BAB II KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Kecerdasan Emosional 1. Definisi Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk menjinakkan emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seseorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.1 Orang
dengan keterampilan emosional yang berkembang baik
kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka, orang yang
tidak
dapat
menghimpun
emosionalnya
akan
mengalami
1
kendali pertarungan
tertentu
atas
kehidupan
batin
yang
merampas
M. Darwis Hude, Emosi, Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Alquran (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. viii-ix.
18
19
kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih.2 2. Komponen Kecerdasan Emosional Daniel
Goleman
mengutip
Salovey
menempatkan
kecerdasan
pribadi dardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya kemampuan
dan utama
memperluas yaitu:
kemampuan
mengenali
emosi
tersebut diri,
menjadi
mengelola
lima emosi,
memotivasi diri sendiri, membina hubungan. a. Mengenali emosi diri Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih entang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pemngambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. b. Mengelola emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang
buruk
kemampuannya
dalam
keterampilan
menghibur
diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan akan
2
terus
menerus
bertarung
melawan
kemurungan,
sementara
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ, terjemahan T. Hermya, Cetakan ke-9 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm.. 48.
20
mereka yang pintar dapat bangit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. c. Memotivasi diri sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan berkreasi. Kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan
dan
mengendalikan
dorongan
keberhasilan dalam berbagai bidang.
hati
adalah
landasan
Orang-orang yang memiliki
keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. d. Mengenali emosi orang lain Empati merupakan
kemampuan
yang
juga
bergantung
pada
kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul. Orang yang empatik
lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. e. Membina hubungan Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola keterampilan
emosi
orang
lain.
ini
akan
sukses
Orang-orang dalam
yang
bidang
mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain. 3
3
Ibid., hlm. 58-59.
hebat
dalam
apapun
yang
21
B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Kata pendidikan dalam bahasa Indonesia berasal dari suku kata “didik” dengan diberi awalan “pe” dan akhiran “an”, yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan mulanya berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogie” yang berarti memberikan bimbingan kepada anak. Kemudian istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan.4 Dalam wacana ke-Islaman, pendidikan lebih sering disebut dengan istilah ta’dib, ta’lim, tarbiyah. a. Ta‟dib Istilah ta’dib berasar dari akar kata addaba yuaddibu ta’diiban yang artinya antara lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik. Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.5 Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta’dib yang seakar dengan adab
4
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, terjemahan Irfan Salim, Cetakan ke-III (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 3. 5
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 4-5.
22
memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diperoleh melalui pendidikan. 6 b. Ta‟lim Istilah ta’lim berasal dari kata dasar “allama” yang berarti mengajar dan menjadikan yakin dan mengetahui. Penggunaannya dalam pengajaran, si pengajar berusaha memindahkan ilmunya kepada yang diajar atau belajar dengan jalan membentangkan, memaparkan, dan menjelaskan isi pengetahuan atau ilmu yang diajarkan. 7 Ta’lim merupakan kata benda buatan (masdar) yang berasal dari akar kata allama. Para pakar menerjemahkan istilah ta’lim dengan pengajaran. Kalimat “allamahu ‘ilm” memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya. Pengajaran lebih condong kepada aspek kognitif seperti pengajaran atau transfer ilmu mata pelajaran Matematika, Fisika, dan sebagainya.8 c. Tarbiyah Abd.
Halim
Soebahar
yang
dikutip
Muntahibun
Nafis
menyatakan bahwa dalam mu’jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar bahasa9 , yaitu: 1) Rabba,
yarbu,
tarbiyah: yang
memiliki arti “tambah” dan
“berkembang”. Tarbiyah merupakan proses menumbuhkan dan 6
M. Utsman Najati, op.cit., hlm. 3-4.
7
Ibid., hlm. 8.
8
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 18-19. 9
M. Utsman Najati, op.cit. hlm. 12-13.
23
mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik, baik fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. 2) Rabba, yurbi, tarbiyah: yang bermakna “tumbuh” dan menjadi besar atau dewasa. Artinya pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. 3) Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki, menguasai memberi menjaga
urusan, makan,
memlihara mengasuh,
dan tuan,
merawat, memiliki,
memperindah, mengatur,
dan
kelestarian maupun eksistensinya. Artinya, pendidikan
merupakan usaha memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengatur kehidupan peserta didik supaya ia dapat bertahan hidup lebih baik dalam kehidupannya. Secara terminologi, pengertian pendidikan Islam cukup beraneka ragam dan bermacam-macam yang telah dinyatakan oleh para pakar pendidikan Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan konsep yaitu: “sekiranya kita ditanya, apakah pendidikan itu?, maka dapat dikemukakan sebuah jawaban sederhana: pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia”.10 Sedangkan
dalam
pandangan
Muhammad
Athiyah
al-Abrasyi,
pendidikan Islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencitai tanah air, tegap
10
Ibid., hlm. 21.
24
jasmaninya,
sempurna
akhlaknya,
teratur
pikirannya,
mahir
dalam
pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan maupun tulisan. Sedangkan menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.11
2. Tujuan Pendidikan Islam a. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam Pandangan
objective
oriented
(berorientasi
pada
tujuan)
mengajarkan bahwa tugas guru bukanlah sekedar menyampaikan materi,
mengajarkan
ilmu
dan
kecakapan-kecakapan
tertentu,
melainkan juga merealisir atau mencapai suatu tujuan pendidikan. Zakiah Darajat berpendapat bahwa tujuan pendidikan itu sendiri adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan H. M. Arifin berpendapat bahwa tujuan itu bisa jadi menunjukkan futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapak kecuali dengan usaha dengan melalui proses tertentu.12 Tujuan merupakan sasaran ataupun arah yang hendak dituju yang memberikan arah dan pedoman terhadap segala aktifitas atau kegiatan pendidikan yang dilaksanakan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah standar usaha yang telah ditentukan sebagai pengarah usaha 11
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 4.
12
Ibid., hlm. 57-58.
25
yang akan dilaksanakan dan menjadi titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha supaya kegiatan apat berfokus pada apa yang dicita-citakan dan dapat memberikan evaluasi atau penilaian terhadap kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan
sebagai
usaha
pendidikan.
Tujuan
pendidikan
merupakan suatu keseluruhan kepribadian manusia yang mencakup seluruh
aspek
kehidupan.
Sehingga Abrasy berpendapat melalui
syairnya: “setiap sesuatu mempunyai tujuan yang diusahakan untuk dicapai, seseorang bebas menjadikan pencapaian tujuan pada taraf yang paling tinggi”.13 T.S. Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu, tujuannya
harus
diambil
dari
pandangan
hidup,
sehingga
jika
pendidikan tersebut adalah pendidikan Islam, maka rumusan tujuan pendidikannya haruslah diambil dari pandangan Islam pula. 14 Pada dasarnya, pendidikan Islam sejalan dengan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi
nilai-nilai
akhlak
sehingga
mencapai
pada
tingkat
akhlakul karimah. Selain itu juga ada dua sasaran penting dalam pendidikan
Islam
yaitu
mencapai
kebahagiaan
di
dunia
dan
kesejahteraan di akhirat. Hal ini merupakan nilai lebih dan menjadi pembeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan yang lain. 15
13
Abdul Mujib,dan Jusuf Mudzakir, op.cit., hlm. 71.
14
Ramayulis, op.cit., hlm.24.
15
M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm. 58-59.
26
Para ahli pendidikan Islam belum memiliki kesepakatan dalam merumuskan tujuan pendidikan secara bulat. Di antara rumusanrumusan tujuan pendidikan Islam oleh Imam Ghazali yaitu: insan paripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, dan insan paripurnya yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ibnu
Khaldun
memberikan
pendapatnya
bahwa
tujuan
pendidikan Islam ada dua yaitu: (1) Tujuan keagamaan, berupa beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya karena telah melaksanakan hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepdanya, (2) Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu tujuan kemanfaatan duia atau persiapan untuk hidup di dunia. Al-Attas menghendaki bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Sedangkan Marimba
berpendapat
bahwa
tujuan
pendidikan
Islam
adalah
terbentuknya orang yang berkepribadian muslim. 16 Diakui bahwa orang yang betul-betul menerima keseluruhan citacita ideal yang terdapat di dalam al-Quran.. Peningkatan
jiwa dari
kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata, dan melaksanakan moralitas Islami yang telah diteladankan ke dalam tingkah laku dan sepak terjang kehidupan Nabi Muhammad SAW merupakan bagian pokok dalam tujuan umum pendidikan.17 Pendidikan akan mencapai tujuannya jika nilai-nilai humanis masuk dalam diri peserta didiknya.
16 17
Ibid., hlm.61-62.
Abdurrahnan Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidik an Berdasarkan Al Quran, terjemahan Arifin dan Zainuddin (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 141.
27
Peserta didik akan mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar agar bermanfaat bagi sesama.18 Dari seluruh formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, M. Abdul Mujib
yang
dikutip
Muntahibun
Nafis,
menyimpulkan
tujuan
pendidikan Islam adalah bahwa terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjelaskan tugastugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi. Dalam versi Thalhah Hasan, terminologi insan kamil desebut dengan insan kaffah dengan persyaratan adanya tiga dimensi19 , yaitu: 1) Dimensi religius, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang mengandung
berbagai misteri yang tidak
dapat direduksikan
kepada faktor materi saja. Dengan demikian manusia dapat dicegah menjadi robot yang diprogram secara determinitis, akan tetapi manusia
tetap
martabatnya.
memiliki
kepribadian
dan
kebebasan
akan
Cara mengangkatnya adalah dengan memberikan
nilai spiritual yang karenanya manusia memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. 2) Dimensi budaya. Dalam dimensi ini, manusia mendapatkan dasar untuk mempertahankan kepribadiannya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan framentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia.
18
Novan Ardy Widyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm.26. 19
M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm. 67-68.
28
3) Dimensi ilmiah, mendorong manusia bersifat obyektif dan realitis dalam menghadapi tantangan zaman, sehingga terbina tingkah laku secara
kritis
dan
rasional,
serta
berusaha
mengembangkan
keterampilan dan kreatifitas berpikir.
b. Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam Manusia dalam kehidupannya akan selalu terbatasi oleh ruang dan waktu. Sehingga dalam merumuskan tujuan pendidikan tidak dapat melampaui batas-batas kehidupan tersebut. Perumusan tujuan pendidikan menekankan perhatiannya pada keadaan psikis serta lingkungan di mana ia berada. Konsekuensinya, perumusan tujuan pendidikan akan menjadi terbuka dan berjenjang atau bertahap. Terbuka berarti rumusan tujuan tersebut bisa diperluas, sedangkan berjenjang
berarti
rumusan
tujuan
insidental, instrumental, maupun mental.
disesuaikan
dengan
tuntutan
20
Dari uraian di atas, Muntahibun Nafis membagi tahap-tahap tujuan pendidikan Islam dalam empat tahapan21 , yaitu: 1) Tujuan umum, yaitu tujuan yang hendak dicapai dari seluruh tahap kegiatan pendidikan. Tujuan ini harus meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, kebiasaan, dan pandangan. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus tergambar
20
Abd. Halim Soebahar, op.cit., hlm. 68.
21
M. Muntahibun Nafis, op.cit.., hlm. 69-71.
29
pada pribadi seseorang yang terdidik, walaupun dalam ukuran yang rendah. 2) Tujuan akhir, yaitu tujuan yang ingin dicapai pada akhir hidup manusia,
karena pendidikan Islam berlangsung sejak manusia
dilahirkan hingga akhir hayatnya. Misalnya tujuan umum yang berupa insan kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun. Oleh karenanya, tujuan pendidikan Islam yang telah dicapai harus selalu dipupuk, dikembangkan, dipelihara, setidaktidaknya dipertahankan, agar tidak luntur atau berkurang, meskipun dengan pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan formal.22 Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan. Insan kamil yang mati dan akan menghadap tuhannya merupakan tujuan akhir dari peoses pendidikan Islam.23 3) Tujuan sementara, ialah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik
diberi sejumlah
pengalaman
yang
direncanakan
dalam
kurikulum pendidikan formal. Tujuan sementara ini merupakan tujuan
yang
hendak
dicapai pada tingkat-tingkat pendidikan
formal, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi.
22 23
hlm. 31.
Ibid., hlm. 70. Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, cetakan kesebelas (Jakarta: Bumi Aksara, 2014),
30
4) Tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang dicapai peserta didik setelah
mengalami
beberapa
kegiatan
pendidikan.
Tujuan
operasional merupakan tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik mendapatkan satu unit kegiatan pendidikan dengan bahanbahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan. 24
3. Pendidik dalam Pendidikan Islam a. Definisi Pendidik dalam Pendidikan Islam Pendidik dalam konteks Islam sering disebut dengan murabbi, mu’allim, dan mu’addib. Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi, kata „allama berasal dari kata „allama, yu’allimu, sedangkan kata muaddib berasal dari kata addaba, yuaddibu.25 Menurut hakekatnya
Ramayulis, adalah
pendidik
orang
yang
dalam bertanggung
pendidikan jawab
Islam terhadap
perkembangan peserta didik dengan mengupayakan potensi yang ada pada peserta didik baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dalam ungkapan Moh.
Fadhil al-Jamali,
pendidik
adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, sehingga terangkat derajatnya dengan kemampuan dasar yang dimiliki manusia. Sedangkan Marimba mengakatan bahwa pendidik
24
M. Muntahibun Nafis, op.cit.., hlm. 70-71.
25
Ibid., hlm. 84-85.
31
adalah orang dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik.26 Pendidik berarti pula orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada peserta didiknya dalam mengembangkan jasmani dan rohaninya, agar mencapai kedewasaan dan mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, serta berperan sebagai makhluk sosial maupun sebagai individu. Muntahibun Nafis mengutip
pendapat Abdul Mujib bahwa
pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang menyerahkan tanggung jawab adalah agama, wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa. Ini berarti pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang karena tanggung jawabnya atas pendidikan. 27 Pendidik dalam lembaga pendidikan seperti di sekolah disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah, atau sekolah sejak dari guru taman kanak-kanak, guru sekolah dasar, guru sekolah menengah, dan sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya.28 b. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam 26
Ramayulis, op.cit., hlm.85.
27
M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm. 85-86.
28
Ibid., hlm.85-88.
32
Dalam pandangan tugas
yang
utama
al-Ghazali, yaitu
seorang
pendidik
menyempurnakan,
mempunyai
membersihkan,
mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan pada dasarnya tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah yang kemudian realisasinya adalah kesalehan sosial dalam masyarakat di sekitarnya. Dari sini dapat dikatakan kesuksesan pendidik adalah ketika peserta didiknya telah dapat mengaktualisasi perpaduan antara iman, ilmu dan amal saleh setelah mengalami sejumlah proses belajar.29 Abdurrahman an-Nahlawy menyebutkan tugas pendidik yaitu: Pertama, berfungsi penyucian, yaitu bahwa pendidik berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah peserta didik. Kedua, berfungsi pengajaran, yakni pendidik bertugas menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agara kepada peserta didik.30 Dalam paradigma Jawa, pendidik sering disebut dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan “dugugu” (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai karena ia memiliki pengalaman yang luas dalam melihat kehidupan. Dan dikatakan “ditiru” (diikuti) karena guru merupakan seseorang yang memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya tingkah lakunya 29
Ibid., hlm.90.
30
Ramayulis, op.cit., hlm. 88.
33
dapat dijadikan suri tauladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar mentransformasikan ilmu tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta didik.31 Tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar.32 Kadang
kala
seseorang
terjebak
dalam sebutan pendidik,
misalnya ada orang yang mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan kepada orang lain sudah dikategorikan sebagai seorang pendidik. Padahal tugas pendidik bukan hanya dalam hal itu saja, tetapi juga bertanggung jawab
mengelola (sebagai manager of
learning), mengarahkan (director of learning), memfasilitasi, dan merencanakan (the planner of future society) dan mendesain program yang akan dijalankan dengan baik dari sini tugas dan fungsi pendidik dapat disimpulkan dengan33 : 1) Sebagai pengajar
(intruksional),
yang
bertugas
merencanakan
program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilaksanakan. 2) Sebagai pendidik, yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian mulia seiring dengan tujuan Allah menciptakannya. 31
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., hlm. 90.
32
Munardji, op.cit., hlm.63.
33
M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm. 91-93.
34
3) Sebagai pemimpin, yang memimpin, yang mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai
masalah
yang
menyangkut
upaya
pengarahan,
pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
c. Syarat dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam Kode etik merupakan norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Bentuk kode etik suatu lembaga
tidak
harus
sama,
namun
secara
intrinsik
mempunyai
kesamaan konten yang berlaku secara umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik. 34 Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik dengan 17 bagian35 , yaitu: 1) Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah. 2) Bersikap penyantun dan penyayang. 3) Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak. 4) Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesama. 5) Bersifat merendah ketika menyatu denga sekelompok masyarakat. 6) Menghilangkan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia. 34
Ibid., hlm. 96.
35
Ibid., hlm. 96-97
35
7) Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQnya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal. 8) Menghilangkan sifat marah. 9) Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya. 10) Meninggalkan sifat yang menakutkan para peserta didik yang belum memahaminya. 11) Berusaha
memperlihatkan
pernyataan-pernyataan
peserta
didik
walaupun pernyataan itu tidak bermutu. 12) Menerima kebenaran dari peserta didik yang membantahnya. 13) Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik. 14) Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan. 15) Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus menerus mencari informasi untuk disampaikan kepada peserta didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah. 16) Mencegah
peserta
didik
mempelajari
ilmu
fardlu
kifayah
( kewajiban kolektif seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi, dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardlu „ain (kewajiban individual seperti aqidah, syari‟ah, dan akhlak).
36
17) Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada peserta didik. Ramayulis
berpendapat
mengenai
syarat
pendidik,
yaitu:
beriman, bertaqwa, ikhlas, berakhlak, berkepribadian yang integral (terpadu),
bertanggung
jawab,
cakap,
keteladanan,
memiliki
kompetensi kependidikan yang mencakup: kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi dalam metode dan pendekatan dalam pendidikan.36
4. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam a. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam Peserta didik merupakan “raw material” (bahan mentah) di dalam proses transformasi yang disebut pendidikan. Peserta didik berbeda dengan komponen lainnya dalam sistem pendidikan karena peserta didik ini merupakan material setengah jadi, karena memang dalam Islam peserta didik memiliki sebuah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah. Sedangkan kompoen pendidikan lain dapat dirumuskan dan disusun sesuai dengan keadaan fasilitas dan kebutuhan yang ada. 37 Membicarakan peserta didik, sesungguhnya kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai
pandangan
yang
berda
terhadap
manusia.
Aliran
psikoanalisis beranggapan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya 36
Ramayulis, op.cit., hlm. 37-45.
37
M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm. 118.
37
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu. Manusia tidak bebas untuk menentukan nasibnya, sebab tingkah laku manusia semata-mata digerakkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Aliran humanistik beranggapan bahwa manusia senantiasa dalam proses untuk wujud, namun tidak pernah selesai dan tidak
pernah sempurna.
Tingkah laku manusia digerakkan oleh
dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun oleh rasa tanggung jawab
sosial
dan
kebutuhan
unguk
mencapai sesuatu.
Aliran
behaviorisme beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia ditentukan oleh lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan lingkungannya. Hubungan interaksi itu diatur oleh hukum-hukum belajar, pembiasaan dan peniruan. 38
b. Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan peserta didik dalam proses belajar, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Al-Ghazali merumuskan
sebelas pokok kode etik peserta didik39 , yaitu: 1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-harinya peserta didik dituntut 38
Ramayulis, op.cit., hlm. 48-49.
39
M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm.130-132.
38
untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendan dan dari watak yang tercela dan mengisinya dengan akhlak yang terpuji. 2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya belajar bukan semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah dan manusia. 3) Bersikap tawadlu’, sekalipun ia cerdas, tetapi juga harus bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikannya, termasuk bijak kepada teman-temannya yang IQnya lebih rendah. 4) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar. 5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi. 6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar atau mulai dari ilmu yang fardlu ‘ain hingga ilmu yang fardlu kifayah. 7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih ada ilmu yang lainnya,
sehingga
peserta
didik
memiliki
spesifikasi
ilmu
pengetahuan secara mendalam. 8) Megenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga masalah.
mendatangkan
objektivitas
dalam memandang
suatu
39
9) Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah, sebelum memasuki ilmu duniawi. 10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat. 11) Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya.