KOMISI PEMAHAMAN ALKITAB GKJ NEHEMIA PONDOK INDAH - JAKARTA PERIODE TAHUN 2017
BAHAN PA FEBRUARI 2017
Menyalakan Pelita Iman A. Bacaan: 1.
Ibrani 10:19-25
2.
Mazmur 24
3.
Markus 4:21-25
B. Mendalami Bacaan 1. Bacaan Pertama (Ibrani 10:19-25) Bacaan pertama dilatar-belakangi oleh paham Yahudi tentang Kemah Suci (namanya: Tabernakel), yang merupakan tempat kediaman Allah di tengah-tengah umat-Nya. Sewaktu Israel masih dalam pengembaraan di padang gurun, Kemah Suci ini hadir dalam rupa tenda besar yang mudah dibongkar-pasang seiring dengan gerak perjalanan umat Allah. Kemudian, ketika Israel sudah menjadi kerajaan besar, pada zaman Salomo, Kemah Suci itu diubah menjadi Bait Allah yang permanen. Sekalipun demikian, struktur dasarnya dipertahankan, yaitu: 1. Sesudah orang masuk lewat “pintu gerbang,” mereka berhadapan dengan “mezbah.” Mereka harus mempersembahkan korban dulu sebelum boleh melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih dalam. Ini adalah lambang dari kenyataan hidup manusia, bahwa untuk menuju kepada Allah (atau kebaikan) orang harus rela berkorban. 2. Sesudah mempersembahkan korban, mereka berhadapan dengan “bejana pembasuhan.” Mereka harus membersihkan diri supaya dapat masuk ke ruang suci/kudus dengan layak. Ini adalah lambang dari kenyataan hidup manusia, bahwa untuk semakin mendekat kepada Allah (atau kebaikan) orang harus terus-menerus menyucikan diri melalui pertobatan tiada henti. 3. Sesudah itu, orang akan masuk ke dalam “pintu dalam” (atau pintu kemah, atau pintu Bait Allah) yang membawa mereka ke ruang suci/kudus. Di ruang ini ada “tempat lilin” dan “meja sesaji-roti” serta “tempat dupa.” Ini adalah lambang bahwa, di dalam kedekatan yang mendalam dengan Allah, seorang manusia mengalami “cahaya” dan “makanan” dan “doa” 1
KOMISI PEMAHAMAN ALKITAB GKJ NEHEMIA PONDOK INDAH - JAKARTA PERIODE TAHUN 2017
yang membuatnya hidup. Tubuhnya diberi makan oleh Allah; jiwanya diterangi oleh Allah; dan rohnya bersatu-intim dengan Allah. Inilah suasana di ruang suci/kudus. 4. Di balik ruang suci/kudus, dengan dibatasi oleh sebuah tirai yang tidak boleh dijamah oleh orang awam, adalah ruang inti dari Bait Allah yang disebut tempat “mahasuci/mahakudus.” Di sini ada Tabut Perjanjian Allah, yang berisi dua loh batu (dekalog) dan tongkat-Harun (sarana penggembalaan). Ruang mahasuci/mahakudus ini tidak boleh dimasuki oleh siapa pun juga. Hanya Imam Agung saja yang boleh memasukinya. Barang siapa melanggar aturan ini, dia akan berhadapan dengan murka Allah yang menghanguskan hidupnya. Bacaan Pertama kita dalam PA kali ini, yaitu Ibrani 10:19-25, dilatar-belakangi oleh paham Yahudi tentang Kemah Suci (atau Bait Allah) itu. Namun, oleh Kitab Ibrani ditegaskan: bahwa antara ruang suci dan ruang mahakudus saat ini sudah tidak ada tirainya lagi. Tirai itu sudah sobek, karena dibuka oleh Allah sendiri sejak peristiwa wafatnya Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana dilukiskan oleh Injil Matius 27:51-52: 27:51 Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah, 27:52 dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit. Melalui lukisan macam itu, pesan pokok yang hendak diwartakan oleh Kitab Ibrani adalah bahwa orang-orang Kristen kini hidup dalam “Bait Allah” yang baru, yang bukan buatan manusia tetapi buatan Allah. Bait Allah di Yerusalem sudah hancur-lebur dirubuhkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70 Masehi; namun “Bait Allah” buatan Allah tidak bisa dimusnahkan oleh siapa pun juga sampai akhir zaman. “Bait Allah” yang baru itu adalah rumah rohani yang hidup di jiwa orangorang yang menjadi milik Allah, karena mereka telah ditebus oleh Darah Kristus. Maka, di mana pun mereka berada—tanpa harus ke Yerusalem—mereka bisa mengalami kehangatan-intim dengan Allah, sebab oleh Darah Kristus itu batin mereka menjadi ruang kudus yang disemayami oleh Allah Yang Mahakudus. Maka oleh Kitab Ibrani (10:25) diimbau supaya orang-orang Kristen itu giat membangun persekutuan ibadah, supaya realitas “Bait Allah” di tengah-tengah mereka itu menjadi semakin disadari dalam kenyataan hidup sehari-hari. 2. Bacaan Kedua (Mazmur 24) Bacaan kedua juga dilatar-belakangi oleh paham Yahudi tentang Kemah Suci, lambang kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Namun, kali ini Sang Juru Mazmur (yaitu Daud) mengajak orang untuk melihat lebih dalam: “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN (yaitu tempat di mana Bait Allah akan dibangun)?” Jawabnya adalah mereka yang bersih kelakuannya dan suci hatinya (24:3). Untuk berjumpa dengan Allah yang sejati, orang tidak bisa hanya mengandalkan benda-benda perantara. Sebab, langkah pertama untuk mendekati Allah adalah dengan berkorban (lihat gambar Kemah Suci di atas). Secara ritual (via upacara), korban itu diberikan dengan memberi persembahan material; namun secara rohani, korban material itu haruslah dilandasi dengan hati yang mau bertobat (artinya: sesudah berkorban, ia harus mau membersihkan diri dengan cara menyucikan perbuatannya alias bertobat; lihat gambar Kemah Suci di atas). 2
KOMISI PEMAHAMAN ALKITAB GKJ NEHEMIA PONDOK INDAH - JAKARTA PERIODE TAHUN 2017
Untuk itu, haruslah orang belajar untuk “membuka pintu gerbang” hatinya. Ia harus rela disemayami oleh Allah. Hatinya harus terbuka, yang ditandai dengan keterbukaan jiwa kepada sesama manusia. Dengan demikian, cinta akan melimpah dan menjadi sarana yang amat berharga untuk menyambut Allah yang akan datang menyemayami (atau mendiami) hati manusia. 3. Bacaan Ketiga Bacaan ketiga juga dilatar-belakangi oleh paham Yahudi tentang Kemah Suci (atau Bait Allah). Di dalam Kemah Suci itu ada “tempat lilin” yang dalam bahasa Alkitab berbahasa Indonesia disebut sebagai “kaki dian.” Tuhan Yesus berkata: "Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian.” (Mark 4:21) Kehidupan orang Kristen itu seperti “pelita” (atau lilin) yang bercahaya. Kehidupan macam itu haruslah diletakkan di tempat yang tepat, yaitu di “kaki dian” yang melambangkan sistem penerangan di Kemah Suci atau Bait Allah. Apa maksud Tuhan dengan mengatakan hal itu? Tampaknya, yang dimaksud Tuhan adalah kenyataan hidup manusia yang memperlihatkan adanya kesatuan antara dimensi batin (yang tidak kelihatan) dan dimensi sosial (yang kelihatan). Di tengahtengah umat yang telah ditebus oleh Darah Kristus, Bait Allah itu hadir sebagai kenyataan rohani yang membuat orang “mengalami Allah” dan terus-menerus bertumbuh di dalam asuhan ilahi-Nya. Namun, kenyataan rohani ini tidak boleh dibiarkan menjadi kebatinan yang serba-rahasia saja. Tuhan tidak menghendaki iman Kristen menjelma menjadi tradisi kebatinan rahasia. Tuhan mau supaya iman Kristen menjelma menjadi perbuatan konkret dan komunikasi sosial yang merambatkan isi Bait Allah (yaitu cinta Allah) ke seluruh dunia. Itulah sebabnya, seperti halnya Sang Juru Mazmur (Maz 24), Tuhan pun mengarahkan agar para murid-Nya mempunyai jiwa yang terbuka. Janganlah suka menghakimi orang; janganlah suka mengukur-ukur orang lain dengan keyakinan iman kita. Ukurlah orang menurut standar evaluasi yang wajar, yang adil, dan yang bisa dimengerti oleh akal sehat orang banyak. Janganlah keyakinan iman kita dipakai untuk memerangi dan men-zalim-i orang lain. Di dunia yang penuh dengan kebencian dan fitnah ini, hal itu sering kali tidak mudah. Namun, bagi para pengikut Tuhan, hal itu tidak akan jadi masalah. Dengan tabah, para murid terus berjalan mengikuti gerak langkah Tuhan yang berjiwa terbuka itu, sekalipun hal ini pada akhirnya menuju salib. Sekalipun penuh penderitaan, para murid Tuhan akan terus memancarkan cinta Allah kepada seisi dunia; dan dengan demikian, mereka pada akhirnya ambil bagian di dalam Kebangkitan Kristus yang tidak terbendung oleh apa pun juga. Seperti kata Tuhan: “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap.” (Mark 4:22) Nyalakanlah pelita imanmu, dengan lembut tapi tegas.
3
KOMISI PEMAHAMAN ALKITAB GKJ NEHEMIA PONDOK INDAH - JAKARTA PERIODE TAHUN 2017
C. Studi Kasus Akhir-akhir ini, situasi politik di sekitar kita terasa memanas. Sebabnya adalah karena peristiwa Pilkada (pemilihan kepala daerah) yang terjadi serentak di 101 daerah dalam 7 provinsi di Indonesia. Masyarakat pun segera “terpolarisasi” (terbelah dalam beberapa kutub). Masing-masing kandidat kepala daerah punya massa dalam jumlah yang cukup banyak, dan dalam situasi macam itu suasana “kebencian” pun merayap dan merebak di mana-mana. Tiba-tiba, orang memandang “orang lain” bukan sebagai kawan atau saudara sebangsanya tetapi sebagai “musuh” yang keberadaannya bersifat berbahaya. Kalau sudah demikian, akal sehat bisa macet. Orang tidak bisa lagi bersikap bijaksana, karena akal pikirannya sudah terlanjur dirasuki kebencian-kebencian politis. Contoh keadaan “terpolarisasi” ini bisa dipetik dari tempat yang jauh dari kita, yaitu di negeri Israel/Palestina. Di tempat itu konflik, peperangan, dan kebencian sudah berlangsung selama berabad-abad. Bahkan, kebencian itu sampai masuk ke dalam kitab suci dari beberapa agama. Di dalam kitab suci Yahudi ada sejumlah bangsa yang dianggap sebagai musuh umat Allah, dan bangsa-banga itu misalnya: orang-orang Midian, Amalek, Amon, Yebusy, Het, dan sebagainya. Di dalam kitab suci Kristen hal yang sama pun terjadi; misalnya, di dalam Injil Yohanes dilukiskan bahwa yang membunuh Kristus adalah orang-orang Yahudi. Hal ini pernah menyebabkan penganiayaan hebat terhadap orang-orang Yahudi di abad pertengahan dan pada zaman Luther maupun Hitler. Juga, di dalam agama kitab suci agama Islam, hal serupa pun terjadi. “Kasus Ahok” yang terjadi belakangan ini tiba-tiba membuat banyak orang mencari-cari makna surat Al-Maidah 51 yang isinya mencurigai eksistensi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kiranya, semua itu merupakan gambaran bahwa keadaan “polarisasi” di tengah masyarakat, jika tidak diolah dengan baik, akan menjelma menjadi kebencian-kebencian yang sifatnya permanen. Kasus-kasus tersebut di atas kiranya membuat kita melihat: bahwa jiwa manusia amatlah rapuh. Mudah dipengaruhi dan mudah disesatkan oleh arus sosial di sekitar kita. Maka, untuk membuat keadaan jadi lebih baik, kira perlu mengusahakan perlindungan dan edukasi terhadap jiwa manusia. Dengan cara apa? Dengan cara membangun “rumah aman” (safe-house) bagi jiwa manusia. Rumah-aman itu wujudnya apa? Rumah-aman itu wujudnya adalah Bait-Allah di dalam jiwa manusia. Di sana ada Allah yang hadir menerangi dan menghangati jiwa manusia dengan keintiman cinta-Nya. Dengan keintiman yang mengalir dari Allah ini, jiwa manusia akan tumbuh sehat dan subur dalam aneka kebaikan. Hal itu akan membuat orang sanggup mengasihi sesamanya dan mengalirkan banyak keindahan di tengah-tengah situasi dunia yang penuh dengan “polarisasi” kebencian ini. Jika jiwa kita menemukan “rumah aman” yang sejati, maka iman kita akan menjadi semacam pelita (atau lilin) yang menerangi kegelapan dunia di sekitarnya.
4
KOMISI PEMAHAMAN ALKITAB GKJ NEHEMIA PONDOK INDAH - JAKARTA PERIODE TAHUN 2017
D. Diskusi 1. Pernahkan kita mengalami “rasa benci” yang sebab-sebabnya tidak jelas? – Sadarilah. – Kira-kira, arus sosial dan situasi macam apakah yang membuat kita diliputi oleh “rasa benci” yang nggak jelas itu? – Ceritakanlah kepada rekan-rekan dalam PA kali ini. 2. Dari proses membaca Kitab Suci yang kita lakukan dalam PA kali ini, berikanlah pendapat Anda terhadap ayat-ayat di bawah ini: a) Ibrani 10:25 → Apa bahayanya menjauhkan diri dari “pertemuan ibadah kita?” → Diskusikanlah, di manakah letaknya “Bait Allah” itu di dalam “pertemuan ibadah kita?” b) Mazmur 24:3 → Kalau ada orang yang – tanpa mengolah hati dan perbuatannya – memaksakan diri ke “gunung Allah” (pertemuan ibadah), apakah ia bisa mencapai “Bait Allah” itu? c) Markus 4:21 → Di Bait Allah, ada lampu yang harus kita nyalakan. Bagaimanakah caranya “menyalakan lampu” di Bait Allah yang adalah hati kita itu? 3. Arus “polarisasi” sedang menerpa masyarakat kita. Kira-kira, apakah hal yang sama sedang terjadi pada (i) jemaat kita dan (ii) keluarga kita? – Bagaimanakah cara mengatasinya? Disusun oleh: Pdt. Simon Rachmadi, M.A, M.Hum
5