MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS VI SDN 09 KEPAHIANG MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW Dian Saputra Guru SD di Kepahiang Abstrak: Mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa, termasuk siswa kelas VI SDN 09 Kepahiang. Hasil belajar yang dicapai siswa pada tahun-tahun sebelumnya selalu di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Rendahnya hasil belajar siswa yang dicapai dapat disebabkan oleh motivasi siswa untuk belajar IPA kurang, proses pembelajaran atau sarana belajar yang kurang memadai. Salah satu upaya untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan aktivitas siswa sehingga memudahkan siswa memahami konsep-konsep IPA. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus dilakukan 2 (dua) kali pertemuan. Pada siklus I menunjukan peningkatan prosentase aktivitas siswa, 36% pada pertemuan pertama dan 68% pada pertemuan kedua, sedangkan pada siklus II sebesar 72% pada pertemuan pertama dan 88% pada pertemuan kedua. Hasil belajar juga mengalami peningkatan, pada siklus I ketuntasan belajar 76% dan 84% pada siklus II. Tanggapan siswa juga positif, yang dapat dilihat dari angket yang dijawab siswa yang merasa senang dengan model pembelajaran ini. Kata kunci: motivasi belajar, pembelajaran kooperatif, jigsaw.
Belajar pada dasarnya merupakan peristiwa yang bersifat individual yakni terjadinya perubahan tingkah laku sebagai dampak dari pengalaman individu. Pengalaman dapat berupa situasi belajar yang sengaja diciptakan oleh orang lain atau situasi yang tercipta begitu adanya. Peristiwa belajar yang terjadi karena dirancang oleh orang lain di luar diri individu sebagai pebelajar biasa disebut proses pembelajaran. Proses ini biasa dirancang oleh guru. Istilah belajar berarti suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku pada diri individu yang biasanya terjadi setelah adanya interaksi dengan sumber belajar, sumber belajar ini dapat berupa buku, lingkungan, guru atau sesama teman. Menurut Sudjana (1985:5), belajar adalah sesuatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap, dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Adapun istilah mengajar adalah menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk belajar. Hal ini tidak harus berupa proses transformasi penge43
tahuan dari guru kepada siswa. Rooyakkers (1984:13) menyatakan bahwa proses mengajar adalah menyampaikan bahan pelajaran yang berarti melaksanakan beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut tidak ada gunanya jika tidak mengarah pada tujuan tertentu. Kegiatan belajar mengajar sebagai salah satu bentuk pendidikan yang multi variabel sudah tentu dalam proses penyelenggaraannya akan turut dipengaruhi serta melibatkan faktor-faktor lain. Faktor tersebut menurut Syah (1995:132) secara umum terbagi atas tiga macam. (1) Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa seperti halnya minat, bakat dan kemampuan. (2) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari lingkungan di sekitar siswa seperti keadaan keluarga, latar belakang ekonomi dan kemampuan guru dalam mengajar. (3) Faktor pendekatan mengajar, berupa upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, untuk menciptakan proses pembelajaran yang tepat dibutuhkan suatu formula bentuk pembelajaran yang utuh dan tentu saja menyeluruh, dalam arti proses pembelajaran melibatkan aktivitas siswa. Jadi pada
44, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
hakekatnya, belajar adalah wujud keaktifan siswa walaupun derajatnya tidak sama antara siswa satu dengan yang lainnya dalam suatu proses belajar mengajar di kelas. Terdapat banyak keaktifan yang tak dapat dilihat dengan mata atau tak dapat diamati, misalnya menggunakan hasanah ilmu pengetahuannya untuk memecahkan masalah, memilih teorema-teorema untuk membuktikan proposisi, melakukan asimilasi dan atau akomodasi untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru. Jadi yang di-maksud siswa belajar secara aktif adalah belajar dengan melibatkan keaktifan mental walaupun dalam banyak hal diperlukan keaktifan fisik. Setelah berakhirnya proses pembelajaran biasanya diperoleh hasil belajar yang merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan puncak proses belajar (Dimyati, 1999:3). Sementara itu, Ahmadi (1984:35) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam suatu usaha, dalam hal ini usaha hasil belajar berupa perwujudan prestasi belajar siswa yang dapat dilihat pada nilai setiap mengikuti tes. Menurut Sudjana (1999:25), hasil belajar pada dasarnya adalah perubahan tingkah laku atau keterampilan yang berupa pengetahuan, pemahaman, sikap dan aspek lain lewat serangkaian kegiatan membaca, mengamati, mendengar, meniru, menulis, dan lain sebagainya, sebagai bentuk pengalaman individu dengan lingkungan. Hasil belajar dipengaruhi 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), meliputi faktor fisiologis maupun psikologis. (1) Faktor fisiologis antara lain: cacat badan, kesehatan dan sebagainya. Faktor psikologis antara lain berupa motivasi, minat, reaksi, konsentrasi, organisasi, repetisi, komprehensif, dan sebagainya. (2) Faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), datangnya dari luar diri siswa, faktor ini melipui faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketersediaan sarana dan prasarana atau adanya laboratorium.
Hasil belajar dapat digolongkan pada hasil yang bersifat penguasaan sesaat dan penguasaan berkelanjutan. Penguasaan sesaat contohnya pengetahuan tentang fakta, teori, istilah-istilah, pendapat dan sebagainya. Hasil belajar yang bersifat berkelanjutan harus dilakukan terus menerus dalam hampir setiap kegiatan belajar. Penguasaan berkelanjutan misalnya keterampilan tertentu dalam mengolah suatu produk, menyelesaikan perhitungan dan sebagainya. Agar hasil belajar yang dicapai oleh siswa tinggi dan berkualitas, tujuan penga-jaran yang dicapai juga tinggi, sangat di-pengaruhi oleh proses interaksi antara guru dan siswa. Interaksi antara guru dan siswa akan baik bila komunikasi antara guru dan siswa juga berjalan dengan baik. Peng-ukuran hasil belajar dalam penentuan ke-berhasilan siswa dalam suatu proses pem-belajaran yang sering digunakan adalah berupa tes hasil belajar. Tes hasil belajar disusun berdasarkan tujuan penggunaan tes itu sendiri, misalnya dalam bentuk pretes dan postes. Pretes adalah tes yang di-berikan sebelum suatu pelajaran dimulai yang bertujuan untuk mengetahui sejauh-mana siswa telah menguasai bahan yang akan diberikan. Postes adalah tes yang diberikan sesudah suatu pelajaran selesai diajarkan, tujuannya adalah untuk menge-tahui sejauhmana siswa tersebut telah menguasai bahan yang telah diajarkan. Perbedaan hasil kedua jenis tes ini akan ditentukan oleh kualitas pembelajarannya. Jika proses pembelajaran baik maka pengaruhnya ialah terdapat perbedaan yang besar antara postes dengan pretes. Pertanyaan-pertanyaan pada pretes harus dibuat sama dengan pertanyaanpertanyaan pada postes, supaya kedua hasil tes ini dapat dibandingkan. Agar pembelajaran menjadi lebih berkualitas maka guru harus dapat membangkitkan motivasi siswa untuk belajar, sebab jika tidak ada dorongan dalam diri siswa untuk belajar, maka proses pembelajaran tidak akan efektif. Siswa yang termotivasi belajar akan berpartisipasi secara aktif dalam pelajaran yang berlangsung tanpa rasa terpaksa, tetapi secara sukarela atas inisiatif sendiri. Sebagai
Dian Saputra, Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar IPA,45
akibat dari hal ini maka hasil belajar yang dicapai akan lebih lama diserap, karena dengan adanya motivasi belajar tersebut maka dorongan dalam diri siswa akan terpenuhi; dan siswa akan merasa puas dengan hasil belajar yang dirasakan sebagai pemenuhan kebutuhan. Dalam kegiatan belajar di kelas ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu: 1) kemana siswa menuju pada akhir kegiatan, 2) bagaimana caranya agar siswa tiba pada sasaran yang dituju, 3) bagaimana agar dapat diketahui apakah sasaran yang dituju itu sudah tercapai atau belum. Agar melalui ketiga hal tersebut guru harus menciptakan kondisi yang dapat merangsang timbulnya motivasi belajar siswa. Menurut Rosita (1995: 102), motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Menurut Dahar (1985:8), motivasi berfungsi mengikat perhatian siswa, menggiatkan semangat belajar, menyediakan kondisi yang optimal untuk belajar”. Oleh karena itu maka guru harus membangkitkan motivasi belajar siswa terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran dimulai. Motivasi juga dapat berfungsi untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, khususnya untuk menemukan jalan untuk mencapai tujuan belajar. Dalam hal ini diharapkan siswa dapat menyelesaikan tugas yang diberikan dalam kelompoknya mengenai materi pelajaran yang dipelajarinya. Berdasarkan penyebab timbulnya, ada dua jenis motivasi, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi instrinsik. Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang timbul dari luar diri individu, baik yang disebabkan oleh orang lain maupun oleh keadaan alam dan lingkungan. Seperti keluarga, masyarakat, sekolah. Motivasi instrinsik yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa tekanan dari luar. Menurut Dahar (1985:13), motivasi instrinsik jauh lebih kuat dari pada motivasi ekstrinsik, karena timbulnya motivasi instrinsik ini sepenuhnya disadari oleh individu yang terlibat, tanpa desakan atau dorongan
apapun. Motivasi instrinsik dapat mengubah sikap seseorang dari malas menjadi giat belajar. Motivasi ekstrinsik dapat membantu timbulnya motivasi intrinsik, yang berpengaruh lebih kuat terhadap keberhasilan belajar. Kemungkinan penyebab rendahnya motivasi belajar siswa diantaranya, siswa beranggapan bahwa mata pelajaran IPA itu sulit. Kemungkinan lainnya adalah model pembelajaran yang digunakan masih berorientasi pada guru sehingga siswa belum terlibat aktif secara maksimal dalam proses pembelajaran, oleh karena itu maka perlu upaya untuk membangkitkan motivasi belajar dan meningkatkan kualitas pembelajaran IPA agar hasil pembelajaran menjadi bermakna perlu menggunakan pendekatan yang sesuai, antara lain dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Menurut Lie (2004:29), model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Penerapan pembelajaran kooperatif akan memberikan hasil yang efektif kalau memperhatikan dua prinsip inti berikut. Yang pertama adalah adanya saling ketergantungan yang positif. Semua anggota dalam kelompok saling bergantung kepada anggota lain dalam mencapai tujuan kelompok, misalnya menyelesaikan tugas dari guru. Prinsip yang kedua adalah tanggung
46, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
jawab pribadi (individual accountability). Di sini setiap anggota kelompok harus memiliki kontribusi aktif dalam bekerja sama. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepa-da anggota lain dalam kelompoknya. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembe-lajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok-nya. Dengan demikian, jigsaw juga dapat meningkatkan keterampilan berkomuni-kasi. Menurut Lie (2004:69), siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Para anggota dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lian tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompoknya apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli. Belajar kooperatif merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Belajar kooperatif memberikan kesempatan pada siswa untuk saling berinteraksi. Siswa yang saling menjelaskan pengertian suatu konsep pada temannya sebenarnya sedang mengalami proses belajar yang sangat efektif yang bisa memberikan hasil belajar yang jauh lebih maksimal daripada kalau dia mendengarkan penjelasan guru. Rendahnya hasil belajar pada mata pelajaran IPA yang diperoleh siswa kelas VI SDN 09 Kepahiang, juga diakibatkan dari cara belajar siswa belum baik. Selama ini siswa belajarnya dengan cara meng-
hafal (rote learning) bukan dimengerti atau dipahami sehingga tidak menghasilkan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Berdasarkan pengalaman tahuntahun sebelumnya perolehan skor nilai hasil belajar dari ulangan harian / ulangan blok sangat rendah, yaitu berkisar antara 60% sampai dengan 70% di bawah KKM (Kriteris Ketuntasan Minimal) yang sudah ditetapkan. Berarti hanya sekitar 30% sampai dengan 40% yang sudah tuntas. Belajar dikatakan tuntas bila siswa telah mencapai prestasi belajar atau nilai dengan skor ≥ 60. Dengan demikian hasil belajar IPA siswa kelas VII SDN 09 Kepahiang masih dianggap rendah. Bertolak dari pandangan bahwa belajar adalah mengalami sesuatu, prosesnya dapat berupa berbuat, bereaksi, mengalami sesuatu, menghayati sesuatu. Mengalami sesuatu berarti menghayati situasi-situasi yang sebenarnya dan mereaksi terhadap berbagai aspek situasi itu untuk tujuan-tujuan yang nyata bagi siswa. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Maka untuk memecahkan permasalahan pembelajaran konsep IPA yang sulit di-pahami, peneliti mencoba memberikan upaya melalui pembelajaran kooperatif dengan tipe jigsaw. METODE Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2009-2010 di SDN 09 Kepahiang mulai dari bulan Januari hingga Maret sebanyak 4 kali pertemuan yang dibagi menjadi 2 siklus. Siklus I sebanyak 2 kali pertemuan dan siklus II sebanyak 2 kali pertemuan. Jumlah jam pelajaran IPA dalam satu minggu adalah 4 jam pelajaran di mana satu jam pelajaran waktunya 35 menit dengan subjek yang diteliti adalah siswa kelas VI SDN 09 Kepahiang sebanyak 33 siswa. Penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Kurt Lewin seperti disebutkan dalam Dikdasmen (2003:18). Adapun tahap-tahap atau yang biasa disebut siklus (putaran) terdiri dari
Dian Saputra, Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar IPA,47
empat komponen yang meliputi: (a) perencanaan (planning), (b) aksi atau tindakan (acting), (c) observasi (observing),
(d) refleksi (reflecting). Prosedur penelitian tindakan kelas ini secara garis besar dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas Siklus I
Perencanaan
Tindakan
Pengamatan Refleksi
Indikator Keberhasilan Siklus I
Siklus II
Perencanaan Tidakan Pengamatan Refleksi Indikator keberhasilan siklus II
· · · · · ·
Merencanakan pembelajaran yang akan diterapkan dilaksanakan Menentukan pokok bahasan Mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Menyiapkan sumber belajar seperti buku Mengembangkan format evaluasi Melaksanakan KBM yang mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disiapkan · Melakukan evaluasi dalam bentuk tes kemampuan pemahaman konsep yang dipelajari Melakukan observasi dengan menggunakan format observasi · Melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan meliputi efektifitas waktu yang telah dilaksanakan · Membahas hasil tindakan · Memperbaiki pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan yang belum mencapai sasaran · Evaluasi tindakan · Instrumen-instrumen yang telah disiapkan pada siklus I dapat dilaksanakan semua · Siswa mampu melaksanakan KBM dengan aktifitas yang tinggi. · Siswa mampu menunjukan bentuk-bentuk energi dan contohnya dalam kehidupan sehari-hari · Identifikasi masalah dan penetapan alternatife pemecahan masalah · Pengembangan program tindakan II Pelaksanaan program tindakan II Pengumpulan data tindakan II Evaluasi tindakan II · Instrument-instrumen yang telah disiapkan pada siklus II dapat terlaksanakan semua · Aktifitas siswa dalam KBM meningkat · Motivasi siswa dalam KBM meningkat · Hampir 100 % pencapaian hasil belajar menunjukan peningkatan
Data observasi diambil melalui pengamatan langsung pada saat kegiatan berlangsung oleh kolaborator sebagai observer, pengisian angket oleh siswa, dan tes hasil belajar pada pretes dan postes masing-masing siklus dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) untuk pelajaran IPA adalah 60. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pretes I diperoleh skor nilai ratarata 44,20 dan prosentase ketuntasan belajar sebesar 28 % yaitu hanya 7 orang siswa yang sudah tuntas dari 25 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman konsep energi dan perubahannya secara umum masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditetapkan yaitu 60. Walaupun demikian, skor nilai ini masih dianggap wajar, karena memang belum diajarkan (belum dilakukan proses
pembelajaran di kelas). Waktu yang digunakan untuk pretes I adalah 30 menit. Berdasarkan hasil pretes I yang diperoleh, yaitu ketuntasan belajar hanya 28 %, maka dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam melakukan suatu upaya untuk meningkatkan pemahaman konsep energi dan perubahannya dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Setelah proses pembelajaran yang berlangsung di siklus I, sebanyak 2 kali pertemuan maka untuk mengetahui adanya peningkatan hasil belajar setelah diberi tindakan, siswa diberikan postes I dengan hasil diperoleh skor nilai rata-rata 64,60 dan prosentase ketuntasan belajar mencapai 76 %, yaitu sebanyak 19 siswa yang sudah tuntas, dan hanya 6 orang siswa yang belum tuntas. Pada pertemuan kedua di siklus I tetap dilakukan pembelajaran berkelompok dengan metode jigsaw Pada pertemuan kedua ini siswa
48, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
sudah mulai terlihat aktif. Aktivitas kelas pada pertemuan kedua ini sudah ada peningkatan dibandingkan pertemuan pertama. Aktivitas kerjasama 10 orang siswa (40%), bertanya 8 orang siswa (32%), aktivitas yang mengemukakan pendapat 9 orang siswa (36%), dan yang membuat rangkuman 12 orang siswa (48%). Prosentase aktivitas kelas secara keseluruhan yaitu 68%. Dibandingkan dengan pertemuan pertama, sudah ada peningkatan aktivitas kelas sebesar 32%. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari lembar observasi di siklus I, bahwa setelah proses pembelajaran yang dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan (setelah diberi tindakan), ternyata penerapan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw konsep energi dan perubahannya memberikan hasil yang cukup memuaskan sesuai dengan target yang diharapkan. Hal ini dapat dikatakan adanya peningkatan prosentase aktivitas kelas. Secara keseluruhan aktivitas belajar di siklus I meningkat dari 36% menjadi 68%. Dalam hal ini, aktivitas kelas sudah termasuk kategori aktif, karena kriteria keaktifan kelas dikatakan cukup apabila proses aktivitas kelas berkisar antara 50 – 75%. Namun demikian, ada beberapa jenis aktivitas siswa yang masih dianggap rendah, yaitu aktivitas dalam hal aktivitas mengemukakan pendapat. Hasil prediksi diperkirakan bahwa siswa masih belum menguasai betul materi pelajaran yang sedang dibahas, sehingga timbul rasa tidak percaya diri atau suatu keraguraguan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri ataupun menyanggah pendapat orang lain. Oleh karena, itu nampaknya perlu ada pendekatan guru terhadap siswa untuk bisa merangsang atau menumbuhkan rasa percaya diri bagi siswa dengan cara belajar yang maksimal dan menjelaskan bahwa hal ini masih sedang taraf belajar. Siswa juga perlu dilatih keberanian mentalnya untuk mau mencoba aktif dalam hal mengemukakan pendapat, ataupun ada keberanian menyanggah, apabila hal itu tidak sesuai dengan konsep yang dia yakini (misalkan dari buku sumber). Adapun hasil belajar yang diperoleh melalui postes I, setelah berakhirnya pembelajaran pada pertemuan di siklus I, diperoleh skor nilai rata-rata kelas sebesar 64,60 dengan prosentase ketuntasan belajar sebesar 76%. Apabila dibandingkan dengan hasil pretes I, terdapat peningkatan nilai rata-rata kelas sebesar 20,40 dan peningkatan prosentase ketuntasan
belajar sebesar 48%. Peningkatan ini cukup besar dan bisa dikatakan memenuhi kategori berhasil, karena siswa yang mencapai nilai di atas 60 (di atas KKM yang telah ditetapkan) sudah lebih dari 75%. Dengan demikian bahwa pengaruh proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw cukup besar sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan pada akhirnya hasil belajarnya pun meningkat. Berbeda dengan hasil belajar yang diperoleh sebelumnya selalu di bawah target (di bawah KKM) dimana proses pembelajarannya hanya penjelasan langsung dari guru melalui papan tulis. Dengan demikian, hal ini perlu dipertahankan untuk proses pembelajaran pada pertemuan selanjutnya di siklus II. Pada pertemuan pertama di siklus II, dilanjutkan kembali proses pembelajaran mengenai konsep energi dan perubahannya. Prosentase aktivitas siswa secara keseluruhan meningkat dari pertemuan sebelumnya yaitu 68% menjadi 72%. Peningkatannya sebesar 4%. Pada pertemuan ini, yang bekerjasama sebanyak 12 orang siswa (48%), bertanya 9 orang siswa (36%), yang mengemukakan pendapat 11 orang siswa (44%) dan yang membuat rangkuman sebanyak 15 orang siswa (60%). Suasana belajar semakin terlihat kondusif, karena hampir seluruhnya siswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran baik yang bertanya, yang menjawab, yang menyanggah ataupun yang mengemukakan pendapat. Hasil yang diperoleh dari lembar observasi bahwa yang bekerjasama yaitu sebanyak 13 orang siswa (52%) yang bertanya dan 11 orang siswa (44%) yang mengemukakan pendapat 12 orang siswa (48%) dan yang membuat rangkuman sebanyak 19 orang siswa (76%). Prosentase aktivitas kelas keseluruhannya mencapai 88%. Pretes II dilakukan sebelum pelaksanaan pembelajaran di siklus II. Konsep yang dipelajari di siklus II ini adalah usaha dan daya. Hasil yang diperoleh dari pretes II memberikan skor nilai rata-rata kelas sebesar 50,60 dan ketuntasan belajar siswa mencapai 48%, yaitu 12 orang siswa yang sudah tuntas dari 25 orang siswa. Setelah pembelajaran dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan, diperoleh hasil dari postes II dengan ketuntasan belajar sebesar 84% dan nilai rata–rata sebesar 72,00. Kenaikan dari pretes ke postes sebesar 36% dan kenaikan nilai rata–ratanya sebesar 21,40. Setelah proses pembelajaran ditempuh sebanyak 4 kali pertemuan mulai dari siklus I sampai siklus II, siswa diberikan angket isian
Dian Saputra, Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar IPA,49
untuk mengetahui motivasi siswa dalam model pembelajaran tipe jigsaw, karena dengan adanya motivasi belajar tersebut akan ada dorongan belajar dalam diri siswa. Dari angket yang diberikan pada siswa diantaranya ditanyakan merasa senang kegiatan belajar IPA, belajar IPA dengan diskusi kelompok menyenangkan, merasa senang belajar dari teman, merasa lebih mudah memahami penjelasan dari teman dan perlunya kegiatan seperti yang dilakukan dikembangkan, dengan opsi pilihan setuju, raguragu dan tidak setuju. Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada siswa diperoleh hasil siswa yang senang dengan kegiatan belajar IPA 19 orang siswa setuju (76%), 5 orang siswa ragu-ragu (20%) dan 1 orang siswa tidak setuju (4%), sedangkan belajar dengan diskusi kelompok 23 orang siswa setuju (92%), 2 orang siswa raguragu (8%), yang merasa senang belajar dari penjelasan teman 23 orang siswa setuju (92%), 2 orang siswa ragu-ragu (8%), yang merasa mudah memahami penjelasan teman 20 orang siswa setuju (80%), 3 orang siswa ragu-ragu (12%), dan 2 orang siswa tidak setuju (8%), dan yang berpendapat perlu dikembangkan sebanyak 21 orang siswa setuju (84%), sedangkan 4 orang siswa ragu-ragu (16%). Setelah proses pembelajaran ditempuh sebanyak 4 kali pertemuan mulai dari siklus I sampai siklus II maka berdasarkan analisis data kegiatan siswa diperoleh peningkatan aktivitas siswa yang cukup berarti. Berdasarkan dari data yang ada secara umum dikatakan bahwa hasil belajar meningkat. Kenyataan ini bisa dijelaskan bahwa proses pembelajaran pada konsep energi dan perubahannya dengan menggunakan model pembelajaran tipe jigsaw menarik bagi siswa, sehingga siswa termotivasi untuk mempelajari materi pembelajaran secara sungguh-sungguh dengan belajar sendiri di samping memperhatikan penjelasan temannya dan penjelasan guru yang memberikan bimbingan dalam diskusi. Hal ini juga terlihat dari hasil angket siswa yang memperlihatkan motivasi yang dimiliki siswa dengan belajar tipe jigsaw sangat menyenangkan, maka pembelajaran akan dirasakan lebih efektif dan efisien dalam menyampaikan materi pelajaran atau mengajarkannya, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ulfah (2008), Chalimah (2006), dan Lestari (2003), model jigsaw dapat meningkatkan aktivitas belajar, partisipasi dalam pembelajaran dan hasil belajar siswa. Hal itulah yang
diharapkan dari suatu pembelajaran kooperatif. Siswa yang bekerja dalam kelompok diharapkan akan belajar lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang kelasnya dikelola secara tradisional (Suyanto, 2009). Trinandita (1984) dalam Yasa (2008) menyatakan bahwa hal yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi. Berdasarkan uraian, bahwa proses pembelajaran konsep energi dan perubahannya dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terdapat hubungan antara motivasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung dengan hasil belajar setelah proses pembelajaran dilaksanakan. Jadi bisa dikatakan apabila siswa aktif pada saat diskusi membahas materi pembelajaran, baik dalam hal bertanya ataupun mengemukakan pendapat, maka berarti siswa sudah mengerti dan paham apa yang sedang dipelajarinya, sehingga hasil belajarnya pun cukup memuaskan. Dengan demikian apabila pemahaman konsep sudah baik atau meningkat, maka bisa dipastikan hasil belajarnya pun baik pula atau meningkat. SIMPULAN Berdasarkan analisis, temuan dan pembahasan yang diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan: (1) motivasi belajar siswa, hasil angket menunjukkan bahwa 85% siswa menyatakan setuju; (2) aktivitas belajar siswa dan angket siswa, pada siklus I dari 36% menjadi 68%, dan pada siklus II dari 72% menjadi 88%; dan (3) hasil belajar konsep energi dan usaha, dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa, ketuntasan belajar pada siklus I sebesar 48% , yaitu dari 28% menjadi 76%, dan pada siklus II meningkat sebesar 36% , yaitu dari 48% menjadi 84%. Disarankan guru mengadakan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, agar siswa lebih termotivasi minat belajarnya sehingga dapat meningkatkan hasil belajar.
50, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. 1984. Didaktik Metodik, Semarang, C.V. Toha Putera. Chalimah, N.U. 2006. Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa MA Al Asror Gunungpati Semarang dengan Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw. Semarang: UNNES: Skripsi Tidak Diterbitkan. Dahar, R.W. 1986. Interaksi Belajar Mengajar IPA, Jakarta, Universitas Terbuka, Depdikbud. Dimyati. 1999. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, P.T. Rineka Cipta. Lestari, E. 2003. Peningkatan Hasil Belajar Pada Konsep Hormon Melalui Strategi Jigsaw Pada Siswa Kelas 2 SLTP N 9 Semarang. Skripsi. Semarang: UNNES: Skripsi Tidak Diterbitkan. Lie, A. 2004. Cooperative Learning, Jakarta, Grasindo. Mendiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Rooyakkers, A. 1984. Mengajar dengan Sukses, Bandung, Gramedia. Rosita, T. 1994. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Universitas Terbuka, Depdikbud. Sudjana, N. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung, Sinar Baru. Suyanto, K. 2009. Model-Model Pembelajaran. Malang: UM. Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15. Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosdakarya. Ulfah, F. 2008. Peningkatan Proses dan Hasil Belajar dalam Menyelesaikan Soal Cerita melalui Strategi Cooperative Learning Tipe Jigsaw di kelas III SD Islam Sabilillah Malang. Yayasan Sabilillah: Penelitian Tindakan Kelas. Yasa, D. 2008. Aktivitas dan Prestasi Belajar. Tersedia pada http://ipotes. wordpress.com/2008/05/24/prestasibelajar/. Diakses 15 September 2009.