Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) e-ISSN: 2460-5905 Volume 1, Nomor (Isu) 4, Oktober 2015, 199-208
MENJADI PENGAWAS SEKOLAH EFEKTIF Budi Sasmito Pengawas Sekolah (SMK) Dinas Pendidikan Kota Blitar, Jawa Timur
Abstract Based on the Regulation of the Minister of National Education of Indonesia on Standards for School or Madrasah Superintendent Number 12/2007, educational supervisor is a professional position that is intended to provide professional development. It is supporting the principals, teachers, and school institutions. Supervisor provides the supervision of academic, administrative and managerial to the education unit. Supervisor is must have the competencies of personality, managerial supervision, supervision of academic, evaluation of education, research and development and social competence. This article suggested, in order to be an effective school superintendent, the school superintendent must hold to the authority and at the same time have the required competence. The school superintendent should diligently examine what is the authority and always learn to master the various competencies required position; own creativity in building the elementary schools; mastering performance management professionals, and have the ability to develop instruments with good supervision. Except that he had to run a variety of supervisory principles that include: scientific, democratic, cooperative, constructive and creative. Keywords: Effective superintendent, vocational education
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905 [Volume 1, Nomor (Isu) 4, Oktober 2015] | 199
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
PENDAHULUAN Berdasarkan filsafat progresivisme sebagaimana dipopulerkan filosof pendidikan sekaligus seorang pedagog John Dewey, ditandaskan bahwa proses dan hasil pendidikan yang dilalui oleh manusia haruslah memberi manfaat bagi kehidupannya. Filosofi itu pula yang digunakan sebagai landasan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan sekolah. Salah satu pendidikan sekolah yang tinggi persentasenya dalam menerapkan filosofi tersebut adalah pendidikan kejuruan (vocational education). Di Indonesia, jalur pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bertanggungjawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian, sehingga lulusannya dapat mengembangkan kinerja apabila terjun dalam dunia kerja. Pendidikan SMK itu sendiri bertujuan “meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta menyiapkan siswa untuk memasuki 200
lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional.” Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan demikian memiliki tugas dan tanggung jawab menyiapkan lulusannya sebagai calon tenaga kerja yang profesional pada tingkat menengah. Oleh karena itu, SMK dituntut dapat mengembangkan mutu dan relevansinya. Salah satu langkah yang diambil Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, terutama oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam rangka mengembangkan mutu dan relevansinya adalah mendorong semua SMK agar dapat berfungsi sebagai “Pusat Pengembangan Budaya Profesional.” Budaya profesional tersebut tidak muncul begitu saja tetapi perlu ditumbuh kembangkan. Perilaku-perilaku profesional di SMK tidak lepas dari faktor guru dan kepemimpinan sekolah. Guru merupakan komponen sekolah yang berhubungan langsung dengan siswa terutama melalui proses belajar mengajar (PBM). Dalam proses belajar mengajar gur u berinteraksi dengan siswa. Sesuai dengan tugasnya, perilaku guru akan mempengar uhi perilaku
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Budi Sasmito
siswa. Guru cenderung menjadi contoh bagi siswanya. Dari hal-hal tersebut diatas patut diyakini bahwa guru mempunyai andil yang besar dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan kepada siswa. Mengembangkan budaya profesional di sekolah dapat dilakukan dengan: (1) menerapkan sistem penerimaan siswa baru yang ketat, (2) kegiatan orientasi sekolah pada siswa baru, (3) memberlakukan tata tertib sekolah dan tugas kompensasi, (4) melaksanakan sistem pembelajaran yang mantap, dan (5) melaksanakan pemasaran lulusan. Kebiasaan positif yang menjadi dasar budaya profesional dapat tumbuh dan berkembang di SMK bisa dimulai dengan proses internalisasi nilai-nilai luhur budaya profesional pada diri siswa maupun guru. Pada diri siswa proses internalisasi tersebut terjadi karena hal-hal sebagai berikut: (1) penanaman kesadaran tentang nilai-nilai budaya profesional oleh guru dan pimpinan sekolah, (2) faktor internal siswa (dorongan dari diri sendiri), dan (3) penyesuaian diri dengan lingkungan yang telah berbudaya profesional. Di luar itu, dewasa ini pendidikan kejuruan sebagai pranata Volume 1, Nomor (Isu) 4, Oktober 2015
utama penyiapan SDM kejuruan, dihadapkan pada berbagai perubahan karakteristik dunia kerja yang begitu cepat dan beragam. Perubahan karakteristik dunia kerja tersebut tidak hanya menuntut angkatan kerja yang memiliki kemampuan dasar yang semakin kuat (Hard Competence), tetapi juga menuntut kemampuan mendemonstrasikan penguasaan kognitif yang lebih tinggi, disamping kemampuan memecahkan masalah dan keterampilan sosial untuk berinteraksi dan bekerjasama (Soft Competence). Dihadapkan pada persoalan perubahan karakteristik dunia kerja mendatang, maka diperlukan SDM yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, pemecahan masalah dan bekerja secara kolaboratif, tidak lagi kompetitif. Dalam kondisi dunia kerja yang penuh ketidakpastian, kemampuan seseorang untuk mengkonstruksi dan mengadaptasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki dan konteks yang dihadapi menjadi amat vital. Sumber daya manusia yang mampu berperan sebagai faktor keunggulan kompetitif adalah yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
201
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
keterampilan yang tinggi, berperilaku profesional dan dapat mengembangkan diri. Pendidikan Menengah Kejuruan sebagai sub sistem dari pendidikan nasional berperan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas profesional. Alhasil, apapun jenis keahlian pendidikan yang dikembangkan di SMK haruslah ber muara pada terciptanya lulusan yang memiliki kemampuan, keterampilan serta ahli di dalam bidang ilmu tertentu. Selanjutnya mampu dan terampil mengaplikasikannya dalam dunia kerja. Konten itulah yang membedakan SMK dengan SMA. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi berkembangnya budaya profesional di SMK dan pencapaian tujuan SMK. Faktorfaktor yang berkaitan dengan jalannya proses pembelajaran di SMK sangat mempengaruhi pengembangan budaya profesional tersebut. Faktor kepala sekolah, guru, karyawan, kepemimpinan, administrasi dan pengawas sekolah diduga mempengaruhi berkembangnya budaya profesional di SMK. Sebagai suatu contoh soal pengaruh pengawas sekolah, hasil penelitian Matondang & Syahrul 202
(2012), menunjukkan bahwa “efektivitas pengawasan mempunyai hubungan yang positif dan berarti dengan kinerja guru.” Hal itu berarti semakin tinggi (baik) efektivitas pengawasan maka semakin baik kinerja guru. Selain itu, “efektivitas pengawasan dan sikap inovasi secara bersama-sama mempunyai hubungan yang positif dan berarti dengan kinerja guru.” Artinya, efektivitas pengawasan dan sikap inovasi guru secara bersama-sama mempunyai hubungan (kontribusi) yang lebih besar dalam menjelaskan kinerja guru, dibandingkan sendiri-sendiri. Besarnya sumbangan relatif efektivitas pengawasan terhadap kinerja guru adalah sebesar 27,51%. Besarnya sumbangan efektif dari efektivitas pengawasan terhadap kinerja guru adalah sebesar 12,75%. Jika memang terbukti bahwa pengawasan dapat mempengaruhi kinerja SMK, maka pertanyaannya ialah pengawasan yang bagaimana dan sosok pengawas seperti apakah yang diperlukan agar efektif? Artikel berikut ini mencoba menggagas bagaimana menjadi pengawas sekolah yang efektif.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Budi Sasmito
PEMBAHASAN Otoritas dan Kompetensi Secara sederhana, otoritas pengawas sekolah adalah melaksanakan supervisi dengan pengamatan terhadap pegawai dan kegiatan pendidikan, serta memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik, aman dan sempurna. Hawkins & Shohet (2006: 225), mengatakan bahwa “Supervision is a quintessential interpersonal interaction with the general goal that one person, the supervisor, meets with another, the supervisee, in an effort to make the latter more effective in helping people.” Kegiatan inti dari pengawasan adalah pertemuan antara pengawas dengan orang yang diawasi untuk mengusahakan tercapainya tujuan dalam bimbingan profesional. Pengawasan dapat dipahami sebagai upaya yang diberikan kepada guru dalam forum pengaturan kolegial, kolaboratif, dan profesional, sebagai bantuan khusus dalam meningkatkan pengajaran dan berikutnya meningkatkan prestasi siswa. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dimengerti bahwa pengawasan sekolah dan atau pendidikan adalah bimbingan profesional bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya seperti kepala sekolah. Volume 1, Nomor (Isu) 4, Oktober 2015
Bimbingan profesional memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang secara profesional. Guru akan maju dalam pekerjaan mereka, yaitu untuk memperbaiki dan meningkatkan belajar siswa. Pengawas pendidikan bagi sekolah juga memiliki otoritas yang harus dijalankan. Pedersen (2007: 4), mengatakan bahwa pengawas sekolah memainkan otoritas sebagai: (1) penasihat, berpartisipasi dengan guru dalam eksplorasidiri; penetapan batas-batas, menyadari nilai-nilai dan kemungkinan bias, dan menghadapi berbagai emosi yang pasti terjadi; (2) guru, menanamkan pengetahuan baru; pemurnian keterampilan sebagaimana yang diminta oleh guru atau sebagai kesempatan pang gilan untuk bertanya tentang orientasi teoritis kognitif guru; menunjukkan dengan contoh sebagai model peran; memastikan guru memiliki berbagai pengalaman, dan mengamati serta memberikan umpan balik pada kinerja; (3) konsultan, dapat mengadakan pertemuan mingguan dengan guru; menanggapi permintaan guru khusus untuk sebuah konferensi atau konseling tertentu, atau pendekatan/teknik yang dapat dimanfaatkan guru;
203
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
menekankan komitmen profesional dan perbaikan. Itulah sebabnya mengapa semangat yang tersurat dalam Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, mensyaratkan kualifikasi pengawas sebagai guru atau mantan guru atau kepala sekolah yang diberi tugas khusus. Pengawas sekolah telah mengetahui dan memahami bagaimana mengajar dan bagaimana memimpin di sekolah. Sebagai guru, konselor, dan konsultan, pengawas harus memiliki empati untuk mengembangkan kemampuan guru. Pada posisi dengan otoritas seperti itu, maka ada kewajiban yang melekat pada pengawas sekolah, yakni melaksanakan tugas: (1) Menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan, melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan membimbing dan melatih profesional guru; (2) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (3) Menjunjung tinggi peraturan per undangundangan, hukum, nilai agama, dan
204
etika; (4) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa (Darianta, 2012). Pengawas sekolah atau madrasah dengan demikian memiliki otoritas memilih dan menentukan metode kerja; menilai kinerja guru dan kepala sekolah; menentukan dan/atau mengusulkan program pembinaan; dan melakukan pembinaan (Fathurrohman & Ruhyanani, 2015). UNESCO-International Institute for Educational Planning (2007: 7), mengatakan bahwa pada umumnya, pengawasan staf diharapkan untuk memainkan tiga peran berbeda namun saling melengkapi, yang jelas dalam deskripsi pekerjaan. Pengawas bertugas mengontrol dan mengevaluasi, memberikan dukungan dan saran, dan bertindak sebagai agen penghubung. Masing-masing peran memiliki dua bidang aplikasi yang tidak selalu mudah untuk dipisahkan, yaitu pedagogis dan administratif. Selain itu, supervisor bisa fokus baik pada masing-masing guru atau di sekolah secara keseluruhan dan mereka juga dapat memainkan peran penting dalam pemantauan sistem secara keseluruhan (Gambar 1).
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Budi Sasmito
Gambar 1: Domain Supervisi Pendidikan (Sumber: UNESCOInternational Institute for Educational Planning, 2007) Selain otoritas sebagai konsekuensi dari kualifikasinya, pengawas sekolah juga diwajibkan menguasai kompetensi yang dipersyaratkan. Kompetensi merupakan “the requisite knowledge and ability” (Alfonso, Firth, & Neville, 1981). Seperti halnya potensi kecerdasan, kompetensi pada prinsipnya dapat dipelajari, dideskripsikan, dan keberadaannya bervariasi. Kompetensi ini diperlukan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas-tugas atau otoritasnya, baik sebagai penasihat, guru, konsultan maupun sebagai evaluator.
Volume 1, Nomor (Isu) 4, Oktober 2015
Meminjam gagasan Alfonso, Firth, & Neville (1981), berangkat dari konsep kompetensi administrator yang efektif sebagaimana dikemukakan Katz & Mann, sekurangnya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah. Pertama, kompetensi teknis (technical competence). Kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan khusus yang diperlukan untuk memerankan fungsi-fungsi pokok atau tugas-tugas yang berkenaan dengan posisi supervisor. Bobot kompetensi ini sekitar 50%. Kedua, kompetensi hubungan kemanusiaan (human relation competence).
205
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan pengawas sekolah bekerja sama dengan orang lain dan memotivasi mereka agar bersungguh-sungguh dalam bekerja. Bobotnya sekitar 30%. Ketiga, kompetensi manajerial (managerial competence), yakni kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan membuat keputusan dan melihat hubungan-hubungan penting dalam mencapai tujuan. Bobot kompetensi ini sekitar 20%. Di Indonesia, berdasarkan Lampiran Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, kompetensi tersebut diperluas. Pengawas sekokah harus memenuhi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, serta kompetensi sosial. Sosok Pengawas Efektif Sejauh penelusuran literatur tentang kepengawasan, pada dasarnya tidak ada tip dan strategi yang jitu bagaimana menjadi pengawas sekolah yang efektif. Perbedaan budaya, pola pikir, dan kebiasaan yang berbeda antar-
206
bangsa adalah penyebab utamanya. Akan tetapi dari segi akademik terdapat kaidah-kaidah universal yang bisa menjembatani segala perbedaan tersebut. Berdasarkan uraian tentang otoritas dan kompetensi dimuka, maka hal paling mula yang menjadikan seorang pengawas efektif adalah berpegang teguh pada otoritas dan sekaligus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Pengawas sekolah hendaknya rajin mencermati apa yang menjadi otoritasnya dan selalu belajar menguasai berbagai kompetensi yang dipersyaratkan jabatannya. Fathurrohman & Ruhyanani (2015), merevitalisasi tiga kunci agar pengawas sekolah sukses dan efektif. Ketiganya ialah, memiliki kreativitas dalam membangun sekolah binaannya, menguasai manajemen kinerja profesional, dan memiliki kemampuan untuk menyusun instrumen supervisi dengan baik. Kelihatannya tip dan strategi tersebut sederhana, namun pada kenyataannya diperlukan usaha keras yang kontinyu dan sungguh-sungguh dari pengawas sekolah agar apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya bisa efektif.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Budi Sasmito
Di luar itu, sosok pengawas sekolah efektif haruslah mampu menjalankan berbagai prinsip kepengawasan. Ada beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam melaksanakan pengawasan. Prinsipprinsip tersebut ialah ilmiah, demokratis, kooperatif, konstruktif dan kreatif. Ilmiah berarti bekerja secara sistematis, objektif dan menggunakan ragam instrumen supervisi. Sistematis berarti mengimplementasikan secara teratur, perencanaan, dan bekerja secara berkelanjutan. Objektif berarti bahwa data yang diperoleh berdasarkan pengamatan nyata. Kegiatan perbaikan atau pengembangan berdasarkan hasil dari kebutuhan guru atau kelemahan guru, bukan berdasarkan interpretasi pribadi. Penggunaan instrumen dapat memberikan informasi sebagai umpan balik untuk melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran. Demokratis berarti menjunjung tinggi prinsip musyawarah, memiliki keramahan yang kuat dan mampu menerima pendapat orang lain. Kooperatif berarti semua staf berpartisipasi dalam pengumpulan data, analisis data dan pengembangan proses belajar mengajar. Konstruktif dan kreatif berarti selalu menimbulkan dan Volume 1, Nomor (Isu) 4, Oktober 2015
membantu inisiatif guru. Pengawas sekolah harus mendorong guru untuk aktif menciptakan suasana di mana setiap orang merasa aman dan bebas untuk mengembangkan potensinya. Di luar ketiga kunci efektivitas tersebut, setiap pengawas sekolah hendaknya tidak alergi terhadap berbagai macam perubahan, tidak bekerja seperti robot yang hanya menjalankan apa yang dikehendaki pemerintah. Intinya, pengawas sekolah harus mengubah pola pikir (mind-set) dari pola pikir yang statik menjadi dinamik (terus berubah), dari berkompetisi menjadi berkolaborasi, dari instruksi ke negosiasi, dari mengendalikan ke membantu, dan dari mekanistis menjadi klinis. SIMPULAN DAN SARAN Pengawas sekolah adalah jabatan profesional yang dimaksudkan untuk memberikan pembinaan profesional terhadap kepala sekolah, guru, dan lembaga sekolah. Pengawas sekolah melaksanakanb supervisi akademik, administrasi dan manajerial terhadap satuan pendidikan. Pengawas harus memenuhi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kom207
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
petensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, serta kompetensi sosial. Agar dapat menjadi pengawas sekolah yang efektif, maka pengawas sekolah harus berpegang teguh pada otoritas dan sekaligus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Pengawas sekolah hendaknya rajin mencermati apa yang menjadi otoritasnya dan selalu belajar menguasai berbagai kompetensi yang dipersyaratkan jabatannya; memiliki kreativitas dalam membangun sekolah binaannya; menguasai manajemen kinerja profesional, dan memiliki kemampuan untuk menyusun instrumen supervisi dengan baik. Kecuali itu ia harus menjalankan berbagai prinsip kepengawasan yang meliputi: ilmiah, demokratis, kooperatif, konstruktif dan kreatif.
208
DAFTAR RUJUKAN Alfonso, R.J., Firth, G.R. & Neville, R.F. 1981. Instructional Supervision: A Behavioral System. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Darianta, N. 2012. Pengawas Sekolah sebagai Karier. Dalam Eko Supriyanto, dkk. Supervision: Bunga Rampai Supervisi Pendidikan, From Control to Help. Yogyakarta: Fairus Media. Fathurrohman, M. & Ruhyanani, H. 2015. Sukses Menjadi Pengawas Sekolah Ideal. Yogyakarta: ARRUZZ MEDIA. Hawkins, P. & Shohet, R. 2006. Supervision in the Helping Professions. Berkshire: Open University Press McGraw-Hill Education. IIEF-UNESCO. 2007. Role and Functions of Supervisors. Paris: IIEF-UNESCO. Matondang, Z. & Syahrul. 2012. Hubungan Efektifitas Pengawasan dan Sikap Inovasi dengan Kinerja Guru SMP Sub Rayon 2 Kota Medan. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, 9 (1): 97-110. Pedersen, L. 2007. School Supervisor’s Manual for Internship: School Counseling Program: SCED 516. Portland: Lewis & Clark College.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905