Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Proses pendidikan melibatkan pilar penting yaitu siswa, guru, keluarga dan masyarakat. Bagi guru atau pendidik, memahami pendidikan sangat penting dalam menimbulkan rasa kecintaan terhadap tugasnya, terhadap anak didik, dan terhadap kebenaran (Ahmadi & Uhbiyati, 2001). Sekitar 3,5 juta guru selama enam hari dalam seminggu berhadapan dengan 50 juta anak bangsa yang harus digodok lebih kurang 12 tahun untuk menjadi manusia dengan kapasitas tertentu. Dengan keterbatasan harga sebuah profesi, mereka harus terus bekerja untuk membuat orang menjadi orang (Houtman, 2006). Akhir-akhir ini guru menjadi pusat perhatian masyarakat luas untuk meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu guru serta perangkatnya (Iswari, 2008). Saat ini guru SD yang berjumlah sekitar 1.131.000 orang, baru sekitar 8,3 % (99.500 guru) yang memenuhi kualifikasi akademik (jenjang S1). Sekitar 92,7 % (1 juta lebih guru) yang belum memenuhi kualifikasi akademik D-4 (Majalah Komunitas Pendidikan, 2007). Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Rogers dalam Palmer, 2003). Salamah, Indrawati, dan Desiningrum (2009) mengatakan bahwa guru SD sangat mempengaruhi kehidupan pendidikan anak ke jenjang selanjutnya di SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi, bahkan saat terjun di dunia kerja, karena
2
Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang pertama dan terpanjang untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di sekolah. Lingkungan sekolah banyak mempengaruhi terbentuknya pribadi dan perilaku anak. Kenyataan di lapangan, banyak guru yang kurang dapat memotivasi siswa dan kurang peka terhadap permasalahan yang siswa hadapi. Beberapa guru juga kurang responsif dan kurang adanya sikap positif terhadap siswa. Wawancara terhadap lima orang praktikan PKPP tentang guru wali kelas tempat praktik kerjanya di salah satu SD di Yogyakarta menjelaskan tentang kurangnya keterampilan komunikasi interpersonal guru terhadap siswa dimana kurangnya kepekaan guru terhadap kondisi siswa baik secara fisik, emosi dan situasi yang dihadapi oleh siswa. Selain itu guru wali kelas juga kurang terbuka untuk mendengarkan masalah siswa dan kurang dapat memberikan umpan balik terhadap pemecahan masalah yang dihadapi oleh siswa. Siswa yang bermasalah kurang dapat ditangani oleh guru karena guru biasanya hanya memikirkan bagaimana mengajar siswa dan melaksanakan tugasnya untuk mengikuti sertifikasi. Selain itu guru juga terkesan cuek, tidak ada kedekatan, dan kurang peduli terhadap siswa, sehingga kurang adanya keterbukaan dengan siswa. Guru juga tidak tampak ada dukungan ketika mengajar. Guru dan siswa juga sama-sama tidak menghargai. Siswa berani dengan guru dan menyepelekan guru, sedangkan guru tidak memiliki power dan cenderung membiarkan (Wawancara dengan Praktikan PKPP di SD Negeri L, Maret 2013, hasil wawancara terlampir).
3
Fenomena lain di lapangan menjelaskan tentang permasalahan guru dan siswa di SD Muhammadiyah Yogyakarta. Berikut ini kutipan wawancara terhadap guru SD Muhammadiyah Purwodiningratan Yogyakarta. Permasalahan siswa banyak sekali mbak, mulai dari kesulitan belajar sampai hubungan sosialnya. Ada siswa kelas 1 dan 2 yang menyukai sesama jenis, ada yang suka sama gurunya sampe ngirim sms, ada yang suka sama guru olahraganya, ada yang suka sama teman sendiri sampe di FB pun dibuat nama belakang itu nama cowoknya, ada yang mencuri, itu beberapa kasusnya, ada yang mengganggu teman, banyak sekali mbak. Yang kami lakukan menasehati saja mbak, terkadang kami juga kesulitan bagaimana komunikasi dengan siswa kalau menasehati, jadi cenderung kepada ngasi nasehat-nasehat berkaitan dengan agama. Tapi terkadang siswa juga suka membuat lagi masalah kalau sudah dinasehati. Gimana itu ya mbak? Apa karena mereka anak-anak. Banyak juga guru wali kelas yang menganggap itu biasa saja karena masih menganggap siswa masih anak-anak jadi bagi mereka ya nakalnya nakal anak-anak (Wawancara dengan guru Wali Kelas SD Muhammadiyah Yogyakarta, Juli 2013). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru pada BAB I Pasal 1 menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru harus mempunyai kompetensi yang salah satunya adalah kompetensi sosial meliputi kompetensi untuk berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru). Ramdhani (2012) menyatakan kompetensi sosial yang harus dimiliki guru terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) kemampuan memahami perspektif orang lain (2)
4
keterampilan merespon, baik dalam bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal dengan cara mengutamakan perspektif orang lain mengenai suatu situasi atau lebih banyak dikenal dengan empati (3) keterampilan mengatasi permasalahan yang timbul dari adanya keragaman. Menurut Arends (2008), komunikasi dan hubungan guru dengan siswa dan masyarakat sangat dibutuhkan, tugas guru tidak hanya mengajar namun mendidik. Perspektif humanistik menyatakan pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang siswa yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, dan moral. Salah satu dari tujuan pendidikan humanistik adalah memperkuat perolehan keterampilan dasar seperti akademik, pribadi, antarpribadi, komunikasi, dan ekonomi (Rogers dalam Djiwandono, 2004). Sewa dan Widiastuti (2010) mengatakan bahwa adakalanya peran yang dijalankan oleh guru tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, dalam hal ini siswa tetap tidak dapat menerima segala sesuatu yang diberikan oleh guru, baik itu materi pelajaran, maupun perhatian dari guru kepada siswa tersebut. Oleh karena itu keterampilan komunikasi interpersonal antara guru dan siswa sangat dibutuhkan. Rogers (1975) menyatakan pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan dan hubungan yang nyaman antara guru dan siswa, hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Siswa selama usia dininya kelak akan berkurang kemungkinannya untuk memiliki masalah di sekolah bila guru-guru mereka peka terhadap kebutuhan siswa,
5
menghargai siswa, menciptakan hubungan yang nyaman, dan memberikan umpan balik yang sering dan konsisten (Woolfolk, 2009). Menurut Rogers (1975) rasa hormat yang positif, empati, dan suasana yang harmonis/tulus, sangat dibutuhkan untuk mencapai perkembangan yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri. Hal ini dapat ditunjukkan dari proses interaksi dan komunikasi antara pelaku pendidikan. Komunikasi sangat penting dalam hubungan interpersonal antara guru dan siswa. Pendekatan sistem komunikasi yang terjadi antara guru dan siswa dapat dilihat pada level interaksi dan rangkaian dari beberapa pesan yang disampaikan. Selain itu berfokus kepada efek komunikasi dari orang-orang yang terlibat. Hal ini berarti bahwa setiap komunikasi yang terjadi antara guru dan siswa memiliki pengaruh terhadap orangorang yang terlibat dalam komunikasi itu sendiri, misalnya orangtua, guru, maupun siswa itu sendiri. Catt, Miller, dan Schallenkamp (2007) menyebutkan komunikasi efektif membutuhkan keterampilan dari perilaku komunikasi, begitu juga interaksi akan efektif jika komunikasi yang terjalin juga efektif. Penelitian Upadyaya, Viljaranta, Lerkkanen, Poikkeus, dan Nurmi (2011) menyebutkan guru dipandang sebagai penyebab kemungkinan keberhasilan dan kegagalan yang dicapai siswanya, hubungan guru siswa juga menjadi penyebab motivasi dan pembentukan perilaku siswa di sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa guru yang baik mengambil bagian secara aktif dalam memfasilitasi, membimbing, menantang dan memikirkan siswanya serta dapat berkomunikasi efektif dengan siswa-siswanya. Erbaya, Ǒmeroǧlu, dan Çaǧdaş (2012) menjelaskan komunikasi guru – siswa merupakan area untuk menentukan kualitas
6
dan hubungan yang alami antara siswa dan guru serta pengaruhnya terhadap perkembangan, keahlian, dan kemampuan siswa. Adler dan Elmhorst (2005) menyatakan bahwa keterampilan komunikasi interpersonal adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan perasaan, pikiran, kebutuhan dan keinginan kepada orang lain kemudian memberitahukan orang lain bahwa pikiran, perasaan, kebutuhan dan keinginan mereka juga dimengerti dan dipahami. Guru yang efektif menggunakan keahlian komunikasi untuk menjaga siswa agar tetap terlibat dalam proses belajar di kelas (Catt dkk, 2007). De Vito (1997) mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi diantara dua orang/sekelompok orang sehingga terbentuk suatu hubungan antar individu melalui proses menerima dan mengirim pesan dengan efek yang cepat dan umpan balik yang segera. West dan Turner (2010) mengatakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka. De Vito (1997) mengemukakan ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh para perlaku komunikasi interpersonal agar komunikasi interpersonal berlangsung dengan efektif, yaitu keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, dan kesetaraan. Keberhasilan di dalam melakukan komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh kesiapan mendengarkan, pernyataan yaitu kejelasan gagasan yang disampaikan, keterbukaan, kepekaan dan umpan balik. Rogers (1975) menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Sebagai seorang guru, yang harus dimiliki adalah sikap menerima, kehangatan, tampil apa adanya, empati, penerimaan tanpa syarat, transparansi dan kongruensi.
7
Brok, Brekelmans, Levy, dan Wubbles (2005) menyebutkan guru berkomunikasi dalam banyak cara, termasuk mengembangkan hubungan dengan tipe yang berbeda pada siswa mereka. Gregory dan Weinstein (2008) mengemukakan guru dituntut berkomunikasi efektif dengan siswa, sehingga kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan. Jika komunikasi efektif dengan siswa dapat terjalin dengan baik, maka akan terbentuk hubungan positif antara guru dan siswa. Santrock (2007) juga menambahkan guru yang efektif menggunakan keterampilannya berkomunikasi dengan siswa, tetap kritis namun tidak berlebihan, lebih asertif daripada agresif, manipulatif ataupun pasif. Pola komunikasi yang terjadi dalam interaksi antara guru dan siswa yang tepat akan menghasilkan sebuah pemahaman antara kedua belah pihak yang akan sangat membantu dalam menyukseskan proses belajar mengajar (Eny, 2002). Pola komunikasi ini dapat terlihat melalui proses belajar mengajar, interaksi di lingkungan sekitar, dan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar (selanjutnya disingkat BK di SD) masih jauh dari harapan konseptualitas, terabaikan, bahkan terlantar dari sentuhan profesionalitas. Konsepnya cukup jelas, namun prakteknya “mengambang” sehingga proses dan hasilnya sulit diukur, tidak terdefinisikan, dan akuntabilitasnya tidak mudah dipertanggungjawabkan (Barus, 2010). Surat keputusan Menpan RI No. 84 th. 1993 dan Permendiknas No. 22 th. 2006 menugasi guru kelas di SD sebagai perencana, pelaksana, dan pengevaluasi pelayanan BK di kelas asuhannya. Namun dalam prakteknya tugas
8
tersebut belum terlaksana dengan baik. Kenyataan yang ada sampai saat ini pelaksanaan pelayanan BK pada hampir semua SD di tanah air masih berpola generalis-non-profesional tanpa konselor sekolah dan tanpa program yang terstruktur, dengan model guru kelas sebagai pembimbing (Barus, 2010). Pada penelitian ini, peneliti memberikan pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF”-R. Model BK “PROAKTIF” adalah nama keterampilan psikologis yang dirancang oleh Nuryati Atamimi. Kata “PROAKTIF” merupakan kumpulan dari 8 (delapan) huruf sebagai akronim yang masing-masing huruf memiliki arti atau makna, batasan dan pedoman dalam penyusunan modul. Huruf P adalah peka, huruf R berarti responsif, huruf O adalah operasional bertindak (obah), huruf A berarti afeksi mengutamakan rasa, huruf K adalah kognisi, huruf T merupakan tingkah laku, huruf I adalah ikhlas dan huruf F adalah fasilitasi (Atamimi, 2011). Rogers (1975) mengatakan dalam konsep teorinya bahwa individu merupakan organisme yang memiliki sifat beraksi sebagai keseluruhan terhadap lingkungannya
dengan
maksud
memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya
dan
mempunyai satu motif dasar yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri. Model BK “PROAKTIF”-R dalam penelitian ini merupakan model BK untuk mengembangkan keterampilan guru wali kelas SD. Bertujuan untuk membantu meningkatkan fungsi guru khususnya guru wali kelas, meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal guru wali kelas sehingga menjadi tempat yang efektif, aman dan nyaman bagi siswa sehingga permasalahan siswa dapat diminimalisir.
9
Sebelumnya Model BK “PROAKTIF” diteliti untuk mengembangkan keterampilan guru BK di kabupaten Bangka. Bertujuan untuk membantu meningkatkan fungsi BK khususnya guru BK, meningkatkan persepsi positif terhadap diri pribadi dan profesi sebagai konselor sekolah, harga diri, kepercayaan diri, kepuasan kerja dan motivasi kerja sehingga menjadi tempat yang efektif, aman dan nyaman bagi siswa khususnya dan kalangan terkait pada umumnya. (Atamimi, 2011). Pelatihan keterampilan psikologis Model BK “PROAKTIF” dilakukan pada 31 orang yang merupakan guru BK SMP di wilayah Kabupaten Bangka. 28 orang adalah guru BK yang tidak memperoleh pendidikan formal S1 program BK. Pelatihan berlangsung selama 30 jam dalam 3 hari 2 malam (Atamimi, 2011). Fasilitator pelatihan sebanyak dua orang dengan pendidikan minimal S1 yang berpengalaman memberikan pelatihan terhadap guru. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan pelatihan keterampilan psikologis Model BK “PROAKTIF” berpengaruh signifikan untuk persepsi diri, persepsi terhadap profesi konselor sekolah, harga diri, kepuasan kerja, dan motivasi kerja guru BK (Atamimi, 2011). Penelitian yang akan dilakukan kali ini diharapkan dapat meningkatkan komunikasi interpersonal guru wali kelas SD di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat efektivitas pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF” yang telah diadaptasi dan dimodifikasi atau disebut juga model BK “PROAKTIF”-R dalam meningkatkan komunikasi interpersonal guru wali kelas SD di Kabupaten Sleman. Subjek penelitian berlokasi di SD Muhammadiyah Kabupaten Sleman
10
dikarenakan kesediaan pihak sekolah untuk dilakukan penelitian. Selain itu masalah siswa banyak terjadi di SD Muhammadiyah Kabupaten Sleman dan guru kesulitan dalam berkomunikasi efektif dengan siswa (Survey masalah siswa terlampir). Rumusan masalah yang dikemukakan adalah pelatihan Model BK “PROAKTIF”-R diharapkan dapat meningkatkan komunikasi interpersonal pada guru wali kelas. Hipotesis penelitian ini adalah pelatihan keterampilan psikologis model BK “PROAKTIF”–R efektif meningkatkan komunikasi interpersonal guru wali kelas Sekolah Dasar. Nilai-nilai pengembangan diri
Pelatihan Model BK PROAKTIF
-
Peka Responsif Orientasi operasional (kerja) Afektif (empati,asertif) Kognitif (pemikiran, pemahaman) - Tingkah laku (professional) - Ikhlas (Usaha dan Tawakal) - Fasilitasi (tugas guru wali kelas sebagai BK pro-aktif)
Perubahan peningkatan guru wali kelas Komunikasi interpersonal
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Model BK “PROAKTIF”-R guru wali kelas Tujuan penelitian ini untuk menguji pengaruh Model BK “PROAKTIF”-R yang dilaksanakan dapat meningkatkan komunikasi interpersonal guru wali kelas selama berinteraksi dengan orang lain khususnya siswa. Penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang berbagai model bimbingan dan konseling yang telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya. Model BK “PROAKTIF”-R lebih menekankan pada formula “PROAKTIF”,
11