Menuju 75 Tahun Teknik Kimia di Indonesia
dok. Pokja Energi TK ITB
Baris belakang ki-kanan: Ir. Philip Ivandi, Ir. Hartono Atmadja, MM, Prof. Dr. Ir. Yazid Bindar, Ir. Rahmat Wahjuadji, MBA, Ir. Sapto Tranggono, Ir. Fernando Zetrialdi, Ir. Darius Pasaribu, bagian depan ki-kanan: Dr. Ir. Melia Laniwati, Dr. Ir. Linda Handoyo, Ir. Tanti Sofia Rasyid
Dari Ekonomi Berbasis Fosil Menuju Ekonomi Berbasis Biomassa Dalam rangka peringatan 75 tahun pendidikan teknik kimia di Indonesia, para alumni Teknik Kimia ITB membentuk Pokja Pangan dan Pokja Energi. Mendiskuskan masalah pangan dan energi serta merumuskan solusinya.
S
eiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, dan cenderung menurunnya daya dukung alam, dunia mengalami ancaman krisis pangan. Hal itu disebabkan karena meningkatnya kebutuhan pangan, sedangkan suplai pangan tidak mencukupi. Selain karena pertumbuhan penduduk, ketersediaan pangan yang tidak cukup juga disebabkan oleh terjadinya perubahan iklim global, yang mengakibatkan turunnya produksi
2
pangan hingga 25%. Sementara itu, World Bank memprediksi kebutuhan pangan dunia pada tahun 2030 akan meningkat hampir dua kali lipat. Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, tentu saja menghadapi persoalan pangan yang serius jika tidak diantisipasi sejak dini. Pada tahun 2012, Pemerintah RI menetapkan UndangUndang (UU) Nomor 18 tentang Pangan. UU itu menegaskan, Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Bagian lain dari UU itu juga menjelaskan, upaya penyelenggaraan pangan di Indonesia dilakukan berazaskan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan berkeadilan.
Kontribusi Teknik Kimia ITB
Persoalan pangan yang dihadapi bangsa ini ikut mengusik dunia pendidikan tinggi, termasuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebagai wujud kepedulian pada persoalan pangan nasional, ITB terus berupaya melakukan inovasi teknologi untuk industri pangan, melalui Program Studi (Prodi) Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri yang dibentuk pada tahun 1950. Sebenarnya sejak tahun 1950 itu, pendidikan Teknik Kimia di Indonesia umumnya berfokus pada produksi pupuk (petrokimia) dengan bahan baku minyak dan gas bumi. Tapi kemudian pendidikan Teknik Kimia di ITB diarahkan untuk pengembangan industri berbasis biomassa. Pertimbangannya, industri berbasis biomassa adalah industri masa depan, untuk mengganti industri berbasis energi fosil yang tak terbarukan. Langkah ITB itu dimulai dengan pembentukan sub-prodi Teknologi Bioproses pada 1988, sub prodi Teknologi Pangan pada 2003, dan sub prodi Teknik Bioenergi pada 2013. Pada tahun 2015 juga dibuka dua Prodi baru yaitu Prodi Teknik Pangan dan Prodi Teknik Bioenergi dan Kemurgi. Guru Besar Fakultas Teknik Industri ITB, Prof. Dr. Yazid Bindar, mengatakan bahwa Prodi Teknik Pangan dan Teknik Bioenergi & Kemurgi berfokus pada teknologi proses pengembangan sumber daya alam biomassa. “Kedua prodi ini akan menjadi penopang industri pengolahan biomassa untuk menjadi komoditas bernilai tambah ekonomi dalam mendorong bio-based
economy atau ekonomi berbasis biomassa,” kata Yazid. “Kami yakin penguasaan ilmu dan teknologi di bidang pengembangan industri produk komoditas dalam konsep bio-based economy amat diperlukan di masa depan, untuk mengimbangi ekonomi negara berbasis fosil seperti yang terjadi selama ini,” Yazid menambahkan. Kepedulian ITB untuk memberikan kontribusinya dalam pemecahan masalah pangan, sekaligus mendorong pengembangan bio-based economy, juga diwujudkan oleh para alumninya. Dalam rangka menyambut peringatan 75 tahun pendidikan tinggi Teknik Kimia di Indonesia yang jatuh pada 29 Oktober 2016 ini, para alumni Prodi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri ITB, telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pangan dan Pokja Energi. Dua pokja yang dibentuk Oktober tahun lalu itu dijalankan oleh para alumni, tetapi juga melibatkan Prodi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri ITB. Pokja Pangan Alumni Teknik Kimia (TK) ITB diketuai oleh Ir. Darius Pasaribu, lulusan Teknik Kimia ITB tahun 1983 dan Prof. Dr. Yazid Bindar, yang merupakan guru besar Teknik Kimia dan Teknik Pangan ITB, bertindak sebagai Ketua Dewan Penasehat Pokja Pangan. Anggota Dewan Penasihat antara lain Dr. Melia Laniwati Gunawan, Kepala Program Studi Pangan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri ITB dan Dr. Linda Handoyo, Staff Pengajar Senior Program Studi Teknik Kimia ITB. Prof. Yazid Bindar menegaskan bahwa ITB bertekad untuk berkontribusi langsung dalam industrialisasi pangan. “Kami mendorong industrialisasi pangan menjadi bagian dari strategi pengembangan ekonomi berbasiskan biomassa,” ujar Yazid. Menurut Yazid, ITB sedang terus mengembangkan teknologi proses pengindustrian berbagai produk pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan kelautan. Contohnya adalah peningkatan nilai tambah singkong menjadi produk industri. “Saat ini produk singkong kita 22 juta ton per tahun. 3
Bila industri pengolahan dikembangkan dan permintaan bahan baku singkong naik, maka singkong akan menjadi bahan baku industri berbasis biomassa yang menjanjikan,” kata Yazid. Menurut dia, masih banyak komoditas pangan lain yang bisa diindustrialisasi seperti sukun, nangka, rumput laut dan potensinya sangat besar.
Tantangan Bonus Demografi
Ketua Pokja Pangan TK ITB, Ir. Darius Pasaribu, yang lama berkecimpung di Industri Pupuk Nasional, dan terakhir menjadi salah satu Direksi di anak Perusahaan Mitsui.co, Jepang mengatakan bahwa tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah puncak kebutuhan pangan terbesar pada 2030, ketika Indonesia memasuki era bonus demografi. “Pada saat itu Indonesia akan memiliki hampir 300 juta penduduk, dan lebih dari 200 juta di antaranya berusia produktif. Pada usia tersebut kebutuhan pangan baik secara kuantitas maupun secara kualitas akan meningkat sangat tajam,” papar Darius. Karena itu, ia mengingatkan agar Indonesia mempersiapkan diri dengan membuat rencana Ketahanan Pangan yang matang. Menurut Darius, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi biomassa yang besar, sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein, mineral tubuh, dan sumber energi. “Melalui kebijakan yang tepat, potensi ini diharapkan mampu menjamin Ketahanan Pangan Indonesia, sekaligus juga menjadi pendamping strategis industri berbasis fosil menuju Ketahanan Ekonomi Nasional,” Darius menambahkan. Pokja Pangan TK ITB dibentuk untuk ikut memikirkan dan memberi masukan kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan pangan itu. Wakil Ketua Pokja Pangan Alumni TK ITB, Ir. Tanti Sofia Rasyid, memaparkan beberapa tugas yang diemban Pokja Pangan. Tugas-tugas itu antara lain: pertama, mengumpulkan data yang berhubungan dengan sistem pemprosesan pangan di industri-
4
industri. Misalnya, data jumlah ekspor-impor, penggunaan teknologinya, nilai-nilai produk yang diperoleh, kendala-kendala teknis di lapangan, dan rantai distribusi produknya. Selain itu juga melakukan pemetaan industri pangan serta ketergantungannya pada produk impor. Kedua, Pokja Pangan berusaha menjadi jembatan komunikasi antara perguran tinggi (Prodi Teknik Kimia ITB) dan dunia industri untuk menghasilkan nilai lebih produksi pangan, juga dengan masyarakat bawah dalam menghasilkan nilai lebih produk bahan baku pangan. Ketiga, menjalin komunikasi dengan pemerintah dalam membantu menentukan strategi industri pemprosesan pangan ke depan. Keempat, berperan menjadi agen pembentukan kluster-kluster industri yang akan melibatkan secara aktif masyarakat pedesaan, tidak hanya dalam hal suplai bahan baku tapi juga sebagai pelaku-pelaku industri. Kelima, membantu pengembangan Sub Prodi Teknologi Pangan, pada Prodi Teknik Kimia ITB dalam hal pengembangan teknologi industri pangan (khususnya yang berbasis biomassa) sehingga memberi manfaat banyak bagi perekonomian nasional. Tanti Sofia Rasyid mengatakan bahwa saat ini ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada sumberdaya fosil, terutama minyak bumi, gas alam dan batubara. Target penerimaan negara dari sumber daya migas tahun 2016 adalah sebesar Rp 78,6 Triliun. Bandingkan dengan target dari sumber daya non migas yang hanya sebesar Rp 46,3 Triliun. Target penerimaan dari industri berbasis biomassa (di luar kelapa sawit) saja tidak sampai Rp 10 Triliun. Ini menunjukkan bahwa industrialisasi bahan baku biomasa masih sangat tertinggal. Padahal, menurut Tanti, industri berbasis sumber daya biomassa memiliki banyak kelebihan. “Sumber daya biomassa bersifat bisa diperbaharui. Industri berbasis biomassa dapat dibangun secara ekonomis mulai skala kecil sampai skala besar, dan sangat strategis untuk pertumbuhan dan pemerataan secara
2016
Hilirisasi Sumber Daya Pangan
2030
Hilirisasi Sumber Daya Hayati
2045
Ketergantungan Sumber Daya Fossil
Bonus Demografi
Ketahanan Pangan
Import Pangan
Ketahanan Pangan
Ketahanan Ekonomi
Pertumbuhan dan Ketimpangan Ekonomi
Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi
Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi
Rencana Strategis melalui Industrialisasi Biomassa
besamaan,” kata Tanti, lulusan Teknik Kimia ITB tahun 1996 yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan minyak dan gas itu.
Langkah Kerja Pokja Pangan
Saat ini Pokja Pangan Alumni TK ITB yang sekretariatnya beralamat di Jalan Wijaya IV, Jakarta Selatan itu, sedang terus merumuskan langkah dan inovasi teknologi biomassa untuk selanjutnya akan disampaikan kepada pemerintah sehingga menjadi kebijakan di bidang pangan. Ketua Pokja Pangan, Darius Pasaribu, memaparkan langkah-langkah penting dan strategis yang saat ini sedang diinisiasi oleh Pokja Pangan Alumni Teknik Kimia ITB, antara lain adalah: pertama, penyusunan Daftar Industri Prioritas yang memberikan dampak signifikan secara ekonomi terhadap Ketahanan Pangan yang mandiri, berdaulat, aman dan berkelanjutan. Kedua, menyusun klasterisasi industri berbasis biomasa untuk memastikan Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi di seluruh Nusantara. Ketiga, menyusun program penelitan dan pengembangan (litbang) di bidang pangan, bio energi dan kemurgi. Program litbang ini
bertujuan untuk memastikan keberlanjutan industri dari hulu sampai ke hilir, mampu mengatasi perubahan iklim, dan mampu bersaing tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga di pasar ekspor. Keempat, memilah Daftar Industri Prioritas yang dapat dimasukkan dalam program percepatan (Quick Win Program) berjangka 3 sampai 8 tahun ke depan. Darius Pasaribu mengatakan, rencana dan program-program aksi yang telah dirancang tidak akan berhasil tanpa dukungan Pemerintah. Karena itu Pokja sangat mengharapkan dukungan pemerintah. “Bila perlu, pemerintah harus mengeluarkan ‘politik insentif ’ untuk mencapai kepastian pencapaian Ketahanan Pangan selambat-lambatnya di tahun 2030, dan Industrialisasi yang memberikan pertumbuhan sekaligus menjamin pemerataan selambatlambatnya di tahun 2045,” papar Darius.
Rekomendasi kepada Pemerintah
Darius merumuskan beberapa rekomendasi yang akan disampaikan Pokja kepada pemerintah. Pertama, rekomendasi yang paling dasar adalah reformasi agraria untuk 5
Hulu n n n n n
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Kelautan
Antara n n n n n
Pangan Pakan Material Bubuk Bibit
Hilir n n n n n
Ingredients Makanan Minuman Kemikalia Pewarna
n n n
Tekstil Farmasi Energi
Variasi produk hulu hingga hilir berbasis sumber daya biomassa
kepemilikan dan peruntukan lahan. Melalui reformasi agraria, luas dan peruntukan untuk lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan serta lingkungan pendukungnya dijamin ada dan jukup untuk skala industri. Dalam langkah strategis ini, secara bersamaan peralihan lahan pertanian subur untuk industri dan perumahan harus dihentikan. Kedua, memastikan industrialisasi harus menaikkan nilai tambah sumber daya alam berbasis Biomassa. Ketiga, pemerintah harus memperpendek rantai perdagangan komoditas pangan, sehingga mematikan peran para mafia. Keempat, pemerintah harus memberikan akses dan kemudahan finansial khusus bagi industri yang akan membangun dan mengembangkan Industri berbasis Biomassa. Kelima, pemerintah harus mendorong penguasaan ilmu dan teknologi di bidang industri berbasis Biomassa. “Pemerintah harus mendorong dan mendukung persiapan tenaga-tenaga ahli di bidang industri berbasis Biomassa yang saat ini dimulai oleh ITB,” kata darius. Menurut Darius, beberapa negara sudah menjadikan industri basis Biomassa ini sebagai industri unggulan mereka. Pengembangan industri biomassa ini diikuti dengan penghematan 6
dan pengefisienan industri yang berbasiskan fosil. “Industri berbasis Biomassa Indonesia bisa menjadi pendamping dan kemudian kelak menjadi pengganti industri berbasis fosil,” kata Darius. Selanjutnya, Darius Pasaribu memaparkan, landasan penting program aksi Pokja Pangan Alumni TK ITB adalah adanya penguasaan ilmu dan teknologi di bidang pengembangan industri produk komuditas Bio-based Economy. Industri peningkatan nilai tambah bahan baku produk pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan Indonesia merupakan target program-program aksi yang dicanangkan Pokja Pangan. Menurut Darius, potensi ekonomi melalui program industrialisasi sangat besar dan beragam. Industri-industri peningkatan nilai tambah bisa dilakukan antara lain di industri hilirasi produk kakao, produk kelapa, produk buah-buahan, produk rumput laut, produk ikan laut dan darat, gula tebu, produk herbal, atsiri, serat alam, bahan alam kimia obat, teh dan kopi dan lainnya. Ukuran ekonomi industri-industri hilirisasi itu juga amat besar. Program-program aksi di atas tentu saja ditindaklanjuti dengan serius dan sistematis. n
Menjawab Tantangan Kedaulatan Energi
S
para alumni Prodi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri ITB, terhadap persoalan energi nasional ini. Pokja Energi diketuai oleh Ir. Agustanzil Sjahroezah, MPA lama berkecimpung di perusahaan minyak asing dan terakir menjabat sebagai Vice Preciden di perusahaan minyak nasional, Bertindak sebagai Ketua Tim Pengarah Pokja Energi adalah dosen Teknik Kimia ITB, Dr. Ir Tatang Hernas Soerawidjaja. Anggota tim pengarah antara lain: Ir. Endro Utomo Notodisuryo, mantan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Ir. Martiono Hadianto, MBA mantan Dirut Pertamina dan mantan Presiden Direktur di sebuah perusahaan pertambangan asing.
dok. Pokja Energi TK ITB
elain menghadapi ancaman krisis pangan, dunia juga mengalami ancaman krisis energi. Hal itu disebabkan karena selama ini, sumber energi dunia terlalu didominasi oleh bahan bakar fosil, yang tak terbarukan, dan cadangannya makin menipis di dalam perut bumi. Indonesia juga menghadapi persoalan besar di sektor energi, karena konsumsi yang terus bertambah sedangkan produksi di dalam negeri cenederung turun. Lebih malang lagi, Indonesia tidak memiliki fasilitas cukup untuk mengolah minyak mentah, sehingga minyak bumi yang dihasilkan diekspor dalam kondisi mentah dan kemudian diimpor lagi dalam bentuk bahan bakar siap pakai. Pokja Energi Alumni Teknik Kimia ITB dibentuk sebagai wujud kepedulian
Tim inti Pokja Energi Teknik Kimia ITB 7
Perubahan Paradigma Energi
Ketua Pokja Energi TK ITB, Ir. Agustanzil Sjahroezah, MPA mengatakan bahwa peta energi dunia saat ini tengah berubah. Selain kondisi politik internasional, perubahan kondisi iklim global saat ini juga turut mempengaruhi perubahan paradigma dunia tentang energi. “Perkembangan kondisi dewasa ini membuat negara-negara di dunia melakukan perubahan dalam hal keenergian. Begitu pula dengan Indonesia. Sebagai eksportir sekaligus importir minyak, Indonesia juga tidak bisa mengelak dari tuntutan perubahan paradigma energi sebagaimana yang terjadi di dunia,” papar Agustanzil. Menurut Agus, Indonesia memiliki beberapa persoalan di bidang energi yang harus segera dicari jalan keluarnya, agar bisa berdaulat di bidang energi. Konsumsi energi di suatu negara dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi nasional, kondisi ekonomi dan politik dunia. Agustanzil mengatakan bahwa permintaan energi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh energi fosil dan Pemerintah sampai
8
saat ini masih memberikan subsidi harga atas komoditas tertentu seperti premium, minyak solar, minyak tanah, LPG, dan listrik untuk beberapa jenis konsumen. Selain itu, Indonesia juga masih harus meningkatkan penyediaan listrik untuk mendukung kegiatan semua sektor perekonomian. “Listrik yang tersedia sekarang ini baru sekitar 900 kWh/kapita/tahun. Angka konsumsi yang mengindikasikan bahwa suatu negara mulai tergolong sebagai negara maju adalah 4.000 kWh/kapita/tahun,” terang Agustanzil. “Kabar baiknya, rasio eletrifikasi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2014 mencapai 81,5%. Tahun 2016 ini ditargetkan mencapai 90,15%. Tapi sayangnya target elektrifikasi ini tidak lantas membuat konsumsi listrik per kapita juga ikut merata,” papar Agus. Anggota Tim Pengarah Pokja Energi TK ITB, Martiono Hadianto, menegaskan bahwa Indonesia juga tak mungkin terus mengandalkan listrik dari energi fosil yang banyak menghasilkan karbon. “Sebab, Indonesia menjadi salah
satu pendukung Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang menyatakan bahwa ke depan, laju pertumbuhan pemanfaatan energi nirkarbon harus lebih besar dari laju pertumbuhan pemanfaatan energi fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi dan fraksi-fraksi atau turunannya). Artinya, sumber energi ke depan harus berasal dari sumber energi terbarukan, termasuk pemanfaatan energi nuklir,” kata Martiono. Saat ini Indonesia mempunyai penduduk sekitar 250 juta jiwa dan diprediksikan akan terus meningkat setiap tahunnya dengan ratarata peningkatan sebesar 2,04%. Pada tahun 2030 ketika Indonesia mengalami kondisi bonus demografi, konsumsi energi akan mengalami peningkatan drastis. Maka, untuk dapat mengatasi problematika energi, menurut Martiono, diperlukan optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber-sumber daya energi domestik yang memaksimalkan pemanfaatan sumbersumber daya energi nir karbon atau energi baru terbarukan.
Lemak Nabati dan Energi Nuklir
Ketua Tim Pengarah Pokja TK ITB, Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja, berpendapat, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah sebagai sumber energi baru terbarukan, yakni berbagai tanaman penghasil minyak nabati. “Dalam pandangan disiplin teknik kimia, asam-asam lemak nabati adalah material yang paling mirip dengan minyak bumi, sebagai sumber yang bagus untuk menghasilkan bahan bakar bermutu sebagaimana bahan bakar minyak berbasis fosil,” ujar dosen Teknik Kimia itu. “Kelompok asam-asam lemak nabati sesungguhnya adalah hidrokarbon, rantai panjang yang terkontaminasi karbon dioksida (CO2) pada salah satu ujung molekulnya,” jelasnya. Sawit adalah salah satu jenis tanaman kaya lemak nabati. Indonesia menghasilkan minyak
sawit mentah (crude palm oil) sebanyak 600.000 barel/hari dan masih berpeluang meningkat. Anggota Tim Pengarah Pokja Energi TK ITB, Ir. Endro Utomo Notodisuryo, mengungkapkan, sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2050, peran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada bauran energi ditargetkan mencapai 31%. Sementara itu, menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada tahun yang sama kontribusi EBT untuk listrik nasional hanya 14,6% - 13,4%. Karena memang energi baru terbarukan yang ada saat ini belum mampu menggantikan peran batubara sebagai sumber energi utama. Gawatnya, menurut Ir. Endro Utomo Notodisuryo, cadangan batubara Indonesia menurut Price Waterhouse Coopers hanya cukup untuk 8-10 tahun lagi, kendati Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menaksir cukup untuk 30 tahun ke depan. Anggota Pokja Energi TK ITB, Ir. Tedjo Rukmono, menyatakan bahwa energi nuklir juga menjadi salah satu pilihan. Tejo mengungkapkan bahwa dalam Outlook Energy Indonesia 2016 yang dirilis BPPT, nuklir dimasukkan sebagai salah satu sumber energi. “Namun, untuk menambah kapasitas yang dihasilkan oleh nuklir berbasis uranium ternyata tidak murah. Pemerintah harus merogoh kocek sekitar US$ 11-12 cent/kwh dan tak mungkin disubsidi oleh pemerintah,” papar Tejo Rukmono. Agustanzil Sjahroezah menegaskan bahwa mempersiapkan kebijakan energi tak cukup mengandalkan kehandalan di bidang teknis. Tapi negara ini juga harus melakukan pembenahan pada bidang tata kelola. “Pemerintah harus merubah kesadaran dari sumber daya energi yang melimpah menjadi kesadaran pada kenyataan bahwa sumber daya energi kita terbatas,” katanya. “Seluruh kebijakan harus menyesuaikan dengan kesadaran ini,”
9
Memang demikian faktanya. Uranium bukan barang murah. Namun lain cerita dengan pembangkit listrik berbasis Thorium.
Listrik kapasitas besar bisa didapatkan melalui pemanfaatan PLTN Thorium Molten Salt Reactor (T-MSR). Harga listrik T-MSR hanya US$ 6 c/kwh lebih murah dari harga listrik uranium US$ 12 c/kwh. Kandungan energi Thorium sangat besar bisa sampai 3,5 juta kali batubara dan 200 kali Uranium. Selain itu, PLTN T-MSR tidak menghasilkan gas CO2 Limbah PLTN T-MSR hanya 0,002% nya limbah Uranium dan hanya 0,003% nya batubara. Selain itu, limbah PLTN T-MSR bisa menghasilkan banyak produk samping yang nilai komersiilnya hampir setara dengan revenue penjualan listriknya.
tegas Agus. Karena itu, perlahan namun pasti, pemerintah harus mulai mengurangi ekspor sumber daya energi dan mulai melakukan pengolahan sendiri baik untuk kebutuhan energi maupun non energi. Kebijakan lain yang harus diambil pemerintah, kata Agustanzil adalah mengupayakan akses terhadap sumber daya energi non terbarukan yang ada di luar negeri untuk menutupi kebutuhan dalam negeri, seperti yang dilakukan negara-negara miskin sumber daya energi. “Kita harus menjadikan sumber daya energi sebagai bahan baku industri yang dapat menggerakkan pembangunan ketimbang menjadikannya sebagai komoditas ekspor yang mendatangkan devisa sesaat. Dengan demikian kegiatan industri bisa berjalan dengan efisien dan bisa memberikan dampak langsung pada masyarakat,” papar Agus. Dan yang lebih penting, semua jajaran birokrasi harus kompak dan berkomitmen membenahi regulasi yang berkaitan dengan kebijakan energi ini, sehingga tak ada lagi ego sektoral yang jadi penghambat.
Tugas Pokja Energi
Ir. Agustanzil Sjahroezah, MPA mengatakan bahwa Pokja Energi TK ITB akan senantiasa mendorong kebijakan pemerintah
10
yang benar-benar antisipatif terhadap persoalan keenergian yang sedang dihadapi Indonesia dan dunia. Agustanzil mengatakan bahwa Prodi Teknik Kimia ITB dan para alumninya merasa tertantang untuk memberikan sumbangsih sekecil apapun pada persoalan energi yang sedang dihadapi bangsa. “Kami merasa disiplin ilmu teknik kimia selama ini belum bisa dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, padahal memiliki potensi untuk memberikan sumbangsihnya,” katanya. Menurut Agus, di Eropa dan negara-negara maju lainnya, Teknik Kimia betul-betul dimanfaatkan dalam industri sehingga memberikan sumbangsih besar dalam meningkatkan nilai tambah produk. Tentu saja kebijakan pemerintah sangat berperan dalam pemberdayaan disiplin ilmu ini pada tataran praktik. Menurut Agustanzil, para alumni Teknik Kimia ITB sebenarnya prihatin karena Indonesia terjebak pada ketergantungan pada sumber energi fosil, padahal potensi sumber energi berbasis biomassa sangat melimpah. “Bayangkan, Indonesia hanya memiliki cadangan energi fosil 0,5% dari cadangan dunia. Penduduk Indonesia nomor empat terbesar di dunia, dan masih sangat tergantung pada energi fosil,” ungkapnya. Konsumsi minyak bumi
Indonesia saat ini mencapai 1,4 juta barel per hari, sedangkan produksi nasional minyak bumi hanya 800.000 barel per hari. Pada tahun 2030, konsumsi minyak bumi akan melonjak menjadi 3,3 juta barel per hari, sedangkan produksi dalam negeri diperkirakan tinggal 240.000 barel per hari. “Bagaimana kita mengatasi masalah ini kalau tidak berpaling ke energi baru terbarukan berbasis biomassa dan sumber daya lain?” kata Agus. Ia juga prihatin karena Indonesia terpaksa mengimpor minyak mentah untuk diolah menjadi minyak jadi sebelum diimpor kembali. Melalui Pokja Energi, kata Agustanzil, Prodi Teknik Kimia ITB dan para alumninya ingin memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan untuk kemandirian dan kedaulatan energi. “Kami sedang terus melakukan diskusi secara intens dan selanjutnya akan kami tuangkan dalam bentuk buku, untuk disampaikan kepada pemerintah dan semua elemen bangsa yang peduli pada persoalan keenergian,” katanya.
Rekomendasi Pokja Energi
Pokja Energi TK ITB mengingatkan bahwa secara bertahap Indonesia harus meninggalkan sumber daya fosil dan menggantikannya dengan energi baru dan terbarukan, termasuk energi biomassa dan energi nuklir. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 mengamanatkan agar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mulai diimplementasikan pada periode 20152019. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 mengamanatkan agar PLTN pertama sudah mulai beroperasi pada periode 2020-2025. Anggota Pokja Energi, Ir. Tejo Rukmono, mengingatkan bahwa semua pihak harus konsisten melaksanakan peraturan perundang-undangan itu. “Indonesia antara lain bisa mengandalkan thorium sebagai bahan baku PLTN untuk mewujudkan target 25% listrik energi baru terbarukan (EBT) di tahun 2025 bersama dengan sumber energi
baru terbarukan lainnya,” kata Tejo. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber daya hayati yang melimpah untuk menemukan sumber energi berbasis biomassa. Namun, tentu saja diperlukan perubahan paradigma kehutanan dari sekedar menebang menjadi tebang dan tanam kembali sehingga Indonesia menjadi negara produsen lemak nabati yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan tata kelola hutan dan program nasional penanaman pohon berkayu penghasil minyak-lemak nabati yang non pangan serta memiliki nilai tambah lain yakni dapat tumbuh di lahan yang tak cocok untuk tanaman sawit sehingga sektor kehutanan akan menjadi pemasok bahan baku Industri bahan bakar nabati (BBN) dan Biomassa berskala besar. Pokja Energi TK ITB juga me re k o m e n d a s i k a n , a g a r p e m e r i n t a h mengembangkan industri hilir migas untuk mengurangi impor, dan memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan produksi sendiri. Dalam pandangan Pokja Energi, memberikan nilai tambah bagi hasil produksi hilir niscaya akan menghidupkan industri yang nantinya akan memberikan dampak baik secara sosial maupun ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi, maka daya beli masyarakat akan meningkat dan pemerintah bisa mengurangi angka subsidi untuk kebutuhan energi masyarakat. Sejalan dengan itu, pemerintah juga wajib membenahi birokrasi dan peraturan atau perundangan yang berkaitan. Pokja Energi TK ITB berharap pemerintah bisa memberantas ego sektoral pada lembaga-lembaga pengelola energi dan industri sehingga semua kebijakan bisa berjalan dengan sempurna. Pemerintah juga harus menyediakan anggaran penelitian dan pengembangan bagi para akademisi di perguruan-perguruan tinggi sebagai rumah bakat (pool of talent) bangsa ini. Kegiatan penelitian harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam ekosistem energi di Indonesia. n 11