4 Menjalani Peran Srikandi Migas
51
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Konversi Minyak Tanah ke LPG Pentingnya Ketahanan Energi Ketahanan Energi merupakan salah satu aspek penting dalam mendukung ketahanan nasional. Seluruh prikehidupan masyarakat tidak terlepas dari penggunaan energi. Sedikit saja terjadi riak energi akan membawa berdampak besar. Misalnya, kenaikan harga BBM membuat seluruh masyarakat Indonesia “teriak” agar kenaikan tersebut dibatalkan. Begitu pula apabila terjadi kelangkaan pasokan, selalu menimbulkan gejolak serius. Dalam konsep ketahanan nasional, elemen utama yang mendukung ketahanan nasional adalah ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan nasional, dan ketahanan budaya. Uniknya, energi mempengaruhi keempat elemen tersebut sehingga ketahanan energi menjadi sangat penting untuk dijaga. Harus diakui bahwa kita masih tergolong boros dalam menggunakan energi. Hal ini tercermin dari elastisitas pertumbuhan konsumsi energi terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih di atas 1. Pada tahun 2006 Indonesia berada di indeks 1,8, bahkan pada tahun 1991-2005 mencapai 2,02. Padahal negara yang hemat dalam penggunaan energi harus di bawah 1. Angka tersebut menunjukkan bahwa PDB Indonesia masih sangat tergantung pada konsumsi energi. Meskipun intensitas penggunaan energi nasional kita tergolong tinggi, namun konsumsi energi per kapita Indonesia justru rendah. Indeks intensitas energi Indonesia mencapai 470, sementara konsumsi energi per kapita adalah 0,467. Bandingkan dengan Jepang, intensitas energi 92,8 sementara konsumsi energi per kapita-nya adalah 4,14. Angka tersebut memperkuat gambaran bahwa penggunaan energi di Indonesia belum produktif dan belum merata. Sebelum tahun 2007, masyarakat Indonesia menggunakan minyak tanah sebagai sumber energi rumah tangga. Pemerintah memberikan subsidi yang cukup besar terhadap minyak tanah karena bahan bakar tersebut sangat dipengaruhi harga minyak dunia yang menunjukkan kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
52
Menjalani Peran Srikandi Migas
Oleh karena itu, pemerintah berupaya mencari solusi agar subsidi minyak tanah tidak membebani keuangan negara. Dari evaluasi ditemui juga fakta bahwa minyak tanah yang disubsidi tersebut tidak tepat sasaran. Banyak penyelewengan yang terjadi sehingga minyak tanah bersubsidi yang harusnya dinikmati masyarakat kecil malah dikonsumsi oleh industri dan masyarakat mampu.
Roadmap Program Konversi Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan untuk menjaga keamanan pasokan energi dalam energi. Hal ini dipicu juga oleh kondisi harga minyak bumi yang semakin tinggi dan produksi minyak Indonesia kian turun. Pada kebijakan tersebut juga dirancang mengenai transformasi bauran energi nasional, yang pada prinsipnya mengurangi penggunaan minyak bumi secara signifikan secara bertahap. Sebelum tahun 2006 Indonesia menggunakan lebih dari 51 persen sumber energi dari minyak bumi. Dengan demikian dapat dikatakan ketahanan energi nasional sangat bergantung pada stabilnya pasokan minyak bumi dengan harga yang wajar. Padahal pada kenyataannya justru pasokan dan harga minyak bumi menjadi masalah yang akan terus berkepanjangan. Produksi minyak Indonesia menurun karena belum ada penemuan baru yang besar. Sebaliknya, produksi gas meningkat pesat. Namun, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. tetapi juga di beberapa negara. Oleh karena itu, komposisi lebih dari 50 persen yang sebelumnya diisi oleh minyak bumi ditargetkan pada tahun 2025 berubah menjadi 30 persen untuk gas bumi dan 20 persen diisi oleh minyak bumi.
53
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa strategi yang dikembangkan adalah melakukan diversifikasi energi. Dari sebelumnya sangat bergantung dari energi fosil, perlahan-lahan dikurangi dengan kompensasi mencari alternatif sumber energi lain. Program Diversifikasi Energi Energi
Rumah Tangga
Transportasi
Industri
Pembangkit listrik
√ √
√ √
√ √
– √
√ √ √ –
– – √ √
√ √ √ √
√ – √ √
√ √ √
√ √ –
– √ –
√ √ √
Gas LPG CNG Coal Coal Briquette Liquefied Coal Gasified Coal Biofuel Bio-ethanol Bio-diesel Geothermal Oher Renewable Energy
54
Menjalani Peran Srikandi Migas
Energi Biomass Nuclear Hydro Solar Wind Coal Bed Methane (CBM) Hydrogen / Fuel Cell Oil Shale/Oil Sand Biogenic Gas
Rumah Tangga √ – – √ – √
Transportasi
Industri
– – – √ – √
– – – – – √
Pembangkit listrik √ √ √ √ √ √
√ √ –
– √ –
√ √ √
– – √
Gas merupakan salah satu sumber energi yang relatif lebih murah dan Indonesia memiliki cadangan yang cukup besar. Hal inilah yang kemudian meneguhkan hati pemerintah untuk mengambil kebijakan pengalihan penggunaan minyak tanah (mitan) ke LPG. Selain sesuai dengan kebijakan diversifikasi energi, LPG memiliki keuntungan dari sisi lingkungan dan lebih praktis. Pemakaian LPG terbukti lebih efisien, murah, dan ramah lingkungan. Efisiensi terjadi karena nilai kalori LPG lebih tinggi dibandingkan mitan, yaitu 11.254, 61 Kkal/Kg sementara mitan hanya 10.478,95 Kkal/Kg. Nilai kalori yang lebih besar tentu memberikan panas yang lebih maksimal sehingga mempercepat waktu memasak. Selain itu, LPG juga terasa lebih murah dibandingkan minyak tanah. Pemakaian satu liter minyak tanah setara dengan pembakaran 0,57 Kg LPG. Dengan demikian LPG memberikan penghematan finansial Rp 16.500 hingga 29.250 bagi pengguna. Pemakaian gas untuk memasak juga menjamin kebersihan dapur dan alat masak karena pembakaran gas minus asap dan tidak berbau. Dibandingkan dengan minyak tanah keunggulan gas dari aspek lingkungan sangat positif. Emisi gas karbon LPG hanya 17,2 mg untuk pembakaran 1 kg LPG, sedangkan minyak tanah adalah 19,6 mg per 1 kg-nya.
55
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Konversi mitan ke LPG sekaligus dimanfaatkan untuk menanggulangi masalah penyelewengan minyak tanah bersubsidi. Oleh karena itu, sesuai dengan Perpres No 104 tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 kg, sasaran konversi hanya dua saja yaitu rumah tangga dan usaha mikro. ..... 2007 ke belakang • Minyak tanah digunakan oleh sebagian besar rumah tangga Indonesia (9,9 juta KL) dan disubsidi secara besar-besaran oleh Pemerintah (Rp. 37 T/tahun) • LPG hanya digunakan 10% rumah tangga dan harga per tabung jauh lebih mahal dari harga subsidi eceran minyak tanah.
9,9 Kero
1,1 LPG
2007 - 2009 • Program pemerintah: mendistribusikan 42 juta paket konversi kepada rumah tangga yang berhak • 2.069 juta KL Minyak Tanah yang telah ditarik sampai dengan akhir 2008 s/d akhir tahun 2008 telah terbagi 19 juta paket • Target akumulasi penarikan minyak tanah sampai dengan tahun 2009, 4.1 juta KL dan pembagian paket perdana 23 juta paket (apabila pembangunan infrastruktur dapat selesai sesuai target waktu)
2010 ke depan .... • LPG akan menjadi bahan bakar utama dengan estimasi volume LPG sebesar 3,5 juta Ton/tahun • 6 juta KL Minyak Tanah akan ditarik dari peredaran sehingga tersisa sebesar 3,9 juta KL.
5,8
3
3,9
4,1
Kero
LPG
Kero
LPG
Roadmap program konversi minyak tanah ke LPG (sumber Ditjen Migas, 2011)
Transformasi Budaya Tingkat Nasional Pada tahap awal (2007-2008), program konversi dilakukan di daerah yang relatif mudah terjangkau untuk memudahkan evaluasi. Pada tahun 2009 hampir seluruh Pulau Jawa telah ter-cover dan beberapa provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pencapaian mengesankan terjadi pada tahun 2010 yang sudah meliputi mayoritas empat pulau besar di Indonesia. Program konversi minyak tanah (mitan) ke LPG pada awalnya bisa dikatakan sangat ambisius. Hanya dalam tiga tahun (2007 – 2010) ditargetkan sebanyak 52,9 juta paket LPG sudah harus didistribusikan. Pada kurun tersebut juga program konversi telah berhasil menarik stok mitan sebesar 6,0 juta KL. Itu berarti mampu menghemat Rp. 37,08 triliun rupiah. Dari angka itu sebesar 25,64 triliun sudah dikembalikan kepada APBN. Sisanya sebesar 11 triliun digunakan untuk pengadaan kompor dan tabung gas elpiji 3 kg.
56
Menjalani Peran Srikandi Migas
Roadmap program konversi minyak tanah ke LPG (sumber Ditjen Migas, 2011)
Pada suatu acara, Perdana Menteri India menyatakan niatnya ingin belajar ke Indonesia karena mereka juga memiliki program yang sama. Tetapi, untuk mengganti ke 200 ribu saja India mengalami kesulitan. Nah, Indonesia dalam satu tahun saja bisa melakukan konversi hingga jutaan tabung gas. Pada tahun 2010, upaya konversi penggunaan mitan ke LPG sempat mengalami cobaan, yakni dengan terjadinya peristiwa ledakan tabung LPG dimana-mana. Padahal kita sudah melakukan sosialisasi besar-besaran, tetapi mendapat ujian yang harus segera ditanggulangi karena berpeluang mementahkan kembali program pengalihan ini. Masyarakat, media, dan pengamat ramai-ramai melayangkan protes. Hal yang paling berat adalah menyadarkan masyarakat untuk menggunakan LPG. Tadinya masyarakat sama sekali tidak mau mengikuti program tersebut. Salah satu alasan yang kerap saya terima adalah masyarakat tidak yakin bertransaksi LPG. Kalau membeli minyak tanah bendanya kelihatan dan pembeli dapat mengetahui ukuran minyak tanah yang ia beli. Sedangkan LPG sama sekali tidak kelihatan. Kemudian masyarakat juga takut LPG dapat meledak.
57
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Ini menjadi tugas berat karena mengubah paradigma dan kebiasaan itu tidaklah mudah. Apalagi perubahan ini pada level satu negara. Saat mengawal program konversi ini saya harus keliling kesana kemari melakukan sosialisasi. Beruntungnya karena sasaran utama sosialisasi adalah ibu rumah tangga, pada setiap kesempatan sosialisasi saya selalu menggunakan pendekatan komunikasi ibu rumah tangga. Mulai dari cara memasang tabung gas hingga menggunakannya untuk memasak di dapur. Sejak 2009 kita melibatkan berbagai unsur untuk menyukseskan dan mengawal program konversi ini. Mulai dari Kejaksaan, Polisi, BPKP, dan yang lainnya agar seluruh kegiatan yang berjalan tetap berada pada koridor hukum yang sesuai. Manfaat tambahannya, Polisi juga ikut serta menjadi agen sosialisasi di lapangan. Dengan adanya kejadian meledaknya tabung LPG 3 kg tersebut, kita melakukan evaluasi. Kenapa sejak tahun 2007 program ini berjalan baru di tahun 2010 terjadi sekian banyak kejadian ledakan LPG. Setelah dievaluasi ternyata penyebab utamanya adalah selang gas yang sudah kadaluarsa. Langkah yang kita tempuh saat itu adalah mengganti seluruh selang dan regulator dengan dana pemerintah. Sumber permasalahan utama sebenarnya pada selang yang sudah tidak layak pakai. Dengan upaya sosialisasi penggunaan LPG sedemikian intensnya, ternyata pemahaman masyarakat terhadap karakteristik LPG masih belum merata. Bayangkan, saya menemukan kasus di sebuah daerah. Selang LPG yang rusak diganti dengan pipa PVC, padahal selang LPG memang didesain khusus untuk menangani gas LPG. Ada juga yang menggunakan selang air sebagai pengganti selang LPG yang rusak. Selain akibat penggunaan selang yang sudah kadaluarsa, kebocoran gas juga diakibatkan karet seal yang kurang pas. Ditambah lagi ventilasi udara yang kurang di sekitar tabung gas turut andil dan menyebabkan kebakaran. Dengan ventilasi yang buruk dan terjadi kebocoran gas, inilah akar masalahnya karena gas LPG lebih berat daripada udara. Apabila terjadi kebocoran maka gas tersebut akan mengalir ke bawah dan menjalar kemanamana. Pemahamanan karakteristik gas seperti ini sekaligus menjadi bahan evaluasi untuk sosialisasi-sosialisasi berikutnya.
58
Menjalani Peran Srikandi Migas
Menjelaskan bagaimana cara memasang regulator dan selang LPG 3 kg kepada masyarakat (dokumentasi: Antara Foto)
Peristiwa itu membuat kami pontang-panting mengatasi isu yang berkembang. Sosialisasi yang telah dirintis sejak tahun 2007 terancam gagal. Banyak yang bersuara kalau pemerintah selama ini membohongi rakyat dengan program konversi gas LPG. Bahkan LPG 3 kg menjadi bahan olok-olok sebagai hadiah bom untuk rakyat dari pemerintah.
59
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Memanfaatkan Coal Bed Methane (CBM) Perubahan Paradigma Industri Migas Hingga tahun 2011, cadangan minyak dan gas bumi Indonesia tidak beranjak dari cadangan di tahun 2009. Padahal pemakaian energi semakin tinggi dari tahun ke tahun. Tidak bertambahnya cadangan migas tersebut karena Indonesia belum menemukan cadangan minyak dan gas baru pada kurun 2009-2011. Sejak menjadi Dirjen Migas, saya selalu menyampaikan perubahan paradigma dalam mengembangkan industri migas di Indonesia. Kita tidak dapat lagi menggunakan paradigma lama yang terlalu mengandalkan minyak bumi. Harus ada upaya agar tidak terjebak pada harga minyak bumi yang sering mendatangkan terapi kejut. Ada dua paradigma yang senantiasa saya sampaikan. Dari minyak ke gas (from oil to gas) dan dari barat ke timur (from west to east).
Dari Minyak ke Gas Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, cadangan minyak Indonesia cenderung stagnan sehingga tidak dapat meningkatkan produksi minyak. Dampaknya, jika masih mengandalkan sumber energi dari minyak maka Indonesia harus siap dengan konsekuensi kenaikan harga minyak dunia yang akan menggerogoti keuangan negara lebih dahsyat lagi. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara penghasil batu bara dalam jumlah yang sangat besar. Peluang yang dapat dimanfaatkan adalah memproduksi gas metana dari batu bara sebagai salah satu sumber energi. Dari grafik di bawah ini dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran pemanfaatan energi dari minyak ke gas. Oleh karena itu, produksi gas metana batu bara, atau lebih terkenal dengan coal bed methane (CBM) menjadi sangat beralasan. Hal ini didukung pula dari beberapa kajian yang menyatakan bahwa produksi gas di tahun 2025 tidak akan dapat mengimbangi tingginya tingkat kebutuhan gas dalam negeri yang akan meningkat drastis.
60
Menjalani Peran Srikandi Migas
Potensi cadangan CBM di Indonesia setara dengan 453 TCF sehingga berpeluang besar untuk menutupi kekurangan cadangan gas nasional. CBM juga termasuk energi alternatif yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Tren penggunaan energi dari minyak yang terus turun sementara gas meningkat, terutama setelah tahun 2002.
Dari Barat ke Timur Perubahan lain yang terjadi, produksi migas Indonesia yang dulu mengandalkan wilayah Barat Indonesia kini sudah mulai berpindah ke wilayah Timur Indonesia. Kebanyakan pelelangan area Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang ditawarkan adalah di wilayah Timur Indonesia. Karakter lain yang mengikuti pergeseran dari Barat ke Timur ini adalah produksi migas Indonesia juga bergeser dari onshore ke offshore.
61
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Pergeseran produksi migas, dari barat ke timur dan dari onshore ke offshore.
Mendorong Pemanfaatan CBM Dengan besarnya potensi CBM di Indonesia, saya sangat mendorong agar Indonesia menggarap serius potensi CBM ini. Dari sudut pandang pemerintah, yang harus dilakukan adalah merampungkan regulasi agar iklim investasi CBM dapat dilindungi dengan baik. Kemudian, kita juga harus berupaya agar tercipta kontrak kerja sama sehingga produksi gas metan batu bara bisa terealisasi dengan baik. Pada saat menjabat sebagai Dirjen Migas, upaya tersebut membuahkan hasil dengan telah ditandatanginya Kontrak Kerja Sama sebanyak 54 Kontrak Kerja Sama (KKS) Gas Metana Batu Bara. Perkembangan Kontrak Kerjasama CBM
62
Menjalani Peran Srikandi Migas
Cadangan dan sumberdaya CBM
63
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Mendorong Terwujudnya Terminal LNG Indonesia Karakteristik geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau memberikan tantangan tersendiri dalam pemanfaatan energi. Lokasi keterdapatan sumber energi dengan pemanfaatan energi berada di lokasi yang terpisah. Pada era sebelumnya, daerah penghasil gas Indonesia adalah Sumatera dan Kalimantan. Saat ini lokasi lain di Indonesia Timur juga sudah mulai ada. Misalnya Donggi Senoro di Sulawesi, Tangguh di Papua, dan Masela di Maluku. Oleh karena itu kita berpikir bagaimana caranya menyalurkan gas dari daerah penghasil gas ke daerah yang membutuhkan gas. Salah satu solusinya adalah menggunakan Floating Storage and Regasification Unit (FSRU). Sebagai Dirjen Migas saat itu, saya sangat mendukung diwujudkannya FSRU pertama di Indonesia ini. Sebab, proyek FSRU tersebut merupakan salah satu tahapan penting dalam sejarah baru dalam pemenuhan kebutuhan gas domestik. Ditinjau dari sisi harga, harga gas yang dijual melalui FSRU memang sedikit lebih tinggi dibandingkan harga gas yang disalurkan melalui pipa. Tetapi harga gas FSRU jauh lebih rendah dibandingkan BBM. Dengan asumsi disparitas BBM dengan gas sebesar 9 dolar US, setidaknya kita bisa menghemat 700 juta dolar US selama setahun. FSRU merupakan semacam tangki yang terapung dan tertambat di wilayah perairan dangkal untuk menyimpan LNG sementara waktu. Agar dapat terapung, tangki tersebut dibangun di atas sebuah kapal. Kapal-kapal pengangkut gas akan memasok gas ke FSRU tersebut. Sembari menunggu pasokan gas datang, FSRU dapat melakukan regasifikasi LNG sehingga begitu sampai ke konsumen gas dari FSRU dapat langsung dipakai untuk berbagai kebutuhan. Sementara ini, FSRU yang terletak di utara Pulau Jawa tersebut diperuntukkan sebagai stasiun gas bagi pembangkit listrik. FSRU terdiri dari dua komponen utama, yaitu sejumlah tangki penyimpan LNG dan sebuah sistem regasifikasi.
64
Menjalani Peran Srikandi Migas
Ilustrasi kreatif FSRU
FRSU pertama di Indonesia diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono pada 6 Desember 2012. Sebelumnya, saya ikut menjemput kapal tersebut dari Balikpapan. Lucunya, kapal yang kita pakai untuk FSRU pertama ini adalah kapal yang sama—dengan perbaikan tentunya—dengan kapal pengangkut LNG pertama beberapa puluh tahun silam. Artinya, membuat terminal penampung gas terapung kita tidak membutuhkan kapal yang mahal. Cukup kapal bekas tetapi masih layak operasional. Operator yang ditunjuk untuk mengoperasikan FSRU ini adalah PT Nusantara Regas yang merupakan perusahaan joint venture antara Pertamina dengan PGN. FSRU pertama Indonesia tersebut selanjutnya diberi nama FSRU Regas Satu dan berada di Jawa Barat. FSRU Regas Satu berkapasitas maksimum 3 juta metrik ton LNG per tahun, FSRU tersebut mampu memasok 400 mmscfd gas untuk PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok. Dengan adanya terminal LNG ini—dan akan ditambah lagi di berbagai tempat—berarti kita menorehkan sejarah baru bahwa pemanfaatan LNG untuk sumber energi domestik dapat diselesaikan di tengah masalah pengangkutan yang selama ini menjadi kendala. Investasi pembangunan FSRU memang tergolong cukup tinggi, tetapi investasi tersebut sangat sepadan dengan manfaat yang diperoleh. Apalagi Indonesia memiliki
65
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
cadangan gas yang berlimpah. Oleh sebab itu, pemanfaatan gas yang disalurkan dari FSRU ini lebih tepat untuk keperluan listrik dan industri karena harganya relatif lebih mahal dibandingkan yang disalurkan melalui pipa gas bumi yang telah ada. Selanjutnya, pemerintah—dalam hal ini Ditjen Migas—memiliki fungsi pengawasan dan monitoring pembangunan FSRU ke depan. Ini menjadi salah satu amanat dalam Inpres No 01 Tahun 2010 untuk mengatasi defisit gas di dalam negeri. Setelah sukses dengan pembangunan FSRU Jawa Barat, berikutnya direncanakan pembangunan FSRU yang sama di Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Saat menjadi Dirjen Migas, saya rutin menggelar rapat dengan pihak-pihak terkait agar FSRU ini berjalan lancar.
Saat mewakili Menteri ESDM saat menerima FSRU pertama di Indonesia.
66
Menjalani Peran Srikandi Migas
Lika-Liku Menjadi Dirjen Migas Melakoni Tugas Tidak Tertulis Menurut saya, tugas yang paling berat saat menjadi Dirjen Migas adalah melakoni tugas yang tidak tertulis. Meskipun tidak tertulis, tetapi justru itulah yang menjadi kunci utama peran Dirjen Migas. Salah satu contoh tugas tak tertulis yang saya maksud adalah mendamaikan masalah pihak-pihak yang berseteru di industri migas. Mengingat besarnya investasi pada industri ini dan sarat kepentingan banyak pihak yang berada dalam konflik tak berkesudahan. Misalnya perseteruan antara PGN dan Pertamina terkait transportasi gas. Keduanya bisa saling tarik-menarik kepentingan dan tidak menghasilkan titik temu, padahal gas yang diproduksi harus dipakai oleh PLN. Padahal pihak-pihak yang saling seteru ini sama-sama milik negara. Bisa dianalogikan kurang lebih seperti anak-anak yang rebutan permen. Sebagai pihak yang mewakili pemerintah, saya harus mencoba berada di tengah-tengah dengan meminta mereka untuk mengenyampingkan ego masing-masing. Untuk mengatasi kasus seperti ini saya memanggil seluruh pihak yang sedang berseteru. Yang saya lakukan adalah mendengar apa sih yang menjadi masalahnya, kemudian mengajak semuanya untuk melihat lebih luas dengan kacamata kepentingan nasional. Biasanya, setiap pihak saling lempar argumen sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Jadi, solusinya tidak bisa hanya mengatasi masalah mereka sendiri-sendiri karena ada kalanya saling bertolak belakang. Saya selalu mendorong mereka untuk mencari solusi saling menang (win-win solution) meskipun masing-masing pihak harus mengorbankan kepentingannya sendiri demi kepentingan nasional. Kasus lain yang selalu menemui deadlock adalah perihal formula harga gas. Produsen gas dan pengguna gas yang sama-sama berpelat merah bisa juga saling ngotot sehingga formula harga gas tidak menemui kata sepakat. Saya pernah memanggil para petinggi perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam negosiasi formula harga gas. Masya Allah, saya baru tahu kalau diskusi
67
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
mereka sudah saling ngotot dan dengan tensi yang tinggi. Padahal saat itu saya hanya punya waktu sebentar saja karena harus rapat dengan Menteri dengan DPR, tetapi mereka masih bersilat argumen di kantor. “Bapak-bapak, kira-kira berapa lama lagi diskusinya? Kalau masih lama, tidak apa-apa saya ladeni. Saya akan telepon Pak Menteri untuk membatalkan rapat.” Setelah dipotong begitu, mereka baru sadar kalau mereka berseteru di ruangan Dirjen Migas dan dari tadi saya mengamati mereka. Saya sampai geleng-geleng kepala karena mereka sudah negosiasi lebih dari enam bulan dan tidak menemui kata sepakat. Di titik deadlock masing-masing bertahan dengan amat kerasnya. Kemudian, saya menengahi dengan cara meminta mereka membuka apa yang menjadi kendala. Masalahnya selama ini ada saja yang ditutup-tutupi. Saya katakan, kalau kita ingin menyelesaikan masalah, semuanya harus mau terbuka. PLN, Pertamina, Pupuk, PGN, dan lainnya punya negara. Lah, semuanya punya negara tetapi kok malah saling tertutup. ROI-nya ditutupi, IRR-nya disembunyikan, dan mereka negosiasi dengan mengedepankan kepentingan masing-masing. Ya, bagaimana mau menemukan titik sepakat kalau begitu caranya. Akhirnya saya minta mereka untuk membuka semuanya agar diskusinya lebih terang benderang. Setelah diintervensi begitu, hanya dalam waktu dua jam permasalahan formulasi harga gas tadi bisa diselesaikan. Kuncinya, kita harus bisa menengahi tanpa mereka merasa kita berpihak lebih berat ke salah satu pihak. Kemudian, kita harus kembalikan kepada kepentingan nasional. Di tengah menyeimbangkan kepentingan-kepentingan tadi, yang saya lakukan adalah banyak-banyak mendengar setiap pendapat yang ada. Tetapi sikap tegas harus selalu dipegang karena jika sekedar mendengar tanpa adanya ketegasan hasilnya malah bisa bertambah runyam. Itulah rumus yang selalu saya pegang: tegas tetapi harus siap mendengarkan pendapat orang lain.
68
Menjalani Peran Srikandi Migas
Menyeimbangkan Pengetahuan Masyarakat Umum dengan Realitas Produksi migas Indonesia semakin lama semakin berkurang karena saat ini belum ditemukan lagi cadangan baru. Kita hanya mengandalkan lapangan minyak lama untuk menghasilkan minyak. Padahal target produksi migas dituntut untuk meningkat. Untuk menaikkan produksi migas, jalan satu-satunya adalah meningkatkan investasi untuk mencari cadangan baru. Yang sering luput dari pandangan kita semua adalah karakter investasi migas itu berbeda dengan investasi di bidang lain. Ciri khas investasi di sektor ini adalah high cost, high tech, and high risk. Dengan demikian, tidak banyak yang “bermain” pada sektor ini. Kita membutuhkan investasi tetapi justru seringkali malah alergi dengan investasi. Jadi kurang lebih pada posisi butuh tapi ogah. Bagaimana mencari titik temu inilah yang menjadi tugas berat saat saya menjadi Dirjen Migas. Saya harus bisa menjamin iklim investasi migas tetap kondusif sekaligus menjelaskan ke seluruh lapisan masyarakat bahwa kita sangat membutuhkan investasi migas. Tidak semua investor berani mengambil risiko berinvestasi di sektor migas. Jadi Dirjen Migas harus menempatkan diri di tengah-tengah, yakni menyeimbangkan kepentingan nasional dan menjaga agar investor tetap nyaman berinvestasi di sektor migas Indonesia. Bagi saya tugas ini sangat tidak mudah karena mendamaikan dua kutub yang terus saling berebut menang ini memang sulit. Oleh karena itulah saya selalu berusaha menyediakan hati untuk mau mendengarkan, meskipun pada praktiknya sulit tetapi begitulah cara untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Hal-hal seperti ini justru yang membuat tugas sebagai Dirjen Migas menjadi kian menantang. Banyak pengamat dan anggota DPR yang menyampaikan ke saya, kenapa perusahaan migas tidak dinasionalisasi saja? Menjawab pertanyaan ini harus penuh kesabaran. Urusan nasionalisasi tidak semudah yang dibayangkan. Banyak yang tidak paham bahwa kita belum mampu berinvestasi begitu besar di industri migas. Kalau seluruh perusahaan migas kita nasionalisasi, dananya
69
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
darimana? Nah, kalau sudah bicara sumber dananya darimana tidak ada yang bisa menyajikan solusi komprehensif. Kesimpulan saya, saat ini kita masih membutuhkan teknologi dan investasi yang memang harus didatangkan dari luar. Bukan berarti kita menggantungkan diri terhadap peran luar tersebut, kita juga harus secara aktif agar memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam Indonesia, baik dari sisi teknis maupun finansial. Setelah otonomi daerah berlaku, ini menjadi tantangan juga karena daerah memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan era sebelum reformasi. Dalam hal investasi sektor migas, banyak daerah yang kurang memahami karakter investasi migas yang saya sebutkan tadi. Belum lagi banyak diberlakukan peraturan daerah yang aneh-aneh. Banyak investor yang mengeluhkan keadaan ini kepada saya. Nah, untuk mengatasi ini kita harus benar-benar pas menempatkan diri. Pendekatan yang dilakukan adalah menjalin komunikasi dengan semua pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman. Contoh peraturan daerah yang saya sebut tadi, ada daerah yang mewajibkan seluruh pekerja migas yang ada di daerahnya untuk memiliki KTP daerah tersebut. Bahkan diatur melalui perda. Saya bisa memahami alasannya adalah untuk membuka kesempatan putra-putri daerahnya bekerja di perusahaan yang beroperasi di sana. Tetapi, mewajibkan seluruh pekerja memiliki KTP daerah tersebut justru tidak menyelesaikan masalah. Sebab, ada porsi pekerjaan tertentu, terutama tenaga ahli yang memang sulit ditemukan di daerah tersebut. Belum lagi ada karyawan perusahaan yang berasal dari luar negeri (ekspatriat). Ada pula kasus perusahaan tidak boleh membangun gedung. Mereka diwajibkan menyewa gedung yang ada tetapi dengan harga yang sangat tinggi, bahkan mengalahkan standar sewa gedung di pusat kota Jakarta. Pokoknya banyak peraturan yang kalau kita nalar dengan akal sehat, terkesan mengada-ada. Padahal untuk meningkatkan multiplier effect, masih banyak jalan yang bisa ditempuh. Pendekatan seperti tadi menimbulkan kesan bangsa kita sangat oportunis. Di awal merayu untuk mendatangkan investor, begitu investor masuk, malah “dipalak” dengan berbagai aturan yang anehaneh. Contoh lain, misalnya ada produksi migas di suatu tempat yang pada saat transportasi melewati daerah lain. Nah, mereka dipaksa untuk membayar
70
Menjalani Peran Srikandi Migas
kepada daerah yang dilewati tersebut. Padahal sebenarnya sudah ada pembayaran resmi yang menyangkut pembagian keuntungan antar daerah. Namun, hal tersebut tidak dirasakan masyarakat setempat sehingga terjadilah pemalakan lagi. Sebagai Dirjen Migas saya harus hati-hati karena antara kepentingan negara, daerah, dan investor harus saya lindungi sekaligus. Kunci utamanya adalah mau mendengarkan keluhan semua pihak dan memberikan masukan yang pas sesuai kewenangan kita. Rumus tersebut ternyata terbukti ampuh. Ketika mendapatkan award Achivement in the Life Time dari Komunitas Migas Indonesia pada 2011 lalu. Saya ingat mereka bilang, “We missed you Ibu, meskipun keras dalam memimpin rapat tetapi mau mendengarkan.” Ada juga kisah menarik ketika kantor Ditjen Migas kedatangan tamu yang ingin melayangkan protes. Mereka jauh-jauh datang dari Papua dan menyampaikan protes mengenai pembangunan kilang LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Ada warga yang tidak sepakat tentang posisi kilang LNG di Teluk Bintuni. Apalagi warga di sekitar kilang mendapat penggantian rumah yang relatif bagus. Mereka datang sambil marah-marah, teriak-teriak hingga menimbulkan kegaduhan. Sampai-sampai sekretaris saya panik dan mengusulkan agar dipanggilkan satpam saja. Saya memutuskan untuk menerima dan mendengar aspirasi yang ingin mereka sampaikan. Bagaimanapun saya tidak bisa menghindari mereka, jadi lebih baik langsung dihadapi. Kebetulan ketika itu salah satu staf bidang hukum sedang mengandung (hamil - peny). Saya baru tahu disitu ternyata orang Papua memegang teguh kepercayaan tidak boleh berkata kasar kepada ibu hamil. Dengan demikian otomatis suasana pertemuan jadi jauh lebih santun. Jadi saya merasa sangat diuntungkan karena ada seorang staf yang mendampingi saya dalam kondisi hamil.
71
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Porsi Birokrasi Secukupnya Saja Birokrasi juga menjadi salah satu yang menjadi tantangan lain sebagai Dirjen Migas. Lemigas memang berada di bawah Kementerian ESDM, tetapi budaya di Lemigas jauh dari kesan birokratis. Seorang staf boleh saja berbicara langsung dengan Kepala Lemigas tanpa harus diatur dengan birokrasi berlapis-lapis. Bagi saya, suasana egaliter di Lemigas sangat nyaman dan menjadi rileks. Namun, ketika menjadi Dirjen Migas, birokrasi seringkali malah membuat segala sesuatunya menjadi tidak efisien. Di masa awal menjadi Dirjen Migas, ketika saya memimpin rapat perkiraan APBN yang membutuhkan koordinasi dengan pihak lain, BP Migas misalnya. Karena terlalu lama, saya putuskan untuk menemui saja direkturnya secara langsung. Namun, saya mendapat masukan bahwa secara birokrasi itu tidak lazim. Belum pernah ada Dirjen Migas yang mengunjungi BP Migas untuk meminta data. Padahal bagi saya tidak ada masalah sama sekali karena data tersebut memang dibutuhkan cepat. Saya merasakan birokrasi yang terlalu kaku membuat pekerjaan menjadi tidak efektif. Kalau di Lemigas, pegawai tingkat staf boleh saja masuk ke ruangan Kepala Pusat dan menyampaikan maksudnya. Nah, di Dirjen Migas hal itu tidak memungkinkan karena sudah terlanjur memiliki birokrasi yang berlapislapis. Contohnya, pada beberapa kesempatan rapat, saya melihat banyak yang enggan mengeluarkan pendapat. Semuanya mencoba berlindung seolah peran mereka di ruang rapat adalah pemanis saja. Semua budaya ini saya bongkar. Justru di saat rapat semua orang harus berani mengemukakan pendapat. Itu baru rapat yang benar. Saya merasa beruntung berasal dari Litbang/Lemigas yang budaya birokratisnya tidak terlalu kental. Saya ambil positifnya saja. Birokrasi itu penting untuk menjaga ketertiban, tetapi jangan sampai membangun dinding yang justru membuat kita tidak dapat bergerak lincah. Jadi, di Ditjen Migas saya berupaya mencairkan sisi negatif birokratis sehingga setiap orang nyaman berkomunikasi, cepat mengambil keputusan, dan berani berpendapat.
72
Menjalani Peran Srikandi Migas
Oleh karena itu, selama menjadi Dirjen Migas salah satu agenda saya adalah mengefisienkan birokrasi. Kalau di rapat orang harus berani mengutarakan pendapatnya. Jangan hanya manut-manut saja. Kalau ada urusan penting, segera menghubungi, tidak perlu pakai alur birokratis yang berbelit-belit.
Pengalaman Menghadapi DPR Pada akhir 2010, saya dipanggil oleh DPR sehubungan pengurangan subsidi BBM. Akar masalahnya adalah karena beberapa waktu sebelumnya saya sempat mengundang asosiasi produsen motor. Tujuannya untuk mendapatkan data produksi kendaraan bermotor sehingga dapat memperthitungkan pertumbuhan penggunaan BBM lebih pas lagi. Selain jumlahnya, saya juga ingin mendapat konfirmasi dari sisi produsen sepeda motor mengenai jenis bahan bakar yang mereka rekomendasikan untuk digunakan. Ternyata keluarlah berita seolah mempersepsikan undangan kepada industri sepeda motor tersebut adalah bagian dari intervensi Ditjen Migas untuk melarang masyarakat menggunakan sepeda motor. Dengan santernya isu yang berkembang, DPR memanggil saya untuk menjelaskan hal tersebut. Saya dicecar mengenai apa yang menjadi alasan Ditjen Migas melarang orang menggunakan sepeda motor? Padahal, alasan mengundang asosiasi produsen sepeda motor tersebut adalah untuk memperoleh data karena harus memberikan masukan tentang penggunaan BBM kepada Menteri. Tetapi info yang beredar malah berbeda sama sekali. Karena insiden yang dipicu oleh salah pemberitaan ini saya sampai dua bulan mogok komentar kepada wartawan manapun. Meskipun persepsi publik banyak yang cenderung miring terhadap DPR, saya merasa beruntung mendapat pengalaman berharga selama berinteraksi dengan anggota DPR. Tidak dipungkiri memang pada beberapa kasus, rapat dengan anggota DPR cukup menguji kestabilan emosi. Namun, banyak juga yang memberikan pengalaman berharga.
73
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Suasana rapat di DPR.
Salah satu contohnya saat menjadi Staf Ahli Menteri saya menjalani proses fit and proper test oleh Komisi VII DPR RI untuk calon Kepala BP Migas, saat itu saya menjadi salah seorang calon yang diuji. Pertanyaan yang diajukan memang berbobot dan saya menjawab apa adanya. Jabatan menjadi Kepala BP Migas memang tidak saya peroleh tetapi itu tidak masalah karena sejak awal saya sudah meniatkan dan berdoa untuk tidak mengejar jabatan semata. Yang menarik, selepas proses fit and proper test oleh Komisi VII DPR, beberapa anggota DPR memberikan apresiasi secara personal. Artinya ada penghargaan yang proporsional. Selain itu, mereka juga sudah memahami energi sesuai bidang mereka di Komisi VII dan ini sangat membantu dalam diskusi yang konstruktif. Salah satu karakteristik rapat dengan DPR adalah seolah tak mengenal waktu. Seringkali rapat berlangsung hingga pagi. Suami saya sering protes karena rapat di DPR sering lupa waktu. Pernah, saya mengikuti rapat DPR hingga pukul 3 dinihari. Selesai rapat kembali ke rumah dan sudah menjelang subuh. Selepas subuh saya sempatkan tidur satu jam karena pukul 9 pagi sudah harus membuka rapat di Kementerian ESDM.
74
Menjalani Peran Srikandi Migas
Pola kerja seperti itu memang kerap terjadi. Selain tantangan tugas yang penuh dinamika, kita juga harus mengorbankan istirahat agar seluruhnya bisa dijalani. Bahkan Sabtu-Minggu tetap harus menyediakan waktu untuk keperluan tugas.
Media dan Pengamat Beberapa orang menilai bahwa pengamat migas selalu memojokkan pemerintah dengan segala kebijakannya. Ada saja celah yang bisa dikomentari dan dijadikan alat untuk “menyerang” pemerintah. Namun, bagi saya hal tersebut merupakan bagian dari proses dan dinamika dalam tugas. Secara personal, para pengamat tersebut tidak ada masalah sama sekali. Pandangan yang mereka sampaikan di hadapan media merupakan hak sebagai warga negara untuk menyatakan pendapat. Memang ada pengamat yang menggunakan “jurus” itu-itu saja. Meskipun sudah diberikan penjelasan tetapi tetap mengangkat topik yang sama. Ada pula pengamat yang memang orientasinya adalah pembenahan dan solusi. Sehingga secara tidak langsung kita juga terbantu dengan input saran dari mereka. Prinsip yang senantiasa saya pegang, baik menghadapi pengamat yang bernada menyerang atau DPR dengan hujan pertanyaannya adalah tetap tenang, kepala dingin, dan taat pada aturan. Kita menjawab dengan porsi dan kewenangan yang wajar. Tidak malah ikut-ikutan terbawa skenario yang kadang memang bisa memancing emosi jika tidak pandai-pandai menahan diri. Begitu juga dengan teman-teman wartawan dari media yang selalu ingin berburu berita. Kadang malah tidak mengenal kapan hari libur atau istirahat. Upaya mereka mencari informasi begitu gigih. Hal itu saya sadari karena tugas mereka adalah mewakili suara publik sehingga sebagai pejabat publik saya juga harus menyambut dengan baik. Meskipun pernah punya pengalaman buruk akibat salah pemberitaan (kasus sepeda motor yang diceritakan sebelumnya), dari sana saya memperoleh pelajaran bahwa rekan-rekan wartawan harus dijadikan teman. Ada pula kejadian tidak nyaman ketika saya baru pulang dari Afrika Selatan. Saat
75
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
masih di bandara, saya mendapat telepon dari wartawan yang ingin mengonfirmasi berita. Berhubung sedang mengurus bagasi yang lumayan banyak, permintaan konfirmasi itu tidak saya sambut hangat karena memang sedang repot dan minta dihubungi kembali beberapa jam kemudian. Tibatiba muncul berita yang menyatakan saya enggan berkomentar mengenai suatu isu. Atas kejadian itu, saya langsung marah kepada wartawan yang bersangkutan. Ia sempat meminta maaf karena sudah mencoba berkali-kali menghubungi tetapi saya masih sibuk sehingga redakturnya mendesak untuk mengeluarkan berita dan itulah yang terjadi. Dengan dua kejadian saya belajar untuk membangun hubungan hangat dengan teman-teman wartawan cenderung hangat. Saya selalu menyempatkan diri untuk memberikan penjelasan saat mereka butuh informasi dan konfirmasi. Di akhir jabatan sebagai Dirjen Migas, ada kenangan yang mengharukan bagi saya. Mereka memberikan kenang-kenangan unik berupa buku yang ditulis sendiri. Wartawan yang berasal dari berbagai media itu menuliskan komentarnya mengenai saya.
Perempuan di Dunia Migas Menjadi Dirjen Migas perempuan yang pertama memberikan berkah tersendiri bagi saya karena bisa membuktikan kepada banyak orang bahwa perempuan juga bisa berprestasi di bidang yang terkenal dengan karakter maskulinnya ini. Saya selalu berprinsip try to the best, sehingga saat banyak yang meragukan kemampuan saya sebagai perempuan mampu memimpin migas Indonesia. Atas berbagai pencapaian selama menjabat sebagai Dirjen Migas, saya memperoleh banyak apresiasi. Namun semua itu tidak terlepas dari dukungan seluruh pegawai Ditjen Migas yang pada masa itu (2008-2012) mendapat tantangan yang luar biasa. Mulai dari konversi minyak tanah ke LPG yang merupakan hajatan besar tingkat nasional, mengupayakan diversifikasi energi Indonesia, sampai mendongkrak produksi minyak dan gas bumi. Berhubung Ditjen Migas pertama kali dipimpin seorang perempua, saya mendapat banyak apresiasi khusus. Mungkin bagi media atau orang
76
Menjalani Peran Srikandi Migas
Buku kenangan dari para wartawan sektor migas
77
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
kebanyakan peran tersebut luar biasa karena sudah terlanjur terkenal bahwa dunia migas adalah lingkungan yang keras dan hanya para lelaki yang tepat mengemban tugas memimpinnya. Padahal sejak awal, saya sudah meniti pengalaman panjang berkarir di lingkungan migas. Pada beberapa terbitan media, saya diwawancarai dari sudut pandang perempuan memimpin Ditjen Migas. Sejak saat itulah muncul sebutan Srikandi Migas yang populer disebarkan melalui media. Jika itu dianggap sebagai inspirasi saya merasa bersyukur atasnya. Mudah-mudahan semakin banyak perempuan Indonesia yang berkarya di sektor migas karena kehadiran perempuan memang sangat dibutuhkan. Saya pernah diminta menulis puisi dalam buku Puisi 123 Perempuan Indonesia yang terbit pada tahun 2011. Buku tersebut merupakan kumpulan puisi tokoh-tokoh perempuan di Indonesia. Puisi yang saya tulis tidak lepas dari bidang yang sehari-hari saya tekuni: migas. Berikut saya tampilkan puisi tersebut:
Minyak Bumi kau penyangga energi pengisi pundi negeri ini kau begitu dicari kadang juga dibenci nilaimu tak terperi pemberi kehidupan pada industri memberi nyala dapur kami kau juga tulang punggung transportasi kau berikan kerja pada putra-putri terbaik bangsa ini tapi karena sifatmu yang tak terganti nanti kau pun tak akan lagi menemani kami maka penggantimu harus dicari di saat ini pun adamu tak mudah lagi
78
Menjalani Peran Srikandi Migas
peliknya keberadaanmu peliknya bisa mendapatkanmu teknologi tinggi modal dan risiko begitu besar sudah harus tersaji terima kasih minyak bumi kau masih pelita negeri ini
Ketika masa tugas saya harus berhenti karena sudah menginjak usia 60 tahun, Pak Jero Wacik sebagai Menteri ESDM meminta saya untuk memperpanjang jabatan Dirjen Migas. Saya menolak karena merasa sudah saatnya untuk istirahat dari birokrasi. Tetapi beliau bersikeras sehingga diperpanjang jabatan saya sebagai Dirjen Migas selama satu tahun (hingga November 2012). Setelah itu Pak Jero Wacik meminta lagi perpanjangan untuk kedua kalinya. Tetapi saya benar-benar menolak kali ini, karena janjinya hanya setahun.
***
79