Fajar Sutardi* “MENJADI GURU ” YANG SENIMAN, YANG TIDAK “MENGGURUI”: SEBUAH TANTANGAN PARA PENGABDI PENDIDIKAN SENI
Pendahuluan Pada hakekatnya manusia memiliki “watak dasar” yang unik dan khas, dan tidak dimiliki makhluk lain. Manusia dengan watak dasarnya tersebut disepanjang hidupnya selalu mencari, membutuhkan dan mencintai pengetahuan. Manusia berusaha meraih pengetahuan sebanyakbanyaknya, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya, mulai dari anakanak sampai menjelang ajal atau tua renta disepanjang hidupnya. Dengan berbagai pengetahuan manusia berusaha untuk “memperkokoh dan memperkuat” hidup dan kehidupannya. Dengan bantuan akalnya, manusia mengetahui kemana ia mencari pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan dan asal muasal pengetahuan tersebut. Dengan segala suka dan duka pencarian pengetahuan dijalani dengan serius dan terkadang melelahkan. Berbagai pengetahuan mulai dari apa yang disebut bahasa, sains, sosiologi, psikhologi, politik, ekonomi, seni dan agama, menjadi tantangan manusia untuk menguasainya. Salah satu tuntutan dari sekian pengetahuan yang dibutuhkan oleh watak dasar manusia adalah pengetahuan seni dan apresiasi estetik. Pengetahuan tentang apresiasi estetik ini menjadi bagian penting bagi manusia didalam kesehariannya. Dengan apresiasi estetik manusia dalam beraktivitas apa saja, dipastikan selalu menghias dirinya dan menghiasi pula hasil pekerjaannya. Tujuannya sebenarnya hanya sederhana, yaitu untuk menyenangkan dirinya, walau dari segi kemanfataannya terkadang tidak begitu dipikirkan. Hampir sebagian besar menusia, tidak dapat secara pasti dan tepat dalam menilai keindahan, akan tetapi ia selalu terus dapat menciptakannya. Dalam pengetahuan seni dan apresiasi estetiknya, manusia berusaha menunjukkan kepada sesamanya, bahwa ia memiliki derajat yang tinggi, memiliki apresiasi yang dalam dan imaginasi luar biasa ( Titus, Smith, Nolan : 1984 ).
Berbagai cara dilakukan manusia dalam usaha mencari pengetahuan estetik tersebut. Titus, Smith, Nolan : 1984 menyebutkan, setidaknya pengetahuan tersebut; pertama, kelompok
ada tiga kelompok para pencari
awam, pada kelompok masyarakat awam ini
pencarian pengetahuan apresiasi estetik, biasanya dilakukan dengan cara meniru apa yang diwariskan kakek-nenek mereka pada masa silam tanpa reserve, ia pegang kuat-kuat pengetahuan esetetik tersebut, ia yakini warisan pengetahuan itu, sehingga menjadi kebiasaankebiasaan dan kepercayaan pribadi-pribadi, dalam mencerap pengetahuan estetik cenderung menerima dengan samar-samar ( jawa : lamat-lamat ), bila ditanyakan tentang makna pengetahuan warisan tersebut, mereka sulit menjelaskannya. Kedua, kelompok menengah, pada kelompok masyarakat ini dalam mencari dan memaknai tentang pengetahuan estetik, bertujuan hanya sekitar pada azaz kemanfaatannya, pada ranah kepraktisannya, tanpa mempertimbangkan sisi moral dan etika. Tujuan tertingginya untuk kenikmatan ( pleasure ). Citra moral dan etika, bukan menjadi ukuran, makna dan nilai-nilai dijungkirbalikkan, sehingga pengalaman estetiknya menjadi dangkal, dan hanya digunakan untuk gaya hidup ( lifestyle ). Manusia pada kelas menengah ini, hidupnya hanya mendapatkan kebahagiaan ilutif, kenikmatan semu, keindahan halusinatif, daya tarik psedorasionalnya dalam keseharian hidupnya hanya menghasilkan aura simbolik ecstasysme ( Subandi Ibrahim : 2006 ). Ketiga, kelompok atas, pada kelompok ini dalam pencarian pengetahuan estetiknya, bukan untuk hal-hal tersebut diatas, tetapi untuk tujuan yang lebih tinggi, bukan hanya sekedar meniru ataupun
kenikmatan, tetapi untuk pencapaian “kasampurnaning urip”. eSeperti
dikatakan Al-Ghazali bahwa, pengetahuan estetik yang dicari pada masyarakat kelompok atas ini, berfungsi sebagai media tawajjuh ( ruang pertemuan, berdialog ), yang membawanya ke dalam kondisi dan
suasana mutmainah ( damai, tentram, ketenangan ), dalam rangka
menyatukan dirinya kepada Sang Abadi, yang menciptakan keabadian. Senada dengan Ghazali, Rusbihan Al-Baqly ( tokoh sufi ) menyatakan bahwa kegunaan estetika ( keindahan kesenian ) berfungsi sebagai media tajarrud, yaitu untuk pembebasan jiwa dari ketertarikan berlebihan pada alam benda dan dunia, juga sebagai media tazkiyatun nafs ( pensucian jiwa ) dari sikapsikap pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk itu sendiri. Sedangkan Ibnul Muqaffa’, Ibnu Sina, Al-Jahidz, Ibnu Athaillah, Mulla Sa’adi menyatakan bahwa pengetahuan esetika berguna untuk
menjaga kearifan, kebijaksanaan, membantu sikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia ditengah-tengah lingkungan sosial yang beragam ( Abdul Hadi WM, 236 : 2004 ). Dari sekian tingkatan kelompok manusia tersebut, bila dipahami dengan seksama menunjukkan adanya keberbedaan-keberbedaan dalam pencariannya, hal itu bisa muncul karena
manusia adalah subyek yang bebas dan selalu berkembang, manusia tidak bisa
tenggelam dalam proses pencariannya atau kejadian-kejadian yang melingkunginya. Sigmund Freud menamakan subyek yang bebas itu, dengan sebutan self ( aku ). Dengan aku-nya, manusia memiliki pengalaman-pengalaman pribadi terhadap tuntutan dirinya, dan “kesadaran dalam”nya ( inner awareness ) yang memang tidak harus sama. Dengan pengalaman yang berbeda-beda tersebut, manusia dalam memanfaatkan pengetahuan estetiknya dan berkomunikasi dengan sesamanya, bahkan berkomunikasi dengan dirinya dari waktu ke waktu mengalami keberbedaan yang tajam, sehingga sering terjadi kekacauan, bingung, mengherankan dan hampir tidak ada titik sambungnya. Keberbedaan-keberbedaan tersebut kondisi manusia oleh Jean Paul Sartree dikatakan sebagai makhluk yang absurd, dilematis dan ironis. Manusia membutuhkan “titik sambung” seorang Guru Pengetahuan Pengalaman tentang pengetahuan estetik yang beragam tersebut, pada ujung-ujungnya manusia mengalami keterpecahan dan keterbelahan jiwanya. Hidup tidak nyaman, tidak tenang dan tidak indah lagi. Semua sumpek, panas, konflik, perasaan perang berkecamuk dalam diri masing-masing manusia secara kolektif. Syahdan, manusia membutuhkan “contoh, keteladanan seseorang” yang mau mengajarkan kesempurnaan keindahan hidup. Konon, Tuhan turun tangan untuk “meredakan suasana sumpek manusia”, dengan cara memilih wakilNya, untuk “menentramkan” sekian milyar manusia yang hidup dimuka bumi. Manusia-manusia dengan “keindahan sempurna” dan mendapatkan pengetahuan estetika yang sempurna, yang mendapat cahaya ( the enlightened one ) dariNya diutus untuk manusia. Manusia pilihan yang bakal menjadi guru “kesempurnaan hidup” dikokohkan pengetahuannya, agar manusia di bumi mendapatkan cahaya keindahan hidup dengan perasaan gembira , damai tiada tara”. Para guru yang bertugas mengajarkan pengetahuan tentang keindahan hidup
tersebut jumlahnya tidak hanya ratusan, tetapi ribuan. Mereka adalah para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul adalah manusia suci, mereka bisa bernama Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan sebagainya. Pengetahuan keindahan hidup sempurna yang ditebarkan para Nabi dan Rasul ini, kemudian “ditemukan kembali” orang-orang suci dibawahnya, mereka bisa bernama Alexander Agung, Konfusius, Budha, Mahavira, Zoroaster, St. Paulus, Lao Tse, Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, St.Thomas Aquinas, Jalaludin Rumi, Mani, Gandhi, dan sebagainya. Orang-orang tersebut dengan dimensi-dimensi mata batin yang tajam, kemudian mengajarkan pengetahuan estetiknya dengan cara mengambil jalan dengan nama jalan tengah ( middle way ) ditengah-tengah orang banyak. Jalan tengah yang dimaksud, adalah berupa pengetahuan tentang dimensi kepekaan badaniah, kepekaan batin ( felling ), persepsi, konsepsi mental dan kesadaran. Pengajaran tentang pengetahuan jalan tengah, berjalan sepanjang zaman dari dan antar waktu kewaktu, berkembang bersama melalui berbagai media yang dibuat oleh para pewaris jalan tengah, seperti melalui media keagamaan, budi pekerti dan kesenian. Ketiga media itu oleh Sigmund Freud, dikatakan sebagai alat control kegiatan aku ( self ), agar manusia tidak mengalami gelisah ( anxiety ) dan perasaan bersalah ( guilty ). Para guru pengetahuan keindahan, dengan suntuk dan total, yang diikuti para muridnya, untuk bersama-sama memahami ajaran ataupun doktrin “jalan tengah” yang diajarkan para guru tersebut diatas dengan media yang dekat dengan dunia para murid, seperti kesenian. Kesenian yang membentuk kebudian dan membangun konstrusi relegiusitas, terus ditebarkan, agar manusia ( para murid ) mendapatkan pencerahan - pencerahan untuk kemudian di “tularwariskan” kepada siapa saja yang membutuhkan. Omar Muhammad Al-Toumy AsySyaibany, mengatakan bahwa proses pengajaran pengetahuan jalan tengah tersebut bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu taqlid buta ( ikut-ikutan tetapi tidak tahu tujuannya ) dan khayalan yang merusak, mendidik hati nurani dan membentuk kejiwaannya, secara ideal serta merealisasikan keadilan, ketentraman, kenyamanan hidup dan kebebasan akal sehat. Dan “titik sambungnya” terus bergerak sesuai dengan putaran bumi berjalan, ada
yang sampai puncak kedalaman pengetahuan atau sebaliknya ada yang hanya sampai pada permukaan. Guru Kesenian, menjadi “titik sambung” pengetahuan keindahan kehidupan Seperti diterangkan sebelumnya, bahwa “para guru sejati” dalam mengajarkan pengetahuan keindahan sering menggunakan kesenian, sebagai medianya. Dengan demikian kesenian dalam hal ini; rupa, music, tari, teater, sastra sebenarnya sangat bermanfaat sebagai media ungkap “jalan tengah” untuk mengajarkan kehidupan kepada manusia muda dalam memahami dirinya, menajamkan indra-indranya, jiwa perasaannya, sehingga pada saatnya nanti manusia muda tersebut dapat menjadi manusia utama, berpengetahuan sempurna dan jiwanya “me-ruh” karena tercahayai kebenaran-kebenaran, yang bersumber dari pengalamanpengalaman esetetiknya. Nah, disinilah tugas “para guru” kesenian, sangat berperan dalam menempa dan membentuk manusia-manusia muda yang berpengetahuan estetik, agar dapat menikmati keindahan, ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga para manusia muda tersebut dapat merasakan dan memaknai hidup dengan penuh perasaan yang mendalam, mengerti kebudian dalam suasana batin yang dekat dengan cahaya Tuhan. Maka, “titik sambung” jalan tengah akan berjalan dan tidak berhenti selamanya. Muji Sutrisno ( xvi : 2001), menyatakan secara teknis bahwa dalam mengajarkan pengetahuan esetetik kepada para murid, santri, cantrik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : pertama, mengajar dengan pendekatan “live in”, artinya pengajar pengetahuan ( guru, dosen, pengasuh, pembina, ustadz, kyai, mursid, kepala suku atau dengan sebutan apapun ), harus secara langsung siap hidup bersama dalam satu penghayatan akan pengetahuan tersebut bersama para murid, dengan tujuan untuk selalu siap dialog dalam perjalanan menajamkan dunia “dalam” tersebut, strategi pendekatan ini menolak model menggurui, memanipulasi pengetahuan dan memperalat para murid untuk hanya bertujuan memuaskan nafsu para guru, kedua mengajar dengan pendekatan komunal, makna berkomunitas bagi murid menjadi hal yang diutamakan, sehingga para murid dapat berkembang perlahan-lahan, berproses secara alamiah,
imajinasinya sehat, kreativitasnya sehat dan improvisasinya juga sehat dalam
kebersamaan dan kebersahajaan, hal tersebut untuk menjaga agar suasana “edukasi” berjalan apa adanya dan tidak terkena hawa budaya lingkungan yang membuat trauma, mati, kaku, lemas, layu, tidak percaya diri, inferior dan tidak memberdayakan. Rendra ( 41 : 1984 ) mengajarkan ( dalam hal ini teater ), bahwa untuk memaknai pengetahuan estetik dalam kehidupan, para murid pekerja seni diharuskan dapat mencapai suasana pribadi yang utuh, mengenali sifat alamiah tubuh ( pernafasan, indra-indranya, tangan kaki, otak dan hatinya ) agar dapat mengharmonisasikan dirinya dengan daya tarik bumi, hal tersebut dapat dicapai dengan cara melakukan meditasi. Selain itu raga harus selalu relaks dan harmonis, berstamina, mudah dalam menguasai perasaan dengan tidak mematikan perasaan itu sendiri, tetapi diaturnya, agar kaya kepekaan, kaya nuansa, kaya variasi, kaya getarangetaran dan kaya ledakan-ledakan, pendekatan dengan seringnya latihan konsentrasi. Rabindranath Tagore ( 10 : 1961 ) mengatakan, bahwa mengajarkan keindahan bukan bertujuan untuk menjadi manusia bermental pegawai kesenian murahan, yang hanya memuja materi dan kekayaan, tetapi bertujuan untuk memelihara persaudaraan dunia dengan pendekatan dalam suasana relegius, etis dan estetis. Semboyannya adalah : “ Jangan membawa pohon-pohonan kedalam kelas, tetapi bawalah kelas kedalam pohon-pohonan” disanalah terdapat pengalaman tentang keindahan. Dengan cara ini, para murid memiliki kebebasan, percaya diri sendiri, bertanggungjawab pada keseimbangan alam, manusia dan Tuhan. Ki Hajar Dewantara ( 136 : 1961 ) berpendapat, bahwa pengajaran ( termasuk didalamnya keindahan : pen ) bagi tiap-tiap bangsa, adalah bertujuan kepada pemeliharaan guna mengembangkan benih keturunan dari bangsa itu, agar sehat lahir batin. Untuk itu manusia-manusia muda harus dikembangkan jiwaraganya sesuai dengan adat-istiadat masyarakat. Pengajaran estetika Barat, tidak sesuai dengan tuntuntan jiwa masyarakat, karena pendidikan Barat ( colonial ) hanya bertujuan untuk kepentingan menjajah. Maka diperlukan Panca Dharma Pendidikan dan Pengajaran, yaitu ; kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan, dengan berpedoman pada jalan laku Ning, Nung, Neng, Nong, Nang, dan dengan strategi pengajaran; Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Berbagai pendapat diatas, pada intinya bahwa mengajar ataupun mendidik tentang pengetahuan esetetika adalah usaha menyampaikan pesan-pesan ( message ) kepada manusia muda, agar dalam menapaki hidup dan kehidupannya dapat mengenggam makna dan tujuan hidup, dengan relaks, harmonis, menjaga persaudaraan, mengutamakan etika, estetika dengan tetap menggunakan dasar-dasar kodrat manusia dengan alam lingkungannya. Siap “menjadi” atau “sebagai” Guru Pengetahuan Keindahan Kata “menjadi” dan kata “sebagai” seperti pernyataan diatas menjadi penting dipertanyakan pada diri seseorang, ketika seseorang tersebut berkesanggupan untuk mengajarkan pengetahuan. Di zaman yang maju seperti dewasa ini, khusunya pada lapangan nyata dunia pendidikan yang diformalkan dan resmi, ternyata banyak para pengajar pengetahuan belum atau tidak memahami secara mendalam posisinya, ketika hidup bersama ditengah-tengah para murid, cantrik dan santrinya. Banyak orang yang mengajar menyampaikan pengetahuan, hanya memposisikan “sebagai” guru, tetapi belum “menjadi” guru pengetahuan. Orang yang memposisikan diri hanya “sebagai” guru pengetahuan, maka ia merasa sudah cukup dengan hanya mentransfer pengetahuan secara lisan ataupun tertulis, apa-apa yang didapat dari guru-gurunya dahulu, untuk kemudian di”copypaste”kan kepada muridnya. Dapat dibayangkan, suasana pengajaran pengetahuan tentang keindahan yang demikian, dipastikan kering, tidak interaktif, menakutkan, tidak cair, tidak harmoni dan pasti tidak relaks. Guru pengajaran yang demikian, dapat dikatakan bahwa, ia memang belum mampu mendalami pengetahuan tersebut sampai “mbalung sungsum”. Hal ini disebabkan karena tidak adanya eksperimen-eksperimen yang panjang sebelumnya, kurang referensi, gagap dan merasa cukup. Pengetahuan dan ajaran tentang keindahan untuk kesempurnaan hidup, makna hidup dengan pendekatan media ungkap kesenian ( rupa, sastra, tari dan teater ) akan mengalami kegagalan. Murid tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali catatan – catatan yang tidak dapat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya. Tokoh Modern Pendidikan Dave Meier ( 27 : 2005 ) menggambarkan bahwa guru pada dewasa ini banyak melakukan pengajaran yang bersuasana antagonistik dramatisme, suasana pembelajaran dan pengajaran dapat terbaca suasananya sebagai berikut : suasana kaku,
muram, serius, satu jalur ( ndlujur ), verbal, membatasi ruang dan waktu, mementingkan kognitif ( pengetahuan teoritik belaka ), guru merasa lebih top dan terdepan, takut kalau tersaingi, behavioristik, seringnya mengontrol. Artinya, seorang guru memfungsikan dirinya hanya “sebagai” guru bukan “menjadi” guru. Berbeda bagi orang yang mengajar dengan memposisikan dirinya “menjadi” guru, maka ia akan menata, mempersiapkan dirinya secara ikhlas, totalitas, dan selalu “full” hangat. Karena selain bertugas menyampaikan pengetahuan, ia sendiri sudah “merasakan” kemanfaatan pengetahuan tersebut, masuk kedalam jiwaraganya dan sudah menjadi pilihannya dan bagian hidupnya. Hasilnya dapat dilihat, penampilannya cerdas, komunikatif, akrab, hangat, “all in” ruang dan waktunya, jujur, membangun suasana kebersamaan kapan saja dan dimana saja, tidak mengambil jarak, terlibat langsung, menyenangkan, gaul, dirindukan para murid, siap menerima “sharing”, tidak mudah melupakan murid begitu saja, dihormati, disegani, dan selalu menjadi tempat bertanya bagi murid-muridnya dalam kesehariannya. Dalam pengertian ini, guru tersebut juga memiliki kepribadian kebapakan dan kesenimanan. Senada dengan hal tersebut, Utomo Dananjaya ( 29 : 2005 ), memberikan masukan jitu bagi siapapun yang ingin memposisikan dirinya “menjadi” guru, antara lain suasana pembelajaran dan pengajaran dibangun dengan kontruksi kebersamaan, menyenangkan, menggembirakan, asah-asih-asuh, menyeluruh ( holistik ), kontekstual, multi indra, silmultan, kongkret. Kesiapan guru, yang memang ingin “menjadi guru” diharapkan total-totalan lahir dan batinnya. “Menjadi” guru dengan huruf “M” besar, memang berat dan hampir tidak dapat dilakukan, tetapi dengan tetap “berguru” kepada para guru dan kepada mahaguru untuk mengambil dan selalu menimba ilmu terus menerus, tentu akan melahirkan keberanian untuk belajar, karena secara kodrati manusia ditaqdirkan untuk mencari dan mengajarkan ilmu kepada siapapun, untuk meneguhkan dan mencerahkan kehidupan. Baik, kita simak dan renungkan Firman Allah dalam Al-Qur’an. QS : Al-Mujadilah : 11 11.
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Setting dari munculnya firman ini, terjadi ketika Nabi Muhammad sedang mengajarkan pengetahuan kepada para sahabatnya, diantara para sahabat tersebut, ada yang merasa gerah, sumpek, dengan suasana pengajaran yang disampaikan Nabi. Kondisi salah satu sahabat tersebut, oleh Allah diabadikan melalui firmanNya diatas. Essensi ayat itu terbaca, bahwa siapapun yang mencari pengetahuan dengan didasari totalitas dirinya, maka posisi seseorang tersebut, menjadi tinggi derajatnya. Disinilah peran manusia suci seperti Nabi benar-benar memposisikan diri “menjadi” guru pengetahuan yang teguh dan berwibawa. “Menjadi” guru pengetahuan melalui alat bantu berupa media ungkap kesenian ( rupa, music, tari dan teater ), menjadikan seseorang yang berpredikat guru, akan memiliki sikap yang teguh, berkarakter, menjadi manusia paripurna ( beriman ), dan akan mendapatkan nilai lebih dikalangan muridmuridnya. Ditengah hidup dan kehidupannya selalu mendapat “nilai” derajat positif sepanjang jalan. Berkaitan dengan suasana pengajaran tentang pengetahuan keindahan, Lao Tse ( 601 S.M ), seorang ahli mistik China, mengatakan bahwa pengetahuan yang diajarkan para guru kepada manusia, bertujuan untuk melahirkan hidup selaras dengan Tao, siapa yang dapat menahan hawa nafsunya, siapa yang dapat melenyapkan nafsu serakahnya, dialah yang dapat mendengar Tao didalam kalbunya sendiri. Maka, bagi pencari pengetahuan dan pengajar pengetahuan, haruslah dapat menahan egonya, nafsunya, supaya dalam mengemban pengetahuan dapat tercapai dengan sempurna. Selaras dengan pernyataan Lao Tse, Budha mengatakan, jadilah guru pertapa, artinya menjadi guru yang berjiwa kerakyatan untuk membela rakyat jelata, sukalah mendekati rakyat, bukan mendekati kekuasaan, jangan suka memperlihatkan kelebihan-kelebihannya, menjadi guru berarti siap menjadi manusia biasa, guru bukan orang atasan, cita-citanya satu hanyalah memberdayakan manusia dengan menyumbangkan ilmunya ditengah-tengah kehidupan masyarakatnya.
Seniman yang Guru, tetapi tidak menggurui Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 377 : 2000 ) disebutkan Guru ialah orang yang pekerjaannya ( mata pencahariannya ) mengajar, profesinya mengajar. Senada dengan kata Guru, di Indonesia terdapat pula istilah lain yang memiliki tugas sama, seperti ; Maha Guru, Resi, Empu, Kyai, Ustadz, Ajengan, Mulla, Ulama, Mursyid, Peter, Romo, Sayid, Guru Besar, Dosen dan sebagainya. Bila disarikan pada intinya Guru adalah orang yang diberi kelebihan akan ilmu, yang tidak hanya digunakan untuk diri sendiri, tetapi juga disebarkan, disampaikan kepada orang banyak. Mereka hidup hanya untuk mendalami ilmu, agar kehidupan manusia terjaga, berlangsung secara normal. Para Guru diatas, bertugas memberlangsungkan nilai-nilai kebenaran di muka bumi. Guru-guru ini memiliki watak jujur, keilmuannya tinggi, terbuka, rasa asih, mengayomi, dapat memecahkan masalah-masalah kejiwaan dan kehidupan. Pengertian Guru pada lembaga formal dan resmi, Guru berusaha bekerja dengan professional sesuai dengan bidang keilmuannya. Guru jenis ini selalu terpanggil lahir batinnya untuk mengajarkan ilmu-ilmu, agar pewarisan atau estafet keilmuan tidak putus ditengah jalan. Utomo Dananjaya ( 140 : 2005 ) menuliskan tentang guru professional yang diharapkan, antara lain ; mengajar tidak lain bertujuan hanya untuk mencapai sasaran puncak membangun masyarakat yang berperikemanusiaan, yang menekankan perkembangan potensi-potensi individu sebagai makhluk mulia, mengajar adalah melayani dan menyediakan diri, untuk memecahkan masalah masing-masing individu atau kelompok secara rasional, mengajar berarti juga berani memilah dan mampu menghalau system social yang melanggengkan kepurapuraan dalam dunia pendidikan, yang mengakibatkan kemalasan belajar dalam merengkuh pengetahuan, jiwa pengajar adalah selalu memandang bahwa murid adalah manusia mulia, yang wajib diperlakukan secara terhormat. Bila kata guru dikaitkan dengan kesenian, berarti seorang guru kesenian berkewajiban untuk mengajarkan pengetahuan seninya kepada muridnya secara menyeluruh, misalnya mulai dari pemahaman kesenian yang dikaitkan dengan pendidikan akhlak mulia, konsep seni secara utuh baik seni rupa, music, tari, teater dan sastra, pengertian seni ( apa dan untuk apa ), aspek seni ( pengetahuan tentang seni ; unsur seni, prinsip seni, apresiasi, kreativitas, estetika, keterampilan ) dan keberagaman jenis seni yang berkembang ( Cut Kamari, 125 : 1999 )
Tidak hanya itu, guru kesenian juga berkewajiban untuk mendalami atau mentelaah kurikulum dari waktu ke waktu, model pembelajaran terpadu ( rupa, music, teater, tari dan sastra ), rancangan pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan sebagainya. Untuk merealisasikan hal-hal tersebut diatas, para guru kesenian berkewajiban menambah pengetahuan-pengetahuan, seperti ; filsafat dan cabang-cabangnya, ilmu politik, sosiologi, psikhologi, ilmu-ilmu agama, ilmu bahasa, tata tulis, geografi, sejarah, antropologi, ilmu music, praktik music, pengetahuan dasar berteater, dasar-dasar tari, sastra, retorika, management, ekonomi, arsitektur, desain industry dan pertukangan. Banyak hal yang perlu diketahui bagi siapapun yang berkeinginan untuk “menjadi” guru seni rupa, karena dunia seni rupa sangatlah luas, selalu berkembang, percepatannya luar biasa. Bila tidak berusaha “membaca dunia luar”, seorang guru seni rupa akan ditinggalkan para muridnya. Bagi guru kesenian yang memiliki talenta berkesenian, memiliki minat dan bakat, maka lengkaplah sudah misi-misi kesenian dalam suatu lembaga formal atau masyarakat. Guru tersebut dapat dipastikan, akan berperan dan berpeluang untuk maju kedepan, tampil secara meyakinkan baik dihadapan para murid dan santrinya, ataupun dilingkungan sekolah dan masyarakatnya. Keberhasilan memelihara talenta kesenian, bukan hanya terletak pada seringnya berpameran, menulis buku dan artikel kesenian, ceramah-ceramah tentang kesenian dan sebagainya, tetapi juga terletak pada pemeliharaan misi-misi kesenian, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang makna hidup dan kehidupan. Kehidupan terlalu rendah, bila hanya mengikuti alur hegemoni dominan. Aksi cultural melalui kesenian, dapat menjaga hidup dan kehidupan yang seimbang, ber”aura”, kritis terhadap gerakan-gerakan dehumanisasi, sadar pada kebangkitan yang memihak kebenaran ( Mansyur Faqih dalam Mulyono, xxxii : 1997 ). Inilah yang dimaksud dengan seniman sekaligus guru, yang tidak mengajarkan pengetahuan dengan menggurui. Penutup Dilapangan pendidikan resmi, masih banyak guru ber-SK Negara, tetapi pemaknaan pengajarannya, belum menunjukkan kesungguhan dan totalitas yang berarti. Sementara dewasa ini, pengajaran “tidak resmi” yang diluaran terdominasi kebudayaan modern dan
paradigmanya, yang mengarah pada ekspressi kesenian fabrikisasi yang mekanistik, dan berkecenderungan menuju pada industrialisasi seni, dengan strategi budayanya melalui pendekatan serba ilmiah, obyektif, bebas nilai, universal. Hegemoni dan dominasi ini akan mematahkan kesenian yang berangkat dari proses pembelajaran yang memerlukan mentalitas, kreativitas, motivasi, keterampilan serta kecerdasan masyarakat. Untuk itu tugas “menjadi” guru pengajar pengetahuan keindahan sejati, sebenarnya sangatlah berat. Dipundak para guru yang “menjadi” inilah, melalui media ungkap kesenian yang sebenarnya dipertaruhkan. Karena sekali lagi, sebenarnya tujuan utama mengajarkan kesenian yang mengandung pengetahuan estetik ini, berfungsi sebagai media “pencerahan”, mat-matan nyawa, obat hati yang terluka bagi para murid, santri, cantrik dalam menapaki kehidupan yang carut marut ini. Sementara hari ini kesenian-kesenian instant, pabrikan, kodian telah mendominasi system pengajaran yang dikembangkan para pendahulu kita. Inilah modernisasi, globalisasi, liberalisasi kebudayaan. Kemudian, apakah kita benar-benar terpanggil untuk “menjadi” guru ajar keindahan bagi kemaslahatan manusia atau kita mengikuti gerak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya? Mangga. Daftar Kepustakaan : Asy-Syaibany, Omar M. Al-Toumy, Falsafatut Tarbiyah Islamiyah ( Filsafat Pendidikan Islam ), Bulan Bintang, Jakarta, 1979 Abdul Hadi WM, Hermeneutika Estetika dan Relegiusitas, Mahatari, Jogjakarta, 2004 Cut Kamari, dkk, Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005 Djumhur, Dana Saputra, Sejarah Pendidikan, Cerdas, Bandung – Jakarta, 1961 Harold H.Titus, Marlyn S. Smith, Richard T. Nolan, Living Issues In Philoshopy ( Persoalan Persoalan Filsafat ), Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Idi Subandi Ibrahim, Life Style Ectasy Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komuditas Indonesia, Jalasutra,Yogjakarta, 2006 Lajnah Kitab Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’anul Karim, Asy-Shifa’, Semarang, 2006 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, Bentang, Jogjakarta, 1997
MJA Nashir, Bela Studio, Membela Anak dengan Teater, Kepel Pres, Jogjakarta, 2001 Nashr, Seyyed Hosen, Islamic Art and Spirituality, Golgonooza Press, Ipswich, New York, 1987 Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Gramedia, Jakarta, 1984 Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis : Esai-esai Pendidikan Yang Membebaskan, Paramadina, Jakarta, 2005
*fajar sutardi seorang perupa, mengajar seni budaya dibeberapa sekolah menengah didesa, tinggal di Clupak RT.25, Mojopuro, Sumberlawang, Sragen