MENINJAU NIKAH SIRI DAN POLIGAMI DARI DALIL FIQH Euis Laelasari Abstract The problem of secret marriage and husband's polygamy right could be in different standing point but could be either in the same positions. As the problem of marriage lawful, the unacknowledgment of secret marriage today significantly related to the marriage consequences, which is marriage as human contract allocate right and obligation of both husband and wife. In fact, the relationship of both parties (husband and wife) in secret marriage was almost disagreeable, just in unrecognizable status of them legally as a family. It was implicated to other sequences like disinheritance. Otherwise, husband’s obligations to other elements in family through Islamic structure, nothing connection to their status in formal as a resident population in one state. They still responsible as ‘qowwamûn’ in front of God. So, the problem in it was the unsteady elements in marital roles. In other side, the status of polygamy in Islam is no more and no less than that of a permissible act. Like any other act lawful in principle, it become forbidden if it involves unlawful things or leads to unlawful consequences such as injustice. And then, social injustice was the main point of the problem. Recently, some public servant and religious leader instigate some reasons of polygamy. They crossed the boundaries of the interpretation so become unpermitted act of polygamy.
Pendahuluan Awal Bulan Maret tahun lalu, tepatnya hari Selasa, 02 Maret 2010, 12:13, pernah digelar dengar pendapat seputar digulirkannya RUU larangan nikah siri dan poligami dalam acara Diskusi Nikah Siri FPKB DPR RI; yang berlangsung di gedung DPR Senayan. Diantara undangan yang hadir sebagai pembicara, nampak penyanyi kontroversial Ahmad Dani yang juga ditemani dua orang pemrasaran lainnya yaitu Aisyah Amini dan Maria Ulfah Anshori. Dua persoalan yang cukup menarik dibahas; pertama, persoalan nikah siri menyangkut rencana mempidanakan pelaku nikah siri. Kedua, mengenai persoalan poligami yang secara spesifik mengangkat deskripsi adil, sehingga memungkinkan pelarangannya karena tidak mungkin manusia berlaku adil. Pertanyaan yang muncul dalam acara dengar pendapat tersebut sebetulnya begitu menggelitik tetapi sekaligus mengundang polemik, siapa sajakah dari agent-agent perkawinan tersebut yang paling berhak dihukum? Wali, saksi atau dua orang pelakunya. Pertanyaan kedua, sebetulnya mengangkat kriteria dan deskripsi adil, akan tetapi lagi-lagi diawali dengan pertanyaan berseloroh. Apakah Rasulullah Muhammad adalah pribadi yang adil diantara kesembilan istrinya? Tulisan ini akan dibatasi hanya dengan membahas dua pertanyaan yang menurut penulis menarik dan signifikan dalam memahami persoalan nikah siri dan poligami.
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
Mengurai Deskripsi Nikah Siri dan Poligami Sebelum mengungkap apa yang dimaksud dengan nikah siri atau poligami yang akan dibahas dalam tulisan ini, perlu diperjelas bahwa pembahasan ini tentunya merujuk pada konsep hukum pernikahan yang terurai dalam al-Quran. Hukum perkawinan yang dipisahkan dari pembahasan konsep hukum negara seperti ketumpangtindihan yang terjadi selama ini di Indonesia. Nikah siri atau nikah secara rahasia (tersembunyi) atau nikah yang tidak diketahui oleh khalayak ramai, sesungguhnya masih harus mengurai penjelasan yang lebih spesifik menyangkut konsep seperti apa yang akan dibidik. Mengingat kerahasiaan atau ketertutupan dari khalayak ramai apalagi hanya menyangkut pencatatan akta nikah oleh negara tidak masuk secara subsansial pada persoalan nikah itu sendiri. Pencatatan pernikahan pada institusi yang mewakili negara tidak lebih dari sekedar fasilitas yang diberikan oleh negara yang akan mengurai kemudahan-kemudahan dan keteraturan sistem bagi si warga negara itu sendiri. Mengingat dalam konsep perkawinan yang termaktub dalam alQuran, seperti apa dan bagaimana tegaknya masing-masing item dalam perkawinan, memiliki simbolisasi yang penuh arti secara komperhensif. Bukan hanya sekedar mengandung makna simbolistik tetapi juga saling terkait antara satu dengan yang lainnya sebagai sebuah institusi perkawinan atau sistem yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga akan mengurai implikasi hukum lanjutan, bila salah satu item yang ada dalam syarat dan rukun perkawinan tersebut tidak dipenuhi, berikut status perkawinannya itu sendiri. Begitu pula dalam hal poligami, hak seorang suami untuk menikahi lebih dari seorang istri, menyiratkan ketentuanketentuan yang terurai jelas di dalam al-Quran. Hal yang paling jelas mengiringi tawaran berpoligami adalah indikasi perintah menunaikan hakhak orang terdekat dan perintah berbuat adil. Di Balik Ritual Perkawinan Membicarakan polemik yang menyangkut mempidanakan pelaku nikah siri, dengan kata lain mengangkat sebuah tema dalam hukum private ke dalam wilayah publik. Apakah menempatkan logika seperti ini sudah pada tempatnya, atau malah sebaliknya? Bukankah justru semangat yang ditawarkan hukum Islam dalam al-Quran adalah sebaliknya? Bahwa setingkat hukum pidana pun bisa masuk ke wilayah hukum private, sehingga dalam persoalan penentuan hukuman, negara tidak bisa ikut campur lagi. (Q.s. al-Nisâ/4: 92) adalah salah satu contoh dari sebuah solusi dalam al-Quran, dimana ketika seseorang telah divonis bersalah oleh negara melakukan perbuatan pidana pembunuhan, dalam hukum Islam bisa masuk ke wilayah hukum private. Yaitu dengan memberikan kompensasi diyat (membayar sejumlah uang ganti rugi) kepada keluarga terbunuh bila mereka menginginkannya untuk mengganti hukuman yang berlaku semestinya. Karena dalam hal perbuatan pembunuhan yang paling dirugikan adalah pihak keluarga, apalagi yang menjadi korban adalah 67
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 1, April 2011
seorang pemimpin rumah tangga. Sekarang, hukum private dalam hal perkawinan secara terang-terangan akan dibawa ke wilayah publik karena dianggap banyak rangkaian sistem yang terdlolimi. Meringankan sesuatu yang berat, begitu kental terasa dalam semangat hukum Islam, akan tetapi memberatkan sesuatu yang tadinya sudah ringan, bukankah menyalahi semangat yang sudah ada? Siapa didlolimi, oleh siapa adalah persoalan yang juga akan coba dikupas dalam tulisan ini, berikut mencoba menempatkan persoalan pada tempatnya sehingga akan jelas apa sesungguhnya solusi yang harus ditempuh. Kembali pada persoalan nikah siri, menyangkut pertanyaan siapakah yang bersalah dalam hal nikah siri? Jawaban yang dilontarkan pemrasaran lain; Aisyah Amini, adalah dua orang pelakunya yaitu pihak laki-laki dan perempuan yang menikah. Jawaban ini, terang saja menuntut pertanyaan lanjutan menyangkut parameter sebuah ketetapan hukum. Meskipun terdapat bantahan yang signifikan berkenaan pendapat tersebut seperti diurai Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Karding ''Janganlah kawinkawin itu (kawin siri, Red)1 dipidanakan atas nama apa pun. Tapi, lebih perlu diatur secara ketat agar tidak terjadi eksploitasi terhadap perempuan dan anak''. Dalam hal ini penulis menyoroti tiga persoalan yang signifikan dalam memahami fenomena nikah siri. Pertama, Seperti diketahui bahwa syarat nikah itu meliputi 2 orang yang menikah, wali,2 2 orang saksi (hakamain) (Q.s. an-Nisā/4: 35), dan mahar (Q.s. an-Nisā/4: 4), adapun rukun nikah-nya adalah lafadl 'ijab qabul'3 itu sendiri. Ada tiga institusi pelaku di sini; wali, saksi dan dua orang mempelai yang menikah. Bila hanya dua orang mempelai yang dihukum justru tidak berdasar dan ketidakadilan jelas terlihat. Mengingat sah atau tidaknya pernikahan tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan. Bila salah satunya tidak ada maka tidak akan pernah ada penikahan. Bila ingin konsekuen, seharusnyalah semua item yang terkait berada dalam posisi yang sama. Kedua, persoalan kegelisahan yang sekarang ini tengah mencuat jelas bukan didasarkan pada ‘Peraturan Perkawinan’ atau aqad nikahnya, bagaimanapun bentuk atau nama pernikahan itu bila syarat dan rukun sudah dipenuhi maka terjadilah pernikahan. Berarti persoalannya adalah ketiga, tidak tegaknya masing-masing item sebagai agent pelaku atau pendukung pernikahan. Apalagi masing-masingnya berdiri atas nama apa dan siapa sangat tidak jelas.
1
Dikutip dari jawapos.co.id (Q.s. al-Baqarah/2: 233) 3 Ijab adalah “Al lafdzu al shōdiru min al walyyi aw man yaqūmu maqōmihi” (Lafad yang dirujuk dari seorang wali atau orang yang menggantikannya), sedangkan qabūl adalah “Allafdzu al-shōdiru min zauji aw man yaqūmu maqōmihi” (lafadz yang dirujuk dari seorang suami atau orang yang menggantikannya). Lihat A’bdu ar Rahman al Jazairi, Al Fiqh a’lā al Madzahib al arba’ah., (Kairo: Maktabah ash Shofaa, 2003), Juz. IV, h. 13 68 2
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
Betulkah pelaksanaan nikah ini didasarkan atas nama atau karena Tuhan. Karena bila benar atas nama Tuhan, sudahkan masing-masing wali atau naib (lebih dikenal dengan penghulu, orang yang menikahkan), para saksi atau para pelaku pernikahan itu sendiri, berdiri pada Tuhan dengan resmi dan menyatakan langsung persaksiannya bahwa aku anu bin anu telah ‘menikahkan’, atau ‘menyaksikan’ atau ‘menikahi’ anu binti anu kepada anu bin anu. Selanjutnya masing-masing bersedia secara berkesinambungan mempersaksikan dan bertanggung jawab dalam perjalanan perkawinan mereka selama perkawinan itu berlangsung. Baik dalam keadaan perkawinan mereka tentram apalagi sedang menghadapi masalah. Mampukah para agent perkawinan ini datang berdiri pada Tuhan, mempersaksikan perjalanan perkawinan mereka dan berdoa: “Ya Allah! Berilah kebaikan-kebaikan pada perkawinan mereka, suksesakanlah perkawinan mereka dan turunkanlah jaminan-jaminan perkawinan seperti yang Kau janjikan dalam al-Quran pada orang-orang yang sanggup melangsungkan perkawinan”. Kemudian memintakan solusi-solusi akan masalah yang tengah mereka hadapi, bila sedang menghadapinya dalam rumah tangga. Hingga kemudian perkawinan itu sukses dan jaminanjaminan yang Tuhan janjikan dalam al-Kitab pada orang-orang yang menikah pun datang pada mereka. Bila pun pernikahan itu bukan karena atau atas nama Tuhan, katakan hanya karena persoalan seks atau harta, mengapa harus mengambil tanggung jawab renteng seberat itu? Bukankah persoalannya hanya untuk mengalihkan tanggung jawab. Kenyataanya saat ini, wali atau naib dengan mudahnya menikahkan bahkan banyak orang bersedia menjadi saksi pernikahan tapi tidak mampu berdiri mempersaksikan pernikahan itu secara berkesinambungan selama perkawinan itu berlangsung. Ketika terjadi persoalan pelik dalam perkawinan, orang yang menikahkan, dua orang saksi perkawinan terutama, hanya berdiri dengan angkat tangan menyerahkan kepelikan itu pada suami-istri yang bermasalah. Bahkan kasus yang umum terjadi, mereka sudah tidak mempunyai hubungan apaapa lagi dengan pelaku perkawinan yang dinikahkannya atau disaksikannya. Dalam kasus yang berbeda, malah orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan apapun justru masuk dalam konflik yang ada dan memperkeruh keadaan. Pernahkah terpikirkan, bagaimana mereka mempertanggungjawabkan tindakannya dalam menikahkan dan menjadi saksi di hadapan Tuhan? Bagaimana bila Tuhan menyalahkan tindakan mereka, karena serta merta sanggup menikahkan dan menyaksikan perkawinan orang yang kemudian mendatangkan masalah dalam pernikahannya? Semua yang tergelar serba formalitas ritual4, pernikahan direduksi sebatas tata cara aqd dengan lebih banyak mempertimbangkan Dalam istilah A. Yusuf Ali seperti yang dikutip Cak Nur disebut dengan formalisme. Nurcholish Madjid sendiri menyebutnya dengan formalitas ritual, “Masalah Simbol dan Simbolisme dalam Ekspresi Keagamaan”, Budhy Munawwar Rachman (e.d.)., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995), p. 453-454.. 69
4
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 1, April 2011
konsep material dan mengumbar kemewahan sehari. Dalam praktek yang lebih sederhana, orang yang ingin menikah meminimalisir persoalan material ini dengan mempersiapkan kesanggupan membayar naib, orang yang diberikan kewenangan oleh negara (dalam institusi KUA) untuk menikahkan, ironis bukan? Istilah formalitas ritual sebetulnya dielaborasi oleh Nurcholish Madjid dalam kerangka melihat bentuk ibadah-ibadah formal seperti salat, puasa, zakat dan haji; dimana ibadah-ibadah tersebut dilakukan sebatas menyentuh sisi simbolisasinya bukan substansiasinya. Akan tetapi apabila kita cermati dan melihat lebih jujur lagi, justru bentukbentuk simbolisasi ini telah mengedepan pada kehidupan masyarakat yang lebih luas dengan mengatasnamakan simbol agama. Seperti dalam ranah hukum perkawinan dan kehidupan perkawinan selanjutnya, aturan-aturan formal yang disentuh hanya sebatas simbolisasi formal. Wilayah substantif dalam bentuk pertanggungjawaban di hadapan Tuhan dan elemen-elemen dalam perkawinan itu sendiri cenderung banyak dilupakan. Dalam kasus yang lebih umum, seperti formalitas pelimpahan tanggungjawab ‘mempelai wanita’ dari institusi KUA (penghulu atau naib) kepada mempelai pria, dimana relevansinya? Bila dasar hukumnya adalah telah terjadinya pelimpahan kuasa dari wali kepada wali hakim yang dalam hal ini yaitu penghulu atau naib, mengapa praktek seperti ini seakan menjadi aturan yang baku dalam tata laksana aqd perkawinan di Indonesia. Bila dipertanyakan lebih jauh lagi, siapakah yang memberikan kewenangan pada mereka para naib atau penghulu untuk melangsungkan pernikahan? Negara....? Apakah kemudian negaralah yang bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lembaga perkawinan yang ada di Indonesia sekarang? Pertanyaan selanjutnya apakah negara sanggup menanggung beban sebesar itu? Apa solusi yang ditawarkan negara kemudian? Banyak sekali ternyata persoalan yang terangkai dari kewenangan yang diberikan negara pada para naib ini. Sehingga jangan sampai kebijakan lanjutan yang biasanya ‘anget-anget tai ayam’ ini mengorbankan lembaga-lembaga pernikahan yang sebetulnya sudah sah di mata Tuhan. Lantas sekarang negara mau ikut campur lagi dalam memperkeruh air yang sudah keruh dengan menggulirkan RUU larangan nikah siri dan poligami? Apa landasan normatifnya? Bukankah sesungguhnya yang paling berhak menyatukan kualitas hidup masingmasing hamba dalam pernikahan adalah Tuhan sendiri yang menggenggam kehidupan ini? Melalui siapa? Tentu saja melalui orang tua atau wali yang telah diberikan kepercayaan untuk menjaga, mendidik, menghantarkan dan memastikan anak perempuan mereka sampai pada qawwamuun (Q.s. alNisā/4: 34) mereka yang baru (penanggungjawab urusan) yaitu suaminya, baik di hadapan manusia atau di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, aqd yang di-lafadl-kan dalam pernikahan pun, itu terjadi antara wali dengan mempelai pria (calon suami) dalam rangka pelimpahan urusan tanggungjawab mempelai perempuan. Bukankah demikian? 70
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
Hal yang terkadang sering disalahartikan, terminologi qawwamuun ini justru digunakan untuk urusan publik padahal secara spesifik hanya untuk urusan domestik atau dalam terminologi al-Quran disebut dengan ahlun / keluarga an sich. Kata qowwaamuun secara bahasa berarti al mutakaffil al amru5, atau penanggung jawab urusan. Para mufassir memberikan keterangan yang sangat relatif terhadap kata qowwaamuun.6 Al-Thabari menegaskan bahwa qowwaamuun adalah tanggung jawab dalam mendidik istri dan membimbingnya agar menunaikan kewajibannya kepada Allah dan suami.7 Ibnu Abbas mengartikan qowwaamuun dengan pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik wanita.8 Sedangkan menurut Rasyid Ridha, qowwaamuun berarti pemimpin tetapi cara yang ditempuh bukanlah memaksa, melainkan bimbingan dan penjagaan yang berdasarkan pada konsep mawaddad wa rahmah.9 Hampir sama dengan Ridho, Ash-Shobuni mengartikannya dengan penjagaan dan pengurusan seperti halnya seorang wali kepada asuhannya.10 Dalam pendapat yang sama, Muhammad As’ad mengartikan qowwaamuun dengan menjaga dalam arti sebenarnya. Menurutnya, kata qowwaamuun adalah bentuk intensif dari qaim. Penjagaan yang dimaksudkan adalah menjaga fisik dan nonfisik. Tidak berbeda dari arti di atas adalah pendapat Yusuf Ali, kata qowwaamuun diartikan sebagai pemberi nafkah dan pengatur keluarga, oleh karena itu ia mengatakan bahwa laki-laki tidak harus menjadi qowwaamuun.11 Beberapa mufassir memang mengidentifikasi qawwamuun dengan penanggung jawab, penguasa, pemimpin, penjaga dan pelindung kaum wanita (istri). Akan tetapi, ada beberapa persoalan secara hukum yang belum jelas dari tafsiran-tafsiran di atas. Pertama, tidak semua mufassir yang membicarakan kata qowwaamuun, merujuk kata nisaa pada posisi seorang istri. Beberapa mufassir membiaskan kata nisaa pada semua wanita, bukan pada posisi seorang istri. Padahal bila dilihat secara keseluruhan ayat, jelas sekali ayat tersebut tengah menjelaskan persoalan hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Ada persoalan apa sebetulnya di balik semua ini? Alasannya sangat jelas, karena yang berdiri sebagai qawwamuun bukan sekedar suami, tetapi bisa jadi seorang ayah yang mempunyai anak perempuan atau seorang wali dari kakak perempuan Al Maktabah al Syarqiyyah, Op. cit., p. 664 Pendapat-pendapat para mufassirin ini disarikan dari skripsi yang ditulis oleh penulis sendiri dalam judul, Objek Kontrak dalam Perkawinan di Kalangan Syafiiyyah, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1997)., p. 57-59 7 Al-Thabari, Tafsir Ath-Thobari, (Beirut, Libanon: Daarul Fikri, t.t)., juz. V-VI, p. 58 8 Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzi Ibadi, Tanwir Maqbas min Tafsir Ibnu Abbas., (Indonesia: Daarul Ikhya Al-Kitab Al-Araby, t.t)., p. 56 9 Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manaar., (Beirut: Daarul Fikr, t.t)., juz: V, p. 67 10 Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawai’ul Bayaan; Tafsir Ayat al-Ahkam minal Quran., (Beirut: Daarul Fikr, 1391 H)., juz. I, p. 463 11 Maksun Faiz Noval (e.d.), Mencermati Kedudukan Wanita dalam Al-Quran., (Gema Kliping Service, 1996), p. 51 71 5 6
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 1, April 2011
atau adik perempuan yang telah ditinggal sang ayah. Kedua, secara transparan para mufassir di atas hanya mengidentifikasi sisi fisikal / material dari bentuk qowwaamuun. Mereka tidak membahas sisi ruhiyyah / immateril dari sebuah konteks perkawinan, kecuali Muhammad As’ad mengartikan qowwaamuun dengan menjaga dalam arti yang sebenarnya fisik dan non-fisik. Padahal bila kita sepakat, bahwa perkawinan bukan hanya sekedar aqd tapi juga sebuah sacramen suci wujud kualitas hubungan manusia dengan Tuhan. Dan dengan menjaga pernikahan, seorang suami bahkan juga istrinya tengah menjaga kualitas hubungannya dengan Tuhan. Oleh karena itu, sisi pertanggungjawaban pemimpin keluarga atau suami kepada Yang Maha Menjaga adalah hal yang paling urgen dalam sebuah pembinaan keluarga. Ketiga, sebagai refleksi dari persoalan kedua, kiranya tidak berlebihan apabila qowwaamuun juga diartikan sebagai pemegang urusan istrinya, anak-anak perempuannya dan kakak atau adik perempuannya di hadapan Tuhan. Dengan demikian, pertanggungjawaban yang dimaksud pada ayat di atas yaitu pertanggungjawaban kepada Tuhan atas urusan orang yang dipimpinnya dalam keluarga. Mengingat kepemimpinan yang dinyatakan dalam ayat ini menyangkut kepemimpinan dalam keluarga an sich. Kembali lagi pada persoalan orang-orang yang diberi kewenangan untuk menikahkan. Bila para wali tidak dimungkinkan secara syari’ dalam melaksanakan tugasnya, barulah para naib yang diberikan kuasa oleh para wali ini berperan. Bukankah tugas para naib ini sebetulnya hanya mencatatkan status baru orang-orang yang baru menikah dari status lajang menjadi istri atau suami? Bila benar negara ingin membantu, lantas apa susahnya dengan mendata orang yang sudah menikah atau belum tanpa memperumit dan memperpanjang urusan apalagi bersifat material? Bila mereka sudah menikah berikanlah keterangan nikah atau kalau mungkin surat nikah resmi tanpa dipungut lagi biaya. Karena banyak fakta orang takut menikah di KUA karena tidak punya uang untuk membayar. Bukankah ini sebuah kerusakan secara sistemik yang dilakukan oleh negara? Sebuah korupsi besar-besaran yang telah dilakukan sejak lama dengan mengatasnamakan institusi keagamaan? Lantas bagaimana negara memperbaikinya? Dengan masuk lagi ke wilayah hukum private? Bila kita sudah sepakat bahwa persoalan ini sebetulnya hanya masuk pada wilayah hukum private, berarti yang menjadi masalah mendasarnya ialah bagaimana membenahi isi kepala dari pelaku-pelaku dan pendukung-pendukung pernikahan saja; yaitu suami-istri, wali dan saksinya dalam pernikahan. Pernikahan adalah sebuah wujud perbuatan hukum, maka akan merefleksi pada implikasi-implikasi hukum lanjutannya. Bahkan lebih dari itu, pernikahan juga bisa ditempatkan sebagai sebuah sacramen suci dalam membentuk kualitas hubungan manusia dengan Tuhannya. Sehingga implikasinya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dalam perbuatan-perbuatan manusiawi yang terangkai dengan bentuk hak dan kewajiban masing72
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
masing elemen dalam institusi hasil dari perkawinan tersebut, yaitu keluarga. Bagi para wali atau wali dari penghulu juga para saksi, jelas harus berdiri sebagai institusi pembina pernikahan. Pada prakteknya, pembinaan yang dilakukan para romo atau pendeta yang melakukan pemberkatan pernikahkan di gereja lebih menyentuh ritual-practice. Mengingat pembinaan yang mereka lakukan pada masing-masing jemaat yang mereka nikahkan berlangsung secara terarah dan terus-menerus. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor yang signifikan untuk terjadinya kesuksesan dalam pernikahan. Sebelum berangkat pada bentuk hak dan kewajiban bagi elemenelemen dalam keluarga, menarik untuk melihat bagaimanakah pernikahan dalam kualitas sebuah aqd dan pernikahan sebagai sebuah sacramen suci dalam membentuk kualitas hubungan manusia dengan Tuhannya. Konsep sacramen suci merupakan terminologi yang datang dari agama Nashrani. Dimana bentuk kedaulatan manusia dengan kerajaan Tuhan diimplementasikan dalam bentuk simbolistik-ritual.12 Pada prakteknya secara institusional keagamaan, kita mengenal “ke-romo-an” dalam tradisi Katholik atau kependetaan dalam istilah Protestan. Penegasan secara konseptual dari kedaulatan ini tergambar pada gaya hidup berselibat, karena selibat adalah wujud perkawinan manusia dengan Tuhan. Gaya hidup yang menjadi tradisi inipun tidak serta merta muncul begitu saja, kecuali memang telah nampak sebelumnya dan tergambar pada kualitas hidup sosok yang menjadi panutan mereka. Seperti diketahui bahwa Yesus Kristus sebagai panutan orang-orang Kristiani, adalah sosok pribadi yang secara penuh berdaulat dengan kehendak Tuhan. Beliau ada karena kehendak Tuhan, menggelar kehidupan dengan kasih sayang Tuhan bahkan meninggal dan dibangkitkan kembali pun atas kuasa Tuhan. Karenanya, tradisi ini kemudian dikonseptualisasikan sebagai bentuk penyatuan manusia dengan a Supreme Being seperti yang dilakukan Yesus Kristus. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi berselibat ini pun, sedikit banyak dipengaruhi pandangan yang signifikan tentang perempuan sebagai pendosa dan seksualitas sebagai wujud karya setan. Bahkan di awal paham ke-Katholik-an, seks dalam pernikahan pun dianggap tidak selaras dengan pandangan dan laku spiritual.13 Berbeda dengan tradisi sebelumnya yaitu Yahudi, tidak dikenal pandangan yang menyangkut sacramen ini. Dalam bentuk hukum Yahudi, Istilah ini diadaptasi dari istilah formalisme ritual yang digulirkan Cak Nur dalam mengidentifikasi bentuk keberagamaan masyarakat yang masih mengedepankan simbol-simbol agama yang bersifat formal. Nurcholish Madjid, “Masalah Simbol dan Simbolisme dalam Ekspresi Keagamaan”, Budhy Munawwar Rachman (e.d.)., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995), p. 451-462. Akan tetapi dalam simbolistik ritual justru ditujukan untuk simbol-simbol dalam tata ritus yang mewakili konsep yang lebih dalam atau substansif. 13 Dikutip dari Hunt. M, “Sexual Behavior in the 1970s”, Chicago: Playboy Press, 1974 dalam Bernard Spilka, The Psychology of Religion; An Empirical Approach., (New Jersey: Englewood Cliffs, 1985), p. 260 73 12
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 1, April 2011
perkawinan tidak dipandang se-ekstrem ini, mereka justru mengakuinya sebagai bentuk institusi Tuhan divine institution (Genesis 2: 24) yang kemudian diadopsi oleh hukum perkawinan Protestan setelah terjadinya reformasi dalam tradisi Kristiani.14 Meski demikian pandangan misoginis terhadap kaum perempuan telah ada dan dilegitimasi tradisi Yahudi dengan memposisikannya sebagai pihak tersubordinasi. Kembali pada persoalan perkawinan dalam tradisi Kristiani, selanjutnya diposisikan sebagai bentuk ritual, yang menggeser konsep taboo dalam hubungan intim antara laki-laki dan perempuan, yang dikukuhkan dalam bentuk perayaan ketiga.15 Pandangan ini pula yang menjadi landasan terjadinya perkawinan monogami dalam tradisi Kristiani. Dimana perkawinan yang telah disatukan Tuhan (yang di dalam inti ajaran adalah bentuk representasi penyatuan manusia dengan Tuhan), karenanya tidak bisa dipisahkan dengan alasan apapun kecuali maut memisahkan mereka. Bagaimana wujud konsep tersebut dalam Diin a-Islam? Perkawinan sebetulnya bisa diwujudkan dalam penggabungan kedua konsep di atas, antara sebuah institusi dan sebuah sacramen suci. Penyatuan antara institusi keagamaan seperti dalam konsep perkawinan Yahudi dan sebagai sebuah sacramen suci, wujud penyatuan diri manusia dengan TuhanNya seperti dalam Tradisi Kristiani. Seperti diketahui bahwa pernikahan seperti yang diatur fiqh, bukan hanya sekedar perpaduan dua insan menjadi satu dan karena itu tidak boleh diceraikan oleh manusia, misalnya. Pernikahan adalah hubungan kasih sayang yang diikat oleh aqd, sekaligus merupakan kesatuan dari hubungan komplementer sepanjang aqd masih berlaku.16 Konsekuensi dari kontrak yang demikian, seharusnyalah di antara pasangan suami istri masih mempunyai hak otonom. Artinya keduanya masih mempunyai akses dan kontrol terhadap dirinya sendiri. Bagaimana mewujudkannya, tentu saja dengan saling mendukung agar masing-masing pihak mendapatkan dan melaksanakan hak dan kewajiban yang nanti akan didapat dan dipikul oleh suami dan istri dalam pernikahan itu sendiri. Hak Poligamus Para Suami Seperti dalam persoalan hak setiap suami untuk berpoligami misalnya (Q.s. an-Nisā/4: 3), tetap mengindikasikan kewajiban-kewajiban (Q.s. at-Tahrīm/66: 6) yang harus mereka lakukan terlebih dahulu. Poligami saat ini adalah persoalan yang masih sangat sensitif untuk dibicarakan baik di sektor domestik apalagi publik. Tetapi kecenderungan seperti ini tidak A’ti, Op. Cit., p. 58-59. Dikutip dari Parson dalam Abu al-A’ti, ibid., p. 56 16 Dalam istilah Syu’ba Asa sebetulnya menggunakan istilah ‘hubungan cinta’ lihat Syu’ba Asa, “Perempuan di dalam dan di luar Fiqh”., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti,1996), p. 110, tetapi penulis lebih memilih kata kasih sayang karena terminologi cinta dalam al-Quran dipergunakan untuk kualitas hubungan suami-istri yang telah Tuhan persatukan dalam perkawinan sedangkan bila masih umum lebih tepat menggunakan terminologi kasih sayang. 74 14 15
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
lantas memberi kewenangan untuk membuat hukum sendiri, bahwa ‘poligami dilarang’ misalnya. Bagi orang-orang yang beriman pada petunjuk-petunjuk yang termaktub dalam Kitabullah, keterbatasan dalam memahami petunjuk-petunjuk tersebut tidak lantas membuat mereka memposisikannya sebagai closed corpus. Justru karena hal ini, kita akan senantiasa meminta petunjuk dari Tuhan dan memohon untuk dihunjamkan dalam hati sebagai ilmu dan hidayah agar tidak hanya sekedar bisa dilisankan tapi juga terpatri sebagai sebuah solusi Tuhan pada kita semua. Dalam kaitan ini, menarik sekali melihat perdebatan kedua, masih dengan Ahmad Dani tetapi yang kedua dengan Maria Ulfa Anshori menyangkut masalah poligami. Diantara persoalan yang muncul dan menarik untuk dibahas adalah menyangkut terminologi dan kriteria adil. Dalam perdebatan yang kedua ini, ada sisi yang sangat menarik untuk diungkap karena terjadi tarik menarik argumen menyakut kepribadian Rasulullah Muhammad, apakah beliau orang yang adil atau tidak? Yang paling mungkin untuk menjawab persoalan ini adalah membangunkan kembali Rasulullah Muhammad kemudian menanyakan secara langsung kepada beliau apakah beliau orang yang adil atau tidak. Opsi lain, mungkin kita bisa dekati itu dari beberapa hadist beliau yang mengungkap kepribadian dirinya melalui kacamata orang-orang terdekatnya. Dan tentu saja opsi yang kedua lebih mungkin kita lakukan saat ini. Hanya saja bagi penulis, pendekatan seperti ini masih belum bisa menjadi pembahasan yang mendasar, apa sebetulnya yang ingin Tuhan sampaikan menyangkut terminologi adil dalam ayat ini. Mengapa Tuhan memerintahkan para suami untuk berbuat adil pada istrinya, bisa kita identifikasi melalui surat (Q.s. al-Nisā/4: 3) dan (Q.s. al-An’ām/6: 152). Struktur kata yang digunakan pada kedua ayat ini hampir sama. Dua item yang penting di dalamnya menyangkut perintah menjaga harta anak yatim (yang mengindikasikan perintah menunaikan hak-hak mereka) juga perintah untuk berlaku adil. Hanya saja, di ayat yang pertama yang menjadi objek adalah ‘perempuan’, “…….fa ankihuu maa thooba lakum min an-nisaa……”. Sedangkan di ayat yang kedua yang menjadi objek adalah ‘orang terdekat’, “….wa idzaa qultum fa a’diluu wa lau kaana dzaa al-qurbaa…..”. Apakah ada pararelisme makna pada dua kosa kata ini, sebetulnya bisa kita identifikasi pada terminologi keluarga / ahlun dalam al-Quran. Dalam terminologi Arab, ahlun mempunyai arti al-‘asyiiratu wa dzu al-qurbā yaitu anak-anak dari bapaknya dan orang terdekat.17 Terminologi dza al-qurbā, ‘orang terdekat’ sendiri terdapat dalam lima ayat dalam al-Quran: Q.s. an-Nisā/4: 36, al-Baqarah/2: 83, al-Isrā’/17: 26, alAn‘ām/6: 152, dan al-Syūrā/42: 23, dan kelimanya teridentifikasi pada posisi Telusuri arti bahasa ahlun ini berikut identifikasi-identifakasi yang biasa meliputi kata ahlun dalam kamus bahasa Arab Loise Ma'luf, Al-Munjid fii al Lughah wa al A'laam., (Bairut: Daarul Masyriq, 1986), 20 75
17
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 1, April 2011
orang terdekat dalam kategori sebuah struktur,18 seperti dalam struktur ahlun. Bila tidak ditujukan pada posisi suami, maka yang dituju adalah istrinya atau anak-anak dari hasil perkawinan mereka. Sebagai sebuah refleksi dari terminologi ahlun secara hukum, ayat-ayat ini pun menjelaskan kasus hukum secara transparan. Dua ayat pertama, perintah untuk berbuat baik, ihsaanaa, pada ‘orang terdekat’ (Q.s. an-Nisā/4: 36, alBaqarah/2: 83). Kedua, memberikan hak ‘orang terdekat’, hak orang miskin dan lainnya (Q.s. al-Isrā’/17: 26), selanjutnya perintah untuk berkata dan berlaku adil pada ‘orang terdekat’ (Q.s. al-An‘ām/6: 152). Terakhir adalah perintah untuk menyambungkan cinta kasih dalam hubungan suami-istri (Q.s. al-Syūrā/42: 23). Meskipun tidak ada perintah yang jelas di ayat ini, tetapi Tuhan menggunakan bahasa yang begitu halus, “….Aku tidak meminta upah apapun kecuali menyambungkan cinta kasih dalam hubungan suami-istri….”. Persoalan identifikasi istri pada ‘orang terdekat’; karena orang terdekat suami adalah istrinya dan ‘orang terdekat’ istri adalah suaminya. Qurbā, kosa kata yang digunakan adalah ism al-tafdliil (superlative) dari qariib, yang berarti ‘perempuan yang terdekat’ (dalam bentukan muannast). Dengan demikian, dzā al-qurbā kurang lebih mempunyai arti, ‘orang yang mempunyai kedekatan dengan perempuan yang terdekat’, karena mempunyai bentukan muannats. Bahkan dalam Kamus Bahasa Arab Munjid secara spesifik, arti ahlun dari laki-laki dewasa adalah istrinya.19 Sementara itu di dalam Hukum Islam, persoalan hak begitu diperhatikan. Bahkan dalam persandingan dua ayat yang mengidentifikasi perintah berbuat adil, selalu didahului dengan perintah untuk menjaga harta anak yatim dengan menunaikan hak-hak mereka. Oleh karena itu sangat tidak berlebihan apabila Tuhan pun mewanti-wanti persoalan pemberian hak orang-orang terdekat, karena memang sebelum menunaikan hak pada orang lain, hak orang terdekat inilah yang harus didahulukan. Entah itu hak istri dari suami ataupun sebaliknya. Jadi sebetulnya, kegelisahan para wanita ketika dibacakan ayatayat menyangkut poligami itu tidak akan jauh dari sebuah konsekuensi yang terjadi atau akibat langsung dari kurangnya hak-hak yang mereka dapatkan dari para suami, baik itu menyangkut hak lahir ataupun hak bathin. Sehingga solusinya, tidak lain dan tidak bukan hanya dengan membuka bab hak dalam al-Quran yang sudah sangat jelas tertera dalam surat al-Nisa. Oleh karena itu, akan terpahami selanjutnya mengapa Tuhan menggunakan bahasa “….lan ta’diluu…” (Q.s. an-Nisā/4: 129), ‘tidak akan pernah adil kalian’ dalam hal poligami. Karena konsepsi adil yang selama ini ada, yaitu dengan membagi sama rata dan sama rasa. Sungguh suatu 18 Yang dimaksud dengan orang terdekat dalam sebuah struktur, seperti kedekatan suami dan istri dalam struktur ahl, atau kedekatan antara orang tua dan anak dalam struktur dzuriyyaah, bahkan kedekatan antara majikan dan bawahannya dalam sebuah struktur organisasi. 19 Ibid., 20 76
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
hal yang sangat tidak masuk akal. Dengan melakukan hal yang demikian, jelas akan mendlolimi atau merugikan pihak yang lainnya. Terutama bagi para istri pertama yang telah dengan kesungguhan merayap, berjuang, berjalan bahkan mungkin berdarah-darah dalam membina kualitas sebuah hubungan dalam rumah tangga dari nol, satu, dua hingga mencapai tangga atas kesuksesan mereka. Katakanlah dalam sebuah ilustrasi sederhana, Tuhan mempercayakan sebentuk akumulasi harta untuk sebuah keluarga sebesar Rp.100,00. Hak untuk para suami seperti dalam ketetapan hukum mendapatkan 25 % atau seperempat (Q.s. an-Nisā/4: 12), sang istri mendapat 12,5% atau seperdelapan (Q.s. an-Nisā/4: 12), hak orang tua sekitar 16% atau seperenam (Q.s. an-Nisā/4: 11), sisanya untuk hak-hak anak dan oprasional keluarga, tetapi tentu saja setelah terlebih dahulu dikeluarkan 2,5% sebagai bentuk mensucikan harta (Q.s. at-Taubah/9: 103).20 Bilapun para suami ingin berpoligami tidak ada hak dan kewenangan padanya untuk menggugat hak-hak yang telah menjadi hak anggota keluarga pertamanya. Bila ia ingin tetap melakukannya, ia hanya punya hak dari oprasional dirinya sendiri sebesar 25%, dan dari harta ini pulalah ia berbagi dengan istri kedua atau seterusnya. Bila mereka melanggar ketetapan ini maka masuklah mereka dalam kategori dholim. Sebuah kemungkinan besar sesungguhnya, bahwa hal ini pulalah yang menjadi parameter ketidaksuksesan praktek poligami para suami di Indonesia, karena banyaknya merampas hak keluarga inti yang telah terbangun lebih dahulu. Pada kenyataannya, kebanyakan praktek poligami yang dilakukan sekarang justru dengan merampas hak-hak orang-orang yang sesungguhnya Tuhan perhatikan begitu luar biasa dalam Kitabullah, seperti kedudukan istri, anak dan orang tua. Ini masih menyangkut hak lahiriyah bagaimana dengan hak bathiniyah? Bila Tuhan memberikan perumpamaan kebun (Q.s. alBaqarah/2: 223) bagi para istri maka jagalah kebun-kebun itu agar tidak gersang mengering. Biarkan kebun itu menjadi subur dengan seringnya didatangi untuk disirami, diperhatikan juga dipelihara dengan baik sebagai bentuk penjagaan yang benar. Karena sesungguhnya, seksualitas dalam Islam dipandang sebagai sebuah penjagaan yang urgen dari seorang suami pada istrinya. Dalam ilustrasi yang sederhana, kebun yang hijau dan subur tidak akan mungkin tertarik atau menoleh kebun yang kering, tetapi sebaliknya kebun yang kering selalu akan tertarik dan mungkin juga tidak perlu disalahkan bila selalu ingin menoleh dan mengganggu kebun yang hijau dan subur. Dengan demikian memberikan kepuasan bathiniyah kepada para istri adalah sesuatu yang mutlak dalam hubungan suami istri, Distribusi harta seperti ini diambil dari bentuk pembagian waris dari orang yang telah meninggal, sebagai bentuk menejmen disribusi harta yang Tuhan tawarkan pada umat manusia. Hal yang membedakannya adalah, bahwa menejmen distribusi harta dalam oprasional keluarga ini tidak dibagi habis. Berbeda dengan pembagian waris dari orang yang telah meninggal dunia yaitu dengan dibagi habis. 77
20
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 1, April 2011
karena jika tidak jangan salahkan bila mereka akan berpaling. Terminologi yang digunakan pun bukan main-main yaitu “pakaian” (Q.s. al-Baqarah/2: 187), karena mengindikasikan bentuk kehormatan seseorang dan juga “kebun” yang kesuburan dan kegersangannya sangat tergantung pada orang yang menyiraminya, yaitu sang suami sendiri. Penutup Dengan demikian, sangat jelas bahwa persoalan nikah siri atau poligami bukan persoalan hukum baru yang membutuhkan solusi hukum yang baru pula. Persoalan yang ada hanya membutuhkan penempatan hukum secara proporsional yang telah dibahas secara jelas dalam al-Quran. Menyangkut penyelesaian hukum yang bersifat private, menegakan institusi-institusi pembina tanpa masuk pada ranahnya langsung secara interventif adalah hal yang patut dilaksanakan. Seperti dalam ranah hukum perkawinan, dalam kesederhanaan dan keterbatasannya, hukum perkawinan merupakan hukum yang mempunyai implikasi yang begitu luas dengan memperhatikan kekhasan dan keragaman yang ada. Sederhana dan terbatas, karena materi-materi persoalan yang dibicarakan dalam ranah ini hanya menyangkut persoalan antar personal dalam ruang lingkup hak dan kewajiban yang terbatas yaitu di lingkungan keluarga. Sehingga penyelesaian hukum yang ada di dalamnya tidak perlu atau membutuhkan campur tangan negara. Mempersiapkan pembina-pembina keluarga yang telah teruji bukan hanya sekedar secara konsep melainkan dibutuhkan pembina yang berpengalaman dan mempunyai kepemimpinan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan manusia juga terutama di hadapan Tuhan. Pembina keluarga yang sanggup mempersaksikan perjalanan keluarga tersebut, sehingga harus terkait secara langsung dengan pernikahan yang mereka ‘sahkan’ atau pernikahan yang mereka ‘saksikan’. Hal ini dimaksudkan untuk membantu keluarga yang baru terbina yang secara spesifik sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Juga terdiri dari masing-masing elemen yang sangat mungkin datang dari budaya atau latar keluarga yang berbeda. Sangat kurang memungkinkan menyelesaikan persoalan hukum private dengan menyamaratakan penyelesaian hukum secara sama tanpa melihat kekhasan masing-masing keluarga yang ada. Secara spesifik bagi para suami, menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai seorang suami terlebih dahulu adalah sebuah keniscayaan. Wujudnya, dengan membantu para istri menjadi wanita yang shalehah, yang sanggup menghadirkan Allah dan RasulNya dalam setiap aspek yang mereka lakukan. Ketika sudah terpenuhi dan terpuaskan para istri dengan melihat kebahagiaan yang terpancar dari dalam raga dan jiwa mereka, maka hak para suami untuk berpoligami bisa dipintakan pada Tuhan. Mengingat, izin terberat yang sesungguhnya adalah datang dari Tuhan sendiri bukan dari para istri. Sebaliknya, bagi para istri tidak usahlah gelisah dan khawatir, bantulah para suami untuk menjadi suami yang 78
Euis Laelasari Meninjau Nikah Siri dan Poligami dari Dalil Fiqh
bertanggungjawab dunia dan akhirat dengan memberikan ketentraman pada mereka. Ketika para istri sudah melaksanakan tugasnya, niscaya surga kebahagiaan itu tidak harus mereka tunggu hingga nanti, di yaum alakhir. Mengingat, di sini di dunia ini pun niscaya akan mereka dapatkan, amiiiin. Bila begini adanya masih perlukan kita menyoal nikah siri atau poligami? Daftar Pustaka Al Maktabah al Syarqiyyah, Al-Munjid fii al-Lughah wa al-A'laam., (Bairut: Daarul Masyriq) Al-Thabari, Tafsir Ath-Thobari, (Beirut, Libanon: Daarul Fikri, t.t)., juz. V-VI Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzi Ibadi, Tanwir Maqbas min Tafsir Ibnu Abbas., (Indonesia: Daarul Ikhya Al-Kitab Al-Araby, t.t)., p. 56 Bernard Spilka, The Psychology of Religion; An Empirical Approach., (New Jersey: Englewood Cliffs, 1985), p. 260 Euis Laelasari, skripsi yang ditulis oleh penulis sendiri dalam judul, Objek Kontrak dalam Perkawinan di Kalangan Syafiiyyah, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1997) Hammudah Abd al ‘Ati, The Family Structure in Islam., (Amerika: American Trust Publications, 1977) Maksun Faiz Noval (e.d.), Mencermati Kedudukan Wanita dalam Al-Quran., (Gema Kliping Service, 1996), p. 51 Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manaar., (Beirut: Daarul Fikr, t.t)., juz: V Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawai’ul Bayaan; Tafsir Ayat al-Ahkam minal Quran., (Beirut: Daarul Fikr, 1391 H)., juz. I Nurcholish Madjid, “Masalah Simbol dan Simbolisme dalam Ekspresi Keagamaan” dalam Budhy Munawwar Rachman (e.d.)., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995 Syu’ba Asa, “Perempuan di dalam dan di luar Fiqh”., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti,1996)
79