Mentari Senja Sebuah novel roman ala Drama Korea – terinspirasi Drama Goong Juli 2013 Penulis: Rika Setiati
Pengantar Penulis Pada saat istirahat dari pekerjaannya, penulis senantiasa meluangkan waktu untuk menghibur diri dengan menonton drama-drama yang tak memerlukan fungsi intelektual lebih jauh untuk menikmatinya. Apalagi kalau bukan drama Korea tertentu yang berbau dongeng, dramatis ala anak remaja, namun bisa membuat sisi dramatis keperempuanan penulis tersentuh. Banyak juga tertawa sekaligus mengeluarkan air mata ala bawang Bombay. Ketika melihat sebuah drama berjudul Goong, penulis merasa kesal dengan tokoh perempuannya yang amat kekanakan dan lemaaaaah betul. Tentunya itu juga yang membuat drama ini mendapatkan perhatian dari konsumen golongan remaja. Jadi, penulis memiliki ide untuk membuat novel sendiri yang konteksnya mirip dengan Goong. Dimana, Korea dikhayalkan sebagai negara kerajaan. Sisa ceritanya, tentu berbeda. Dengan demikian, mari berkhayal, Indonesia masih merupakan negara kerajaan dengan situasi zaman yang sama dengan sekarang. Namun, bedanya, Indonesia dikatakan negara maju setara Inggris. Apapun kata sejarah dan kenyataan, mari berkhayal dan mengubah sejarah dengan imajinasi kita. Seperti apakah kisah yang akan dituturkan di dalamnya? Mari membaca khayalan saya ini. Semoga bisa menghibur.
Penulis 30 Juli 2013
Table of Contents
2|Mentari Senja
Titah Raja Angkasa I Indonesia mampu mempertahankan sistem kerajaan, karena darah dan kecerdasan yang mengalir di dalam keluarga Raja sangatlah kuat. Raja Indonesia mampu memimpin wilayah kepulauan dengan mengikuti perkembangan zaman. Dengan kecerdasannya, Raja mampu menahan pemberontakan dari setiap pulau dengan mengijinkan para bangsawan di setiap kepulauan mengembangkan kerajaan sendiri. Mereka bebas mengembangkan sistem pemerintahan sesuai dengan adat istiadat yang telah ada dari jaman dahulu. Namun juga meminta mereka terbuka dengan perkembangan zaman. Kekuasaan mutlak tetap dipegang kerajaan utama Indonesia. Zaman berubah dan makin bergerak ke arah kemudahan. Di era kapitalisasi dan gaya hidup instant ini, generasi muda keluarga kerajaan mulai terpengaruh oleh kemalasan dan kesenangan hidup dipenuhi kemewahan. Kondisi ini memang bisa diantisipasi di era tahun 90an. Namun kini, di era tahun 2000an, kekhawatiran pihak kerajaan juga rakyat negeri ini makin meningkat tatkala satu-satunya ahli waris, Pangeran Samudera, menampilkan banyak skandal dari sejak berumur 17 tahun. Kenakalan remaja, perkelahian di bar-bar, hubungan seksual dengan banyak perempuan, seperti tak henti mengalir dipublikasikan media masa. Pihak kerajaan selalu sibuk melakukan pembenaran dan konferensi pers berulang kali dengan sikapnya itu. Tak ada yang berubah dalam diri pangeran bengal ini. Sampai kemudian, dengan terpaksa, Raja Angkasa menyekolahkannya ke luar negeri. Sesuatu yang sebenarnya amat dihindari oleh beliau. Di masa ini, rumor tak lagi ramai. Namun ingatan rakyat dan jajaran parlemen tentang skandal ini tentunya tak juga mudah dihapuskan. Raja Angkasa II menyadari hal ini. Menjelang 3 bulan kepulangan anaknya, Raja merasa lebih gelisah dari biasanya. Semua kejadian ini, tak luput dari pengamatan Raja Angkasa I, Ayahanda Raja Angkasa II. Raja Angkasa I yang kini sudah berusia 70 tahun dan masih terlihat bugar ini, adalah Raja yang amat terkenal dengan kebijaksanaan dan kekuatan berpikirnya. Karismanya dalam memimpin negara, baik di dalam negeri, maupun luar negeri, sangat termahsyur. Keputusan-keputusannya sering di luar dugaan dan tak tertangkap dengan baik oleh jajaran pemerintahan dan rakyatnya, namun kenyataannya, keputusannya bisa memecahkan masalah dengan sangat cepat. Terutama saat menangani pemberontakan dan krisis ekonomi negara. Sesuatu yang sulit ditiru oleh anaknya, Raja Angkasa II. Raja Angkasa I sangat menyayangi cucunya dan mengamati perkembangannya dari sejak kecil. Di tengah kesibukannya, dia selalu meluangkan waktu bermain dengan cucunya itu. Namun, saat skandal-skandal muncul, dia tak banyak memberikan nasihat apa-apa. Biasanya hanya tersenyum atau tertawa walau dia tahu anaknya cemas luar biasa. Dia menunggu. Menunggu saatnya tiba untuk mengambil langkah. 3|Mentari Senja
Kini, baginya, waktu itu telah tiba. “Ayahanda, ada apakah sampai Anda sengaja datang ke Istana dengan tiba-tiba? Jika Ayahanda mengabari lebih awal, tentunya Hamba bisa meminta petugas kerajaan untuk menjemput Ayahanda dari Gunung Salak”, tanya Raja Angkasa II saat mereka sudah ada di ruangan pribadi keluarga. “Anakku, aura kegelisahanmu tampaknya membumbung ke udara memenuhi warna Jakarta akhir-akhir ini, hehehe”, jawab Raja Angkasa I sambil terkekeh. “Eh?”, Raja Angkasa II tampak sedikit kaget. “Walau aku sudah menyepi menikmati masa pensiunku di Gunung Salak, tapi aku masihlah ayahmu. Ayahmu yang tahu betul apa yang dirasakan anaknya. Aku tahu kegelisahanmu menyambut kedatangan Samudera. Cucu kesayanganku yang amat sangat bengal itu, hehehe”, jawab Raja Angkasa I sambil tetap terkekeh. “Ampun Ayahanda. Maafkan sudah merepotkan...” “Anakku, namanya Samudera Angkasa. Laut dan langit menjadi satu dalam dirinya. Justru aku mungkin akan sangat heran jika dia tidak menampilkan sisi-sisi ekstrimnya. Aku paham betul dengan keunikannya. Aku lah yang memberinya nama. Dan kini tiba saatnya aku harus menyampaikan solusi yang mungkin belum kau pikirkan sama sekali. Sekarang dia sudah menginjak usia 25 tahun pastinya. Dia harus dinikahkan, dengan calon pilihanku saat dia menginjak usia 27 tahun nanti.”, ucap Raja Angkasa I dengan tenang. Raja Angkasa II menatap tak percaya dengan ucapan Ayahandanya. “A..Ayahanda! Ampunkan Hamba. Hamba tak mengerti hubungan antara perilakunya dengan pernikahan!”, Raja Angkasa II tak mampu menyembunyikan keheranannya. “Hahahaha! Sudah kubilang bukan? Kau pasti tak mengerti. Bumi, anakku, Samudera membutuhkan keseimbangan. Itulah mengapa perilakunya sangat ekstrim. Bahkan mungkin dia sendiri belum mengerti mengenai dirinya. Dia, cucu kesayanganku itu, memiliki potensi yang amat besar dalam memimpin negara ini. Bahkan mungkin jauh melampauimu, melampauiku. Istrimu, Ratu Selasih, memiliki rahim yang luar biasa berharga. Sangat berharga hingga dia hanya bisa melahirkan satu anak saja. Anugerah yang diberikan Sang Hyang pada kita semua. Samudera memiliki bakat menjadi Raja yang luar biasa. Yang belum diketahui semua orang. Zaman sudah berubah anakku. Persaingan bebas. Modernisasi. Kapitalisasi. Apakah bisa kita yang tua-tua ini menghadapi perubahan zaman yang drastis seperti ini setelah masuk era komputerisasi? Internet? Negeri ini, melalui keluarga kita dari sejak zaman nenek moyang, telah ditakdirkan mempertahankan sistem kerajaan. Tak mungkin bertahan hingga sekarang jika ini bukan takdir. Bukan?” “Ya, Ayahanda” “Dan Samudera lahir juga tumbuh di era perubahan ini. Hingga kita dipusingkan dengan perilaku-perilakunya. Namun jika dilihat dari sisi lain, bukankah begitu juga dengan perkembangan alami zaman? Banyak yang tak terduga. Dan, mengenai skandal ini, apakah iya skandal Samudera yang menimbulkan perpecahan? Ataukah skandal dia yang justru 4|Mentari Senja
memunculkan konflik tersembunyi dari kelompok opisisi yang tampaknya sekarang makin membesar?” Raja Angkasa II terperangah dengan pertanyaan retorik ini. Pertanyaan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Namun dia hanya bisa terdiam. “Ya, aku akui, dia lebih banyak memunculkan sisi negatifnya daripada sisi positifnya. Maka dari itu, dia memerlukan pasangan yang sepadan. Segera. Jika tidak, dia sendiri akan tumbuh kuat tanpa hati yang mendasar. Akan banyak pemberontakan dari kerajaan-kerajaan di pulau-pulau. Yang kulihat bibitnya bermunculan sekarang ini. Rumor berkembang. Bercampur dengan rasa tamak para bangsawan dan raja-raja kecil di sekeliling. Kau tahu sendiri, aku orang seperti apa. Banyak keputusanku yang tak bisa ditangkap nalar. Namun kemudian terbukti berhasil mengatasi masalah. Sehingga, aku datang sekarang. Dan demi tanah air. Demi rakyat negeri ini. Ini permintaan terakhirku padamu. Kau, harus menyetujui keputusanku”, ucap Raja Angkasa I dengan tegas dan dalam. Anaknya merasa, ketika Ayahandanya mengatakan itu, karismanya yang sudah lama tak nampak kini memenuhi ruangan. Raja Angkasa sadar, keputusan aneh itu, tak bisa diganggu gugat. Walau nalarnya tak mengerti, hatinya terasa mendadak tenang. Hening sesaat. “Ayahanda, Hamba akui, memang Hamba sudah tak memiliki cara di dalam kepala Hamba yang sempit ini untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan anak Hamba. Hamba, akan mengikuti keputusan Ayahanda. Hamba, tak akan mempertanyakan keputusan itu. Namun, bolehkan Hamba tahu, siapakah calon pilihan yang Ayahanda telah persiapkan itu?”, tanya Raja Angkasa II terus terang. “Hahaha...pertanyaan menarik. Dari sejak umur Samudera menginjak 7 tahun, aku telah menghitung dengan baik anakku. Kau akan kaget juga dengan pilihanku. Dan aku tak hendak bercerita banyak. Biar kau tahu sendiri. Sekertarisku akan menyerahkan profilnya padamu, juga garis besar skenarionya. Tapi catat ini baik-baik. Hanya kau dan istrimu yang boleh tahu ini sebelum aku menyampaikannya pada Rapat Keluarga Kerajaan nanti. Setibanya Samudera di Indonesia tentunya. Rahasiakan ini baik-baik. Karena aku tahu, jika ini bocor, akan terjadi kehebohan luar biasa. Selain itu, aku pun masih perlu mengkaji beberapa kemungkinan”. Dan pembicaraan serius itu pun ditutup. Raja Angkasa I meluangkan waktu mendengarkan anaknya bercerita tentang situasi terkini sebelum dia pamit kembali ke tempat peristirahatannya. *** Raja Angkasa II banyak memikirkan pembicaraannya dengan Ayahandanya seminggu lalu sebelum dia memutuskan memberitahu istrinya. Raja melihat sendiri, apa yang dikatakan ayahnya tak dapat dipungkiri. Semenjak skandal-skandal itu, pro kontra bermunculan menentang keputusan-keputusannya. Membuatnya tak bisa tegas. Membuatnya merasa semakin lemah menjadi Raja. Skandal-skandal yang dimunculkan anaknya seolah membuka kenyataan pada dunia bahwa dia adalah Raja yang lemah.
5|Mentari Senja
Dengan pemikiran baru itu, Raja Angkasa II menjadi semakin menyadari, bahwa dia hanya punya kepatuhan pada ayahnya. Apalagi, akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya semakin sering terganggu. Walaupun, dia masih tetap tak bisa memahami bagaimana ayahnya memilih calon menantunya. Walaupun, rasanya sangat semakin tidak masuk akal saat dia mengetahui profil menantunya, dia tetap harus patuh. Karena dia memang tak mampu memikirkan cara lain. Dan karena kata-kata ayahnya membuatnya merasa tenang. “Apa? Bagaimana bisa Baginda Sepuh menentukan pernikahan dan memilihkan calon istri Ananda Samudera dengan serta merta seperti ini?”, Ratu Selasih tak kalah kaget saat dia diajak bicara mengenai masalah ini secara pribadi. Raja Angkasa II sudah mengantisipasi kekagetan ini sebelumnya. Dengan sabar, dia ceritakan secara mendetail mengenai percakapannya dengan ayahnya. Ratu Selasih mendengarkan baik-baik cerita itu. Walau hatinya kaget, dia tahu betul siapa dan bagaimana karakter mertuanya. Dia sangat mengagumi segala tentangnya. “Nah, Ratuku, aku selalu percaya dengan nalurimu. Sesuai amanat Baginda Sepuh, coba kau lihat foto calon menantu kita ini tanpa melihat dulu segala tektek bengek keterangan mengenai latar belakangnya. Aku selalu kagum dengan nalurimu yang peka dan tajam. Tolong lihat baik-baik. Dan sampaikan padaku apa yang muncul dalam hatimu”, ucap Raja Angkasa II dengan lembut. Dengan patuh, Ratu Selasih membuka amplop coklat yang diperlihatkan padanya. Dia melihat ke arah foto dengan tatapan sungguh-sungguh. Dan tiba-tiba dia menangis. Reaksi yang tak diduga oleh Raja Angkasa II. “Eh, Ratuku? Ada apa?”, tanya Raja kaget. “Ahhh, maafkan Hamba, Paduka. Maafkan reaksi Hamba yang berlebihan ini. Hamba tak bisa menahannya. Dia, dia adalah gadis yang sering muncul dalam mimpi Hamba belakangan ini. Dalam mimpi, dia selalu mengajak Hamba berjalan dan bermainmain. Hamba tak mengerti sebelumnya. Kini...kini Hamba tahu makna mimpi ini. Hamba, Paduka, setuju dengan Baginda Sepuh. Hamba akan mengikuti keputusannya. Walau terus terang, nalar Hamba benar-benar buta saat ini”, ucap Ratu Selasih dengan masih terisak. “Ahhh, syukurlah...syukurlah... Dan tolong rahasiakan ini istriku. Aku tahu, kau penjaga rahasia terbaik yang pernah aku temui. Namun, tetap aku harus menyampaikan amanat Baginda Sepuh kepadamu juga. Hingga Rapat Besar nanti. Baginda Sepuh sendiri yang akan menyampaikan ini”, ucap Raja Angkasa II dengan lega. ***
Mentari Pertiwi Raya
6|Mentari Senja
Setahun yang lalu... Kota Parahyangan yang merupakan ibukota Kerajaan Pajajaran masa sekarang kini sudah semakin metropolitan. Kota ini terkenal dengan kecantikan alam, bunga-bunga, dan kecantikan perempuannya. Banyak pendatang dari luar kerajaan selalu jatuh hati untuk kemudian tinggal. Termasuk seorang perempuan muda yang datang dari salah satu kampung di pegunungan wilayah timur. Dia datang ke kota Parahyangan berbekal bea siswa untuk kuliahnya, 5 tahun lalu. Hidup sendirian di kawasan yang terhitung kumuh karena kemampuan ekonominya yang sangat terbatas. Menghabiskan waktu kuliah di siang hari dengan tekun dan bekerja sampingan sana-sini di sore atau malam hari untuk menyambung hidup. Di saat teman-teman perempuan seusianya menghabiskan waktu senggang untuk jalan-jalan ke mall-mall, dia sibuk dengan pesan antar makanan dari restoran fast food yang mau memperkerjakannya. Di saat yang lain sibuk berdandan untuk mencari teman kencan, dia sibuk memberikan les privat ke rumah-rumah yang memerlukan jasanya. Baginya, waktu istirahat hanyalah ketika dia tidur 5 jam hari di tempat kosnya yang sempit dan waktu dia belajar di universitas negeri yang menerimanya. Tak ada keluarga tempat dia bisa berkeluh kesah karena ayah dan ibunya telah meninggal oleh kecelakaan di saat dia berumur 2 tahun. Kakeknya yang merawatnya dan mendidiknya juga memutuskan hidup di kampungnya dan memintanya untuk fokus kuliah dan bekerja di kota Parahyangan. Tak ada telepon genggam yang mereka punya untuk saling berhubungan. Hanya saat Lebaran saja mereka bisa saling bertemu. Hidup di bawah asuhan Kakeknya dari sejak umur 2 tahun dan tiadanya figur perempuan terdekat dalam kehidupannya, membuat sisi maskulinitasnya lebih banyak tumbuh dari pada sisi feminimnya. Saat dia menstruasi untuk pertama kali, dia menangis tanpa tahu harus mengadu kepada siapa. Beruntungnya, ada tetangga dekat yang memperhatikan dan sempat mengasuhnya ketika dia masih balita dulu yang bisa sedikit memberi arahan. Yang dia tahu saat menghadapi kejahilan anak-anak lelaki adalah menyerang balik dengan sikap yang sama. Seperti yang diajarkan kakeknya dengan ilmu bela diri tradisional yang sesekali diikutinya. Ketika di masa puber dia mulai menyukai lawan jenis, yang dia bisa hanyalah menyembunyikannya dengan rapi dan mengikuti insting menuliskan perasaannya di dalam buku tulis hadiah yang dia terima setiap kenaikan kelas. Hanya urusan bersih bersih rumah dan memasak yang membuatnya punya ruang sedikit untuk menumbuhkan sisi feminim. Kehidupan baginya, selalu memberikan banyak hal pahit. Ada beberapa kejadian yang cukup kelam yang dia rasakan. Dia sembunyikan jauh di dasar hatinya. Menangisinya? Sudah percuma karena air mata tak bisa mengubah apa-apa. Beberapa kali dia merasa ingin menghilang dari dunia namun beberapa kali juga sesuatu dari hidup membuatnya mampu bertahan. Banyak hal dalam kehidupan membuatnya mampu berdiri kembali. Bea siswa yang tiba-tiba ditawarkan karena dia adalah anak tercerdas di sekolahnya, saat dia sudah tak mampu berpikir mau darimana dia bisa mendapatkan uang untuk kuliah. Cita-cita yang sangat dia inginkan untuk bisa memperbaiki taraf ekonomi kehidupannya dan kakeknya. Pekerjaan sampingan yang ditawarkan dari sekedar ngobrol dengan salah seorang 7|Mentari Senja
pengantar makanan saat dia sudah tak makan selama 3 hari berturut-turut karena tak punya uang lagi. Kebaikan hati dosennya memberikan fotokopi buku gratis saat dia sudah sulit meluangkan waktu untuk membaca di perpustakaan saat masa-masa ujian. Dari setiap kejadian itu, dari setiap keputusasaan yang dia rasakan, dia menjadi lebih mensyukuri kemampuannya untuk bertahan. Bertahan untuk tidak menyimpang dari jalan yang dia tempuh. Banyak dari teman-teman seangkatannya yang tergiur dengan kehidupan mewah dan memilih jalan singkat untuk kemudian menjual diri. Meraup uang dengan begitu mudah dalam waktu sekejap karena tak mampu menahan godaan. Dan dia bersyukur, harga dirinya menahannya untuk melakukan itu. Tentunya ini tak luput dari didikan kakeknya. Yang selalu menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan keseimbangan sebagai fondasi menjalani hidup. Dia pun jadi memiliki kawan senasib yang menghiburnya dengan sekedar bercanda atau menghabiskan waktu makan nasi bungkus bersama. Namun demikian, setiap kesusahan datang, karena dia tahu bagaimana perihnya, dia menutupnya rapat-rapat agar tak diketahui oleh teman-temannya. Toh itu pun percuma. Pada akhirnya mereka hanya bisa sekedar berbagi cerita dan tak ada yang berubah setelahnya. Mentari Pertiwi Raya, namanya, berharap kehidupannya bisa berubah setelah kuliah selesai dalam 1-2 bulan lagi. Dia akan berusaha lebih keras untuk bisa bekerja di tempat yang layak. Yang bisa memberinya gaji cukup dengan mengandalkan kecerdasannya. Dia berdoa tiap malam agar di tengah banyaknya pengangguran dan kerasnya kehidupan di kota Parahyangan dia bisa lolos dan mendapatkan pekerjaan tetap. Dia tidak tahu, bahwa selama ini, sebagian besar dari penyelamat hidupnya, dikendalikan oleh seseorang yang tak pernah dia bayangkan. Dia tidak tahu, salah satu buktinya sampai ke telinganya sore itu. “Hey, Tari, dari tahu kulihat kamu melamuuuun saja”, goda Pak Tole, pemilik warteg pinggir kampus, “Melamun apa sih kamu?” “Ahahaha, iya Pak... Melamunkan bisa bekerja di perusahaan yang keren dan bergaji banyak”, jawab Tari sambil tersenyum. “Ah ya ya ya, baguslah kamu punya cita-cita. Eh, Prof. Bagja, tumben ke sini soresore?”, Pak Tole melihat ke arah pintu. “Iya, Pak...Nah, kebetulan ada Tari”, balas Prof. Bagja sambil tersenyum lebar. “Eh, Prof. “, Tari berdiri sambil sedikit membungkuk sebagai rasa hormat. “Tari, besok kamu ada waktu kosong tidak?”, tanya Prof. Bagja sambil segera duduk di kursi yang semeja dengan Tari. “Ummm, ada tapi mungkin hanya 2 jam setelah saya bimbingan terakhir Prof. Kenapa?”, jawab perempuan itu sambil penasaran. “Ada perusahaan BUMK (Badan Usaha Milik Kerajaan) yang datang pada saya tadi. Minta daftar mahasiswa berprestasi yang kurang mampu dan meminta mahasiswa-
8|Mentari Senja
mahasiswa itu di tes IQ dan beberapa tes kemampuan akademik terkait. Bagi yang paling memenuhi syarat, akan langsung diterima bekerja di perusahaan itu”, kata Prof. Bagja. “Oh ya? Wah! Apakah saya termasuk dalam daftar itu?”, Tari melonjak senang. “Iya dong” “Whoaaaaaa! Dengar itu Pak Tole! Doa saya mungkin terkabul”, Tari berjingkrak senang. “Hush!!! Tenang Tari, kan belum pasti terpilih. Jangan terlalu senang dulu”, ucap Prof. Bagja kalem. “Ahahaha! Iya ya?! Tapi saya senang sekali walau baru mendengar informasinya. Setidaknya, saya punya kesempatan Pak” “Ya, ya, ya, benar juga. Oke, sampai bertemu besok”, ucap Prof. Bagja sambil langsung pamit. Mendengar kabar itu, Mentari merasa dunia terlihat lebih cerah dan indah. Hari itu dia menyelesaikan kegiatannya dengan perasaan riang. Singkat cerita, bersama 30an mahasiswa lainnya, Mentari mengikuti pengetesan. “Apa? 140? Dengan tes akademik sangat memuaskan?”, ketua analisa hasil tes terperangah. Segera, dia menghubungi seseorang setelah mendapatkan profil pengetesan hari itu. “Hahahaha.. Sudah kuduga! Oke, kirim ke saya profilnya via pos dan jangan pernah membuat kopinya”, ucap suara di balik telepon. “Ya, Paduka. Laksanakan”, ucap ketua analisa dengan patuh *** Kini.... BUMK Telekomunikasi ini adalah salah satu perusahaan yang paling kuat yang dikelola langsung oleh pihak Kerajaan Indonesia. Mayoritas pemegang kekuasaan adalah anggota terdekat keluarga kerajaan dan kerabat para pemegang kuasa di parlemen. Dengan nuansa nepotisme yang kuat seperti ini, para pekerja yang tidak berdarah biru dan tidak terkait dengan keluarga pemerintah tak pernah bisa menempati jabatan yang tinggi. Hanya bisa menempati jabatan Asisten atau Teknisi. Padahal mereka adalah justru yang menjadi otak dari majunya perusahaan ini. Termasuk Mentari, yang telah diterima dan bekerja setelah dia lulus wisuda Sarjana hampir setahun lalu. Ide-ide Mentari dan teman-temannya yang senasib banyak sekali ditolak saat rapat perusahaan, namun kemudian digunakan dengan atas nama para Manager yang ada di atas mereka. Namun karena sistem dikuasai hampir 80% oleh mereka, para pekerja keras dan briliant ini tidak bisa apa-apa. Pernah ada seorang staff yang protes dan dalam hitungan jam, staff itu dipecat secara tidak hormat.
9|Mentari Senja
Mentari, yang baru saja mendapatkan kelegaan secara finansial, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Walaupun teman-temannya yang senasib banyak yang bergosip dan mengeluh diam-diam, dia hanya menjadi pendengar saja. Dengan posisi Asisten Advertising dan mendapatkan gaji Rp10.000.000/bulan saja baginya sudah lebih dari cukup. Dia sudah bisa membelikan telepon genggam buat kakeknya dan untuk dirinya, juga sudah bisa menabung sedikit demi sedikit saja sudah merupakan rejeki besar buatnya. Karena Mentari tidak banyak bicara dan dengan patuh menyelesaikan tugasnya, atasannya tak pernah mempermasalahkan apa-apa. Sampai kemudian baru beberapa bulan bekerja, atasannya berganti pun, masihlah sama. Atasannya yang sekarang, yang baru 3 bulan menjabat, bernama Friska Dinata, bangsawan cantik yang hampir seusia dirinya merasa nyaman dan tidak terganggu. Selain itu, Friska sendiri termasuk bangsawan yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan segala macam hasrat menguasai dan mencapai jabatan tertentu. “Mentari, apa kau bisa menemaniku jalan-jalan ke mall sore ini?”, tanya Friska dengan muka bosan. “Eh, tapi saya harus lembur Bu. Saya kan harus menyelesaikan presentasi buat besok yang Ibu minta”, jawab Mentari ragu. “Presentasi? Ahhh ya, presentasi! Ah, itu kan jam 4 sore jadwalnya. Kamu bisa kerjakan itu besok kan?”, Friska mulai setengah merajuk. “Tapi besok dari jam 9 pagi sampai jam 2 sore bukannya kita harus kunjungan ke perusahaan cabang dan vendor di daerah Bu?”, Mentari mengingatkan. “Ahhhh.. itu kan mudah dibatalkan. Aku batalkan itu. Lusa kita masih bisa lakukan kunjungan membosankan itu. Aku butuh teman sore ini. Arghhhhh...benar-benar menyebalkan rasa kesepian itu! Oke, deal ya! Kita akan jalan-jalan sore ini!”, ucap Friska dengan enteng. Mentari yang tidak tahu harus berbuat apa hanya mengangguk patuh. *** Pembicaraan itu rupanya terdengar oleh salah satu asisten dari bidang lain yang mencuri dengar di balik pintu. Yang paling suka dengan kegiatan ini adalah Dini. Asisten HRD yang sudah bekerja selama 7 tahun dan sangat pandai melakukan pembenaran bahwa menguping pembicaraan orang merupakan bagian dari tugasnya. Saat istirahat, Dini langsung menarik Mentari ke pojokan kantin pekerja kelas bawah. “Psssstttt! Tari, sini!”, bisiknya sambil menarik lengan Mentari. Yang ditarik kaget dan tak kuasa menolak. “Aduh, Aduh, Mbak Dini! Ada apa?” “Aku dengar tadi kamu diajak Bu Friska jalan-jalan ke mall? Benarkah?”, ucap Dini sambil bisik-bisik dan duduk di samping Mentari. “Eh? Bagaimana Mbak Dini bisa tahu itu?”, Mentari kaget. 10 | M e n t a r i S e n j a
“Psssttt! Jawab saja. Benar tidak?”, tanyanya makin memaksa. “Iya”, jawab Mentari singkat. “Whoaaaaaaaaaa!!! Kamu beruntung sekali punya bos seperti Bu Friska. Dia kok mau ya mengajak bawahannya jalan-jalan? Wah aku tak menyangka Bangsawan seperti dia bisa serta merta berpikir seperti itu! Cantik, baik, dan cuek lagi orangnya!”, Mbak Dini menerawang dengan mata terkagum-kagum. “Ummm...Mbak, jadi menyeret-nyeret saya sekarang ini hanya untuk tanya itu?”, tanya Mentari polos. “Eh? Iya dong! Aku kan harus cek dan mericek informasi. Daaaan...boleh tidak minta Bosmu untuk mengajakku?”, Dini menatap dengan pandangan memohon. “Eh? Waduh Mbak... Bagaimana ya? Saya tidak berani Mbak”, jawab Mentari. “Aaaahhh gampang kok! Ayo, bilang saja aku minta diajak. Ayolaaaaah plissssss”, Dini semakin merajuk dan memeluk Mentari dengan erat. Mentari, yang tak biasa dipaksa dengan cara akrab seperti itu menjadi rikuh. Dia dulu juga punya teman saat kuliah, tapi mereka jarang sekali dengan terbuka memperlihatkan sikap penuh afeksi seperti layaknya Mbak Dini. Tak ragu melakukan kontak fisik dan tak ragu memeluk dirinya dengan kehangatan yang tak ditutupi. “Euu..mmm, oke, oke Mbak.. Nanti aku bilang ya.. Nanti aku kabari Mbak lagi lewat sms”, jawab Mentari rikuh. “Aiiiiiihhhh!!! Kamu ini, ternyata betul dugaanku, manissss dan baiiiiik walau terlihat dingin dan berjarak!”, Dini berteriak sumringah dengan memeluk Mentari lebih erat, sampai beberapa orang menengok ke arah mereka. Ketika dengan ragu Mentari menyampaikan keinginan Dini dengan alasan Dini adalah teman dekatnya, tanpa ragu Friska menyambut ide itu dan mengijinkan Dini ikut. ***
Pertemuan Tak Terduga Sore itu, tanpa berganti pakaian, Mentari langsung bergegas mengikuti Friska, disertai Dini yang tak kunjung berhenti tersenyum senang. Berbeda dengan Mentari, Dini, sudah berganti pakaian dan memakai make up. Walau usianya jauh di atas Friska dan Mentari, tampaknya Dini merasa dalam dirinya, dia seusia dengan mereka. Jeans yang dipakainya tampak dipaksakan dan sesak dengan blouse ringan berbunga-bunga. Friska tak bisa menahan senyum melihat perilaku perempuan ber-kepala 3 yang masih single itu. “Tari, kamu tidak bawa baju ganti kah?”, tanya Friska setelah ada di dalam mobil Ferari-nya dan mulai menyetir. “Umm..tidak Bu”, jawab Mentari dengan canggung.
11 | M e n t a r i S e n j a
“Tari itu memang tidak pernah jalan-jalan sehabis kerja Bu. Selalu saja dia langsung pulang”, Mbak Dini dengan heboh menambahkan. Friska tertawa melihat bagaimana ekspresi Mbak Dini dibalik kaca spion. “Ahhh..memang tampaknya Mentari ini terlalu serius. Baru 3 bulan aku menjadi atasannya, sudah langsung terlihat kalau dia tertutup, kaku, dan tak banyak hura-hura. Oke, kalau begitu, kita ke rumah dulu. Aku tak mau ditemani dengan orang yang masih memakai baju kerja seperti ini”, ujar Friska sambil tersenyum kecil. Dikomentari seperti itu, Mentari tersenyum canggung, tak tahu harus mengatakan apa. Saat mereka tiba di sebuah rumah Friska, tak henti-henti Mbak Dini berseru heboh melihat kemewahan yang terhampar di depannya. Rumah itu besar sekali dengan halaman yang sangat luas dan tertata dengan baik. Beberapa pelayan tampak melakukan pekerjaannya masing-masing. Pemandangan yang biasa terlihat di televisi, film, dan dramadrama. Rumah itu berlantai dua dengan pilar-pilar megah. Di ruangan tamu, terpasang lukisan-lukisan besar dan beberapa patung pualam yang dipajang di tempat-tempat yang pas. Megah. Elegan. Namun sepi dan hening. Memasuki rumah seperti itu, baru pertama kali buat Mentari. Dia merasa begitu kecil dan terasing secara mendadak. Dengan rikuh, dia berjalan mengikuti Friska menuju kamarnya. “Nah, ini kamarku. Masuklah”, dengan santai Friska membuka pintu kamar dan melempar tasnya ke atas kasur besar. “Whoaaaa! Bu, rumahnya besar sekali dan bahkan kamarnya juga!”, Dini berseru tanpa malu. Mentari bersyukur wanita ini bisa ikut karena dia dengan mudah bisa bersembunyi dibalik kehebohannya. “Ahahah! Ya, besar memang”, jawab Friska ringan sambil tersenyum. Dengan santai dia membuka pakaiannya dan memilih-milih baju dengan hanya menggunakan celana dalam dan bra. Mentari dan Dini menjadi canggung melihat sikap yang blak-blakkan seperti itu. Mereka saling menatap heran dan berusaha menahan komentar. “Kenapa jadi diam? Hahaha..pasti kalian tidak biasa ya melihat seorang putri bangsawan bisa hampir bugil begini tanpa malu? Kalian santai saja. Aku mungkin salah seorang putri bangsawan aneh yang baru kalian temui”, jawab Friska santai sambil mengenakan baju yang dia pilih. Gaun di atas lutut bermotif bunga yang makin mengeluarkan kecantikan dan kelangsingan tubuhnya. “Ah iya Bu Friska. Ini baru pertama kali saya bertemu dengan tipe putri bangsawan seperti Anda”, mendadak Dini berbicara lebih sopan. “Berapa tahun sudah bekerja di BUMK telkom ini Bu?”, tanya Friska sambil mengancingkan gaunnya. Menyebut Dini dengan panggilan Bu, membuat Dini makin terlihat serba salah. Tak pernah kalangan Manager menyebutnya dengan panggilan Bu. “Eh..7 tahun Bu”, jawab Dini sambil mencubit paha Mentari tiba-tiba. Yang dicubit mengernyit kesakitan sekaligus heran dengan reaksi gugup teman sekerjanya itu. “Ahhhh...7 tahun ya.. Dan atasanmu tak pernah mengajak jalan-jalan atau ke rumahnya? Untuk sekedar menghadiri pesta ulang tahun atau pernikahan contohnya?”, tanya Friska heran sambil berjalan mendekat. “Eh?? Ah, tidak tentu saja Bu...Baru..I..bu Friska saja yang seperti ini”, jawab Dini semakin rikuh. “Ahahahahahaha! Begitu ya? Whoaaa, baiklah... menarik sekali bagaimana status dan starta sosial bisa mengHambat orang untuk bergaul ya? Oh well, but that’s other Bu. Aku tidak demikian. Jadi biasakan saja. Nah, Tari, ayo sini”, lagi-lagi dengan ringan Friska menjawab dan bergerak menarik tangan Mentari. Yang ditarik patuh dengan rikuh. 12 | M e n t a r i S e n j a
“Hmmm... ukuranmu tampaknya hampir sama denganku. Coba kau kenakan yang ini dan ini”, Friska memberikan sebuah leging dan blouse setengah paha berbahan kaos. Dengan patuh, Mentari mengambil pilihan baju itu. Dia menuju kamar mandi dan mengganti baju kerjanya di sana. “Bu, orang tua Ibu kemana, kok rumah sepi sekali?”, tanya Dini mengisi kekosongan waktu saat Mentari ganti baju. “Orang tuaku? Sangat jarang ada di rumah ini. Mereka banyak di Jakarta. Sekarang ini sih sedang ke Korea Selatan mengurus merger begitulah”, jawab Friska dengan nada sedikit sedih. “Oh... Ibu tinggal sendiri dong di sini?” “Hampir selalu sendirian Bu...” “Ahh...”, Dini menyesali bertanya spontan karena dia jadi kehilangan kata-kata setelah mendengar jawaban terbuka dari Friska. “Santai saja Bu, aku senang kok ada yang mau bertanya seperti itu”, Friska tersenyum sambil mengelus pundak Dini pelan. Klik. “Tuh kan betul! Pas sekali bajunya. Oke! Kita siap berangkat! Lets go girl! Lets have fun!”, seru Friska senang. Walaupun awalnya Mentari merasa rikuh memakai baju pinjaman atasannya, karena bahannya nyaman dan tak terlalu mencolok, dia bisa dengan cepat beradaptasi. Dan terbantu oleh Dini, Mentari menjadi lebih mudah berkomunikasi walau dia hanya menimpali sedikit-sedikit. Friska mengajak mereka berjalan-jalan ke mall besar dan sibuk memilih-milih barang. Tampaknya, gadis itu pun tak punya tujuan khusus karena hanya 2 baju yang dia beli itu pun harus dicoba oleh Dini dan Mentari. Bagi Mentari, ini pertama kali dia memasuki mall besar seperti itu. Mall yang hanya bisa dia pandangi dari kejauhan sebagai bagian penghias kota. Tak pernah tertarik untuk masuk karena dia juga tak mampu membeli barang-barang mahal yang ada di dalamnya. Kini, dia bisa melihat mengapa orang senang menghabiskan waktu mereka. Display-display yang menarik, lampu-lampu terang, suasana mewah, adalah tempat istirahat bagi beberapa orang. Tempat pengalihan dari kehidupan carut marut di luar sana. Di sini, mata orang dimanjakan dengan kehidupan modern. Citra gaya hidup masa kini terpampang jelas di sana. Setelah menghabiskan waktu 2 jam yang tidak terasa, tiba-tiba panggilan telepon memecah perhatian Friska. “Ya, Ronald! Oh ya? Wah serius?! Whoaaaa ini berita bagus! Oke, aku ke sana dengan 2 temanku. Book tempat yang paling oke ya?! Sip! See youuuu, dear!”. “Nah, girls! Siapa untuk sesi berikutnya?”, tanya Friska ke arah Mentari dan Dini. “Eh, sesi berikutnya?”, Dini terperangah. “Iya, sesi berikutnya adalah menikmati tampilan musik band temanku di kafe di Dago atas”, jawab Friska penuh semangat. “Eh? Tapi Bu, ini sudah hampir jam 8 malam”, kali ini Mentari yang bicara. Ada sedikit enggan timbul di hatinya. “Aaaaah...Tariiiii, ayolaaaaaaaah..sampai jam 11 aja oke?! Aku antar nanti pulangnya! Oke?”, Friska merajuk manja sambil memegang kedua tangan Mentari. “Emmm...tapi Bu”, Mentari mendadak ragu melihat reaksi atasannya itu. “Ayolah Tari, kapan lagi? Eh, tapi ini tanggal tua Bu. Dan saya tidak bawa banyak uang”, Dini lain lagi reaksinya. “Aku traktir karena aku yang ajak, oke?! Plissss Tariiiii..Musiknya musik jazz lho, kereeeen!”, rajuk Friska lagi. 13 | M e n t a r i S e n j a
Dan, Mentari dengan pasrah mengangguk. Melihat reaksi itu, Dini dan Friska berseru girang. *** Kafe itu terletak jauh ke atas hampir mendekati perbatasan dengan Lembang. Sedikit masuk ke dalam sebuah cabang jalan dari jalan utama. Tampaknya, kafe ini memang kafe khusus yang dibangun untuk kalangan tertentu. Dini sendiri, yang lebih banyak bergaul dibanding Mentari, tak tahu ada sebuah kafe terpencil seperti itu. Tak terlihat tanda-tanda dari jalan utama ada kehidupan lain di situ. Dan ketika sudah mendekat kafe, terlihat beberapa mobil mewah sudah terparkir di sana. Hampir memenuhi pelataran parkir. Sekali lagi, Dini dan Mentari memandang takjub. “Wah! Kok bisa orang bangun kafe seperti ini di tempat terpencil begini?”, seru Dini polos. “Hahaha.. bisa-bisa saja Bu. Nanti Ibu bisa lihat mengapa ini terpencil”, kata Friska ringan. Mereka masuk ke dalam kafe. Isi di dalamnya membuat Mentari dan Dini terperangah. Bangunan kafe ini terbuat dari kayu-kayu bagus. Dibuat setengah outdoor dan indoor. Ada panggung terbuka di tengah bangunan yang dibatasi taman. Panggung terbuka itu sudah diisi dengan instrumen-instrumen musik. Bangunan indoor dibuat dengan letter U sehingga semua orang yang duduk di dalamnya bisa melihat dengan leluasa ke arah panggung. Para pengunjung rata-rata sekelas Friska. Pengunjung muda-mudi yang walau bajunya terlihat simple tapi memperlihatkan sisi elegan yang sangat kuat. Hanya Mentari dan Dini yang terlihat rikuh diantara semua pengunjung kafe. “Hey Miss Friska! How are you cantik?”, seorang lelaki menghampiri mereka dan mencium pipi kiri dan kanan Friska dengan santai. “Hey Ronald! Senang bertemu lagi”, sambut Friska hangat, meninggalkan dua temannya agak di belakang. “Mereka siapa?”, tanya Ronald melihat ke arah Mentari dan Dini. “Ah ya, mereka teman kerjaku. Ayo kenalkan”, dengan menggandeng tangan teman lelakinya, Friska memperkenalkan mereka. “Saya Ronald” “Mentari” “Dini” “Wah, ini teman baru Friska ya? Kalian kok terlihat malu-malu begini sih?”, spontan Ronald berkomentar setengah bercanda. “You know me, Bro”, Friska menyela. Ronald tertawa. Dia mempersilahkan mereka bertiga duduk di meja yang sudah dipesan. Setelah memesan makanan, Friska melihat ke arah panggung dan menjelaskan pada Dini dan Mentari tentang jenis musik yang ditampilkan. “Ah ya, aku terlalu banyak menjelaskan tampaknya... anyway, terima kasih banyak ya sudah mau menemaniku. Aku harap kalian masih mau aku ajak-ajak lagi untuk menemaniku melewati hari yang membosankan ini”, kata Friska sambil menyantap makanan yang sudah datang. “Ah..eh..kita yang berterima kasih”, jawab Dini rikuh. “Oke, sama-sama kalau begitu. Oh ya, kalian sudah pada punya pacar?”, tanya Friska tiba-tiba. Pertanyaannya membuat Dini hampir tersedak. “Ahahaha...pertanyaannya sensitif ya?”, seloroh Friska sambil tertawa. “Ahaha..saya ini, sudah punya pacar berulangkali dan berulangkali putus. Ujungnya masih saja jomlo”, jawab Dini sedikit malu. “Ahahaha..nah kalau kamu Mentari?”, tanya Friska. Yang ditanya melongo. “Belum punya”, jawab Mentari kemudian.
14 | M e n t a r i S e n j a
“Belum punya?! Belum pernah sekalipun?!”, Serentak Friska dan Dini menatap Mentari. “Umm..belum pernah. Sama sekali. Memangnya?”, Mentari bertanya balik dengan tatapan khawatir dianggap aneh. “Ahahahahaha...”, dan teman bicaranya tak berhenti tertawa. Sampai beberapa orang yang duduk cukup dekat dengan kursi mereka menoleh teralih perhatian. “Aku pikir, aku cukup parah mengingat kondisiku. Ternyata ada yang lebih parah”, Dini tak bisa berhenti menahan tertawa. Puas karena merasa ada yang lebih buruk nasibnya daripada dia. “Eh, tapi kamu suka laki-laki kan? Atau malah suka perempuan?”, mendadak Friska bertanya dengan serius. “Eh?!”, Mentari cukup kaget dengan pertanyaan itu, “Ah ha ha, saya suka laki-laki Bu..Kalau menyukai seseorang sih pernah waktu SMP dulu, tapi ya hanya suka begitu saja”, tambahnya sedikit tersipu. “Whow! Umurmu bukannya hampir sama denganku ya? 24 tahun! Tapi kok bisa belum pernah punya pacar? Wah!!! Kamu ini benar-benar sesuatu Tari. Seperti mahluk lain yang dikirim ke bumi dan hadir dalam hidupku yang membosankan ini. Hahaha... Tak salah aku mengajakmu jalan-jalan”, seru Friska sambil tertawa renyah. Mentari tak tahu harus berkomentar apa. Dia hanya bisa mengunyah makananannya dengan pasrah. “Eh, Bu, kalau saya hitung dari tadi, mengapa Ibu selalu bilang hidup membosankan terus?”, tanya Dini tiba-tiba. “Eh? Ah ya, itu. Ya, membosankan Bu. Hidup dipenuhi kemewahan tampak menyenangkan ya? Nah, bagiku tidak. Kemewahan merampas waktu untuk berteman, bersama keluarga. Dipenuhi ambisi menambah kekayaan. Meningkatkan harga diri. Sudah aku alami dari kecil dan ditanamkan begitu kuat. Sampai akhirnya, semua terlihat sama saja. Polanya begitu lagi, begitu lagi. Yah...entah kenapa aku makin sering merasa seperti itu”, jawab Friska. “Memangnya Ibu tak punya teman dekat?”, tanya Dini lagi. “Hmmm..teman main sih lumayan banyak ya... Tapi teman dekat yang bisa diajak bicara enak, tidak banyak di sini. Hanya 1-2 orang. Itupun laki-laki. Kalau dengan kalian, walau baru sekarang kita menghabiskan waktu senggang, aku bisa menemukan perasaan yang aku maksud. Ya begini ini lah...Ahhh, aku suka tiba-tiba mendadak kehilangan katakata kalau sudah sedikit kenyang, hahaha”, jawab Friska. Dini dan Mentari mau tak mau ikut tertawa melihat reaksinya. “Ahhh...Miss Friska Dinata! Tak menyangka masih bisa bertemu”, tiba-tiba seorang perempuan berbaju cukup ketat menghampiri Friska dan bicara dengan nada sedikit merendahkan. Dini dan Mentari melongo menatapnya. Perempuan ini cantik, berambut panjang agak ikal, berbadan langsing, setinggi sekitar 170 cm. Baju terusan yang dikenakannya berwarna merah ketat setengah paha dan lehernya terbuka. Kakinya mulus sekali. Friska menatap kaget dan terlihat agak terintimidasi dengan sapaan dingin seperti itu. Tangannya memegang gagang garpu dengan erat. Menahan emosi yang mendadak muncul. Terekspresikan betul di wajahnya. “Vi..Viona!”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. “Kau tahu kan Friska hari ini hari apa? Masih berani datang ke sini? Pangeran Batara tidak akan mau melirikmu. Walau kau berusaha menarik perhatiannya dengan datang ke sini, hari ini. Membawa...siapa ini? Pengawal barumu yang tampak kampungan?! Seperti biasa..seleramu terlalu rendah dibandingkan Helena”, tambah perempuan yang dipanggil Viona itu dengan lebih keji. 15 | M e n t a r i S e n j a
Mendengar kata kampungan, Dini mendadak geram dan dia hampir berdiri kalau tidak segera ditahan Mentari. “Mbak...”, bisik Mentari dengan nada menahan. “Ap..apa maksudmu dengan hari ini hari apa? Dan apa hubungannya dengan Batara?”, Friska berdiri dengan wajah memerah. “Ahahaha...Batara? Jaga mulutmu Friska! Tidakkah kau lihat dia berjalan menuju ke arah sini dengan menggandeng tangan Helena. Batara? Cih! Atas dasar kedekatan apa berani-berani kau menyebut Pangeran dengan sebutan nama saja”, Viona makin menjadi sambil melirik sedikit ke arah belakang. Karena ada sebutan belakang, Friska melihat ke arah yang dimaksud. Dini dan Mentari juga. Terlihat sepasang muda-mudi berjalan sekitar 10 meter dari arah mereka. Seorang lelaki mengenakan jeans dan sweater menggandeng perempuan yang tampak lebih elegan lagi terlihat saling berbicara dengan berbisik satu sama lain. Dua orang lelaki berjas khas pengawal keluarga kerajaan berjalan di belakang mereka sambil terlihat memantau ke sekeliling. Melihat pemandangan itu, Friska terlihat hampir mau menangis. Dan tanpa diduga dia menarik kursi, mendorong Viona, dan berlari ke arah belakang tempat duduk mereka. Walau agak sempoyongan karena didorong, Viona terkikik geli dan segera menghampiri yang disebut Helena. Dini dan Mentari yang masih tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan tergopohgopoh mengikuti Friska yang tampaknya mendadak lupa dengan kehadiran mereka. “Ada apa Tari?”, bisik Dini sambil berjalan agak cepat diikuti Mentari, mengikuti Friska. “Aku juga tidak tahu, Mbak. Tampaknya Friska menangis”, jawab Mentari sambil berbisik dan bergegas. Benar saja, Friska menangis sambil berjongkok di dalam Rest Room. Dini dan Mentari segera mendekat. “Bu..Bu, ada apa?”, tanya Mentari dengan khawatir. Yang ditanya hanya menangis dan menangis semakin keras. Melihat reaksi itu, Dini segera mengambil tisu dan memberikan pada Friska. Mentari mengelus-elus punggung Friska dengan sabar. Friska menangis semakin keras. Untung tak ada orang lain di ruangan itu. Beberapa menit berlalu, dan tangisan Friska mulai mereda. Setelah agak reda, Dini dan Mentari memapahnya duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan itu. Sungguh ini adalah Rest Room kafe aneh yang mereka temui. Di toilet saja ada sofa khususnya. Dini dan Mentari menunggu reaksi Friska. Karena mereka bingung juga harus bertanya apa. Terlebih lagi, takut Friska menangis kembali. “Memangnya...Ini hari apa, tanggal berapa, bulan berapa?”, dan sebuah pertanyaan paling tak terduga terlontar dari mulut gadis cantik dan sedikit ajaib ini. “Eh..In..Ini tanggal 25 bulan Mei, hari...Rabu Bu”, jawab Mentari agak heran. “Whoaaaaa! Mengapa aku tidak sadar begini?!”, tiba-tiba Friska berseru. Reaksi yang lebih mengagetkan lagi. “Mak..maksudnya Bu?”, tanya Dini. “Tanggal itu kan tanggal hari jadi Batara dan Helena. Dan aku..dulu..sangat menyukai Batara sampai semua orang tahu aku suka dia...tapi Batara...mengabaikan cerita itu...”, dan Friska menangis lagi. Tapi tak sekeras tadi. Seolah ini hanya titik penghabisan saja. Dengan reaksi emosi aneh dan berloncatan seperti itu, Mentari mulai kehilangan orientasi tentang kepribadian bosnya. Tadi bilang bosan. Tapi sekarang dia menangis seolah kejadian maha dahsyat terjadi dan mengguncangkan dirinya. “Batara?! Ahhhh! Kenapa aku juga bisa lupa! Ini maksudnya Pangeran Batara keponakan Raja Angkasa kan dan Calon Raja Wilayah Parahyangan? Dan Helena yang 16 | M e n t a r i S e n j a
anak perdana menteri itu?”, Dini berseru karena baru menemukan cerita penting yang dia dengar tiba-tiba. Mentari geleng-geleng kepala karena sedari Viona menyebut Pangeran tadi, dia sudah ngeh siapa itu Pangeran Batara dan Helena yang dimaksud. Karena kabar mengenai mereka akan segera bertunangan seringkali ditampilkan di billboard elektronik yang dipajang di gedung-gedung tinggi. “Iya...dan Viona! Si mulut berbisa itu! Apa dia tak bisa berhenti mengejekku terus?! Aku tahu cintaku bertepuk sebelah tangan. Dan hatiku sudah patah sedari mereka jadian. Dan kenapa aku bisa lupaaaa???!! Arghhhhhhhhh!!! Huhuhuhu” Mentari melongo dengan perubahan emosi yang berbeda-beda itu. Tapi tampaknya Dini tak terlalu terganggu dan sibuk dengan pikirannya sendiri. “Terus sekarang bagaimana Bu? Kebetulan ini sudah hampir jam 11 malam”, Mentari mengemukakan pertanyaannya. “Eh?! Oh iyaaaaa!!! Bagaimana ini? Aku tak mau lewat lagi ke arah sana! Ah ya, kita keluar lewat pintu belakang ini saja. Ada emergency door-nya di sini! Ayo kita pulang!”, Friska berseru dan berdiri dengan tiba-tiba. Sampai Dini terkaget-kaget. “Umm..tapi Bu, tas Ibu dan tas kita masih di sana”, Mentari mengingatkan. “Ahhhhh iyaaaa..aduuuh...begini saja, aku dan Dini keluar lewat pintu ini. Kamu balik ke tempat duduk tadi dan ambil tasku. Nanti kamu bilang ke Ronald, Lampu Merah, gitu ya? Oke?!”, jawab Friska dengan sedikit tergesa-gesa. “Lampu Merah?”, Mentari tak mengerti. “Ahh sudahlah! Cepaaat”, Friska mendorong badan Mentari untuk segera keluar. Dengan masih agak sedikit bingung memahami arti kata Lampu Merah, Mentari berjalan ke luar Rest Room. Dilihatnya pasangan yang disebut tadi memang duduk persis di sebelah meja dimana mereka bertiga tadi duduk. Namun ada yang lain. Ada Viona dan seorang lelaki lagi duduk. Tak ada pengawal kerajaan yang duduk di sekitaran. Walau dia agak sedikit heran mengapa detail itu memasuki otaknya, Mentari memilih fokus pada tindakannya. Dengan santai dia memeriksa kursi dan mengambil tas-tas yang ada di situ. “Nahhh..ini dia salah satu teman kampungnya Friska”, tiba-tiba suara menjengkelkan Viona muncul di telinga Mentari. Mendengar suara itu, Mentari sedikit terhenti tapi kemudian tetap memutuskan mengambil satu tas terakhir. “Hey! Budek! Lihat orang dong kalau bicara!”, Viona terdengar kesal. “Hey Viona..apa kau tidak berlebihan? Berapa shot yang kamu minum tadi?”, terdengar suara perempuan yang agak lembut menegur. Mendengar disebut Budek oleh orang asing, Mentari berdiri tegap. Tak pernah ada orang yang memanggil dengan sebutan kasar seperti itu. Dari tempat asing seperti ini. Dia berbalik menatap tajam ke arah sumber bicara. Yang ditatap sedikit kaget tapi kemudian tertawa. “Ahahaha! Ada nyali juga rupanya kau! Mana Friska dan temanmu yang jelek gendut itu?! Kabur ya? Ahahahaha”, Viona tertawa lebih keras. “Shhh! Viona!”, tegur Helena sambil memegang bahu temannya itu. Viona menangkis tangan Helena. “Budek? Jelek Gendut?! Apa Anda bilang begitu tadi?!”, mendadak Mentari merasa marah dengan kata-kata kasar itu. “Ya! Budek! Jelek! Gendut! Kampungan! Ya, itu yang kubilang! Kenapa?”, Viona berdiri dengan badan yang agak sempoyongan. Melihat itu, laki-laki yang dari tadi duduk membelakangi Mentari memutar kursinya dan memundurkan sedikit. Seolah dia ingin melihat kejadian itu sebagai tontonan.
17 | M e n t a r i S e n j a
Pangeran Batara yang duduk berhadapan dengan arah Mentari berdiri juga mencondongkan badannya. Seolah kejadian ini adalah kejadian menarik untuk dilihat. Dia tersenyum menatap Viona dan Mentari bergantian. Sementara Helena memperlihatkan ekspresi khawatir. Lebih ke arah Viona yang berdiri sempoyongan. “Saya pikir, seorang teman dari seorang pangeran dan pasangannya harusnya berpendidikan tinggi bukan? Tapi mengapa saya mendengar kata-kata yang rasanya seorang Tukang Becak juga tidak akan mengeluarkan kekasaran seperti ini. Atau, Anda memang tidak pernah menyekolahkan mulut Anda, Nona Viona kalau tidak salah?!”, balas Mentari dengan badan yang tetap tegap dan memandang lebih tajam ke arah perempuan mabuk itu. “Apa kau bilang?! Apa kau bilang, perempuan sundal?! Berani-beraninya kau bilang aku tidak sekolah?! Apa kau tahu siapa aku?!”, Viona berjalan menghampiri. Berpegangan pada kursi. “Sundal? Siapa sebenarnya yang sundal? Saya tahu siapa Anda. Segumpal daging bergincu dan berpayudara yang senang melarikan diri dengan alkohol!”, balas Mentari cukup keras. Serta merta ruangan mendadak sepi. Semua mata melihat ke arah mereka. Tak pernah ada yang berani membalas kata-kata Viona yang memang biasanya kasar. Karena dia adalah sepupu Helena. Semua yang ada di ruangan itu tahu siapa Viona. Dan banyak orang yang kesal pada dia karena perilakunya yang suka seenaknya. Tapi tetap tak ada yang berani menyanggah atau membalas kata-katanya. Baru perempuan itu, perempuan yang entah dari golongan mana berani memberikan kata-kata balasan yang sangat tajam namun berkelas. Ronald yang tahu Mentari sebentar tadi, melongo dari jarak sekitar 10 meter. Ingin sekali dia mencegah dan menarik Mentari untuk segera keluar. Tapi dia melihat ada 2 pangeran yang duduk di situ. Pangeran, calon Raja Indonesia, bahkan duduk di sana menikmati tontonan itu. Ronald ragu, apakah Mentari sadar dengan siapa dia sekarang berhadapan. Tapi dia juga mengakui, ini tontonan menarik. Di satu sisi, dia senang dengan sikap berani Mentari. Dihidupkannya video gadgetnya diam-diam. Dia ingin memberikan hadiah buat Friska. “Se...segumpal daging? Bergincu? Berpayudara? Ap..apa katamu?!!!”, Viona makin histeris. Helena menutup mukanya. Namun Pangeran Batara dan Pangeran Samudera tersenyum dan tertawa ditahan. Menyadari situasi mendadak hening dan betapa menyebalkannya sikap kedua lelaki yang tak bergerak dari tempat duduknya, Mentari sadar dia harus segera pergi dari ruangan. Di sisi satu, dia ingin sekali memberi perempuan ini pelajaran. Di sisi lain, dia sadar dia telah menjadi pusat perhatian. “Maaf, saya pikir saya sudah jelas bicara. Dan sebaiknya saya pergi dibandingkan harus mendengarkan kata-kata Anda yang tak berguna”, ucap Mentari sambil hendak melangkah. Tiba-tiba, Plakkk!!! Pipinya ditampar Viona sangat keras. Sampai pipinya terasa panas. “Viona! Enough!”, Helena berdiri dan menahan tubuh Viona. Namun kembali Viona menepis dan menatap marah ke arah Mentari. Plakkkk!!! Tanpa diduga, Mentari balas menampar sampai Viona sempoyongan dan terjatuh. Sebelum Viona berdiri, dia segera meninggalkan ruangan dengan cepat. Semua orang melongo. Hening. Sepi. Termasuk kedua Pangeran yang menjadi penonton. “Perempuan Sundaaaaaaaaaaaallllll! Siapa dia?! Siapa dia?! Dari keluarga mana hah?!”, Viona menjerit histeris menyadari lawannya sudah menghilang. Helena sibuk 18 | M e n t a r i S e n j a
menenangkan dan Pangeran Samudera membantu mengangkat tubuh Viona dan mendudukannya di kursi. “Ahahahahahah! Baru kali ini hang out di Kota Parahyangan semenarik ini! Oke guys! Cheersss!”, seru Pangeran Samudera sambil tertawa dan bertepuk tangan. “Saaam!”, Helena mendadak kesal dengan sikap sahabatnya itu. Namun dalam hatinya, ada perasaan kagum dan salut pada perempuan yang tanpa ragu membalas Viona, sepupunya yang memang sering sulit dikontrol. “Oh ya! Kawan-kawan semua, saya ingatkan. Jika ada yang merekam ini dan menyebarkannya di internet atau pada jejaring teman-temannya, jangan coba-coba! Dengan mudah, semua yang hadir di sini, yang menggesekkan kartu anggotanya di sini, bisa berurusan dengan hukum!”, Pangeran Batara yang kali ini bicara dengan suara lantang. Ronald yang merekam kejadian itu, segera menghapus videonya dengan tangan gemetar. Tapi beberapa saat kemudian, dia menyesalinya lagi. Sadar dengan kepergian Mentari yang tiba-tiba, Ronald segera berlari keluar berusaha menyusul. Tapi dilihatnya mobil Friska sudah tidak ada. “Shit!!! That girl is interesting. Is really something. Arghhhh! Kenapa aku tadi menghapus videonya?”, maki Ronald pada dirinya sendiri. Saat dia kembali ke tempatnya di meja bartender, Pangeran Samudera duduk di salah satu kursi dan menatapnya. “Hey Bartender, siapa perempuan tadi? Tampaknya kau kenal dia?”, tanya Pangeran muda yang selalu terlihat angkuh sekaligus berkharisma itu. “Ah...Pangeran..saya juga tidak tahu. Sungguh. Dan baru kali ini saya melihat dia bersama Friska. Katanya dia teman kerjanya..eh..maaf”, Ronald merasa serba salah. Menyesali mengapa dia berbicara lebih banyak dari pertanyaannya. “Ahahaha..santai saja! Aku toh tidak akan menggugat perempuan itu. Menarik melihatnya. Hmmm..teman kerja Friska Dinata ya...Oke! Well noted!”, ucap Pangeran Samudera dengan santai. Lalu dia berlalu kembali ke mejanya. “Ronald si mulut besar! Ahhhh! Bagaimana ini?”, dan Ronald semakin memaki dirinya sendiri. Saat Mentari kembali ke tempat parkir dan ditunggu dengan tidak sabar, dia segera masuk tanpa banyak bicara. Dia bahkan melupakan menyebut Lampu Merah yang sudah diamanatkan Friska tadi. Kedua temannya tidak menyadari kejadian besar yang terjadi di sana. Setidaknya untuk malam ini. *** “Ahahaha apa? Dia berani membalas balik kata-kata sepupu anak perdana menteri? Ahahaha”, Raja Angkasa I tertawa menerima telepon dari seseorang di ruang perpustakaannya. “Coba-coba, bisa kau ceritakan lebih detail kata-katanya. Ahahaha.. Dan Sam tampak menonton dengan khidmat? Ahahaha...Oke, oke. Awasi Internet ya... Kalau ada yang mengunduh kejadian itu dan memperlihatkan wajah Mentari, segera hapus. Oke. Terima kasih Nak”, tutupnya. Raja Angkasa I tertawa tak berhenti. “Tak salah memang pilihanku”, gumamnya pada dirinya sendiri. *** Sehari setelah kejadian itu, Friska mendapatkan kabar dari Ronald mengenai cerita heboh di kafe ketika dia mengecek apakah Ronald menerima pesan Friska atau tidak dari Mentari. Dia begitu senang mendengarnya sampai memeluk Mentari tak berhenti. Dan beberapa hari kemudian, mereka menjadi lebih akrab dibandingkan hubungan seorang atasan dan bawahan. Juga untuk selanjutnya. ***
19 | M e n t a r i S e n j a
Rapat Besar Keluarga Kerajaan Ketika Pangeran Samudera kembali ke tanah air 6 bulan lalu, Raja dan Ratu telah siap-siap dengan agenda mereka. Rahasia yang mereka dapatkan 3 bulan sebelumnya, terkunci rapat sesuai yang semestinya. Mereka mengalihkan perhatian dengan menyiapkan banyak agenda untuk Pangeran Samudera. Setelah dia menyelesaikan studi master di bidang kepemerintahan dan politik di Amerika dan Inggris secara berturut-turut, Pangeran Samudera tampak lebih berbeda. Sikap angkuh namun karismatiknya masihlah kuat. Namun tampaknya, dia sudah tak begitu tertarik lagi melakukan tindakan-tindakan tidak perlu. Bukan juga berarti dia terlihat bersemangat menjalani jadwal-jadwal padat yang sudah disiapkan kedua orang tuanya. Kali ini, dia tampak terlihat bosan. Situasi juga mulai berubah. Di kalangan raja, bangsawan, dan juga raja-raja kepulauan sudah mengetahui periode lain yang akan menyambut Pangeran Samudera. Dia kini berusia 25 tahun. Usia yang pas untuk bertunangan sebelum menikah di usia 27 tahun. Tradisi keluarga kerajaan yang sudah berlangsung dari pertengahan abad 20. Sebelum abad itu juga sudah terjadi, namun di usia 17 tahun. Lebih muda dari usia perkawinan zaman sekarang. Banyak dari keluarga kalangan ini, yang punya anak perempuan, melakukan kunjungan dari 1 tahun sebelum Pangeran Samudera kembali ke Indonesia. Datang secara berkala dengan berbagai alasan silaturahmi. Rajin mengikuti kegiatan-kegiatan kerajaan yang berupa ceremonial. Raja dan Ratu paham dan memaklumi animo ini. Siapa yang tak ingin anaknya menjadi Ratu berikutnya. Memimpin lebih dari 200 juta penduduk dengan income pendapatan kerajaan yang setara dengan kerajaan Inggris. Walau tidak ada sayembara, semua orang mempertahankan upaya kerasnya. Raja dan Ratu menghargai setiap kunjungan dan tegur sapa ramah dari mereka. Menjawab secara diplomatis sudah menjadi kebiasaan mereka. Jawaban yang menggantungkan benak orang dengan pertanyaan tak henti: “Apakah anakku dan keluargaku memenuhi harapan atau tidak?”. Setelah kedatangan Pangeran Samudera, semakin banyak dan intensif pendekatan yang mereka lakukan. Lini keluarga Raja-Raja dan Bangsawan yang paling dinilai memenuhi syarat sibuk menyombongkan diri walau belum ada keputusan apa-apa. Pangeran Samudera menghadapi semuanya dengan sikap diplomatis juga. Setiap kali dia dikenalkan dengan putri-putri mereka, dia selalu memperlihatkan sikap menghargai. Dia melihat semuanya sebagai tontonan yang menarik. Di satu sisi dia melihat sikap-sikap pemujaan itu berlebihan, di sisi lain dia menikmatinya. Tidak ada yang bisa membaca seperti apa sebenarnya hatinya. Kepada siapa dia merasa tertarik. Tak ada yang bisa menebak. Sikap seperti itu semakin menjadikannya pusat perhatian para perempuan itu. Beberapa diantaranya sudah jatuh hati walau tidak ada juga yang diberi perhatian khusus. Dan tentunya, efeknya cukup besar pada orang tua mereka. Meningkatkan suhu persaingan diam-diam. Di masa-masa seperti itu, tampaknya semua orang dengan mudah melupakan skandal-skandal masa dulu sebelum dia dikuliahkan di luar negeri. Orang sibuk dengan sikap tamaknya sendiri-sendiri dan dengan mudah memaafkan skandal yang dulu sangat heboh itu. Dan tibalah Rapat Besar Keluarga Kerajaan di waktu 6 bulan setelah dia kembali ke Indonesia. Saat Pangeran Samudera mendengar kabar bahwa kakeknya akan memimpin
20 | M e n t a r i S e n j a
rapat, dia agak sedikit heran. Waktu pertama kali dia datang dan bertemu di Gunung Salak, kakeknya tak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia akan memimpin rapat. “Ibunda Ratu, mengapa Eyang sampai harus datang segala? Ada apa?”, tanyanya sehari sebelum rapat dilaksanakan. “Ananda seperti tidak tahu Baginda Sepuh. Dia selalu mengambil keputusan yang tak dapat diduga kan? Apapun itu, Ibunda senang Baginda Sepuh bisa meluangkan waktu di tengah waktu tetirahnya”, jawab Ratu Selasih dengan lembut. Mendengar jawaban Ibundanya yang seperti itu, Pangeran Samudera semakin mengernyit. Dia tahu ibunya adalah orang yang amat tertutup dan pendiam. Namun dia juga peka, menangkap ada energi lain di balik kata-katanya. “Ah, sudahlah..apa pun itu, Hamba juga senang Eyang datang”, ujar Pangeran Samudera setengah menyerah, setengah penasaran. *** Dan Rapat Akbar itu dimulai. Adik-adik Raja Angkasa II yang berjumlah 2 orang berkumpul bersama anak-anaknya. Demikian juga dengan Kakak dan adik Ratu Selasih yang berjumlah 4 orang bersama anak-anaknya. Adik-adik Raja Angkasa I yang masih terlihat bugar walau sudah mulai sepuh hadir juga dengan anak-anak sulung mereka. Adik dan kakak almarhumah Ratu Angkasa II beserta anak-anak sulungnya juga hadir. Di antara mereka, datang juga perdana menteri dan anggota dewan parlemen utama. Semua duduk bersila di posisi masing-masing dalam formasi U yang rapi. Dirunut berdasarkan posisi di dalam keluarga. Pangeran Samudera tahu, di antara mereka yang hadir, ada yang sudah begitu rajin memperkenalkan anak perempuannya dan atau memberikan profilnya saja. Bagi Pangeran Samudera, pernikahan adalah suatu tata krama dan formalitas yang harus dipenuhi sebagai bagian dari jalan hidupnya. Seberapa keras pun dia menentukan pilihan, sepengamatan dia dan pembacaannya dari sejarah, jodoh itu sudah ditentukan dari siapa pun yang berwenang menentukan itu. Dia pernah membaca kisah-kisah roman, termasuk Ramayana dan Sinta misalnya, atau Arjuna dan Srikandi, namun di usia 17 tahun dia menemukan bahwa romantisme cinta sejati di lingkungan istana adalah sesuatu yang hampir dikatakan mustahil. Selain itu, dengan minimnya tampilan afeksi di lingkungan kerajaan, di lingkungan hidup terdekatnya, antara kedua orang tuanya atau antara bibi-bibi dan pamannya, dia tak bisa melihat adanya cinta sejati berkembang di sini. Dia juga berkaca pada anak-anak bangsawan dan raja-raja di kepulauan yang hampir seumuran dengannya, dimana pernikahan adalah perjodohan yang ditentukan orang tua. Dan dia lihat, hampir semua teman-temannya mengikuti dengan patuh. Ada beberapa yang menolak. Konsekuensinya, garis kekeluargaan si pembangkang dicabut atau kalau tidak, akses ekonominya ditutup. Di zaman dimana uang semakin berkuasa ini, ditutupnya akses ekonomi tentu lebih menakutkan daripada putus garis kekeluargaan. Maka, dari sejak usia 17 tahun itu, dia sudah mematikan perasaannya. Menutup diri dari tektek bengek romantisme yang menjadi sebatas khayalan belaka. Jika pun ada yang pernah mengisi hatinya atau singgah sesaat, Pangeran Samudera sudah membuangnya jauh-jauh. Perempuan baginya adalah petualangan belaka. Dan bermain dengan mereka tak ada hubungannya dengan pernikahan. Kencan dalam periode maksimal 3 bulan, tidur bersama, one night stand, adalah semata untuk menghilangkan kejenuhannya saja. Saat si perempuan sudah terikat hatinya, dia akan segera menjauh pergi. Tak peduli dengan caci maki dari mereka. Sekarang, dia hadir di rapat ini, dia sudah mengendus sedikit gelagat bahwa akan ada sesuatu tentang calon istrinya. Namun kehadiran Eyangnya sedikit mengejutkan dan diluar dugaan. Jadi dia simpan dugaannya di kepala. Duduk patuh di lingkaran inti, sebelah kanan ayahnya. 21 | M e n t a r i S e n j a
Rapat dimulai dengan kidung-kidung bahasa tua. Prosesi penaburan bunga 7 rupa dan pembakaran getah gaharu nomor 1. Suasana hening dan khidmat memenuhi ruangan saat prosesi pembuka dilakukan. Di saat ini, semua orang wajib duduk menegakkan punggungnya dan menundukkan kepala sambil menutup mata. Pangeran Samudera merasa damai seketika. Dia rindu suasana seperti ini. Sudah hampir 7 tahun dia jarang mengikuti prosesi acara tradisional kerajaan. Bagian dari prosesi adat yang dia sukai. Membuatnya ada dalam titik meditatif yang menenangkan. Seolah ada kekuatan dari kidung yang dinyanyikan itu. Mengalun memenuhi kepalanya. Membuatnya merasa melayang dan bisa melihat dunia dari sudut pandang tak terbatas. Gong! 3 kali nada gong berbunyi memecah suasana hening. Baginda Sepuh, Eyangnya, memasuki ruangan dengan menggunakan kain batik, kemeja tradisional berwarna hitam, dan bendo penutup kepala. Rambutnya dan kumisnya yang sudah memutih, seolah mewarnai karisma kebijaksanaan yang semakin melembut namun tetap tajam. Walau badannya sudah lebih kurus dan muka yang lebih tirus, saat Baginda Sepuh berjalan, pamornya menggema di ruangan besar itu. Sudah hampir 15 tahun dia resmi lengser dari kursinya, namun pamor itu, kini kembali hadir seolah masih dia yang menjadi Raja Negeri ini. Pamor, yang sulit disamai oleh anaknya, Raja Angkasa II. Ketika Baginda Sepuh memasuki ruangan, bukan karena memang ini adalah adat dan tata krama, semua orang menundukkan kepala dan tak menengadahkannya sedikit pun sebelum dia melewati orang-orang. Orang menunduk karena patuh dan segan dari hati. Sunyi. Sepi. Dan bunyi Gong dipukul sekali. Tanda Baginda Sepuh sudah duduk di kursi pimpinan rapat. Semua orang kembali menegakkan badan. Namun dengan tatapan setengah menunduk. Silau dengan karismanya. Pangeran Samudera, tersenyum dikulum melihat bagaimana reaksi orang-orang. Rasa bangganya pada kakeknya memenuhi dadanya kini. Bertanya-tanya, kapan dia bisa punya karisma sekelas kakeknya. Melihat cucunya tersenyum sendiri, Baginda Sepuh tersenyum dan mengedipkan mata saat tatapan mereka bertemu. Tak urung, Pangeran Samudera melebarkan senyumnya. Memancing Ayahandanya mendaratkan sedikit cubitan dari belakang. “Saudara-saudaraku yang sedarah, sebangsa, dan sepenanggungan, mungkin kalian semua bertanya-tanya mengapa kali ini, aku lah yang memimpin rapat ini. Namun juga aku tahu, diantara kalian ada yang sudah mampu menebak. Aku tidak akan bicara panjang lebar. Sudah lama tak memimpin rapat dengan etika diplomatis lagi. Ini adalah saat penting bagi kerajaan ini. Dan ini terakhir kalinya aku memilih memimpin rapat keluarga besar kita. Juga urusan terakhir yang perlu aku urus ke depan selama aku masih hidup. Lainnya, biarlah Baginda Raja yang mengurus seperti biasanya. Kalian semua tentu sudah mengetahui, menyadari, dan beberapa mengupayakan usaha masing-masing, untuk berperan serta dalam penentuan regenerasi keluarga Raja. Ya, benar, hari ini aku sendiri yang akan memutuskan, siapa calon Ratu Indonesia yang akan mendampingi calon Raja Indonesia. Ya, ya, tak perlu terlalu sunyi dan takut berbicara dengan saudara sebelah kalian”, ucap Baginda Sepuh sambil terkekeh. Kaget dengan telaknya tebakan Baginda Sepuh, suasana tetap hening sesaat. Namun karena Baginda Sepuh belum melanjutkan kata-kata, beberapa anggota keluarga perempuan mulai terdengar berbisik-bisik. “Yang aku bilang...”, Baginda Sepuh melanjutkan kata-katanya. Jeda saat. Memberikan waktu pada yang hadir untuk menutup mulutnya. “adalah siapa yang akan jadi calon Ratu Indonesia. Aku tidak akan menyebutkan nama. Tapi persyaratan”, jeda lagi. 22 | M e n t a r i S e n j a
Semua yang hadir mulai tak tahan menahan mulut. Bisikan menjadi lebih riuh. Keheranan ini muncul juga di paras wajah Raja Angkasa II dan Ratu. Sementara Pangeran Samudera mulai tertarik dengan segala permainan kata kakeknya. “Aku batalkan skenarioku anakku”, bisik Baginda sepuh menangkap keheranan putranya dan menantunya. “Persyaratannya adalah....”, sambung Baginda Sepuh dengan suara lebih menggema. Hadirin terdiam dengan paras muka lebih penasaran. “Yang berhasil membuat cucu kesayanganku ini jatuh cinta. Dan mampu menjadikannya tidak seangkuh ini” Saat mendengar kalimat itu, jantung Pangeran Samudera terasa berdenyut kencang. Seperti ada yang memeras jantungnya secara mendadak. Dia pikir, dia sedari tadi menjadi penonton yang asyik menikmati pertunjukan. Kini, tanpa diduga, kakeknya menjatuhkannya di atas panggung. Menyorotnya dengan lampu tunggal. Mendadak mukanya bersemu merah. “Tentunya bukan hal mudah membuat cucuku yang keras kepala dan hatinya ini mau membuka diri. Dan perlu sekali calon-calonnya mendekatkan diri. Siapa pun itu. Termasuk, cucu dari sahabatku di masa lampau. Upaya kalian semua dan yang menanti kabar ini di luar sana, tentunya tak bisa kuabaikan begitu saja. Telinga ini masih bisa mendengar dari kejauhan bagaimana kerasnya upaya kalian dan mereka yang memiliki anak perempuan unggulan. Tak menyangka rupanya cucuku ini bisa begitu populer. Hehehe... Dengan hanya menyisipkan satu calon yang tidak kalian kenal, tentunya itu hanya bagian kecil saja. Boleh kalian pikirkan boleh juga tidak. Karena belum tentu, cucuku ini memilihnya. Kapankah tanggal pernikahannya? Cucuku sendiri yang akan menentukan. Karena dalam hal ini, tentunya keputusannya semua ditangannya bukan? Aku, hanyalah pembuka jalan, agar cucuku lebih bisa menikmati hidupnya dan posisinya sebagai penerus utama kerajaan ini. Dan inilah semua yang kusebut menjadi urusanku. Dan rasanya secara hukum, aku masih punya kewenangan menetapkan dan mengubah adat istiadat pernikahan yang membosankan di jaman dulu itu. Itu saja dariku”, tutup Baginda Sepuh. Suasana setelah rapat resmi berakhir menjadi lebih riuh dari biasanya. Termasuk Pangeran Samudera memperlihatkan ekspresi emosinya untuk pertama kali. Jantungnya berasa di tohok lalu diremas hingga terasa pengap. Dalam sesi ramah tamah dan makan bersama, dia menjadi sangat kerepotan menerima sapaan dari mereka yang menginginkan putrinya menjadi pendamping yang bisa dipilih Pangeran Samudera. Tak henti juga dia ditempeli dan diikuti putri-putri yang kebetulan hadir di hari itu. Pangeran Samudera ingin sekali berteriak protes pada kakeknya. Yang seenaknya menetapkan skenario gila seperti itu. Tapi juga dia tahu, saat dia melihat mata kakeknya dan senyumnya yang sedikit jahil, kata-kata dan kemarahan hilang menjadi sebentuk ruangan kosong dan gelap. Melihat bagaimana reaksi putranya dan reaksi orang lain sesudahnya, Raja Angkasa II dan istrinya mulai memahami arah dan tujuan dari ayahnya itu. Ada bagian dari dalam diri mereka yang puas melihat bagaimana repotnya anaknya bereaksi. Hingga Ratu Selasih tak bisa berhenti menahan senyum. Namun demikian, Raja Angkasa II merasa perlu memastikan langsung dengan ayahnya dan tak membuat dugaan terlalu jauh. “Ayahanda, tapi bagaimana dengan...?”, tanya Raja Angkasa II segera sebelum Baginda Sepuh keluar dari gerbang istana. Ratu Selasih tak luput mengikutinya. “Anakku, skenarioku berubah karena aku membacai suhu persaingan yang terasa memenuhi semesta. Tak baik mengabaikan gelaja alam, termasuk alam manusia. Saat anak 23 | M e n t a r i S e n j a
gadis itu nanti tinggal di Istana, aku akan semakin sering datang ke sini juga. Dan aku titip, Ratu, didik dan rawat anak ini dan anggap sebagai anakmu sendiri. Hatimu tahu itu. Jika pun bukan dia yang dipilih Samudera, anggap dia adalah salah satu wasiat hidupku. Menjelang kematianku, aku ingin mendapatkan kenangan indah dari sebuah cerita kasih sayang baru di istana ini”, jawab Baginda Sepuh dengan singat sambil tersenyum tenang dan memegang bahu anak sulungnya. “Ya, Ayahanda”, anak dan menantunya menjawab patuh bersamaan. “Oh ya, kau lihat kan tadi bagaimana kemarahanmu pada cucu kesayanganku itu bisa sedikit tersalurkan? Padahal, ini baru awalnya saja”, komentar Baginda Sepuh dengan jahil, sesaat sebelum mobilnya melaju meninggalkan tempat. Dan tertawalah Raja Angkasa II dan Ratu dengan renyah walau pun mobil Baginda Sepuh sudah jauh meninggalkan Istana. *** Setelah acara itu selesai, Pangeran Samudera merasa badannya dan mukanya begitu pegal. Saking banyaknya yang menyapa dan memaksanya bicara, dia sampai sulit meluangkan waktu untuk makan atau melarikan diri untuk merokok di luar. Mukanya juga tak bisa berhenti tersenyum karena tersenyum baginya adalah pekerjaan. Ketika acara berakhir hingga tamu terakhir meninggalkan istana, dia segera berlari ke taman belakang, meminum kopi dan menghisap rokoknya dalam-dalam. “Ahhhh Eyang gila!!!! Bagaimana bisa dia datang dan memaparkan skenario edannya segamblang itu?! Dan bagaimana bisa dia menjadikanku di posisi menyebalkan seperti ini? Sejahil itukah dia sampai aku dijadikannya sebagai objek panggung hiburan?! Aishhhhhh!!!”, caci maki menggema di taman itu. Berulang-ulang, dia umbarkan kekesalannya ke udara. Terbayang olehnya hidupnya akan sangat disibukkan oleh perempuan-perempuan dan berbagai macam pendekatan orang tua mereka. Pendekatan yang akan berlipat ganda lagi intensinya. Dia paling tidak tahan waktu-waktu senggangnya direcoki oleh telepon-telepon atau ajakan manja mereka. Itulah yang membuatnya tak mau serius dan tak mau membuka banyak ruang untuk hal-hal semacam itu. Kalau pun dia bermain, dia lah yang harus memegang kontrol. Bukan pasangan atau partner tidurnya. Mereka selalu dia anggap objek penderita. Dan kini, dengan telak dan kurang ajar, kakeknya menjadikannya objek penderita dengan begitu jelas bahkan sebelum panggung diisi dengan cerita. “Oke, Eyang! Engkau mau menjadi sutradara dan aku adalah boneka yang kau mainkan? Lihat saja Eyang! Cucumu ini, akan menggantikan posisimu dan engkau hanyalah bisa jadi penonton. Hanya penonton. Dan perempuan-perempuan itu adalah boneka yang aku mainkan!”, teriaknya keras. Beberapa pelayan yang masih terjaga yang ada di sekitaran mendengar dan menyimak makian-makian itu dengan baik sambil berupaya menahan tertawa. Mereka tahu bagaimana perilaku Pangeran di masa dulu. Kadang kala kesal dengan keangkuhan dan sikap seenaknya seolah dunia hanyalah miliknya. Kini mereka senang mendengarkan bagaimana Pangeran yang juga rupawan itu meneriakkan marahnya pada kakeknya sendiri. Yang secara tidak langsung menjadi objek sayembara. “Eh dan siapa itu yang dipilih oleh dia? Anak sahabatnya? Sahabat yang mana? Hmmm... mari kita lihat. Siapa yang akan dia bawa? Pastinya itu calon pentolannya. Calon yang sebenarnya dia pilih. Dia pastinya sengaja menghadirkannya agar aku memilihnya. Cih! Lihat saja Eyang! Aku tak akan mau memilih apa yang kau pilih. Seperti katamu bukan? Akulah yang akhirnya memutuskan. Hahahaha!”, tiba-tiba kesenangan memenuhi dirinya saat berpikir seperti itu.
24 | M e n t a r i S e n j a
Para pelayan yang awalnya menahan tertawa mendadak menjadi lebih serius memasang telinga. Namun hening kemudian. Pangeran Samudera, telah menghentikan luapan emosinya. *** Di pendopo kamar Baginda Raja dan Ratu... “Menarik sekali Baginda Sepuh itu ya, Paduka? Hamba sampai tidak terpikir dia akan mengumumkan dengan cara demikian. Padahal Hamba sudah hampir tenang dan yakin bahwa dia akan mengumumkan nama satu-satunya calon, yaitu gadis yang bernama Mentari itu. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, disambung dengan pembicaraannya menjelang keberangkatannya, Hamba menjadi berpikir lagi. Skenarionya yang sekarang diumumkan ini, bisa dikatakan seperti sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”, ucap Baginda Ratu sambil duduk bersandar di tempat tidur. “Nah coba apa maksudmu dengan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui? Barangkali pemikiranmu sama denganku”, ujar Raja Angkasa II “Coba bayangkan bagaimana pusingnya kita menghadapi isu-isu Ananda Samudera dengan skandalnya dengan perempuan. Rasanya skandal itu yang lebih sering dia lakukan dibandingkan yang lainnya. Lalu bagaimana khawatirnya kita dengan kesiapannya menjadi pemimpin kerajaan ini. Di sisi lain, ketika usianya semakin mendekati usia pernikahan sesuai aturan, banyak juga ternyata yang mengincar posisi calon istrinya. Dan entah bagaimana, skenario dari Baginda Sepuh hari ini, ucapannya yang penuh wibawa itu, berhasil menjawab seebagian besar kekhawatiran kita. Itu maksudku, Paduka”, jawab Ratu Selasih. “Ahahaha, ya ya ya.. Sungguh indah betul rasanya melihat Samudera merah padam mukanya tadi. Yang kusadari sangat telak menghunjam dirinya ketika Baginda Sepuh menyampaikan tersurat bahwa Samudera termasuk orang yang sulit. Terbayang betul bagaimana nanti dia sibuk memenuhi undangan dari para calonnya. Aku merasa bahwa melalui cara yang dikemukakan Baginda Sepuh, rasanya kemarahan kita padanya bisa terbayar dengan baik. Hahahah...”, Raja Angkasa II menimpali. Mereka berdua tertawa renyah sejenak. Tawa lega dan bahagia. “Tapi Paduka, ada kekhawatiran Hamba yang muncul saat pengumuman itu diberikan”, ucap Ratu Selasih tiba-tiba. “Khawatir? Mengapa?”, tanya Raja Angkasa II penasaran. “Mengenai titipannya tentang Mentari. Paduka tahu sendiri, hampir bisa dikatakan Hamba adalah perempuan lemah dan mungkin terlemah dibandingkan Ratu-Ratu terdahulu. Hamba mengakui kepekaan Hamba melebihi kepekaan yang dimiliki Ratu terdahulu pada umumnya. Karena itulah Hamba seringkali terdiam karena situasi yang hadir lebih menguasai perasaan Hamba dibandingkan nalar Hamba. Hamba ragu, apakah Hamba bisa memenuhi amanat Baginda Sepuh. Hamba ini kurang mampu menjagai dan melindungi apa yang dititipkan pada Hamba. Termasuk diantaranya Pangeran sendiri. Bagaimana Hamba harus menelan bulat-bulat semua kritikan, rumor, gosip, yang rasanya mengiris seperti pisau. Pun Hamba tetap tak bisa mengatakan apa-apa kembali pada mereka. Hamba khawatir, sangat khawatir, Hamba kurang mampu memenuhi amanat Baginda Sepuh”, jawab Ratu Selasih. “Istriku, aku tahu betul bagaimana sifatmu. Dan seperti yang disampaikan Baginda Sepuh, engkau punya rahim yang luar biasa baik. Kekuatan karakter Samudera yang kurang seimbang, bukanlah salahmu mengasuh. Namun karena sudah seharusnya begitu. Sepertimu, aku juga seringkali memiliki perasaan yang sama. Merasa lemah menjadi Raja, kurang tegas, tak sekuat Baginda Sepuh. Tapi ini sudah bagian dari takdir kita. Mari kita
25 | M e n t a r i S e n j a
terima saja dan menjalani semampunya. Selama bagi kita sendiri sudah melakukan yang terbaik, maka cukuplah begitu saja”, balas Raja Angkasa II dengan lembut. Mendengar itu, Ratu Selasih menangis dan menatap suaminya dengan penuh kasih. Kata-katanya, ketika sedang merasa ringan seperti itu, selalu berhasil meredam kerisauan hati Ratu Selasih. ***
Duka Di Pelosok Insun Medal Semenjak keakraban yang makin terlihat antara Friska, Dini, dan Mentari, dengan cepat, rumor pun tersebar mengenai mereka. Keakraban antara atasan dan bawahan di perusahaan tempatnya bekerja bukanlah hal yang bagus. Banyak yang kemudian iri. Fitnah pun tersebar diam-diam untuk keduanya. Baik untuk Mentari dan untuk Friska. Pribadi Mentari yang asalnya tidak menarik perhatian dan tidak pernah muncul ke permukaan, menjadi lebih tertindai oleh para pekerja di perusahaannya. Mentari sadar dengan perubahan atmosfir ini. Walau dia banyak mendengar ucapan nyinyir dan sindiran, dia berusaha tutup telinga dan pura-pura tidak sadar dengan apa yang terjadi. Berbagai kata-kata bersliweran hampir tiap hari di telinga Mentari dan Dini, “Pastinya mereka berdua itu hanya ingin memanfaatkan kekayaan Bu Friska saja deh. Lihat saja sekarang mereka memiliki banyak baju dan aksesoris baru semenjak Bu Friska sering mengajak mereka jalan-jalan hampir tiap dua kali seminggu” “Apa mereka tidak tahu malu dan tidak berkaca?” “Friska itu apa segila itu? Kok mau bergaul dengan kalangan bawah seperti mereka? Para pengerat yang senang menggerogoti kekayaan?” Kurang lebih begitulah beberapa kata-kata nyinyir yang seringkali terdengar dengan nada yang dikeraskan kalau ketiga orang itu sedang berkumpul di kantin kantor atau di mana pun ketika ada acara umum. Dini dan Mentari berusaha bertahan dan tidak mempedulikan ucapan itu. Mereka sudah lama terbiasa dengan hinaan. Namun tidak demikian dengan Friska. Dia yang tidak tahan dengan segala ucapan itu, meledakkan marahnya dalam rapat bulanan kantor di depan jajaran direksi saat sudah hampir 5 bulan mereka menjadi akrab satu sama lain. “Saya ingin menyampaikan dalam rapat ini. Saya paling tidak tahan dibicarakan di belakang. Jika ada yang berani, silahkan bicara di depan saya daripada membuat gosip dan rumor berkembang lebih buruk dari aslinya. Apa ada yang salah bergaul dengan orangorang yang membuat diri kita nyaman? Apa salah, saya, putri bangsawan, berteman dengan mereka yang ada di bawah posisi dan status sosial saya? Apa sepicik ini pemikiran kalian semua yang merasa memiliki taraf kehidupan yang lebih tinggi? Apakah betul, mereka yang senantiasa memberikan ide brilian mereka pada perusahaan ini dan tanpa tahu malu diakui sebagai hak cipta kalian, disebut kalangan bawah dan rendahan? Siapa yang sebenarnya rendah? Mereka? Atau kalian? Karena segala fitnah yang tersebar dan makin membesar seperti ini dibiarkan oleh pihak manajemen, maka saya, memutuskan mundur dari jabatan 26 | M e n t a r i S e n j a
saya. Dan saya akan minta ayah saya menutup investasinya di sini!”, teriak Friska pada saat rapat hendak ditutup. Semua yang hadir tampak kaget. Sebagian terlihat marah. Sebagian terlihat pucat pasi. Bagaimana pun ayah Friska adalah pemegang saham 10 besar di perusahaan ini. Dan kedua orang tuanya adalah orang yang loyal dan dinilai bersih dalam berbisnis. Suasana rapat langsung riuh dan banyak yang berusaha menahan Friska keluar dari pintu ruangan. Jajaran direksi segera minta rapat khusus. Walaupun Friska telah berhasil menyampaikan kata-kata yang cukup telak, hasil akhirnya sungguh tidak diharapkan oleh Friska dan kedua sahabatnya. Pengunduran diri Friska disetujui, saham kedua orang tuanya tidak ditarik, dan Dini dan Mentari dipecat secara tidak hormat. Bahkan kemudian, Friska dimarahi oleh kedua orang tuanya karena telah berani bertindak gegabah. Friska langsung dikarantina ke Korea Selatan dalam waktu yang tidak ditentukan oleh orang tuanya. Friska yang memang masihlah labil walau dia berusaha kuat menentang, tak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak menyesali apa yang telah dia katakan, namun dia menyesali tindakannya ternyata membuat kedua sahabatnya kehilangan pekerjaan yang menjadi gantungan hidup mereka. Dini menangis tak kunjung henti selama seminggu setelah kejadian itu. Mentari menemaninya menangis setiap hari dan hanya bisa termangu tanpa meneteskan air mata sedikit pun. Tabungannya belumlah cukup untuk membeli sebidang tanah yang dia inginkan. Tidak sampai setahun dia bekerja di BUMK. Belum lagi, sejarah dipecat secara tidak hormat tidaklah bagus untuk riwayat kerjanya. Mereka berdua tahu, seberapa keras pun mereka berusaha untuk diterima di perusahaan lain yang sepadan, mereka akan terus ditolak dengan catatan seperti itu. “Bagaimana ini Tari? Aku sungguh tidak tahu bahwa akhirnya akan seperti ini? Tapi aku juga tak bisa menyalahkan Bu Friska karena dia itu benar. Dia membela kita habishabisan. Apa seperti inikah dunia yang harus kita tempuh? Terkurung dalam lingkaran setan ketidakberdayaan?”, keluh Dini sambil terisak-isak menghabiskan sisa tangisnya. Matanya semakin sembab dan bengkak setiap harinya. “Ya mau bagaimana lagi Mbak. Kita yang hanya dua titik debu ini, tak mampu melawan sistem besar seperti ini. Bukanlah salah siapa-siapa. Mungkin kita memang harus menempuh jalan hidup seperti ini. Kita hidup dalam sistem ini Mbak. Pahitnya harus kita lahap setiap hari”, ucap Mentari berusaha menghibur dan berusaha tenang. Walau dalam hati, dia merasa jantungnya diperas untung kesekian kalinya. “Ahhh Mentari, untung aku bisa memiliki sahabat seperti kamu. Kalau tidak, mungkin aku sudah bunuh diri sebelum aku bahkan menikah. Eh atau mungkin aku sekarang sebaiknya fokus mencari calon suami? Hah? Bagaimana? Ide bagus bukan?”, ujar Dini tibatiba. Hening sesaat. Lalu mereka berdua tertawa tergelak-gelak. Setidaknya, mereka bisa menertawakan pikiran mereka sendiri, begitu kata Mentari dalam hatinya. Kriiiiiiiiiiiiing! Nada telepon dari telepon genggam Mentari berbunyi. “Eh, dari Aki. Sebentar ya Mbak”, Mentari bergegas menerima telepon dan berjalan keluar kamar kos Dini. 27 | M e n t a r i S e n j a
“Ya Aki, ada apa? Ini Tari”, jawabnya dengan nada yang dibuat riang. “Ini bukan Aki, neng Tari. Ini Ibu Asih. Itu neng...itu...”, tiba-tiba suara diseberang sana tercekat oleh air mata. “Eh Bu Asih? Bu, ada apa bu?”, mendadak jantung Mentari terasa berdebar kencang. “Aki eneng..Aki Neng Tari, pingsan terus menerus Neng. Juga terus terusan muntah darah hitam. Neng Tari harus segera pulang! “, dan meledaklah tangisan dari sana. “Apa??!! Ah iya Bu, saya segera pulang saat ini juga”, balas Mentari dengan suara yang juga tercekat. Tangannya gemetaran. Wajahnya pucat pasi. Dini, yang mendengar pembicaraan itu, langsung keluar kamar dan kaget melihat ekspresi Mentari yang pucat pasi. Baru kali ini dia melihat sahabatnya mengeluarkan ekspresi itu. “Ada apa Tari? Apa yang terjadi dengan Kakekmu?!”, serunya kaget sambil langsung memeluk Mentari karena dilihatnya badannya sedikit sempoyongan. “Kakekku kondisinya tidak...baik, Mbak. Aku harus pulang. Harus pulang sekarang”, ucap Mentari berdiri kaku dengan badan yang masih gemetar. “Oke, oke, kamu pulang. Aku akan menemani. Tidak baik kamu pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Tapi kamu harus tenang dulu!”, Dini segera memapah Mentari ke dalam kamar dan memberinya air minum. Setelah Mentari bisa menemukan tenaga kembali, mereka berdua bergegas menuju terminal. Dengan naik bus, mereka berdua bergerak menuju kampung halaman Mentari di daerah Kabupaten Insun Medal. Dini tak banyak berbicara sepanjang jalan. Dengan sendirinya, dia sadar Mentari butuh waktu untuk berpikir sendiri. *** Setibanya di rumah, tetangga terlihat sudah banyak berkumpul. Mentari segera memanggil kepala kampung untuk meminjamkan mobil agar Kakeknya bisa dibawa ke rumah sakit terdekat. Suasana langsung hiruk pikuk di kampung itu. Mentari berusaha keras menahan emosinya dan berusaha keras berpijak pada nalarnya. Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh lemah. Begitu katanya pada dirinya sendiri. Setelah melewati sekian banyak pemeriksaan, dokter spesialis memanggil Mentari ke dalam ruangannya. “Bagaimana Dok? Apa penyakit Kakek saya?”, tanya Mentari berusaha tenang. Dokter itu memandangnya dengan tenang. Hening sesaat. “Kakek Ibu, menderita kanker paru-paru dan sudah stadium 3”, ucapnya dengan menatap dalam pada Mentari. “Apa?! Kanker Paru-Paru?! Stadium 3?!”, Mentari kaget betul mendengarnya. Namun, dia masih bisa duduk tegak dan bertahan. Entah karena ada kekuatan tambahan, 28 | M e n t a r i S e n j a
entah karena mekanisme pertahanan dirinya sudah setebal itu, Mentari masih bisa mempertahankan posisi duduk yang tegak. “Ya, kanker paru-paru stadium 3. Namun, karena usia beliau yang sudah tua, kondisinya menjadi lebih kritis daripada usia pasien lain yang lebih muda”, dokter itu menjelaskan dengan tatapan kagum pada Mentari. Kagum pada kekuatan psikisnya menerima berita itu. Dia tahu dari profil pasiennya, Mentari adalah cucu satu-satunya yang ada. Usianya pun masih 24 tahunan. Bagi dokter, usia itu masih terhitung muda untuk bisa kuat mendengarkan penjelasannya. “Apa yang bisa dokter lakukan? Bisakah dia mendapatkan treatment agar dia bisa sehat kembali?”, tanya Mentari dengan tegas. “Terus terang Bu, saya tidak bisa menjanjikan kesehatan dan kesembuhan. Karena usianya yang sudah lanjut, prosesnya menjadi lebih sulit dan peluangnya tak bisa dihitung dengan baik. Saya tidak bisa menjamin di atas 30% bahwa beliau bisa sembuh. Di usia yang lebih muda pun, mungkin antara 20-40%. Mohon maaf saya sampaikan juga, tak bermaksud meragukan hal ini, biayanya juga mahal”, ucap dokter itu dengan hati-hati. Mentari terdiam. “Namun tentu, semua bergantung keputusan Ibu. Saya hanya sekedar menyampaikan fakta dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saya nalar. Semoga itu bisa membantu Ibu memperjelas keputusan Ibu”, tambah dokter itu dengan nada santun. Mentari masih terdiam. Dan.. “Berapakah biaya treatment itu? Boleh saya tahu?”, tanya Mentari. Dokter menyebutkan jumlah biayanya dan menyerahkan perhitungannya dalam kertas yang sudah dia siapkan. Ada beberapa fase yang harus ditempuh dengan biayabiaya per fasenya tertera di dalam kertas itu. Mentari menahan nafas melihat besarannya. Dia hanya memiliki tabungan yang cukup untuk pengobatan fase I saja. “Baik dok, tolong segera lakukan treatment-nya. Saya bayar sekarang juga untuk fase I dulu”, ucap Mentari tanpa ragu. Dia tidak tahu apa yang bisa dia upayakan untuk mencari uang untuk fase berikutnya. Namun dalam situasi ini, nalarnya mengatakan, lakukan apa yang bisa dilakukan terlebih dahulu. Sisanya, urusan nanti. “Ya, Bu Mentari. Memang juga sebaiknya kita ikuti langkah ini. Fase II tak bisa ditempuh jika prognosis dari fase I negatif. Seperti saya bilang, saya tak bisa menjamin apaapa. Hanya bisa mengupayakan yang terbaik” “Iya dok, tidak apa-apa. Saya paham. Sangat paham. Tolong bantu saya. Lakukan yang terbaik. Itu sudah cukup. Saya mengambil keputusan ini juga paham dengan resiko terburuknya. Dan saya, tidak akan menyalahkan siapa pun jika ternyata harapan saya tidak bisa terpenuhi nanti. Namun setidaknya, saya tidak akan hidup dalam penyesalan”, kata Mentari dengan nada tegar.
29 | M e n t a r i S e n j a
Dokter itu tersenyum. Dia menjabat tangan Mentari. Mengagumi sikapnya yang bijaksana dalam usia semuda itu. Dalam hati dia bertanya, “seperti apa kehidupan yang telah ditempuhnya?”. *** Malam itu, Mentari mengurus berbagai hal administrasi dan menguras habis tabungannya untuk dibayarkan pada rumah sakit. Dini, yang masih menemaninya, tak berkomentar apa-apa. Seperti dokter itu, hatinya mengagumi kekuatan hati Mentari. Dia membayangkan, jika dia yang ada dalam posisi itu, dia pasti sudah ikut pingsan atau menangis histeris tanpa berbuat apa-apa. Dini tidak banyak tahu tentang latar belakang kehidupan Mentari. Namun karena kejadian ini, dengan dia menemani Mentari dan sedikit banyak mendapatkan informasi mengenai Mentari dan kakeknya untuk sekedar mengisi waktu kosong dengan beberapa tetangga yang juga mengantar ke rumah sakit, Dini jadi tahu lebih banyak. Mendadak dia merasa malu pada dirinya sendiri, yang hampir selalu menangis dan mengeluh menghadapi kerasnya hidup sebagai kaum rakyat biasa. Dia malu dengan usianya yang lebih tua. Dia malu dengan perasaan gampang menyerah yang mudah sekali dia ikuti. Tanpa disadari, figur Mentari yang baru dia ketahui memberikannya kekuatan untuk berusaha lebih tegar. Dalam hati dia bersyukur, Tuhan mempertemukannya dengan sosok itu. *** Mentari mengetahui bahwa fase I itu akan memakan waktu 1 bulan. Waktu yang singkat untuk berpikir bagaimana cara dia mendapatkan uang untuk fase berikutnya. Namun, pikirannya tak kunjung jernih selama seminggu ini. Dini yang menyadari itu, memaksanya untuk istirahat dulu di kampung halamannya dan melarangnya tidak memikirkan apa-apa dulu. Dia bahkan memberikan tawaran untuk menggunakan tabungan yang dia punya yang jauh lebih banyak dari Mentari untuk fase ke II. Walau Mentari mulanya menolak tawaran itu, lambat laun, setelah berulangkali diyakinkan Dini, akhirnya dia mau menerima dengan syarat yang dia tentukan sendiri, yaitu mengembalikan pinjaman dalam jangka 1 tahun. Demi ketenangan hati sahabat barunya, Dini mengatakan iya dan setuju. Dini menemani Mentari hanya 3 hari saja. Dia pamit pulang ke Kota Parahyangan dan berjanji kembali minggu depan. Mentari merasa sedikit lega ada sahabat yang betulbetul peduli padanya. Sahabat yang terbawa nasib untuk mengenalnya lebih jauh. Biasanya, Mentari merasa enggan membuka diri. Namun situasi ini membuatnya menerima kehadiran Dini di hatinya, melebihi kehadiran teman-temannya yang lain. Mentari ingin sekali berada terus di samping kakeknya. Namun tetangga-tetangga terdekatnya memaksanya untuk berjaga bergiliran. Hingga Mentari bisa beristirahat 3 hari berselangan di rumah. Dia bisa mengalihkan perhatiannya dengan membersihkan rumah, mencuci pakaian dan kain-kain, menyiram sayuran yang ditanam kakeknya disekeliling rumahnya yang tak seberapa luas, membuka-buka album tua berisi foto antara dirinya dan kakeknya. Mentari merasakan banyak tekanan di dunia luar sana. Beberapa kali dia hampir menyerah dan kuat bertahan. Namun dia tidak merasa yakin jika hal ini berkaitan dengan kakeknya. Mentari tak pernah membayangkan bagaimana kehidupan tanpa kakeknya. 30 | M e n t a r i S e n j a
Cahaya satu-satunya yang menyala dalam hatinya bahkan di saat-saat terburuk sekali pun. Sehingga ketika kakeknya dalam kondisi kesehatan yang buruk seperti ini, Mentari tak tahu harus memikirkan apa lagi selain berusaha yang terbaik. Walau dia berusaha tegar dan berusaha mengalihkan perhatian, dia sadar rasa ketakutan yang sangat besar bergemuruh mengisi dan menguasai hatinya. Hingga logikanya untuk menemukan solusi masalah terbaik, menjadi seolah mati dan beku. Meskipun dipaksa, dirinya merasa tak berdaya untuk bahkan berpikir. Hanya berusaha menemani kakeknya di rumah sakit secara bergiliran. Itu saja yang bisa dia lakukan sekarang. Dan hari Minggu ini pun, dia bergegas ke rumah sakit. Sudah seminggu kakeknya mendapatkan perawatan intensif. Saat waktu menunjukkan waktu jam 9, dokter spesialis paruh baya yang sama yang menemuinya kemarin, menemuinya lagi. “Bu Mentari, Kakek Anda sudah siuman”, ucap dokter itu. “Oh ya?! Betulkah dok?!”, Mentari merasa kebahagiaan meluapi badannya mendengar kabar itu. “Umm..Bu, ada baiknya Ibu ke sana, beliau memanggil nama Anda terus”, dokter itu segera membimbingnya. Dia menahan informasi lain dan menunggu waktunya tiba untuk menyampaikan pada Mentari. Terlihat Kakeknya berbaring lemah di kasur di ruangannya. Selang-selang infus dipasang di hidung dan tangannya. Walau demikian, mulutnya tersenyum sedikit saat dia melihat cucunya mendekat. “Ta..ri”, ucapnya pelan sambil berusaha mengangkat tangan. “Akiiii”, Mentari berkata tertahan. Tenggorokannya tercekat oleh aliran air mata. Dia membungkuk dan memegang tangan kakeknya dengan penuh sayang. “Tari...Aki ingin pulang..Bawa Aki pulang...”, ucap Kakeknya dengan lirih dan mata menatap penuh kasih. “Iya Ki, nanti kita pulang...Tapi Aki harus dirawat dulu ya Ki? Biar Aki sembuh...Biar kita bisa mencangkul ladang bersama lagi...”, balas Tari sambil berusaha keras menahan air matanya. Usahanya sia-sia. Air mata meleleh perlahan di pipinya. Tangannya tak berhenti mengelus kepala orang yang paling dia sayang itu. “Ta..ri..Aki sudah tua. Aki tak mau dirawat.. Aki mau pulang...bawa Aki pulang besok..Tolonglah Tari..cucuku..Aki ingin di rumah...”, Kakeknya terus menerus mengulang kata yang sama. Lalu dia menutup mata, tertidur. Melihat itu, hati Mentari terasa tertusuk duri-duri tajam. Air matanya berderai tak henti. Dokter yang tadi menemaninya berdiri tak jauh darinya. Menunggu dan memberikan ruang pada mereka yang hatinya terikat satu sama lain dan tengah tersayat pisau takdir. Setelah Mentari berhasil membuat dirinya lebih tenang. Dia berdiri dan menatap ke arah dokter yang bertanggung jawab dengan pengobatan kakeknya. Dokter itu mengangguk dan meminta mengikutinya ke ruangan lain. 31 | M e n t a r i S e n j a
“Bagaimana Dok? Apa yang harus saya lakukan dengan permintaannya? Bagaimana prognosisnya?”, tanya Mentari terus menerus. “Ibu..dengan berat saya menyampaikan, menyampaikan dengan nafas sedikit tertahan.
prognosisnya
buruk”,
dokter
itu
“Buruk? Bagaimana bisa? Tapi tadi dia sudah siuman dan tidur dengan keadaan tenang?”, sangkal Mentari. Menolak ketakutannya sendiri. “Mohon maaf Bu. Saya harus tetap menyampaikan faktanya. Usia kakek Anda sudah 80 tahun lebih. Ya, memang dia terlihat membaik. Hanya dalam 1-2 hari saja sebagai efek dari treatment. Namun, kami sudah melakukan treatment yang paling memungkinkan dan sudah berusaha yang terbaik. Dengan amat sangat menyesal, saya sarankan pada Ibu, sebaiknya permintaannya dipenuhi. Tentunya, menghabiskan waktu terakhir di rumahnya seperti yang dia minta, akan lebih baik untuknya”, kata dokter itu dengan berusaha berkata tenang. Dia, yang sudah berpuluh tahun menghadapi banyak kejadian duka seperti ini, menyadari bahwa dia tak bisa menutupi kenyataan. Dia ingin membantu pihak keluarga untuk bisa tetap rasional walaupun emosi duka terpampang jelas di depannya. Mendengar kata-kata dokter itu, Mentari merasa bangunan yang begitu tebal dan kokoh berjatuhan menghantam dadanya. Hal yang paling ditakutkan, hal yang paling tidak ingin dia dengar, dengan gamblang diucapkan dokter itu. Pun demikian, di satu sisi mekanisme pertahanan dirinya mengemuka ke permukaan. Melindungi dirinya dari serangan paling menakutkan yang dia pernah alami. Air matanya kali ini tertahan oleh benteng pertahanan diri itu, namun wajahnya sangat pucat pasi. Dia terdiam. Sekitar 15 menit. Dengan sabar, dokter itu menunggu sambil menandatangi beberapa berkas di atas mejanya. Lalu, “Baiklah. Saya pikir Anda benar. Terima kasih dokter. Terima kasih banyak”, ucap Mentari pelan. Dia menyalami dokter itu dan berjalan dengan sisa tenaganya ke luar ruangan. Dalam kondisi ini, Mentari tak tidur. Waktu terasa berhenti baginya. Pikiran dan perasaannya berada dalam ruang hampa yang tak jelas. Di bagian jiwa yang lain, kesadarannya masih hadir menangkap realita sekeliling yang mendadak terlihat sunyi. Dia tak bisa mendengar suara apa-apa. Lalu lalang orang, dinding-dinding rumah sakit, bangkarbangkar di sekitar berisi obat-obatan, seperti pajangan dekorasi sebuah lukisan. Dia hanyalah penonton bisu yang hadir di sana. *** Kondisi itu terjadi tak berhenti sampai besok harinya dia menemani kakeknya pulang ke rumah. Dalam dunia yang mendadak bisu itu, yang dia lihat dan yang dia dengar begitu hidup hanyalah wajah, senyum, dan suara kakeknya yang muncul sesekali. Mentari bereaksi tanpa kesadaran penuh. Seperti ada benang yang menarik-narik mulut dan lidahnya untuk
32 | M e n t a r i S e n j a
bersuara memberi jawaban. Seperti ada yang membuatnya bisa tersenyum dengan kesadaran yang bekerja di luar tubuhnya. Sampai akhirnya, pelan-pelan, pikiran dan perasaannya kembali ketika Kakeknya terbangun di tempat tidur biasanya di dalam rumah dan memanggilnya. “Tari...Mentari Pertiwi Raya!”, begitu kakeknya memanggil. Menyebut cucunya dengan nama lengkap. Dengan suara menggema seolah dia begitu sehat. Mentari yang duduk di sampingnya terperangah. Suara itu menyeret kesadarannya kembali pada badannya. Segalanya terlihat lebih hidup lagi. “Ya..ya Aki”, jawabnya segera. Kakinya berlutut di samping dipan dan tangannya segera menggenggap tangan kakeknya. Kakeknya tersenyum. Menatap matanya begitu lembut. Mentari merasa ada hawa sejuk masuk melalui matanya dan perlahan menjalari badannya. “Mentari, cucuku sayang.. Yang hidup akan mati. Semuanya sudah takdir yang tak bisa kita tolak”, ucap Kakeknya tenang. Mentari tak mengerti bagaimana bisa kondisi Kakeknya terlihat normal seketika seperti itu. Saat hanya ada dirinya dan kakeknya berdua di kamar di rumah kayu tua milik mereka ini. “Kini sudah tiba waktunya aku meninggalkan kefanaan dunia ini. Jangan kau tolak, cucuku. Terima saja. Terima jalan hidupmu. Aku tahu. Aku tahu kepahitan yang kau alami. Yang tak berhenti dari sejak kau kecil dulu, akan menjadi buah manis, yang sangat manis rasanya nanti”, begitu kata-kata kakeknya berikutnya. Senormalnya, seharusnya, Mentari berpikir dia menolak kata-kata itu. Dia ingin sekali mengatakan tidak. Dia ingin sekali menyangkal. Tapi seperti ada kekuatan lain yang menahannya. Menahannya dalam kesejukan dari tatapan mata kakeknya. Dari belaian tangan renta yang kini mengelus kepalanya. Mengunci lisannya bahkan untuk sekedar mengeluarkan satu dua kata. “Sebelum aku pergi, aku ingin memberikanmu penanda tentang kedua orang tuamu. Di bawah bantal ini, ada liontin dan kalung ibumu. Di dalamnya, ada foto kedua orang tuamu yang dari dulu selalu kau tanyakan. Seperti apa wajah mereka. Mohon maaf cucuku, aku tak bisa memberikannya padamu dari dulu. Karena memang sudah seharusnya begitu. Pakailah terus. Jaga liontin itu. Nanti, setelah acara pemakamanku, jika datang seorang tamu, lelaki yang usianya lebih muda dariku, sahabat karibku dulu, ikutilah dan turutilah permintaannya. Dialah jalan untukmu untuk memasuki alur hidupmu selanjutnya. Cucuku sayang, apapun yang terjadi nanti, seberat apapun nanti, turutilah dia. Dia lah yang akan menjadi kakekmu dan menjadi keluarga barumu. Mentari Pertiwi Raya. Cucuku tersayang. Izinkeun Aki miang...”, dan senyum cerah, mata hangat, memenuhi raut muka kakeknya. Sekejap kemudian, mata itu tertutup dengan damai.
33 | M e n t a r i S e n j a
Dalam kecepatan tak terduga, katup-katup yang tertutup tadi, terbuka mendadak. Dan meledaklah tangisan Mentari. Tak ada kata-kata lagi, selain ‘Aki’ yang dia sebut berulangkali disela-sela tangisannya. Hampir satu jam lamanya Mentari menangis terguguk memeluk badan Kakeknya yang sudah tak bernyawa. Semua kenangan tentang kakeknya memenuhi kepala dan hatinya. Berputar-putar seperti tayangan film yang tak berhenti. Bercampur dengan rasa sesal tak memperhatikan kondisi kesehatan kakeknya dari sejak dulu. Sesal karena dengan naifnya dia selalu percaya dengan nada riang kakeknya ketika menjawab dengan terbatukbatuk. Sesal karena dia terlalu menyibukkan diri dengan urusan sendiri. Rasa kehilangan yang kuat menyayat lubuk hati terdalamnya. Memecahkan air mata yang hampir kering. Seolah sayatan itu berhasil memasuki muara air mata yang tersembunyi. Baru kali ini Mentari bisa menangis sehebat itu. Segala kepahitan hidupnya dan tekanan yang dia tahan dan kendalikan selama ini, pecah berhamburan. Hingga badannya tak mampu lagi menampung dan dia pingsan beberapa saat. *** Ketika Mentari siuman, banyak orang sudah memenuhi rumahnya. Dia segera dipapah Bu Asih, tetangga terdekatnya yang sudah terasa seperti keluarga. Mentari duduk dalam hening di dalam kamar. Sementara para tetangga membantu bergotong royong mengurusi prosesi kematian. Memandikan mayat, menyolati, membungkusnya dengan kain kafan, dipimpin kepala kampung setempat. Kakek Mentari adalah tetua yang dihormati dan disegani masyarakat sekitar. Rendah hati dan tak banyak bicara. Namun ketika ada permasalahan di kampung, pendapatnya selalu dipakai karena paling bijaksana dan mampu menjawab permasalahan. Kakek Mentari terkenal dengan kebiasaannya yang suka ngahaleuang dan ngahariring saat tengah malam atau menjelang subuh. Walau perilaku itu tampak tak umum, penduduk sekitar menyukainya karena mereka bisa merasakan ketenangan. Tak ada yang memprotesnya atau mengeluh karena kebiasaannya itu. Justru malah beberapa orang tua yang mengetahui sebagian banyak kisah orang sakti jaman dulu membicarakan perilaku itu sebagai perilaku orang sakti. Dengan perilaku santun, unik, dan bijaksananya itu, maka banyak orang membantu dengan perasaan sukarela untuk menyelesaikan prosesi kematiannya. Hampir tumpah orang sekampung datang ke sana. Ibu-ibu sibuk menampung sumbangan beras dan sumbangan uang sebagai tanda bela sungkawa. Begitu banyak sumbangan yang diterima sampai Ibu-Ibu itu bisa menghitung semuanya cukup untuk dipakai selama 7 hari tahlilan nanti. Mentari mampu mendengar hiruk pikuk tetangganya. Namun dia pun masih sangat lemas untuk bergerak sekedar menyambut tamu. “Neng, istirahatlah dulu. Biarlah semua urusan ini kami yang urus. Neng tenang saja ya?”, kata Bu Asih sambil mengelus kepala cucu tetangganya ini. Yang sudah dia anggap sebagai putrinya sendiri. Mentari hanya mengangguk. Dan dia pun tertidur. 34 | M e n t a r i S e n j a
*** Sehari sebelum Kakek Mentari meninggal, Raja Angkasa II atau kita sebut juga Baginda Sepuh mendengar kabar sakitnya Kakek Mentari. Dia sempat dihinggapi emosi sesaat mempertanyakan mengapa dia mendapatkan kabar dalam waktu yang terlambat. Bagaimanapun juga, ketika dia mendengar kabar tentang sahabat karibnya yang menolak menjadi penasihatnya dari dulu itu jatuh sakit, emosi manusiawinya muncul ke permukaan. Namun, itu tidak lama. Segera, dia mempersiapkan perjalanan menuju rumah sahabatnya dengan menggunakan pakaian biasa dan mobil yang tak terlampau mencolok. Tanpa supir pribadi. Tak ada yang pernah benar-benar mengetahui keberadaan sahabat karibnya itu, kecuali tim yang sangat dipercayainya. Hingga dia memutuskan berangkat sendiri. Di saat seperti ini, dia ingat dengan janji mereka sebelum Ki Buana Raya memutuskan pergi membawa cucunya. Mereka sama-sama memiliki pandangan ke depan dan menyepakati pandangan itu bersama. Dan itulah janji yang kini ditepati oleh Baginda Sepuh. Yang membuatnya bersegera menuju rumah sahabat karibnya. Untuk mengambil Mentari, menjadi cucu angkatnya. *** Senja itu, Mentari bersimpuh sendirian di pinggir makam Kakeknya. Dia membacakan do’a-do’a dan surat Yasin dengan hati yang damai. Dia tidak tahu bagaimana dia dengan begitu mudah mendapatkan ketenangan setelah dia tertidur karena lelah menangisi kematian kakeknya. Dia tidak tahu mengapa dia mendadak begitu mudah melegakan hatinya saat dia tadi terbangun dan menyadari proses pemakaman telah selesai dan orangorang sudah pulang melayat. Seperti ada kekuatan baru yang muncul begitu saja memenuhi seluruh tubuhnya. Yang terbayang kini olehnya hanyalah senyum cerah dan tatapan hangat kakeknya sesaat sebelum meninggal. Juga kenangan-kenangan manis bersama kakeknya dari sejak kecil dulu. Kesedihan dan kesepian dari ditinggalkan seolah dengan penuh dipeluk oleh gambaran-gambaran itu. Setelah dia selesai berdo’a di makam kakeknya, Mentari melanjutkan do’anya di makam kedua orang tuanya yang bersebelahan dengan makam kakeknya. Liontin yang disebut kakeknya, kini sudah menggantung di dadanya. Samar-samar, saat dia berdo’a, beberapa kilasan kenangan muncul begitu saja. Wajah samar ibunya menatapnya di balik ranjang bayi. Bayangan buram ayahnya saat memainkan boneka sambil tergelak terasa begitu hangat. Anehnya, ingatan ini dulu tak pernah ada. Kini hadir pelan-pelan saat dia membuka liontin yang diberikan kakeknya dan memandang kedua foto di dalamnya. Ayah ibunya. “Kakek, Ayah, Ibu, terima kasih telah menyayangiku. Terima kasih telah hadir ke dunia hingga aku terlahir. Terima kasih”, gumamnya pelan. “Senja terasa lebih megah hari ini”, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah belakangnya. Mendengar suara itu, Mentari berdiri. Seorang kakek berbaju pangsi sederhana dan bertopi seperti jerami berdiri tak jauh darinya. Menatapnya dengan senyum ramah. 35 | M e n t a r i S e n j a
“Mentari ya?”, tanyanya kemudian. Mentari tentunya kaget dengan pertanyaan itu. “Ah, iya.. saya Mentari. Anda?”, jawab Mentari sambil bertanya balik. Berusaha mengamati wajah itu dan mencocokkan dengan template memori di kepalanya. Wajah itu tampak familiar, tapi dia merasa sulit mengingat. “Saya, sahabat karib Kakekmu, Nak”, jawab kakek itu tenang dengan wajah yang tetap tersenyum. Mentari ingat dengan kata-kata Kakeknya yang terakhir. “Ah...iya...”, hanya itu yang mampu diucapkan Mentari dengan rikuh. “Dari jawabanmu, tampaknya Kakekmu sudah memberitahu bakal kedatanganku. Buana, Buana... memang kau sakti rupanya. Nak, izinkan aku berdo’a sebentar di depan makam Kakekmu ya?”, ucap kakek itu. Mentari hanya bisa mengangguk. Tak mengerti mengapa kakek itu menyebut nama Buana. Siapa itu Buana? Tanyanya dalam hati. Mentari berdiri menunggu. Mencoba mengingat-ingat siapakah wajah yang terasa familiar itu. Namun entah mengapa, dia tak kunjung juga menemukan di bank memorinya siapa dia. Karena tak juga menemukan jawaban dari pertanyaannya, Mentari menyerah dan memilih duduk di pinggaran tembok makam Ibunya. Seolah tahu jenazah siapa lagi yang terbaring di sekitar, kakek itu melanjutkan berdoa di antara kedua makam ayah dan ibunya. Matanya terpejam dan keheningan damai memenuhi udara di sekitar. Setelah selesai. “Aku sudah selesai Nak. Apakah boleh aku mengistirahatkan badan yang sudah renta ini di rumahmu?”, tanya kakek itu kemudian. “Ah ya, ya, tentu saja Kek. Mari, ikuti saya”, jawab Mentari sedikit tergagap. Walau rikuh, dia berjalan seolah menjadi pemandu di depan. Baginda Sepuh tersenyum melihat Mentari berjalan di depannya. Apa yang dia tunggu kini menjadi kenyataan. Dia berharap, sangat berharap, Mentari bisa memenuhi permintaannya nanti. *** Setiba di rumah, adzan magrib terdengar mengumandang. Mentari melihat sudah tidak ada orang. Pastinya Bi Asih dan tetangga lain kembali dulu ke rumah masing-masing. Sebelum sempat berbicara, kakek itu meminta waktu untuk sholat terlebih dahulu. Dengan patuh, Mentari menuruti dan menunjukkan tempat sembahyang. Dia sendiri menjadi makmumnya kemudian. Mentari merasa, suasana sholat terasa begitu syahdu. Dia sadar kakeknya telah tiada dan sudah sepenuhnya merelakan. Kini, kehadiran kakek yang tak dia kenal ini, 36 | M e n t a r i S e n j a
membuatnya merasa memiliki kakeknya kembali walau dalam wujud yang berbeda. Dalam hati, dia mulai meyakini setiap kata terakhir yang diucapkan kakeknya. Jika ini kakek yang dimaksud oleh kakeknya, dia tahu dia harus melakukan apa. Dia merasa sebuah cahaya mendadak menyala dari sudut lain di ruangan hatinya. Yang sesaat lalu padam dan gelap kini memendarkan cahaya kembali. Walau dia merasakan kedamaian yang juga secara ajaib hadir setelah kematian kakeknya, nalarnya tak mampu menjangkau masa depan. Berhenti di kekinian. Selama ini, kakeknya lah yang menjadi panduan hidupnya. Yang menunjukkan arah kemana dia harus bergerak. Ketika padam dan hanya ada damai, dia tidak tahu kemana akan menuju setelah semua prosesi usai. Kini, dalam waktu cepat yang tak terduga, cahaya baru menyala kembali. Seusai sholat dan do’a, mereka duduk di kursi kayu ruang tamu sederhana. Mentari menyajikan secangkir teh panas dalam batok kelapa yang memang biasa digunakan di rumah itu. “Maafkan saya Kek, hanya hidangan ala kadarnya yang bisa disediakan”, ucap Mentari sopan sambil menghidangkan teh itu. “Ahahaha, tak apa-apa Nak. Justru ini mungkin teh termewah yang aku dapatkan sepanjang hidup”, jawab Baginda Sepuh sambil tersenyum. Mentari duduk di kursi sebelahnya. Menunggu dan terdiam. Tak tahu harus berkata apa lagi. “Mentari, aku ini sahabat karib kakekmu yang sudah lama, sangat lama sekali, tak bisa berkunjung sekali pun ke sini. Kakekmu itu, memang ajaib. Pelit sekali dia. Tak mau meninggalkan alamatnya sampai aku harus menemukan sendiri”, Baginda Sepuh mengawali pembicaraan sambil sedikit terkekeh. Mentari hanya tersenyum rikuh. “Nah, Nak, maksud kedatanganku hari ini ke sini, selain mengunjungi Kakekmu yang sudah terbaring di sana, aku ingin menyampaikan sebuah permintaan. Sebelum Kakekmu memutuskan hidup di sini, kami pernah sama-sama berjanji. Siapa pun yang meninggal lebih dulu di antara kami, maka yang masih hidup harus mengangkat anggota keluarga yang ditinggalkan menjadi anggota keluarganya. Dan tentu bagimu sudah jelas, Nak. Kakekmu lah yang lebih dulu meninggal daripada aku. Apalagi memang, usia dia masih lebih tua daripada aku. Nah, apakah kau mau menjadi cucu angkatku, Nak?”, tanya Baginda Sepuh tanpa terlalu banyak basa basi. “Eh? Ahhh..Yyyaa, Kakek saya menyampaikan tentang ini sebelum beliau meninggal. Saya, saya cukup kaget bagaimana kata-kata wasiatnya menjadi kenyataan persis sesuai yang dia katakan. Tapi, apa Kakek tidak merasa perlu bertanya banyak lebih dahulu tentang saya? Atau mungkin apabila tidak berkeberatan, bolehkah saya tahu siapa Kakek dan dari mana asalnya?”, Mentari dengan rikuh menjawab dan memberi pertanyaan balik. “Ahahahah! Ya ya ya, terlalu mengagetkan ya semuanya. Kalau aku, tak perlu lagi bertanya tentang dirimu, Nak. Rasanya, aku sudah banyak tahu, lebih dari yang kamu duga. Aku juga pernah menggendongmu saat kau baru lahir. Pernah mengajakmu bermain saat kau baru bisa belajar berjalan tertatih. Apa itu bahasa Sundanya ya? Ah ya, lelengkah halu. 37 | M e n t a r i S e n j a
Ya ya, lelengkah halu. Jadi, aku tak perlu banyak bertanya. Di usia tua ini, sudah saatnya banyak mendengar dibanding bertanya bukan? Hehehe... Nah, namaku Sapu Jagat. Namaku yang paling asli adalah itu. Nama orang tua jaman dulu ya begitulah. Yang juga biasa digunakan Kakekmu untuk memanggilku. Kau boleh memanggilku Aki saja seperti layaknya kau panggil Kakekmu, Nak. Aku tinggal di Gunung Salak sekarang. Punya anak 3 orang. Yang sulung laki-laki, dua adiknya perempuan semua. Cucuku sudah 5 orang. 1 dari yang sulung, masing-masing 2 dari yang perempuan. Mereka semua sudah punya rumah masing-masing dan tinggal bersama keluarganya. Aku sendiri memilih kembali ke kampung halaman di Gunung Salak untuk menikmati masa pensiun. Sekedar bertani dan berkebun. Yah, sekedar menghabiskan kegiatan masa tua saja. Paling sering aku berkunjung ke rumah anak yang paling sulung karena dia masih suka memaksaku membantunya menyelesaikan tugas, hehehe.. Lagipula, memang dia yang paling dekat. Dia bekerja di Jakarta dan tinggal di sana juga. Anakku yang dua orang lagi memang juga tinggalnya jauh. Mengikuti suaminya. Yang satu tinggal di Sumatra di daerah Samudera Pasai dan satu lagi di daerah paling timurnya negeri ini, di kepulauan Merauke. Jauh sekali kan?” “Oh ya ya..”, komentar Mentari setelah menyimak dengan baik penuturan yang diketahuinya sebagai Aki Sapu Jagat ini. “Niatku, kalau kau mau menjadi cucu angkatku, kau akan tinggal di Jakarta bersama anak sulungku. Mereka hanya punya anak tunggal dan tak bisa punya anak lagi. Seringkali mereka kesepian kalau anaknya sedang pergi ke luar kota dan menyelesaikan banyak urusan. Rasanya kalau ada kamu yang bisa menemani mereka, mereka pasti akan senang sekali. Mereka juga sudah tahu niatku ini. Dan memang betul-betul menerima dengan baik. Tapi, aku tak bisa bilang dulu pastinya bagaimana sebelum mendengar jawabanmu. Jadi bagaimana, Nak?”, tanya Baginda Sepuh lagi. Mentari terdiam sebentar. Rasa yakin dan kepatuhan muncul di hatinya. Kepatuhan pada wasiat kakeknya. Entah bagaimana, dia merasa begitu mudah terhubungkan dengan kakek baru yang kini duduk santai di ruang tamunya. “Ya, Aki...saya bersedia. Tapi, inilah saya apa adanya. Kekhawatiran saya hanya satu, saya takut tidak bisa menjadi cucu yang baik. Saya tidak kenal juga keluarga Aki. Saya tidak tahu apakah saya bisa diterima setelah mereka bertemu dan mengenal saya. Saya hidup lama dengan Aki saya dan Aki tahu sendiri kami ini keluarga miskin. Bahkan, jujur saja Ki, dua minggu lalu saya dipecat dari tempat kerja saya. Jadi bisa dikatakan saya pengangguran sekarang. Tapi, saya janji, saya akan berusaha mendapatkan pekerjaan sehingga saya tidak akan menjadi tambahan beban di keluarga anak Aki”, jawab Mentari panjang lebar. Dengan mudah, dia bisa menuturkan kata hatinya pada orang asing, yang biasanya sulit dia lakukan. “Hush sh sh.. Kata siapa kamu dan kakekmu miskin. Kalian adalah orang-orang yang kaya. Kaya akan ilmu dan kaya kebaikan hati. Nanti, kalau waktunya tiba, aku juga bisa menceritakan banyak tentang orang tua dan kakekmu di jaman dulu. Mungkin banyak kisah
38 | M e n t a r i S e n j a
yang ingin kamu ketahui. Tapi tidak sekarang-sekarang. Karena ceritanya sangatlah panjang. Aku dan anak-anakku tidak butuh orang kaya harta, Nak. Jangan kau risaukan itu. Kami juga tidak butuh kamu bekerja di kantor. Jadilah anak mereka dan cucuku. Kalau kamu ingin belajar banyak lagi, ingin kuliah lagi misalnya, atau apapun itu termasuk sekedar hobi misalnya, tinggal bilang saja sama anak sulungku atau mantuku atau aku. Nanti kamu bisa dapat gambaran yang lebih jelas kalau sudah ada di sana. Tentunya semua orang butuh adaptasi. Itu pasti. Karena itu proses alami kita menjadi manusia bukan? Intinya, aku sangat senang kamu sudah mengatakan iya. Sangat amat senang karena itulah jawaban yang sangat aku harapkan. Nah kira-kira, kapankah kau siap dijemput? Kalau bisa, tidak melebihi batas seminggu agar aku dan anak-anakku bisa menyiapkan segala sesuatunya” “Umm... saya harus mengikuti tahlilan sampai 7 hari, Ki. Setelah itu selesai, saya bisa berangkat. Kira-kira, apa saja yang harus saya siapkan?” “Ahahaha...Pas betul itu. Kamu tidak perlu menyiapkan apa-apa. Cukup membawa badanmu saja, Nak. Bawa saja barang-barang yang kau anggap berharga. Aku jemput di hari ke-8 ya.. Nah, karena hari sudah gelap begini dan kakek barumu ini sudah agak rabun, aku pamit dulu, Nak”, Baginda Sepuh berdiri. “Lho, Aki tidak menginap saja dulu semalam di sini?”, tanya Mentari kaget. “Aki minta maaf, tidak bisa menginap. Kapan-kapan saja kita ke sini bersama keluarga barumu menginap bersama. Baiklah, Nak. Sampai jumpa lagi...”, dan pergilah Baginda Sepuh meninggalkan rumah. Mentari merasa keajaiban tak berhenti mengalir. Keajaiban yang tak mampu dia nalar namun memberikan ketenangan yang dia butuhkan. Karena, semua ini terjadi sama persis seperti yang dibilang almarhum kakeknya. ***
Reaksi Sahabat “Apaaaaaa?!!!! Lalu kau terima begitu saja, Tari? Kamu gila ya?!!! Apakah tak terpikir olehmu mungkin Kakek itu semacam mahluk halus? Datang tak diundang. Pergi tak diantar. Bahkan dia tak meninggalkan nomor kontak. Datang pakai baju gaya orang jaman dulu?! Hanya karena dia mengaku teman kakekmu, apa kamu bisa langsung percaya?!!”, Dini yang baru datang di hari ke-3 tahlilan berteriak protes mendengar kabar bahwa Mentari akan tinggal di Jakarta dengan keluarga angkat yang baru. Mentari tertawa mendengar reaksi sahabatnya. Dia memang tidak menceritakan bagaimana wasiat kakeknya sebelum meninggal. Sehingga dia maklum Dini bereaksi seperti itu.
39 | M e n t a r i S e n j a
“Tari, serius deh! Beneran kamu akan pergi ke sana? Tinggal di keluarga yang bahkan kamu tidak kenal sama sekali?! Di usiamu yang 24 ini, apa tidak aneh kamu tiba-tiba menjadi cucu dan anak angkat keluarga asing?”, Dini mengguncang-guncang bahu Mentari karena kesal sahabatnya hanya tertawa saja. “Iya, Mbak... Ya begini saja, kalau ternyata Aki itu tidak menjemputku, berarti dia memang hantu seperti yang Mbak bilang. Aku kan tinggal melanjutkan hidupku di kota bersama Mbak mengembangkan salon yang akan segera Mbak buka itu. Kalau ternyata dia betulan datang menjemput, ya aku nanti kasih kabar ke Mbak bagaimana – bagaimananya”, Mentari berkomentar ringan. “Ya ampun, Tariiiii... Aku tak menyangka aku bisa punya sahabat yang aneh dan tak mudah aku tebak seperti kamu. Aku tak habis pikir ini”, Dini menepuk-nepuk jidatnya sendiri pasrah dan pengambilan keputusan Mentari yang baginya sangatlah aneh. “Jangankan Mbak. Aku saja aneh kok. Tapi ya beginilah jadinya”, Mentari tersenyum. Dini akhirnya menyerah. Memilih membantu Mentari menyortir barang-barang yang ada di rumah tua itu dan sibuk membicarakan rencananya membuka salon sederhana dengan modal yang dia punya. “Mbak, kenapa Mbak ingin buka salon?”, tanya Mentari tiba-tiba. “Mengapa? Karena aku suka bergosip Tari”, jawab Dini ringan. “Heh?! Itu bukannya lebih aneh lagi?”, Mentari menggodanya. “Enak saja! Tetap tak seaneh kamu! Kau tahu sendiri aku seperti apa orangnya. Pekerjaanku selama 7 tahun di BUMK kalau dipikir-pikir ya bergosip dan mencuri dengar cerita. Sampai akhirnya, aku menjadi korban gosip dan fitnah orang. Kamu juga terbawa tentunya. Nah, setelah melakukan proses introspeksi dan refleksi diri, aku berpikir mungkin itulah jalan hidupku. Ke-be-tu-lan, ada 2 orang transeksual, Peggy dan Yance, yang dekat denganku dan mereka sedang bingung mencari orang yang mau kerja sama dengan mereka untuk buka salon. Mereka punya bakat dan keterampilan, tapi tak punya tempat tetap untuk menyalurkan minatnya. Aku? Senang bergosip, bingung buka usaha apa, dan bisa sedikit ilmu manajemennya. Ya sudah! Klop kan? Di situ aku semakin yakin, dengan proses yang dimudahkan begitu saja, itulah bagian hidupku. Jelas kan? Dari pada kamu yang tak ada jalur logikanya sama sekali!”, jawab Dini penuh semangat. Diakhiri dengan isu sama lagi mengenai Mentari. Mentari hanya tertawa. “Eh..eh..ngomong-ngomong tentang gosip, apa kau tahu gosip yang sedang hot sekarang ini? Kalaaaaau saja usiaku masih kepala 2 sepertimu, aku pasti ikut mencalonkan diri”, mendadak sesuatu membuat Dini terlihat lebih semangat. “Eh? Gosip hot? Gosip apa, Mbak?”, Mentari mengernyitkan dahi. “Aaahhh, payah! Di sini apa tidak ada tivi, Tari? Haduhhh! Kamu akan ketinggalan jaman kalau hidup begini terus! Kamu tahu Pangeran Samudera kan? Putra Mahkota raja kita tercinta?” “Ya iya lah, Mbak.. Bukannya Bu Friska bilang itu adalah orang yang duduk di sebelah Pangeran Batara saat aku memaki balik Viona? Yang bagiku menyebalkan dan kerjaannya hanya menonton tak bergerak”, jawab Mentari teringat dengan kejadian hampir 6 bulan lalu. “Eh iya ya?! Ah sudahlah, itu kan dulu sekali! Jadiiiiiii, Baginda Raja Angkasa I, alias Baginda Sepuh, aka kakeknya Putra Mahkota, memimpin rapat keluarga langsung untuk menentukan calon tunangan dan calon istri Pangeran Samudera. Dan Baginda Sepuh yang eksentrik itu, menurut penyiar berita, mengubah adat istiadat biasanya!” “Maksudnya?” “Iya, jadi Baginda Sepuh mengatakan, siapa pun yang dipilih oleh Pangeran Samudera nanti saat memasuki tahun pernikahan, siapa pun yang berhasil membuatnya jatuh cinta, itulah istrinya kelak! Gila kan?!!!”, dengan heboh Dini menceritakan poin itu
40 | M e n t a r i S e n j a
dengan penuh penekanan dan penuh perasaan. Seolah dialah yang akan mendapatkan cinta itu. Mentari tertawa kecil melihatnya. “Mbak, yakin kata-katanya ‘siapa pun’? Bukannya itu agak aneh? Berarti anak tukang becak, anak tukang sayur, anak petani, anak-anak kalangan bawah juga bisa? Kok terasa seperti dongeng sekali ya?”, seloroh Mentari ringan. “Aihhhhh!!! Kamu itu senang sekali merusak skenario cerita heboh begini! Hmmm... tidak jelas sih. Yang aku dengar sih begitu. Tapi, memang agak tidak masuk akal kalau siapa pun. Ya kan yang bisa dekat dengan Pangeran Samudera pastilah kalangan itu itu lagi. Putri bangsawan. Putri anggota parlemen. Putri keluarga perdana menteri. Putri pengusaha kaya raya. Bagaimana caranya juga dia bisa dekat dengan keluarga lain dan bahkan keluarga menengah ke bawah ya? Yahhh...eh tapi, kalau seandainya, seandainya, Ibu Friska jadi calon, bagaimana ya itu?”, mendadak pikiran Dini meloncat pada kemungkinan lain. “Nahhh, itu baru mungkin. Bagus juga”, komentar Mentari pendek. “Bagus juga?! Ya ampun Tariiiiiiii...ahh, menggosip denganmu memang tidak menyenangkan! Coba dengan Peggy dan Yance! Heboh pastinya! Ahhh...sayangnya Bu Friska tak memberikan nomor telepon baru atau meninggalkan alamat emailnya. Coba kalau ada, aku pasti langsung kontak dan menanyakan barangkali dia termasuk dalam daftar calon Ratu Indonesia masa depan”, dan melamunlah Dini dalam dunianya sendiri. Mentari tersenyum kecil melihat perilaku sahabatnya. Bagaimana pun, dia merasa sangat terhibur dengan kehadirannya. ***
Keluarga Baru Tak terasa tiba juga waktunya bagi Mentari untuk keluar dari kehidupan yang dijalani selama 24 tahun ini. Aki Sapu Jagat bukanlah hantu seperti yang ditakutkan Dini. Dia benarbenar datang memenuhi janjinya. Menjemput Mentari ditemani seorang supir yang langsung mengangkat koper yang sudah dipak. Sepanjang perjalanan, mereka tidak terlalu banyak berbicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Mentari, tak mampu melepaskan diri dari perasaan familiar yang semakin kuat. Sempat dia terpikir, mungkin karena dulu Aki barunya ini pernah menggendong dan mengajaknya bermain di masa usia bawah dua tahun makanya dia merasa tidak asing. Tapi semakin ditelusuri, rasanya ada yang lebih dari itu. Baru ketika tiba di kawasan Jakarta, Mentari mulai berdebar. Mobil melaju menuju kawasan yang samar-samar ia kenali dari berita-berita di televisi. “Ini bukannya jalan menuju...”, pikirannya terhenti. Hatinya terasa lebih cemas. Mobil terus melaju. Pelan-pelan, sambil mengamati wajah di sebelahnya yang diam dengan tenang memandang ke depan, pikiran Mentari semakin jelas. Tepat saat mobil tiba di gerbang pertama istana, tepat pula kesadarannya terbentuk utuh. “Ampun, Baginda Sepuh! Ampunkan Hamba yang luput mengenali Baginda! Ampunkah Hamba!”, tiba-tiba Mentari berseru keras sambil terus menerus membungkukkan setengah badannya ke arah figur yang kini dengan jelas ia kenali itu. “Ahahahahahah! Mentari, Mentari! Ahahahahah”, tertawa keraslah Baginda Sepuh melihat reaksi itu. Supir yang menyetir mobil tak luput tertawa kecil. “Maafkan Hamba, Baginda Sepuh”, Mentari merasa suaranya semakin tercicit. Dia BENAR BENAR TAK MENYANGKA. Tak tahu harus berbuat apa selain meminta maaf. Berbagai potongan bayangan hadir menyeruak di benaknya. Tak mengerti bagaimana 41 | M e n t a r i S e n j a
bisa almarhum Kakeknya terhubung dengan orang nomor satu terkuat yang masih hidup di kerajaan negeri ini. Tak mengerti bagaimana ia bisa begitu dungu tak mengenali pemimpin bangsa termasyhur yang berulang kali fotonya dipampang dimana-mana dan di buku-buku kepemimpinan yang pernah dia baca. “Ahahahah! Sudah, sudah Nak... Tak perlu minta maaf. Aku justru berterima kasih bisa melihat bahwa salah satu generasi penerus bangsa ini menemukan kesulitan mengenaliku dalam sekali tatap. Mentari, Mentari, kau betul betul akan jadi cucu yang menghiburku”, Baginda Sepuh tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Mentari pelan. Diam-diam menarik ilmu penyamunan yang dia pakai sejak bertemu pertama kalinya dengan perempuan itu. Dan seperti biasanya. Mentari tak bisa berkata apa-apa. Hanya duduk dengan sikap yang lebih kaku dan tegang. Tidak bisa memahami bagaimana keajaiban hidup membawanya sampai ke titik ini. “Bagaimana bisa ini terjadi? Absurd, tak masuk akal, seperti dongeng. Siapakah Kakekku sebenarnya?” Berulangkali dia tanya itu dalam hatinya kini. Lalu pikirannya loncat kembali ke arah lain. “Berarti aku akan tinggal di istana? Di rumah anak sulungnya? Ini maksudnya rumah? Lalu aku akan jadi anak angkatnya Raja Angkasa II? Orang nomor satu di negeri ini?! Bagaimana bisa????”, berulang-ulang pikiran dan pertanyaan itu memenuhi benaknya hingga dia merasa kepalanya berdenyut kencang. *** Beberapa saat sebelumnya.. “Jadi, hari ini calon pilihan kakekku akan datang?”, tanya Pangeran Samudera dengan suara agak malas kepada ayah dan ibunya di pendopo keluarga mereka. “Ya, Ananda. Mungkin datang sebentar lagi. Baginda Sepuh tadi bilang sudah di jalan”, jawab Ibundanya lembut. Matanya terlihat lebih cerah dan bersemangat daripada biasanya. “Siapa dia, Ibunda? Sahabat lama Eyang itu sahabat yang mana kah?”, tanya Pangeran Samudera. “Ibunda juga kurang jelas, Ananda. Ibunda tidak banyak tahu mengenai sahabatsahabat Baginda Sepuh”, jawab Ratu Selasih dengan lembut sambil tersenyum. Raja Angkasa tersenyum mendengar pembicaraan itu. “Mungkin tak perlu kita tahu siapa sahabatnya. Pasti, siapa pun itu, adalah orang yang sangat istimewa untuk Eyangmu, Samudera. Yang jelas, cucunya datang hari ini”, katanya dengan tenang. “Paduka Raja Angkasa, Baginda Sepuh sudah datang bersama orang yang kita nanti semua”, kepala pelayan Pendopo Raja menyampaikan pada mereka setelah dia menerima kontak. “Oh ya? Baiklah. Ayo kita sambut tamu kita”, Raja Angkasa berdiri. Diikuti istri dan anaknya menuju pintu utama Istana. *** Mentari merasa rikuh saat dia keluar dari mobil. Dia mengenakan celana jeans yang sudah sangat belel. Sepatu kets yang juga hampir usang. Kemeja besar yang motifnya sudah lusuh dan tidak jelas. Rambutnya dia ikat kencang pakai karet gelang. Memperlihatkan kening yang terbuka. Dia memaki diri sendiri mengapa dia tadi tidak menggunakan minimal lipstik. Ketika para pelayan menyambut kedatangan mereka, Mentari bisa melihat, bahkan mereka jauh terlihat lebih beradab, rapi, bersih, dan tampil lebih menonjol dibanding dirinya. Karena itu, dia memilih banyak menunduk. Baginda Sepuh tersenyum melihat kerikuhan Mentari. Segera dia merangkul pundaknya. Mengagetkan Mentari dan mengagetkan para pelayan dan pengawal yang melihatnya. Baru kali ini mereka melihat Baginda Sepuh memperlihatkan keakraban dan 42 | M e n t a r i S e n j a
sikap lekat dengan orang lain. Orang lain ini bahkan adalah seorang perempuan yang terlihat miskin yang tidak mereka kenal sebelumnya. Melihat sikap Baginda Sepuh, mereka tahu inilah salah satu calon istri Pangeran Samudera dan orang itu layak mendapatkan penghormatan mereka. Walau ada banyak pertanyaan di kepala mereka, mereka tahu mereka tak boleh dan tak bisa bertanya lebih dan memperlihatkan sikap selain patuh. “Salam penghormatan, Ayahanda”, suara Raja Angkasa bergema menyambut Ayahandanya. Diikuti oleh istri dan anaknya. “Salam penghormatan, anak-anak dan cucuku”, Baginda Sepuh menjawab, “Mari Nak, kita masuk dulu”, ajak Baginda sepuh pada Mentari yang masih saja tertunduk. Melihat bagaimana gadis itu berpenampilan, Samudera menahan tawanya. Tertawa karena lagi-lagi, kakeknya menyajikan tontonan yang sangat menarik. Dia pikir, dia akan bertemu seorang perempuan yang anggun, rupawan, dan layak untuk diperhatikan seperti yang dia lihat selama ini di sekelilingnya. Tak menyangka bahwa kakeknya membawa seorang perempuan udik dan berpenampilan buruk seperti itu. Sementara dalam hati, Mentari berdo’a, semoga Pangeran angkuh dan menyebalkan itu, tak pernah mengingat dirinya. Setibanya di ruangan tamu utama, mereka duduk di kursi sofa berbalut beludru mewah. Seperti layaknya saat dia dulu pertama kali ke rumah Friska, Mentari merasa badannya menciut dimakan kemegahan. Sekarang perasaan itu lebih parah lagi. Dia tak pernah bermimpi akan bisa masuk ke Istana ini. Hadir bukan sebagai pekerja tapi sebagai calon anak angkat Raja dan Ratu, cucu angkat dari Baginda Sepuh. Dari semua kejadian itu, hanya satu yang setengah disesali Mentari, yaitu dia akan menjadi saudara angkat Pangeran menyebalkan itu. “Nah, anggota keluarga baru kita telah tiba. Perkenalkan ini Mentari Pertiwi Raya, yang sekarang telah resmi menjadi cucu angkatku”, ucap Baginda sepuh dengan senyum bahagia. “Cucu angkat? Tapi Eyang, bukannya...”, Pangeran Samudera sangat kaget mendengar itu. Yang dia tahu perempuan itu adalah calon pilihan kakeknya. Tapi mengapa tiba-tiba informasi lain datang lagi ke telinganya. “Hahaha, Samudera, Samudera...Lalu bagaimana lagi Eyangmu yang sudah sepuh ini menggunakan kewenangannya untuk bisa membuat Mentari bisa tinggal di sini? Ayahanda dan Ibundamu sudah setuju juga”, balas Baginda Sepuh yang diikuti anggukan hormat kedua anaknya. Mentari yang kaget mendengar reaksi Pangeran Samudera menengedahkan wajah sedikit. Ketika matanya bertemu dengan tatapan tidak suka dari orang yang dipandangnya, Mentari segera menundukkan wajah lagi. Mentari sendiri tidak mengerti apa maksud katakata menggantung dari Pangeran itu. “Aku titipkan cucu angkatku dan anggaplah dia sebagai keluarga baru kalian. Ratu Selasih, sayangilah dia seperti anakmu sendiri. Didiklah dia mengikuti kata hatimu. Kau tentunya sudah tahu lebih banyak sekarang setelah aku menyampaikan banyak kisah tentangnya setelah Rapat Besar Keluarga dua minggu lalu. Juga Anakku, Bumi Angkasa, lindungi dia selayaknya putri kandungmu sendiri. Aku tidak meminta cucuku yang bengal untuk memberikan perhatian apa pun, tentukan saja sendiri olehmu, Pangeranku”, lanjut Baginda Sepuh mengabaikan Pangeran Samudera yang terlihat ingin protes. “Mentari adalah gadis yang tumbuh di lingkungan yang berbeda jauh dengan kita. Tolong jangan terlalu banyak tekanan. Tentunya sulit bagi dia untuk beradaptasi di lingkungan yang tak biasa menurutnya ini. Aku akan pertimbangkan kepindahanku ke sini kalau ternyata memang situasinya membutuhkan hal itu. Yang jelas, aku akan terus menanyakan lebih intensif seperti apa keadaannya nanti. 43 | M e n t a r i S e n j a
Aku minta dia bisa ditempatkan di Pendopo Teratai, tempat istirahat Baginda Ratu terdahulu. Membuatnya tinggal di Pendopo Utama Keluarga tentunya akan sulit. Pendopo Teratai tampaknya akan sangat pas untuknya yang tak biasa tinggal di rumah yang teramat besar. Demi menjaga kenyamanannya, aku tidak menginginkan ada konferensi pers atau publikasi mengenai dia yang dilakukan secara terbuka. Biarkan saja orang menyebar kabar dan mengetahui dengan sendirinya”, tambah Baginda Sepuh dengan nada yang serius. “Ya, Baginda Sepuh”, bersamaan Raja Angkasa II dan Ratu Selasih menjawab. Sementara Pangeran Samudera mengunci mulutnya rapat-rapat. Tak mengerti bagaimana bisa kakeknya memberikan begitu banyak perlindungan untuk gadis asing udik itu. “Nah, Nak, coba perkenalkan sedikit tentang dirimu. Biar mereka bisa tahu suaramu juga. Dan itu, tak usah malu menatap kita semua. Jangan terus kau tundukkan wajahmu. Kami ini juga manusia biasa”, ucap Baginda Sepuh sambil tersenyum dan menepuk pundak Mentari halus. Pelan-pelan, Mentari menengadahkan wajahnya. Memandang semua orang yang ada di ruangan itu, orang-orang yang tak terbayangkan akan bertemu sedekat dan sepribadi ini. Wajah-wajah yang dia lihat memberikan senyum tulus mereka padanya. Kecuali satu wajah itu. Melihat reaksi tak acuhnya, Mentari sedikit lega dia tidak dikenali. “Per..perkenalkan, nama Hamba Mentari Pertiwi Raya. Hamba berasal dari Kabupaten Insun Medal di wilayah kerajaan Parahyangan. Hamba..Hamba mohon, bimbinglah Hamba yang tidak tahu apa-apa ini. Yang mungkin hanyalah..rakyat biasa yang..tak tahu bagaimana cara hidup di Istana ini. Mohon bimbing Hamba”, berulangkali Mentari menundukkan kepala memberi tanda hormat dengan badan yang menutup dan rikuh. “Ananda Mentari, janganlah terlalu risau. Anggap kami orang tua barumu. Jangan terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Kami, dengan senang hati, menerima kehadiranmu di sini. Dengan adanya Ananda di sini, kami yakin, kehidupan di Istana yang sudah penuh dengan segala rutinitasnya, akan menjadi lebih berwarna”, ucap Raja Angkasa sambil tersenyum dalam. Mentari hanya bisa mengangguk-anggukan kepala. Bank kata-kata terkunci rapat di kepalanya saat mendengarkan jawaban itu. Baginda Sepuh menepuk-nepuk bahunya sambil menatap ke arah Ratu Selasih. Ratu Selasih mengangguk seolah memberi jawaban dari permintaan yang terasa jelas keluar dari mata mertuanya. Pertemuan dilanjutkan dengan makan malam. Mentari yang masih belum merasa nyaman dan masih merasa dia ada dalam mimpi, sama sekali tidak banyak berkata-kata kecuali dia ditanya. Dia tidak tahu bagaimana etika makan di lingkungan baru itu. Dia lebih banyak menunggu dan memperhatikan bagaimana orang menyantap makanannya. Dengan cepat dia bisa belajar meniru tata krama itu. Karena paham dengan proses kaget yang dialami Mentari, ketiga orang tua yang hadir membiarkan saja. Menganggap kehadiran Mentari adalah hal biasa. Kecuali Pangeran Samudera yang merasa dongkol. Ada sedikit iri dari hatinya saat Baginda Sepuh terlihat begitu hangat bersikap pada gadis aneh itu. Mendadak pikiran konyol hadir dalam khayalannya. Melihat dan membayangkan kemungkinan bahwa gadis tak berkelas itu menjadi istrinya kelak. Ketika sadar dia bergidik dan memaki dirinya sendiri. Pangeran Samudera tak sadar, kakeknya memperhatikan dia dengan halus. Baginda Sepuh terkekeh kecil melihat bagaimana cucu tunggal dari anak sulungnya itu bersikap. *** Setelah Mentari selesai makan, dua orang yang tampaknya pelayan dan kepala pelayan menyambutnya. Satu orang langsung membawa kopernya ke Pendopo Teratai. Sementara kepala pelayan mengajaknya berkeliling terlebih dahulu sesuai instruksi Raja. 44 | M e n t a r i S e n j a
Sehingga Mentari bisa langsung mengenali tempat dimana dia akan tinggal dalam waktu yang tak bisa ditentukan ini. Menurut kepala pelayan, luas Istana ini sekitar 100 hektar. Terhitung kecil katanya untuk sebuah kawasan Istana. Di Bogor, keluarga Raja memiliki Istana kedua yang jauh lebih besar. Mentari terperangah dengan semua keterangan itu. Dia memang sudah pernah melihat Istana di televisi. Namun ketika sudah berada dan berjalan-jalan di dalamnya, Mentari terkagum kagum dengan kemegahan luar biasa. Istana utama yang terletak di tengah adalah Istana yang biasa di gunakan untuk menerima tamu dan digunakan untuk rapat besar dan pesta-pesta. Kegiatan budaya harian pun dilakukan di sana. Dominasi bangunan adalah kayu-kayu tua yang berkualitas. Di bagian sebelah timur adalah kawasan formal Istana. Kawasan timur adalah kawasan administratif. Dimana semua urusan kantor dan kenegaraan berjalan secara rutin. Bangunannya mengingatkan Mentari pada tipe bangunan tua di Eropa. Sementara di bagian barat adalah kawasan keluarga Raja. Di situlah Raja Angkasa, Ratu Selasih, dan Pangeran Samudera menghabiskan waktu luang dan istirahatnya. Gaya bangunan yang mendominasi adalah bangunan keraton Jawa. Sebagian banyak terbuat dari kayu juga. Di bagian timur belakang adalah rumah tinggal para pelayan kerajaan. Ada 5 rumah besar bertingkat dua yang dibangun menghadap pada taman di tengahnya. Campuran kayu dan tembok. Sementara di bagian barat belakang, itulah tempat Mentari nanti tinggal. Agak lebih jauh dari kawasan lainnya kepala pelayan menyebutnya sebagai Kawasan Baginda Sepuh. Di sinilah dulu, ketika Baginda Sepuh dan Baginda Ibu Suri tinggal menghabiskan waktu sambil mendampingi Raja Angkasa II ketika beliau sudah resmi menduduki posisi Raja utama. Kawasan ini terasa lebih sunyi dibandingkan yang lainnya. Ada 5 rumah yang saling menghadap satu sama lain. Rumah-rumah di sini memang lebih kecil daripada rumah di kawasan lainnya. Namun tetap saja bagi Mentari itu adalah rumah-rumah besar. Satu rumah adalah rumah terbuka. Terlihat seperti tempat untuk melakukan kegiatan kesenian. Satu set gamelan jawa terpasang lengkap di sana. Juga beberapa set alat musik yang Mentari kenal. Tarawangsa, kecapi, rebab, seruling. Mendadak Mentari membayangkan ada orang-orang yang menari di situ dan menabuh alat-alat musik itu. Memasuki kawasan itu, Mentari mencium berbagai harum rempah, dupa, gaharu, dan harum bunga melati yang terlihat bermekaran di taman tengah. Satu rumah terlihat lebih mirip perpustakaan. Dan hal ini dibetulkan oleh kepala pelayan. Dua rumah lagi terlihat seperti memang rumah. Menurut kepala pelayan, satu adalah rumah Baginda Sepuh dan satu lagi rumah Baginda Ibu Suri. Seperti yang juga diketahui Mentari dari buku kajian keluarga kerajaan, suami istri dari keluarga kerajaan selalu diberikan tempat tinggal terpisah. Namun juga tidak tahu apakah kenyataannya mereka benar-benar menghabiskan waktu secara terpisah. Kedua rumah itu disebut pendopo. Pendopo Baginda Sepuh dinamakan Pendopo Benggala. Sementara yang ditinggali Almarhumah Baginda Ibu Suri adalah Pendopo Teratai. Di situlah Mentari akan tinggal. Satu rumah yang lebih kecil terlihat didirikan agak sedikit jauh. Di situlah Kepala Pelayan tinggal didampingi beberapa pelayan yang mengurus dan merawat kawasan itu dan juga menyediakan berbagai keperluan. Di situ jugalah dapur utama kawasan ini. “Dan Pak Sugih ini adalah Kepala Pelayan di kawasan mana, Pak?”, tanya Mentari pada Pak Sugih, kepala pelayan yang terus mendampinginya berkeliling ini. “Ya saya ini adalah Kepala Pelayan di sini, Tuan Putri”, jawab Pak Sugih santun. “Oh iya? Syukurlah..Emm, Pak Sugih, bolehkah saya minta Pak Sugih memanggil saya dengan sebutan nama saya saja. Pak Sugih boleh memanggil saya Tari. Saya tidak 45 | M e n t a r i S e n j a
biasa Pak”, ucap Mentari sungguh-sungguh ketika mereka sudah masuk ke dalam Pendopo Teratai. “Ampunkah Hamba, Tuan Putri. Baginda Ratu sendiri yang menyampaikan pada saya bahwa Tuan Putri adalah putri angkatnya. Maka sudah kewajiban saya menyebut Tuan Putri. Walaupun kami semua tahu Tuan Putri adalah Tuan Putri baru yang diangkat keluarga Baginda Raja, kami ini tahu budi, Tuan Putri”, jawab Pak Sugih santun. Mendengar jawaban itu, Mentari paham, dia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima begitu saja. Dia menyukai Pak Sugih. Yang dengan sabar menjelaskan banyak hal dan mengajaknya berkeliling. Kemudian Mentari dikenalkan dengan para pelayan lain. Mentari senang karena dia merasa nyaman dengan semuanya. Rata-rata, usia mereka sudah di usia paruh baya. Berusia kepala 4 ke atas. Ada Bu Retno yang bertanggung jawab dalam kegiatan memasak yang juga adalah istri Pak Sugih. Ada Bu Ningrum yang bertanggung jawab untuk kebersihan rumah. Ada Bu Sastro yang bertanggung jawab untuk masak memasak. Pak Rahman yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan taman dan pemeliharaan rumah. Dan Pak Mukmin dan Pak Bagyo yang bertugas menjaga keamanan secara bergiliran. Pak Mukmin dan Pak Bagyo inilah yang usianya lebih mudah dan berbadan lebih kekar. “Tuan Putri, besok pagi Baginda Ratu Selasih mengatakan akan sarapan bersama Tuan Putri di sini. Biasanya waktu sarapan di sini adalah jam 7 pagi. Hanya itu yang ingin Hamba sampaikan untuk menutup malam ini. Silahkan beristirahat Tuan Putri. Dan jangan sungkan memanggil kami dengan memencet bel di sini jika Tuan Putri membutuhkan bantuan kami. Selamat malam”, Pak Sugih dan timnya berpamitan dengan sikap sopan mereka yang sudah mulai biasa dilihat Mentari. “Terima kasih, Bapak dan Ibu semuanya. Mohon bantuannya untuk membimbing saya nanti agar saya bisa lebih terbiasa hidup di sini. Selamat malam dan selamat beristirahat juga”, balas Mentari dengan sikap sopan yang sama. Melihat bagaimana gadis asing itu cepat beradaptasi, para pelayan itu bersyukur dalam hatinya mereka ditugaskan di kawasan ini. Mereka sebelumnya sibuk menebak seperti apa Tuan Putri baru yang akan tinggal di sana. Daripada dugaan yang menyenangkan, mereka lebih banyak sibuk dengan dugaan-dugaan menakutkan. Mereka lebih banyak membayangkan figur anak sombong dan angkuh yang seperti biasanya normal ditemui di lingkungan kerajaan saat pesta-pesta dan rapat besar diadakan. Atau menebak Tuan Putri baru adalah orang dari kalangan menengah bawah yang mendadak dipenuhi kesombongan karena bisa jadi keluarga Raja. Hal yang tak pernah terjadi dalam sejarah kerajaan sebelumnya. Dari yang mereka ketahui saja. Ketika melihat penampilan Mentari pertama kali, mereka sempat hampir meng-iya-kan dugaan nomor dua. Namun ketika kemudian mereka melihat Mentari bersikap dan membalas kata-kata mereka dengan sikap yang amat sopan, mereka bersyukur. Dalam satu malam dan pertemuan sekejap saja, mereka berpikir bahwa pilihan Baginda Sepuh adalah pilihan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Mereka tak berani mengetahui lebih banyak dari apa yang diberitahukan kepada mereka. Namun perasaan mereka lega. Itulah yang penting bagi mereka. *** Pendopo itu terasa hangat dengan bangunan yang didominasi kayu jati kokoh yang tampaknya sudah berusia tua. Pendopo ini bergaya rumah Sunda. Mentari tahu Baginda Ibu Suri memang berasal dari Kerajaan Parahyangan. Sosok Ibu Suri yang lembut dan halus tata lakunya. Pasangan yang sepadan dengan Baginda Sepuh.
46 | M e n t a r i S e n j a
Sebuah lukisannya dipajang di ruang tamu. Mentari menatapnya lama-lama. Kagum dengan keanggunan dan kecantikannya. Tampaknya lukisan itu diambil saat usianya masih terhitung muda. Mengenakan kebaya putih dengan rambut disanggul sederhana. Di pojok setiap ruangan bunga kenanga segar dipajang dalam pot tembikar. Beberapa patung suku asmat, guci cina tua, patung-patung porselen turut menghiasi ruangan. Mentari masuk ke dalam. Ke ruang tengah. Ada televisi besar berlayar datar dan sofa yang terlihat nyaman sekali. Juga ada pajangan buku yang dipaku ke dinding. Dinding itu dipenuhi buku-buku. Mentari begitu senang melihatnya. Buku-buku itu ada juga yang berbahasa Inggris. Dia mengecek judul-judulnya. Banyak buku mengenai gender, budaya, dan filosofi. Beberapa novel juga terlihat banyak berjejer. Mentari melihat di ruangan yang agak ke belakang ada dapur kecil yang tampak terawat dihalangi meja bartender. Sebuah kulkas besar terlihat di sana. Mentari membukanya dan terkejut dengan isinya yang penuh. Terutama diisi buah-buahan dan minuman-minuman dingin. Terakhir dia memeriksa kamarnya. Satu-satunya kamar yang ada di sana. Dan keterkejutannya tak berhenti. Kamar itu sangat besar dengan kasur ukuran King yang tampak sangat menyamankan. Sebuah lemari besar terpajang. Di dalamnya ada kamar mandi yang sangat mewah dengan bathtub, shower, dan lantai batu dan kerikil yang artistis. Berbagai perlengkapan terlihat sudah disiapkan. Termasuk rempah-rempah mandinya juga. Kamar itu ditutup tirai lebar. Ketika Mentari membukanya, dia terperangah melihat pemandangan langit yang jelas betul. Bintang-bintang berkerlap kerlip di atas sana. Ada pintu keluar di sebelahnya. Dan ketika Mentari membukanya, ada taman kecil. Sebuah kolam ikan besar dihiasi bunga teratai terlihat menjadi bagian paling dominan di taman itu. Bunyi air bergemericik keluar dari patung srikandi yang sedang memegang guci seolah menumpahkan airnya. Mentari tak berhenti bedecak penuh kekaguman. Dia masih merasa hidup di dunia mimpi dan dunia dongeng. Mendadak menjadi pemeran di dalamnya dengan cara tak terduga. Sehabis meluangkan waktu beberapa menit, dia masuk ke dalam lagi. Menutup pintu dan tirai. Sebuah bingkisan besar di meja rias menarik perhatiannya. Dia berjalan mendekat. “Untuk Mentari, dari Baginda Sepuh”, begitu tulisannya. Mentari menatap heran. Dia lalu membuka bingkisan itu dengan hati-hati. Dan ketika dibuka, dia sangat kaget dengan isinya. Sebuah laptop merk berkelas yang selalu dia idamkan untuk dimiliki. Sebuah tablet yang juga dari merk ternama. Dan sebuah telepon genggam. Semuanya baru. Mentari meloncat-loncat girang dan menahan mulutnya agar tidak berteriak. “Waaahhhh!!!!” Mentari segera menghabiskan waktu menyalakan perlengkapan elektronik itu. Walaupun dia miskin dan tak pernah mampu membelinya, Mentari tahu bagaimana mengoperasikan alat-alat itu. Friska pernah juga mengijinkannya mencoba-coba penggunaan alat itu. Hanya dalam beberapa jam Mentari langsung paham. “Ya Tuhan, rejeki apa yang kau berikan padaku? Bagaimana bisa kasihMu begitu besar untukku? Terimakasih banyak Tuhaaan”, ucapnya berulang kali sambil membaringkan badan di kasur yang terasa begitu lembut itu. Mendadak, dia teringat janjinya pada Dini. Dia ambil telepon genggam tuanya dan menelepon temannya. “Tariiiiii! Jadi kamu dimana sekarang hah? Apakah benar keluarga kakek itu ada? Apakah dia bukan hantu? Bagaiamana keluarga anak sulungnya itu? Apa mereka baik? Atau mereka tak menyukaimu?”, Dini mem-bombardir-nya dengan pertanyaan. “Iya Mbak. Ternyata keluarganya bukan keluarga hantu”, Mentari menjawab pendek. 47 | M e n t a r i S e n j a
“Aihhhh! Tari! Sungguh? Hanya itu jawabanmu?! Kau ini ya! Ihhhh...jadi siapa keluarga itu?”, Dini terdengar frustasi di seberang sana. Mendengar itu, Mentari tertawa lebar. “Malah tertawa lagi? Ayolah Tariiii, ceritaaaa...”, Dini menggerutu. Mentari terdiam. Dia ingin sekali bercerita pada Dini karena dia juga ingin membagi perasaannya yang membuncah. Tapi dia juga ragu apakah Dini bisa menjaga rahasia. Berita ini, tentunya tak baik jika disebar. Mengingat tadi, Baginda Sepuh juga melarang adanya konferensi pers. “Halo, Tari?! Haloooo??”, suara Dini tak sabar terdengar dari sana. Dan tiba-tiba Mentari ingat dengan bagaimana dulu Baginda Sepuh menjelaskan keluarganya. Jujur tapi tertutup. Maka dia mengulang cerita itu dengan detail yang hampir sama. “Hooo? Wahhh... begitu ya... Ah, tampaknya itu jenis keluarga baik-baik. Dan kamu dikasih tempat sendiri? Wahhh, menyenangkan dong. Baguslah kalau begitu. Hatiku jadi tenang. Nanti kapan-kapan, kalau bangunan salon sudah selesai dan usaha mulai berjalan, aku datang berkunjung ya ke sana?” “Ya, ya, ya, tentu saja, Mbak. Tapi nanti aku minta ijin dulu pada keluarga angkatku. Nanti aku kabari lagi ya”, balas Mentari. Dia memang akan jujur pada sahabatnya nanti. Tapi sekarang, rasanya dia sendiri melihat pilihan jujur sepenuhnya bukanlah pilihan yang bagus. Malam itu, Mentari beristirahat dengan tenang.***
Kehidupan Baru di Istana Mentari bangun dalam keadaan segar. Sesaat dia merasa masih ada di rumahnya di kampung sana. Ketika matanya terbuka, dia sadar dia sudah ada di tempat lain. Tempat yang benar-benar berbeda. Dia tidak tahu apa yang akan dia jalani ke depan. Dia juga sadar ini bukanlah nasib. Ini adalah takdir. Entah bagaimana, dia mendadak bisa bergerak ke sini. Satu-satunya yang dia yakini adalah ucapan kakeknya. Apapun itu, dia harus mengikuti jalan yang dibuka oleh Baginda Sepuh. Seusai mandi dan berpakaian, sesaat kemudian Ratu Selasih datang ke tempatnya ditemani seorang perempuan berusia sekitar 30-an yang menggunakan baju formal. Tergopoh-gopoh, Mentari menyambutnya dengan rikuh. Ratu Selasih tersenyum paham. Mereka berjalan ke arah belakang. Mentari yang belum sepenuhnya paham dengan tempat itu, hanya mengikuti. Ternyata, dia bagian belakang pendopo ada beranda yang berisi satu set kursi dan meja. Mentari kaget di meja itu sudah tersedia menu sarapan lengkap. “Mari kita sarapan, Ananda Mentari”, ucap Ratu Selasih mempersilahkan Mentari duduk. Mentari mengangguk patuh. Asisten yang menemaninya tadi hanya berdiri agak di belakang dan tidak ikut sarapan. Mentari menatap heran. “Ah iya, ini asisten pribadiku, Bu Rini”, Ratu Selasih menangkap keheranan Mentari. “Ah iya, Baginda Ratu”, Mentari tersenyum gugup dan mulai menyantap makanannya. “Bagaimana tidurmu, Ananda, nyenyak?” “Iy..iya Baginda Ratu, Hamba tidur nyenyak sekali. Terima kasih buat semuanya” “Ah, syukurlah. Ibunda tahu Ananda pasti butuh adaptasi untuk hidup di sini. Ibunda senang Ananda bisa beristirahat dengan baik di malam pertama tinggal di sini. Nah, hari ini, Ibunda sudah membuatkan jadwal untuk Ananda. Juga untuk hari-hari berikutnya. Karena itulah tugas Ibunda sesuai arahan dari Baginda Sepuh dan juga sesuai dengan keinginan Ibunda. Coba Bu Rini, perlihatkan jadwalnya. Dan kalau Ananda merasa keberatan, sangat boleh Ananda mengajukan usulan yang lebih berkenan di hati”, kata Ratu Selasih dengan anggun. 48 | M e n t a r i S e n j a
Segera, Bu Rini memberikan lembaran jadwal yang sudah disiapkan. Sambil menyantap sarapannya, Mentari melihat jadwal itu. Dia kaget melihat betapa penuh jadwal yang dibuat. Yang isinya juga membingungkan Mentari. Kegiatan-kegiatan itu luar biasa asing buatnya dan dia tak mengerti mengapa dia harus begitu sibuk untuk mengurusi hal-hal itu. Kegiatan-kegiatan itu adalah sebagai berikut: 1. Belanja baju dan berbagai perlengkapan kosmetik 2. Jam perawatan tubuh: Lulur Bunga, Lulur Rempah, Lulur Lumpur, Lulur Jamu 3. Belajar tata rias dan busana 4. Berlatih etika dan tata krama 5. Berlatih menari 6. Berlatih alat musik 7. Berlatih memasak menu kerajaan 8. Meditasi 9. Belajar bahasa tubuh dan bahasa ekspresi 10. Belajar sejarah kerajaan 11. Belajar bahasa sanksekerta 12. Belajar bahasa Inggris 13. Belajar budaya Indonesia 14. Belajar budaya asing 15. Belajar ilmu sosial dan politik pemerintahan 16. Mengikuti pesta dan undangan 17. Berlatih mengorganisir acara kerajaan “Bagaimana Ananda? Dari ekspresi Ananda tampaknya Ananda merasa kaget ya?”, tanya Ratu Selasih menyelidik sambil tersenyum. Mentari menelan makanannya dengan segera sebelum ia menjawab. “Eh..ah iya, Baginda Ratu..Hamba, Hamba hanya merasa asing dengan semuanya”, katanya gugup. “Ah ha ha, iya..betul juga Ananda.. Mungkin Ibunda terlalu semangat dan memberikan jadwal-jadwal aneh seperti ini. Begini saja, Bu Rini akan memberikan Ananda daftar kegiatan lainnya. Jadwal yang Ananda lihat adalah yang Ibunda pilihkan. Tapi rasanya, melihat bagaimana karakter Ananda, coba nanti dibuat saja jadwal sendiri nanti malam. Pilih yang Ananda suka. Namun untuk jadwal rutin di hari Senin, Rabu, dan Sabtu, adalah jadwal wajib yang berisi kegiatan dasar untuk bisa membantu Ananda beradaptasi dengan lingkungan di sini. Dan hari ini, kita akan mengisi kegiatan utama dengan belanja” “Ah...iya, terima kasih Baginda Ratu” “Ananda, coba panggil aku dengan Ibunda. Ibunda hanya punya putra tunggal. Dari dulu selalu ingin punya anak lagi, seorang putri. Tapi, tampaknya Tuhan hanya menghendaki Ibunda punya putra tunggal. Tolong ya Ananda...” “Eh? Tapi...”, Mentari ragu, “Jangan terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Biasakan saja ya Ananda?” “Ahh, iya Ba..eh Ibunda Ratu”, ucap Mentari kagok. Ratu Selasih tersenyum bahagia mendengar itu. Dia benar-benar tulus mengatakan permintaannya. Kehadiran Mentari memberikan kehangatan di hatinya. Biasanya, ketika menghabiskan waktu bersama dengan siapa pun, dia tak terlalu ingin banyak bicara. Sekarang, ketika dia sarapan dengan Mentari, 49 | M e n t a r i S e n j a
walau baru pertama kali, rasa nyaman memenuhi lisannya untuk bicara panjang lebar. Dia jatuh sayang dengan cepat pada anak yang terlihat jujur itu. Ratu Selasih merasakan kebaikan hati dari dalam diri Mentari. Kebaikan murni yang tidak ditutupi ornamen status sosial. Hari itu, dengan semangat, Baginda Ratu mempersiapkan diri untuk belanja bersama Mentari. Sudah kebiasaan baginya menyamar dengan menggunakan pakaian biasa dan wig ketika akan berbelanja di luar sana. Saat-saat dimana dia bisa menjalani waktu seperti orang kebanyakan. Apalagi sekarang, ada Mentari yang akan dibawa bersama. Mentari banyak terheran-heran dengan sikap tak terduga dari Ratu Selasih yang dia bayangkan sebelumnya. Dia pikir, seorang Ratu akan sangat membatasi diri untuk berakrabakrab dengan orang lain. Namun ternyata, dugaannya salah. Walau bahasanya sangat formal dan sikapnya sangat anggun, Mentari bisa merasakan kehangatan itu menyapa hatinya. Mereka pergi bertiga dengan Bu Rini ke wilayah pembelanjaan busana nomor satu di wilayah Jakarta. Tanpa disadari Mentari, beberapa pengawal menyamar juga mengikuti dan bergerak diam-diam. Kembali, Mentari terpukau dengan megahnya tempat itu. Ketika dia mengintip bandrol harga barang-barang, dia kaget luar biasa. Bandrol termurah yang dia temui adalah 1 juta rupiah. Dengan jumlah itu, dia butuh sebulan untuk menghabiskannya menjadi makanan sederhana yang dia santap. Karena mengetahui betapa mahalnya barang-barang di sana, Mentari merasa enggan untuk memilih walau sudah disuruh. “Jangan khawatir dengan harga barangnya, Ananda. Dan uang yang Ibunda gunakan ini, bukanlah uang pajak rakyat. Ini adalah hasil jerih payah Ibunda mengelola banyak butik di berbagai negara. Dan Ibunda ingin, Ananda tak mengkhawatirkan jumlahnya. Ayo, pilih yang Ananda sukai. Ibunda juga akan pilihkan beberapa”, bisik Ratu Selasih ke telinganya. Mentari tentunya kaget. Namun, karena dia juga bingung, akhirnya dia hanya mengikuti pilihan Ratu. Begitu banyak barang yang dibeli. Dari mulai celana, baju, gaun, sepatu, dan beberapa aksesoris. Dengan sigap, para penjaga toko mengambil hasil belanjaan dan mengantarkan langsung ke mobil mereka. Tampaknya para penjaga toko itu sudah biasa dengan tata cara seperti itu. Memberikan pelayanan terbaik untuk banyak pelanggan kaya raya yang datang ke sini. Rasanya bagi Mentari, sudah banyak barang yang dibeli. Namun Baginda Ratu masih terlihat begitu bersemangat berbelanja. Dia membawa Mentari ke berbagai toko lagi dan juga ke toko-toko kosmetik untuk wanita berusia sebaya dirinya. Kemudian, hari-hari berikutnya, Mentari mengikuti jadwal yang sudah dipilihkan Ratu. Karena dia sendiri tak dapat menemukan hal-hal lain yang penting. Dia belum mengerti apa gunanya semua kegiatan itu. Dia juga tidak punya alternatif lain karena banyak ketidaktahuan. Semuanya sangatlah asing. Walau demikian, dia tetap mengikutinya dengan
50 | M e n t a r i S e n j a
kepatuhan. Pilihan perilaku itulah yang hanya bisa dia pegang. Apapun itu, ikuti dengan baik. ***
Penyangkalan Semenjak dia melihat sosok Mentari, Pangeran Samudera merasa terusik hatinya dengan kekesalan yang tak berhenti. Dia pikir, perasaan itu hanya muncul sesaat. Namun makin hari dan semakin dia melihat bagaimana perhatian Ibunda Ratu tercurah padanya, Samudera tak bisa menghilangkan kekesalannya. Dia sadar dia merasa kekanak-kanakan. Cemburu pada orang baru, yang disebut anak angkat, yang tak jelas asal muasalnya, di usia yang sudah bisa terhitung dewasa, amatlah terasa tidak wajar. Tapi Pangeran Samudera juga tidak bisa munafik. Memang itulah yang dirasakannya. Untuk mengatasi perasaan itu, Pangeran Samudera memilih menyibukkan diri dengan mendampingi ayahnya. Apalagi memang dia menjadi lebih sibuk dengan berbagai undangan dari orang-orang yang menginginkannya jadi menantu. Awalnya dia benci dengan segala kegiatan yang memaksanya menjual senyuman itu, namun karena kehadiran Mentari, lamalama dia bisa menikmatinya juga. Sebentuk pemikiran terasa lebih jelas sekarang. Dia ingin memilih calonnya sendiri dan meniadakan calon pilihan Kakeknya itu. “Hmmm.. baiklah, Eyang. Akan aku ikuti pintu yang kau buka. Sekarang, saatnya aku menemukan calon itu”, ucapnya pada dirinya sendiri. Dan itulah awal mulanya mengapa Samudera menjadi lebih bersemangat. Dengan ramah, dia menyambut semua undangan. Membuka dirinya untuk memilih perempuan paling menyenangkan untuknya. Tentu saja, banyak orang senang dengan sikapnya yang terlihat lebih bersemangat. Lebih banyak lagi putri-putri yang jatuh hati padanya karena memang Samudera sangat pandai memainkan hati mereka. Dia menghabiskan banyak waktu di luar dibandingkan dengan keluarganya. Hal ini sedikit mengkhawatirkan Ayahandanya. Namun, berbekal katakata Baginda Sepuh, Raja Angkasa berusaha merelakan. Samudera membuat d pilftarihannya. Terutama mereka yang feminim, cerdas, dan santun. Sosok ideal yang terbentuk dari logikanya. Dia meminta pendapat sahabat-sahabat dekatnya untuk mengamini pilihannya. “Ahahaha, ternyata kau serius juga Sam”, begitu kata Pangeran Batara saat mereka berkumpul bersama di kafe pribadinya. Bersama Helena, Viona, Pangeran Wisnu, dan Pangeran Bima. “Aku harus serius Bet. Agar aku bisa mengalahkan permainan Eyangku”, komentarnya. “Serius kamu, Sam?”, seru Bima. Samudera mengangguk mantap. “Jadi, kau sekarang menikmati permainan ini?”, tanya Wisnu. “Iya, memangnya kenapa?” “Hmm... berarti karena adanya skenario Eyangmu, rasa bosan yang biasa dan sangat sering kamu alami ini menghilang dong sekarang?”, tanya Wisnu jahil. Menyadari itu, merahlah muka Pangeran Samudera. “Arghhhh! Jangan ganggu kesenanganku, Wisnu!”, protes Samudera. Dan tergelaklah mereka semua. “Mana coba lihat listnya”, seru Viona membantu mengalihkan perhatian Samudera. 51 | M e n t a r i S e n j a
Samudera memberikannya. “Wow! List yang hebat. Tapi kok aku tidak ada?”, komentar Viona. Samudera mengernyit mendengar komentar itu. Yang lain menahan tawa. “Plis deh Viona. Lupakan saja. Aku tak bernafsu padamu, sayang”, goda Samudera. Yang digoda cemberut. Tentu saja yang lain tertawa melihat itu. “Huh! Baiklah. Tapi setidaknya aku lega, nama Friska Dinata tak ada di situ”, gerutu Viona. “Friska?”, Samudera mengernyit lagi. Saat nama itu disebut, Batara terlihat berubah sikap. “Kau tak ingat Friska?”, tanya Helena. Samudera menggeleng. Melihat reaksi itu, serta merta Viona melemparkan bantal dengan pelan ke arah Samudera. Tentu yang dilempar mendelik. “Dasar Sam! Dia itu kan yang mengejar-ngejar Batara. Putri milyuner yang ternama, Frans Dinata. Yang salah satu teman kampungannya menamparku dulu di kafe Dago, ingat?”, dengan kesal Viona membuka kejadian memalukan itu. “Aaaaaaaahhhhh! Ya ya ya, Frans Dinata. Oke aku tahu. Pengusaha yang paling disiplin dan bersih dari nepotisme. Tidak seperti kalian, hahaha”, gelak Samudera. Ucapannya kontan memancing semua orang melemparkan bantal pada dirinya. “Oke cukup! Tapi tampaknya juga keluarga itu tidak pernah mengundangku datang. Ya pasti tidak kumasukkan. Lagipula, aku sudah lupa seperti apa itu Friska Dinata, fans no. 1 Batara, hahaha..Ups! Okay, okay bro. Eh, mengenai kejadian di kafe itu, apa kau masih ingat wajah perempuan yang menamparmu Viona?”, tanya Samudera tiba-tiba. “Tentu aku ingat! Dan sekarang aku tahu siapa orang itu setelah aku berusaha mencari tahu. Sayang aku tidak tahu sekarang dimana orang itu berada. Karena dia dipecat dari BUMK 5 bulan setelah kejadian itu terjadi. Arghhh!!”, jawab Viona. “Oh ya? Siapa dia? Apa mungkin sebaiknya aku masukkan ke dalam daftar?”, komentar Samudera jahil sambil mengambil anggurnya. “Awas saja kalau kau masukkan Sam. Ya, dia perempuan kelas bawah yang miskin dan beruntung bisa masuk ke BUMK karena prestasinya yang cum laud dengan IPK 4.0 dari universitas negeri di Parahyangan”, jawab Viona. “Whoaaa!! Cerdas dong orangnya!”, kali ini Bima yang berkomentar. Viona cemberut saat mendengar komentar yang memuji itu. “Jadi siapa namanya?”, tanya Helena kali ini. Dia ikut penasaran dan cukup kaget bagaimana upaya Viona mencari tahu siapa gadis yang telah menamparnya itu. “Aku simpan fotonya yang aku dapat dari identitas staff di BUMK”, Viona menyalakan tabletnya. Mencari sebentar. Dan memperlihatkan foto itu tepat di depan Samudera. “Namanya, Mentari Pertiwi Raya”, ucap Viona bersamaan. Dan tersedaklah Samudera dengan juice yang dia minum. Kaget dengan foto dan nama yang disebut oleh Viona. Reaksi itu tentu membuat heran semua yang ada di sana. “Di..dia..Arghhhh!! Kenapa bisa dia orangnya?!!”, teriak Samudera kesal. “Wowowowo! Tampaknya ada kisah lain ini!”, Batara berdiri. “Kalian tahu? Dia..Dia adalah CALON PILIHAN EYANGKU!”, teriak Samudera mengeluarkan kemarahannya. “Apa??????!!!!!!”, dan hebohlah yang lainnya menyerukan pertanyaan yang sama. Viona duduk lunglai di kursinya. Helena, Batara, Bima, dan Wisnu berebut melihat kembali foto di tablet Viona. “Wah! Cerita ini menarik sekali! Sam, kalau aku lihat-lihat, sebenarnya yang namanya Mentari ini cantik lho. Hanya saja, mungkin karena penampilannya yang kurang terawat, jadinya kalau dilihat sekilas memang biasa saja”, komentar Wisnu penuh semangat. “Hah?! Serius kamu bisa berkomentar seperti itu di saat seperti ini?”, Samudera terlihat marah. 52 | M e n t a r i S e n j a
“Kenapa kau terlihat marah sekali sih, Sam?”, tanya Helena serius. Samudera diam saja ditanya begitu. Dia juga tidak tahu mengapa dia bisa begitu marah. Dia merasa logikanya mendadak berputar ketika ditanya seperti itu. “Tampaknya memang tak jelas dasarnya ini. Coba Sam, ceritakan bagaimana yang namanya Mentari bisa menjadi calon pilihan Baginda Sepuh? Berarti sekarang kau tahu lebih banyak dong dibandingkan Viona?”, tanya Batara dengan tenang. “Aku juga tidak banyak tahu tentang dia. Tiba-tiba saja Eyang membawanya ke Istana, memperkenalkan, dan menyebutkan bahwa gadis itu adalah cucu angkatnya. Sudah, itu saja!”, jawab Samudera malas. “Cucu angkat?!”, kali ini Viona berkomentar dengan nada lebih histeris. “Tadi kau bilang dia calon pilihan Eyangmu. Lalu sekarang kau cerita Eyangmu bilang dia menjadikannya cucu angkat. Bagaimana sih itu?”, Helena menjadi lebih tertarik. Samudera diam. “Ya, ampun Helena. Apa kau tidak mengerti itu artinya apa?”, Bima angkat bicara. “Eh? Memangnya kamu mengerti itu artinya apa?”, tanya Helena balik. “Artinyaaaa... siapapun yang dipilih nanti oleh Samudera, maka Si Mentari ini tetap jadi anggota keluarga Raja kita bukan? Dan kalau, misalnya ini Sam, dialah yang bisa membuatmu jatuh cinta, Baginda Sepuh tak perlu repot-repot lagi mengurus proses adopsinya. Sederhana bukan?’, jawab Bima dengan nada santai. Samudera melihat ke arah sahabatnya. Entah bagaimana, dia tak terpikir mengenai itu sebelumnya. Dan makin menjadilah kekesalan yang dia rasakan terhadap Mentari. “Aishhhh!! Siapa sih dia? Apa sih trik yang dia berikan pada Eyangku hingga dia bisa ada dalam posisi menang dari sejak awal?”, gerutu Samudera. “Kenapa kau kesal pada Mentari, Sam? Bukannya harusnya kau kesal pada Baginda Sepuh? Karena dialah yang menjadi kunci permainan ini bukan?”, Batara berkomentar jahil. Samudera hanya mampu mendelik. Dia menegak segelas anggur sampai habis. Teman-temannya tersenyum melihat reaksi itu. “Jadi, aku tak bisa membalaskan dendamku doooong!!! Bagaimana iniiiii?!!!”, tiba-tiba saja Viona merengek manja. Yang membuat semuanya kontan tertawa. “Eh, Sam, apa tidak sebaiknya kita dikenalkan pada Mentari? Seru juga itu tampaknya!”, Helena mencoleknya jahil. “Ah, sudah! Sudah! Coba sekarang kalian bantu aku untuk menyortir pilihan ini!”, tolak Samudera kesal. Demi menghargai perasaan sahabatnya, maka mereka pun membantunya menyeleksi hingga dari hitungan 20, menjadi 5 orang. *** Sebulan telah berlalu. Mentari mulai memahami ritme dan kehidupan di Istana. Dia mulai menyukai kegiatan-kegiatan tertentu yang dipilihkan untuknya. Terutama bermain kecapi, menari, dan mengkaji banyak mengenai budaya, sejarah, filosofi, dan politik. Semuanya adalah hal baru baginya. Di masa kuliahnya, dia hanya belajar banyak mengenai bidang telekomunikasi. Fokus di bidang advertising hanya karena dengan penguasaan bidang itu, banyak perusahaan yang akan menerimanya bekerja. Kini, saat dia tenggelam di bidang-bidang baru ini, dia merasa pikirannya segar dan menemukan ketertarikan murni. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena uang. Dia merasa menyukai apa yang dipelajarinya karena ada magnet pengetahuan yang kuat di situ. Buku yang paling menarik perhatiannya, yang dia temukan diantara buku yang ada di pendoponya, adalah kajian politik negara kepulauan karangan Ki Buana Raya. Tidak ada keterangan yang jelas siapa penulis buku itu selain namanya. Namun isi-isi pikiran di dalamnya terasa memancing batin Mentari. Pikiran-pikiran dalam tulisan itu, seolah membuka sumber pengetahuan yang ada di dalam dirinya. Saat dia sudah membacanya, 53 | M e n t a r i S e n j a
Mentari seringkali lupa waktu. Hingga dia sering diingatkan oleh Bu Rini, yang memandunya secara intensif, untuk beralih pada kegiatan berikutnya. Hampir seminggu sekali, Baginda Sepuh datang berkunjung. Mengajak Mentari berbincang mengenai pengalaman-pengalaman baru yang ditemukannya selama berkegiatan di lingkungan barunya. Awalnya, Mentari masih saja rikuh berbicara dengan dia. Namun setelah kunjungan ke-3, Mentari mulai terasa lebih nyaman dan lebih membuka pikirannya. Banyak komentar singkat Baginda Sepuh memiliki banyak makna buat Mentari. Walaupun kadang komentar-komentar itu sering dibungkus dengan gurauan, Mentari mendapatkan banyak pencerahan. Sehingga dia pun menjadi merindukan momen kunjungan Baginda Sepuh. Melihat perkembangan belajar Mentari, Ratu Selasih terkagum-kagum. Tak salah hasil tes yang dia terima dari Baginda Sepuh dari dulu, menggambarkan kecerdasan dan kepribadiannya. Dengan cepat, Mentari dapat menguasai dasar-dasar perilaku dan etika. Begitu juga dengan pemahamannya di bidang politik, sejarah, budaya, dan filosofi. Ratu Selasih sangat bangga menjadi pembinanya. Hanya di kegiatan-kegiatan yang memancing kefeminimannya saja yang berkembang biasa saja. Ratu Selasih bisa memahaminya. Sekaligus khawatir dengan satu hal. Sesuatu yang suram yang dia tidak tahu itu apa. Hanya bisa dirasakan. Namun dia simpan kekhawatirannya dengan baik. Berharap dia bisa segera mengimbanginya melalui kegiatan-kegiatan yang dia atur langsung. Sementara itu, Baginda Raja Angkasa II tak telalu bisa banyak meluangkan waktu. Namun dia mendengar bagaimana perkembangan Mentari dari istrinya. Dia senang mendengarkan cerita tentang kemajuan pesat itu. Hanya dia menyayangkan bagaimana penghindaran Samudera yang sangat kentara terlihat. “Istriku, bagaimana kalau kita adakan pesta khusus putra putri bangsawan nanti? Tampaknya, kita perlu juga melihat bagaimana Mentari bisa beradaptasi dengan kegiatan seperti itu. Apakah menurutmu dia sudah siap?”, tanya Raja pada istrinya. “Ampun Paduka, Hamba kurang tahu apakah ini sudah tepat waktunya. Namun demikian, ide itu layak dicoba juga. Mungkin dalam skala kecil saja dulu. Mmmm.. semacam pesta kebun di taman belakang?”, tawar istrinya. “Ahhh ya... kebetulan dua minggu lagi adalah Hari Pemuda Bangsa bukan? Ide bagus istriku. Cocok juga yang diundang adalah putra putri relasi kita yang tinggal di sekitaran Jakarta, Parahyangan, dan Bogor. Cukup 100 orang saja. Baiklah, siapkan segala sesuatunya istriku sayang”, ucap Baginda Raja penuh semangat. Ratu Selasih mengangguk patuh. ***
Pesta Kebun Ketika Ayahanda dan Ibundanya menyampaikan mengenai niat diadakan pesta, tanpa keberatan, Pangeran Samudera menyanggupi. Bahkan dia memberikan daftar nama orangorang yang ingin dia undang. Melihat hal itu, Raja Angkasa sedikit heran. Walau demikian, dia menyetujui usulan anaknya itu. Salah satu nama yang tertera adalah Friska Dinata. Yang kebetulan baru tiba di Jakarta sekitar seminggu lalu setelah masa karantina dari orang tuanya berakhir diberlakukan. Dia bisa kembali ke Indonesia setelah menyanggupi banyak persyaratan yang ditekankan oleh orang tuanya. Maka ketika orang tuanya menyuruhnya hadir di acara pesta keluarga kerajaan itu, walau sedikit malas, dia menyanggupi. 54 | M e n t a r i S e n j a
*** Mentari yang diberitahu mengenai acara itu cukup kaget. Dia diminta oleh Baginda Ratu untuk bergabung dengan tim organizer pesta istana yang dipimpin oleh Pangeran Samudera. Mentari hanya diminta mengamati prosesnya. Namun jika dia memiliki ide, dia diperbolehkan memberikan saran. Sang Pangeran sempat menolak ide itu. Tapi karena Baginda Raja dengan keras menekankan pentingnya Mentari belajar proses itu, akhirnya dia menerima dengan enggan. Untuk membalas kekesalannya, Pangeran menyiapkan skenarionya untuk malam nanti. Saat mengikuti rapat pertama, terlihat Pangeran Samudera kaget dengan penampilan Mentari sekarang. Semenjak diperkenalkan oleh kakeknya dulu, Pangeran Samudera hanya bertemu 2 kali setelahnya dalam acara makan malam. Lalu, dia menghilang dan menghindari terus menerus setiap kali ada Mentari di sana. Hanya sekitar 3 minggu Pangeran tak bertemu lagi. Namun, banyak perubahan yang dia lihat. Kulit Mentari terlihat lebih bersih dan mulai memperlihatkan warna aslinya, kuning langsat. Caranya berjalan dan bersikap lebih teratur dan sopan. Walaupun perempuan itu tidak banyak mengenakan make up, Pangeran mengakui, dia terlihat lebih menarik. Dalam pembahasan konsep pesta, Pangeran Samudera memimpin tim dan menjelaskan konsepnya. Dress code untuk acara hari itu adalah kebaya dan jas. Tamu yang sudah diundang berjumlah 100 orang yang didominasi oleh tamu perempuan sekitar 80 orang. Akan ada panggung yang dipasang di area utama. Nuansa musiknya adalah campuran modern dan tradisional. Pengisi hiburan sudah disiapkan. Mentari, yang sudah mulai menghapus banyak ketidaksukaannya pada Pangeran Samudera, menyimak dengan baik setiap detail yang dibahas. Dengan serius dia membuat beberapa catatan di tabletnya karena dia ingin belajar mengorganisir kegiatan seperti yang diminta Baginda Ratu. Tidak ada pertanyaan yang keluar dari kepalanya karena saat ini dia berniat menyerap segalanya. Melihat bagaimana Mentari terlihat begitu serius, Pangeran Samudera mengernyitkan dahinya sesekali. Dia tak menyangka bagaimana figur yang awalnya dia lihat sangat biasa saja itu bisa terlihat menonjol di acara rapat itu. Ketika sadar dia terlalu memikirkan Mentari, dengan segera dia mengalihkan perhatiannya pada agenda yang dibahas. Ketika persiapan dilakukan, tak ada yang menyuruh Mentari menjalankan tugas tertentu. Tapi, dia mengambil inisiatif membantu tim dekorasi untuk mengatur-atur tempat pesta. Beberapa kali para pelayan yang menyiapkan tempat itu memintanya tidak usah repot membantu. Beberapa kali juga Mentari mengacuhkan mereka dan menawarkan bantuan terus menerus. Saat H-2, Pangeran mengecek tempat dan melihat Mentari begitu sibuk mengangkat guci-guci bunga dan meletakkannya di tempat-tempat yang dia tentukan. Lagi-lagi, pandangannya terpaku. Tergerak oleh rasa jahilnya, dia menghampiri. “Ahhh, rupanya adik angkatku ini rajin sekali. Atau mungkin karena kebiasaan masa lalu”, ucapnya dengan nada angkuh tepat di belakang Mentari yang tengah menata bunga. Mentari membalikkan badan dengan kaget dan spontan dia membungkukkan badannya tanpa mengatakan apa-apa. Tentu saja, dengan reaksi seperti itu, Pangeran Samudera tertawa keras. “Ahahahahaha! Tuh kan! Judulnya sih cucu angkat Eyang. Tapi perilaku masih sama dengan level pelayan”, ucapnya dengan kasar. Mendengar itu, beberapa pelayan yang ada di sekitar dia segera menjauh karena takut. Kekesalan Mentari tumbuh lagi melihat gaya angkuh Pangeran Samudera.
55 | M e n t a r i S e n j a
“Apa maksudnya, Pangeran, dengan perilaku selevel pelayan? Ada apa dengan pelayan?”, tanyanya dengan nada kesal. “Ohohoho! Ada nyali juga rupanya kamu! Hmmm...level pelayan itu ya level pelayan. Mengerjakan apa yang diperintahkan”, balas Pangeran Samudera. “Bukannya memang itu tugas dan kewajiban mereka? Dan pelayan manapun yang melakukan itu berarti mereka pekerja profesional. Saya tak mengerti mengapa Anda mencantumkan kata level”, Mentari meninggikan nada suaranya. “Apa? Ahahaha...Dunia ini kejam Non. Manusia senang melevel posisi mereka. Terima saja. Kalau aku bilang level pelayan ada di bawah, memangnya kenapa? Semua orang sudah menerima konsep itu dari jaman dulu” “Secara pekerjaan mungkin sekali ada level, Pangeran. Tapi sebagai manusia, mereka, saya, Anda, semuanya sama dan sejajar. Tolong, jika Pangeran kesal pada saya dan ingin menghina saya, langsung saja bahas mengenai saya. Jangan membawa hal-hal lain yang tidak perlu!”, balas Mentari cukup tajam. Mendadak muka Pangeran Samudera terasa merah. Mentari yang sudah merasa dikuasai kekesalan, melangkah pergi. Namun tiba-tiba Pangeran Samudera menarik pergelangan tangannya dan sedikit menghentaknya memaksa menghadap. “Hey! Jangan mentang-mentang kau diangkat Eyang menjadi cucu angkat dan jangan mentang-mentang kau dipertimbangkan juga jadi calonku, kau jadi berani kurang ajar membalas kata-kataku ya?!”, hardik Pangeran Samudera. “Apa?! Maaf, saya sama sekali tidak berniat kurang ajar! Jika Anda ingat dengan baik, Andalah yang memulai saya berbicara banyak seperti ini! Calon apa? Asal Anda tahu, sama sekali saya tidak tertarik dengan ide calon yang Anda maksud!”, dan Mentari menghentakkan tangan yang dipegang Pangeran Samudera. Bergegas dia segera pergi menjauh dari tempat itu dengan perasaan dongkol dan marah. Pangeran Samudera memaki kencang, “Kurang ajar!!! Dia pikir dia siapa?!!!”, ucapnya sambil mengepalkan tangan dan menendang sebuah guci kecil yang ada di dekatnya sampai pecah. Para pelayan yang menyaksikan kejadian itu kaget sekali. Dengan tergopoh-gopoh beberapa di antaranya menghampiri Pangeran Samudera dan beberapa mengejar Mentari yang berjalan sangat cepat menuju pendoponya. *** Mentari segera menutup pintu pendopo dan menguncinya sebelum pelayan yang mengejar sempat masuk. Dia menahan isakannya. Sakit betul dibentak seperti oleh orang yang sangat dia hindari dan kurang dia kenal. Tak pernah seumur hidupnya dia menerima bentakan. Mentari pikir dia sudah cukup kuat dan bisa beradaptasi. Tapi kata-kata tadi, anggapan dia kurang ajar, adalah kata yang sangat dia takutkan keluar dari mulut orangorang di sini. Yang lebih parah, kata-kata itu keluar dari Pangeran Samudera. Setelah dia habis terisak dan merasa lebih tenang, Mentari mulai sadar dan bertanya pada dirinya, “mengapa aku bisa merasa sakit hati begini? Rasanya aku dulu bisa menjalani hidup yang sangat perih. Tapi kenapa bentakan dari dia yang tak seberapa bisa membuatku menangis?”, tanyanya tak mengerti. “Tunggu dulu, apa maksudnya tentang calonnya itu? Bukan calon istri kan?”, mendadak pertanyaan lain muncul di kepalanya. Segera dia membuka pintu pendopo dan mencari Pak Sugih ke rumahnya. Kebetulan Pak Sugih ada di sana sedang membantu istrinya memasak. “Aduh, Tuan Putri, ada apa sampai datang ke sini? Tuan Putri kan bisa memanggil Hamba dengan bel”, tergopoh-gopoh Pak Sugih menghampiri. 56 | M e n t a r i S e n j a
“Pak, boleh saya tanya sesuatu? Mohon Bapak jujur”, Mentari tak mampu membendung rasa penasarannya. “Eh? Ya ya Tuan Putri, tentu saja boleh”, jawab Pak Sugih tak mengerti. Bu Retno juga segera mendekat melihat Mentari terkesan panik dan tak sabaran. “Tadi Pangeran Samudera mengatakan saya dipertimbangkan jadi calonnya. Apakah maksudnya itu, Pak Sugih? Apakah Bapak tahu juga?”, tanya Mentari mendesak. “Ampun Tuan Putri. Memangnya Tuan Putri tidak tahu bahwa Baginda Sepuh memang berniat menjadikan Tuan Putri sebagai calon istri Pangeran Muda?”, Pak Sugih bertanya balik dengan nada yang sama herannya. Mendengar itu, Mentari menghempaskan diri duduk di kursi terdekat. Badannya terasa lemas seketika. Melihat reaksi itu, Pak Sugih langsung sadar bahwa Mentari tidak tahu apaapa mengenai itu. Sadar dia sudah membuka informasi yang belum didengar Mentari, dia merasa gelisah. Namun kemudian, dia berusaha tenang dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Mentari. Matanya saling menatap dengan istrinya yang juga terlihat kaget dengan fakta ketidaktahuan Mentari. Pak Sugih memberi kode pada Bu Retno. Segera, Bu Retno menyiapkan teh hangat dan menyajikannya di meja. Mentari segera meminumnya. “Saya hanya diberitahu bahwa saya dijadikan cucu angkat Baginda Sepuh yang itu berarti juga dijadikan anak angkat Baginda Raja dan Ratu. Tolong ceritakan pada saya sisi informasi lain yang Pak Sugih dapatkan”, kata Mentari dengan nada yang lebih tenang. Pak Sugih menceritakan garis besar yang dia tahu dan juga diketahui seluruh pelayan di lingkungan Istana. Mengenai Rapat Besar Keluarga Kerajaan dan pernyataan juga titah Baginda Sepuh. Bahwa di rapat itu, Baginda Sepuh menekankan cucu sahabat dekatnya sebagai salah satu calon istri yang bisa dipilih Pangeran Samudera. Tidak membahas mengenai niatnya mengangkat calon istri pilihannya sebagai cucu. Mentari menyimak dengan seksama penuturan Pak Sugih. Sepanjang malam itu, Mentari sulit tidur. *** Setelah perdebatan tak perlu itu terjadi dan setelah Pangeran Samudera menghabiskan makiannya, dia menuju ruangan olahraga pribadinya. Dia tinju samsak yang menggantung di salah satu pojok ruangan. Baru kali ini ada yang berani membalas bentakannya dengan kata-kata jelas dan berdasar. Bari kali ini ada yang berani menghadapkan wajah dan menantangnya. Dia sudah cukup biasa tak sepaham dengan banyak orang. Sudah biasa menerima pendapat lain yang berbeda. Namun, biasanya itu terjadi di kampusnya dulu. Terjadi di ruang-ruang formal. Terjadi dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Terjadi di lingkungan keluarga inti, terutama ayahnya. Tapi ini, perempuan, asing, yang baru saja benar-benar berbicara berhadapan tadi, baru sekali, dan kejahilannya dibalas. Kemarahannya dibalas. Hampir sepadan. “Oke!...Mari kita lihat! Mari kita lihat! Sejauh mana kemampuanmu. Seberapa mampu kita saling berhadapan. Mentari Pertiwi Raya!”, ucapnya dengan nada terengah-engah setelah menghabiskan banyak tenaga memukuli samsak. *** Dan tibalah acara pesta itu. Mentari merasa begitu enggan menghadirinya. Membayangkan dia hadir terasing sendirian di tengah orang-orang yang dia tidak kenal sangatlah tidak menyenangkan. Mereka yang akan datang tumbuh dan berkembang di keluarga kaya raya. Putri-putri bangsawan, putri raja-raja daerah, putri para pengusaha kaya. Apa yang akan bisa dia lakukan di sana? Apakah akan ada yang mau berkenalan dan diajak bicara? 57 | M e n t a r i S e n j a
“Fyuhhh!! Tuhan... Mengapa hal seperti ini terasa lebih sulit bagiku dibandingkan menahan lapar sampai 3 hari lamanya?”, keluh Mentari bergumam pelan. Menjelang pesta, Mentari sudah didandani oleh perias Istana. Seperti pesan Baginda Ratu. Mereka berdua tidak akan menghadiri acara karena harus memenuhi undangan dari Kerajaan Samudera Pasai. Acara pesta di Istana ini memang dikhususkan untuk anak-anak muda saja. Mentari mengenakan kebaya berlengan pendek warna krem dengan sedikit payet. Bawahannya adalah rok kain setengah lutut yang cukup ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya. Bentuk tubuh Mentari pada dasarnya memang telah proporsional sesuai tinggi badannya. Padu pada kebaya itu kini sangat memperlihatkan lekuknya yang sempurna. Rambutnya disanggul sederhana dan dihiasi sedikit oleh bunga melati. Para pelayan yang melihatnya berdecak kagum. Dengan busana yang tepat, riasan sederhana, aksesoris serasi, dan hasil perawatan sebulan lebih, kecantikan Mentari muncul ke permukaan. Kecantikan yang selama ini tersembunyi oleh pahitnya hidup yang dia lalui. Mau tak mau, melihat dirinya dalam penampilan seperti ini di depan kaca, Mentari merasa senang. Emosi itu ia sembunyikan dengan rapi karena sadar masih ada orang lain di ruangannya. Setelah para perias pergi, tinggal dia dengan Bu Retno yang menggantikan tugas yang lain untuk membereskan meja rias kembali. “Bu, kalau sedang pesta begini, biasanya orang-orang bagaimana? Apakah ibu punya saran agar saya bisa lebih nyaman di sana? Saya tak kenal siapa-siapa soalnya”, tanya Mentari dengan agak gugup. Bu Retno tersenyum. “Tuan Putri, tenang saja.. Hamba sering lihat juga dalam pesta seperti ini ada beberapa orang yang terlihat sendirian dan hanya diam mengamati orang-orang lain. Tidak semuanya bisa berbaur dengan mudah. Tergantung pribadi masing-masing. Ampun Hamba bicara seperti ini. Yang jelas, menurut Hamba nikmati saja suasananya dan jangan dibawa beban. Lagipula, biasanya orang-orang lebih sibuk dengan dirinya masing-masing daripada repot berusaha ramah satu sama lain”, saran Bu Retno tenang. Mentari merasa sedikit lega dengan upaya Bu Retno menenangkannya. “Terima kasih Bu...”, ucap Mentari sambil berdo’a dalam hatinya. Semoga dia bisa melalui acara pesta yang akan berlangsung selama 3 jam itu dengan baik. *** Tamu-tamu sudah berdatangan. Ada yang berbeda dari pesta Hari Pemuda tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Putri-putri yang hadir terlihat berusaha tampil maksimal. Busana-busana yang dikenakan tampaknya sengaja dipesan dari para desaigner terkenal agar tidak sama satu sama lain. Ada yang memang enak dilihat. Ada yang tidak menyenangkan untuk dilihat karena berlebihan dan tidak terlalu cocok. Pangeran Samudera sudah berada di tempat pesta sedari tadi bersama Helena, Viona, Bima, Batara, dan Wisnu. Sahabatnya dari sejak dia kecil dulu. Setiap tamu yang baru datang, terutama perempuan, langsung menyapanya dan menghabiskan waktu 1-2 menit bersama dengannya. Pangeran tahu, apa maksud mereka. Menginginkan perhatiannya dan berusaha keras untuk itu. Namun ada yang menggelisahkannya sedikit. Pesta sudah dimulai. Dia belum melihat Mentari. “Hey, Sam. Siapa yang kau tunggu?”, tanya Batara sambil berbisik jahil. “Eh? Apa maksudmu? Tidak ada”, jawabnya rikuh. “Beberapa kali kulihat matamu melihat ke arah jalan masuk”, goda Batara makin menjadi.
58 | M e n t a r i S e n j a
Pangeran Samudera membelalak ke arah Batara memintanya berhenti menggoda. Karena gerak geriknya dibaca, dia berusaha biasa kembali. Menikmati musik yang mulai ditabuh. “Hey, itu bukannya Safira? Whoaaa...prioritas nomor 1 mu telah datang Sam”, seru Bima. Pangeran Samudera melihat ke arah jalan masuk. Hatinya merasa senang melihat wanita cantik itu. Usia Safira sama dengan dirinya. Dia anak tengah dari keluarga bangsawan, masih terkait erat dengan keluarga permaisuri terdahulu, yang menjadi konglomerat no.1 di Indonesia. Wanita ini memiliki tinggi tubuh yang mirip dengan model. Wajahnya cantik simetris hampir sempurna. Dia menghabiskan waktu kuliah di univeristas yang sama dengan Pangeran Samudera ketika di Amerika. Beberapa kali mereka menghabiskan waktu luang bersama di sana. Sepulang dari Amerika, karena kecerdasannya dan penguasannya di bidang bisnis, ayahnya langsung menjadikannya direktur di salah satu perusahaan mereka. Perusahaan otomotif mobil mewah. Pangeran Samudera sangat menghargai wanita itu karena kecerdasannya, pengetahuan, dan selera humornya yang bagus. Pangeran Samudera menikmati waktuwaktu bersamanya ketika mereka mengobrol apa pun. Namun, dulu, tak ada yang berkembang dari hubungan mereka. Seolah satu sama lain bersikap hati-hati. Setelah Rapat Akbar Keluarga Kerajaan membahas mengenai rencana pernikahan Pangeran, baru hubungan itu berkembang walau masih belum bisa disimpulkan terlalu jauh. Safira lebih mengambil inisiatif untuk menghubunginya. Mereka juga beberapa kali telah menghabiskan waktu makan malam bersama di tengah-tengah kesibukannya masing-masing. Ketika Eyangnya, Baginda Sepuh, memberikan kebebasan untuk memilih, tak dipungkiri, Pangeran Samudera membayangkan Safira sebagai figur yang paling ideal. Meskipun demikian, Pangeran Samudera tak mau terburu-buru. Tak mudah baginya untuk merasa terikat. Walau perempuan itu dia sukai dan menumbuhkan rasa hormat dalam dirinya. Viona mengagumi Safira juga seringkali iri padanya. Safira memiliki lebih banyak hal dibandingkan dirinya dan teman-temannya. Kekayaannya. Status keluarganya. Dan terutama kecerdasannya. Tidak hanya Viona yang merasa seperti itu. Ketika putri-putri lain yang hadir di malam itu melihat dan menyadari kedatangannya, hati mereka terasa menciut dan melemah. Mendadak, hati-hati yang menanti perhatian Pangeran Samudera di sana menjadi redup dan cahayanya hampir padam. Apalagi ketika Pangeran Samudera menyambutnya dengan hangat dan menahannya untuk bergabung dengan sahabatsahabatnya, makin pesimislah perasaan para perempuan yang ada di sana. Pelan-pelan, kerumunan itu lebih menyebar. Namun bagi Pangeran Samudera, masih ada yang membuatnya sedikit gelisah. Dari tadi dia belum melihat Mentari. Dia akan sangat semakin kesal kalau perempuan itu tidak datang. Karena apa gunanya skenarionya jika orang yang akan jadi objek malam itu tidak hadir. *** Beberapa rangkaian lagu mengalun memenuhi udara. Para tamu undangan sudah mulai berbaur dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Tegur sapa. Tawa renyah. Pembicaraan mengenai hal-hal tren, menghangatkan suasana pesta. Mentari memandang kerumunan itu dari kejauhan. Setelah merasa dirinya lebih tenang, dia berjalan menuju tempat pesta kebun itu berlangsung. Dia ingat-ingat bagaimana prinsip-prinsip etika yang dia pelajari. Dan dia hilangkan bayangan bahwa dia harus ramah.
59 | M e n t a r i S e n j a
Seperti kata Bu Retno, asyik dengan diri sendiri juga merupakan hal biasa dalam suatu pesta. Dia berjalan tenang memasuki tempat pesta. Benar kata Bu Retno, tak ada yang terlalu memperhatikannya. Hanya tatapan-tatapan sekilas yang hanya sekedar teralih perhatian karena ada gerakan. Lalu tatapan-tatapan itu kembali ke tempatnya masingmasing. Apalagi, dibandingkan yang lain, penampilan Mentari terhitung sederhana dan bersahaja. Sangat tidak mencolok dan meminta perhatian orang. Mentari menarik nafas lega. Dia berjalan santai menuju meja hidangan minuman. Mengambil satu gelas cocktail dan menyesapnya sedikit. Dia melihat sekeliling tempat pesta. Mengamati perilaku orang-orang di sana dan menikmati alunan musik kontemporer di telinganya. Tapi Mentari tidak menyadari. Yang tidak memperhatikannya hanyalah tamu-tamu perempuan. Untuk beberapa tamu lelaki yang kebetulan berpapasan dengannya, berbeda. Tatapan mereka sedikit terpaku padanya. Ada daya tarik yang terpancar dari dalam dirinya. Yang membuat para pria itu melekatkan mata sejenak menikmati keindahan lekuk tubuh dan keanggunan alami yang terpancar. Dia juga tidak menyadari, Pangeran Samudera melihatnya dari kejauhan. Sedikit terpaku melihat ke arah dirinya. Dan menyunggingkan senyum halus. Hanya Batara yang membacai gesture itu. Dengan halus dia mengikuti arah pandangan Pangeran Samudera. Mengernyit melihat ke arah perempuan yang sedang meminum cocktail dan terlihat sangat nyaman dengan dirinya sendiri. Batara menebak, pasti itu Mentari. Saat dia lihat Pangeran Samudera tidak gelisah lagi seperti tadi, Batara tersenyum penuh arti dan memilih menutup mulut agar Pangeran Samudera tidak merasa diperhatikan. Karena mulai agak pegal dan mulai sedikit bosan mengamati, Mentari berjalan menuju bagian kolam renang. Benar saja, bangku-bangku yang sengaja di pasang di sana masih kosong. Orang masih terpusat di hall utama. Mentari berjalan menuju salah satu kursi yang agak dekat dengan rumpun semak bunga. Dia memandang ke arah langit yang sedang cerah. Belum lama dia menikmati suasana itu, seseorang mengajaknya berbicara. “Maaf, boleh saya duduk di sini?”, tanyanya renyah dan akrab. Mentari menoleh. “Bu Friska?!”, Mentari berdiri dan berseru kaget. Sesaat Friska mengernyit dan mencoba mengenali. “Tariiiii?!”, serunya. Kaget. Tak menyangka. Senang. Bercampur jadi satu. Mereka sedikit meloncatkan kaki dan berpelukan erat beberapa saat. Saling menumpahkan rasa rindu karena sudah sangat lama tak bertemu. “Oh Tuhan! Kamu cantik sekali! Bagaimana kamu bisa ada di sini? Bagaimana bisa kita bertemu di sini? Untung saja aku ikuti kata ibuku. Aku pikir pesta ini akan sangat membosankan. Tapi ternyata! Ada kamu Tariiii! Miss you very much, dear!”, jerit Friska girang. Sehabis mereka berpelukan, Friska duduk di samping Mentari. “Nah, Tari, pasti ada sesuatu yang sangat besar terjadi padamu. Dan. Kamu HARUS cerita. Apa yang terjadi?”, desak Friska. Dengan pasrah, mengingat kondisi dan situasi, Mentari menceritakan secara garis besar mengenai kisah drastis yang terjadi dalam hidupnya. Friska tak henti-hentinya membelalakkan mata ketika mendengarkan setiap kata yang tertutur dari mulut Mentari. “Dini sudah tahu?!”, tanya Friska. Mentari menggeleng. “Waaah, berarti aku yang pertama tahu? Whoaaa..menyenangkan sekali ini! Tari, do you know what? Sejak bersahabat denganmu, aku selalu punya perasaan bahwa kau bukan orang biasa-biasa saja. There is something really, really, special about you. Dan terbukti
60 | M e n t a r i S e n j a
sekarang. You got the Jackpot! Whow! Aku senaaaaang sekali mendengarnya Tari! Aku ikut senaaaaang!”, dengan gemas, Friska memeluknya kembali. Mentari merasa lega. Malam ini dia tidak sendirian. Malam ini ternyata tetap dipenuhi rejeki. Dan dia bisa bertemu kembali dengan Friska. “Terimakasih, Bu”, balas Mentari sambil tersenyum. “Hushh! Jangan panggil aku Ibu lagi dong. Kan kita sudah tidak bekerja bersama lagi. Panggil saja aku Friska, Tuan Putri”, goda Friska. “Iiih..apa sih panggil Tuan Putri, Bu..eh Friska”, goda Tari balik. Dan mereka tertawa bersama. *** Untuk beberapa lama kemudian, kedua orang itu asyik bercerita. Terutama Friska yang mengambil porsi lebih banyak. Tak terasa, 1 jam telah berlalu. “Eh Tari, aku hampir lupa temanku. Ya ampun. Ah tapi mereka tak mengontak juga. Berarti mereka sibuk mengambil kesempatan baik ini untuk mendapatkan pasangan. Dan aku sedikit lapar. Kita masuk ke dalam yuk?”, ajak Friska sambil berdiri. Karena sudah ada teman yang menyenangkan, Mentari mengangguk dengan semangat. Dengan asyik mereka mengambil beberapa kue dan menyantapnya sambil tertawa. Friska lalu menarik Mentari untuk berkenalan dengan dua teman lelakinya yang ada di pojokan dan tengah menjual pesonanya. Tak butuh waktu lama bagi mereka mengakrabkan diri. Tampilan Mentari tampaknya membuat kedua teman lelaki Friska itu menjadi lebih bersemangat. Mentari tak sadar, dia berdiri tak jauh dari Pangeran Samudera yang mengerumun bersama teman-temannya. Juga dia tak sadar, mata Pangeran itu hampir selalu melihat ke arahnya dengan tatapan kesal. Pangeran Samudera kesal karena dia tak menginginkan Mentari menikmati pesta itu. Menemukan bahwa yang bersangkutan sudah bertemu dengan Friska masihlah bisa ditebak. Tapi menemukan bahwa ada dua orang lagi yang lain berkerumun dengannya dan tampak akrab, itu menjengkelkan bagi Pangeran Samudera. Viona dan Helena juga menyadari kehadiran Mentari dan Friska. Helena kagum melihat sosok itu berubah menjadi sosok yang cantik dan menawan. Viona tidak menyukainya namun tak bisa berbuat apa-apa juga karena sekarang posisi Mentari sudah sangat berubah. Kecuali kalau Pangeran Samudera yang mengambil langkah. Pangeran itu memutuskan melakukan tujuannya sekarang. Dia berjalan ke atas panggung dan menyampaikan sesuatu: “Saudara-saudara sekalian, saya minta perhatiannya sebentar”, begitu dia mengawalinya. Mendadak ruangan menjadi lebih sunyi. Semua mata menatap ke arah panggung. “Malam ini, ada hal yang ingin saya sampaikan. Saya akan mengundang Tuan Putri Mentari Pertiwi Raya ke atas panggung ini untuk memberikan hiburan pada kita semua! Silahkan Tuan Putri”, kata Pangeran Samudera sambil mengarahkan tangannya pada Mentari yang berdiri di pojok sebelah kanan dari arah panggung. Mendengar namanya di sebut, Mentari terpaku dan menatap ke arah Pangeran Samudera dengan pandangan terbelalak. Dadanya berdebar kencang. Dia, paling tidak menyukai perhatian umum. Ketika tiba-tiba Pangeran itu memanggilnya ke atas panggung, tentu saja dia kaget. Friska yang ada di samping Mentari juga ikut kaget. Dia merangkul Mentari segera membantu menguatkannya. Tatapan mata orang-orang menuju ke arah Mentari. Tatapan memastikan apakah ini orang yang dimaksud Pangeran. Sementara Pangeran Samudera terlihat puas di atas sana, sedikit menyeringai tersenyum ke arahnya. “Tari, jangan ke panggung kalau memang kamu tidak mau”, bisik Friska. 61 | M e n t a r i S e n j a
Mentari menatap ke arah panggung dengan perasaan kesal. ‘Rupanya dia ingin membalas dendam’, katanya dalam hati. Sebenarnya, ingin hati Mentari pergi berlari dari ruangan itu. Tapi dia tidak bisa. Dia tidak mau, lelaki angkuh di sana menyepelekan dan merendahkannya. Dia akan memenuhi tantangan itu. Pangeran Samudera tersenyum dalam hati. Dia menduga, Mentari tak bisa apa-apa. Dia tidak tahu apa kemampuan Mentari yang lain selain prestasi akademiknya yang bagus. Maka dari itu dia buat skenario ini. Dia sangat berharap, Mentari lari dari tempat pesta atau berjalan ke atas panggung lalu berdiri kaku bagai boneka mati. Batara mengernyitkan keningnya. Dia tahu Samudera dari sejak mereka kecil dulu. Sebagai putra mahkota satu-satunya, dia tahu Samudera sangat angkuh dan seringkali tak peduli dengan orang lain. Samudera tak terbiasa berupaya terlalu keras untuk mendapatkan yang dia inginkan. Walaupun dia arogan dan banyak tak peduli dengan orang lain kecuali dirinya sendiri, Samudera dikaruniai dengan kecerdasan dan wajah plus penampilan yang menawan. Seolah hidup berjalan demikian sempurna buat dia. Tapi baru kali ini dia lihat sahabatnya itu berusaha keras mempermalukan seseorang. Perempuan pula. Asing dan baru masuk dalam kehidupannya. Dengan cara yang sangat kekanak-kanakan. “Tak apa Friska, aku akan ke panggung”, jawab Mentari pelan. Friska kaget mendengar tanggapan Mentari. Dia tidak banyak tahu tentang orang ini. Dulu dia mengenalnya sebagai gadis yang tak banyak bicara, pekerja keras, dan tak pernah berusaha menarik perhatian orang. Friska tidak menyangka, Mentari bisa terlihat menakutkan dengan tatapan mata yang tajam itu ke arah panggung. Hadirin masih terdiam. Mentari berjalan pelan-pelan. Menegakkan punggungnya dan menatap lurus ke arah panggung. Orang berbisik-bisik. Mempertanyakan siapa dia yang disebut Tuan Puteri oleh Pangeran Samudera sendiri. Viona terbelalak melihat penampilan Mentari. Dia tidak mempercayai pandangannya. “Bagaimana bisa dia berubah seperti itu?”, bisik Viona pada Helena. Helena mengangkat bahu. Safira yang mendengar bisikan itu, merasa tertarik. “Memangnya dia siapa? Dan bagaimana kamu bisa bilang dia berubah?”, tanya Safira setengah berbisik. “Dia itu dulu pekerja kelas bawah di BUMK telekomunikasi. Tapi aku dengar dari Samudera, dia diangkat jadi cucu Baginda Sepuh”, jawab Viona penuh semangat. “Oh ya? Wow!”, seru Safira. Mendadak dia merasa tertarik pada gadis itu. Matanya mengikuti kemana dan bagaimana Mentari bergerak menuju panggung. Safira tersenyum dan penasaran dengan apa yang akan terjadi. Melihat Mentari berjalan dengan percaya diri ke panggung, Pangeran Samudera sedikit terpaku. Segera, dia sadar kembali dengan apa yang ingin dilihatnya. Matanya bertemu dengan mata Mentari yang tampak menyala oleh kemarahan. Pangeran Samudera agak kaget namun berusaha untuk menerima tantangan mata itu. Tiba-tiba, Mentari tersenyum, “Terima kasih Pangeran”, ucapnya kemudian. Tak menyangka dengan kata-kata itu, Pangeran Samudera tampak sedikit rikuh. Sadar dengan tatapan semua mata ke arah panggung, dia kemudian membalas tersenyum dan membuka tangannya seolah mempersilahkan Mentari berdiri di tengah. “Tuan Puteri Mentari ini adalah cucu sahabat dekat Baginda Sepuh. Mungkin Anda sekalian sudah mendengar sedikit rumor tentangnya. Malam ini, kehormatan bagi saya bisa memperkenalkannya. Silahkan, Tuan Puteri. Hiburlah kami semua di sini dengan kemampuan seni Anda yang luar biasa”, Pangeran Samudera melanjutkan kata-katanya dan segera turun dari panggung. Mendengar kata-kata terakhir Pangeran, ruangan itu mendadak riuh oleh bisikan. Beberapa orang diam-diam mengambil fotonya dengan smartphone mereka. Mentari benarbenar ingin menendang Pangeran Samudera di depan semua orang ketika keterangan itu 62 | M e n t a r i S e n j a
ditambahkan. Seolah niat mempermalukannya di atas panggung tak cukup baginya. Tapi dia sadar, sudah percuma baginya memperlihatkan sikap penolakan. Entah bagaimana, ucapan Pangeran Samudera malah memicu nyalinya untuk memperlihatkan yang terbaik dan tidak membuat malu Baginda Sepuh. Dia berjalan menghampiri pimpinan tim pemusik dan membisikkan sesuatu. Pimpinan tim itu mengangguk patuh dan memberi kode pada anak buahnya. Seseorang mengambil meja dan kursi lalu meletakkan kecapi di atasnya. Beberapa set mikropone disiapkan. Melihat bagaimana tim pemusik dan logistik panggung sibuk seperti itu, Pangeran Samudera terlihat heran. Mendadak hatinya deg-degan melihat kepercayaan diri Mentari yang tampak kuat di atas sana. Pangeran Samudera mendadak takut bahwa Mentari benarbenar memiliki kemampuan. Tapi dia juga harus bertahan di situ. Mentari memberi kode dan mulai memetik kecapi. Hanya sekitar 3 minggu dia mempelajari dasarnya dan sudah bisa terampil karena dia sangat menyukai itu. Tangannya sempat bengkak untuk 2 minggu lamanya tapi dia tidak menyerah. Setiap kali telinganya mendengar bunyi kecapi dipetik, dia merasa jiwanya melayang pada ruang indah yang mendamaikan. Ketika dia mulai menemukan pola nada-nadanya, dia mulai senang memainkan rangkaian lagu. Terutama lagu tradisional yang sudah tua yang diajarkan pemetik kecapi di istana. Sekarang, ketika dia diminta mempertunjukkan jenis hiburan di panggung, dia pilih kecapi. Dia petik kecapi itu dan sekali dia mendengarkan bunyi petikannya, kesadarannya penuh terpusat ke ruang musik di benak dan hatinya. Tak ada penonton, tak ada orangorang lain, hanya dirinya, petikan kecapi, dan suara musik yang melatarbelakanginya. Pimpinan musik malam itu menikmati alunan kecapi Mentari dan memimpin temantemannya untuk mengikuti dengan spontanitas dan kepekaan musikal mereka yang sudah terasah. Mereka melakukan improvisasi mengikuti alunan kecapi yang memandu. Irama yang dihasilkan terasa penuh dan harmonis satu sama lain. Padahal, tidak ada latihan sebelumnya. Para hadirin yang asalnya masih berbisik, diam dengan sendirinya. Terpaku ke arah panggung dan masuk pada gelombang alunan kecapi tradisional yang dimainkan Mentari. Mereka tidak tahu itu lagu apa, tapi hati mereka tersedot seolah alunan itu menjadi magnet berkekuatan tinggi. Di antara mereka, banyak yang sudah melupakan indahnya musik tradisional. Tak ada seorang pun diantara mereka yang hadir tertarik untuk mempelajari seni-seni tipe ini. Mereka lebih menikmati musik trend dan kontemporer yang sudah merupakan hasil akulturasi dari budaya-budaya pop yang tersebar di dunia. Malam itu, telinga mereka mendengarkan musik budaya tua ini. Memanggil akar jiwa mereka yang sudah tenggelam dengan kehidupan modern. Ada yang tergugah di hati para pendengar yang tak jelas bentuknya apa. Pangeran Samudera sendiri, yang memiliki ide jahil ini, tak bisa menolak tarikan gelombangnya. Jenis musik ini adalah jenis musik yang secara pribadi dia sukai. Termasuk ritual-ritual budaya tua Indonesia. Hobinya pada hal-hal seperti ini adalah privasinya. Sahabat terdekatnya sekalipun tak ada yang tahu bahwa dia mencandu seni tradisional Indonesia. Dia tak pernah mau juga memperlihatkan kecintaan ini pada mereka. Dan sekarang, bagian jiwanya yang ini tersedot dalam alunan nada kecapi yang dimainkan Mentari. Emosinya lambat laun mencair lalu menguap dan menghilang. Dia merasa dirinya kini diam di ruang damai. Tanpa dia sadari, dia memejamkan matanya dan tenggelam di dalamnya. Tak ada di antara temannya yang memperhatikan ekspresi itu. Karena mereka sendiri terpaku dan tersedot dalam alunan kecapi Mentari.
63 | M e n t a r i S e n j a
Malam itu, tak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari panggung. Mentari tampak terkultuskan di panggung sana. Para pemusik yang duduk sama-sama di atas panggung menjadi terlihat seperti dekorasi saja. Kesederhanaan Mentari dalam berpakaian dan berpenampilan malam itu, malah menjadi tampilan yang sangat istimewa. Helai rambut di keningnya, alisnya, matanya yang terpejam, hidung, bibir berlipstik natural, bentuk wajah yang lonjong dengan dagu yang lancip, badannya yang proporsional, tampak mendominasi panggung. Ketika Mentari terlihat tersenyum halus, hati para penonton terasa ikut tersenyum. Dia, yang sangat biasa saja, kini menjadi dewi panggung tanpa dia sadari. Memukau banyak orang. Dan membentuk citra di kepala orang. Citra sebagai Tuan Puteri. Setelah 10 menit berlalu, Mentari menghentikan petikannya dan membuka matanya. Melihat bagaimana tatapan mata semua orang yang hadir melihat ke arah panggung, dia merasa terhenyak. Untuk menutupi perasaannya, dia tersenyum dan mengangguk pelan tanda hormat. Dia berdiri. Mempertemukan kedua telapak tangannya, sedikit membungkuk, sebagai tanda dia memberi salam penghormatan pada semua hadirin. Tepuk tangan membahana memenuhi ruangan ketika Mentari turun dari panggung. Sebelum semua orang sadar dan mempertanyakan siapa dia, Mentari segera mengantisipasinya di kepala. Dia ajak Friska berjalan santai namun agak cepat menuju jalan keluar. Friska yang masih terpukau, mengikuti tarikan tangan Mentari dengan pasrah. Mereka berjalan menuju Pendopo Teratai yang memang merupakan Pendopo terdekat dengan arena pesta kebun itu. Hadirin yang ditinggalkan berusaha mengikuti gerak Mentari. Namun ketika dia memasuki bayangan gelap bersama sahabatnya, mereka kembali fokus pada rekanrekannya. Ruangan riuh oleh pembicaraan mengenai Mentari. Banyak yang mempertanyakan siapa dia dan darimana dia berasal. “Siapakah sahabat dekat Baginda sepuh itu sebenarnya? Apa kau pernah mendengar?” “Pangeran menyebutnya Tuan Puteri, apa dia berasal dari keluarga bangsawan atau kerajaan tertentu? Kira-kira keluarga yang mana?” “Dia itu...luar biasa sekali. Kalau disebut cantik, ya lumayan saja. Tapi, dia itu memukau betul..kamu setuju kan?” “Coba di search di internet. Barangkali ada keterangan mengenai dia yang kita tidak tahu” “Eh, kamu unggah ke YouTube kan tadi? Coba kita nanti baca bagaimana reaksi orang. Barangkali kita bisa dapat petunjuk” “Siapa ya dia? Eh...Pangeran tadi bilang dia cucu sahabat Baginda Sepuh. Rumor mengatakan itulah salah satu calonnya juga. Wahhh..apakah ini pesaing yang setara Safira?” “Apa dia ikut kursus khusus untuk bisa memainkan musik itu? Dimana ya kira-kira tempat kursusnya. Aku mau belajar juga” “Hey, kamu harus memasukkan nama dia ke website seleksi calon istri Pangeran yang kita buat. Ayo cepat! I vote her” Begitulah kurang lebih beberapa komentar dan pembicaraan yang terdengar di ruangan itu. Setelah selesai mendengarkan musik itu, Pangeran Samudera merasa badannya sempoyongan. Segera, Batara memapahnya untuk duduk di corner khusus yang memang disediakan khusus untuk mereka. Pangeran Samudera meminum segelas cocktail sampai habis tanpa berkata apa-apa. Melihat reaksi itu, tentu saja sahabat-sahabatnya merasa heran. Tapi mereka tahu, ketika Pangeran Samudera berperilaku seperti itu, mereka sebaiknya membiarkan dan tidak 64 | M e n t a r i S e n j a
mengusiknya untuk beberapa lama. Batara meninggalkannya duduk di sana dan bergabung dengan temannya yang lain. Safira melihat rangkaian perilaku itu dan mengernyitkan kening. Dia menyimpan banyak pertanyaan, namun tak ingin melontarkan pada orang lain untuk menjagai harga dirinya. Safira menunggu Samudera menenang. Dia kemudian menghampirinya dan mengajaknya bicara mengenai hal-hal lain seolah kejadian tadi tak terjadi. Pangeran Samudera merasa lebih tenang dengan diperlakukan seperti itu. ***
Efek Pesta Kebun Di dalam Pendopo Teratai, Friska membantu Mentari melepaskan pakaiannya dan menghapus make up-nya karena diminta. Friska, terbawa oleh nalurinya, tak berbicara seperti halnya Mentari. Mereka terdiam untuk beberapa lama. “Fyuhhhh!!”, tiba-tiba Mentari meremas rambut bagian atas kepalanya. Friska membelai punggungnya lembut. “Terima kasih banyak Friska. Terima kasih banyak sudah datang ke sini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak ada di sini”, kata Mentari tulus. “Hey! Tenanglah, dear. Apa yang terjadi, selalu ada artinya. Dan tadi itu, caramu memainkan kecapi, its sooooo amaziiiing! Apakah dari dulu kau belajar kecapi?” “Tidak” “Tidak? Whoa, jadi dimana kamu belajar dan dari sejak kapan?” “Di sini, Fris.. baru belajar sekitar 3 minggu”, jawab Mentari setengah enggan. “Whoaaaa! You are brilliant!”, Friska memuji penuh semangat. Tapi tiba-tiba dia tersadar. Mentari tampak tidak mau membicarakan hal itu. Mereka diam sesaat. “Apakah kira-kira kau bisa mengatakan padaku apa yang membuatmu terlihat sangat risau sekarang?”, tanya Friska hati-hati. “Hhhh.. aku khawatir dengan publikasi, Friska. Kau tahu sendiri aku tak terbiasa dengan publik. Jika tidak salah lihat, ada banyak orang yang mengacungkan telepon genggam mereka padaku, saat Pangeran menyampaikan bahwa aku adalah cucu sahabat dekat Baginda Sepuh. Aku... aku tak tahu bagaimana seharusnya aku bereaksi...terhadap hal-hal seperti ini”, jawab Mentari dengan nada berat. “Ahhh... ya ya ya, aku mengerti perasaan itu. Dengan berat hati aku mengatakan, pastinya sekarang akan ada banyak orang yang berusaha tahu tentangmu. Lets check”, ucap Friska sambil menyalakan smartphonenya. Dugaan Friska dan Mentari benar. Dalam sekejap, banyak pemberitaan tentang Mentari di YouTube. Dengan berbagai macam judul. “Arghhhh! Kenapa dia bisa melakukan itu?!”, keluh Mentari. “Hmmm... mungkin, mungkin dia sangat kesal padamu. Adakah yang membuatnya kesal?”, tanya Friska. Mentari terdiam sesaat. Lalu, dia ceritakan kejadian saat sebelum pesta diselenggarakan. “Really?! Whoooowwww! Keberanianmu itu ya?! Hahahaha”, Friska tertawa keras setelah Mentari selesai bercerita. Mentari menatapnya heran. “Ups! Maaf... tapi Tari, terus terang, itu cerita hebat” “Maksudnya?” “Well, seorang Pangeran yang selalu merasa dirinya nomor satu, jarang atau mungkin tidak pernah, dilawan oleh orang. Lalu kau tiba-tiba muncul. Dan memperlihatkan padanya bahwa ada juga yang berani melawannya, umm..atau dengan kata lainnya, meniadakan perasaan nomor 1 nya itu”, Friska menjelaskan dengan penuh semangat. Mentari terdiam. 65 | M e n t a r i S e n j a
“Lalu apa yang harus kulakukan untuk menghadapi publikasi ini Friska?”, tanyanya khawatir. “Hey, tenang saja. Berita ini bisa dikatakan berita gosip dan akan diminati banyak orang. Ya, nikmati saja. Begini, Tari. Kamu, orang yang tiba-tiba hadir dan hidup di lingkungan istana ini. Hidup di istana, apalagi menjadi cucu angkat Raja terdahulu yang sangat disegani, pastinya bukanlah kehidupan yang biasa saja. Yang biasa kau lalui. Kau tahu sendiri kan bagaimana para pencari berita berusaha menguak kehidupan di balik istana. Maka diliput dan diketahui publik, tentunya sudah menjadi kewajaran yang perlu kamu antisipasi bukan? Ya, tak bisa ditolak, tapi setidaknya mentalmu bisa disiapkan untuk itu”, Friska memberikan sudut pandangnya. Mentari termangu. Kata-kata Friska benar. Dia dulu tidak pernah memikirkan hal itu. Sekarang, segalanya menjadi lebih jelas. “Arghhhh!!! Mengapa menjadi begini?”, Mentari melemparkan badannya ke atas kasur. Friska mengikuti di sebelahnya. “Hey! Kau sudah di sini dan sudah menerima tawaran Baginda Sepuh 100%, dear. Dont give up. Hadapi saja. Aku tahu kamu bisa menghadapinya, Tari. Yah, aku tak kenal kamu terlalu banyak. Yang kutahu hanya sebatas identitas kerjamu dulu. Tapi aku selalu ingat bagaimana pantang menyerahnya kamu. Dan keberanianmu menantang kata-kata orang lain, aku acungi jempol. Kau ingat kan dengan kejadian Viona? Hahaha.. coba kau bayangkan lucunya itu sekarang” “Eh?” “Lucu dong. Dulu Pangeran yang mulia itu bukannya hanya menonton dan tertawa. Sekarang? Entah disadari atau tidak, dia sendiri yang kena. Hahaha...”, Friska tertawa lagi. Mendengar itu, Mentari ikut tertawa kecil. Lalu mereka tertawa bersama-sama untuk beberapa saat. “Eh tapi Tari, sebenarnya dia itu ganteng banget lho! Tingginya saja sekitar 180an. Badannya pas. Tak terlalu kurus dan berisi. Coba kalau dia tidak angkuh dan sombong dan bukan anak Raja Angkasa, aku pasti sudah naksir dia”, tiba-tiba Friska mengalihkan pembicaraan. “Eh? Kenapa memang kalau dia anak Raja Angkasa?”, Mentari terbawa. “Aku juga tidak tahu sih. Tapi sejak aku kecil dulu, ayahku selaluuuu saja menekankan, jangan pernah terlibat dengan keluarga Raja Indonesia. Kalau dengan Raja di kepulauan dia bilang boleh. Mungkin karena sudah ditanamkan dari sejak kecil, maka aku jadinya tak pernah terpikir apa-apa tentang keluarga Raja Angkasa”, tatapan Friska menerawang. “Eh? Kok aneh?”, Mentari penasaran. “Yah, aneh. Dan anehnya lagi, aku yang biasanya senang membangkang, untuk urusan itu aku patuh sekali. Tapi setelah besar aku pikir, aku bersyukur dia mengatakan dan menekankan itu. Aku bisa terbebas dari hal-hal rumit berbau politik dan intriknya. Mungkin itu ya maksud ayahku? Stay clean”, kata Friska mengambang. Mentari mengangguk-angguk. “Whoa, Pesta sudah berakhir katanya! Hey, girl, tampaknya aku harus pulang. Haris dan Erik sudah menunggu. Jangan lupa, kalau butuh apa-apa, hubungi aku ya? Aaaand.. hadapi ya, Tari. I know you are able to face it”, kata Friska terakhir kalinya sambil tersenyum. Mentari mengangguk. Mentari senang, ada Friska malam itu. Dan karena kerisauannya langsung dibicarakan, dia merasa segala sesuatunya terasa lebih ringan. *** Pemberitaan mengenai Mentari kini telah menjadi bagian dari acara infotainment keluarga kerajaan. Berita ter-hot selama hampir seminggu lamanya. Banyak spekulasi 66 | M e n t a r i S e n j a
mengenai identitasnya. Beberapa ahli sejarah bahkan ditanya dan diwawancarai mengenai kemungkinan sahabat dekat Baginda Sepuh. Menyadari gencarnya pemberitaan, Raja dan Ratu menjadi khawatir. Mereka khawatir hal ini mengganggu perasaan Mentari yang pastinya tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Sepulangnya dari Kerajaan Samudera Pasai, Raja Angkasa langsung memanggil putra satu-satunya itu. “Jelaskan padaku, Pangeran. Apa yang ada di kepalamu hingga kamu mengumumkan hal yang tidak perlu itu di acara pesta?”, tanya Raja Angkasa dengan nada setengah kesal. “Hanya untuk bersenang-senang dan memperkenalkan Mentari pada teman-temanku, Ayahanda. Itu saja”, jawab Pangeran Samudera malas. “Apa? Bersenang-senang? Apa maksudnya itu?”, Raja Angkasa yang tadinya berusaha untuk sabar kini meninggikan suaranya. “Memangnya kenapa kalau aku memperkenalkannya Ayahanda? Bukannya sudah seharusnya dia diperkenalkan?” “Ya Ampun! Aku tidak mengerti apa yang ada di kepalamu! Tidakkah kau kasihan pada Mentari? Dia itu datang dari kehidupan yang tidak sama dengan kita. Dia butuh waktu untuk beradaptasi dengan segala budaya di Istana ini. Belum sampai dua bulan di sini, kau membuatnya harus berada dalam posisi seperti sekarang!”, menyemburlah kemarahan Raja Angkasa. Tentu saja mendengar pembelaan itu, Pangeran Samudera tidak mudah menerima. Rasa irinya semakin menjadi. “Kasihan pada Mentari? Bukannya semua hal ini menguntungkan untuknya, Ayahanda? Dia, yang bukan siapa-siapa, mendadak menjadi keluarga kerajaan, lalu mendapatkan perhatian dari orang-orang. Bukannya itu yang diimpikan banyak orang? Menjadi pusat perhatian? Dan dia mendapatkan apa yang dia inginkan bukan?!”, Pangeran Samudera tak mampu menahan kata-katanya. “Samudera Angkasa!!”, bentak Raja Angkasa. “Whoa! Ayahanda memanggilku dengan nama lengkap? Sungguh? Sehebat itu Mentari sampai Ayahanda melupakan siapa putra Ayahanda dan siapakah yang seharusnya mendapatkan pembelaan?!” “Samudera!!! Jaga mulutmu! Kau tidak tahu siapa dia!”, Raja Angkasa tambah menjadi. “Siapa dia ayah? Apakah mungkin dia sebenarnya cucu dari anak selir Eyang?!”, entah mengapa Pangeran Samudera mengeluarkan kata-kata yang tak terkendali. Plak!! Raja Angkasa menamparnya dengan keras. Setelah menampar, Raja Angkasa tersadar, dia sudah berlebihan. Sakit hati dengan tamparan itu, Pangeran Samudera segera berdiri tegak dan meninggalkan ruangan dengan kemarahan yang membakar kepalanya. Raja Angkasa terduduk lemas di kursinya. Dadanya terasa sakit. Segera diambilnya pil dari laci mejanya dan menegaknya sekaligus. “Ampun! Mengapa anak itu jadi begini?”, keluhnya. Dia menyesali telah menampar Pangeran Samudera lagi. Sekian kali dia sering menampar anaknya, sekian kali dia menyesali, dan sekian kali juga kejadian itu selalu terjadi lagi. Raja Angkasa merutuki dirinya sendiri, yang selalu saja mudah kehilangan kendali jika harus berhadapan dengan semburan amarah anaknya yang kekanak-kanakan. Kejadian itu dia bicarakan dengan istrinya. Ratu Selasih mendengarkan dan merenungkan penyebab kemarahan Pangeran Samudera. Mereka menduga kalau Pangeran Samudera cemburu dengan kehadiran Mentari yang memang mendapatkan perhatian yang intensif dari mereka berdua. Mereka terpikir untuk berbicara baik-baik dengan Pangeran Samudera dan menjelaskan siapakah Mentari sebenarnya. Namun ketika 67 | M e n t a r i S e n j a
hal itu dibahas dengan Baginda Sepuh, saran itu ditolak. Bagi Baginda Sepuh, Pangeran Samudera harus bisa berusaha sendiri memahami Mentari. Juga baginya, kehadiran Mentari bagus untuk membantu Pangeran mengenali emosinya sendiri. “Cucu kesayanganku itu perlu belajar bagaimana caranya memahami kasih sayang dan keadilannya. Selama ini dia sendiri yang menyedot semua perhatian. Sekarang, dia harus belajar bagaimana melihat semuanya dengan terbuka dan berkepala dingin. Biarkan saja. Kalau dia dibantu terus, kapan dia bisa dewasa. Kalian lihat kan betapa masih kekanak-kanakannya dia meski umurnya sudah 25 menuju 26 tahun. Pendidikan emosi tidak bisa dia dapatkan di bangku sekolah atau kuliah. Biarkan saja. Ini semua adalah prosesnya. Mengenai pemberitaan Mentari, kalian tak usah khawatir. Dia lebih kuat dari yang kita duga. Memang aku akui, proses ini terjadi lebih cepat dari dugaanku. Tapi jangan terlalu khawatir. Biarkan saja”, begitu kata Baginda Sepuh di telepon sambil tersenyum. Mendengar penuturan Ayahanda mereka, Ratu dan Raja pun akhirnya lebih tenang. *** Safira yang penasaran dengan Mentari berusaha keras mencari informasi mengenai perempuan itu. Namun dia heran dia tak menemukan banyak. Satu-satunya keterangan yang ada hanyalah daftar riwayat hidup sederhana yang dia dapatkan dari personalia BUMK. Persis sama dengan yang diperlihatkan Viona. Bahwa dia fresh graduate dari universitas negeri di Parahyangan, lulus dengan IPK sempurna dan cumlaude. Tinggal di kota Parahyangan selama mengikuti perkuliahan dan alamat yang tertera hanyalah alamat kos-nya. Ketika dia cek alamat kos itu, sudah terlambat. Baru 5 bulan belakangan tanah di daerah itu sudah mulai dibangun untuk meseum busana tradisional. “Bagaimana seseorang bisa terlihat seperti hantu tanpa jejak seperti itu?”, gumam Safira. Ayahnya yang sedang duduk di seberangnya, mendengar gumaman itu. “Kenapa, sayang?”, tanyanya penuh selidik. “Ah tidak ayah... Aku sedang mencari informasi mengenai yang namanya Mentari ini. Tapi tak menemukan banyak keterangan penting. Minim sekali”, jawab Safira. “Ah, Mentari yang itu? Mengapa kau cari info tentang dia? Serisau itukah kamu?”, kali ini Ibunya yang bertanya. Mereka berdua kebetulan sedang menghabiskan waktu keluarga sesuai jadwal di tengah kesibukan mereka. “Eh? Ah..tidak juga.. Hanya penasaran saja”, Safira tergagap. Ibunya mendekat dan duduk di sampingnya. Ibunya merangkul Safira. “Jangan terlalu khawatir dong, sayang... Kamu itu kan satu-satunya calon unggulan. Tak ada yang bisa menyaingimu. Apalagi Pangeran sudah mulai menyukaimu bukan? Jangan sampai hal kecil seperti ini memadamkan semangatmu”, ucap Ibunya lembut. “Ya, Sayang. Jangan terlalu khawatir. Kita sudah berada di jalan yang lurus untuk mencapai cita-cita. Ini hanya masalah waktu menunggu Pangeran melamarmu. Jangan lupa, kamu harus tetap tenang dan berkepala dingin”, tambah ayahnya. Safira tersenyum dan memeluk ibu dan ayahnya dengan hangat. *** “Tariiiiiii!!!! Apa maksudnya itu? Jadi kamu adalah cucu angkat Baginda Sepuh? Bagaimana kau begitu tega tidak menceritakan itu padaku?! Mengapa kamu begitu tegaaaaaa?!!!”, Dini berteriak dan meraung di telepon. Mentari menjadi sangat tidak enak. “Maafkan Mbak. Maafkaaan”, hanya kata-kata itu yang terus dikatakan berulang-ulang oleh Mentari. Mungkin hampir 15 menit Mentari mendengarkan kekesalan dan kemarahan Dini di telepon. Dengan sabar, dia menunggu hingga kekesalan Dini reda.
68 | M e n t a r i S e n j a
“Sekarang, jelaskan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi?! Bagaimana bisa kamu menjadi cucu angkat Baginda Sepuh? Bagaimana bisa kakekmu terhubung dengan dia? Siapa kakekmu Mentari?!”, teriak Dini dari seberang. “Mbak...aku sungguh tidak tahu juga... Tolonglah, Mbak. Maafkan aku. Aku tadinya mau bilang pada Mbak, tapi aku sendiri kesulitan bercerita. Dan kejadian ini sudah terjadi sekarang. Mbak, maafkan aku ya...”, Mentari sudah hampir menyerah dan mulai sedikit tercekat. Mendengar suara Mentari yang berubah, Dini terdiam. Mendadak dia sadar dia sudah terlalu egois. Akhirnya, dia menerima maaf Mentari dan berjanji akan segera mengunjunginya. Tentu saja, setelah pembicaraan telepon itu berakhir, dia segera bergosip dengan Peggy dan Yance. *** Pangeran Samudera langsung menuju tempat peristirahatan favoritnya. Dulu, saat kejadian seperti itu terjadi sebelum dia dikuliahkan di luar negeri, biasanya dia melarikan diri pada alkohol atau perempuan. Yang berbuntut skandal panjang. Ketika dia kuliah di luar negeri dan memikirkan hal itu dengan lebih serius, dia sadar bahwa tindakan itu merugikan nama baiknya dan nama baik keluarganya. Bagaimana pun, dia akan menjadi Raja berikutnya. Dengan nama yang tidak baik, dia sadar konsekuensinya akan berat. Meskipun awalnya kesadaran menjadi pemimpin nomor satu di negeri ini kurang bisa diterima saat usianya masih terhitung muda, Pangeran Samudera pada akhirnya memahami bahwa dia memang menginginkan posisi itu. Proses penerimaan ini tidaklah mudah dan singkat. Setelah dia kuliah di luar negeri dan mengkaji kehidupan di negera lain, dia bisa menemukan banyak hal yang menarik. Pernah dia menantang dirinya melepaskan diri dari kemewahan selama 3 bulan. Membuat matanya terbuka melihat kemiskinan dan merasakan kesulitan di dalamnya. Melihat bagaimana orang begitu sulit bertahan hidup dan hampir bisa melakukan apa saja untuk bisa makan. Lupa dengan hukum, norma, nilai-nilai keluhuran. Tak ada seorang pun yang tahu sisi petualangannya ini. Dan dia tak bisa membuka itu pada orang lain. Dia juga tidak mengerti mengapa dia berani melakukan itu. Tapi ketika hidup di luar negeri, banyak ide-ide dan pertanyaan mengenai kebenaran hidup memantul terus menerus di kepalanya. Terutama pertanyaan mengapa dia harus jadi Raja dan ditempatkan oleh takdir di posisi itu. Hingga, secara mendasar, dia menemukan alasannya sendiri. Membuat rakyatnya tidak hidup sengsara. Maka ketika pulang kembali ke tanah air, dia merasa lebih percaya diri dan merasa lebih pasti. Namun, ketika dia bertemu Mentari, dia merasa upayanya sia-sia dan kembali ke titik nol. Seolah sesuatu dari diri Mentari membuatnya memaksa bertanya kembali. Karena ketika gadis itu berbicara dengan mata menyala-nyala, segala stereotipe yang paling dia benci mengenai status sosial dan level hidup seseorang, berhamburan keluar kembali. Ketika dia berdebat dengan Mentari, dia sadar dia sangat kekanak-kanakan. Dia sadar dia mengucapkan kata yang haram baginya diucapkan. Hanya saja, entah bagaimana, kesadaran itu seolah berpisah dengan mudah dari tubuh dan lisannya. Di vila perisitarahatan favoritnya ini, dia melakukan refleksi itu kembali selama 3 hari. Ketika sendirian, Pangeran Samudera merasa lebih mudah melunturkan harga diri dan kekhawatirannya. Itulah mengapa dia memilih cara ini sekarang. Di saat seperti itu, dia lebih berani untuk mempertanyakan keberadaan dan kehadiran Mentari. Hanya satu dua kali dia menghabiskan waktu bersama Mentari, dia mengakui, dunia dalam dirinya seolah jungkir balik tak menentu. 69 | M e n t a r i S e n j a
“Apakah aku ini iri dengan dirinya yang bisa dengan mudah mengambil perhatian orang tuaku dan bahkan Eyang? Masa aku bisa sampai kekanak-kanakan seperti itu? Arghhhh! Bagaimana bisa?!”, ucapnya pada diri sendiri. “Siapa dia sih? Dan mengapa Ayahanda dan Ibunda tidak mau bicara banyak? Eyang juga. Apa benar dugaanku bahwa dia anak selir rahasia Eyang? Tapi setahuku Eyang tak punya selir. Lalu mengapa Ayahanda sampai bisa menamparku? Hmmm... apa perlu kucari sendiri informasi mengenai dia? Ada yang aneh di sini...”, gumamnya lagi. “Oh Samudera, betapa bodohnya kau! Coba kalau kau tidak terpancing untuk menguji dan menjahilinya. Tapi mengapa aku terpancing untuk jahil juga? Aishhh apa sih Samudera?!” “Tapi tunggu, sejak kapan dia belajar kecapi? Bagaimana bisa dia begitu bagus memainkannya? Dan bagaimana dia bisa berubah seolah dari bebek yang jelek menjadi angsa yang cantik dan anggun? Eh? Mengapa aku malah memikirkan penampilannya! Arghhhhh!” “Oke, Samudera. Lain kali, jangan pernah terpancing emosi. Lain kali, jangan menghindarinya. Hadapi Samudera. Kau adalah lelaki! Jangan terpancing untuk merendahkan dirimu! Jangan!”, tegasnya kemudian. Dia kemudian men-track mengenai Mentari. “Hanya ini informasinya? Serius? Hmmm... ini lebih aneh lagi! Jangan-jangan, Eyang menghapus semua informasi tentangnya? Ah, sangat mungkin begitu. Sangat mungkin. Aku tahu Eyang selihai apa mempermainkan informasi. Hmmm... tapi mengapa perlu ditutupi? Ada apa? Bagaimana cara aku bisa mendapatkan informasi lebih? Hmmm...Haruskah begitu? Well, why not? Oke, Eyang. Mari bertanding!”, ucapnya penuh semangat di hari terakhir refleksinya. Dia menemukan ide yang menurutnya layak dicoba. ***
Perubahan Sikap Sang Pangeran Sepulang dari masa rehatnya, Pangeran Samudera menyibukkan kembali dengan kegiatan rutinnya. Namun kali ini, dia tidak melewatkan waktu makan malam. Tentu saja Raja dan Ratu heran dengan perubahan sikap itu. Karena perubahannya baik menurut mereka, maka mereka tidak mempertanyakan hal itu. Sikap Pangeran Samudera pada Raja pun melunak. Seolah kejadian tamparan kemarin tidak terjadi. Mentari, yang juga selalu mengikuti makan malam, sedikit rikuh ketika melihat Pangeran Samudera ikut serta. Namun, Pangeran itu memperlihatkan sikap yang biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Walau agak heran dengan hal itu, karena juga Pangeran Samudera tidak membuka pembicaraan dengannya, dia menjadi sedikit tenang. Sampai akhirnya di malam ketiga... “Nah, Mentari, rasanya sudah saatnya saya bertanya”, Raja Angkasa mengawali pembicaraan dengan nada serius. Mentari, yang jarang ditanya Raja dengan cara seperti itu, terkesiap. Dia menunggu. “Tampaknya, gosip dan rumor sekarang sudah mulai mereda. Bagaimana perasaanmu mengenai ini?”, lanjut Baginda Raja. Mendengar ayahnya bertanya mengenai itu, Pangeran Samudera menunggu jawaban Mentari. Namun demikian, dia berusaha menjaga sikap agar rasa penasarannya tidak terbaca. “Eh? Ah, iya Baginda. Awalnya, Hamba merasa tidak nyaman karena tidak biasa. Tapi, seperti kata teman Hamba, Hamba harus belajar membiasakan diri. Karena begitulah salah satu resiko hidup di lingkungan Istana. Sekarang, Hamba lebih lega”, jawab Mentari. 70 | M e n t a r i S e n j a
“Oh ya? Baguslah kalau begitu”, ucap Baginda Raja lega, “Memang beginilah kehidupan di sini. Siapa temanmu itu?”, tanyanya kemudian. “Ah, Friska, Baginda. Friska Dinata. Mungkin, Baginda sudah tahu siapa dia”, jawab Mentari agak rikuh. Menyesali mengapa dia menjawab terlalu panjang. “Dinata? Anak pengusaha Frans Dinata yang sangat terkenal itu?”, Baginda Raja tertarik. “Iy..iya, Baginda” “Bagus sekali kamu berteman dengannya. Frans Dinata adalah salah satu pengusaha yang aku kagumi karena kedisiplinannya, kerja kerasnya, dan kemampuannya menjaga dirinya tetap bersih dari berbagai intrik. Dimana kamu kenal dia? Apakah di pesta itu?” “Umm... Bukan Baginda, Hamba sudah mengenal sebelumnya. Friska adalah atasan Hamba dulu waktu bekerja di BUMK. Dan, kebetulan dia termasuk yang diundang di acara pesta kemarin”, dan dengan terpaksa Mentari pun menjelaskan. “Aaaaah... bagus, bagus. Setidaknya sekarang kamu bisa tenang punya teman seperti anaknya Frans Dinata. Jangan sungkan mengundangnya lebih sering ke sini. Kami tidak keberatan kalau kamu membawa dan mengundang teman”, ucap Raja senang. “Ah, iya, Baginda. Terima kasih banyak”, jawab Mentari sambil mengangguk. “Syukurlah bahwa pesta kebun itu bisa mempertemukan kembali Ananda dengan teman. Ibunda senang sekali mendengarnya”, kali ini Ratu yang bicara. Mentari hanya mengangguk dan tersenyum. Selanjutnya, pembicaraan beralih pada kegiatan yang diikuti Pangeran Samudera. Raja Angkasa tampak berusaha memberikan perhatian yang sama pada anaknya. Dalam hati, Pangeran Samudera tersenyum geli dengan tindakan ayahnya yang mendadak tak biasa padanya. Usai makan malam, Mentari segera berpamitan menuju Pendoponya. Tanpa diduga, Pangeran Samudera mengikutinya dan meminta pelayan yang menemani membiarkan mereka berjalan berdua. Tentu saja Mentari kaget. Karena dia tidak tahu harus berbuat apa, dia diam saja. “Aku minta maaf dengan tindakanku yang berlebihan kemarin”, ucap Pangeran Samudera sambil menyamai langkah Mentari. “Eh? Ummm...”, mendadak Mentari menjadi sangat gugup mendengarnya. Pangeran Samudera tertawa. “Kau mau memaafkan aku kan?”, tanyanya kembali. “Yyya.. “, Mentari merasa terdesak dan dengan buru-buru menjawab. Berharap dengan jawabannya Pangeran Samudera bisa segera pergi menjauh. “Aku tahu kamu pasti kaget dengan permintaan maafku. Tapi rasanya, dengan aku memusuhimu, tidak menguntungkan juga. Jadi, mengapa kita tidak berusaha berteman saja?” “Eh?”, hanya itu saja yang berhasil dikatakan Mentari. Mendadak bank bahasanya kosong begiut saja ketika dia diperlakukan selunak itu oleh Pangeran Samudera yang kemarin sangat dibencinya. “Aku tidak tahu banyak tentangmu. Rasanya tidak adil membencimu tanpa alasan yang jelas. Jadi kupikir, ada baiknya berusaha berteman denganmu” Mentari diam saja. “Apakah aslinya kau sependiam ini? Dari tadi aku terus yang bicara” “Eh? Emmm..saya...saya hanya kaget saja. Tidak tahu harus bilang apa” “Oh ya? Hahaha... kalau begitu, bolehkah aku menghabiskan sedikit waktu di pendopomu? Yah... kebetulan aku bosan dan belum ingin istirahat” “Eh?”, Mentari makin kaget. Tak sempat dia menjawab, Pangeran Samudera sudah melangkah lebih cepat ke arah Pendopo dan membuka pintunya begitu saja. Dengan santai, dia masuk dengan langkah ringan. 71 | M e n t a r i S e n j a
Mentari terpaku sesaat di luar. Bingung menghadapi situasi seperti ini. Mempertanyakan perubahan sikap Pangeran sombong itu yang mendadak baik, lunak, dan santai. Seolah berubah 180 derajat. Tapi, Mentari juga tahu akan sangat konyol kalau dia menghindar. Maka, dengan mempertaruhkan sedikit keberaniannya, dia mengikuti masuk ke Pendopo. Satu dua orang pelayan yang melihat kejadian langka itu, langsung berusaha bertemu dengan pelayan lain yang berjaga di sekitaran. Mereka menggosipkan perilaku Pangeran Samudera yang berubah. Gosip itu diamini oleh yang lain. Bahwa semenjak pulang dari vila, Pangeran juga jadi sering bertanya mengenai kegiatan rutin sehari-hari Mentari. Di dalam Pendopo, Pangeran Samudera sudah duduk santai di sofa ruang tengah. Dia membuka buku yang tergeletak di meja yang memang tadi sore dibaca Mentari. Melihat Pangeran itu duduk santai, Mentari hanya berdiri kaku. “Hey, ayo duduklah di sini”, Pangeran Samudera menepuk tempat duduk di sebelahnya. Bagai boneka, Mentari menurut dan patuh. Dia menahan nafas dan duduk dengan kaku. “Kenapa kamu tegang sekali sih? Ayolah, santai saja”, tak disangka Pangeran Samudera mengelus punggungnya pelan. Mentari merasa ada aliran listrik yang tidak menyamankan saat disentuh seperti itu. “Ya ampun, serius Mentari? Apakah aku semenakutkan itu buatmu?”, Pangeran Samudera terbelalak melihat Mentari yang mukanya mendadak terlihat pucat. “Euu..ti..tidak...hanya saja...”, kalimat Mentari menggantung. “Hanya saja....?” “Hanya saja saya tidak biasa. Dan tidak tahu mengapa Anda berubah sikap, Pangeran”, meletuslah kata-kata Mentari dengan cepat. “Ahahaha! Kamu ternyata bisa lucu juga. Okeh! Mari kita lihat apa yang disediakan pelayan di sini”, Pangeran Samudera berdiri. Mentari terkaget-kaget dengan spontanitas itu. Dia merasa dirinya mendadak menciut dan kecil. Aliran listrik di punggungnya masih juga bertahan membuatnya gelisah. Pangeran membuka kulkas dan mengambil botol minuman beralkohol. Dibukanya orange juice. Dan dicampurnya sedikit alkohol dengan juice itu. Dia bawa poci berisi campuran cocktail itu ke meja. Menuangkannya ke dalam dua gelas dan satu diberikan pada Mentari. Dengan patuh Mentari menerimanya dan langsung menegaknya habis. Melihat itu, Pangeran menahan tawanya. Sedikit rasa hangat menjalari tubuh Mentari. Dia merasa lebih rileks. “Berapa lama kamu bekerja di BUMK?”, tanya Pangeran sambil duduk lagi di sebelah Mentari. Mentari yang agak kagok duduk terlalu dekat, menarik diri sedikit dan menghadapkan sebelah badannya pada Pangeran. “Mungkin hanya sekitar 6 bulan”, jawab Mentari. Dia bersyukur kali ini bank bahasa di kepalanya terbuka. “Ahhh..sebentar rupanya. Seperti apa pekerjaanmu?” “Ummm..posisi saya asisten manager advertising. Menyiapkan konsep dan ide-ide pemasaran, menyiapkan presentasi, mendampingi manajer, ya...kurang lebih begitu” “Lalu mengapa kau berhenti?” “Umm...maaf Pangeran, tapi, me..mengapa Anda banyak sekali bertanya tentang pekerjaan saya?”, tiba-tiba Mentari merasa pusing banyak ditanya dan keberaniannya mulai terkumpul untuk mengeluarkan rasa ingin tahunya. “Eh? Hahahah... dibanding sebagai seorang teman, aku malah tampak seperti investigator ya? Well, aku hanya ingin tahu saja mengenai siapakah kamu. Tapi aku tak punya keterampilan banyak untuk berteman dengan perempuan selain teman-teman masa kecilku dulu saja. Mari kita minum lagi”, jawab Pangeran Samudera santai sambil 72 | M e n t a r i S e n j a
menuangkan cocktail ke gelas Mentari. Mentari langsung meminumnya lagi. Dia merasa udara di dalam ruangan mendadak panas dan pengap. Dengan meminum cocktail yang dingin itu, dia menjadi merasa lebih baik. Badannya terasa melayang setelah gelas kedua. “Aku tidak tahu kalau kamu menyukai cocktail juga” “Ahahah iya, saya tidak tahu juga kalau saya suka. Baru sekarang saya merasa mulai menyukai cocktail ini”, Mentari mulai lancar mengekspresikan dirinya sekarang. Minuman ini membuatnya terasa lebih melayang dan ringan. Pangeran Samudera menambahkan lagi cocktailnya. Mentari meminumnya lagi dengan rakus. Badannya makin terasa melayang. “Jadi, seperti apa hidupmu sebelum akhirnya bertemu kakekku? Dan bagaimana bisa kalian bertemu kembali?”, tanya Pangeran Samudera hati-hati. Dia berharap alkohol bisa membuat Mentari lebih cair dan lebih ekspresif. Agar dia bisa mendapatkan informasi penting. “Hidup saya?”, tanya Mentari dengan mata yang mulai tidak terfokus dan badan yang agak bergoyang,”saya..hidup di kampung nun jauh di sana... Hidup hanya berdua dengan kakek saya. Hidup saya...susah sekali, Pangeran.. hanya nasib baik yang membuat saya...bertahan... sampai saya bisa kuliah saja, itu...adalah keajaiban...pagi kuliah...sore dan malam bekerja...yah..begitu terus...sampai...saya bekerja...sayang...hanya sebentar...karena saya dipecat...dan teman saya yang lain juga...karena...katanya, kami kurang ajar...berani dekat dan berani...berteman...dengan putri...bangsawan...Yah..mungkin hidup itu begitu ya... lalu..di saat sulit begitu...kakek saya...Aki...meninggal...dan...Ba..ginda Sepuh...datang...” Bruk! Mentari terkulai. Mendaratkan kepalanya di pangkuan Pangeran Samudera. Membuat empunya kaget. “Ah..ha ha.. rupanya dia tidak biasa minum alkohol. Baru 3 gelas campuran saja, langsung ambruk”, katanya sambil mengambil gelas kosong yang terjatuh di atas permadani beludru. Ketika dia akan mengangkat kepala Mentari, dia terdiam sejenak. Merasakan rasa hangat yang menjalar dari tubuh perempuan itu. Ada kenyamanan yang dia rasakan. “Aishhhh! Apa-apaan sih kamu Samudera! Sadar!”, tepuknya pada dahinya sendiri. Perlahan dia dudukkan badan Mentari dan dia angkat kemudian ke kamarnya. Setelah dia benahi dan dia selimuti gadis itu, dia berdiri menatapnya yang sudah tertidur pulas. Dia terdiam memikirkan kata-kata Mentari. Mendadak, dia merasa sedikit kasihan. Merasa bahwa tindakannya makin kekanak-kanakan. Menit berlalu. Sadar dia menghabiskan waktu lama memandangi Mentari, dia segera menepuk dahinya sendiri lagi. Ketika dia hendak keluar kamar, satu bingkai foto menarik perhatiannya. Foto itu tampak sudah agak tua dan berwarna hitam putih. Seorang anak perempuan kecil duduk dipangku lelaki yang lebih tua. Duduk di atas beranda rumah panggung kayu yang kecil. Keduanya tersenyum bahagia. Yang lelaki merangkul anak kecil itu dengan ekspresi yang hangat dan akrab. “Inikah Kakeknya? Tunggu...dimanakah aku pernah melihat wajah ini?”, gumamnya. Karena dia suka lupa dengan wajah orang, dia ambil smartphone-nya dan dia foto bingkai itu. Lalu dia matikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Dia menutup pintunya pelan-pelan dan langsung pergi meninggalkan Pendopo. Pak Sugih terkesiap melihat Pangeran keluar dari pintu pendopo. Dia terdiam sampai Pangeran menghilang dari pandangan. Segera, dia sms seseorang. Baginda Sepuh, yang masih terbangun, membaca sms yang baru diterima itu. Dia tersenyum membacanya. Sehabis dari pendopo, Pangeran Samudera tercenung di kamarnya. Memikirkan lebih lama apa yang dikatakan Mentari saat di bawah pengaruh alkohol tadi. “Menyedihkan juga hidupnya ternyata. Aihhh! Mengapa pula Ayahanda, Ibunda, dan Eyang tak menceritakan ini dari awal? Padahal jika aku tahu cerita itu, aku pasti bisa lebih 73 | M e n t a r i S e n j a
baik memperlakukannya. Ada rahasia besar apa ini? Biasanya para orang tua senang sekali menyembunyikan sesuatu kalau terkait hal yang besar. Old fashion style yang kadangkadang sangat konyol. Wajah ini. Wajah ini pernah aku lihat di sebuah foto juga. Tapi dimana ya? Aihhh! Apa sih ini? Aku pikir awalnya urusan Mentari ini tak serumit ini. Kenapa begitu ada banyak hal yang tersembunyi? Kenapa begitu banyak hal yang membuatku penasaran? BUMK. Setahuku ini BUMK telekomunikasi seperti yang dibilang Viona. Separah itukah penggolongan dan diskriminasi atas status sosial sekarang ini? Seseorang bisa dipecat karena dekat dengan orang yang bukan dari golongannya? Aihhh kemana saja aku? Oke, tampaknya aku perlu memberikan banyak perhatian pada hal ini!”, tekad Pangeran Samudera. Dia biarkan beberapa pertanyaan di kepalanya bersliweran. Dia tidak memaksakan diri untuk menemukan jawabannya segera. Sesaat sebelum dia tertidur. Lintasan rasa hangat Mentari di pangkuannya muncul di benaknya. Perasaan itu membuatnya mengantuk dan dia pun tertidur lelap. *** Mentari terbangun dan merasa kepalanya sedikit pening. “Aduh, kenapa kepalaku sakit sekali?”, tanyanya pada diri sendiri. Dia berjalan keluar kamar dan melihat Bu Ningrum membereskan rumah. “Kenapa, Tuan Puteri? Apa Tuan Puteri sakit?”, tanyanya khawatir. “Iya, Bu.. Saya juga tidak tahu. Kenapa ya?”, jawabnya sambil duduk menyandarkan diri di sofa. “Coba Hamba buat dulu kopi kesukaan Tuan Puteri. Mungkin membantu”, Bu Ningrum dengan segera menyeduh kopi dan memberikannya pada Mentari. Mentari meminumnya. Benar saja, denyutnya mulai berkurang. Saat sakit kepalanya berkurang, pelan-pelan Mentari mengingat kejadian tadi malam. Dan dia terperanjat dengan ingatannya. Dia ingat Pangeran Samudera masuk dan mengajaknya bicara. Tapi dia tidak ingat bagaimana Pangeran itu pulang. Sebentar dia berpikir. Ketika menemukan suatu hal, dia segera bergegas menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Dilihatnya sebuah botol berkurang isinya. Dia ambil botol itu dan dia baca, “Jim beam. 40%. Oh Tuhaaaaan”, ucapnya tiba-tiba. Bu Ningrum yang heran dengan perilaku Mentari, berdiri terpaku menghentikan pekerjaannya. Namun akan sangat tidak baik juga jika dia bertanya langsung. Maka dia segera melanjutkan pekerjaannya. Pura-pura tidak melihat perilaku aneh Mentari. Mentari berusaha keras mengingat kejadian tadi malam. Yang dia ingat hanyalah bercerita tentang pekerjaannya. Elusan tangan Pangeran Samudera di punggungnya yang membuat dia merasa tidak nyaman lagi walau hanya sekedar mengingatnya. Sudah. Itu saja yang dia ingat. “Aihhhh!! Apa aku mabuk ya? Aduh. Kata orang kalau mabuk, orang bisa melakukan apa saja dan mengatakan apa saja. Aihhh! Mudah-mudahan aku tidak berbuat hal konyol. Eh tunggu, bagaimana aku bisa tidur di kamarku? Aihhhhhhhh!!! Memalukan sekali. Memalukan sekali Mentari”, makinya pada dirinya sendiri. ***
Ketertarikan Ide
74 | M e n t a r i S e n j a
Seminggu kemudian, Pangeran Samudera meminta ayahnya membahas sesuatu yang dia pikirkan. Dan meminta ayahnya meluangkan waktu pribadi dengannya. Mendengar hal itu, Raja Angkasa menyanggupi dengan rasa ketertarikan yang kuat. “Jadi, ada apa ini, Pangeran?”, tanya ayahnya mengawali sambil duduk di kursi kerjanya. “Hamba ingin membicarakan masalah sistem kerja di BUMK, Ayahanda” “Oh ya? Coba jelaskan”, Raja Angkasa mencondongkan badannya. Tertarik dengan topik ini. “Hamba melakukan riset mengenai perkembangan ekonomi yang banyak dikendalikan BUMK. Dalam lima tahun terakhir ini, grafiknya incomenya memang meningkat cukup pesat. Namun pendistribusian income sesuai rencana awal tampaknya ada banyak yang perlu dipertanyakan. Profit yang didistribusikan pada penanam saham dan kerajaan cukup bagus. Tapi untuk pengelolaan operasional ada yang tidak berimbang. 80% dikuasai oleh level Manager ke atas yang adalah rata-rata bangsawan atau anak orang ternama. 20% pada level di bawahnya yang rata-rata adalah pekerja keras dengan tingkat keterampilan dan kecerdasan yang sangat memuaskan. Padahal dalam rencana, seharusnya perbandingannya 60-40. Selain itu tidak ada peningkatan posisi untuk mereka yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun dan berprestasi. Mereka yang bukan berstatus bangsawan terus menerus berada di level asisten atau teknisi saja” “Oh ya? Aku tidak tahu sedetail itu. Aku menerima laporan dari Direktur Utama tidak selengkap laporanmu. Lanjutkan, Pangeran”, Raja Angkasa makin tertarik. Ada rasa kagum tersirat dalam ucapannya. “Hamba memang melakukan riset pribadi, Ayahanda. Kondisi ini Hamba pikir perlu mendapatkan perhatian khusus. Memang BUMK didirikan sebagai salah satu upaya menstabilkan ekonomi. Income index adalah indikator paling utama. Tapi setahu Hamba, visi misi BUMK dari sejak dahulu adalah juga membuka ruang bagi rakyat luas untuk turut serta mengembangkan perusahaan-perusahaan ini. Menekankan pada income index saja agak beresiko untuk mencapai keseluruhan visi misi BUMK dan untuk meningkatkan potensi sustainability-nya. BUMK didirikan agar negara bisa memfasilitasi rakyat umum untuk berkontribusi secara aktif sehingga mereka yang layak bisa mencapai taraf hidup sejahtera. Berbeda misalnya dengan perusahaan di sektor privat murni yang pastinya ditujukan untuk mensejahterakan pemilik sahamnya. Tapi kalau seperti ini dan kalau dibiarkan terus seperti ini, maka apa bedanya BUMK dengan perusahan privat? Values agungnya akan makin terkikis dan menghilang” “Ya, ya, ya, aku sepakat” “Hamba ingin mengajukan strategi perubahan secara bertahap untuk mengubah budaya dan sistem ini agar valuesnya kembali ajeg. Tapi Hamba terhalang dengan otoritas yang masih terbatas, Ayahanda. Untuk itulah Hamba perlu diskusi dengan Ayahanda secara khusus”. “Hmmm... ya, ya, ya, memang demikian aturannya. Posisimu yang masih Pangeran menjadikan kewenanganmu terbatas. Namun berdasarkan regulasi, aku bisa saja membuat pendelegasian kuasa. Hanya saja tidak bisa secara penuh. Sebelumnya, hal ini juga perlu dibahas di rapat parlemen. Kekuasaan kita hanyalah 40% dari pengambilan keputusan. 60% dipegang Parlemen. Akan diperlukan keberpihakan minimal 20% untuk membuatku bisa membuat surat kuasa raja. BUMK adalah sesuatu yang besar. Kita punya 13 BUMK yang cabangnya sudah tersebar dimana-mana. Mengembalikan proporsi operasional sampai perbandingannya 6040 tentunya bukan hal yang mudah. Dengan posisi dominan yang dipegang kalangan
75 | M e n t a r i S e n j a
bangsawan, pengusaha ternama, tentunya langkah yang diambil harus sangat hati-hati. Akan ada banyak yang tidak menyukai perubahan ini. Karena ini terkait uang dan status” “Betul Ayahanda. Tapi juga kalau ini dibiarkan terlalu lama dan tidak segera diambil tindakan, maka di masa depan nanti, sistem monopoli pihak yang kaya akan semakin meningkat” “Ya, aku mengerti. Lalu kira-kira apa saja alternatif langkah yang telah kamu pikirkan? Terus terang saja, Nak, untuk urusan seperti ini, ayahmu ini sangat tidak bisa tegas. Aku selalu saja lemah kalau harus dihadapkan dengan dominasi para bangsawan, parlemen, dan para pengusaha yang kuat” Pangeran Samudera terdiam mendengar kalimat ayahnya. Baru kali ini dia mendengar ayahnya terbuka seperti itu. Dia tidak menyangka diskusi ini membukakan katup keterbukaan ayahnya untuknya. “Dibandingkan Eyangmu, Baginda Sepuh, ayah ini sangatlah tidak tegas. Ayah terlalu banyak memelihara kekhawatiran. Mendengarmu sekarang berbicara seperti ini, membuat ayah bangga dan berharap banyak. Mungkin ide-idemu akan sangat bagus”, kata Baginda Raja sambil menatap hangat dan lekat pada anaknya. Pangeran Samudera menjadi sedikit rikuh. “Ya, Hamba bisa paham, Ayahanda. Tapi, menurut Hamba, zaman juga sudah mulai berubah. Perlu ada pembaharuan sistem untuk beradaptasi dengan perubahan. Hamba juga memikirkan faktor-faktor pendominasian ekonomi negara baik-baik. Walau riset Hamba terhadap BUMK terbatas 5 tahun, Hamba yakin secara sistemik akarnya sudah mulai merambat dari jauh sebelumnya dan dipercepat dengan masuknya era globalisasi. Pun peran serta politik ekonomi internasional. Untuk masalah BUMK ini, Hamba pastinya belum mungkin memegang kuasa penuh dan seperti Ayahanda bilang, kalau pun bisa akan sangat terbatas. Tidak mungkin juga bahasan distribusi peran serta masyarakat umum dibahas terbuka dalam rapat parlemen. Sebagian besar dan hampir seluruh anggota parlemen juga pemegang saham BUMK. Maka sangat tidak baik membuka poin ini dalam rapat. Yang bisa dibahas dalam rapat atau mungkin juga tidak perlu, adalah adanya delegasi dari Ayahanda pada Hamba untuk melakukan kunjungan rutin sesuai jadwal. Melalui cara ini, Hamba bisa mendapatkan akses untuk memperoleh dokumen yang diperlukan dan berdiskusi dengan jajaran direksi seperti biasanya. Hamba juga bisa merasakan iklim kerjanya secara langsung. Kemudian, hasilnya bisa dibahas dengan anggota parlemen pada rapat-rapat rutin pembahasan BUMK. Hal lain lagi yang ingin Hamba sampaikan adalah, diantara 13 BUMK, ada 3 BUMK yang kurang stabil income indexnya. Setelah Hamba bisa memahami keseluruhan 13 BUMK itu dan mulai diberi ruang untuk menganalisis dalam rapat, Hamba punya alasan kuat untuk meninjau lebih jauh untuk ketiganya. Asumsi Hamba, pasti banyak faktor lain selain proporsi karyawan dan pekerjanya yang mempengaruhi ketidakstabilan perolehan income. Dalam semua proses ini, Hamba akan melakukan screening dan berusaha mendapatkan simpati dari kaum bangsawan dan anggota parlemen sendiri. Walau menurut mereka status mereka sama, seperti halnya gambaran bagaimana mereka bersaing mengajukan putri-putri andalannya, pastinya dalam konteks profesional juga sama. Selalu ada persaingan diantara mereka sendiri.” Raja Angkasa terkekeh mendengar perumpamaan yang pas itu. “Jika semua berjalan sesuai rencana, Hamba yakin beberapa pihak akan mulai melihat kemampuan Hamba. Mudah-mudahan juga yang bersimpati lebih banyak dari harapan. Sehingga ketika tahun depan Ayahanda membahas surat kuasa ini, jaminan 76 | M e n t a r i S e n j a
keberpihakan suara akan lebih pasti. Hamba akan buat strategi yang lebih detail lengkap dengan perhitungan jangka waktunya. Tentunya, Hamba perlu izin dari Ayahanda untuk bisa melakukan apa yang ingin Hamba lakukan ini. Sementara ini, Hamba perlu waktu kurang lebih satu tahun untuk bisa sampai pada titik itu” “Wah, satu tahun?! Hebat! Aku betul-betul bangga padamu, Pangeran! Baginda Sepuh rupanya tepat sekali. Ketika kamu serius, kamu benar-benar memukau”, ucap Raja Angkasa penuh semangat. Ketulusan dan kebanggaan terpancar betul di matanya. Mau tidak mau, Pangeran Samudera sedikit tersipu. Ini kali pertama ayahnya memujinya. Rasanya, ada yang melambung di hatinya. Perasaan bahagia bisa membuat ayahnya bangga. “Mendengar bagaimana analisa dan cara berpikirmu, tentu aku percaya padamu. Dan aku setuju bahwa pembahasan terbuka ini hanya untuk kita berdua. Aku izinkan, anakku. Dan mulai sekarang, kita bisa mengagendakan waktu khusus untuk membahas isu BUMK ini” “Ya, Ayahanda”, Pangeran Samudera mengangguk. “Eh, tapi sebentar, bagaimana dengan urusan calon-calon istrimu itu? Apakah kira-kira kau sudah menemukan yang cocok di hati?”, mendadak Raja Angkasa mengalihkan topik. “Eh? Hmmm...sudah ada beberapa yang tampaknya cukup memenuhi syarat dan selera. Tapi Hamba belum melangkah lebih jauh untuk bisa memastikan. Rasanya, karena adanya urusan baru mengenai BUMK yang lebih menarik perhatian ini, lebih baik Hamba santai saja dan tidak terlalu ingin terburu-buru”, jawab Pangeran Samudera ringan. “Aaah.. baiklah. Mungkin ada baiknya diseimbangkan. Karena bagaimana pun, 1.5 tahun itu pendek, Pangeran” Pangeran Samudera tertawa saja mendengar komentar ayahnya. Setelah Pangeran Samudera meninggalkan ruangan, Raja Angkasa meluangkan waktu untuk menikmati rasa bangga dan bahagia untuk dirinya sendiri di sana. Hatinya terasa begitu tenang. *** Dengan adanya urusan baru yang menarik perhatian Pangeran Samudera, dia lebih banyak memfokuskan diri pada kegiatan yang dia rencanakan. Namun, agar langkahnya tidak terlalu kentara, dia tetap meluangkan waktu santai bersama teman-temannya seminggu sekali seperti biasanya. Begitu pula dengan Safira yang lebih sering mengajaknya keluar setelah Pesta Kebun itu. Bagi Pangeran Samudera, menghabiskan waktu luang bersama Safira juga menguntungkan bagi dirinya. Dia bisa banyak belajar memahami sektor ekonomi, kapitalisme, dan bagaimana sistem perusahaan swasta dijalankan. Diskusi-diskusi ini membuat Safira lebih senang lagi. Dia merasa memiliki teman curhat dan sahabat berbagi yang punya cara pandang yang tajam. Seringkali mereka punya pandangan berbeda juga dan justru itu yang menjadikan waktu diskusi mereka lebih panjang lagi. Tak pernah ada friksi karena mereka tahu diskusi tersebut adalah wacana personal di antara mereka saja. Dengan seringnya bertemu dengan frekuensi teratur, pemberitaan tentang kedekatan mereka di media infotaintment makin ramai. Beberapa foto jepretan paparazi terpajang di berbagai media. Banyak putri-putri bangsawan lain dan siapa pun yang masih punya semangat mencalonkan diri semakin lemah mentalnya. Yang masih berharap, merespon secara negatif pada pemberitaan itu. Yang sudah habis terkikis berbalik mendukung atau meramaikan asumsi pesaing Safira. Tentu saja, nama Mentari masuk hitungan. Sahabat dari kedua belah pihak makin sering mengangkat isu pasangannya dan jadi bahan candaan atau sindiran. Pangeran Samudera biasanya hanya nyengir atau pura-pura tidak mendengar. Safira juga. Candaan dan sindiran itu tampaknya cukup berdampak pada mereka dan memiliki intensi sugestif. Pelan-pelan, masing-masing mulai menghitung dan 77 | M e n t a r i S e n j a
mempertimbangkan. Meskipun demikian, Pangeran Samudera tidak hendak terburu-buru. Dia ikuti tarikan Safira, tapi menjaga betul etika dan perilakunya agar tidak terlalu intim. Dengan reaksi yang seperti itu, Safira menjadi semakin tertantang dan lebih serius memperhatikan sang pangeran. ***
Rencana Liburan Mentari kini lebih aktif menggunakan layanan internet. Berita dan gosip tentang kedekatan Safira dan Pangeran Samudera terbaca juga olehnya. Dulu, Mentari tidak terlalu peduli dengan kehidupan pribadi Pangeran Samudera. Sekarang, entah kenapa, dia merasa tertarik melihatnya. Ketika dia melihat lebih banyak foto lagi yang dimuat, ada yang berdesir halus di hatinya. Serasa ada yang teriris tipis ketika dilihatnya Pangeran Samudera dan Safira tersenyum dan saling menatap satu sama lain. Kaget dengan reaksinya yang makin menetap, Mentari memutuskan untuk tidak melihat situs-situs lagi. Walaupun sulit, akhirnya perlahan dia bisa menahan diri dan makin jarang mengecek situs-situs itu. Kemampuan dan keterampilan Mentari dalam menguasai tata cara dan kompetensi kehidupan di istana semakin meningkat. Adab berbicara, gerak tubuh, sudah semakin menyatu dengan kepribadiannya. Para pelayan selalu senang menghabiskan waktu bersamanya ketika mendapatkan giliran mendampingi. Karena dengan Mentari, mereka merasa nyaman tapi juga tidak membuat mereka lupa diri. Baginda Ratu senang dengan perubahan itu. Mentari juga sekarang lebih mau mengikuti kegiatan yang lebih feminim. Kegiatan lulur, meramu jamu, menari, merawat diri, tata rias, tata busana, terlihat lebih dinikmati. Baginda Ratu mulai melibatkannya dalam kegiatan pengorganisasian acara di butikbutiknya. Sesekali juga Mentari diajak mengikuti kegiatan kelompok perempuan dan yayasan sosial. Awal-awalnya, Mentari rikuh bertemu dengan orang-orang asing lainnya. Awal-awal juga banyak yang tampak meragukan dirinya. Namun, setelah beberapa minggu berlalu, Mentari semakin percaya diri dan mulai memahami ritme kegiatan itu. Mulai mengerti apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan. Mulai memahami variasi karakter mereka yang sering bertemu. Beberapa orang juga mulai menghargai kehadirannya. Mentari bisa melihat, bagaimana Baginda Ratu membatasi diri dan banyak tidak nyaman ketika didesak halus oleh kolega-koleganya yang berusaha mendapatkan akses informasi dari apa yang mereka harapkan atau untuk mendapatkan perlindungan dan keberpihakan dari istana untuk maksud tujuan mereka. Baginda Ratu makin terbuka pada Mentari mengenai perasaan-perasaan negatif yang dialaminya setiap setelah kegiatan selesai. Mentari awalnya hanya menjadi pendengar yang baik. Namun lama-lama, karena biasanya Baginda Ratu menjadi ragu atau takut atau pesimis, Mentari berusaha menguatkan dengan halus. Diskusi di antara mereka berdua, ditambah dengan Bu Rini, juga semakin berkembang. Mentari mulai dilibatkan dalam analisa dan pengambilan keputusan untuk yayasan-yayasan sosial yang dikelola pihak kerajaan. Mentari menyenangi bagian ini karena fungsi dan guna yayasan sosial itu berpihak pada kalangan bawah dan kalangan yang perlu dibantu. Dia memberikan ide-ide pengembangan organisasi dan program yang diterima dengan baik oleh yayasan-yayasan itu dengan serius. Hampir semua dari mereka menyukai
78 | M e n t a r i S e n j a
kreatifitas ide Mentari yang segar dan tetap aplikatif. Ide-ide Mentari ini berkembang ketika ide-ide itu kemudian benar-benar diterapkan. Di tengah-tengah kegiatannya, Mentari tak melupakan Dini dan Friska. Secara intensif mereka melakukan kontak satu sama lain. Mereka bertemu bertiga setiap satu bulan sekali. Hanya sekali bertemu di Istana. Berikutnya, karena permintaan Friska yang sangat takut kedekatannya pada Mentari diasumsikan lain oleh media, mereka bertemu di luar. Baginda Sepuh tetap melakukan kunjungan ke Istana dalam frekuensi yang teratur. Menghabiskan waktu secara terpisah dengan Mentari untuk menabuh instrumen musik bersama atau sekedar ngobrol hal-hal spontan yang muncul dan menarik untuk dibicarakan. Pangeran Samudera tidak terlalu intensif berbicara dengan Mentari. Itupun hanya satu dua kali pembicaraan ringan saat makan malam. Perlahan, mereka sama-sama sudah melupakan kejadian malam itu. Tak pernah ada bahasan sesudahnya walaupun pada awalnya Mentari penasaran dengan apa yang terjadi waktu dia mabuk. Kegiatan masingmasing membuat mereka fokus hanya pada diri sendiri dan apa yang mereka kerjakan. *** 6 bulan pun berlalu. Pangeran Samudera sudah melakukan manuver-manuver halus yang mendapatkan perhatian dan simpati beberapa anggota parlemen yang idealis, yang lebih banyak merupakan kaum cendikiawan. Dia mendapatkan suara 30% dari mereka untuk kemudian mendukung keputusan Raja mendapatkan surat kuasa untuk menangani 3 BUMK yang lebih bermasalah daripada yang lainnya. Raja Angkasa sangat puas dengan strategi cerdas dan halus yang dijalankan putranya itu. Setelah mengkaji semua gambaran dari 13 BUMK, Pangeran dapat memastikan faktor-faktor dominan yang berpengaruh pada keseluruhan sistem manajemen. Di 3 BUMK yang cukup bermasalah, faktor yang paling berpengaruh adalah kinerja yang buruk yang ditangani kaum bangsawan yang kurang kompeten. Tekanan berkumpul di level bawah. Selain itu, fokus pengembangan pembangunan yang dijalankan 3 BUMK ini hanya terpusat di kepulauan jawa dan sumatera. Seolah jajaran direksi tidak mau bersusah payah melakukan inovasi dan pengembangan jaringan. Pangeran membuat strategi dengan jangka 6 bulan untuk membuat perubahan drastis. Dari sejak Pangeran mendampingi Raja Angkasa, dia selalu membuat rekaman yang dipublikasi sehingga setiap tinjauan itu dapat diakses oleh masyarakat luas. Pujian dan komentar masyarakat kelas menengah dan para cendikiawan hampir semuanya positif dengan gerakan cerdas yang dilakukan Pangeran. Kerajaan-kerajaan kecil di daerah timur dan utara yang kurang mendapatkan perhatian, juga memberikan komentar positif. Dalam waktu 6 bulan, Pangeran Samudera berhasil menarik simpati banyak orang, terutama dari mereka yang merasa diabaikan dan ditinggalkan. Diantara kaum itu, ada juga kaum bangsawan dan keluarga kerajaan kecil yang mulai menaruh simpati. Mentari, yang mengetahui fokus Pangeran Samudera dari sejak topik itu sesekali dibahas saat makan malam, mulai rajin menyimak perkembangannya di situs-situs internet. Mulai tumbuh kekagumannya pada sosok cerdas Pangeran. Hal ini mendorong dia untuk juga belajar mengkaji sektor ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan. Pengamatannya ini membuat dia tertarik untuk melihat perkembangan ekonomi di dunia internasional juga. Sementara, kedekatan Pangeran dan Safira juga mulai meningkat. Mereka mulai membahas hal-hal pribadi selain dari urusan serius yang biasa mereka bahas. Pertemuan makan malam berkembang menjadi traveling sehari atau sekedar jalan-jalan ke tempattempat yang mereka sukai. Di bagian pemberitaan ini, Mentari berusaha menahan diri untuk tidak memperhatikan pemberitaannya. Namun, dia merasa semakin sulit menahan diri.
79 | M e n t a r i S e n j a
Tanpa dia sadari, rasa cemburu mulai tumbuh pelan-pelan. Sehingga dia berusaha lebih keras untuk mengalihkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan lain. Baginda Sepuh sepuh merasa sedikit khawatir dengan hal ini. Apalagi dia mengetahui bahwa Pangeran dan Mentari tak pernah lagi bertemu secara pribadi selain yang pernah terjadi 7 bulan ke belakang. Maka, dia membahas hal ini dengan anak dan menantunya. Dia meminta agar ada acara yang bisa diikuti oleh mereka berdua. Namun mereka juga bingung mengenai caranya. Sampai akhirnya, pada suatu makan malam.. “Baginda Raja dan Ibunda Selasih, mohon maaf sebelumnya, Hamba ingin meminta izin”, kata Mentari saat mereka sedang menikmati hidangan penutup. “Izin? Izin apakah itu Ananda?”, tanya Ratu Selasih dengan lembut. “Teman Hamba, Friska, mengajak Hamba untuk berekreasi di akhir tahun ini ke Pulau Natuna. Mungkin butuh waktu selama seminggu. Hamba sebenarnya ingin menolak. Namun juga sudah banyak sekali Hamba menolak tawaran Friska. Tampaknya, jika kali ini Hamba menolak, Hamba khawatir Friska menjadi kesal dengan Hamba. Jadi, Hamba memberanikan diri untuk meminta izin keluar dari istana minggu depan, untuk seminggu lamanya”, Mentari menjelaskan dengan ragu. “Ahhh, bagus sekali. Oh ya, Pangeran, bukannya Ananda juga akan ulang tahun di masa itu. Mengapa tidak sekalian menggabungkan diri refreshing bersama?”, usul Ratu Selasih penuh semangat. Mentari kaget dengan usulan itu. Tapi dia tak bisa berkata apaapa. Pangeran Samudera terdiam sesaat. Dia juga memang membutuhkan istirahat dan situasi segar untuk mengumpulkan tenaga. Selain itu, dia juga sudah agak jarang berkumpul dengan sahabat-sahabat dekatnya. “Hmm..tampaknya itu ide yang bagus. Coba tanya dulu pada Friska, apakah dia keberatan kalau aku dan sahabat-sahabatku juga ikut serta?”, tak diduga dia menyetujui ide itu. “Eh?”, Mentari terperangah. Ada perasaan senang sedikit melintas di hatinya. “Ya ya ya, itu ide bagus. Coba kamu hubungi dulu Friska. Mungkin lebih baik sekarang juga mengingat minggu depan itu hanya tinggal sebentar”, dukung Raja Angkasa. Mentari mengangguk patuh. Dia meminta izin menelepon Friska. Tanpa diduga, Friska terdengar antusias dan menyetujui ide itu. Friska sebenarnya menanti hal ini terjadi. Semenjak kejadian setahun lalu, dia selalu penasaran dengan Viona dan Helena. Selain itu juga, dia mulai menyukai Pangeran Bima yang merupakan sahabat dekat Pangeran Samudera dari sejak pesta kebun itu. Mentari menyampaikan persetujuan Friska. Tentu saja, Raja Angkasa dan Ratu Selasih merasa senang mendengarnya. Melihat kesenangan kedua orang tuanya, Pangeran Samudera sedikit heran. *** Dini yang juga ikut dikontak melonjak senang saat mendengar Pangeran dan sahabatsahabatnya akan ikut juga. Ketika ditanya kenapa dia senang, dia mengatakan bahwa dia ingin mengenal yang namanya Viona dan Helena. Jika punya kesempatan, katanya, dia akan memberi sedikit pelajaran pada Viona agar dia lebih bisa belajar menghargai orang. Mentari bingung dengan hal-hal seperti itu yang juga sama dituturkan Friska. Dia tak mengerti mengapa orang senang dengan pembalasan. Mereka semua bertemu di Istana. Yang ikut ternyata bukan hanya Bima, Wisnu, Batara, Viona, dan Helena. Safira juga diundang datang. Melihat perempuan itu, Mentari agak sedikit merasa kurang tenang. Tapi setelah berusaha mengontrol diri dan mengalihkan perhatian, dia bisa lebih santai menghadapinya. Melihat ada Dini di sana, Viona terlihat kurang senang. Tapi juga karena dia tahu itu sahabat Mentari dan kini dia tak berani lagi 80 | M e n t a r i S e n j a
memandang rendah pada Mentari karena ada Samudera, maka dia menahan diri untuk tidak terlalu memperlihatkan sikap. Dan berangkatlah mereka dengan jet pribadi keluarga Raja dengan masih bergabung dengan kelompok masing-masing. ***
Cerita di Pulau Natuna Setibanya di pulau yang kecil tapi indah itu, Mentari, Dini, dan Friska langsung menuju pantai sehabis mereka membereskan perlengkapan pribadi di kamar masing-masing. Sementara Pangeran Samudera dan teman-temannya memilih bermalas-malasan di beranda pondokan di sana. Memandang ke arah pantai dimana Mentari dan temantemannya menuju ke arah sana. Friska dan Dini langsung mengenakan bikini. Mentari tidak. Dia tidak terlalu nyaman berpakaian terbuka di depan orang lain. Selain itu juga, dia tidak bisa berenang. Mentari mengenakan celana panjang dan baju longgar berwarna putih dan mengenakan topi lebar. Pakaian yang dipilihkan Ratu Selasih untuknya. Pantai di pulau Natuna adalah pantai pasir putih. Bersih, cantik, dan menyegarkan. Mentari memandang cakrawala dengan perasaan bahagia. Melihat cakrawala di pantai seperti ini memberikan perasaan agung di dalam hatinya. Ketika kedua temannya sudah mulai berenang, Mentari sibuk memungut kulit-kulit kerang dan serpihan karang kecil-kecil yang berwarna-warni. Setelah puas mengumpulkannya, dia berjalan mendekat ke arah pantai. Karena bagian pesisir itu juga adalah terumbu karang, Mentari berjalan di atasnya. Melihat lubang-lubang karang dengan senang. Dia menikmati pemandangan hijaunya rumput laut dan ikan-ikan kecil yang berenang di dalamnya. Seolah dia melihat akuarium raksasa di sana. Sesekali dia bergumam mengajak ngobrol mereka. Saking asyiknya melihat pemandangan itu dengan berjongkok, Mentari tidak sadar kedua temannya mendekat dan kemudian mencipratinya dengan air laut. Kontan Mentari berlari menjauh sambil tertawa. “Tari, ayolah sini. Belajar berenang. Lihat deh, ini tidak terlalu dalam dan terlindung karang. Airnya juga tidak besar. Enak lho!”, teriak Friska. “Tidak-tidak!”, tolak Mentari takut dan mempertahankan posisi berdirinya yang agak jauh dari tempat berenang Friska dan Dini. Melihat penolakan Mentari, Friska dan Dini memberi kode. “Biarkan saja dulu dia begitu, Friska. Ketika dia lengah. Kita tarik saja! Bagaimana?”, usul Dini setengah berbisik pada Friska. Friska mengangguk sambil cekikikan. Dan saat Mentari terlihat sibuk lagi memunguti kulit kerang dengan posisi agak membelakang, Friska dan Dini mengendap di belakangnya. Serentak mereka memegangi tangan Mentari. Dini yang kanan, Friska yang kiri. Kontan Mentari kaget dan berteriak panik. “Hey! Hey! Jangan! Jangan! Aku tidak bisa berenang! Jangan!”, ronta Mentari. Namun Dini dan Friska tak peduli. Mereka dengan penuh semangat menyeret Mentari. Dan Byur!!! Mentari pun masuk ke kolam alami itu. Dia sempat panik dan megap-megap. Namun kemudian dia bisa berdiri. Dalamnya hanya sedada. “Kurang ajar kaliaaaaaaaaaaaaaaaan!!!”, teriak Mentari sambil mencipratkan air ke arah Friska dan Dini yang tak berhentinya tertawa. Mau tidak mau, Mentari pun ikut tertawa. Kini, bajunya basah semua. Dari kejauhan, Pangeran Samudera mengamati kejadian itu di balik kacamata hitamnya. Dia tersenyum ketika melihat Mentari dikerjai oleh teman-temannya. 81 | M e n t a r i S e n j a
“Ahhh! Lihat deh, mereka tampak asyik begitu! Ayolaaaah kita berenang juga!”, rengek Viona yang juga melihat ke arah sana. Rupanya semua orang berpikiran sama. Mereka pun segera berganti pakaian dan berjalan menuju pantai. “Ayolah Tari, belajar yuk! Lagipula kalau di laut, badanmu lebih mudah untuk mengambang”, ajak Friska setengah merengek. Mentari yang kadung basah dan dia pun menyenangi rasa hangat air laut menyambut. “Ajari dong! Aku tidak tahu caranya”, ucap Mentari. “Yaiyyyy! Akhirnya! Ayo Dini, kita bantu dia. Siswa renang yang baru saja berusia 25 tahun”, seru Friska. Dengan serius keduanya memberikan cara-cara pada Mentari. Dini sibuk menopang perut Mentari sehingga membantunya untuk mengambang. Namun, Mentari terlihat tetap panik dan beberapa kali dia menghirup air laut. Melihat itu, Friska dan Dini tak berhenti tertawa. “Eh, mau apa mereka ke sini?”, seru Dini tiba-tiba melihat Pangeran dan temantemannya berjalan ke arah pantai. “Whoaaa! Apa mereka tergoda berenang setelah melihat kita?”, Friska berkomentar heboh. Matanya terpaku pada Bima yang mengenakan celana pendek dan memperlihatkan bentuk tubuhnya yang kekar dan seksi. “Aduh, Bima seksi sekaliiiii...badannya itu lho, Ughhh!”, serunya lagi. Dini dan Mentari berdiri mengikuti arah pandangan Friska. “Kayaknya, bukan hanya Pangeran Bima deh. Pangeran Wisnu, Pangeran Batara, dan Pangeran Samudera juga semuanya bagus-bagus badannya”, sanggah Dini polos. Mendengar itu, Friska cemberut dan menciprati Dini dengan air. “Awww! Ya elah Friska. Tapi kan memang benar, ya nggak Tari?”, tanya Dini minta keberpihakan. Mentari terdiam. “Hey, Tari! Hey! Bisa-bisanya kamu melamun begitu saat aku dengan serius bertanya”, Dini mencipratinya dengan air sampai Mentari kaget. “Aduh! Mereka tidak akan kemari kan? Bagaimana ini bajuku?”, Mentari berseru panik. Reaksi yang mengagetkan Dini dan Friska tentunya. “Ha??? Memang kenapa dengan bajumu? Ya kalau berenang memang begini bukan? Lagipula kenapa juga tadi kamu pakai baju putih? Terus kamu pakai celana dalam dan bra warna merah lagi!”, Seru Dini sambil menatap ke arah bagian tubuh Mentari yang kini terlihat sangat jelas. Bra dan celana dalamnya terlihat kontras sekali di balik kain warna (yang kini) transparan yang menjadi terlihat seperti ornamen saja sekarang. Friska tertawa melihatnya. “Coba tadi kamu langsung pake bikini, Tari. Tahu tidak? Dengan adanya baju putih basah itu, kamu terlihat lebih seksi daripada kita yang langsung pakai bikini”, Friska terkikik. “Ahhhh! Bagaimana dong?! Mereka tidak akan ke sini kan?”, Mentari langsung menenggelamkan badannya hingga sebatas leher. “Percuma Tari! Lagipula air laut ini bening dan hari masih terang. Walau kamu tenggelam begitu, tetap kelihatan tahu! Sudahlah, terima saja”, Dini makin jahil. “Oow Tari, tampaknya memang ini spot terbaik untuk berenang. Mereka tampaknya sibuk mencari tadi tapi tak menemukan. Mereka berjalan ke arah sini lho”, seru Friska setengah jahil menakuti. Mentari yang bingung menenggelamkan dirinya sambil berpegangan pada terumbu karang di kiri kanannya. Friska dan Dini tertawa. “Ayolah, abaikan saja. Ayo kita lanjutkan belajarnya”, desak Friska. Dengan pasrah, Mentari mengikuti ajakan temannya. Tapi tampaknya kondisi mentalnya makin buruk dengan kekhawatiran lain. Dia menjadi lebih sering menelan air laut dan tersedak beberapa kali. Dini dan Friska tertawa-tawa terus. 82 | M e n t a r i S e n j a
Spot renang yang dipilih Friska memang spot terbaik dan terluas. Tentu saja karena ayah Friska pemilik tempat ini dan dia sudah kenal lebih banyak area di sini. Spot renang itu mirip kolam renang alami yang tengahnya hanya ada pasir. Luas untuk menampung 50 orang. Airnya hanya sedikit sekali berombak. Di lindungi terumbu karang yang menjadi benteng alami menahan aliran air besar dari arah laut. Pangeran Samudera dan teman-temannya tanpa ragu menceburkan diri di sana dan mulai berenang. Di sudut yang agak jauh dari tempat Mentari, Friska, dan Dini mengerumun. Mereka sibuk berteriak dan tertawa dengan diri mereka masing-masing. “Tampaknya Mentari itu tak bisa berenang ya?”, komentar Helena melihat ke arah Dini dan Friska yang sedang mengajari Mentari mengambang dengan posisi terlentang. “Ahahah, tampaknya sih begitu”, balas Viona. Pembicaraan itu terdengar Pangeran Samudera. Tertarik dengan fakta itu, dia menoleh dan tersenyum melihat Mentari yang beberapa kali limbung dan kembali berdiri. Melihat Samudera tersenyum, Safira langsung berusaha mengalihkan perhatiannya. “Sam, ayo kita berlomba ke ujung sana”, serunya. Yang dipanggil menoleh dan tersenyum menyetujui. “Eh, Viona, apa kita tidak sebaiknya mengajak mereka gabung? Atau kita yang gabung? Kok tak enak betul sih kita terpisah begini?”, usul Helena serius setelah berpikir beberapa saat. “Apa? Ah tidak mau ah, malas! Buat apa gaul dengan mereka? Bukan levelku”, Viona cemberut. “Aduh kamu itu ya, ayolaaah.. Jangan begitu berpikirnya. Apa kau tak ingat ini tempat Friska? Dan kita diijinkan ikut olehnya? Coba kalau tidak kesini, matamu pasti bengkak seminggu karena patah hati baru putus dari pacarmu”, ajak Helena tetap lembut. Viona cemberut. Kalau Helena yang sudah mengajak dengan kata-kata halus dan menentramkan begitu, dia susah menolak. “Tapi kita mau apa ke sana? Apa tidak aneh tiba-tiba kita ke sana dan bergabung begitu saja?”, Viona masih berusaha menghindar. “Jadi mau kapan kamu minta maaf seperti janji kamu berbulan lalu? Ini kesempatan yang bagus. Aku tak nyaman kalau kita berpisah-pisah begini”, rayu Helena lagi sambil tersenyum. Viona terdiam. Ya, dalam suatu malam dia pernah mengatakan niat itu pada Helena. Waktu itu dia sudah mulai tidak tahan dengan Safira yang sering berkumpul akhir-akhir ini yang sering mengeluarkan sindiran halus untuknya. Walau dia memang termasuk telat berpikir dan jarang terlalu serius, ketika ada yang menghinanya dengan kata-kata yang lebih halus dan tajam, dia lebih perasa. Hinaan itu tak jauh dari sifat bodoh, sembrono, dan labil yang memang ditampilkan Viona. Sampai dia tak tahan dan sebulan lalu menangis pada Helena dan merasa bahwa itu adalah karmanya yang sering menghina orang dengan katakata kasar. Tiba-tiba waktu itu dia ingat dengan kejadian dengan Mentari dan mengandaikan dia bisa minta maaf. Helena yang dari sejak awal sebenarnya netral tentu menyambut ide itu. Helena tahu bahwa sepupunya sebenarnya memiliki perasaan yang lembut. Hanya karena kondisi keluarganya yang tidak baik, Viona sering melarikan diri ke alkohol dan menyemburkan kerisauannya pada orang yang menurutnya mengesalkan. Orang yang memperlihatkan sikap lebih kuat daripada dirinya tentunya. Helena tersenyum dan mulai berenang mendekat ke arah Friska, Dini, dan Mentari. Melihat itu, Viona mengikuti di belakangnya. Mungkin karena suasana di laut ini terasa menyenangkan, dia menjadi lebih mudah bergerak mengikuti kata hatinya walau pikirannya masih menyisakan keengganan.
83 | M e n t a r i S e n j a
Melihat Helena dan Viona berenang mendekat, ketiga orang itu menghentikan kegiatannya dan memandang dengan tatapan heran. Dini tampak menahan diri karena kekesalannya tumbuh lagi. Sementara Friska, yang tahu banyak tentang Helena, tersenyum. Dia memutuskan menarik diri dari air dan duduk di tepian karang. Dini mengikuti dengan pandangan tidak suka. Sementara Mentari bertahan di dalam air menyandarkan diri ke karang. “Hey! Tampaknya kalian sangat bersenang-senang”, sapa Helena sambil mengangkat diri dan duduk di sebelah Friska. Viona mengikuti dan duduk di sebelah Friska. Sedikit bersembunyi di balik tubuhnya. Menghindari tatapan tidak suka Dini. “Ya, begitulah. Kalau saja Mentari bisa berenang, mungkin tak seasik ini”, jawab Friska santai. Mentari dan Dini diam saja sambil menatap kedua orang itu. Mentari sudah melupakan kejadian itu dan sudah memaafkan sejak lama. Dia juga pernah mendapatkan cerita tentang Viona dari Friska sehingga dia bisa paham dengan segala sifat menyebalkannya. Helena tersenyum menatap ke arah Mentari. Yang diajak tersenyum membalas ragu. “Oh ya? Tari, sini dong. Kamu kok di dalam terus sih”, seru Helena. Mentari menggeleng terdiam. “Dia rikuh dengan baju dalamnya yang jelas terlihat itu. Makanya dia terus-terusan diam di dalam air”, Friska menjawabkan sambil tertawa kecil. Helena mau tak mau ikut tertawa juga. Karena tidak enak, Mentari berjalan mendekat dan menyandar di tepian terumbu karang dekat Dini. Tepian karang tempat mereka duduk agak melengkung. Sehingga dengan sendirinya mereka duduk tak jauh dari satu sama lain dan masih bisa memandang wajah-wajah dengan jelas. “Aku ingin bilang terimakasih Friska, kamu sudah mengijinkan kita ikut serta ke tempatmu ini”, kata Helena tulus. “Ahahah..oh ya? Wah, biasa saja dong. Sama-sama. Yah...rasanya menambah teman itu bukan sesuatu yang salah kok. Makanya aku bilang oke pada Mentari waktu Samudera minta padanya mengijinkan kalian ikut”, Friska tertawa kecil. Inilah yang dia harapkan terjadi. Dia merasa kalau dia menutup diri, itu adalah tindakan yang kekanak-kanakan sekali. Dia juga penasaran dengan Viona. Ingin tahu apakah ada yang berubah dari diri orang itu. Jika tidak, dia sendiri akan membalas sedikit. Sudah dia buat skenarionya. Tapi ternyata, situasi bergerak melampaui harapannya. Tak disangka, mereka yang menghampiri terlebih dahulu. Dalam hatinya, dia mulai mengagumi Helena. Paham mengapa Batara memilihnya menjadi calon istrinya. “Wah, aku senang dengan tanggapanmu. Nah, Viona, ayo...katanya kamu mau bilang sesuatu”, ucap Helena ke arah Viona. Viona sedikit membelalak pada Helena. Tapi dia tahu sudah terlambat untuk menghindar. “Ummm...Aku..aku mau minta maaf atas sikapku malam itu, Mentari. Aku...aku terlalu mabuk dan memang..sering tak bisa menahan mulutku yang...suka bicara sembarangan tanpa berpikir dulu”, Viona sedikit tergagap dan tak berani menatap ke arah Mentari. Dini, Friska, dan Mentari tentu saja kaget mendengarnya. “Wah, ada ilham bagus darimana itu?”, Dini tak mampu menahan respon spontannya. Mendengar itu, Viona tertunduk. Friska mencubit halus paha Dini. Yang dicubit sadar, dia sudah bicara sembarangan hanya karena dia ingin mengeluarkan kekesalan yang tersisa. “Terimakasih Viona. Aku senang mendengarnya. Sebenarnya aku sudah hampir lupa dan sudah memaafkan dari sejak lama. Tapi aku benar-benar menghargai permintaan maafmu secara langsung ini. Terima kasih”, Mentari tersenyum tulus sambil menatap Viona 84 | M e n t a r i S e n j a
hangat. Melihat tanggapan itu, Viona menjadi sedikit rikuh dan membalas senyum sambil sedikit menunduk. “Dan.. Dini, apakah kira-kira kamu juga bisa memaafkan kita?”, Helena menatap ke arah Dini. Yang ditanya tentu jadi sedikit gelagapan. “Y..yaaa.. asalkan tidak diulang lagi saja. Pada siapa pun itu”, jawab Dini agak terbata dan nada yang sedikit tercekik. Mendengarnya, Friska dan Helena tertawa. Mentari menarik Dini dengan paksa ke dalam air. “Awwww! Mentari! Awas ya kamu”, Dini yang kaget gelagapan di dalam air. Dia balas menciprati Mentari. Mereka pun saling menciprati satu sama lain. Melihat kehebohan itu, Bima, Wisnu, dan Batara merasa tertarik. Mereka berenang mendekat. Mendadak, suasana menjadi sangat cair. Samudera yang terlambat menyadari, berenang mendekat juga diikuti Safira. Mereka yang bisa berenang sepakat berlomba bersama. Kecuali Mentari tentunya. Dia agak lega mereka semua berenang menjauh dari dirinya. Di sela waktu itu, Mentari memilih menerapkan ajaran yang tadi diberikan Friska dan Dini. Dia mengambangkan badannya dan berhasil. Dalam posisi terlentang itu, dia menatap langit biru cerah dan merasa begitu damai. Tak menduga Viona mengambil inisiatif. Dia mulai kagum pada Helena dan Viona. Hatinya terasa tenang. Dia memejamkan matanya menikmati panas matahari pada wajahnya. Menikmati hangat air laut dan rasa mengambang yang menyenangkan. “Wow! Bra dan celana dalam merah itu sepertinya selaras dengan air laut di sini”, tibatiba terdengar suara lelaki tak jauh di dekatnya. Sontak Mentari kehilangan keseimbangan dan dengan panik dia berusaha berdiri. Samudera. Duduk dengan santai di atas terumbu karang. Menatap ke arah tubuhnya. “Aihhh!!! Apa sih!”, dengan muka bersemu merah karena malu, Mentari mencipratkan air ke arah Samudera sekuat tenaga. Yang diciprati tertawa. Rupanya dia mengundurkan diri dari lomba karena tangannya sudah sedikit lelah berlomba dari tadi dengan Safira. Ketika dilihatnya Mentari sendirian, dia tak bisa menahan diri untuk sedikit menjahilinya. Dilihatnya Mentari sibuk menyilangkan tangan di dadanya berusaha menutupi. Justru sikap itu malah semakin menarik perhatian Samudera untuk terus memandangnya. “Pergi! Pergi sana!”, Mentari berseru panik. Karena menyukai reaksi itu, Samudera menceburkan diri ke air dan entah kerasukan apa, dia mengelitiki Mentari agar tangannya bisa membuka. Tentu saja Mentari makin kaget. Dia berusaha melawan dan menghindar dengan berusaha berenang tak tentu arah. Karena panik, dia kesulitan mempertahankan keseimbangan dan sulit mengembalikan diri untuk menapak di pasir. Nafasnya tak teratur dan beberapa kali dia menelan air laut. Melihat itu, Samudera kaget. Dia meraih pinggang Mentari dan membantunya untuk berdiri. Ketika pinggangnya diraih seperti itu, Mentari merasa ada yang berdesir di hatinya. Sampai dia terdiam pasrah dan berdiri menatap Samudera dengan tatapan kaku. Samudera menahan pegangan tangannya. Merasakan lekukan pinggang Mentari yang terasa lembut dan menyenangkan. Perutnya menempel sedikit pada badan Mentari. Mereka berhadapan dengan sangat dekat sampai bisa merasakan hembusan nafas masing-masing. Ada gelombang hasrat yang menohok Samudera menatap Mentari dan memegangnya seperti itu. Satu, dua, tiga detik berlalu. Di detik ke 10, Mentari tersadar dan segera melepaskan tangan Samudera dengan kasar. Dia hentakkan air laut sampai menciprati muka Samudera agak keras dan berteriak, “Jangan kurang ajar!!”, segera setelah berteriak, terburu-buru, Mentari mengangkat badannya ke terumbu karang. Tak peduli lagi dengan bajunya. Dengan panik dia berlari, 85 | M e n t a r i S e n j a
mengambil topinya yang sudah diletakkan di atas karang yang tak terkena air, berhambur menuju pondok dengan air mata berurai. Samudera tentu heran dengan tindakan Mentari. Dia sedikit terpaku merasakan hasrat itu masih menetap di hatinya. Berikut perasaan hangat tangannya dan tubuhnya yang sedikit melekat pada badan perempuan itu tadi. Kejadian itu tak luput dari perhatian beberapa temannya. Friska, Batara, Helena, dan Safira termasuk yang melihat rangkaian kejadian itu dengan lengkap dibandingkan yang lain. Mereka sendiri menatap bengong melihat perilaku Samudera dan reaksi Mentari yang marah dan langsung berlari. “Whoa...apa itu?”, gumam Batara kaget sambil tersenyum. Safira yang merasa tidak suka dengan adegan yang terjadi tadi, segera berenang menuju Samudera dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Dia menarik tangan Samudera untuk berenang menuju teman-temannya. Terbantu Safira, Samudera mampu mengalihkan keterpakuannya. Berusaha menutupi perasaannya. *** Mentari membiarkan rasa hangat air shower mengguyur tubuhnya sambil menangis terisak tak berhenti. Ingatan masa lalunya yang tidak menyenangkan menyeruak dan berhamburan bercampur dengan hasrat yang dia rasakan. Segala campuran perasaan itu membuat jiwanya terguncang sedemikian. Semua pondasi di dalam sana yang dia bangun terasa runtuh dan menimpa badannya. Mentari merasa begitu lemas. Sehabis dari shower dengan masih dibalut jubah mandi, Mentari terus terisak dan memeluk tubuhnya dengan posisi mirip janin dalam kandungan. Terus menangis sampai kendali pada badannya terlepas dan dia terlelap. Dia tertidur untuk waktu yang cukup lama sampai malam tiba. Setelah kejadian itu, Samudera menjadi resah. Dia menghabiskan waktu lebih lama di kamarnya. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa dia merasakan hasrat itu saat setengah memeluk Mentari tadi. Hasrat itu tak pernah dia rasakan ketika dia bersama Safira. Hasrat yang menetap lama dan juga terasa hangat. Namun, dia juga menyesali tindakannya karena Mentari terlihat tidak suka dan meneriakkan kata ‘kurang ajar’ itu dengan sangat jelas dan menusuk gendang telinganya. Setelah bisa lebih mengendalikan diri, dia keluar ruangan dan bergabung dengan yang lain yang sudah menyiapkan acara makan malam dengan membakar ikan-ikan laut segar. Dilihatnya Mentari tidak ada di situ. Benaknya bertanya-tanya, ‘Apa dia semarah itu?’. Walau merasa tidak nyaman, dia berusaha menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum lebar. Apalagi Safira langsung menyambutnya dan merangkulkan tangannya ke lengannya. Dini dan Friska tak tahan membicarakan hal itu di antara mereka berdua. “Kenapa ya Mentari? Kok dia tidak keluar kamar? Aduh...ada apa ini?”, Dini berkata gelisah. “Aku juga tidak tahu, Din. Kenapa ya dia? Apakah gara-gara dia dijahili dan masih tidak suka pada Pangeran atau....”, Friska menggantungkan rasa penasarannya. “Atau apa?”, tanya Dini penasaran. “Atau mungkin karena dia tak pernah punya pacar itu ya?” “Eh? Kok kamu bahas itu? Apa hubungannya?”, Dini kaget mendengar pemikiran aneh itu. “Mungkin...karena tidak terbiasa dengan badan laki-laki jadi dia shock begitu. Coba kita pikirkan, dia juga sangat tidak nyaman badannya terlihat begitu. Dan tadi itu, Samudera pasti melihatnya. Apa dia begitu marah karena badannya kelihatan?”
86 | M e n t a r i S e n j a
“Hmmm..walau pemikiran itu aneh...tapi bisa jadi sih.. Aduh, kemana sih dia? Apa kita perlu ke kamarnya untuk memastikan, Fris? Dia pasti kelaparan deh”, Dini tak bisa menghilangkan kekhawatirannya. “Hey, Mentari kemana?”, Helena mengagetkan mereka dan duduk langsung di sebelah Friska. “Itulah, kami juga tidak tahu”, ucap Friska resah. “Bagaimana kalau aku mengeceknya dulu? Aku mau bawa makanan juga untuknya”, Dini tiba-tiba berdiri. Friska segera mengangguk menyetujui itu. Dia ingin ikut bersama dengan Dini. Tapi dia juga tidak enak dengan Helena yang sudah duduk di sampingnya. Dini sadar dan memberi kode pada Friska kalau dia tidak apa-apa berangkat sendirian. Dia mengambil sepiring makanan. Dan membawanya menuju pondokan. Melihat itu, Samudera sedikit lega. Dia bersyukur Mentari memiliki teman yang perhatian. “Ummm...Helena, kalau tidak salah kamu itu psikolog kan?”, tanya Friska ragu. Helena menatapnya. “Ya, betul..Mengapa memangnya?”, tanya Helena dengan rasa ingin tahu yang tak ditutupi. “Ummm... Menurutmu, kalau orang tidak pernah berpacaran, dan tidak pernah punya pengalaman dengan tubuh lelaki, apakah mungkin dia akan menjadi tidak suka kalau orang menyentuhnya? Lelaki maksudnya”, lanjut Friska. Mendengar pertanyaan itu, Helena paham siapa yang dibicarakan Friska. Namun dia pura-pura tidak tahu itu. “Hmmm..mungkin juga. Pengalaman pertama dalam hal apa pun, sangat mungkin membuat orang merasa shock. Dan biasanya orang butuh proses untuk memahami rasa shock itu. Tapi kalau dalam hal pengalaman pertama pacaran, rasa shock itu biasanya tidak terlalu besar juga sih. Apalagi kalau sama-sama saling menyukai. Kecuali jika ada perasaan tidak suka atau pengalaman tubuh yang negatif atau absen” “Pengalaman tubuh yang negatif dan absen? Maksudnya?”, Friska menjadi penasaran. “Begini, untuk beberapa orang yang tidak terbiasa disentuh atau menyentuh, maka orang itu akan tak biasa. Khususnya kalau jauh dengan ibunya atau figur yang menggantikannya. Artinya tubuhnya absen dari sentuhan atau ekspresi kasih sayang. Kalau pengalaman tubuh negatif ya misalnya ada pengalaman kekerasan seksual. Tergantung dari intensitasnya. Itu juga bisa membuat orang menghindar dan takut jika disentuh. Begitu”, Helena menjelaskan dengan sabar. “Whoaaa!!! Kamu benar-benar mengagumkan. Begitu ya?” “Memangnya siapa yang belum pernah pacaran?”, Helena memanfaatkan situasi diam Friska. “Mentari! Eh...aduh...kenapa aku bilang?”, Friska menjawab spontan lalu sadar mulutnya dengan mudah bocor. Melihat itu, Mentari tertawa kecil. “Mengapa memang kalau bilang padaku?”, Helena makin jahil. “Umm..ya..bagaimana ya? Kan kamu belum begitu dekat dan Mentari memang sulit terbuka orangnya. Aduh, pleaseee...jangan bilang-bilang lagi ke orang lain ya?”, Friska memohon. Helena tertawa. Sengaja dia tidak memberikan jawaban pasti. Dia langsung menarik Friska menuju tempat barbeque agar keresahannya hilang. Karena ada Bima di sana, Friska pun lupa dengan perasaan khawatirnya tadi. *** Dini mengetuk pintu Mentari berulangkali dan menekan bel berulangkali juga. Tak ada yang membuka pintu. Karena tak ada jawaban, Dini mengambil telepon genggamnya dan menghubungi Mentari terus menerus. Ketika sudah hampir belasan kali dia menelepon, akhirnya Mentari mengangkatnya. 87 | M e n t a r i S e n j a
“Ya, Mbak?”, terdengar suara parau Mentari. “Tari, kamu baik-baik sajakah?”, tanya Dini dengan khawatir. “Umm..sedikit lemas, Mbak”, jawab Mentari pelan. “Kamu pasti kelaparan. Ini sudah malam. Aku bawa makanan. Makan ya? Buka pintunya dong”, desak Dini. Karena tak enak dengan temannya, Mentari membuka pintu. “Ya ampun, Tari. Matamu sampai bengkak begitu! Kamu kenapa? Ada yang bisa kubantu?”, Dini langsung heboh. Mentari merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. “Umm..hanya butuh waktu sendirian saja Mbak..”, jawabnya pelan. “Oh? Oke, oke. Ini aku simpan makanannya ya. Kamu makan ya..Semoga besok kamu bisa lebih segar lagi”, kata Dini dengan lembut. Dia sudah banyak paham tentang Mentari. Orang yang tertutup dan butuh waktu lebih banyak untuk dirinya sendiri. “Iya, makasih Mbak”, Mentari mengangguk dan menerima piring berisi makanan dari Dini. Dini meninggalkan kamar Mentari dengan perasaan yang masih gundah. Hatinya bertanya-tanya, apanya dari kejadian tadi yang membuat sahabatnya itu menangis hingga matanya bengkak dan mukanya sembab sekali. *** Malam itu, acara barbeque berlangsung cukup asyik. Bima dan Wisnu memainkan gitar bersama dan yang lain bernyanyi. Hanya Samudera yang lebih banyak diam dan sesekali melamun. Mentari benar-benar tidak datang. Membuat hatinya gelisah. Safira berusaha keras mengalihkan perhatian Samudera. Caranya berhasil untuk beberapa saat, tapi beberapa lama kemudian, Samudera kembali tercenung kembali. Acara berlangsung sampai jam 11 malam. Satu per satu, orang meninggalkan acara itu. Tinggal Helena dan Batara yang bertahan untuk menikmati waktu berdua lebih lama. Mereka membicarakan rencana pernikahan mereka yang makin mendekat. Sekitar 6 bulan lagi dan sebagian persiapan sudah dilakukan. Mereka juga membahas mengenai Viona yang sudah minta maaf pada Mentari. Batara senang mendengarnya. Akhirnya, dia bisa melihat perubahan Viona menjadi lebih dewasa dalam menghadapi permasalahan. “Mentari kenapa ya?”, Batara membuka topik baru setelah topik pernikahan itu selesai dibahas. “Eh? Aku juga tidak tahu, sayang”, balas Helena dengan tatapan menerawang ke arah laut. Kepalanya disandarkan pada pundak Batara. “Hmmm... agak aneh juga sih. Kalau aku lihat tadi, kejahilan Samudera rasanya tak terlalu berlebihan juga, tapi Mentari tampaknya sangat marah sampai dia tidak keluar kamar malam ini” “Ya..aku juga setuju. Mungkin, dia tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Entahlah” “Tak terbiasa? Maksudnya?”, tiba-tiba terdengar suara Samudera di belakang mereka. Tentu saja Helena dan Batara kaget dan menoleh ke belakang. “Hey! Kamu kenapa kembali lagi?”, Batara berusaha bersikap biasa. “Telepon genggamku ketinggalan. Kebetulan aku mendengar namaku dan Mentari di sebut-sebut”, kata Samudera sambil duduk di sebelah Batara. “Jadi, apa maksudmu Helena dengan tidak terbiasa?”, sambungnya. “Emm...yah, memang ada beberapa orang yang tak terbiasa dengan kejahilan intim seperti itu”, jawab Helena sambil menahan senyum. “Kejahilan intim? Apa maksudnya?”, Samudera agak merasa terserang dengan istilah itu. “Menggelitiki lawan jenis, memegang pinggangnya untuk beberapa detik, dan melekatkan badan pula. Itu maksudnya, Sam”, Batara yang selalu senang menggoda Samudera menjelaskan tanpa ragu. 88 | M e n t a r i S e n j a
“Aihhh!! Apa sih kamu!”, Samudera mendorong badan Batara sedikit dengan muka bersungut-sungut. Helena tertawa melihatnya. “Itu terjadi begitu saja kok. Oke, aku akui aku jahil. Tapi bukan kejahilan intim ya? Tolong!”, tegas Samudera menyadari dia sedang ditertawakan. “Oke, oke. Hanya jahil. Tapi kenapa kau ingin menjahili Mentari? Bukannya kita semua sedang lomba renang tadi?”, Batara makin menjadi. “Arghhh! Sudah sudah! Percuma bicara dengan kalian!”, Samudera berdiri. “Hey, santai dong Sam. Kenapa kamu jadi rusuh begitu? Eh, atau jangan-jangan....”, Helena menggantungkan kalimatnya. “Jangan-jangan apa?”, Samudera tak mampu menahan diri. “Jangan-jangan kau suka ya sama Mentari?”, dan Helena mengeluarkan jurusnya. “Hah? Suka?! Aihhh! Pikiran konyol macam apa itu! Sudah! Aku pergi! Selamat malam!”, Samudera tersinggung dan berjalan kembali ke arah pondokan. “Hati-hati lho! Benci dan suka itu tipis lho bedanya!”, teriak Helena dari kejauhan. Dia merasa puas melihat reaksi Samudera yang serba salah. “Tampaknya, memang dia sedikit suka sama Mentari. Kau setuju kan?”, tanya Helena pada Batara. “Hmmm...melihat perilaku Samudera yang agak aneh terhadap Mentari, tampaknya aku setuju, sayang”, Batara tertawa. “Taruhan yuk?!”, tiba-tiba Helena bertanya di tengah tertawanya. “Taruhan apa?” “Safira atau Mentari yang akan menikah dengan Samudera?”, tantang Helena. “Whoa! Menarik nih... Hmmm... agak riskan menebak Samudera dengan Mentari..tapi...” “Aku pegang Mentari” “Eh? Whoa...aku tak ada pilihan dong selain pegang Safira. Yang kalah hukumannya apa?” “Yang kalah akan membayar tiket bulan madu ke Paris” “Whoaa...oke, oke! Deal!”, Batara tertawa sambil memeluk tunangannya penuh sayang. *** Malam itu, Samudera tidur dengan gelisah dan tidak nyenyak. Kali ini, dia menolak untuk memikirkan masalah itu lebih jauh. Safira juga tidak bisa tidur nyenyak. Dengan jelas dia melihat bagaimana tadi Samudera mengawali semuanya. Samudera lah yang bergerak menuju Mentari. Bukan sebaliknya. Rasa cemburunya menggelegak memenuhi dadanya sampai malam itu. Samudera tak pernah jahil padanya dengan cara seperti itu. Apalagi dia tahu, lelaki itu tak terlalu dekat dengan Mentari. Untuk pertama kalinya, Safira sangat takut dengan kehadiran perempuan lain. Selama ini, dia tidak pernah merasa begitu, karena dia tahu cara memenangkan perhatian banyak orang pada dirinya. Setiap kali, dia selalu mendapatkan pujian dan kekaguman orang lain. Setiap kali, para lelaki yang dipuja banyak perempuan, selalu memilih dirinya, yang kemudian dia abaikan ketika mereka sudah terjerat. Baru dengan Samudera dia serius memilih karena dia memang menyukai tipe Samudera ditambah dorongan dan desakan orang tuanya. Kini, posisinya terancam. Safira sibuk memikirkan berbagai macam cara sampai akhirnya dia tertidur. *** Karena lelah secara emosional, setelah menyantap sedikit makanan, Mentari tertidur kembali.
89 | M e n t a r i S e n j a
Saat subuh tiba, Mentari terbangun. Teringat dengan pesan kakeknya mengenai khasiat air laut saat subuh, Mentari bergegas berpakaian. Dia mengambil kain batik dan membelitkannya di badannya. Kemudian dia melapisi bagian lengannya dengan kemeja. Pelan-pelan, dia mengendap keluar dan menuju spot berenang kemarin. Air agak naik. Namun masih cukup aman baginya. Dia merendam dirinya di sana dan menjalankan meditasi. Ingatan-ingatan buruk yang masih melintas itu masih memburunya. Tak seperti kemarin, kini dia memberanikan diri untuk menghadapinya. Air matanya berurai tak henti. Dia berusaha mengendalikan dirinya dengan tetap mempertahankan kesadaran terhadap realita. Namun kilasan itu makin kuat memakan kesadarannya. 30 menit berlalu. Sinar matahari makin menguat dari cakrawala sebelah timur. “Bajingan kau! Pergi! Pergi! Jangan sentuh tubuhku! Pergiiiiiii!”, jeritnya. Air bercipratan karena Mentari meronta-ronta. Sampai pada satu titik, badannya melunglai dan menggelosor ke dalam. Dia pingsan. Samudera, karena tidak bisa tidur nyenyak, memutuskan jalan-jalan. Hanya beda 15 menit dengan Mentari yang sudah lebih dulu mencapai pantai. Ketika dia berjalan, dia mendengar teriakan seseorang dari arah laut. Kaget mendengarnya, dia berlari mendekati sumber suara. Hari sudah mulai terang. Dia dapat melihat ada yang mengapung di tempatnya berenang kemarin. Ketika dilihatnya itu adalah tubuh orang, Samudera segera berlari dan menceburkan diri. Mengangkat badan orang tua itu. “Mentari?! Oh Tuhan!”, dengan cepat dia menarik badan Mentari. Mengangkatnya pelan. Dan membopongnya. Dia segera melakukan CPR ketika sudah sampai di atas pasir. “Ayo, Mentari! Ayo!”, dadanya berdebar kencang. Dia berusaha keras memompa dan memberikan pernafasan buatan. Mentari tersedak. Samudera merasa lega melihatnya. Sesaat Mentari menatapnya. Tapi kemudian matanya menutup lagi. “Tari! Mentari! Oh Tuhan! Kamu kenapa sih?”, dia berusaha membangunkan. Dia mengecek nadi dan jantung Mentari, kelihatannya sudah bernafas lagi. Tapi dia tidak mengerti mengapa Mentari kehilangan kesadaran. Tak menunggu waktu lama, dia segera membopong Mentari lagi dan berusaha berlari menuju pondokan. Teman-temannya belum ada yang bangun. Namun ada satu orang petugas yang kebetulan melihat itu. Karena kepanikan tergambar jelas di wajah sang pangeran, dia segera menghampiri. “Ada apa Pangeran? Apa yang terjadi?”, tanya petugas itu kaget. “Tolong buka pintu pondokan nomor 3”, kata Pangeran dengan nafas terengah. Segera, petugas itu berlari menuju pos terdekat mengambil kunci cadangan. “Apa yang bisa saya bantu lagi Pangeran?”, petugas itu lebih panik lagi dari dirinya. “Tolong panggil dokter. Tapi jangan terlalu ribut. Oke?”, pinta Samudera. Dia tidak mau kejadian ini membuat panik teman-temannya yang lain yang masih terlelap. Ketika petugas itu pergi, Pangeran Samudera menutup pintu dan segera membuka baju Mentari. Dia cari-cari jubah mandi yang kering dan segera mengenakannya di tubuh Mentari yang masih basah. Dia segera menyelimutinya berharap selimut itu bisa menghangatkan Mentari. Bersamaan dengan itu, petugas tadi mengetuk pintu. Samudera membukanya. Petugas itu sudah membawa dokter dan seorang perawat yang membawa perlengkapan medik. “Apa yang terjadi, Pangeran?”, tanya dokter itu dengan sopan sambil berjalan menghampiri Mentari yang sudah terbaring dengan rambut basah dan tertutup selimut. “Saya juga tidak mengerti. Waktu saya jalan ke pantai, saya lihat dia sudah terapung di pinggir laut. Saya tadi melakukan CPR, dia tersedak, sadar sebentar, lalu pingsan lagi. Tolong lakukan yang terbaik, dok”, Samudera menjelaskan dengan terburu-buru. 90 | M e n t a r i S e n j a
“Ah, ya, ya.. Mohon beri waktu pada saya untuk memeriksa kondisinya”, kata dokter itu dengan tenang. Samudera mengangguk. Dia berjalan membuka gerendel di sisi kamar. Menutupnya. Dan menunggu dengan gelisah. Dia tidak mau kejadian buruk menimpa Mentari. Dia tidak mau. Beberapa menit kemudian, pintu gerendel dibuka. Dokter menghampirinya. “Kondisi Nona itu baik-baik saja. Denyut nadi, jantung, dan nafasnya juga stabil. Beruntung tadi Pangeran sudah melakukan CPR. Tak ada cairan di paru-parunya. Hanya saja, tampaknya dia mengalami stres psikologis yang cukup berat. Ditambah lagi perutnya kosong. Mungkin dia kurang makan. Hingga dia pingsan. Sebentar lagi dia akan siuman setelah suhu tubuhnya kembali normal”, kata dokter itu dengan nada menenangkan. “Ahhh, syukurlah!”, kata Pangeran sambil melepaskan nafas panjang. Mengeluarkan kegundahannya. “Ada saran apa yang perlu dilakukan berikutnya?”, tanya Pangeran kemudian. “Saya sudah menyiapkan vitamin dan pil penambah tenaga, lengkap dengan petunjuknya. Tolong diperhatikan saja jadwal makannya. Lalu, ada baiknya, dia diajak bicara mengenai apa yang dirasakannya. Jika nanti sudah kembali ke tempat tinggalnya, ada baiknya disarankan pada dia atau orang tuanya jika masih ada, untuk mengikuti sesi konseling misalnya. Intinya, apapun itu yang bisa mengurangi tingkat stresnya”, demikian penjelasan dokter. “Boleh saya tahu mengapa Anda menduga dia punya kondisi stres yang berat?”, tanya Pangeran penasaran. Dokter itu tersenyum. “Matanya bengkak sekali. Tampaknya habis menangis semalaman. Dan, pagi-pagi sekali dia pergi ke pantai dan mengapung di sana. Tentunya ini perilaku yang tak biasa. Rasanya, satu-satunya dugaan yang paling mungkin adalah ada yang merisaukan hatinya, Pangeran”, jawab dokter itu. “Ah, oke..Baiklah. Terima kasih dok, terima kasih banyak”, kata Pangeran sungguh sungguh sambil menyalami dokter itu. Dokter itu mengangguk dan segera berpamitan. Ketika masuk, Pangeran Samudera melihat Mentari masih belum sadar. Namun, nafasnya terlihat lebih tenang. Hatinya terasa runtuh melihat kondisinya. Dia menghampiri dan terbawa naluri, membelai kening dan pipi Mentari dengan lembut. Teringat dengan kata dokter itu, Pangeran Samudera menelepon Friska dan Helena. Menceritakan secara singkat apa yang terjadi. Mereka segera datang dengan masih memakai baju tidur ke kamar Mentari. “Aku titip dia. Tolong minta dia untuk sarapan kalau dia bangun nanti. Aku khawatir kalau dia terbangun dan melihatku, dia bisa kaget dan pingsan lagi. Bisa jadi aku sumber stresnya, bukan?”, Pangeran Samudera sedikit memaksakan diri untuk mengeluarkan humor. Friska dan Helena mengangguk paham. Lalu lelaki itu berlalu dari kamar Mentari. Baru 5 menit dia keluar, Mentari tersadar dari pingsannya. “Tari?”, Friska berbisik lembut dan berjongkok di samping tempat tidur Mentari. Helena duduk di ujung dipan. “Fris..Friska?”, Mentari membuka matanya lebih lebar. Melihat ke sekeliling ruangan. Menatap sebentar ke arah Helena. Pelan-pelan ingatannya kembali. Dia ingat terakhir dia berendam di laut. “Kok aku ada di sini?”, tanyanya sambil mengangkat badannya lalu ia menyender ke dipan. “Kamu tadi pingsan di laut, dear. Untung Samudera sedang berjalan pagi juga di sana. Dia melihat badanmu terapung. Membawamu ke sini. Dan memanggil dokter. Mereka semua sudah pergi. Kami dipanggil Samudera untuk memastikan kesehatanmu”, jawab Friska hati-hati. 91 | M e n t a r i S e n j a
“Oh ya? Ahhh...memalukan sekali”, keluh Mentari. “Shhh..jangan berpikir seperti itu. Ini ada vitamin dan pil penambah tenaga dari dokter. Sarapan dulu ya Tari? Perutmu kosong. Baru setelah itu minum vitamin dan pil ini”, kata Friska. Helena memberikan sup krim yang masih hangat. Walaupun masih merasa malu dengan kelemahan yang kini terlihat oleh orang lain, Mentari tahu mereka benar. Dia menyantap sup itu sampai habis. Lalu dia meminum vitamin dan pilnya. “Terima kasih banyak. Mohon maaf sudah merepotkan”, ucap Mentari agak canggung. “Apa sih kamu? Kita kan sahabat, Tari”, sanggah Friska sambil memasang muka cemberut. Mentari tersenyum melihatnya. “Nah, gitu dong”, kata Friska sambil merangkulnya. “Umm..Tari, aku tahu aku masih terhitung baru kamu kenal. Tapi, jika ada yang merisaukan hatimu, kamu bisa bicara juga padaku. Oke?”, kali ini Helena yang bicara. Matanya menatap lembut ke arah Mentari. Entah kenapa, Mentari merasa tenang melihat mata itu. Dia mengangguk. “Tapi kalau kamu siap saja. Tak usah juga memaksakan diri terlalu cepat. Kamu tahu kan profesiku apa?”, kata Helena lagi dengan nada lebih ringan. Mentari mengangguk dan tersenyum. “Gitu dong, Tari.. Oh ya, kamu bisa ikut kan nanti keliling pulau pakai perahu?”, Friska berseru ceria. “Eh? Aduh...aku, aku tidak tahu Friska..”, Mentari mendadak ragu. “Ayolah ikuuuuut! Biar kamu bisa melihat keindahan pulau ini. Kapan lagi coba? Mumpung masih ada beberapa hari lagi. Ya ya ya? Kita berangkat agak siang kok. Jadi kamu masih bisa istirahat sedikit. Oke, oke?”, Friska setengah memaksa. Karena merasa sudah merepotkan dan tak mau lebih merepotkan lagi, akhirnya Mentari mengangguk. “Yaiyyyy!”, seru Friska sambil berjingkrak-jingkrak. Helena tertawa melihatnya. “Ummm... tapi, selain Pangeran dan kalian, apa ada yang tahu lagi tentang kejadian ini?”, Mentari memberanikan diri bertanya dengan khawatir. “Nope! Just us! Jangan khawatir. Our mouth is sealed! Oke?”, tegas Friska sambil membuat gerakan menutup mulut seolah ada zipper di situ. “Terima kasih buat pengertiannya, Friska, Helena”, kata Mentari dengan agak malu. *** Sebelum mereka berjalan-jalan, atas inisiatif Friska, mereka membantu Mentari mengurangi bengkak di matanya dan menutupnya dengan make up. Friska dan Helena sibuk mengompres mata Mentari dengan bongkahan es kecil. Setelah agak kempes, mereka dengan semangat mengoleskan foundation penyamar bengkak dan mendandaninya tanpa terlalu berlebihan. Menyadari besarnya perhatian mereka, hati Mentari tergugah dan terharu. Selama ini, dia selalu kesulitan membuka diri pada orang lain dan sulit menerima orang lain masuk terlalu dalam ke area privasinya. Namun, sekarang, kehadiran Friska, Dini, dan Helena teman barunya, membantu Mentari memahami bahwa persahabatan yang dekat bisa menyenangkan juga. Apalagi di hadapan Friska dan Helena, yang baginya sudah melihat kelemahan dan dia merasa telanjang di depan mereka, Mentari juga sadar sudah percuma untuk menutup diri. Atas saran Helena, Pangeran Samudera menjaga jarak dengan Mentari saat mereka bertemu lagi untuk naik perahu. Dia mengalihkan perhatiannya pada Safira dan sesekali mencuri pandang ke arah Mentari diam-diam. Dia lega melihat Mentari terlihat normal lagi dan bisa tersenyum menikmati jalan-jalan dengan perahu kecil itu. Bagusnya lagi, walau berdekatan, mereka ada dalam perahu terpisah.
92 | M e n t a r i S e n j a
Friska dan Helena pun bersikap normal seolah kejadian pagi itu tak pernah ada. Sehingga Dini, yang hampir ditinggalkan karena bangun kesiangan, tidak menyadari itu juga. Dia terlihat begitu menikmati perjalanan itu dan tak henti-hentinya berseru heboh dan mengambil foto dengan kameranya. Mereka semua menghabiskan waktu seharian di atas perahu. Makan siang juga di dalam perahu. Mentari merasa hatinya lebih lega dan lintasan-lintasan buruk di kepalanya tak muncul lagi. Dia bersyukur, dia tidak sendirian, dan ada banyak yang membantunya. Terpikir olehnya untuk suatu saat menyampaikan ucapan terima kasih pada Samudera. Setiap hari, kegiatan mereka penuh dengan kegiatan menyenangkan. Keakraban makin menguat di antara mereka, kecuali Safira yang sibuk dengan permainan perannya. Setiap kali dia merasa Samudera memperhatikan Mentari, setiap kali juga dia berusaha keras mengalihkannya. Baginya, ini adalah liburan yang paling melelahkan yang dia alami. Hingga tibalah malam terakhir. Malam ulang tahun Pangeran. Seperti biasanya, mereka mengadakan barbeque malam hari dengan menu yang terus bergantian hingga acara barbeque itu tak membosankan. Hampir semua temannya memberi kado pada Pangeran, kecuali Dini yang tidak tahu dan Mentari yang lupa dengan hari itu. Mentari merasa tidak enak. Tapi karena kelihatannya Pangeran sendiri tidak terganggu dengan hal itu, dia merasa lega. Ketika Mentari duduk sendirian dan yang lainnya bermain gitar, bernyanyi, dan menari-nari, Pangeran Samudera menghampirinya dan duduk tak jauh dari sampingnya. Kira-kira berjarak setangan. Mentari kaget dengan inisiatif itu sekaligus senang karena dia juga ingin menyampaikan terima kasihnya secara khusus. Dia sudah melupakan rasa kesalnya saat Pangeran itu jahil karena terkikis oleh rasa terima kasihnya telah diselamatkan. Safira yang melihat itu, hendak menghampiri. Namun, tangannya ditarik Helena yang memang sudah menyadari pola perilaku Safira yang sangat mendominasi Pangeran Samudera. Safira yang punya harga diri tinggi dan tidak mau orang lain menyadari kecemburuannya, dengan pasrah mengikuti ajakan Helena untuk menari hula-hula. “Kamu sudah baikan, Tari?”, tanya Pangeran ramah. “Eh, iya, Pangeran...ummm..terima kasih untuk pagi itu. Dan maaf, sudah merepotkan. Maaf juga saya tidak mempersiapkan hadiah ulang tahun”, ucap Mentari buru-buru. Legalah hatinya telah mengatakan itu. “Ah, itu...iya, tidak masalah. Hadiah ulang tahun kan hanya formalitas saja. Aku sendiri sudah tak terlalu terbiasa dengan perayaan seperti tiu. Oh ya, aku bersyukur aku ada di situ saat pagi dimana kamu pingsan. Kalau tidak, aku pasti kena marah Ayahanda, Ibunda, dan Eyang karena tidak bisa menjagaimu dengan baik”, Pangeran Samudera tertawa. Mentari tersenyum mendengarnya. “Emm..ya tapi sayalah yang merepotkan..”, komentar Mentari sambil menunduk. “Hey”, Pangeran Samudera memegang pundaknya lembut dan mengusap-usap rambutnya, “aku tidak merasa direpotkan kok. Kamu tenang saja”, lanjutnya kemudian. Diperlakukan seperti itu, badan Mentari menjadi kaku. Ada yang berdesir di hatinya lagi. Dia jadi serba salah. Melihat perilaku Mentari, takut berlebihan lagi, Pangeran Samudera segera menarik tangannya. “Ma..maaf, mungkin karena..aku..sudah mulai menganggapmu sebagai adik sendiri, jadi aku spontan berlaku seperti itu”, tanpa pikir panjang, Pangeran Samudera mengatakan kata-kata itu untuk menetralisir suasana yang mendadak kaku. Mendengar kata-kata dianggap adik sendiri, Mentari terperangah. Dia ingat, dia adalah cucu angkat Baginda Sepuh. Walau benar dia juga pernah dianggap calon unggulan Baginda Sepuh untuk menjadi istri Pangeran, kemungkinan dia dianggap adik pun sangat 93 | M e n t a r i S e n j a
besar. Ketika Pangeran Samudera menyebutkannya, ada sedikit rasa kecewa yang dia rasakan tapi juga membenarkan kata-kata itu. Ya, dia hanyalah adik angkat bagi Pangeran Samudera. Katanya meyakinkan diri sendiri di tengah rasa kecewa yang memperkeruh hatinya. “Ah iya, ya..betul..maafkan, saya hanya tak terbiasa, Pangeran. Saya juga tak biasa punya kakak, laki-laki pula. Jadi kadang, saya suka gugup kalau diperlakukan seperti itu”, balas Mentari kemudian. Mendengar kata-kata Mentari, ada rasa sesal yang terasa di hati Pangeran Samudera. “Oh iya, aku juga minta maaf atas kejahilanku di kolam terumbu karang itu. Aku tidak tahu kalau hal-hal seperti itu sangat mengganggumu”, kata Pangeran Samudera teringat dengan hari pertama itu. “Oh iya..saya juga sudah melupakannya, Pangeran..”, Mentari dengan tergesa membalas kata-kata Pangeran. Hatinya resah tak menentu. Bukan karena ingatan itu. Lebih karena tiba-tiba dia merasa hatinya kembali berdesir lebih kuat ketika Pangeran Samudera membahas kejadian di kolam terumbu karang itu. “Oh ya? Ahaha..baguslah”, Pangeran Samudera tertawa kering. Kecewa mendengarkan kata ‘melupakan’ sementara dia merasa kesulitan mengentaskan bayangan kenangan yang selalu muncul setiap harinya di tempat ini. Tepat ketika kata-katanya berakhir, Safira menarik tangannya menuju api unggun. Helena sudah berusaha keras menahan Safira dan tak bisa mencegah lebih lama lagi. Mentari terhenyak melihat upaya keras Safira untuk selalu dekat dengan Pangeran Samudera. Rasa tidak nyaman seolah diiris pisau di hati muncul lagi. Mentari berusaha keras mengentaskan perasaan itu. “Ayolah, Tari. Dia hanya menganggapmu sebagai adik”, katanya dalam hati berusaha meyakinkan diri melihat kenyataan di depannya. Saat waktu menunjukkan jam 11 malam, satu persatu mulai pergi karena sudah mengantuk. Termasuk Mentari. Dia bersyukur acara itu selesai. Mentari segera mencuci muka dan bersiap untuk tidur. Namun, ketika dia akan menyalakan alarm, dia tak melihat telepon genggamnya di kamarnya. “Ya ampun..dimana ya?”, Mentari mengingat-ingat. Dan sadarlah dia, telepon genggamnya tertinggal di atas penggalan kayu yang jadi tempat duduknya tadi. Dia berjalan keluar lagi menuju tempat tadi. Untungnya telepon genggamnya masih tergeletak dan dalam keadaan baik-baik. Dia pun berjalan kembali ke pondokan dengan perasaan lega. Saat melewati area kamar Pangeran Samudera, dimana pintunya agak menjorok ke dalam dan ruangnya mirip lorong pendek, tatapan Mentari terpaku. Hatinya berdebar kencang melihat pemandangan di depan pintu Pangeran Samudera. Lelaki itu, sedang berciuman dengan Safira. Karena kaget dan shock, Mentari memutuskan berlari kencang menuju kamarnya. Membuka pintu dengan tidak sabar, menutupnya dengan cepat, dan menyandar di balik pintu dengan nafas terengah-engah. “Me...mereka...sudah...”, ucapnya terengah-engah. Ada yang terasa runtuh di hatinya. Membuatnya duduk melunglai dilantai sambil tetap menyandar ke daun pintu. Mentari tidak tahu asal mula kejadian itu. Dia tidak tahu kalau Safiralah yang menghambur duluan dan mencium bibir Pangeran Samudera dengan penuh nafsu. Dia tidak tahu bahwa ketika Pangeran Samudera yang masih kaget dengan serangan itu dan mendengar bunyi kaki orang berlari di atas lantai kayu langsung mendorong Safira agak keras. Hingga Safira sedikit limbung. “Me..mengapa Sam? Bukannya...”, Safira memandang heran setengah marah dengan penolakan itu.
94 | M e n t a r i S e n j a
“Umm..eu..Fira, maaf...tapi kita berjanji kita tidak akan terburu-buru kan? Aku...aku menyukaimu memang, kau pun sudah tahu..tapi aku perlu waktu..”, Pangeran Samudera gelagapan. Dia juga tidak tahu mengapa dia harus mendorong Safira. Apa karena dia mendengar bunyi orang berlari sehingga dia takut ada yang melihat adegan itu? Siapa yang tadi melihat? Atau apa karena dia kaget saja dengan serangan mendadak itu? Ketika dilihatnya Safira tampak shock, Pangeran Samudera tidak enak hati. “Umm..Fira, maafkan. Mungkin karena aku kaget dengan tindakan tiba-tibamu. Begini, aku ini dulu playboy. Bagiku, melakukan kontak fisik dengan perempuan mana pun sangat gampang. Apalagi denganmu yang sudah aku kenal baik-baik. Aku lelaki normal. Mau juga memeluk dan menciummu. Tapi, aku mau mengubah polaku. Karena aku mau yang serius. Yang akan jadi istriku kelak. Kau bisa paham kan maksudku dengan hati-hati? Aku hanya ingin menjagai agar hubungan kita bersih dari hanya sebatas nafsu belaka. Oke?”, dan Pangeran Samudera lega rasionalisasi itu datang ke kepalanya. Mendengar itu, Safira tergugah. Matanya yang sudah berkaca-kaca kini tersenyum. “Aku tidak tahu kalau kamu punya cara seperti itu. Maafkan”, Safira berhambur memeluknya. Sudah terbiasa dengan perilaku itu, Pangeran Samudera menyambutnya dan mendekapnya erat. Mereka pun berpamitan untuk tidur. “Fyuhhh!”, Pangeran Samudera menarik dan mengeluarkan nafas panjang setibanya di kamarnya dan sendirian. “Apa ada yang tidak beres denganku sekarang? Aihhhhh!”, keluhnya kemudian sambil menghempaskan badannya ke kasur. ***
Buram Suram Masa Lalu Liburan seminggu itu pun berakhir. Friska sangat senang karena Bima memberikan respon padanya. Dia juga senang dia bisa berteman dengan Helena dan Viona. Dengan demikian, dia menjadi punya kesempatan untuk bertemu dengan Bima setiap seminggu sekali saat mereka berkumpul seperti biasanya. Dan setelah beberapa kali bertemu setelah liburan itu, Friska dan Bima memutuskan untuk menjalani hubungan lebih dari sekedar teman. Dini langsung mengunduh foto-fotonya di sosial media. Tapi dia tahu diri, dia tidak mengunduh foto orang lain selain dirinya dan pemandangan di pulau Natuna yang indah. Sisa ceritanya dia ceritakan heboh dengan Yance dan Peggy yang memang menanti mendengar bosnya bergosip. Dengan melihat adegan di malam terakhir itu, Mentari bertekad menghapus perasaannya buat Pangeran Samudera. Dia berupaya mensugesti dirinya sendiri bahwa dia hanyalah adik angkatnya. Dia sadar, karena rasa berdesir seperti itu pernah dia alami juga di jaman remajanya dulu, dia sudah menyukai Pangeran Samudera. Karena dia sadar itu perasaan apa, sementara fakta memperlihatkan ketidakmungkinan, maka Mentari berusaha melupakan adegan-adegan yang membuat hatinya berdegup kencang ketika bersama Pangeran Samudera. Setelah liburan itu, dia pun sebisa mungkin menghindari Pangeran Samudera. Selalu tergesa-gesa menutup kata-kata, menggunakan berbagai macam alasan, ketika dia diajak bicara santai olehnya. Melihat reaksi Mentari yang makin tertutup, Pangeran Samudera merasa harga dirinya terluka, namun dia tahan mengingat kejadian Mentari terapung itu.
95 | M e n t a r i S e n j a
Sementara Helena, ditengah kesibukan pekerjaannya di bagian HRD perusahaan ayahnya dan persiapan pernikahan, memikirkan lebih jauh mengenai Mentari. Dia mengakui, figur Mentari menarik perhatiannya. Dia merasa, Mentari menutupi banyak luka di masa lalunya. Dia ingin tahu lebih jauh mengenai gadis itu karena dia juga merasa nyaman berteman dengannya. Helena berpikir, untuk sesekali mengundang Mentari berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Dia terus menerus mengajak Mentari untuk berkumpul. Beberapa kali, dengan berbagai alasan, dia menolak. Helena tidak menyerah. Selalu diundangnya Mentari setiap akan kumpul bareng dengan teman-temannya. Sampai akhirnya, Mentari menyanggupi. Kata-kata terakhir yang membuat Mentari mau datang adalah: “Ayolah Mentari, mau sampai kapan menutup diri. Tidak baik lho menghindari relasi kasih sayang terus menerus”. Kata-kata yang sangat menohok dirinya. “Ya, mau sampai kapan aku menutup diri? Oh tuhan..mengapa urusan seperti ini membuatku sangat pengecut dibandingkan permasalahan hidupku di masa lalu?”, kata Mentari pada dirinya sendiri. Dia mengulas kembali kehidupannya dalam berteman dan dalam menafsir rasa sukanya terhadap lelaki di masa lalu. Ketika dia masih usia 5 tahunan, dia masih ingat dia punya teman main yang lumayan banyak. Mereka sering menghabiskan waktu berjalanjalan di sawah dan ladang, bermain boneka jagung, bermain lumpur ketika ada tetangga yang akan memanen ikan, atau kadang-kadang bermain permainan tradisional seadanya. Namun ketika masuk SD, beberapa teman mulai sering meledeknya karena dia tidak punya orang tua. Dia juga sering kali merasa iri ketika dilihatnya teman-teman yang lain diantar orang tuanya ke sekolah. Karena Mentari terus menerus menduduki ranking 1 di sekolahnya, beberapa teman yang sama cerdasnya tapi tidak bisa menyainginya bertambah iri. Mereka senang berkomplot menjauhinya dan menuduhnya sebagai anak haram. Sepanjang 3 tahun terakhir di sekolah dasar, tuduhan itu tak berhenti. Karena mereka yang berkomplot adalah anakanak yang punya banyak teman, Mentari pun menjadi sulit berteman. Tak ada satu pun yang mau bergaul dengannya. Karena itu, dia akhirnya menutup diri dan memilih melakukan apa pun sendiri. Sikap ini, dia bawa terus hingga usia remaja. Apalagi ketika duduk di sekolah menengah, teman-teman sebayanya banyak yang mempermasalahkan status sosial juga. Karena prestasinya, Mentari bisa masuk ke sekolah berkelas yang banyak diisi oleh siswasiswa orang kaya dan anak bangsawan daerah. Maka, ketertutupannya makin menguat. Ada satu dua orang teman di saat dia duduk di sekolah menengah akhir yang bisa dekat karena mereka dari golongan sosial yang sama. Namun karena ketertutupan Mentari sudah mengerak, maka kedekatan itu pun hanya bersifat di permukaan. Persepsinya tentang teman adalah seperti itu. Tak perlu terlalu dekat. Cukup bicarakan masalah tugas-tugas sekolah. Tidak perlu membahas hal-hal lainnya. Itulah juga yang dibawanya di masa kuliah dan masa bekerja sampingan. Dia menikmati waktu di luar pekerjaan atau sekolah dan menikmati humor-humor sarkartis tentang hidup. Tapi Mentari menempatkan diri sebagai penikmat saja. Ada, hadir, dan bereaksi sesuai tindakan dari teman-temannya. Baru ketika dia mengenal Dini dan Friska dia merasakan sedikit kehangatan perhatian. Sikap Dini dan Friska yang terbuka, spontan, dan heboh membuat persepsi itu perlahan mengembang. Sekarang, ditambah lagi dengan Helena dan Viona. Mulanya, Mentari merasa asing dengan sikap-sikap yang berbeda dengan yang biasa dia alami. Lama kelamaan, walau sangat perlahan, dia mulai mau lebih terbuka. Tapi, dia tak bisa juga langsung membuka diri sepenuhnya. Masih banyak bagian dari dalam dirinya yang tak 96 | M e n t a r i S e n j a
berani dibuka lebih banyak. Dia masih cemas dan dia memilih menghindari memikirkan itu terlalu jauh. Kini, Helena bertanya seperti itu. Membuat sebagian besar benteng yang dia bangun pecah. Dia menjadi tergerak untuk mempertanyakan. Setidaknya dia mau memikirkan hal itu lebih serius. Walaupun juga dia tidak tahu bagaimana menjalaninya. Tergerak dengan keinginannya untuk berkembang, Mentari memutuskan memenuhi undangan Helena yang dulu ditolak untuk kesekian kalinya. “Oke, Mentari! Hadapi! Jalani! Apa pun itu”, tekadnya. *** Mentari menggunakan gaun selutut warna hitam di atas lutut ketika akan keluar malam itu. Liontin emas milik orang tuanya menjadi sangat menonjol ketika dia mengenakan baju warna hitam. Dia mengenakan boot hitam setengah lutut yang membuat bentuk kakinya terlihat menarik. Seperti biasa, dia mengenakan make up tipis yang memperlihatkan sisi naturalnya. Kulitnya yang kuning langsat dan mulus tampak bersinar. Dia mengikat rambutnya ekor kuda dengan kencang sehingga keningnya terlihat semua. Anak-anak rambut halus menghias keningnya yang halus itu. Pertemuan kali itu diadakan di sebuah kafe yang tak jauh letaknya dari Istana. Mentari berangkat sendirian bersama supir pribadinya yang memang sudah ditugaskan oleh Baginda Ratu untuk menemaninya kemana pun dia pergi. Helena menanti dengan tidak sabar. Dia tidak memberitahu yang lain kalau Mentari akan datang, termasuk Pangeran Samudera yang sudah asik mengobrol dengan Safira. Selain Mentari yang akan menjadi pendatang baru di antara mereka, ada juga seorang lelaki lagi yang datang. Dia adalah sahabat kecil mereka namun baru sekarang ini dia sudah bergabung kembali karena dia menghabiskan waktu di Inggris sejak usia remaja. Orang tuanya menjabat duta besar di negara itu cukup lama. Bertahan sampai beberapa periode. Dia, Gerhana Mahameru. Dia datang lebih awal dan disambut dengan heboh oleh yang lain. Dia bercerita banyak tentang project-project yang sedang ditangani karena ditanya oleh teman-temannya. Gayanya yang hangat, ringan, dan akrab memang menyamankan. Dia selalu ramah menyambut orang yang berbicara dengannya tanpa membeda-membedakan posisi atau kedudukan. “Jadi, sudahkah semuanya berkumpul? Atau ada yang baru lagi selain Friska?”, tanyanya pada teman-temannya. Semuanya mengangguk, kecuali Helena. Belum sempat Gerhana menanyakan pada Helena, seseorang memasuki ruangan. Mentari. “Whoaaa, Tari?!”, Friska berseru heboh dan langsung berhambur memeluk temannya itu. Pangeran Samudera dan Safira menatap kaget. Ada yang berdesir di hati Pangeran itu ketika dia melihat Mentari. Matanya sedikit terpaku pada penampilannya yang terlihat eksotis malam itu. Segera dia mengalihkan pandangannya ketika pandangan mata Mentari sekilas menyapunya. Helena menyusul memeluk Mentari setelah Friska. Viona juga. Hanya Safira yang bertahan di tempatnya. Mentari ditarik duduk di sebelah Helena. Gerhana yang merasa tertarik melihat Mentari, menghampirinya dan menjulurkan tangan mengajak salaman. “Eh?”, Mentari kaget namun segera menyambut uluran tangan itu. “Saya, Gerhana. Senang bertemu denganmu”, ucap Gerhana hangat. Mentari tersenyum lebar. Dia langsung merasa nyaman dengan gaya Gerhana yang terasa tulus. “Mentari”, kata Mentari kemudian.
97 | M e n t a r i S e n j a
“Wow! Kamu Mentari dan aku Gerhana. Tampaknya nama kita bersambungan”, balas Gerhana sambil tersenyum lebar, “ada yang mau menceritakan siapa teman baru yang baru aku lihat ini?”, lanjut Gerhana sambil melihat ke arah teman-temannya yang lain. Semua terdiam sejenak. Dan setiap mata menuju Samudera yang kemudian sedikit kaget karena semua orang tampaknya meminta dia menjelaskan. “Ehm..oke, tampaknya kalian minta aku memberi tahu Gerhana. Dia, cucu angkat Baginda Sepuh. Sudah, itu saja keterangannya. Sisanya, silahkan cari tahu sendiri”, kata Pangeran Samudera setelah dia menyesap cocktail yang dia pegang. “Whoaaaa? Cucu angkat Baginda Sepuh? Berarti dia saudara angkatmu dong? Saudara angkat pangeran nomor satu di negeri ini. Wow! Really nice surprise!”, seru Gerhana sambil menepuk tangannya. Yang lain tertawa melihat reaksinya. “Sudah berapa lama aku tidak mendengar kabar gosip di Indonesia ya? Sampai ada berita fantastis seperti ini aku tidak tahu”, katanya kemudian. “Makanya Gan, walau betah tinggal di Inggris, sering-sering lah menjenguk tanah airmu”, balas Bima. “Kalau tahu ada yang namanya Mentari dari sejak lama, tampaknya aku bisa sering liburan ke sini nih”, ujarnya sambil tertawa. Karena gugup dengan lontaran tak terduga itu, Mentari segera meminum cocktailnya dengan cepat. “Aihhhh! Cheesy sekali sih kamu!”, protes Viona. Dia sedikit iri pada Mentari mendengar Gerhana mengatakan hal itu padanya. Pangeran Samudera merasa tidak nyaman dengan kata-kata tadi. Dia lihat, Mentari hampir menghabiskan setengah gelas cocktail tadi. Hatinya makin tidak enak. “Oy, Tari! Jangan minum terlalu banyak. Kamu kan tidak tahan dengan alkohol walau dicampur sekalipun”, seru Pangeran Samudera. Mendengar itu, Mentari merasa mukanya mendadak panas. “Wah! Benar rupanya kamu saudara angkatnya, Sam. Sampai tahu sekali kebiasaan Mentari”, Gerhana makin tertarik. Pangeran Samudera hanya nyengir ketika dibilang seperti itu. Dalam hati dia memaki dirinya, mengapa dia mengeluarkan kata-kata tidak perlu. Melihat Mentari lebih rikuh, Helena berusaha membantunya dengan mengajaknya bicara. Mentari bersyukur Helena mengambil langkah itu. Dengan semangat dia menjawab apa yang ditanyakan Helena, terkait kegiatannya di yayasan-yayasan yang makin intensif dia lakukan. Sementara yang lain, satu persatu turun ke lantai pertama untuk menari dan berdansa sesuai alunan musik. Friska awalnya bingung memilih antara bersama Bima atau ikut duduk dengan Mentari. Namun, Mentari memberi kode padanya bahwa dia mengerti dan tidak masalah ditinggalkan, sehingga Friska akhirnya turun juga ke lantai pertama. Hanya Helena dan Batara yang duduk bersama. Batara sendiri sibuk dengan tabletnya yang memang biasa dia lakukan kalau berkumpul seperti itu. “Bagaimana kehidupan di Istana, Tari?”, tanya Helena mengarah pada kehidupan Mentari. “Yah, awalnya sih cukup berat, Helena. Aku sangat tidak terbiasa dengan segala kegiatan yang aku pikir aneh-aneh. Tak mengerti juga gunanya untuk apa”, jawab Mentari. Mendengar itu, Helena tertawa. Batara mau tak mau mulai menyimak karena dia juga penasaran dengan pribadi Mentari. “Belajar tata krama, perawatan khas Istana, etika, tata busana, berlatih menari, main musik, membaca banyak buku sejarah, budaya, dan regenerasi kerajaan, banyak sekali. Semuanya seperti mahluk asing waktu itu. Tapi, karena Baginda Ratu amat mendukung dan memberikan perhatian, juga mengalokasikan waktu sibuknya untuk membimbing langsung, pelan-pelan aku mulai menikmatinya. Dan setelah hampir setahun, aku mulai mengerti apa gunanya paham semua itu”, Mentari terdiam sebentar. “Dan apa menurutmu gunanya?”, setengah jiwa psikolog Helena mulai muncul. 98 | M e n t a r i S e n j a
“Gunanya buat menyeimbangkan diri”, jawab Mentari. “Maksudnya Tari?” “Yah, bukan rahasia mungkin aku dulu orang yang tidak mampu, hidup sulit berbaku hantam dengan urusan perut. Setiap hari yang dipikirkan hanyalah urusan, apakah aku bisa makan besok? Sekarang, urusan dasar itu sudah bukan masalah lagi. Mengalami hidup miskin tak putus dari sejak kecil sampai usia 24. Di usia ke-25, aku ternyata bisa menikmati rasanya hidup berkecukupan. Dulu sama sekali tak terpikir untuk bisa meluangkan waktu merawat tubuh, sekarang malah itu jadi agenda wajib setiap harinya”, Mentari menjelaskan sambil tertawa. “Ahahaha! Yayaya..benar juga. Bagus sekali kata-katamu, Tari. Menyeimbangkan diri. Wah, aku bisa menggunakan kata-kata itu juga tampaknya. Eh, tapi boleh tidak aku tanya sesuatu” “Bukannya dari tadi kamu yang banyak bertanya?”, spontan Mentari bertanya balik. Suasana bicara dengan Helena membuatnya sangat merasa nyaman sehingga dia bisa mengeluarkan spontanitasnya dengan mudah. Mendengar itu, Batara tertawa terbahak-bahak sampai Helena melemparkan buah ceri di minumannya ke calon suaminya itu. “Iya sih, dari tadi aku yang bertanya. Don’t get me wrong ya, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu karena ingin tahu saja. Sebenarnya bagaimana Baginda Sepuh bisa mengangkatmu jadi cucunya?”, tanya Helena tanpa ragu. “Eh?”, Mentari menggaruk-garuk kepalanya sesaat sambil melihat ke arah Batara. “Oh apa kamu keberatan aku ada di sini?”, Batara yang peka segera merespon. “Eh tidak-tidak..kebetulan aku juga bingung dan kalau bingung secara otomatis aku selalu melihat ke arah mata orang lain”, sanggah Mentari tak enak. “Benar nih tidak apa-apa?”, Batara memastikan. Mentari mengangguk. “Sebenarnya aku sendiri masih suka bertanya-tanya karena belum mendapat jawabannya, Helena” “Lho? Kok bisa? Memangnya Baginda Sepuh, atau Baginda Raja, atau Baginda Ratu mungkin, tidak memberitahu itu?” “Baginda Sepuh sih bilang alasannya. Tapi, selalu saja kata-katanya sangat ambigu dan kita baru sadar beliau tidak terlalu detail, setelah beliau pergi. Ketika beliau datang lagi, pikiranku seringkali kosong dan merasa tidak perlu mendapatkan penjelasan atau ya..bagaimana ya? Kehadirannya bahkan bisa membuat pertanyaan di kepala kita itu, seolah beku” “Ahhh ya ya ya, aku paham. Aku sih belum pernah berbicara banyak dengannya, hanya sekedar menyapa sedikit dan obrolan ringan, sudah. Tapi konon kata orang tuaku, Baginda Sepuh itu punya pamor yang sangat kuat dan bisa membuat orang bahkan tak bisa dan tak mau membantah kalau dia sudah memberi perintah. Jadi, apa katanya?” “Katanya karena kakekku adalah sahabat dekatnya di jaman dulu. Dan mereka pernah berjanji kalau salah satu meninggal lebih dahulu, yang hidup akan mengangkat anggota keluarga yang ditinggalkan. Itu saja. Karena kakekku meninggal lebih dahulu dari dia, maka dia memintaku menjadi cucunya”, jawab Mentari dengan pandangan menerawang. “Aduh, maaf Tari, aku tidak tahu...kalau, kakekmu sudah meninggal”, Helena mendadak menjadi tidak enak. “Ah, sudah, tidak apa-apa. Sudah cukup lama juga...”, Mentari menahan emosinya dan berusaha tersenyum. “Emmm..orang tuamu?”, Helena tak mampu menahan diri. “Sudah lama meninggal. Ketika aku berumur 2 tahun, mereka mengalami kecelakaan. Begitu kata almarhum kakekku”, jawab Mentari tanpa memperlihatkan emosi. 99 | M e n t a r i S e n j a
“Oh...maaf Tari, duh! Aku ini tak bisa menghentikan pembawaanku kalau sedang bersama klien. Aku tidak tahu kalau...kalau...”, Helena terlihat bingung harus berkata apa. “Eh sudah, tidak apa-apa. Memang ini juga kali pertama aku mau cerita ke orang lain. Mungkin karena kamu psikolog dan sudah biasa membuat orang merasa nyaman bercerita, maka aku juga jadi terbawa”, Mentara tertawa kikuk. Helena tersenyum dan merangkulnya hangat. Tubuh Mentari sedikit kaku diperlakukan seperti itu. Sadar dengan ketegangan otot yang mendadak, Helena menarik tubuhnya lagi dan mengelus punggung Tari sebentar. “Oh ya Tari, apa kamu mau melihat pemandangan malam dari atas gedung ini?”, karena merasa bersalah Helena segera mengajukan ide. “Eh? Pemandangan malam?” “Iya, pemandangan malam kota Jakarta. Gedung ini memiliki spot terbaik di bagian atapnya”, balas Helena penuh semangat. “Boleh deh! Aku sebenarnya tidak terbiasa dengan situasi kafe dan di sini agak bising. Aku butuh udara segar”, jawab Mentari. “Ihiyyyyy! Ayo! Oh ya, bawa cocktailmu dan isi dulu sampai penuh. Biar kita bisa menghangatkan diri karena di sana dingin”, pinta Helena. Mentari memenuhi gelasnya, begitu juga Helena. Lalu, Helena menarik tangan Mentari yang kosong dan mengedipkan matanya pada Batara. Batara mengangguk dan bertahan duduk di sofa sambil fokus ke tabletnya lagi. *** Ketika mereka masuk lift, mendadak muncul keinginan Mentari untuk bercerita mengenai sesuatu yang merisaukan hatinya ketika di pulau Natuna. Tapi dia bingung mau mengawali seperti apa. Maka dia memilih diam. Dan menyerahkan diri pada nasib. Gedung dimana kafe itu berada terdiri dari 200 lantai. Mereka menuju ke lantai paling atas. Dengan penuh semangat, Helena menarik tangannya menaiki tangga di lantai terakhir. Membuka pintu di atas. Ada satu set tempat duduk di sana. Terlihat terpencil sendirian di atas lantai yang lapang. “Taraaaaaaaaaaa!!! Indah kan Tari?”, seru Helena membentangkan tangannya dan menari berputar sebentar sambil memandang ke arah langit. “Wahhhh!!! Indah sekali”, ujar Mentari sambil melihat ke arah langit yang dipenuhi bintang dan ke arah bawah dimana lampu warna warni bersinar berkerlap kerlip mewarnai pemandangan malam. Terlihat laju kendaraan dari lampu-lampu mobil yang menyala. Beberapa bilboard raksasa juga terpampang. Mentari merasa seperti melihat dadu-dadu yang dipasang dengan rapi dengan ketinggian yang berbeda-beda. Dia merasa berada di tempat yang megah yang perpaduan antara dunia manusia dan alam semesta terlihat serasi, saling melengkapi satu sama lain. “Ini adalah tempat favoritku kalau aku sedang merasa stress atau bosan, Tari. Kadang kala dalam menjalani hidup ada saat dimana kita dipenuhi segala macam masalah atau kosong sama sekali. Aku pikir, tiap orang pasti punya masa-masa seperti itu. Kamu, aku. Sama saja. Tak peduli statusnya berbeda-beda kalau dilihat dari kaca mata manusia. Dan tempat seperti ini sangat diperlukan untuk beristirahat sementara. Di sini, aku bisa melihat kehidupan manusia terlihat mengecil dan alam semesta terlihat menaunginya. Kalau sudah merasakan itu, rasanya permasalahan menjadi terlihat kecil juga dan tak ada apa-apanya kalau dibandingkan sistem keseluruhan yang dikendalikan kekuatan yang maha besar”, Helena berbagi pandangannya. “Aku pikir, orang sepertimu, yang hidup berkecukupan dari kecil, putri seorang perdana menteri, tak pernah merasa seperti itu”, komentar Mentari heran. Dia menarik kursi dan duduk di sana. Sesaat, kenaifan begitu jelas terpancar dari wajahnya. Melihat itu, Helena tertawa. 100 | M e n t a r i S e n j a
“Komentarmu sangat menarik. Selalu ada saja yang menarik yang keluar dari pikiranmu, Tari. Ketika aku mendengar mengenai orang tuamu yang meninggal dari sejak kecil yang kemudian disusul kakekmu, aku tak dapat membayangkannya karena aku tidak mengalaminya, Tari. Tapi kalau kita bicara mengenai kekosongan kasih sayang dari figur terdekat, aku pikir aku tahu banyak. Memang, kalau melihat dari segi kekayaan, aku sangat amat berkecukupan. Bisa dikatakan, orang seperti aku ini, kadang bingung harus menghabiskan uang dengan cara apa lagi. Karena uang sangat mudah didapatkan. Tapi, uang membeli waktu Tari. Aku pernah bahas tentang ini juga dengan Friska. Orang tua mungkin masih hidup. Tapi mereka sangat sibuk dengan pekerjaan. Mula-mula untuk alasan uang dan kesejahteraan ekonomi. Lama-lama menjadi urusan harga diri. Itu semua kadang melupakan mereka untuk mengingat apa yang paling berharga, yaitu keluarganya. Jujur saja, di masa sekolah menengah atas aku terlibat dengan narkoba dan sempat direhabilitasi lho”, Helena membuka diri. “Oh ya?”, Mentari menatap tak percaya sambil mencondongkan badannya ke arah Helena. Helena yang tadinya masih berdiri, berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah Mentari. “Ya, betul. Rasa sepi, merasa diabaikan, pada usia remaja lebih sulit diatasi. Karena pergaulan teman-temanku juga hampir sama, dan ketika ada teman yang menurut kita senasib, aku menjadikan itu pembenaran untuk melakukan hal-hal yang menyimpang. Itu terjadi bukan hanya padaku, tapi juga kakak dan adikku yang usianya tak beda jauh. Buruk sekali. Sampai sekarang, kakakku masih junkies. Mungkin karena kita beda karakter dan aku tidak terlalu menanggung beban untuk meneruskan jejak keluarga seperti dia, aku lebih mudah melepaskan diri dari kecanduan. Begitu juga adikku yang bungsu. Batara banyak membantuku untuk mengatasi masalah ini. Dia sangat peduli dan sangat memperhatikan perkembanganku. Bersyukur ada dia sehingga aku merasa ada yang menjagaiku dan memperhatikanku dengan tulus. Itulah mengapa aku mengambil jurusan psikologi. Yah, semacam alasan berobat jalan”, Helena tertawa diikuti Mentari. “Viona bahkan lebih parah dari aku” “Viona?”, tanya Mentari. “Ya, Viona yang kamu kenal baru-baru ini. Mungkin tidak baik aku membicarakan orang, tapi aku ingin berbagi bahwa dunia kami, yang dianggap orang menyenangkan dan dipenuhi kemewahan, tidak lebih baik juga dari mereka yang hidup kesusahan. Mungkin bahkan lebih buruk dengan kami. Orang tua Viona bercerai dan Viona yang karakternya lebih labil memilih jalan yang sama. Dia juga punya masalah dengan narkoba dan alkohol dan membutuhkan waktu lebih lama untuk melepaskan diri. Itulah mengapa aku menjadi dekat dengannya. Dia butuh teman yang paham. Tentunya aku paham karena aku pernah ada di sana. Maka aku tak pernah terlalu keras pada Viona. Sebenarnya hatinya lembut dan perasa; dan kupikir setiap orang akan punya waktu masing-masing untuk berubah tanpa perlu dipaksa-paksa. Jadi, Tari, begitulah sebagian isi di balik kemewahan dan status. Tak melulu berisi hal yang menyenangkan. Sebagai konsekuensi dari masing-masing jalan, pasti ada belukar dan jurang juga walau mungkin berbeda-beda jenis dan ketinggiannya. Itulah juga mengapa kami, yang merasa senasib ini, sering dan sangat mewajibkan berkumpul bersama teman-teman yang bisa memahami satu sama lain. Karena ketika kita merasa sangat kesepian dan tidak bisa menggantungkan diri sepenuhnya pada perhatian orang tua, ya teman dan sahabatlah yang bisa menjadi sumber kekuatan. Setidaknya, itulah pengalamanku”, tambah Helena. 101 | M e n t a r i S e n j a
Mentari memikirkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut Helena. Dia mendapatkan persepsi baru lagi mengenai kehidupan seseorang. Dulu, dia sangat sering mendengarkan keluhan orang miskin tentang orang kaya. Yang merasa ada di level bawah tidak menyukai yang berada di level atas. Termasuk dirinya sendiri punya stereotipe seperti itu. Kini, setelah mendengarkan penuturan Helena, dia melihat sudut pandang baru. Bahwa, seperti kata Helena, tak peduli status dan golongan, manusia selalu punya permasalahan. Tak bisa dikatakan siapa yang punya masalah lebih berat, masalah siapa yang lebih ringan. Setiap jalan yang ditempuh, walau berbeda, ada halangan-halangannya juga. “Komentar dong, Tari. Jangan pelit begitu dong”, goda Helena melihat Mentari terdiam. “Eh? Pelit?”, Mentari kaget lagi dengan istilah itu. “Iya, pelit maksudnya ketika mendengarkan cerita dan kamu tidak membagi pikiranmu, bagiku itu pelit”, jawab Helena sambil tertawa. “Eh..um..ya mungkin karena ini hal baru yang aku dengar dan sangat pribadi sekali, aku jadi bingung” “Bingung? Tapi kok bingungnya lama? Ayo, apa yang melintas di pikiranmu tadi ketika aku bercerita?”, dengan caranya sendiri, Helena meminta Mentari membuka kunci. Kunci pikirannya. “Emmm...”, sesaat Mentari berpikir. Helena memberinya waktu. “Dulu aku pikir, orang kaya tidak mengalami masalah berat. Dan.. kami yang menghadapi kesulitan ekonomi lebih banyak, seringkali tidak menyukai arogansi dan perilaku orang kaya yang rasanya sangat sering ditemui. Tapi..setelah mendengarkan ceritamu, aku jadi berpikir. Mungkin itu hanyalah tampilan yang diperlihatkan, tampilan luar saja. Aku merasa, aku juga sudah tidak adil menilai orang dari status sosialnya. Aku...menjadi bisa melihat lebih jauh dan lebih luas.. Mengenai Viona juga, walau awalnya aku sangat kesal padanya, tapi naluriku mengatakan bahwa dia tidak seburuk itu. Pernah mendengarkan cerita tentangnya sedikit dari Friska. Setelah mendengarkan ceritamu yang lebih rinci, nalarku sekarang lebih tahu, sekali lagi, itu hanya cangkang luarnya. Karena di hadapan orang lain, setiap manusia, mungkin, ingin memperlihatkan kekuatan dirinya. Dan tidak ingin memperlihatkan kelemahan dan kerapuhannya. Mungkin...”, lanjut Mentari. Rasanya, ada pintu yang terbuka di kepalanya ketika dia berhasil menyampaikan apa yang dia pikirkan. Ternyata, tidak ada yang menakutkan ketika pintu itu dibuka. Tentunya, untuk orang yang tepat. “Ah ya ya...secara tidak sadar, rupanya orang yang merasa miskin juga sudah mendiskriminasi orang yang dianggapnya kaya. Ya tidak?” “Ahahaha, iya betul. Betul, Helena”, Mentari tertawa lepas. Melihat Mentari tertawa lepas seperti itu, Helena merasa senang. Wajahnya terlihat bersinar. Seolah topeng yang tadinya membatasi wajahnya kini terlepas dan memperlihatkan kecantikan di baliknya. “Ya, kita semua memang memiliki kelemahan dan kekuatan sendiri-sendiri. Aku pikir, itulah kesempurnaan manusia. Manusia sempurna karena punya keduanya” “Ya, betul” Mereka terdiam sesaat. “Tari...”, ucap Helena dengan nada beralih. Dia terdengar lebih hati-hati. “Ya?”, Mentari merasa dadanya berdegup ketika Helena memanggilnya dengan nada seperti itu. “Mengenai kondisi pingsanmu saat di pulau Natuna, boleh aku tahu sebenarnya ada apa? Eh tapi, kalau kamu tidak keberatan menjelaskan ya.. Kalau kamu merasa tidak nyaman, tidak apa-apa juga kalau kamu tidak mau berbagi”, sambung Helena hati-hati. Nada bicaranya melembut dan memberikan ruang pada Mentari untuk memutuskan.
102 | M e n t a r i S e n j a
Mentari menunggu ini. Tapi, ketika dia mau berkata-kata, ada yang seperti mengganjal di lisannya. “Umm...ya...sebenarnya aku ingin bercerita ini...padamu..tapi...”, mendadak Mentari merasa tenggorokannya tercekat. “Oke, oke, tarik nafas ya...tarik nafas pelan-pelan dulu” Mentari segera mengikuti saran Helena. Kemudian. “Aku...pernah...pernah...pernah diperkosa...”, dan tumpahlah tangisan Mentari sedemikian. Helena, sangat terkejut mendengar itu. Dia segera merangkul Mentari dan memeluknya. *** Tak hanya Helena yang terkejut. Ada seseorang yang menghentikan langkahnya mendadak ketika mendengar kata-kata yang jelas terdengar di telinganya. Pangeran Samudera. Dia tadinya berniat menyampaikan kabar dari Istana pada Mentari yang hanya disampaikan pada dia. Ketika dia mencari Mentari dan tidak menemukannya bersama Batara, dia menyusul ke atas sesuai keterangan dari sahabatnya. Karena Mentari dan Helena sangat terfokus pada pembicaraan, mereka tidak menyadari Pangeran Samudera sudah membuka pintu yang posisinya agak jauh dan berada di belakang mereka. Dia datang saat Mentari menyebutkan pengalaman buruknya. Pangeran Samudera berdiri kaku. Menyandar di pintu. Tak tahu harus mendekat atau keluar dari situ segera. Dia hanya berdiri mematung. Setengah dari dirinya tertarik untuk menyimak. Dan dia memutuskan mengikuti bagian yang itu. Mentari menangis terguguk. Menumpahkan risau hatinya di pelukan Helena yang hangat. Logikanya memintanya segera berhenti. Tapi tidak bisa. Maka dibiarkanlah tangisannya meledak. 15 menit berlalu. Setelah agak reda, Helena memberikan gelas cocktail pada Mentari. Mentari meneguk secukupnya. Ada rasa hangat yang mengalir. Membantunya menenangkan diri. Helena berjongkok di depannya. Memandangnya dengan lembut tanpa berkata apaapa. “Waktu itu..aku berumur 15 tahun. Baru masuk sekolah menengah atas.. Pulang terlalu malam dari sekolah karena ada tugas yang membutuhkan komputer.. Saat aku jalan kaki dari sekolah menuju halte, ada seorang lelaki yang kelihatan agak mabuk. Tubuhnya besar dan tinggi. Dia langsung...menyergapku...menarik kasar...menyeretku...ke..sebuah kios kosong.. Aku berteriak...dan dia..dia..membekapku.. Aku berusaha melawan...berusaha sekuat tenaga...tapi dia terlalu kuat...dia terlalu kuat Helena...”, Mentari menangis lagi. Helena segera merangkulnya lagi. “Shhh..tidak apa-apa..tidak apa-apa...kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa waktu itu...bukan kamu yang salah, Tari...”, ucap Helena lembut. Karena kali ini dia menghadap ke arah Mentari dan memeluknya sambil berdiri, dia bisa melihat ke arah pintu. Dia kaget melihat Samudera berdiri terpaku di sana. Demikian juga Samudera kaget Helena melihatnya. Masing-masing terdiam. Namun, Helena tidak mau membuat Mentari merasa tidak nyaman dalam kondisi seperti itu. Dia menyimpan telunjuk ke bibirnya sendiri, melambaikan tangan memberi kode untuk pergi. Untungnya, Samudera paham. Pelan-pelan, Samudera membuka pintu dan menghilang dari pandangan. Helena bersikap seolah tidak apa-apa. Dia mengambil minuman lagi dan memberikannya pada Mentari. “Minum saja dulu semuanya. Biar badanmu terasa lebih hangat”, ucap Helena. Mentari menurut dan meminum yang tersisa. Badannya semakin hangat. Beda dengan pengalaman pertamanya, tidak ada rasa melayang yang dia rasakan. Hanya terasa lebih nyaman. 103 | M e n t a r i S e n j a
“Coba tarik nafasmu pelan-pelan. Keluarkan pelan-pelan”, Helena memberikan arahan. Mentari mengikuti. Helena terus memandu Mentari sampai nafasnya teratur. *** Sementara itu, Pangeran Samudera sudah sampai kembali di tempat awal. Samudera tiba sebelum mereka naik ke ruangan itu kembali. Beberapa saat kemudian orang-orang sudah selesai berdansa dan menari. “Eh, Mentari dan Helena mana?”, tanya Friska setelah sadar mengenai ketidakberadaan kedua temannya. “Mungkin mereka sedang jalan-jalan mengeksplorasi gedung ini”, jawab Samudera cepat. Mendengar itu, Batara terdiam dan memilih tidak berkomentar. “Aduh, bagaimana dong? Aku ditelepon orang tuaku dan mereka baru sampai di rumah. Sam, bisa tolong sampaikan aku harus segera pulang”, tanya Friska dengan wajah rusuh. “Oke, nanti aku sampaikan”, jawab Samudera berusaha santai. Friska langsung pulang diantar Bima dan Wisnu. Dan mereka pun mengisi waktu dengan mengobrol. 30 menit berlalu. Viona mulai menguap. “Duh, Helena dan Mentari kemana sih?”, ucapnya gelisah. “Pulang saja lebih dulu, Vi. Gan, tolong titip calon sepupuku ini. Biar aku yang menunggu Helena”, saran Batara santai. “Oh okelah. Gerhana! Antar aku yaaaaa... plisssss”, rajuk Viona sambil menarik tangan Gerhana. “Lho? Aku kan masih betah. Masih ingin mengajak ngobrol Mentari nih”, tolak Gerhana. Batara menatapnya agak galak. Juga Samudera. “Ow! Ow! Oke, oke! Ada apa sih dengan kalian? Ayo Viona”, Gerhana yang sensitif menyadari tatapan itu. “Sam, kamu tidak pulang? Pulang yuk!”, Safira mengajaknya. “Aku harus pulang dengan Mentari, Fir. Ada perintah dari Istana”, jawab Samudera tegas tanpa menjelaskan lebih jauh. “Hah? Perintah? Perintah apa?”, Safira setengah agak kesal. Rasa cemburunya mendadak muncul. “You know me and my family, Fira.. Aku tak bisa bilang”, Samudera meneguhkan katakatanya. Ada sedikit rasa sakit ketika mendengar nada seperti itu di hati Safira. Tapi harga dirinya pun terpancing lebih kuat. Dengan kesal, dia mengambil tasnya dan pergi. Samudera tercenung seolah tak peduli dengan perilaku Safira yang tampak jengkel. “Sam, ada apa memangnya di atas tadi?”, tanya Batara ringan setelah ruangan itu kosong. “Aku juga tidak tahu. Tapi, Helena memintaku turun ketika dia melihatku di pintu. Girl talk mungkin”, jawab Samudera sambil berusaha tersenyum. Batara menatapnya menyelidik. Dia bisa melihat, Samudera sangat risau dan tak tenang. “Sam, pertimbangkan baik-baik kedekatanmu pada Safira. Sorry to say. Aku tak terlalu respect padanya. Terserah sepintar dan seberkelas apa pun dia”, ucap Batara kalem sambil sesekali melihat pada tabletnya. Tak seperti biasanya, Pangeran Samudera tidak memberi komentar. Dia sedang sangat memikirkan Mentari saat ini. Diteguknya cocktail di gelasnya sampai habis. Beberapa menit kemudian, Helena dan Mentari datang dari arah lift. Mentari terlihat setengah menunduk. Menyembunyikan mukanya yang sembab. Rambutnya kini terurai. “Wah, orang-orang sudah pulang ya? Maaf kita terlalu lama di atas. Eh, Sam, kamu belum pulang?”, ucap Helena dengan nada ringan. “Aku diminta ayah untuk menemani Mentari pulang. Jadi aku tunggu”, jawab Samudera berusaha santai. 104 | M e n t a r i S e n j a
“Oh begitu? Baguslah. Tadinya aku pikir dia pulang sendiri. Oke, titip ya. Yuk, sayang”, ajak Helena pada Batara. Mentari tentu kaget dan sedikit menarik baju Helena. Helena paham dan dia segera merangkul pundak Mentari yang masih saja tertunduk. Samudera pura-pura tidak menyadari itu. Dia berdiri, merapikan jasnya, dan berjalan lebih dahulu bersama Batara. Di belakang mereka, Mentari dan Helena menyusul. “Tidak apa-apa Tari. Santai saja. Samudera sebenarnya baik kok”, bisik Helena,”dan jangan lupa jadwal terapinya ya?”, tambahnya. Mentari hanya mengangguk. Mentari juga merasa sebenarnya tidak apa-apa dia pulang bersama Samudera. Tapi dia ingat matanya agak bengkak dan mukanya agak sembab yang tadi dilihatnya di toilet sebelum masuk ke ruangan itu. Di satu sisi, dia merasa aman Samudera pulang dengannya. *** Mereka pun berpisah dengan mobilnya masing-masing. Samudera sudah meminta supir pribadi Mentari pulang lebih dulu ketika dia mendapatkan telepon dari ayahnya. Untuk beberapa saat, mereka terdiam. “Kenapa kamu tertunduk terus, Mentari?”, tanya Samudera akhirnya, setelah dia menemukan cara bertanya tanpa memperlihatkan dia tahu sesuatu yang penting di atas tadi. “Eh? Umm..”, Mentari bingung menjawab. “Coba menyandar saja biar lebih enak. Kelihatannya pegal betul menunduk terus seperti itu”, sambung Samudera dengan nada santai. Pelan-pelan, Mentari menyandar di kursi mobil dan membuang pandangannya ke arah jendela. “Eyang datang malam-malam tadi, bertanya kamu kemana pada Ayahanda. Ayahanda meneleponku. Aku bilang kamu bersamaku. Dan Eyang minta aku pulang bersamamu. Tampaknya, dia mulai menginginkan aku lebih menjagaimu. Yah, orang tua lah. Aku sendiri tidak keberatan kok”, Samudera mengambil inisiatif membicarakan kabar dari Istana yang tadi didapatnya. Sebenarnya, bukan itu yang disampaikan Raja Angkasa. Tapi mereka diminta pulang segera karena Baginda Sepuh ingin bicara dengan mereka malam itu. Entah ada apa. Karena Samudera melihat kejadian di atas, maka dia pun segera menghubungi ayahnya dan mengatakan Mentari sedang berbicara hal penting dengan Helena, tak bisa diganggu. Mendengar itu, Ayahandanya tak berkomentar dan hanya menekankan kalau dia perlu pulang dengan Mentari. Mentari diam mendengarnya. Dia merasa badannya kini lemas. Dia mendengarkan informasi itu. Tapi tak bisa bereaksi apa-apa. Melihat Mentari terdiam, Pangeran Samudera membiarkannya. Sampai mereka tiba di Istana. Saat Mentari keluar dari pintu mobil, dia pikir dia bisa berdiri. Tapi kemudian kakinya terasa sangat lemas dan dia jatuh ke terpuruk ke lantai parkir. Melihat itu, Pangeran Samudera langsung berlari dan membantunya berdiri. “Mentari! Kamu kenapa?!”, teriaknya kaget. Dua orang pengawal yang berdiri tak jauh dari sana berlari menghampiri. Tapi Pangeran menahan mereka dan meminta mereka menjauh. “Aku..aku tidak tahu...lemas sekali..”, Mentari berusaha berdiri lagi dan dia jatuh lagi. Air matanya kembali meleleh. “Ya, ampun! Sudah sudah, jangan memaksakan diri”, dan Pangeran Samudera segera menggendongnya, “lingkarkan tanganmu dileherku”, lanjutnya. Mentari masih sadar tapi benar-benar kehilangan tenaga untuk menolak. Dia pasrah digendong seperti itu oleh Pangeran Samudera. Dia dapat mendengar bunyi degup jantung Pangeran berdetak kencang. 105 | M e n t a r i S e n j a
Penuturan Baginda Sepuh Pangeran berjalan dan berjalan. Seolah ada tenaga ganda yang membuatnya kuat menggendong Mentari terus menerus sejauh itu. Beberapa pelayan hendak membantu. Tapi karena Pangeran terlihat begitu fokus, cemas dan tak peduli dengan sekeliling, mereka tidak berani mendekat lebih jauh. Ketika sampai di depan Pendopo, terlihat Eyangnya masih duduk di beranda pendopo Benggala, yang bersebelahan dengan pendopo Teratai, tempat Mentari tinggal. Melihat itu, dia berjalan cepat menghampiri. Dia tak berkata apa-apa. Hanya menatap khawatir ke arah Mentari yang digendong cucunya. Pangeran Samudera membaringkan Mentari di kamarnya. Mencopot sepatu bootnya pelan-pelan kemudian menyelimuti badannya. Mentari dan kesadarannya melihat semua itu. Dia menatap saja dengan air mata berurai. Dengan lembut, Pangeran menyeka air matanya. “Aku buatkan air teh manis hangat dulu ya”, ucap Pangeran tanpa diminta. Pangeran berjalan menuju dapur. Dia lihat Eyangnya sudah duduk di sofa. Memperhatikan dengan tatapan khawatir ke arah kamar Mentari. Walau tahu ada Eyangnya, Pangeran membiarkannya. Sambil menunggu air mendidih, dia memegang tepian tembok kompor gas. Meremas kepalanya yang mendadak terasa ngilu. Diseduhnya teh dan gula setelah air mendidih dan dicampurnya dengan air dingin. Dia menuju kamar lagi. Dia lihat mata Mentari masih terbuka. Mata itu terlihat sayu menatapnya. Pangeran tersenyum. “Minum ya Tari. Biar ada tenaga”, Pangeran duduk di tepian kasur sebelah Mentari. Mendekatkan bibir cangkir ke bibir gadis itu yang terlihat agak pucat. Sejenak, Mentari menatap ragu. Lalu kemudian dia membuka mulutnya dan meraih badan cangkir. Ada rasa nyaman sedikit ketika air hangat itu memasuki kerongkongannya. “Ma..maafkan, sudah..merepotkan lagi...”, ucap Mentari lemah. Pangeran membelai kepalanya. “Tidak apa-apa. Tari, kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu meminta padaku. Kalau kamu diam saja, aku juga tidak bisa mengerti. Oke?”, kata Pangeran lembut. Mentari hanya terdiam. “Ya, aku tahu, kamu sedang dalam kondisi tidak baik sekarang. Istirahat ya?”, ucap Pangeran lagi. Mentari mengangguk pelan. Pangeran menyimpan teh di meja samping Mentari. Mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Menutup pintunya pelan-pelan. Tanpa bicara, Pangeran merangkul Eyangnya mengajak keluar. “Mungkin enaknya kita ngobrol di dalam pendopo Eyang”, ucap Pangeran Samudera ketika sudah tiba di teras. “Ya, ya, ya”, Eyangnya setuju. *** Setelah tiba di dalam ruang tengah Pendopo Benggala, Pangeran Samudera menarik nafas panjang. Wajahnya masih terlihat risau. “Apa yang terjadi cucuku? Aku kaget sekali melihat Mentari seperti itu”, tanya Baginda Sepuh sambil menuangkan air minum. Pangeran Samudera tidak segera menjawab. Dia ambil air minum dan meneguknya. Dia tahu dia tak akan sanggup menutupi masalah kalau kakeknya sudah bertanya. Selalu tak bisa bohong dan tak bisa tertutup ketika ditanya langsung. Setelah agak tenang, dia menceritakan kejadian di atas gedung yang dia lihat dan yang dia dengar dengan suara berat. Baginda Sepuh mendengarkan dengan seksama dan sesaat wajahnya terlihat sedih. 106 | M e n t a r i S e n j a
“Kasihan Mentari. Aku sudah banyak tahu dia melalui kehidupan yang sangat keras. Tapi, aku tak menyangka ada kejadian buruk seperti itu terjadi dengannya. Seandainya, seandainya aku tahu alamat kakeknya lebih awal. Aku baru bisa menemukan alamat dan identitas mereka saat Mentari duduk di kelas 3 sekolah menengah atas. Itu pun dengan mengandalkan keterangan yang sangat minim”, komentar Baginda Sepuh setelah cucunya selesai bercerita. “Sama, Eyang. Hamba juga tidak menyangka. Sangat tidak menyangka. Tadi sempat Hamba berpikir, seharusnya Hamba tidak menuju ke atas gedung dan mendengarkan cerita tragis itu”, keluh Pangeran sambil meremas kepalanya. “Tidak, tidak, cucuku. Mungkin sudah seharusnya begitu. Mungkin sudah seharusnya kau lah yang mendengarkannya selain yang dipilih Mentari untuk bercerita. Tak usah disesali”, kata Baginda Sepuh menenangkan. Ditepuk-tepuknya punggung cucunya dengan penuh kasih sayang. “Eyang, sebenarnya dia siapa untuk Eyang? Tolong ceritakan pada Hamba lebih banyak. Banyak yang Hamba tidak tahu sehingga Hamba sempat bersikap sangat kasar padanya. Hamba tidak mengerti, mengapa Eyang, Ayahanda, dan Ibunda tidak banyak bercerita tentangnya. Awalnya Hamba tidak terlalu peduli. Tapi berulangkali, Hamba dihadapkan pada kondisi dimana Hamba ingin tahu lebih banyak. Tolonglah Eyang, ceritakan pada Hamba”, Pangeran Samudera memohon dengan nada setengah frustasi. “Ya, ya, ya...memang ini sudah waktunya aku bercerita. Eyangmu yang sudah tua ini hanya menunggu waktu yang tepat. Dan menunggu saat dimana kau bertanya seperti sekarang. Karena perlu kamu tahu, begitulah orang-orang tua menghitung saat yang tepat. Menunggu pertanyaan”, ucap Baginda Sepuh dengan tenang. Pangeran Samudera menyerap kata-kata itu dengan baik tapi tidak bereaksi apa-apa. “Dia adalah cucu sahabat Eyang yang dulu sangat dekat dan menjadi semacam mitra diskusi buat Eyang dan yang mengimbangi ambisi juga keserakahan Eyang di masa dulu. Kamu tahu Ki Buana Raya? Bukunya adalah salah satu kesukaanmu bukan?”, tanya Baginda Sepuh di sela-sela ceritanya. Ingatan Pangeran Samudera bergerak. Dia ingat dengan buku yang memang dia sukai itu. Teringat dengan sebuah foto yang terselip di salah satu buku koleksi Eyangnya. Teringat dengan foto yang dipajang di kamar Mentari. “Ah..iya, Ki Buana Raya. Hamba ingat, Eyang. Pemikirannya bagus, dalam, dan luas menjangkau ke depan. Itukah kakek Mentari?”, tanya Pangeran Samudera dengan nada penuh antusias. “Ya, betul, dialah kakeknya. Satu-satunya sahabat Eyang yang paling dipercaya. Tidak ada yang tahu latar belakangnya selain Eyang. Dan sekarang, khusus padamu Eyang membukanya. Ayahanda dan Ibundamu juga tidak tahu. Dia adalah anak pertama dari kakak perempuan permaisuri Raja Nusantara. Buyutmu. Ki Buana berarti adalah sepupu Eyang walau tak sedarah. Sekarang apa istilahnya? Sepupu jauh. Mengapa latar belakangnya tak diketahui orang? Kakak perempuan permaisuri ini tidak menyenangi kehidupan kerajaan. Dia jatuh cinta pada seorang petani biasa. Jauh sebelum uyutmu menikah dengan adiknya. Karena menyalahi aturan yang umum, orang tuanya memintanya memilih antara petani itu atau keluarga. Mungkin karena keteguhan sikapnya dan ketidaksukaannya pada kehidupan bangsawan, dia memilih melepaskan statusnya dan menikah dengan petani itu. Maka akhirnya, keberadaan kakak permaisuri ini tak terdaftar dan untuk menjaga nama baik, keluarganya mengumumkan bahwa kakaknya meninggal karena penyakit aneh. Namun, takdir selalu punya caranya sendiri untuk menyambungkan tali-tali kasih sayang.
107 | M e n t a r i S e n j a
Ki Buana Raya lahir menjadi anak cerdas. Hidup dibawah pengasuhan seorang syekh. Dia ditempa banyak sampai akhirnya menjadi guru sebuah pesantren. Dari situlah prestasinya bersinar hingga dia banyak diundang mengikuti acara-acara pendidikan dan kajian keagamaan moderat di kota Jakarta. Hingga, pimpinan Universitas mengundangnya dan memintanya untuk mengajar. Di situlah Eyang bertemu dengannya dan menjalin persahabatan seiiring waktu. Ketika sudah dekat dengan Eyang, dia turut memperbaharui banyak aturan-aturan dasar kenegaraan dan kerajaan ini, cucuku. Dia adalah orang yang termasyhur di zaman dulu. Banyak keputusan Eyang yang berubah setelah diskusi dengannya. Dia sangat pro rakyat luas. Tapi juga tidak bisa disebut memiliki paham sosialis ekstrim. Prinsipnya selalu 1: keseimbangan. Keseimbangan dalam hal apa pun. Termasuk dalam mengatur negara ini. Karena pemikiran pro rakyatnya sangat menonjol dan sebagian besar berpengaruh pada keputusan Eyang waktu itu, maka tentu bisa ditebak, banyak juga yang kontra. Siapa yang kontra? Tentunya kaum yang dipenuhi keserakahan akan harta, kekuasaan, dan harga diri. Keserakahan itu, berakibat sangat buruk pada kehidupan pribadi Ki Buana. Dia memiliki anak perempuan tunggal yang menikah dengan salah satu anak didiknya yang kemudian melahirkan seorang putri. Itulah Mentari. Saat Mentari baru berusia 2 tahun, sebuah kecelakaan terjadi saat mereka akan bertamasya menuju luar kota. Mobilnya menghantam truk besar yang melaju dari arah berlawanan. Sampai menewaskan mereka, kecuali Mentari. Kami berdua tahu, ada banyak keganjilan dalam kecelakaan itu. Ki Buana Raya menyadari besarnya bahaya dan ancaman bagi cucunya. Dia sangat takut, nyawa cucunya akan diincar lagi oleh pihak yang jahat itu. Maka, dia memutuskan untuk melepaskan semuanya dan memilih cucunya. Dia mengundurkan diri dari Universitas yang dia pimpin. Melepaskan ikatan persahabatannya dengan Eyang. Menolak posisi menjadi penasihat Raja secara resmi. Menolak penelusuran lebih jauh mengenai pihak yang ada di balik kecelakaan itu. Menyumbangkan harta-hartanya pada yayasan kerajaan yang dia pilih dan mengambil hanya sebagian kecil untuk bekalnya membangun rumah dan membeli tanah di kampung yang jauh dari hikuk pikuk kerajaan. Namun, sebelum berpisah, kami berjanji. Ada dua janji yang kami sepakati. Satu, Eyang akan membuat pemberitaan berbeda dengan kenyataan mengenai korban kecelakaan itu. Bahwa anak, menantu, dan cucunya meninggal semua. Dua, jika dia meninggal terlebih dahulu dari Eyang, maka Eyang akan mengangkat cucunya menjadi cucu Eyang. Eyang mengatakan yang beda pada Mentari agar Mentari lebih mudah menerima tawaran Eyang bahwa perjanjian itu belaku untuk kedua pihak. Tapi sebenarnya hanya berlaku sepihak untuk Ki Buana saja. Setelah kami berpisah, Eyang hanya bisa bersabar untuk 2 tahun lamanya. Ingin sekali bertemu dengannya dan melakukan diskusi-diskusi lagi. Tapi dia tak pernah muncul lagi. Dimana pun. Akhirnya, di sela-sela kesibukan Eyang, Eyang membuat tim khusus untuk mencari keberadaannya. Ketika Mentari berumur sekitar 17 tahun itulah Eyang bisa menemukan alamatnya. Tapi, Eyang harus menghormati Ki Buana Raya. Eyang tak segera menemuinya karena Eyang tahu kapan Eyang harus memperlihatkan diri, yaitu saat dia meninggal. Dari sejak Mentari berusia 17 tahun, Eyang selalu menempatkan orang untuk mengawasinya. Melakukan sesuatu jika diperlukan saja. Sampai akhirnya, Eyang mendengar kabar Ki Buana Raya terkena kanker paru-paru dan hanya beberapa hari kemudian dia meninggal.
108 | M e n t a r i S e n j a
Eyang pergi sendiri ke Kabupaten Insun Medal untuk menemui Mentari juga menjemputnya kemudian. Nah, itulah cerita selengkap-lengkapnya, cucuku. Aku minta tolong, jaga rahasia ini baik-baik”, tutur Baginda Sepuh panjang lebar. Pangeran Samudera mendengarkan penuturan itu dengan seksama. Dia merasa seperti mendengar sebuah kisah legenda dari bagaimana cara kakeknya bertutur. Sebuah cahaya terasa menguat di ruang jiwanya. Terutama ruang yang berisi nama Mentari. Dia menyandarkan badannya. “Iya, Eyang. Hamba akan menjaganya baik-baik”, ucap Pangeran dengan nada teguh, “namun, Hamba tidak mengerti, mengapa ini sangat perlu dirahasiakan? Apakah masih ada mara bahaya untuk Mentari?”, tanyanya kemudian. “Hmm..bahaya dari luar, yang dulu membuat kedua orang tuanya meninggal, tampaknya kecil sekali kemungkinannya. Kasus itu sudah ditutup rapat. Nama aslinya, Kirana Raya. Status Mentari yang asli sudah ditiadakan secara dokumen. Tapi bahaya dalam diri Mentari yang Eyang khawatirkan. Anak itu sudah melalui banyak hal yang sulit dan menyedihkan, cucuku. Jika dia mengetahui kisah ini, maka aku khawatir itu akan membuat kondisi mentalnya pecah dan hancur. Sekarang aku tanya. Jika kamu yang ada di posisi dia, tahu bahwa orang tuamu meninggal secara tidak wajar, apa yang akan terjadi padamu?”, tanya Eyangnya balik. “Hamba akan mencari tahu dan mungkin menyalurkan dendam Hamba kalau Hamba menemukan siapa yang membunuh mereka”, jawab Pangeran Samudera. “Dan membiarkan hidupmu dikendalikan rasa penasaran yang berlebihan juga kemudian dikuasai dendam, apakah kira-kira kamu bisa menjalani hidup ini dengan sebanyak mungkin kebaikan?” Pangeran terdiam. Memikirkan kata-kata itu. “Tidak, Eyang”, jawabnya lemas. “Itulah yang harus dijagai dari Mentari, cucuku. Itulah yang kakeknya jaga betul sampai dia meninggal. Aku yakin, Ki Buana Raya tidak menyampaikan apa-apa padanya. Mentari bilang dia tahu tentang aku saja dari wasiat terakhir kakeknya” “Ah...baiklah, Hamba mengerti”, kata Pangeran Samudera. Dia terdiam lagi. Ada yang masih mengganjal di hatinya. “Tapi Eyang, bagaimana kita bisa hidup tanpa banyak tahu mengenai sejarah masa lalu kita? Katakanlah kita bukan keluarga Raja Indonesia. Jika hidup sebagai rakyat juga, Hamba rasanya tidak dapat membayangkan jika Hamba tidak tahu siapa Eyang, siapa Ayahanda, siapa Ibunda. Bagai tumbuh tanpa akar”, katanya mengeluarkan pertanyaan yang muncul kemudian. “Hahaha...benar, benar sekali itu, cucuku. Pikiranmu sangat tepat. Eyang tidak memintamu menutup cerita. Eyang memintamu menjaga rahasia. Menjaga Mentari. Menjaga cerita itu beda dengan menutup cerita. Menjaga orang bukanlah menutup kehendak orang itu. Kita tak bisa menolak takdir. Jika memang Mentari harus tahu, dia akan tahu. Darimana dia tahu, itu tak perlu dikaji lebih jauh. Yang penting, apa yang terjadi kalau dia tahu. Itulah yang harus dipikirkan, oleh siapa pun yang peduli dan menyayanginya. Dan ini lah yang ingin Eyang sampaikan makanya Eyang mengikuti naluri Eyang untuk segera datang ke sini. Tolong kamu juga jaga Mentari. Ayahanda dan Ibundamu sudah menyanggupi, walau mereka tidak tahu sebanyak yang kamu tahu” “Ya, ya, Hamba mengerti, Eyang. Tapi mengapa Ayahanda dan Ibunda tidak diberitahu sebanyak cerita yang Eyang sampaikan pada Hamba?” “Hahaha... Sederhana. Karena, mereka tak banyak bertanya sepertimu, cucuku. Tak banyak bertanya seperti sekarang ini kau bertanya padaku”, Eyangnya terkekeh. Samudera 109 | M e n t a r i S e n j a
sempat terperangah tapi kemudian dia ikut tertawa. Rasanya, katup di kepalanya terasa lepas saat itu. Perasaan cerah, terang, jelas kini hadir di dalam dirinya. “Nah, setelah sudah berbulan-bulan dia di sini, menurutmu Mentari bagaimana?”, tanya Eyangnya setelah tertawa mereka reda. “Mmm... Hamba agak bingung sebenarnya. Terus terang, awalnya, Hamba sedikit membencinya. Mungkin karena Hamba tidak terbiasa perhatian Eyang, Ayahanda, dan Ibunda yang terbagi sejelas ini. Ya, Hamba tahu Hamba kekanak-kanakan sekali. Selain itu, ada pengalaman lain. Seumur hidup, Eyang tahu sendiri, Hamba tak biasa menerima sanggahan dan konfrontasi keras dari orang lain selain anggota keluarga sendiri. Baru ketika berdebat tentang hal kecil saja dengan dia, Hamba mengalami pengalaman itu. Dia tampaknya tidak terganggu dengan posisi dan status Hamba. Dia berani membalas balik dengan kata-kata yang sangat tajam dan berdasar”, Pangeran Samudera mengeluarkan isi hatinya. Baginda Sepuh terkekeh mendengarnya. “Tapi kemudian, Hamba melihat, atau mungkin diperlihatkan begitu saja oleh kondisi dimana Hamba melihat kerapuhan Mentari. Contohnya ya, malam ini. Di kepala Hamba, dia adalah perempuan yang sulit diatur dan sulit patuh. Keras kepala. Tapi semuanya berputar balik ketika Hamba tahu mengenai sisi-sisi rapuh itu. Jadi, Hamba bingung. Harus bagaimana Hamba menghadapi dia. Membuat Hamba merasa menjadi serba salah. Antara ingin mengenal lebih jauh. Antara takut dia jadi makin menutup diri pada Hamba. Karena memang, ketika diajak bicara baik-baik oleh Hamba, dia selalu terlihat kikuk, ragu, dan tampak berusaha menutup mulutnya rapat-rapat. Begitulah Eyang, bingung”, keluh Pangeran Samudera. “Bahkan setelah Eyang menceritakan riwayatnya kamu masih bingung dengan caranya?”, tanya Baginda Sepuh ringan. “Yaaa.. sekarang Hamba lebih banyak paham. Tapi, untuk menghadapinya, tidak tahu. Tak terbayang apa-apa. Kalau sudah tidak terbayang, biasanya Hamba juga menghindar karena tidak mau pusing”, tutur Pangeran jujur. “Kalau kamu menghindar, bagaimana kamu bisa tahu?” “Ya, itulah Eyang” “Hahaha..Kan sederhana saja cucuku. Berarti kamu jangan menghindar. Hadapi saja. Masa kamu bisa menaklukan banyak perempuan lain, bisa melawan Ayahandamu, bisa berani bertanya pada Eyang, bisa membuat strategi dalam politik dan pemerintahan, hanya mengahadapi Mentari saja bingung? Nak, kamu harus lebih berusaha untuk tahu dan bisa kenal. Dengan cara yang berbeda dari yang biasanya”, goda Eyangnya. “Ahhh, Eyang, iya iya...Hamba mau lebih berusaha lagi. Dan Hamba akan berusaha menjaga dia juga”, Pangeran Samudera menarik nafas panjang. “Ya ya ya..setidaknya berusaha dulu. Jangan menyerah sebelum benar-benar berusaha keras. Jadi, dia kamu anggap apa sampai sekarang?”, Baginda Sepuh menahan senyumnya. “Eh? Maksudnya, Eyang?”, Pangeran Samudera heran dengan pertanyaan itu. “Ya, maksudnya, sebagai Mentari secara pribadi begitu saja, sebagai adik angkat, atau calon istrimu?”, tanya Baginda Sepuh sambil terkekeh. “Aihhhh!!! Eyang! Pertanyaan apa itu?!”, mendadak Pangeran Samudera berseru agak panik. “Pertanyaan apa? Ya pertanyaan saja. Yang tidak perlu dijawab kalau belum ada jawabannya”, jawab Baginda Sepuh masih tetap terkekeh enak. “Ah, sudah ya Eyang? Hamba mau tidur dulu. Badan Hamba sudah mulai terasa pegal”, Pangeran Samudera segera berdiri. Ada perasaan terancam yang muncul tiba-tiba. “Ahahaha! Ya, ya, ya..istirahatlah. Besok sampai lusa, Eyang masih di sini”, ucap Baginda Sepuh paham. 110 | M e n t a r i S e n j a
*** Pangeran Samudera pun pergi meninggalkan pendopo menuju tempat tinggalnya. Sesaat sebelum tidur... “Siapa Mentari bagiku? Itulah yang tidak jelas. Aihhhh! Eyang tua, Eyang tua...mengapa setiap kau bertanya aku selalu pusing dan makin bingung?! Arghhhh!”, rutuknya sambil menutup kepalanya dengan selimut. Berusaha tidur tanpa membayangkan kejadian dramatis malam itu. *** Mentari bangun pagi dengan perasaan masih lemas. Ratu Selasih yang tahu dari pelayan mengenai kejadian tadi malam, bergegas menuju pondokannya sebelum jam sarapan tiba. Dia merasa resah karena tidak tahu apa yang terjadi. Ketika sampai di pondok, dia langsung menuju kamar Mentari dan melihat gadis itu masih terbaring. “Ibunda...”, Mentari kaget dan segera mengangkat badannya untuk menyandar ke dipan. Perasaan malu menetap di dadanya. “Aduh, Mentari..Ibunda dengar dari pelayan tadi malam Ananda dibopong Pangeran. Ada apakah gerangan?”, tanyanya sambil duduk di samping tempat tidur dan membelai kening Mentari lembut. Mentari masih rikuh. Antara perasaan malu dan juga nyaman dibelai Ratu bercampur jadi satu. “Ti..tidak apa-apa, Ibunda. Mungkin hanya karena kurang makan saja”, jawabnya menutupi kejadian sebenarnya. Ratu Selasih menatapnya lembut. Dia tahu, Mentari tak mengatakan yang sebenarnya. Karena dia juga adalah sama-sama orang yang penutup, maka dia paham. Dia tidak ingin memaksa Mentari bercerita. Dia bersyukur, anaknya membawa Mentari tadi malam. “Ya, kamu harus ingat makan dan minum air putih yang banyak. Ibunda sarapan di sini ya?”, tawar Ratu Selasih. “Iya, Ibunda..mohon maaf Hamba sudah merisaukan hati Ibunda”, kata Mentari dengan perasaan tidak enak. “Ananda jangan terlalu mengkhawatirkan itu. Kita sekarang sudah menjadi keluarga. Sudah selayaknya kita menjagai dan merawat satu sama lain. Ananda sudah lama tinggal di sini. Mohon buka hati Ananda agar kami diterima jadi keluarga Ananda juga”, kata Ratu Selasih. Mendengar kata-kata itu, Mentari terdiam. Ratu Selasih benar. Dia tak bisa selamanya menyendirikan diri terus menerus. Mereka sudah begitu baik padanya. “Aduh, apakah kata-kata Ibunda malah merisaukan hati Ananda? Jangan terlalu dipikirkan ya..”, melihat ekspresi Mentari, Ratu Selasih menjadi tak enak hati. “Ah..tidak Ibunda...kata-kata Ibunda benar”, ucap Melati sungguh-sungguh. Ratu Selasih tersenyum. Dia membunyikan bel untuk pelayan. Sebentar kemudian, pelayan datang membawa 2 nampan makanan. Mereka makan bersama di atas tempat tidur. Ratu Selasih memilih topik lain untuk dibahas. Mengenai butik, yayasan, dan cerita orang-orang di dalamnya seperti yang dia bahas biasanya. Setelah selesai sarapan, Ratu Selasih berpamitan karena dia sudah ada janji pertemuan. Dia meminta Mentari istirahat dengan baik. Mentari tersenyum. “Apakah aku sangat amat menutup diri? Oh Tuhan...bantu aku membuka hatiku pada mereka yang tulus mengasihiku”, gumam Mentari pada dirinya. Setelah perutnya terisi, Mentari merasa sedikit ada tenaga. Dia masuk ke kamar mandi dan berendam dalam air hangat yang harum karena dicampur bunga Mawar. Dia sudah minta pelayan untuk tidak membantunya dari sejak dulu. Sehingga, dia bisa menikmati waktu sendirinya. 111 | M e n t a r i S e n j a
Dia membayangkan kejadian tadi malam. Dia bersyukur Helena membantunya mengeluarkan duri yang selama ini tertanam dalam hampir masuk ke bawah sadar. Ketika duri itu dicabut, dia merasa sakit luar biasa. Tapi, sakit itu tak bisa cepat sembuh. Bayangannya melayang lagi pada Pangeran Samudera. Dia merasa hangat merangkul Pangeran yang terlihat sangat khawatir padanya. Dia mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang. Ada perasaan merasa dilindungi ketika dia dibopong olehnya. “Aih, Mentari. Sadarlah kau siapa. Sadarlah dia hanya menganggap kamu saudara angkatnya. Sadarlah bahwa kau sudah tak berhak atas apa pun”, sangkalnya sambil merendamkan seluruh kepalanya ke dalam air. *** Sehabis mandi, dia berpakaian santai dan mengeringkan rambutnya dengan masih agak lemas. Dia lalu berjalan ke beranda belakang. Merasa butuh udara segar dan butuh melihat pemandangan pagi hari yang biasanya membuat hatinya terasa hangat. Dia pilih untuk duduk di kursi santai. Membaringkan tubuhnya di sana. Menyerap sinar matahari pagi yang menimpa tepat beranda belakang. Saat dia sedang menikmati kehangatan sinar matahari, sebuah suara mengagetkannya. “Sudah baikan, Tari?”, tanyanya. Sontak Mentari membuka mata dan dia bergerak cepat untuk duduk. “Ah, iya..iya Pangeran”, jawabnya sedikit gugup. “Mentari, aku tidak mengerti mengapa setiap aku bertanya kau tampak selalu gugup, rikuh, atau terkaget-kaget”, komentar Pangeran ringan. Mentari diam tak tahu harus bilang apa. “Atau diam...hehehe. Bagaimana keadaanmu, sudah baikan?”, tanya Pangeran Samudera sambil menyilangkan kedua kakinya. “Masih agak lemas, tapi sudah jauh lebih baik”, jawab Mentari sambil sedikit menunduk. “Oh ya? Baguslah kalau begitu. Oh ya, tadi Helena mengabariku dia mau datang ke sini. Katanya sudah janjian dengan kamu. Iya kah?” “Eh? Iya..saya sudah janjian” “Oke. Oh ya, Mentari..bisakah kau bicara dengan melihat padaku?”, ucap Pangeran Samudera sambil menatap ke arah Mentari. Pelan-pelan Mentari mengangkat wajahnya. Menatap ke arah Pangeran Samudera. Ke dalam kedua matanya. “Nah, begitu..Tidak apa-apa kan?”, tanya Pangeran Samudera sambil tersenyum. Pelan-pelan Mentari tersenyum, ragu. “Nah, begitu. Biasakanlah kalau bicara denganku kau menatap mataku ya?”, ucapnya sambil mendekat. Mentari tak bisa mengalihkan pandangannya. Pangeran tersenyum. Dia mengucek-ngucek rambut Mentari lembut lalu pergi meninggalkannya. Hati Mentari berdebar tak karuan. “Mengapa dia, menjadi sangat baik?”, tanyanya dalam hati. Hari itu, dia merasa matahari bersinar lebih hangat. *** Helena datang secara berkala ke Istana. Jadwalnya 3 kali dalam seminggu. Di 3 pertemuan awal, dia melakukan psikoterapi pada Mentari. Kemudian dia lanjutkan dengan sesi konseling yang lebih ringan. Setelah mulai menjalani sesi psikoterapi dan konseling dari Helena, Mentari merasa luka karena duri yang dicabut itu sudah makin membaik. Ada yang terasa lebih terang dan cerah kini. Dia bisa menerima kejadian itu dengan baik. Ketika dia membayangkan, lintasan pengalaman itu tetap ada namun seperti ada dalam sebuah 112 | M e n t a r i S e n j a
televisi. Dia menerima saat itu dia hanyalah gadis remaja dan dalam posisi lemah. Bukan salah dia mengapa kejadian itu terjadi. Namun karena memang harus terjadi. Yang salah adalah kriminal itu. Yang tak mampu mengontrol dirinya dalam keadaan setengah mabuk. Begitulah keadaannya. Ketika Mentari sampai pada penerimaan itu, Helena menghentikan sesinya. Namun tetap memberi ruang pada Mentari, jika dia mengalami kondisi emosi yang tidak baik lagi, dia bisa dihubungi kapan pun. Hampir setiap hari, Pangeran Samudera meluangkan waktu beberapa saat dengan Mentari. Karena pembiasaan itu, Mentari menjadi lebih merasa nyaman untuk berbicara. Merasakan hal tersebut, Pangeran mulai membuka diri mengenai kegiatan yang dilakukannya juga. Mentari yang menyimak selalu apa pun yang dituturkan Pangeran Samudera, memberi respon berdasarkan apa yang dipikirkannya. Setiap kali Mentari memberi pendapat, dia merasa senang karena komentarnya cerdas dan bermakna buat Pangeran Samudera. Gaya Mentari berbeda dengan Safira. Mentari lebih sederhana dalam berbicara dan tidak terlalu banyak menggunakan istilah asing yang rumit. Mentari fokus pada inti masalah dan berkomentar berdasarkan inti masalah yang dia tafsir. Selain itu, Safira sangat fokus pada hasil setiap pencapaian, sementara Mentari, selain hasil, dia pun memikirkan prosesnya dan manusianya. Ada banyak sudut pandang baru yang didapatkan Pangeran Samudera. Karena itu, semakin lama, dia menghabiskan waktu lebih lama ngobrol dengan Mentari. Obrolan sudah bukan lagi sebagai usaha pendekatan agar Mentari merasa nyaman. Namun sudah berkembang menjadi teman bicara yang asyik untuk membahas mengenai apa pun. Seperti hari itu, ketika dia membahas mengenai aktivitas BUMK yang dia kerjakan. Yang biasanya, dengan hati-hati, tidak dibicarakan secara gamblang dengan Safira. Ketika bicara dengan Safira, Pangeran Samudera selalu awas karena posisi perempuan itu dan memahami siapa keluarganya. Hingga, walau terkesan terbuka, Pangeran membatasi banyak informasi. Dengan Mentari, dia merasa aman karena dia sudah tahu latar belakangnya dan terlebih lagi dia sudah menjadi bagian keluarganya. “Sekarang ini, tampaknya langkahku mulai terbaca, Tari”, kata Pangeran sore itu di beranda samping Pondokan Teratai. “Memangnya kenapa kalau terbaca, Pangeran?”, tanya Mentari penasaran. “Untuk orang yang bersimpati dan berpihak pada pemikiranku, tidak masalah. Tapi, untuk yang merasa terancam, yang jumlahnya tentunya lebih dari 50%, tentunya agak riskan. Dari 10 anggota dewan direksi di BUMK pertambangan saja misalnya, hanya 4 orang yang menyatakan kesetujuan dengan sungguh-sungguh. Untuk yang 6 lagi, sangat diragukan. Merekalah anggota jajaran direksi yang pikirannya mandeg dan sudah sangat sulit berkembang, tapi masih dikuasai rasa tamak akan uang dan kekuasaan. Mereka memang tidak bisa menolak keputusan-keputusanku. Tapi aku tahu, mereka tidak setuju. Apa aku ganti saja ya mereka? Aku tidak tahan dengan perubahan yang pelan”, jawab Pangeran Samudera. “Hmmm...tapi kalau langsung diturunkan begitu saja, apa mereka bisa terima? Tentunya akan ada yang terluka. Bagi yang cukup bijaksana, luka itu mungkin bisa diterima. Bagi yang tidak? Mungkin malah efeknya akan lebih panjang dan menjadikan perubahan itu tidak ada artinya” “Ya, benar juga. Kira-kira apa ya yang bisa dilakukan?”, Pangeran bertanya dengan mata menerawang. “Mmm..saya yang dulu akan setuju dengan apa yang dikatakan Pangeran. Ganti saja. Tapi, dari pengalaman saya sekarang, saya melihat pada dasarnya orang itu baik. Dan bisa dibuat menjadi baik. Hanya cara yang kadang tidak sama. Bekerja berpuluh tahun dengan 113 | M e n t a r i S e n j a
posisi yang tinggi, sangat mungkin membuat orang merasa nyaman ada di posisi yang sama dan atau bosan. Karena sudah mengerak, maka mereka susah beranjak. Yang berada terlalu di atas, perlu dibuat turun ke bawah. Yang di bawah, perlu melihat dan merasakan kondisi di atas. Sampai mereka bisa menemukan titik keseimbangannya. Yang paling banyak terjadi, ini berdasarkan pengalaman saya sendiri, orang terbatas di sudut pandangnya masing-masing. Perlu ada sesuatu yang membuat pikiran mereka bisa melihat lebih luas. Bekerja berdasarkan instruksi atau patuh terhadap instruksi adalah sistem yang perlu dipecah, menjadi ke arah pengambilan keputusan. Saya pikir, orang hanya perlu diberikan pilihan dan memilih berdasarkan pertimbangan yang jelas. Maka orang harus ditantang untuk berubah. Ketika dia tidak sanggup, maka dia harus bisa membuat dirinya melihat bahwa dia tidak sanggup. Sehingga, siapa pun yang ada dalam posisi itu, bisa menerima apa pun keputusannya. Jika Pangeran bisa menghadirkan diri sebagai pemimpin yang seperti itu, yang juga menjadi jembatan dan fasilitator bagi semua orang, saya yakin, orang akan semakin menghargai dan akan makin banyak yang berpihak tanpa harus diminta atau dipastikan. Aduh, bicara saya kepanjangan ya?”, Mentari merasa tak enak dengan semangatnya berbicara sementara kawan bicaranya hanya diam mematung. “Eh, tidak, tidak. Aku menyimak dengan baik. Ketika kamu bicara seperti itu, aku terbayang banyak solusi. Wah, darimana kamu belajar semua itu?”, Pangeran bersemangat juga. “Eh? Ahahaha..ummm, mungkin sudah campuran dari buku yang dibaca, dari kehidupan di sini, dari pengalaman baru yang di dapatkan di sini dan dengan teman-teman baru, dan mungkin, dari halusinasi sendiri”, ucap Mentari sambil tersenyum. “Whoaaa! Padahal kamu banyak diam dan hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang Ibunda atur! Hebat! Terima kasiiiiiiih Mentari”, Pangeran Samudera, karena terdorong semangatnya, spontan merangkul Mentari dan mengguncang-guncang bahunya. “Wuhhh!!! Benar-benar menyegarkan berbicara denganmu!”, dan dia pun meloncatloncat girang. Mentari yang awalnya kaget diperlakukan akrab sekali, bengong sebentar. Tapi karena yang diperhatikan tidak peduli dan sibuk dengan semangatnya sendiri, dia ikut tersenyum dan tertawa juga akhirnya. Di sini, dia bisa melihat, bahwa Pangeran juga anak muda yang masih memiliki sikap kekanak-kanakan juga. “Oh ya Mentari, sore ini kamu ada kegiatan tidak?”, tanya Pangeran Samudera. “Eh? Tidak Pangeran”, jawab Mentari. “Ayo kita jalan-jalan!”, tarik Pangeran Samudera. “Eh? Tapi, Pangeran..”, Mentari kaget dengan tindakan itu. “Ah, ayo, kita berangkat saja!”, dan Pangeran menarik tangannya sambil sedikit berlari. Mentari, yang masih kaget, mengikuti dengan patuh. Langkahnya sedikit terseret menyamai ritme jalan Pangeran Samudera. Para pelayan yang sedang bertugas, melongo melihat kejadian itu. Setelah pasangan itu lewat, mereka pun segera bergosip sambil cekikikan. *** Pangeran Samudera mengajak Mentari ke taman bermain. Mentari tiba-tiba sadar dia tidak membawa apa-apa selain badannya. Pangeran Samudera segera menghalaukan kekhawatirannya dan memintanya menikmati suasana saja. Pelan-pelan, Mentari menyenangi ekstase itu. Ekstase melakukan sesuatu tanpa rencana. Dia memutuskan untuk menikmati sesuai saran Pangeran. Sebelum turun dari mobil di tempat parkir, Pangeran Samudera membuka jasnya. Mengeluarkan kemeja di dalamnya dari ikat pinggang dan mengacak-acak rambutnya. Dia lalu mengenakan kaca mata hitam dan memberikan satu miliknya untuk dipakai Mentari. 114 | M e n t a r i S e n j a
Mentari mengikuti. Dia juga menggerai rambutnya hingga kalau ada apa-apa, dia bisa menggunakan rambutnya untuk menutupi wajah. Lalu keluarlah mereka. Menikmati suasana taman bermain. Mencoba beberapa permainan di sana. Di roller coster, mereka berteriak sekeras-kerasnya sambil tertawa lepas. Begitu juga di tempat-tempat lain yang menegangkan. Di antara pergantian dari satu permainan ke permainan lain, mereka membeli jajanan yang ada di sana. Es krim dan kembang gula. Mentari membeli balon yang banyak. Saat melihat ada kelompok anak kecil yang sedang jalan-jalan, dia membagikannya satu per satu. Pangeran Samudera senang melihatnya. Dia memutuskan membeli balon juga. Mencari anak-anak. Namun, ketika dia yang memberi, sebagian mereka menangis hingga Mentari tertawa lebar. Ketika melihat ada foto box, Pangeran Samudera menarik tangan Mentari lagi. Dengan berbagai pose, mereka mengambil gambar mereka sendiri sampai 4 set. Setelah foto tercetak, mereka tertawa-tawa dan membagi set foto itu sama rata. 2 untuk Mentari dan 2 untuk Pangeran. Mereka merasa publik tidak memberi perhatian pada mereka. Dan memang demikian kalau untuk para pengunjung. Lagi pula, mereka bergerak cepat sekali. Kalau tidak berlari ya berjalan cepat. Memburu waktu tutup taman bermain yang tinggal 1 jam lagi. Namun mereka tidak tahu, selalu saja ada paparazi yang lihai dan mengawasi dari sejak awal mereka berangkat dari Istana. Dia, mengikuti mereka diam-diam dan mengambil foto ketika mereka terlihat akrab dan terlihat heboh. Hampir semua jenis permainan yang seru dan heboh mereka jajaki. Lalu saling meledek satu sama lain untuk yang terlihat shock atau sempoyongan karena pusing. Sering sekali Pangeran melakukan kontak fisik. Merangkul bahu, menarik tangan, mendorong punggung, mengucek-ngucek kepala. Namun karena suasana menyenangkan dan Mentari sudah merasa nyaman dengan Pangeran, Mentari tidak merasa takut. Malah sesekali dia membalas dengan tindakan yang sama. Hari itu, mereka merasa menjadi remaja kembali. Sampai akhirnya, taman bermain tutup dan mereka berlomba lari menuju pintu gerbang di saat-saat terakhir gerendel itu sepenuhnya menutup. Melihat keceriaan mereka, penjaga pintu hanya tersenyum. Ketika sampai di mobil, mereka tertawa tak berhenti dengan nafas yang tersengalsengal. Pangeran Samudera merasa dunianya menjadi sangat cerah ketika melihat Mentari tertawa lepas bersamanya. Dia sangat lega dan bahagia, sudah bisa membuat saudara angkatnya itu menikmati suasana tanpa beban. Saat makan malam, mereka masih terus tersenyum-senyum dan menahan tawa sesekali. Ketika mendengar masing-masing menahan tawa, Baginda Raja dan Ratu sampai saling memandang tak mengerti apa yang sangat lucu ketika makan malam itu. Tapi mereka tidak mau bertanya dan hanya saling mengangkat bahu sambil tersenyum juga. Malam semakin larut, mereka berdua tidur dengan nyenyak. ***
Gosip Baru Besoknya, baik media televisi, media cetak, dan e-media memuat tajuk berita dengan foto-foto Mentari dan Pangeran Samudera. Sebagian ada yang diambil dari kejauhan, sebagian lagi close up. Judul berita bermacam-macam. ‘Siapakah kekasih baru Sang Pangeran?’; ‘Apakah Pangeran sudah memutuskan calonnya’; ‘Calon Istri Pangeran, bukan 115 | M e n t a r i S e n j a
Safira Kencana Putri?’; ‘Putri Baru, Pesaing SafiraKencana Putri?’; ‘Siapakah yang akan dipilih Sang Pangeran?’; ‘Mereka Keluar Bersama dari Istana, Apakah Ini yang Dipilih oleh Raja dan Ratu Indonesia?’; dan lain sebagainya. Mentari dan Pangeran Samudera yang langsung sibuk kembali dengan kegiatan rutin masing-masing, belum menyadari itu. Demikian juga Raja dan Ratu. Sementara Baginda Sepuh sudah melihatnya dan dia tersenyum-senyum sendiri. Termasuk teman-teman Mentari dan Pangeran Samudera. Pastinya, Safira yang selalu memantau acara berita sebelum berangkat kerja, sudah mengetahui lebih awal dari yang lain. Dini langsung menelepon Mentari saat dia melihat berita di televisi dan kemudian juga membaca tajuk headline koran gosip langganannya. “Tariiiii! Apa iya benar yang dikatakan berita itu?”, teriaknya di speaker sambil menjerit senang. Mentari langsung menjauhkan teleponnya ketika suara yang cempereng itu mendenging di telinganya. “Apanya yang benar, Mbak? Berita apa?”, tanyanya tak mengerti. “Tuh kaaaan! Kamu itu ya, tak ada yang berubah. Kamu tidak sadar kamu sudah masuk pemberitaan dan mendominasi berita hari ini?”, Dini masih cempereng juga. “Eh? Apa sih Mbak?”, dengan cepat dia cek tabletnya dan terperangah melihatnya. “Oh Tuhaaaan! Ya ampuuuuuuun! Apa ini?”, Mentari heboh dengan dirinya sendiri ketika dia melihat beberapa fotonya terlihat jelas walaupun terlindung kaca mata hitam. “Ya, sudah, kamu baca dulu baik-baik. Aku tidak mau tahu, nanti malam aku telepon lagi untuk minta PENJELASAN!”, teriak Dini kesal. Kesal karena dia tahu di koran dan tivi tanpa ada cerita apa-apa dari Mentari. Klik! Bunyi telepon di tutup. Mentari yang belum terbiasa melihat dirinya menjadi bahan berita terbengong-bengong dengan spekulasi dan kesimpulan seenaknya yang ditulis penulis berita. Belum selesai dengan rasa kagetnya, telepon genggam berbunyi dengan sms. Dari Friska, Helena, Batara, Wisnu, Bima, Gerhana. “Wah, tak menyangka aku. Selamat jadi artis ya, Mentariiiii! Its the second publication ya for you?”, itu kata Friska. “Cieee...Mentari nih. Bisa buat heboh juga. Selamat ya”, tulis Helena. “Ehm..ehm, calon pesaing Safira nih”, Batara. “Aiiih mesranyaaa!”, Wisnu. “Wah, akan ada yang segera menyusul Helena nih”, Bima. “Aku patah hati nih. Tak kuat bersaing dengan Pangeran no.1 Negeri Indonesia”, Gerhana. “Arghhhhhhhhh!!!!!”, Mentari berteriak kesal dan menjentreng kecapinya keras-keras. Pembimbingnya tentu saja kaget. Sms-sms itu dikirimkan sama persis ke Pangeran Samudera. Dia sedang break dari meeting di BUMK Perkebunan saat membaca sms-sms itu. Dia heran dan langsung punya dugaan. Dia cek tabletnya dan tertawa saat melihat dan membaca beberapa berita itu. Asistennya, yang sudah tahu lebih dulu, menahan senyum. Namun ditengah tertawanya, dia ingat, Mentari tak biasa dan ini pengalaman pertamanya dimuat di acara gosip dan infotaintment yang jauh berbeda dengan gosip sebelumnya pasca Pesta Kebun. Dia segera meneleponnya. “Tari, sudah lihat berita?”, tanyanya sambil menjauh dari beberapa staff yang masih hilir mudik. Menuju luar ruangan yang terlihat sepi. “Sudah, Pangeran. Bagaimana iniiiii? Kenapa jadi begini beritanya?”, Mentari terdengar merajuk di seberang sana. “Ahahaha..anggap saja dongeng. Kamu santai saja. Tak usah terlalu dipikirkan. Nanti juga hilang dengan sendirinya. Seperti yang dulu kan? Hanya seminggu”, jawab Pangeran sambil menahan senyum. Entah kenapa, dia senang diberitakan seperti itu. 116 | M e n t a r i S e n j a
“Pangeran enak berkata seperti itu. Tapi saya kan tidak biasa. Saya tidak menyadari sama sekali ada yang mengambil foto-foto itu. Dulu itu juga beda, berawal dari posting yang ramai, baru kemudian diangkat menjadi gosip. Lalu yang dibahas juga kan lain. Bukan yang seperti ini”, Mentari menggerutu. “Ya, bagaimana lagi? Selalu saja ada paparazi yang rajin dan beruntung. Makanya aku bilang tidak usah dipikirkan. Jaman dulu aku sangat sering dimuat dengan skandal-skandal masa remaja yang lebih buruk. Kalau ini sih masih terhitung ringan dan tak ada yang buruknya sama sekali. Aku, sebagai yang sudah kebal, ingin berbagi pengalaman. Santai saja oke?” Terdengar suara mendecak dari sana. “Oke. Eh, aku harus meeting lagi. See you new celebrities”, komentar Pangeran jahil sambil menutup teleponnya. Dia masuk dengan mengulum senyumnya. Mentari yang tak bisa membalas lagi hanya mengeluarkan nafas panjang dengan pasrah. *** Safira benar-benar kesal dengan berita itu. Dia amati foto itu satu per satu, dari setiap media yang memuatnya. Dia sudah sering sekali keluar dengan Pangeran Samudera. Tapi tidak pernah melihat Pangeran Samudera tertawa dan bertindak sekanak-kanakan itu. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan ngobrol atau berjalan santai. Sudah 3 bulan terakhir ini, Samudera memang semakin jarang menghabiskan waktu dengannya. Alasannya banyak sekali. Dari mulai meeting, harus diskusi dengan Raja Angkasa, harus mengurus urusan istana. Apapun yang masuk akal untuk menolak ajakannya. Sampai akhirnya, Safira yang merasa harga dirinya terluka, membiarkan karena dia tak mau terlampau memohon dan bertindak terlalu agresif. Baru sebulan dia menjarangkan sms dan kontaknya, hanya menghubungi kalau ada alasan yang sangat masuk akal, tiba-tiba berita itu keluar. Karena sangat kesal, seharian itu dia marah-marah di kantornya. Para pekerjanya dengan mudah menyambungkan kemarahan dengan pemberitaan gosip heboh hari ini. Mereka yang banyak tertekan oleh sikap dingin dan otoritas pengambilan keputusannya, diam-diam menertawakan dan berdoa semoga si orang baru ini yang menjadi istri Pangeran yang sekarang sudah banyak fansnya itu. Bagi yang diuntungkan oleh posisinya, berlombalomba menjilat dan berusaha memperlihatkan sikap berpihak. Orang tua Safira, yang kebetulan sekali sedang ada jadwal di Indonesia untuk seminggu, turut membaca berita itu. Ayah Safira merasa tidak suka melihatnya. Dia sampai mengajak putri kesayangannya itu untuk khusus membicarakan hal ini dengannya. “Fira, bagaimana sih kamu ini? Apa kamu tak mengerti bagaimana cara memikat lelaki?”, semprot ayahnya sambil melemparkan sebuah tabloid di meja makan. “Ayah jangan marah begitu dong! Memangnya ayah saja yang kesal?!”, Safira yang merasa masih membutuhkan outlet kekesalannya menyemprot balik. Ibunya sampai mengusap-usap dadanya sendiri. “Ya, terus? Apa yang bisa kamu lakukan? Kamu tahu kan apa mimpi dan cita-cita ayah? Dan kamu tahu kan bahwa itu juga sejalan dengan keinginanmu? Asal kamu tahu, Pangeran itu sekarang sudah melakukan langkah untuk menjalankan BUMK yang pro rakyat banyak. Itu artinya, ancaman bagi kita yang hampir 60% investasi ditanamkan di BUMK. Kalau kamu leha-leha begitu dan merasa terlalu yakin, dia bisa segera beralih ke perempuan lain! Kamu harus jadi Ratu Indonesia masa depan. Agar aset dan kekayaan kita selamat!”, ayahnya yang sama-sama keras kepala menghamburkan kata-katanya.
117 | M e n t a r i S e n j a
“Mengapa aku yang ditekan ayah? Coba ayah lebih hati-hati dalam berinvestasi! Pastinya kita tak akan terlalu mengandalkan BUMK! Dan apa maksudnya itu dengan langkah Samudera?”, Safira belum bisa menurunkan kata-katanya. “Kamu tidak tahu itu? Jadi kamu ngobrol apa saja sama dia sampai kamu tidak mengendus hal-hal seperti itu hah?! Apa saja yang kamu lakukan dari sejak kalian kenal saat aku sengaja bersusah payah menyekolahkanmu agar sejurusan dengannya?!”, ayahnya makin meninggikan suara saat mendengar anaknya tak mengerti dengan urusan BUMK yang mulai dianalisa olehnya. “Arghhh!! Sudah! Jangan semuanya disalahkan padaku!!”, Safira sedikit menjerit dan segera berlari ke kamarnya. Dia membanting pintu keras-keras. Memukul bantal-bantal yang tergeletak di atas kasurnya kemudian melemparkannya ke berbagai arah. “Apa itu maksudnya dengan langkah pro rakyatnya Samudera di BUMK?! Mengapa aku tidak tahu apa-apa tentang itu?! Mengapa aku yang harus selalu salah di mata ayah?! Arghhhh!! Ini semua salahmu Mentari! Lihat saja! Lihat saja apa yang bisa aku lakukan! Tak ada yang bisa merebut Samudera dari tanganku!”, teriaknya penuh marah. *** Saat makan malam, Raja dan Ratu tak tahan membahas berita gosip di media yang akhirnya mereka ketahui. Walaupun hati mereka senang, mereka berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan perasaan mereka. “Hmmm... Jadi itu mengapa kalian senyum-senyum terus waktu makan malam kemarin. Bersenang-senangkah di taman bermain?”, Raja mencetuskan isu itu di akhir makan malam. Mentari dan Samudera yang sedari tadi menahan diri, tersedak. “Aduh, aduh, Ananda! Sampai tersedak begitu”, komentar Ratu sambil tertawa halus. Dia menjadi ingat masa Samudera masih sekolah dasar yang juga tersedak ketika ketahuan bermain layang-layangan dan layangannya mengenai kabel sampai konslet. “Ehm..Ya, karena kemarin suasana sorenya cerah sekali dan kita tidak ada kegiatan lagi, kami memutuskan bersama pergi ke luar tanpa rencana”, jawab Samudera kemudian berusaha santai. Mentari mendelikkan matanya sedikit mendengar kata ‘kami’ dan ‘memutuskan bersama’. “Bukan kami, Baginda Raja. Tapi, Pangeran yang memutuskan sendiri”, katanya kemudian. “Ya, tapi kan Tuan Putri juga setuju kemudian bukan? Jadi, itu jelas keputusan bersama”, balas Samudera tidak mau kalah. “Ih, dasar ya!!”, spontan Mentari mengangkat garpunya. Tapi kemudian dia sadar dia sedang bersama siapa dan duduk dimana. Mendadak dia menutup mulutnya rapat-rapat dan menatap malu ke arah Baginda Raja dan Ratu yang memaku pandangannya ke arahnya. “Eu..ma..maafkan Hamba sudah kasar”, ucap Mentari serba salah. Melihat reaksi itu, meledaklah tawa yang lainnya. Mentari menunduk merasa ingin menenggelamkan wajahnya ke mangkuk sup yang ada tak jauh darinya. “Aduh, Mentari. Ternyata, kamu bisa lucu juga!”, komentar Baginda sambil menyeka kedua sudut matanya dengan tisu karena saking enaknya tertawa, air matanya sampai keluar. “Ya, Mentari, Ibunda senang juga. Jangan terlalu khawatir dengan masalah pemberitaan itu. Dulu juga hanya seminggu kan? Lalu menghilang dengan sendirinya. Yah, untuk berita seperti ini, tampaknya, 2 minggu atau sebulan”, tak disangka Ratu Selasih pun menjadi jahil. Mendengar ibunya berusaha bercanda, Pangeran Samudera semakin menahan tawanya. 118 | M e n t a r i S e n j a
“Y-y-ya..baiklah..”, Mentari berkata pasrah. Usai makan malam, Pangeran merangkul pundak Mentari dengan ringan ketika keluar bersama. “Apa kan kubilang? Ayahanda dan Ibunda juga sama dengan pendapatku!”, katanya jahil. “Aih!! Sudah deh Pangeran, tidak usah dibahas!”, gerutu Mentari sambil melepaskan tangan Samudera dari pundaknya. Diperlakukan seperti itu, Pangeran tergoda menjahilinya lebih jauh. Dia colek pinggang Mentari. Yang dicolek tentu saja kaget dan geli dan segera membalasnya. Mereka saling mencoba membalas satu sama lain sambil berlari dengan ribut. Terus seperti itu sampai pada satu titik, Pangeran Samudera menahan Mentari ke dinding dan sedikit mengungkungnya terlalu dekat. Mulanya Mentari mengernyit menghindar. “Ayo, kena kamu! Mau kemana”, Pangeran masih jahil. Mentari berusaha melepaskan diri dan Pangeran makin mendekatkan diri setengah menghimpit Mentari. Tiba-tiba, udara di antara mereka terasa lain. Masing-masing mendengar deru nafasnya sendiri dan mata mereka saling menatap tanpa bisa melepaskan diri. Sunyi. Ada rasa lain yang muncul. Pelan-pelan keduanya merasakan desiran halus merambat. Mereka masih terdiam. Kaget dengan desiran hasrat yang mereka rasakan secara tiba-tiba. Dalam jarak yang seintim itu. Dengan serta merta, Mentari mendorongnya dan kemudian memaksa diri tertawa. Dia segera berlari kencang menuju pondokannya. *** “Ap..apa itu tadi? Kenapa muncul lagi? Arghhhh!”, Mentari berusaha membantah dirinya. Membantingkan diri ke kasur menunggu perasaan itu reda. Tidak seperti dulu, ada rasa senang yang lebih nyata yang dia rasakan. Juga malu. Panggilan telepon dari Dini mengalihkannya. Dia segera mengangkat telepon dainya. Bersyukur. Hingga dia bisa melupakan debar jantungnya. Mendadak dia tahan dengan teriakan protes Dini dan dengan sabar menjelaskan seperlunya. Sampai kemarahan sahabatnya itu akhirnya reda. *** “Whoaaa apa itu tadi?! Aku berhasrat pada Mentari? Aihhhh! Memalukan sekali kamu Samudera!”, dia memukul kepalanya dan membetulkan celana dalamnya yang masih terasa sesak. Dia tunggu debar jantungnya mereda. Lintasan kejadian tadi memenuhi benaknya. Celananya makin terasa sesak. “Arghhhh! Memalukan! Behave Samudera!”, dan dia pun berlari-lari dan loncat-loncat di tempat hingga badannya terasa normal kembali. ***
Perseteruan Dua Perempuan Beberapa hari kemudian berita dan gosip menjadi lebih berkembang. Para pembuat berita mencocokkan foto di taman bermain dengan foto yang diunduh oleh tamu undangan waktu itu; juga dengan beberapa foto Mentari ketika mendampingi Ratu Selasih. Hingga judulnya dan ceritanya lebih bombastis. Komentar-komentar pun bermunculan dan para komentator ini ikut menebak, memprediksi, dan membuat cerita tambahan. Membaca pengembangan dan variasi cerita itu, Mentari bengong, tertawa, atau memaki-maki sendiri di kamarnya.
119 | M e n t a r i S e n j a
Safira makin gelisah. Dia berusaha menghubungi Pangeran Samudera, namun Pangeran menolak kembali karena kesibukannya. Sampai akhirnya, setelah seminggu, Safira bertekad untuk melakukan sesuatu pada saat acara berkumpul dengan teman-teman Samudera dan Mentari. Sore harinya, baik Friska maupun Helena memastikan kepada Mentari untuk datang di acara kumpul-kumpul rutin mereka. Kali ini acaranya di restoran punya Wisnu yang baru dibuka. Awalnya, Mentari menolak. Tapi ketika dibahas mengenai pentingnya datang karena hari itu adalah grand opening restorannya, maka dengan tidak enak hati Mentari menyetujui. Namun, nalurinya menangkap gelagat bahwa dua sahabatnya pasti akan membahas masalah gosip itu. Menyadari hal itu, Mentari mempersiapkan mentalnya. Dia sampai melakukan meditasi berulang-ulang sampai dia merasa kendalinya cukup kuat. “Ya, Mentari. Hadapi. Apapun yang terjadi, tenanglah dan jangan terpancing provokasi konyol”, ucapnya sebelum berangkat. Tidak seperti pertama kali berkumpul, Mentari yang sudah mulai nyaman dan melihat bahwa pertemuan itu hanya pertempuan-pertemuan pertemanan, dia pun memilih baju yang nyaman dipakai. Dia mengenakan leging dan kaos santai setengah paha berikut cardigan senada. Sebuah tas dia selempangkan begitu saja untuk membawa tablet, dompet, dan telepon genggamnya. Dia pun hanya mengoleskan sedikit lipstik saja pada bibirnya sebagai make up. Rambutnya dia gerai. Dia berangkat sendiri karena Pangeran Samudera bekerja lebih lama hari itu. *** Setiba di tempat Wisnu, semua orang sudah berkumpul. Ketika pertama melihat Pangeran Samudera dan pandangan mereka beradu, Mentari merasa nafasnya terhenti. Namun dengan cepat, dia berhasil mengendalikan diri dan menyunggingkan senyum untuk menutupi perasaannya. Ketika dia lihat ke sebelahnya, tampak Safira menatapnya dengan pandangan menusuk. Mentari sampai menengok ke belakang menduga ada orang lain di sana. Sekian detik, dia sadar, pandangan itu untuknya. “Mati, kau Mentari!”, katanya dalam hati pada dirinya sendiri. “Wah, ini dia artis baru kita sudah datang!”, sambut Gerhana yang langsung merangkulkan tangan di bahunya. Melihat itu, tampak Pangeran Samudera sedikit resah. Mentari membiarkan Gerhana dengan keakrabannya itu menyimpan tangan di bahunya. Lagipula, setelah masa konselingnya selesai, dia susah bisa menerima kontak fisik bersahabat dengan lebih baik. Dia sedikit bersyukur dengan rangkulan akrab Gerhana karena tatapan Safira terlihat melunak. Mentari hanya nyengir ketika disebut artis baru. Yang lain menyambutnya juga. Helena, Friska, dan Viona memeluknya hangat. “Welcome to my new restaurant, Princess”, Wisnu meniru gaya hormat ala Eropa untuk menyambut Mentari. Mentari tersenyum. “Kehormatan bagi saya, Pangeran. Restoran Pangeran tampak mengagumkan sekali”, balas Mentari dengan gaya yang sama. Semuanya tertawa, kecuali Safira. Helena sangat senang melihat keluwesan Mentari sekarang. Dia telah banyak berubah setelah melalui sesi terapi dan konseling dengannya. Helena mengagumi cepatnya Mentari berkembang. Karena kehangatannya kini menjadi terpancar keluar. Walau untuk hal-hal tertentu dia masih tak terlalu terbuka kalau berbicara, tapi keramahannya dan keterbukaannya untuk menerima kehadiran orang lain menjadi jauh lebih baik. Begitu juga ekspresi humor dan spontanitas komunikasinya. “Jadi, restoran ini intinya punya kekhasan apa, Wisnu?”, tanya Mentari sambil duduk di sebelah Viona. 120 | M e n t a r i S e n j a
“Tentunya khas makanan Indonesia, Tari. Sudah terlalu banyak orang yang memilih gaya western baik dari bangunan dan makanannya. Tentunya, kita yang cinta negeri ini sebaiknya mengangkat nilai-nilai budaya kita bukan?”, balas Wisnu senang ditanya seperti itu. Mentari mengangguk penuh semangat dan melihat ke sekeliling. Ruangan yang mereka tempati sekarang adalah ruangan berdinding kayu dan batang-batang bambu. Tampak ukiran-ukiran di bagian dinding sebelah atas menampilkan kesan budaya Indonesia yang menonjol. Beberapa pot tanaman anggrek di simpan di pojokan. Berwarna putih, ungu, dan pink. Mentari senang melihatnya. Bunga anggrek itu membuat ruangan ini terasa lebih hidup. Lukisan batik tersimpan di dinding. Dilengkapi dengan keterangan di bawahnya yang menuturkan arti pola batik itu. “Wah, bagus sekali”, gumamnya masih memusatkan perhatian pada sekeliling. Melihat betapa seriusnya Mentari dibandingkan yang lain memperhatikan ruangan itu, Wisnu merasa tersanjung. Karena memang dia juga menggunakan idenya menentukan tampilan ruangan yang ada di restorannya. “Kalau kita tak banyak tahu, memang apa pun, yang biasa saja, bisa memukau ya?”, komentar Safira dengan nada menyindirnya yang khas. Mendengar itu, Wisnu merasa tersinggung. “Ya, ya, betul. Aku memang baru pertama kalinya merasakan karakter Wisnu di restoran ini. Kalau kamu, pasti sudah tak aneh lagi ya?”, tak disangka Mentari menjawab seperti itu. Dengan nada santai dan matanya masih melihat ke arah lukisan batik. Mendengar jawaban Mentari, beberapa orang menahan senyum. Wisnu yang merasa paling senang. Safira kesal dengan jawaban itu. Tampak betul mukanya mendadak berkerut. Viona senyum-senyum sendiri melihatnya. Mendadak dia merasa seperti melihat dirinya di waktu dulu, sebelum dia mulai berubah. “Jadi, Tari, sudah adakah stasiun televisi yang meminta jadwal wawancara?”, Friska mengalihkan topik dengan melontarkan pertanyaan jahil pada Mentari. “Eh? Belum ada. Memang akan ada?”, Mentari menjawab santai lalu beberapa detik kemudian menyadari makna pertanyaan itu. Matanya membelalak ke arah Friska. “Ahahaha, biasanya sih begitu”, kikik Friska. Melihat sahabatnya terkikik puas, Mentari mendorong halus lutut Friska. “Tapi Tari, kayaknya kamu akan terkenal deh. Serius lho. Sebelum kamu terkenal, minta tanda tangannya doooong”, goda Viona dengan nada manjanya sambil mencolek pinggangnya. “Ahhh apa sih, Vi”, Mentari tergelinjang sedikit karena geli dan balas mencolek pinggang Viona sampai gadis itu tertawa dan menjerit. “Please deh Viona, rasanya kamu tidak perlu kekanak-kanakan begitu. Memangnya apa istimewanya sih berita rendahan seperti itu?”, tak disangka Safira menyemburkan katakata pedasnya dengan nada kesal. Viona langsung terdiam. Menahan diri. Hatinya terasa ngilu. Mentari menyadari itu dan tanpa terlihat oleh orang lain, dia mengelus punggung Viona pelan. “Wooooaaaa! Tampaknya ada yang nostalgia dengan berita gosip juga nih!”, Gerhana menyambut kekesalan itu. Dia juga sadar dengan ekspresi Viona. Dia hanya ingin menyelamatkan suasana aneh itu dengan sedikit guyonan. Yang lain tertawa. Pangeran Samudera tersenyum-senyum. Dia merasakan kecemburuan Safira. Dikomentari seperti itu oleh Gerhana, Safira jadi tersenyum. Senang karena Gerhana mengalihkan isu padanya. “Kalau Safira pasti sudah tidak aneh. Kita semua juga bukannya pernah diberitakan juga? Kalau Mentari, baru itu berita. Sekali dua kali show, seluruh stasiun televisi, media 121 | M e n t a r i S e n j a
cetak, dan e-media membahasnya lho”, Friska menyadari ekspresi Safira dan sengaja menarik kembali isu itu menjadi isu Mentari. Sontak, Safira terlihat agak cemberut lagi. Melihat bagaimana Gerhana dan Friska membantunya secara halus, rasa percaya diri Viona muncul kembali. Muncul tekad dalam hatinya untuk tidak membiarkan diri tertekan oleh kata-kata Safira yang selalu menyakitkan hatinya. “Ya, bagaimana bisa tidak aneh? Satu, yang digosipkan adalah orang yang kurang jelas asal usul dan statusnya. Dua, situasinya juga kekanak-kanakan sekali. Taman Bermain? Please deh. Tiga, keluar dari Istana dan beberapa kali ikut kegiatan dengan Baginda Ratu. Empat, mengingatkan orang dengan cerita Cinderella yang penuh khayalan”, Safira yang sulit menahan diri, menyemburkan kata-katanya lagi. Batara, Helena, Wisnu, Bima, dan Friska yang baru kali ini melihat Safira lepas kendali seperti itu, mengulum senyum. Viona bengong. Pangeran Samudera sedikit mendongak melihat ke arah Safira yang memang duduk di sandaran sofa di sebelahnya. Mentari, mirip dengan Viona, bengong sesaat. “Wah, kamu membaca juga salah satu ulasan penulis berita itu?! Aku pikir kamu termasuk jenis orang yang tak ada waktu untuk membaca hal-hal rendahan seperti itu”, dan dengan ringan dan wajah yang memperlihatkan ekspresi terpukau yang kentara, Mentari bereaksi. Mendengar itu, tentunya para pendengar tertawa terbahak-bahak. Termasuk Pangeran Samudera. Merah padamlah muka Safira. Sementara Mentari, tersenyum penuh arti. Dia tidak bodoh. Setelah beberapa kali ikut berkumpul, dia tahu Safira memang selalu melontarkan kata-kata negatif yang tidak perlu. Tak ada yang menanggapi biasanya. Kata-kata negatif itu, sangat sering dilontarkan pada Viona. Dulu, Mentari termasuk yang diam saja karena biasanya dia sendiri tidak ada didalamnya. Hanya antara Safira dan Viona. Tapi kini, ketika tadi Viona diserang lagi sampai yang diserang tertunduk, ada semangat untuk bermain peran membalas kata-kata Safira. Kebetulan, bahasan itu terkait dengan dirinya. Jadi dia punya alasan kuat untuk menjadi cermin buat Safira. Setelah tawa mereka mulai berhenti, Batara yang ikut bersemangat menyiapkan manuvernya untuk Pangeran Samudera. “Jadi, Sam, bagaimana rasanya menghabiskan waktu bersama saudara angkatmu di taman bermain?”, tanyanya sambil mengulum senyum. Pangeran Samudera tersedak. Dia tengah menghirup jus ketika Batara bertanya seperti itu. Reaksi ini tentunya membuat Batara tertawa. Diikuti yang lainnya. “Wah, sampai tersedak begitu. Kulihat-lihat, tampaknya memang perilaku tersedakmu ini makin sering muncul deh. Coba-coba, kita juga ingin tahu nih!”, kali ini Bima yang berkomentar. Yang lain menunggu. “Serius kalian ingin tahu?”, Pangeran Samudera yang tadinya hendak mengabaikan pertanyaan itu bertanya balik karena melihat semua mata kini memandangnya. Kecuali Mentari yang tidak terlalu fokus. Yang ditatap dan menatapnya tentu mengangguk. “Woah! Oke, aku jawab. Menyenangkan...”, jawabnya kalem. “Yuhuuuuu!”, teman-temannya bertepuk tangan. “Belum selesai itu jawabannya”, seru Pangeran Samudera. Dia tergerak mengikuti permainan. Tak mau teman-temannya yang mendadak bersekongkol itu mendapatkan kesenangan. Karena mendengar jawaban itu, semua terdiam lagi. Menanti. “Menyenangkan menghabiskan waktu di taman bermain. Dengan siapa pun itu”, dan dia meminum jusnya santai. Mentari tersenyum, merasa diselamatkan. Safira tersenyum, merasa menang. 122 | M e n t a r i S e n j a
“Ahahahaha! Jawaban yang sangat taktis dan diplomatis!”, Batara tertawa sambil bertepuk tangan. Diikuti yang lainnya. Pangeran Samudera terlihat puas. “Sebentar! Sebentar!”, kali ini Helena yang bersemangat. Dia sampai berdiri dengan menggerakkan tangan seolah meredam suara. Viona terperangah melihat sepupunya ingin mengambil bagian juga dari kehebohan ini. “Dengan siapa pun ya Sam?”, tanya Helena dengan bersidekap. Sedikit menantang. “Ya, dengan siapa pun”, jawab Pangeran Samudera tegas. Menerima tantangan. “Kalau menghabiskan waktu di taman bermain dengan....Baginda Raja Angkasa bagaimana?”, dan Helena mengeluarkan jurusnya. Merah padamlah muka Pangeran Samudera. Dia mendadak terdiam. Melihat itu, tawa teman-temannya makin keras. Wisnu sampai tertawa terpingkalpingkal dan memegang perutnya. Mentari juga. “Yaaaa bisa juga...Tapiii, akan aneh sih. Memang”, Pangeran Samudera berusaha menyelamatkan diri namun menyerah dengan pertanyaan Helena. Dia hanya bisa cengar cengir dan garuk-garuk kepala tak gatal. Helena tertawa puas tentunya. *** Karena sudah terlalu banyak meminum Jus sebagai pengalihan, Pangeran Samudera langsung pamit ke kamar mandi diikuti ejekan teman-temannya. Dia tidak peduli karena sudah tak bisa menahan kencing. Situasi ini dimanfaatkan Safira. Walau merasa sedikit terhibur dengan kekonyolan Samudera, Safira merasa tidak puas. Dia sudah mempersiapkan banyak skenario sebelum berkumpul di malam itu. Dia tak mau skenarionya tenggelam. Dia ingin menyerang Mentari secara terbuka dan menghendaki yang lain hanya menonton. “Mentari, tapi kamu sadar kan bahwa gosip itu hanyalah gosip?”, tanyanya tiba-tiba dengan nada yang tidak enak didengar. Tepat di saat orang sudah mulai mengendurkan urat syarafnya dengan tawa dan baru akan menyantap hidangan inti. Dengan nada dan jenis pertanyaan yang tak jelas itu, tentu saja yang lain menghentikan gerakannya. “Eh?”, Mentari mendongak ke arah Safira. Dia sendiri sedang sibuk memikirkan bagaimana cara memakan lobster rica-rica ketika Safira menyebut namanya. “Jawab saja dulu”, lanjut Safira tak ragu. “Ya, tentu saja. Memangnya ada arti apa lagi selain gosip?”, Mentari bertanya balik. “Wah! Kamu itu ternyata tidak sepolos dan sekampungan kelihatannya ya? Selalu punya cara untuk menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Tapi kamu sadar kan aku siapa?”, Safira bereaksi dan bertanya makin tak jelas. Viona sampai bolak balik memandang Safira dan Mentari bergantian. “Ya. Sadar. Kamu, Safira. Lalu?”, dengan santai Mentari membalas lagi. Kini, karena suasana mulai terasa aneh, yang lain menyandarkan punggungnya. Menyimak. Mencoba memahami apa maksud Safira. “Berhenti berlagak polos deh! Aku sudah kenal Samudera dari sejak dulu. Dari sejak kau bahkan belum masuk ke Istana. Kau tahu kan kalau kita sudah saling menyukai?”, Safira tak kenal menyerah. Mentari kali ini tidak bereaksi. Dia tahu walau dia tidak ditanya juga. Tapi dia tak mengerti dengan maksud pertanyaan yang rasanya semakin ngawur terdengar. “Bagus kamu diam sekarang! Jangan pernah berani-beraninya berpikir untuk bisa dekat dengan Samudera lebih daripada sekedar saudara angkat ya?! Jangan pernah berani-berani memanfaatkan situasi untuk bisa dikenal orang! Lagi pula kamu harusnya sadar diri, kamu hanya rakyat kelas bawah yang beruntung diangkat keluarga Raja. Asal 123 | M e n t a r i S e n j a
usulmu tak jelas. Riwayat keluargamu dipertanyakan. Aku menghargaimu hanya karena kau saudara angkat Samudera. Sementara aku, asal usulku jelas. Keluargaku dikenal banyak sebagai keluarga terpandang. Pendidikanku setara. Maka aku bilang sama kamu sekarang, jangan pernah berpikir untuk merebutnya dariku!”, cecar Safira tak terkendali. Hampir Friska berdiri dan menamparnya, kalau dia tidak mendengar Mentari menjawab segera. “Dan darimanakah kamu berpikir aku mau merebutnya darimu?”, tanya Mentari menahan diri. Sebenarnya kepalanya terasa mendidih mendengar masalah asal usul itu dibahas. Tapi dia juga tahu, tak baik sama-sama memperlihatkan kemarahan. Dalam hati, dia berdo’a terus. Meminta pada kekuatan dalam dirinya untuk tetap bisa mengendalikan diri. Bagi yang lain yang melihat, Mentari masih terlihat tenang. Sehingga mereka juga bertahan di tempatnya walau ikut kesal dengan ekspresi dan kata-kata Safira. “Dari mana?! Jangan berlagak bodoh! Salah satu foto itu memperlihatkan kau juga berani mengusap kepala Samudera. Jelas-jelas itu bukti! Bukti bahwa kau terlena dan tak tahu diri! Bertingkah polos tapi sangat agresif di dalam! Perayu rendahan!”, Safira yang kesal dengan pertanyaan itu makin tak bisa menerima. Dia meninggikan suaranya dan berdiri sambil menunjuk-nunjuk. Pangeran Samudera hendak masuk saat Safira mulai memanas. Melihat adegan dramatis yang tampaknya dimulai gadis sangat dia hormati itu, dia bengong dan terpaku di tempatnya. Tak mempercayai pendengarannya. Hingga Ia memutuskan untuk bertahan di tempat dan menyimak lebih jauh. Penasaran melihat adegan selanjutnya. *** Mendengar Mentari disebut perayu rendahan, Friska tak bisa menahan diri. Dia berdiri dengan amarah yang kentara. Karena melihat sahabatnya ikut marah, Mentari ikut berdiri dan menahan bahu Friska, memintanya duduk. Ini batasnya. Dia tak mau membiarkan Safira menang. Dia tidak peduli siapa dan latar belakang gadis itu. Mentari berjalan mendekat, selangkah. Matanya menatap bola mata Safira dengan tajam. Melihat itu, Safira tampak kaget. Tapi harga dirinya naik drastis ke permukaan sehingga dia balas menatap seolah menantang Mentari. “Jadi mengapa memangnya? Kau merasa terancam? Karena sadar aku tak punya hubungan darah dengan Pangeran? Jadi mengapa memang kalau seandainya aku benarbenar menyukainya? Takut bersaing denganku yang tak jelas asal usulnya ini? Bukankah itu konyol sekali? Mana Safira Kencana Putri yang katanya orang terdidik, berasal dari keluarga kelas atas, punya garis kebangsawanan level 1, dan cantik luar biasa itu? Kok aku hanya melihat seorang perempuan yang bahkan kata-katanya seolah berasal dari dunia halusinasi dan dunia dongeng, yang tampaknya mengalami sindrom penurunan rasa percaya diri?!”, entah darimana kata-kata itu muncul. Entah darimana kekuatan untuk menantang Safira dengan nada tenang itu memenuhi tubuhnya. “Ap..apa?!”, Safira menjengit. Tersudut. Dan, plak!! Dia menampar pipi Mentari dengan keras. “Safira!!”, melihat itu Pangeran Samudera berseru dan menghambur setengah berlari. Batara yang duduk tak jauh dari Safira, meloncat dan segera menahan bahu Safira dari belakang. Mentari yang tak terima ditampar, menampar balik. Plak!! Telak karena tidak ada seorang pun yang menahannya waktu itu. Pangeran Samudera yang berpikir akan bergerak ke arah Safira, malah berlari menuju Mentari. Memeluknya dari belakang sambil menahan kedua lengannya. Melihat itu, Safira makin marah. Dia menghentakkan tangannya dari cengkeraman Batara dan berlari ke arah luar.
124 | M e n t a r i S e n j a
Sesaat semua bengong. Mereka juga kaget dengan reaksi Pangeran Samudera yang menahan lengan Mentari dengan posisi memeluk. Sungguh gesture yang aneh. Sadar dengan posisinya yang membingungkan, Pangeran Samudera segera melepaskan pelukannya dan berlari ke luar menyusul Safira. Namun Safira sudah berlalu dengan cepat dan tengah membanting pintu mobilnya. Melaju pergi. Pangeran Samudera hanya berdiri. Bukannya memikirkan Safira, yang terbayang dan keluar dari pikirannya justru adalah posisi aneh memeluk Mentari tadi. “Aihhhh!!! Mengapa tubuhku tak mau dikendalikan pikiranku?! Apa pula yang terjadi diantara dua perempuan itu? Aihhhhhhhh!!”, Pangeran memukul keningnya dengan tepian telapak tangan sambil berjalan gontai menuju ruangan kembali. *** Sementara itu, Mentari masih berdiri mematung selepas menampar Safira dan serta merta dipeluk dari belakang oleh Pangeran Samudera yang tampaknya baru kembali dari toilet saat adegan yang paling dramatis itu terjadi. Viona sampai memegang bahunya dari belakang dan membimbing Mentari untuk duduk di posisinya kembali. Beberapa saat, semua terdiam di posisi masing-masing. Berusaha menalar apa yang telah terjadi. Tiba-tiba, “Ini drama nyata paling absurd yang pernah aku lihat! Seperti lukisan surealis yang perlu dipikirkan lagi untuk dipahami artinya”, seru Gerhana sambil mengibasngibas kemeja bagian depannya. Seolah gerah tak jelas. Mendengar itu, satu persatu orang tertawa bingung. Lama kelamaan, tawa itu makin keras dan terbahaklah semuanya. Kecuali Mentari yang masih bengong. Ditatapnya lobsternya yang sudah agak dingin. “Ahhhhh! Mengganggu sekali! Lobsterku sudah hampir dingiiiiiin!”, teriaknya sambil menyandarkan badan dan menghentakkan kaki sedikit. “Hah?!!!”, yang lain terkaget-kaget dengan reaksinya. Dan terbahak lagilah mereka yang menyimak setiap reaksi peralihan Mentari yang tak terduga. Pangeran Samudera yang tiba saat itu, makin bengong. Kesal dia tadi pergi ke toilet sehingga tak tahu asal muasal perkara heboh malam itu. Kesal mengapa tadi bahkan dia tak bisa menginstruksikan badannya sesuai dengan perintah otaknya. “Oke guys, would you mind, one of you at least, explaining to me what had happened here?”, ucapnya dengan nada sedikit kesal sambil berdiri menatap teman-temannya yang sedang terpingkal-pingkal sampai air mata mereka keluar dan masing-masing memegang perut. “Du..duduk dulu, Sam. Please give us time. Its too absurd and too funny”, Helena merespon Samudera sambil masih menahan perutnya. Setelah tawa mereda, Helena menjelaskan dengan detail karena dialah yang paling tenang diantara yang lain tadi. Dan yang paling mau menjelaskan cerita heboh itu. Pangeran Samudera mendengarkan dan dia tak bisa menahan tawa juga akhirnya. Walau tentu, tak seheboh teman-temannya tadi. Ketika Helena menceritakan, Wisnu sadar makanan telah kembali dingin. Dia segera memanggil asistennya dan memintanya mengganti hidangan dengan pesanan yang sama. Dia rela sedikit rugi dengan bayaran hiburan yang super dramatis, lucu, dan absurd itu. Situasi sudah tenang dan mereka menyantap hidangannya. Merasa sangat lapar setelah tertawa terbahak-bahak. Mentari tampak asyik mengurus lobsternya. Mengalihkan segala hal yang tak masuk akal tadi pada hidangan makan malamnya. “Jadi, tadi kau biarkan saja Safira pergi, Sam? Aku pikir kau akan menyusulnya”, tanya Friska. Kali ini serius. “Dia sudah membanting pintu mobilnya waktu aku menyusul. Ya sudahlah, biarkan saja dulu. Aneh sekali dia. Kenapa ya? Aku tidak pernah melihatnya lepas kendali seperti itu”, jawab Samudera sambil menyantap makanannya.
125 | M e n t a r i S e n j a
“Emmm..jelas sekali sih dia cemburu pada Mentari. Yah, selama ini dia merasa jadi perempuan nomor satu buatmu, Sam. Dan seumur hidupnya, tampaknya, tak pernah dia bertemu lawan sebanding. Makin menjadi begitulah dia. Yah, namanya emosi ya begitu. Membuat seseorang bisa mengeluarkan kejujurannya dengan cara yang sangat bodoh dan nekad melakukan sesuatu yang tak masuk akal”, jawab Helena santai. Pangeran Samudera memikirkan kata Helena sejenak. Lalu dia mengangguk-angguk menyetujui. “Nanti aku bicara lah dengannya. Kalau dia sudah membaik”, katanya kemudian. “Eh, Tari, pipimu tampaknya masih merah. Kau baik-baik sajakah?”, tanya Viona dengan khawatir. Dialah yang paling jelas melihat pipi Mentari dari arah pandangnya. “Eh? Iya, agak sedikit berdenyut. Tapi baik-baik saja kok. Ini kali kedua aku ditampar. Satu olehmu, satu oleh Safira. Gosh!!”, jawab Mentari sambil kemudian menyedot isi lobster penuh semangat. Semuanya tertawa lagi melihat ekspresinya. Tertawa wajar. “Ternyata, benar feelingku, pribadimu itu Tari, menarik sekali”, komentar Gerhana. “Eh?” “Iya Tari, Gana betul. Tampaknya aku harus berguru padamu biar aku bisa berkatakata seperti itu. Dengan tenang pula”, tambah Viona. Sadar kini dia diperhatikan oleh yang lain, Mentari meminum jusnya agar bisa bicara lebih enak. “Begini, aku juga tidak tahu mengapa aku bisa seperti itu tadi. Tapi, aku hanya tergerak untuk memperlihatkan pada Safira bahwa dia tak bisa terus menerus seenaknya begitu dengan orang lain. Terutama padamu, Viona. Niatnya hanya itu sebenarnya. Tapi, karena dia tampak tak sadar-sadar, ya sudah, aku ikuti permainannya. Jujur, aku tidak tenang. Marah juga sih. Hanya saja, karena sekarang perutku sudah penuh, aku sudah merasa baikan. Begitulah ceritanya, kawan-kawan”, jawab Mentari dengan serius. “Ya, ya, ya...memang perlu ada yang membalasnya. Kalau aku pribadi sih tidak berani”, kata Viona lagi. “Kenapa tidak berani? Kita kan tidak bisa menerima begitu saja perlakuan seenaknya dari orang lain, Vi”, tanya Mentari lagi. “Ya, kamu enak bilang begitu. Aku banyak takut. Apalagi dengan Safira. Ayahnya investor besar di perusahaan keluargaku. Kalaupun aku dipaksa melawan, mungkin bisa, tapi tetap saja faktor tadi akan sangat menahanku”, jawab Viona sungguh-sungguh. Mendengar itu, Mentari terdiam. Seolah baru menyadari. “Wah?! Aduh! Aku tidak terpikir itu tadi. Aku tidak akan punya masalah apa-apa kan setelah balas mengatai dan menamparnya tadi?”, tanyanya tiba-tiba menatap semua orang dengan pandangan khawatir. Yang ditatap kompak bereaksi jahil. Mengalihkan pandangan dan sebagian berujar, “dududududu..”. “Aduh?! Bagaimana dong? Kalian jangan begitu dooong! Aku tidak berpikir sama sekali tentang efek-efek tindakanku tadi. Ayolaaaah”, Mentari menatap memohon pada teman-temannya. Tidak ada yang bereaksi. Mentari mendadak resah. Dia tak punya bayangan apa yang akan menimpanya. Sama sekali. Tapi tak nyaman dengan reaksi teman-temannya. Melihat itu, Pangeran Samudera tidak tega juga. Walau sebenarnya dia ingin membiarkan lebih lama. “Tari, tenang sajalah dirimu. Kamu itu cucu angkat Baginda Sepuh. Berarti keluarga angkat kerajaan. Dan asal usulmu yang kata Safira tidak jelas itu, menguntungkan posisimu. Jadi, tak usah terlalu khawatir ya?”, kata Pangeran Samudera dengan nada menenangkan. “Oh iya ya? Wahhh...leganya perasaanku. Terima kasih, Pangeran”, ucap Mentari tulus dan serius sambil mengusap-usap dadanya sendiri. Melihat kejadian itu, beberapa orang mengulum senyum. Juga sedikit merasa rikuh menyaksikan Pangeran Samudera terlihat berusaha menenangkan Mentari. Walau 126 | M e n t a r i S e n j a
bagaimana pun, mereka semua menangkap energi intim dan melindungi dari kata-kata yang dikeluarkan Pangeran. Meski tampaknya, Mentari dan Pangeran sendiri tak menyadari itu. “Iya Tari, tenang saja. Terus terang, tampaknya yang ada di sini banyak yang mendukung kok. Aku berterima kasiiiiiiiiiiih sekali atas tindakanmu tadi”, Friska menambahkan dengan tulus. Mentari tersenyum. Lega. Dan obrolan pun beralih pada rencana-rencana Wisnu ke depan. Beberapa memberikan ide dan saran sesuai permintaan Wisnu. Tak lupa, Helena dan Batara mengumumkan pengunduran pernikahannya karena ibu Batara sakit keras menjelang tanggal pernikahan mendekat. Di saat itu, hati mereka merasa lebih menyatu dan masingmasingnya. Di luar tokoh utama, mereka pun bisa melihat benang merah makin membentang kuat antara Pangeran dan Mentari. Tidak hanya terlihat dari pelukan absurd tadi. Tapi juga dari bagaimana Pangeran dan Mentari menimpali satu sama lain dengan semangat ketika membahas rencana Wisnu dan berbagi saran. *** Sehabis acara selesai, Pangeran dan Mentari pulang bersama. Di perjalanan... “Enak sekali masakan di restoran Wisnu”, komentar Mentari dengan perasaan kenyang yang memuaskan. “Ya, dia memang penyuka kuliner Nusantara. Sebagian besar hobinya melakukan wisata kuliner ke seluruh bagian negeri ini. Mungkin dia merangkum semua resep-resepnya dengan baik. Aku dengar dia memang melakukan wisatanya dengan mengunjungi ahli masak lokal yang tidak membuka rumah makan atau restoran, tapi terkenal di daerahnya masing-masing”, balas Pangeran mengiyakan. “Ahh..pantas saja! Bagus, bagus!” “Oh ya, jadi kalau seandainya kau benar-benar menyukaiku bukan sebagai saudara angkat, memangnya kamu siap juga bersaing dengan Safira?”, tiba-tiba Pangeran mengeluarkan pertanyaan yang tak terduga bagi Mentari. Mendengar itu, yang diajak bicara mendadak menegakkan punggungnya. Sedikit tegang. Dadanya mulai berdegup. Kencang. Pangeran melirik dan tersenyum melihat reaksi Mentari. Diam sejenak. “Itu kan seandainya. Nama seandainya kan bukan kenyataan. Saya kan juga sudah menjelaskan, tidak tahu mengapa bisa berkata begitu. Saya hanya emosi saja tadi”, segera Mentari menjawab dengan nada gugup. “Kata Helena, kalau orang sedang emosi suka lepas kendali. Dan lebih terbuka menyuarakan isi hatinya”, tak tahan, Pangeran Samudera meneruskan kejahilannya. “Heh?!”, Mentari kehilangan kata-kata. “Seandainya atau sebenarnya nih?”, goda Pangeran lagi. Mentari merasa badannya terasa menciut dikejar oleh pertanyaan yang mengancam itu. “Tentu saja seandainya. Sudah jelas kata-kata saya tadi walau sedang emosi. Berarti saya sudah mengatakan yang sebenarnya”, Mentari mulai panik. “Hmmm...yakin?”, ujar Pangeran Samudera sambil menyetir santai. Mobil sudah memasuki kawasan parkir istana. “Eh? Tentu saja saya yakin dengan apa yang saya katakan!”, Mentari makin panik. Pangeran makin senang melihat reaksinya. “Kalau orang yakin itu, biasanya tenang lho, Tari. Tak sepanik itu”, kata Pangeran tenang. Dia menangkap emosi Mentari dengan telak. Dia mengerem mobilnya karena sudah tiba di tempat parkir. “Ap..apa?”, Mentari sadar kendalinya mulai lepas. Dia sibuk menarik nafas panjang. Berusaha mengendalikan debar jantungnya. Tak sadar mobil sudah berhenti. Pangeran melepas sabuk pengamannya sambil dengan santai melihat ke arah Mentari. 127 | M e n t a r i S e n j a
“Sa..saya tenang. Saya yakin dengan apa yang saya katakan”, tegas Mentari sambil berusaha menatap kembali ke arah Pangeran. Dengan gerakan mendadak, Pangeran mengangkat badannya dari kursi sedikit. Melintangkan tangannya ke sisi jendela mobil dimana Mentari duduk. Mendekatkan badannya ke arah perempuan yang kini menatapnya kaget dan gelisah. Dadanya makin terlihat turun naik. “Ap..apa yang?!”, Mentari berkata dengan nafas menderu. Dia merasakan hawa panas dari tubuh lelaki itu. Desiran hasratnya bergolak tak terkendali. Dia tak bisa bergerak. “Yakin?”, tanya Pangeran lagi dengan nada pelan agak serak sambil makin mendekatkan wajahnya. Mentari merasa makin terdesak. Tapi juga dia tak menggerakan badannya untuk melawan. Merasakan hawa panas dari dada lelaki yang kini mengungkungnya itu, yang menarik hasrat yang bergolak di tubuhnya hingga makin menyeruak. “Ya..”, dia membuka mulutnya hendak menjawab. Dan ditutuplah mulutnya oleh bibir Pangeran yang terasa hangat. Mulut itu memagut bibir atas dan bawahnya bergantian. Menghisap. Membelai. Panas. Basah. Mentari sesaat terdiam tak tahu harus bereaksi apa. Sejenak badannya terlarut, tertarik menuju dan menikmati panas itu. Merasakan bibir Pangeran yang makin terasa melekat. Namun ingatan di Pulau Natuna mendadak keluar dari nalar Mentari. Ingatan melihat lelaki yang kini menciumnya dan Safira berciuman di lorong pintu kamar meronta seketika. Atas kesadaran itu, dia mendorong badan Pangeran dengan keras hingga yang didorong terhempas kembali ke kursinya. Dengan panik, Mentari membuka pintu mobil secara manual. Tergesa membuka sabuk pengaman. Dan melesat berlari dengan sangat kencang menuju Pendoponya. Yang ditinggalkan mendadak menyandar kaku di kursinya. Menyadari badannya terasa begitu panas. Masih memintanya mengingat detail kejadian tadi. Menginginkan situasi tadi berlangsung lebih lama. Kejadian yang awalnya didorong oleh rasa jahil dan kemudian dikendalikan hasrat yang menggelegak. “Arghhhhh! Memalukan sekali! Memalukan sekali!”, katanya kemudian sambil menjedukkan kepalanya berulang kali pada bantalan setir. Kemudian dia duduk lagi. Menyentuh bibirnya yang masih merasakan hangat bibir perempuan yang tadi diciumnya. “Apa..aku...memang...menyukainya?”, gumamnya pelan. Dan dia menyerah karena bayangan tadi tak hilang-hilang. Segera dia keluar dari mobilnya. Berlari kencang untuk membantunya mengurangi gemuruh hasrat di badannya. Menuju kamarnya. *** Sementara Mentari sudah tiba di Pendoponya. Melemparkan diri ke kasur dan memeluk badannya sendiri. Disentuhnya bibirnya. Menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal. Memukul-mukulkan tangannya ke kasur. “Pergi, pergi, pergi!”, ucapnya berulang berusaha mengentaskan pikirannya. Tapi sulit. “Arghhhhhh! Bagaimana ini? Mengapa dia tadi melakukan itu?! Mengapa?! Bagaimana dia bisa menciumku sementara dia juga sudah mencium Safira?!”, Mentari bertanya frustasi. Dadanya tak berhenti berdegup. Belasan menit berlalu. Dia tak bisa tenang. Dengan perasaan linglung, dia menuju kamar mandi. Membuka bajunya untuk berendam di bath tub dengan air hangat. Biasanya itu membantunya. Ketika dia membuka celana dalamnya, dia kaget. Mendadak dia merasa sangat malu. Segera dicucinya celana dalamnya dengan sabun cuci tangan. “Ahhhh! Mengapa begini?!”, jeritnya tertahan sambil terus menerus mengucek-ngucek celananya dengan sabun.
128 | M e n t a r i S e n j a
Malam itu, baru kali ini, Mentari merasa berendam air hangat sudah tak terlalu efektif lagi baginya. Karena lelah diserbu bayangan tadi berulang-ulang dan lelah mengentaskannya berkali-kali, dia akhirnya tertidur dengan rambut yang belum sempat dikeringkan. *** Untuk gosip mengenai Pangeran dan Mentari, media lebih memberikan perhatian banyak dibandingkan cerita antara Safira dan Pangeran. Bagi pihak media, cerita Safira dan Pangeran cenderung klise dan mudah ditebak. Selain itu, pihak media mereview variasi komentar penikmat berita yang lebih variatif dan lebih heboh. Maka, mereka berusaha menggali fakta lebih banyak. Banyak paparazi termasuk yang sudah hampir pensiun kini dibayar oleh berbagai pihak. Diantara mereka itu, ada yang sangat berpengalaman mengambil foto tokoh yang ditargetkan. Mampu bergerak halus dan jarang tertindai. Mungkin cara-caranya sudah sekaliber seorang agen atau mata-mata negara. Lengkap dengan taktik penyamarannya. Salah satu di antara mereka yang lihai ini, berhasil memotret dan merekam kejadian heboh di restoran Pangeran Wisnu. Terutama kejadian tampar menampar itu. Tertangkap dengan sempurna dan dari jarak dekat. Sang paparazi merasa memenangkan jackpot. Dia akan menawarkan ini dan memberikannya pada sumber media mana pun yang mau memberi harga tinggi. ***
Manuver Mentari sangat bingung membayangkan apa yang akan dia lakukan kalau bertemu dengan Pangeran setelah malam itu. Ketika dia bingung dan memilih tidak keluar wilayah pondokannya, Pak Sugih tiba-tiba bercerita kalau Pangeran dan Baginda Raja tadi berangkat pagi sekali. Pak Sugih bilang, mereka harus berangkat ke Sulawesi untuk membahas demonstrasi staff internal di BUMK Budi Daya Laut di sana. Ketika ditanya sampai kapan, Pak Sugih bilang tidak tentu. Lega lah Mentari mendengarnya. Dengan bebas, dia berkegiatan seperti biasa di Istana. Besok harinya, sekitar jam 11 siang, Mentari menerima telepon dari Dini. Dengan santai dia menerima panggilan itu. “Tariiiiiiiiiiii!!! Tuh kan! Kamu itu selalu tega padaku! Ini sudah berapa kali aku merasa tidak dianggap sebagai sahabat!”, teriak Dini kali ini terdengar setengah meraung. “Eh, Mbak? Kenapa lagi memangnya? Aku kan sudah cerita dengan lengkap yang sebenarnya bagaimana. Hanya meluangkan waktu karena bosan, Mbak”, Mentari yang menangkap maksud Dini, berusaha menenangkan. “Tuh kaaaaaaaan!! Ih, kamu kemana saja sih?! Setahuku, kamu itu tinggal di Istana Raja Indonesia. Bukan di hutan belantara yang tak ada internet dan televisi!”, teriak Dini terdengar setengah frustasi. Mentari bingung. “Bagaimana cerita tentang kamu dan Safira yang saling tampar itu hah?! Coba nyalakan televisi sekarang! Saluran 1! Buruan!!!”, teriak Dini. “APA?!!!!!”, Mentari kaget luar biasa. Menyalakan tivi dan melihat rekaman 10 menit di situ. Tampak seperti video amatir. Tapi kejadian itu benar. Dia lupa dengan teleponnya. Dia sudah tak bisa mendengar suara Dini yang mengamuk di balik telepon. Lemas. Lunglai. Melihat adegan itu. Diulang-ulang oleh stasiun televisi terbonafid se-Indonesia. Adegan dari 129 | M e n t a r i S e n j a
mulai Safira berdiri menyerbunya dengan pertanyaan. Sampai adegan dia menampar balik. Sudah. “Ahhhhhhhhh!!! Mengapa ini semua tak berhenti?!”, teriaknya frustasi. *** Baginda Sepuh melihat berita itu. Setengah tersenyum, setengah khawatir. Dia bangga dengan Mentari. Sekaligus khawatir melihat siapa yang dia lawan. Setelah tayangan itu selesai, dia panggil pengawal pribadinya. Pengawalnya mendengarkan dengan baik apa yang diperintahkan. “Baik, Baginda”, jawabnya tegas dan langsung meninggalkan Baginda Sepuh. Setelah itu, Baginda lalu menelepon Raja Angkasa. Berbicara selama 15 menit. Tampak dia sedikit tenang setelah menyelesaikan pembicaraannya *** Safira sedang di kantor ketika ayahnya meneleponnya, memintanya segera pulang. Dia sedang serius memandu rapat. Untung hampir selesai. Walau agak heran, dia menurut. Ketika dia berjalan ke luar kantor, hampir semua orang yang melihatnya menatap padanya sambil terus berbisik-bisik dengan orang-orang sekitarnya. Mengikuti nalurinya, dia membuka tabletnya ketika sudah sampai di mobilnya. Dan terperangahlah dia. “Anjiinggggg!!”, makinya keras sambil memukul bantalan setir sampai terdengar bunyi klakson yang keras, terputus-putus sampai 3 kali. Disetirnya mobilnya dengan kasar dan dia kebut sampai tak memperhatikan jalan. Untung tidak ada yang tertabrak. Hanya beberapa orang terjungkal karena mendadak menghindar dan melompat. Ayahnya sudah menanti dengan raut muka yang keras penuh amarah. Safira tahu temperamen ayahnya. Dia pernah melihat ekspresi marah seperti itu dulu, sekali. Ketika dia masih berusia 17 tahunan. Tapi tidak ditujukan padanya. Ditujukan pada kakak lelakinya yang kemudian diminta keluar dari Indonesia dan tidak kembali lagi sampai sekarang. Kini ekspresi itu ditujukan padanya. Dia tidak tahu, apa yang akan terjadi. Dia merasa, hatinya sedikit menciut. “Apakah kau sebodoh itu menghadapi lelaki, Safira!!”, menyemburlah sudah ayahnya. Membentak sangat keras sampai Safira terloncat dari tempat berdirinya. “Apakah kau sudah lihat bagaimana kebodohanmu terpampang jelas di video itu?! Hah?!”, bentaknya lagi. Safira terdiam. Ya, dia sudah melihatnya. Tapi tak bisa mengatakan apa-apa. “Buat apa aku menyekolahkanmu!! Buat apa kupenuhi semua permintaanmu!! Apa gunanya kau jadi keturunanku!! Bodoh!! Dungu!! Memalukan!! Kau coreng nama baikku!! Nama baikmu!! Nama baik ibumu!! Keluargamu!! Apa kau sudah gila?! Hah?!”, bentak ayahnya lagi makin keras. Muak Safira memerah. Dia berusaha bertahan walau badannya sudah terasa limbung. “Turun kau dari posisimu!! Tinggal di Filipina!!” “Ayah! Jangan ayah!”, mendengar kata-kata itu, Safira berhambur menuju ayahnya, bersimpuh memegang kakinya, “mohon biarkan aku tetap di posisiku! Biarkan aku tinggal di sini! Mohon ayah!”, mohon Safira sambil menangis. Dihempaskannya kakinya hingga Safira terjungkal. Safira duduk pasrah. Dia menangis tersedu. Tiba-tiba pintu terbuka. Ibu Safira berhambur dan memeluknya. “Apa-apaan ini? Sayang, jangan keterlaluan! Apa kau lupa dia anak kita? Oh, Tuhan... Safira, kau tidak apa-apa kan?”, Ibu Safira berteriak ke arah suaminya dengan berurai air mata. Bersamaan dengan itu, dia memeluk anaknya dan menatap dengan benci pada suaminya. 130 | M e n t a r i S e n j a
Tak menyangka istrinya datang lebih cepat, ayah Safira kaget. Ketika sudah ada istrinya, ayah Safira tak bisa berbuat lebih. Dia menggebrak meja. “Jangan kau berbuat kebodohan lagi! Jangan berangkat ke kantor untuk 3 bulan!”, teriaknya kemudian. Lalu dengan langkah marah, dia keluar dari ruangan. Tumpahlah tangisan Safira di pelukan ibunya, saat mendengar keputusan ayahnya. Dia tak mau tak bekerja. Dia menyenangi duduk di posisi paling atas di sana. Menyenangi memerintah orang-orang yang menurutnya bodoh. Menyenangi melihat kekonyolan para penjilat. Itu adalah panggungnya. Panggung yang mendominasi bagian hidup dan dia citacitakan dari sejak kecil. Sehabis menangis, malam itu, Safira berpikir keras. Dia mengakui dia telah begitu bodoh kemarin. Dia telah begitu bodoh membiarkan dirinya tak terkendali. Pun karena dia memang banyak tidak tahu tentang Mentari. Dia pikir, Mentari tak sekeras, seberani, dan secerdas itu. “Aku perlu menenangkan diri. Berpikir jernih. Kakek, bantu aku”, ucapnya pada dirinya sendiri. Di saat tertekan, Safira selalu merasa terbantu dengan membayangkan kakeknya, yang sudah lama tidak ada di Indonesia. Safira tidak tahu dia ada dimana. Kakeknya selalu memperhatikan, memanjakan, dan memuji-mujinya. Membuatnya tumbuh dengan rasa percaya diri. Merasa menjadi putri kecil yang beruntung. Dia dan kakeknya kadang bermain bersama. Hal yang paling diingatnya adalah ketika kakeknya memberikannya istana boneka. Kakeknya mengajarkan bagaimana memainkannya. Ketika bermain boneka itu, banyak hal yang direkam Safira. Bahwa dia adalah cucu di sebuah Istana. Banyak Pangeran yang memujanya. Seperti-seperti itulah kurang lebih. Kini, Safira mengingatnya kembali. Mengingat kata-katanya, ekspresi wajahnya, caranya memberi semangat, ajaran-ajarannya. Hingga gadis itu merasakan ada semangat dalam hatinya. Cahaya warna merah cerah terasa memenuhi dirinya. Mengingat beberapa nasihat kakeknya yang tersambung dengan apa yang dia alami dan ingin dia lakukan sekarang. Setelah bayangan masa kecil dan kakeknya mereda, otaknya berputar ke arah masa kini. Mengingat-ingat kejadian dimana Mentari ada di dalamnya. Pesta Kebun. Pulau Natuna. Acara kumpul-kumpul. Dia mencoba mengingat dengan detail. Satu dua kejadian membuatnya terpaku. Otaknya menerawang lagi membayangkan Samudera. Melihatnya sebagai sosok yang sangat berjarak dengannya. Dia memutar kembali ingatan tentang kebersamaannya dengan Samudera. Dia ingat dengan berbagai upayanya agar Samudera memperhatikan dirinya. Safira menghabiskan waktu selama 3 jam untuk melakukan semua proses itu. “Aku belum kehilangan panggung. Samudera hanya membuat jarak tak terlalu jauh denganku. Aku masih bisa mengendalikan semuanya. Lihat saja Mentari. Lihat saja. Dan kau, tak pernah bisa mengungguliku! Akulah yang harusnya menjadi putri di Istana itu. Bukan kau!”, tekadnya. *** Ada perasaan khawatir di hati teman-temannya ketika melihat tayangan video amatir itu. Mereka, yang sudah biasa dengan kehidupan kelas atas, menyadari beberapa kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Tak ada yang bisa dilakukan terhadap media. Tidak akan ada gunanya. Helena, Friska, dan Viona memutuskan segera bertemu dengan Mentari. Dini pun dipanggil dan diajak untuk memastikan kondisi Mentari. Mentari memang terlihat panik. Walau posisinya aman, dia merasa gelisah yang tak jelas alasannya setelah melihat video itu dan membaca makin meningkatnya animo publik untuk menggali informasi tentangnya. Dia membayangkan profesor di universitasnya, teman-teman seangkatannya, teman-teman yang sama-sama bekerja sampingan 131 | M e n t a r i S e n j a
dengannya, teman-teman sekolahnya. Mereka pasti sudah melihat berita itu. Karena kali ini, wajahnya sangat jelas terlihat. Natural seperti biasa yang dia tampilkan. Tak ada make up. Tak ada samaran. Sangat mungkin, mereka ditanyai tentangnya. Dia merasa sudah banyak menyusahkan banyak orang. Kini, kejadian itu memungkinkan menambah lebih banyak lagi yang disusahkan. Kehadiran 4 sahabatnya sangat dia syukuri. Dia membagi inti kecemasan dan kekhawatirannya. Dini, Friska, Helena, dan Viona membantunya untuk berpikir rasional. Mereka sepakat, yang sekarang lebih terancam justru Safira dan keluarganya. Posisi Mentari malah diuntungkan dengan makin banyaknya orang yang pro pada Mentari. Makin banyak orang yang menaruh simpati. Namun, Mentari malah merasa bersalah ketika isu itu dialihkan pada Safira. Yang membuatnya kini bisa melihat apa yang akan dialami Safira. Mungkin lebih berat daripada yang dia rasakan. Mendengarkan kegelisahan itu, sahabat-sahabatnya salut dengan kepekaannya. Seharusnya dia tak merasa bersalah bahkan mungkin senang. Tapi justru, sebaliknya. Dia mengatakan, dia sangat berusaha tidak merugikan orang lain, siapa pun itu. Terserah orang itu dianggap layak mendapatkannya atau tidak. Ketika dia membalas katakata dan tindakan Safira kemarin lusa, dia pun meniatkan untuk sekedar membuat Safira bisa berpikir. Tapi kini, setelah ada publikasi yang tak bisa disangkal lagi kebenarannya, bagi Mentari itu sangat berlebihan. Dini dan Viona sampai menginap selama 2 hari untuk menemaninya agar kegelisahan dan rasa bersalahnya. Friska dan Helena meluangkan waktu untuk berkumpul juga. Sampai akhirnya, Mentari sadar, dia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menerima dan menunggu apa yang terjadi. Di sela-sela itu, Ibunda Ratu juga membantu menenangkannya. Termasuk Raja Angkasa dan Pangeran Samudera yang meneleponnya dan memintanya untuk tetap santai dan menghadapi kejadian ini dengan kepala dingin. Dengan dukungan itu, Mentari menjadi lebih tenang lagi. Bersyukur bahwa orang-orang di sekelilingnya mengasihi dan memperhatikannya. Ketika sudah tenang, Dini dan Viona pun pulang ke rumahnya masingmasing. Friska dan Helena melanjutkan kegiatannya lagi. *** Seminggu telah berlalu. Mentari baru saja selesai berlatih menari ketika dia menerima telepon dari nomor yang tak dikenal. “Halo, Mentari?”, sebuah suara yang terdengar serak dan lemah menyapanya. “Ya? Saya bicara dengan siapa ya?”, tanya Mentari. Suara itu familiar. “Aku, Safira...”, jawab Safira dengan nada serak. Terdengar menangis. “Eh? Sa..Safira..ada apa? Kamu kenapa?”, Mentari yang sudah memaafkan Safira dan jatuh kasihan padanya bertanya dengan nada bersahabat. “Aku..aku dimarahi, ayahku, Tari.. Aku, aku sadar aku salah. Aku ingin minta maaf. Aku ingin bicara denganmu”, Safira terisak-isak. “Ya, ya, Safira.. Apakah kamu baik-baik saja?”, Mentari bertanya khawatir. “Aku ingin bertemu denganmu malam ini...Aku ingin bicara denganmu.. Apakah kamu bisa bertemu denganku? Hanya denganmu saja..aku malu dengan yang lain..” “Y—yaa, tentu saja. Aku mau. Mau bertemu dimana?”, tanya Mentari. Safira menyebutkan alamatnya. Mentari segera mencatatnya. “Aku masih di rumah..baru bisa keluar setelah ayahku keluar..Bisakah bertemu jam 9 malam di hotel itu?”, tanya Safira dengan isakan yang sudah mereda. “Ya, ya..bisa..”, jawab Mentari. “Tolong jangan ada yang tahu ya, Tari..aku benar-benar malu. Belum siap bertemu siapa pun selain kamu”, pinta Safira. “Iya, iya...” 132 | M e n t a r i S e n j a
“Terima kasih ya, Tari..kamu ternyata baik.. Sampai ketemu ya..” “Iya”. Klik. Telepon pun ditutup oleh Safira. Mentari merasa lega. Inilah yang dia mau. Dia tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun. Dia menyesali mengapa dia malah membalas tindakannya dulu. Kalau tahu kejadiannya akan heboh dan diketahui publik begini, tentu Mentari tak akan melakukan hal seperti itu dan akan lebih menahan diri. Dengan semangat dan hati yang senang, Mentari mempersiapkan diri. Memikirkan cara keluar dari istana tanpa menggunakan mobil. Dia ingat dengan kebiasaan joging malam-malamnya dulu ketika awal dia ada di sini. Dia tersenyum. Dengan mengenakan baju olah raga dan sweater ber-capucon, sepatu kets, Mentari berlari kecil menuju gerbang. Saat tiba di gerbang, pengawal menahannya sebentar. “Tuan Puteri?”, tanyanya memastikan dengan sopan. “Eh, iya, Pak”, Mentari berhenti sambil tersenyum. “Wah, apakah Tuan Puteri mau joging lagi? Kembali ke kebiasaan lama?”, tanya pengawal itu dengan ramah. “Iya, Pak. Saya rindu situasi malam di sekeliling istana ini. Saya mau jogging ya? Mungkin 1 atau 2 jam”, jawab Mentari santai. “Tapi Tuan Puteri tak takut paparazi?”, pengawal itu memastikan. “Itu kan kalau saya bersama Pangeran, Pak. Ini kan saya sendirian”, jawab Mentari. “Baiklah kalau begitu. Silahkan, Tuan Puteri”, pengawal itu pun memberi kode pada temannya. Gerbang terbuka. *** Mentari lega. Dia berlari santai ketika sadar masih dalam jarak pandang mereka. Dia mengambil arah lain ketika mereka sudah tak terlihat. Penjagaan di gerbang dalam lebih ketat dari pada di luar. Mentari pernah mengeksplorasi bagian luar istana dan tak sengaja menemukan lubang keluar di salah satu dinding yang ditutupi semak-semak. Belakangan dia tahu, itu adalah lubang yang biasa digunakan Pangeran waktu kecil untuk melarikan diri bermain-main. Sampai di jalan, Mentari menyetop taksi. Menutupi kepalanya dengan capucon agar tak dikenali supir taksi itu. Melihat ekspresi supir taksi yang terlihat malas itu, Mentari lega. Mentari tak banyak tahu tentang jalur dan jalan di Jakarta. Dia menyalakan GPS di telepon genggamnya untuk memastikan dia sudah ada di jalur menuju tempat janjiannya. Ketika dia sampai di jalan yang terlihat lengang, Safira meng-smsnya, bertanya sudah sampai mana. Mentari bertanya pada supir taksi nama area yang dilalui. “Ini daerah Kebon Bambu”, jawab supir itu. Mentari membalas sms-nya. Kata supir itu, tempatnya masih setengah jalan lagi. Mentari mengangguk dan duduk dengan santai. 5 menit berlalu. Tiba-tiba, sebuah truk besar di depan, dari arah berlawanan, membantingkan badan kendaraannya, seolah menghindari sesuatu. Masuk ke ruas jalan yang akan dilalui taksi. Supir taksi dan Mentari menjerit. Taksi direm mendadak namun sudah cukup terlambat. Brak!!! Bagian depan taksi menabrak badan truk sampai ringsek. Walau sabuk pengaman belakang menahannya, karena tabrakan itu cukup keras, Mentari terhuyung dan kepalanya membentur bagian belakang kursi depan. Supir itu pun demikian. Tapi dia terhalang oleh balon udara darurat yang otomatis aktif ketika mobil terkena goncangan. Mentari tidak pingsan. Tapi dia merasa sangat pusing dan pandangannya terasa bergoyang. Dipegangnya keningnya yang berdenyut hebat. Ada cairan. Darah. Belum sempat dia mengembalikan kesadaran dan mengecek kondisi supir itu, dua orang berpakaian hitam memecah pintu kaca tiba-tiba.
133 | M e n t a r i S e n j a
“Awwwwwwwwwwww!!”, Mentari menjerit keras sambil melindungi diri dari serpihannya. Brak! Pintu terbuka. Satu dari orang itu membekap mulut Mentari. Satu orang melepaskan sabuk pengaman. Lalu mereka berdua menyeretnya dengan paksa. Mentari meronta-ronta. Berusaha melepaskan diri. Dua orang itu terlalu kuat. Mereka terus menyeretnya memasuki semak-semak. Di dalam semak-semak itu, kedua orang itu berhenti. Memasangkan lakban keras di mulutnya. Mengangkat tangannya, merentangkan ke belakang. Dan menahannya dengan kuat. Yang satu orang merentangkan kedua kakinya dan menahannya. Melihat bagaimana dia diperlakukan, Mentari terus berusaha berteriak walau tidak bisa. Berusaha merontaronta, walau cengkeraman dan himpitan di kedua kakinya sangat kuat hingga dia tetap tak bergeming dari posisinya. “Jangan posisi itu! Jangan posisi itu! Apa yang mau kalian lakukan?! Tolong, Tuhan, tolong! Tolong Hamba! Jangan lagi! Siapa mereka?! Oh Tuhan!”, begitu kata-kata di balik bekapannya. “Bos, sudah siap!”, teriak yang memegang kedua belah kakinya memanggil seseorang. Dari tempat gelap, seorang berbadan kekar dan besar berjalan mendekat. “Ahahaha! Inilah jenis kejahatan yang kusuka! Di bayar besar untuk memperkosa perempuan cantik dari keluarga kerajaan!”, suaranya besar dan terdengar menjijikan. Mendengar itu, air mata Mentari berurai. “Tidak lagi! Jangan lagi! Tolong, Tuhan! Pangeran! Dimana engkau?!”, begitu ucapannya dengan air mata yang tak berhenti. Baru saja lelaki besar itu membuka ikat pinggangnya sambil berdiri di antara kedua kaki Mentari, ada yang menggebuknya keras. Mentari yang sudah memejamkan mata sedari tadi, kaget mendengar itu. Dilihatnya 4 orang berpakaian hitam menghantam ketiga orang itu. Mentari yang sadar sudah lepas dari cengkeraman segera duduk dan mundur. Dia membuka lakbannya. Menangis. Dia berusaha berdiri, tapi sulit. Kakinya gemetar dan lemas. “Tuan Puteri! Ke tepi jalan!”, seseorang memberinya instruksi. Salah satu dari 4 orang yang sedang berbaku hantam. Mendengar itu, si lelaki yang mengikat tangannya hendak meraihnya. Tapi langsung dihadang lelaki lain. Dengan kaki yang gemetar dan hati yang sudah tak jelas rasanya, Mentari berusaha bergerak. Berjalan terhuyung-huyung. Ketika dia terjatuh, dia merayap. Berusaha berdiri lagi. Baru saja dia sampai di pinggiran jalan, sebuah sinar lampu meneranginya. “Tariiiiiiii!!!”, seseorang berteriak sangat cemas. Mentari mengenali suaranya. “Pa..Pangeran?!”, teriaknya ragu. Pangeran Samudera berlari kencang menuju Mentari. Dan langsung memeluknya erat. “Pangeraaan!”, meledaklah tangis Mentari di pelukannya. “Oh Tuhan! Oh Tuhan!”, hanya itu yang bisa dikatakan Pangeran Samudera sambil memeluk erat perempuan yang sudah melemas badannya itu. Segera, Pangeran Samudera menggendongnya dan membawanya menuju mobil limosin kerajaan. Raja Angkasa yang menyusul mendekati, menyambutnya dengan cemas juga. Mereka masuk. Mentari sudah tak mampu menumpu badannya. Ketika didudukkan, badannya menggelosor. Pangeran Samudera segera menahannya. Dia atur posisi Mentari dengan susah payah dan dia letakkan kepala Mentari di pangkuannya. Raja Angkasa yang duduk di depan mereka, menatap dengan pandangan yang sangat risau. Badannya dicondongkan ke depan. Kedua tangannya disatukan, diletakkan di atas pahanya, dan menumpu mulutnya. Pikirannya berkecamuk. Menebak banyak hal. Air mata tak berhenti meleleh dari sudut mata Mentari. Mulutnya terkunci. Matanya terpejam. Pangeran Samudera membelai rambutnya dan mengusap air mata itu tak lelah. 134 | M e n t a r i S e n j a
Dalam kendaraan yang melaju menuju Istana itu, mereka terdiam. Tenggelam dalam emosi masing-masing. *** Baginda Sepuh sudah menanti ketika mereka datang. Mentari langsung ditandu dan dibawa ke kamarnya. Baginda Ratu, dokter dan perawat kerajaan segera melakukan tugasnya sesuai instruksi. Tak ada pelayan yang berkeliaran. Hanya tim kecil yang mengurus itu. Pangeran, Raja Angkasa, dan Baginda Sepuh bertemu di ruang pribadi Raja Angkasa. Di antara ketiga wajah itu, hanya Baginda Sepuh yang lebih tenang dari yang lain. Mereka tak banyak bicara dan masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Di antara waktu itu, Baginda Sepuh menerima telepon dari anak buahnya. Salah seorang di antara 4 orang yang menolong Mentari di saat-saat genting tadi. Baginda Sepuh menyampaikan situasi yang dijelaskan oleh kepala tim penyelidik yang sudah dia percaya bertahun-tahun itu. Mereka membahas masalah itu dengan serius. Pangeran Samudera yang paling terlihat emosional. Ketika bahasan itu selesai dalam hitungan 2 jam, Pangeran Samudera bergegas menuju pondokTteratai. Sementara Raja Angkasa memanggil semua kepala pelayan yang malam itu terjaga, termasuk tim inti pengawal kerajaan. Didampingi Baginda Sepuh, mereka mengadakan rapat mendadak. *** Mentari sudah tidak terlihat terlalu pucat seperti tadi. Dia menyandar di dinding dipan. Ketika Pangeran Samudera masuk, Ibunda Ratu meminta dokter dan tim perawat keluar ruangan diikuti olehnya. Dia menepuk bahu Samudera pelan sebelum dia meninggalkan ruangan. Pangeran langsung duduk di samping Mentari ketika sudah tidak ada orang lagi. “Sekarang bagaimana kondisimu?”, tanyanya lembut sambil memegang tangan Mentari yang lemas. Mentari menatapnya, berusaha tersenyum. “Sudah lebih baik”, jawabnya sambil menatap sayu pada Pangeran. Dia sudah tak memikirkan lagi masalah debaran jantung dan desiran di dalam dirinya. Tak peduli dengan semua itu dan memilih merelakannya. Menerima kehadiran Pangeran yang membuatnya merasa nyaman dan terlindung. Ditatap seperti itu, Pangeran merasa hatinya runtuh. Dia mengubah posisi dengan menyandarkan badan ke dipan juga. Direngkuhnya bahu Mentari dan dia mengarahkan wajah itu ke dadanya. Memeluknya lembut. “Tidurlah Tari.. Aku tidak akan pergi sebelum kamu tidur”, bisik Pangeran. Mentari, yang nuraninya menginginkan Pangeran menemaninya malam itu, mengangguk. Dia menggelosorkan badannya. Tidur menyamping, menghadap badan lelaki itu. Pangeran mengelus-elus rambut dan punggungnya pelan. Perlahan, karena nyaman dan hangat, Mentari pun terlelap. Ditatapnya Mentari yang kini terpejam dan bernafas tenang teratur. Dia bersyukur gadis itu selamat dari mara bahaya. Dia bersyukur ada masalah dengan jet pribadinya hingga mereka bisa menggunakan maskapai penerbangan umum; sehingga ketika Baginda Sepuh memintanya menuju tempat itu, mereka bisa dengan cepat mencapainya karena jalan itu sejalur dengan arah pulang. Bersyukur mereka pulang lebih lambat 1 hari dari yang dijadwalkan karena butuh waktu lebih lama untuk meredam sedikit kerusuhan internal di BUMK Sulawesi. Bersyukur, Eyangnya punya intuisi dan perhitungan yang tepat, yang tak terpikirkan olehnya dan juga oleh ayahnya, hingga dari sejak Mentari keluar dari Istana melalui lubang kecil di gerbang luar, tim investigasi khusus Eyangnya sudah mengikuti. Bersyukur tim itu amat profesional dan dapat diandalkan yang menunggu hingga kejahatan 135 | M e n t a r i S e n j a
sesungguhnya terjadi. Bersyukur, perempuan yang mulai disayanginya itu, berhasil lolos dari kejadian tragis yang kedua kalinya itu. “Dari sejak saat ini, aku berjanji, aku akan lebih memperhatikanmu, lebih menjagamu, dan lebih melindungimu, Mentari...ku”, ucapnya pelan pada Mentari yang kini kepalanya menyelusup ke dadanya. Pangeran beranjak pelan. Mengambil guling menggantikan badannya. Membetulkan letak selimut. Dan dia mengecup kening Mentari agak lama sebelum kemudian pergi meninggalkan kamar Mentari. *** Di sebuah kamar motel, seseorang tersenyum melihat ke arah jam. Menunjukkan pukul 11.00. Diambilnya sebuah telepon genggam tua. “Bagaimana?” “Sudah selesai, Tuan”, jawab yang disana pendek. “Oke. Bagus”. Telepon ditutup. ***
Petuah Baginda Sepuh Mentari merenungkan kejadian tadi malam. Dia duduk di beranda belakang rumah. Berbaring melihat hijaunya rerumputan, bunga-bunga di taman kecil, dan mendengarkan bunyi air juga suara burung yang bersahutan dari arah hutan kecil jauh di depannya. Dia ingat tadi malam, Safira menghubunginya. Dia berusaha menelepon nomornya, tapi sudah tidak tersambung. “Apakah para penjahat itu disuruh olehnya? Tapi mengapa? Apakah dia sampai harus melakukan itu padaku? Ah, tidak mungkin! Bisa jadi ini kebetulan yang buruk”, katanya dalam hati. Bayangannya melayang pada perkelahian kecil itu. Juga pada momen-momen dimana dia melihat muka tak suka Safira setiap bertemu pandang dengannya. Karena penasaran, dia membuka tabletnya dan melakukan pencarian mengenai Safira, yang dulu tak terpikir olehnya untuk mengenali lebih jauh dengan cara seperti ini. Ada banyak artikel majalah memuat tentang dirinya. Juga fotonya bersama anggota keluarganya. Ayahnya tampak tinggi, tegap, dan berwibawa. Ibunya sangat cantik dan elegan. Ada seorang anak kecil yang dipangku ibunya. Tampaknya, itu adik Safira. Juga seorang lelaki yang kelihatannya itu adalah Kakak Saifra. Safira adalah orang yang berprestasi dari sejak kecil. Memenangkan banyak lomba keteladanan. Ketika dia berusia belasan tahun, dia bahkan menjadi kandidat lomba-lomba siswa berbakat bertaraf internasional. Selain itu, beberapa majalah perempuan memuatnya sebagai tokoh perempuan muda Indonesia lengkap dengan berbagai pencapaian. Kegiatannya tidak melulu tentang prestasi. Tapi juga menjadi founder beberapa yayasan sosial. “Ah..itu rupanya mengapa video ini menjadi sangat buruk untuknya. Mungkin, dengan dimuatnya video itu, image-nya yang luar biasa itu runtuh hanya dalam hitungan 10 menit. Mengapa juga dia begitu terganggu denganku jika memang dia sebegini hebat?”, gumamnya lagi. Dia membaca juga latar belakang keluarganya. Ayahnya Ronggowasito Kencana Putra. Bangsawan besar dan pengusaha kaya raya yang masuk dalam 5 besar orang terkaya di Indonesia. Banyak jenis bisnis yang dikelola. Tak terpusat pada satu atau dua 136 | M e n t a r i S e n j a
jenis. Garis bangsawannya sangatlah dekat dengan keluarga Raja. Kakeknya, Abimayu Kencana, adalah putra dari adik permaisuri Raja sebelum di masa kepemimpinan Raja Nusantara, Baginda Sepuh. Itu artinya, ketika masa kepemimpinan Baginda Sepuh, Abimayu Kencana adalah sepupunya. Beberapa artikel lama memuat rumor tentang keluarga Safira. Bahwa Ronggowasito tak secerdas dan tak selihai ayahnya dalam menjalankan bisnis. Dia bisa mempertahankan posisi dan kekayaan karena memang hartanya sangat banyak. Dikabarkan Abimayu Kencana menghilang dan tidak jelas sekarang ada dimana. Sebagian menduga dia beristirahat di luar negeri. Sebagian mengatakan Abimayu kemungkinan dibunuh. Membaca bagian itu, Mentari terdiam. Penasaran dengan rumor, Mentari melakukan pencarian lagi. Ternyata, banyak rumor buruk terkait keluarga bangsawan. Tapi artikel-artikel itu hanya sekali dua kali membahas rumor yang sama. Lalu menghilang. Rumor penculikan, pembunuhan, perselingkuhan, perjudian, ketergantungan pada obat-obat terlarang. Memang berita-berita itu adalah rumor. Namun, ada rasa ngeri dalam hatinya. “Apakah begini kehidupan kalangan bangsawan dan kalangan orang-orang kelas atas? Jika hal-hal buruk itu benar-benar terjadi di kalangan bangsawan, bagaimana dengan keluarga Raja?”, tanyanya. Ditelusurinya riwayat keluarga Raja. Mentari tercengang. Upaya-upaya pembunuhan banyak dimuat. Dari sejak Baginda Sepuh, Raja Angkasa II, dan bahkan Pangeran sendiri. Kejadian terbaru adalah 5 tahun lalu. Terhadap Raja Angkasa II dan Ratu Selasih. Kemudian skandal-skandal Pangeran dan efeknya pada animo masa mengenai calon Raja Indonesia itu. Isu perselingkuhan Putri Maharani dan Putri Dewi Sinta, sepupu Pangeran. “Ya, Tuhan... Beginikah kehidupan di sini? Dan aku sudah ada di dalamnya?”, Mentari menutup wajahnya. Menarik nafas panjang berulang kali. Dia merenungkan kakeknya. Mempertanyakan di bagian mana kakeknya terkait dengan Baginda Sepuh. Dia cari nama Widak. Ki Widak. Tidak ada hasil apapun yang terkait dengan kakeknya. Lalu dia berpikir, tentu saja tidak ada keterangan, kakeknya hanya orang biasa. Kemudian, Mentari mencari terbalik. Sahabat dekat Raja Angkasa I. Sahabat dekat Baginda Sepuh. Ada banyak artikel. Nama-nama dihighlight secara otomatis. Abimayu Kencana muncul lagi. Foto-foto mereka saat berdiskusi dan berkegiatan dimuat. Kemudian nama-nama lain. Mentari kenal beberapa diantaranya sebagai tokoh pembangunan yang penting di negeri ini. “Tidak ada cerita tentang kakekku. Ahhhh! Jadi benar atau tidak Aki ini bersahabat dengan Baginda Sepuh? Oh Tuhaaan...kenapa kalian sangat suka menutupi kisah?!”, seru Mentari agak pelan. Takut para pelayan datang menghampiri jika dia mengeraskan suaranya. Tanpa sengaja, sebuah gambar terbuka karena hentakan jarinya pada tabletnya. Mentari tadinya mau menutup foto itu. Tapi kemudian matanya terpaku pada sebuah wajah yang nampak blur. Warna foto itu hitam putih. Foto dimana Raja Angkasa I meresmikan gedung Fakultas Filsafat di Universitas Kerajaan Indonesia. Banyak orang difoto. Dan ada sebuah wajah yang dia kenal terselip diantara wajah-wajah lain. “Aki?”, serunya agak senang. Dia berusaha menzoom foto itu. Namun pecah. “Ahhhh...yahhh”, keluhnya kecewa. Nama Universitas Kerajaan Indonesia dia ingatingat. Universitas yang dulu sangat dia impikan. Namun kemudian mimpinya luntur ketika duduk di bangku kelas 3 SMA. Terkungkung dengan masalah ekonomi dan memikirkan biaya hidup tinggal di Jakarta. “Baiklah. Kapan-kapan, kalau segalanya sudah lebih tenang, aku akan mengunjungi universitas ini”, ucapnya kemudian.
137 | M e n t a r i S e n j a
Dia menarik nafas panjang lagi. Ketertarikannya pada Safira yang kemudian berujung pada identitas kakeknya, membuatnya sedikit terlupa dengan kejadian buruk semalam. Mentari juga bingung dengan kondisi jiwanya yang tampaknya tak terlalu lemah lagi. Semalaman dia memang merasa lemas. Bahkan mengalami mimpi buruk yang tak sempat dia ingat. Namun, sekarang, dalam kondisi lemah sekalipun, dia merasa ada yang masih menyala di hatinya. Membuat pikirannya tidak mati. Membuat hatinya lebih mudah menggapai ketenangan. Dia menutup matanya. Merasakan segarnya udara. *** Pintu diketuk. Mentari terperanjat karena hampir terlelap lagi. Dia membuka pintu depan. Baginda Sepuh. “Eh..Baginda Sepuh”, sapanya agak rikuh. “Bagaimana Mentari, kabarmu sekarang?”, tanya Baginda Sepuh sambil merangkul bahunya dan berjalan masuk. Menuju beranda belakang kembali. “Sudah baikan, Baginda Sepuh. Jauh lebih baik. Terima kasih”, jawab Mentari agak merundukkan bahu. Mereka duduk menghadap ke arah lapangan rumput, kolam renang, dan kerumunan pohon di hutan kecil kerajaan. “Baginda Sepuh, siapakah mereka yang ingin mencelakai Hamba? Hamba merasa kurang paham. Apakah Hamba melakukan sesuatu yang mengganggu mereka?”, Mentari kurang bisa menahan pertanyaan itu. Yang membuatnya gelisah karena dia merasa seperti ada di tempat yang gelap gulita. Sementara ada yang mencambuknya tanpa terlihat. Menghadapi ancaman tanpa tahu dengan jelas apa yang ada di hadapan dan di sekitaran itu amat menggelisahkan sekali. “Ini masih dalam penyelidikan, Mentari. Mereka yang mencelakaimu hanya penjahat bayaran. Jadi, ada yang menyuruh mereka. Tapi, belum bisa disimpulkan itu siapa”, jawab Baginda Sepuh. Mentari terdiam. “Oh ya, kamu sendiri, hendak kemana malam-malam keluar sendirian seperti itu?”, tanya Baginda Sepuh dengan nada ringan. “Ummm...maafkan Hamba, Baginda Sepuh. Karena Hamba keluar seperti itu, jadinya semua orang ikut repot”, mendadak Mentari merasa bersalah. “Hey..tak usah merisaukan itu. Memang ini harus terjadi. Kakek tahu, pasti ada sesuatu yang penting yang harus kamu lakukan sampai keluar dengan tidak memberitahu kepada orang lain. Kakek hanya ingin memastikan, apakah mungkin alasanmu keluar berkaitan dengan kejadian buruk itu”, kata Baginda Sepuh. Ringan. Santai. Membuat Mentari merasa aman. “Iy...iya, Baginda Sepuh. Tapi, Hamba ragu untuk menyampaikan ini”, Mentari menyampaikan risau hatinya. Dia memang belum membicarakan mengenai telepon Safira itu kepada siapa pun. Belum ada juga yang bertanya. Dia juga masih harus mempertimbangkan apakah dia sebaiknya memberi tahu ini pada orang lain atau tidak. “Mengapa ragu, Nak? Apa yang membuatmu merasa tak enak?”, tanya Baginda Sepuh sambil tersenyum penuh pengertian. “Karena...karena mungkin ini terkait dengan Pangeran. Hamba tak mau menyakiti hatinya”, jawab Mentari dengan nada gamang. “Hmmm...terkait dengan Pangeran? Kakek makin bingung mendengarnya. Tapi, kakek ingin menyampaikan sesuatu padamu. Jika kebenaran dibalik ini tak terkuak dengan jernih, maka apakah mungkin Pangeran juga akan lebih tersakiti?”, tanya Baginda Sepuh dengan nada yang lebih tegas.
138 | M e n t a r i S e n j a
Mentari terdiam. Memikirkan itu baik-baik. Dia berusaha berpikir logis. Memikirkan efek dari kejadian ini dalam jangka panjang. “Iy..iya juga, Baginda Sepuh. Tapi, tapi saya betul-betul merasa tidak enak...”, Mentari ragu. Baginda Sepuh tidak berkata apa-apa. Hanya menatapnya dengan tersenyum. Senyum yang membuat hati Mentari tenang. Membuat Mentari teringat dengan kata-kata almarhum kakeknya. ‘Apapun itu, ikutilah permintaan teman kakek. Apapun yang terjadi’. Ketika dia ingat itu, hatinya tersentak. Maka dia terpikir dan tergerak mengambil keputusan. “Baginda Sepuh, apakah kira-kira Baginda Sepuh bisa menjaga informasi yang akan saya sampaikan? Saya sadar, saya perlu menyampaikan ini”, ucap Mentari kemudian. “Ya, ya, Nak..Tentu saja”, jawab Baginda Sepuh sambil tersenyum. “Mungkin Baginda Sepuh sudah melihat tayangan video yang dipublikasikan televisi paling ternama di negeri ini. Ketika Hamba melihatnya, Hamba merasa sangat tidak nyaman. Terutama, Hamba memikirkan mengenai Safira”, Mentari mengambil jeda. “Hmmm”, Baginda Sepuh mengangguk-angguk. “Dibandingkan dengan Hamba, mungkin beban yang dia rasakan lebih berat. Apalagi kemudian Hamba menyadari, melalui kajian informasi yang Hamba telusuri, kejadian itu pasti menghantam harga dirinya yang dia bangun dengan susah payah selama ini. Maka ketika kemudian dia menghubungi Hamba setelah kurang lebih seminggu untuk bertemu dan membahas masalah ini, Hamba sangat senang. Tapi, terjadilah kejadian buruk itu bahkan sebelum Hamba bisa bertemu dengannya. Hamba berusaha menghubungi nomor yang dia gunakan untuk menghubungi Hamba, tapi sudah tidak aktif”, tutup Mentari sambil sedikit menunduk. Ada perasaan lega. Pun perasaan tak enak setelah menyampaikan itu. “Ya, ya, ya..kakek bisa paham. Sangat paham. Kakek bangga kamu bisa berpikir seperti itu. Memikirkan berada di posisinya. Itu sangat bagus. Tapi, Mentari, ada banyak hal di dunia ini yang tak memperlihatkan hal yang asli. Secara naluriah, pasti orang ingin terlihat baik dan bagus di depan mata orang lain. Tapi bukannya sangat aneh jika manusia terlihat baik terus? Sementara manusia punya sifat-sifat buruk juga yang sudah menjadi bawaan alaminya. Maka, kita tak bisa selamanya menilai orang dari sudut pandang kita saja. Kita memerlukan fakta-fakta yang memperlihatkan lengkapnya warna setiap manusia. Di lingkunganmu dulu, dengan fokusmu untuk mencari nafkah agar bisa makan, mungkin kamu tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal seperti ini. Maka bisa dimaklumi jika caramu melihat orang lain dinilai sama dengan cara pandangmu sendiri. Di lingkunganmu yang sekarang, dengan kondisimu yang tak lagi memikirkan bagaimana agar kamu bisa makan tanpa memikirkan hari besok mau makan dari mana, tentunya kamu akan punya waktu lebih banyak untuk memikirkan hal-hal ini. Kakek memintamu untuk memikirkan banyak kemungkinan tentang jiwa dan kepribadian seseorang. Sehingga, kamu bisa mengukur dengan baik dan bisa mengetahui cara mengimbanginya tanpa mengorbankan nyawamu sendiri. Dalam hal mengenai Safira ini, kakek agak tidak setuju dengan penilaianmu dimana dia bisa mendapatkan segala pencapaian itu dengan susah payah. Belum tentu. Karena dia, dari sejak kecil, hidup di lingkungan yang sangat memadai. Keluarganya pun terpandang. Apakah usahanya seberat kamu untuk mewujudkan apa yang kamu inginkan? Kakek tak berani menilai. Dia terlihat lebih hebat dibandingkan putri-putri bangsawan lain? Ya, mungkin itu betul. Tapi membandingkan dirinya dengan semua orang, termasuk yang miskin secara ekonomi, pastinya tak semudah itu juga mengambil kesimpulannya. Tapi, kakek berterima kasih, kamu bisa menyampaikan sudut pandangmu. Tidak ada sudut pandang yang salah. Hanya kamu, perlu membukakan pandangan-pandanganmu itu. Karena kamu sekarang diberi kesempatan untuk melihat jenis kehidupan lainnya yang mungkin belum pernah kamu alami sebelumnya”, kata Baginda Sepuh panjang lebar. 139 | M e n t a r i S e n j a
Nadanya mengalun lembut ketika berkata-kata. Mentari merasa dihempaskan sebuah gelombang tapi kemudian merasa dibelai dan dipeluk setelahnya. “Ya, Baginda Sepuh...Hamba masih perlu banyak belajar”, respon Mentari kemudian. Dengan nada malu. “Tentu, tentu. Jalan hidup bisa ditemukan dengan belajar. Belajar dalam hal apa pun. Selama kamu terbuka, kamu bisa berbesar hari menerima setiap kelemahan, maka kamu sudah berada di jalur yang tepat”, ucap Baginda Sepuh. Memandang mata Mentari lebih dalam. Mentari tersenyum. Lega. “Mmm, tapi Baginda Sepuh, boleh Hamba tanya sesuatu?”, tanyanya kemudian. “Tentu, tentu Nak.. Bertanyalah untuk apa pun yang kamu ingin tahu” “Mengenai kejadian tadi malam, bagaimana bisa para pengawal itu mengetahui Hamba sedang dalam bahaya? Hamba merasa sangat bersyukur mereka datang tepat waktu. Hingga, Hamba bisa terselamatkan. Dan siapakah mereka? Hamba ingin mengucapkan terima kasih untuk apa yang telah mereka lakukan” “Aaahhh..ya ya ya. Ini adalah apa yang kusebut langkah antisipasi. Suatu perwujudan dari kata-kata Kakek tadi. Kita tak bisa menilai sesuatu dari permukaannya saja. Ketika Kakek melihat tayangan televisi itu dan melihat siapa yang kamu ajak berdebat, melihat siapa yang kamu lawan dengan telak, Kakek merasa bangga sekaligus khawatir” “Eh?”, Mentari kaget mendengar bahwa Baginda Sepuh ternyata memperhatikannya sedemikian. Mentari pikir, orang seperti Baginda Sepuh tak mungkin mau meluangkan waktu melihat hal-hal seperti itu. “Ahahaha, kamu pikir Kakekmu yang sudah tua ini tidak suka gosip? Justru itu hiburan masa pensiunku yang paling menyenangkan”, Baginda Sepuh tertawa. Mentari tertunduk malu, karena pikirannya tertebak dengan telak. “Kakek tahu siapa itu Safira Kencana Putri. Tahu latar belakangnya. Dan pernah juga menggendongnya saat dulu dia masih bayi. Dia adalah cucu sepupu Kakek. Walaupun keluarga mereka masih terhitung kerabat, Kakek, yang hidup di tengah panasnya kursi kekuasaan, tentu perlu mengukur banyak hal. Melihat seseorang dari berbagai sudut pandang. Itulah pekerjaan utama Kakek untuk bisa mengambil suatu keputusan yang paling bisa diterima oleh banyak orang. Maka ketika Kakek melihat kejadian itu, Kakek mengkhawatirkan banyak hal. Khawatir padamu, khawatir pada Safira, khawatir tentang latar belakang kalian masing-masing, khawatir tentang efek dari tayangan itu. Seranganmu yang cerdas, berkepala dingin, dan tajam itu, pastinya sangat mungkin membuat seseorang terluka”, Baginda mengambil jeda ketika dilihatnya Mentari menunduk di bagian kata-katanya yang terakhir. “Tapi kamu tidak salah, Nak. Kamu hanya membela diri. Dialah yang memulai bukan? Maka wajar jika kemudian dia menuai akibatnya. Kejadian itu sendiri sebenarnya bukan masalah besar dan malah pengalaman yang sangat bagus untukmu, untuk dia, untuk teman-temanmu, untuk Pangeran. Namun kemudian, itu menjadi lain ketika seorang paparazi lihai yang hanya ingin mendapatkan penghasilan lebih baik, membuat kejadian itu bisa dinikmati publik. Sekilas, itu masalahnya. Tapi kalau dikaji lebih jauh dan dikaitkan dengan jalan nasib manusia, ya kejadian itu memang harus terjadi seperti itu mungkin. Maka dari itu, Kakek mengantisipasi kekhawatiran Kakek untukmu. Kakek telah berjanji sepenuh hati pada almarhum Kakekmu. Dan Kakek bertekad melindungimu sebaik mungkin selama Kakek masih hidup. Kakek meminta bantuan tim andalan Kakek untuk mengawasimu dari jauh. Setidaknya secara intensif dalam 2 minggu setelah tayangan itu dipublikasikan. Jika kemudian tak terjadi apa-apa, tentu Kakek akan menarik mereka kembali. Artinya, kekhawatiran Kakek tak 140 | M e n t a r i S e n j a
beralasan, hanya kekhawatiran seseorang yang sudah tua yang kurang pekerjaan, hehehe... Sayangnya, Kakek benar. Maka mereka pun melakukan tugasnya tadi malam. Menyelamatkanmu. Itulah ceritanya Nak”, jawab Baginda Sepuh. Mendengar itu, Mentari tak berhenti terperangah. Tak menyangka seserius itu Baginda Sepuh memikirkannya. Tak menyangka sedalam itu caranya berpikir. Ya, dia tahu siapa Baginda Sepuh. Tapi mengetahui dari luar dan mengenal dari dalam adalah sesuatu yang jelas jauh berbeda. Mentari, menarik nafas panjang. “Kamu tak usah merasa tidak enak Mentari. Maklum, Kakek ini sudah berpengalaman dengan percobaan pembunuhan atau pun hal-hal buruk lainnya. Ya itulah konsekuensi hidup sebagai Raja negeri ini. Itulah konsekuensi yang harus dihadapi ketika seseorang berada di puncak kekuasaan. Orang hanya melihat enaknya saja. Membayangkan berada di posisi yang sebenarnya penuh beban itu. Karena banyak orang yang sangat kreatif membayangkan posisi Kakek, tentu banyak orang yang berkeinginan untuk menggantikannya. Logis bukan?” Mentari mengangguk. Ya, dia bisa memahami secara logika. Walau dia tidak merasa ada di sana. “Maka Kakek sudah biasa melakukan langkah-langkah pengamanan. Tak terlalu merepotkan kalau hal-hal seperti itu sudah jadi kebiasaan. Maksudku, jangan khawatir dengan merasa merepotkan Kakekmu ini, ya?”, kata Baginda Sepuh memastikan sambil tersenyum penuh arti. Mentari tersentak lagi, bertanya mengapa Baginda Sepuh tampak bisa membaca apa yang ada dalam hatinya. “Nah, sekarang kakek yang mau tanya lagi. Tadi kamu bilang, rasa ragumu menyampaikan mengenai telepon Safira ini terkait dengan Pangeran. Nah, Kakek kok merasa kurang jelas ya dengan maksudnya? Memangnya ada apa antara Pangeran dan Safira?”, tanya Kakeknya dengan keingintahuan yang tak ditutupi. Ditanya itu, Mentari tentu agak gelagapan. Ingin sekali dia meralat kata-katanya tadi. Mengapa dia harus memasukkan isu Pangeran di dalamnya? Mengapa tidak dia pakai istilah teman misalnya? Sejenak dia berniat tidak menjawab itu. Tapi, melihat eskpresi Baginda Sepuh, dia merasa nasi sudah jadi bubur. Tak ada gunanya dia menutup diri. “Umm..kalau Baginda Sepuh pernah melihat banyak tayangan gosip, tentu Baginda Sepuh juga tahu kedekatan mereka yang sudah sangat lama. Dan Baginda Sepuh mungkin juga tahu, beberapa media menekankan dialah calon utama yang akan menjadi pendampingnya kelak”, jawab Mentari ragu. “Ahahaha! Ya, ya, ya, Kakek tahu itu. Walau tak terlalu banyak menaruh perhatian karena bosan dengan berita yang sama. Hmmm, tapi kita tidak tahu bukan siapa yang akan dipilih oleh Pangeran sampai waktunya tiba? Tak ada yang bisa dipastikan selama keputusannya belum ada”, komentar Baginda Sepuh dengan nada agak jahil. Mentari hanya mengelus kepalanya sendiri sambil menunduk mendengar itu. “Atau...kamu merasa yakin karena ada yang kamu lihat selain berita-berita gosip itu?”, tanya Baginda Sepuh, membuat Mentari lebih terhenyak lagi dibanding tadi. ‘Masa dia juga bisa membaca hal ini dariku?’, katanya pada dirinya sendiri. Dia merasa terpojok dan merasa lebih gamang lagi untuk menjawab pertanyaan itu. “Ahahahaha! Ya, ya, ya...Kakek mengerti. Ada jenis pertanyaan yang disebut retorik bukan, Mentari? Tak harus semua pertanyaan itu dijawab kalau kamu benar-benar tak mau menjawabnya. Kakek tidak memaksa. Tapi...kakek kembali lagi ke kata-kata Kakek yang awal, yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Kebenaran, kadang mampu menyembunyikan dirinya dengan baik dibalik sebuah tampilan yang sebaliknya. Mari kita tunggu saja. Apakah apa yang kamu lihat memang benar-benar suatu 141 | M e n t a r i S e n j a
kebenaran?”, kali ini Baginda Sepuh merasa tidak tega mendesak Mentari. Baginya sendiri itu tak sepenting informasi yang sebelumnya dikemukakan Mentari. Legalah Mentari. Merasa terbebas dari kewajiban menjawab. Terbebas dari perasaan takut tidak menghargai. Dia masih agak kurang mengerti dengan perkataan Baginda Sepuh tentang kebenaran. Dan hati kecilnya menolak pernyataan itu sebagian. Yang dilihatnya sangat jelas. Tak ada yang lebih jelas dari itu. ‘Mereka berciuman. Memangnya apa lagi yang harus disembunyikan dari itu?’ Tanyanya dalam hatinya sendiri. ‘Eh tapi, dia juga pernah menciumku’, mendadak pikiran Mentari beralih lagi. Sejenak dia diam. Ingat dengan berita skandal Pangeran yang terkenal senang main perempuan dan dijuduli Pangeran Playboy generasi Milenium. Ada rasa sedikit kesal, kecewa, tapi juga membenarkan pikirannya kemudian, ‘Dia hanya ingin menjahiliku. Apa lagi alasan yang paling mungkin dengan predikatnya itu?’. “Apa yang kamu pikirkan sampai matamu terlihat sayu begitu, Nak?”, tanya Baginda Sepuh menggugah pikirannya. Spontan, Mentari memukul kepalanya. Saking terlarutnya tadi, dia tak sadar masih ada orang yang duduk di dekatnya. Yang sedang sangat memberikan perhatian padanya. “Eh..tidak, tidak, Baginda Sepuh. Hanya melamunkan hal yang tidak jelas”, sergah Mentari cepat. Baginda Sepuh terkekeh. “Umm, tapi Baginda Sepuh, kembali lagi ke Safira. Apakah mungkin, apakah mungkin dia terkait dengan kejadian buruk tadi malam?”, tanya Mentari kemudian dengan nada khawatir. “Hmmm... Kakek tidak berani menyimpulkan, Mentari. Bisa jadi iya, bisa jadi itu kebetulan yang sangat buruk saja. Kakek, Baginda Raja, dan Pangeran berpikir seperti itu juga. Tentunya, kita harus menggali lebih jauh agar tahu kebenarannya”, ucap Baginda Sepuh. Mentari mengangguk-angguk. Senang karena pemikirannya sejalan. Dia tidak senang melihat dirinya memikirkan kemungkinan buruk yang dilakukan Safira. Masih gamang untuk menerima dugaan itu lebih jauh. “Lalu, apa yang bisa Hamba lakukan, Baginda Sepuh? Hamba kebingungan menghadapi situasi-situasi baru yang mengagetkan seperti ini”, tanya Mentari sungguhsungguh. “Kakek hanya bisa bilang jaga diri dan hati-hati untuk ke depannya. Kakek tidak bisa bilang lebih banyak. Kakek yakin, kamu sendiri bisa memikirkan rinciannya. Ikutilah naluri dan kata hatimu. Dan, oh ya, Kakek punya koleksi buku yang hanya ada satu-satunya. Kamu bisa meminjam dan membacanya”, Baginda Sepuh mengambil sesuatu dibalik jasnya dan menyodorkannya pada Mentari. Sebuah buku yang tampak lusuh. Cukup tebal. Berjudul: Panggung Sandiwara Manusia. Mentari mengambilnya dan melihatnya. Ki Buana Raya. Dia senang melihatnya. Ini buku kedua yang akan dia baca dari penulis yang membuatnya terkagum-kagum. “Nah, gunakan waktumu untuk beristirahat dengan baik sekarang. Kakek harus pergi dulu. Bangitlah dan terangilah dunia di sekitarmu, Mentari”, ucap Baginda Sepuh sambil berlalu. Mentari terperangah dan mengangguk segera. Mengikuti Baginda Sepuh sampai dia keluar dari Pondokan. Sehabis kepergian sosok yang bijaksana itu, Mentari tercenung. Mendadak ingat ada pertanyaan tentang kakeknya yang ingin dia tahu. Selalu begitu sehabis dia diajak bicara oleh Baginda Sepuh. Selalu lupa menanyakan tentang kakeknya. Tapi mungkin waktunya belum tepat, pikirnya. Dia melihat buku itu. Mulai membacanya saat itu juga. ***
142 | M e n t a r i S e n j a
Pasca Tragedi Pangeran Samudera sebenarnya ingin sekali mengunjungi Mentari dan bertemu dengannya setelah kejadian itu terjadi. Namun, dia diingatkan oleh Baginda Raja Angkasa mengenai resolusi konflik di BUMK Sulawesi. Berikut juga diingatkan oleh hal-hal lainnya. Maka dia memfokuskan perhatiannya pada pekerjaannya. Seminggu kemudian, saat dia baru selesai rapat di sebuah hotel, dia bertemu Safira yang kelihatannya menunggunya. Wajah Safira terlihat lebih pucat dari biasanya. Pangeran Samudera menarik nafas panjang. Dia sadar dia telah menghindari gadis itu sangat lama. Dia tahu, itu tidak baik. Maka, dia memutuskan, kali ini ini dia akan meluangkan waktu. “Samudera, bisakah kita bicara?”, tanya Safira pelan ketika dia sudah berjalan mendekat. “Ya, tentu saja. Tapi tidak di sini. Ikuti aku”, jawab Pangeran Samudera sambil berjalan menuju lift. Safira dengan patuh mengikuti. Ketika sampai di lantai kedua terakhir, Pangeran Samudera menekan tombol. Pintu terbuka. Mereka berjalan beriringan menuju sebuah ruangan. Mereka masuk. Ruangan itu tampaknya adalah sebuah ruangan untuk rapat dengan sedikit orang. Namun formasi kursi yang ada di dalamnya tampak nyaman dan tak terlalu formal. Pangeran membuka pintu ke luar ke arah balkon. Mempersilahkan Safira duduk dan dia sendiri berjalan menuju bar kecil yang ada di dalamnya. Menuangkan minuman dan membawa 2 gelas. Satu dia berikan pada Safira yang langsung menyambutnya. Keduanya terdiam sesaat. Memandang pemandangan kota Jakarta sore hari. Safira memutuskan untuk memulai pembicaraan. “Sam, aku ingin minta maaf atas kendaliku yang jebol waktu di restoran Wisnu. Aku benar-benar menyesali kejadian itu. Dan..tentunya, dengan sendirinya, aku telah merasakan akibatnya. Aku...benar-benar...menyesal... sudah menuduh Mentari ingin merebutmu dariku...aku...harusnya...”, Safira mulai tersendat-sendat. Air matanya mengalir. Melihat itu, Pangeran Samudera mengambil tisue dan memberikannya pada Safira. “Sudahlah..Jangan menangis.. aku tidak tahan dengan tangisan, Fira..Kau tahu itu..”, ucap Pangeran Samudera dengan nada lembut. “Apakah...apakah kau bisa memaafkan aku?”, tanya Safira dengan pandangan berkaca-kaca. Pangeran Samudera menarik nafas panjang. Dia menghirup minumannya. “Mengapa minta maaf padaku? Rasanya kamu tidak bersalah padaku. Jadi, tak perlu juga minta maaf. Hanya saja, aku, yang sudah kenal denganmu sekian lama, merasa kecewa melihat tindakanmu. Mungkin, sebaiknya kamu minta maaf pada Mentari. Orang yang kamu serang dengan dasar yang tidak jelas”, ucap Pangeran Samudera dengan serius. “Ya..memang niatku juga begitu. Aku sebenarnya sudah menghubungi dia sekitar seminggu lalu. Tapi dia tidak datang. Aku tidak tahu kenapa”, jawab Safira segera. “Menghubungi dia minggu lalu? Kapan tepatnya?”, Pangeran Samudera menatapnya heran. Memastikan informasi yang dia dengar. “Iya.. Kalau tidak salah malam senin. Ya, malam senin. Aku menunggunya di sebuah tempat yang terjaga privasinya. Dia sudah menyanggupi. Dia juga mengabariku di tengah jalan. Aku tunggu. Menunggu cukup lama. Tapi dia tidak datang-datang. Mungkin, apa dia berubah pikiran dan kembali lagi? Aku tidak tahu. Mungkin, dia belum siap untuk bertemu denganku. Mungkin dia sangat marah. Jadi, ya sudah, aku tidak berani menghubunginya lagi”, jawab Safira dengan serius. Pangeran Samudera menatapnya lama. Memikirkan kejadian buruk yang terjadi pada Mentari. Itulah mengapa Mentari keluar malam itu. Sejenak dia menduga bahwa Safira 143 | M e n t a r i S e n j a
punya niat jahat. Tapi dia berpikir lagi, mengapa justru Safira tanpa ditanya jujur mengatakan tentang hal itu. “Sam...Apakah kamu baik-baik saja?”, Safira memanggilnya. Menyadari Samudera termenung cukup lama. “Eh? Ya.. Aku baik-baik saja. Hanya saja...ah...bagaimana aku mengatakan ini. Di malam itu, para pelayan mengatakan hal aneh tentangnya”, Pangeran Samudera memutuskan mengambil resiko. “Hal yang aneh? Maksudnya?”, Safira terlihat kaget. Pangeran Samudera menarik nafas panjang. “Dia keluar dari istana untuk 3 jam lamanya. Biasanya dia jogging tak pernah selama itu. Lalu kemudian dia pulang dengan keadaan yang...apa kata mereka? Kusut masai, wajahnya dipenuhi tangisan, dan dia berjalan tertatih-tatih. Tapi menolak untuk dilayani dan mengurung diri kemudian. Yah kurang lebih seperti itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku coba tanya beberapa pelayan yang bertugas melayaninya, mereka juga bilang tidak tahu”, jawab Pangeran Samudera. “Apakah...apakah ada kejadian buruk yang menimpanya, mungkin?”, cek Safira dengan tatapan bingung juga. “Itulah yang aku tidak tahu. Ya mungkin ini bisa memberikan penjelasan padamu mengapa dia tidak datang. Mungkin kamu bisa menghubunginya lagi untuk mencoba berbicara”, jawab Pangeran Samudera. “Ahhh...ya, ya, ya.. Aku tidak terpikir ke sana. Baiklah, aku akan menghubunginya lagi. Kali ini, aku akan berusaha untuk menerimanya. Dan tak membiarkan diri dikendalikan pikiran picik seperti dulu. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Karena, apa yang dia katakan padaku, banyak menyadarkanku. Aku, lupanya, terlalu lupa diri dengan keakuanku selama ini. Mungkin karena, aku takut, kamu...tidak memilihku, Sam”, ucap Safira kemudian dengan menunduk. Pangeran Samudera memandangnya. Menyadari bagaimana tiba-tiba sekarang Safira terlihat lebih mau memperlihatkan kerapuhannya. Dia melangkah dan berdiri di dekat Safira. Mengelus bahunya sebentar. “Aku bersyukur kau berkata seperti itu. Itulah Safira yang dulu kukenal. Mungkin, bukan hanya pada Mentari kamu harus minta maaf, tapi juga pada yang lainnya. Kepada Mentari, bersabarlah. Berikan dia waktu dulu. Sepertinya semenjak malam itu ada yang aneh dan tidak terlalu baik terjadi padanya. Mengenai masalah pilihan calon pendampingku kelak, aku belum mau terlalu memikirkannya, Fira. Memang kamulah yang paling memenuhi banyak kriteria yang aku idealkan. Tapi, aku tak mau terlalu tergesa-gesa. Kita jalani saja seperti biasa. Dan mari kita lihat, apakah kita benar-benar cocok menjadi suami istri atau tidak”, jawab Pangeran Samudera dengan nada menenangkan. Mendengar itu, Safira berdiri dan langsung memeluknya erat. Pangeran Samudera tersenyum. Merangkulkan tangannya ke punggung gadis itu. Menepuk bahunya halus. Dan berinisiatif menarik diri lebih dahulu. Safira paham. Memang biasanya Samudera seperti itu ketika dipeluk. Tak terlalu hangat dan tetap berjarak. Mereka menghabiskan waktu beberapa menit lagi di sana. Membahas mengenai hukuman yang Safira dapatkan dari ayahnya. Menurutnya, walau awalnya dia sangat kaget, tak mau menerima, dan sempat menyalahkan semuanya pada Mentari, seiring waktu dan introspeksi yang dia lakukan, dia bisa menerima. Karena itulah, dia memberanikan diri untuk mencari tahu tentang jadwal Pangeran Samudera dan memutuskan bertemu tanpa memberi tahu terlebih dahulu. *** 144 | M e n t a r i S e n j a
Pertemuan mingguan antar mereka tetap berlangsung. Namun kali ini, Mentari yang dilarang oleh Baginda Ratu untuk keluar sementara waktu, tidak datang. Publikasi tak berhenti. Keluarga kerajaan mengkhawatirkan Mentari yang pastinya akan dikejar oleh paparazi. Selain itu, mereka juga masih mengkhawatirkan Mentari yang sedang ditangani tim dokter dan terapis kerajaan. Sebenarnya Mentari sangat ingin Helena yang menanganinya. Namun, karena pertimbangan tidak mau menyusahkan temannya dan tidak mau menambah beban permasalahan, maka Mentari mengikuti apa yang sudah diatur keluarga kerajaan. Lagipula, setelah berbicara dengan Baginda Sepuh dan membaca buku itu, Mentari memutuskan untuk tidak mebicarakan masalah kejadian malam itu pada temantemannya. Safira datang pada pertemuan itu. Mulanya, yang lain tampak membatasi diri dan menjadi sangat kaku. Namun, setelah dia berinisiatif untuk membahas masalah dua minggu lalu dan meminta maaf pada teman-temannya, mereka menjadi lebih cair. Helena, Friska, dan Viona yang tahu banyak mengenai Safira sebelumnya tak menyangka bahwa dia akan dengan sangat rendah hati meminta maaf. Karena Safira terlihat tulus dan sungguhsungguh, mereka pun menyambut Safira dengan baik. Semenjak pertemuan itu, Safira juga menjadi lebih perhatian pada mereka. Di suatu waktu, dia meminta maaf pada Viona secara pribadi karena kecenderungannya yang senang mem-bully Viona hampir di setiap kesempatan. Viona tentu saja kaget dan kemudian terharu dengan tindakan Safira. Yang lain pun merasakan perubahan itu dan menjadi lebih terbuka. Safira menjadi lebih menyenangkan dari pada dulu. Mereka bersyukur kejadian itu terjadi. Berusaha memberikan dukungan pada Safira atas efek negatif yang dia alami. Pangeran Samudera pun menjadi lebih membuka diri. Dia meluangkan waktu pribadi dengan Safira setidaknya satu kali dalam seminggu. Situasi seolah kembali seperti dulu. Bedanya, kali ini Safira lebih bertanya banyak tentang perasaan dan minat-minat Pangeran Samudera dibandingkan berdiskusi secara logis tentang suatu hal. Pangeran Samudera mulai melihat sisi Safira yang hangat dan menyenangkan. Ketika situasi sudah lebih terkendali, Pangeran Samudera merasa lebih tenang untuk dunia persahabatannya. Tapi tidak demikian dengan situasi di BUMK yang dia tangani. Banyak keanehan terjadi dimana beberapa anggota dewas direksi yang awalnya mendukung, terlihat memberikan respon yang berlawanan. Dia butuh fokus dan mengkaji konflik internal yang mulai merembet itu. Sampai akhirnya dia menemukan faktor yang paling berpengaruh. Dia memikirkan hal itu secara lebih mendalam. Membuat beberapa alternatif strategi. Menunggu, kapan saat yang tepat dia menentukan langkah yang paling pas. *** Hampir 2 bulan sudah, Mentari tidak ikut bergabung dengan teman-temannya. Yang tentunya membuat mereka bertanya-tanya dan khawatir dengan keadaannya. Dalam kurun waktu itu, Mentari selalu bisa menghindar dengan mengatakan ketatnya aturan dari keluarga kerajaan semenjak dia dipublikasikan. Ada beberapa upaya yang ditindai berusaha mengakses informasinya. Memang itulah yang terjadi. Baginda Ratu dan Bu Rini selalu mengabari temuan-temuan itu. Bagaimana para paparazi dan wartawan berusaha menghubungi pihak BUMK tempat Mentari bekerja dulu untuk tahu latar belakangnya. Karena memang teman-temannya juga dihubungi untuk menanyakan mengenai Mentari lebih rinci, mereka bisa paham. Jadi, Mentari telah tepat menjadikannya sebagai alasan. Dia menyampaikan, kalau perhatian para media sudah teralih dan situasi sudah lebih longgar, dia akan bergabung. 145 | M e n t a r i S e n j a
Mentari kini banyak fokus di kegiatan meditasi dan latihan bela diri. Dulu, Mentari juga diajarkan kakeknya untuk kedua hal ini. Namun, kegiatan itu berhenti ketika dia merasa hal itu tak ada gunanya ketika dia menghadapi kejahatan sesungguhnya. Dia menyerah. Kini, ada semangat lain tumbuh di dirinya. Setelah dia membaca buku yang diberikan Baginda Sepuh. Dia tak boleh berhenti berusaha. Tidak boleh membiarkan perasaan negatif menghalanginya. Dia gunakan bayangan dua kejahatan itu untuk memacu adrenalinnya saat berlatih. Membayangkan dia punya kemampuan untuk melawan. Kemampuan untuk menyerang balik. Di sela-sela latihannya, kadang dia terganggu oleh perasaan rindunya pada Pangeran yang sudah lama tak banyak meluangkan waktu dan hanya bertemu saat-saat makan malam. Kadang dia terganggu oleh perasaan cemburu saat dia lihat berita terakhir memuat acara makan malam Pangeran dengan Safira. Tak seperti dulu, perasaan ini bisa dia kendalikan melalui latihan-latihan itu sendiri dan melalui penyerapannya terhadap isi buku itu. Semakin dia merasa perasaan itu menguasainya, semakin dia berupaya mengembalikan penghayatannya pada titik nol. Selain kedua hal tadi, Mentari juga mulai tertarik belajar ilmu dasar teater. Dia ambil buku-buku permainan topeng dari tarian-tarian topeng, dari yang sangat tua dan yang paling modern. Dia berlatih sendiri khusus untuk hal ini. Dilakukan saat-saat dia sendirian di Pendopo. Tak ada yang melatih. Tak ada yang mendampingi. Hanya buku itulah gurunya. *** Menunggu bagi teman-temannya juga ada batasnya. Mereka sudah sangat ingin bertemu dan berkumpul dengan Mentari lagi. Apalagi, Helena dan Batara yang sebulan terakhir sangat sibuk dengan persiapan pernikahan. Helena ingin membicarakan ini langsung dengan teman-temannya. Sampai akhirnya, Pangeran Samudera meminta pada Baginda Ratu secara khusus untuk ini. Ratu Selasih memutuskan, mereka bisa bertemu, tapi di lingkungan Istana. Senanglah teman-temannya, termasuk Safira yang ingin berbicara dengan Mentari. Setelah magrib, teman-temannya mulai berdatangan. Mentari sudah tahu Safira akan datang dan mengetahui perubahan sikapnya dari Friska, Viona, dan Helena yang sering menghubunginya via telepon. Dia mempersiapkan dirinya. Menghadapi berbagai macam kemungkinan. Raja Angkasa, Ratu Selasih, dan Baginda Sepuh yang memang sudah mulai tinggal di Istana semenjak kejadian itu, menemui mereka semua di awal pertemuan. Menyapa dan mengajak mereka ngobrol tentang kegiatan terbaru yang dilakukan masing-masing. Safira memilih duduk di samping Ratu Selasih. Menanyakan kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan sang Ratu dan menawarkan diri untuk sesekali ikut serta. Ratu Selasih menanggapinya dengan baik. Menjanjikan mengundang Safira pada beberapa event. Melihat bagaimana luwesnya mereka berkomunikasi, Mentari merasa sedikit tidak nyaman. Namun, dia segera sadar dirinya siapa. Sadar tak ada gunanya mengikuti perasaan tak nyaman itu. Hingga dia pun mengangguk dan tersenyum ketika Ratu juga memintanya menemani Safira nanti kalau dia hadir. Saat sebelum mereka bertiga meninggalkan ruangan pendopo Melati itu, Safira berdiri dan minta waktu berbicara, yang tentunya disambut baik oleh semuanya. “Mohon maaf, Hamba minta waktu, Baginda Raja, Baginda Ratu, dan Baginda Sepuh. Mungkin, kejadian ini sudah dilupakan oleh Anda semua. Namun, Hamba seringkali terpikir terus dan merasa malu dengan hal ini. Hamba ingin meminta maaf karena telah merepotkan keluarga kerajaan atas perbuatan Hamba merendahkan Mentari waktu kami bertemu di restoran Pangeran Wisnu. Hamba betul-betul menyesali hal ini dan ingin meminta maaf 146 | M e n t a r i S e n j a
pada Anda semua. Pastinya pemberitaan itu cukup merepotkan. Khususnya juga buat Mentari yang menjadikannya sulit keluar sekarang ini, seperti yang Hamba dengar dari Pangeran Samudera. Sekali lagi, Hamba betul-betul minta maaf”, ucap Safira sambil merunduk dengan mempertemukan kedua telapak tangannya di depan dada. Baginda Raja, Baginda Ratu, dan Baginda Sepuh tersenyum mendengar itu dan mengangguk-anggukan kepala. Sesaat semua terdiam ketika Safira selesai menyampaikan ucapannya. “Wah, sungguh elok betul sikap cucu Abimayu Kencana yang sempat aku gendong dulu. Aku jadi ingat ketika kamu berumur 5 tahun dulu ketika kamu sibuk bermain boneka di taman Ratu bersama Putri Maharani yang waktu itu berumur 3 tahun dan...Helena ku rasa ya, Safira. Lucu, menggemaskan, dan cerdas. Itulah sikap dan sifat yang aku kagumi darimu. Tentu, tentu, aku, mewakili keluarga, menerima permintaan maafmu. Ah, betapa aku sudah tua tapi aku tak pernah lupa dengan masa kanak-kanak kalian semua”, Baginda Sepuh terkekeh. Matanya terpejam tadi seolah mengingat waktu ke belakang. Mendengarkan itu, Safira terlihat agak gugup dan daun telinganya terlihat memerah. Dia tersenyum malu. Helena, yang sebenarnya sudah lupa, teringat kembali dengan masa-masa itu. Cukup detail. Dia diam. Mencoba memahami makna di balik ucapan Baginda Sepuh. Mentari melihat perubahan ekspresi yang halus dalam diri Safira dan dalam diri Helena. Kata-kata Baginda Sepuh di bagian umur 5 tahun dan bagian tak pernah lupa dengan masa kanakkanak mereka seolah diam di benaknya. Tak mengerti mengapa bagian kata itu yang menempel lebih kuat. Dia penasaran. Tapi dia simpan rasa penasaran itu di hatinya. “Ya, tentu saja, Safira. Kami memaafkan. Nah Mentari, bagaimana menurutmu? Karena tampaknya kata-kata Safira ini juga tidak hanya ditujukan pada kami”, kali ini Baginda Raja Angkasa II yang bicara. Mentari tersenyum. “Tentu saja, Hamba sudah memaafkan dari sejak Hamba melihat tayangan di televisi itu. Banyak pelajaran berharga yang Hamba dapatkan juga dari kejadian itu. Terima kasih, Safira”, jawab Mentari sambil menatap Safira dengan tulus. Ditatap seperti itu, Safira tampak rikuh sesaat. Segera dia tersenyum dan melangkah ke arah Mentari. Memeluknya hangat. Mentari menyambutnya dan membalas dengan tindakan yang sama. Tiba-tiba, Gerhana dengan spontanitasnya bertepuk tangan. Yang membuat semua orang di ruangan itu menoleh heran. Wisnu dan Bima membelalak seolah memberi kode untuk tidak terlalu ekspresif di saat orang tua dan kakek Pangeran Samudera masih ada di ruangan. “Eh..salah ya tepuk tangan? Maaf, maaf, tapi Hamba tak bisa menahan diri. Karena bagi Hamba, ini adalah pertunjukan drama epic kembali yang layak diberi tepukan tangan”, katanya sambil menggaruk-garuk kepala tidak gatal. Semua orang tertawa. Baginda Sepuh berujar kemudian, “Ya, ya, ya..tampaknya ini memang mirip dengan kisah drama bersejarah”. Kembali, daun kuping Safira tampak memerah lagi. Yang sadar dengan itu hanyalah Helena dan Mentari. Setelah itu, ketiga orang itu berpamitan hendak beristirahat dan meminta mereka menikmati suasana di Pendopo Melati. Pendopo yang memang digunakan untuk berkumpul dengan santai. Sehabis mereka tidak ada, Safira segera memilih duduk di sebelah Mentari. Memeluknya sekali lagi dengan ceria dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Sampai Mentari merasa tidak enak karena berulangkali juga mengatakan tidak apa-apa. Setelah dia merasa puas duduk di samping Mentari, dia pindah lagi dan duduk di sebelah Pangeran Samudera dengan sikap yang sangat luwes. Mentari dapat melihat, dalam setiap kesempatan, Safira menyentuhnya dimana-mana. Lutut, pundak, punggung, rambut. Mentari yang sudah menyiapkan kemungkinan itu, sudah 147 | M e n t a r i S e n j a
berlatih cukup intensif mengenai ilmu bermain peran, berusaha memperlihatkan rasa nyaman melihatnya. Tak dipungkiri rasa cemburunya sedikit terpancing. Untungnya, Helena selalu meminta perhatiannya di saat-saat dia merasa sedikit kikuk dengan kemesraan yang diperlihatkan itu. Apalagi, Pangeran Samudera tampak tidak bermasalah dengan kehangatan Safira dan banyak menanggapi komentar atau reaksinya. “Jadi Tari, apa kamu sudah menyiapkan kebaya yang akan kamu pakai nanti?”, tanya Helena dengan ceria. “Eh? Belum. Dua minggu lagi ya? Aduh, bagaimana dong?”, Mentari ikut bersemangat. “Kamu harus pilih kebaya berwarna merah muda. Karena warna itulah yang akan kita pakai nanti. Kamu, Viona, aku, Safira, dan Dini juga”, tambah Friska. Viona menganggukangguk sebagai tanda mendukung. “Eh, Mbak Dini diundang juga kah? Wah menyenangkan sekali”, kata Mentari sambil membelalakkan mata karena senang. “Iya dong. Aku sudah meneleponnya langsung dan mengirimkannya kain kebaya karena dia bilang tidak punya kebaya berwarna merah muda. Dia bilang, dia mau datang bersama kekasihnya”, jawa Helena. “Oh ya? Wuaaah..terakhir kali aku mendengar dia masih pendekatan. Tapi aku belum tahu dia sudah jadian dengan orang yang dia maksud itu”, Mentari makin terperangah. Dengan ekspresi Mentari yang ceria, mau tidak mau, Pangeran Samudera memperhatikannya. Sesekali mencuri pandang dan sulit fokus dengan apa yang dibicarakan Safira. Perhatiannya agak teralih dengan topik perempuan-perempuan itu. “Memang baru dua hari lalu mereka jadiannya. Ingin tahu bagaimana mereka jadian?”, seru Helena dengan penuh semangat. “Ceritaaaa!!”, sontak Friska dan Viona berteriak penuh semangat. Sampai yang lain jadinya memperhatikan mereka. “Jadi, si lelaki ini, mmm..siapa namanya? Riky. Ah ya, Riky. Mengajaknya kencan ke Puncak. Tapi kencannya tak berjalan baik karena Dini gugup, mereka malah mendebatkan banyak hal. Dari mulai memilih tempat yang bagus untuk menghabiskan malam. Jenis makanan yang mau dibeli. Motor yang mogok. Macam-macam. Sampai akhirnya, Dini berteriak-teriak saking kesalnya. Dan tahu kemudian apa yang dilakukan Riky?”, Helena mendadak seperti pendongeng jagoan. Memilah cerita untuk menyisakan klimaksnya secara terpisah. “Apa, apa???”, dengan tak sabar Viona, Friska, dan Mentari menagih kelanjutan cerita itu. Mereka bertiga merasa deg-degan mendengarnya, sampai Mentari mengambil air minum karena merasa tegang. “Riky menutup mulutnya yang hendak memaki, dengan.... CIUMAAAAN! Romantis kaaaaaan?” Dan tersedaklah Mentari dan Pangeran Samudera bersamaan mendengar itu, yang sedang menghirup minuman masing-masing saat cerita klimaks itu disampaikan. “Lho?! Kenapa Dini yang jadian tapi kalian berdua yang tersedak?”, kontan Helena bertanya sambil tersenyum menatap ke arah Mentari dan Samudera bergantian. Pangeran terlihat gelagapan. Dengan segera, dia menjawab untuk menyelamatkan wajahnya yang mendadak memerah. “Diantara lelaki di sini, akulah yang tak biasa mendengarkan cerita romantis yang dituturkan langsung, dari sudut pandang perempuan. Aku pikir kamu tidak akan cerita sedetail itu. Yang buatku, lelaki, tak terlalu signifikan untuk menyatakan suatu hubungan,” ucapnya dengan bersungut-sungut. Mendengar itu, ada perih terasa di hati Mentari. Benar dugaannya. Ciuman di malam itu tak ada artinya. Walau perih, dia berusaha tetap santai.
148 | M e n t a r i S e n j a
“Aaahhh..make sense. Lalu Tari, mengapa kamu tersedak?”, Friska yang kali ini berkomentar dan bertanya lagi. “Aku? Aku membayangkan Mbak Dini dicium. Tak terbayang sebelumnya. Heuuuuu!”, jawabnya sambil membuat cengiran lama dan mengangkat kedua jarinya sebagai tanda dia sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh menutupi bagaimana cerita Helena tentang Dini membuat ingatannya di malam itu muncul kembali di kepalanya. “Ahahahahah! Iya juga sih, benar. Aku juga tadi sempat geli membayangkan Mbak Dini yang kita kenal itu”, Friska menyelamatkannya. “Terus, terus, setelah dicium mereka langsung sepakat gitu?”, tanya Viona yang masih ingin tahu kelanjutan cerita itu. “Ya, ampun Viii.. tampaknya itu tak perlu dibahas lagi. Kadangkala, bagi beberapa orang, kecuali Samudera kurasa, ciuman itu tanda banyak hal. Tak perlu diyakinkan dengan kata-kata juga, bagi mereka berdua ya, catat! Bagi mereka berdua, itu sudah tanda berawalnya hubungan mereka”, jawab Helena yang masih ingin menusuk Samudera yang menyepelekan arti ciuman tadi. “Maksudnya apa kecuali aku?”, Pangeran Samudera yang sensitif bertanya sambil nyengir kuda. “Ya kan tadi kamu yang bilang bahwa ciuman itu bukan tanda yang terlalu signifikan untuk menyatakan sebuah hubungan”, Helena sedikit nyinyir mengulang kata-kata Pangeran. “Walau aku yang bicara, kan bukan berarti aku saja yang terpikir seperti itu. Coba tanya pada lelaki lain yang hadir di sini. Ayo, Wisnu, Bima, Gerhana, bagaimana menurut kalian? Aku tidak akan tanya Batara yang sebentar lagi akan menikah. Nanti, Helena tersinggung lagi, dengan jawabannya”, Pangeran tak mau kalah juga. Helena mencibir. “Hmmm...tergantung sih. Kalau lagi mabuk. Ada perempuan cantik di sebelah. Yang tampaknya nyaman denganku. Aku bisa saja menciumnya bahkan mungkin tidur dengannya tanpa merasa harus kemudian jadi sepasang kekasih. Tapi kalau aku serius dengan seseorang yang aku sukai, melakukan banyak pendekatan, ya tentunya ciuman itu jadi berarti sekali sebagai tanda sayang”, Wisnu yang lebih dulu menjawab. “Kalau aku? Kalian tahu sendiri aku sangat selektif dan tak suka main-main. Ciuman bagiku tanda aku serius sayang dengan orang yang kucium”, Bima. Muka Friska memerah mendengarnya. “Tuh kaaaan? Dengar kan Sam?”, Helena merasa menang kali ini. “Sebentar. Bima, kamu yakin benar seperti itu? Apa karena ada Friska nih?”, Pangeran tak mau kalah. Bertanya dengan nada jahilnya. Friska tampaknya menanti jawaban ini. Bima tak takut ditanya seperti itu. “Yakin”, jawabnya. Friska tersenyum senang. “Gerhana?”, tanya Pangeran yang tampak masih ingin berperang dengan Helena. “Hmmm...ciuman itu tanda kalau aku berhasrat dengan perempuan. Itu sudah pasti. Karena tidak semua perempuan aku ciumi juga. Pasti yang membuatku berhasrat. Cinta, sayang? Hmm..aku tidak menjadikan ciuman sebagai salah satu tanda yang signifikan memang. Kalau cinta dan sayang sih bukan ciuman untuk membuktikan itu”, jawab Gerhana dengan santai. Mendengar jawaban itu, muka Pangeran Samudera memerah lagi. “Nah, nah, menarik ini. Jadi apa dong yang bisa membuktikan?”, ekspresi Pangeran Samudera yang tampak tak berkutik membuat Helena melanjutkan bahasan itu. “Kalau untuk cinta dan sayang sih biasanya ada keinginan lebih untuk melindungi, memperhatikan, menjaga. Bukan untuk waktu pendek. Tapi untuk waktu yang panjang. Caranya bisa bermacam-macam. Tapi, pengalamanku baru sekali seperti itu. Mungkin enaknya mendengarkan Batara yang tampaknya dalam hal ini akan lebih valid pendapatnya. Mengingat akan menikah sebentar lagi. Coba, Bet, mau berbagi?”, Gerhana melempar 149 | M e n t a r i S e n j a
dengan gaya ringan dan santainya. Kontan, kali ini Helena yang diam tak berkutik. Melihat itu, Samudera senang sekaligus tak nyaman dengan kata-kata Gerhana yang menohok hatinya. “Wah seru ini, ayo Batara, bagaimana kamu mendeskripsikan ini?”, Safira terpancing. “Aku juga kebagian kah? Wah...bagaimana ya? Benar sih sebagian kata-kata Gerhana. Lebih ada rasa bertanggungjawab dan juga ingin menjalani hidup selamanya dengan orang yang kita sayang. Seperti, seperti sahabat seumur hiduplah. Bisa diajak berbagi, bercerita, membahas mimpi, membahas masalah yang dihadapi berdua secara terbuka, termasuk berdebat dan bertengkar. Sekaligus aman dan nyaman menjadi diri sendiri. Tapi tentu, berhasrat juga untuk menciumnya dan berbuat lebih dari itu. Kalau tidak, apa bedanya dengan teman biasa dan anggota keluarga”, jawab Batara sambil terkekeh di ujung. Mendengar itu, muka Helena bersemu merah. Friska, Viona, dan Mentari mencolek pinggangnya bergantian sampai Helena tertawa. “Jadi, Sam, sudah menemukan orang yang seperti itukah sekarang ini?”, tanya Gerhana santai. Membuka pertanyaan sensitif yang biasanya dihindari oleh yang lain. “Heh? Kok apinya jadi dialihkan padaku?”, Pangeran Samudera kontan terperangah dengan muka memerah kembali. Melihat itu, semua orang tertawa sambil ada yang degdegan menanti jawaban. Terutama Safira, pastinya. Mentari heran mengapa bahasan itu tak kunjung berhenti. Dia ingin keluar menghindar mendengarnya. Tapi tak bisa dan dia tak punya alasan bagus. “Dari tadi bukannya kamu minta bantuan yang lain buat membalas Helena? Lagipula apa salahnya aku tanya langsung? Daripada mendengarkan dan melihat gosip melulu sementara orang yang digosipkan ditemui hampir setiap minggu. Kan lebih enak aku tanya langsung. Lagipula, seingatku, waktumu makin pendek bukan untuk memilih calon istri?”, Gerhana tak mau kalah dan bertanya sambil terkekeh. “Sial!”, ujar Samudera membenarkan. Dia diam sesaat. “Sudah menemukan. Ada di ruangan ini”, jawabnya santai. Sesaat teman-temannya terperangah. Muka Safira bersemu merah. Kemudian masing-masing tersenyum melihat ke arah Safira. Termasuk Mentari. “Dan ada di luar Istana ini”, lanjut Pangeran Samudera yang senang melihat ekspresi teman-temannya. “Heh?!”, serentak semua berseru heran. “Dan di seluruh negeri ini. Karena aku akan menjadi Raja Indonesia yang bahkan sebelum jadi Raja pun sudah mencintai dan menyayangi rakyatnya”, katanya sambil tertawa puas. “Aihhhh!!!”, beberapa orang melemparkan sesuatu yang ringan padanya karena kesal. “Kalau begitu, ciumi dan setubuhi saja seluruh rakyat Indonesia, laut, dan tanahnya sekalian!”, seru Gerhana dengan kesal. Tentu, semuanya tertawa makin terbahak. Pangeran Samudera merasa lega bisa menghindar dengan cantik dari isu sensitif itu. Sekaligus sedikit kecewa melihat reaksi Mentari yang tampak tak terganggu dengan bahasan itu kecuali saat dia tersedak tadi. Pembicaraan mereka pun berlanjut pada persiapan pernikahan Helena dan Batara. Mentari membahas juga mengenai perlunya menutupi identitasnya. Namun, semua orang mengatakan Mentari tidak perlu khawatir karena pesta itu pesta tertutup bagi wartawan dan media. Akan ada acara khusus yang dibuka untuk umum. Bukan di hari akad pernikahan. Mentari tak perlu datang di hari resepsi kedua. Mendengar itu, Mentari merasa tenang. Namun demikian, jika nanti ada saja yang berhasil menyusup, dia akan menyiapkan diri dan menghadapinya. *** 150 | M e n t a r i S e n j a
Sehabis acara itu, Safira masih bertahan beberapa lama untuk menghabiskan waktu berdua dengan Pangeran Samudera. Sementara Helena, yang masih ingin berbicara dengan Mentari, menyusul Mentari ke pendoponya. Dia pun masih punya waktu luang, tidak seperti Friska dan Viona. “Eh, Tari, tadi kamu merasa tidak sih ada yang aneh dengan kata-kata Baginda Sepuh?”, tanya Helena sambil membaringkan diri di kasur. Mentari mengikutinya berbaring. Menatap ke langit-langit kamar. “Iya. Di bagian masa kanak-kanak 5 tahun dan apa itu, mmm... masa kanak-kanak yang tak terlupakan. Intinya seperti ada sifat tertentu. Memangnya ada apa dengan masa itu Helena? Tadi kan Baginda Sepuh menyebutkan namamu juga”, balas Mentari sambil mengambil posisi menyamping. Menyangga kepalanya dengan tangan kanan dan menghadap ke arah Helena. “Ya, ya, ya, aku setuju. Waktu itu, kami bermain rumah boneka bertiga. Safira, aku, dan Putri Maharani, anak bibi Samudera yang kedua. Rumah Boneka itu punya Putri sebenarnya. Tapi, Safira asyik bermain seolah itu rumah boneka punyanya. Dia bilang, dia juga punya rumah boneka yang lebih bagus dari itu. Karena dia terus yang bermain menjadi putri dan meminta Putri Maharani menjadi pelayan pribadinya dan aku berperan sebagai Pangeran, Putri Maharani berusaha merebutnya. Dan dengan keras, Safira mendorongnya sampai dia terjatuh dan menangis. Tak jauh dari tempat kami bermain, ada Baginda Sepuh dan kakeknya Safira, Pangeran Abimayu Kencana itu. Mereka segera menghampiri dan melerai. Nah, mendadak Safira tertunduk karena takut tampaknya. Lalu dia memeluk Putri Maharani, meminta maaf dengan lembuuut sekali. Aku waktu itu diam saja. Karena dipeluk dan menerima kata maaf yang baik itu, Putri pun berhenti menangis dan tersenyum lagi. Safira dan kakeknya pulang duluan. Aku menunggu ayahku menyelesaikan rapat dengan Baginda Raja. Di saat menunggu itu, Baginda Sepuh bertanya tentang kejadian tadi. Ya, aku cerita dengan rinci, agak takut. Tapi, Baginda Sepuh tertawa setelah mendengar ceritaku. Jadi aku pun merasa lega. Begitu ceritanya”, jawab Helena sambil terlihat berpikir juga ketika mengulang kenangan masa kecil itu. Dia merenung sesaat. “Ooooh, begitu... Apakah kejadian tadi membuat Baginda Sepuh teringat dengan itu ya?”, tanya Mentari retorik. “Aaaah..ya, ya, ya..aku mengerti sekarang. Ya, itulah yang ingin dia sampaikan padaku dan pada Safira. Makanya tadi daun kuping Safira terlihat memerah”, Helena berseru penuh semangat. “Kamu juga melihat itu rupanya?”, Mentari kaget bahwa ternyata dia tidak sendirian memperhatikan perubahan wajah Safira tadi. “Kamu melihatnya juga? Wahhhh...iya dong. Kamu tahu sendiri profesiku apa. Hmmm... apa ya yang menyebabkan Baginda Sepuh berkata begitu? Apakah dia sangsi dengan perilaku Safira? Tapi mengapa dia sangsi?” Mentari terdiam. Ingat dengan pembicaraannya dengan Baginda Sepuh sehari setelah kejadian itu. Namun dia tak ingin Helena tahu. Tak mau menambah bebannya yang sedang sibuk memikirkan persiapan pernikahan. “Iya, mengapa ya?”, ujar Mentari. Menutupi fakta di pikirannya. “Ah, sudahlah..yang jelas, aku paham maksudnya. Bahwa, kita tak bisa percaya sesuatu yang terlalu manis yang disajikan. Ya, masuk akal. Aku saja heran dengan perubahan sikap Safira dalam dua bulan terakhir ini. Tapi karena dia sudah tidak pernah mengejek orang lagi saat bertemu, ya sudah, nikmati saja”, kata Helena kemudian. Mentari tercenung.
151 | M e n t a r i S e n j a
“Eh, tapi ada yang membuatku penasaran. Dan aku sama sekali tidak percaya walau kalian berusaha meyakinkanku dan yang lain juga tadi”, Helena mengalihkan topik. Dia kini duduk dengan bersila di atas kasur. “Eh?”, Mentari heran. Mengikuti Helena, dia duduk juga. “Jadiiiii...apakah kamu dan Samudera sudah berciuman makanya kalian tersedak tadi?”, goda Helena. Mendadak muka Mentari merah padam. “Aihhhhhhhh!! Apa sih kamu, Helena!”, Mentari tak tahu harus bersikap bagaimana. Sudah terlanjur mukanya terasa panas. “Tuh kaaaaaaaan...mukamu merah ih! Ayo, jangan bohong. Sudah berciuman ya? Kapan?”, Helena senang melihat raut muka Mentari yang merah dan serba salah. Dia mencolek pinggang Mentari. “Aw! Geli, Helena! Apa sih?”, Mentari mengambil bantal dan segera menutup wajahnya. Hatinya mendadak berdebar tidak karuan. “Wahhhh! Benarkah?! Wooowww! Itu baru perkembangan dahsyat!”, Helena berseru girang dan sibuk menggelitiki Mentari. Yang digelitiki tertawa dan mukanya makin memerah. Hingga berulang kali dia menutup mukanya dengan bantal. Buka. Tutup. Buka. Tutup. “Ayo! Kalau tidak mengaku aku gelitikin terus nih!”, Helena tak menyerah. Mentari mencoba bertahan. Tapi tidak bisa. Akhirnya... “Oke, oke, Helena, stop!”, teriak Mentari sambil tetap memeluk bantalnya. Mukanya masih saja merah. Helena diam menunggu dengan tatapan menyelidik. “Iya. Dia pernah menciumku. Tapi kamu jangan bilang pada siapa-siapa!”, dengan cepat Mentari menjawab. Sehabis itu, dia menutupi mukanya lagi yang mungkin sekarang sudah semerah udang rebus. “Betulkah?!!! Waaaaaah, aku senang mendengarnya!”, Helena bersorak girang sampai kasur bergoyang-goyang. Dia langsung memeluk Mentari walau terhalang bantal. “Samudera, Samudera! Lagakmu itu ya?! Selalu saja berhasil menjaga harga diri di depan orang banyak! Halah! Eh, dia yang memulai kan Tari?”, seru Helena kemudian. “Eh? Iya dong, Helena. Dia yang mulai. Kurang ajar memang!”, Mentari dengan semangat menjawab dan mengeluarkan kekesalannya. “Dia yang mulai kan? Wahhhh! Itu tandanya dia suka lho Tari, padamu. Aku tahu Samudera dan kebiasaannya. Dia tak akan memulai kalau perempuannya tak memulai duluan. Denganmu, dia memulai duluan? Itu baru cerita bagus!”, Helena masih saja penuh semangat. “Masa sih?! Aku ini hanya dianggap adik angkatnya. Terus kan dia juga pernah mencium Saf...Ups!Aaaaahhh..”, Mentari mendadak menutup mulutnya. “Eh? Kamu pernah melihat mereka berciuman? Kapaaaaaaaaan?! Ih, kamu kok tidak pernah cerita sih?”, Helena protes. “Ahhhh! Mentari! Mulutmu itu”, Mentari menutup mukanya lagi dengan bantal. Tak tahan dengan bantal itu, Helena dengan paksa merebutnya. Membuat Mentari kaget. “Mari bicara serius, Tari. Tanpa bantal. Jadi kapan kamu melihat dia mencium Safira? Melihat dia mencium atau melihat mereka berciuman sih maksudnya?” “Memang ada bedanya?” “IH! Kamu itu ya! Beda dong!”, sembur Helena. “Mmm...berciuman sih yang aku lihat. Di lorong pintu kamar masuk Pangeran waktu di Natuna. Aku ketinggalan telepon genggam di pantai setelah barbeque. Setelah aku kembali dari pantai, tak sengaja aku lihat mereka dengan posisi itu”, ucap Mentari dengan nada bersalah. “Mereka yang berciuman, kok kamu yang tidak enak sih?! Tari, Tari. Itu artinya kamu tidak tahu kan siapa yang duluan?” “Memang sih..tapi memangnya penting mengenai siapa yang lebih dulu memulai?”, Mentari bingung. 152 | M e n t a r i S e n j a
“Dalam konteks Samudera, itu penting. Aku tahu dia Tari. Sangat tahu banyak mengenai kebiasaannya dengan perempuan. Tahu banyak waktu dia jadi playboy cap dua kelinci yang banyak dipublikasikan media itu. Prinsip dia waktu itu, seperti kubilang tadi, tak akan memulai kalau perempuannya tak memulai duluan. Dia itu playboy yang sombong, tahu? Mana mau dia mengejar-ngejar perempuan. Jadi, ketika kamu tadi cerita tentang Safira, itu penting. Kalau kita tidak tahu, ya tidak bisa mengambil kesimpulan apakah dia tertarik atau tidak. Tapi di kasusmu, katamu dia tadi yang memulai duluan. Coba kamu cerita lebih detail deh, bagaimana kejadiannya?”, pinta Helena dengan nada serius. Terlarut dalam suasana curhat yang intens itu, Mentari spontan menjawab dan menceritakan lebih detail. Setelah bagian klimaksnya berhasil, dia baru sadar dia telah terpancing Helena. Dan segera dia melompat ke arah bagian kasur berbantal dan menenggelamkan diri. Melihat itu, Helena tentu tertawa. Dia biarkan dulu Mentari dengan bantal-bantal yang jadi alat pertahanan dirinya. Kemudian, dia tarik badan Mentari dan memaksanya untuk duduk. “Hey, Tari. Tidak usah malu. Aku adalah sahabatmu yang bisa dipercaya. Makanya aku ke sini berduaan denganmu juga, maksudku biar yang lain tidak tahu. Nah, dari ceritamu tadi aku dapat gambaran yang lebih jelas. Waktu itu, kamu sendiri merasakan apakah dia serius atau tidak?”, Helena bertanya dengan nada tenang lagi. “Aku merasanya dia jahil. Merasa bahwa dia hanya menjadikanku semacam boneka yang menyenangkan diajak bermain”, ucap Mentari agak menunduk. “Ahhh...ya ya ya, kemungkinan itu juga memang ada sih. Tapi yang penting, kamunya bagaimana? Suka tidak dengan ciumannya?”, dan Helena tak tahan lagi untuk menggoda. Spontan, Mentari melemparkan bantal ke arah Helena. Helena membalasnya sambil tertawa. Dan beberapa saat, mereka menghabiskan tenaga dengan perang bantal. Terpingkal-pingkal kemudian. “Well, mari kita lihat saja apa yang akan terjadi. Jangan lupa memberitahuku lagi kalau ada perkembangan menarik ya? I m on your side lho ya untuk Samudera ini. Aku dan Batara tepatnya mendukung kamu dibandingkan Safira untuk menjadi pasangan Pangeran negeri ini”, kali ini Helena berkata dengan serius. “Ihh apa sih, Helena? Sudahlah. Toh itu kejadiannya sudah lama dan tak jelas dasarnya. Aku tak mau bahas ini lagi, pleaaaaaaase”, mohon Mentari yang sudah tak tahan dengan debaran di jantungnya. Helena tersenyum hangat. “Iya, iya... aku paham. Oke deh. Aku harus segera pergi. Tak terasa sudah satu jam nih di sini. Ibuku tampaknya mulai tak sabar menunggu. Jangan khawatir, i ll keep your secret, dear... Sampai ketemu di acara pestaku yaaaa”, pamit Helena sambil memeluk dan mencium Mentari di pipi. Kanan dan kiri. Sehabis Helena pergi, Mentari terdiam. Tak mau menyimpulkan apa-apa tentang Samudera. Namun menyimpan pertanyaan untuk Safira. Dia memutuskan, untuk tetap hatihati terhadap perempuan itu. Dia tidak mau dibodohi dan terbodohi yang membuatnya lupa diri dan kehilangan kendali.***
Gerak Gelora Safira menghabiskan waktu lebih lama di Istana. Walau Samudera merasa keberatan dan sudah agak lelah, dengan sabar dia mengikuti keinginan gadis itu. Safira berkeliling di lingkungan Istana mengingat masa kecilnya dulu. Ketika kakeknya masih ada dan sangat sering menghabiskan waktu di sana dengan Baginda Sepuh.
153 | M e n t a r i S e n j a
Ketika lewat di kawasan Baginda Sepuh, Safira menghentikan langkah. Melihat Mentari sedang mau membuka pintu Pendopo Teratai. Kebetulan, Mentari juga melihatnya. Dia baru saja kembali dari mengantarkan Helena. “Hey, Mentari! Wah, kamu tinggal di kawasan ini ternyata? Beruntung sekali”, seru Safira sambil tak ragu melangkah mendekat. Tentu, Mentari kaget. Dia tahu dia tak bisa menghindar. Dilihatnya Pangeran Samudera mengikuti. “Ah, ya, Safira. Mari singgah dulu”, ajak Mentari berbalik badan. Safira berjalan mendekat dan duduk di beranda. Memandang sekeliling dengan tatapan kagum. Mentari tersenyum dan duduk di kursi bersiku dengan Safira. Pangeran Samudera duduk berhadapan dengan Mentari. “Kamu mau minum apa? Atau mungkin perlu cemilan?”, tanya Mentari berusaha santai. “Ah, tidak usah. Aku sudah cukup kenyang dan masih kenyang. Menyenangkan sekali jalan-jalan berkeliling di sini. Mengingatkanku pada masa lalu”, ucapnya sambil tersenyum lebar. Mentari hanya tersenyum. “Oh iya, Tari. Aku mau bilang, nomorku sudah diganti. Dan aku kehilangan nomor teleponmu”, ujar Safira. “Eh? Nomor telepon?”, Mentari bingung. “Iya, yang aku pakai untuk menghubungimu dulu itu lho. Oh ya, kamu kan tidak jadi datang waktu itu, apa yang terjadi? Apa kamu baik-baik saja setelah kecelakaan itu?”, tanya Safira dengan santai. Mendengar kata kecelakaan, Pangeran Samudera tampak terkejut sebentar. Namun terlihat segera biasa lagi. Sementara Mentari tercenung, menebak mungkin Pangeran Samudera memberi tahu yang lain dan melanggar janjinya. Walau agak kesal, dia berusaha menutupi emosinya. Tersenyum ke arah Safira. “Alhamdulillah, aku baik-baik saja Safira. Bersyukur juga supir taksinya tidak mengalami luka parah karena bantal pengaman. Yah, kejadian itu cukup membuat shock. Tapi, aku bisa melaluinya dengan baik. Terima kasih sudah menanyakan. Aku minta maaf aku tak bisa datang karena kejadian itu”, jawab Mentari agak murung walau berusaha tersenyum. “Ah, syukurlah. Aku mendengar dari Samudera kamu mengalami sesuatu yang buruk dari kecelakaan itu. Aku minta maaf telah membuatmu keluar malam. Bagusnya, tak ada pemberitaannya ya di media? Tapi aku bisa paham, tentunya dengan posisimu sekarang, nama baikmu perlu dijaga”, kata Safira dengan santai. Tampaknya dia benar-benar lupa dengan cerita yang tak pernah diberitahukan siapa pun itu. Dia tidak sadar Pangeran Samudera tampak menatapnya lebih lama. Terdengar bunyi telepon genggam Safira berbunyi. Dia segera mengangkatnya dan bergerak menjauh untuk menerima telepon itu. Berbicara sebentar. Kemudian dia kembali lagi mendekati Mentari. “Tari, aku minta maaf aku harus pergi. Ibuku menanyakanku. Aku senang sekali kamu bisa memaafkanku. Mudah-mudahan, segalanya menjadi lebih baik ke depannya. Dan semoga kita bisa segera jadi saudara juga”, ucap Safira dengan halus sambil memeluk Mentari akrab. Mentari membalasnya dengan tersenyum. Memaksakan diri tersenyum dibalik perasaan kecewanya karena Pangeran Samudera nampaknya sangat terbuka pada Safira. “Sam, aku harus pulang dulu”, Safira kemudian menatap ke arah Samudera. Menatap dengan agak merajuk. Pangeran Samudera tersenyum sambil mengangguk. Tanpa diduga, dia memanggil Pak Bagyo yang kebetulan berdiri tak jauh dari sana. Memintanya mengantarkan Safira ke depan. Tentu saja, baik Safira maupun Mentari kaget 154 | M e n t a r i S e n j a
dengan tindakan itu. Tampak Safira agak kecewa, namun dia segera tersenyum. Melambaikan tangan dan berlalu. *** Pangeran Samudera terdiam. Memikirkan kata-kata Safira. Bukti baru muncul. Dia salut dengan Safira yang kemampuan aktingnya luar biasa. Hampir dia merasa percaya dan menolak saran Baginda Sepuh untuk tetap hati-hati. Hari ini, dia mendapatkan titik terang. “Jadi, sedekat itukah Pangeran dengan Safira sampai urusan pribadi saya juga dibahas?”, Mentari memberanikan diri membuka pembicaraan dengan nada menjengit menahan marah. “Eh?”, Pangeran kaget sesaat. Lalu tersenyum paham. “Sebaiknya kita masuk ke dalam, ya Tari? Aku akan jelaskan di dalam. Tak baik bicara tentang hal ini di luar seperti ini. Kita tetap mesti hati-hati walau ini masih di dalam lingkungan istana”, jawabnya kemudian. Jawaban yang tak disangka Mentari. Tadinya dia hampir mau menyemburkan kekesalannya kalau Pangeran memperlihatkan sikap yang lain daripada sekarang. Karena bingung, Mentari menurut. Dia masuk ke dalam dan duduk di sofa. Pangeran mengikutinya dan duduk di sebelahnya agak terlalu dekat. Sampai Mentari menggeserkan posisinya sedikit. Pangeran tersenyum. Paham. “Maksudnya tadi urusan pribadi itu apa?”, tanya Pangeran menatap Mentari. Tentu saja Mentari menjadi rikuh. Dia berdiri untuk mengurangi kegugupannya. “Saya tahu, Pangeran sangat dekat dengan Safira. Tapi, bukannya kita sekeluarga sudah berjanji kita tidak akan membicarakan mengenai kecelakaan dan kejadian malam itu pada orang luar? Saya benar-benar berusaha menjaga mulut saya bahkan pada sahabat terdekat. Tapi, tadi saya dengar sendiri Safira menyebutkan kata kecelakaan itu dengan sangat jelas. Saya..saya..kecewa saja rahasia itu dibuka”, ucap Mentari dengan sedikit menyamping. Tak berani menatap ke arah Pangeran. “Kata siapa aku memberitahu Safira? Darimana kamu yakin aku memberitahu Safira?”, tanya Pangeran dengan menatap ke arah Mentari. “Eh? Ya..dari kata-katanya”, Mentari mulai gamang. Matanya tak bisa fokus. “Aku juga kaget Mentari. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi aku benar-benar tidak memberitahu seorang pun kecuali di antara keluarga kita. Aku bahkan mengatakan pada dia kalau kamu pulang dalam keadaan yang tampaknya tidak baik di malam dimana dia menghubungimu. Satu, aku heran dia cerita padaku bahwa dia menghubungimu di malam itu. Seolah dia menganggap kejadian itu hal yang sangat biasa. Seolah dia ingin membuat aku percaya bahwa dia hanya ingin menyampaikan usaha kerasnya untuk menjadi lebih baik terhadapmu. Dua, hari ini dia bicara tentang kecelakaan. Demi Tuhan, aku tidak menceritakan apa-apa padanya”, Pangeran Samudera menjelaskan dengan gamblang. Mentari menatap mata lelaki itu. Tampak sekali dia berupaya keras dan terasa jujur. Mentari menjadi merasa tak enak. Dia menunduk dan menggigit bibir bawahnya. Gugup karena telah menuduh Pangeran Samudera begitu saja. Harusnya aku tadi bertanya dulu, pikirnya. Melihat Mentari berdiri dengan sikap seperti itu, Pangeran Samudera tersenyum. Dia berdiri juga. Merunduk mengecek mata Mentari dari arah bawah. Tentu saja, Mentari kaget sampai dia terlonjak. Pangeran itu tertawa geli. Spontan, Mentari memukul bahunya. Ketika hendak menarik tangannya yang memukul bahu Pangeran, dia kaget karena tangan itu ditahan. “Pa..pangeran....”, serunya gugup. Dadanya berdebar kencang. Dengan satu hentakan, Pangeran memeluknya dan merangkulkan tangannya di pinggang Mentari. Tentu saja, Mentari kaget. Dia berusaha melepaskan diri. Namun dia merasa tak punya tenaga. 155 | M e n t a r i S e n j a
Merasa badannya melemah seketika. Hawa terasa panas. Dia bisa merasakan perut Pangeran menegang lekat di badannya. Tentu saja Mentari menjadi rikuh. Mukanya panas membara. “Apa kamu pikir aku sedekat itu pada Safira? Mengapa tidak berani bertanya padaku dan langsung menyimpulkan begitu saja? Apakah kamu benar-benar memperhatikan kedekatanku dengan Safira sampai sejauh itu? Apakah mungkin kamu...cemburu?”, tanya Pangeran dengan suara yang agak serak. Merangkulkan kedua tangannya pada pinggang Mentari yang bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. “Pa..pangeran..le..lepaskan saya..ini..tidak baik..saya...”, Mentari merasa sangat gugup. Matanya menunduk. Tak berani mendongakkan kepala. Dia ingin melepaskan diri. Tapi hasrat di dalam dirinya juga menggelegak kembali. Lebih dari saat dia dulu dicium di mobil. Kini, tampak hampir tak ada jarak antar mereka. “Aku, sudah bilang, kalau bicara denganku..kamu harus menatapku..bisakah kau lakukan itu..sekarang?”, tanya Pangeran dengan nafas yang terasa panas. “Aku tidak akan melepaskan pelukanku..kalau kamu tidak menatap mataku”, kata Pangeran lagi dengan nafas yang terdengar sedikit tersengal. Mendengar itu, Mentari makin rikuh. Pelan-pelan, dia mengangkat wajahnya. Menatap ke mata Pangeran yang sangat dekat dan melihat pupil mata itu melebar bergetar. Ketika dia menatapnya, Mentari merasa ada magnet yang sangat kuat menghisapnya untuk masuk ke kedalaman mata itu. Merasakan nafasnya makin tak teratur. Dadanya yang tertekan makin naik turun seolah hampir kehilangan udara. Panas dari tubuh lelaki yang tetap memeluknya lekat itu terasa menyatu dengan dirinya. Perlahan, Pangeran merundukkan wajahnya. Dan mendaratkan bibirnya di bibir Mentari yang terasa mengering. Mentari tak bergeming. Tak menduga hal itu. Ini kedua kalinya di dicium. Bibir lelaki itu memagutnya kembali. Menghisap bibir atas dan bawahnya bergantian. Bahkan kini lebih jauh. Menelusuri mulut Mentari dengan lidahnya yang panas. Mentari ingin melepaskan diri. Namun tubuhnya berkata lain. Terlarut oleh magnet itu, dia membalas ciuman itu. Mengikuti nalurinya tanpa tahu darimana pengetahuan itu muncul. Merasakan balasan itu, hasrat Pangeran makin menjadi. Dia mendekap Mentari sepenuhnya. Merasakan padat dan sintal tubuhnya yang kini melekat seluruhnya ke badannya. Mencium dengan lebih lekat. Merasakan nikmatnya hasrat. Mereka lupa diri beberapa saat. Terlarut dalam kenikmatan itu dan sama-sama tak mau melepaskan diri. Tidak ada penolakan lagi di antara keduanya. Nalar mereka sama-sama mati. *** Jika saja, Pak Sugih tidak mengetuk pintu untuk memberitahu Mentari bersama ahli tata busana untuk mengukurkan kebaya yang akan dipakai nanti di pernikahan Helena, mereka pasti makin lupa diri dan melepaskan semua nilai-nila tabu di dalam diri mereka. Jika saja mereka telah bergerak terbawa hasrat ke kamar, tentunya ketukan itu tak terdengar. Kaget dengan ketukan pintu, keduanya melepaskan diri bersamaan. Dengan muka dan bibir yang memerah. Rambut mereka pun tampak kusut karena tak sadar saling mencengkeramkan tangan tadi. Menahan badan agar tidak terjatuh oleh gulungan hasrat. “Ya, Pak..sebentar! Mentari sedang di kamar mandi!”, sontak Pangeran berteriak tersenyum ke arah Mentari sambil mengatur nafasnya. Mentari tersipu. Malu dengan hasratnya yang tadi terlepas dan sudah tak bisa dikendalikan lagi. Dia pun tak mengerti mengapa bisa terjadi seperti itu. Tak mengerti benteng pertahanannya bisa jebol begitu saja.
156 | M e n t a r i S e n j a
Pangeran merapikan rambut dan bajunya. Mentari masih terpaku di tempatnya dengan wajah tertunduk. Pangeran segera mendekat ke arahnya lagi. Menyisir rambut Mentari yang membuat gadis itu terkesiap lagi. “Hey, tampaknya kamu harus segera merapikan diri karena Pak Sugih sudah menunggu. Dan semoga, hal yang terjadi tadi bisa meyakinkanmu”, kata Pangeran sambil tersenyum dikulum. Wajahnya tampak cerah dan segar. Mentari terperangah kaget. Segera dia merapikan rambutnya. Membetulkan kancing kemejanya. Berjalan tergesa menuju pintu. “Maaf, Pak, agak lama..Eh iya, kebaya ya? Masuk Bu...”, sambut Mentari berusaha terlihat tenang. Pak Sugih tersenyum dan segera pamit. Bu Sekar masuk bersama asistennya. Mereka kaget ketika melihat Pangeran ternyata ada di dalam ruang tengah. Bersiap-siap mau pergi. “Ma..maaf Pangeran, Hamba tidak tahu Pangeran ternyata ada di sini”, Bu Sekar dan asistennya membungkuk memberi salam penghormatan. “Ya, aku kebetulan lagi bicara dengan Mentari. Lanjutkan saja. Aku juga harus segera pergi. Ehm...”, ucap Pangeran sambil berdehem. Mentari tak tahu harus bereaksi apa. Dia hanya berpikir mengenai fitting kebaya. Mereka bertiga masuk ruangan kamar dan menutupnya. “Fyuhhh! Untung ada ketukan pintu. Kalau tidak! Aku tidak tahu apa yang akan terjadi”, pikirnya sambil menarik nafas panjang. Fitting itu berlangsung 15 menit. Bu Sekar dan asistennya segera pamit keluar dari Pendopo. Mentari langsung masuk kamar kembali. Meneggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Senang. Malu. Bingung. Bercampur jadi satu. Apalagi tadi, Pangeran langsung meninggalkan Pendopo tanpa penjelasan banyak. “Semoga hal tadi bisa meyakinkanmu. Apa maksudnya? Arghhhhhh! Apa aku sudah jadi boneka lagi baginya? Aihhhhh!! Bagaimana iniiiiiiii?!!!!! Kenapa aku tadi segila ituuuuuuu?!!!!”, Mentari memukul-mukul bantalnya. *** Sementara Pangeran tak bisa berhenti tersenyum. Dia menatap langit-langit. Mengingat-ingat apa yang terjadi tadi. “Rasanya, baru kali ini aku merasakan hasrat sebesar itu. Dari mana juga dia belajar membalas seperti itu? Apa aku harus mengakui sekarang kalau aku kalah dalam permainan Eyang tua gila itu?! Aihhhh! Mengapa juga tadi aku begitu ketakutan kalau dia berpikir aku sangat dekat dengan Safira? Dari reaksinya tadi, apakah dia juga menyukaiku?! Tapi tunggu, bukannya perempuan bisa saja berhasrat dan belum tentu memiliki perasaan suka?! Arhhhhh! Bodohnya kau Samudera, mengapa tadi tidak kau tanyakan saja? Bagaimana kalau ternyata dia hanya berhasrat saja tadi? Bagaimana kalau dia sama sekali tak punya perasaan lain padaku? Ahhhhhhhh! Sudah, sudah!”, ucapnya sambil memeluk guling eraterat. *** Setelah kejadian itu, Mentari makin gugup ketika tiba-tiba berpapasan dengan Pangeran Samudera yang ditemani asistennya misalnya. Makin merasa tak terlalu bisa menyembunyikan debar di jantungnya saat menghabiskan makan malam. Setiap kali dia bersitatap dengan Pangeran Samudera, Mentari akan langsung menunduk. Pangeran menyadari hal itu, membuatnya tersenyum, namun tak bisa berkomentar karena situasi tidak memungkinkannya untuk membahas hal itu.
157 | M e n t a r i S e n j a
Di makan malam ketiga, Raja Angkasa tampak tegang wajahnya dan hanya sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia berkali-kali menarik nafas panjang sampai Pangeran merasa heran. “Ada apakah gerangan, Ayahanda? Tampaknya ada hal yang sangat merisaukan pikiran Ayahanda?”, tanya Pangeran. Yang ditanya tampak kaget sejenak. Lalu tersenyum dipaksakan. “Ya.. ada banyak hal yang aku pikirkan. Emm.. Pangeran, tampaknya kita harus bicara malam ini. Baginda Sepuh juga sudah meminta menyegerakan hal ini untuk dibahas. Aku tak bisa bilang itu apa di sini”, jawab Baginda Raja dengan enggan. Mendengar itu, Ratu Selasih dan Mentari tampak tercenung. Pangeran hanya mengangguk dengan keheranan yang kentara di wajahnya. *** “Apa?!!!! Tapi, Hamba tidak siap untuk itu, Ayahanda, Eyang”, Pangeran terlonjak kaget seteleah Baginda Raja dan Baginda Sepuh menyampaikan perkembangan kasus yang terkait dengan Mentari dan terkait dengan pemberontakan kecil di BUMK dan di beberapa daerah kerajaan kecil. Baginda Raja mengusap-usap keningnya dan menarik nafas panjang. Tak tahu apa yang harus dilakukan setelah melihat reaksi putranya. “Cucuku, mari kita tenang sejenak. Yang kami minta bukanlah hal formal. Ini hanyalah proses yang perlu dilakukan untuk melihat hubungan antar kejadian. Hanya itu satu-satunya cara yang paling aman. Lagi pula, pernikahanmu masih akan setahun lagi. Kita masih punya waktu untuk menelusuri ini lebih jauh. Cara terbaik untuk menangani masalah ini adalah memahami musuh lebih dalam untuk mengetahui kelemahannya yang paling rapuh”, kata Baginda Sepuh dengan nada tenangnya. “Tapi, Eyang...Hamba...”, Pangeran menahan kata-katanya. Masih tak bisa menerima cara yang disampaikan kedua tetuanya. “Apa yang merisaukanmu, anakku?”, tanya Baginda Raja berusaha memahami kerisauan hati yang diperlihatkan anaknya. “Hamba tidak..tidak punya perasaan istimewa dengannya. Hamba memang belum bisa memutuskan..tapi, ada yang berubah dalam diri Hamba. Hamba...tampaknya...cenderung memilih...Mentari, Ayahanda, Eyang”, akhirnya, walau berat baginya dan tak biasa menyampaikan perasaannya dengan jujur, Pangeran mengucapkan apa yang membuatnya berat. Baginda Sepuh dan Baginda Raja menatapnya sesaat. Mereka lalu tersenyum. “Ahhh...aku senang mendengarnya”, komentar Baginda Sepuh. Pangeran Samudera hanya diam. Mencengkeram rambutnya dengan kedua tangan. Mukanya merah. Antara malu dan risau. “Dan apa yang akan terjadi padanya kalau dia nanti mengetahui hal ini? Karena pasti dia akan tahu juga. Sementara, bagaimana Hamba bisa meyakinkannya sementara keputusan ini harus terlihat nyata dan Hamba berarti tak bisa mengatakan apa yang kita bicarakan ini kepada orang lain, termasuk Ibunda Ratu sendiri”, lanjut Pangeran Samudera dengan nada berat. Mendengar itu, Baginda Raja terdiam. Ya, anaknya benar. Bagaimana nanti perasaan Mentari. “Apakah kalian, kamu dan Mentari sudah sama-sama membicarakan perasaan kalian sebenarnya?”, tanya Baginda Sepuh hati-hati. Pangeran terhenyak mendengar itu. Apakah ciuman bisa menandakan mereka telah memperjelas segalanya? Mungkin ya baginya, tidak bagi Mentari. “Be..belum, Eyang. Dan Hamba belum tahu juga bagaimana perasaan sebenarnya terhadap Hamba..”, dengan lunglai, Pangeran Samudera menjawab. 158 | M e n t a r i S e n j a
“Ahahahahah! Baiklah...Baiklah...”, Baginda Sepuh tertawa. Mengagetkan Pangeran Samudera dan Raja Angkasa II. “Eyang? Sungguh? Bagaimana Eyang bisa tertawa dalam situasi seperti ini?”, Pangeran Samudera terdengar sedikit kesal. “Ah ya, ya, ya..Maafkan Eyangmu ini, Nak... Begini, karena segalanya harus tertutup dengan baik. Maka dengan berat hati, Eyang katakan kamu harus tega sementara. Itu akan jadi ujian buat kalian berdua. Konon katanya, kekuatan cinta sejati itu ada. Kamu pun belum merasa yakin bukan dengan perasaannya? Nah, bagaimana kalau kita sama-sama melihat bagaimana reaksi Mentari nanti? Dan bisakah kira-kira kamu menerima kalau seandainya dia tidak memiliki perasaan yang sama? Atau bisakah kamu membiarkan negara dan kerajaan dalam keadaan tidak baik dan banyak sekali akan berkorban sementara kamu bisa dengan santai berusaha menjalani hubungan dengan Mentari?”, tanya Baginda Sepuh. Mendengar itu, Pangeran Samudera terdiam. Memikirkan banyak hal. Kepalanya mendadak terasa keruh. “Bisakah Hamba memikirkan ini terlebih dahulu?”, tanya Pangeran Samudera ragu. Kedua orang tua itu menggeleng. Pangeran Samudera menghempaskan diri di kursinya. Setelah beberapa menit berlalu. “Baiklah. Hamba bersedia. Demi kerajaan dan negara ini. Demi kedamaian banyak orang”, ucap Pangeran berusaha tegas. Baginda Sepuh tersenyum. Baginda Raja memeluknya erat. Dan diskusi berlanjut dengan bagaimana rencana itu akan dilakukan. Malam itu, Pangeran Samudera tak bisa tidur tenang. ***
Pertemuan Dua Keluarga Mendengar penuturan putra satu-satunya tadi sore, Baginda Ratu merasa sulit menerima. Jauh di dalam hatinya, dia percaya anaknya bisa menikah dengan Mentari. Namun, ternyata, dugaannya meleset. Hatinya terasa sedih sebenarnya, tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa ketika putranya memutuskan memilih perempuan lain. Dengan berat hati, Baginda Ratu menyanggupi keinginan Pangeran Samudera. Seminggu ini, Baginda Ratu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk mempersiapkan kunjungan makan malam ke keluarga Safira. Juga mempersiapkan untuk makan malam di kerajaan setelah kunjungan dari pihak kerajaan dilakukan. Dia tak sanggup bertemu Mentari. Menghindari melihat dan menatap mata anak perempuan yang sangat disayanginya itu. Mentari mulanya tak menyadari ada perubahan kesibukan di Istana. Namun, 2 hari kemudian, dia tak sengaja mendengar gosip Bu Ningrum dan Bu Retno yang berjalan melintasi pendoponya. “Aku heran, bagaimana cara pikir Pangeran kita itu? Bagaimana bisa dia kemudian memutuskan melamar Putri Safira?”, kata Bu Retno dengan kesal. “Yaaaa... Bagaimana lagi, Bu. Begitulah kejamnya kenyataan. Kita yang di bawah ini hanya bisa melihat dan menonton. Walau bagaimana pun, ya, Putri Mentari kan tidak jelas asal usulnya. Tentunya, Pangeran Samudera pun mungkin mempertimbangkan hal itu untuk memilih calon Ratu negara ini. Dan yah, mungkin itulah yang membuatnya memilih Putri Safira”, komentar Bu Ningrum dengan nada sedikit kesal juga. Mendengar itu di balik jendela ruang tengahnya, Mentari terdiam. Hatinya terasa ditusuk pedang beracun puluhan kali. Badannya terpuruk ke lantai kayu sambil memeluk 159 | M e n t a r i S e n j a
buku yang sudah dibacanya berulang kali, karya Ki Buana Raya. Tanpa dia sadari, air mata mengalir tak henti. Ketika tetesnya dia rasakan menyentuh tangannya dan menitik juga di sampul buku itu, segera Mentari tersadar. “Oh..tidak..Buku ini bisa lebih rusak lagi oleh tangisanku. Maafkan aku Ki Buana Raya. Oh Tuhan...mengapa aku terlalu berani berharap? Mengapa aku tak bisa menahan perasaanku padanya? Mengapa aku begitu bodoh menerima ciumannya? Mengapa aku begitu bodoh dipermainkan olehnya dan oleh perasaanku sendiri? Ba..bagaimana ini? Ba...bagaimana ini?!!”, ucap Mentari di tengah tangisannya. Dia segera berdiri. Menuju kamar mandi dan melihat mukanya di depan kaca. “Tidak, Mentari! Bukan salah dia! Bukan salah dia! Ini adalah kesalahanmu! Mencintai orang yang tak mungkin memilihmu! Jangan menangis! Jangan menangis! Tersenyumlah! Jangan biarkan mereka semua tahu perasaanmu! Tersenyumlah!”, ucapnya kuat-kuat. Mencuci mukanya. Berusaha membuat ekspresi tersenyum. Badannya bergetar menahan air matanya. Mentari menahan perih hatinya semenjak hari itu. Dia berusaha bertingkah laku wajar walau kadang-kadang dia terlarut lagi oleh perasaannya saat sebelum tidur. Mentari berusaha sangat keras. Menari. Memainkan musik. Bermain teater. Berlatih bela diri. Meditasi. Menghabiskan waktu dzikir lebih lama dan bertahajud lebih sering. Berusaha tersenyum pada siapa pun yang menyapanya. Berkomentar santai ketika ada pelayan yang memberanikan diri membahas rencana pertemuan keluarga Raja dan keluarga Safira yang akan segera berlangsung. Menarik nafas panjang dan mengeluarkan nafas perlahan ketika dia sekali bersipapas dengan Pangeran yang tampak lebih mengacuhkannya. Dengan usaha keras seperti itu, hatinya mulai mengeras juga. Memutuskan tali perasaan yang tengah kuat-kuatnya terhubung tentu tak mudah. Hanya dengan mengkristalkan hatinya maka itu mungkin terjadi. Dia tidak tahu sampai kapan dia bisa begitu. Menebalkan kembali benteng pertahanannya seperti dulu. Tidak tahu kapan benteng itu runtuh. Tanpa kenal lelah, dia bangun satu persatu batu-batu pelindung di dalam jiwanya. *** Akhirnya, hari dimana keluarga Raja mengunjungi keluarga Safira, tibalah jua. Baginda Ratu datang pada Mentari dan menyampaikan maksud tujuan kunjungan itu. Mentari tidak perlu ikut katanya. Namun ketika nanti mereka melakukan kunjungan balik ke Istana. Mentari harus hadir untuk diperkenalkan. Mendengar itu, telinga Mentari terasa berdenging menahan diri. Mengatakan iya sambil tersenyum yang membuat Baginda Ratu menatapnya lebih lama. “Mengapa Ibunda menatap Hamba lebih lekat? Adakah yang merisaukan hati Ibunda dalam pertemuan nanti malam?”, tanya Mentari pelan sambil tersenyum penuh pengertian. “Eh? Ah...ya, ini pengalaman pertama dan terakhir Ibunda tampaknya untuk melakukan pertemuan awal seperti ini, Mentari. Jadi, Ibunda agak gugup menghadapinya. Walau yah, Ananda tahu, Ibunda pasti tak akan banyak diajak bicara juga dalam pembahasan serius nanti”, jawab Ibunda Ratu sedikit terperangah namun segera tersenyum kembali. “Ah ya, tentu saja Ibunda. Ibunda pastinya senang akhirnya hal ini terjadi juga. Ibunda akan punya keluarga baru nanti”, komentar Mentari sambil tersenyum ringan. “Ah ya, Ananda juga tentunya. Akan senang punya kakak ipar perempuan nanti. Setidaknya bisa ada anggota keluarga yang seumuran. Pastinya itu lebih menyenangkan”, balas Ibunda lagi. “Tentu, Ibunda.. Hamba ikut bahagia”, kata Mentari sambil tersenyum.
160 | M e n t a r i S e n j a
“Ah, baiklah kalau begitu..Ibunda lega mendengar Ananda bisa ikut berbahagia juga. Baiklah, Ibunda pergi dulu ya?”, begitu kata Ibunda Ratu sambil segera pergi dari ruang pendopo dimana Mentari sedang latihan memetik kecapinya. Sehabis kepergian Ibunda Ratu, Mentari tercenung sesaat. Segera dia mengalihkan perhatiannya pada kecapi dan mulai memetik nada yang sangat dia sukai akhir-akhir ini. Nada kecapi yang bagi telinga orang tampak terdengar seperti tangisan dalam dari jiwa pemainnya. *** Malam itu, Pangeran Samudera, Baginda Raja dan Ratu, Baginda Sepuh berangkat ke rumah Safira. Membahas hubungan antara Pangeran Samudera dan Safira juga melihat tanggapan keluarga Safira mengenai hal itu. Tentu saja, kunjungan mereka disambut baik oleh mereka. Ibu Safira dan Safira tak henti-hentinya tersenyum bahagia. Mereka merespon undangan makan malam ke Istana 3 hari lagi dengan penuh semangat. Acara kunjungan ini tak luput dari liputan media. Besoknya, berita ini dimuat di headline setiap koran, dimuat di televisi dalam acara berita, dan ramai dibicarakan di internet. Banyak pihak merasa kecewa dengan keputusan Pangeran. Banyak juga yang mendukung dinilai dari sudut pandang politik. Memang makan malam keluarga bukanlah acara formal atau peneguhan tertentu. Namun, ada hukum tak tertulis bahwa kalau antar keluarga sudah mulai melakukan kunjungan makan malam bersama, semacam ada tanda besar bahwa kedua belah pihak sudah ada kesediaan untuk menjalani hubungan yang serius ke arah pernikahan. Di hari itu juga, banyak pihak wartawan yang menelepon istana untuk konferensi pers. Pihak kesekertariatan Istana, sesuai instruksi Raja, menolak dengan halus setiap tawaran itu dengan mengatakan bahwa acara makan malam itu hanyalah acara silaturahmi saja. Tidak ada yang perlu diberitakan lebih lanjut dari itu. Helena, sebagai satu-satunya orang yang tahu bahwa Pangeran Samudera melakukan langkah pendekatan dengan Mentari, menelepon Mentari dengan nada cemas. “Tari, bagaimana dengan perasaanmu? Kamu baik-baik sajakah?”, tanya Helena dengan hati-hati. “Eh? Ya, ya, Helena, tentu saja. Aku ikut bahagia dengan rencana Pangeran dan keluarga Istana”, jawab Mentari dengan nada cerianya dan tawanya yang terdengar renyah. “Tari, please girl. Berhentilah membuat benteng terlalu tinggi untuk dirimu sendiri. Kamu benar baik-baik sajakah? Aku kan tahu apa yang pernah terjadi dengan kalian? Masa kamu bisa menerima begitu saja kejadian ini?”, Helena bersikukuh dengan nalurinya. Mendengar kata benteng disebutkan oleh Helena, Mentari merasa tertohok. Namun segera, dia bangun kembali pertahanan dirinya. “Helena..Itu tanda bahwa Pangeran hanya ingin mempermainkanku saja bukan? Yah, maklum, aku ini tidak ada pengalaman dengan hal-hal seperti itu. Kamu jangan khawatir oke? Aku baik-baik saja. Yah, walaupun kesal mengetahui bahwa aku hanyalah alat mainannya, tapi ya...setidaknya dia memberiku sedikit pengalaman kan?”, Mentari tertawa. Mendengar sahabatnya yang tampak dengan mudah mengatasi hal ini, akhirnya Helena menyerah. “Oke, oke... Baiklah. Aku lega kalau kamu baik-baik saja. Mungkin aku juga salah mengira kalau kamu punya perasaan istimewa pada Samudera. Good then. Eh, kebayanya sudah siap kan?”, Helena mengalihkan pada yang lain. Seminggu lagi, dia akan menikah. “Iya doooong. Sudah jadi dan baguuuus sekali. Aku tak sabar hadir di hari bahagiamu”, jawab Mentari dengan senang. Helena tertawa. Berakhirlah percakapan mereka. Mentari langsung terdiam sehabis percakapan itu selesai. Ada sebuah ide yang melintas di pikirannya. Namun dia masih 161 | M e n t a r i S e n j a
merasa belum pasti. Dia akan melihat perkembangannya nanti. Terutama, perkembangan dirinya sendiri. *** Tibalah hari dimana Mentari merasa sangat enggan menghadiri. Makan malam dengan keluarga Safira di Istana. Namun dia tahu, dia tak bisa menghindar. Dia harus menguatkan dirinya kembali. Lebih daripada biasanya. Keluarga Safira sudah tiba. Mentari telah menunggu bersama Ibunda Ratu, Baginda Raja, Baginda Sepuh, dan Pangeran Samudera. Mentari berdiri di sebelah Ibunda Ratu. Dia mengenakan gaun sutra warna broken white sederhana. Mentari juga mengenakan make up ringan dan rambutnya sedikit diikalkan oleh perias istana. Sebuah bros putih yang ditempeli bunga melati hidup terselip di atas telinga sebelah kanannya. Ketika mereka sampai, Safira memeluk Mentari hangat dan akrab. Mentari membalas sesuai dengan aksi Safira sambil tersenyum menatapnya. Safira tampil sangat cantik dengan gaun warna merahnya. Rambutnya disanggul sederhana. Bagi Mentari, dia merasa melihat calon Ratu yang pas menyandingi Pangeran Samudera. Dengan tulus, Mentari memuji penampilannya malam ini yang tentu saja membuat Safira terlihat lebih senang. Mereka duduk melingkar dan mulai banyak berdiskusi. Lebih banyak didominasi ayah Safira dan Baginda Raja. Membahas sedikit mengenai situasi negara dan bagaimana senangnya ayah Safira dengan pertemuan itu. Setelah makanan inti selesai disantap, Baginda Raja berdiri. Yang lain menatapnya lekat. “Malam ini, izinkan saya, untuk memperkenalkan salah satu anggota keluarga kami yang mungkin sudah diketahui juga. Dia adalah anak angkat saya, cucu angkat Ayahanda Baginda Sepuh, Mentari Pertiwi Raya”, Baginda Raja tersenyum ke arah Mentari. Lalu dia duduk kembali. Mentari sedikit rikuh namun segera tersenyum menatap satu persatu anggota keluarga Safira yang kini memandangnya sambil tersenyum. “Ah, Ya, Baginda..kami sudah banyak melihatnya dan mendengarnya dari tayangan media. Yang sempat diartikan dengan salah oleh umum tentunya. Terima kasih sudah memperkenalkannya dengan jelas pada kami”, jawab ayah Safira sambil tersenyum. “Ya, tentunya media yang tak tahu banyak, akan senang menafsirkan apa pun yang bisa membuat orang membeli atau menyaksikan tayangan-tayangan yang luar biasa menarik”, kali ini Baginda Sepuh yang berkomentar. “Ya, betul, Baginda Sepuh. Oh ya, semenjak kita sekarang sudah lebih mengenal satu sama lain, bolehkah Hamba bertanya?”, tanya Ayah Safira. “Oh ya, tentu saja”, jawab Baginda Sepuh sambil tersenyum. “Hamba pikir, banyak orang sangat salah paham dengan Mentari. Kami, tidak ingin terbawa oleh kesalahpahaman itu. Terutama mengenai asal usulnya dan keluarganya Mentari. Hamba yakin, pengambilan Mentari sebagai anggota keluarga baru Kerajaan pastinya sangat berdasar. Maafkan Hamba sudah lancang, namun Hamba tak bisa menyembunyikan rasa penasaran Hamba ini”, tambah Ayah Safira dengan hati-hati. Pertanyaan ini sangat menarik. Mentari sampai sedikit terhenti mengunyah makanan penutupnya. Itu adalah pertanyaan yang selalu lupa dia tanyakan. Kini, ayah Safira terasa seperti mewakili dirinya. “Ahahaha..ya, ya, ya...aku bisa mengerti, Ronggowasito. Apalagi, Safira sendiri pernah menjadikan isu ini sebagai isu untuk berdebat dengan Mentari yang sangat menghebohkan waktu itu ya?”, Baginda Sepuh terkekeh. Muka Safira mendadak terlihat memerah mendengarnya.
162 | M e n t a r i S e n j a
“Ah ya, Hamba selaku ayah Safira, mohon maaf untuk ketidaknyamanan waktu itu. Hamba lah yang salah yang kurang mampu mendidik putri Hamba ini”, Ayah Safira sedikit menunduk dengan kuping memerah. “Ahahaha, jangan khawatir. Toh mereka berdua juga sudah saling memaafkan. Aku minta maaf tak bisa mengatakan lebih banyak dari ini. Karena aku pikir, ini tak terlalu penting bagi kalian. Mentari ini adalah cucu sahabat dekatku di masa lampau. Kami pernah membuat janji untuk saling memelihara anggota keluarga kami jika suatu saat salah satu dari kami meninggal terlebih dahulu. Kakek Mentari ini masih bangsawan sebenarnya. Hanya dia tidak mau mengakui itu dan tak mau memperbesar masalah statusnya. Masih kerabat jauh dari permaisuri Raja Nusantara. Jadi mungkin, masih ada kaitan saudara juga dengan keluargamu, Ronggowasito. Walau yah, mungkin tak terlalu dekat juga”, jawab Baginda Sepuh santai. Mendengar itu, Mentari terdiam. Mencoba menyerap informasi itu dan mengolahnya dengan baik. Keluarga Safira, kecuali adiknya yang masih remaja yang tampak mulai mengantuk, terlihat kaget juga. “Oh ya? Tapi, rasanya, kami sudah cukup banyak mengenal keluarga kami dan jejaring keturunannya. Tapi...”, Ayah Safira tampak menahan kata-katanya. Menyadari kekagetannya terlalu terlihat. “Yah...selalu ada alur yang terputus bukan, Ronggowasito? Apalagi kalau sudah mulai berkembang terlalu banyak. Seperti yang kukatakan tadi, tak terlalu penting bukan? Karena kupikir, yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita menjalin hubungan dan melekatkan tali kekeluargaan kita. Kita tak pernah tahu bagaimana takdir nanti menyatakan dirinya. Setidaknya, sebagai manusia, kita patut berusaha keras. Aku harap, kuatnya ikatan keluarga Kencana dengan Istana bisa berdampak baik pada kerajaan ini secara keseluruhan”, jawab Baginda Sepuh sambil tersenyum dalam. Secara halus meminta ayah Safira untuk tidak melanjutkan membahas mengenai Mentari. Apalagi dia lihat, Mentari tampak melamunkan kata-katanya. Ayah Safira tampak menyadari itu. “Ah iya, mohon maafkan kelancangan Hamba. Tentunya, sudah tak ada alasan bagi kita untuk tak saling mendukung sekarang. Cheers untuk keluarga kita semua”, sambungnya sambil mengangkat gelas. Semua mengikuti sambil tersenyum. *** Acara kemudian dilanjutkan dengan jalan-jalan santai melihat sekeliling istana dari jarak yang tak terlalu jauh dari tempat mereka makan malam. Mentari setia mengikuti berdampingan dengan Ibunda Ratu yang diajak bicara oleh ibu Safira. Pangeran Samudera dan Safira tampak memisahkan diri. Membuat hati Mentari terasa ngilu. Karena pada dasarnya kehadirannya sudah tak terlalu dirasa bermakna lagi, Mentari berpamitan pada Ibunda Ratu dan Ibu Safira dengan sopan. Mereka menyayangkan kepergiannya yang terlalu awal namun kemudian menyetujui karena Mentari masih perlu menyelesaikan kegiatan lain terakhir di malam itu. Alasan yang bisa dibuat Mentari untuk menghindari ketidaknyamanan yang sudah mulai merayap pelan-pelan di badannya. Ketidaknyamanan pembahasan mengenai asal usul keluarganya. Ketidaknyamanan karena melihat betapa sempurnanya Safira dan Pangeran berdampingan satu sama lain. Ketidaknyamanan menyadari bahwa dia yang tak jelas asal usulnya, tak tahu apakah masih ada anggota keluarga terdekat yang masih hidup, tak merasa pantas atas itu, berada sendirian dan terasing di tengah dua anggota keluarga yang terasa terpisah darinya. Banyak hal mendadak berkecamuk di hatinya. Mentari tak merasa mampu menahan diri lebih lama. Berakting lebih lama dengan segala tata laku sopan santun yang sudah dia pelajari selama ini, kini membuat dirinya merasa mual. 163 | M e n t a r i S e n j a
Mentari berjalan menjauh dari arah tempat terakhir mereka berjalan. Menyelusuri jalan menuju pendoponya. Memilih berjalan dalam remang yang tak tertimpa lampu jalan walau harus menginjak rumput. Dan langkahnya terhenti ketika dia hendak menikung ke arah kiri. Melihat Safira dan Pangeran berdiri begitu lekat di antara kerumunan semak bunga melati. Melihat Safira membelai ramput Pangeran Samudera yang menatap dengan tersenyum. Melihat kemudian Safira mendaratkan bibirnya di atas bibir Pangeran. Mentari terperangah dan segera memalingkan wajahnya yang memanas. Dia segera berlari menginjak rerumputan dengan cukup kencang menuju pendoponya. Tangisnya berderai tak terkendali. Membuka pintu dengan cepat. Menguncinya. Menuju kamarnya. Benteng tinggi yang dibangunnya dengan susah payah terasa runtuh seketika. Tangisnya meledak. Dadanya terguncang. Begitu sakit rasanya melihat itu. Hatinya terasa sangat ngilu dan diperas dengan kuat. Dia menangis terguguk. Nafasnya tak beraturan. Dia pegang hatinya kuat-kuat. Hati yang terasa pecah. Rasa tertusuk menghantam dadanya berulang-ulang dan dia tak bisa menghentikan. “Oh, Tuhan..tolong Hamba. Tolong Hamba!”, ucapnya terputus-putus. Mengambil posisi sujud sambil memegang hatinya. Sakit sekali. Sakit. Malam itu, Mentari tak bisa berhenti menangis. Memadamkan lampu. Menutup diri dengan selimut. Membanjiri bantal dengan tangisannya. Sampai akhirnya dia bisa tertidur karena sangat lelah. Sampai badannya sudah tak mampu menahan lagi. *** Mentari terbangun dengan rasa sakit di kepala dan perasaan sangat pegal di matanya. Dia melihat cermin dan terkaget-kaget dengan rupa wajahnya yang kusut, tak jelas, dan bengkak yang kentara karena habis menangis semalaman. Dia segera mengambil es di kulkas, memecahkannya, membalutnya, dan mengompres matanya sambil berbaring di sofa. Setelah matanya terasa lebih baik, Mentari memutuskan untuk berlari di area belakang Istana. Jauh ke arah hutan buatan. Dia perlu mengembalikan dirinya sendiri. Mengembalikan kekuatan yang mendadak hancur tadi malam. Dia berlari dan berlari. “Aku pikir aku akan kuat. Aku pikir aku akan bisa mempertahankan diri. Tapi tak bisa. Aku akui aku tak bisa. Aku harus pergi. Harus pergi dari sini jika aku tidak mau aku hancur. Bagaimana aku bisa menghadapi kehidupan selanjutnya? Safira pasti suatu saat akan tinggal di sini. Hanya dengan melihat adegan itu tadi malam saja, aku sudah bisa melihat ternyata aku begitu rapuh. Aku harus pergi mempertaruhkan segalanya. Aku tak layak tinggal di sini. Aku bukan siapa-siapa. Tak ada seorang pun yang bisa aku andalkan dan tempatku bergantung di sini. Aku tak layak juga menggantungkan hidupku pada siapa pun yang ada di sini. Ini bukan tempatku. Lebih baik aku hancur dimakan oleh kerasnya hidup di luar sana dibandingkan aku melihat diriku membusuk diam-diam di sini. Aku dan siapa keluargaku adalah hal yang tak penting mereka pikirkan. Aki, bantu cucumu ini. Bantu aku bisa menghadapi saat terakhir di sini. Aku bulatkan tekadku. Melepas semua kehidupan dongeng yang kudapat di sini. Maafkan cucumu yang tak bisa mengikuti wasiatmu dengan baik, Aki. Maafkan, cucumu”, ucap Mentari berulang kali sambil berlari. Cahaya yang sempat menyala di sini, sudah hilang. Itulah yang dia rasakan sekarang. Dia tak bisa melihat alasan mengapa dia harus diam di Istana. Dia mungkin akan menyakiti banyak orang. Dia akan tanggung resiko itu. Dibandingkan dia harus melihat dirinya hancur. Bagaimana bisa menerima kasih orang lain jika dirinya sendiri tersiksa?
164 | M e n t a r i S e n j a
Itulah kesimpulan yang dipegang oleh Mentari sekarang. Dan dia kemudian berpikir keras, bagaimana dia bisa keluar dari sini. Suatu ide terlintas di kepalanya. Dia kemudian terlarut dalam pemikirannya sendiri. Memikirkan banyak cara dan langkah-langkah yang akan dia ambil. Yang tak akan mencurigakan banyak orang. Karena kompresan dan olahraga lari yang panjang, Mentari melihat matanya sudah kembali normal. Dia melihat ke arah laptopnya. Dia cari informasi yang dia butuhkan di sana. Dia catat beberapa hal penting di buku catatan pribadinya yang sudah lama tidak dia gunakan. Dia buka juga telepon genggam-nya dan mencatat beberapa nomor yang dia pikir dia perlu tulis. Dia masih punya waktu. *** Besok harinya, dia temani Ibunda Ratu seharian melakukan aktivitasnya. Ratu Selasih agak heran dengan sikap Mentari yang terlihat lebih hangat dari biasanya. Dia senang ketika Mentari tiba-tiba memeluknya hangat setelah Mentari menyampaikan perasaannya tentang bagaimana dia begitu berterima kasih atas perhatian dan kelembutan Ibunda Ratu. Tentu saja, terbuai dengan perasaan yang sama-sama bahagianya, Ratu Selasih memeluknya dengan hangat juga. Ketika berpelukan dengan Mentari, dia merasa segala kerisauan yang dia miliki hilang sudah. Mentari juga sibuk meluangkan waktu untuk menyapa para pelayan yang setidaknya pernah membantunya langsung. Meluangkan waktu bergosip sedikit dengan mereka yang membuat para pelayan itu tambah senang. Namun sayangnya, Mentari tak bisa bertemu dengan Baginda Sepuh yang katanya sedang pulang ke Gunung Salak untuk waktu seminggu. Dia memutuskan untuk menulis sebuah surat untuknya. Dan menyelipkannya ke bawah pintu pendopo Benggala secara diam-diam. Ketika makan malam, dia menanggapi pembicaraan Raja Angkasa dengan serius. Ikut membalas dan membahas setiap hal yang dikemukakan Raja Angkasa. Sampai membuat Raja Angkasa sedikit heran dengan keceriaan itu. “Tampaknya ada yang membuatmu sangat bahagia, Mentari?”, tanyanya sambil tersenyum. “Ah, iya Baginda. Tampaknya Hamba mendapatkan pencerahan luar biasa akhir-akhir ini. Hamba merasa sangat beruntung telah menjadi bagian dari keluarga ini. Rasanya, entah mengapa, Hamba mendadak diliputi perasaan bersyukur telah ada di sini. Mungkin, ini efek dari berita bahagia tentang Pangeran juga”, jawab Mentari ringan. Mendengar itu, tampak Pangeran Samudera sedikit mengernyit tidak suka. “Ahahaha...baiklah. Mungkin karena kamu banyak melatih diri Mentari. Setelah setahun berlalu, efeknya jadi bagus untuk jiwamu”, balas Baginda Raja. “Iya, Baginda. Terima kasih banyak sudah memberikan pengalaman pada Hamba yang asalnya bukan siapa-siapa ini”, kata Mentari lagi dengan sungguh-sungguh. “Ahahaha! Sudah, sudah..jangan membuatku lebih terlena lagi, Mentari”, seru Baginda Raja dengan tersenyum lebar. Mentari tertawa kecil dan menyantap hidangan dengan penuh semangat. Kesenangannya yang luar biasa menular juga pada yang lain, kecuali Pangeran Samudera. *** Sehabis makan malam, Pangeran memutuskan meluangkan waktu dengan Mentari. Ada perasaan tak enak yang dia rasakan tapi dia juga tak tahu dasarnya. “Jadi, kamu bahagia dengan pertemuan keluarga itu, Mentari?”, tanyanya sambil berjalan bersebelahan dengan Mentari. Mentari menghentikan langkahnya. Dia kemudian menghadap ke arah Pangeran. Memegang kedua bahunya yang membuat lelaki itu menarik nafas kaget.
165 | M e n t a r i S e n j a
“Tentu saja saya bahagia. Pangeran akhirnya mendapatkan pendamping yang sangat serasi dengan keluarga yang juga baik derajatnya”, ucap Mentari sambil menatapnya dengan tatapan ceria. “Ahhh..kamu berlebihan. Itu kan baru pertemuan keluarga. Belum tentu juga kenyataannya demikian. Seperti kata Eyang, kita ini hanya bisa berusaha. Tak tahu bagaimana takdir menyatakan dirinya nanti”, Pangeran Samudera mendengus sedikit sambil menghentakan tangannya. Hingga Mentari melepaskan pegangannya. Mentari sedikit kaget tapi dengan segera dia tersenyum dan menyimpan kedua tangannya ke belakang. Sadar, dia sudah terlalu berlebihan bersikap akrab. “Apa itu maksudnya baru pertemuan keluarga? Tentu saja, tak perlu dibahas juga kita tahu kelanjutannya akan seperti apa bukan, Pangeran? Ah, tapi sudahlah... Yang jelas, saya ikut senang. Pangeran sangat cocok dengan Putri Safira”, seru Mentari dengan nada cerianya yang membuat hati Pangeran terasa tak enak. “Lalu, apa kamu sudah lupa dengan apa yang pernah terjadi di antara kita? Apa kamu bisa dengan mudah melupakan bagaimana aku dan kamu berciuman?”, Pangeran Samudera tak bisa menahan dirinya. Dia menguak isu itu tiba-tiba dengan suara yang dipelankan dengan paksa. Ada rasa marah yang dia rasakan muncul begitu saja. Mendengar hal itu, Mentari merasa jantungnya mulai berdebar. Tidak. Dia tak boleh terbuai lagi. Kejadian itu kini tak ada arti apa-apa. Begitu katanya dalam hati. “Ah, Pangeran. Sudahlah. Saya paham. Saya tahu sejarah playboy-nya Pangeran. Tapi, saya tak keberatan kok saya jadi bahan eksperimen juga. Saya malah berterima kasih saya sudah diberikan pengalaman seperti itu”, jawab Mentari berusaha seringan mungkin. “Itu bukan...Aihhhhh! Kenapa sih kamu ini? Mendadak aneh dengan segala keceriaanmu itu! Aku....Arghhhh! Mengapa sekarang ingin sekali aku menamparmu!”, tibatiba Pangeran Samudera tampak geram. Membuat Mentari kaget. “Umm..ma..maaf Pangeran. Maafkan jika keceriaan saya ini mengganggu. Saya tidak bermaksud membuat hati Pangeran menjadi seperti itu. Saya dengan tulus mengatakan, ingin berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih dengan Pangeran yang sudah baik pada saya. Terima kasih sudah membuat saya merasa tidak bosan menghadapi hari-hari di sini”, Mentari meneguhkan sikapnya. “Aihhhh! Ah, sudahlah! Percuma aku menghabiskan waktu denganmu! Selamat malam!”, dengan ketus, Pangeran Samudera menjawab. Dengan langkah yang menghentak, dia segera pergi berlalu dari Mentari. Mentari terdiam. Menatap punggung tegap itu berlalu. Menatap punggung yang ingin dia kagumi untuk terakhir kalinya. “Lebih baik, lebih baik aku dibenci seperti ini olehnya. Terima kasih, Pangeran....ku”, ucapnya dalam hati. Air mata meleleh kembali di pipinya. Dia berjalan menuju pendoponya. Namun, pemikiran lain datang. Dia ingin menikmati malam ini lebih lama dengan berjalan berkeliling istana. Merekam situasi malam di sini untuk disimpan dalam kepalanya. Menikmati setiap pemandangan yang dia lihat. Harum bunga-bunga, rempah, dan wewangian yang dia sesap. Udara hangat yang dia rasakan. *** Besok harinya, Mentari pergi ke tempat pernikahan Helena. Dia diundang Helena untuk melihat gladi resik di gedung pernikahannya nanti. Mentari telah menyiapkan diri untuk itu. Di gedung itu, dia melihat ada Friska, Dini, Gerhana, Wisnu, dan Bima. Safira dan Pangeran tidak datang karena mereka sedang menghadiri rapat di BUMK pusat. Mentari benar-benar menikmati waktunya dengan perasaan bahagia dan terkagum-kagum dengan persiapan pernikahan Helena yang tampak akan mewah itu. 166 | M e n t a r i S e n j a
“Eh, Tari, aku heran dengan tasmu yang besar itu! Kamu mau kemana sih?”, tanya Dini sambil menyenggol Mentari. “Hari ini, aku sudah minta izin Baginda Ratu untuk mencoba aerobik di tempat gym di sekitar sini. Bosan dengan sasana olahraga di Istana, Mbak”, jawab Mentari ringan sambil memandang ke arah Helena dan Batara yang sedang berjalan menuju tempat duduk mereka. “Wuahhhh! Sejak kapan kamu suka aerobik di tempat umum hah?”, Dini tertawa. “Sejak aku berpikir aku perlu mendapatkan pacar, Mbak. Kan katanya di tempat aerobik kita bisa melihat cowok-cowok berbadan bagus dan bertampang keren”, jawab Mentari sambil berbisik. “Ahahahah! Serius kamu? Eh tapi hati-hati, kamu bersaing dengan gay juga lho”, cekikik Dini. Mentari tertawa mendengarnya. “Eh, Mbak. Aku mau ke kamar mandi dulu ya? AC-nya tinggi rupanya di gedung ini. Aku tak bisa menahan diri bolak-balik ke toilet”, izin Mentari dengan muka menahan pipis. “Ihhh kamu ya, iya sana buruan. Jangan sampai ngompol!”, dorong Dini pelan diikuti tertawa Mentari. Mentari segera menyimpan sebuah tas yang ada di dalam tasnya di sana. Lalu memasukkan gulungan tisu baru di dalamnya sebagai pengganti. Dia juga menyempatkan waktu berbicara dengan salah seorang petugas kebersihan. Menyelipkan sebuah amplop yang membuat petugas itu tersenyum senang dan mengangguk patuh mendengar instruksinya. Setelah selesai, Mentari melenggang santai kembali ke gedung. Bergabung kembali dengan teman-temannya. Ketika gladi resik telah selesai, Mentari pamit meneruskan agendanya. “Mentari kok tampak bersemangat sekali sih? Ada apa dengan dia ya?”, tanya Friska pada Dini. Helena dan Viona juga sudah berkumpul dengan mereka. “Mungkin senang karena dia terbebas dari calon yang dipilih Samudera”, jawab Viona asal. Yang langsung membuatnya mendapatkan cubitan dari 3 orang yang lain. Sehabis itu, mereka tertawa dan memilih memikirkan acara besok dibandingkan membahas Mentari. ***
Pernikahan & Pelarian Mentari mengenakan kebaya merah mudanya yang sudah dihiasi fayet yang cantik dan berkilauan. Potongan leher kebaya sabrina yang dia pilih, menonjolkan liontin emas yang dia dapat dari kakeknya. Penata rias istana terkagum-kagum terus dengan pasnya kebaya itu di badan Mentari. Mentari tentu saja senang melihat hasil riasan penata rias itu dan mengucapkan terima kasih berulang kali karena telah membuatnya tampil cantik hari itu. Penata rias itu tentu senang dan menjadi tersipu karena pujian Mentari. Mentari menatap wajah dan penampilannya di depan kaca. Tersenyum bahagia. Setelah tim penata rias pergi. Mentari menghampiri peralatan elektroniknya. Dia menghapus semua memori yang sempat dia simpan di sana. Dia tinggalkan telepon genggamnya itu dan dia ambil kembali telepon genggam lamanya yang sudah dia siapkan. Dia masukkan kembali peralatan elektronik itu ke dalam kotaknya dan dia simpan di bawah kasur. Mentari menatap kamarnya. Mengucapkan terima kasih beberapa kali. Lalu berjalan keluar dari kamar. Karena rasa bahagianya atas rencananya, semangat itu tampak kentara mewarnai penampilannya. Banyak pelayan terdecak kagum melihatnya berlalu dengan anggun. 167 | M e n t a r i S e n j a
Mentari yang selalu tampil sesederhana mungkin, tak menyadari bahwa aura dirinya menjadi sangat menonjol kemudian. Dia berangkat bersama Baginda Raja dan Ratu. Yang tak henti memuji penampilannya juga. Sampai Mentari tampak tersipu berusaha mengabaikan pujian itu. Pangeran Samudera sudah berangkat lebih dulu katanya, menjemput Safira. *** Gedung Pernikahan sudah dipenuhi banyak tamu. Mentari sampai terkagum-kagum dengan acara yang katanya privat itu. Dia tak bisa membayangkan resepsi besok yang akan dihadiri lebih banyak orang dan banyak wartawan kalau untuk yang privat saja sudah seperti itu. Sekitar 500 orang hadir di hari ini. Mentari berjalan dengan tenang, mendampingi Ibunda Ratu. Kedatangan mereka tentu saja membuat tamu lain segera menyisihkan jalan dan memberi salam penghormatan. Mentari sudah terbiasa dengan hal ini. Dia sadar terhadap siapa salam itu diberikan. Dia tidak sadar banyak mata menatap kagum padanya. Melihat betapa serasinya dia dengan Ibunda Ratu yang terlihat tersenyum ramah pada siapa pun yang memberikan senyum padanya. Ketika mereka berjalan menuju kursi yang telah disediakan, tiba-tiba seorang anak perempuan berhambur dari pegangan orang tuanya. Yang membuat orang tuanya kaget tapi tak bisa menahan karena larinya yang cepat. Anak kecil itu memeluk kaki Mentari. Tentu saja, Mentari kaget dan menghentikan langkahnya. Ketika dilihat mata belia itu menatapnya dan tersenyum memperlihatkan giginya yang belum lengkap. Hatinya sangat tersentuh. Dia tersenyum dan segera mengambil sikap bersimpuh sambil memegang bahu anak kecil itu lembut. “Aduh, sayang... ada yang bisa Kakak bantu?”, tanya Mentari lembut. Anak kecil itu mengangguk sambil tersenyum tersipu. “Iya, Tuan Putri. Ini bunga, untuk tuan putriku”, ucap anak yang mungkin berumur sekitar 4 tahunan itu menyerahkan 3 kuntum bunga yang memang tadi dia bawa-bawa. 3 kuntum bunga krisan putih. “Ahhh..kamu manis sekali. Siapa namanya?”, tanya Mentari menikmati pemberian itu dengan perasaan haru. Tak menyangka dia akan mendapatkan hadiah seperti itu di tempat ini. “Namaku.. Mentari”, jawab anak itu malu-malu sambil memainkan rambutnya yang ikal lucu. “Ahhh..nama kamu sama dengan Kakak. Mentari. Terima kasih ya Mentari untuk bunganya. Mau Kakak cium?”, tanya Mentari dengan lembut dan sungguh-sungguh. “Mauuuu”, jawab anak itu lucu dan menggemaskan. Mentari tentu saja merasa sangat senang dan tersentuh. Dia cium kedua pipi tembem anak yang lucu itu. Setelah dicium, anak itu langsung berlari kembali menuju orang tuanya. Orang tuanya berulangkali membungkuk ke arah Mentari seakan meminta maaf untuk perilaku putrinya yang masih kecil itu. Mentari tersenyum dan mengangguk ke arah mereka. Hatinya menyampaikan bahwa dia tidak bermasalah dengan itu. Seolah ditangkap dengan baik oleh orang tua tadi. Pemandangan itu disaksikan semua orang. Termasuk Baginda Raja dan Ratu menghentikan langkahnya dan berdiri menghadap Mentari dan anak itu. Banyak orang mengabadikan adegan itu dengan video dan foto. Tak disadari oleh Mentari yang terlarut dengan kejadian mengharukan itu. Pemandangan itu juga tak luput dari pandangan Pangeran Samudera yang memasuki ruangan tepat di setelah mereka masuk ke gedung. Pangeran Samudera terpukau juga dengan kejadian itu. Seolah dia melihat adegan cerita dongeng putri baik hati di depannya. Namun kemudian hatinya terganggu dengan kebaya Mentari, yang baginya potongan 168 | M e n t a r i S e n j a
lehernya terlalu rendah. Memperlihatkan kuning langsat kulitnya, mengkilap bahunya, dan sedikit sembulan payudaranya. Sungguh pengalihan pikiran khas lelaki. Seorang tamu, Frans Dinata, menatap ke arah Mentari lekat. Ke arah liontin di dadanya. Keningnya berkerut. Tapi segera dia mengentaskan pikirannya sendiri. Merasa bahwa dia hanya berkhayal. Segera, dia mengalihkan perhatiannya pada istrinya dan tamu lain yang menyapanya. *** “Wah, Ananda benar-benar memukau tadi. Ananda lihat kan? Ananda juga adalah seorang putri yang mampu memikat hati anak kecil itu”, bisik Ibunda Ratu sambil mengapit tangan Mentari berjalan menuju kursi mereka. “Ah, Ibunda... Mungkin anak itu terpukau dengan kebaya yang Ibunda rancang khusus buat Hamba. Tapi, Hamba akui, Hamba merasa terkejut dan senang tadi. Terima kasih ya, Ibunda”, balas Mentari sambil tersenyum. Ratu Selasih mengelus punggungnya pelan. Perhatian mereka kemudian teralih ke arah tengah gedung. Dimana Helena dan Batara melangsungkan proses akadnya di sana. Suasana itu berlalu dengan khidmat. Membuat Mentari juga berusaha keras menahan air matanya ketika ijab kabul diucapkan oleh Pangeran Batara dengan tepat dan tanpa pengulangan. Setelah acara akad selesai, panggung dibereskan dan pitanya dibuka untuk memberikan kesempatan pada para tamu memberikan ucapan selamat. Keluarga Raja mendapatkan kesempatan terlebih dahulu. Mentari memeluk Helena agak lama dan mengucapkan selamat dengan sungguh-sungguh. Membuat sahabatnya menitikkan sedikit air mata saking bahagianya dan terharunya. Mentari mengusap air mata itu dan melontarkan gurauan sehingga membuat Helena tertawa. “Sekali lagi selamat ya. Dan, ingat aku baik-baik walau sudah menikah. Aku akan menghubungimu nanti. Mau tanya pengalaman pertamamu”, ucap Mentari sambil memeluk untuk kedua kalinya dan membisikkan kata-kata itu ke telinga Helena. Helena, mencubitnya pelan dan tertawa. *** Saat acara ramah tamah, foto bersama pengantin berlangsung, dan setelah menyantap sedikit hidangan, Mentari minta izin pada Ibunda Ratu karena sakit perut. Ibunda Ratu tentu saja segera mengijinkannya. Mentari berjalan santai menuju toilet. Sehabis dari toilet, Mentari memberikan kode pada petugas kebersihan yang dia temui kemarin. Segera, petugas toilet itu memeriksa keadaan ruangan dan mengikuti Mentari ke ruangan emergency exit. Dengan cepat, Mentari membuka bajunya di balik pintu itu. Melepas sanggulnya. Menghapus riasannya. Lalu dia ganti bajunya dengan seragam petugas kebersihan yang sudah diberikan oleh petugas tadi. Setelah selesai, dia kenakan topinya juga dan mengetuk pintu memberi kode. Petugas kebersihan itu mengambil kantong yang berisi kebaya Mentari yang disodorkan di balik pintu. Mentari mengetuk kembali. Petugas itu mengikutinya. Mereka mendorong kereta sampah yang ada di balik pintu gedung. Masing-masing mendorong satu kereta. Dengan santai, mereka berjalan menuju gerbang belakang gedung. Menyimpan kereta itu di luar. Mentari mengucapkan terima kasih pada petugas itu sebelum dia meninggalkan area itu. Dia berjalan santai menuju gedung gym. Di sana, dia langsung ke ruangan yang sudah dia pilih kemarin. Mengganti bajunya dengan pakaian casual biasa. Celana jeans, sepatu olah raga, jaket bercapucon, dan sebuah topi. Diikatnya rambutnya. Lalu dia kenakan kaca mata hitam.
169 | M e n t a r i S e n j a
Dia berjalan keluar gedung dan menyetop taksi menuju terminal bis terdekat. Tiba di terminal, Mentari mengeluarkan buku tabungan lamanya. Berjalan menuju bank terdekat dan mengambil habis semua tabungannya. Bersyukur, pihak rumah sakit mengembalikan uang tabungannya itu padanya saat kematian kakeknya terjadi. Dia tak mengerti mengapa uang itu dikembalikan. Dia tak mempertanyakan lebih lanjut karena dia langsung dijemput ke Istana waktu itu. Apapun alasannya, Mentari tak terlalu peduli lagi. Dia lega, dia tak harus segera memikirkan mencari uang dengan jumlah tabungan yang dia miliki itu. Setelah dari bank, dia kembali menuju terminal. Memilih bis dengan jurusan yang dia telah tentukan. Setelah bis itu sudah berjalan, Mentari merasa kelegaan yang luar biasa. Dia benar-benar bersyukur, rencananya berjalan dengan sempurna. Dia tidak tahu seperti apa kehidupannya nanti. Dia hanya ingin sampai di tempat tujuan yang dia maksud. Tempat yang pernah dia singgahi ketika umur 9 tahun dengan kakeknya. Pesisir Garut selatan. *** Baginda Ratu mengecek jam tangannya. Sudah hampir 45 menit Mentari pergi ke kamar mandi. Dia heran, anak itu belum kembali. Dia bisikkan keheranannya pada suaminya. Tentu saja, Baginda Raja kaget. Dia segera memberi kode pada salah satu pejaga keamanannya yang tengah berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki yang mendapatkan laporan dari Raja itu segera mengajak salah satu anak buahnya. Menuju toilet perempuan. 15 menit berlalu. Penjaga keamanan tadi meminta waktu pada Baginda Raja yang tengah bicara dengan tamu dan membisikkan sebuah informasi yang membuat Baginda Raja memperlihatkan ekspresi kaget. Melihat itu, Baginda Ratu tampak khawatir. Dia mencari putranya. Yang ternyata kemudian dipanggil oleh Baginda Raja. Mereka saling berbisik dan terlihat Pangeran Samudera kaget luar biasa. Sebentar kemudian, Baginda Raja mengajak Ratu Selasih berpamitan. Termasuk Pangeran Samudera. Pangeran Samudera meminta Safira untuk tidak ikut kembali ke Istana karena ada berita mendadak dari Istana. Dia tak menyampaikan apa-apa tentang Mentari. Safira yang tengah berbicara dengan temannya, tentu heran. Namun, melihat ekspresi Pangeran yang sangat serius dan sangat lain dari biasanya, Safira berusaha paham dan mengangguk. Pihak keluarga kerajaan berpamitan dan segera pulang. Tak seperti tadi, kini mereka pulang bersama-sama. “Ya, Ampun! Bagaimana ini bisa terjadi? Jadi itu mengapa dia terlihat sangat ceria akhir-akhir ini?! Argghhhhhhhh!! Mengapa aku bisa begitu buta?!”, Pangeran mengeluarkan kemarahan yang dari tadi dia tahan di dalam mobil. Ratu Selasih menangis tak berhenti. Baginda Raja merangkulnya dan dia terlarut dalam lamunan juga. Sampai dia tak terganggu dengan perilaku anaknya yang tak henti memukul-mukul jok tempat duduknya. Sesampainya di Istana, Baginda Raja segera menghubungi Baginda Sepuh yang tampaknya juga kaget luar biasa. Tak menyangka dengan reaksi Mentari yang seperti itu. Baginda Sepuh terhenyak karena dia sudah tak lagi menugaskan tim penjagaan khusus pada Mentari. Dia tak menyangka, Mentari bisa begitu nekad melarikan diri. Atas berita itu, dia segera meninggalkan urusannya di Gunung Salak dan menuju Istana. Pihak Istana segera membuat tim mencari Mentari. Mereka segera diinstruksikan melakukan penyelidikan. Terjadi kehebohan di antara pelayan. Mereka sama-sama kaget dan tak menyangka. Tak melihat tanda-tanda yang diperlihatkan Mentari dan menyesali terlarut dengan perilaku Mentari yang luar biasa ramah pada mereka seminggu terakhir ini. Pangeran Samudera meninju samsak di ruangan olah raga pribadinya berkali-kali. Melampiaskan kemarahan. Melampiaskan perasaan bodoh luar biasa. Perasaan bodoh dan 170 | M e n t a r i S e n j a
ketidakmampuan membaca tanda-tanda yang sekarang begitu jelas terlihat. Memaki dirinya mengapa dia setuju dengan langkah yang dipilihkan Baginda Sepuh. Marah pada kakeknya. Marah pada dirinya sendiri. Setelah dia melampiaskan kemarahannya, dia menjadi agak sedikit tenang. Yang tersisa di hatinya hanya perasaan ngilu dan sedih. Namun dia sadar, dia tak bisa terlarut dengan emosinya terlalu lama. Dia segera bergabung dengan Ayahandanya untuk mengetahui keberadaan Mentari. *** Baginda Sepuh tiba di Istana sore hari dan segera menuju tempat dimana Baginda Raja berada. Yang tengah mendengarkan bahasan informasi terbaru dari timnya. “Bagaimana perkembangannya?”, tanya Baginda Sepuh langsung tanpa basa basi. “Mentari membayar salah satu petugas kebersihan di gedung itu. Ini kantong kebayanya. Petugas itu petugas baru. Dia juga tampak tak terlalu cerdas dan tak tahu siapa Mentari sebenarnya. Dia tidak tahu kemana Mentari pergi karena dia diminta kembali sebelum anak itu berlalu dari gerbang belakang. Bagaimana pun, petugas itu tak bisa disalahkan. Dia menerima uang sejuta rupiah dari Mentari. Yang tentu membuatnya senang karena kondisi ekonominya. Mentari menguras uangnya di bank terdekat dengan terminal bis. Kasir di bank mengatakan, yang mengambil uang perempuan, bercelana jeans berjaket capucon, mengenakan topi, dan terus menerus menunduk hingga mereka tak ingat dengan wajahnya. Rekening atas nama Mentari Pertiwi Raya. Kamera CCTV di sana menangkap figur Mentari. Ini rekamannya, Ayahanda bisa lihat”, jawab Baginda Raja sambil menunjuk pada layar besar yang ada di ruangan itu. “Tak ada CCTV di terminal bis itu. Karena yah, itu terminal yang tak terlalu terurus dan lebih banyak menampung bis ekonomi antar wilayah kerajaan. Bahkan sampai kerajaan Jogjakarta dan Semarang. Kita tidak tahu bis jurusan mana yang dia pilih. Itu saja, update informasinya, Ayahanda”, tutup Raja Angkasa dengan nada lemah di ujung. “Oke, ini alamat rumah kakeknya di Insun Medal. Coba lakukan penelusuran ke sana. Mungkin dia menuju ke sana, atau setidaknya mampir. Aku tak yakin, dia ke sana sebenarnya. Tapi layak dicoba. Mentari itu cerdas. Cara ini dia pilih agar kita semua tidak ada yang tahu dan tidak mampu melakukan pencarian. Dia memikirkan peluang itu baikbaik. Ahhhh... rupanya dia lebih cerdas daripada dugaan. Dan lebih berani mengambil resiko”, kata Baginda Sepuh sambil mengusap-usap keningnya setelah dia memberikan selembar kertas pada ketua penyelidikan yang masih ada di ruangan itu. Baru kali ini, Baginda Raja dan Pangeran Samudera melihat sosok berwibawa itu terlihat risau dan gelisah. Mereka terdiam sesaat. Baginda Raja lalu mengajak mereka bertiga keluar ruangan. Menuju ruangan pribadinya. Pangeran Samudera mengikuti dengan langkah gontai. Setiba di ruangan, “Begini bukan jadinya kalau rencana ini dilakukan? Hamba sebenarnya sangat marah dengan Eyang dan Ayahanda. Tapi lebih banyak Hamba marah pada diri Hamba sendiri yang tak bisa membaca kemungkinan seperti ini. Mentari melarikan diri? Oh Tuhaaaan...Hamba tidak tahu lagi Hamba harus melakukan apa? Apakah kita semua dibutakan oleh kekhawatiran kerajaan hingga kita tak bisa melihat tanda-tandanya yang aneh akhir-akhir ini?”, Pangeran tak bisa menahan diri lebih lama lagi. Tak bisa menutupi kemarahannya pada kedua tetuanya. “Ya, anakku. Maafkan Ayahmu yang bodoh ini”, kata Baginda Raja dengan pasrah. Mendengarkan kata-kata itu, Pangeran Samudera merasa emosinya sedikit menurun. Diganti dengan kebingungan besar. 171 | M e n t a r i S e n j a
“Cucuku, Eyangmu juga ingin minta maaf. Eyangmu yang sudah tua ini, tak memikirkan hal-hal detail lainnya. Eyangmu ini tak menyangka bahwa yang dirasakan anak itu sampai membuat dia mengambil langkah ini. Membuatnya berani memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Membuat kita semua tak berkutik. Membuat Eyangmu kini merasa menjadi orang yang tak berguna dan tak mampu memegang amanat. Sekali lagi, keserakahan pada kekuasaan negara, telah membuat orang tua ini tak mampu mengantisipasi ini. Tak mampu menyadari bahwa dia punya perasaan cinta luar biasa untukmu”, ucap Baginda Sepuh. “Perasaan cinta untuk Hamba? Kalau dia punya perasaan itu pada Hamba, bagaimana dia bisa begitu tega meninggalkan tempat ini, meninggalkan Hamba, tanpa berita sama sekali? Menyakiti hati Ibunda yang kini menangis terus di kamarnya? Menyayat hati dan membuat Hamba merasa jadi orang terbodoh sedunia?”, meluaplah emosinya kini. Tanpa dia sadari, air matanya meleleh di pipi. Baginda Sepuh menarik nafas panjang, duduk di samping cucu kesayangannya. “Lalu apa ada alasan lagi selain itu yang membuatnya pergi? Dia bisa melalui segala rutinitas membosankan di sini. Dia bisa beradaptasi dengan tuntutan kesopanan dan kekakuan di tempat ini. Tapi coba kau ingat baik-baik, Nak, tentang ceritaku. Dia cerdas. Sangat cerdas. Dia punya kontrol yang tinggi terhadap emosinya. Tapi, dari sejak kecil dia hanya hidup dengan kakeknya. Mengalami kejadian buruk di usia remaja. Dia hidup sendiri. Selalu sendiri. Sampai usia 24 tahun, dia tak pernah berani mendekatkan diri secara pribadi dengan orang lain selain kakeknya. Maka, ajaran di sini, kehangatan di sini yang dia rasakan hanya 1 tahun, tak ada artinya lagi. Tak ada artinya ketika dia menghadapi pengalaman baru. Pengalaman jatuh cinta padamu, mungkin. Ini hanya dugaan kakekmu yang bodoh, Nak. Coba nanti Kakek tanya Pak Sugih dan Bu Retno. Yang mungkin tahu sedikit banyak tentang perilakunya. Yang tidak kita tahu. Yang jelas Nak, kakekmu ini minta maaf. Sungguh-sungguh minta maaf. Tapi kita juga tak bisa terlarut dengan perasaan itu. Kita harus bisa berpikir rasional untuk terus mencari Mentari. Aku tahu, Mentari akan lebih bisa kuat di luar sana. Tapi, kita pun tak bisa lepas begitu saja”, ucap Baginda Sepuh. Pangeran Samudera mengusap air matanya sendiri. Menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dia sudah tak bisa marah juga pada kakeknya. Yang telah mengakui kelemahannya yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. Pangeran Samudera hanya bisa mengangguk mengakui kakeknya benar untuk urusan emosi. Tak bisa menahan emosi lebih lama, Pangeran segera berpamitan dengan langkah gontai. Memutuskan pergi ke vila pribadinya malam itu juga. Memutuskan menghabiskan waktu 3 hari di sana tanpa menyalakan telepon genggamnya. Memberi pesan singkat pada ayahnya atas rencana yang tak dihalang-halangi itu. *** Baginda Sepuh menemukan surat dari Mentari saat dia baru membuka pintu. Dia membukanya dengan menarik nafas panjang. “Baginda Sepuh, maafkan Hamba jika tindakan Hamba pergi merisaukan hati Baginda Sepuh. Maafkan Hamba yang tak mampu memenuhi permintaan terakhir Aki. Hamba tidak tahu sampai kapan Hamba bisa pergi dari kehidupan di sini. Hamba memasrahkan segalanya pada takdir dan kehendak Tuhan. Terima kasih banyak atas segala budi baik Baginda Sepuh dan keluarga. Tolong, jangan mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mencari Hamba. Dengan penuh cinta, 172 | M e n t a r i S e n j a
Mentari” Sehabis membaca itu, Baginda Sepuh menangis. Menyadari bagaimana dia masih saja asyik berstrategi mengatur kehidupan pribadi orang lain. Terutama kehidupan pribadi cucu angkatnya. Cucu dari sahabatnya. Bagaimana taktik halus dan segala pembenaran juga perasaan merasa benar telah menjebaknya dan membuat hidup orang yang kini disayanginya juga lepas dari genggamannya. Baginda Sepuh berjalan ke kamarnya. Menatap sebuah lukisan. Lukisan Ki Buana Raya. Mengucapkan permintaan maaf dan ampunan. Atas ketidakmampuannya menjalankan amanat dengan baik. Atas ketidakmampuannya memegang teguh janji yang sudah dibuat. ***
Pulau Hantu Mentari tiba di tempat yang dia pilih untuk tinggal sementara saat subuh. Dia turun dari bis dan meminta jasa ojeg yang ada di mulut percabagan jalan menuju perkampungan kecil di pesisir pantai itu. Dia takjub dengan perubahannya. Lebih banyak rumah yang dibangun. Bukan lagi rumah rumah kayu dan bambu yang dia lihat. Rumah-rumah tembok dengan gaya-gaya modern. Setiba di pantai, Mentari menghabiskan waktu duduk di sana. Sinar fajar dan menikmati pemandangan itu untuk beberapa waktu. Para nelayan terlihat mendarat dan mereka bergerak menuju pasar ikan yang terlihat dari tempatnya duduk. Bau amis ikan laut bercampur bau garam terasa memenuhi udara. Ketika matahari sudah sepenuhnya muncul, Mentari merasa kelaparan. Dia melangkah menuju sebuah rumah makan yang baru saja buka. Mentari memesan nasi dan cumi bakar. Yang punya warung itu tampak senang. Melihat Mentari dengan seksama dan menyadari bahwa gadis itu terlihat seperti gadis kota. Dia pun menanyakan dari mana asal Mentari dan apa tujuannya datang ke sini sambil menyiapkan makanan. “Ah, iya Bu, saya dari kota Parahyangan. Saya kebetulan kehilangan pekerjaan dan ingin mencoba hidup di sini. Saya ingin pergi ke pulau Hantu menemui kerabat yang sudah lama tidak saya temui. Sudah 16 tahun saya tidak kemari lagi”, jawab Mentari dengan bahasa Sunda. Bahasa Ibu di daerah itu yang memang masih termasuk daerah Parahyangan. “Oh ya? Ke Pulau Hantu? Aduh, Neng, yakin Neng punya kerabat di sana? Jarang sekali orang luar punya kerabat di sana. Tidak salah Neng?”, tanya Ibu itu khawatir. “Yakin Bu, saya pernah ke sini dengan kakek saya dulu. Memangnya tidak ada yang berubah di sana?”, tanya Mentari penasaran. “Di antara semua yang ada di sini, hanya tempat itu yang tak berubah Neng. Tempat yang tidak bisa ditangkap oleh satelit katanya. Tak ada di dalam peta. Orang-orang yang tinggal di sana selalu berjumlah 40 keluarga, tak lebih. Kalau lebih, pasti ada yang keluar. Dan yang keluar itu tampaknya tidak balik lagi. Yah, namanya juga hidup terpencil. Tanpa televisi, tanpa berita masuk. Hampir sama dengan suku-suku tua. Walau sesekali ada wisatawan yang masuk, tampaknya orang-orang di sana juga sulit menerima kebaikan hati orang. Makanya Ibu tanya, Neng yakin mau ke sana? Kalau nanti datang-datang sudah ditolak bagaimana?”, Ibu itu masih saja khawatir. “Tidak apa-apa, Bu. Saya coba saja dulu. Nanti kalau betulan di tolak, saya akan tinggal di sini. Oh ya, jam berapa biasanya perahunya datang?”, tanya Mentari. Membuat ibu itu menyerah pada akhirnya. 173 | M e n t a r i S e n j a
“Sejam lagi datang. Lalu sejam kemudian biasanya berangkat lagi. Neng istirahat saja dulu di sini. Jangan lupa ya, kembali langsung kalau ditolak oleh tetuanya. Neng boleh tinggal sama Ibu di sini. Ibu punya kamar kosong yang bisa digunakan. Neng juga bisa belajar masak dan kerja di sini sama Ibu”, dengan tulus Ibu itu menawarkan diri. Mendengar itu, Mentari terharu. Menyadari bahwa kebaikan hati orang tak pernah putus datang pada hidupnya. Mentari membantu Ibu itu mencuci piring-piring untuk menghabiskan waktu. Sampai Ibu itu terlihat senang dan tidak mau dibayar atas makanan yang tadi disantap Mentari. Selain itu, Ibu tua itu menasihati Mentari untuk tidak menggunakan celana jeans dan menggantinya dengan kain biasa. Mentari menerima nasihat itu dengan baik. Dia sudah lupa dengan tata cara masuk ke pulau itu. *** Dua jam kemudian, Mentari sudah ada di atas perahu. Bersama dengan 4 perempuan dan 3 lelaki yang berasal dari pulau Hantu. Mentari membuka pembicaraan dan bertanya mengenai Ki Tarub yang sangat Mentari ingat namanya. Yang dulu dikunjungi Mentari dan Akinya. Seorang lelaki tua yang tadinya terlihat tertutup, merasa tergugah dengan nama itu dan menyampaikan bahwa orangnya sudah meninggal. Tapi, adik angkat Ki Tarub, Ki Samita masih hidup dan Mentari disarankan bertemu dengannya. Barangkali Ki Samita tahu banyak tentang cerita Mentari dan Akinya, begitu kata lelaki itu. Mentari mengangguk senang. Dalam waktu 45 menit, mereka sudah sampai di pulau kecil yang penduduknya memencilkan diri itu. Pulau dengan pesisir pantai putih yang indah dan asri. Beberapa rumah dari bambu dan kayu terlihat ada di sana. Pemandangan yang pelan-pelan mulai Mentari ingat lagi. Dulu, dia menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di sana. Bermain kerang di pantai dengan anak-anak sekitar yang tampak senang dengan kehadirannya. Dia tak ingat dengan detail lain. Mentari diantar oleh lelaki tua tadi menuju kampung tua itu. Banyak orang melihat ke arahnya. Lelaki tua hanya tersenyum pada siapa pun yang melihat dan kadang menyapa yang berpapasan dengan mereka. Mentari tiba di sebuah rumah sunda tua yang tampak asri. Ada pancurendang yang dibuat di halaman di atas kolam ikan. Pancuran dibuat dengan bambu. Airnya menimpa pancurendang itu dan mengeluarkan bunyi ritmis yang terdengar menyenangkan di telinga. “Punten, Ki...Punteeeen”, ucap lelaki itu sambil mengetuk pintu. “Manggaaaa”, terdengar jawaban dari dalam. Seorang lelaki berbaju putih dan bersarung keluar. Lelaki yang sudah tua dengan uban dan kumis yang sudah memutih semuanya. Sekilas, Mentari merasa familiar melihat wajah itu. Tapi dia tak bisa memastikan dengan baik dimana pernah melihatnya. Mata Ki Samita terpaku ke arah Mentari. Dahinya berkernyit mencoba mengingat. “Ini ada tamu, Ki. Ingin bertemu dengan Ki Tarub. Saya sudah sampaikan beliau sudah meninggal 5 tahun lalu”, kata lelaki itu sambil tersenyum ke arah Mentari. “Ah, ya ya, masuk Neng”, kata Ki Samita dengan ramah, “terima kasih Ki Abdi, sudah membawa tamu ini”, ucapnya kemudian. Ki Abdi berlalu kemudian setelah pamit pada Mentari. Mentari masuk ke dalam ruangan yang luas itu. Khas rumah sunda lama yang tak memiliki penyekat antara ruangan tamu dan ruangan keluarga. Mentari segera duduk ketika Ki Samita mempersilahkan. Dia ke belakang dan kembali dengan kendi dan gelas batok kelapa. Dia tuang air di dalam kendi yang terlihat mengepul itu. Harum teh.
174 | M e n t a r i S e n j a
“Silahkan Nak, diminum. Sebentar Aki ambil dulu goreng singkong ya...Istirahatlah dulu sebelum kita bercerita nanti”, ucap Ki Samita. “Aduh, Aki, tidak apa-apa. Tidak usah repot”, jawab Mentari tak enak. Ki Samita hanya tersenyum. Dia berlalu dan kembali dengan sepiring singkong goreng yang terlihat masih hangat. Mentari menyantap singkong goreng itu dan menghirup tehnya. “Jadi, bagaimana cerita Neng mengenai Ki Tarub ini?”, tanya Ki Samita sambil menyalakan tembakaunya yang dibalut daun kering. “Nama saya Mentari Ki. Saya dulu pernah ke sini bersama Aki saya. Ki Tarub adalah sahabat lama Aki saya. Saya tak ingat apakah Aki waktu itu sudah ada. Aki saya namanya Ki Wajik. Ini fotonya saya bawa, barangkali Aki ingat”, Mentari mengeluarkan sebuah foto berpigura. Memperlihatkan foto dirinya dengan akinya itu. Ketika melihat itu, Ki Samita mendadak kaku dengan mata berkaca-kaca. “Ah ya..Buana Raya”, kata aki itu pelan. Tentu saja Mentari kaget mendengarnya. “Bu..Buana Raya? Maksudnya Aki apa ya? Namanya Ki Wajik Ki, bukan Buana Raya”, kata Mentari bingung. “Ya, ya, itu nama barunya Ki Wajik. Aslinya dia bernama Ki Buana Raya. Oh Tuhaaaan...berarti kamu cucunya kah? Oh Tuhaaaan... apakah kau datang untuk membalaskan dendammu padaku?”, Ki Samita menangis begitu saja. Mentari sampai kaget dan terdiam sesaat. Tak mengerti dengan kata-kata Ki Samita. “Aki...Aki bicara apa? Tentunya saya datang bukan untuk balas dendam. Aki ini siapa? Dan saya baru tahu kalau aki saya itu Ki Buana Raya. Tolong Ki, jelaskan pada saya. Apa maksudnya ini?”, Mentari panik dan merasa terkena sengatan listrik tiba-tiba. Bayangannya ketika membaca buku karya Ki Buana Raya dan bayangannya tentang akinya sendiri sungguh di luar nalarnya sekarang. Ditambah lagi dia kaget dengan reaksi orang yang baru ditemuinya sekarang. “Neng tidak tahu nama aslinya Ki Buana Raya? Ah..Ki Buana, Ki Buana, bahkan kau lindungi segalanya. Neng, lalu kenapa kamu datang ke sini kalau bukan untuk balas dendam? Tolong jujur pada Aki yang sudah banyak dosa ini”, Ki Samita masih berderai air mata. Menatapnya dengan tatapan memohon. “Sa..saya baru kehilangan pekerjaan saya Ki. Saya tidak bisa bekerja lagi di kota. Aki saya juga sudah meninggal setahun lalu. Saya hanya teringat dengan Ki Tarub. Saya hanya ingin ke sini dan mencoba hidup di sini Ki. Itu saja maksud saya. Tidak ada yang lainnya. Jika kemudian saya ditolak untuk tinggal di sini, saya akan pergi dan tinggal di pantai sana. Bisakah Aki segera ceritakan pada saya tentang semua cerita membingungkan ini?”, desak Mentari kemudian. Ki Samita terpaku mendengar cerita Mentari. Dia terdiam lama. Mengusap air matanya. Tampak merenungkan sesuatu dan kemudian tersenyum ke arah Mentari. Dia tampak mengucapkan istighfar beberapa kali. Mengendalikan sesuatu yang menyeruak dari masa lalunya. “Tampaknya, ketika kamu ke sini bersama Ki Buana Raya, aku belum ada di sini. Tapi, batinnya sudah tahu bagaimana garis nasibku berjalan dan menyampaikan pada Ki Tarub yang adalah teman seperguruannya di pesantren mereka dulu. Ki Buana bilang, jika ada yang terdampar di pulau ini nanti, angkatlah dia sebagai adikmu. Itu yang dibilang pada Ki Tarub. Yang diceritakan oleh Ki Tarub pada Aki sebelum dia meninggal. Neng, Aki ini dulu jahat sekali pada Ki Buana Raya dan terutama pada...kedua orang tuamu. Nama aki sebenarnya adalah Abimayu Kencana”, kata kakek itu dengan nada yang dipenuhi penyesalan. Mendengar nama itu disebut, Mentari makin kaget. “Ap..apa? Abimayu Kencana?”
175 | M e n t a r i S e n j a
“Ya, Nak.. Apakah kau tahu aku?”, Ki Abimayu tampak kaget melihat ekspresi kaget Mentari. “Sa..saya hanya tahu dari bacaan dan berita jaman dulu, Ki...”, Mentari menahan kejujurannya. Dia perlu tahu semua cerita aneh yang mendadak hadir di depannya ini sebelum dia bisa memutuskan untuk jujur atau tidak. Entah kenapa, dia merasakan perasaan tak nyaman mendadak. “Ah ya, ya..nama Abimayu Kencana amat terkenal tentunya. Aku dulu sangat iri dengan Ki Buana Raya. Yang begitu dekat dengan Baginda Raja Angkasa I. Yang juga masih saudara sepupu Aki. Dulu, Aki sangat serakah dan lupa diri dengan keserakahan itu. Yang aki pikirkan di jaman dulu selalu saja uang dan kekuasaan. Berani mengorbankan segalanya hanya untuk mempertahankan itu. Sampai akhirnya...termakan oleh keserakahan itu...Aki membayar orang dan membuat rencana. Membuat orang tuamu dan tadinya kupikir kamu juga, mengalami kecelakaan hebat. Yang berhasil menewaskan mereka, Nak...Itulah dosa Aki..itulah dosa Aki yang Aki sendiri...Aki sendiri tahu aki tak akan pernah termaafkan...Itulah Nak, itulah dosa aki padamu...pada kedua orang tuamu..pada Ki Buana Raya, kakekmu...”, Ki Abimayu menangis lagi. Mendengar itu, Mentari merasakan shock luar biasa. Dia hanya mampu menatap Ki Abimayu dengan tatapan terpaku. Mulutnya terkunci begitu saja. Tak tahu harus berkomentar apa. Namun kesadarannya masih hadir. Masih bisa mendengarkan dan melihat dengan baik ke arah Ki Abimayu yang kini menatapnya dengan perasaan luar biasa bersalah. “Ini sudah bagian dari takdir kita bertemu, kelihatannya. Kamu, terbawa nalurimu datang ke sini. Bertemu dengan pembunuh Neng...pembunuh orang tua Neng...Aki tak mungkin bisa minta maaf karena sudah pasti tidak bisa dimaafkan.. Aki terima kejadian sekarang, bertemu dengan Neng Mentari, sebagai balasan yang harus Aki terima... Aki ini tak juga sadar setelah Aki membunuh kedua orang tuamu. Dan kupikir kamu juga waktu itu. Aki malah masih bisa merasa bahagia melihat kepergian Ki Buana Raya yang tak jelas kemana. Aki terus menerus menimba harta dan kekayaan untuk keluarga Aki. Sampai... Sampai akhirnya, Aki harus melihat, bahwa darah keserakahan itu, menurun sangat kuat pada anak sulung Aki, Ronggowasito. Pada suatu malam, Aki diberangus oleh sekelompok orang. Dibawa menuju dermaga. Waktu itu, cucu aki yang laki-laki rupanya melihatnya. Dia mengikuti sampai Dermaga. Namun dia ketahuan menyelundup ke perahu yang akan membawa Aki. Dia dipukuli sampai pingsan oleh kelompok yang ganas itu. Di saat itulah, Aki menyadari dosa-dosa Aki yang telah lalu. Yang telah Aki perbuat tidak hanya pada keluargamu juga pada keluarga lainnya. Siapa pun yang dinilai sebagai penghalang oleh Aki...Termasuk keluarga Raja dan Baginda Raja. Ketika Aki diperlakukan begitu atas suruhan anak sulung Aki, Aki sadar, Aki telah menerima karma. Dengan kesadaran itu, Aki pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aki pasrah ketika ikatan tangan Aki dilepaskan dan tubuh Aki dilempar ke laut. Sampai entah bagaimana, Aki terdampar di pulau ini. Diselamatkan Ki Tarub dan diangkatnya sebagai adiknya. Aki tidak mengerti mengapa masih ada kebaikan untuk Aki yang bejat ini masih tersisa. Sampai akhirnya, Ki Tarub menyampaikan amanat Ki Buana Raya tentang Aki. Yang membuat Aki makin menangisi dan menyesali perbuatan Aki. Aki menjadi mengerti, betapa luas dan dalamnya perasaan dan kasih sayang Ki Buana Raya untuk bisa memaafkan Aki. Yang telah, yang telah membunuh anak kesayangannya. Di saat sebelum meninggal itu juga, Ki Tarub menyampaikan bahwa cucu Ki Buana Raya masih hidup dan pernah datang ke sini.
176 | M e n t a r i S e n j a
Sekarang, Neng sudah di sini. Inilah mungkin saatnya, saatnya Aki bisa mati lega di tangan Neng Mentari”, ucap Ki Samita sambil terguguk. Mentari masih menatap kosong. Mendadak dia berdiri dan berlari menuju pintu keluar. Berlari ke arah pantai yang mengundang perhatian orang banyak. Dia berlari dan berlari hingga jauh dari perkampungan. Menjerit ke arah laut. Menangis sejadi-jadinya. Berteriak menyebut nama akinya. “Tuhaaaaaaannnnn! Beginikah caraMu memperlihatkan perihnya takdir?!!! Tuhaaaaaan jawab akuuuuuuuuuuuuuuuu!!! Bagaimana bisa kau buat hidupku seperti ini?!!!!!!!! Tuhaaaaaaaaaaaaaaan!!!”, teriak Mentari berulang-ulang. Suaranya sampai serak. Hanya debur ombak yang terdengar. Hanya angin laut yang berderu yang menjawab. Mentari mencengkeramkan tangannya ke pasir dan melemparkannya berulang kali. Dia terus berteriak. Tak peduli senja mulai mewarnai. Tak peduli dengan warnanya yang sudah mulai termakan malam. Dia tidur memeluk tubuhnya sendiri untuk beberapa saat. Hingga menjelang kesadarannya hilang, dia melihat ada sosok terang yang datang. “A..aki? Aki?”, ucap Mentari lemah. Sosok itu berjongkok di depannya. Menyentuh ujung kepalanya. Menatap penuh kasih. “Cucuku Mentari, sabarlah. Buka pintu maafmu padaku, pada keluarga Raja, pada Ki Abimayu Kencana. Buka untuk siapa pun. Yang menurutmu telah menyakititmu. Buka pintu maafmu untuk Tuhan dan Takdir”, terdengar suara yang sangat familiar itu berbicara. “A..aki...Akiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii”, menjeritlah Mentari saat bayangan itu pergi. Dan dia pun pingsan. *** Mentari terbangun ketika tengah malam di atas tikar di ruangan kamar rumah Ki Abimayu. Dia merasa ada perasaan sejuk yang sama yang dia rasakan saat terbangun dari pingsannya waktu kakeknya meninggal. Perasaan yang membuat hatinya terlindung dengan sendirinya. Dia berjalan ke luar kamar. Melihat Ki Abimayu tengah duduk di ruangan itu sambil menghisap lintingan tembakaunya. “Neng, sudah terbangun? Syukurlah kamu tidak apa-apa”, ucap Ki Abimayu sambil berdiri menyambutnya dan memapahnya untuk duduk di ruangan luas itu. “Iya, Ki..Bagaimana tadi saya bisa dibawa ke sini?”, tanya Mentari agak malu. “Ada yang baru mau melaut dan melihat Neng tertidur di pantai. Kemudian mereka tahu Neng pingsan dan membawa Neng ke sini. Maafkan Aki, Neng... Membuat Neng harus melalui waktu di sini dengan hal-hal berat seperti itu”, ucap Ki Abimayu dengan nada pelan. “Saya juga minta maaf sudah merepotkan. Di pantai tadi, sebelum pingsan, saya bertemu dengan Aki”, jawab Mentari dengan pandangan tercenung mengingat kejadian tadi sore. “Oh ya? Ah, beruntungnya kamu...”, Ki Abimayu terperangah lalu tersenyum. “Ki Abimayu, saya datang ke sini bukan untuk balas dendam. Naluri saya yang membawa saya ke sini. Mungkin untuk akhirnya tahu cerita masa lalu saya. Yang tak pernah dibukakan Aki saya, juga oleh orang lain yang kenal dengan Aki saya. Yang terjadi di masa lalu, mari kita serahkan saja pada Tuhan. Saya tak berhak melakukan apa pun pada Aki Abimayu. Saya maafkan apa yang terjadi karena mungkin itu adalah takdir saya. Takdir yang membuat saya tahu tentang Aki di saat ini. Mungkin Aki masih memiliki banyak cerita tentang saya dan asal usul saya. Ini yang ingin saya tahu, Ki. Saya tidak tahu ke siapa lagi saya harus bertanya. Dan, kalau boleh, saya diizinkan untuk tinggal di sini juga. Saya akan ceritakan nanti, yang sebenarnya,
177 | M e n t a r i S e n j a
mengapa saya ingin tinggal jauh dari kota dan jauh dari akses media informasi”, kata Mentari tanpa ditanya. Mata Aki Abimayu berkaca-kaca lagi. “Kalian, dan darah kalian, telah terbukti dipenuhi keluasan hati. Hal yang seharusnya Aki tiru dan Aki pelajari terus. Terima kasih Neng, terima kasih banyak”, ucap Aki Abimayu kemudian. Mentari mendekat. Mengelus punggungnya sambil tersenyum. Dia juga tidak tahu mengapa kini dengan mudah dia bisa melihat segala sesuatunya dengan jernih. Memudahkannya untuk memaafkan. Mungkin karena pertemuannya secara spiritual dengan Akinya. Ki Buana Raya. Penulis buku yang isinya selalu dia kagumi. Yang isinya membukakan gerbang ilmu yang jauh lebih dalam dan lebih luas. Ki Abimayu berjalan menuju kamarnya. Mengambil sebuah buku besar yang sampulnya terbuat dari kulit, berwarna coklat tua. Dia kemudian duduk di sebelah Mentari. “Ini buku tua silsilah kerajaan. Hanya ada dua buku asli. Satu dipegang oleh Ki Tarub dan diwariskan padaku. Satu lagi, dipegang oleh Baginda Raja Angkasa II sendiri. Namun, dulu, aku membakar perpustakaan istana dan membuat seorang pelayan tak bersalah dipenjara. Itu juga adalah salah satu kejahatan kecilku. Ah, sudahlah...mendengarkan dan menceritakan itu hanya akan membuatku tambah depresi. Oke, kita lanjutkan. Nah, siapakah sebenarnya Ki Tarub? Dia dulunya adalah kepala pustakawan kerajaan. Mengundurkan diri dari sejak lama sebelum Ki Buana Raya kemudian mengundurkan diri juga. Dia membuat membawa buku ini terbawa nalurinya. Di sini, kamu bisa melihat silsilahmu dan silsilahku. Aku akan jelaskan”, Ki Abimayu membuka buku itu. Dia mendekatkan lampu bertenaga surya yang menjadi bahan penerangan di sana. Mentari menyimak dengan baik. Melihat ke arah silsilah itu. Akinya, adalah Ki Buana Raya. Merupakan anak pertama dari kakak permaisuri Raja Nusantara. Ayahanda Baginda Sepuh. Kakak permaisuri sudah dicoret dari silsilah oleh keluarganya sendiri sebenarnya. Namun tampaknya, buku itu masih mengakui keberadaannya. Dia lihat kakeknya punya dua saudara perempuan. Namun keduanya meninggal karena penyakit di usia remaja. Kakeknya menikah dengan Neneknya, Sati. Bukan seorang bangsawan. Sehingga alur dari neneknya terputus dan tidak diceritakan dalam buku itu. Mentari tidak kenal neneknya, karena neneknya meninggal saat melahirkan ibunya. Ibunya menikah dengan Adi Dinata. Di sini Mentari terdiam. “Dinata?”, tanyanya. Terdengar oleh Ki Abimayu. “Apakah kamu kenal dengan nama ini? Keluarga Dinata adalah keluarga bangsawan juga. Dinata punya 3 anak, Adi Dinata, Frans Dinata, dan Purnamasari Dinata”, ucap Ki Abimayu. “Frans Dinata? Itu berarti Friska Dinata adalah sepupu saya?”, pandangan Mentari terbelalak. Dia lihat silsilah itu. Tak ada nama Friska Dinata. “Friska? Ah yayaya, aku ingat. Aku pernah menghadiri upacara selamatan kelahiran putri Frans Dinata. Waktu itu, cucuku sudah akan berumur 1 tahun. Aku membawanya ke sana. Ya betul. Kamu kenal?”, tanya Aki Abimayu penuh semangat. Mentari terdiam. “Sa..saya akan jawab nanti Ki. Coba saya lihat dulu silsilah ini”, Mentari menutupi perasaannya. Dia lihat juga keterkaitan keluarga itu dengan nama keluarga sahabat-sahabatnya, kecuali Dini. Mereka semua adalah bangsawan level 1. Yang punya kaitan erat dengan keluarga Raja. Terhubung dari sisi permaisuri atau dari sisi Raja sendiri. Dia terpaku melihat silsilah Ratu Selasih. Ayah Ratu Selasih rupanya adalah sepupu Permaisuri Raja Nusantara. Dari pihak ayah Permaisuri. Itu berarti, Ratu Selasih adalah Bibi Mentari. Bibi yang tak terikat secara darah tapi terikat secara kekeluargaan.
178 | M e n t a r i S e n j a
“Oh Tuhaaaan..saya..saya takjub melihat semua ini berkaitan, Ki”, Mentari tak hentihentinya terbelalak. “Itu artinya, kamu juga adalah bangsawan Nak, bangsawan level 1 sama sepertiku dan keluargaku. Bedanya, di alur sejarahmu, banyak darah campuran darah cendikiawannya. Atau kalau tidak, dari garis ayahmu, adalah para pengusaha bersih dan loyal. Aku tak tahu apakah Frans Dinata bisa memaafkanku. Namun sikap apatisnya dari keluarga kerajaan menjadi sangat menonjol setelah peristiwa kematiannya. Dia sangat tidak mau berkaitan dengan keluarga kerajaan setelah kejadian itu terjadi. Aku terlalu pengecut untuk memperlihatkan diri di depan mereka semua, di depan Baginda Raja. Aku terlalu pengecut Neng,” ucap Aki Abimayu sambil mengelus-elus keningnya. Mentari tersenyum paham. Dia pun sama. Pengecut kembali ke sana. Namun di sini, dia tidak mau bersikap seperti itu. Dia harus cerita mengenai kehidupan yang telah ditempuhnya dan apa yang membuatnya datang ke sini. “Oh ya, lalu bagaimana dengan ceritamu? Aki tidak mengantuk walau sudah mau subuh begini. Jangan terlalu merisaukan si tua bangka yang sudah akan membusuk ini”, ucap Ki Abimayu seolah membaca pemikiran Mentari. Mentari tersenyum. Lalu dia ceritakan bagaimana kehidupannya di masa kuliah dan bagaimana awal ceritanya sebelum ke Istana. Dari mulai kematian Akinya sampai kemudian cerita mengapa dia melarikan diri. Aki Abimayu termangu mendengarkan semua cerita itu. Memahami betapa berat hal-hal yang dialami oleh Mentari. Merasa malu bagaimana keluarganya terkait dengan kepergian Mentari sekarang. Terutama Safira, cucu kesayangannya. Walau Mentari mencoba dan berusaha keras menafikan peran Safira dalam kecelakaan yang dia alami, Ki Abimayu sangat kenal dengan perangai licik dan sadis cucunya. Dia teringat bagaimana seekor kucing dicekik hanya karena kucing itu tak mau memakan makanan yang dia berikan. Atau melemparkan burung kecil yang mematuk kepalanya mengajak bermain. Sifatnya untuk menjadi putri dan Ratu negeri ini, adalah bagian dari hasil didikannya juga ketika dia masih dikuasai sifat dan sikap yang sama. Nalurinya mengatakan, Safira benar-benar memang ingin mencelakai Mentari. Namun, Ki Abimayu menutup lisannya kuat karena tahu cerita itu hanya akan menyakiti hati Mentari lagi. “Neng...Aki paham dengan yang kamu rasakan. Lalu bagaimana perasaanmu buat Pangeran? Hingga Aki sulit membedakan, apakah cerita di Istana yang dramatis yang membuatmu pergi atau karena tahu Pangeran akan menikahi cucuku makanya kamu pergi?”, tanya Ki Abimayu dengan hati-hati. Mendengar itu, mata Mentari mendadak berkaca-kaca. Namun terlihat dia berusaha keras untuk tersenyum. “Yah...saya sendiri tidak tahu, Ki. Mungkin, mungkin karena perasaan saya pada Pangeran. Saya masihlah sangat rapuh dengan pengalaman seperti itu. Pengalaman pertama kalinya mencintai seorang lelaki. Seperti Aki, saya juga sangat pengecut untuk menghadapi masalah ini. Jadi, saya pikir, sebaiknya saya pergi dan mengawali kehidupan di tempat lain dari awal lagi. Siapa tahu di sini saya juga menemukan cinta, bukan?”, Mentari tertawa miris sambil menyusut matanya. Aki Abimayu menepuk-nepuk bahunya pelan. “Yah, Nak..mari kita lihat saja bagaimana takdir membawamu dan membawaku. Sekarang ini, kita nikmati waktu kita di tempat ini. Tempat yang tampaknya menjadi tempat melabuhkan diri orang-orang yang ingin menyunyikan diri. Aku akan menemui kepala adat dan membicarakan hal ini. Kebetulan, Aki hidup seorang diri. Kamu bisa merawat rumah ini. Atau menemani Aki melaut mungkin kalau kamu ingin belajar jadi nelayan”, ucap Ki Abimayu
179 | M e n t a r i S e n j a
lembut. Mentari mengangguk dan memeluk Ki Abimayu. Membuat kakek itu tersentuh hatinya lebih jauh. *** Pangeran Samudera telah menyelesaikan masa menyepinya. Dia menerima kenyataan pahit itu secara logika. Dia memutuskan diri untuk menjalani hari-hari ke depan dengan fokus pada peran dan fungsinya sebagai Pangeran. Menjalani strateginya kembali yang sebenarnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mentari. Kini dia dimudahkan langkahnya di BUMK. Ayahnya dan kakeknya benar, ketika pertemuan keluarga itu dilakukan, dengan cepat semua isu pemberontakan di BUMK redam begitu saja. Dua kejadian terkait ini membuatnya bersemangat melakukan penyelidikan lebih jauh. Membuatnya tak peduli dengan rasa sakit yang nanti diderita Safira yang baginya layak mendapatkan itu setelah penyelidikan lebih jauh menampilkan banyak bukti. Bukti yang lebih nyata dan valid untuk membuktikan kejahatannya dan keluarganya. Tak segan, Pangeran Samudera menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga Safira. Sementara itu, seminggu setelah kejadian menghilangnya Mentari, teman-temannya mendapatkan cerita itu dari Pangeran Samudera. Tentu saja, Friska, Helena, dan Viona menangis mendengarnya. Mereka mengabari Dini juga yang meraung-raung di telepon setelah mendengar cerita itu. Semuanya merasa kecewa dan sakit hati awalnya. Namun lama kelamaan, mereka berusaha memahami tindakan Mentari. Apalagi Helena dan Friska yang kini menjadi lebih dekat setelah Mentari pergi. Mereka berdua menyadari sebesar dan sekuat apa perasaan Mentari pada Pangeran Samudera. Tak tahan dengan rasa marahnya, Helena juga sudah menceritakan mengenai kejadian ciuman yang dulu dia janjikan tak akan dia ceritakan pada Friska. Friska memaki-maki Pangeran Samudera ketika Helena bercerita. Dia kesal dengan lelaki yang selalu saja angkuh itu, yang malah menyibukkan diri dengan Safira dibandingkan berusaha mencari Mentari. Itulah yang dia tangkap. Helena, yang juga tak memahami tindakan Samudera, hanya bisa diam mendengarkan makian Friska ke udara. Pada ujungnya, penyelidikan tentang Mentari seolah mati beku karena tak ada lagi jalan yang terbuka. Tim penyelidik telak mengecek berbagai kemungkinan. Ujungnya, selalu buntu. Hingga akhirnya, Pangeran Samudera menyerah berupaya keras untuk hal itu. Tetap fokus pada penyelidikan yang lain. Yang mulai membuka dan memberikan titik terang. ***
Keputusan Abimayu Kencana 3 bulan sudah berlalu. Mentari telah belajar banyak sebagai nelayan. Dengan rajin, dia menemani Ki Abimayu dan memperlajari ilmu bintang sebagai dasar untuk menjadi nelayan handal. Dari mulai ditemani sampai dia akhirnya bisa melaut sendiri. Menikmati waktuwaktunya saat malam dan melemparkan sauh. Dengan suka cita menyambut ikan-ikan yang terjaring. Dia juga sudah tak takut pada air lagi. Dia belajar berenang tiap air laut terlihat lebih tenang. Mengingat teknik yang diajarkan Friska dan Dini dulu. Hingga dengan cepat,
180 | M e n t a r i S e n j a
dia bisa berenang. Dia bangga pada dirinya, yang kini mulai memiliki keberanian lebih mencoba sesuatu yang dia takuti begitu lama. Dengan cepat, Mentari juga berteman dengan para penghuni kampung itu. Mereka menyukai Mentari yang ramah dan sopan. Banyak pemuda yang menyukainya karena dia memang terhitung cantik di lingkungan itu. Banyak perempuan muda yang iri dan cemburu padanya. Namun karena Mentari dengan halus bisa menjaga jarak, maka hal itu tak berlangsung lama. Para pemuda itu dengan sendirinya mundur dan tahu diri. Berbalik menyegani Mentari. Bahkan kini dia banyak berteman dengan perempuan yang usianya di bawah dia dan belum menikah. Melihat perkembangan Mentari yang cepat beradaptasi dan keceriannya yang tampak makin menguat, Ki Abimayu merasa makin berbeban. Dia memikirkan banyak hal. Memikirkan cara agar setidaknya dalam hidupnya, dia bisa membayar segala dosanya pada anak itu. Walaupun dia tidak tahu apakah Tuhan mengampuninya, setidaknya ada sesuatu yang bisa dia lakukan. Dia ingin memutus garis karma itu sebelum dia meninggal. Garis karma dari keserakahan dan haus kekuasaan yang menurun sempurna ke dalam darah keluarganya. Maka pada suatu malam, ketika Mentari melaut sendiri, dia memberanikan diri masuk ke kamar Mentari. Mencari sesuatu yang bisa dia jadikan informasi untuk menghubungi keluarga Istana. Dia temukan buku catatan Mentari dan sebuah telepon genggam. Dia tahu telepon genggam. Pernah menggunakannya sangat sering dulu. Dia nyalakan dan mengecek daftar phonebooknya. Dia catat nomor-nomor penting yang dia inginkan. Setelah selesai, dia matikan kembali telepon genggam itu. Dan dia kembalikan pada tempatnya tadi. Dia buka buku catatan Mentari. Beberapa foto terselip di sana. Foto dia dan Pangeran Samudera yang tampak senang dan ceria. Ki Abimayu tersenyum. Foto itu tak berbohong. Foto itu memperlihatkan kebenaran, bagaimana kuatnya perasaan mereka berdua sebenarnya. Segera dia tutup buku catatan itu. Juga mengembalikannya lagi ke tempatnya. Ki Abimayu menarik nafas panjang setelahnya. Dia akan tunggu saat yang tepat. Akan berbicara dengan Mentari juga agar anak itu tidak menjadi pengecut terlalu lama. *** Mentari pulang pagi, membawa hasil tangkapan yang melimpah. Banyak ikan yang bisa dijual pada bandar pagi ini dan menyimpan sebagian untuk makan di rumah. Ini adalah pertama kali dia mendapatkan hasil yang meruah. Hingga dia bisa membawa uang sampai 1 juta karena ikan-ikan jenis bagus lah yang berhasil dia tangkap. Terutama Kakap merah, salmon, dan trenggiri. Ki Abimayu tentu terpukau dengan hasil yang dibawa Mentari. Berseru kagum juga dengan uang yang diperlihatkan Mentari padanya. Mereka berdua tertawa bersama. Mentari pamit untuk mandi, sholat, lalu tertidur lelap siang itu. Dia terbangun saat senja. Memutuskan berhenti melaut sementara karena hasil besar yang dia dapatkan hari itu. Dia ingin membakar hasil tangkapannya dan menyantapnya dengan Ki Abimayu. Kakek itu sudah membuka tungku bakaran di halaman rumah. Dia buat dua. Satu untuk membakar ikan dan satu untuk memasak sayuran. Dia mengambil kangkung air yang tumbuh subur di kolamnya. Setelah sholat Isya berjamaah, mereka mulai membakar ikan. Mentari dengan suka cita menyenandungkan lagu. Ki Abimayu tertawa tawa mendengarnya. Mereka lalu bernyanyi bersama. Saling bersahutan. Dengan lahap, keduanya menyantap makanan segar itu. Sampai semuanya habis hampir tak bersisa.
181 | M e n t a r i S e n j a
“Sepertinya, kamu sekarang lebih sehat, Nak. Kulitmu makin coklat saja kulihat”, ucap Aki Abimanyu sambil menambahkan kayu ke dalam tungku. “Ahahaha, Iya Ki....Hidup di sini, sangat menyenangkaaaaan. Perut kenyaaaang. Uang tak menghilang hanya bertambah dan bertambah saja. Mungkin, dalam satu tahun saja, kita sudah bisa beli tanah lagi untuk membuat kebun sayur”, ucap Mentari sambil mengelus perutnya. “Nak...tapi apa kamu tak pernah memikirkan lagi baik-baik. Apa tidak sebaiknya kamu selesaikan dulu urusan dengan benar dengan pihak Istana? Mereka pastinya sangat cemas dengan kehilanganmu. Apa kamu bisa dengan nyaman melanjutkan hidup di sini dengan hanya melupakan semuanya begitu saja?”, ucap Ki Abimayu dengan serius. Mentari terdiam. “Aku tak bisa dibohongi, Nak. Dalam malam-malam tertentu kamu menangis dalam tidurmu. Menyebut nama Pangeran dan Baginda Sepuh berulang kali. Meminta maaf pada mereka”, Ki Abimayu memutuskan menceritakan hal itu. “Ah? Masa sih Ki? Ah..haha..masa, masa saya sememalukan itu?”, Mentari mendadak rikuh dan malu. Dia selalu ingat mimpinya. Dia sadar pernah beberapa kali terbangun dengan air mata mengalir di pipinya. Tapi dia tahu kalau Ki Abimayu ternyata mendengarkan itu. “Coba kamu pikirkan baik-baik, Nak... Apakah iya Akimu, Ki Buana Raya juga akan senang melihatmu melarikan diri terlalu lama seperti ini. Aki bukannya ingin menekanmu. Melihatmu di sini, sebahagia ini, Aki berpikir untuk meluangkan waktu ke Jakarta juga. Menemui keluarga Aki. Menemui Baginda Raja. Meminta maaf pada mereka semua. Karena hanya dengan melakukan itu selama Aki masih hidup Aki bisa meninggal dalam keadaan tenang. Itu yang mau Aki lakukan sekarang. Maka itu Aki berani menyuruhmu memikirkan hal ini baik-baik. Jangan melarikan diri terlalu lama seperti Aki. Kamu masih muda, Nak..Masih banyak yang bisa kamu lakukan dibandingkan hidup bertapa di sini. Yah, mungkin menyenangkan. Tapi, hanya itu yang bisa kamu lakukan. Menyenangkan diri sendiri. Tak membagi kesenanganmu dengan lebih banyak orang”, lanjut Ki Abimayu. Mentari terdiam. Memainkan api dan kayu yang tengah menyala. “Benarkah Aki akan pergi?”, tanyanya sambil menarik nafas panjang. “Ya, Aki akan pergi besok. Untuk waktu yang tidak bisa dipastikan. Yah, paling lama sebulan. Baru setelah semuanya beres, Aki akan kembali ke sini. Kalau kamu mau ikut besok, ayo kita berangkat bersama. Jika kamu masih mau berpikir, Aki tidak mau memaksa. Aki hanya mengingatkan saja”, kata Ki Abimayu dengan lembut sambil menatap ke arah Mentari yang duduk menunduk. “Sa..saya akan pikirkan dulu baik-baik, Ki.. Terima kasih sudah mengingatkan. Tapi, tampaknya, saya belum siap untuk berangkat besok. Saya tidak yakin, dengan diri saya sendiri”, kata Mentari jujur. “Hmmm...baiklah. Ada titip pesan apa pada Baginda Sepuh dan Pangeran?”, goda Ki Abimayu. “Eh? Ah, tidak, tidak, tolong jangan bilang Aki hidup dengan saya di sini. Biar nanti saya bilang sendiri. Hanya, nanti saya titip surat buat Friska Dinata. Itu pun saya minta Aki memasukkannya ke dalam kotak pos kalau Aki sudah tiba di terminal di Jakarta”, kata Mentari segera. “Ah, ya ya ya...baiklah, Aki akan berusaha memenuhi janji”, jawab Ki Abimayu. Malam itu, setelah Ki Abimayu membereskan peralatan dan perlengkapan masak dan pergi ke dalam untuk tidur, Mentari masih termangu di depan tungku. Dia melihat kayu yang dimakan api perlahan-lahan. Terbayang olehnya wajah Pangeran Samudera yang masih saja membuat hatinya berdesir. Dia mengakui. Pada malam-malam tertentu dia sangat 182 | M e n t a r i S e n j a
merindukannya. Teringat kembali dengan kenangan manis dan mendebarkan yang dia alami. Yang membuatnya tertidur dan berkhayal guling itu sebagai dirinya. Dia pikir, bayangan dan rasa rindu itu akan menghilang. Namun, semakin hatinya terasa senang dan tenang, semakin dia merasakan perasaan itu begitu menguat. Hanya saja, untuk kembali sekarang, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tidak mau kalau kemudian ketika dia kembali, dia sudah menemukan mereka bertunangan. Itulah yang paling dia takutkan. Yang walau bagaimana pun dia berusaha, dia tak bisa menghilangkan rasa takut itu. Mentari mengalihkan pikirannya dan memutuskan untuk segera menulis surat. Diantara semuanya, dia tak ingin menyakiti hati sahabat-sahabatnya terlalu lama. Jadi dia harus memberi kabar. Ditujukan untuk Friska, yang kini dia tahu adalah sepupunya, namun isinya untuk semuanya. Kecuali, Pangeran Samudera dan Safira tentunya. Mentari tak mampu menilai mereka sebagai sahabat. *** Ki Abimayu membawa buku tua itu di tasnya. Pergi dengan menggunakan baju pangsi warna putih lusuh dan meminta ijin pada kepala adat di pulau itu. Berjanji akan kembali setelah urusannya selesai. Setibanya dia di kota pesisir pantai, Ki Abimayu segera menghubungi nomor Baginda Sepuh. Dia bersyukur bisa mendapatkan nomor pribadi itu. Yang akan langsung diangkat oleh yang bersangkutan. Ketika mendengar untuk pertama kalinya, Baginda Sepuh bertanya-tanya. Kemudian, setelah dia mendengarkan siapa yang bicara, hatinya berdebar kencang. Dengan sabar dia mendengarkan penuturan Abimayu Kencana. Orang yang sudah lama tidak dia dengar kabarnya. Orang yang menghilang tiba-tiba tanpa jejak dan jasad. Ternyata masih hidup. Menceritakan kejadian mengerikan yang dia alami dengan singkat tanpa menyebutkan siapa yang melakukannya. Mendengarkan itu, Baginda Sepuh tentu terkejut. Dia segera memberi alamatnya di Gunung Salak seperti yang diminta Abimayu Kencana. Perasaan suka cita terasa begitu saja. Dengan sabar, dia menanti kedatangan saudara sepupu yang dulu menjadi musuh besarnya itu. Dia heran bagaimana sepupunya mendapatkan nomor pribadinya. Heran mendengarkan sepupunya terdengar meminta maaf dan bersungguh-sungguh ingin menyampaikan kebenaran. Waktu sudah hampir tengah malam ketika, Abimayu akhirnya sampai di rumahnya. Ketika pertama melihat, Baginda Sepuh tak menyembunyikan keterkejutannya. Orang yang dulu terlihat sangat angkuh dan arogan kini tampil dengan baju yang sederhana. Tersenyum menatap ramah padanya. Dan matanya berkaca-kaca dengan ekspresi yang kontradiktif tadi. “Abimayu..Abimayu Kencana! Oh Tuhaaaaaaan! Rupanya kau masih hidup!”, Baginda Sepuh memeluknya akrab. Membuat yang dipeluk membalas rikuh. “Masuk, masuklah... Pesisir Garut Selatan amatlah jauh dengan jalur bis umum yang memutar seperti itu. Ayo, istirahatlah”, dengan suka cita, Baginda Sepuh menyambutnya. Seorang pelayan segera menyiapkan minuman dan hidangan makan malam, beserta cemilannya. Abimayu terpukau melihat jenis menu yang disajikan. Terharu menyadari Raja ini masih mengingat seleranya. Apalagi dia memang benar merasa lapar setelah menempuh perjalanan berjam-jam yang banyak terhenti untuk menunggu penumpang di berbagai titik. Baginda Sepuh melarangnya bercerita dan mempersilahkan menyantap makanan terlebih dahulu. Abimayu tidak menolak tawaran itu. Dia menyantapnya dengan lahap dan perasaan senang juga terhormat. 183 | M e n t a r i S e n j a
Setelah selesai makan dan berpindah tempat duduk ke depan perapian yang dibuat di dalam rumah itu, Abimayu mulai bercerita. Cerita lengkap bagaimana saat-saat terakhirnya dulu di Jakarta sebelum anaknya sendiri menjebaknya dan disaksikan cucunya ditenggelamkan ke laut. Dia ceritakan bagaimana keajaiban Tuhan menyelematkannya dan mempertemukannya dengan Ki Tarub. Dia serahkan juga buku tua yang berisi silsilah asli yang pernah dia bakar dulu yang satunya lagi. dia lanjutkan cerita kaitan Ki Tarub dengan Ki Buana Raya yang tak sempat ia temui. Sampai sana, dia tahan cerita tentang Mentari. Dia kembalikan ke cerita masa lalu. Dengan mata yang terus berkaca-kaca dan beberapa kali mengalir pelan, Ki Abimayu mengakui dengan rinci setiap kejahatan yang dia lakukan. Termasuk kejahatan besar terhadap keluarga Ki Buana Raya yang justru mengamanatkan pada Ki Tarub untuk mengangkatnya sebagai adik jika dia terdampar di pulau itu. Mendengarkan semua itu, Baginda Sepuh tak henti-hentinya terpukau. Melihat bagaimana keajaiban takdir kini hadir begitu jelas di depannya. Menyadari bahwa dalam satu masa dalam hidup, setiap orang selalu diberi kesempatan untuk berubah. Jika tidak, waktu akan memberikan kejadian yang lebih dahsyat lagi sampai kemudian orang tersebut bisa berubah. Mungkin ada banyak orang yang tidak mampu berubah sampai akhir hayatnya, tapi banyak orang juga bisa seperti Abimayu Kencana ini. “Jadi, Baginda. Maafkanlah Hamba yang telah begitu banyak melakukan kejahatan pada Baginda dan keluarga. Juga pada orang-orang terkait. Hamba tidak tahu apakah Tuhan juga memaaafkan. Hanya saja, Hamba ingin berupaya untuk meminta maaf pad aorang-orang yang telah merugi akibat perbuatan Hamba”, kata Abimayu setelah selesai menceritakan banyak sisi gelapnya yang teramat sangat memalukan dan buruk itu. Dia bersimpuh dan membuat posisi menyembah ketika mengatakan itu. “Abimayu, sepupuku. Tuhan adalah yang maha segalanya. Termasuk Maha Memaafkan selama mahluknya meminta maaf. Aku pun sudah tua, sudah banyak melihat keburukan-keburukan yang juga sebagian banyak kulakukan juga. Bedanya, aku selalu menggunakan jalur legal yang dibenarkan oleh aturan. Aturan yang dibuat Raja-Raja, para peguasa, termasuk aku sendiri. Tuhan sudah membukakan jalan untukmu. Tidak kah kau lihat itu sebagai tanda bahwa Dia memberikanmu kesempatan dan telah menuntunmu ke sini? Tentunya, aku memaafkan segala yang telah kau buat. Berdirilah. Berdirilah saudaraku. Dan mari kita duduk sejajar kembali di sini”, Baginda Sepuh menepuk bahu Abimayu. Menarik badannya, menuntunnya untuk duduk di kursi kembali. Ki Abimayu mengikuti ajakan itu. Dia mengusap air matanya dan mengucapkan terima kasih atas penerimaan tulus itu. Sejenak mereka terdiam. “Tapi bagaimana, bagaimana jalan ke rumahku ini dibukakan padamu, Abimayu? Aku sudah banyak dan berulangkali mengganti nomorku. Terakhir aku ubah tahun lalu. Bagaimana kau bisa tahu yang terbaru?”, tanya Baginda Sepuh kemudian, yang penasaran dengan fakta itu. “Ah ya, ini yang ingin Hamba ceritakan juga yang memang tidak ingin Hamba tahan. Mentari, cucu Ki Buana Raya, datang ke pulau Hantu, tempat Hamba tinggal selama ini, Baginda. Hamba mendapatkan nomor Baginda setelah mencuri waktu melihat telepon genggam-nya yang mati ketika dia melaut”, jawab Abimayu. “Mentari? Mentari Pertiwi Raya? Melaut? Oh Tuhaaaaaaaaaaan, syukurlaaaaaaaaah, syukurlaaaaaaaaaaaaaaah..Aku sungguh-sungguh tak tahu kemana dia pergi. Sudah 2 bulan ini penyelidikan tentangnya terhenti dan menemukan jalan buntu. Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah tahu tentang kamu? Bagaimana reaksinya? Bagaimana, bagaimana keadaan dia sekarang?”, Baginda Sepuh tampak sangat senang dan bertanya terus menerus. Meluapkan perasaan bahagianya. Yang meruah. Melimpahi hatinya. 184 | M e n t a r i S e n j a
Melihat itu, Ki Abimayu tersenyum. Ya, gadis itu, entah bagaimana, membuat hati orang-orang terbuka dan mampu membuat orang menyayanginya dengan tulus. Dia bisa melihat, bagaimana Baginda Sepuh begitu bahagia dan pancaran kasih sayang besar terlihat di matanya. Abimayu menceritakan tentang kedatangan Mentari. Menceritakan bagaimana dia pun tak bisa menahan diri bercerita siapa dirinya di hari pertama mereka bertemu. Membuat gadis itu pingsan. Namun kemudian, kekuatan tak terduga muncul malamnya ketika dengan ringan Mentari memaafkan segala perbuatan yang pernah dia lakukan. Awalnya, Abimayu merasa khawatir itu hanya perasaaan sementara dari Mentari. Namun setelah 3 bulan berlalu, dia bisa melihat bahwa Mentari benar-benar tulus memaafkannya. Bahkan memberikan perhatian seperti layaknya seorang cucu pada kakeknya. Abimayu menyampaikan kekhawatirannya juga dengan rencana pernikahan Pangeran, yang tampaknya diyakini Mentari akan terjadi dengan Safira. Abimayu menyampaikan lebih banyak tentang Safira. Dan keinginannya untuk mencegah hal buruk yang mungkin akan terjadi kemudian hari. Di tengah kebahagiaannya, Baginda Sepuh memikirkan hal itu baik-baik. Sungguh tak mudah seorang kakek menceritakan sisi buruk cucunya seperti itu. Tadi anaknya yang dia ceritakan dengan gamblang. Dia benar-benar menghargai kejujuran Abimayu yang mungkin dulu tak pernah singgah ke dalam pikirannya. Sekali pun. Kini, perubahan besar itu makin menyata. Bagaimana rasa adil menempatkan kasih sayang telah lebih mengambil alih pikiran sepupunya itu. “Abimayu, dimanakah cucu sulungmu yang laki-laki sekarang? Apakah kau tahu?”, tanya Baginda Sepuh. Cucu sulung lelakinya adalah saksi terhadap kejahatan yang dilakukan Ronggowasito. “Itulah, Baginda. Hamba tidak tahu. Hamba merasa ngeri membayangkan apa yang mungkin terjadi padanya. Jika Ronggowasito bisa dengan hati dingin menyuruh orang melemparkanku ke laut, maka menjadi mungkin dia melakukan hal yang sama pada anaknya. Mungkin juga tidak”, Abimayu terlihat cemas. Baginda Sepuh mengangguk. Mereka saling bicara lagi sampai subuh tiba. Menyimpulkan dan menyepakati banyak hal. Termasuk yang terkait dengan Mentari. Hari itu, Abimayu tidur di rumahnya. Untuk jangka waktu yang telah disepakati. Baginda Sepuh merasa lega mengenai Mentari. Jelas sekali langkah anak itu ditentukan oleh garis takdir yang kuat. Mendadak dia merasa yakin. Mentari akan kembali lagi. kekhawatirannya menghilang. Dia pun bisa tidur nyenyak hari itu. *** Friska benar-benar senang menerima surat dari Mentari. Dia segera menghubungi Helena melaporkan hal itu. Helena yang sudah hampir menyerah dengan Mentari, merasa bersemangat dan mengusulkan membaca surat itu bersama dengan yang lain. Dua hari setelah menerima surat, semua teman-temannya berkumpul di restoran Wisnu lagi. Hanya Safira yang tak bisa datang karena katanya ada urusan penting. Friska senang dan mendadak lega mendengar itu. Pangeran Samudera terlihat heran melihat ekspresi cerah yang dimunculkan Friska saat itu. “Ada apa sih Fris? Kulihat dari tadi kamu senyum senyum terus?”, ujarnya sambil mulai meminum jus yang tersaji, “Iya doooong! Wisnuuuu, ayo cepat siniiiii..Aku sudah tidak sabar ini”, Friska merajuk berteriak ke arah Wisnu yang masih berbicara dengan stafnya. Yang dipanggil menoleh dan mengacung 1 jari. Lalu sebentar kemudian dia segera menuju meja teman-temannya. Duduk di tempatnya dan menanti kabar gembira yang katanya akan diumumkan Friska. 185 | M e n t a r i S e n j a
“Aku...menerima surat dariiiiiiiii...Mentariiiiiiiiiiiiii!”, seru Friska kemudian. Membuat Pangeran Samudera terkejut luar biasa. “Apa????”, tanyanya paling keras. “Ups, sabar Sam, sabaaar...aku akan bacakan ya...”, ucap Friska bersemangat. Hampir tertawa melihat ekspresi Samudera yang mendadak kalang kabut. Entah senang atau kesal karena mungkin dia tak menerima secuil kabar pun secara langsung dari Mentari. “Hai, Friska, apa kabarmu? Minta izinmu menuliskan alamat surat ini ke rumahmu. Karena hanya alamatmu yang sempat aku catat dengan lengkap dan sekarang aku tidak dalam kondisi mudah mengakses media internet. Aku minta tolong padamu, untuk memberitahukan isi surat ini pada semuanya. Maafkan aku semuanya teman-teman, yang tidak memberi kabar atau tanda apa pun aku akan pergi. Alasannya hanyalah ketidakmampuanku bertahan menghadapi banyak situasi berbeda yang aku rasakan di Istana. Bukan karena keluarga Raja tidak baik, tapi karena aku sajalah yang lemah menghadapi sekian banyak hal yang terjadi di sana. Yang rasanya memutarbalikkan hatiku dan membuatku merasa terasing terus menerus. Yang paling aku sesali dari semuanya adalah bahwa aku tidak bisa menyampaikan kata-kata apa pun pada kalian secara khusus. Aku hanya khawatir kalian akan merajuk dan memintaku bertahan hingga aku kemudian kembali lagi ke keadaan yang sama. Mungkin bagi kalian, yang sudah biasa hidup dengan situasi yang biasa kalian alami, apa yang aku rasakan terasa tak masuk akal. Tapi, dengan latar belakangku, asal usulku yang tak jelas, berulangkali orang mempertanyakan hal itu, membuatku merasa tak nyaman. Membuatku merasa mencoreng nama baik keluarga Raja. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan terus menghindar seperti ini. Menghindar dari ketakutanku sendiri akan pengalaman baru. Aku tidak tahu kapan keberanianku akan tumbuh untuk memutuskan bertemu langsung dengan kalian kembali. Aku hanya perlu waktu. Yang tak bisa kutentukan kecuali takdir berkata lain. Hari ini, sebenarnya aku diajak pergi oleh orang yang kini serumah denganku. Ke Jakarta. Tapi, aku menolak karena itu tadi, aku merasa belum siap kembali. Ada yang yang membuatku gamang dan tak mampu memutuskan. Tapi, jangan khawatir, itu tak terkait dengan kalian. Yang jelas, aku ingin menyampaikan, bahwa di sini aku baik-baik saja. Tiap hari makan makanan aku dapatkan sendiri sendiri. Menghasilkan uang banyak kalau hari sedang bagus. Melebihi nilai gajiku jaman dulu kerja di Parahyangan. Kalau tahu begini, mungkin dari dulu aku sudah memilih tempat ini sebagai tempat tinggalku. Hehehe...Aku juga sudah bisa berenang sekarang. Berlatih setiap hari karena ada tempatnya di sini. Kulitku bahkan sudah coklat sekali karena terbakar matahari. Orang di sini ramah-ramah. Hampir semua orang sekampung menjadi temanku kini. Bahkan, banyak pemuda lho yang ingin melamarku, hehehe. Tapi karena tampaknya akan banyak perang air mata dari gadis-gadis sendiri yang sudah punya taksirannya sendiri, aku tidak berani menerima satu pun lamaran dari mereka. Walau, yah, berat hati melihat betapa kulit mereka tampak coklat dan menawan terbakar sinar matahari. Hehehe... Helena, Friska, Viona, jangan menangis ya. Jangan terlalu khawatir denganku. Khusus buat Helena dan Batara, semoga kalian awet terus dan saling mencintai selamanya. Pastinya hidup ini terasa indah buat kalian dimana kalian bisa memastikan orang yang kalian sayangi juga menyayangi kalian, menjagai dan melindungi senantiasa. Semoga kalian juga bisa segera dikaruniai anak. Hingga kebahagiaan kalian berlipat ganda. Bima, titip Friska ya.. Kadang dia suka berubah mood dan akan banyak memaki kalau sedang PMS. Jaga jarak dan cuekin saja, hehehe.. Semoga, kalian cepat menyusul Helena dan Batara. 186 | M e n t a r i S e n j a
Gerhana, lebih perhatikan Viona dooong. Dia itu baik hati sekali lho orangnya. Tapi kadang mulutnya suka berkata lain. Dia sangat berani merayu dan merajuk. Namun ketika kamu yang melakukan itu kembali, dia pasti mati kutu deh, hehehe Wisnu, sukses ya dengan restorannya. Aku tahu dan yakin kamu akan jadi ahli kuliner nomor satu di Indonesia. Tetaplah keliling jalan-jalan ke pelosok Indonesia ini. Bisa jadi suatu saat, dalam petualangan kulinermu, kita dipertemukan. Buat Pangeran Samudera dan Putri Safira, selamat buat kalian.. Semoga berbahagia.. Aku sayang kalian semua. Jangan marah yaaaa...”, Friska membacakan itu. Matanya berkaca-kaca dan kemudian memeluk Bima setelah membacakan suratnya. “Dari semuanya, hanya buat aku dan Safira saja yang sangat pendek!!! Siapa juga yang bahagia?! Aihhhh... dimana sih dia?!”, Pangeran Samudera mendengus kesal dan melemparkan tisu yang tadi dia pegang ke meja. “Lho, memangnya kamu tidak bahagia dengan Safira, Sam?”, Viona yang mendengar kata-kata itu, bertanya dengan hidung yang mampet. Karena tangisnya tadi. “Memangnya kalian pikir aku bahagia dengan dia?”, Pangeran Samudera bertanya balik dengan masih kesal. Tentu saja teman-temannya terlihat heran dengan reaksi itu. “Sam, tunggu dulu, apa maksud kata-katamu itu bahwa kau menduga kami menduga kamu bahagia dengan Safira? Sebenarnya bagaimana sih kalian? Bukannya kalian bahagia? Karena itu yang kami lihat Sam”, Helena kali ini bertanya lebih pelan. Mendengar pertanyaan Helena, Pangeran sadar dengan kebodohannya. Dia hampir membuka topengnya yang sudah sangat dia jaga baik selama ini. Gara-gara isi surat Mentari, kepalanya terasa mendadak kacau balau. Kalau dia bilang sekarang, dia akan menghancurkan segalanya lagi. “Ahhh, sudah lupakan! Aku hanya meracau saja. Friska, bisakah kamu serahkan surat dan sampulnya itu padaku? Aku akan memberikannya pada tim penyelidik istana. Dan aku perlu memperlihatkannya juga pada Ibunda yang akhir-akhir ini penyakitnya kambuh lagi”, kata Pangeran Samudera dengan nada sedikit tenang. Mendengar itu, Friska mengangguk. Dia memberikan surat itu dan amplopnya pada Samudera. Dengan segera, Samudera mengambilnya dan meminta ijin pulang lebih dulu untuk menyerahkan surat itu. “Serius deh, dia sebenarnya bagaimana sih dengan Safira? Bukannya kata dia, dia akan segera mengumumkan pertunangannya 3 bulan lagi?”, tanya Helena ke arah temantemannya. Semua mengangkat bahu. Sambil memikirkan reaksi Samudera yang aneh tadi. *** Pangeran Samudera tidak langsung menuju ruang tim penyelidik. Dia segera menuju kamarnya. Mematikan telepon genggamnya dan membaca surat itu lagi dan lagi. Hatinya dipenuhi rasa rindu yang sudah berusaha dia tahan dalam 3 bulan ini. Yang sudah berusaha dia alihkan pada hal lainnya. Ada rasa sakit dan perih yang dia rasakan melihat Mentari benar-benar memilih sahabatnya dan meniadakannya begitu saja di surat ini. “Tidak kah kau tahu aku telah hampir kehilangan semangat untuk hidup Mentari? Tidak kah kamu tahu aku senantiasa menanti kepulanganmu ketika hatiku hampir meledak rasanya merinduimu? Tidak kah kau tahu, aku menjalani hubungan dengan Safira untuk melindungimu? Tidak kah kau tahu bahwa perasaanku ini hanya untukmu?”, ucapnya dengan berderai air mata. Di satu sisi, hatinya terasa begitu ngilu. Di sisi lain, dia lega mendengar Mentari hidup baik-baik saja.
187 | M e n t a r i S e n j a
“Tuhan, sampai kapan kau berikan ujianMu padaku? Aku menyerah Tuhan. Tolong, kembalikan Mentari. Kembalikan dia padaku. Dan aku, akan melakukan apapun demi hidup bersamanya Tuhan”, Pangeran Samudera meremas kepalanya keras. Dan dia pun tertidur kemudian, memeluk surat dan amplop itu ke dadanya. *** Di pantai sana, Mentari merasa tiba-tiba hatinya meluap oleh rasa rindu. Wajah Pangeran Samudera membayangi pikirannya terus menerus. Hingga, Mentari tak bisa tidur di jam biasanya. Rasa rindu membanjiri tubuhnya begitu saja. Dia berusaha mengusir perasaan itu, tapi tak bisa, Sampai akhirnya, dia menyerah, dan membiarkan dirinya dipenuhi rasa itu. ***
Ruang Terang Sudah 2 minggu, Abimayu Kencana tinggal dan mendiskusikan banyak hal selalu dengan Baginda Sepuh. Sampai akhirnya, Baginda Sepuh mendapatkan kemajuan informasi itu mengenai cucu lelakinya. Ternyata, cucu lelakinya kabur dari rumahnya ketika ayahnya menamparnya dan hendak memberangkatkannya ke luar negeri. Abimayu bersyukur, ternyata Ronggowasito masih punya hati untuk membiarkan anaknya tetap hidup. Cucu lelakinya itu tinggal di Samudera Pasai. Ada sahabat dekatnya yang menampungnya dan mau menyembunyikan keberadaannya. Mengganti identitasnya dan hidup di sana bersama sahabatnya itu. Ketika dia ditelepon langsung oleh Abimayu, terdengar cucunya sangsi dan hampir menutup telepon menyangka penipuan. Sampai akhirnya dengan cepat, Abimayu membahas mengenai kejadian di malam naas itu. Membuat cucunya terdiam dan terpaku di balik telepon, lalu terdengar terisak. Gatot Kencana Putra. Cucunya. Bersedia menemuinya di Gunung Salak dalam waktu yang telah ditentukan. Dengan penjagaan khusus dari Baginda Sepuh. Abimayu Kencana sangat bahagia dengan itu. “Apa yang bisa kulakukan untuk membalas semua budi ini, Baginda? Selain daripada yang sudah kita sepakati?”, tanya Abimayu. “Hmm..tampaknya, kamu harus melanggar janji pada Mentari. Toh kamu bilang padanya kamu hanya akan berusaha memenuhi janji itu kan? Tampaknya, kalau tidak segera diberi tahu, menantuku akan makin parah kondisinya. Dia menderita asma akut. Cucuku, tampaknya juga bisa bunuh diri kalau dia tak segera bertemu dengan Mentari. Aku lihat, hampir tiap bulan dia menyepikan diri ke vila pribadinya semenjak Mentari pergi. Dan kabar akhir yang kudengar, dia dengan kesal melemparkan surat dari Mentari pada tim penyelidik kerajaan yang mungkin Mentari titipkan padamu untuk dikirimkan pada temannya”, jawab Baginda Sepuh sambil terkekeh di ujung kalimatnya. “Ya, ya, Hamba paham. Apakah mungkin ada baiknya Hamba ke Istana?”, tanya Abimayu. “Tidak, tidak, jangan. Sekarang ini, sudah ada mata-mata yang dipegang Safira di istana, hehehe.. Mereka lah yang akan ke sini. Lusa, adalah saat yang tepat. Hari kematian istriku. Tanpa diminta pun, mereka akan datang ke sini. Mengunjungi makam istriku. Dan menghabiskan waktu semalam di sini”, jawab Baginda Sepuh. Abimayu mengangguk. “Apakah aku sebaiknya menyampaikan tentang...”, Abimayu tampak khawatir. Segera Baginda Sepuh menahan bicaranya. “Tenang Abimayu, biarkan aku yang bercerita. Akan sangat susah buat Samudera sekarang ini untuk menerima kenyataan bahwa kamu adalah kakek Abimayu ditambah 188 | M e n t a r i S e n j a
dengan segala hal yang dilakukan Ronggowasito. Aku berikan tandanya nanti. Yang paling penting adalah informasi tentang Mentari yang perlu kamu buka terlebih dahulu. Biarkan Mentari yang nanti bercerita padanya. Cerita seperti itu, harus melalui Mentari dulu, baru sampai ditelinganya”, jawab Baginda Sepuh. Abimayu mengangguk lagi. Dia hanya tahu Pangeran waktu kecil. Tak banyak peduli padanya waktu itu. Hingga, dia tidak terlalu tahu karakternya. *** Tibalah hari peringatan kematian Nenek Samudera. Pangeran Samudera menyetir langsung kendaraannya. Baginda Raja dan Ratu tampak terlihat bersemangat dan lebih mengeluarkan sisi pribadi mereka karena tidak adanya supir dan pengawal di dalam mobil. Mereka tiba di rumah Baginda Sepuh menjelang sore. Langsung menuju makam untuk berdo’a dan kembali ke rumah itu menjelang magrib. Ketika tiba di rumah, Baginda Raja dan Ratu tampak terkejut luar biasa melihat sosok tua yang menyambutnya di ruang tamu. “Pangeran...Pangeran Abimayu?!”, seru Baginda Raja dengan terkejut. Melihat keterkejutan ayahnya, Pangeran menatap ke arah lelaki tua itu. Samar-samar dia mengingatnya. Dan ketika menyadari, dia pun tak kalah kaget. Dengan hati-hati, dia menjaga jarak dan bersalaman dengan sopan. Baginda Raja memandang ke arah Baginda Sepuh yang terlihat tersenyum tenang. “Duduklah kalian. Ya, benar, ini adalah Pangeran Abimayu yang telah lama menghilang. Tak jelas kemana menghilangnya dan bagaimana. Lalu serta merta dia hadir di ruangan ini membuat kalian semua kaget. Rupanya, Abimayu ini terdampar di pulau Hantu. Dan di pulau Hantu itulah dia bertemu dengan Mentari 3 bulan lalu”, ucap Baginda Sepuh dengan nada tenang. “Pulau Hantu? Mentari?!! OH Tuhaaaaan....Bagaimana keadaannya Pangeran? Dimana itu Pulau Hantu? Apakah dia baik-baik saja? Dimana dia sekarang?”, Ibunda Ratu menghamburkan emosinya. Dia menangis dan langsung dipeluk suaminya. Demikian juga dengan Pangeran Samudera yang tampak menahan diri karena pertanyaannya terwakili Ibundanya. “Dia baik-baik saja, Baginda Ratu, Baginda Raja, dan Pangeran Samudera. Mungkin, inilah yang kita sebut takdir. Mentari datang ke pulau terpencil di pesisir Garut Selatan itu tanpa diduga. Memperlihatkan fotonya dengan kakeknya dengan menanyakan Ki Tarub. Hamba, yang ingatannya masih kuat dengan segala urusan di masa lalu, tentunya sangat mengenal Kakek Mentari. Dia tinggal di rumah Hamba di sana, yang diwariskan Ki Tarub yang sudah meninggal 5 tahun lalu pada Hamba. Dia menolak waktu Hamba ajak ikut serta ke Jakarta ini. Dia bilang, dia belum siap. Yah, Hamba pun kurang paham sebenarnya. Namun, kadang telinga Hamba yang terlalu peka ini dapat mendengar bagaimana dia menangis dalam tidur dan menyebut nama-nama Anda semua, terutama yang paling sering nama Pangeran. Mungkin, sebenarnya dia rindu. Namun, ada sesuatu yang menakutkan buatnya untuk kembali segera. Suatu perasaan yang Hamba pikir, terkait dengan perasaan mendalam pada Pangeran. Maafkan atas kelancangan penilaian Hamba yang dangkal ini. Namun tampaknya, Hamba tak bisa menahan informasi ini lebih lama. Jika dia tak bisa ke sini, ada baiknya seseorang menemuinya di sana. Mungkin bisa meyakinkannya untuk kembali. Bukan berarti tempat itu tidak bagus dan tidak aman. Malah sangat bagus dan aman. Dihuni penduduk yang masih mempertahankan laku adat jaman dulu. Bagus sekali buat menyepi dan menyunyikan diri. Tapi tampaknya, Mentari terlalu muda untuk menyia-nyiakan waktunya di sana. Ini alamatnya”, Abimayu menyerahkan selembar kertas. 189 | M e n t a r i S e n j a
Pangeran Samudera lah yang langsung mengambil dan melihatnya. Ada rasa bahagia mendengar cerita dan membaca alamat itu. Dia bisa segera bertemu Mentari. Dia akan bertemu Mentari. Dia yang akan datang ke sana. Begitu kata hatinya. Ibunda Ratu menangis bahagia mendengar itu. Mengucapkan terima kasih berulang kali pada Pangeran Abimayu yang memiliki informasi sangat berharga yang mereka cari selama ini. Demikian juga Baginda Raja. Pangeran Samudera berdiri melangkah di depan perapian dengan gelisah. Tiba-tiba dia bersimpuh. “Ayahanda, Ibunda, Eyang, maafkan Hamba. Hamba tak mampu lagi menjalankan cara dulu dimana Hamba harus dekat dengan Safira. Maafkan juga Kakek Pangeran Abimayu, Hamba telah melakukan kejahatan dengan menipu Safira mentah-mentah. Perasaan Hamba pada Mentari sudah tak bisa dibendung lagi. Hamba minta izin, untuk menemuinya. Dan izinkan Hamba bertahan di sana sampai akhirnya Mentari mau ikut serta. Hamba tidak akan kembali selama Mentari masih butuh waktu untuk tinggal di sana. Mohon, maafkan Hamba, dan izinkan Hamba”, ucapnya sambil menyembah pada mereka semua yang duduk di kursi itu. Sejenak hening. Lalu, Baginda Sepuh tertawa. Diikuti senyum yang lainnya. “Tentu, cucuku. Kami tahu itu. Pergilah. Temui Mentarimu. Tapi ingat, kamu jangan terlalu menonjolkan diri di sana. Bagaimana pun, orang selain dari penduduk Pulau Hantu pasti pernah melihatmu di televisi. Dan, hati-hatilah di jalan. Apakah kamu mau berangkat saat ini juga?”, tanya Baginda Sepuh kemudian. Dengan pasti, Pangeran Samudera mengangguk. Baginda Sepuh tertawa lagi sambil menuntun cucunya untuk berdiri. Mereka segera membantu persiapan keberangkatan Pangeran Samudera. Ibunda Ratu memberikan cincin kesayangannya pada Samudera dan mengedipkan mata ketika anaknya awalnya tak mengerti dengan itu. Pangeran Samudera kemudian tersenyum dan memeluk Ibundanya hangat. Dalam waktu 1 jam, Pangeran Samudera sudah duduk di mobil landrover kesayangan Baginda Sepuh. Dia membawa bekal kopi untuk menemaninya dalam perjalanan. Membawa surat dari Pangeran Abimayu untuk diberikan pada ketua adat di sana. Dia memang sudah tak sabar ingin menemui Mentari. Namun dia juga tahu, dia harus tetap mengendalikan diri dengan perjalanan 5 jam jalur potong yang akan ditempuhnya. Pangeran pun mulai melaju. *** Mentari melamunkan Ki Abimayu. Bertanya-tanya apakah surat itu sudah sampai dan sudah dibaca oleh sahabat-sahabatnya. Sesekali bayangan Pangeran melintas kembali. “Neng, tidak melaut?”, tiba-tiba pertanyaan ibu Eros, tetangganya, membuyarkan lamunannya. “Ah, tidak Bu, kebetulan kemarin saya dapat tangkapan banyak sekali. Biar yang lain berkurang saingannya malam ini, hehehe..Mungkin besok sore saya akan berangkat melaut”, jawab Mentari berteriak ke arah Bu Eros yang tampaknya baru pulang dari rumah lain. Bu Eros tertawa dan pamitan untuk masuk ke dalam rumahnya. Mentari mendadak mengantuk dan segera masuk ke dalam rumah. Dia tidur malam itu dengan perasaan nyaman. Seiring nada ombak, perlahan dia mulai terlelap. Dia bangun subuh dan menunaikan sholat seperti biasa. Mulai menyalakan tungku untuk menanak nasi dan memasak sarapannya. Ketika memasak, dia menyadari pelepah kering batang kelapa sudah hampir habis. Dia memutuskan pergi ke pantai sebelah timur
190 | M e n t a r i S e n j a
setelah selesai sarapan. Matahari belum sepenuhnya keluar dari cakrawala saat Mentari akan keluar. Mentari mengenakan celana pangsinya yang baru dia beli seminggu lalu. Mengambil golok dan membawa kain dan keranjang sebagai perlengkapannya. Tiba-tiba dia ingat, sekarang sedang musim udang lobster. Di area timur itu, area yang sedikit berkarang. Banyak udang berkembang biak di sana. Juga kerang. Dia ambil jaring khusus penangkar udang dan kerang yang sekarang talinya sudah lebih bagus. Mentari berangkat dengan perasaan riang. Dia sempat berpapasan dengan Abah Hurip, kepala adat kampung itu di saat dia mau melewati rumah terakhir. “Mau cari pelepah kelapa kering, Neng?”, tanya Abah Hurip ramah. “Iya, Bah..Sekalian mencoba menjaring udang di Karang Wetan. Mari, Bah”, jawab Mentari. “Kalau dapat banyak, Abah minta yaaaaa”, teriak Abah Hurip. Mentari menjawab sambil berteriak juga. Dia berjalan ke arah timur menuju Karang Wetan. Hanya butuh waktu 15 menit dengan lari-lari kecilnya untuk tiba di tempat itu. Dia senang melihat banyak pelepah kelapa tergeletak. Memenuhi bibir pantai. Dia juga lihat beberapa batang kayu yang terbawa pasang terdampar di sana. “Whoaaaa! Aku beruntung hari ini!”, teriaknya sambil mengambil pelepah dan batang kayu. Mengumpulkannya terlebih dahulu. Setelah terlihat banyak, dia menggunakan goloknya untuk membelah kayu-kayu dan pelepah itu ke dalam bentuk yang lebih tipis. Membagi dua, tiga, atau empat. Tergantung besarnya. Dia melakukan itu sambil bersenandung senang. Keringat mengalir di pelipisnya karena kayu yang dia dapatkan cukup banyak. Sampai keranjangnya terisi penuh. “Oke, sekarang, saatnya mencari udaaaaang”, teriak Mentari berbalik ke arah pantai. Namun, sesosok figur yang berjalan ke arahnya membuat langkahnya terhenti. Dia memandang ke arah figur yang tampak berlari itu. Mentari terdiam. Memegang penangkar udang di tangan kanannya dan sebuah tongkat pengelupas kerang di tangan kirinya. “Mentariiiiiiiiiiiiiiiiiiii!”, teriak orang itu setelah berjarak hanya sepuluh meter darinya. “Pa...Pangeraaaaaaaaaaan?!!!”, sontak Mentari berteriak kaget. Barang yang dipegangnya terlepas jatuh. Dia mengucek-ngucekan mata menganggap itu mimpi. Tapi, tak ada yang berubah, sosok itu makin jelas. Berdiri tegap dengan nafas terengah. Menatap dirinya lekat. Sosok yang makin dia rindukan kini hadir begitu saja. Di pulau terpencil ini. Di pesisir pantai yang sepi tak ada orang. Mentari mencubit lengannya sendiri. Mencubit lengan lelaki di depannya. “Awwww! Sakit, Tari!”, seru Pangeran sambil menepiskan tangannya. “Pa..pengeran? Ini betul-betul Pangeran?”, Mentari masih ternganga. Pangeran Samudera menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. Mengucekngucek rambut Mentari. Lalu dia segera memeluk perempuan yang sudah sangat dia rindukan itu. “Iya, ini aku Tari! Aku, Samudera. Bukan hantu. Aku Samudera”, ucap Pangeran sambil memeluk Mentari. Walaupun nalarnya tak bisa mengerti apa yang terjadi, desiran di hatinya menguat atas pelukan itu. Membuatnya merasa melayang seketika. Bau keringat Pangeran yang bercampur minyak wangi membuatnya merasa seperti dimabuk kepayang. “Pa..pangeran...bagaimana...bisa...”, ucap Mentari tergagap oleh sesak yang kini terasa memenuhi dadanya. Air matanya pecah kemudian. Menumpahkan perasaan di dada lelaki yang sebenarnya amat dirindukannya. Lelaki yang tak bisa dan tak pernah bisa dibencinya. 191 | M e n t a r i S e n j a
“Aku di sini. Aku berhasil menemukanmu. Jangan menangis lagi”, kata Pangeran sambil mengelus-elus rambutnya. Mengangkat wajah Mentari yang berurai air mata. Mengusap air mata itu dengan tangannya. Berulangkali sampai aliran dari mata Mentari berhenti. Merasa malu dengan dirinya, Mentari dengan pelan melepaskan diri dari pelukan Pangeran. Dia duduk sambil memeluk kedua kakinya. “Bagaimana Pangeran bisa menemukan saya?”, tanya Mentari kemudian. Tak berani melihat wajah yang kini duduk juga di sampingnya. Pangeran menceritakan pertemuannya dengan Pangeran Abimayu di rumah Baginda Sepuh. Pangeran yang juga adalah kakek Safira. Mendengar itu, Mentari agak sedikit kesal namun juga bersyukur karena Ki Abimayu memberitahukan Pangeran. “Jadi senangkah bertemu denganku lagi?”, goda Pangeran Samudera kemudian. Mentari diam. Menahan risau di hatinya. Mau sampai kapan dia membiarkan dirinya dimakan rasa takut. “Ta..tapi Pangeran...bagaimana dengan...dengan Safira?!”, dan karena gugupnya, Mentari mengeluarkan pertanyaan itu dengan nada membentak. “Wowowowo! Tari, tenanglah dulu oke? Apa kamu benar-benar percaya bahwa pertemuan dua keluarga itu adalah akhir dari masa lajangku? Itu hanya pertemuan dua keluarga Mentari! Hanya itu. Tidak ada yang lain. Selebihnya, media saja yang menjadikannya begitu besar. Aku tidak pernah sepenuhnya bahagia dengan pertemuan itu. Banyak kekisruhan di BUMK sebelum pertemuan keluarga itu dilakukan. Banyak pemberontakan kecil-kecilan yang muncul tiba-tiba di sana. Padahal sebelumnya, mereka baik-baik saja. Lalu kejadian buruk yang menimpamu. Safira yang kemudian mendadak baik tapi dia tahu kecelakaan yang menimpamu. Mentari, atas saran Eyang dan Ayahanda, aku memutuskan menyetujui pertemuan keluarga itu. Hanya untuk meredam dan memastikan banyak dugaan Mentari. Aku sebenarnya keberatan. Karena aku belum sempat menyampaikan bagaimana sebenarnya perasaanku padamu. Tapi, sudah tidak ada waktu lagi. Aku tidak mau makin banyak karyawan BUMK yang ditekan dan dipaksa melakukan kekisruhan. Aku tidak mau orang-orang tak bersalah dipecat begitu saja tanpa alasan yang jelas hanya karena mereka diam-diam mendukung ideku, membagi profit menjadi 40:60. Waktu itu aku sangat dilematis Mentari dan terpaksa mengambil keputusan buruk itu. Tak bisa menyampaikan itu padamu, pada Ibunda, pada sahabat-sahabatku. Hanya pada Ayahanda dan Eyang. Lalu, tiba-tiba, belum lama, kau menghilang! Tak sadarkah kau bahwa itu menyakitiku? Tak sadarkah kau juga telah menyakitu hati Ibunda sampai asma akutnya kambuh lagi? Tak sadarkah kau betapa aku merasa begitu bodoh dengan kepergianmu yang tak menyisakan tanda sedikit pun?”, Pangeran berteriak sambil berdiri. Segala perasaan kecewanya berhamburan keluarga. “Hentikan! Hentikan! Saya tahu aku salah! Jangan membentakku! Jangan membentakku! Saya memang egois. Saya memang hanya memikirkan diri sendiri! Tapi Saya juga tidak tahu banyak hal dan tidak dibuat tahu! Saya yang sangat takut! Sangat takut menghadapi segalanya! Saya sangat takut!”, Mentari berteriak sambil menutup kupingnya. Terduduk dengan kepala tertunduk hampir menempel di dada. Melihat itu, Pangeran memukul keningnya dengan keras. Menyadari kebodohannya. Meluapkan emosinya di saat seperti ini. Di saat sudah seharusnya bukan pertengkaran yang terjadi. “Mentari...maafkan aku, maafkan oke? Aku tidak akan membentak lagi. Ayo, kemari”, Pangeran memegang kedua bahu Mentari. Melepaskan tangan yang menutup kuping itu,
192 | M e n t a r i S e n j a
mengangkat kepalanya, dan memeluknya kembali. Dia peluk terus Mentari yang masih saja terguguk. Dia usap kepalanya lagi dengan lembut. “Aku, tidak mencintai Safira....aku..mencintaimu..Mentari..Aku..sangat sayang padamu...tersiksa kehilanganmu berbulan-bulan..aku merindukanmu, Mentari”, kata Pangeran dengan lembut. Memilih segera mengemukakan perasaannya. Takut Mentari terlepas lagi dari pelukannya. Mendengar itu, tangis Mentari berhenti. Mendadak dadanya berdebar kencang. Tak menyangka mendengar pengakuan itu. Di saat seperti ini. Di saat dia hampir menyerah memimpikan ucapan itu diucapkan oleh lelaki yang dicintainya. Kini, dia mendengarnya sendiri. “Be..benarkah? Ba..bagaimana bisa?”, tanya Mentari sambil mengangkat wajahnya. Menjaga jarak sejenak dari lelaki itu. Pangeran tersenyum. Memegang bahu Mentari. “Ya, benar. Aku akui, aku mencintaimu. Bagaimana? Aku juga tidak tahu. Kupikir, sejak pertama kali, sejak kamu menampar Viona di depan mataku, kurasa aku sudah tertarik padamu. Tapi...Yah, aku menyangkalnya berulangkali, hingga aku tak bisa menahan diri menjahilimu..bahkan...ehm.. Ya, pokoknya, pada akhirnya aku mengakui aku mencintaimu. Jelaskah bagimu sekarang?”, tanya Pangeran kemudian menatap mata Mentari lekat. “Iya..iya”, Mentari mengangguk. Melihat itu, Pangeran Samudera merangkul bahunya, menyimpan kepala Mentari di bahunya. Menatap pada Matahari yang sudah mulai bersinar. Menerangi cakrawala. “Oh Tuhan!”, tiba-tiba Mentari berseru mengalihkan hatinya yang mulai makin berdesir lagi. “Kenapa?”, Pangeran sampai kaget. “Ayo kita cari lobster!”, Mentari menarik tangan Pangeran. Setelah yang ditarik berdiri, Mentari mengambil penangkar udangnya. Dengan semangat dia berjalan menuju laut. Hanya dalam waktu sekejap, dia menemukan tempat-tempat udang itu mengerumun. Dia menyimpan penangkarnya dengan hati-hati di area itu. Penangkar yang sudah diisi ganggang untung pemancing. Dia melihat, udang-udang itu masuk. Pangeran terpukau melihat Mentari bergerak demikian lihai. Membawa penangkar itu dari satu tempat ke tempat lain. Menyimpan sebentar lalu bergerak lagi. Mengayun-ayunkan batang besi pada beberapa bagian karang dan tampak memasukkan kerang-kerang ke dalam penangkar yang berbeda. Pangeran sebenarnya ingin membantu. Tapi takut udang-udang yang sedang diburu Mentari dengan sungguh-sungguh itu malah menghindar. Dia mengikuti Mentari dari jarak dua meter. Mengernyit sesekali ketika kaki telanjangnya tertusuk runcing karang. Hampir setengah jam berlalu. Pangeran mengambil foto diam-diam bagaimana seriusnya Mentari melakukan kegiatannya. Saat dirasanya sudah cukup. Dia kembali sebentar ke pantai dan menyimpan kameranya di tas punggung besar yang dia bawa tadi. “Pangeraaaaan! Siniiiiiiii! Lihat aku dapat udang yang sangaaat besar!”, Mentari memanggilnya. Segera, Pangeran berlari dan melihat Mentari berendam sebatas dada di sebuah karang berlubang yang lebarnya mungkin sekitar 2 meter. Mentari mengacungkan sebuah udang yang tampak menggoyang-goyangkan tangannya mencoba melepaskan diri. “Wuaaah besar sekali!”, Pangeran terbelalak. Mentari tersenyum lebar dan menyimpan udang itu ke penangkar yang hampir penuh. Yang di gantungkan ke sebuah tonjolan karang agak tinggi hingga penangkar itu terendam air dimana Mentari kini berada. Kesal melihat lelaki itu hanya jongkok melihat isi penangkar itu, Mentari menarik tangannya hingga Pangeran terjatuh ke dalam lubang itu. “Whoa!!!!!!”, karena kurang keseimbangan dan kaget, dia sempat tenggelam ke dalam air dan menelan air laut sedikit. Mentari tak henti-hentinya tertawa melihat itu. Pangeran tak 193 | M e n t a r i S e n j a
berhenti berusaha menggelitikinya, membalas kejahilan itu. Mentari tergelak karena geli. Dia membalas balik dengan mencipratkan air sekencang-kencangnya hingga mata lelaki itu terkerjap-kerjap dan terasa sedikit perih. Merasakan itu, Pangeran menangkap kedua lengan Mentari sampai tak bisa bergerak. “Lepaskaaaan! Ampuuuuun! Ampuuun! Saya tak akan mengulanginya lagi”, ucap Mentari sambil menutup matanya. Pangeran menahan kedua lengan Mentari ke arah belakang punggung kecilnya. Dan dia melingkarkan tangannya yang kekar hingga tangannya sepenuhnya mengikat tubuh Mentari. “Jadi, apa yang membuatmu sangat takut kembali? Takut pada siapa? Pada apa?”, tanya Pangeran menatap lekat ke arah Mentari. Mentari mendadak gugup. “Takut..takut...”, ucap Mentari kalut. “Ayo..bilanglah dengan jujur, Mentari. Aku sudah mengatakan perasaanku dengan begitu jelas. Masa kamu mendadak berlaku tidak adil padaku?”, Pangeran Samudera tersenyum. Membuat Mentari makin rikuh. Mukanya yang sudah coklat tampak masih terlihat memerah. Merah tembaga. “Saya..saya takut...kalau..kalau Pangeran jadi menikah...dengan..Safira”, jawab Mentari dengan nafas tersengal. Dia makin gugup dan makin malu. Belum lagi perasaan lain yang dia rasakan dari dekatnya badan mereka yang hampir menempel satu sama lain. “Apakah, kamu...mencintaiku juga?”, tanya Pangeran dengan penasaran yang tak ditutupi. Mentari menunduk. Melihat itu, Pangeran melingkarkan tangan kanannya dengan kuat di pinggang Mentari, membuat badan mereka kini sepenuhnya melekat. Dia gunakan tangan kirinya untuk mengangkat dagu Mentari. Tentu saja, Mentari jadinya tak bisa menghindar. “Hey, ayolah, lihat mataku,..sayang”, ucap Pangeran dengan nada pelan. Membuat hati Mentari terasa melayang dan merinding saat dia dipanggil dengan kata ‘sayang ‘ itu. “Y..ya..iya...”, Mentari dengan pasrah menjawab. “Iya apa?”, tanya Pangeran lagi masih melekatkan tubuhnya yang terasa lebih menegang dan panas. “Iya...sa..saya mencinta..i Pangeran..juga”, dengan susah payah Mentari mengucapkan itu. Pangeran tersenyum. Rasa bahagia bercampur hasrat terasa membuncah di badannya. Hawa tubuh mereka makin sama-sama memanas. Dengan ragu, Mentari memberanikan diri menatap ke arah Pangeran yang kini menatapnya lekat. Posisi ini, untuk ketiga kalinya, terjadi lagi. Lebih intens setelah mereka saling jujur satu sama lain. Perlahan, Pangeran mendekatkan wajahnya. Memagut bibirnya. Lagi. Dan lagi. Dada Mentari berdebar kencang. Tak mampu menahan diri. Dia balas dengan hasrat yang sama. Kini, mereka meluapkan rasa rindu yang tak mampu dibendung lagi. Hampir Mentari terlena dan terlarut lebih jauh, ketika lamat-lamat dia mendengar namanya dipanggil dari kejauhan. “Umm..Pa..pangeran”, segera Mentari menarik dirinya dan menatap ke arah Pangeran yang tatapan matanya tampak kurang fokus kini. “Ada yang mencari saya..”, Mentari segera mengangkat dirinya dari air. Melihat itu, Pangeran Samudera mendadak kembali ke kesadarannya dan mengikuti Mentari. Membantunya membawa penangkar udang. Sementara Mentari membawa penangkar kerang. Ternyata yang memanggil namanya adalah 3 perempuan muda yang tampak membawa penangkar udang juga. Ketika mereka melihat Mentari keluar dari balik karang dengan seorang lelaki yang gagah, tinggi, berkulit terang, dan ganteng, mereka terpaku di
194 | M e n t a r i S e n j a
tempatnya. Berdiri terpaku menatap keindahan ciptaan Tuhan itu dengan mulut terbuka dan mata membelalak. “Teh, Tari, ini siapa?”, tanya satu orang dengan bahasa sunda terbata ketika Mentari dan Samudera sudah mendekat. “Ini Pa..eh..Samudera”, Mentari memperkenalkan Pangeran sambil tersenyum. Walau Pangeran tidak bisa mengatakannya, dia mengerti dengan bahasa itu. “Iya, saya suaminya”, ucap Pangeran dengan nada meyakinkan dan menjabat tangan ketiga gadis itu satu persatu. Mendengar jawaban itu, Mentari kontan melotot ke arah Pangeran. Yang dipelototi hanya mengangkat bahu dan tersenyum lebar. “Oh,... suami???”, salah satu gadis tadi tampak kaget dan menatap ke arah Mentari. Baru saja Mentari membuka mulutnya mau menjawab, Pangeran Samudera segara menyahut. “Iya..Mentari ini kabur dari rumah karena bertengkar dengan saya. Sekarang, saya datang untuk menyusulnya”, jawab Pangeran sambil merangkulkan tangannya ke pundak Mentari. Ketiga gadis itu tersenyum dan tersipu malu melihatnya. Mereka mengangguk dan tertawa cekikikan. Lalu berlari ke arah karang-karang di pantai. “Aihhh, apa itu maksudnya suami?”, Mentari melepaskan diri dari rangkulan Pangeran Samudera dan berjalan menuju keranjang kayunya. “Ya, memang itulah yang ditulis Pangeran Abimayu di suratnya, Mentari. Coba pikirkan bagaimana bisa aku datang sebagai lelaki gagah seperti ini, tinggal serumah denganmu. Di lingkungan religius seperti ini?”, kata Pangeran Samudera sambil tertawa kecil. “Aihhhh! Ahhh sudahlah. Sekarang, karena Pangeran sudah jadi suami saya, maka akan tampak aneh kalau saya dibiarkan membawa keranjang penuh kayu ini dan Pangeran hanya membawa tas punggung, tangkaran udang, dan kerang kan?”, Mentari membalas. “Apa??? Keranjang ini? Wuahhhh! Oke, oke! Aku bawa”, Pangeran terhenyak dan dengan mengernyitkan dahi, dia mengangkat keranjang itu. Mukanya langsung memerah menahan berat keranjang itu di punggungnya. Mentari dengan santai mengambil carier Pangeran ukuran 60 liter itu dan menjinjing dua jaring yang penuh dengan udang dan kerang. Tertawa keras melihat bagaimana keranjang itu menyiksanya. Karena merasa terlalu berat, beberapa kali dia berhenti. Mentari hanya bisa tertawa karena Pangeran juga bersikeras tak mau bergantian. *** Setiba di tepi kampung, tampak Abah Hurip duduk di beranda rumahnya. Melihat ke arah Mentari dan Pangeran Samudera. Dahinya mengernyit melihat bagaimana ekspresi Pangeran Samudera yang kelihatan sulit mengambil nafas dan badannya dibanjiri keringat. Mentari singgah ke rumah Abah Hurip. Memperlihatkan hasil tangkapannya sambil tersenyum lebar. “Wuahhhh! Banyak dan besar-besar sekali itu udangnya”, Abah Hurip terbelalak dan memeriksa penangkar itu. Mentari mengambil beberapa ekor udang sampai Abah Hurip mengatakan cukup karena terlalu banyak. Saat itulah, Pangeran berhenti di depan rumahnya dan menyimpan keranjang di atas tanah. Dia sibuk memijat dan memukul-mukul bahunya. “Aduh, tampaknya suaminya tak biasa bekerja keras ya, Neng? Masa sampai dia terlihat repot begitu?”, komentar Abah Hurip sambil menahan tawa. Mentari menengok ke arah belakangnya. Terkikik melihat muka merah Pangeran Samudera dan keringat memenuhi wajah dan badannya. “Tapi, entah kenapa Neng, tampaknya Abah pernah melihatnya dimanaaaa begitu. Rasa-rasanya, makin dilihat, makin Abah merasa kenal”, kata Abah Hurip. 195 | M e n t a r i S e n j a
“Eh iya Bah.. memang dia orang terkenal. Nanti suatu saat, kalau ada izin Tuhan, Abah juga akan tahu. Saya pamit dulu ya Bah”, kata Mentari sambil tersenyum. “Ya, ya, ya... Dari kulitnya, penampilannya, tampaknya dia bukan orang sembarangan. Ya sudah, pulanglah. Jangan bertengkar terlalu lama nanti-nanti. Kasihan suamimu itu. Sampai menyusul kemari mencarimu”, kata Abah Hurip. Mentari tersenyum dan mengangguk. Dia berjalan ke luar rumah dan mengajak Pangeran untuk melanjutkan perjalanan ke rumah yang ada di ujung kerumunan rumah kampung kecil ini. Pangeran hanya mengangguk lunglai dan membulatkan tekadnya untuk membawa keranjang itu sampai tujuan. Tiba di rumah, Samudera langsung merebahkan diri di beranda. Memejamkan mata dan mengatur nafasnya. Mentari masuk ke dalam mengambil keranjang itu dan membawa air minum dingin dari kendi tanah liat. “Minumlah, Pangeran”, ucapnya sambil berjalan masuk ke dalam lagi untuk mengurus udang dan kerangnya. Mencucinya dan merendamnya dalam air tawar agar segar nanti saat dimasak. Beberapa menit kemudian, Pangeran Samudera masuk ke dalam membawa tasnya. “Wahhh, aku tidak mengerti bagaimana bisa kamu melakukan kegiatan dengan tenaga berat seperti itu di sini Mentari. Fyuhhhh! Tampaknya, latihan olahragaku tidak ada artinya”, kata Pangeran sambil duduk menyelonjorkan kakinya ke lantai kayu. Menyandarkan tubuhnya ke tiang penyanggga rumah di tengah. “Yahhh... setidaknya saya tak perlu olahraga lagi kan? Oh ya, apa nanti malam Pangeran mau ikut saya melaut atau mau istirahat saja?”, tanya Mentari dari arah dapur. Dia mengurus kayu kering tersisa dan menyiapkannya untuk dinyalakan. Kayu-kayu yang tadi dia dapatkan masih basah dan dia langsung menjemurnya di belakang. “Melaut? Ya ampun? Maksudnya kamu sekarang juga sudah bisa menjadi nelayan? Perempuan?”, Pangeran kaget. Dia langsung berdiri dan bergerak ke arah dapur. Berjongkok di samping Mentari yang sedang meniup selongsong bambu menyalakan tungku. “Iya. Di sini banyak perempuan jago menjadi nelayan juga. Yah, memang tak biasa kalau di kampung nelayan lain. Tapi di sini lain. Tampaknya sistem adatnya tak terlalu kaku dan membuka ruang bagi perempuan melakukan hal yang mereka sukai walau itu pekerjaan laki-laki”, kata Mentari santai. Mengerjapkan mata terkena asap. “Wuahhhh! Oke, aku ikut! Jam berapa kita berangkat?”, tanya Pangeran penuh semangat. “Selepas Isya” “Hmm, oke, oke.. Aku mau mandi dulu nih. Dimana kamar mandinya?”, tanya Pangeran sambil melihat ke sekeliling. Mentari berdiri dan mengajaknya ke belakang rumah. Ada sebuah ruang kcil di kelilingi anyaman bambu tebal berbentuk segi empat. Kurang lebih setinggi 1.5 meter. Tidak ada atap. Di dalamnya ada pancuran air dengan lantai batu-batu warna warni yang tampak di susun sebagai dekorasi. Di dalam ruangan kecil itu, ada sekat lagi dan Pangeran melihat ada wc di situ dengan pancuran lebih kecil yang airnya ditampung kendi besar dengan gayung dari batok kelapa. “Wuahhhh! Kalau ada yang mengintip dari arah atas sana, bisa terlihat dong?”, seru Pangeran. “Ya bisa. Bagusnya, di sini tak ada yang punya pikiran seperti itu”, jawab Mentari sambil masuk kembali ke arah dapur. ***
196 | M e n t a r i S e n j a
Dengan semangat merasakan pengalaman baru, Pangeran Samudera bergegas mengambil perlengkapan mandinya. Dia berjalan menuju kamar mandi sambil bersiul-siul. Melihat itu, Mentari tersenyum sendiri. Dia segera memusatkan perhatiannya untuk menanak nasi dan mempersiapkan bumbu untuk udang. Setelah 15 menit, Pangeran Samudera keluar dengan hanya terbelit handuk di pinggangnya dan bertelanjang dada. Membuat mata Mentari terkesiap dan membuatnya segera mengalihkan pandangan. Terlambat. Pangeran menyadari itu. “Hmmmm...kenapa, Mentari?”, dengan jahil dia berjalan ke arah dapur. Mendekat ke arah Mentari yang sedang berdiri mengiris tomat. Sebelum dia berbalik, Pangeran sudah berdiri mengungkungnya. Dadanya menempel pada punggung Mentari. “Apa..yang..”, Mentari mendadak merasa kesulitan mengatur nafasnya. “Apa yang apa?”, tanya Pangeran pelan ke telinga kanannya. Membuat Mentari makin kesulitan menahan desiran itu. Tak mau terlarut seperti itu, dia segera berbalik dan mengacungkan pisaunya ke atas. “Woppsss! Tampaknya tidak perlu seperti itu deh. Kita kan sekarang sudah meresmikan hubungan sebagai sepasang kekasih bukan? Dan kamu harus membiasakan diri dengan hal-hal seperti ini”, goda Pangeran sambil memegang pergelangan Mentari yang memegang pisau. Mengambil pisau itu dan tetap mempertahankan posisinya yang makin menekan badan Mentari. Mentari merasa mukanya panas lagi. Merutuki hasratnya yang selalu menggelegak setiap berdekatan seperti ini dengan Pangeran. Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Pangeran menciumnya segera. Membuat bibirnya memerah dan membengkak karena terlarut dalam hasrat kembali. Beberapa menit berlalu. Mentari tak sadar dirinya sudah mengelus punggung Pangeran dan meraba tak tentu arah ke arah dada juga. Tak bisa menahan diri dari gelegak hasrat itu, Pangeran mengangkat badan Mentari dan membawanya ke dalam kamar. Mentari tak bisa melawan. Dia merasa badannya sudah terkulai lemas dan hanya bisa mengikuti dengan pasrah. Namun, ketika pangeran menghimpitnya, merasakan sesuatu yang keras dan menegang di bawah sana, dan tangannya meremas payudaranya, Mentari menjerit kaget dan dengan segera menghempaskan badan Pangeran. “Pa..Pangeran..kita..tidak boleh..”, Mentari memeluk lututnya dan menunduk ke arah kanan. Tak mau melihat ke arah lelaki yang kini ada di kamar itu. “Ahh..iya, maaf..maaf..tampaknya aku berlebihan”, ucap Pangeran dengan nada gugup dan malu. Dia menelan ludahnya dan menghampiri Mentari. Mengangkat dagunya. Perlahan Mentari menatapnya. “Rasanya akan sangat sulit bagiku menahan diri saat bersamamu dan berduaan seperti ini. Tapi...aku janji, akan berusaha menahan diriku sekuat tenaga dan kita akan melakukannya pada saat yang sudah seharusnya...Maafkan kekhilafanku ya?”, kata Pangeran dengan nada lembut sambil membelai pipi Mentari. Mentari mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya karena masih gugup dan debar jantungnya masihlah terasa kencang berdetak. Pangeran lalu mengecup keningnya. Diperlakukan seperti itu, ada yang terasa mencair di hati Mentari. Terdorong nalurinya, dia memeluk Pangeran beberapa menit. Lalu dia berjalan ke luar kamar dan segera menuju dapur lagi. Melanjutkan kegiatan memasaknya yang sekarang menjadi pengalihan terbaik baginya. Dia juga tidak tahu, sampai kapan dia bisa menahan diri. Bukan dia tidak mau, tapi dia punya nilai kuat atas dirinya. Selain itu, dia juga takut, Pangeran tidak bisa menerima kondisinya yang sudah ternoda dulu. Ternoda oleh kejahatan tak terduga dan yang tak bisa dilawan olehnya. Dia mengetahui dari pembelajaran tentang pentingnya keperawanan 197 | M e n t a r i S e n j a
dalam diri Calon Ratu yang dia baca di buku sejarah kerajaan. Membaca pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian bagi para perempuan di Istana. Dia ingin sekali mengatakan mengenai itu pada lelaki yang kini telah mengakui menjadi kekasihnya. Tapi, dia juga bingung, bagaimana dia bisa menyampaikan hal ini secara terbuka. Selalu saja, dia takut dengan penolakan dari orang yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya itu. Mentari tidak tahu, Pangeran Samudera sudah mengetahui hal itu dan menerimanya dengan tulus. *** Mereka menghabiskan sisa waktu dengan makan siang. Pangeran Samudera terlihat lahap sekali dan terus menerus memuji masakan Mentari yang terasa enak. Karena lelah dan kenyang, Pangeran minta izin untuk tidur siang. Melihat wajah yang terlelap itu, Mentari tersenyum. Perlahan, dia mendekat dan memberanikan diri membelai rambut dan ujung keningnya dengan jari. Lalu terdiam beberapa saat, menikmati pemandangan itu. Dia masih belum sepenuhnya mempercayai keajaiban hari ini. Lelaki yang dicintainya menyusulnya kemari seorang diri. Menyatakan perasaannya. Menjelaskan hal yang membuat ketakutan terbesar Mentari menguap begitu saja. Membuatnya menjadi orang yang sangat istimewa. Membuatnya diselimuti kebahagiaan yang selalu dia khayalkan selama ini. Pikirannya melamunkan masa depannya. Membayangkan dirinya menjadi istri dari Pangeran Samudera. Menjadi Ratu negeri ini. Ada keinginan itu di dalam hati kecilnya. Mengingat bagaimana anak kecil di pesta Helena memberikan bunga itu padanya membuat bagian dari dirinya menginginkan hal itu terjadi terus menerus. Membayangkan wajah penuh kasih dari Baginda Raja, Baginda Ratu, dan Baginda Sepuh yang bagi Mentari bukan lagi sesuatu yang asing. Dengan mengikuti kegiatan Baginda Ratu Selasih, dia sudah tahu gambaran tugas itu kelak. Mengingat bagaimana kinerja di Istana berjalan. Ya, Mentari melihat posisi itu bukanlah posisi yang mudah. Dengan segala upaya dari pihak luar yang bisa membuat keluarga Raja terancam oleh konflik dan skandal. Tidak hanya hal-hal menyenangkan saja yang dia bayangkan. Namun kini, dengan pengakuan Pangeran Samudera padanya, hal itu terlihat sebagai sesuatu yang ringan sekarang. Sesuatu yang bisa dihadapi. Selama pendampingnya menyayanginya senantiasa. Memberinya kekuatan untuk bertahan dan menghadapi setiap persoalan. Namun, ketika Mentari teringat dengan kelayakannya sebagai perempuan di mata keluarga Raja. Seorang perempuan, apalagi jika dia adalah calon Ratu, sepatutnya menjaga kesuciannya, semua bayangan itu lenyap seketika. Membuat dia tak berani mengkhayal lebih jauh. Membuat dirinya terasa menciut seketika. Rasa kecil itu membuatnya melintas pada pikiran tentang Safira. Jika, perempuan itu, ditolak karena kehadirannya, apa yang akan terjadi? Akankah dia melakukan sesuatu yang jahat? Akankah dia berusaha menghancurkan Pangeran dan keluarganya? Mentari sadar siapa mereka. Orang yang paling punya kekuasaan karena uangnya. “Ahhh..apa sih Mentari? Stop! Sudah, jangan berpikir terlalu jauh! Segala pikiran itu hanya ilusi! Ingat, hanya ilusi!”, sergahnya ketika tersadar kepalanya mulai agak pusing. Dia segera berjalan ke belakang rumah. Mempersiapkan perlengkapan untuk melaut. Membawanya ke tepi pantai menuju perahunya yang ada di bibir pantai. Memeriksa dan bensin. Mengisikannya ke dalam mesin. Memperbaiki letak lampu - lampu yang sedang menyerap tenaga matahari. Memandang ke arah cakrawala yang sudah mulai terhiasi kilasan cahaya senja. *** 198 | M e n t a r i S e n j a
Malam itu, Pangeran menggunakan jaket tebalnya dan bersemangat sekali merasakan pengalaman baru. Sepanjang perjalanan itu, Pangeran Samudera tak berhenti bertanya mengenai hal-hal yang dipelajari dalam melaut. Beberapa kali dia tertawa mendengar kejadian-kejadian lucu yang terjadi pada Mentari saat melaut untuk waktu-waktu awal. Dalam ketenangan laut di malam yang cerah dan dipenuhi bintang itu, Mentari juga sesekali menjelaskan mengenai ilmu rasi bintang yang dia pelajari. Ilmu dasar bagi para nelayan untuk mempelajari arah, navigasi, memperhitungkan cuaca, dan waktu. Terkagumkagum, Pangeran berseru memuji bagaimana ketangguhan dan semangat Mentari mempelajari semua hal itu dalam hanya waktu 3 bulan. Saat Mentari menangkap ikan, Pangeran tak berhenti berseru. Dia sedikit geli ketika mengambil ikan-ikan licin itu. Di saat itu, dia juga menjadi banyak tahu jenis-jenis ikan laut hasil tangkapan. Dia mencoba melempar jaring dan berseru kesal ketika dia tak mendapatkan hasil yang bagus seperti Mentari. Mentari mengejeknya sebagai orang yang terlalu mengasah perasaan untuk hal-hal seperti itu. Yang tentu saja membuatnya terkena cipratan air laut sebagai ekspresi kegemasan Pangeran padanya. Tak lupa, Pangeran mengabadikan momen di malam itu dengan kamera SLR nya. Mengambil foto Mentari berulang kali saat melempar jaring, mengambil ikan, atau merengut kesal padanya karena tak henti-hentinya mengambil foto. Pangeran juga mengambil foto pemandangan malam di atas laut itu. Merasa beruntung dengan pengalaman ini dimana pastinya tak banyak orang yang mengambil moment-moment seperti ini. Pangeran mengamati Mentari diam-diam saat gadis itu begitu serius melakukan pekerjaannya. Melihat ekspresinya seperti itu, membuat Pangeran merasa menjadi lelaki beruntung yang bisa mendapatkan hatinya. Kadang ingatannya masuk pada cerita masa lalu Mentari. Membuatnya bertanya-tanya bagaimana gadis itu bisa melewati segalanya dan menjadi kuat karenanya. Hati kecilnya menyampaikan, masih ada benteng yang terasa melindungi Mentari ketika bersamanya. Dia tidak tahu apa itu. Namun dia merasakannya. Pangeran memandangnya dan membayangkan orang seperti Mentari ini mendampinginya untuk selamanya. Merasa bahagia. Sekaligus khawatir jika segala hal nanti sebagai Ratu negeri ini akan membebaninya. Membuatnya melemah dan melunturkan kekuatan dan ketangguhan yang dimiliki. Namun demikian, Pangeran ingin menyimpan kerisauannya dan berpikir untuk membicarakannya di saat yang tepat. *** 3 hari sudah berlalu. Mereka menghabiskan waktu berdua. Melakukan kegiatankegiatan rutin yang biasa dilakukan Mentari bersama-sama. Menikmati kebersamaan dengan canda, tawa, bicara, dan diselingi ciuman dan pelukan yang selalu saja membuat mereka sulit mengendalikan diri. Di dalam waktu-waktu itu, di saat mereka punya waktu untuk diri masing-masing, keduanya memikirkan banyak hal. Yang belum juga dikemukakan dengan satu sama lain secara terbuka. Sampai akhirnya, di malam itu, saat mereka membuat acara makan malamnya dengan membakar ikan hasil tangkapan di depan rumah, Pangeran membulatkan tekadnya. Kebetulan, malam itu juga, Pangeran membuka bekal yang dia bawa dan membuat cocktail yang dia suka. “Tari, apa tidak sebaiknya kamu segera kembali ke Istana? Ibunda dan Ayahanda menantikanmu juga, seperti yang sudah aku ceritakan padamu”, Pangeran mengawali pembicaraannya sambil duduk di sebelah Mentari yang sedang memainkan api dengan batang kayu kecil.
199 | M e n t a r i S e n j a
“Ya..Pangeran.. jujur, saya juga sudah rindu dengan mereka. Termasuk Baginda Sepuh. Para pelayan. Teman-teman kita. Tapi...saya masih merisaukan banyak hal”, ucap Mentari. Memutuskan membuka diri di situasi yang memang enak untuk bicara masalah ini. “Apa yang masih merisaukanmu?”, tanya Pangeran Samudera pelan. Mentari menarik nafas panjang. “Sebelum Pangeran datang ke sini, hal yang paling menakutkan saya, adalah perasaan saya sendiri pada Pangeran. Ini pengalaman pertama saya..jatuh cinta.. dengan perasaan kuat seperti ini. Ketika Pangeran waktu itu melangkah untuk mempererat tali kekeluargaan antara Pangeran dan Safira, saya merasa tak mampu menerima itu. Semenjak sekarang sudah jelas sebenarnya, tentu hal ini tidak menjadi masalah lagi buat saya. Tapi, lalu bagaimana dengan perasaan Safira nanti? Bagaimana menghadapinya? Bagaimana keluarga Istana dan Pangeran akan mengatasi ini? Tentunya, saya merasa tidak enak dengan ketidaknyamanan itu”, jawab Mentari. “Aaahhh...Ya, ya, tentu saja. Mentari, dari sejak awal, langkah itu hanyalah langkah politik. Baik Ayahanda maupun Eyang sudah memikirkannya dari sebelum bahkan langkah itu dilakukan. Makanya itu, kami hanya melakukan sebatas pertemuan keluarga. Tak ada lagi yang dilakukan sesudahnya yang bisa diartikan lain oleh umum. Orang yang membaca dan meliput kejadian itu memang ramai mengaitkan dengan pilihanku terhadap calon istriku nanti. Ya, pastilah penilaian itu akan bergerak ke sana. Tapi, pihak Istana dan aku sendiri, berhasil menolak banyak undangan konferensi pers untuk membahas itu lebih jauh. Sekarang kukatakan padamu, walau mungkin kamu tak mempercayainya, dugaan bahwa Safira berniat mencelakakanmu malam itu makin menguat setelah kami melakukan pertemuan keluarga. Aku menjadi lebih mudah mendapatkan informasi atau menanyakan sesuatu dengan santai pada Safira di saat dia lengah hingga selalu ada banyak yang tidak konsisten di ceritanya. Memang belum ada bukti yang sangat kuat tentang ini, mungkin yah baru kita dapatkan minggu depan nanti. Tapi coba kamu bayangkan. Apakah kamu pikir aku bisa hidup bersama orang yang bisa berbuat jahat seperti itu hanya untuk memenuhi keinginannya? Apakah orang yang seperti itu layak mendapatkan rasa kasihan dan rasa tak enak yang berlebihan? Dia saja bisa membuat orang lain celaka, lalu mengapa kita juga harus memberikannya rasa kasihan? Bukankah orang seperti itu layak mendapatkan ganjaran setimpal agar dia bisa berpikir tentang keburukan yang sudah dia lakukan? Mudahmudahan suatu balasan bisa membuatnya insaf dan berbalik menjadi orang yang lebih baik”, kata Pangeran dengan nada serius. Mentari diam. Pemikiran itu ada benarnya. “Tapi, tapi kan belum ada bukti kuat bukan?”, tanya Mentari kemudian. Tetap resah dengan fakta itu. “Ya, tentu. Makanya itu, aku dan Ayahanda, juga Eyang, masih sedang berusaha keras. Apalagi, kejadian itu juga pararel dengan kerisuhan di BUMK. Seperti yang sudah kubilang padamu. Kalau bukti-bukti mengenai ini, kami sudah mendapatkan banyak informan. Memang Ronggowasito Kencana lah yang ada dibalik semuanya. Hanya, dia sangat lihai melakukan manipulasinya. Terlalu banyak kemungkinan untuk menuduhnya telah berbuat licik dengan manuver-manuver kotor seperti itu” “Oh ya?! Oh Tuhaaan..apakah memang separah itu jadinya jika orang sudah dikuasai rasa haus akan kekuasaan dan uang?”, Mentari terperangah. “Tentu saja, Mentari... Tentu saja. Rasa haus di orang seperti itu, memang sudah seperti rasa haus akan minuman dan makanan. Yang kalau tidak dipenuhi segera, mereka
200 | M e n t a r i S e n j a
akan sangat merasa gelisah dan tak bisa melepaskan kebutuhannya itu. Kalau tidak, mereka bisa sakit juga” Mentari terdiam. Ya, dia setuju. Banyak yang dia pelajari di Istana, dari buku yang dibaca, dari media yang dikemukakan, dia bisa melihatnya lebih jernih saat mulai tinggal di situ. Apalagi, dia sendiri melihat langsung buktinya. Berbicara langsung dengan pembunuh orang tuanya, Abimayu Kencana. “Apa yang melintas di pikiranmu?”, tanya Pangeran peka dengan diamnya Mentari. “Eh? Ya... saya tampaknya bisa paham. Mungkin Pangeran juga sudah tahu, Ki Abimayu Kencana adalah kakek kandung Safira. Dan dia terdampar di pulau ini karena dia dibuang ke laut oleh tim suruhan anaknya, Ronggowasito”, kata Mentari. “A..apaaaa?!”, Pangeran Samudera yang baru mendengar cerita ini terperangah. Melihat itu, Mentari heran bagaimana Pangeran Samudera tidak mengetahui cerita ini. Mentari pikir, karena mereka sudah bertemu, dia akan tahu cerita tragis itu. “Memangnya Pangeran tidak tahu?”, Mentari bertanya takut. Melihat ekspresi takut Mentari, Pangeran Samudera tersadar dengan ekspresi berlebihannya. Dia masih menginginkan Mentari bercerita lebih banyak. Tidak mau Mentari tampak takut dan berhenti menutup cerita itu. “Aku tahu dia kakek kandung Safira yang memang menghilang tak jelas statusnya. Ada pembicaraan kemungkinan dia dibunuh di kalangan intelegen negara. Tapi, aku belum tahu sedetail itu. Hmmm..menarik, menarik. Itulah mengapa dia mencari dan bertemu dengan Eyang rupanya? Itulah mengapa Eyang sangat mengijinkan aku pergi ke sini tanpa harus membahas urusan Safira terlebih dahulu... Hmmm”, kata Pangeran Samudera berusaha mengendalikan diri. “Ya, memang dia bilang, setelah bertemu dengan saya, dan merasa mendapatkan gambaran betapa pengecutnya dia, dia ingin meluruskan banyak hal di Jakarta. Yang ditinggalkan olehnya. Ki Abimayu banyak mengakui kejahatannya di masa lalu. Dimana dia merasa, kejahatan itu dibalas dengan telak oleh anaknya sendiri. Dia bilang, dia sangat dikuasai nafsu keserakahan hingga dia buta dan tidak mempedulikan perasaan dan nasib orang lain. Namun kemudian, dia merasa makin merasa bersalah ketika dia terdampar di sini dan diangkat adik oleh Ki Tarub sebagai titipan dari Aki saya, yang ternyata nama aslinya adalah Ki Buana Raya. Hampir gila rasanya saya mendengar banyak cerita masa lalu dari Ki Abimayu ini. Dia banyak membukakan cerita dan akar kerabat saya sendiri”, Mentari menarik nafas panjang. “Ahhh..syukurlah kamu telah mendengar langsung tentang siapa sebenarnya kakekmu”, ucap Pangeran. “Pa..pangeran sudah tahu?”, Mentari membelalak melihatnya tak percaya. Pangeran Samudera sadar dengan reaksi spontannya tadi. “Ya, aku tahu dari Eyang. Sebelum kamu pergi. Karena aku sibuk dengan urusa keluarga itu, aku menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya padamu. Tapi, kamu keburu kabur”, jawab Pangeran dengan nada meyakinkan. Yang langsung dipercayai Mentari. “Ah..baiklah. Dari dia juga saya tahu, Friska adalah sepupu asli saya. Dia anak dari adik alamarhum ayahku ternyata” “Oh ya?!!!! Wuahhhh, kalau itu aku baru tahu!”, seru Pangeran Samudera kaget namun senang. “Ya, Ki Abimayu memperlihatkan silsilah kerajaan hingga orang tua kita. Tentunya, kecuali generasi kerajaan yang lebih lengkap. Buku itu dia bilang diberikan Ki Tarub padanya sebelum meninggal. Saya lihat, Ki Abimayu membawanya. Mungkin sudah dia berikan pada Baginda Sepuh sebagai pemilik sah dari buku itu”, kata Mentari. Pangeran 201 | M e n t a r i S e n j a
Samudera mengangguk-angguk. Pikirannya menerawang pada setiap kejadian. Memahami bagaimana bingungnya Mentari menghadapi semua itu. “Tentunya, kamu merasa sangat kaget dengan semuanya Mentari..”, ucap Pangeran Samudera sambil mengelus kepala Mentari. Mentari mengangguk. “Yang paling membuat saya kaget dari pertemuan saya dengan Ki Abimayu adalah..dia mengakui menjadi otak pembunuhan kedua orang tua saya”, Mentari melanjutkan kata-katanya dengan nada berat. “AP..APPAAAA?!!!!!”, Pangeran Samudera sampai berdiri saking kagetnya mendengar itu, “Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa informasi absurd itu kamu tanggung? Dan bagaimana kamu bisa hidup bersama dengan pembunuh orang tua kamu?! Oh Tuhaaaan!!!”, Pangeran Samudera tampak sangat resah. Kepalanya terasa berdenyut mendengar informasi itu. Melihat kekasihnya tampak seperti terbakar api seketika, Mentari menarik tangannya pelan. Memintanya duduk. Pangeran Samudera menurut. Namun mukanya masih terlihat begitu tegang dengan mencengkeram rambutnya kuat-kuat. Mentari menyandarkan kepalanya ke bahunya. Yang kemudian disadari oleh Pangeran hingga dia kemudian menarik kepala Mentari rebah di dadanya. Dia rangkulkan tangannya dan meraih badannya untuk mendekat. Beberapa saat kemudian, mereka hanya terdiam. Debur ombak terasa lebih kencang terdengar di telinga. Bunyi keletak api terasa nyaring memenuhi udara. “Oh Tuhan Mentari...Sayang... Aku tak bisa membayangkan perasaanmu...Tak bisa”, kata Pangeran Samudera sambil berulang kali mengecup ujung kepala Mentari. “Jangankan, Pangeran, saya juga tak bisa membayangkannya. Ki Abimayu menceritakan segalanya di saat pertama kami bertemu. Saya..saya sampai tak mampu mendengar sisanya waktu itu... Lari ke pantai. Protes pada Tuhan yang rasanya menghunjamkan pisau takdirnya terus menerus pada diri saya. Sakit sekali rasanya waktu itu...Tapi, kemudian Tuhan menjawabnya segera... Sebelum saya kehilangan kesadaran saya, saya melihat bayangan Aki saya. Minta saya memaafkan segalanya...Termasuk memaafkan orang yang sudah sangat keji menghilangkan nyawa orang tua yang tidak saya kenal baik...Hingga..kemudian, saya menyadari arti keseluruhan cerita ini.. Menyadari betapa luas dan dalamnya cara pikir Aki saya. Menitipkan amanat pada Ki Tarub untuk mengangkat pembunuh anaknya menjadi adik angkat Ki Tarub, sahabatnya dulu... Saya, paham dengan arti kasih sayang yang maha luas... “, kata Mentari terbata dengan air mata yang mengalir. Pangeran berulangkali menghapus air matanya. Juga air matanya sendiri mendengarkan penuturan Mentari yang menyentuh hati terdalamnya. Dia tak bisa memahami kejadian itu. Sangat tidak bisa. Namun, dia bahagia diberikan kesempatan mengenal Mentari lebih jauh. Mengenal sisi-sisi misteriusnya yang terbuka oleh irisan takdir. Jika dia menjadi Mentari, dia pasti tak akan semudah itu memaafkan. Dia ingat dengan penuturan Eyangnya dulu. Ya, kepergian Mentari dari istana pun adalah bagian dari takdir. Yang membuatnya justru makin tertarik oleh pusaran kisah sejarah darahnya. Rasanya, hatinya makin terikat kini. Dikecupnya kening Mentari lama. Hingga gadis itu membuka matanya. Memandang ke arahnya dengan tersenyum lembut. Membelai pipinya pelan. Membuatnya merasa menemukan rumah tempatnya kembali. Dipeluknya lagi Mentari lebih erat. Tak ingin melepaskannya lagi. Tak ingin membuatnya menderita terus menerus. Ingin melindunginya selalu. Itulah yang dirasakan Pangeran. ***
202 | M e n t a r i S e n j a
Beberapa saat berlalu hingga Mentari melepaskan diri dari pelukannya. Menegakkan punggungnya. Menambah kayu yang sudah habis terbakar. Memandang api yang segera menyala saat kayu ditambahkan. “Makanya saya pikir, walaupun saya tahu, Pangeran marah pada Safira, juga mungkin keluarganya, tidak baik memelihara rasa marah. Mari kita melakukan sesuatu karena niat baik saja. Bukan untuk membalaskan sesuatu. Jalan hidup Ki Abimayu sudah memperlihatkan itu dengan jelas. Bagaimana dia sendiri harus menerima kenyataan bahwa anaknya ingin membunuhnya. Menerima kenyataan bahwa dia diselamatkan dan secara tidak langsung dilindungi oleh orang yang paling dibencinya. Ki Abimayu bilang, dia ingin menuntaskan urusannya. Mungkin kini, saatnya memberikan ruang padanya untuk menuntaskan urusan yang ingin dia selesaikan”, kata Mentari kemudian. “Ya...aku akui. Sebelum mendengarkan ceritamu, walau aku bilang Safira harus diberikan balasan setimpal untuk membuatnya sadar, aku masih emosional. Namun kini, ku rasa, aku tak harus menggenggam kendali terlalu kuat. Aku mendapatkan gambaran, bagaimana pusaran keserakahan membuat keluarga Kencana menjadi gila dan buta. Mungkin, itu yang ingin diputus oleh Pangeran Abimayu. Aku tak tahu seberapa banyak lagi kejahatan yang dulu pernah dia lakukan. Yang kemudian berbalik padanya setelah dia terdampar di sini dan mendengar nama Ki Buana Raya sebagai penyelamatnya. Hantaman terbesar buatnya yang membalikkan hidupnya pada titik nol kembali. Aku membayangkan, betapa merasa bersalahnya dia padamu ketika dia tahu kamu cucunya. Sungguh tak mudah mengakui itu langsung di depan orangnya. Pastinya dia pun ketakutan”, balas Pangeran Samudera. “Yah..betul..itulah yang dia katakan. Dia menduga saya datang untuk balas dendam. Yang membuat dia akhirnya membuka semua katup cerita masa lalu itu. Tanpa saya melakukan apa pun, terbayang betapa dia tersiksa oleh perasaannya sendiri”, kata Mentari. Pangeran mengangguk-anggukan kepalanya. Hening kembali. “Setelah saya ceritakan kembali semua pengalaman berat ini, saya juga sekarang tergerak untuk kembali, Pangeran. Tak ingin membuat risau hati Ibunda dan Baginda Raja lebih lama”, kata Mentari kemudian dengan nada yang lebih teguh sambil tersenyum menatap Pangeran. “Oh ya? Aku senang sekali mendengarnya.. Mungkin, kamu memang butuh teman bicara Mentari. Agar bisa melihat cermin jernih dengan segera. Aku senang, jika aku menjadi tempatmu mencurahkan segala perasaan berat itu. Aku tak bisa memastikan aku bisa membantumu menyelesaikan masalah. Tapi aku bersedia menjadi pendengar yang baik untukmu”, kata Pangeran sungguh sungguh sambil menatap dalam ke arah Mentari. “Terima kasih..”, balas perempuan itu melihat ke arahnya juga sambil menyimpan kepala di atas tangannya yang merangkul lututnya sendiri. “Dan...yah, walau aku tidak tahu ini saat yang tepat atau tidak. Tapi aku tak bisa menahan diri”, Pangeran mendadak agak gugup. Mentari memandangnya. Menunggu dengan tanda tanya di kepalanya. Hening. Pangeran mengambil sesuatu dari balik saku celananya. Lalu, dengan gerakan cepat, dia berlutut di depan Mentari. “Maukah kamu, Mentari Pertiwi Raya, menikah denganku? Mendampingiku selamanya?”, kata Pangeran sambil memegang cincin pemberian Ibundanya dengan kedua ujung jari. Mengarahkannya pada Mentari. Mendadak, Mentari merasa dunia berhenti. Menatap terpaku pada cincin bertahta berlian mungil itu. Hatinya terasa melayang ke udara. Tapi sebentuk kesadaran membuatnya terjatuh. Membuatnya menunduk menghindari tatapan Pangeran yang kini menatap penuh padanya dari arah depannya. Melihat itu, Pangeran heran. 203 | M e n t a r i S e n j a
“Ta..Tari..”, mendadak Pangeran merasa cemas. Belum lagi dia berupaya menenangkan diri, Mentari mendadak berdiri dan dengan berlari memasuki rumah. Melihat itu, tentu saja Pangeran kaget. Memaki dirinya sendiri. Tapi di sisi lain, dia pun tak ingin membiarkan Mentari lepas lagi. Kalau dia ternyata terlalu terburu-buru dan membuat Mentari takut, itu adalah konsekuensi yang harus dia tanggung. Namun, dia harus mendapatkan jawabannya. Jika ini ternyata belum waktunya, dia akan sabar menunggu. Jika dia mendapatkan kejelasannya dari mulut Mentari langsung. Di padamkannya api yang masih menyala dengan menyiramnya dengan cocktail yang masih banyak tersisa. Dengan gontai, dia berjalan ke dalam rumah. Menyusul Mentari. Dia kaget melihat Mentari sedang menangis memeluk dirinya sendiri di dalam kamar. “Oh Tuhaaaan! Mentari, sayang, maafkan aku jika ini semua mengagetkanmu. Jika kamu belum siap dan belum bisa menjawab, aku tidak apa-apa. Tapi tolong, jangan menangis dan jangan membenciku”, Pangeran Samudera dengan tergesa meluncurkan kata-kata itu. Menghampiri Mentari dan duduk di sampingnya. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Mencoba mengelus tangan Mentari dengan ragu. Dan dia makin bingung harus berbuat apa karena Mentari hanya terisak. “Umm..Oke Mentari, lupakan saja oke? Lupakan permintaanku tak pernah terjadi...Aku, aku mungkin merasa terlalu percaya diri. Ahhh..oke, lupakan saja ya...Aku..”, Pangeran Samudera langsung berdiri saking bingungnya. Ketika dia hendak melangkah, tangannya dipegang gadis itu. Membuatnya terkesiap dan segera duduk kembali. Memegang kedua lutut Mentari yang kini terduduk dengan menekukkan lutut itu. “Ini..adalah hal yang membahagiakan buat saya, Pa..Pangeran..Tapi..tapi saya merasa tak layak”, katanya terbata-bata sambil merunduk. “Tak layak? Apakah maksudmu? Kamu adalah orang yang sangat layak, Mentari. Layak mendampingiku karena aku sangat menyayangimu. Aku menginginkanmu..Tidakkah semua itu jelas bagimu? Ataukah ada dariku yang membuatmu ragu? Mungkin, mungkin karena kamu merasa tak sanggung mengingat posisiku sebagai calon pemimpin negeri ini?”, tanya Pangeran berturut-turut berusaha menahan dirinya. Menahan agar emosinya yang mendadak berkecamuk berputaran memeras perutnya dan ulu hatinya. Mentari menggeleng. “Tidak? Lalu..lalu apa yag membuatmu merasa tak layak?”, tanya Pangeran hampir menyerah dengan nada putus asa karena tak mengerti. “Saya...saya sudah tak perawan lagi...saya...pernah diperkosa...Pangeran...”, dan meledaklah tangisan Mentari. Melihat itu, rasanya dunia mendadak terang bagi Samudera. Tak menyangka Mentari sangat terpaku dengan kondisi yang sudah dia dengar ceritanya dan sudah tak dia pikirkan lagi. Segera, Pangeran meraih badannya dan memeluknya. Membuat Mentari kaget dengan reaksi itu. Dia pikir, Pangeran akan pergi dari ruangan itu. Meninggalkan dirinya. Tapi, pelukan itu di luar dugaannya. Kini tangisannya berubah menjadi tangisan kelegaan. Kelegaan karena merasa diterima walau belum ada kata-kata yang keluar. “Mentari...aku minta maaf, aku tahu cerita itu dulu ketika kamu menceritakannya ke Helena di atap gedung. Aku tak sengaja mendengar bagian itu”, kata Pangeran. Membuat Mentari melepaskan diri dari pelukannya, menatapnya heran. “Aku waktu itu berniat mencarimu karena ada panggilan dari Istana, ingat? Dan aku berusaha menahan perih yang kurasakan saat aku membawamu lari ke Pendopo setelahnya dengan kondisimu yang anfal, ingat?”, tanya Pangeran dengan lembut. Mentari ingat itu dengan baik. Masih rinci tergambar di pikirannya. Dia mengangguk. “Aku sudah tahu..sangat sedih mendengarnya..Dan..aku tak peduli dengan hal seperti itu Mentari.. Aku ingin menikahimu, bukan hanya sekedar memiliki tubuhmu. Tapi 204 | M e n t a r i S e n j a
menginginkanmu sebagai pribadi, sebagai seorang Mentari. Yang kuat, yang berani membalas balik dan mendampratku, yang menjadi banyak hal menyedihkan tapi masih bertahan sampai dengan sekarang, yang membuatku bisa jatuh hati, yang membuat keluargaku bisa menerimamu dengan cepat. Aku ingin menikahi Mentari Pertiwi Raya, apapun latar belakangnya, apa pun kehidupan sebelumnya yang kamu alami, aku tak peduli”, kata Pangeran dengan lebih sungguh-sungguh. Mentari membalas pelukannya ketika mendengar itu. Tertawa kecil ingat dengan katakata membalas balik dan mendamprat yang diucapkan Pangeran. Samudera tertawa juga. Dia bahagia, sangat bahagia. Diambilnya lagi cincin tadi dengan tangan kirinya. Mendudukan Mentari berhadapan kembali dengannya. “Jadi, maukah kamu menikahiku?”, tanya Pangeran. Mentari mengangguk malu. “Maukah kamu mendampingi orang kerasa kepala yang akan mempimpin negeri ini dan akan sangat disibukkan oleh rakyatnya?”, tanyanya lagi. Mentari mengangguk lagi. “Maukah kamu mengubah panggilan Pangeranmu padaku dengan namaku saja kalau kita sedang berduaan seperti ini?”, Pangeran mulai jahil. Mentari tertawa kecil. Mengangguk. “Ayo panggil dulu namaku” “Ahhh..apaan sih?”, Mentari tersipu. Pangeran menunggunya sambil tersenyum jahil. “I..iya, Samudera...aku bersedia..”, akhirnya Mentari menyerah dengan muka yang makin memerah. Pangeran tertawa. Lalu memasangkan cincin itu ke jari manisnya. Yang ukurannya langsung cocok. Dipeluknya Mentari kemudian, dengan hangat dan erat. Mereka saling tersenyum. Saling memandang, lebih lekat dan intens. “Hmmm... jadi siapkah kamu berangkat besok, Tari?”, tanya Pangeran kemudian sambil berbaring di atas tikar tempat tidur beralaskan tangannya. “Iya, aku siap”, jawab Mentari. Mendadak dia merasa rikuh melihat Pangeran berbaring di situ. Tak tahu harus berbuat apa, dia membaringkan diri menyilang di atas bantalnya. Tiba-tiba, hatinya terkesiap lagi dan badannya mendadak kaku tegang merasakan badan Pangeran melekat di punggungnya, merangkul dan memeluknya dari belakang. Tak ada kata-kata. Pangeran merangkulnya dan bertahan di posisi itu sedemikian lama. Perlahan, ketegangan di badan Mentari berkurang hingga badannya terasa rileks dan hangat. Perasaan merasa terlindung memenuhi tubuhnya sampai tak sadar, dia pun terlelap. Pangeran Samudera tersenyum. Mengecup kepala Mentari dan kemudian masuk ke dalam mimpi yang terasa ringan dan indah. Malam itu, mereka tidur tanpa melepaskan pelukan sekejap pun. Tertidur dengan senyum menghiasi kedua wajah sepanjang malam. ***
Lamaran untuk Keluarga Dinata Pagi itu, mereka pulang kembali ke Jakarta. Banyak yang menangis ketika Mentari berpamitan, walau berat, dia hadapi semuanya dengan senyuman. Berjanji akan mengunjungi kampung itu kembali saat dia punya waktu luang. Ketika tiba di Istana kembali, Ibunda Ratu berhambur memeluknya sambil menangis. Begitu juga Baginda Raja. Mereka lega dengan kondisi Mentari yang baik-baik saja. Mereka menghabiskan waktu luangnya mendengarkan cerita Mentari selama tinggal di sana, ditimpali oleh Pangeran yang juga sedikit banyak merasakan beberapa penggalan
205 | M e n t a r i S e n j a
pengalaman itu juga. Mendengar hebohnya dan asingnya cerita itu, Ibunda Ratu dan Baginda Raja tertawa dan kagum dengan upaya Mentari beradaptasi. Para pelayan menyambut Mentari dengan hangat juga. Sebagian besar yang dekat dengannya mampu memberanikan diri bertanya mengenai kepergiannya yang dijawab diplomatis oleh Mentari. Membuat mereka setidaknya mengerti bahwa Mentari hanya menghadapi titik puncak stres tinggal di Istana. Teman-temannya yang tahu kedatangannya kembali sehari setelah Mentari tiba di Istana, langsung menuju tempat itu di waktu luang mereka. Menagih Mentari untuk bercerita dengan detail. Mentari menutupi banyak cerita yang sudah dia sepakati untuk dirahasiakan pada temannya sementara ini. Dia lebih banyak menceritakan kehidupannya di sana dan mengundang mereka untuk mengunjungi tempat itu suatu saat. Tentu saja, ide itu disambut baik oleh mereka semua. Pangeran Samudera tidak mengubah sikapnya pada Safira karena tahu sisi bahaya dari perubahan yang mendadak itu. Namun, dia sengaja menjaga jarak pelan-pelan sampai waktunya tiba nanti. Menunggu instruksi dari Baginda Sepuh yang masih memerlukan waktu sedikit lagi untuk menyelesaikan semuanya. Safira yang telah terlena dengan bagusnya Pangeran itu menjaga relasi dengan keluarganya, tak mampu menafsir perubahan sikap yang dilakukan perlahan oleh Pangeran. Dia pun terlihat mengekspresikan kebahagiaannya dengan kentara ketika melihat Mentari lagi di Istana. Kini, bagi Mentari, semuanya hanya sebatas akting yang dilandasi oleh niat baik. Semakin dia memahami Safira, semakin iba hatinya mengingat pribadi Safira yang sebenarnya dingin dan kering. Sementara, kegiatan rutin di Istana tetap dia lakukan. Kembali menjalani perawatan rutin, apalagi kulitnya telah hampir coklat dan kotor ketika dia tiba di sana. Membuat Ibunda Ratu meningkatkan jadwal perawatan yang lebih intensif. Dengan patuh, Mentari mengikuti semuanya. Kali ini, seperti ada kekuatan baru yang membuatnya merasa lebih ringan menjalani kehidupan di dalam Istana. Di sela-sela waktunya, dia mengunjungi universitas kerajaan Indonesia untuk melihat kehidupan kakeknya dulu. Terkagum-kagum dengan banyak karya dan kontribusinya pada perkembangan pendidikan dan kurikulum di sana. Bahkan Mentari melihat lukisannya diabadikan di kelompok para pendiri dan pencerah Universitas Kerajaan Indonesia. Yang paling sulit ditahan Mentari adalah fakta kekerabatannya dengan Friska. Ada waktu dimana dia diundang makan malam di sana dan merasakan keakraban yang hangat dengan orang tua Friska yang memang idealis. Dengan hati-hati, dia menanyakan mengenai keluarga besar mereka hingga Frans Dinata sempat berkaca-kaca ketika bercerita tentang kakaknya yang meninggal karena kecelakaan tragis. Yang membuat dirinya memutuskan untuk benar-benar menghindari relasi dengan keluarga Istana. Bukan karena dia tidak menghormati atau karena membenci mereka, lebih karena dia tidak ingin dihinggapi perasaan gelisah terhadap ancaman-ancaman tak terlihat yang tak pernah putus mempengaruhi area itu. Dalam kesempatan itu, Mentari juga bisa melihat foto-foto mendiang kakek nenek Friska dari pihak ayahnya. Mentari tak berhenti tersenyum dan dalam hati mengucapkan terima kasih. *** 3 bulan telah berlalu. Mentari mendengar dari Baginda Sepuh, Ki Abimayu dibiarkan pulang dulu ke pulau Hantu untuk 2 bulan bersama cucu lelakinya. Dan akan datang ke Istana saat waktunya tiba. Mentari hanya mendengarkan cerita itu tanpa terlalu banyak berkomentar. Membiarkan segalanya mengalir tanpa dia pikirkan lebih jauh. Dan pada suatu malam, Mentari dikagetkan dengan rencana Baginda Raja mengadakan pesta di Istana 3 hari lagi. Menurut Baginda Raja, hari itu akan bertepatan 206 | M e n t a r i S e n j a
dengan hari rapat keluarga besar kerajaan. Bedanya, rapat kali itu akan dilakukan dan dibuka untuk lebih banyak orang, termasuk wartawan. Mentari yang tak diberitahu jauh sebelumnya tentu kaget. Itulah makanya para pelayan terlihat sibuk seminggu itu. “Memangnya akan ada agenda lainkah, Baginda?”, Mentari memberanikan diri bertanya. “Ada, pengumuman penting begitu lah. Nanti juga kamu akan tahu pada hari itu. Setidaknya, aku bisa memberikan ruang pada para wartawan yang senang menggosip sekali sepanjang 5 tahun ini. Yang jelas, kamu, Ibunda Ratu, harus tampil sangat cantik ya?”, Baginda Raja menjawab sambil tertawa. Mentari yang tak mengerti. Namun kemudian hanya bisa mengangguk. Dia lihat, Pangeran Samudera tidak terlihat terlalu memperhatikan pembicaraan itu. Hingga Mentari menyimpulkan pesta itu sebagai sesuatu yang biasa bagi mereka dan merupakan hal baru baginya saja. Mentari juga tidak tahu, bahwa secara diam-diam tanpa terendus media, Baginda Raja, Baginda Ratu, Baginda Sepuh, dan Pangeran Samudera melakukan kunjungan pada keluarga Frans Dinata. Menyampaikan kabar dengan memperlihatkan buku silsilah tua kerajaan Indonesia pada mereka. “Oh Tuhaaaaaaan? Jadi Mentari adalah sepupuku?! Dan dia tidak tahu kalau Anda semua datang ke sini untuk memberitahu kami?!”, begitu reaksi Friska ketika diberi tahu. Dia tak bisa menahan diri untuk berekspresi. Meloncat-loncat senang dan memeluk ibu dan ayahnya dengan hangat. Mengucapkan terima kasih berulang kali pada Baginda Raja, Baginda Ratu, Baginda Sepuh, dan Pangeran Samudera dengan ekspresi tulusnya. Membuat mereka semua tersenyum karena merasakan kebahagiaan yang terhantar kuat itu. Frans Dinata termangu. Penglihatannya akan liontin Mentari dan bagaimana wajah itu mengingatkannya pada kakaknya, ternyata bukan khayalan. Dia sedikit menyesali kealfaannya memperhatikan lebih detail, sekaligus senang bahwa kini lintasa pikiran itu benar adanya. “Umm..namun izinkan Hamba bertanya, Baginda Raja”, sela Frans Dinata setelah melihat anaknya mereda dari ekspresi itu dan duduk tenang kembali. “Ya, silahkan saudaraku”, jawab Baginda Raja. “Hamba sangat bahagia mendengar kabar ini. Sangat bahagia bahwa ternyata anak dari kakak Hamba masih hidup dan bahkan kami sudah bertemu langsung dengannya. Terkejut juga bahwa anak kami, Friska, sudah mengenalnya sedemikian lama seolah takdir menyatukan mereka begitu saja. Namun, adakah maksud lain dari kedatangan Baginda sekeluarga ke sini? Karena, terus terang, Hamba sangat kaget dan tak bisa berkata apa-apa karena Baginda sekeluarga datang selengkap ini. Bahkan Baginda Sepuh juga turut serta. Tentunya ini kehormatan yang sangat besar bagi keluarga kami. Membuat saya pribadi merasa malu atas kunjungan ini karena Baginda tahu sendiri betapa Hamba sangat menghindari untuk berhubungan terlalu dekat dengan pihak Kerajaan”, ucap Frans Dinata dengan suaranya yang bergema. Baginda Raja tersenyum. Dia tahu kecerdasan dan kepekaan Frans Dinata. “Ya, memang ada maksud lainnya mengapa saya datang membawa keluarga kami dengan lengkap. Namun, tampaknya, untuk menjawab pertanyaan Anda, saya tak terlalu berwenang. Ayahanda akan menyampaikannya pada Anda karena ini terkait sejarah persahabatannya dengan Ki Buana Raya, ayah dari almarhum Ibu Mentari”, jawab Baginda Raja. Membuat pandangan semuanya mengarah pada Baginda Sepuh yang tersenyum dalam sedari tadi.
207 | M e n t a r i S e n j a
“Ya, mungkin Anda sudah mendengar banyak mengenai isu seputar Mentari. Diantaranya terkait pengumuman saya di rapat besar keluarga kerajaan. Dari sejak dulu, saya hanya mengakui satu sahabat sejati dalam hidup saya, yaitu Ki Buana Raya. Yang sudah diketahui silsilah aslinya yang tadi sudah dijelaskan Baginda Raja Angkasa II. Kedekatan saya dengannya lah yang juga turut berpengaruh pada peristiwa naas itu. Ki Buana Raya banyak berpengaruh pada keputusan-keputusan saya mengatur kerajaan negeri ini. Idealismenya yang pro rakyat demi keseimbangan negeri ini, telah banyak ditanamkan dan menjadi landasan filosofis aturan negara di bawah kepemimpinan saya waktu itu. Terkait hal itu, saya ingin menyampaikan dua hal. Pertama, mengenai asal muasal peristiwa kecelakaan tragis itu. Di bagian ini, saya ingin meminta kebijaksanaan Anda dan keluarga Anda untuk menjagai ini sebagai rahasia. Setidaknya untuk sementara. Kedua, mengenai status Mentari sendiri yang mungkin nanti akan dilanjutkan oleh Baginda Raja kembali” Baginda Sepuh lalu menceritakan kisah mengenai Ki Buana Raya, kiprah dan pengaruhnya pada pengambilan keputusan dan pengembangan aturan-aturan Kerajaan. Mengaitkan cerita itu dengan keserakahan Pangeran Abimayu Kencana di waktu dulu. Juga kaitannya dengan kecelakaan terencana yang dilakukan Abimayu Kencana demi menyingkirkan Ki Buana Raya. Pada bagian itu, Baginda Sepuh mengambil jeda. “Oh Tuhaaan”, komentar pelan hampir bersamaan keluar dari mulut orang tua Friska dan Friska sendiri. Baginda Sepuh dapat melihat wajah yang paling terpukul di situ, Frans Dinata. “Ya, sungguh ini kebenaran yang memalukan pihak keluarga kami juga. Mudahmudahan, Anda bisa dengan bijak memahami ini. Saya sendiri baru bisa mendapatkan kepastiannya sekitar 3 bulan lalu. Dimana, Abimayu Kencana yang sudah dianggap meninggal oleh banyak orang karena dia menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa jasad, datang kembali mengetuk pintu rumah saya dengan keadaan yang sudah jauh berbeda dibandingkan dulu”, jeda kembali. Mata ketiga orang itu makin fokus padanya. Baginda Sepuh tersenyum. “Dan, kedatangannya yang di luar dugaan, yang hampir membuat saya merasa tak bisa membedakan kenyataan dan mimpi, dipengaruhi oleh Ki Buana Raya juga Mentari” “Eh?”, Friska tak mampu menahan ekspresinya. Dia segera menutup mulutnya melihat Ibunya mengerling padanya. “Ya, itulah ironisnya takdir. Abimayu Kencana tidak hilang begitu saja sekehendaknya. Darah keturunannya yang lebih serakah darinya, berbalik menyerangnya. Anaknya sendiri menjadi otak dari upaya pembunuhan pada dirinya” “Oh Tuhaaan”, seruan lebih kuat terdengar kembali. Frans Dinata kali ini mengusap wajahnya kuat-kuat. “Saya sampaikan ini, setelah mendapatkan izin dari Abimayu sendiri. Dia nanti akan menemui keluarga Anda juga secara langsung, jika Anda semua bersedia tentunya. Upaya itu digagalkan oleh takdir. Abimayu terdampar di suatu pulau terpencil yang dihuni sedikit penduduk. Di sana, tinggal Ki Tarub, pustakawan yang sudah mengundurkan diri dari Kerajaan di usia yang relatif muda sebelum Ki Buana Raya menyusulnya. Ki Tarub adalah sahabat dekat Ki Buana Raya. Sebelum kejadian itu terjadi, Ki Buana Raya berkunjung bersama Mentari yang masih anak-anak. Menitipkan pesan, jika ada yang terdampar nanti, Ki Tarub diminta mengangkat orang itu menjadi adik angkatnya. Maka ketika Abimayu terdampar di sana dalam keadaan pingsan dan bernafas sangat lemah, Ki Tarub langsung mengambilnya. Mengenali siapa dia tanpa banyak bicara. Mengangkatnya menjadi adiknya. Dan, sebelum Ki Tarub meninggal, pustakawan tua itu 208 | M e n t a r i S e n j a
menyampaikan kisah amanat dari Ki Buana Raya yang membuat Abimayu makin terpukul lagi. Rasa bersalah makin besar menguasai dirinya. Hingga, baru beberapa bulan lalu, terbawa arus takdir, Mentari yang ingin mengasingkan diri sementara, pergi ke pulau itu. Dengan niat, hanya untuk tinggal di sana dan ingin bertemu Ki Tarub yang masih dia ingat dengan baik. Menemukan Ki Abimayu yang ada di sana. Orang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Yang kemudian dengan mudah dimaafkan juga oleh anak perempuan yang luar biasa itu. Menyadari bagaimana takdir mempertemukannya dengan anak dari orang tua yang telah dia bunuh, Abimayu tak bisa menahan diri untuk dimakan rasa bersalah terlalu lama. Dia mendapatkan nomor saya dari telepon genggam Mentari. Datang ke tempat saya, menyampaikan semua hal buruk yang pernah dia lakukan dan menyampaikan niat baiknya untuk menebus semua kejahatan itu semampu yang dia bisa. Itulah cerita lengkap dari hal pertama yang ingin saya sampaikan”, Baginda Sepuh menarik nafas panjang. Friska hanya bisa termangu mendengarkan kisah yang tak pernah sedikit pun terbayangkan olehnya. Teringat pada Mentari dan bertanya-tanya kekuatan apa yang bersemayam di dirinya yang membuatnya bisa tersenyum kembali seperti yang dia lihat terakhir kalinya. Ayahnya meneteskan air mata. Ibunya juga demikian dan sibuk mengusap air matanya yang meleleh tak berhenti mendengarkan kisah itu dengan tisu. Baginda Sepuh membiarkan mereka mengeluarkan emosinya dalam hening. Duduk diam memejamkan mata dan memancarkan ketenangan yang dalam. “Hamba...”, terdengar suara Frans Dinata yang kini terdengar lebih berat, ”berterima kasih atas kepercayaan Baginda Sepuh pada keluarga Hamba untuk mendengarkan kisah ini. Berterima kasih Baginda ternyata masih memberi perhatian yang dalam pada keluarga kami. Rasanya.. di hati Hamba kini, tak tersisa lagi kemarahan. Tampaknya, sudah terhapus banyak ketika mendengarkan bagaimana hidup Pangeran Abimayu Kencana yang jauh lebih sulit itu. Tuhan punya caranya sendiri untuk menerangi hidup manusia. Terima kasih Baginda Sepuh”, lanjutnya dengan tulus. Baginda Raja, Baginda Ratu, dan Pangeran Samudera terperangah dengan jawaban itu. Sekaligus merasa sangat lega. Benar rupanya, Frans Dinata dan keluarganya adalah orang-orang terhormat yang memiliki budi dan nurani yang baik. Keluarga yang selalu konsisten untuk tidak membuat kerugian untuk orang banyak. Membuat mereka menjadi lebih menghormati dan menghargainya. Sementara, Baginda Sepuh, yang kenal dengan orang tua Frans Dinata, tersenyum paham. Dia tahu dan bersyukur nilai-nilai itu masih kuat digenggam oleh keturunannya. “Terima kasih juga dari kami dengan kebijaksanaan Anda, Frans Dinata. Membuat kami merasa terhormat datang ke sini malam ini”, ucap Baginda Sepuh sambil tersenyum. Diiringi anggukan persetujuan anggota keluarganya. “Sekarang, terkait Mentari. Sebelum Ki Buana Raya memutuskan untuk mengundurkan diri sepenuhnya dari kerajaan dan menyatakan niatnya untuk merawat cucunya selama dia hidup, kami menyepakati sesuatu. Karena saya merasa saya bertanggungjawab atas kejadian naas yang terjadi pada anak dan menantunya, maka dia menyanggupi tawaran saya. Jika dia meninggal lebih dulu dari saya, maka saya diperbolehkan mengambil Mentari menjadi tanggungan saya. Ketika saya tanya, apakah dia memperbolehkan cucunya diangkat menantu oleh putra sulung saya ini, dia tersenyum. Lalu mengatakan, jika memang Tuhan menghendaki dan sudah jadi bagian dari takdirnya, mengapa tidak? Katanya demikian. Intinya, dia tidak menolak namun juga tidak berani memutuskan. Itulah yang sebenarnya terjadi di antara kami. Hingga ketika dia meninggal, saya menyegerakan diri menjemput Mentari. Hanya mengatakan padanya dia akan jadi cucu angkat saya. Dan walau seingin apa pun saya 209 | M e n t a r i S e n j a
menjadikannya keluarga, tentunya saya tak bisa sewenang-wenang memaksakan kehendak. Saya hanya sekedar ingin mendekatkannya pada keluarga ini. Sisanya, saya sendiri meniatkan diri menjadi penyaksi atas takdir yang kemudian dihadiahkan untuk Mentari”, kata Baginda Sepuh. Dengan nada menurun menandakan bagiannya sudah selesai. Friska merasa dadanya berdebar mendengar itu. Frans Dinata dan istrinya menunggu tak sabar. Menebak apa yang ingin disampaikan Baginda Raja berikutnya. “Dan itulah maksud kedua kedatangan kami ke sini. Selain kami ingin meminta maaf mewakili keluarga kerajaan atas pembunuhan dengan kecelakaan naas itu, saya selaku orang tua dari Pangeran Samudera, ingin menyampaikan itikad baik pada keluarga Dinata. Dari silsilah tersebut, tentu semua orang yang hadir di sini tahu bahwa keluarga inilah yang menjadi keluarga terdekat langsung dari Mentari. Keluarga yang berhak menjadi walinya. Sebenarnya, harusnya ada Mentari di sini. Namun karena putra saya yang tidak sabaran ini telah melakukan lamaran pribadi dengan Mentari langsung dan diterima, maka tentunya, yang tersisa hanya formalitas. Saya, selaku ayah dari Samudera Angkasa, ingin menyampaikan itikad baik untuk melamar Mentari menjadi istri dari putra saya ini”, kata Baginda Raja melanjutkan ayahnya. “Oh Tuhaaaaaaan!!! Benarkah? Benarkah?! Samuderaaaa! Bagaimana bisa kau menutup cerita ini begitu rapat? Kapan kamu melamarnya?!”, Friska lagi lagi tak bisa menahan diri lebih lama. Dia meloncat-loncat lagi dengan girang. Membuat keluarga Raja menahan tawa dan tersenyum lebar. Pangeran Samudera hanya bisa geleng-geleng kepala. “Friskaaaa...”, ibunya menahan suaranya mendelik ke arah anaknya. Kaget dengan lugasnya sebutan Samudera pada Pangeran nomor satu negeri ini. Friska segera tersadar dan kembali membungkukan badan meminta maaf lalu segera duduk. “Benarkah Pangeran sudah melamar Mentari? Tapi, bagaimana dengan Safira? Karena saya juga banyak mendengar berita itu akhir-akhir ini”, Frans Dinata masih terlihat tidak percaya dengan kejadian besar ini. “Iya, Paman.. Betul kata Ayahanda, saya tak sabaran dan tak ingin Mentari pergi jauh lagi. Dia sudah mengatakan bersedia. Dan demi menjaga keamanannya, saya memang sengaja menutupi kisan ini bahkan dari teman-teman terdekat. Demi menjagai ritme penyelidikan terhadap keluarga Kencana, saya harus memperlihatkan sikap sebaliknya pada mereka. Terutama putrinya, Safira. Kini, waktunya telah tiba untuk membuka kebenaran secara bertahap. Untuk itu, saya pribadi, memohon pada Friska, untuk tidak membocorkan hal ini dulu pada yang lain”, jawab Pangeran Samudera. Di bagian kalimat terakhirnya, dia menatap pada Friska. Yang langsung diikuti dengan anggukan kuat-kuat dari sepupu Mentari itu. “Ya, kadang begitulah panggung ini harus dimainkan, Frans Dinata. Kami sudah terbiasa dengan berbagai serangan. Hingga, kami terpaksa menampilkan hal lain untuk menutupi kebenaran yang rentan oleh serangan”, Baginda Raja menambahkan. Frans Dinata mengangguk paham. “Tampaknya, sekuat apa pun upaya Hamba menghindar dari keluarga Raja, rupanya takdir menuntun ke arah berlawanan. Hamba juga termasuk orang yang yakin dengan kekuatan takdir. Setelah mendengarkan semua cerita ini, mengurai tali yang dulu tampak berbelit bagi Hamba, juga karena Mentari sendiri sudah menerima lamaran dari Pangeran Samudera, maka apalah daya seorang paman yang tak berguna ini. Hamba, selaku wali dari Mentari, kemenakan Hamba, menerima lamaran ini dengan senang hati. Namun maafkan Hamba ingin meminta hal lain. Karena Hamba sendiri baru tahu tentang hubungan darah ini, Hamba ingin minta izin pada keluarga Baginda. Izinkan kami menghabiskan waktu sebagai keluarga secara rutin, dengan Mentari, sebelum 210 | M e n t a r i S e n j a
pernikahannya tiba. Hamba benar-benar ingin merasakan kehadiran Mentari sebagai anggota keluarga kami. Bukan sebagai teman Friska lagi, juga bukan sebagai calon menantu keluarga Baginda. Rasanya, Hamba ingin sekali turut menyenangkan hatinya. Hal yang tidak pernah Hamba lakukan karena ketidaktahuan itu”, kata Frans Dinata. “Tentu, tentu. Anda sangat memiliki hak itu dibandingkan kami. Kami akan menyerahkan kapan waktu yang tepat kepada Anda dan Mentari sendiri. Kami tidak berkeberatan”, balas Baginda Raja sambil tersenyum. “Terima kasih banyak. Terima kasih banyak”, Frans Dinata tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Air mata bahagia menitik dari kedua pelupuk matanya. “Lalu, kapankah acara resminya dilakukan?”, tanyanya kemudian. Teringat dengan konsekuensi dari lamaran itu. “Ah, ya.. Hari Senin depan adalah hari rapat keluarga besar kerajaan. Tidak seperti biasanya, kami akan mengundang lebih banyak orang dan wartawan untuk datang. Kami akan mengumumkan pertunangan Mentari dan Pangeran untuk diketahui seluruh rakyat di negeri ini. Mentari belum tahu ini. Putra saya memohon dengan sangat untuk menjagai ini darinya karena dia rupanya terbawa film romantis dan ingin membuat semua orang ikut menebak terlebih dahulu. Ingin memberi kejutan juga pada calon istrinya itu”, jawab Baginda Raja. “Ahhh..hahaha, baiklah”, Frans Dinata tertawa. Diikuti oleh yang lain. Friska terlihat sangat senang mendengar semua cerita ajaib ini. Dia bersyukur Mentari menjawab lamaran itu. Bersyukur bahwa ternyata kedekatan Safira dengan Pangeran Samudera adalah kamuflase saja. “Tapi, bagaimana dengan keluarga Kencana? Apakah mereka tidak akan?”, mendadak selintas pikiran buruk muncul di pikiran Frans Dinata. “Jangan khawatir, semua sudah ditangani sebagaimana mestinya. Pangeran Abimayu sendiri yang berwenang untuk itu. Dia sudah menyatakan kesediaan untuk hadir di acara itu”, jawab Baginda Raja. Frans Dinata terlihat lega mendengarnya. Walau dia banyak tak melibatkan diri pada isu kerajaan dan isu kebangsawanan, dia tahu dengan jejaring halus dunia itu. Dia adalah seorang pembaca yang baik dari kejauhan. Dia sadar siapa itu Ronggowasito Kencana Putra. Mengetahui langkah-langkah manipulatifnya juga dalam menguasai perekenomian dalam negeri. “Dan, mungkin ini giliran saya berbicara sekarang?”, tiba-tiba Ibunda Ratu menyela dalam hening itu. “Ah ya, istriku, silahkan. Urusan beratnya sudah selesai”, balas Baginda Raja tersenyum ke arah istrinya. Baginda Ratu tersenyum. Dia ambil sebuah kotak besar yang dia bawa tadi dari samping tempat duduknya. Menyimpannya hati-hati di meja tamu keluarga itu. “Sehubungan sudah jelas hasilnya bahwa keluarga Dinata sudah bersedia menjadi besan keluarga kami. Yang tentunya membahagiakan hati saya juga. Mohon diterima hadiah ini untuk dikenakan nanti di acara pesta. Bagaimana pun, ada simbol khusus yang harus dikenakan oleh calon keluarga kami. Mengikuti adat istiadat yang sudah berlaku dari sejak lama. Tak baik melanggar adat baik ini. Silahkan”, kata Baginda Ratu dengan lembut menatap ibu Friska yang membalasnya dengan senyuman ramah juga. “Terima kasih, Baginda Ratu. Terima kasih banyak”, ucap ibu Friska sambil mengambil kotak itu dan menyimpannya di sampingnya. Dan acara itu diakhiri dengan makan malam yang diisi dengan obrolan ringan seputar kegiatan terakhir yang dilakukan masing-masing pihak. Friska tak henti menggoda Pangeran Samudera yang tak bisa melawan karena dia tak bisa beranjak dari tempat duduknya. Berulang kali, ibu Friska menegurnya dengan berbagai cara halus. Namun akhirnya dia 211 | M e n t a r i S e n j a
menyerah karena tampaknya Friska sangat nyaman menjadi dirinya sendiri di malam itu. Yang tidak mengganggu hati keluarga Raja. ***
Pesta Pertunangan Tibalah hari itu. Dari sejak pagi, sudah banyak wartawan menyiapkan peralatan di area yang khusus disediakan mereka. Mentari dilarang keras keluar Pendopo dan harus mengikuti prosesi perawatan badan yang lain dari biasanya. Kali ini, prosesi itu diikuti do’ado’a tua yang Mentari tidak kenal namun mendamaikan. Mentari berulang kali bertanya pada tim tata rias istana senior yang biasanya merawat Ibunda Ratu tentang istimewanya perawatan kali ini. Setiap pertanyaannya, hanya dijawab oleh senyuman. Sampai akhirnya Mentari menyerah dan memilih menikmati sesi itu. Ketika memakai kebaya yang sudah disiapkan, dia pun heran dengan potongan kebaya tradisional Sunda itu. Kali ini pertanyaan itu dijawab. Bahwa dalam rapat keluarga Raja, itulah kebaya yang harus digunakan Putri-Putri Raja terdekat. Mentari hanya mengangguk. Dia senang karena kebaya itu tampak sangat sederhana dan hanya dihiasi sebuah bros emas simbol kerajaan saja di bagian potongan tengah atas. Motif kain batik bawahannya juga tampak tua. Konon katanya, itu adalah kain yang pernah digunakan oleh permaisuri Baginda Sepuh. Rambutnya disanggul sederhana dihiasi kuntum-kuntum melati hidup. Sebuah jepit rambut dari emas yang melingkari setengah kupingnya dipasang di bagian kanan kiri. Jepit rambut itu memiliki motif sama dengan bros yang tersemat di dadanya. Ketika sudah waktunya tiba, Mentari dibimbing dua pelayan menuju tempat pesta. Karena malu, dia minta kedua pelayan itu untuk tidak memegang kedua tangannya. Hingga pelayan itu akhirnya mengikuti keinginannya dan berjalan agak di belakang Mentari. Dia berjalan menuju Pendopo Utama kerajaan yang telah disetting sedemikian rupa. Walau mengundang banyak orang, tata krama di pesta itu masihlah sama dengan tata krama tradisional khas Rapat Keluarga Besar Kerajaan. Bedanya memang hanya jumlah tamu yang diundang dan adanya wartawan saja. Mentari sudah dilibatkan di acara gladi resik kemarin. Dia akan duduk di lingkaran terdekat dengan keluarga Raja. Bersyukur duduk tak di depan dan akan berdampingan dengan Friska dan keluarganya. Dia terkejut melihat Friska dan keluarganya sudah berdiri menunggunya di luar pendopo. Mereka semua tampak tersenyum ramah menyambutnya. Mereka semua memberikan pelukan hangat ketika bertemu. Bahkan ayah dan ibu Friska tampak berkacakaca. Membuat Mentari agak terkejut. Namun, tak ada kata-kata dari mereka juga. Hingga Mentari hanya diam menanti kode dari para demang di dalam. Ketika nama keluarga itu dipanggil, juga namanya, Mentari berjalan masuk beriringan dengan Mentari. Menempati tempat duduk yang telah disediakan. Tentu saja, duduk dengan posisi bersila bagi laki-laki dan bersimpuh di atas lipatan kedua kaki bagi perempuan. Mentari sudah berlatih lebih awal untuk bisa tahan dengan posisi itu. Dia menyangsikan Friska bisa mengikutinya. Acara itu berjalan tepat waktu. Friska dan Mentari dapat melihat wajah-wajah sahabatnya yang hadir juga dengan keluarganya masing-masing di baris yang berbeda-beda. Mereka saling memberikan senyum ketika saling bertatapan dari kejauhan. Tampak juga keluarga Safira hadir bersama 212 | M e n t a r i S e n j a
Ibu dan ayahnya. Wajah Safira tampak lebih berseri dari biasanya. Menyenyumi Mentari dan Friska dengan sangat ramah. “Ahhh, mengapa sih dilarang membawa telepon genggam Tari? Mana katanya akan berlangsung 3 jam duduk di posisi sama lagi ya?”, bisik Friska padanya. “Sudah aturan, Fris”, bisik Mentari. Friska merengut. Mentari hanya tersenyum melihat ekspresinya. *** Tak lama setelah mereka duduk, gamelan ditabuh. Posisi gamelan ini ada di pojok kanan pintu gerbang. Sementara yang kiri di isi para wartawan yang tak berhenti mengabadikan kegiatan tanpa blitz karena dilarang. Lagipula, cahaya di dalam ruangan sudah diatur sedemikian hingga akomodatif bagi para wartawan untuk melakukan liputan. Setelah satu syair selesai, gong besar ditabuh 3 kali. Menandakan Baginda Raja, Baginda Ratu, dan Pangeran Samudera memasuki ruangan. Gamelan ditabuh tanpa pelagu. Lagu tua penyambutan Raja dan keluarganya. Semua tatapan hadirin melihat ke arah pintu masuk. Baginda Raja berjalan lebih dulu. Dia mengenakan baju resminya berbagai aksesoris tanda Raja. Kepalanya dihiasi oleh mahkota emas. Dia berjalan dengan gagah dan tegap mengikuti alunan lagu. Pedangnya tersimpan menyilang di punggungnya. Diikuti oleh Baginda Ratu yang mengenakan kemben dengan sisi kedua lengan yang dilingkari gelang emas bermotif kerajaan. Sanggulnya dihiasi mahkota. Dia berjalan anggun mengikuti langkah Baginda Raja dengan bahu yang tegak. Kecantikannya yang lembut membuat mata orang terpaku padanya. Di belakang Ratu, Pangeran Samudera berjalan tegap dengan ritme jalan yang sama. Dia mengenakan jas tradisional warna hitam dan samping batik yang membuat mata Mentari terpaku. Motif itu, sama persis dengan kain bawahannya. Membuatnya heran. Dia mengecek motif kain orang lain, tak ada yang sama. Keheranannya, membuat dia tak terlalu terpaku menatap Pangeran. Sibuk dengan mengecek motif itu dibandingkan melihat wajahnya. Mata para perempuan, termasuk Safira terpaku melihatnya. Karismanya sebagai Pangeran tampak semakin menguat dan terasa lebih kentara dengan acara seperti itu. Dibandingkan dengan pesta-pesta modern yang juga biasa dia ikuti. *** Pangeran melihat ke arah Mentari duduk dengan pinggir matanya. Tersenyum melihatnya terlihat sibuk sendiri. Satu-satunya perempuan muda di ruangan itu yang tidak memberikannya tatapan kagum. Dia senang dengan itu. Setelah Raja duduk di bagian paling tengah, diikuti Baginda Ratu dan Pangeran di sisi sebelah kanannya, pembaca kitab melantunkan kembali sebuah syair. Gaharu dibakar. Harumnya yang halus dan lembut memenuhi ruangan. Bercampur dengan aroma bunga tujuh rupa yang ditebar di atas karpet keemasan yang menjadi jalan masuk bagi keluarga Raja. Mentari menikmati momen itu. Kidung itu terasa akrab betul ditelinganya. Dia memejamkan mata untuk merasakan makna keagungan dari sebuah kidung tua. Friska ikut memejamkan mata ketika melihat Mentari tampak serius. Namun, berbeda dengan Mentari, dia hampir jatuh tertidur kalau punggungnya tak dipukul ibunya dari sebelahnya. Membuatnya terkerjap kaget. Dipukul seperti itu, Friska merengut ke arah ibunya. Yang tentunya diacuhkan begitu saja. Frans Dinata menahan senyum melihat perilaku putrinya. Ini pertama kalinya bagi Friskan menghadiri acara ini. ketiga kali bagi Frans Dinata dan istrinya ketika Baginda Sepuh masih resmi mendampingi Baginda Raja. Gong ditabuh lagi. Satu kali. Baginda Sepuh memasuki ruangan. Seperti biasa, karismanya memenuhi ruangan dan menyedot perhatian semua hadirin. Dia berjalan tenang 213 | M e n t a r i S e n j a
sambil tersenyum. Diiringi gamelan dengan nada berbeda dari saat Baginda Raja memasuki ruangan. Ketika dia sudah duduk di sebelah kiri Baginda Raja, gamelan berhenti. Sebuah syair dinyanyikan lagi. Friska tidak tahan dengan alur yang berjalan lambat itu. Namun dia tahu aturannya. Tak boleh mengatakan sepatah kata pun kalau tidak ada izin dari Raja, selama prosesi berlangsung. Maka dia mencolek Mentari. Membuat tanda huruf di tangannya sambil menutup mulutnya rapat-rapat. B-O-S-A-N. Begitu tulisnya. Mentari tersenyum. I-Y-A. Balas Mentari. Khawatir dengan gerak gerik Friska yang gelisah dan tak mau diam, perlahan Ibunya mengeluarkan sebuah kantung kain. Menyenggol tangan putrinya dan memintanya mengambil kantung itu. Mulanya Friska membelalak tak mengerti. Dia buka kantung itu dan langsung tersenyum lebar melihat isinya. Permen krim tak berbungkus ada di dalamnya. Dia mengacungkan jempol ke arah ibunya. Mengambil permen dan memberikan satu pada Mentari. Mentari tersenyum menahan tawa. Mengulum permen itu segera. I-B-U P-I-N-T-A-R. Tulis Friska lagi di atas tangannya. Mentari mengangguk sambil mengedipkan mata. Bunyi gong membuyarkan keasyikan mereka. Membuat keduanya menegakkan punggung lagi melihat ke arah singgasana Raja dan keluarganya. “Salam Penghormatan”, sapa Baginda Raja dengan suara bergema. “Salam Penghormatan, Baginda Raja”, jawab hadirin serempak. Termasuk Mentari dan Friska. “Terimakasih saudara-saudaraku, telah meluangkan waktunya untuk hadir di acara ini. Acara istimewa Rapat Keluarga Besar Kerajaan. Kali ini, saya mengundang lebih banyak orang, juga saudara-saudara wartawan, tentunya bukan tanpa alasan. Khusus hari ini, saya, ingin mengumumkan berita bahagia. Yang terkait dengan pengumuman yang pernah digaungkan di Rapat tahun lalu, oleh Ayahanda Raja Angkasa I, Baginda Sepuh. Hari ini, merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi saya untuk meresmikan pertunangan antara putra mahkota dengan calon istri yang telah dipilihnya. Silahkan, ambil waktu untuk bicara”, Baginda Raja memberi waktu. *** Serentak hadirin saling berbisik. Keluarga Safira tampak tersenyum lebar. Tatapan hadirin pun banyak yang mengarah pada mereka. Kenyataan itu, tak disukai oleh adik-adik Baginda Raja yang memang belum diberitahu juga mengenai keputusan yang diambil kemenakan mereka. Keluarga adik Baginda Raja tampak khawatir menatap ke arah keluarga Ronggowasito Kencana Putra. Sementara itu, Mentari mendadak merasa jantungnya berdebar. Mukanya terlihat agak pucat. Tak heran di acara gladi resik itu ada bagian yang membuat Mentari kebingungan. Dia akan diminta berjalan ke arah singgasana Raja dengan cara bersimpuh. Diminta berlatih laku menyembah pula. Itulah mengapa dia mengenakan motif batik yang sama persis dengan yang dikenakan Pangeran. Ini pasti ulang Samudera, pikirnya. Dia sangat senang membuat dirinya tampil ke depan umum dengan sebuah kejutan. Menyadari tak mungkin menghindari situasi itu, Mentari segera mengusap-usap dadanya. Mengatur nafas diamdiam. Mengingat tata cara yang diajarkan kemarin dengan seksama. Friska, yang sudah berusaha sangat keras untuk tidak membocorkan hal itu, mengelus punggungnya. Berusaha membantu sepupunya menguatkan diri. Frans Dinata, tersenyum melirik ke arah Mentari. Namun, perhatiannya kemudian terpusat pada keluarga Ronggowasito Kencana Putra. Melihat bagaimana ekspresi bangga mereka begitu tampak 214 | M e n t a r i S e n j a
kentara. Dalam hatinya, dia mengagumi kerapian keluarga Raja menjalankan berbagai langkah penyamaran hingga tampaknya membuat seseorang di sana terbuai dengan pikirannya sendiri. 5 menit berlalu. Gong ditabuh 1 kali. Ruangan senyap kembali. “Pangeran Samudera Angkasa telah memastikan calon istrinya dengan caranya sendiri. Sesuai dengan arahan dari Baginda Sepuh yang telah mengubah adat pemilihan calon Ratu Indonesia ini. Kami, Keluarga Raja Indonesia, sudah menyetujui pilihannya. Kami juga sudah bertemu dengan keluarga pihak calon istri dan mendapatkan penerimaan yang baik. Calon Istri Pangeran Samudera Angkasa ini masihlah keluarga bangsawan yang dinilai baik dan berderajat tinggi. Dikenal oleh banyak pihak karena sikap konsisten dan kedisiplinan memegang prinsip. Sikap dan sifat yang sangat kami hargai dan sudah kami buktikan. Keluarga ini juga terkenal dengan ketajaman intelektualnya dan kebijaksanaan berpikirnya. Merupakan suatu kehormatan bagi kami, bisa memperdalam pertalian silaturahmi dan kekeluargaan dengan keluarga ini. Sayangnya, kedua orang tua kandung calon istri Pangeran ini telah meninggal dari sejak lama. Silahkan ambil waktu untuk bicara ”, Baginda mengambil jeda sambil tersenyum. Bisikan terdengar makin riuh. Muka Ronggowasito Kencana, istrinya, dan Safira tampak memucat. Pasi sesaat. Lalu mereka menjadi gelisah. Senyum lega hadir di wajah adik-adik Baginda Raja. Terutama Putri Maharani yang memang sangat tidak menyukai Safira. Dia selalu ingat dengan kejadian di masa kanak-kanaknya dulu. Hadirin mulai terlihat berspekulasi. Beda dengan para sahabat Pangeran Samudera. Yang kemudian serempak melihat ke arah Mentari dan Friska duduk. Melihat Mentari tampak sedang tertunduk dan Friska berulang kali mengedipkan mata memberi kode. Viona, Helena, Dini, Baskara, Bima, Wisnu, dan Gerhana tersenyum lega. Mereka sudah menebak calon kuat selain Friska. Tapi karena bahasan keluarga itu diperpanjang, maka mereka bingung menangkap arah bicara Baginda Raja. Ketika menangkap kode dari Friska, mereka menjadi bertanya-tanya, siapakah keluarga Mentari yang dimaksud. Yang konon katanya tak jelas asal-usulnya. Lebih tepatnya dibuat tak jelas oleh pihak keluarga Raja. Dugaan-dugaan itu membuat mereka menikmati Rapat yang mereka pikir akan membosankan dan membuat kesemutan sekujur badan. Mereka jadi lupa dengan rasa pegal dan rasa mati rasa di kedua kaki mereka. Tertarik menyimak seni komunikasi keluarga Raja yang tampaknya sudah banyak ditiru oleh Pangeran Samudera. 10 menit berlalu. Gong ditabuh 1 kali. Hadirin memaksa diri menutup mulutnya masing-masing. “Calon istri Pangeran ini adalah anak dari Almarhum Adi Dinata dan Almarhumah Dewi Bulan Buana Raya, bernama Mentari Pertiwi Raya. Keponakan dari keluarga Frans Dinata. Itulah calon istri Pangeran Samudera Angkasa, putra mahkota tunggal Kerajaan Indonesia. Baik calon istri maupun pihak keluarga Dinata telah menerima pinangan kami dalam pertemuan awal. Mohon kepada para demang untuk mempersiapkan calon istri dan keluarga Dinata. Silahkan, ambil waktu untuk bicara”, ucap Baginda Raja lagi. Hadirin kembali riuh. Sahabat-sahabat Mentari terlihat senang dan mencoba mencari momen dimana Mentari menengadah. Namun harapan mereka tak terkabul. *** “Mentari adalah saudara sepupu Friska? Oh tuhan, apakah hari ini Kau sedang membagikan rejeki dan kasih sayangmu ke ruangan ini?”, seru Helena tertahan.
215 | M e n t a r i S e n j a
Dia melihat ke arah sahabat-sahabatnya yang duduk di masing-masing tempat keluarga mereka berada. Mereka pun tampak sangat kaget. Batara mengelus pundaknya paham. Dia saja kaget mendengar itu. “Ya, aku setuju, sayang. Dia ternyata sepupu Friska. Sungguh kejutan yang tak terduga. Ditambah lagi, dia lah juga yang dipilih keluarga Raja pada akhirnya”, komentar Batara. “Tuh kan aku bilang juga apa, ini hanya urusan tunggu waktu saja”, Helena dengan semangat membalas komentar suaminya. “Ya, memang Samudera sudah sangat jelas memilih Mentari dari sejak awal. Hmm..tapi rasanya kalau urusan waktu saja yang diperhitungkan, tak mungkin juga keluarga Raja membuat acara khusus terbuka seperti ini. Taruhan. Pasti ada kejadian menarik lainnya”, bisik Pangeran Batara. “Hmm.. kejadian menarik? Oke, taruhan, kalau benar ada, aku akan mau melakukan gaya konyol yang kamu minta”, Helena merasa tertantang. Sontak kuping Pangeran Batara menjadi merah namun juga senang dengan inisiatif itu. “Oke! Deal!”, jawab Batara. *** Sementara itu, Safira terlihat merah padam mukanya. Ekspresi benci tampak menguasai wajahnya. Banyak hal berkecamuk di pikirannya. Dia menyesali kecerobohannya menjalankan rencana itu. Merasa bodoh telah masuk dalam jebakan Samudera. Terbuai dengan sikapnya yang lebih akrab tapi selalu berjarak. Harusnya dia lebih peka, harusnya dia sadar ketika Samudera berulang kali menolak menciumnya, katanya dalam hati. Begitu juga dengan ayahnya yang mengusap wajahnya berulang kali. Tidak tahan duduk lebih lama dan harus menerima pandangan mencemooh dari beberapa keluarga yang memang tak simpatik padanya. Namun sadar dia tak mungkin pergi. Tak menginginkan harga dirinya jatuh begitu saja. Maka dia memilih menjaga sikap duduknya. Menganggap tidak ada apa pun yang terjadi. Sementara kepalanya berputar memikirkan banyak cara untuk menghancurkan keluarga Raja seperti sudah dia siapkan sebagai kemungkinan terburuk. Tentunya, setelah acara ini dan selamanya selama dia masih hidup. Dia tak terima dirinya telah masuk dalam jebakan permainan keluarga Raja. Betapa bodohnya dia telah termakan hasutan kunjungan keluarga itu. Yang setelah informasi buruk disampaikan tadi, menjadi lebih jelas kini bahwa kunjungan itu tak punya makna apa-apa. Hanya terjadi satu kali bergantian. Tak ada pembicaraan apa pun ke arah pernikahan. Benar-benar hanya langkah politik. Untuk menghentikan manuvernya menyerang kebijakan baru Pangeran Samudera yang pro rakyat. *** Para wartawan yang menangkap hal itu dan sudah memperhitungkan reaksi keluarga Ronggowasito, mengarahkan lensanya dan meng-close up ke arah mereka. Merekam ekspresi yang sangat jelas terlihat itu. Urat di kening Safira, kuping dan pipi yang memerah, gerakan Ronggowasito mengusap wajahnya berulang kali, gerakan tertunduk istrinya. Tatapan marah Safira yang memusat pada satu titik, membuat wartawan yang menshoot memberi kode pada masing-masing partnernya. Mengikuti arah pandang itu. Dan di sayap yang berhadapan dengan Safira, agak di tengah, para demang tampak sibuk memandu keluarga Dinata menuju pintu keluar samping yang berada tak jauh dari tempat duduk mereka. Mereka berjalan dengan membungkuk menuju pintu itu. Para wartawan tersenyum senang. Nama Mentari lebih menarik perhatian mereka daripada Safira. Berita bagus dan layak diketahui oleh rakyat seluruh negeri. 15 menit berlalu. Gong ditabuh 1 kali. Lagi. Ruangan sunyi kembali. 216 | M e n t a r i S e n j a
“Sebelum prosesi pertunangan dilanjutkan, tentunya asal-usul keluarga Putri Mentari Pertiwi Raya ini perlu diperjelas dan diketahui oleh banyak orang. Perlu disampaikan oleh ahlinya. Maka dengan itu, saya undang paman saya untuk memasuki singgasana. Paman saya ini telah dikabarkan menghilang tak jelas jejak dan jasadnya. Namun, ternyata, dia memilih menyepikan dirinya di salah satu pulau kecil di negeri ini. Silahkan, Paman Pangeran Abimayu Kencana dipersilahkan memasuki ruangan”, kata Baginda Raja kembali. Kali ini tidak ada izin untuk bicara. Para tetua dan anggota parlemen senior tampak kaget dengan mata terbelalak mendengar hal ini. Sebagian besar mengurut dada dengan ekspresi takut dan khawatir. Sebagian lagi mengernyitkan dahi. Batara tersenyum dan menyenggol badan istrinya. Memberi kode yang menandakan dia menang. Helena mencibirkan bibir. Namun merasa senang dan terpikir memenuhi janjinya. *** Ronggowasito dan Safira yang tadi kepalanya dipenuhi amarah terlihat terpaku. Yang satu menjadi sangat pucat pasi. Yang satu terlihat kosong. Keduanya sama-sama mengalami shock. Mereka berharap ini hanyalah manipulasi Baginda Raja dan keluarganya. Namun ketika dilihatnya seseorang berdiri di pintu gerbang, mereka terhenyak. Memandang tak percaya. Pikiran keduanya mendadak kosong. Badan mereka melemas. Hanya karena kerasnya harga diri yang sudah menjadi bagian dari kepribadian mereka yang membuat mereka tidak kehilangan kesadaran. Tentunya, kedua ekspresi itu, memiliki dasar yang berbeda. Yang satu merasa tak percaya tapi bahagia melihat sosok panutannya hadir tibatiba. Yang satu merasa sangat ketakutan karena kehadiran itu membuktikan bahwa usaha pembunuhannya ternyata gagal total. Figur itu kini terlihat lebih kurus. Namun dengan sekali lihat saja, orang akan langsung mengenali dirinya. Figur yang dulu dinilai angkuh, arogan, keras, dingin, cerdas, taktis, dan ditakuti banyak pengusaha, politikus, dan para mafia itu kini memperlihatkan aura lain. Ada kehalusan dan kerendahan hati yang terpancar dari figur itu. Wajahnya tampak lebih lembut dan berwarna lebih coklat. Matanya menatap ramah pada siapa pun yang bersitatap dengannya. Dan sunggingan senyumnya menampilkan tulus dan mendamaikan siapa pun yang melihatnya. Banyak orang yang tadi terlihat takut dan khawatir, kini berbalik menampilkan ekspresi heran. Sadar betul bahwa orang itu benar-benar Abimayu Kencana. Tapi bingung dengan pembawaannya yang berubah 180 derajat. Gong ditabuh 1 kali. Gamelan dengan nada lain mengiringi. Dia berjalan dengan langkah teratur. Tampak ringan dan santai dengan tatapan lurus ke depan. Dia tahu dimana keluarganya duduk. Tapi dia tak ingin memperlihatkan ekspresi apa pun pada mereka. Tepat di barisan yang menandakan levelnya, sejajar dengan tempat duduk keluarganya, dia mengambil posisi menyembah. Lalu dia berjalan dengan posisi bersimpuh sambil tetap menyimpan kedua tangannya di atas dahi yang menandakan simbol penghormatan bagi keluarga Raja. Langkah itu mengikuti ritmis gamelan yang ditabuh. Setelah 5 menit berlalu, Pangeran Abimayu menyembah kembali ketika dia tiba di depan singgasana Raja. Ketika tangan kanan Baginda diangkat ke atas, dia berjalan bersimpuh ke arah sebelah kiri. Duduk di undakan pertama dimana sebuah buku sudah tersedia dan dibuka. Gong dipukul lagi 1 kali ketika dia sudah duduk bersila di depan buku. Sesuai dengan adat, sejarah silsilah kerajaan itu tak akan dibacakan. Tapi akan dinyanyikan diiringi gamelan. Bedanya dengan rapat jaman dulu, kali ini penjelasan itu diikuti dengan slideshow yang disorot ke arah layar besar di setiap pojok ruangan; yang tutupnya 217 | M e n t a r i S e n j a
dibuka perlahan ketika Pangeran Abimayu memasuki ruangan. Cara ini memudahkan para Pangeran dan Putri-Putri yang belum diajarkan bahasa Indonesia kuno untuk memahami penjelasan itu. Ketika Pangeran Abimayu mulai melantunkan kisah keluarga Mentari, layar terlihat hidup dan menampilkan struktur silsilah keluarganya. Tak ada yang tak menyimak penjelasan ini. Para bangsawan tua dan anggota parlemen senior memusatkan perhatian pada lagu dibandingkan melihat layar. Sementara yang lebih muda, melihat ke arah layar mengikuti nama-nama yang disebutkan berurutan oleh Pangeran Abimayu. Abimayu mempunya suara yang bagus. Dia juga menguasai bahasa tua dan kidung dengan sangat baik. Membuat para hadirin yang muda yang kurang mengerti arti kata-kata itu, tetap bisa menikmatinya. Seperti musik background ketika mereka menjadikan layar sebagai figur dan pusat perhatiannya. Tampak mata Safira berkaca-kaca menatap Pangeran Abimayu Kencana. Pikiran buruk dan kemarahan yang tadi menguasai dirinya seolah terseret pada suatu ruang lain dan tertutup sementara. Dia tak terlalu memperhatikan apa yang dilakukan Kakeknya. Dia hanya memusatkan perhatian pada orang yang sangat dia sayangi itu. Teringat dengan banyak kenangan indah di masa dulu. Teringat dengan segala wejangan dan perhatian istimewa darinya. Ronggowasito lain lagi. Dibalik sikap jumawanya, hatinya menciut seakan menjadi sebesar biji kacang tanah. Tengkuknya terasa meriding. Dia ingin sekali lari dari ruangan itu. Pikiran dan kemarahan tadi kini dipapas habis oleh ketakutan yang meraung-raung. Perasaan tidak nyaman memenuhi tubuhnya. Melihat fakta bahwa keluarga Raja telah menemukan ayahnya. Memberikan tempat kehormatan pada ayahnya sebagai pembaca silsilah adalah tanda yang sangat penting. Tanda bahwa ayahnya kini berpihak pada keluarga Raja. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi ketika ayahnya masih bersamanya dulu. Bayangan upaya pembunuhan yang pernah dilakukannya menghantuinya kini. Di satu sisi, arogansi harga dirinya juga menyala lebih kuat. Dia menahan nafas. Tak akan membiarkan dirinya kalah di sini. Setidaknya, dia harus bisa bertahan sampai acara ini selesai, pikirnya. *** Sementara itu, Mentari, Friska, Frans Dinata, dan Candrakirana Dinata (ibu Friska), sedang dibriefing oleh kepala acara itu. Friska yang paling kesulitan mengikuti dengan patuh. Dia terus menerus mengeluh dan tak mengerti mengapa tata caranya seaneh itu. Ibu Friska tak tahan karena mereka punya waktu yang terbatas. “Friska! Beginikah caramu membantu sepupumu yang baru kita ketahui akhir-akhir ini? Ini adalah saat paling penting untuk dia. Stop making a noise like that, oke?!”, Ibu Friska melotot ke arahnya. Friska mau tak mau tertohok oleh kata-kata itu. Ibunya benar. Dia egois memikirkan diri sendiri dan lupa acara ini untuk siapa. “Iya Mom, maaaf”, Friska akhirnya menunduk. Mentari sampai tersenyum dan mengelus punggungnya. Dalam briefing itu, dengan mudah mereka mengakrabkan diri. Mentari sudah bisa menyebut paman dan bibi pada Frans Dinata dan istrinya. Membuat kedua suami istri itu merasa bahagia. Friska apalagi. Berdasarkan posisi, maka dia memang menjadi adik bagi Mentari. Hingga, berulangkali dia tak enggan mengekpresika kemanjaannya. Bunyi Gong ditabuh 1 x. Serentak keluarga itu mengambil posisi masing-masing. Frans Dinata berdiri di depan. Di belakangnya, Mentari berdiri di tengah. Diapit Friska dan ibunya. Para tamu melihat ke arah gerbang. Demikian juga para wartawan. Tak luput meningkatkan fokus mereka. Menahan fokus pada Mentari lebih lama dari yang lain. 218 | M e n t a r i S e n j a
Gong dibunyikan 4x. Gamelan ditabuh. Frans Dinata mulai melangkah mengikuti ketukan gamelan itu diikuti oleh 3 perempuan di belakangnya. Wajah mereka dihiasi oleh senyuman. Hanya Mentari yang tersenyum dengan menundukkan pandangan. Ini hari bahagianya. Dia tak kuasa melihat tatapan orang tertuju padanya. Ada rasa malu dan haru tercampur jadi satu. Ketika tiba pada batas sebuah benang tipis berwarna hijau, mereka duduk bersimpuh dan melakukan posisi menyembah. Berjalan dengan posisi berjongkok bertumpu pada ujung telapak kaki di bantu dengan kedua tangan menuju singgasana. Melakukan sembahan penghormatan lagi ketika sudah tepat berada di batas undakan. Lalu, mereka berjalan seperti tadi lagi hingga sampai pada undakan dimana Pangeran Abimayu bersila dan tersenyum ke arah mereka. Berjalan ke undakan berikutnya, satu lapis di atas posisi tempat Abimayu dan selapis sebelum undakan tempat Raja dan keluarganya duduk. Menyembah kembali sebelum akhirnya mereka duduk berjejer. Gong berbunyi kembali, 1 X. Semua mata kini melihat ke depan. “Inilah Mentari Pertiwi Raya yang tampaknya sudah banyak dikenal oleh hampir semua hadirin di sini”, kata Baginda Raja kembali. “Saat ini, kita akan segera melakukan prosesi pertunangan seperti yang telah ditunggu dan diharapkan banyak orang”, sambungnya. Dan prosesi pun berjalan. Diiringi dengan senyuman dan air mata haru banyak orang. Sahabat-sahabat keduanya, keluarga adik-adik Raja yang sangat senang dengan pilihan tepat itu, beberapa anggota parlemen dan perdana menteri sendiri, sebagian besar hadirin, dan para penyaksi acara langsung yang ditayangkan di televisi itu. Tentunya, yang paling bahagia di situ adalah Pangeran dan Mentari sendiri. Sementara Safira dan Ronggowasito hanya menatap kosong. Merasa menghilang dari ruangan walaupun mereka masih duduk di sana. Mereka tahu, kehadiran Pangeran Abimayu Kencana di sana adalah yang membuat mereka tak berkutik. Bahkan menguapkan segala rencana dan pikiran jahat ke ruang hampa tak berujung. Setelah acara resmi selesai, Pangeran dan Mentari mendapatkan ucapan selamat dari semua tamu. Mereka juga bersedia diwawancarai secara khusus oleh para wartawan dalam konferensi pers terbuka. Sahabat-sahabat Pangeran dan Mentari meluangkan waktu lebih lama setelah semua tamu bubar. *** Pada saat acara konferensi pers tersebut berlangsung, keluarga Ronggowasito segera meninggalkan tempat setelah acara resmi selesai. Namun, Abimayu Kencana menahan mereka. Membuat mereka tak bisa beranjak. Apalagi kemudian, secara diam-diam, mereka segera digiring menuju ruang khusus yang telah disiapkan. Kakak lelaki Safira sudah menunggu di sana. Menambah shock ayah dan anak itu. Ibunya langsung menangis memeluknya. Safira mengakui perbuatannya di depan kakeknya. Dia telah menyuruh orang untuk mencelakai Mentari dan menodainya karena dia ingin menghancurkan mental Mentari dari dalam. Meniadakan salah satu persyaratan utama yang dia ketahui untuk menjadi calon Ratu Indoensia. Perempuan itu menangis tak berhenti ketika kakeknya menyampaikan harapannya dan rasa penyesalannya telah menanamkan begitu banyak hal buruk. Safira merasa otaknya berputar-putar. Segala impian yang dibangunnya terasa runtuh. Marah pada kakeknya. Marah pada ayah dan ibunya. Marah pada kakaknya. Dia tak berhenti menangis dan berteriak histeris sampai dokter istana yang telah dipercaya membawanya dan memberikan obat penenang. 219 | M e n t a r i S e n j a
Ronggowasito tak berkutik ketika anak lelaki dan ayahnya menyampaikan kesaksiannya. Begitu juga dengan daftar kejahatan lain yang telah terkuak dan bukti-bukti yang tak dapat disangkal. Termasuk pembunuhan lain yang dilakukan tim mafianya untuk menghilangkan pesaing-pesaing bisnisnya. Kepala intelegen kerajaan menawarkan 2 pilihan berat padanya. Antara membuka kasus ini ke publik dan menghadapi berbagai konsekuensi memalukan lainnya. Atau menandatangani perjanjian pengunduran diri, pelepasan sukarela dari status kebangsawanan, menandatangani penyerahan semua kekayaan pribadi pada negara kerajaan Indonesia, dan menjalani hidup bersama keluarganya di tempat pengasingan yang dirahasiakan dengan identitas baru. Ronggowasito, tak bisa mengelak lagi. Dengan tenaga tersisa dari kemarahannya, dia tanda tangani semua surat itu. Abimayu Kencana lebih banyak tersenyum padanya meski pun Ronggowasito nampak sangat marah dan memperlihatkan tatapan kebencian yang amat sangat. Abimayu paham, proses membuat seseorang tersadar sepenuhnya, dengan profil kuat seperti anaknya dan dirinya tidaklah mudah. Namun dia bersyukur, kejadian ini terjadi ketika dia masih bisa melakukan sesuatu. Terjadi saat anaknya masih menginjak usia yang muda dibandingkan dirinya. Sehabis sesi itu selesai dan semua proses dilakukan dengan diam-diam, Abimayu Kencana meluangkan waktu berbicara dengan Baginda Raja, Baginda Ratu, dan Baginda Sepuh. Menyampaikan rasa terima kasihnya atas semua yang telah dilakukan pihak kerajaan dan maafnya atas waktu mereka yang tersita untuk itu. Tentu saja, hal ini disambut dan diterima dengan baik oleh keluarga kerajaan. Bahkan Baginda Raja sendiri menawarkan posisi pustakawan padanya. Namun dia tolak dan memilih bergabung dengan keluarganya di tempat pengasingan. ***
Mentari Senja Pangeran Samudera mengajak Mentari ke villa pribadinya setelah sebulan acara peresmian pertunangan mereka terlaksana. Vila itu ternyata terletak di pesisir pantai selatan daerah Ujung Kulon. Terletak di puncak sebuah tebing yang di bawahnya adalah laut. Mereka duduk di senja hari di kursi kayu depan rumah. Menatap senja yang tampil memesona senantiasa. Pangeran merangkulkan tangann pada Mentari yang merebahkan kepalanya ke bahunya. “Ini adalah pertama kalinya aku membawa masuk orang lain selain diriku datang ke sini. Aku tak bisa berhenti bersyukur bahwa orang itu adalah kamu, Mentariku”, kata Pangeran lembut sambil tersenyum. “Hmm.. aku juga. Berterima kasih padamu telah membawaku ke sini dan memperlihatkan kemegahan senja ini padaku”, jawab Mentari. “Matahari dan senja. Mentari senja. Tempat dimana aku pulang dan mengakhiri perjalananku nanti”, kata Pangeran Samudera sambil membelai rambut calon istrinya. “Samudera Angkasa dan namaku ada di antaranya”, balas Mentari sambil tersenyum. “Jadi, berapa anak yang kamu mau?”, tanya Pangeran. “Hmmm...3?” “Tiga saja? Wahhh...terlalu sepi, bagaimana kalau 5?”, seru Pangeran sambil tertawa. “Yang 2 lagi kamu saja yang melahirkannya”, jawab Mentari. “Ahahaha! Ya, ya, ya... Tiga juga tidak apa-apa. Mau buat sekarang?” 220 | M e n t a r i S e n j a
“Ihhhh...apaan sih kamu? Tidak boleh dulu”, Mentari tersipu. Pangeran tersenyum. Matahari menuju cakrawala. Menebarkan bias cahaya hingga batas langit dan samudera dihiasi cahaya kuning keemasan diselingi pancaran merah bata. Menggaungkan keagungan dan kemegahan senja. Menarik hati kedua insan itu untuk tersenyum. Saling memandang kedalaman mata masing-masing. Ciuman manis menyempurnakan pemandangan di sore itu. (Tamat) 1 Juli s.d. 20 Juli 2013 Sukanagara
221 | M e n t a r i S e n j a