MENYELARASKAN BUDAYA MAKAN DENGAN DIVERSIFIKASI PANGAN UNTUK MENCAPAI DERAJAT KESEHATAN YANG OPTIMAL
Disampaikan pada Peringatan Dies Natalis XXIX Universitas Widya Mataram Yogyakarta Senin, 10 Oktober 2011 oleh Dr. Ambar Rukmini
PANITIA DIES NATALIS XXIX UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA TAHUN 2011 0
MENYELARASKAN BUDAYA MAKAN DENGAN DIVERSIFIKASI PANGAN UNTUK MENCAPAI DERAJAT KESEHATAN YANG OPTIMAL Oleh : Dr. Ambar Rukmini PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hal yang sangat bernilai dalam kehidupan manusia. Seseorang yang sehat secara lahir dan batin akan mampu beraktivitas maksimal, sehingga disebut sebagai orang yang produktif. Produktivitas tersebut dapat terganggu ketika seseorang sakit. Penyakit yang diderita manusia saat ini, sebagian besar merupakan penyakit tidak menular (PTM), tergolong sebagai penyakit kronis, misalnya diabetes, osteoporosis, hipertensi, jantung koroner, stroke, dan kanker. Munculnya penyakit-penyakit „modern‟ tersebut merupakan akibat dari gaya hidup modern, khususnya pola makan, yang tidak sehat. Di Indonesia, PTM merupakan penyebab kematian terbanyak. Bahkan, proporsi angka kematian akibat PTM meningkat dari 41,7 persen pada tahun 1995 menjadi 49,9 persen pada tahun 2001, dan 59,5 persen pada tahun 2007. Penyebab kematian tertinggi adalah akibat stroke (15,4 persen), dan disusul hipertensi, diabetes, kanker, serta penyakit paru obstruktif kronis (Balagita, 2011). Badan kesehatan dunia (WHO) melansir bahwa 63 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit kronis. Pada tahun 2008, 1
9 juta dari 36 juta orang yang meninggal akibat penyakit kronis berusia di bawah 60 tahun dan 80 persennya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia (WHO, 2011). Penyebab terjadinya penyakit kronis sangat berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, minum minuman beralkohol, obesitas, dan kurang berolahraga. Riskesnas tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 34,7 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok setiap hari; 93,6 persen tidak mengonsumsi buah dan sayuran; serta 38,2 persen masyarakat kurang melakukan olahraga (Balagita, 2011). Tingginya persentase penduduk yang tidak mengonsumsi buah dan sayuran perlu mendapat perhatian karena buah dan sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat pangan yang sangat penting bagi kesehatan. Selain itu, untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, kita perlu pula memperhatikan asupan makronutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) dalam jumlah seimbang. Tulisan ini akan menguraikan hubungan antara budaya makan dan diversifikasi pangan dengan kesehatan. Namun sebelumnya, akan saya singgung terlebih dahulu mengenai konsep budaya terhadap pola makan yang terjadi di masyarakat. MAKAN DALAM KONSEP BUDAYA Pola makan seseorang ternyata dibentuk dari latar belakang budaya yang dimilikinya dengan berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi (gaya hidup, rekayasa bio-teknologi, ekpresi simbolik, masuknya ideologi). Hasil penelitian Meliono-Budianto (2004) menunjukan bahwa 2
perilaku makan seseorang berkaitan dengan dimensi etis dalam melihat tentang “yang baik” dan “buruk” pada proses pembuatan dan pemasaran makanan dan berdampak pada munculnya masyarakat konsumtif. Dimensi etis yang dimaksud adalah perilaku seseorang secara moral dalam menilai makanan ketika makanan itu hadir melalui suatu proses pengolahan yang cukup panjang dan disantap. Perilaku makan suatu masyarakat banyak didominasi oleh pola budayanya dari sudut etika, khususnya etika makanan (food ethics). Studi tentang makanan dalam konteks budaya merujuk pada persoalan–persoalan praktis serta perilaku konkret masyarakatnya. Kepercayaan suatu masyarakat tentang makanan berakibat pada kebiasaaan (praktek) makan serta berakibat pula pada kondisi gizinya. Dari sisi antropologi, kebiasaan makan merupakan sesuatu yang sangat kompleks karena menyangkut tentang cara memasak, suka dan tidak suka, serta adanya berbagai kepercayaan (religi), pantangan-pantangan dan persepsi mitis (tahayul) yang berkaitan dengan kategori makan, yaitu produksi, persiapan dan konsumsi makanan (Foster dan Anderson, 1986). Melalui fenomena tersebut serta dalam perkembangannnya, kategori makan akan berhadapan dan berkaitan dengan kategori-kategori budaya lainnya seperti, kategori kehidupan sosial, agama, kehidupan perekonomian, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Peran makanan dalam kebudayaan merupakan kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubunganhubungan dengan kehidupan sosial, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, serta teknologi dengan berbagai dampaknya. 3
Dengan kata lain, kebiasaan makan atau pola makan tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan tubuh saja, tetapi juga dapat memainkan peranan penting dan mendasar terhadap ciri-ciri dan hakikat budaya makan. Berbicara tentang konsep makanan, maka makanan dapat berupa produk nabati dan hewani yang berasal dari daratan maupun perairan, produk yang dibudidayakan di lahan pertanian, produk yang dijual di pasar tradisional maupun supermarket. Makanan tidaklah semata-mata hanya sebagai produk organik hidup dengan kualitas biokimiawi, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya. Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh disantap dan tidak mengijinkan makan makanan yang tidak boleh disantap. “Ijin” tersebut menjadi semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan yang sifatnya normatif. Masyarakat setempat akan patuh terhadap hal tersebut. Munculnya pandangan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh disantap menimbulkan kategori “bukan makanan” bagi makanan yang tidak boleh disantap. Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara zat gizi (nutrient) dengan makanan (food). Zat gizi adalah konsep biokimia, yaitu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang mengonsumsinya. Sedang makanan (food) adalah konsep budaya, suatu pernyataan yang berada pada masyarakat tentang makanan 4
yang dianggap boleh dimakan dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan sebagai makanan (Foster dan Anderson, 1986). Sebagai animal symbolicum (mahluk yang bersimbol), manusia memiliki berbagai simbol yang muncul dalam bentuk bahasa, seni, pengetahuan, sejarah, dan religi. Hubungan atau relasi antar manusia dapat dilakukan secara konseptual dan psikologis melalui pernyataanpernyataan bahasa. Bahasa dapat dianggap sebagai ekspresi atau ungkapan pengalaman kehidupan manusia. Melalui ujaran dan tulisan, bahasa itu diungkapkan secara nyata dan dipahami oleh manusia. Bagaimana hubungan antara makanan dan bahasa? Dalam kebudayaan manusia, maka makanan selalu memiliki nama, baik nama yang berasal dari berbagai daerah (misalnya gudeg untuk makanan khas Yogya, mpek-mpek untuk makanan khas Palembang, soto sulung untuk makanan khas Surabaya, tinutuan untuk makanan khas Manado, dan sebagainya) maupun dari luar negeri (burger, spaghetti, pizza, ice cream, sushi, dan sebagainya). Melalui sebutan nama pada makanan tersebut, hubungan makanan dan bahasa terjadi. Sebenarnya dengan penamaan itu, perasaan orang terbangkitkan dan beberapa keinginan juga menyertainya ketika melakukan tindakan tertentu. Misalnya, ketika makan tinutuan (bubur Manado) orang yakin akan memperoleh manfaat bagi kesehatannya. Tinutuan dalam bahasa Manado berarti „semrawut‟ atau campur aduk. Dinamakan demikian karena makanan tersebut dibuat dari berbagai macam bahan, yaitu beras, jagung, ubi merah, labu kuning, singkong, bayam, kangkung, 5
air, garam, daun serai, daun kunyit, daun bawang, daun kemangi serta daun gedi. Oleh karena dibuat dari berbagai macam bahan, maka makanan tersebut mengandung banyak gizi dan serat yang sangat baik untuk pencernaan dan kesehatan. Contoh lain misalnya, makanan yang disebut sebagai jajan pasar akan hadir ketika masyarakat Jawa melakukan ritual “slametan”dan makanan itu sebagai salah satu syarat sesaji. Di sisi lain, kehidupan manusia di abad globalisasi ini sangat kompleks dan multikultural. Berbagai fenomena tersebut hadir di tengah masyarakat, begitu juga dengan makanan. Makanan dikemas dan diberi label dengan pernyataan bahasa yang menarik. Dengan demikian, labellabel yang dimunculkan melalui pernyataan bahasa atau teks dapat menjadi bahan untuk dicermati. Melalui pernyataan tersebut muncul sebenarnya isi pikiran serta persepsi manusia yang berkaitan dengan objek yang diinginkan serta realitas yang menyertainya. Objek tersebut berupa makanan yang dipasarkan dalam kemasan tertentu. Sedang realitas adalah kenyataan akan keinginan agar makanan tersebut laku dijual. Oleh karena itu perlulah pernyataan itu dibuat dengan tujuan tertentu, yaitu menarik orang untuk membeli makanan tersebut. Dengan demikian terjadi suatu hubungan antara pernyataan (proposisi) dan pikiran yang memperoleh ungkapan yang dapat ditangkap oleh indra manusia (Pears dan McGuinness, 1999) Pernyataan atau teks pada label dapat dipahami dari aspek etika, tepatnya metaetika. Metaetika adalah kajian etika yang berkaitan dengan berbagai pernyataan atau 6
ucapan manusia di bidang moralitas (Bertens, 2001). Pernyataan tersebut tidak hanya mengandung kaidah logika tetapi memiliki kalimat etis. Pada kalimat etis terkandung kebenaran moralitas melalui suatu anggapan apakah dibenarkan apabila melalui suatu kenyataan (realitas) maka dapat disimpulkan bahwa itu harus atau boleh dilakukan. Sebagai contoh, apabila kita mengetahui bahwa sebenarnya zat aditif X pada makanan adalah berbahaya, apakah dibenarkan kita membiarkan makanan itu disantap. Melalui analogi tersebut, muncul pernyataan bahasa atau proposisi pada label makanan tanpa menghiraukan kaidah metaetika. Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan makanan berdampak juga pada perubahan budaya. Makanan alamiah yang berasal dari lahan pertanian seperti beras, gandum, jagung menjadi lebih menarik lagi apabila diolah dengan lebih modern sesuai dengan tuntutan zaman. Makanan siap saji (fast food) menjadi lebih diminati karena dianggap lebih cepat dan praktis sebab dapat menunjang kebutuhan masyarakat urban yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian, perkembangan dan peningkatan perekonomian sebagian masyarakat juga membentuk kebiasaan makannya. Perubahan gaya hidup muncul ketika orang lebih tertarik dengan fast food yang ditawarkan dan hal itu dianggapnya dapat memberikan nilai tambah baginya. IMPLIKASI BUDAYA MAKAN PADA KESEHATAN Tanpa disadari, ritme hidup telah menggiring kita pada pola makan yang keliru. Kemajuan jaman dan modernisasi membuat segala sesuatu dilakukan secara 7
cepat. Termasuk dalam hal makan, orang lebih suka yang serba siap saji. Selain restoran, supermarket penyedia fast food juga semakin menjamur. Kepraktisan dan perubahan selera dari makanan tradisional ke makanan global membuat fast food semakin sering dikonsumsi. Harus diakui, fast food telah menciptakan budaya makan baru, yaitu makan tidak lagi berpijak pada kebutuhan asupan gizi, tetapi cenderung pada faktor pemenuhan selera yang akhirnya hanya berujung pada keperluan untuk mengisi perut agar kenyang. Fast food menjadi pilihan dengan alasan terburu-buru karena harus mengejar waktu. Ritual makan dengan tenang sambil mengobrol santai di meja makan di antara sanak keluarga sudah semakin luntur. Sepintas bersantap serba cepat dengan gaya fast food memang praktis. Namun, sesungguhnya sangat membebani sistem metabolisme tubuh. Tubuh dipaksa bekerja keras untuk mencerna makanan yang kurang lengkap gizinya, tetapi berlimpah zat yang tak berguna, apalagi jika disantap dengan terburu-buru. Pangan yang tergolong fast food pada umumnya kaya akan asam lemak jenuh dan asam lemak berkonfigurasi trans serta tinggi kalori dan gula sederhana, tetapi sangat miskin serat. Di samping itu, fast food banyak mengandung bahan tambahan pangan (food additive) sintetis berupa pewarna, pemanis, pengawet, pengenyal maupun penambah cita rasa yang berfungsi menggugah selera. Bahan-bahan tersebut sangat kurang bersahabat bagi kesehatan. Tak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan zaman telah mengubah gaya hidup dari yang tradisional menjadi 8
serba instan. Prinsip hidup „alon-alon waton kelakon‟ telah berubah menjadi hidup serba terburu-buru. Pola dan selera makan pun juga berubah. Terutama bagi anak-anak dan remaja, kini lebih menyukai makanan ala Barat seperti fried chicken, burger, spaghetti atau pizza dibanding lotek, gadogado, pecel, gudangan, sayur asem atau lodeh. Jenis makanan yang lebih digemari anak-anak dan remaja tersebut cenderung tinggi kalori, lemak, dan protein, tetapi sangat kurang serat, vitamin dan mineral tertentu. Perubahan pola makan yang terjadi di masyarakat telah menggeser budaya makan yang berdampak pada asupan gizi harian menjadi tidak seimbang. Anjuran konsumsi gizi “empat sehat lima sempurna” yang sangat popular di tahun tujuhpuluhan sudah semakin luntur dan tidak dikenal lagi oleh kebanyakan anak di era millennium sekarang ini. Padahal, asupan gizi yang tidak seimbang dapat berakibat pada munculnya berbagai macam penyakit kronis. Kebiasaan mengonsumsi makanan dan/atau minuman yang terlalu tinggi kalori, protein, dan lemak dalam dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan kelebihan gizi, seperti kegemukan (overweight), obesitas, hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, maupun hipertensi. Di seluruh dunia, prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak-anak maupun orang dewasa meningkat secara dramatis. Menurut WHO (2009), sekitar satu miliar penduduk dewasa di dunia mengalami kegemukan dan 300 juta di antaranya menderita obesitas. Dan diperkirakan, satu dari sepuluh anak usia sekolah juga mengalami kegemukan. Sekitar 30 juta sampai 45 juta anak yang menderita 9
obesitas, diperkirakan dua sampai tiga persennya berumur 5 sampai 17 tahun. Kondisi kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko munculnya penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, dan kanker. WHO menyebutkan, kira-kira 30 persen kanker disebabkan oleh faktor makanan, kurangnya aktivitas fisik, kegemukan dan obesitas dengan proporsi kurang lebih 20 persen terjadi di negara-negara berkembang dan diperkirakan akan terus meningkat. Peneliti-peneliti WHO memperkirakan bahwa antara tahun 2005 sampai 2015 sebanyak 84 juta penduduk dunia akan meninggal karena kanker (WHO, 2009). Selain kanker, penyakit jantung koroner, stroke, dan diabetes juga bersumber dari budaya makan yang salah. Kebiasaan mengonsumsi makanan gorengan, terlebih yang digoreng dengan minyak yang sudah berkalikali digunakan seperti yang dijajakan oleh kebanyakan penjual makanan gorengan, juga dapat memicu penyakit kronis yang mengantarkan pada kematian. Salah satunya adalah penyakit jantung atau penyakit kardiovaskuler (PKV). Di Indonesia, angka kesakitan dan kematian akibat PKV semakin meningkat tajam. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga menunjukkan bahwa PKV sebagai penyebab kematian terus mengalami peningkatan, dari urutan ke-11 pada tahun 1972 menjadi urutan ketiga pada tahun 1986, dan menjadi urutan pertama penyebab kematian pada tahun 2001. Penyebab utama PKV adalah adanya manifestasi aterosklerosis pada pembuluh darah koroner, dengan salah satu faktor risiko utamanya adalah dislipidemia. Dislipidemia 10
adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh peningkatan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida serta penurunan kadar HDL dalam darah. Peningkatan kejadian dislipidemia di Indonesia terutama disebabkan oleh dampak perubahan budaya makan masyarakat yang cenderung mengonsumsi rendah serat dan tinggi lemak yang berefek negatif bagi kesehatan. Konsumsi sumber lemak yang tidak baik akan sangat mengganggu kesehatan. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian menggunakan tikus Wistar yang diberi diet mengandung minyak goreng bekas, mengalami dislipidemia serta terlihat adanya foam cell serta lesi (semacam luka) yang menginisiasi proses aterogenesis pada sel aorta, jantung, maupun liver tikus (Rukmini, 2008). Akibat proses penggorengan, maka asam lemak yang terkandung di dalam minyak goreng bekas telah mengalami oksidasi termal. Konsumsi minyak yang demikian akan menyebabkan lesi pada lapisan endothelium dan menstimulasi timbulnya foam cell atau plaque, penebalan dinding pembuluh darah serta penyempitan pembuluh darah (Roos, 1986). Kondisi tersebut merupakan penyebab terjadinya serangan jantung dan stroke. Penelitian mengenai dampak konsumsi rendah serat terhadap kesehatan juga telah banyak dilakukan. Serat pangan (dietary fiber) memberikan efek fisiologis menguntungkan, meliputi laksasi dan/atau “mengatur” kadar kolesterol darah serta glukosa darah. Oleh karena itu, budaya makan fast food yang pada umumnya rendah serat dapat memicu penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kadar kolesterol dan glukosa, seperti hipertensi, jantung, 11
stroke, dan diabetes. Efek fisiologisnya berkaitan dengan sifat fisik dan kimia serat pangan dan fraksi-fraksinya. Serat pangan merupakan bahan yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia, tetapi sebagian atau seluruhnya akan mengalami degradasi mikrobiologis (fermentasi) di dalam kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid = SCFA) terutama asam asetat, propionat dan butirat serta asam valerat, iso valerat, iso butirat dalam jumlah kecil (Sembor et al., 1999). Serat pangan non-selulosa lebih mudah terdegradasi oleh bakteri menghasilkan SCFA yang dipercaya dapat menyehatkan kolon, sehingga menurunkan prevalensi kanker kolon. Serat pangan mempunyai kemampuan mengikat molekul organik, misalnya garam empedu, kolesterol, dan toksin. Kemampuan tersebut dipercaya sebagai salah satu mekanisme penurunan kolesterol dan penyerapan toksin oleh tubuh. Serat pangan juga dapat menurunkan kecepatan absorpsi gula, sehingga menurunkan glukosa plasma post prandial (setelah makan). Beberapa mekanisme yang dikemukakan oleh para peneliti antara lain, serat pangan yang bersifat larut air (soluble fiber) dapat membentuk gel yang viskus, sehingga menghambat absorpsi glukosa (Pastors et al., 1991; Smith et al., 1996), dan meningkatkan sensitivitas insulin (Anderson et al., 1991; Smith et al., 1996). Dengan demikian, konsumsi serat pangan dalam jumlah cukup dapat menghindarkan dari gangguan penyakit hiperkolesterolemia yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, kanker serta diabetes. Diabetes merupakan gangguan kesehatan yang sering diasumsikan sebagai akibat kelebihan konsumsi 12
karbohidrat (gula sederhana). Sesungguhnya, penderita diabetes tidak hanya mengalami gangguan metabolisme karbohidrat, tetapi juga gangguan metabolisme lemak dan protein, dengan gejala hiperglisemia kronis. Diabetes terjadi akibat defisiensi sekresi hormon insulin, defisiensi transporter glukosa, rendahnya aktivitas insulin, atau kombinasinya (Anonim, 2011). Penderita diabetes yang tidak mendapat penanganan secara layak akan mengalami komplikasi, antara lain PKV, kerusakan mata atau gagal ginjal kronis. Diabetes juga merupakan pemicu berbagai penyakit, antara lain Alzheimer, ataxia, down syndrome, Parkinson, demensia („pikun‟), dan lain-lain. Sarapan dengan sumber karbohidrat sederhana, seperti cereal olahan, roti putih, roti panggang, atau nasi dalam jumlah berlebih akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah secara mendadak. Akibatnya, tubuh melepaskan insulin dalam jumlah yang cukup besar. Hasilnya adalah penurunan kadar gula dalam darah dan keinginan untuk makan lebih banyak karbohidrat. Siklus ini berulang 2-3 kali sehari. Kondisi naik turunnya kadar gula dalam darah ini memperberat kerja pankreas yang merupakan organ tempat dikeluarkannya insulin. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat merusak pankreas. Budaya makan yang berprinsip bahwa belum makan kalau belum makan nasi akan menyebabkan konsumsi karbohidrat harian menjadi semakin berlebih. Hal inilah yang merupakan alasan utama penyebab diabetes. Konsumsi karbohidrat dalam jumlah berlebih juga akan berdampak pada rendahnya asupan zat gizi yang lain, misalnya protein, vitamin, dan mineral. Berbagai gangguan 13
kesehatan dapat timbul akibat rendahnya asupan zat gizi tersebut dan berakibat pada menurunnya produktivitas. Studi di Indonesia maupun Sri Lanka menunjukkan bahwa produktivitas pria yang mengalami anemia 20 persen lebih rendah dibanding yang tidak anemia. Di China, pemberian tambahan zat besi mampu meningkatkan produktivitas wanita pekerja pabrik kapas hingga 17 persen (Krisnamurthi, 2008). Produktivitas dan kesehatan merupakan masalah yang berkaitan erat dengan status gizi yang juga sangat berhubungan dengan biaya hidup atau pengeluaran masyarakat. Pada tahun 2007, WHO melaporkan bahwa pengeluaran masyarakat dunia untuk kesehatan, 50 persennya terkait erat dengan masalah gizi dan perilaku. Sedangkan di Indonesia, pada tahun tersebut biaya kesehatan yang terkait masalah gizi dan perilaku hidup kurang sehat mencapai Rp 11,6 trilyun (Krisnamurthi, 2008). Sehubungan dengan hal tersebut Kementerian Pertanian telah menyusun Rencana Strategis untuk tahun 2010-2014 dengan agenda utama dalam membangun ketahanan gizi di Indonesia adalah melalui peningkatan program keanekaragaman atau diversifikasi pangan (Permentan, 2011). DIVERSIFIKASI PANGAN DI INDONESIA Diversifikasi pangan sebenarnya merupakan salah satu strategi untuk mencapai ketahanan pangan. Upaya peningkatan diversifikasi pangan dapat dilaksanakan melalui percepatan penganekaragaman konsumsi pangan dengan target tercapainya pola konsumsi pangan yang beragam, 14
bergizi seimbang dan aman, yang dicerminkan oleh tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH). Dalam Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014 disebutkan bahwa target PPH sekurang-kurangnya 93,3 pada tahun 2014. Hal tersebut diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan konsumsi produk pangan lokal berupa umbiumbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan hewani, sehingga konsumsi beras diharapkan akan turun sekitar 1,5 persen per tahun (Permentan, 2011). Nilai/skor mutu PPH memberikan informasi mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi, yang menggambarkan pencapaian ragam (diversifikasi) konsumsi pangan. Semakin besar skor PPH menunjukkan kualitas konsumsi pangan yang semakin baik. Upaya pemulihan ekonomi telah meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan dengan peningkatan skor PPH dari 79,1 pada tahun 2005 meningkat menjadi 83,1 pada tahun 2007 dan 86,4 pada tahun 2010. Laju peningkatan skor PPH yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan yang mengarah pada pola konsumsi yang semakin beragam dan bergizi seimbang. Salah satu upaya untuk mencapai pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman yang dicerminkan dengan skor PPH adalah melalui peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan dengan cara menurunkan konsumsi padi-padian (khususnya beras dan terigu), serta peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, serta buah dan sayuran. Menurut Permentan (2011), tingkat konsumsi beras Indonesia yang pada tahun 2010 cukup tinggi yaitu sebesar 101,1 kg/kapita/tahun 15
diupayakan turun menjadi 95 kg/kapita/tahun pada tahun 2014. Konsumsi jagung dan terigu juga diturunkan dari 3,0 dan 7,4 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 2,5 dan 6,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2014. Sedangkan konsumsi umbi-umbian, daging, telur, susu, kedelai, gula pasir, buah, dan sayuran ditingkatkan masing-masing dari 25,4; 8,6; 9,1; 2,1; 9,8; 9,4; 29,3; dan 53,0 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 29,3; 10,4; 10,9; 2,5; 10,2; 9,6; 33,2; dan 58,0 kg/kapita/tahun pada tahun 2014. Pola konsumsi pangan masyarakat sampai saat ini masih didominasi oleh beras. Konsumsi beras Indonesia menduduki peringkat satu dunia. Sebagaimana digambarkan dengan tingginya tingkat konsumsi beras pada tahun 2009, yaitu sebesar 102,2 kg/kapita/tahun dan sedikit mengalami penurunan menjadi 101,1 kg.kapita.tahun pada tahun 2010. Dalam kasus yang lebih ekstrem, pada tahun 2008 provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tingkat konsumsi beras sebesar 195,5 kg/kapita. Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Jepang dan Malaysia yang hanya 60 dan 80 kg/kapita/tahun. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan beras untuk konsumsi masyarakat akan semakin bertambah, dan apabila keadaan ini terus berlangsung serta tidak ada upaya diversifikasi pangan, maka akan membebani masyarakat dan negara serta mengancam ketahanan pangan nasional. Sejauh ini, upaya diversifikasi pangan di Indonesia nampaknya belum optimal. Hal tersebut disebabkan antara lain belum berkembangnya pangan lokal berbasis teknologi pengolahan pangan, budaya makan masyarakat yang masih berpedoman pada prinsip belum makan kalau belum makan 16
nasi, serta belum optimalnya dukungan dari program sektor lain dalam percepatan diversifikasi pangan. Data menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mengkonsumsi beras lebih banyak daripada asupan karbohidrat yang dibutuhkan, yakni mencapai 62,2 persen untuk tahun 2007. Menurut rekomendasi pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 bahwa konsumsi padi-padian untuk mencukupi karbohidrat cukup 50 persen saja, dan sisanya berasal dari umbi-umbian. Dalam widyakarya tersebut juga direkomendasikan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masingmasing adalah 2000 kal/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari (Krisnamurthi, 2008). Angka tersebut lebih rendah dibanding rekomendasi WNPG VII tahun 2000 yang menyatakan bahwa angka kecukupan energi adalah 2.100 kkal/kapita/hari dan kecukupan protein sebesar 56 gram/kapita/hari. Rekomendasi WNPG selaras dengan program pemerintah yang dituangkan dalam Renstra Kementerian Pertanian tentang peningkatan diversifikasi pangan, yaitu konsumsi komoditas pangan utama yang menghasilkan karbohidrat diharapkan menurun setiap tahunnya dan meningkatkan konsumsi penghasil protein baik nabati maupun hewani. Melalui rekomendasi tersebut diharapkan seluruh penduduk Indonesia mengonsumsi semua zat gizi sesuai dengan kebutuhannya, sehingga mampu menangkal peluang terjangkitnya penyakit-penyakit kronis. Sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya di masa lalu memiliki makanan pokok non-beras, seperti jagung, ubi, dan sagu. Namun, masyarakat saat ini lebih banyak yang 17
mengonsumsi nasi atau berbahan beras. Meskipun demikian, beberapa daerah di wilayah Indonesia telah kembali mencanangkan dukungan terhadap program diversifikasi pangan. Sebagai contoh, salah satu daerah di Indonesia yang sedang mengupayakan pengembangan pangan alternatif adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Upaya yang dilakukan adalah melalui program “desa mandiri pangan menuju desa sejahtera”. Program ini dilakukan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan karena ketergantungan yang tinggi pada beras. Pelaksanaan program dimulai dari pemerintah yang berkomitmen menyelesaikan kelaparan dengan pangan lokal. Setiap hari Kamis dan Jumat, pemerintah NTT mengkonsumsi berbagai pangan lokal seperti jagung dan sagu di lingkungan pemerintahan. Di Jawa Barat juga telah diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) dan Surat Edaran (SE) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tentang sehari tanpa nasi atau dikenal dengan 'Gerakan Konsumsi Non Beras, One Day No Rice'. Alangkah baiknya jika program tersebut juga berlaku bagi semua masyarakat, tidak hanya lingkungan pemerintahan atau PNS saja. Dengan mengonsumsi bahan pangan beragam yang tidak hanya didominasi oleh beras, maka diharapkan kecukupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh dapat terpenuhi. SOLUSI UNTUK MENCAPAI DERAJAT KESEHATAN YANG OPTIMAL Tubuh manusia terdiri dari 100 trilyun sel. Untuk memelihara sel-sel tersebut, setiap harinya dibutuhkan 114 macam zat gizi yang harus dipenuhi melalui makanan. Agar 18
kebutuhan semua macam zat gizi tersebut dapat terpenuhi, maka setiap harinya kita harus mengonsumsi beraneka bahan makanan berkualitas dalam jumlah yang cukup. Selain itu, bahan pangan tersebut juga harus diolah secara tepat agar tidak terjadi kehilangan zat gizi akibat proses pengolahan yang salah. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa buah dan sayuran mengandung komponen bioaktif (karotenoid, vitamin, asam-asam organik limonoid dan flavonoid) yang sangat dibutuhkan tubuh untuk mencegah dan menghambat perkembangan penyakit-penyakit kronis. Oleh karena itu lebih baik dikonsumsi dalam bentuk segar atau tanpa proses pengolahan menggunakan panas (Cisneros-Zevallos, 2011; Patil et al., 2011). Akan tetapi, bahan pangan yang tidak diolah berisiko menimbulkan penyakit jika mengandung patogen, seperti strain baru dari Enterohemorhagic E. coli, noroviruses, C. botulinum, Cronobacter spp, Salmonella enteridis, atau Vibrio cholerae (Dewanti-Hariyadi, 2011). Di satu sisi, kita perlu bahan makanan segar agar dapat memperoleh zat gizi yang utuh, tetapi di sisi lain dapat terjangkit penyakit jika bahan pangan tersebut mengandung patogen. Jalan tengahnya adalah melakukan pemilihan bahan pangan segar yang baik dan sehat serta mengolah bahan pangan tersebut secara tepat agar zat gizinya tidak banyak yang hilang atau rusak karena zat gizi yang telah rusak juga membahayakan kesehatan. Kesadaran terhadap masalah kesehatan yang bergaung cukup kencang akan menjadi gelombang yang menerjang dan mampu mengubah paradigma setiap orang akan pentingnya budaya makan yang baik dan benar. 19
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa berbagai penyakit kronis dipicu oleh asupan zat gizi yang bersumber dari makanan yang tidak baik. Beberapa bahan makanan utama dimungkinkan banyak mengandung produk oksidasi lemak (lemak yang mengalami oksidasi selama proses pengolahan maupun penyimpanan), misalnya makanan yang digoreng dan makanan kering, khususnya yang berupa tepung. Produk oksidasi lemak yang masuk ke dalam tubuh bersama makanan, akhirnya akan berada di dalam lipoprotein dalam plasma darah (Addis, 1990) dan dapat menyebabkan lesi pada pembuluh darah. Pengaruh negatif dari produk oksidasi hanya akan timbul jika jumlah prooksidan (termasuk produk oksidasi lemak) proporsinya terlalu banyak, sehingga tidak dapat diamankan lagi oleh sistem antioksidatif yang ada dalam tubuh. Salah satu cara yang dapat ditempuh guna mengamankan pengaruh negatif dari produk oksidasi adalah dengan meningkatkan status sistem antioksidatif tubuh melalui konsumsi makanan sumber antioksidan (vitamin C, vitamin E, β-karoten, ataupun selenium), yaitu buah dan sayuran segar. Dengan menerapkan PPH, yaitu konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman yang dicapai dengan menurunkan konsumsi padi-padian (khususnya beras dan terigu), serta peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, serta buah dan sayuran. insya Allah harapan agar mencapai kesehatan optimal dapat selalu kita rasakan.
20
KESIMPULAN Oleh karena berbagai macam penyakit kronis bersumber dari budaya makan yang salah, maka solusi tepat untuk menghindari penyakit-penyakit modern tersebut adalah dengan memperbaiki pola makan. Caranya melalui penerapan diversifikasi pangan di dalam menu harian agar tubuh memperoleh kecukupan semua zat gizi yang dibutuhkan. Di samping itu, tentu saja juga harus selalu menjaga berat badan pada kondisi yang normal dan berolahraga secara teratur. Dengan menerapkan hal-hal tersebut, insya Allah kita semua selalu sehat, sehingga dapat bekerja secara produktif demi kemajuan dan kejayaan institusi yang kita banggakan bersama. Dirgahayu Universitas Widya Mataram Yogyakarta, semoga semakin berhasil mewujudkan dharma dan pengabdian bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara yang kita cintai sesuai cita-cita luhur para pendiri institusi ini. Amin. DAFTAR PUSTAKA Addis, P. B. 1990. Coronary heart disease: An update with emphasis on dietary lipid oxidation products. Food and Nutrition News 62:7-10. Anderson, J. W., Zeigle, J. A., Deakin, D. A., Floore, T. L., Dillon, D. W., Wood, C. L., Oelgent, P. R. dan Whitley, R. J. 1991. Metabolic effects of high carbohydrate, high fiber diets for insulin dependent diabetic individuals. American Journal of Clinical Nutrition 54:936-943. Anonim. 2011. Diabetes mellitus. Wikipedia, the free encyclopedia [30 September 2011]. 21
Balagita, K. 2011. Gaya Hidup Penyebab Penyakit Kronis Mematikan. http://www.blog krishna balagita.htm [18 Agustus 2011]. Bertens, K. 2001. Etika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cisneros-Zevallos, L. 2011. Oxidative stress: In search of a link between plants and humans. Makalah disampaikan dalam Seminar PATPI. Manado, 15-17 September 2011. Dewanti-Hariyadi, R. 2011. Emerging foodborne pathogens. Makalah disampaikan dalam Seminar PATPI. Manado, 1517 September 2011. Foster, G. M dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan, terjemahan Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. UI Press, Jakarta. Krisnamurthi, B. 2008. Ketahanan gizi : keharusan yang kian mendesak. Makalah disampaikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX. Jakarta, 25 Agustus 2008. Meliono-Budianto, V. I. 2004. Dimensi etis terhadap budaya makan dan dampaknya pada masyarakat. Makara, Sosial Humaniora 8(2):65-70. Pastors, J. G., Blaisdell, P. W., Balm, T. K., Asplin, C. M. dan Pohl, S. L. 1991. Psyllium fiber reduces rise in postprandial glucose and insulin concentration in patients with Non-Insulin-Dependent diabetes. American Journal of Clinical Nutrition 53:1431-1435. Patil, B. S., Uckoo, R. M. dan Jayaprakasha, G. K. 2011. A perspective of foods for health in developing and developed countries: Challenges and opportunities. Makalah disampaikan dalam Seminar PATPI. Manado, 1517 September 2011. Pears, D. F. dan McGuinness, B. F. 1999. Tractatus Logico Philosophicus, cetakan.ke-10. Routledge, New York. 22
Permentan. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 15/Permentan/RC.110/1/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. http://www.kementan.org./restra2010-2014.pdf [30 September 2011]. Roos, R. 1986. The pathogenesis of atherosclerosis an update. Journal of Medical 314-318. Rukmini, A. 2008. The influence of improperly used frying oil on lipid metabolism in rats. Proceedings of the International Conference on Food Science and Technology, Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2008 Sembor, S. M., Marsono, Y. dan Noor, Z. 1999. Pengaruh serat ampas tahu dan tempe gembus terhadap profil asam lemak rantai pendek dalam digesta tikus Wistar. Agritech 19:160-164. Smith, D.C.., Habito, R., Barnett, M. dan Collier, G. R. 1996. Dietary guar gum improves insulin sensitivity in Streptozotocin- induced diabetics rats. Journal of Nutrition 127:359-364. WHO. 2009. Data and statistics. http://www.who.int/research/en/index.html [29 Januari 2009] WHO. 2011. Chronic diseases. http://www.who.int/topics/chronic_diseases/en/ [30 September 2011]
23