Menjadikan Hidup Bermartabat Oleh Masduki Ahmad Tentang Saya Sejumlah pria dengan caping yang tampak lusuh berkumpul di bawah pohon yang terlihat betul rindangnya. Beberapa perempuan desa turut mewarnai percakapan di antara mereka. Rupanya baru selesai mereka mengerjakan sawah. Berharap beberapa saat lagi dapat menuai hasil, padi yang ranum dan bawang merah yang besar dan bulat-bulat. Penghasilan yang dibutuhkan untuk menyambung hidup. Di desa Mulyasari Kecamatan Losari inilah saya dilahirkan, sebuah kampung di Cirebon yang lokasinya tepat di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Saya Masduki Ahmad. Saat ini masih menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Assyafiiyah Jabatan yang saya emban sejak 10 Ramdhan 1437 H silam. Saya dibesarkan oleh orangtua sederhana dengan prinsip hidup yang kuat. Prinsip-prinsip yang telah mereka tularkan dan menjadi panduan yang mengarahkan orientasi hidup saya hingga hari ini. Sejak kecil nilai-nilai religiusitas menjadi hal utama dan penting. Kegiatan-kegiatan ibadah begitu mewarnai keseharian keluarga kami. Kendati Bapak hanya pegawai negeri rendahan golongan II/d dan ibu seorang guru ngaji yang juga mengurus lahan pertanian yang kami miliki, namun mereka telah mengajarkan kepada saya bahwa batasan yang saya miliki hanyalah langit. Tidak ada cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak ada aturan harus menjadi apa. Saya dibesarkan dengan kedisiplinan yang tinggi dari seorang Bapak. Pada usia 10 tahun saya bersama teman sebaya yang lain untuk tidur di masjid karena pagi-pagi buta harus mengikuti pelajaran agama. Pendidikan dasar saya tembuh di Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah tidak jauh dari rumah tinggal terus dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) di Losari Brebes. Saya sarjana pertama di keluarga kami, di kampung kami atau mungkin di kecamatan kami. Lebih dari itu saya telah memilih untuk berkhianat dari pattern IAIN karena lebih memilih hukum sebagai bidang studi di Perguruan Tinggi ketimbang ilmu agama. Bagi sebagian besar kalangan di kampung kami, ini merupakan pilihan yang aneh.
Jiwa sebagai mendidik mengalir dari orang tua ke saya, ketika masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta setiap hari sabtu dan minggu tepatnya mulai tahun 1979 sampai dengan tahun 1983 saya ikut mengabdikan diri mengajar di KMI Pondok Pesantren Pabelan. Sungguh merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya biasa bergabung mengajar di Pondok Pesantren Pabelan karena dari sinilah saya bias mendalami lebih jauh tentang arti penting perjuangan merubah bangsa melalui pendidikan. Pada tahun 1978 sampai 1980 an setiap hari sabtu dan minggu pengajar KMI Pabelan banyak diisi oleh para mahasiswa senior yang memiliki kompetensi dibidangnya. Aktivitas saya di luar pekerjaan resmi sehari-hari, dapat saya katakan cukup padat dan semoga telah membawa banyak manfaat. Semenjak saya bertugas di Badan Kepegawaian Negara dan menjadi Sekretaris Jenderal di Komnas HAM saya biasa berangkat ke kantor selepas sholat shubuh dan kembali seringkali sudah menjelang malam. Namun di sela-sela waktu itu saya tetap mengikatkan diri dengan keluarga, membesarkan 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan serta mendampingi tumbuh kembang 3 orang cucu. Di sela-sela aktivitas tersebut, saya terdaftar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara Lembaga Adminitrasi Negara (STIA LAN) dan setiap 2 minggu sekali harus terbang ke Surakarta untuk mengajar di Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sebagai wujud dari tanggungjawab sosial, setiap bulan saya terlibat dalam forum pemberdayaan masyarakat dengan berperan aktif
dalam Majelis
Taklim. Beberapa nama, di luar keluarga dan rekan kerja, yang kerap kali berinteraksi dengan saya dalam beberapa kesempatan antara lain Prof Dr. Dailami Firdaus, LLM, MBA, Prof. Dr. Mahfud MD; Profesor Ahmad Mubarok; Profesor Sofyan Effendi; dan Haris Semendawai, SH., LL.M. Interaksi dengan mereka terus menerus saya jalin dalam rangka membangun networking, berguru, dan bertukar pendapat sehingga wawasan yang saya miliki lebih luas dan tidak terpenjara hanya pada sudut pandang yang sempit.
Selain tokoh-tokoh tersebut, saya juga memiliki guru luar biasa yang telah mengajarkan hidup yang lebih bermartabat. Hidup yang berpegang teguh pada nilai. Nilai yang terus saya percayai, yakini, dan pegang teguh hingga hari ini. Beliau adalah KH Hamam Za’far (Alm) Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan Magelang. Almarhum telah meletakkan pemikiran yang komprehensif dalam memandang hidup khususnya hidup bermasyarakat. Beliau banyak mengajarkan arti toleransi, kebebasan berpikir, dan pentingnya istiqomah dalam mengejar cita-cita. Tidak perlu tergiur dengan godaan popularitas baik oleh kekuasaan maupun popularitas yang dihasilkan oleh media. Saya bersyukur kepada Allah SWT karena diusia memasuki 55 tahun saya dapat berguru kepada Prof Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS, MA sosok mujahidah, pemikir dan mantan pejabat Negara yang bukan saja dikenal di dalam negeri tetapi juga pernah menjadi Presiden International Women International. Beliau banyak memberikan pembelajaran berharga pada saya, salah satu moto perjuangan yang selalu saya ingat dari beliau adalah sangat langkahmu terhambat dan berhenti karena jangan jangan yang enkau anggap tembok itu sesungguhnya hanya tirai saja. Semasa beliau menjabat sebagai rector UIA saya diminta membantu beliau sebagai wakil rector dibidang akademik. Orang yang berjasa kainya adalah ibunda tercinta, Hajah Busro Afwah (Alm), perempuan bersahaja yang belum menamatkan Sekolah Dasar (SD) ini banyak menanamkan pentingnya memahami dan meyakini nilai-nilai agama dalam kehidupan saya. Beliau telah mampu meyakinkan saya bahwa dengan beragama yang benar sesungguhnya seseorang akan menjadi manusia yang seutuhnya. Beliau pula yang mengajarkan untuk tidak menyerah pada keterbatasan hidup. Manusia harus berusaha sampai batas kemampuannya. Lalu Ayahanda tercinta, Haji Ahmad Zahid (Alm). Bapak yang mengajarkan kepada
saya
perlunya
mempunyai
cita-cita
yang
tinggi
dan
pentingnya
mempertahankan nilai-nilai kebenaran dalam menjalani hidup. Ucapan beliau yang masih saya ingat hingga hari ini dan telah mengalir dalam darah karena menjadi pedoman hidup saya adalah, ”Kebenaran harus diperjuangkan dan tidak boleh dipasrahkan kepada orang lain kendati telah kita percaya karena dalam prakteknya orang lain tersebut dapat abai atas kepercayaan yang telah kita berikan. Oleh karena itu, Ananda, meskipun kamu dalam posisi yang tidak berdaya, harus kamu tetapkan
bahwa jalan yang benar harus dipertahankan walau pada akhirnya kalah. Kamu harus yakin bahwa Tuhan pasti akan membela orang-orang yang benar”. Terakhir, Bapak Soedaryatin, SH., Dosen saya di Fakultas Hukum UII. Beliau adalah dosen mata kuliah Hukum Ketatanegaraan (1 dan 2) dan orang yang paling bertanggungjawab memberikan bimbingan skripsi kepada saya hingga saya mencapa kelulusan di jenjang pendidikan Strata 1. Laki-laki luar biasa yang semakin renta ini/ telah berpulang ini telah mengajarkan saya bahwa kebenaran ilmu harus diperjuangkan. Dalam praktik di birokrasi, upaya menuju kebenaran memang harus melalui jalan berliku dan terkadang kompromi di sana sini. Selanjutnya, beliau mengatakan, apabila saya menghadapi situasi semacam ini maka saya harus menjadi orang yang ikhlas. “Pada dasarnya perjuangan menuju kebenaran juga dialami oleh generasi-generasi sebelumnya”. Saya sangat menghormati beliau karena kendati hanya menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kanwil PU di Yogyakarta, laki-laki sederhana ini mampu memberikan petuah luar biasa dan keikhlasannya menjadikannya dosen sekaligus guru tentang kehidupan. Betapa tidak, beberapa muridnya yang benarbenar berguru dari beliau telah sukses menjadi orang-orang terpercaya Republik ini. Saya akui bahwa saya banyak memiliki orang-orang luar biasa yang telah mengajarkan hidup yang bermartabat kepada saya. Kendati demikian, saya tidak akan menjadi munafik dan menyatakan diri malaikat karena telah 100% bersih dari korupsi. Saya akui bahwa saya tidak sepenuhnya bersih. Dalam skala 0 sampai dengan 100, saya dalam kategori 90 atau 95 bersih dari korupsi. Selama 28 tahun berkarir, birokrasi tidak pernah clear atau bersih dari hal-hal yang deviasi. Pada konteks ini ketidakjujuran saya berkontribusi. Perimbangan utama saya ketika mengikhlaskan diri pada proses ini, terutama, adalah karena adanya aspek lain yang harus saya pertimbangkan dalam rangka kondusifitas lembaga. Tentang Sikap Saya Saya sepakat bahwa pada saat ini begitu banyak aturan yang telah dikeluarkan akan tetapi mengalami begitu banyak tumpang tindih pada subtansi aturan. Telah terjadi tumpang tindih pada pada sistem hukum di Indonesia. Semangat reformasi telah menyisakan ego sektoral yang cukup tinggi. Beberapa contoh dapat dikemukakan antara lain tumpang tindihnya kebijakan sektoral pada perencanaan tata ruang sehingga memicu konflik penggunaan kawasan di berbagai daerah, tumpang tindih yang terjadi tidak hanya di sektor
kebijakan, tetapi juga di kelembagaan seperti pada Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pesisir, dan UU No 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. Tumpang tindih aturan juga mencakup UU No 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas UU No 32 Tahun 2004, serta berbagai kebijakan sektoral lain yang menyangkut ruang. Lalu tumpang tindih perijinan di sektor pertambangan akibat disharmonisasi perundang-Undangan. UU terkait antara lain UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan batubara; UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah; UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan; UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem; UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Pada konteks Hak Asasi Manusia, beberapa peraturan perundangan terutama terkait investasi belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip-prinsip HAM. Kalaupun telah mengakomodasi nilai-nilai HAM, pada praktiknya atau pelaksanaan UU masih terjadi persoalan atau tidak dapat diterapkan sepenuhnya akibat kompromi ekonomi dan politik. Singkat kata, disharmonisasi peraturan perundangan telah terjadi dibanyak sektor. Persoalan yang dikemukan mengenai mengapa hal ini terjadi antara lain wakil pemerintah yang dikirim oleh Departemen tidak saja tak menguasai materi RUU, tetapi juga tidak menguasai teknik penyusunan undang-undang (legal drafting). Selain itu, DPR tidak mempunyai format atau standar yang baku untuk penulisan undang-undang. Akibatnya, yang dihasilkan oleh sebuah komisi di DPR kerap berbeda dengan undang-undang yang dibahas oleh komisi lainnya. Seharusnya ada tim khusus di DPR yang bertugas melakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
Dalam jangka panjang, departemen tidak perlu mengajukan undang-undang. Badan Pengembangan Hukum Nasional seharusnya diberi kewenangan menyusun UU. Badan semacam Bappenas ini terdiri dari politisi, para ahli, dan wakil dari departemen.
Nantinya,
departemen
cukup
memesan
undang-undang
yang
dikehendakinya kepada badan ini. Dalam
rangka
mengantisipasi
dan
membenahi
berbagai
peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih, pemerintah perlu menyiapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 untuk melakukan efektifitas peraturan perundang-undangan nasional. Sehingga pada akhirnya salah satu misi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam Rencana Jangkan Panjang Nasional (RPJPN) 2005 –
2025 yaitu mewujudkan masyarakat demokratis berdasarkan hukum dapat terlaksana. Lalu terkait isu suap, apakah pernah saya menghadapi situasi dimana saya terpaksa menerima suap atau sebaliknya terpaksa menyuap seseorang dalam suatu urusan? Apakah saya sudah melakukan upaya untuk mengatasi hal ini. Saya menyatakan bahwa saya tidak pernah menerima maupun melakukan suap. Kendati saya mengakui bahwa sistem birokrasi yang berlangsung saat ini membuka peluang untuk itu. Saya hanya merasa cukup penting bagi saya untuk dapat menjadi contoh bagi istri, anak, dan cucu saya. Sehingga hidup kami lebih bermartabat. Berikutnya, apakah saya pernah mengalami situasi di mana saya secara sukarela
harus
mengambil
peran
ikut
bertanggung-jawab
terhadap
suatu
masalah/kasus yang sebenarnya diakibatkan oleh perilaku orang lain seperti anggota keluarga, teman-teman, atau orang di tempat bekerja atau lingkungan lainnya? Menjawab pertanyaan ini saya perlu menyampaikan bahwa saya akan mencoba mendudukan persoalan sesuai aturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip good governance. Namun berdasarkan pengalaman saya, persoalan semacam ini selalu terkait hal lain di luar kuasa saya. Maka saya akan menyerahkan persoalan tersebut pada kewenangan di atas saya. Pada konteks ini, dalam batas kewenangan saya, saya telah berupaya bertindak benar. Mengenai jabatan Staf Ahli Bidang Pelanggaran HAM, gambaran yang saya miliki mengenai jabatan ini tidak akan terlepas dari penguatan wacana dan pengalaman yang telah saya gali dan peroleh selama ini. Perlu saya sampaikan bahwa setidaknya sudah 3 tahun belakangan saya berinteraksi dengan para pendekar HAM di Komnas HAM RI. Di samping itu saya juga tercatat sebagai dosen tamu pasca sarjana di bidang Hukum dan HAM Universitas Negeri Surakarta (UNS). Saya yakini bahwa aktivitas saya tersebut akan menjadi bekal yang cukup untuk menduduki jabatan yang saya lamar ini. Saya sungguh berharap dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penanganan pelanggaran HAM, pemajuan, dan penegakan HAM di Indonesia. Bahkan saya membayangkan bahwa saya dapat memberikan kontribusi yang lebih. Pengalaman saya sebagai birokrat di Komnas HAM dapat mendorong terjadinya sinergisitas lembaga tersebut dengan Kementrian Hukum dan HAM karena pada prinsipnya kedua lembaga ini mempunyai kepentingan yang sama dengan ranah kerja yang berbeda. Hukum memiliki sifat antinomy karena itu pada perspektif tertentu dapat dikatakan adil, tapi dari sudut pandang yang lain sulit untuk dikatakan adil. Menurut hemat saya hukum harus dapat memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Hukum
harus pula memahami suasana sosilogis masyarakat. Hukum harus berimbas pada kedamaian dan kerukunan. Hukum tidak seharusnya terjebak pada keadilan prosedural namun menjadi pendukung penuh keadilan yang substantif. Idealnya dalam penegakan hukum, hukum haruslah dijadikan panglima dalam kehidupan kenegaraan. Bukan sebaliknya menjadikan politik dan ekonomi sebagai faktor penentu untuk menetapkan keadilan. Penegakan hukum yang berkualitas tidak akan terwujud apabila tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM masih marak. Lawrence
M.
Friedman
berpendapat
bahwa berhasil atau
tidaknya
penegakan hukum bergantung kepada tiga unsur sistem hukum yaitu struktur hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan), substansi hukum (aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam system, peraturan perundangundangan), dan budaya hukum (sikap manusia terhadap hukum dan system hukum, nilai, pemikiran serta harapannya). Tentang Pengalaman Organisasi Menurut hemat saya, saya telah melakukan beberapa hal di tempat bekerja saya yang menurut saya sangat penting bagi lembaga yang menaungi saya. Selama ini lembaga Kesesjenan mempunyai jarak yang cukup jauh dengan kalangan civil society oleh karena itu saya telah mengupayakan pembauran dengan elemen masyarakat tersebut dalam rangka mencairkan hubungan mengingat civil society merupakan mitra kerja. Pengalaman ini sangat berguna untuk menjalankan jabatan saya sebagai Sekretaris Jenderal Komnas HAM karena lembaga ini harus mendapat dukungan masyarakat. Lalu pengalaman sebagai anggota dari South East Asia NHRIs (National Human Rights Institutions) Forum (SEANF) dan Asia Pasific Forum (APF) menjadi pelajaran bahwa perjuangan menegakkan hukum dan HAM tidak hanya berhenti pada terciptanya kondisi sesuai hukum nasional namun harus mempertimbangkan keadilan universal sebagaimana diurai dalam Paris Principles. Oleh karena itu, sudah seharusnya output dan outcome yang ditetapkan oleh Kementrian
tidak
hanya
terpaku
pada
prosedur
namun
seharusnya
mempertimbangkan keadilan universal. Pengalaman berikutnya adalah ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pemotongan anggaran kendati alokasi APBN untuk Komnas HAM sudah tergolong sangat kecil apabila dibandingkan Kementrian/ Lembaga lain. Saya telah berhasil memastikan forum APF untuk menyatakan kecamannya terhadap kebijakan pemerintah tersebut karena sarat muatan ketidakadilannya. Pada konteks ini
pemerintah nyata-nyata tidak memiliki politic budgeting yang berpihak pada pemajuan dan penegakan HAM. Pada forum yang sama saya juga berhasil meyakinkan forum untuk mempunyai perspektif yang berbeda terhadap PNS yang mengelola lembaga HAM karena dinilai tidak mempunyai independensi. Asumsi tersebut tidak terbukti karena sesungguhnya loyalitas pegawai negeri sipil adalah pada Negara. Saya
tidak
menutup
mata
terhadap
peran
beberapa
orang
yang
menyebabkan saya dapat melaksanakan tugas saya dengan baik bahkan lebih. Saya akan menyebutkan nama Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, dan Kieren Fitzpatrick. Ifdhal Kasim adalah mantan Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012 sementara Yosep Adi Prasetyo (Stanley) adalah Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2009-2012. Mereka berdua telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada saya untuk berkreasi sebagai Sekretaris Jenderal Komnas HAM sehingga saya dapat secara optimal memberikan kontribusi kepada Komnas HAM RI. Sementara Kieren Fitzpatrick adalah General Secretary of APF. Beliau telah menjadi penghubung bagi saya dan Komnas HAM dengan anggota APF lainnya bahkan telah memberikan penghormatan kepada Indonesia sebagai Negara besar dengan segala dinamikanya. Disamping dukungan orang-orang tersebut, pengalaman organisasi yang saya peroleh selama ini juga memberikan kontribusi positif bagi saya untuk melaksanakan tugas-tugas yang harus saya emban khususnya ketika menjabat sebagai Pimpinan Tinggi Madya. Cara pandang saya menjadi lebih komprehensif. Sewaktu masih mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, saya cukup aktif terlibat di lembaga intra dan ekstra kampus. Di lingkungan intra kampus, jabatan tertinggi saya adalah Sesjen Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UII periode 19801981. Sementara di lingkungan ekstra kampus, saya sempat menjabat sebagai Ketua Divisi Humas dan Penerbitan Komisariat Fakultas Hukum UII. Pengalaman di 2 organisasi tersebut sangat membantu dalam memunculkan potensi kepemimpinan dalam diri saya khususnya ketika menangani persoalanpersoalan terkait organisasi baik dalam mengambil keputusan, melakukan lobi, dan seterusnya. Pengalaman berinteraksi dengan lembaga-lembaga HAM di Negara lain membuat saya mempunyai sudut pandang yang lebih luas, melihat persoalan tidak hanya dari sudut pandang Indonesia namun juga memperhatikan praktek-praktek di Negara lain yang lebih maju.
Terlepas dari dinamika organisasi tersebut, saya perlu menyampaikan bahwa saya pernah mengambil sebuah keputusan yang saya anggap penting namun mangandung resiko atau tidak populer karena saya meyakini apa yang saya lakukan adalah jalan terbaik baik lembaga. Keputusan ini saya ambil ketika menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Imbas dari keputusan ini adalah pertaruhan terhadap karir saya. Semua berawal dari konflik internal di kalangan Komisioner Komnas HAM Periode 2012-2017. Konflik ini telah membawa pengaruh besar pada perjalanan organisasi Komnas HAM. Pasalnya konflik selalu memecah belah karena menuntut adanya pengikut terhadap masing-masing kubu. Posisi Kesesjenan terjebak dalam dilema. Satu sisi saya sebagai pejabat profesional harus mengambil keputusan berdasar praktek manajemen yang benar dan akuntable, namun di sisi lain saya harus mengambil keputusan berdasar pertimbangan pragmatis. Saya sempat bertahan dengan
konsep
profesionalisme
tersebut.
Namun
akhirnya
harus
menjadi
kompromistis. Tentang Pengetahuan dan Wawasan Berkaitan dengan posisi yang hendak saya jabat masalah terbesar yang akan saya hadapi adalah kemungkinan bahwa Menteri Hukum dan HAM kurang mendapatkan masukan atau telaah yang komprehensif terkait pelanggaran HAM. Ketika saya mendampingi para Komisioner Komnas HAM tanggal 12 Mei 2013 menghadap Presiden saya mendengar Presiden menyampaikan ajakannya kepada Komnas HAM untuk mencari jalan keluar terkait masalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tetapi hingga hari ini belum ada solusi yang tepat untuk menjabarkan arahan Presiden tersebut. Jabatan yang saya lamar memiliki peran yang strategis untuk memberikan masukan kepada Menteri tentang langkah-langkah yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sudah seharusnya kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut menjadi warisan generasi yang akan datang. Arahan Presiden RI sudah sangat maju yaitu meminta kepada kita yang hadir untuk mencarikan formula seperti yang pernah diterapkan oleh Pemerintah Afrika Selatan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalunya. Sangat disayangkan momentum yang sangat bagus tersebut lewat begitu saja karena tidak segera ditindaklanjuti.
Sekiranya saya diberi kesempatan bergabung di Kementrian Hukum dan HAM akan saya jabarkan arahan Presiden tersebut dengan langkah-langkah yang jelas dan terarah. Telah
banyak
buku-buku
atau
artikel
tentang
upaya
penyelesaian
pelanggaran HAM, namun yang terpenting adalah niat dan upaya kongkret untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut sehingga dapat memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Buku-buku lain yang sempat menjadi bacaan antara lain : 1. Tanah dan Pembangunan oleh Mochtar Mas’oed (1997) 2. Dari Prestasi Pembangunan sampai Ekonomi Politik oleh Sritua Arief (1990) 3. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional : Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990) oleh Sutandyo Wignjosoebroto (1994) 4. Tradisi dan Pembangunan : Suatu Tinjauan Kritis, dalam Analisis oleh Fakih Mansour (1995) 5. The Burdekin Report : human rights & mental illness : report of the National Inquiry into the Human Rights of People with Mental Illness oleh Bryan Burdekin (1993) 6. Response to Inquiry into Mental Disturbance and Community Safety oleh Brian Burdekin (1992) 7. Our homeless children : report of the National Inquiry into Homeless Children oleh Brian Burdekin (1989)