WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
Beragam pandangan dan pendapat tentang surat edaran Gubernur Sumatra Barat, tanggal 27 April 2012, yang secara eksplisit menyebutkan tentang batas waktu (dua bulan) untuk bersiap siaga menghadapi gempa di megathrust Mentawai adalah hal yang patut diapresiasi dan dijelaskan kepada masyarakat. Salah satu informasi yang cukup mencerahkan dan diharapkan menjadi perhatian bagi public adalah tulisan Badrul Mustafa, pada Teras Utama, Harian Padang Eskpres, Jum’at, 18 Mei 2012 di bawah judul Dampak Gempa Simeulue 11-04-2012.
Pemikiran dan argument yang dibangun dari artikel tersebut cukup kuat memberikan keyakinan bagi masyarakat awam bahwa ternyata teori tentang gempa itu tidak satu. Ada banyak kemungkinan dan teori para ahli tentang bagaimana dan seberapa kuat gempa dengan segala kemungkinan yang mengikutinya, termasuk terjadi atau tidaknya tsunami mengikuti gempa itu, adalah hal yang harus dipahami sebagai bahagian dari relativitasnya ilmu. Lebih dari itu, pendapat pakar gempa, meskipun didasarkan pada penelitian yang akurasinya cukup tinggi, karena sudah memenuhi kaidah-kaidah metodologi ilmiah, namun sekali lagi itu tetap juga hasil ilmu pengetahuan yang relative.
Pernyataan ….. para pakar cukup heran dengan kejadian …. Jarang-jarang gempa intraplate terjadi dua kali ditempat berdekatan, ini adalah bentuk lain bahwa keilmuan yang tersedia belum memberikan kepastian tentang fenomena gempa ini. Namun, itu bukan berarti soal gempa dapat dianggap enteng dan menyerah pasrah pada takdir saja. Ketidakpastiaan sumber, kapan dan situasi apa yang akan terjadi bila gempa datang mestinya dijadikan tantangan ilmiah dan iman untuk tetap kokoh menghadapi keadaan yang akan terjadi.
Himbauan Pemerintah, pakar dan kalangan ilmuan tentang perlu upaya-upaya serius mewaspadai dan mitigasi dampak gempa adalah merupakan hal yang perlu ditindaklanjuti oleh masyarakat. Masyarakat diminta untuk tidak mudah mengeluarkan pendapat atau pandangan
1/7
WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
jika tidak memiliki kapasitas keilmuan yang cukup. Begitu juga sebaiknya tidaklah elok jika soal-soal manusiawi dan alami ini terus digiring kepada pemahaman keagamaan (teologis) saj a. Bukankah manusia sudah diberikan akal, pikiran dan budi untuk mengusai dan mengurusi alam semesta. Cara cerdas untuk mendidik diri, keluarga dan masyarakat menghadapi bahaya adalah melalui pengenalan keilmuannya dan memantapkan sikap batin (iman) bahwa Allah SWT selalu melindungi hamba-Nya.
MEMBERDAYAKAN NALAR IKHTIAR
Belum begitu banyak perubahan prilaku dan pola pikir masyarakat dalam meresponi terjadinya gempa. Suasana kepanikan, kemacetan dan kegelisahan disaat ada musibah adalah hal yang alami dan manusiawi. Masih ada diantara masyarakat yang belum cerdas menyikapi kondisi pasca gempa. Aneh, dan sulit dijelaskan ada beberapa keluarga masih memaksakan diri mengungsi padahal mereka sudah berada di zona aman. Pembelajaran dan pelatihan mitigasi gempa masih belum cukup baik kesannya di memori masyarakat. Ketika gempa berakhir sering muncul pandangan dan sikap keberagamaan seseorang, yang jika dikaji tentu berpangkal pada nalar yang dimiliki. Ada mereka yang dengan sigap mengemukan pikiran sederhanya dan berkata ini adalah kehendak yang Maha Kuasa, siapapun tidak akan dapat lari dari musibah ini, maka hendaklah diterima dengan sabar dan tawakal. Disamping itu ada pula pendapat cerdas yang menyimpulkan bukankah manusia diwajibkan untuk memelihara diri dan menghormati hidup, manusia dapat aktif menentukan hidupnya sendiri oleh karenanya hendaklah lari dari bahaya yang akan menimpa.
Perbedaan pandangan keagamaan terhadap gempa menjadi factor menentukan dalam sikap dan pola pikir dalam menghadap bahaya (baca tsunami) pasca gempa. Dalam pemahaman teologi Islam ada dua kutub pandangan teologis – jabariyah cendrung pasrah dan qadariyah lebih dekat pada progresif - yang cukup besar pengaruhnya dalam menentukan respon umat beriman terhadap apapun jua, termasuk meresponi bahaya gempa.
Menurut paham Qadariyah atau free will dan free act adalah manusia bebas berkeinginan dan berkehendak. Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan kehendaknya, dalam istilah Inggrisnya, paham ini dikenal dengan nama
2/7
WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
free will dan free act (manusia bebas berkeinginan dan berkehendak). [1] Menurut Qadariyah manusia memilki kehendak dan kemerdekaan dalam menentukan hidupnya. [2] Qadariyah mempunyai pandangan bahwa kebebasan dan kekuatan dalam mewujudkan perbuatan tergantung pada manusia itu sendiri. [3]
Menurut aliran Qadariyah, tatkala Allah memerintahkan hamba-NYA untuk melaksanakan perintah dan larangan, Allah tidak mengetahui siapa di antara mereka yang akan mentaati-NYA dan siapa yang akan mendurhakai-NYA. Allah juga tidak tahu siapa yang akan masuk sorga dan siapa yang akan masuk neraka sampai hamba-hambaNYA beramal. [4] Qadariyah berkeyakinan perbuatan-perbuatan manusia terwujud karena kekuasaan manusia sendiri, dengan pilihannya sendiri dan atas kehendaknya sendiri. Qadariyah mengatakan bahwa manusia tidak selamanya terkait pada ketentuan Allah semata, tetapi harus disertai dengan upaya dan usaha untuk menentukan nasibnya. [5]
Bila dicermati secara sederhana paham qadariyah itu cendrung pada liberal dalam berfikir, namun dalam realitasnya paham ini lebih menegaskan perlunya memaksimalkan nalar ikhtiar (pilihan-pilihan cerdas), yaitu ilmu pengetahuan yang tinggi untuk mengatasi masalah kehidupan. Masalah kehidupan tidak selalu dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan ilmiah, atau setidak-tidaknya tetap saja ada relativitas pada temuan ilmiah, akan tetapi usaha maksimal harus lebih diutamakan sebelum sampai final sebuah keadaan.
TAWAKAL SEBAGAI BENTENG JIWA
Sisi lain yang harus didikan adalah meneguhkan iman dalam menghadapi cobaan. Operasional
3/7
WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
meneguhkan iman dalam setiap ancaman kehidupan dapat dipakai konsep tawakal. Tawakal sama asal katanya dengan wakil dapat diartikan sebagai bentuk mewakilkan ancaman itu pada yang Maha Kuasa. Manusia tidak boleh merasa sendiri, tanpa penolong setiap kali ada musibah yang akan atau sedang menimpanya, selalu ada Allah. Yang harus dijaga dan diingatkan dalam memahami tawakal ini adalah ketika tawakal itu dimengerti sebagai kepasrahan. Menjadikan pengertian tawakal dalam makna pasrah, menyerah pada nasib, tidak berbuat maksimal, menjadikan segala peristiwa yang akan terjadi sepenuhnya kehendak Allah adalah pemahaman keagamaan yang salah kaprah.
Mereka yang memiliki pemahaman pasrah dan menyerah dalam kajian teologi Islam dinamakan jabariyah. Kata Jabariyah berasal dari kata ?????? yang mengandung arti “memaksa” atau ? ????? yang mengandung arti “terpaksa”. [6] Al-Syahrastani menyebutkan bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya ( nafy’ al-fi’lan al-‘abd haqiqoh) dan menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. [7] . Sedangkan menurut Ahmad Mahmud Subhi bahwa aliran Jabariyah mempunyai pandangan bahwa manusia berada dalam posisi lemah, tidak memiliki kemampuan untuk menentukan perbuatan dan mewujudkan kemauannya. [8]
Dalam pemahaman kaum jabariyah, bahwa segala sesuatu yang terjadi bukanlah atas kehendak manusia itu sendiri, akan tetapi perbuatan itu terjadi atau terlaksana adalah atas kekuasaan Allah semata. Seumpama terbit dan terbenamnya matahari, pahala dan siksa. Dalam hal ini manusia bagaikan kapas, kemana angin bertiup kesanalah kapas pergi. Allah akan memperbuat sesuatu adalah atas kehendak, karena kekuasaan dan kemutlakan-NYA dalam berbuat. [9] Paham Jabariyah sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Adapun kehidupan Bangsa Arab yang dilingkungi oleh gurun yang gersang dan tandus memberikan pengaruh besar ke dalam tata cara hidup mereka. [10] Ketergantungan mereka terhadap alam yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Sehingganya sikap ini berkembang menjadi karakter dan mendominasi pemikiran mereka. Dalam situasi demikian mereka tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan sendiri. Mereka merasa lemah dan tak kuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Akibatnya sikap fatalis [11] lebih banyak membuat mereka bergantung pada kehendak alam. [12]
4/7
WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah SAW, menyuruh umat Islam beriman kepada taqdir, tetapi beliau mencegah mereka membicarakannya secara mendalam, [13] yang jelas dalam kerangka taqdir Tuhan (yakni hukum sebab akibat), maka rangkaian qadar-qadar yang baik merupakan jalan mendaki yang lurus menuju sorga, sedang rangkaian qadar-qadar yang buruk merupakan jalan menurun yang membelok menuju neraka. [14]
Pada masa sahabat (Khulafa’ al-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. [15] Diceritakan dalam suatu riwayat yang masyhur bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah bertanya kepada seorang pencuri yang dihadapkan kepadanya: “Mengapa kamu mencuri?” Lalu ia menjawab:”Allah telah menetapkan perbuatan tersebut atas saya sejak azali”. Riwayat ini menunjukkan bahwa masalah qadha dan qadar merupakan masalah yang pertama dipersoalkan. Khalifah Umar bin Khattab menghukum pencuri itu karena menafsirkan perbuatannya itu dengan pemahaman yang salah, sehingga dia berani menisbahkan kepada Allah perbuatan mencuri yang dilakukan. [16]
Paham jabariyah sebagaimana di atas pada dasarnya berbeda sekali dengan tawakal. Jabariyah adalah paham dari orang-orang yang kalah atau cepat menyerah kalah pada tantangan dan masalah kehidupan. Tak terkecuali terhadap waspada gempa. Kita patut berterima kasih atas peringatan waspada, karena itu akan membuat orang menjalankan nalar ikhtiar dan tawakal secara seimbang. Waspada gempa dapat dilakukan dengan mempelajari cara mitigasi yang cepat dan tepat, apakah harus pilih cara horizontal- lari ketempat tinggi, atau memilih vertical, naik ketempat tinggi seperti selter. Keteguhan batin bahwa kewajiban manusia adalah berusaha maksimal dan pada akhirnya tawakal dan takdir yang akan menyudahinya. Selamat untuk hidup cerdas nalar ikhtiar, teguh iman dan tawakal.ds.amboI.4.18052012.
[1] Alkhendra, Op. Cit, h. 41
[2] Yahya Jaya, Op. Cit, h. 138
5/7
WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
[3] Yahya Zurkani, Teologi al-Ghazali, Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 26-27
[4] Abu Ammar dan Abu al-Faith al-Adnani, Mizanul Muslim, (Mediterania: Solo, Cordova, tt), h. 186
[5] http://multazimah.blogsome.com/2007/02/23/aliran-pemikiran/
[6] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 164
[7] Al-Syarastaniy, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Darul Fikr, tt), h. 83
[8] Ahmad Mahmud Subhi, al-Falsafah al-Akhlaqiyah Fi Fikr al Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), h. 156
[9] Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 59-60
[10] Muhammad Abu Zahra, al-Mazahib al-Islamiyah, (Mesir: Maktabah al-Adab, tt), h. 52
[11] Paham fatalis adalah suatu paham yang menganut bahwa segala sesuatu terjadi menurut nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi (pasrah). Manusia tidaklah memiliki andil dalam perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
[12] Ahmad Aimin, Fajr al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969), h. 283
6/7
WASPADA GEMPA; NALAR, IKHTIAR, DAN TAWAKAL Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. Sabtu, 09 Juni 2012 23:53
[13] Qadar tuhan tidak di bahas secara mendalam, alasannya adalah karena tidak semua hal bisa dijadikan publik oleh Allah kepada umatnya dan Allah tidak ingin membuat umatnya menjadi rumit.
[14] Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2001), h. 197
[15] Duskiman Sa’ad, Aliran dalam Islam: Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian Teologi Islam , (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 38
[16] Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1997), h. 20
7/7