekonomi akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial politik dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Penerapan konteks politik dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap masyarakat.
c)
Hakekat Pembelajaran Konstektual
Metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya siswa akan belajar dengan baik apabila apa yangmereka pelajari berhubungan dengan apa yang mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif melatar belakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Melalui landasan konstruktivisme “CTL”dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi “CTL” siswa diharapkan belajar melalui mengalami, dengan menghafal. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan berdifat non-obyektif, temporer dan selalu berubah. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Hakikat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informas baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama danmemperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi –teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri.
89
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Karena itulah strategi ini disebut pengajaran yang terpusat pada siswa (studentcentered intruction). Dalam pandangan konstruktivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan pembelajaran ini menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktifitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham ini menolak pandangan behavioristik. The Northwest Regional Educarion Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran kontekstual, sebagai berikut: 1. Pembelajaran berma’na; pemahaman, dan penalaran pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran. 2. Penerapan pengetahuan; adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tataran kehidupan da fungsi dimasa sekarang atau dimasa yang akan dating. 3. Berfikir tingkat tinggi; siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah. 4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standart; isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar local, provinsi, nasional, perkembangan Iptek serta dunia kerja. 5. Responsif terhadap budaya; guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, ddan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik Penilaian autentik; penggunaan berbagai strategi penalarannya yang akan merefleksikan hasilbelajar sesungguhnya.
d)
Fokus Pembelajaran Kontekstual
Lima Strategi Umum Pembelajaran KontekstualCenter Of Occupational Reseach And Development (CORD) menyampaikan lima strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat react, yaitu: 1. Relating : Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. 2. Experiencing : Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention). 3. Applying : Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan didalam konteks pemanfaatannya. 4. Cooperating : Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama dan sebagainya. Transferring : Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru.
90
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
e)
SEMANTIK
Pemikiran tentang belajar
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 1. Proses belajar • • • • • •
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
2. Transfer Belajar • Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. • Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) • Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu • Siswa sebagai Pembelajar • Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. • Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. • Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. • Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
91
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
4. Pentingnya Lingkungan Belajar •
f)
Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. • Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. • Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar. • Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini. • Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya • Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik • kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. • Ciptakan masyarakat belajar. • Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran • Lakukan refleksi di akhir pertemuan • Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
g)
Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual
1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya • Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. • Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan
92
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
2. Inquiry (Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. 3. Questioning (Bertanya) (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. • Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. • Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry. 4. Learning Community (Masyarakat Belajar) (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. • Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar. • Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. • Tukar pengalaman. 5. Modeling (Pemodelan) Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. • Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. • Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
93
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
6. Reflection ( Refleksi) (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. • Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari. • Mencatat apa yang telah dipelajari. • Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok. 7. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya) Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. • Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. • Penilaian produk (kinerja). • Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
h)
Karakteristik Pembelajaran Kontekstual • Kerjasama • Saling menunjang • Menyenangkan, tidak membosankan • Belajar dengan bergairah • Pembelajaran terintegrasi • Menggunakan berbagai sumber • Siswa aktif • Sharing dengan teman • Siswa kritis guru kreatif • Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
i)
Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang
94
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut. 1) Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar. 2) Nyatakan tujuan umum pembelajarannya. 3) Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu 4) Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa 5) Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
j)
Kelebihan dan kekurangan pendekatan Kontekstual Kelebihan 1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan. 2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. Kelemahan 1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak
95
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. 2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula. III. Kesimpulan dan Saran a) Kesimpulan Pembelajaran berbasis kontekstual memiliki berbagai keunggulan di antaranya: (1) siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis terhadap materi pramenulis laporan dan menulis laporan, (2) siswa penuh dengan aktivitas dan antusias untuk menemukan tema, (3) siswa berani mengajukan pertanyaan dan informasi atau hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, (4) siswa terlatih untuk belajar ’sharing ideas’ saling berbagi pengetahuan dan berkomunikasi, (5) siswa dapat memberikan contoh melakukan pengamatan terhadap suatu objek di lingkungan sekolah secara giat, serius, dan antusias untuk memperoleh data seoptimal mungkin, (6) refleksi yang dilakukan, baik selama pembelajaran berlangsung maupun dalam setiap akhir pembelajaran berlangsung, (7) penilaian menekankan pada proses dan hasil pembelajaran, seperti: presentasi atau penampilan siswa selama: berdiskusi, melakukan observasi, mendemonstrasikan, dan hasil menulis laporan; selain itu, setiap siswa melakukan penilaian terhadap laporan yang yang ditulis oleh temannya. Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Pembelajaran berbasis pendekatan kontekstual merupakan upaya yang ditempuh guru untuk memberikan motivasi pada siswa agar siswa lebih aktif, kreatif, dan dapat memberdayakan kemampuan dirinya dalam melakukan kegiatan pembelajaran. b) Saran Makalah ini sangat berguna bagi siapa saja, terutama dalam pelaksanaan pendekatan kontekstual. Untuk itu apapun ilmu yang diperoleh dalam makalah ini sebaiknya direalisasikan bagi seluruh pembaca. DAFTAR PUSTAKA Diknas, D. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Depdiknas. Hernowo. (2006). Menjadi GURU Yang Mau dan Mampu Mengajar dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual. Bandung: Mizan Learning Center. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
96
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
Mega, I. (2004). Kamus Inggris Indonesia. Surabaya: Mitrapress. Muslich, M. (2008 ). Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Siregar, E., & Nara, H. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. http://books.google.com http://docs.google.com
97
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer