Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012
Laporan ini dicetak menggunakan kertas daur ulang
Edisi Workshop
66582
Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur
Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur
1
UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini disusun atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, CIDA, AUSAid, dan Bank Dunia. Terima kasih kepada tim peneliti yang dikepalai oleh A. Madjid Sallatu, beranggotakan Agussalim, Darmawan Salman, St. Bulkis Oesman, Budimawan, Rahim Darma, Nursini, Sultan Suhab, A. Tawakkal, Muhammad Yunus, dan Djunaidi M. Dachlan. Terima kasih pula kepada tim data P3KM yang beranggotakan Sanusi Fattah, A. Amrullah, Abdullah Sanusi, A.Nixia Tenriawaru, dan A. Abdul Azis Ishak. Pengelolaan penelitian oleh P3KM dikoordinasi oleh Djunaidi M. Dahlan, dibantu oleh Agussalim sebagai sekretaris, dan Nursini yang membantu untuk administrasi. Tim Bank Dunia dipimpin oleh Guntur Sutiyono dan Bastian Zaini, dibantu oleh Erryl Davy, Ihsan Haerudin, Indira Maulani Hapsari, Chandra Sugarda, Andhika Maulana, dan A. M. Rezky Mulyadi. Terima kasih kepada Luna Vidya yang telah mengkoordinasikan kegiatan komunikasi PEACH di Sulawesi Selatan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada anggota Project Management Committe (PMC) yang telah aktif berpartisipasi memberi masukan selama proses pembuatan laporan, dinas-dinas dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang berkontribusi dalam pengumpulan data. Tim menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Kepala BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Tan Malaka Guntur sebagai Ketua PMC. Terima kasih dan apresiasi kami berikan kepada Kepala Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Muhammad Firda sebagai Sekretaris PMC, dan Bapak. Arahan pembuatan laporan ini diberikan oleh Gregorius D.V. Pattinasarany dan Amin Subekti. Terima kasih kepada Cut Dian Rahmi Agustina, Ahmad Zaki Fahmi, serta rekan-rekan dari World Bank dan CIDA atas saran dan masukannya. Terima kasih juga kami berikan kepada Sarah Sagitta Harmoun atas dukungan logistiknya. Tak lupa apresiasi kami sampaikan untuk Caroline Tupamahu dan Yayasan BaKTI yang memfasilitasi PEACH di Sulawesi Selatan.
ii
KATA PENGANTAR Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memegang peranan penting di kawasan timur Indonesia. Ibu Kotanya, Makassar sudah menjadi jantung perdagangan dan distribusi di kawasan ini secara turun temurun. Sulawesi Selatan selama ini berperan sebagai salah satu lumbung pangan nasional dengan produk utama seperti beras, jagung, dan kakao. Kini Provinsi Sulawesi Selatan bergerak maju dengan produksi ternak sapi dan rumput lautnya. Dalam lima tahun terakhir, Sulawesi Selatan menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan nasional, yang didorong oleh pertumbuhan pada sektor konstruksi, Jasa keuangan, dan Pengangkutan. Walaupun memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kapasitas fiskal yang semakin besar, Provinsi Sulawesi Selatan masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan, salah satunya adalah tantangan kemiskinan. Selain itu, pendidikan dan kesehatan juga merupakan tantangan dalam upaya meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusianya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan perlu berupaya keras dalam mengoptimalkan potensinya tersebut. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong arus perpindahan sehingga investasi di sektor infrastruktur dan penyediaan layanan dasar akan menjadi sangat penting. Laporan ini merupakan sebuah upaya untuk membantu Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran, dan berkontribusi dalam kinerja pembangunannya. Laporan ini merupakan hasil kerjasama yang erat antara Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, serta dukungan dari CIDA, AusAID, dan Bank Dunia. BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan berperan penting dalam memfasilitasi seluruh proses pembuatan laporan ini. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Kami juga berharap laporan ini dapat menjadi sumbangsih pengetahuan bgi pemerintah daerah di provinsi lain, para pemangku kepentingan di pusat dan daerah, serta pemerhati keuangan dan pembangunan daerah. Di masa yang akan datang, peran Provinsi Sulawesi Selatan akan menjadi semakin penting, dan kami berharap laporan ini dapat berkontribusi kepada pengelolaan keuangan daerah dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH
Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
Stefan G. Koeberle
Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia
iii
DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................................................................... ii Kata Pengantar ............................................................................................................................................................. iii Daftar Isi ....................................................................................................................................................................... iv Daftar Gambar .............................................................................................................................................................. vi Daftar Tabel .................................................................................................................................................................. ix Daftar Kotak ................................................................................................................................................................... x Daftar Istilah ................................................................................................................................................................. xi Ringkasan Eksekutif ......................................................................................................................................................1 1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan ....................................................................................................2 2. Pendapatan dan Belanja Daerah ......................................................................................................................2 3. Kinerja Sektor Strategis ....................................................................................................................................3 4. Gender dan Isu Strategis Lainnya ..................................................................................................................... 5 5. Rekomendasi Pembangunan ............................................................................................................................5 Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................................................................ 9 1.1 Perkembangan Daerah...............................................................................................................................10 1.2 Kondisi Perekonomian Daerah ...................................................................................................................11 1.3 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan ...................................................................................................16 1.4 Kondisi Pembangunan Manusia .................................................................................................................20 1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah .....................................................................21 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah ............................................................... 23 2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah ...........................................................................................24 2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ...........................................27 2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) ................................................................................31 2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah .....................................................................33 2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah ..................................................................................35 2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah ....................................................................................................39 2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................................................................................... 41 Bab 3 Pendapatan Daerah ................................................................................................................................... 43 3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan ................................................................................44 3.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) .........................................................................................................................47 3.3. Dana Perimbangan ...........................................................................................................................................49 3.4. Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah .............................................................................................................52 3.5. Pembiayaan Daerah .........................................................................................................................................52 3.6. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 54 Bab 4 Belanja Daerah ........................................................................................................................................... 55 4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah ...................................................................................................................56 4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi ............................................................................................................... 58 4.3. Belanja Menurut Sektor ...................................................................................................................................61 4.4. Hubungan Belanja dengan Gender ..................................................................................................................64 4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 67 Bab 5 Analisis Sektor Strategis ............................................................................................................................. 69 5.1. Analisis Sektor Pendidikan...............................................................................................................................70 5.2 Analisis Sektor Kesehatan .................................................................................................................................88
iv
5.3 Analisis Sektor Infrastruktur ..............................................................................................................................99 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan ................................................................................................................... 111 Belanja Sektor Pertanian .......................................................................................................................................112 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian .........................................................................................................114 6.1. Komoditas Jagung..........................................................................................................................................115 6.2. Komoditas Kakao ...........................................................................................................................................118 6.3. Komoditas Sapi ..............................................................................................................................................121 6.4. Komoditas Rumput Laut ................................................................................................................................122 6.5. Komoditas Udang ..........................................................................................................................................125 Bab 7 Analisis Isu Daerah ................................................................................................................................... 129 7.1 Analisis Kemiskinan .........................................................................................................................................130 7.2. Analisis Lingkungan Hidup ..............................................................................................................................138 7.3. Analisis Gender ...............................................................................................................................................142 Lampiran ........................................................................................................................................................... 149 Lampiran A. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan? .............................150 Lampiran B: Catatan Metodologi ......................................................................................................................... 151 Lampiran C : Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................................152 Lampiran D. Master Table .....................................................................................................................................160
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (center point of Indonesia) .................................10 Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi dari Pertumbuhan Ekonomi Nasional ......................................................................................................11 Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional ...........................................15 Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 .....................................................15 Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen...........................................................16 Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ...........................................17 Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009 ....................................19 Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ............................19 Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional dan Masih Senjang Dengan Target RPJMD .....................................................................................................20 Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi Lain di Indonesia Tahun 2009 ..............................................................................................................................21 Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan Renstra SKPD di Sulawesi Selatan .........................................................................................................................28 Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah .................................................31 Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD Menuju RAPBD) .......................................................................................................................33 Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran ..........................36 Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah .......................................................................................37 Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan .........................................................40 Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 ..................................................44 Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 ..........................................................45 Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .........46 Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 .........................................................47 Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ..........................48 Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011 .................................................................49 Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan ........................................50 Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010.............................................................................................................................51 Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ..................................................................................................................................52 Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011 ....................................................53 Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ........................................56 Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi Selatan, 2007-2010 ................................................................................................................................................57 Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ..............................................................57 Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ...................................59 Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 .........60 Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan berdasarkan Sektor, 2007-2011 ....................................................................................................................................61 Gambar 4.7. Belanja Transfer Mendominasi Belanja Provinsi dan Cenderung Naik, Sementara di Kabupaten Proporsi Belanja Pendidikan Telah Melewati Belanja Pemerintahan. .....................................................63 Gambar 4.10. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011 ....................................................................................65 Gambar 4.11. Belanja klasifikasi ekonomi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Sulawesi Selatan, 2010-2011 ..................................................................................................................................66
vi
Gambar 4.12. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat Provinsi Bervariasi .................................................................................................................................................67 Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ............................70 Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 .........71 Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ........72 Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ................................................................................................................................................73 Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*) .........................73 Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010 ....................74 Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 .......................................75 Gambar 5.8. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*) ....................................................75 Gambar 5.9. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010.................................76 Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ...........................................77 Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ............77 Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 ....................................79 Gambar 5.13. Angka melek huruf menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2009 ............................................79 Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan ..............................................................82 Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 ...............................88 Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .............................................................................................89 Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ...............................................................................................................89 Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 ................................90 Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009..........................................................................90 Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per 100.000 Penduduk...........................91 Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011. ......................92 Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .........93 Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ..........100 Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ..............101 Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi ...................101 Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar................103 Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010 ............................103 Gambar 5.28. Proporsi panjang dan kondisi jaringan jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ....................................104 Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009 .........................................................105 Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan ...............................105 Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010 ....................................................................................107 Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011 ....................................107 Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010 ...........................108 Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih Baik ..........109 Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik ........................................109 Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................................................112 Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ................................................................................................................................113 Gambar 6.3. Alokasi belanja sektor pertanian provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi ekonomi di Sulawesi Selatan, 2010...........................................................................................................................113 Gambar 6.4. Belanja pertanian riil kabupaten/kota di Sulawesi Selatan ..................................................................114 Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 .....................116 Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 .......................116 Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010. ......................................................119 Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/ Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009. ....................................122 Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. verrucosa dan E. cottoni, 2006-2010 ...................................................123
vii
Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010. .....................................................................124 Gambar 6.11. Kontribusi 5 Kabupaten Penghasil Utama Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat di Tahun 2010. .......................................................................................................................................124 Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut Kategori Jenis, 2006-2010 .........................................................................126 Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010 .......................130 Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010 ........................................131 Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau Sulawesi, 2010 ............131 Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010........................................132 Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 20062010 .......................................................................................................................................................132 Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 .....................................................133 Gambar 7.7. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ..................................134 Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan.................................................................................................................................136 Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009 .....................................................139 Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak. ..............140 Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi Selatan, 2005-2010 ................................................................142 Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005 – 2009 ......................................................143 Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan ........................143 Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan ......................144 Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009 ..................................145
viii
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus Meningkat Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat (Miliar Rp)................................................................12 Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010 Didominasi oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah (Miliar Rp) ...............................13 Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan (Juta Rp) ..................14 Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010 .............................16 Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009...................................17 Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ....................................................................................................................................18 Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal dan Bernafaskan Keagaman ..................................................................................................................................................22 Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia......................... 22 Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan .............................................24 Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan ...............................25 Tabel 2.3. Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN yang Masih Kurang Tegas Dijabarkan Kedalam RPJMD Sulawesi Selatan Serta Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan yang Bukan Merupakan Penjabaran dari RPJMN .............................................................................................................................26 Tabel 2.4. Katerkaitan agenda pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD provinsi/kabupaten/kota di Sulawesi Selatan .......................................................................................................................................................27 Tabel 2.5. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan 2008-2013 ....................................................................29 Tabel 2.6. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Bercirikan Perdesaan Dalam RPJMD Luwu Utara 2005-2010 dan Renstra SKPD Dinas Pertanian Luwu Utara 2005-2010 ....................................................29 Tabel 2.7. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Perkotaan Dalam RPJMD Makassar 2009-2014 dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Makassar 2009-2014 ........................................................................30 Tabel 2.8. Program prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010 .........................34 Tabel 2.9. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ...................38 Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa .................................................41 Tabel 3.1. Komposisi Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ..................................................................................................................................................51 Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009......................................................................74 Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ....................................................................................................................................76 Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ..............................................................................................................................78 Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 ..................80 Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 ...................................................................................................81 Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di Sulawesi Tahun 2009 .....................................................................91 Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ....................................................................................................................................92 Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 .....94 Tabel 5.9. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut kelompok pendapatan di kabupaten/kota Sulawesi Selatan, 2009....................................................................................................95
ix
Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009-2011 ..................................................................................................................................................96 Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara Sultan Hasanuddin Meningkat ............................................................................................................................102 Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013 .........................................115 Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ...............................................117 Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi ................................................119 Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010...........................................................120 Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN ...................120 Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang di Sulawesi Selatan, 2010............................................126 Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005 -2009 ........................................................................................................... 133 Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ......................135 Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan ........................................................................145 Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah Rumah Tangga Dalam Sehari, 2011 .........................................................................................................146
DAFTAR KOTAK Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 ...................83 Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 ...................................................84 Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis ..........................................................................................85 Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan ........................................................................................97
x
DAFTAR ISTILAH
ABK AKB AKI APBD APS COREMAP BLHD DAS DPA Gerbang Emas Gerhan Gernas Grateks-2 IPM KUA/PPA LKPD Musrenbang P3KM PDRB PMA PMDN PUG PUN Renja Renstra RKA RKPD RMS RMG RPJMD/N SKPD SiLPA SPPD/N TAPD TPAK TPT UMKM UKL UPL USD
Anggaran Berbasis Kinerja Angka Kematian Bayi Angka Kematian Ibu Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Angka Partisipasi Sekolah Coral Reef Rehabilitation and Management Program Badan Lingkungan Hidup Daerah Daerah Aliran Sungai Daftar Pengisian Anggaran Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gerakan Nasional. Bagian dari Gerakan Nasional Kakao Gerakan Ekspor Dua Kali Lipat Indeks Pembangunan Manusia Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas dan Plafon Anggaran Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Musyawarah Perencanaan Pembangungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pendapatan Domestik Regional Bruto Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri Pengarusutamaan Gender Program Udang Nasional Rencana kerja Rencana Strategis Rencana Kerja Anggaran Rencana Kerja Pemerintah Daerah Rasio Murid Sekolah Rasio Murid Guru Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/Nasional Satuan Kerja Perangkat Dinas Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah/Nasional Tim Anggaran Pemerintah Daerah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka Usaha Masyarakat Kecil Menengah Upaya Pengelolaan Lingkungan Upaya Pemantauan Lingkungan United States Dollar (Dollar Amerika Serikat)
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
1
2
Ringkasan Eksekutif
1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan Sulawesi Selatan semakin memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan Kawasan Timur Indonesia dan Indonesia. Provinsi ini terletak di tengah wilayah Indonesia dengan luas 45.764,53 kilometer persegi, jumlah penduduk 8,032,551 jiwa (2010), terdiri dari 21 kabupaten dan tiga kota. Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu gerbang bagi Kawasan Timur Indonesia melalui perhubungan laut (Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar), perhubungan darat (Kota Makassar sebagai titik awal jalur darat trans-Sulawesi kearah Sulawesi Utara), dan perhubungan udara (Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar). Provinsi ini juga berperan penting sebagai lumbung pangan nasional dan pusat perkembangan kakao di Indonesia. Sulawesi Selatan mengalami perkembangan sosial ekonomi yang pesat dalam lima tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pergeseran struktur PDRB, pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, perbaikan penanaman modal, penurunan angka kemiskinan dan penurunan angka pengangguran, dalam kondisi pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Perkembangan ini berlangsung dalam kondisi membaiknya pelayanan publik, meningkatnya belanja pemerintah daerah, dan meningkatnya pembangunan infrastruktur. Kualitas manusia merupakan tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia, telah meningkat secara signifikan dan telah bergeser dari urutan 23 ke urutan 19 secara nasional. Capaian ini tetap membutuhkan perbaikan terus menerus, seperti halnya indikator sosial ekonomi yang lain, guna mencapai kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Perekonomian Sulawesi Selatan didorong oleh sektor pertanian melalui komoditas unggulannya. Dalam lima tahun terakhir, sektor pertanian menyumbang hampir separuh PDRB provinsi dan menyerap 29 persen tenaga kerja (2009). Ini menunjukkan bahwa perekonomian Sulawesi Selatan masih ditopang oleh produk primer dan sumber daya manusia di pertanian tradisional. Tantangan dalam mengelola komoditas unggulan seperti kakao, komoditas pangan (padi dan jagung), serta komoditas kelautan (perikanan dan rumput laut) harus dihadapi dengan berorientasi pada agro industri dan agribisnis. Konsistensi dan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran menunjukkan arah yang semakin membaik. Secara umum, alokasi anggaran pemerintah daerah sejalan dengan perencanaannya. Meski demikian, beberapa aspek perencanaan dan penganggaran masih perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada aspek penganggaran dibandingkan perencanaan dan konsistensinya. Beberapa inkonsistensi ditemukan pada tingkat yang berbeda, keterlambatan penyusunan RPJPD, dan masih adanya penetapan indikator dan target kinerja yang belum cermat.
2. Pendapatan dan Belanja Daerah Antara tahun 2005 hingga 2010, pendapatan meningkat dua kali lipat, tetapi masih sangat bergantung pada transfer dari pusat. Selama periode tersebut, pendapatan tumbuh sebesar 76 persen mencapai
2
Ringkasan Eksekutif
3
hampir Rp. 16 triliun. Pendapatan pemerintah kabupaten/kota tumbuh 13 persen per tahun, sementara pendapatan pemerintah provinsi tumbuh 9 persen per tahun. Transfer pusat menyumbang 76 persen pendapatan di Sulawesi Selatan, hingga mencapai Rp. 11 triliun pada tahun 2010. Hanya 7 persen dari pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara 58 persen pendapatan pemerintah provinsi berasal dari PAD. Daya serap anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tergolong rendah. Rendahnya daya serap ditandai oleh besarnya Sisa Lebih Perhitungan Angggaran (SiLPA) tahun anggaran, dimana SiLPA tahun sebelumnya mendominasi sumber penerimaan pembiayaan tahun berjalan, baik pada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi SiLPA tahun sebelumnya terhadap penerimaan pembiayaan tahun berjalan mencapai 87 persen (2007), meskipun cenderung menurun menjadi 50 persen pada tahun 2010. Sedangkan pada pemerintah provinsi, seluruh penerimaan pembiayaan bersumber dari SiLPA (2010). Sulawesi Selatan perlu meningkatkan kualitas komposisi anggarannya. Hampir separuh belanja pemerintah di Sulawesi Selatan (49 persen) digunakan untuk belanja pegawai, sementara belanja modal menghabiskan 26 persen dari total anggaran. Belanja terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke daerah bawahan (37 persen), belanja ini sebagian besar digunakan untuk Program Kesehatan Gratis dan Pendidikan Gratis. Belanja pendidikan mendominasi belanja pemerintah kabupaten kota, sebesar 33 persen dari total belanja. Alokasi belanja untuk program-program terkait kesetaraan gender di Sulawesi Selatan juga masih rendah.
3. Kinerja Sektor Strategis Sektor Pendidikan Peningkatan belanja pendidikan diikuti pula dengan peningkatan capaian. Belanja pendidikan tumbuh sebesar 27 persen per tahun, di mana tiga perempatnya digunakan untuk belanja pegawai. Rasio gurumurid dan rasio sekolah-murid telah membaik di semua jenjang pendidikan. Angka melek huruf meningkat dari 85 (2005) menjadi 88 (2010), meskipun masih jauh tertinggal dari angka nasional, 93 (2010). Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih baik dibanding di kabupaten di mana Makassar, Palopo, dan Pare-pare memiliki angka yang tertinggi. Siswa perempuan cenderung memiliki lama sekolah yang lebih sedikit ketimbang siswa laki-laki, meskipun angka partisipasi sekolah perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bawa Sulawesi Selatan menghadapi tantangan dalam penyediaan layanan pendidikan di pedesaan dan kepada siswa perempuan. Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan sinergi provinsi dengan kabupaten/kota dalam pembiayaan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan kapasitas provinsi dan kabupaten/kota dalam bersinergi membiayai pelayanan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis, sesuai dengan tujuannya, telah meringankan beban anak usia sekolah yang telah mengakses pendidikan, meskipun belum efektif menarik yang belum terjangkau untuk masuk ke bangku sekolah. Kebijakan ini telah memenuhi amanah untuk memenuhi hak dasar rakyat atas akses pendidikan, khususnya penduduk
3
4
Ringkasan Eksekutif
usia sekolah yang telah mengakses bangku sekolah, tetapi belum mendorong secara efektif anak usia sekolah yang terhalang ke sekolah karena membantu mencari nafkah keluarga atau karena faktor geografis.
Sektor Kesehatan Indikator dasar kesehatan membaik seiring dengan peningkatan belanja kesehatan. Belanja kesehatan di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai Rp. 1,7 triliun, di mana 48 persennya digunakan untuk belanja pegawai. Proporsinya terhadap total belanja tidak berubah (9 persen). Beberapa perbaikan telah dicapai. Rasio fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan per 10.000 penduduk meningkat dari 2,2 (2005) menjadi 2,7 (2009) dan dari 15 (2005) menjadi 16,5 (2009). Angka harapan hidup meningkat dari 70,2 (2007) menjadi 70,8 (2010), mendekati angka nasional sebesar 70,9. Angka kematian bayi berhasil diturunkan dari 30 (2005) menjadi 26,6 (2009) per 1.000 kelahiran. Angka kematian ibu turun dari 133 (2006) menjadi 118 (2009) per 100.000 kelahiran. Kebijakan kesehatan gratis, telah berhasil membantu meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. Kebijakan kesehatan gratis juga berkontribusi terhadap perluasan cakupan layanan kesehatan, perbaikan kualitas layanan kesehatan, dan perluasan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Namun kebijakan kesehatan gratis tampak lebih menekankan pada pemberian layanan dan pengobatan penyakit (bersifat jangka pendek) dan belum menyentuh investasi kesehatan secara jangka panjang seperti imunisasi, gizi, kesehatan lingkungan dan air bersih.
Sektor Infrastruktur Peningkatan belanja infrastruktur juga meningkatkan peran Makassar dalam konektivitas, khususnya di kawasan timur Indonesia. Belanja infrastruktur Sulawesi Selatan tumbuh secara substansial menjelang pembangunan bandar udara baru. Di tahun 2010, belanja infrastruktur mencapai Rp. 2,5 triliun, atau 15 persen dari total belanja. Lebih dari 85 persennya dibelanjakan pada tingkat kabupaten/kota. Sulawesi Selatan memiliki aksesibilitas yang terbaik di kawasan timur Indonesia. Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar melayani hampir semua jalur penerbangan udara yang menuju kawasan timur Indonesia. Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar adalah pelabuhan peti kemas yang terbesar di Kawasan Timur Indonesia Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan berat. Untuk jaringan irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah cenderung menurun meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat.
4
Ringkasan Eksekutif
5
Sektor Pertanian Belanja pertanian meningkat dua kali lipat, walaupun kontribusinya terhadap perekonomian menurun. Belanja pertanian tumbuh sebesar 24 persen per tahun, mencapai Rp. 491 miliar pada tahun 2010. Separuh dari belanja pertanian dialokasikan untuk belanja pegawai. Sulawesi Selatan tetap menjadi lumbung pangan nasional, dengan komoditas utama seperti beras, jagung, ternak, rumput laut, dan kakao. Komoditas tersebut diproyeksikan mampu memenuhi target produksi masing-masing pada tahun 2013. Terlepas dari hal itu, kontribusi pertanian terhadap PDRB turun dari 31 persen (2005) menjadi 28 persen (2009), meski demikian pertanian masih menjadi penyumbang terbesar PDRB di Sulawesi Selatan.
4. Gender dan Isu Strategis Lainnya Performa Sulawesi Selatan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan indikator gender cukup baik. Angka kemiskinan turun dari 15 persen di tahun 2006 menjadi 12 persen di tahun 2010, sebanyak 87 persen masyarakat miskin tinggal di pedesaan. Indeks pembangunan gender (IPG) meningkat dari tahun ke tahun, dari 50 di tahun 2005 menjadi 54 di tahun 2009. Indeks pemberdayaan gender (IDG) meningkat dari 57,4 (2005) menjadi 61,2 (2009). Perbaikan ini perlu dipertahankan, terlebih dikarenakan keberlanjutan program-program terkait gender masih kurang, dan belum konsisten dalam penganggarannya.
5. Rekomendasi Pembangunan Meningkatkan kualitas anggaran lewat perencanaan dan komposisi anggaran yang lebih baik Meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian serius pada penguatan kapasitas perencanaan dan penganggaran melalui peningkatan kompetensi aparat tenaga perencana dan pengelola keuangan daerah serta menciptakan kesepahaman persepsi di kalangan para stakeholder pembangunan daerah mengenai proses dan mekanisme perencanaan dan penganggaran. Secara spesifik, pemerintah daerah perlu lebih fokus memberi perhatian pada penyediaan dokumen dan peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran tahunan, baik pada level daerah dan terutama pada tingkat SKPD. Meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang bersumber dari PAD. Meskipun penerimaan daerah yang bersumber dari PAD memperlihatkan nilai riil yang meningkat, namun kontribusinya terhadap total penerimaan daerah masih lebih kecil dibandingkan dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Untuk itu, upaya peningkatan PAD masih perlu terus dilakukan melalui: (i) pengkajian dan perluasan potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap memperhatikan undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru; (ii) perbaikan sistim administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran; dan (iii) pelatihan aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target yang berbasis pada potensi.
5
6
Ringkasan Eksekutif
Memperbaiki komposisi dan kualitas alokasi belanja pemerintah untuk sektor-sektor strategis dan gender. Porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah mendominasi jenis belanja lainnya, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Proporsi alokasi belanja untuk sektor strategis (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian) masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pemerintahan umum. Demikian halnya, alokasi belanja untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga masih rendah. Beberapa upaya untuk memperbaiki komposisi dan kualitas belanja pemerintah daerah adalah: (i) melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) dalam 2 - 3 tahun kedepan; (ii) sekiranya harus merekrut pegawai baru, harus diprioritaskan pada pegawai teknis seperti tenaga akuntan, tenaga guru, tenaga kesehatan dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai yang pensiun; (iii) meningkatkan proporsi alokasi belanja untuk sektor kesehatan dan pertanian serta sektorsektor terkait dengan fungsi ekonomi, (iv) meningkatkan komitmen penentu kebijakan dalam pengimplementasian pengarusutamaan gender; dan (v) merumuskan program dan kegiatan strategis yang responsif gender yang disertai dengan peningkatan alokasi anggaran.
Meningkatkan kualitas layanan dasar untuk memperbaiki kualitas capaian Memperbaiki indikator-indikator komposit IPM, terutama indikator pendidikan. Rendahnya angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah berkontribusi besar terhadap rendahnya capaian IPM Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih dengan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk pemberantasan buta huruf serta mengupayakan peningkatan akses penduduk terhadap pendidikan menengah dan tinggi. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan lokus wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa. Sedangkan upaya peningkatan rata lama sekolah diarahkan pada kabupaten dengan kinerja jauh di bawah rata-rata provinsi, yaitu Kabupaten Bantaeng, Jeneponto, Wajo, dan Takalar. Menajamkan alokasi anggaran kesehatan pada investasi kesehatan yang berdimensi jangka panjang. Kebijakan kesehatan selama ini yang lebih bertumpu pada pengobatan (tindakan kuratif) dengan dimensi jangka pendek perlu diimbangi dengan upaya pencegahan (tindakan preventif) dengan dimensi jangka panjang. Tindakan-tindakan dimaksud dapat berupa imunisasi, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan dan air bersih. Investasi kesehatan semacam ini potensial meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dalam jangka panjang dan memperbaiki indikator kesehatan IPM secara berkelanjutan. Meningkatkan ketersediaan infrastruktur dasar. Meskipun secara relatif, infrastruktur dasar (sanitasi, air bersih, dan listrik) di Sulawesi Selatan menempati urutan terbaik kedua di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Utara, namun jika dibandingkan dengan angka nasional, capaian indikator tersebut masih relatif lebih rendah. Pembangunan sanitasi dan peningkatan akses air bersih perlu mendapat perhatian, terutama di kabupaten dengan tingkat capaian yang rendah. Sedangkan untuk peningkatan akses listrik, meskipun kewenangan penyediaan listrik masih melekat di pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu terus mendorong upaya peningkatan kapasitas energi listrik di Sulawesi Selatan. Pembangunan sektor pertanian harus tetap menempatkan peningkatan nilai tambah komoditas unggulan sebagai prioritas utama. Komoditas beras dan jagung harus diarahkan pada perbaikan kualitas
6
Ringkasan Eksekutif
7
melalui pengembangan produk organik. Pengembangan produk pertanian organik dapat dilakukan melalui intergrasi dengan pengembangan ternak. Integrasi padi dan jagung dengan ternak sapi akan menghasilkan pupuk organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga biaya produksi ketiga komoditas tersebut dapat ditekan dan kualitas dan tingkat harga produk yang lebih baik. Untuk komoditas udang, pengembangan udang organik dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan permintaan internasional dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem pertambakan agar kegiatan budidaya udang dapat lestari dan berkelanjutan. Sedangkan pengembangan komoditas kakao dan rumput laut seyogyanya diarahkan untuk menghasilkan produk olahan yang siap dikonsumsi. Memperbaiki indikator pembentuk IPG dan IDG. Dengan mencermati indikator capaian IPG, penyumbang terbesar rendahnya IPG terutama disebabkan oleh rendahnya sumbangan pendapatan perempuan dan laki-laki dan rendahnya angka melek huruf laki-laki dan perempuan. Rendahnya sumbangan pendapatan perempuan terutama terjadi di wilayah pesisir. Upaya untuk lebih meningkatkan peran perempuan baik terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga maupun berkiprah di ruang publik, perlu dilakukan beberapa hal seperti: (i) melakukan pendampingan pengelolaan usaha kaum perempuan dan laki-laki untuk meningkatkan sumbangan pendapatan mereka dalam rangka meningkatkan IDG dan IPG; (ii) membina pendidikan keaksaraan fungsional; (iii) Melakukan sosialisasi secara intensif dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender; dan (iv) melakukan pembinaan dan pendampingan kepada perempuan pesisir dalam hal teknis dan manajemen usaha.
7
BAB 1 PENDAHULUAN
9
10
Bab 1 Pendahuluan
1.1
Perkembangan Daerah
Sulawesi Selatan memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan wilayah Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia. Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada titik tengah wilayah Indonesia dengan luas wilayah 45.764,53 km persegi. Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu gerbang bagi daerah Sulawesi lainnya bahkan Kawasan Timur Indonesia melalui perhubungan laut (pelabuhan Soekarno-Hatta), darat (titik awal trans-Sulawesi) dan udara (bandar udara Sultan Hasanuddin). Dimasa lalu, Makassar merupakan pelabuhan internasional baik sebelum maupun pada jaman penjajahan, dan ketika Provinsi Sulawesi terbentuk pada jaman kemerdekaan, Makassar menjadi ibu kota provinsi tersebut. Dengan demikian, dari rentang waktu masa lalu hingga masa kini, posisi sebagai pintu gerbang Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia, bahkan posisi sebagai center point of Indonesia, melekat pada provinsi ini. Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (center point of Indonesia)
Sumber: Peta olahan staf Bank Dunia, 2011.
Sulawesi Selatan termasuk daerah yang mengalami pemekaran wilayah secara signifikan pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Sulawesi Selatan awalnya merupakan hasil pemekaran Provinsi
10
Bab 1 Pendahuluan
11
Sulawesi pada tahun 1950-an menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara selanjutnya mekar menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat gelombang desentralisasi dan otonomi daerah bergulir di Indonesia pada 2000-an; Provinsi Sulawesi Selatan mengalami pemekaran kabupaten melalui pemecahan Kabupaten Luwu atas Kabupaten Luwu sendiri, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur; selain itu Kabupaten Polewali Mamasa termekarkan menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa; serta Kabupaten Mamuju termekarkan menjadi Kabupaten Mamuju sendiri dan Kabupaten Mamuju Utara. Pada tahun 2004, Provinsi Sulawesi Selatan mekar dan melahirkan Provinsi Sulawesi Barat yang didalamnya tergabung Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara. Pada dasarnya acuan pemekaran wilayah adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada publik, maka demikian pula Sulawesi Selatan sangat berhasrat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat luas di wilayah ini.
1.2
Kondisi Perekonomian Daerah
Perekonomian Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif namun terus meningkat dengan pencapaian di atas rata-rata nasional. Sebagaimana ditunjukkan dalam kurun waktu 2005-2010, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, namun dengan laju yang lebih tinggi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam tahuntahun terakhir ini menjadikan perekonomian wilayah ini akan memburu ketertinggalannya. Disamping itu, dengan pertumbuhan tinggi tersebut, Sulawesi Selatan diharapkan mampu menghela perekonomian wilayah Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia. Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi dari Pertumbuhan Ekonomi Nasional 9 8 7
6.84 6.8
6.72
6 Persen
8.08
7.78
5
6.2
6.1
5.7 5.2
5.9
5.19 4.5
4
Sulsel Indonesia
3 2 1 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Data BPS.
11
12
Bab 1 Pendahuluan
PDRB Sulawesi Selatan menurut lapangan usaha ditandai oleh pertumbuhan nilai yang signifikan dan masih didominasi oleh sektor pertanian. Nilai PDRB Sulawesi Selatan tumbuh signifikan selama periode 2005-2010, tetapi transformasi struktur perekonomian belum berjalan signifikan. Ini ditandai oleh masih tertingginya kontribusi bidang usaha pertanian dibanding bidang usaha lainnya terhadap PDRB meskipun pertumbuhannya sudah relatif melambat. Di sisi lain, kontribusi bidang usaha industri pengolahan masih kecil dan pertumbuhannya juga lambat. Lambatnya transformasi pertanian menuju industri di Sulawesi Selatan disebabkan oleh kebijakan pembangunan nasional dan daerah yang memang lebih mengutamakan pertanian dibanding industri mengingat posisi provinsi ini sebagai lumbung pangan nasional. Transformasi perekonomian dari pertanian ke industri berjalan lambat, berakibat pada lambatnya penyerapan tenaga kerja di industri. Lambatnya pergeseran dari pertanian ke industri pada struktur PDRB Sulawesi Selatan berimplikasi pada lambatnya pergeseran serapan tenaga kerja dari. Ini mengakibatkan transformasi sumber daya manusia dari ciri sosial-ekonomi tani-tradisional menjadi industrial-modern juga berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh kurang berkembangnya agroindustri, hasil-hasil tani lebih banyak terpasarkan dalam bentuk produk primer. Kebijakan untuk mendorong agroindustri yakni “petik-olah-jual”, “gerakan ekspor dua kali lipat/Grateks-2”, “Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)” dan “pengembangan industri lokal” telah dijalankan dalam 20 tahun terakhir tetapi dampaknya belum signifikan. Dengan kurang berkembangnya agroindustri, masyarakat perdesaan tidak memiliki wahana sosial-ekonomi untuk beralih dari pertanian tradisional ke industri terlatih/terdidik, dan ini berarti pula bahwa sumber daya manusia perdesaan tidak memiliki wahana pembelajaran untuk transformasi kapasitas dari menjadi tenaga kerja yang lebih terlatih atau terdidik. Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus Meningkat Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat (Miliar Rp) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-jasa PDRB DENGAN MIGAS
Sumber: Data BPS.
12
2005
2006
2007
2008
2009
2010
11.337,55
11.802,56
12.181,82
12.923,42
13.528,69
13.809,80
3.649,05
3.891,34
4.157,15
4.034,94
3.852,79
4.491,34
5.112,43
5.481,51
5.741,39
6.241,44
6.468,79
6.869,43
342,43
368,27
400,88
451,00
490,45
529,82
1.712,29
1.787,87
1.942,09
2.328,42
2.656,77
2.900,27
5.386,35
5.770,90
6.322,43
7.034,56
7.792,10
8.698,81
2.757,78
2.945,64
3.244,61
3.651,37
4.023,68
4.619,93
2.152,68
2.340,47
2.610,48
2.881,07
3.203,98
3.742,09
3.970,80
4.479,10
4.731,58
5.003,60
5.308,83
5.535,55
36.421,36
38.867,66
41.332,43
44.549,82
47.326,08
51.197,03
Bab 1 Pendahuluan
13
PDRB Sulawesi Selatan berdasarkan penggunaan ditandai oleh dominasi konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Selama periode 2005-2010 penggunaan PDRB Sulawesi Selatan signifikan untuk konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, sementara konsumsi swasta masih sangat rendah. Ini berarti pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan masih lemah dari sisi peran dunia usaha dan entrepreneurship yang mengkondisikan inovasi-teknologi dan efektivitas-efisiensi. Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010 Didominasi oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah (Miliar Rp) No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Konsumsi Rumahtangga Konsumsi Lembaga Swasta Konsumsi Pemerintah dan Pertahanan Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Luar Negeri dan Antar Pulau Impor dari Luar Negeri dan Antar Pulau PDRB
2005
2006
2007
2008
2009
2010
20.707,93
22.145,28
22.263,51
24.344,17
25.877,60
27.475,81
222,64
236,58
259,66
274,58
316,43
341,38
5.427,12
5.834,15
6.075,87
6.740,98
7.087,11
7.466,20
6.168,58
6.304,06
6.973,39
8.414,11
9.783,91
11.142,66
407,04
200,53
332,84
649,62
734,74
64,13
15.019,83
15.629,99
19.988,89
19.706,96
15.656,04
23.535,45
11.531,36
11.482,91
15.561,74
15.580,60
12.141,81
18.828,59
36.421,79
38.867,68
41.332,43
44.549,82
47.314,02
51.197,03
Sumber: Data BPS.
PDRB per kapita di Sulawesi Selatan menunjukkan kesenjangan yang tinggi. Kabupaten dengan PDRB per kapita tertinggi adalah Luwu Timur yang terdampak dengan nilai kontribusi pertambangan nikel. Secara nominal, nilai PDRB Kota Makassar adalah yang tertinggi di Sulawesi Selatan, tetapi PDRB per kapitanya berada di urutan kedua, dengan nilai separuh dari PRDB per kapita Luwu Timur. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara Luwu Timur dengan kabupaten/kota lainnya, PDRB per kapita terendah di provinsi terdapat di Jeneponto yang nilainya sepersepuluh dari Luwu Timur. Kabupaten Pangkep yang juga memiliki pertambangan semen berada di posisi ketiga. Ini memperlihatkan bahwa sektor pertambangan tidak terbarukan memegang peranan besar dalam PDRB kabupaten/kota.
13
14
Bab 1 Pendahuluan
Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan (Juta Rp) Kabupaten/Kota
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Luwu Timur Makassar Pangkep Pinrang Wajo Palopo Pare Pare Sidrap Soppeng Luwu Utara Luwu Sinjai Bone Bulukumba Barru Bantaeng Enrekang Kep. Selayar Maros Takalar Tana Toraja Gowa Jeneponto
19,5 8,8 6,6 5,6 5,0 5,1 4,6 4,5 3,9 3,7 4,0 3,6 3,3 3,4 3,5 3,2 3,2 3,0 3,0 2,7 2,4 2,4 2,1
19,6 9,3 6,8 5,8 5,2 5,2 4,9 4,9 4,2 3,9 4,2 3,8 3,5 3,5 3,6 3,4 3,3 3,0 3,1 2,8 2,4 2,5 2,2
20,2 9,9 7,2 6,1 5,5 5,4 5,3 5,1 4,4 4,1 4,4 4,0 3,7 3,7 3,8 3,5 3,4 3,2 3,2 3,0 2,5 2,6 2,3
19,2 10,9 7,6 6,4 5,9 5,6 5,6 5,5 4,7 4,3 4,6 4,3 4,0 4,0 4,0 3,7 3,6 3,3 3,4 3,1 1,3 2,7 2,4
17,9 11,6 7,9 6,8 6,1 5,9 6,0 5,8 5,0 4,5 4,8 4,5 4,2 4,2 4,2 4,0 3,8 3,5 3,5 3,3 2,6 2,9 2,5
20,3 12,1 8,2 7,2 6,4 6,2 5,9 5,6 5,4 5,3 5,1 4,7 4,5 4,4 4,4 4,2 4,0 3,8 3,6 3,4 3,0 2,9 2,6
Sumber: Data BPS. Catatan: Kabupaten Toraja Utara yang baru mekar tahun 2008 tidak diikutsertakan.
PDRB per kapita memperlihatkan peningkatan yang relatif stabil, namun masih berada jauh di bawah rata-rata Nasional. Pada tahun 2006, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan mencatat angka Rp 8 juta, dan kemudian meningkat menjadi Rp 12,6 juta pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata 19 persen per tahun. Namun angka ini masih jauh di bawah angka nasional. Laju pertumbuhan pendapatan per kapita Nasional pun bergerak lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan per kapita Sulawesi Selatan. Nasional bergerak dengan rata-rata 20,5 persen per tahun, sedangkan Sulawesi Selatan hanya 19,4 persen per tahun. Kondisi ini secara implisit mengesankan: (i) secara rata-rata, provinsi lainnya mengalami peningkatan pendapatan per kapita yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan; (ii) pendapatan per kapita Sulawesi Selatan akan terus berada di bawah angka nasional dengan jarak (gap) yang semakin lebar; dan (iii) di masa depan, kontribusi pendapatan per kapita Sulawesi Selatan terhadap perbaikan posisi relatif IPM, sulit diharapkan.
14
Bab 1 Pendahuluan
15
Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional 30
26.90 24
25
22
Rp. Juta
20
18 15
14.67
15 10
8
9
2006
2007
11
13
Indonesia Sulsel
5 0 2008
2009*)
2010**)
Sumber: BPS, Tahun 2009 angka sementara; tahun 2010 angka sangat sementara.
Persen
Laju inflasi perekonomian Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Selatan cukup tinggi Nasional, 2005-2010 dengan komponen utama harga bahan makanan dan sandang. 18 17.11 Laju inflasi Sulawesi Selatan 16 Indonesia berfluktuasi mengikuti tren inflasi Sulsel 14 11.79 nasional. Inflasi nasional tahun 12 11.06 2005 salah satunya diakibatkan 10 kenaikan harga bahan bakar, 7.45 7.21 6.59 6.96 8 6.82 tampak tidak terlalu 6.60 5.71 6 mempengaruhi inflasi Sulawesi 3.24 4 Selatan. Komponen tertinggi 2.78 2 pembentuk inflasi Sulawesi Selatan adalah pangan dan 0 sandang. Kondisi ini menjadikan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 pendapatan per kapita masyarakat selalu berkorelasi Sumber: Data BPS. dengan daya beli yang turun karena direduksi oleh inflasi yang cukup tinggi tersebut. Kondisi investasi Sulawesi Selatan berfluktuasi tetapi cenderung meningkat dalam dua tahun terakhir. Meskipun terjadi fluktuasi dalam hal jumlah investor dan nilai investasi, dalam tiga tahun terakhir terdapat kecenderungan perbaikan pada investasi di Sulawesi Selatan, baik dalam Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun dalam Penanaman Modal Asing (PMA). Lapangan usaha yang banyak menyerap PMDN adalah pertanian, peternakan, industri makanan, bangunan serta pengangkutan dan
15
16
Bab 1 Pendahuluan
telekomunikasi; sedangkan yang menyerap PMA adalah pertanian, perkebunan, industri makanan, industri kayu, listrik, gas dan air bersih serta bangunan. Hal ini terkait dengan daya saing daerah yang semakin membaik khususnya dalam hal keamanan, selain itu pelayanan investasi tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga mengalami kemajuan, sementara promosi investasi terus didorong. Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010 Tahun
Nilai PMDN (Ribu Rp)
Nilai PMA (US $)
2010 2009 2008 2007 2006 2005
3.212.295.181 1.137.863.414 110.524.937 244.670.640 2.362.627.000 940.544.000
441.796.125 76.982.850 27.696.510 141.430.870 679.965.000 53.558.000
Sumber: Data BPS.
1.3
Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan
Kondisi demografi Sulawesi Selatan ditandai pertumbuhan penduduk yang positif dan populasi yang terus bertambah. Dalam enam tahun terakhir pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan rata-rata di atas satu persen kecuali pada tahun 2007 (0,92 persen). Pertumbuhan penduduk Sulawsi Selatan rata-rata sebesar 1,3 persen. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Sulawesi Selatan mencapai 8 juta jiwa, terdiri atas 3,9 juta penduduk laki-laki dan 4,1 juta penduduk perempuan. Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen 8,100,000
8,032,551
8,000,000
7,908,519
7,900,000
7,805,024
Jiwa
7,800,000
7,700,255
7,700,000 7,600,000 7,500,000
7,595,000 7,489,696
7,400,000 7,300,000 7,200,000 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Data BPS. Catatan: 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk.
Penduduk usia produktif lebih besar dibanding usia tidak produktif dan populasi perempuan lebih besar dari populasi laki-laki. Pada tahun 2009, jumlah penduduk usia tidak produktif (usia dibawah 14 tahun ditambah usia diatas 65 tahun) sebesar 2,9 juta jiwa (36 persen dari populasi), sementara jumlah
16
Bab 1 Pendahuluan
17
penduduk usia produktif (usia 15 sampai 64 tahun) sebesar 5 juta jiwa (64 persen dari populasi). Rasio beban tanggungan sebesar 0,57 yang berarti satu orang usia tidak produktif ditanggung oleh dua orang usia produktif. Jumlah perempuan usia produktif lebih besar dari laki-laki usia produktif, yang berarti jumlah perempuan pada angkatan kerja di Sulawesi Selatan lebih besar. Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009 Kelompok Umur
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Rasio Jenis Kelamin
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Total
375 198 447 014 431 498 351 712 291 052 301 980 275 764 296 539 237 824 210 957 168 401 135 327 106 189 207 515 3 836 971
352 040 407 851 409 938 362 508 309 477 343 087 311 959 327 183 266 303 228 271 195 258 144 647 144 438 268 586 4 071 548
727 238 854 865 841 437 714 220 600 529 645 067 587 723 623 722 504 127 439 227 363 660 279 973 250 627 476 104 7 908 519
106,58 109, 60 105, 26 97, 02 94, 05 88, 02 88, 40 90, 63 89, 31 92, 42 86, 25 93, 56 73, 52 77, 26 94, 24
Sumber: Data BPS.
Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010
Persen
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) terus meningkat dibalik pertumbuhan angkatan kerja yang fluktuatif. Pada tahun 2010, TPAK mencapai 64 persen ketika angkatan kerja sebesar 3,6 juta jiwa dari 5,6 juta jiwa penduduk usia kerja. Angka ini meningkat dari kondisi 2005 dimana TPAK sebesar 54 persen ketika angkatan kerja hanya 3,2 juta jiwa dan penduduk usia kerja sebanyak 6 juta jiwa. Peningkatan TPAK ini lebih disebabkan oleh kecenderungan penduduk usia produktif untuk memasuki dunia kerja dibanding masuk bangku sekolah mengingat porsi TPAK cukup banyak pada usia 15-20 tahun.
66 64 62 60 58 56 54 52 50 48
64.14 61.07
62.02
62.48
2008
2009
57.17 54.20
2005
2006
2007
2010
Sumber: Data BPS.
Terdapat kesenjangan antara TPAK perempuan dengan TPAK laki-laki. TPAK perempuan di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 hanya 45 persen sementara TPAK laki-laki sebesar 82 persen. Kondisi ini sudah mengalami perbaikan dibanding tahun 2000 di mana TPAK perempuan hanya sebesar 28 persen sedang laki-laki 70 persen. Ini menunjukkan bahwa meskipun telah terjadi perbaikan tetapi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam akses lapangan kerja masih jauh dari tipe ideal.
17
Bab 1 Pendahuluan
18
Mayoritas angkatan kerja terserap di sektor pertanian masih meskipun persentasenya cenderung menurun. Pada tahun 2009, angkatan kerja yang bekerja pada bidang usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan mencapai 49 persen turun dari 55 persen pada tahun 2005. Porsi ini sangat besar dibanding serapan tenaga kerja bidang usaha lain, terutama industri pengolahan yang hanya 7 persen pada tahun 2009 dan hanya sedikit meningkat dari 6 persen pada tahun 2005. Bertahannya tenaga kerja pada sektor pertanian terutama dikontribusi oleh berkembangnya aktivitas budidaya rumput laut, revitalisasi kakao yang, serta agribisnis jagung yang menyerap tenaga kerja perdesaan atau pesisir, selain yang secara tradisional telah diserap oleh kegiatan padi sawah. Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha di Sulawesi Selatan, 2005-2009 No
Lapangan Usaha
1.
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
2.
Industri Pengolahan
3. 4. 5.
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Lainnya* Jumlah
2005
2006
2007
2008
2009
1.678.884 (54,70%) 197.729 (6,44%) 457.530 (14,91%)
1.469.418 (55,76%) 128.966 (4,89%) 439.047 (16,66%)
1.580.962 (53,78%) 147.391 (5,01%) 566.397 (19,27%)
1.613.949 (51,46%) 183.430 (5,85%) 578.961 (18,46%)
1.588.626 (49,30%) 214.668 (6,66%) 636.714 (19,76%)
361.471 (11,78%) 373.607 (12,17%) 3.069.221 (100,00%)
302.040 (11,46%) 295.943 (11,23%) 2.635.414 (100,00%)
170.135 (5,79%) 374.578 (12,74%) 2.939.463 (100,00%)
352.573 (11,24%) 407.198 (12,98%) 3.136.111 (100,00%)
362.460 (11,25%) 419.788 (13,03%) 3.222.256 (100,00%)
Sumber: Data BPS. Lainnya*: Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan.
Dari total tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan, hampir setengahnya bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan mencapai 1,1 juta orang atau 88 persen dari total angkatan kerja perempuan. Proporsi ini sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 yang baru mencapai 71 persen. Peningkatan ini menunjukkan semakin besarnya keterlibatan perempuan dalam berbagai jenis pekerjaan. Jika diamati berdasarkan jenis pekerjaan yang digeluti wanita, tampak bahwa sektor pertanian masih sangat dominan (48 persen), disusul sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi (30 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perseorangan (12 persen). Di Sulawesi Selatan, hampir tidak ditemukan perempuan yang bekerja di sektor listrik, gas, dan air minum.
18
Bab 1 Pendahuluan
19
Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009
0.96% 2.44%
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian
12.32%
Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Minum 47.96%
Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi
29.91%
0.00%
Konstruksi
Lembaga Keuangan, Real Estat, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan
5.56% 0.45%
0.39%
Sumber:Data BPS.
Persen
Tingkat Pengangguran Terbuka Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi (TPT) di Sulawesi Selatan Selatan dan Nasional, 2005-2010 cenderung terus menurun. Meskipun TPT di Sulawesi 20 18.64 Selatan masih lebih tinggi Indonesia 18 dibandingkan dengan angka 16 Sulsel Nasional, namun penurunannya 12.76 14 berlangsung lebih cepat 11.25 12 10.30 10.40 9.75 dibandingkan dengan Nasional. 9.04 10 8.74 8.39 8.37 7.87 Penurunan TPT ini menunjukkan 7.14 8 adanya perbaikan pada 6 penyerapan tenaga kerja. Angka 4 pengangguran ini terutama diisi 2 oleh penganggur terbuka usia 0 15-24 tahun, yakni sekitar 20 2005 2006 2007 2008 2009 2010 persen. Meskipun terjadi penurunan, hal ini harus menjadi perhatian karena pengangguran Sumber: Badan Pusat Statistik. usia muda berarti bahwa banyak penduduk usia sekolah yang yang terpaksa masuk dunia kerja.
19
20
Bab 1 Pendahuluan
1.4
Kondisi Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan telah mengalami peningkatan, dan telah mencapai kategori nilai IPM “menengah atas”. Peningkatan IPM adalah visi utama RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Pada tahun 2008 angka IPM Sulawesi Selatan telah memasuki kategori “menengah atas” (di atas nilai 70), dan dalam perkembangannya selama 2006-2010 angka tersebut telah meningkat sebesar 3,44 point, yang merupakan peningkatan tertinggi ketiga secara nasional, sesudah Lampung dan Papua Barat. Bahkan pada tahun 2008-2009 peningkatan IPM Sulawesi Selatan paling tinggi di Indonesia. Meningkatnya nilai IPM Sulawesi Selatan selama periode 2006-2010 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang meningkat secara signifikan serta inflasi yang relatif terkendali telah mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Kedua, perbaikan pada bidang pendidikan, yakni angka melek huruf penduduk yang meningkat dari 85,7 persen pada 2006 menjadi 87,75 persen pada tahun 2010; begitu pula angka rata-rata lama sekolah yang meningkat dari 7 tahun pada tahun 2006 menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Ketiga, perbaikan pada bidang kesehatan, dimana angka harapan hidup naik dari 69,2 tahun pada tahun 2006 menjadi 70,8 tahun pada tahun 2010. IPM Sulawesi Selatan juga menunjukkan perbaikan posisi secara nasional, namun masih angkanya jauh dari target RPJMD. Pada tahun 2006 Sulawesi Selatan berada pada posisi 23 dari 33 provinsi di Indonesia, kemudian naik ke peringkat 19 pada tahun 2010. Apabila diasumsikan IPM meningkat dengan tren yang sama, maka pada akhir periode RPJMD (tahun 2013) peringkat paling tinggi yang bisa dicapai oleh Sulawesi Selatan adalah posisi 17 dari 33 provinsi di Indonesia. Posisi ini masih relatif jauh dari target RPJMD, yaitu masuk dalam kelompok 10 besar provinsi dalam hal pemenuhan hak dasar masyarakat yang salah satu indikatornya adalah IPM. Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional dan Masih Senjang Dengan Target RPJMD 73.40
74 73
71.76
72 71 70
72.25
71.17 70.10
70.59 69.62
70.94 70.22
Indonesia
68.81
69
Sulsel
68 67 66 2006
2007
2008
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Menkokesra, UNDP.
20
2009
2010
Bab 1 Pendahuluan
21
Tidak signifikannya peningkatan peringkat IPM Sulawesi Selatan secara nasional disebabkan oleh akselerasi nilai IPM yang tidak cukup cepat. Bahkan beberapa komponen pembentuk IPM menunjukkan nilai yang lebih rendah serta peningkatan yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan capaian Nasional. Misalnya, angka melek huruf secara nasional pada tahun 2009 sudah mencapai 92,6 persen, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 87 persen. Rata-rata lama sekolah secara nasional sudah mencapai 7,7 tahun, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 7,4 tahun. Kedua indikator tersebut juga mengalami pergerakan yang relatif lambat dibandingkan dengan nasional. Akibatnya, peran dan kontribusinya terhadap peningkatan IPM Sulawesi Selatan relatif kecil. Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi Lain di Indonesia Tahun 2009 80
75
70.94
71.76
70
65
DIY… Riau Sulut DKI…
Sumut Kalteng Kep. Riau Kaltim
Sumsel Lampung Sumbar
Jateng Jambi Bengkulu Babel
NAD Bali Jabar Indonesia
Sulteng Sulsel Maluku Jatim
Kalsel Sultra Gorontalo Banten
Papua NTB NTT
55
Papua… Malut Kalbar Sulbar
60
Sumber: Badan Pusat Statistik.
1.5
Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah
Pembangunan jangka panjang (2005-2025) Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi sebagai wilayah terkemuka di Indonesia dengan mengandalkan kemandirian lokal dan bernafas keagamaan. Visi ini selain menunjukkan kondisi yang dituju yakni terkemuka dalam berbagai indikator pembangunan, juga menunjukkan cara mencapainya yakni mengandalkan potensi lokal, serta menunjukkan landasan nilai atas hubungan antara tujuan yang mau dicapai dan cara mencapainya yakni bernafas keagamaan.Arah umum pembangunan jangka panjang ini, selain berkontribusi terhadap arah umum jangka panjang pembangunan nasional, juga menjadi payung bagi arah umum jangka penjang pembangunan kabuten/kota di Sulawesi Selatan, dalam suatu konsistensi misi dan kebijakan umum untuk mengoperasionalkannya.
21
22
Bab 1 Pendahuluan
Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal dan Bernafaskan Keagaman
1. 2. 3. 4. 5.
Visi 2005-2025: Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Terkemuka di Indonesia dengan pendekatan kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan Misi Kebijakan Umum Mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. 1. Mengupayakan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas pembelajar. 2. Menjadikan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komunitas pembelajar. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang kondusif. 3. Mengupayakan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang kondusif. 4. Menjadikan wilayah Sulawesi Selatan sebagai satu Mewujudkan Sulawesi Selatan satu kesatuan sosial ekonomi yang berkeadilan. kesatuan sosial-ekonomi yang berkeadilan. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan 5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional. kepulauan yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional
Sumber: RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025.
Pembangunan jangka menengah Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi Sulawesi Selatan sebagai 10 besar di Indonesia dalam pemenuhan hak dasar. Itu berarti bahwa pada periode 2008-2013, visi terkemuka secara jangka panjang diterjemahkan pada fokus untuk terkemuka dalam hal pemenuhan hak dasar masyarakat secara jangka menengah. Visi ini difokuskan indikatornya pada akselerasi proses pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Selatan. Misi dan kebijakan umum pembangunan jangka menengah Sulawesi diarahkan bagi perwujudan visi tersebut. Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan Untuk Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia Visi 2008-2013: Sulawesi Selatan Sebagai Provinsi Sepuluh Terbaik dalam Pemenuhan Hak Dasar Misi
1.
Meningkatkan kualitas pelayanan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat.
2.
Mengakselerasi laju peningkatan dan pemerataan kesejahteraan melalui penguatan ekonomi berbasis masyarakat.
2. Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
3. Mewujudkan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi wilayah 4. Menciptakan iklim kondusif bagi ke-hidupan yang inovatif.
3. Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan perekonomian. 4. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan. 5. Penciptaan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif.
5. Menguatkan kelembagaan dalam perwujudan tatakelola yang
6. Penguatan kelembagaan masyarakat.
baik.
Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.
22
Kebijakan Umum 1. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat.
7. Penguatan kelembagaan pemerintah.
BAB 2 PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
23
24
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Keterkaitan dan konsistensi perencanaan pembangunan daerah dan penganggaran (APBD) berpedoman pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Selain melakukan analisis isi (content analysis) pada sejumlah dokumen perencanaan pembangunan, juga dilakukan analisis pada proses dan mekanisme penyusunan dan implementasi dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah pada setiap tingkatan pemerintahan. Analisis isi, proses dan mekanisme tersebut dicermati mulai dari perencanaan pembangunan jangka menengah tingkat nasional, provinsi serta kabupaten/kota, hingga pada perencanaan dan penganggaran tahunan tingkat provinsi serta kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Selain itu, disajikan gambaran umum pengelolaan keuangan daerah.
2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah Periode waktu yang berbeda menjadi salah satu kendala mensinkronisasikan perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Hal ini terlihat pada periode RPJMN 2004-2009 yang memiliki intercept waktu yang singkat dengan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Artinya, awal periode RPJMD 2008-2013 berada pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Periode waktu yang lama justru nampak pada RPJMN periode 2010-2014, tetapi tidak dapat dikatakan RPJMD memperhatikan RPJMN tersebut karena RPJMD terbit lebih awal daripada RPJMN 2010-2014. Pemerintah Provinsi perlu untuk lebih ketat lagi mengevaluasi RPJMD Kab/Kota sebelum disahkan agar secara substansi telah merujuk kepada RPJMD Provinsi. Demikian pula dengan Depdagri dan Bappenas dalam konteks mengevaluasi keterkaitan atara RPJMD Provinsi dengan RPJMN. Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan Agenda Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
Agenda Pembangunan pada RPJMN 2004-2009
Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
inovatif Penguatan kelembagaan masyarakat; Penguatan kelembagaan pemerintahan. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat; Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat; Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi; Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan
Sumber: RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 (diolah).
24
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
25
RPJMD Sulawesi Selatan 2008-20013 sudah menjabarkan agenda pembangunan nasional dalam RPJMN 2004-2009. Tabel 2.1 menunjukkan penjabaran dari Agenda Pembangunan pada RPJMN kepada Agenda Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan. Dilihat dari prioritas pembangunan, mayoritas prioritas pembangunan nasional telah sinkron dengan prioritas pembangunan Sulawesi Selatan seperti yang terlihat pada Tabel 2.2. Prioritas pembangunan daerah yang dianggap paling popular bersinergi dengan prioritas pembangunan nasional terutama pada bidang kesehatan dan bidang pendidikan, melalui program pembangunan kesehatan gratis dan pendidikan gratis. Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan Prioritas Pembangunan pada RPJMN 2004-2009
Prioritas Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak Penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa
Perwujudan lembaga demokrasi yang makin kokoh
Penanggulangan kemiskinan Revitalisasi pertanian
Pemberdayaan perempuan
Peningkatan kinerja SKPD; Peningkatan kualitas profesionalisme aparatur pemerintah; Kepenataan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah. Pembinaan kehidupan sosial politik; Pembinaan kesatuan bangsa; Peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat; Peningkatan kualitas informasi dan komunikasi Peningkatan pelayanan kepada penduduk miskin Peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan; Peningkatan akses masyarakat kepada asset produktif dan kegiatan produksi. Revitalisasi lembaga ekonomi masyarakat kecil Penciptaan lapangan kerja dan usaha; Penempatan dan perluasan kesempatan kerja; Pembinaan dan pengawasan tenaga kerja Pengembangan industri strategis; Pengembangan kerjasama regional dan promosi perdagangan; Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai destinasi pariwisata terkemuka di Indonesia Pembangunan sarana dan prasarana perdesaan; Pemberdayaan komunitas desa Perencanaan dan pengendalian penataan ruang; Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah Pendidikan gratis; Peningkatan kualitas layanan pendidikan; Pemberantasan buta aksara Kesehatan gratis; Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; Perbaikan gizi masyarakat; Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan pemukiman, sanitasi dan air bersih. Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan. Pemberdayaan organisasi pemuda dan olahraga
Pemberdayaan organisasi keagamaan;
Pemberdayaan koperasi dan UMKM Perbaikan iklim ketenagakerjaan
Pemantapan stabilitas ekonomi makro; Peningkatan daya saing industri manufaktur
Pembangunan perdesaan
Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah
Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas
Peningkatan akses masyarakat kesehatan yang lebih berkualitas
Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olahraga Peningkatan kualitas kehidupan beragama
terhadap
layanan
Sumber: diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.
25
26
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tidak seluruh prioritas pembangunan nasional menjadi prioritas pembangunan Sulawesi Selatan. Ada dua prioritas pembangunan nasional yang tidak menjadi prioritas Sulawesi Selatan, yaitu Pengembangan IPTEK dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Sementara Sulawesi Selatan memiliki empat prioritas khusus yaitu Pembangunan Perkotaan, Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Lokal, Penguatan Kualitas Teknostruktur Komunitas serta Pemberdayaan Organisasi Profesi. Empat prioritas ini dirasa lebih diperlukan oleh Sulawesi Selatan untuk dibangun. Tabel 2.3. Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN yang Masih Kurang Tegas Dijabarkan Kedalam RPJMD Sulawesi Selatan Serta Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan yang Bukan Merupakan Penjabaran dari RPJMN Prioritas Pembangunan pada RPJMN 2004-2009 yang bukan menjadi prioritas pada RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 Peningkatan kemampuan IPTEK Percepatan pembangunan infrastruktur
Prioritas Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 yang kurang mengacu pada prioritas RPJMN 2004-2009 Pembangunan perkotaan Aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal Penguatan kualitas teknostruktur komunitas Pemberdayaan organisasi profesi
Sumber: Diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013
Beberapa kabupaten/kota memiliki sinkronisasi Agenda Pembangunan dengan tingkat Provinsi. Tim peneliti PEA mengambil sampel RPJMD pada Kota Makassar dan Kabuupaten Luwu Utara. Tabel 2.4 menunjukkan penjabaran Agenda Pembangunan Nasional kepada RPJMD Makassar dan Luwu Utara. Meski demikian, dua daerah kabupaten/kota ini tidak memiliki agenda pembangunan terkait perwujudan Indonesia yang aman dan damai yang tertuang dalam Agenda Pembangunan Nasional. Pemerintah kabupaten kota masih memiliki kendala dalam sinkronisasi agenda pembangunan dengan level nasional. Selain karena kemampuan sumberdaya manusia aparatur yang belum optimal, hal ini juga karena perhatian pemerintah daerah terhadap perencanaan makro ekonomi nasional dan daerah yang lemah. Penyebab utamanya adalah oleh lahirnya sejumlah peraturan-perundangan. yang sering tidak sejalan. Salah satu contohnya, berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, RPJMD provinsi/kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebaliknya, UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diterbitkan oleh Bappenas/Kementerian PPN mengatakan penetapan RPJMD dengan Peraturan Kepala Daerah, sebagaimana juga dipertegas dengan penetapan RPJMN dengan Peraturan Presiden. Faktanya, semua RPJMD di Sulawesi Selatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah, di samping melayani kepatuhan terhadap peraturan-perundangan yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri juga dimaksudkan agar memiliki kekuatan mengikat stakeholder pembangunan yang lebih kuat. Di sisi lain, fleksibilitas substansi perencanaan pembangunan daerah terhadap lingkungan strategisnya justru lebih baik jika dokumen perencanaan pembangunan daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
26
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
27
Tabel 2.4. Katerkaitan agenda pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD provinsi/kabupaten/kota di Sulawesi Selatan Agenda Pembangunan RPJMN 2004-2009 Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Agenda Pembangunan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif; Penguatan kelembagaan masyarakat; Penguatan kelembagaan pemerintahan. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat; Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat; Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi; Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan
Agenda Pembangunan RPJMD Kota Makassar 2009-2014
Agenda Pembangunan Kabupaten Luwu Utara 2005-2010
Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bebas korupsi
Pemantapan pelaksanaan otonomi daerah dan kemandirian pembangunan daerah; Penegakan supremasi hukum, politik dan pemerintahan. Peningkatan keunggulan dan daya saing wilayah; Pengentasan kemiskinan dengan sistem ekonomi kerakyatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Pembangunan perdesaan dan infrastruktur wilayah; Peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia; Upaya penanganan dan mitigasi bencana alam.
Peningkatan kualitas manusia; Pengembangan tata ruang dan lingkungan; Penguatan struktur ekonomi
Sumber: RPJMN 2004-2009, RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013, RPJMD Kota Makassar 2009-2014 dan RPJMD Kabupaten Luwu Utara 2005-2010 (diolah).
2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Prioritas pembangunan daerah provinsi di dalam RPJMD dan prioritas pembangunan dalam RenstraSKPD, secara substansial sudah konsisten, tetapi pada sejumlah kabupaten masih belum. Hal ini menggambarkan ketimpangan pemahaman terhadap proses dan mekanisme penjabaran dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD pada setiap daerah, terutama antara provinsi dengan kabupaten atau antara daerah perkotaan dengan daerah yang bercirikan perdesaan. Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat tenaga perencana menjadi kendala utama dalam mengatasi ketimpangan tersebut, terutama antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antara perencana daerah dengan perencana pada tingkat SKPD.
27
28
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Gambar 2.1. Konsistensi sistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan Renstra SKPD di Sulawesi Selatan
Sumber:: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kedisiplinan daerah dan SKPD dalam mengikuti proses dan tahapan penyusunan dokumen-dokumen dokumen perencanaan masih rendah. Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program-program Program pembangunan daerah dalam RPJMD yang mestinya dikontribusi oleh setiap SKPD masih sangat terbatas daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun) dokumen Renja-SKPD. SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya tidak lebih dari matriks program dan kegiatan, bukan Renja Renja-SKPD.
28
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
29
Tabel 2.5. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan 2008-2013 Prioritas RPJMD Sulawesi Selatan Bidang Kesehatan
Kesehatan gratis; Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; Perbaikan gizi masyarakat; Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan pemukiman, sanitasi dan air bersih.
Prioritas Renstra SKPD Kesehatan
Kesehatan gratis; Peningkatan kualtas pelayanan kesehatan; Peningkatan gizi masyarakat; Pencegahan dan pemberantasan penyakit; Promosi kesehatan; Peningkatan layanan perumahan, lingkungan pemukiman, sanitasi dan air bersih.
Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2008-2013.
Prioritas pembangunan daerah Sulawesi Selatan untuk bidang kesehatan secara keseluruhan dijabarkan oleh Dinas Kesehatan dalam Renstranya dalam periode yang sama. Empat prioritas pembangunan bidang kesehatan semuanya dijabarkan dengan substansi dan kalimat yang sama dalam Renstra Dinas Kesehatan. Selain itu, terdapat dua prioritas dalam Renstra yang tidak diderivasikan dari RPJMD. Kedua prioritas pembangunan SKPD tersebut adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit, serta promosi kesehatan. Hal ini masih dapat ditoleransi dalam perencanaan, mengingat SKPD menjabarkan lebih luas dari apa yang telah direncanakan pada tingkat daerah. Yang tidak dapat ditoleransi adalah jika terjadi sebaliknya, adanya prioritas pembangunan daerah yang tidak terjabarkan ke dalam prioritas SKPD sehingga prioritas pembangunan daerah tersebut tidak dapat diimplementasikan karena tidak terdapat dalam skema prioritas masing-masing SKPD sebagai pelaksana teknis program/kegiatan pembangunan daerah. Tabel 2.6. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Bercirikan Perdesaan Dalam RPJMD Luwu Utara 2005-2010 dan Renstra SKPD Dinas Pertanian Luwu Utara 2005-2010 Prioritas RPJMD Luwu Utara Bidang Pertanian Program pembangunan yang dapat mendorong tumbuhnya kegiatan sektor-sektor usaha yang ada di perdesaan. Pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan desa penghasil produk pertanian menuju kota-kota kecamatan dan sentra-sentra pasar. Percepatan upaya untuk memperlancar pergerakan arus barang hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan menuju pusat-pusat perekonomian wilayah.
Prioritas Renstra SKPD Pertanian Peningkatan ketahanan pangan; Pengembangan agribisnis; Peningkatan SDM Aparat dan Petani-Nelayan; Peningkatan sarana dan prasarana pertanian dan kelautan; Kewaspadaan rawan pangan.
Sumber: RPJMD Luwu Utara 2005-2010 dan Renstra-SKPD Pertanian 2005-2010.
Di tingkat kabupaten/kota kesesuaian Prioritas RPJMD dan Prioritas Renstra SKPD beragam. Rumusan program prioritas pembangunan daerah bidang pertanian nampak berbeda dengan rumusan program prioritas pembangunan SKPD Pertanian di Kabupaten Luwu Utara. Terutama karena rumusan pembangunan daerah lebih bersifat umum dan lintas sektoral, bukan hanya oleh SKPD pertanian tetapi
29
30
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
juga harus mampu dijabarkan oleh sektor-sektor terkait lainnya. Prioritas pembangunan daerah ini juga dijabarkan oleh bidang perindustrian untuk pengembangan industri rumah tangga di perdesaan. Begitu juga untuk prioritas pembangunan daerah peningkatan sarana dan prasarana jalan desa untuk memperlancar arus barang produk-produk pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, juga merupakan bagian utama dari tanggung jawab bidang ke-PU-an serta sarana dan prasarana wilayah. Sementara untuk sektor tertentu, penjabarannya lebih spesifik. Dinas Kesehatan Kota Makassar lebih detail dan cermat menderivasi satu prioritas pembangunan daerah bidang kesehatan menjadi enam belas program pokok SKPD Kesehatan. masyarakat Kota Makassar melalui akumulasi pencapaian enambelas program pokok pembangunan kesehatan dalam lima tahun implementasi pembangunan daerah. Tabel 2.7. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Perkotaan Dalam RPJMD Makassar 2009-2014 dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Makassar 2009-2014 Program Prioritas RPJMD Makassar Bidang Kesehatan Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat.
Program Prioritas Renstra SKPD Dinas Kesehatan
Obat dan perbekalan kesehatan; Upaya kesehatan masyarakat; Pengawasan obat dan makanan; Pengembangan obat asli Indonesia; Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat; Perbaikan gizi masyarakat; Pengembangan lingkungan sehat; Pencengahan dan penanggulangan penyakit; Standarisasi pelayanan kesehatan; Pelayanan kesehatan penduduk miskin; Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana Puskesmas/Pustu dan jaringannya; Kemitraan pelayanan kesehatan; Peningkatan pelayanan kesehatan anak balita; Peningkatan pelayanan kesehatan Lansia; Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan; Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak.
Sumber: RPJMD Makassar 2009-2014 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2009-2014.
Ketidakmampuan mengintegrasikan program prioritas antar SKPD menjadi kendala utama dalam penjabaran prioritas pembangunan daerah menjadi prioritas pembangunan masing-masing SKPD. Masing-masing SKPD cenderung parsial dengan menonjolkan ego-sektoral dalam penjabaran prioritas program pembangunan daerah, terutama jika telah bersentuhan dengan penganggaran. Pada sejumlah daerah, saling mengklaim tanggungjawab terhadap implementasi program pembangunan lebih menonjol dibandingkan upaya-upaya nyata untuk mengintegrasikan dan mensinergikan setiap SKPD untuk pencapain hasil yang lebih optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak pada kecenderungan setiap SKPD untuk menjadikan program-programnya sebagai prioritas pembangunan daerah, dan mengabaikan upaya untuk menciptakan sinergi, keterkaitan dan saling mendukung antar program SKPD dalam kerangka pencapaian visi-misi, kebijakan dan program pembangunan daerah. Lemahnya kemampuan dalam mengakumulasikan rumusan perencanaan
30
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan engelolaan Keuangan Daerah
31
pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran dari setiap SKPD terhadap pencapaian pembangunan daerah secara komp komprehensif.
2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya, rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan bottom-up, belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif sejatinya dari dan oleh masyarakat dengan didukung oleh segenap sumberday sumberdayaa yang ada, baik dari lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan didukung oleh segenap sumberdaya yang tersedia p pada ada komunitasnya, baik yang diperoleh secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya diperoleh dari pemerintah lokal dan pelaku usaha lokal. Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah
Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas tentang Petunjuk Teknis Penyele Penyelenggaraan Musrenbang, Tahun 2005.
Kualitas penyusunan perencanaan partisipatif masih tergolong rendah. Bukan hanya karena keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan pembangunan pada semua tingkatan, juga karena keterbatasan waktu (seringkali hanya satu hari) untuk pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan
31
32
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
koordinasi hasil perencanaan yang berkualitas dan menyentuh kebutuhan secara langsung. Ditambah juga dengan arahan SKPD pada Musrenbang tingkat kecamatan/kelurahan/desa yang tidak tersosialisasi dan tidak dipahami secara baik oleh panitia dan peserta Musrenbang, salah satunya karena ketidaklengkapan dokumen perencanaan yang menjadi arahan para perencana. Misalnya, tidak semua daerah yang SKPD-nya memiliki Renja, atau belum banyak desa/kelurahan yang memiliki dokumen perencanaan jangka menengah. Akibatnya, pelaksanaan Musrenbang pada semua tingkatan cenderung menjadi sebuah rutinitas dan sekedar untuk menjalankan perintah peraturan-perundangan semata. Usulan masyarakat melalui Musrenbang masih kurang diakomodasi dalam RAPBD. Hal ini terutama karena pelaksanaan Musrenbang lebih fokus pada aspek teknisnya dibandingkan substansi Musrebang itu sendiri. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak-adanya mekanisme umpan-balik pascaMusrenbang untuk menyampaikan kepada masyarakat yang mengusulkan program/kegiatan, tetapi ‘ditolak’ pada pelaksanaan Musrenbang tingkatan selanjutnya. Akibatnya, masyarakat pengusul tidak mengetahui apakah usulan program/kegiatannya dianggarkan dalam RAPBD atau tidak, masyarakat menunggu. Hal ini menyebabkan semakin lemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Musrenbang, terutama pada tingkat kecamatan/kelurahan/desa, sehingga minat masyarakat untuk mengikuti Musrenbang semakin menurun. Apalagi Musrenbang dilaksanakan setiap tahun dan jika tanpa dibarengi dengan implementasi kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat, maka masyarakat akan semakin apriori terhadap pelaksanaan Musrenbang tersebut, khususnya pada tingkatan pemerintahan kecamatan/kelurahan/desa. Secara umum nampak kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota, masih rendah. Hal ini nampak pada kelengkapan dan kualitas dokumen perencanaan di tingkat kabupaten/kota yang masih terbatas, bukan hanya pada rendahnya penjabaran substansi setiap dokumen secara konsisten, tetapi juga pada ketidaktersediaan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan secara permanen, khususnya pada tingkat SKPD. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejumlah daerah tidak terdapat Renstra dan Renja SKPD, ataupun terdapat Renstra SKPD tetapi tidak mempedomani RPJMD dan belum semua Renja SKPD mempedomani Renstra SKPD. Demikian halnya dengan KUA/PPAS belum semua mempedomani RKPD, dan RKA SKPD belum secara konsisten mempedomani Renja SKPD. Akibatnya, terdapat sejumlah program/kegiatan yang dianggarkan dalam RAPBD/APBD yang tidak pernah ada pada dokumen-dokumen perencanaan daerah sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya intervensi terhadap perencanaan pembangunan, baik secara eksternal maupun secara internal, sehingga dibutuhkan solusi permanen untuk itu, salah satunya perlunya diterbitkan Perda tentang sistem perencanaan pembangunan daerah pada setiap kabupaten/kota sebagaimana Perda tentang SPPD yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, tentunya yang tidak bertentangan dengan perundangan-undangan yang ada (UU No. 25/2004; PP No. 08/2008 serta Permendagri No. 54/2010).
32
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan engelolaan Keuangan Daerah
33
2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran pada APBD. Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak disiplin menjalankan perencanaan pembangunan da dan n penganggaran sebagaimana peraturanperaturan perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada setiap stakeholder pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam penyusunan penganggaran pembangunan daerah. Tanpa perspektif yang sama, menempatkan kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Gambar 2.3. Proses ses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD Menuju RAPBD)
Sumber: Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai dengan perundangan. Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepenuhnya sepen dipatuhi, setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD juga masih sering terlambat karena pembahasan di DPR DPRD rata-rata rata membutuhkan waktu yang panjang. Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31 Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari
33
34
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
keterlambatan pelaksanaan Musrenbang, keterlambatan perumusan dan sinkronisasi perencanaan SKPD, keterlambatan penyusunan RKPD yang berakibat pada keterlambatan penyusunan KUA oleh TAPD, keterlambatan kesepakatan KUA-PPA oleh TAPD-PAL hingga pada alotnya pembahasan di DPRD. Secara keseluruhan hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan SDM untuk menjalankan mekanisme dalam rangkaian panjang perencanaan-penganggaran pembangunan daerah, juga antara lain disebabkan oleh banyaknya intervensi kepentingan dari berbagai stakeholder pembangunan daerah. Tabel 2.8. Program prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010 Renja-SKPD Kesehatan
Program Bidang Kesehatan dalam APBD Sulawesi Selatan
Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak
Peningkatan kesehatan ibu melahirkan dan anak
Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita
Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita
Peningkatan pelayanan kesehatan lansia
Peningkatan pelayanan kesehatan lansia
Pelayanan kesehatan penduduk miskin
Pelayanan kesehatan penduduk miskin
Upaya kesehatan masyarakat
Upaya kesehatan masyarakat
Standarisasi pelayanan kesehatan
Standarisasi pelayanan kesehatan
Obat dan perbekalan kesehatan
Obat dan perbekalan kesehatan Pengadaan obat, peralatan dan perbekalan kesehatan
Pengembangan obat asli Indonesia
Pengembangan obat asli Indonesia
Penanggulangan KEP, AGB, GAKY, KVA dan kekurangan zat gizi mikro lainnya
Perbaikan gizi masyarakat
Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
Pencegahan dan pemberantasan penyakit
Pencegahan dan pemberantasan penyakit
Promosi dan pemberdayaan masyarakat
Promosi kesehatan dan pemberdayaan
Sarana air bersih dan sanitasi dasar Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan Pengendalian pencemaran lingkungan
Tidak dianggarkan dalam APBD
Pengembangan wilayah sehat
Pengembangan lingkungan sehat
Pelayanan administrasi perkantoran
Pelayanan administrasi perkantoran
Peningkatan sarana dan prasarana aparatur
Peningkatan sarana dan prasarana Peningkatan disiplin aparatur Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur
Tidak ada program prioritas yang terkait dalam Renja SKPD Kesehatan
Pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan Kemitraan pelayanan kesehatan Pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana RSIA Siti Fatimah Pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RS Jiwa Pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit
Sumber: Diolah dari Renja-SKPD Kesehatan 2010 dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan 2010
34
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
35
Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD, demikian juga sebaliknya. APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010 memperlihatkan sejumlah program bidang kesehatan yang tertuang dalam penjabaran APBD yang sebelumnya tidak tercantum dalam dokumen Renja-SKPD Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2010. Misalnya pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan; kemitraan pelayanan kesehatan; pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana RSIA Siti Fatimah; pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RS Jiwa; serta pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit. Ini disebabkan karena kurang dipertegasnya kedudukan rumah sakit/rumah sakit jiwa dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Otonomi RS/RSJ atau bahkan Puskesmas pada kabupaten/kota mengharuskannya memiliki kewenangan dalam penganggaran, sementara itu kewenangannya dalam perencanaan program sangat terbatas. Sebaliknya, terdapat program yang direncanakan dalam dokumen Renja-SKPD Kesehatan Sulawesi Selatan 2010 yang tidak dianggarkan dalam APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010. Program tersebut adalah peningkatan sarana air bersih dan sanitasi dasar; pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan; serta pengendalian pencemaran lingkungan. Dan ini dikarenakan program bersangkutan bersifat lintas SKPD, sehingga SKPD Kesehatan hanya sebagai pendukung, aktor utamanya diperankan oleh SKPD Lingkungan Hidup.
2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah Penerapan penyusunan anggaran berbasis kinerja belum sepenuhnya dijalankan pada setiap daerah, bahkan pada beberapa daerah lebih kepada kinerja yang berbasis anggaran. Hal ini di samping karena pemahaman dan operasionalisasi ABK yang masih terbatas, juga karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah yang menyebabkan kinerja pembangunan daerah harus ditetapkan dengan didasarkan pada ketersediaan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Akibatnya, kinerja yang ditetapkan dengan berbasis pada kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak dapat saja tidak terlaksana karena adanya keterbatasan anggaran.
35
36
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran
Sumber:: Modul Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerj Kinerja (Agussalim, 2011).
Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan pada semua daerah, terutama pada sejumlah SKPD yang memiliki jumlah kegiatan, di samping banyak juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah yang memiliki liki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga sangat penting memiliki kkemampuan emampuan konseptual dan filosofis dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran berbasis kinerja. Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua daerah dan dokumen perencanaan SKPD. Indikator output untuk mengukur ur kinerja kegiatan pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon IV, indikator outcome untuk mengukur kinerja program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator impact untuk mengukur kinerja kebijakan pada ting tingkat kat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon II atau kepala SKPD bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah bersangkutan. Secara umum masih terjadi kesalahan penetapan indikator indikator-indikator indikator kinerja tersebut, tersebut bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum menunjukkan indikator yang terukur, sehingga akan mengalami kesu kesulitan litan dalam pelaksanaan evaluasi kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan.
36
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan engelolaan Keuangan Daerah
37
Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah
Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian Keuangan tentangg Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Tahun 2009.
Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah. Perda tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara dan daerah, antara lain Perda tentang pokok pokok-pokok pokok pengelolaan keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah dan/atau SOP pengelolaan keuangan daerah. Hanya saja, dalam implementasiny implementasinyaa sejumlah daerah masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang berubah-ubah ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara substansial dan teknis lainnya. Dibutuhka Dibutuhkan n Perda yang secara konsisten mengatur pengelolaan keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.
37
38
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tabel 2.9. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010 No.
Provinsi, Kabupaten dan Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Sulawesi Selatan Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Kepulauan Selayar Luwu Luwu Timur Luwu Utara Maros Pangkajene Kepulauan Pinrang Sidenreng Rappang Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Toraja Utara Wajo Makassar Palopo Parepare
Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2005
2006
2007
2008
2009
2010**)
WDP WDP
TMP WTP WDP WDP WDP WDP WDP WDP
WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP TMP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP
TMP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP
TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP TMP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP
WTP WDP WDP WDP
WDP WDP WDP WDP
WDP WDP WDP WDP
WDP WDP WDP WDP
WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP
WTP WDP WDP WDP WDP WDP WDP *) *) *) *) WTP TMP WDP *) WDP *) *) WDP *) *) WDP *) TMP *)
WDP WDP WDP WDP
WTP WDP
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan LKPD BPK-RI, Tahun 2010. Keterangan: *) Dalam Proses Pemeriksaan; **) Diperoleh Dari Bawasda Sulawesi Selatan. WTP (opini Wajar Tanpa Pengecualian), WDP (opini Wajar Dengan Pengecualian), TW (opini Tidak Wajar), TMP (pernyataan menolak memberikan opini atau tidak memberikan pendapat-disclaimer of opinion).
Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perbaikan secara signifikan dalam dua tahun terakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) mengalami perbaikan berarti, dengan memperoleh opini wajar dengan pengecualian pada tahun 2009, bahkan pada tahun 2010 sukses mencapai opini kasta tertinggi dengan memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian. Hal ini menunjukkan prestasi tertinggi karena dua tahun sebelumnya, tahun 2007 dan tahun 2008 memperoleh penilaian terendah dengan secara berturut-turut memperoleh opini disclaimer of opinion. Sejumlah daerah mampu mendapatkan opini Wajar daerah yang mendapatkan penilaian disclaimer of memberikan pendapat dalam pengelolaan keuangan memperoleh disclaimer of opinion, bahkan Maros
38
Tanpa Pengecualian (WTP) dan masih terdapat opinion-menolak memberikan opini atau tidak daerahnya. Maros dan Palopo dua daerah yang telah enam tahun berturut-turut memperoleh
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
39
penilaian tersebut. Tiga daerah yang pada tahun 2005 telah memperoleh penilaian opini wajar tanpa pengecualian, setelah itu tidak pernah ada daerah yang memperoleh penilaian tersebut hingga tahun 2009. Pada Tahun 2010, hanya Kabupaten Luwu Utara yang memperoleh penilaian opini wajar tanpa pengecualian (WTP), setelah empat tahun sebelumnya secara berturut-turut memperoleh penilaian wajar dengan pengecualian (WDP). Sebaliknya, Kota Palopo mengalami kemunduran, di mana dalam dua tahun terakhir memperoleh disclaimer of opinion, setelah tiga tahun sebelumnya berturut-turut memperoleh opini wajar tanpa pengecualian. Daerah-daerah lainnya secara umum pengelolaan keuangan daerahnya memperoleh penilaian sedang/cukup, dengan berhasil memperoleh penilaian wajar dengan pengecualian, dan beberapa daerah lainnya untuk 2010 masih menunggu finalisasi hasil pemeriksaan BPK, semoga menambah daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dan bukan sebaliknya, menambah daerah yang memperoleh disclaimer of opinion. Kapasitas SKPD dalam melaksanakan pelaporan keuangan masih sangat rendah. Hal ini ditandai dengan ketidaktepatan dan keterlambatan penyerahan laporan keuangan SKPD kepada pengelola keuangan daerah. Kondisi ini terutama dialami oleh sejumlah SKPD pada sejumlah daerah dengan volume program dan kegiatan yang sangat banyak, di samping program dan kegiatan yang dikreasikan daerah, juga terdapat program dan kegiatan andalan nasional/provinsi, seperti yang dialami pada urusan pendidikan dan urusan kesehatan. Keterbatasan kompetensi sumberdaya manusia aparat pemerintah daerah menjadi alasan pokok rendahnya kapasitas SKPD tersebut dalam pelaporan keuangannya. Pengawasan dan monitoring internal dan eksternal terhadap pelaksanaan anggaran secara rutin dan berkala dilakukan pada setiap daerah. Untuk kepentingan pembinaan pada sejumlah SKPD di tingkat provinsi/kabupaten/kota audit internal oleh inspektorat daerah dapat dilaksanakan setiap bulannya, atau minimal triwulanan. Audit eksternal dilakukan oleh BPK pada setiap daerah bisa sampai dua kali dalam setahun, atau oleh Inspektorat provinsi melakukan audit eksternal ke kabupaten/kota sekali dalam setahun sesuai dengan urgensi dan kebutuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah masing-masing.
2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah Analisa pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada hasil asessmen PKD. Pengelolaan keuangan daerah (PKD) merupakan serangkaian proses mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, sampai evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan (PP No. 58 tahun 2005). Asessmen kapasitas PKD bertujuan untuk mengambil baseline sampel kapasitas pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku atau mengarah pada praktek-praktek terbaik pengelolaan keuangan publik. Asesmen PKD di Sulawesi Selatan dilakukan pada 1 pemerintah provinsi dan 3 kabupaten/kota sebagai sampel, yaitu Kota Pare-pare mewakili kota, Kabupaten Jeneponto mewakili kabupaten dengan pendapatan terkapita yang rendah, Kabupaten Luwu Timur mewakili kabupaten pemekaran. Alat asesmen yang digunakan adalah alat yang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri dan Bank Dunia berupa sistem penilaian balance scorecard pada 9
39
40
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
bidang strategis PKD, yakni kerangka peraturan perundangan daerah; perencanaan dan penganggaran; pengelolaan kas; pengadaan barang dan jasa; akuntansi dan pelaporan; pengawasan internal; hutang dan investasi publik; pengelolaan asset; serta audit dan pengawasan eksternal. Kinerja PKD Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan tiga kabupaten/kota sudah baik. Hal ini terlihat dari total skor PKD di ke empat pemerintahan tersebut yang berada di atas 60 persen. Pemerintah Provinsi mencapai skor yang terbaik di antara sampel yang lain sebesar 77 persen. Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lain yang juga melakukan analisa PKD baru-baru ini, capaian Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (78 persen) dan Jawa Timur (79%, angka sementara), dan di atas Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (60%, angka sementara). Secara umum kinerja PKD pemerintah Sulawesi Selatan juga dapat dikatakan Kabupaten Luwu Timur sebagai kabupaten baru justru memiliki skor PKD yang lebih baik dari kabupaten/kota lainnya. Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan
76.7%
Luwu Timur
73.8%
Pare-Pare Rata-rata 3 Kab/Kota Jeneponto
72.1%
70.1%
Kerangka Peraturan Perundangan Daerah Perencanaan dan Penganggaran Pengelolaan Kas Pengadaan Barang dan Jasa Akuntansi dan Pelaporan Internal Audit Hutang, Hibah, dan Investasi Pengelolaan Aset Audit Eksternal
64.2%
Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011.
Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare merupakan contoh daerah dengan pengelolaan keuangan yang baik. Dari 9 bidang penilaian PKD, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selalu menempatkan diri sebagai yang terbaik atau terbaik kedua dari 4 pemerintahan yang disampel. Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare mencatat nilai yang termasuk tinggi untuk ukuran kabupaten/kota. Rata-rata nilai PKD kabupaten/kota di Sulawesi Utara adalah 64 persen. Luwu Timur memiliki capaian PKD terbaik dalam bidang Pengelolaan Kas dan Akuntansi dan Pelaporan, Kota Pare-pare memiliki capaian PKD terbaik dalam bidang Peraturan Perundangan Daerah. Kabupaten Jeneponto umumnya memiliki skor PKD yang lebih rendah dari kedua daerah lainnya.
40
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
41
Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa Jeneponto 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kerangka Peraturan Perundangan Daerah Perencanaan dan Penganggaran Pengelolaan Kas Pengadaan Barang dan Jasa Akuntansi dan Pelaporan Internal Audit Hutang, Hibah, dan Investasi Pengelolaan Aset Audit Eksternal Skor Total
66,7% 50,0% 57,1% 75,0% 55,6% 64,7% 90,0% 55,0% 63,6% 64,2%
Luwu Timur 76,2% 64,3% 71,4% 81,3% 72,2% 76,5% 90,0% 60,0% 72,7% 73,8%
Pare-Pare 76,2% 64,3% 60,7% 75,0% 55,6% 70,6% 90,0% 75,0% 81,8% 72,1%
Prov. Sulawesi Selatan 71,4% 71,4% 67,9% 87,5% 66,7% 88,2% 80,0% 75,0% 81,8% 76,7%
Rata-rata 3 Kab/Kota 73,0% 59,5% 63,1% 77,1% 61,1% 70,6% 90,0% 63,3% 72,7% 70,1%
Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011.
2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi
Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan Agenda Provinsi seperti tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN. Di sisi lain RPJMD Sulawesi Selatan secara konsisten menjabarkan agenda dan prioritas pembangunan nasional. Ketidaksinkronan ini antara lain disebabkan peraturan yang tidak sejalan, misalnya UU No. 32 tahun 2004 dengan UU No 25 tahun 2004.
Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD belum semua secara konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki dokumen perencanaan tahunan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah daerah perlu menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang berhasil atau lalai dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.
Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan penganggarannya Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD, demikian juga sebaliknya. Selain itu kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui Musrenbang yang diakomodasi. Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi juga disebabkan proses berlarut dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan legislatif. Juga bisa dilakukan audit hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang mengakomodasi usulanusulan awal.
Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak dianggarkan dalam RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya. Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.
41
Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
42
Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola keuangan daerah belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat SKPD. Langkah konkrit yang penting untuk dilakukan terkait dengan hal tersebut, antara lain: (1) Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang keilmuan perencanaan pembangunan dan atau pernah mengikuti diklat fungsional perencanaan pembangunan. (2) Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar belakang keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah.
Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan perhatian pada dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan. Terkait dengan hal tersebut yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan internal terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta keterkaitan di antara keduanya.
Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dalam proses perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Sulwesi Selatan mencatat nilai yang baik dalam analisa Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) yang dilakukan oleh Bank Dunia. Selain itu, dua dari tiga kabupaten yang diambil sebagai sampel, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare, menunjukkan nilai yang baik. Direkomendasikan agar kedua daerah ini dapat dijadikan pembelajaran dan contoh PKD bagi daerah lainnya, paling tidak dari sisi ketersediaan dokumen.
42
BAB 3 PENDAPATAN DAERAH
43
44
Bab 3 Pendapatan Daerah
3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan Pendapatan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) di Sulawesi Selatan meningkat hampir dua kali lipat selama kurun waktu 2005-2010. Pada periode tersebut, Pendapatan Daerah meningkat dari Rp 9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 16 triliun pada tahun 2010. Pendapatan Daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota mencapai Rp 7,4 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 13 triliun pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan 13 persen per tahun, sementara Pendapatan Daerah Provinsi meningkat dari Rp 1,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 2,5 triliun pada tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun. Sebagian besar Pendapatan Daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini ditunjukkan oleh proporsi pendapatan kabupaten/kota terhadap total Pendapatan Daerah lebih besar daripada proporsi pendapatan provinsi. Selama periode 2005-2010, proporsi pendapatan kabupaten/kota terhadap total Pendapatan Daerah rata-rata 84 persen per tahun, sementara proporsi pendapatan provinsi terhadap total Pendapatan Daerah mencapai rata-rata 16 persen per tahun. Penyumbang terbesar Pendapatan Daerah Provinsi adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan ratarata mencapai 56 persen per tahun, sementara pendapatan kabupaten/kota dikontribusi oleh Dana Perimbangan dengan rata-rata 84 persen per tahun. Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011
2.2
2.4
2.3
2.5
2.7
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**
Provinsi
Kabupaten/Kota
84
84
85
83
18
15
15
16
16
15
17 2011**
1.9
85
2010*
1.6
85
2009
7.4
82
2008
13.4 13.2 12.3 12.1 12.3
2007
10.9
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
2006
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Proporsi Pendapatan Kab/Kota Terhadap Total Pendapatan
2005
Rp Triliun
Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan 2010=100
Provinsi
Kabupaten/kota
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar. Selama periode 2005-2010, Pendapatan Daerah yang berasal dari Dana Perimbangan rata-rata mencapai Rp 10 triliun per tahun. Sumbangan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan berkisar 69-83 persen atau secara rata-rata 76 persen selama tahun 2005-2010. Sumber Pendapatan
44
Bab 3 Pendapatan Daerah
45
Daerah yang berasal dari PAD relatif kecil dengan rata-rata berkisar 15 persen. Selebihnya, sekitar 8 persen dikontribusi oleh Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Besarnya nilai dan proporsi Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah mencerminkan ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar. Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 Proporsi Terhadap Total Pendapatan Daerah
18 16 0.9
1.1
1.1
0.6
12
90%
78
83
79
78
7 78
16 69
0.5 10.6
11.6 11.2 11.2 10.9 11.4
11 71
60% 50% 40%
7.0
30%
2.4
2.7
10%
16
0%
Dana Perimbangan
Lain-Lain
PAD
13
14
Dana Perimbangan
15
15
15
17 2011**
1.7
2.2
2010*
1.5
2.1
2009
20%
2.1
2005
PAD
8
70%
2 0
6
2008
4
4
2007
6
6
80%
10 8
100%
2006
Rp. Triliun
14
2.5
1.8
Bagian Lain Penerimaan yang Sah
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Pada periode 2005-2010, Pendapatan Daerah pemerintah provinsi didominasi oleh pendapatan yang bersumber dari PAD dan cenderung meningkat. Pada tahun 2005, pendapatan yang bersumber dari PAD sebesar Rp. 942 miliar dan meningkat menjadi Rp 1,4 triliun pada tahun 2010. Proporsi PAD terhadap total pendapatan provinsi juga memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejak tahun 2006 sebesar 52 persen menjadi 58 persen pada tahun 2010 dengan rata-rata setiap tahun 56 persen. Pada tahun 2011, pendapatan dari PAD direncanakan menyumbang sekitar 62 persen. Dengan mencermati proporsi PAD dengan sumber Pendapatan Daerah lainnya, PAD merupakan penyumbang terbesar terhadap Pendapatan Daerah Provinsi. Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi Dana Perimbangan yang hanya berkisar pada 41-46 persen dari total Pendapatan Daerah Provinsi atau secara rata-rata 42 persen setiap tahun selama periode 2005-2010 dan kontribusi Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah hanya berkisar rata-rata 1 persen per tahun. Berbeda dengan tingkat pemerintah provinsi, sumber daya fiskal pemerintah kabupaten/kota didominasi oleh Dana Perimbangan dan cenderung menurun hingga tahun 2010. Pada tahun 2005, pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Dana Perimbangan sebesar Rp 6,4 triliun meningkat menjadi Rp 10,6 triliun pada tahun 2007, kemudian tiga tahun berikutnya menurun setiap tahun hingga mencapai Rp 10 triliun pada tahun 2010. Proporsi Dana Perimbangan terhadap total
45
46
Bab 3 Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah kabupaten/kota juga mengalami penurunan dari 86 persen pada tahun 2005 turun menjadi 74 persen pada tahun 2010 dengan rata-rata 84 persen per tahun. Tingginya sumbangan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota mengindikasikan tingginya ketergantungan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Meskipun Dana Perimbangan mendominasi Pendapatan Daerah, namun upaya-upaya pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah telah nampak. Hal ini terlihat dari peningkatan PAD dari Rp 523 miliar meningkat menjadi Rp 987 miliar pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, proporsi PAD terhadap total Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota rata-rata 7 persen per tahun. Kapasitas fiskal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cenderung tidak merata. Kabupaten/kota yang memiliki pendapatan per kapita terbesar di Sulawesi Selatan adalah Pare-Pare (Rp 3,8 juta) danKabupaten Selayar (Rp 3,4 juta). Kabupaten/kota yang mempunyai pendapatan per kapita terendah adalah Kabupaten Bone, Kota Makassar, dan Kabupaten Gowa dengan Rp 1,1 juta. Ketiganya juga merupakan 3 kabupaten/kota yang memiliki populasi terbesar di Sulsel. Sedangkan kabupaten lainnya, pendapatan per kapita berkisar pada Rp 1,5 juta – Rp 2,7 juta. Perbedaan pendapatan per kapita tersebut menandakan masih ada ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Rp Juta
Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
PAD
Dana Perimbangan
Lain-lain
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Kabupaten/kota yang mempunyai PAD terbesar adalah Kabupaten Pare-Pare dan terendah adalah Kabupaten Jeneponto. Pada tahun 2010, Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan PAD per kapita sebesar Rp 344 ribu dan terendah sebesar Rp 43 ribu ditempati oleh Kabupaten Jeneponto. Pada tahun yang sama, dana transfer per kapita tertinggi berada di Kabupaten Selayar mencapai Rp 2,7 juta dan terendah ditempati Kota Makassar sebesar Rp 648 ribu.
46
Bab 3 Pendapatan Daerah
47
3.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pada periode 2005-2010, Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan (provinsi dan kabupaten/kota) meningkat hampir dua kali lipat. Pada tahun 2005, Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp 1,5 triliun meningkat menjadi Rp 2,4 triliun pada tahun 2010. Porsi PAD terhadap total Pendapatan Daerah mengalami peningkatan secara konsisten sejak tahun 2006 dengan nilai 13 persen menjadi 15 persen pada tahun 2010 atau dengan rata-rata setiap tahun sebesar 15 persen. Pajak Daerah adalah penyumbang terbesar PAD dengan menguasai sekitar 66 persen dari total PAD pada tahun 2005 dan 2008 dan 63 persen pada tahun 2010 dan direncanakan mencapai 70 persen pada tahun 2011. Pendapatan dari Pajak Daerah meningkat dari Rp 971 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1,6 triliun pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, rata-rata porsi Pajak Daerah terhadap total PAD sebesar 64 persen per tahun. Pendapatan Daerah di Sulawesi Selatan yang berasal dari Retribusi Daerah mengalami peningkatan signifikan dan merupakan sumber PAD terbesar kedua setelah Pajak Daerah. Pada periode 2005-2010, pendapatan dari Retribusi Daerah meningkat dari Rp 294 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 524 miliar pada tahun 2010. Proporsi pendapatan Retribusi Daerah terhadap total PAD rata-rata mencapai 19 persen per tahun, selebihnya sekitar 17 persen dikontribusi oleh sumber-sumber PAD yang lain. Sumbersumber PAD yang berasal dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-Lain PAD Yang Sah juga memperlihatkan angka yang cenderung meningkat. Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 3,000.0
20% 17% 232
18%
15%
15% 235
128
16%
208
124
501
14%
120
187
524
348
400
16%
2,500.0
14%
15%
13%
Rp Miliar
2,000.0 1,500.0
266 202 112
88
1,000.0 500.0
294
87
262
260
319
323
971
12%
Keuntungan dari Perusahaan Daerah
10%
Retribusi
8% 1,875
1,079
Lain-lain
1,246
1,394
1,360
1,526
6% 4%
Pajak Daerah PAD (% dari Total Penerimaan)
2% 0.0
0% 2005
2006
2007
2008
2009
2010* 2011**
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
47
48
Bab 3 Pendapatan Daerah
Pajak daerah merupakan sumber utama PAD provinsi, sementara di pajak dan retribusi menjadi sumber pendapatan kabupaten/kota. Pendapatan dari Pajak Daerah pada pemerintah provinsi meningkat cukup drastis dari Rp 788 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1,2 triliun pada tahun 2010 dengan rata-rata pendapatan Pajak Daerah sebesar Rp 1 triliun per tahun. Tingginya pajak dalam PAD provinsi turut disumbang dari pajak kendaraan dan pajak bumi dan bangunan. Pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara 6-8 persen ikut menyumbang tingginya kedua jenis pajak tersebut Sumber penerimaan lain kontribusinya relatif kecil. Retribusi Daerah menyumbang sekitar 7-8 persen dari total PAD. Di tingkat kabupaten/kota, pajak daerah dan retribusi menyumbang sekitar 80 persen dari total PAD, tumbuh 60 persen pada tahun 2010 dibanding tahun 2005. Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 -
Pajak
Retribusi
Keuntungan PUD
PAD Lain
Sumber: Diolah dari APBD-P 2010.
Pada pemerintah kabupaten/kota, sumber PAD terbesar berasal dari Retribusi Daerah. Sumbangan Retribusi Daerah terhadap PAD kabupaten/kota mencapai 43 persen pada tahun 2005, 41 persen pada tahun 2010, dan 35 persen pada tahun 2011. Meskipun kontribusi pendapatan dari Retribusi Daerah berfluktuasi, namun secara rata-rata Retribusi Daerah menyumbang sebesar 37 persen terhadap PAD kabupaten/kota. Pajak Daerah merupakan sumber PAD terbesar kedua dengan rata-rata 29 persen per tahun selama periode 2005-2010, selebihnya PAD dikontribusi oleh Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dengan rata-rata 11 persen per tahun dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah sebesar 23 persen per tahun. Komposisi Pendapatan Asli Daerah per kapita bervariasi antar kabupaten/kota pada tahun 2010. Pendapatan Asli Daerah terbesar dikontribusi oleh Kota Makassar sekitar Rp 344 ribu dan terbesar kedua adalah Kabupaten Pangkep sebesar Rp 241 ribu. Komponen terbesar dalam PAD di Kota ParePare adalah penerimaan Retribusi Daerah dengan nilai sebesar Rp 231 ribu dan di Kabupaten Pangkep dikontribusi oleh penerimaan Pajak Daerah dengan nilai Rp 129 ribu. Kabupaten/kota yang mempunyai PAD per kapita terkecil adalah Kabupaten Jeneponto dengan nilai Rp 43 ribu.
48
Bab 3 Pendapatan Daerah
49
3.3. Dana Perimbangan Pendapatan Daerah yang bersumber dari DAU (provinsi dan kabupaten/kota) meningkat namun proporsinya terhadap total Pendapatan Daerah menurun. DAU meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 5,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 9 triliun pada tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 12,5 persen per tahun. Proporsi DAU terhadap total Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan meningkat dari 62 persen tahun 2005 menjadi 67 persen pada tahun 2006, pada tahun berikutnya cenderung menurun hingga menjadi 54 persen pada tahun 2010. Secara rata-rata, proporsi DAU terhadap total Pendapatan Daerah mencapai 61 persen per tahun pada periode 2005-2010 dan proporsi DAU terhadap Dana Perimbangan secara rata-rata per tahun sebesar 75 persen per tahun. Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011 80 70
62.0
14,000
66.7 61.5
60.0
60.2
54.0
57.0
60
10,000
Persen
8,000
40 8,563
30 10 0
8,944
8,644
8,661
8,573
9,063
4,000
5,579 4.3
6.7
8.2
9.3
9.7
1,038
1,174
1,427
1,208
1,108
6.2 1,374
7.2 1,158
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
Dana Bagi Hasil
6,000
Rp Miliar
50
20
12,000
DAU
DAK
% DAU
% DAK
2,000 0
% Dana Bagi Hasil
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Sumbangan DAK terhadap pendapatan relatif kecil, tetapi cenderung meningkat di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, proporsi Dana Alokasi Khusus (DAK) rata-rata menyumbang 7 persen per tahun. Jumlah ini masih sedikit lebih kecil dari Dana Bagi Hasil yang rata-rata sebesar 9 persen per tahun. Meski demikian jumlah DAK meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 384 miliar di tahun 2005 menjadi Rp. 985 miliar di tahun 2010. Kontribusi pendapatan dari DAK terhadap total Dana Perimbangan kabupaten/kota meningkat, dimana pada tahun 2005 sebesar 6 persen menjadi 13 persen pada tahun 2010. Lebih dari separuh pendapatan yang bersumber dari DAU dialokasikan pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini semakin mempertegas otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. DAU yang diterima pemerintah kabupaten/kota meningkat dari Rp 5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 8,3 triliun pada tahun 2010. Pada periode 2005-2010, porsi DAU yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata setiap tahunnya sebesar 92 persen, hanya sekitar 8 persen dialokasikan pada pemerintah provinsi. Dana Alokasi Umum pada pemerintah provinsi meningkat dari Rp 464 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 706 miliar pada tahun 2010 atau secara rata-rata memperoleh DAU sebesar Rp 667 miliar per tahun.
49
50
Bab 3 Pendapatan Daerah
Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan 10,000
8.31
7.74
8.24
8.36
8.16
8.24
8.49
9,000
100
8,000
98 96
6,000 5,000 3,000
7,900
5,115
8,207
7,922
7,954
7,867
8,294
92 92.3
91.8
91.6
91.8
91.8
91.5
464
662
737
722
707
706
769
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
91.7
2,000
90 88
1,000 0
94
Persen
Rp Miliar
7,000
4,000
102
Provinsi
Kabupaten/kota
% DAU Kabupaten/kota
86
% DAU Provinsi
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Dana Bagi Hasil Pajak meningkat cukup signifikan dan lebih banyak dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota daripada pemerintah provinsi. Pendapatan dari DBH untuk kabupaten/kota mengalami peningkatan sebesar Rp 298 miliar dari Rp 837 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1.135 miliar pada tahun 2010. Pada pemerintah provinsi, penerimaan DBH pada tahun 2005 sebesar Rp 201 miliar meningkat menjadi Rp Rp 239 miliar pada tahun 2010. Proporsi Dana Bagi Hasil terhadap total Dana Perimbangan kabupaten/kota secara rata-rata hanya 11 persen per tahun. Hal ini berarti selama periode 2005-2010, sumbangan DBH Pajak masih sangat kecil. Transfer DAU per kapita dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, Kabupaten Selayar dan Kota Pare-pare memperoleh transfer DAU per kapita tertinggi mencapai Rp 2 juta. Kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk yang cukup padat, seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa memperoleh DAU per kapita relatif rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang memiliki jumlah penduduk relatif kecil. Kota Makassar memperoleh DAU per kapita sebesar Rp 481 ribu dan Kabupaten Gowa sebesar Rp 661 ribu.
50
Bab 3 Pendapatan Daerah
51
Tabel 3.1. Komposisi Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 2005
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Total Dana Perimbangan
664
100
881
100
996
100
985
100
974
100
975
100
1.027
100
Dana Bagi Hasil
201
30
219
25
259
26
223
23
220
23
239
25
218
21
DAU
464
70
662
75
737
74
722
73
707
73
706
72
769
75
DAK
0
0
0
0
0
0
39
4
48
5
29
3
40
4
Kabupaten/Kota
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Rp M
%
Total Dana Perimbangan
6.336
100
9.712
100
10.561
100
10.208
100
10.196
100
9.958
100
10.333
100
837
13
955
10
1.168
11
984
10
888
9
1.135
11
940
9
DAU
5.115
81
7.900
81
8.207
78
7.922
78
7.954
78
7.867
79
8.294
80
DAK
384
6
857
9
1.186
11
1.302
13
1.354
13
955
10
1.099
11
Provinsi
Dana Bagi Hasil
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 -
DAU
DAK
Dana Bagi Hasil
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
51
52
Bab 3 Pendapatan Daerah
3.4. Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah Realisasi Pendapatan Daerah yang bersumber dari Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi sepanjang periode 2005-2010, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada level provinsi, Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi dari, Rp 18 miliar pada tahun 2005, sebelum mencapai pendapatan tertinggi sebesar Rp 59 pada tahun 2010. Sementara di tingkat kabupaten/kota, pendapatan dari Bagian lain-lain pendapatan yang sah cenderung meningkat hingga tahun 2010. Lainlain Pendapatan yang Sah sesungguhnya merupakan transfer atau dana darurat dari level pemerintahan yang lebih tinggi. Sehingga besarannya tidak dapat selalu diharapkan meningkat. Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2010 3,000
Rp Miliar
2,500 2,000 1,500 2,481 1,000
1,814
500 0
520
516
18
35
2005
2006
1,085
1,161
9
4
20
59
0
2007
2008
2009
2010*
2011**
880
Provinsi
Kabupaten/Kota
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
3.5. Pembiayaan Daerah Sulawesi Selatan mengalami surplus pendapatan selama periode 2005-2007 namun defisit pada periode 2008-2011. Surplus pendapatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai riil Rp 2.514 miliar. Surplus pendapatan pada periode 2005-2007 terjadi pada hampir semua kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan daya serap anggaran pemerintah cukup rendah. Pada periode 2008-2011, pemerintah Sulawesi Selatan mengalami defisit anggaran dan terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan nilai riil sebesar Rp 902 miliar. Tingginya angka defisit pada tahun 2008 terutama disebabkan oleh penurunan penerimaan pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota yang berasal dari Dana Perimbangan dan PAD, dan pada saat yang sama belanja pemerintah daerah mengalami peningkatan cukup signifikan. Sebagian besar surplus APBD digunakan untuk pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, transfer ke dana cadangan dan penyertaan modal. Pada tahun 2006, pemanfaatan surplus untuk pembayaran utang sebesar Rp 139 miliar, transfer ke dana cadangan sebesar Rp 120 milyar, dan penyertaan modal
52
Bab 3 Pendapatan Daerah
53
pemerintah sebesar Rp 107 miliar. Pada tahun 2007, surplus digunakan untuk membayar utang sebesar Rp 180 miliar, penyertaan modal sebesar Rp 92 miliar dan transfer dana cadangan sebesar Rp 47 miliar. Pada periode defisit APBD (2008-2011), sebagian besar defisit didanai dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu (SiLPA) dan cenderung menurun hingga tahun 2011. Pada tahun 2008, sumber pembiayaan defisit yang berasal dari SiLPA sebesar Rp 2.095 miliar menurun menjadi Rp 780 miliar pada tahun anggaran 2010. Pada tahun 2008, sumber pembiayaan defisit terbesar kedua setelah SiLPA adalah hasil penjualan asset daerah dengan nilai riil sebesar Rp 130 miliar dan pinjaman sebagai urutan terbesar ketiga dengan nilai Rp 30 miliar. Pada tahun 2009-2010, pembiayaan defisit didominasi oleh penerimaan pinjaman daerah yang mengalami peningkatan drastis dari Rp 69 miliar menjadi Rp 305 miliar pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan peran pinjaman sebagai sumber pembiayaan pembangunan cukup besar. Demikian halnya dengan hasil penjualan aset daerah cenderung meningkat dari Rp 117 miliar pada tahun 2010 menjadi Rp 132 miliar pada tahun 2011. Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011 3,000 2,500 2,000 2,404
1,000 1,033
-285 69 -421
-627 -261
-71 2011**
-500
-27
2009
110
2008
-10
2007
0
-773 -128
2010*
614 2006
500
2005
Rp Miliar
1,500
-1,000 -1,500
Provinsi
Kabupaten/Kota
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.
Pemerintah provinsi mengalami defisit hampir setiap tahun, sementara pemerintah kabupaten/kota mengalami defisit pada empat tahun terakhir. Pada pemerintah provinsi, defisit terbesar terjadi pada tahun 2010 yang mencapai Rp 261 miliar dan menurun menjadi Rp 71 miliar pada tahun anggaran 2011. Defisit anggaran pada pemerintah kabupaten/kota terbesar sebesar Rp 773 miliar pada tahun 2008. Tingginya defisit pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seiring dengan peningkatan lebih cepat belanja pemerintah dibandingkan peningkatan Pendapatan Daerah. Sumber pembiayaan defisit baik pada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota berasal dari SiLPA dan sumber-sumber lainnya sebagaimana diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004.
53
Bab 3 Pendapatan Daerah
54
3.6. Kesimpulan dan Rekomendasi
54
Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, namun penyumbang terbesar terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana Perimbangan. Hal ini berarti ketergantungan sumberdaya fiskal dari pemerintah pusat masih cukup besar. Implikasinya adalah masih perlunya peningkatan sumber-sumber PAD untuk menyelaraskan tujuan otonomi daerah khususnya pada pemerintah kabupaten/kota. Beberapa tindakan operasional yang terkait dengan peningkatan PAD ke depan antara lain: (i) Mengkaji dan memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru, (ii) Memperbaiki sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran, (iii) Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target yang berbasis pada potensi, (iv) Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara proporsional, (v) Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah, (vi) mengevaluasi efektifitas peraturan daerah (perda) yang terkait dengan upaya peningkatan PAD, (vii) mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif retribusi yang ditetapkan.
Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi untuk kabupaten/kota jumlahnya tidak signifikan. Hal ini disebabkan adanya DBH pajak umumnya bersumber dari pajak kendaraan dan pajak bumi bangunan yang diberikan ke provinsi. Untuk meningkatkan sumbersumber pendapatan daerah tersebut, disarankan beberapa tindakan operasional antara lain: (i) kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat kabupaten/kota, (ii) evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota.
Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cukup tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana Perimbangan. Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan per kapita dan PAD terbesar di antara kabupaten/kota lainnya dan pendapatan per kapita terendah adalah Kabupaten Bone. Kabupaten Selayar memiliki pendapatan per kapita yang tinggi tetapi didorong oleh Dana Perimbangan per kapita yang tinggi. Kabupaten/kota dengan populasi tertinggi cenderung memiliki pendapatan per kapita yang rendah. Implikasi kebijakan ke depan adalah daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus meningkatkan sumber PAD-nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil seperti Barru dan Bantaeng.
Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya SiLPA tahun anggaran berjalan. Sumber defisit lain dalam pembiayaan adalah pembayaran pokok utang yang jatuh tempo. Kebutuhan pendanaan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan masih relatif besar, sementara sumber penerimaan pemerintah yang ada selama ini masih relatif terbatas. Untuk itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas dalam mengelola utang sehingga tidak membuat daerah terjebak dalam utang. .
BAB 4 BELANJA DAERAH
55
56
Bab 4 Belanja Daerah
4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah Pada periode 2005-2010, total belanja daerah Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada tahun 2005, total belanja daerah sebesar Rp 8,7 triliun meningkat cukup signifikan menjadi Rp 18,3 triliun pada tahun 2010. Meskipun secara belanja pemerintah daerah meningkat setiap tahun, namun pertumbuhannya cukup berfluktuasi selama periode 2005-2010 yang secara rata-rata mencapai 17 persen per tahun. Pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 37 persen dan terendah sebesar 1,5 persen pada tahun 2009. Meskipun belanja Dekonsentrasi meningkat, tetapi belanja APBD pemerintah di Sulawesi Selatan sendiri menurun. Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 20,000 18,000
83 73
72
74
1,832
16,000 1,882 11,700
12,000 10,000
6,000
701 6,347 19
14,052
90 80
13,491
12,516
1,564
50
8,508
40 30 14
14
13
14
1,635
1,814
2,252
2,480
2,250
2,642
2005
2006
2007
2,000
17
2,776
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Kabupaten/Kota
70 60
15
4,000
-
12,826
72 2,638
77 1,632
Persen
Rp Miliar
14,000
8,000
75
Provinsi Porsi Provinsi Porsi Kabupaten
20 10 0
2008
2009
2010*
2011**
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P, 2011 APBD Pokok, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan NA, 2011.
Belanja pemerintah provinsi cenderung meningkat setiap tahun selama periode 2005-2010 kecuali pada tahun 2009. Pada tahun 2005, belanja pemerintah provinsi adalah Rp 1,6 triliun meningkat menjadi Rp 2.6 triliun pada tahun 2010, Penurunan belanja pemerintah provinsi yang terjadi pada tahun 2009 terutama disebabkan berkurangnya belanja di sektor pemerintahan umum, infrastruktur dan kesehatan. Penurunan terbesar dalam belanja di sektor pemerintahan umum terdapat pada belanja tidak terduga yang turun sebesar 85persen dari tahun 2008. Di sektor infrastruktur, penurunan terbesar terjadi pada belanja modal sebesar Rp 94 miliar dan di sektor kesehatan adalah belanja pegawai sebesar Rp 11 miliar. Selama periode 2005-2010, rata-rata porsi belanja pemerintah provinsi terhadap total belanja di Sulawesi Selatan tidak termasuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebesar 83 persen per tahun dan rata-rata pertumbuhan belanja pemerintah provinsi selama periode tersebut sebesar Rp 10,68 persen per tahun. Sebagian besar belanja daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Porsi belanja daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata 74 persen pertahun, 15 persen dikelola oleh pemerintah provinsi dan selebihnya dana pemerintah pusat (dana dekonsentrasi dan tugas
56
Bab 4 Belanja Daerah
Dana APBN di Sulawesi Selatan yang dikelola oleh instansi vertikal tidak banyak berubah selama periode 2007-2010. Pada tahun 2007 dana APBN sebesar Rp 8,5 triliun meningkat menjadi Rp 10 triliun pada tahun 2009. Walaupun di tahun 2010 jumlahnya menurun, tetapi angka ini masih sementara. Rata-rata dana APBN yang dikelola oleh instansi vertikal di Sulawesi Selatan mencapai Rp 8,8 triliun per tahun.
Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi Selatan, 2007-2010 12 10.2 10 8.6
8.5
7.9
8 Rp Triliun
pembantuan) yang berada di Sulawesi Selatan sebesar 11 persen. Pada tahun 2005, total belanja pemerintah kabupaten/kota sebesar Rp 6,4 triliun meningkat tajam menjadi Rp 14 triliun pada tahun 2010. Peningkatan belanja pemerintah kabupaten/kota terutama diakibatkan oleh peningkatan belanja pegawai dengan rata-rata Rp 5,3 triliun dan belanja modal rata-rata Rp 2 triliun selama periode 2005-2010. Secara rata-rata, pertumbuhan belanja pemerintah kabupaten/kota sebesar 18 persen pertahun.
57
6 4 2 2007
2008
2009
2010*
Sumber: Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, 2011. Catatan: 2010 merupakan angka sementara.
Rupiah
Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 5,000,000 4,500,000 4,000,000 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 -
4,421,556
1,125,939
Sumber: Diolah dari APBD-P Kabupaten/Kota, 2010; BPS.
57
58
Bab 4 Belanja Daerah
Belanja per kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Tiga daerah yang memiliki belanja per kapita terbesar adalah juga yang pendapatan per kapitanya paling besar, antara lain Kota Pare-Pare, Kabupaten Selayar, dan Kabupaten Enrekang. Hal ini berarti setiap penduduk memperoleh alokasi belanja relatif lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang berada di kabupaten/kota lainnya. Begitu pula daerah yang belanja per kapitanya terkecil sesuai dengan pendapatan per kapitanya kecil, yaitu Makassar, Bone, dan Kabupaten Gowa. Belanja per kapita di Sulawesi Selatan lebih dipengaruhi jumlah penduduk daripada jumlah alokasi fiskal yang diperoleh.
4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi Belanja daerah di Sulawesi Selatan berdasarkan klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai dengan proporsi yang cenderung meningkat. Pada tahun 2005, porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah sebesar 45 meningkat menjadi 49 persen pada tahun 2010 atau secara rata-rata sebesar 46 persen per tahun selama periode 2005-2010. Tingginya porsi belanja pegawai di Sulawesi Selatan disebabkan oleh banyaknya jumlah pegawai negeri yang harus digaji seperti tergambar pada belanja tidak langsung dan banyaknya pembayaran honor pegawai terkait dengan sejumlah kegiatan dalam belanja langsung. Pada periode 2005-2010, belanja modal merupakan penyumbang terbesar kedua total belanja daerah di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2005, belanja modal sebesar Rp 1,8 triliun meningkat dua kali lipat menjadi Rp 3.7 triliun pada tahun 2010. Pada tahun 2005 hingga tahun 2008, porsi belanja modal terhadap total belanja cenderung meningkat dari 22 persen menjadi 29 persen. Kemudian pada dua tahun berikutnya, porsi belanja modal menurun hingga mencapai 22 persen pada tahun 2010. Meskipun porsi belanja modal terhadap total belanja daerah cenderung menurun pada tiga tahun terakhir, namun secara rata-rata mencapai 26 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan belanja barang dan jasa sebesar 18 persen dan belanja lainnya (transfer) sebesar 12 persen.
58
Bab 4 Belanja Daerah
59
6,000
1,761
4,000
1,674
2,000
3,631
2,982
4,423
4,043 2,757
2,187
2,318
2,865
10%
12%
13%
22%
29%
29%
29%
70% 60%
21%
50%
2,476
22%
16%
15%
38%
43%
43%
2008
916
4,051
80%
11%
2007
8,000
1,077
2,967
90%
10%
13%
27%
22%
17%
17%
46%
49%
52%
30%
2,294 6,066
6,509
6,766
12% 18%
18%
40%
8,109
8,487
20%
45%
10%
3,969
0%
Pegawai
Barang dan Jasa
Modal
2011**
2010*
2009
2008
2007
2006
2005
0
Lain-Lain
2005
Rp Miliar
10,000
3,734
1,481
1,649
12,000
1,948
2006
2,056
14,000
2,096
2011**
100%
16,000
2010*
18,000
2009
Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011
Pegawai
Barang dan Jasa
Modal
Lain-lain
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Pada level provinsi, porsi belanja transfer mendominasi total belanja pemerintah Sulawesi Selatan. Pada tahun 2005 porsi belanja transfer sebesar 30 persen meningkat menjadi 42 persen pada tahun 2010. Porsi alokasi belanja pegawai menduduki urutan kedua terbesar dari total belanja pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 26 persen setiap tahun. Meskipun secara rata-rata porsi belanja pegawai cukup besar, namun cenderung menurun dari 29 persen pada tahun 2005 menjadi 2 persen pada tahun 2010. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya belanja transfer pemerintah provinsi adalah alokasi dana ke kabupaten/kota untuk kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis. Porsi belanja modal pada tingkat provinsi lebih kecil dan cenderung menurun dibandingkan dengan belanja barang dan jasa. Porsi alokasi belanja modal terhadap total belanja pemerintah provinsi menurun dari 19 persen pada tahun 2005 menjadi 13 persen pada tahun 2010 atau secara rata-rata sebesar 16 persen per tahun. Porsi belanja klasifikasi ekonomi lainnya seperti belanja barang dan jasa menunjukkan perkembangan yang cukup berfluktuasi dengan kisaran rata-rata 22 persen per tahun. Komposisi belanja modal dan barang dan jasa antara provinsi dan kabupaten/kota berbanding terbalik. Hal ini disebabkan fungsi provinsi dalam mengkoordinasi menyebabkan lebih tingginya belanja perjalanan dinas dan pertemuan. Sementara di tingkat kabupaten, desentralisasi di sektor pendidikan dan kesehatan menyebabkan lebih luasnya tanggung jawab kabupaten/kota dalam menyediakan fasilitas.
59
60
Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 Provinsi
Kabupaten/Kota
100% 100%
90% 80%
30%
32%
39%
40%
36%
42%
41%
70% 60%
17%
22%
25%
30%
17%
14%
20%
20%
14% 22%
13%
12%
80%
23%
22%
20%
60%
8%
31%
31%
32%
21% 22%
50%
5%
7%
30%
24%
16%
29%
26%
23%
26%
28%
6%
26%
0%
17%
14%
47%
49%
53%
58%
46%
2007
2008
2009
2010*
2011**
40%
20%
24%
16%
19%
15%
30%
20% 10%
6%
70%
19%
50% 40%
6%
7%
90%
50%
41%
10% 0%
2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** Pegawai
Barang dan Jasa
Modal
Transfer (Lainnya)
2005 Pegawai
2006
Barang dan Jasa
Modal
Transfer (Lainnya)
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Belanja pegawai mendominasi alokasi belanja di kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, porsi belanja pegawai terhadap total belanja kabupaten/kota rata-rata 45 persen per tahun, sementara porsi belanja modal rata-rata 25 persen per tahun. Sejak tahun 2006, porsi belanja pegawai terhadap total belanja kabupaten/kota mengalami peningkatan setiap tahun dari 41 persen menjadi 53 persen pada tahun 2010, sementara porsi belanja modal terhadap total belanja kabupaten/kota menurun dari 31 persen pada tahun 2006 hingga menjadi 24 persen pada tahun 2010. Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja per kabupaten/kota cukup besar dan bervariasi. Selama periode 2005-2010, hampir semua kabupaten/kota kecenderungan mengalami peningkatan proporsi belanja pegawai. Pada tahun 2010, terdapat 15 kabupaten/kota yang mempunyai proporsi belanja pegawai diatas 50 persen dan diantara ke-15 kabupaten tersebut, Kabupaten Soppeng, Makassar dan Kota Palopo mengalokasikan anggaran diatas 60 persen dari total belanja daerah masingmasing. Pada tahun anggaran 2011, proporsi belanja pegawai pada setiap kabupaten/kota semakin membengkak hingga mencapai diatas dari 50 persen kecuali Kabupaten Luwu Timur. Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa mengalokasikan anggaran belanja pegawai diatas dari 70 persen dari total belanja daerahnya.
60
Bab 4 Belanja Daerah
61
4.3. Belanja Menurut Sektor Berdasarkan klasifikasi sektor, belanja pemerintahan umum (di luar transfer) menduduki urutan pertama terbesar dari seluruh sektor. Belanja pemerintahan umum (tidak termasuk transfer) meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 2,7 triliun pada tahun 2005 hingga menjadi Rp 4,4 triliun pada tahun 2010. Porsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja pemerintah (provinsi dan kebupaten/kota) mencapai rata-rata 27 persen per tahun. Pada periode yang sama, porsi belanja sektorsektor infrastruktur rata-rata 16 persen, 25 persen untuk sektor pendidikan dan selebihnya terdistribusi pada sektor-sektor yang lain. Meskipun belanja pemerintahan umum mendominasi belanja sektor pemerintah daerah, namun proporsinya terhadap total belanja daerah cenderung menurun hingga tahun 2010. Belanja sektor pendidikan menempati urutan kedua terbesar selama periode 2005-2010. Belanja pendidikan meningkat tajam dari Rp 1,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 5,2 triliun pada tahun 2010 atau meningkat sebesar Rp 3,5 triliun. Porsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah juga cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata mencapai 25 persen pertahun. Tingginya proporsi belanja pendidikan mengindikasikan besarnya perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan berdasarkan Sektor, 2007-2011 100%
18,000
90% 16,000
2,096 2,056
14,000
1,948
1,481 1,739
Miliar Rp
12,000 1,378 1,077
1,218
916
839
3,509
658 1,668
2,030
10,000 8,000 6,000 4,000 2,000
1,754
1,625
1,530
10%
12%
13%
10%
13%
12%
8%
8%
9%
9%
10%
10%
10%
21%
20%
25%
24%
28%
31%
31%
18%
18%
18%
15%
13%
23%
22%
25%
2009
2010* 2011**
80% 70%
1,649
11%
60% 50%
3,703
4,159
5,138
5,001
40%
13%
17%
30% 2,474
2,743
2,703
2,476
2,065
1,049 2,676
3,290
3,600
2005
2006
2007
3,923
3,346
3,661
2009
2010*
4,042
Pemerintahan Umum Pendidikan Pertanian Lain-Lain
34%
32%
10%
26%
26%
2007
2008
0%
0 2008
20%
2011**
Infrastruktur Kesehatan Kelautan dan Perikanan Transfer
2005
2006
Pemerintahan Umum
Infrastruktur
Pendidikan
Kesehatan
Pertanian
Kelautan dan Perikanan
Lain-Lain
Transfer
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
61
62
Bab 4 Belanja Daerah
Belanja untuk sektor infrastruktur mengalami peningkatan hingga tahun 2008, namun dua tahun berikutnya cenderung menurun. Jumlah anggaran yang teralokasi pada sektor infrastruktur sebesar Rp 1 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 2,7 triliun pada tahun 2008. Pada tahun berikutnya, belanja sektor infrastruktur kembali menurun hingga Rp 2,5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan adanya pembangunan terminal dan landasan baru Bandara Sultan Hasanuddin yang selesai tahun 2008, di mana biaya pembebasan lahan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Porsi belanja untuk sektor infrastruktur terhadap total belanja daerah cenderung meningkat hingga pada tahun 2009, kemudian menurun pada tahun 2010. Meskipun porsi belanja sektor infrastruktur cenderung menurun, namun belanja sektor infrastruktur masih lebih tinggi dibandingkan dengan sektor strategis lainnya seperti sektor kesehatan dan sektor pertanian. Porsi belanja untuk sektor kesehatan secara rata-rata sebesar 9 persen dan sektor pertanian sebesar 3 persen per tahun. Pada tingkat provinsi, belanja terbesar adalah transfer ke daerah bawahan. Belanja pemerintahan umum meningkat dari Rp 401 miliar di tahun 2005 menjadi Rp 512 miliar pada tahun 2010 atau bertumbuh dengan rata-rata 22 persen per tahun. Penyebab utama tingginya belanja sektor pemerintahan umum dikontribusi terbesar oleh belanja pegawai dengan rata-rata Rp 173 miliar dan belanja barang dan jasa sebesar Rp 171 dan miliar selama periode 2005-2010. Meski demikian, belanja terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke daerah bawahan yang pada tahun 2010 mencapai dua kali lipat belanja pemerintahan umum (Rp. 1,1 triliun). Di tingkat kabupaten, belanja sektor pemerintahan umum (diluar transfer) menempati urutan tertinggi. Pada periode 2005-2010, belanja pemerintahan umum (di luar transfer) berfluktuasi namun menyerap anggaran cukup besar dari Rp 2,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 3,2 triliun pada tahun 2010 atau dengan rata-rata Rp 2,9 triliun. Proporsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja kabupaten/kota rata-rata 31 persen per tahun, selebihnya diserap oleh sektor infrastruktur dengan ratarata 17 persen, pendidikan rata-rata 29 persen dan selebihnya terserap pada sektor-sektor lainnya. Proporsi belanja pemerintah yang dialokasikan pada sektor-sektor strategis (Infrastruktur, Pendidikan, Kesehatan, Pertanian) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi belanja pada sektor pemerintahan umum. Selama periode 2005-2010, belanja pemerintahan umum pemerintah provinsi turun dari 25 persen menjadi 19 persen atau rata-rata menyerap anggaran 22 persen per tahun. Sementara gabungan sektor strategis pendidikan meningkat dari 28 persen menjadi 32 persen. Di tingkat kabupaten, belanja sektor strategis mengambil porsi yang lebih besar, rata-rata separuh dari total belanja. Sementara belanja pemerintahan umum menyerap sepertiga alokasi belanja Belanja sektor pendidikan pada pemerintah kabupaten/kota cenderung meningkat selama periode 2005-2010. Pada tahun 2005, belanja sektor pendidikan sebesar Rp 1,6 triliun meningkat hampir empat kali lipat menjadi Rp 5 triliun pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, belanja pendidikan bertumbuh cukup cepat dengan rata-rata 28persen pertahun. Seiring dengan percepatan pertumbuhan belanja pendidikan, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja kabupaten/kota juga memperlihatkan peningkatan cukup signifikan dari 25 persen pada tahun 2005 menjadi 36 persen pada tahun 2010. Peningkatan ini sejalan dengan belanja transfer pemerintah provinsi yang makin
62
Bab 4 Belanja Daerah
63
bertambah. Meski demikian perlu dicermati bahwa 75 persen belanja pendidikan justru dialokasikan untuk belanja pegawai . Gambar 4.7. Belanja Transfer Mendominasi Belanja Provinsi dan Cenderung Naik, Sementara di Kabupaten Proporsi Belanja Pendidikan Telah Melewati Belanja Pemerintahan. 3,000 39%
42%
40%
41%
40%
36%
2,500
14,000
41% 39%
12,000
35%
35%
32% 30% 2,000
1,100
1,000 888
1,500
45%
1,149
40%
33%
35%
10,000 30%
30%
27% 25%
805 25%
8,000
20%
6,000
25%
581 492
1,000
3,599 3,392
15% 4,000
1,585
0
0% 2005 2006 2007 2008 Pemerintahan Umum Pendidikan Pertanian Lain-Lain % Pertanian % Pendidikan % Transfer
2009
2010* 2011** Infrastruktur Kesehatan Kelautan dan Perikanan Transfer % Infrastruktur % Kesehatan % Pemerintahan Umum
4,052
4,893
20% 15% 10%
2,000
Rp miliar
5%
5,028
1,913
10% 500
Rp miliar
45% 40%
5%
0
0% 2005 2006 2007 2008 Pemerintahan Umum Pendidikan Pertanian Lain-Lain % Pertanian % Pendidikan % Transfer
2009 2010* 2011** Infrastruktur Kesehatan Kelautan dan Perikanan Transfer % Infrastruktur % Kesehatan % Pemerintahan Umum
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Belanja sektor infrastruktur pada pemerintah kabupaten/kota juga memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan. Belanja sektor infrastruktur (gabungan belanja perumahan, perhubungan, dan pekerjaan umum) meningkat dari Rp 875 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 2 triliun pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata sebesar 23 persen. Proporsi belanja pemerintah kabupaten/kota untuk pengembangan infrastruktur berfluktuasi dan menurun menjadi 15 persen pada tahun 2010 dibandingkan dengan 19 persen pada tahun 2009. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur besar banyak yang berada dalam kewenangan provinsi, sementara biaya pemeliharaan diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Dengan membandingkan belanja sektor-sektor lainnya, sektor infrasruktur menempati urutan ketiga setelah pendidikan dan pemerintahan umum. Belanja sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan menyerap alokasi anggaran yang relatif kecil. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi belanja untuk sektor pertanian terhadap total belanja kabupaten/kota hanya berkisar rata-rata 3 persen pertahun dan rata-rata 4 persen per tahun pada
63
64
Bab 4 Belanja Daerah
pemerintah provinsi. Belanja sektor pertanian dengan rata-rata 49 persen per tahun.
sebagian besar dialokaikan untuk belanja pegawai
4.4. Hubungan Belanja dengan Gender Anggaran yang responsif gender di Sulawesi Selatan memperlihatkan pola kecenderungan yang meningkat, meskipun dengan proporsi yang sangat kecil selama periode 2007-2010. Besaran anggaran responsif gender di Sulawesi Selatan dapat ditunjukkan oleh belanja untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai salah satu unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi pokok dalam pengimplementasian pengarusutamaan gender (PUG). Total belanja untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak sebesar Rp 555,5 juta pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 25,4 miliar pada tahun 2010 dan direncanakan meningkat menjadi Rp 32 miliar pada tahun anggaran pokok 2011. Porsi belanja pemberdayaan perempuan (Provinsi+Kabupaten/Kota) terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan berada pada kisaran 0 – 0,19 persen atau secara rata-rata 0,10 persen pertahun selama 2007-2010. Pada level provinsi, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan meningkat dalam kurung waktu 2009-2010. Pada tahun 2010, besaran anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan berkisar Rp 5,2 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 5,59 miliar pada tahun 2011. Pada pemerintah provinsi, porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja pemerintah Sulawesi Selatan sebesar 0,01 persen pada tahun 2009 dan 0,20 persen pada tahun 2010. Kecilnya porsi anggaran terkait PUG tentu saja tidak memberi dampak besar terhadap keberhasilan strategi PUG. Upaya untuk mendorong kesetaraan dan keadilan gender harus diiringi oleh penganggaran yang cukup memadai. Komponen belanja yang terbesar adalah belanja pegawai dengan jumlah anggaran yang terserap di atas 50 persen, disusul oleh belanja barang dan jasa dengan besaran anggaran yang terserap sekitar 40 persen, selebihnya untuk belanja modal.
64
Bab 4 Belanja Daerah
65
Gambar 4.10. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011 Provinsi
Kabupaten/Kota
0.05
27.55
10.00 5.00 -
2011**
2010*
-
2009
2007
-
0.01 0.15
2008
1
0.09
26.43 20.23
0.10 0.05
10.96 0.00 0.56
2011**
2
0.10
0.15
15.00
2009
5.59
0.20
0.14
20.00
2008
5.22
0.20
Persen
0.15
3
0.25
0.22
2010*
25.00
Persen
Rp Miliar
0.20
0.20
4
0
30.00
Rp Miliar
0.20
5
0.25
2007
6
Belanja Pemberdayaan Perempuan
Belanja Pemberdayaan Perempuan
% terhadap total belanja
% terhadap total belanja
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Pada pemerintah Kabupaten/Kota, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga memperlihatkan kecenderungan meningkat kecuali pada tahun 2010. Pada tahun 2007, belanja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebesar Rp 0,56 miliar meningkat menjadi Rp 27,5 miliar pada tahun 2009 dan menurun drastis menjadi Rp 20,23 miliar pada tahun 2010. Porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja kabupaten/kota meningkat hingga mencapai 0,22 persen tahun 2009, akan tetapi pada tahun 2010 menurun menjadi 0,14 persen. Penurunan anggaran sektor pemberdayaan perempuan tahun 2010 terutama disebabkan oleh perubahan struktur organisasi daerah. Badan pemberdayaan perempuan sebelum tahun 2010 masih berada dalam lingkungan Sekretariat Daerah kemudian dengan struktur organisasi yang baru bergabung kedalam Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Pada pemerintah provinsi, alokasi belanja pegawai hampir berimbang dengan alokasi belanja barang dan jasa, sementara pada pemerintah kabupaten/kota, belanja pegawai lebih dominan. Pada tahun 2010, alokasi belanja pegawai pada pemerintah provinsi sebesar Rp 2,38 miliar dan pada tahun anggaran 2011 diperkirakan meningkat menjadi Rp 2,87 miliar, sementara belanja barang dan jasa, pada tahun 2010 sebesar Rp 2,37 miliar dan Rp 2,31 miliar pada tahun 2011. Pada pemerintah kabupaten/kota, belanja pegawai sebesar Rp 12,71 miliar dan Rp 19,50 miliar pada tahun 2011, sementara belanja barang dan jasa hanya berkisar Rp 5,03 miliar.
65
66
Bab 4 Belanja Daerah
Gambar 4.11. Belanja klasifikasi ekonomi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Sulawesi Selatan, 2010-2011 Provinsi
Kabupaten/Kota
3.50
25.00 2.87
3.00
2.00
Rp Miliar
Rp Miliar
2.50
20.00
2.38 2.31
2.37
1.50
15.00
19.50
12.71
10.00
1.00 0.48 0.41
0.50 -
5.03 4.71
5.00
2.48 2.21
Pegawai
Barang dan Jasa
2010*
Modal
2011**
Pegawai
Barang dan Jasa
2010*
Modal
2011**
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.
Belanja untuk program-program utama yang responsif gender pada Badan Pemberdayaan Perempuan di Provinsi Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, program yang menyerap anggaran cukup besar adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan perempuan dengan anggaran sebesar Rp 692,1 juta, kemudian diikuti pada urutan kedua oleh program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan dengan anggaran sebesar Rp 372,45 juta dan urutan ketiga ditempati oleh program perlindungan anak dengan anggaran sebesar Rp 262 juta. Porsi anggaran yang relatif lebih tinggi pada tiga program tersebut dari program lainnya, mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah untuk memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak cukup tinggi. Pada tahun 2011, penguatan kelembagaan perempuan meskipun besaran alokasi anggaran menurun, namun masih tetap memperoleh alokasi anggaran lebih tinggi dibandingkan dengan programprogram lainnya.
66
Bab 4 Belanja Daerah
67
Gambar 4.12. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat Provinsi Bervariasi Program Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi 156.42 217.6
Keserasian Kebijakan Pengarusutamaan gender Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan gender
131.33
292.92 426.98 372.45
Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan 263.96 262.05
Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan anak
424.34
Penguatan dan Pengembangan Kelembagaan Perempuan
692.1
96.79 133.15 157.45 99.3 56.51 174.55
Keluarga Berencana Kesehatan reproduksi remaja Peningkatan kualitas pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak Pengembangan Data/informasi kependudukan dan keluarga
161.3 0
2011**
200 2010*
345.94 400
600
800
Rp Juta
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok (dalam Juta Rp).
4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode 2005-2010. Hal ini mengindikasikan peran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Akan tetapi, masih terdapat kecenderungan peningkatan belanja pemerintah daerah tidak diikuti oleh pengelolaan belanja yang berkualitas yang tercermin pada ketimpangan belanja yang cukup besar baik berdasarkan klasifikasi ekonomi, sektor maupun berdasarkan fungsi. Untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi dalam pengalokasian belanja, maka pengelolaan keuangan daerah yang terdiri dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi masih perlu mendapat perhatian lebih serius.
Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota relatif sangat besar, sementara proporsi belanja modal masih relatif kecil. Besarnya proporsi belanja pegawai dari total belanja menandakan banyaknya jumlah pegawai yang harus digaji di daerah termasuk pegawai di Provinsi dan pegawai di Kabupaten/Kota. Untuk perspektif ke depan, proporsi belanja pegawai sedapat mungkin dikurangi sehingga proporsi belanja modal dapat lebih ditingkatkan. Terkait dengan itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan yaitu: (i) Pemerintah daerah dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) 2-3 tahun kedepan, (ii) dapat melakukan penambahan tenaga teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan, tenaga kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai negeri yang pensiun.
67
Bab 4 Belanja Daerah
68
68
Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa rekomendasi kebijakan antara lain: (i) Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup dengan melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kabupaten/kota yang rasio guru murid lebih baik ke daerah kab/kota yang kurang baik, (ii) Kebijakan pemberian sertifikasi guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan dan pemberian sanksi terhadap guru yang telah menerima tetapi belum menunjukan peningkatan kinerja (kualitas pelayanan pendidikan) ke tingkat yang lebih baik
Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor pendidikan, infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi belanja paling besar sementara sektor kesehatan dan pertanian memperoleh alokasi yang relatif lebih kecil. Terkait dengan itu, beberapa rekomendasi kebijakan antara lain: (i) Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektorsektor strategis seperti kesehatan dan pertanian perlu ditingkatkan ke tingkat yang lebih signifikan, (ii) Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi (pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga kerja, kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya dengan jumlah yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Alokasi belanja yang terkait dengan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Sulawesi Selatan masih sangat kecil. Rendahnya alokasi anggaran yang responsif gender disebabkan oleh beberapa hal antara lain; (i) masih rendahnya komitmen penentu kebijakan terkait dengan implementasi strategi PUG; (ii) penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender oleh SKPD belum sepenuhnya dilakukan. Untuk meningkatkan proporsi belanja yang terkait dengan program-program pembangunan yang responsif gender, direkomendasikan beberapa hal: (i) Perlu peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing-masing SKPD terkait dengan implementasi strategi Pengarusutamaan Gender (PUG), (ii) Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan/pendampingan terkait PUG agar anggaran yang disusun responsif gender. (iii) perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif gender pada seluruh SKPD terkait.
BAB 5 ANALISIS SEKTOR STRATEGIS
69
70
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.1. Analisis Sektor Pendidikan Pemerintah Sulawesi Selatan telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013, sektor pendidikan bersama dengan sektor kesehatan menempati agenda pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk memastikan bahwa semua anak yang berada pada usia sekolah benar-benar duduk di bangku sekolah, pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008 telah mengimplementasikan kebijakan pendidikan gratis di seluruh kabupaten/kota. Bersamaan dengan itu, juga telah dikembangkan berbagai kebijakan lainnya seperti peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, promosi pendidikan, pemberantasan buta aksara, dan pengembangan budaya baca.
5.1.1 Belanja Sektor Pendidikan Secara riil, proporsi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan sudah di atas 20 persen dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah sudah mencapai 31 persen, padahal tahun 2005 baru mencapai 21 persen. Belanja sektor pendidikan yang meningkat lebih cepat dibandingkan dengan total belanja daerah menyebabkan proporsi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja daerah terus membesar. Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 18
31%
16
28%
Triliun Rp
21%
30%
24%
25%
20% 20%
10 8
15.3
14.0
6
16.7
14.8
16.3
15% 10%
10.3
4 2
35%
8.0 1.7
2.0
3.5
3.7
4.1
5.1
5.0
Proporsi Belanja Pendidikan
25%
14 12
31%
5% 0%
0 2005
2006
2007
Total Belanja Pendidikan Riil
2008
2009
2010*
Total Belanja Dearah Riil
2011** % Belanja Pendidikan
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
Belanja untuk sektor pendidikan di Sulawesi Selatan meningkat tiga kali lipat selama periode 20052011. Pada tahun 2005, total belanja riil sektor pendidikan sebesar Rp 1,7 triliun dan meningkat menjadi
70
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
71
Rp 5,0 triliun pada tahun 2011. Belanja pendidikan kabupaten/kota berkontribusi besar bagi peningkatan total belanja pendidikan di Sulawesi Selatan. Secara riil, belanja pendidikan kabupaten/kota meningkat rata-rata 34 persen per tahun, sedangkan belanja pendidikan provinsi hanya meningkat 5 persen per tahun. Proporsi belanja pegawai relatif sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 70 persen dari total belanja sektor pendidikan. Meskipun proporsinya relatif fluktuatif namun menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2010, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan mencapai 80 persen. Dengan kata lain, lebih dari empat per lima dari total belanja pendidikan diperuntukkan untuk belanja pegawai. Padahal tahun 2006 proporsinya masih berada pada angka 67 persen. Peningkatan proporsi belanja pegawai telah menyebabkan penurunan proporsi belanja modal. Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 6,000
90%
Proporsi Belanja Riil
76%
80%
5,000
70%
1,000 0
205 133 12% 1,324 8%
908
2005 Pegawai
75%
80%
664
70%
561
60% 50%
363
215
40% 4,125
476 23%
624 717
604 236
3,000
74% 390
67%
4,000
2,000
80%
2,669 17%
1,361 9%
25% 2,581
12%
17%
7%
3,775
3,069 9%
6%
13% 11%
30% 20% 10%
8% 0%
2006 Barang dan Jasa
2007
2008 Modal
% Pegawai
2009
2010* % Barang dan Jasa
2011** % Modal
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
Proporsi belanja modal terhadap total belanja sektor pendidikan di kabupaten/kota relatif lebih besar dibandingkan dengan di provinsi. Pada tahun 2010, proporsi belanja modal di kabupaten/kota mencapai 12 persen dari total belanja pendidikan, sedangkan provinsi hanya 8 persen. Namun demikian, proporsi belanja pegawai di provinsi relatif lebih rendah, yaitu hanya 64 persen dari total belanja pendidikan, sedangkan kabupaten/kota mencapai 81 persen. Untuk belanja barang dan jasa, kabupaten/kota mengalokasi sekitar sepertiga, sedangkan provinsi hanya 7 persen dari total belanja pendidikan masing-masing.
71
72
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 Kabupaten/Kota
Provinsi 2%
12% 7% 34%
64% 81%
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan.
5.1.2 Kinerja Keluaran Sektor Pendidikan Rasio sekolah-murid pada semua jenjang pendidikan relatif konstan selama periode 2005-2010 dan berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2010, untuk jenjang pendidikan SD, setiap sekolah ratarata mampu menampung 165 murid. Untuk jenjang pendidikan SMP, setiap sekolah rata-rata mampu menampung 252 murid. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA, setiap sekolah rata-rata mampu menampung 336 murid. Keseluruhan angka ini hampir sama dengan kinerja yang dicapai pada tahun 2005. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, keseluruhan capaian Sulawesi Selatan sudah relatif lebih baik dibandingkan dengan capaian Nasional. Berbeda dengan rasio sekolah-murid, rasio guru-murid pada semua jenjang pendidikan menunjukkan perbaikan selama periode 2005-2010. Pada tahun 2010, untuk jenjang pendidikan SD, setiap guru harus melayani 15 murid. Untuk jenjang pendidikan SMP, setiap guru harus melayani 12 murid. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA, setiap guru harus melayani 12 murid. Jika dibandingkan dengan angka rata-rata Nasional, rasio guru-murid untuk jenjang pendidikan SD dan SMP di Sulawesi Selatan sudah lebih baik dibandingkan dengan rata-rata Nasional, namun untuk jenjang pendidikan SMA relatif lebih tinggi. Gambaran ini mencerminkan adanya kebutuhan untuk menambah tenaga guru pada jenjang pendidikan SMA, tetapi tidak pada jenjang pendidikan SD dan SMP.
72
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
73
Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 400
25
21.7
350
21.2 18.9
250
14
14.4
13.4
13.9
15.1
15.3
12.1
12
11.7
12.1
15
14.9
200 150
20
17.8
300
12.9
13
12.5
10
100
5
50 170 243 298
160 251 305
161 248 292
165 227 331
168 242 346
165 252 336
2005
2006
2007
2008
2009
2010
0
0
Rasio Sekolah-Murid SD
Rasio Sekolah-Murid SMP
Rasio Sekolah-Murid SMA
Rasio Guru-Murid SD
Rasio Guru-Murid SMP
Rasio Guru-Murid SMA
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan Dalam Angka.
5.1.3 Kinerja Hasil Sektor Pendidikan Angka Partisipasi Sekolah (APS) Sulawesi Selatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan APS Nasional pada semua jenjang pendidikan. Pada tahun 2010, APS SD/MI (6-12 tahun), SMP/MTs (13-15 tahun) dan SMA/SMK/MA (16-18 tahun) Sulawesi Selatan masing-masing sebesar 97 persen, 83 persen, dan 53 persen, padahal secara Nasional sudah mencapai masing-masing 98 persen, 86 persen, dan 53 persen. Perempuan memiliki tingkat APS yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada semua kelompok umur menurut jenjang pendidikan. Kecuali perempuan pada kelompok umur 16-18 tahun (jenjang pendidikan SMA/SMK/MA), rata-rata seluruh APS, baik lakilaki maupun perempuan, pada semua jenjang pendidikan menunjukkan peningkatan selama periode 2006-2009.
Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*)
53 56
16-18 Tahun
Sulsel Indonesia 83 86
13-15 Tahun
97 98
6-12 Tahun
0
20
40
60
80
100
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Catatan: *) Angka sementara.
73
74
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009 Tahun
7-12 tahun (SD/MI)
13-15 tahun (SMP/MTs)
16-18 tahun (SMA/SMK/MA)
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
2006
94,53
95,66
77,18
79,69
49,58
52,25
2007
94,79
95,75
77,12
79,74
49,65
53,06
2008
95,31
95,95
77,16
79,89
49,98
53,06
2009
95,93
97,19
79,86
82,04
51,30
51,94
Sumber: BPS.
Selama periode 2006-2010, angka rata-rata lama sekolah menunjukkan peningkatan yang konsisten, namun masih berada di bawah angka Nasional. Pada tahun 2006, rata-rata lama sekolah masih 7 tahun dan meningkat menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Angka ini masih berada di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah mencapai 7,9 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk Sulawesi Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I SMP dan putus sekolah sebelum naik ke kelas II SMP. Namun kesenjangan (gap) antara capaian Sulawesi Selatan dan Nasional tampak semakin tipis dari tahun ke tahun sebagai akibat peningkatan rata-rata lama sekolah Sulawesi Selatan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan Nasional. Pada tahun 2006, jarak antara Sulawesi Selatan dan Nasional hanya 0,2 poin dan mengecil menjadi 0,1 poin empat tahun kemudian. Jika situasi ini terus berlanjut, maka angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan akan tampak semakin baik dibandingkan dengan angka Nasional. Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010 8.00
7.90 7.80
7.80
7.70
7.60
7.50 7.40
7.40
Tahun
7.40
7.30 7.20
7.20
7.20 7.00
7.00 6.80 6.60 6.40 2006
2007
2008 Indonesia
2009
Sulsel
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Catatan: *) Angka sementara.
74
2010*)
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
75
Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 94 92
90.91
92.91
92.58
92.19
91.87
91.45
90 88 85.70
86
87.75
87.02
86.53
86.24
Indonesia
84.60
Sulsel
84 82 80 2005
2006
2007
2008
2009
2010*)
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia. Catatan: *) Angka sementara.
Angka melek huruf di Sulawesi Selatan memiliki kesenjangan yang cukup tajam dengan angka Nasional serta pergerakan naik yang sangat lamban. Pada tahun 2010, angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Sulawesi Selatan hanya sebesar 87,75 persen. Artinya, setiap sepuluh penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya buta huruf. Meskipun angka ini sudah lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih berada jauh di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah berada di sekitar 93 persen. Angka melek huruf Sulawesi Selatan juga meningkat sangat lamban, perbandingan angka melek huruf laki-laki masih cukup jauh dengan angka melek huruf perempuan. Pada tahun 2005 angka melek huruf laki-laki 87,30 persen, sedangkan perempuan hanya sebesar 82,2 persen. Pada tahun 2010 pun masih di sekitar yang sama untuk angka melek huruf perempuan 85,54 persen, sedangkan laki-laki sudah mencapai 90,21 persen. Gambar 5.8. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*) 120 100
92.91
87.75
80 60 40
DKI…
Sulut
Riau
Maluku
Kalteng
Sumut
Sumsel
Kep. Riau
Kaltim
Sumbar
NAD
Banten
Malut
Jabar
Sulteng
Kalsel
Gorontalo
Babel
Jambi
Papua…
Bengkulu
Lampung
Sultra
Indonesia
DIY…
NTT
Jateng
Bali
Sulbar
Jatim
NTB
Sulsel
Papua
0
Kalbar
20
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia. Catatan: *) Angka Sementara.
75
76
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.9. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010 92 90.29 89.41
90
90.21
89.23
88.32
Persen
88
87.30 85.54
86 84.15 83.30
84
Laki-Laki
84.19
83.42
Perempuan
82.20
82 80 78 2005
2006
2007
2008
2009
2010*)
Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia. Catatan: *) Angka Sementara.
Angka melek huruf di Sulawesi Selatan menempati posisi ketiga terendah di Indonesia, sesudah Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta terendah secara regional (Pulau Sulawesi). Posisi ini bahkan tidak berubah dalam enam tahun terakhir. Ketika Sulawesi Selatan mencatat angka melek huruf 87,75 persen pada tahun 2010, Sulawesi Utara sudah mencatat angka 99,30 persen yang merupakan angka tertinggi secara Nasional. Ini mengindikasikan perlunya melakukan intervensi secara serius terhadap penduduk buta huruf di Sulawesi Selatan. Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Rata-rata pengeluaran rumah tangga Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi untuk pendidikan antar kelompok Selatan, 2005-2009 pendapatan menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Pada tahun 2005, Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 2005 236,450 289,374 423,126 611,534 1,282,641 kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 2006 205,492 297,089 422,185 758,488 1,925,791 5) mengeluarkan anggaran untuk 2007 240,271 318,568 416,976 638,571 1,476,404 pendidikan sebesar enam kali lipat dari kelompok rumah tangga termiskin 2008 426,744 518,343 676,021 837,362 1,465,555 (kuintil 1). Meskipun rasio tersebut 2009 673,537 861,314 1,026,990 1,353,976 3,025,199 membaik pada tahun 2009, dimana Sumber: Estimasi staf Bank Dunia dari Susenas 2009. kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar lima kali lipat dari kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1), namun secara absolut kesenjangan antar kelompok pendapatan tampak semakin besar. Secara absolut, pada tahun 2009, setiap rumah tangga termiskin membelanjakan Rp 673.538 untuk pendidikan, sementara rumah tangga terkaya membelanjakan Rp 3.025.199 untuk hal yang sama.
76
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
77
5.1.4 Analisis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan hampir sepertiga belanja daerahnya untuk sektor pendidikan. Secara riil per kapita , Kota Pare-pare menempati urutan teratas dalam belanja pendidikan, sedangkan Kabupaten Bone menempati urutan terbawah. Pada tahun 2010, Kota Pare-pare mengalokasikan Rp 1.245.430 untuk sektor pendidikan per kapita, sedangkan Kabupaten Bone hanya mengalokasikan Rp 287.220,-. Sedangkan Kabupaten Jeneponto menempati urutan teratas dengan mengalokasikan hampir setengah dari total belanja daerahnya untuk sektor pendidikan. Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010
Kab. Bone
Kota Makassar
Kab. Wajo
Kab. Gowa
Kab. Luwu Utara
Kab. Tator
Kab. Luwu Timur
Kab. Luwu
Kab. Bulukumba
Kab. Maros
Kab. Pinrang
Kab. Soppeng
Kab. Sinjai
Kab. Jeneponto
Kab. Takalar
Kab. Sidrap
Kab. Selayar
Kab. Pangkep
Kab. Bantaeng
Kab. Barru
Kab. Enrekang
287
Kota Palopo
Kota Parepare
Ribu Rp
Belanja Pendidikan Riil Per Kapita 1,400 1,245 1,200 1,000 800 600 400 200 0
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
87%
89% 80% 84% 79% 76% 82% 87% 82% 82% 79% 85% 78%
% Belanja Pegawai
83% 62%
% Belanja Barang dan jasa
68%
82% 77% 86% 78% 78% 83% 76%
% Belanja Modal
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
77
78
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Belanja pegawai mendominasi belanja pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Secara rata-rata, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan mencapai 80 persen. Kabupaten Bone mencatat proporsi belanja pegawai yang relatif paling kecil (62%), dan sebaliknya Kabupaten Sinjai menunjukkan proporsi belanja pegawai yang relatif paling besar (89%). Untuk belanja modal, Kota Makassar menunjukkan proporsi yang relatif paling kecil (7%), dan sebaliknya Kabupaten Bone memperlihatkan proporsi yang relatif paling besar (58%). Rasio murid-sekolah (RMS) dan rasio murid-guru (RMG) untuk setiap jenjang pendidikan relatif bervariasi antar kabupaten/kota. Untuk tingkat SD, Kabupaten Soppeng mencatat RMS dan RMG yang paling rendah dan Kota Makassar yang paling tinggi. Untuk tingkat SMP, Kabupaten Selayar mencatat RMS dan RMG terendah dan Kota Palopo tertinggi untuk RMS dan Kabupaten Luwu Utara tertinggi untuk RMG. Sedangkan untuk tingkat RMS dan RMG SMA, Kabupaten Maros terendah dan Kabupaten Luwu tertinggi. Gambaran ini mengindikasikan perlunya pemerataan dan sebaran sekolah dan guru antar kabupaten/kota. Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/Kota Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Toraja Utara Kota Makassar Kota Pare Pare Kota Palopo
RMS SD
RMG SD
RMS SMP
RMG SMP
RMS SMA
RMG SMA
110,66 141,80 196,47 184,67 151,89 198,41 136,72 168,61 137,67 105,54 138,31 104,51 106,27 222,71 153,08 145,02 204,58 167,67 192,02 225,33 208,51 263,80 188,68 251,85
14,05 12,26 11,01 17,42 10,87 16,73 11,84 14,45 12,89 10,51 14,13 8,87 16,21 19,88 13,85 14,92 16,69 15,78 15,82 21,28 17,82 27,65 12,57 15,58
133,77 219,49 306,55 200,63 279,71 234,25 238,02 249,43 250,42 221,38 232,59 251,29 276,31 286,20 339,20 251,97 233,00 191,22 234,90 315,11 234,00 286,24 325,00 379,52
7,91 11,84 12,09 15,09 10,88 11,18 11,40 11,03 10,33 9,60 11,95 9,73 10,66 11,23 15,89 8,25 11,50 10,29 19,43 15,01 19,13 13,76 10,66 11,84
253,00 459,44 596,50 372,31 405,50 368,05 351,63 246,40 291,29 474,29 503,50 355,08 397,50 382,43 498,13 361,87 551,37 320,25 418,00 379,45 404,25 345,86 429,63 395,54
12,49 17,30 13,71 16,69 10,78 11,93 10,46 8,31 11,96 13,61 13,33 9,49 11,00 10,93 15,72 11,88 19,44 10,48 14,67 8,73 17,33 16,48 9,99 9,42
Sumber: diolah dari Sulawesi Selatan Dalam Angka, BPS. Catatan: RMS=rasio murid-sekolah; RMG=rasio murid-guru.
Sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan rata-rata lama sekolah yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata provinsi. Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 17 di antaranya berada di bawah rata-rata provinsi, dan hanya enam kabupaten/kota yang berada di atas rata-rata provinsi. Daerah kota
78
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
79
memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten. Kota Makassar menempati urutan teratas (10,6 tahun), dan sebaliknya, Kabupaten Bantaeng menempati urutan terbawah (5.9 tahun). Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 10.60
Tahun Lama Sekolah
12 10 8
7.40 5.90
6 4 2 0
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri.
Daerah perkotaan memiliki angka melek huruf yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah kabupaten. Seluruh daerah kota di Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota ParePare, mencatat angka melek huruf tertinggi di Sulawesi Selatan. Sebaliknya, daerah kabupaten yang berada di wilayah selatan Sulawesi Selatan (Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Gowa, dan Takalar) justru menunjukkan angka melek huruf yang paling rendah. Informasi ini memberi arah bahwa penanganan penduduk buta huruf perlu dilakukan di daerah kabupaten, terutama di wilayah selatan Sulawesi Selatan. Gambar 5.13. Angka melek huruf menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2009 120 100
Persen
80
77.20
87.02
97.32
60 40 20 0
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri.
Secara umum, angka melek huruf laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada semua kelompok umur di kabupaten/kota. Kesenjangan paling jauh angka melek huruf tertinggi antara
79
80
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
laki-laki dengan perempuan terjadi pada kelompok umur 60 tahun ke atas. Pada beberapa kasus, angka melek huruf perempuan lebih baik dibandingkan dengan laki-laki, terutama pada kelompok umur 15-29 tahun. Ini menunjukkan di masa lalu akses perempuan terhadap pendidikan berkualitas masih lebih rendah daripada akses laki-laki. Tetapi pada generasi yang lebih muda terlihat lebih setara. Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 Kabupaten/Kota
15-29
30-44
45-60
60 ke atas
L
P
L
P
L
P
L
P
Selayar
98,7%
98,9%
94,8%
92,4%
88,6%
84,6%
73,7%
57,6%
Bulukumba
96,9%
96,6%
95,4%
89,2%
79,8%
77,8%
67,6%
43,7%
Bantaeng
92,4%
95,7%
79,8%
77,6%
78,1%
62,4%
60,1%
37,5%
Jeneponto
90,4%
94,8%
85,6%
79,8%
60,1%
55,0%
52,5%
34,3%
Takalar
96,2%
96,1%
88,9%
89,6%
73,1%
64,4%
58,1%
32,0%
Gowa
97,3%
96,5%
87,0%
83,1%
75,6%
63,4%
52,2%
33,3%
Sinjai
98,9%
98,6%
94,1%
93,4%
80,1%
75,2%
52,3%
37,9%
Maros
97,9%
97,1%
92,3%
81,9%
76,2%
54,9%
60,7%
25,0%
Pangkep
98,2%
98,9%
91,5%
89,2%
83,8%
71,9%
65,7%
51,8%
Barru
98,9%
98,8%
93,5%
94,2%
83,9%
83,9%
77,1%
57,4%
Bone
97,3%
98,3%
94,8%
89,6%
79,3%
73,5%
59,9%
43,4%
Soppeng
97,8%
99,3%
96,8%
96,6%
87,1%
82,1%
59,1%
47,6%
Wajo
96,5%
97,3%
92,0%
89,1%
81,3%
70,8%
64,6%
37,9%
Sidrap
99,1%
99,1%
94,1%
92,7%
79,3%
69,7%
54,6%
29,0%
Pinrang
99,4%
99,7%
96,9%
93,6%
91,8%
82,9%
76,6%
47,1%
Enrekang
99,0%
98,8%
98,1%
95,8%
87,1%
80,6%
71,7%
40,1%
Luwu
96,3%
97,0%
94,1%
94,8%
86,5%
78,6%
67,4%
45,8%
Tana Toraja
97,1%
98,0%
95,1%
89,6%
84,0%
76,9%
69,1%
48,0%
Luwu Utara
98,4%
99,4%
95,1%
92,2%
85,0%
73,2%
71,8%
47,9%
Luwu Timur
99,7%
97,4%
98,0%
96,8%
96,0%
80,4%
81,0%
57,8%
Makassar
99,8%
99,4%
98,3%
97,5%
95,5%
91,4%
92,5%
73,2%
Pare-Pare
100,0%
99,2%
96,9%
97,4%
94,8%
89,2%
88,0%
72,9%
Palopo
99,5%
99,3%
98,6%
97,1%
97,4%
92,0%
90,0%
75,9%
Sulawesi Selatan
97,8%
98,1%
93,9%
90,8%
83,9%
76,0%
67,8%
46,2%
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
Di tingkat kabupaten/kota, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan di kabupaten/kota, menunjukkan kesenjangan yang sangat bervariasi. Kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi, menunjukkan kesenjangan belanja pendidikan yang besar. Di Kabupaten Pangkep misalnya, yang merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sulawesi Selatan, belanja pendidikan kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) sebesar 6 kali dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Sidrap, yang merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan terendah di Sulawesi Selatan, belanja pendidikan kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) hanya sekitar 35 persen lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Secara absolut, rumah tangga termiskin di Kabupaten Selayar mengeluarkan
80
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
81
anggaran untuk pendidikan yang relatif paling besar (Rp 1,6 juta), dan sebaliknya, Kabupaten Maros yang relatif paling kecil (Rp 319 ribu). Dengan kata lain, beban belanja pendidikan rumah tangga miskin di Selayar jauh lebih berat dibanding rumah tangga miskin di Maros atau daerah lain Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 Kabupaten/Kota
Kuintil 1
Kuintil 2
Kuintil 3
Kuintil 4
Kuintil 5
1.634.910
2.093.789
1.641.826
2.298.767
2.988.902
Bulukumba
446.536
606.100
688.455
805.486
1.027.435
Bantaeng
476.008
494.070
673.027
1.007.042
2.121.994
Jeneponto
535.688
744.131
775.388
898.718
1.965.042
Takalar
436.606
573.299
649.058
1.035.340
2.816.831
Gowa
646.489
747.363
921.116
1.051.495
2.832.511
Sinjai
599.007
627.840
603.317
1.167.385
2.268.316
Maros
319.223
543.503
837.012
1.163.450
2.531.120
Pangkep
321.754
407.500
539.854
803.074
1.929.913
Barru
385.041
447.098
863.926
1.290.667
1.657.805
Bone
879.729
910.411
1.061.109
1.407.377
1.714.873
Soppeng
725.793
868.002
924.739
1.051.906
1.484.024
Wajo
614.030
751.011
837.756
1.416.800
2.324.109
Sidrap
855.456
807.019
1.139.197
1.117.655
1.188.042
Pinrang
743.691
772.508
1.191.576
1.109.996
1.780.194
Enrekang
522.448
787.213
847.590
1.195.532
1.281.045
Luwu
823.672
1.190.543
1.439.757
1.183.724
2.036.514
Tana Toraja
791.143
1.170.626
1.438.519
2.063.555
4.257.060
Luwu Utara
658.641
756.666
705.603
1.381.503
840.779
Luwu Timur
879.565
1.014.821
1.058.187
1.100.179
1.621.045
Makassar
768.492
736.174
1.340.752
1.490.257
3.700.023
Pare-Pare
951.032
1.055.324
1.150.990
1.342.745
1.967.513
Palopo
933.997
1.284.849
1.391.291
1.678.232
3.083.121
Selayar
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
5.1.5 Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan Dasar kebijakan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah RPJMD 2008-2013 yang menempatkan peningkatan kualitas manusia sebagai agenda pertama dimana kebijakan pendidikan gratis adalah salah satu pilar perwujudan agenda tersebut. Pendidikan gratis dan kesehatan gratis merupakan janji politik kepala daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, pendidikan gratis dan kesehatan gratis dituangkan dalam RPJMD 2008-2013 untuk mendukung visi “Sulawesi Selatan sebagai 10 Terbaik dalam Pemenuhan Hak Dasar”.
81
82
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan yang dalam penyelenggaraannya didasarkan pada kerangka regulasi yang lengkap dan dinamis guna mengatasi tantangan dibalik kompleksitas implementasinya. Landasan hukum penyelenggaraan pendidikan gratis adalah Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Gratis Di Provinsi Sulawesi Selatan” dengan pertimbangan utama bahwa ia merupakan wujud komitmen dan kepedulian pemerintah daerah dalam peningkatan akses dan kualitas pendidikan di Sulawesi Selatan. Pelaksanaannya setiap tahun didasarkan pada peraturan gubernur: pada tahun 2008-2009 digunakan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan; pada tahun 2010 didasarkan pada Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi Selatan; dan pada tahun 2011 didasarkan pada Pergub No. 06 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan. Dengan pengaturan yang diperbarui setiap tahun menunjukkan bahwa kebijakan ini berupaya merespons dinamika sebagai proses belajar dalam penyempurnaan pelaksanaannya. Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan KEBIJAKAN PENDIDIKAN GRATIS
PERATURAN DAERAH)
NOTA KESEPAHAMAN PROV-KAB/KOTA
ANGGARAN PROVINSI (40%)
REKENING KAS DAERAH KAB./KOTA
ANGGARAN KAB./KOTA (60%)
JUKLAK (PERGUB)
TIM PENGENDALI PROVINSI
TIM PENGENDALI KAB./KOTA
VERIFIKASI DINAS PDDK KAB./KOTA
PROPOSAL/ USULAN SEKOLAH
KOMITE SEKOLAH
PENCAIRAN ANGGARAN (SEKOLAH)
MONEV DINAS PDDK KAB./KOTA
PEMANFAATAN ANGGARAN (SEKOLAH)
Sumber: Diolah dari Peraturan Gubernur.
Prinsip dasar, tujuan, strategi dan organisasi penyelenggaraan pendidikan gratis terarah pada perbaikan kualitas manusia Sulawesi Selatan dalam suatu sinergi pemerintahan dan gerakan masyarakat. Dengan prinsip dasar bahwa “semua anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan
82
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
83
dasar dan menengah”, bahwa “bagi anak usia sekolah yang tidak ikut pendidikan maka pemerintah daerah wajib menyurati orang tuanya”, dan bahwa “biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah”; dan bahwa tujuan pendidikan gratis bukan hanya pada pemerataan tetapi juga perbaikan kualitas pendidikan; didukung sinergi pendanaan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maka kebijakan pendidikan gratis diharapkan menyentuh seluruh aspek dalam perbaikan kualitas manusia melalui pendidikan. Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan variabel perhitungan besaran bantuan pendidikan gratis secara berbeda antara pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Untuk SD/MI/SDLB/PPs ULA: a. Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya sebesar Rp 4.000/siswa/bulan; b. Insentif: kepala sekolah sebesar Rp125.000/bulan, Insentif jam mengajar guru sebesar Rp 2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata melaksanakan pembelajaran, Insentif bendahara pendidikan gratis sebesar Rp 100.000/bulan, Insentif remedial dan pengayaan sebesar Rp5.000/jam pelajaran, Insentif Bujang sebesar Rp75.000/orang/bulan, Insentif Satpam sebesar Rp250.000/bulan. Untuk SMP/MTs/SMPLB/PPs.WUSTHA: (a) Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya sebesar Rp17.600/siswa/bulan; (b) Insentif kepala sekolah sebesar Rp125.000/bulan, insentif wakil kepala sekolah sebesar Rp100.000/bulan, Insentif kepala urusan sebesar Rp100.000/bulan, insentif wali kelas sebesar Rp100.000/bulan, insentif guru BP/BK sebesar Rp100.000/bulan, insentif pustakawan sebesar Rp75.000/bulan, insentif laboran sebesar Rp75.000/bulan, insentif jam mengajar guru sebesar Rp2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata melaksanakan pembelajaran, insenitif remedial dan pengayaan sebesar Rp5.000/jam pelajaran, insentif kepala tata usaha sebesar Rp1000.000/bulan, insentif bendahara pendidikan gratis sebesar Rp100.000/bulan, insentif staf tata usaha sebesar Rp75.000/bulan, insentif bujang sebesar Rp75.000/orang/bulan, dan insentif satpam sebesar Rp250.000/orang/bulan.
Cakupan programatik dan cakupan penerima dari program pendidikan gratis memiliki lingkup terbatas tetapi dengan aspek yang relatif menyeluruh. Cakupan programatik dari pendidikan gratis meliputi “bebas biaya pendidikan” bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan penuh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, “subsidi biaya pendidikan” bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan tidak penuh atau sebagian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, dan “beasiswa pendidikan” bagi peserta didik berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu. Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis adalah jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas. Dengan cakupan dan sasaran yang demikian, pendidikan gratis berpotensi besar untuk berkontribusi pada peningkatan angka partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan.
83
84
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan penggunaan dana pendidikan gratis sedikit berbeda antara pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Penggunaan dana pendidikan gratis untuk tingkat SD/MI/SDLB/PPS ULA adalah: 1. Pembiayaan seluruh kegiatan penerimaan siswa baru; 2. Pembelian buku teks diluar yang disediakan dana BOS dan buku referensi untuk dikoleksi di sekolah; 3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran, remedial, pengayaan, olahraga, kesenian, pramuka, palang merah remaja, dan sejenisnya; 4. Pengadaan buku rapor dan foto murid; 5. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa; 6. Pembelian bahan-bahan habis pakai; 7. Pembiayaan langganan daya dan jasa; 8. Pembiayaan perawatan sekolah; 9. Insentif tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya; 10. Pengembangan profesi guru; 11. Pemberian biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah transport ke sekolah; 12. Bantuan pembelian buku tulis, pulpen, baju seragam, baju olah raga, sepatu, tas bagi siswa miskin; 13. Pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis. Penggunaan untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/PPS WUSTHA sama dengan SD dari poin 1 sampai 13, dan ditambah dengan poin 14. Khusus untuk pesantren Salafiyah dan sekolah agama non Islam, dana pendidikan gratis dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli peralatan biaya. Untuk menghindari ketidakefisienan dan ketidakefektifan penggunaan, pendidikan gratis memprioritaskan komponen buku teks pelajaran, pemberian bantuan untuk siswa miskin: transport, pembelian buku, pensil, pulpen, baju seragam, baju olah raga, sepatu, tas dan lain-lain yang menjadi kebutuhan pembelajaran baginya dan biaya administrasi pelaporan.
Kebijakan pendidikan gratis pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah direspons secara variatif oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini terutama pada penerapan aturan berbagi kontribusi antara pemerintah provinsi (40 persen) dan pemerintah kabupaten/kota (60 persen). Ada kabupaten/kota yang pada awal pelaksanaan belum sepenuhnya memenuhi angka kontribusi tersebut, ada juga kabupaten/kota yang telah menjalankan kebijakan pendidikan gratis sebelum kebijakan provinsi tersebut berjalan. Kebijakan pendidikan gratis telah memberi pembelajaran pada sinergi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pelayanan dasar. Setelah empat tahun berjalan, berbagai pembelajaran telah memungkinkan penyelenggara untuk melakukan penyempurnaan pola implementasi. Implementasi kebijakan pendidikan gratis tidak hanya relevan dilihat pada kinerja yang sepenuhnya teknis pendidikan, tetapi juga perlu dilihat pada peningkatan kapasitas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam inovasi pelayanannya. Kasus Kabupaten Luwu Timur misalnya, dengan kebijakan pendidikan gratis pemerintah provinsi dalam kondisi daerah ini sudah menjalankan kebijakan serupa sejak 2006, respons yang diberikan bukanlah penolakan terhadap kebijakan provinsi tersebut, tetapi secara kreatif dana pendidikan gratis kabupaten dialihkan untuk peningkatan kualitas belajar-mengajar dalam memperbaiki capaian ujian nasional, dan dana dari provinsi tetap digunakan sesuai peruntukannya. Hasilnya, setelah tiga tahun daerah ini berhasil mencapai prestasi terbaik ujian nasional di Sulawesi Selatan.
84
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
85
Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis Kabupaten Luwu Timur adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu dengan luas wilayah 6.944, 88 km persegi, jumlah penduduk 210.000 jiwa (2010), terdiri dari 11 kecamatan dan 107 desa/kelurahan. Visi pembangunan daerah adalah “Luwu Timur sebagai Kabupaten Agribisnis” dengan misi “Mengoptimalkan potensi untuk kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan”. Visi pembangunan pendidikannya adalah “ Mewujudkan manusia yang berimtaq, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan berprestasi” dengan Misi: 1. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan; 2. Mengupayakan perluasan dan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat, dan 3. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Anggaran pendidikan dalam APBD empat tahun terakhir di atas 20 persen masing-masing 19,24 persen (2006), 25,40 persen (2007), 26,04 persen (2008), 23,22 persen (2009) dan 27,83 persen (2010). Kebijakan pendidikan gratis Sulawesi Selatan telah memberi ruang lebih luas untuk meningkatkan kinerja pendidikan daerah ini. Sejak 2006 Luwu Timur telah mendapatkan bantuan dana pendidikan gratis dari pihak swasta, setelah adanya program pendidikan gratis dari provinsi, dana pendidikan dari swasta tersebut dialihkan peruntukannya bagi peningkatan kualitas belajar-mengajar dalam menghadapi ujian nasional, sementara dana dari Provinsi (40 persen) dikelola sesuai peruntukannya dan Kabupaten menanggung porsi 60 persen. Kebijakan pendidikan gratis Luwu Timur ditetapkan dalam Perda. Dengan pengalaman pendidikan gratis sejak 2006 dan dikuatkan dengan pendidikan gratis Provinsi maka daerah ini memungkinkan berinovasi dan mencapai berbagai prestasi menonjol di bidang pendidikan. Inovasi dalam pembangunan pendidikan mencakup kerjasama dengan berbagai pihak antara lain padapeningkatan mutu dan layanan pendidikan (UNM, Unhas, ITB, ITS, UT, UIN Syarif Hidayatullah, ATS Soroako), pada peningkatan kompetensi tenaga pendidik (UNM, LPMP, Unhas/Guru MIPA, Unicef, pihak swasta), peningkatan mutu kompetensi bagi peserta didik dalam menghadapi ujian nasional (UNM, iNsTy), pengembangan kesejahteraan bidang pendidikan (Bus sekolah tiap kecamatan, beasiswa untuk siswa berprestasi hingga perguruan tinggi, bantuan buku pelajaran, bantuan operasional manajemen mutu bagi sekolah dan tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan pada satuan pendidikan) ,dan pengelolaan dana pendidikan berbasis sekolah untuk SMP (pihak sekolah berhubungan langsung dengan DPRD dalam alokasi anggarannya). Dengan pendidikan gratis dan berbagai inovasi tersebut Luwu Timur telah mencapai berbagai prestasi bidang pendidikan. Dalam ujian nasional, pada tahun 2007 peringkat 22 dari 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan; pada tahun 2008 naik ke peringkat 8; pada tahun 2009 naik ke peringkat 5 dan pada tahun 2010 mencapai peringkat 1. Selain itu, Luwu Timur dipilih oleh Majalah Tempo sebagai satu dari 10 kabupaten/kota berpretasi; sebagai salah satu dari tujuh kabupaten/kota yang mendapatkan penghargaan Gubernur untuk pembangunan bidang pendidikan; Medali dari Gubernur Sulawesi Selatan untuk kepedulian bidang pendidikan; Medali untuk 10 kabupaten/kota atas penuntasan buta huruf; piagam penghargaan dari PGRI Sulawesi Selatan atas perhatian pada guru; dan Satya Lencana Pembangunan di bidang Pendidikan dari Presiden RI.
5.1.6 Kesimpulan dan Rekomendasi
Selama periode 2005-2011, belanja pendidikan di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Perlu dipastikan bahwa anggaran tersebut benar-benar bekerja untuk memperbaiki indikator-indikator pendidikan, terutama angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
85
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
86
86
Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan relatif sangat besar, tetapi proporsi belanja modal terhadap relatif kecil. Akibatnya, belanja sektor pendidikan tidak memiliki dampak signifikan terhadap capaian kinerja hasil. Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu ditekan ke level yang lebih rendah, agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih signifikan. Kebijakan moratorium penerimaan pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau setidaknya menempuh kebijakan zero growth jumlah pegawai, mungkin perlu dipertimbangkan untuk menekan proporsi belanja pegawai. Selain itu, belanja pegawai pada pos belanja langsung harus lebih diefisienkan.
Mengingat kebijakan pendidikan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai efektifitas kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja hasil yang ingin dicapai. Selain itu, program pendidikan gratis hanya diterapkan pada tingkat SD dan SMP, maka itu perlu ada kebijakan untuk pendidikan tingkat SMA.
Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong kinerja keluaran terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong kinerja hasil. Kinerja hasil tersebut berupa angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf sesuai dengan target RPJMD dan angka nasional. Direkomendasikan agar belanja pendidikan diarahkan untuk mendorong angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di kabupaten yang masih rendah angkanya, Rendahnya angka melek huruf berkontribusi terhadap rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih besar, upaya yang lebih konstruktif, dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk pemberantasan buta huruf. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa.
Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan pendidikan di Sulawesi. Angka partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi angka melek huruf laki-laki jauh lebih tinggi dari perempuan. APS laki-laki lebih kecil karena tingkat putus sekolah laki-laki lebih tinggi seiring tuntutan bekerja. Tetapi kualitas pendidikan yang diterima lebih rendah walaupun mereka bersekolah. Angka buta huruf perempuan berusia di atas 29 tahun lebih besar, direkomendasikan agar pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur tersebut. Juga direkomendasikan agar perempuan yang buta huruf ini diberi keahlian lain sebagai bagian dari pemberdayaan.
Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban anak usia sekolah yang telah mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong anak usia sekolah yang belum terjangkau pendidikan untuk masuk ke bangku sekolah. Direkomendasikan agar kebijakan pendidikan gratis diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa membuat anak usia sekolah untuk masuk bangku sekolah khususnya di daerah yang terhambat secara geografis (daerah pegunungan dan pesisir/kepulauan) dan terhambat secara ekonomi-budaya (anak putus sekolah karena bekerja). Kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten perlu direalisasikan sebagai payung bagi upaya ini.
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
87
Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap dan Luwu mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain. Rekomendasinya antara lain (i) mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin, diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap, dan Luwu. (ii) kebijakan pendidikan gratis harus memastikan keberpihakannya pada kelompok pendapatan termiskin.
87
88
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.2 Analisis Sektor Kesehatan Kesehatan merupakan kebutuhan penting dan sekaligus merupakan investasi bagi pembangunan sumber daya manusia agar mereka dapat sehat dan hidup secara produktif. Sektor kesehatan bersama dengan sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas utama pembangunan di Sulawesi Selatan, dan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 20082013, kedua sektor ini menempati agenda pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk menunjang program utama ini oleh Pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008 telah mencanangkan suatu program kesehatan gratis dengan harapan bahwa dengan program tersebut paling tidak telah membawa dampak pada berkurangnya belanja masyarakat untuk kepentingan pembayaran kesehatan, yang selama ini sangat memberatkan masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.
5.2.1 Belanja Sektor Kesehatan Proporsi belanja sektor kesehatan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan terus meningkat, meskipun cenderung fluktuatif. Pada tahun 2005, proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah sebesar 8,2 persen, dan meningkat menjadi 10,4 persen pada tahun 2010. Meskipun mengalami penurunan proporsi pada tahun 2006, namun pertumbuhan belanja kesehatan tertinggi justru terjadi pada tahun 2006. Pertumbuhan total belanja daerah yang sangat signifikan pada tahun 2006, menyebabkan proporsi belanja kesehatan mengalami penurunan. Pada tahun 2011, proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah sebesar 10,0 persen, menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 18,000
10.4%
14,000
8.2%
8.7%
8.1%
12% 10.0%
9.0%
10%
Miliar Rp
12,000
8%
10,000 8,000
14.0
6,000
16.7
14.8
16.3
8.0 658
6% 4%
10.3
4,000 2,000
15.3
2% 839
1,218
1,378
1,530
1,739
Proporsi Belanja Kesehatan Riil
16,000
10.4%
1,625
0
0% 2005
2006
Total Belanja Kesehatan Riil
2007
2008
2009
Total Belanja Daerah Riil
2010*
2011**
% Belanja Kesehatan Riil
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
Total belanja kesehatan 2010, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja pegawai. Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja di tingkat provinsi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tingkat provinsi, proporsi belanja pegawai terhadap
88
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
89
total belanja kesehatan sebesar 48 persen, sedangkan untuk kabupaten/kota sebesar 45 persen. Sebaliknya, proporsi belanja modal pada tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat provinsi, yaitu masing-masing sebesar 276 persen dan 20 persen. Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/Kota
Provinsi 20%
27% 45%
48% 32%
28%
Belanja Pegawai Belanja Modal
Belanja Barang dan Jasa
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
5.2.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Kesehatan Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga pelayanannya meningkat. Pada tahun 2005, rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk sebesar 2,2 dan kemudian meningkat menjadi 2,7 pada tahun 2009. Meski demikian, terdapat sejumlah kabupaten/kota yang justru menunjukkan penurunan, seperti Kabupaten Maros, Luwu Timur, dan Kota Pare-Pare.
Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk di Sulawesi Selatan, 2005-2009 20 15
15.7
2.2
2.4
13.4
14.7
2.6
2.7
16.5
10 5 0
Angka harapan hidup menunjukkan hasil yang positif dari tahun ke tahun. Angka harapan hidup Sulawesi Selatan bergerak dari 70,2 tahun pada tahun 2007 menjadi 70,8 tahun pada tahun 2010. Meskipun demikian, angka ini masih sedikit lebih rendah dibanding angka harapan hidup rata-rata nasional yang
15
2005
2006
2007
2008
2.7 2009
Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009.
89
90
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
sudah mencapai 70,9 tahun pada tahun 2010. Angka harapan hidup tergantung pada angka kelahiran atau kematian bayi, dan angka kematian pada kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa Angka harapan hidup dipengaruhi oleh kebijakan saat ini (angka kematian bayi, pelayanan kesehatan pada masyarakat umum), dan kebijakan masa lalu (bagi masyarakat yang sudah berusia lebih dewasa). Maka itu peningkatan angka harapan hidup menuntut keberlanjutan pelayanan kesehatan, misalnya dalam program perbaikan gizi masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan lansia, program pencegahan dan pemberantasan penyakit, pelayanan terhadap ibu hamil dan pasca melahirkan.
Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010
71.0
70.9 70.8
70.8
70.7 70.6
70.6 70.4
70.5 70.4
70.4 70.2
70.2 70.0 69.8 2007
2008
2009
Indonesia
2010 Sulsel
Angka Kematian Bayi (AKB) di Sulawesi Sumber: BPS. Selatan turun mengikuti tren nasional. Pada tahun 2005, AKB mencatat angka 30 per 1.000 kelahiran hidup dan kemudian menurun menjadi 26,6 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sesuai dengan kecenderungan angka nasional yang juga menurun. Menurunnya AKB dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Meski demikian, capaian AKB tersebut masih jauh dari target provinsi tahun 2013, yaitu 22 per 1.000 kelahiran hidup. Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009 31 AKB per 1.000 kelahiran hidup
30
30 29
29.1
28.9 28.2
28
28.2 27.5
27.4 26.8
27
26.2
26.6
26 25 24 2005
2006 Nasional
2007 Sulawesi Selatan
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
90
2008
2009
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
91
Seperti halnya AKB, Angka Kematian Ibu (AKI) di Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di Sulawesi Selatan cenderung mengalami penurunan Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per selama periode 2006-2009. Jumlah kematian ibu 100.000 Penduduk maternal yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 160 143 sebanyak 133 per 100.000 kelahiran hidup, kemudian 133 140 meningkat menjadi 143 per 100.000 kelahiran hidup 121 118 120 pada tahun 2007. Namun tahun 2008 jumlah kematian 100 ibu maternal mengalami penurunan menjadi 121 orang per 100.000 kelahiran hidup dan terus menurun 80 menjadi 118 orang per 100.000 kelahiran hidup pada 60 tahun 2009. Untuk memperbaiki capaian kinerja yang 40 terkait dengan AKB dan AKI, pemerintah daerah telah 20 mengimplementasikan program peningkatan 0 keselamatan ibu melahirkan dan anak serta program 2006 2007 2008 2009 peningkatan pelayanan kesehatan bayi dan anak. Kedua program tersebut telah diimplementasikan secara konsisten sejak tahun 2008 hingga 2010, dan Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2009. direncanakan akan tetap dilanjutkan hingga tahun 2013. Ini mudah dipahami mengingat kinerja AKB dan AKI hinga saat ini masih jauh dari target dan tetap menjadi prioritas secara nasional. Sulawesi Selatan masih harus mengejar ketertinggalan pada beberapa cakupan kesehatan dasar. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan bahwa cakupan imunisasi dan cakupan kelahiran yang dibantu tenaga medis di Sulawesi Selatan lebih rendah daripada angka nasional. Hal ini sebanding dengan lebih besarnya Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan dibanding rata-rata nasional. Kelahiran yang dibantu tenaga medis masih jauh di bawah angka nasional, meskipun Angka Kematian Ibu Sulawesi Selatan lebih kecil dari angka nasional. Ini menunjukkan bahwa peran penyedia kesehatan non medis cukup vital dan bisa menjadi salah satu target program kesehatan.
Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di Sulawesi Tahun 2009 Cakupan imunisasi (%)
Kelahiran dibantu tenaga medis (%)
Morbiditas (%)
Sulawesi Utara
79%
76%
36%
Sulawesi Tengah
73%
46%
38%
Sulawesi Selatan
76%
59%
32%
Sulawesi Tenggara
77%
36%
36%
Gorontalo
75%
37%
48%
Sulawesi Barat
68%
29%
38%
Indonesia
77%
65%
34%
Provinsi
Sumber: Estimasi staf Bank Dunia dari Susenas 2009.
Angka gizi buruk Sulawesi Selatan tidak membaik. Menurut hasil Riset Dasar Kesehatan 2007, prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan sebesar 5,1 persen, lebih kecil dari rata-rata nasional sebesar 5,4 persen. Tetapi pada tahun 2010, Riset yang sama justru menunjukkan prevalensi gizi buruk Sulawesi Selatan meningkat menjadi 6,4 persen, sementara rata-rata nasional turun menjadi 4,9 persen.
91
92
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Peningkatan prevalensi gizi buruk dan kurang dibarengi penurunan prevalensi gizi baik dan lebih, ini berarti terjadi penurunan kualitas kesehatan pada balita dan ibu. Meski demikian, angka tersebut lebih rendah dari target pencapaian program perbaikan gizi nasional sebesar 20 persen pada tahun 2015. Dibandingkan dengan rata-rata Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk pengeluaran rumah tangga untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi pendidikan, kesenjangan pengeluaran Selatan, 2005-2009 rumah tangga untuk kesehatan antar Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 kelompok pendapatan tampak lebih 2005 77,861 107,104 149,180 208,532 499,397 buruk. Pada tahun 2005, kelompok 2006 90,758 116,334 143,190 210,063 333,290 rumah tangga terkaya mengeluarkan 2007 129,661 172,169 211,995 291,100 415,186 anggaran untuk kesehatan hampir tujuh 2008 105,964 328,486 120,837 179,111 299,047 kali lipat (Rp. 499 ribu) dari kelompok 2009 135,062 188,045 262,035 378,445 821,782 rumah tangga termiskin (Rp. 77 ribu). Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009. Meskipun rasio tersebut membaik pada tahun 2009, namun kesenjangannya masih berada di atas enam kali lipat antara kelompok rumah tangga terkaya (Rp. 821 ribu) dengan kelompok rumah tangga termiskin (Rp. 135 ribu).
5.2.3 Analisis Kabupaten/Kota Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan sekitar sepersepuluh belanja daerahnya untuk sektor kesehatan. Belanja kesehatan per kapita Kabupaten Enrekang adalah yang tertinggi (Rp. 748 ribu), sedangkan Kota Makassar memiliki belanja terkecil (Rp. 80 ribu). Seperti halnya belanja pendidikan per kapita, daerah yang memiliki belanja kesehatan per kapita terkecil adalah daerah yang memiliki populasi terbesar. Sementara daerah yang belanja kesehatan per kapitanya tinggi juga memiliki belanja pendidikan tinggi antara lain Enrekang, Parepare, dan Palopo.
Ribu Rp
Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011. 800 700 600 500 400 300 200 100
748
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
92
80
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
93
Proporsi belanja kesehatan menurut klasifikasi ekonomi sangat bervariasi antar kabupaten/kota. Kabupaten Enrekang menunjukkan gambaran yang agak ekstrim, di mana proporsi belanja pegawai terhadap total belanja kesehatan hanya sebesar 14 persen, sedangkan proporsi belanja modal mencapai 74 persen. Sebaliknya, Kabupaten Maros mengalokasikan 68 persen untuk belanja pegawai dan hanya 10 persen untuk belanja modal. Secara rata-rata, kabupaten/kota membelanjakan 47 persen dari total belanja kesehatannya untuk belanja pegawai, dan masing-masing 28 persen dan 1726,99 persen untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal. Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
5%
14% 35%
30%
9%
14% 20% 18%
10%
30% 65% 42%
68%
35%
43%
24% 25%
74%
30%
45% 30%
17%
61% 46%
28%
39%
29% 46% 27%
47% 48% 35% 33%
17% 19%
28%
18% 23% 57% 59%
9% 20% 24% 27%
37% 21%
44%
42%
8%
18%
43% 22%
47% 43% 23% 24%
44%
10%
53% 51%
35%
63% 43%
60% 12% 44%
36%
42%
14%
% Belanja Pegawai
% Belanja Barang dan Jasa
% Belanja Modal
Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan. Kabupaten yang secara geografis terletak jauh dari pusat provinsi seperti Selayar, Enrekang, dan Luwu memiliki rasio fasilitas kesehatan yang jauh lebih baik dari daerah perkotaan. Belanja kesehatan per kapita Enrekang adalah yang tertinggi di provinsi. Dan Selayar sebagai kabupaten yang memiliki APBD relatif kecil, belanja kesehatan per kapitanya adalah terbesar ketujuh. Meski demikian, tenaga kesehatan lebih terkonsentrasi di perkotaan seperti Makassar, Parepare, dan Palopo. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena akan mengakibatkan banyak fasilitas kesehatan di daerah tidak berjalan maksimal.
93
94
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk Kab./Kota Selayar
Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk
2005
2006
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
5,8
6,4
6,6
8,2
7,1
22,7
20,7
18,4
16,2
21,8
Bulukumba
2,1
2,5
2,5
2,5
2,4
12,5
16,1
10,8
8,5
11,0
Bantaeng
2,7
2,8
2,8
4,3
2,7
7,4
4,9
10,5
10,1
10,6
Jeneponto
2,0
2,4
2,6
2,7
2,7
7,4
6,2
8,3
8,2
9,8
Takalar
1,1
3,0
3,9
3,2
2,9
8,1
13,8
12,0
11,7
9,7
Gowa
1,5
1,5
2,5
2,7
2,8
8,5
11,10
8,1
8,2
8,9
Sinjai
3,0
3,2
3,5
4,3
4,1
11,5
9,4
14,3
13,8
18,2
Maros
1,7
2,1
2,3
2,1
0,5
11,6
15,0
12,7
12,5
10,4
Pangkep
3,3
3,1
3,1
3,6
3,3
14,9
17,2
17,7
8,1
10,3
Barru
3,3
3,0
3,2
3,2
3,4
13,9
15,1
18,5
18,1
17,3
Bone
0,5
2,0
2,0
2,1
2,1
9,0
2,6
3,8
5,1
6,7
Soppeng
3,4
3,4
3,5
3,7
3,5
21,0
19,8
11,0
11,0
11,8
Wajo
1,1
2,4
2,8
2,6
2,6
6,5
9,4
11,0
10,7
12,1
Sidrap
2,2
2,6
2,7
2,8
2,9
12,6
9,7
13,2
12,9
15,4
Pinrang
2,1
2,3
2,4
2,3
2,3
10,6
9,8
12,1
11,7
8,9
Enrekang
3,6
4,5
4,3
4,6
5,1
15,5
14,4
13,7
15,3
15,8
Luwu
3,5
3,4
4,2
4,2
4,4
12,8
12,3
17,6
16,8
16,4
Tana Toraja
2,1
2,5
2,8
2,8
3,6
26,2
12,3
16,1
15,4
12,9
Luwu Utara
2,3
2,6
3,4
2,9
2,7
8,5
8,4
12,6
14,0
14,3
Luwu Timur
3,3
3,7
3,8
2,9
3,0
18,2
9,8
13,5
13,1
18,7
Makassar
0,5
0,7
0,9
1,1
1,2
24,0
17,4
17,3
28,1
34,0
Pare-Pare
2,7
2,7
3,1
3,1
2,3
55,8
44,8
42,3
41,4
53,4
Palopo Sulawesi Selatan
2,1
2,8
3,2
3,0
3,0
23,0
22,3
35,1
27,5
35,6
2,2
2,4
2,6
2,7
2,7
15,0
15,7
13,4
14,7
16,5
Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009.
Beberapa daerah menunjukkan belanja kesehatan rumah tangga yang senjang. Kabupaten Selayar menunjukkan kesenjangan paling tajam, dimana kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) mengeluarkan anggaran hampir 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Soppeng menunjukkan kesenjangan paling rendah, dimana kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) hanya mengeluarkan anggaran sekitar 2,5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1).
94
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
95
Tabel 5.9. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut kelompok pendapatan di kabupaten/kota Sulawesi Selatan, 2009 Kabupaten/Kota Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Pare-Pare Palopo
Kuintil 1
Kuintil 2
Kuintil 3
Kuintil 4
Kuintil 5
76,098 152,112 140,107 191,707 165,730 151,846 137,360 196,792 87,451 157,897 92,768 189,505 163,936 124,112 203,772 108,845 154,398 112,971 138,789 134,259 100,298 110,398 158,214
90,874 199,400 176,958 214,977 215,541 113,340 184,102 161,256 124,343 185,438 162,449 152,102 167,786 230,484 223,237 124,336 280,623 242,173 172,957 193,999 136,026 223,668 243,949
111,926 227,487 230,406 269,762 220,540 177,872 187,159 233,804 250,478 218,673 265,455 290,997 208,154 262,937 358,075 232,425 263,922 300,281 192,371 153,386 261,099 206,721 370,756
248,136 275,605 315,515 427,717 308,226 261,847 250,304 523,026 201,586 438,951 427,628 414,637 273,885 351,282 419,570 292,739 412,087 369,004 327,009 300,351 343,627 271,249 424,737
725,584 433,303 807,084 639,682 1,211,007 790,962 620,704 1,071,891 483,683 511,918 629,321 464,969 646,352 904,743 834,250 651,948 903,293 489,921 722,036 545,046 858,646 654,285 1,041,336
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
5.2.4 Kebijakan Kesehatan Gratis Anggaran provinsi yang dialokasikan untuk kesehatan gratis meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya alokasi kesehatan gratis karena semua yang sakit maupun tidak sakit, ada kesiapan dananya. Tanggungan premi asuransi kesehatan sebesar Rp 5.000 per jiwa setiap bulan. Program kesehatan gratis dengan sistem premi menanggung sekitar 4,8 juta jiwa penduduk Sulawesi Selatan dengan total anggaran dari Pemerintah Sulawesi Selatan sekitar Rp 175 miliar. Pada tahun 2008, anggaran kesehatan gratis sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah provinsi yaitu sebesar Rp 81,7 miliar. Sejak tahun 2009, baik provinsi maupun kabupaten/kota sudah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan gratis sesuai dengan nota kesepahaman antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2009, pemerintah provinsi menanggung Rp 93,5 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota menanggung Rp 45,6 miliar. Pada tahun 2010, pemerintah provinsi menganggarkan Rp 103,3 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota menganggarkan Rp 63,9 miliar. Pada tahun 2011, pemerintah
95
96
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
provinsi mengalokasikan Rp 174 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan Rp 170,7 miliar. Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009-2011 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kabupaten/Kota Rumah Sakit Provinsi Makassar Gowa Takalar Jeneponto Bantaeng Bulukumba Selayar Sinjai Bone Wajo Soppeng Sidrap Enrekang Tana Toraja Luwu Palopo Luwu Utara Luwu Timur Maros Pangkep Barru Pare-Pare Pinrang
2009 45.260.516.410 5.186.759.500 2.176.773.500 1.012.103.500 887.323.500 576.223.500 2.285.242.000 547.578.500 1.186.557.500 4.331.455.500 2.307.571.500 1.479.612.000 1.393.354.000 966.050.500 1.789.020.500 1.008.202.000 480.037.500 1.429.045.500 1.135.472.500 1.598.382.500 1.357.543.500 833.918.000 611.813.000 1.953.895.000
Alokasi Anggaran/Tahun 2010 59.498.260.476 6.189.696.000 2.866.272.000 1.203.091.200 1.035.878.400 722.073.600 2.637.235.200 691.324.800 1.366.876.800 4.967.116.800 2.610.883.200 1.641.513.600 1.529.779.200 1.351.843.200 1.259.404.800 1.382.025.600 626.661.200 1.960.166.400 1.652.342.400 1.831.785.600 1.541.145.600 942.432.000 667.891.200 2.309.260.800
2011 61.001.301.171 15.474.240.000 7.312.344.000 2.783.232.000 2.641.344.000 2.203.464.000 6.678.480.000 1.734.432.000 4.106.688.000 12.397.176.000 6.574.776.000 4.126.440.000 4.544.568.000 3.465.792.000 3.303.072.000 3.361.248.000 1.630.680.000 5.115.408.000 4.076.976.000 4.579.464.000 4.506.240.000 2.824.200.000 2.026.920.000 5.773.200.000
Sumber: Lampiran Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No.2706/VII/2008.
Sejak kebijakan kesehatan gratis diimplementasikan pada tahun 2008, terdapat beberapa tantangan pada konsep dan pelaksanaannya. Aturan pembagian beban anggaran kesehatan gratis, dimana provinsi menanggung 40 persen dan kabupaten/kota 60 persen, dianggap memberatkan keuangan daerah kabupaten/kota. Diusulkan agar pembagian tersebut dibalik mengingat kebijakan ini merupakan inisiatif pemerintah provinsi. Selain itu, kebijakan kesehatan gratis lebih menekankan pada pemberian layanan kesehatan dan pengobatan penyakit sehingga kebijakan ini tidak berkontribusi secara signifikan terhadap perbaikan kinerja keluaran dan kinerja hasil sektor kesehatan. Kebijakan ini juga lebih bersifat jangka pendek karena tidak menyentuh investasi kesehatan dalam jangka panjang seperti imunisasi, gizi, kesehatan lingkungan, dan air bersih. Pada sisi implementasinya, kebijakan ini lebih mengedepankan pada ketersediaan layanan pengobatan dan bukan pada peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Dalam banyak kasus, masyakarat seringkali mengalami kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan karena keterbatasan informasi dan lokasi tempat tinggal yang terisolir. Selain itu, perbedaan wilayah domisili dan wilayah rujukan seringkali menimbulkan masalah karena menyangkut kewenangan pembiayaan pasien.
96
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
97
Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan Implementasi kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan berpedoman pada Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis. Peraturan Daerah ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan. Di dalam berbagai peraturan tersebut disebutkan bahwa kebijakan kesehatan gratis memiliki tujuan yang dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum kebijakan kesehatan gratis adalah meningkatnya akses pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh penduduk Sulawesi Selatan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efisien dan efektif. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) membantu meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan; (2) meningkatnya cakupan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di puskesmas serta jaringannya dan di rumah sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi; (3) meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; (4) meningkatnya pemerataan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; dan (5) terselenggaranya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat dengan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan. Program pelaksanaan kesehatan gratis menggunakan metode resource sharing antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. Resource sharing dimaksud terkait dengan alokasi anggaran untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota dimana pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk program tersebut sebesar 40 persen dan 60 persen disiapkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di dalam Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Gratis tertuang jenis layanan yang digratiskan. Adapun jenis layanan yang digratiskan pada tingkat Puskesmas antara lain: (1) Kegiatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) yang terbagai dalam delapan item; (2) Rawat inap tingkat pertama (RITP) yang terbagi dalam enam item; (3) Pelayanan gawat darurat; (4) Pelayanan luar gedung yang dilaksanakan puskesmas; dan (5) Operasional dan majemen puskesmas. Sedangkan layanan kesehatan di rumah sakit/balai kesehatan terdiri atas: (1) Rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL); (2) Rawat inap tingkat lanjutan (RITL); dan (3) Pelayanan gawat darurat. Namun demikian ada pelayanan-pelayanan tertentu yang tidak ditanggung dengan layanan gratis seperti: operasi jantung, katerisasi jantung, pemasangan cincing jantung, CT Scan dan MRI, cuci darah, bedah syaraf, bedah plastik, penyakit kelamin dan penyakit akibat hubungan seksual serta alat bantu kesehatan.
5.2.5 Kesimpulan dan Rekomendasi
Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan Angka Kematian Ibu dan Bayi masih lebih tinggi. Untuk mencapai target Angka Harapan Hidup 73,7 tahun dan Angka Kematian Bayi 20 per 1.000 kelahiran. Direkomendasikan untuk melakukan (i) sosialisasi secara intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi pada balita; (ii) penanganan secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang terbanyak jumlah balita yang menderita gizi buruk; (iii) pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan pasca melahirkan antara di perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan buruh; dan (iv) sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan suami.
97
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
98
98
Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai 10 persen per tahun. Jika dilihat dari komposisi belanja kesehatan, belanja pegawai masih mendominasi total belanja kesehatan, dibandingkan dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Oleh karena itu, untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik di masa yang akan datang, proprosi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah perlu dinaikkan serta mengupayakan proporsi yang lebih seimbang antara belanja pegawai dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan, tetapi juga program yang bersifat pencegahan.
Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan Gratis. Khususnya pada pembiayaan pasien yang lintas batas karena kendala geografis, disamping itu masih beragamnya pembiayaan jasa layanan pada masing-masing kabupaten/kota. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota. Selain itu perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota.
Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan. Beberapa daerah seperti Maros, Pare-pare, dan Luwu Timur mengalami penurunan rasio fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi kesenjangan tenaga kesehatan, direkomendasikan untuk mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan. Serta memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok.
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
99
5.3 Analisis Sektor Infrastruktur Sulawesi Selatan memiliki tingkat aksesibilitas yang baik di Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia. Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Saat ini melayani hampir semua jalur penerbangan udara yang menuju dan dari kawasan timur Indonesia., selain rute internasional ke Kuala Lumpur, Singapura, dan menjadi embarkasi haji. Transportasi laut di Sulawesi Selatan didukung oleh Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar dan Pelabuhan Laut Nusantara di Kota Pare-Pare. Pelabuhan di Kota Makassar, secara turun temurun telah menjadi pelabuhan utama arus barang di kawasan timur Indonesia. Kota Makassar dan banyak daerah lainnya terhubung dengan lintas jalan Trans Sulawesi. Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan berat, serta jalan dengan kondisi moderat menunjukkan proporsi yang terus menurun. Untuk jaringan irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah cenderung menurun meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat. Pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan diarahkan untuk mendukung terwujudnya dua agenda pembangunan daerah yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013. Agenda tersebut adalah perwujudan keunggulan lokal untuk memacu laju pertumbuhan perekonomian dan agenda perwujudan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan. Kedua agenda tersebut memandatkan kebijakan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan bertumpu pada pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur wilayah (transportasi udara, laut, dan darat), peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah (air bersih, listrik, dan telekomunikasi), dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan (jaringan irigasi).
5.3.1 Belanja Sektor Infrastruktur Belanja sektor infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat selama periode 2005-2010. Peningkatan ini paralel dengan peningkatan total belanja daerah yang juga meningkat lebih dari dua kali lipat. Secara riil, belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 1.0 triliun tahun 2005 menjadi Rp 2,1 triliun tahun 2010. Tetapi proporsinya terhadap total belanja daerah hanya meningkat pada tahun 2005 sampai pada tahun 2009, pada APBD Perubahan 2010 dan APBD Rencana 2011, proporsi belanja infrastruktur turun menjadi 15 persen dan 13 persen. Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang selesai pada tahun 2008 merupakan sumber pembelanjaan infrastruktur yang besar di Sulawesi Selatan.
99
100
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 20052011 17%
16
20%
18%
18%
18%
18%
14 12 Trliun Rp
16%
15% 13%
13%
12%
10 8
2
15.3
14.0
6
16.7
14.8
16.3
8.0 1.0
1.7
10% 8% 6%
10.3
4
14%
2.5
2.7
2.7
2.5
2.1
4% 2%
0
0% 2005
2006
Belanja Infrastruktur Riil
2007
2008
2009
Belanja Daerah Riil
2010*
2011**
Proporsi Belanja Riil dengan Belanja Daerah
18
% Belanja Infrastruktur
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
Komposisi belanja sektor infrastruktur didominasi belanja modal. Belanja modal sektor cenderung meningkat selama periode 2005-2010. Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur mencapai 64 persen pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 73 persen pada tahun 2010. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja infrastruktur hanya sebesar 15 persen pada tahun 2005 berfluktuasi sampai juga menjadi 15 persen pada tahun 2010. Karakteristik belanja sektor infrastruktur yang lebih menekankan pada pembangunan fisik menjadi alasan utama mengapa belanja modal mendominasi struktur belanja sektor infrastruktur.
100
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
101
Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 20052011 2.5
100%
2.2
2.2
2.0
90%
1.9
2.0
80% 70%
Triliun Rp
1.5 1.5
60%
1.2
50% 1.0 .5
64% .7
40%
70%
21% 157 15% 211
.0 2005
215
310 12%
239
8% 10%
2006
280
209
8% 10%
2007
79%
80%
82%
82%
18%
225
9%
298
2008
73%
252
291
9%
11%
12%
2009
2010*
309
231
30%
12%
20%
15% 239
10% 0%
2011**
% Belanja Pegawai
% Belanja Barang dan Jasa
% Belanja Modal
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
Total belanja infrastruktur, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja modal. Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur di tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2010, di tingkat kabupaten/kota, proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur mencapai 82 persen, sedangkan untuk tingkat provinsi hanya sebesar 60 persen. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai pada tingkat provinsi relatif lebih tinggi dibanding tingkat kabupaten/kota, yaitu masing-masing sebesar 23 persen dan 10 persen. Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/kota
Provinsi
10% 23%
8%
60%
17%
82%
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan.
101
102
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.3.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur Selama periode 2005-2010, penggunaan moda transportasi udara untuk pergerakan manusia dan barang menunjukkan peningkatan. Dari data publikasi BPS, frekuensi penerbangan meningkat lebih dari 50 persen selama periode 2005-2010. Hal ini mendorong peningkatan jumlah penumpang yang datang dan berangkat meningkat masing-masing 66,39 persen dan 91,93 persen selama periode yang sama. Volume bongkar muat barang juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan yang cukup besar pada arus penumpang dan barang terlihat untuk pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi memasuki tahun kedua pengoperasian Bandar Udara Sultan Hasanuddin yang baru. Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara Sultan Hasanuddin Meningkat
Pesawat Berangkat (Unit) Pesawat Datang (Unit) Penumpang Berangkat (Orang) Penumpang Datang (Orang) Penumpang Transit (Orang) Bongkar Bagasi (Ton) Bongkat Kargo (Ton) Muat Bagasi (Ton) Muat Kargo (Ton)
2005
2006
2007
2008
21,214 21,080 1,389,117 1,323,435 931,501 16,667 16,069 14,417 14,952
22,441 22,419 1,421,248 1,509,649 1,076,823 19,030 16,398 30,197 25,684
24,247 24,257 1,514,914 1,646,318 1,299,969 20,085 16,550 32,918 26,313
24,533 24,536 1,579,822 1,751,558 1,320,518 20,685 17,934 17,558 14,435
2009
2010
24,425 31,938 24,448 31,942 1,781,443 2,311,308 1,865,029 2,540,030 1,268,287 1,609,080 21,932 43,976 18,513 32,064 19,806 27,749 13,586 22,040
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Penumpang pengguna transportasi laut cenderung menurun, sementara arus bongkar barang semakin jauh melebihi arus muat. Selama periode 2005-2008, jumlah penumpang yang naik maupun yang turun meningkat masing-masing 29,45 persen dan 10,46 persen. Namun sejak 2008, jumlah penumpang, baik yang naik maupun turun, menunjukkan penurunan. Berbeda dengan gambaran jumlah penumpang, volume bongkar barang, baik dalam dalam negeri maupun luar negeri, justru menunjukkan peningkatan selama periode 2005-2010. Sebaliknya, volume muat barang, baik dalam dalam negeri maupun luar negeri, justru menunjukkan penurunan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pintu keluar produk komoditas di Sulawesi Selatan yang mayoritas berupa hasil pertanian atau perikanan tidak hanya melalui pelabuhan di Makassar. Sementara pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan terhadap barangbarang konsumsi yang masuk dari luar. Selain itu, perkembangan Bandar Udara Sultan Hasanuddin memberikan pilihan lain bagi arus barang dan terutama arus penumpang.
102
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
103
Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar 1.8 1.6
600 1.6
1.5
1.4 Juta Ton
1.3
1.0
400 0.9
0.9 0.8
0.8 0.6
200
0.7 0.3
0.4 0.2
300
Ribu Orang
1.2
500
100 426
348
418
324
410
359
552
384
511
365
403
313
0.0
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Penumpang Naik
Penumpang Turun
Bongkar Dalam Negeri
Muat Dalam Negeri
Bongkar Luar Negeri
Muat Dalam Negeri
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Perkembangan ruas jalan terjadi di kabupaten/kota. Panjang jalan kabupaten/kota menujukkan peningkatan yang paling pesat dibandingkan dengan panjang jalan provinsi dan jalan negara. Selama periode 2007-2010, panjang jalan kabupaten/kota meningkat 38 persen per tahun, sementara panjang jalan provinsi dan jalan negara tidak mengalami peningkatan berarti. Ini menunjukkan sisi positif dari desentralisasi di mana kabupaten dan kota lebih berinisiatif untuk meningkatkan akses darat. Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010
Panjang Jalan (Km)
35,000 29,616
30,000 25,000
21,501
20,000
2007 2010
15,000 10,000 5,000
1,555
1,556
1,209
1,260
0 Negara
Propinsi
Kabupaten/Kota
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
103
104
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Meski demikian, kualitas jalan yang telah ada belum diperhatikan. Secara rata-rata, lebih setengah dari seluruh panjang jalan di Sulawesi Selatan berada dalam kondisi baik. Namun demikian proporsi panjang jalan dalam kondisi rusak (rusak berat dan ringan) juga meningkat. Pada tahun 2005 hanya ada 13 persen jalan berkategori rusak, enam tahun kemudian sudah menjadi 34 persen. Pada tahun 2010, proporsi panjang jalan dalam kondisi rusak sudah mencapai 21 persen, yang berarti bahwa setiap 5 kilometer jalan di Sulawesi Selatan, 1 kilometer diantaranya rusak berat. Meskipun setiap tahun anggaran infrastruktur meningkat, tetapi upaya perbaikan dan pemeliharaan jalan belum sebanding. Gambar 5.28. Proporsi panjang dan kondisi jaringan jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 100 90 80
Persen
70 60 50 40 30 20
50
40
48
44
53
53 Baik
8
8
5
7
37
16 20
36
2005
2006
19
24
26
2007
2008
10 0
Rusak Berat
11 21
21
Rusak Ringan Moderat
13 13
13
2009
2010
13
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi lain di Sulawesi. Cakupan air bersih di Sulawesi Selatan (45 persen) termasuk yang terbaik di Sulawesi. Berdasarkan data BPS, volume air bersih yang disalurkan sebesar 64 juta meter kubik di tahun 2009. Akses ke sanitasi (71 persen) dan listrik (90 persen) juga termasuk yang terbaik di Sulawesi. Walaupun jika dibandingkan dengan rata-rata nasional angkanya masih lebih rendah. Dihitung dari tahun 2005, daya listrik tersambung meningkat rata-rata 4,5 persen per tahun, dan pada tahun 2009 daya yang tersambung sebesar 1,6 miliar Volt Ampere (VA). Pertumbuhan ini mengindikasikan dampak dari pertumbuhan penduduk dan ekonomi di Sulawesi Selatan yang meningkatkan penggunaan pada barangbarang bertenaga listrik.
104
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
105
Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009 120 96
100
90
83
76
Persen
80 60
79
71
45
78
66
62
79
59
57 45
Akses air bersih
43 34
33
40
93
85
26
Sanitasi Layak
26
Akses listrik
20 0
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
Dari 17 persen rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi Sulawesi Selatan, akses terhadap infrastruktur khususnya air bersih perlu mendapat perhatian lebih karena mengalami kecenderungan menurun dalam 5 tahun terakhir. Sementara itu akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap fasilitas sanitasi dan listrik, meski berfluktuasi, mengalami kecenderungan meningkat. Fluktuasi angka akses perempuan terhadap infrastruktur dasar ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya naik-turunnya jumlah belanja modal pemerintah, pemekaran wilayah yang membuat pelayanan pada masyarakat di beberapa lokasi menjadi tidak optimal atau perpindahan status kepala rumah tangga dari perempuan ke laki-laki. Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan 94.9%
100% 90% 80% 70%
91.0%
90.7%
85.3%
84.6%
78.2% 71.5%
70.8%
70.3%
67.4%
71.4%
60.9%
60%
52.4%
Air Bersih
45.7%
50%
Sanitasi
36.8%
40%
Listrik
30% 20% 10% 0% 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Data Olahan Bank Dunia dari Susenas.
105
106
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
Akses terhadap air bersih yang bisa dinikmati rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi Sulawesi Selatan menurun signifikan khususnya di tahun 2008. Akses perempuan terhadap air bersih di tahun 2006 sebesar 71 persen, menurun drastis di tahun 2008, mencapai 37 persen atau berkurang 44 persen dari angka awal. Angka ini kemudian meningkat lagi di tahun 2009 dan 2010, menjadi 46 persen dan 52 persen. Namun bila dibandingkan dengan tahun 2006, akses air bersih perempuan di tahun 2010 menurun sekitar 19 persen. Akses terhadap air bersih dalam Susenas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air pipa atau lokasi sumber air tanah dengan bak penampungan kotoran. Jika rumah tangga berada di lokasi yang padat penduduk maka dapat diperkirakan bahwa sumber air tanah tidak memenuhi syarat air bersih Sementara itu, akses perempuan terhadap sanitasi cenderung mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2006, akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap infrastruktur sanitasi adalah sebesar 67 persen. Angka ini kemudian meningkat di tahun 2007 menjadi 70 persen, dan kemudian hanya bergerak kurang dari satu persen di tahun-tahun berikutnya, yaitu 71 persen di 2008 dan 71 persen di tahun 2009. Baru kemudian angka ini mengalami lonjakan cukup signifikan menjadi 78 persen di tahun 2010. Seperti halnya akses terhadap infrastruktus dasar lain, akses perempuan terhadap listrik di provinsi Sulawesi Selatan juga mengalami fluktuasi, namun trennya cenderung meningkat dalam 5 tahun terakhir. Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap penggunaan listrik di tahun 2006 sebesar 85 persen. Angka ini terus meningkat, dengan peningkatan tertinggi terjadi di tahun 2008 sebesar 95 persen. Tahun 2009 dan 2010, angka akses perempuan terhadap infrastruktur cenderung menurun, yaitu menjadi 91 persen di tahun 2009 dan 2010, namun angka ini masih lebih tinggi dari angka di tahun 2006. Jaringan irigasi berdampak pada produktifitas lahan sawah. Rasio jaringan irigasi pada lahan sawah di tahun 2006 sebesar 46 persen, meningkat sedikit menjadi 47 persen di tahun 2010. Terlihat bahwa tren produktifitas lahan sawah teririgasi mengikuti pola rasio jaringan irigasi. Ini menunjukkan pentingnya menambah jaringan irigasi pada lahan persawahan untuk meningkatkan produksi beras. Ke depannya, data ini dapat dijadikan masukan untuk kebijakan di bidang pertanian padi, bahwa peningkatan kualitas lahan persawahan yang sudah ada, dengan menambah jaringan irigasi, terbukti meningkatkan produktivitas. Di samping pilihan kebijakan memperluas lahan persawahan (ekstensifikasi).
106
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
107
Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010 48
47.0
6
46.1
46.1
46.0
46.8
44
5 5.03
4.95
4.89 42
4.73
4.69
4.65
Ton/Ha
Persen
46
40
4 2005
2006
2007
Rasio Jaringan Irigasi (%)
2008
2009
2010
Tingkat Produktifitas Lahan Sawah Irigasi (Ton/Ha)
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Ada peningkatan kualitas infrastruktur irigasi di Sulawesi Selatan. Meskipun rasio jaringan irigasi menunjukkan penurunan, namun luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi menunjukkan peningkatan. Luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi sederhana pada tahun 2007 seluas 51 ribu hektar, turun menjadi 43 ribu hektar di tahun 2010. Sementara itu lahan yang dialiri irigasi semi teknis meningkat dari 60 ribu hektar menjadi 73 ribu hektar. Secara keseluruhan, luas lahan yang dialiri irigasi meningkat sekitar 6 ribu hektar. Jika dibandingkan dengan data cakupan irigasi yang menurun, ini berarti terjadi penambahan lahan persawahan yang tidak tercakup irigasi.
Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011 200,000 153,803
154,423
156,081
154,023
Hektar
150,000 100,000
60,299 51,675
50,000
64,366 49,485
74,030
72,820
Irigasi Teknis Irigasi Semi Teknis Irigasi Sederhana
43,553
43,347
0 2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
107
108
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
5.3.3 Analisis Kabupaten/Kota Belanja infrastruktur per kapita Kota Pare-pare jauh melebihi daerah lain di Sulawesi Selatan. Belanja infrastruktur Pare-pare hampir dua kali lipat belanja terbesar kedua di Kabupaten Selayar (Rp. 607 ribu). Kota Palopo yang belanja kesehatan dan pendidikan per kapitanya termasuk yang terbesar di Sulawesi Selatan, belanja infrastruktur per kapitanya justru termasuk rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Palopo yang penduduknya relatif sedikit, alokasi belanja infrastrukturnya juga kecil. Kabupaten Selayar memiliki belanja infrastruktur per kapita terbesar kedua, meski demikian, kondisi geografis Selayar yang terdiri dari kepulauan tidak serta merta membuat layanan infrastruktur menjangkau lebih banyak penduduk. Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010 1,400
1,183
1,200
Ribu Rp
1,000 800 600 400 200
393 393 399 323 368 238 247 252 276 226 222 216 167 173 173 94 131 142
484
553 576 607
0
Belanja Infrastruktur Per Kapita
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan.
Panjang jalan bervariasi dengan kualitasnya. Beberapa kabupaten dengan ruas jalan terpanjang di Sulawesi Selatan memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih besar. Kabupaten Bone dan Kabupaten Gowa adalah dua daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang. Sekitar separuh dari jalan di Bone berkategori rusak, dan hampir 60 persen jalan di Gowa berkategori rusak. Kabupaten lain yang memiliki ruas jalan terpanjang adalah Luwu Utara dan Luwu Timur, dan hampir seluruhnya berkategori baik. Umumnya kabupaten hasil pemekaran memiliki kualitas infrastruktur yang tertinggal, tetap kedua kabupaten ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Kabupaten lain mayoritas memiliki ruas jalan berkategori baik yang lebih besar dari jalan berkategori rusak.
108
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
109
3,000
2,512
2,603
Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih Baik
317 16
93
236
910 768 0
264
1,017 576 791 709 495 366 918 231 920 652 366 1203
524 416
1,420 1458 640 309
764
335
110
684 794
1,100
1,107 724 152
18
517
441 170
500
586
1,000
972
1,500
1573
1,523
2,000
208
Panjang Jalan (Km)
2,500
0
Baik
Rusak
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.
Daerah perkotaan memiliki cakupan infrastruktur dasar yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan kualitas infastruktur jalan, maka daerah perkotaan yang penduduknya lebih terpusat memiliki cakupan infrastruktur dasar yang lebih baik. Sebaliknya, kabupaten yang penduduk dan aksesnya lebih tersebar memiliki cakupan infrastruktur dasar yang rendah. Sebagai contoh, Kabupaten Selayar memiliki belanja infrastruktur per kapita terbesar kedua, 78 persen ruas jalan berkualitas baik, masih harus mengejar cakupan akses air bersih yang hanya 21 persen (terendah kedua) dan cakupan akses sanitasi layak yang sebesar 46 persen (terendah ketiga). Kabupaten pemekaran Luwu Timur memiliki capaian yang cukup baik. Sekitar 48 persen masyarakat memiliki akses ke air bersih (tertinggi keempat), dan 81 persen memiliki sanitasi layak (tertinggi kelima).
Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Akses Air bersih
Sanitasi Layak
Akses Listrik
Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.
109
Bab 5 Analisis Sektor Strategis
110
5.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi
110
Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di pelabuhan laut cenderung menurun. Hal serupa dapat dijumpai juga di daerah lain di Indonesia di mana tren transportasi udara menunjukkan perkembangan pesat. Perkembangan tersebut akan mendesak kapasitas infrastruktur udara, sehingga pemerintah harus konsisten berbenah. Direkomendasikan agar pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar udara seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan dalam bandar udara.
Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi di Sulawesi. Cakupan infrastruktur dasar dipengaruhi oleh sebaran penduduk dan kondisi geografi masingmasing daerah. Cakupan infrastruktur di kota lebih baik dari di kabupaten. Kabupaten Selayar, daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja infrastruktur yang signifikan disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya.
Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung memburuk. Akses air bersih dipengaruhi oleh ketersediaan air pipa dan jarak sumber air tanah dengan bak penampungan kotoran. Kesimpulan tersebut berarti bahwa rumah tangga yang dikepalai perempuan mayoritas berada di luar jangkauan pipa air bersih, atau tidak memiliki luasan yang layak sehingga sumber air tanahnya tercemar. Direkomendasikan agar pemerintah daerah selain meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih, juga menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan.
Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada bertumbuhnya panjang jalan di kabupaten/kota. Panjang ruas jalan tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Beberapa daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang juga memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih besar. Secara umum daerah lain memiliki jalan berkategori baik yang lebih besar. Direkomendasikan agar pemerintah daerah memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total ruas panjang jalan.
Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. Jumlah lahan dengan irigasi sederhana terus menurun, digantikan dengan irigasi teknis dan semi teknis yang tingkat efisiensi penggunaan airnya lebih baik. Meski demikian rasio jaringan irigasi menurun, menunjukkan bahwa pertambahan luas lahan lebih cepat daripada pertambahan lahan yang diirigasi. Karena ada hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktifitas lahan, maka direkomendasikan agar pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan kualitasnya daripada mendorong ekstensifikasi lahan.
BAB 6 ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN
111
112
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Pertanian merupakan sektor ekonomi yang dominan di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, penghasil kakao dan udang tertinggi di Indonesia. Kebijakan pembangunan pertanian periode 2008-2013 adalah “peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan”. Kebijakan ini dioperasionalkan pada berbagai sub sektor pertanian. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menopang kebutuhan pangan nasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah Sulawesi Selatan memprogramkan pencapaian surplus beras minimal 2 juta ton, produksi jagung minimal 1,5 juta ton, sapi 1,0 juta ekor, kakao 340 ribu ton, udang 33 ribu ton, dan peningkatan produksi komoditas unggulan hortikultura dari tahun ke tahun minimal 5 persen per tahun hingga tahun 2013.
Belanja Sektor Pertanian Selama periode 2005-2010, belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Laju peningkatan belanja sektor pertanian relatif berbanding lurus dengan laju peningkatan total belanja daerah. Akibatnya, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah cenderung konstan. Pada tahun 2005, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah sebesar 2,3 persen dan kemudian pada tahun 2011 menjadi 3,1 persen. Proporsi ini, tentu saja, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan sektor-sektor prioritas lainnya, seperti sektor pertanian, kesehatan, dan infrastruktur. Di tingkat provinsi, belanja sektor pertanian menunjukkan peningkatan yang relatif stabil, sedangkan di tingkat kabupaten/kota cenderung fluktuatif. Belanja sektor pertanian di tingkat provinsi meningkat rata-rata 23,5 persen per tahun selama periode 2005-2011. Untuk tingkat kabupaten/kota, peningkatan yang relatif stabil berlangsung pada periode 2005-2008 dengan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata 40 persen per tahun. Namun pada tahun 2009, belanja sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 13 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan yang relatif stabil kembali terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan 600 500
3.2%
3.1%
361
379
329
2.7%
2.9%
2.9%
3.1%
2.3%
Miliar Rp
400 300 200
369
386
239
100
145 42
43
83
95
100
123
125
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
Provinsi
Kabupaten/Kota
% Pertanian
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
112
4% 3% 3% 2% 2% 1% 1% 0%
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
113
Komposisi belanja sektor pertanian menurut klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai, namun dengan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun 2005, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sektor pertanian mencapai hampir 62 persen, dan terus menurun hingga 51,5 persen pada tahun 2010. Sebaliknya, selama periode yang sama, proporsi belanja modal terhadap total belanja sektor pertanian, justru menunjukkan peningkatan meskipun cenderung fluktuatif. Pola belanja modal ini hampir sama dengan belanja barang dan jasa, baik dari segi jumlah dan proporsi maupun kecenderungan peningkatan. Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan, 2005-2011
Rp Miliar
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
37 95
137
130
109
122
123
104
121
102
117
56
129
132
203
223
218
253
259
2006
2007
2008
2009
2010
2011
35
115
2005 Belanja Modal Riil
Belanja Barang dan Jasa Riil
Belanja Pegawai Riil
Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.
Gambar 6.3. Alokasi belanja sektor pertanian provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi ekonomi di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/kota
Provinsi 12%
29%
48%
53% 41% 18%
Belanja Pegawai Belanja Modal
Belanja Barang dan Jasa
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2010 APBD Perubahan.
113
114
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Proporsi belanja pegawai sektor pertanian di tingkat kabupaten/kota relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, proporsi belanja pegawai mencapai 53 persen, sedangkan untuk tingkat provinsi mencapai 48 persen. Namun, proporsi belanja modal di tingkat kabupaten/kota jauh lebih besar (mencapai 29%) dibandingkan dengan tingkat provinsi (12%). Hal ini mengindikasikan bahwa program-program penyuluhan dan perjalanan dinas penyuluh dilakukan oleh pemerintah tingkat provinsi. Sementara pengadaan fasilitas lebih banyak menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Kabupaten yang menjadi sentra pengembangan komoditas unggulan mengalokasikan belanja sektor pertanian yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan bervariasi antara kabupaten/kota. Pada tahun 2010, belanja pertanian yang tinggi terjadi pada daerah yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan. Belanja sektor pertanian tertinggi ditunjukkan oleh Kabupaten Sidrap (Rp 37 miliar) yang merupakan daerah sentra pengembangan padi, Pinrang (Rp. 22 miliar) sebagai produsen udang terbesar, dan Jeneponto (Rp. 23 miliar) dengan jagung dan rumput lautnya. Secara per kapita, Kabupaten Selayar, Sidrap, dan Enrekang memiliki belanja pertanian yang terbesar. Gambar 6.4. Belanja pertanian riil kabupaten/kota di Sulawesi Selatan 37
40
200 160
22 23
19 20
16
14 11
10
15
12 12 13 8
16
21 15
13
120 80
10
9
7
21
18 18 17
Ribu Rp
Miliar Rp
30
40 8
20
24
25
31
39
41
47
49
52
56
59
60
63
66
67
74
75
0
78
95 113 135 176
0
Belanja Pertanian Riil Per Kapita
Belanja Pertanian Riil
Sumber: Diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian Sebagian besar target produksi komoditas unggulan diperkirakan akan tercapai pada waktunya. Beberapa komoditas unggulan diperkirakan mencapai targetnya di tahun 2013. Komoditas tersebut antara lain beras, jagung, dan sapi. Produksi rumput laut bahkan sudah melampaui target sejak tahun
114
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
115
2010. Komoditas udang terkendala oleh penyakit, metode tambak tradisional, dan banyaknya lahan tidak produktif. Sementara komoditas kakao masih menunggu masa panen diakibatkan banyaknya lahan yang diremajakan. Produksi beras Sulawesi Selatan melebihi konsumsi lokal. Produksi gabah kering giling tahun 2010 sebesar 4,4 juta ton menghasilkan 2,7 juta ton beras (asumsi 60% rendemen), sementara konsumsi Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar 800 ribu ton. Target Sulawesi Selatan adalah menghasilkan surplus 2 juta ton beras di tahun 2014. Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013 Komoditas Beras (ribu ton gabah kering giling) Jagung (ribu ton) Sapi (ribu ekor) Udang (ton) Kakao (ribu ton) Rumput Laut (ribu ton)
2008 4.083 1.195 703 17.333 110 747
2009 4.324 1.394 769 17.829 163 824
2010 4.380 1.400 849 22.200 172 1.518
Target 2013 4.667 1.500 1.000 30.300 300 1.000
Sumber: Laporan kinerja dan Renstra SKPD terkait, dan BPS Sulawesi Selatan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Ini terlihat dari besarnya alokasi belanja pertanian di kabupaten-kabupaten yang menjadi lokasi produk unggulan. Belanja pertanian di Sulawesi Selatan juga meningkat selama kurun 20052010, dengan proporsi sebesar 3 persen dari total belanja. Jika dibandingkan dengan daerah lain, alokasi ini relatif besar.
Belanja pegawai di sektor pertanian masih mendominasi. Belanja pegawai di sektor pertanian sulit diukur efektifitasnya terhadap output sektor pertanian. Direkomendasikan agar belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan.
6.1. Komoditas Jagung Target produksi jagung minimal 1,5 juta ton diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2011 atau lebih cepat dua tahun dari waktu yang drencanakan (2013). Produksi jagung Sulawesi Selatan pada tahun 2009 mencapai 1,4 juta ton dengan luas panen 318 ribu hektar atau rata-rata 4,685 ton per hektar. Sulawesi Selatan saat ini berada pada urutan kelima secara nasional setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Utara. Komoditas jagung di Sulawesi Selatan mengalami perkembangan yang sangat pesat selama periode 2005-2010. Luas areal dan volume produksi jagung di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Luas areal berkembang rata-rata 12 persen per tahun atau dari 206 ribu hektar pada tahun 2005 menjadi 300 ribu hektar pada tahun 2009. Produksi meningkat dari 705 ribu ton pada tahun 2005
115
116
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
meningkat menjadi 1,4 juta ton pada tahun 2009 (rata-rata 19,5 persen per tahun). Peningkatan produksi dapat dicapai melalui peningkatan luas areal tanam dan peningkatan luas pertanaman. Selain itu peningkatan produksi juga dicapai melalui penggunaan bibit unggul dan perbaikan teknik budidaya. Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 KAB. LAINNYA (21,46%)
800,000
G O W A (22,10%)
600,000 400,000 200,000 0
103.6 123.0 138.1
129.7 164.3 96.0
2005
2006
287.4
245.0
175.3
172.6
147.4 153.0
186.1
194.6
202.4
152.5
144.4
152.4
2007
2008
2009
2010
JENEPONTO (11,61%) BANTAENG (5,76%)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Gowa, Jeneponto, dan Bantaeng merupakan sentra komoditas jagung di Sulawesi Selatan. Ketiga daerah tersebut memberikan kontribusi sekitar 50 persen dari total produksi Sulawesi Selatan. Tingkat produktivitas yang dicapai pada tiga daerah tersebut mencapai 5 ton per hektar. Meski demikian, rata-rata pertumbuhan produksi jagung yang dicapai selama periode di ketiga daerah tersebut bervariasi, masing-masing adalah 5 persen, 11 persen, dan 1 persen. Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 350,000 300,000 250,000
DAERAH LAINNYA 213,748 171,299
200,000 150,000 100,000 50,000 -
130,260
207,801
194,578
JENEPONTO
118,774
BANTAENG 22,121
38,638
49,465
33,861
39,279
40,391
47,199
46,406
43,807
47,890
42,316
38,936
26,803
19,483
37,932
31,855
25,772
29,613
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan.
116
GOWA
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
117
Sekitar 40 persen luas areal pertanaman jagung terdapat di tiga kabupaten, yaitu Bantaeng, Jeneponto, dan Gowa. Luas areal pertanaman jagung bertumbuh rata-rata 9 persen per tahun. Kabupaten Gowa termasuk daerah dengan pertambahan luas areal pertanaman jagung yang sangat tinggi, yaitu 21 persen per tahun. Hal ini disebabkan oleh tersedianya areal yang sesuai dan potensial untuk komoditas jagung di daerah tersebut. Tingkat produktivitas jagung di Sulawesi Selatan juga menunjukkan peningkatan selama periode 20052010. Tingkat produktivitas meningkat rata-rata 5 persen per tahun atau dari 3,8 ton/ha pada tahun 2005 meningkat menjadi 4,6 ton/ha pada tahun 2010, produktifitas ini menurun jika dibanding tahun 2009. Penurunan tingkat produktivitas tersebut disebabkan oleh pertumbuhan volume produksi yang relatif lambat dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal pertanaman jagung. Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010 No. 1. 2. 3. 4.
Sentra Produksi
Produktivitas (Kwintal/Ha) 2005
Kab. Bantaeng Kab. Jeneponto Kab. Gowa Daerah Lainnya Sulawesi Selatan
5,15 2,91 4,68 2,62 3.84
2006 4,93 4,22 3,36 2,58 3.77
2007 4,03 3,12 5,18 2,89 3.80
2008 4,79 4,01 4,39 3,20 4.10
2009 5,60 4,44 4,64 3,70 5.22
2010 5,15 4,23 4,95 4,16 4.62
Sumber: Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan.
Produksi jagung di Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan memproduksi jagung organik untuk menambah nilai produksi. Pengembangan produk jagung organik dikembangkan dengan mengintegrasikan dengan pengembangan ternak. Sisa tanaman digunakan untuk ternak dan kotoran ternak sebagai pupuk organik yang menggantikan pupuk kimia yang banyak digunakan. Program ini juga akan memperbaiki kualitas lingkungan. Pengembangan produk jagung organik harus didukung dengan penguatan kelembagaan petani dan lembaga pemasaran yang memprogramkan dan mempromosikan produk jagung organik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3 pesen dari target produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013. Keberhasilan tersebut dicapai melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi yang ditunjang dengan penggunaan teknis budidaya yang didukung dengan pembiayaan pembangunan.
Ke depan, pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani.
117
118
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
6.2. Komoditas Kakao Sulawesi Selatan merupakan daerah pengahasil kakao di Indonesia yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota. Sentra pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan terdapat di delapan kabupaten/kota yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Pinrang, Bone, Soppeng, Wajo, dan Kota Palopo. Pada sentra produksi tersebut, ada tujuh kabupaten yang mempunyai potensi lahan tanaman kakao yang sangat luas untuk dikembangkan yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Soppeng, Wajo, dan Pinrang. Pada Tahun 2010, Kabupaten penghasil kakao yang paling besar kontribusinya (41 persen) terhadap produksi total Provinsi Sulawesi Selatan adalah Luwu Raya (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur), sedangkan produksi dari Bone, Wajo, dan Pinrang memberi kontribusi sebesar 29 persen. Pengembangan produksi komoditi kakao di Sulawesi Selatan belum optimal bila dilihat dari luas areal pertanaman dan produktivitasnya. Total luas areal tanaman kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 seluas 266 ribu hektar. Dari luas areal tersebut masih terdapat 21 ribu hektar tanaman yang rusak atau tanaman yang sudah tua. Areal perkebunan yang belum menghasilkan produksi juga masih cukup luas yaitu hamper seluas 30 ribu hektar. Produktifitas lahan kakao saat ini rata-rata sebanyak 800 kilogram per hektar. Kakao merupakan komoditas andalan perkebunan Sulawesi Selatan dan berperan penting bagi perekonomian daerah. Komoditas kakao di Sulawesi Selatan berperan dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan sumber Devisa Negara. Pengembangan komoditas kakao sangat didukung oleh sumberdaya alam yang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim, sehingga meningkatkan minat masyarakat dan investor untuk mengembangkan komoditas ini. Dari sekian banyak komoditi perkebunan yang di ekspor, komoditi kakao yang memberikan kontribusi terbesar yaitu volume ekspor sebesar 204 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar USD 262 Juta, dengan negara tujuan antara lain Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Polandia, Inggris, Brazil, China, Jepang, Jerman, Malaysia, Singapura, Spanyol, Thailand, Kanada, Australia, Perancis, Afrika, Mesir, Meksiko, Rusia, Bulgaria, Spanyol, dan Turki. Sampai sekarang, minat para petani mengembangkan komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih tetap besar. Data menunjukkan adanya peningkatan areal pertanaman kakao Tahun 2006 sudah mencapai lebih dari 222 ribu hektar dan meningkat menjadi lebih dari 265 ribu pada tahun 2010. Jumlah keluarga petani yang terlibat dalam pertanaman kakao pada tahun 2006 tercatat lebih 255 ribu keluarga dan pada tahun 2010 meningkat menjadi sekitar 294 ribu keluarga. Kakao sebagai usaha perkebunan rakyat, dengan ciri berskala kecil, umumnya masih di kelola secara tradisional dan sebagian masih merupakan tanaman sampingan sehingga masih menghadapi tantangan untuk pengembangannya.
118
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
119
Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010. Luas Lahan Kakao
Produksi dan Poduktivitas Kakao
60
40 35
50 40 30
38
48
20
29
25
708
13
11
667
20 15 10
16
30 20
24 12
14
Menghasilkan
Rusak/tua
400 200
9
0
Belum menghasilkan
800 600
34
5 0
791
692
30
10
1,000
866
803
30
Ribu Ton
Ribu Hektar
1,200 974
-
Produksi (ton)
Produktivitas (kg/ha)
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Produksi dan produktivitas komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih fluktuatif. Total produksi biji kakao yang dicapai pada Tahun 2006 adalah sebesar 157 ribu ton, dan meningkat menjadi lebih dari 172 ribu ton ada tahun 2010. Hanya saja tingkat produksi yang dicapai selama kurun waktu Tahun 2006 – 2010 masih berfluktuasi. Disamping itu tingkat produktivitas rata-rata setiap hektar di Sulawesi Selatan juga masih fluktuatif sepanjang kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan karena program rehabilitasi tanaman kakao yang rusak atau tua tidak berkesinambungan, sehingga pada tahun tertentu area yang perlu direhabilitasi bertambah. Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi Tahun
Luas Area (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (kg/ha)
2006 2007 2008 2009 2010
222.859,82 250.854,64 257.313,20 263.153,05 265.985,00
157.933,92 117.118,52 110.009,45 163.001,47 172.083,00
963,76 677,44 626,22 784,22 798,57
Jumlah Petani (KK) 255.190 272.304 279.239 288.405 294.620
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam upaya pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, pemerintah pusat, pemerintah daerah telah merencanakan dan melaksanakan berbagai jenis program. Jumlah program pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 dan 2008 lebih banyak dibanding dengan tahun 2007, 2009 dan 2010. Meskipun demikian sejak tahun 2009, telah dilaksanakan program Gernas (Gerakan Nasional) kakao. Program ini cakupannya cukup luas karena meliputi intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, dan peremajaan kakao untuk meningkatkan produktifitas tanaman. Pada tahun 2009 program Gernas kakao
119
120
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
dilaksanakan pada 11 kabupaten dan pada tahun 2010 dan 2011 diperluas menjadi 12 kabupaten. Sebelum dilaksanakannya Gernas kakao, program pengembangan pemerintah cenderung tidak konsisten antar tahun. Sehingga menyulitkan proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010 Tahun 2006
2007
2008
2009 2010 2011
Program a. b. c. d. a. b. a. b. c. d. a. b. a. b. a. b.
Perlindungan tanaman; Peningkatan mutu dan pemasaran hasil perkebunan; Pengembangan dan pembinaan usaha perkebunan; dan Pengembangan agribisnis. Perlindungan Tanaman; dan Program Pengembangan Agribisnis. Peningkatan kesejahteraan petani; Peningkatan penerapan teknologi perkebunan; Pengembangan agribisnis, dan Peningkatan ketahanan pangan. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 11 kabupaten). Pemulihan produksi dan kualitas kakao; Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten). Pemulihan produksi dan kualitas kakao; Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten).
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebagian besar anggaran pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan bersumber dari APBN. Jumlah realisasi anggaran pengembangan kakao tertinggi pada tahun 2009 yaitu sebanyak Rp. 119 milyar di mana hanya 3 persen yang bersumber dari APBD. Dalam 5 tahun pelaksanaan pengembangan kakao, baik sebelum maupun setelah program Gernas, mayoritas anggaran bersumber dari APBN. Hal ini menunjukkan dukungan pemerintah pusat terhadap komoditas kakao di Sulawesi Selatan. Pada APBN 2009-2011, sudah ada alokasi anggaran khusus membiayai “Gernas Kakao”.Pengalokasian anggaran pengembangan kakao baik yang bersumber dari APBD maupun dari APBN disesuaikan potensi (luas lahan), permasalahan dan kebutuhan daerah tersebut. Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Realisasi Anggaran (Rp) APBD 1.043.710.050 410.363.725 1.204.154.700 3.143.640.406 920.354.050 139.725.000
APBN 101.000.000 1.705.551.000 4.987.230.000 115.967.538.920 68.368.456.504 n.a
Luas area program Gernas Kakao (hektar) Peremajaan n.a n.a n.a 4.300 3.550 6.300
Rehabilitasi n.a n.a n.a 20.900 10.149 9.100
Intensifikasi n.a n.a n.a 23.700 3.350 8.350
Total n.a n.a n.a 48.900 17.049 23.750
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. Catatan: Program Gernas Kakao dimulai tahun 2009, sehingga tidak ada data area untuk tahun sebelumnya.
120
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
121
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kakao, pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan kebijakan dan berbagai program, antara lain dengan Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao yang dimulai sejak Tahun 2009. Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah memperlihatkan kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan 2010), walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006.
Untuk mencapai produksi kakao 300 ribu ton pada tahun 2013, masih perlu upaya rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen tanaman kakao yang belum tersentuh program Gernas Kakao. Di sisi lain, penguatan kelembagaan petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju “kemandirian’’ petani. Upaya lain yang telah dirintis oleh pemerintah Sulawesi Selatan adalah industri perkakaoan, sebagai provinsi yang memiliki keunggulan mutlak dibanding provinsi lain di Indonesia.
Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. Dukungan pendanaan dari pusat merupakan sesuatu yang tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang. Jika Sulawesi Selatan ingin mengembangkan kakao sesuai dengan keunggulan mutlak di atas, maka pemerintah harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk program ini. Kompetitor Sulawesi Selatan pada produk kakao hampir tidak ada, sementara komoditas jagung, sapi, rumput laut, dan udang, diunggulkan juga oleh beberapa provinsi lain.
6.3. Komoditas Sapi Pada tahun 2013 pemerintah Sulawesi Selatan mencanangkan pencapaian populasi sapi sejuta ekor. Gerakan pencapaian populasi sapi sejuta ekor dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional khususnya penyediaan daging untuk konsumsi masyarakat. Jumlah populasi ternak sapi yang dicanangkan di Sulawesi Selatan pada tahun 2013 diharapkan mencapai 1 juta ekor. Untuk mencapai jumlah populasi sapi sebanyak itu, maka pemerintah daerah kabupaten dan provinsi telah melakukan upaya peningkatan mutu intensifiksi melalui penerapan teknologi budidaya sapi dan kawin suntik dengan melibatkan peran kelembagaan kelompok tani ternak di tingkat kabupaten/kota. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pencapaian populasi tersebut diantaranya adalah optimalisasi kelahiran sapi dengan inseminasi buatan (IB), intensifikasi kawin alam dan penambahan induk sapi betina dan pejantan. Upaya lain yang dilakukan adalah pengendalian pemotongan sapi betina produktif, perdagangan sapi antar pulau dan menurunkan tingkat kematian. Target pencapaian sejuta ternak sapi pada tahun 2013 diyakini dapat direalisasikan. Ini dapat dilihat dari populasi sapi potong/perah di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005-2010, yang menunjukkan peningkatan secara konsisten. Pada tahun 2005, jumlah populasi ternak sapi di Sulawesi Selatan sebesar 600 ribu ekor. Peningkatan populasi sapi terus terjadi setiap tahun hingga pada tahun 2010 telah
121
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
mencapai hampir 850 ribu ekor. Apabila pertumbuhan populasi ternak dipertahankan sebesar 6,00 persen per tahun maka pencapaian angka sejuta ekor sapi akan diperoleh diakhir tahun 2013.
900
12 10.4
800
9.3
10
700 7.2
600
8
500 5
400
5.2
6
300
Persen
Pertumbuhan populasi sapi meningkat dalam 2 tahun terakhir. Sejak dicanangkannya target sejuta populasi sapi pada tahun 2008, pertumbuhan populasi sapi meningkat menjadi 9 dan 10 persen pada dua tahun berikutnya. Melihat tren pertumbuhan pada tiga tahun sebelumnya yang cenderung lebih stagnan, pencanangan target merupakan hal positif bagi pertumbuhan ternak sapi
Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/ Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009.
Ribu Ekor
122
4
200 2 100
594
637
669
703
769
849
0
0 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: BPS, 2010.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Populasi sapi di Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2005 sampai tahun 2010. Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2013 jika terus mengalami perkembangan secara konsisten dengan tingkat perkembangan sebesar 6 persen per tahun.
Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk memacu kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan pengembangan pakan sapi, peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk atau bibit sapi serta pengendalian lalu lintas ternak.
6.4. Komoditas Rumput Laut Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia. Di daerah ini, jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Gracillaria verrucosa yang dibudidayakan di tambak dan Echeuma cottoni di laut. Lokasi pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh pesisir Sulawesi Selatan. Pemerintah Sulawesi Selatan mengelompokkan sentra-sentra pengembangan rumput laut ke dalam 2 kluster, masing-masing Kluster Pengembangan jenis G. verrocosa berada di Kota Palopo (inkubator), Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros, Takalar, Bulukumba, dan Sinjai. Sementara Kluster Pengembangan jenis E cottoni berada di Kabupaten
122
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
123
Takalar (inkubator), Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Selayar, Kota Makassar, Pangkep, Barru, Pinrang, Bone, Wajo, Luwu, Palopo, Luwu Timur dan Luwu Utara. Produksi total rumput laut di Sulawesi Selatan meningkat secara signifikan dalam kurun waktu 20062010. Produksi rumput laut Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai 1,5 juta ton, terdiri dari rumput laut jenis E. cottonii sebesar 1,1 juta ton dan G. verrucosa sebesar 400 ribu ton. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2010, dari sekitar 800 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 1,5 juta ton pada tahun 2010 (84 persen). Produksi rumput laut jenis G. Verrucosa yang dibudidaya dalam tambak cenderung menurun sedangkan jenis E. cottoni yang dibudidaya di laut selalu meningkat, hal ini menunjukkan potensi laut Sulawesi Selatan masih besar. Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. verrucosa dan E. cottoni, 2006-2010 84%
1.6
1.52
1.4
Juta Ton
60%
1.0
50%
0.8 0.75 0.62
0.63
0.4 0.2
80% 70%
1.2
0.6
90%
0.82
40% 30%
19%
20%
10% 0%
2%
Gracilaria (ton) E. Cottoni (ton) Total Peningkatan
10% 0%
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Lebih dari tiga perempat produksi rumput laut Sulawesi Selatan berasal dari 5 kabupaten. Takalar adalah produsen rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, pada tahun 2010 produksinya mencapai 450 ribu ton, atau 30 persen dari total produksi provinsi. Total produksi dari 5 kabupaten tersebut mencapai 1,2 juta ton, atau 78 persen dari total produksi. Kabupaten lain yang juga memiliki luasan budidaya rumput laut dan produksi yang besar adalah Bulukumba dan Bantaeng (5 persen), dan Pangkep (4 persen).
123
124
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010. 500
30%
400 Ribu Ton
35%
30% 22%
22%
25%
300
20%
200
15%
10%
8%
8%
10%
100
5%
0
0% Takalar
Luwu
Lainnya G. Verrucosa
Jeneponto E. Cottoni
Bone
Luwu Timur
% Total
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Produksi rumput laut dari 5 kabupaten utama meningkat pesat pada tahun 2010. Selama kurun 2006 hingga 2009, kontribusi 5 kabupaten penghasil utama rumput laut perlahan menurun meskipun produksinya meningkat, dari 63 persen (389 ribu ton) menjadi 57 persen (475 ribu ton). Sementara produksi dari daerah penghasil pesisir lainnya seperti Bantaeng, Bulukumba, Pangkep, dan Kota Palopo terus meingkat. Proporsi produksi 5 kabupaten tersebut meningkat drastic pada tahun 2010 menjadi 78 persen yang terutama diakibatkan peningkatan produksi di Kabupaten Luwu, Bone, dan Takalar. Di tahun 2010 produksi Kabupaten Takalar meningkat 2 kali lipat, Bone 3 kali lipat, dan Luwu 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Gambar 6.11. Kontribusi 5 Kabupaten Penghasil Utama Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat di Tahun 2010. 100% 90% 80%
335.58 227.94
255.55
304.84
349.05
70% 60%
26.03
50%
113.25
17.34 116.97
40% 30% 20% 10%
45.57
53.28
132.53
134.72
27.69
40.14
83.54
80.63
81.21
39.39 33.43
2006
2007
2008
2009
Jeneponto
Takalar
0%
Bone
149.92 123.07
141.22
30.53
Luwu
449.22
135.58 214.14
136.18
118.97
Luwu Timur
340.93
2010 Lainnya
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan di tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu 106 persen dari tahun sebelumnya. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan menyebutkan ekspor rumput laut tahun 2009 sebesar dari 20 ribu ton senilai USD 17,6 juta meningkat menjadi 41 ribu ton atau senilai US$ 47 juta pada tahun 2010. Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan dilakukan oleh beberapa pengusaha antara lain adalah PT. Bantimurung Indah di Maros, PT. Giwang Citra Laut di
124
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
125
Takalar dan CV. Cahaya Cemerlang di Makassar (komoditas rumput laut jenis E.cottonii), serta PT. Agarindo Bogatama di Tangerang dan PT. Sriti di Malang (komoditas rumput laut jenis G. verrucosa).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi, terutama jenis G. Verrucosa. Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup besar. Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal. Budidaya rumput laut di tambak selain dapat meningkatkan produksi rumput laut juga dapat memperbaiki kualitas perairan tambak melalui pengurangan laju proses eutrifikasi. Demikian halnya rumput laut jenis E. cottoni, peningkatan produksi masih memungkinkan terutama di wilayah perairan yang berada di pulaupulau kecil di Sulawesi Selatan.
Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih untuk memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut. Selain itu, Pemerintah dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang rumput laut untuk menjamin stabilitas harga yang wajar.
6.5. Komoditas Udang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Selatan. Volume ekspor udang Sulawesi Selatan, pada tahun 2008 sebanyak 7 ribu ton dengan nilai USD 59 ribu. Tenaga kerja yang terserap pada kegiatan budidaya, pengelola dan pemasaran udang sebanyak 381 ribu orang. Meskipun hampir seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menghasilkan udang, ada 9 yang merupakan penghasil utama. Daerah-daerah ini terletak di pesisir Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar yang memiliki ragim perairan laut yang berbeda. Masyarakat petambak di Sulawesi Selatan sudah mengusahakan budidaya udang sejak dicanangkan Program Udang Nasional (PUN) di tahun 1982an. Kontribusi 5 kabupaten penghasil utama terhadap produksi tahun 2010 sebesar 60 persen. Daerah penghasil utama udang di provinsi ini adalah Pinrang, Bone, Luwu, Wajo, dan Pangkep dengan total produksi 13 ribu ton. Total luas area tambak di kelima kabupaten tersebut mencapai lebih dari 60 ribu hektar, dari total 105 ribu hektar tambak di Sulawesi Selatan. Meski demikian produktifitas daerah penghasil dengan luasan tambak yang besar ini relatif lebih rendah dari kabupaten lain yang luasannya lebih kecil. Produktifitas tambak tertinggi ditemukan di Bulukumba dan Takalar yang luas tambaknya 3 dan 4 ribu hektar. Produktifitas tambak rata-rata sebesar 0,3 ton per hektar per tahun. Produktifitas yang masih rendah ini disebabkan mayoritas tambak masih berteknologi sederhana (37 ribu hektar). Tambak dengan teknologi intensif atau semi intensif baru mencapai 7 ribu hektar, sementara sisanya justru belum dimanfaatkan. Produksi benur belum mencukupi kebutuhan tambak di Sulawesi Selatan. Data dari Buku Saku Statistik Perikanan Budidaya (2010) menyebutkan kebutuhan untuk budidaya tradisional saja sebesar
125
126
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
1,8 milyar ekor, sementara produksi hanya sebesar 723 juta ekor. Jumlah panti-pembenihan (hatchery) di Sulawesi Selatan sebanyak 21 buah, dan ada 111 pembenihan berskala rumah tangga dengan kapasitas produksi diperkirakan mencapai 1,4 milyar ekor.
Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang di Sulawesi Selatan, 2010 Kabupaten/Kota
Luwu Wajo Bone Bulukumba Takalar Maros Pangkep Pinrang Luwu Timur Lainnya
Produksi (Ton)
Luas Tambak (Ha)
Produktivitas (ton/ha)
2.463 1.657 3.150 1.300 1.551 1.365 1.610 4.530 1.153 3.441
9.894 12.903 11.633 3.576 4.541 9.622 10.977 15.026 11.620 16.068
0,25 0,13 0,27 0,36 0,34 0,14 0,15 0,30 0,10 0,21
Akselerasi peningkatan produksi udang di Sulawesi Selatan mulai diupayakan sejak 2004. Revitalisasi budidaya tambak pada “GERBANGMAS”, kemudian dilanjutkan pada periode 2008-2013 melalui Program Kebangkitan Udang. Dalam RPJMD Sulawesi Selatan, peningkatan produksi udang dinyatakan Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. secara tersirat dalam Agenda ke-2, yaitu kebijakan peningkatan produksi pertanian, termasuk komoditas udang.
Produksi udang di Sulawesi Selatan masih relatif Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut berfluktuasi. Produksi udang Sulawesi Selatan tahun Kategori Jenis, 2006-2010 2010 mencapai 22 ribu ton. Jenis udang yang 100% diproduksi adalah udang windu (Peneaus monodon), 2,345 3,475 3,253 90% 6,179 5,473 udang putih/vanname (Litopeneaus vannamei) dan 1,417 795 80% 3,217 udang lainnya. Produksi udang windu relatif jauh 70% 3,342 2,116 60% lebih tinggi dibandingkan udang putih. Udang putih50% vanamae diintroduksi untuk menanggulangi 40% 15,145 12,600 merosotnya produksi udang windu akibat serangan 11,264 10,240 30% 12,699 penyakit secara massif di Sulawesi Selatan. Udang 20% windu memiliki capaian ukuran maksimum yang lebih 10% besar dan harga jual yang lebih tinggi, sedangkan 0% 2006 2007 2008 2009 2010 udang putih-vanamae memiliki sintasan (survival rate) tinggi dan kebutuhan protein pakannya lebih Udang Windu Udang Putih Udang Lain rendah sehingga harga pakan menjadi lebih rendah. Pada tahun 2009, posisi Sulawesi Selatan sebagai Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi penghasil udang windu di Indonesia berada pada Sulawesi Selatan. urutan ke-4 setelah Sumatera Selatan (42 ribu ton), Jawa Barat (19 ribu ton) dan Sumatera utara (13 ribu ton). Laju peningkatan produksi udang di Sulawesi Selatan masih di bawah target.. Produksi udang Sulawesi Selatan rata-rata tumbuh 4,5 persen per tahun, lebih rendah dari target yang Pemerintah Sulawesi Selatan untuk tahun 2009-2013, yaitu sebesar 13 persen per tahun. Produksi udang putih bertumbuh sebesar 57 persen per tahun dan udang lainnya meningkat sebesar 22 persen, sedangkan udang windu
126
Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan
127
justru cenderung menurun rata-rata sebesar 3 persen per tahun. Teknologi intensif dengan padat penebaran yang tinggi (30 ekor/m2) untuk udang windu tidak lagi digunakan. Udang windu hanya dibudidayakan pada tingkat teknologi paling sederhana/tradisional (< 5 ekor/m2). Kecenderungan penurunan produksi udang windu ini tidak sejalan dengan preferensi produsen yang memilih udang windu sebagai primadona. Sistim jaminan mutu, ‘Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)’ dalam produksi udang di Sulawesi Selatan telah diterapkan. Jaminan mutu pada proses produksi (budidaya) dilaksanakan berdasarkan permintaan dan persyaratan konsumen (tuntutan pasar). Standar dan prosedur budidaya biota periaran dengan baik dengan istilah Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) telah diterapkan bagi pembudidaya. CBIB ini menekankan pada aspek higenitas produk melalui manajemen sanitas yang baik. Udang hasil budidaya dikendalikan mutunya dari ancaman pencemaran berupa bakteri, biotoxin, logam berat, pestisida dan residu terlantar (antibiotik, hormon, dll.). Sertifikasi CBIB ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan produsen dan konsumen yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk ini.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan petani cederung tidak membudidayakan Udang Windu, akibatnya produksi jenis udang ini cenderung menurun. Hal ini menyebabkan target pertumbuhan produksi tidak tercapai. Pemerintah perlu merevisi targetnya, karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor per meter persegi) resiko penyakit makin tinggi. Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko praktek tambak intensif.
Produksi benur masih di bawah kebutuhan. Jika ini tidak diatasi, maka target pertumbuhan produksi juga sulit tercapai.
Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. Selain itu sebagian besar dari tambak yang beroperasi masih menggunakan teknologi sederhana. Untuk meningkatkan produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan lahan yang telah ada tanpa membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan.
127
BAB 7 ANALISIS ISU DAERAH
129
130
Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.1 Analisis Kemiskinan 7.1.1 Gambaran Umum Kemiskinan di Sulawesi Selatan Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menurun secara konsisten selama periode 2006-2010. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan sebesar 913 ribu orang atau hampir 12 persen dari total penduduk. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2006, dimana jumlah penduduk miskin sebesar 1,1 juta orang atau 15 persen dari total penduduk. Dengan demikian, saat ini, setiap sembilan penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya tergolong miskin. Persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan selalu berada di bawah angka rata-rata Nasional selama periode 2006-2010. Namun penurunan persentase penduduk miskin secara Nasional berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Indonesia menurun rata-rata 5,26 persen per tahun, sedangkan Sulawesi Selatan hanya menurun rata-rata 4,46 persen per tahun. Implikasinya, dalam beberapa tahun ke depan, persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan akan semakin berhimpit dengan angka rata-rata Nasional. Secara implisit, fakta ini juga menunjukkan bahwa secara rata-rata provinsi lainnya mengalami penurunan angka kemiskinan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010 20 16
17.75 14.57
16.58 14.11
15.40 13.34
14.15 12.31
12
Indonesia 13.33 11.61
Sulsel
8 4 0 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS.
Secara relatif, posisi Sulawesi Selatan secara Nasional dan Regional tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir. Secara Nasional, Sulawesi Selatan menempati urutan 17 dari 33 provinsi. Sedangkan secara regional, dari enam provinsi di Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan menempati posisi kedua terendah, sesudah Sulawesi Utara. Gorontalo, yang merupakan hasil pemekaran dari Sulawesi Utara, mencatat persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi.
130
Bab 7 Analisis Isu Daerah
131
Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Lampung NAD NTB NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Sumbar Jabar Sumut Sulsel Indonesia Sulbar Jatim Sumsel Jateng DIY Yogya Sultra Sulteng Bengkulu
DKI Jakarta Bali Kalsel Babel Kalteng Banten Kaltim Kep. Riau Jambi Riau Kalbar Sulut Malut
13.33 11.60
Sumber: BPS.
Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan tinggi, namun persentasenya rendah. Dari segi jumlah, Sulawesi Selatan memiliki populasi penduduk miskin tertinggi di Sulawesi. Namun persentasenya terendah kedua setelah Sulawesi Utara. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan mencapai 913 ribu orang. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari Sulawesi Tenggara dan empat kali lipat dari Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan hanya 11,6 persen atau hanya setengah dari Gorontalo, dimana Gorontalo merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi. Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau Sulawesi, 2010
Jumlah Penduduk Miskin
913,400
23.19
800,000
25 20
17.05
600,000
13.58 11.60
400,000 206,700
18.07
10
9.10
209,900
141,300
200,000
15
475,000 400,700
5
0
0 Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Sulawesi Barat Tenggara Jumlah Persentase
Sulawesi Tengah
Persentase Penduduk Miskin
1,000,000
Gorontalo
Sumber: BPS.
131
132
Bab 7 Analisis Isu Daerah
Proporsi penduduk miskin yang bermukim di wilayah perdesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan di wilayah perkotaan. Penurunan penduduk miskin di wilayah perdesaan juga berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan di wilayah perkotaan. Pada tahun 2010, 87 persen dari total penduduk miskin bermukim di perdesaan dan 13 persen bermukim di perkotaan. Angka ini sedikit berbeda dengan tahun 2006, dimana 85 persen bermukim di perdesaan dan 15 persen bermukim di perkotaan. Rata-rata penduduk miskin di perdesaan hanya menurun 4 persen per tahun, sedangkan di perkotaan menurun 7 persen per tahun. Akibatnya, sebaran penduduk miskin sedikit berubah. Proporsi penduduk miskin yang bermukim di wilayah perdesaan cenderung meningkat, dan sebaliknya di wilayah perkotaan cenderung menurun.
Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010. P1 menurun dari 3,43 pada tahun 2006 menjadi 1,91 pada tahun 2010, yang mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan. Sedangkan P2 menurun dari 1,00 menjadi 0,49 para periode yang sama, yang mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin semakin menyempit atau membaik.
Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2006-2010
13.05%
perkotaan perdesaan
86.95%
Sumber: BPS.
4.0 3.5
3.43
3.0
P1 2.60
2.5
2.44 2.08
2.0 1.5
P2
1.91
1.00
1.0
0.68
0.67
0.55
0.49
2007
2008
2009
2010
0.5 0.0 2006
Ketimpangan distribusi pendapatan di Sulawesi Selatan cenderung meningkat Sumber: BPS. dalam tiga tahun terakhir. Kecenderungan semacam ini juga terjadi di tingkat Nasional. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat dan tingkat pengangguran terbuka yang cenderung menurun telah memberi dampak positif terhadap penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin. Namun ketimpangan distribusi pendapatan, ditunjukkan oleh angka koefisien gini, yang cenderung meningkat mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi telah memberi manfaat yang jauh lebih besar bagi penduduk kaya (kelompok pendapatan
132
Bab 7 Analisis Isu Daerah
133
tertinggi) ketimbang penduduk miskin (kelompok pendapatan terendah). Akibatnya, distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat cenderung semakin melebar. Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 0.41 0.40 0.39 0.38 0.37 0.36 0.35 0.34 0.33 0.32
0.40 0.39
Indonesia
0.38 0.37
0.37
0.36
Sulawesi Selatan
0.36 0.35
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS.
Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan relatif merata selama periode 2005-2009. Pada tahun 2005, dari seluruh rumah tangga kelompok pendapatan terendah (kuintil 1) hanya 3,1 persen yang dikepalai oleh perempuan, sementara pada kelompok pendapatan tertinggi sebesar 4,3 persen. Angka ini meningkat pada tahun 2009, baik untuk kelompok pendapatan terendah maupun tertinggi. Bahkan, seluruh kelompok pendapatan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa secara relatif jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah terus meningkat di Sulawesi Selatan pada semua kelompok pendapatan. Tidak terdapat perbedaan proporsi kepala rumah tangga perempuan yang signifikan antar kelompok pendapatan miskin dan kaya. Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan, 2005 -2009 Tahun
Kuintil 1
Kuintil 2
Kuintil 3
Kuintil 4
Kuintil 5
Rata-rata
2005 2006 2007 2008 2009
3,1% 3,4% 3,8% 3,3% 4,5%
3,4% 3,8% 4,1% 3,9% 4,0%
4,1% 3,8% 4,1% 3,1% 3,9%
3,6% 3,9% 4,5% 3,2% 4,3%
4,3% 4,4% 5,6% 4,1% 4,8%
3,6% 3,8% 4,3% 3,5% 4,3%
Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia dari Susenas.
133
134
Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.1.2 Gambaran Kemiskinan di Kabupaten/Kota Secara umum, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin selama periode 2005-2010. Kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin bervariasi antar kabupaten/kota dan tidak selalu sejalan dengan kecenderungan provinsi, Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, hanya tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Soppeng, Luwu Utara, dan Kota Makassar, yang menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin.
Gambar 7.7. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
Sumber: BPS.
Sepuluh dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase penduduk miskin di atas rata-rata provinsi. Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Enrekang merupakan tiga kabupaten dengan tingkat persentase penduduk miskin tertinggi. Namun kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi belum tentu memiliki jumlah penduduk miskin yang juga besar, begitu pula sebaliknya. Pada tahun 2010, Kabupaten Pangkep memiliki persentase penduduk miskin tertinggi (19,26 persen), dan sebaliknya Kota Makassar memiliki persentase penduduk miskin terendah (5,8 persen). Namun secara absolut, Kabupaten Bone memiliki jumlah penduduk miskin terbesar (101.100 orang), dan sebaliknya, Kota Pare-Pare memiliki jumlah penduduk miskin terkecil (8.500 orang). Hampir setengah dari jumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin. Selama kurun waktu 2005-2008, Kabupaten Soppeng menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin paling drastis. Selain Kabupaten Soppeng, kabupaten lainnya yang menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin adalah Kabupaten Luwu Utara, Barru, Pinrang, Luwu, Wajo, Bone, Bantaeng, Bulukumba, Kota Palopo dan Pare-Pare. Sebaliknya, Kabupaten Selayar dan Gowa menunjukkan penurunan persentase penduduk paling tinggi.
134
Bab 7 Analisis Isu Daerah
135
Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 No.
Kabupaten/Kota
2005
2006
2007
2008
2009
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkajene Kepulauan Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Toraja Utara Kota Makasar Kota Pare Pare Kota Palopo Sulawesi Selatan
22,71 12,08 10,41 23,18 14,94 16,90 14,15 20,13 22,79 11,69 16,38 4,65 9,95 8,38 9,07 21,59 18,51 18,87 14,63 13,05 na 6,19 6,70 11,36 13,71
20,82 13,84 12,34 25,06 14,09 14,55 15,76 20,09 23,82 13,91 18,78 5,60 11,57 8,19 10,70 23,18 20,13 20,44 14,48 11,35 na 7,22 7,86 12,92 14,57
20,45 13,56 12,12 24,55 13,80 14,13 13,87 20,08 23,93 14,73 18,84 5,45 11,36 8,05 10,44 22,79 21,24 19,91 14,03 10,21 na 5,66 7,65 12,71 14,11
18,49 12,26 10,94 22,48 12,68 12,79 12,73 18,55 21,36 13,49 17,35 11,22 10,16 7,64 9,65 20,51 19,44 18,57 18,38 10,98 na 5,36 7,10 12,83 13,41
15,00 9,20 10,25 19,10 11,16 9,49 10,68 14,62 19,26 10,69 14,08 10,42 8,96 7,00 9,01 16,86 15,44 14,62 16,25 9,18 19,08 5,86 6,53 11,28 11,61
Sumber: BPS.
Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan bervariasi antar kabupaten/kota. Proporsi kepala rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan miskin terbesar terdapat di Kabupaten Pangkep (7,7 persen) dan Takalar (8,5 persen) dan sebaliknya proporsi kepala rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan tinggi terbesar terdapat Kabupaten Wajo (7,3 persen), Kota Makassar (6,6 persen), dan Pinrang (6,6 persen). Selebihnya hampir relatif sama antara proporsi kepala rumah tangga perempuan miskin dan kaya. Kabupaten yang memperlihatkan ketimpangan pendapatan cukup parah yang dihasilkan oleh kepala rumah tangga perempuan adalah Kabupaten Takalar dan Pangkep.
135
136
Bab 7 Analisis Isu Daerah
Persen
Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di Sulawesi Selatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
> 20 % income
< 20% income
Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia dari Susenas.
7.1.3 Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Sulawesi Selatan Isu pengentasan kemiskinan belum secara spesifik ditempatkan sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Hal ini disebabkan lebih rendahnya persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan, setidaknya jika dibandingkan dengan rata-rata Nasional, telah menyebabkan. Meskipun demikian, agenda-agenda pembangunan daerah, sebagaimana bisa diamati di dalam RPJMD Sulawesi Selatan, memiliki relevansi dan kaitan yang sangat erat dengan pengentasan kemiskinan. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan tema, subtansi, dan tujuan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan, diyakini berkontribusi besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan masih bertumpu pada program-program yang diimplementasilkan oleh pemerintah secara Nasional, terutama melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program-program pengentasan kemiskinan yang dikreasikan secara lokal oleh pemerintah daerah, tampaknya masih sangat terbatas. Jika diamati, program pengentasan kemiskinan yang diimplementasikan oleh pemerintah daerah dilakukan melalui dua skema utama, yaitu pertama, menurunkan atau memperkecil beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini muncul dalam bentuk pembebasan biaya (misalnya, pendidikan dan kesehatan gratis), dan pemberian subsidi (misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua, meningkatkan produktivitas dan pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur perdesaan (misalnya irigasi, pasar, jalan desa, dsb), penyediaan skema bantuan modal usaha, dsb. Beberapa lembaga donor juga banyak mendukung lewat aktifitas tidak langsung yang diyakini
136
Bab 7 Analisis Isu Daerah
137
berkorelasi dengan upaya pengentasan kemiskinan. Misalnya sebuah program di Kabupaten Jeneponto berorientasi pada peningkatan kapasitas, pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan layanan publik.
7.1.4 Kesimpulan dan Rekomendasi
Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010. Meski demikian, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan masih yang tertinggi secara regional (Pulau Sulawesi) dan persentase penduduk miskin masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Nasional. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharapkan dapat secara intensif mengimplementasikan berbagai program dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan. Bersamaan dengan upaya itu, pemerintah daerah perlu menyusun road-map penanggulangan kemiskinan daerah, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) juga perlu dibentuk dan diintensifkan di seluruh wilayah kabupaten/kota.
Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Namun ketimpangan distribusi pendapatan, yang ditunjukkan oleh angka koefisien gini, cenderung meningkat. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi juga dinikmati oleh penduduk miskin (kelompok pendapatan terendah) namun penduduk kaya (kelompok pendapatan tertinggi) memperoleh manfaat yang jauh lebih besar. Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem penganggaran yang lebih berpihak kepada kaum miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, perlu terus didorong ke arah yang lebih signifikan.
Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan juga menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin menyempit atau membaik.
Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan. Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan perlu lebih diintensifkan di ketiga kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai mitra pembangunan, seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb.
Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang memberi ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh pekerjaan dan mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan. Kebijakan semacam ini jauh lebih bisa diandalkan ketimbang kebijakan yang populis dan program-program yang bersifat charity. Pemerintah daerah perlu menfasilitasi keterlibatan berbagai pihak dalam upaya perbaikan taraf hidup masyarakat, terutama penduduk miskin.
137
138
Bab 7 Analisis Isu Daerah
7.2. Analisis Lingkungan Hidup Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup Sulawesi Selatan 2008-2013 diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah masalah yang sangat fundamental bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Kualitas kehidupan sangat bergantung pada kualitas lingkungan hidup. Pemerintah Sulawesi Selatan menyadari pentingnya kualitas lingkungan yang baik dan merumuskan kebijakan Pengelolaan lingkungan hidup dalam RPJMD 2008-2013 yang menekankan peningkatan kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga proses-proses alamiah secara optimal dapat berlangsungnya dan memberikan manfaat bagi kehidupan. Laju peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor utama meningkatnya tekanan pada lingkungan. Pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan sebesar 1,3 persen per tahun mengakibatkan peningkatan aktifitas dan sekaligus meningkatkan potensi pencemaran. Pertanian yang merupakan salah satu aktifitas penting di Sulawesi Selatan menjadi penyumbang bahan cemaran dan residu pertanian pada ekosistem perairan. Demikian juga industri merupakan sektor sekunder yang juga berkontribusi pada peningkatan jumlah bahan cemaran. Rumah tangga selain meningkatkan permintaan terhadap alih fungsi lahan hijau juga menghasilkan limbah secara signifikan. Pencegahan dan penanggulangan bencana alam harus dilakukan secara terkoordinasi antar kabupaten/kota. Belajar dari pengalaman di banyak tempat, sumber daya alam dan lingkungan sering melewati batas administrasi. Wilayah Sulawesi Selatan sendiri cukup rentan dengan bencana longsor dan banjir. Pengelolaan atas sumber daya harus mulai melibatkan seluruh daerah yang terkait. Sebagai contoh, banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bila-Cenrana akan menggenangi Kabupaten Wajo, Sidrap, dan Bone. Bencana tanah-longsor di kawasan hutan lindung Kabupaten Sinjai dan Gowa merusak kawasan permukiman dan pertanian di dua kabupaten tersebut.
7.2.1 Belanja Urusan Lingkungan Hidup Belanja urusan lingkungan hidup Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Meski demikian mayoritas cenderung dibelanjakan untuk belanja pegawai. Belanja terkait lingkungan hidup tidak hanya terdapat di Urusan Lingkungan Hidup, misalnya di Urusan Kehutanan, Kelautan, atau Pertanian. Analisis ini mengambil data dari Urusan Lingkungan Hidup saja. Pemerintah provinsi memiliki beberapa program pengendalian lingkungan hidup. Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup merupakan satu dari delapan program BLHD Sulawesi Selatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Jumlah APBD Sulsel yang dibelanjakan untuk Program ini tahun 2010 sebesar Rp 1,64 miliar dari total APBD-BLHD Sulsel sebesar Rp 8,84 miliar atau sebesar 18,5 persen. Kegiatan yang terlaksana dalam Program ini adalah: (i) koordinasi penilaian kota sehat/ADIPURA, (ii) pengelolaan limbah B3; (iii) koordinasi penyusunan AMDAL; (iv) pengelolaan laboratorium lingkungan hidup; dan (v) penata-usahaan sarana laboratorium.
138
Bab 7 Analisis Isu Daerah
139
Sebagian besar kegiatan pada BLHD Provinsi bukan terkait pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Beberapa kegiatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam yaitu (i) pengelolaan limbah B3, (ii) koordinasi penyusunan AMDAL, (iii) pengelolaan laboratorium lingkungan hidup, (iv) Pengembangan dan pemantapan kawasan konservasi perikanan, (v) Penyusunan Rencana Pengelolaan lingkungan hidup, (vi) Penyusunan status lingkungan hidup daerah, dan (vi), Gerakan penghijauan dan konservasi alam. Jumlah biaya seluruhnya adalah sebesar Rp 2,5 miliar, atau 28,3 persen (DPA-BLHD Provinsi Sulsel, 2010). Sebagian besar alokasi anggaran pengendalian perusakan lingkungan hidup dan bencana alam dikontribusi oleh Pemerintah Pusat (APBN) melalui sektor-sektor terkait, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Kementerian Kehutanan), Pengelolan Kawasan Konservasi Laut (Kementerian kelautan dan Perikanan) dan Pelaksanaan AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup. Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009 60%
180 56%
160
Miliar Rp
35%
100 80
40
40%
34
29
57
42
17
45%
26
46
120
60
50%
30
140
55
30%
49
43
6
36%
19% 20%
45 33
64
9%
20 21
25
55
43
65
71
10% 0%
0 2005 Pegawai
2006 Barang dan Jasa
2007 Modal
2008
2009
% Pegawai
2010* % Barang dan jasa
2011** % Modal
Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota. Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.
7.2.2 Gambaran Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan Respon dari belanja untuk perbaikan lingkungan hidup baru dapat diukur beberapa tahun ke depan. Analisis kinerja belanja urusan lingkungan hidup di daerah Sulawesi Selatan seharusnya dapat menjelaskan perubahan laju perusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Tetapi, perubahan parameter lingkungan hidup umumnya berlangsung dalam rentan waktu yang cukup lama sehingga relatif sulit memantaunya dalam waktu singkat.
139
140
Bab 7 Analisis Isu Daerah
Laju perbaikan kerusakan hutan lindung dan kawasan kritis masih relatif kecil dibandingkan dengan laju kerusakannya. Pemerintah Sulawesi Selatan lewat Status Lingkungan Hidup Daerah (2009) mengestimasi luas lahan kritis di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sebesar 683 ribu hektar atau sekitar 15 persen dari total luas Sulawesi Selatan. Lahan-lahan kritis tersebut tersebar dalam kawasan hutan seluas 370 ribu hektar dan di luar kawasan hutan seluas 313 ribu hektar. Dari jumlah ini Pemerintah Sulawesi Selatan telah melakukan reboisasi sebanyak 53 ribu hektar, atau 7 persen saja. Jika data ini dikaitkan dengan luas hutan negara yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 2,1 juta hektar maka sekitar 20,5 persen dari luas hutan negara yang ada telah mengalami kerusakan. Terjadi penurunan luasan mangrove secara signifikan. Data Dinas Kehutanan dan BLHD menyebutkan mangrove di Sulawesi Selatan pada tahun 1980-an seluas dari 113 ribu hektar turun menjadi 23 ribu hektar di tahun 2011. Terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 hektar dan hutan mangrove sekunder seluas 22 ribu ha Luas areal mangrove di Indonesia diperkirakan sebesar 3,7 sampai 4,2 juta hektar, dan 75 persen berada di Papua. Di Pulau Sulawesi sendiri luas mangrove diperkirakan hanya sebesar 133.000 ha, atau 2 persen dari luas keseluruhan mangrove di Indonesia. Penurunan luasan mangrove disebabkan utamanya oleh alih-fungsi yang berlebihan dan tak-terkendali kawasan mangrove menjadi kawasan permukiman dan pertambakan. Pemerintah Sulawesi Selatan telah melakukan upaya menekan laju kerusakan mangrove melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan berhasil merehabilitasi 5.920 hektar, menekan laju deforestitasi sebesar 10 persen. Selain itu, Kabupaten Sinjai dan Wajo telah mengupayakan rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat yang mampu merehabilitasi kawasan lebih besar 500 ha. Kawasan terumbu karang mengalami tekanan berat akibat praktek penangkapan ridak ramah lingkungan. Perairan laut Sulawesi Selatan memiliki kawasan terumbu karang seluas 5.970 kilometer persegi, sebagian besar berada dalam kondisi rusak atau kritis. Diperkirakan terumbu karang mampu menghasilkan stok sumberdaya ikan sebesar 15-20 metrik ton per km2 per tahun., Menurut estimasi, kerugian pemerintah Indonesia akibat pengeboman ikan (blast fishing) sebesar US$ 370 miliar atau US$ 90.000/km2 (Pet-Soede, 1999).
Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak.
6
Lingkaran dalam: Sulawesi Selatan Lingkaran luar: Nasional
2 36
22 36
26 Sangat baik Baik Rusak Kritis
40 32 Sumber: Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin (2006)
Beberapa Kabupaten memiliki program perbaikan terumbu karang sendiri. Sebagai contoh, Kabupaten Pangkep dan Selayar melalui program COREMAP II telah berhasil memperbaiki tutupan karang hidup di atas 5 persen per tahun. Program ini selain mengintervensi langsung kepada pelaku perusak terumbu karang, juga memberikan
140
Bab 7 Analisis Isu Daerah
141
insentif untuk beralih dari kegiatan merusak karang menjadi kegiatan yang tidak merusak kawasan terumbu karang di dua kabupaten Sulawesi Selatan cukup rentan terhadap bencana banjir dan longsor. Sekitar 78 persen wilayah Sulawesi Selatan memiliki topografi bergunung sampai berbukit dengan kemiringan lereng lebih besar dari 40 persen. Daerah ini juga memiliki curah hujan tinggi dengan rata curah hujan bulanan sebesar 200 milimeter. Walaupun bencana longsor dan banjir terjadi pada tingkat lokal, penyebabnya seringkali terbentang melewati daerah administrasi yang berbeda. Akibat jangka panjang dari rusaknya daerah hulu dan aliran sungai akan mempengaruhi perkotaan di pesisir, menambah sedimentasi sungai dan bendungan, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya beban pemeliharaan sumber daya dan penanggulangan bencana pada anggaran pemerintah daerah.
7.2.3 Kesimpulan dan Rekomendasi
Sebagian besar kegiatan pada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi bukan terkait pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Hal ini juga terlihat dari besaran belanjanya. Belanjan urusan Lingkungan hidup meningkat 2 kali lipat dalam kurun 2005-2010, tetapi belanja pegawai meningkat 3 kali lipat.
Pemerintah sebaiknya memberikan insentif kepada orang atau perusahaan yang berhasil menerapkan green activity. Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Program-program penanggulangan kerusakan lingkungan sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Membangun pemahaman, meningkatan sensitifitas dan kepedulian, serta mengembangkan budaya sadar-lingkungan menjadi tahapan penting dalam mengelola lingkungan hidup. Sistem pemberian insentif bagi mereka yang berhasil menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam bentuk materi, seperti pengurangan pajak.
Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi perusahaan. Pencemaran sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia, yaitu rumah tangga dan industri. Penerapan biaya atau pajak lingkungan seharusnya mulai diperkenalkan. Pajak lingkungan merupakan upaya menginternalisasi dampak lingkungan melalui mekanisme ekonomi untuk mendukung mekanisme administrasi seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) seharusnya menyusun dan mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana masing-masing. Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia harus dapat diminimalkan dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi, antara lain menentukan kawasan rawan bencana, menghindari terjadi kombinasi dengan faktor alam lainnya yang dapat meningkatkan kerugian dan
141
Bab 7 Analisis Isu Daerah
142
membangun jalur-jalur evakuasi ke lokasi yang lebih aman. Perencanaan mitigasi bencana sudah menjadi keharusan yang merupakan penjabaran lebih operasional dari rencana mitigasi dalam penataan ruang wilayah.
Perencanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini disebabkan pengelolaan sumber daya alam serta bencana alam yang terjadi seringkali berdampak pada beberapa kabupaten/kota sekaligus. Daerah yang berada di hilir atau pesisir akan menanggung dampak lebih besar dari bencana, sehingga tidak dapat mengelola atau mencegah bencana tanpa ada upaya dan komitmen serupa dari daerah di hulu.
7.3. Analisis Gender 7.3.1 Gambaran Umum Gender di Sulawesi Selatan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan, Selatan, 2005-2010 namun masih terjadi kesenjangan gender. Hal ini ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan 80 68.06 68.81 69.62 70.22 70.82 Gender (IPG) masih di bawah rata-rata IPM 61.04 62.07 60.4 59 57.4 Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009, IPG 60 mencapai 62,07 lebih tinggi dari tahun IPM sebelumnya, sementara IPM mencapai 70,82 40 IPG point. Meskipun IPG berada dibawah rata20 rata IPM, namun perkembangan setiap tahun cukup signifikan. Pada tahun 2005, IPG 0 berkisar pada point 57,4 meningkat cukup 2005 2006 2007 2008 2009 signifikan menjadi 62,07 pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan sebesar 4,67 Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP point. Dengan mencermati indikator capaian dan PA; BPS. IPG, penyumbang terbesar tingginya IPG terutama disebabkan oleh tingginya sumbangan pendapatan laki-laki berkisar 70,16 persen, sementara perempuan hanya berkisar 29,84 persen. Rendahnya sumbangan pendapatan perempuan dan masih banyaknya angka buta huruf perempuan juga menjadi penyebab rendahnya angka IPG. Untuk mendorong IPG ketingkat capaian yang lebih tinggi maka perlu upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender.
Sementara itu, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan selama periode 2005-2009, namun masih di bawah dari rata-rata Nasional. Pada tahun 2005, IDG mengalami peningkatan dari 50 poin pada tahun 2005 menjadi 53,82 poin pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 3,82 poin namun posisinya lebih rendah dari angka
142
Bab 7 Analisis Isu Daerah
nasional (63,52). Penyumbang terbesar rendahnya IDG di Sulawesi Selatan adalah rendahnya keterlibatan perempuan di parlemen yang hanya mencapai 4,4 persen pada tahun 2009 dan merupakan terendah dari seluruh provinsi lainnya di Indonesia.Rendahnya posisi IPG dan IDG terhadap nasional menandakan masih perlunya keseriusan pemerintah daerah Sulawesi Selatan untuk meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan.
143
Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005 – 2009 70 60 50 40
61.3 50
61.8 51.8
62.1 52.6
62.27 52.9
63.52 53.82
30 20 10 0 2005
2006
IDG NASIONAL
2007
2008
2009
IDG SULAWESI SELATAN
Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP dan PA; BPS.
Perbaikan IPG dan IDG pada tingkat provinsi ternyata merupakan cerminan dari perbaikan IPG dan IDG pada 23 kabupaten di Sulawesi Selatan. Kabupaten yang mengalami peningkatan terbesar untuk IPG selama dua tahun terakhir (2008-2009) adalah Gowa dari 61,52 pada tahun 2008 menjadi 81,65 pada tahun 2009. Sementara Kabupaten/Kota lainnya juga meningkat dengan point yang berkisar pada 0 – 2. Kabupaten Pinrang mempunyai peningkatan IDG tertinggi yaitu dari 47,05 pada tahun 2008 menjadi 48,36 pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 1,31 point. IDG untuk kabupaten/kota lainnya hanya meningkat pada kisaran 0-1 point selama tahun 2008-2009. Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 -
2008 2009
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010.
143
144
Bab 7 Analisis Isu Daerah
Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan 70 60 50 40 30 20
2008
10
2009
0
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010.
7.3.2 Perspektif Gender di Wilayah Pesisir Serapan tenaga kerja perempuan di provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005 – 2009 besar dan terus mengalami peningkatan, dari 71 persen di tahun 2005 menjadi 88 persen di tahun 2009. Bila diamati lebih dalam, total angkatan kerja di tahun 2005 mencapai 1,2 juta hanya terserap sebesar 873 ribu atau 71 persen-nya. Angka ini terus meningkat di tahun 2006 dan 2007 menjadi 78 persen dan 82 persen, sementara untuk tahun 2008 dan 2009, tingkat serapannya mencapai 88 persen. Meski tingkat serapan tenaga kerja perempuan cukup besar, namun kebanyakan dari mereka mendapat upah lebih rendah dari tenaga kerja laki-laki dengan beban kerja yang sama. Hal ini terlihat pada capaian IPG dimana sumbangan pendapatan perempuan hanya berkisar 29.84 persen, dibandingkan dengan laki-laki yang sebesar 70.16 persen.
144
Bab 7 Analisis Isu Daerah
145
Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009 1,400 1,200 Ribu
1,000 800
1,220 1,074
1,229 874
600 400 200 2005
2006 2007 Total Tenaga Kerja Wanita
2008 2009 Total Angkatan Kerja Wanita
Sumber: Data Olahan staf Bank Dunia dari Susenas.
Namun sebuah anomali terjadi pada kontribusi perempuan dalam pendapatan ekonomi rumah tangga pesisir (khususnya di bidang perikanan laut), dimana kontribusi pendapatan istri lebih besar dari suami. Keterlibatan perempuan dalam pencaharian nafkah di bidang perikanan meliputi seluruh rangkaian kegiatan, yaitu produksi, pengolahan dan pemasaran. Sekitar 70 persen perempuan terlibat dalam lebih dari satu kegiatan, misalnya pengolahan dan pemasaran. Berdasarkan data 2011, kontribusi pendapatan istri dari kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran lebih besar 1.3 persen dari suaminya. Sementara itu, kontribusi pendapatan istri dari kegiatan produksi dan pengolahan lebih besar 8,83 persen dari suaminya. Perbedaan paling besar terlihat pada kegiatan pengolahan dan pemasaran, yaitu sebesar 18,53 persen. Namun pada kegiatan tunggal, yaitu pemasaran, kontribusi pendapatan istri lebih rendah 11 persen dari suaminya. Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Kegiatan
Pendapatan Rumah tangga
Produksi,Pengolahan dan Pemasaran Produksi dan Pengolahan Pengolahan dan Pemasaran Pemasaran
Persentase Kontribusi Istri Anggota RT Lainnya 44,30 6,25 6,45
2.757.150,-
Suami 43,00
2,428,600,2.314.300,-
35,58 34,87
44,41 53,40
12.22 4.85
7.79 6,88
2.752.777,-
52,06
41,06
3,18
3,70
Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011.
Meski kontribusi pendapatan istri di sebagian besar kegiatan ekonomi rumah tangga pesisir lebih besar dari suaminya, namun hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan curahan tenaga yang diberikan untuk mengurus kegiatan yang sama. Dengan pembagian kerja yang relatif jelas antara suami dan istri pada ekonomi rumah tangga, terlihat curahan tenaga istri untuk kegiatan pengolahan dan pemasaran memiliki selisih tertinggi sebanyak 153,56 jam per bulan dari curahan tenaga suami. Hal ini
145
Bab 7 Analisis Isu Daerah
146
berbanding lurus dengan kontribusi pendapatannya. Kondisi yang sama terlihat pada kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan selisih 38,81 jam per bulan. Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah Rumah Tangga Dalam Sehari, 2011
No. 1.
Jenis Kegiatan Nafkah Rumahtangga
2.
Produksi, Pengolahan dan Pemasaran Produksi dan Pengolahan
3.
Pengolahan dan Pemasaran
4.
Pemasaran
Suami 12,27 (368,33) 14,8 (444,5) 6,2 (187,14) 8,9 (267,77)
Alokasi Tenaga (Jam/Hari) Anggota Rumahtangga Istri Laki-laki Perempuan 13,56 10,33 10,66 (407,14) (310) (320) 9,75 12,08 7,7 (292,8) (362,5) (231,66) 11,35 4,88 10.66 (340,7) (146,6) (206,66) 10,51 8,55 9,10 (315,55) (256,66) (297,5)
Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011. Catatan: Angka dalam kurung adalah rata-rata alokasi tenaga kerja dalam satu bulan (jam/bulan).
Namun bila melihat kegiatan produksi dan pengolahan serta kegiatan pemasaran, terdapat ketidakwajaran curahan tenaga dengan kontribusi pendapatan. Pada kegiatan produksi dan pengolahan, curahan tenaga istri lebih kecil dibanding suami dengan selisih sebesar 151,7 jam per bulan, sementara pendapatan istri lebih besar. Ketidakwajaran yang sama terjadi pada kegiatan pemasaran, dimana curahan tenaga istri lebih besar 47,78 jam per bulan dibanding dengan suaminya, tetapi pendapatannya lebih rendah. Pada kegiatan pemasaran, kondisi curahan tenaga istri yang lebih besar dari perolehan pendapatan, sesuai dengan kondisi keseluruhan yang tercatat dalam indikator IPG. Namun ketidakwajaran kegiatan produksi dan pengolahan perlu dianalisa lebih jauh untuk mengetahui apa yang terjadi dibaliknya.
7.3.3 Kesimpulan dan Rekomendasi
146
Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM Sulawesi Selatan dan rata-rata Nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan gender di Sulawesi Selatan. Ada beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan IPG dan IDG Sulawesi Selatan: (i) Upaya perwujudan kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih perlu ditingkatkan, (ii) Perlu pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat, (iii) Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender untuk meningkatkan persentase melek huruf, (iv) Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender. (v) Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan.
Bab 7 Analisis Isu Daerah
Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan golongan pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan (kuintil 1) cenderung meningkat (sub-bab 7.1). Hal ini terlihat dari persentase rumah tangga yang dikepalai perempuan dalam kelompok pendapatan terendah, cenderung meningkat dalam kurun 2005 hingga 2009. Dalam kaitan itu, direkomendasikan perlunya pengembangan program dan kegiatan yang dapat mendukung peningkatan pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya dalam bentuk pelatihan dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran produk yang dihasilkan.
Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi rumah tangga. Hanya saja kegiatan yang mereka lakukan hanya terbatas pada kegiatan informal produksi, pengolahan dan pemasaran ikan. Untuk meningkatkan ketrampilan dan pendapatan perempuan, berikut beberapa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah setempat: (i) perlu pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal teknis dan manajemen usaha, (ii) perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang efektif dan efisien, (iii) perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan.
147
147
LAMPIRAN
149
150
Lampiran
Lampiran A. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan? Melihat pengalaman dari pelaksanaan Analisis Belanja Pemerintah dan Penyelarasan Kapasitas (PEACH) di berbagai daerah di kawasan timur Indonesia Pemerintah Sulawesi Selatan berinisiatif untuk melakukan program serupa. Pengalaman PEACH di provinsi lain menunjukkan bahwa analisis partisipatif atas belanja pemerintah merupakan titik awal yang baik untuk memperbaiki kualitas pengelolaan belanja pemerintah untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawab yang baru diperoleh pemerintah daerah di indonesia yang mulai terdesentralisasi. Sebagai tanggapan, Bank Dunia bekerja sama dengan tim peneliti yang diorganisasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin melakukan analisis menyeluruh atas pengelolaan belanja pemerintah, yang dihubungkan dengan suatu program kegiatan untuk memperkuat kapasitas pemerintah-pemerintah daerah. Tujuan yang diharapkan dari PEACH Sulawesi Selatan adalah perbaikan alokasi sumber daya anggaran yang mengarah pada penyediaan layanan publik yang lebih baik di tingkat daerah yang disesuaikan dengan preferensi dan pertimbangan di tingkat daerah. Hal tersebut dapat dicapai dengan keterlibatan para pengambil keputusan di tingkat daerah serta para pemangku kepentingan lainnya dalam pengidentifkasian prioritas belanja pemerintah dan pengelolaan keuangan. Tujuan utama dari komponen PEA adalah: (i) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan belanja pemerintah di suatu provinsi khususnya sehubungan dengan proses perencanaan dan penganggaran parsitipatif dan pemberian layanan dasar. (ii) mengembangkan strategi-strategi untuk memperbaiki pengelolaan keuangan Sulawesi Selatan untuk mencapai layanan umum dan penanaman modal umum yang lebih baik untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. (iii) membentuk sistem yang lebih baik untuk menganalisis dan mengawasi anggaran daerah. • membentuk jaringan rekan imbangan dari universitas-universitas lokal di Sulawesi Selatan dan instansi pemerintah daerah yang akan memimpin pelaksanaan PEACH Sulawesi Selatan dan dengan demikian akan membangun kapasitas untuk dapat melaksanakan analisis belanja pemerintah secara mandiri di masa mendatang; • memberikan bantuan teknis/peningkatan kapasitas pada jaringan ini untuk melakukan analisis serupa di masa mendatang.
150
Lampiran
151
Lampiran B: Catatan Metodologi Seluruh data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan dalam laporan ini diperoleh dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam bentuk Peraturan Daerah. Data tahun 2005-2009 menggunakan APBD Realisasi, untuk tahun 2010 menggunakan APBD Perubahan, dan untuk tahun 2011 menggunakan APBD Rencana/Pokok. Data APBD telah disesuaikan menggunakan inflasi dengan tahun dasar 2010. Pengkategorian belanja sektor adalah sebagai berikut: (1) data belanja sektor infrastruktur merupakan penggabungan belanja urusan pekerjaan umum, urusan permukiman, dan urusan perhubungan; (2) data belanja sektor pendidikan merupakan penjumlahan belanja urusan pendidikan, urusan kebudayaan, dan urusan perpustakaan; (3) data belanja sektor kesehatan adalah belanja urusan kesehatan; dan (4) data belanja sektor pertanian merupakan penjumlahan dari belanja urusan pertanian dan urusan ketahanan pangan. Data makro mengenai perkembangan pembangunan daerah Sulawesi Selatan, data kinerja keluaran dan kinerja hasil sektor strategis, data komoditas unggulan, dan data terkait dengan isu-isu strategis, sebagian besar bersumber dari data publikasi BPS, antara lain Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Data Strategis BPS, Sulawesi Selatan Dalam Angka, Indikator Kesejahteraan Sosial, Hasil Sensus Penduduk 2010. Sebagian data sosial ekonomi lainnya diperoleh dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hasil olahan Bank Dunia, UNDP, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan pemerintah provinsi dan kabupaten kota di Sulawesi Selatan.
151
Lampiran C : Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Tabel C.1. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Kesimpulan Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan Agenda Provinsi seperti tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN.
Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD belum semua secara konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki dokumen perencanaan tahunan. Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan penganggarannya. Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam RenjaSKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD. Kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui Musrenbang yang diakomodasi.
Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak dianggarkan dalam RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya. Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola keuangan daerah belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat SKPD.
Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan perhatian pada dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan.
Rekomendasi Pemerintah daerah perlu secara serius mempersiapkan seluruh dokumen perencanaan penganggaran baik pada level daerah maupun dan khususnya level SKPD. Sebaiknya lebih fokus pada mempersiapkan kelengkapan dokumen perencanaan tahunan, yakni RKPD dan Renja-SKPD karena keduanya lebih banyak diabaikan. Pemerintah daerah melalui Bappeda, sebaiknya menyelenggarakan forum untuk menciptakan kesepahaman tentang pentingnya setiap dokumen perencanaan tersedia bagi setiap SKPD. Pemerintah daerah harus menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang berhasil atau lalai dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.
Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi juga disebabkan proses dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan lembaga legislatif. Pelaksanaan Musrenbang harus konsisten dan disiplin sesuai kalender perencanaan pada setiap tingkatan pemerintahan. Pendampingan dan fasilitasi pelaksanaan Musrenbang, khususnya pada tingkat kecamatan dan desa/kelurahan yang merekam proses dan hasil usulan, dan mengkerucutkan rekomendasi. Audit hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang mengakomodasi usulan-usulan awal.
Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.
Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang keilmuan perencanaan pembangunan atau pernah mengikuti diklat fungsional perencanaan pembangunan. Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar belakang keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah. Terkait dengan hal tersebut yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan internal terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta keterkaitan di
152
Lampiran
Pemerintah Provinsi Sulawesi, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare memiliki nilai yang baik dalam analisa PKD
153
antara keduanya. Ketiga pemerintahan tersebut bisa dijadikan acuan atau pembelajaran bersama bagi kabupaten/kota lainnya paling tidak dari sisi ketersediaan dokumennya.
Tabel C.2. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Pendapatan dan Belanja Daerah PENDAPATAN Kesimpulan Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, namun penyumbang terbesar terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana Perimbangan
Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi untuk kabupaten/kota jumlahnya tidak signifikan. Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cukup tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana Perimbangan. Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun.
Kesimpulan Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode 2005-2010, akan tetapi proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah pemerintah lebih dominan daripada proporsi belanja modal
Rekomendasi • Mengkaji dan memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru, • Memperbaiki sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran, • Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target yang berbasis pada potensi, • Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara proporsional, • Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah, • Mengevaluasi efektifitas peraturan daerah (perda) yang terkait dengan upaya peningkatan PAD, • Mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif retribusi yang ditetapkan Kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat kabupaten/kota Evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota.
daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus meningkatkan sumber PAD-nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil seperti Barru dan Bantaeng. • Mencari sumber-sumber pinjaman dan obligasi yang berkategori lunak, • Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola utang sehingga tidak membuat daerah terjebak dalam utang. BELANJA Rekomendasi • Perlu pengelolaan belanja daerah pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi • Pemerintah daerah dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) 2-3 tahun kedepan • Melakukan penambahan tenaga yang teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan,
153
154
Lampiran
Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun
•
•
Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor pendidikan, infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi belanja paling besar sementara sektor kesehatan dan pertanian memperoleh alokasi yang relatif lebih kecil
Alokasi belanja yang terkait upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender masih kecil
• •
• • •
tenaga kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari pegawai yang pensiun. Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup dengan melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kab/kota yang rasio guru murid lebih baik ke daerah kab/kota yang kurang baik. Kebijakan pemberian sertifikasi guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan dan pemberian sanksi terhadap guru yang telah menerima tetapi belum menunjukkan peningkatan kinerja (kualitas pelayanan pendidikan) ke tingkat yang lebih baik. Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor-sektor strategis seperti kesehatan dan pertanian perlu ditingkatkan ke jumlah yang lebih signifikan. Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi (pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga kerja, kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya dengan jumlah yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Perlu peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing-masing SKPD terkait dengan implementasi strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan terkait PUG agar anggaran yang disusun responsif gender. Perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif gender untuk seluruh SKPD terkait.
Tabel C 3. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Sektoral PENDIDIKAN Kesimpulan Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sektor pendidikan relatif sangat besar, tetapi proporsi belanja modal relatif kecil.
Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong kinerja keluaran terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong kinerja hasil. Terutama rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf pada tingkat setara dengan target RPJMD dan angka nasional.
154
Rekomendasi Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu ditekan ke level yang lebih rendah, agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih signifikan. Untuk menekan proporsi belanja pegawai, perlu kebijakan moratorium penerimaan pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau setidaknya menempuh kebijakan zero growth jumlah pegawai. Belanja pegawai pada pos belanja langsung harus lebih diefisienkan. Belanja pendidikan perlu semakin ditajamkan arah penggunaannya untuk mendorong kabupaten/kota dengan kinerja rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf di kabupaten yang rendah angkanya. Perlu rekruitmen guru di tingkat SMA, tetapi tidak perlu di tingkat SD dan SMP. Menjangkau dan mamasukkan ke bangku sekolah seluruh anak usia wajib belajar. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa.
Lampiran
Porsi anggaran untuk kebijakan pendidikan gratis relatif cukup besar dan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan pendidikan di Sulawesi terutama pada kelompok usia di atas 29 tahun. Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban pada anak usia sekolah yang telah mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong anak usia sekolah yang belum terjangkau pendidikan untuk masuk ke bangku sekolah
Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap dan Luwu mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain. Kesimpulan Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan Angka Kematian Ibu dan Bayi masih lebih tinggi.
Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai 10 persen per tahun.
Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan Gratis.
Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan.
155
Perlu kebijakan realokasi guru dari kabupaten/kota dengan rasio guru-murid rendah ke kabupaten/kota dengan rasio guru-murid tinggi. Mengingat kebijakan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai efektifitas kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja hasil yang ingin dicapai atau dikoreksi. Pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur di atas 29 tahun. Kelompok perempuan yang buta huruf ini juga diberi keahlian lain sebagai bagian dari pemberdayaan. Kebijakan pendidikan gratis perlu diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa memaksa anak usia sekolah untuk masuk ke bangku sekolah, khususnya pada anak yang terhambat secara geografis (berlokasi di pegunungan serta pesisir, dan kepulauan) dan secara ekonomi-budaya (yang putus sekolah karena mencari nafkah). Harus ada payung hukum untuk kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten dalam merealisasikan hal ini. Mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin misalnya lewat subsidi pendidikan keluarga, diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap, dan Luwu.. Kebijakan pendidikan gratis harus memastikan keberpihakannya pada kelompok pendapatan termiskin. Hal ini bisa terlihat KESEHATAN Rekomendasi Sosialisasi secara intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi pada balita (termasuk jenis makanan yang mengandung gizi yang tinggi dan bagus untuk dikonsumsi anak-anak). Penanganan secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang terbanyak jumlah balita yang menderita gizi buruk. Pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan pasca melahirkan antara di perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan buruh. Sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan suami. Mengupayakan proporsi yang lebih seimbang antara belanja pegawai dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan, tetapi juga program yang bersifat pencegahan. Perlu diciptakan suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota. Selain itu perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota Mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan. Memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok.
155
156
Lampiran
INFRASTRUKTUR Kesimpulan Rekomendasi Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di • Pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar pelabuhan laut cenderung menurun. udara seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan dalam bandar udara, untuk mengantisipasi pertumbuhan. Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas • Kabupaten Selayar, daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja provinsi di Sulawesi, beberapa kabupaten masih memiliki tantangan. infrastruktur yang signifikan disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya. Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung • Meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih memburuk. • Menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada • Pemerintah daerah harus memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total bertumbuhnya panjang jalan di kabupaten/kota. ruas panjang jalan karena kualitas jalan di Sulawesi Selatan memburuk. Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. Karena ada hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktifitas lahan, maka direkomendasikan agar pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan kualitasnya daripada mendorong ekstensifikasi lahan PERTANIAN Kesimpulan Rekomendasi Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja pertanian atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja pegawai. Secara umum, kinerja pencapaian produksi pertanian pada setiap subsektor Mengimplementasikan secara konsisten program-program pokok yang telah ditetapkan menunjukkan kinerja yang baik dan sejalan dengan target pencapaian yang dalam RPJMD ditetapkan dalam RPJMD, terutama pada komoditas-komoditas yang menjadi Mengembangkan tiga komoditas prioritas utama yakni beras, jagung dan ternak kearah andalan Sulawesi Selatan. peningkatan value added. Memperbaiki kualitas pengembangan komoditas beras dan jagung dalam bentuk pengembangan produk organik. Produk organik dapat meningkatkan pendapatan petani melalui penurunan biaya produksi dan peningkatan harga produk. Mengembangkan produk pertanian organic melalui integrasi dengan pengembangan ternak. Mengintegrasikan padi dan jagung dengan ternak sapi untuk menghasilkan pupuk organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga biaya produksi ketiga komoditas tersebut lebih rendah dan kualitas dan harga produk lebih tinggi. Mengembangkan udang organik untuk memenuhi persyaratan permintaan internasional dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem pertambakan, sebaiknya dikembangkan agar kegiatan budidaya daya udang dapat bangkit kembali, lestari dan berkelanjutan. Mengolah komoditas kakao dan rumput laut untuk menghasilkan produk yang siap dikonsumsi. Mengembangkan pengolahan bahan baku menjadi produk yang siap dikonsumsi agar tercipta nilai tambah atau pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja.
156
Lampiran
Perkembangan kontribusi sektor pertanian cenderung menurun dengan tingkat pertumbuhan relatif kecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di Sulawesi Selatan. Selain itu, ketergantungan tenaga kerja sektor pertanian cukup tinggi.
157
Melakukan pemetaan komoditas unggulan melalui sinergitas stakeholder pembangunan bidang pertanian. Melakukan diversifikasi produksi pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah (value added) sektor pertanian. Meningkatkan investasi sektor publik pada sektor pertanian yang memiliki akselerasi dan daya dorong tinggi.
Tabel C.4. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Komoditas Unggulan BELANJA PERTANIAN Kesimpulan Rekomendasi Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari • Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja pertanian atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja pegawai. KOMODITAS JAGUNG Kesimpulan Rekomendasi Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3 • Pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk pesen dari target produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013. peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani KOMODITAS KAKAO Kesimpulan Rekomendasi Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah memperlihatkan • Masih perlu upaya rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit, kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan pemeliharaan dan penanganan pasca panen tanaman kakao yang belum tersentuh 2010), walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006. GERNAS. • Penguatan kelembagaan petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju “kemandirian’’ petani kakao. • Merintis industri perkakaoan karena Sulawesi Selatan memiliki keunggulan mutlak dibanding daerah lain. Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. • Pemerintah Sulawesi Selatan harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk program ini mengingat Sulawesi Selatan saat ini memiliki keunggulan mutlak dan sedikit kompetitor pada produk kakao. KOMODITAS SAPI Kesimpulan Rekomendasi Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada • Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk tahun 2013 memacu kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan pengembangan pakan sapi, peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk atau bibit sapi serta pengendalian lalu lintas ternak
157
158
Lampiran
KOMODITAS RUMPUT LAUT Kesimpulan Rekomendasi Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi. • Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup untuk memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut. besar. Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal. • Selain itu, Pemerintah dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang rumput laut untuk menjamin stabilitas harga yang wajar. KOMODITAS UDANG Kesimpulan Rekomendasi Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan • Pemerintah perlu merevisi targetnya, karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor petani cederung tidak membudidayakan Udang Windu. Hal ini menyebabkan per meter persegi) resiko penyakit makin tinggi. target pertumbuhan produksi tidak tercapai • Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko praktek tambak intensif Produksi benur masih di bawah kebutuhan. • Produksi benur di pembenihan harus dimaksimalkan, saat ini produksinya baru separuh kapasitas maksimum. • Produksi benur maksimum juga masih di bawah kebutuhan, pemerintah perlu membangun pusat pembenihan baru. Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. • Untuk meningkatkan produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan lahan yang telah ada tanpa membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan
Tabel C.5. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Isu-Isu Strategis KEMISKINAN Kesimpulan Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010.
Rekomendasi Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharapkan dapat secara intensif mengimplementasikan berbagai program dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan. • Pemerintah daerah perlu menyusun road-map penanggulangan kemiskinan daerah, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan • Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem penganggaran yang meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat lebih berpihak kepada kaum miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, perlu terus pengangguran terbuka. didorong ke arah yang lebih signifikan Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan • Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan perlu lebih diintensifkan di ketiga persentase penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan. kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai mitra pembangunan, seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb. Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman • Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan memberi ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh juga menunjukkan penurunan. pekerjaan dan mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan. LINGKUNGAN HIDUP Kesimpulan Rekomendasi
158
•
Lampiran
Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia harus dapat diminimalkan dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi.
Kesimpulan Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM Sulawesi Selatan dan rata-rata Nasional.
Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan golongan pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan (kuintil 1) cenderung meningkat. Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi rumah tangga.
159
Pemerintah daerah memberlakukan sistem pemberian insentif bagi mereka yang berhasil menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam bentuk materi, seperti pengurangan pajak. Program-program penanggulangan kerusakan lingkungan sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi perusahaan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) seharusnya menyusun dan mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana masing-masing. Perancanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. GENDER Rekomendasi Upaya perwujudan kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih perlu ditingkatkan. Perlu pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat. Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender untuk meningkatkan persentase melek huruf. Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender. Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan . Perlunya pengembangan program dan kegiatan yang dapat mendukung peningkatan pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya dalam bentuk pelatihan dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran produk yang dihasilkan Perlu pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal teknis dan manajemen usaha. Perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang efektif dan efisien. perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan.
159
160
Lampiran
Lampiran D. Master Table Penerimaan (dalam Juta Rupiah) Provinsi
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
PAD
942,001.34
1,008,203.93
1,220,302.07
1,362,714.82
1,324,291.63
1,421,948.68
1,678,104.86
Pajak Daerah
788,082.73
858,238.32
1,045,960.00
1,175,115.54
1,113,479.35
1,249,259.11
1,458,737.07
Retribusi Daerah
67,862.44
72,125.64
69,473.10
80,279.44
107,203.72
116,787.85
104,677.65
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
56,965.96
48,333.58
56,871.14
60,321.99
63,180.00
51,668.70
59,865.60
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
29,090.21
29,506.39
47,997.83
46,997.85
40,428.55
4,233.03
54,824.55
Dana Perimbangan
664,380.44
881,261.70
996,194.59
984,540.08
974,494.22
974,603.24
1,026,668.93
Dana Bagi Hasil Pajak
178,449.70
218,835.02
208,126.72
194,906.57
210,088.04
239,088.44
218,090.33
Bagi Hasil Bukan Pajak
22,182.83
-
50,774.81
28,513.99
9,672.18
-
-
463,747.91
662,426.68
737,293.06
722,464.41
706,942.90
706,276.40
769,075.30
Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus
-
-
-
38,655.11
47,791.09
29,238.40
39,503.30
17,996.58
34,763.18
8,879.77
4,400.50
19,693.50
58,966.73
-
Pendapatan Hibah
-
-
8,879.77
4,400.50
19,693.50
-
-
Dana Darurat
-
-
-
-
-
-
-
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
-
-
-
-
-
58,966.73
-
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH
Pendapatan lainnya
-
-
-
-
-
-
-
1,624,378.36
1,924,228.80
2,225,376.43
2,351,655.40
2,318,479.35
2,455,518.65
2,704,773.79
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
PAD
523,329.72
683,061.73
872,730.55
760,129.12
852,488.18
986,831.14
1,058,879.76
Pajak Daerah
182,937.55
220,944.25
199,728.55
219,215.26
246,833.15
277,107.19
416,733.30
Retribusi Daerah
225,871.35
250,889.52
249,750.24
267,763.61
292,905.59
406,973.94
396,341.77
31,431.22
38,932.33
205,215.21
60,086.13
123,512.43
72,008.69
68,247.58
Total penerimaan Kabupaten/Kota
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
160
Lampiran
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
161
83,089.61
172,295.63
218,036.55
213,064.12
167,085.69
230,741.32
177,557.10
6,336,443.73
9,712,394.68
10,561,106.68
10,207,549.15
10,195,909.11
9,957,751.97
10,332,751.82
Dana Bagi Hasil Pajak
769,623.46
940,638.82
945,924.26
867,387.70
845,706.43
1,092,153.94
939,538.08
Bagi Hasil Bukan Pajak
67,566.48
14,202.62
222,499.82
116,795.89
42,152.99
42,957.22
-
5,114,836.30
7,900,121.12
8,207,052.44
7,921,597.01
7,954,415.46
7,867,174.91
8,294,197.08
Dana Alokasi Khusus
384,417.49
857,432.12
1,185,630.17
1,301,768.55
1,353,634.24
955,465.90
1,099,016.67
BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH
Dana Perimbangan
Dana Alokasi Umum
520,461.67
516,286.95
879,734.98
1,085,257.53
1,046,667.15
2,481,123.47
1,814,257.18
Pendapatan Hibah
-
-
121,374.62
70,034.71
125,073.53
169,880.85
187,356.42
Dana Darurat
-
-
311,341.72
150,643.94
58,900.09
32,363.00
-
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya
-
-
290,327.00
399,416.94
299,953.60
437,931.52
470,125.44
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
-
-
108,269.76
161,410.62
309,311.20
1,388,309.87
935,491.21
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya
-
-
26,995.15
197,333.84
241,845.97
270,986.85
220,624.50
Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya
-
-
21,426.73
106,417.48
11,582.75
181,651.39
659.60
Pendapatan lainnya
-
-
-
-
-
-
-
7,380,235.12
10,911,743.36
12,313,572.21
12,052,935.80
12,095,064.44
13,425,706.59
13,205,888.76
Total penerimaan
161
162
Lampiran
Belanja berdasarkan Klasifikasi Ekonomi (dalam Milyar Rupiah)
TAHUN Provinsi Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-Lain Total
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
469 358 316 492 1,635
467 450 316 581 1,814
523 448 393 888 2,252
634 493 353 1,000 2,480
639 493 313 805 2,250
632 576 334 1,100 2,642
723 559 345 1,149 2,776
Kabupaten Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-Lain Total
3,162 1,316 1,445 424 6,347
3,502 1,844 2,666 496 8,508
5,543 1,739 3,657 760 11,700
5,875 1,825 4,070 1,056 12,826
0 0 0 0 0
7,475 2,181 3,400 995 14,052
7,763 2,306 2,622 799 13,491
Total Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-Lain Total (Triliun Rp.)
3,631 1,674 1,761 916 8.0
3,969 2,294 2,982 1,077 10.3
6,066 2,187 4,051 1,649 14.0
6,509 2,318 4,423 2,056 15.3
6,766 2,476 4,043 1,481 14.8
8,108 2,757 3,734 2,096 16.7
8,487 2,865 2,967 1,948 16.3
Belanja berdasarkan Sektor (dalam Milyar Rupiah) 2005 Provinsi Pemerintahan Umum Pertanian Perikanan dan Kelautan Pertambangan dan Energi Kehutanan dan Perkebunan Perindutrian dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Model Ketenagakerjaan Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan Sosial Penataan Ruang Permukiman Pekerjaan Umum Perhubungan Lingkungan Hidup
162
401 42 14 12 30 37 19 9 18 150 83 16 127 0 138 36 9
2006 435 43 16 12 31 43 38 10 17 152 116 18 107 0 155 33 9
2007 473 83 24 18 20 48 18 11 19 167 117 18 81 0 217 40 10
2008 491 95 24 17 19 27 19 11 18 223 104 18 0 69 311 25 9
2009 466 100 32 21 21 33 21 11 19 214 108 22 69 0 252 46 10
2010* 512 123 30 19 21 27 18 13 20 232 110 29 20 0 304 39 12
2011** 510 125 31 18 20 27 16 17 21 239 108 35 16 30 340 46 11
Lampiran
Kependudukan Olahraga Kepariwisataan Pertanahan Transfer ke daerah bawahan Total Kabupaten/Kota Pemerintahan Umum Pertanian Perikanan dan Kelautan Pertambangan dan Energi Kehutanan dan Perkebunan Perindutrian dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Model Ketenagakerjaan Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan Sosial Penataan Ruang Permukiman Pekerjaan Umum Perhubungan Lingkungan Hidup Kependudukan Olahraga Kepariwisataan Pertanahan Transfer ke daerah bawahan Total
163
0 0 0 0 492 1,635
0 0 0 0 581 1,814
0 0 0 0 888 2,252
0 0 0 0 1,000 2,480
0 1 0 0 805 2,250
0 14 0 0 1,100 2,642
0 17 0 0 1,149 2,776
2,275
2,856
3,127
3,432
2,881
3,149
3,532
145 69 22 57 60 19 2 29 508 1,585 26 106 97 714 64 51 72 0 25 0 424 6,347
239 109 25 69 55 22 1 35 687 1,913 36 211 87 1,400 78 78 71 1 38 0 496 8,508
361 129 31 81 57 59 4 35 1,052 3,392 63 114 108 2,002 106 106 67 4 39 3 760 11,700
379 142 32 83 67 49 4 38 1,155 3,599 63 131 56 2,177 105 143 67 10 39 1 1,056 12,826
329 115 50 98 55 57 6 40 1,315 4,052 90 112 45 2,243 117 127 57 22 23 6 676 12,516
369 139 31 89 56 75 7 43 1,507 5,028 82 102 78 1,925 131 136 57 20 28 6 995 14,052
386 153 35 92 42 59 11 33 1,386 4,893 102 59 72 1,457 120 145 59 32 19 4 799 13,491
Belanja Pemerintah Pusat yang Terdekonsentrasi ke Provinsi Sulawesi Selatan (dalam Milyar Rupiah) 2005
2006
2007
2008
2009
356
213
173
113
128
PERTAHANAN
0
0
0
0
0
KETERTIBAN DAN KEAMANAN
0
2
0
3
13
2,126
2,864
2
4,023
4,850
58
175
3,776
166
258
PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM
2,193
719
174
2,975
4,392
KESEHATAN
1,255
2,387
1,164
949
932
PARIWISATA DAN BUDAYA
54
55
2,023
53
104
AGAMA
15
19
54
0
0
4,978
7,199
0
9,145
14,730
250
334
7,569
146
143
PELAYANAN UMUM
EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP
PENDIDIKAN KEPENDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN SOSIAL
163
164
Lampiran
Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010 PAD Pajak Makassar Parepare Palopo Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tator Luwu Utara Luwu Timur
164
100,208 47,475 32,010 14,077 22,156 12,949 7,568 10,003 12,488 11,489 38,077 129,100 17,480 10,436 10,513 11,412 14,352 12,597 9,486 10,755 9,428 12,279 62,332
Retribusi 47,016 230,675 158,032 23,213 60,695 21,555 12,734 79,760 44,911 29,953 52,111 49,280 24,048 34,041 41,138 24,521 70,980 63,163 37,833 40,005 91,401 66,719 74,112
Keuntungan Perusahaan Daerah 4,572 12,544 6,169 47,136 2,533 18,263 7,989 14,675 6,429 6,115 7,290 29,559 13,743 2,719 4,514 15,138 12,914 15,780 15,091 5,637 4,531 3,010 12,352
PAD Lain 10,167 53,184 21,781 64,190 47,878 39,916 15,098 31,097 4,257 32,342 34,074 33,394 30,531 20,251 35,108 59,184 91,547 22,306 86,094 21,805 11,612 17,311 59,013
DAU 481,021 2,068,333 1,881,928 2,126,037 970,771 1,459,381 919,950 1,129,618 660,839 1,290,891 1,102,309 1,242,718 1,600,566 755,249 1,484,178 948,345 1,170,159 1,040,167 1,399,266 1,101,664 1,340,718 1,193,001 982,624
DAK 34,161 181,520 147,808 292,610 129,006 172,100 126,987 161,527 89,662 169,579 145,715 144,372 196,582 97,112 154,466 128,115 137,110 138,088 168,793 151,557 222,443 141,134 115,894
Bagi Hasil 133,018 383,524 156,866 343,411 100,082 190,451 170,886 85,448 46,861 155,848 109,981 97,512 182,111 87,237 131,905 200,472 289,706 112,520 224,352 65,943 199,313 127,887 383,499
Lain-lain 277,201 859,358 407,775 507,071 322,432 418,866 315,395 383,762 246,617 287,628 126,149 68,908 708,725 76,334 386,076 319,753 675,339 349,885 583,754 249,458 359,103 312,963 510,143
Lampiran
165
Belanja per Kapita Urusan Strategis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010
Makassar Parepare Palopo Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tator Luwu Utara Luwu Timur
Pendidikan 483,404 1,245,430 1,030,699 844,522 666,298 877,680 768,791 783,535 542,739 745,934 670,624 861,749 946,856 287,220 738,900 524,631 820,480 724,747 950,941 657,378 595,598 582,249 647,623
Kesehatan 79,663 501,069 461,994 293,471 174,182 192,562 204,582 304,185 108,259 135,610 198,673 249,923 192,871 97,975 210,189 131,103 263,573 148,508 747,750 179,177 209,852 297,893 320,835
Infrastruktur 172,513 1,183,034 166,662 607,271 237,623 368,483 226,209 172,917 246,661 399,293 94,121 323,208 576,024 141,806 252,185 393,383 393,203 275,996 553,116 130,891 215,792 222,384 483,981
Pertanian 8,122 73,589 46,963 175,938 49,229 95,185 66,097 59,993 25,041 78,208 41,499 38,869 55,803 20,010 67,349 31,208 135,293 63,080 112,780 24,483 59,279 52,092 75,004
Perikanan 31,327 87,558 17,067 18,748 25,854 62,037 9,091 36,565 20,678 41,495 28,532 16,770 16,514 23,117 27,420 8,976 21,760 25,883
165
KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Bursa Efek Indonesia Menara II, Lt. 12-13 Jln. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta – 12190 Telp. (+6221) 5299 3000 Faks (+6221) 5299 3111 Laporan ini dicetak pada Bulan Januari 2012 Semua foto pada halaman sampul merupakan Hak Cipta © Guntur Sutiyono. Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur merupakan kerjasama tim peneliti Universitas Hasanuddin, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Eksekutif Bank Dunia, maupun pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada tiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan hubungi Bastian Zaini (
[email protected]).