MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 19 /PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATACARA PEMUNGUTAN DAN PELAPORAN PAJAK-PAJAK DALAM PELAKSANAAN APBN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT Menimbang : a. Bahwa Dalam rangka tertib administrasi serta upaua meningkatkan penerimaan pajak dalam pelaksanaan APBN, perlu disusun buku petunjuk sebagai pedoman pelaksanaannya. b. Bahwa untuk maksud tsb perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat. Mengingat : 1. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. Keputusan Presiden RI Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004; 4. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 5. Peraturan Presiden RI Nomor 62 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 6. Keputusan Presiden RI Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; 7. Keputusan Presiden RI Nomor 83/M Tahun 2005 tentang Pengangkatan Pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Negara Perumahan Rakyat.;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN; 9. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Keuangan Nomor Per-66/PB/2005 tentang Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban APBN.
Departemen Mekanisme
MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATACARA PEMUNGUTAN DAN PELAPORAN PAJAK-PAJAK DALAM PELAKSANAAN APBN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Subyek Pajak adalah meliputi orang pribadi, warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap. 2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. 3. Tarif adalah batasan untuk menghitung jumlah pajak untuk setiap jenis pajak. 4. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak. 5. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak. 6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah orang pribadi atau badan hukum dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luas daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak. Pasal 2 Peraturan Menteri ini ditetapkan agar bendahara patuh dan taat atas perpajakan yang dilaporkan serta sesuai dengan pajak dipungut dan disetor ke kas negara.
1
Pasal 3 Ruang lingkup yang diatur dalam peraturan ini meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis-jenis pajak yang dipungut bendahara Bendahara sebagai pemungut dan penyetor pajak Dasar hukum pemungutan dan penyetoran pajak Tatacara pemungutan penyetoran dan pelaporan Tarif pemungutan pajak Sanksi-sanksi perpajakan Pasal 4
(1) Pejabat Eselon I terkait di lingkungan Kementerian Negara Perumahan Rakyat berkewajiban menyebarluaskan, membina dan mengawasi pelaksaan peraturan ini di lingkungan kerjanya masing-masing. (2) Ketentuan teknis yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini akan diatur lebih lanjut oleh Sekretaris Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Pasal 5 Peraturan ini mulai berlaku pada pelaksanaan Tahun Anggaran 2006 dan dapat disebarluaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk diketahui dan dilaksanakan. Ditetapkan di
:
Jakarta
Pada Tanggal
:
02 Maret 2006
A.N. MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT Sekretaris
NOER SOETRISNO NIP. : 700003088
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar..............................................................................................................................i BAB I PENGERTIAN UMUM DAN ISTILAH DALAM PAJAK..................................................I –1 A. Pengertian Umum................................................................................................... I – 1 B. Beberapa Istilah dalam perpajakan ........................................................... ............I – 1 BAB II JENIS-JENIS PAJAK YANG DIPUNGUT BENDAHARA...........................................II – 1 1. Pajak penghasilan pasal 21...............................................................................II – 1 2. Pajak penghasilan pasal 22...............................................................................II – 1 3. Pajak penghasilan pasal 23...............................................................................II – 1 4. Pajak penghasilan pasal 26...............................................................................II – 2 5. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang ............................II – 3 Mewah (PPN/PPnBM) BAB III BENDAHARA PEMERINTAH SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT......................III – 1 PAJAK-PAJAK NEGARA 1. Dasar Hukum....................................................................................................III – 1 2. Bendahara sebagai pemungut pajak................................................................III – 2 3. Kewajiban mendaftarkan diri ............................................................................III – 3 4. Sanksi-sanksi perpajakan ................................................................................III – 4 5. Lain-lain ...........................................................................................................III – 6 . BAB IV BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN ...........................IV – 1 PASAL 21/26 1. Dasar Hukum....................................................................................................IV – 1 2. PPh Pasal 21/26...............................................................................................IV – 1 3. PemotonganPPh pasal 21/26...........................................................................IV – 2 4. Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21/26...................................................IV – 2 5. Pengurangan yang diperbolehkan ............................................................. .....IV – 2 6. Tarif & cara penghitungan pemotongan PPh pasal 21/26 ...............................IV – 4 7. Kewajiban bendahara pemotong PPh pasal 21/26 .........................................IV – 8 8. Tatacara penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21/26 ....................................IV – 8 BAB V BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN ..............................V – 1 PASAL 22 1. Dasar Hukum.....................................................................................................V – 1 2. Pemungut pajak penghasilan pasal 22..............................................................V – 1 3. Pembayaran yang dipungut PPh pasal 22........................................................V – 2 4. Pembayaranyang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22.......................V – 2 5. Saat pemungutan………………… ....................................................................V – 2 6. Tarif …………………………………………………………..................................V – 2 7. Bukti pemungutan …………………………………..............................................V – 2 8. Tatacara pemungutan dan penyetoran ............................................................V – 2 9. Tatacara pelaporan………………………………….............................................V – 2 10. Lain-lain ............................................................................................................V – 3 BAB VI BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN ...........................VI – 1 PASAL 23/26 1. Dasar Hukum....................................................................................................VI – 1 2. Pemotong PPh pasal 23/26..............................................................................VI – 1 3. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh 23/26.....................................VI – 1 4. Tidak dikenakan pemotongan PPh 23/26.........................................................VI – 3 5. Tarif dasar pemotongan………… ....................................................................VI – 5 6. Tatacara pemotongan …………………………..……….....................................VI – 5 7. Tatacara penyetoran……………………………….............................................VI – 5 8. Tatacara pelaporan .........................................................................................VI – 5
3
BAB VII BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN ........................VII – 1 NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH 1. Dasar Hukum...................................................................................................VII – 1 2. Pengertian.......................................................................................................VII – 1 3. Pemungut PPN dan PPnBM...........................................................................VII – 3 4. Kewajiban bendahara sebagai pemungut PPN /PPnBM ................................VII – 3 5. Obyek pemungutan PPN dan PPnBM …… ...................................................VII – 3 6. Kelompok barang yang tidak dikenakan PPN.................................................VII – 4 7. Kelompok Jasa yang tidak dikenakan PPN……..............................................VII – 4 8. Kelompok barang kena pajak yang dibebaskan dari PPN..............................VII – 5 9. Tarif..................................................................................................................VII – 5 10. Saat pemungutan.......................................……..............................................VII – 5 11. Dasar & tatacara pemungutan, penyetoran & pelaporan................................VII – 6 12. Pembayaran yg tidak dipungut PPN/PPnB oleh bendahara ..........................VII – 8 13. Lain-lain...........................................................................................................VII – 8 BAB VIII BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK.............................VIII – 1 PENGHASILAN DENGAN TARIF KHUSUS YG BERSIFAT FINAL & TIDAK FINAL A. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau..................................VIII – 1 Bangunan & persewaan tanah dan / atau bangunan 1. 2. 3. 4. 5.
Dasar Hukum..................................................................................................VIII – 1 Pengertian......................................................................................................VIII – 1 Obyek pajak........................................…… ...................................................VIII – 1 Tatacara pemotongan/pemungutan, penyetoran & pelaporan.......................VIII – 2 Contoh kasus................................................................ .................................VIII – 3
B. Bendahara sebagai pemotong pajak penghasilan atas.................................VIII – 4 Penghasilan dari Jasa Konstruksi /hadiah undian 1. 2. 3. 4. 5.
Dasar Hukum..................................................................................................VIII – 4 Pengertian......................................................................................................VIII – 4 Obyek dan tarif....................................…… ...................................................VIII – 4 Tatacara pemotongan/pemungutan, penyetoran & pelaporan.......................VIII – 5 Contoh kasus..................................................................................................VIII – 5
BAB IX PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PELAKSANAAN SATUAN ...........................IX – 1 KERJA PEMERINTAH YG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI 1. 2. 3. 4.
Dasar Hukum...................................................................................................IX – 1 Pengertian........................................................................................................IX – 1 Perlakuan perpajakan........................…….......................................................IX – 2 Tatacara pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dan .....................................IX – 4 PPnBM dan PPh ditanggung oleh pemerintah A. Penyelesaian PPN dan PPh................................................................IX – 4 B. Pelaksanaan PPN dan PPh dalam pelelangan & kontrak...................IX – 4
4
KATA PENGANTAR Pajak adalah merupakan salah satu sumber penerimaan utama negara untuk membiayai pembangunana baik fisik, non fisik dalam pemungutannya menggunakan azas keadilan sebagaimana tercantum daalm peraturan dan perundang-undangn perpajakan yang telah dirubah (tax form). Disesuaikan dengan memperhatikan UUD 1945 dan Pancasila. Kementerian Negara Perumahan Rakyat adalah bagian dari penyelnggara administrasi pemerintahan dibidang perumahan rakyat yang mempunyai tanggung jawab secara langsung dalam pemungutan pajak dalam ruang lingkup Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Dengan telah disusunnya buku ”Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Pemungutan dan Pelaporan Pajakpajak dalam pelaksanaan APBN di lingkungan Kementerian Negara Perumahan Rakyat” sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas, serta mempermudah kepada para petugas pemungut pajak dan disusun berdasarkan kebutuhan jenis pajak yang dipungut dalam melaksanakan tugasnya di lingkungan instansi pemerintah khususnya di lingkungan Kementerian Negara Perumahan Rakyat yang bersumber dari APBN. Penyusunan buku ini adalah sebagai wujud kepedulian dalam menegakkan peraturan dan perundang-undangan perpajakan, serta dalam rangka mensosialisasikan sistem pemungutan pajak yang telah diperbaharui dan disesuaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan segala keterbatasan waktu dan kemampuan dalam menyusun buku ini maka penyusuan buku ini belum sepenuhnya sempurna maka diusahakan penyesuaian secara berkesinambungan dan mengacu pada peraturan dan perundang-undangan di bidang perpajakan yang masih berlaku.
Jakarta, 16 MEI 2006
5
BAB I PENGERTIAN UMUM DAN ISTILAH DALAM PERPAJAKAN A.
PENGERTIAN UMUM 1. Subyek Pajak adalah meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap. 2. Subyek Pajak Dalam Negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Termasuk badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia serta warisan yang belum terbagi satu kesatuan yang menggantikan yang berhak. 3. Subyek Pajak Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia bukan menjalankan usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 4. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peaturan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
B.
BEBERAPA ISTILAH DALAM PERPAJAKAN 1. Tarif adalah batasan untuk menghitung jumlah pajak untuk setiap jenis pajak. 2. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. 3. Jsa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbutan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 1994. 4. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean, yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang, tiadk termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya diteapkan oleh Menteri Keuangan, kecualia pengusaha kecil yang memilih menjadi pengusaha kena pajak. 5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pengjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak atas konsumsi di dalam Daerah Pabean, baik konsumsi barang maupun jasa.
6
6. Surata Perintah Mermbayar (SPM), adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan pleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA. 7.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran pajak yang terhutang di Kas Negara atau ditempat pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
8. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) PPN adalah surat permintaan pembayaran oleh Bendahara/Pejabat Pembuat Komitmen kepada Pejabat yang melakukan pengujian dan Perintah Pembayaran atas tagihan rekanan pemerintah untuk pembayaran penyelesaian PPN terhutang atas penyerahan BKP/JKP oleh rekanan pemerintah. 9. Bukti Pungutan PPN oleh bendahara adalah bukyi pungutan PPN terhutang yang dipungut oleh bendahara dari rekanan yang dibuat pada saat membayarkan tagihan sesuai formulir yang sudah ditetapkan. 10. Bukti pungutan PPh oleh bendahara adalah b ukti pungutan PPh terhutang yang dipungut oleh bendahara baik dari wajib pajak (perusahaan /perorangan) yang dibuat pada saat membayarkan tagihan sesuai formulir yang sudah ditetapkan. 11. Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha kena Pajak karena penyerahan barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena impor Barang Kena Pajak. 12. Nilai Kontrak adalah nilai atas penyerahan barang dan atau jasa termasuk PPN sesuai dengan apa yang tercantum daam Kontrak Pengdaan Barang dan Jasa. 13. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa (KPBJ) adalah suatu perikatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Pemberi Kerja dan Rekanan. 14. Nilai Pekerjaan adalah nilai kontrak barang/jasa dikurangi PPN. 15. Jasa Teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : a.
Suatu Kegiatan Tertentu : Dalam kegiatan tertentu ini jasa teknik pada umumnya hanya diberikan sekali saja misalnya membangun gedung pabrik yang memerlukan penelitian misalnya berupa : 1). Penelitian jenis tanaha tempat pembangunan itu akan didirikan 2). Pembuatan desain bangunan 3). Pengawasan pelaksanaan bangunan
b.
Untuk membuat suatu jenis produk tertentu Dalam membuat suatu produk tertentu jasa teknik dapat diberikan lebih dari sekali. Jasa Teknik diberikan secara terus menerus dapat berupa : 1) pemberian informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dsb. 2) Bantuan berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa teknik 3) Latihan atas para petugas dari pemakai jasa.
7
Adakalanya jasa teknik untuk pembuatan suatu jenis produk tertentu dapat pula diberikan sekali saja, misalnya : kemacetan mesin, yang mengakibatkan produksi tidak bisa terlaksana sebagaimana estinya. c.
Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di biang manajemen
16. Jasa Manajemen adalah pemberian jaas dengan ikut serta langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapat balas jasa berupa imbalan manajemen. 17. Tenaga Ahli adalah orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus dalam memberikan jasa berdasarkan keahliannya tsb tidak terikat oleh hubungan kerja (melakukan pekerjaan bebas). Misalnya akuntan, dokter, pengacara, notaris, arsitek, dll. Tenaga ahli tsb memberikan jasa lazim diesbut jasa profesional dan disebut pekerjaan bebas. Persekutuan tenaga ahli adalah beberapa orang pribadi yang mempunyai keahlian yang memberikan jasnya orang-orang pribadi itu tetap berperan berdasarkan keahliannya maingmasing (partnership). Misalnya beberapa dokter membentuk klinik spesialis. 18. Jasa Konsultan adalah pemberian advis prodesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli yang tidak disertai dengan keterlibatan lasngung para tenaga ahli tsb dalam pelaksanaanya. BAB II JENIS-JENIS PAJAK YANG DIPUNGUT BENDAHARA 1. PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 a. Subyek (Wajib Pajak) PPh Pasal 21 :
Orang pribadi, termasuk Pemungut atau Pemotong Pajak tertentu yang menurut ketentuan peraturan perundang-undagan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
Pegawai Negeri Sipil/Pejabat/Pejabat Negara/ANggota TNI dan Pensiunan
Pegawai/karyawan bukan Pegawai Negeri Sipil/ Pejabat/Pejabat Negara/ANggota TNI dan Pensiunan.
Penyelenggara Kegiatan.
b. Obyek (Dasar Pengenaan) PPh Pasal 21 Penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan Jasa dan Kegaiatan. 2. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 Saat pemungutan PPh Pasal 22 adalah setiap pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang oleh Rekanan yang dibayar dari APBN/APBD. a. Subyek PPh Pasal 22 Wajib Pajak Badan atau Perseorangan yang menjadi REkanan Pemerintah yang memperoleh pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari APBN/APBD
8
b. Obyek PPh Pasal 22 Penghasilan yang dikenakan pemungutan PPh pasal 22 adalah pembayaran yang dibiayai dari APBN/APBD. 3. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 a. Subyek PPh Psal 23 Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, Penyelengara Kegaiatan, Bentuk Usaha Tetap serta Wajib Pajak Badan Dalam Negeri lainnya. b. Obyek PPh Pasal 23 Penghasilan yg berasal dari : 1) Hadiah dan Penghargaan 2) Pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. 3) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. a. Pengertian Penghasilan dari Sewa Adalah penghasilan yg diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta gerak/harta tak bergerak dalam hubungan dengan kegiatan usaha. b. Ciri-ciri sewa -
adanya penyerahan kenikmatan atas harta yang disewa dari yang menyewakan kepada pihak penyewa. Adanya perjanjian sewa menyewa baik secara lisan dan tulisan Adanya kenyataan (fakta) bahwa memang terdapat transaksi sewa Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21
4. PAJAK PENGHASILAN PPh PASAL 26 a. Subyek PPh Pasal 26 : Orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal (kurang 183 hari dlm 1 tahun) atau berkedudukan di Indonesia b. Obyek PPh Pasal 26 -
hadiah dan penghargaan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta imbalan sehubungan dengan jsaa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya pensiun dan pembayaran berkala lainnya pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar Negeri selain BUT.
5. PAJAK PERTAMBAHAN (PPN/PPnBM)
NILAI
DAN
PAJAK
PENJUALAN
ATAS
BARANG
MEWAG
9
a. Subyek PPn dan PPnBM Adalah Pengusaha Kena Pajak termasuk Pemungut (Bendahara) b. Obyek PPn dan PPnBM Adalah Penyerahan Barang Kena Pajak dan jasa Kena Pajak BAB III BENDAHARA PEMERINTAH SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK-PAJAK NEGARA 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang 1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 16 tahun 2000. 2) UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 17 tahun 2000. a) Pasal 21 ayat (1) huruf b : “Pemotongan, penyetoran dan pelaporan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yg diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh Bendahara Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan jasa atau kegiatan. b) Pasal 22 ayat (1) : “Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain yang memperoleh pembayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara. c) Pasal 23 ayat (1) : “Atas penghasilan tsb dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah. Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pakan dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan…dna seterusnya.” d) Pasal 26 ayat (1) “Atas penghasilan tsb dibawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh Badan Pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri. Penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkan ……dan seterusnya”. 3) UU NOmor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 18 tahun 2000. Pasal 1 angka 27 :
10
“Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendahara Pemerintah Badan atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Mneteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Bendahara Pemerintah Badan atau Instansi Pmerintah tersebut.” b. Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak penghasilan bagi pejabat Negara pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI, dan para pensiunan atas penghasian yang dibebankan kepada keuangan Negara atau ekuangan daerah. Pasal 2 (2) “Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dipotong pajak penghasilan pasal 21 oleh Bendaharawan Pemerintah ........dst” c.
Keputusan Presiden 1) Keputusan Presiden RI No. 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 2) Keputuan Presiden RI No. 180 tahun 2000 tentang pencabutan badan-badan tertentu dan bendaharawan untuk memungut dan menyetor pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. 3) Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003, jo No. 61 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
d. Keputuasn Menteri Keuangan Keputusan Menteri Keuangan No. 547/KMK.04/2000 Jo No.548/KMK.04/2000 tentang Penujukkan Bendaharawan pemrintah, Badan Badan tertentu dan instansi Pemerintah Tertentu untuk memungut Menyetor dan Melaporkan PPN dan PPnBM, menetapkan Bendahara Pemrintah sebagai salah satu Pemungut dan Penyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang oleh Pengusaha kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). 2. Keputusan Menteri Keuangan Bendahara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri/Ketua Lembaga sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) Keputusan Presiden RI No. 42 tahun 2002 adalah wajib pungut pajak. 3. KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI Setiap bendahara Pemerintah yang mengelola APBN/APBD diwajibkan mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). a) Tempat Pendaftaran 1) Bendahara Pemerintah wajib mendaftarkan diri pada Kantor pelayana Pajak (KPP) atau kantor penyuluhan pajak tempat bendahara tsb berkedudukan. 2) Khusus bendahara yang belum mendaftarkan diri dan Bendahara tsb berada di kota yang terdapat beberapa KPP dapat m,enagjukan permohonan untuk mendapatkan NPWP di KPP atau Kantor penyuluhan Pajak yang wilayah kerjanyameliputi tempat bendahara tsb berkedudukan.
11
b) Tata Cara Pendaftaran. 1) Mengisi formulir yang tesedia pada KPP setempat dan menyerahkan kepad petugas di Seksi Tata Usaha Perpajakan dengan melampirkan : • •
Surat Keputusan pengangkatan Sebagai Bendahara Fotocopy KTP/SIM bendahara yg bersangkutan.
2) Kantor Pelayanan Pajak memproses formulir pendaftaran dan menyelesaikan Kartu NPWP dalam jangka waktu 1 X 24 jam. 3) Bendahara pemerintah atau kuasanya yg dilengkapi dengan surat kuasa dapat mengambil kartu NPWP di kantor pelayanan pajak setempat dengan menandatangani lembar ketiga NPWP. c) Penghapusan NPWP Penghaspusan NPWP dilakukan apabila : 1) Terjadi Perubahan Organisasi (reorganisasi) Perubahan organisasi lama menjadi organisasi baru mengakibatkan nama unit instansinya berubah. Bendahara diwajibkan melapor kepad KPP setempat guna penghapusan NPWP lama yang kemudian diganti dengan NPWP baru sesuai dgn nama instansi yg baru akibat reorganisasi. 2) Kegiatan selesai Bendahara Satuan Kerja yg kegiatannya telah selesai diwajibkan melapor kepada kepala KPP setempat guna penghapusan NPWP Tata Cara penghapusan NPWP bagi Bendahara cukup dengan mengisi formulir yg ditentukan dan menyerahkannya kepada KPP tempat bendahara yg bersangkutan terdaftar. Apabila terjadi penggantian bendahara tidak perlu dilakukan perubahan NPWP tetapi bendahar tsb cukup melaporkan secara tertulis tentang penggantiannya. 4. SANKSI-SANKSI PERPAJAKAN Karena kedudukan bendahara adalah sama dengan wajib pajak (WP), maka segala sanksi perpajakan yg berlaku bagi WP berlaku juga bagi bendahara. a. Sanksi Administrasi 1) PPh a) Denda, sebesar :
Rp. 50.000 apabila surat pemberitahuan (SPT) masa tidak disampaikan atau tidak sesuai dengan batas waktu yaitu selambat-lambatnya 20 hari setelah akhir masa pajak.
Rp. 100.000 apabila SPT tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yaitu selambat-lambatnya 3 bulan setelah akhir tahun pajak.
b) Bunga, sebesar :
12
2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan atas jumlah pajak terutang atau kurang dibayar dalam hal : ¾
WP membetulkan sendiri SPT yg mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebelum dilakukan pemeriksaan.
¾
PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar dan atau hasilo dari penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan salah hitung.
¾
Terdapat kekurangan pajak yg terutang dalam surat penetapan pajak kurang bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterabfab lain.
¾
Perhitungan pajak smeentara yang teruang kurang dari jumlah pembayaran pajak yang sebenarnya terutang akibat diberikan ijijn penundaan penyampaian SPT tahunan.
2% sebulan dari pajak yang kurang dibayar dalam hal bendahara diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
48% dari jumlah pajak yang tdk atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak setelah jangka waktu 10 tahun dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakn berasarkan putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
c) Kenaikan, sebesar :
50% dari PPh yg tdk atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak akibat SPT tdk disapaikan dlm jangka waktu yg telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tdk disampaikan pd waktunya sebagaimana ditentukan dlm surat teguran
100% dari jumlah PPh yg tdk kurang dipotong, tdk atau kurang dipungut, tdk atau kurang disetorkan dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan.
100% dari jumlah kekurangan pajak yg terutang dlm Surat Ketetaan Pajak Kurang Bayar Tamabahan dlm hal ditemukan data baru dan atau data semula belum terungkap dari WP yg menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
2) Pajak Pertambahan Nilai. a) Denda, sebesar Rp. 50.000 dalam hal SPT Masa tdk dimsapiakan atau disampaikan tdk sesuai dengan batas waktu yg ditentukan dalam peraturan perundang-undanan yaitu selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir. b) Bunga, sebesar 2% sebulan dari pajak yg tdk atau kurang dibayar dalam hal terdapat kekurangan pajak yg terutang dalam SKPKB berdasarkan hasli pemeriksaan atau keterangan lain. b. Sanksi Pidana 1) Karena alpa :
Tidak menyampaiakan SPT atau
13
Menyampaikan SPT tetapi isisnya tidak benar atau tdk lengkap atau melampirkan keterangan yg isinya tdk benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan denda setinggi-tingginya 2 kali jumlah pajak terutang yg tidak atau kurang dibayar.
2) Dengan sengaja :.
Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau nomor pengukuhan PKP atau
Tidak menyampaikan SPT atau
Menyampaikan SPT dan atau keterangan yg isinya tidak benar atau tidak lengkap
Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yg palsu atau dipalsukan seolah-olah benar
Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku atau dokumen lainnya.
Tidak menyetorkan pajak yg telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara diancam dengan pidana penjara selaam-lamanya 6 tahun dan denda setinggi tingginya 4 kali jumlah pajak terutang yg tidak atau kurang dibayar.
5. LAIN –LAIN a. Berdasarkan pasal 11 ayat (1) huruf e Keppers Nomor 61 tahun 2004 dan Surat edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE 26/PJ.44/2000 tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Fiskal (SKF) Non Bursa tanggal 19 September 2000, ditegaskan bahwa setiap Wajib Pajak sebagai penyedia barang/jasa untuk instansi pemerintah harus memenuhi persayaratan terdaftar sebagai Wajib Pajak dan sudah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir. Untuk mengetahui bahwa wajib pajak tsb telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, maka wajib pajak tsb diwajibkan untuk membreikan Surat Keterangan Fiskal (SKF) Non Bursa kepada Bendahara. SKF non bursa tsb diperoleh Wajib Pajak dari kantor pelayanan pajak (KPP). b. Bahwa dengan diberlakukannya UU No 7 tahun 1983 ttg PPh sebagaimana telah diuabh terakhir dgn UU No 17 tahun 2000dan dlm rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi termasuk PNS maupun ABRI yg memperoleh penghasilan sehubungan dgn pekerjaan yg jumlah penghasilannya di atas penghasilan kena pajak, maka wajib pajak orang pribadi tsb diwajibkan mendaftarkan diri untuk diberi NPWP. Sehubungan dgn hal tsb maka berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 338/PJ/2001 tentang tata Cara Pendafataran dan Pemberian NPWP orang pribadi yg berstatus sebagai karyawan, bendahara pemerintah baik itu bendahara pemerintah pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah dapat dimintakan bantuannya oleh kantor pelayanana pajak lokasi tempat kerja/kantor untuk mengkoordinir seluruh PNS maupun ABRI yg memenuhi syarat sbagai wajib pajak orang pribadi untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
14
BAB IV BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26
1. DASAR HUKUM a. Undang-undang nomor 6 tahun 1983 ttg Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 16 tahun 2000. b. Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terkahir dengan UU Nomor 17 tahun 2000 c.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara , PNS, ABRI dan Para Pensiunan atas Penghasilan Yang dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 149 tahun 2000 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa uang Pesangon, Uang tebusan dan tunjangan hari tua. e. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 520/KMK.04/1998 tentang bagian Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan serta Pegawai Tidak Tetap lainnya yang tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan. f.
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 521/KMK.04/1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau pensiun.
g. Keputusan Menteri Keuangan RI nomor 541/KMK.04/2000 tentang Penentuan tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, tempat pembayaran, tata cara pembayaran, peneytotan dan pelaporan pajak serta Tata cara pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak. h. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 112/KMK.03/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang tebusan dan tunjangan hari tua. i.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.03/2005 tentang Penetapan Bagian Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
j.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan pasal 21 dan pasal 26 dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.
2. PPh Pasal 21/26 PPh pasal 21/26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh WP Orang Pribadi atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. WP yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 adalah orang pribadi dengan status WP Luar Negeri.
15
3. PEMOTONGAN PPh Pasal Pemotongan PPH Pasal 21/26 adalah Bendahara Pemerintah termasuk Bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah, Lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar RI di luar negeri.
4. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21/26 a. Penghasilan yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri dan para Pensiunan yang dibebankan kepada Keuangan Negara /Daerah (APBN/APBD). 1)
2)
Penghasilan yang diterima berupa : •
Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dari terkait dengan gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri.
•
Gaji Kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan imbalan sejenisnya yang diterima Pejabat Negara.
•
Uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah (APBN/APBD).
Penghasilan berupa honorarium, uang sidang, uang hadir, uang lembur, imbalan prestasi dan imbalan lain dnegan nama apapun yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah kecuali yang dibayarkan kepada : • •
Pegawai Negeri Sipil Gol II d kebawah TNI & Polri berpangkat Pembantu Letnan Satu kebawah
b. Penghasilan yang diterima oleh selain Pehabat Negara, Pegawai Negeri dan para pensiunan yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah antara lain berupa : •
Upah harian, upah mingguan, upah satuan, uang saku harian dan upah borongan
•
Honorarium, uang saku, hadiah, penghargaan, komisi dan bea siswa
•
Pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan jasa kegiatan lain.
Catatan : Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah tidak dipotong PPh pasal 21. 5. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN a. Atas penghasilan yang dibayarakan kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri dan Pensiunan. 1)
Untuk menentukan penghasilan netto Pejabat Negara, Pegawai Negari ; Penghasilan Bruto dikurangi : •
Biaya jabatan sebesar 5% dari penghailan bruto setinggi-tingginya Rp. 1.296.000,00 setahun atau Rp.108.000,00 sebulan.
16
• 2)
Iuran pensiun.
Untuk menentukan penghasilan netto penerima pensiun : Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp. 432.000,00 setahun atau Rp. 36.000,00 sebulan.
3)
Untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak netto dikurangi dengan penghasilan Tidak Kena aPajak (PTKP)
b. Penghasilan Tidak Kena Pajak
• • •
PTKP Untuk diri sendiri Tambahan untuk pegawai yang kawin Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3.
Setahun Rp. 13.200.000, Rp. 1.200.000, Rp. 1.200.000,
Sebulan Rp. 1.100.000, Rp. 100.000, Rp. 100.000,
PTKP Karyawati :
c.
¾
Untuk karyawati status kawin : Pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak hanya untuk dirinya sendiri Rp. 12.000.000 setahun atau Rp. 1.000.000, sebulan
¾
Untuk karyawati status tidak kawin Pengurangan PTKP untuk dirinya sendiri ditambaha PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungannya paling banyak 3 orang.
¾
Untuk karyawati status kawin tetapi suaminya tiak menerima atau memperoleh penghasilan: Pengurangan PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP sebesar Rp. 1.200.000 setahun atau RP. 1.00.000 sebulan dan ditambaha PTKP tanggungan keluarga paling banyak 3 orang dengan syarat menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendanya kecamatan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan.
Pengurangan yang diperbolehkan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Peneriam Penghasilan selain pejabat negara, PNS, TNI/POLRI dan para pensiunan yang dibebankan kepada keuangan negara/daerah (APBN/APBD) 1) Upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah potongan, uang saku harianadalah penghasilan bruto harian dikurangi Rp. 110.000 sepanjang jumlah yang diterimanya dalam satu bulan takwin tidak melebihi Rp. 1.100.000, dan tidak dibayarkan secara bulanan. Apabila penghasilan bruto dalam satu bulan takwin melebihi Rp. 1.100.000, atau dibayarkan secara bulanan maka pengurangannya adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yaitu : PTKP harian
= PTKP sebenarnya 360
17
2) Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atua kegiataan yangd iebrikan tidak ada pengurangan . 3) Untuk penghasilan WP luar negeri tidak ada pengurangan 6. TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21/26 a. Tarif 1) Tarif berdasarkan pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 17 tahun 2000. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s/d Rp. 25 juta >Rp. 25 juta s/d Rp. 50 juta >Rp. 50 juta s/d Rp. 100 juta >Rp. 100 juta s/d Rp. 200 juta >Rp. 200 juta
Tarif Pajak 5% 10% 15% 25% 35%
2) Tarif berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 138/PMK.03/2005 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No KEP-545/PJ/2000 sebesar : a. 15% berdasarkan pasal 12 diterapkan atas perkiraan penghasilan netto yang dibayarkan kepada Tenaga Ahli. Perkiraan penghasilan netonya berdasarkan pasal 9 ayat 8 ditentukan 50% sehingga tariff efektifnya 7,55 dari jumlah bruto yang dibayarkan atau yang terutang oleh pemberi penghasilan. b. 5% berdasarkan pasal 13 diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp. 110.000 sehari tetapi tidak melebihi Rp. 1.100.000 dalam 1 bulan takwin dan atau tidak dibayarkan secara bulanan. c.
20% bersifat final berdasarkan pasal 16 diterapkan terhadap penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan/jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status WP luar negeri.
3) Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 149 tahun 2000. Uang pesangon, uang tebusan pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus dan dipotong PPh pasal 21 yang bersifat final dengan tarif: ¾ 5% dari jumlah bruto apabila penghasilan bruto diatas Rp. 25 juta s/d Rp. 50 juta ¾ 10% dari jumlah bruto apabila penghasilan bruto diatas Rp. 50 juta s/d Rp. 100 juta ¾ 15% dari jumlah bruto apabila penghasilan bruto diatas Rp. 100 juta s/d Rp. 200 juta ¾ 25% dari jumlah bruto apabila penghasilan bruto diatas Rp. 200 juta Dalam hal penghasilan bruto jumlahnya Rp. 25.000.000 atau kurang dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 21 atau dalam penghitungannya terlebih dahulu dikurangkan dengan jumlah Rp. 25 juta tsb. b. Cara Penghitungan 1)
Atas penghasilan yang dibayarkan berupa : • •
Gaji kehormatan Gaji atau tunjangan pensiun
18
•
Tunjangan yang terkait dengan gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun yang dibebankan kepada keuangan negara.
PPh pasal 21 yang dihitung dengan cara sbb : ¾ Bagi Pejabat Negara, PNS dan anggota TNI/Polri, tarif pasal 17 X penghasilan kena pajak (PKP) Penghasilan kena pajak = (penghasilan bruto – biaya jabatan – iuran pensiun – PTKP) Bagi penerima pensiun bulana Tarif pasal 17 X penghasilan Kena Pajak (PKP) Penghasilan kena pajak = (penghasilan bruto – biaya pensiun – PTKP)
¾
Contoh : Drs. Sudin bekeja sebagai PNS dengan pangkat pembina (IV a) memperoleh gaji pokok sbeulan Rp. 1.400.000. Drs. Sudin sudah beristri, mempunyai 2 anak. Perhitungan PPh pasal 21 1. gaji pokok 2. tunjangan istri, 105 3. tunjangan 2 anak x 2%
Rp. 1.400.000,Rp. 140.000,Rp. 56.000,Rp. 1.990.720,Rp. 360.000,Rp. 34.720.-
4. tunjangan jabatan 5. tunjangan beras Pengurangan Biaya jabatan 5% x Rp. 1.990.720,Iuran pensiun Penghasilan neto sebulan
Rp. 99.536,Rp. 75.000,Rp. 174.536,Rp. 1.816.184,-
Penghasilan netto setahun 12 X Rp. 1.816.184,Rp. 21.794.206,PTKP (K/2) Rp. 16.800.000,Penghasilan kena pajak setahun
Rp. 4.994.208,-
PPh pasal 21 = 5% x Rp. 4.994.000,- (setahun) Rp.
249.700,- (ditanggung pemerintah)
b) Atas penghasilan yang dibayarkan berupa : • Honorarium • Uang sidang • Uang hadir • Uang lembur • Imbalan prestasi kerja • Imbalan lain dengan nama apapun Yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Derah pengenaan PPh pasal 21 nya dipotong sebesar 15% X jumlah bruto penghasilan tsb dan bersifat final. Contoh: Menpera mengadakan pelatihan dan membayar honor kepada Benny, SH (PNS) sebagai pengajar sebesar Rp.1.000.000,PPh Pasal 21 : Rp.1.000.000.- X 15% = Rp.150.000,-/bersifat final. 2). Pengenaan PPh Pasal 21 bagi selain Pejabat Negara, Pegawai Negeri dan Pensiunan yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah.
para
19
a). Honorarium. Uang Saku. Hadiah/Penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, Komisi, Bea Siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh WP dalam negeri, terdiri dari :
• • • • • • •
Pemain Musik, Pembawa Acara, Penyanyi, Pelawak, Bintang Film. Sutradara, Kru Film, Foto Model, Peragawan/Peragawati. Pemain Drama, Penari, Pemahat, Pelukis, dan Seniman lainnya. Olahragawan. Penasehat, Pengajar, Pelatih, Penceraman. dan Moderator. Pengarang, Peneliti, dan Penterjemah. Pemberi Jasa dalam bidang teknik. komputer dan sistem aplikasi, telekomunikasi, elektronika, fotografi, dan pemasaran. Kolportir ikian. Pengawas , Pengelola Satuan Kerja. Anggota dan Pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan. peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan. Peserta periombaan. Petugas penjaja barang dagangan Petugas dinas luar asuransi Peserta pendidikan, pelatihan dan pemagangan.
Dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan penerapan tarif pasal 17 X penghasilan bruto. Contoh Penghitungan: Kementerian Negara Perumahan Rakyat pada hari jadinya mengadakan panggung hiburan dengan mengundang Penyanyi lis Dahlia. Honor yang diberikan Menpera Rp. 2.000.000,-PPh. Pasal 21 : Rp. 2.000.000,- X 5% = Rp.100.000,b). Penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas. yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter. konsultan, notaris, penilai dan akuaris. Dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 15% dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto untuk tenaga ahli tersebut adalah 50% dari penghasilan bruto. Contoh: Kementerian Negara Perumahan Rakyat mempunyai kegiatan pembangunan gedung dan memakai jasa seorang arsitek dalam pelaksanaannya. Arsitek tersebut dibayar Rp. 10.000.000,-PPh Pasal 21 : Rp. 10.000.000,- X (15% x 50%) = Rp.750.000.c).
Penerima upah harian. mingguan. satuan, borongan dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp.110.000;- sehari tetapi tidak melebihi Rp. 1.100.000,sebulan atau tidak dibayarkan secara bulanan. Dikenakan PPh Pasal 21 sebesar: 5% X (upah harian - Rp.110.000.-) Untuk mendapatkan jumlah upah harian beriaku ketentuan sebagai berikut; ¾ Dalam hal berupa upah mingguan, maka jumlah upah harian adalah upah mingguan dibagi 6; ¾ Dalam hal berupa upah satuan. maka jumlah upah harian adalah upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam satu hari;
20
¾
Dalam hal berupa upah borongan, maka jumlah upah harian adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud.
Contoh Penghitungan: Bento (tidak menikah ) pada bulan Januari 2006 bekerja pada PT. Sejahtera, menerima upah sebesarRp. 130.000,-/hari. Penghitungan PPh Pasal 21 Upah sehari Rp.130.000,Upah sehari di atas Rp.110.000,-=Rp.130.000-Rp.110.000=Rp.20.000,PPh Pasal 21 = 5% x Rp.20.000,-=Rp. 1.000,- (harian) Pada hari kesembilan dalam bulan takwin yang bersangkutan, Bento telah menerima penghasilan sebesar Rp. 1.170.000,- seh'ngga telah melebihi Rp.1.100.000,- PPh Pasal 21 untuk bulan Januari 2006 dihitung sbb: Upah 9 hari kerja Rp.1.170.000,PTKP=9x(Rp.13.200.000,-:360) Rp. 330.000.Upah Harian termasuk pajak Rp. 840.000,PPh Ps 21 : 5% x Rp.840.000,= Rp.42.000.PPh Ps 21 yang telah dipotong-8 x Rp.1000,= Rp. 8.000.PPh Ps 21 yang kurang dipotong = Rp.34.000,Jumlah Rp.34.000,- tersebut dipotong dari upah yang diterima Bento pada hari ke-9 tersebut sehingga upah yang diterima menjadi Rp.130.000,- - Rp.34.000.- = Rp.96.000,-Hari ke 10 dan seterusnya dalam bulan takwin yang bersangkutan, jumlah PPh Ps 21 per-hari yang dipotong adalah : Upah sehari PTKP (Rp. 13.200.000,-: 360) Upah harian terutang pajak adalah PPh Ps 21 terutang adalah 5% x Rp.93.000,- = Rp. 4.650,-.
Rp.130.000,Rp. 36.667.Rp. 93.333,-
d). Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh dengan status WP luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa dan kegiatan. Tarif 20% dari penghasilan bruto bersifat final. Apabila WP luar negeri tersebut berubah status, maka pemotongan PPh Pasal 21-nya tidak bersifat final. Contoh: Menpera membayar tenaga ahli dari Australia sebesar US $ 1,000 (kurs pada saat pembayaran Rp.11.000,00/US. $ 1) PPh Pasal 26 : (Rp.11.000.- x Rp. 1.000,-) x 20% = Rp. 2.200.000.7. KEWAJIBAN BENDAHARA PEMOTONG PPh PASAL 21/26. a. Mendaftarkan din ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) / Kantor Penyuluhan Pajak untuk diberikan NPWP. b. Mengambil sendiri formulir-fbnnulir yang diperiukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakan ke KPP/Kantor Penyuluhan Pajak. c. Menghitung, memotong, menyetor dan melapor PPh Pasal 21/26 yang terutang untuk setiap bulan. d. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta atau tidak pada saat dilakukan pemotongan pajak. e. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan (Focmulir 1721 A2), kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI dan para Pensiunan dalam jangka wakiu 2 bulan setelah tahun takwin berakhir. Apabila Pejabat Negara. Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI/POLRI berhenti bekeria/pensiun pada bagian tahun takwin, maka bukti potongan diberikan selambat-lambatnya 1 ( satu ) bulan setelah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI/POLRI tersebut berhenti/pensiun.
21
f.
Mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke KPP tempat pemotong terdaftar/Kantor Penyuluhan Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwin berikutnya.
8. TATACARA PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 21/26. a. Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggung Pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin berikirtnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. b. PPh Pasal 21 yang terutang bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI yang PPh nya ditanggung Pemerintah, Bendahara cukup melaporkan perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN. c. Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan menggunakan SPT Masa selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwin berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur. pelaporan dilakukan pada hari keria sebelumnya. d. Mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke KPP/Kantor Penyuluhan Pajak tempat Bendahara terdaftar selambat-iambatnya tanggal 31 Maret tahun takwin berikutnya. BAB V BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 1. DASARHUKUM a.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1083 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000. c Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 541/KMK 04/2000 tentang Penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak, tempat pembayaran pajak, tatacara pembayaran, penyetorsm dan pelaporan pajak, serta tatacara pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak. d Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 254/KMK 03/2001 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besamya Pemungutan, serta Tatacara Penyetoran dan Pelaporannya.
2. PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN PASAL 22. Pemungut PPh Pasal 22 adalah : • Direktorat Jenderal Anggaran • Bendahara Pemerintah Pusat maupun Daerah • Bendahara Bea dan Cukai • BUMN/BUMD yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dibiayai dan APBN/APBD. • Bank Indonesia, BPPN, BULOG, PT. TELKOM, PT.PLN. PT. GARUDA INDONESIA, PT. IND0SAT, PT. KRAKATAU STEEL, PERTAMINA DAN BANK-BANK BUMN yang melakukan pembelian yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non APBN. Bendahara sebagai pemungut PPh Pasal 22 tidak perlu ditunjuk secara khusus karena telah ditentukan oleh Undang-Undang.
22
3. PEMBAYARAN YANG DIPUNGUT PPh PASAL 22. PPh Pasal 22 dipungut berkenaan dengan pembayaran penyerahan barang yang dibiayai dari APBN/APBD.
4. PEMBAYARAN YANG DIKECUALIKAN DARI PEMUNGUTAN PPh PASAL 22. a. Pembayaran atas penyerahan barang ( bukan jumlah yang dipecah-pecah) yang meliputi jumlah pembayaran kurang dari Rp. 1.000.000.00 ( satu juta rupiah). b.Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos. c. Pembayaran pencairan dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS ) oleh KPPN. d Pembayaran yang diterima penyerahan barang sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri. e.Pembayaran oleh Bendahara kepada orang pribadi atas pengatihan hak atas, tanah dan/atau bangunan untuk keperiuan pembangunan yang memerlukan persyaratan khusus dengan pihak pemerintah. 5. SAATPEMUNGUTAN. Saat pemungutan PRh Pasal 22 adalah pada setiap pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang oleh rekanan, yang dibiayai dari APBN/APBD. 6. TARIF 1,5% X Harga/Nilai Pembelian Barang. Contoh perhitungan. Kementerian Negara Perumahan Rakyat Umum membeli Komputer untuk keperiuan kantor dengan harga pembelian Rp.100.000.000,00 PPh Pasal 22 yang hams dipungut Bendahara adalah : Rp.100.000.000,00 X 1,5% =Rp.1.500.000.00
7. BUKTI PEMUNGUTAN. a Bukti pemungutan PPh Pasal 22 bagi WP ( Rekanan ) adalah lembar ke 1 SSP b Bukti pungutan PPh Pasal 22 bagi Bendahara sebagai pemungut pajak adalah lembar ke 3 SSP.
8. TATACARA PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN. a
PPh Pasal 22 dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran oleh Bendahara atas penyerahan barang oleh Wajib Pajak (Rekanan).
b
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja negara.
c
Penyetoran dilakukan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan SSP yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh Bendahara.
d
Lembar ke 3 SSP dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22 Belanja Negara.
23
e
Lembar ke 5 SSP disimpan sebagai arsip Bendahara.
9. TATACARA PELAPORAN. a
Bendahara sebagai pemungut PPh Pasal 22 harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 belanja Negara b. SPT Masa disampaikan selambat-tambatnya 14 (empat belas) hari setelah bulan takwin berakhir. c. Apabila hari ke,14 jatuh pada hari tibur, maka petaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. d. SPT masa tersebut disampaikan ke KPP dimana Bandahara bersangkutan terdaftar dengan dilampiri lembar ke 3 SSP sebagai bukti pemungutan dan bukti setoran.
10. LAIN-LAIN. Penggunaan SSP adalah sebagai berikut: • Lembar ke-1 untuk VVP/PKP sebagai bukti pembayaran. • Lembar ke-2 untuk KPP melalui KPPN • Lembar ke-3 untuk kPP sebagai lampiran SPT Masa Bendahara • Lembar ke-4 untuk Kantor Penerima Pembayaran (Bank Persepsi/Kantor Pos dan Giro) • Lembar ke-5 untuk pemungut PPh Pasal 22
24
BAB VI BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26
1. DASAR HUKUM a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Urrfang Nomor 16 t,ahun 2000, b Undang-Undang Nmor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000. c Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 541/KMK 04/2000 tentang Penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak, tempat pembayaran pajak, tatacara pembayaran, penyetoran dan pelaporan pajak, serta tatacara pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak. d Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-305/P.J/2001 Tentang Perkiraan Penghasaan Neto Yang digunakan sebagai dasar Pemotongan Pajak Penghasilan Dan Jenis Jasalain Yang Atas Imbalannya Dipotong Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 23 Ayat ( 1 ) huruf C UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
2. PEMOTONG PPh PASAL 23/26 Pemotong PPh Pasal 23/26 adalah Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk Bendahara BUMN/BUMD yang melakukan pembayaran atas jasa yang dibebankan pada APBN/APBD.
3. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23/26. a Hadiah dan Penghargaan Pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. b Sewa dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Pengertian penghasilan dari sewa. Adalah penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta gerak/atau harta tidak bergerak dalam hubungan dengan kegiatan usaha. Ciri-ciri sewa:
25
• Adanya penyerahan kenikmatan atas harta yang disewa dari yang menyewakan kepada pihak penyewa. • Adanya perjanjian sewa menyewa baik secara lisan maupun tulisan. • Adanya kenyataan (fakta ) bahwa memang terdapat (terjadi) transaksi sewa.
c Imbalan sehubungan dengan jasa teknik. jasa manajemen, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pengertian Jasa Teknik. Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian inforrnasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang meliputi: 1) Untuk suatu Satker tertentu. Dalam Satker tertentu ini jasa teknik pada umumnya hanya diberikan sekali saja, misalnya membangun gedung pabrik dipedukan penelitian yang misalhya berupa: penelitian jeriis tanah fempat pembangunan itu akan didirikan, pembuatan desain bangunan. pengawasan pelaksanaan bangunan itu. 2) Untuk membuat suatu jenis produk tertentu. Dalam membuat suatu produk tertentu Jni jasa teknik dapat diberikan lebih dan sekali. Jasa Teknik ini diberikah secara terus menerus-dapat berupa: pemberian informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi. perhitungan-perhitungan dan sebagaimnya, bantuar. berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa teknik dan latihan atas para petugas dari pemakai jasa. 3) Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalamanpengalaman dibidang manajemen
Pengertian Jasa Manajemen. Jasa Manajemen adalah : Pemberian jasa dengan ikut serta langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapat balas jasa berupa imbalan manajemen (management fee).
Pengertian Jasa Konsultan: Pemberian advis profesional dalam suatu bidang usaha. Kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keteriibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Pengertian Jasa Maklon. Semua pemberian jasa dalam rangka proses penyeiesaian suatu barang tertentu, dengan proses pengerjaannya dilakukan oleh para pemberi jasa (disubkontrakkan) sedangkan spesifikasinya, bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang diproses sebagian/seluruhnya disediakan oleh pihak pemakai jasa.
PPh Pasal 26
26
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 ialah seluruh penghasilan yang dikenakan Pasal 23, seperti: 1. Hadiah dan Penghargaan 2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 3. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya. Termasuk; 4. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya 5. Pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain BUT. 4. TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh Pasal 23/26 a
WP Orang Pribadi dan Badan yang dapat menunjukan Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 23/26; b Jasa kontraktor dan konsultan atas penghasilan yang diterima karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Satker Pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman/Hibah Luar Negeri.
5. TARIF DASAR PEMOTONGAN a. Tarif PPh Pasal 23 1). Hadiah dan Penghargaan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto 2). Sewa dan jasa lainnya Dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari pekerjaan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut : a) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khususnya kendaraan angkutan darat........................ 20%
b) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh berdasarkan PP 29Tahun 1996................................. 40% c) Imbalan jasa profesi. jasa konsultan kecuali konsultan konstruksi, jasa akuntansi dan pembukuan, jasa penilai, jasa akuaris............................................................... 50% d) Jasa teknik. jasa manajemen, jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, termasuk jasa internet, jasa pengolahan dan pembuangan limbah. jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum ............... 40% e) Imbalan jasa perancang/desain: • Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan • Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan • Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan • Jasa perancang iklan/logo • Jasa perancang aiat kemasan ................................................................. 40%
27
f) Imbalan Jasa instalasi/pemasangan: • Instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/ pemasangan peralatan • Jasa instalasi/pemasangan listrik/telpon/air/gas/TV kabel ........................40% g) Imbalan jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan ; • Jasa perawatan/pemeliharaan/pecbaikan mesin dan jasa perawatan/ pemeliharaan/perbaikan peralatan • Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi / kendaraan • Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan....... ..........................40% h) Imbalan jasa kostodian/penyimpanan/penitipan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan PP 29 Tahun 1996......................................... 40% i)
Imbalan jasa perantara, jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film, jasa maklon, jasa rekruitment/penyediaan tenaga kerja, jasa penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara ........................................... ..................................40%
j)
Imbalan jasa pengeboran (drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan bentuk usaha tetap, jasa penunjang dibidang migas, jasa penambangan dan jasa penunjang dibidang penambangan selain migas.................................................................. .....................................................40%
k) Imbalan jasa sehubungan dengan software komputer,termasuk perwatan/pemeliharaan dan perbaikan ........................................................................................................ 40% I)
Imbalan jasa pembasmian hama. jasa pembersihan dan jasa Katering...............................................................................................................
10%
m) Imbalan jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi.................................. 26.67% n) Imbalan jasa pelaksanaan konstruksi............................................................. 13.33% o) Imbalan jasa selain jasa yang tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan padaAPBN atauAPBD ............ ...............................10% Dari Jumlah bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering, yang dimaksud Jumlah bruto adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barang. Yang dimaksud jumlah bruto untuk jasa lainnya seluin jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan
yang
dibayarkan
hanya
atas
pemberian
jasanya
saja.kecuali
apabila
dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.
Catatan: PPh yang harus dipotong atas imbalan / nilai penggantian kepada WP. • Perusahaan pelayaran dalam negeri adalah 1,2% dari peredaran bruto
28
• Perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri adalah 2,64% dari peredaran bruto
29
b. Tarif PPh Pasal26 Tarif pemotongan PPh Pasal 26 adalah 20% (duapuluh persen) dari Jumlah bruto, kecuali bila ada persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) maka tarif PPh Pasal 26 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam P3B tersebut.
6. TATACARA PEMOTONGAN. a
Pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 dilakukan dengan memberikan bukti pemotongan berupa focmulir KP.PPh 2.6 yang telah diisi tengkap.
b
Pemotongan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26 dilakukan pada saat pembayaran penghasilan oleh Bendahara.
c Lembar ke-1 bukfi pemotongan diserahkan kepada Rekanan sebagai bukti pemotongan. 7. TATACARA PENYETORAN. a. PPh Pasal 23 atau Pasal 26 yang tercantum dalam bukti pemotongan formulir selama satu bulan takwin dijumlahkan. b Jumlah PPh Pasal 23 atau Pasai 26 yang telah dipotong selama satu bulan takwin disetor ke Bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan SSP paling lambat tanggal 10 bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur. maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. Contoh: • PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang teiah dipotong oleh Bendahara dari tanggal 1 s/d 31 Januari 2005 dijumlahkan. • PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 tersebut harus disetor paling lambat tanggal 10 Februari 2005 dengan menggunakan SSP. • Karena tanggal 10 Februari 2005 jatuh pada hari libur (minggu) maka PPh Pasal 23 dan /atau PPh Pasal 26 tersebut harus disetor paling -lambat pada hari Senin tanggal 11 Februari 2005. c. Menerima kembali SSP lembar ke-1 dan ke-3 dari Bank/'Kantor Pos dan Giro ¾
¾
LEMBAR KE-1 Untuk arsip Bendahara pemotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang berguna sebagai bukti sudah menyetorkan uang untuk pembayaran PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26. LEMBAR KE-3 Untuk dilaporkan ke KPP bersama SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26
8. TATACARA PELAPORAN.
a. Lembar ke-2 bukti-bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang dibuat dalam satu bulan takwin dicatat pada formulir Daftar Bukti Pemotongan pajak (rangkap 2) b. Mengisi dengan lengkap dan benar formulir SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 rangkap 2 (dua) dan dilampiri dengan: 1) Lembar ke-3 SSP Bukti' setoran PPH Pasat 23 dan/atau PPh Pasal 26 2) Daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 3) Lembar ke-2Bukti Pemotongan.
30
c. SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 teogkap bersama lampirannya harus dilaporkan ke KPP selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya dan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat. Jika tanggal 20 jatuh pada hari libur. maka SPT Masa disampaikan pada hari kerja sebelumnya. d. Bendahara menerima kembali satu set lembar ke-2 SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26. sebagai bukti telah melapor.
Contoh: Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dari tanggal 1 s/30 Januari 2005. Atas pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 untuk bulan Januari tersebut hams dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 20 Februari 2005 dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasa: 23 dan/atau PPh Pasal 26. Karena tanggal 20 Februai 2005 jatuh pada hari libur ( minggu ) sedangkan tanggal 19 Februari 2005 adalah hari Sabtu yang juga hari libur bagi Direktorat Jenderal Pajak, maka pelaporan dilakukan paling lambat pada hari Jum'at tanggal 18 Februari 2005.
31
BAB VII BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
1. DASAR HUKUM a. b. c.
d.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan 3 PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN; Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok BKP yang tergolong mewah yang dikenakan PPnBM; Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang impor dan Penyerahan BKP dan/atau JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN; Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP tertentu yang bersifat Strategis yang dibebaskun dari pengenaan PPN; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000 Jo.Nomor 548/KMK.04/2000 Tentang Penunjukan Bendahara Pemerintah, Badan- badan Tertentu, dan Instansi Pemerintah tertentu untuk Memungut, Menyetordan Melaporkan PPN dan PPnBM. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 541/KMK.04/2000 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tempat pembayaran Pajak, Tatacara Pembayaran, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak, Serta Tatacara Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.04/2000 tentang Pelaksanaan PPN yang dibebaskan alas impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis.
e. f. g. h. i. j.
k.
2. PENGERTIAN a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean. b. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ( PPn BM ). Adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang di dalam Daerah Pabean yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tergolong barang mewah.
c.
Daerah Pabean.
32
Adalah Wilayah Republik Indonesia yang metiputi wilayah darat. perairan. dan mangan udara atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. d.
Barang Kena Pa|ak (BKP ). Adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukunnnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwugud.
e.
JasaKenaPajak (JKP) Adalah setiap kegiatan pelayanan berdasaikan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasililas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau pemintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
f.
Pengusaha Kena Pajak. Adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan. memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha Jasa. atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean yang melakukan penyerahan BKPdan/atau JKP yang dikenakan PPN, tidak termasuk pengusaha kecit yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
g.
Pengusaha Kecil. Adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan peredaran bruto sebesar Rp. 600 juta setahun.
h.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Adalah jumlah harga jual atau penggantian atau nilai impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung PPN yang terutang.
i.
Harga Jual. Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
3. PEMUNGUT PPN DAN PPn BM. Pemungut PPN dan PPn BM adalah: • Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. KEWAJIBAN BENDAHARA SEBAGAI PEMUNGUT PPN/PPnBM
33
a.
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP Bendahara sebagai pemungut PPN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan N0.563/KMK.03/2003. sehingga fidak periu \ag\ ada Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemungut Pajak, namun tetap wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
b. Memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP dan /atau JKP kepada instansi Pemerintah.
5. OBYEK PEMUNGUTAN PPN DAN PPnBM. a.
Obyek PPN atas penyerahan BKP atau JKP yang dilakukan oleh PKP kepada Instansi Pemerintah terutang PPN daiWatau PPnBM yang terutang PPN dan harus dipungut oleh Bendahara adalah : 1). Penyerahan BKP yang dilakukan oleh:
a) Pengusaha Kena Pajak selaku: - Pabrikan BKP - Importir BKP - Pedagang BKP b) Pengusaha Kecil selaku rekanan Bendahara yang menyerahkan BKP berdasarkan surat perjanjian atau kontrak jual beli. Order pembelian yang didahului suatu penawaran atau lelang termasuk dalam pengertian kontrak. Bagi Pengusaha Kecil selaku rekanan Bendahara: • Tidak disyaratkan adanya pengukuhan menjadi PKP. • Dapat menggunakan faktur pajak sederhana • Jika perusahaan tersebut belumffidak mempunyai NPWP maka pada SSP dicantumkan NPWP 11 digit dengan cara: - 8 digit pertama diisi angka 0 - 3 digit terakhir diisi dengan kode KPP tempat Bendahara melapor. 2) Penyerahan JKP.
a) Penyerahan JKP yang atas pembayarannya menjadi obyek pemungutan PPN oleh Bendahara adalah penyerahan JKP yang dilakukan oleh JKP. b) Pengusaha Kecil selaku rekanan Bendahara yang menyerahkan JKP berdasarkan surat perjanjian atau kontrak. Bagi Pengusaha Kecil selaku rekanan Bendahara: • Tidak disyaratkan adanya pengukuhan menjadi PKP • Dapat menggunakan faktur sederhana • Jika Pengusaha tersebut belum/ddak mempunyai NPWP mate pada SSP dicantumkan NPWP 11 digit atau 15 digit dengan cara: - 8 atau 9 digit pertama diisi angka 0
34
- 3 digit terakhir atau 3 digit sebelum 3 digit terakhir diisi dengan kode KPP tempat Bendahara melapor.
c). Obyek PPnBM Obyek pemungutan PPn BM adalah penyerahan BKP yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tergolong sebagai barang mewah yang diserahkan oleh Pabrikan pada Bendahara.
6. KELOMPOK BARANG YANG TIDAK DIKENAKAN PPN
a
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbemya.
b
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oteh rakyat banyak yaitu beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
c Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
d Uang, emas batangan dan surat berharga. 7. KELOMPOK JASA YANG TIDAK DIKENAKAN PPN. a Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik. seperti dokter umum, dokter spesialis, jasa di bidang pelayanan sosial, seperti panti asuhan, jasa pemakaman. b Jasa di bidang pengiriman surat c Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi. d Jasa di bidang keagamaan, seperti pemberian khutbah/dakwah. e Jasa di bidang pendidikan, Jasa dibidang kesenian, seperti pementasan kesenian tradisional. f
Jasa di bidang penyiaran, seperti penyiaran radio dan televisi yang bukan bersifat ikian.
g Jasa di bidang angkutan umum, seperti angkutan umum darat/laut h i
Jasa dibidang tenaga kerja, seperti jasa penyelenggaraan latihan bag! tenaga kerja. Jasa di bidang perhotelan, Jasa telepon umum dengan coin box.
8. KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PPN Dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis adalah:
35
a b c d e
Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik (baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang) yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Makanan temak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan temak, unggas dan ikan Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, petemakan, penangkaran atau perikanan. Bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau perak dalam bentuk batangan. Bahan baku berupa kertas uang dan logam uang yang dipergunakan oleh Bank Indonesia dan atau Perum Peruri untuk pembuatan uang kertas rupiah dan uang logam rupiah.
DibebasKan dari pengenaan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis adalah:
a
Barang hasil pertanian yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk hasil pemrosesannya yang dilakukan dengan cara tertentu yang diserahkan oleh petani atau kelompok petani.
b Air bersih yang dialirkan melalui pipa atau dialirkan dengan cara lain baik oleh Perusahaan Air Minum milk Pemerintah maupun Swasta.
c Listrik kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt.
9. TARIF
a. Tarif PPN. Tarif PPN adatah tarif tunggal sebesar 10%. Tarif ini dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%.
b. PPnBM Tarif PPnBM yang beriaku sekarang ini paling rendah 10% dan paling tinggi 75%.
10. SAAT PEMUNGUTAN. Pemungutan PPN dan atau PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendahara, dengan cara pemotongan langsung dari pembayaran (uang muka atau termyn atau pelunasan harga jual/nilai penggantian).
11. DASAR DAN TATACARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN a. Dasar Pemungutan.
36
Dasar pemungutan PPN dan atau PPnBM adalah jumlah pembayaran yang , dilakukan oleh Bendahara (dalam jumlah pembayaransudah termasuk PPN dan/atau PPnBM yang terutang).
1) Jumlah PPN yang dipungut adalah 10/110 bagian dan jumlah pembayaran. Contoh: Jumlah pembayaran PPN yang harus dipungut: 10/110 x Rp.1.100.000.00 Jumlah yangj dibayarkan kepada PKP rekanan Pemerintah
Rp. 1.100.800,00 Rp. 100.000.00 Rp. 1.000.000,00
2) Dalam hal BKP yang diserahkan oleh rekanan Pemerintah ( sebagai pabrikan ) termasuk golongan Barang Mewah; Contoh: Dalam hal PPnBM dengan tarif 20% Jumlah pembayaran PPN yang dipungut 10/130 x Rp.1.300.000,00 PPnBM yang hams dipungut 20/130 x Rp.1.300.000.00 Jumlah yang dibayarkan kepada PKP rekanan Pemerintah
Rp.1.300.000,00 Rp. 100.000,00 Rp. 200.000.00 Rp.1.000.000,00
b. Tatacara Pemungutan.
1) PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendahara untuk pembayaran sebagian (uang muka, cicilan, termyn ) maupun pembayaran seluruhnya. 2) Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPn BM maka PKP rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak. 3) Faktur Pajak dibuat dalam rangkap 3: lembar ke-1 untuk Bendahara -lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah - lembar ke-3 untuk KPP. 4) Dalam hal PKP rekanan adalah Pengusaha Kecil, dapat dibuat Faktur Pajak Sederhana dalam bentuk Faktur Penjualan atau Kwitansi. 5) Surat Setoran Pajak ( SSP ) dibuat oleh PKP rekanan dengan nama, alamat dan NPWP dart PKP Rekanan yang becsangkutan namun ditandatangani oleh Bendahara selaku pemungut pajak yang bertindak atas nama PKP rekanan.
c. Tatacara Penyetoran dan Pelaporan.
1) Tata Cara Penyetoran: a) PPN/PPnBM yang dipungut Bendahara selaku Pemungut Pajak | wajib disetorkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat 7 hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan. Dalam hal pada hari ke-7 bertepatan dengan hari libur, maka penyetoran harus dilakukan pada hari kerja berikutnya.
b) Penyetoran PPN/PPnBM dilakukan dengan SSP dibuat rangkap
37
5 (lima) atas nama rekanan Pemerintah dan ditandatangani oleh Bendahara. - Lembar ke-1 untuk PKP rekanan - Lembar ke-2 untuk KPPmelaluiKPPN. - Lembar ke-3 untuk PKP rekanan guna dilamphkan pada SPT MasaPPN - Lembar ke-4 untuk Bank PersepsI atau Kantor Pos dan Giro Lembar ke-5 untuk arsip Bendahara.
c) Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib dibubuhi Cap "disetor tanggal......" dan ditandatangani Bendahara. d) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran
2) Tata Cara Pelaporan. a) Pemungutan PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukan pembayaran atas tagihan. b) Pelaporan dilakukan dengan menggunakan formulir "Laporan Pemungutan PPN dan PPnBM oleh Bendahara" khusus untuk Bendahara Pemerintah Daerah laporan dibuat dalam rangkap 3 ( tiga): - Lembar ke-1 dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 untuk Kepala KPP setempat. - Lembar ke-2 untuk KPPN. - Lembar ke-3 untuk arsip Bendahara. c) Dalam hal Bendahara Pemerintah atau Bank Pembangunan daerah bertindak sebagai " Kasir" dari Bendahara Pemerintah (misalnya kegiatan yang dibiayai dana Inpres), maka faktur pajak dan SSP diteruskan ke Bank yang bersangkutan melalui Bendahara yang diwajibkan untuk memungut dan melapor adalah Bank yang bersangkutan. d) Apabila dalam satu bulan tidak terdapat pemungutan/penyetoran, laporan tetap dibuat dengan mempergunakan laporan nihil. e) Faktur Pajak yang PPN-nya ditanggung Pemerintah. dilaporkan dengan mengisi catatan pada bagian yang kosong pada formulir laporan pemungutan PPN/PPnBM. f) Bentuk Formulir Laporan Pemungutan terlampir.
12. PEMBAYARAN YANG TIDAK DIPUNGUT PPN/PPnBM OLEH BENDAHARA. PPN/PPnBM tidak dipungut oleh Bendahara dalam hal: a. Pembayaran yang tidak melebihi dari Rp. 1.000.000,00 termasuk PPN dan/atauPPnBM dan merupakan pembayaran yang tidak dipecah-pecah.
38
Contoh-l:
;
Hargajual Rp. 900.000,00 PPN 10% x Rp.900.000,00 Rp. 90.000,00 PPnBM 20% x Rp.900.000.00 Rp. 180.000.00 Harga jual termasuk PPN/PPnBM Rp. 1.170.000.00 Meskipun harga jual Rp.900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPN/PPnBm berjumlah Rp. 1.170.000,00 (di atas Rp.1.000.000,00) maka PPN/PPnBm yang tenrtang harus dipungut oleh Bendahara. Contoh 2 : Harga jual PPn: 10% x Rp.800.000,00 PPnBM: 10% x Rp.800.000.00 Harga jual termasuk PPN/PPnBM
Rp. 800.000,00 Rp. 80.000,00 Rp. 80.000,00 Rp. 960.000,00
Karena harga jual tennasuk PPN/PPnBM berjumlah Rp.960.000,00 (di bawah p.1.000.000.00), maka PPN/PPnBM yang terutang tidak dipungut oleh Bendahara, tetapi PPN/PPnBM yang terutang harus disetor sendiri oleh PKP rekanan Pemerintah. dan faktur pajak tetap harus dibuat.
b. Pembayaran untuk pembebasan tanah c. Pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang menurut ketentuan perundangundangan yang beriaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan atau dibebaskan dad pengenaan PPN. d. Pembayaran BBM dan non BBM oleh Pertamina e. Pembayaran atas rekening telepon f. Pembayaran atas jasa angkutan udara 'yang diserahkan oleh Perusahaan Penerbangan. g. Pembayaran untuk penyerahan JKP yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah kepada Instansi Lainnya, sepanjang dana yang berasal APBN/APBD dan Instansi Pemerintah yang memberikan jasa memasukan pembayaran yang diterima kedalam Mata Anggaran Penerimaan Instansi tersebut. h. PPnBM tidak dipungut Bendahara dalam hal barang mewah diperoleh bukan dari pabrikan. i. Pembayaran untuk penyerahan BKP oleh Pengusaha Kecil yang tidak didahului dengan Surat Perjanjian/Kontrak.
13. LAIN.LAIN.
Apabila pembayaran atas penggantian atau harga jual dilakukan dengan menggunakan mata uang asing, dalam menghitung besamya PPN atau PPnBM yang terutang harus dikonversikan dengan mempergunakan kurs yang beriaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembayaran dilakukan. Faktur Pajak yang terianjur dibuat dengan mempergunakan kurs yang berbeda dengan kurs yang beriaku pada saat pembayaran supaya disesuaikan oleh pemungut pajak.
39
BAB VIII BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DENGAN TARIF KHUSUS YANG BERSIFAT FINAL DAN TIDAK FINAL
A.
PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DAN PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN 1. DASAR HUKUM a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 161 tahun 2000 b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 c. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 jis. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 dan Peraturan pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. d. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Dan Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan. e. Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 635/KMK.04/1994 jo. Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 392/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. f. Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 566/KMK.04/1999 tentang Tata Cara pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan Transaksi Penjualan Atau Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. g. Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 394/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan. h. Surat Edaran Drektur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.4/1996 Tanggal 14 Juni 1996 perihal PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan. i. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.42/1999 Tanggal 31 Juni 1999 perihal PPh atas penghasilan Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan Transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. 2. PENGERTIAN. a. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: 1) Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah. 2) Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan
40
pembangunan, tennasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus. 3) Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara tain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memeriukan persyaratan khusus. b.
Sewa atas tanah dan/atau bangunan adalah sewa berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium. gedung perkantoran, pertokoan atau ruang pertemuan termasuk bagiannya. njmah kantor, toko, gudang dan bangunan industri. Bagian dari Gedung Perkantoran, pertokoan. atau pertemuan tennasuk areal balk di dalam gedung maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut.
c. Jumlah nilai bruto jumlah penjualan atau pengalihan adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak termasuk bunga. pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi pembeli dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
d. Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa tennasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan. biaya fasilitas lainnya dan "Service charge" baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
3. OBYEK PAJAK. a. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh:
1)
Badan yang melakukan kegiatan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dipotong PPh sebesar 5% dari jumlah bruto nilai penghasilan dan merupakan pembayaran PPh Pasal 25 (tidak final). 2) Wajib Pajak Orang Pribadi dan Yayasan atau Organisasi yang sejenis yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dipotong PPh sebesar 5% dari jumlah bruto dan bersifat final. b. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh: 1) Badan dipotong PPh sebesar 6% dari jumlah bruto persewaan dan bersifat final. 2) Orang Pribadi dipotong PPh sebesar 10% dari jumlah bruto persewaan dan bersifat final.
4. TATA CARA PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN. a) Tata Cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
1. Bendahara atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar memungut PPh yang terutang dan menyetorkan-
41
nya Re Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan SSP sebelum pembayaran kepada orang pribadi atau badan atau sebelum tukarmenukar dilaksanakan. 2.
Bendahara atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar wajib menyampaikan laporan mengenai transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Kantor Pelayanan Pajak, tempat Bendahara atau Pejabat yang bersangkutan terdaftar sebagai WP. Pelaporan dilaksanakan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pembayaran kepada orang pribadi atau badan dengan menggunakan bentuk laporan yang ditentukan.
b) Tata Cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan .
1.
Bendahara sebagai penyewa wajib memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, 2. Bendahara memberikan bukti pemotongan PPh final kepada orang atau badan yang menyewakan pada saat dilakukannya pemotongan PPh. 3. Bendahara menyetorkan PPh yang telah dipotong dengan menggunakan SSP pada Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambatIambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa. 4. Bendahara wajib melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor kepada Kantor Pelayanan Pajak, tempat Bendahara terdaftar sebagai WP. selambat-Iambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan bentuk laporan sesuai Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.22/PJ .4/1996 tanggal 14 Juni 1996.
5. CONTOH KASUS.
1.
Kementerian Negara Perumahan Rakyat mempunyai kegiatan pembangunan kantor baru dan harus melakukan pembebasan tanah. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut Departemen PU harus melakukan pembayaran Rp. 200.000.000,00 untuk pembebasan tanah tersebut. PPh final yang harus dipungut dan disetor oleh Bendahara Departemen PU atas pembayaran tersebut: Rp.200.000.000,00 x 5% =Rp. 10.000.000.00
2.
Kementerian Negara Perumahan Rakyat menyelenggarakan seminar tentang perumahan dan harus menyewa sebuah ruang pertemuan milik orang pribadi dengan harga Rp.3.000.000,00 . PPh final yang harus dipungut dan disetor oleh Bendahara Departemen PU atas pembayaran tersebut: Rp.3.000.000.00 x 10% Rp.300.000,00
42
B. BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI JASA KONSTRUKSI DAN HADIAH UNDIAN. 1. DASARHUKUM a) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000 perihal Pajak Penghasilan atas pengnasllan dan Usaha jasa Konstruksi. b)
Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 559/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 perihal Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 132 tahun 2000 tanggal 15 Desember 2000 perihal Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian. 2. PENGERTIAN a)
Jasa Konstruksi adalah layanan Jasa perencanaan pekeriaan konstruksi, layanan Jasa pelaksanaan konstruksi, dan layanan jasa pengawasan konstruksi.
b) Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekeriaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. c)
Hadiah Undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.
d) Penyelenggara undian orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi intemasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang dan jasa yang memberikan hadiah dengan cara undian. e)
Nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabifa hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura misalnya mobil.
3. OBYEK DAN TARIF. a)
Wajib Pajak Dalam negeri dan bentuk usaha tetap dan usaha jasa konstruksi yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar) yang menerima:
• Penghasilan dari usaha jasa pelaksanaan konstruksi dipotong PPh sebesar 2% • Penghasilan dari usaha jasa perencanaan konstruksi dipotong PPh sebesar 4% • Penghasilan dari usaha jasa pengawasan konstruksi dipotong PPh sebesar 4% Pemotongan pajak tersebut diatas bersifat final.
43
b) Wajib Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha jasa konstruksi selain yang tersebut diatas dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh Pengguna Jasa, datam hal penggunaan jasa adalah Badan Pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri, yang d^unjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termyn. Sedangkan apabila pemberi hasil adalah selain yang pemotong, maka dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh.
c)
Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang menerima penghasilan dari hadiah undian dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 25% dari jumlah bruto nilai hadiah.
4. TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
a. Pemotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran penghasilan berupa imbalan; b. Memberikan bukti pemotongan PPh final (atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang memenuhi syarat pengusaha kecil dan nilai kontrak Rp. 1 milyar atau kurang) dan atas hadiah undian. Bukti potongan PPh pasal 23 untuk penghasilan yang diterima Wajib Pajak bergerak dibidang jasa konstruksi yang tidak memenuhi syarat. c. Menyetor PPh yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bula pembayaran imbalan. dengan menggunakan Surat Setoran Pajak •(SSP). d. Melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran imbalan.
5. CONTOH KASUS.
Kementerian Negara Perumahan Rakyat mempunyai Pembangunan bendungan (pelaksanaan konstruksi). dengan masing-masing bendungan pertama Rp.200.000.000,00 Pengusaha Kecil, bendungan kedua Rp.400.000.000.00 Pengusaha besar dan bendungan ketiga Rp. 1.900.000.000,00 Pengusaha besar, perhitungan PPh:
tiga Satker nilai kontrak dimenangkan dimenangkan dimenangkan
1. Satker Pembangunan bendungan pertama: Rp.200.000.000,00 x 2% =Rp.4.000.000,00 diptotong PPh final ( bukti potong PPh final) karena memenuhi syarat pengusaha kecil dan nilai pengadaannya Rp.1 milyar atau kurang. 2. Satker Pembangunan bendungan kedua: Rp.400.000.000,00 x 2% = Rp.8.000.000,00 dipotong PPh Pasal 23 (bukti potong PPh Pasal 23 )
44
3. Satker Pembangunan ketiga: Rp.1.900.0(k).000,00 x 2% s (^p.38.006-000.00 dipotong PPh Pasal 23 (bukti potong PPh Pasal 23) Kementerian Negara Perumahan Rakyat menyelenggarakan undian untuk karyawan dengan hadiah senilai Rp3O.000.000,00 maka PPh final yang terutamg adalah: Rp.30.000.000JPOx25%=Rp.7.500.000,00
45
BAB IX PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PELAKSANAAN SATUAN KERJA YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DAMA PINJAMAM LUAR NEGERI
1. DASAR HUKUM a. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang Perubahan Terakhir dari PP Nomor 42 Tahun 1995 perihal Bea Masuk. Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang mewah dan pajak penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. b. Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 486/KMK.04/2000 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 239/KMK.01/1996 ) perihal Pelaksanaan Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-526/PJ/2000 Tentang pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 239/KMK.01/1996 perihal Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Rl Nomor 486/KMK.04/2000 d. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-19/PJ.53/1996 tanggal 4 Juni 1996 Perihal Pajak Pertambahan Nilai dan pajak Penjualan atas Barang Mewah dalam rangka Pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan Hibah/Dana Pinjaman Luar Negeri. e. Surat Edaran Bersama DJA. DJP dan DJBC Nomor SE-64/A/7/0596; SE32/PJ/BC/1996 tanggai 13 Mei 1996 perihal pedoman pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang'Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri.
2. PENGERTIAN.
a. Satuan Kerja adalah kegiatan yang tercantum dalam DIPA atau dokumen yang dipersamakan dengan DIPA termasuk satker yang dibiayai dengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP/Subsidiary Loan Agreement/ SLA). b. Pinjaman Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dinjpiahkan maupun dalam bentuk barang dah/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. c. Hibah Luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan /atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang tidak periu dibayar kembaii. d.
Dokumen lain yang dtpersamakan dengan DIPA adalah dokumen rencan anggaran tahunan Satker, yang ditampung dalam Daftar Isian Pelaksanaa
46
Anggaran (DtPA), Surat Pengesahan Anggaran Biaya Satker (SPAPB)| Rencana Pembiayaan Tahunan (RPT). Surat Rindan Pembiayaan Satker Perkebunan (SRP3). Rencana Anggaran Biaya (RAB). Daftar lsiani| Penerusan Pinjaman Luar Negeri (DIPPLN). Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan dokumen lain yang ditentukan oleh Menteri keuangan. I e. Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP) adalah perjanjian penerusan pinjaman antara Pemerintah Rl Cq. Departemen Keuangan dengan BUMN/BUMD/PEMDA dan dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri yang diteruspinjamkan (two step loan). f. Kontraktor Utama adalah kontraktor. konsultan dan pemasok yang berdasarkan kontrak melaksanakan kegiatan satker yang dibiayai denyan hibah atau pinjaman luar negeri, termasuk tenaga ahli dan tenaga pelatih yang dibiayai dengan hibah luar negeri. g. Kontrak adatah suatu perjanjian pengadaan barang dan jasa (KPBJ) atau naskah lainnya yang dapat disamakan, yang ditandatangani oleh Pemimpin Satker/Pejabat yang berwenang dan Kontraktor Utama.
3. PERLAKUAN PERPAJAKAN. 1) Mulai 1 April 1995 atas Pelaksanaan Satuan Kerja yang sebagian dananya dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, yang diiakukan oleh kontraktor utama diberikan fasilitas sebagai berikut: a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) atas impor Barang Kena Pajak (BKP), pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean. pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean. penyerahan BKP dan/atau JKP, tidak dipungut hanya atas bagian dari Satuan Kerja yang dananya dibiayai dan hibah atau dana pinjaman luar negeri. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak didalam Daerah Pabean yang diiakukan oleh Kontraktor Utama dari Sub Kontraktor atau pihak lain, tetap terutang PPh yang bagi kontraktor utama merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. sepanjang Barang Kena Pajak atau Jasa Kona Pajak tersebut digunakan untuk mengeriakan kegiatan satker.
b. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, ditanggung oleh Pemerintah hanya atas bagian penghasilan sehubugan dengan pelaksanaan satker yang dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri.
2) Pada tanggal 23 Juni 1998. Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 tentang Perubahan Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 yang intinya memberikan tambahan fasilitas perpajakan berupa:
a. Pajak Penghasilan ditanggung pemerintah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan, dan pemasok lapisan kedua karena pekerjaan yang diiakukan dalam rangka pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai oleh hibah.
b. Pajak penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah atas penghasilan yang diterima oleh karyawan asing yang bekerja pada
47
kontraktor. konsultan, dan pemasok (suplier) utama atas pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan satkeryang dibiayai dengan hibah.
3)
Pada tanggal 23 Juni 2000, Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000 tentang perubahan terakhir atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 yang rWpya memberikan pencabutan fasilitas perpajakan yaitu Pajak Penghasilan khususnya yang berasal untuk Satuan Kerja yang dananya dibiayai dari dana pinjaman luar negeri.
Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok utama maupun kontraktor, konsultan dan pemasok lapisan kedua dari pekerjaan yang ddakukan dalam pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan hibah luar negeri dan "ffana pinjaman luar negeri, dipungut. dipotong atau dibayar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
b. PPh yan terutung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok utama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan rangka pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan hibah luar negeri dan pinjaman luar negeri, ditanggung oleh pemerintah.
c. PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok lapisan kedua atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Satuan Kerja yang dibiayai dengan hibah luar negeri dan pinjaman luar negeri, dipungut, dipotong atau dibayar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
d. PPh Pasal 21/26 yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok utama maupun kontraktor, konsultan dan pemasok lapisan kedua atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam pelaksanaan Satuan Keria yang dibiayai dengan hibah dan pinjaman luar negeri. dipungut, dipotong atau dibayar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2000.
4). Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ.42/2001 tanggal 8 Februari 2001 ditegaskan bahwa dalam masa peralihan, untuk Satuan Kerja yang didanai dari hibah atau pinjaman luar negeri yang kontrak pekerjaan/ pengadaannya ditandatangani setelah tanggal 22 Juni 2000, Pajak Penghasilan-nya ditanggung Pemerintah sepanjang loan agreement yang telah ditandatangani oleh Pemerintah
48
sebelwn tanggal 23 Jnui 2000 dan memuat klausul bahwa Pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok ditanggung pemerintah. 5)
Pada tanggal 18 Mei 2001 Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 yang merupakan perubahan terakhir dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995- Ketentuan tereebut mencabut kembali pengenaan PPh atas penghasilan yang diterima Kontraktor, Konsultan dan Pemasok atas pelaksanaan Sahian Kerja yang didanai dari pinjaman luar negeri. Sehingga mulai tanggal 18 Mei 2001 Satker-Satuan Kerja yang didanai dari hibah maupun pinjaman luar negeri dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) apabila yang melaksanakan Satker tersebut Kontraktor, Konsultan dan Pemasok Utama.
4.
TATA CARA PEMBERIAN FASIL1TAS TIDAK CTPUNGUT PPN DAN PPnBM DAN PPh DITANGGUNG OLEH PEMERINTAH. Satuan Kerja yang dilaksanakan oleh Depertemen/Lembaga yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri yang ditampung dalam DIPA atau dokumen yang dipersamakan dengan DIPA termasuk Satker yang dibiayai dengan PPP/SLA, tatacara pemberian fasilitas perpajakan diatur dalam SE Bersama DJA.DIP.DJBC Nomor SE-64/A/71/0596. SE19/19^/1996 tanggal 13 Mei 1996 perihal Pedoman Pelaksanaan KMK Nomor 239/KMK.01/1996.
A. PENYELESAIAN PPN DAN PPh. 1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang terhutang atas pembayaran SPK/SPB/Konbak atas pelaksanaan Satker-satker yang sumber dananya berasal dari PHLN, ditanggung pemerintah. 2. PPh yang ditanggung pemerintah adalah PPh yang terhutang atas pelaksanaan Satker-satker yang dananya berasal dari Pinjaman Luar Negeri oleh badan/perusahaan yang melaksanakan: a) Pekerjaan Jasa Pemborongan b) Pekerjaan Jasa Konsultan c) Pengadaan Barang/Peralatan
B. PELAKSANAAN PPN DAN PPh DALAM PELELANGAN DAN KONTRAK. 1. Dalam Pelelangan Intemasional (ICB) harus dicantumkan secara jelas dalam dokumen pelelangan: a.
Besarnya prosentase biaya Satker yang dananya berasal dari PHLN (misalnya 70%). b. Besamya prosentase biaya Satker yang dananya berasal dari APBN Rupiah Mumi (misalnya 30%). c. PPN yang terhutang yaitu 10% dari harga yang ditawarkan. d. PPh Pasal 22 yang terhutang atas pembayaran huruf (a) yang ditanggung oleh Pemerintah Contoh adalah 1,5% x 100/110 x 70% x harga yang ditawarkan
49
d) PPh Pasal 22 yang terhutang atas pembayaran huruf *a) yang tidak ditanggung oleh pemerintah Contoh adalah: 1,5% x 100/110 x 30% x harga yang ditawarkan. 2. Dalam kontrak harus dicantumkan secara jelas: a)
Prosentase dari PHLN yang memperoteh pembayaran dari KPPN/Dir.TUA/Bank Indonesia. (misalnya 70%) b) Prosentase Dana APBN Rupiah Murni yang memperoteh Pembayaran dari KPPN setempat (misalnya30%) . c) Jumlah PPN yang terhuteng. yaitu: Contoh: 10% x 10W1 iqxNilai Kontrak. Catatan: Nilai Kontrak harus sudah termasukPPN. d) Jumlah PPh Pasa 22 yang terhutang yang ditanggung pemerintah dari porsi PHLN (misalnya 1,5% x 70% x 100/110 x Nilai Kontrak) Contoh: 1.5% x 70% x 100/110 x Nilai Kontrak. e) Jumlah PPh Pasal 22 yang terhutang. dari porsi APBN Rupiah Mum'! (misalnya 1,5% x 30% x 100/110 x NHai Kontrak) 3. Contoh Perhitungan
a). Kontrak Pemborongan/Pengadaan Barang dan Jasa (porsi PHLN 0%, Rp mumi 100%) Perhitungan terhadap Netto Nilai kontrak
Rp. 11.000.000,-
Nilai Pisik
Rp. 10.000.000,-
Terdiri dari :
Porsi PHLN (0% x Rp. 10.000.000)
Rp.
0,-
Porsi Rp Murni (100% x Rp. 10.000.000)
Rp. 10.000.000,-
Perhitungan PPN (10%)
Porsi PHLN (0% x Rp. 0,-)
Rp.
0,-
Porsi Rp Murni (100% x Rp. 10.000.000)
Rp. 1.000.000,-
Perhitungan terhadap bruto Nilai kontrak
Rp. 11.000.000,-
Nilai Pisik
Rp. 10.000.000,-
Terdiri dari :
Porsi PHLN (0% x Rp. 11.000.000)
Rp.
0,-
Porsi Rp Murni (100% x Rp. 11.000.000)
Rp. 11.000.000,-
Perhitungan PPN (10%)
Porsi PHLN (0% x Rp. 0,-)
Rp.
0,-
Porsi Rp Murni (100% x Rp. 10.000.000) (dipungut)
Rp. 1.000.000,-
50
Perhitungan PPh (PPh pasal 22)
Porsi PHLN (1,5% xRp. 0.)
Rp.
0,-
Porsi Rp Murni (1,5% x Rp. 10.000.000,0)
Rp.
150.000,-
b).
Kontrak Pemborongan/Pengadaan Barang dan Jasa (porsi PHLN 40%, Rp. Mumi.60%) Perhitungan terhadap Netto Nilai Kontrak
Rp. 11.000.000,-
Nilai Pisik
Rp. 10.000.000.-
Tediri dari: Porsi PHLN (40% x Rp. 10.000.000, Porsi Rp Mumi (60% x Rp.10.000.000.-)
Rp. Rp.
Perhitungan PPN (10%) Porsi PHLN (10%xRp. 4.000.000,-)
Rp.
4.000.000.6.000.000.-
400.000.(tidak dipungut)
Porsi Rp Mumi (10%xRp. 6.000.000,-) Rp. 600.000,(dipungut) Perhitungan PPh (PPh pasal 22) Porsi PHLN (1.5% xRp. 4.000.000,-) Rp. 60.000.Ditanggung Pemerintah Porsi Rp Mumi (1,5% x Rp. 6.000.000,-) Rp. 90.000,(dipungut)
Perhitungan terhadap Bruto NilaiKontrak
Rp. 11.000.000.-
NilaiPhisik
Rp. 10.000.000,-
Terdiridari: Porsi PHLN (40% xRp.11.000.000.Rp. Porsi Rp Murni (60% x Rp.11.000.000.-) Rp.
4.400.000,6.600.000,-
Perhitungan PPN (10%)
Porsi PHLN (10%xRp.4.400.0"00,-)
Rp. 440.000,Ditanggung Pemerintah
Porsi Rp Murni (10%xRp. 6.600.000.-) Rp. (dipungut)
660.000,-
Perhitungan PPh (PPh pasal 22)
Porsi PHLN (1,5% xRp. 4.400.000,-) Ditanggung Pemerintah
Rp.
Porsi Rp Murni (1,5% x Rp. 6.600.000,-) (dipungut)
Rp.
66.000.99.000.-
51
c). Kontrak Pemborongan/Pengadaan Barang dan Jasa (porsi PHLN 80%, Rp. murni 20%)
Perhitungan terhadap Netto NilaiKontrak
Rp. 11.000.000.-
NilaiPhisik
Rp. 10.000.000,-
Terdiridari: Porsi PHLN (80% xRp.10.000.000.Rp. Porsi Rp Murni (20% x Rp.10.000.000.-) Rp. Perhitungan PPN (10%) Porsi PHLN (10%xRp. 8.000.000,-)
Porsi Rp Mumi (10%xRp. 2.000.000,-)
8.000.000,2.000.000,-
Rp. Rp.
800.000.(tidak dipungut) 200.000,- (dipungut)
Perhitungan PPh (PPh pasal 22)
Porsi PHLN (1,5% xRp. 8.000.000,-) Pemerintah
Rp.
Porsi Rp Murni (1,5% x Rp. 2.000.000,-) (dipungut)
120.000.-Ditanggung Rp.
30.000.-
Perhitungan terhadap Bruto NilaiKontrak
Rp. 11.000.000.-
NilaiPhisik
Rp. 10.000.000,-
Terdiridari: Porsi PHLN (80% xRp.11.000.000.Rp. Porsi Rp Murni (60% x Rp.11.000.000.-) Rp.
8.800.000,6.600.000,-
Perhitungan PPN (10%)
Porsi PHLN (10%xRp.8.800.000,-)
Rp. 880.000,Ditanggung Pemerintah
Porsi Rp Murni (10%xRp. 2.200.000.-)
Rp.
220.000,- (dipungut)
Perhitungan PPh (PPh pasal 22)
Porsi PHLN (1,5% xRp. 8.800.000,-) Pemerintah
Rp.
Porsi Rp Murni (1,5% x Rp. 2.200.000,-) (dipungut)
132.000.-Ditanggung Rp.
33.000.-
d). Kontrak Pemborongan/Pengadaan Barang dan Jasa (porsi PHLN 100%, Rp. Mumi 0%) Perhitungan terhadap Netto Nilai Kontrak
Rp. 11.000.000,-
52
Nilai Phisik
RP.
10.000.000,-
Terdiri dari: Porsi PHLN (100% x Rp.10.000.000,- Rp. 10.000.000, Porsi RpMurni(0%x Rp.10.000.000,-) Rp. 0,
53
Perhitungan PPN (10%) Porsi PHLN (10% xRp. 10.000.000,-) Porsi Rp Murni (10% xRp. .000,-)
Rp. Rp.
1.000.000,-(tidak dipungut) 0,- (di dipungut)
Perhitungan PPh (PPh pasal 22)
Porsi PHLN (1,5% xRp. 10.000.000,-)
Rp.
Porsi Rp Murni (1,5% x Rp. 0,-)
Rp.
150.000.-Ditanggung Pemerintah 0.-(dipungut)
e). Porsi PHLN : Pendamping = 80% : 20% dihitung dari Bruto dengan 2 (dua) Valuta Rp.
USD
Nilai Kontrak
Rp. 11.000.000,-
550.000,-
Nilai Phisik
Rp. 10.000.000,-
500.000,-
Rp. 8.800.000,Rp. 1.200.000,-
440.000,60.000,-
Terdiri dari:
Porsi PHLN Porsi Pendamping
PPN terdiri dari
Rp. 1.000.000,-
50.000,-
PPN Porsi PHLN “tidak dipungut” PPN Porsi Pendamping “dipungut”
Rp. Rp.
44.000,6.000,-
880.000,120.000,-
f). Cara menghitung Porsi untuk mata uang Rupiah
Nilai Phisik 100/110 x Rp. 11.000.000. PPN Porsi: 80% xRp.11.000.000, PPN Porsi Pendamping (20 % x Rp. 11.000.000,-)
Rp. 10.000.000.Rp. 8.800.000.Rp. 1.200.000,-
PPN 10% xRp. 10.000.000,- = Rp. 1.000.000,- terdiri dari: Porsi PHLN : 10% xRp-8.800.000.- Rp. 880.000, Porsi Pendamping : 10% x Rp.1.200.000.-Rp. 120.000,*) PPN dari Total Nilai Phisik Kontrak porsi Rupiah
Perhitungan PPh a Porsi PHLN : 1.5% x Rp.8.800.000,Rp. 132.000,Ditanggung Pemerintah
Porsi Pendamping 1,5% xRp. 1.200.000,-
Rp. 18.000.-Dipungut
54
g) Untuk Porsi Mata Uang US Dollar Nilai Phisik 100/110 X USD 550,000 PPN Porsi PHLN (80% x USD 550,000) PPN Porsi Pendannping (20% x USD 550.000)-PPN')
USD 500.000 USD 440.000 USD 60.000
PPN 10% x USD 500.000 = USD 50,000 terdiri dari : Porsi PHLN (10% x USD 440,000) Porsi Pendamping (10% x USD 60.000)
USD 44.000 USD 6.000
*) PPN dari total Nilai Phisik Kontrak porsi Dollar Perhitungan PPh
Porsi PHLN :1.5% x USD 440,000
Porsi Pendamping 1,5% x USD 60,000
USD 6,600 Ditanggung Pemerintah USD 900 Dipungut
h) Kontrak Pemborongan/Pengadaan Barang dan Jasa porsi PHLN (dua loan) =56%: 28%: 16% Perhitungan terhadap Netto Nilai Kontrak Nilai Phisik
Rp. 51.000.000.Rp. 46.363.637,-
Terdiri dari porsi PHLN
983-1NO (56% x Rp. 46.363.637.-) 984-INO (28% x Rp. 46.363.637,-) Porsi APBD II (16% x Rp. 46.363.637,-)
Rp. 25.963.637.Rp. 12.981.818.Rp. 7.418.182,-
Perhitungan PPN (10%) porsi PHLN
983-1NO (10%xRp. 25.963.637,-) 984-INO (10%xRp. 12.981.818.-)
Rp. 2.596.363.-Tidak Dipungut Rp. 1.298.182,-Tidak Dipungut
Porsi APBD II (10%xRp. 7.418.182,-)
Rp.
741.818,-Dipungut
Rp.
389.455,-Ditanggung
Perhitungan PPh 983-INO (1,5% xRp. 25.963.637,-) Pemerintah 984-INO (1,5% xRp. 12.981.818,-)
Rp. 194.273,Ditanggung Pemerintah
Porsi APBD 11(1,5% xRp. 7.418.182,-) Rp. 11.127,-Dipungut
4. PPN atas kontrak-kontrak yang dibuat atas beban dana Non DIPA dibebankan pada Non DIPA.
55
5.
PPN yang terhutang atas kontrak-kontrak yang dananya bersumber dari APBD/APBN/INPRES DAN BLN. seluruh PPN menjadi tanggungan APBCKAPBN/INPRES Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996 tanggal 1 April 1996)
6. Tata Cara Pemungutan PPN/PPnBM dan PPh ( PP No.42 tahun 1985 dan SE80/80/71/0696.Dalafn setiap transaksi pembayaraw kontrak kepada kontraktor utama. pemungutan PPN/PPnBM dan PPh pelaksanaannya diatur sebagai berikut : a) PPN/PPnBM porsi hibah atau pinjaman luar negeri Atas porsi hibah atau pinjaman luar negeri, PPN/PPnBM tidak dipungut, sedangkan PPh ditanggung pemerintah. b) PPhMPPnBM porsi daha pendamping/rupiah mumi. Atas porsi dana pendamping/rupiah murni PPN/PPnBM dan PPh dipungut dan disetor c). Bukti pemungutan PPN/PPn BM dan PPh yang ditanggung Pemerintah: C.1. Faktur Pajak PPN/PPn BM
SATUAN KERJA HIBAH/PINJAMAN LUAR NEGERI TIDAK DIPUNGUT PPN/PPnBM Tempat Tanggal ................................ ................................. A.N. MENTERI KEUANGAN RI Cap NIP.........................................
c.1.
Faktur PPh bukti pemungutan PPh
SATUAN KERJA HIBAH/PINJAMAN LUAR NEGERI TIDAK DIPUNGUT PPN/PPnBM Tempat Tanggal ................................ ................................. A.N. MENTERI KEUANGAN RI Cap NIP.........................................
56
d. Tatacara Pembebasan Bea Masuk (BM) dan Bea Masuk Tambahan (BMT) Tatacara Pembebasan Bea Masuk (BM) dan Bea Masuk Tambahan (BMT.yang tidak dipungut pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPn BM), dan diaksanakan oleh Departemen/ Lembaga yang dibiayai oleh Hibah atau dana Bantuan Luar Negeri yang ditampung dalam DIPA atau Dokumen yang dipersamakan dengan DIPA termasuk Satker yang dibiayai dengan PPP/SLA (Surat Edaran Bersama, Direktur Jenderal Anggaran Nomor S-64/A/71/0596, Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/1996 dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-19/ BC/1996) ditetapkan sebagai berikut :
Penarikan Dana Saturn Keria yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri melalui Tatacara Letter of Credit (L/C)
a.
b.
c.
d. e.
Atas dasar DIPA ataudokumen yang dipersamakan dengan DIPA termasuk PPP/SI.A. Ka. Satker mengadakan KPBJ dengan Kontraktor Utama. Dalam hal telah ada NPPHLN, KPBJ harus memuat asal Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. tanggal dan Nomor NPPHLN. dengan dilampiri dokumen -Master List sebagaimana contoh pada Lampiran I Master List dibuat rangkap 5 (lima), ditandatangani oleh Kepala Satker dan disahkan oleh Pejabat Eseton I atau pejabat yang ditunjuk yang membawahi Satker yang bersangkutan. dengan merinci jumlah. jenis dan nilai barang yang akan diimpor yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri atau PPP/SLA dan nama pelabuhan pemasukan. Kepala Satker mengajukan permohonan pembebasan BM dan BMT dan tidak dipungut PPN dan PPn BM sena PPh ditanggung oleh Pemerintah kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.p. Direktur Pabean dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada lampiran tl, dilampiri dengan KPBJ dan Surat Persetujuan KPBJ dari BAPPENAS. sena Master List dalam rangkap 3 (tiga) Kepala Satker menyampaikan Master List kepada Kontraktor Utama sebagai bahan pembukaan L/C pada Bank Indonesia. Kepala Satker menyampaikan Master List beserta KPBJ kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Kontraktor Utama terdaftar sebagai Wajib Pajak. Apabila Kontraktor Utama belum memiliki NPWP maka Kontraktor beserta Master List tersebut disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora).
Penarikan Dana Satuan Kerja yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri melalui Tatacara Pembayaran Langsung (Direct Payment)
a. Atas dasar DIPA atau dokumen yang bersangkutan dengan DIPA termasuk PPP/SLA. Kepala Satker mengadakan KPBJ dengan Kontraktor Utama. Dalam hal telah ada NPPHLN, KPBJ harus memuat asal Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. tanggal dan nomor NPPHLN. Satu eksemplar KPBJ disampaikan oleh Kepala Satker kepada KPP dimana Kontraktor Utama terdaftar sebagai
57
Wajib pajak. Apabila Kontraktor utama belum memiliki NPWP maka KPBJ tersebut disampaikan kepada KPP Badora. b. Atas dasar KPBJ, Berita Acara Penyelesajan/Penyerahan Pekerjaan/ Barang, Berita Acara Pembayaran. dan dokumenhain yang cHpersyaralkan. Kepala Satker mengajukan Withdrawal AtipBcaticrt (WA) Aplikasi Penarikan Dana (APD) kepada pemberi Hibah/Pinjaman melalui Direktorat Jenderal Anggaran cq. Direktorat Tata Usaha Anggaran (Dit TUA) dilampiri Faktur Pajak PPN dan SSP PPh atau Bukti Pemungutan PPh ditanggung oleh Pemerintah. c. Kepala Satker meryampaikan (embar ke-2 Faktur Pajak PPN dan SSP PPh atau Buku Pemungutan PPh ditanggung oteh PemeriAtah yang diferimanya diad Oitjen. Anggaran dan Perimblingan Keuangan cq. Dit TUA kepada Kontraktor Utama. d. Dalam hal Satuan Kerja memertukan barang impor, terhadap impor barang tersebut harus dibuat Master List sebagaimana contoh lampiran I, yang penyelesaiannya lebih lanjut sesuai butir 1.b.dan e.
Penarikan Dana Satuan Keija yang dibiayai dengan Hibah/ Pinjaman Luar Negeri melalui Tatacara Pembayaran Rekening Khusus (RK) a. Atas dasar DIPA atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP tennasuk PPP/SLA Kepala Satker mengadakan KPBJ dengan Kontraktor Utama. Satu eksempter KPBJ disampaikan oleh Kepala Satker kepada KPP dimana Kontraktor Utama terdaftar sebagai Wajib Pajak. Apabila Kontraktor Utama balum memiliki NPWP, maka KPBJ tersebut disampaikan kepada KPP Badora. b. Atas dasar KPBJ, Berita Acara Penyelesaian/Penyerahan Pekerjaan/ Barang/Jasa, Berita Acara Pembayaran, dan Dokumen lain yang dipersyaratkan, Kepala Satker mengajukan SPP RK kepada Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan Cq. Dit TUA dilampiri dengan faktur Pajak PPN dan SPP PPh atau bukti pemungutan PPh ditanggung pemerintah. c. Kepala Satker menyampaikan Faktur Pajak PPN dan SSP PPh atau bukti pemungutan PPh ditanggung Pemerintah yang diterima dan Dirien Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Dit TUA dan atau KPPN kepada Kontraktor Utama. d. Dalam hal Satker memeriukan barang impor, terhadap import' barang tersebut harus dibuat Master List sebagaimana contoh lampiran I, yang penyelesaiannya lebih lanjut sesuai 1.1.b dan e serta Surat Kuasa Membayar atas Rekening Khusus (SKM RK-L/C) 7. Penyelesaian PPN dan PPh yang Terhutang atas SPK/SPB/Tagihan yang Pembayarannya melalui UP Bendahara a. PPh yang terhutang atas SPK/SPB/Tagihan sebagian dananya bersumber dari PHLN:
Bendahara mengisi formulir Bukti Pemungutan PPh pasal 22 (Porsi PHLN-nya), menandatangani dan memberi cap/stempel "DITANGGUNG PEMERINTAH''
58
Bukti pemotongan tersebut, tanpa dibukukan. selanjutnya dilampirkan pada SPPGU. dengan menggunakan "DAFTAR BUKTI PUNGUTAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH"
b. PPh yang terhutang atas SPK/SPB/Tagihan yang dananya bersumber dari Rupiah Mumi, dipotong langsung oleh Bendahara pada saat pembayaran tagihan kepada Rekanan. 8. Pemotongan PPh pasal 21 ates Honorarium. Lembur dan lain-lain a. Pada prinsipnya, sosua\ NPLN, maka PHLN tidak dibebani PPh yang terhutang. Oleh karena itu daftar pembayaran (untuk keperluan Replenlsment) tidak boleh teriihat kolom Potongan PPh. b. Meskipun demikian PPh tetap dipungut oleh Bendahara pada saat membayarkan honorarium, uang lembur dan lain-lain dengan memberikan potongan PPh pasal 21. Copy bukti potongan ini oleh Bendahara digunakan sebagai dokumen pembukuan. Jika diperlukan Bendahara dapat membuat Daftar Rekapitulasi Potongan PPh.
59