Menuju Penguatan Institusi Sosial Kutorejo, Pinggir Hutan Alas Purwo by
Jakarta, Maret 2011 KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) Alamat Sekretariat: Jl Slamet Riyadi IV, RT 10/RW 04, No. 49-50, Kelurahan Kebun Manggis, Jatinegara, Phone/Fax: 021-8564164; Mobile: 08128124672 Email:
[email protected] Jakarta Timur 13150
TIM KONPHALINDO PENYUSUN: RUDDY GUSTAVE * AHFI WAHYU HIDAYAT KONTRIBUTOR: BAMBANG TEGUH * DEDI BAYU JAKARTA, MARET 2011
Segala sesuatu itu berubah terus menerus dan tidak ada yang berhenti. (Heraclitus)
1
DAFTAR ISI KATA PENGNTAR
3
I. LATAR BELAKANG
4
1.1. TUJUAN 1.2. METODOLOGI II. MEMBANGUN DESA PINGGIR HUTAN II.1. KUTOREJO DARI MASA KOLONIAL HINGGA REFORMASI III. HUBUNGAN PERHUTANI DAN TAMAN NASIONAL
9 9 19
III.1. KLAIM TAPAL BATAS DAN PENDAPAT WARGA
19
III.2. PEMANFAATAN POTENSI HUTAN
21
III.3. POTENSI ”ZONA” PEMANFAATAN DAN MENUJU PEMANFAATAN BERSAMA
24
IV. SUARA KOMUNITAS
2
6 7
29
IV.1. DISKUSI PEMANFAATAN RUANG
29
IV.2. DISKUSI POLA HUBUNGAN KELEMBAGAAN LMDH DAN PERHUTANI
32
IV.3. PEMUDA DAH HARAPAN PERUBAHANNYA
33
IV.4. DISKUSI POLA PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
33
IV.5. JALAN KELUAR
37
V. PEREMPUAN KUTOREJO
39
RUJUKAN
42
PENGANTAR KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) didirikan tahun 1991 di Jakarta. Visi KONPHALINDO adalah sebagai pusat informasi dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Tujuan utama lembaga kami adalah memberikan informasi alternatif dan masukan bagi para pihak pelaksana pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat serta mendorong perubahan sikap masyarakat untuk menciptakan kondisi alam dan lingkungan yang lebih baik. Kegiatannya meliputi: penelItian, seminar dan publikasi, serta mengadakan pelatihan di bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kegiatan KONPHALINDO saat ini sedang berjalan adalah mendorong dan memperkuat kelembagaan sosial dalam pengelolaan sumber daya hutan dan hayati di sekitar Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Sebagai langkah awal adalah membaca dan mencermati perbincangan dan pengetahuan orang-orang di di sekitar Taman Nasional. Dan, laporan yang anda pegang sekarang ini adalah hasil kerja tim KONPHALINDO merekam pandangan yang hidup dan melacak jejak pengalaman hidup orang-orang di Kutorejo dan sekitarnya. Bagaimanapun, Kami menyadari dalam laporan ini masih banyak informasi penting yang luput dari jangkauan tim yang bekerja di lapangan. Untuk itu, Kami sangat berharap uluran tangan dan bantuan kerjasama semua pihak memberikan masukan-masukannya, dan memperbaiki kekeliruan isi laporan ini apabila dianggap kurang sesuai fakta yang lapangan dan pengalamannya. Akhirnya, harapan kami melalui laporan sementara ini akan membantu menambah informasi dan membuka ruang diskusi baru mengenai pengelolaan kawasan Alas Purwo ke depan lebih adil dan berkelanjutan. Terima kasih. Salam,
KONPHALINDO Jakarta, Maret 2011
3
I. LATAR BELAKANG Kira-kira satu tahun lamanya Kami terpaksa menahan rasa keinginantahuan lebih dekat mengenai persoalan kehidupan masyarakat dan hutan di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Dan, pada waktu itu Kami masih menggunakan nama organisasi Working Group Conservation for People (WGCOP).1 Mitos dan keangkeran kawasan Alas Purwo serta
keanekaragaman hayati hutan hujan dataran rendah terakhir di Pulau Jawa menjadi daya tarik Kami untuk ke sana.2 Kegiatan pengumpulan informasi mengenai hutan Blambangan Selatan3 atau kawasan TNAP dimulai tahun 2009. Dari hasil pencarian informasi diinternet rata-rata berbicara tentang keindahan dan keaslian habitat yang hanya dijumpai di wilayah Alas Purwo. Disamping itu Kami menemukan informasi mengenai pertentangan pembangunan jalan di dalam kawasan TNAP antara aliansi LSM lokal dengan masyarakat lokal, dan kliping koran lokal mengenai persoalan sosial-politik lokal Kabupaten Banyuwangi. Beberapa tulisan dan karya ilmiah yang dipublikasi diinternet, antara lain makalah hasil kajian mantan Kepala Balai Taman Nasional, Ir. Hartono M.Sc,. Makalah yang ditulis oleh Dwi Ariyanto, artikel Journal Biologi dari seorang peneliti LIPI, Syamsul Hidayat, dan laporan lapangan yang berjudul ”Mencari Keseimbangan; Pengelolaan Interaksi Antara Masyarakat dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo’’ disusun oleh Sam Beckman.4 Jujur Kami harus utarakan di sini bahwa seluruh bahan yang terkumpul hingga hari ini rasanya masih kurang lengkap dan ternyata masih banyak hasil penelitian yang belum terlacak di mana laporan tersebut disimpan, karena itu Kami masih berupaya terus untuk memburu dan mendapatkannya. Bulan Mei 2010, tim WGCOP melakukan pengamatan singkat ke kawasan TNAP dan bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat di desa terakhir yang berbatasan dengan TNAP, yaitu
1
WGCoP adalah jaringan kerja individu penggiat masalah konservasi, secara spesifik kami melakukan kerja-‐ kerja monitoring persoalan konservasi di Taman Nasional seluruh Indonesia. Persoalan konflik antara jagawana dan masyarakat pinggir hutan, menyusutnya keanekaragaman hayati dan kebijakan konservasi yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis konservasi dari pada menjaga kelestarian hutan menjadi rumusan kerja untuk menemukan alternative model konservasi di masa mendatang. Pertengahan 2009 WGCoP mulai melakukan pengumpulan informasi dan hasil penelitian lewat internet tentang kondisi sosial kehutanan wilayah hutan Alas Purwo. 2 Menurut cerita masyarakat setempat, mereka masih sering mendengar suara dan melihat ”baung” atau manusia dengan kepala anjing. Dalam Babad Blambangan selanjutnya dikutip dalam buku Java’s Last Frontier , cerita manusia berkepala anjing adalah bagian dari epic ”Serat Damarwulan” dimana Menak Jinggo sang manusia berkepala anjing penerus Raja Blambangan Pamengger menentang kekuasaan Majapahit. Selanjutnya, Ratu Majapahit Kencanawungu mengutus Damarwulan untuk membunuh Menak Jinggo. Damarwulan membunuh Minak Jinggo dengan memenggal kepalanya dan menghadiahkanya kepada Kencanawungu. 3 Hutan Blambangan Selatan adalah istilah lama untuk sebutan kawasan hutan Alas Purwo. 4 Mahasiswa Austrialia yang sedang belajar di Univeristas Muhammadyah Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program ACICIS, 2004.
4
Kalipait.5 Kami berbincang-bincang dengan Kepala Desa, Kepala Dusun, Sekretaris Desa dan beberapa warga desa. Kami juga menjelejahi hutan Alas Purwo dan menginap semalam di guess house yang dikelola oleh Balai Taman Nasional. Dari hasil kunjungan singkat itu kami berhasil menyusun gambaran umum persoalan mengenai hubungan kelembagaan masyarakat dengan insitusi pengelolaan hutan setempat, yaitu Balai Taman Nasional dan Perum Perhutani. Catatan awal dari kami bahwa terdapat persoalan komunikasi yang kurang harmonis antara ketiga pihak tersebut, dan kelemahan dalam pengelolaan organisasi masyarakat. Dan, catatan tersebut akan kami paparkan di Bab III. Cerita dari tokoh masyarakat yang berhasil kami kumpulkan juga memberikan kesempatan kepada kami untuk menerapkan prinsip ”triangulasi” penelitian. Untuk memahami persoalan kehutanan yang lebih luas dan didasari ikhtikad kami memperkuat institusi sosial melalui program komunikasi di pinggir hutan Alas Purwo, selanjutnya WGCoP bekerjsama dengan KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) mengajukan bantuan kerjasama program penguatan insitusi sosial ini kepada ICCO di Belanda, ICCO menyetujui mendanai kegiatan program ini selama satu tahun. Tanggal 26 September sampai 6 oktober 2010 tim KONPHLINDO mulai bekerja untuk mengumpulkan informasi di Desa Kalipait dan sekitar. Pada tahap awal sebelum menuju lokasi dusun Kutorejo, Kami menyempatkan diri melaporkan rencana ini kepada Bapak Ratmanto Trimohono, R, Kepala Adminitrasi KPH Banyuwangi Selatan di Jalan: Jaksa Agung Suprapto, Kabupaten Banyuwangi. Dari hasil perbincangan singkat Kami dengan Pak Ratmanto, dapat dismpulkan bhawa KPH Banyuwangi Selatan tidak keberatan dan mendukung rencana kerja KONPHALINDO. Tujuan yang sama juga saat berkunjung Kantor Balai Taman Nasional Alas Purwo di Jalan; Ahmad Yani, Banyuwangi. Pada waktu itu Kami tidak sempat bertemu langsung dengan kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo karena sedang rapat, keadaan terpaksa hanya menyampaikan surat pengajuan kerjasama ke bagian admnitrasi. Pertemuan dengan kepala Balai Taman Nasional Ir. Hartono M.Sc baru terjadi beberapa hari berikutnya seiring dengan kegiatan rapat koordinasi multipihak pembahasan penataan batas sementara kawasan Alas Purwo di kantor Balai Taman Nasional. Surat pengajuan kerjasama juga disampaikan kepada Kepala Desa kalipait Bapak Tupon Suryo Lesmono dan Kepala Dusun Kutorejo Pak Misyadi. Sambutan hangat dan dukungan dari kedua pemimpin desa tersebut semakin mambantu perjalanan penelitian kami berjalan dengan baik hingga saat ini.
5
5
Tim pra-‐survei ke Alas Purwo, terdiri dari Ruddy Gustave dari WGCoP dan Bambang Riyadi dari BScC, kegiatan ini didukung oleh Walhi Eksekutif Nasional.
Hingga laporan ini disusun kami masih terus memperbarahui informasi yang baru sembari menyusun apa yang sudah kami peroleh selama enam bulan terakhir. Besar harapan kami untuk bisa memberikan gambaran secara utuh tentang profile dinamika pengelolaan kehutanan di pinggir Alas Purwo. Rincian mengenai tujuan dan metodologi yang digunakan dalam kegiatan pengumpulan informasi lapangan sebagai berikut; 1.1. TUJUAN Di hutan Alas Purwo persoalan ketegangan antara masyarakat desa sekitar dengan institusi pengelolaan hutan sebetulnya telah berlangsung lama dan puluhan tahun. Namun ketegangan ini seolah terpendam karena tidak pernah disuik, dan klimaks persoalan cenderung hanya muncul secara parsial. Sebagai contoh, sepanjang waktu persoalan hutan yang muncul dan mencolok yakni persoalan penjarahan hutan besar-besaran pada tahun 1999, era pemerintah reformasi era Gus Dur, memberikan bukti adanya persoalan ketegangan yang terpendam. Kepada kami setiap penduduk setempat selalu menceritakan kembali pengalaman tersebut, betapa semua tanaman pohon jati saat itu dibabat warga maupun aparat Perhutani, siang dan malam semua orang bekerja di hutan untuk menbabat kayu, taktik dan kongkalikong antara penadah dan penebang dilakukan secara terbuka dan seakan sudah kesepakatan umum. Sebagai dusun terakhir yang berbatasan langsung dengan hutan, Kutorejo memiliki posisi kunci dalam pengelolaan hutan. Dinamika persoalan kebijakan kehutanan ataupun dinamika sosial politik di masyarakat memiliki korelasi positif terhadap kualitas lingkungan hutan. Berkaca pada kasus penjarahan muncul dibenak kami bagaimana seandainya masyarakat waktu itu selain melakukan penjarahan juga melakukan okupasi tanah. Sudah tentu jika hal tersebut terjadi kondisi lingkungan ekologi hutan Alas Purwo tidak lagi seperti kondisi sekarang ini. Saat ini masyarakat masih hidup ditengah rimbunnya hutan jati milik Perhutani, setiap harinya mereka masih keluar masuk hutan Taman Nasional untuk mencari kerang, kemiri, kluwak, kayu bakar atau sekedar mencari timbunan sampah yang masih bernilai dan terseret ombak di pesisir pantai TNAP. Seringkali ketegangan-ketegangan kecil muncul, bahkan tidak jarang berujung pada kasus kriminalisasi masyarakat. Tiga minggu yang lalu (Februari, 2011) kami baru saja mendapatkan kabar bahwa ada satu orang warga yang dilaporkan kepada polisi setempat gara-gara mencuri kayu di hutan TNAP. Dilihat dari hukum positif tindakan warga tersebut memang melanggar hukum atau perundang-undangan. Akan tetapi persoalan seperti itu akan terus berulang terjadi dan solusinya tidak cukup hanya dengan menegakan peraturan saja, sebab inti persoalannya terletak pada saluran komunikasi antara masyarakat dan insitusi kehutanan yang kurang harmonis dan buntu.
6
Masyarakat memiliki harapan dengan insitusi kehutanan, demikian juga sebaliknya. Proses komunikasi yang tidak selaras menyebabkan harapan tersebut tidak terwujud dan menimbulkan kecurigaan pada masing-masing pihak. Peran organisasi lokal yang diharapkan menjadi jembatan komunikasi tak mampu memainkan peran dan fungsinya karena pengetahuan dan ketrampilan pengurus yang terbatas dan kurang mencukupi untuk menjalankan tanggung jawab, peran dan fungsi organisasi. Alasan-alasan yang disebutkan di atas menjadi landasan titik tolak untuk merumuskan tujuan KONPHALINDO membangun kerjasama dengan berbagai pihak mewujdukan program penguatan insitusi sosial masyarakat. Tujuan studi ini sendiri yaitu: 1. Menggambarkan pemikiran dan praktik warga terhadap kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya Alas Purwo. 2. Memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait untuk proses pengambilan keputusan pengelolaan berkelanjutan pontesi sumber daya di kawasan Alas Purwo. Selama enam bulan terakhir ini kami masih mengumpulkan berbagai informasi persoalan sosial kehutanan di Alas Purwo yang boleh jadi memiliki hasil akhir penelitian dengan dimensi luas, rinci atau malah lebih luas dari proyeksi persoalan komunikasi yang kami tekankan. Untuk itu, Kami dengan senang hati mengundang berbagai pihak dari luar supaya ikut terlibat membantu dan memberikan kontribusi pemikiran, kritik dan masukan atas laporan lapangan ini.
1.2. METODOLOGI Dalam kegiatan pengumpulan informasi berpegang pada empat sumber dengan mempertimbangkan kualitas dan keaslian (validitas) informasi. Pertama, beberapa sumber informasi yang kami dapatkan dari internet yang sudah kami paparkan di bagian latar belakang, kedua, informasi pustaka berbentuk buku ataupun hasil penelitian yang kami dapatkan di toko buku, perpustakaan. Ketiga, informasi yang kami dapatkan dari narasumber luar yang berpengalaman seperti akademisi dan pejabat birokrasi kehutanan, dan terakhir adalah informasi hasil interview langsung serta hasil diskusi kelompok terbatas dengan warga masyarakat Kutorejo. Untuk kegiatan diskusi kelompok terbatas sudah dilakukan sebanyak empat kali dengan berbagai topik yang berbeda, dan jumlah peserta kurang lebih 100 orang. Sumber informasi pustaka kami pelajari dengan seksama dan kami simpan dalam perpustakaan-perpustakaan pribadi KONPHALINDO. Untuk sumber informasi terakhir kami perlakukan sesuai kaidah penelitian. Ada dua empat bentuk pendokumentasian informasi sebelum kami susun sebagai laporan berkala. Pertama pendokumentasian orsinil dalam bentuk rekaman rekaman MP4 dan gambar photo, kedua naskah rekaman dan foto yang kami tulis sesuai asli rekaman dan gambar photo, ketiga dokument-dokument hasil tangan masyarakat yang masih tersimpan di
7
rumah-rumah warga dan terakhir adalah naskah olahan yang berbentuk laporan berkala dan terbitan bulletin Berita Bumi. Sumber pustaka resmi kami gunakan untuk meng-capture, membantu membingkai dan menafsirkan makna kondisi sosial, ekonomi, ekologi, politik dan filsafat makro Jawa, selanjutnya kami gunakan kerangka tersebut untuk melihat bagaimana konteks yang bersifat sangat lokal (lokalitas) yang terjadi dalam skala desa dan dusun. Sementara untuk membuktikan besaran keterkaitan dan daya pengaruhnya terhadap perubahan sosial ekologi di tingkat desa dan dusun kami gunakan data-data primer catatan interview, observasi dan diskusi kelompok. Beberapa pustaka yang saat ini sangat membantu kami seperti karya Sri Margana yang diterbitkan oleh Universiteit Leiden Java’s Last Frontier – The Struggle for Hegemony of Blambangan, selanjutnya Javanese Ethics and World View- The Javanese Idea of the Good Life karya Frans Magnis Suseno, Hutan Kaya Rakyat Melarat hasil penelitian Nancy Lee Peluso, Berkaca di Cermin Retak kritik Wiratno terhadap kebijakan konservasi di Indonesia dan banyak karya lain yang memberikan pisau analisis kepada kami dalam melakukan kerja-kerja lapang. Untuk wilayah metodologi penggalian informasi di lapangan, kami berpedoman pada kerangka riset partisipatif dengan berbagai alat penggalian informasi seperti wawancara keluarga, diskusi kelompok terbatas, sejarah kampung, peta kampung, kalender musim, dan lain sebagainya. Ucapan terimakasih kami aturkan kepada Prof. PM. Laksono (Direktur Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gajah Mada Jogyakarta) yang telah memberikan sumber informasi dan alat bantu analisa serta sumber pustaka dari perpustakaan pribadinya, kemudian kepada mantan kepala Balai Taman Nasional, Ir.Hartono dan Kepala Administratur KPH Banyuwangi Selatan Bapak Ratmanto Trimohono, R yang telah memberikan ijin penelitian, informasi dan kesediaan kerjasama. Berbagai sumber informasi yang kami peroleh di lapangan saat ini tidak mungkin bisa terkumpul tanpa bantuan kepala desa Kalipait bapak Tupon Suryo Lesmono dan keluarga. Selama melakukan penggalian data selama enam bulan terakhir beliau mempersilahkan KONPHLAINDO menginap di rumahnya. Dia juga meminjamkan kendaraan motor inventaris desa kepada KONPHLAINDO untuk memudahkan mobilitas selama penelitian di Kalipait. Ibu Wagirah dan mbak Eni yang selalu memberikan sambutan hangat kepada KONPHALINDO dan memasak kepada kawankawan yang melakukan kegiatan di lapangan. Kami juga mengucapkan terima kash kepada pak Sekdes Imam Syafi’i yang telah memberikan masukan-masukan dan informasi narasumber penelitian, kepada ibu Karwati, pak Misyadi, Mardji, mbak Wiwik dan mbak Marni yang telah membantu selama proses diskusi berlangsung, kemudian terima kasih juga kepada semua warga desa Kalipait yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
8
II. MEMBANGUN DESA PINGGIR HUTAN Dusun Kutorejo adalah potret paling jelas bagaimana keunikan kemampuan beradatasi struktur sosial masyarakat. Kami memilih studi kasus dusun Kutorejo dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakatnya yang masih berada pada lahan ”magersaren”.6 Selain itu, dusun Kutorejo adalah dusun yang berbatasan dengan wilayah TNAP, dimana kesibukan masyarakat melakukan berbagai kegiatan di dalam TNAP sangatlah tinggi. Dan, kami ingin melihat bagaimana evolusi sosial masyarakat petani membangun koloni di pinggir hutan. Berbagai pertanyaan muncul di benak kami, bagaimana rute mereka pindah dari wilayah bagian tengah Jawa ke ujung Timur Pulau Jawa? Dorongan apa saya yang membuat mereka memutuskan untuk pindah ke daerah baru? Sistem kebudayaan seperti apa yang mereka bawa dari tempat asal? apakah mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk membangun sistem kebudayaan masyarakat pinggir hutan dengan berbagai perangkat budaya yang mereka miliki dari kebudayaan asalnya? Perjalanan penelitian kami selama enam bulan terakhir menemukan berbagai fakta yang akan kami informasikan dalam bagian ini.7 Sementara hal-hal yang belum kami temukan akan menjadi pekerjaan lanjutan untuk terus menilisik kehidupan masyarakat Kutorejo pinggir Alas Purwo. Kami sendiri memiliki obsesi untuk mewujudkan kerangka konsep konservasi dengan menggunakan konsep-konsep lokal dari nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Dan sebelum mencapai tahapan tersebut untuk itu kami sangat berhati-hati dan secara seksama meneiliti dan membaca catatan sejarah perubahan sosial masyarakat Kutorejo. II.1. KUTOREJO DARI MASA KOLONIAL, JEPANG HINGGA REFORMASI
”Rejo loh jinawi”, itulah ungkapan yang mewakili gambaran betapa suburnya wilayah banyuwangi bagian selatan pada masa lalu. Menurut cerita di kalangan warga masyarakat mulai tahun 1930an banyak orang dari berbagai wilayah memutuskan untuk pindah ke daerah Banyuwangi bagian selatan, atau Blambangan Selatan karena terkenal dengan dengan kesuburan tanahnya. Dan, pada saat itu kebijakan politik kolonial juga memungkinkan orang-orang bisa membuka rabasan tanah baru untuk lahan pertanian. Mereka diberikan insentif lahan secara cumacuma jika mau membantu pemerintahan kolonial Belanda membuka lahan baru bagi bibit-bibit jati Djawatan Kehutanan. Selain bertani banyak masyarakat saat itu juga bekerja untuk Djawatan Kehutanan kolonial. Sebagian besar penduduk di pinggir Alas Purwo berasal dari Yogyakarta dan Solo, selain itu beberapa orang berasal dari Blitar, Jember serta daerah lain di Jawa
6 7
9
Magersaren adalah tanah hutan milik perhutani yang digunakan warga sebagai tempat tinggal. Laporan ini disusun pada bulan Maret 2011
Timur. Dikumpulkan oleh satu kepentingan yang sama yaitu lahan pertanian, masyarakat tersebut tinggal di pinggir hutan dan membentuk satu koloni baru. Sebagai kawasan baru pinggir hutan, Alas Purwo juga daerah ”pelarian” bagi orangorang yang tidak mau dipekerjakan secara paksa oleh pemerintahan Jepang. Namun khusus di Kutorejo ada banyak orang berasal dari luar yang dibawa oleh Jepang ke pinggir hutan bekerja untuk membangun basis pertahanan militernya. Dua koloni besar Jogja dan Solo memiliki tipe sebaran geografis yang berbeda. Warga dari Solo lebih terkonsentrasi di satu titik dan membentuk perkampungan Solo, sementara warga dari Yogjakarta lebih tersebar dan berbaur dengan warga pindahan dari daerah lain. Di pinggir Alas Purwo di kenal nama kampung Solo, sebutan untuk warga dari asli Solo yang membentuk kampung sendiri di Puroasri.8 Dari awal perkenalan kami dengan daerah Alas Purwo ini telah muncul kesan keunikannya terasa sangat kuat. Kompleksitas persoalan sosial dan politik di tingkat nasional dari waktu ke waktu bisa tercermin dari berbagai kejadian lokal di desa. Tekanan-tekanan eksternal dalam skala makro menggalurkan garis-garis tegas formasi struktur kehidupan masyarakat pinggir hutan hingga saat ini. Hal tersebut bisa dilihat dari ragam keyakinan, keberagamaan yang dianut oleh warga di sini dan berbagai peristiwa politik di kampung. Di masa kolonial Jepang, daerah Kutorejo telah dijadikan salah satu markas pertahanan terdepan tentara Jepang.9 Sisa peninggalan tentara Jepang masih bisa dijumpai di bagian selatan dusun Kutorejo seperti bangunan sago atau lobang-lobang galian bekas tentara Jepang sebagai basis militer atau tempat berlindung. Peninggalan tentara Jepang lainnya adalah satu senjata meriam bekas perang dunia ke II. Tidak jauh dari situ masih terdapat bekas rel lori yang dibangun masa kolonial Belanda untuk mengangkut kayu-kayu jati keluar dari kawasan Purwo.10 Ketidakstabilan sosial-ekonomi di desa pada masa peralihan kekuasaan dari pemerintahan Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia sekitar tahun 19441945 telah menimbulkan persoalan kelangkaan pangan dan sumber penghidupan lain, akibatnya terjadi perpindahan orang-orang secara sukarela dari luar daerah masuk ke Kutorejo untuk membuka lahan rabasan baru.11 Maka, percampuran atau
8
Puroasri adalah kampung tempat masyarakat solo berkoloni, membentuk komunitas sendiri dan melestarikan ragam budaya dan bahasa mereka sendiri. 9 Pada masa dulu Kutorejo adalah satu bagian dari wilayah Kalipait desa Kendalrejo kecamatan Tegaldlimo. Setelah tahun 2001 terjadi pemekaran wilayah, Kalipait terpisah dari Kendalrejo dan menjadi desa administrative tersendiri. Kalipait terdiri dan dua dusun kutorejo dan Purworejo 10 Purwo adalah kebiasaan penduduk luar untuk menyebut kawasan alas purwo. 11 Pada masa sebelumnya orang-‐orang masih menempati wilayah hutan Purwo bagian luar atau di daerah Jajag dan daerah sekitarnya. Pasca kemerdekaan sekitar tahun 1953 orang-‐orang mulai menempati wilayah Kutorejo. Proses perpindahan dari luar ke Kutorejo terjadi secara berkesinambungan melalui banyak tempat dan kota hingga pasca jaman Jepang, bahkan ada kelompok yang sampai paling ujung akhir Pulau Jawa yang berbatasan dengan hutan milik Djawatan Kehutanan.
10
pembauran warga pun berlangsung secara alami. Sebagian besar warga Kutorejo berasal dari Yogyakarta, dan sampai saat ini sebagian orang tua mereka termasuk generasi ke dua yang pindah ke Kutorejo. Menurut pengakuan dari warga setempat, antara tahun 1950an sampai 1960an hampir tidak pernah terdengar ada peristiwa yang mengoncang ketenangan sosial di Kutorejo. Namun, ketika terjadi perailihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama (ORLA) ke pemerintahan Orde Baru (ORBA) ketagangan politik yang terjadi di pemerintah pusat berimbas sampai ke desa-desa. Misalnya, pembubaran organisasi Partai Komunis disertai juga dengan penangkapan dan pembantaian hidup-hidup terhadap pengikutnya sampai ke desa-desa, akibatnya orang desa pun tak luput dari amukan rezim Orba. Guratan peristiwa penghapusan idiologi komunis menjadi faktor kunci rejenuve aliran kepercayaan masyarakat di Kutorejo. Dilihat dari sisi idiologi politik, mayoritas orang di Kutorejo sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan persoalan atau bergaung pada politik tertentu. Tetapi ajaran hidup jawa (kejawen) yang mereka anut membuat mereka menanggung konsekuensi dengan terlibatnya banyak tokoh kejawen pada haluan politik komunis. Salah satu tokoh penting yang menurut warga menjadi guru spiritual mereka adalah Mbah Suro dari Ngawi. Jadi, sebelum peristiwa pembubaran Partai Komunis atau Gestapu banyak orang Kutorejo yang belajar spiritualitas ke tempat Mbah Suro di Ngawi, dan mereka mendapat pusaka jimat guna menjaga keselamatan dirinya, mereka seakan mampu membaca atau meramal akan terjadi peristiwa politik yang mengerikan.12 Dari berbagai informasi yang terkumpul, rata-rata mengaku tidak banyak orang Kutorejo yang terbunuh pada saat peristiwa Gestapu. Hanya dua orang yang mati dibunuh.13 Padahal menurut warga setempat, kuran glebih 205 orang pada waktu itu menjadi targetan pembunuhan. Banyak orang yang berhasil lolos dari pembantaian Gestapu itulah yang menjadi pertanyaan dibenak Kami, bagaimana taktiknya orang-orang tersebut bisa lolos dari pembantaian. Berdasarkan testimoni dari beberapa orang narasumber, Kami menyimpulkan ada tiga faktor yang membuat mereka berhasil lolos dari maut. Pertama, karena keberuntungan waktu, kedua adalah strategi perlindungan komunal, dan ketiga karena kemampuan mereka untuk ”ethok-ethok” atau berpura-pura tidak tahu, berpura-pura mengikuti kemauan sistem politik negara dan berusaha lepas dari konflik terbuka tersebut. 14
12
Menurut banyak cerita Mbah Suro adalah tokoh kunci penting dalam gerakan komunis di Jawa Timur. Gestapu adalah istilah peristiwa G30/PKI. 13 Dua orang yang terbunuh, yaitu seorang guru dan satu lagi seorang jagal yang menjadi anak buah anggota PKI, dia dibunuh di daerah Kucur. 14 Dari beberapa kejadian yang berhasil penulis rekam, masyarakat kutorejo menggunakan strategi « Enthok-‐ ethok ora ngerti« atau pura-‐pura tidak tahu untuk bisa melepaskan tekanan sistem hukum dan politik negara. Dua kasus berikut memberikan gambaran untuk melepaskan diri dari ancaman tersebut. Pada tahun 1972
11
Peristiwa Gestapu dikenang warga sini dengan berbagai istilah, khusus umat Budha di Kalipait, misalnya, mereka masih mengingat syair “Awo awe awo awou kapiraning ganyang Mbah Suro ganyang wong Budho”, dimana identitias umat budha dikaitkan dengan Mbah Suro komunis. Sudah menjadi pertanda bagi orang Jawa, bahwa peristiwa guncangan kehidupan yang besar selalu diawali dengan keheningan alam raya. Begitu juga gambaran suasana di Kutorejo pada saat terjadi peristiwa Gestapu. Warga sini mencoba menceritakan suasana saat itu betapa heningnya, langit sangat cerah, tidak ada angin bahkan burung pun saat itu tidak berkicau. Beberapa nara sumber menuturkan, tanda-tanda alam pada saat itu secara implisit diingatkan kepada orang Jawa, bahwa mereka tahu akan ada ”goro-goro” dalam bahasa jawa atau kejadian besar. Beruntung, peristiwa Gestapu saat itu tidak lama karena bulan puasa. Kabarnya setelah puasa operasi-operasi pembantaian pengikut komunis akan dilanjutkan lagi, namun setelah berlalu bulan puasa di Kutorejo warga tidak pernah lagi mendengar kabar tentang pembantain pengikut PKI. Inilah keberuntungan waktu yang kami maksudkan itu. Faktor kedua adalah taktik perlindungan komunal. Yang dimaksud dengan taktik perlindungan komunal, para tokoh desa yang tidak terlibat kegiatan komunis saat itu berusaha melindungi orang yang menjadi target pembantaian dengan cara mencoba menjauhkan kecurigaan aparat militer yang menjumpai mereka. Misalnya, Mursono seorang keamanan desa saat itu dengan akal bulusnya bisa menipu, atau mengelabuhi dengan cara menantang aparat militer yang hendak melakukan penangkapan pengikut komunis. Menurut Mursono tidak semua berjalan secara tulus
Polisi dan Sinder memeriksa seorang warga yang diketahui mencuri kayu jati milik perhutani. Kami akan menyebut orang tersebut dengan nama ”M”. Polisi menuduh M telah mencuri kayu. M mengelak dan tidak mau dituduh mencuri, M menjawab bahwa dia hanya ”golek”, dalam bahasa Jawa atau mencari, seandainya mencuri kepunyaan siapakah yang dicuri? M ganti bertanya kepada Polisi. Polisi menjawab bahwa semua kayu yang ada di hutan adalah milik Perhutani. M ganti bertanya lagi, Pehutani itu milik siapa? Polisi menjawab bahwa Perhutani adalah bagian dari Negara. M ganti menyahut bahwa dia adalah warga negara dan bagian dari negara juga, berarti dia punya hak atas apa yang dimiliki negara, dia tidak mencuri hanya mengambil, karena apa yang dia ambil adalah milik negara dan milik dia juga. Mencuri adalah mengambil milik orang lain, M tidak merasa mengambil milik orang lain, karena dia hanya mengambil. Sedang kasus kedua terjadi pada masa operasi kayu pasca penjarahan kayu besar-‐besaran era pemerintahan Presiden Gus Dur. Saat itu banyak warga yang ikut mencuri kayu dan menjadi target penangkapan aparat keamanan. Tetapi tokoh masyarakat T yang dekat dengan Perhutani dan Polisi, karena dia mengetahui nama-‐nama orang yang akan ditangkap segera disampaikan kepada orang-‐orang yang menjadi target ditangkap untuk segera lari atau menyembunyikan kayu-‐kayu barang bukti. Pada saat Polisi datang melakukan operasi penangkapan, Polisi mengajak T untuk menunjukan rumah-‐rumah para pencuri kayu. Sesampainya di rumah polisi tidak menemukan barang bukti dan pelaku, karena mereka sudah lari menyeamatkan diri. Ketika Polisi bertanya kepada T, dia berlagak tidak tahu menahu.
12
juga tetapi saat itu ada juga tokoh desa yang mengambil keuntungan dengan menarik uang ”keamanan dan tutup mulut” kepada mereka yang menjadi target.15 Pasca peristiwa Gestapu persoalan beralih dari masalah penangkapan pengikut PKI ke persoalan tekanan sosial-politik terhadap aliran kepercayaan (kejawen). Seringkali pemeriksaan dan pemanggilan terhadap mereka yang menjalankan praktek kejawen oleh aparat keamanan. Kemampuan masyarakat untuk ethok-ethok mengikuti kemauan sistem politik negara dan menghindari konflik terbuka membuat mereka akhirnya lepas dan selamat. Proses pelepasan tersebut tergambar jelas dalam kejadian sebagai berikut. Selang setahun setelah peristiwa Gestapu orang-orang mengenang peristiwa yang mereka sebut Kami/Kapi.16 Menurut para nara sumber kami, bahwa saat itu banyak gerakan Islam radikal yang datang ke Koturejo untuk kepentingan pemurnian ajaran Islam dan menjauhkan ajaran-ajaran yang digolongkan syirik.17 Orang-orang Kami/Kapi itu datang dari kota lain, mereka mendobrak rumah warga dan membubarkan segala pertemuan warga yang digolongkan dengan ajaran yang tidak sesuai dengan kemurnian Islam. Persitiwa tersebut menjadi titik penting mulai dikontrolnya pemeluk agama di Kutorejo. Akibat tindakan tekanan yang dilancarkan Kami/Kapi tersebut banyak warga yang diawalnya menyebut dirinya menganut ajaran Islam tetapi masih mempraktekan ajaran-ajaran kejawen kemudian berpindah keyakinan Hindu atau Budha. Perubahan keyakinan tersebut lebih didasarkan atas kebutuhan pengakuan akan identitas diri sebagai bagian dari warga negara, dan bukan didasarkan atas pilihan keyakinan dan pencarian kebenaran secara pribadi. Keterbatasan pilihan identitas beragama di negara membuat warga Kutorejo harus menyesuaikan dengan pilihan-pilihan lima agama yang menurut mereka membantu mereka untuk melanjutkan keharmonisan kehidupan, tidak menjadi penting apa itu wujudnya.18 Agama bagi orang-orang di Kutorejo bukanlah hal yang penting. Bahkan simbol-simbol agama bukanlah hal yang patut menjadi bahan perdebatan. Disini Kami mendapati seorang warga menggunakan nama Islam, Muhammad tetapi beragama Hindu. Orang yang memilih beragama Budha dengan lantang mengakui kebenaran syahadat ketuhanan umat muslim. Begitu juga umat muslim menempatkan simbol-
15
Kalimat dalam tanda petik adalah bahasa yang penulis pakai untuk menegaskan uang kutipan yang ditarik tokoh kampung kepada warga yang menjadi target pembunuhan dan selamat dari incaran aparat. 16 KAMI/KAPI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Warga menyamakan kelompok Kami/Kapi dengan organisasi Pager Musa, masa pemerintahan Presiden Gus Dur. 17 Pengertian syirik disini adalah memajemukan San Pencipta atau Tuhan. Kata syirik dipakai untuk memberikan pemahan kontekstual perbedaan perspektif antara kelompok Islam saat itu dengan orang-‐orang di Kutorejo yang masih mempraktekan aliran Kejawen. 18 Kondisi masa itu setiap orang hanya diberikan lima pilihan agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha.
13
simbol Hindu di rumah mereka. Tuntutan kehidupan mereka hanya menjalankan kebaikan untuk melanjutkan kehidupan. Sejak terbukanya daerah Kutorejo, jumlah populasi penduduk mulai bertambah dari waktu ke waktu, dari pengamatan nara sumber kami bahwa jumlah penduduk Kutorejo tahun 1942 hanya ratusan orang, tahun 1953 kurang lebih 800 jiwa, sekarang diperkirakan sekitar 1.200 Kepala Keluarga (KK). Yang dikautirkan peningkatan jumlah populasi penduduk Kutorejo dan sekitar adalah kawasan hutan Purwo pun akan menghadapi tekanan. Meskipun hutan Purwo saat itu statusnya adalah Suaka Margasatwa, hal itu tidak menghalangi orang-orang luar untuk terus mendesak masuk ke dalam kawasan Purwo. Kondisi pengelolaan dan pengawasan kawasan saat itu memang buruk. Para pemburu liar sering keluar masuk hutan untuk berburu macan dan satwa lain yang bisa ditangkap dan dijual. Tahun 1960an desakan populasi penduduk telah masuk hingga ke wilayah pura Giri Salaka atau kawasan yang saat ini disebut zona tradisional TNAP.19 Berbagai kegiatan orangorang di hutan saat itu terus mendekati kawasan yang saat ini disebut zona inti TNAP. Di tempat tersebut orang-orang sempat mendirikan permukiman-permukiman sementara tempat peristirahatan ndarung atau mencari kerang. Ada dua sebab membuat orang-orang tetap bertahan di Kutorejo dan tidak bergerak ke selatan membuka kawasan hutan baru. Pertama, mitos keangkeran kawasan hutan Purwo, yang kedua terjadi perluasan lahan Suaka Margasatwa dan menggusur permukiman masyarakat yang sudah ada hingga ke batas luar Kutorejo saat ini. Pada tahun 1960an ketika masyarakat mulai bergerak masuk ke kawasan Giri Salaka, mereka yang sudah masuk kawasan hutan bergerak kembali ke bagian luar Rowobendo karena adanya wabah malaria. Permukiman-permukiman sementara tersebut mereka bubarkan sendiri. Menurut warga mereka terkena kutukan karena beberapa orang mengambil umpak pura untuk dijadikan tungku masak. Hampir setiap hari saat itu satu hingga tiga orang dilaporkan mati. Selanjutnya, perluasan kawasan Suaka Margasatawa pada tahun 1970an memaksa pergeseran permukiman penduduk dari Pos Rowobendo ke wilayah Kutorejo sekarang ini. Jadi, cerita awal tentang bagaimana orang-orang bisa sampai ke wilayah Rowobendo dan Sadengan itu bermula dari kabar akan dibukanya desa baru. Mereka yang mendengar kabar tersebut memutuskan untuk pindah ke desa baru tersebut, mereka pun menjual rumah, ternak dan sawah. Namun tidak lama kemudian kawasan yang kabarnya akan dijadikan desa baru ternyata diserahkan wilayahnya dari milik Perhutani ke Suaka Margasatwa. Sehingga terjadi perluasan batas luar Suaka Margasatwa.20 Orang-orang yang sudah terlanjur tinggal di kawasn tersebut 19
Tahun 1967 terjadi pertumbuhan penduduk yang luar biasa karena datangnya penduduk-‐penduduk baru dari luar ke Kutorejo 20 Kawasan Rowobendo dan Sadengan pada tahun 70an telah dibuka untuk kebutuhan permukiman penduduk. Bahkan sudah dibangun sekolah dasar, perkumiman permanen, makam dan berbagai infrastruktur desa lainya. Daerah Sadengan sekarang ini telah berubah fungsi yakni tempat pengamatan banteng liar merumput.
14
harus pindah, beberapa orang terpaksa pindah ke Kutorejo, sementara yang lain memilih ikut transmigrasi karena sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Kepala desa Kalipait menuturkan bahwa banyak orang yang sudah ”entek-entekan” saat itu sampai gila. Mereka sudah menjual habis hartanya ditempat awal tetapi harus menerima kenyataan diusir dari tempat baru yang jadi harapan hidupnya. Begitu terpencilnya letak dusun Kutorejo yang berada di tengah hutan dan jauh dari keramaian kota telah menjadikanya sebagai tempat persembunyian, pelarian dan pembuangan mayat. Tiga tahun lalu (sekitar tahun 2008) ketika pemerintah sedang gencar memburu gembong teroris Dr. Azhari, dari Malaysia warga kutorejo sebenarnya mengetahui Dr. Azhari itu pernah bersembunyi di Kutorejo. Jauh sebelumnya sekitar akhir 80an, ketika teror Petrus (penembak misterius) terhadap penjahat atau gerombolan perompak dan preman, Kutorejo ketiban pulut sebagai tempat eksekusi dan pembuangan mayat preman. Saat itu hampir setiap hari ditemukan mayat-mayat yang tidak dikenal di sela-sela hutan jati. Bahkan ada beberapa orang yang mengaku telah melihat langsung tindakan eksekusi pembunuhan itu dilakukan di hutan jati. Keanekaragaman hayati hutan hujan dataran rendah yang dimiliki kawasan hutan Alas Purwo telah banyak menarik perhatian ilmuwan konservasi modern di tanah air. Pada tahun 1980, status Suaka Margasatwa Blambangan Selatan diubah statusnya menjadi Taman Nasional, termasuk lima Taman Nasional pertama yang ditetapkan pemerintah Indonesia, namun pengelolaan Alas Purwo masih disatukan dengan Baluran. Kemudian tahun 1992 pemerintah menetapkan Taman Nasional Alas Purwo berdiri sendiri, lepas dari Taman Nasional Baluran. Konsekuensi yang timbul akibat perubahan status menjadi Taman Nasional adalah ketegangan dalam kehidupan sosial. Menurut pengalaman beberapa orang Kutorejo, ketegangan-ketegangan mulai muncul sejak terjadi perubahan status menjadi Taman Nasional. Misalnya, ada satu kasus yang terus diingat warga diawal tahun 90an, ketika macan di hutan sering masuk ke Kutorejo dan memangsa ternak. Beberapa orang kemudian membuat jebakan hingga akhirnya si macan itu suatu hari terperangkap. Karena kuatir macan yang tertangkap dilepas bisa menyerang orangorang sekitar, maka macan tersebut dibunuh di tempat. Malangnya kejadian itu diketahui oleh petugas jagawana dan orang yang membunuh macan tersebut dilaporkan ke Polisi, dan diproses secara hukum dengan tuduhan telah membunuh binatang yang dilindungi Undang-undang. Akhirnya orang yang membunuh macan dikenakan hukum penjara. Setelah kejadian itu persoalannya meluas sampai ke persoalan hubungan interaksi antar warga, orang dusun yang saat itu menjadi pegawai jagawana kemudian dimusuhi warga dusun, mereka tidak senang dengan jagawana karena sering melarang orang-orang dusun masuk ke dalam hutan,
15
sementara sudah kebiasaan orang-orang di sini masuk ke hutan untuk mengambil sumberdaya yang ada di hutan.21 Krisis ekonomi dan politik muncul kembali tahun 1998, perisitiwa itu telah memicu terjadinya berbagai kerusuhan di beberapa kota di Pulau Jawa. Demikian juga daerah Banyuwangi tidak luput dari kerusuhan dan imbas reformasi. Peristiwa tragis yang menimpa daerah Banyuwangi dan masih terus diingat setiap orang sampai saat ini adalah pembunuhan masal dukun santhet. Di Kutorejo tiga orang dukun yang dituduh dukun santhek dibunuh oleh massa. Sayangnya, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana konstruksi peristiwa tersebut bisa terjadi. Para narasumber hanya bisa menceritakan, bahwa tiba-tiba ada segerombolan massa datang, menyerbu dan membunuh orang-orang yang dicurigasi sebagai dukun santhet. Seketika itu juga suasana dusun berubah menjadi tegang dan mencekam. Setiap malam orang-orang berkumpul dan melakukan ronda, mengamankan wilayah dusun dari issue kehadiran ninja dan penculikan. Sistem politik yang diberlakukan pada era reformasi sekarang ini telah membawa perubahan struktural sampak pada pemerintah terendah yaitu, dusun. Dari hasil pengamatan Kami, terdapat dua perubahan mendasar yang mempengaruhi kehidupan orang-orang di dusun Kutorejo. Pertama, perubahan model pengelolaan hutan milik perhutani pasca terjadinya penjarahan kayu besar-besaran di era pemerintahan Gus Dur. Kedua, terbentuknya desa baru bernama Kalipait yang kemudian memayungi kebijakan administratif dusun Kutorejo. Untuk perubahan pertama yang disebutkan di atas, sampai sekarang masih sedang mengamati sejauhmana tahapan perubahan administratif dan model pengelolaan Perhutani di wilayah Kutorejo. Informasi awal yang terekam seperti munculnya organisasi petani seperti, Kelompok Tani Hutan (KTH), kelembagaan LMDH (Lembaga Masyarkat Desa Hutan) lewat pengenalan konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Akan tetapi informasi-informasi tersebut hanya bisa kami gunakan untuk membuat simpulan persoalan di tingkatan lokal saja. Dalam setiap wawancara para narasumber selalu bersemangat menceritakan persoalan ketegangan-ketegangan yang muncul antara masyarakat dengan LMDH dan Perhutani. Warga selalu bersemangat menceritakan bagaimana ramainya penjarahan kayu pada masa pemerintahan Gus Dur, cerita kongkalikong dengan petugas Perhutani di lapangan untuk mengambil untung sama-sama atas kayu curian, cerita soal tanah garapan Perhutani yang seharusnya dibagikan kepada orang miskin di dusun dan anggota kelompok tetapi malah di jual ke orang luar dan lain sebagainya. Kami masih terus mengumpulkan kejadian atau kasus per kasus tersebut. Ulasan hasil analisa hubungan kelembagaan masyarakat dengan LMDH 21
Para narasumber menceritakan, bahwa saat itu PHPA atau sebutan pegawai taman nasional, balai Taman Nasional membutuhkan banyak pegawai akan tetapi banyak warga yang tidak mau mendaftar karena takut akan dimusuhi oleh warga dusun.
16
kami sampaikan di Bab III, sub-Bab ”Pemanfaatan Potensi Hutan dan Masyarakat”. Ke depan kami berharap bisa menyampaikan analisa secara konprehensif titik pangkal persoalan organisasional, kebijakan dan prinsip-prinsip kemitraan PHBM dan LMDH dari level pusat, tengah dan pinggiran. Semangat reformasi dan politik otonomi daerah ditandai dengan pembagian kekuasaan hingga ketingkatan desa. Tahun 2001 desa Kalipait memisahkan diri dari desa induknya desa Kendalrejo. Selanjutnya dusun Kutorejo masuk bagian administratif desa Kalipait. 22 Ide pemekaran desa itu didasari atas persoalan ketidakmerataan pembangunan serta pelayanan administratif desa yang sudah tak mungkin bisa dimaksimalkan lagi karena jumlah penduduk terlalu padat. Penduduk desa Kendalrejo saat itu sudah mencapai angka lima belas ribu jiwa.23 Sementara dari Kalipait saat itu sendiri sudah berjumlah lima ribuan jiwa. Pasca pembantukan desa baru Kalipait mengalami perubahan struktur pemerintahan desa. Terjadi dua pergantian kepemimpinan sementara sebelum tahun 2007 Kalipait memiliki kepala desa yang dipilih melalui pemilihan. Setelah menjadi desa baru, tantangan desa adalah menyeimbangkan pembangunan supaya setara dengan desa-desa lain. Ketimpangan tersebut begitu nyata saat Kalipait masih bergabung dengan Kendalrejo. Tidak lama setelah berpisah dari desa induknya berbagai pembangunan fisik infrastruktur desa dilakukan. Dari mulai pembangunan balai desa, jalan-jalan utama, jembatan, sekolah, kelompok-kelompok masyarakat dan lain sebagainya. Masih banyak yang ingin dibangun tetapi kendala yang muncul adalah persoalan kekurangan anggaran pembangunan. Tiga minggu yang lalu masyarakat Kalipait baru saja menyelesaikan pembangunan jalan P2JD plus. Muncul masalah ketika alokasi anggaran proyek untuk pembangunan satu kilometer jalan hanya Rp.105 juta, sementara pengeluaran anggaran yang seharsunya mencapai Rp.150 juta. Kenyataan seperti itu tokoh-tokoh desa terpaksa harus ”nombok’i” dulu. Untuk mencari solusi persoalan tersebut, kepala desa menilai ke depan akan memaksimalkan iuran partisipasi anggota warga desa untuk menutup kekurangan pembangunan infrastruktur desa. Angka kependudukan saat ini (2010) desa Kalipait adalah 6.861 jiwa. Tiga ribu jiwa diantaranya berprofesi sebagai petani, buruh tani dan kuli bangunan.24 Di Kutorejo sebagai dusun magersaren mayoritas penduduknya adalah petani. Ditengah berbagai tekanan kehidupan, masyarakat petani di Kutorejo tetap bertahan dengan segala keterbatasanya. Persoalan lahan garapan Perhutani yang sering menjadi rebutan, persoalan akses sumberdaya ke Taman Nasional yang terbatas, hingga persoalan-persoalan pertanian yang mereka hadapi seperti ketidakmenentuan hujan, hama, mahalnya pupuk dan lain sebagainya. Untuk memperbaiki kondisi 22
Desa kalipait terdiri dari dua dusun, Kutorejo dan Purworejo. Awalnya Kendalrejo memiliki empar dusun, purwo agung / kampung sepuluh, pandanrejo, kalipait dan kutorejo 23 Sumber informasi Sekertaris Desa Kalipait. 24 Sumber monografi desa Kalipait 2010
17
perekonomian rumah tangga banyak orang Kutorejo memutuskan untuk pergi keluar negeri sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau pergi keluar kota beradu nasib. Pilihan menjaga keharmonisan dengan alam dan sistem sosial sudah menjadi watak dari orang-orang di Kutorejo. Berbagai guncangan sosial dan politik yang pernah mereka alami dan lalui dengan bijaksana. Akan tetapi bukan berarti mereka hidup tanpa masalah. Persoalan mendasar hubungan mereka dengan hutan dan insitusi kehutanan bisa saja mengalami goncangan bila ketidakseimbangan terus terjadi tanpa dikomunikasi dengan baik kepada semua pihak.
18
III. HUBUNGAN PERHUTANI DAN TAMAN NASIONAL A. KLAIM TAPAL BATAS DAN PENDAPAT WARGA Tanggal 29 September 2010, kami mendapat kesepatan bisa mengikuti diskusi multipihak pembahasan hasil penataan batas sementara kawasan penyangga TNAP. Kegiatan diskusi dilaksanakan oleh Balai Taman Naisonal di kantor Balai Taman Nasional Alas Purwo Jalan; Ahmad Yani, Banyuwangi. Kegiatan diskusi ini dihadiri berbagai pihak jajaran instansi kehutanan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi. Diskusi ini diadalan untuk menginformasikan kepada Panitia Tata Batas Kabupaten Banyuwangi tentang hasil pemancangan batas sementara pada sebagain TNAP, sementara tujuannya adalah untuk mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak dan penandatangan berita acara tata batas tersebut. Sayangnya, hasil diskusi tidak seperti yang diharapkan karena tidak mendapatkan persetujuan dari peserta yang hadir terutama dari Perum Perhutani KPH Blambangan Selatan. Pesoalan perbedaan klaim batas antara Taman Nasional dan Perum Perhutani di zona luar kiri Taman Nasional sudah berlangsung cukup lama. Perbedaan klaim ini bermula dari wilayah buffer zone (zona penyangga) Suaka Margasatwa Blambangan Selatan yang sebagian pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani. Pertimbangan penyerahan wilayah kelola tersebut didasarkan atas jenis vegetasi yang ada di wilayah buffer zone tersebut, yakni pohon jati. Atas dasar itu pantas kiranya pohon jati itu dikelola oleh Perhutani. Sementara dikaji dari aspek yuridis penyerahannya zona itu didasarkan atas surat kesepakatan bersama antar pimpinan saat itu. Tahun 1992 ketika Suaka Margasatwa Blambangan Selatan ditetapkan sebagai Taman Nasional, seharusnya wilayah tersebut menjadi bagian dari kawasan TNAP. Tetapi dalam pengelolaannya wilayah seluas 1.303 ha tersebut masih di kelola oleh Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Dan, hingga hari ini masalah tersebut belum ada titik temunya.
19
Peta klaim wilayah antara Perhutani dan Balai Taman Nasional
TN. ALAS PURWO
BATAS KAWASAN YANG DIREKONSTRUKSI BATAS KAWASAN YANG DI TATA BATAS SEMENTARA PANJANG 13.605,20 M
BATAS KAWASAN YANG DI INVENTARISASI TRAYEK TH. 2005, PANJANG 128 KM
BPKH -‐Madura Madura awa BPKH Wilayah Wilayah XXI I JJawa-‐ awa-‐Madura
Jln Ngeksigondo No.58 Kotagede Yogyakarta Telp. 0274.388923 Fax 0274.388922 E mail : bpkh11@jog jamedianet.c om
Sumber peta : BPKH wilayah IX Jawa-Madura.
Sementara, Balai Taman Nasional berpedoman pada SK Menhut /190 Tahun 1993, yang berarti 1.303 hektare wilayah sisi luar tersebut adalah bagian TNAP. Pihak Perum Perhutani berpedoman pada SK Menhut No.417 tahun 1999 yang berarti luasan batas 1.303 hektare masuk wilayah Perum Perhutani. Sudah hampir setahun sengketa klaim tersebut didiskusikan. Bupati Banyuwangi pada tahun 2010 telah mengeluarkan SK No.188/783/Kep/429.011/2010 tentang Pembentukan Panitai Tata Batas untuk mencari titik temu masalah tersebut, namun sampai hari ini belum juga berhasil mencapai kesepakatan. Dilihat dari letak geografis wilayah yang disengketakan kedua institusi kehutanan tersebut posisinya berada di sisi Timur dusun Kutorejo dan berbatasan dengan lahan garapan petani. Rata-rata orang-orang di Kutorejo mengerti atau tahu bahwa terdapat masalah antara PHPA dan Perhutani. 25 Tetapi rata-rata tidak mengetahui persis masalah yang sedang disengketakan oleh ke dua institusi kehutanan tersebut. Kesan yang tertangkap orang-orang Kutorejo adalah selalu 25
PHPA adalah sebutan masyarakat untuk Balai TNAP.
20
terjadi perselisihan pendapat dalam pengelolaan hutan di wilayah mereka. Terutama hal tersebut muncul saat mereka mengajukan pembangunan jalan menuju TNAP. Seolah-olah pihak Perhutani tidak menyetujui karena jalan tersebut akan mempermudah akses pencurian kayu, sementara Balai Taman Nasional sepakat karena pembangunan tersebut dapat menunjang pembangunan wisata di TNAP. Harapan dari orang-orang di Kutorejo adalah ke dua institusi kehutanan tersebut lebih memperhatikan keinginan dan harapan orang-orang Kutorejo daripada terus ”bertengkar” pendapat. Sementara menanggapi klaim wilayah buffer zone, beberapa orang punya pemikiran, antara lain akan lebih bermanfaat kiranya wilayah tersebut digunakan oleh warga dusun untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan tetap menjaga kelestarian hutan tentunya. B. PEMANFAATAN POTENSI HUTAN Tantangan pengelolaan hutan saat ini adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup dengan tidak melupakan kesejahteraan kelompok-kelompok rentan. Sejak perpindahan penduduk ke pinggir Alas Purwo tujuh puluh tahun yang lalu, orang-orang tersebut mulai mengembangkan pengetahuan untuk memanfaatkan sumber daya hutan. Misalnya, di antara mereka ada yang mengambil kerang di hutan, kayu-kayuan untuk jamu, rimpang-rimpangan, berburu babi hutan, ular, bambu, mengambil kayu bahan bangunan, buah-buahan dan lain sebagainya. Hutan Purwo juga berfungsi sebagai sumber spriritualitas. Untuk orang Jawa yang meyakini pada keseimbangan alam, hutan Purwo dijadikan tempat untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta dan tempat untuk mencari kesempurnaan jiwa dan hidup. Tak heran jika terdapat banyak sekali tempat-tempat sakral yang dijadikan lokasi untuk bersemedi.26 Salah satu tempat sakral penting adalah Pura Giri Salaka, tempat ibadah bagi umat Hindu di hutan Purwo. Setiap tahunnya umat Hindu di Banyuwangi dan Pulau Bali datang ke Giri Salaka untuk memperingati hari Pagerwesi.27 Selain itu hutan Purwo juga memiliki nilai estetika alam yang luar biasa. Dari masa dulu hutan Purwo dijadikan tempat wisata berburu bagi petinggi-petinggi tentara. Beralih ke trend ekowisata, akhir tahun 80an perusahaan jasa wisata mulia melirik potensi estetis alam Purwo. Bahkan ombak di pantai kawasan hutan Purwo disebut-sebut yang paling bagus di kalangan para peselancar dunia. Tidak hanya itu, Purwo juga menyimpan potensi wisata ilmiah. Terbukti banyak para peneliti yang sudah berkali-kali melakukan penelitian di kawasan Purwo ini.
26
Narasumber menjelaskan bahwa banyak tokoh-‐tokoh politik penting dari wilayah Jawa Timur yang berhasil sukses setelah melakukan ritual di hutan Purwo ini. 27 Informasi seorang narasumber menyebutkan, jumlah pengunjung ke Giri Salaka rata-‐rata setiap tahun lebih dari lima ribuan orang yang datang beribadah.
21
Sejauh ini potensi hutan Purwo belum maksimal dikelola untuk bisa mendatangkan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar.28 Ketegangan-ketagangan sering muncul justru dalam pemanfaatan sumber daya alam yang nilai ekonomisnya rendah.29 Sementara potensi sumber daya alam yang lebih besar dimanfaatkan oleh pihak luar.30 Kelemahan mendasar dari pola interaksi antara masyarakat dan balai Taman Nasional terletak pada ketidakjelasan pola hubungan yang dibangun. Orang-orang dusun Kutorejo tidak mengerti apa itu peran yang dimainkan oleh Taman nasional.31 Sementara balai Taman Nasional memiliki keterbatasan untuk bisa memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai fungsi Taman Nasional kepada orang-orang dusun.32 Kelemahan pola interaksi tersebut tidak pernah dijembatani dengan media komunikasi yang tepat sasaran. Berbagai program balai Taman Nasional yang ditawarkan kepada kelompok masyarakat dengan harapan menjadi media komunikasi malah memicu ketegangan-ketegangan yang baru. Karena kebanyakan program tersebut tidak memiliki sifat sustainabilitas, tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara luas sebenarnya dan memberikan harapan yang kurang sesuai dengan kenyataannya. Sebagai contoh, program pembibitan yang dirancang tahun 2001. Balai Taman Nasional saat itu bekerja sama dengan PT. Plengkung merancang Program Pelestarian dan Pengembangan di Bidang Flora. Sekelompok orang diberikan pelatihan ketrampilan untuk pengamanan hutan dan menyemai pembibitan. Jenisjenis flora yang disemai waktu itu antara lain kedaung, nyamplung, sawo kecik, wali kukun, pandan arun, kendal, dan tanjang. Mereka diberikan dana insentif untuk membeli kantong plastik atau polibag. Sementara bibitnya mereka harus mencari ke hutan sendiri. Bagi mereka yang berhasil memenuhi target akan diberikan dana intensif sebagai hadiah. Diakhir cerita mereka yang berhasil tidak diberikan hadiah dan tidak ada kejelasan kelanjutan program tersebut.33
28
Mantan Kepala Balai TNAP, Ir. Hartono mengakui hutan Purwo ini masih menyimpan banyak potensi alam yang belum di kelola secara optimal. 29 Orang-‐orang Kutorejo sendiri sering mengeluh dan bersihtegang dengan petugas TNAP hanya untuk memanfaatkan sumber daya alam yang nilai ekonomisnya rendah seperti kluwak, miri, kerang, bambu dan lain sebaginya. 30 Salah satu pengelola jasa wisata Plengkung adalah PT. Plengkung yang sahamnya dimiliki secara bersama oleh orang Australia. 31 Hampir semua orang yang kami temui belum mengerti apa itu fungsi dan perananya Taman Nasional. Apalagi peran Taman Nasional dalam membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka hanya melihat bahwa Taman Nasional itu bermanfaat untuk menjaga kelestarian hutan. Tetapi mereka sendiri tidak bisa menjaga hutan. 32 Kepala Balai TNAP Ir.Hartono menjelaskan bahwa balai Taman Nasional memiliki keterbatasan anggaran untuk melakukan pendidikan penyadaran konservasi kepada masyarakat. 33 Sumber informasi Pak Tukinun (70th) warga kutorejo.
22
Selanjutnya, Balai Taman Nasional juga pernah merancang program kambing bergulir. Pada tahun 2005 balai Taman Nasional melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dengan kegiatan pembibitan kambing bergilir. Pihak Balai menyediakan indukan kambing jantan dan betina. Dipilih indukan dengan kualitas yang baik dibagikan kepada kelompok. Aturannya, jika kambing yang dipeliharan sudah beranak, kelompok yang memegang indukan harus menyerahkan anaknya kepada kelompok lain. Akan tetapi terjadi kecurangan, anak kambing dari kualitas bagus tidak diserahkan kepada kelompok lain, tetapi diberikan anak kambing biasa atau kualitasnya yang kurang bagus dan dari induk pasangan yang lain. Di saat kambing itu harus digilir ke dua dan ketiga ternyata kualitas kambing itu sudah tidak seperti kualitas induk kambing yang pertama lagi. Selanjutnya program tersebut tidak dibicarakan secara terbuka bersama pihak yang terkait, sebagai inisiator Balai Taman Nasional hanya melakukan evalusi dan program tersebut dianggap gagal hingga tidak diteruskan lagi. Pola interaksi yang sama juga terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat Kutorejo dengan Perhutani. Ketidakjelasan pola hubungan, pemahaman akan fungsi dan peran masing-masing pihak, media komunikasi, serta persoalan programatik teknis menciptakan ketegangan antar kelompok masyarakat. Sedikit berbeda antara interaksi kelompok masyarakat dengan balai Taman Nasional. Pola interaksi antara kelommpok masyarakat dengan Perhutani dijembatani oleh lembaga atau organisasi lokal pelaksana kemitraan, yaitu LMDH Purwo Kencono (Lembaga Masyarakat Desa Hutan).34 Sehingga keberadaan LMDH seakan menjadi lembaga tempat caci maki atas kesalahan akan ketidakjelasan pola interaksi tersebut. Beberapa catatan kritik kelompok masyarakat yang berhasil kami rekam antara lain, Pertama masalah jual-beli lahan bekas tebangan pohon jati oleh oknum pengurus LMDH. Masyarakat menilai harga tanah garapan dari bukaan lahan perhutani terlalu mahal dan tidak terjangkau oleh petani Kutorejo. 35 Entah bagaimana ceritanya mereka kemudian setiap orang menyaksikan orang dari luar daerah yang malah menyewa tanah bukaan di Kutorejo dan bukan orang Kutorejo sendiri yang menggarapnya. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial di Kutorejo. Kedua, masalah ketidakjelasan fungsi dan peranan LMDH. Ketua LMDH Purwo Kencono, Hadi Mas’ud mengungkapkan seringkali Perhutani melakukan kerja-kerja teknis tanpa melibatkan LMDH sehingga tidak jelas peran dan fungsi dibentuknya LMDH.36 Ketiga, ketua LMDH juga menyiratkan bahwa kebijakan Perhutani sangat
34
Pola kemitraan yang ada terjalin dalam konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Satu petak lahan di jual dengan harga 1,5 – 3 juta, untuk ukuran masyarakat kutorejo uang tersebut sangatlah mahal. Satu hektar = 5 petak lahan. 36 Ketidakjelasan peran dan fungsi LMDH ini diisyaratkan dengan munculnya organisasi pass trough tandingan LMDH di Kutorejo. Kasus yang menarik adalah soal pembelian tanah. Harga lahan yang di tawarkan secara terbuka ternyara lebih tinggi dari harga yang di dapat oleh kelompok tani setelah mereka melakukan lobby-‐ lobby. 35
23
instruktif. 37 Dan ini tentunya mengingkari semangat PHBM yang deliberative. Keempat, terdapat ketidakjelasan definisi anggota dalam LMDH.38 Terdapat kesan kuat ketidakjelasan tersebut berimplikasi pada mekanisme bagi hasil, yang akhirnya memicu ketegangan dan kecemburuan di antara orang-orang39 Kelima, ketidakjelasan informasi program kerja LMDH. Masyarakat tidak mengetahui perencanaan maupun kerja-kerja LMDH. Ambil contoh perencanaan pembukaan lahan yang bisa dikerjakan oleh kelompok masyarakat dalam musim tebangan tertentu. Ketegangan muncul ketika lahan menjadi satu-satunya potensi yang dilihat oleh orang-orang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. 40 Sementara sumber informasi tersebut seolah-olah di tutup-tutupi.41 Ketegangan-ketegangan yang disebutkan di atas sebetulnya telah berulangulang terjadi dan berlangsung selama berpuluh tahun dan masih terus berlanjut sampai hari ini tidak pernah dibicarakan secara terbuka untuk menecari penyelesaiannya. Munculnya berbagai program di desa dan solusi alternatif versi kelompok masyarakat sendiri boleh jadi menjadi ”obat penenang” sementara untuk mengobati rasa sakitnya, atau menjawab kebutuhan masyarakat yang sementara.42 Tetapi tidak kemudian menjadi jawaban dalam jangka panjang dan menata landasan pola interaksi antara kelompok masyarakat, Balai Taman nasional dan Perhutani. C. POTENSI ”ZONA” PEMANFAATAN DAN MENUJU PEMANFAATAN BERSAMA
37
Perhutani menurut Hadi Mas’ud Ketua LMDH, Perhutani lebih senang main tunjuk untuk kegiatan dilapangan dan bukan berkoordinasi dengan LMDH. Boleh jadi hal ini juga disebabkan oleh inisiatif-‐inisiatif LMDH yang lemah dalam melakukan pengembangan-‐pengambangan program PHBM, hal ini diungkapkan oleh salah seorang Asper di Kalipait. 38 Terdapat kesan kuat bahwa, ketidakjelasan ini menimbulkan peluang bagi hasil hanya dinikmati pengurus LMDH dan bukan keseluruhan anggota. Masyarakat sendiri pernah diminta uang iuran jika ingin menjadi anggota LMDH, akan tetapi selanjutnya tidak jelas kemudian mekanisme keanggotaanya. 39 Kasus yang hampir mirip terjadi di LMDH Surajaya. Analisa Kebijakan Deliberatif -‐ Studi kasus Pemanfaatan Sumberdaya Alam, San Afri Awang. Di Kutorejo banyak petani yang kebingungan apakah mereka adalah anggota LMDH atau bukan anggota LMDH. 40 Persoalan menjadi rumit ketika masyarakat dihimpit berbagai persoalan kehidupan yang menuntut mereka harus meningkatkan pendapatan ekonomi. Sementara di sisi lain alternatif sumber ekonomi yang bisa mereka kelola hanya berbasis sumber daya alam dan itupun pengetahuan mereka sangat terbatas. Hanya lahan garapan/sawah, ketika mereka mencoba mengambil sumber daya di hutan Taman Nasional seperti kerang, mereka harus dihadapkan dengan peraturan ijin masuk dari Balai Taman Nasional. Alih-‐alih untuk memahami peraturan pengelolaan Taman Nasional, perut orang-‐orang yang lapar mengganggu kesadaaran berfikir, menyebabkan tekanan kejiwaan dan akhirnya membuat emosinya naik. Kami mendapatkan kasus dimana persoalan ini hampir saja memicu perkelahian dan pembunuhan. 41 Penggunan kalimat “seolah-‐olah di tutup-‐tutupi” adalah bahasa yang kami gunakan untuk menyampaikan kecurigaan masyarakat terhadap perhutani dan pengurus LMDH 42 Beberapa solusi yang muncul dari kelompok masyarakat seperti didirikannya organisasi-‐organisasi tani tandingan untuk menandingi LMDH, kemudian masyarakat menanami tanaman-‐tanaman yang tidak disukai banteng di lahan-‐lahan pertanian yang sering dirusak oleh banteng, masyarakat membuat jebakan macan untuk menangkap mancan yang sering mengancam ternak.
24
Baik orang-orang di Kutorejo, Perhutani dan Balai Taman Nasional memiliki asumsi dan proyeksi terhadap ”zona” pemanfaatan kawasan hutan Alas Purwo atau Blambangan Selatan.43 Sayangnya, anggapan dan proyeksi tersebut masih tersimpan rapi di lingkungan institusi masing-masing. Ketiadaan media komunikasi yang tepat sasaran menyebabkan peta-peta potensi kerja sama (asumsi dan proyeksi) dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan Alas Purwo hanya dijadikan pajangan diperpustakaan masing-masing insitusi. Dan, bukannya menjadi kerangka kerja bersama. Persoalan formalitas, kebijakan internal organisasi, ketakutan eksternal, trauma persoalan masa lalu sudah seharusnya direduksi dan dihapus dari pikiranpikiran orang sekarang. Hal yang lebih penting yang harus dilihat adalah bagaimana membangun prinsip-prinsip kerjasama antar pihak yang berkelanjutan. Kelemahan media komunikasi formal, misalnya, dalam kasus klaim tapal batas, masalah LMDH, masalah kambing bergilir sudah saatnya menjadi pelajaran untuk menuju model kerjasama yang berkelanjutan yang lebih partisipatif. Pulahan tahun yang lalu sejumlah orang bergerak ratusan kilometer ke kawasan ujung Pulau Jawa dituntun keinginan dan sikap hidup seorang petani, yang ingin mengelola sumber daya alam dan ingin mendapatkan lahan garapan. Modal kebudayaan petani dan prinsip-prinsip hidup petani Jawa telah membuat mereka bisa bertahan hingga sekarang masih mempertahankan kelestarian hutan Blambangan Selatan.44 Prinsip hidup tidak mau mengambil hak orang lain, sikap hidup nerimo, tidak suka kekerasan, menghormati institusi negara adalah norma hidup yang menuntun para petani Jawa di kawasan hutan Purwo.45 Boleh jadi jika suku lain yang hidup di kawasan Purwo dan dihadapkan dengan berbagai tekanan seperti itu, hutan Alas Purwo sudah kemungkinan hilang atau habis puluhan tahun yang lalu. Asumsi dan proyeksi para petani tentang hutan di Purwo sangatlah sederhana. Mereka hanya ingin hidup kecukupan dengan sumber daya alam yang ”bisa dan boleh” dimanfaatkannya. Di sisi lain Taman Nasional dan Perhutani memiliki banyak sekali asumsi dan proyeksi sumber daya alam yang ”bisa dan boleh” dimanfaatkan oleh orang-orang dusun. Hanya saja tidak pernah dikomunikasikan dengan baik kepada mereka. Inisiatif komunikasi biasanya muncul secara tidak sengaja terhadap rencana yang boleh dan tidak boleh dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat. Catatan sejarah para pengambil bambu, misalnya. Dari awal keberadaan orang-orang di Alas Purwo sudah terbiasa mengambil bambu di hutan, selanjutnya mereka memiliki asumsi bahwa bahwa mengambil bambu adalah hal yang boleh. Tetapi kemudian muncul larangan dan pemantauan dari petugas Taman Nasional. Saat itu banyak petugas yang
43
Terminology “zona” pemanfaatan bukan kami maksudkan hanya sebatas zona pemanfaatan di taman nasional, tetapi zona pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia di kawasan hutan blambangan selatan. 44 Masyarakat masih percaya bahwa hutan di purwo menyimpan banyak cerita-‐cerita mistik. 45 Lihat Javanese ethics and world-‐view, the Javanese idea of the good life, Franz Magnis Suseno.
25
melakukan pelarangan terhadap pengambilan bambu. Sayangnya, pemahaman yang dibangun bukanlah larangan pengambilan bambu, tetapi larangan pengambilan bambu ”secara terbuka” atau kelihatan banyak orang. Artinya kalo mengambil bambu secara diam-diam dan memberi uang kepada petugas masih diperbolehkan. Selanjutnya norma yang dibangun masyarakat adalah ”mengambil bambu dengan diam-diam dan memberi uang kepada petugas”. Kerusakan hutan bambu yang semakin parah menyebabkan Kepala Balai Ir. Hartono geram dan mengambil inisiatif untuk membenahi pola komunikasi dengan kelompok masyarakat dan petugaspetugas lapangan. 46 Saat itulah orang-orang dusun mulai menyadari bahwa sebenarnya mengambil bambu memang dilarang. Lingkaran setan terjadi karena sebagian orang sudah terlanjur memiliki proyeksi dengan bambu. Dan, malangya proyeksi tersebut sudah memasuki pusaran ekonomi rumah tangga.47 Wajarlah kekecewaan muncul dari orang-orang tersebut. Ditengah tekanan ekonomi, keluarlah ekspresi-ekspresi marah dan kekesalan terhadap balai Taman Nasional.48 Sayangnya, para petugas di lapangan kurang bisa menjawab ekspresi orang-orang tersebut dengan bijaksana. Beban petugas lapangan untuk mengawasi dan mengamankan sudah cukup berat. Ketika dihadapkan dengan ekspresi kekesalan sejumlah orang maka munculah jawaban-jawaban yang justru memicu ketegangan.49 Dalam masa dua tahun terakhir muncul inisiatif positif dari Taman Nasional untuk memperbaiki pola komunikasi dengan kelompok masyarakat, meskipun kelompok targetnya masih kecil. 50 Tidak menutup kemungkinan jika intervensi jalinan komunikasi dilakukan lewat kelompok target yang lebih besar dan berkesinambungan akan memperbaiki pola interaksi dengan oranga-orang tersebut.
46
Tindakan persuasive kepala balai TN Alas Purwo dalam memberi pengertian kepada masyarakat untuk tidak mengambil bambu di hutan menimbulkan pemahaman yang positif. Saat itu warga yang ketahuan telah mengambil bambu di minta pulang dengan diberikan peringatan untuk tidak mengulangi lagi, bambu yang sudah di tebang di beli balai taman nasional, untuk menghargai hasil kerja warga. Warga juga dilibatkan dalam inventarisasi flora bambo di TN Alas Purwo, dengan ikut program inventarisasi dan mereka juga di berikan upah kerja sebesar Rp.50.000,-‐ / hari warga merasa senang, karena jumlah angka itu lebih besar dari pada jika mereka bekerja sebagai buruh tani. 47 Beberapa masyarakat di Kutorejo sudah terbiasa memanfaatkan hasil bambu baik yang olahan maupun di jual langsung. Olahan seperti keranjang ikan dan kerajinan yang lain. Sementara untuk jualan langsung mereka biasanya menjual ke luar. 48 Ekspresi yang muncul dari masyarakat adalah “balai taman nasional jangan cuman bisa melarang saja, tapi juga seharusnya bisa memberi alternative ekonomi masyarakat”. Catatan interview dengan masyarakat kutorejo berinisial S 49 Ekspresi jawaban petugas yang muncul dalam menjawab persoalan masyarakat adalah “soal alternative pendapatan ekonomi kan bukan masuk wilayah tanggung jawab taman nasional, seharusnya dinas sosial lah yang berhak memikirkan dan mengatasi soal kemiskinan”. Catatan interview dengan petugas Taman Nasional berisial G 50 Target group untuk kelompok sapi bergilir lewat KUB Al-‐Ihklas berjumlah 30 orang.
26
Tahun 2009 sekelompok orang mengembalikan enam ekor sapi program penggemukan kepada Balai Taman Nasional. 51 Program penggemukan tersebut menurut mereka gagal karena harga penjualan sapi tidak seimbang dengan pakan ternaknya. Dari biaya pengembalian tersebut, balai Taman Nasional menambahkan sejumlah modal sertaan untuk modal usaha yang lain, yaitu sapi bergilir. Kelompok kemudian mendapatkan tiga belas ekor sapi. Dalam jangka kurang dari setahun, sapi sudah menghasilkan empat ekor anak sapi. Inisiatif kerja kelompok Al Ikhlas secara tidak sengaja dibangun dengan dua arah. Menurut Haji Ponidi, Balai Taman Nasional melakukan pendampingan yang bagus. Tidak hanya memberikan suntikan modal, balai juga memberikan wawasan, pengawasan, dan pelatihan ketrampilan melakukan usaha kelompok. Pertemuan tidak memiliki jadwal rutin. Biasanya jika ada masalah dengan sapi atau ada masyarakat yang ingin membicarakan persoalan kelompok. Setiap pertemuan kelompok selalu mengundang pihak Balai Taman Nasional. Dan Balai Taman Nasional datang bukan hanya membicarakan soal sapi dan usaha kelompok tetapi juga kondisi kawasan Taman Nasional. Informasi ini dirasakan para peserta diskusi sebagai penambah wawasan yang berguna, karena dari dulu mereka sama sekali tidak pernah diberikan informasi tentang kondisi Taman Nasional. Program yang lain adalah ekowisata. Program ekowisata dikembangkan di Grajagan, Kecamatan Purwoharjo. Progam ini memiliki dampak ekonomi yang positif. Ketika hari libur dan musim liburan sekolah, saat lebaran sangat ramai dipadati pengunjung, dalam waktu sehari saja pengelola wisata bisa memperoleh pemasukan kasar sebesar Rp.25 juta, belum lagi jika dihitung dengan keuntungan lainnya seperti warung, parkir, penyedia air, dan penjualan souvenir.52 Program pemberdayaan masyarakat, bukan saatnya lagi dilakukan secara top down, tetapi menggabungkan dengan pendekatan bottom up atau dua arah (top down – bottom up). Artinya orang-orang secara individu maupun kelompok juga belum mampu melakukan perencanaan sendiri, sementara balai Taman Nasional juga memiliki keterbatasan untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat. Alokasi anggaran pemberdayaan masyarakat balai Taman Nasional berjumlah sekitar Rp.100 juta per tahun. Jumlah tersebut meliputi seluruh kawasan yang berbatasan dengan taman nasional, kurang lebih sebelas desa. Sudah sangat jelas tidaklah cukup. Inisiatif program harus direncanakan dalam jangka panjang sehingga bisa menyentuh seluruh wilayah penyangga. Balai Taman Naisonal sendiri berencana untuk tahun 2010, pengembangan ekowisata akan dikembangkan bagi desa Kalipait.53 Komitment kepala desa Kalipait akan menyediakan tanah kas desa untuk menunjang infrastruktur ekowisata tersebut. Sejauhmana implementasinya, kami berharap progam ini dapat memperbaiki pola interaksi antara orang-orang Kutorejo dengan Balai Taman Nasional.
51
Usaha ternak sapi bersama dilakukan lewat kelompok al-‐ ihlas yang di ketuai oleh Haji Ponidi. Sumber informasi mantan kepala Balai TN Ir. Hartono dan Camat Purwoharjo 53 Kalipait adalah induk desa dusun kutorejo 52
27
Beberapa program komunikasi yang telah dibangun oleh Balai Taman Nasional dalam dua tahun belakangan ini, terbukti mampu mengubah pandangan orang-orang terhadap hutan Taman Nasional. Hal yang perlu ditingkatkan adalah keterbukaan asumsi dan proyeksi potensi Balai Taman Nasional atas hutan. Sudah saatnya Balai Taman Nasional memberikan pemahaman yang konprehensif akan potensi dan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang dusun. Seperti yang sudah kami paparkan sebelumnya sejumlah orang di Kutorejo memanfaatkan potensi hutan Taman Nasional dengan mengambil begitu saja sumber daya alam yang nilainya rendah. Alih-alih membantu perekonomian mereka, ketidakjelasan prinsip pengambilan justru menimbulkan ketegangan baru.54 Taman nasional alas purwo memiliki luasan zona pemanfaatan kurang lebih kurang lebih 1.220 hektare.55 Anehnya, masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu zona pemanfaatan di Alas Purwo. Padahal selama ini mereka keluar-masuk wilayah Taman Nasional hanya mengandalkan intituisi mengambil sumber daya alam dan bukan atas prinsip pemanfaatan ruang kelola zonasi. 56 Ketidaktahuan ini tentunya dapat berubah menjadi salah satu sumber ketegangan baru, mengingat hampir setiap hari orang-orang keluar-masuk hutan Taman Nasional.57 Sementara pengambil manfaat zona pemanfaatan paling besar justru perusahaan jasa wisata dan perusahaan mutiara asing. Karena itu, sudah saatnya asumsi dan proyeksi pemanfaatan zonasi digunakan sebagai landasan pengelolaan bersama hutan Alas Purwo supaya tidak terulang kembali berbagai ketegangan masa lalu, serta memperbaiki pola interaksi komunikasi antar orang-orang dusun dengan Balai Taman Nasional maupun dengan Perhutani. Hal yang sama juga seharusnya dilakukan Perum perhutani. Analisa potensi sumber daya hutan, perencanaan ruang pemanfaatan, dan strategi-strategi usaha alternatif di bidang kehutanan sudah saatnya dibuka kepada orang-orang dusun. Hal tersebut akan membuka ruang dialog untuk memperbaiki pola interaksi antara orang-orang dusun dengan Perhutani dan menjadi jaminan keberlangsungan kelestarian lingkungan sosial dan hutan.
54
Masyarakat sering mengeluh karena harus melapor dan membayar uang masuk ke petugas balai saat mereka mengambil kerang. Sementara mereka kemudian membandingkan dengan para pegawai PT. Plengkung yang setiap hari keluar masuk taman nasional tetapi tidak pernah membayar uang masuk TN. 55 Sumber peta zonasi balai taman nasional 56 Prinsip yang dibangun dalam pemanfaatan hutan di taman nasional adalah “masyarakat diperbolehkan mengambil potensi hutan selama tidak menggangu flora atau fauna yang dilindungi”. Mereka tidah pernah tahu jika ada zonasi-‐zonasi di taman nasional. 57 Hasil catatan dialog dengan warga wilayah kelola masyarakat tidak pernah menyentuh zona inti taman nasional.
28
IV. SUARA KOMUNITAS IV.1. DISKUSI PEMANFAATAN RUANG Dalam tiga bulan terakhir Tim Konphalindo telah melakukan pengumpulan data dan informasi dengan lima kali kegiatan diskusi kelompok terbatas (FGD). Diskusi dilakukan dengan berbagai topik yang berbeda dan kelompok sasaran yang berbeda. Total peserta lima kali diskusi tersebut berjumlah kurang lebih 100 orang. Dalam setiap diskusi kami selalu mengusahakan mengundang peserta yang berbeda. Dengan metode ini kami berharap bisa mendapatkan sumber informasi yang beragam dan merepresentasikan sudut pandang yang berbeda. Diskusi pertama dan kedua dilakukan pada bulan Desember 2010. Selanjutnya, tiga diskusi berikutnya dilakukan pertengahan Februari 2011. Dua judul awal kelompok diskusi terbatas adalah ”Pemanfaatan Ruang” dan ”Pola Hubungan Petani dan LMDH dan Perhutani”. Sementara diskusi ketiga mengambil topik”Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati kawasan TNAP”. Secara substansi tiga diskusi tersebut saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Isu yang menjadi pembicaraan antara lain hubungan kelembagaan antara kelompok masyarakat dengan Balai Taman Nasional dan Perhutani, kinerja LMDH di tengah petani, opini petani terhadap LMDH, sejarah perjalanan orang-orang Kutorejo, ragam persoalan di tingkatan lokal, pengetahuan lokal masyarakat akan sumber daya alam di hutan Blambangan Selatan, tradisi lokal, dan isu-isu lainnya. Selanjutnya dua diskusi terakir lebih menekankan pada analisa peran dan gender. Diskusi keempat kami lakukan dengan pemuda, diskusi ini dilakukan secara informal dengan beberapa orang pemuda di Kutorejo. Topik diskusi dengan pemuda sifatnya lepas dan tidak kami maksudkan untuk melakukan interview secara spesifik. Kami hanya ingin mengetahui pandangan dan harapan para pemuda terhadap masa depan kehidupannya. Kami juga ingin mengetahui potensi mereka dan berharap mereka bisa mengambil peran penting dalam pelaksanaan program penguatan institusi sosial ke depan. Sementara itu untuk diskusi perempuan kami melakukan pengumpulan informasi mengenai ragam organisasi perempuan baik formal maupun informal,58 kegitan perempuan sehari-hari, isu sehari-hari yang sering mereka perbincangkan, struktur organisasi dan individu-individu yang tergabung didalamnya. Diakhir pertemuan kami sajikan alurkan pemikiran kelompok-kelompok perempuan tentang kampung impiannya.
58
Organisasi formal yang kami maksud adalah organisasi yang memiliki struktur jelas, pengurus, dan agenda kegiatan pertemuan didasarkan atas perencanaan dan di adopsi kepentinganya oleh pemerintahan desa, sementara organisasi informal yang kami maksud adalag organisasi yang tidak memiliki strukture, transaksi individu-‐individu dalakukan tidak berdasarkan struktre tetapi lebih mendasarkan pada kepentingan, waktu pertemuanya biasanya tidak rutin atau transaksional, dan kebanyakan organisasi semancam ini kepentinganya tidak diadopsi oleh pemerintahan desa.
29
Dalam sub-bab ini kami paparkan hasil kelompok diskusi terbatas, tata urutan narasi akan kami urutkan dari diskusi pertama, kemudian kedua dan seterusnya. Sementara hasil kelompok diskusi terbatas kelima, kelompok perempuan kami pisahkan dalam Bab V. Hal ini didasarkan atas pertimbangan pisau analisis. Ke depan kami berharap bisa memaparkan analisis pengelolaan sumber daya alam dengan pisau analisis gender dalam laporan akhir tahun kami. Cuplikan-cuplikan hasil diskusi, beberapa sudah kami sampaikan diawal, dan kami rangkai dengan faktafakta dari hasil wawancara individu dan wawancara kelompok dua atau tiga orang. Diskusi pertama dengan topik pemanfaatan ruang dilakukan di tempat kepala dusun pak Misyadi. Diikuti dua puluh masyarakat dari Kutorejo. Diskusi dimulai malam hari selepas isyak, dan di pandu oleh dua fasilitator Konphalindo dari jember Bambang dan Bayu. Muncul kesan ke-kakuan suasana saat kami melakukan FGD pertama kali. Hal ini di sebabkan pertama, tidak semua warga kenal dengan fasilitator, selanjutnya adalah hal yang baru rupanya ada penelitian yang dilakukan dengan model FGD. Sebelumnya masyarakat kutorejo sering dikunjungi oleh para peneliti, tetapi kebanyakan mereka hanya menyebarkan quesioner atau lari ke hutan dan tidak bersapa sua dengan banyak masyarakat. Muncul banyak pertanyaan mengenai tujuan dan maksud penelitain ini, tetapi setelah dijelaskan beberapa saat masyarakat mulai memahaminya. Seperti menemukan harapan baru, peserta di awal diskusi langsung saja mengeluarkan keinginannya untuk segera melaksanakan perubahan-perubahan di dusun mereka. Beragam ide dilontarkan seperti pembutan pupuk organik, bio-gas dan pengembangan usaha ternak. Beragam persoalan dan pemikiran disampaikan secara terbuka oleh para peserta diskusi. Persoalan klaim tapal batas antara Balai Taman Nasional dan Perhutani, masyarakat pahami sebagai penyerobotan lahan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional.59 Entah informasi seperti apa yang mereka terima saat dulu, muncul ketakutan dari orang-orang dusun jika lahan yang masih menjadi klaim kemudian memang menjadi bagian dari wilayah Balai Taman Nasional, yang muncul dalam pemikiran mereka sekita adalah akan kehilangan kesempatan mengelola lahan yang sedang digarap sekarang. Mereka hanya memiliki kesempatan mengelola hutan ketika kawasan tersebut dibuka setelah tebangan dan kemudian disewakan untuk lahan babatan. Mereka juga menceritakan peran-perannya dalam melakukan reboisasi pasca penjarahan kayu tahun 1999/2000.60 Hal yang menjadi ketakutan di antara mereka adalah, saat lahan bukaan Perhutani semakin menipis. Sementara setiap orang tetap membutuhkan lahan untuk lahan pertanian. Jika semua kawasan Perhutani ditutup sementara orang-orang dusun masih 59
Para peserta tidak mengerti duduk persoalan klaim lahan, karena apa yang mereka lihat adalah para petugas Balai Taman Nasional mematok lahan-‐lahan Perhutani, maka mereka menyangka balai Taman Nasionalah yang melakukan penyerobotan terhadap lahan Perhutani. 60 Para narasumber meceritakan bahwa mereka waktu itu juga terlibat langsung menjarah kayu. Tapi sekarang ini, pemuda dan petani beserta LMDH bekerjasama dan melakukan penghijauan dimana sekarang luasnya sudah mencapai + 80 %. Sumber G pemuda Kutorejo.
30
membutuhkan lahan maka kemungkinan pengalaman penjarahan kayu akan terulang kembali. Inilah rumusan harapan peserta harapan diskusi yang dibahasakan kembali agar mudah dipahami oleh pembaca. Harapan peserta diskusi dapat juga dilihat sebagai harapan masyarakat umumnya, yaitu: kemajuan untuk desa, petani-petani bisa bertani dengan baik, ekonomi setiap orang bisa lancar, intensifkasi pengelolaan lahan Perhutani, Balai Taman Nasional bisa bekerja sama untuk kesejahteraan warga dusun, pengaspalan jalan Taman Nasional – Tegalsari dan sertifikasi tanah-tanah di Kutorejo, jangka pengolahan lahan babatan dua tahun terlalu pendek, tidak ada kecukupan modal bagi petani untuk mengembangkan usaha, jalan-jalan becek, masalah pengambilan kayu di hutan taman nasional, dan persoalan kegagalan panen. Dari sana kemudian kami lanjutkan dengan diskusi interaktif untuk mengerti lebih jelas maksud dari pernyataan peserta diskusi. Kami mendapatkan banyak sekali isu dan perspektif lokal. Sayangnya, persoalan dan isu tersebut yang disampaikan itu belum dapat dibuktikan secara logis. Dalam kondisi seperti itu, sejumlah orang dusun yang memiliki pengalaman dan keberanian sudah terlanjur membuat penilaian dan mengambil keputusan untuk membuatnya menjadi masalah, kemudian mencari solusi secara kreatif – destruktif.61 Sebagai contoh, persoalan ketidakjelasan mengenai perjanjian antara Perhutani dan LMDH disikapi petani dengan mengambil keputusan bahwa petani harus memiliki sertifikat untuk bisa bertahan di tanah magersaren.62 Contoh lain, kasus pembunuhan macan yang berujung pada pemenjaraan warga, kemudian larangan mengambil rumput dan kayu roboh di Taman Nasional, telah memicu sejumlah orang mengambil kesimpulan bahwa Taman Nasional lebih mementingkan hewan dari pada manusia yang hidup di sekitar hutan. Mereka membandingkan sikap Taman Nasional dengan sikap Perhutani kepada warga dusun. Di hutan Perhutani, jika ada kayu yang roboh para petani diminta membawa pulang. Para petani masih leluasa mengambil rencek, rumput dan ikan. Pengalamanpengalaman tersebut membuat para petani mengambil kesimpulan bahwa jika hutan di kelola oleh Perhutani nasib masyarakat masih lebih baik. Diskusi selanjutnya adalah mengamati perubahan lingkungan sekitar. Kami mengajak sejumlah orang untuk meneropong kembali perubahan apa saja yang telah terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun ke belakang. Berikut adalah catatan 61
Langkah-‐langkag creative destructive seperti : membuat kelompok tani tandingan atas ketidakjelasan LMDH dalam pembagian tanag garapan dsb. 62 Contoh solusi creative-‐destructive lainya adalah: Penulis mendapat informasi dari pegawa pajak kab.Banyuwangi Y, bahwa masyarakat kalipait mengajukan pengajuan pembayaran SPT PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) padahal dengan status tanah milik perhutani seharusnya yang berkewajiban adalah perhutani. Keputusan Direktorat Pajak Kab. Banyuwangi yang menerima pembayaran pajak masyarakat kalipait pernah diprotes oleh Perhutani. Skalipun pernah di tolak oleh Direktorat Pajak Kab.Banyuwangi masyarakat tetap mengajukan pembayaran PBB untuk memperkuat posisi mereka menempati tanah magersaren.
31
perubahan yang diungkap oleh peserta diskusi. 1. Lahan pertanian dulu baik, tapi sejak penggunaan pestisida petani merasa tanaman semakin turun kualitasnya. Dan juga hama padi, jagung semakin sulit penangananya. 2. Dulu petani gampang mencari ikan, sekarang mereka kesulitan. 3. Jambu mete yang dulu mudah dapat sekarang susah. 4. Hama babi hutan sekarang bertambah jumlahnya dan semakin meraja lela, 5. Pohon jati sekarang ini lebih kecil ukurannya, dulu ukuran pohon jati besar-besar. 6. Berbagai satwa seperti burung-burung dan macan yang dulu sering terlihat, sekarang jarang terlihat. 7. Rumput sekarang ini susah ditemukan. 8. Menurut sejumlah peternak dan petani bahwa sapi sekarang semakin rentan dan gampang sakit. 9. Sekarang ini mencari kayu lebih susah dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. IV.2. DISKUSI POLA HUBUNGAN KELEMBAGAAN LMDH DAN PERHUTANI Kelompok Diskusi Terbatas yang kedua merupakan lanjutan dari pertemuan yang pertama, dan dilakukan di waktu yang berbeda. Seperti diskusi pertama, diskusi ke dua juga dilaksanakan di rumah Pak Misyadi (Kepala Dusun). Diskusi ke dua membicarakan ”Pola Hubungan Kelembagaan LMDH dan Perhutani”. Diskusi kali ini mengalir saja, topik-topik ditentukan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari peserta. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul justru tidak ditujukan kepada kami, tetapi kepada Perhutani dan Balai Taman Nasional. Selanjutnya kami hanya mencatat dan merekam untuk bisa dibaca semua orang dan para pihak terkait. Beberapa pertanyaan dari peserta diskusi yang direkam sebagai berikut. 1. Di Taman Nasional Meuru Betiri kabarnya, petani sekitar Taman Nasional diajarkan membuat jamu oleh Balai Taman Nasional, kemudian kenapa di TNAP petani justru tidak boleh mengambil jamu-jamuan, apa tujuanya? 2. Jika saat ini petani sudah susah untuk mendapatkan lahan babatan, bagaimana kemudian 5 atau 10 tahun mendatang? Sementara alternatif ekonomi para petani belum ada selain mengolah lahan.63 3. Para petani merasa Perhutani lebih banyak memberikan lahan perkerjaan bagi petani, karena itu meminta agar lahan klaim dari Balai Taman Nasional bisa di kembalikan ke Perhutani agar para petani bisa mengelolanya menjadi lahan rabasan. 64 4. Petani merasa lahan rabasan Perhutani semakin menipis dan sempit, dan jangka waktu pengelolaannya juga makin pendek, melalui diskusi ini petani meminta Perhutani membuka lahan rabasan lagi. 5. Petani merasa proses pembagian rabasan banyak yang tidak tepat sasaran, artinya orang-orang yang benar-benar membutuhkan lahan harusnya mendapat bagian malah tidak. 6. Petani merasa dengan adanya LMDH mereka malah justru banyak dirugikan. 7. Petani mengeluhkan harga pupuk dan obat-obatan yang terus naik. 8. Petani kesulitan
63
Masyarakat menanyakan alternatif tanaman apa yang kira-‐kira bisa di tanam di tengah tegakan hutan jati. Dengan adanya klaim tapal batas, masyarakat berfikir bahwa balai taman nasional akan terus menggusur wilayah perhutani, dan hal ini juga akan menggusur lahan-‐lahan pertanian dan mengancam kehidupan masyarakat.
64
32
dengan prosuderal perijinan setiap mereka masuk kawasan hutan Taman Nasional. 9. Petani bingung, apakah mereka adalah bagian dari LMDH atau tidak.65 10. Kemudian muncul pertanyaan dari peserta diskusi, kenapa pesangem (petani) harus membeli bibit mahoni dan jati seharga Rp.1000,- per batang? IV.3. PEMUDA DAH HARAPAN PERUBAHANNYA Diskusi terbatas atau terfokus yang ke tiga adalah para pemuda. Diskusi dilakukan di awal Ferbuari 2011. Kami melakukan diskusi dengan sepuluh orang pemuda di dua tempat yang berbeda. Diskusi dilakukan malam hari. Satu kali diskusi dilakukan di satu rumah pemuda dan satu lagi di tempat biasa mereka bertemu dan berbincang. Jalannya diskusi tidak formal namun santai. Pertama, Kami ingin mengetahui harapan para pemuda dan perubahan hidupnya. Kebanyakan para pemuda kurang mengerti pertanyaan ”perubahan”, mereka hanya ingin mendapatkan kerja dan melanjutkan hidup. Hampir rata-rata pemuda dusun bekerja di sektor informal yang berbasis pada sumber daya alam, seperti bekerja sebagai buruh tani, kuli, atau mencari kerang. Para pemuda tertarik dengan hal-hal baru yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari, seperti pertanian organik, biogas, pengetahuan tentang hutan dan hewan-hewan. Kami tidak melihat peran penting pemuda dalam proses pembangunan desa. Kecuali mereka diperankan dalam kerjakerja teknis seperti saat pembangunan jalan sebagai pekerja atau agenda-agenda keagamaan menjadi tukang parkir. Tetapi rata-rata pemuda dusun sini memiliki kreatifitas mengolah seni terutama bermusik. Kelompok muda umat Hindu memiliki seni mirip terbangan sebagai ritual untuk upacara adat. Sementara pemuda yang lain memiliki kesenian gitar atau gendang. Untuk urusan aktifitas desa yang berhubungan dengan organisasional para pemuda kebanyakan tidak tertarik. IV.4. POLA PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Diskusi terbatas berikutnya adalah mengenai perempuan, namun hasil pembahasan perempuan akan diuraikan khusus pada Bab V. Diskusi terbatas terakhir mengambil judul ”Pola Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional”. Melalui diskusi tersebut kami berharap bisa mengetahui lebih jelas bagaimana hubungan orang-orang dusun dengan hutan Taman Nasional. Kami juga berkeinginan memetakan berbagai keanekaraman hayati yang orang-orang dusun manfaatkan beserta tempat-tempat di mana mereka mengambil dan bagaimana status sumber daya tersebut berdasarkan perspektif orang-orang dusun. Setelah kelompok diskusi terbatas berakhir, kami lanjutkan dengan wawancara khusus untuk mengetahui lebih jelas mendalami persoalan yang tak terjawab di ruang
65
Masyarakat mengaku pernah ditarik iuran anggota LMDH sebesar Rp.50.000 saat awal beridirinya LMDH. Menurut masyarakat, iuran tersebut adalah syarat untuk bisa menyewa lahan. Jika tidak melakukan iuran maka tidak akan bisa menyewa lahan.
33
diskusi. Kami juga melacak pengetahuan lokal masyarakat yang masih tersimpan di dalam kenangan memori para generasi tua. Diawal sesi diskusi dibuka dengan perkenalan semua peserta dan penjelasan topik diskusi. Dari awal kami mencoba memberi pemahaman yang lebih mendalam mengenai maksud dan tujuan diskusi ini agar tidak banyak memancing pertanyaanpertanyaan mendasar di tengah diskusi. Selanjutnya, gambaran nyata diperlihatkan kepada peserta diskusi bahwa sejumlah orang atau masyarakat berada dan hidup di antara kawasan hutan produksi dan hutan Taman Nasional. Berbagai perbedaan sifat hutan, fungsi dan konsekuensi hukumnya kami sampaikan sebagai awalan diskusi. Muncul pertanyaan-pertanyaan dari peserta diskusi yang serupa dengan pertanyaan diskusi-diskusi sebelumnya, seperti Balai Taman Nasional dan Perhutani memberikan peluang ekonomi dan tidak hanya banyak melarang petani melakukan ini dan itu. Pertanyaaan sekaligus harapan peserta diskusi untuk bisa membuat pupuk organik. Muncul juga pertanyaan apa gunanya program KONPHALINDO untuk peserta diskusi. Dari berbagai pertanyaan tersebut kami diskusikan dan muncul kesimpulan sementara, bahwa peserta diskusi tidak pernah mendapatkan informasi mengenai berbagai kebijakan di lingkungan mereka, baik itu kebijakan hutan Perhutani maupun kebijakan konservasi Taman Nasional. Selanjutnya diskusi diarahkan untuk mencermati keanekaragaman hayati yang memiliki hubungan erat dengan kehidupan petani atau sering dimanfaatkan orang-orang dusun. Kami juga menanyakan status sumber daya tersebut menurut ukuran mereka apakah banyak, sedikit atau langka. Berikut adalah tabel jenis i keanekaragaman hayati / aktifitas orang dusun ke dalam hutan Taman Nasional, periode pemanfaatan dan informasi tambahan. Huruf B menandakan Banyak, menunjukan status sumberdaya tersebut berdasarkan pandangan peserta diskusiu masih berada pada level melimpah. Untuk periode waktu dihitung dari tahun 1945 berdasarkan memori orang-orang dusun yang kebanyakan sudah generasi kedua di Kutorejo. Sementara itu kami tahun 2008 disebut sebagai akhir periode perhitungan, didasari oleh intensitas kegiatan masyarakat yang semakin menurun di tahun 2008 terutama dalam mengambil bambu. 66 Setelah tahun 2008 kegiatan orang-orang dusun di kawasan Taman Nasional adalah: mencari kerang/ndarung, mencari gadung, mencari miri, mancing, mencari rongsokan, mencari kluwak, mencari trenggiling. Kami tidak mendapatkan informasi dari peserta diskusi mengenai orangorang yang pernah berburu banteng. Informasi yang kami dapatkan tentang bateng adalah populasi banteng saat ini yang semakin mendesak lahan pertanian dan memakan tanaman pertanian petani.
……..>>>>>>
66
Tahun 2008 juga menandai kepemimpinan kepala Balai Taman Nasional Ir. Hartono, dimana terjadi banyak perubahan kebijakan pengelolaan kawasan Taman Nasional.
34
Akhir diskusi masalah ragam budaya dan tradisi yang pernah dipraktekan orang-orang di pinggir hutan yang berkaitan dengan alam, sayangnya ada kesenjangan pengetahuan antar generasi muda dan tua, sehingga pertanyaan ini kurang begitu dipahami. Peserta diskusi kebanyakan adalah generasi kedua di Alas Purwo sehingga tidak begitu tahu pandangan hidup, budaya dan tradisi mereka sendiri. Akan tetapi norma tuntunan hidup tanpa disadari adalah tuntunan dari pandangan hidup tradisi lama orang tua mereka. Seperti yang sudah kami jelaskan di Bab II, yang menjadi pertanyaan besar mengapa pada saat penjarahan kayu tahun 1999/2000 tidak diikuti dengan penjarahan hutan di Taman Nasional atau okupasi lahan. Dan jawabannya adalah terletak pada filosofi pandangan hidup masyarakat yang tanpa mereka sadari menuntun pola kehidupan mereka. Dari hasil wawancara khusus dengan beberapa orang tua yang masih mengerti tentang pandangan hidup orang-orang di Alas Purwo. Norma hidup mereka dituntun oleh filosofi Jawa akan keseimbangan kehidupan dan batas hak manusia. Pandangan generasi tua di Alas Purwo mengenai alam atau hutan tidak terlepas dari filosofi kehidupan dan asal muasal manusia. Jauh hari sebelum manusia diciptakan, Tuhan atau Gusti, telah menciptakan jagad gumelar atau alam raya, selanjutnya ditumbuhkanlah tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sementara sebelum diturunkan ke dunia manusia di sabdo karo Gusti atau disumpah. Berikut adalah sabdo Gusti kepada manusia : ”Siro tak jemenengaken teng alam ndonyo, teng jagad gumelar siro kudu nguporo, ngupokoro, opo isine jagad, gulu wenthahen kuwi, sing sebagian kenek mbok ngge sandang, utowo pangan, utowo papan, kanggo uripmu ning jagad gumelar naliko kuwe urip, nanging iki enek batase, iki kanggo cengkeran, iki kanggo cadanganmu” Dalam pandangan tersebut orang-orang Jawa di Alas Purwo merepresentasikan hutan Taman Nasional adalah termasuk cengkeran atau cadangan atau tutupan, hutan tersebut hanya boleh digunakan sebagai tabungan dan untuk dimanfaatkan secara bersama secara bijaksana. Berikut adalah cuplikan pandangan hidup manusia Jawa di Alas Purwo terhadap alas cengekeran. ”Cengkeran kudune dilestareke podo karo alas tutupan ojo sampe di rusak, kuwi kan podo karo bibit, nek dirusak ga enek bibite manungso mangan opo?” Manusia boleh memanfaatkan asal dengan tata cara dan harus melalui kesepakatan musyawarah. Sementara hutan Perhutani direpresentasikan sebagai hutan yang boleh dimanfaatkan untuk kebutuhan sadang, pangan dan papan. Dalam pandangan hidup Jawa, terdapat tiga alam yang berbeda, alam donyo, alam kajiman, dan alam kasuwargan. Alam donyo atau tempat manusia hidup. Alam kajiman adalah alam demit. Dalam pandangan tersebut, orang-orang menempatkan hutan Purwo sebagai
35
bagian alam kajiman atau tempat representasi dari danyang pulau jawa Semar.67 Alas Purwo ditempatkan sebagai tempat untuk mencari ketentreman atau ketenangan batin atau sebagai tempat untuk melakukan meditasi (mepet karo Gusti). Sementara alam kasuwargan merupakan tujuan akhir hidup manusia ketika sudah mencapai kesempurnaan hidup. Manusia juga diberikan akal dan moralitas mengatur hubunganya dengan kewan atau binatang. Kewan merupakah mahluk yang tidak bisa membuat makanannya sendiri, sehingga manusia memiliki tanggungjawab untuk memberi makan binatang. 68 Sementara manusia juga memiliki tanggung jawab untuk membudidayakan binatang ketika mereka mengambilnya dari alam. Seperti saat mengambil burung, manusia harus melestarikan burung tersebut. Mereka memiliki pandangan tresno sepadaning urip atau memiliki rasa cintah kasih kesemua makhluk termasuk hewan, bukan hanya yang hidup tetapi juga yang mati. Ketika manusia berjalan dan menemukan hewan yang mati, mereka memiliki tanggung jawab untuk memperlakukanya dengan baik dengan menguburkanya dengan layak. Pandangan hidup generasi tua di Alas Purwo terhadap hutan Alas Purwo sangat dituntun oleh sistem kosmologis. Relasi mereka dengan alam dituntun oleh moralitas tanggung jawab mereka sebagai manusia. Manusia dalam filosofis Jawa disebut Manungso atau nduwe iman iso noto, nduwe tatanan, ngerti karo tatan. Memiliki keyakinan, memiliki aturan dan mengerti peraturan. Sementara kosokbalen e atau kebalikannya adalah Menungso atau menungse oso oso opo jagad kuwi rep di gulung, tanggane ora di wenehi, atau mewakili pikiran-pikiran keserakahan dan kerakusan. Pandangan hidup orang-orang generasi tua juga menggunakan alam sebagai tuntunan dalam menjalankan kehidupan. Orang-orang generani tua dulu menggenal dua kluruk Merak secara berbeda dengan tanda alam musim rendeng atau musim hujan. Jika burung Merak Kluruk cuhung-cuhung berarti musim hujan belum dekat, tetapi ketika burung Merak kluruk meong-meong berarti sudah masuk lelabuh atau musim hujan, pohon mangga dan pohon randu mulai berbunga. Sewaktu burung mulai ngloloh atau memberi makan anaknya adalah tanda-tanda saatnya petani matun atau hujan dengan banyak pelangi. Sementara ketika lintang luku atau bintang muncul di saat sore hari ketika matahari menjelang terbenam adalah pertanda musim penghujan, kemudian ketika muncul lintang luku berwarna cerah ceria kemudian bisa berubah tidak cerah kembali adalah tanda-tanda musim hujan akan terlambat datang.
67
Kami masih mencari siapakah representasi danyang Semar yang masyarakat maksudkan. Dalam konteks hubungan praktis, kesan praktek ini terlihat ketika banyak banteng yang memakan tanaman petani, mereka tidak membunuh banteng tetapi mengubah jenis tanaman pertanian ke tanaman yang tidak disukai oleh banteng.
68
36
Dalam konteks kehidupan sosial di Kutorejo, banyak sekali pengetahuanpengetahuan masyarakat yang dipahami oleh orang-orang generasi tua tetapi tidak tertransformasi dengan baik kepada generasi muda sekarang. Dan kami berharap program penguatan insitusi sosial ini bisa menjembatani kesenjangan pengetahuan masyarakat tersebut untuk kepentingan bersama menyelamatkan Alas Purwo atau Blambangan Selatan.
IV.5. JALAN KELUAR Berbagai persoalan muncul dalam kehidupan sosial hanya dipicu oleh hal-hal kecil yang dilandasi ketidakjelasan informasi. Dari sana kemudian muncul ketegangan-ketegangan karena gesekan kepentingan yang tidak pernah dikomunikasikan secara jelas dan baik sesuai dengan logika masing-masing pihak. Ketiadaan media komunikasi yang efektif juga telah menyebabkan ketegangan tersebut dan tersimpan. Seringkali inisiatif komunikasi dibangun dengan media komunikasi yang kurang efektif dan berimplikasi pada kesimpangsiuran informasi dan akhirnya memicu ketegangan-ketegangan baru dalam kehidupan sosial. Ketegangan ini cenderung memiliki potensi dendam dan suatu momentum bisa menciptakan konflik secara terbuka. Berbagai hal tersebut yang disebutkan di atas muncul disebabkan oleh tiga faktor, pertama karena di antara para pihak saling menahan diri untuk berkomunikasi secara terbuka dengan berbagai alasan.69 Kedua, seringkali media komunikasi yang dibangun tidak efektif untuk menjawab persoalan, justru sebaliknya menimbulkan masalah yang baru. Ketiga, inisiatif membangun media komunikasi efektif mengenai konservasi dan kebijakan pembangunan terhambat oleh keterbatasan institusional.70 Adanya keterbukaan para pihak mutlak dibutuhkan dalam kondisi semacam ini. Sudah saatnya para pihak kepentingan atau pemangku kepentingan menyampaikan asumsi dan proyeksi bersama untuk mengambil langkah terbaik pengelolaan hutan Blambangan Selatan di masa depan. Media komunikasi yang efektive, terbuka dan solutif sudah saatnya dibangun dalam menghadapi berbagai tantangan pengelolaan sumber daya alam ke depan. Forum komunikasi dibutuhkan dimana setiap orang bisa menyampaikan asumsi dan proyeksinya dan
69
Kebanyakan para pihak menahan diri untuk berkomunikasi secara terbuka karena mempertimbangkan, bahan komunikasi terlalau sensitive atau dengan alasan tidak etis di komunikasikan secara tersbuka. 70 Pihak balai taman nasional memiliki keterbatasan anggaran dalam pengembangan program di masyarakat, masyarakat juga tidak memiliki keterbatasan kemampuan untuk memulai inisiative sementara proses komunikasi secara institusional antara balai taman nasional dan perhutani terhambat keterbatasan sistem birokrasi dan kebijakan internal institusi. Proses komunikasi antara perhutani dengan masyarkat melalui LMDH ternyata malah banyak menimbulkan ketegangan-‐ketegangan. LMDH tidak mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat.
37
mendengarkan asumsi dan proyeksi dari para pihak pengambil kebijakan dan keputusan.
38
V. PEREMPUAN KUTOREJO Satu Februari 2011, KONPHALINDO bersama dua puluh tiga ibu-ibu dari berbagai organisai perempuan dusun Kutorejo melakukan pertemuan bersama. Pertemuan dilakukan setelah waktu magrib di tempat ibu Karwati. Kelompok diskusi terbatas mengenai perempuan adalah bagian dari proses pengumpulan informasi untuk melengkapi gambaran kelembagaan sosial di Kutorejo, Desa Kalipait. Tujuan kelompok diskusi terbatas perempuan adalah mengetahui gambaran objective organisasi lokal perempuan di Kutorejo dari masa dulu hingga sekarang, selanjutnya menggambarkan kontradiksi internal kelembagaan dengan tantangan sosial yang ada. Hasil yang diharapkan adalah : (1) Terpetakan persoalan-persoalan perempuan dan organisasi, (2) Profile organisasi perempuan, (3) Aktifitas organisasi, (4) Harapan akan organisasi dan visi perempuan di Kutorejo. Tidak semua informasi yang kami dapatkan dan ditulis ke dalam laporan ini, dengan pertimbangan mengingat skala relevansi informasi tersebut. Informasi yang tidak disampaikan di sini seperti profile detail anggota dan nama-nama pengurus organisasi, berbagai informasi mengenai organisasi informal perempuan di Kutorejo. Informasi tersebut kami simpan dalam catatan bank data komputer KONPHLAINDO. Sementara informasi dari FGD kami sarikan dan bahasakan kembali sebagai bahan informasi penelitian lanjutan, untuk kebutuhan informasi luas dan pengambil kebijakan. Kaum perempuan di Kutorejo terkumpul membentuk sebuah organisasi informal secara alami karena kebutuhan bersama. Sebagai contoh, pada awalnya mereka berkumpul ditemukan oleh kepentingan-kepentingan keagamaan, tradisi dan ekonomi. Secara alamiah pertemuan tersebut ada yang kemudian memiliki struktur tersendiri atau kepengurusan dan ada yang tidak memiliki strukture tetapi tetap disatukan oleh kepentingan-kepentingan yang saling bersinggungan. Setelah terbentuknya desa baru Kalipait. Kelompok perempuan tersebut kemudian harus menyesuaikan dan menjawab kebutuhan organisasi desa untuk menjawab kebutuhan pembangunan desa. Kemudian dibentuklah organisasi formal dengan strukturnya, pengurus, agenda rutin dan insentive organisasi sebagai pemicu (stimulus) untuk membuat agenda-agenda kerja desa yang berkaitan dengan kelompok perempuan bisa berjalan dan dipertanggungjawabkan. Organisasi kelompok perempuan yang berjalan secara alami dan tidak memiliki struktur seperti saat ibu-ibu berkumpul untuk menanam padi, rewang atau membantu orang yang sedang punya hajat, ibu-ibu yang berkumpul mencari kerang, mengantar anak, membuat kue dan reuni. Beberapa organisasi perempuan yang awalnya berjalan alami kemudian menstrukturkan seperti pengajian, istigosah, tadarus, muslimatan, arisan dan berjanji. Selanjutnya, ketika desa administratif baru mulai terbentuk, ibu-ibu harus menjawab kebutuhan organisasi perempuan di desa seperti PKK dan Koperasi Wanita.
39
Untuk menjawab kebutuhan informasi saat ini. Kami memfokuskan untuk mengambil informasi organisasi perempuan yang memiliki struktur dan diberikan insentive oleh pemerintahan desa untuk melakukan program pemberdayaan perempuan. Organisasi yang memiliki peran dalam proses pembangunan di desa adalah PKK dan Koperasi wanita. Mengingat sifat terbentuknya dua organisasi formal ini lebih dorong oleh kebutuhan desa atau kebutuhan negara, dan bukan kebutuhan ibu-ibu, atau lebih instruktive dari pada deliberative, organisasi ini tidak berjalan secara maksimal. Lebih banyak program kerja yang berjalan berdasarkan pesanan kebutuhan program kerja kecamatan atau kabupaten. Misalnya Kelompok Kopwan atau Koperasi Wanita. Kopwan terbentuk karena ada insentive stimulus dana untuk menyalurkan kredit produktif kepada ibu-ibu. Dana kredit tersebut digelontorkan dari kecamatan lewat desa Kalipait tahun 2009. Dengan bantuan modal awal sebesar Rp.20 juta, saat ini modal Kopwan Kalipait telah mencapai Rp. 30 juta. Meskipun secara perhitungan keuangan kredit Kopwan mengalami kemajuan, namun bukan berarti kemudian berimplikasi pada kesejahteraan masing-masing individu. Jangkaun pengambilan kredit terlampau kecil dan yang menjadi persoalan adalah orang-orang dusun tidak terbiasa dengan kredit. 71 Kebanyakan para perempuan takut mengambil kredit karena tidak punya bayangan untuk dijadikan apa uang kreditnya tersebut. Mereka juga kuatir kredit uang itu akan habis untuk kebutuhan konsumtif dan tidak bisa mengembalikan setelah itu. Di Kutorejo organisasi kelompok perempuan lain yang di dorong oleh pemerintahan Desa adalah PKK. PKK Kutorejo masuk dalam PKK Kalipait. Terdapat empat kelompok kerja dalam PKK. Pokja Pengajian, Koperasi, Tanaman Toga dan Pokja Posyandu. Jumlah anggota kelompok sekitar 60 ibu-ibu dari seluruh desa Kalipait. Kegiatan rutin PKK seperti simpan-pinajm, arisan dan Posyandu. PKK di Kalipait tidak berjalan efektif karena memang tidak pernah menjawab kebutuhan ibuibu. Tidak banyak keinginan atau harapan ibu-ibu yang bisa terakomodir lewat lembaga PKK, kecuali Posyandu yang memang menjadi kebutuhan pokok orang-orang dusun. Persoalan kredit yang sama dengan Kopwan juga dialami koperasi dalam PKK. Tidak banyak ibu-ibu yang berani meminjam untuk sektor usah produktif karena memang mereka bingung bagaimana cara menggunakannya. Sementara modal kredit uang harus berputar. Akhirnya program kredit uang itu hanya berdampak pada kelompok kecil yang sebetulnya mereka sudah memiliki usaha ekonomi produktif dan digunakan sebagai pemicu (stimulus) meningkatkan modal usaha, sekali lagi bukan menciptakan sektor usaha baru. Kaum perempuan di Kutorejo memiliki organisasi-organisasi informal yang pada dasarnya disatukan oleh kepentingan mereka. Diantaranya adalah para
71
40
Anggota koperasi berjumlah 20 orang, sementara tidak semua anggota berani mengambil, rata-‐rata pengambil kredit adalah masyarakat yang sudah memiliki usaha ekonomi. Jadi modal koperasi di gunakan untuk menstimulus sektor ekonomi usaha yang sudah ada dan bukan untuk memicu terciptanya ekonomi produktive yang baru.
pengambil kerang di hutan Taman Nasional, ibu-ibu penanam padi, ibu-ibu pengantar anak sekolah dan organisasi-organisasi perempuan keagamaan. Organisasi informal tersebut justru mewakili kepentingan langsung yang kebanyakan tidak diakomodasi oleh organisasi formal. Muncul keinginan ibu-ibu untuk membentuk kelompok arisan tersendiri untuk menjawab keinginan di antara mereka. Kami mencatat harapanharapan kelompok perempuan yang belum terjawab oleh organisasi perempuan yang sudah ada yang direkam dengan proses diskusi ibu-ibu terhadap masa depan kampung Kutorejo. Harapan tersebut sebagai berikut; (1) Tidak ada bencana alam, (2) Ingin ada kegiatan menanam pohon, (3) Ingin ada tempat wisata, (4) Ibu-ibu berharap pangan bisa terjamin, (5) Ibu-ibu ingin jalan ke Plengkung bagus, (5) Ibuibu ingin masalah hama padi bisa selesai, (6) Ingin bisa bikin kripik, (7) Ingin bisa bikin kerajinan, (8) Ingin bikin unit usaha ”entah apa?”, (9) Ingin masuk ke Plengkung gratis ”tidak bayar”, (10) Ingin jadi petani handal, (11) Pengen harga sapi mahal / tidak murah seperti sekarang sehingga peternak merugi, (12) Ingin harga untuk kawin sapi bisa turun, (13) Ingin pelatihan bikin pupuk organik, (14) Ibu-ibu ingin membuat kelompok arisan balai dukuh Kutorejo untuk memasukan agenda kerja kelompok.
41
SUMBER INFORMASI/ RUJUKAN
• • • • • •
• •
• •
42
Ariyanto, Dwi. Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort, Makalah Awang, San Afri. 2006. Analisis Kebijakan Deliberatif (Studi Kasus : Pemanfaatan Sumberdaya Alam). Widyapraja No.3 Vol.32 Tahun 2006 Becman, Sam. 2004. Mencari Keseimbangan Pengelolaan Interaksi Antara Masyarakat dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Universitas Muhammadiyah Malang. Hartono. April 2008. Mencari Bentuk Pengelolaan Taman Nasional Model – Sebuah Tinjauan Reflektif Praktek Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Makalah. Hartono. November 2008. Taman Nasional Mandiri – Telaah Singkat Kemungkinan Pembentukannya. Makalah Hidayat, Syamsul. Strukture, Komposisi dan Status Tumbuhan Obat di Kawasan Hutan Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Biologi. Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor, LIPI. Margana, Sri. 2007. Java’s Last Frontier – The Struggle for Hegemony of Blambangan. Universiteit Leiden. Tim KONPHLAINDO, Hasil FGD (Focus Group Discusion) dan interview dengan masyarakat Kutorejo, Akademisi dan Para pihak dari Bulan September 2010 hingga Februari 2011. Seseno, Franz Magnis. 1997. Javanese Ethics and World – View, The Javanese Idea of the Good Life. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiratno dkk. 2002. Berkaca Di Cermin Retak – Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. PILI – NGO Movement, The Gibbon Foundation. Jakarta.
Lampiran
Kelompok Diskusi Terbatas ”Pola Pemanfaatan Kawasan Taman Nasional”
43
Kelompok Diskusi Perempuan Kutorejo
Hasil Gambar Harapan Kelompok Perempuan Kutorejo
44