MENJADI SEKOLAH YANG MANDIRI Dr. Cepi Safruddin Abdul Jabar1
Mendidik bukan dengan mengajari, mendidik adalah memberi teladan. (Penulis)
A. Pendahuluan Ungkapan di atas adalah prolog dari tulisan ini untuk menjembatani antara tema yang diusung dalam tulisan ini dengan tema Dies Natalis UNY yang ke-49 tahun ini, yaitu pendidikan untuk pencerahan dan kemandirian. Sekolah memiliki peran sebagai agen pencerah dan pemandiri anak-anak bangsa. Untuk efektif, sekolah tidak boleh lupa akan filosofi pendidikan itu sendiri, bahwa mendidik adalah upaya luhur yang dilaksanakan dengan sepenuh hati dan dijalankan atas dasar norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dari semua sikap dan perilaku para pendidiknya dalam menanamkan nilai-nilai dan norma terhadap siswa. Dalam konteks pendidikan, tauladan menjadi salah satu kunci kritis dalam upaya pendidikan yang berlandaskan norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku secara umum. Tauladan merupakan hal penting dalam proses pendidikan. Keteladanan merupakan syarat utama upaya penanaman nilai dan norma yang efektif. Tanpa keteladanan, upaya penanaman nilai dan norma pada siswa akan menjadi sia-sia. Pendidikan nilai akan berwujud upaya pengajaran nilai, bukan penanaman nilai, sungguh keluar dari tujuan dan filosofi pendidikan. Terkait dengan peran pendidikan sebagai pencerah dan pemandiri bangsa, sekolah dituntut menjalankan fungsi tersebut. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang berfungsi mencerahkan dan memandirikan siswa. Untuk bisa mencerahkan dan memandirikan, sudah seharusnya sekolah harus bermetamofosis sebagai sebuah lembaga yang tercerahkan dan mandiri. Itulah bentuk keteladanan yang penulis maksudkan.
1
Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP
B. Sekolah yang Memandirikan dan Sekolah yang Mandiri Fungsi ideal dari sebuah upaya pendididikan yang berlangsung di sekolah salah satunya adalah memberikan bekal sikap, keterampilan, dan pengetahuan, yang lebih dikenal dengan kompetensi, pada peserta didik untuk bekal hidupnya di masa yang akan datang. Bekal kompetensi yang didapat di dalam upaya pendidikan, baik formal ataupun non formal, akan digunakan seseorang dalam melakukan semua aktivitasnya dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Tanpa bekal-bekal tersebut, bisa diprediksi, seseorang akan gagal dalam hidupnya. Kompetensi yang diperoleh seseorang melalui pendidikan pada lembaga formal, sekolah, merupakan syarat penting bagi seseorang yang mandiri. Dengan kata lain, kemandirian merupakan salah satu sikap yang merupakan outcome sebuah proses pendidikan.
Tak salah bila undang-undang tentang sistem
pendidikan nasional menggarisbawahi bahwa salah satu tujuan dari pendidikan nasional adalah menciptakan pribadi-pribadi yang mandiri. Begitu juga program pendidikan karakter yang saat ini sedang digalakan oleh Kementrian Pendididikan dan Kebudayaan yang salah satu karakter yang dikembangkan di sekolah adalah kemandirian. Dalam keseharian, istilah kemandirian (self reliance) istilah sering ditukargunakan dengan istilah merdeka (freedom), otonom (autonomy), atau bebas (independen). Mandiri bisa diterjemahkan sebagai suatu ciri atau atribut tentang kondisi seseorang atau lembaga, atau suatu entitas lainnya, yang dengan kemampuan memungkinkan untuk tidak tergantung atau bersinggungan dengan pihak lain guna menjamin keberlangsungan hidup atau fungsinya. Dari penelitian yang dilakukan terhadap pendidikan pesantren yang dilakukan oleh Uci Sanusi (2012) bisa diindentifikasi beberapa sifat dasar dari sikap mandiri, yaitu: 1. Percaya diri 2. Amanah 3. Mampu mengendalikan diri 4. Mampu menyelesaikan masalah
5. Tanggung jawab 6. Penolong 7. Harapan tinggi 8. Kreatif dan inovatif 9. Mampu belajar mandiri 10. Bermotivasi tinggi Di sekolah, praktik kemandirian bagi siswa memiliki banyak ragam bentuknya. Bisa berbentuk kemandirian dalam belajar, kemandirian dalam mengelola diri, kemandirian dalam memutuskan masalah serta memecahkannya. Sekolah sebagai lokus penyelenggaraan pendidikan calon generasi muda, sudah
seharusnya
mampu
menghasilkan
lulusan-lulusan
yang memiliki
karakteristik yang dikehendaki oleh tujuan negara seperti yang disebutkan di awal, yaitu insan yang mandiri. Ini tentu memerlukan banyak upaya yang terencana dan melibatkan banyak sumber daya, yang tentunya tidak akan terlepas dari peran manajemen sekolah. Istilah kemandirian di sekolah memiliki dua sisi. Satu sisi kemandirian dipandang sebagai karakteristik lulusan atau hasil pendidikan yang dihasilkan dari upaya pendidikan seperti yang dijelaskan di atas. Sisi yang lain adalah kemandirian dipandang sebagai sifat yang melekat dari bagaimana sekolah dijalankan. Kemandirian sebagai salah satu karakteristik lulusan atau hasil pendidikan telah dijelaskan di atas. Sedangkan kemandirian dipandang dari sifat yang melekat dengan sekolah adalah aspek keotonomian, bebas intervensi dari banyak pihak, dan kepemilikian kemampuan untuk menjalankan semua tugas dan fungsi idealnya sebagai pendidik generasi bangsa. Perlu ditegaskan, dalam pembahasan di sini, istilah sekolah mandiri yang dibahas pada artikel ini tidak membahas pengistilahan sekolah mandiri pada pengkategorian jenis sekolah dalam
memenuhi
standar
yang
ada
(SNP),
dimana
pemerintah
mengkategorikan sekolah mandiri adalah sekolah yang hampir dan telah memenuhi SNP. Sekedar mengingatkan, pengkategorian sekolah berdasarkan pemenuhan standar nasional pendidikan saat ini dikenal dengan kategori sekolah
standar, sekolah mandiri, sekolah standar nasional, serta sekolah RSBI (yang saat ini kebijakannya sudah dicabut Mahkamah Konstitusi). Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang tahu apa yang harus dilakukan dan melakukan semua hal yang harus dilakukan tanpa harus tergantung pada pihak lain. Namun perlu ditegaskan dalam hal ini, sekolah tidak berarti sebagai sistem yang tertutup, terpisah dari lingkungannya, dan tidak memerlukan keterlibatan pihak lain dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang memiliki kebebasan dan kemandirian dalam membuat keputusan yang terkait dengan semua proses atau kegiatan penyelenggaraan pendidikan di lingkup sekolah. Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang mampu memecahkan permasalahannya sendiri, membuat keputusan terkait dengan operasionalisasi pendidikan di tingkat sekolah/kelas baik yang terkait dengan kurikulum, proses belajar mengajar, keuangan, ketenagaan yang tidak melampaui batas kewenangannya, dan hal teknis lainnya. Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang memiliki inisiatif untuk memenuhi semua kebutuhan sendiri dan memecahkan permasalahannya sendiri tanpa harus minta dibantu atau tergantung dari pada pengawas atau dinas pendidikan setempat. Semua hal yang dilakukan demi perbaikan, peningkatan, dan mempertahankan mutu berjalan dengan sendirinya, atas inisiatif sekolah dan warganya. Tidak didorong atau dipaksa oleh pihak lain. Menurut OECD (2011), praktik otonomi sekolah (kemandirian) ada bebeberapa bentuknya. Mandiri dalam menentukan alokasi sumber daya, menentukan praktik kurikulum dan penilaian siswa, sampai dengan menentukan buku teks, menentukan program pembelajaran dan kontenya. Bentuk-bentuk kemandirian sekolah ada banyak bentuknya. Lebih lanjut dalam penelitiannya di berbagai negara tentang kemandirian sekolah, OECD mengungkapkan bahwa di Republik Czehnya, Belanda, Bulgaria, dan Makao-China ada lebih dari 90% siswa bersekolah di sekolah yang diberi kemandirian dalam merekrut dan memberhentikan guru. Dan lebih dari 90% siswa tersebut sekolahnya bersama-sama dengan pemerintah daerah/pusat bertanggung jawab dalam merumuskan dan mengalokasikan anggaran. Berbeda dengan di Yunani, Itali, Turki dan Romania serta Tunisia, lebih dari 80% siswa
bersekolah di sekolah yang tidak memiliki kewenangan dalam merekrut dan memberhentikan guru, kewenangan itu ada pada pemerintah daerah dan pusat. Di Republik Czehnya, Belanda, Kerajaan Inggris, dan Makao-China, mereka memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, tak hanya mengalokasikan sumber daya, tetapi juga dalam membuat keputusan tentang kuriulum dan penilaian. Di Yunani, Turki dan Yordania serta Tunisia memberikan lebih sedikit otonomi kepada sekolah dalam membuat keputusan kurikulum, penilaian, dan alokasi sumber daya. Di Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Hongkong sekolah diberi keleluasaan dalam menetapkan praktik kurikulum dan penilaian. Di negara tersebut, lebih dari 80% siswa bersekolah di sekolah yang bertanggung jawab dalam menetapkan kebijakan penilaian siswa, memilih buku teks, dan menetapkan program pembelajaran. Tapi walaupun begitu, sekolah di negara ini tidak diberi banyak otonomi dalam menetapkan sumber daya. Berbeda dengan dengan Bulgaria dan Shanghai dimana sekolah diberi otonomi yang besar dalam mengalokasikan sumber daya, tapi tidak untuk praktik kurikulum dan penilaian. Bagaimana dengan Indonesia? OECD menemukan bahwa negara kita berada dalam kategori tengah. Ini terlihat Indonesia berada di kisaran indeks 0,0. Artinya, sekolah-sekolah di indonesia tidak sepenuhnya memiliki otonomi dalam menentukan alokasi sumber daya dan juga dalam menentukan praktik kurikulum dan penilaian hasil belajar siswa.
.
Tingkat Kemandirian Sekolah PISA – OECD (2011)
Selain itu, sekolah mandiri adalah sekolah yang memiliki karakteristik memiliki ekspektasi (harapan) yang tinggi terhadap prestasi, mutu, memiliki staf
yang berkompeten dan bermotivasi kerja tinggi. Lingkungan kerja dan iklim kerja yang mendukung untuk semua pihak berkerja secara otonom, dan daya dukung kepemimpinan yang tinggi terhadap kemandirian. Dukungan dari masyarakat juga merupakan salah satu ciri dari kemandirian tersebut. Dalam laporan yang disampaikan oleh OECD (2011), disebutkan bahwa di negara-negara yang sekolahnya memiliki otonomi yang lebih besar dalam menentukan apa yang harus diajarkan pada siswa, dan bagaimana mereka dinilai, para siswanya cenderung berprestasi lebih baik. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa di negara-negara yang sekolahnya mandiri dalam mengalokasikan sumberdayanya ada kecenderungan para siswanya juga berprestasi lebih baik, berbeda dengan sekolah yang tidak memiliki otonomi. Grafik di bawah ini mengindikasikan adanya hubungan antara prestasi siswa dengan kemandirian sekolah.
Hubungan Kemandirian dengan Kemampuan Membaca Siswa (PISA-OECD 2011) Gambar di atas bisa disimpulkan bahwa negara-negara yang memiliki sekolah yang mandiri dalam mengalokasikan sumber daya lebih tinggi kemampuan membacanya. Namun ada hal yang harus dicatat, bahwa itu terjadi pada sistem sekolah yang akuntabel.
C. Manajemen Berbasis Sekolah: Wujud sebuah Kemandirian Manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diterjemahkan sebagai sebuah bentuk pendelegasian kekuasaan dan kewenangan kepada sekolah untuk membuat
keputusan dan melaksanakannya sendiri. Istilah shared decision making adalah istilah yang identik dengan manajemen berbasis sekolah. Banyak ahli yang menyatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada dasarnya adalah pendistribusian kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah kepada sekolah untuk membuat keputusannya sendiri. Sekolah diberi kewenangan dan kebabasan secara partisipatif untuk menentukan semua hal yang terkait dengan penyelenggaraan sekolah dan penyelenggaraan pendidikan tanpa harus tergantung dengan pemerintah pusat atau daerah. Seperti dikatakan oleh Caldwell (2005:1) MBS adalah “Decentralization of authority from the central government to the school level”. Lebih lanjut, Malen dkk. menyatakan bahwa MBS “Can be viewed conceptually as a formal alternation of governance structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the distribution of decision making authority as the primary means through which improvement might be stimulated and sustained (Malen, et. al., 1990) Manajemen berbasis sekolah adalah kegiatan mengkoordinasi dan mengintegrasi serta mengalokasikan sumber daya sekolah secara mandiri oleh sekolah dan masyarakat secara bersama-sama. Dalam konteks manajemen berbasis sekolah, sekolah bahu membahu dengan semua stakeholder (terutama orang tua dan masyarakat) bekerja sama dalam penyelenggaraan pendidikan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Kerja sama ini dilaksanakan atas dasar demokratisasi, dari sekolah untuk masyarakat-masyarakat untuk sekolah. Sekolah adalah urusan setiap orang yang ada di lingkungan sekolah. Sekolah berdiri di tengah-tengah masyarakat, hadir untuk masyarakat, dan berjalan dengan efektif atas kerjasama dengan masyarakat. Manajemen berbasis sekolah adalah salah satu strategi manajemen sekolah dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan melalui desentralisasi pembuatan keputusan dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Melalui MBS, sekolah akan lebih otonomi dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengelola lembaganya melalui kerjasama saling membutuhkan dengan masyarakat. Distribusi tanggung jawab
dan pembuatan keputusan di sekolah dalam konteks MBS disebarkan kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, orang tua, masyarakat, dan siswa. Masing-masing memiliki tanggung jawab dan peran pembuatan keputusan sesuai dengan proporsinya. Mereka menjalankan tugas mereka sesuai tugas dan fungsinya demi terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Jika dirunut dari asal kejadiannya, MBS merupakan salah satu sistem manajemen sekolah yang mendorong terjadinya proses belajar-mengajar menjadi lebih baik. Praktik MBS memungkinkan terjadinya 3 insentif (pendorong) proses belajar dan pembelajaran yang disarankan oleh Hanushek dan Woessmann (Osorio, 2009:16) yaitu; 1) pilihan dan kompetisi; 2) otonomi sekolah; dan 3) akuntabilitas sekolah. Seperti di gambarkan di bawah ini, bagaimana pilihan dan kompetisi menjadi daya dorong peningkatan mutu proses pembelajaran di sekolah.
Orang tua
Sekolah terbaik
Pembuatan Keputusan & Dukungan Fiskal
Akuntabilitas
Peningkatan kinerja kelembagaan
Gambar Pilihan dan Kompetisi sebagai Pendorong Perbaikan Proses Pembelejaran
Bagi semua orang tua, memberikan pendidikan yang terbaik bagi anakanaknya adalah suatu hal yang wajar. Orang tua akan berupaya mencari sekolah
yang terbaik, produktif, dan dianggap mampu memberikan apa yang mereka harapkan terhadap pendidikan anak-anak mereka. Di sisi lain, sekolah akan senantiasa berupaya mewujudkan semua keinginan orang tua dengan cara terus berupaya menjadi sekolah yang terbaik bagi mereka. Dengan itu, sekolah dituntut untuk terus melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja. Manakala keinginan sekolah sejalan dengan apa yang diharapkan orang tua, maka partisipasi keputusan dan dukungan fiskal akan didapat oleh sekolah. Hal itu terjadi karena masyarakat beranggapan bahwa sekolah perlu dibantu untuk berkinerja baik dan berprestasi agar pelayanan pendidikan pada anak-anak mereka menjadi lebih baik pula. Dengan adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan dan dukungan fiskal tadi, sekolah dituntut untuk menjalankan praktik-praktik sekolah secara transparan dan akuntabel
terhadap
masyarakat.
Masyarakat
akan
merasa
berkewajiban
mengontrol, mengawasi, serta melakukan perbaikan mengingat mereka juga menyumbang sejumlah kapital dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan sekolah. Akuntabilitas harus diwujudkan sekolah manakala partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan hadir. Partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah bisa banyak bentuknya. Bisa dalam bentuk partisipasi kapital uang, tenaga,
ide/gagasan
atau
lainnya.
Kontribusi
tersebut
tentu
harus
dipertanggungjawabkan oleh sekolah terhadap masyarakat. Untuk menjamin kepercayaan masyarakat, sekolah dituntut untuk akuntabel. Akuntabilitas merupakan salah satu etika administrasi publik yang berkaitan dengan pertanggung jawaban, hal yang bisa dipersalahkan atau dipertanyakan. Dalam hal ini, tentu transparansi menjadi salah satu faktor penting dalam mewujudkan akuntabilitas sekolah. Sebagai dampak dari adanya keterlibatan orang tua dalam proses pembuatan keputusan dan partisipasi fiskal pada proses MBS, maka ada beberapa dampak yang akan dihasilkan. Pertama, besarnya dukungan dan tuntutan dari masyarakat/orang tua untuk pelayanan pendidikan yang terbaik akan mendorong guru-guru untuk berkinerja lebih baik. Kedua, sekolah memiliki peluang lebih besar untuk meningkatkan kompetensinya baik langsung atau tidak langsung oleh
masyarakat mengingat dukungan finansial ataupun ide dan peluang lainnya. Ketiga, transparansi merupakan praktik yang baik untuk kemaslahatan sekolah dan orang tua. Transparasi timbul, seperti tadi dijelaskan, karena adanya tuntutan dari masyarakat kepada sekolah untuk terbuka atas semua hal (kapital ataupun partisipasi dalam pembuatan keputusan) yang telah diberikan kepada sekolah untu terbuka dan dijelaskan pada mereka peruntukan dan prosesnya.
Gambar Manfaat MBS bagi Sekolah
MBS
lahir
dikarenakan
terjadinya
ketimpangan
kekuasaan
dan
kewenangan yang terlalu terpusat pada pemerintah sebagai pengatur dan pengelola pendidikan dan ada kesan keberadaan sekolah hanya sebagai pelaksana yang tidak memiliki kewenangan/kekuasaan apapun. Ini tentu baik secara teknis ataupun psikologis akan berpengaruh terhadap kinerja sekolah itu sendiri. Proses pembuatan keputusan jika segalanya ditentukan oleh pusat akan menjadi lambat mengingat rantai komando dari pemerintah pusat sampai ke sekolah amatlah panjang. Di sisi lain, sebelum MBS dijalankan, sekolah berperan sebagai pelaksana kebijakan pemerintah pusat, dan belum tentu apa yang telah diputuskan oleh pemerintah pusat sesuai dengan situasi dan kondisi yang riil di sekolah.
Upaya perbaikan dan peningkatan mutu merupakan hal yang tidak bisa ditunda. Hal tersebut membutuhkan inisiatif dari warga sekolah untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Untuk mewujudkannya, sekolah harus otonom. MBS adalah salah satu jawaban atas otonomi tersebut. Manajemen berbasis sekolah memberikan keleluasaan sekolah untuk menyelenggarakan operasional sekolah secara otonom. Osario dkk. (2009:4) mengidentifikasi beberapa aktivitas yang bisa dilakukan secara mandiri oleh sekolah dalam konteks MBS, yaitu: 1. Alokasi anggaran; 2. Pengangkatan dan pemberhentian guru dan staf sekolah lainnya; 3. Pengembangan kurikulum; 4. Pengadaan buku dan manterial pendidikan lainnya; 5. Peningkatan infrastruktur sekolah; dan 6. Monitoring dan evaluasi kinerja guru serta hasil belajar siswa. Jika mengacu pada pemetaan keterlibatan stakeholder sekolah dalam konteks MBS yang dipetakan oleh Education Human Development Network (2007), MBS sebagai wujud kemandirian sekolah dalam mengelola sekolah bisa dikategorikan kedalam 5 kontimum kemandirian, yaitu:
Gambar Kontinum Kemandirian Sekolah (Dimodifikasi dari Education Human Development Network, 2007:7) Kemandirian Lemah. Tingkatan paling bawah ini memiliki indikator masih terdesentralisasinya semua pembuatan keputusan pada pemerintah daerah, namun sekolah belum memiliki otonomi dalam mengelola sumber dayanya. Dalam hal ini, sekolah berperan sebagai underbow pemerintah daerah, yang melaksanakan
semua
kebijakan-kebijakan
pemerintah
daerah
melalui
dinas/instansi yang mengatur pendidikan di daerah tersebut. Sekolah tidak memiliki hak untuk menentukan atau membuat keputusan terkait segala hal yang terjadi di sekolah. Semua serba tersentral dari instansi vertikal di atasnya. Kemandirian Moderat. Dalam fase ini, sekolah sudah memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya. Otonomi yang dimiliki sekolah hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja, terutama hanya pada urusan perencanaan dan pembelajaran saja. Untuk-untuk urusan strategis lainnya, sekolah masih harus mengikuti apa yang digariskan atau diputuskan oleh dinas/instansi vertikal di atasnya. Kemandirian Agak Kuat. Indikasi dari kemandirian jenis ini adalah sudah terbentuknya komite sekolah sebagai wadah partisipasi dari stakeholder
sekolah. Pada fase ini, peran komite hanya sekedar sebagai dewan penasehat sekolah,
yang
setiap
saat
kalau
diminta
atau
diperlukan
dimintakan
pertimbangannya oleh sekolah. Kemandirian Kuat. Kemandirian tingkat ini ditandai dengan semakin kuatnya keberadaan komite sekolah. Selain sebagai pemberi nasehat, komite sekolah juga berfungsi sebagai mengawasi sumber daya substansial yang ada di sekolah. Kemandirian Sangat Kuat. Keberadaan komite di sekolah sebagai penasehat dan pengawas juga merupakan indikator dari sekolah yang tingkat kemandiriannya sangat kuat. Bedanya dengan yang kemandiriannya kuat, sekolah yang sangat kuat kemandiriannya ditandai dengan adanya keterlibatan orang tua dalam usaha pengembangan sekolah. Orang tua atau stakeholder sekolah yang terangkum dalam komite sekolah secara proaktif terlibat dan dilibatkan sekolah dalam semua usaha untuk peningkatan dan pengembangan sekolah.
D. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Sekolah Mandiri Sosok sentral yang berperan penuh dalam menggerakan semua individu yang terlibat dalam upaya pendidikan di sekolah, termasuk stakeholdernya, adalah seorang pemimpin. Pemimpin adalah sosok yang mampu mengerahkan semua energi/sumber daya organisasi untuk pencapaian tujuan. Dengan pengaruhnya, pemimpin memiliki peluang untuk bisa mengerahkan semua orang ke arah pencapaian tujuan. Ia mampu memodifikasi perilaku anak buah, situasi kerja, dan tentunya konteks lembaga secara umum agar sesuai atau mendukung pencapaian tujuan. Jika mengacu pada ide-ide Davies dkk (2005), ada 3 (tiga) kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah dalam mengembangkan kemandirian sekolah. Pertama, Berorientasi Strategis. Seorang kepala sekolah harus mampu mengindikasi simpul-simpul kritis yang bisa mempengaruhi kemandirian di sekolah. Ia harus mampu melihat sisi kemandirian dalam kacamata yang labih besar dan menerawang jauh kedepan tentang kemandirian sekolah. Ia harus mampu mengamati semua konteks sekolah secara cermat dan mengindikasi
aspek-aspek konteks sekolah secara individual. Kepala sekolah harus mampu menciptakan program utama atau ide-ide yang mampu memicu kemandirian setiap unit atau orang di sekolah. Kedua, Mampu menterjemahkan strategi penyelenggaraan sekolah yang memandirikan. Semua program yang dirancang dalam rangka mencapai visi sekolah harus diarahkan untuk memandirikan semua orang. Menciptakan ketergantungan adalah hal yang harus dihindari kepala sekolah dalam membuat program sekolah. Ketiga, Menyatukan individu dan unit. Ketergantungan bisa diantisipasi dengan kebersamaan. Konsep ini mungkin agak sedikit membingungkan dengan kebersamaan. Dalam konteks kemandirian kelembagaan,
kebersamaan
artinya
saling
melengkapi.
Dengan
saling
melengkapinya kekurangan, ketergantungan sekolah terhadap pihak di luar akan semakin dikurangi atau mungkin dihilangkan. Adapun peran kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun kemandirian di sekolah, penulis mengidentifikasi ada 3 peran yang harus diembang oleh kepala sekolah; yaitu peran pembangun visi, perubah pola pikir, dan Penggerak, Pendorong dan Pemandu Kemandirian.
1. Pembangun Visi Sebenarnya bagi pemimpin, pengaruh hanyalah instrumen upaya pencapaian tujuan. Hal utama yang mengarahkan ‘senjata’ pemimpin (pengaruh) adalah visi. Visi adalah hal utama yang akan dituju oleh pemimpin untuk lembaganya. Visi akan mengarahkan semua sumber daya, program dan aktivitas, semangat, serta ide. Kemandirian harus menjadi visi sekolah. Visi sekolah itu yang menjadi acuan semua orang dalam melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini, peran kepemimpinan adalah menjadi inisiator pembuatan visi tersebut. Sebagai bagian dari visi pimpinan/sekolah, kemandirian sekolah akan menjadi nyawa sekolah atau nilai dan keyakinan yang dianut oleh semua individu yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Ada hal yang patut dicatat, penetapan visi haruslah melibatkan dan merupakan karya setiap individu yang ada di sekolah. Semua orang harus “disadarkan” dan “dipaksa” oleh pemimpin untuk memahami
dan mencintai/menginternalisasi dalam dirinya. Dalam hal ini, pemimpin harus mensosialisikan visi, mengkomunikasi, dan menjelaskan visi kepada semua orang agar visi kemandirian menjadi sebuah visi yang menyebar (shared vision) di sekolah.
2. Perubah Pola Pikir (Mindset) Selain membuat visi, peran kepemimpinan sekolah dalam mewujudkan kemandirian di sekolah adalah merubah pola pikir (mindset) individu di sekolah dan stakeholder menjadi pribadi-pribadi yang berpola pikir mandiri. Bukan pribadi-pribadi yang selalu menengadahkan tangan atau menjulurkan tangan untuk dibantu. Kepala sekolah harus berupaya menanamkan nilai dan keyakinan baru akan kemandirian kepada setiap kepala orang-orang yang ada di sekolah dan juga stakeholder sekolah. Nilai dan keyakinan kemandirian inilah yang akan mengarahkan dan menggerakan perilaku semua orang menjadi pribadi yang mandiri. Dalam hal ini, pengembangan guru (teacher development) merupakan salah satu cara merubah mindset yang efektif. Dalam membangun pola pikir yang mandiri, seorang pimpinan harus sadar betul akan kebutuhan-kebutuhan anak buahnya. Kepala
sekolah harus
memberikan bekal kompetensi serta menguatkan mental dan spritual para guru agar mereka dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka secara efektif dan efisien. Program pengembangan staf yang berkelanjutan (Continuing Professional Development) merupakan perangkat yang efektif dalam merubah pola pikir guru untuk menciptakan kemandirian pribadinya. Bentuk-bentuk pengembangan staf tidak harus dalam bentuk program-program yang canggih seperti pelatihanpelatihan modern saat ini, namun hal yang sederhana dalam proses supervisi juga merupakan langkah yang sangat efektif.
3. Penggerak, Pendorong dan Pemandu Kemandirian. Peran kepemimpinan berikutnya adalah sebagai penggerak, pendorong, dan pemandu. Kemandirian di sekolah perlu digerakkan, didorong, dan dipandu arahnya. Pimpinan sekolah harus menggerakan semua sumber daya, mendorong guru dan staf, siswa, orang tua, dan stakeholder sekolah lainnya, dan mengarahkan semua aktivitas sekolah ke arah kemandirian.
C. Kesimpulan Untuk memandirikan siswa, sekolah harus memberikan contoh yang nyata. Sebelum mendidik siswa mandiri, sekolah harus terlebih dahulu mandiri. Untuk menjadi mandiri, perlu kesadaran semua orang untuk mandiri. Salah satu bentuk kemandirian yang muncul dalam pengelolaan sekolah adalah diterapkannya model manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu bentuk dari sekolah yang otonom, sekolah yang memiliki kemampuan untuk memenuhi sendiri semua kebutuhan dan melakukan semua aktivitas penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan secara mandiri. Di sisi lain, peran pimpinan sekolah dalam mewujudkan kemandirian sekolah sangat penting mengingat peran sentralnya di sekolah. Dalam mewujudkan kemandirian, ada beberapa peran yang harus dijalankan oleh pimpinan sekolah, yaitu sebagai inisiator visi, perubah pola pikir (mindset), penggerak/pendorong/pemandu kemandirian,
DAFTAR PUSTAKA Barrera-Ossario, Felipe, et.al. (2009) Decentralized Decision-Making in School. The Theory and Evidence on School-Based Management. Wasington D.C.: WorldBank. Caldwell, Brian J. (2005) School Based Management. Education Policy Series. Diterbitkan Kerjasama International Academy of Education dan International Institute for Educational Planning Prancis: Stedi Media. Davis, Bret., Ellison, L. and Bowring-Carr, C. (2007) School Leadership in the 21st Century. London: RoutledgeFalmer. Education Development Human Network (2007) What is The School Based Management?. Wasington D.C. World Bank. Malen, B., R. T. Ogawa, and J. Kranz (1990). “What Do We Know about Sitebased Management: a Case Study of the Literature-A Call for Research.” In Choice and Control in American Education, Vol. 2, 289–342, ed. W.H.C